Atas : Para Pustakawan Terbaik peraih Nugra Jasa Darma Pustaloka 2015 Bawah : Foto Bersama (dari kiri-kanan) Andrea Ardi (Terbaik Ketiga), Woro Titi Haryanti (Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan), Sri Sularsih (Kepala Perpustakaan Nasional RI), Siti Indarwati (Terbaik Pertama) dan Mohammad Rotmianto (Terbaik Kedua).
dari redaksi Dear Pustakawan Indonesia, Apa kabar? Semoga Tuhan selalu melindungi dan memberi kita kemudahan di semua aktifitas kita, Pustakawan Indonesia. Tak terasa tahun 2015 segera kita tinggalkan. Kita akan memasuki tahun yang baru, 2016. Seyogyanya di penghujung tahun ini, kita merenungi dan mengintrospeksi diri: Apa yang sudah kita peroleh di tahun ini? Apa yang sudah kita pelajari dan pahami dalam bidang kepustakawanan ini? Apa sumbangsih kita terhadap kemajuan kepustakawanan Indonesia? Sambil kemudian kita berfikir: Apa yang akan kita capai di tahun depan? Semua butuh perencanaan yang matang dan niat yang kuat. Tak terasa pula, MEA sebagai arena pergerakan manusia, barang, dan jasa tanpa sekat batas negara di ASEAN akan segera dibuka. Persaingan jasa antar pustakawan di ASEAN akan segera terasa dampaknya. Pustakawan yang tidak mempersiapkan diri dan meng-upgrade kompetensinya tentu akan tergerus dan bahkan terhempas dan kalah dalam persaingan kerja sebagai pustakawan. Bisa jadi pustakawan luar negeri yang lebih siap dan kompeten akan menggantikan pustakawan Indonesia. Pada gilirannya, kita akan menjadi penonton di negeri sendiri, sedangkan pelaku utamanya adalah Pustakawan luar negeri (ASEAN) yang memiliki kompetensi di atas pustakawan Indonesia. Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi bukan? Saatnya lah buka mata, buka hati dan selalu tingkatkan kompetensi diri. Pada edisi kali ini terdapat 6 artikel yang akan kami sajikan. Artikel pertama tentang MOOCs dengan judul Mengenalkan Massive Open Online Courses (MOOCs) kepada Pustakawan tulisan Lis Setyowati. Irhamni Ali membahas tentang Big Data melalui artikel yang berjudul Big Data: Apa dan Pengaruhnya pada perpustakaan? Dilanjutkan Budiman Muslim memperkenalkan layanan De_Tak lewat tulisan berjudul Layanan Delivery Pustaka (De_Tak): Inovasi layanan perpustakaan umum. Artikel ke-empat tentang Perilaku Informasi Masyarakat melalui Pendekatan Literasi Informasi: Studi kasus Pustakawan tulisan Arief Wicaksono (Pustakawan Perpusnas). Artikel berikutnya berjudul Proses Kontrol Formal dan Kontrol Sosial di Perpustakaan Perguruan Tinggi X di Jakarta tulisan Kiki Fauziah dkk. Selanjutnya artikel berjudul Hubungan Kompetensi Pustakawan dengan Layanan Prima tulisan Siti Aliyah. Sebagai penutup, Dedi Mulyadi memperkenalkan Perpusmart melalui artikel berjudul Strategi Pustakawan melalui Program Perpusmart dalam Menghadapi MEA. Tak lupa kami mengingatkan, bagi rekan sejawat pustakawan di seluruh Indonesia yang berminat mengirimkan artikel tentang kepustakawanan ke media pustakawan, redaksi akan menerima dengan senang hati. Kami ucapkan pula, Selamat Tahun Baru 2016. Selamat membaca!
daftar isi
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
06
Mengenalkan Massive Open Online Courses (MOOCs) kepada Pustakawan Lis Setyowati (Perpustakaan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro)
19 24
Big Data: Apa dan pengaruhnya pada perpustakaan? Irhamni Ali (Perpustakaan Nasional RI)
Layanan Delivery Pustaka (De_Tak): Inovasi layanan perpustakaan umum Budiman Muslim (Kantor Arsip, Dokumentasi dan Perpustakan Kota Solok)
32
Perilaku Informasi Masyarakat melalui Pendekatan Literasi Informasi: Studi kasus Pustakawan Arief Wicaksono (Perpustakaan Nasional RI)
38 47
Proses Kontrol Formal dan Kontrol Sosial di Perpustakaan Perguruan Tinggi X Jakarta Kiki Fauziah, dkk. (Universitas Indonesia)
Hubungan Kompetensi Pustakawan dengan Layanan Prima Siti Aliyah (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan)
55
Strategi Pustakawan melalui Program Perpusmart dalam Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) Dedi Mulyadi (Perpustakaan Daerah Kab. Sukabumi)
majalah MEDIA PUSTAKAWAN
Penasehat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggung jawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Redaktur Sarwidiarti Mrihastuti, Penyunting Sadarta, Harjo, Novi Herwati, Catur Wijiadi, Akhmad Priangga, Redaktur Pelaksana Rohadi, Sri Sumiarsi, Rudianto, Novatriyanti, Desain Grafis Khosyi Alvin Maulana, Sekretariat Ferico Hardiyanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etikah Wahyuni, Triningsih, Khamami, Mardiana Tri Hidayanti, Alamat Redaksi Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28A, Jakarta Pusat, Tlp. (021) 3906923, Fax. (021) 3906923, Email :
[email protected], ISSN : 1412-8519
Cover Depan: Pintu terbuka dan bendera negara-negara ASEAN.
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
3
Tahun Baru......... Tantangan Baru Bagi Pustakawan Indonesia
T
ahun baru akan segera tiba, pesta pora, gegap gempita, sorak sorai akan segera terdengar dari segenap penjuru dunia. Kebahagiaan dan suka cita menyelimuti seantero bumi. Tua muda, besar kecil semua umat manusia di muka bumi larut dalam kemeriahannya. Namun, hal yang tak disadari semua orang adalah dibalik segala gegap gempita tahun baru terkandung pula tantangan baru yang juga akan turut memeriahkan tahun yang akan datang. Di akhir tahun 2015 ini telah dicanangkan bahwa pada tahun 2016 akan mulai diimplementasikannya Masyarakat Ekonomi Asean atau MEA di kawasan negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ibarat pisau bermata dua, sebenarnya MEA dapat menjadi peluang, tapi disisi lain MEA dapat juga menjadi tantangan dan ancaman bagi tenaga kerja di Indonesia termasuk pustakawan. Tantangan tersebut telah siap untuk memasuki ranah ketenagakerjaan Indonesia, seperti bayangan yang menyelinap dan melingkupi setiap jengkal lahan kerja, baik di bidang domestik, industri maupun pekerjaan profesional. Seyogyanya, pustakawan tidak perlu merasa cemas ataupun gelisah menghadapi tantangan MEA di tahun yang akan datang, apabila ia telah mempersiapkan diri dengan memperkuat dan meningkatkan kualitas dirinya secara profesional. Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki rangking ke-4 setelah negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand di sektor pendidikan dan produktivitas. Selain itu berdasarkan pada Asean Economic Blue Print, kesepakatan yang terbentuk adalah adanya keharusan untuk dilakukan penghapusan terhadap peraturan-peraturan yang akan menghalangi perekrutan serta pembatasan tenaga asing terutama dalam sektor tenaga kerja profesional. Dampak dari diberlakukannya
4
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
persyaratan tersebut tentu akan memunculkan nuansa baru dalam bursa tenaga kerja, dimana akan semakin meningkatnya persaingan antar pencari kerja, tak terkecuali pada sektor keahlian khusus termasuk di dalamnya adalah pustakawan. Dampak dari pemberlakuan kesepakatan MEA tersebut harus disikapi dengan positif oleh pustakawan. Saat ini, suka tidak suka, mau tidak mau, pustakawan Indonesia harus melakukan transformasi secara menyeluruh dan personal, dengan melakukan perubahan pada sikap, pola pikir dan sudut pandang sesegera mungkin. Salah satu unsur penting yang menjadi dasar bagi seorang pustakawan untuk bertransformasi adalah sikap untuk mau menerima perkembangan baru yang ada disekelilingnya dengan ikhlas namun cerdas. Sikap skeptis dan statis harus segera dihilangkan, sebaliknya pintu hati dan jendela pikiran harus segera dibuka selebar-lebarnya untuk menyerap sebanyak-banyaknya perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di dunia kepustakawanan baik secara teknis maupun manajerial, dan juga perkembangan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK). Dengan demikian diharapkan kesenjangan yang dikhawatirkan akan terjadi pada pustakawan Indonesia akibat dilaksanakan kesepakatan MEA dapat diminimalisir sekecil mungkin. Banyak jalan menuju Roma. Kalimat bijak itu harus dimaknai secara cerdas oleh para pustakawan. Artinya, banyak strategi yang dapat diterapkan dalam upaya menghadapi kesepakatan pasar bebas yang bernama MEA tersebut. Salah satunya adalah dengan melalui program Perpusmart seperti yang dikemukakan oleh Dedi Mulyadi seorang pustakawan di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sukabumi dalam artikelnya yang berjudul “Strategi Pustakawan melalui program Perpusmart dalam menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi
Asean)”. Hal ini menunjukkan bahwa kegelisahan dan kecemasan tidak perlu terjadi. Pustakawan dapat bersikap positif dalam menghadapi tantangan MEA. Strategi yang dapat dipakai untuk menjawab tantangan tersebut adalah strategi yang berbasis Teknologi, Informasi dan Komunikasi yaitu strategi pelibatan masyarakat, strategi peningkatan layanan komputer dan internet, dan terakhir adalah strategi advokasi. Sedangkan Perpusmart sendiri dapat dikatakan sebagai perpustakaan yang memiliki dua aspek mendasar yaitu peningkatan kualitas SDM (pendidikan) dan pemberdayaan ekonomi. Selain menerapkan strategi seperti yang telah dikemukakan di atas, Pustakawan dapat meningkatkan kualitas dirinya dengan terus mengikuti perkembangan di bidang teknologi informasi seperti perkembangan Massive Open Online Courses atau yang dikenal dengan singkatan MOOCs dan memahami lebih lanjut mengenai Big data. MOOCs dikemukakan oleh Lis Setyowati seorang pustakawan di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam tulisan yang berjudul “Mengenalkan Massive Open Online Courses (MOOCs) kepada Pustakawan”. Konsep ini merupakan hasil pengaruh perkembangan teknologi di bidang pendidikan, yang dapat dikatakan sebagai sarana pendidikan yang mengusung prinsip keterbukaan dan memanfaatkan kecanggihan teknologi sehingga memungkinkan keterlibatan peserta dalam jumlah yang banyak. Peran perpustakaan disini adalah dalam proses pengembangan, produksi, advokasi dan juga memberikan dukungan dalam proses penyimpanan dan pelestarian. Selanjutnya, mengenai big data, Irhamni Ali dalam tulisannya yang berjudul “Big Data: apa dan pengaruhnya terhadap perpustakaan” mencoba memberikan gambaran umum tentang big data yaitu merupakan hasil dari proses pergerakan suatu peristiwa yang kemudian dijadikan informasi sesuai dengan kebutuhan, hingga dari informasi ini dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan (wisdom). Big data ini membawa pengaruh besar dalam dunia perpustakaan khususnya pada aspek layanan perpustakaan dan kompetensi pustakawan. Pemerintah Indonesia sebenarnya jauh-jauh hari telah mempersiapkan tenaga kerja Indonesia termasuk pustakawan dalam menyambut pelaksanaan kesepakatan MEA. Salah satu yang telah dilakukan adalah keharusan bagi tenaga kerja Indonesia untuk mengikuti sertifikasi kompetensi. Tujuan dari sertifikasi ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan menjaga profesionalisme. Bagi pustakawan, sertifikasi kompetensi ini diperlukan
untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka sesuai dengan tugas pokoknya, seperti yang dikemukakan oleh Siti Aliyah dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan dalam rangka lomba pustakawan berprestasi se-Sulawesi Selatan dalam tulisannya yang berjudul “Hubungan kompetensi pustakawan dengan layanan prima”. Dari tulisan tersebut dapat dilihat bahwa dalam menghadapi MEA di tahun depan, kompetensi dan profesionalisme pustakawan Indonesia harus terus ditingkatkan. Kompetensi yang harus dimiliki terkait dengan 2 hal yaitu: kompetensi profesional dan kompetensi individu. Dengan dimilikinya 2 kompetensi tersebut diharapkan pustakawan akan dapat memberikan layanan prima bagi pemustaka. Upaya peningkatan kualitas perpustakaan dapat dilakukan dengan cara membuat kajian. Segi positif dari pembuatan kajian salah satunya adalah pustakawan akan dipaksa untuk membaca banyak literatur serta melakukan analisa. Hal tersebut tentu secara tidak langsung akan membuka wawasan serta membentuk pola pikirnya. Terkait dengan hal tersebut, Kiki Fauziah bersama teman-temannya, sebagai mahasiswa Magister Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia berusaha mengasah kemampuannya dengan membuat kajian yang berjudul “Proses kontrol formal dan kontrol sosial di Perpustakaan Perguruan Tinggi X Jakarta”. Sesuai dengan judulnya, kajian tersebut mengupas topik mengenai pengendalian atau proses kontrol di perpustakaan yang ditinjau dari 2 macam pengendalian yaitu kontrol formal dan kontrol sosial. Selanjutnya, Arief Wicaksono dari Perpustakaan Nasional juga tidak mau ketinggalan. Dari kajiannya yang berjudul “Perilaku informasi masyarakat melalui pendekatan literasi informasi”, ia menarik kesimpulan bahwa secara umum pustakawan sudah mempunyai perilaku informasi ideal, namun pustakawan harus memperbaiki terus perilaku informasinya dengan penguasaan literasi informasi. Akhir kata, MEA bukan merupakan ancaman, bukan merupakan tantangan yang harus ditakuti, tapi merupakan peluang bagi para pustakawan Indonesia untuk terus maju dan berkembang mengikuti semua perubahan yang terjadi di dunia. Tidak ada kata menyerah, tidak ada keragu-raguan, buang semua kecemasan, dan tangkap semua kesempatan yang ada. Jadikan sikap positif dan profesional sebagai landasan dasar untuk meningkatkan kemandirian kerja. Maju terus pantang mundur. Terus berusaha dan jangan lupa panjatkan doa yang tulus kepada Sang Pencipta. Selamat tahun baru Indonesia, Selamat tahun baru Pustakawan Indonesia, Selamat berjuang dan sukses menghadapi semua tantangan di tahun 2016. ET
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
5
Oleh: Lis Setyowati1 Email:
[email protected]
Mengenalkan Massive Open Online Courses (MOOCs) kepada Pustakawan Abstrak Pengaruh teknologi terhadap penyelengaraan pendidikan semakin lama semakin terasa. Demikian juga dengan pengaruh gerakan Open Access. Kedua hal ini turut mendukung berkembangnya Massive Open Online Courses atau yang dikenal dengan singkatan MOOCs. MOOCs merupakan sarana pendidikan yang mengusung prinsip keterbukaan dan memanfaatkan kecanggihan teknologi sehingga memungkinkan keterlibatan peserta dalam jumlah yang banyak. Dengan karakteristik seperti itu, maka MOOCs membuka peluang bagi masyarakat luas untuk belajar secara non formal. Kesempatan ini semakin banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, tidak hanya masyarakat dari negara-negara maju yang telah jauh melek teknologi, namun juga masyarakat dari negara-negara berkembang. Tren ini perlu diketahui pustakawan agar mereka dapat memanfaatkan MOOCs, turut membagi informasi mengenai MOOCs kepada masyarakat luas dan memainkan peran-peran baru terkait dengan penyelenggaraan MOOCs. Kata kunci: MOOCs, pendidikan, pustakawan Pendahuluan Perkembangan pesat teknologi membuat manusia selalu dibuat takjub karena terobosan–terobosan baru yang ditawarkan. Salah satu bentuk teknologi yang muncul untuk mendukung dunia pendidikan adalah Massive Open Online Courses (MOOCs). MOOCs merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan berbasis teknologi yang semakin banyak digunakan oleh masyarakat luas. Pada hakikatnya MOOCs adalah bentuk perkuliahan online yang melibatkan banyak peserta dan bersifat interaktif. MOOCs ibarat universitas maya, di mana orang bebas memilih kelas sesuai bidang yang diminati. Sama halnya dengan perkuliahan biasa, peserta dituntut menyimak informasi yang disampaikan; membaca materi pendukung yang diberikan; dan mengerjakan tugastugas yang harus diserahkan pada waktu yang telah ditentukan. Menariknya lagi, sebagian besar perkuliahan
1
Pustakawan Pertama Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
6
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
online ini bisa diperoleh secara gratis. Peserta hanya perlu mendaftarkan diri tanpa embel-embel persyaratan yang rumit. Mengikuti perkuliahan ini juga tidak terpancang oleh waktu. Peserta bisa mengikuti kuliah manakala ia memiliki waktu, asalkan terkoneksi dengan internet. Hal-hal di atas membuat MOOCs kian populer. Lihat saja pemanfaatan Coursera, salah satu platform MOOCs yang paling dikenal. Coursera mencatat ada 2,9 milyar orang yang mendaftarkan diri menjadi peserta pada bulan Maret 2013. Pada bulan Oktober 2013, jumlahnya meningkat menjadi 5 milyar, dan pada Januari 2014, jumlah ini melonjak pesat menjadi 22,2 milyar (Hasmi, 2014). MOOCs seolah memberikan harapan yang lebih pasti akan pendidikan yang lebih mudah diakses dan lebih terjangkau oleh masyarakat luas. Dengan semakin banyaknya orang yang memanfaatkan MOOCs,
maka dunia pendidikan semakin dinamis. Masyarakat semakin banyak memiliki peluang untuk mendapatkan pengetahuan dari para akademisi yang mengajar di berbagai universitas terkemuka di dunia seperti Stanford University, MIT, Harvard, Oxford University, walaupun hanya perkuliahan melalui dunia maya. MOOCs dan Perpustakaan Pengguna MOOCs semakin lama semakin banyak. Demikian juga institusi yang menawarkan MOOCs, termasuk variasi perkuliahan yang ditawarkan melalui sarana ini. Melihat tren yang demikian, maka diyakini bahwa penggunaan MOOCs dalam bidang pendidikan semakin diterima di kalangan masyarakat di masa mendatang. Semakin banyaknya pengguna MOOCs ini perlu dicermati oleh perpustakaan, mengingat karakteristik perpustakaan yang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Perubahan dalam masyarakat, lingkup makro ataupun mikro, tentu akan berdampak kepada kelangsungan hidup perpustakaan. Dengan mencermati perubahan dalam masyarakat, maka perpustakaan bisa mengantisipasi perubahan-perubahan yang mungkin akan terjadi di masa mendatang. Hal ini akan menjadi bekal bagi perpustakaan dalam beradaptasi, mengembangkan diri, sekaligus mengakomodir kebutuhan yang berkembang di dalam masyarakat. Inilah strategi yang dikembangkan perpustakaan agar keberadaannya senantiasa relevan dengan kondisi masyarakat. Peran perpustakaan dalam MOOCs Keberadaan perpustakaan sendiri tidak lepas dari perannya dalam membantu masyarakat mengakses informasi, serta peran dalam memfasilitasi pendidikan non formal di kalangan masyarakat. Peran ini kurang lebih sama dengan MOOCs, yang bertujuan menyediakan akses terhadap pendidikan yang lebih luas. Dengan kesamaan nilai ini, maka perpustakaan bisa memberikan dukungan terhadap pengembangan dan pemanfaatan MOOCs. Dukungan ini dilakukan dengan mengembangkan peranperan baru perpustakaan dalam MOOCs. Schwartz (2013) mengemukakan bahwa perpustakaan dapat mengambil peran aktif dalam proses pengembangan, produksi, advokasi, dan juga memberikan dukungan dalam proses penyimpanan dan pelestarian, sekaligus juga proses pengembangan materi MOOCs. Secara lebih spesifik, peran perpustakaan perguruan tinggi dalam MOOCs dapat terwujud dalam beberapa hal berikut:
1. Membantu penyelenggaraan MOOCs, terkait dengan hak cipta atas materi yang disampaikan melalui MOOCs Perpustakaan bisa menawarkan bantuan kepada staf pengajar yang mengampu mata kuliah online dalam memastikan bahwa materi ataupun sumber informasi yang digunakan telah memperhatikan ketentuan hak cipta. 2. Mendorong Open Access Perpustakaan dapat mensosialisasikan dan mendorong penerapan Akses Terbuka (Open Access). Membangun kesadaran di kalangan para staf pengajar bahwa berbagai bentuk karya ilmiah mereka seharusnya bisa diakses oleh siswa. 3. Mendukung proses produksi Perpustakaan perguruan tinggi bisa menawarkan sarana, prasarana ataupun pelatihan bagi staf pengajar untuk merekam dan mengedit keseluruhan kegiatan MOOCs. 4. Mendukung siswa peserta MOOCs Perpustakaan bisa menawarkan layanan kepada para peserta MOOCs, paling tidak dalam bentuk penyediaan tautan ke sumber-sumber informasi yang relevan dan dibutuhkan oleh siswa. 5. Mendokumentasikan data pelaksanaan MOOCs Evaluasi atas pelaksanaan MOOCs merupakan hal yang penting untuk dilakukan agar dapat diketahui tingkat keberhasilan penyelenggaraan MOOCs. Untuk melakukan evaluasi ini maka diperlukan data pelaksanaan MOOCs itu sendiri. Pengumpulan data dan analisis data pelaksanaan MOOCs dapat dilakukan oleh perpustakaan. 6. Melestarikan materi MOOCs Platform yang digunakan untuk menyelenggarakan MOOCs bisa berubah sewaktu-waktu. Dengan demikian, maka materi MOOCs bisa saja hilang. Untuk mengantisipasi hal ini, maka penyenggaraan MOOCs perlu mempertimbangkan untuk menyimpan materi pembelajaran dalam institutional repository mereka. Perpustakaan perguruan tinggi bisa mengambil peran tidak hanya dalam menyimpan materi pembelajaran, namun juga merancang model preservasi digital
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
7
untuk memastikan MOOCs versi awal tidak ikut musnah dan karya-karya yang dihasilkan oleh para peserta MOOCs juga dapat didokumentasikan. 7. Menciptakan materi MOOCs Perpustakaan dapat ikut serta dalam mengembangkan materi MOOCs. Salah satu materi yang bisa dikembangkan adalah tentang literasi informasi. Materi ini sangat relevan untuk disampaikan karena berkaitan dengan pengembangan keterampilan informasi untuk menunjang proses pembelajaran mandiri, seperti halnya MOOCs. 8. Menyediakan kesempatan pengembangan diri bagi staf perpustakaan Pengembangan sumber daya manusia di perpustakaan dapat dilakukan dengan memanfaatkan MOOCs. Staf perpustakaan bisa mengikuti perkuliahan online yang berkaitan dengan perpustakaan dan kepustakawanan. Tidak hanya itu, peluang untuk pengembangan kapasitas staf perpustakaan terkait dengan bidang lain juga terbuka, karena banyak perkuliahan yang tidak secara khusus berkaitan dengan perpustakaan namun bermanfaat untuk peningkatan keterampilan mereka. Selain itu, pustakawan yang menjadi subject specialist, dapat mengikuti perkuliahan untuk lebih mendalami bidang keilmuan spesialisasi mereka. Hal lain yang perlu disadari bahwa dengan berpartisipasi dalam MOOCs maka pustakawan memiliki pengalaman untuk dibagi dengan orang lain, terutama kepada para pengguna perpustakaan. Untuk perpustakaan umum, Meredith Schwartz menyatakan bahwa peran yang bisa diambil diantaranya adalah: 1. Menyediakan tempat bagi peserta MOOCs. Perpustakaan tidak hanya menyediakan tempat belajar, namun juga sumber daya manusia yang dapat menjadi rujukan dan dapat membantu manakala mereka menerima tugas berupa pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab sendiri. 2. Menyediakan sarana dan prasarana bagi para peserta untuk mengikuti MOOCs, misalnya komputer, akses internet, webcam dan fasilitas lain.
