Atas
: Tulus Wulan Juni (Pustakawan perwakilan Indonesia) menerima penghargaan Silver Award pada event CONSAL XVII Outstanding Librarian Award 2015 yang diberikan oleh Ketua Asosiasi Profesi Pustakawan Thailand. Bawah : Para Pustakawan Terbaik penerima penghargaan pada event CONSAL XVII Outstanding Librarian Award 2015 di BITEC Bangkok, Thailand.
DARI REDAKSI Pembaca Media Pustakawan yang berbahagia, Tiga puluh lima tahun sudah Perpustakaan Nasional RI berdiri dan terus berupaya menunjukan peran dan kiprahnya untuk membawa masyarakat menuju kecerdasan yang hakiki. Sebagai apresiasi, redaksi memuat beberapa gambar yang menampilkan kemeriahan event Perpusnas Expo yang bertemakan Perpustakaan dan Seni. Tak lupa segenap tim redaksi Media Pustakawan mengucapkan selamat HUT ke-35 untuk Perpusnas semoga cita-citanya yang luhur dapat segera tercipta yakni “Mewujudkan Indonesia Cerdas Melalui Gemar Membaca”. Kajian kita kali ini bertemakan tentang sinergitas mewujudkan layanan prima. Seiring berkembangnya perpustakaan digital dan hybrid di Indonesia layanan di perpustakaan pun makin berkembang, yang awalnya lebih banyak konvensional beralih ke perpustakaan digital. Yang awalnya lebih banyak berkutat pada koleksi tercetak mulai beralih ke koleksi digital. Perpustakaan akan selalu dicintai dan diminati oleh pemustaka. Informasi dari perpustakaan tidak akan pernah basi dan akan selalu dicari oleh pemustaka. Layanan prima merupakan satu keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi di perpustakaan. Tanpa layanan yang optimal dan maksimal maka informasi di perpustakaan tidak akan pernah sampai ke tangan pemustaka. Untuk itu diperlukan sinergi antara semua pihak menuju layanan prima. Pada edisi kali ini terdapat 6 artikel yang kami pilih. Artikel pertama tentang Komunikasi Nonverbal sebagai Upaya Optimalisasi Layanan Perpustakaan (Noorika Retno Widuri), Penerapan Sistem Manajemen Mutu di Perpustakaan (Abdul Rahman Saleh), Pengaruh suhu dan Kelembaban Terhadap Kecepatan Fumigasi Aluminium Phosphida dan Uji Efikasi Serangga (Aris Riyadi), Penelitian Terhadap 6 Buah Kajian di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI Periode Tahun 20102013 (Fathmi), Pemahaman Pemustaka dalam Menelusur Sumber-sumber Literatur di Perpustakaan PDII-LIPI (Wahid Nashihuddin), Kesiapan Pustakawan Indonesia Menyongsong MEA 2015 (Endang Fatmawati). Selamat membaca!
DAFTAR ISI
06
VOL. 22 NO. 2 TAHUN 2015
Komunikasi Nonverbal Sebagai Upaya Optimalisasi Layanan Perpustakaan Noorika Retno Widuri (Pustakawan Muda pada Pusat Penelitian Fisika LIPI)
12
Penerapan Sistem Manajemen Mutu Di Perpustakaan Abdul Rahman Saleh (Kepala Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional dan Pustakawan Utama Institut Pertanian Bogor yang sedang dibebaskan sementara)
20
Pengaruh Suhu D an Kelembaban Terhadap Kecepatan Fumigasi Aluminium Phosphida dan Uji Efikasi Serangga Perpustakaan Aris Riyadi S.Si. Staf Sub Bidang Perawatan dan Perbaikan Bahan Pustaka, Bidang Konservasi, Pusat Preservasi Bahan Pustaka, Perpustakaan Nasional RI
27
Penelitian Terhadap 6 Buah Kajian Di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI Periode Tahun 2010-2013
Fatmi (Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional RI)
41
Pemahaman Pemustaka Dalam Menelusur Sumber-Sumber Literatur Di Perpustakaan PDII-LIPI Wahid Nashihuddin (Pustakawan Pertama PDII LIPI)
52
Kesiapan Pustakawan Indonesia Menyongsong Mea 2015 Endang Fatmawati (Pustakawan Madya pada Perpustakaan FEB UNDIP)
BULETIN MEDIA PUSTAKAWAN
Penasehat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggung jawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Redaktur Sarwidiarti Mrihastuti, Penyunting Sarwidiarti Mrihastuti, Lily Suarni, Catur Wijiadi, Harjo, Novi Herawati, Sadarta, Novatriyanti, Redaktur Pelaksana Rohadi, Sri Sumiarsi, Akhmad Priangga, Desain Grafis Rudianto, Khosyi Alfin Maulana, Sekretariat Ferico Hardiyanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etika Wahyuni, Triningsih, Khamami, Alamat Redaksi Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28A, Jakarta Pusat, Telp. (021) 3906923/3901099 Fax. (021) 3901099, Email :
[email protected], ISSN : 1412-8519
Cover Depan: Penyerahan Piagam Memory of The World UNESCO Naskah Nagarakretagama dan Babad Diponegoro oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI kepada Kepala Perpustakaan Nasional RI di Jakarta.
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
3
Sinergitas:
upaya untuk mencapai suatu tujuan
M
enurut Deardorff dan Williams (2006) sinergi adalah sebuah proses dimana interaksi dari dua atau lebih agen atau kekuatan akan menghasilkan pengaruh gabungan yang lebih besar dibandingkan jumlah dari pengaruh mereka secara individual. Atau dapat dikatakan bahwa pengertian dari sinergi adalah membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas. Sedangkan pengertian dari sinergitas merupakan proses memadukan beberapa aktivitas dalam rangka mencapai satu hasil yang berlipat. Konsep bersinergi diantaranya adalah berikut ini: - Berorientasi pada hasil dan positif - Perspektif beragam mengganti atau melengkapi paradigma - Saling bekerjasama dan bertujuan sama serta adanya kesepakatan - Sangat efektif diusahakan dan merupakan suatu proses
prasarana; kemudahan akses; kedisiplinan; kenyamanan. Di perpustakaan sendiri, pelayanan prima akan dapat dicapai apabila ditunjang oleh unsur-unsur sebagai berikut: 1. Sumber Daya Manusia 2. Teknologi informasi 3. Standar pelaksanaan atau SOP 4. Bahan pustaka yang terpelihara
Fungsi dari perpustakaan secara umum adalah pengadaan, pengelolaan, pelayanan dan pelestarian. Fungsi-fungsi tersebut harus dijalankan dengan benar agar dapat tercapai tujuan yang diharapkan. Salah satu tujuan dari perpustakaan adalah melaksanakan layanan prima. Pelayanan prima sendiri secara harfiah dapat dikatakan sebagai upaya memberikan pelayanan terbaik atau sangat baik.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan sinergitas di perpustakan adalah kemampuan untuk melaksanakan setiap unsur-unsur penunjang di atas secara terkait dan berkesinambungan antara satu dengan yang lain. Keterkaitan itu dapat digambarkan dengan adanya sumber daya manusia dalam hal ini adalah pustakawan sebagai garda terdepan dalam kegiatan perpustakaan yang harus mempunyai kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan mampu melakukan analisis kebutuhan pengguna sehingga mampu memahami kebutuhan dari pengguna akan informasi yang diinginkan. Kemudian dalam melakukan proses pelayanan perlu didukung oleh sistem teknologi informasi yang memadai dan tepat sasaran, serta penerapan sistem manajemen mutu perpustakaan. Hal terakhir yang harus diperhatikan adalah melakukan preservasi bahan pustaka yang dimiliki secara rutin, yang dapat dilakukan dengan cara fumigasi, penjilidan dan metode preservasi lainya, dimana hal tersebut harus dilakukan dan menjadi tanggung jawab seluruh petugas yang berkepentingan, baik secara langsung atau tidak langsung. Disinilah makna sinergitas dapat diterapkan, dimana Sinergitas merupakan alat atau langkah yang dapat dipakai sebagai upaya untuk mewujudkan berjalannya fungsi-fungsi di perpustakaan tadi sehingga dapat mewujudkan layanan prima.
Berdasarkan pada Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003, karakteristik pelayanan prima terdiri atas kesederhanaan; kejelasan; kepastian; waktu; akurasi; keamanan; tanggung jawab; kelengkapan sarana dan
Terkait dengan sinergitas dalam perpustakaan, Aris Riyadi, staf Bidang Konservasi, Pusat Preservasi Bahan Pustaka Perpustakaan Nasional RI dalam artikel yang berjudul ”Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap
Bagaimana dengan di perpustakaan, sejauhmana makna sinergitas dapat diterapkan? Sebagai suatu lembaga, perpustakaan mempunyai fungsi didalamnya. Untuk dapat mencapai tujuan, fungsi itu harus dapat berjalan sebagaimana mestinya.
4
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
kecepatan fumigasi alumunium phosphida dan uji efikasi serangga perpustakaan” mengajak kita untuk dapat memahami mengenai fumigasi. Kebanyakan dari petugas perpustakaan mengandalkan pemeliharaan koleksinya kepada petugas preservasi sehingga tidak mengetahui mengenai bagaimana cara kerja atau proses dari fumigasi itu sendiri. Untuk itu dalam tulisan ini dikemukakan penelitian konsentrasi gas phospine selama proses fumigasi yang dilakukan di perpustakaan nasional, di ruangan koleksi lantai 5 (buku langka) dan lantai 9 (surat kabar). Masih sekitar pembahasan tentang preservasi bahan pustaka, Indah Purwani dengan artikelnya berjudul ”penjilidan buku perpustakaan (library binding)” menjelaskan mengenai pentingnya penjilidan dilakukan untuk koleksi perpustakaan serta bagaimana cara melakukan penjilidan buku yang baik, dimana penjilidan harus dilakukan oleh orangorang yang memiliki keahlian khusus dan mempunyai kreatifitas seni dalam mendesain dan merancang pola penjilidan. Selanjutnya, dalam rangka melakukan pelayanan prima, dibutuhkan Sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satunya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi. Sejalan dengan hal tersebut Noorika Retno Widuri, Pustakawan Muda pada Pusat Penelitian Fisika LIPI dalam tulisannya yang berjudul “Komunikasi nonverbal sebagai upaya optimalisasi layanan perpustakaan“, mengupas pembahasan mengenai pentingnya komunikasi verbal didalam perpustakaan dalam rangka mencapai layanan prima. Komunikasi verbal mempunyai bermacammacam bentuk, salah satunya adalah seperti kontak mata, ekspresi wajah, gerakan anggota tubuh dan gerak isyarat. Selain komunikasi, kebutuhan pemustaka merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh seorang pustakawan, untuk itu Fathmi dalam kajiannya yang berjudul “Evaluasi Kajian pemustaka di bidang layanan koleksi umum Perpustakaan Nasional RI periode tahun 2010-2013” membahas permasalahan mengenai 6 kajian yang telah dilakukan sebelumnya, untuk
melihat bagaimana tindak lanjut dari rekomendasi kajian tersebut. Masih sekitar kebutuhan pemustaka, dalam kajiannya yang berjudul “Pemahaman pemustaka dalam menelusur sumber-sumber literatur di perpustakaan PDII LIPI” Wahid Nashihuddin, Pustakawan Pertama PDII LIPI mengupas permasalahan sekitar profil penelusur informasi, pemahaman pemustaka baik terhadap sistem penelusuran maupun hasilnya, juga sikap pemustaka secara menyeluruh dalam melakukan penelusuran literatur di PDII. Artikel selanjutnya adalah ditulis oleh Ir Abdul Rahman Saleh, M.Sc. sebagai Kepala Pusat Informasi dan Standarisasi, Badan Standardisasi Nasional dan Pustakawan Utama Institut Pertanian Bogor dengan judul “Penerapan Sistem Manajemen Mutu di Perpustakaan”, yang membahas tentang sistem manajemen mutu SNI ISO 9001 dengan melihat pada manfaat SNI ISO 9001 di perpustakaan yaitu terkait dengan kepuasan pemustaka akan jasa layanan yang diberikan, serta mengenalkan delapan prinsip dalam sistem manajemen mutu 9001. Sinergitas bukan hanya sebuah ungkapan kosong tanpa makna. Perilaku individu dan lembaga terkait turut mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu sinergitas terbentuk di perpustakaan. Upaya membangun kerjasama dan kemitraan antar fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan perpustakaan dalam mewujudkan layanan prima hanya akan berhasil apabila unsur-unsur penunjangnya seperti Sumber daya manusia, teknologi informasi, Stardar pelaksanaan atau SOP, dan tersedianya bahan pustaka yang terpelihara dapat dikoordinasikan secara maksimal oleh lembaga penaungnya. Redaksi mengajak semua pihak memahami konteks dari sinergitas sebagai proses untuk memadukan beberapa aktivitas dalam rangka mencapai satu tujuan yang sama. Sikap saling mengisi dan kerjasama harus terus dipertahankan dalam membentuk alur kerja yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan layanan prima. Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca, mudah-mudahan apa yang kami sajikan dapat menambah wawasan dalam mengemban tugas sebagai pustakawan di tempat kerja masing-masing.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
5
Oleh: NOORIKA RETNO WIDURI1 E-mail :
[email protected];
[email protected]
KOMUNIKASI NONVERBAL SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI LAYANAN PERPUSTAKAAN Abstrak Berbagai fakta penelitian mengenai komunikasi nonverbal mengungkapkan betapa komunikasi ini memegang peranan penting dalam sebuah proses komunikasi. Kekuatannya mampu mengubah citra/image sebuah perpustakaan. Komunikasi nonverbal merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan dalam layanan prima. Tulisan ini menjabarkan berbagai jenis komunikasi nonverbal yang berlangsung di perpustakaan. Dalam keseharian kegiatan pustakawan yang berinteraksi dengan pemustaka setidaknya ada 10 macam bentuk komunikasi nonverbal yaitu bahasa tubuh, ruang, surat, aroma dan musik, waktu, dokumen perpustakaan, alat bantu pelayanan perpustakaan, nada dan volume suara dan wilayah. Pada bagian akhir tulisan ini, disampaikan beberapa metode atau cara untuk memperbaiki komunikasi nonverbal. Kata kunci: komunikasi nonverbal, layanan perpustakaan, pustakawan, pemustaka.
Pendahuluan Belakangan ini, bidang komunikasi nonverbal mulai mendapat banyak perhatian. Saat ini, semua profesi yang berhubungan dengan pelayanan berkepentingan untuk mampu memahami dan menjelaskan perilaku nonverbal ini. Begitu juga dengan profesi pustakawan. Perilaku nonverbal memainkan peranan kunci dalam seluruh proses komunikasi. Dalam faktanya penelitian telah menunjukkan bahwa 80% komunikasi antara manusia dilakukan secara nonverbal (Setiati, 2007). Birdwhistell (1970) dalam Syahrial (2005) meneliti bidang pergerakan tubuh, menyatakan bahwa 65% hingga 70% makna sosial dari seluruh interaksi disalurkan oleh perilaku nonverbal. Mehrabian (1971) dalam Syahrial (2005) mengestimasi bahwa 93% makna dalam suatu pesan dapat dijelaskan
1
Pustakawan Muda pada Pusat Penelitian Fisika LIPI
6
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
melalui komunikasi nonverbal. Graham et al. (1991) dalam Nurrohim and Anatan (2009) melakukan survei untuk mengetahui dampak komunikasi non verbal dalam organisasi. Studi yang ia lakukan bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang persepsi responden akan pentingnya umpan balik non verbal dan kemampuan mereka untuk menyampaikan isyarat non verbal dari bawahan maupun manajer mereka. Tujuan yang lain adalah untuk membandingkan penemuan-penemuan tersebut dengan pengetahuan tentang komunikasi nonverbal dan menggunakan penemuan mereka sebagai basis untuk merekomendasikan bagaimana memperbaiki komunikasi nonverbal dalam organisasi bisnis. Studi menunjukkan bahwa komunikasi non verbal seperti ekspresi wajah, gerak tubuh, dan voicetone memberikan kontribusi sebesar 93% attitudinal massage pada penerima sangat penting. Pentingnya komunikasi non
verbal ini difokuskan pada isyarat-isyarat verbal atau nonverbal. Tulisan ini membahas fungsi dan urgensi komunikasi nonverbal untuk perpustakaan. Perpustakaan sebagai institusi layanan, wajib memberikan pelayanan prima pada pemustakanya. Pada tulisan ini dijelaskan pula beberapa bentuk komunikasi nonverbal yang ada di perpustakaan, serta metoda untuk memperbaiki pola komunikasi nonverbal. Kompetensi Komunikasi Pustakawan Penelitian yang dilakukan Sri Endah Pertiwi pada UPT Perpustakaan UNDIP mengenai Gaya Komunikasi Pustakawan menyimpulkan bahwa ada tiga gaya komunikasi pustakawan yakni gaya keterbukaan, gaya memberi semangat dan gaya penuh perhatian. Pemustaka mengharapkan bahwa pustakawan sebaiknya mengembangkan gaya komunikasi positif misalnya memberikan informasi yang jelas dan transparan mengenai koleksi, pelayanan dan penelusuran informasi serta mengembangkan gaya keterbukaan, ramah tamah, penuh perhatian dan memberi semangat pada saat memberikan pelayanan sehari-hari (Pertiwi, 2011). Sementara itu gambaran pustakawan ideal yang disampaikan Yunus adalah pustakawan yang cerdas, luwes dan suka menolong (Yunus, 2007). Kecerdasan terbagi dalam kecerdasan yang berlandaskan pada tingkat intelektual dan pendidikan pustakawan, hingga kecerdasan emosi. Mengembangkan kecerdasan intelektual diantaranya melalui program pelatihan, seminar, diskusi bahkan menaikkan jenjang pendidikannya. Kecerdasan emosi diasah dengan pegendalian diri, atau lebih pada internal kepribadian sebagai pustakawan. Ada 14 kriteria seorang pustakawan yang ideal menurut Tjuparmah dalam Yunus (2007), pada nomor dua disebutkan bahwa pustakawan ideal memahami ilmu jiwa dan pendidikan, yang berarti cerdas membaca raut muka serta gerak gerik pemustaka yang kemudian menterjemahkannya ke dalam pendekatan yang terluwes penuh perhatian. Membaca raut wajah serta gerak gerik (gesture) merupakan bentuk komunikasi nonverbal. Aktivitas pelayanan perpustakaan terkait langsung dengan jenis komunikasi nonverbal ini. Pengembangan potensi profesi pustakawan saat ini masih menjadi topik andalan dalam berbagai tulisan mengenai kepustakawanan. Joanne Marshall, dkk mengungkapkan bahwa salah satu kompetensi pribadi yang harus dimiliki pustakawan adalah keahlian berkomunikasi secara efektif. (Marshall, Moulton and Piccoli, 2003)
Beberapa dasar pemikiran mengenai perlunya pengembangan keterampilan komunikasi bagi pustakawan yakni: 1. Bahwa komunikasi merupakan kebutuhan hidup manusia Pustakawan sebagai individu maupun sebagai profesional memerlukan komunikasi satu dengan yang lain. Tujuannya adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup. Dengan adanya komunikasi pustakawan dapat berinteraksi dengan pemustaka dan stakeholder yang kemudian dapat saling bertukar pengalaman dan saling mempengaruhi. (Lasa Hs, 2010) 2. Membangun diri melalui komunikasi Kemampuan berkomunikasi berarti membangun diri karena mampu mempelajari strategi-strategi kehidupan. Dengan kemampuan ini pustakawan diharapkan mampu mengatasi situasi dan kondisi yang mereka hadapi untuk meraih cita-cita dan berkarir. (Mulyana dalam Lasa Hs, 2010) 3. Melalui komunikasi, manusia mengenal lingkungannya Manusia dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Melalui komunikasi, manusia mengenal dirinya, orang lain dan lingkungannya. Dengan pengenalan dan interaksi yang baik akan terbentuk kultur masyarakat yang kuat. (Cangara dalam Lasa Hs, 2010) Peningkatan keterampilan komunikasi pustakawan memiliki arti penting sebagai upaya mewujudkan pustakawan yang profesional. Arti penting tersebut diantaranya: 1. Mengembangkan potensi diri Setiap orang memiliki potensi diri yang sering kali tidak disadarinya. Melalui komunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, seseorang sangat mungkin mengembangkan potensi yang selama ini terpendam. 2. Mempengaruhi orang lain Keterampilan berkomunikasi memungkinkan seseorang mempengaruhi orang lain. Dengan kemampuan mempengaruhi ini, akan terkaji perubahan dan pengembangan sumber daya manusia secara optimal menuju masyarakat yang cerdas. 3. Mengembangkan pemikiran Dengan kemampuan berkomunikasi, pemikiranpemikiran yang cemerlang akan membawa perubahan yang signifikan apabila disampaikan baik melalui komunikasi lisan maupun tulisan. (Lasa Hs, 2010) Komunikasi Nonverbal di Perpustakaan Salah satu bentuk komunikasi yang sering terabaikan adalah komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
7
adalah komunikasi tanpa kata-kata dan meliputi pesan yang diciptakan melalui gerakan tubuh, dan penggunaan ruang, dan penggunaan bunyi maupun suara. Meskipun komunikasi nonverbal tidak meliputi bahasa, komunikasi nonverbal dapat bersifat vokal maupun nonvokal. Meskipun demikian suara vokal bukan bahasa atau katakata tergolong dalam komunikasi nonverbal (Syahrial, 2005). Dalam keseharian kegiatan pustakawan yang berinteraksi dengan pemustaka ada beberapa bentuk komunikasi nonverbal yaitu: 1. Bahasa tubuh. Menurut Beliak dan Baker (1981) dalam Setiati (2007), bahasa tubuh meliputi kontak mata (eyes contact), ekspresi wajah (facial expressions), gerakan anggota tubuh (posture) dan gerak isyarat (gesture) . a) Kontak mata (eyes contact). Kontak mata sangat menentukan kebutuhan psikologis dan membantu pustakawan untuk memantau efek komunikasi yang sedang berlangsung. Kontak mata sebagai simbol komunikasi nonverbal yang mempegaruhi perilaku dan kepercayaan dalam berkomunikasi (Setiati, 2007). Kontak mata dengan pemustaka mampu meyakinkan pemustaka bahwa pustakawan memang bersungguh-sungguh ingin membantu, berempati dengan kebutuhan informasinya. b) Ekspresi wajah (facial expressions). Ekspresi wajah meliputi pengaruh raut wajah yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara emosional atau bereaksi terhadap suatu pesan. Wajah ibarat cermin dari pikiran dan perasaan (Setiati, 2007). Perhatikan wajah pemustaka yang tidak mendapatkan sumber informasi yang mereka butuhkan, atau bila pemustaka mendapatkan literatur yang sedang mereka cari-cari. Ekspresi wajah bisa jelas terbaca. c) Gerakan anggota tubuh (posture) Sikap pustakawan yang berdiri dengan tegak menunjukkan pesan percaya diri, kompetensi, kerajinan dan kekuatan. Demikian juga dengan posisi duduk, cara berjalan dan bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan merepleksikan emosi, konsep diri dan kesehatan pustakawan (Fatmawati, 2010). d) Gerak isyarat (gesture) Gerak isyarat (gesture) merupakan bentuk perilaku nonverbal pada gerakan anggota tubuh secara sadar maupun tidak sadar untuk menekankan suatu pesan (Setiati, 2007). Menggunakan gerak isyarat dari pustakawan dapat mempertegas
8
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
pembicaraan dan merupakan bagian dari total komunikasi pustakawan kepada pemustaka. Pustakawan hendaknya membiasakan dengan menunjukkan sikap siap membantu dengan terbuka (Fatmawati, 2010). 2. Dokumen perpustakaan (library document) Maksudnya bahwa tampilan keseluruhan dokumen yang ada di perpustakaan juga dapat mengungkapkan pesan nonverbal. Pustakawan harus dapat menghasilkan pesan yang ditulis dengan penuh ketelitian, rapih, professional dan teratur (Fatmawati 2010). Misalnya memberikan identitas buku dengan lengkap dari mulai call number, stempel, atau slip peminjaman di belakang buku. Pisahkan berbagai koleksi perpustakaan berdasarkan jenisnya, untuk koleksi referensi ada di lemari kaca, dengan call number merah. Koleksi umum dan majalah yang boleh diakses setiap saat agar ditempatkan pada rak terbuka sehingga pemustaka tidak kesulitan mengambilnya. Koleksi terbaru disimpan di rak display, sehingga tanpa bertanya pun pemustaka mengetahui bahwa koleksi tersebut adalah koleksi terbaru yang dimiliki perpustakaan. 3. Ruang (room), warna (colour), aroma dan musik Cara pengaturan ruangan dan warna ruang dapat mengirimkan pesan nonverbal mengenai perpustakaan. Tata ruang sedemikian rupa sehingga memikat dan membuat betah pemustaka. Hindari tumpukan buku di ruang baca pemustaka, hindari kesan semrawut, kotor dan berantakan. Pada umumnya di dalam perpustakaan tidak diperkenankan makan, minum ataupun merokok. Berikan simbol atau tanda yang membuat pemustaka memahami aturan saat berada di perpustakaan. Pilih warna dinding yang hangat dan menyejukkan bila memungkinkan. Ada kalanya perpustakaan hanya berdinding putih, tambahkan aksesoris lukisan atau banner yang menghidupkan. Alunan suara musik yang lembut juga dapat membantu memberi kesan nonverbal agar pemustaka merasa rileks di perpustakaan. Saat ini banyak musik-musik yang diperuntukkan untuk membantu meningkatkan konsentrasi belajar. Pilih pengharum ruangan yang tidak menyengat dan soft. Apabila ruang perpustakaan tidak ber-AC, bau keringat pemustaka juga akan mempengaruhi pemustaka yang lain sehingga tidak betah berlamalama di perpustakaan. 4. Wilayah (zone) Pemustaka pada umumnya memiliki kebiasaan
belajar atau membaca yang berbeda-beda. Pembagian wilayah baca ini dapat membantu mengakomodir kebutuhan mereka. Ada kalanya beberapa pemustaka lebih nyaman membaca dan belajar di study carrel, ada juga yang lebih nyaman membaca sambil lesehan atau menjadikan perpustakaan sebagai sarana berdiskusi saja, tanpa membaca buku. Wilayah (zone) juga merupakan salah satu bentuk nonverbal yang akan langsung diingat oleh pemustaka. Mereka akan merekomendasikan perpustakaan sebagai tempat diskusi mereka atau sebagai tempat untuk mengerjakan tugas kuliah/sekolah misalnya. Selain wilayah (zone) fisik perpustakaan, ada juga wilayah antara pemustaka dengan pustakawan. Menyambangi pemustaka saat sedang mencari koleksi di OPAC atau di rak, menawarkan diri untuk membantu kesulitannya akan menciptakan kedekatan emosional pemustaka dengan pustakawan. Berhentilah untuk terus berada di belakang meja sirkulasi atau meja pengolahan, jalinlah komunikasi secara terus menerus dengan pemustaka. 5. Waktu (time) Waktu ini bisa berarti waktu atau jam buka perpustakaan maupun waktu yang digunakan pustakawan untuk melayani pemustaka. Untuk jenis pelayanan sebaiknya menggunakan waktu lebih lama untuk masyarakat, dalam hal ini pemustaka perpustakaan. Waktu istirahat bisa disiasati dengan bergiliran antar pustakawan, sehingga tidak mengganggu waktu belajar atau waktu baca pemustaka. Tidak semua pemustaka nyaman saat asyik belajar dan membaca, tiba-tiba “diusir” saat jam istirahat perpustakaan. Bisa jadi mereka tidak akan kembali lagi membaca di perpustakaan setelah istirahat usai. Penentuan waktu bergilir saat istirahat sebaiknya menjadi pertimbangan untuk para pengambil kebijakan karena perpustakaan masuk pada kategori pelayanan umum yang harus mengedepankan pelayanan prima. Waktu yang kedua adalah waktu yang digunakan pustakawan untuk melayani pemustaka. Luangkan waktu untuk lebih banyak melayani pemustaka sehingga mereka merasa bahwa pustakawan peduli dengan kebutuhannya. 6. Penampilan pustakawan Penampilan diri memegang peranan penting dalam hubungan pustakawan dengan pemustaka. Penampilan diri yang baik mempercepat dan mempermudah hubungan keakraban dan saling percaya dengan orang lain (pemustaka). Berkat penampilan yang baik, pemustaka akan merasa
enak berada di perpustakaan dan mempermudah komunikasi dengan pemustaka. Sebaliknya penampilan yang tidak baik akan menghambat suasana hubungan pribadi dan komunikasi (Harun, 2002). Penampilan seseorang sering menggambarkan siapa dia, baik peran, status, pekerjaan, pendidikan dan sebagainya. 7. Pakaian dan aksesoris Kerapihan berpakaian mencerminkan kepribadian seseorang. Kenakanlah pakaian yang menunjang, selalu rapih, bersih, harum, dengan rambut atau kerudung yang rapih, wajah yang bersih, kuku yang tidak kotor, mulut yang tidak bau saat bicara dan hal nonverbal lainnya yang dapat merespon pemustaka. Gunakan aksesoris yang tidak berlebihan, parfume yang tidak menyengat. Bila pustakawan di instansi pemerintah pada umumnya menggunakan pakaian dinas (PSH atau PSL, dll), biasanya memberikan kesan lebih formal dan kaku. Namun untuk beberapa perpustakaan di luar instansi pemerintah, pustakawan mengenakan pakaian yang tidak terlalu formal dan santai namun tetap rapih dan sopan. Hindari menggunakan pakaian yang tidak sopan seperti rok diatas lutut, ataupun blus dengan belahan dada yang rendah. Bila menggunakan make up sapukan dengan tipis sehingga terkesan tidak berlebihan dan natural. 8. Keterbukaan Dalam setiap komunikasi dengan pemustaka, keterbukaan pustakawan membuka jalan pemustaka untuk tidak sekedar mencari sumber informasi yang mereka butuhkan saja. Mengajak secara tidak langsung pemustaka untuk kembali, kembali dan kembali lagi ke perpustakaan. Bila pemustaka tidak menemukan sumber informasi yang mereka butuhkan, berikan solusi jalan keluarnya, seperti merujuk ke instansi lain atau ke tempat yang memungkinkan pemustaka memperoleh informasi yang mereka butuhkan. 9. Nada dan volume suara Dalam berkomunikasi dengan pemustaka, pustakawan tidak hanya berkata-kata dan berbicara. Tetapi berkata-kata dan berbicara dengan nada suara yang berubah ubah serta gerak gerik tubuh atau bagian-bagian tubuh seperti raut wajah, mata, alis, dan tangan. Nada suara mempengaruhi isi dan cara kita berkomunikasi dengan orang lain dan mengundang tanggapan yang berbeda dari pemustaka. Hindari volume suara yang melengking serta tergesa-gesa (Harun, 2002). Suara dan gaya bicara yang berkesan ramah, tenang, meyakinkan, tidak ketus dan tidak
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
9
menyinggung akan memberi kesan positif untuk pustakawan. Ucapkan kata-kata dengan suara yang jelas, agar pemustaka tidak kesulitan mencerna pesan yang ingin disampaikan pustakawan. 10. Alat bantu pelayanan perpustakaan Untuk memberikan pelayanan kepada pemustaka, pustakawan memerlukan berbagai alat bantu yang dapat menunjang efektivitas komunikasinya. Misalnya OPAC atau katalog terpasang, koleksi buku atau majalah, fasilitas internet. Pustakawan perlu menguasai penggunaan alat bantu layanan tersebut. Hal itu akan memberikan pesan nonverbal yang sangat positif bahwa pustakawan sangat berkompeten memberikan layanan prima Fungsi dan Urgensi Komunikasi Nonverbal dalam Perpustakaan Ninis A. Damayani menyampaikan bahwa 75% keberhasilan komunikasi kita ditentukan oleh komunikasi nonverbal (Damayani, 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa komunikasi nonverbal adalah aspek sentral perilaku manusia. Ada empat kegunaan komunikasi nonverbal menurut Hanna and Wilson (dalam Fatmawati, 2010): 1) Reinforcement, adalah penguatan positif dari pesan yang disampaikan pustakawan. Positive reinforcement memiliki beberapa tujuan antara lain meningkatkan perhatian pemustaka, termasuk mengubah pola pikir pemustaka mengenai perpustakaan dan pustakawan. 2) Modification, adalah perubahan atau modifikasi dari pesan yang disampaikan pustakawan sebelumnya. 3) Substitution, sebagai penggantian dari komunikasi verbal pustakawan. Sebagai contoh menggeleng, mengangguk atau menunjuk dengan jari. 4) Regulation, adalah bahwa komunikasi nonverbal tertentu dapat digunakan sebagai bentuk peraturan dari proses komunikasi antara pustakawan dengan pemustaka. Larangan makan, minum dan merokok dapat disampaikan dengan gambar atau tanda yang dipasang di depan ruang perpustakaan. Dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi nonverbal memegang peran penting (Rizky, 2012): 1) Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Saat pustakawan berkomunikasi tatap muka dengan pemustaka, pustakawan banyak menyampaikan gagasan dan pikiran melalui pesan-pesan nonverbal. 2) Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal. Menurut
10
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Mahrabian (1967) dalam Rizky, 2012, hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38% dikomunikasikan lewat suara dan 55% dikomunikasikan melalui ungkapan wajah (senyum, kontak mata, gesture, dan sebagainya). 3) Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi dan kerancuan. Pesan nonverbal nyaris tidak dapat diatur oleh pustakawan sebagai komunilator secara sadar. 4) Pesan nonverbal mempunyai fungsi meta komunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi meta komunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan. 5) Pesan nonverbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal 6) Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Bagi perpustakaan, komunikasi nonverbal memiliki berbagai manfaat yakni: 1) Meningkatkan image ataupun citra positif pustakawan 2) Menjadikan perpustakaan sebagai ruang terbuka publik yang bersahabat. 3) Menanamkan kepercayaan kepada pemustaka bahwa pustakawan mampu dan siap membantu mereka dalam menyelesaikan masalah dalam mencari sumber informasi yang mereka butuhkan. 4) Menciptakan dan memelihara hubungan baik antara perpustakaan dengan pemustaka. Dengan demikian pemustaka akan merekomendasikan layanan yang telah diberikan pustakawan pada rekan-rekannya. Metode Meningkatkan Komunikasi Nonverbal Adaptasi dari metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dipercaya bisa memperbaiki pola interaksi sosial terutama dalam komunikasi nonverbal. Nurhadi dalam Rofiq (2010) mengartikan Cooperative Learning sebagai pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permasalahan. Aplikasinya di perpustakaan adalah, perlunya adanya grup-grup pustakawan yang senantiasa terlibat dalam kelompok diskusi baik dengan rekan seprofesi maupun di luar profesi. Melalui forum diskusi ini pustakawan bisa mengembangkan keterampilan komunikasi, dan belajar bersikap. Agar profesi pustakawan tetap eksis, metode pembelajaran kooperatif juga bisa di mix dengan profesi lain. Berdiskusi dengan profesi lain yang berbeda membantu mengembangkan pola berpikir pustakawan
agar lebih dinamis dan inovatif. Masih banyak cara yang dapat dilakukan pustakawan untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal. Berbagai kegiatan yang mendekatkan pustakawan dengan pemustaka juga dapat dijadikan strategi dalam meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara nonverbal. Misalnya acara bedah buku, diskusi buku, pameran dan kegiatan yang bersifat non formal lainnya. Profesor Afiff dari Binus memberikan cara untuk memperbaiki komunikasi nonverbal (Afiff, 2004): • Belajarlah berpikir sebelum anda berbicara • Tersenyum dengan tulus mencairkan suasana tegang (senyuman palsu jelas terlihat karena tidak tepat waktu) • Hormatilah status dengan kontak mata anda. • Gunakan jabatan tangan yang sesuai dengan kepribadian dan maksud anda. • Waspadalah bahwa ada pemustaka yang mungkin
memberikan petunjuk non verbal yang palsu. • Bahasa tubuh digunakan untuk memperkuat kalimat yang anda sampaikan, jangan terlalu berlebihan. Penutup Begitu kuatnya pengaruh komunikasi nonverbal, sehingga setiap pustakawan perlu mengembangan diri dalam kemampuan dan keterampilan berkomunikasi, terutama komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal perlu dilatih secara terus menerus. Pengaruhnya yang demikian besar pada image perpustakaan mengharuskan pustakawan mulai instropeksi diri dan berbenah diri serta memperbaiki pola komunikasi nonverbal. Layanan prima adalah capaian utama perpustakaan agar senantiasa eksis di masyarakat. Citra perpustakaan yang kaku, dingin, dengan pustakawan yang kurang rasa empati dan peduli harus mulai di tinggalkan. Jadilah pustakawan dengan pribadi yang hangat, menyenangkan dan bersahabat.
