PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN OPERASI CAESAR DALAM PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS (INFORMED CONSENT) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI1 Oleh : Angelika Krisnawati2 ABSTRAKSI Operasi Caesar sudah familiar dalam kehidupan masyarakat. Salah satu jenis intervensi medis ini muncul seiring dengan majunya teknologi, khususnya teknologi di bidang kedokteran. Dalam melakukan tindakan medis apapun termasuk salah satunya adalah Operasi Caesar, dokter memerlukan ijin dari pasien atau keluarganya (informed consent). Informed Consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. Dokter merupakan pihak yang pakar dan pasien merupakan pihak awam yang tidak mengetahui apa yang terjadi pada saat tindakan medis dilakukan. Pasien yang kemungkinan besar tidak terlalu memperhatikan pemahaman tentang isi dari informed consent karena beban pikiran tercurah pada permasalahan kesehatannya membutuhkan perlindungan hukum. Tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini mengetahui perlindungan hukum terhadap pasien operasi Caesar dan hambatan-hambatan apa saja yang muncul dalam pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) terhadap pasien
1 2
Artikel Skripsi NPM.12100034
operasi Caesar di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali. Metode penelitian berupa data primer berupa hasil wawancara dengan dokter dan pasien dan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan; buku-buku tentang perlindungan konsumen, hukum perjanjian, kesehatan. Jenis penelitian ini adalah yuridis empiris yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau. Hasil penelitian ini adalah (1) Perlindungan hukum pasien operasi Caesar dalam Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali adalah dengan adanya suatu tanggung jawab rumah sakit dan tanggung jawab dokter/tenaga kesehatan yaitu keharusan mengganti kerugian yang diderita pasien seperti yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata. (2) Hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan Informed Consent antara lain : (a) Kurangnya jumlah dokter spesialis sehingga pelaksanaan persetujuan tindakan medis menjadi kurang optimal; (b) Tingkat pemahaman pasien, informasi yang dikatakan oleh dokter atau tenaga kesehatan susah untuk dimengerti oleh pasien karena menurut pasien informasi yang diberikan memakai bahasa kedokteran yang rumit; (c) Kurangnya keterbukaan pasien sehingga menyebabkan dokter kesulitan untuk memutuskan tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Hal ini menjadi faktor yang menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sebuah urgensi yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia di dunia ini, kesehatan tidak kalah penting dengan kebutuhan manusia akan sandang, pangan maupun papan karena tidak ada satupun manusia yang tidak menginginkan hidup sehat. Hal tersebut juga berlaku bagi seorang ibu yang sedang mengandung, yang pasti menginginkan sang buah hati terlahir dengan selamat dan sehat. Menurut Saifuddin proses melahirkan atau juga sering disebut dengan persalinan adalah suatu proses fisiologi yang normal dengan proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin turun ke dalam jalan lahir.3 Namun adalakanya persalinan tidak bisa dilakukan secara alamiah atau normal karena disebabkan oleh suatu hal, persalinan seperti ini membutuhkan tindakan medis yaitu operasi Caesar. Dalam melakukan tindakan medis apapun termasuk salah satunya adalah Operasi Caesar, dokter memerlukan ijin dari pasien atau keluarganya (informed consent). Informed Consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.4 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 dan Undang3
Saifuddin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwona Prawirohardjo. 4 Veronika Koemalawati. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 86
undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI Tahun 2008, Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Dalam Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat (2) menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya, kehadiran seorang perawat atau paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting. Tujuan Informed Consent menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta member perlindungan hukum kepada dokter atau perawat terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif. Tata cara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh dokter pada pasien, selanjutnya diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut : 1. Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. 2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien diberikan penjelasan lengkap. Setelah diundangkan UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang bagi pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang penyakitnya dan sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan informasi medis yang benar,
akurat dan berimbang tentang rencana sebuah tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan maupun perawatan yang akan di terima oleh pasien karena pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang akan dilakukan terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed Consent merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan hak pasien yang harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya. Dengan penjelasan tersebut di atas maka Informed Consent bukan hanya sekedar mendapatkan formulir persetujuan tindakan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarganya, tetapi persetujuan tindakan medik adalah sebuah proses komunikasi intensif untuk mencapai sebuah kesamaan persepsi tentang dapat tidaknya dilakukan suatu tindakan, pengobatan, perawatan medis. Jika proses komunikasi intesif ini telah dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu antara dokter sebagai pemberi pelayanan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan maka hal tersebut dikukuhkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Demikian halnya jika bahwa ternyata setelah proses komunikasi ini terjadi dan ternyata pasien menolak maka dokter wajib untuk menghargai keputusan tersebut dan meminta pasien untuk menandatangani surat pernyataan menolak tindakan medis. Hal pokok yang harus di perhatikan dalam proses mencapai kesamaan persepsi antara dokter dan pasien agar terbangun suatu persetujuan tindakan medik adalah bahasa komunikasi yang digunakan. Jika terdapat kesenjangan penggunaan bahasa atau istilah-istilah yang sulit dimengerti oleh pasien maka besar kemungkinan terjadinya mispersepsi yang akan membuat gagalnya persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan.
