IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN HUMANISME RELIGIUS PADA PONDOK PESANTREN BAGI MASYARAKAT (STUDI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO, GEDANGAN, KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh : STRI ANA FARHANA NIM : 111 10 082
JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2014
MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO Sebaik-baik manusia adalah ia yang dapat bermanfaat bagi orang lain. PERSEMBAHAN Yang Utama Dari Segalanya... Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta memperkenalkanku dengan cinta. atas karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan Rasullah Muhammad SAW. Semoga sebuah karya mungil ini menjadi amal shaleh bagiku dan menjadi kebanggaan bagi keluargaku tercinta. Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan kusayangi. Bapak dan Ibu Tercinta Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada Bapak H. Anwar, B.A dan Ibu Hj. Siti Mae Saroh sebagai peneduh jiwaku, yang selalu mencurahkan segala kasih sayangnya ketika aku masih dalam kandungan hingga terlahir ke dunia, sehingga dapat melihatku tumbuh menjadi perempuan yang membahagiakan. Bapak dan Ibu yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah awal untuk membuatku termotivasi dan selalu menyirami kasih sayang, selalu mendo’akanku, selalu menasehatiku menjadi lebih baik,. Bapak KH. Mahfud Ridwan, Lc dan Ibu Hj. Nafisah yang selalu membimbing serta memberikan nasehatnya ketika kami belajar untuk hidup mandiri. Gus M.Hanif,M.Hum dan Ning Rosyidah, Lc yang tak kenal lelah memberikan petuahnya kepada kami.
Untuk kakak-kakakku Laila Ananingrum dan Mulyanto, serta Arifa Kusumawati dan Hanostuk Vanda Ardiyansyah terima kasih atas dukungan dan motivasi serta telah memberikan sebuah pengalaman hidup menjadi orangtua yang bijak. Kedua keponakanku, para jagoan cerdas dan sholih Auliya Abimantrana dan Reo Al Idrisi Geosfera. Serta si twin Shakila Sasikirana dan Annora Sasikirana yang membuat rumah dan hidup semakin ramai oleh tingkah lucu mereka. Semua santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro, yang telah memberikan warna kehidupan serta telah mengukir cerita di pondok ini. Dari sinilah penulis belajar mandiri, berorganisasi, hidup bermasyarakat, dan menjadi seorang pemimpin. Sahabat kecilku di TBB Edi Mancoro, TPQ Az Zahra, MI Ma’arif, dan RA Masithoh Gedangan yang selalu membuatku tertawa lepas karena kepolosan kalian. Bapak Dr. Phil Asfa Widiyanto, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi saya, terima kasih atas bimbingan bapak selama ini. Untuk guru-guruku, ustadz, serta semua dosen terima kasih atas bimbingan dan arahan selama ini. Semoga ilmu yang telah diajarkan menuntunku menjadi manusia yang berharga di dunia dan bernilai di akhirat. Teman-teman PAI C angkatan 2010 , kebersamaan kita ketika masih menjadi mahasiswa baru hingga sekarang telah terlukis dalam bingkai kebersamaan. My best man, dalam hari-hari penulis. Seseorang yang telah menemani selama perjalananku untuk belajar menjadi seorang wanita sholihah, terimakasih atas dukungan dan kesabarannya. Because, you still with me….. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu, Akhir kata, semoga skripsi ini membawa kebermanfaatan. Jika hidup bisa kuceritakan di atas kertas, entah berapa banyak yang dibutuhkan hanya untuk kuucapkan terima kasih…
KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikum Wr.Wb Segala puji dan syukur kupersembahkan bagi sang penggenggam langit dan bumi, dengan rahman rahim yang menghampar melebihi luasnya angkasa raya. Dzat yang menganugerahkan kedamaian bagi jiwa-jiwa yang senantiasa merindu akan kemaha besaran-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Lantunan sholawat beriring salam penggugah hati dan jiwa, menjadi persembahan penuh kerinduan pada sang revolusioner Islam, pembangun peradaban manusia yang beradab Habibana wanabiyana Muhammad Saw... Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Tarbiyah. 3. Bapak Rasimin, S.Pd.I. M.Pd. selaku Ketua Program Studi PAI. 4. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dosen pembimbing akademik. 5. Bapak Dr. Phil Asfa Widiyanto, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan skripsi ini hingga akhir.
6. Bapak ibu dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak dan ibu, saudara-saudara, serta teman-teman yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di STAIN Salatiga. Kepada mereka semua, penulis tidak dapat memberikan balasan apapun. Hanya untaian kata terima kasih yang bisa penulis sampaikan, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Wassalamu‟alaikum Wr.Wb
Salatiga, 29 November 2014 Penulis
ABSTRAK Farhana, Stri Ana, 2014. IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN HUMANISME RELIGIUS PADA PONDOK PESANTREN BAGI MASYARAKAT (STUDI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO, GEDANGAN, TUNTANG KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014. Skripsi Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Dr. Phil Asfa Widiyanto, M.A. Kata Kunci : Pendidikan Humanisme Religius Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui implementasi dan implikasi pendidikan humanisme religius pada Pondok Pesantren bagi masyarakat. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana bentuk pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro ? (2) Bagaimana materi pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro mempunyai relevansi dengan pembentukan jiwa humanis dan religius ? (3) Bagaimana sistem pendidikan yang dikembangkan di Pondok Pesantren Edi Mancoro untuk mencapai pendidikan humanis dan religius ? (4) Bagaimana peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif etnografi. Temuan penelitian ini, implementasi dan implikasi pendidikan humanisme religius di pondok pesantren bagi masyarakat dirasa menjadi sebuah terobosan baru model pendidikan di dunia pesantren. Berdasarkan penelitian ini maka penulis menyimpulkan bahwa : pertama, bentuk pendidikan yang terdapat di Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah penyelenggaraan pembelajaran dengan pendekatan tradisional. Dan pembelajaran ilmu-ilmu Agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Kedua, keterkaitan materi pendidikan dengan tradisi yang ada di pondok pesantren. Kurikulum yang menekankan pengkajian kitab kuning yang ditulis oleh ulama klasik menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan pesantren sejalan dengan pemikiran masa lalu namun masih tetap berlaku pada masa sekarang. Ketiga, sistem pendidikan Pondok Pesantren Edi Mancoro menggunakan beberapa sistem yang tradisional yaitu pola pengajaran sorogan, bandongan, wetonan dan musyawarah dalam mengkaji kitab-kitab agama. Ke empat, semua kegiatan yang berlangsung dalam masyarakat sekitar Pondok Pesantren Edi Mancoro untuk mewujudkan humanisme religius semata-mata ditujukan untuk lebih dekat kepada masyarakat sekitar. Sehubungan dengan kegiatan santri yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sekitar.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………
i
LEMBAR BERLOGO………………………………………………..
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………
iii
PENGESAHAN KELULUSAN……………………………………...
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN……………………………
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………
vi
KATA PENGANTAR………………………………………………...
viii
ABSTRAK……………………………………………………………
x
DAFTAR ISI………………………………………………………….
xi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………
xv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………….
xvi
BAB I : PENDAHULUAN……………………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………...
1
B. Fokus Penelitian…………………………………………………...
9
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………..
10
D. Kegunaan Penelitian……………………………………………….
10
E. Penegasan Istilah…………………………………………………...
12
F. Metode Penelitian…………………………………………………
15
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian………………………………...
15
2. Kehadiran Peneliti……………………………………………....
16
3. Lokasi Penelitian………………………………………………..
16
4. Sumber Data……………………………………………………
17
5. Prosedur Pengumpulan Data…………………………………….
18
6. Analisis Data……………………………………………………
20
7. Pengecekan Keabsahan Data……………………………………
21
G. Tahap-tahap Penelitian…………………………………………….
22
H. Sistematika Penulisan……………………………………………...
23
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………….
26
A. Gambaran Umum Pondok Pesantren…………………………
26
1. Pengertian Pondok Pesantren……………………………..
26
2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren……………
28
3. Tujuan Pondok Pesantren…………………………………
30
4. Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren………………….
33
B. Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren………
48
1. Pengertian Humanisme Religius di Pondok Pesantren…...
48
2. Sejarah Perkembangan Pendidikan Humanisme Religius
50
di Pondok Pesantren……………………………………… 3. Aspek-aspek Pendidikan Humanisme Religius…………...
56
BAB III BENTUK DAN POLA HUBUNGAN SOSIAL……………………...
65
A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosiokuktural Pondok Pesantren Edi Mancoro………………………………………
63
1. Letak Geografis Pondok Pesantren Edi Mancoro dan
63
Kondisi Sosiokultural…………………………………….. 2. Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro……………………
65
3. Visi, misi, tujuan, garis perjuangan, keadaan ustadz dan santri,dan pelaksanaan pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro………………………………………………
68
B. Hubungan santri dengan keturunan kyai serta dengan masyarakat sekitar pondok pesantren………………………… 82 1. Hubungan santri dengan keturunan kyai…………………
82
2. Hubungan santri dengan masyarakat sekitar pondok pesantren………………………………………………….. 87 BAB IV ANALISIS DATA……………………………………………………. 92 A. Bentuk Pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro………
92
B. Implementasi Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro……………………………………….
94
C. Peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan Humanisme Religius………………………………………….
101
BAB V PENUTUP…………………………………………………………….
106
A. Kesimpulan…………………………………………………… 104 B. Saran…………………………………………………………
105
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar Kegiatan Pondok Pesantren Edi Mancoro
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Daftar Pustaka Riwayat hidup penulis Nota pembimbing skripsi Surat permohonan izin melakukan penelitian Surat keterangan melakukan penelitian Deskripsi wawancara Lembar konsultasi Foto kegiatan Surat keterangan lulus ujian komprehensif SKK
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, disinyalir sebagai sistem pendidikan yang lahir dan tumbuh melalui kultur Indonesia yang bersifat “indigenous” yang diyakini oleh sebagian penulis telah mengadopsi model pendidikan sebelumnya yaitu dari pendidikan Hindu dan Budha sebelum kedatangan Islam. Pesantren memiliki beberapa unsur yang dalam hal-hal tertentu membedakan dengan sistem pendidikan lainnya. Unsur-unsur itu meliputi kiai, santri, masjid, pondok (asrama), dan pengajian kitab kuning. Keterpaduan unsur-unsur tersebut membentuk suatu sistem dan model pendidikan yang khas, sekaligus membedakan dengan pendidikan formal. (Maunah, 2009:1). Salah satu unsur tersebut adalah kiai. Sebutan kiai ini menunjuk pada seseorang yang dituakan karena kedalaman ilmu agamanya dan bobot ibadahnya kepada Allah Swt, maka posisi kiai senantiasa sebagai subjek dalam pergumulan masyarakat desa. Mereka terlibat dalam berbagai persoalan “agama”, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan sampai pada persoalan kesehatan. Penjelasan tentang pendidikan tidak lepas dari obyek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Ketika berbicara mengenai masalah humanisme, ini erat kaitannya dengan kehidupan di pondok pesantren dengan segala
bentuk religiusnya. Penerapan itu dapat digambarkan melalui berbagai hal, misalnya shalat tahajud, shalat berjama‟ah, dan membaca Al Qur‟an. Sehingga
kalau
seseorang
itu
religius,
mestinya
personalitanya
menggambarkan bangunan integral atau struktur integral dari manusia yang religius tersebut, yang akan nampak dari wawasannya, motivasinya, cara berfikirnya, sikap perilaku. (Mulkhan, 1998:28). Humanisme adalah suatu aliran dalam masa Renaissance yang ditujukan terutama kepada sastra, sejarah dan cinta tanah air. Humanisme mempelajari sastra dan seni klasik dengan tujuan ilmiah dan pedagogis. Dalam bidang pendidikan, terutama dalam sastra klasik (latin dan yunani) humanisme dianggap sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengembangkan manusia sejati. Ilmu pengetahuan tersebut dinamakan seorang humanis. Aliran humanisme mengajarkan kepada manusia bahwa semua manusia adalah sama, bagian dari dunia dan ciptaan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara golongan kaya dan miskin, atasan dan bawahan, laki-laki dan perempuan. Semua manusia adalah saudara, karenanya harus saling mengasihi. (Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid III, 1990 : 1350). Untuk memahami perkembangan paham humanisme dalam era Renaissance, kita perlu memperhatikan dengan saksama institusi pendidikan dan budaya baik di Italia maupun di negara Eropa lainnya pada waktu itu. Di Eropa Utara pada akhir Abad Pertengahan, yakni sekitar abad kesebelas dan kedua belas, muncul sekolah-sekolah yang disebut sekolah katedral (cathedral schools) yang merupakan pusat pendidikan dasar para calon imam
Katolik. Di sekolah-sekolah ini diajarkan tujuh bidang liberal arts, termasuk tata bahasa dan membaca karya-karya klasik para pengarang yang berbahasa Latin. Menjelang akhir abad kedua belas beredar untuk umum berbagai tulisan dalam bidang filsafat dan sains, khususnya karya-karya Aristoteles, yang diterjemahkan dari bahasa Arab dan Yunani ke dalam bahasa Latin. (Tjaya, 2004:21-22) Karya-karya ini secara perlahan-lahan mulai merangsang dan mengubah pemikiran Barat. Logika dan filsafat alam segera menemukan rumah baru mereka dalam institusi pendidikan yang baru saja dibangun, yakni universitas yang muncul pada awal abad ketiga belas. Institusi -institusi baru ini memiliki arts sebagai fakultas utama, yang mencakup studi logika, filsafat dan sains berdasarkan pemikiran Aristoteles. (Tjaya, 2004:21-22). Perkembangan yang terjadi di Eropa Utara ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Italia. Wilayah Italia Utara terbentuk oleh negara-negara kota (city-states) yang kepentingan dan budayanya akhirnya melahirkan humanisme Renaissance. Universitas mereka yang pertama, Bologna, berdiri pada akhir abad kedua belas sebagai sekolah sebagai sekolah hukum, yang kemudian diikuti oleh fakultas arts yang didominasi oleh fakultas kedokteran. (Tjaya, 2004:21-22) Humanisme religius muncul dari etika kebudayaan, unitarianisme, dan universalisme. Sekarang ini banyak kumpulan unitarian-universalis dan seluruh etika kebudayaan masyarakat yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai humanis yang bernuansa modern. Kritik paling ironis
dialamatkan kepada humanisme modern yang dimensi religiusnya kurang. (Mas‟ud, 2002:130) Di sinilah kita bisa melihat bahwa humanisme sekuler (modern) lebih dilihat dalam perspektif filsafat, sedangkan kalau dilihat sebagai agama, maka akan menjadi agama yang humanis. Perdebatan tersebut telah ada sejak awal abad ini, ketika kaum sekuler dan tradisional religius bisa bertemu dan membawa humanisme modern ke eksistensi. Sekuler dan humanis religius memberikan pandangan dunia yang sama dan mempunyai prinsip-prinsip dasar yang sama. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa para humanis sekuler dan religius adalah penandatanganan manifesto humanisme ke-1 pada tahun 1973. Jika hanya berangkat dari sudut pandang filsafat, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Bahwa humanisme religius dan sekuler secara efektif tidak sepakat, itu hanya dalam definisi agama dan pada filsafat praktis. (Mas‟ud, 2002:131). Menurut Kenneth Phifer, seperti yang dikutip Mas‟ud (2012:132) bahwa definisi agama digunakan oleh humanis religius secara fungsional. Fungsi agama ialah untuk melayani kebutuhan personal dan kelompok sosial. Namun, persoalannya, agama sering terjebak pada aspek formalitas sehingga sulit menjalankan fungsi ini. Humanisme agama adalah keyakinan di dalam aksi. Dalam esainya “The faith of a Humanist” (Keyakinan Seorang Humanis), UU Menteri Kenneth Phifer mendeklarasikan sebagai berikut : Humanism teaches us that it is immoral to wait for God to act for us. We must act to stop the wars and the crimes and the brutality of this and future ages. We have powers of a remarkable kind. We have a high degree of freedom in choosing what we will do. Humanism tell us that whatever
our philosophy of the universe may be, ultimately the responsibility for the kind of world in which we live rests with us.” Humanisme mengajari kita bahwa tidaklah bermoral menunggu Tuhan berbuat untuk kita. Kita harus beraksi untuk menghentikan perangperang dan kriminalitas-kriminalitas serta kebrutalan pada masa yang akan datang. Kita mempunyai kekuatan semacam kekuatan yang luar biasa. Kita mempunyai kebebasan tingkat tinggi dalam memilih apa yang akan kita lakukan. Humanisme mengatakan kepada kita apa pun bidang filsafat alam kita, terutama tanggungjawab kepada dunia tempat kita hidup dan tinggal bersama. Humanisme sekuler melakukan pemberontakan terhadap agama karena mereka menganggap agama tidak bisa diharapkan untuk mengadvokasi masalah kemanusiaan, bahkan agama sering menimbulkan masalah kemanusiaan. Walaupun terlihat adanya silang pendapat yang dahsyat antara humanisme religius dan sekuler, yakni bahwa humanisme religius menganggap aksi kemanusiaannya karena konsistensi terhadap ajaran agama, sedangkan humanisme sekuler menganggap aksi mereka adalah berkat pemberontakan atau negasi terhadap agama. Humanisme dalam Islam tidak mengenal sekularisme karena tidak ada sekularisme dalam Islam. Dengan demikian, pembahasan humanisme dalam Islam dengan sendirinya adalah humanisme religius. Telah disinggung di depan bahwa humanisme dalam Islam tidak bisa lepas dari konsep hablum minannas. Manusia sebagai agen Tuhan di bumi atau khalifatullah memiliki seperangkat tanggungjawab. Keharusan seseorang untuk berbuat baik kepada orang lain terlihat dari ajaran Rasul, man lamyasykurinnas lam yasykurillah “Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, (pada hakikatnya) dia
tidak berterima kasih kepada Allah SWT.”
Hubungan horizontal ternyata paralel dengan hubungan vertikal.
Kesimpulannya
bahwa
humanisme
religius
juga
disebut
humanisme agama atau humanisme teosentris. Humanisme ini merupakan upaya untuk menyatukan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Humanisme religius, menurut Abbagnano memiliki dua tema kajian, yaitu : fungsi agama dan toleransi beragama. Memperhatikan sistem dan tujuan pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang yang nota bene adalah mendampingi masyarakat, maka dari itu penulis tertarik menelusuri apakah dalam dunia pendidikan pesantren yang ada di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan tersebut mempunyai tujuan memanusiakan agama atau menciptakan manusia yang beragama, dalam istilah asingnya yaitu sesuai dengan judul skripsi ini, yakni humanisme religius. Menarik jika dilihat humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro dilihat dari kesederhanaan, pluralitas, kemandirian yang ada dalam diri mereka. Serta masalah dalam
pondok pesantren
bagaimana para santri menerapkan kesederhanaan, pluralitas, serta kemandirian itu mengingat mereka hidup dalam lingkungan masyarakat. Keberagamaan atau religiusitas seseorang dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati
seseorang. Dapat dipahami bahwa nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh-kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah, dan akhlak yang menjadi
pedoman
sesuai
dengan
aturan
Illahi
untuk
mencapai
kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. (Sahlan, 2011:41-42) Dalam kajian ini, humanisasi dimaksudkan sebagai implementasi konsep humanisme Islam dalam pesantren sebagai upaya memanusiawikan peserta didik (santri). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan, yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan dimaksudkan sebagai proses yang memberikan
jaminan
terwujudnya
nilai-nilai
kemanusiaan
dalam
pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. (Rahman, 2011:156) Menurut Rahardjo, seperti yang dikutip Rahman (2011:162) bahwa sistem pendidikan pesantren melahirkan jiwa yang menjadi karakteristik yang belum pernah dibangun oleh sistem pendidikan manapun. Setidaknya karakteristik tersebut terimplikasi dalam jiwa pesantren, yaitu : persaudaraan, tolong-menolong, persatuan, keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, kebebasan, pluralitas.