Daftar Pustaka Afiff, H. F. (2004, mei 24). Retrieved januari 28, 2015, from http://sbm.binus.ac.id/2014/05/24/ mencermati-makna-komunikasi-verbal-non-verbaldan-empati-dalam-organisasi-bagian-1/: http://sbm. binus.ac.id Damayani, N. A. (2005). Interpersonal Skill dalam pelayanan perpustakaan. Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi vol. 1(1), 23-27. Fatmawati, E. (2010). Pentingnya komunikasi nonverbal saat pustakawan melayani pemustaka. Buletin Sangkakala edisi kedelapan, 10-14. Harun, H. R. (2002). Komunikasi Nonverbal dalam proses pelatihan. Mediator vol. 3(2), 305 - 308. Lasa Hs, (2010). Pengembangan Potensi diri Pustakawan melalui keterampilan berkomunikasi. Buletin Sangkakala edisi kesembilan, 4-9. Marshall, J., Moulton, L., & Piccoli, R. (2003). Kompetensi pustakawan khusus di abad ke 21. BACA vol. 27(2) , 1-8. Nurrohim, H., & Anatan, L. (2009). Efektivitas komunikasi dalam organisasi. Jurnal manajemen vol. 7 no. 4 , 1-9.
Pertiwi, S. E. (2011). Gaya komunikasi pustakawan terhadap pengguna jasa layanan perpustakaan. Media Pustakawan vol. 18 (3&4) , 50-55. Rizky, M. S. (2012). Pakaian sebagai komunikasi. Salatiga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana. Rofiq, M. N. (2010). Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dalam pengajaran pendidikan agama islam. Jurnal Falasifa vol. 1(1) , 14 hlm. Setiati, Y. (2007). Bahasa Tubuh Sebagai komunikasi non verbal. Jatinangor: FIKOM UNPAD. Syahrial, E. (2005). USU Repository. Retrieved januari 27, 2015, from http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/15334/1/ikm-des2005-%20 (10).pdf Yunus. (2007). Gambaran pustakawan ideal: cerdas, luwes dan suka menolong. Media Pustakawan vol. 14 (2), 27-32.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
11
Oleh: ABDUL RAHMAN SALEH1 Email:
[email protected]
PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN MUTU DI PERPUSTAKAAN Pendahuluan Beberapa tahun belakangan banyak perpustakaan yang berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikat Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001. Anda pasti bertanya-tanya, mengapa perpustakaan berusaha memperoleh sertifikat SMM yang memerlukan biaya relatif mahal? Padahal perpustakaan bukanlah organisasi yang mendatangkan keuntungan. Alihalih mendatangkan keuntungan, perpustakaan malah menjadi organisasi yang menghabiskan biaya atau disebut “cost center”. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa karena Sertifikat Sistem Manajemen Mutu tersebut bisa dijadikan jaminan bahwa perpustakaan yang sudah memiliki sertifikat SMM tersebut sudah menerapkan sistem manajemen berstandar internasional dan sudah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi yang dipercaya oleh dunia internasional. Dengan memiliki sertifikat SMM tersebut maka publik atau masyarakat akan percaya bahwa perpustakaan tersebut dapat memberi pelayanan terstandar yang dapat dipercaya. Dengan kata lain bila Anda dilayani oleh perpustakaan yang sudah bersertifikat SMM dapat dipastikan Anda akan mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Untuk mengetahui lebih jauh apa itu Sistem Manajemen Mutu maka pembahasan berikut akan mengupas tentang sistem tersebut. Peran dan Arti Penting Standar Untuk membahas Sistem Manajemen Mutu SNI ISO 9001:2008, maka kita harus memulainya dengan membahas standar. Apa yang dimaksud dengan standar? Mengapa standar begitu penting peranannya di era globalisasi seperti sekarang ini?
1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan (Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 20122014) standar diartikan sebagai (1) ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan; (2) sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sebagai ukuran nilai (harga); atau (3) baku. Namun menurut Undangundang Nomor 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/ pemerintah/ keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya (BSN, 2014). Contoh-contoh standar dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Standar mengenai helm pengendara kendaraan bermotor roda dua (SNI 1811:2007); (2) Standar mengenai air minum dalam kemasan (SNI 01-3553-2006); (3) Standar mengenai sistem manajemen mutu (SNI ISO 9001:2008); (4) Standar Perpustakaan Perguruan Tinggi (SNI 7330:2009); dan masih banyak lagi standar-standar lain. Tujuan standar dibuat adalah agar terjadi keteraturan dalam mengerjakan sesuatu. Peran standar adalah untuk memastikan bahwa produk dan layanan yang diberikan aman, handal dan berkualitas baik. Untuk bisnis, standar adalah alat strategis yang mengurangi biaya dengan
Kepala Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional dan Pustakawan Utama Institut Pertanian Bogor yang sedang dibebaskan sementara
12
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
meminimalkan limbah dan kesalahan, dan meningkatkan produktivitas. Dengan standar maka perusahaan akan terbantu dalam mengakses pasar baru (new market), tingkat lapangan bermain untuk negara-negara berkembang dan fasilitasi perdagangan global yang bebas dan adil. Sistem Manajemen Mutu SNI ISO 9001 Pengertian Mutu Menurut KBBI Online salah satu pengertian mutu adalah ukuran baik buruk suatu benda; kadar; taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dsb). Mutu atau kualitas adalah suatu nilai atau keadaan. Mutu memiliki elemen-elemen seperti: (1) meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan; (2) mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan; (3) merupakan kondisi yang selalu berubah (Nurkolis, 2003). Menurut Goetsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Siswanto (2009) mutu didefinikan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi. Sistem Manajemen Mutu Sistem manajemen menurut ISO 9000 adalah sistem untuk menetapkan kebijakan dan sasaran serta untuk mencapai sasaran tersebut. Sedangkan sistem manajemen mutu merupakan sistem manajemen untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi dalam hal mutu. SNI ISO 9001: 2008 menentukan persyaratan sistem manajemen mutu yang dapat digunakan untuk aplikasi internal oleh organisasi, atau untuk sertifikasi, atau untuk tujuan kontrak. Standar tersebut difokuskan pada efektifitas sistem manajemen mutu dalam memenuhi persyaratan pelanggan (BSN, 2010). Manfaat SNI ISO 9001 Sistem manajemen mutu dapat membantu organisasi, dalam hal ini perpustakaan, dalam meningkatkan kepuasan pelanggan atau dalam konteks perpustakaan adalah pemustaka. Pemustaka menghendaki layanan dengan karakteristik yang memuaskan kebutuhan dan harapan mereka. Persyaratan pelanggan (pemustaka) dapat ditentukan melalui kontrak oleh pemustaka atau ditetapkan sendiri oleh perpustakaan. Persyaratan tersebut dapat berubah karena tekanan persaingan dan kemajuan teknologi. Karena itu perpustakaan didorong untuk selalu memperbaiki proses dan produk layanannya. Prinsip SNI ISO 9001 Ada delapan prinsip dalam sistem manajemen mutu 9001 yaitu (BSN, 2010) dan (BSN, 2013): 1. Fokus pada pelanggan
2. Kepemimpinan 3. Keterlibatan personalia (SDM) 4. Pendekatan proses 5. Pendekatan sistem pada manajemen 6. Perbaikan berkelanjutan 7. Pendekatan fakta pada pengambilan keputusan 8. Hubungan yang saling menguntungkan dengan pemasok Fokus Pada Pelanggan Pepatah mengatakan bahwa pelanggan adalah raja. Bagi perpustakaan pelanggan itu berarti pemustaka, dan jika sebuah perpustakaan tidak ada pemustakanya, maka perpustakaan itu tidak akan ada artinya. Oleh karena itu perpustakaan harus memahami apa yang menjadi kebutuhan pemustaka tersebut dan berusaha untuk memenuhinya. Sebetulnya bagi perpustakaan prinsip “fokus kepada pelanggan” tersebut bukanlah konsep baru. Jika kita memperhatikan lima hukum ilmu perpustakaan (the five law of library) dari Ranganathan menunjukkan bahwa prinsip ini sudah digunakan. Prinsip tersebut adalah (Balague & Saarti, 2011): • Buku untuk digunakan (books are for use). • Setiap pembaca ada bukunya (every reader has their book). • Setiap buku ada pembacanya (every book has its reader). • Menghemat waktu pembaca (save the time for the reader). • Perpustakaan merupakan organisasi yang hidup (The library is a growing organism). Yang paling penting pada prinsip ini adalah: • Pengertian yang lebih baik tentang kebutuhan dan ekspektasi pemustaka. • Mempertemukan antara tujuan perpustakaan dengan kebutuhan dan ekspektasi pemustaka. • Efektifitas dalam penggunaan sumberdaya untuk meningkatkan kepuasan pemustaka. • Pendekatan yang seimbang antara pemustaka dengan pihak-pihak lain yang terkait. Kepemimpinan Pimpinan perpustakaan harus menetapkan arah dan kesatuan tujuan dari perpustakaan. Pimpinan perpustakaan harus menciptakan dan memelihara lingkungan internal agar orang-orang dapat terlibat secara penuh dalam pencapaian tujuan dan sasaran perpustakaan yang telah ditetapkan. Selanjutnya Balague (Balague & Saarti, 2011) menyebutkan bahwa kepemimpinan tercermin dari komitmen manajemen/ pimpinan dan partisipasi aktif mereka membangun komunikasi yang
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
13
baik dan menyediakan sumber daya yang diperlukan. Hal ini sangat penting karena pengelolaan perpustakaan perlu: • Membangun kesatuan visi dan tujuan yang jelas tentang masa depan perpustakaan. • Menetapkan tujuan dan target yang menantang. • Membangun dan memelihara lingkungan yang tepat dimana staf perpustakaan dapat terlibat secara penuh. • Memberdayakan staf dan menyediakan pelatihan serta sumber daya yang diperlukan. • Bertindak sebagai contoh dalam menerapkan pendekatan kualitas dalam pekerjaan sehari-hari yang dilakukan di perpustakaan. Keterlibatan Personalia (SDM) Seperti dibahas di banyak buku manajemen bahwa SDM sangat penting untuk berjalannya sebuah organisasi. Oleh karena itu keterlibatan SDM menjadi sangat penting dan menjadi kunci tercapainya tujuan perpustakaan. Keterlibatan SDM ini harus diarahkan untuk pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, dalam hal ini perpustakaan. Manajemen yang baik adalah manajemen yang bertumpu kepada sumber daya manusia dimana sumber daya manusia tersebut merupakan inti dari sebuah organisasi. Sumber daya manusia (orang) perlu dilibatkan dan dilatih untuk memiliki keterampilan yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan pencapaian tujuan perpustakaan. Keterlibatan sumber daya manusia menyebabkan: • Staf akan lebih termotivasi, berkomitmen dan terlibat dalam seluruh aktifitas perpustakaan. • Staf akan memahami pentingnya kontribusi dan peran seseorang dalam sebuah perpustakaan. • Staf akan merasa bertanggung jawab atas masalah yang ada di perpustakaan dan berusaha untuk ikut mengatasinya. • Staf akan berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam tim kerja. • Dalam sebuah organisasi yang matang maka manajemen akan berjalan dengan sendirinya (selfmanagement) atau dengan kata lain organisasi tersebut dapat berjalan secara auto pilot. Pendekatan Proses Hasil yang menjadi tujuan suatu organisasi akan tercapai secara efisien apabila aktifitas dan sumber daya yang berkaitan dikelola sebagai suatu proses. Proses dalam hal ini adalah perpaduan yang berurutan dari orang, material, metode, mesin dan peralatan, dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah
14
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
keluaran (output) bagi pelanggan (BSN, 2013). ISO 9001 memperkenalkan “pendekatan proses” dimana proses merupakan aktifitas atau sekumpulan aktifitas yang memanfaatkan sumberdaya untuk mentransformasi atau mengubah masukan (input) menjadi keluaran yang memiliki nilai tambah (value-added output) untuk pelanggan baik internel maupun eksternal. Agar kegiatan perpustakaan efektif dan dapat mencapai hasil yang diinginkan, maka perpustakaan perlu mengidentifikasi dan mengelola sejumlah besar aktifitas yang saling berkaitan satu sama lain (Balague & Saarti, 2011). Pendekatan proses menekankan kepada pentingnya: • Mencerminkan aktifitas perpustakaan dan berpikir proses dalam pengertian nilai tambah. • Fokus kepada sumber daya, metode dan material yang dibutuhkan. • Meningkatkan efisiensi dengan penggunaan sumber daya secara efektif. • Pengawasan secara terus menerus terhadap hubungan proses antar kegiatan-kegiatan di dalam perpustakaan serta bagaimana kombinasi dan interaksi kegiatankegiatan tersebut dalam perpustakaan. • Pendekatan holistik terhadap proses dan aliran pekerjaan dalam perpustakaan dan jangan hanya berpikir pendekatan parsial atau individual. Pendekatan Sistem Terhadap Manajemen Pengidentifikasian, pemahaman dan pengelolaan dari proses-proses yang saling berkaitan sebagai suatu sistem akan memberikan kontribusi pada efektifitas dan efisiensi organisasi (perpustakaan) dalam mencapai tujuan. ISO 9001 memberikan panduan untuk perencanaan, dan tujuan yang akan dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan pelanggan (pemustaka), sumber daya yang tersedia dan kebijakan organisasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi, memahami dan mengelola proses sebagai suatu sistem saling terkait, yang berkontribusi terhadap efektivitas dan efisiensi perpustakaan dalam mencapai tujuannya. Bagi perpustakaan hal ini penting dalam bersikap dan bekerja sehingga sesuai dengan tujuan organisasi induknya. Menerapkan prinsip pendekatan sistem berarti: • Penataan sistem untuk mencapai tujuan perpustakaan dengan cara yang paling efektif dan efisien; • Memahami saling ketergantungan dari setiap proses di perpustakaan; • Memahami saling ketergantungan dari perpustakaan dan proses induk organisasinya; • Perencanaan, kegiatan dan kerja yang sistematis dan terkoordinasi;
• Mengurangi hambatan lintas fungsional. Perbaikan Terus Menerus Peningkatan terus menerus dari kinerja perpustakaan secara keseluruhan harus menjadi tujuan tetap dari perpustakaan. Peningkatan secara terus menerus dimaksudkan sebagai suatu proses yang berfokus pada upaya berkelanjutan dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi perpustakaan untuk memenuhi kebijakan dan tujuan dari perpustakaan. Peningkatan berkelanjutan memerlukan langkah-langkah konsolidasi dalam menanggapi dan menjawab perkembangan kebutuhan serta harapan pemustaka, juga menjamin suatu proses dinamis yang dapat menanamkan budaya mutu di dalam perpustakaan melalui sistem manajemen mutu. Untuk melakukan peningkatan kinerja secara terus menerus ini maka diperlukan diteksi dan koreksi kesalahan secara lebih awal sehingga dapat dilakukan perbaikan secara terus menerus terhadap proses yang dilakukan di perpustakaan. Untuk itu diperlukan partisipasi dan komitmen dari semua staf dan pimpinan perpustakaan untuk melakukan pemantauan serta perbaikan proses secara terus menerus. Prinsip perbaikan secara terus menerus ini dimaksudkan untuk: • Membuat agar perpustakaan fleksibel untuk bereaksi cepat terhadap peluang. • Menyelaraskan strategi peningkatan kegiatan di perpustakaan. • Membuat perbaikan berkesinambungan terhadap proses dan jasa yang ditawarkan oleh perpustakaan. • Menetapkan tujuan untuk mengarahkan dan melacak perbaikan secara berkelanjutan. • Memberikan alat untuk memotivasi dan menilai staf. Pendekatan Fakta dalam Pengambilan Keputusan Keputusan yang efektif adalah keputusan yang berdasar pada analisis data dan informasi untuk menghilangkan akar masalah sehingga masalah-masalah kualitas dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu pengumpulan dan pencatatan data dan informasi untuk kepentingan analisis harus dilakukan dengan disiplin agar mutu data dan informasi yang dikumpulkan dapat dijamin. Penerapan ISO 9001 memandu kita untuk pengambilan keputusan agar terus menerus meningkatkan proses, dan sistem mutu menawarkan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang baik, masuk akal dan efektif.
Pengumpulan data dan analisis informasi sangat penting untuk: • Memastikan bahwa data dan informasi yang dikumpulkan cukup akurat dan dapat diandalkan. • Membuat data dapat diakses oleh yang membutuhkannya, termasuk pelanggan dan stakeholder. • Menganalisis data dan informasi dengan menggunakan metode yang sahih (valid) dan memberikan penilaian secara teratur. • Membuat keputusan dan melakukan tindakan berdasarkan analisis faktual, berimbang dengan pengalaman dan intuisi. Hubungan yang Saling Menguntungkan dengan Pemasok Suatu organisasi dan pemasok adalah saling tergantung dan suatu hubungan yang saling menguntungkan akan meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan nilai tambah. Di perpustakaan yang bertindak sebagai pemasok antara lain adalah penerbit dan toko buku serta vendor informasi. Karena itu hubungan perpustakaan dan toko buku harus saling menguntungkan untuk menciptakan nilai tambah pada informasi yang menjadi urusan (bisnis) perpustakaan. Pendekatan kepada pemasok berguna ketika: • Mengidentifikasi dan memilih pemasok utama; • Berbagi informasi dan rencana masa depan; • Meningkatkan kemampuan untuk menciptakan nilai bagi kedua belah pihak; • Mengoptimalkan biaya dan sumber daya; • Melibatkan para pengunjung dalam penyediaan layanan. Penerapan SNI ISO 9001 Penerapan SNI ISO 9001:2008 memerlukan lima tahap (BSN, 2013) yaitu: 1. Tahap Persiapan Pada tahap ini yang paling penting adalah keputusan dan komitmen manajemen puncak untuk menerapkan SMM. Kepala perpustakaan harus memastikan ketersediaan sumberdaya untuk keseluruhan proses penerapan SMM. Kemudian manajemen membentuk tim yang terdiri dari wakil-wakil unit yang ada di perpustakaan. Tim ini dipimpin oleh seorang wakil manajemen (Manager Representative=MR) yang dipilih dan ditunjuk oleh kepala perpustakaan. Selanjutnya MR memastikan bahwa SMM perpustakaan dijalankan, dipertahankan, dan ditingkatkan secara berkesinambungan. Beberapa persiapan seperti pelatihan pemahaman
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
15
SNI ISO 9001:2008 perlu dilakukan agar penerapan SMM dapat berjalan dengan lancar. Jika diperlukan perpustakaan dapat memanfaatkan jasa konsultan. 2. Tahap Dokumentasi Pada tahap ini tim bekerja menyusun dokumen sistem mutu perpustakaan yang meliputi: kebijakan mutu, sasaran mutu, rencana mutu, pedoman mutu, prosedur, instruksi kerja, dan form. Untuk menyiapkan dokumentasi dengan efektif terlebih dahulu harus dipetakan proses bisnis yang ada di perpustakaan. Proses bisnis adalah proses utama yang keluarannya menjadi ukuran kinerja perpustakaan. Proses bisnis ini menjadi dasar untuk menetapkan mutu yang dituangkan dalam kebijakan, sasaran dan rencana mutu. Untuk mencapai mutu yang telah ditetapkan tersebut, maka harus dibuat langkah-langkah yang dituangkan dalam pedoman mutu, prosedur, instruksi kerja, dan form. MR memegang peranan penting dalam mengkoordinir tim inti tersebut dan meninjau seluruh dokumen yang dibuat sebelum disahkan oleh kepala perpustakaan. Kebijakan Mutu Dokumen kebijakan mutu berisi maksud dan arahan secara menyeluruh sebuah organisasi (dalam hal ini perpustakaan) yang terkait dengan mutu seperti yang dinyatakan secara formal oleh pimpinan puncak atau kepala perpustakaan. Sasaran Mutu Dokumen yang berisi pernyataan sesuatu yang ingin dicapai atau dituju berkaitan dengan mutu sesuai dengan proses bisnis perpustakaan. Rencana Mutu Dokumen yang berisi prosedur dan sumber daya yang diperlukan, harus diterapkan oleh siapa dan kapan pada suatu proyek, produk (layanan), proses atau kontrak tertentu. Pedoman mutu Pedoman mutu adalah dokumen yang berisi pernyataan dan komitmen perpustakaan tentang penerapan SNI ISO 9001:2008. Sebuah pedoman mutu harus mencakup: - lingkup sistem manajemen mutu, termasuk rincian pengecualian, dan alasan pengecualian; - prosedur terdokumentasi yang ditetapkan untuk sistem manajemen mutu, atau mengacu kepada prosedur tersebut; dan - uraian dari interaksi antara proses sistem
16
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
manajemen mutu. Sedangkan isi dari panduan mutu adalah seperti berikut: a. Pendahuluan meliputi: Ruang lingkup Profil perpustakaan Terminologi Visi dan misi perpustakaan b. Kebijakan mutu/ komitmen Maksud, tujuan perpustakaan berkaitan dengan mutu Secara formal dinyatakan oleh pimpinan perpustakaan Disepakati dan didukung oleh seluruh staf perpustakaan Relevan dengan harapan dan kebutuhan Dimengerti, diterapkan dan dijaga pada setiap tingkatan organisasi dalam perpustakaan. Contoh : “Kebijakan perpustakaan kami adalah memberikan layanan informasi yang terbaik sesuai standar mutu, cepat dan tepat sesuai persyaratan pemustaka”. c. Sasaran mutu harus SMART Spesifik/Specific Terukur/Measurable Dapat dicapai/Achievable Wajar/Realistic Berjangka waktu/Time frame Contoh : Sasaran mutu perpustakaan kami adalah “Meminimalisasi komplain pemustaka dari 50 komplain menjadi 20 komplain sampai akhir bulan Desember 2014”. d. Organisasi Struktur Organisasi Tugas dan Fungsi Tanggungjawab dan wewenang Kompetensi e. Tubuh utama panduan mutu Judul dan sub judul yang berkaitan dengan proses dan persyaratan Standar Sistem Mutu Referensi / dokumen terkait (prosedur dan atau dokumen pendukung) Prosedur Prosedur merupakan rangkaian tahap/ langkah yang berurutan dan harus dilaksanakan untuk menyelesaikan suatu tugas. Prosedur menjelaskan mengenai cara yang digunakan untuk melaksanakan sistem mutu yang
ditetapkan dalam Panduan Mutu. Dalam prosedur mutu dijelaskan mengenai apa, siapa, bagaimana, kapan sesuatu harus dilaksanakan, sumber daya apa yang dibutuhkan dan sebagainya.
