丸目ちいさ
World Beyond Fences
清らかな光
World Beyond Fences Oleh: Marume Chiisa Copyright © 2012 by (Marume Chiisa)
Penerbit
清らかな光 http://marumechiisa.blogspot.com
[email protected]
Desain Sampul: Marume Chiisa (Http://MarumeChiisa.Deviantart.com)
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Kasur tua yang kutiduri semalaman berderakderak saat aku bangun pagi harinya. Aku menengok ke luar jendela dan medesah pelan. Hari ini tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya di Kota kami; langit kelabu, asap yang membumbung dari kejauhan, dan pohon mati di mana-mana. “Evelyn? Apa kau sudah bangun?” suara kakakku, Rob, bertanya dari luar kamar. Kedengarannya sih dari dapur. “Ya, aku ke sana sebentar lagi,” balasku. Aku berjalan menuju peti kayu yang tergeletak pada salah satu sudut kamarku yang penuh debu. Tutup peti kayu itu juga dilapisi oleh debu tebal, sama seperti barang-barang lainnya yang ada di kamar tuaku ini. Aku membuka peti kayu tersebut dan menarik keluar sehelai gaun sederhana berwarna oranye, yang merupakan favoritku. Saat kuperhatikan lagi, gaun yang satu itu sudah cukup memprihatinkan keadannya, karena memang sering kupakai. Satu lagi baju untuk dijadikan lap. 3
Karena tidak ingin menggali seisi peti hanya untuk mencari baju lain yang kusuka, aku mengambil gaun serupa berwarna biru dan menebarkannya di atas kasur. Walaupun salah satu ujungnya agak tercabik-cabik, gaun yang itu kondisinya masih lebih baik dibanding yang sebelumnya. Tidak ada yang istimewa dari baju itu, hanya gaun linen biru polos selutut dan tanpa hiasan. Aku melepas pakaian tidurku dan mengenakan gaun biru tersebut. Aku lalu meraih ke bawah kasurku untuk mengambil flat-shoes putih dan mengenakannya. Ini bisa dibilang pakaian seharihariku, dan hampir sebagian besar orang di Kota. Aku berjalan lagi menuju sudut lain kamarku dimana terdapat sebuah pecahan cermin besar. Ujung-ujungnya yang bergerigi tajam bisa dengan mudah melukaiku kalau aku tidak berhati-hati. Oleh karena itu, aku selalu menjaga jarak dengan cermin itu, baik saat sedang menggunakannya atau tidak. Setelah merapikan rambut merahku yang tergerai lurus sampai punggungku, aku langsung berjalan keluar kamar menuju dapur. Perjalanan dari kamarku ke dapur sama sekali tidak makan waktu lama, karena memang posisinya tepat di depan kamarku. Dan sesuai dugaanku, kakakku sedang duduk di meja kayu kecil dengan dua cangkir kopi di hadapannya. Aku menarik kursi lain dan duduk tepat di seberangnya. 4
Rob tersenyum saat melihatku, mata hijaunya tampak cerah pagi ini dan mungkin perasaanku saja, tapi rambut cokelat Rob yang biasanya tampak kusam hari ini terlihat berkilau. “Akhirnya kau memutuskan untuk bangun juga.” Aku memutar bola mataku dan berkata, “Aku sudah bangun dari tadi, Rob. Aku kan perlu berpakaian dulu sebelum keluar kamar.” Rob terkekeh. “Aku tahu kok Evie.” Ia menyodorkan cangkir kopi lain ke arahku. Aku menyisip kopi sebentar sebelum berbicara lagi, “Ada yang salah dengan penampilanmu hari ini?” Rob mengangkat sebelah alis. “Rambutku? Aku hanya ingin terlihat