8
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
3. MOOCs merupakan tambahan dari layanan online yang diberikan kepada pemustaka. 4. Menyediakan tempat berkumpul bagi para peserta MOOCs. Definisi MOOCs Massive Open Online Course didefinisikan sebagai suatu model dalam menyampaikan materi pembelajaran secara online kepada siapapun yang ingin mengikuti perkuliahan, tanpa batasan jumlah peserta (Educause, 2015). Definisi lain dari MOOCs adalah suatu model penyelenggaraan pendidikan yang bersifat masif, di mana secara teoritis tidak ada batasan jumlah peserta; terbuka, karena siapapun diperbolehkan untuk berpartisipasi dan biasanya tanpa biaya; dan online, karena aktivitas pembelajaran biasanya terjadi dalam lingkungan maya. Model pendidikan ini juga dirancang sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Educause Learning Initiative, 2015). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa MOOCs adalah model penyelenggaraan pendidikan secara online; kegiatan pembelajaran terjadi melalui media web; dan bersifat terbuka dan massal. Karakteristik MOOCs Bates (2014) menjelaskan bahwa walaupun platform yang digunakan untuk MOOCs sekarang ini sangat beragam, namun pada dasarnya mereka memiliki 4 karakteristik mendasar, yakni: 1. Massive MOOCs memiliki prinsip infinite scalability, artinya skalanya tidak terbatas. Jumlah peserta MOOCs bisa mencapai ratusan ribu orang untuk tiap perkuliahan. Hal ini karena secara teknis, tidak ada hambatan yang dapat membatasi jumlah peserta. 2. Open Tidak ada persyaratan khusus untuk mengikuti MOOCs. Yang diperlukan hanyalah piranti untuk mengaksesnya (komputer atau piranti mobile) dan koneksi internet. Selain itu, beberapa MOOCs ditawarkan dengan cuma-cuma; beberapa hanya mengenakan biaya untuk proses penilaian hasil pembelajaran dan sertifikat yang akan diterima peserta; dan yang lain menetapkan biaya tertentu untuk mengikuti MOOCs. Pada beberapa platform, keterbukaan ini juga terlihat dari kesempatan bagi institusi untuk
memanfaatkan platform dalam mengembangkan MOOCs mereka sendiri, atau kebebasan untuk mengatur HAKI dari materi yang mereka sediakan melalui MOOCs. 3. Online Pada masa-masa awal perkembangannya, MOOCs menawarkan akses online ke seluruh bagian dari kegiatannya. Namun pada perkembangan berikutnya, beberapa universitas memanfaatkan MOOCs untuk mendukung perkuliahan konvensional. Universitas menyediakan materi MOOCs melalui platform tertentu kemudian mahasiswa menggunakan materi tersebut, misalnya rekaman perkuliahan, bahan bacaan, dan soal kuis. Perkuliahan online ini digabungkan dengan metode perkuliahan konvensional berupa tatap muka di kelas. Dengan demikian, ada kesempatan untuk melakukan kegiatan diskusi kelompok secara tatap muka, melakukan proyek uji coba ataupun mengadakan kuis untuk mengetahui perkembangan dari masing-masing peserta didik. 4. Courses Perkuliahan yang diselenggarakan MOOCs dikelola sebagai satu perkuliahan yang utuh. Dirancang sesuai tujuan pembelajaran, perkuliahan ini juga mengharuskan siswa untuk membaca bahan bacaan yang disarankan, menyimak paparan dari pengampu perkuliahan, dan juga mengikuti kuis serta mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Peserta juga didorong untuk terlibat dalam diskusi online dalam forum yang disediakan. Peserta juga bisa mendapatkan sertifikat apabila ia telah menyelesaikan perkuliahan. Sejarah MOOCs Istilah MOOCs pertama kali muncul pada tahun 2008 dan dicetuskan oleh Dave Cormier dan Bryan Alexander. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan model perkuliahan online yang dikembangkan, Stephen Downes dan George Siemens. Kedua akademisi ini menyelenggarakan perkuliahan bertajuk “Connectivism and Connectivity Knowledge” di Manitoba University. Model perkuliahan ini sendiri dikembangkan dengan semangat gerakan “Open Educational Resources”. Namun, tidak hanya itu, mereka berupaya untuk mengembangkan bentuk perkuliahan online yang lebih interaktif dan
menerapkan prinsip konektivitas (connectivity). Dengan prinsip ini, maka sistem pembelajaran dan pengembangan pengetahuan dilakukan berbasis pertukaran pengetahuan diantara para peserta. Model perkuliahan online ini mendorong adanya interaksi diantara para peserta MOOCs, melalui diskusi, informasi yang diposting di blog, second life, ataupun webcast (Wikipedia dalam IITE, 2013). Perkuliahan online yang diselenggarakan Stephen Downes dan George Siemens menuai sukses. Sejak keberhasilan mereka tersebut, MOOCs semakin berkembang dari tahun ke tahun. Bahkan, universitas ternama seperti University of Stanford dan MIT juga turut mengembangkan platform MOOCs sendiri dan menawarkan MOOCs kepada masyarakat luas. Peta perkembangan MOOCs sendiri dapat dilihat pada Gambar 1. Perkembangan MOOCs yang demikian pesat mendorong munculnya platform MOOCs seperti Coursera, Edx, Udacity, Canvas, Iversity, Open learning, dan Udemy. Perkembangan MOOCs juga mendorong makin banyaknya penyelenggara MOOCs. Masing-masing MOOCs yang dikembangkan memiliki karakteristik model yang berbeda. Walaupun model-model yang ada banyak, namun menurut Stephen Downes pada hakikatnya model MOOCs yang ada dapat dibedakan menjadi 2, yakni: Connectivist MOOC (cMOOC) dan eXtended MOOC (xMOOC). cMOOC termasuk pada MOOCs yang muncul pada periode awal perkembangannya. MOOCs jenis ini dikembangkan berdasarkan teori pembelajaran connectivism. Teori ini relevan dengan lingkungan pembelajaran yang bersifat informal, berjejaring dan banyak memanfaatkan teknologi seperti yang terjadi sekarang ini. Menurut teori ini, proses belajar bisa terjadi manakala seseorang menjalin hubungan dengan orang lain, menjaring berbagai gagasan dan pendapat dari mereka, dan mampu menghubungkan berbagai informasi yang diterima untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Teori ini juga menekankan bahwa dalam proses belajar, seseorang menetapkan orientasi untuk mencapai tujuan akhir yang ingin dicapai. Dengan latar belakang teori ini, maka cMOOC dikembangkan dengan pemikiran bahwa pembelajaran terjadi dalam suatu jaringan (network), di mana
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
9
Gambar 1. Diagram perkembangan MOOCs (Institute for Information Technologies in Education, 2013) pembelajar menggunakan platform digital seperti blog, wiki, dan media sosial untuk dapat terhubung dengan bahan pembelajaran (content), komunitas belajar (learning communities) dan para pembelajar lain dalam rangka menciptakan dan membangun pengetahuan (Siemen dalam Bates, 2013). Dengan sifat interaktif seperti itu, maka masing-masing peserta cMOOC akan memiliki peran ganda, baik sebagai guru atau mentor sekaligus sebagai pembelajar, manakala mereka berbagi informasi dengan peserta yang lain dan juga ketika mereka terlibat diskusi dalam komunitas belajar itu sendiri. Setelah perkembangan cMOOC, muncul model baru MOOCs yang memiliki karakteristik berbeda dengan cMOOC. Model ini dikenal dengan xMOOC. Perbedaan xMOOC dengan cMOOC terletak pada karakteristiknya yang lebih menyerupai model pembelajaran tradisional, di mana ada rekaman video perkuliahan, kuis, ujian, dan metode evaluasi pembelajaran lainnya. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran pada xMOOC lebih terpusat kepada profesor ataupun pengampu perkuliahan
10
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
tersebut, bukannya kepada komunitas pembelajar yang berpartisipasi dalam MOOCs. George Siemens (2013) dengan efisien menggambarkan perbedaan cMOOC dan xMOOCs dengan kalimat berikut: “cMOOCs focus on knowledge creation and generation, where as xMOOCs focus on knowledge duplication.” Mengakses MOOCs Banyak perguruan tinggi yang menjalin kerjasama dengan provider untuk menyelenggarakan MOOCs. Provider ini mengembangkan plaftorm mereka masingmasing, yang bila dibandingkan akan memiliki keunikan tersendiri. Penyelenggara MOOCs yang memanfaatkan suatu platform pada akhirnya membentuk konsorsium. Coursera, misalnya, memiliki 116 partner (Coursera, 2015), dari berbagai belahan dunia, yang memanfaatkan platform ini untuk menyelenggarakan perkuliahan online. Platform MOOCs sendiri sangat banyak. Berikut ini merupakan beberapa situs provider yang menyediakan platform MOOCs:
Tabel 1. Daftar situs provider penyedia platform MOOCs No
Nama
Alamat
1
Udacity
http://www.udacity.com/us
2
edX
https://www.edx.org/
3
CIT: Coursera
https://www.coursera.org/
4
Iversity
https://iversity.org/en/courses
5
Udemy
https://www.udemy.com/
6
Canvas
https://www.canvas.net/
7
Moodle
http://moodle.com
8
MIT Open Course Ware
http://ocw.mit.edu/index.htm
9
JHSPH Open Course Ware
http://ocw.jhsph.edu/
10
Berkeley Webcasts
http://webcast.berkeley.edu/
11
Open Yale Courses
http://oyc.yale.edu/courses
12
Stanford Open Classroom
http://openclassroom.stanford.edu
13
Future Learn
https://www.futurelearn.com/
14
Peer to Peer Univeristy
https://p2pu.org/en/
15
Carnegie Mellon
http://oli.cmu.edu/
16
Every Class
https://everyclass.com/
17
Codedemy
http://www.codecademy.com/
Walaupun MOOCs tidak memberikan persyaratan khusus kepada para penggunanya ketika mengakses, namun MOOCs tetap mensyaratkan agar para pengguna mendaftarkan diri terlebih dahulu. Memanfaatkan MOOCs Memanfaatkan MOOCs sangatlah mudah. Langkahlangkah mengakses MOOCs adalah: 1. Kunjungi website platform MOOCs Hal pertama yang perlu dilakukan ketika ingin mengikuti salah satu perkuliahan online adalah membuka website platform MOOCs. Gambar 2 menunjukkan tampilan halaman utama salah satu website platform MOOCs, yakni http://www. canvas.net. 2. Cari subyek yang diminati Setelah membuka website, maka langkah berikutnya adalah mencari program atau kelas yang diinginkan. Pada website tersebut biasanya disediakan kotak pencarian untuk memudahkan para calon peserta untuk mendapatkan kelas atau program yang diinginkan. Seperti terlihat pada Gambar 3, www.canvas.net menyediakan katalog dari semua kelas dan program yang ditawarkan.
3. Pilih salah satu kelas yang diinginkan Bila seorang calon peserta telah memutuskan pilihan kelas atau program mana yang akan diikuti, maka dia bisa membuka tautan yang disediakan. Bila ini dilakukan, maka akan muncul tampilan seperti pada Gambar 4, yang memberikan informasi tentang kapan kelas atau program itu akan berlangsung dan berapa biaya yang akan dikenakan bila mengikuti kelas atau program tersebut. Bila calon peserta berminat, maka ada pilihan untuk mendaftarkan diri. 4. Daftarkan diri untuk mengikuti perkuliahan Seperti terlihat pada Gambar 5, untuk mendaftarkan diri di salah satu kelas atau program, calon peserta harus mengisikan nama lengkap dan akun email. Setelah itu, maka ia harus menunggu email konfirmasi untuk aktivasi. Bila ini sudah dilakukan berarti calon peserta memiliki akun untuk mengakses program atau kelas yang diikuti di situs provider MOOCs tersebut. 5. Mengikuti perkuliahan online Bila peserta sudah mendaftarkan diri dan ingin memulai kelas online, maka ia perlu mengetahui
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
11
Gambar 2. Halaman utama www.canvas.net
Gambar 3. Kotak pencarian perkuliahan yang ditawarkan
12
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Gambar 4. Salah satu mata kuliah yang ditawarkan www.canvas.net
Gambar 5. Fasilitas untuk mendaftarkan diri bagi peserta
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
13
informasi dasar tentang kelas tersebut. Penjelasan ini biasanya dicantumkan pada bagian beranda (home). Seperti terlihat pada Gambar 6, terdapat penjelasan tentang tujuan yang ingin dicapai dari penyelenggaraan dari kelas online tersebut dan juga terlihat jadwal perkuliahan yang berlaku.
Selain bagian beranda, peserta juga bisa melihat silabus perkuliahan, untuk mendapatkan gambaran materi yang akan diberikan pada setiap sesi perkuliahan berikut jadwal kuis ataupun tugas perkuliahan. Materi perkuliahan sendiri biasanya diberikan setiap minggu. Seperti terlihat pada Gambar 7, pada bagian silabus dicantumkan rincian tanggal dan materi yang diberikan selama perkuliahan, berikut tenggat waktu untuk masingmasing kuis dan tugas.
Silabus perkuliahan ini bisa menjadi pedoman bila peserta ingin mencari materi pendukung, selain materi yang disampaikan melalui modul perkuliahan yang disediakan. Modul sendiri biasanya diberikan setiap minggu. Seperti terlihat pada Gambar 8, di bagian awal perkuliahan maka disampaikan modul pengantar untuk perkuliahan tersebut. Pada minggu berikutnya akan disampaikan materi-materi lain sesuai dengan agenda perkuliahan.
Di setiap modul perkuliahan biasanya disampaikan materi, video singkat dan tautan ke sumbersumber informasi lain yang terkait dengan materi tersebut. Contohnya adalah modul pengantar perkuliahan, seperti terlihat pada Gambar 9, di mana pada modul tersebut disajikan tayangan video untuk memudahkan peserta memahami materi yang disampaikan.
Bila peserta telah menyimak dan membaca bahan bacaan yang diberikan namun ada beberapa hal yang ingin ditanyakan, maka ada fasilitas diskusi yang tidak hanya melibatkan dosen, namun juga peserta lain. Seperti terlihat pada Gambar 10, yang menunjukkan forum diskusi yang disediakan untuk memfasilitasi interaksi antar sesama peserta.
14
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Peserta juga dituntut berpartisipasi aktif dalam mengikuti kuis dan tugas yang diberikan. Kuis ataupun tugas ini dinilai dan menjadi prasyarat untuk tetap melanjutkan perkuliahan. Untuk penyelesaian kuis ataupun tugas, seperti terlihat pada Gambar 11, biasanya terdapat tenggat waktu yang harus dipenuhi. Peserta juga harus memperhatikan skor kuis, karena ada ketentuan skor minimal yang harus dicapai. Bagi peserta tidak puas dengan skor kuis yang dicapai, maka ditawarkan juga kuis remedial.
6. Mendapatkan sertifikat Apabila partisipan aktif dalam perkuliahan dengan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, maka ia akan memperoleh sertifikat tanda telah menyelesaikan MOOCs. Contoh sertifikat MOOCs seperti terlihat pada Gambar 12. Kesimpulan Pustakawan perlu selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Manakala tren pendidikan online semakin berkembang di kalangan masyarakat, maka pustakawan juga seharusnya tahu, bahkan ia harus bisa memanfaatkan dan membagi pengetahuannya kepada masyarakat pengguna perpustakaan. Demikian halnya dengan munculnya tren pemanfaatan MOOCs. Pustakawan diharapkan bisa memanfaatkan model pendidikan baru ini untuk kepentingannya sendiri, maupun untuk pengembangan institusi, dan pengembangan diri para pengguna perpustakaan. Tidak hanya itu, pustakawan diharapkan bisa mengembangkan peran-peran baru perpustakaan untuk pengembangan MOOCs.
Gambar 6. Halaman utama mata salah satu perkuliahan
Gambar 7. Silabus perkuliahan
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
15
Gambar 8. Modul perkuliahan
Gambar 9. Pengantar perkuliahan
16
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Gambar 10. Forum diskusi
Gambar 11. Tugas perkuliahan
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
17
Gambar 12. Contoh sertifikat
Daftar Pustaka
Bates, Tony. 2014. What is a MOOC? Diakses 27 Februari 2014 dari http://www.tonybates.ca/2014/10/12/ what-is-a-mooc/ Educause, 2015. Massive Open Online Course (MOOC). Diakses 27 Februari 2014 dari http://www.educause.edu/ library/massive-open-online-course-mooc Educause Learning Initiative, 2015. 7 Things You Should Know About MOOCs II. Diakses 27 Februari 2014 dari https://net.educause.edu/ir/library/pdf/ELI7097.pdf Hasmi, Aamir Rafique. 2014. Rapid Growth of Massive Open Online Courses (MOOCs) and The Market for University Graduates. Diakses 27 Februari 2014 dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_ id=2526614
18
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Institute for Information Technologies in Education, 2013. Introduction to MOOCs: avalanche, illusion or augmentation. Diakses 27 Februari 2014 dari http://iite. unesco.org/pics/publications/en/files/3214722.pdf Schwartz, Meredith, 2013. Massive Open Opportunity: Supporting MOOCs in Public and Academic Libraries. Diakses 27 Februari 2014 dari http://lj.libraryjournal. com/2013/05/librar y-ser vices/massive-openopportunity-supporting-moocs/ Touro College, 2013. What is the Difference Between xMOOCs and cMOOCs? Diakses 27 Februari 2014 dari http://blogs.onlineeducation.touro.edu/distinguishingbetween-cmoocs-and-xmoocs/
Oleh: Irhamni Ali1 Email:
[email protected]
Big Data: Apa dan pengaruhnya pada perpustakaan? (What is Big Data and its Influence to Library) Abstrak Informasi telah menjadi komoditas berharga yang membawa perubahan pada kehidupan manusia. Salah satu perubahan adalah bagaimana manusia memperoleh informasi tersebut dari kepingan data yang sangat banyak. Kepingan data yg banyak tersebut disebut sebagai “big data” yang membutuhkan tempat untuk disimpan, diorganisasi dan dianalisa. Perpustakaan memiliki sejarah panjang sebagai tempat penyimpanan, pengorganisasian dan analisa informasi. Artikel ini berusaha memberikan gambaran umum mengenai big data dan pengaruhnya terhadap dunia perpustakaan. Big data membawa pengaruh besar dalam dunia perpustakaan khususnya pada aspek layanan perpustakaan dan kompetensi pustakawan. Kata kunci: Big data, perpustakaan, pustakawan
Pendahulan Evolusi dalam dunia digital telah membawa perubahan yang besar dalam cara berpikir manusia. Informasi menjadi sebuah komoditas yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Manusia berusaha melakukan apapun untuk mendapatkan informasi, salah satunya dengan melakukan penggalian pada kepingankepingan data yang sangat besar yang berasal dari aktivitas manusia. Data tersebut sangat besar dan banyak secara kuantitas (volume), variatif (bentuk, ukuran dan format), dan percepatan (tingkat pertumbuhan data). Istilah Data yang besar lazim disebut sebagai Big Data, yang telah mengubah cara manusia memahami dunia yang berdampak besar dan akan terus menciptakan riak melalui semua aspek kehidupan manusia (Nath, 2015). Big data menjadi fenomena tersendiri oleh para ilmuwan dan dunia bisnis. Saat ini pemanfaatan Big Data dalam bisnis adalah hal yang penting, dan
1
memungkinkan solusi untuk tantangan bisnis di segala aspek, baik di bidang industri manufaktur, teknologi, pendidikan termasuk dalam perpustakaan. Perpustakaan mempunyai sejarah yang panjang dengan data. Untuk itu seharusnya perpustakaan tidak asing mengurus sejumlah data yang sangat besar. Namun saat ini data tersebut telah bercampur dalam teknologi baru yang menyebabkan banyak perubahan sehingga perlu perlakuan khusus dalam mengurus data tersebut. Untuk itu artikel ini mencoba membahas perubahan apa saja yang bisa terjadi di perpustakaan dengan adanya fenomena big data? apa yang harus dilakukan oleh pustakawan, serta tantangan yang harus dihadapi pustakawan? Apa itu Big data Ed Dumbill, dalam jurnal big data tahun 2013 memberikan pengertian big data sebagai berikut: “Big data is data that exceeds the processing capacity of conventional database systems. The
Perencana Pertama Perpustakaan Nasional RI
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
19
data is too big, moves too fast, or doesn’t fit the structures of your database architectures. To gain value from this data, you must choose an alternative way to process it “. St. Nath dalam paper yang berjudul Big data Security Issues and Challenges tahun 2015 memberikan pengertian big data adalah: “Big data is an evolving term that describes any voluminous amount of structured, semi-structured and unstructured data that has the potential to be mined for information.” Pengertian terakhir adalah Laney yang tidak menggunakan istilah ‘’Big data’’, sejak 2001 Laney mendefinisikan tiga dimensi atau ‘’ tiga V’’ besar data: Volume, Velocity, dan Variety: - Volume mengacu pada jumlah data yang diciptakan semata-mata. McAfee dan Brynjolfsson mencatat pada tahun 2012, ‘’ sekitar 2,5 exabytes data yang dibuat setiap hari, dan angka itu adalah dua kali lipat setiap 40 bulan atau lebih.’’ 5 satu exabyte kira-kira setara dengan 4.000 kali jumlah data dalam Library of Congress. - Velocity mengacu pada kecepatan data yang sedang dibuat. - Variety merujuk baik untuk jenis data yang dikumpulkan dan kurangnya seragam struktur data. Semua defenisi berguna dalam memberikan pengertian bagi orang awam terhadap Big data. Dalam istilah sederhana, Big data adalah gagasan tentang sebuah sistem yang dapat mengumpulkan triliunan informasi tentang miliaran hal yang berbeda dan menemukan pola yang berguna dalam informasi tersebut. Big data di Perpustakaan Secara garis besar big data adalah hasil dari proses pergerakan suatu peristiwa yang kemudian dijadikan informasi sesuai dengan kebutuhan, hingga dari informasi itu dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan (wisdom). Big data yang diperoleh bisa bersumber dari berbagai peristiwa seperti transaksi, devices, dan website yang menghasilkan data (bukan data dalam pengertian bandwith). Seperti data cuaca, finansial, pergerakan politik, ATM, pangan, jumlah pengunjung, jenis kelamin, kesukaan, hobi, dan sebagainya. Apa yang membuat big
20
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
data berbeda dengan data biasa? Data dapat dikatakan sebagai big data apabila memiliki faktor 3V (volume, velocity, variety). Besaran ukuran big data sendiri tidak dapat ditentukan, namun pengolahan big data memerlukan effort yang tinggi dari segi penganalisa (data analyst), software, dan hardware. Perpustakaan memiliki tradisi panjang menjadi pengadopsi teknologi. Tradisi panjang tersebut mulai dari penerapan teknologi analog (katalog kartu) sampai dengan digital (OPAC). Aplikasi teknologi informasi yang diaplikasikan perpustakaan maupun pusat-pusat dokumentasi dan informasi, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 4 bidang utama Library housekeeping (perawatan/perpustakaan), Information retrieval (temu kembali informasi/penelusuran informasi), General purpose software (perangkat lunak untuk berbagai macam keperluan), library networking (jaringan kerjasama perpustakaan). Perkembangan teknologi yang pesat saat ini telah mampu menghasilkan sekitar 2,5 exabytes data yang dibuat setiap hari, dan angka tersebut berkembang dua kali lipat setiap 40 bulan. Banyaknya persimpangan data di internet terjadi setiap detik dan disimpan di seluruh dunia dibanding 20 tahun yang lalu. Fenomena ini telah memberi kesempatan pekerja infomasi khususnya pustakawan bekerja dengan banyak satuan data dalam satu set data perusahaan dan bukan hanya dari internet. Sebagai contoh, diperkirakan bahwa Walmart mengumpulkan lebih dari 2.5 Petabyte data setiap jam dari transaksi nasabah. Petabyte adalah satu quadriliun byte, atau setara dengan sekitar 20 juta pengajuan lemari senilai teks. Exabyte adalah 1.000 kali jumlah itu, atau satu miliar gigabyte, sementara itu pada tahun 2011 perpustakaan Library of Congress Amerika Serikat telah mengumpulkan data sebesar 235 terabyte (McAfee & Brynjolfsson, 2012). Tren penelitian saat ini adalah penelitian berbasis data di semua sektor, menciptakan kesempatan bagi perpustakaan untuk berkolaborasi dengan lembaga lain untuk mengisi kesenjangan layanan. Perpustakaan, sebagai pusat informasi harus mengadaptasi dan mengakomodasi pertumbuhan data, sumber daya, dan menyediakan data. Perpustakaan sangat dipengaruhi oleh manajemen data sebagai bagian dari proses layanan informasi. Layanan informasi saat ini telah membuat ledakan
data di mana perpustakaan dituntut untuk membenahi empat bidang utama: (1) organisasi perpustakaan, (2) membenahi kumpulan data internal, (3) menyadarkan akan kekuatan sumber data eksternal bagi perpustakaan dan (4) pembenahan pada sumber daya manusia dengan keterampilan tertentu khususnya pada pustakawan (Reinhalter & Wittmann, 2014).
curate, manage, analyze, report, visualize, and securing pada koleksi informasi. Perlu banyak kemampuan khusus yang perlu ditingkatkan, yaitu mendalami ilmu statistik dan beberapa sentuhan pengetahuan teknologi informasi terkini (cloud computing, smart computing, dsb), maka pustakawan bisa dikatakan termasuk kategori data analyst (Putrawan, 2015).