Ada enam prosedur yang wajib dibuat yaitu: (1) pengendalian dokumen; (2) pengendalian rekaman; (3) internal audit; (4) pengendalian produk tidak sesuai; (5) tindakan korektif; dan (6) tindakan preventif.
Gambar 1. Contoh prosedur/ Standard Operating Procedure (dikutif dari BSN)
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
17
Instruksi Kerja Instruksi kerja (IK) adalah dokumen yang berisi langkah-langkah mengenai “bagaimana” kegiatan di suatu bagian/ area kerja dilaksanakan, bagaimana cara melakukannya. Biasanya IK merupakan dokumen yang ditunjuk oleh dokumen yang levelnya lebih tinggi. Yang termasuk dalam Instruksi Kerja antara lain adalah: - petunjuk membuat sesuatu - petunjuk untuk memeriksa, menguji, mengkalibrasi - petunjuk penerbitan sertifikat - petunjuk penerimaan permintaan layanan - petunjuk untuk mengangkat, melindungi, menyimpan, memperbaiki - petunjuk pembuatan laporan evaluasi - petunjuk untuk pengusulan revisi dokumen, dll Form Form/ rekaman adalah formulir yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan sesuai instruksi kerja serta barang-barang bukti yang diperoleh berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan. Formulir berfungsi untuk mengumpulkan dan mengkomunikasikan informasi dalam format tertentu. 3. Tahap Implementasi Dokumen yang sudah disahkan kepala perpustakaan didistribusikan ke unit-unit yang berkepentingan. Seluruh unit di perpustakaan wajib melaksanakan secara konsisten. Agar unitunit dapat melaksanakan dengan baik, maka perlu dilakukan pelatihan penggunaan prosedur. Pada waktu melaksanakan prosedur mungkin ditemukan kekurangan yang perlu disempurnakan. Oleh karena itu prosedur dapat disempurnakan dan perlu diterbitkan prosedur versi revisinya. Setiap kali ada revisi, maka revisi tersebut diberi nomor revisi. Pimpinan puncak perlu secara konsisten mengampanyekan penerapan SMM kepada semua staf di perpustakaan agar semua staf perpustakaan mau melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan yang digariskan oleh prosedur SMM. Pastikan juga buktibukti hasil pekerjaan dalam bentuk arsip yang baik. 4. Tahap Pra-Sertifikasi Sampai tahap tiga sebenarnya kita telah menerapkan SMM. Namun untuk memastikan apakah dalam menerapkan SMM itu sudah benar, maka perlu dilakukan audit atau penilaian. Audit bisa
18
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
dilakukan oleh pihak internal atau pihak eksternal perpustakaan. Audit internal dilakukan untuk memastikan bahwa SMM yang diimplementasikan oleh perpustakaan sudah efektif. Setelah dilakukan audit internal perlu dilakukan tinjauan manajemen. Rapat tinjauan manajemen dipimpin oleh kepala perpustakaan dihadiri oleh MR sebagai notulis dan perwakilan unit-unit sebagai peserta. Agenda rapat adalah penyampaian hasil audit mutu, umpan balik, kinerja proses dan layanan, tindakan perbaikan, dan pencegahan serta rekomendasi untuk peningkatan. 5. Tahap Sertifikasi Tahap sertifikasi bisa diperlukan, bisa tidak. Jika kita yakin bahwa kita sudah menerapkan SMM dan sudah meningkatkan kepuasan pelanggan, mungkin kita tidak perlu sertifikasi. Namun, jika sertifikasi tersebut dapat meningkatkan kepercayaan pemustaka atas apa yang telah kita capai, maka sertifikasi mungkin diperlukan. Tahapan audit yang dibutuhkan adalah: a. Audit kecukupan dokumen. b. Pra-audit (bila diperlukan). c. Audit lapangan. Pada tahap audit kecukupan dokumen, auditor lembaga sertifikasi memeriksa kelengkapan dokumen sistem mutu sesuai dengan SNI ISO 9001:2008. Bila diperlukan perpustakaan dapat mengajukan pra-audit yang dilaksanakan melalui wawancara, mengamati pekerjaan yang sedang berlangsung, dan meninjau dokumentasi pekerjaan perpustakaan yang sudah berlalu. Pada akhirnya dilakukan audit terhadap pelaksanaan SMM. Pada tahap ini auditor memberikan penilaian kelayakan untuk penerbitan sertifikat. Jika perpustakaan dinilai memenuhi syarat SNI ISO 9001:2008 maka perpustakaan berhak mendapatkan sertifikat SNI ISO 9001:2008 yang biasanya berlaku selama tiga tahun. Dalam waktu tiga tahun tersebut, minimal sekali dalam setahun dilaksanakan surveillance audit oleh lembaga sertifikasi untuk memastikan bahwa perpustakaan tetap mempertahankan sistem manajemen mutunya dan bahkan dapat meningkatkannya sebagaimana disyaratkan oleh SNI ISO 9001:2008.
Daftar Pustaka Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (20122014). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Retrieved May 12, 2014, from Kamus versi Online/ daring (dalam jaringanan): http://kbbi.web.id/standar-2 Balague, N., & Saarti, J. (2011). Managing Your Library and its Quality: The ISO 9001 way. Oxford: Chandos Publishing. BSN. (2010). Handbook: Standar Nasional Indonesia Sistem Manajemen Mutu (SNI/ISO 9001:2008). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. BSN. (2009). Pengantar Standardisasi. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. BSN. (2013). Sistem Manajemen Mutu SNI ISO 9001 2008: penerapan pada usaha kecil dan menengah. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
BSN. (2014). Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Nurkolis. (2003). Manajemen berbasis sekolah: teori, model, dan aplikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Siswanto, H. (2009). Pengantar manajemen. Jakarta: Bumi Aksara. Sunarya. (2014). Standardization in Industry and Trade: Concept and application. Bogor: Spring. Yustiono, E. (n.d.). STIA LAN Bandung. Retrieved January 18, 2013, from Kinerja dan penilaian kinerja: http://www.stialanbandung.ac.id/index. php?option=com_content&view=article&id=298:ki nerja-dan-penilaian-kinerja&catid=12:artikel&Item id=85
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
19
Oleh: ARIS RIYADI S.SI.1 Email:
[email protected]
PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN TERHADAP KECEPATAN FUMIGASI ALUMINIUM PHOSPHIDA DAN UJI EFIKASI SERANGGA PERPUSTAKAAN Abstrak Aplikasi fumigant aluminium phosphida untuk fumigasi telah banyak dilakukan oleh berbagai perpustakaan dikarenakan cara kerja dan penangananya yang mudah dilakukan. Sebuah ruang perpustakaan tidak pernah dirancang untuk fumigasi frontal, begitu pula dengan karakter hama yang berbeda dengan hama pertanian. Aluminium phosphida akan mengalami sublimasi apabila bereaksi dengan molekul air yang ada di udara menghasilkan gas phosphine. Kandungan jumlah molekul air yang ada diudara dipengaruhi oleh faktor kelembaban dan suhu udara pada suatu ruangan. Jumlah gas phosphine pada lantai 5 ruang koleksi dengan kelembaban 67,8 % mencapai 248.57 ppm, sedangkan pada lantai 9 dengan kelembaban 57 % mencapai 212,85 ppm. Kelembaban yang ada pada ruang koleksi mempunyai hubungan terbalik dengan suhu. Uji lamanya kematian yang terjadi pada hama perpustakaan menunjukkan pengaruh ukuran atau kemampuan respirasi terhadap daya serap gas kedalam tubuh mereka sehingga menyababkan kematian. Dengan dosis gas phosphin 31 gr/m3 pada akuarium hanya membutuhkan waktu fumigasi selama 2 jam hingga kematian pada tikus, sedangkan dibutuhkan waktu 7 jam 30 menit untuk silverfish. Dengan melihat waktu kematian hama perpustakaan maka ditentukan bahwa waktu efektif untuk fumigasi ruang koleksi adalah 4 hari pada suhu 25 0C dan kelembaban (rh) 75 %. Kata kunci: Fumigant, fumigasi, alumunium phospida, hama. Pendahuluan Wilayah Indonesia yang terletak pada ekuator, menjadikan Indonesia sebagai negara beriklim tropis. Iklim dan cuaca memiliki peran penting baik langsung ataupun tak langsung pada penyebaran, pemencaran, kelimpahan dan perilaku serangga (Kahirullah, 2010). Menurut Andrewartha dan Birch (1974), siklus hidup hewan meliputi 4 komponen pendukung berupa cuaca, makanan, organisme lain (predator dan parasit), dan 1
tempat hidup hewan tersebut. Serangga memerlukan kisaran suhu, kelembaban relatif, dan kondisi tertentu untuk berkembang. Kondisi pertama kehadiran mereka adalah adanya tempat bersarang atau lubang di selubung bangunan dimana mereka bisa masuk. Setelah serangga telah memasuki gedung, mereka mencari air, sumber makanan, dan ruang terganggu untuk pembibitan (Beth, 2013).
Staf Sub Bidang Perawatan dan Perbaikan Bahan Pustaka, Bidang Konservasi, Pusat Preservasi, Perpustakaan Nasional RI
20
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Walaupun terdapat ratusan jenis serangga hanya beberapa serangga yang merusak bahan arsip dan perpustakaan. Mereka adalah silverfish, kecoa, kutu buku, ulat buku dan rayap (Sahoo, 2013). Membangun sebuah perpustakaan harus memperhitungkan kemungkinan serangan serangga. Faktor yang mempengaruhi kerusakan koleksi perpustakaan antara lain faktor biologis dan faktor kimiawi. Faktor biologis seperti jamur, serangga dan hewan pengerat, yang dapat menyebabkan kerusakan parah pada bahan pustaka (LIPI, 2005). Tidak hanya hama yang menyebabkan kerusakan pada koleksi dan struktur bangunan, tetapi juga memberi efek buruk signifikan pada manusia. Ketika dalam ruangan terdapat hama maka ada potensi untuk gigitan, kontak langsung dengan feses, urin, kontaminasi makanan, infeksi, dan alergi. Selain itu, ektoparasit tikus memiliki potensi untuk menggigit manusia dan transmisi penyakit (Fraser et al. 1979). Tidak hanya hama yang menyebabkan kerusakan pada koleksi tetapi juga terdapat silverfish yang banyak berkeliaran mencari makanan, begitu mereka telah menemukan nutrisi yang cocok, mereka akan tetap berada disana. Silverfish adalah hama kertas, terutama kertas yang memiliki sizing di atasnya. Mereka menyukai kertas, yang dapat terdiri dari pati, dekstrin, kasein, gum, dan lem (Mallis 1982). Selain kerusakan langsung ke bahan perpustakaan dan arsip, pemustaka dan pustakawan harus peduli dengan kecurigaan kecoa sebagai pembawa penyakit. Banyak literatur mendokumentasikan berbagai organisme penyakit dapat ditularkan dari kecoa dan feces mereka. Dalam beberapa tahun terakhir beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa banyak orang alergi terhadap kecoa, khususnya spesies Jerman dan Amerika (Parker, 1988). Banyak jenis rayap dapat ditemukan di seluruh dunia termasuk rayap tanah, rayap kayu, Formosa, dan rayap gurun. Rayap hidup dalam koloni mereka adalah serangga sosial dan membagi pekerjaan mereka. Bahan selulosa merupakan bahan makanan mereka dan karena bahan pustaka terdiri dari selulosa membuat koleksi perpustakaan sebagai jamuan makan. Tidak hanya koloni rayap menyerang struktur bangunan itu sendiri, tetapi mereka akan mengkonsumsi segala macam produk kertas (Mallis, 1982). Berbagai jenis tikus di seluruh dunia dapat menyerang perpustakaan untuk mencari makanan dan tempat tinggal. Pembasmian tikus sangat penting sehubungan dengan kebiasaan mereka terhadap koleksi perpustakaan yang suka menggerogoti kertas, buku, dan bahan-bahan lain untuk bersarang.
Tugas dan fungsi perpustakaan adalah melindungi dan menjaga koleksinya dari berbagai macam kerusakan yang ditimbulkan hama perpustakaan dan pekerjaan ini terprogram dalam Pengendalian Hama Terpadu. Selama bertahun-tahun telah banyak dikembangkan insektisida jenis fumigant yang digunakan untuk fumigasi perpustakaan (Parker, 1988). Fumigant ideal adalah yang dengan cepat menembus ke segala daerah, efektif membunuh semua tahap perkembangan organisme, tidak reaktif terhadap materi yang sedang difumigasi, dan menghilang sepenuhnya ketika aerasi. Tingkat selektivitas inilah yang jarang dilakukan oleh lembaga informasi dan dokumentasi untuk mendapatkan fumigant yang tepat dan tidak membahayakan bagi manusia dan koleksinya itu sendiri. Sebagai contoh, metil bromida bereaksi dengan bahan yang mengandung sulfur seperti bulu, rambut dan barang yang terbuat dari kulit (Dow Chemical Co., 1957). Phosphine, hidrogen sianida, karbon disulfida, dan dichlorvos bereaksi dengan logam dan beberapa pigmen (Monro, 1972). Sebelumnya banyak sekali perpustakaan menggunakan methyl bromide sebagai fumigant namun karena efeknya dapat menyebabkan penipisan lapisan ozone maka produksi dan pemakaiannya dihentikan (Epa, 2006). Phosphine sebagai pengganti methyl bromide tidak menimbulkan effek langsung kepada lingkungan dan memiliki range daya bunuh yang besar terhadap berbagai jenis hama (Coresta, 2013). Tetapi pemanfaatan phosphine pada perpustakaan jarang sekali dipublikasikan sebagai kajian ilmiah tentang efektifitas dan pengaruhnya terhadap hama perpustakaan. Metodologi - Pengaruh kelembaban dan suhu terhadap kecepatan phostoxine Dilakukan survei terhadap ruang koleksi yang akan difumigasi dengan menaruh data logger pada dua ruangan koleksi selama dua minggu untuk mengetahui trend suhu dan kelembaban sebelum dan selama proses fumigasi. Melakukan pengukuran dimensi ruang koleksi dengan mengambil data panjang, lebar dan tinggi ruangan, kemudian menghitung besarnya dimensi ruangan. Jumlah butir phosphine yang digunakan sebanyak dua butir per volume ruangan dan pemakaian ini disamakan pada kedua ruangan koleksi tersebut.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
21
dengan cara mengatur bukaan kran yang ada pada tabung desikator dan dipantau dengan alat pengukur dosis. Menurut Degesch (2012), setiap 3 gram padatan AlP akan mengeluarkan 1 gram gas PH3 (phosphine). Dengan melakukan penimbangan AlP sebanyak 14 gram atau ekuivalen dengan 4.6 gram PH3 (phosphine). Dosis gas phosphine yang diberikan pada hama sampel diambil menurut data pada percobaan pertama. Hama sample diukur berat dan panjang terlebih dahulu dengan tujuan sebagai bahan pertimbangan karakter hama efikasi. Berikut data jumlah hama yang ada pada aquarium. Gambar 1. HOBO data logger Diukur konsentrasi gas phosphin dengan cara meletakkan selang sample yang ditarik dari tengah ruangan menuju pintu utama terluar. Proses aplikasi fumigant terhadap ruang koleksi dengan menaruh butiran pada mangkuk kertas dan semua lubang ditutup rapat. Dosis gas phosphin diukur selama 1 jam, 2 jam, 4 jam, 8 jam, 19 jam, 48 jam dan 72 jam.
Tabel 1. jenis dan jumlah hama perpustakaan yang diuji Jenis hama Jumlah (ekor)
Tikus putih Kecoa Rayap Silver fish 8
12
50
3
Dimensi akuarium, panjang 111 cm, lebar 36,5 cm dan tinggi 36 cm, sehingga volumenya 145.854 cm3 atau 0.15 m3. Dengan dosis yang telah ditentukan dan sama maka dilakukan pencatatan waktu mati yang terjadi pada hama tersebut.
Gambar 3. Akuarium uji efikasi Gambar 2. Accuro Pac 7000, alat pengukur kosentrasi gas phosphine - Uji daya tahan hama terhadap gas phosphine Pengujian efikasi dilakukan untuk mengetahui seberapa lama (waktu) kekuatan hidup dari hama perpustakaan terhadap daya serap gas phosphin pada tubuh mereka. Diambil sejumlah butir phostoxine, kemudian ditaruh pada tabung desikator yang terhubung langsung melalui pipa-pipa dengan aquarium tempat sampel hama hidup. Pengaturan dosis gas yang masuk ke dalam aquarium dilakukan
22
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Pembahasan Konsentrasi gas phosphine selama proses fumigasi dengan kelembaban dan suhu ruangan koleksi buku langka dan surat kabar sebuah perpustakaan dengan kondisi alami menunjukkan hasil sebagai berikut:
Tabel 2. Dimensi ruang koleksi dan dosis gas phosphine Informasi
Ruang koleksi buku langka
Ruang koleksi surat kabar
Panjang
38,74 meter
45,81 meter
Lebar
30 meter
30 meter
Tinggi
30 meter
30 meter
Volume
1045 m
1237 m3
Jumlah palet
2092 butir
2474 butir
Jumlah butir/m3
2
2
3
Pengukuran data logger yang dilakukan selama dua minggu menunjukkan trend suhu dan kelembaban yang terjadi sebagai berikut:
B
Kurva garis hitam : suhu ( C) Kurva garis biru : kelembapan (%) 0
A
Gambar 4. Grafik kelembaban/suhu terhadap waktu ruang koleksi buku langka
pada ruang koleksi dinyalakan sedangkan setelah jam pulang kerja kedua instrument tersebut dimatikan dengan kata lain suhu pada jam kerja dingin sedangkan setelah jam kerja panas (∆T terbesar 2,84 0C, ∆RH terbesar 17 %), dan sebaliknya untuk kelembabannya. Sedangkan untuk kondisi surat kabar pada satu minggu terlihat suhu tinggi dan kelembaban rendah relative konstan atau tidak fluktuatif (∆T terbesar 1,8 0C, ∆RH terbesar 8,41 %), hal ini disebabkan oleh matinya pendingin ruangan dan dehudifier selama waktu tersebut. Faktor ketinggian dan letak gedung juga mempengaruhi kelembaban dan suhu yang ada pada ruangan dimana pada ruang koleksi surat kabar terletak pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan ruang koleksi buku langka dan paparan matahari pada ruang koleksi surat kabar secara langsung menyinari ruangan sehingga suhunya lebih panas dan kering ketika jam kerja. Menurut British Library (2007), kelembapan dan suhu yang ideal untuk ruang koleksi adalah RH 35 % - 60 % dan 130C – 200C dengan catatan bahwa kondisi tersebut konstan dan tidak fluktuatif. Dari keseluruhan data logger dilakukan seleksi kelembaban-suhu pada waktu fumigasi saja, maka diperoleh data sebagai berikut: Tabel 3. Suhu - kelembaban versus waktu fumigasi ruang koleksi lantai 9 lantai 5 (surat kabar) (buku langka) Waktu suhu kelembapan suhu kelembapan Jam ke- Celcius % Celcius %
Kurva garis hitam : suhu (0C) Kurva garis biru : kelembapan (%)
1
31.064
56.2
25.222
68.5
2
31.268
55.96
25.416
68.05
4
31.778
55.9
25.416
68.1
Gambar 5. Grafik kelembaban/suhu terhadap waktu ruang koleksi surat kabar langka
8
31.37
61.02
26.488
67.15
24
31.574
58.39
23.966
68.98
48
31.983
58.37
27.862
66.35
Dengan memperhatikan trend kurva kedua ruangan diketahui bahwa kelembaban dan suhu mempunyai hubungan terbalik, dimana semakin tinggi suhunya maka kelembaban yang terjadi semakin rendah dan sebaliknya. Kelembaban yang diukur data logger merupakan kelembaban nisbih. Tingkat fluktuasi kelembaban-suhu ruangan sangat tinggi seiring berjalannya waktu seperti yang diperlihatkan range A dan range B grafik kelembaban. Hal ini disebabkan ketika jam kerja AC dan dehumidifier
72
32.394
53.29
26.097
67.5
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
23
Tabel 4. Konsentrasi phosphine versus waktu fumigasi pada lantai 5 dan lantai 9 Lantai
5
9
Jumlah phosphine
2092 butir
2474 butir
Waktu (jam ke-)
Gambar 6. Grafik suhu versus waktu pada lantai 5 dan lantai 9
Konsentrasi ppm
ppm
1
180
120
2
230
165
4
255
210
8
485
450
24
350
320
48
155
120
72
85
105
Gambar 7. Grafik kelembaban versus waktu pada lantai 5 dan lantai 9 Berdasarkan tabel dan grafik yang disajikan diperoleh bahwa ruang koleksi lantai 5 selama proses fumigasi memiliki suhu yang lebih rendah dengan kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan lantai 9, adapun penyebabnya sudah dijelaskan pada kajian sebelumnya. Kelembaban rata-rata yang ada pada lantai 5 (x = 67,8 %) lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban lantai 9 (x = 57 %). Di karenakan tren suhu dan kelembaban ekuivalen dengan berbanding terbalik maka nantinya akan diambil hubungan pengaruh kelembaban saja terhadap jumlah gas phosphin yang mengalami sublimasi selama waktu fumigasi. Laju pelepasan gas phosphine mempunyai hubungan langsung dengan kelembaban absolut dan tidak langsung dengan suhu (Kawamoto, 1997).
Gambar 8. Grafik konsentrasi gas phosphine versus waktu pada lantai 5 dan lantai 9 Dengan melihat kurva di atas ditunjukkan bahwa konsentrasi gas phosphine yang ada pada ruang koleksi lantai 5 lebih tinggi dengan rataan 248,57 ppm dibandingkan dengan konsentrasi ruang koleksi lantai 9 yang hanya mencapai rataan 212,85 ppm. Reaksi sublimasi yang terjadi pada phostoxine adalah sebagai berikut:
Setelah dilakukan pengukuran jumlah konsentrasi gas phosphine diperoleh hasil sebagai berikut: Jumlah konsentrasi gas phosphine yang dihasilkan dari reaksi sublimasi aluminium phosphida lebih dipengaruhi oleh variable yang mempercepat terjadinya reaksi kimia seperti suhu, luas permukaan sentuh, katalis, molaritas dan konsentrasi. Pada penelitian ini jumlah konsentrasi aluminium phosphida yang digunakan adalah sama yaitu 2 butir per meter kubik, kemudian tidak terdapat
24
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
katalis, dan molaritas, luas permukaan sentuh yang sama. Namun, terdapat perbedaan kelembaban yang cukup besar dimana rata-rata kelembaban yang ada pada lantai 5 adalah 67,8 % dibandingkan dengan kelembaban lantai 9 yaitu 57 %. Kelembaban memiliki peran penting dalam pelepasan gas phosphin dari aluminium phosphida (AlP) dikarenakan AlP membutuhkan uap air (moisture content) di udara untuk memutus rantai rangkap 3 aluminium dengan fosfor sehingga membentuk gas phosphine. Udara lembab adalah udara yang mengandung uap air, semakin banyak uap air yang ada di udara dikatakan derajat kelembaban udaranya tinggi, sebaliknya semakin sedikit uap air yang ada di udara maka derajat kelembaban udaranya rendah. Hal inilah yang mempengaruhi secara langsung konsentrasi gas phosphine yang tersublimasi karena kelembaban. Laju sublimasi AlP dipengaruhi jumlah reaktan air yang ada diudara, semakin banyak jumlah molekul air yang ada diudara maka laju reaksi sublimasinya akan semakin cepat. Dilakukan uji ketahanan mati hama perpustakaan terhadap lamanya waktu fumigasi. Sebelum dilakukan uji maka jenis hama yang ada diseleksi terlebih dahulu dan diukur karakteristiknya, sehingga diperoleh data sebagai berikut: Tabel 5. Data fisiologi fisik hama perpustakaan Jenis Hama Berat
Tikus
Kecoa
28.52 gram 0.095 gram
Rayap
Silverfish
-
-
Panjang
9 cm
4 cm
0.5 cm
0.8 cm
Lebar
1.5 cm
1.7 cm
0.2 cm
0.15 cm
Tinggi
4.5 cm
-
-
-
Jumlah
8
12
50
3
Hama perpustakaan yang ada tidak dilakukan pemeliharaan terlebih dahulu dan langsung diseleksi dengan berat dan ukuran yang hampir sama. Setelah dimasukkan 7 butiran phosphine dengan berat total sebesar 19.6 gram atau ekuivalen dengan 6.5 gram gas PH3 (Nufarm, 2007). Parameter suhu uji 25 0C dan RH 75 % dengan volume 0,15 m3. Setelah dilakukan uji ketahanan mati hama perpustakaan maka diperoleh data sebagai berikut :
Dari tabel diatas maka waktu kematian yang terjadi pada tikus lebih cepat dibandingkan dengan semua serangga yang ada bahkan dikatakan sangat cepat hanya dalam waktu 2 jam. Kematian selanjutnya terjadi pada rayap, kecoa dan silverfish. Perbedaan kematian ini lebih disebabkan oleh tingkat respirasi yang terjadi pada setiap organism, dimana tikus memiliki tingkat respirasi yang paling tinggi dan lebih mudah menyerap gas phosphine. Sistem respirasi yang ada pada tikus menggunakan paruparu dalam pertukaran gas CO2 dengan O2 yang diserap kemudian disalurkan keseluruh tubuh sedangkan pada serangga hanya menggunakan system difusi sederhana melalui dinding sel melalui spirakel dan trakea. Pada jenis serangga terlihat rayap lebih mudah mati dibandingkan kecoa dikarenakan rayap tidak dapat bernafas dengan baik dalam kondisi banyak cahaya dan stress (Tori, 2011). Silverfish memiliki ketahanan yang sangat lama terhadap inhalasi gas phosphin dengan daya tahan 9 ½ jam. Gas phosphine adalah jenis fumigant yang bereaksi terhadap organism dengan meracuni melalui pernapasan, ketika gas tersebut masuk kedalam tubuh maka akan mereduksi dan menghambat enzim yang terlibat dalam proses metabolisme (Sudakin, 2005). Pada percobaan pertama pemakaian dosis gas phosphin untuk ruang koleksi adalah 2 gr/m3 maka pada penelitian uji kematian memakai dosis 31 gr/ m3, oleh karena itu laju kematian hama lebih cepat dibandingkan pada fumigasi aktualnya. Apabila dalam skala laboratotrium lama kematian hama silverfish dijadikan patokan waktu terlama maka waktu fumigasi untuk ruang koleksi ekiuvalen dengan 108 jam atau 4 hari. Waktu optimal fumigasi ruang koleksi yang dapat membunuh hama perpustakaan adalah 4 hari pada suhu 25 0C dan kelembapan 75 %. Kesimpulan Melalui percobaan Pengaruh kelembaban dan suhu terhadap kecepatan phostoxine dan uji daya tahan hama perpustakaan terhadap gas phosphine dihasilkan trend data logger yang dipasang pada ruang koleksi menunjukkan kelembaban mempunyai hubungan terbalik dengan suhu udara, dimana pada kelembaban yang tinggi maka suhunya rendah dan sebaliknya. Laju reaksi sublimasi gas phosphine dari aluminium phosphida
Tabel 6. Waktu kematian dari setiap hama perpustakaan ketika uji efikasi Jenis Hama
Tikus
Kecoa
Rayap
Silverfish
Waktu (kematian 50 %)
1 jam 35 menit
4 jam 55 menit
3 jam 9 menit
-
Waktu (kematian 100 %)
2 jam
5 jam 45 menit
4 jam 33 menit
7 jam 30 menit
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
25
semakin cepat berbanding dengan besarnya kelembaban udara ruangan secara langsung. Semakin lembab kondisi ruang koleksi maka waktu pelepasan gas phosphine semakin cepat. Hama perpustakaan dengan ukuran yang paling kecil memiliki lama kematian paling lama 7 jam 30
menit dengan dosis phosphine 31 gr/m3 atau mempunyai tingkat kesulitan paling besar dalam fumigasi. Waktu efektif yang diperlukan untuk fumigasi ruang koleksi perpustakaan pada suhu 25 0C dan kelembaban 75 % adalah 4 hari.
Daftar Pustaka Brian, M. V. 1978. Production of Ecology of ant and termites. Cambrige university press. Great Britain. Banks, H. J. 1991. Influence of water and suhu on release of phosphine from aluminium phosphide-containing formulations. Journal of syored product researche, 27, 41-56. Bond, E., J. 1984. Manual of fumigation for insect control. Research Centre Agriculture Canada London, Ontario Canada. Cantelow, Tori. 2011. Termite respiration. Diakses dalam http://prezi.com/2qiehenukhnk/termite-respiration. Khosla SN, Nand N, Khosla P. 1988. Aluminium phosphide poisoning. J Trop Med Hyg; 91:196–198.