rapi saja hari ini, karena aku akan diangkat jadi pengawas lapangan.” Aku tertawa pelan. “Terserahlah, tapi kurasa itu tidak akan bertahan lama di luar sana.” Rob mengangkat bahu, tampak tidak peduli. “Ngomong-ngomong kau punya rencana hari ini?” Aku menggelengkan pelan. “Tidak. Kenapa? Apa kau perlu bantuan?” Kakakku bekerja sangat keras setiap harinya agar kami dapat cukup makan, dan pekerjaannya itu biasanya berhubungan dengan fisik. Ia delapan tahun lebih tua dariku tapi sangat kuat dan bisa diandalkan pada usianya yang menginjak dua puluh dua. Kadang-kadang aku membantunya. Pekerjaan rumah adalah salah satunya, aku juga mengerjakan beberapa pesanan untuknya, kalau aku bisa. Hal5
hal tersebut sangat membantunya dan memberiku alasan untuk dapat keluar rumah kami. Bukannya aku tidak suka rumah itu, bagaimanapun juga aku tumbuh besar di tempat tersebut. Hanya saja rumah tersebut sangat kecil dan rapuh. Tapi hampir semua rumah di Kota juga tampak seperti itu; atap tua yang sering tiba-tiba saja rubuh, merusak jendela dan juga lantai. Tapi cukup pantas untuk ditinggali manusia karena jarang terdapat kutu. Tapi yah, mau bagaimana lagi? Bahkan rumah milik orang terkaya di kota ini juga tidak jauh berbeda dengan yang kami tinggali ini. Paling hanya material penyusunnya saja yang sedikit lebih baik. Rob mengeluarkan secarik kertas bernoda dan menyerahkannya padaku. “Daftar beberapa barang yang perlu kubeli dan kulakukan.” Aku membaca daftar tersebut dengan cepat; kebanyakan bahan-bahan makanan dan hal-hal kecil yang diminta oleh beberapa tetangga. “Tidak masalah buatku.” Aku beranjak dari kursiku dan mengambil toples tersebut. Di dalamnya terdapat beberapa lembar uang kertas kusut dan uang receh, kira-kira setengah-penuh. Semua ini mungkin tabungan kami selama beberapa bulan, beberapa orang di kota malah ada yang lebih parah. Aku mengambil secukupnya—jumlah yang sudah kuperhitungkan dengan perkiraan beberapa 6
harga barang yang mungkin sudah naik baru-baru ini. Aku langsung melangkah keluar rumah, melintasi halaman rumah kami yang penuh kerikil. Rumput-rumput di kebun kami sudah mati, begitu juga dengan segala hal lain yang ada di sekitarnya. Pohon-pohon kering dan menghitam, satu-satunya yang mempertahankan mereka tetap berdiri adalah serat-serat terakhir yang mungkin sebentar lagi akan membusuk. Aku melangkah ke jalanan tak beraspal menuju pusat perbelanjaan di Kota. Beberapa orang ada yang mengendarai sepeda sepanjang jalan, tapi kebanyakan berjalan kaki sepertiku. “Evie!” aku segera berbalik mendengar namaku dipanggil, dan melihat salah seorang temanku menuju ke arahku. Aku tersenyum. “Hai, Danny.” Teman sebayaku yang bearambut hitam itu melangkah dengan riang dengan senyum cerah yang menghiasi wajahnya seperti biasa. Aku tidak mengerti bagaimana ia bisa tetap ceria menghadapi dunia ini, sementara aku sendiri harus berusaha keras untuk menghadapi tiap harinya. “Kau mau ngapain, Evie?” ia bertanya. Aku menunjukkan daftar belanjaan yang kupegang padanya dan berkata, “Mengerjakan pe-er kakakku. Kau sendiri?”
