Melampaui Naturalisasi: Yang Akrab dan yang Asing / Beyond Naturalization: The Familiar and the Foreign —AGUNG HUJATNIKAJENNONG
26
1/ Prosedur kuratorial
1/ Curatorial Procedure
Bagi seorang kurator terdapat beberapa prosedur dan pendekatan yang bisa ditempuh dalam penyajian sebuah pameran. Salah satu yang utama dalam prosedur itu adalah pembacaan karya-karya. Galibnya, dalam membaca, kurator segera berhadap-hadapan langsung dengan karya-karya seniman. Di situ, kurator seringkali memosisikan sebagai mediator, selaku penafsir yang ‘superior’, yang berusaha untuk memahami maksud seniman dengan cara menampilkan kekuatan-kekuatan pengungkapan visual yang tersirat. Melalui berbagai analisa, karya-karya seni dimaknai, dihubungkan dengan ranah teoretik tertentu atau konsep-konsep kunci, misalnya dalam filsafat, sosiologi dan sejarah seni rupa.
There have been several procedures and approaches that a curator can take to present an exhibition. One of the main procedures is the reading of the works. Normally, as the curator reads the artwork, he or she stands directly facing the works that the artist has made. Here the curator often takes the position as a mediator, a “superior” interpreter who tries to understand the artist’s intent by putting forth the implicit power of the visual displays. By employing different analyses, the works of art are understood, given meaning, related with certain theoretical realms or key concepts, for example in philosophy, sociology, and art history.
Oleh karena berorientasi pada objek / artefak, dalam banyak kasus, kerja kuratorial kebanyakan sangat bergantung pada ‘produk jadi’. Setiap karya seni dilihat sebagai tindakan penciptaan makna yang merupakan manifestasi paling sahih dari ‘jati diri’ sang seniman. Secara historis, hal ini
Owing to its orientation to objects/artifacts, in many cases the curatorial work depends on the “end product”. Every work of art is seen as an act of signification, an effort to create meaning, which is the most legitimate manifestation of an artist’s “identity”. Historically, this has to do with the 27
curator’s work as a part of the museum institution that is responsible for the presentations of objects in the exhibition space. By employing the phenomenological method, a curator explores and gives meaning to the visual objects, using visible evidence such as the quality of the forms, surfaces, symbols, or other kinds of signs. The curator also often relates works with certain categories, or puts them into such categories, in order to determine their position vis-a-vis the map of history.
berhubungan dengan kerja seorang kurator sebagai seorang bagian dari institusi museum yang bertanggungjawab terhadap presentasi objek-objek dalam ruang pamer. Melalui metode yang fenomenologis itu seorang kurator menggali dan membubuhkan makna pada objek-objek visual dengan bukti-bukti yang kasatmata, misalnya kualitas bentuk, permukaan, simbol atau tanda-tanda lainnya. Kurator juga pada umumnya menghubungkan karya-karya dengan, atau menggolongkannya ke dalam kategori-kategori tertentu untuk tujuan pemetaan dalam sejarah.
Using the comparison with the above-mentioned curatorial “method”, I would like to give an emphasis how Handiwirman Saputra’s solo exhibition has undergone different procedures or manners in terms of its formulation and presentation. Personally, I even think that this exhibition constitutes a distinct curatorial experiment.
Melalui perbandingan dengan ‘metode’ kuratorial di atas, maka saya ingin menggarisbawahi bagaimana pameran tunggal Handiwirman Saputra ini menempuh prosedur atau cara-cara yang berbeda dalam hal perumusan dan penyajiannya. Secara pribadi, saya bahkan menganggap pameran ini sebagai suatu eksperimentasi kuratorial tersendiri.
During the preparation, the exhibition has seen delays, changes, and an intriguing process of ‘changing and mending”. In the beginning, we—Enin Supriyanto and I—as curators designed the exhibition using the conventional method and format; i.e. as a presentation of Handiwirman’s latest works in an exhibition space. The process in which the works were made had taken more than a year, and throughout the process we have been involved in a continuous, triangular process of dialogues to prepare and determine the title and framework of the exhibition.