26
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Mauderly J., L. 1986. Respiration of F344 rats in noseonly inhalation exposure tubes. Journal application Toxicology. 6(1):25-30. Mori, T. dan Kawamoto, N. 1977. Studies on the properties and effect of the fumigant aluminium phosphide. Research bulletin of the Japan plant protection service, 3, 24-25. Steinau, Rick. 2014. How do insect breath. Diakses dalam http://www.asktheexterminator.com/cool_stuff/ How_Do_Insects_Breathe.shtml. Xianchang, Tan. 1990. Evolution of phosphine from aluminium phosphide formulation at various suhus and humidity. Proceedings of the 6th international working conference on stored-product protection. Vol. 1.
Oleh: FATHMI1
PENELITIAN TERHADAP 6 BUAH KAJIAN DI BIDANG LAYANAN KOLEKSI UMUM PERPUSTAKAAN NASIONAL RI PERIODE TAHUN 2010-2013 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah 6 buah kajian yang telah dilakukan di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI periode tahun 2010-2013 telah mengidentifikasi permasalahan layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum; dan apakah rekomendasi yang disampaikan pada 6 buah kajian telah ditindaklanjuti. Penelitian terdiri atas 4 (empat) dimensi layanan, yaitu koleksi perpustakaan, layanan perpustakaan, pustakawan, serta sarana dan prasarana perpustakaan. Objek dalam penelitian ini adalah data dokumen 6 buah hasil kajian di Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 2010-2013. Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan teknis analisis SWOT untuk memperoleh gambaran kajian yang telah dilakukan di Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 2010-2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Perumusan masalah keenam kajian telah diarahkan untuk mengidentifikasi permasalahan layanan perpustakaan dan informasi secara lengkap, sesuai unsur-unsur layanan perpustakaan dan informasi, 2) Manfaat kajian dari keenam kajian belum diketahui realisasinya, keterkaitan antara tujuan dengan manfaat kajian tidak terlihat langsung, pernyataan manfaat kajian bersifat sangat umum dan kurang spesifik sesuai tujuan kajian; 3) Kesimpulan kajian telah menjawab pertanyaan kajian, namun terdapat 2 (dua) kajian yang kesimpulannya belum menjawab pertanyaan kajian secara benar dan tepat; 4) Saran kajian yang telah ditindaklanjuti sebanyak 17 saran, sedangkan 13 saran belum ditindaklanjuti; 5) Setiap dimensi layanan memiliki kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Kata kunci: layanan perpustakaan, kajian pemustaka, analisis SWOT
Latar Belakang Bidang Layanan Koleksi Umum sebagai salah satu garda terdepan dalam memberikan layanan informasi pada masyarakat secara rutin melakukan kegiatan kajian ilmiah sebagai langkah nyata dari kebijakan Pengembangan Bahan Pustaka dan Layanan Informasi Perpustakaan. Selain itu, berperan utama dalam mewujudkan Visi dan Misi Perpustakaan Nasional RI yaitu: “Terdepan dalam
1
informasi pustaka, menuju Indonesia gemar membaca”. Adapun misi yang akan dicapai adalah: “Mengembangkan layanan nasional informasi berbasis pustaka melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi”. Dalam perjalanan mencapai visi dan misi tersebut, banyak permasalahan dan kendala yang terjadi di lapangan. Bidang Layanan Koleksi Umum telah
Pustakawan Utama Perpustakaan Nasional RI.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
27
melakukan 6 buah kajian antara tahun 2010 hingga tahun 2013, yaitu: (1) Kajian kepuasan dan harapan pemustaka terhadap sarana dan prasarana layanan Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI (Fathmi, 2010), (2) Kajian Indonesiana di koleksi majalah terjilid terbitan luar negeri koleksi Perpustakaan Nasional RI (Atikah, 2011), (3) Kajian pemanfaatan koleksi surat kabar langka yang terbit tahun 1800-1900 koleksi Perpustakaan Nasional RI (Luthfiati Makarim, 2011), (4) Kajian kebutuhan pemustaka terhadap koleksi ilmu terapan dan keterpakaiannya di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI (Fathmi, 2011), (5) Kajian pengukuran tingkat kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI (Fathmi, 2012), dan (6) Kajian kualitas layanan referensi di Perpustakaan Nasional RI : Pandangan pemustaka (Fathmi, 2013). Setiap kali kegiatan kajian dan penelitian dimaksudkan untuk mencari permasalahan yang muncul dan rekomendasi pemecahannya dalam tahun tersebut, dan diperoleh beberapa temuan yang berupa: gambaran dan pola-pola umum dari permasalahan yang ada; solusi dan beberapa alternatif pemecahan untuk permasalahan yang terungkap; dan masukan bagi pembuat kebijakan untuk perencanaan ke depan. Tidak semua permasalahan selalu terungkap dalam setiap kajian yang dilakukan, sehingga ditemukan tema permasalahan yang sama setiap tahunnya dengan pemecahan yang belum maksimal. Selain itu ditemukan juga perubahan gambaran dan pola umum dari permasalahan yang ada akibat dari perubahan dalam masyarakat sebagai dampak perkembangan ilmu pengetahuan, informasi, dan teknologi yang sangat cepat. Berdasarkan latar belakang di atas Bidang Layanan Koleksi Umum melakukan analisis terhadap 6 buah kajian untuk mengevaluasi apakah kajian-kajian yang dihasilkan telah mengidentifikasi permasalahan layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, dan apakah rekomendasi kajian telah ditindaklanjuti. Kajian ini menggunakan pendekatan analisis SWOT. Dari pendekatan ini akan diketahui bagaimana kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman yang dihadapi dalam kegiatan layanan perpustakaan di Bidang Layanan Koleksi Umum Periode Tahun 2010-2013. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah 6 buah kajian yang telah dilakukan di Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 2010-
28
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
2013 telah mengidentifikasi permasalahan layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum. 2. Apakah rekomendasi kajian telah ditindaklanjuti? Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu sebuah metode yang menggambarkan secara sistematis dengan memusatkan pada masalah-masalah yang ada sekarang atau masalah-masalah yang akurat kemudian data tersebut dikumpulkan, disusun, dianalisa, dan diinterpretasikan (Lassa, 2009:241). Objek dalam penelitian ini, dokumen hasil-hasil penelitian di Bidang Layanan Koleksi Umum tahun 2010-2013 sebanyak 6 buah hasil kajian. Penelitian dilaksanakan di Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Perpustakaan Nasional RI yang berlokasi di Jalan Salemba Raya No. 28A, Jakarta Pusat mulai bulan Juli 2014 sampai dengan November 2014. Dimensi penelitian adalah empat aspek layanan dan informasi yaitu: koleksi, layanan, pustakawan, dan sarana dan prasarana. Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari sumber yang berupa catatan, transkrip, buku, majalah, notulen rapat, prasasti, agenda yang tertulis, tercetak, atau terekam (Lassa, 2009:68). Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan, dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Dokumen yang digunakan dalam kajian ini adalah data hasil kajian yang dilakukan di Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 2010-2013 sebanyak 6 kajian. Analisis data dilakukan dengan teknis analisis SWOT untuk memperoleh gambaran kajian yang telah dilakukan di Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 20102013. Dari pendekatan ini akan diketahui bagaimana kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman yang dihadapi dalam kegiatan layanan perpustakaan di bidang Layanan Koleksi Umum Periode tahun 2010-2013, dan diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian. Abstrak Kajian di Bidang Layanan Koleksi Umum 1. Kajian Kepuasan dan Harapan Pemustaka Terhadap Sarana dan Prasarana Layanan Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kepuasan pemustaka di Perpustakaan Nasional RI terhadap sarana dan prasarana Layanan di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI. Variabel penelitian terdiri atas 4 (empat) unsur yaitu kepuasan pemustaka, harapan, sarana, dan prasarana. Fokus penelitian pada sarana dan prasarana layanan yang dirinci ke dalam indikator: lahan perpustakaan, gedung perpustakaan, ruang perpustakaan, perabot perpustakaan, dan peralatan perpustakaan. Jumlah pertanyaan sebanyak 33 butir. Objek penelitian adalah pemustaka di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI, dengan sampel dibatasi sebesar 95,16% atau sebanyak 71 responden. Analisis data menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif. Untuk mendapatkan kesimpulan dari masing-masing indikator dilakukan analisis dengan metode rating scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ruang perpustakaan Bidang Layanan Koleksi Umum memenuhi harapan pemustaka (64,9%); sedangkan perabot dan peralatan perpustakaan kurang memenuhi harapan pemustaka (62,32%).
ilmu terapan yang tersedia di Bidang Layanan Koleksi Umum dinilai belum dimanfaatkan secara efektif oleh pemustaka, antara lain karena data bibliografis koleksi ilmu terapan dan hasil pindai cover buku belum seluruhnya dapat diakses melalui pangkalan data. 3. Kajian Indonesiana di koleksi majalah terjilid terbitan luar negeri koleksi Perpustakaan Nasional RI Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai keberadaan dan pemanfaatan majalah terjilid terbitan luar negeri. Sebagai obyek penelitian adalah majalah terbitan luar negeri, dengan sampel 200 judul majalah dan 34 orang responden untuk mengetahui pemanfaatan koleksi tersebut oleh pemustaka. Hasil analisis data mengambarkan bahwa koleksi majalah terbitan luar negeri, mengandung informasi yang sering dicari pemustaka, namun tingkat pemanfaatannya masih belum maksimal karena selain faktor bahasa, dan yang terutama karena kurangnya sarana dan alat penelusuran.
2. Kajian kebutuhan pemustaka terhadap koleksi ilmu terapan dan keterpakaiannya di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI (2011) Penelitian ini bertujuan mengetahui kebutuhan pemustaka dan keterpakaian koleksi ilmu terapan di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI. Variabel penelitian terdiri atas 2 (dua) unsur yaitu kebutuhan pemustaka terhadap koleksi ilmu terapan, dan keterpakaian koleksi ilmu terapan. Fokus penelitian pada kebutuhan pemustaka dan keterpakaian koleksi ilmu terapan yang dirinci ke dalam indikator: kebutuhan pemustaka dan keterpakaian koleksi. Jumlah pertanyaan sebanyak 12 butir. Objek penelitian adalah pemustaka di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI, dengan sampel sebanyak 174 responden. Analisis data menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif. Untuk mendapatkan kesimpulan dari masingmasing indikator dilakukan analisis dengan metode rating scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Koleksi ilmu alam dan matematika; ilmu terapan; kesenian, hiburan, dan olahraga; dan kesusastraan kurang dipakai pemustaka, karena mereka kurang membutuhkan koleksi tersebut. 2) Koleksi geografi dan sejarah dipakai karena pemustaka membutuhkan koleksi geografi dan sejarah. 3) Kebutuhan pemustaka terhadap koleksi ilmu terapan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keterpakaiannya. 4) Koleksi
4. Kajian pemanfaatan surat kabar langka yang terbit tahun 1800–1900. Obyek kajian ini adalah surat kabar langka terbit tahun 1800-1900 koleksi Perpustakaan Nasional RI. Jenis penelitian adalah deskriptif kuantitatif. Variabel penelitian adalah pemanfaatan koleksi surat kabar langka terbit tahun 1800-1900 oleh pemustaka Perpustakaan Nasional RI. Populasi penelitian 13.370 orang. Dengan menggunakan metode simple random sampling), diambil sampel sebanyak 250 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan disebarkan kepada 250 pemustaka yang menjadi sampel. Dari 250 kuesioner yang disebarkan, 186 kuesioner kembali dan diolah datanya serta dianalisis untuk selanjutnya dituangkan dalam tabel dan diperhitungkan dalam prosentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan surat kabar langka yang terbit tahun 1800-1900 sangat rendah (hanya dimanfaatkan oleh 3% pemustaka). Alasannya karena tidak menjadi kebutuhan pemustaka saat penelitian dilaksanakan (50% pemustaka), dan pemustaka tidak mengetahui keberadaan koleksi tersebut di Perpustakaan Nasional RI (50% pemustaka). Terdapat 10 hal penting terkait pemanfaatan koleksi surat kabar langka terbit tahun 1800-1900, yaitu: alasan dan tujuan pemustaka memanfaatkan koleksi, sumber informasi tentang ketersediaan koleksi, frekuensi pemanfaatan, lama waktu membaca koleksi, jumlah surat kabar langka yang dibaca dalam
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
29
sekali kunjungan, subjek artikel surat kabar yang dibaca pemustaka, bahasa surat kabar langka, cara pemustaka menelusur surat kabar langka, tingkat kesulitan pemustaka mengakses koleksi surat kabar langka dan perilaku pemustaka dalam memanfaatkan koleksi surat kabar langka. Selain itu, terdapat hubungan erat antara tingkat pendidikan pemustaka dengan pemanfaatan koleksi surat kabar langka terbit tahun 1800-1900. Sejarah menjadi subjek yang paling banyak dibaca pemustaka, diikuti oleh subjek politik. Subjek hukum, terutama surat kabar langka sebagai alat bukti otentik yang digunakan di pengadilan, menjadi kekuatan utama surat kabar langka, namun belum banyak pemustaka yang memanfaatkannya. 5. Kajian Pengukuran Tingkat Kepuasan Pemustaka Terhadap Layanan Perpustakaan Dan Informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI Penelitian ini bertujuan mengetahui pengukuran tingkat kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum. Penelitian terdiri atas 4 (empat) dimensi layanan, yaitu koleksi perpustakaan, layanan perpustakaan, pustakawan, serta sarana dan prasarana perpustakaan. Keempat unsur tersebut diurai menjadi 17 indikator yang terdiri atas 40 pertanyaan. Objek penelitian adalah pemustaka di Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI, dengan sampel sebanyak 305 responden. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner dan wawancara. Penarikan sampel dan polulasi dilakukan secara stratified random sampling. Wawancara dilakukan khusus kepada peneliti yang ditemui di Kelompok Layanan Koleksi Surat Kabar Terjilid dan Koleksi Majalah Terjilid Bidang Layanan Koleksi Umum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Tingkat kepuasan pemustaka terhadap dimensi koleksi 70,54%; dimensi layanan 74,75%, dimensi Pustakawan 76,88%. Prosentase ini menunjukkan bahwa pemustaka merasa puas terhadap dimensi koleksi, layanan, dan pustakawan, dan tingkat kepuasan pemustaka terhadap dimensi sarana dan prasarana 64,22%. Prosentase ini menunjukkan bahwa pemustaka merasa puas terhadap sarana dan prasarana, namun tingkat kepuasannya belum signifikan. 6. Kajian kualitas layanan referensi di Perpustakaan Nasional RI Kajian ini bertujuan untuk mengukur kualitas layanan referensi di Perpustakaan Nasional RI
30
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
berdasarkan harapan dan persepsi pemustaka. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran kualitas layanan berbasis LibQual+TM yang dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis pendapat pemustaka terhadap kualitas layanan referensi. Dimensi pokok dalam LibQual+TM yaitu: kemampuan dan sikap pustakawan dalam melayani (service affect), fasilitas dan suasana ruang perpustakaan (library as place), petunjuk dan sarana akses (personal control), dan akses informasi (information access). Objek penelitian adalah pemustaka di Perpustakaan Nasional RI dengan sampel sebanyak 100 responden. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner. Penarikan sampel dan populasi dilakukan secara stratified random sampling (pengambilan sampel berstrata secara acak). Hasil kajian menunjukkan bahwa: 1) dimensi kemampuan dan sikap pustakawan dalam melayani pemustaka (service affect) menempati kepuasan minimum pemustaka terhadap layanan referensi (nilai gap score -0.26); 2) dimensi petunjuk dan sarana akses (personal control) menempati peringkat terbawah dalam hal kepuasan minimum pemustaka terhadap layanan referensi (nilai gap score -0.60); 3) dimensi fasilitas dan suasana ruang perpustakaan (library as place) menempati peringkat pertama dalam hal harapan pemustaka akan kepuasan layanan referensi dengan nilai gap score -1.22 dan 4) dimensi akses informasi (information access) menempati peringkat terbawah dalam hal kesesuaian harapan pemustaka dengan kualitas layanan referensi yang diberikan (nilai gap score -2.06). Pengembangan layanan referensi di Perpustakaan Nasional RI, yaitu: 1) kompetensi pustakawan referensi harus terus ditingkatkan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, TIK dan sosial budaya masyarakat serta interaksi dengan pustakawan lain; 2) library as place, fungsi dan kondisi fisiknya perlu terus ditingkatkan sesuai dengan perkembangan TIK serta interior perpustakaan; 3) penerapan sistem layanan terbuka dengan kesiapan rambu dan fasilitas akses koleksi dan informasi yang mutakhir, sesuai kebutuhan informasi pemustaka; dan 4) pemustaka memiliki harapan yang tinggi untuk dapat dilayani oleh pustakawan dalam mencari dan mengontrol bahan referensi yang dibutuhkan. Oleh karena itu perlu peningkatan penyelenggaraan bimbingan pemustaka, program literasi informasi, dan sejenisnya. Analisis Kajian 1. Identifikasi Permasalahan Layanan Perpustakaan dan Informasi
Pada bagian ini, akan dianalisis keenam kajian berdasarkan empat aspek kajian yang terkait dengan identifikasi permasalahan layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, yaitu 1) masalah kajian; 2) tujuan dan manfaat kajian; 3) kesimpulan kajian dan 4) saran dan rekomentasi. a. Masalah Kajian Terdapat tiga belas masalah kajian dari enam kajian yang dianalisis, yaitu: 1) Bagaimanakah tingkat kepuasan pemustaka terhadap sarana dan prasarana layanan di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpusnas; 2) Bagaimanakah harapan pemustaka terhadap sarana dan prasarana layanan di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpusnas; 3) Bagaimanakah gambaran kebutuhan pemustaka terhadap ilmu terapan; 4) Seberapa banyak keterpakaiannya; 5) Bagaimanakah pemanfaatan koleksi surat kabar langka yang terbit tahun 1800-1900; 6) Bagaimanakah sebaran bibliografis kandungan Indonesiana dalam majalah luar negeri; 7) Bagaimanakah kandungan informasi tentang Indonesiana (sebagai subyek yang selalu dicari pemustaka) di dalamnya; 8) Sejauh mana pengetahuan pemustaka tentang keberadaan Indonesia dalam koleksi majalah luar negeri; 9) Sejauh mana pemanfaatan kandungan Indonesiana dalam koleksi majalah luar negeri tersebut oleh pemustaka; 10) Apa sajakah hambatan-hambatan dalam mendayagunakan Indonesiana dalam koleksi majalah luar negeri; 11) Bagaimanakah tingkat kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpusnas, 12) Apakah persepsi pemustaka terhadap layanan referensi di Perpusnas; 13) Apakah harapan pemustaka terhadap layanan referensi di Perpustakaan. Terlihat bahwa ketiga belas pertanyaan kajian tersebut dirumuskan sebagai pertanyaan kajian untuk dapat mengetahui, mendapatkan fakta lapangan, serta mengekplorasi tentang pelaksanaan layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum dari unsur: 1. Pemustaka, pada aspek: persepsi pemustaka, harapan pemustaka, kebutuhan informasi pemustaka dan pemenuhannya, dan tingkat kepuasan pemustaka terhadap pemenuhan kebutuhan informasinya. 2. Koleksi perpustakaan, pada aspek: kebutuhan pemustaka terhadap subjek ilmu terapan, tingkat keterpakaian/pemanfaatan koleksi ilmu terapan dan surat kabar langka yang
terbit tahun 1800-1900, konten Indonesiana dalam majalah terjilid terbitan luar negeri. 3. Sarana prasarana perpustakaan, pada aspek: tingkat kepuasan pemustaka terhadap sarana dan prasarana perpustakaan, harapan pemustaka terhadap sarana dan prasarana perpustakaan Uraian di atas menunjukkan bahwa perumusan masalah keenam kajian di Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 2010-2013 telah diarahkan untuk mengidentifikasi permasalahan layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum secara lengkap, sesuai unsurunsur layanan perpustakaan dan informasi, yaitu: koleksi, pustakawan, pemustaka, sarana dan prasarana, Pengujian selanjutnya adalah dengan menganalisis tujuan kajian dari keenam kajian tersebut. b. Tujuan Kajian Tujuan dari keenam kajian adalah: 1) Mengetahui tingkat kepuasan pemustaka terhadap sarana dan prasarana layanan di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI., 2) Mengidentifikasi dan menggambarkan: Kebutuhan pemustaka terhadap koleksi ilmu terapan Perpustakaan Nasional RI dan mengetahui harapan pemustaka terhadap sarana dan prasarana layanan di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI., 3) mengetahui tingkat keterpakaian koleksi ilmu terapan Perpustakaan Nasional RI oleh pemustaka, 4) Mendapatkan gambaran tentang pemanfaatan surat kabar langka koleksi Perpustakaan Nasional RI yang terbit tahun 1800-1900, 5) Mengetahui sebaran bibliografis kandungan Indonesiana dalam majalah luar negeri, 6) Mengetahui kandungan informasi tentang Indonesiana (sebagai subyek yang selalu dicari pemustaka) di dalamnya, 7) Mengetahui sejauh mana pengetahuan pemustaka tentang keberadaan Indonesia dalam koleksi majalah luar negeri, 8) Mengetahui sejauh mana pemanfaatan kandungan Indonesiana dalam koleksi majalah luar negeri tersebut oleh pemustaka, 9) Mengetahui hambatan-hambatan dalam mendayagunakan Indonesiana dalam koleksi majalah luar negeri, 10) Mengetahui tingkat kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, mencakup aspek: koleksi perpustakaan, layanan perpustakaan, pustakawan, dan sarana prasarana perpustakaan, di Pepusnas,
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
31
11) Mengidentifikasi persepsi pemustaka terhadap layanan referensi di Perpusnas, 12) Mengetahui kualitas layanan. Membaca dan memperhatikan tujuan-tujuan kajian tersebut, terlihat bahwa tujuan kajian tersebut telah selaras dengan rumusan masalah kajian. Tujuan kajian haruslah memberikan manfaat kajian. c. Manfaat Kajian Manfaat dari keenam kajian adalah: 1) Sebagai bahan evaluasi terhadap penyediaan sarana dan prasarana layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, 2) Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam penyediaan sarana dan prasarana layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, 3) Meningkatkan kuantitas pemustaka, 4) Meningkatkan kualitas layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpusnas, 5) Sebagai masukan ilmiah bagi pengembangan layanan perpustakaan dan informasi di Perpustakaan Nasional RI, khususnya di Bidang Layanan Koleksi Umum, 6) Sebagai bahan evaluasi dan koreksi terhadap kinerja layanan perpustakaan dan informasi dalam rangka memenuhi pelayanan prima kepada pemustaka Perpustakaan Nasional RI, 7) Sebagai sarana pengembangan layanan perpustakaan dan informasi di Perpustakaan Nasional RI, antara lain peningkatan apa saja yang harus dilakukan agar sumber informasi di Perpustakaan Nasional RI diketahui lebih baik oleh pemustaka dan program kerja apa saja yang dapat dijalankan untuk mempertemukan layanan perpustakaan dan informasi yang ada dengan kebutuhan informasi pemustaka, 8) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pemustaka Perpustakaan Nasional RI, terutama pengguna jasa layanan perpustakaan dan informasi, 9) Meningkatkan kualitas layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI., 10) Menjadi bahan evaluasi tentang pemanfaatan layanan surat kabar langka oleh pemustaka, 11) Bahan untuk menentukan kebijakan peningkatan layanan koleksi surat kabar langka, 12) Mendapatkan gambaran mengenai kondisi sebenarnya koleksi majalah luar negeri berdasarkan analisis ilmiah, 13) Menjadi acuan dalam melakukan evaluasi pemanfaatan kandungan Indonesia dalam majalah terbitan luar
32
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
negeri oleh pemustaka, 14) Menjadi acuan dalam melakukan evaluasi dan peningkatan kinerja pustakawan dalam melakukan pengumpulan dan promosi kandungan Indonesiana dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI, terutama dalam pengadaan berbagai alat dan sarana penelusuran koleksi Indonesiana dalam majalah luar negeri yang saat ini masih kurang, 15) Memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan bahwa informasi tentang Indonesia yang terkandung dalam majalah terbitan luar negeri sangat dibutuhkan oleh pemustaka. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mempublikasikan keberadaannya dan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, 16) Sebagai bahan evaluasi dan koreksi terhadap kinerja layanan perpustakaan dan informasi dalam rangka pelayanan prima kepada pemustaka Perpustakaan Nasional RI, 17) Sebagai dasar pengembangan layanan jasa perpustakaan dan informasi di Perpustakaan Nasional RI, agar koleksi Perpustakaan Nasional RI diketahui dan dimanfaatkan secara optimal oleh pemustaka, 18) Meningkatkan kuantitas pengunjung Perpustakaan Nasional RI, terutama pengguna jasa layanan perpustakaan dan informasi, 19) Sebagai pedoman dalam mengolah beberapa kebijakan yang mendukung tujuan utama berdasarkan hasil penelitian dan sebagai pedoman dalam pembuatan kebijakan layanan perpustakaan dan informasi di Perpustakaan Nasional RI, 20) Sebagai dasar pengembangan layanan referensi di Perpustakaan Nasional RI, 21) Sebagai bahan evaluasi dan koreksi terhadap kinerja layanan referensi, 22) Sebagai pedoman dalam mengolah kebijakan yang mendukung pengembangan layanan referensi di Perpustakaan Nasional RI. Deskripsi manfaat kajian di atas menunjukkan bahwa: 1) Terdapat dua kajian yang memiliki manfaat yang sama dengan kajian sebelumnya, yaitu: manfaat kajian Kebutuhan Pemustaka Terhadap Koleksi Ilmu Terapan dan Keterpakaiannya di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI (2011) disebutkan kembali sebagai manfaat kajian Pengukuran Tingkat Kepuasan Pemustaka Terhadap Layanan Perpustakaan dan Informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI (2012). 2) Manfaat kajian: “Sebagai bahan evaluasi dan koreksi terhadap penyediaan sarana dan prasarana layanan perpustakaan dan informasi
di Bidang Layanan Koleksi Umum; Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam penyediaan sarana dan prasarana layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum; dan Sebagai pedoman atau acuan dalam membuat kebijakan” (atau kalimat yang bermakna sama) – selalu disebutkan sebagai manfaat kajian. 3) Pernyataan manfaat kajian tidak dapat dipahami karena kalimat yang tidak jelas. Contohnya adalah manfaat kajian yang berbunyi: “Meningkatkan kualitas dan kuantitas pemustaka Perpustakaan Nasional RI, terutama pengguna jasa layanan perpustakaan dan informasi.” 4) Terdapat inkonsistensi penggunaan istilah yang telah baku, seperti: pengguna jasa perpustakaan yang seharusnya pemustaka; dan jasa layanan perpustakaan dan informasi dimana jasa dan layanan memiliki makna yang sama 5) Keterkaitan antara tujuan dengan manfaat kajian tidak terlihat langsung. Pernyataan manfaat kajian bersifat sangat umum dan kurang spesifik sesuai tujuan kajian. d. Kesimpulan Kajian 1) Ruang perpustakaan memenuhi harapan pemustaka (64,9%), sedangkan perabot kurang memenuhi harapan pemustaka (62,32%). 2) Koleksi ilmu alam dan matematika kurang dipakai pemustaka karena kurang dibutuhkan mereka, sedangkan koleksi geografi dan sejarah dipakai pemustaka karena dibutuhkan mereka; koleksi ilmu terapan dinilai belum dimanfaatkan secara efektif oleh pemustaka. antara lain karena data bibliografis koleksi ilmu terapan dan hasil pindai cover buku belum seluruhnya dapat diakses melalui pangkalan data. 2) Sebagian besar majalah luar negeri ini diterbitkan dalam bahasa Inggris beraksara latin; subyek umum tetap menjadi subyek utama sebagian besar koleksi majalah, selanjutnya adalah sejarah dan politik sebagai subjek utama berikutnya; majalahmajalah luar negeri tersebut cukup banyak mengandung artikel mengenai Indonesia; artikel mengenai Indonesia ini adalah data dan informasi yang paling banyak dan paling dicari para pemustaka; keberadaan koleksi
majalah luar negeri tersebut tidak banyak diketahui pemakai karena kurangnya sarana penelusuran dan kurangnya promosi. 3) Pemanfaatan koleksi surat kabar langka yang terbit tahun 1800-1900 sangat rendah. Hanya 3% pemustaka yang memanfaatkan koleksi tersebut; alasan pemustaka tidak memanfaatkan koleksi ini adalah karena koleksi tersebut tidak menjadi kebutuhan pemustaka pada saat penelitian dilaksanakan dan karena pemustaka tidak mengetahui keberadaan koleksi tersebut di Perpustakaan Nasional RI; terdapat kaitan erat antara tingkat pendidikan pemustaka dengan pemanfaatan koleksi; sejarah adalah subjek yang paling banyak dibaca pemustaka dan hal ini menunjukkan bahwa sejarah merupakan kekuatan informasi surat kabar langka secara umum maupun yang terbit tahun 1800-1900, diikuti oleh subjek politik; informasi subjek terbanyak yang dibaca pemustaka dapat membantu kita menentukan segmen untuk promosi layanan surat kabar langka; Web (situs) dan informasi di dunia maya menjadi sumber informasi utama bagi pemustaka sehingga dapat menjadi sarana promosi yang efektif; sarana penelusuran koleksi,katalog dan indeks, belum banyak diketahui dan dipahami pemustaka; secara umum, layanan surat kabar langka oleh pustakawan sudah baik; layanan fotokopi dan scanning harus dipertahankan dan ditingkatkan karena sangat dibutuhkan pemustaka; dan ruang baca, mebeler serta atmosfir ruang baca harus nyaman, serta tidak merusak koleksi. 4) Tingkat kepuasan pemustaka terhadap dimensi koleksi 70,54%, dimensi layanan 74,75%, dimensi Pustakawan 76,88%. Prosentase ini menunjukkan bahwa pemustaka merasa puas, sementara dimensi sarana dan prasarana 22%. Prosentase ini menunjukkan bahwa pemustaka merasa puas terhadap sarana dan prasarana namun tingkat kepuasannya belum signifikan. 5) Dimensi kemampuan dan sikap pustakawan dalam melayani pemustaka (service affect) menempati kepuasan minimum pemustaka terhadap layanan referensi (nilai gap score -0.26); dimensi petunjuk dan sarana akses (personal control) menempati peringkat terbawah dalam hal kepuasan minimum pemustaka terhadap layanan referensi
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
33
(nilai gap score -0.60); dimensi fasilitas dan suasana ruang perpustakaan (library as place) menempati peringkat pertama dalam hal harapan pemustaka akan kepuasan layanan referensi dengan nilai gap score -1.22; dimensi akses informasi (information access) menempati peringkat terbawah dalam hal kesesuaian harapan pemustaka dengan kualitas layanan referensi yang diberikan (nilai gap score -2.06). Paparan kesimpulan enam kajian tersebut menunjukkan bahwa: 1) Kesimpulan kajian telah menjawab pertanyaan kajian. Namun terdapat beberapa kajian yang kesimpulannya belum menjawab pertanyaan kajian secara benar dan tepat. 2) Pemustaka puas terhadap layanan perpustakaan dan informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum dengan nilai kepuasan rata-rata adalah 70. 3) Kepuasan pemustaka terhadap sarana dan prasarana layanan bernilai lebih rendah dari aspek layanan lainnya, dengan nilai rata-rata 63,61. Hal ini dapat diketahui dari kesimpulan Kajian Kepuasan dan Harapan Pemustaka Terhadap Sarana dan Prasarana Layanan Bidang Layanan Koleksi Umum Perpustakaan Nasional RI di tahun 2010. Tingkat kepuasan pemustaka terhadap aspek sarana dan prasarana di Bidang Layanan Koleksi Umum meningkat sebesar 0,61% pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2011, dengan nilai kepuasan pemustaka 64,22%. e. Saran dan Rekomendasi Kajian 1) Penyelenggaraan perpustakaan memperhatikan keberadaan sarana prasarana perpustakaan yang telah ada dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan informasi pemustaka. Hal itu bertujuan agar kepuasan informasi pemustaka dan tujuan penyelenggaraan perpustakaan tercapai; sosialisasi yang berkelanjutan dari pustakawan tentang sistem layanan Perpustakaan Nasional RI yang diterapkan saat ini, akses tertutup (di Jl. Salemba Raya No.28A) dan akses terbuka (di Jl. Medan Merdeka Selatan 11) meliputi mekanisme layanan, prosedur, koleksi, sarana dan prasarana, dan sebagainya. 2) Bidang Akuisisi melakukan analisis dan
34
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
menjaring kebutuhan pemustaka sebelum melakukan pengadaan dan pemilihan koleksi; Kelompok koleksi Ilmu Sosial dan kelompok koleksi Ilmu Terapan perlu menginformasikan koleksinya dengan cara menampilkan fisik koleksi di media/papan yang dapat dilihat pemustaka. Papan sebaiknya diletakkan di lantai 2 atau 3.; perhatian terhadap koleksikoleksi yang tingkat keterpakaiannya rendah, pemasaran informasi perlu diiringi promosi yang lebih gencar, dan perlu digalakkan seiring dengan perbaikan sumber daya perpustakaan. 3) Perlu mempublikasikan data dan informasi majalah terjilid terbitan luar negeri tentang Indonesiana berbentuk pembuatan katalog majalah luar negeri, indeks beranotasi, maupun publikasi data online. Ini sebagai salah satu cara mendayagunakan koleksi majalah luar negeri yang keberadaanya kurang didayagunakan oleh pemustaka; dan pengadaan, penyediaan alat serta sarana penelusuran ke koleksi majalah-majalah luar negeri adalah permasalahan yang harus segera diatasi, agar keberadaan koleksi tersebut dapat diakses pemustaka dengan mudah. 4) Lakukan promosi gencar ke pemustaka dan masyarakat untuk layanan surat kabar langka yang terbit tahun 1800-1900. Promosi dapat difokuskan kepada segmen pemustaka yang paling rendah memanfaatkan surat kabar langka, yaitu peneliti; perlu dilakukan kajian lebih dalam untuk menentukan segmen dan media promosi yang paling tepat dan efektif; pastikan seluruh koleksi surat kabar langka terbit tahun 1800-1900 telah dialihmediakan ke bentuk digital dan telah diunggah ke situs koleksi langka Perpustakaan Nasional RI; buat dan laksanakan kegiatan bimbingan pemustaka untuk layanan surat kabar langka koleksi Perpustakaan Nasional RI; dukungan penuh dari pimpinan dalam upaya peningkatan kemampuan dan kualitas layanan pustakawan; layanan fotokopi dan scanning dipertahankan dan ditingkatkan; tingkatkan kenyamanan ruang baca, mebeler dan fasilitas perpustakaan lainnya bagi pemustaka dan pustakawan; untuk kajian berikutnya: a) teliti lebih jauh tingkat/jenjang pendidikan mahasiswa dan jurusan yang paling banyak memanfaatkan koleksi.; b) mengapa sarana penelusuran yang tersedia tidak banyak digunakan pemustaka; c) kekayaan informasi legal hukum dalam
surat kabar langka terbit tahun 1800-1900 harus dibuatkan literatur sekundernya oleh pustakawan dan dipromosikan kepada pihak-pihak terkait, seperti universitas, institusi hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Luar Negeri. 5) Tetapkan prosentase standar untuk tingkat kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan di Perpustakaan Nasional RI; buat rencana peningkatan kualitas layanan per tahun, misal: rencana prosentase tingkat kepuasan pemustaka terhadap layanan tahun 2013: 70%; 2014: 75%; 2015: 80%, dan seterusnya; masing-masing item prioritas dibuatkan perencanaan implementasinya, dimulai dari: 1) Pembuatan fish bone; dan 2) Time schedule; dibutuhkan visi dan misi bersama dalam membangun layanan perpustakaan dan informasi yang prima di Perpustakaan Nasional RI, sesuai harapan para pemangku kepentingan; dibutuhkan komunikasi efektif dan koordinasi intensif antar pusat dan bidang terkait agar produktif dan berhasil dalam mengimplementasikan peningkatan kualitas layanan perpustakaan; sediakan layanan permintaan buku untuk anggota Perpustakaan Nasional sehingga koleksi Perpustakaan Nasional RI sesuai dengan kebutuhan informasi pemustaka; dan diperlukan seragam khusus untuk layanan perpustakaan yang dapat mencitrakan profesional dan dinamis. 6) Prioritas bagi pustakawan referensi untuk meneruskan pendidikan, kesempatan training, magang, seminar dan workshop di dalam dan luar negeri; sebaiknya kajian ini dilakukan secara berkala, sebaiknya dua tahun sekali, agar dapat dibuat standar peningkatan kualitas layanan yang diinginkan; Sudah seharusnya saran kajian ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait yang berwenang menindaklanjutinya. Jika tidak ditindaklanjuti, maka kajian tersebut tidak memberi manfaat nyata bagi peningkatkan kualitas layanan di Perpustakaan Nasional RI. Untuk itu, perlu diidentifikasi apakah saran-saran dalam enam kajian tersebut telah ditindaklanjuti atau belum. Manakah yang sudah dan manakah yang belum.