Peluang Pustakawan Sejarah panjang mencatat bahwa eksistensi pustakawan ada sejak zaman mesir kuno sampai era postmodern. Pustakawan menjadi garda terdepan dalam menjaga pengetahuan. Saat ini pengetahuan berubah menjadi data yang tersebar di mana-mana dengan bentuk, format, serta ukuran yang beragam. Pustakawan berevolusi dari pustakawan tradisional menjadi pustakawan digital. Berkaitan dengan perubahan dan perkembangan teknologi, pustakawan diharuskan menerima dan berusaha menemukan cara untuk merespon setiap perubahan secara efektif dan inovatif dalam rangka memenuhi harapan pengguna. Sejumlah peluang seharusnya ditanggapi secara proaktif oleh pustakawan, bagaimana pustakawan harus merespon perkembangan, dan pertumbuhan pengetahuan (data) secara masif tersebut.
Menjadi pengelola data memang tidak mudah. Namun ketika demand meninggi sementara supply terbatas, akhirnya adalah salary yang tinggi. Data yang dirilis dari KD nuggets Annual Salary Poll, rata-rata pendapatan tahunan seorang data analyst/scientist di Asia adalah sekitar US$ 59,8 ribu (sekitar Rp. 70 juta/ bulan). Kemampuan analisis data yang kuat adalah kemampuan logika yang dalam dan kegigihan untuk terus belajar dan menguasai bisnis proses yang ada. Beberapa pekerjaan pustakawan yang berevolusi dari pekerjaan dasar pustakawan antara lain: - Data Management Consultant - Data Mining Consultant - Data Research Scientist - Data Services Librarian - Design Data Librarian - Digital Archivist - Digital Collections - Strategist and Architecture Librarian - Digital Humanities Design Consultant - Digital Records Archivist Manager - Data Management Services - Research Data Librarian - Research Data Management Coordinator - Scientific Data Curation - Specialist/Metadata Librarian - Scientific Data Curator - Social Science Data Consultant.
Perkembangan teknologi saat ini telah menghasilkan banyak jenis pekerjaan baru. Salah satu bidang yang sedang berkembang untuk layanan data di perpustakaan, yaitu pengelola data. Seorang pengelola data tentunya memerlukan sumber daya manusia andal yang memiliki kemampuan untuk mentransformasikan data menjadi informasi/wisdom yang berguna bagi organisasi maupun perusahaan. Permintaan pengelola data sendiri mulai mengalami ledakan pada akhir-akhir ini. Gartner Research memperkirakan, 4,4 juta lowongan pekerjaan di seluruh dunia akan tercipta untuk pengolahan big data. Harvard Business Review menyebut pekerjaan pengelola data sebagai “The Sexiest Job of 21st Century”. Juga menurut McKinsey Global Institute, 140.000-190.000 orang tidak memiliki kemampuan analisa yang baik dan sebanyak 1,5 juta manajer tidak memiliki kemampuan menggunakan big data. Ini adalah sebuah potensi besar bagi analyst yang sedang memperdalam ilmu analisa dan statistik. Pertanyaannya, apakah pustakawan termasuk ke dalam kategori tersebut? Dalam kemampuan dasarnya, seorang pustakawan dapat melakukan collect, organize, store,
Untuk itu pendidikan pascasarjana ilmu perpustakaan harus memiliki perspektif baru, bukan hanya keahlian teknologi, tapi lebih penting, perspektif kebijakan yang dilihat, memaknai data sebagai koleksi. Hal ini penting untuk melihat data seperti koleksi harus dimasukkan ke dalam perpustakaan sebagai sumber daya, sehingga ke depan pustakawan mampu berdiri di tengah programmer, ahli statistik dan ilmuwan, di mana pustakawan mempunyai keterampilan dalam data referensi dan pengakurasian data.
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
21
Tantangan dan Masalah Sejumlah tantangan yang dihadapi oleh pustakawan di era big data adalah tantangan dari luar dan tantangan dari dalam. Tantangan dari luar merupakan tantangan yang berasal dari orang-orang yang ahli teknologi informasi & komunikasi (TIK), sebagaimana kita ketahui ahli TIK memang sangat dominan di era big data saat ini. Namun sesungguhnya apa yang dilakukan oleh orang TIK adalah pekerjaan pustakawan namun dibantu penguasaan terhadap “tools” atau alat dan kemampuan analisis data yang kuat. Pustakawan digital adalah spesialis informasi profesional, dapat mengelola perpustakaan digital, mengkombinasikannya secara profesional untuk perencanaan, data mining, penggalian pengetahuan, layanan rujukan digital, layanan informasi digital, representasi informasi, ekstraksi, distribusi informasi, koordinasi, berbasiskan internet, akses dan penelusuran multimedia (Khasanah, 2008). Uraian tersebut memberikan gambaran mengenai kompetensi pustakawan yang memainkan peran yang dinamis, kecepatan dan ketepatan dalam mengakses informasi yang dibutuhkan oleh pemakai untuk keperluan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan diri. Strategi baru perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan perpustakaan. Strategi tersebut bisa dimulai dari pembenahan standar kompetensi pustakawan. Saat ini Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang perpustakaan membagi kompetensi Pustakawan ke dalam tiga kelompok kompetensi, yaitu kompetensi dasar atau umum, kompetensi inti dan kompetensi khusus. Salah satu kompetensi dalam SKKNI adalah kemampuan pengoperasian komputer dasar. Kompetensi ini merupakan kemampuan yang didasari atas pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan untuk mengoperasikan komputer guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas di perpustakaan (Menteri, Kerja, Transmigrasi, & Indonesia, 2012). Kompetensi IT pustakawan masih terlihat begitu rendah dalam SKKNI, saat ini kompetensi IT menjadi sangat fundamental. Pustakawan mungkin akan kalah saing dengan mereka yang berasal dari ilmu komputer dan sejenisnya. Namun, pustakawan saat ini ditantang untuk mampu memanfaatkan potensi big data dari segi non-teknis termasuk menggunakan tools yang sudah ada,
22
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
melakukan data riset lokal, hingga menggunakan data untuk mengadvokasi diri sendiri dan komunitas sekitar penanganan konten atau informasi merupakan ruang lingkup kerja perpustakaan. Tehnik analisis dan representasi data adalah hal yang penting dalam pekerjaan pustakawan. Saat ini pustakawan ditantang melakukan menganalisis dan mengekstrak knowledge dari data yang dimiliki. Kemampuan untuk mengubah data dari data yang semi dan/atau tidak terstruktur ke data terstruktur, dan kemudian merepresentasikan data tersebut dalam suatu skema sehingga mudah dimengerti dan digunakan oleh pemustaka. Tantangan lain yang dihadapi pustakawan dalam menghadapi big data adalah kompleksitas big data yang disebabkan oleh kuantitas data, dan ketidakpastian data yang berasal dari perubahan sifat dan berbagai representasi data. Metode analisis tertentu diterapkan untuk big data, pengetahuan yang dihasilkan adalah sudut pandang yang spesifik dan tertentu. Sudut pandang berubah, baik oleh cara pengumpulan ataupun metode analisis, maka analisispun akan berubah sehingga hasil dari analisis pertama tidak dapat digunakan lagi (Laney, 2001). Untuk mengatasi ini, pustakawan perlu memahami tehnik analisa data yang sistematis sehingga mampu memahami kompleksitas dan ketidakpastian dalam big data. Kesulitan yang dihadapi oleh pustakawan saat ini adalah membangun suatu representasi data yang komprehensif untuk big bata, sehingga pemustaka mampu memahami kompleksitas big data yang diberikan oleh pustakawan. Masalah lain dalam pengembangan pustakawan yang memiliki basis kompetensi di era big data adalah kebijakan mengenai kurikulum. Saat ini banyak program studi ilmu perpustakaan menawarkan kursus pengajaran yang berorientasi pada teori budaya, isu-isu komunikasi, filsafat dan sosiologis (Sulistyo-Basuki, 2013). Para pengelola sekolah ilmu perpustakaan ditantang untuk memasukkan mata kuliah yang berkaitan dengan kemampuan khusus yang diperlukan di era big data, yaitu mendalami ilmu statistik dan beberapa sentuhan pengetahuan teknologi informasi terkini seperti cloud computing, smart computing, data mining, maka pustakawan bisa dikatakan termasuk kategori pengelola data atau data analyst (Putrawan, 2015).
Kesimpulan dan Saran Sejumlah perubahan besar terjadi pada perpustakaan dengan adanya fenomena big data. Perubahan tersebut terjadi secara cepat di semua aspek perpustakaan mulai dari aspek layanan di mana perpustakaan harus bisa bekerja dengan menggunakan sejumlah data yang sangat besar. Big data menuntut perpustakaan untuk membenahi antara lain organisasi perpustakaan, pembenahan data internal yang melingkupi koleksi baik elektronik maupun
tercetak. Salah satu pembenahan yang menjadi isu penting adalah pembenahan pustakawan dengan keterampilan khusus. Keterampilan khusus pustakawan menjadi isu yang penting dalam menghadapi big data. Saat ini belum banyak pustakawan yang mempunyai keterampilan khusus dalam berurusan dengan big data. Terobosan yang harus dilakukan dengan dimasukkannya keterampilan khusus bagi pustakawan dalam pengkurasian, analisa dan representasi data dalam SKKNI di bidang perpustakaan.
Daftar Pustaka
Khasanah, Nanan. (2008). “Kompetensi Pustakawan di Era Perpustakaan Digital”. Disampaikan dalam Pelatihan perpustakaan Digital untuk pustakawan di Lingkungan PMPTK se-Indonesia, Institut Teknologi Bandung. Laney, Doug. (2001). 3D Data Management: Controlling Data Volume, Velocity and Variety. META Group Research Note 6. McAfee, A., & Brynjolfsson, E. (2012). Big data : The Management Revolution. Har, (October). Nath, A. (2015). Big Data Security Issues and Challenges. International Journal of Innovative Research In Advanve Enggineering, 2(2), 15–20. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (2012). Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Putrawan, N. A. (2015). Relevansi Big data dan Ilmu Perpustakaan: Sebuah Pendekatan Baru. Retrieved from https://www.linkedin.com/pulse/relevansi-big data-danilmu-perpustakaan-sebuah-baru-a-putrawan.
Rachmat, Antonius. (2011). Menjadi Pustakawan di Era Perpustakaan Digital dengan Sistem Informasi Perpustakaan. Retreive from https://www.researchgate. net/publication/263833266_Menjadi_Pustakawan_di_ Era_Perpustakaan_Digital_dengan_Sistem_Informasi_ Perpustakaan. Reinhalter, L., & Wittmann, R. J. (2014). The Library: Big data’s Boomtown. The Serials Librarian, 67(4), 363– 372. http://doi.org/10.1080/0361526X.2014. 915605. St, A. N. (2015). Big data Security Issues and Challenges, (August). Sulistyo-Basuki. (2013). A Study of the Curriculum of Indonesia’s Existing Five Graduate LIS Programs. Retrieved from https://sulistyobasuki.wordpress.com/ 2013/05/05/a-study-of-the-curriculum-of-indonesiasexisting-five-graduate-lis-programs/ ‘‘The Big data Conundrum: How to Define It?’’ MIT Technology Review. October 3, 2013. http://www. technologyreview.com/view/519851/the-big dataconundrum-how-to-define-it/.
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
23
Oleh: Budiman Muslim2 Email:
[email protected]
Layanan Delivery Pustaka (De_Tak): Inovasi layanan perpustakaan umum1 Abstrak Perpustakaan umum milik dan untuk masyarakat luas tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Begitu besar peran perpustakaan ini, maka perlu senantiasa membuat inovasi atau pembaharuan dalam kualitas dan kuantitas layanan. Layanan perpustakaan haruslah berorientasi kepada pemustaka (customer oriented), sehingga kepuasan pemustaka selalu terjaga. Salah satu faktor rendahnya tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan dan rendahnya minat baca masyarakat adalah akibat sulitnya memperoleh sumber informasi. Oleh karena itu, agar pemustaka mudah memperoleh informasi yang dibutuhkan, perlu membuat inovasi layanan perpustakaan yang dapat mengatasai masalah demikian, yaitu menyelenggarakan jasa layanan pesan antar (delivery order). Jika perpustakaan menerapkan jasa layanan ini maka akan sangat membantu masyarakat yang sibuk dan sedikit memiliki waktu luang ke perpustakaan. Jasa layanan delivery order merupakan salah satu penunjang citra perpustakaan dengan memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Pada bagian akhir tulisan ini, disampaikan metode atau cara kerja layanan ini. Kata kunci: Layanan perpustakaan, layanan pesan antar, perpustakaan umum, pustakawan, pemustaka Pendahuluan Perkembangan arus informasi yang semakin pesat mengakibatkan tugas lembaga yang bergerak dalam bidang informasi dan perpustakaan menjadi semakin berat. Untuk menghadapi tantangan tersebut, perpustakaan harus lebih efektif dan efisien dalam memanfaatkan sumber daya potensial dan sumber daya yang dimiliki. Satu dari beberapa jenis perpustakaan yang memiliki tugas yang berat itu adalah perpustakaan umum, baik itu perpustakaan provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, dan desa/kelurahan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 pasal 1 ayat 6, perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Defenisi perpustakaan umum yang terdapat dalam undang-undang ini sangat jelas
1 1
menyatakan bahwa perpustakaan umum dimiliki dan untuk masyarakat luas tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial-ekonomi. Semua orang menjadi objek layanan perpustakaan, termasuk masyarakat yang memiliki waktu sedikit untuk berkunjung ke perpustakaan, baik yang memiliki keterbatasan fisik, maupun yang berdomisili jauh dari lokasi perpustakaan umum yang berada di wilayah mereka. Oleh karena itu, pemerintah dan pustakawan dituntut untuk melakukan usaha-usaha pengembangan perpustakaan, terutama peningkatan kualitas layanan perpustakaan. Walaupun pemerintah melalui perpustakaan umum memiliki segala keterbatasan. Sutarno (2008:64) berpendapat bahwa pemerintah berhadapan dengan berbagai keterbatasan, baik sumber
Pernah disampaikan pada Pemilihan Pustakawan Berprestasi terbaik Tingkat nasiona tahun 2015 Juara Harapan Pertama Pustaakwan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional tahun 2015 / Pustakawan Pertama Kantor Arsip, Dokumentasi dan Pustakawan Kota Solok
24
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
manusia, sumber daya perpustakaan, sumber daya keuangan, maupun sumber daya fisik. Namun apapun kondisinya, pengembangan perpustakaan tidak boleh berhenti dan kualitas layanan perpustakaan tidak boleh berkurang sedikitpun. Ide-ide kreatif dari pustakawan harus muncul meski di tengah keterbatasan. Walaupun sebagian masyarakat memandang sebelah mata terhadap profesi pustakawan, malah ada yang mempertayakan jika pustakawan itu adalah sebuah profesi. Namun pustakawan tidak boleh terpengaruh dan berkecil hati karena mereka harus memelihara idealismenya untuk pengembangan perpustakaan, karena tujuan pustakawan berdedikasi dalam profesinya bukan semata-mata sebagai mata pencaharian, bukan agar dapurnya tetap mengepul, dan lain sebagainya. Pengabdian yang dilakukan pustakawan terutama untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Jika idealisme ini ada pada pustakawan, maka sesungguhnya energi yang disimpannya luar biasa, yaitu energi ‘langit’, cita-citanya bukan sebatas sejahtera di dunia, tapi berkeinginan agar karya dan usahanya bermanfaat bagi banyak orang, sebuah cita-cita yang dimiliki penduduk langit. Blasius Sudarsono (2006:267) menyampaikan bahwa profesi pustakawan adalah profesi yang berjuang dan menjadikan kepustakawanan sebagai jalan dan semangat hidup. Permasalahan yang sering mengemuka pada pelaksanaan penyelenggaraan perpustakaan adalah kurangnya minat kunjung masyarakat ke perpustakaan, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Agung Laksono (2011) bahwa tingkat kunjungan masyarakat, khususnya kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia ke perpustakaan dinilai masih rendah. Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional, Syarif Bando (2015) menyampaikan bahwa tidak lebih dari 10 persen tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dahulu penyebab rendahnya tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan. Menurut Abdul Rahman Saleh (2011:10) salah satu penyebab pengunjung perpustakaan sepi adalah, masyarakat belum memiliki budaya baca yang tinggi. Senada dengan Fatmawati (2011:17) yang menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia memang masih rendah dan perlu ditingkatkan. Beranjak
dari permasalahan ini, maka pustakawan perlu mencarikan solusinya. Permasalahan rendahnya budaya baca diakibatkan kelemahan pemerintah dalam penyelenggaraan perpustakaan umum. Penyelenggaraan perpustakaan tidak boleh asal-asalan. Apalagi jika ada perpustakaan yang melaksanakan layanan perpustakaan seperti sepuluh tahun yang lalu tidak ada yang berubah, kecuali petugas silih berganti. Perlu adanya inovasi atau pembaharuan dalam kualitas dan kuantitas layanan. Layanan perpustakaan haruslah berorientasi kepada pemustaka (customer oriented), sehingga kepuasan pemustaka selalu terjaga. Oleh karena itu, perpustakaan harus menerapkan prinsip-prinsip dalam aspek pelayanan, terutama prinsip konsumen yang dikemukakan oleh Priyanto dalam Qalyubi (2007:218) sebagai berikut: 1. The principle of least resistance Pemakai menggunakan sumber informasi yang mudah diperoleh tanpa harus menemui kesulitan. 2. The principle of lost source Orang sering mengingat informasi yang dibaca, tetapi sering melupakan sumbernya. 3. The principle of compatibility Kredibilitas sumber informasi dan keakuratannya berkaitan dengan pengetahuan pemakai yang sebelumnya. 4. The saturation principle Pemakai yang sudah jenuh dengan informasi biasanya sulit diberi informasi tambahan. 5. The principle of information digestion Memfotokopi informasi sering dirasakan oleh pemakai sebagai sudah menggunakan informasi. Berkaitan dengan prinsip pertama yaitu the principle of least resistance, di mana pemakai menggunakan sumber informasi yang mudah diperoleh tanpa harus menemui kesulitan, maka perpustakaan umum perlu melakukan kajian yang lebih serius guna mempertimbangkan masalah yang terjadi di perpustakaan akibat prinsip konsumen ini. Pemustaka lebih cenderung ingin agar sumber informasi yang dibutuhkan atau yang diinginkannya mudah diperoleh tanpa harus menemui kesulitan. Dengan demikian salah satu faktor rendahnya tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan dan rendahnya minat baca masyarakat adalah akibat sulitnya memperoleh sumber informasi. Oleh karena itu, perlu upaya dari perpustakaan untuk memudahkan masyarakat atau pemustaka memperoleh
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
25
informasi yang dibutuhkan mereka, siapapun dan apapun kondisi mereka. Ada satu ide dari sekian banyak wacana inovasi layanan perpustakaan yang dapat diterapkan perpustakaan umum untuk ‘mencuri hari’ pemustaka menggunakan layanan perpustakaan, yaitu menyelenggarakan jasa layanan pesan antar (delivery order). Layanan ini merupakan satu bentuk upaya ‘menjemput bola’ terhadap masyarakat yang memiliki keterbatasan waktu luang, keterbatasan fisik, dan lain sebagainya. Pembahasan Setiap perpustakaan harus berkembang dan tidak boleh berhenti apapun kondisinya. Inovasi tidak sepenuhnya milik pelaku bisnis yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan memanjakan pelanggan setia seluas-luasnya. Inovasi juga milik perpustakaan agar layanan diminati masyarakat. Salah satu layanan yang handal di dunia bisnis dan sangat mungkin diterapkan di perpustakaan yakni jasa layanan pesan antar (delivery). Layanan pesan antar dapat diterapkan di perpustakaan dengan nama Layanan Delivery Pustaka (De_Tak). Tujuan dan Manfaat Layanan Delivery Pustaka (De_Tak) Layanan pesan antar (delivery) bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan dan memasyarakatkan perpustakaan, serta menumbuhkan budaya baca masyarakat. Dengan adanya layanan ini akan mendatangkan manfaat sebagai berikut: 1. Memudahkan pemustaka memperoleh sumber informasi Kondisi yang lumrah selama ini bahwa bila pemustaka membutuhkan bahan bacaan dan koleksi perpustakaan lainnya, maka mereka akan datang ke perpustakaan untuk memanfaatkan koleksi perpustakaan, baik baca di tempat maupun pinjam bawa pulang. Namun tidak semua masyarakat memiliki kesempatan, kemampuan dan kondisi yang baik untuk sengaja datang ke perpustakaan. Apalagi jika waktu layanan perpustakaan sama dengan waktu aktifitas formal masyarakat kebanyakan, buka dari hari Senin hingga Jum’at dengan jadwal layanan pukul 07.30 wib hingga pukul 16.00 wib, sehingga masyarakat yang bekerja di perkantoran, siswa atau mahasiswa yang beraktifitas penuh di kampus kesulitan untuk datang dan mengakses koleksi perpustakaan. Begitu juga dengan sebagian masyarakat yang memiliki
26
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
keterbatasan fisik, mereka kesulitan datang ke perpustakaan, namun dengan jasa layanan pesan antar persoalan ini bisa diatasi, pemustaka dapat memanfaatkan koleksi perpustakaan tanpa perlu datang ke perpustakaan, karena mereka cukup mengakses website perpustakaan di mana pun mereka berada dengan syarat memiliki akses/ jaringan internet. 2. Meningkatkan pemanfaatan koleksi perpustakaan Apabila pemustaka diberi kemudahan dalam akses koleksi perpustakaan maka tentu akan berdampak pada persentase peningkatan pemanfaatan koleksi. Jika selama ini, pemustaka yang memanfaatkan koleksi perpustakaan adalah pemustaka yang memiliki waktu luang ke perpustakaan, maka dengan adanya jasa layanan pesan antar, masyarakat memiliki peluang dan kesempatan untuk menikmati layanan perpustakaan. 3. Meningkatkan citra perpustakaan Citra sebuah lembaga akan baik jika lembaga tersebut bermanfaat bagi banyak orang dan mengutamakan kepuasan penggunanya. Jika masyarakat merasakan perubahan terhadap layanan perpustakaan, di mana sebelumnya untuk mendapatkan buku bacaan harus datang ke perpustakaan dan sekarang mereka tak perlu bersusah payah hanya bermodalkan jaringan internet atau alat komunikasi, akan berdampak terhadap citra masyarakat kepada perpustakaan. Teknis Pelaksanaan Layanan Delivery Pustaka (De_ Tak). Jika perpustakaan menerapkan jasa layanan ini maka akan sangat membantu masyarakat yang sibuk dan sedikit memiliki waktu luang ke perpustakaan. Jasa layanan delivery order merupakan salah satu penunjang citra perpustakaan dengan memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Berbagai jenis usaha seperti restoran, bengkel, toko pun sudah menerapkan layanan ini dan sekarang yang lagi ramai dibicarakan masyarakat yaitu layanan ojek premium Go-Jek. Namun untuk menghadirkan layanan pesan antar ini membutuhkan biaya dan tenaga yang besar, sehingga sangat sedikit pelaku bisnis yang rela menggunakan investasinya untuk jasa layanan tersebut. Jika hal ini diterapkan di perpustakaan, maka pustakawan kerja keras untuk
merancang strategi penggunaan jasa layanan, dengan cara analisis kemampuan anggaran yang tersedia dan peluang anggaran yang mungkin tersedia, serta mehitung manfaat yang diperoleh dari inovasi layanan tersebut. Wacana jasa layanan pesan antar atau delivery order diberi nama Delivery Pustaka (De_tak). Teknis pelaksanaan, saat masyarakat ingin membaca buku yang tersedia di perpustakaan umum dan ingin membacanya dirumah tetapi tidak punya waktu berkunjung ke perpustakaan atau tidak bisa keluar kantor untuk ke perpustakaan, maka layanan Delivery Pustaka (De_tak) menjadi solusinya. Cukup mengakses website perpustakaan, lalu pemustaka online memilih pustaka yang tersedia dan terpampang di halaman website. Cara pemesanannya sebagai berikut: Akses alamat website perpustakaan lalu masuk ke menu log-in anggota (Gambar 2). Namun jika pemustaka belum mempunyai account anggota, maka terlebih dahulu melakukan pendaftaran sebagai member baru dengan menekan tombol “Daftar” mengisi formulir online keanggotaan dengan mengisi nama lengkap, alamat yang akan digunakan dalam fasilitas
pesan antar, nomor handphone, alamat katu identitas, alamat layanan pesan antar, rekening yang digunakan dan lainnya. Informasi tersebut akan menjadi rujukan layanan pesan antar. Ketika seluruh informasi selesai diisi, tekan tombol “Lanjut”. Pemustaka dipersilahkan terlebih dahulu memverifikasi pendaftaran dengan datang ke Perpustakaan Umum Kota Solok untuk aktifasi dan penerbitan kartu keanggotaan serta menerima password login keanggotaan online (Gambar 3). Selanjutnya pemustaka dapat melakukan pencarian koleksi perpustakaan melalui fasilitas Online Public Access Catalog (OPAC), dengan batasan paling banyak 3 (tiga) eksemplar. Pemustaka dapat memilih koleksi yang diinginkan dengan mengetik kata kunci pencarian di kolom yang tersedia (Gambar 4). Setelah tombol pencarian di klik, maka akan muncul daftar koleksi perpustakaan yang terkait dengan kata kunci yang sesuai (Gambar 5). Selanjutnya pemustaka dapat mengklik judul loleksi dan akan muncul deskripsi bibliografi lengkap koleksi (Gambar 6).