Dalam proses persiapannya, pameran ini mengalami penundaan, perubahan dan proses ‘tambal-sulam’ yang menarik. Pada awalnya, kami—saya dan Enin Supriyanto— selaku kurator merancang pameran ini dengan format dan metode yang konvensional, yakni sebagai suatu presentasi karya-karya mutakhir Handiwirman di dalam ruang pamer. Proses pengerjaan karya-karya Handiwirman telah memakan waktu lebih dari satu tahun, dan selama itu pula kami terlibat dalam dialog segitiga yang kontinyu untuk merumuskan tajuk dan kerangka pameran.
Only three months before the opening of the show, however, Handiwirman surprisingly came up to us with a new idea. Precisely after his works of installation have all been finished and the writing for the curatorial texts has proceeded, Handiwirman asked us to re-think the curatorial procedure that we have previously selected. Rather than asking us to finish the writing of curatorial text about his latest works of installation, he asked us to review a piece of photograph. Intriguingly, the picture is not among the works he wishes to present in the exhibition space.
Akan tetapi, hanya tiga bulan sebelum pembukaan pameran, secara mengejutkan Handiwirman menawarkan kepada kami gagasan yang baru. Justru ketika karya-karya instalasinya telah selesai dikerjakan, dan proses penulisan sudah dimulai, ia meminta kami untuk berpikir ulang tentang prosedur kuratorial yang sebelumnya ingin kami tempuh. Ketimbang meminta kami untuk menyelesaikan tulisan tentang karyakarya instalasi terbarunya, dia malah meminta kami untuk mengulas sebuah foto. Namun menariknya, foto itu justru bukan merupakan salah satu karya yang ia ingin presentasikan di dalam ruang pamer.
1/ I.J. Gleb, A Study of Writing, dikutip oleh Tia Setiadi, dalam Benda-benda, Bahasa dan Kala: Mencari Simetri Tersembunyi dalam Teman-temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna, lihat Zen Hae (ed.), Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, hal. 131. 2/ Roland Barthes, Camera Lucida, Richard Howard (trans.), New York: Hill and Wang, 1981, hal. 7
1/ I.J. Gleb, A Study of Writing, quoted by Tia Setiadi, in Benda-benda, Bahasa dan Kala: Mencari Simetri Tersembunyi dalam Teman-temanku dari Atap Bahasa karya Afrizal Malna, see Zen Hae (ed.), Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010, p. 131. 2/ Roland Barthes, Camera Lucida, Richard Howard (trans.), New York: Hill and Wang, 1981, p. 7
28
Pada awalnya, saya menganggap tawaran itu sebagai suatu ajakan untuk berspekulasi. Namun bukan tanpa alasan, bagi Handiwirman foto ini ternyata sangat istimewa. Menurutnya, ia adalah ‘artefak’ penting yang bisa mewakili gagasan mendasar dalam karya-karya instalasi yang ia siapkan untuk pameran ini. Penting untuk digarisbawahi bahwa Handiwirman tidak memberikan informasi tambahan apapun dalam bentuk tulisan / caption yang menyertainya. Sebaliknya, ia justru menganggap bahwa tulisan kuratorial kami dan karya-karya instalasinyalah yang kelak akan menjadi caption untuk foto itu.
Initially, I consider the offer as an invitation for speculation. However, it is not without reasons that to Handiwirman the picture is very special. He thinks that the picture is an important “artifact” that can represent the fundamental idea in the works of installation that he has prepared for this exhibition. It is important to underline that Handiwirman does not give any additional information in the form of some text or caption accompanying the picture. Rather, he thinks that our curatorial texts, along with his works of installation, would later serve as the caption for the picture...
Pada tataran paradigmatik, kita boleh membandingkan foto Handiwirman ini dengan suatu format dalam fotografi yang disebut panorama (dari bahasa Yunani, ‘pan’, all dan ‘horama’, view). Dimensi foto yang memanjang secara horisontal menegaskan hal itu. Secara historis, gaya ini berakar dari tradisi penggambaran dalam seni lukis. Kelahiran gaya ini juga didorong oleh keinginan untuk menyalin apa yang tertangkap sejauh-jauhnya oleh jangkauan pandangan mata manusia, sebisa-bisanya secara rinci dan horisontal, nyaris 180 derajat. Dianggap efektif untuk menyajikan impresi tentang keluasan suatu lansekap atau momen bersejarah, dalam tradisi piktorial Barat format ini adalah pengembangan dari
... We welcomed the idea not only as a way to escape from monotony, but also as a challenge to rethink about the procedures that we usually adopt in presenting an art exhibition. In this show, the curators eventually did not only face the works of art as the final products of a creative process. Rather, Enin and I were forced to perform different acts of reposition and retroaction. Our reading can go retroactively, or going back and forth in inductive as well as deductive manners as we took the position as interpreters, and stepped into a more open field. One can even say that at a certain point, the three of us—Enin, Handiwirman, and I—take the same position of a spectator who reads and freely responds to the information presented to us in the picture.