Jiwa pesantren ini merupakan realisasi nilai-nilai humanisme Islam untuk mewujudkan integrasi dan harmonisasi kehidupan umat. Dari karakteristik yang tersebut di atas, di Pondok Pesantren Edi Mancoro terdapat indikator yang terimplikasi dalam jiwa pesantren di antaranya adalah kesederhanaan, kemandirian, serta pluralitas. Jiwa pesantren ini merupakan realisasi nilai-nilai humanisme Islam untuk mewujudkan integrasi dan harmonisasi kehidupan umat. Nilai-nilai humanisme yang diimplementasikan dalam pendidikan berupaya meningkatkan akhlak mulia. Akhlak inilah yang dijadikan dasar dalam mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan santri. Humanisasi dalam pendidikan pesantren akan mampu membentuk mereka menjadi manusia yang mau menghiasi diri dengan nilai-nilai hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi pijakan sistem pendidikan pesantren. Karena itu sebenarnya pesantren merupakan lembaga yang menjadi agen humanisasi. Aspek-aspek pendidikan dalam pesrpektif humanisme religius yaitu tujuan pendidikan, materi pendidikan, pendidik, peserta didik, metode pendidikan, evaluasi pendidikan. Dari ungkapan di atas, dapat penulis ambil kesimpulan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang pendidikan pesantren yang berkaitan dengan humanisme religius dalam sebuah skripsi dengan Judul : IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN
HUMANISME
RELIGIUS
PADA
PONDOK
PESANTREN BAGI MASYARAKAT
(STUDI DI
PONDOK
PESANTREN EDI MANCORO, GEDANGAN, KAB. SEMARANG TAHUN 2014) A.
Fokus Penelitian Dari identifikasi masalah di atas penulis merujuk fokus sebagai
berikut : 1.
Bagaimana bentuk pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 ?
2.
Bagaimana materi pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 mempunyai relevansi dengan pembentukan jiwa humanis dan religius ?
3. Bagaimana sistem pendidikan yang dikembangkan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 untuk mencapai pendidikan humanis dan religius ? 4. Bagaimana peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat ?
B.
Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penerapan pendidikan humanisme yang bersifat religius di
Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan Kecamatan Tuntang. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014. 2. Untuk mengetahui apakah materi pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 mempunyai relevansi dengan pembentukan jiwa humanis dan religius. 3. Untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan yang dikembangkan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 untuk mencapai pendidikan humanis dan religius. 4. Untuk mengetahui bagaimana peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat. C. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1.
Manfaat Teoritis Diharapkan menjadi salah satu sumbangan pemikiran tentang
penerapan pendidikan humanisme religius yang ada di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kec. Tuntang Kab. Semarang, yang merupakan pondok pesantren multikulturalisme. Dinamakan pesantren multikulturalisme karena pesantren tanpa dinding, yang menolak batas-batas, batas agama
sekalipun, yang dijadikan tempat bertukar gagasan dan beraktivitas banyak orang yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bergaulannya yang dikelola oleh visi yang sama, untuk menghadapi problematika yang terjadi di masyarakat. 2. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan : a.
Bagi Penulis
Dengan meneliti implementasi pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro, maka akan menambah wawasan pemahaman yang lebih komprehensif tentang penerapan pendidikan humanisme religius. b.
Bagi Santri
Penelitian ini sebagai sarana untuk menambah keilmuan mengenai penerapan pendidikan humanisme religius yang ada di pondok pesantren, sehingga belajar mengenai pendidikan tersebut atau dapat diterapkan dalam kehidupan di pondok.
D.
Penegasan Istilah 1. Implementasi Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi
biasanya dilakukan setelah perencanaan. Segala sesuatu yang digunakan sebagai alat pelaksana suatu pekerjaan. Implikasi adalah keterlibatan atau keadaan terlibat. 2. Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam pengertian yang sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. (Ihsan, 2003:2) 3.
Humanisme Religius Menurut Mas‟ud (2002:131) humanisme religius muncul dari etika
kebudayaan, unitarianisme, dan universalisme. Sekarang ini banyak kumpulan unitarian-universalis dan seluruh etika kebudayaan masyarakat yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai humanis yang bernuansa modern. Kritik paling ironis dialamatkan kepada humanisme modern yang dimensi religiusnya kurang. Di sinilah kita bisa melihat bahwa humanisme sekuler (modern) lebih dilihat dalam perspektif filsafat, sedangkan kalau dilihat sebagai agama, maka akan menjadi agama yang humanis. Perdebatan
tersebut telah ada sejak awal abad ini, ketika kaum sekuler dan tradisional religius bisa bertemu dan membawa humanisme modern dan eksistensi. Sekuler dan humanis religius memberikan pandangan dunia yang sama dan mempunyai prinsip-prinsip dasar yang sama. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa para humanis sekuler dan religius adalah penandatanganan manifesto humanisme ke-1 pada tahun 1973. Jika hanya berangkat dari sudut pandang filsafat, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Bahwa humanisme religius dan sekuler secara efektif tidak sepakat, itu hanya dalam definisi agama dan pada filsafat praktis. Humanisme religius juga disebut humanisme agama atau humanisme teosentris. Humanisme ini merupakan upaya untuk menyatukan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Humanisme religius, menurut Abbagnano memiliki dua tema kajian, yaitu : fungsi agama dan toleransi beragama. 4.
Pondok Pesantren Menurut Qomar, seperti yang dikutip Maunah (2009:1) istilah
pesantren dalam pemahaman sehari-hari, bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabungkan menjadi pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. 5.
Masyarakat
Secara umum masyarakat diartikan sebagai kelompok manusia yang anggotanya satu sama lain berhubungan erat dan memiliki hubungan timbal balik. Dalam interaksi tersebut terdapat nilai-nilai sosial tertentu yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku bagi anggota masyarakat. Dengan demikian anggota suatu masyarakat biasanya memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan tertentu yang sama, dan seluruhnya menciptakan ciri tersendiri bagi masyarakat tersebut. (Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 10, 1990:180) Maksud dari penelitian penulis sehubungan dengan penegasan teori di atas adalah usaha untuk mempelajari dengan seksama mengenai pendidikan humanisme religius atau nilai-nilai humanisme religius, dengan arti usaha dalam rangka untuk membentuk kepribadian yang manusiawi serta beragama, bahwa dalam dunia pesantren mempunyai tujuan mengembangkan manusia yang beragama sehingga menciptakan manusia yang bertaqwa, yang dilakukan di lembaga pendidikan Islam dengan memfokuskan pada penelaah dan penganalisaan terhadap materi dan tradisi yang ada di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang.
E. Metode Penelitian Untuk mencapai penelitian yang valid dan variabel, maka data harus sesuai dan bisa dipercaya kebenarannya serta menggunakan metode yang sesuai pula.
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian Lapangan (Field research). Di sini
penulis mengumpulkan data dari lapangan dengan mengadakan penyelidikan secara langsung di lapangan untuk mencari berbagai masalah yang ada relevansinya dengan penelitian ini. (Muhadjir, 2002:38). Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Menurut Lexy metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2002:3). Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Berikut ini langkah-langkah umum yang diterapkan sebagian besar tipe etnografi yang diadopsi dari riset Le Compte dan Schensul (199a) : 1. Temukan sampel yang tepat dan layak dalam kelompok yang dikaji. 2. Definisikan permasalahan, isu atau fenomena yang akan dieksplorasi. 3. Teliti bagaimana masing–masing individu menafsirkan situasi dan makna yang diberikan bagi mereka. 4. Uraikan apa yang dilakukan orang - orang dan bagaimana mereka mengomunikasikannya. 5. Dokumentasikan proses etnografi. 6. Pantau implementasi proses tersebut.
7. Sediakan informasi yang membantu menjelaskan hasil riset. 8. Pengumpulan data dalam etnografi yang dibagi dengan kerja lapangan berlangsung terutama melalui sejumlah pengamatan dan wawancara. Langkah pertama dalam pengumpulan data adalah menemukan sampel yang tepat dan layak. Ketika sampel telah didapatkan, anda dapat melanjutkan tahapan penelitian dan menjelaskan permasalahan riset atau mengidentifikasi fenomena yang ingin anda ekplorasi. 2.
Kehadiran Peneliti Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penelitian maka
peneliti hadir secara langsung di lokasi penelitian sampai memperoleh datadata yang diperlukan. 3.
Lokasi dan Instrumen Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan,
Kabupaten Semarang tahun 2014. Dengan alasan peneliti ingin mengetahui bagaimana penerapan pendidikan humanisme religius di pondok pesantren tersebut. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi istrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono,
2009:222). Begitu pula yang dikatakan oleh Moleong (2011:121) yaitu, peneliti sebagai instrumen karena ia merupakan peneliti sekaligus pelaksanaan, pelaksanaan pengumpulan data analisis dan penafsiran data dan akhirnya ia menjadi pelopor-pelopor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia menjadi segalanya dari seluruh proses penelitian. 4. Sumber Data Subjek penelitian yang penulis teliti adalah santri Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kab. Semarang, Ketua Yayasan, sebagian santri, dan ustadz pondok tersebut. Karena data dan informasi yang penulis butuhkan adalah pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan Tuntang Kabupaten Semarang. Subjek utama penelitian ini adalah santri Pondok Pesantren Edi Mancoro. Di pondok ada 2 macam santri, yaitu santri mukim dan non mukim. Karena kebanyakan yang nyantri adalah santri mukim, maka yang diteliti oleh penulis adalah santri mukim, dimana mereka tinggal di pondok pesantren dengan segala fasilitas dan aturan yang berlaku. Penulis juga harus mencari data-data secara langsung atau langsung terjun ke lapangan. Santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu santri pelajar, mahasiswa, tahfidz, dan ustadz. Perbedaan itulah yang membuat penulis melakukan wawancara dengan waktu yang berbeda. Pengumpulan data dilakukan menjadi 2 (dua), yakni :
a. Data Primer, yang diperoleh dengan melakukan penelitian berupa wawancara dengan santri, asatidz, dan ketua yayasan. Wawancara akan dihentikan jika informasi yang diperoleh sudah relatif sama dan ada pengulangan data. b.
Data Sekunder yang diperoleh melalui data kepustakaan, pengumpulan data dari berbagai tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini.
6.
Prosedur Pengumpulan Data Dalam rangka untuk memperoleh data, penulis menggunakan metode pengumpulan data guna membantu dan memudahkan jalannya penelitian. Adapun macam untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut : a.
Interview Metode wawancara adalah suatu proses tanya jawab di mana dua
orang atau lebih berhadapan secara fisik yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar dengan telinga sendiri suaranya (Sukandarrumidi, 2004:88) Metode interview digunakan dalam rangka untuk mengetahui penerapan pendidikan humanisme religius Pondok Pesantren Edi Mancoro. Interview dilakukan adalah sebagian santri Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan Tuntang Kab. Semarang, Ketua Yayasan, ustadz pondok tersebut. b.
Metode observasi
Metode observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematika fenomena-fenomena yang diselidiki (Sukandarrumidi, 2004:69). Metode ini penulis gunakan sebagai alat bantu dalam penelitian. Penulis mengadakan observasi ke Pondok Pesantren Edi Mancoro, selanjutnya penulis mencatat hasil observasi dengan sistematik. Metode ini juga digunakan oleh penulis yang berkaitan dengan pendidikan religius untuk pengumpulan data mengenai penerapan pendidikan humanisme. c.
Dokumentasi Metode Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau
variable yang berupa catatan, transkip surat kabar, majalah, notulen, agenda sebagainya. (Arikunto, 1993 : 2006) Pada teknik ini peneliti dalam memaksimalkan hasil observasi, peneliti akan menggunakan alat bantu yang sesuai dengan kondisi lapangan. Di antara alat bantu observasi tersebut misalnya; buku catatan dan check list yang berisi obyek yang perlu mendapat perhatian lebih dalam pengamatan (Sukardi, 2003:79). Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang sejarah berdirinya Pondok Pesantren Edi Mancoro, struktur kepengurusan, jumlah ustadz, santri, kegiatan santri yang berhubungan dengan penelitian ini. 7.
Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2009:244). Teknik Analisis Domain digunakan untuk menganalisis gambaran objek penelitian secara umum atau ditingkat permukaan, namun relatif utuh tentang obyek penelitian tersebut. Teknik Analisis Domain ini sangat terkenal sebagai teknik yang dipakai dalam penelitian eksplorasi. Artinya analisis hasil penelitian ini hanya ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari objek yang diteliti, tanpa harus diperincikan secara detail unsur-unsur yang ada dalam keutuhan obyek penelitian tersebut. Misalnya seorang peneliti menganalisis lembaga sosial, maka domain atau kategori simbolik dari lembaga social antara lain : keluarga, perguruan tinggi, rumah sakit, pesantren, organisasi kepemudaan dan sebagainya. Di samping itu pula, domain pesantren dapat terdiri dari : kyai, santri, guru, juru masak, petugas kebersihan, dan sebagainya. (Bungin, 2001:293) Adapun alur teknis analisis adalah periset mula-mula akan membaca catatan lapangan, membaca transkrip wawancara untuk mendapatkan pemahaman tentang kasus yang dikaji. Pada tahap ini periset dapat menambahkan beberapa catatan yang mungkin diperlukan. Catatan bisa berupa kesimpulan sementara atau insight yang muncul begitu saja. Tahap selanjutnya periset dapat menggunakan sisi lain dari lembar catatan lapangan atau transkip untuk menuliskan tema, kata kunci atau kata-kata teknis yang
muncul. Setelahnya periset dapat melanjutkan aktivitas analisis dengan membuat daftar seluruh tema yang muncul dan memulai memikirkan hubungan yang mungkin ada di antara tema-tema yang muncul. Terakhir, berdasarkan catatan yang dimiliki, periset dapat membuat “master pola” yang ditemukan dan siap untuk dikemukakan sebagai laporan akhir hasil studi. Pembuatan master pola dari pelaku subjek penelitian dalam masalah tertentu dapat dilakukan dengan memberikan pemaknaan melalui penjelasan berbagai teori yang relevan. Seringkali pemaknaan itu hanya menghasilkan sejumlah kategori awal dari statemen yang dibutuhkan sebagai temuan dalam penelitian. 8.
Pengecekan Keabsahan Data Untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, penulis menggunakan cara terjun langsung ke lapangan, observasi yang diperdalam dan juga analisis kasus negatif, dan lain-lain sampai data dapat diuji kebenarannya. Dalam memperoleh keabsahan data, maka peneliti menggunakan teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2011:331). Ada dua macam trianggulasi yang digunakan, yaitu : a.
Trianggulasi sumber data Trianggulasi sumber data untuk mendapatkan data dari sumber yang
berbeda-beda dengan teknik yang sama. (Sugiyono, 2011:241) b.
Trianggulasi metode
Trianggulasi metode dilakukan dengan cara mengecek derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. (Moleong, 2011:331) 9.
Tahap-tahap Penelitian a. Penelitian pendahuluan Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan implementasi, pendidikan, humanisme religius, dan juga buku lain yang berhubungan dengan pondok pesantren. b. Pengembangan desain Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang penerapan pendidikan humanisme
kemudian penulis melakukan observasi ke obyek penelitian
untuk melihat secara langsung bagaimana penerapan pendidikan humanisme religius di pondok pesantren. c. Penelitian sebenarnya. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian yang dilakukan di pondok pesantren
dengan
melakukan
wawancara
lalu
membahas
serta
menganalisisnya untuk mendapatkan kesimpulan apakah implementasi pendidikan humanisme religius dapat diterapkan di pondok pesantren. F. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui secara keseluruhan isi atau materi-materi skripsi ini secara global, maka penulis perlu merumuskan skripsi ini, yang meliputi tiga (3) bagian : 1. Bagian Muka Pada bagian muka ini memuat tentang halaman judul, skripsi, halaman, nota persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, halaman daftar isi tabel dan halaman lampiran. 2. Bagian Isi Bagian ini terdiri dari beberapa bagian bab yaitu : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan akan dibahas : Latar Belakang, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian : Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II : KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama berisi tentang gambaran umum pesantren yang terdiri dari pengertian pondok pesantren, sejarah dan perkembangan pondok pesantren, tujuan pondok pesantren, dan sistem pendidikan di pondok pesantren. Sub bab kedua tentang pendidikan
humanisme religius di pesantren yang terdiri dari pengertian pendidikan humanisme religius, sejarah perkembangan pendidikan humanisme religius, aspek-aspek pendidikan humanisme religius. BAB III : BENTUK DAN POLA HUBUNGAN SOSIAL Bab ini dibagi menjadi tiga sub bab. Sub bab pertama mengenai gambaran umum dan kondisi sosio-kultural Pondok Pesantren Edi Mancoro yang terdiri dari letak geografis dan kondisi sosio-kultural, profil, visi, misi, tujuan, dan garis perjuangan, keadaan ustadz dan santri, serta pelaksanaan pendidikan di pondok pesantren. Subbab kedua memuat tentang hubungan santri dengan keturunan kyai serta dengan masyarakat sekitar pondok. BAB IV: ANALISIS DATA Dalam bab keempat ini membahas mengenai implementasi pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro, implikasi pendidikan humanisme religius terhadap kebudayaan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat. BAB V: PENUTUP Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran, dan kata penutup. Kesimpulan dari hasil wawancara maka dapat diperoleh hasil penelitian, kemudian dianalisis berdasarkan teori yang ada sehingga dapat disimpulkan bagaimana penerapan pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang. Serta saran-saran yang
diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan pendidikan dan penutup sebagai kesimpulan dalam skripsi ini. 3. Bagian akhir Pada kegiatan akhir, akan dilampirkan daftar pustaka, daftar riwayat hidup dan lampiran-lampiran yang relevan dengan penelitian.
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Pondok Pesantren 1. Pengertian Pondok Pesantren Pondok pesantren adalah sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan, dan semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada definisi yang dapat secara tepat mewakili seluruh pondok pesantren yang ada. Masing-masing pondok mempunyai keistimewaan sendiri, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh yang lain. Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pondok pesantren memiliki persamaan. Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri pondok pesantren. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:28) Menurut Dhofier, seperti dikutip dalam Departemen Agama RI (2003:18) kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan istilah pesantren, dalam pemahaman sehari-hari, bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabungkan menjadi pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Menurut Qomar, seperti dikutip Maunah (2002:2) asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antar pondok dan pesantren. Sebuah lembaga pendidikan dapat disebut sebagai
pondok pesantren apabila di dalamnya terdapat sedikitnya lima unsur, yaitu : kyai, santri, pengajian, asrama, masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatannya. Persamaan lain yang terdapat pada pondok pesantren adalah bahwa semua pondok pesantren melaksanakan tiga fungsi kegiatan yang dikenal dengan Tri Darma Pondok Pesantren, yaitu : a.
Peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah Swt
b.
Pengembangan keilmuan yang bermanfaat, dan
c.
Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara. Sedangkan menurut Mahfudz Ridwan pesantren adalah tempat tanpa
dinding, yang menolak batas-batas, batas agama sekalipun, yang dijadikan tempat bertukar gagasan dan beraktivitas banyak orang yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bergaulannya yang dikelola oleh visi yang sama, untuk menghadapi problematika yang terjadi di masyarakat. (diambil dari wawancara yang sudah di videokan dalam profil Edi Mancoro) Di dalam Undang Undang RI Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 10 ayat 1, 2, 3 disebutkan bahwa : “Pendidikan di Indonesia diselenggarakan melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Pendidikan yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan; sedangkan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak berjenjang dan
berkesinambungan. Pondok pesantren dalam menyelenggarakan proses pendidikannya tidak berjenjang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, pendidikan pesantren dikategorikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berada di jalur pendidikan luar sekolah formal. 2. Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Menelusuri
tumbuh
dan
berkembangnya
lembaga-lembaga
pendidikan keagamaan Islam di Indonesia, termasuk awal berdirinya pondok pesantren dan madrasah diniyah, tidak terlepas hubungannya dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran agama yang baru dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, membaca Al Qur‟an, dan pengetahuan Islam yang lebih luas dan mendalam. Mereka ini belajar di rumah, surau, langgar, atau masjid. Di tempat-tempat inilah orang-orang yang baru masuk Islam dan anak-anak mereka belajar membaca Al Qur‟an dan ilmu-ilmu agama lainnya, secara individual dan langsung. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:7) Dalam perkembangannya, keinginan untuk lebih memperdalam ilmu-ilmu agama telah mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk melanjutkan belajar agama setelah tamat belajar di surau, langgar, atau masjid. Model pendidikan
pesantren ini berkembang di
seluruh Indonesia, dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa disebut pondok atau pesantren di Aceh dikenal rangkang, di Sumatra Barat
dikenal surau. Nama yang sekarang diterima umum adalah pondok pesantren. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:7) Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri dan pendapat kedua mengatakan bahwa sistem pendidikan model pondok pesantren adalah asli Indonesia. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:7) Pondok pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti serat cabolek dan serat centini mengungkapkan dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam yaitu pondok pesantren. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:8) Sejak awal pertumbuhannya, dengan bentuknya yang khas dan bervariasi, pondok pesantren terus berkembang. Namun perkembangan yang signifikan muncul setelah terjadi persinggungan dengan sistem persekolahan atau juga dikenal dengan dengan sistem madrasi, yaitu sistem pendidikan dengan pendekatan klasikal, sebagai lawan dari sistem individual yang berkembang pondok pesantren sebelumnya. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:14) 3. Tujuan Pendidikan Pesantren
Pesantren
merupakan
lembaga
pendidikan
Islam,
yang
penyelenggaraan pendidikannya secara umum dengan cara non klasikal, yaitu seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama Arab abad pertengahan. Para santri biasanya tinggal dalam pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Kiai sebagai seorang ahli agama Islam, mengajarkan ilmunya kepada santri dan biasanya sekaligus pemimpin dan pemilik pesantren tersebut. Selama ini memang belum ada rumusan tertulis mengenai tujuan pendidikan pesantren. Minimal para kiai mempersiapkan para santrinya sebagai tenaga siap pakai tanpa harus bercita-cita menjadi pegawai negeri. Namun lebih jauh para santri sebagian besar menjadi pemuka masyarakat yang di idam-idamkan oleh masyarakat. (Maunah, 2009:25) Berdasarkan tujuan pendiriannya, pesantren hadir dilandasi sekurang-kurangnya oleh dua alasan : pertama, pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai
yang ditawarkan
(amar ma‟ruf nahi munkar).
Kehadirannya dengan demikian dapat melakukan kerja-kerja pembebasan (liberation) pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, dan kemiskinan ekonomi. Mungkin juga seandainya kita tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren itu tidaklah begitu jauh terpencil di daerah pedesaan seperti kebanyakan pesanten sekarang ini, melainkan akan
berada di kota-kota pusat kekuasaan atau ekonomi, atau sekurangkurangnya tidak terlalu jauh dari sana, sebagaimana halnya sekolah-sekolah keagamaan di Barat yang kemudian tumbuh menjadi universitas-universitas tersebut. (Maunah, 2009:26) Kedua, salah satu tujuan didirikannya pesantren adalah untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat. (Maunah, 2009:26) Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam mengembangkan kepribadian yang muhsin tidak hanya sekedar Muslim. (Maunah, 2009:26) Bila kita meninjau tujuan yang diungkapkan di atas, sangat jelas bahwa pesantren tidak hanya menitikberatkan pendidikannya kepada hal-hal yang berhubungan dengan masalah ukhrawi semata, akan tetapi ia juga mementingkan kepentingan duniawi dengan anjuran yang keras bagi setiap santrinya untuk selalu menuntut ilmu agar di kemudian hari dapat mandiri dan berguna bagi masyarakat luas. Dengan demikian, maka tujuan pendidikan secara holistik yang sulit dicapai oleh lembaga pendidikan
pesantren. Para santri juga dibekali dengan keterampilan, pesantren akan dapat mencapai tujuan sampingan berupa pembekalan santri hidup terampil di masa mendatang. Proyek keterampilan ini meliputi pertanian, peternakan, perikanan, pertukangan jahit menjahit, menyulam, koperasi, elektronika dan sebagainya. (Maunah, 2009:27) Kelebihan lembaga pendidikan pesantren, cenderung dapat diterima sebagai lembaga pendidikan alternatif oleh semua golongan atau kalangan. Hal ini dapat kita lihat dari segi kuantitas pesantren yang lebih besar daripada lembaga umum, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sejalan dengan struktur penyebaran umat. Selain itu juga karena adanya tradisi keagamaan dan kepemimpinan yang merupakan potensi nasional dan terbuka untuk pembaharuan. (Maunah, 2009:28) Sedangkan kelemahan dan kekurangan lembaga pendidikan pesantren ini diantaranya adalah belum mampu mencapai tujuan pendidikannya secara maksimal (mencetak kader ulama yang sekaligus memimpin umat dan bangsa), pesantren belum mempunyai sarana dan prasarana yang memadai (fisik, personal, dan finansial). Dalam hal ini menurut Nurcholish Madjid lemahnya visi dan tujuan pendidikan pesantren disebabkan karena penekanan yang terlalu berlebihan terhadap satu aspek disiplin keilmuan tertentu, sehingga mengabaikan aspek keilmuan lainnya. Dengan kata lain, telah terjadi penyempitan orientasi kurikulum dalam lingkungan pendidikan pesantren. Oleh karena itu pesantren terkesan tradisional sehingga tidak menjadi pilihan dalam rangka kemajuan, pilihan
lembaga oleh keluarga maupun kelompok dan pesantren yang ada cenderung eksklusif. (Maunah, 2009:28) 4. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Pola pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren maupun ciri-ciri (karakteristik) pondok pesantren itu sendiri. Dalam melaksanakan proses pendidikan sebagian besar pesantren di Indonesia pada umumnya menggunakan beberapa sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat tradisional. (Maunah, 2009:29) Pemahaman sistem yang bersifat tradisional adalah lawan dari sistem yang modern. Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola pengajaran yang sangat sederhana, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan, wetonan dan musyawarah dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama zaman abad pertengahan dan kitab-kitab itu dikenal dengan istilah “kitab kuning”. (Maunah, 2009:29) Pertama, sorogan; sistem pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Di pesantren besar sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kiai atau santri-santri yang diharapkan di kemudian hari menjadi orang alim. Dalam sistem pengajaran model ini seorang santri harus betul-betul menguasai ilmu yang dipelajarinya sebelum kemudian mereka dinyatakan lulus, karena sistem pengajaran ini dipantau langsung oleh kiai.
Dalam perkembangan selanjutnya sistem ini semakin jarang dipraktekkan dan ditemui karena memakan waktu yang lama. (Maunah, 2009:29) Kedua, wetonan; sistem pengajaran dengan jalan wetonan ini dilaksanakan dengan jalan kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membaca kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Dalam sistem pengajaran yang semacam ini tidak dikenal adanya absensi (daftar hadir). Santri boleh datang, boleh tidak, dan juga tidak ada ujian. Sistem ini biasanya dilaksanakan dengan belajar secara berkelompok yang diikuti oleh para santri. Mekanismenya, seluruh santri mendengarkan kitab yang dibacakan kiai, setelah itu kiai akan menjelaskan makna yang terkandung di dalam kitab yang telah dibacakannya, santri tidak mempunyai hak untuk bertanya, terlepas apakah santri-santri tersebut mengerti atau tidak terhadap apa yang telah disampaikan kiai. Adapun kelompok-kelompok kelas yang ada dalam sistem pengajaran ini, dikenal dengan sistem halaqah. (Maunah, 2009:30) Ketiga, bandongan; sistem pengajaran yang serangkaian dengan sistem sorogan dan wetonan adalah bandongan, yang dalam prakteknya dilakukan saling kait-mengkait dengan yang sebelumnya. Dalam sistem bandongan ini seorang santri tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti terhadap pelajaran yang sedang dihadapi atau disampaikan, para kiai biasanya membaca dan menterjemahkan kata-kata yang mudah. (Maunah, 2009:30)
Ketiga pola pengajaran ini berlangsung semata-mata tergantung kepada kiai, sebab segala sesuatunya berhubungan dengan waktu, tempat dan materi. Selain itu, pengajaran (kurikulum) yang dilaksanakan di pesantren terletak pada kiai atau ustadz dan sekaligus yang menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar di pondok pesantren. Sebab otoritas kiai sangat dominan di dalam pelaksanaan pendidikannya, selain dia sendiri yang memimpin pondok itu. (Maunah, 2009:30) Berdasarkan jabatannya dalam birokrasi pemerintahan, maka kyai memperoleh
status
sosial
yang
tinggi
karena
pengetahuan
dan
pemahamannya terhadap ajaran agama. Meskipun dalam kehidupan sosial terdapat dua kelompok kyai yang harus dibedakan, yaitu kyai birokrasi (kyai yang menduduki jabatan birokrasi, seperti yang tergabung dalam reh pangulon atau abdi dalem ngulama) dan kyai bebas (kyai yang berada di luar birokrasi dan sebagian besar merupakan pemimpin dan guru di pesantren), namun dalam pandangan masyarakat tingginya tingkat kekyaian tetap didasarkan pada pengetahuan dan pemahamannya terhadap agama islam. Kyai merupakan seorang guru dan penganjur agama islam sekaligus juga pemimpin yang memiliki kedudukan dan fungsi sosial dalam masyarakat. Tugas sebagai guru atau pengajar agama telah memaksa kyai untuk melembagakan sistem pengajarannya yang setelah mengalami perkembangan akhirnya menjelma menjadi pesantren. Berdasarkan peran inilah yang menyebabkan kyai selalu identik dengan pemimpin pesantren meskipun tidak semua ahli agama islam yang disebut kyai memiliki
pesantren. Kadang guru ngaji di pedesaan karena dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang cukup juga dipanggil dengan sebutan kyai. (Supariadi, 2001:143). Bagi masyarakat tradisional Jawa, kyai tidak saja dipandang sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama melainkan juga diakui sebagai pemimpin di masyarakat. Kepemimpinan kyai memang lebih bersifat informal dan luas pengaruhnya dalam masyarakat didasarkan pada kharisma yang dimiliki. Meskipun sifat kepemimpinannya informal namun mereka merasa ikut bertanggungjawab untuk mengurusi pendidikan agama dan pelaksanaan ritual keagamaan dalam masyarakat sekaligus juga melakukan pelayanan sosial. Peran kyai dalam melayani kehidupan sosial masyarakat dapat berwujud pemberian petuah atau nasehat, penengah dalam perselisihan sosial, pembelaan terhadap kepentingan masyarakat, dan bahkan memberi pengobatan pada orang sakit. Luasnya peran sosial kyai meanjadikan mereka simbol solidaritas di kalangan umat dan sekaligus dipercaya sebagai pembela kepentingan masyarakat. (Supariadi, 2001:156) Kedudukan kyai sebagai pemimpin komunitas Islam pedesaan telah menjadikan mereka simbol solidaritas di kalangan masyarakat dan sekaligus pembela bagi kepentingan-kepentingannya. Hukum agama Islam yang menjadi dasar pemikiran dan tindakan para kyai tidak saja mengatur hubungan antara individu dengan Tuhan melainkan hampir semua hubungan sosial dan personal sehingga memberikan kekuasaan yang luas pada kyai dalam masyarakat. Itulah sebabnya meskipun sifat kepemimpinan kyai
adalah informal, mereka tetap bertanggungjawab untuk mengurusi berbagai persoalan
dalam
masyarakat,
mulai
persoalan
pendidikan
agama,
pelaksanaan ritual keagamaan hingga memberikan layanan sosial. (Supariadi, 2001:144) Luasnya peran kepemimpinan kyai dalam masyarakat telah memberi kekuasaan moral yang luar biasa dalam menempatkan pada posisi terhormat sebagai kelompok terdidik (intelektual). Agar posisi dan statusnya tetap terjaga, maka dijalinlah ikatan hubungan keilmuan (intelektual), ikatan kekerabatan, ikatan perkawinan maupun ikatan ekonomi. Para kyai percaya bahwa dengan semakin luasnya ikatan hubungan di antara mereka akan semakin memantapkan posisi dan perannya dalam masyarakat, baik peran keagamaan, sosial, ekonomi, maupun politik. (Supariadi, 2001:144). Membahas peranan para pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan memang sangat menarik, bukan saja lantaran para pemimpin agama merupakan salah satu komponen itu sendiri, melainkan juga karena pada umumnya pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat utuh dan serasi antara kemajuan aspek lahiriah dan batiniah. Pentingnya
keterlibatan
para
pemimpin
agama
dalam
kegiatan
pembangunan ini adalah aspek pembangunan unsur ruhaniahnya.Unsur ini mustahil dapat terisi tanpa keterlibatan para pemimpin agama. Dengan demikian, keterlibatan para pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan tidak bersifat suplementer, tapi benar-benar menjadi salah satu komponen inti dalam seluruh proses pembangunan. (Kahmad, 2000:138)
Kyai dibedakan dari ulama lantaran pengaruh karismanya yang luas. Kyai dipercayai memiliki keunggulan baik secara moral maupun sebagai seorang alim. Pengaruh kyai diperhitungkan baik oleh pejabatpejabat nasional maupun oleh masyarakat umum jauh lebih berarti daripada ulama
desa.
Untuk
mempertajam
perbedaan
antara
kedua
corak
kepemimpinan Islam tersebut, ada baiknya dikemukakan kembali ciri-ciri ulama secara umum. Peran ulama lebih menghunjam ke dalam sistem sosial dan struktur masyarakat desa yang khas, lokal dan otonom. Tradisi lembaga ulama dan ortodoksi diwariskan dari generasi ke generasi, dilaksanakan dan didukung oleh keluarga ulama yang secara tradisional mencetak dan menyediakan kader ulama bagi wilayah pedesaan. Dengan demikian status keunggulan ulama disahkan oleh faktor keturunan dari keluarga ulama, seperti juga peranan moral dan keagamaan mereka di dalam masyarakat tertentu. (Horikoshi, 1987:211). Untuk selanjutnya otoritas moral dan keagamaan ulama secara substansial ditopang oleh peran sebagai pelindung masyarakat, yang memberikan wewenang kepada mereka untuk memobilisasikan warga desa dan membuat keputusan atas nama masyarakat. Kepatuhan tradisional terpelihara berkat keabdian rasa berhutang budi kepada warga desa berkenaan dengan predikat sesepuh yang mereka miliki. Pada dasarnya ulama adalah pemimpin tradisional dan stabilisator sistem, yang kepentingan utamanya terletak dalam pemeliharaan status quo atas nama kewajiban Illahi. (Horikoshi, 1987:212).
Di sisi lain, kyai mengasumsikan adanya kepemimpinan moral dan spiritual yang berskala besar sebagai ulama dan muballigh yang tak terikat oleh struktur desa Islam yang normatif. Mereka bukan tokoh pengambil keputusan dari desa-desa Islam, juga tidak mengambil peran sebagai sesepuh berkat keunggulan keturunan. Pengaruh kyai tidak tergantung pada loyalitas komunitas terbatas yang didorong oleh perasaan hutang budi orang-orang desa atas jasa-jasanya, dan juga kedudukan mereka tidak pula tergantung pada dukungan keluarga mereka. Pengaruh mereka sepenuhnya ditentukan oleh kualitas kekarismaan mereka. (Horikoshi, 1987:212). Karena itu, kebanyakan kyai bertempat tinggal di wilayah perkotaan dan di kampung-kampung pinggiran kota besar maupun kota kecil, di mana mereka bisa menarik lebih banyak khalayak dan melebarkan pengaruh. Jadi, posisi struktural mereka dalam umat lebih tinggi dibanding ulama desa, dan kehadiran mereka sebagai pemersatu simbolik bagi umat, hingga tidak mustahil bila dijumpai ulama yang menjadi pengikut mereka. (Horikoshi, 1987:212). Seorang kyai yang kharismatik hanya sesekali saja muncul mengatasi para ulama lain, di suatu daerah dengan menunjukkan bobot karismanya dalam keadaan-keadaan gawat atau dalam usahanya mencapai sasaran-sasaran perjuangan Islam. Sebagaimana fenomena kharismatik lainnya posisi kyai ditandai oleh ketiadaan kualitas-kualitas intitusional. Kedudukan kyai tidak bisa diwarisi begitu saja oleh keturunannya, dan
wafatnya
seorang
kyai
biasanya
menandai
berakhirnya
sebuah
kepemimpinan karismatik. (Horikoshi, 1987:212) Persoalan
ketidakserasian
antara
karisma
dan
institusi
menimbulkan pertanyaan menarik berkaitan dengan respon yang diberikan kyai terhadap periode tenteram dan damai yang berlangsung semenjak tahun 1965. Oleh karena itu bab ini bertujuan mengupas apa yang membentuk karisma kyai dan menunjukkan hubungan yang berlangsung dalam masamasa peralihan, baik dengan para pengikut mereka yang akrab maupun masyarakat umumnya. (Horikoshi, 1987:213). Pribadi karismatik adalah seorang reformer yang berhasil. Apakah mungkin menguntungkan ataukah merugikan bagi masyarakat sebagai sebuah kesatuan, dia memiliki visinya sendiri tentang kelemahan status-quo. Minatnya adalah penekanan pada sistem. Sebagai contoh, kyai karismatik itu tidak banyak mendapatkan kepuasan dari kegiatan mempelajari bukubuku pelajaran agama Islam. Tidak puas dengan pelajaran-pelajaran yang diberikan guru-gurunya yang gagal untuk lebih banyak menghadirkan sebuah visi tentang sistem agama komprehensif yang perlu untuk membantu orang-orang yang beriman mencapai ketenangan dan kekuatan jiwa, daripada bergabung di tengah-tengah mereka karena mereka takut bahaya dari luar. Dia meninggalkan rumah dan dunia institusi untuk menemukan sistemnya sendiri dengan melakukan berbagai perjalanan pencarian jiwa. (Horikoshi, 1987:220).
Kyai mulai memberikan pengajian tak lama sekembalinya dari Mekah. Pengalamannya berjalan melintasi padang pasir bersama lautan jama‟ah sambil bermandikan cahaya bulan telah menyempurnakan inspirasinya tentang kesatuan alam dengan Yang Maha Suci. Sekembalinya dari Mekah, dia terdorong untuk membagikan pengalamannya kepada orang lain. Ketika dia memberikan pengajian panjangnya yang pertama di depan khalayak, sang ayah khawatir tentang keberanian anaknya, karena dia tahu bahwa anaknya itu tak menguasai satu kitab pun. Akan tetapi sang ayah segera takut manakala para hadirin ternyata mengikuti pengajian itu dengan baik dan penuh emosi. Rupanya kemudian sang ayah menyadari bahwa anaknya tidak ditakdirkan menjadi ulama guru tetapi seorang kyai muballigh. (Horikoshi, 1987:220). Untuk menjadi seorang guru, seorang mesti mampu memperkuat keimanan
umat
beragama,
sebagaimana
yang
ditunjukkan
kyai.