Gambar 2. Halaman login
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
27
Gambar 3. Formulir Pendaftaran
Gambar 4. Form Pencarian
28
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Gambar 5. Hasil pencarian OPAC
Gambar 6. Deskripsi Bibliografi
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
29
Gambar 7. Menu Pesan Antar
Bagian bawah deskripsi tertera keterangan ketersediaan koleksi, pada bagian bawah kanan terdapat menu pesan antar, pemustaka dapat mengklik menu tersebut (Gambar 7). Setelah menu tersebut di klik akan muncul halaman konfirmasi yang menyatakan alamat pengiriman, pihak
30
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
pemesan, dan koleksi yang dipinjam (Gambar 8). Jika dianggap telah selesai pemustaka dapat meng-klik tombol selesai. Proses layanan pesan antar ini berakhir dan pemustaka dapat menunggu koleksi perpustakaan yang telah dipesan.
Gambar 8. Halaman Konfirmasi Penutup Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Layanan Delivery Pustaka (De_tak) tercipta dikarenakan: 1. Rendahnya tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan dan rendahnya minat baca masyarakat. 2. Upaya perpustakaan untuk memudahkan masyarakat atau pemustaka memperoleh sumber informasi melalui penyelenggaraan jasa layanan pesan antar (delivery order).
3. Layanan pesan antar bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan, memasyarakatkan perpustakaan, dan menumbuhkan budaya baca masyarakat. Adapun manfaatnya adalah memu dahkan pemustaka memperoleh sumber informasi, meningkatkan pemanfaatan koleksi perpustakaan, dan meningkatkan citra baik perpustakaan. Demikian gambaran mengenai jasa layanan pesan antar yang dinamai Delivery Pustaka (De_tak).
Daftar Pustaka
Bando, Syarif. 2015. Dalam http://news.okezone.com/ read/2015/05/26 /65/1155526 /dana-pengadaan-bukusangat-minim. Diakses tanggal 30 Juli 2015 Pukul 09.44 WIB. Fatmawati, Endang. 2011. The Art of Library: Ikatan esai bergizi tentang seni mengelola perpustakaan. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Laksono, Agung. 2011. Dalam http://www.republika. co.id/berita/nasional/umum/ 11/09/10/lrb3pu-agunglaksono-menyedihkan-perpustakaan-di-indonesiapaling-sepi-pengunjung. Diakses tanggal 30 Juli 2015 Pukul 09.28 WIB.
Qalyubi, Syihabuddin. Et.al. 2007. Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab. Saleh, Abdul Rahman. 2011. Percikan Pemikiran: Di Bidang Kepustakawanan. Jakarta: Sagung Seto. Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto. Sutarno NS. Satu Abad Kebangkitan Nasional 19082008 dan Kebangkitan Perpustakaan. Jakarta: Sagung Seto. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta Sekretariat Negara RI, 2007.
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
31
Oleh: Arief Wicaksono1 Email:
[email protected],
[email protected]
Perilaku Informasi Masyarakat Melalui Pendekatan Literasi Informasi: Studi kasus pustakawan Abstrak Posisi pustakawan sebagai ahli informasi sangat penting dalam masyarakat informasi. Pustakawan seharusnya mempunyai perilaku informasi yang ideal karena pustakawan mempunyai kompetensi literasi informasi yang merupakan perilaku informasi ideal. Paper ini mencoba meneliti perilaku informasi pustakawan. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan literasi informasi. Dari beberapa hasil penelitian yang ada, konsep pustakawan seharusnya mempunyai perilaku informasi ideal belum tentu terbukti. Bahkan terdapat temuan tingkat pendidikan dan lama bekerja pustakawan dapat tidak berbanding lurus dengan perilaku informasi pustakawan. Kata kunci: Perilaku informasi, literasi informasi, pustakawan, masyarakat informasi
Pendahuluan Saat ini, masyarakat berubah menjadi masyarakat informasi (Brand-Gruwel dkk, 2005: 489). Karakteristik masyarakat informasi adalah informasi menjadi peran kunci. Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, terjadi percepatan proses transformasi ini. Perkembangan teknologi informasi juga menimbulkan terjadinya banjir informasi. Oleh karena itu, masyarakat informasi perlu untuk mengatur ledakan informasi yang terjadi. Masyarakat harus mampu untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi, menemukan sumber koresponden informasi, mengorganisasikan informasi dari setiap sumber dan mensintesa informasi dari berbagai sumber. Kemampuan ini didefinisikan sebagai literasi informasi atau pemecahan masalah informasi. Perilaku informasi merupakan tanggapan yang diberikan masyarakat informasi sebagai respon atas interaksinya dengan informasi. Tanggapan yang diberikan
1
mulai dari menentukan kebutuhan informasi, pencarian informasi, pengolahan informasi, dan penggunaan informasi. Banyak para ahli yang mendefinisikan perilaku informasi dan mengusulkan model perilaku informasi dalam rangka menerjemahkan teori perilaku informasi. Model perilaku informasi yang ada tersebut dapat digunakan untuk melakukan pengkajian perilaku informasi. Pustakawan, sebagai ahli informasi dalam masyarakat informasi, juga mempunyai kebutuhan informasi. Perilaku informasi pustakawan seharusnya berdasarkan literasi informasi yang menjadi kompetensi dari seorang pustakawan. Willer dkk (2014: 539) menyatakan literasi informasi merupakan keterampilan dan tahapan proses perilaku informasi. Permasalahan Pertanyaan dalam tulisan ini adalah bagaimana perilaku informasi pustakawan? Pendekatan dilakukan
Mahasiswa Magister Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia/ Pustakawan Pertama Perpustakaan Nasional RI
32
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
melalui kerangka literasi informasi. Pembahasan Masyarakat Informasi Masyarat informasi dapat didefinisikan melalui berbagai pendekatan. Namun cukup sulit untuk memberikan definisi yang tepat untuk masyarakat informasi. Banyak buku, artikel, atau dokumen memuat judul masyarakat informasi namun tidak memberikan definisi masyarakat informasi secara eksplisit (Zacher, 2009: 1985). Webster (2006) menyatakan terdapat lima definisi masyarakat informasi, yaitu berdasarkan pendekatan teknologi, ekonomi, pekerjaan, ruang, dan budaya. Pendekatan ini merupakan pendekatan kuantitatif. Dari sisi teknologi, masyarakat informasi dapat dikatakan sebagai masyarakat yang menggunakan teknologi komunikasi dan informasi dalam kehidupan sehariharinya. Dari sisi ekonomi, masyarakat informasi digambarkan sebagai masyarakat yang pertumbuhan ekonominya karena aktivitas informasi. Dari sisi pekerjaan, masyarakat informasi terbentuk ketika pekerjaan terbesar adalah pekerja informasi. Dari sisi ruang, masyarakat informasi terbentuk jika jaringan informasi telah menjadi fitur utama dari organisasi sosial. Dan dari sisi budaya, terdapat peningkatan informasi atau banjir informasi dalam sirkulasi sosial di kehidupan sehari-hari. Perilaku Informasi Perilaku informasi merupakan perilaku yang dilakukan oleh masyarakat atas peningkatan kuantitas informasi di kehidupan sehari-hari. Telah diungkap di atas banyak para ahli yang membuat definisi perilaku informasi. Menurut Wilson (2000: 49), perilaku informasi (information behavior), adalah totalitas perilaku manusia dalam kaitannya dengan sumber dan saluran informasi, termasuk pencarian dan penggunaan informasi secara aktif maupun pasif. Secara lebih spesifik, Spink dan Cole (2004), mendefinisikan perilaku penemuan informasi (information seeking) sebagai bagian dari perilaku informasi yang mencari informasi dengan tujuan tertentu. Selain membuat definisi, para ahli juga membuat model perilaku informasi untuk menggambarkan teori perilaku informasi. Sebuah model dapat dikembangkan untuk menggambarkan kerangka pikiran suatu masalah
dan dapat berkembang menjadi pernyataan hubungan antara proposisi teori (Wilson, 1999). Dalam model perilaku informasi yang diusulkan Niedźwiedzka (2003) terdapat fase identifikasi kebutuhan informasi, keputusan pencarian informasi (decision to seek information), penemuan informasi (information seeking), pemilihan dan pengolahan informasi, dan penggunaan informasi. Model perilaku informasi lain adalah model penelusuran informasi proses (information searching process/ISP) Kuhlthau (1991: 367). ISP mempunyai tahapan proses inisiasi, seleksi, eksplorasi, formulasi, koleksi, dan presentasi. Dari definisi dan model perilaku informasi di atas maka dapat dikatakan bahwa perilaku informasi merupakan keseluruhan perilaku terkait sumber dan saluran informasi mulai dari identifikasi kebutuhan informasi, pencarian informasi, pengolahan informasi dan penggunaan informasi. Literasi Informasi Seperti halnya perilaku informasi, terdapat banyak definisi literasi informasi. Definisi literasi informasi, menurut Association of College and Research Libraries/ ACRL (2000, 2), adalah sekumpulan kemampuan dari seseorang untuk mengetahui kapan dirinya membutuhkan informasi dan mampu menelusur, mengevaluasi, dan menggunakan informasi tersebut. Definisi lainnya dari Chartered Institute of Library and Information Professionals/CILIP (2013). Menurut CILIP, literasi informasi adalah mengetahui kapan dan mengapa membutuhkan informasi, di mana menemukannya, dan bagaimana mengevaluasi, menggunakan dan mengkomunikasikan informasi tersebut dengan cara yang etis. Untuk model literasi informasi, salah satu model yang banyak dipakai adalah yang dikembangkan oleh Mike Eisenberg dan Bob Berkowitz, yaitu Big6. Model Big6 mengacu pada enam langkah proses pemecahan masalah informasi (information problem-solving) (Eisenberg, 2003: 21), yaitu 1) definisi tugas, 2) strategi pencarian informasi, 3) lokasi dan akses, 4) penggunaan informasi, 5) sintesa, dan 6) evaluasi. Model informasi lain adalah yang digunakan oleh National Library Board/ NLB of Singapore (2014), yaitu S.U.R.E yang merupakan tagline untuk sumber (source), pemahaman (understand), sumber (resource), dan evaluasi (evaluate). Dari definisi
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
33
dan model literasi informasi di atas maka dapat dikatakan bahwa literasi informasi merupakan kemampuan untuk mengetahui kebutuhan informasi, untuk menelusur, mengevaluasi, dan menggunakan informasi.
Birokrasi (Permenpan) Nomor 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Tertuangnya melakukan literasi informasi dalam Permen pan ini juga mengindikasikan, sudah seharusnya seorang pustakawan menguasai kemampuan literasi informasi.
Literasi Informasi sebagai Kompetensi Literasi informasi merupakan salah satu kompetensi Hubungan Perilaku Informasi dan Literasi Informasi yang harus dimiliki seorang pustakawan. Kompetensi Perilaku informasi dan literasi informasi mempunyai literasi informasi dari seorang pustakawan dapat ditemui hubungan yang erat. Shenton dan Hay-Gibson (2012) dalam berbagai standar, contohnya Standar Kompetensi menggambarkan hubungan perilaku informasi dan Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Bidang Perpustakaan literasi informasi yang saling melengkapi seperti gambar (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2012), dibawah ini. Menurut mereka, kajian perilaku informasi Federal Librarian Competencies/FLC (The Federal memberikan masukan untuk pengajaran literasi informasi Library and Information Center Committee, 2008), dan literasi informasi mendukung perilaku informasi ALA’s Core Competences of Librarianship (American yang efektif. Library Association, 2009). Dalam SKKNI dan ALA’s Siklus ini berangkat dari penemuan Limberg Core Competences, melakukan kegiatan literasi informasi disebutkan sebagai salah satu dari kelompok unit Information kompetensi inti. Kompetensi inti Literacy pustakawan merupakan kompetensi Research into Information yang harus dimiliki oleh setiap information literacy pustakawan dalam menjalankan behavior underpins informs effective b a tugas-tugas perpustakaan karena information information dibutuhkan untuk mengerjakan tugasliteracy teaching behavior tugas inti dan juga wajib dikuasai oleh pustakawan (Kementerian Tenaga Information Behavior Kerja dan Transmigrasi, 2012, 3). Sementara kompetensi literasi informasi dalam FLC (The Federal Gambar 1. Siklus perilaku informasi dan literasi informasi Library and Information Center (Shenton dan Hay-Gibson, 2012) Committee, 2008, 13) dibagi menjadi tiga level, yaitu dasar (mengetahui), lanjutan (mengaplikasikan), dan ahli (mengevaluasi and Sundin (2006) yang mengindikasikan teori dan keluaran program dan menyesuaikannya). model dari perilaku informasi tidak diobservasi atau digunakan untuk membangun layanan berbasis Melakukan literasi informasi juga dapat ditemukan pemustaka seperti pendidikan pemakai. Padahal hasil dalam butir-butir kegiatan pejabat fungsional pustakawan penelitian Branch (2004, 13) mendemontrasikan bahwa dalam lingkungan pemerintah. Butir kegiatan ini masuk kursus literasi informasi dapat memberikan dampak dalam sub unsur pelayanan pemustaka, unsur pelayanan yang baik atas perilaku informasi dengan perubahan perpustakaan. Pelaksana dalam melakukan literasi persepsi, meningkatkan kepercayaan, dan meningkatkan informasi ditentukan pada jenjang Pustakawan Madya. pengetahuan dan keterampilan. Siklus ini juga berangkat Dalam pelaksanaan butir kegiatan pejabat fungsional dari pemikiran Shenton and Jackson yang juga dikutip tertentu, pelaksana butir kegiatan adalah pustakawan dalam Shenton dan Hay-Gibson (2012: 30). Mereka yang telah ditentukan dan/atau pustakawan satu tingkat menyatakan bahwa literasi informasi menekankan prinsip dibawah (Pustakawan Muda) atau diatas (Pustakawan ideal perilaku informasi yang seharusnya diterapkan; dan Utama). Keseluruhan ini tertuang dalam Peraturan perilaku informasi berkaitan dengan pikiran dan aksi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi aktual meskipun tidak memberikan hasil yang efektif.
34
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Shenton dan Hay-Gibson (2012, 30) menyatakan dalam model perilaku informasi dan model literasi informasi terdapat kesamaan. Lowe dan Eisenberg (dikutip oleh Shenton dan Hay-Gibson, 2012, 30) menyatakan terdapat kesamaan tahapan proses model informasi Kuhlthau dan model literasi informasi. Willer dkk (2014, 540) menyatakan penelitian tentang literasi informasi memberikan kontribusi untuk pemahaman perilaku informasi dan kajian literasi informasi melakukan pendekatan yang komprehensif daripada fokus pada satu bidang perilaku informasi. Lebih lanjut, Willer dkk (2014: 540) menyatakan penelitian tentang literasi informasi memberikan kontribusi untuk pemahaman perilaku informasi dan kajian literasi informasi melakukan pendekatan yang komprehensif dan fokus pada satu bidang perilaku informasi. Individu yang menguasai literasi informasi adalah individu yang melek informasi (information literate). Boon, Johnston, and Webber (2007: 207) menyatakan bahwa satu langkah menuju melek informasi adalah memperoleh perilaku informasi (information-seeking behaviour) yang sesuai. Penguasaan literasi informasi ini pada setiap individu dalam masyarakat sangat penting dalam masyarakat informasi (American Library Association, 1989). Perilaku Informasi Pustakawan Telah disebutkan di atas bahwa literasi informasi merupakan keterampilan dan tahapan proses perilaku informasi (Willer dkk, 2014: 539). Pendapat ini diperkuat oleh Shenton dan Hay-Gibson (2012: 30) yang menyatakan bahwa terdapat kesamaan antara model perilaku informasi dan model literasi informasi. Lowe dan Eisenberg (dikutip oleh Shenton dan Hay-Gibson, 2012: 30) bahkan membuat tabulasi kesamaan tahapan proses model perilaku informasi Kuhlthau dan model literasi informasi. Dengan demikian perilaku informasi, selain melalui model perilaku informasi, juga dapat dilihat melalui pendekatan literasi informasi.
informasi pustakawan universitas di South West Nigerian dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pustakawan sulit mengidentifikasi kata kunci dan fungsi operator Booelan; pustakawan tidak mengenali karakteristik jurnal ilmiah dan tidak dapat membedakannya dengan katalog perpustakaan dan pangkalan data bibliografis; pustakawan kurang pengetahuan mengenai keuntungan bibliografi; pustakawan kurang pengetahuan tentang referensi bibliografi, pustakawan kurang pengetahuan bagaimana mengevaluasi informasi dari web; dan kurang pengetahuan tentang perangkat pencarian web.
Perilaku ini tidak sejalan dengan kondisi pustakawan yang menjadi responden yang 70,8% lulusan tahun 1990an di mana saat itu teknologi informasi sudah dikenalkan di perpustakaan univesitas; 49,2% mempunyai pengalaman kerja di perpustakaan 6 tahun; dan 92,3% merupakan lulusan S2.
2. Tan dkk (2012) meneliti kompetensi pustakawan perpustakaan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di distrik Hulu Langat dan Raub, Malaysia. Perilaku informasi pustakawan perpustakaan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di distrik Hulu Langat dan Raub, Malaysia ternyata masih jauh dari ideal setelah menjalani asesi kemampuan literasi informasi mandiri. Sebanyak 67,5% membutuhkan training literasi informasi.