lukisan-lukisan di dinding dalam rotunda yang melengkung. Sementara dalam tradisi Timur, kita juga bisa menemukan format ini dalam gambar-gambar dinding candi, lukisan gulung (scroll painting), bahkan artefak wayang beber, yang umumnya digunakan untuk memaparkan suatu sekuens, atau urutan suatu kisahan /narasi.
Handiwirman’s picture does not seem to present any distinct narrative sequence. We can “read” it from left to right or the other way round. Apart from the objects that represent a riverbank view, the panoramic format of the picture tends to give an emphasis on the aspect of the landscape, in which expansiveness is presented in such a way. The objects that dominate our sight are a part of Kontheng River. The calm water implies that the riverbed tends to be flat. As we briefly look at the picture, we cannot immediately conclude the direction in which the water goes. The upstream and downstream seem to be hidden, until we discover the sight of a higher ground under the bridge. A man is sitting there, looking at the spectator from afar.
Foto Handiwirman nampaknya tidak sedang mengemukakan urutan narasi tertentu. Kita bisa ‘membacanya’ dari kiri ke kanan, atau sebaliknya. Selain karena objek-objek yang mewakili pemandangan tepi kali, format panoramik di situ cenderung merujuk menekankan aspek lansekap, di mana keluasan ditampilkan sedemikian rupa. Objek yang mendominasi pandangan kita adalah sebagian wajah dari batang Sungai Kontheng. Air yang tenang menyiratkan kontur dasar sungai yang cenderung datar. Melihat foto ini secara sekilas, kita tak bisa dengan segera menyimpulkan arah arus yang mengalirkan air. Ia seperti menyembunyikan posisi hulu dan hilir, sampai kita temukan gambaran dataran yang sedikit lebih tinggi di kolong jembatan. Di situ, seorang laki-laki tengah duduk dan memandang ke arah kita dari jauh.
As a whole, the picture constitutes a spatial fragment from the natural architecture taken at a certain moment in time. We are aware that the nature is a living entity that keeps on changing with time. In the picture, however, the temporal aspect is present only vaguely. The first set of signs of time are presented through the bridge and the road, which bring us to the conclusion that the picture was taken at a time when humans already use cars as a mode of transportation. The second sign is the reflections of sunlight on the water surface and land, which might indicate the time in which the picture was taken. We could not, however, be certain whether the picture was taken in the morning, during the day, or in the evening, except if we map the direction of the shadows of the bamboo groove and the upstream and the downstream using the compass points. Another set of elements that indicate the time is the moss-covered rocks at the riverbank. We are aware that the water would naturally recede and flow. It seems that the water was receding when the picture was taken. The rocks would not be covered in moss and forms such irregular lumps had they not been covered under the water and eroded by the river flow.
Secara menyeluruh, foto ini adalah fragmen ruang dari arsitektur alam yang diambil pada suatu momen tertentu. Kita tahu, alam adalah entitas yang hidup dan terus berubah dalam lintasan waktu. Namun dalam foto ini, aspek waktu hadir secara samar-samar. Yang pertama adalah penanda masa yang dihadirkan melalui jembatan dan jalan, yang mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa foto ini diambil pada jaman ketika manusia sudah menggunakan mobil sebagai moda transportasi. Kedua, cahaya matahari yang jatuh pada permukaan air dan tanah memang bisa memberi petunjuk kapan foto ini diambil. Akan tetapi kita tidak bisa memastikan apakah foto ini diambil pagi, siang atau sore hari, kecuali jika kita mau memetakan arah bayangan rumpun bambu, posisi hulu dan hilir Sungai Kontheng dalam koordinat mata angin. Keempat, elemen lain yang menunjukkan waktu adalah batu-batu berlumut di tepian sungai. Kita tahu sungai selalu mengalami pasang surut secara alamiah. Dan rupanya sungai itu tengah surut. Batu-batu itu tak mungkin berlumut
The panoramic composition of the picture triggers my imagination about a proscenium, with us, the spectators, watching the objects as horizontally-arranged actors in a scene. On the stage, we observe how the picture does not
3/ Dalam tulisan ini, saya banyak memanfaatkan cara-cara analisa foto yang dianjurkan Roland Barthes dalam bukunya Camera Lucida, sebagian besar melalui paparan dan elaborasi St. Sunardi, dalam bukunya, Semiotika Negativa, Yogyakarta: Penerbit Kanal, 2002.
