1
1. Anak-Anak Terpilih “Kamu pernah berpikir tentang masa depan?” tanya Billy sambil memandangi butiran gelembung pada minuman sodanya. “Maksudku, setelah kita lulus dari universitas, akan jadi apa kita nanti?” “Uhm, itu hal terakhir yang akan kulakukan,” jawab Ery acuh tak acuh. Ia menyeruput minumannya, lalu berkata, “pemikiran semacam itu hanya akan membuang waktu saja.” “Tapi ini penting. Dan ini adalah hal yang serius,” Billy bersikeras, secara tak langsung memaksa sobatnya untuk menantang argumennya. Ery mendengus, mengakibatkan minuman sodanya bergolak di dalam gelas. “You know what? Fuck! Biar kuberitahu, apa sih gunanya memikirkan sesuatu yang tidak jelas? Sesuatu yang bahkan belum tiba dan bukannya tidak mungkin kalau sesuatu itu tidak akan pernah tiba?” Ahmadi yang sedari tadi hanya menyimak percakapan kedua sobatnya mendadak terpancing untuk ikut meramaikan bursa perbincangan. “Ery benar. Lihat saja badannya yang gemuk seperti sotong hamil. Bisa saja ia terserang stroke atau sakit jantung dalam dua menit mendatang. Nah, orang seperti ini mana bisa bicara tentang masa depan?” Ery menoleh dengan bola mata merah menyala. Dalam hitungan detik, Ahmadi menembus tembok kantin, melayang ke luar dalam kondisi tumpangtindih. Billy mengguncang gelasnya dan menanggapi ucapan Ery tanpa menggubris nasib Ahmadi yang mengenaskan. “Maaf, Sobat. Tapi kau terdengar begitu pesimis…” “Sebaliknya,” bantah Ery, “aku realistis. Apa yang harus kita pikirkan selagi masih bernapas pada hari ini adalah bagaimana caranya agar hari ini tidak tersia-siakan oleh kita. That’s all.” “Dan kita sudah tahu tujuan hidup seorang mahasiswa,” sambung Ahmadi yang berjalan tertatih-tatih dengan tongkat yang dijepit tepat di ketiaknya yang berbulu pirang karena karena disemir di salon Johnny Andrean dengan menggunakan cat minyak seharga 3 Newtown Dollar (kalo ditransfer ke IDR = Rp. 3.000) yang diproduksi di Cina oleh sebuah perusahaan semir yang berlokasi di tepi sungai Huang Ho yang sering meluap dan menyebabkan korban jiwa sehingga penduduk bumi berkurang secara alami sesuai dengan kehendak Dia yang menciptakan dan mengatur segalanya, termasuk juga pemikiran Anthony tentang ketiak pirang milik Ahmadi. “Coba kudengar,” pinta Billy. Ery dan Ahmadi saling berpandangan, kemudian bersenandung, “burger dan cola di tangan kiri dan kanan, film porno di layar TV dan musik romantis sebagai latar belakang, serta banyak cewek cantik di sekeliling kita!” *** “Dan inilah dia, rekan satu kamar kita yang paling pintar,” seru Ery saat ia membanting pintu hingga engselnya copot. Di hadapannya, seekor kutu buku berkacamata (yang difungsikan untuk menutupi pandangannya yang tidak simetris) yang juga memposisikan dirinya sebagai pecandu film hentai kontan tersentak kaget dan jatuh dari tempat duduknya. “Yeah, rekan kita yang hebat dengan otak yang encer seperti air tebu,” lanjut Billy dengan teriakan yang tak kalah kerasnya. “Sugi!” Ahmadi bersorak-sorai, mengakhiri salam perkenalan yang dibuka oleh Ery.
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
2 Adapun tokoh yang baru saja diumumkan namanya itu sedang menelungkup, lantas merangkak dan mulai meraba-raba untuk mencari kacamatanya. Tangannya menyentuh sesuatu, namun langsung dicampakkannya lagi. Rupanya ia baru saja memegang celana dalam Ery yang bau pesing dan digenangi cairan bening-kental yang menjijikkan. Billy yang lebih kalem (kayak lembu) membantu Sugi dengan cara menyodorkan kacamatanya. Tapi pandangan Sugi tetap saja tidak terfokus meskipun ia sudah mengenakan kacamata. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata Billy menjebaknya dengan kacamata renang. “Mereka memang brengsek,” Sugi menggerutu di tengah suara tawa teman-temannya, “tetapi tak ada lagi teman yang lebih baik dari mereka. Jadi pembaca, inilah kami, anak-anak terpilih.” *** “Kisah kami bermula dari Sugi,” ucap Ahmadi. “Seperti yang kami katakan pada bagian terdahulu, dia yang paling pintar. Dia berhasil masuk ke Perfect Alphabeth University tanpa test karena nilai-nilainya sangat baik.” “Itu betul,” lanjut Billy. “Keberhasilannya memacu semangat dan rasa percaya diri kami, bahwa anak-anak dari Tortoise Village yang terpencil tidak harus minder dan mundur dari pergaulan. Bagaimanapun kami cukup berpotensi.” “Betul, kami sama sekali tidak impoten,” sahut Ahmadi. “Tapi itu bukan akhir dari cerita,” sambung Ery. “Kami mungkin nakal, tapi kami juga cerdas. Hal inilah yang menarik perhatian Anthony Ventura, produser paling terkenal di Newtown City, untuk membuat kisah tentang kami.” “Yeah, kisah tentang kehidupan kampus dengan kami sebagai tokoh utamanya,” tutur Sugi. “Lihat saja bagaimana kami berinteraksi dengan kampus, termasuk juga dengan asisten Seagat Baracuda, Dosen Sandy Green yang biasa dipanggil dengan sebutan Green Sand, Mr. Neku yang membosankan dan masih banyak lagi. Gimana? Tertarik? Baca, dong!” “Dan… uh, ada yang belum kenal dengan Anthony Ventura? Jangan khawatir, setelah kisah ini, anda akan tahu lebih banyak tentang dirinya…” ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
3
2. Empat Yang Terbaik Dari Tortoise Village Tidak setiap penduduk Newtown City tahu di mana letak Tortoise Village. Bila anda mempunyai peta Newtown City, tidak tertutup kemungkinan kalau anda tidak akan menemukan lokasi tempat ini jika peta anda tidak tergolong peta dengan penggambaran yang detil. Mengherankan memang, tapi begitulah kenyataannya. Tortoise Village merupakan bagian dari distrik Dolphin Village, kawasan yang dihuni oleh kaum pendatang. Bila kita membicarakan statusnya yang sama sekali tidak menonjol, maka perdebatan terakhir mengungkapkan beberapa jawaban yang spekulatif. Ada yang mengatakan kalau daerah itu masih baru sehingga tidak begitu dikenal (agak mengherankan juga karena kawasan ini sebenarnya telah diresmikan pada tahun 1964) sementara yang lain berpendapat bahwa daerah ini tidak pernah melahirkan tokoh terkenal, letaknya tidak strategis dan penghuninya adalah kaum pendatang yang kebanyakan berasal dari kalangan pekerja. Well, alasan yang terakhir mungkin lebih masuk akal… “Tapi pemikiran itu kini perlu direvisi,” sanggah Sugi dengan nada ceria, “cause here we come to save the day.” Dan… seperti yang sudah anda ketahui sebelumnya, inilah cerita tentang anak-anak terpilih, empat yang terbaik dari Tortoise Village. Pada bagian ini, kita akan melihat tentang siapa, mengapa dan bagaimana… *** Cerita ini berawal dari Sugi, anak muda berkacamata minus dengan postur tubuh kerdil, namun bernyali besar untuk menjadi pengacau, pengintip dan aktor dari isu-isu negatif lainnya. Kendati tampangnya terlihat lugu (lucu dan dungu), anak ini sangat cerdas. Dari kecil ia sudah menunjukkan kelebihannya, misalnya aja ketika balita lain masih nonton film kartun, Sugi kecil udah nonton berita pemerkosa ayam yang diganjar hukuman sunat oleh hakim. Ketika tumbuh menjadi remaja, Sugi sudah disegani sebagai pemimpin yang cool dan okay. Ia memimpin gerombolan kecilnya dengan pendekatan yang baik. Maka dari itu, jangan heran kalo Ery yang berbadan raksasa pun dengan senang hati menjadi sidekick bagi Sugi yang mungil. Lewat imajinasinya yang nakal tapi jenius, ia bisa merangkul Ahmadi yang sembrono dan sableng namun mempunyai sifat setia kawan yang membanggakan. Sugi bisa membagi waktu untuk menemani Ahmadi untuk aksi heroisme seperti mempraktekkan trick untuk tampak hebat di depan gadis cantik, sedangkan di lain waktu ia akan membimbing Ahmadi yang memang kurang dalam prestasi akademik. Puncak keberhasilannya sebagai remaja yang beranjak dewasa adalah memberanikan diri untuk mendaftar ke universitas paling top di Newtown City, Perfect Alphabeth University. Xoe Giezt (demikian nama aslinya bila dieja dalam bahasa Mongolia yang merupakan bahasa yang ia pakai dalam lingkungan keluarga) bukan saja berhasil menjadi mahasiswa di universitas tersebut, melainkan juga menghapus image negatif yang selama ini melekat pada masyarakat Tortoise Village. Meskipun pada mulanya ia (dan teman-temannya) sempat disepelekan sebagai orang dari pelosok yang terpencil, tetapi mereka berhasil membalikkan pandangan tersebut dengan kecerdikan mereka yang menggelitik. *** Tiga karib Sugi adalah Ery, Ahmadi dan Billy. Ery adalah partner Sugi yang paling menonjol. Disadari atau tidak, keduanya selalu berkompetisi secara sehat dan saling melengkapi dalam berbagai hal. Ery bertubuh besar (hal ini sudah Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