Pustakawan seharusnya mempunyai perilaku informasi yang ideal karena literasi informasi merupakan kompetensi dari pustakawan. Untuk melihat perilaku informasi, maka diambil beberapa penelitian yang mengkaji literasi informasi pustakawan.
Hal ini mungkin dinilai wajar karena ternyata pustakawan sekolah disini adalah guru pengajar penuh yang juga berfungsi sebagai pustakawan sekolah. Mereka terbatas atau tidak mempunyai kualifikasi dalam kepustakawanan dan ilmu informasi. Mereka disarankan untuk mengikuti School Resource Centre Management (SRCM). Kondisi pustakawan yang menjadi responden adalah rata-rata pengalaman mengajar 10,57 tahun dan rata-rata pengalaman sebagai pustakawan sekolah 3,53 tahun; kualifikasi responden sebanyak 43,3% mengikuti SRCM dan 0,8% mempunyai master di bidang ilmu perpustakaan.
1. Ojedokun (2014) meneliti kompetensi pustakawan universitas di South West Nigerian. Perilaku
3. Kelham (2014) meneliti bagaimana pustakawan kesehatan (heatlh care) mengerti konsep literasi
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
35
informasi, implikasinya pada peran pustakawan kesehatan. Perilaku informasi pustakawan kesehatan yang menjadi respon dinilai sangat baik dalam menemukan, menilai, dan mengimplemen tasikan informasi sesuai dengan kebutuhan. 4. Winarsih (2014) meneliti kompetensi pustakawan Badan Litbang Kementerian Pertanian. Perilaku informasi pustakawan Badan Litbang Kementerian Pertanian yang berlatar belakang pendidikan D3 lebih baik dibandingkan yang berlatar pendidikan S1 dan D2. 5. Nurhayati (2014) meneliti secara deskriptif literasi informasi pustakawan Perpustakaan UPI. Perilaku informasi pustakawan Perpustakaan UPI adalah tergolong advanced dalam menentukan kebutuhan informasi dan dalam mengevaluasi informasi; tergolong beginner dalam menggunakan informasi. 6. Wahidaturohmah (2014) meneliti literasi informasi pustakawan Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada/UGM Yogyakarta. Perilaku informasi pustakawan Perpustakaan Pusat UGM Yogyakarta adalah sebanyak 70,8% pustakawan dapat mendefinisikan dan mengidentifikasi kebutuhan informasi; sebanyak 62,5% pustakawan dapat menetapkan semua sumber yang dapat digunakan dan menyeleksi sumber yang terbaik; sebanyak 75% pustakawan dapat mengetahui dan menemukan sumber informasi; sebanyak 70,8% pustakawan dapat melakukan analisis terhadap informasi yang
telah didapat dan dapat menggunakan alat bantu dalam mengerjakan produk informasi; dan sebanyak 75% dapat menentukan proses penyelesaian informasi secara efektif. Kesimpulan Masyarakat informasi dapat dilihat melalui berbagai pendekatan, salah satunya melalui budaya. Masyarakat informasi terjadi melalui peningkatan informasi atau banjir informasi dalam sirkulasi sosial di kehidupan sehari-hari. Interaksi masyarakat dengan informasi diwujudkan melalui perilaku yang dikenal dengan perilaku informasi. Penggambaran perilaku informasi, selain dapat melalui pendekatan model perilaku informasi, dapat juga melalui kerangka literasi informasi. Literasi informasi merupakan keterampilan dan tahapan proses perilaku informasi. Literasi informasi menekankan prinsip ideal perilaku informasi yang seharusnya diterapkan. Dan terdapat kesamaan antara model perilaku informasi dan model literasi informasi. Secara umum, pustakawan mempunyai perilaku informasi ideal mengingat literasi informasi merupakan kompetensi dari pustakawan. Namun, pustakawan harus memperbaiki terus perilaku informasinya dengan penguasaan literasi informasi yang menjadi kompetensinya. Hal ini berdasarkan temuan dari berbagai hasil penelitian bahwa kondisi ideal perilaku informasi yang seharusnya dimiliki pustakawan, tidak terdapat dalam diri pustakawan. Temuan lain adalah perilaku informasi pustakawan dapat tidak berbanding lurus dengan lamanya pengalaman kerja dan tingginya latar belakang pendidikan.
Daftar Pustaka
American Library Association. 1989. Presidential Committee on Information Literacy: Final report. Chicago: American Library Association. Diunduh dari http://www. ala.org/acrl/publications/whitepapers/presidential pada tanggal 26 September 2015. Association of College and Research Libraries. 2000. Information Literacy Competency Standards for Higher Education. Diunduh dari http://www.ala.org/ acrl/sites/ ala.org.acrl/files/content/standards/standards.pdf tanggal 28 Januari 2015.
36
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
American Library Association. 2009. ALA’s Core Competences of Librarianship. Chicago: American Library Association. Diunduh dari http://www.ala. org/educationcareers/sites/ ala.org.educationcareers/ files/content/careers/corecomp/corecompetences/ finalcorecompstat09.pdf pada tanggal 26 September 2015. Boon, Stuart, Bill Johnston, and Sheila Webber. “A Phenomenographic Study of English Faculty’s Conceptions of Information Literacy.” Journal of Documentation 63.2 (2007): 204–28. Diunduh dari https://pure.strath.ac.uk/ portal/files/9731825/A_ phenomenographic.pdf pada tanggal 29 September 2015.
Brand-Gruwel, S., Wopereis, I., Vermetten, Y. 2005. “Information problem solving by experts and novice: analysis of a complex cognitive skill.” Computer in Human Behavior. 21(2005), 487-508. Branch, J.L. 2004. “Nontraditional undergraduates at home, work, and school an examination of informationseeking behaviors and the impact of information literacy instruction.” Reseach Strategies. 19, 3-15. doi:10.1016/j. resstr.2003.09.002 Chartered Institute of Library and Information Professionals. 2013. Information literacy-definition. Diunduh dari http://www.cilip.org.uk/cilip/advocacycampaignsawards-and-project/advocacy-andcampaigns/information-literacy pada tanggal 26 September 2015. Eisenberg, M. B. 2003. “Implementing information skills: Lessons learned from the Big6 approach to information problem-solving”. School Libraries in Canada, 22(4), 20-23. Diunduh dari http://search.proquest.com/ docview/222533007?accountid=25704 pada tanggal 26 September 2015. Kelham, Charlotte. 2014. “Health care librarians and information literacy: an investigation”. Health Information & Libraries Journal. 31(3), 235-238. Doi: 10.1111/ hir.1071. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2012. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 83 Tahun 2012 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Jasa Kemasyrakatan, Hiburan dan Perorangan Lainnya Bidang Perpustakaan menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Kuhlthau, C.C. 1991. Inside the search process: information seeking from the user’s perspective. Journal of the American Society for Information Science. 42, 361371. Limberg, L. and Sundin, O. 2006. “Teaching information seeking: relating information literacy education to theories of information behaviour”. Information Research, 12(1) paper 280. Diunduh dari http://InformationR.net/ ir/12-1/paper280.html pada tanggal 26 September 2015. National Library Board of Singapore. 2014. S.U.R.E. 2014. Developing discerning information users. Diunduh dari http://www.nlb.gov.sg/sure/wp-content/uploads/ 2014/01/NILB_About_lowres_FA.pdf tanggal 31 Januari 2015. Niedźwiedzka, B. 2003. “A proposed general model of information behaviour”. Information Research, 9(1) paper 164. Diunduh dari http://InformationR.net/ir/9-1/ paper164.html pada tanggal 26 September 2015.
Nurhayati, Euis Sri. 2014. Literasi informasi pustakawan: studi deskriptif terhadap pustakawan pada perpustakaan UPI. Skripsi. Bandung: Univesitas Pendidikan Indonesia. Ojedokun, A. A. 2014. “Information literacy competence of librarians in south west nigerian university libraries”. African Journal of Library, Archives & Information Science, 24(1), 67. Shenton, A., & Hay-Gibson, N. 2012. “Evolving tools for information literacy from models of information behavior”. New Review of Children’s Literature and Librarianship, 18(1), 27-46. doi:10.1080/13614541.2012. 650961. Spink, A., & Cole, C. 2004. A Human Information Behavior Approach to a Philosophy of Information. Library Trends, 52(3), 617-628. Tan, S., Groman, G., Singh, D. 2012. “Information literacy competencies among school librarians in Malaysia.” Libri, 62(1), 98-107. Doi 10.1515/libri-20120007. Wahidaturohmah, Rois. 2014. Studi literasi informasi pustakawan di Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta berdasarkan model theBig6. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Webster, F. 2006. Theories of the information societies. 3rd ed. London: Routledge. Willer, D., Marino, J.L., Eisenberg, M.B. 2014. “Informing policy: mapping information literacy research to education policy”. iConference 2014 Proceedings (p. 538–551). doi:10.9776/14134 Diunduh dari http://www. ideals.illinois.edu/bitstream/handle/2142/ 47320/134_ ready.pdf?sequence =2 pada tanggal 26 September 2015. Wilson, T.D. 1999. “Models in information behaviour research”. Journal of Documentation, 55(3), 249-270. Diunduh dari http://informationr.net/tdw/publ/papers/ 1999JDoc.html pada tanggal 26 September 2015. Wilson, T.D. 2000. “Human information behavior”. Informing science, 3(2), 49-55. Diunduh dari https://www. ischool.utexas.edu/~i385e/readings/Wilson.pdf pada tanggal 26 September 2015. Winarsih. 2014. Kompetensi literasi informasi pustakawan Badan Litbang Kementerian Pertanian. Skripsi. Depok: Univesitas Indonesia. Zacher, L. W. (2009). Information Society Discourse. In M. Khosrow-Pour (Ed.), Encyclopedia of Information Science and Technology, Second Edition (pp. 1985-1993). Hershey, PA: . doi:10.4018/978-1-60566-026-4.ch312
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
37
Oleh: Kiki Fauziah1, Erika2, dan Abdi M. S3 Email:
[email protected]
Proses Kontrol Formal dan Kontrol Sosial di Perpustakaan Perguruan Tinggi X Jakarta Abstrak Artikel ini berisi mengenai proses kontrol yang diterapkan oleh Perpustakaan Perguruan Tinggi X di Jakarta. Adapun proses kontrol terdapat dua jenis yakni kontrol formal dan informal. Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai para pustakawan serta pemimpin perpustakaan, observasi langsung terkait perilaku individu, dan melakukan analisis dokumen yang mendukung kegiatan pengendalian di Perpustakaan Perguruan Tinggi X tersebut. Hasil penelitian menujukkan bahwa peranan kontrol yang diterapkan di Perpustakaan X lebih berperan besar melalui kontrol sosial dibandingkan kontrol formal. Kata kunci: Kontrol formal, kontrol informal, perpustakaan perguruan tinggi
Pendahuluan Setiap organisasi pasti akan melakukan kegiatan pengendalian guna melihat ataupun mengevaluasi tindakan yang telah direncanakan apakah sudah mencapai tujuan organisasi. Kegiatan pengendalian ini penting karena sering kali organisasi dalam melakukan suatu strategi perencanaan mengalami kegagalan dalam tahap pengendalian. Pengendalian merupakan suatu tombak bagi suatu organisasi dalam menentukan masa depan kemajuan suatu organisasi yang dipimpinnya. Dengan demikian, dalam kegiatan pengendalian diperlukan peran pemimpin dalam mengambil tindakan pengendalian yang efektif dan efisien sehingga sasaran organisasi yang telah ditetapkan dapat tercapai secara sempurna. Kegiatan pengendalian sangat berhubungan erat dengan kegiatan perencanaan. Hal ini dikarenakan pengendalian merupakan suatu alat dan teknik untuk mengimplementasikan proses perencanaan. Pada tingkat
123
Mahasiswa Magister Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia
38
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
operasional, teknik pengendalian berhubungan pada proses seperti kebijakan, prosedur, analisis tugas, dan audit pekerjaan. Adapun kontrol yang paling efektif mencegah penyimpangan dari rencana dengan mengantisipasi penyimpangan yang akan terjadi. Perpustakaan X merupakan perpustakaan perguruan tinggi yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan informasi para mahasiswanya. Adapun perpustakaan X memiliki rencana starategi kerja baik jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam meningkatkan kemajuan perpustakaan dalam melayani pemustaka dan memenuhi kebutuhan informasi pemustakanya, pemimpin perpustakaan menerapkan suatu pengendalian baik dalam pengendalian formal melalui standar-standar kinerja yang tertuang dalam KPI (Key Perfomance Indicator) maupun dalam kontrol sosial yang terdapat di lingkungan internal perpustakaan X. Definisi Pengendalian Definisi pengendalian ialah suatu proses memantau
kegiatan untuk menjamin kegiatan tersebut dilaksanakan seperti rencana dan mengevaluasi setiap penyimpangan yang berarti (Robbins & Coulter, 2007: 230). Pada pokoknya, pengendalian merupakan kegiatan yang membandingkan atau mengukur apa yang sedang atau sudah dilaksanakan dengan kriteria-kriteria, normanorma, standar, atau rencana-rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya (Sutarno, 2006: 155). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengendalian merupakan suatu kegiatan yang berperan sebagai pengukur dari suatu perencanaan maupun tindakan yang telah dilakukan terkait keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi. Adapun alasan pentingnya seorang pemimpin dalam melakukan pengendalian yaitu (1) sebagai dasar informasi bagi manajer untuk mengetahui apakah sasaran organisasi tercapai atau tidak, dengan disertai alasannya; (2) para manajer mendelegasikan wewenang dan memberdayakan karyawannya bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan organisasi; dan (3) untuk melindungi organisasi dan tempat kerja fisik (Robbins & Coulter, 2007: 235). Fungsi pengendalian sangat penting dilakukan oleh seorang pemimpin untuk meningkatkan dan demi kemajuan suatu organisasi, karena pengendalian mengimplikasikan
Step 1.
terhadap ketersediaan tujuan dan rencana dan mengatur kegiatan organisasi menuju tujuan yang akan dicapai. Proses Pengendalian Proses pengendalian terdiri atas tiga langkah yaitu mengukur kinerja sebenarnya, membandingkan kinerja sebenarnya dengan standar, dan mengambil tindakan manajerial untuk memperbaiki penyimpangan atau standar yang tidak memadai. Seperti Gambar 1. di bawah ini. Proses pengendalian yang dilakukan oleh pemimpin Universitas X untuk melihat apakah rencana strategi yang dibuat telah sesuai untuk pencapaian visi perpustakaan. Adapun visi perpustakaan X yaitu: “Y dan X akan menjadi sebuah pemimpin nasional dan internasional dalam pengembangan, penetapan, dan penyampaian sumberdaya informasi dan layanan terkemuka yang penting untuk pembelajaran, penelitian, dan penciptaan pengetahuan”. Untuk mencapai visi tersebut, terdapat rencana strategis perpustakaan X yang terbagi dalam sub utama yaitu kualitas SDM, pengembangan koleksi, layanan, sarana dan prasarana, serta kegiatan lainnya yang mendukung pencapaian visi perpustakaan.
Measuring Actual Performance
GOALS AND OBJECTIVES Organizational Divisional Departmental Individual
Step 3.
Comparing Actual Performance Against Standard
Step 2.
Taking Managerial Action
Gambar 1. Proses Pengendalian (Sumber: Robbins & Coulter, 2007)
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
39
Tahap pertama yakni mengukur kinerja sebenarnya. Dalam mengukur kinerja sebenarnya, terdapat suatu alat yang mengukur kinerja personal staf perpustakaan yaitu KPI. KPI berisi mengenai penilaian kinerja staf perpustakaan yang akan berdampak pada kenaikan jabatan, kenaikan gaji, dan masa perpanjang kontrak. Melalui KPI inilah pemimpin dapat menilai bagaimana kinerja staf perpustakaan dalam pelaksanaan tugas dan pengimplementasian SOP sesuai dengan bagiannya masing-masing. Tahap kedua yakni membandingkan kinerja sebenarnya dengan standar. Pemimpin dalam mengukur kinerja karyawan dengan memberikan batas penilaian minimal yang telah ditentukan oleh organisasi sebagai standar yang harus dipatuhi oleh semua karyawan. Adapun KPI juga memiliki nilai-nilai standar yang harus dicapai. Jika terdapat staf perpustakaan yang belum mencapai standar nilai tersebut maka dapat dinyatakan sebagai staf perpustakaan yang memiliki kinerja yang buruk. Tahap ketiga yakni melakukan tindakan manajerial. Pada tahap ini, pemimpin melakukan tindakan atas apa yang terjadi atas penetapan standar yang mungkin berada di atas kemampuan staf. Misalnya diadakannya revisi terhadap standar ataupun SOP yang tersedia. Selain itu juga dapat dengan mengikutsertakan para staf perpustakaan pelatihan yang dapat meningkatkan kinerjanya. Teknik Mengevaluasi Kegiatan Teknik untuk mengevaluasi suatu kegiatan terdapat tiga kegiatan yakni mengembangkan standar, mengukur kinerja, dan mengoreksi kesalahan. 1. Mengembangkan standar Standar merupakan kriteria yang dibangun oleh sebuah organisasi, kemudian dari standar tersebut, kinerja dapat dibandingkan dan pengevaluasian dapat dibuat. Standar sering dikembangkan, atau setidaknya direncanakan dari tujuan organisasi. Terdapat dua kelas dasar standar yaitu (1) berhubungan pada materi dan kinerja meliputi kualitas, kuantitas, biaya, dan waktu, dan (2) berhubungan pada aspek moral meliputi sistem nilai organisasi dan kriteria etis yang mungkin digunakan untuk mendirikan beberapa kode etik. Standar yang berhubungan dengan materi dan kinerja, menampilkan kuantitas produk, unit layanan, jam kerja, dan sesuatu
40
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
yang sama yang dapat dibuktikan dan diukur melalui time and motion studies; standar mungkin didirikan dalam istilah moneter seperti biaya, penerimaan, dan presentasi anggaran, atau standar yang mungkin ditunjukkan dalam istilah lainnya yakni ukuran kinerja seperti tingkat kinerja dan sistem penilaian kinerja. 2. Mengukur Kinerja Mengukur kinerja ditanamkan dalam proses perencanaan strategis dan merupakan sebuah mekanisme umpan balik yang penting untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perpustakaan dan layanan informasi. Adapun umpan balik atau pengukuran kinerja merupakan faktor penting dalam proses pengendalian. Pengukuran kinerja juga berhubungan pada standar. Adapun aspek pengukuran kinerja yaitu ekstensifitas (seperti jumlah layanan yang diberikan), efektivitas, efisiensi, pembiayaan (seperti biaya keuntungan atau kefektivitas biaya), kualitas layanan, kepuasan, atau faktor lainnya. Hal terpenting dalam kegiatan pengukuran ialah untuk memperlihatkan keakuratan rekod terhadap apa yang telah dilakukan sehingga proses dapat dimonitor pada sebuah kemajuan dasar. Jika rekod tidak dipelihara maka terdapat kekurangan kontrol, dan hasil tidak dapat diukur secara objektif, kemudian sulit untuk diakses. Selain umpan balik, jenis dasar kontrol lainnya ialah pencegahan, yaitu berusaha untuk memprediksi apa yang akan terjadi dengan pengaturan parameter. Pengaturan tujuan dalam proses perencanaan merupakan sebuah contoh yang baik dalam pengendalian. Adapun pengaturan tujuan mengambil informasi tentang kinerja masa lalu dan memperkenalkannya ke dalam keputusan mengenai penyesuaian yang dibutuhkan untuk tindakan masa datang. 3. Mengoreksi penyimpangan Memperbaiki segala penyimpangan dari aturan merupakan sebuah langkah yang utama dalam proses koordinasi. Kegiatan pengoreksian dapat dicapai dengan menguji hak istimewa organisasi seperti dalam kasus personal melalui penugasan kembali atau klarifikasi terhadap tugas, dengan menambahkan staffing, dengan seleksi yang lebih baik dan melatih staf, atau dengan beberapa metode lainnya terhadap penempatan kembali. Koreksi juga dapat dibuat dengan menyesuaikan tujuan, mengembangkan rencana baru atau alternatif rencana,
atau mengubah jalan terhadap sesuatu yang dilakukan (Stueart & Moran, 2007: 418). Dalam melakukan perbaikan penyimpangan dapat dilakukan dengan menggunakan cybernetic. Cybernetic merupakan proses kontrol yang merupakan metode selfregulating melalui pesan yang mana sistem mengirimkan kepada human sebuah indikasi penyimpangan dari sumber yang diharapkan. Komunikasi merupakan aspek terpenting pada cybernetic karena komunikasi meliputi transmitting dan menerima pesan atau informasi kemudi an digunakan untuk membuat keputusan (Gambar 2).
Tahap Perencanaan
dalam memonitor kinerja para karyawannya. Reward cenderung untuk membangun kepentingan diri sendiri para karyawan sebagai dasar untuk menyesuaikan diri pada nilai organisasi daripada menyakinkan para karyawan bahwa nilai tersebut merupakan internalisasi yang bermanfaat dalam hak yang mereka miliki (O’Reilly & Chatman, 1986). b. Karyawan merasa memiliki wewenang organisasi, atau pengaruh top down sebagai legitimasi dan pemenuhan yang berguna. Menurut Weberian
Tahap Implementasi
Tahap Evaluasi
Tindakan Perbaikan Gambar 2. Dengan cybernetics, organisasi dapat memberikan umpan balik (Sumber: Stueart & Moran, 2007) Kontrol Formal di Perpustakaan X Kontrol formal merupakan suatu upaya pengendalian terhadap tingkah laku karyawan dengan menggunakan mekanisme formal seperti pengawasan, perencanaan, SOP, struktur, anggaran, dan sistem kompensasi (O’Really & Chatman, 1996). Secara khas, sistem kontrol formal memonitor hasil kinerja atau tingkah laku, atau keduanya (Ouchi, 1979). Menurut O’Really & Chatman (1996) terdapat dua asumsi yang mendasari keefektivitasan kontrol formal yaitu: a. Menyesuaikan rewards ekstrinsik (seperti kompensasi, keuntungan) untuk mengarahkan tingkah laku yang berhubungan dengan pekerjaan. Menyesuaikan sistem rewards formal secara efektif menangkap jarak dan intensitas tingkah laku yang diharapkan atau tingkat kinerja yang merupakan tantangan bagi suatu organisasi (Dornbusch & Scott, 1975). Namun, penyesuaian sistem reward formal ini mungkin sulit untuk mengidentifikasi tingkah laku yang diharapkan pada pekerjaan yang ambigu dan kejadian di masa depan yang tidak pasti. Sistem kontrol formal secara khas mengandalkan keterlibatan langsung pemimpin
bahwa jika wewenang legitimasi diterima secara luas, maka orang dalam organisasi akan mematuhi aturan dari atasan mereka (Halaby, 1986). Walaupun secara luas benar, teori psikologi reactance menunjukkan bahwa orang memiliki sebuah harapan yang kuat untuk memelihara tindakan kebebasan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa jika suatu individu dihadapkan pada aturan yang menurut dia sewenang-wenang maka individu tersebut akan bereaksi untuk melawan aturan tersebut. Sistem kontrol formal mungkin memperburuk dampak reactance dengan mengevaluasi supervisor pada dasar kinerja bawahan mereka. Hal ini dikarenakan penelitian menujukkan penilaian meningkatkan kecenderungan supervisor untuk memberikan umpan balik kinerja kepada bawahan dalam sebuah cara pengendalian, secara potensial meningkatkan perasaan terhadap hilangnya kontrol di antara para bawahan. Adapun sistem kontrol formal cenderung untuk menunjukkan bahwa buruk atau baiknya kerja, reward eksplisit, dan aturan yang tidak penting, dan pekerja secara spontanitas bertindak dan menunjukkan yang sesuai (Bordin, 1979).