Kemampuan terakhir ini memerlukan pengertian yang mendalam tentang kebutuhan batin para hadirin, suatu kemampuan yang tampaknya dimiliki oleh anaknya yang lebih muda ini. (Horikoshi, 1987:220). Kyai dibedakan dari ulama dalam segi ini, karena kyai mampu mengembangkan dan mengajarkan : struktur sistem keimanan dan bagaimana memeras kemampuan untuk mencapai tujuan akhir itu. Ulama ortodok lebih menekankan ketidakberdayaan di hadapan kekuasaan dan ancaman kemurkaan Tuhan. “Tuhan telah menurunkan perintah Nya kepada manusia, dan membangkang terhadap perintah Nya berarti
menyatakan diri bersedia menanggung beban siksaan abadi di neraka”. Untuk menerangkan ajaran seperti ini dibutuhkan kreatifitas dalam teknik penyajian hingga bisa dicerna oleh pendengar yang awam. (Horikoshi, 1987:224). Kyai gemar menerangkan sistem itu dalam tiga tahap. Yang nomor tiga justru tidak jelas bagi kaum muslimin, akan tetapi sekaligus membangkitkan efek maksimum sebuah dimensi struktural tanpa membingungkan para hadirin. Sistem dari agama bisa dijelaskan dalam istilah-istilah yang dikandungnya : pengetahuan tindakan dan kepercayaan yang semuanya amat sesuai dengan tiga unsur kemampuan manusia, yakni akal, badan dan hati. (Horikoshi, 1987:224). Kyai menasehatkan bahwa untuk mencapai ketinggian martabat moral dan memperoleh rahmat Tuhan, seseorang mesti bekerja untuk menyucikan diri dan menyingkap tabir menuju Tuhan melalui tiga tingkatan ini. Akan tetapi tugas masing-masing kemampuan itu berbeda. Akal mencapai pengetahuan tentang sistem agama, badan melakukan ibadat (ritus wajib, amal salih dan penyucian diri) dan hati mengandung kecenderungan ke arah kebajikan dan kejahatan. Namun ketiga unsur ini saling berhubungan dan mesti bekerja bersama-sama untuk mencapai citacita : pengetahuan tentang jalan Tuhan yang memisahkan kebenaran dari yang salah, dan pengetahuan ini mengenyahkan kecenderungan jahat dan membangkitkan kecenderungan yang baik. Kecenderungan yang terahir ini pada gilirannya akan meneguhkan iman. (Horikoshi, 1987:224).
Jika kata-kata dirasa tidak efektif, kyai mempergunakan berbagai perumpamaan untuk lebih lanjut menjelaskan sistem itu. Di dalam menerangkan hubungan antara pengetahuan, tindakan dan ketaatan, kyai membuat perumpamaan tentang orang yang pergi naik kereta api ke Jakarta; mengikrarkan syahadat diumpamakan membeli karcis untuk mendaftarkan diri sebagai anggota umat yang beriman, rel kereta api memerlukan bahan bakar untuk menghela dirinya mencapai tujuan, musliminpun memerlukan anugerah dan rahmat Tuhan, yang bisa diperoleh melalui ibadat, sebagai bukti ketaatannya kepada Tuhan. Begitu kereta api sampai di Jakarta, misi perjalanan itu pun rampunglah. Demikian juga, ketika seorang mencapai martabat surgawi, berarti tugas hidupnya telah selesai, karena sesudah itu kenikmatan menunggunya di surga. (Horikoshi, 1987:225). Kyai menduduki posisi sentral dalam masyarakat Islam pedesaan dan menyatakan berbagai golongan hingga mampu melakukan tindakan kolektif jika diperlukan. Dia mengambil peran sebagai poros hubungan antara umat dengan Tuhan. Pada pandangan sebagian besar pengikutnya, kyai adalah contoh muslim ideal yang ingin mereka capai. Dia seorang yang dianugerahi pengetahuan dan rahmat Tuhan. Sifat hubungan antara kyai dengan masyarakat adalah kolektif. Kyai terkesan sebagai pemimpin simbolis yang tak gampang ditiru oleh orang biasa. Beberapa orang terdekat menghubungkan kyai dengan masyarakat, tetapi atas nama pribadi. Semua orang dekat itu menduduki posisi kepemimpinan dan
terpandang di masyarakat mereka masing-masing. Ulama yang tergabung ke dalam pengikut kyai mengadakan semacam pengajian rutin yang dipimpin kyai. Di antara mereka menjadi terpandang berkat hubungan mereka dengan kyai. (Horikoshi, 1987:232). Hubungan atas bawah antara kyai dan ulama seperti itu kerap kali hanya bersifat temporer. Ketika kyai meninggal misalnya secara berangsur-angsur hubungan semacam itu memudar. Kyai bertindak sebagai sumber ilmu pengetahuan dan aspirasi bagi ulama yang sebaliknya membantu kyai menyebarkan pengaruhnya di antara mereka sendiri dan di wilayah-wilayah tertentu. (Horikoshi, 1987:232). Kyai dan ulama melanjutkan tugas kemasyarakatan mereka di tengah terjadinya aneka perbedaan pendapat dengan sektor-sektor Islam yang lain, dan adanya campur tangan yang kurang menyenangkan dari pemerintah. Masyarakat, ulama, dan umat yang dipimpinnya bersamasama menanggung beban memperjuangkan tujuan-tujuan Islam. Sumber dari kekuatan-kekuatan umat terletak pada visi kyai. Saat ini ketika ancaman komunis telah berlalu dan kekacauan politik telah merdeka, para pemimpin pedesaan tampaknya mulai mencari bimbingan-bimbingan baru dari kyai. (Horikoshi, 1987:235). Bagi sebagian besar mereka, sistem yang ada sekarang terasa jauh dari yang ideal, dan selama terdapat tugas-tugas yang belum terselesaikan, kyai harus tetap bisa mengendalikan jalan berfikir para pengikutnya jika seandainya di dalam masa hidupnya timbul kemungkinan adanya cita-cita
bersama. Dengan ideology yang segar dalam pikiran inilah kyai, ulama dan masyarakat harus tetap sebagai satu tubuh dan memperbaiki diri masing-masing. (Horikoshi, 1987:236). Menurut Eliade, semua definisi yang ditunjukkan kepada kita tentang fenomena religius sampai sekarang masih memiliki kesamaan pandangan dalam satu hal, yakni bahwa yang sacral merupakan kehidupan religius yang dipertantangkan dengan yang profane yang merupakan kehidupan secular. Menurut Eliade pula, bahwa yang sacral tidak hanya menunjukkan
bentuk
kepercayaan
primitif
tetapi
semua
agama
memilikinya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan pada pemujaan terhadap batu-batu dan pohon-pohon yang terdapat pada teologi masyarakat Indian atau misteri inkarnasi. (Ghazali, 2011:44). Dalam pengertian yang lebih luas, yang sacral atau yang kudus (sacred) adalah sesuatu yang terlindung dan pelanggaan, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Pengertian yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, tapi juga pada banyak obyek, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan, seperti tindakan-tindakan, tempat-tempat kebiasaankebiasaan dan gagasan-gagasan. Dalam pengertian yang lebih sempit, yang kudus adalah sesuatu yang dilindungi, khususnya oleh agama, terhadap pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci, keramat. (Ghazali, 2011:44)
Kebalikan dari yang kudus adalah yang profane. Profane adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, dan bersifat sementara. Pendek kata, yang ada di luar yang religius. Dalam pandangan Dhavamony, istilah profane dalam pengertian itu, tidak dimaksudkan dalam arti apa yang tidak suci, tidak sopan, yang menghina atau cemar. Dalam memahami yang kudus dan profane ini, Eliade lebih menekankan pada manusia beragamanya (homo-religius), sebab manusia religius mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan ini, terhadap dunia, teehadap manusia sendiri dan terhadap apa yang dianggapnya kudus. Yang kudus merupakan pusat kehidupan dan pengalaman religius. Kehidupan religius menuntut kesadaran akan adanya pertentangan antara yang kudus dan yang profan. Alam tidak pernah merupakan alam secara murni. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius, seluruh alat sanggup untuk menyatakan dirinya sebagai sakralitas kosmis. Rudolf Otto menyatakan bahwa unsur pokok dalam pengalaman religius adalah perasaan numinus (dari Latin numen; Inggris, god) yang non rasional terhadap obyek (mysterium tremendum). Maka yang kudus (the sacred-das heilige) merupakan unsure khas yang menciptakan pengalaman religius dalam semua gagasan dan perasaaannya yang berbeda-beda, dan selalu menampakkan dirinya sebagai suatu realitas alamiah. (Ghazali, 2011:45) Oleh karena itu, ciri yang mencolok dari fenomena religius adalah selalu mengandaikan dua pembagian dari seluruh dunia yang diketahui dan yang tidak diketahui, ke dalam dua kelas yang merangkum segala yang ada
tetapi secara radikal saling meniadakan. Kepercayaan religius adalah yang menyatakan kodrat dari hal-hal yang kudus dan hubungan-hubungan yang mereka dukung, baik antar mereka sendiri maupun dengan hal-hal yang profan. (Ghazali, 2011:46) Maka sekalipun penggambaran yang kudus sebagai kebalikan dari yang profane itu bervariasi, tapi yang tetap ada dalam fenomena religius itu adalah pertalian dari makna khusus yang kita sebut „religius‟ atau suatu hubungan dengan dewa-dewa, roh-roh, leluhur yang dipuja sebagai dewa, atau benda-benda suci, dengan yang kudus secara umum. (Ghazali, 2011:47) Koentjaraningrat telah mengklasifikasikan teori-teori tentang asasasas dan asal mula religi yang ditulis oleh para ahli ke dalam tiga golongan, yakni : Pertama, teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi
kepada
keyakinan religi atau isi ajaran religi. Kedua, teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada sikap para penganut religi yang bersangkutan terhadap alam gaib, atau hal-hal yang gaib. Ketiga, teoriteori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada ritus dan upacara religi. (Ghazali, 2011:72) Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada lima komponen atau unsur dalam agama atau religi, yaitu : a. Emosi keagamaan
b. Sistem keyakinan c. Sistem ritus dan upacara d. Peralatan ritus dan upacara e. Pengikut (umat beragama) B. Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren 1.
Pengertian Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren Aliran humanisme mengajarkan kepada manusia bahwa semua manusia
adalah sama, bagian dari dunia dan ciptaan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara golongan kaya dan miskin, atasan dan bawahan, laki-laki dan perempuan. Semua manusia adalah saudara, karenanya harus saling mengasihi. (Baedhowi, 2008:79) Humanisme religius, dalam kualitas yang berbeda-beda, adalah sebuah konsepsi yang hendak mengukur ketaatan keberagamaan atau kesalehan seseorang lewat pintu masuk dunia mistik (tasawuf). Dalam seluruh kasus, ia digambarkan sebagai sarana keyakinan dan penaklukan terhadap nafsu ( jihad al akbar), rujukan tetap pada Tuhan, dan rasa malu dalam aksi dan konsep, kepasrahan dan penghapusan keinginan yang ditempatkan pada sebuah keadilan yang tak dapat ditolaknya. (Baedhowi, 2008:79) Karena itu, perlu dimengerti dan seharusnya sangat dihargai bila para tokoh humanis religius Muslim (sufi-sufi besar) semisal al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah atau lainnya dalam pencapaiannya. Meskipun pengetahuan mereka dalam ma‟rifat allah (pengenalan terhadap Tuhannya ) telah sampai ke tingkat fana‟atau ilmu al-mukasyafah, mereka tidak meneruskan lagi ke tingkat puncak
selanjutnya, yakni fana‟ fi taukhid atau fana‟ al fana‟ sebagaimana Ibnu Arabia atau al-Hallaj. Hal ini secara individual selain untuk menjaga keseimbangan kesadaran spiritualitas semacam itu mereka tetap bisa membimbing dan memberikan santunan moral-spiritual kepada masyarakat secara luas. (Baedhowi, 2008:79) Dari pengertian di atas penulis berpendapat bahwa humanisme religius pesantren dimaksudkan sebagai implementasi konsep humanisme Islam dalam pesantren sebagai upaya memanusiawikan peserta didik (santri). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan, yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan
dimaksudkan
sebagai
proses
yang
memberikan
jaminan
terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. Pada hakekatnya humanisme
religius
di
pesantren
merupakan
rasa
kesadaran
dalam
bermasyarakat yang peduli terhadap sesama, sehingga mampu melahirkan rasa peduli terhadap masyarakat yang juga menunjang kegiatan di pondok pesantren. 2.
Sejarah Perkembangan Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren Pendidikan
sebagai
proses
pemanusiawian
manusia
(humanisasi)
bersumber dari pemikiran humanisme. Hal ini sejalan dengan makna dasar
humanisme sebagai pendidikan manusia. Sistem pendidikan dalam Islam yang dibangun atas dasar nilai-nilai humanistik sejak awal kemunculannya sesuai dengan esensinya sebagai agama kemanusiaan. Islam menjadikan dimensi kemanusiaan sebagai orientasi pendidikannya. Sangatlah naif kalau dikatakan bahwa konsep pendidikan humanistik Islami merupakan konsep pendidikan Barat yang diberi label Islam. (Rahman, 2011:78) Kajian tentang humanisme dalam pendidikan bukanlah sebuah teori pendidikan yang berdiri sendiri sebagaimana teori progresivisme, perenialisme, esensialisme, atau rekonstruksionisme. Pendidikan humanistik merupakan sebuah pemikiran pendidikan yang dikembangkan dari ide dalam teori progresivisme. (Rahman, 2011:78) a. Pragmatisme Pragmatisme yang juga disebut eksperimentalisme dan instrumentalisme merupakan reaksi terhadap perubahan (revolusi industri) pada akhir abad ke-20. Ciri utamanya adalah memelihara keberlangsungan pengetahuan dengan aktivitas yang dengan sengaja mengubah lingkungan. William James, tokoh filsafat ini, mendefinisikan pragmatisme sebagai sikap memalingkan muka dari segala sesuatu atau prinsip awal dan beralih kepada fakta-fakta baru. (Rahman, 2011:80) Penganut pragmatisme menekankan sains empiris, dunia yang berubah dan problemnya sebagai realitas. Pemikiran filosofis pragmatisme disarikan oleh Knight menjadi beberapa hal berikut. Pertama, realitas itu bersifat eksperimental. Realitas bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi merupakan
pengalaman transaksional yang terus berubah sehingga pengalaman manusia harus dinyatakan kemungkinan (probabilitas). (Rahman, 2011:80) Kedua, kebenaran didasarkan pada kegunaan dan fungsi sehingga sifatnya relatif. Pengetahuan ini berdasar pada pengalaman yang berdasar pada pengalaman yang bersifat umum yang dibedakan
dari kepercayaan yang
bersifat pribadi. Ketiga, nilai itu berasal dari masyarakat yang berubah-ubah. Masalah moral tidak ada aturan aksiologis yang universal. Pragmatisme memandang pendidikan (sekolah) seharusnya merupakan kehidupan dan lingkungan
belajar
yang
demokratis
yang
menjadikan
semua
orang
berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas masyarakat. (Rahman, 2011:78) Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dalam, bahkan menjadi faktor utama munculnya teori atau pemikiran humanisme dan progresivisme. Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah : 1) Peserta didik adalah subjek yang memiliki pengalaman. Dia adalah individu yang memiliki kecerdasan dan mampu menggunakannya guna memecahkan problematika. 2) Guru bukan orang yang tahu kebutuhan siswa untuk masa depannya. Guru berperan menanamkan pengetahuan yang esensial bagi diri peserta didik. 3) Materi atau kurikulum harus sesuai kebutuhan siswa yang menekankan proses daripada materi. Materi atau kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan subjek didik (siswa) sehingga harus terbuka dan alamiah.
4) Metode pembelajaran harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk mencari pengalaman belajar yang berguna. 5) Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial. b. Progresivisme Teori progresivisme muncul pada tahun 1920-an. Progresivisme sangat dipengaruhi oleh pragmatisme. Bertolak dari pemikiran terebut, progresivisme menentukan prinsip pendidikan. 1) Proses pendidikan ditujukan untuk kepentingan anak. Kurikulum dan metode pembelajaran berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif peserta didik. 2) Anak merupakan subjek pendidikan yang aktif. Anak bukan individu yang hanya bisa menerima informasi. Mereka itu dinamis yang memiliki keinginan belajar. 3) Peran guru sebagai penasihat, pembimbing, dan pemandu. Guru tidak boleh bersikap otoriter sebagai penyalur informasi tunggal. 4) Aktivitas kelas memfokuskan pada pemecahan masalah anak sebagai peserta didik dalam pendidikan. Sebagai sebuah teori pendidikan, progresivisme menekankan kebebasan aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebijakannya. Kalangan progresivisme berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial. (Rahman, 2011:84) c. Eksistensialisme
Aliran Eksistensialisme merupakan suatu doktrin moral dan metafisika yang berpijak pada pilar individualisme. Aliran ini hanya membahas manusia selaku individu yang memiliki tujuan. Pemikiran aliran ini adalah : 1) Realitas sebagai eksistensi. Tindakan manusia sehari-hari adalah proses perumusan esensinya. Fokus realitas berada pada diri manusia sebagai individu. 2) Kebenaran sebagai pilihan. Manusia sebagai individu adalah inti otoritas epistemologis dalam eksistensialisme. Manusialah yang memberi makna sesuatu. Teori eksistensialisme lebih menekankan keunikan anak secara individual daripada progresivisme yang cenderung memahami anak dalam unit sosial. Pandangan tentang keunikan individu ini mengantarkan kalangan humanis untuk menekankan pendidikan sebagai upaya pencarian makna personal dalam eksistensi manusia. Pendidikan berfungsi untuk membantu kedirian individu supaya menjadi manusia bebas dan bertanggungjawab dalam memilih. (Rahman, 2011:86) Pemikiran pendidikan ini mengantarkan pandangan bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan belajar. Apabila lingkungan baik (kondusif untuk belajar) maka anak akan terdorong untuk belajar sendiri. (Rahman, 2011:87) Dalam kajian ini, humanisasi dimaksudkan sebagai implementasi konsep humanisme Islam dalam pesantren sebagai upaya memanusiawikan peserta didik (santri). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas
dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan dimaksudkan sebagai proses yang memberikan jaminan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. (Rahman, 2011:156) Pendidikan pesantren dengan pendekatan humanistik diharapkan mampu membentuk manusia yang merdeka sehingga menjadi manusia seutuhnya. Untuk itu, keberhasilan pendidikan pesantren tidak cukup diukur dari kemampuannya menguasai hal-hal yang bersifat kognitif. Proses pendidikan ditujukan untuk membentuk manusia yang memiliki kemampuan berbagai disiplin ilmu sehingga bisa berperan dalam kehidupan bermasyarakat untuk kebaikan hidup manusia, baik urusan keduniaan maupun urusan keagamaan. Mereka adalah orang ahli ilmu, ahli ibadah, dan ahli takwa. Kesatuan ilmu dan takwa sebagai kesempurnaan diri menjadikan manusia sebagai orang yang baik secara sosial dan spiritual membentuk manusia sebagai hamba Allah („abdullah), sedangkan kemampuannya menciptakan kebaikan hidup manusia di dunia menjadikan manusia sebagai khalifah Allah. Keberhasilan
yang
lebih
penting
adalah
penanaman
nilai-nilai
kemanusiaan yang melahirkan budi pekerti yang luhur (akhlak mulia). Pendidikan pesantren dengan cirinya sebagai pendidikan agama secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan santri yang berilmu, yang sekaligus beriman dan beramal saleh yang tetap menegakkan harkat dan martabat
manusia. Pelaksanaan pendidikan pesantren tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Nilai-nilai humanisme yang diimplementasikan dalam pendidikan berupaya meningkatkan akhlak mulia. Akhlak inilah yang menjadi dasar dalam mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan santri. Humanisasi dalam pendidikan pesantren akan mampu membentuk mereka menjadi manusia yang mau menghiasi diri dengan akhlak mulia sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi pijakan sistem pendidikan pesantren. Karena itu, sebenarnya pesantren merupakan lembaga yang menjadi agen humanisasi. (Rahman, 2011:156) 3.