4 terlihat sejak masa kecilnya, ketika usia balita, ia sering disebut balita alias babi lima tahun) dan berbulu di setiap jengkal tubuhnya, mulai dari daerah yang sensitif hingga daerah yang biasa-biasa saja. Orang-orang ilmiah sering mengatainya sebagai Phitecantropus erectus, tetapi orang awam sudah cukup puas dengan memberi julukan babi hutan kepadanya. Diejek seperti itu, biasanya Ery akan menanggapi hal itu dengan geraman yang tidak terkesan serius, suatu hal yang sudah menjadi ciri khasnya, selain berkeringat habis-habisan seperti baru saja tercelup ke dalam comberan. Adapun Ahmadi, sosok yang satu ini lebih jenaka, berpenampilan gentle namun konyol dan tidak pernah menunjukkan sikap terpelajar yang kental. Meskipun begitu, ia jelas mempunyai bobot tersendiri mengingat kenyataan bahwa orang seperti Anthony Ventura pun mengaku salut dan bersimpati kepadanya. Dari keempat anak-anak terpilih, Ahmadi adalah yang paling pintar menghidupkan suasana. Dia tahu kapan dia harus melucu dan menjamu tamu atau temannya di dalam kegembiraan yang menyenangkan dan bersahabat. Tak satupun rekannya yang memiliki performance melebihi dirinya dalam hal ini. Demikianlah keunikan pemuda yang sesungguhnya bernama Ahmed Johnson dan mewarisi darah Negro dan Aria ini. Orang terakhir, Billy, jauh lebih serius dibandingkan dengan ketiga rekannya. Menurut sebagian mahasiswi, dia itu cool. Perubahan wajahnya, dari sorot mata yang serius menjadi raut muka yang santai dan tersenyum lepas, bisa membuat setiap cewek berteriak histeris. Dia tidak berkacamata seperti Sugi, tidak berbadan ukuran “XL” seperti Ery dan juga tidak konyol seperti Ahmadi. Billy, yang sering dikatakan memiliki hubungan darah dengan para cowboy di era Wild West, adalah pemuda dengan daya tarik luar biasa di dalam kesederhanaannya. ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
5
3. Hari Pendaftaran Di Newtown City, di kawasan Newtown Point, sebuah bis dengan tujuan Emerald Book sedang meluncur perlahan dari arah terminal. Di dalam bis yang penuh sesak itu, Sugi duduk dengan resah. Hari ini memang hari pendaftaran mahasiswa baru, namun bukan itu yang membuat hati Sugi gelisah. Saat ini ia sedang melirik gadis di sebelahnya yang mengenakan baju kaos dengan belahan yang “wah” di bagian dada. Gadis itu cuek, asyik mendengarkan musik dari walkman sambil membaca buku novel Hong Kong Heroes 2001. Bukan salahku jika aku berhasil melihat “benda itu”. Bukan salahku… Sugi berkomat-kamit, mengucapkan kalimat penambah rasa percaya diri itu berulang kali. Ia terus berusaha mengintip dan… Gadis itu termangu saat merasakan tetesan air di sekitar dadanya. Ia menoleh, memandang seorang pemuda lugu yang mendekapkan sapu tangan di bibirnya sambil menerawang keluar jendela. Sugi akhirnya menarik napas lega ketika gadis itu menggerutu kesal tentang tetesan air yang merembes dari AC bus. Masih terus menatap papan-papan reklame yang menghiasi gedunggedung pencakar langit, perhatian Sugi menjadi teralih. Pemandangan yang tidak bisa disaksikan di Tortoise Village itu membuatnya terkenang akan masa kecilnya, tatkala ia diajak orang tuanya berjalan-jalan menikmati malam yang penuh lampu dan cahaya di Newtown City. Sugi terus larut dalam lamunannya hingga bus membelok ke tikungan yang merupakan jalan dua arah. Terlintas di depan matanya huruf timbul dengan warna hijau yang sesungguhnya merupakan rangkaian rerumputan yang ditata sedemikian rupa di atas bukit buatan. Ejaan huruf itu membentuk kata Emerald Book. Beberapa saat kemudian, Sugi turun di halte Perfect Alphabeth University… *** Perfect Alphabeth University adalah universitas tertua dan termashyur di Newtown City. Sudah tak terhitung jumlah alumni universitas tersebut yang sukses berkiprah di dalam masyarakat. Sugi ingat betul bahwa Anthony Ventura juga lulusan universitas tersebut. Angelia, anggota The PartyKids yang legendaris, juga pernah belajar di situ meskipun akhirnya putus kuliah. Dan sekarang adalah gilirannya… Sugi melangkah dengan mantap di halaman kampus. Ia memandang ke sekelilingnya dan seketika itu juga disadarinya bahwa kehadirannya ternyata mengundang perhatian. Beberapa pasang mata menatapnya dengan sinis. Ada yang bahkan menunjuk ke arahnya sambil tertawa kecil, seolah-olah ada yang aneh dengan penampilannya. Penampilan Sugi baik dan rapi. Sebaliknya, muda-mudi di hadapannya berpakaian berantakan, khas anak muda perkotaan. Mereka melecehkannya, meneriakinya dengan sebutan kampungan karena dandanannya tidak trendy. Orang-orang ini… mereka hanya menang gaya, sedangkan otaknya kosong. Sugi tahu betul akan hal ini. Mendekat dengan langkah yang kikuk, sugi berniat membalas ejekan mereka. “…aku tahu bahwa penampilanku terlihat… yeah, sedikit kuno,” ujar Sugi ketika cemoohan yang menyerangnya mulai reda, “namun aku jujur dan kalian munafik!” Apa? Kok gitu?” salah satu dari mereka berteriak karena tidak mengerti sekaligus menunjukkan rasa tidak senang. Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
6 “Yah, memang begitu, kok,” sahut Sugi acuh tak acuh. “Coba kau lihat gadis yang sedang berjalan itu. Bagaimana pendapatmu tentang baju yang ia pakai?” “Menggiurkan.” “Tepat. Tapi jika kau memandangnya untuk waktu yang terlalu lama, ia malah akan merasa risih dan lebih parah lagi, ia akan mengumpatmu,” Sugi melanjutkan penjelasannya. “Nah, mau pamer tapi enggan dipelototin. Itu ‘kan munafik, namanya. Begitu juga dengan dandanan kalian.” Para calon mahasiswa itu saling pandang, terpengaruh antara rasa rasa takjub dan tidak mengerti setelah mendengarkan penjelasan Sugi sementara pemuda dari Tortoise Village itu tertawa dalam hati karena mereka ternyata lebih bodoh dari dugaannya. Meskipun begitu, Sugi jelas tidak mau berseteru dengan mereka. Ia hanya ingin membungkam kesombongan mereka, sesudah itu dengan cekatan ia menyulap keadaan yang tidak menentu itu menjadi persahabatan. Ia menepuk bahu pemuda di dekatnya dan menunjuk seseorang di depan mereka dan berkata, “lihat, itu baru yang namanya kampungan.” Rambut pemuda yang ditunjuk Sugi itu tegak dan kaku, menggumpal membentuk bulatan hitam di atas kepalanya. Giginya tidak lengkap, menimbulkan black hole pada senyumnya. Pakaiannya acak-acakan dan ada lubang kecil di celananya, tepat di bagian lutut kiri. “Uih, makhluk ajaib,” mereka bersorak riuh. Yang lainnya tak mau kalah. “Astaga, monyet