Dalam Persetujuan Tindakan Medis atau Informed Consent terjadi hubungan hukum yang akan melibatkan pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (Dokter dan Pasien) yang bertindak sebagai subyek hukum dan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, baik yang dilakukan oleh satu pihak saja maupun oleh dua pihak. Hubungan hukum ini diatur dan diakui oleh hukum dan didalamnya melekat hak dan kewajiban para pihak sehingga jika terjadi pertentangan terdapat akibat-akibat hukum dan prosedur penyelesaian sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia), Standar Profesi, Standar Prosedur Operasional serta ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi (Surat Tanda Registrasi, Surat Ijin Praktek) merupakan pihak yang pakar dan pasien merupakan pihak awam yang tidak mengetahui apa yang terjadi pada saat tindakan medis dilakukan. Pasien yang kemungkinan besar tidak terlalu memperhatikan pemahaman tentang isi dari informed consent karena beban pikiran tercurah pada permasalahan kesehatannya membutuhkan perlindungan hukum, juga dikarenakan pengetahuan tentang kesadaran hukumnya masih kurang. Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. Pertanyaan baru kemudian muncul jika terjadi kerugian yang dialami pasien akibat operasi Caesar tersebut, seperti gagalnya operasi yang bisa mengakibatkan sang ibu atau bayi mengalami luka, cacat, atau
bahkan kematian. Sedangkan dalam tindakan medis tersebut telah menggunakan Informed Consent sebagai bukti persetujuan tindakan medis yang diberikan pasien terhadap dokter yang akan menanganinya. Masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan Informed Consent pada Operasi Caesar inilah yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pasien operasi Caesar dalam Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali? 2. Hambatan-hambatan apa saja yang muncul dalam pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) terhadap pasien operasi Caesar di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali? C. Metode Peneltian Metode penelitian untuk penyusunan skripsi ini adalah yuridis empiris yang memberikan kerangka pembuktian atau kerangka pengujian untuk memastikan suatu kebenaran atau dengan kata lain yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undangundang) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian ini akan menggunakan pendekatan deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau. Sumber data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dokter dan pasien dan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan membaca serta mengkaji peraturan perundang-undangan,
dan buku-buku yang berhubungan dengan Persetujuan Tindakan Medis. PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Operasi Caesar dalam Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Kab. Boyolali Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Dalam pemberian pelayanan medis terhadap pasien, antara dokter dengan pasien timbul suatu hubungan hukum yang diakibatkan oleh pengikatan diri kedua pihak dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian terapeutik. Alasan diperlukannya persetujuan tindakan medis yang selanjutnya disebut informed consent dalam transaksi terapeutik operasi Caesar adalah dokter sebagai pihak yang melakukan tindakan medis yang bekerja dirumah sakit harus memberikan informasi mengenai tindakan yang mengandung resiko tinggi yang akan dilakukan yang menyangkut keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya secara tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang menyatakan persetujuan, yaitu pasien yang kompeten atau wali atau keluarga terdekat (suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung) atau pengampunya, hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. 1. Pasien dianggap kompeten berdasarkan usianya jika : a. Pasien dewasa, yaitu telah berusia 21 (duapuluh satu) tahun atau telah/pernah menikah b. Pasien telah berusia 18 (delapan belas) tahun, tidak termasuk anak berdasarkan peraturan perundangundangan. 