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
41
Berdasarkan hasil penelitian psikologi, bahwa pelabelan sebuah tugas sebagai kerja menyebabkan orang untuk lebih menyedikitkan waktu untuk melaksanakan tugas dibandingkan jika tugas diibaratkan sebagai pengisi waktu luang maka orang akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja karena merasa senang dan tidak tertekan secara psikologis. Dengan demikian, pendekatan dominan organisasi yang digunakan untuk mengontrol dan memotivasi pekerja merupakan dorongan formal berdasarkan pada tingkah laku dan hasil yang berhubungan dengan pekerjaan. Adapun jenis kontrol formal mempengaruhi tingkah laku anggota selama anggota menerima legitimasi aturan formal dan prosedur yang didesain untuk mendeteksi penyimpangan dalam kinerja mereka. Kontrol formal yang terdapat di Perpustakaan X dilakukan melalui KPI (Key Performance Indicator). KPI merupakan laporan kinerja berisikan mengenai kinerja para staf organisasi dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan standar-standar yang telah ditetapkan. Standar penilaian yang terdapat di Perpustakaan X disesuaikan dengan IK (Instruksi Kerja). Instruksi kerja ini merupakan standar yang harus dipatuhi oleh setiap staf perpustakaan karena merupakan standar kinerja yang telah ditetapkan oleh lembaga ISO. KPI ini akan selalu dimonitor oleh pemimpin setiap 3 bulan sekali. Hal ini bertujuan agar dapat tindakan perbaikan atas kesalahan yang dilakukan individu dalam melaksanakan tugas. KPI ini bersifat rahasia. KPI ini dimiliki oleh setiap individu sehingga individu dapat melihat kinerja masingmasing. KPI berisikan mengenai tujuan, strategi, serta target pencapaian akan tujuan yang telah ditetapkan. Pencapaian KPI ini, merupakan tolak ukur bagi staf perpustakaan dalam pengangkatan jabatan, kenaikan gaji, serta perpanjangan ataupun pemutusan kontrak kerja. Menurut para staf Perpustakaan X, KPI cukup kaku dan tidak fleksibel, Hal ini dikarenakan dalam mencapai nilai sempurna pada KPI harus mengikuti IK yang tersedia. Sedangkan IK terkadang bukan merupakan intruksi kerja yang sempurna dalam melaksanakan tugas rutin di perpustakaan. Hal ini dikarenakan pembaharuan IK yang tidak berkala dan tidak sesuai dengan lingkungan perpustakaan yang dinamis dalam melayani kebutuhan pemustaka.
42
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Kontrol Sosial di Perpustakaan X Kontrol sosial merupakan proses mengamati perilaku di antara anggota organisasi secara kolektif. Kontrol sosial adalah konsep tradisional sosiologi yang menggambarkan tentang kekuasaan yang diterapkan masyarakat atas individu-individu, yang dilakukan melalui hukum, pendidikan, agama dan lain-lain (Baliga and Jagaer, 1984). Beberapa pakar melakukan pengawasan dengan dua sistem, sistem pengawasan personal dan sistem pengawasan birokratis. Pengawasan personal memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada individu. Pengawasan birokratis menciptakan seperangkat aturan, prosedur dan penghargaan yang cenderung membatasi peran otoritas dari individu. Pada dasarnya kontrol sosial merujuk pada kemampuan masyarakat mengatur diri mereka sendiri sesuai dengan prinsip, nilainilai dan norma yang diinginkan. Kontrol sosial dipengaruhi oleh budaya anggota organisasi untuk menciptakan perilaku pekerja yang layak. Menurut Morgan (1986), budaya menuntut kita untuk memahami organisasi sebagai sesuatu yang dikonstruksi berdasarkan cara berpikir anggota organisasi, serta aturan dan norma yang disepakati bersama. Dalam proses implementasinya, budaya yang dibawa oleh setiap anggota organisasi dapat mempengaruhi proses tersebut. Pada konteks budaya organisasi, proses dimulai dari kebutuhan pengawasan, yang pada gilirannya akan menciptakan sistem pengawasan, lalu diikuti proses mensosialisasikannya. Adapun bentuk kontrol sosial merupakan manifestasi dari keyakinan dan nilai yang disepakati oleh para pekerja. Contoh bentuk kontrol sosial yang ada di perpustakaan yaitu aturan dan imbalan. Di perpustakaan kebanyakan kontrol sosial memfokuskan pada aspek psikologis. Aturan bagi para pekerja misalnya, digunakan untuk menuntut staf agar lebih disiplin dalam memenuhi jadwal kerja. Jika di perpustakaan aturan itu lebih kepada perlindungan koleksi, karena koleksi merupakan aset berharga dan utama perpustakaan. Aturan tersebut misalnya mewajibkan staf memiliki kartu anggota agar dapat meminjam buku, aturan satu pintu bagi para pekerja, pemasangan kamera CCTV untuk pengawasan, pemberian penghargaan bagi para pekerja serta sanksi jika melanggar peraturan. Adapun aspek psikologis dari pemberian sangsi hanya untuk mengingatkan atau warning bagi para pekerja agar tidak mengulangi lagi.
Bentuk kontrol sosial yang lain adalah layout perabot dan tata ruang. Struktur fisik yang terlihat merupakan manifestasi kontrol sosial ke dalam simbol. Struktur fisik terbagi tiga, yaitu geografi atau lokasi, layout, dan desain interior. Ketiga aspek tersebut memperlihatkan gambaran tentang komunikasi, hubungan antara pekerja, status, dan identitas (Hatch, 1997). Bentuk kontrol sosial lainnya adalah kebiasaan-kebiasaan dan ritual. Contohnya dengan mengucapkan selamat pagi atau saling menyapa, sedangkan ritual bisa berupa upacaraupacara tertentu, pertemuan informal setiap senin pagi, atau liburan bersama setiap akhir tahun. Ritual semacam itu merupakan bentuk simbolis dari kontrol sosial dan banyak dipraktikan oleh berbagai organisasi. Setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, sehingga respon dan interpretasi pun berbeda pula terkait dengan aturan dan imbalan. Kurangnya rasa saling percaya dan sistem hierarki menghambat pengimplementasian kontrol sosial didalam organisasi. Adapun kontrol sosial yang terdapat pada perpustakaan X melalui sindiran dan gossip. Kontrol Sosial melalui “Sindiran” Kontrol sosial ini merupakan kontrol yang langsung ditujukan kepada orang yang melakukan pelanggaran. Sebagai contoh di Perpustakaan X sindiran selalu ditujukan kepada karyawan yang terlambat datang. Misalnya pernah ada suatu kasus terdapat karyawan yang datang terlambat terutama pada pergantian jadwal shift. Biasanya sindiran ini terjadi di antara para staf perpustakaan. Jika teman penggantinya belum datang, maka teman shiftnya segera menelepon ke staf terkait dan mengatakan, “ini sebenarnya datang ga sih? Kasih tau dong kalau datangnya agak telat atau bagaimana? Jadinya gue kan ga perlu nungguin lo lama?“. Selain itu, sindiran juga sangat lebih sering pada saat pergantian untuk jam istirahat. Terdapat peraturan di Perpustakaan X kalau pada saat istirahat, staf perpustakaan tidak boleh semuanya pergi untuk istirahat melainkan harus bergantian. Jika ada yang telat kembali setelah istirahat akan mendapatkan sindiran pedas seperti “lama banget sih keluarnya”. Namun, ada dampak positifnya dengan adanya sindiran dalam mengontrol tingkah laku staf perpustakaan. Semenjak itu, banyak para staf perpustakaan yang tidak mau untuk datang terlambat setelah seusai istirahat. Hal
ini dikarenakan untuk menghindari sindiran pedas dari rekan perpustakaan. Dengan demikian, dapat dikatakan kontrol sosial informal efektif dalam mengontrol perilaku karyawan agar lebih tertib. Kontrol Sosial melalui “Gosip” Kontrol sosial dalam bentuk gosip berbeda dengan sindiran, di mana gosip ini merupakan rumor atau isu yang berkembang di dalam suatu lingkungan terhadap seseorang. Terdapat 4 kekuatan gosip yang berkembang di dalam sebuah lingkungan kerja menurut (Kurkland dan Pelled, 2000: 431) seperti terlihat pada Gambar 3: 1. Coercive, yaitu gosip yang menyebarkan informasi negatif sehingga berita yang akan tersebar di dalam lingkungan tersebut adalah hal-hal yang tidak baik. 2. Reward, yaitu gosip yang menyebarkan informasi positif sehingga berita yang tersebar adalah informasi yang baik dan orang yang diberitakan mendapat dampak yaitu pencitraan yang baik pula. 3. Expert, yaitu gosip berkaitan dengan divisi lain yang diserap sebagai pengetahuan untuk divisinya. 4. Referent, yaitu di mana kekuatan gosip dapat menurun atau naik. Ketika orang melihat gosip sebagai suatu hal yang rendah dan menghabiskan waktu secara sia-sia, reputasi seorang penyebar gosip akan menurun. Begitu juga sebaliknya, jika dalam suatu lingkungan adalah tipe pendengar gosip, maka reputasi si penyebar gosip akan naik pula. Berdasarkan hasil penelitian di Perpustakaan X gosip yang berkembang adalah mengenai status pendidikan pustakawan. Pada awalnya karyawan yang bekerja di perpustakaan digosipkan hanya lulusan SMA atau D3. Gosip tersebut menyebabkan secara tidak langsung pustakawan dilecehkan karena dianggap tidak setara dan tidak tahu apa-apa selain pekerjaan menjaga buku, atau dapat diistilahkan sebagai karyawan terbuang. Usaha para pustakawan untuk menghapus gosip bahwa pustakawan yang bekerja di perpustakaan X adalah lulusan SMA atau D3 dengan melakukan beberapa pendekatan yakni berbaur dengan rekan kerja lain di luar divisi, seperti sering berbincang, jalan-jalan bersama, dan mengikuti kegiatan kantor. Interaksi yang terjadi di dalamnya memunculkan obrolan-obrolan mengenai pribadi yang
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
43
dapat mengubah pemikiran bahwa pustakawan bukanlah lulusan SMA atau D3, melainkan sarjana ilmu perpustakaan. Selain itu, staf perpustakaan X mulai menunjukkan eksistensi dirinya sebagai lulusan sarjana ilmu perpustakaan. Pembuktian terhadap eksistensi ini ditunjukkan dengan memberikan pelayanan yang prima, memahami kebutuhan informasi pemustaka, ikut andil dalam mengisi acara yang terdapat di area Universitas X, menjadi pembicara pada kegiatan perpustakaan, membuat hasil karya dalam pembuatan tulisan yang diterbitkan pada suatu jurnal, serta melanjutkan pendidikan pada jenjang master dalam ilmu perpustakaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kontrol sosial melalui gosip dapat meningkatkan motivasi karyawan untuk lebih maju dalam mengasah kemampuan yang dimilikinya (Gambar 3). Peranan Kontrol di Perpustakaan X Peranan kontrol yang diterapkan di Perpustakaan X lebih besar melalui kontrol sosial dibandingkan kontrol formal. Hal ini dikarenakan kontrol sosial merupakan kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat dalam melaksanakan norma-norma atau peraturanperaturan. Sehingga secara tidak langsung kontrol sosial adalah suatu komitmen yang dipegang antar individu dalam kelompok tersebut agar peraturan yang telah ada tidak berjalan menyimpang. Selain itu, kontrol sosial lebih memberikan dampak psikologis terhadap staf perpustakaan X. Sehingga pembebanan penderitaan kejiwaan, seperti teguran dan sindiran tersebut membentuk pemikiran di dalam benak staf perpustakaan untuk mengubah sikapnya yang salah. Kontrol sosial di Perpustakaan X tidak hanya untuk mengevaluasi kinerja para karyawan melainkan juga mengevaluasi gaya memimpin seseorang pemimpin itu sendiri. Pada Perpustakaan X, pemimpin menegur bawahannya dengan cara menyampaikan kepada bawahan lain, dengan pertimbangan bahwa jika hal tersebut disampaikan oleh teman akan lebih berpengaruh kepada bawahan yang menjadi obyek tersebut. Akan tetapi tidak semua karyawan merasa senang dengan cara
44
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Gambar 3. Kekuatan Gosip (Sumber: Kurland & Pelled, 2000)
teguran pimpinan, karena dianggap sebagai sikap yang tidak cocok sebagai seorang pimpinan yang berbicara di belakang. Beberapa karyawan justru lebih senang ditegur secara langsung agar mengetahui secara pasti kesalahan yang telah diperbuatnya, daripada harus mendengarnya dari orang lain. Penolakan tersebut menyebabkan karyawan menunjukkan pernyataan kepada pimpinan setiap kali pimpinan membicarakan rekan kerja lainnya seperti, “Bapak, bilang aja langsung ke orangnya pak, karena dia tidak dengar kalau saya yang bilang dan jadinya tidak enak Pak.” Hal ini membuat pimpinan pun mulai menyadari bahwa cara dia menegur karyawan adalah salah dengan metode seperti itu. Pada akhirnya pimpinan melakukan perbaikan dengan metode menegur secara langsung kepada bawahan yang memang terlihat menyimpang dari aturan yang seharusnya. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa pengendalian merupakan suatu kegiatan yang berperan sebagai pengukur suatu perencanaan maupun tindakan yang telah dilakukan
terkait keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi. Adapun pengendalian yang diterapkan oleh Kepala Perpustakaan X ialah kontrol formal dan kontrol sosial. Proses kontrol formal dan kontrol sosial yang terdapat di Perpustakaan X merupakan suatu bentuk pengendalian yang dilakukan oleh pemimpin dalam mencapai tujuan visi perpustakaan. Pada dasarnya baik kontrol formal maupun kontrol sosial penting untuk digunakan sebagai alat kontrol kinerja karyawan. Kontrol formal dapat berfungsi sebagai suatu indikator dan motivasi karyawan untuk mencapai nilai maksimal yang tertera dalam suatu indikator penilaian (seperti KPI). Selain itu, kontrol formal juga dapat dijadikan alat evaluasi yang objektif terkait perencanaan yang telah ditetapkan. Sedangkan kontrol sosial memiliki andil yang lebih besar dalam mengontrol tingkah laku para staf perpustakaan maupun pemimpin perpustakaan. Kontrol sosial lebih berperan besar dalam mempengaruhi perubahan sikap maupun tingkah laku individu dibandingkan kontrol formal. Hal ini dikarenakan kontrol sosial lebih berdampak terhadap aspek psikologis staf perpustakaan.
Daftar Pustaka
Baliga, B.R., and Alfred M. Jaegar. (1984). Multinational Corporations: Control systems and delegation issues. Journal of International Business Studies, 15(2), p. 25-40. Diunduh dari database JSTOR. Bordin, E.S. (1979). Fusing Work and Play: A challenge to theory and research. Academic Pscychology Bulletin 1, p. 5-9. Eko, A Meinarno, dkk. (2011). Apakah gossip bisa menjadi control sosial? Jurnal Psikologi Pitutur, 1 No. 2, p. 78-85. Diunduh dari http://eprints.umk.ac.id/ pada 26 September 2014. Hafen, Susan. “Organizational Gossip: A revolving door of regulation & resistance.” The Southern Communication Journal Vol. 69, No. 3 (Spring 2004), p. 223. Halaby, C.N. (1986). Worker Attachment and Workplace Authority. American Sociological Review, 51, p.634-649. Hatch, Mary Jo. (1997). Organization Theory: Modern, symbolic, and postmodern perspective. New York: Oxford University Press.
Kurland, Nancy B. & Lisa Hope Pelled. “Passing the Word: Toward a model of gossip & power in the workplace.” The Academy of Management Review Vol. 25, No. 2 (April 2000), p.428-438 Laksmi, dkk. (2011). Manajemen Lembaga Informasi: teori dan praktek. Jakarta: Penaku. Narwoko J.Dwi,Bagong Suyanto. (2011). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group O’Reilly, C & Chatman, J. (1986). Organizational Commitment and Psychological Attachment: The effect of compliance, identification, and internalization on prosocial behavior. Journal of Applied Psychology, 71, p.492-499. O’Reilly, C & Chatman, J. (1996). Culture as Social Contro: corporations, cults, and commitment. Organizational Behaviour, 18, 157-200. Retrieved from http://faculty.haas.berkeley.edu/ pada 25 September 2014.
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
45
O’Reilly, C & Chatman, J. (1994). Working smarter and harder: a longitudional study of managerial success. Administative Svience Quartely, 39, p. 603-627. Ouchi, W. (1979). A conceptual framework for the design of organizational control mechanism. Management Science, 25, p.833-848. Robbins, Stephen. P, & Coulter, Mary. (2007). Management. England: Pearson.
46
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Stueart, Robert. D, & Moran, Barbara. B. (2007). Library and Information Center Management. London: Libraries Unlimited. Sutarno, NS. (2006). Manajemen Perpustakaan. Jakarta: Sagung Seto.
Oleh: Siti Aliyah2 Email:
[email protected]
Hubungan Kompetensi Pustakawan dengan Layanan Prima1 Abstrak Pada hakekatnya perpustakaan adalah lembaga yang mengumpul, mengolah, menyimpan dan menyebarkan informasi dalam berbagai media dan bentuk. Mendapatkan informasi dalam berbagai media dan bentuk merupakan bagian Hak Azasi Manusia (HAM) agar manusia memiliki pengetahuan (knowledge) dalam hidup dan kehidupan. Karena itu, tujuan utama perpustakaan adalah mewujudkan masyarakat yang berbasis informasi dan pengetahuan. Salah satu keberhasilan perpustakaan sangat ditentukan oleh tersedianya tenaga pustakawan yang berdedikasi tinggi, mempunyai kompetensi, dan bekerja secara profesional. Dengan demikian pustakawan dituntut untuk memberikan layanan prima dan berorientasi kepada pemustaka. Kata kunci: Kompetensi pustakawan, layanan prima. Pendahuluan Perpustakaan (Undang-Undang No 43 Tahun 2007) adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam, secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi bagi para pemustaka. Perpustakaan memberikan jasa informasi dalam bentuk beragam layanan, seperti diketahui perpustakaan itu dapat dikatakan sukses jika koleksi, fasilitas dan layanan yang ada dimanfaatkan secara maksimal oleh pemustaka. Bahkan hidup dan matinya perpustakaan tergantung kepada pemustaka. Artinya, tumbuh dan berkembangnya kinerja perpustakaan dikatakan prima jika banyak pemustaka yang memanfaatkan perpustakaan, sehingga perpustakaan memiliki nilai daya guna, oleh karena itu pustakawan perlu memberikan layanan prima (service excellence) kepada pemustaka. Keberhasilan perpustakaan sangat ditentukan oleh tersedianya tenaga pustakawan yang berdedikasi tinggi
1 2
dan bekerja secara profesional. Pustakawan dituntut untuk memberikan layanan prima dan berorientasi pemustaka. Selain itu, mengingat semakin dekatnya implementasi kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka pustakawan Indonesia harus mempersiapkan diri untuk dapat bersaing dengan pustakawan dari negara ASEAN lainnya. Kompetensi dan profesionalisme pustakawan Indonesia harus terus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan pasar global. Dengan persaingan yang ketat itu pustakawan harus memberikan yang terbaik bagi pemustaka, terutama yang berhubungan dengan layanan. Di perpustakaan, pemustaka adalah aset yang sangat berharga dalam pengembangan jasa layanan. Namun yang perlu disadari, ketika sedang melayani kadang-kadang pustakawan lupa pada fungsinya, yaitu berada satu titik di bawah pemustaka. Artinya bila sedang terjadi transaksi, pustakawan sebaiknya menempatkan diri agar timbul keselarasan antara pemustaka dan pustakawan. Upayakan jangan sampai ada pemustaka yang kecewa, karena sesuatu yang
Pernah disampaikan pada Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik tingkat Nasional tahun 2015 Juara Harapan Kedua Pustakawan Berprestasi Terbaik tingkat Nasional tahun 2015 / Pustakawan Madya Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
47
tidak diharapkan. Sehingga dengan adanya keselarasan antara pemustaka dan pustakawan, akan mampu meminimalisir terjadinya potensial customer menjadi lost customer atau suatu tindakan yang mengecewakan pemustaka akan menjadi promosi yang buruk bagi orang lain. Oleh karena itu pustakawan sebagai pengelola perpustakaan hendaknya memiliki pengetahuan yang lebih tentang manusia, terutama yang berhubungan dengan tingkah laku manusia saat berinteraksi dengan lingkungannya. Pustakawan sebagai pengelola perpustakaan harus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan agar kepribadian mereka senantiasa berkembang. Selanjutnya melalui kepiawaian yang dimiliki, diharapkan tidak akan banyak timbul benturan ketika berhubungan dengan orang lain, pemustaka akan merasa puas karena kebutuhannya terpenuhi. Dengan demikian kita perlu mengkaji lebih dalam tentang “Hubungan antara Kompetensi Pustakawan dengan layanan prima (Service Excellence)” Kompetensi Pustakawan Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur dalam suatu organisasi, untuk menentukan arah serta kemajuan organisasi tersebut. Pustakawan sebagai pengelola perpustakaan diakui sebagai suatu jabatan profesi. Berkaitan dengan profesionalisme pustakawan, Sulistyo Basuki (1991: 148-150) memberikan gambaran mengenai ciri-ciri profesi yaitu: 1. Adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, di Indonesia dikenal dengan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Library Association (LA) di Inggris, Amerika dikenal dengan nama American Library Association (ALA); 2. Terdapat pola pendidikan yang jelas, sudah banyak di Indonesia penyelenggaraan pendidikan formal ilmu perpustakaan, baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta, mulai dari Diploma, S1 dan S2; 3. Adanya kode etik profesi, kode etik bagi profesi pustakawan adalah untuk mengatur hubungan antara pustakawan dengan organisasi, dan antara anggota dengan sesama pustakawan lainnya; 4. Berorientasi pada jasa, pengertiannya adalah memberikan layanan jasa perpustakaan kepada pemustaka; 5. Adanya tingkat kemandirian, pustakawan sebagai
48
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
tenaga profesional harus mandiri, artinya bebas dari campur tangan pihak luar; 6. Memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus. Profesi pustakawan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Pengetahuan ini memberikan kompensasi profesional dalam melaksanakan tugasnya. Menurut Abraham Flexner dalam Achmad (2001) di dalam makalahnya yang berjudul “Profesionalisme Pustakawan di Era Global”, menyatakan bahwa profesi mempunyai 5 persyaratan yaitu: 1. Profesi merupakan pekerjaan intelektual, maksudnya profesi adalah pekerjaan yang menggunakan intelegensi bebas yang diterapkan pada problem dengan tujuan untuk memahami dan menguasainya; 2. Profesi merupakan pekerjaan saintifik artinya pekerjaan yang berdasarkan pada pengetahuan yang berasal dari sains; 3. Profesi merupakan pekerjaan praktikal, artinya tidak sekedar teori akademik tetapi dapat diterapkan dan dipraktikan; 4. Profesi terorganisasi secara sistematik; 5. Profesi merupakan pekerjaan altruism yaitu pekerjaan yang lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya. Selain itu, pustakawan sebagai profesi harus memiliki beberapa keterampilan antara lain: 1. Adaptability Pustakawan hendaknya mampu cepat berubah menyesuaikan keadaan dan sebaiknya mereka adaptif memanfaatkan teknologi informasi. Tidak selayaknya pustakawan memperhatikan paradigma lama yang pada kenyataannya sudah bergeser nilai. Selanjutnya di dalam memberikan informasi untuk pemustaka tidak hanya bersumber pada buku teks dan jurnal yang ada di rak, tetapi juga memanfaatkan internet untuk mendapatkan informasi yang up to date; 2. People Skill (Soft Skill) Pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasa kepada pemustakanya. Mereka adalah good communicators bagi pemustakanya; 3. Berpikir positif Pustakawan diharapkan mampu berpikir positif dan tidak pesimistis;
4. Personal added value Kemahiran pustakawan tidak hanya dalam mengkatalog, mengindeks, mengadakan bahan perpustakaan dan pekerjaan rutin lainnya, tetapi dalam era global ini pustakawan harus mempunyai nilai tambah; 5. Berwawasan Enterpreneurship (kewirausahaan) Informasi adalah kekuatan dan mahal. Agar produk jasa yang dimiliki tetap laku, maka produk tersebut harus dikemas dengan baik. Untuk menunjang hal tersebut, maka pustakawan harus sudah mulai berwawasan enterpreneurship, agar mereka mampu mengikuti trend kedepan; 6. Team work-sinergy Dengan membludaknya informasi dewasa ini, maka seyogyanya pustakawan tidak bekerja sendiri, pustakawan harus membentuk team work untuk mengolah informasi.
dari luar, mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, BAB IV pasal 34 menyatakan bahwa: Pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi personal, kompetensi profesional mencakup aspek pengetahuan, keahlian dan sikap kerja sedangkan kompetensi personal adalah mencakup aspek kepribadian dan interaksi sosial.