berkostum.” Sugi tertawa kecil, namun tidak sampai hati melihat pemuda malang itu menjadi bahan ejekan. Dengan lambaian tangan, ia memanggil sosok unik itu untuk bergabung bersama mereka. Pemuda itu rupanya bernama Subianto. *** Sugi masuk ke aula kampus. Ruangan itu penuh dengan para calon mahasiswa yang hendak mendaftar. Ia antri pada lajur antrian, menoleh ke kiri-kanan untuk menghitung panjang antrian. Setelah terpekur sejenak, tiba-tiba ia sadar kalau gadis di depannya adalah gadis yang tadi ia gunakan sebagai contoh perumpamaannya. Astaga, wangi sekali parfumnya… Sugi menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya. Hal itu dilakukannya berulang kali. Enak sekali, rasanya. Tanpa ia sadari, gadis itu menjadi curiga dengan ritual yang ia lakukan. “Maaf, apakah kau sakit?” tanya gadis itu secara mendadak. Sugi tersentak. Napasnya terhembus tanpa kendali sehingga sebutir kotoran hidungnya melayang dan menempel di pipi gadis itu. Gadis itu merasa agak terganggu, lalu menyeka wajahnya dengan tisu. Melihat bintik hitam dengan sehelai bulu hitam yang halus pada permukaannya (kira-kira seperti sperma yang diperbesar di bawah mikroskop), gadis itu langsung tahu kalau benda itu milik Sugi. “Kurasa ini milikmu,” tukas gadis itu sambil menyodorkan tisunya. “Uh, kau boleh menyimpannya,” ujar Sugi tanpa ekspresi. Sedetik kemudian, ia sadar kalau ia telah salah bicara. Kendati begitu, gadis itu malah tersenyum kecil, menunjukkan tanda simpati kepadanya. Sugi mulai salah tingkah ketika gadis itu terus memandangnya. “Kau lucu… dan harus kau akui kalau kau agak sedikit jorok. Siapa sih, namamu?” “Aku Sugi. Kau?” Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
7 “Aku Diana. Senang berkenalan denganmu,” kata Diana sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. Perlahan dan ragu, Sugi mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Ia masih tidak bisa mempercayai keberuntungannya karena telah berkenalan dengan gadis cantik seperti Diana, gadis yang mirip sekali dengan Cameron Diaz. “Kau pasti berasal dari luar daerah, ya?” “Err, dari Tortoise Village…’’ “Tak pernah dengar,” sahut Diana dengan cepat. “Tapi kukatakan kepadamu, di sini kau cukup berjabat tangan dalam berkenalan. Kau tak perlu menembakkan kotoran hidung untuk memperkuat kesan pertama.” Dan Sugi terdiam. Baru kali ini ia takluk dalam menghadapi pesona seorang wanita. Entah terbang ke mana seluruh kharismanya pada saat itu… *** “Tortoise Village, eh?” tanya Rudy, petugas akademik yang tinggi-besar. Sugi bahkan harus menengadah untuk memandang wajahnya yang tegang dan keras. “Iya,” jawab Sugi dengan perlahan. Rudy mendengus dengan sinis, menimbulkan rasa tidak senang di hati Sugi. Tapi kemudian mimik wajah petugas itu berubah, tepatnya ketika melihat daftar nilai yang tercantum pada ijazah Sugi. Seorang pemuda jangkung, yang terlihat seperti mahasiswa tingkat atas, bergerak mendekat karena penasaran melihat perubahan tampang Rudy. Ia menatap ke objek yang sama, kemudian tersenyum dan berkata, “kau cukup mengesankan.” “Terima kasih atas pujiannya, Mr. …?” ujar Sugi sambil mengulurkan tangan, mencoba apa yang telah diajarkan Diana kepadanya. “Panggil saja Sugianto,” ujar pemuda itu sembari menyalaminya. Sesaat kemudian ia pun berlalu. Dari Rudy, Sugi memperoleh semacam resi yang telah dibubuhi stempel “tanpa test”. Ia lantas meninggalkan loket pendaftaran dengan senyum penuh kebanggaan. ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
8
4. Menyusul Sugi Setelah pulang dari kampus, Sugi bercerita kepada teman-temannya. Sugi : “Kampusnya besar sekali…” Ery : “…” Sugi : “Toiletnya aja lebih besar dari kamarku!” Billy : (tertawa kecil) “Heh…” Sugi : “Belum pernah kulihat komputer sebanyak itu!” Ahmadi : “Zzzz…” Sugi : “Apalagi ceweknya, hot and sexy!” Ery : “Itu baru yang namanya cerita tentang kampus!” Billy : “Coba dari tadi…” Ahmadi : “Berapa ukuran vital dari cewek yang sempat kau lihat?” *** Perbincangan Sugi, Ery, Billy dan Ahmadi tidak terputus oleh bunyi perut mereka yang keroncongan. Rupanya mereka sedang mendiskusikan sesuatu dengan serius. Sugi berkali-kali menghela napas panjang. Tampak betul kalau masalah yang sedang mereka bicarakan ini sangat mengganggu pikirannya. “Kau terlau sembrono,” Billy menyesalkan perkataan Ahmadi. “Harusnya kau pikirkan dulu,” tukas Ery. “Bagaimanapun akan lebih baik kalau kau mengkonfirmasikan kembali arti dari ucapanmu itu,” pinta Sugi. Ahmadi, dengan wajah sendu dan pipi yang menggelantung seperti bulldog, akhirnya menuruti saran rekannya. “Para pembaca, apa yang saya katakan tadi adalah ukuran vital, bukannya ukuran alat vital. Saya mohon maaf dan berharap agar pembaca tidak menganggap saya kurang ajar…” *** “Jadi ini kampus,” komentar Billy. “Jadi mana cewek cantiknya?” Ahmadi mulai bersungut-sungut. “Jangan-jangan Sugi telah menipu kita,” gumam Ery, mulai menaruh curiga. Begitu Ery menyelesaikan perkataannya, seorang gadis berambut sebahu melintas di depan mereka. Bodinya memang tidak menggelembung seperti Pamela Anderson, tapi pakaian ketat yang membalut tubuhnya tetap membuat ia tampak seksi. Dari seorang mahasiswa gemuk berambut sirsak yang memanggilnya, ketiga sekawan itu akhirnya tahu kalau cewek cakep itu bernama Marlina. “Kau tahu,” ujar Ahmadi, “aku merasa terpanggil untuk kuliah.” Billy dan Ery menoleh ke bagian bawah sahabatnya. Saat itu juga mereka langsung tahu apanya yang terpanggil. *** Mereka akhirnya mendaftar. Rudy, yang telah terkesan dengan kepintaran Sugi, menyambut mereka dengan tangan terbuka. Tangannya baru menutup setelah menggenggam map yang berisi berkas pendaftaran. Rudy membuka map itu satu per satu. Raut wajahnya berubah-ubah, mengikuti isi map yang sedang dilihatnya. Pertama-tama ia terlihat tak percaya, lalu berkeringat dingin dan akhirnya terpental mundur dengan bibir membentuk huruf “O” yang persis sama dengan bentuk donat. Di mata Rudy, nilai Ery, Billy dan Ahmadi terlihat seperti grafik yang merosot dalam skala bodoh, dungu dan idiot. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau Rudy sampai harus diberi wewangian supaya ia bisa siuman dari mimpi buruknya. Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
9 Meskipun begitu, mengingat Sugi yang menakjubkan, Rudy masih memberi kesempatan bagi mereka untuk ikut tes. Mereka lantas diarahkan ke ruang ujian. *** Ruang ujian itu ramai sekali. Ery dan kawan-kawan sempat berkenalan dengan Arie Dementor, Sheik Habibie dan Budi Tornado. Mereka juga sempat melihat Subianto, makhluk jadi-jadian yang diceritakan oleh Sugi. Ketika sirene ujian berbunyi, mereka mengambil tempat duduk dan siap untuk ujian. Billy dan Ery duduk berdekatan, namun Ahmadi terpisah jauh dari mereka. Dengan demikian nasibnya sudah bisa ditentukan. Seorang pengawas wanita bernama Polkadot masuk ke ruangan untuk membagikan soal. Dari balik kacamatanya, ia menebarkan pandangan dingin yang membisikkan kata-kata: “kalian tidak akan lulus, bodoh!” Adapun Ahmadi, yang sempat bertemu pandang secara langsung, kontan merasakan hawa dingin di tengkuknya. Ia mulai merasa was-was dan gelisah. Terkecoh oleh suara langkah kaki yang nyaris tidak terdengar karena beradu dengan karpet biru yang lembut dan meredam suara, banyak calon mahasiswa yang merasa shock ketika menyadari kalau soal ujian telah terpampang di depan mata mereka. Arie Dementor langsung mencabut dan mengibarkan celana dalamnya yang