Royal Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies Reuvensplaats 2 2311 BE Leiden Netherlands tel: (+)31 71 - 527 2295; email:
[email protected]
- TEMPLATE INTERVIEW SUMMARYInterview with mr: Basar Surdi Transcriptic summary
Serial 01 (00:13) Saya anak ke 6 dari 10 bersaudara. Sebenarnya ada 11 tapi yang terakhir meninggal itu masih kecil jadi tidak diitung lagi.
Tinggal di Suriname semua dan hanya saya sendiri yang di
Indonesia. Saya sejak kecil diadopsi sama paman, adik dari ayah, sejak balita sampai besar dia menyekolahkan saya sampai dibawa kemari. Jadi pulang kesini bersama paman. Saya dari Suriname lebih kurang umur antara 16-17 tahun, di sana sudah sekolah di Lager Onderwijs. Di Suriname tinggal di kota Paramaribo, lahirnya di distrik Saramacca. Di Saramacca, orangnya campur-campur, ada India, Hindustan ada, pokoknya Negro ada, Jawa ada. Saya dilahirkan di Saramacca, besarnya di Paramaribo. Jadi begitu lahir langsung diadopsi oleh paman dan tinggal terpisah dengan saudara-saudara. Saudara kandung ada yang tinggal di Saramacca, ada yang di Nickerie. Semua tinggal dengan orangtua, hanya saya sendiri yang diadopsi. Pekerjaan paman disana jualan di pasar pusat istilahnya, jualan kebutuhan harian, bersama istri. Waktu disana, saya tidak ikut bekerja, hanya sekolah. Ketika pulang ke Indonesia, sampai disini saya sekolah sampai tamat SMP. (05:00)
Kemudian merantau ke Pekanbaru selama setahun, di kontraktor Teltex namanya. Waktu itu bergolak PRRI, perang saudara, antara tahun 1959-1960, jadi disana cuma 1 tahun. Entah karena apa, saya dipanggil pulang oleh orangtua. Sesudah itu, setelah beberapa bulan, ibu meninggal, antara 9 bulan bapaknya yang meninggal, jadi setahun ada dua yang meninggal. Ketika di sini, maklumlah keadaan masih darurat, belum menentu, orangtua bekerja jualan juga, tukang kredit lah istilahnya, tukang kredit kain-kain, tapi ke Pekanbaru juga nyari barangnya. Disini ibu bikin kedai kecil-kecilan, jualan makanan dan minuman. Antara beberapa tahun disini bergolak PRRI, kami sedang sekolah itu, terpaksa berhenti ada beberapa bulan nggak sekolah lagi, sudah masuk tentara dari pusat dari Air Bangis, kami sekolah lagi, tapi dibawah pengawasan APRI, sesudah itu dikasih ujian langsung dari pusat. Sekolah hanya sampai tingkat SMP, waktu itu SMA disini belum ada. Bapak ini [Pak Sarmoedjie-red] langsung pulang dari kota, berangkat ke Padang, kami nggak bisa berangkat, sudah sampai di Sasak kebetulan banyak tentara yang dari pusat itu meninggal, kami terpaksa balik lagi tidak diijinkan berangkat, bapak ini yang mujur bisa. Bapak aslinya dari Garut dan ibu dari Sumedang. Sejarahnya sampai mereka akhirnya bisa ikut ke Suriname, kalau menurut cerita dia maklum jaman itu, jaman nggak karuan lah, kalau nggak salah dia pernah bercerita waktu itu pemberontakan-pemberontakan komunisme, dia ikut terlibat di Jawa Barat, Kartosuryo. Jadi daripada dia terlibat disana lebih baik dia masuk kontrak. Orangtua berangkat ke Suriname antara tahun 1925, itu belum menikah, masih muda-muda, ketemu di sana, tapi sama-sama sekapal. Kalau sekapal, disana disebut jaji istilahnya. Jaji tu artinya gini, jadi satu rombongan kita sekapal itu kan banyak orang kan, yang satu kapal itu jaji, saudara sekapal, senasib seperjuangan. Kalau sudah Jaji itu seperti saudara lagi disana. Andaikan waktu itu kapal tenggelam kan kita satu kubur bersama begitu pemikirannya kami,senasib sepenanggungan. (10:10) Bapak perginya sendiri, saudaranya masih ada juga di Garut. Kepergian orang tua kita di Suriname itu, kebetulan Suriname jajahan Belanda, Indonesia dijajah Belanda juga waktu itu kan, jadi pekerja dari Indonesia ini dianggap patuh taat begitu, jadi dibawalah yang masih mudamuda ini dengan berbagai cara, dibujuk-bujuk gitu, disuruh kumpul ayo kesana nanti kita berangkat.(Pak Sarmoedjie : Itu sebabnya kenapa kok diambil dari Indonesia itu ya, mula-mula itu orang negro yang dibawa, negro itu waduh, minum, mabuk segala-galanya, terus dari India
nggak cocok juga, Cina tidak suka kerja di sawah, berpendirian, Belanda itu kenapa nggak ngambil orang-orang Indonesia, ternyata kita lebih cocok dijadikan kuli kontrak, jadi kita ini anak kuli kontrak, terus terang aja, gitu lho ceritanya kenapa kok sampai diambil Jawa, itu lebih dulu negro, lebih dulu India, baru diambil yang dari Indonesia) Buruh kontrak yang dari Jawa ke Deli, sebelum orang-orang disini ke Suriname, kontrak-kontrak itu sudah ada yang Deli dari Jawa. Jadi orangtua waktu pertama kali ke sana pekerjaan awalnya buruh kontrak. Tiba disana kan dikasih tugas masing-masing,, ini jurusan ini. Di perkebunan tebu ada, perkebunan kopi, kakao, cokelat, dikontrak selama lima tahun. Setelah itu boleh bebas, boleh milih, kalau mau teken kontrak lagi, kalau mau jadi petani, kalau bebas kontrak preman namanya. Yang pulang 5 tahun itu dibiayai oleh pemerintah Belanda, tapi yang tidak pulang, biaya pulang Indonesia dikasih uangnya, kita dapat tanah, kita dapat 100 gulden. Orang tua memilih untuk tinggal disana, tapi tidak meneruskan kontrak. Dengan saudara-saudara orangtua di Garut atau di Sumedang, dulu ada hubungan tapi beberapa tahun ini sudah putus, karena nggak jelas kita mungkin sudah keturunan-keturunan. Kami sudah pernah berkunjung juga kesana, di Bandung ada, di Garut ada, di Jakarta ada. Setelah PRRI, payah betul kerjaan waktu itu, disini waktu itu perkebunan-perkebunan belum ada sama sekali, sedang tani banyak macan, hama babi banyak. Sudah itu sawah belum ada disini, belum ada pengairan, terpaksa ladang daratan, buka hutan, sudah itu ditinggal lagi berpindahpindah, itu sejak tahun 1954 sampai 1959. (15:38) Pernah juga bikin papan, graji di hutan, pernah menjadi bandar jalan ini, dari Simpang Empat sampai ke Ujung Gading pernah juga,, dari Simpang Empat sampai ke Sasak pernah juga. Hidup serabutan saja, pokoknya bisa hidup. (Pak Sarmoedjie : Saya itu pernah kerja di Tongar waktu itu, saya, Sakri, ada Suratmin, ada yang lain juga, modalnya itu parang, berangkat itu matahari belum terbit, jalan ke daerah Kinali sampai disana matahari tenggelam baru nyampe, itu baru nyari kerjaan. Jalan kaki, lha wong aku nggak ada apa-apa kok, kerja disana mbabat, sawah, bikin got, air mengalir itu, ini saya laksanakan. Itu temen-temen saya, pulangnya kan bawa duit nih, lhaa nongkrong di warungnya Basar, itu kerja kami waktu itu, ibu-ibu ini yang tidak pergi, itu marut bikin tepung tapioka. Kita masih kecil-kecil kok, susah hidup)