3/ In this text, I often make use of the methods of analyzing pictures as proposed by Roland Barthes in his book, Camera Lucida, mostly explained and elaborated by St. Sunardi in Semiotika Negativa, Yogyakarta: Penerbit Kanal, 2002.
31
dan berbentuk gumpalan tak beraturan jika tak terendam dan terkikis oleh aliran air.
only present the panorama of the nature as mere phenomena of plants, river, and landscape. Right in the middle, we see the main object, or “actor”, of the photograph. That part looks conspicuous, because amid the brownish and greenish hues of the nature, we see objects whose shapes and colors look “foreign”. There we see the bamboo groove with roots and shoots toward the river. On the roots we see pieces of plastic waste, cloth, and other objects attached to them, dangling randomly.
Komposisi panoramik foto ini memancing imajinasi saya tentang suatu panggung bertipe proscenium, di mana kita sebagai penonton tengah memandang objek-objek di dalamnya sebagai aktor-aktor yang tertata secara horisontal dalam suatu adegan. Pada panggung itu kita menemukan bagaimana foto ini tidak sekadar menampilkan panorama ‘alam’ sebagai fenomena tampilnya tetumbuhan, sungai dan lansekap belaka. Tepat di bagian tengah, kita menangkap objek atau ‘aktor’ utama foto ini. Bagian ini terlihat mencolok, karena di tengah nuansa alam berwarna kecoklatan dan hijau yang dominan, kita justru menangkap benda-benda dengan bentuk dan warna-warna yang ‘asing’. Di situ, terlihat rumpun bambu yang sebagian cabangnya menjulur-julur dan menjorok ke sungai. Pada cabang-cabang itu, lembar-lembar sampah plastik, kain dan benda-benda lainnya tersangkut, terjurai dan bergelantungan secara acak.
Here we might already have certain estimations about the view of Kontheng River, whose water was receding, enabling us to see the roots and shoots that had normally been submerged under the water flow, which now appear like “clothes line” on which the passing objects were hung: pieces of fabric, plastic, and other “industrial” waste. The garbage are attached to the roots, hanging and dangling, and even covering parts of the bamboo, creating a strong impression of a process of encounter, unification, or, perhaps, a “fusion” between waste and nature. I think these are the signs that might provide us with significant hints for us to understand Handiwirman’s artistic practices.
Sampai di sini kita beroleh dugaan tentang pemandangan Sungai Kontheng yang surut, sehingga ranting-ranting yang semula terendam air pasang berubah menyerupai ‘tali jemuran’ yang menangkap benda-benda yang lewat: serpihan kain, sobekan plastik dan potongan-potongan sampah-sampah ‘industrial’ lainnya. Sampah-sampah itu melekat, tergantung, tersangkut, bahkan menutupi segenap bagian ranting bambu, memberikan kesan kuat tentang proses pertemuan, penyatuan, atau barangkali, ‘suatu senyawa’ antara sampah dan alam. Saya pikir, inilah tanda-tanda yang bisa memberi petunjuk penting untuk memahami praktik artistik Handiwirman.
3/ Artistic Attitude From the ebbing Kontheng River, I wish to move on by first observing the works that Handiwirman has made. Although there is no demand to discuss about the works in details, it is undeniable that during the preparation I have followed the process in which the works of installation were made for this exhibition. Apart from that, images of Handiwirman’s works of installation have already been strongly imprinted in my mind. Therefore, before I return to the picture, I wish to discuss about Handiwirman’s artistic attitude that has been familiar to me.