Awalnya di Indonesia pustakawan kalah populer dengan profesi yang lain. Penghargaan pemerintah kepada pustakawan sama halnya dengan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat umum. Hal yang tidak kalah menariknya adalah sebuah kenyataan bahwa keterpurukan citra pustakawan dirusak oleh pustakawan itu sendiri. Pada saat ini, kita sedang menyaksikan sebuah fenomena yang memilukan, yaitu para pengelola perpustakaan merasa malu atau minder mengenalkan dirinya sebagai pustakawan. Namun alhamdulillah sekarang profesi pustakawan sudah mulai dilirik, pustakawan itu sendiri harus mempunyai semangat untuk mengembangkan karir berdasarkan kompetensi yang kita punya.
Dengan berkembangnya kondisi di era global, kompetensi pustakawan memberi layanan semakin menantang. Marshall et al. (2003) menjelaskan 2 (dua) kompetensi yang harus dimiliki pustakawan yaitu: 1. Kompetensi profesional yaitu berkaitan dengan pengetahuan pustakawan di bidang sumbersumber informasi, akses informasi, teknologi, manajemen dan penelitian, kemampuan menggunakan pengetahuan tersebut sebagai dasar untuk menyediakan jasa perpustakaan dan informasi; 2. Kompetensi individual yang menggambarkan satu kesatuan keterampilan, perilaku, dan nilai yang dapat membuat pustakawan bekerja secara efektif, menjadi komunikator yang baik, fokus pada pembelajaran berkesinambungan sepanjang karirnya, menunjukkan nilai tambah pengabdiannya, dan dapat bertahan di dunia baru bidang pekerjaannya. Selanjutnya ia menjelaskan lebih rinci tentang 2 (dua) kompetensi tersebut.
Menurut Suherman dalam bukunya: “Pustakawan Inspiratif (2011) menyatakan bahwa ada 2 kategori pustakawan yaitu: 1. Pustakawan angka kredit adalah pustakawan yang sangat patuh terhadap peraturan-peraturan kepustakawanan; 2. Pustakawan inspiratif adalah pustakawan yang tidak hanya terpaku pada peraturan, tetapi juga memiliki orientasi yang lebih luas dalam mengembangkan potensi dan kemampuannya. Pustakawan inspiratif bukanlah pustakawan yang hanya mengejar angka kredit, melainkan lebih dari itu, yaitu mengajak sesama pustakawan dan pemustaka berfikir kreatif. Ia mengajak sesama pustakawan dan pemustaka untuk melihat sesuatu
Kompetensi profesional, meliputi: 1. Memiliki pengetahuan pakar/mahir terhadap isi dari sumber-sumber informasi, termasuk kemampuan untuk mengevaluasi dan menjaringnya secara kritis. Contoh: mengevaluasi koleksi cetak, CD-ROOM dan beberapa pangkalan data online; 2. Mempunyai pengetahuan tentang subyek khusus yang berkaitan dengan kegiatan perguruan tingginya atau pemustakanya. Contoh: pustakawan mengambil kursus tambahan di bidang keuangan, manajemen atau subyek lain berkaitan dengan kegiatan institusi induknya; 3. Mengembangkan dan mengelola jasa informasi dengan baik, mudah diakses dengan biaya murah
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
49
yang sejalan dengan arah strategis perpustakaan. Contoh: mengembangkan rencana strategis berkaitan dengan tujuan perguruan tingginya; 4. Memberikan arahan dan bantuan prima untuk pengguna jasa perpustakaan dan informasi. Contoh: mengajar pemanfaatan internet kepada pemustaka; 5. Mengevaluasi kebutuhan informasi serta merencanakan dan memasarkan jasa dan produk informasi dengan nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan khusus pemustaka. Contoh: melakukan penilaian kebutuhan pemustaka secara teratur dengan menggunakan alat penelitian seperti kuesioner, wawancara dengan kelompok dan pemustaka kunci; 6. Memanfaatkan teknologi informasi dengan tepat untuk pengadaan, pengorganisasian dan penyebaran informasi. Contoh: membangun OPAC untuk mengakses koleksi perpustakaan; 7. Memanfaatkan pendekatan bisnis dan manajemen dengan tepat untuk mengkomunikasikan pentingnya layanan informasi untuk pimpinan. Contoh: mengembangkan rencana bisnis untuk perpustakaan; 8. Mengembangkan produk-produk informasi khusus dimanfaatkan di dalam dan di luar perguruan tinggi maupun oleh pemustakanya. Contoh: membuat pangkalan data dari dokumen perpustakaan seperti laporan, petunjuk teknis, atau bahan-bahan untuk proyek khusus; 9. Mengevaluasi hasil pemanfaatan informasi dan melakukan penelitian berkaitan dengan pemecahan masalah-masalah manajemen informasi. Contoh: mengumpulkan data berkaitan dengan penilaian kebutuhan, perencanaan dan evaluasi program; 10. Secara berkelanjutan mengembangkan jasa informasi untuk menjawab kebutuhan yang terus berubah. Contoh: memantau trend perusahaan dan menyebarkan informasi kepada orang-orang kunci maupun pemustaka secara pribadi di perguruan tinggi; 11. Menjadi anggota tim pimpinan pusat dan menjadi konsultan perguruan tinggi berkaitan dengan masalah informasi. Contoh: ikut serta dalam perencanaan strategis di
50
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
perguruan tinggi. Kompetensi individual yang perlu dimiliki pustakawan dalam menghadapi tantangan global, meliputi: 1. Mempunyai komitmen untuk memberikan layanan prima Contoh: selalu mencari masukan tentang kinerja perpustakaan dan menggunakannya untuk pengembangan berkelanjutan; 2. Mencari tantangan dan melihat peluang baik di dalam maupun di luar perpustakaan Contoh: mengambil peran baru di perguruan tinggi yang membutuhkan penguasa informasi; 3. Berpandangan luas Contoh: menyadari bahwa penelusuran informasi dan penggunaan informasi adalah bagian dari proses kreatif untuk memenuhi kebutuhan individu dan juga untuk perguruan tinggi; 4. Mencari mitra kerja dan asosiasi baru Contoh: mencari asosiasi dengan para profesional di bidang sistem manajemen informasi untuk mengoptimalkan pengetahuan dan keterampilan dasar; 5. Menciptakan lingkungan untuk saling hormat dan percaya Contoh: memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan mengharap akan diberlakukan dengan baik oleh orang lain; 6. Memiliki keterampilan komunikasi yang efektif Contoh: menjadi pendengar yang baik dan melatih staf untuk dapat menyelesaikan masalah sendiri; 7. Mampu bekerja secara tim dengan baik Contoh: belajar tentang kebijaksanaan tim serta mencari peluang untuk membangun kebersamaan tim; 8. Memiliki sifat kepemimpinan Contoh: belajar dan menanamkan kualitas pemimpin yang baik dan mengetahui kapan harus menerapkan sifat kepemimpinannya; 9. Mampu merencanakan, memprioritaskan dan memusatkan pada hal-hal yang kritis Contoh: menyadari bahwa untuk menggunakan sumberdaya yang efektif, dibutuhkan perencanaan berkelanjutan yang teliti; 10. Mempunyai komitmen untuk belajar sepanjang hayat dan merencanakan jenjang karirnya Contoh: berkomitmen untuk karir pribadi yang membutuhkan pembelajaran berkelanjutan dan
pengembangan pengetahuan; 11. Memiliki keterampilan bisnis dan mampu menciptakan peluang baru Contoh: menyadari bahwa, di dunia kerja yang terus berubah, kewirausahaan dan keterampilan untuk menjalankan usaha kecil adalah keterampilan penting; 12. Menyadari nilai dari jaringan kerja dan solidaritas profesional Contoh: aktif didunia profesi pustakawan seperti IPI, ISIPII, FPPTI, dll; 13. Bersifat luwes dan positif menghadapi perubahan yang berkelanjutan Contoh: selalu bersikap positif dan membantu yang lain untuk melakukan hal yang sama. Definisi Layanan Prima Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menyatakan bahwa Perpustakaan adalah Institusi Pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka. Menurut Nasution (1990, 139) dalam Supriyono (2001) “Perpustakaan adalah pelayanan”. Pelayanan berarti kesibukan. Koleksi bahan perpustakaan harus sewaktu-waktu tersedia bagi mereka yang memerlukannya. Perpustakaan tanpa pelayanan adalah gudang buku. Karena itu sebuah perpustakaan harus dikelola dengan baik, mulai dari pengumpulan bahan/ informasi, pengelolaan, penataan, perawatan sampai distribusi atau penyebaran informasi kepada pemustaka. Disisi lain, perpustakaan berfungsi untuk mendukung Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perpustakaan merupakan pusat sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan. Selain itu, perpustakaan sebagai bagian masyarakat dunia ikut serta membangun masyarakat informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi World Summit of Information Society-WSIS, 12 Desember 2003. Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan pada Bab V Pasal 14 tentang
layanan Perpustakaan yaitu: 1. Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi bagi kepentingan pemustaka; 2. Setiap perpustakaan menerapkan tata cara layanan perpustakaan berdasarkan standar nasional perpustakaan; 3. Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi; 4. Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka; 5. Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada pemustaka; 6. Layanan perpustakaan terpadu diwujudkan melalui kerja sama antar perpustakaan; 7. Layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan melalui jejaring telematika. Dengan melihat point di atas. Apakah perpustakaanperpustakaan di Indonesia sudah memenuhi standar, mungkin sebagian kecil sudah mengimplementasikan tetapi lebih banyak yang belum. Ada beberapa definisi layanan prima yaitu: 1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (2008), istilah layanan adalah: cara melayani, yaitu: membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang, sedangkan prima diartikan sangat baik. Dengan demikian layanan prima adalah layanan yang membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang dengan sangat baik, sehingga kebutuhan yang diharapkan seseorang tersebut dalam hal ini pemustaka dapat terpenuhi; 2. Barata (2004) memberi beberapa definisi layanan prima yaitu: a. Layanan prima adalah membuat pelanggan merasa penting; b. Layanan prima adalah melayani pelanggan dengan ramah, tepat dan cepat; c. Layanan prima adalah pelayanan dengan menggunakan kepuasan pelanggan; d. Layanan prima adalah menempatkan
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
51
pelanggan sebagai mitra; e. Layanan prima adalah pelayanan optimal yang menghasilkan kepuasan pelanggan; f. Layanan prima adalah kepedulian kepada pelanggan untuk memberi rasa puas; g. Layanan prima adalah upaya layanan terpadu untuk kepuasan pelanggan; h. Layanan prima adalah pelayanan yang sangat baik dan melampaui harapan pemustaka; i. Layanan prima adalah: pelayanan yang memiliki ciri khas kualitas (quality nice). Ciri khas kualitas yang baik adalah kemudahan, kecepatan, ketepatan, kehandalan, dan emphaty; j. Layanan prima adalah pelayanan dengan standar kualitas yang tinggi dan selalu mengikuti perkembangan kebutuhan pelanggan setiap saat, secara konsisten dan akurat (handal); k. Layanan prima adalah pelayanan yang memenuhi kebutuhan praktis (Practical needs), dan kebutuhan emosional (emotional needs) pelanggan. 3. Rahmayanty (2010) memberi definisi: Sebuah layanan dinilai prima jika mematuhi beberapa prinsip. Prinsip merupakan tata nilai yang harus melekat pada layanan prima. Cornelius (2002) mengatakan bahwa sebuah pelayanan dinilai sebagai pelayanan prima jika desain dan prosedurnya mematuhi beberapa prinsip antara lain: a. Mengutamakan pelanggan 1) Prosedur pelayanan harus disusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan; 2) Pelayanan bagi pelanggan eksternal harus lebih diutamakan; 3) Pelayanan bagi pelanggan tak langsung perlu lebih diutamakan. b. Sistem yang efektif 1) Sebuah sistem yang nyata, yaitu suatu tatanan yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit organisasi; 2) Sebuah sistem yang “HALUS”, yaitu satu tatanan yang mempertemukan manusia dengan yang lain. Pertemuan semacam itu melibatkan sentuhan-sentuhan emosi, perasaan, harapan, harga diri, penilaian,
52
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
sikap dan perilaku; 3) Agar berhasil merebut hati pelanggan, proses pelayanan harus berjalan efektif, artinya mengungkit munculnya kebanggaan pada diri petugas dan membentuk citra positif di mata pelanggan; c. Melayani dengan hati nurani, dalam transaksi tatap muka dengan pelanggan yang utama adalah kesatuan sikap dan perilaku sesuai hati nurani. Perilaku yang dibuat berlebihan dan sangat mudah dikenali pelanggan sehingga akan memperburuk penilaian pelanggan. Sikap dan perilaku yang baik oleh petugas dapat menutupi kekurangan sarana dan prasarana. d. Perbaikan berkelanjutan, pelanggan dapat belajar mengenali kebutuhan dari proses pelayanan. Semakin baik pelayanan, tuntutannya juga semakin tinggi dan kebutuhannya semakin luas dan beragam. Fenomena aksi-reaksi antara mutu layanan dan tuntutan pelanggan akan terus bergulir cepat. Hal ini memacu petugas untuk meningkatkan mutu pelayanan secara terus menerus. e. Memberdayakan pelanggan, berarti menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan sebagai sumberdaya/perangkat tambahan oleh pelanggan dalam menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari. Hubungan Kompetensi Pustakawan dengan Layanan Prima Pada era globalisasi informasi, kebutuhan masyarakat akan informasi semakin meningkat, seiring dengan beragamnya pola perolehan informasi dalam situasi banjir informasi yang menerpa berbagai jenis dan format media, ditunjang oleh tersedianya perangkat mutakhir yang berkecepatan tinggi dan menjangkau wilayah luas tanpa batas. Menyikapi kondisi seperti itu, perpustakaan harus dapat mengikuti tuntutan zaman tersebut yaitu dengan pengelolaan, pola layanan, perawatan dan pelestarian serta sistem penyebaran informasi yang tepat guna. Sehubungan dengan itu, maka keberadaan pustakawan sangat dibutuhkan sebagai mediator dan fasilitator informasi untuk menyikapi semakin tingginya tuntutan pemustaka agar perpustakaan dapat meningkatkan mutu layanannya. Dengan demikian, perpustakaan harus didukung oleh sumber daya manusia perpustakaan yang profesional, yaitu pustakawan yang memiliki kompetensi
bidang perpustakaan dan teknologi. Listiani (2007:81) menyampaikan beragam pemustaka memerlukan informasi yang berbeda, mengharuskan pustakawan meningkatkan kemampuan kompetensinya dengan menguasai tiga macam antara lain: (1) Pengetahuan buku sumber informasi (bibliographic control); (2) Pengetahuan pemilihan media yang tepat (a sense media); (3) Pengetahuan isi koleksi. Kualitas Pustakawan diukur dari pemahaman yang dimiliki mengenai visi dan misi, kemampuan menjabarkan program, kemampuan identifikasi kebutuhan pemustaka, kemampuan memilih dan memilah berbagai jenis informasi aktual, kemampuan mengolah informasi secara sistematis sehingga mudah ditemukan serta kemampuan mengkomunikasikan sumber-sumber informasi yang dimiliki. Dengan demikian pustakawan harus selalu meningkatkan kompetensinya misalnya kompetensi pustakawan dalam hal: 1. Pengembangan Koleksi Pustakawan harus mampu mengadakan koleksi di perpustakaan berdasarkan tujuan dan fungsi perpustakaan, dan masyarakat yang akan dilayani, serta jenis-jenis koleksi yang akan diadakan; 2. Pengolahan Bahan Perpustakaan Contoh: membuat katalog, seorang pustakawan harus mampu mengerjakan sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan, misalnya dengan menggunakan pedoman pembuatan katalog AACR2, Peraturan Pengatalogan Indonesia, penentuan kata utama; menentukan nomor klasifikasi, pustakawan harus memahami penggunaan pedoman misalnya LC (Library of Conggress), DDC (Dewey Decimal Classification), UDC (Universal Decimal Classification), daftar tajuk subjek, dsb; analisis subjek, pustakawan tidak ada salahnya untuk mempelajari disiplin ilmu, karena di saat itu pustakawan harus mencari pengetahuan dan pengalaman baru. Kompetensi ini diperlukan agar pustakawan bisa bermanfaat dan menunjang karirnya, misalnya mengetahui topik-topik dan bidang koleksi apa saja yang sudah disediakan di perpustakaan; 3. Layanan Pemustaka Apapun yang dilakukan oleh pustakawan, harus selalu berorientasi kepada pemustaka. Pemustaka
adalah tujuan dari layanan. Pustakawan harus mampu melakukan komunikasi yang baik dengan pemustaka. Misalnya: Pustakawan selalu tersenyum dan mengatakan “kami usahakan” jika seorang pemustaka mencari koleksi atau informasi yang belum ditemukan. Pustakawan harus mampu berkata jujur dan baik. Untuk itu informasi yang disampaikan harus apa adanya, misalnya jika terjadi kemacetan dalam pelayanan, maka perlu dikatakan bahwa jaringan otomasi lagi sibuk, dll. Pustakawan harus mempunyai kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas; 4. Layanan Pemasyarakatan Pustakawan seharusnya berjiwa enterpreneur, pustakawan bisa menjadi konsultan, tentunya harus sering membaca topik-topik dari bidang yang diminatinya, meskipun secara teknis dan praktiknya kurang ahli, tapi dari segi pengetahuan dan manajemen dia ahli dan terampil memanfaatkannya. Pustakawan harus mampu mempromosikan atau memasarkan produkproduk apa yang dimiliki oleh perpustakaan kepada masyarakat, mampu mengikuti trend dan bermitra dalam jejaring antar pustakawan. Selain itu, pustakawan juga harus berkompeten dalam penguasaan ICT (Information Communication Technology) dalam hal ini pustakawan perlu mempunyai standar kompetensi yang paling dasar, yakni: memiliki kemampuan dalam penggunaan komputer (computer literacy), kemampuan menguasai basis data (data base), kemampuan dan penguasaan peralatan teknologi informasi, kemampuan dalam penguasaan teknologi jaringan, memiliki kemampuan dan penguasaan internet, kemampuan dalam berbahasa Inggris. Bagi Pustakawan semangat kompetensi dan profesionalisme adalah kebutuhan dasar yang harus dikuasai. Karena keduanya adalah roda penggerak aktif dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam bidang kepustakawanan, obyek kegiatannya meliputi sumber-sumber informasi dan pengetahuan, tujuannya dilayankan langsung kepada pemustaka. Pustakawan harus mempunyai kompetensi individual yaitu dari segi psikologis pemustaka perlu dilayani dengan sebaik-baiknya, sehingga pemustaka puas dengan pelayanan yang diberikan. Pustakawan harus
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
53
pandai berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Demikian dengan adanya kompetensi yang dimiliki oleh Pustakawan baik itu kompetensi profesional, yang diperoleh dari sekolah, workshop, pelatihan, dll. Maupun kompetensi individual diperoleh dari membaca buku – buku pengembangan diri, kegiatan diluar kerja seperti outbond dan pengalaman dalam melayani pemustaka, hal ini sangatlah mempunyai hubungan antara kompetensi yang dimiliki oleh pustakawan dengan layanan yang berbasis pemustaka dalam hal ini adalah layanan prima (Service Excellence). Kesimpulan Pustakawan pada dasarnya adalah profesi yang ada dalam masyarakat. Profesi pustakawan, sama halnya dengan profesi-profesi lain membutuhkan profesionalisme dari individu-individu tersebut. Seorang Pustakawan di era globalisasi seperti sekarang ini dituntut untuk bekerja secara profesional dan mampu berkomunikasi ke segenap lapisan masyarakat. Kalau perlu pustakawan harus beberapa langkah di depan pemustakanya. Artinya pengetahuan dan strategi akses informasi pustakawan harus lebih canggih daripada pemustakanya. Kompetensi diartikan sebagai tolok ukur guna mengetahui sejauh mana kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan dan kemampuannya. Kemampuan itu adalah pengetahuan, (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude) bagi pustakawan, semangat kompetensi dan profesionalisme adalah kebutuhan dasar yang harus dimiliki. Kompetensi pustakawan terdiri dari: kompetensi profesional dan kompetensi individual, di samping kompetensi tersebut
pustakawan harus pandai berkomunikasi dengan bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan. Karena bahasa Inggris adalah bahasa Internasional dan juga bahasa komunikasi intelektual. Kualitas layanan perpustakaan akan menjadi semakin baik apabila pustakawan mempunyai kemampuan sebagai perantara yang profesional bagi pemustakanya. Bagaimanapun kemampuan, sikap dan penampilan pustakawan dalam melayani pemustaka sangat menentukan kualitas layanan perpustakaannya. Dengan demikian pustakawan dalam memberi layanan prima, membutuhkan kompetensi profesional dan kompetensi individual. Kompetensi profesional umumnya diperoleh dari sekolah, workshop, pelatihan, dan lain-lain, sedang untuk kompetensi individual umumnya diperoleh dari membaca buku-buku pengembangan diri, kegiatan di luar kerja seperti outbond dan pengalaman dalam melayani pemustaka. Dengan kompetensi tersebut, tantangan global yang semakin besar dapat diatasi, dan mereka akan terus dapat berperan aktif untuk menunjang aktivitas institusi induknya. Dengan adanya kompetensi yang dimiliki pustakawan, maka paradigma lama tentang pustakawan yang hanya penjaga buku saja, berubah menjadi pustakawan sebagai penyedia informasi yang dapat melayani pemustaka dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki sehingga pemustaka puas dengan layanan yang diberikan sehingga terciptalah layanan prima.