Meskipun orang Sunda,kalau dengan orangtua berbicara bahasa Jawa. Kalau orang tua sama orang tua bicara bahasa Sunda. Kita ngga tau bahasa Sunda,ya ada tau tapi nggak fasih. Kemudian bersekolah akhirnya belajar bahasa Belanda, karena disana kan bahasa nasional Belanda. Kalau di sekolah walaupun kita Jawa sama Jawa ngga boleh bicara bahasa Jawa, harus bahasa Belanda. Ketika tiba disini, bahasa Indonesia sama sekali kami ngga tau, ya terpaksa bagaimana caranya berbahasa disini. Ada kalanya waktu itu disuruh bikin karangan, mengarang apa waktu itu yo, seenaknya saja, campur aduk bahasa Jawa. (20:15) Waktu pertama kali tiba di Tongar ya berasa betul lah, karena biasa di sana saya tinggal di kota, tiba di sini ditempatkan di bedeng, dindingnya ini berumput, lantainya ini biasa alang-alang masuk ke dalam, rumputnya naik, 3x4 meter satu ruangan itu, satu keluarga. Ini ibu ini [istri Pak Basar-red] kakak beradik ibu ini, di satu ruangan ada ibu, bapak, kakek, nenek, bersepuluh. Saya seperti bapak ini [Pak Sarmoedjie-red] bertiga saja. Beras itu yang beras bulog yang bau goni itu, kemudian ikan asin yang sudah ngga laku lah. Yang biasa makan roti pagi, minta roti, nggak ada roti disini. Biasa disana makan roti pagi, baru makan nasi siang, tiba disini ngga ada roti mau apa.(Istri Pak Basar : Adekpun nangis, ibupun ikut nangis. Adikku minta roti dan susu pagi-pagi, biasa disana kan gitu makannya, dibikinkan dari tepung beras itu pembagian dari bulog itu kan bau goni ya) Waktu orangtua memberi kabar bakal ke Indonesia ya seneng aja (Istri Pak Basar : Waktu itu kakangku itu perpisahan sama pacarnya begitu lah, lambai-lambai tangan, mereka sedih, kita sih tertawa-tawa aja). Seneng aja mau naik kapal kok, mau lihat tempat yang jauh yang ngga pernah dilihat, nggak terbayangkan, kiranya ya 100% baik,ketika sampai disini ternyata berbeda. Ya kalau sudah kemari ya ngga ada penyesalan. Waktu itu keinginan kembali ke Suriname ada, tapi biaya kesana ga ada. Masih tetep kontak dengan saudara-saudara di Suriname, mereka nyuruh kembali ke sana kalau bisa. Saudara-saudara sebenarnya rencana nyusul ke Indonesia di gelombang 2 dan 3, (Pak Sarmoedjie : terus hubungan diplomatik Indonesia- Belanda pecah gara-gara Irian barat, nah akhirnya termasuk Suriname jajahannya itu, rencana itu batal lah) Menikah tahun 1960, sama-sama satu sekolah dengan ibu di Tongar (Pak Sarmoedjie : daripada cari orang lain, teman sendiri aja). Hanya waktu itu di kan SMP ada bagian A,B. Ibu ini [istri Pak Basar-red] dari bagian A, kami dan bapak ini [Pak Sarmoedjie-red] bagian B. Waktu itu kan, SMP sudah dibagi, bagian ilmu pasti dan sastra begitu. (Pak Sarmoedjie : ini [menunjuk Pak
Basar-red] termasuk pinter ini di sekolahnya, kalau saya pas-pasan aja). Tapi karena nasibnya yang bagus [menunjuk Pak Sarmoedjie-red], nasibnya yang kurang bagus [menunjuk diri sendirired]. Menikahnya di Tongar , nikah jaman itu belum ada lah adat Jawa, pakai biasa saja, selametan saja. (Pak Sarmoedjie : umumnya mereka yang sudah keluar [keluar Tongar-red], yang sudah ke Pekanbaru ya, mereka gajinya besar kan, belum kawin, itu pulang ke Tongar nyari istri, banyak yang akhirnya pulang. Mungkin karena untuk saling tolong-menolong, supaya nggak ilang lah, tetep ada kontak antara para orang tua yang di Tongar dengan yang di rantau. (26:37) Saudara-saudara di Suriname ada yang melanjutkan sekolah, disana dulu AMS paling tinggi, setara dengan SMA, sekolah tinggi belum ada waktu itu. Saudara disana pekerjaannya ya kalau di desa ya tani, berdagang ada. Yang tinggal di Paramaribo, jadi guru ada, jadi angkatan polisi ada. Kalau saudara-saudara saya masih bisa bahasa Jawa, entah kalau cucu-cucunya ya kurang lah, sebab kalau saya mngadakan kontak kesana, kalau yang menerima itu anak-anaknya, cucucucunya berbahasa Belanda dia. Mengerti juga dia bahasa Jawa, hanya nggak bisa menyampaikan. Yang saudara di Suriname nggak pernah berkunjung ke Indonesia, tapi kemenakan ada, yang tinggalnya disini dengan adik, kakaknya ini ada. Kemenakan-kemenakan ada di negeri Belanda, di New York ada, di Suriname ada. Kemenakan dua di negeri Belanda,, di New York satu, di Tongar banyak. Kami kalau kumpul disini penuh, anak-anak, cucu, aku sudah punya buyut dua. Punya anak sepuluh, di Padang ada, sekarang di Palembang ada, di Bengkulu ada, disini deket ada, namanya di Pasir Putih, di Tapanuli Selatan ada, di Tongar ada satu, disini di Batang Lingkin ini ada satu. (30:03) Kalau sama anak-anak berbahasa Jawa, tapi anak-anaknya [cucu Pak Basar-red] yang bahasa Indonesia sama orang tuanya, ya bahasa daerah disini, kalau dia di daerah Minang ya bahasa Minang, kalau di daerah Mandailing, bahasa Mandailing. Jadi anak-anak kalau bicara dengan kami, bahasa Jawa, hanya bahasa Jawanya hanya ngoko saja, nggak bisa bahasa krama, sok tau dia kalau ibu ini [istri Pak Basar-red] mungkin tau krama inggil. (Istri Pak Basar : kemenakanku yo ngono, gimana bude, yo sehat-sehate wis tuwo yo koyo ngono, ooh tasih saged boso Jowo to? Yo iso wong anake wong Jowo, dari Jogja. Ibu dari Jawa, tapi lahir disana [di Suriname-red]
juga jadi ngga ada jawa-jawanya. Orangtua dari Jawa Tengah, di daerah Jogja, sebelum Solo, Prambanan) (34:25) Waktu di Suriname, masih mengenal sedikitlah budaya Jawa, kayak slametan, kendurenan. Hanya karena orang tua ini kalau dibilang agamanya termasuk fanatik, jadi nonton-nonton kesenian Jawa misalnya tayub, ronggeng, nggak boleh dia, dibatasi. Disana kalau ada orang punya hajat nikah, kawin kan adat tayuban tu, pake ronggeng-ronggeng itu kalau anak-anak nggak boleh ikut, kalau ke pesta ya orang tua saja. Orang tua masih bikin selametan, meskipun fanatik, bakar kemenyan itu masih dilakukan juga. Main dadu juga, main dadu kopyok masih ada. Ketika balik kesini, kebiasaan itu dibawa. Disini dulu kan ada persatuan, masih kumpul semua disini, sekarang sudah ngga ada, karena di Tongar ini sudah campur baur sekarang, banyak orang luar daripada dalam sendiri yang menghuni Tongar sekarang. (Pak Sarmoedjie : itu yang orangorang tua, yang muda-muda main sandiwara). Saya pernah jadi pemain sandiwara, di Tongar saja, sudah pandai bahasa Indonesia lah, sampai tahun 1970an. Waktu pertama kali disini masih ada seperti kepala adat atau sesepuh adat, Pak Hardjo