2. Pasien dianggap kompeten berdasarkan kesadarannya jika : a. Pasien dianggap kompeten jika pasien tersebut tidak terganggu kesadaran fisiknya, sehingga mampu berkomunikasi secara wajar dan mampu membuat keputusan secara bebas. b. Pasien dapat kehilangan kompetensinya untuk sementara waktu jika ia mengalami syok, nyeri yang sangat, atau kelemahan lain akibat sakitnya. 3. Pasien dianggap kompeten berdasarkan kesehatan mentalnya : a. Pasien dianggap kompeten jika pasien tersebut tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi mental) dan tidak mengalami penyakit mental yang membuatnya tidak mampu membuat keputusan secara bebas. b. Pasien dengan gangguan jiwa (mental) dapat dianngap kompeten, jika pasien masih mampu memahami informasi, mempercayainya, mempertahankannya, untuk kemudian menggunakannya dalam membuat keputusan yang bebas. Formulir Informed Consent yang ada di kamar bersalin Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali berbentuk perjanjian
baku yang dipersiapkan terlebih dahulu secara massal yang bentuk serta isinya telah ditetapkan oleh pihak Rumah Sakit. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan untuk bertindak cepat dari dokter/rumah sakit dan tetap melindungi para pihak serta untuk mempermudah pengisian informed consent, sehingga dapat menjadi alat bukti yang kuat jika timbul sengketa. Formulir informed consent yang ada di kamar bersalin Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali berisi : 1. Identitas Pasien a. Nama Pasien b. Tanggal Lahir c. Jenis Kelamin d. No. Rekam Medik e. Alamat f. Bukti diri (KTP/SIM) g. Ruang dimana pasien dirawat h. Tanggal i. Jam 2. Pemberian Informasi a. Nama Dokter Pelaksana Tindakan b. Nama Pemberi Informasi c. Nama Penerima Informasi/ Pemberi Persetujuan ( Bila pasien tidak kompeten atau tidak mau menerima informasi maka penerima informasi adalah wali atau keluarga terdekat) 3. Isi Informasi a. Diagnosis (WD & DD) b. Dasar Diagnosis c. Tindakan Kedokteran d. Indikasi Tindakan e. Tata Cara f. Tujuan g. Risiko h. Komplikasi
i. Prognosis j. Alternatif & Risiko k. Lain-lain 4. Keterangan yang menyatakan bahwa : a. Pihak pemberi informasi menyatakan bahwa telah menerangkan hal-hal yang tercantum dalam informed consent secara benar, jelas dan memberikan kesempatan untuk bertanya dan/ atau berdiskusi. b. Pihak penandatangan persetujuan menyatakan bahwa telah menerima informasi, dan telah memahaminya; dan informed consent dibuat dengan kesadaran penuh dan tidak dibawah paksaan. 5. Nama terang dan tanda tangan dokter yang memberikan penjelasan informed consent; 6. Nama terang dan tanda tangan pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis; 1. Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dokter yang telah melaksanakan praktek kedokterannya sesuai dengan standar yang berlaku dalam kenyataannya masih saja dituntut secara hukum, dan bahkan dipenjarakan. Fenomena tersebut terjadi pada kasus dokter Ayu dan dokter Setyaningrum yang dituntut karena diduga melakukan malpraktek padahal Pasal 50 huruf (a) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran mengatur bahwa dokter saat melaksanakan praktek kedokteran mempunyai hak
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Tindakan malpraktek medis oleh dokter memang mungkin saja terjadi, baik karena kesengajaan ataupun karena kelalaian. Dokter sebagai manusia biasa yang penuh dengan kekurangan, tidak bisa lepas dari kemungkinan untuk melakukan kekeliruan dan kesalahan karena merupakan sifat kodrat manusia. Profesi kedokteran menurut Hipocrates merupakan gabungan atau perpaduan antara pengetahuan dan seni (science and art) jadi profesi kedokteran bukanlah bidang ilmu yang semuanya pasti dapat diukur. Berdasarkan hal tersebut, ada hal-hal yang harus dilakukan dokter untuk menghindarkan diri dari tuntutan hukum yaitu : a. Informed Consent Dalam menjalankankan profesinya Informed Consent merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang dokter. Menurut Veronika Koemalawati, informed consent merupakan toestemming (kesepakatan/persetujuan). Jadi informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapast informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.5 Tujuan informed consent bagi pihak dokter adalah memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap 5