Saran kajian yang sudah dan belum ditindaklanjuti: 1. Saran kajian yang sudah ditindaklanjuti: a. Peningkatan jumlah dan judul koleksi berkala mutakhir sudah ditindaklanjuti dengan berlangganan e-journal b. Peningkatan kualitas layanan internet dengan akses melalui wi-fi/hotspot, meliputi kecepatan akses dan pengurangan frekwensi error dalam mengakses internet, sudah ditindaklanjuti dengan meningkatkan kecepatan akses internet c. Sediakan layanan permintaan buku, sudah ditindaklanjuti dengan menyediakan fasilitas layanan permintaan buku di www.perpusnas. go.id., hanya layanan permintaan buku secara manual dengan menyediakan formulir belum dilaksanakan. d. Sediakan informasi cara penggunaan OPAC dan katalog manual yang secara informasi jelas dan secara fisik bagus (menarik, indah dan permanen), sudah disediakan di opac. perpusnas.go.id., namun secara tercetak cara penggunaan OPAC dan katalog manual yang secara informasi jelas dan secara fisik bagus belum ada. e. Promosi gencar layanan surat kabar langka yang terbit tahun 1800-1900 koleksi Perpusnas kepada peneliti, sudah ditindaklanjuti dengan mengadakan seminar pemanfaatan surat kabar langka f. Pemanduan atau sosialisasi terus menerus dari pustakawan tentang sistem layanan Perpusnas yang diterapkan saat ini. g. Prioritas bagi pustakawan referensi untuk meneruskan pendidikan, kesempatan training, magang, seminar dan workshop di dalam dan luar negeri h. Penambahan jumlah pustakawan dan tenaga perpustakaan yang kompeten dan dapat melaksanakan tugas-tugas layanan dengan profesional; i. Diperlukan pustakawan untuk memberi layanan informasi di ruang masuk perpustakaan (lobby) agar membantu pemustaka mendapatkan informasi yang tepat; j. Diperlukan penambahan dan peningkatan wawasan keilmuan dan informasi bagi pustakawan; k. Identifikasi wawasan keilmuan apa yang dibutuhkan; l. Tingkatkan sistem penyimpanan surat kabar sehingga tidak ada koleksi yang terselip dan
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
35
tidak lengkap didokumentasi m. Penambahan jumlah locker, perbesar ukuran locker, dan tingkatkan sistem keamanan locker n. Optimalkan sarana komputer yang tersedia di ruang layanan dengan meningkatkan kinerja OPAC dan pemeliharaan komputer dan jaringan internet o. Segera perbaiki kekurangan dalam pemeliharaan komputer dan internet. Segera perbaiki komputer yang rusak p. Buat rambu-rambu petunjuk lokasi jenis-jenis layanan dan sarana publik q. Tingkatkan kenyamanan ruang baca, mebeler dan fasilitas perpustakaan 2. Saran kajian yang belum ditindaklanjuti: a. Pengadaan koleksi berjudul CITRADATA: berisi data-data project yang disajikan dalam bentuk majalah; b. Sediakan sarana penelusuran untuk jurnaljurnal ilmiah yang dilanggan oleh Perpustakaan Nasional RI, berupa pembuatan literature sekunder (indeks, abstrak, bibliografi) berbentuk monograf dan elektronik; c. Pengadaan dan penyediaan alat dan sarana penelusuran ke koleksi majalah-majalah luar negeri; d. Informasi koleksi dan menampilkan fisik dokumen/display di media yang dapat dilihat pemustaka. e. Perlu mendapat perhatian terhadap koleksi yang tingkat keterpakaiannya rendah. Pemasaran informasi perlu diiringi promosi yang lebih gencar. f. Publikasikan data dan informasi mengenai koleksi majalah terjilid terbitan luar negeri tentang Indonesiana berbentuk katalog majalah luar negeri, indeks beranotasi, maupun publikasi data online; g. Upaya penanganan serius dan langkah nyata untuk mempublikasikan isi koleksi yang paling sering diperlukan pemustaka. h. Pilih dan tentukan media promosi yang tepat dan efektif untuk layanan surat kabar langka i. Alihmediakan koleksi surat kabar langka terbit tahun 1800-1900 dan unduh ke situs koleksi langka Perpusnas j. Laksanakan kegiatan bimbingan pemustaka untuk layanan surat kabar langka k. Teliti tingkat/jenjang pendidikan mahasiswa dan jurusan yang paling banyak memanfaatkan koleksi surat kabar langka
36
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
terbit tahun 1800-1900 (S1, S2 atau S3) l. Teliti mengapa sarana penelusuran yang tersedia di Kelompok Layanan Koleksi Surat Kabar Langka tidak banyak digunakan pemustaka? m. Buat literature sekunder informasi legal hukum dalam surat kabar langka terbit tahun 1800-1900 dan promosikan kepada pihak-pihak terkait, seperti universitas, institusi hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Luar Negeri. n. Lakukan kajian kualitas layanan referensi di Perpustakaan Nasional RI secara berkala, yaitu dua tahun sekali, agar dapat dibuat standar peningkatan kualitas layanan yang diinginkan; 3. Analisis Berdasarkan Matrik SWOT Analisa SWOT adalah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masingmasing. Hasil kajian Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 2010-2013 dikelompokkan berdasarkan unsur layanan, yaitu koleksi, layanan, pustakawan, sarana dan prasarana. Unsur tersebut dimasukkan ke dalam empat komponen SWOT yaitu S = Strength (kekuatan), W = Weakness (kelemahan), O = Opportunity (peluang), dan T = Threat (Ancaman).
a. Koleksi Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Peluang (O)
Ancaman (T)
Memiliki koleksi subjek sejarah dan humaniora
a. Jumlah koleksi ilmu alam dan matematika, ilmu terapan, kesenian, hiburan, dan olahraga kurang b. Konservasi dan preservasi koleksi c. Pemanfaatan koleksi digital
a. Koleksi kesusastraan, geografi, dan sejarah b. Ketersediaan & kemutakhiran c. Koleksi langka
a. Data koleksi ada di OPAC dan ada di rak b. Ketidaklengkapan koleksi hasil alih media c. Ketersediaan koleksi referensi yang masih belum memadai
Data di atas menjelaskan bahwa: 1) Kekuatan koleksi di Bidang Layanan Koleksi Umum adalah pada subjek sejarah dan humaniora. Koleksi unggulan ini terdapat pada koleksi surat kabar langka dan majalah langka dan hendaknya dipertahankan keberadaannya dengan cara meningkatkan pelaksanaan konservasi dan preservasi koleksi. 2) Pemustaka menghendaki peningkatan kualitas dan kuantitas koleksi; dan kemudahan akses dalam pemanfaatan koleksi digital. Berdasarkan penjelasan di atas perlu dikaji sejauh mana koleksi perpustakaan memadai atau tidaknya, baik mengenai jumlah, jenis, dan mutunya, kemudahan akses atau temu kembali informasi yang dapat menjadi penentu dan salah satu kunci keberhasilan layanan LKU. Potensi Koleksi yang ada di LKU perlu terus digali, diorganisasikan, dikembangkan, dan dipergunakan agar menjadi kekuatan nyata dalam memajukan LKU khususnya dan Perpustakaan Nasional RI umumnya.
3) Unsur kesempatan yang sebenarnya sebuah potensi yang bisa diperbaiki dan ditingkatkan adalah relevansi dan kecepatan informasi yang diperoleh. 4) Sedangkan yang masih menjadi ancaman kurangnya layanan bantuan bila informasi yang inginkan tidak ada; dan layanan terjemahan untuk koleksi yang berbahasa asing. Unsur Layanan ini adalah salah satu unsur utama karena sebagai mediator antara Informasi dengan pemustaka. Perpustakaan akan tetap ada dan makin berkembang karena pada dasarnya semua orang membutuhkan informasi dan pengetahuan tersebut, sesuai dengan kebutuhannya secara tepat guna dan tepat waktu. Apalagi pada saat era informasi seperti sekarang ini tidak seorangpun yang tidak memerlukan layanan informasi. Perpustakaan salah satu pusat informasi dan sumber ilmu pengetahuan, untuk itu harus memberikan layanan yang optimal dalam rangka mencapai tujuan perpustakaan.
b. Layanan Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Peluang (O)
Ancaman (T)
a. Layanan meja informasi b. Tata tertib layanan (jam buka) c. Pendaftaran keanggotaan online
Bantuan informasi untuk koleksi pengganti bila informasi yang dicari tidak ada
a. Jam buka dan tutup b. Relevansi dan kecepatan dalam memperoleh koleksi
Layanan terjemahan untuk koleksi yang berbahasa asing
Data di atas menjelaskan bahwa: 1) Unsur kekuatan yaitu: respon positif terhadap layanan meja informasi, dan pendaftaran keanggotaan online. 2) Unsur kelemahan yaitu: bantuan informasi untuk koleksi pengganti bila informasi yang dicari tidak ada.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
37
c. Pustakawan Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Peluang (O)
a. Pengetahuan pustakawan b. Pustakawan memahami kebutuhan informasi pemustaka c. Pustakawan cepat tanggap d. Pustakawan memberikan bimbingan e. Pustakawan cepat & tepat dalam memberikan layanan f. Pustakawan bekerja tepat waktu g. Pustakawan ramah &sopan h. Pustakawan yang bertugas di meja informasi
a. Pustakawan yang bertugas di layanan katalog b. Kesungguhan pustakawan referensi dalam memberikan perhatian
a. Kemampuan Pustakawan referensi b. Penampilan pustakawan c. Jawaban yang memuaskan dari pustakawan d. Ketepatan informasi yang diberikan e. Pustakawan ramah dan sopan f. Perhatian yang sungguh-sungguh
Data di atas menjelaskan bahwa: 1) Unsur kekuatan adalah, pustakawan di mata pemustaka sebagai sosok pustakawan yang memiliki pengetahuan yang luas, cepat tanggap dalam melayani, memahami kebutuhan pemustaka, berpenampilan rapi dan sopan. 2) Unsur kelemahan yang bila dikelola dengan baik akan berubah menjadi unsur kekuatan adalah kemampuan pustakawan di bagian katalog dan pustakawan referensi dalam memberi perhatian penuh pada pemustaka. 3) Unsur kesempatan yang akan menjadi unsur positif bila digali dengan baik adalah kemampuan pustakawan referensi, kemampuan memberikan jawaban yang memuaskan, ketepatan dalam memberikan informasi, ramah, memberikan perhatian yang sungguh-sungguh.
38
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Ancaman (T) Kecepatan dalam mencari informasi
4) Unsur yang menjadi ancaman bagi sosok pustakawan di mata pemustaka adalah kecepatan dalam memberikan layanan informasi. Pustakawan merupakan sumber daya manusia penting dalam menentukan keberhasilan layanan perpustakaan. Sumber daya manusia di Bidang Layanan Koleksi Umum yang dapat mendukung terlaksananya Rencana Strategis adalah pustakawan yang memiliki keahlian yang meliputi kemampuan bahasa, pengetahuan tentang format materi, keterampilan dalam memanfaatkan teknologi dan bekerja dengan sistem yang berbeda, pengetahuan tentang standar dan aturan yang berkaitan dengan kontrol bibliografi, berpengalaman, memiliki inovasi, serta berpotensi menciptakan ide-ide baru demi perkembangan perpustakaan ke depannya.
d. Sarana Kekuatan (S) a. Keamanan sarana penitipan barang (locker) b. Kenyamanan meja dan kursi pemustaka c. Katalog online (OPAC) d. Indeks subjek e. Kebersihan dan keindahan f. Suasana ruang baca g. Layanan fotokopi h. Kecepatan akses wifi/ hotspot
Kelemahan (W) a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Desain interior ruangan Penerangan di ruang baca Suasana ruang baca Jumlah sarana layanan Kuantitas dan kualitas (locker) Pemanfaatan papan pengumuman Letak tangga darurat Kenyamanan akses Wifi/hotspot Kecepatan layanan pemindai layanan katalog manual Rambu-rambu Keberadaan meja informasi Ruang perpustakaan
Dari ke empat dimensi yaitu koleksi, layanan, pustakawan, dan sarana dan prasarana layanan, ternyata dimensi sarana memiliki nilai positif yang lebih tinggi di mata pemustaka. Hal ini tergambar dari hasil analisis SWOT terhadap hasil kajian Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 2010-2013, respon pemustaka terhadap sarana layanan adalah positif. 1) Unsur kekuatan, antara lain: keamanan sarana penitipan barang (locker), kenyamanan meja dan kursi pemustaka, rambu-rambu, layanan katalog online (OPAC), indeks subjek, kebersihan dan keindahan, suasana ruang baca, layanan fotokopi, kecepatan akses wifi/ hotspot. 2) Unsur kelemahan: desain interior ruangan, penerangan di ruang baca, suasana ruang baca, jumlah sarana, kuantitas sarana penitipan barang (locker), kualitas dan kuantitas sarana penitipan barang, pemanfaatan papan pengumuman, letak tangga darurat, kenyamanan akses Wifi/hotspot, kecepatan layanan pemindai, layanan katalog manual, panduan dan petunjuk (rambu-rambu), keberadaan meja informasi, dan ruang perpustakaan. Faktor sarana dan prasarana di perpustakaan merupakan salah satu bagian penting yang harus ada dalam proses penyelenggaraan perpustakaan. Tersedianya sarana dan prasarana serta perlengkapan/perabot ataupun fasilitas lainnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari layanan, koleksi dan pemustaka.
Peluang (O)
Ancaman (T)
-
-
Uraian tentang keempat dimensi layanan (koleksi, layanan, pustakawan, dan sarana dan prasarana), dan penilaian terhadap kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman yang ada, serta penilaian kekuatan area mana yang sudah berhasil dan mana belum berhasil, diperlukan dalam perencanaan strategis terhadap masa depan layanan Bidang Layanan Koleksi Umum. Kesimpulan dan Saran 1. Perumusan masalah keenam kajian di Bidang Layanan Koleksi Umum periode tahun 2010-2013 telah diarahkan untuk mengidentifikasi permasalahan layanan perpustakaan dan informasi secara lengkap, sesuai unsur-unsur layanan perpustakaan dan informasi, 2. Tujuan kajian telah selaras dengan rumusan masalah kajian; 3. Manfaat kajian belum diketahui realisasinya, keterkaitan antara tujuan dengan manfaat kajian tidak terlihat langsung, pernyataan manfaat kajian bersifat sangat umum dan kurang spesifik sesuai tujuan kajian; 4. Kesimpulan kajian telah menjawab pertanyaan kajian, namun terdapat 2 (dua) kajian yang kesimpulannya belum menjawab pertanyaan kajian secara benar dan tepat, 5. Saran kajian yang telah ditindaklanjuti sebanyak 17 saran, sedangkan 13 saran belum ditindaklanjuti. 6. Kekuatan koleksi pada subjek sejarah dan humaniora. Koleksi unggulan ini terdapat pada koleksi surat kabar langka dan majalah langka; pemustaka menghendaki peningkatan kualitas dan kuantitas koleksi, dan kemudahan akses dalam pemanfaatan koleksi digital; 7. Kekuatan layanan terdapat pada respon positif
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
39
terhadap layanan meja informasi dan pendaftaran keanggotaan online; unsur kelemahan terdapat pada bantuan informasi untuk koleksi pengganti bila informasi yang dicari tidak ada; yang menjadi kesempatan layanan terdapat pada relevansi dan kecepatan informasi yang diperoleh; sedangkan yang masih menjadi ancaman kurangnya layanan bantuan bila informasi yang inginkan tidak ada, dan layanan terjemahan untuk koleksi yang berbahasa asing; 8. Kekuatan pustakawan terletak pada pustakawan yang memiliki pengetahuan luas, cepat tanggap dalam melayani, memahami kebutuhan pemustaka, dan berpenampilan rapi dan sopan; unsur kelemahan pustakwan terletak pada kemampuan pustakawan di bagian katalog dan pustakawan referensi dalam memberi perhatian penuh pada pemustaka; unsur kesempatan terdapat pada kemampuan pustakawan referensi, kemampuan memberikan jawaban yang memuaskan, ketepatan dalam memberikan
informasi, ramah, dan memberikan perhatian yang sungguh-sungguh; sedangkan ancaman bagi sosok pustakawan di mata pemustaka adalah kecepatan dalam memberikan layanan informasi; 9. Kekuatan sarana dan prasarana adalah pada keamanan sarana penitipan barang (locker), kenyamanan meja dan kursi pemustaka, rambu-rambu, layanan katalog online (OPAC), indeks subjek, kebersihan dan keindahan, suasana ruang baca, layanan fotokopi, dan kecepatan akses wifi/hotspot; unsur kelemahan: desain interior ruangan, penerangan di ruang baca, suasana ruang baca, jumlah sarana, kuantitas dan kualitas sarana penitipan barang (locker), pemanfaatan papan pengumuman, letak tangga darurat, kenyamanan akses wifi/hotspot, kecepatan layanan pemindai, layanan katalog manual, panduan dan petunjuk (rambu-rambu), keberadaan meja informasi, dan ruang perpustakaan.