Aspek-aspek Pendidikan Humanisme Religius Dalam
membahas
penyelenggaraan
pendidikan
setidaknya
harus
menguraikan aspek mendasar yang berfungsi untuk menjalankan sistemnya. Pembahasan tentang humanisasi pendidikan Islam setidaknya meliputi enam aspek utama, yaitu tujuan, materi, pendidik, peserta didik, metode, dan evaluasi pendidikan. (Rahman, 2011:110) a. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan dimaksudkan sebagai perubahan yang akan dihasilkan dalam diri peserta didik akibat aktivitas pendidikan. Sebuah tujuan ditentukan oleh pandangan hidup (way of life) yang meliputi keyakinan agama dan realitas social dalam hidup keseharian. Nilai-nilai dalam pandangan hidup menjadi dasar dalam menggerakkan dan menyelenggarakan sistem pendidikan. (Rahman, 2011:111)
Tujuan mengaktualisasikan potensi manusia (peserta didik) menjadi „abdullah merupakan tujuan pendidikan humanistik dalam Islam sesuai tujuan penciptaan manusia. (Rahman, 2011:113) b. Materi Materi pendidikan adalah isi kurikulum yang dijadikan bahan pembelajaran. Materi pendidikan atau kurikulum ini ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai oleh sistem pendidikannya. Hakikat dalam materi pendidikan Islam harus didasarkan pada pandangan bahwa peserta didik adalah orientasi utama. Materi atau kurikulum merupakan kebutuhan siswa yang dipandang memiliki potensi, kemampuan, dan kekuatan yang berkembang. Proses pendidikan menekankan peranan peserta didik sebagai subjek pendidikan yang menjadi pusat perhatiannya (student centred). (Rahman, 2011:118) Kurikulum dalam pendidikan humanistik harus menyediakan kepuasan pengalaman personal setiap individu. Kurikulum dipandang sebagai proses pembebasan yang dapat memenuhi kebutuhan perkembangan dan integritas personal. Pendidikan humanistik bertolak dari paradigma kurikulum sebagai aktualisasi kemampuan yang bertumpu pada individu dan potensi diri peserta didik. (Rahman, 2011:119). Sukamadinata memberikan lima ciri kurikulum humanistik, yaitu : 1) Partisipasi Pembelajaran adalah kegiatan belajar bersama yang memungkinkan peserta didik bisa berdiskusi dan bertanggungjawab.
2) Integrasi Melalui partisipasi, peserta didik bisa menyatukan pemikiran, perasaan, dan tindakan. 3) Relevansi Materi pembelajaran relevan dengan keutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik sehingga lebih bermakna bagi dirinya. 4) Pribadi anak Materi pembelajaran memungkinkan pribadi peserta didik berkembang dan potensi bisa teraktualisasi. 5) Tujuan Pembelajaran bertujuan mengembangkan pribadi yang utuh dan serasi. Tujuan penting dalam kurikulum pendidikan humanistik Islami adalah kemauan
peserta
didik
untuk
mendengarkan,
mengevaluasi
diri,
mengembangkan kreativitas dan keterbukaan terhadap pengalaman baru yang bermakna bagi dirinya. (Rahman, 2011:123) c. Pendidik Istilah pendidik dimaksudkan sebagai orang yang pekerjaannya adalah mendidik orang lain. Pendidik adalah orang yang ahli dalam teori dan metode pendidikan. Islam memandang pendidik sebagai profesi yang sangat mulia. Pendidik menempati posisi sebagai orang yang berilmu („alim) sesuai jenis dan tingkatannya. (Rahman, 2011:113) Pendidik yang humanis menempatkan dirinya pada tingkatan yang sama dengan peserta didik. Menurut Thasy Kubra Zadeh, sebenarnya orang
pandai adalah orang yang selalu merasa dirinya bodoh sehingga selalu berusaha menambah ilmu. Keteladanan yang harus dimiliki seorang pendidik dalam sistem pendidikan humanistik-Islami meliputi semua aspek kehidupan. Seorang pendidik juga harus pandai menyimpan kemarahan kepada peserta didik. Sebaliknya, pendidik harus memiliki sikap sabar, hormat, lemah lembut, sayang, dan tabah dalam mencapai tujuan. (Rahman, 2011:130). d. Peserta didik Istilah peserta didik ini mengacu pada konsep dalam Undangundang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”. (Rahman, 2011:131) Pembelajaran dalam paradigma peserta humanistik bukanlah upaya pendidik menyampaikan bahan ajar, melainkan upaya peserta didik dalam mengembangkan
diri
sesuai
tujuan.
Pendidik
harus
menciptakan
serangkaian peristiwa yang dapat membangkitkan peserta didik untuk belajar sehingga tumbuh kreativitas. Peserta didik harus mendapatkan fasilitas atau kondisi supaya bisa belajar sesuai dengan kemauannya sendiri atas dasar rasa senang. Peserta didik memiliki hak untuk belajar sesuai dengan pilihannya. Mereka belajar secara mandiri sehingga menentukan harus menentukan arahnya sendiri. (Rahman, 2011:138) e. Metode Pendidikan
Metode pendidikan merupakan cara atau upaya komprehensif dari semua komponen pendidikan sehingga tercipta iklim yang efektif dan efisien guna mencapai tujuan pendidikan yang telah diwujudkan dalam sebuah kurikulum. Proses pembelajaran dalam pendidikan humanistik Islami lebih menekankan pada how to think (bagaimana berpikir) daripada what to think (berpikir tentang apa). (Rahman, 2011:113) Metode pendidikan dalam perspektif humanisme Islam, menurut Mas‟ud, harus lebih menekankan pengembangan kreativitas, penajaman hati nurani, dan keberagamaan peserta didik. Metode dalam pendidikan humanistik bertolak dari peran pendidik dan peserta didik. Sistem pembelajarannya tidak berjalan satu arah yang dilakukan oleh pendidik yang mengajar sesuai buku teks. Pembelajaran dimaksudkan sebagai proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu tingkatan (UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 1) Berdasarkan
prinsip
kebebasan
tersebut
setidaknya
dapat
ditentukan jenis metode yang cocok untuk diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan humanistik
Islami, yaitu : diskusi, pemecahan masalah,
keteladanan, serta keseimbangan hukuman dengan hadiah. a) Metode diskusi (discussion). Sebagai sebuah metode pendidikan, dialog memposisikan pendidik dan peserta didik untuk bisa berpartisipasi aktif untuk mendiskusikan semua topik pembelajaran. b) Metode pemecahan masalah (problem solving). Metode ini menuntut peserta didik untuk mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Metode ini menghadapkan peserta didik kepada situasi baru yang mengundang mereka untuk bekerja dengan penuh kesadaran tentang tujuan yang berasal dari lingkungannya. c) Metode keteladanan (role model). Metode ini memberikan contoh atau teladan kepada peserta didik. Kesalehan moral, spiritual, dan intelektual sebagai pengejawentahan proses internalisasi sifat-sifat yang terdapat dalam diri manusia harus dimiliki oleh pendidik untuk ditiru oleh peserta didik. d) Metode keseimbangan hukuman dan hadiah. Pemberian hukuman atau sanksi dipandang sebagai suatu cara mendisiplinkan peserta didik dalam melaksanakan peraturan yang ada. Karena itu, dalam pendidikan humanistik Islami menuntut adanya keseimbangan antara hukuman dan hadiah dalam proses pendidikan sebagai aktualisasi kebebasan dalam akatan. (Rahman, 2011:148) f. Evaluasi Pendidikan Evaluasi dalam pendidikan harus mencakup semua aspek perkembangan pribadi peserta didik. Evaluasi yang hanya menitikberatkan pada kemampuan mengingat dan menghafalkan materi yang mengabaikan kemampuan afektif dan pikomotorik menjadikan pembelajaran hanya mengejar materi dan informasi. Evaluasi terhadap penguasaan materi itu tidak bisa menggambarkan perkembangan pribadi secara komprehensif yang juga meliputi aspek kecerdasan emosional dan spiritual. (Rahman, 2011:149)
Atas dasar itulah, evaluasi pendidikan juga harus mengupayakan fasilitas yang menunjang pencapaian tujuan. Pendidik yang humanis merasa senang kalau peserta didiknya bisa merespons berbagai kegiatan kelas. McNeil mengutip hasil penelitian Carl Rogers bahwa peserta didik akan lebih rajin belajar, lebih rajin masuk sekolah, lebih kreatif, dan mampu menyelesaikan masalah ketika menggunakan kurikulum yang humanis. (Rahman, 2011:153) Ukuran keberhasilan pendidikan diperoleh dari hasil interaksi dengan semua komponen pendidikan yang terwujud dalam wawasan, cara berpikir, mengendalikan diri, menyikapi keadaan, dan memecahkan persoalan yang tidak hanya pengetahuannya. Semua kemampuan itu harus diperoleh melalui pengalaman belajar peserta didik. Evaluasi ditujukan untuk mengetahui aktivitas yang dapat membantu peserta didik menjadi lebih terbuka dan bebas sehingga bermanfaat bagi dirinya pada masa yang akan datang. Ukuran hasil pendidikan yang bermakna adalah berdasarkan hasil pengamatan yang terus-menerus terhadap perubahan perilaku peserta didik oleh pendidik dan sekolah bersama-sama orang tua. (Rahman, 2011:15)
BAB III BENTUK DAN POLA HUBUNGAN SOSIAL A. Gambaran Umum dan Kondisi Sosiokultural Pondok Pesantren Edi Mancoro 1. Letak Geografis Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Kondisi Sosiokultural Pondok Pesantren Edi Mancoro yang lebih terkenal dengan istilah Wisma Santri Edi Mancoro berdiri pada 25 Desember 1989 dibawah naungan “Yayasan Desaku Maju” atau yang sekarang berganti nama dengan Pondok Pesantren Edi Mancoro pada tanggal 31 Desember 2006 hingga sekarang, terletak di wilayah Kabupaten Semarang, tepatnya di Dusun Bandungan, Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Walaupun dari luar daerah, pesantren ini lebih akrab dengan Salatiga, karena memang secara geografis lebih dekat dengan pusat pemerintahan kota madya Salatiga. Gedangan ini, termasuk wilayah yang cukup potensial secara ekonomis karena penghasilan warganya disamping bersumber dari pertanian padi, juga bersumber dari pertanian kering, cukup terkenal sebagai penghasil buah-buahan misalnya salak, duku dan lainlain. Pesantren ini berada di wilayah pinggiran Kota Salatiga yang berada di sebelah baratnya sekitar 4 kilometer. Keadaanya memang tidak terlalu ramai tapi dekat dengan Kota Salatiga. Sehingga
merupakan tempat strategis untuk pendidikan termasuk pendidikan keagamaan pesantren. Jarak yang tidak jauh dari pusat Kota Salatiga yang merupakan sentral pendidikan formal, maka banyak santri yang berminat untuk mendalami ilmu agama di pesantren ini, sebab kebanyakan santri yang menetap adalah para pelajar di pendidikan formal, baik dari kalangan mahasiswa ataupun pelajar bahkan banyak juga dari masyarakat sekitar yang ikut menuntut ilmu di pesantren ini. Kondisi Sosiokultural Pondok Pesantren Edi Mancoro tergambar dalam kebiasaan yang ada. Ketika terdapat berbagai hal yang berhubungan dalam mengambil keputusan melalui jalan musyawarah, maka jalan yang ditempuh adalah semua santri berperan aktif mengutarakan pendapat yang ada untuk mengambil jalan tengah atas apa yang menjadi persoalan itu. Jika terdapat kesenjangankesenjangan yang terjadi antar santri hal itu merupakan hal yang biasa. Namun tidak menjadi penghalang dalam menjalankan apa yang sudah disepakati bersama. Hal lain yaitu saling membantu dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan di pondok pesantren, misalnya dalam bergotongroyong untuk membersihkan pondok pesantren hal itu merupakan contoh dari kondisi sosio kultural yang ada di pondok pesantren. Terdapat juga empati dan saling tolong - menolong apabila santri kesusahan, maka dalam hal ini terdapat jiwa toleransi yang kuat antar santri. Saling mempercayai atas tanggungjawab yang telah diberikan,
karena ketika santri mendapat tugas dari pondok untuk melakukan suatu pekerjaaan maka itulah rasa tanggungjawab yang ada dalam diri santri. Dapat disimpulkan apabila hal-hal tersebut di atas dapat menjadi gambaran kondisi sosio-kultural Pondok Pesantren Edi Mancoro. 2. Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro Pondok Pesantren Edi Mancoro merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan, yang juga berusaha membekali santrisantrinya
dengan
keterampilan-keterampilan.
Sehingga
Pondok
Pesantren Edi Mancoro terdapat beberapa UPT (Unit Pelaksana Teknis) guna peningkatan sumber daya santrinya. Adapun secara statistik profil Edi Mancoro adalah sebagai berikut : a.
Nama
: Pondok Pesantren Edi Mancoro
b.
Alamat
: Dsn.Bandungan 02/01 Ds.Gedangan, Kec.Tuntang, Kab.Semarang Jawa Tengah
50773 Telepon (0298) 313329/08139239383 c. Email
:
[email protected]
d. Blog
: www.ppedimancoro.wordpress.com
e. Pimpinan
: KH. Mahfudz Ridwan, Lc
f. Ketua Yayasan
: Muhammad Hanif SS, M.Hum
g. Pengasuh Santri Tahfidz
: Rosyidah Lc
h. Tahun berdiri
: 1989 M/1410 H
i. Status Tanah
: Wakaf
j. Surat kepemilikan tanah
:Wakaf
Pondok
Pesantren
Edi
Mancoro k. Luas tanah
: 2448 m
l. Status Bangunan
: Milik Pondok Pesantren
1) Luas Bangunan
: 1365 m
2) Lapangan Olah Raga
: 550 m
3) Kebun
: 108 m
4) Dipakai lainnya
: 535 m
m. Jumlah santri
: 120
Lembaga-lembaga Pondok Pesantren Edi Mancoro 1. Organisasi Santri Pondok Pesantren Edi Mancoro 2. Koperasi Pondok Pesantren Edi Mancoro 3. Kulliyyatud Dirosah al-Islamiyyah wal Ijtima‟iyyah (KDII) 4. Madrasah Tahfidz 5. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Al Qiro STRUKTUR PENGURUS ORGANISASI SANTRI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO MASA KHIDMAT 2014-2015M / 1435-1436 H Pelindung
: Pengasuh PP Edi Mancoro Ketua Yayasan PP Edi Mancoro
Penasehat
: Ust. Sumarno, S.Ag. Ust. Budi Santoso, S.Pd.I
Pembina
: Ustdzh. Imma Dahliyani, S.Pd.I
BADAN PENGURUS HARIAN Ketua Umum : Taufiq Ashari Sekretaris
: Nurul Innayah
Bendahara
: Iis Sholikah
Rayon Putra
: Akrom Musabbihiin
Rayon Putri
: Stri Ana Farhana
BIRO-BIRO Biro Pendidikan : Umi Arifah Biro Litbang
: Alfiatu Rahmah
Biro PU
: M.Sulkhan dan Putri Rifa Anggraini
UNIT PENGELOLA TEKNIK (UPT) 1.