berwarna putih, pertanda bahwa ia telah menyerah tanpa syarat. Sheik Habibie langsung memesan tiket pesawat untuk pulang ke Arab sebelum ia tercemar oleh rasa malu karena tidak sanggup untuk menghadapi ujian masuk. Anak-anak lain lebih kreatif. Budi Tornado sibuk menciptakan tiupan angin di sekelilingnya dengan harapan agar ia bisa menyontek. Billy dan Ery saling bertukar informasi dengan meraba bagian-bagian tertentu pada tubuh mereka. Sebagai contoh, kalau Ery memasukkan jari kelingkingnya ke hidung dan mengeluarkan cairan hijau kental dari yang lubang penuh bulu itu, Billy langsung bisa menebak kalau jawaban untuk soal yang ia tanyakan adalah “C” (cairan=”C”). Nun jauh di sana, Ahmadi yang sudah kalah mental kini sedang menelungkup dengan pasrah untuk menikmati kegagalannya. Di saat yang lain sedang mengerjakan soal-soal ujian, ia malah asyik menatap Mardiana sambil berpikir apakah rambutnya yang menggulung itu asli karena dikeriting atau dikeriting karena asli. Satu jam kemudian, sirene tanda habisnya waktu pun berbunyi… *** “Sudah kuduga,” kata Ahmadi dengan penuh rasa percaya diri, “aku tidak lulus test masuk.” “Selamat atas kegagalan anda,” tukas Ery dan Billy sembari menyalami Ahmadi secara silih berganti. “Sampai di sini saja petualanganku,” tukas Ahmadi dengan tegas di atas batu karang yang tengah diterjang ombak, persis seperti adegan film silat kuno. “Jangan pernah melupakan aku, Teman-teman.” Mata Billy dan Ery berkaca-kaca karena mereka memandang Ahmadi dari balik kaca. Ahmadi yang malang. Sesungguhnya masih terbentang kesempatan kedua untuknya. Tapi masih adakah semangatnya? Masih! Begitu melihat Marlina, ia kembali “terpanggil” untuk kuliah. *** Melihat tekad Ahmadi yang begitu kuat (sekuat “anunya” yang terpanggil), Sugi, Ery dan Billy bekerja sama untuk membantunya. Dengan mengandalkan ingatan Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
10 Ery dan Billy (Ahmadi sama sekali tidak membaca soal karena ia sibuk menyilang jawabannya sambil memandang Mardiana), Sugi mencari jawaban untuk soalsoal yang telah disebutkan. “Soalnya pasti sama,” ujar Sugi ketika ia mengungkapkan prediksinya untuk membesarkan hati Ahmadi. Hal ini terngiang terus di benak Ahmadi, paling tidak sampai ia membalikkan lembaran soal pada saat test masuk periode kedua. Berkat bantuan dari teman-temannya, Ahmadi akhirnya tahu kalau “b” dan “d” itu berbeda karena posisinya terbalik satu sama lain. Dan ia berhasil. Ia langsung merayakan keberhasilannya dengan “melepaskan panggilan” yang telah mengganjal rohaninya dengan gairah. Dari jarak dua blok pun bisa terdengar gema suara dari WC yang berbunyi, “oooohhhhh…” ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
11
5. Orientasi Pengenalan Kampus (Part: 1) “Apakah aku sudah terlihat seperti mahasiswa?” tanya Ahmadi sambil mengecek penampilannya dengan bercermin pada butiran keringat bening yang mengalir di tengkuk Ery. “Tidak! Kau terlihat seperti gumpalan daging mentah yang diselubungi dengan potongan kain,” sahut Billy dengan ketus. “Hei, aku serius, Billy!” “Apanya yang serius? Kamu jelas-jelas gugup di hari pertama kuliah…” Ahmadi langsung menyela, membantah tuduhan Billy. “Aku tidak gugup. Aku hanya mencoba meyakinkan diriku kalau penampilanku cukup berbau mahasiswa.” “Hei, itu ide yang cemerlang,” celetuk Ery, menggabungkan diri dalam pembicaraan mereka. “Kalau memang ada cukup banyak mahasiswa yang meragukan penampilan mereka sebagai mahasiswa, kita harus menjadi orang pertama yang menjual parfum keringat mahasiswa.” Sugi tersenyum. “Yeah, kita bisa menjual parfum, deodorant, bedak dan gincu…” “… serta pembalut mahasiswi,” Ahmadi melengkapi ucapan rekannya, mencoba bergurau untuk meredakan perasaan gugupnya. *** Satu hal yang menjadi ciri khas Perfect Alphabeth University adalah tradisi pengenalan kampus. Kegiatan ini diselenggarakan untuk para mahasiswa baru dengan maksud agar mereka mengetahui seluk-beluk kampus. Sebagai mahasiswa baru, Sugi dan teman-temannya sudah tentu ikut serta dalam ritual kampus. Saat ini, tepat tiga puluh menit sebelum acara tour dimulai, mereka sedang duduk di tengah mahasiswa baru lainnya, membaur dalam salam perkenalan yang dipenuhi canda dan tawa. Sugi baru saja berkenalan dengan Benny, sosok pintar yang cukup membuatnya tegang karena sanggup menandingi kecerdasannya. Di sudut lain, Ery sedang asyik berbincang dengan Victor Edy, pemuda low-profile yang memiliki pengetahuan luas tentang film. Billy, seperti biasa, terlihat acuh tak acuh. Tanpa ia sadari, seorang gadis bernama Susan sedang menatap wajahnya dengan penuh perhatian. Di pojok ruangan, Ahmadi sibuk merokok bersama Arie Dementor, Sheik Habibie, Budi Tornado dan Buddy Goodman. “Eh, lagi ngobrol, ya? Ikutan, dong,” seru seorang cowok dengan langkah cewek yang sedang menghampiri Ahmadi dan kawan-kawan. Sheik Habibie kontan tersedak oleh asap rokok dan terbatuk-batuk saat menyaksikan gerakan gemulai yang diperagakan cowok itu dengan mantap. “Wah, body cowok dengan mesin cewek, nih!” komentar Ahmadi dalam perasaan takjub. “Ini pasti produk gagal dari orang tuanya.” Yang lain tertawa mendengar ucapan Ahmadi. Arie Dementor, pemuda kocak dengan tutur-kata pedas, langsung bersorak dengan lantang. “Inilah hasilnya kalau salah gaya!” Ahmadi hanya tersenyum membayangkan piston yang masuk secara rutin ke dalam lubang cetakan itu tiba-tiba berbelok arah atau menghantam liang yang salah dikarenakan salah gaya seperti yang diungkapkan Arie. “Mau ikutan? Kenalan dulu, dong!” ujar Budi Tornado. “Perkenalkan, nama saya Geoffrey,” ucap pemuda itu sambil tersenyum manis. Arie Dementor kontan merinding. “Brrr, gayanya feminim sekali. Bikin demam, nih!” Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
12 *** Tatkala tour hampir dimulai, keempat sekawan telah menjalin persahabatan dengan hampir seluruh mahasiswa. Mereka kini mengenal Mahatma Iqram si muslim dari India, Mohammed Masrul yang kidal, Luk Kiau dan Santa Eve yang bawel, Rio si jago karate dari Jepang dan masih banyak lagi mahasiswamahasiswi unik lainnya. Perbincangan mereka terpotong ketika Mr. Dedi mengumumkan bahwa tour akan segera dilangsungkan. Para mahasiswa diminta untuk berbaris, lalu Mr. Dedi memandu barisan tersebut. Mula-mula mereka berkunjung ke kantor Mr. Buddy Holly, sang pimpinan universitas. Setelah itu tour berlanjut ke ruang akademik untuk acara tatap-muka dengan para pengurus (Rudy, Polkadot, Birdie, Jeff, Nancy dan Maureen). *** Masih di ruang akademik… “Darah seniku selalu menggelegak saat melihat cewek dengan body gitar,” bisik Ahmadi. “Siapa yang kau maksud?” tanya Billy. “Yang terakhir itu…” “Itu ‘kan udah jadi nyonya, bukannya cewek lagi,” komentar Billy. “Bego! Kamu pasti gak tahu persamaan antara hotchick dan hotmama. Keduanya itu sama-sama mengandung unsur hot. Itu yang paling penting!” “Jadi,” ujar Billy sambil tertawa, “apa yang kau inginkan? Mengocok gitar pada body-nya?” *** Dari ruang akademik, mereka lantas menjumpai Mr. Sandy Green, Mdm. Selina dan Mr. Al-Iqhlas, tiga pemain kunci yang mengelola universitas. Selain itu, Mr. Dedi juga memperkenalkan Mdm. Margareth dan Mr. Neku, dosen sekaligus pemangku jabatan vital di kampus. Berikutnya, Mr. Dedi mengadakan presentasi dengan proyektor hologram 3-D untuk memperkenalkan para dosen yang mengajar di Perfect Alphabeth University. Selagi Mr. Dedi sibuk memberikan penjelasan tentang karakteristik dosen, Sugi dan rekan-rekannya sibuk dengan komentar masing-masing. “Coba lihat dosen kurus itu,” ujar Ahmadi. “Siapa namanya tadi?” “Simon. Namanya Simon Sez,” sahut Billy. “Yeah, itu dia,” Ahmadi bergumam sambil menganggukkan kepalanya. “Ery, kau harus berhati-hati…” Ery terlihat bingung. “Kenapa?” Kau tidak dengar gosip? Dosen itu tidak akan meluluskan mahasiswa yang berat badannya lebih dari 60 kg.” Sugi dan Billy kontan tertawa. “Dan dosen ini bernama Rushman Toliongto,” ujar Mr. Dedi. Sugi tampak tercengang. “Mata kuliah apa yang akan ia asuh? Cara-cara memainkan golok pembunuh naga?” ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