Daftar Pustaka Atikah. (2011). Kajian Indonesiana di Koleksi Majalah Terjilid Terbitan Luar Negeri Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Fathmi. (2010). Kajian Kepuasan dan Harapan Pemustaka Terhadap Sarana dan Prasarana Layanan Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Fathmi. (2011). Kajian Kebutuhan Pemustaka Terhadap Koleksi Ilmu Terapan dan Keterpakaiannya di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Fathmi. (2012). Kajian Pengukuran Tingkat Kepuasan Pemustaka Terhadap Layanan Perpustakaan dan Informasi di Bidang Layanan Koleksi Umum, Perpustakaan Nasional RI. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
40
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Fathmi. (2013). Kajian Kualitas Layanan Referensi di Perpustakaan Nasional RI: Pandangan Pemustaka. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Lasa Hs; Tjokro Soenarno (Ed.). (2009). Kamus Pustakawan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Luthfiati Makarim, dkk.; Lily Suarny (Ed.). (2011). Kajian Pemanfaatan Koleksi Surat Kabar Langka Terbit Tahun 1800-1900 Koleksi Perpustakaan Nasional RI. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Oleh: WAHID NASHIHUDDIN1 Email:
[email protected]
PEMAHAMAN PEMUSTAKA DALAM MENELUSUR SUMBER-SUMBER LITERATUR DI PERPUSTAKAAN PDII-LIPI Abstrak Kajian ini bertujuan untuk mengetahui: a) profil penelusur literatur; b) pemahaman pemustaka terhadap sistem penelusuran literatur; c) pemahaman pemustaka terhadap tahapan penelusuran literatur; d) pemahaman pemustaka terhadap sistem layanan literatur; e) sikap pemustaka terhadap hasil penelusuran literatur; dan f) cara komunikasi pemustaka dengan petugas/pustakawan ketika mengalami kesulitan dalam menelusur sumber-sumber di Perpustakaan PDII. Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara dan kuesioner. Responden yang dijadikan sampel sebanyak 50 orang. Data yang sudah terkumpul, kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif, dengan cara: 1) memverifikasi, mengklasifikasi, dan memperingkatkan jawaban responden, dari jawaban paling banyak hingga paling sedikit. dan 2) menjelaskan pernyataan responden yang bernilai negatif. Penyajian data secara kualitatif berupa persentase pernyataan responden dan tabel. Hasil pembahasan, kemudian dijadikan dasar untuk menyusun kesimpulan. Hasil kajian antara lain: 1) Responden/pemustaka yang menelusur sumber-sumber literatur Perpustakaan PDII sebagian besar dari kalangan mahasiswa (49 orang atau 98%), dengan tujuan mencari sumber referensi penelitian yang bersumber dari artikel jurnal Ilmiah Indonesia; 2) Sebagian besar pemustaka “memahami” tentang penelusuran sumber-sumber literatur di Perpustakaan PDII, baik menggunakan Katalog LARAS atau ISJD maupun mencari koleksi di rak perpustakaan (34 orang atau 68%); 3) Sebagian besar pemustaka “kurang memahami” tentang adanya menu pencarian di Katalog LARAS atau ISJD dan sistem layanan literatur yang dilaksanakan di Perpustakaan PDII, baik menelusur melalui menu pencarian umum dan pencarian canggih, maupun menelusur pada sistem layanan terbuka dan tertutup; 4) Sebagian besar pemustaka akan mencari/menelusur koleksi lain dengan topik atau variabel judul koleksi sejenis (46 orang atau 92%), dengan memperhatikan aspek kekhususan/spesifikasi topik koleksi yang sejenis. Jika mengalami kesulitan, pemustaka akan meminta bantuan penelusuran literatur ke petugas/pustakawan. Kata kunci: Penelusuran informasi; Layanan perpustakaan; Pemustaka; Perpustakaan PDII. Pendahuluan Penelusuran literatur adalah kegiatan mencari atau menemukan kembali informasi kepustakaan mengenai suatu bidang tertentu yang ada di perpustakaan maupun di luar perpustakaan dengan menggunakan bantuan literatur sekunder dan atau sarana penelusuran
1
lainnya. Kegiatan penelusuran literatur ini umumnya digunakan untuk mendukung penelitian dan atau penulisan ilmiah, serta bahan bacaan sesuai kebutuhan pengguna perpustakaan (Perpusnas, 2010). Dalam dunia kepustakawanan, kegiatan penelusuran literatur disebut sebagai “temu balik informasi”, yang merupakan
Pustakawan Pertama PDII LIPI
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
41
suatu istilah generik yang mengacu pada temu balik dokumen, sumber, atau data dari fakta yang dimiliki oleh unit informasi. Kegiatan temu balik informasi didesain untuk memudahkan menemukan sumber informasi. Kegiatan penelusuran literatur, umumnya digunakan untuk mendukung penelitian dan atau penulisan ilmiah, serta bahan bacaan sesuai kebutuhan informasi pengguna perpustakaan. Kebutuhan informasi adalah pengakuan tentang adanya ketidakpastian dalam diri seseorang yang mendorong untuk mencari informasi (Krikelas, 1983 dalam Purnomowati, dkk., 2006). Keberhasilan dalam penelusuran literatur tergantung pada perangkat penelusuran dan kata kunci (keyword) yang digunakan oleh penelusur. Sebagaimana yang dikatakan Sulistiyo-Basuki (1992) bahwa penentuan kata kunci adalah suatu kata/istilah penting untuk digunakan sebagai titik akses dalam penelusuran informasi yang terkandung dalam bahan pustaka. Penelusuran literatur di perpustakaan fokus pada penelusuran informasi teks, berupa koleksi atau bahan bacaan yang disediakan oleh perpustakaan. Senada dengan itu, Adisantoso (1996) juga mengatakan bahwa penelusuran literatur perpustakaan sebagian besar berupa informasi berbasis teks, yang memanfaatkan record data dasar sederhana, yaitu dengan menentukan identitas koleksi yang berfungsi sebagai penciri dari setiap record. Karakteristik penciri record data berbasis teks berupa kata (term), indeks, kata kunci, dan sebagainya. Selain kata kunci, Sulistiyo-Basuki (1992) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan penelusur ketika mengakses sumber-sumber informasi perpustakaan, antara lain: a. Mengungkapkan keinginan yang menyangkut subjek, waktu yang diperlukan, jenis dokumen, informasi yang diinginkan (bentuk, bahasa, dan sebagainya); b. Memutuskan sumber yang akan digunakan; c. Komunikasi pertanyaan, tentang bahasa dokumen, strategi menelusur, dan format telusur kaitannya dengan sumber sekunder; d. Subsistem temu balik informasi diperiksa untuk mencari sumber rujukan; e. Cantuman bibliografis yang sudah dikumpulkan dicek kembali; f. Skrining, artinya pemilihan rujukan yang paling terkait dengan permintaan dan subjek utama atau karakteristik sekunder; g. Memberitahu hasil penelusuran; h. Memeriksa kesahihan dokumen; i. Mengekstrak informasi dari dokumen primer; dan
42
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
j. Menilai relevansi jawaban dan mengkaji efisiensi jasa yang diterimanya. Pernyataan serupa juga dikatakan Laloo (2002), bahwa penelusur perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Start: cara yang digunakan oleh pemustaka ketika memulai pencarian informasi; 2. Chaining: memberi catatan penting pada bagian koleksi yang diinginkan, seperti catatan kaki (footnote) dan sumber kutipan, sebagai bahan referensi bacaan; 3. Browsing: menentukan menu penelusuran untuk mencari informasi yang dibutuhkan; 4. Differenting: menyaring informasi dari berbagai hasil temuan di berbagai sumber informasi; 5. Monitoring: menjaga informasi yang up to date; 6. Extracting: mengidentifikasi/menyeleksi materi infor masi yang relevan dalam sumber informasi; 7. Verifying: mengecek keakuratan informasi; 8. Ending: memutuskan hasil temuan pencarian akhir. Seiring dengan perkembangan zaman, penelusuran literatur di perpustakaan memanfaatkan jaringan perpustakaan digital (digital library). Borodovkina (2000) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mempermudah pemustaka dalam mencari informasi di perpustakaan digital adalah dengan mengelompokkan hasil pencarian berdasarkan kemiripan dokumen dan penentuan kata kunci yang tepat, yang dilakukan dengan cara mengelompokkan dokumen-dokumen yang memiliki kesamaan subyek dalam satu kelompok atau cluster. Disamping itu, penelusur juga harus memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus, serta strategi yang tepat dalam menggunakan database penelusuran yang disediakan perpustakaan. Strategi dalam penelusuran sangat penting karena: a) informasi yang tersedia sangat banyak, luas, dan beraneka ragam; b) untuk memperoleh informasi yang relevan; c) untuk menghemat waktu pencarian, serta d) untuk mempermudah pencarian. Selain penelusur memiliki strategi yang tepat, pihak penyedia database juga perlu memperhatikan aspek etis penelusuran, seperti: 1) menyediakan sumber informasi yang terbaru (uptodate); 2) memilih database pencarian yang tepat; 3) memiliki petugas yang terampil dalam mencari informasi; 4) menghindari kata-kata “bias”; 5) memastikan ruang lingkup pencarian informasi; dan 6) menginformasikan kepada penelusur terhadap masalah dalam kesalahan selama pencarian informasi (Mount dan Massoud, 1998). Lebih lanjut Qurniati (2008) menjelaskan bahwa seorang penelusur harus memiliki pengetahuan atau keterampilan yang memadai dalam menelusur sumber-sumber
informasi di internet. Hal tersebut sangat penting karena: a) informasi yang tersedia di internet sangat banyak, luas, dan beraneka ragam; b) untuk memperoleh informasi yang relevan; c) untuk menghemat waktu pencarian, serta d) untuk mempermudah pencarian. Terkait dengan teknik penelusuran informasi di perpustakaan, Wahyudin (2010) mengatakan bahwa penelusur juga perlu memperhatikan strategi-strategi penelusuran, seperti: a. Menggunakan boolean operator, seperti AND, OR, NOT, dengan menyisipkan suku kata pada ruas pencarian, contoh: ingin mencari kata TERNAK dan SAPI, maka ketikkan Ternak AND Sapi atau Ternak*Sapi; b. Menggunakan phrase search atau exact search ketika menelusur, dengan mengetikkan tanda petik dua (”) atau tanda petik satu (’) di pangkal dan diujung kata atau kalimat yang akan dipanggil, sehingga muncul daftar judul koleksi yang lebih spesifik, misalnya ingin mencari kata PLANT FISIOLOGY, maka ketikkan ‘Plant Fisiology’ atau “Plant Fisiology”; serta c. Menggunakan truncation atau will card (pemenggalan) suku kata dengan cara mengetikkan tanda pagar (#), bintang (*), koma (,), Tanya (?) pada ujung kata, misalnya akan menampilkan kata yang mengandung kata INTERN atau ditengah terdapat kata TERN, maka ketikkan #TERN#, maka akan muncul istilah seperti INTERNATIONAL, INTERNET, INTERNAL, INTERMEZO, dan sebagainya. Lebih lanjut, Salton (1979) dalam Adisantoso (1996) mengatakan bahwa ada tiga topik dalam penelusuran informasi, yaitu: 1) database retrieval, yang memproses berkas data dasar sederhana dengan menggunakan atribut yang sudah didefinisikan sebagai ciri dari setiap record; 2) reference retrieval, record data berupa buku, jurnal, majalah, atau bahan pustaka lainnya; serta 3) fact retrieval, memproses informasi dengan jenis karakteristik record yang lebih kompleks. Kegiatan penelusuran literatur di Perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI) merupakan salah satu hal utama yang harus dilakukan oleh pemustaka untuk menemukan sumber-sumber informasi atau koleksi perpustakaan. Sebelum menuju rak koleksi, pemustaka harus mencari atau menelusur informasi koleksi yang hendak dicari di database/katalog penelusuran terlebih dahulu. Dilihat dari tujuan pemustaka, sebagian besar pemustaka PDII melakukan penelusuran literatur untuk tujuan penelitian, yakni mencari sumber referensi/
rujukan untuk karya tulis ilmiah atau penelitian akademik. Sebagaimana halnya yang dikatakan Purnomowati, dkk. (2006) bahwa sebagian besar tujuan responden mencari informasi ilmiah di PDII adalah untuk kegiatan penelitian. Sumber-sumber literatur ilmiah yang dijadikan sumber referensi penelitian oleh pemustaka, seperti koleksi buku (umum/referensi), makalah/prosiding, laporan penelitian, tesis/disertasi, paten, dan jurnal/ majalah ilmiah Indonesia/asing. Literatur-literatur tersebut dapat diakses melalui Katalog LARAS (Library Archive Analysis System), yakni untuk mengakses koleksi buku dan monograf dan Katalog ISJD (Indonesian Scientific Journal Database), yakni untuk mengakses artikel jurnal/majalah ilmiah Indonesia. Terkait dengan sumber-sumber informasi yang tersedia di Katalog LARAS dan ISJD, dijelaskan sebagai berikut: 1) Katalog LARAS dapat diakses melalui http://elib.pdii. lipi.go.id/katalog, berisi informasi tentang koleksi buku, laporan penelitian, prosiding/makalah, tesis/ disertasi, dan paten Indonesia.
Gambar 1: Katalog LARAS PDII-LIPI Sampai akhir Mei 2014, LARAS memiliki konten informasi sebanyak 274.776 judul, yang terdiri atas makalah (73.178 judul), laporan penelitian (75.159 judul), buku (86.726 judul), tesis/disertasi (32.854 judul), dan paten (6.859 judul). 1) Katalog ISJD dapat diakses melalui http://isjd. pdii.lipi.go.id, berisi artikel jurnal/majalah ilmiah Indonesia. Tujuan PDII membangun ISJD adalah memberikan kemudahan akses terhadap jurnal ilmiah Indonesia, baik bagi pemustaka di Indonesia maupun di luar negeri secara online. Dalam membangun situs
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
43
jurnal online yang efektif diperlukan enam kriteria, yaitu tersedianya fitur artikel terbaca, tersedianya fitur utuh dan cetak artikel terbaca, kekinian jurnal yang tersedia, tersedianya fitur search dan retrieval, serta kemudahan mengakses dan terhubung kepada jurnal lain. Database ISJD dibangun oleh PDII-LIPI sejak Tahun 2009, dengan konten informasi sejumlah 70.000 artikel dan 3.656 jurnal ilmiah (Tambunan, 2012).
Gambar 2: Database ISJD PDII-LIPI Pada akhir April 2014, ISJD memiliki lebih dari 7000 jurnal ilmiah yang diterbitkan dan kurang dari 4.000 jurnal secara kontinyu mengirimkan terbitannnya ke PDII. Jurnal yang dapat diakses saat ini sekitar 6100 jurnal dengan jumlah 195.000 judul artikel, baik yang berasal dari Perguruan Tinggi maupun Lembaga terbitannya di Indonesia. Selain jurnal ilmiah Indonesia, PDII juga menyediakan jurnal asing yang bersumber dari database Science Direct, Ebsco, Proquest, dan sebagainya yang diakses melalui jaringan Intra LIPI (http://intra.lipi.go.id/) atau Portal Pustaka Ristek (http://pustaka.ristek.go.id/). Setelah pemustaka mengetahui dan menentukan jenis literatur yang dicari, pemustaka harus mencermati lokasi penyimpanan koleksi di rak dan sistem layanan informasi di Perpustakaan PDII. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pemustaka ketika mencari bahan bacaan/literatur di Perpustakaan PDII, antara lain jenis koleksi, lokasi, ruang simpan, dan sistem layanan. Tabel 1 di bawah ini menjelaskan tentang informasi pencarian literatur di Perpustakaan PDII.
44
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Tabel 1. Petunjuk Pencarian Literatur di Perpustakaan PDII No
Jenis Literatur
Lokasi Lokasi di Rak di Perpustakaan Katalog
Sistem Layanan
1
Buku Referensi/ Teknologi Tepat Guna
PDII-ref / PDII-ttg
Lantai 3
Terbuka
2
Koleksi PDII-lip / Karya LIPI/ PDII-per Koleksi Ilmu Perpustakaan
Lantai 3
Tertutup
3
Umum (Buku/ Prosiding/ Makalah)
PDIIumum
Lantai 4
Terbuka
4
Koleksi tentang Wanita dan Anak
PDII-wnt
Lantai 4
Terbuka
5
Laporan Penelitian
PDII-lap
Lantai 5
Tertutup
6
Tesis/ Disertasi
PDII-dis
Lantai 5
Tertutup
7
Jurnal Ilmiah ISJD Indonesia (cetak)
Lantai 5
Terbuka
8
Jurnal elektronik (.pdf)
Lantai 3
Tertutup
Meja Informasi
Pembahasan terkait dengan penelusuran literatur di atas, akan dikaji lebih mendalam dari sudut pandang pemahaman pemustaka PDII. Berdasarkan pengamatan awal penulis, terdapat beberapa masalah yang dihadapi pemustaka ketika menggunakan katalog LARAS dan ISJD, seperti belum mengetahui ruas/menu penelusuran di katalog dan susahnya menentukan kata kunci dari judul koleksi yang akan dicari. Masalah-masalah tersebut muncul karena disebabkan oleh: 1) pemustaka belum pernah datang ke Perpustakaan PDII; 2) ketidaktahuan tentang “kata kunci” yang tepat untuk menelusur koleksi di katalog; dan 3) minimnya papan petunjuk koleksi di setiap rak penyimpanan koleksi perpustakaan. Tujuan dilaksanakan kajian ini adalah untuk mengetahui: a) profil penelusur literatur/pemustaka; b) pemahaman pemustaka terhadap sistem penelusuran literatur; c) pemahaman pemustaka terhadap tahapan penelusuran literatur; d) pemahaman pemustaka terhadap
sistem layanan literatur; e) sikap pemustaka terhadap hasil penelusuran literatur; dan f ) cara komunikasi pemustaka dengan petugas/pustakawan ketika mengalami kesulitan dalam menelusur sumber-sumber di Perpustakaan PDII. Permasalahan Untuk memperjelas lingkup bahasan, kajian ini membatasi hal-hal sebagai berikut: 1. Pemustaka yang dimaksud adalah pengguna perpustakaan yang telah melakukan penelusuran informasi di katalog dan menemukan literatur/ koleksi; 2. Pemustaka melakukan pelusuran informasi pada katalog LARAS dan ISJD; 3. Literatur yang dimaksud adalah bahan bacaan atau koleksi ilmiah Perpustakaan PDII. Berdasarkan lingkup bahasan di atas, rumusan permasalahan kajian ini adalah: 1. Seperti apakah profil pemustaka/penelusur literatur di Perpustakaan PDII? 2. Bagaimana pemahaman pemustaka terhadap sistem penelusuran literatur di Perpustakaan PDII? 3. Bagaimana pemahaman pemustaka terhadap tahapan penelusuran literatur di Perpustakaan PDII? 4. Bagaimana pemahaman pemustaka terhadap sistem layanan literatur di Perpustakaan PDII? 5. Bagaimana sikap pemustaka terhadap hasil penelusuran literatur di Perpustakaan PDII? 6. Seperti apakah cara komunikasi pemustaka dengan petugas/pustakawan ketika mengalami kesulitan dalam penelusuran literatur di Perpustakaan PDII? Berdasarkan rumusan masalah di atas, diharapkan kajian ini dapat memberikan informasi dan menjadi bahan evaluasi oleh Pimpinan PDII untuk meningkatkan kualitas layanan informasi Perpustakaan PDII, khususnya terkait dengan layanan penelusuran informasi di perpustakaan. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara dan kuesioner. Metode wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi awal tentang permasalahan umum yang dialami pemustaka ketika menelusur sumbersumber literatur dari pemustaka. Metode kuesioner dilakukan untuk mengetahui pemahaman pemustaka ketika menelusur literatur. Sampel penyebaran kuesioner ditujukan kepada 50 responden (pemustaka) yang telah melakukan penelusuran informasi di Katalog LARAS atau ISJD dan mendapatkan literatur/koleksi hasil penelusuran.
Data yang sudah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif, dengan cara: 1. Memverifikasi, mengklasifikasi, dan memperingkatkan jawaban responden dengan jumlah terbanyak hingga paling sedikit, dan 2. Menjelaskan pernyataan responden yang bernilai negatif, seperti: kurang paham, tidak paham, kurang tahu, dan tidak tahu. Penyajian hasil pembahasan dalam bentuk data kualitatif berupa persentase pernyataan responden dan tabel. Hasil pembahasan kemudian dijadikan dasar untuk menyusun kesimpulan. Pembahasan Profil Penelusur Literatur Perpustakaan PDII Berdasarkan kuesioner yang disebarkan kepada 50 responden diketahui bahwa profil pemustaka yang telah melakukan penelusuran literatur di Perpustakaan PDII sebagai berikut: a) sebanyak 35 orang (70%) berjenis kelamin perempuan dan 15 orang (30%) berjenis kelamin laki-laki; b) sebanyak 49 orang (98%) berprofesi sebagai mahasiswa dan 1 orang (2%) berprofesi sebagai karyawan/ swasta; c) sebanyak 36 orang (72%) berpendidikan S1, 12 orang (24%) berpendidikan D3, 1 orang (2%) berpendidikan S2, dan 1 orang (2%) berpendidikan S3. Sebagian besar pemustaka (38 orang atau 76%) telah berkunjung 1-2 kali, 7 orang (14%) berkunjung 3-4 kali, 4 orang (8%) berkunjung 7-8 kali, dan 1 orang (2%) berkunjung 5-6 kali ke Perpustakaan PDII. Berdasarkan profil di atas, diketahui bahwa sebagian besar pemustaka berasal dari kalangan mahasiswa, berjenis kelamin perempuan, berpendidikan S1, dan telah melakukan kunjungan 1-2 kali ke Perpustakaan PDII. Mahasiswa menjadi pemustaka PDII terbanyak karena kebutuhan informasi terhadap pemenuhan sumber referensi penelitian, baik untuk membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI), skripsi, tesis, atau disertasi. Mahasiswa yang menelusur sumber-sumber literatur Perpustakaan PDII beranggapan bahwa sumber referensi yang dicari tidak ada di Perpustakaan Perguruan Tinggi/ Universitas terkait. Para pemustaka yang datang dan menelusur sumber-sumber literatur Perpustakaan PDII memiliki motivasi yang berbeda-beda, seperti: a) keinginan/inisiatif sendiri; b) mendapat informasi dari teman/rekan kerja; c) disarankan/disuruh oleh pengajar (dosen/guru); dan/atau d) mendapatkan informasi dari Web PDII-LIPI. Terkait dengan motivasi penelusur informasi di perpustakaan, Wilson (1984) menjelaskan bahwa ada faktor-faktor perilaku yang mempengaruhi penelusuran informasi di perpustakaan, seperti faktor lingkungan, peran sosial, dan individu. Pada kajian ini,
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
45
faktor individu diidentikkan dengan “inisiatif sendiri”. Dari 50 responden diketahui ada 29 orang (58%) yang menyatakan bahwa motivasi datang untuk menelusur sumber-sumber literatur di Perpustakaan PDII disebabkan oleh keinginan/inisiatif sendiri. Faktor lingkungan dan peran sosial diidentikkan dengan ”adanya informasi dari teman atau Web PDII-LIPI, serta permintaan pengajar/ dosen kepada mahasiswanya untuk mencari literatur ke PDII”. Diketahui bahwa dari 50 responden terdapat 16 orang (32%) yang memiliki motivasi karena mendapat informasi dari teman/rekan kerja dan 5 orang (10%) karena mendapat tugas kuliah dari pengajar/dosen untuk menelusur literatur di Perpustakaan PDII. Sedangkan responden yang termotivasi untuk menelusur literatur di Perpustakaan PDII karena mendapat informasi dari Web PDII-LIPI tidak ada. Apabila dilihat dari tujuan penelusuran literatur, sebagian besar responden (44 orang atau 88%) menyatakan bahwa tujuan penelusuran literatur di Perpustakaan PDII adalah mencari sumber referensi penelitian. Sedangkan tujuan lain pemustaka menelusur literatur di Perpustakaan PDII, antara lain untuk: 1) menulis artikel/ makalah (10%); 2) mencari hiburan (8%); 3) mencari bahan mengajar/pendidikan (2%); dan 4) mencari sumber referensi laboratorium/industri (2%). Mengenai tujuan penelusuran literatur yang dilakukan pemustaka, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Tujuan Penelusuran Literatur No
Tujuan Penelusuran
Jumlah
%
1
Referensi penelitian
44
88
2
Menulis artikel/makalah
5
10
3
Mencari hiburan
4
8
4
Bahan mengajar/pendidikan
1
2
5
Referensi laboratorium/industri
1
2
Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dilihat juga bahwa terdapat pemustaka (5 orang atau 5%) memiliki tujuan lebih dari satu ketikan melakukan penelusuran literatur di Perpustakaan PDII, misalnya memiliki tujuan mencari bahan referensi penelitian dan bahan mengajar di sekolah/universitas; menulis artikel/makalah dan mencari hiburan. Para pemustaka yang datang ke Perpustakaan PDII, sebagian besar (38 orang atau 76%) mencari artikel jurnal Ilmiah Indonesia. Kemudian, mencari buku referensi (11 orang atau 22%), buku umum dan laporan penelitian
46
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
(masing-masing 8 orang atau 16%), koleksi paten dan makalah/prosiding (masing-masing 4 orang atau 8%). Lebih jelasnya lihat Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Ketertelusuran Jenis Literatur No
Jenis Literatur
Jumlah
%
1
Jurnal Ilmiah Indonesia
38
76
2
Buku Referensi
11
22
3
Buku Umum
8
16
4
Laporan Penelitian
8
16
5
Standar
6
12
6
Tesis/Disertasi
5
10
7
Jurnal Internasional
5
10
8
Makalah/Prosiding
4
8
9
Paten
4
8
Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat juga diketahui bahwa literatur yang dicari pemustaka tidak hanya satu jenis. Diketahui ada 39 orang (78%) yang menelusur literatur lebih dari satu, baik mencari buku referensi, jurnal, maupun laporan penelitian. Mereka menyatakan bahwa untuk menulis laporan penelitian, seperti tugas akhir, skripsi, tesis, atau jurnal membutuhkan banyak sumber referensi/bahan bacaan, karena semakin banyak sumber referensi/bahan bacaan ditemukan, tulisan yang akan dibuat semakin baik dan berkualitas. Dari segi bahasa bahan bacaan/koleksi, diketahui bahwa sebagian besar responden (46 orang atau 92%) menyatakan bahasa Indonesia merupakan bahan bacaan/ koleksi yang paling banyak diminati, karena mudah dimengerti dan dipahami setiap tulisan yang tersirat di dalamnya. Kemudian bahasa lain yang diminati pemustaka adalah bahasa Inggris (4 orang atau 8%). Sedangkan bahasa asing lain, seperti bahasa Mandarin dan bahasa Arab tidak diminati pemustaka, karena sulit memahami isi tulisannya. Pemahaman Pemustaka Terhadap Sistem Penelusuran Literatur Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dari 50 responden terdapat 34 orang (68%) yang memahami nama database/katalog penelusuran yang digunakan oleh Perpustakaan PDII, yaitu LARAS dan ISJD, serta mengetahui lokasi penyimpanan koleksi di rak perpustakaan. Sementara itu, terdapat 16 orang (32%) yang kurang memahami hal tersebut, karena mereka belum pernah datang ke Perpustakaan PDII dan/
atau menggunakan katalog LARAS atau ISJD untuk penelusuran. Meskipun kurang paham menggunakan katalog LARAS atau ISJD, mereka dapat menemukan judul-judul literatur yang mendekati topik/judul penelitian yang akan dibuatnya. Kekurang-pahaman pemustaka dapat dilihat pada cara penelusuran yang kurang tepat berikut ini: 1) Kesalahan menggunakan katalog penelusuran. Pemustaka ingin mencari topik penelitian tentang “akuntansi syariah” yang bersumber dari jurnal, tetapi menelusurnya melalui LARAS, hasilnya koleksi yang dicari tetap ditemukan, tetapi bukan dari jurnal, melainkan berupa laporan penelitian dan makalah/ prosiding. Seharusnya pemustaka mencari jurnal pada ISJD, agar dapat menemukan artikel jurnal tentang “akuntansi syariah”. 2) Ketidaktahuan menelusur menggunakan sistem pencarian canggih di LARAS Pemustaka ingin mencari bahan referensi tentang “pajak penghasilan” di atas tahun 2010 yang bersumber dari laporan penelitian, untuk mempercepat penelusuran seharusnya pemustaka memilih menu pencarian canggih di LARAS, bukan dari menu pencarian umum (semua koleksi akan muncul sesuai dengan kata yang diketikkan). Melalui sistem pencarian canggih, pemustaka dapat memilih “tipe koleksi” laporan penelitian, mengetikkan topik “pajak penghasilan”, dan memilih tahun di atas tahun 2010. Di bawah ini contoh tampilan sistem penelusuran informasi menggunakan menu pencarian umum dan pencarian canggih pada katalog LARAS PDII.