Daftar Pustaka
Achmad dkk.(2012). Layanan Cinta: Perwujudan layanan prima “Perpustakaan”. Jakarta: Sagung Seto. Kasmir. (2005). Etika Customer Service. Jakarta: Raja Grafindo persada. Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
54
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
Suherman (2011). Pustakawan Inspiratif: Untuk para Pengelola Perpustakaan dan Taman Bacaan. Bandung: MQS Publishing Sulistyo Basuki. (2010). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Universitas Terbuka Undang-Undang RI No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Wibowo. (2006). Manajemen Perubahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Oleh: Dedi Mulyadi2 Email:
[email protected]
Strategi Pustakawan Melalui Program Perpusmart dalam Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)1 Abstrak Di penghujung tahun 2015 masyarakat akan dihadapkan pada suatu kesepakatan pasar bebas yang bernama MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Jarak dan waktu seolah sudah tidak lagi menjadi masalah bagi seseorang untuk menjangkau ilmu pengetahuan dan informasi dimanapun, kapanpun dan dari manapun. Persaingan bukan hanya sekedar barang/jasa saja, akan tetapi akan berpengaruh pula terhadap persaingan SDM. Untuk itu, pustakawan sebagai agent of change (agen perubahan) harus mampu meningkatkan kompetensinya agar bisa bersaing dengan pustakawan di Asia Tenggara, dan bisa memberikan manfaat kepada masyarakat dalam peningkatan kualitas hidup, baik dari sisi intelektualitas maupun perekonomiannya. Selain itu, tentu saja dalam menghadapi persaingan di era globalisasi ini, pustakawan perlu menyiapkan strategi pengembangan perpustakaan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi agar tercipta keberlanjutan. Kata kunci: Kompetensi, strategi pengembangan perpustakaan, Perpusmart Pendahuluan Perhelatan pergantian tahun sudah di depan mata. Seakan berpacu dengan waktu, pada tahun 2015 ini pula (tepatnya pada Desember 2015) kita akan dihadapkan pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Suatu era yang menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara menjadi “satu basis pasar dan produksi”. Di mana akan terjadi arus bebas produk, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal, yang semuanya bermuara pada prinsip pasar terbuka bebas hambatan. Siapa yang tidak mampu bersaing dan menyiapkan strategi dalam menghadapi arus globalisasi dan pasar bebas tersebut, akan tergerus dan terpinggirkan. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi faktor kunci dalam memenangi 1 2
persaingan pada pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN di penghujung 2015 nanti. Upaya ke arah peningkatan SDM dilakukan melalui pendidikan. Sebagai bagian dari institusi pendidikan, perpustakaan juga memiliki peran yang strategis dalam menyiapkan masyarakat agar memiliki kesiapan dalam menghadapi MEA. Sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perpustakaan berperan sebagai wahana belajar sepanjang hayat untuk mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.
Pernah disampaikan pada Lomba Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015 Juara Harapan 3 Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015 / Pustakawan Pertama Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sukabumi
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
55
Namun, tentunya keberhasilan perpustakaan ini harus didukung oleh pustakawannya. Pustakawan harus mampu menyesuaikan diri mengikuti perubahan melalui peningkatan kualitas dan kompetensinya, karena pustakawan harus mampu menjadi agen perubahan bagi masyarakat melalui penyediaan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Oleh karena itu, ada tanggung jawab yang besar di pundak pustakawan untuk mencerdaskan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah pustakawan di Indonesia sudah siap untuk menghadapi tantangan di atas? Langkah inovatif apa yang perlu dilakukan oleh pustakawan dan perpustakaan untuk membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat agar siap menghadapi pasar bebas MEA? Pembahasan Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Sebuah organisasi tidak bisa berfungsi dengan baik jika organisasi tersebut tidak memiliki sumber daya berkompeten, karena segala kompetensi yang dimiliki sumber daya baik itu berkarakter, pengetahuan dan kemampuan sesungguhnya merupakan unsur utama penggerak roda budaya kerja di organisasi. Kompetensi diartikan sebagai tolak ukur guna mengetahui sejauh mana kemampuan seseorang menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Menurut Amstrong (1999) bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki seorang pustakawan agar kinerja mereka mencapai standar yang ditetapkan oleh perpustakaan sebagai induk organisasi yang terkait dengan budaya organisasi, nilai dan norma, strategi bisnis, dan lingkungan kerja. Kehadiran pustakawan berkompetensi merupakan jalan bagi suatu organisasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, bersaing dan pertumbuhan di masa yang akan datang. Sebaliknya, walaupun suatu perpustakaan hanya memiliki koleksi terbatas, akan tetapi SDM (Pustakawan)-nya kreatif dan inovatif, maka
56
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
bisa dipastikan mereka akan bisa survival dan mampu membantu menyiapkan masyarakat dalam menghadapi pasar bebas MEA. Sehubungan dengan kemampuan kompetensi pustakawan, Widjanto (2008) menyatakan bahwa: 1. Kompetensi intelektual antara lain berupa kemampuan berpikir dan bernalar, kemampuan kreatif (meneliti dan menemukan), kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan mengambil keputusan yang mendukung kehidupan global. 2. Kompetensi personal antara lain berupa kemandirian, ketahananbantingan, keindepen denan, kejujuran, keberanian, keadilan, keter bukaan, mengelola diri sendiri, dan menempatkan diri sendiri secara bermakna serta orientasi pada keunggulan yang sesuai dengan kehidupan global. 3. Kompetensi komunikatif antara lain berupa kemahirwacanaan, kemampuan menguasai sarana komunikasi mutakhir, kemampuan bekerja sama, dan kemampuan membangun hubungan dengan pihak lain yang mendukung kehidupan global dalam satu sistem dunia. 4. Kompetensi sosial-budaya antara lain berupa kemampuan hidup bersama orang lain, kemampuan memahami dan menyelami keberadaan orang/pihak lain, kemampuan memahami dan menghormati kebiasaan orang lain, kemampuan berhubungan atau berinteraksi dengan pihak lain, dan kemampuan bekerja sama secara multikultural. 5. Kompetensi kinetis-vokasional antara lain berupa kecakapan mengoperasikan saranasarana komunikasi mutakhir, dan kecakapan menggunakan alat-alat mutakhir yang mendukung perpustakaan untuk berkiprah dalam kehidupan global. Dengan berbagai kompetensi yang dimiliki oleh seorang pustakawan, maka perpustakaan bisa menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan yang ideal, yang mampu menjadi wahana untuk mengembangkan potensi masyarakat agar sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Di dalam uraian Undang-Undang tersebut terdapat beberapa inti dari sebuah pengembangan perpustakaan diantaranya, perpustakaan sebagai pusat belajar masyarakat (Pasal 7 dan 8), penting untuk melibatkan masyarakat dalam perpustakaan (Pasal 5.1), perpustakaan perlu menyediakan layanan sesuai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (Pasal 14.3), perlu kerjasama dari berbagai pihak untuk memajukan perpustakaan (Pasal 40 dan 42), pengembangan perpustakaan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Pasal 19), pengembangan perpustakaan harus berkesinambungan (Pasal 19.3). Berdasar landasan hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perpustakaan harus dikembangkan sebagai pusat belajar masyarakat berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang berkelanjutan. Tentunya diperlukan strategi untuk menuju ke arah ini. Strategi pengembangan perpustakaan berbasis teknologi informasi yaitu: strategi pelibatan masyarakat, strategi peningkatan layanan komputer dan internet, dan strategi advokasi. Strategi pelibatan masyarakat adalah kegiatan di perpustakaan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat melalui penyediaan informasi yang luas (buku, internet, pelatihan) dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif. Kegiatan yang dilaksanakan di perpustakaan harus bersumber dari kebutuhan masyarakat yang bersumber dari masalah yang dihadapi masyarakat. Sehingga layanan yang disediakan oleh perpustakaan mampu memberikan jawaban atas masalah masyarakat. Kegiatan pelibatan masyarakat ini banyak contohnya, misalnya pelatihan membuat kerajinan tangan, penyuluhan kesehatan ibu dan anak, dan sebagainya. Strategi berikutnya yaitu strategi peningkatan layanan komputer dan internet. Tentu saja strategi kedua ini membutuhkan sarana dan prasarana, yaitu berupa komputer dan akses internet yang harus disediakan oleh perpustakaan. Memang, kondisi perpustakaan saat ini masih belum sesuai dengan harapan. Di beberapa lokasi, mungkin masih ada perpustakaan umum masih belum menyediakan sarana komputer dan akses internet bagi masyarakat. Tetapi disadari atau tidak, kita semua akan kecipratan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Untuk itu, perpustakaan harus menyiapkan sarana komputer yang sudah didukung oleh akses
internet. Fungsi dari penyediaan komputer yang sudah terkoneksi dengan jaringan internet adalah untuk membantu masyarakat mencari informasi yang tidak diperoleh di buku. Kita tahu bahwa pembelian bahan pustaka sangatlah terbatas. Sedangkan informasi harus terus di update. Oleh karena itu, dengan kehadiran komputer dan internet ini mampu memberikan jawaban atas kurangnya koleksi bahan pustaka yang ada di perpustakaan umum. Strategi yang ketiga adalah advokasi. Berbicara advokasi sebenarnya tidak ada definisi yang baku. Pengertian advokasi selalu berubah-ubah sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan dan politik pada suatu kawasan tertentu. Advokasi sendiri dari segi bahasa adalah pembelaan. Menurut Meuthia Garnier, advokasi adalah usaha-usaha terorganisir untuk membawa perubahan-perubahan secara sistematis dalam menyikapi suatu kebijakan, regulasi atau pelaksanaannya. Atau dengan kata lain advokasi adalah aksi individu atau organisasi untuk mendapatkan dukungan sumber daya (uang, materi, tenaga) dari pihak pemerintah maupun swasta di tingkat lokal, kabupaten, provinsi, dan nasional. Jika dihubungkan dengan keberadaan perpustakaan yang kebanyakan tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk memfasilitasi kegiatan pelibatan masyarakat dan meningkatkan layanan komputer dan internet, maka peran advokasi ini merupakan hal mutlak dilakukan. Karena dengan advokasi, kita bisa mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta. Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi sejauh mana kebutuhan masyarakat akan perpustakaan, sumber daya apa yang di miliki oleh perpustakaan dan potensi apa yang bisa dilakukan oleh perpustakaan untuk membantu mengatasi permasalahan masyarakat. Contohnya adalah jika perpustakaan akan melaksanakan kegiatan pelatihan komputer, dan tidak ada SDM perpustakaan yang mumpuni dengan komputer, maka perpustakaan bisa mengadvokasi lembaga pendidikan komputer/Perguruan Tinggi untuk membantu menyediakan tutornya. Yang penting adalah bagaiamana perpustakaan mampu memfasilitasi kegiatan yang berguna untuk masyarakat. Perpusmart sebagai Jawaban Perpustakaan Ketika pustakawan memiliki kompetensi-kompetensi seperti yang disebutkan di atas, yaitu kompetensi
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
57
intelektual, kompetensi personal, kompetensi komunikatif, kompetensi sosial budaya dan kompetensi kinetis vokasional, serta ditunjang dengan strategi pengembangan perpustakaan yang baik, maka peran perpustakaan tidak hanya sebatas ke arah pemenuhan akan kebutuhan intelektualitas (pendidikan) saja. Tapi lebih jauh lagi, perpustakaan bisa diarahkan menjadi pusat belajar atau pusat kegiatan masyarakat yang mampu meningkatkan taraf hidup melalui pemberdayaan ekonomi. Cara seperti apa? Yaitu dengan menggunakan konsep Perpusmart. Perpusmart adalah perpustakaan yang memiliki dua aspek mendasar sebagai jawaban atas datangnya pasar bebas MEA. Seperti halnya yang sudah diketahui, bahwa pasar bebas MEA akan berdampak lebih jauh pada sisi pendidikan (SDM) dan ekonomi. Perpusmart pun memiliki dua sisi, yaitu peningkatan kualitas SDM (Pendidikan) dan pemberdayaan ekonomi. Jika digambarkan dalam sebuah bagan. Maka Perpusmart adalah seperti terlihat pada gambar 1 berikut:
Gambar 1. Hubungan antar Perpusmart Dari bagan di atas dapat kita lihat dua aspek penting dari Perpusmart, yaitu: 1. Perpus Smart. Aspek ini menekankan pada sisi peningkatan kualitas masyarakat melalui penyediaan informasi, penyediaan sarana untuk menelusuri informasi (komputer & internet), pendidikan, pelatihan (pelatihan menulis, pelatihan komputer, dan sebagainya) 2. Perpus Mart. Pada sisi ini pengembangan ekonomi masyarakat yang lebih ditekankan. Bahkan sasaran dari perpusmart ini pun merambah kepada pelaku UKM, yang selama ini jarang tersentuh oleh
58
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
perpustakaan, walaupun dititikberatkan pada pelaku UKM yang masih baru. Peran Perpusmart bagi para pelaku UKM ini antara lain membantu para pelaku UKM untuk belajar komputer dan internet di perpustakaan. Setelah mereka menguasai, maka diharapkan mereka mampu mempromosikan produknya melalui internet. Penutup Pustakawan adalah sebuah profesi bukan sekedar pekerjaan. Pustakawan harus selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya sehingga memiliki daya saing dan mampu mengikuti perkembangan zaman yang berubah dengan cepat. Bukan saja ilmu kepustakawanan yang harus lebih digali, tetapi kemampuan penguasaan teknologi informasi dan kompetensi komunikasi pun harus ditingkatkan, karena pada dasarnya perpustakaan tidak bisa berjalan sendiri. Perpustakaan yang ideal adalah perpustakaan yang mampu menjadi pusat belajar dan berkegiatan bagi masyarakat, terlepas dari kurangnya SDM yang dimiliki, sarana yang terbatas, perpustakaan harus mampu mengadvokasi pihak lain untuk mau peduli dan berkontribusi dalam pengembangan perpustakaan agar tercipta keberlanjutan. Pustakawan di masa depan tidak hanya memikirkan pengembangan dirinya, akan tetapi harus memikirkan masyarakat. Bagaimana membuat masyarakat mau memanfaatkan segala fasilitas di perpustakaan, bagaimana membuat masyarakat percaya bahwa perpustakaan mampu meningkatkan taraf hidupnya melalui pemberdayaan ekonomi, bukan saja hanya sebatas tumpukan buku di dalam rak-rak buku. Perpusmart adalah konsep perpustakaan yang memiliki dua aspek, yaitu peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan aspek pemberdayaan ekonomi masyarakat. Perpusmart adalah tantangan bagi pustakawan untuk meningkatkan kompetensinya agar mampu menjadi jawaban atas pasar bebas ASEAN.
Daftar Pustaka
Kaswan. 2013. Pelatihan dan Pengembangan untuk Meningkatkan Kinerja SDM. Bandung: Alfabeta. Makmur, Testiani. 2015. Budaya Kerja Pustakawan di Era Digitalisasi; Perspektif Organisasi, Relasi dan Individu. Yogyakarta: Graha Ilmu Pengurus Ikatan Pustakawan Indonesia Kota Surakarta. Pengembangan Perpustakaan Umum Daerah dan Perpustakaan Sekolah Kota Surakarta. Diakses
pada tanggal 1 Juli 2015 melalui http://daryono.staff. uns.ac.id/2009/02/2012/pengembangan-perpustakaanumum-daerah-dan- p er pustakaan- sekolah-kotasurakarta Soetjipto et.al., 2002. Paradigma Baru Sumber Daya Manusia (Artikel-Artikel Pilihan). Yogyakarta: Amara Books.
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
59
PETUNJUK UNTUK PENULIS Judul Artikel1 (Setiap kata diawali huruf kapital, 14 pt, bold, centered)
Penulis Pertama2, Penulis Kedua3 dan Penulis Ketiga3 (penulis tanpa gelar 12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
E-mail:
[email protected] (11 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal dan rata kiri-kanan. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup latar belakang, tujuan penelitian, metode penelitian (teknik pengumpulan dan analisis data), serta hasil analisis yang disampaikan tidak lebih dari 250 kata. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Kata Kunci: maksimum 5 kata kunci (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tunggal, 12 pt)
Pendahuluan (12 pt, bold) Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt, spasi tunggal dan rata kiri. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masing-masing 2 cm. Panjang naskah paling kurang 1000 (seribu) kata. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk istilah asing ditulis miring (italic). Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Kata kunci ditulis di bawah abstrak untuk mendeskripsikan isi naskah. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar tanpa diberi penomoran. Kata pertama pada setiap awal paragraf menjorok 0.5 inch /1,27 cm. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Kesimpulan dan/atau Diskusi, serta Daftar Pustaka. Sebaiknya penggunaan subheadings dihindari, apabila diperlukan maka gunakan outline numbered yang terdiri dari angka Arab.
Daftar Pustaka (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan daftar pustaka mengadopsi format APA (American Psychological Association). Daftar pustaka sebaiknya menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang pengarang. Secara umum, urutan penulisan daftar pustaka adalah nama pengarang, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam kurung, tanda titik, judul tulisan, tempat terbit, tanda titik dua/colon, nama penerbit. Paling banyak nama 3 (tiga) orang pengarang yang dituliskan, apabila lebih dari 4 orang digunakan kata dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung dicantumkan setelah nama pengarang agar memudahkan penelusuran kemutakhiran bahan acuan. Apabila pengarang yang diacu menulis dua atau lebih tulisan dalam setahun maka pada saat penulisan tahun terbit diberi tanda pemerlain agar tidak membingungkan pembaca tentang tulisan yang diacu, misalnya: Miner (2004a), Miner (2004b).
Makalah pernah dipresentasikan/disampaikan pada acara… (bila ada) 2 Vol. 22 Pustakawan No. 4 TahunMuda 2015 Perpustakaan X 3 Pustakawan Pertama Perpustakaan X 1
60
Contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Rujukan dari buku:
Lofland, Lyn. (1999). A World of Strangers: Order and action in urban public space. New York: Basic Books.
Rujukan bab dalam buku:
Markus Hazel Rose, Kitayama Shinobu, Heiman Rachel H. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higginss & A.W. Kruglanski (EDS.), Social psychology: Handbook of basic principles. New York: The Guilford Press.
Rujukan dari dokumen online:
Van Wagner, Kendra. (2006). Guide to APA format. About Psychology. Diakses November 16, 2006 dari http://psychology.about.com/od/apastyle/guide\
Rujukan artikel dalam jurnal:
McCright, Aaron M. & Dunlap, Riley E. (2003). Defeating Kyoto: The concervative movement’s impact on U.S. climate change policy. Social Problems, 50, 348-373.
Rujukan dari jurnal online:
Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of internet Psychological, 4. Diambil 16 November 2014 from http://www.journalofinternetpsychology.com/archives/ volume4/3924.html
Artikel dari database:
Henriques, Jeffrey B. & Davidson, Richard J. (1991). Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diambil 16 November 2014 dari PsychINFO database
Online Forums, Discussion Lists or Newgroups:
Leptkin, J. L. (2006, November 16). Study tips for psychology students [Msg.11]. Pesan disampaikan dalam http://groups.psychelp.com/forums/messages/48382.html.
Rujukan dari makalah:
Santamaria, J.O. (September 1991). How the 21st century will impact on human resource development (HRD) professional and practitioners in organizations. Makalah dipresentasikan pada International Confrence on Education, Bandung, Indonesia.
Rujukan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi:
Santoso, Guritnaningsih A. (1993). Faktor-faktor sosial-psikologis yang berpengaruh terhadap tindakan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak ke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studi lapangan di pedesaan Jawa Barat dengan analisis model persamaan struktural). Disertasi Doktor , Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Rujukan dari laporan penelitian:
Villegas, Martha & Tinsley, Jeanne. (2003). Does education play a role in body image dissastification? Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: Pusat Penelitian UI dan Badan Narkotika Nasional.
Rujukan dari ensiklopedia atau kamus:
Sadie, Stanley. (Ed.). (1980). The new Groove dictionary of music and musicians (6th ed., Vols. 1-20). London: Macmillan.
Lampiran Lampiran/Appendices hanya digunakan jika benar-benar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasul perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Pustaka. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab.
1. 2.
3.
Catatan: Untuk menghindari adanya duplikasi tulisan dan pelanggaran etika keilmiahan, penulis tidak diperkenankan untuk mengirimkan dan mempublikasikan naskah yang sama pada penerbitan jurnal ilmiah yang lain. Mohon cantumkan kutipan dengan jelas, baik di dalam artikel dan terdaftar dalam daftar pustaka. Format kutipan: Nama penulis yang dikutip (tahun publikasi: halaman berapa kata/kalimat yang akan dikutip) - Kutipan tidak langsung: Seperti definisi X menurut Arif (2011:11) adalah sesuatu yang hidup dan berkembang biak di alam Y. - Kutipan langsung: Menurut Sunderland (1979:12): “Pendirian lembaga maupun jurnalnya dapat dilihat sebagai upaya pihak kolonial untuk melanggengkan jajahannya.” Hindari copy paste dari artikel lain, blog pribadi seseorang, Wikipedia, ataupun situs yang tidak jelas, karena tidak bisa dijadikan sebagai rujukan.
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
61
4.
Untuk gambar dan artikel diberi keterangan dan narasi dalam artikel. Sehingga kelihatan kejelasan dan penjelasannya. Untuk gambar keterangan di bawahnya, sedangkan untuk tabel keterangan ada di atasnya.
Gambar 1. Hasil pencarian publikasi menggunakan scholarometer. Tabel 1. Sumber Data yang digunakan Sumber Buku Dari Columbus untuk Indonesia: 70 tahun tahun Prof Bill Liddle
34
Buku direktori KITLV
316
Buku direktori LIPI
192
Buku direktori UNAIR Press
288
Jurnal Indonesia terbitan Cornell University’s Southeast Asia Program
454
Lipsus Tempo 14-20 November 2011 Total jumlah peneliti yang ditelusur via google scholar 5.
Jumlah
58 1342
Redaksi berhak menolak atau mengembalikan naskah artikel yang tidak memenuhi petunjuk penulisan ini.
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
63
Kegiatan Bimbingan Teknis Pengusulan DUPAK Pustakawan di Denpasar (atas) dan Kendari (bawah) tahun 2015.
Kegiatan Temu Kerja Pustakawan Utama dan Madya Tahun 2015, di Jakarta.
Vol. 22 No. 4 Tahun 2015
64