7
Ia mengangkat bahu dan berkata, “Nggak tahu. Aku cuma ingin keluar rumah saja. Kau tahu kan bagaimana ributnya adik-adikku sekalinya mereka bergulat satu sama lain?” “Baiklah, senang bisa ngobrol denganmu, Danny. Tapi aku harus cepat-cepat mengerjakan tugas ini, atau kakakku akan bertanya-tanya apa yang membuatku begitu lama.” Danny tampak cemberut, tapi dengan segera kembali ke wajah cerianya. “Baiklah! Tapi nanti kita ketemuan ya di Lapangan, kalau kau sudah selesai. Semua orang berkumpul di sana malam ini, pasti asyik!! Bagaimana?” Aku berpikir sebentar. Lapangan itu adalah tempat penduduk di daerah sekitarku berkumpul dan bersosialisasi. Jadi tidak aneh kalau diadakan kumpul-kumpul atau bahkan pesta di malam hari di sana. “Baiklah, selamat mengerjakan tugasmu, sampai nanti!!” ia melompat-lomat riang ke arah aku datang. Aku menggeleng-gelengkan kepala dan kembali mengerjakan apa yang harus kukerjakan. Saat aku sampai di rumah, aku menyusun bahan-bahan yang kubeli dalam kotak pendingin; kotak yang dimodifikasi sedemikian rupa oleh Rob agar mampu mempertahankan barang-barang yang disimpan di dalamnya tetap dingin. Dulu sekali barang seperti ini terdapat di setiap rumah, tapi sekarang sudah tidak lagi. Barangbarang lama sudah sulit didapat, kadang kau bisa 8
menemukan benda-benda seperti ini sudah dijadikan rumah oleh hewan-hewan liar, atau dijadikan benteng mainan oleh anak-anak. Aku tidak merasa perlu mengganti pakaianku karena sudah gelap dan kebanyakan orang juga pakaiannya tidak akan jauh berbeda denganku. Di luar sudah nyaris gelap gulita saat aku berjalan melewati rumah-rumah beserta kebunnya yang sama menyedihkannya dengan milikku. Sesampainya di Lapangan, aku melihat beberapa wajah yang kukenal. Mereka semua duduk di sekeliling api unggun besar yang dibangun pada lubang yang memang dibuat khusus untuk tujuan tersebut. Danny menemukanku dengan cepat. “Evie, sebelah sini!!” ia berdiri dengan ujung jari kakinya sambil melambai-lambai ceria. Di sekitarnya, aku melihat teman-temanku yang lain; Justin, Julie dan Andrew, mereka semua sebaya denganku, walaupun Justin yang paling tua di antara kami. Sudah sejak tadi mereka berusaha menemukanku di tengah-tengah kerumunan orang di sekitar mereka. Julie menyuruh Justin untuk bergeser agar aku bisa duduk di sebelahnya. Aku membisikkan permintaan maaf pada Justin yang tampaknya tidak peduli. Aku tidak datang ke perkumpulan ini untuk mengobrol, tapi untuk menikmati waktu bersamasama temanku saja. Walaupun begitu, aku senang 9
bisa bersama-sama dengan orang-orang yang kukenal. Jam demi jam terasa berlalu cepat dan aku mulai merasa lapar. Aku meraih kantung kecil yang kubawa dan mengeluarkan sebongkah roti yang sudah kubungkus. Aku menggigitinya kecilkecil agar tidak cepat habis. Selama itu, aku memperhatikan daerah di seberang Lapangan. Di sana, terdapat pagar tinggi berupa papan kayu yang dililiti kawat bergerigi. Di sisi lain sana adalah daerah yang disebut Tanah Tandus. Tempat itu adalah daratan luas yang sudah lama hancur, bersama-sama dengan sebagian besar daerah di dunia saat pecah perang bertahun-tahun lalu. Satu-satunya alasan Kota kecil kami ada karena sekumpulan besar orang-rang yang selamat mengumpulkan apa saja yang masih bisa digunakan, dan membangun kembali tempat tinggal mereka. Mereka lalu mulai membangun pagar untuk melindungi diri dari para perampok yang menyerang Kota dan mulai menciptakan berbagai macam hal. Orang-orang yang selamat tersebut lalu mulai membuat sistem pemerintahan, dan saat itulah banyak hal mulai berubah. Banyak orang malah jadi kelaparan daripada makmur seperti tujuan utama mereka. Kemudian mereka mulai membuang orang-orang yang melakukan tindakan yang tidak diterima oleh para Penjaga.
10
Orang-orang yang dibuang tersebut dikenal dengan panggilan semacam Kambing Hitam atau Sampah, tapi panggilan yang paling umum adalah ‘Buangan’. Mereka dibuang ke Tanah Tandus tanpa makanan atau apapun, dan mau tidak mau harus menemukannya sendiri di luar sana. Pergi ke luar sana sama saja meminta dihukum mati. Aku pernah mendekatinya dulu dan mengintip ke luar melalui celah pada pagar, penasaran seperti apa pemandangan di luar sana. Aku tidak sempat melihat banyak karena seorang Penjaga menarikku dan mengatakan kalau aku tidak boleh melihat ke luar sana lagi. Karena waktu itu aku masih kecil, aku tidak pernah mendekati pagar tersebut lagi. Yang bisa kulihat hanyalah asap kelabu dari perang yang telah meratakan seluruhnya. Dan maksudku perang adalah nuklir tentu saja. Kami tidak perlu khawatir lagi soal itu, karena membuat senjata semacam itu sama saja dengan cari mati. Nyaris tidak ada pohon di luar sana, kecuali beberapa batang yang tersebar secara acak di beberapa tempat.
11