itu yo. Seperti kaum, sampai sekarang ada tapi ngga begitu ditonjolkan lah. Kalau misalnya di kematian, di kenduren, masih dipake. Anak-anak masih pakai adat Jawa. (37:44) Waktu di Suriname karena masih belum dewasa, kalau disana senang, mau apa saja ada, lebihlebih saya di kota. Kalau pagi biasanya sarapan ya roti, pergi sekolah pulang sekolah bawa makan nasi, sore nasi lagi. Rumah waktu itu di Paramaribo kontrak, nggak rumah sendiri, itu sudah bertembok, dua kamar lah. Disana kalau taksi-taksi masih kurang waktu itu, sepeda ada, bus umum itu juga banyak. Ketika sampai di sini tinggal di bedeng, sesudah antara beberapa bulan lah kami buka hutan, bikin rumah masing-masing, gotong royong, dapat pembagian pekarangan baru bikin rumah. Keterampilan yang dibawa dari Suriname bidang bangunan, bikin rumah, bikin perabot, bekal dari orang tua saja. Orangtua kita selain tani, dia juga bagian bangunan. Ketika disini juga masih ikut membantu membuat bangunan. Hanya sudah beberapa tahun ini saya berhenti lagi karena sudah tua, ini mata sudah ngga bisa, pernah bantu orang buat rumah, sekolah juga pernah,, SMP itu kan dulu kita yang siapkan. Ada tenaga tambahan juga, merekrut 2-3 orang lagi. Sejak tahun
1970an usaha ini, sekitar 10 tahun lah kami kerja itu, sudah kerja di hutan, gergaji, bikin bandar di jalan itu. Sudah itu kan berhenti lagi, coba-coba, usaha lain istilahnya, biar bisa mendatangkan lebih, lagipula kemajuan sudah ada sedikit-sedikit, bangunan-bangunan orang sudah mulai dibangun. Dulu disini masih rimba ini, kami pindah ke Batang Lingkin ini namanya, masih rimba ini sebelah sini ini, disini cuma ada rumah dua, dekat jembatan sana itu, dengan di sebelah sini ada rumah tua ini. (42:50) Kalau butuh apa-apa ke Simpang Empat sana, ke Simpang Empat 4 kilo, jalan kaki itu, karena kan jalannya masih berbatu, berkerikil, (Pak Sarmoedjie : ini tempat kita sekolah dulu, jalan kaki, walaupun kecil-kecil gini kuat jalan kaki dulu). Pakai teklek, terompah kayu itu, sepatu yang dibawa dari sana [Suriname-red] sudah habis semua. Di sana sudah terbiasa memakai sepatu, sampai sini harus pake teklek. Orangtua membuka hutan, kami suruh sekolah aja, pulang dari sekolah bantu-bantu, bikin areng juga. (Pak Sarmoedjie : dia nggak bikin areng, dia jualan di warung, saya jual areng, uangnya jual areng buat jajan di warung. Itu kebanggaan tersendiri, nongkrong di warungnya Basar). Waktu itu merasakan kehidupan lebih berat ketika pulang [ke Tongar-red], tidak ada bantuan dari pemerintah. Dulu listrik kami bawa sendiri dari Suriname, traktor, mesin buat es bawa sendiri, mesin untuk bikin papan ada juga, untuk penggiling padi ada juga kami bawa. Tapi entah bagaimana sampai habis, kami kurang tahu, dijualin sama yang berkuasa waktu itu di kampung Tongar. (Pak Sarmoedjie : Nah yang berkuasa itu, maaf ya, itu istilah kami adalah Pak Hardjo itu, termasuk diantaranya tanah-tanah yang 2500 hektar itu, total itu 2500 hektar yang akan dibagi, sekitar 20-40 itu untuk perumahan, terus dapat lagi tanah yang di pinggir disana nanti, itu yang akan dibagi yang masing-masing orang dapat 5 hektar itu, sampai sekarang belum pernah dibagi) Ketika pembagian, saya cuma dapat 1 hektar persawahan, beda-beda tiap orang, pokoknya yang kuat apanya dapat, yang lemah minggir.
Waktu itu bapak [paman Pak Basar-red] sudah
meninggal, jadi anaknya yang dapat. Ibu [istri Pak Basar-red] aturannya dapat, tapi nggak dapat. Selain itu, nambah beli sendiri. (47:29) Waktu pindah ke Pekanbaru itu sudah nikah, ibu ini [istri Pak Basar-red]saya tinggal disini,saya sendiri kesana, itulah makanya saya dipanggil pulang sama orang tua, karena ibu ini mungkin
suruh pulang (istri Pak Basar : nggak pernah saya nyuruh pulang, malu aku). Kita sengaja kesana, hendak menempati kawan-kawan yang udah duluan disana, dari Tongar. Sudah banyak itu yang dulu berangkat sebelum pergolakan atau peperangan ini, kami masih sekolah, ada kawan-kawan yang sudah berangkat kesana duluan. Orang tua-tua yang sebagian yang kurang senang disini langsung dia berangkat. Ada yang setahun kerja disini, dia cari kerja diluar, ada yang dua tahun kerja disini dia nyari kerja diluar. Sebetulnya kalau nggak dipanggil, masih disana mungkin. Disana bekerja di bagian konstruksi, pembangunan gedung, pabrik-pabrik Caltex. Teltex kan meborong ke Caltex, ya nasibnya kurang, harus jadi orang kampung. Kalau sekarang, mudah-mudahan kalau soal hidup untuk sehari-harian lah boleh dikatakan ya sekedar sehari-harinya lah. Anak-anak sekolah di Tongar, rata-rata tamat SMA, dan sudah berumah tangga semua, sekarang yang dirumah ini tinggal dua orang saja, ada satu orang cucu sekarang. (50:00) Ketika di Pekanbaru tinggal di mess, di Simpang Panjang, tinggal bersama orang-orang dari Suriname juga. (Pak Sarmoedjie : itu sekian puluh kilo dari Pekanbaru, jadi dari Pekanbaru masih ke daerah Duri itu masih 90an kilo, jauh masih ke dalam, sekarang Duri itu sudah kota, Dumai juga dekat, pelabuhan Dumai, nah itu tempat proyek-proyeknya Caltex, temen-temen kita itu banyak yang disitu, berhasil lah lumayan lah). Dulu ke Pekanbaru, naik mobil bus, sudah ada bus tapi waktu itu masih sulit, tiap-tiap pos harus berhenti, pemeriksaan, perjalanan sehari. (Pak Sarmoedjie : dulu dari sini ke Bukittinggi waktu jalan rusak itu ya, ini kan jalannya hanya satu, begitu bis di depan itu terpuruk, terpuruk itu artinya masuk lumpur, yang belakang stop,sampai 3-4 hari dari sini ke Bukittinggi yang hanya 150an kilo. Jadi kalau pada waktu itu kita punya penghasilan, entah itu kangkung, entah itu pisang, entah itu singkong, mau dijual kemana, keburu busuk di jalan, mau buang kemana ini, nggak ada, paling di pasar Simpang Empat itu. kalau bisa jualan di Simpang Empat saja sudah aduhai itu, sengsara betul ). Hanya walaupun begitu, kami masih bisa nolong kawan juga, waktu ada pemberontakan itu pengungsi yang dari daerah transmigrasi Kota Baru dan Padang Lawas ke Tongar sini. Kebetulan kami disini masih banyak tanam ubi segala macam ada, jadi kami nampung disini sebagian pengungsi itu selama setahun. Kampungnya sekarang ya disini, kalau anak-anak juga ngomongnya ya disini, kalau lebaran anak-anak kemari. Ini rumah singgahnya istilahnya bagi anak-anak. Jadi kampung kita semua