3/ Tabiat Artistik Dari foto Sungai Kontheng yang surut saya ingin beranjak terlebih dahulu dengan mengamati karya-karya Handiwirman. Meskipun tidak ada tuntutan untuk membahasnya secara rinci, tidak dapat disangkal bahwa dalam proses persiapan, saya sudah terlanjur melihat proses pembuatan karyakarya instalasi Handiwirman untuk pameran ini. Selain itu,
In Handiwirman’s works of installation so far, characters of mundane materials (hairs, Styrofoam, cotton balls, plastic, threads, pieces of paper, cigarette butts, etc) are re-presented, not in a thoroughly novel manner, but not simply as they are
32
gambaran karya-karya instalasi Handiwirman sebelumnya juga sudah terlanjur melekat kuat dalam ingatan saya. Maka, sebelum kembali ke foto, saya ingin menengok tabiat artistik Handiwirman yang selama ini saya kenal.
either. So far, Handiwirman’s works also hint at an intent to combine, merge, and unify one, two, or more materials with different visual characteristics, for example the soft and the sharp, the fragile and the sturdy. This becomes evident when one observes, for example, his works presenting human hairs joined together with small folds of plastic garbage. Another work shows his arrangement of light pieces of Styrofoam, shaped into a seemingly solid three dimensional object. As one observes his works, our mental perceptions about the characters of the mundane materials and objects are provoked. We often encounter surprises and find ourselves with questions owing to the often peculiar forms of the works, especially with his three-dimensional works.
Dalam karya-karya instalasi Handiwirman selama ini, karakter-karakter material yang remeh-temeh (rambut manusia, busa, kapas, plastik, benang, serpihan kertas, puntung rokok, dll.) dihadirkan kembali, tidak sepenuhnya secara baru, tapi juga tidak secara apa adanya. Selama ini, dalam karya-karya Handiwirman juga tersirat suatu intensi untuk menggabungkan, mencampur, dan menyatukan satu, dua atau lebih material yang berkarakter visual berbeda, misalnya antara yang lembek dan yang tajam, yang ringkih dan yang kokoh, dan lain sebagainya. Hal ini terbaca ketika mencermati, misalnya, karya-karyanya yang menampilkan helai-helai rambut manusia yang dirakit-rakit menjadi satu dengan lipatan-lipatan kecil sampah plastik. Atau ketika ia mengikat dan menjahit sobekan-sobekan busa ringan yang dibentuk menjadi benda tiga dimensional berkesan pejal. Memandangi karya-karyanya, persepsi mental kita tentang karakter material dan benda-benda yang serba remeh itu juga seringkali ‘dipermainkan’. Terutama pada karyakarya trimatranya, kita seringkali menemukan kejutan dan pertanyaan oleh karena wujudnya yang seringkali ‘ganjil’.
Handiwirman’s works have also been based on his peculiar manner in perceiving the relations among objects, and the relationship between objects and humans (personally as well as socially). Apart from that, he also likes to observe how objects can trigger mental reflections in us. Handiwirman even has unique personal and emotional bonds with certain materials such as hairs, rubber bands, silicone rubber, and paper. His penchant in observing and collecting mundane materials, which to others are simply waste, has begun since he was a small child. It is also such a background that has shaped his intimate rapport with the works he makes.
Karya-karya Handiwirman juga dilatarbelakangi oleh caranya yang unik dalam melihat hubungan antar benda, dan hubungan antara benda dan manusia (secara personal maupun sosial). Selain itu ia juga gemar mengamati bagaimana benda-benda dapat menimbulkan refleksi mental pada manusia. Untuk beberapa material seperti rambut manusia, karet gelang, karet silikon dan kertas Handiwirman bahkan punya ikatan personal dan emosional yang unik. Kegemarannya mengamati dan mengumpulkan benda-benda remeh-temeh, yang bagi orang lain adalah sampah, sudah dimulai semenjak ia kecil. Latar belakang itu pula yang membentuk keintimannya dengan karya-karya yang ia buat.