Gambar 3. Menu Pencarian Umum di Katalog LARAS
Terkait dengan pemahaman pemustaka untuk menelusur menggunakan menu pencarian umum dan pencarian khusus pada katalog LARAS atau ISJD, diketahui bahwa dari 50 responden sebagian besar (29 orang atau 58%) kurang mengetahui adanya dua menu pencarian tersebut. Sedangkan pemustaka yang mengetahui adanya dua menu pencarian tersebut, hanya 18 orang (36%). Sementara itu, ada 3 orang (6%) pemustaka yang tidak mengetahui adanya dua menu pencarian umum dan pencarian khusus pada Katalog LARAS atau ISJD. Bagi pemustaka yang merasa kurang/ tidak mengetahui adanya keberadaan menu pencarian umum dan pencarian khusus, disebabkan oleh: 1) petugas perpustakaan belum membimbing pemustaka dalam menggunakan Katalog LARAS atau ISJD; dan 2) pemustaka (sendiri) tidak segera meminta bantuan petugas ketika mengalami kesulitan dalam menelusur sumber-sumber informasi menggunakan Katalog LARAS atau ISJD; 3) adanya anggapan pemustaka bahwa katalog penelusuran literatur di Perpustakaan PDII hanya ada satu, yaitu katalog buku dan jurnal ada di LARAS; dan 4) sistem pencarian umum dan canggih di katalog LARAS/ ISJD dianggap sama, yakni sama-sama memberi informasi tentang lokasi penyimpanan koleksi. Pemahaman Pemustaka Terhadap Tahapan Penelusuran Literatur Secara umum, tahapan penelusuran literatur menggunakan Katalog LARAS dan ISJD dijelaskan sebagai berikut: a) pemustaka menentukan subjek/topik/ kata kunci secara spesifik sesuai kebutuhan; b) pemustaka menentukan database/katalog penelusuran; c) pemustaka menelusur informasi pada katalog terpilih (LARAS/ISJD)
Gambar 4. Menu Pencarian Canggih di Katalog LARAS
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
47
dengan menetapkan subjek/topik/kata kunci, kemudian pilih judul koleksi yang diinginkan; d) pemustaka mencatat deskripsi pada judul koleksi terpilih; dan e) pemustaka menuju rak penyimpanan koleksi. Setelah menentukan judul koleksi yang akan dicari, pemustaka (minimal) harus mencatat kode panggil/kode panggil lain, lokasi, dan tahun publikasi (untuk jenis koleksi yang ada di LARAS). Sedangkan pada koleksi jurnal di ISJD, pemustaka (minimal) harus mencatat kode panggil lain, volume, nomor, tahun, dan halaman artikel (untuk jurnal cetak), dan mencatat judul artikel jurnal (untuk jurnal elektronik). Berdasarkan tahapan-tahapan penelusuran literatur di atas, diketahui bahwa dari 50 responden terdapat 24 orang (48%) yang melakukan hal tersebut. Sedangkan pemustaka lain, melakukan dengan tahapan penelusuran literatur “kurang tepat/sistematis” pada katalog LARAS atau ISJD, misalnya dengan tahapan sebagai berikut: a) Mengakses database/katalog-menentukan subjek/ topik/kata kunci-mencatat deskripsi koleksi-memilih judul koleksi-mencari koleksi di rak (17 orang atau 34%); b) Memilih judul koleksi-mencatat deskripsi koleksimenentukan subjek/topik/kata kunci-mengakses database/katalog-mencari koleksi di rak (9 orang atau 18%). Adanya perbedaan tahapan pencarian di atas disebabkan adanya ketidaktahuan pemustaka khususnya dalam hal menentukan jenis koleksi yang akan dicari dan mengetikkan subjek/topik/kata kunci pada menu penelusuran yang ada di Katalog LARAS dan ISJD. Kemudian, jika dilihat dari tahapan pemustaka dalam mencari literatur di rak perpustakaan, diketahui bahwa sebagian besar pemustaka (34 orang atau 68%) sudah memahaminya, yakni dengan tahapan sebagai berikut: a) pemustaka mencatat deskripsi bibliografi pada judul koleksi terpilih; b) pemustaka menuju rak penyimpanan koleksi; c) pemustaka mengecek kebenaran kode panggil pada punggung koleksi; d) pemustaka mengambil koleksi dari rak (jika koleksi sistem tertutup, maka harus menghubungi petugas layanan terkait); dan e) pemustaka menuju meja baca untuk membaca koleksi (jika ditemukan). Sedangkan pemustaka lain, melakukan dengan tahapan pencarian literatur “kurang tepat/ sistematis” pada rak penyimpanan koleksi, misalnya dengan tahapan sebagai berikut: a) Mengecek kode panggil-mencatat deskripsi koleksimengambil koleksi-mencari koleksi di rak-membaca koleksi di meja baca (10 orang atau 20%); b) Mencari koleksi di rak-mencatat deskripsi koleksi-
48
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
mengecek kode panggil-mengambil koleksi-membaca koleksi di meja baca (16 orang atau 20%). Pemahaman Pemustaka Terhadap Sistem Layanan Literatur Di Perpustakaan PDII terdapat dua sistem layanan literatur/koleksi, yaitu sistem layanan tertutup dan terbuka. Contoh literatur Perpustakaan PDII yang dilayankan dengan sistem terbuka, antara lain: koleksi umum (buku dan prosiding/makalah), buku referensi, koleksi informasi wanita dan anak, dan jurnal/majalah ilmiah Indonesia. Sistem layanan tertutup, pemustaka harus menghubungi petugas layanan untuk mendapatkan koleksi yang dibutuhkan, caranya dengan menyerahkan kartu identitas diri, seperti KTM, KTP, SIM, dan kartu identitas lain yang masih berlaku. Contoh literatur Perpustakaan PDII yang dilayankan dengan sistem tertutup: koleksi meja informasi, koleksi karya ilmiah LIPI, koleksi tentang ilmu perpustakaan, laporan penelitian, tesis/disertasi, dan paten. Diketahui bahwa dari 50 responden sebagian besar pemustaka (29 orang atau 58%) merasa “kurang tahu” dan 8 orang (16%) merasa “tidak tahu” terhadap adanya sistem layanan terbuka dan tertutup di Perpustakaan PDII. Diketahui hanya terdapat 13 orang (26%) yang mengetahui adanya sistem layanan terbuka dan tertutup di Perpustakaan PDII. Bagi pemustaka yang menyatakan “kurang tahu” atau “tidak tahu” tentang adanya sistem layanan terbuka dan tertutup beralasan bahwa: 1) pemustaka dapat mencari dan mengambil koleksi sendiri, jika kesulitan dapat menghubungi petugas; 2) pemustaka belum pernah datang ke Perpustakaan PDII, dan lebih sering memanfaatkan layanan online untuk meminta koleksi dari PDII, baik melalui email atau telepon. Senada dengan itu, Hartinah (1996) mengatakan bahwa pengguna jasa PDII yang memanfaatkan jasa informasi online ke PDII disebabkan tiga hal, yaitu: 1) pemustaka tidak mempunyai waktu (terlalu sibuk); 2) jarak lokasi yang jauh antara pemustaka dengan perpustakaan (sumber informasi); dan 3) pemustaka tidak tahu cara menggunakan sumbersumber informasi yang tersedia. Dalam melaksanakan tugas layanannya, PDII telah menyiapkan sumber daya kegiatan penelusuran informasi, antara lain: 1) sumber daya manusia yang berkualitas; 2) kelengkapan sumber informasi; 3) keramahan pelayanan informasi; dan 3) kesesuaian biaya dengan kemampuan pemustaka untuk memperoleh informasi. Sikap Pemustaka Terhadap Literatur Sikap pemustaka yang
Hasil
Penelusuran
dimaksud
adalah
menindaklanjuti pemanfaatan literatur hasil penelusuran. Tindak lanjut hasil penelusuran dilakukan dengan tujuan memeriksa kebenaran judul dan isi literatur hasil penelusuran, apakah sesuai dengan yang dibutuhkan atau sebaliknya. Jika sesuai, pemustaka akan membacanya lebih lanjut dan mencatat/menggandakannya sesuai kebutuhan. Tetapi jika tidak sesuai, maka pemustaka biasanya melakukan penelusuran dengan topik atau variabel judul koleksi yang sejenis. Terkait penelusuran literatur dengan topik atau variabel judul koleksi yang sejenis, sebagian besar pemustaka (46 orang atau 92%) menyatakan bahwa akan mencari/menelusur koleksi lain dengan topik atau variabel judul koleksi sejenis. Hanya terdapat 4 orang (8%) yang menyatakan tidak perlu mencari topik penelitian sejenis, karena koleksi tersebut dianggap tidak sesuai/ terkait dengan judul penelitian yang sedang dilaksanakan. Bagi pemustaka yang melakukan penelusuran literatur dengan topik sejenis, sebaiknya memperhatikan halhal sebagai berikut: a) kekhususan/spesifikasi topik; 2) kepopuleran topik; dan c) kemiripan variabel dengan topik. Berdasarkan ketiga hal tersebut, diketahui bahwa terdapat 29 responden (58%) menyatakan aspek kekhususan/ spesifikasi topik koleksi merupakan hal yang utama dalam melakukan penelusuran topik yang sejenis dengan topik penelitian yang akan dilaksanakan. Sedangkan, responden lain sebanyak 19 responden (38%) menyatakan bahwa dalam penelusuran topik sejenis harus memperhatikan kemiripan variabel dengan topik, dan 1 responden (2%) harus memperhatikan kepopuleran topik bacaan. Tindak lanjut dari hasil temuan penelusuran literatur dengan topik sejenis adalah pemanfaatan koleksi, dibaca, dicatat, atau digandakan. Diketahui dari 50 responden terdapat 29 orang (58%) menyatakan bahwa koleksi yang sudah ditemukan akan dimanfaatkan dengan cara membaca bagian-bagian penting isi bacaan dan menggadakan bahan bacaan, baik dengan fotokopi, print, maupun email. Sedangkan pemustaka lain, memanfaatkan koleksi yang sudah ditemukan dengan cara lain, misalnya: a) Membaca keseluruhan isi bacaan dan menggadakan bahan bacaan, baik dengan fotokopi, print, maupun email (9 orang (18%); b) Mencatat sebagian isi bacaan dan menggadakan bahan bacaan, baik dengan fotokopi, print, maupun email (5 orang atau 10%); c) Mencatat dan membaca sebagian/keseluruhan isi bacaan (3 orang atau 6%); d) Langsung menggandakan bahan bacaan (fotokopi/ print/email), tanpa dibaca terlebih dahulu (3 orang atau 6%).
Komunikasi Pemustaka dengan Petugas Perpustakaan Komunikasi dalam kegiatan penelusuran literatur merupakan interaksi antara pemustaka dengan petugas perpustakaan/pustakawan secara langsung ataupun tidak langsung, terkait dengan kebutuhan penelusuran informasi lebih lanjut, baik yang disebabkan oleh kesulitan pemustaka dalam menemukan sumber-sumber literatur perpustakaan maupun keinginan mendapatkan koleksi lain yang lebih lengkap lagi, sehingga membutuhkan bantuan petugas untuk menelusurkannya. Diketahui bahwa semua responden (50 orang atau 100%) menyatakan akan meminta bantuan ke petugas perpustakaan/ pustakawan jika mengalami kesulitan dalam menemukan sumber-sumber literatur di perpustakaan. Kesulitan-kesulitan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: a. Papan petunjuk lokasi koleksi di rak perpustakaan kurang jelas; b. Pemustaka merasa “malu” untuk meminta bantuan ke petugas/pustakawan; c. Adanya gangguan teknis terkait jaringan internet/ katalog; d. Pemustaka tidak mencatat deskripsi koleksi secara jelas; dan e. Kurangnya sarana untuk akses internet (bukan komputer katalog penelusuran). Diketahui dari 50 responden terdapat 25 orang (50%) menyatakan bahwa kesulitan dalam menemukan sumber-sumber koleksi di rak perpustakaan disebabkan oleh kurang jelasnya papan petunjuk lokasi koleksi di rak. Kemudian diikuti masalah tidak adanya rasa “malu” pemustaka untuk meminta bantuan ke petugas (12 orang atau 24%), lambatnya akses jaringan ke internet/katalog (6 orang atau 12%), pemustaka tidak mencatat deskripsi koleksi yang akan dicari (5 orang atau 10%), serta kurangnya sarana akses internet (2 orang atau 4 orang). Dalam menghadapi masalah di atas, pemustaka menyatakan akan menghubungi petugas/pustakawan untuk meminta bantuan penelusuran, yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) menemui petugas/ pustakawan dengan ditemani orang lain dan menjelaskan permasalahannya; serta b) menemui petugas/pustakawan sendiri dan menjelaskan permasalahannya. Dari kedua cara tersebut, sebagian besar responden (40 orang atau 80%) menyatakan bahwa ketika mengalami kesulitan, pemustaka harus meminta bantuan penelusuran dengan cara langsung menemui petugas/pustakawan secara sendiri. Sedangkan 10 orang (20%) menyatakan bahwa bantuan penelusuran kepada petugas dapat dilakukan dengan bertanya dan ditemani orang lain.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
49
Agar sumber-sumber literatur di Perpustakaan PDII dapat ditemukan dengan mudah, cepat, dan tepat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemustaka, diantaranya: a. Menentukan topik/subjek/kata kunci secara spesifik koleksi; b. Menentukan jenis koleksi yang akan dibaca; c. Menentukan katalog penelusuran, LARAS atau ISJD; d. Mencatat kelengkapan data bibliografi koleksi, seperti judul, kode panggil, pengarang, tahun terbit/penerbit, dan lokasi koleksi; dan e. Jika tidak memahami cara penelusuran, segera meminta bantuan penelusuran kepada petugas. Untuk meningkatkan kualitas layanan Perpustakaan PDII, khususnya yang terkait dengan jasa penelusuran informasi, responden/pemustaka memberikan beberapa saran kepada petugas/perpustakaan, diantaranya: a. Petugas bersikap ramah dalam melayani/ membimbing pengunjung perpustakaan; b. Perpustakaan menyediakan bahan bacaan yang lengkap dan uptodate; c. Petugas merapikan koleksi di rak perpustakaan; d. Petugas menyediakan papan petunjuk koleksi yang jelas di setiap rak koleksi; e. PDII menambah jumlah petugas perpustakaan; f. Perpustakaan menyediakan koleksi jurnal internasional; g. Petugas mampu menangani jaringan internet/ katalog yang lambat/eror; h. PDII mengurangi harga/tarif untuk mendapatkan file elektronik (jangan terlalu mahal); i. Perpustakaan menambah waktu operasional layanannya (layanan sampai pukul 16.00 WIB); j. Password untuk akses internet gratis (WiFi) di perpustakaan dihilangkan (tanpa password); k. Petugas jangan meng-upload koleksi di Web PDII, sebelum koleksi tersedia di perpustakaan; dan l. PDII memperindah ruang perpustakaan agar lebih nyaman. Kesimpulan dan Penutup Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1) Responden/pemustaka yang menelusur sumbersumber literatur Perpustakaan PDII sebagian besar dari kalangan mahasiswa (49 orang atau 98%), yang telah melakukan penelusuran sebanyak 1-2 kali. Mereka datang ke Perpustakaan PDII dengan motivasi keinginan/inisiatif sendiri, dengan
50
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
tujuan untuk mencari sumber referensi penelitian. Sumber literatur yang digunakan untuk referensi penelitian sebagian besar berupa artikel jurnal Ilmiah Indonesia berbahasa Indonesia; 2) Sebagian besar pemustaka “memahami” tentang penelusuran sumber-sumber literatur di Perpustakaan PDII. Hal tersebut terlihat pada pernyataan pemustaka yang menyatakan bahwa: a) Memahami nama database/katalog penelusuran di Perpustakaan PDII, yaitu LARAS dan ISJD, serta mengetahui lokasi penyimpanan koleksi di rak perpustakaan (34 orang atau 68%); b) Memahami tahapan penelusuran dengan Katalog LARAS atau ISJD dengan benar (24 orang atau 48%); c) Memahami tahapan pencarian literatur di rak perpustakaan dengan benar (34 orang atau 68%); 3) Sebagian besar pemustaka “kurang memahami” tentang adanya menu pencarian di Katalog LARAS atau ISJD dan sistem layanan literatur di Perpustakaan PDII. Hal tersebut terlihat pada pernyataan pemustaka yang menyatakan bahwa: 1) kurang memahami tentang menelusur literatur menggunakan menu pencarian umum dan pencarian canggih (29 orang atau 58%); 2) kurang mengetahui adanya sistem layanan terbuka dan tertutup di Perpustakaan PDII (29 orang atau 58%). 4) Sebagian besar pemustaka akan mencari/ menelusur koleksi lain dengan topik atau variabel judul koleksi sejenis (46 orang atau 92%), dengan memperhatikan aspek kekhususan/spesifikasi topik koleksi yang sejenis. Koleksi yang sudah ditemukan, kemudian akan dimanfaatkan dengan cara membaca bagian-bagian penting isi bacaan dan menggadakan bahan bacaan, baik melalui fotokopi, print, maupun email. 5) Seluruh pemustaka akan meminta bantuan penelusuran literatur ke petugas perpustakaan/ pustakawan jika mengalami kesulitan (50 orang atau 100%). Kesulitan utama yang dihadapi pemustaka adalah kurang jelasnya papan petunjuk lokasi koleksi di rak. Pemustaka meminta bantuan penelusuran ke petugas/pustakawan dengan cara menemui dan menjelaskan permasalahanya kepada petugas/pustakawan secara sendiri, tanpa ditemani orang lain. Hal-hal di atas, menjadi perhatian khusus bagi petugas perpustakaan dan Pimpinan PDII untuk peningkatan layanan informasi Perpustakaan PDII. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif, khususnya bagi petugas/pustakawan di perpustakaan untuk senantiasa meningkatkan
keramahan dan kesiapan diri untuk membantu menemukan sumber-sumber informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka. Terkait dengan saran-saran pemustaka
di atas, hendaknya perpustakaan/Pimpinan PDII melakukan tindakan perbaikan-perbaikan secepatnya, agar keluhan-keluhan di perpustakaan dapat dikurangi.
Daftar Pustaka Adisantoso, J. 1996. Pendekatan kuantitatif untuk penelusuran informasi. Jurnal Forum Statistika dan Komputansi, p:24-29. Borodovkina, L. 2000. Investigation of machine learning tools for document clustering and classification [tesis]. USA: Department of Electrical Engineering and Comp Science, MIT. Hartinah, S. 1996. Persepsi pengguna dan petugas terhadap kualitas jasa penelusuran informasi ilmiah: studi kasus di Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Laloo, B.T. 2002. Information needs, information seeking, behaviour and users. New Delhi: Ess Ess Publications Mount, E. dan Massoud, R. 1998. Special libraries and information centers: an introductory text. USA: Special Library Association Publishing. Perpusnas. 2010. Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan Dan Angka Kreditnya. Jakarta: Perpusnas RI
Purnomowati, S., dkk. 2006. Kebutuhan informasi dan perilaku pencarian informasi peneliti di Serpong. Buku Kasus Kepustakawanan Kita: beberapa hasil penelitian. Jakarta: PDII-LIPI. Qurniati, N. 2008. Pemanfaatan internet sebagai media penulusuran informasi di perpustakaan. Jurnal RBITH, Vol.4, No.3: 577-579. Sulistiyo-Basuki. 1992. Teknik dan jasa dokumentasi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Tambunan, K. 2012. Indonesian Scientific Journal Database: pengenalan. Jurnal BACA, Vol 33, No 1]. Wahyudin. 2010. Strategi jitu penelusuran informasi ilmiah yang cepat, tepat, dan akuran di internet. Jurnal Pustakawan Indonesia, Vol.10, No.2: 47-48. Wilson, T.D. 1984. The Cognitive approach to information seeking behaviour and information use. Sosial Science Information Studies, 4, 197-204.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
51
Oleh: ENDANG FATMAWATI1 E-mail:
[email protected]
KESIAPAN PUSTAKAWAN INDONESIA MENYONGSONG MEA 2015 Abstrak MEA yang rencananya akan diberlakukan Desember 2015 menjadi momen yang membuka gerbang perdagangan bebas ASEAN. MEA menjadi salah satu bentuk kesepakatan 10 anggota negara ASEAN untuk memberikan peluang yang sama dan menciptakan sebuah iklim pasar yang terbuka. Kunci utama MEA adalah daya saing. Pustakawan harus optimis dan siap untuk bersaing menghadapi pustakawan asing. Dampak dari konsekuensi MEA yang jelas adalah aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus tenaga kerja, dan arus bebas bidang permodalan. Pustakawan termasuk yang terkena dampak dari persaingan tenaga kerja. Terkait dengan kesiapan pustakawan menyongsong MEA, maka sertifikasi pustakawan adalah salah satu indikatornya. Hal ini sebagai bentuk jaminan dan pengakuan akan kompetensi yang dimiliki pustakawan Indonesia. Kata kunci: kompetisi, MEA, pustakawan kompeten, kompetensi diri, daya saing. Pendahuluan Kita tahu bahwa Desember 2015 Insya Allah akan resmi diberlakukan ASEAN Economic Community (AEC) yang diIndonesiakan menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), atau sering disebut pasar bebas ASEAN. Negara Indonesia menjadi salah satu bagian di dalamnya yang harus bersaing secara bebas dengan negara ASEAN lainnya tanpa adanya proteksi dari pemerintah. Jika kita cermati memasuki tahun 2015 ini, kata MEA lebih sering kita dengar dan perbincangkan. Seminar maupun temu ilmiah yang bermunculan dari berbagai instansi akhir-akhir ini selalu mengusung topik yang dikaitkan antara profesi tertentu (misalnya: pustakawan, perawat, dokter, guru, advokat, pengusaha, dan lain sebagainya) dengan MEA 2015. Bahkan di berbagai media juga diekspose tentang berita maupun ulasan bertema MEA dan ruang lingkup yang berkaitan. Semakin bertambahnya waktu di setiap bulan dalam tahun 2015 ini, semakin membuat hati kita berdebar. Ya lambat laun tapi pasti, MEA sebagai konsekuensi dari globalisasi benarbenar akan hadir. Bukan tidak mungkin terjadi dengan
1
Pustakawan Madya pada Perpustakaan FEB UNDIP
52
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
hadirnya MEA akan muncul “homo economy lupus”, maksudnya siapa yang kuat yang berkuasa. Apalagi pada tahun 2020 nanti cakupannya lebih luas, yaitu tingkat Asia Pasifik. Para pemimpin ASEAN memang mempunyai visi untuk tahun 2020 yaitu ASEAN Community, dan MEA menjadi salah satu pilarnya. Tepatnya bisa dikatakan kalau MEA sudah di depan mata. Hal itu menjadi realitas yang harus dihadapi pustakawan Indonesia. Oleh karena kunci utama MEA adalah daya saing, maka beberapa pertanyaan yang kemungkinan muncul terkait antara pustakawan dan MEA 2015, antara lain: - Apa itu MEA 2015 ?. - Untuk menyongsong MEA 2015, bagaimana kondisi Indonesia secara umum saat ini ?. - Siapkah pustakawan Indonesia menghadapi MEA 2015 ?. - Siapkah pustakawan Indonesia bersaing dengan pustakawan dari berbagai negara ASEAN dalam MEA 2015 ?. - Kompetensi diri seperti apa yang perlu dimiliki oleh
pustakawan Indonesia untuk berkompetisi dalam MEA 2015 ?. - Bagaimana strategi pustakawan Indonesia menuju keterbukaan pasar dalam MEA 2015 ?. - Bagaimana kesiapan pustakawan Indonesia dalam berkompetisi menghadapi MEA 2015 ?. Masyarakat Ekonomi ASEAN Banyak aspek yang bisa dibahas untuk mengukur kesiapan pustakawan Indonesia dalam menghadapi MEA 2015. Pembahasan akan dimulai dari kondisi Indonesia secara umum dahulu baru masuk pada pustakawan. Pembentukan MEA berawal dari kesepakatan pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yaitu tepatnya pada Desember 1997 di Kuala Lumpur. Dilanjutkan dalam KTT di Bali pada Oktober 2003 dan waktu itu para petinggi ASEAN telah mendeklarasikan kalau pembentukan MEA adalah pada tahun 2015. Selanjutnya sesuai dengan kesepakatan 22nd ASEAN Summit di Brunei Darussalam, maka MEA akan diberlakukan pada Desember 2015 yang mencakup 10 negara anggota. Kesepuluh negara anggota ASEAN tersebut adalah: Indonesia, Myanmar, Thailand, Kamboja, Singapore, Laos, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam.
Gambar 1. Sepuluh Negara Anggota ASEAN. Sumber: http://jakartagreater.com/masyarakat-ekonomiasean-2015/ Indonesia mempunyai modal utama untuk menghadapi pasar bebas dalam rangka MEA mendatang. Salah satu alasan bahwa negara Indonesia menjadi primadona di kawasan ASEAN adalah karena Indonesia
memiliki jumlah penduduk yang melimpah atau terbesar di kawasan ASEAN, yaitu sekitar 250 juta jiwa atau 42 % dari populasi ASEAN. Indonesia juga menyimpan sejuta potensi kekayaan alam maupun letak geografis yang menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN. Pustakawan sebagai agen perubahan untuk majunya sebuah perpustakaan perlu meningkatkan daya saingnya sehingga era globalisasi menuntut tingkat intelektualitas pustakawan yang tinggi. Oleh karena mendekati MEA muncul perubahan yang semakin cepat, maka uji kompetensi secara mandiri bagi pustakawan menjadi keharusan. MEA memunculkan liberalisasi ekonomi regional. Hal ini tentu mengandung konsekuensi bagi negara Indonesia. MEA juga hadir untuk mengejar ketertinggalan dari negara India dan China. Mengenai urgensi dari pilar utama dari MEA 2015, yaitu: 1. Single market and production base. MEA menandai terbentuknya pasar basis produksi tunggal. MEA membuat kawasan ASEAN menjadi kawasan bebas untuk arus barang dan jasa. Demikian pula arus tenaga kerja akan menjadi lebih bebas, sehingga pustakawan akan lebih mudah untuk melakukan pekerjaannya di semua negara anggota ASEAN dan sebaliknya pustakawan asing dapat bekerja bebas di Indonesia. 2. Competitive economic region. MEA bertujuan menciptakan kawasan ASEAN menjadi kawasan yang berdaya saing tinggi. 3. Equitable economic development. MEA menjadikan kawasan dengan pembangunan ekonomi yang lebih merata, sehingga menguntungkan bagi negara-negara di kawasan ASEAN yang masih tertinggal. 4. Integration into global economy. MEA menciptakan peningkatan integrasi dengan perekonomian dunia yang global. Hadirnya MEA diharapkan akan membuat perusahaan-perusahaan di kawasan ASEAN dapat berhubungan dan berpartisipasi dengan ekonomi global. MEA merupakan era baru karena persaingan global dibuka seluas-luasnya. Hal ini jelas berimbas pada pustakawan, karena para pustakawan Indonesia termasuk bagian di dalam tenaga kerja yang menjadi salah satu dampak dari konsekuensi diberlakukannya MEA. Selanjutnya tujuan dibentuknya MEA tiada lain adalah untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN, sehingga diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan di bidang ekonomi antar negara ASEAN. Ada beberapa dampak dari konsekuensi MEA yang
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
53
perlu dicermati, yakni dampak aliran bebas (free flow) barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas investasi, dampak arus tenaga kerja, dan dampak arus bebas modal. Coba bayangkan dengan berasumsi pada kondisi saat ini, yaitu pasar yang telah terkontrol/tidak bebas saja, masyarakat kita sudah kewalahan dengan kegiatan bisnis yang dilakukan oleh orang asing, apalagi dengan menjalankan sistem pasar terbuka dalam MEA nanti.
2. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur masih kurang sehingga mempengaruhi kelancaran arus barang dan jasa; 3. Sektor industri yang rapuh karena ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi; 4. Keterbatasan pasokan energi; 5. Lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor, padahal kita tahu bahwa saat ini saja produk impor Tiongkok sudah membanjiri Indonesia.
Kondisi Indonesia Disadari atau tidak bahwa kerjasama MEA 2015 menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan peningkatan dan daya saing ekonomi global. Untuk perbandingan saja, besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand (US$ 366 miliar), Malaysia (US$ 305 miliar), Singapura (US$ 276 miliar), Filipina (US$ 250 miliar), dan Vietnam (US$ 142 miliar). Sementara itu, PDB Indonesia US$ 878 miliar per tahun, sehingga Indonesia memang merupakan pasar menggiurkan di kawasan ASEAN.
Jika menyoroti Indeks Kebahagiaan pada 2014 bahwa penduduk Indonesia semakin bahagia. Indeks Kebahagiaan berada pada skala 0-100, sehingga semakin mendekati angka 100 berarti menunjukkan masyarakat makin bahagia. Tingkat kepuasan penduduk terhadap semua aspek kehidupan tahun 2014 mengalami peningkatan dibanding tahun 2013. Penduduk Indonesia di tahun 2014 berada pada level 68,28. Indeks Kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun berdasarkan tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial, yaitu: pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, kondisi keamanan, dan keadaan lingkungan (Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, hal. 136).
Jika melihat mengenai pendapatan perkapita, maka pendapatan perkapita Indonesia masih lebih rendah jika dibanding dengan Malaysia dan Singapura. Diantara kesepuluh negara anggota memang Singapura memiliki pendapatan perkapita paling besar. Pendapatan perkapita Indonesia hanya US$ 4.700, sementara Malaysia US$ 13.000 dan Singapura US$ 51.000 pertahun (http:// finance.detik.com). Logikanya berarti pendapatan perkapitanya di atas Indonesia, yaitu Malaysia 3 kali lipat dan Singapura semakin jauh melambung 11 kali lipat. Lalu terkait dengan daya saing investasi, negara Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bahkan dari Laporan Bank Dunia, Indonesia ada di peringkat ke-114 dalam kategori “Ease of Doing Business 2014”. Lagi-lagi masalah SDM menjadi aspek utama. Masyarakat Indonesia mayoritas memiliki konsumen di usia muda dan produktif, sehingga hal ini tentu akan menjadi magnet bagi produsen dari negara lain untuk memasarkan produk dan jasanya di Indonesia. Dengan kondisi ini akan menjadi sasaran empuk bagi para investor asing. Namun demikian, secara umum ada beberapa hal yang sekiranya akan menjadi hambatan terkait kesiapan dalam menyongsong MEA (dalam http://nationalgeographic. co.id/berita), antara lain: 1. Mutu pendidikan tenaga kerja umumnya masih rendah;
54
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Selanjutnya salah satu indikator untuk mengetahui kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah mengacu pada Human Development Indeks (HDI) atau sering disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Melalui IPM menentukan kualitas suatu bangsa apakah rendah atau tidak. Hal ini diketahui dari parameter seperti: kesehatan, kekayaan, maupun pendidikan. Laporan yang dirilis oleh Badan PBB untuk pembangunan, United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2014 bahwa IPM menunjukkan posisi Indonesia pada kategori ‘sedang’ yaitu urutan ke-108 dari 187 negara. Padahal nama kategori dalam kelompok daftar tersebut yaitu pembangunan manusia ‘sangat tinggi’, ‘tinggi’, ‘sedang’, dan ‘rendah’. Berarti Indonesia masih lumayan tidak termasuk kategori yang paling bawah yaitu rendah. Kategori tersebut didasarkan evaluasi pada dimensi ‘hidup panjang yang sehat’, ‘akses terhadap ilmu pengetahuan’, dan ‘standar kehidupan yang layak’. Walaupun jika dilihat untuk kawasan ASEAN saja, peringkat Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura yang menduduki urutan ke-9, Brunai ke-30, Malaysia ke-62, dan Thailand ke-89. Namun demikian, bisa berbangga karena masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan anggota ASEAN lainnya, seperti Filipina ke-117, Myanmar ke-150, Laos ke-139, Kamboja
ke-136, dan Vietnam ke-121 (http://unic-jakarta.org).
Februari 2014 yang hanya sebesar 4,31 %).
Realitas Pekerja Dengan semakin banyaknya investor yang menanamkan saham di Indonesia, maka dapat dilihat misalnya dari jumlah pengupahan bagi para pekerja di Indonesia yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan negara lain. Begitu juga jika menyoroti kualitas pekerja yang masih dipertanyakan. Asumsinya jadi ancaman, karena dengan jumlah nominal upah yang rendah tersebut justru akan menjadikan peluang strategis bagi investor dari negara lain untuk menanamkan sahamnya di Indonesia.
SDM memang menjadi faktor penggerak, sehingga kondisi seperti itu jelas akan menjadi tantangan untuk sektor lapangan kerja. Lalu bagaimana dengan kondisi para lulusan jurusan ilmu perpustakaan ? Apakah tingkat penyerapan tenaga kerjanya sudah signifikan dengan jumlah lulusan ? Pengamatan penulis, bahwa para lulusan dari S1 Jurusan Ilmu Perpustakaan (JIP) maupun D3 Perpustakaan & Informasi (Perpin) dari FIB UNDIP selama ini cenderung cepat terserap kerja di berbagai instansi negeri maupun swasta. Saya yakin begitu juga dengan lulusan Ilmu Perpustakaan dari Perguruan Tinggi yang lain, sepertinya sangat jarang dijumpai lulusan Ilmu Perpustakaan yang belum bekerja/menganggur. Hal ini menunjukkan kalau tenaga kerja lulusan Ilmu Perpustakaan memang sangat dibutuhkan.