dua, Tongar satu, sini satu, ke Tongar masih ada juga rumah disana. Hubungan kita dengan orang Tongar masih ada banyak, misalnya kalau ada selamatan, atau ada kenduri, atau ada hajatan misal kawin, sunatan, dan sebagainya tetep kita kesana. (54:47) Ibu [istri Pak Basar-red] mengasuh anak-anak saja. Jual-jualan itu dulu pernah juga ketika sudah pindah kemari. Pindah kemari tahun 1960, pas pemberontakan itu, jadi militer tentara pusat masuk dari Air Bangis kemari, kami sudah disini, ke Batang Lingkin ini namanya. Pindah kesini mencari penghidupan lah namanya, kalau disana misal berjual-jualan, maklumlah di dalam, kurang, jadi memilih keluar. Hubungan dengan saudara-saudara di Suriname sebatas telpon saja. Waktu baru awal-awal ke sini nggak ada hubungan sama sekali. Pake surat saja bisa, tapi ya lama, beberapa bulan itu, paling nggak paling cepet dua minggu baru sampai kesana, nanti sampai kemari dua minggu lagi. Mulai telpon antara dua tahun ini lah, sejak kemenakan kami datang kemari, sebelum itu alamat segala macam, nggak tahu kita. Kemenakan bisa menemukan kami disini ada alamatnya dari kemenakan yang di Belanda. Kami ada hubungan surat ke negeri Belanda, dicari kemari dari Jogja, ketemu. Keinginan untuk menengok saudara-saudara disana itu ada, penunjang keinginan itu yang nggak ada. Organisasi yang diikuti di sini organisasi kematian. Tugasnya misalnya ada orang mati kita kumpul untuk beriur, untuk menolong, menunjang sajalah, kesusahan keluarga. Waktu pertama kali di Tongar, dusun sekitar banyak orang Minang, sebelum kita pakai bahasa Minang ya pakai bahasa-bahasa isyarat sajalah, waktu itu sudah pandai bahasa Indonesia, karena disini kebanyakan juga bahasa Indonesia kurang tau orang Minang sini waktu itu. Nggak ada konflik, kami baik-baik saja, nggak ada cekcok. (1:00:22) Ketika datang ke Indonesia dan terpisah dengan semua saudara, kecewa nggak, hanya sedih, rindu. Merasa ada yang harus bertanggung jawab, orangtua, ketua rombongan, kita ada yayasan, namanya yayasan tanah air. Dulu merasa lebih baik kalau tetap tinggal disana, kalau sekarang nggak lagi, sudah menerima semua apa adanya, mau apa lagi, sudah suratan tangan, (Pak Sarmoedjie : nah saya tambahkan, dulu waktu kita kesini, kan dapat tanah dari pemerintah yang 2500 hektar itu, itu tanah jenis apa, sejarahnya gimana, kita nggak tahu, tapi kita diberikan, yang berikan wakil presiden Muhammad Hatta sekaligus meresmikan jembatan
Hatta, yang sekarang sudah nggak ada sama sekali, sudah semak belukar. Itu kita yang mbangun, nah sekarang tanah itu diaku oleh orang lain, maaf orang lain tanda petik ya, itu sebetulnya tanah ulayat, tanah nenek moyang, istilah disini ninik mamak lah, itu yang kita perjuangkan. Bisa saja, tapi pada waktu peresmian itu diserahkan, ada acaranya, ada dokumen, berita acara, segala-galanya, kita kan ikut kata pak Hardjo, dari Pak Hardjo itu segala-galanya, yayasan itu ketuanya Pak Hardjo, wakil ketuanya Pak Karijo yang meninggal di Jogja itu, yang di Pakem, terus sekertarisnya pak Frans Ngatmin Suryoprawiro, bendaharanya Pak Sastro, dua ini masih ada, tiga sudah meninggal, yang megang semua sejarah cerita itu adalah mereka semua ini selaku pengurus yayasan, pada waktu disini tahun 1954an atau 1955 pecah mereka ini, Hardjo tetep disini, yang tiga ini kabur meninggalkan rumah, mungkin kurang cocok paham masing-masing, jadi mereka langsung mboyong, lagi di forum rapat, di gedung pertemuan itu, mereka ini duduk di depan itu, tiga ini keluar lewat belakang, kabur sudah. Rakyat yang nggak ngerti ini, lho ada apa, pemimpin kita kok pecah, ya seperti desas-desus gini, terus akhirnya kita menuduh Pak Hardjo yang nggak bener, karena yang 2500 hektar itu apa betul ada batasnya, ada garisnya, apa ada suratnya, kita juga nggak ngerti. Itu yang sama teman-teman kemarin, yang saya katakan ada berapa orang yang katanya ada, we never know, kita nggak tau sama sekali, jadi andaikata kita menelusuri itu dasare opo, kita nggak ngerti, makanya saya agak sedikit cooling down waktu itu. Terus di antara kami di Jakarta, katakanlah perjuangan kita ini berhasil, memperoleh kembali 2500 hektar itu, nyoh tak kekne, mau diapakan tanah itu, kita nggak punya modal untuk menggarap, terjadi juga konflik, kita minta kerjasama sama orang lain lah, akhirnya kita sepakat pada waktu itu bagaimana kalau itu tanah yang sekarang ditanami kelapa sawit ya, di bawah PT Tunas Rimba, at least mbok yo pekerjanya itu menggunakan tenaga kita, terutama mereka yang tinggal disini saja, entah menjadi mandor, entah kamu jadi apa, kerjasama dengan kita, mungkin itu lebih bermanfaat daripada diserahkan kita juga, we don’t have any money untuk membangun itu, 2500 hektar itu bukan sedikit lho. Katakanlah diserahkan sama kita, kita nggak bisa berbuat apa-apa). 1:07:30 Yang menentukan besarnya luas tanah yang didapat Pak Hardjo. (Pak Sarmoedjie : itu belum dibagi lho, diancer-ancer, daerah itu nanti akan dibagi, rasanya belum dipatok ya). Kalau yang sekarang,misalnya tanah saya sekarang ya dapat 1 hektar, nah disana ambil, itu aja, batasbatasnya dikasih lihat lah, sehektar ya diukur sendiri sehektar, kalau sekarang sudah pakai akte.
Yang lainnya sebagian resmi, sebagian tidak resmi (Pak Sarmoedjie : yang tinggal disini sekarang sudah ngurus mbak, tapi kaya saya, boro-boro mau ngurus, letak tanahnya aja nggak ngerti, kalau tinggal disini iya kan karena berkepentingan, kalau saya, Sakri, Dasimin yang selama ini tinggal di luar negeri nggak mikir, ya terserah saja. Saya juga pemikirannya pak Hardjo kenapa pada waktu dibagi, mungkin ada tanah, terus nganggur, dan untuk diketahui tanah yang pada waktu itu hutan belantara, kayunya masih besar-besar, itu tanahnya sudah habis, kayunya sudah di graji orang-orang. Jadi ladang berpindah-pindah itu, tanah sini digarap, pindah, pindah, pindah, sekarang nggak ngerti kondisinya sekarang. Nah mungkin oleh Pak Hardjo pada waktu itu daripada nganggur, dijadikan duit, mungkin kalau saya jadi lurah pada waktu itu, mungkin juga sama. Ya tapi kita kan nggak tahu pemikiran beliau pada waktu itu ya). (1:10:49) Pak Atmijan Sastro itu dulu pengacara di Suriname. Kalau Pak Hardjo pekerjaannya ya sebagai ketua organisasi politik, kemudian kerja di kesehatan pemerintah bagian masyarakat, dan beliau itu ikut Konferensi Meja Bundar lho. Pokoknya orang Jawa yang intelektual disana lah. Kalau yang Pak Sastro Mijan, dia ngomong sama saya, dia itu punya kebun jeruk, dia masih ingat jual jeruk ke pasar pakai gerobak, kalau