Ibid. hal.85
risk of treatment yang tidak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan dengan cara semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti. b. Rekam Medis Selain informed consent, dokter juga berkewajiban membuat rekam medis dakam setiap kegiatan pelayanan kesehatan terhadap pasiennya. Pengaturan rekam medis terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-undang No. 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran. Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada pasien. 2. Perlindungan Hukum Pasien Setiap pasien yang akan melahirkan dengan operasi Caesar di kamar bersalin Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali diberikan informed consent oleh dokter yang berbentuk formulir baku dengan format secara garis besar sebagai berikut : Penulisan identitas pasien secara lengkap menjadi prasyarat mutlak persetujuan tindakan medik. Hal ini untuk menghindari kesalahan yang mungkin dapat terjadi jika identitas pasien tidak ditulis dengan lengkap. Identitas pihak yang melakukan penandatanganan persetujuan tindakan medis harus lengkap, mengingat jika terjadi sengketa dibelakang hari maka jelas siapa yang bertanggungjawab terhadap persetujuan tindakan medis tersebut. Identitas yang telah diisi oleh pihak pasien pada formulir Informed Consent di kamar bersalin Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali sudah cukup lengkap. Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat
baik diminta maupun tidak diminta. Penjelasan tindakan kedokteran tersebut mencakup : 1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran (contemplated medical procedure) ; 2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan (purpose of medical procedure); 3. Alternatif tindakan lain, dan risikonya (alternative medical procedure in risk); 4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi (risk inherent in such medical procedure) ; 5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (prognoses with and without medical procedure) ; dan 6. Perkiraan pembiayaan Penjelasan tersebut dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan dokter pemberi penjelasan dan pasien atau keluarga selaku penerima penjelasan. Berdasarkan Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa Informed Consent sekurang-kurangnya mencakup : a. diagnosis dan tatacara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan resikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pernyataan persetujuan dari pasien atau keluarganya atas tindakan medis
yang akan dilakukan terhadap dirinya didasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : a. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya Bahwa penandatanganan informed consent merupakan pengukuhan dari persetujuan lisan yang telah dilakukan sebelumnya, yakni setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan informasi yang lengkap dari pihak dokter mengenai penyakit pasien serta tindakan medis yang akan dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesepakatan diantara para pihak yang menandatangani informed consent. b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; Secara yuridis, yang dimaksud dengan cakap untuk membuat perjanjian adalah kewenangan seseorang untuk mengikatkan diri karena tidak dilarang oleh undang-undang. Informed consent di kamar bersalin Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali ditandatangani oleh pihak pasien yang keseluruhannya cakap sesuai dengan yang ditentukan dalam Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. c. Suatu hal tertentu; Obyek perjanjian berupa tindakan medis operasi Caesar. Dalam hal ini pihak dokter memberikan prestasi berupa upaya melakukan tindakan medis guna mencapai kesembuhan pasien secara maksimal.