Handiwirman sees any object or material, natural or synthetic— metal, rubber, resin, wood, fabric, thread, Styrofoam, etc.— as an entity with certain quality and potential. He can, for example, explain well how pieces of hair trapped in a bar of soap are difficult to remove using wet fingers; how water leakage on the ceiling can create stains resembling certain images; or how a wrinkled part of a T-shirt might remind us to the shape of a closed eye. To him, these are all (visual) phenomena revealing the distinct structure or “grammar” of a material. Another thing that is characteristic of him is how he goes about his work. For him, the term of “arranging” or “composing” is not enough to explain his artistic practices so far. The way he
33
Bagi Handiwirman, benda atau material apapun, yang alamiah maupun sintetik—logam, karet, resin, kayu, kain, benang, busa, dll.—dilihatnya sebagai entitas yang punya kualitas dan potensi ‘bahasa’ tertentu. Sebagai contoh, ia dapat menjelaskan dengan baik bagaimana helai-helai rambut terjebak pada sabun batangan tidak dapat dengan mudah dihilangkan dengan jari-jari tangan yang basah; bagaimana rembesan air pada langit-langit yang bocor dapat menciptakan noda yang menyerupai gambar tertentu, atau ketika sebuah bagian keriput dari T-shirt dapat mengingatkan kita pada bentuk mata yang terpejam. Baginya semua itu adalah fenomena (visual) yang memperlihatkan ‘struktur’ atau ‘tata bahasa’ tersendiri dari suatu material.
works with the objects does not only involve specific technical aspects such as ripping, cutting, sewing, organizing, patching, copying, shaping, etc, in order to achieve certain practical or easy method. He does not hesitate to break way with certain conventional methods usually applied to a material. At times, for example, he dares dealing with dangerous chemical without heeding safety procedures, in order to have a direct contact with the specific natures of the material. As we begin to understand Handiwirman’s personal and artistic attitude, we could start making a guess about the relation between the picture of the riverbank landscape from the Kontheng River, which at a glance seems so trivial, and the works of installation that he has made for this exhibition. Pieces of garbage on the bamboo shoots and roots might signify pollutions in the nature, or traces of industrialization in the suburbs. However, I don’t think that it is the most significant issue in the context of this exhibition. Although we can always interpret or discover symbolic associations in Handiwirman’s works (for example in the presence of a gigantic plastic bag representing the issue of “waste” or “consumerism”), I think the emphasis on the quality and the “linguistic” structure of the objects or materials is of greater importance here.
Hal lain yang khas dalam karya-karya Handiwirman adalah soal tindakannya dalam bekerja. Dalam kamus kerjanya, istilah ‘menyusun’ atau ‘merakit’ tidaklah cukup untuk mendefinisikan praktik artistiknya selama ini. Caranya mengolah benda-benda tidak hanya melibatkan aspek-aspek teknis yang spesifik seperti menyobek, memotong, menjahit, merangkai, menambal, meniru, mencetak, dsb., demi mencapai suatu kemudahan atau kepraktisan. Ia juga tak segan-segan melanggar cara-cara kerja atau metode konvensional yang galib diterapkan pada suatu material. Misalnya, pada saatsaat tertentu, ia berani menangani langsung bahan-bahan kimiawi yang berbahaya tanpa prosedur yang aman dan seharusnya, demi untuk bersentuhan langsung dengan sifatsifat khususnya.
4/ In Situ Objects For the current project of “Tak Berakar, Tak Berpucuk” (No Roots, No Shoots), Handiwirman created a number of large installations with reference to the world of objects that he has been observing. One can say that throughout his career, it is only now that Handiwirman presents works that are almost entirely gigantic in size. Apart from copying and enlarging the scale of found objects such as plastic bags, he also presents works of installation that are the “enlargement” of assembled objects with the materials familiar to him, such as the Styrofoam, roots, tree branches, fabric, and metal.