Pak Hardjo nggak ada [bertani-red]. Kapal Langkuas itu kapal barang, sekat-sekat, ya tempat barang itu, terus di switch jadi bed. (Pak Sarmoedjie : Ada bed-bednya, buat tinggal, kayu-kayu, ya kaya gitu lah, ga ada kamar kelas. Perjalanan kurang lebih satu bulan. Ketika di kapal, kita kan masih kecil, senengnya mlayu-mlayu, lari-lari, ya seneng lah, apalagi tiba pembagian ransom itu, pembagian makan, itu kalau ada orang lagi antri makan, ada piring jatuh dari seng, krompyeeng, ransuuum [eskpresi teriak-red], kita semua gitu. Yang masak itu orang-orang kapal yang notabene orang Indonesia, terutama dari Surabaya lah orang-orangnya, kelasi-kelasi lah, jadi kapal itu dicarter, sudah ada tukang masaknya gitu lho). Ini kapalnya ini [sambil menunjuk gambar Kapal Langkuas-red], kalau cerita dulu katanya biasa untuk ngangkut orang-orang naik haji. (1:15:44) Nggak ada yang meninggal dalam perjalanan. (Pak Sarmoedjie : yang lahir ada, itu kapalnya namanya Langkuas, yang lahir pertama kali cewek namanya Langsinem, sekarang di Pekanbaru). Tiga orang yang lahir di kapal, yang membantu persalinan Pak Senawi, kakaknya Dasimin itu, perawat. (Pak Sarmoedjie : perawat di Suriname, ikut rombongan ya dianggap
perawatnya kita, kita manggilnya pak dokter). Dokter kecil-kecilan, Pak Ponco begitu juga, ketika di Tongar dia juga jadi dokter. (Pak Sarmoedjie : hebatnya pak Ponco itu, dia latar belakang di bidang kesehatan tidak ada, ya dia mungkin pernah ngerti, sakit ini obatnya ini, dan nyuntik, berani nyuntik waktu disini ini, beliau ini terkenal sampai dimana-mana sampai di Sasak itu, tukang suntik, jadi kalau sudah disuntik pak Ponco, itu sembuh aku pada waktu itu. Nggak ngerti dapat obat darimana, urusannya Pak Ponco, nggak bawa dari Suriname, dia beli di apotik di Padang, terpaksa karena kebutuhan hidup apapun dikerjakan. Nggak ngerti apa dari Suriname dia sudah nyuntiki atau belum kurang tahu). Ya kerja-kerja ikut-ikut di rumahrumah sakit, kita dulu pernah satu prasi, deketan rumah, satu kompleks, disana kan rumah-rumah yang dikontrak itu satu apa, satu los-los, pernah deket. Satu kapal itu ada yang kenal ada yang tidak, tapi kita ngerti lah. (Pak Sarmoedjie : nah terus dari semua itu anak yang sekolahan istilahnya, ada satu kelas diatas kita yaitu pak Sastro tadi, ada Sastro Teguh itu satu kelas diatas kita, kita generasi berikutnya, jadi letting ke dua lah istilahnya, jadi anak sekolah itu kita ini,v jadi karena kita yang muda yang sekola, not well educated yaaa, mangan sekolahan lah begitu, dibandingkan dengan yang nggak sekolah sama sekali). Kalau kakak-kakak saya sekolah, tapi tidak sampai sekolah tinggi lah istilahnya, tahu lah sekolah, bisa baca tulis, kalau disana kan diwajibkan, nggak ada buta huruf ini. Serial 02 (00:29) Pada mulanya seperti orang-orang inilah, yang kawan-kawan ceritakan itu, sebelum dia [orangtua dan paman Pak Basar-red] mempunyai ketetapan hati, ya begitulah, tani, main. Yang datang dari Jawa paman langsung, menikah di Suriname, jadi kuli kontrak juga, tapi ada critanya sendiri jadi dia sebelum selesai kontrak sudah keluar, maklumlah orang agak apalah, kalo disini istilahnya agak nakallah begitu, kerengkang kalo bahasa minangnya, jadi sebelum selesai tugas kontraknya dia sudah lari keluar, dia ndak betah di kontrakan, begitulah dia mau bebas jiwanya itu. Ya dia dicari, tapi karna kepandaiannya, nah mungkin sembunyi-sembunyi di mana-mana, di lain-lain tempat. Kontraknya di Waterloo, Nickerie, pertama kali kontrak semua disana. sudah dari Nickerie, kemudian pindah ke Saramacca, semuanya itu dengan ayah kandung, ibu kandung, paman, pindah ke Saramacca, dan saya lahir di Saramacca, (Pak Sarmoedjie : saya tambahkan ya, itu sing orang jawa, yang paling banyak melarikan diri kontrak itu negro, tidak tahan kerja sebagi
kuli kontrak, melarikan diri ke hutan, namanya bosneger, negro hutan, karena dia nggak tahan. Akhirnya pengkontrakan tadi distop, perbudakan itu. Banyak yang melarikan diri kehutan, termasuk mungkin omnya dia itu). Bapak kontrakannya di nickerie juga, dia bertahan, hanya adiknya ini yang apalah, kurang (Bu Wagiyem : nggak tahan terlalu disiplin gitu). Ibu angkat dan ibu kandung sama-sama buruh di kuli kontrak, (Bu Wagiyem : sudah 40 hari melahirkan kerja lagi, bayinya di penitipan konon critanya ya, kalau istirahat, pulang menyusukan dulu, itu cerita nenekku ya, gitu semua rata-rata. Kerja dari jam setengah 8 sampai jam 4 sore mungkin, saban hari, ya tanggal-tanggal merah libur, hari minggu libur, gajiannya 2 minggu sekali), kemudian diberi liburan kalau mau seperti kemarin kita ceritakan, di pajak itu, pajak suatu gedung yang khusus dibuat untuk orang-orang main apa ini, segala macam hiburan, (Bu Wagiyem : dibikin seperti itu supaya krasan orangnya, nggak merasa di kontrakkan gitu, sebagai ganti hiburan mungkin). Selesai kontrak, orangtua mula-mula pindah ke sekitar situ sajalah, tapi di pedesaan, tapi entah bagaimana akhirnya pindah ke Saramacca ini. Saya diambil anak sudah di Saramacca, saya lahir di Saramacca, tapi abang-abang saya lahirnya di Nickerie, mulai saya di Saramacca. (05:17) Ndak berapa lama trus orang tua angkat ini pindah ke Paramaribo, habis itu mencari penghidupan di Paramaribo. Waktu di Saramacca ya tani, setelah di Paramaribo ya itulah jualanjualan di pasar pusat lah. Di Saramacca bertani lahan punya sendiri, modal beli lahan ya mungkin yang dari nickerie itu yang dibawa kesitu, dibelikan tanah disitu, yang uang 100 gulden itu. Paman saya setelah masa kontrak habis, dia kumpul lagi sama saudara-saudaranya. Jual beli tanah kalau dulu mudah saja, saya jual kamu beli (Bu Wagiyem : percaya saja, nggak ada sertifikat). (Bu Wagiyem : kehidupan di pernansi ya begitulah sebagai orang buruh, pas-pasan, yang hebat ya berlebih, kalo yang orang boros ya pas-pasan , untuk makan ya dari gajinya, seperti disini sekarang di perkebunan-perkebunan sawit ini kan, gajiannya 2 minggu sekali dibelanjakan secukupnya, fournight namanya, 2 minggu sekali, kalo sebulan lama betul menanti kan, nah ini untuk kebutuhan pokok gitu lho, ngggak tau di perkebunan ada pasar atau toko), kita waktu itu sudah ndak di perkebunan lagi, (Bu Wagiyem : sudah taunya sekolah, sudah lepas kontraklah orangtua, kakek), karena ceritanya dulu waktu orang tua di perkebunan yo memang harus displin betul, kalo kerja, kerja, kalo mangkir kerja, artinya bolos kerja, dia dapat sangsi. Sangsinya yaitu