TBB
: Chusnul Wardati
2. Perpustakaan : Siti Mu‟asyaroh 3. Komputer
: Tyas Kristiana
4. Pers
: Ajeng Virga
5. Bahasa
: Naimatus Tsaniyah
3. Visi, misi, tujuan, garis perjuangan dan sejarah Pondok Pesantren Edi Mancoro a. Visi, misi Adapun visi menyiapkan santri sebagai pendamping umat yang sesungguhnya. Dan misi Pondok Pesantren Edi Mancoro ini adalah dengan membentuk santri yang mempunyai wawasan
keagamaan
mendalam,
berwawasan
kebangsaan,
dan
kemasyarakatan dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural. Serta membentuk santri yang peduli dan berkemampuan melakukan pendampingan masyarakat secara luas. Dengan sifat terbuka, nonprofit, independen, serta mandiri dalam menentukan kebijakan dan garis perjuangan sampai saat ini pesantren Edi Mancoro tetap kukuh berdiri mengayomi masyarakat. Lalu menurut KH. Mahfudz Ridwan (pengasuh) sendiri mengenai Edi Mancoro “Edi Mancoro memang mempunyai visi dan misi sudah jelas agak berbeda dengan pesantren-pesantren lain, sebab visinya untuk mengembangkan pesantren ini lewat kegiatan-kegiatan
masyarakat,
bukannya
di
dalamnya
pesantrennya itu sendiri tapi diluar pesantren ini, akarnya yang disebut ilmu untuk amali bukan hanya sekedar menuntut ilmunya dan di pesantren sendirikan mengajarkan ilmu agama bukan sekedar membaca tekstualnya saja tetapi pengasuh memberikan secara konstektual, harapan saya sebagai pengasuh supaya sekaligus
dapat
kemasyarakatan,
mengembangkan maka
pesantren
dan sangat
memberdayakan penting
dalam
mengemban amanat pemberdayaan masyarakat itu sendiri.” Ini menunjukkan bahwa KH. Mahfudz Ridwan ialah seorang yang mendengarkan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
dan yang juga menghayati kepentingan pendidikan pada masa kini di Indonesia. b. Tujuan Tujuan Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah untuk membina santri memiliki keilmuan baik keagamaan maupun keilmuan kebangsaan dan kemasyarakatan. KH. Mahfudz Ridwan, Lc saat acara Hari Lahir Pondok Pesantren Edi Mancoro ke 20 memberikan pengarahan kepada santri agar santri dapat hidup mandiri dalam segala hal dalam arti secara keorganisasian di berikan secara penuh kepada santri, santri dituntut untuk sadar dalam segala kebutuhan dan kewajiban yang seharusnya di lakukan. Para santri diberitahu bahwa “orang yang pintar adalah orang yang tahu dan mengerti dengan bahasa isyarat” hal ini menjadi hal yang sangat di tekankan oleh pengasuh terhadap pesantren, sehingga pesantren di tuntut untuk mandiri dalam segala hal, baik itu dalam kehidupannya, pengelolaannya dan sebagainya itu diserahkan oleh santri secara menyeluruh. Hal ini dipeluk sepenuhnya oleh para santri dalam hidupnya sendiri dan juga dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat pondok pesantren. Mereka harus sanggup menyelenggarakan sendiri kegiatan-kegiatannya dengan meminta pendapat dari pengasuh. Contohnya dengan Organisasi Santri Pondok Pesantren Edi Mancoro (OSPPEM), santri menyelenggarakan sendiri
aktivitas seperti kebersihan lingkungan, pengembangan minat dan bakat santri. Selain itu Pondok Pesantren Edi Mancoro bertujuan membina manusia yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada Allah Swt. Pesantren ini juga membentuk santri sebagai pendamping masyarakat. c. Garis Perjuangan Dan untuk melihat sejauh mana kiprah Pesantren Edi Mancoro baik tingkat lokal maupun nasional, kita dapat melihat dari sejumlah program yang telah disusun dan menjadi misi bersama antara kyai dan para santrinya. Secara umum untuk meningkatkan pemahaman terhadap keislaman, Pondok Pesantren Edi Mancoro berusaha melakukan program secara intensif dan berkesinambungan seperti diskusi-diskusi ilmiah, dialog lintas agama, seminar, diklat, kursus-kursus dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kontek jaringan, pesantren Edi Mancoro telah banyak melakukan kerja sama baik antara pesantren, Perguruan Tinggi, maupun dengan institusi pemerintah atau institusi kemasyarakatan lainnya, seperti depnaker, BI, PERCIK dan lainlain. d. Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Edi Mancoro Pondok Pesantren Edi Mancoro termasuk pesantren salaf, bila mengacu tentang pondok pesantren salafiyah yaitu pondok pesantren
yang
menyelenggarakan
pembelajaran
dengan
pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan konsentrasi pada kitabkitab klasik berbahasa Arab. (Tim Penyusun Depag RI, 2003:29). Munculnya pesantren sendiri tidak terlepas dari kondisi obyektif masyarakat pada waktu itu, dimana masyarakat setempat pada waktu itu masih alergi dengan beragam aktifitas religius, sebaliknya mereka sangat akrab dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang berkembang di masyarakat. Hal inilah yang mendorong tokoh setempat untuk mendirikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan sebagai peredam yang bisa mengendalikan kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat setempat. Di bawah prakarsa bapak K.H. Sholeh tokoh pendatang dari Desa Pulutan telah berhasil mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Darussalam dengan sebuah bangunan kecil sebagai tempat pemondokan bagi para santri yang akan belajar kepadanya. Masjid ini didirikan di pinggiran desa, seakan terpisah dari pemukiman warga pada waktu itu, walaupun sekarang sudah menyatu dengan masyarakatnya, dan pendidikan yang diselenggarakannyapun masih sederhana, belum sampai terbentuk semacam lembaga pendidikan tetapi terkesan natural. Pendidikan keagamaan yang berpusat di Darussalam dan ditangani oleh Bapak Kiai Sholeh hanya berlangsung hingga tahun 70-an, sebab setelah beliau meninggal
tidak
ada
keturunannya
langsung
yang
mau
meneruskan
perjuangannya dan tidak ada tokoh lokal yang meneruskan misi dan perjuangannya. Setelah itu maka proses pendidikan di Darussalam agak tersendat, dalam masa kevakuman ini selang beberapa waktu, munculah Kiai Sukemi yang merupakan tokoh lokal yang diminta oleh
masyarakat
setempat
dan
diharapkan
mampu
untuk
meneruskan misi dan perjuangan pendidikan ini, dan pendidikan pesantren ini dapat berjalan kembali seperti kepemimpinan Kiai Sholeh. Maka dari itu, munculah KH. Mahfudz Ridwan, tokoh dari pulutan yang merupakan alumni dari beberapa pesantren ternama sekaligus alumni dari Universitas di Baghdad. Setelah Kiai Sukemi meninggal, maka pendidikan Darussalam diteruskan oleh KH. Mahfudz Ridwan. Realitasnya bahwa setelah Kyai Sholeh meninggal, embrio pesantren yang berlokasi di dekat Masjid Darussalam ini juga punah dengan sendirinya, tetapi pengajian
masih berlangsung
hingga sekarang. Serta rintisan pendirian pesantren mulai digagas kembali. Kemajuan ini ditandai beberapa bukti proses perjalanan pendidikan di Darussalam. Pertama, pada tahun 1984 KH. Mahfudz Ridwan, Lc bersama beberapa tokoh lokal lainnya seperti KH. Muhammad HM Sholeh BA, Matori Abdul Jalil, Zaenal Arifin BA dan Ali
Tahsisudin mendirikan yayasan yang bernama “Yayasan Desaku Maju” dengan catatan notaris nomor 14/1984. Yayasan ini merupakan yayasan yang bergerak di bidang sosial yang mengemban misi dan tujuan membantu pemerintah untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan dan mengembangkan swadaya serta sumber daya manusia khususnya masyarakat pedesaan. Dan yayasan ini cukup familiar bagi warga Salatiga, karena merupakan satu-satunya yayasan Islam yang bergerak di bidang kemasyarakatan. Kedua, pada awal tahun 1989 KH. Mahfudz Ridwan mendirikan pesantren yang lebih akrab disebut Wisma Santri Edi Mancoro sebagai pusat pendidikan masyarakat. Mulanya pesantren ini hanya berupa gedung pendidikan latihan untuk LSM Desaku Maju khususnya bagi masyarakat setempat sekaligus sebagai besecamp berbagai kegiatan yayasan. Namun lambat laun banyak yang berdatangan untuk menimba ilmu kepada beliau dan sejak saat itu pula bangunan yang semula diperuntukkan untuk diklat berubah
menjadi
asrama
santri
dan
ruang
kelas
untuk
pembelajaran. Sejak saat itu keadaan pesantren terus berkembang. Karena yayasan ini dikenal sangat luas karena program-programnya yang telah berhasil membuat perubahan yang sangat signifikan di Salatiga dan Kabupaten Semarang khususnya memecahkan
permasalahan antar umat beragama, kemudian karakter pesantren yang pluralis dan terbuka untuk siapa saja termasuk untuk orang non Islam oleh karena itu nama pesantren ini sangat terkenal hingga luar negeri hingga banyak kunjungan dari luar negeri dari berbagai negara hingga saat ini. Pada akhir tahun 2007 nama Pondok Pesantren Edi Mancoro telah resmi menggantikan nama Wisma Santri Edi Mancoro karena aktifitas kemasyarakatan yang sudah mulai melemah dan menjadi pesantren yang normatif tetapi masih tetap menjaga prinsip pluralisme dan keterbukaan dengan orang non Islam sebagai bentuk terciptanya konsep Islam adalah rahmatan lil‟alamin. Ada pertanyaan yang cukup menarik, yang sering ditanyakan oleh siapapun yang melakukan kunjungan di Pondok Pesantren Edi Mancoro. Kenapa pesantrennya dinamakan dengan sebutan “Edi Mancoro”? yang merupakan sebuah nama yang menggunakan bahasa Jawa. Dan jika melihat nama-nama pesantren lainnya menggunakan Bahasa Arab Edi Mancoro berasal dari kata Edi yang artinya Bagus dan Mancoro yang berarti Bersinar. Yang menjadi harapan ke depan menjadi sebuah pondok pesantren yang bagus dan bersinar ke seluruh penjuru dunia. e. Keadaan ustadz dan santri Selain KH. Mahfudz Ridwan terlibat juga para ustadz dalam proses pembelajaran di Pondok Pesantren Edi Mancoro.
Selain berasal dari masyarakat sekitar yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren lain ataupun alumni yang mempunyai kepedulian terhadap perkembangan pesantren serta para santri yang telah lulus dan telah dianggap mampu untuk mengajar serta berkompeten pada disiplin ilmu yang telah dikuasai. Adapun pengajar Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah sebagai berikut :
No
Nama
Jenis Kelamin
1.
KH. Mahfud Ridwan, Lc
Lk
2.
Muhammad Hanif, M.Hum
Lk
3.
H. Muh. Zuhdi
Lk
4.
Budi Santoso
Lk
5.
Ali Nugroho
Lk
6.
Syaikudin
Lk
7.
Makhasin
Lk
8.
H. Abdul Manaf
Lk
9.
Tanwir
Lk
10. Sumarno
Lk
11. Slamet
Lk
12. Sukardi
Lk
13. Shofari
Lk
14. Tajudin Umroni, S.Pd.I.
Lk
15. Ahmad Adnan, S.Pd.I.
Lk
16. Rosyidah, Lc
Pr
17. Imma Dahliyani, S.Pd.I.
Pr
18. Munirotul Azizah, S.Pd.I.
Pr
19. Siti Mu‟asyaroh
Pr
20. Roro Risalatul, S.Pd.I.
Pr
21. Khoerul Afifah,S.Pd.I.
Pr
22. Nur Wulan, S.Pd.I.
Pr
23. Sarifatul Mujazanah, S.Pd.I.
Pr
24. Umi Arifah
Pr
25. Nurul Arofah, S.Pd.I.
Pr
Analisis dari ustadz yang mengajar yaitu yang berasal dari bermacam-macam lulusan pondok pesantren maupun perguruan tinggi adalah mereka diharapkan dapat memberi penerapan humanisme religius dalam proses pendidikan di pondok pesantren. Dan santri sendiri mampu untuk mengimplementasikan nilai-nilai humanisme religius dalam proses pembelajaran di pondok pesantren. f. Pelaksanaan Pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Sistem Pendidikan yang berada di Pondok Pesantren Edi Mancoro selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun, ini dilakukan dalam rangka untuk menuju tatanan yang lebih baik. Pendapat Direktur KDII (Kuliyatut Dirosah al islamiyah Wal
Ijtimaiyah) Pondok Pesantren Edi Mancoro, Khoerul Afifah “santri diwajibkan mengikuti semua kajian yang jadwalnya sudah dibuat oleh pengurus KDII. Serta ketika dalam tahun ajaran baru ataupun sudah mulai kajian jika ada santri baru yang masuk maka santri diharuskan mengisi formulir pendaftaran dan melakukan administrasi pembayaran, setelah itu dilakukan tes untuk mengetahui sejauh mana kemampuan yang dimiliki. Hal itu lalu berlanjut dengan penempatan kelas agar dapat mengikuti sesuai kemampuannya. Semua kajian KDII berlangsung kecuali Kamis malam Jumat. Dalam kajian kitab kuning sistem yang diterapkan adalah bandongan, serta ada mata pelajaran tertentu yang dikaji dengan cara sorogan. Namun yang lebih banyak digunakan adalah sistem bandongan. Hal ini berkaitan dengan keadaan santri yang nyantri di pondok pesantren ini adalah para pelajar dan mahasiswa yang masih belajar di lembaga formal. Sehingga waktu yang digunakan akan lebih efektif ketika menggunakan sistem bandongan. Adapun mata pelajaran yang menjadi kajian wajib bagi santri adalah : 1) Kelas I‟daad (kelas persiapan) a. Fiqh : Fiqh Wadhih (hukum islam yang terang) b. Tajwid : Syifaul Jinan (obat hati) c. Akhlaq : Akhlaqul Banin I (akhlaq anak kecil jilid I)
d. Fasholatan : Fasholatan (tata cara dan ketentuan sholat) 2) Kelas Khos (kelas khusus) a. Fasholatan : Fasholatan (tata cara dan ketentuan sholat) b. Bahasa Arab : Qiroatur Rosyidah I (bacaan yang mencerdaskan jilid I) c. Fiqh : Safinatun Najah (perahu keberuntungan) d. Imla‟ e. Akhlaq : Akhlaqul Banin II (akhlaq anak kecil jilid II) f. Tarikh : Khulashoh I ( sejarah Nabi jilid I) g. Tauhid : Aqidatul Awam (aqidah orang umum) h. Tajwid : Syifaul Jinan (obat hati) i. Hadits : Arbain Nawawi (kumpulan 40 Hadits Imam Nawawi) j. Nahwu : Jurumiyah (jiwa) 3) Kelas Awaliyah (kelas awal) a. Bahasa Arab : Qiroatur Rosyidah II (bacaan yang mencerdaskan jilid III) b. Hadits : Hadits 1 (riwayat dari Nabi Saw) c. Sorof : Amtsilatut Tasrifiyah (contoh perubahan kata-kata) d. Nahwu : „Imrithi (bangunan) e. Tauhid : Jawahirul Kalamiyah (mutiara kalam) f. Fiqh : Fathul Qorib (pembuka yang dekat) g. Tarikh : Khulashoh II (Sejarah Nabi jilid II)
h. Akhlaq : Akhlaqul banin III (akhlaq anak kecil jilid III) i. Tajwid 4) Kelas Wustho (kelas tengah) a. Nahwu : Alfiyah (seribu) b. Akhlaq : Ta‟limul Muta‟alim (penuntun bagi penuntut ilmu) c. Ulumul Hadits : Mustholahul Hadits (hadits yang dianggap baik) d. Bahasa Arab : Qiroatur Rosyidah III (bacaan yang mencerdaskan jilid III) e. Hadits : Bulughul Maram (menuju tujuan) f. Fiqh : Fathul Qarib (pembuka yang dekat) g. Tauhid : Kifayatul Awam (kebiasaan orang umum) 5) Kelas Ulya (kelas lebih utama) a. Akhlaq : Bidayatul Hidayah (tuntutan mencari hidayah llahi) b. Nahwu : Amtsilati (contoh-contoh penerapan ilmu nahwu) c. Ulumul Hadits : Mustholahul Hadits (hadits yang dianggap baik) d. Bahasa Arab : Qiroatur Rosyidah IV (bacaan yang mencerdaskan jilid IV) e. Hadits : Bulughul Maram (menuju tujuan) f. Ushul Fiqh : Mabadiul Awaliyah (awal bagi orang yang mau belajar) Program Pendidikan :
Intra : Kajian Kitab Kuning, Tahfidz Al Qur‟an, (program menghafal Al Quran), Tarbiyatul Banin Wal Banat (pendidikan bagi anak kecil laki-laki dan perempuan) Ekstra : Pelatihan life skill (keterampilan), pengembangan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, jurnalistik, rebana, tilawatil qur‟an. Adapun kegiatan harian yang dilakukan santri Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam tabel di bawah ini : DAFTAR KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR PONDOK PESANTREN EDI MANCORO Waktu
Jenis Kegiatan
04.30-05.00
Shalat Jama‟ah Shubuh di aula putra dilanjutkan
Keterangan Semua Santri
membaca surat Yasiin. 05.00-06.00
Ngaji Al Qur‟an sesuai dengan yang mengampu
Semua Santri
07.00-14.00
Wajib belajar formal
Bagi santri yang masih bersekolah ataupun kuliah
15.00-17.00
Shalat Ashar lalu sebelum kajian membaca Surat
Semua santri
Al Waqi‟ah dilanjutkan Kajian Kitab Tafsir Jalalain atau Fathul Mu‟in oleh pengasuh di ndhalem 18.00-18.30
Jama‟ah Shalat Maghrib di Masjid Darussalam dilanjutkan dengan membaca Surat Al Mulk di aula putra kecuali Kamis malam Jumat.
Semua santri
18.30-19.30 Pembacaan Asmaul Husna sesuai jadwal dilanjutkan Kajian malam 19.30-19.45 Shalat Isya‟ di aula atas
Semua santri dan ustadz yang mengajar atau piket
19.45-20.45
Kajian malam
Semua santri sesuai jadwal
20.45-22.00
Kegiatan malam sesuai jadwal yang ditentukan
Semua santri
biro pendidikan serta unit bahasa
A. Hubungan Santri dengan keturunan kyai serta dengan masyarakat sekitar pondok 1. Hubungan Santri dengan keturunan kyai Dalam proses interaksi sosial di pesantren, kiai merupakan tokoh yang mempunyai posisi strategis dan sentral dalam masyarakat. Posisi sentral kiai ini terkait erat dengan kedudukannya sebagai seorang pendidik dan terpandang di tengah-tengah masyarakat. Sebagai orang yang mendidik, kiai memberikan pengetahuan Islam kepada para penduduk desa dan para santrinya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional adalah merupakan sarana penting untuk melakukan transfer pengetahuan terhadap masyarakat desa maupun santri.
Dalam observasi yang dilakukan oleh penulis di Pondok Pesantren Edi Mancoro terdapat tradisi santri yang dilakukan selain mengaji kitab dan Al Qur‟an yaitu ketika ada acara yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ataupun kegiatan yang bertempat di gedung, maka santri ikut terlibat dalam membantu dari mulai membungkus makanan sampai menjadi pramu saji. Itu merupakan salah satu bukti bahwa sebagai santri mempunyai hubungan sosial yang baik. Yang menjadi salah satu kelebihan pesantren ini adalah hubungan komunikasi yang akrab antara kyai atau pengasuh dan ustadz dengan orang tua atau keluarga santri, santri dengan para alumni dengan kyai (pengasuh), dan dengan para santri itu sendiri. Dan biasanya santri yang mau belajar di pesantren ini diantarkan oleh kedua orangtua dan keluarganya, kemudian dipasrahkan secara langsung oleh orangtuanya kepada kyai atau pengasuh pondok pesantren untuk dididik di pesantren ini. Hubungan komunikasi yang akrab ini menciptakan suasana pembelajaran yang sangat baik. Pembelajaran yang dilakukan tidak hanya sebatas ketika seorang kyai mengajarkan ilmu kepada santri melainkan kepada seluruh perilaku pendidikan yang disusun oleh pesantren yang sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren. Ketika penulis mengadakan observasi, dapat dilihat dari segi humanis yaitu ketika santri dan keluarga kyai menjadi terlihat keluarga sendiri dan rasa hormat santri kepada kyai. Dan ketika bapak kyai terbaring di rumah sakit, santri menjenguknya. Hal itu semata-mata untuk mendapat
barokah dari kyai. Yaitu kebaikan yang bertambah. Namun dalam hal lain bahwa jika gus melakukan kesalahan dengan santri maka santri terkadang melakukan pelanggaran – pelanggaran kecil. Dan ketika itu santri merasa mungkin cara ini adalah hal untuk mena‟zir beliau bukan dengan hukuman namun dengan pebuatan yang santri lakukan. Dengan seperti itu, gus akan tahu dan berfikir mengapa santri berbuat seperti itu. Namun kembali lagi jika santri tetap ta‟dzim kepada keluarga bapak kyai. Hal lain juga tergambar dalam kegiatan ziarah ke maqam KH.M. Sholeh yaitu yang berada di Dusun Bandungan. Beliau adalah bapak dari Ibu Nyai yaitu Hj. Nafisah, dan ziarah ke maqam K.H. Ridwan yang berada di Pulutan. Sedangkan K.H. Ridwan adalah salah satu pendiri Yayasan Edi Mancoro. Interaksi sosial santri dengan kiai merupakan sebuah keharusan. Santri sebagai pihak yang mencari ilmu, sedangkan kiai sebagai pihak yang memberi dan mengajarkan ilmu. Sebagai seseorang yang mencari ilmu, santri harus mematuhi berbagai norma, aturan, tata nilai yang ada di pesantren, baik norma-norma yang tertulis maupun tidak tertulis, sehingga diharapkan terjadi interaksi sosial yang baik dan harmonis. Hubungan yang harmonis yang terjalin dalam interaksi sosial antara santri dan kiai bagaikan hubungan kekeluargaan, sehingga pola interaksi yang terjalin diantara keduanya merupakan pola interaksi yang mendidik. Mendidik bagaimana seorang santri harus berperilaku yang baik kepada kiai, serta menghormatinya.