13
6. Orientasi Pengenalan Kampus (Part: 2) Pada saat istirahat, keempat sekawan sengaja mengunjungi toilet yang terletak di lantai IV gedung B. Selama masa orientasi, mereka sudah mendengar cukup banyak rumor tentang keangkeran daerah itu. Kini mereka berniat untuk membuktikannya. “Okay, Billy. Kau sudah dengar cerita mereka. Hati-hati saja pada saat kencing. Jangan sampai penyalur air senimu dipegang oleh tangan yang tidak terlihat,” Ahmadi dengan iseng menggoda temannya. “Sembarangan! Yang ada di situ bukan roh jahat, tahu! Tapi para mahasiswa senior yang berulah…” “Psst!!” Tiba-tiba terdengar desisan dari Ery. “Diam! Ada suara yang mencurigakan di sana!” “Ayo kita lihat,” ajak Sugi. *** Suara itu ternyata berasal dari kelas kosong di sebelah toilet. Kelas itu gelap dan suara bentakan terdengar bergema di dalamnya. Meskipun agak samar, mereka masih bisa melihat seorang pemuda yang gemetaran, dimaki dan ditindas oleh beberapa orang yang bertubuh besar. “Hei, dia mulai main pukul,” ujar Sugi dengan geram. “Dasar! Seenaknya saja dia…” “Sugi,” Billy terperangah ketika Sugi menerobos masuk. “Aih, anak itu selalu saja begitu,” ujar Ery sambil menepuk dahinya. “Ayo, kita harus masuk. Jangan sampai dia mendapat masalah.” “Tapi dia yang selalu mencari masalah,” tutur Ahmadi, “dan kali ini dia akan mendapatkannya secara gratis.” Perkataan Ahmadi tidak keliru karena Sugi tengah beradu mulut dengan pemuda sangar yang jauh lebih tinggi-besar dibandingkan dengannya. Sosok jahat itu hendak mendorongnya, tapi Sugi menepis tangan itu dengan kasar. “Makhluk kerdil, berani-beraninya kau…” “Yeah, aku memang berani,” Sugi menyahut dengan sengit. “Dan kau, kau pasti mulai merasa takut, huh? Sebaiknya kau lepaskan dia dan aku berjanji tidak akan melaporkan perbuatanmu pada dosen.” Begitu Sugi menoleh untuk menatap sosok yang ditunjuknya, ia sendiri terlonjak kaget. “Subianto? Kenapa kau…?” “Toilet di bawah penuh, jadi aku ke sini. Siapa yang akan percaya kalau aku akan ditarik ke sini untuk diperas selagi aku sedang kencing?” Melihat celana panjang Subianto yang basah dan masih terbuka sehingga celana dalamnya terlihat hijau kemilau seperti emerald di dalam kegelapan, Sugi yakin kalau makhluk ajaib ini tidak berbohong. Meskipun mulai merasa enggan, Sugi tetap pada pendiriannya untuk menyelamatkan Subianto. “Kalian dengar! Ciptaan Tuhan yang gagal ini tidak berharga. Bagaimana mungkin kalian bisa memeras makhluk yang giginya pun bahkan tidak selengkap milik kalian?” Sugi membela Subianto dengan mantap. “Biarkan dia pergi dan aku jamin kalau dia akan tutup mulut.” “Tidak pernah ada yang berani mengajukan penawaran kepadaku sebelumnya,” Big Guy Noer berujar dengan suara serak, “dan aku tidak harus mendengarkan apapun darimu, Bocah Ingusan.” “Dasar kelelawar besar yang buta,” ujar Sugi sembari menyalakan lampu. “Kau lihat sendiri kalau aku tidak ingusan.” Noer melenguh seperti sapi. “Persetan dengan ingusmu. Kau mencampuri urusanku. Takkan kubiarkan kau keluar begitu saja.” Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
14 “Kalau kau ingin kami betah di sini, suguhkan teh dan kue. Dengan demikian kami takkan keluar begitu saja,” ujar Sugi santai. “Bicara apa kau! Dasar idiot!” Satu-satunya idiot yang kulihat adalah yang di depanku.” Noer menggeram kesal. “Arrgh, tak ada yang berani berbicara seperti ini padaku selama sepuluh tahun terakhir. Kau pasti tak tahu siapa aku sebenarnya.” “Uhm, biar kusimpulkan. Kau adalah orang idiot yang telah bercokol di kampus selama sepuluh tahun. Aku berani bertaruh kalau petugas daftar ulang pasti sudah bosan melihatmu.” “Kau keliru. Dia tak pernah melihatku lagi dalam tiga tahun terakhir ini.” Sugi tersenyum sinis. “Mahasiswa ilegal, eh? Kau pasti sudah di-drop out! Hal ini semakin menguatkan keinginanku untuk mengusirmu dari sini.” Noer terkejut. “Kau… kau berbalik mengancamku?” “Kau berhak berkata begitu kalau memang merasa terancam. Dan kulihat kau memang menyimpan rasa takut yang berlebihan.” Noer mengamuk. “Kupatahkan tulangmu untuk diumpankan pada anjing liar.” “Coba saja,” ujar Ery sambil menggemeretakkan buku-buku jarinya. “Jangan lupakan kami,” tukas Billy. Di belakangnya, Ahmadi bahkan sudah melepaskan baju dan memperagakan gerakan otot dadanya yang bergoyang seperti milik wanita. Sugi menarik Subianto ke tepi dan mengumbar tantangan. “Bagaimana?” Lima berbanding tiga, Noer dan kawan-kawannya merasa ragu untuk beradu otot. Untuk menjaga gengsinya, Noer berkata, “kali ini aku ampuni kalian.” “Oh, jangan harap aku akan memberimu kesempatan lain untuk menindas teman-temanku. Enyahlah dari sini sekarang juga atau kau akan kulaporkan pada Jeff.” “Jeff?” Noer tampak bingung. “Siapa itu Jeff?” Ahmadi langsung menghela napas. “Orang ini pasti berasal dari zaman Napoleon. Dia bahkan tak kenal dengan Jeff, satpam kita itu.” “Pergi!” hardik Sugi dengan suara lantang. “Dan jangan kembali lagi.” Muka Noer menjadi merah karena menahan amarah. Ia pergi dengan perasaan jengkel dan terhina. “Kau boleh merasa menang, Anak Muda. Tapi urusan kita belum selesai.” “Kapan pun kau ingin berseteru lagi, aku siap, Anak Tua!” tutur Sugi sambil berkacak pinggang. ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
15
7. Minggu Pertama Perkuliahan Hari Senin Mata Kuliah 1: Ideologi dan Etika ~ Pada dasarnya makna dari kuliah adalah bangun pagi dan berusaha untuk tetap tidak mengantuk sehingga bisa mencapai kampus dan tidur lagi di sana setelah menyerahkan lembaran absensi. (Ahmadi) ~ Seandainya dosen menyediakan roti dan kopi pada saat perkuliahan, itu akan sangat membantu. (Ery) ~ Dan selimut untuk tidur, kalau mereka tidak menyajikan sarapan. Asal tahu saja, AC-nya dingin sekali. (Sugi) Waktu Istirahat: ~ Kalau kau tanya aku, aku merasa penasaran kenapa cewek berambut panjang itu selalu memandang Billy. (Ahmadi) ~ Makanan di kantin sungguh terasa seperti pakan babi. (Ery) ~ Dan hanya babi yang tahu rasa pakan babi. (Sugi) Mata Kuliah 2: Pengolahan Data Elektronik ~ Dosen Stephen Jonathan itu, dia membuatku cemas. Aku paling tidak suka ditatap berulang kali oleh cowok gemulai. (Ahmadi) ~ Jika ada mahasiswa di kelas ini yang perangainya mirip dengan Mr. Stephen, maka mahasiswa tersebut adalah Geoffrey. (Sugi) ~ Kau takkan percaya bila kau hanya mendengarkan hal ini dariku, tapi Luk Kiau sungguh merepotkan Budi Tornado sepanjang perkuliahan! (Ery) *** Selasa Mata Kuliah 1: Paket Microsoft Office I ~ Dia rupanya tidak mengajarkan jurus golok pembunuh naga. (Sugi) ~ Dosen aneh, dia! Sewaktu aku bertanya dimana posisi huruf “A” pada keyboard, dia malah tertawa. (Ahmadi) ~ Seagat… nama asisten ini mengingatkanku pada sesuatu, tapi apa? (Ery) Waktu Istirahat: ~ Lihat! Cewek itu memandang Billy lagi, ‘kan? Tapi si Bodoh itu tak pernah mau tahu. (Ahmadi) ~ Pemilik kantin ini pasti peternak babi! (Ery) ~ Dan yang mengeluh sambil makan pasti seekor babi. (Sugi) Mata Kuliah 2: Manajemen Dasar ~ Jika ada dosen yang menebarkan perasaan kantuk bagi para mahasiswa, maka Mr. Al-Iqhlas ‘lah orangnya. (Sugi) ~ Herlina pasti abnormal karena ia semakin bersemangat tatkala temanteman lain bertumbangan ke alam mimpi. (Ery) ~ Zzzzz… (Ahmadi) ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