dapet kurungan, dikurung di tunaldesangsi, deket-deket kantor-kantor pemerintah sana lah, kurungan itu milik perkebunan. Orang nggak betah terus lari karena setengah paksalah, walaupun masa perbudakan sudah ndak ada, tapi jiwa perbudakan itu masih dipakai sama belanda. Upahnya ya kecil lah (Bu Wagiyem : kecil lah, orang pas-pasan, kurang tau dapat berapa). Pindah dari Saramacca ke Paramaribo sudah mulai sekolah, SD di Paramaribo. Waktu datang ke Paramaribo, paman belum punya pekerjaan, masih mencari-cari. (10:11) Tinggalnya [di Paramaribo-red] mungkin waktu itu ada modal mungkin untuk menyewa di situ, menyewa-nyewa rumah, trus mungkin ada kesempatan untuk jual-jualan sedikit, jual-jual di pasar, kebutuhan harian mula-mula, dalam pasar itu ada kiosnya sendiri, jarak rumah ke pasar yo antara setengah kilo lah. Kami berpindah-pindah di Paramaribo, berpindah-pindah rumah, berpindah-pindah rumah, berpindah-pindah sewa, kemana-mana ngontrak. Waktu kecil, saya kurang begitu suka main-main, belajar, di rumah saja, nonton film ke bioskop, banyak juga bioskop di kota, filmnya film-film barat, (Bu Wagiyem : tapi disana ada misalnya dari jam 4 sampai jam 6 untuk anak-anak), ada tingkat khusus anak-anak, tingkat dewasa. Film barat bahasa inggrislah, bahasa belanda ada, india juga ada, ndak ada teksnya, ngerti-ngerti sendiri, tebak-tebak sendiri lah, (Bu Wagiyem : nonton-nonton gambar aja), bioskop itu murah, pake kelas-kleas itu tempat duduknya, kelas 1, kelas 2, kelas 3 sampai kelas atas balkon. Bioskop di Nickerie juga ada tapi di ibukotanya. Di Paramaribo banyak restoran, hotel. Di sana udah berbaurlah [dengan bermacam suku-red], di Paramaribo jelas berbaur, kami satu tempat itu banyak orang india, orang negro, orang cina ada, (Pak Sarmoedjie : orang malata, umumnya belanda campuran negro, tidak putih tidak item, ya itu namanya malata, keturunan), tapi ada perkumpulan jawa di Paramaribo. Di Suriname, saya disiplin betul di sana, karena saya di sana kan cuma seorang, bapak dan ibu saja, kalau pagi sebelum berangkat sekolah, pergi ke pasar dulu, buka warungnya di pasar dulu, pasang segala macem. Orang tua bangun datang kepasar, saya baru siap-siap ke sekolah karena sekolahnya deket denagn pasar ini, antara 100 meter cuma, kalau pagi betul sebelum pergi ke pasar dulu, masak air, mengisi termos segala macem, mencuci piring segala macem. (15:03)
(Bu Wagiyem : disana pagi-pagi nggak masak, nggak makan nasi, minum susu sama roti), nanti datang tukang susu, karena di sana susu cair, susu asli, susu perah, orang india itu yang bawa, karena sudah langganan bawa sebotol-sebotol seliter tiap pagi itu, dimasak dulu. Nanti tukang rotinya datang juga karena sudah langganan kita. Sarapan sudah, pergi kepasar, waktu masih subuhlah begitu, suka ke pasar. (Bu Wagiyem : kadang-kadang ya yang karyawan-karyawan itu, ibu-ibunya kan pagi masuk, itu yang rumah tangga biasa siang jam-jam 10, bergilir terus akhirnya pasar sehari), pasar harian ya tiap hari. ya pasar seperti di jakartalah harian, pasarpasar tradisionil gitu. Sepulang sekolah di rumah ya baca-baca buku, belajar-belajar, ndak ada kegiatan lain, ndak ada karena sudah pulang sekolah, orang tua sudah pulang juga dari pasar, (Bu Wagiyem : pulangpulang paling umbah-umbah kacang, critanya mertuaku). Sekolah selesai siang, sama dengan disini. Pasar Paramaribo jam 3 sudah tutup, pasarnya terkurung, jadi tidak bisa, kalo sudah jam 3 malem tertutup pasar itu, ada pintu gerbangnya, (Bu Wagiyem : jadi dagangan orang itu aman kan disitu kan), tapi subuh sudah dibuka itu. Paman jualan sembako, ngambil barangnya ada grosirgrosir di Paramaribo juga, termasuk beras, segala macem, barang pokok. Temen waktu kecil banyak juga, baik jawa maupun orang negro, orang india banyak, temen sekolah, kawan-kawan di luar sekolah ndak ada, tetangga kebetulan disitu ndak ada anakanaknya yang sebaya dengan kita, lingkungannya ya campur, orang jawa, ada orang negro, ada orang india, ada satu los, disana perasi namanya, ada gangnya kedalam, nah disitu khusus untuk rumah-rumah sewa, rumah-rumah kontrak. Kenapa dulu pindah-pindah, kurang jelas itu orangtua gimana, sebagai anak kan ngikut. Ngontraknya per tahun, sama dengan sini, kalau pindahan sewa mobil, tapi kalo di Paramaribo pindahnya kan deket-deket saja, kota di Paramaribo kan ndak seluas kota-kota seperti disini. Rumah sewa modelnya kayak rumah-rumah biasa, papan, ada kamarnya, ukurannya sebesar rumah-rumah yang terakhir tadi itu ada [rumah responden interview sebelumnya, Bu Siyem-red]. Kalau dulu rumahnya ada 3 kamar, ada tingkat, di bawah ada 2 kamar, 1 di atas, kamar saya di atas, kamar yang satu kosong, nggak ada (Bu Wagiyem : kadang-kadang ada saudara yang mampir), ada kakakku sudah rumah lain. (20:08) Waktu orangtua ngasih tau kalau mau ke Jawa ya ingetlah, nyampaikannya ya begitulah (Bu Wagiyem : bahwasanya kita ini mau pulang ke tanah air, waktu itu sudah terimunisasi-
imunisasi), sebetulnya orang tuaku partainya bukan yang akan kemari, partai lain sebetulnya, dia ikut karena mungkin merasa opolah denga partainya (Bu Wagiyem : yang diikuti itu nggak sesuai, ideologinya nggak sama, karena kepengin yang ini, trus pindah partai), termasuk opolah pengurus partai juga dulu itu, tapi karena partai yang diikuti itu kurang opo lah misalnya, hanya sekedar apanya itu perencanaan mulih jowo itu, politiknya sekedar politik apa saja, kurang dapet dipercaya jadi artinya memecahkan dirilah, membuat partai tandingan lain, membuat partai sendiri. Orang jawa keinginan untuk ikut partai besarlah, lebih-lebih yang punya program pulang ke tanah air ini, banyak yang aktif berpolitik dalam partai. Dulu orangtua sebagai pendirilah dari partai KTPI, trus PKRI, karena KTPI ini ndak bisa dipercaya lagi pengurusnya, pengurusnya diam-diam masuk warga negara belanda, sebelumnya gencar betul keinginannya untuk pulang ke tanah air, tapi lama-lama dia berkoalisi dengan partai orang india disana, muslim partai namanya, ketahuan, akhirnya lama-lama karena banyak anggota yang mengundurkan diri, dia masuk warga negara belanda lagi, jadi sebagian yang kurang opo membuat partai baru lagi, sempalan dari partai KTPI yang lama ini buat partai baru, ya PKRI, Partai Kemajuan Rakyat Indonesia, ini tujuan programnya dua ini,satu mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia yang di Suriname, satu pulang ke Indonesia, tapi karena orangorang jawa yang disana udah pinter atau mengerti bagaimana partai ini, jadi kurang apa ini, kurang ada minatnya lagi orang, sudah banyak kena tipulah istilahnya dengan partai-partai ini, kurang juga minatnya, (Bu Wagiyem : apalagi waktu itu, perwakilan RI sudah ada di sana, kedutaan Indonesia, iya sudah punya konsulat, jadi