Hubungan antara santri dengan kiai di Pondok Pesantren Edi Mancoro terjalin akrab. Gambaran akrab itu sendiri terlihat ketika seorang santri meskipun berasal dari santri yang tergolong baru melihat beliau adalah sosok yang disegani oleh masyarakat. Terlihat juga ketika keakraban itu mulai berlangsung ketika dalam kesehariannya terjalin interaksi dalam kegiatan belajar mengajar, saling berdiskusi mengenai hal apapun, tidak hanya mengenai masalah agama. Ketika diperintah maka santri langsung melaksanakan apa yang dikehendaki oleh beliau. Bahkan santri yang sudah lulus dari pondokpun masih sering sowan kepada kyai karena keakraban yang pernah terjalin dahulu ketika masih mondok. Untuk tetap menjalin silaturahim antara kyai dengan santri alumni, maka setiap malam Ahad Pon diadakan pengajian oleh kyai sendiri. Hal itu dilakukan agar ilmu yang dulu pernah diajarkan oleh beliau tidak terputus begitu saja. Meskipun sudah tidak berada di pondok lagi, namun pengajaran ilmu itu tetap berlanjut. Meskipun dalam kenyatannya, kiai sebagai pengasuh tidak bisa berada di tengah-tengah mereka setiap hari karena kesehatan beliau. Sehingga dalam mengontrol kegiatan santri, putra beliau yang menggantikan. Ada berbagai bentuk atau pola interaksi yang terjalin antara santri dan kiai. Diantara pola interaksi yang terjalin antara santri dengan kiai adalah interaksi personal dan kolektif. Pola hubungan secara khusus antara santri dengan kiai secara personal atau individual ini dapat berbentuk pemanggilan-pemanggilan dan atas keinginan santri sendiri. Dalam interaksi ini, santri yang dipanggil kiai
untuk menghadap adakalanya karena santri diperintah oleh kiai, santri memiliki masalah dan adakalanya juga mendapat restu dari kiai. Dalam prakteknya, ketika seorang ingin menemui kiai, maka bisa langsung bertemu dengan beliau. Namun ketika dalam kondisi yang tidak memungkinkan bagi kiai untuk menemui tamu karena faktor kesehatan, maka putra beliau lah yang terkadang menerima tamu sebagai pengganti beliau. Interaksi sosial yang terjalin antara kiai dengan santri merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena hubungan yang terjadi diibaratkan antara orang tua dan anak, dan tata krama yang terjalin harus tetap terjaga untuk tetap menghormati kiai. Dalam pengamatan penulis dapat disimpulkan bahwa bahwa sosok kiai Mahfudz Ridwan adalah kiai yang memiliki visi yang jelas, visi tersebut dikomunikasikan dalam bentuk nasehat-nasehat. Beliau termasuk kiai yang suka memberi teladan, kepada siapapun itu. Bahkan kepada orang yang berlainan agama, beliau tidak pernah membedakan dari kalangan mana ia berada. Hal itu selalu tergambar ketika dalam sebuah kunjungan, beliau selalu menghormati pemeluk agama-agama lain. Hal itu membuat para santri selalu meneladani sikap beliau yang rendah hati, hal itu selalu membuat para santri menjadikan beliau orang yang disegani dimasyarakat. Khususnya bagi para santri itu sendiri, ustadz, para alumni, warga Bandungan bahkan tamu dari luar negeri. Dalam hubungan yang terjadi antara kyai ke santri bahwa kyai sendiri bersifat terbuka dengan santri, jika ada permasalahan maka kyaipun
memberi saran. Sedang dengan kyai, santri hormat dengan beliau dengan meneladani sikap-sikap beliau. Mencermati pola hubungan yang terjadi antara kiai dan santri, di Pondok Pesantren Edi Mancoro pada masa kiai Mahfudz Ridwan, sebagai akibat kepemimpinan karismatik, maka pola hubungan ini yang bersifat kepatuhan kepada kyai. 2. Hubungan Santri dengan masyarakat sekitar pondok Keharmonisan hubungan yang terjadi antara santri dan masyarakat tampak dalam berbagai hal, mulai dari perkataan maupun sikap atau perilaku, baik ketika santri mengadakan kegiatan di masyarakat maupun tidak. Pada saat penulis melakukan observasi, hubungan yang terjadi dan melibatkan hubungan yang humanisme yaitu ketika mereka berhubungan dengan masyarakat sekitar. Santri tidak bisa terlepas dengan masyarakat, karena santri hidup di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang diungkapkan salah satu santri : Santri Pondok Pesantren Edi Mancoro sering mengadakan kegiatan dengan masyarakat sekitar. Hal ini mendorong para santri untuk selalu berfikir dan respon dengan keadaan lingkungan yang ada di masyarakat, di dalam Pondok Pesantren Edi Mancoro ketika berinteraksi dengan masyarakat sekitar, terjalin hubungan yang baik dan akrab. Bahkan ketika ada acara dari masyarakat yang mengundang santri untuk menghadiri acara tersebut, maka dari santripun menghadiri dengan senang hati karena itu termasuk menjaga hubungan yang baik. Ada pula pendapat seorang santri tentang hubungan dengan masyarakat, dia mengatakan : Terlihat juga ketika santri pada sore hari bermain sepak bola dengan warga sekitar, atau pada malam tirakatan dan peringatan hari-hari besar
Nasional ikut bergabung dengan warga. Itu dilihat dari hubungan sosial dengan masyarakat, sedangkan hubungan yang terjalin dengan masyarakat dalam segi keagamaan misalnya tergambar dalam lailatul ijtima‟ yang diadakan di Masjid Darussalam. Begitu juga ketika hari lebaran tiba, ketika santri sudah berada di pondok pesantren, maka santri berkunjung ke rumah-rumah untuk bersilaturahim. Dalam realitanya warga juga mengungkapkan hal ketika berhubungan dengan santri : Santri sekarang beda dengan santri yang dulu, kalau dulu banyak yang mengenal warga namun sekarang karena santri semakin banyak, warga juga tidak begitu mengenal, hanya beberapa saja, begitu juga sebaliknya. Santri yang lama masih mengenal. Tapi santri yang baru banyak yang sudah tidak mengenal masyarakat. Ketika penulis mengadakan observasi, terlihat bahwa ketika ustadz ada yang akan berangkat haji, maka santri ikut mengantarkan ke masjid untuk mendo‟akan beliau. Hal itu merupakan salah satu hubungan antara santri dengan masyarakat sekitar yang kebetulan adalah ustadz di pondok pesantren. Beberapa sikap yang ditunjukkan oleh santri maupun masyarakat, seperti bagaimana perhatian masyarakat terhadap pesantren dan santri sendiri, bagaimana juga perhatian santri dengan beberapa kontribusinya terhadap masyarakat dan dalam bentuk-bentuk penilaian lain adalah merupakan bukti nyata atas perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap pesantren, dan sebaliknya. Hal ini juga merupakan sikap positif dari masyarakat terhadap pesantren (santri) dan sikap positif dari santri terhadap masyarakat.
Kehidupan di lingkungan pondok pesantren layaknya kehidupan dalam suatu keluarga besar, yang seluruh anggotanya atau individu-individu yang ada di dalamnya harus berperan serta untuk menciptakan keharmonisan dan ketentraman di lingkungan pondok pesantren. Santri yang belajar di Pondok Pesantren Edi Mancoro berasal dari berbagai daerah, tingkat sosial ekonomi, budaya serta terdiri dari berbagai usia dan pola pikir yang berbeda. Dengan demikian masing-masing individu diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dan aktivitas pondok pesantren tempat mereka menimba ilmu agama. Dinamika masyarakat pesantren ini tidak lepas dari pola hubungan sosial yang terjadi antara anggota-anggota masyarakat pesantren, mulai dari Kyai, Nyai, ustadz, ustadzah, santri putra atau putri serta masyarakat sekitar lingkungan Pondok Pesantren. Hubungan sosial merupakan bentuk interaksi sosial yang bersifat dinamis, yang menyangkut hubungan antara individu dengan individu, antara
kelompok-kelompok manusia, antara individu
dengan kelompok manusia. Interasi sosial dapat terjalin bila ada kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial dapat berarti kontak secara
fisik
maupun non fisik, yang dapat memberikan makna dari hubungan tersebut, seperti makna dari berjabat tangan, senyuman, tutur sapa dan sebagainya. Komunikasi merupakan bentuk penafsiran dan reaksi seseorang atas perilaku, sikap, pembicaraan, gerak tubuh dan lain sebagainya untuk menyampaikan suatu maksud. Pola interaksi yang terjadi antara santri dan masyarakat sekitar pondok adalah jenis pola kemasyarakatan, bekerjasama.
Santri dan masyarakat saling bekerjasama dalam setiap kegiatan yang terjadi, baik yang melibatkan orang banyak ataupun hanya beberapa. Pola hubungan kemasyarakatan dapat terjadi ketika santri hidup tidak lepas dari suasana pedesaan yang masih kental dengan peraturan-peraturan orang jawa. Dalam setiap perkembangan zaman ini masih tetap berlaku unggah-ungguh (tata krama) dalam masyarakat. Santri selalu berada dalam pandangan masyarakat mempunyai etika yang baik, jadi mau tidak mau santri harus berperilaku dan berhubungan dengan masyarakat dengan baik. Dalam segi bertutur kata, berperilaku, dan berhubungan dengan masyarakat. Sedangkan hubungan santri dengan santri yang lain dilakukan dengan saling menghormati antara santri yang lama dengan yang baru ataupun sebaliknya. Memberi masukan kepada santri yang baru karena santri yang baru itu membawa kebudayaan atau faham yang berbeda dengan arahan yang sesuai dengan visi misi dan tujuan pesantren. Kebudayaan tersebut bisa dibawa dari tempat mereka belajar pertama kali, misalnya kebudayaan pesantren sebelumnya, kebudayaan daerah tempat tinggalnya, kehidupannya dan lain-lain. Dalam hubungannya masyarakat dengan santri ketika dalam berbagai kegiatan masyarakat tidak sungkan untuk meminta tolong kepada santri. Jiwa kemandirian, keikhlasan, tanggungjawab yang tumbuh di kalangan para santri. Seperti yang dikatakan seorang santri :
”Saya memilih tinggal di pondok pesantren karena saya ingin hidup mandiri, mencari ilmu untuk bekal di rumah dan di masyarakat nanti. Disini pula saya bisa belajar ilmu-ilmu agama lebih dalam lagi.”
BAB IV ANALISIS DATA A.
Bentuk Pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Di dalam proses pengajaran di suatu lembaga pendidikan tidak akan terlepas dari materi pendidikan yang akan digunakan sebagai salah satu sarana pencapaian tujuan pendidikan. Keberagamaan atau religiusitas seseorang dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Dapat dipahami bahwa nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh-kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah, dan akhlak yang menjadi pedoman sesuai dengan aturan Illahi untuk mencapai kesejahteraan
serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. (Sahlan,
2011:41-42). Materi pendidikan tersebut mencakup keseluruhan bahan pelajaran yang terdiri dari berbagai cabang keilmuan. Akan tetapi dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya melihat dari sisi nilai-nilai humanisme religius. Di sini penulis dapat menjelaskan tentang bentuk pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro.
Menurut Rahardjo, seperti yang dikutip Rahman (2011:162) bahwa sistem pendidikan pesantren melahirkan jiwa yang menjadi karakteristik yang belum pernah dibangun oleh sistem pendidikan manapun. Setidaknya karakteristik tersebut terimplikasi dalam jiwa pesantren, yaitu : persaudaraan, tolong-menolong,
persatuan,
keikhlasan,
kesederhanaan,
kemandirian,
kebebasan, pluralitas. Jiwa pesantren ini merupakan realisasi nilai-nilai humanisme Islam untuk mewujudkan integrasi dan harmonisasi kehidupan umat.
Dari
karakteristik yang tersebut di atas, di Pondok Pesantren Edi Mancoro terdapat indikator yang terimplikasi dalam jiwa pesantren di antaranya adalah kesederhanaan, kemandirian, serta pluralitas. Jiwa pesantren ini merupakan realisasi nilai-nilai humanisme Islam untuk mewujudkan integrasi dan harmonisasi kehidupan umat. Nilai-nilai humanisme yang diimplementasikan dalam pendidikan berupaya meningkatkan akhlak mulia. Akhlak inilah yang dijadikan dasar dalam mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan santri. Dalam hal kemandirian, santri dilatih untuk hidup mandiri selama hidup di pesantren. Mereka dilatih untuk melakukan kegiatan secara mandiri. Hal itu karena mereka hidup jauh dari orangtua. Yang membiasakan kemandirian dalam diri santri adalah mereka harus terbiasa untuk hidup tidak bergantung pada orang lain. Secara jiwa masing-masing santri itu merupakan bentuk pendidikan yang tertanam dalam diri mereka. Dalam hal lain yaitu pluralitas bahwa santri dalam hal ini harus menyadari dan mengakui bahwa semua yang diciptakan Allah adalah berbeda. Yang bertujuan agar manusia
berlomba-lomba menunjukkan usaha dan pengabdian terbaik (fastabiqu al khairat) kepada Tuhan Nya di dunia yang plural dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan saling memahami. (Anshori, 2010:149) Jiwa pesantren ini merupakan realisasi nilai-nilai humanisme Islam untuk mewujudkan integrasi dan harmonisasi kehidupan umat. Nilai-nilai humanisme
yang
diimplementasikan
dalam
pendidikan
berupaya
meningkatkan akhlak mulia. Akhlak inilah yang dijadikan dasar dalam mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan santri. Humanisasi dalam pendidikan pesantren akan mampu membentuk mereka menjadi manusia yang mau menghiasi diri dengan nilai-nilai hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi pijakan sistem pendidikan pesantren. Karena itu sebenarnya pesantren merupakan lembaga yang menjadi agen humanisasi. B.
Implementasi Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro Pelaksanaan
sebuah
konsep
pendidikan
merupakan
upaya
merealisasikan pemikiran kependidikan dalam sebuah lembaga pendidikan. Kajian ini menjelaskan pelaksanaan pendidikan pesantren ditinjau dari konsep pendidikan humanistik islami sehingga kegiatannya dipandang sebagai proses humanisasi. Pesantren, seperti diuraikan sebelumnya, diperlakukan sebagai objek penelitian yang memberikan fakta empiris untuk mendapatkan potret implementasi pemikiran humanisme dalam sistem pendidikannya. (Rahman, 2011:155)
Dalam kajian ini, humanisasi dimaksudkan sebagai implementasi konsep humanisme Islam dalam pesantren sebagai upaya memanusiawikan peserta didik (santri). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan, yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik mencari manusia seutuhnya. Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan dimaksudkan sebagai proses yang memberikan jaminan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. (Rahman, 2011: 155). Sebagai lembaga pendidikan Islam pesantren tidak dapat terlepas dari masyarakat dan karena realita yang ada menunjukkan sebagian besar pondok pesantren berada di daerah pedesaan. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Edi Mancoro. Dengan ragam yang ada dalam pondok tersebut penulis mencoba untuk memperhatikan bagaimana mengimplementasikan pendidikan humanisme religius di pondok pesantren tersebut. Dalam mengimplementasikan pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan tujuan pendidikan, metode pendidikan, materi, evaluasi, semua itu menjadi implementasi pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren.
a)
Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro ditujukan untuk merealisasikan nilai-nilai religius Islam. Tujuan pendidikannya adalah pendamping umat yang sesungguhnya, untuk membina santri memiliki keilmuan baik keagamaan maupun keilmuan kebangsaan dan kemasyarakatan dan membentuk santri yang mempunyai wawasan keagamaan mendalam, berwawasan kebangsaan, dan kemasyarakatan dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural. Serta membentuk santri yang peduli dan berkemampuan melakukan pendampingan masyarakat secara luas. Dengan sifat terbuka, nonprofit, independen, serta mandiri dalam menentukan kebijakan dan garis perjuangan sampai saat ini pesantren Edi Mancoro tetap kukuh berdiri mengayomi masyarakat. Menurut KH. Mahfudz Ridwan (pengasuh) sendiri mengenai Edi Mancoro “Edi Mancoro memang mempunyai visi dan misi sudah jelas agak berbeda
dengan
pesantren-pesantren
mengembangkan pesantren
lain,
sebab
visinya
untuk
ini lewat kegiatan-kegiatan masyarakat,
bukannya di dalamnya pesantrennya itu sendiri tapi diluar pesantren ini, akarnya yang disebut ilmu untuk amali bukan hanya sekedar menuntut ilmunya dan di pesantren sendirikan mengajarkan ilmu agama bukan sekedar membaca tekstualnya saja tetapi pengasuh memberikan secara konstektual.” (diambil dari wawancara yang sudah di videokan dalam profil Edi Mancoro) Pesantren membangun kehidupan keagamaan di bawah bimbingan kyai. Fenomena tersebut terlihat dari kegiatan pesantren sebagai model kehidupan masyarakat religius, seperti kegiatan membaca Al Quran sebelum
kajian malam dan pagi dimulai, shalat berjama‟ah, kegiatan malam Jumat bersama, ziarah pada Kamis sore dan sebagainya. Kegiatan yang bernilai ibadah tersebut berfungsi untuk mewujudkan sistem kehidupan berdasarkan nilai-nilai agama. Kiai dan para santrinya membangun suasana religius sehingga terbentuk suatu masyarakat pesantren. Tujuan pendidikan di Pondok Pesantren adalah mengembangkan kehidupan spiritual. Tujuan ini dicapai melalui upaya membangun citra diri berdasar nilai-nilai pendidikan pesantren yang menjadi jiwa humanisme islam, yaitu : kesederhanaan, toleransi, kebersamaan, persaudaraan, kemandirian. b)
Materi Pendidikan Pesantren ini mengkaji semua ilmu keislaman. Ilmu-ilmu ini meliputi
: Tafsir (penjelasan isi Al Quran), Hadits (penjelasan isi hadits Nabi), Ilmu Hadits (ilmu tentang status hadits), tauhid (ilmu ketuhanan), akhlak (ilmu tentang tata cara berperilaku yang baik dan yang buruk), fiqh (hukum islam), usul fiqh (metode menggali hukum islam), dan tajwid (ilmu tentang cara membaca Al Quran). Materi-materi tersebut bersumber dari kitab-kitab klasik yang lazim disebut dengan kitab kuning. Menurut Abdurrahman Wahid, kitab kuning berfungsi untuk memberikan informasi kepada para santri, bukan hanya mengenal warisan yurisprudensi di masa lampau atau tentang jalan terang mencapai hakikat ubudiyyah kepada Tuhan, melainkan juga mengenai peran-
peran kehidupan di masa depan bagi suatu masyarakat. Kitab kuning menjadi referensi standart keilmuan universal. Selain itu, kholashoh termasuk juga diajarkan di pondok pesantren ini, karena kisah Nabi Muhammad memberikan kisah keteladanan kepada kita bagaimana dalam berdakwah dan menegakkan agama Islam. Selain itu kegiatan
yang ada, seperti amalan membaca Al Quran
setiap hari, berjanji, istighosah, shalat tasbih merupakan sarana kedekatan kita kepada Allah. Shalawatan yang dilantunkan bersama-sama diiringi dengan rebana memiliki nilai ibadah. Semua materi dalam KDII disusun berdasarkan kemampuan dalam jenjang kelasnya. Dalam hal ini, santri yang belum menguasai akan disendirikan untuk lebih menguasai dalam membaca Al Quran dan bahasa asing yang mencakup Bahasa Arab dan Inggris karena untuk menghadapi tantangan masa depan pastilah dibutuhkan penguasaan dalam hal tersebut. Materi pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro dibuat oleh pengasuh, ustadz dan bidang kurikulum. Penentuan materi ini tidak melibatkan santri. Keterkaitan materi pendidikan dengan kitab kuning berhubungan langsung dengan masalah keagamaan misalnya dalam hal pergaulan dan tata cara bersuci dengan benar. Kurikulum yang menekankan pengkajian kitab kuning yang ditulis oleh ulama klasik menunjukkan bahwa pelaksanaan
pendidikan pesantren sejalan dengan pemikiran masa lalu
namun masih tetap berlaku pada masa sekarang. c)
Pendidik
Pendidik dalam Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah kiai dan ustadz. Kiai berperan sebagai pengasuhnya. Baik kiai maupun ustadz adalah orang yang dianggap berilmu dan pewaris para nabi. Pendidik adalah orang yang ikhlash dalam mengajar dan agar santrinya dapat menjadi orang yang bermanfaat. Yang kelak bisa menjadi pendamping umat di masyarakat. Ustadz tidak menempatkan diri lebih tinggi, karena memang sama-sama dalam belajar. Pola hubungan kiai dan ustadz serta santrinya didasarkan pada kasih sayang merupakan aktualisasi nilai humanisme. Jarak yang jauh antara kiai dan ustadz dengan santri kurang mendukung humanisasi dalam proses pendidikan. d)
Peserta didik Peserta didik di Pondok Pesantren Edi Mancoro dikenal dengan
sebutan santri. Santri adalah individu yang belajar dan menuntut ilmu. Mencari ilmu dan belajar adalah tujuan santri dari rumah sehingga mereka sendiri yang harus belajar supaya berhasil. Tujuan ini dianggap dipandang sebagai bentuk ibadah karena mencari ridha Allah. Karena tujuan tersebut, kiai dan ustadz selalu belajar sehingga menjadi pandai. Atas dasar hal tersebut, santri dipandang sebagai mitra keilmuan kiai atau ustadz. Hal penting yang perlu disoroti dari konsep pendidikan humanistik islami adalah masalah pandangan terhadap eksistensi santri, status, posisi, dan perilakunya. Eksistensi santri Pondok Pesantren Edi Mancoro seharusnya aktif belajar sendiri. Santri tidak hanya mendengar, mencatat pelajaran dari ustadz dan kyai.