16 Rabu Mata Kuliah 1: Logika dan Algoritma ~ Perkuliahan yang sia-sia. Selama mahasiswa masih memahami kalau 1+1=2, itu artinya logika mahasiswa masih berjalan dengan benar. Kalau sudah begitu, apa lagi yang mesti dipelajari? (Ahmadi) ~ Hmm, Benny sangat serius dalam menyimak penjelasan dari dosen. (Sugi) ~ Sir Harry III? Sejak kapan dosen ini bertemu dengan Ratu Elizabeth II dan mendapatkan gelarnya? (Ery) Waktu Istirahat ~ Astaga! Cewek itu… kali ini pasti ada apa-apanya. (Ahmadi) ~ Diet itu perlu. (Ery) ~ Tidak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini kau terlihat lebih manusiawi. (Sugi) Mata Kuliah 2: Algoritma dan Pemrograman ~ Ery?! Itu Simon Sez. Kempeskan badanmu atau kau takkan lulus. (Ahmadi) ~ Gee, dosen ini tak ubahnya seperti kereta api supersonik. Bila kita ketinggalan, jangan harap kita akan sanggup mengikuti perkuliahan ini lagi. (Sugi) ~ Dilihat dari bentuk hidungnya, ini pasti dosen killer… (Ery) *** Kamis Mata Kuliah 1: Paket Microsoft Office 1 ~ Aku ingat sekarang, namanya mirip dengan judul harddisk! (Ery) ~ Sudah kuduga kalau kepandaianku memang di atas rata-rata. Si Masrul saja belum menemukan huruf “A” pada keyboard-nya hingga saat ini. (Ahmadi) ~ Kenapa respon Seagat lebih cepat kalau ia dipanggil oleh mahasiswi? (Sugi) Waktu Istirahat ~ Billy, kau sungguh… apa? (Ahmadi) ~ Kalau makanannya begini terus, aku akan menyusut… dari kelas berat menjadi kelas bulu. (Ery) ~ Ada yang tahu kenapa kita tidak pernah bertemu lagi dengan Diana? (Sugi) Mata Kuliah 2: Matematika Linear ~ Seharusnya kita cuma belajar mengukur garis lurus dengan penggaris, tapi kenapa jadi sesulit ini? (Ahmadi) ~ Dosen ini… kalau tidak jenius pasti gila. Dia sanggup menguraikan garis lurus menjadi rumus-rumus! (Ery) ~ Astaga, salah! Ada yang punya tip-ex? Luk Kiau, kau punya tip-ex? (Sugi) *** Jumat Mata Kuliah 1: Logika dan Algoritma ~ Inisialisasi? Iterasi? Rekursif? Mata kuliah apa ini? Linguistik? (Ahmadi) ~ Aku bingung dengan tingkah si Iqram. Mulutnya saja sampai menganga kayak gitu… sebenarnya dia ngerti atau nggak, sih? (Ery) ~ Jadi pola pengulangannya seperti ini… (Sugi) Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
17 Waktu Istirahat: ~ Ah, gadis itu… dia tidak lagi berada di situ. Mungkin tidak akan pernah lagi. Sayang sekali... (Ahmadi) ~ Mau? Aku pesan dari Pizza Hut supaya kita tidak perlu lagi mencicipi hidangan kaum “nguik-nguik” itu. (Ery) ~ Aku cukup yakin. Kulihat bentuk hidungmu tidak lagi mirip bangsa “nguiknguik”. (Sugi) Mata Kuliah 2: Algoritma dan Pemrograman ~ Lihat baris programku… (if Ahmadi = “Cowok Ganteng” then “Cewek-cewek pasti suka”) Kok gak bisa dieksekusi, ya? (Ahmadi) ~ Coba lihat Chris “ShowHand” Drake. Dia terus menerus diganggu oleh Santa Eve. Mana bisa dia mengerjakan programnya… (Ery) ~ Coba lihat nasibku. Si Rahmawati ini mau diajarkan terus. Kalau begitu mana bisa wa mengerjakan program wa. (Sugi) *** Sabtu : Libur (Pulang ke Tortoise Village) Minggu : Libur (Kembali ke asrama kampus) ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
18
8. Billy Dan Susan Beberapa dari pembaca mungkin akan bertanya-tanya, kenapa Billy tidak berperan aktif dalam cerita sebelumnya atau… kenapa hanya namanya yang muncul dalam komentar Ahmadi sedangkan ia sendiri tidak hadir untuk mengisi cerita? Satu hal yang pasti adalah penulis tidak bermaksud untuk mengucilkan sosok Billy. Bilamana Billy tidak tampil dalam cerita sebelumnya, itu karena Billy ternyata berbeda kelas dengan ketiga rekannya. Kisah kali ini, episode Billy fullversion, akan melengkapi cerita terdahulu. Setting waktunya juga persis sama, yakni minggu pertama perkuliahan. Selamat membaca! *** Menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak sekelas dengan ketiga rekannya adalah sama halnya dengan bergulat dalam suasana dan pergaulan yang sama sekali baru. Billy meneguk kenyataan pahit ini dengan melangkahkan kakinya ke dalam kelas, membawa serta kekecewaan dan keraguan di hatinya. Meskipun begitu, ia lekas menyadari kalau semua ini tidaklah terlalu buruk. Paling tidak Subianto, yang pernah ia dan Sugi selamatkan, langsung menghampirinya untuk mengucapkan terima kasih. “Jangan bicara! Tulis saja apa yang hendak kau katakan. Aku tidak ingin terhisap oleh black hole yang tercipta di mulutmu karena sebaris gigi atasmu yang hilang,” ucap Billy dengan nada datar ketika ia melihat Subianto hendak membuka mulutnya. Subianto menyeringai. Ia rupanya tipe anak yang kebal terhadap sindiran. Sebaliknya, ia menanggapi Billy dengan nada riang. Subianto mengabarkan pada teman-temannya kalau Billy adalah orang yang telah mengusir mahasiswa abadi yang telah merajai toilet kampus selama sepuluh tahun terakhir. Ruang kelas menjadi riuh. Semua orang mendekat, ingin melihat sosok Billy sang Pahlawan. Salah satu di antara mereka adalah Susan, gadis berambut panjang dan berwajah sendu yang sudah meliriknya sejak acara tour keliling kampus. Keajaiban di mata Susan, yang berwujud seorang pemuda berambut pirang dan berwajah tampan dengan sedikit nuansa angkuh, berubah menjadi sensasi yang menggelegak di seluruh tubuhnya. Ketika Billy secara tidak sengaja bertemu pandang dengannya, ia tersentak oleh suatu perasaan aneh di hatinya. Perasaan itu membuatnya menghindari sorot mata Billy. Apa yang sedang terjadi padanya? Susan tidak tahu. Tetapi penulis dan pembaca jelas tahu kalau sesuatu yang indah telah bersemi di hati Susan… *** Kelas itu sebetulnya penuh dengan pemuda-pemuda yang berkepribadian baik dan menonjol. Siapa sih, yang tidak akan terkesan dengan Subianto yang ramah atau Shawn Hardy yang jenius? Tapi Susan justru menaruh simpati pada Billy yang acuh tak acuh. Billy bukannya tidak tahu akan hal itu, namun ia hanya mendiamkannya. Akan tetapi Ahmadi yang tahu akan perhatian Susan terus mencecari Billy dengan pertanyaan dan ejekan. Saat itu Billy tahu kalau ia tidak bisa membiarkan semuanya berlarut-larut. *** Kamis pagi, waktu istirahat… “Susan, aku ingin bicara.” “Denganku?” Gadis itu terperanjat. Perasaan senang, gugup dan tegang berbaur, tercermin lewat raut wajahnya. Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