Jika mengacu pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang biasanya dalam setahun dilansir setiap bulan Februari dan Agustus, maka dapat diketahui secara kuantitatif apakah mengalami kenaikan atau penurunan jumlah pekerjanya. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi masalah besar di kalangan buruh. Sungguh ironis, karena pada Agustus 2014 ternyata 54 juta buruh Indonesia masih berpendidikan SD (Berita Resmi Statistik, 5 November 2014). Hal ini nampak bahwa pada Agustus 2014 diperoleh data kalau jumlah pekerja di Indonesia yang paling tinggi adalah lulusan SD ke bawah dengan jumlah 54 juta orang (47,07 %), sedangkan penduduk yang bekerja dengan pendidikan Sarjana ke atas hanya sebesar 8,3 juta orang (7,21 %) saja. Dengan demikian, perbaikan kualitas pendidikan yang bekerja ditunjukkan oleh kecenderungan menurunnya penduduk bekerja berpendidikan rendah (SMP ke bawah) dan meningkatnya pendidikan pekerja berpendidikan tinggi (Diploma dan Sarjana). Angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2014 mencapai 121,9 juta orang, sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada Agustus 2014 sebanyak 114,6 juta orang. Selanjutnya data mengenai Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2014 mencapai 7,2 juta orang yang mayoritas pengangguran adalah angkatan kerja terdidik. Sungguh parah, karena hal ini justru mengalami peningkatan menjadi 5,94 % dibanding data TPT pada Februari 2014 yang hanya 7,15 juta orang (5,70 %). Pengangguran paling banyak adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 11,24 % kemudian disusul lulusan Universitas sebesar 5,65 %. Memprihatinkan karena tingkat pengangguran cenderung naik. Realitas bahwa jumlah pengangguran lulusan SMK pada Agustus 2014 naik hingga 4,03 % (dari Februari 2014 sebesar 7,21 %), sedangkan jumlah pengangguran lulusan Universitas juga mengalami kenaikan hingga 1,34 % (dari
Dari sisi penerapan teknologi informasi harus disadari bahwa kondisi perpustakaan di negara ASEAN umumnya cenderung lebih melek teknologi daripada perpustakaan di Indonesia. Jadi bagi lulusan ilmu perpustakaan yang mencari kerja saat MEA diberlakukan sebenarnya diuntungkan, karena lapangan kerja semakin terbuka dengan berbagi spesifikasi kebutuhan dan keahlian yang pilihannya beraneka ragam. Apalagi lulusan ilmu perpustakaan bisa bebas bekerja di perpustakaan negara-negara ASEAN. Namun yang menjadi masalah, bagaimana kualitas lulusan ilmu perpustakaan di Indonesia ? Bayangkan saja di saat diberlakukan MEA 2015 nanti, dipastikan jumlah pencari kerja akan semakin bertambah sedangkan lapangan kerja sempit. Jawaban secara umum jelas, yaitu karena investasi yang tak padat karya. Jika merujuk data The Global Competitiveness Report 2014/2015 yang dirilis World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia masih berada pada peringkat ke-34. Kita masih kalah dibanding Singapura yang duduk di peringkat ke-2, Malaysia ke-24, dan Thailand ke-31. Daya Saing Pustakawan Memang kita sadar bahwa tingkat kompetisi saat bergulirnya MEA khususnya aspek tenaga kerja jelas semakin ketat. Kondisi tersebut membutuhkan langkah strategis dan saya rasa hanya pustakawan yang mempunyai kompetensi yang bisa bersaing dan bertahan. Dengan memiliki kompetensi, ibaratnya ia memiliki “tanduk” yang bisa diandalkan sebagai modal atau senjata untuk unjuk gigi. Bisa dibayangkan jika para pustakawan Indonesia tidak mempunyai kompetensi ?. Akankah mampu bersaing dengan pustakawan negara lain yang jauh memiliki kompetensi ?.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
55
Dalam benak kita terpikir kalau pasar bebas itu berarti adanya kemudahan bagi pustakawan luar negeri untuk masuk dan keluar negara kita. Dalam kondisi yang demikian akan muncul kekawatiran tentang kesiapan kita untuk menghadapi persaingan dengan pustakawan luar negeri. Jika pustakawan tidak mampu, maka kemungkinan besar hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri. Jangan sampai hal ini terjadi.
Indonesia. Jika harus menjawab pertanyaan “Apakah pada tahun 2015 ini pustakawan sudah benar-benar siap dalam menyongsong MEA ?”. Sebagai pustakawan seharusnya menjawab dengan “siap”. Tuntutan yang utama adalah wajib memiliki kompetensi diri, meningkatkan kemampuan, mengembangkan diri, dan menjaga profesionalitas.
Untuk bersaing dengan pustakawan yang datang dari luar negeri, pustakawan wajib hukumnya memiliki kompetensi diri. Kompetensi diri yang dimaksud adalah kompetensi yang melekat dan dimiliki oleh seorang pustakawan. Misalnya aspek: kemampuan, pengetahuan, keterampilan, kepakaran, keahlian, maupun kemahiran di bidang perpusdokinfo.
Pustakawan harus percaya diri sehingga siap bersaing dengan pustakawan dari ASEAN yang bekerja di Indonesia. Untuk menumbuhkan motivasi untuk maju, maka pustakawan hendaknya ingat bahwa dalam kiprahnya mengelola sumber informasi dan melayani pemustaka, nantinya para pustakawan mau tidak mau akan langsung menghadapi tantangan diberlakukannya Pasar Bebas ASEAN.
Pustakawan harus bisa bersikap dengan memahami dan mengimplementasikan kode etik profesi pustakawan sehingga layak disebut sebagai pustakawan profesional. Sikap profesional ditunjukkan selain mempunyai pengakuan atau bukti kalau pustakawan tersebut kompeten, tapi juga didasari pada etos kerja yang tinggi dalam mengelola informasi dan melayani pemustakanya. Kita lihat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan pada Pasal 27 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Jadi kalau dianalisis artinya bahwa pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengatur prinsipprinsip sebuah perdagangan bebas untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Seberapa besar takutnya, kita harus yakin kalau pemerintah Indonesia dalam hal diberlakukannya MEA 2015 akan tetap dalam bingkai konstitusi untuk mengendalikan pasar dalam negeri nantinya. Jadi perlindungan yang dilakukan semoga tetap akan diarahkan pada upaya penguatan sistem ekonomi nasional yang memprioritaskan pada kepentingan masyarakat Indonesia. Kebijakan diberlakukannya MEA pada tahun 2015, membuat persaingan pustakawan semakin berat. Untuk itu, kemampuan dan profesional pustakawan harus terus ditingkatkan. Pustakawan harus mampu menyesuaikan budayanya dengan perubahan lingkungan memasuki MEA ini. Nilai-nilai yang sesuai dengan perubahan di era MEA bisa dipertahankan, namun yang tidak sesuai harus ditinggalkan. Apakah kita rela menyaksikan para pustakawan negara tetangga menjadi tuan rumah di
56
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Menurut Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan PNRI (Ibu Dra. Opong Sumiati, M.Si) dalam paparannya pada acara Seminar Nasional di Universitas Semarang tanggal 7 Januari 2015, bahwa implikasi MEA terhadap tenaga pustakawan Indonesia, yaitu: 1. Terbukanya lahan kerja yang luas; 2. Terbukanya bursa tenaga kerja pustakawan profesional untuk mengisi kebutuhan bidang kepustakawanan lokal maupun di lingkup ASEAN; 3. Terbukanya persaingan tenaga pustakawan yang tinggi; 4. Tuntutan pengakuan formal terhadap kompetensi profesi pustakawan (sertifikat profesi/kompetensi) yang berlaku di kawasan ASEAN. Sementara itu dalam seminar tersebut, satu-satunya Profesor Ilmu Perpustakaan di Indonesia (Prof. SulistyoBasuki) menyampaikan bahwa dalam menghadapi MEA maka persiapannya adalah harus dimulai dari pustakawannya sendiri. Beliau menjelaskan berbagai keahlian yang diperlukan pustakawan Indonesia, ialah: kemampuan keilmuan, kemampuan teknologi informasi, penguasaan bahasa Inggris, dan etos kerja yang tinggi. Dengan demikian, wujud dari kesepakatan pasar bebas di ASEAN nantinya akan berdampak pada pustakawan yaitu terbukanya peluang lebih lebar untuk terciptanya lapangan pekerjaan yang luas bagi pustakawan Indonesia. Terkait MEA nantinya, akankah para pustakawan Indonesia bisa bersaing atau tidak menjadi tantangan tersendiri. Melalui MEA yang jelas akan tercipta lapangan pekerjaan luas dengan salah satu indikator yaitu masuknya pustakawan luar negeri untuk bekerja di Indonesia. Jadi dalam MEA nantinya, baik kualitas maupun keterampilan
yang dimiliki pustakawan akan menjadi penentu sehingga pustakawan perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan yang mumpuni untuk meningkatkan kompetensi diri sebagai pustakawan profesional. Kesiapan Pustakawan Kesiapan bisa dijelaskan sebagai kondisi yang membuat siap pustakawan Indonesia untuk berkompetisi dalam MEA 2015. Kesiapan menyangkut kondisi baik fisik, mental, maupun emosional. Sebagai upaya persiapan untuk menyongsong MEA, maka dimulai dari diri sendiri sebagai pustakawan dengan mengedepankan etika, moral, dan kepribadian dalam menjalankan profesinya. Selain itu, dalam bekerja pustakawan juga harus mempunyai sikap dasar. Maksudnya adalah sikap mental yang melekat pada diri pustakawan yang akan mencerminkan watak dari pustakawan tersebut. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan pustakawan yang berkompeten, yakni: kompetensi diri, sistem yang mengatur, regulasi, keahlian, bakat, kompetisi, kreatifitas, inovasi, maupun daya kritis. Tidak perlu risau saya rasa, perbaikan dari dalam diri menjadi syarat mutlak. Dimulai dari diri setiap individu, kemudian merambah ke masyarakat, dan kemudian seluruh warga negara. Saya rasa, bagaimanapun saat MEA diberlakukan nantinya, pemerintah Indonesia tetap akan mengatur arus bebas pustakawan yang dimaksud, baik dari sistem dan regulasinya. Berbagai hal yang terkait dengan strategi bagaimana kesiapan pustakawan Indonesia dalam menyongsong MEA 2015, antara lain: 1. Melakukan uji kompetensi sehingga mendapatkan pengakuan kompeten. Adanya sertifikasi pustakawan berarti sebagai jaminan atau bentuk pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki pustakawan. 2. Mengejar ketertinggalan agar sesuai dengan standar mutu pustakawan, artinya diakui kompetensinya baik secara nasional maupun internasional melalui uji kompetensi profesi untuk meningkatkan daya saing. Standar mutu yang dimaksud adalah standar kompetensi pustakawan. Jadi pustakawan yang sudah memiliki kemampuan sesuai standar kompetensi, paling tidak sudah mempunyai bekal untuk bersaing untuk bekerja di negara ASEAN. 3. Menciptakan inovasi untuk memajukan perpustakaan sehingga mempunyai nilai lebih yang dibuktikan dengan karya prestatif yang bisa ”dijual”. 4. Mempunyai kelebihan dengan keahlian tertentu sebagai pembeda dengan pustakawan lainnya sehingga mempunyai posisi tawar yang tinggi.
5. Mampu berpikir kritis-kreatif. Maksudnya respon positif terhadap kebijakan diberlakukannya MEA dan berusaha menghasilkan ide yang konstruktif. Hal ini agar pustakawan tidak asal terburu-buru dalam bersikap namun bisa lebih dewasa sehingga mampu membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan lebih bijak. 6. Terus-menerus (persistent) memperbaiki aspek yang nampak secara fisik (tangible) maupun nonfisik (intangible). Misalnya terkait dengan profesionalitas, kepribadian, keramahan, dan keterampilan sehingga menjadi optimis dan percaya diri untuk bersaing. Selain itu, juga memperbaiki aspek koleksinya, baik yang menyangkut kesesuaian dengan kebutuhan pemustaka dan kemutakhiran koleksi. 7. Memadukan aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik dalam menjalankan profesinya sehingga bisa meningkatkan keahlian dan pemikiran secara global untuk memacu daya saing. 8. Senantiasa mengasah kompetensi teknologi informasi dan komunikasi, agar tidak gaptek dan menjadi responsif terhadap perkembangan teknologi yang muncul. 9. Meramu budaya kerja yang tepat dalam menghadapi MEA, sehingga menciptakan kondisi yang kondusif dan kuat bertahan saat pustakawan asing masuk. 10. Meningkatkan kemampuan berbahasa asing terutama bahasa Inggris baik lisan maupun tertulis. 11. Aktif transfer pengetahuan dengan membuat kemasan informasi (product) dengan membangun sinergi (market) melalui stakeholders yang terkait dengan perpustakaan. Hal ini akan semakin menguatkan jejaring kolaborasi antar pustakawan sehingga pustakawan Indonesia menjadi semakin percaya diri dalam menyongsong MEA. 12. Meningkatkan budaya meneliti di kalangan pustakawan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Merry Dandian Panji (2014) bahwa faktor internal dari pustakawan selain butuh SDM yang handal juga perlu menumbuh kembangkan budaya meneliti. Pustakawan Indonesia harus mempunyai mimpi besar untuk menyongsong MEA 2015. Pernah kita mendengar bahwa “titik awal keberhasilan, dimulai dari mimpi besar”. Logikanya dari mimpi tersebut dapat menciptakan perubahan hidup untuk memulai perjuangan dengan etos kerja yang luar biasa. Merry Riana, penulis buku best seller “Mimpi Sejuta Dollar” yang menjadi motivator sekaligus pengusaha sukses, memberikan 3 (tiga) prinsip untuk memaksimalkan kesuksesan. Prinsip tersebut adalah partisipasi, pikiran terbuka, dan aksi.
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
57
Jika saya coba untuk diterapkan untuk pustakawan, partisipasi berarti setiap pustakawan harus proaktif ambil bagian untuk siap menghadapi MEA, sehingga tidak hanya sebagai komentator atau penonton rekan pustakawan lain yang lebih hebat. Pustakawan hendaknya senantiasa berpartisipasi aktif dalam kegiatan kepustakawanan maupun mampu berkiprah secara nyata untuk memajukan perpustakaan agar bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. Pikiran terbuka diartikan sebagai membuka pikiran kita terhadap kemungkinan bahwa “sesuatu” itu bisa benar atau salah. Hal ini bisa saya jelaskan bahwa era MEA justru dapat menyadarkan pustakawan untuk berpikir luas sehingga memunculkan hasrat untuk memperbaiki diri maupun mengembangkan diri untuk berbenah dan bersaing positif. Intinya dengan pikiran yang terbuka akan menstimulus munculnya gagasan baru yang akan membantu pustakawan dapat berfikir lebih rasional tentunya. Sementara itu, aksi berarti pustakawan tidak hanya ‘ngomong’ saja tetapi butuh integritas yang tinggi dalam mewujudkan sumbangsih atau karya nyatanya dalam menghadapi MEA 2015. Pengakuan Kompeten Walaupun sudah menyandang pustakawan yang bersertifikasi kompeten dalam klaster tertentu, namun pustakawan jangan merasa puas begitu saja. Idealnya harus terus meningkatkan kemampuan dan kualitas agar identitas sebagai pustakawan profesional tetap melekat. Bagaimanapun juga dalam bekerja pustakawan akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Apabila lingkungan kerja kondusif, baik fisik maupun nonfisiknya maka memungkinkan tercapainya kepuasan kerja. Lingkungan kerja fisik berarti apa saja yang berbentuk fisik yang ada di sekitar tempat kerja. Sementara itu, lingkungan kerja nonfisik terkait dengan keadaan
58
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
dalam konteks hubungan dengan orang lain, baik dengan atasan, sesama pustakawan, maupun dengan bawahan. Jika dikaitkan dengan sikap dasar pustakawan, maka implementasinya adalah bagaimana hubungan pustakawan dengan pemustaka, hubungan pustakawan dengan organisasi profesi, dan hubungan pustakawan dengan masyarakat. Tindakan rasional untuk meningkatkan kompetensi terjadi karena ada semacam dorongan yang ada di dalam diri pustakawan tersebut untuk mencapai tujuan. Jadi dalam menyongsong MEA 2015, maka motivasi untuk berkompetisi dengan pustakawan asing harus ada. Beberapa jenis motivasi yang sepertinya melekat pada diri pustakawan, yaitu: Perlu dimunculkan motivasi positif agar pustakawan senantiasa bisa memperbaiki diri. Suatu hal yang terpenting adalah menjaga motivasi pustakawan dalam bekerja agar tidak turun. Aspek yang terkait dengan motivasi kerja pustakawan, antara lain: 1. Ada suatu dorongan dan faktor pemicu untuk maju, baik internal maupun eksternal; 2. Ada suatu kegiatan yang dilakukan; 3. Ada tindakan yang terarah; 4. Ada tujuan yang ingin dicapai; 5. Ada alasan pemenuhan kebutuhan bagi pustakawan yang bersangkutan. Adanya kenaikan secara signifikan besarnya tunjangan pustakawan di Indonesia menunjukkan adanya perhatian pemerintah terhadap keberadaan pustakawan. Hal lainnya terkait dengan level untuk tunjangan kinerja (remunerasi) bagi pustakawan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pegawai administrasi. Begitu juga adanya sertifikasi profesi bagi pustakawan. Faktorfaktor tersebut akan berdampak pada kepuasan kerja pustakawan tersebut, seperti:
2. Motivasi Karir Berarti dorongan yang timbul dalam diri pustakawan untuk meningkatkan kemampuan pribadinya agar menjadi pustakawan profesional dalam rangka mencapai jabatan fungsional yang lebih tinggi. 1. Motivasi Kualitas
4. Motivasi Sosial
Berarti dorongan yang timbul dalam diri pustakawan untuk meningkatkan kompetensi diri, kualitas diri, dan kemampuan diri dengan harapan dapat bekerja dengan lebih baik.
Berarti keinginan pustakawan untuk dapat memiliki prestasi yang tinggi dalam pekerjaannya dan mendapatkan pengakuan kompeten maupun penghargaan dari pimpinan atau lingkungan dimana pustakawan tersebut berada.
MOTIVASI PUSTAKAWAN
3. Motivasi Ekonomi Berarti pustakawan menjatuhkan pilihan untuk masuk dalam jabatan fungsional tertentu (pustakawan) itu merupakan pilihan karir yang asumsinya akan mendatangkan tunjangan yang lebih besar bila dibandingkan berkarir menjadi PNS fungsional umum.
Gambar 2. Motivasi Pustakawan. 1. 2. 3. 4.
Kepuasan terhadap pekerjaannya; Kepuasaan terhadap profesi yang digelutinya; Kepuasan terhadap prestasi yang diperoleh; Kepuasan terhadap nilai finansial yang diterima
Harus Menjadi Peluang Pasar bebas ASEAN menyimpan peluang bagi pustakawan Indonesia. Wing Thye Woo, seorang guru besar Departemen Ekonomi, Universitas California menegaskan kalau Indonesia mempunyai peran yang sangat penting di kawasan Asia Tenggara, terutama untuk tetap membuat wilayah itu bergerak dinamis. Katanya hanya Indonesia yang dipandang mampu memimpin dan memobilisasi negara-negara kawasan termasuk dalam konteks ASEAN demi keuntungan bersama. ASEAN di bawah kepemimpinan Indonesia harus mampu mempertahankan eksistensinya sebagai satu kesatuan atau kelompok (Kompas, 21 Januari 2015). MEA 2015 adalah realita yang harus dihadapi pustakawan Indonesia. Jadi apakah MEA nantinya akan mundur pemberlakuannya menjadi Januari 2016 atau tidak (dikarenakan anggotanya belum siap), bukanlah
menjadi masalah. Justru mulai saat ini memasuki tahun 2015, pustakawan harus bersiap dan semakin menjadi lebih optimis. Keyakinan menjadi sebuah peluang akan selalu ada. Ketidaksiapan dalam menghadapi MEA menyebabkan Indonesia menjadi “jajahan” dari pihak luar. Pustakawan kita akan bersaing dengan pustakawan dari luar negeri di kandang sendiri. Pada satu sisi, MEA menjadi peluang, karena bisa jadi perpustakaan sebagai tempat bekerja yang justru menjadi terbentang luas di seluruh negara ASEAN. Sebaliknya akan menjadi ancaman jika pustakawan Indonesia tidak siap menghadapi hadirnya MEA 2015 ini. Pelaksanaan MEA tidak boleh disikapi dengan kekawatiran berlebih. Memang adanya sistem MEA, maka akan membuat sekat diantara pustakawan dari negara-negara anggota ASEAN akan hilang. Peluang bagi pustakawan Indonesia untuk memperluas dalam menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan pustakawan dari negara lain. Pustakawan hendaknya menghadapi MEA ini dengan serius agar mampu bersaing dan menangkap peluang kerja yang semakin besar. Jadi MEA 2015 akan menjadi peluang dan berkah bagi
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
59
pustakawan, jika pustakawan siap dari sisi kompetensi yang dimiliki maupun mental dalam mengarungi pasar bebas ASEAN. Menjadi tantangan pustakawan, mengingat MEA meliputi negara-negara ASEAN, sehingga jika pustakawan Indonesia kalah bersaing berarti sangat memalukan. Dengan demikian harusnya menjadi cambuk bagi pustakawan Indonesia untuk bersaing di kancah Internasional agar tidak tersingkir di tempat sendiri. Marilah kita berfikir yang positif tentang MEA. Yakinlah bahwa adanya kompetisi tidak selalu melahirkan hal yang buruk, tapi terkadang kompetisi justru akan mampu melahirkan semangat untuk terus melakukan inovasi bagi kemajuan dalam diri pustakawan.
Penutup MEA merupakan tantangan baru bagi pustakawan Indonesia. Intinya MEA menyepakati arus bebas antar negara di ASEAN dalam 5 (lima) hal, yaitu: barang, investasi, jasa, tenaga kerja, dan modal. Hadirnya MEA berarti akan ada indikasi masuk keluar dengan bebasnya berbagai aspek tersebut. Terkait dengan tenaga kerja, pustakawan harus siap dan janganlah pustakawan hanya menjadi penonton dan tersingkir di negeri sendiri. Pustakawan diharapkan mempersiapkan langkah strategis untuk meningkatkan kompetensinya. Sertifikasi kompeten menjadi hal yang wajib agar pustakawan diakui kompetensinya sebagai modal untuk berkompetisi menyongsong MEA 2015.
Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. (2014). Berita Resmi Statistik. No.85/11/Th XVII, 5 November. Badan Pusat Statistik. (2015). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 57, Februari. Bersiap Menyongsong MEA. (2014). SWA 21, XXX, 9-19 Oktober, hal. 4. Indonesia Berperan Penting Persatukan ASEAN. (2015). Kompas, Rabu, 21 Januari, h.10, k. 2-6. Laporan Pembangunan Manusia 2014 Peluncuran Global, Implikasi Lokal. Diakses Januari 24, 2015 dari http://unic-jakarta.org/2014/07/25/laporanpembangunan-manusia-2014-peluncuran-globalimplikasi-lokal/ Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Diakses Januari 24, 2015 dari http://jakartagreater.com/masyarakatekonomi-asean-2015/ MEA 2015 Harus Menjadi Peluang. Suara Merdeka, 25 Agustus 2014, hal. 9, kol. 2-4. Pahami Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Diakses Januari 24, 2015 dari http:// nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/pahamimasyarakat-ekonomi-asean-mea-2015.
60
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Panji, Merry Dandian. (23 Juni 2014). Mempersiapkan Pustakawan Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Indonesia. Pendapatan Per Kapita Orang RI Kalah Jauh Dibanding Negara Tetangga. Diakses Januari 24, 2015 dari http:// finance.detik.com/read/2014/05/11/145922/25794 15/4/pendapatan-per-kapita-orang-ri-kalah-jauhdibanding-negara-tetangga. Sulistyo-Basuki. (7 Januari 2015). Refleksi Perjalanan Kepustakawanan Indonesia, 1963-2013. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Perpustakaan dan Bedah Buku, Universitas Semarang (USM), Indonesia. Sumiati, Opong. (7 Januari 2015). Pustakawan Indonesia dan AFTA 2015. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Perpustakaan dan Bedah Buku, Universitas Semarang (USM), Indonesia.
PETUNJUK UNTUK PENULIS Judul Artikel1 (Setiap kata diawali huruf kapital, 14 pt, bold, centered)
Penulis Pertama2, Penulis Kedua3 dan Penulis Ketiga3 (penulis tanpa gelar 12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
E-mail:
[email protected] (11 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal dan rata kiri-kanan. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup latar belakang, tujuan penelitian, metode penelitian (teknik pengumpulan dan analisis data), serta hasil analisis yang disampaikan tidak lebih dari 250 kata. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Kata Kunci: maksimum 5 kata kunci (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tunggal, 12 pt)
Pendahuluan (12 pt, bold) Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt, spasi tunggal dan rata kiri. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Apabila halaman naskah jauh melebihi jumlah tersebut maka dianjurkan untuk dibuat dalam dua naskah terpisah. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk istilah asing ditulis miring (italic). Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Kata kunci ditulis di bawah abstrak untuk mendeskripsikan isi naskah. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar tanpa diberi penomoran. Kata pertama pada setiap awal paragraf menjorok 0.5 inch /1,27 cm. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Kesimpulan dan/atau Diskusi, serta Daftar Pustaka. Sebaiknya penggunaan subheadings dihindari, apabila diperlukan maka gunakan outline numbered yang terdiri dari angka Arab.
Daftar Pustaka (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan daftar pustaka mengadopsi format APA (American Psychological Association). Daftar pustaka sebaiknya menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang pengarang. Secara umum, urutan penulisan daftar pustaka adalah nama pengarang, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam kurung, tanda titik, judul tulisan, tempat terbit, tanda titik dua/colon, nama penerbit. Paling banyak nama 3 (tiga) orang pengarang yang dituliskan, apabila lebih dari 4 orang digunakan kata dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung diterakan setelah nama pengarang agar memudahkan penulusuran kemutakhiran bahan acuan. Apabila pengarang yang diacu menulis dua atau lebih tulisan dalam setahun maka pada saat penulisan tahun terbit diberi tanda pemerlain agar tidak membingungkan pembaca tentang tulisan yang diacu, misalnya: Miner (2004a), Miner (2004b). Makalah pernah dipresentasikan/disampaikan pada acara… (bila ada) Pustakawan Muda pada Perpustakaan X 3 Pustakawan Pertama pada Perpustakaan X 1 2
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
61
Contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Rujukan dari buku:
Lofland, Lyn. (1999). A World of Strangers: Order and action in urban public space. New York: Basic Books.
Rujukan bab dalam buku:
Markus Hazel Rose, Kitayama Shinobu, Heiman Rachel H. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higginss & A.W. Kruglanski (EDS.), Social psychology: Handbook of basic principles. New York: The Guilford Press.
Rujukan dari dokumen online:
Van Wagner, Kendra. (2006). Guide to APA format. About Psychology. Diakses November 16, 2006 dari http://psychology.about.com/od/apastyle/guide\
Rujukan artikel dalam jurnal:
McCright, Aaron M. & Dunlap, Riley E. (2003). Defeating Kyoto: The concervative movement’s impact on U.S. climate change policy. Social Problems, 50, 348-373.
Rujukan dari jurnal online:
Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of internet Psychological, 4. Diambil 16 November 2014 from http://www.journalofinternetpsychology.com/archives/ volume4/3924.html
Artikel dari database:
Henriques, Jeffrey B. & Davidson, Richard J. (1991). Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diambil 16 November 2014 dari PsychINFO database
Online Forums, Discussion Lists or Newgroups:
Leptkin, J. L. (2006, November 16). Study tips for psychology students [Msg.11]. Pesan disampaikan dalam http://groups.psychelp.com/forums/messages/48382.html.
Rujukan dari makalah:
Santamaria, J.O. (September 1991). How the 21st century will impact on human resource development (HRD) professional and practitioners in organizations. Makalah dipresentasikan pada International Confrence on Education, Bandung, Indonesia.
Rujukan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi:
Santoso, Guritnaningsih A. (1993). Faktor-faktor sosial-psikologis yang berpengaruh terhadap tindakan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak ke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studi lapangan di pedesaan Jawa Barat dengan analaisis model persamaan struktural). Disertasi Doktor , Program Pascasarjanana Universitas Indonesia, Jakarta.
Rujukan dari laporan penelitan:
Villegas, Martha & Tinsley, Jeanne. (2003). Does education play a role in body image dissastification? Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: psat Penelitian UI dan badan Narkotika Nasional.
Rujukan dari ensiklopedia atau kamus:
Sadie, Stanley. (Ed.). (1980). The new Grove dictionary of music and musicians (6th ed., Vols. 1-20). London: Macmillan.
Lampiran Lampiran/Appendices hanya digunakan jika benar-benar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasul perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Pustaka. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab. Catatan: Untuk menghindari andanya duplikasi tulisan dan pelanggaran etika keilmiahan, penulis tidak diperkenankan untuk mengirimkan dan mempublikasikan naskah yang sama pada penerbitan jurnal ilmiah yang lain. 2. Mohon cantumkan kutipan dengan jelas, baik di dalam artikel dan terdaftar dalam daftar pustaka. Format kutipan: Nama penulis yang dikutip (tahun publikasi: halaman berapa kata/kalimat yang akan dikutip) - Kutipan tidak langsung: Seperti definisi X menurut Arif (2011:11) adalah sesuatu yang hidup dan berkembang biak di alam Y. - Kutipan langsung: Menurut Sunderland (1979:12): “Pendirian lembaga maupun jurnalnya dapat dilihat sebagai upaya pihak kolonial untuk melanggengkan jajahannya.” 3. Hindari copy paste dari artikel lain, blog pribadi seseorang, Wikipedia, ataupun situs yang tidak jelas, karena tidak bisa dijadikan sebagai rujukan. 4. Redaksi berhak menolak atau mengembalikan naskah artikel yang tidak memenuhi petunjuk penulisan ini. 1.
62
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
Vol. 22 No. 2 Tahun 2015
63
Kegiatan Rapat Koordinasi Kerjasama Pengembangan Jabatan Fungsional Pustakawan dengan Instansi Terkait dan 22 No. 2 Tahun 2015 64 Vol. Temu Kerja Pustakawan Madya & Utama, Jakarta 2014