e)
Metode Pendidikan Pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro selalu mengalami
perubahan dari tahun ke tahun, ini dilakukan dalam rangka untuk menuju tatanan yang lebih baik. Santri diwajibkan mengikuti semua kajian yang jadwalnya sudah dibuat oleh pengurus KDII. Serta ketika dalam tahun ajaran baru sudah mulai kajian jika ada santri baru yang masuk maka dilakukan tes untuk mengetahui sejauh mana kemampuan yang dimiliki. Hal itu lalu berlanjut dengan penempatan kelas agar dapat mengikuti sesuai kemampuannya. Dalam kajian kitab kuning sistem yang diterapkan adalah bandongan, serta ada mata pelajaran tertentu yang dikaji dengan cara sorogan. Namun yang lebih banyak digunakan adalah sistem bandongan. Hal ini berkaitan dengan keadaan santri yang nyantri di pondok pesantren ini adalah para pelajar dan mahasiswa yang masih belajar di lembaga formal. Sehingga waktu yang digunakan akan lebih efektif ketika menggunakan sistem bandongan. Metode hukuman juga berlaku sesuai dengan tingkat kesalahannya. Hukuman ini berlaku untuk semua santri tanpa terkecuali. Hukuman ini dimaksudkan untuk mendorong santri agar lebih disiplin, dan mengikuti aturan pesantren. Jenis hukuman tersebut meliputi membersihkan pondok, dikenai denda, kehilangan hak izin menginap pada bulan tersebut. f)
Evaluasi Pendidikan
Evaluasi pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro ditujukan untuk menilai kemampuan penguasaan materi yang telah diajarkan.Untuk mengetahui kemampuan santri dalam satu jenjangnya diadakan evaluasi pertengahan dan akhir. Untuk menilai kemampuan penguasaan isi dan menghafalkan sebagian teks materi pelajaran yang telah diajarkan di dalam kelas itu menekankan penguasaan materi pendidikan. C. Peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan Humanisme Religius di masyarakat Dalam
perannya
di
masyarakat
sungguhlah
jelas
bahwa
pendampingan umat jika kelak terjun di masyarakat sebagai tujuan dari pondok pesantren. Dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat, pondok mengadakan kegiatan istighosah yang diikuti oleh semua santri serta masyarakat sekitar. Hal itu dimaksudkan agar kedekatan antara santri dan masyarakat sekitar terjalin baik. Karena santri hidup tidak akan terlepas dari kehidupan masyarakat. Terdapat pula dzikir ajeg meskipun kegiatan tersebut kegiatan dari luar dan kebetulan mengadakan kegiatan di Pondok Pesantren Edi Mancoro itu merupakan peran untuk mewujudkan humanisme religius di masyarakat. Bila dilihat dari lingkungan pesantren yang di tempati para santri, dan dari latar belakang kehidupan yang bermacam-macam, dan berbeda-beda dalam pemikirannya. Maka masyarakat pesantren sebenarnya merupakan gambaran nyata kehidupan bermasyarakat dalam Islam. Hubungan antara
santri dan masyarakat sekitar seringnya mengadakan kerjasama dalam berbagai kegiatan. Hal ini mendorong para santri untuk selalu berusaha berfikir untuk selalu respon dengan keadaan lingkungan yang ada di masyarakat dan selalu tampil baik di hadapan masyarakat. Itu merupakan tujuan pondok pesantren ini. Terdapat pula hubungan yang terjadi dengan masyarakat sekitar khususnya dalam pelaksanaan pengajaran kepada anak-anak. Hal ini berkaitan dengan transfer ilmu yang diberikan untuk menambah wawasan mereka. Kegiatan ini sudah berdiri sejak tahun 2001 hingga sekarang dan diberi nama TBB (Tarbiyatul Banin Wal Banat) atau pendidikan untuk anak kecil laki-laki dan perempuan. Banyak yang ikut serta dalam kegiatan ini, pembelajaran ini berlangsung dari hari Senin hingga Kamis dan dengan materi yang disesuaikan dengan jenjang mereka. Dari sinilah peran Pondok Pesantren Edi Mancoro untuk mewujudkan humanisme religius di masyarakat khususnya anak-anak dapat penulis rasakan. Dalam perannya tersebut, ustadz yang mengajar serta dengan bekal ilmu yang didapatkan selama di pondok pesantren sedikit demi sedikit dapat tertularkan. Peran di masyarakat khususnya para pendidik terapkan untuk mengajari anak-anak dalam menghormati guru, menghormati siapapun, bagaimana
makan yang baik serta tidak berlebihan dalam hal apapun,
pengenalan ilmu-ilmu tajwid, tata cara berwudhu dan sebagainya. Tidak hanya dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung sore hari, namun kegiatan ekstra juga melibatkan masyarakat sekitar pondok. Misal dalam
kegiatan hari lahir pondok yang diperingati setiap tanggal 25 Desember, anak-anak terlibat dalam perlombaan yang diadakan. Sehingga rasa antusias anak-anak untuk mengikuti setiap kegiatan yang diadakan oleh pondok pesantren sangat tinggi. Dari TBB juga merambah ke luar dusun meskipun hanya beberapa santri yang ikut mengaji, karena kurang terjangkaunya daerah tersebut oleh masyarakat. Namun tidak mengurangi semangat ustadz untuk tetap mengamalkan ilmunya. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam menerapkan nilai-nilai humanisme di masyarakat. Terdapat hal yang tidak dapat dipisahkan karena pesantren adalah lembaga pendidikan yang secara murni berasal dan dikembangkan oleh masyarakat. Ketika dahulu masyarakat bekerja sama dalam hal koperasi usaha, sekarang humanisme religius diterapkan dalam pendampingan masyarakat. Terdapat santri non mukim yang ikut pula mengaji di pondok pesantren, meskipun tidak mengikuti kegiatan secara penuh, namun mereka tetap mengikuti kajian dan mengikuti sholat berjama‟ah. Semua kegiatan yang berlangsung dalam masyarakat sekitar Pondok Pesantren Edi Mancoro untuk mewujudkan humanisme religius semata-mata ditujukan untuk lebih dekat kepada masyarakat sekitar. Sehubungan dengan kegiatan santri yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sekitar.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari keseluruhan uraian dan analisis tentang “Implementasi dan implikasi Pendidikan Humanisme Religius pada pondok pesantren bagi masyarakat (Studi di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014) ”, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : a. Bentuk pendidikan yang terdapat di Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah penyelenggaraan pembelajaran dengan pendekatan tradisional. Dan pembelajaran ilmu-ilmu Agama Islam dilakukan secara individual atau kelompok dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab. b. Keterkaitan materi pendidikan dengan tradisi yang ada di pondok pesantren. Kurikulum yang menekankan pengkajian kitab kuning yang ditulis oleh ulama klasik menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan pesantren sejalan dengan pemikiran masa lalu namun masih tetap berlaku pada masa sekarang. c. Sistem pendidikan Pondok Pesantren Edi Mancoro menggunakan beberapa sistem yang tradisional yaitu pola pengajaran sorogan, bandongan, wetonan dan musyawarah dalam mengkaji kitab-kitab agama. d. Semua kegiatan yang berlangsung dalam masyarakat sekitar Pondok Pesantren Edi Mancoro untuk mewujudkan humanisme religius sematamata ditujukan untuk lebih dekat kepada masyarakat sekitar. Sehubungan
dengan kegiatan santri yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sekitar. B. Saran-Saran Sebagai peneliti, kami mengajukan saran yang bersifat membangun. Semoga bisa menjadi bahan refleksi bagi semua santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro. a. Dalam diri manusia, khususnya santri perlu ditanamkan nilai-nilai humanisme religius agar dapat memahami, menghayati dan melaksanakan sikap dan perilaku yang mulia baik yang berhubungan dengan Allah SWT, diri sendiri, dan orang lain, sehingga tercipta kedamaian serta ketentraman dalam kehidupan. b. Dengan adanya humanisme religius di pondok pesantren diharapkan kepedulian santri terhadap sesama dapat ditingkatkan kembali, mengenal santri hidup bersama-sama dengan santri lain yang notabene berbeda pola fikir. Maka dapat ditingkatkan rasa kebersamaan, kepedulian, serta toleransi antar santri. C. Kata Penutup Dengan
mengucapkan
puji
syukur
Alhamdulillah,
penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sekalipun telah mencoba mencurahkan segenap pengetahuan dan kemampuan dalam menyusun skripsi ini, penulis menyadari bahwa dalam pembahasan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa ataupun segi tulisan, tidak lain karena
keterbatasan penulis dalam memahami, menelaah data-data yang berkaitan maupun dalam memahami
dan menerapkan metodologi yang sistematis dalam
pembahasan ini. Selanjutnya penulis mengharapkan bimbingan, kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca. Akhirnya, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan baik moril maupun materiil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Teriring do‟a, semoga
skripsi
ini
dapat
bermanfaat, khususnya bagi diri penulis dan pembaca pada umumnya. Hanya kepada Allah SWT lah penulis selalu mengharapkan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Yogyakarta : Rineka Cipta. Baedhowi. 2008. Humanisme Islam. Yogyakarta : Pustaka Karya. Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rajawali Pers. Daymon, Christine. 2008. Metode-metode Kualitatif dalam Public Relations & Marketing. Yogyakarta : Bentang. Departemen Agama RI. 2003. Pola Pembelajaran di Pesantren. Jakarta : Departemen Agama RI Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid III. 1990 : PT Cipta Adi Pustaka. Jilid 7. 1989 : PT Cipta Adi Pustaka. Ghazali, Adeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama. Bandung : Alfabeta. Horikoshi, Hiroko. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta : P3M. Ihsan, Fuad. 2003. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta : PT Rineka Cipta. Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Mas‟ud, Abdurrahman. 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta : Gama Media. Maunah, Binti. 2009. Tradisi Intelektual Santri. Yogyakarta : Teras.
Moleong, Lexy, 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Mulkhan, Abdul Munir. 1998. Religiusitas Iptek.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Rahman, Musthafa. 2011. Humamisasi Pendidikan Islam Plus Minus Sistem Pendidikan Pesantren.Semarang : Walisongo Press. Sahlan, Asmaun. 2011. Religius Perguruan Tinggi. Malang : UIN Maliki Press. Sugiyono. 2009. Cetakan VIII. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R &D. Bandung : Alfabeta Sukandarrumidi. 2002. Metode Penelitian. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Supariadi. 2001. Kyai dan Priyayi di Masa Transisi. Surakarta : Pustaka Cakra Surakarta. Tjaya, Thomas Hidya. 2004. Humanisme dan Skolastisisme. Yogyakarta : Kanisius.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Stri Ana Farhana lahir di Kabupaten Grobogan, 8 Oktober 1991 dari pasangan H . Anwar, B.A. dan Hj. Siti Mae Saroh yang beralamatkan di Jln. Siswa no.32 rt 04 rw 03 Kedusan Kec.Wirosari Kabupaten Grobogan Riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 2 Wirosari lulus tahun 2004, melanjutkan jenjang sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Wirosari lulus tahun 2007, dan selanjutnya di jenjang sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Wirosari lulus tahun 2010. Ditingkat perguruan tinggi melanjutkan di STAIN Salatiga jurusan tarbiyah Pendidikan Agama Islam . Selain kuliah dia juga diberi kesempatan untuk merasakan indahnya hidup di Pondok Pesantren Edi Mancoro, bertemu dengan kyai
dan ustadz yang dengan ikhlash mengajarkan ilmu
kepadanya. Ketika kuliah, dia terjun dalam kepengurusan HMJ Tarbiyah dan jajaran kepengurusan LPM DinamikA. Serta dalam Organisasi Pondok Pesantren Edi Mancoro selama 3 periode kepengurusan. Skripsi
yang
berjudul
“IMPLEMENTASI
DAN
IMPLIKASI
PENDIDIKAN HUMANISME RELIGIUS PADA PONDOK PESANTREN BAGI MASYARAKAT (STUDI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO, GEDANGAN, KAB. SEMARANG TAHUN 2014)” adalah karya STRI ANA FARHANA
yang disusun guna memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana
dalam ilmu tarbiyah yaitu Sarjana Pendidikan Islam.
DESKRIPSI WAWANCARA
Pada hari Rabu, 12 November 2014 pukul 18.30 tepatnya setelah jam kajian KDII dimulai, Ketua Yayasan yaitu Gus Hanif sedang berada di kantor. Lalu peneliti menemui beliau untuk mewawancarai mengenai sejarah berdirinya Pondok Pesantren Edi Mancoro. Sebelum peneliti melakukan wawancara, peneliti memperkenalkan identitas dan telah memberikan surat izin penelitian kepada beliau. Dan beliau menyambut peneliti dengan baik. Dan akhirnya peneliti melanjutkan apa yang menjadi tujuannya : Peneliti
: Kapan berdirinya Pondok Pesantren Edi Mancoro ?
Gus Hanif
: Pada tahun 1970, seorang tokoh pendatang dari Desa Pulutan, yaitu K.H.Muh Sholeh mendirikan sebuah masjid yang diberi nama “Darussalam”
yang
dijadikan
tempat
kegiatan-kegiatan
keagamaan. Dan setelah beliau meninggal dilanjutkan oleh kyai Sukemi, seseorang yang dipercaya oleh masyarakatnya untuk melanjutkan perjuangan Bapak K.H Sholeh hingga beliau meninggal tahun 1984. Peneliti
: Setelah Kyai Sukemi meninggal siapa yang melanjutkannya lagi ?
Gus Hanif
:Yang melanjutkan seorang tokoh pendatang dari pulutan yaitu Bapak KH.Mahfudz Ridwan Lc bersama tokoh lokal yaitu Muh Sholeh, Matori Abdul Jalil, Zainal Arifin, dan Ali Tahsisudin pada tahun 1984.
Peneliti
: Apakah dalam perjuangannya masih meneruskan perjuangan K.H. Sholeh dan Kyai Sukemi ?
Gus Hanif
: Dengan mendirikan Yayasan Desaku Maju yang bergerak dalam bidang sosial dengan visi dan misi membantu pemerintah dalam
meningkatkan
kesejahteraan
dan
pengembangan
swadaya
masyarakat desa. Peneliti
: Dalam hal apa yayasan desaku maju dalam menyejahterakan masyarakat desa pada waktu itu ?
Gus Hanif
: Melalui kelompok mandiri di masyarakat, terdapat 63 kelompok diantaranya koperasi usaha, kelompok KUB sejahtera, tukang perah susu, penderes kelapa. Serta melalui pendirian sebuah lembaga pendidikan Agama Islam yaitu Pondok Pesantren Edi Mancoro. Dan pada tahun1989 tepatnya pada tanggal 26 Desember yang diberi nama Wisma Santri Edi Mancoro”, pada akhir tahun 2006 tepatnya pada 31 Desember berganti nama menjadi “Pondok Pesantren Edi Mancoro” di bawah naungan yayasan “Pondok Pesantren Edi Mancoro”.
Peneliti
: Mengapa nama pondok ini Pondok Pesantren Edi Mancoro ?
Gus Hanif
: Edi Mancoro adalah nama dalam bahasa jawa yang substansinya menyinari serta identik dengan rahmatan lil „alamin.
Setelah selesai menanyakan bagaimana proses sejarah berdirinya Pondok Pesantren Edi Mancoro, peneliti langsung melanjutkan pertanyaan lain yang berkaitan dengan visi, misi, tujuan serta garis perjuangan. Peneliti
: Apa visi dari Pondok Pesantren Edi Mancoro ?
Gus Hanif
: Mencetak kader umat sebagai pendamping masyarakat.
Peneliti
: Apa misi dari Pondok Pesantren Edi Mancoro ?
Gus Hanif
: Memberikan dakwah islam disamping pendidikan dan pengajaran.
Setelah selesai menanyakan bagaimana visi, misi Pondok Pesantren Edi Mancoro, maka peneliti selanjutnya melanjutkan pertanyaan mengenai hubungan santri dengan keturunan kyai dan dengan masyarakat sekitarnya.
Peneliti
: Bagaimana hubungan yang terjalin antara santri dengan keturunan kyai serta dengan masyarakat sekitar ?
Gus Hanif
: Hubungan yang terjalin antara kyai dengan santri tidak ada sekat, juga sangat dekat. Ketika ada masalah mereka sowan ke ndhalem. Sedangkan dengan masyarakat sekitar, juga terjalin baik terbukti dengan santri yang dalam setiap acara pondok pesantren mereka ikut terlibat.
Setelah selesai melakukan wawancara dengan ketua yayasan, peneliti melanjutkan wawancara kepada direktur KDII : Khoerul Afifah. Peneliti
: Bagaimana sistem pendidikan yang ada di Pondok Pesantren Edi Mancoro ?
Khoir
: santri diwajibkan mengikuti semua kajian yang jadwalnya sudah dibuat oleh pengurus KDII. Serta ketika dalam tahun ajaran baru ataupun sudah mulai kajian jika ada santri baru yang
masuk
maka
santri
diharuskan
mengisi
formulir
pendaftaran dan melakukan administrasi pembayaran, setelah itudilakukan tes untuk mengetahui sejauh mana kemampuan yang dimiliki. Hal itu lalu berlanjut dengan penempatan kelas agar dapat mengikuti sesuai kemampuannya.Semua kajian KDII berlangsung kecuali hari Jumat.Dalam kajian kitab kuning sistem yang diterapkan adalah bandongan, serta ada mata pelajaran tertentu yang dikaji dengan cara sorogan. Namun yang lebih banyak digunakan adalah sistem bandongan. Hal ini berkaitan dengan keadaan santri yang nyantri di pondok pesantren ini adalah para pelajar dan mahasiswa yang masih belajar di lembaga formal. Sehingga waktu yang digunakan akan lebih efektif ketika menggunakan sistem bandongan.
Lalu peneliti melanjutkan pertanyaan mengenai alasan mengapa memilih tinggal di pondok pesantren dan hubungan yang terjalin antara santri dengan masyarakat. Peneliti
: Mengapa anda memilih tinggal di pondok pesantren ?
Novi
: Saya memilih tinggal di pondok pesantren karena saya ingin hidup mandiri, mencari ilmu untuk bekal di rumah dan di masyarakat nanti. Disini pula saya bisa belajar ilmu-ilmu agama lebih dalam lagi.
Peneliti
: Bagaimana hubungan yang terjadi antara santri dengan masyarakat ?
Wulan
: Terlihat juga ketika santri pada sore hari bermain sepak bola dengan warga sekitar, atau pada malam tirakatan dan peringatan hari-hari besar Nasional ikut bergabung dengan warga. Itu dilihat
dari hubungan sosial dengan masyarakat, sedangkan
hubungan yang terjalin dengan masyarakat dalam segi keagamaan misalnya tergambar dalam lailatul ijtima‟ yang diadakan di Masjid Darussalam. Begitu juga ketika hari lebaran tiba, ketika santri sudah berada di pondok pesantren, maka santri berkunjung ke rumah-rumah untuk bersilaturahim.
Acara malam tirakatan malam 17 Agustus 2014 antara masyarakat dan santri
Acara Dzikir Ajeg Selasa Kliwon antara santri dengan warga sekita
Pelatihan Manasik Haji Pondok Pesantren Edi Mancoro
Penyerahan hadiah oleh ketua yayasan kepada santri TBB dalam rangka Khotmil Qur‟an
K.H. Mahfudz Ridwan, Lc beserta tamu saat menghadiri acara Haflah Khotmil Qur‟an dan Akhirissanah Pondok Pesantren Edi Mancoro
Santri putra saat bermain rebana pada Kamis malam Jum‟at
Semua santri puta dan putri saat mengikuti kajian bersama
Ziarah di Maqam K.H. Ridwan, Pulutan
Acara Halal Bi Halal di aula putra
Acara saat mengantarkan ustadz yang hendak pergi haji ke Baitullah
Santri sedang membaca Al Qur‟an bersama-sama di aula atas
Salah satu santri saat melakukan ro‟an di Masjid Darussalam