19 “Ya, duduklah di sini.” Duduk semeja dengan Billy? Walaupun ia selalu memimpikannya, tak pernah terbayang olehnya kalau keinginannya akan tercapai secepat ini. Ia tidak siap. Bukan, rasanya ia tidak akan pernah siap. “Mau minum apa?” “Eh…” Tangan Susan gemetaran. Billy tahu kalau gadis itu gugup sekali. Oleh karena itu, Billy menawarkan air jeruk untuknya. Susan mengangguk, pertanda setuju. Gadis di hadapannya ini sedang melamun. Billy bahkan bisa melihat pantulan wajahnya di bola mata Susan yang hitam cemerlang. Gadis itu jelas memimpikan dirinya dan situasi ini akan sulit sekali bagi Billy. Akan tetapi Billy tetap akan menyatakan apa yang ia rasakan, kendati hal tersebut akan melukai hati gadis itu… “Aku melihat pantulan diriku di dalam matamu. Begitu jelas, sehingga aku bahkan meragukan apakah sosok itu sungguh diriku…” Susan menundukkan kepalanya dan tersipu malu. “Aku sungguh berharap kalau itu bukan diriku, Susan. Semoga saja bayangan itu hanya seseorang yang mirip denganku, dengan demikian aku tidak perlu mengecewakan dirimu…” Berbeda dengan reaksi sebelumnya, Susan terkejut dan langsung menatap Billy. Matanya mulai basah, membuat sosok Billy terlihat buram. “Dengar, aku sama sekali tidak ingin merusak impianmu. Tapi jika kau sungguh mencintaiku, maka aku harus minta maaf…” Melihat air mata yang mulai mengalir dan membasahi pipi Susan, Billy menghentikan ucapannya untuk menyeka pipi gadis itu dengan tisu. “Aku bukannya tidak mencintaimu, tapi mungkin hanya belum mencintaimu. Jika di dalam ketulusanmu kau percaya akan cinta pada pandangan pertama, aku tidak akan menyalahkan semua itu. Hanya saja, tidak pada saat ini. Tapi mungkin saja pada suatu hari nanti…” Gadis itu mencoba untuk mengerti, tapi perasaannya terlalu terguncang untuk bisa menerima kenyataan ini. Billy lantas memeluknya dan gadis itu melampiaskan tangisnya di dalam pelukan Billy. *** Ahmadi melintas dan secara kebetulan menyaksikan Billy dan Susan yang sedang berpelukan. Ia lalu menunggu di pojok dan mencegat Billy ketika pemuda itu melewatinya. “Billy, kau sungguh…” Billy menepis tangan rekannya. “Jangan sembarang bicara. Kenyataannya tidak seperti apa yang baru saja kau lihat.” “Hei, aku tidak buta, Sobat!” “Jika kau sungguh ingin tahu…” Dengan hati jengkel, Billy menceritakan semuanya pada Ahmadi. “Apa?” Ahmadi terbelalak tak percaya. “Kenapa kau bisa sebodoh itu? Dasar idiot tulen!” Billy tak bersuara. Ia memilih untuk mengabaikan Ahmadi dan melangkah pergi, membawa serta kenangan dan sorot mata Susan yang penuh dengan perasaan cinta, keceriaan dan harapan. Di dalam benaknya ia berpikir, akankah ia merindukan kenangan itu kelak? ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
20
9. Memperkenalkan Victor Eddy Saat ini sedang berlangsung perkuliahan pemrograman Basic. Simon Sez, dengan senyum dingin membeku yang tersungging di bibirnya, melakukan gerakan telapak tangan yang dikibaskan melewati leher, memberi isyarat pada asisten Jan Fui bahwa soal pemrograman yang ia berikan akan menewaskan para mahasiswa. Sejauh ini, dari setiap reaksi mahasiswa yang bisa ditangkap oleh mata telanjang, tingkat kerumitan soal tersebut memang cukup mematikan. Martin menggaruk-garuk kepalanya sehingga ketombenya bertebaran dan menyebarkan rasa pusing yang ia derita kepada para tetangganya. Brandy, yang sudah putus asa, langsung mencampurkan gin, scotch dan racun tikus untuk mengakhiri fungsi otak dan jantungnya. Adapun Rama tak sanggup menahan ketidakmampuannya dalam mengerjakan soal sehingga terkapar dan muntah darah. Pembantaian masal dengan menggunakan satu soal pemrograman yang meracuni logika mahasiswa benar-benar berjalan dengan sukses. Reputasi Simon selaku dosen killer memang bukan sekedar julukan belaka. Begitu ia keluar, satu-satunya tanda kehidupan yang terdengar di laboratorium komputer hanyalah napas Jan Fui. Merasakan kentalnya hawa kematian yang membanjiri ruangan, Jan Fui terpaksa menyalakan dupa dan terus berkomat-kamit memanjatkan doa tatkala ia merapikan laboratorium yang dipenuhi bangkai mahasiswa. Jan Fui terus berjalan dan berkemas. Ketika ia tiba di baris depan, secara tiba-tiba ia merasakan adanya genggaman pada tangannya. Jan Fui sempat berpekik-jerit sambil menari tango sebelum ia menyadari kalau sosok itu bukan mayat hidup. “Luar biasa. Aku tak mengerti bagaimana kau bisa bertahan,” ucap Jan Fui sambil memberikan pertolongan pertama berupa pertukaran napas dari mulut ke mulut. Victor Eddy, pemuda yang sekarat itu, bernapas dengan terengah-engah sambil menyeka bibirnya yang basah. “Eh, tadi itu pertolongan napas buatan atau usaha untuk berbuat cabul?” “Brengsek,” Jan Fui menggerutu kesal. “Sekarang juga ceritakan, kenapa kau tidak mati. Kalau tidak, akan kupanggil Simon kemari.” “Jangan!” Victor berseru dengan suara tertahan. “Kalau kau sungguh ingin tahu… begitu aku merasakan hawa iblis dari soal ini, aku langsung mematikan komputer dan membuat komitmen untuk mengulang mata kuliah ini pada semester ganjil yang akan datang.” *** Victor Eddy memang unik. Seperti yang telah diilustrasikan pada bagian awal cerita ini, Vic berkepribadian sederhana dan sama sekali tidak menyukai kerumitan dalam perkuliahan. Meskipun berkacamata, Vic jauh dari sosok seorang jenius. Kegagalan sering kali menjadi hal terakhir yang sanggup ia capai, namun kenyataan ini tidak bisa membuat kita berpendapat bahwa dia ini bego. Sesungguhnya, Vic hanya tidak berniat membuang waktu untuk hal-hal yang tidak ia sukai. Itu saja. Karakter Vic yang low-profile dan easy-going ini membuahkan perkenalan dengan Ery. Kendati ia tidak termasuk bagian integral dari empat sekawan, hubungannya dengan Ery cs. cukup akrab. Empat sekawan, begitu mendengar nasib buruk yang menimpa Vic saat kelasnya dieksekusi oleh Simon, bergegas untuk menjenguknya… *** Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
21 “Dasar pembohong!” Ahmadi berseru kesal, membuat Victor terkejut. “Lho, kok main tuduh sembarangan? Kapan wa bohong?” bantah Vic. “Wa dengar loe dapat musibah. Kok loe nggak diinfus, diperban atau duduk di atas kursi roda?” Victor melongo. “Loe kira kecelakaan macam apa yang menimpa wa? Jangan-jangan loe berpikir kalau wa ditimpa oleh pesawat jatuh.” “Jadi apa yang sebenarnya terjadi?” Ery bertanya dalam mimik wajah yang serius. Mendapat pertanyaan seperti itu, Vic terlihat menerawang. Perasaan getir tercermin lewat guratan wajahnya. Ia masih ingat dengan canda-tawa temanteman sekelasnya yang memang agak keterlaluan, lalu Simon marah dan terjadilah musibah itu. Vic kontan menjadi pucat pasi saat trauma itu kembali menghantui benaknya. Ia menjerit dengan keras, tubuhnya gemetaran dan tangannya menggapai-gapai. “Gejala apa ini? Epilepsi?” tanya Ahmadi dengan nada panik. “Tampar dia supaya kesadarannya pulih kembali. Tampar yang keras,” Billy memberi saran sebagai upaya pertolongan pertama. “Hei, nggak perlu sekasar itu, dong,” Victor memprotes usul sahabatnya. “Reaksi tadi itu dilakukan sesuai dengan permintaan penulis agar cerita ini tampak berlebihan dan emosional.” “Oh, gitu,” empat sekawan bernapas lega. “Tapi penjelasan ini belum menjawab pertanyaan kami.” Victor tersenyum kecut sambil menatap para sahabatnya. Kemudian mulutnya mendesiskan kata “kepunahan”. *** Peristiwa itu pasti sangat mengerikan, soalnya Vic nggak mau bercerita lebih lanjut. Sebagai gantinya, ia malah mengajak teman-teman barunya untuk mengunjungi perpustakaan filmnya. Empat sekawan terpana. Ahmadi bahkan segera menyiapkan karung dan bermaksud untuk mencuri koleksi DVD Victor, namun begitu ia membaca papan peringatan yang berbunyi “dilarang kencing sembarangan kecuali anjing”, ia langsung membatalkan niatnya karena tersinggung. Q: “Lho, apa hubungannya?” A: “Nggak tahu. Hihihihi…” Tapi fakta bahwa koleksi film Victor begitu banyak memang sangat mencengangkan. Koleksi Vic mencakup seluruh jenis film dari generasi awal hingga generasi terkini. Mulai dari film bisu Charlie Chaplin hingga film Die Another Day-nya James Bond yang baru akan dirilis menjelang akhir tahun. “Film itu,” Vic berfilsafat kenapa ia mengkoleksi film-film yang kuno usianya, “seperti minuman anggur. Semakin tua tanggal rilisnya, semakin sedap ditonton pula filmnya.” Empat sekawan bersikap masa bodoh dengan penjelasan Vic. Kalaupun mereka menjawab “ya” atau mengangguk, ini dikarenakan mereka berharap agar Vic segera diam dan tidak mengganggu mereka dengan penjelasan konyolnya lagi. Koleksi Vic memang hebat. Tapi Ahmadi merasa ada yang kurang. Kemudian ia bertanya, “Vic, loe kok gak ada film biru, sih?” “Ada,” tukas Vic serius. “Sebentar, akan kuputar rekamannya.” Ahmadi yang bersemangat langsung memberi kode dengan menyikut Ery. Mereka berdua langsung mengambil tempat duduk yang tepat berhadapan
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
22 dengan TV. Akan tetapi kegembiraan mereka tidak berlangsung lama karena film biru itu ternyata betul-betul biru. “Apa-apaan ini?” tanya Ahmadi yang kebingungan. “Ini adalah rekaman yang kubuat,” ujar Vic sambil tertawa geli. “Aku sengaja merekam death blue screen pada sistem Windows yang bermasalah. Nah, coba lihat, betapa birunya film ini.” Sugi dan Billy turut tertawa. “Wah, ini sih, biru sampai habis, nih. Coba tebak, Ahmadi, termasuk kategori berapa x sebenarnya film ini?” Ahmadi cemberut. “Nggak tahu. Tanya aja pada David Duchovny yang XFiles itu…” ***
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
23
10. Mengenang The PartyKids1 Ahmadi betul-betul kesal karena dibodohi dengan film biru ala Victor Eddy. Bila diukur dengan stop-watch, kekesalan Ahmadi berlangsung selama 327 mili-detik. Ahmadi baru bersemangat kembali setelah ia melihat salah satu judul menarik pada deretan DVD berinisial “G”. “Astaga! Ery, Sugi, Billy! Cepat ke sini! Coba lihat ini!” Sugi berjalan santai dan bertanya, “ada apa, Ahmed? Film biru lagi?” Akan tetapi, sebelum Ahmadi sempat menjawab, Sugi sendiri telah menjadi histeris seperti halnya Ahmadi. “Ini ‘kan…” Victor merasa penasaran dengan histeria yang tiba-tiba menyergap teman-temannya. Rasa-rasanya empat sekawan itu udah yang paling cool, deh. Kenapa mereka bisa jadi gugup seperti ini? Victor akhirnya mendekat dan… “The PartyKids?” gumam Victor. “Vic, kau harus segera menyetel DVD ini,” pinta Ery dengan tampang memelas. “Jika itu yang kau mau…” ujar Vic sambil mengambil DVD yang disodorkan Ery. “Namun apa sih, daya tarik The PartyKids bagi kalian? Maksudku, okay, mereka memang hebat, tapi ‘kan sudah kadaluwarsa?” “Mereka takkan pupus oleh waktu, Vic,” bantah Ery. Nada ucapannya agak keras, menyiratkan rasa fanatisme yang agak berlebihan. “Begitu?” tanya Vic, agak acuh tak acuh. Sugi melewati Vic dan Ery untuk mencari tempat duduk yang nyaman. Dari situ ia menimpali ucapan rekannya. “Ayolah, Vic. Kau pasti masih ingat dengan gelombang histeria Angelmania…” Vic mengangguk. “Saat itu aku masih di tingkat satu Senior High School.” “Sama,” ucap Billy. “Kau tahu, itu adalah moment yang luar biasa. Sangat menggemparkan.” “Tortoise Village juga dilanda wabah Angelmania. Kami semua mengidolakan The PartyKids. Tapi sayang, karena Tortoise Village sangat terpencil, kami tak pernah punya kesempatan untuk menyaksikan mereka secara langsung. Bahkan film ini pun tidak kami tonton karena Tortoise Village tidak memiliki bioskop. Kami hanya mengikuti karir The PartyKids lewat media cetak dan elektronik,” tutur Ahmadi sambil memandangi cover DVD itu dengan kegembiraan seorang anak kecil. “Pantas saja kalian menjadi heboh saat mengetahui keberadaan DVD ini,” komentar Vic. “Kalau begitu, mari kita saksikan filmnya…” *** “Godzilla: A Nightmare Before Christmas2” yang merupakan judul film tersebut terlihat berpendar di layar kaca, kemudian lenyap dari pandangan. Vic menoleh, melihat reaksi teman-temannya. Ahmadi terlihat bersemangat. Billy tampak serius. Tubuh Sugi mematung, menandakan ia sama seriusnya dengan Billy. Ery agak tegang, ia bahkan tidak menggubris kacang goreng yang telah disajikan Victor. Victor tersenyum saat mengamati reaksi empat sekawan. Ia sama sekali tidak menduga kalau fenomena The PartyKids, grup tenar yang telah bubar empat tahun yang lalu, masih sanggup menyihir teman-temannya sehingga terlihat seperti anak kecil dalam penantian yang riang sekaligus menegangkan.
1 2
Baca kisah The PartyKids dalam buku berjudul Anthony Ventura Baca juga kisahnya lewat buku berjudul Godzilla: A Nightmare Before Christmas
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura
24 Merasakan antusiasme dari teman-temannya, Vic jadi terkenang dengan pengalamannya dulu. Sama seperti mereka, Vic juga penggemar The PartyKids, grup artis pertama yang berhasil mendepak dominasi artis asing dan menjadi icons kebanggaan setiap remaja di Newtown City. Walau enggan untuk mengakui, hingga saat ini, jauh di dalam lubuk hatinya, Vic sangat menyesalkan peristiwa bubarnya The PartyKids, suatu perasaan yang juga terukir di hati setiap remaja yang pernah mengalami masa keemasan Angelmania… *** Film itu dimulai dengan adegan penyelidikan seorang professor di pulau terpencil (Vic: “Professor itu bernama Hengky Hermanto. Dia juga mengajar di kampus kita). Penyelidikan ini berkembang menjadi penemuan patung kuno yang kemudian dibawa ke Newtown City untuk dipamerkan. The PartyKids (empat sekawan histeris: “Itu Angelia!!!”) dan Anthony Ventura3 memenuhi undangan untuk menghadiri pameran tersebut. Selagi patung itu dipamerkan, asisten professor yang bernama Anni merasa bingung dengan tulisan kuno yang dipahat di bawah altar patung. Anny mengirimkan catatan tulisan itu kepada koleganya, Professor Hendri Muliadi (Vic: “Kedua ilmuwan ini juga dosen.“ // Ahmadi: ”Zzzz…”) dan terjemahan itu menceritakan kabar buruk: barang siapa yang memindahkan patung keramat itu, maka ia akan terkena kutukan Godzilla. Setting dan lokasi adegan pun berpindah ke Motley River di kala malam, di mana Endrico dan Sylvia (Sugi: “Hei, sepertinya aku pernah melihat wanita ini.” // Vic: “Mungkin kau melihatnya di lukisan ini. Sylvia adalah kakakku…”) melihat monster kadal raksasa yang sedang meluluh-lantakkan Waterfront City dengan satu kilatan energi dari mulutnya. Keesokan harinya, Godzilla muncul dan mengobrak-abrik Newtown City. Semua penduduk, termasuk The PartyKids dan Anthony Ventura (Billy: “Ada yang tahu bagaimana hubungan antara Angelia dan Anthony Ventura sekarang? // Ahmadi: “Kurang lebih seperti hubunganmu dengan Susan.” // Yang lain tertawa.), bergegas menyelamatkan diri. Tak disangka, Angelina mendapat musibah akibat reruntuhan gedung yang berjatuhan (empat sekawan: “Tidak!!!!”). Godzilla bergerak mendekat, namun angkatan udara memberi perlawanan. Di tengah desingan peluru dan ledakan, The PartyKids meloloskan diri dengan helikopter Endrico. Sementara itu, Hendri Muliadi berhasil menemukan senjata pemusnah Godzilla. Anthony Lee, yang sudah putus asa karena keadaan Angelina yang tidak membaik meskipun telah dirawat di rumah sakit (Billy: “Mengharukan! Adegan ini pasti sulit untuk dilakoni. Saat itu hubungan mereka berdua sedang tidak baik, ‘kan?”), menyelinap untuk membantu Hendri. Kedua pemuda itu lantas terlibat dalam pertempuran sengit melawan Godzilla. Monster itu berhasil dihancurkan. Namun pesawat tempur yang mereka tumpangi juga meledak akibat misi kamikaze. Anthony Lee dinyatakan hilang, tetapi akhirnya berhasil ditemukan kembali dalam kondisi tersangkut pada jala ikan (empat sekawan: “Hihihi. Ide adegan ini kocak juga.”). Angelina juga sembuh berkat keajaiban Natal. Keduanya bertemu lagi (Ery: Hik… adegannya romantis sekali!”). The End. ***
3
Baca kisahnya dalam buku berjudul Anthony Ventura
Happy Campus 1 © 2003, Anthony Ventura