dapet penyuluhan-penyuluhan dan
membangkitkan semangat cinta tanah air, penyuluhannya film, film-film masalah penjajahan gitulah, beginilah rasanya dijajah, kita nonton-nonton, kan mengerti juga kita ceritanya gini, ya kerja paksa yang berat-berat itu, waktu itu SD kelas 5 ya. Nah yang PBIS inilah yang Persatuan bangsa Indonesia Suriname, yang pulang kemari, bertambah kuat semangat kebangsaannya, kita tau rasanya orang belanda ini kejamnya), tahun 52 lah terjadi keretakan dalam tubuh partai KTPI. (25:29) Saya taunya [masalah politik di Suriname-red] dari pengalaman-pengalaman sajalah, orangtua ndak crita ini, soal politik ndak pernah crita, tertutup, jadi waktu berangkat belum tau apa-apa, cuma ngikut kesana kemari saja, (Bu Wagiyem : ngikut aja, waktu masa imunisasi ya ngikut imunisasi, kita mau berangkat kemari itu kan diimunisasi juga, entah apa pokoknya seminggu
sekali, ada 2 bulanan yah, seminggu sekali, itu di hospital Paramaribo, kalau kami yang di Paramaribo di situ, jam 4 sore sampai jam 6 sore itu, mudah-mudahan sekapal itu ndak ada yg meninggal sampai ke Indonesia. bahkan ada yang lahir). Banyak yang dipersiapkan waktu mau pulang, karena ada daftar apa-apa yang dibawa, itu dikasihkan semua sama angota-anggota, peti ya terbatas ukurannya, pernah kami buat peti sebesar-besarnya, datang perintah harus dipotong, petinya buat sendiri, satu KK [kepala keluarga-red] satu peti, ukurannya setengah ini, 2 x 3 meter ada, masih ada koper satu yang saya bawa dari sana (Bu Wagiyem : yang jelas kita kan mau pulang ke tanah air mau membangun, bawa termasuk cangkul, parang, koper besi itu 1 untuk kain, karena keluarganya banyak jadi dilinting seperti nglinting rokok, supaya muat banyak, itupun banyak yang tinggal, bagaimanalah ukurannya terbatas). Kios orangtua dijual, ada kawan orang jawa juga yang membeli yang masih tinggal. Waktu perjalanan di kapal, ndak ada peristiwa yang menonjol. Waktu itu saya diantar sampai kapal berangkat, perasaannya ya ada sedih ada gembira, orangtua [kandung-red] tidak mengantar, hanya abang-abangnya, (Bu Wagiyem : kalau tingkatan kami waktu itu masih anak-anak ya happy happy aja rasanya, nengok kapal, mau berlayar, senang saja), waktu senja hari baru berangkat, waktu itu banyak yang nangis, saya ndak tau bakal sebulan perjalanan itu (29:55) (Bu Wagiyem : tiap-tiap malam kami mendapat informasi di radio, kami sudah menempuh sekian knot perjalanan, kilo-kilometer di laut sekian mil, ini arloji-arloji tolong diajukan setengah jam, jadi jam ini diajukan terus, sampai ke tanah air bedanya siang dengan malam, saban hari, saban malam,[beda siang dan malam-red] ya sedikit-sedikit sudah sekolah kan tau dunia ini kan bulet, berputar), kalau yang sekolah sudah tau kan pake bola dunia ini, matahari disini terang, kalau yang nggak sekolah susah juga menerangkannya itu), ya seperti tadi orang sembahyang menghadap ke barat ke timur, yang biasanya disini ke barat sembahyangnya, disana juga mau ke barat juga sembahyangnya, mungkin masih ada masalah itu, tapi nggak berapa, yang fanatik-fanatik itu. Dulu pelajaran agama ya dari orang-orang tua itu, kalau sore ada belajar ngaji, di mesjid-mesjid, yang ngajar orang jawa jugalah, biasanya diajari membaca, sembahyang, baca quran, kalo pengajian-pengajian seperti itu ada.
Ketika sampai di tongar, orang tua mungkin tidak ada kagetnya ya, karena mereka sudah disengaja kemari, anaknya yang kaget. biasanya senang disana, disini menjadi begitu, (Bu Wagiyem : kalau ini hari di pelabuhan teluk bayur itu, nampak bukit- bukit itu, rasanya kok rimba ya hutan ya, bayangannya dulu Indonesia kayak Paramaribo, begitu datang seperti hutan kan bukit barisan, semak-semak disitu keranya banyak, tiba disini itulah dinding kayu lapuk, lantainya rumputnya tumbuh ke atas, jarang-jarang papannya, ya sedih. orang tua aku, dia lahir disana anak tunggal pula, belum pernah ke jawa, nangis dia), tiba disini beberapa bulan dia bawa orang tua ke jawa melihat famili yang di jawa, baik ke jawa tengah maupun ke jawa barat, karena ibu yang bawa saya ini orang jawa tengah, pamannya yang dari jawa barat, [memutuskanred0 nggak tinggal di jawa entahlah bagaimana waktu itu, (Bu Wagiyem : masih ingin membangun desa tongar ini, awalnya mulih jowo, akhirnya mulih Sumatra, nah kita punya pembagian pekarangan disini, ingin diwujudkan membikin rumah, membangunlah). (35:09) Bapak nengok Jawa ada sebulan, Jawa Tengah 2 minggu, Jawa Barat dan Jakarta 2 minggu. Jakarta belum seramai itu sekarang, tahun 55, kami di jalan sawah besar, disitu ada famili yang punya percetakan, ntah sekarang masih ada, ndak ada lagi hubungan, putus sama sekali, percetakan grino namanya, nomer 30-32 waktu itu. Bisa menghubungi famili di Jawa kan surat menyurat dulu, kami hubungan surat antara Jawa suriname ada, kalau kirim surat biasanya 2 minggu, itu kalau ekspres lho, kilat, yo biasanya ke Jakarta dulu, Jakarta ke negeri belanda dulu, belanda baru ke suriname. Di Suriname tidak pernah putus kontak dengan keluarga di Jawa, tapi pas disini bahkan putus sama sekali ndak ada. Setelah orang tua meninggal semua kasih kabar kesana, habis, ndak ada balasan, tapi masih nyimpan alamatnya, (Bu Wagiyem : mungkin aku pikir ya, yang itupun generasinya berganti, generasi muda, jadi kurang ada keakraban gitu, saya pikir begitu, sesudah yang itu meninggal, hubungan kita dengan anak-anaknya kan lain), sebenarnya dulu karena keadaan juga ya, karena terjadi peperangan inilah yang membuat putus hubungan. Sesudah saya tamat SMP disini mau dijemput ke jawa sebetulnya oleh sodara paman yang di jawa, tapi terjadi pemberontakan disini, ndak ada hubungan lagi, antara Jawa Sumatra ini ndak ada lagi hubungan, (Bu Wagiyem : tiap-tiap surat yang masuk pos disensor). Di Paramaribo langsung walikota, kayak kaum, kebayan disana ndak ada, kalau kita mau apa-apa itu terpaksa kita panggil dari desa, kalau mau nikah panggil penghulu dari desa, kalo nggak, ke kantor pernikahan, burgerlejstan istilahnya.