Memahami tabiat personal dan artistik Handiwirman, maka kita dapat mulai menduga-duga hubungan antara foto pemandangan di pinggiran kali Kontheng yang sekilas terkesan remeh-temeh itu dengan karya-karya instalasinya yang ia buat untuk pameran ini. Serpihan sampah yang menempel pada ranting-ranting bambu itu memang bisa menyiratkan petanda tentang polusi lingkungan, atau jejakjejak industrialisasi di pinggiran kota. Akan tetapi bukan persoalan itu yang saya pikir menjadi paling penting dalam konteks pameran ini. Meskipun kita selalu bisa menafsirkan, atau menemukan asosiasi-asosiasi simbolik dalam karya-
In the context of Handiwirman’s artistic practices, the entire process in which his works are made can be understood as
34
karya Handiwirman (misalnya pada kehadiran instalasi plastik kresek raksasa sebagai representasi persoalan ‘limbah’ atau ‘konsumerisme’), bagi saya penekanan pada kualitas dan struktur ‘bahasa’ benda-benda atau material adalah aspek yang justru lebih menonjol.
an effort of “liberation”, especially the liberation from the conventions of the language of objects in our material culture. In the common world, objects are related to us through social conventions such as functions, the value of signs, and economic values. Our perception about the significance of an object has been determined by how it can assist us in our work, gives benefit or prestige to us. Handiwirman peculiarly challenges such relations by discovering, observing, selecting, picking, and merging the pieces of small and often mundane objects that are usually lying about and futile. In Handiwirman’s hands, the merging of such mundane objects gives rise to a certain mysterious quality that might hamper our effort to grasp its meaning and objection. We are taken into a play of peculiar and absurd visual language. In the process of assembling, Handiwirman liberates the objects from the stereotypical context of their functions and values.
4/ Benda-benda ‘in-situ’ Untuk proyek Tak Berakar, Tak Berpucuk kali ini, Handiwirman mengerjakan sejumlah instalasi berukuran besar dengan rujukan pada dunia benda-benda yang diamatinya. Boleh jadi, sepanjang karirnya, baru pada pameran kali ini Handiwirman menampilkan karya-karya yang hampir seluruhnya berukuran gigantik. Selain meniru dan memperbesar skala benda temuan seperti bungkusan plastik kresek, ia juga menyajikan instalasi yang merupakan ‘pembesaran’ benda-benda rakitan dengan material-material yang telah ia tekuni, seperti busa, akar, dahan dan ranting pohon, kain dan logam.
Similarly, as Handiwirman enlarges the small objects in an uncommon scale, he succeeds in erasing the signifier aspect that had been bound to our perception about the futile and banal objects. The mundane, small objects that had been “subjugated” by human power were transformed into something that dominates our sight. One might perceive it as an artistic process that eventually liberates the world of objects from the burdens of associations, conventions, and meanings: liberation through the play of the objects’ languages.
Dalam konteks praktik artistik Handiwirman, seluruh rangkaian proses perwujudan karyanya bisa difahami sebagai suatu upaya ‘pembebasan’, terutama pembebasan dari konvensi bahasa benda-benda dalam kebudayaan material kita selama ini. Dalam dunia sehari-hari, benda-benda terhubung dengan kita oleh konvensi sosial, seperti fungsi, nilai tanda dan nilai ekonomi. Sudah lama cara pandang kita untuk melihat pentingnya sebuah benda selalu ditentukan oleh bagaimana ia dapat mempermudah pekerjaan, memberikan keuntungan atau prestise kepada manusia. Handiwirman justru secara unik melabrak hubungan-hubungan itu dengan menemukan, mengamati, memilih, memungut dan menyatukan serpihanserpihan benda-benda kecil dan seringkali mundan, yang biasanya berserakan dan sia-sia. Di sisi lain, di tangan Handiwirman, penyatuan benda-benda remeh-temeh itu menghasilkan kualitas misterius, yang mungkin menghambat upaya kita untuk segera menangkap makna dan tujuannya. Kita ditarik ke dalam permainan bahasa visual yang ganjil dan absurd. Dalam proses merakit, ia membebaskan benda-benda itu dari konteks fungsi dan nilai yang stereotipe.
For the project “Tak Berakar, Tak Berpucuk”, Handiwirman prepares a specific presentation strategy. He places his works of installation in another habitat: in the middle of a river, a grass field, and an open land. Thus, the works, which are the enlargement of small materials, once again undergo a change of context due to the dimension of the open space that tends to be infinite. Furthermore, by employing such a method, Handiwirman also intends to question the understanding about “the art space”. So far, conventional art spaces such as galleries and museums are often considered as “institutional tools” that are able to give certain aesthetic aura to any objects (urinary, a pile of bricks, mud, etc) that are placed
35
Demikian halnya, ketika ia memperbesar benda-benda kecil itu dengan skala perbandingan yang tak biasa, ia berhasil menghilangkan aspek penanda yang semula terikat pada persepsi kita tentang hal-hal yang remeh temeh dan siasia. Benda-benda kecil yang semula ‘tunduk’ pada kuasa manusia itu kini bertransformasi menjadi sesuatu yang berbalik mendominasi pandangan kita. Semua itu bisa kita lihat sebagai proses artistik yang pada akhirnya melepaskan dunia benda dari beban-beban asosiasi, konvensi dan makna: Suatu pembebasan melalui permainan bahasa benda-benda itu sendiri.