Sedangkan pihak pasien sendiri memberikan prestasi berupa pembayaran dan pemberian informasi mengenai penyakitnya kepada pihak dokter. d. Suatu sebab yang halal Kesepakatan dokter dan pasien untuk dilakukan suatu tindakan medis terhadap pasien guna mencapai kesembuhan bukan suatu hal yang bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Informed consent merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam pelayanan medis yang pelaksanaannya menjadi penting karena informed consent menjadi dasar dokter untuk melakukan tindakan medis. Hal tersebut di atur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Meskipun demikian pengambil keputusan suatu tindakan medis akan dilakukan atau tidak kepada pasien merupakan hak penuh dari pihak pasien atau keluarganya sehingga segala keputusan tersebut merupakan kesepakatan antara dokter dengan pihak pasien dilakukan dalam keadaan sukarela dan tanpa paksaan. Berdasarkan uraian di atas, secara teori formulir informed consent yang terdapat di kamar bersalin Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali telah memenuhi unsur pokok yang harus terkandung dalam sebuah informed consent yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pemenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUHPerdata yang menerangkan bahwa pihak pasien dalam memberikan persetujuan dalam keadaan
sadar penuh dan tidak dibawah paksaan, sehingga jika terdapat sengketa antara pihak pasien dengan Rumah Sakit atau dokter yang bersangkutan tidak akan terjadi kesalahan putusan pengadilan. Salah satu faktor yang paling penting dalam perlindungan hukum di suatu rumah sakit adalah terpenuhinya hak-hak pasien, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan informasi. Inti dari hak atas informasi ini adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter, tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya seperti diagnosis, tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis alternatif tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi. Penulis menanyakan hal tersebut kepada pasien mengenai informasi tersebut, dan dari hasil wawancara kepada pasien bernama Nyonya “M” pada hari Minggu tanggal 25 Oktober 2015 yang diwakili oleh suaminya yakni “S” memang menyatakan bahwa pasien telah mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Hal tersebut dapat dilihat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf c yang berbunyi “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. Perlindungan hukum pasien juga diatur didalam UU No. 36 Tahun 2009 yang didalamnya diatur secara jelas mengenai hak-hak pasien dan kewajiban pasien, hak-hak tenaga kesehatan dan kewajiban dari tenaga kesehatan itu sendiri sehingga didalamnya terdapat suatu pola hubungan antara pasien sebagai konsumen dan tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa kepada konsumen yang akhirnya akan menimbulkan suatu perlindungan hukum terhadap pasien itu sendiri.
Pasien berhak untuk mendapatkan ganti rugi jika dirugikan oleh dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 huruf e dan h Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;”. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 58 ayat (1) “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 32 huruf q dan r yang berbunyi : q) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan r) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat perlindungan hukum bagi pasien operasi Caesar dalam Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) di RSUD Pandan Arang Kab. Boyolali yaitu dengan adanya suatu tanggung jawab rumah sakit dan tanggung jawab dokter/tenaga kesehatan berupa tanggung
jawab secara langsung dan tanggung jawab secara tidak langsung. a. Tanggung jawab secara langsung Jika dokter melakukan kesalahan dalam tindakan medisnya sehingga menimbulkan kerugikan bagi pasien maka dokter harus bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukannya itu, hal ini berarti dokter dapat dikenai Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1366 KUHPerdata. b. Tanggung jawab secara tidak langsung Jika dokter dalam melakukan tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian terhadap pasien, maka tanggung jawab secara tidak langsung kepada pihak rumah sakit sesuai Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata dan dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dikenakan sanksi. B. Hambatan-hambatan yang Muncul dalam Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Terhadap Pasien Operasi Caesar di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali Hasil penelitian di RSUD Pandan Arang Kab. Boyolali, maka dapat diketahui bahwa terdapat hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis pada pasien operasi Caesar. Adapun hambatan-hambatan yang muncul antara lain : 1. Kurangnya jumlah dokter spesialis Hal ini diketahui dari keterangan Ibu “SA” Kepala Sub bagian kepegawaian dan diklat Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali pada wawancara tanggal 7 November 2015 yang mengatakan bahwa, “Jumlah dokter spesialis masih kurang sehingga pelaksanaan persetujuan tindakan medis menjadi kurang optimal.”