(40:45) Di Paramaribo pendidikan baru AMS itulah, setingkat sekolah (Pak Sarmoedjie : algemene middelbare school, algemene itu umum), anak-anak jawa di Paramaribo ada yang sampai selesai SMA,(Bu Wagiyem : ada yang HIS itu, Hoge Inlandsche School, perguruan tinggi), sekolah tinggi ada tapi swasta baru, HBS namanya, Hogere Burger School. Di Paramaribo hubunganya lebih individual [dibandingkan dengan desa seperti Longmay, Perdis-red]. Kalau rapat-rapat partai, pake surat undangan, kalau anggota kan sudah tau jelas, pengurusnya kan sudah tau daftar anggota dimana-mana tempatnya. (Bu Wagiyem : yang kebanyakan orangtuanya di kampung, mau melanjutkan sekolah, ya kost di Paramaribo. Saya dibolehin pergi mungkin karena dengan abang, sekamar berdua, kalau lepas sendiri ya belum berani, sekolahnya Beatrix school, luas kompleksnya), sekolahnya termasuk sekolah swasta, swasta unggulan lah, nek sing ngisor Bernard school, dua sekolah, satu gedung dua sekolah, sekolah umum tapi swasta, itu Ngadimun tadi sekolahnya deket ini, Samrin anake Pak Wongso, pokoknya kalo orang-orang yang agak-agak mampu ke sekolahnya, itu kan orangorang Bilington, Paranam, sekolahnya di situ semua, pake bis tertentu, bis perusahaan. Kalau buruh bauksit, pendidikannya lumayan bagus, ekonomi juga bagus, seperti Caltexlah. Bilington sama Paramaribo jauhlah, puluhan kilo, tiap hari bolak balik, khusus bis nganter anak sekolah, ceritanya anak-anak karyawan gitulah. (Bu Wagiyem : ibu sampai kelas 6, bapak juga sama, tapi disini diturunkan karena nggak pandai berbahasa Indonesia). (45:26) Saya lain [sekolahnya-red], saya sekolah di sekolah negeri istilahnya, Koningin Wilhelmina school, maknya Juliana school, neneknya Beatrix, deket-deket dengan pasar, karena deket dengan pasar itulah maka sekolah disitu, pagi bisa ke pasar dulu, biar bantu dulu di pasar baru nyebrang, 100 meterlah dari sekolah, jalan kaki, dari rumah pun karena dekat pasar itu, (Bu Wagiyem : saya membayangkan, waktu itu belum pernah kenal, bahwasanya ini pasar, sekolahannya itu disini, kalau saya sekolah sama kostnya agak jauh, ke sekolah jalan, kalau sekolah swasta bayar, termasuk mahal, 6 gulden per bulan). Kalau pekerja bauksit, gajinya bulanan (Bu Wagiyem : yang porneitan itu orang yang di perkebunan, crita kakekku lho, 2 mingu sekali), penghasilan di tambang ya gede jugalah, (Bu Wagiyem : kita macam-macam, ada yang mekaniknya, yang ininya itunya, nggak pernah tau
orangtua dapat berapa per bulan, karena dipandang belum mengerti itu mungkin. Kalau ada iuran sekolah, kirim surat, nanti kirimannya datang kita bayar, tahun ajaran baru beli buku ini uangnya sekian, laporan. Libur panjang pulang sekali, itu satu hari naik kapal pelayaran, tempat aku kelahiran Monggo ya, distrik Marowijne, [urutannya-red] distrik Suriname, baru distrik Saramacca, Coroni, baru Nickerie, 6 distriknya). (52:57) Waktu sekolah dulu ndak ada seragam, pake celana pendek, masih tingkat SD celana pendek. Dulu tayuban atau selametan gitu di Paramaribo ndak ada, orang tua yang menghadiri, kita biasa ditinggal dirumah, anak-anak kecil ndak ada baju-baju resmi gitu [jas-red], (Bu Wagiyem : yang perempuan pake York (jurk), baju langsung itu pake iket pinggang [di Paramaribo-red]), (Pak Sarmoedjie : kalo didesa ya pake kain sarung kain jarik), adik-adik awak ya pake sarung. Kalau tayub ya di luar, kalo mau mengadakan keluar, misalnya ada orang Paramaribo kalo mau mengadakan itu ya ke desa, pulang kampung istilahnya. (Bu Wagiyem : dulu sekolah pake baju york, tapi kakak kelas kita yang sekolah di milo mulai pake sragam, di atas biru muda biru tua, ada yang putih, tapi yang laki-laki masih celana pendek juga, pake seragam juga, pake sepatu tetap, kaos kaki, baju masih bebas kalo tingkatan sd). Waktu pertama sekolah di Tongar, yo kita bawalah kebiasaan -kebiasaan di sana di Paramaribo, (Bu Wagiyem : kami-kami inilah sama-sama sekolah, dindingnya lubuh, atapnya alang-alang), bangku-bangku sekedar bisa diduduki lah, (Bu Wagiyem : yang punya tas bawa tas, yang nggak punya ya nggak bawa, dulu uda ada buku tulis, nah batu tulis itu masih TK artinya), (Pak Sarmoedjie : kita di smp, kalo buku itu habis, dibawa ke kantor ditandatangani, dapet buku baru), (Bu Wagiyem : sudah diperiksa begini, betul-betul habis artinya sudah terisilah tiap-tiap halamannya, ditandatangani sama wali kelas kita, terus kita dapat ganti, sekolahe jaman Sukarno lho). Waktu itu pake sepatu di sekolah, (Bu Wagiyem : sepatu yang kita bawa dari sana dipakai), sudah habis itu, pake teklek lagi). (57:24) (Bu Wagiyem : disini Padang, jalan kadang-kadang terputus, longsor, seminggu nggak ada oto masuk membawa kebutuhan pokok saja, payah itu, minyak tanah habis misalnya, kebutuhan sehari-hari sulit, kami ada toko koperasi kan di Tongar, nah itu yang mencari bahan kebutuhan pokok keluar, lewat jalan jauh belum ada jalan dekat, mangkopoh ini belum ada, jalan jauh itu
panti, lubuk sikaping, paleopoh, bukittinggi, baru ke padang, 3 hari perjalanan, pulang balik seminggu, semua kebutuhan pokok dari padang) Waktu di Suriname, lauknya ya campur-campur, masakan jawa, masakan suriname. (Bu Wagiyem : waktu balik sini [kondisinya beda dengan suriname-red], itu kan sudah besar, sudah mikir, malu dong mau nangis, kalo yang kecil-kecil yo nangis, termasuk adik-adikku nangis, dibikinkan apem, apem dari tepung beras itu, berasnya beras puluk, bau goni, nggak enak mak rotinya katanya, anaknya nangis, ibuku ikut nangis. Biasanya kan bangun pagi rotinya dipotongpotong direndem dalam susu begitu, disiramkan pake piring besar. Abangku begitu juga, yang sekolah, satu sekolah, dia kutu buku kan, pagi-pagi susu, roti mentega, makan tuh minum susu, ntar baca buku lagi. Pake buaian, buaian dari benang aneka warna, dianyam itu, nggak tau orang-orang besar ikut ikut berbuaian, kalo disini diketawakan orang, udah gede kok berbuaian, kalau di kapal pake itu ndak terasa mabok kita, kapalnya oleng ya kita di buaian, yang kapal-kapal kecil itu, capek-capek membaca bukunya ditutup, wis anteng wae, wis tekan monggo kubangunkan, heh bangun, kita sudah sampai, kemas-kemas lagi itu buaian. Kakakku ndak berapa lama di Tongar karena ndak ada sekolah untuk dia disini dia pulang ke jawa, dia ke kampung bapak, Prambanan, waktu itu belum PRRI yo, ya disana itu terputus [hubungannya-red], terputus total. tapi sekarang berhubungan lagi sudah. Abang tuh sudah sekolah di, apa tuh, karena ndak pandai berbahasa Indonesia, diturunkan lagi, nah ujian terakhir, 10 nilainya semua, tinggal bahasa Indonesia ini yang rendah kan nilainya 7 dibikin orang tuh, trus dapet beasiswa di STT Telkom, ke bandung, tamat dia dari situ tambah belajar di jepang 2 tahun, Tokyo, sudah itulah ikatan dinas ditugaskan di makasar, terus dipindahtugaskan lagi di Jayapura, 5 tahun, kepala bagian dia disana. balik ke Sulawesi lagi pensiun, meninggal di sana, istrinya orang Makassar, Siti Nuraini nama kakak, suku Mandar).
(1:03:20) Apa yang yang dibanggakan [sebagai turunan jawa suriname-red], ndak ada kayaknya, ndak merasa bangga ndak, saya ndak biasa membanggakan diri kok. Bekal yang didapet kedisiplinan, sejak kecil saya sudah dipelajari disiplin, bagi saya, apa yang bisa dibikin, bikin sendiri, seperti ini tempat duduk saya yang bisa saya bikin, saya bikin sendiri, daripada membeli. Kalau kedisplinan memang ada, saya bawa darisana, sejak kecil saya sudah dididik untuk berdisiplin walaupun untuk kerja dirumahbantu-bantu orang tua, keluar rumah saja saya sebagai anak laki-
laki juga dibatasi. Kalau di rumah saya membersihkan rumah, mengepel rumah, seminggu sekali atau 2 hari sekali, mencuci lantai ini, cuci piring, memasak air, buka kedai, buka warung, sekolah. Bapak ibu, kedua-dunya bekerja di pasar, cuma berdua saja. Saya memang punya hobi membaca menulis, tulisannya kalau diitung-itung yo ndak taulah, dulu pernah nulis-nulis naskah sandiwara itu, pernah juga untuk anak-anak sini, skenario. Soal kesenian jawa, saya tahu disini, di suriname saya ndak kenal, di Paramaribo kan jauh dari apa, kecuali yang di desa-desa itu, sekali ada kebudayaan jawa di situ tapi dipanggil dari desa ke kota untuk main di suatu gedung, tetapi sesudah konsulat-konsulat datang ini, sebelum itu ndak ada.