within them. By placing the works in an open air, Handiwirman seems to be testing how far the works can still be considered “art”. It is perhaps yet another way of “liberation”. As we arrive to such an explanation, we can better understand how Handiwirman’s artistic stance is related to his efforts in exploring the psychological impacts of the objects and the meanings they have in certain contexts. To him, the most interesting part of the project lies in the possible tension between the personal intention, the language conveyed by “his objects”, and the mental reflection on the part of the audience when they see something that is familiar and peculiar at the same time. As we syntactically position the picture of Kontheng River in the midst of the works of installation in the open air, we arrive at an interesting juxtaposition between the everyday sight that is aesthetic in nature and the “aesthetic objects” placed in daily situations. This is perhaps what Handiwirman wishes to target with his poetic project of Tak Berakar, Tak Berpucuk (No Roots, No Shoots). Closing this essay, I envision a living entity that has no history and simultaneously no future, orphaned in a temporal horizon, becoming a timeless fragment, having no name. Most people might find it difficult to imagine such a thing—if not downright impossible. To Handiwirman, it is all possible through speculations and experiments.
Untuk proyek Tak Berakar, Tak Berpucuk, Handiwirman menyiapkan strategi presentasi yang khusus. Kali ini ia menempatkan karya-karya instalasinya di habitat yang lain: di tengah sungai, lapangan rumput dan tanah terbuka. Dengan begitu, karya-karya yang merupakan hasil pembesaran bendabenda kecil lantas kembali mengalami perubahan konteks karena dimensi ruang terbuka yang cenderung tak terbatas. Lebih jauh, dengan cara itu ia juga bermaksud mempersoalkan batasan tentang ‘ruang seni’. Selama ini, ruang seni yang konvensional seperti galeri dan museum seringkali dianggap sebagai ‘perangkat institusional’ yang mampu memercikkan aura estetik pada benda-benda apapun (urinoir, tumpukan batu bata, lumpur, dsb.) yang berada di dalamnya. Dengan menempatkannya di ruang terbuka, ia seperti tengah menguji sejauh mana karya-karya itu dapat disebut sebagai ‘seni’. Ini juga barangkali suatu upaya ‘pembebasan’ dengan cara yang lain lagi.
sintaksis, maka kita beroleh jukstaposisi yang menarik, yakni antara pemandangan sehari-hari yang ‘estetik’ dengan ‘objekobjek estetik’ yang ditempatkan dalam situasi keseharian. Inilah barangkali yang disasar oleh Handiwirman dalam tajuk proyeknya yang puitik, Tak Berakar, Tak Berpucuk. Menutup tulisan ini saya tengah membayangkan suatu entitas hidup yang tak punya sejarah dan masa depan sekaligus, terputus dalam cakrawala waktu, menjadi fragmen yang nirkala, tak bernama. Buat banyak orang, membayangkan hal semacam itu tentu saja sukar, kalau bukan mustahil. Bagi Handiwirman semua itu dimungkinkan melalui spekulasi dan eksperimentasi.
Sampai pada penjelasan ini, kita semakin memahami bagaimana sikap artistik Handiwirman berhubungan dengan upayanya untuk mengeksplorasi dampak psikologis dan makna benda-benda dalam konteks tertentu. Untuk Handiwirman bagian paling menarik dalam proyek ini justru terletak pada ketegangan yang mungkin timbul antara tujuan pribadi, bahasa yang disampaikan oleh ‘objek-objeknya’, dan refleksi mental pemirsa ketika menyaksikan sesuatu yang akrab sekaligus ganjil. Menempatkan foto Kali Kontheng dengan instalasi-instalasi di ruang terbuka itu ke dalam suatu
36
37