2. Tingkat pemahaman pasien Pada pelaksanaan informed consent dokter dituntut untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur tetapi pada kenyataannya memang sulit untuk dilaksanakan dikarenakan masih ada pasien yang mengatakan bahwa ”dokter menjelaskan dengan bahasa kedokteran yang rumit sedangkan kita adalah orang awam yang sudah pasti tidak mengerti mengenai materi yang dijelaskan oleh dokter tersebut” . Hal ini dapat menyebabkan perbedaan persepsi antara dokter dan pasien sebagai pihak yang awam tentang tindakan medis yang akan dilakukan. Meskipun dokter atau tenaga kesehatan merasa telah melakukan hal tersebut, namun belum tentu hal tersebut telah dirasakan oleh pasien, karena informasi yang menurut dokter atau tenaga kesehatan telah cukup tidak berarti cukup juga untuk pasien. 3. Kurangnya keterbukaan pasien Berdasarkan hasil wawancara dengan dr. “HS” diketahui bahwa sikap yang kurang terbuka dari pasien menyebabkan dokter kesulitan untuk memutuskan tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Hal ini menjadi faktor yang menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perlindungan hukum pasien operasi Caesar dalam Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) di Rumah Sakit Umum Daerah Pandan Arang Boyolali adalah dengan adanya suatu tanggung jawab rumah sakit dan tanggung jawab dokter/tenaga kesehatan yaitu keharusan mengganti kerugian yang diderita pasien seperti yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan Informed Consent antara lain : (a) Kurangnya jumlah dokter spesialis sehingga pelaksanaan persetujuan tindakan medis menjadi kurang optimal; (b) Tingkat pemahaman pasien, informasi yang dikatakan oleh dokter atau tenaga kesehatan susah untuk dimengerti oleh pasien karena menurut pasien informasi yang diberikan memakai bahasa kedokteran yang rumit sedangkan pasien adalah orang awam yang sudah pasti tidak mengerti mengenai materi yang dijelaskan oleh dokter tersebut; (c) Kurangnya keterbukaan pasien sehingga menyebabkan dokter kesulitan untuk memutuskan tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Hal ini menjadi faktor yang menghambat adanya perlindungan hukum terhadap pasien. B. Saran Pada bagian ini penulis memberikan beberapa saran dengan harapan bahwa saran ini dapat menjadi pertimbangan bagi pihak terkait dalam menetapkan kebijakan sehingga dapat menjadi lebih baik untuk kedepannya. Adapun saran tersebut antara lain : 1. Pasien hendaknya ikut berperan aktif dalam pelaksanaan informed consent dengan cara mengetahui hak dan kewajibanya sehingga pasien sebagai konsumen bisa memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi. 2. Sikap kurang terbukanya pasien dapat di atasi dengan cara dokter sebagai sebagai pihak yang berusaha dengan segala daya untuk mengupayakan kesembuhan pasien, sebaiknya lebih melakukan pendekatan secara interpersonal agar tindakan medis yang disarankannya dapat terlaksana sehingga kesembuhan pasien dapat dicapai secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Buku Achmad Mucshin. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Transaksi Terapeutik. Jurnal. Diakses pada tanggal 9 September 2015 Amri, Amir, 1997.Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Jakarta : Widya Medika. Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta. Danny Wiradharma.1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran. Jakarta. Binarupa Aksara. DR. Wila Chandrawila Supriadi, 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju. Endang, Kusuma Astuti, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit, Bandung : Citra Aditya Bhakti. Guwandi, J, 2003.Dokter, Pasien, dan Hukum, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. H.Malayu,S.P. Hasibuan, 2001, Pelayananan Terhadap Konsumen Jasa, Jakarta, PT. Bumi Aksara. Hendro Punto Adji, 2003.Tindakan Operasi Oleh Dokter Tanpa Informed Consent Dalam Kasus Emergency, FH Univ. Jenderal Sudirman. Hermien Hadiati Koeswadji. Makalah Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional. Kerbala, Husein, 1993.Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. M.T Indiarti, 2007.Caesar, Kenapa tidak? (Cara Aman Menyambut Buah Hati Anda), Yogyakarta : elMATERA.
Marzuki, Mahmud, Peter. 2013.Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Prenada Media Group. Nana Syaodih Sukmadinata, 2006.Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : Rosda Karya. Philipus M Hadjon, 1988.Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Surabaya : Bina Ilmu. Ronny Hanitjo Soemitro, 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia. Safitri Hariyani, 2005.Sengketa Medik, Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Jakarta : Media. Saifuddin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwona Prawirohardjo. Salim, HS. 2013.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Cetakan ke-8. Sinar Grafika. Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Soerjono Soekamto. 2007.Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press. Soeroso, R. 1993.Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika. Subekti, 1991.Hukum Perjanjian Cetakan XIII, Jakarta : PT. Intermassa. Sunarto Ady Wibowo. 2009. Hukum Kontrak Terapeutik di Indonesia. Medan : Pustaka Bangsa Press. Syahrul Machmud, 2012.Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, KDP, Bandung. Veronika Koemalawati. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Veronika Koemalawati. 2002. Peranan Informed Consent Dalam Perjanjian Terapeutik. Bandung : Citra Aditya. Peraturan perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen