Atas Kiri
: Para Pemenang Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional bersama Kepala Perpustakaan Nasional RI dan para Pejabat Eselon I. : Kepala Perpustakaan Nasional RI menyerahkan hadiah secara simbolis kepada Pemenang Pertama - Siti Indarwati dari Jawa Tengah (atas), Pemenang Kedua - Mohamad Rotmianto dari Jawa Timur (tengah) dan Pemenang Ketiga - Andrea Ardi Ananda dari Nusa Tenggara Barat (bawah). Kanan : Rangkaian tes yang dilalui peserta meliputi tes kognitif, wawancara dan presentasi.
dari redaksi Pembaca Media Pustakawan yang berbahagia, Kajian kita kali ini bertemakan tentang perpustakaan desa. Seiring berkembangnya perpustakaan digital dan hybrid di Indonesia, layanan di perpustakaan pun makin berkembang, tak terkecuali perpustakaan desa. Perpustakaan tidak hanya terpusat di kota-kota besar saja, namun mulai bermunculan di desa-desa. Pustakawan sebagai mobilisator perpustakaan desa menjadi magnet bagi masyarakat menuju perubahan sosial, ekonomi dan budaya. Paradigma berpikir dan kemampuan literasi informasi masyarakat pun ikut meningkat seiring besarnya peran seorang pustakawan dalam mengelola dan memasyarakatkan perpustakaan desa. Pustakawan terjun langsung di tengah masyarakat sembari mengenalkan beragam pengetahuan melalui pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari bukubuku yang terdapat di perpustakaan. Dengan dukungan semua pihak, pemerintah, mitra perpustakaan, pustakawan, dan masyarakat, telah meningkatkan kesejahteraan dan pengetahuan masyarakat di desa. Pada edisi kali ini terdapat 6 artikel yang kami pilih. Artikel pertama tentang Optimalisasi Fungsi dan Peran Perpustakaan Desa di Kabupaten Gunungkidul dalam Mewujudkan Masyarakat Pembelajar (Learning Society) tulisan Siti Indarwati. Artikel kedua tentang e-DDC as a Freeware Classification Number Finder Based on DDC: History and development tulisan Mohamad Rotmianto. Selanjutnya artikel berjudul Pengembangan Perpustakaan Desa Berbasis Community Engagement di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB tulisan Andrea Ardi Ananda. Artikel keempat tentang Penyajian Buku Bermutu Menurut SNI dan ISO: Rekomendasi menuju perbaikan berkelanjutan tulisan Tisyo Haryono. Selanjutnya artikel tentang Perpustakaan Desa sebagai Sumber Layanan Informasi Utama tulisan Asnawi. Sebagai penutup artikel berjudul The Power of Librarian Management tulisan Wuri Setya Intarti. Tak lupa kami mengingatkan, bagi rekan sejawat pustakawan di seluruh Indonesia yang berminat mengirimkan artikel tentang kepustakawanan ke media pustakawan, redaksi akan menerima dengan senang hati. Bagi artikel yang terpilih sesuai tema dan aturan keilmiahan akan dimuat di Media Pustakawan dan mendapatkan honor sepantasnya. Selamat membaca!
daftar isi
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
08
Optimalisasi Fungsi dan Peran Perpustakaan Desa di Kabupaten Gunungkidul dalam Mewujudkan Masyarakat Pembelajar (Learning Society) Siti Indarwati (Pustakawan Muda Kantor Perpustakaan Arsip Daerah Kab. Gunungkidul)
15
e-DDC (electronic-Dewey Decimal Classification) as a Freeware Classification Number Finder Based on DDC: History and development Mohamad Rotmianto (Pustakawan Pertama SD Negeri Unggulan Magetan, Jawa Timur)
23
Pengembangan Perpustakaan Desa Berbasis Community Engagement di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB Andrea Ardi Ananda (Pustakawan Pertama Kantor Perpustakaan Arsip Daerah Kab. Lombok Timur)
30
Penyajian Buku Bermutu Menurut SNI dan ISO: Rekomendasi menuju perbaikan berlanjutan Tisyo Haryono (Ketua Bidang Pengembangan Standar Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN)
40
Perpustakaan Desa Sebagai Sumber Layanan Informasi Utama Asnawi (Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
47
The Power of Librarian Management Wuri Setya Intarti (Pustakawan Madya Perpustakaan Nasional RI)
BULETIN MEDIA PUSTAKAWAN
Penasehat Kepala Perpustakaan Nasional RI, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Penanggung jawab Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Redaktur Sarwidiarti Mrihastuti, Penyunting Sadarta, Harjo, Novi Herwati, Catur Wijiadi, Akhmad Priangga, Redaktur Pelaksana Rohadi, Sri Sumiarsi, Rudianto, Novatriyanti, Desain Grafis Khosyi Alvin Maulana, Sekretariat Ferico Hardiyanto, Ismawati, Dede Sumarti, Sutarti, Istilah Daerah, Etikah Wahyuni, Triningsih, Khamami, Mardiana Tri Hidayanti, Alamat Redaksi Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya No. 28A, Jakarta Pusat, Tlp. (021) 3906923, Fax. (021) 3906923, Email :
[email protected], ISSN : 1412-8519
Cover Depan: Para peserta Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015 bersama Kepala Pusat Pengembangan Pustakawan, Perpustakaan Nasional RI.
KONTEN NASKAH DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
3
Perpustakaan Desa sebagai Pusat Informasi: Jembatan penghubung ilmu pengetahuan masyarakat pedesaan
S
emua perpustakaan, apapun jenisnya seyogyanya mampu memainkan perannya dengan baik bagi kemaslahatan umat manusia. Demikian pula perpustakaan desa, sebagai perpustakaan yang dikenal sebagai perpustakaan rakyat, keberadaannya seharusnya mempu menjadi sahabat bagi masyarakat pedesaan. Sama seperti kerabatnya di kota, masyarakat pedesaanpun mempunyai kebutuhan akan informasi sesuai dengan situasi dan kondisinya. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan membaca, masyarakat membutuhkan suatu sarana yang mampu menghapus dahaga mereka akan ilmu pengetahuan, dan disinilah seharusnya perpustakaan desa dapat berperan sebagai pusat informasi dengan tetap tidak melupakan kultur sosial budaya setempat. Seperti yang kita ketahui, berdasarkan pada Standar Nasional Indonesia 7596: 2010, Tugas pokok dari perpustakaan desa adalah melayani semua lapisan masyarakat tanpa membedakan usia, gender, pendidikan, pekerjaan, agama, keyakinan, ras, etnik, status sosial dan aliran politik dengan menyediakan bahan perpustakaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani. Sedangkan tujuan dari perpustakaan desa adalah meningkatkan kualitas dan taraf hidup masyarakat melalui penyediaan bahan perpustakaan dan akses informasi untuk peningkatan keterampilan, pendidikan, ilmu pengetahuan, apresiasi budaya, dan rekreasi untuk kepentingan pembelajaran sepanjang hayat. Dengan demikian, sesuai dengan tugas pokok dan tujuan yang telah dikemukakan di atas, perpustakaan desa sebagai struktur lembaga pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat pedesaan diharapkan dapat turut berperan dalam mewujudkan cita-cita nasional
4
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan. Dalam menjalankan perannya, tentu perpustakaan desa tidak dapat bergerak sendiri, pertama, perlu adanya koordinasi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti misalnya lembaga pendidikan yang ada di daerah tersebut. Kedua, perlu adanya pembinaan dan pengembangan yang dilakukan bersama antara pemerintah desa dengan segenap lembaga desa dan masyarakat. Ketiga, perlu adanya dukungan secara materi seperti alokasi dana yang cukup, penyediaan bahan perpustakaan, sarana dan prasarana yang memadai, serta tersedianya pengelola perpustakaan yang handal. Jarak dan terkadang kondisi pedesaan yang terpencil dan sukar dijangkau menyebabkan sukarnya masyarakat pedesaan menikmati ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin berkembang. Sehingga wawasan dan pola pikir mereka jauh berbeda dengan masyarakat perkotaan yang cenderung mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagi mereka ilmu pengetahuan ataupun informasi adalah hanya sebuah kata yang sukar untuk dimaknai. Permasalahan seperti itulah yang menjadi tantangan yang dihadapi perpustakaan desa dalam menjalankan tugasnya. Ketimpangan arus informasi dan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya menimbulkan kesenjangan terhadap pola pikir dan pola hidup seharihari turut berpengaruh terhadap sudut pandang sebagian besar masyarakat pedesaan akan nilai edukasi. Pada umumnya, pendidikan dan ilmu pengetahuan belum dianggap sebagai kebutuhan utama, namun diletakkan jauh di bawah kebutuhan ekonomi yang masih dianggap sebagai faktor penentu kedudukan status sosial seseorang di masyarakat. Di sisi lain kendala muncul dari dalam perpustakaan itu
sendiri, dimana masih ditemukan beberapa permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan Perpustakaan Desa antara lain: 1. Jumlah pertumbuhan Perpustakaan Desa/Kelurahan yang ada di Indonesia saat ini belum sebanding dengan jumlah Desa/Kelurahan yang ada di Indonesia, 2. Rendahnya komitmen para pengambil keputusan di Kabupaten/Kota (eksekutif dan legislatif ) dalam program pembangunan perpustakaan di pedesaan, 3. Terbatasnya sarana dan prasarana Perpustakaan Desa/ Kelurahan, 4. Terbatasnya tenaga pengelola Perpustakaan Desa/ Kelurahan, 5. Rendahnya minat baca masyarakat Desa/Kelurahan, 6. Masih tingginya angka kemiskinan di pedesaan sehingga masyarakat tidak mampu untuk membeli buku atau bahan bacaan lain yang dapat menambah ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna. (Murniaty: Strategi Pengembangan Perpustakaan Desa/Kelurahan di Indonesia) Kondisi yang dikemukakan di atas, memunculkan pertanyaan yang sangat mendasar yaitu sejauh mana perpustakaan desa sebagai pusat informasi dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan yang terjadi? Mampukah perpustakaan desa menjadi jembatan penghubung yang dapat menyambungkan aliran informasi yang terputus seputar ilmu pengetahuan dan teknologi ke segenap pelosok pedesaan serta menyentuh ke segala lapisan masyarakat? Sejumlah tulisan yang ditampilkan dalam Media Pustakawan yang terbit kali ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tulisan pertama diawali oleh Siti Indarwati, dengan karya tulisnya yang diajukan dalam rangka melengkapi syarat lomba pustakawan terbaik tingkat daerah istimewa yogyakarta tahun 2015 yang berjudul “Optimalisasi fungsi dan peran perpustakaan desa di Kabupaten Gunung Kidul dalam mewujudkan masyarakat pembelajar (learning society)”. Di dalam karya tulis tersebut dibahas permasalahan yang terkait dengan cara-cara mengoptimalkan peran dan fungsi perpustakaan desa di Kabupaten Gunung Kidul untuk mewujudkan masyarakat pembelajar (learning society) yang dikaitkan dengan peran serta tenaga perpustakaan dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan perpustakaan. Hasil dari kajian tersebut menunjukkan bahwa agar fungsi dan peran perpustakaan desa untuk mewujudkan masyarakat pembelajar berjalan secara optimal maka dilakukan upaya sebagai berikut: pemenuhan koleksi, sarana dan prasarana; meningkatkan kualitas tenaga perpustakaan; meningkatkan kualitas
layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi; membangun citra perpustakaan dan petugas perpustakaan; serta adanya peran serta dari pemerintah daerah untuk membuat kebijakan dan memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan desa. Asnawi dalam artikelnya yang berjudul “Perpustakaan desa sebagai sumber layanan informasi utama”, mencoba memberikan gambaran mengenai 8 nilai dasar yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi utama bagi perpustakaan desa dalam melayani masyarakat. Keberhasilan penerapan nilai-nilai tersebut tentu tergantung pada kompetensi yang dimiliki para petugasnya dalam mengelola perpustakaan desa. Selain ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki para pengelola perpustakaan desa, petugas juga harus memiliki beberapa sikap positif yang dapat mendukung keberhasilan tercapainya tujuan dari perpustakaan desa. Disamping itu, Asnawi juga mengemukakan bahwa masih terdapat beberapa kendala yang dihadapi perpustakaan desa dalam menjalankan tugasnya. Selanjutnya, Andrea Ardi Ananda mengemukakan harapannya agar peranan perpustakaan desa dapat lebih optimal dengan melibatkan peran masyarakat didalamnya. Tulisan yang berjudul “Pengembangan perpustakaan desa berbasis community engagement di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB” dengan lugas mengemukakan bahwa pelibatan masyarakat (community engagement) berpengaruh besar terhadap keberhasilan perpustakaan desa. Pelibatan masyarakat diartikan sebagai kegiatan di perpustakaan untuk menfasilitasi kebutuhan masyarakat melalui penyediaan informasi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif dengan melaksanakan 4 langkah kegiatan yang salah satunya adalah dengan melibatkan tokohtokoh masyarakat dan stakeholder atau pihak terkait di Lombok Timur. Apabila dicermati dengan teliti, dapat dikatakan bahwa ke tiga tulisan diatas mengandung harapan yang sama akan keterlibatan perpustakaan desa dalam mendukung program pembelajaran dan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi. Peran dari perpustakaan desa yang diharapkan adalah pertama, memiliki kemampuan untuk mewujudkan masyarakat pembelajar (learning society). Kedua, perpustakaan desa dapat berperan sebagai sumber informasi utama. Ketiga, dalam pelaksanaannya, perpustakaan desa dapat melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam menjalankan perannya.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
5
Melengkapi artikel di atas, selanjutnya ditampilkan pula 3 artikel yang mengambil topik menyambung pembahasan mengenai pengelolaan perpustakaan dari segi bahan pustaka, alat bantu pengolahan, dan SDM yang tentunya tidak kalah menarik dari artikel sebelumnya. Dari segi koleksi, Tisyo Haryono dengan tulisannya yang berjudul “Penyajian buku bermutu menurut SNI dan ISO: rekomendasi menuju perbaikan berkelanjutan” mengupas tentang konsep buku bermutu menurut SNI dan ISO. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan terkait dengan mutu dari buku yaitu harus memiliki karakteristik yang sesuai dengan sistem mutu; harus memiliki karakteristik yang mampu memenuhi kebutuhan pengguna; sesuai dengan standar yang ditentukan; dan harus disajikan dalam rangka mencapai tingkat kepuasan pengguna. Faktor lain yang juga patut diperhatikan pertama adalah terkait dengan sistematika penyajian buku yang terdiri dari: bagian awal; batang tubuh; dan bagian akhir. Kedua adalah kriteria buku bermutu yang harus memiliki kriteria tertentu dalam hal isi maupun penyajiannya yang semuanya telah diatur dalam SNI dan ISO. Artikel selanjutnya dari Mohamad Rotmianto sebagai kreator e–DDC, menyajikan tulisan yang terkait dengan alat bantu pengelolaan koleksi perpustakaan. Tulisan yang berjudul “e-DDC (electronic-Dewey Decimal classification) as a freewaer classification number finder based on DDC: history and development”. Memuat perjalanan panjang penciptaan e-DDC mulai dari latar belakang hingga proses pembuatannya yang dilengkapi dengan informasi mengenai fitur-fitur yang
6
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
terdapat didalamya. Titik poin dari artikel ini adalah adanya jaminan dari penulis terkait dengan kelegalan dan keakuratan dari sistem ini. Dari sisi sumber daya manusia sebagai pengelola perpustakaan, Wuri Setya Intarti dengan tulisannya yang berjudul “The POWER of Librarian Management” bercerita mengenai kompetensi manajemen yang harus dimiliki seorang pustakawan dalam menjalankan tugasnya. POWER sendiri tidak hanya dimaknai sebagai kekuatan yang harus dimiliki pustakawan namun lebih jauh POWER merupakan singkatan dari Plan, Obsesion, Willingness to do more, Egality dan Responsibility. Akhir kata, tantangan dan hambatan dalam melaksanakan tugas bukan merupakan sesuatu hal yang menjadikan program terhenti di tengah jalan. Kendala tersebut justru harus dijadikan alat pemicu yang dapat mendorong dan memotivasi pergerakan proses pelaksanaan kegiatan sehingga dapat tercapai semua tujuan yang diharapkan secara optimal dan menyeluruh. Tugas yang dihadapi perpustakaan desa untuk mencapai tujuan di tengah arus budaya dan kehidupan sosial yang melekat erat dalam pola pikir masyarakat pedesaan bukan merupakan hal yang mudah. Merubah paradigma sosial dan budaya adalah tantangan yang paling berat yang harus dihadapinya. Namun dengan kompetensi pengelola dan semangat yang dimiliki untuk terus bekerja keras dan pantang menyerah, perjuangan perpustakaan desa sebagai pusat informasi untuk menjalankan perannya sebagai jembatan penghubung ilmu pengetahuan bagi masyarakat pedesaan akan dapat terwujud.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
7
Oleh: Sri Indarwati2 Email:
[email protected]
Membangun Citra Positif Profesi Pustakawan Melalui Pemberdayaan Masyarakat1 Abstrak Peran pustakawan sangat besar untuk menumbuhkan citra perpustakaan di masyarakat. Setiap perpustakaan dan pustakawan diharapkan mampu memberikan citra yang positif agar selalu sukses dalam berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya. Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang semakin berat dan kompleks, pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi individu (pribadi) karena keberhasilan suatu perpustakaan sangat bergantung pada kemampuan pustakawan dalam mengelola dan mendayagunakan informasi yang dimilikinya. Profesi dan profesionalisme pustakawan belum menampakkan eksistensinya di masyarakat karena ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya penghargaan masyarakat pada profesi ini yaitu faktor eksternal dan internal. Pemberdayaan masyarakat melalui perpustakaan merupakan salah satu upaya nyata yang dapat dilakukan untuk menunjukkan keberadaan dan peran penting pustakawan bagi masyarakat. Kata kunci: Citra, profesi, pustakawan, pemberdayaan masyarakat Pendahuluan Peran pustakawan sangat besar untuk menumbuhkan citra perpustakaan di masyarakat, hanya saja ada beberapa pertanyaan yang menggelitik telinga kita sebagai pustakawan, yaitu apakah masyarakat tahu kata pustakawan? Siapa pustakawan itu? Pandangan masyarakat di Indonesia terhadap keberadaan profesi pustakawan masih kurang begitu menghargai, malah mungkin diantara pustakawan sendiri kurang menghargai profesinya termasuk juga mahasiswa ilmu perpustakaan di sebuah perguruan tinggi yang malu untuk menjawab jika ada yang bertanya jurusan apa yang diambil? Pandangan masyarakat itu pula yang banyak mempengaruhi kondisi internal atau citra diri seorang pustakawan antara lain merasa malu, tidak berarti, dan kurang komitmen terhadap profesinya. Ini berpengaruh terhadap citra perpustakaan di mata masyarakat, yang
1 2
mengakibatkan program-program perpustakaan tidak berjalan dengan semestinya, kinerja pustakawan semakin berjalan lambat, padahal sudah banyak Peraturan Pemerintah yang sudah dibuat. Apa yang dimaksud dengan citra atau image dan mengapa hal ini harus diusahakan, diperjuangkan, dan dipertahankan? Apa konsekuensinya? Berapa besar biayanya? Mungkinkah dalam hidup ini kita dapat menyenangkan semua orang, semua pihak? Apakah citra dan pencitraan itu sebuah ilusi dan pengilusian? Apakah citra sama dengan seolah-olah baik, benar, hebat, cantik/ ganteng, bijak? Apakah citra itu ada jarak dengan realita? Apakah citra itu dapat mengandung kebenaran? Atau justru dapat melupakan substansi dan tidak mencerminkan yang real, yang benar dan apa adanya? Jika anda bertindak demi
Pernah disampaikan pada Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015. Pemenang Pertama Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015 dan Pustakawan Muda di KPAD Kab. Gunung Kidul, Yogyakarta.
8
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
sebuah citra, demi bagaimana orang berpikir tentang anda, bertindak selaras dan seirama dengan keinginan mereka yang berada dekat dengan anda ternyata itu sangat melelahkan, akan tetapi lama-kelamaan akan muncul sepercik kesenangan, kegembiraan karena orang akan memuji, menganggap hebat, baik, dan seolah-olah senang dan menghormati kita. Hal ini yang membuat kita terlekat akan perasaan itu, dan pencitraan itu akan lestari, menjadi layak untuk diusahakan, diperjuangkan, dan dipertahankan. Citra dan pencitraan tidak hanya hadir di dunia fashion, keartisan, bisnis, pariwisata, politik tetapi hadir dimana-mana termasuk di dunia kepustakawanan. Menurut Purwono (2014) citra adalah bayangan, lukisan, gambaran tentang sesuatu yang mungkin tercipta dalam ketidaksengajaan atau terbentuk dari perilaku yang terus menerus sehingga pihak pemerhati kemudian memberikan persepsi yang dipengaruhi bagaimana orang memandang, pola pikir, gambaran menurut orang perorang atau khalayak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993), citra (image) adalah gambaran atau gambaran mental. Secara “teknis”, citra berarti gambaran mental yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang tentang sesuatu, baik berupa manusia, lembaga, organisasi, barang, dan lain sebagainya. Dalam konteks perpustakaan dan pustakawan, citra dimaksudkan sebagai gambaran mental yang dimiliki masyarakat tentang perpustakaan dan pustakawan. Secara sederhana citra diri seorang pustakawan dapat diartikan sebagai gambaran kita terhadap diri sendiri atau pikiran kita tentang pandangan orang lain terhadap diri. Dengan pengertian tersebut maka akan mengajak kita untuk menjawab seluruh pertanyaan yang sangat fundamental: kita ingin dipahami oleh masyarakat sebagai apa? Atau, citra apa yang kita inginkan bagi diri kita sendiri? Pertanyaan itu menjadi fundamental karena pada dasarnya kitalah yang bertanggung jawab atas citra diri kita. Kitalah yang bertanggung jawab atas kesalahpahaman orang lain terhadap kita. Selama ini di benak masyarakat perpustakaan dan pustakawan masih dicitrakan sebagai hal yang serba kuno, statis, dan pekerjaan yang sepele (mudah) yang semua orang bisa melakukannya. Di beberapa kota, perpustakaan seringkali masih dianggap sebagai “tempat pembuangan” pegawai negeri yang tidak berprestasi. Pustakawan masih dicitrakan sebagai “seseorang” yang sekedar kebetulan ditempatkan di perpustakaan yang setiap saat dapat didaur ulang, diganti dengan mudahnya.
Untuk lebih mengoptimalkan peranan, fungsi, dan keberadaan perpustakaan yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi optimalnya layanan perpustakaan dan pustakawan, langkah awal yang perlu dilakukan yaitu upaya merekonstruksi ulang pencitraan tentang perpustakaan dan pustakawan di mata masyarakat. Membangun Citra Pustakawan Setiap perpustakaan dan pustakawan diharapkan mampu memberikan citra yang positif agar selalu sukses dalam berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya. Citra yang negatif dapat memperlemah serta merusak strategi yang telah dibangun secara efektif. Sedangkan citra yang positif bisa didapatkan dengan mengkomunikasikan keunikan dan kualitas terbaik yang dimiliki perpustakaan kepada pemakainya. Perpustakaan merupakan salah satu sarana pembelajaran yang dapat menjadi sebuah kekuatan untuk mencerdaskan bangsa. Perpustakaan dan pustakawan mempunyai peranan penting sebagai jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, perpustakaan dan pustakawan harus menjadi sarana interaktif dan tempat dihasilkannya berbagai hal baru untuk membangun citra perpustakaan dan pustakawan di mata masyarakat lingkungannya. Bagian yang paling terlihat dari operasional perpustakaan adalah pelayanan personal seorang pustakawan kepada pemakainya. Apabila pelayanan personal ini salah maka masyarakat akan berpaling dari perpustakaan. Oleh karena itu perlu melakukan usahausaha yang sistematis untuk membentuk citra diri yang diinginkan, dan yang perlu ditekankan adalah pustakawan harus dicitrakan sebagai sebuah profesi yang memiliki kelayakan sejajar dengan profesi lain. Hal ini berarti bahwa semua elemen yang ada pada institusi kepustakawanan harus diekspos secara sistematis kepada publik, sehingga publik mendapatkan gambaran utuh tentang seluruh kapasitas internal yang pustakawan miliki. Misalnya, dalam pemunculan public figure harus dimunculkan pustakawan yang “layak ekspos” untuk menjadi duta baca, jadi tidak mengandalkan pada popularitas artis. Publik harus mendapatkan informasi bahwa institusi kepustakawanan juga memiliki segudang tokoh dan pakar pengelolaan sumber informasi (pustakawan) dan pengelola informasi (spesialis informasi) dalam berbagai bidang. Pustakawan yang dimunculkan adalah orang-orang yang memiliki keahlian khusus, misalnya pustakawan yang juga tokoh agama, seni budaya, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, keamanan, pendidikan, ilmu pengetahuan maupun bisnis baik dalam kapasitas sebagai praktisi maupun pengamat.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
9
Menurut Synder (1972) yang dikutip oleh Purwono (2014) merekomendasikan beberapa aktivitas yang dapat dilakukan oleh pustakawan sebagai usaha pengembangan diri, yaitu: 1. Involvement in professional organizations. Melibatkan diri dalam organisasi profesi; 2. Familiarity with current library literature. Akrab dengan literatur kepustakawanan saat ini (mutakhir); 3. Publication. Penerbitan, artinya pustakawan harus berkemampuan untuk menerbitkan karya-karyanya agar dikenal khalayak melalui media cetak dan elektronik; 4. Part-time teaching in a library school. Berkemampuan untuk mengajar paruh waktu di sekolah-sekolah; 5. Research. Penelitian, artinya pustakawan berkemampuan untuk melakukan kegiatan penelitian atau riset di bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi; 6. Continuing education. Pustakawan harus belajar sepanjang hayat dalam upaya pengembangan diri agar tidak ketinggalan zaman, karena ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang; dan 7. Bi-annual self assessment. Melakukan evaluasi diri minimal setiap enam bulan sekali. Pustakawan harus memiliki kebiasaan membaca (reading habit) karena perkembangan ilmu perpustakaan dapat diperoleh melalui literatur, dan tak kalah penting adalah selalu mawas diri, tidak cepat merasa puas dan selalu ingin maju. Permasalahan dan Tantangan Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang semakin berat dan kompleks, pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi individu (pribadi). Dalam membangun kompetensi profesional dan individu (pribadi), model pustakawan ideal yang diinginkan harus memiliki kecakapan sebagai berikut: 1. Adaptability. Feret dan Marcinek (1999) menyatakan bahwa pustakawan harus berjalan seirama dengan perubahan teknologi yang terus bergerak maju dan pustakawan harus beradaptasi sebagai pencari dan pemberi informasi dalam bentuk apapun. Berkaitan dengan aplikasi TI ini, pustakawan perlu mempunyai standar kompetensi yang paling dasar, yakni: a. memiliki kemampuan dalam penggunaan komputer (computer literacy), b. kemampuan menguasai basis data (data base), c. kemampuan dan penguasaan peralatan TI, d. kemampuan dalam penguasaan teknologi jaringan, e. memiliki kemampuan dan penguasaan internet, f. kemampuan dalam bahasa Inggris;
10
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
2. People skills (soft skills). Menurut Abernathy et al. (1999), perkembangan teknologi akan lebih pervasive tetapi kemampuan tentang komputer saja tidaklah cukup untuk mencapai sukses. Oleh karena itu, membutuhkan people skills yang kuat yaitu: a. Pemecahan masalah (kreativitas, pencair konflik), b. Etika (diplomasi, jujur, profesional), c. Terbuka (fleksibel, terbuka untuk wawasan bisnis, berpikir positif ), d. Perayu (keterampilan komunikasi dan mendengarkan atentif ), e. Kepemimpinan (bertanggung jawab dan mempunyai kemampuan memotivasi), f. Berminat belajar (haus akan pengetahuan dan perkembangan); 3. Positive thinking. Pustakawan diharapkan selalu berpikiran positif, bersifat fleksibel dan positif menghadapi perubahan terus menerus; 4. Personal Added Value. Pustakawan tidak hanya mampu melakukan pekerjaan rutin tetapi harus mempunyai nilai tambah yang berkembang dari pengalaman, pelatihan, dan dapat mencarikan informasi di internet. Beberapa keterampilan atau keahlian yang diharapkan dimiliki oleh pustakawan adalah: a. Memiliki keahlian tentang isi sumber-sumber informasi, b. Memiliki pengetahuan/keterampilan khusus dalam bidang tertentu sesuai dengan kepentingan institusi/organisasi, c. Melayani pengguna dengan baik, santun, dan ramah, d. Melakukan kajian pemakai secara rutin, e. Mencari tantangan dan melihat peluang baru, baik di dalam maupun di luar perpustakaan, f. Ciptakan perpustakaan tanpa dinding (perpustakaan digital atau perpustakaan virtual); 5. Berwawasan Entrepreneurship. 6. Team Work – Sinergi. Menurut Astroza dan Sequeira (2000) yang dikutip oleh Purwono mengatakan bahwa perubahan teknologi menawarkan kesempatan unik untuk bekerja sama lintas disiplin dengan profesional lainnya, seperti pakar komputer yang bertanggung jawab pada pusat komputer, pakar teknologi yang bertanggung jawab pada infrastruktur teknologi, jaringan dan aplikasi, serta pakar informasi (pustakawan) yang mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk mengorganisasi pengetahuan
dalam sistem dan struktur yang memfasilitasi penggunaan sumber informasi dan pengetahuan. Menurut Purwono (2014) mengatakan bahwa ada beberapa keterampilan yang harus dimiliki oleh pustakawan terutama tim kerjanya, yaitu: 1. Menggunakan teknologi informasi yang tepat untuk pengadaan, pengolahan, dan penyebaran informasi, 2. Bekerja sama dan beraliansi, 3. Menciptakan lingkungan yang saling mempercayai dan saling menghargai, 4. Bekerja dengan baik dengan sesama anggota tim, 5. Mempunyai sifat pemimpin, 6. Memahami nilai solidaritas dan jaringan profesional. Pada Lokakarya Pengembangan kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Perpustakaan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, The British Council dan Perpustakaan Nasional di Jakarta pada tanggal 9 – 11 Agustus 1994, merumuskan profil pustakawan Indonesia sebagai berikut: Pertama, aspek profesional. Pustakawan Indonesia harus memiliki pendidikan formal ilmu perpustakaan. Pustakawan juga dituntut gemar membaca, terampil, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan, mampu menyerap ilmu lain, objektif (berorientasi pada data), generalis di satu sisi, tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu di pihak lain, berwawasan lingkungan, mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi, berkarya di bidang kepustakawanan, dan mampu melaksanakan penelitian dan penyuluhan. Kedua, aspek kepribadian dan perilaku. Pustakawan harus bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral Pancasila, mempunyai tanggung jawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas yang tinggi terhadap profesi, luwes, komunikatif dan bersikap suka melayani, ramah dan simpatik, terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi, berdisiplin tinggi dan menjunjung tinggi etika pustakawan Indonesia. Ada beberapa kompetensi pokok yang harus dimiliki pustakawan dalam mewujudkan perpustakaan berkelas dunia antara lain: a. Menguasai sumber informasi, b. Memiliki keterampilan teknis, c. Menguasai teknologi, d. Fokus pada pemustaka, e. Memiliki kecerdasan emosi, f. Memiliki kemampuan komunikasi yang baik, g. Kreatif.
Purwono (2014) mengatakan bahwa di Indonesia profesi dan profesionalisme pustakawan belum menampakkan eksistensinya, akibatnya masyarakat menganggap rendah profesi pustakawan. Ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya penghargaan masyarakat pada profesi ini yaitu: 1. Faktor eksternal yaitu masyarakat. Kurangnya penghargaan masyarakat pada informasi mengakibatkan kurangnya kebutuhan masyarakat akan jasa para profesi informasi (information profesion) termasuk pustakawan. Atau dengan kata lain kebutuhan masyarakat akan layanan informasi melalui lembaga-lembaga informasi relatif rendah. 2. Faktor internal: a. Pustakawan. Pelayanan informasi yang diberikan pustakawan seringkali kurang dapat memenuhi kebutuhan pengguna. Tingkat pendidikan pustakawan akan mempengaruhi tingkat kemampuan (ability and skill) dan wawasan tentang perpustakaan yang mereka miliki. Beragamnya tingkat pendidikan pun akan membentuk pribadipribadi yang berbeda dalam rangka performasi mereka di dunia perpustakaan. b. Lembaga/perpustakaaan. Prinsip right man on the right place belum diterapkan di perpustakaan. Banyak pustakawan yang berpendidikan tinggi lebih suka duduk di belakang meja dan membiarkan tenaga-tenaga kurang ahli melayani pengguna perpustakaan. c. Bahan pustaka. Koleksi yang disediakan perpustakaan sudah out of date, sehingga pengguna kesulitan menemukan informasi yang aktual dan sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor internal inilah yang memberikan image buruk terhadap profesi pustakawan dan berdampak pada profesionalisme pustakawan. Keberhasilan suatu perpustakaan sangat bergantung pada kemampuan pustakawan dalam mengelola dan mendayagunakan informasi yang dimilikinya. Menurut Purwono kelemahan yang nyata dan tidak disadari oleh perpustakaan dalam rangka pengembangan perpustakaan adalah ketidakpedulian perpustakaan dengan dunia luar. Kenyataan ini memang sangat terlihat di sebagian besar perpustakaan yang ada di Indonesia karena pustakawannya berlatar pendidikan SMA dan sudah berumur, kebanyakan tidak mau mengikuti perkembangan yang ada, dan mereka juga kurang mau bergaul dengan sesama pustakawan yang lain sehingga tidak dapat melakukan sharing (tukar pengalaman) dengan pustakawan lain. Dengan demikian komunikasi
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
11
antara masyarakat dan perpustakaan tidak berjalan dengan lancar. Dari kelemahan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa rangka pengembangan perpustakaan dalam masyarakat terdapat kelemahan internal dan eksternal. Kelemahan internal yang dirasakan perpustakaan sebagai penghambat perpustakaan antara lain berikut ini: 1. Sumber daya; mencakup segala sesuatu yang menjadi bagian atau unsur penyelenggaraan kegiatan perpustakaan, seperti gedung, sumber daya manusia, koleksi bahan pustaka, sarana prasarana, dan dana. 2. Administrasi; untuk dapat menciptakan suatu tertib administrasi, seorang administrator diharapkan mampu memimpin, menjalankan, dan mengendalikan seluruh perangkat dan bawahannya, dalam rangka pemenuhan target dan sasaran. 3. Manajemen adalah kepemimpinan sehingga kepala perpustakaan dalam memimpin seluruh aktivitas perpustakaan dalam rangka pencapaian tujuan dapat terselenggara dengan baik. Di samping kelemahan internal, terdapat pula kelemahan eksternal antara lain: 1. Jarak antara perpustakaan dan masyarakat. 2. Keterbatasan akses informasi dan komunikasi. 3. Rendahnya respons dan perhatian masyarakat terhadap perpustakaan dikarenakan berbagai faktor. 4. Persepsi masyarakat yang keliru terhadap perpustakaan karena beragamnya kelompok masyarakat, tingkat sosial, kebudayaan, dan perbedaan yang lainnya mengakibatkan pandangan atau persepsi terhadap perpustakaan akan berbeda. 5. Rendahnya minat masyarakat memang perlu disadari bahwa respons dan perhatian masyarakat akan adanya perpustakaan masih rendah, hal ini sering terlihat di berbagai perpustakaan yang ada. 6. Kesibukan dan waktu yang terbatas. 7. Kebiasaan dan budaya baca belum berkembang. Sebenarnya kebiasaan dan budaya membaca dapat dibentuk atau diwujudkan pada masyarakat, namun memerlukan proses, waktu upaya, kesungguhan, dan kesabaran yang tak kenal lelah. Kebiasaan membaca dapat dilakukan sejak usia dini dan dilakukan dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Dalam rangka menunjang proses budaya dan kebiasaan membaca tersebut perpustakaan mempunyai peran yang sangat penting karena perpustakaan memiliki sarana prasarana bahan bacaan ringan dan menarik bagi pembaca. 8. Tingkat pendidikan masih perlu ditingkatkan, memang kita sadari bahwa tingkat pendidikan masyarakat kita
12
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
belum memadai. Kondisi ini dapat mempengaruhi keberadaan dan penyelenggaraan perpustakaan dan dampak yang lebih lanjut adalah pemahaman dan pemanfaatan perpustakaan yang belum optimal. 9. Kendala geografis. Jarak yang relatif jauh dari tempat tinggal merupakan suatu kendala untuk mengunjungi perpustakaan. Perkembangan suatu perpustakaan selain mendapat kendala baik internal maupun eksternal, masih menghadapi ancaman dan tantangan tentang keberadaan dan eksistensi suatu perpustakaan, apalagi dengan dampak teknologi informasi saat ini maka ancaman dan tantangan dalam rangka perkembangan suatu perpustakaan dirasakan berat. Ancaman dan tantangan yang dihadapi perpustakaan, antara lain sebagai berikut: 1. Perkembangan pusat-pusat informasi yang lain. Sekarang telah banyak pusat-pusat informasi yang dapat dengan mudah diakses tidak perlu datang ke perpustakaan melainkan hanya di kantor atau rumah saja, informasi akan diperoleh dengan cepat. Hal ini dapat diatasi apabila perpustakaan dapat mengimbangi dengan meningkatkan sistem kerja dan memberikan layanan yang terbaik kepada para pelanggan. 2. Perkembangan pusat-pusat hiburan. Perpustakaan tidak dapat disamakan dengan pusat-pusat hiburan walaupun perpustakaan mempunyai fungsi rekreasi, tetapi merupakan tempat untuk refreshing (penyegaran) setelah melakukan kegiatan melelahkan seperti rapat dan seminar. 3. Acara televisi. Program-program televisi secara langsung atau tidak mempengaruhi perhatian masyarakat, termasuk waktu dan kesempatan ke perpustakaan. 4. Status dan kedudukan perpustakaan di dalam suatu organisasi merupakan suatu hal yang penting sebab akan ikut menentukan kinerja, citra, dan wibawa perpustakaan. 5. Citra perpustakaan merupakan cerminan kinerja dan performa perpustakaan yang diterima dan dirasakan masyarakat. Pemecahan Masalah Keprofesionalan pustakawan dalam menjalankan tugas pokoknya yaitu melayani kebutuhan informasi bagi pemustaka dituntut untuk mempunyai kompetensi pustakawan sesuai standar yang telah ditentukan. Menurut Purwono disebutkan bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki seorang pustakawan agar kinerjanya mencapai standar yang ditetapkan oleh perpustakaan dan universitas sebagai induk organisasi yang terkait dengan
budaya organisasi, nilai dan norma, strategi bisnis, dan lingkungan kerja. Selain itu diperlukan juga komitmen, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan kesetiaan terhadap organisasi yang terdiri dari tiga komponen: 1. Identifikasi dengan organisasi (tujuan dan nilai); 2. Keinginan untuk tetap berkarya di organisasi tempat bekerja; 3. Kemauan untuk bekerja keras demi organisasi dimana mereka bekerja. Kompetensi pustakawan perlu diidentifikasi, diformulasikan, dan disepakati sesuai dengan tujuan penyelenggaraan layanan perpustakaan. Untuk mewujudkan sosok pustakawan yang kompeten diperlukan tanggapan dan kesiapan lembaga pendidikan perpustakaan, manajemen perpustakaan, dan individu perpustakaan. Lembaga pendidikan perpustakaan bertanggung jawab dalam menghasilkan pustakawan yang memiliki pengetahuan dan kecakapan kepustakawanan. Manajemen perpustakaan bertanggung jawab dalam memberikan supervisi, coaching dan konseling dalam mengembangkan kompetensi pustakawan yang dimilikinya. Individu pustakawan bertanggung jawab untuk terus memupuk pengetahuan dan keahlian dalam mengembangkan kariernya di perpustakaan. Kompetensi pustakawan baik secara profesional maupun individu dituntut untuk mendukung pola kerja yang efektif dan efisien dalam mendayagunakan sumbersumber yang ada. Kompetensi bidang perpustakaan yang dirumuskan oleh US Special Library Association dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu: 1. Kompetensi Profesional, terkait dengan pengetahuan pustakawan di bidang sumber informasi, teknologi, manajemen dan penelitian, serta kemampuan menggunakan pengetahuan tersebut sebagai dasar untuk menyediakan layanan perpustakaan dan informasi; 2. Kompetensi individu, menggambarkan satu kesatuan keterampilan yang dimiliki pustakawan agar dapat bekerja secara efektif, menjadi komunikator yang baik, selalu meningkatkan pengetahuan, dan memperlihatkan nilai lebih, serta dapat bertahan terhadap perubahan dan perkembangan dalam dunia kerjanya. Persoalan kompetensi pustakawan secara lebih kontekstual dapat dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu perkembangan masyarakat dan teknologi informasi, posisi pustakawan dalam sistem kerja serta ketersediaan sarana pendidikan, pelatihan, dan pengembangan bagi pustakawan. Motivasi pustakawan dalam menghadapi
tantangan dan menjadikannya sebagai peluang serta kesadaran para pustakawan akan pembelajaran sepanjang hayat sangat diperlukan pada saat ini. Menurut Purwono (2014) untuk membangun citra pustakawan yang baik, hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki kinerja pustakawan itu sendiri. Yang kedua adalah membangun kompetensi. Apabila ingin memperbaiki kinerja sebagai salah satu agen perubahan yang layak turut serta dalam memberikan solusi problematika bangsa, maka satu-satunya cara yang harus ditempuh adalah membangun kompetensi atau kapasitas internal secara berkesinambungan sebab kompetensilah yang sesungguhnya membentuk kinerja kita. Kompetensi adalah total dari kemampuan dan daya dukung yang secara riil dimiliki. Dengan kompetensi akan dapat direalisasikan apa yang diinginkan. Masyarakat akan menilai seseorang berdasarkan apa yang dapat dilakukan untuk bertindak (daya tindak) seseorang. Secara umum dapat dijelaskan bahwa yang diperlukan untuk membangun citra adalah kompetensi kepakaran yang dibentuk oleh dua hal yaitu hard skill dan soft skill. Yang pertama lebih bersifat scientific achievment, sedangkan yang kedua bersifat psychological achievment. Yang pertama berkenaan dengan penguasaan teknis dan detail bidang kepustakawanan dan keperpustakaan, dan yang kedua berkaitan dengan kemampuan berpikir strategis sebagai perumus kebijakan, dan wawasan masa depan (forward looking), kemampuan perencanaan strategis, kemampuan manajerial, kemampuan komunikasi publik, dan lain sebagainya. Purwono mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pustakawan adalah: Pertama, memperluas wawasan makro tentang persoalan bangsa. Hal itu dapat dilakukan dengan memperluas pengetahuan teoritis dalam bidang pendidikan, humaniora, sosial, dan perbukuan. Kedua, meningkatkan frekuensi keterlibatan dalam dunia pendidikan, literasi, dan sosial. Ketiga, meningkatkan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Keempat, memperbanyak figur publik. Keempat usaha di atas dapat ditempuh setelah permasalahan internal dalam bidang perpustakaan dan kepustakawanan dapat diatasi. Hanya dengan cara seperti ini citra pustakawan akan cemerlang dalam peradaban manusia, dan menjadi profesi yang sejajar dengan profesi lain. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat melalui perpustakaan merupakan salah satu upaya nyata yang dapat dilakukan untuk menunjukkan keberadaan dan peran penting
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
13
pustakawan bagi masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan disebutkan bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Sedangkan koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan. Berdasarkan pengertian di atas pada saat ini perpustakaan masa depan tidak hanya memberikan layanan peminjaman dan pengembalian buku saja, tetapi perpustakaan diharapkan dapat menjadi tempat untuk mencari informasi dan mengaplikasikan informasi tersebut dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Upaya tersebut telah dilakukan di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah (KPAD) Kabupaten Gunungkidul yang telah melakukan berbagai kegiatan pembelajaran yang melibatkan berbagai unsur dari masyarakat. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat dapat lebih mengenal perpustakaan sebagai sumber segala informasi dan digunakan sebagai tempat pembelajaran sepanjang hayat (long life education). Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain: 1) Pembelajaran penulisan dengan sasaran pelajar. Kegiatan ini telah menghasilkan buku yang berisi kumpulan tulisan dari para pelajar yang diterbitkan dengan judul “Celoteh dari Negeri Batu”. 2) Pembelajaran membatik dengan sasaran ibu-ibu PKK. Dari kegiatan tersebut KPAD Kabupaten Gunungkidul telah melakukan 2 tahap kegiatan yaitu kegiatan membatik tingkat dasar dan kegiatan membatik tingkat lanjut. 3) Pembelajaran tatah sungging wayang dengan sasaran karangtaruna. Pembelajaran ini ditujukan selain untuk melestarikan local content juga untuk memberdayakan para pemuda/pemudi agar dapat berkreasi dan memperoleh pendapatan. 4) Pembelajaran kriya Natural Handycraft dengan sasaran karangtaruna. Kegiatan ini bertujuan agar para pemuda/pemudi dapat memanfaatkan limbah alam agar menjadi berdaya guna dan berhasil guna. 5) Pembelajaran mendongeng dengan sasaran anak-anak. 6) Pembelajaran menari dengan
sasaran anak-anak. 7) Pembelajaran pembuatan blangkon dengan sasaran karangtaruna. Hal tersebut dilakukan juga selain untuk melestarikan local content juga untuk memberdayakan para pemuda/pemudi agar dapat berkreasi dan memperoleh pendapatan. Kegiatan pembelajaran tersebut telah dilakukan di perpustakaan dengan pirnsip dari membaca menjadi bisa berkarya, sehingga perpustakan masa depan diharapkan dapat menunjukkan action-nya di masyarakat. Hal ini sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya perpustakaan bagi masyarakat sebagai sumber dari segala informasi dan pusat pembelajaran sepanjang hayat. Kesimpulan 1. Peran pustakawan sangat besar untuk menumbuhkan citra perpustakaan di masyarakat. 2. Setiap perpustakaan dan pustakawan diharapkan mampu memberikan citra yang positif agar selalu sukses dalam berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya. 3. Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang semakin berat dan kompleks, pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi individu (pribadi). 4. Keberhasilan suatu perpustakaan sangat bergantung pada kemampuan pustakawan dalam mengelola dan mendayagunakan informasi yang dimilikinya. 5. Profesi dan profesionalisme pustakawan belum menampakkan eksistensinya di masyarakat karena ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya penghargaan masyarakat pada profesi ini yaitu faktor eksternal dan faktor internal. 6. Kompetensi pustakawan baik secara profesional maupun individu dituntut untuk mendukung pola kerja yang efektif dan efisien dalam mendayagunakan sumber-sumber perpustakaan yang ada. 7. Pemberdayaan masyarakat melalui perpustakaan merupakan salah satu upaya nyata yang dapat dilakukan untuk menunjukkan keberadaan dan peran penting pustakawan bagi masyarakat.
Daftar Pustaka
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
14
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Purwono. 2014. Profesi Pustakawan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Oleh: Mohamad Rotmianto2 Email:
[email protected]
e-DDC (electronic-Dewey Decimal Classification) as a Freeware Classification Number Finder Based on DDC: History and development1 Abstrak Software/aplikasi perangkat lunak untuk sistem informasi manajemen perpustakaan dapat diperoleh dengan mudah baik dengan cara membeli (licensed software) maupun didapatkan dengan gratis (free software), seperti Inlis (Integrated Library System), SLiMS (Senayan Library Management System), Athenaeum Light, KOHA, LASer (Library Automation Service), Linspro, dan lain-lain, yang bermanfaat bagi pustakawan dalam mengelola perpustakaan. Namun software untuk menentukan nomor klasifikasi, khususnya DDC (Dewey Decimal Classification), sampai saat ini hanya tersedia yang berbayar yaitu Dewey for Windows (DFW) dan WebDewey. Rotmianto mengembangkan e-DDC (electronic-Dewey Decimal Classification) sebagai software gratis sejak tahun 2009 dengan harapan dapat menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi pustakawan khususnya bagi penggiat perpustakaan yang tidak berlatar belakang pendidikan formal ilmu perpustakaan dan kesulitan dalam menentukan nomor klasifikasi koleksi. e-DDC (electronic-Dewey Decimal Classification) dibuat dengan tujuan memudahkan para pustakawan atau penggiat perpustakaan dalam menentukan nomor klasifikasi, namun tetap direkomendasikan agar tetap memperhatikan/melihat buku pedoman Klasifikasi DDC terbaru demi keabsahan penomoran. Kata kunci: e-DDC, Freeware, Perpustakaan, Sistem Klasifikasi DDC Pendahuluan Aplikasi perangkat lunak atau software yang khusus digunakan di perpustakaan pada dewasa ini sudah merupakan suatu kebutuhan. Hal itu dikarenakan semakin beragamnya tugas pustakawan baik akibat tuntutan user/pemustaka maupun tuntutan perkembangan zaman sehingga membutuhkan kecepatan, kemudahan dan keakuratan dalam pelayanan yang mana software lebih dapat menanganinya dari pada dikerjakan secara manual. Sampai saat ini banyak beredar software untuk perpustakaan atau lebih familiar dengan sebutan automasi perpustakaan, yang dalam istilah informatika disebut sebagai sistem informasi manajemen perpustakaan, yang dikembangkan baik dari dalam maupun luar negeri dengan 1 2
menggunakan berbagai bahasa pemrograman. Software tersebut ada yang bersifat free (gratis) seperti WinISIS keluaran UNESCO, Inlis (Integrated Library System) yang merupakan software produk resmi Perpustakaan Nasional RI, Senayan Library Management System (biasa disebut Senayan atau SLiMS) yang dikembangkan oleh SDC (Senayan Developer Community), LASer (Library Automation Service) yang digagas oleh Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Malang, KOHA yang dibuat oleh Katipo Communication Ltd dari Selandia Baru, atau Athenaeum Light versi Indonesia yang merupakan adaptasi dari versi asli Athenaeum Light yang dirilis oleh Sumware Consulting yang juga dari Selandia Baru. Disamping free, terdapat pula yang berbayar seperti Linspro: Library Information System milik LibtechInnovation, dan lain-lain.
Pernah disampaikan pada Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015. Pemenang Kedua Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015 dan Pustakawan Pertama di Sekolah Negeri Unggulan Magetan, Jawa Timur
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
15
Namun dari sekian banyak software untuk perpustakaan, masih sangat sedikit tersedia suatu sistem khusus untuk membantu menentukan nomor klasifikasi koleksi secara komputerisasi. Lebih-lebih yang bersifat free (tidak berbayar). Yang ada saat ini adalah yang licensed (berbayar) seperti Dewey for Windows dan Webdewey keluaran OCLC (Online Computer Library Center) dari Ohio, Amerika Serikat. Sedangkan yang berkategori software gratis hanya KOHA dan Athenaeum Light versi Indonesia yang sudah disertai ringkasan DDC. Sayangnya, notasinya masih sangat terbatas. Berdasarkan pertimbangan tersebut Rotmianto merancang dan membuat “e-DDC” atau kependekan dari “electronic-Dewey Decimal Classification” tahun 2009 untuk membantu dan memudahkan pustakawan dalam menentukan nomor klasifikasi koleksi di perpustakaan. Lebih dari itu, diharapkan tidak hanya pustakawan yang notabene berlatar belakang pendidikan formal ilmu perpustakaan saja yang dapat menggunakan e-DDC, namun semua penggiat perpustakaan dari lintas disiplin ilmu yang masih belum familiar dengan sistem klasifikasi DDC manual pun dapat menggunakannya dengan mudah, sebagai langkah awal dalam memahami sistem klasifikasi DDC secara keseluruhan. Meskipun, sudah ada e-DDC untuk mempermudah pustakawan/penggiat perpustakaan dalam menentukan nomor klasifikasi DDC, disarankan tetap melihat bagan asli Sistem Klasifikasi DDC (baca: DDC cetak versi terbaru) demi keabsahan penomoran. Apabila mempunyai cukup dana, disarankan pula untuk mencoba Dewey for Windows atau WebDewey. Proses klasifikasi salah satu tujuannya adalah untuk mempermudah identifikasi, penempatan, penyimpanan dan penemuan kembali suatu benda atau objek. Demikian halnya juga dengan klasifikasi koleksi di perpustakaan, di mana tujuan dari pada pengklasifikasian bahan pustaka adalah untuk pedoman penyusunan/penataan bahan pustaka di rak dan sebagai sarana penyusunan entri bibliografis dalam katalog tercetak (Saleh, 2009: 3.33). Sistem atau pedoman klasifikasi yang digunakan di perpustakaan ada berbagai macam, di antaranya adalah DDC (Dewey Decimal Clasification), UDC (Universal Decimal Clasification), LCC (Library of Congress Clasification), BBC (Bliss Bibliographic Clasification) dan CC (Colon Clasification). Sedangkan sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan adalah DDC (Dewey Decimal Clasification) atau biasa disebut Sistem Klasifikasi Persepuluhan Dewey atau Sistem Klasifikasi DDC. Sistem klasifikasi DDC yang dikembangkan pertama kali oleh Melvill Dewey pada tahun 1873, kini sudah digunakan oleh lebih dari 138 negara di seluruh dunia (OCLC, 201).
16
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Sistem Klasifikasi DDC yang paling mutakhir adalah DDC Edisi 23 (Dewey Decimal Classification Edition 23), diterbitkan oleh OCLC (Online Computer Library Center) sejak tahun 2011 sedangkan versi ringkasnya, yaitu Abridged Edition 15, yaitu ringkasan Sistem Klasifikasi DDC Edisi 23 untuk perpustakaan dengan koleksi maksimal 20.000 judul sudah terbit sejak Februari 2012 (OCLC: http://www.oclc.org/en-CA/dewey/features.html diakses tanggal 18/02/2015). Faktor yang mendasari pembuatan e-DDC adalah sebagai berikut: 1. Sudah banyak software automasi perpustakaan seperti Inlis, SLiMS, LASer, Openbiblio, KOHA, Athenaeum Light, dan lain-lain sebagaimana disebutkan di atas tapi belum tersedia aplikasi untuk membantu menentukan nomor klasifikasi DDC (setidaknya yang bersifat free). Sementara yang licensed (berbayar), yaitu Dewey for Windows dan Webdewey harganya terlalu mahal untuk kebanyakan perpustakaan di Indonesia. Apabila ingin mengakses Webdewey, setidaknya membutuhkan biaya berlangganan “paling murah” adalah sebesar USD 278 per tahun atau sekitar Rp 3.336.000,00 pada kurs USD 1 = IDR 12.000,00 (OCLC: http://www. oclc.org/content/dam/oclc/forms/en/dewey-orderamericas.pdf diakses tanggal 19/02/2015). 2. Masih banyak pustakawan/penggiat perpustakaan yang tidak berlatar belakang ilmu perpustakaan sehingga mengalami kesulitan dalam menggunakan buku pedoman Sistem Klasifikasi DDC. 3. Harga buku pedoman Sistem Klasifikasi DDC edisi terbaru (edisi 23) yang asli relatif mahal sehingga tidak terjangkau oleh kebanyakan perpustakaan terutama di daerah. Sementara yang umum digunakan seperti Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey susunan Towa P. Hamakonda dan JNB. Tairas sudah tidak lagi diperbaharui. Berdasarkan pertimbangan tersebut Rotmianto membuat e-DDC semata-mata adalah untuk membantu pustakawan/penggiat perpustakaan memecahkan kendala dalam menentukan nomor klasifikasi koleksi tanpa mengeluarkan biaya dikarenakan e-DDC adalah freeware, alias aplikasi yang bebas digunakan, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat menghemat pengeluaran perpustakaan dan dengan kata lain perpustakaan dapat lebih mengoptimalkan kemampuan keuangannya untuk pengadaan koleksi. Walaupun e-DDC adalah freeware, konten atau bagan notasi penomoran klasifikasi yang disajikan tetap diusahakan selengkap mungkin berdasarkan bagan klasifikasi DDC edisi terbaru, yaitu DDC Edisi 23, guna
memenuhi kebutuhan pengklasifikasian untuk semua jenis perpustakaan, mulai dari perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, perpustakaan khusus, bahkan juga sesuai untuk perpustakaan perguruan tinggi. Proses Pembuatan e-DDC e-DDC dibuat menggunakan bahasa pemrograman HTML yang kemudian di-compile menggunakan bantuan sebuah tool yaitu HTML compiler atau biasa disebut dengan Chm sehingga menghasilkan aplikasi e-DDC dengan format *.chm. Dengan format *.chm ini menjadikan e-DDC ringan namun compatible, user friendly dan update-able. Ketiga hal tersebut (compatible, user friendly dan update-able) menjadi prinsip dasar dalam merancang dan membuat aplikasi e-DDC. Ketiga prinsip e-DDC mempunyai makna tersendiri apabila dijabarkan lebih lanjut, yaitu: 1. Compatible maksudnya bahwa e-DDC merupakan aplikasi yang multi-partner, artinya yaitu e-DDC dapat digunakan secara bersama-sama dalam satu komputer dengan sistem informasi manajemen perpustakaan atau sistem automasi perpustakaan yang sudah banyak beredar di Indonesia sebagaimana disebutkan sebelumnya, seperti Inlis, SLiMS, WinISIS, Athenaeum Light, KOHA, LASer, LARIS, Linspro, Openbiblio, dan lain-lain. Disamping itu, e-DDC juga merupakan aplikasi yang multi-platform, karena dapat dijalankan di komputer yang menggunakan sistem operasi (operating system) berbasis Windows, Apple MacOS, maupun Linux. 2. User friendly maksudnya bahwa e-DDC mudah digunakan oleh siapapun baik pustakawan dan penggiat perpustakaan yang mempunyai basis ilmu perpustakaan maupun oleh mereka yang bukan atau bahkan yang belum pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang berkenaan dengan ilmu perpustakaan, dikarenakan kesederhanaan rancangan maupun cara penggunaannya. Di samping itu, aplikasi e-DDC ringan karena tidak menggunakan database sehingga menghemat resource komputer. Dalam hal instalasi juga sangat mudah dilakukan, bahkan oleh orang yang masih pemula dalam menggunakan komputer. 3. Update-able maksudnya bahwa e-DDC akan selalu diupdate baik dari isi/konten dalam hal ini adalah bagan nomor klasifikasi maupun dari segi tampilannya. Aplikasi e-DDC akan selalu berusaha menyesuaikan dengan DDC versi cetak. Dengan kata lain apabila DDC versi cetak sudah sampai pada edisi ke-23, maka konten e-DDC pun akan menyesuaikan dengan versi cetak tersebut. Demikian untuk seterusnya, sehingga e-DDC diharapkan selalu update dan sesuai dengan
perkembangan zaman. Dalam merancang e-DDC, Penulis tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar dalam DDC, yaitu sebagai berikut: 1. Prinsip Dasar Desimal, yaitu pembagian ilmu pengetahuan menjadi 10 kelas utama (the Ten Main Classes), kemudian masing-masing kelas utama dibagi ke dalam 10 divisi (Divisions), dan selanjutnya masingmasing divisi dibagi menjadi 10 seksi (Sections). Dengan demikian DDC terdiri dari 10 kelas utama, 100 divisi dan 1000 seksi. 2. Prinsip Dasar Susunan dari Umum ke Khusus, yaitu dari 10 divisi dalam tiap kelas utama, divisi pertama (divisi 0) membahas karya umum untuk seluruh kelas, sedangkan divisi 1 – 9 membahas hal-hal yang lebih khusus. 3. Prinsip Dasar Disiplin, yaitu penyusunan dan pembagian DDC didasarkan pada spesialisasi ilmu pengetahuan atau “discipline” (disiplin ilmu) atau pada cabang ilmu pengetahuan tertentu dan bukan pada subjek. Sehingga satu subjek dapat dibahas pada beberapa disiplin ilmu sekaligus. 4. Prinsip Dasar Hierarki, yaitu sistem klasifikasi yang tersusun berurutan baik dalam notasi maupun dalam relasi antar disiplin dan relasi antar subjek (apa yang berlaku di kelas berlaku juga bagi semua divisi dan seksinya). Dalam perjalanannya, freeware e-DDC sudah beberapa kali mengalami update dan perilisan. Adapun sejarah update dan perilisan adalah sebagai berikut ini: 1. e-DDC (Version 1.1) dirilis pada tanggal 17 April 2010. 2. e-DDC (Version 1.2) dirilis pada tanggal 23 Agustus 2010. 3. e-DDC Edition 22 (Version 2.1) dirilis pada tanggal 2 Desember 2010. 4. e-DDC Edition 22 (Version 2.2) dirilis pada tanggal 12 Oktober 2011. 5. e-DDC Edition 22 (Version 2.3) dirilis pada tanggal 6 Oktober 2012. 6. e-DDC Edition 23 (Version 3.1) dirilis pada tanggal 20 Desember 2012. 7. e-DDC Edition 23 (Version 3.2) dirilis pada tanggal 26 Maret 2013. 8. e-DDC Edition 23 (Version 3.3 beta) dirilis tanggal 10 Mei 2014, dan yang terkini: 9. e-DDC Edition 23 (Version 3.3) Updated dirilis pada tanggal 14 September 2014 sekaligus memperingati Hari Kunjung Perpustakaan.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
17
Beberapa hal yang membedakan e-DDC Edition 23 Version 3.3 Updated ini dengan versi-versi yang sudah beredar sebelumnya adalah sebagai berikut: 1. Notasi klasifikasi Agama Islam 297 dan 2X0 diupdate sehingga lebih lengkap dari pada versi sebelumnya. Notasi klasifikasi Agama Islam 297 disusun berdasarkan DDC Edisi 23 (cetak) serta Webdewey (trial version) sedangkan notasi klasifikasi Agama Islam 2X0 disusun berdasarkan buku “Daftar Tajuk Subjek Islam dan Sistem Klasifikasi Islam” terbitan Departemen Agama RI tahun 2003. Hal ini sudah diupayakan sejak e-DDC generasi awal (e-DDC Version 1) dan menjadikan e-DDC sebagai satusatunya aplikasi untuk menentukan nomor klasifikasi DDC yang mengakomodasi kedua notasi klasifikasi Agama Islam (297 dan 2X0) tersebut. Pustakawan boleh menggunakan salah satu di antara notasi 297 atau 2X0 tersebut sesuai kebutuhan masing-masing. 2. Disediakan opsi penomoran (option number) untuk notasi Bahasa Indonesia yaitu menggunakan nomor klasifikasi 410 atau 499.221. Notasi Bahasa Indonesia under 410 disusun sebagaimana petunjuk dalam Schedules DDC Edisi 23 Volume 2 halaman 931 Option A yang berbunyi: “to give local emphasis and a shorter number to a specific language other than English, e.g Russian, class it here and add to base number 41- as instructed under 420 - 490.” Hal ini pernah diupayakan oleh Towa P. Hamakonda dan JNB. Tairas dalam buku “Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey”. Dikarenakan sudah terdapat petunjuk dalam Schedules DDC Edisi 23 tersebut, maka tidak ada salahnya jika pustakawan menggunakan notasi dasar 410 untuk nomor klasifikasi bahasa Indonesia untuk mendapatkan penomoran yang lebih luas. Namun apabila memilih menggunakan nomor dasar 499.221 sebagaimana yang sudah disediakan pada bagan DDC Edisi 23 juga diperkenankan. Pada intinya, pustakawan boleh menggunakan salah satu di antara notasi 410 atau 499.221 tersebut sesuai kebutuhannya masing-masing. 3. Untuk kasus yang hampir sama, juga disediakan opsi penomoran (option numbers) untuk notasi sastra Indonesia yaitu menggunakan nomor klasifikasi 810 atau 899.221. Notasi sastra Indonesia under 810 disusun sebagaimana petunjuk dalam Schedules DDC Edisi 23 Volume 3 halaman 794 yang berbunyi: “to give local emphasis and a shorter number to a specific literature other than American literature in English, e.g Afrikaan literature, class it here and in that case class American literature in english in 820.” Sama dengan di atas, hal ini juga pernah diupayakan oleh Towa P. Hamakonda dan JNB. Tairas dalam buku “Pengantar
18
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Klasifikasi Persepuluhan Dewey”. Dikarenakan sudah terdapat petunjuk dalam Schedules DDC Edisi 23 tersebut, maka sekali lagi tidak ada salahnya jika pustakawan menggunakan notasi dasar 810 untuk nomor klasifikasi sastra Indonesia untuk mendapatkan penomoran yang lebih luas. Namun apabila memilih menggunakan nomor dasar 899.221 sebagaimana yang sudah disediakan pada bagan DDC Edisi 23 juga diperkenankan. Dan sekali lagi pada intinya pustakawan boleh menggunakan salah satu di antara notasi 810 atau 899.221 tersebut sesuai kebutuhannya masing-masing. 4. Terdapat tambahan notasi untuk tema-tema baru yang hanya terdapat pada DDC (cetak) Edisi 23 yang tidak terdapat pada edisi sebelumnya, seperti 004.6782 untuk cloud computing, 006.752 untuk web blog, sedangkan nomor 777 untuk sinematografi yang pada DDC (cetak) Edisi 23 kembali ditampilkan setelah pada edisi-edisi sebelumnya nomor tersebut (777) tidak digunakan, juga relokasi dari 297.124 (DDC sebelum edisi 23) ke 297.125 (mulai DDC Edisi 23) untuk Hadith. Hal ini cukup menunjukkan bahwa konten e-DDC memang update sesuai dengan DDC (cetak) Edisi 23. 5. Ciri khas paling unik pada e-DDC Edition 23 Version 3.3 Updated adalah fitur “Basmalah”, yaitu bacaan “Basmalah” yang akan terdengar setiap pertama kali mengakses halaman awal (home) e-DDC. Bacaan “Basmalah” juga akan kembali terdengar setiap halaman Agama Islam 297 dan 2X0 diakses. Namun, apabila dikarenakan suatu alasan tertentu fitur “Basmalah” ingin dinonaktifkan, cukup dengan meremove file “Basmalah.mp3” dalam folder instalasi default e-DDC yaitu di C:/Program Files/e-DDC/eDDC Edition 23. Dari segi tampilan, e-DDC Edition 23 Version 3.3 Updated sebenarnya tidak jauh berbeda dengan versiversi sebelumnya adalah sebagaimana ilustrasi di bawah ini: Distribusi penyebaran e-DDC terutama dilakukan melalui media internet yaitu pada situs resmi e-DDC http://www.e-ddc.org di samping itu banyak juga yang mengedarkannya dengan cara copy-paste. Dari situs resminya, pengunduh e-DDC untuk perilisan ke-7 (e-DDC Edition 23 Version 3.2) sampai tulisan ini dibuat sudah lebih dari 10.000 kali dari segala penjuru tanah air bahkan ada yang dari luar negeri. Ini membuktikan e-DDC telah diterima dan mendapat tempat tersendiri di kalangan pustakawan. Maka dari itu, inovasi dan pengembangan e-DDC, harus terus dilakukan, yaitu dengan cara membentuk Team e-DDC.
Gambar 1 Tampilan Awal e-DDC
Team e-DDC dan Karya yang Dihasilkan Untuk memperkuat dan memaksimalkan pengembangan e-DDC, dibentuk “Team e-DDC” dengan beranggotakan pustakawan yang mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing, seperti Imam Nurul Hidayat dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo sebagai verifikator penomoran konten e-DDC mulai e-DDC Edition 23 (Version 3.3) dan DDC versi cetak, Eko Wahyudi dari Banyuwangi, penyusun source code program. Karya yang sudah dihasilkan Team e-DDC antara lain: 1. Plugin e-DDC for SLiMS. Plugin e-DDC for SLiMS adalah e-DDC yang terintegrasi dengan sistem automasi perpustakaan SLiMS dalam bentuk aplikasi tambahan. Pada prinsipnya, plugin tersebut memungkinkan konten e-DDC dapat berjalan integral dalam satu database dengan sistem automasi perpustakaan SLiMS. Plugin e-DDC for SLiMS dibuat mengikuti dan menyesuaikan dengan versi-versi SLiMS yang sudah beredar. Plugin for SLiMS ini dirilis pada tanggal 2 Mei 2015, sekaligus memperingati Hari Pendidikan Nasional. Berikut ini adalah tampilan salah satu dari Plugin e-DDC for SLiMS (untuk SLiMS 5 Meranti):
Gambar 2 Plugin e-DDC for SliMS 2. Add-ons e-DDC for Mozilla Firefox: Adalah e-DDC yang dijadikan fitur pengaya dalam browser Mozilla Firefox. Add ons e-DDC tersebut memungkinkan konten e-DDC dapat diakses menggunakan browser Firefox dalam keadaan online maupun offline. Add-ons e-DDC for Mozilla Firefox ini dirilis pada tanggal 17 Agustus 2015 sekaligus memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke-70. Berikut ini adalah tampilan Add-ons e-DDC for Mozilla Firefox:
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
19
Gambar 3 Add-ons e-DDC for Mozilla Firefox 3. Plugin e-DDC for Inlis. Seperti halnya Plugin e-DDC for SliMS, Plugin e-DDC for Inlis juga mengintegrasikan e-DDC dengan sistem automasi perpustakaan Inlis dalam bentuk aplikasi tambahan. Plugin e-DDC for Inlis ini masih dalam tahap pengembangan. Berikut ini adalah tampilan Plugin e-DDC for Inlis:
tentu saja dari segi kompatibilitas, maksudnya kalau e-DDC dibuat menggunakan bahasa pemrograman PHP juga, nanti dikhawatirkan akan timbul masalah seperti crash dan semacamnya apabila dipakai dalam satu komputer yang di dalamnya sudah ada automasi perpustakaan yang juga menggunakan PHP seperti Inlis, SLiMS, LASer, dan sebagainya. Akhirnya, setelah berbagai survei dan uji coba, terinspirasi dari aplikasi Alquran Digital yang meskipun sederhana dan ringan namun cukup optimal dalam melakukan fungsi pencarian, sebagaimana yang dibutuhkan oleh pustakawan. Ternyata Alquran Digital tersebut dibuat menggunakan Chm Creator, sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, di mana Chm Creator adalah salah satu e-book maker (aplikasi pembuat e-book). Namun, pada Alquran Digital tersebut mencantumkan kata “freeware” pada tampilan awalnya (sebagaimana lingkaran pada ilustrasi di bawah ini). Maka dari itu, bolehlah sekiranya dinyatakan bahwa e-DDC juga termasuk freeware, seperti halnya Alquran Digital. Disamping itu menurut Mayesti, e-DDC mempunyai ciri yang memenuhi kualifikasi suatu freeware, sebagaimana definisi dari freeware yaitu perangkat lunak yang bebas dijalankan, digandakan, disebarluaskan tanpa ada biaya lisensi namun tidak diperkenankan untuk melakukan pemodifikasian terhadapnya (Mayesti, 2010, hal. 4.4.). Pada intinya, apapun sebutannya, e-DDC dibuat dengan tujuan agar mudah digunakan semua pustakawan dan penggiat perpustakaan dari lintas disiplin ilmu, khususnya di Indonesia.
Gambar 4 Plugin e-DDC for Inlis FAQ (Frequently Asked Questions) Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang pernah disampaikan kepada Penulis berkaitan dengan e-DDC: 1. Apakah e-DDC adalah sebuah software atau e-book? e-DDC memang sebuah aplikasi sederhana yang dibuat menggunakan Chm Creator (html compiler) yang umum juga digunakan untuk membuat e-book (electronic book). Sebenarnya, pada awalnya Penulis ingin menggunakan bahasa pemrograman visual basic untuk membuat e-DDC. Juga pernah mencoba PHP. Namun banyak terjadi kendala. Kendala utama
20
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Gambar 5 Freeware Alquran Digital sebagai inspirasi e-DDC 2. Apakah e-DDC legal? Sebagaimana diketahui, bagan klasifikasi DDC merupakan hak cipta dari OCLC (Online Computer Library Center) yang berkedudukan di Ohio, Amerika Serikat. Dikarenakan e-DDC juga memuat nomor klasifikasi DDC, apakah itu berarti
e-DDC melanggar hak cipta? Menurut UndangUndang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta) pada Paragraf 4 tentang Pembatasan Perlindungan Pasal 26 pada intinya menyatakan bahwa penggunaan ciptaan pihak lain untuk pendidikan, penelitian, dan lain-lain tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Sebagaimana tujuan pembuatan e-DDC adalah digunakan di bidang perpustakaan yang notabene merupakan bagian integral dalam pendidikan. Disamping itu, e-DDC tidak memuat keseluruhan dari bagan klasifikasi milik OCLC namun diadaptasi agar sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Dan yang terpenting, e-DDC tidak dijual, namun disebarkan dengan gratis sebagai solusi alternatif bagi pustakawan dan penggiat perpustakaan khususnya di Indonesia yang masih kesulitan membeli DDC asli versi cetak maupun mengakses software Dewey for Windows atau WebDewey. Dengan demikian diharapkan e-DDC tidak melanggar Undang-Undang, yang berarti juga tidak melanggar hak cipta dari OCLC yang merupakan pemilik resmi DDC. Lagi pula, dari segi format, cara penyusunan dan tampilan antara e-DDC dengan produk keluaran OCLC (DDC versi cetak, Dewey for Windows, dan WebDewey) sama-sekali berbeda. Berikut ini adalah contoh ilustrasi tampilan Dewey for Windows (gambar atas) dan WebDewey (gambar bawah), yang apabila dibandingkan dengan e-DDC jelas mempunyai perbedaan yang sangat signifikan:
Gambar 6 Dewey for Windows
Gambar 7 WebDewey 3. Apakah e-DDC akurat? Meskipun dibuat secara swadana, swadaya dan disebarkan dengan gratis, tidak berarti bahwa konten e-DDC dibuat asal-asalan. Penyusunan bagan klasifikasi DDC di dalam e-DDC tetap dibuat secermat mungkin. Namun apabila masih ada kekeliruan, hal itu cukup wajar dan manusiawi. Kekeliruan akan diperbaiki pada versi-versi mendatang, dengan harapan e-DDC akan semakin sempurna dan semakin valid dalam menunjang tugas-tugas penentuan nomor klasifikasi DDC di perpustakaan. Sekali lagi, meski kini sudah ada e-DDC untuk mempermudah pustakawan dan penggiat perpustakaan dalam menentukan nomor klasifikasi DDC, Penulis selaku kreator dari e-DDC tetap merekomendasikan untuk menggunakan bagan asli Sistem Klasifikasi DDC (baca: DDC cetak versi terbaru) demi keabsahan penomoran. Apabila mempunyai cukup dana, disarankan pula untuk mencoba Dewey for Windows atau WebDewey. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. e-DDC adalah freeware (aplikasi bebas berbayar) yang boleh didistribusikan secara luas oleh siapapun dengan bebas (freeware) dan dapat diunduh melalui situs resminya http://www.e-ddc.org. 2. e-DDC TIDAK melanggar hak cipta OCLC dan TIDAK melanggar Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta khususnya pada Paragraf 4 tentang Pembatasan Perlindungan Pasal 26 dikarenakan e-DDC dibuat dengan tujuan untuk turut berupaya mengembangkan dunia pendidikan dikarenakan perpustakaan merupakan bagian integral dari pendidikan dan e-DDC dibuat semata-mata ditujukan
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
21
untuk membantu sesama pustakawan dan penggiat perpustakaan dari lintas disiplin ilmu terutama pustakawan/penggiat perpustakaan di daerah-daerah yang minim fasilitas. 3. Aplikasi e-DDC dibuat menggunakan Chm Creator dan mempunyai prinsip compatible (kompatibel dengan berbagai sistem automasi perpustakaan dan sistem operasi komputer), user friendly (mudah digunakan siapapun) dan update-able (mendapatkan update secara kontinyu).
4. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, e-DDC hanyalah sebagai alternatif dalam menentukan nomor klasifikasi dan sama-sekali TIDAK ditujukan untuk menggantikan Sistem Klasifikasi DDC begitu saja. Bagaimanapun tetap direkomendasikan Sistem Klasifikasi DDC cetak versi terbaru sebagai rujukan utama untuk menentukan nomor klasifikasi DDC atau menggunakan Dewey for Windows ataupun WebDewey apabila pustakawan/perpustakaan mempunyai cukup dana.
Daftar Pustaka
Mayesti, Nina, dkk. (2010). Kajian Software. Jakarta: Universitas Terbuka. Hal. 4.4. OCLC Online Computer Library Center (2015). Dewey Publication Order. http://www.oclc.org/content/ dam/oclc/forms/en/dewey-order-americas.pdf diakses tanggal 19/02/2015. OCLC Online Computer Library Center (2015). Dewey Version. http://www.oclc.org/en-CA/dewey/features. html diakses tanggal 18/02/2015.
22
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
OCLC Online Computer Library Center (2011). Introduction to the Dewey Decimal Classification. Dublin, Ohio. Hal. XLIII. Saleh, Abdul Rahman, dkk. (2009). Manajemen Perpustakaan. Jakarta: Univeritas Terbuka. Hal. 3.33.
Oleh: Andrea Ardi Ananda1 Email:
[email protected]
Pengembangan Perpustakaan Desa Berbasis Community Engagement di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB Abstrak Kemajuan suatu bangsa dilihat dari bagaimana kondisi Sumber Daya Manusianya. Salah satu yang menjadi indikator pada umumnya adalah pendidikan. Tingkat Pendidikan masyarakat terutama di desa dapat dikatakan belum merata jika melihat ketersediaan sarana pendidikan yang ada. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan setiap desa mampu menyediakan, mengelola dan mengembangkan sarana perpustakaan yang ada di desa sebagai wujud pembangunan bangsa. Perpustakaan sebagai lembaga pendidikan sepanjang hayat dirasa perlu menjadi salah satu tempat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tidak hanya dari segi pengetahuan dan keterampilannya namun juga berpengaruh pada peningkatan taraf ekonomi yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu sekiranya dilakukan inovasi dan strategi pengembangan yang mampu menjadikan perpustakaan khususnya di desa sebagai pusat kegiatan dan belajar masyarakat melalui prinsip community engagement (pelibatan masyarakat) seperti yang sudah dilakukan di beberapa Perpustakaan Desa di Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB. Kata Kunci: Perpustakaan Desa, Community Engagement, Pelibatan Masyarakat, Lombok Timur Pendahuluan Di negara-negara maju, perpustakaan telah menjadi bagian dari gaya hidup (lifestyle) masyarakatnya, dan menjadi sarana yang strategis dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM), kebutuhan akan perpustakaan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, tidak aneh jika kita lihat banyak orang Eropa menghabiskan waktunya untuk membaca di tempat-tempat umum layaknya halte bus, di dalam kereta, bahkan saat berjemur di pinggir pantai sekalipun. Wajar jika tingkat kemajuan di negara-negara Eropa begitu pesatnya. Hal ini tentu patut untuk ditiru oleh Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat populasi penduduknya termasuk dalam 5 besar di dunia, mengingat SDM merupakan elemen vital dalam menggerakkan pembangunan di suatu bangsa. 1
Keberadaan sarana perpustakaan terutama perpustakaan desa memang masih sangat terbatas bahkan cenderung memprihatinkan kondisinya. Garda utama dan pembangunan awal dari negara bermula dari desa. Pembangunan desa sangat menentukan untuk keberlanjutan di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Keberhasilan pembangunan di desa tentu akan berpengaruh besar bagi penentuan kebijakan di pusat. Hal ini tentu tak lepas dari kualitas SDM yang ada di desa serta bagaimana tingkat pendidikan masyarakatnya sebagai faktor utama kemajuan suatu desa. Sarana penunjang pendidikan seperti perpustakaan tentu sangat dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat desa.
Pemenang Kedua Pemilihan Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015 dan Pustakawan Pertama di Kantor Perpustakaan Arsip Daerah Kabupaten Lombok Timur.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
23
Dengan adanya otonomi daerah tentu menjadi kebijakan dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengelola Perpustakaan Desanya. Saat ini di NTB hampir sebagian besar desa sudah memiliki perpustakaan namun tidak sedikit pula yang belum memilikinya, atau sudah punya sarana perpustakaan namun belum berjalan secara efektif. Khususnya di Lombok Timur sudah terbentuk 189 Perpustakaan Desa dari total jumlah Desa/Kelurahan sebanyak 252 berdasarkan data terakhir tahun 2014. Perpustakaan Desa dianggap hanya pelengkap saja, rakrak buku diletakkan begitu saja layaknya hiasan ruangan tanpa mau disentuh. Oleh karena itu perlu upaya dan usaha dari semua lapisan masyarakat sehingga perpustakaan dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kabupaten Lombok Timur yang merupakan salah satu kabupaten dengan wilayah dan populasi penduduknya terbesar di Provinsi NTB tentu menjadi poros penggerak pembangunan, sehingga tentu pengembangan sarana pendidikan seperti perpustakaan desa menjadi salah satu hal yang setidaknya patut mendapat perhatian agar pembangunan dapat terus berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sehingga harus ada komitmen juga dari perpustakaan desa terutama dari pihak Kepala Desa untuk mendukung perkembangan perpustakaan desa melalui kebijakan-kebijakan yang diambil maupun penganggaran. Dengan demikian strategi dan inovasi apa pun dapat berjalan dan terlaksana secara berkesinambungan. Definisi Perpustakaan Berdasarkan paradigma lama, khususnya di Indonesia, perpustakaan sering diartikan sebagai sebuah gedung atau ruangan tempat menyimpan buku-buku. Gedung perpustakaan pada umumnya menggunakan gedung tua, pengap, sepi bahkan terkesan angker di mana pengunjung dilayani oleh pegawai yang kurang bergairah dan tidak ramah terhadap pengguna. Namun seiring perkembangan ilmu perpustakaan lambat laun paradigma lama tergeser oleh paradigma baru, di mana perpustakaan adalah sesuatu yang hidup, dinamis, serta dengan inovasi layanan yang lebih atraktif, interaktif, edukatif dan rekreatif bagi pengunjungnya (Hermawan, 2006: 7). Banyak sekali definisi dari perpustakaan yang dikemukakan para ahli. Berikut adalah beberapa definisi umum dari perpustakaan; 1) Menurut Sulistyo Basuki (1991:3) Perpustakaan ialah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu
24
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual. 2) Menurut SK Menpan Nomor 132 Tahun 2003 Perpustakaan adalah unit kerja yang memiliki sumber daya manusia, ruangan khusus dan koleksi bahan pustaka sekurang-kurangnya terdiri dari 1000 judul dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai dengan jenis perpustakaan yang bersangkutan dan dikelola menurut sistem tertentu. 3) Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Perpustakaan adalah institusi pengelola karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, dan rekreasi para pemustaka. Landasan Hukum Landasan hukum tentang perpustakaan desa telah mengalami perubahan dan penyempurnaan disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan. Landasan dimaksud antara lain: 1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007. 2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. 4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 5) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 1953 tentang Penyerahan Secara Resmi Urusan Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah. 6) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Perpustakaan Desa/Kelurahan. Pembentukan perpustakaan desa itu perlu didasarkan pada keputusan pejabat yang berwenang seperti Bupati/ Walikota atau Peraturan Daerah (Perda) yang ditetapkan oleh eksekutif bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tujuannya untuk memenuhi asas formal dan legal di samping menjadi kekuatan moral dari seluruh warga masyarakat. Menurut catatan sejarah, perpustakaan desa pada dasarnya adalah Perpustakaan Rakyat. Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 1953, bahwa Lembaga Perpustakaan sebagai urusan Pemerintah Pusat yang telah resmi diserahkan kepada Daerah. Pada hakikatnya Perpustakaan Desa termasuk dalam jenis Perpustakaan Umum. Di mana Perpustakaan Umum adalah perpustakaan yang melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan latar
belakang, status sosial, agama, suku, pendidikan, dan sebagainya. Konsep dasarnya adalah didirikan oleh masyarakat, untuk masyarakat dan didanai dengan dana masyarakat. Terkait Perpustakaan Umum Desa, Sulistyo Basuki (1991:48) menyatakan bahwa perpustakaan jenis ini lazim juga disebut perpustakaan desa, merupakan perpustakaan yang terdapat di desa dan dikelola oleh swadaya masyarakat desa. Perpustakaan dibentuk sebagai wujud pelayanan kepada pemustaka dan masyarakat. Pada Pasal 16 butir (e) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 secara jelas tercantum penyelenggaraan perpustakaan desa dan pada Pasal 22 ayat 3 UndangUndang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan juga menjabarkan bahwa Perpustakaan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan mengembangkan sistem teknologi informasi dan komunikasi. Eksistensi perpustakaan desa sangatlah penting, sementara perkembangannya belum dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh karena keterbatasan dan kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya menunjang. Penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan desa bertujuan untuk melayani masyarakat. Sebuah upaya menyediakan fasilitas membaca, belajar yang memadai yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, wilayah dan kebutuhan masyarakat. Setiap desa hendaknya membentuk perpustakaan sesuai dengan sifat yang khas, karakteristik, dan keunikan tersendiri sesuai khazanah di daerah masing-masing. Menurut Sutarno (2008: 27) tujuan yang lebih rinci adalah sebagai berikut: 1) Menunjang program wajib belajar dan program pendidikan keterampilan masyarakat lainnya 2) Menyediakan wahana mencerdaskan kehidupan masyarakat desa dan menumbuhkan daya kreasi, prakarsa dan swakarsa masyarakat melalui peningkatan gemar membaca dan semangat belajar masyarakat 3) Memberi semangat belajar dan hiburan yang sehat dalam memanfaatkan hal-hal yang bersifat membangun dalam waktu senggang 4) Menyediakan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada masyarakat dalam berbagai bidang 5) Menyediakan kebutuhan sarana edukasi, rekreasi, penerangan, informasi, dan penelitian bagi warga desa. Pelibatan Masyarakat (Community Engagement) Peran masyarakat dalam memajukan pembangunan sudah pasti sangatlah signifikan dan tak bisa dipungkiri menjadi roda penggerak dalam kemajuan suatu bangsa. Partisipasi masyarakat harus dioptimalkan agar tujuan yang direncanakan tercapai, tak terkecuali di perpustakaan
desa. Pelibatan masyarakat diartikan sebagai kegiatan di perpustakaan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat melalui penyediaan informasi yang luas (buku, internet, pelatihan) dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif. Menilik kondisi dari Perpustakaan Desa di Lombok Timur saat ini yang cukup memprihatinkan maka sudah saatnya dilakukan pembenahan-pembenahan yang mampu menghidupkan kembali perpustakaan desa yang sebelumnya mati suri. Menurut Sutarno (2008: 123) permasalahan di perpustakaan desa sebagai berikut: 1) Jumlah perpustakaan desa belum merata di seluruh wilayah Indonesia, bahkan baru sebagian saja desadesa yang telah membentuk perpustakaan. Banyak kendala yang ditemukan di lapangan baik manajerial maupun teknis. Kondisi itu ditambah dengan lemahnya pemahaman dan dukungan dari pemerintah desa dan masyarakat. 2) Pembinaan kegemaran dan budaya membaca serta belajar di desa masih terkendala oleh banyak unsur yang tidak mudah diatasi. Kendala itu misalnya, budaya tutur, budaya lisan dan budaya bercerita yang masih dominan. 3) Perpustakaan desa yang dapat berfungsi dengan baik, paling tidak dapat dijadikan sarana belajar masyarakat, terutama anak-anak, para remaja dan pemuda. 4) Keberadaan perpustakaan desa di kantor desa/lurah mempunyai nilai plus-minusnya. Nilai plus, misalnya perpustakaan desa yang berada di kantor kepala desa adalah tempat yang strategis, maka masyarakat dengan berkunjung sambil menyelesaikan urusan dengan perangkat desa seperti mengurus KTP, pajak dan sebagainya. Nilai minusnya, misalnya kantor kepala desa terkesan angker, birokratis dan sangat formal sehingga masyarakat menjadi sungkan, malu atau malas ke perpustakaan desa. Dalam kaitannya dengan permasalahan yang telah dijabarkan di atas maka dirasa perlu dilakukan inovasiinovasi dalam pengembangan Perpustakaan Desa di Kabupaten Lombok Timur. Pelibatan masyarakat bisa menjadi salah satu solusi dalam mengoptimalkan perpustakaan desa. Masyarakat diajak untuk mengubah mindset mereka bahwa perpustakaan tidak hanya tempat membaca dan meminjam buku saja tetapi juga sebagai pusat kegiatan dan belajar masyarakat yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Ada beberapa faktor pendukung dalam keberhasilan community engagement (pelibatan masyarakat) ini yaitu ketersediaan sarana komputer, internet, dan dukungan stakeholders terkait. Adapun langkah-langkah dalam melakukan pelibatan masyarakat di perpustakaan adalah sebagai berikut:
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
25
1. Langkah 1: mengidentifikasi permasalahan yang ada di masyarakat 2. Langkah 2: menentukan jenis kegiatan pelibatan masyarakat yang memanfaatkan komputer dan internet 3. Langkah 3: menentukan sasaran kegiatan (anakanak, kelompok remaja, wanita dan wirausaha mikro) 4. Langkah 4: menyusun rencana kegiatan Kemajuan zaman ditandai dengan era komputer atau digitalisasi, di mana hampir semua aspek kehidupan kita sudah dapat diselesaikan secara modern dan berbasis komputer. Walaupun berada di desa namun keberadaan perangkat komputer ini sangat penting dalam membantu menyelesaikan pekerjaan di perpustakaan tapi juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Komputer yang terkoneksi dengan internet tentu akan menjadi nilai tambah dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Saat ini sudah dimulai program melek internet di desa. Baik dari pemerintah pusat hingga di daerah berlomba-lomba menyusun program yang menyasar pada pemanfaatan internet di desa. Ambil contoh dengan program PLIK (Pusat Layanan Internet Kecamatan) yang digagas oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Perpustakaan Desa Pesanggrahan di Lombok Timur telah memanfaatkan sarana tersebut untuk mengadakan pelatihan komputer dasar bagi ibuibu kader PKK dan Posyandu. Dengan adanya sarana komputer yang terkoneksi dengan internet tentu bisa menjadi modal awal bagi perpustakaan desa melakukan kegiatan yang melibatkan masyarakat dalam jumlah besar tergantung pada kuantitas dari sarana komputer yang tersedia. Keberadaan komputer dan internet di perpustakaan desa bukan dalam rangka menggeser peran buku, namun lebih kepada pelengkap dari informasi yang didapatkan dari buku sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh konkretnya seperti di Perpustakaan Desa Aikmel Lombok Timur, ketika seorang mantan TKW yang ingin membuka usaha sendiri mendapat informasi tentang Perpustakaan Desa yang dilengkapi komputer dan internet. Beliau langsung datang dan memanfaatkan sarana tersebut untuk memasarkan hasil kerajinan tangannya melalui jejaring sosial berupa tas dan dompet berbahan dasar kain perca bekas dan itu semua dilakukan tanpa biaya alias gratis. Kemudian peran stakeholder atau pihak terkait dalam pengembangan Perpustakaan Desa di Lombok Timur tentu tidak dapat dikesampingkan. Adapun pihakpihak terkait yang dapat membantu pengembangan
26
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Perpustakaan Desa di Lombok Timur antara lain: 1) Tokoh Masyarakat/Tokoh Agama Tokoh pemuka masyarakat yang terdiri atas beberapa unsur seperti pemimpin agama, pengusaha, cendikiawan dan sebagainya. Keterlibatan tokoh masyarakat merupakan salah satu kekuatan yang substansial karena dalam upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Tokoh masyarakat adalah sosok atau figur yang menonjol, terdepan, dan berkualitas dalam berbagai aspeknya. Oleh karena itu seharusnya dimanfaatkan dengan efektif dan efisien. Kepala Desa tentu menjadi sosok yang berperan dalam menggerakkan elemen masyarakat desa. Pada lingkungan masyarakat desa tertentu, peran tokoh masyarakat ini menjadi sentral karena petuah atau perintah pemuka adat/tokoh masyarakat yang dituakan dianggap sebagai peraturan atau kebijakan yang sifatnya harus dilakukan sehingga sangat penting untuk meminta tokoh masyarakat untuk berperan dalam membangun perpustakaan desa. Khususnya di Lombok Timur peran para Tuan Guru menjadi sangat penting sehingga perlu dilakukan pendekatan kepada Beliau mengenai sosialisasi perpustakaan saat adakan tausyiah atau pengajian. 2) Pemuda, Remaja, Relawan (Karang Taruna) Pada dasarnya pembentukan perpustakaan desa, terutama diperuntukkan bagi kaum muda, remaja dan anak-anak serta mereka yang berusia produktif. Oleh karena itu mereka diharapkan bersedia dan tergugah untuk menjadi bagian dari pemangku kepentingan demi kemajuan perpustakaan. Salah satu cara melibatkan kelompok pemuda adalah dengan melibatkan langsung untuk membentuk, menyelenggarakan dan membina perpustakaan desa. Mereka dikelompokkan dalam relawan yang dengan senang hati mau peduli membantu perpustakaan desa. Di 5 Perpustakaan Desa Percontohan di Lombok Timur, relawan dari karang taruna sangat berperan aktif. Seperti di Perpustakaan Desa Kotaraja dengan Karang Taruna Bajang Wanen saling bekerja sama dengan mengadakan sosialisasi kepada para pemuda desa dan menjadi inisiator di setiap kegiatan yang melibatkan masyarakat luas. 3) Instansi Terkait Intansi terkait antara lain lembaga-lembaga pemerintahan baik di tingkat kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi. Selain itu pula dapat melibatkan pihak swasta untuk turut berpartisipasi dalam memajukan perpustakaan desa. Pihak perpustakaan desa haruslah pintar-pintar mencari mitra untuk dapat berkegiatan yang melibatkan masyarakat luas tentu dengan
memegang prinsip simbiosis mutualisme. Kemudian perlu adanya advokasi dari perpustakaan desa kepada pihak pemerintah desa, kabupaten hingga provinsi jika perlu untuk mendapatkan dukungan baik dari segi penganggaran (budget) maupun kebijakan (policy) yang arahnya tentu untuk perkembangan perpustakaan desa. Misal kemitraan yang sudah terjalin dengan Coca Cola Foundation Indonesia (CCFI) dalam hal bantuan sarana Teknologi Informasi di 5 Perpustakaan Desa Percontohan di Lombok Timur, Perpustakaan Desa Aikmel Lombok Timur mengadakan sosialisasi usaha mikro dengan menggandeng PLUT UMKM Provinsi NTB, Perpustakaan Desa Sakra yang bekerjasama dengan dealer motor untuk mengadakan lomba memasak antar kader desa dan di Perpustakaan Desa Sepit yang bekerjasama dengan TK/PAUD di wilayah Desa Sepit untuk membuat jadwal kunjungan dan senam bersama seminggu sekali di Perpustakaan Desa. Dalam pengembangan perpustakaan desa berbasis community engagement ini pihak perpustakaan desa harus mampu menyusun rencana kerja yang akan dilakukan dalam jangka pendek. Misal mengadakan lomba mewarnai tingkat TK/PAUD, pelatihan komputer dan internet dasar, pelatihan keterampilan anyaman/pengolahan limbah, penyuluhan kesehatan wanita dan masih banyak lagi. Semua dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya di perpustakaan seperti buku, majalah, surat kabar bahkan sarana internet. Pada dasarnya perpustakaan desa harus mampu berinovasi dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang menarik minat kunjung dan partisipasi banyak masyarakat, dengan demikian lambat laun paradigma masyarakat akan berubah yang dulunya menganggap perpustakaan itu membosankan menjadi perpustakaan sebagai primadona dengan berbagai kegiatan menarik. Perpustakaan Desa di Lombok Timur Keputusan Bupati Lombok Timur Nomor: 188.45/127/ ARPUSDOK/2010 tentang Pembentukan Perpustakaan Desa/Kelurahan se-Kabupaten Lombok Timur menjadi tonggak pengembangan Perpustakaan Desa di Lombok Timur yang mana pengelolaannya berpedoman juga pada Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor: 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Perpustakaan di Kabupaten Lombok Timur. Dari segi penganggaran sebenarnya sudah diterbitkan Surat Edaran Bupati Lombok Timur Nomor: 180/18/KUM/2011 tentang pengembangan Perpustakaan Desa dapat dialokasikan melalui Alokasi Dana Desa (ADD) yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan dalam APBDes. Seperti yang sudah di uraikan sebelumnya bahwa di Kabupaten Lombok Timur terdapat
252 Desa/Kelurahan yang mana sudah ada 189 Desa yang sudah tersedia perpustakaannya dan sisanya yaitu 63 Desa lagi sedang dalam tahap pengusulan untuk menerima bantuan pengembangan Perpustakaan Desa. Bantuan koleksi buku-buku bacaan dan sarana rak ini bersumber dari anggaran Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB bekerja sama dengan Kantor Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Lombok Timur. Pada umumnya kondisi Perpustakaan Desa di Lombok Timur tidak jauh berbeda dengan Kabupaten/ Kota lain di NTB. Masih hanya berupa koleksi bukubuku yang diletakkan di rak dan belum dikelola secara optimal dikarenakan belum ada petugas khusus yang menangani perpustakaan. Sehingga layanan perpustakaan masih dapat dikatakan jalan di tempat. Melihat kondisi yang memprihatinkan ini tentu menjadi perhatian dari pihak terkait seperti Kantor Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Kabupaten Lombok Timur. Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) pada akhir tahun 2015 mendatang tentu persaingan dalam pembangunan akan semakin ketat sehingga bagi individu yang belum memiliki kompetensi memadai tentu akan tersisih dari kesempatan berkarya dan mengembangkan potensi diri. Mengingat semakin dekatnya era MEA, kualitas dari SDM di Lombok Timur khususnya harus mulai ditingkatkan agar tidak tertinggal dengan Kabupaten/ Kota lainnya bahkan dengan negara-negara tetangga. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Lombok Timur bisa dikatakan belum menggembirakan jika ditilik dari data survey beberapa tahun terakhir. Dari 10 Kabupaten/ Kota yang ada di Provinsi NTB, Kabupaten Lombok Timur belum masuk dalam jajaran 4 besar sekalipun. Hal ini tentu sungguh miris mengingat populasi penduduk Kabupaten Lombok Timur merupakan yang terbesar di Pulau Lombok. Belum semua lapisan masyarakat merasakan pendidikan dikarenakan tingkat kesejahteraan yang masih belum merata terutama di daerah-daerah terpencil di Lombok Timur. Infrastruktur yang masih minim ke daerah terpencil menjadikan akses akan informasi dan pengetahuan menjadi terhambat. Belum lagi karakter masyarakat di beberapa daerah terpencil yang belum memandang pendidikan sebagai sesuatu yang utama untuk anak-anaknya. Daripada pergi berangkat ke sekolah lebih baik mereka pergi ke kebun atau ladang untuk bercocok tanam demi kelangsungan hidup. Keberadaan perpustakaan di desa yang sudah difasilitasi oleh pemerintah pun terkesan sebagai pelengkap saja tanpa memandang bahwa koleksi perpustakaan tersebut harus diberdayakan agar tepat
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
27
guna. Banyak Perpustakaan Desa yang letaknya berada di pojok atau malah berada di belakang kantor desa yang notabene sulit untuk diakses serta terkesan tidak menarik sehingga masyarakat pun enggan untuk sekedar memilihmilih buku di Perpustakaan Desa. Apalagi rata-rata Perpustakaan Desa di Lombok Timur belum memiliki tenaga pengelola khusus sehingga menambah pelik permasalahan yang ada di Perpustakaan Desa. Secara ideal pada dasarnya semua Perpustakaan Desa di Kabupaten Lombok Timur telah memiliki koleksi minimal 2.500 eksemplar dengan variasi judul dan subjek yang beragam untuk semua kalangan tanpa memandang suku, agama, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan sebagainya. Selain itu setiap Perpustakaan Desa sudah disiapkan minimal 1 orang tenaga terampil khusus untuk mengelola perpustakaan tentu dengan komitmen dari Kepala Desa untuk mendukung keberadaan dan peran dari Perpustakaan Desa melalui kebijakan dan penganggaran yang memadai. Masalah klise seperti pendanaan yang belum menyentuh perpustakaan sering dijumpai hampir di sebagian besar desa di Lombok Timur walaupun sudah ada Surat Edaran Bupati terkait Alokasi Dana Desa untuk pengembangan Perpustakaan Desa namun belum diterapkan secara menyeluruh. Untuk itu perlu ada strategi baru untuk meningkatkan peran Perpustakaan Desa walaupun dengan segala keterbatasan. Khususnya di Lombok Timur sejak 2014 telah ditunjuk 5 Perpustakaan Desa sebagai pilot project (percontohan) untuk pengembangan Perpustakaan Desa yang berbasis pelibatan masyarakat dengan condong pemanfaatan teknologi informasi (komputer dan internet) untuk dimanfaatkan masyarakat tidak hanya untuk sekedar menambah wawasan dan pengetahuan tetapi juga media untuk meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya wirausaha muda/mikro. Adapun kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana di 5 Perpustakaan Desa Percontohan tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Perpustakaan Desa Sakra • Pelatihan komputer dasar bagi kadus • Pelatihan komputer dan internet bagi kader PKK dan posyandu • Sosialisasi perpuseru di tingkat desa Sakra • Pelatihan pembuatan kerajinan dari limbah non organik • Lomba memasak bagi komunitas perempuan • Gebyar musik bagi komunitas remaja 2. Perpustakaan Desa Aikmel • Pelatihan komputer bagi masyarakat desa aikmel • Lomba mewarnai tingkat PAUD • Lomba membaca puisi bagi pelajar tingkat SD
28
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
• Kegiatan pembuatan nugget dan jaja tujak • Workshop pengembangan UKM • Pelatihan pembuatan film dokumenter 3. Perpustakaan Desa Kotaraja • Lomba mewarnai tingkat TK/PAUD • Lomba membaca puisi tingkat SD/MI • Pelatihan komputer dan internet bagi kader PKK/ posyandu • Sosialisasi perpuseru bagi masyarakat desa Kotaraja • Workshop keterampilan mengolah kain perca • Sosialisasi perpustakaan desa bagi karang taruna desa 4. Perpustakaan Desa Sepit • Lomba mewarnai tingkat PAUD • Pelatihan komputer dasar bagi kadus • Pelatihan komputer dasar bagi kader PKK/ posyandu • Pelatihan pengolahan limbah plastik • Lokakarya pengelolaan perpustakaan sekolah berbasis IT 5. Perpustakaan Desa Pesanggrahan • Pelatihan komputer dasar bagi kader PKK/ posyandu • Pelatihan pembuatan anyaman ketak • Lomba mewarnai tingkat PAUD • Pelatihan komputer dan internet bagi aparat desa/ kadus Adanya berbagai kegiatan yang melibatkan peran aktif masyarakat di Desa ini tentu akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung kepada Perpustakaan Desa. Dari 5 Perpustakaan Desa Percontohan di Lombok Timur ini sudah menunjukkan tren positif dalam jumlah kunjungan masyarakat, pemanfaatan perpustakaan tidak hanya untuk meminjam buku tapi juga tempat berdiskusi, melakukan pelatihan keterampilan dan menjadi media peningkatan pendapatan melalui sarana internet yang disediakan secara gratis. Manfaat Pelibatan Masyarakat Banyak manfaat atau impact (dampak) yang sudah dirasakan oleh Perpustakaan Desa maupun masyarakat sebagai pemustakanya. Hal yang paling signifikan adalah bagaimana meningkatnya jumlah kunjungan di tiap Perpustakaan Desa Percontohan tersebut. Paling tidak dalam sehari kunjungan masyarakat mencapai 200 orang per harinya. Masyarakat semakin berkeinginan datang ke perpustakaan untuk merasakan sendiri seperti apa layanan perpustakaan yang mampu memenuhi kebutuhan informasi mereka.
Kemudian bagaimana meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui usaha mandiri yang digeluti setelah mendapatkan informasi dan pengetahuan dari Perpustakaan seperti di Perpustakaan Desa Aikmel Kabupaten Lombok Timur. Seorang warganya yang mantan TKW sebelumnya sudah membuat kerajinan tangan dari kain perca namun masih kesulitan untuk pemasaran produk karena minimnya modal dan tentu dengan pendapatan yang tidak seberapa. Setelah salah seorang staf Perpustakaan Desa Aikmel menginformasikan tentang adanya sarana internet di Perpustakaan Desa, beliau antusias untuk mau belajar memanfaatkan sarana internet disana. Dengan internet yang ada di Perpustakaan Desa beliau mampu meningkatkan penghasilan hingga dua kali lipat yang sebelumnya dikisaran 500.000-800.000 saat ini mampu meningkat hingga 1.000.000-1.500.000 keuntungan bersihnya dalam sebulan. Di internet beliau bisa memasarkan produk kerajinannya secara gratis melalui media sosial seperti facebook ataupun sarana blog. Serta dapat meningkatkan variasi motif yang terbaru melalui video tutorial di situs youtube. Contoh lainnya di Perpustakaan Desa Kotaraja, seorang pengusaha kue yang sebelum memanfaatkan sarana yang ada di Perpustakaan Desa hanya mendapat 3-4 orderan kue tiap bulannya. Namun setelah aktif berkegiatan di Perpustakaan Desa melalui koleksi buku bacaan, internet, kegiatan pelibatan masyarakat yang digagas Perpustakaan Desa seperti pelatihan keterampilan, pelatihan komputer dan internet, sosialisasi kewirausahaan serta kegiatan lainnya yang diikuti secara gratis, beliau saat ini menerima 15-20 orderan kue tiap bulannya. Setelah banyak belajar dan berkegiatan di Perpustakaan Desa beliau menjadi sering membaca resep kue terbaru, memanfaatkan komputer dan internet di Perpustakaan Desa untuk mencari kreasi baru membuat atau menghias kue, belajar mempromosikan kue yang telah di buat melalui jejaring sosial serta mengetahui akses permodalan setelah adanya
sosialisasi kewirausahaan di Perpustakaan Desa. Bahkan sekarang beliau menjadi tutor untuk mengajarkan komputer serta internet kepada masyarakat lainnya yang ingin belajar hal serupa. Keberadaan internet merupakan pelengkap dari sarana buku-buku yang ada. Pengetahuan tetap berasal dari buku-buku bacaan yang disediakan oleh Perpustakaan dan kemudian diaplikasikan pada sarana/ media pendukung lainnya seperti internet sehingga ada hasil yang bermanfaat. Dampak lainnya seperti banyak Ibu-ibu Kader PKK/Posyandu yang sebelumnya belum bisa menggunakan komputer dapat belajar secara gratis di perpustakaan dan akhirnya bisa. Sehingga segala pekerjaan kader yang sebelumnya hanya tertulis dapat mulai dikerjakan menggunakan komputer. Selain itu dari buku resep yang ada di perpustakaan langsung diaplikasikan dengan mengadakan lomba memasak ataupun berinisiatif membuka usaha mandiri. Kesimpulan Perpustakaan memiliki dampak positif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat serta keterampilan akan komputer/internet terutama bidang teknologi informasi (TI) serta peningkatan pendapatan masyarakat. Perpustakaan desa sebagai lembaga pendidikan sepanjang hayat (life long learning) diharapkan berinisiatif melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui pemanfaatan sarana perpustakaan desa secara gratis melalui koleksi-koleksi bukunya dan sarana komputer yang dimiliki perpustakaan. Penerapan kegiatan pelibatan masyarakat secara berkelanjutan diharapkan menimbulkan kesadaran masyarakat bahwa perpustakaan desa menjadi bagian kehidupannya yang tak terpisahkan serta dapat menjadi sarana meningkatkan pendapatan masyarakat.
Daftar Pustaka
Hermawan S, Rachman, (2006). Etika Kepustakawanan: Suatu Pendekatan terhadap Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto. Sulistyo-Basuki, (1993). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sutarno NS, (2008). Membina Perpustakaan Desa. Jakarta: Sagung Seto. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
29
Oleh: Tisyo Haryono1 Email:
[email protected]
Penyajian Buku Bermutu Menurut SNI dan ISO Rekomendasi Menuju Perbaikan Berkelanjutan Pendahuluan Buku merupakan jendela ilmu, dengan buku kita bisa mendapatkan informasi yang belum kita ketahui, dengan membaca buku kita dapat mengenal hal-hal yang baru, sehingga dapat menemukan atau menciptakan hal-hal yang baru pula atau sering disebut sebagai inovasi. Buku mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Buku juga sangat berperan penting dalam proses belajar. Tanpa buku, kita tidak akan mendapatkan inspirasi-inspirasi dan informasi penting yang berkembang. Dengan buku kita juga dapat menuangkan ide-ide yang kita dapatkan dari buku menjadi sebuah kreasi yang memiliki nilai yang tinggi. Membaca buku menjadi latihan awal mempersiapkan diri mengenal hidup dan kehidupan. Karena itulah, buku sangat berperan penting dan merupakan sarana pembuka wawasan. Berawal dari buku, ada kata-kata bijak yang bisa memotivasi kita untuk terus belajar, yaitu: “Bacalah buku maka anda akan menuai GAGASAN”. Buku juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan melalui penyebaran informasi ilmu pengetahuan. Penyebaran informasi iptek melalui buku dimaksudkan agar ilmu pengetahuan digunakan oleh para pelaku pembangunan khususnya para penyuluh, pelaku usaha, dan para pembuat kebijakan. Karena kepentingannya yang begitu nyata, maka buku harus diterbitkan dengan baik, tidak boleh asal-asalan atau sembarangan. Penerbitan buku harus memenuhi ketentuan baku mutu yang berlaku dalam sistem penerbitan telah diatur melalui ketentuan lembaga yang
1
berwenang dalam bidang penerbitan. Oleh karena itu, referensi tentang penerbitan buku harus dihimpun, diolah dan disajikan melalui berbagai media agar dapat digunakan sebagai acuan oleh semua pihak berkepentingan. Tulisan ini merupakan hasil telaahan penulis terhadap berbagai acuan berupa standar nasional dan internasional tentang penyajian buku. Bahasan lengkap telah dituangkan seutuhnya dalam sebuah buku berjudul: “Gaya Penulisan Buku Berdasarkan SNI dan ISO”. Tulisan ini tidak menyajikan materi tentang bagaimana membuat sebuah buku dari sisi substansi materinya melainkan tentang bagaimana sebuah buku disajikan menurut kaidah-kaidah yang baku sesuai dengan standar dan lebih kepada gaya penulisan (styles manual) dan bukan penyajian isi/substansi dari buku itu sendiri. Materi ini diolah dari berbagai sumber yang terpercaya terutama berupa standar nasional dan standar internasional serta karya tulis para ahli di bidang penyajian buku. Konsep Buku Bermutu Menurut SNI dan ISO Buku merupakan produk industri di bidang perbukuan. Pandangan ISO tentang buku bermutu sebagai produk sudah jelas disajikan melalui beberapa referensi yang telah dikeluarkan ISO. Untuk mengetahui penjelasan secara detil, di bawah ini disajikan bahasan tentang buku bermutu; pengertian, sistematika penyajian, dan kriterianya. 1. Pengertian International Organization for Standardization (ISO) mendefinisikan mutu sebagai: ”the totality of
Ketua Bidang Pengembangan Standar, Masyarakat Standardisasi Indonesia-MASTAN dan Anggota Tim Pertimbangan Pustakawan-Perpustakaan Nasional RI.
30
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
features and characteristics of a product or services that bear on its ability to satisfy stated and implied needs” (ISO 8462). Selanjutnya dalam ISO 9000:2008, mutu didefinisikan sebagai: “degree to which a set of inherent characteristics fulfill requirements”. Dari definisi tersebut dapat disimak beberapa hal penting sebagai berikut: • Dalam sistem mutu, buku merupakan salah satu produk yang memiliki karakteristik tertentu yang harus dipenuhi; • Buku bermutu harus memiliki karakteristik yang mampu memenuhi kebutuhan pemustaka; • Buku bermutu juga berarti sejauhmana karakteristik tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditentukan sesuai standar; • dan pada akhirnya, buku bermutu harus disajikan dalam rangka mencapai tingkat kepuasan pemustaka. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa ketika bicara tentang buku bermutu berarti bicara tentang pemenuhan terhadap persyaratan tentang penyajian buku yang ditetapkan dalam standar untuk tujuan mencapai tingkat kepuasan pemustaka. 2. Sistematika Penyajian Buku Sistematika penyajian buku menurut ketentuan SNI dan ISO terdiri dari bagian awal, batang tubuh dan bagian akhir. 2.1 Bagian Awal Pada bagian awal terdiri atas: • Sampul depan luar dan dalam (halaman 1 dan 2). Dalam sebuah buku, sampul bukan merupakan keharusan (opsional). Sampul depan harus berisi bagian-bagian penting dari halaman judul yaitu judul buku, nama pengarang, dan penerbit; • Halaman judul (uraian lengkap tentang halaman judul buku disajikan pada SNI 191937:1990); • Kata pengantar • Daftar Isi • Daftar ilustrasi dan tabel • Singkatan dan simbol • Daftar istilah 2.2 Batang Tubuh Pada bagian batang tubuh, sebuah buku harus mengikuti hal isi maupun ketentuan sebagai berikut:
• Memuat naskah utama yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan kesimpulan. • Naskah utama berawal pada halaman rekto. • Naskah utama dibagi dalam beberapa bab, subbab, dan jika ada sub-subbab. • Setiap bab dimulai pada halaman baru. • Semua dokumen yang dikutip dalam batang tubuh naskah didaftar dalam bagian “acuan”. • Daftar acuan bibliografi ditempatkan pada halaman baru setelah naskah utama. • Dokumen yang tidak dikutip dalam batang tubuh naskah tetapi diperlukan sebagai informasi pelengkap harus didaftar dalam lampiran di bawah judul “Bibliografi”. 2.3 Bagian Akhir Pada bagian akhir buku memuat: • Indeks: - Penyajian indeks harus mengikuti ketentuan SNI 1946-1990 tentang Indeks publikasi. - Angka arab harus digunakan untuk semua rujukan halaman pada naskah utama. - Setiap indeks harus dimulai pada halaman baru. - Jenis indeks harus dinyatakan dengan jelas pada judul indeks. - Untuk kejelasan, setiap tajuk indeks sebaiknya tidak diuraikan terlalu dalam. • Riwayat hidup (bila diperlukan) • Sampul belakang • Materi pelengkap 3. Kriteria buku bermutu Buku bermutu memiliki kriteria tertentu dalam penyajiannya. SNI maupun ISO tidak mengatur penyajian isi buku secara substantif. SNI dan ISO lebih menekankan pengaturan tentang gaya penulisan buku yang bersifat fisikal dan tidak substansial. Menurut ketentuan SNI dan ISO kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 3.1 Buku bermutu harus memenuhi spesifikasi teknis yang dipersyaratkan (Conformance to requirements) Buku (ilmiah) bermutu adalah buku yang memenuhi persyaratan sebagai Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang telah ditetapkan dalam SNI/ISO atau diatur oleh lembaga ilmiah seperti halnya LIPI yang mempunyai kewenangan membuat peraturan teknis tentang penerbitan buku. Buku bermutu juga harus memenuhi persyaratan dalam
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
31
penyajiannya seperti informasi pada rekto dan verso halaman judul, penyajian judul punggung, pemberian nomor bagian dan subbagian isi buku, indeks, abstrak, dan referensinya. 3.1.1 Halaman Judul Buku Buku bermutu harus memiliki halaman judul yang memenuhi persyaratan. Judul merupakan bagian buku yang banyak dibaca. Oleh karena itu judul harus mampu menarik perhatian pembaca yang melihatnya secara sepintas. Usahakan agar berdasarkan pikatan judul, orang yang sedang mencari informasi berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang buku tersebut. Sebaliknya judul yang tidak jelas, kurang informatif, tidak memikat, dan bisu akan menyebabkan buku tidak diperhatikan orang lain. Karena judul merupakan bagian penting dari buku, maka pembuatan judul harus dipikirkan betul-betul. Gunakan kata kunci yang mungkin bermanfaat dalam pembuatan judul. Usahakan agar sekali dibaca, judul tersebut dapat langsung ditangkap maknanya (eye catching) dengan tidak perlu mengulanginya. Dalam membuat judul harus dipilih kata-kata yang padat makna, kata kunci yang khas, dan mampu mewakili gambaran keseluruhan isi buku. Hindari kata-kata yang tidak berguna. Jangan menggunakan kata kerja. Judul tidak mengandung singkatan atau akronim kecuali jika diyakini bahwa bentuk tersebut pasti dikenal baik oleh publik, namun demikian, standar SNI/ISO tidak mengatur tentang bagaimana membuat judul agar memikat pembaca. Standar tersebut mengatur tentang informasi apa yang wajib dan informasi apa yang opsional disajikan pada halaman judul buku. Halaman judul buku (title page) adalah dua halaman pertama dari sebuah buku yang merupakan halaman judul sebenarnya, dan menjadi sumber informasi utama dari sebuah buku untuk menjamin pencatatan bibliografi secara tepat dan lengkap. Halaman ini memuat judul, nama pengarang, dan penerbit.
32
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Disamping halaman judul utama buku ada pula halaman judul semu (half title page), yaitu halaman judul yang hanya memuat judul buku (lengkap atau disingkat) tanpa nama pengarang maupun penerbit. Halaman judul semu terletak pada halaman sebelum halaman judul utama. Halaman judul buku terdiri atas halaman REKTO, yaitu muka sebelah kanan kalau buku dalam posisi terbuka. Ini merupakan bagian dari halaman judul buku. Sedangkan muka sebelah kiri buku disebut halaman VERSO yang juga merupakan bagian dari halaman judul buku. Informasi minimum pada halaman judul buku (Rekto) berbeda dengan informasi pada verso halaman judul. Untuk lebih jelasnya informasi tersebut adalah sebagai berikut: 3.1.1.1 Halaman Judul Rekto Informasi yang harus ada pada halaman judul rekto sekurang-kurangnya adalah: • Judul buku, termasuk anak judul, bila ada. • Nama pengarang (penulis, editor, penyantun) • Tempat penerbit • Nama penerbit • Tanggal penerbitan (cukup menyebutkan tahun penerbitan) • Nomor edisi • Nomor jilid dan nomor seri, bila buku tersebut merupakan bagian dari suatu penerbitan berjilid atau penerbitan berkala. 3.1.1.2 Halaman Judul Verso Informasi yang harus ada pada halaman judul verso sekurang-kurangnya adalah: • Judul dalam bahasa aslinya, bila buku tersebut merupakan hasil terjemahan • Judul buku dalam bahasa yang diterjemahkan, bila buku tidak diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya • Bila judul buku tersebut berlainan dengan judul edisi terdahulu, maka semua judul buku harus dicantumkan • Nama pembantu pengarang atau pihak yang terlibat dalam penulisan buku tersebut • Jumlah jilid keseluruhan, bila buku tersebut merupakan bagian dari suatu
• •
•
• • • •
penerbitan berjilid (Penulisan jilid harus memakai angka Arab atau Romawi). Tanggal penerbitan edisi terdahulu, bila buku tersebut merupakan edisi baru Nomor cetakan (imprint) buku tersebut, dan tanggal cetakan-cetakan terdahulu serta jumlah cetakan keseluruhan, bila ada. Terjemahan bahasa Indonesia dari judul dan anak judul, serta nama pengarang badan korporasi yang tercantum pada halaman rekto, bila diperlukan Alamat lengkap penerbit Nomor ISBN Nama dan alamat pencetak buku Keterangan tentang hak cipta, izin terbit, dan izin cetak.
3.1.2 Judul Punggung Buku Buku bermutu harus memiliki judul punggung sesuai persyaratan. Buku yang diletakkan pada rak di perpustakaan, toko buku atau di tempat-tempat lainnya akan lebih mudah ditemukan jika dibuat judul punggungnya dengan posisi yang distandarkan. Oleh karena itu tujuan pembuatan standar tentang judul punggung buku adalah agar para penerbit buku dapat menerapkan ketentuan standar untuk penyajian judul punggung sehingga memudahkan pemakai perpustakaan, toko buku, dan pemustaka lainnya untuk menggunakan buku tersebut. Judul punggung adalah judul yang dicetak pada punggung buku. Sedangkan punggung buku itu sendiri adalah bagian dari buku berupa tepi atau lipatan halaman dalam yang dijahit, dikotot (stapled), di-lem, atau disatukan, termasuk bagian yang sama pada kotak pelindung atau sampul. Judul punggung terdiri dari judul melintang dan judul menurun. Judul melintang yaitu judul punggung dengan penulisan huruf horizontal saat buku berdiri dengan posisi tegak. Sedangkan judul punggung menurun adalah judul punggung buku yang harus dibaca dengan arah dari atas ke bawah punggung buku. Judul punggung lebih mudah dibaca jika buku diletakkan dengan sampul depan menghadap ke atas. Ada juga judul punggung
menaik (tidak baku) yaitu judul punggung yang harus dibaca dari bawah ke atas. Pada punggung buku harus ada ruang sekurang-kurangnya 3 cm dari bawah yang disediakan untuk kode perpustakaan yang biasanya ditulis pada label buku, dicetak atau dicetak timbul pada punggung buku, misalnya nomor panggil (call number). Judul punggung pada sampul dan jaket buku harus sesuai dengan judul buku pada halaman judul dan tanpa tambahan atau perubahan pada kata-katanya. Jika memungkinkan, nama penulis juga dicantumkan pada punggung buku. Jika ruang masih cukup, nama penerbit dapat ditambahkan. Jika memungkinkan, judul punggung melintang harus digunakan. Jika tidak mungkin, judul punggung menurun harus digunakan. Sebaiknya tidak menggunakan judul punggung menaik. Judul tepi adalah judul yang dicetak menurun sepanjang tepi kulit buku dekat punggung atau lipatan tengah dari sampul. Judul tepi digunakan jika buku sangat tipis atau karena alasan lain, misalnya dijilid dengan spiral sehingga judul tidak dapat dicetak pada punggung buku. Judul tepi ditempatkan dekat tepi punggung buku. Isi dan tata letak judul tepi harus sama dengan judul yang terdapat pada judul punggung dan sebaiknya dicetak menurun pada sampul depan). Judul tepi juga bisa dicetak menurun pada sampul belakang. 3.1.3 Penomoran Bagian dan Subbagian Isi Buku Buku bermutu harus mengikuti aturan penomoran isi buku sesuai ketentuan yang dipersyaratkan. Tujuan penomoran bagian dan subbagian isi buku adalah untuk memudahkan pengaturan isi buku supaya terbagi ke dalam bagian-bagian yang lebih sistematis menurut aturan tertentu. Penomoran bagian dan subbagian isi buku maupun dokumen tertulis lainnya dianjurkan apabila: • Menjelaskan urutan, kepentingan, dan hubungan timbal balik dari masing-
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
33
masing bagian dan subbagian; • Menyederhanakan penelusuran dan penemuan kembali bagian tertentu dalam teks; • Memudahkan acuan dalam dokumen tertulis. Penomoran Bagian dan Subbagian buku mengikuti ketentuan sebagai berikut: • Penomoran buku menggunakan angka arab untuk penomorannya; • Bagian utama (tingkat pertama) buku dan dokumen lainnya diberi nomor secara berkelanjutan dimulai dari angka 1; • Setiap bagian utama dapat dibagi dalam subbagian (tingkat kedua) yang diberi nomor secara berkelanjutan. Cara penomoran dapat dilanjutkan dengan nomor subbagian selanjutnya (tingkat ketiga dan selanjutnya); • Dianjurkan untuk membatasi nomor subbagian agar nomor rujukan tetap mudah untuk diidentifikasi, dibaca, dan dikutip; • Tanda baca titik ditempatkan diantara nomor yang menunjukkan subbagian dari tingkat yang berbeda (lihat contoh di bawah ini). Tanda baca titik tidak boleh digunakan setelah akhir penomoran. • Contoh : Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 3
1
2.1
2.1.1
2
2.2
2.2.1
3
2.3
2.3.1
3.1.4 Indeks Buku Buku bermutu harus dilengkapi indeks buku, yaitu daftar detail nama orang, nama geografis, nama tempat, dan lainnya yang menunjuk ke nomor halaman buku. Tujuan utamanya adalah untuk memandu pembaca kepada topik-topik penting yang akan dibaca. Menurut entrinya, indeks bisa disusun berdasarkan: • Urutan entri secara alfabetis (berdasarkan subjek, nama orang, dan
34
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
sebagainya); • Urutan entri berkelas (classified order) berdasarkan subjek, nama orang, dan sebagainya; • Urutan kronologis, numerikal, alfanu merikal, dan sebagainya (berdasarkan kejadian historis, nama, paten, standar, laporan, nomor klasifikasi, dan lainnya). Sedangkan menurut Jenisnya, Indeks bisa berupa: • Indeks Umum (general index) yang menggabungkan semua item dalam satu daftar yang harus dimunculkan dalam indeks untuk memfasilitasi penggunaan buku; • Indeks Khusus (special Index) yang meliputi: - Indeks subjek; - Indeks pengarang; - Indeks judul; - Indeks nama perorangan dan badan korporasi, dan; - Indeks nama tempat dan geografi. Indeks sebuah buku harus menyajikan kata-kata penting yang ada pada buku tersebut agar memudahkan pembaca buku untuk mencari topik yang diinginkannya. Indeks buku ditempatkan pada bagian belakang buku dan disajikan dengan halaman yang berurutan, tidak boleh terganggu dengan halaman lainnya. Kata yang ada pada indeks buku harus mengacu ke nomor halaman dengan menggunakan huruf arab. Sebuah buku sekurang-kurangnya menyajikan indeks sebanyak lima persen dari jumlah seluruh halaman buku (Association of International Indexers, 1985). Indeks sebuah buku pada umumnya ditempatkan di bagian akhir buku sesuai dengan sistematika sebagai berikut (LIPI, 2012): • Sampul dan Nama penulis • Karya Cipta • Pengantar • Daftar Isi • Pendahuluan • Batang Tubuh • Ucapan Penghargaan (opsional) • Indeks
• • • •
Glosarium (opsional) Daftar Acuan Bibliografi (opsional) Lampiran (opsional)
3.1.5 Abstrak Buku bermutu harus menyajikan abstrak yang merupakan representasi singkat dan akurat dari isi dokumen tanpa menambahkan tafsiran atau kritik dan tanpa membedakan penyusunnya (penulis asli atau orang lain). Penyusunan abstrak dapat berbentuk informatif atau indikatif. Abstrak informatif diperlukan untuk uraian tentang penelitian dan dokumen bertema tunggal. Abstrak informatif perlu menyajikan informasi kualitatif maupun kuantitatif terpenting yang ada dalam dokumen. Abstrak indikatif digunakan untuk uraian yang panjang seperti monograf, ikhtisar atau tinjauan yang luas. Abstrak indikatif hanya menggambarkan jenis dokumen, subjek utama, dan cara pengolahan fakta. Penjelasan lebih lanjut tentang kedua jenis abstrak tersebut disajikan pada SNI 19-4192-2002 tentang Abstrak untuk dokumentasi dan publikasi. 3.1.6 Standar SNI/ISO tentang Penyajian Referensi/Rujukan Buku bermutu harus menyajikan referensi/rujukan yang sesuai dengan ketentuan SNI 19-4190-1996 – Rujukan karya tulis, yang telah disempurnakan dengan terbitnya ISO 690 : 2010 Guidelines for bibliographic references and citations to information resources. Standar tersebut pada dasarnya membagi rujukan menjadi lima ketentuan, yaitu: • Penulisan referensi untuk buku; • Penulisan referensi untuk majalah; • Penulisan referensi untuk kontribusi dalam buku; • Penulisan referensi untuk kontribusi dalam majalah, dan; • Penulisan referensi untuk pernyataan elektronis.
Standar ini tidak menjelaskan salah satu gaya penulisan yang selama ini banyak digunakan melainkan hanya menunjukkan elemen-elemen yang disarankan berikut urutannya. 3.1.7 Standar SNI/ISO tentang ISBN Buku bermutu juga harus dilengkapi dengan ISBN yaitu nomor buku standar internasional sebagai sistem identifikasi yang unik untuk setiap edisi publikasi monograf yang dipublikasikan atau diproduksi oleh penerbit tertentu. Standar ini mengatur tentang pembentukan ISBN, aturan pemberian dan penggunaannya, dan administrasi sistemnya. International Standard Book Number (ISBN) adalah nomor buku standar internasional yang diberikan kepada pendaftar oleh agen pendaftaran ISBN yang ditunjuk sesuai dengan standar ini. ISBN diberikan oleh agen ISBN yang ditunjuk (di Indonesia adalah Perpustakaan Nasional) kepada orang atau organisasi yang telah mengajukan ISBN. Dalam hal pembentukan nomor ISBN, sejak Januari 2007, semua agen sistem ISBN hanya menggunakan nomor ISBN dengan 13 digit, yang terdiri dari: • Elemen prefiks: terdiri dari 3 digit yang menunjukkan bahwa terbitan tersebut merupakan bagian dari sistem ISBN; • Elemen kelompok registrasi: yaitu kelompok registrasi, yang menunjukkan nasional, geografi, bahasa atau pengelompokan lainnya dalam satu ISBN atau lebih. Nomor ini diberikan oleh agen ISBN. Elemen ini panjangnya beragam sesuai dengan output penerbitan dalam kelompok tertentu; • Elemen pendaftar: • Elemen publikasi • Cek digit ISBN tidak diberikan kepada entitas abstrak seperti karya-karya tekstual, dan kreasi abstrak dari isi yang bersifat artistik atau intelektual. Misalnya sebuah novel perlu diberi ISBN sedangkan abstrak dari nover tersebut tidak perlu ISBN.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
35
ISBN diberikan pula pada publikasi multi volume. ISBN diberikan kepada set lengkap volume terbitan dimana terbitan tersebut terdiri atas lebih dari satu volume. Jika volume tersebut tersedia secara terpisah, maka masing-masing volume harus diberi nomor ISBN pada halaman judul verso dan ISBN diberikan juga pada set lengkapnya, dalam hal penempatan nomor ISBN adalah bahwa ISBN ditulis dengan huruf cetak yang jelas dan mudah dibaca. Singkatan ISBN ditulis dengan huruf besar mendahului penulisan angka pengenal kelompok, pengenal penerbit, pengenal judul dan angka pemeriksa. Penulisan antara setiap bagian pengenal dibatasi oleh tanda penghubung, seperti contoh berikut:
ISBN 978-602-8519-93-9
Untuk terbitan cetak, ISBN dicantumkan pada: • Bagian bawah pada sampul belakang (back cover); • Verso (balik halaman judul) (halaman copyright); • Punggung buku (spine) untuk buku tebal, bila keadaan memungkinkan.
3.1.8 Standar lainnya Selain standar yang telah disebut di atas, masih banyak standar yang mengatur bagian-bagian lain dari buku antara lain standar tentang halaman sampul/ kulit buku, dan standar tentang judul lari (running title). • Standar tentang halaman sampul buku Buku bermutu menggunakan ketentuan baku dalam pembuatan halaman sampul. Namun demikian tidak ada standar yang khusus membahas tentang halaman sampul/kulit buku, dalam beberapa standar terdapat ketentuan tentang sampul, misalnya pada SNI 01-6684-2002 tentang penyajian tesis dan dokumen sejenis yang menyatakan bahwa sampul bukan merupakan keharusan dalam sebuah dokumen termasuk buku. Sampul buku lebih merupakan alat pelindung supaya
36
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
isi buku aman/terlindungi.
Sampul buku terdiri atas sampul depan dan sampul belakang. Sampul depan harus berisi bagian-bagian penting dari halaman judul terutama judul dan nama pengarang. Sedangkan menurut ketentuan LIPI bahwa informasi pada halaman sampul buku tidak selengkap informasi yang terdapat pada halaman judul buku. Pada halaman sampul biasanya hanya mencantumkan informasi sebagai berikut: - Judul buku, lengkap dengan subjudul (kalau ada); - Nama pengarang terutama kalau jumlahnya maksimum tiga orang. Jika lebih dari tiga orang harus dicantumkan pada balik halaman judul (verso); - Nama penerbit dan kota terbit. Sedangkan pada halaman sampul luar buku bagian belakang, dapat dimuat sinopsis baik mengenai isi buku maupun riwayat hidup singkat penulis (LIPI, 2012 C1.a1.).
• Pembuatan Judul lari atau judul sirahan (‘Running Title’ atau ‘Running Head’) Buku bermutu dilengkapi dengan judul lari/judul sirahan yang memuat informasi untuk identifikasi (SNI 191950-1990), yang dicantumkan pada bagian yang kosong setiap halaman atas atau bawah dan terdiri atas judul buku pada halaman genap dan judul bab/artikel pada halaman ganjil. Judul lari atau judul Sirahan adalah judul yang diulang-ulang pada setiap halaman. Judul lari berfungsi untuk membantu pembaca menghubungkan materi di setiap halaman dengan judul bab dan judul buku (Rivai, 1995). Dijelaskan pula bahwa pembuatan judul lari dalam buku biasanya untuk judul buku ditempatkan pada halaman sebelah kiri bagian atas atau bawah dari halaman buku. Sedangkan judul bab atau judul artikel ditempatkan pada
halaman sebelah kanan di bagian atas atau bawah. Kesalahan yang sering terjadi dalam penyusunan judul lari adalah dalam penempatan judul buku dan judul bab/ artikel yang terbalik/tertukar. Judul buku seharusnya ditempatkan pada halaman sebelah kiri (verso). Sedangkan judul bab atau judul artikel ditempatkan pada bagian atas atau bawah halaman sebelah kanan (rekto). Kesalahan lainnya adalah mencantumkan judul buku pada semua halaman (verso dan rekto) dan tidak mencantumkan judul bab atau judul artikel sama sekali. Panjang judul lari biasanya dibatasi tiga sampai lima kata dan tidak melebihi 50 karakter (Riva’i, 1995). Oleh karena itu judul perlu disingkat dengan menggunakan acuan penyingkatan yang baku berdasarkan SNI. Patokan penyingkatan judul terbitan telah diatur dalam SNI 002-1936 dan ISO 4 – 1972 (E) tentang patokan penyingkatan judul terbitan berseri. 3.2 Buku bermutu mampu Memuaskan Pelanggan (Customer need or expectation) Buku bermutu juga sangat mengutamakan kepuasan pemustaka/pelanggannya. Segala upaya yang dilakukan dalam penyusunan buku sepenuhnya diarahkan bagi kepuasan pemustaka. Usaha lebih lanjut untuk kepuasan pemustaka membawa penerbit buku pada pengertian yang terluas dari pengertian mutu, yaitu memenuhi kebutuhan atau harapan pemustaka. Itulah sebabnya ISO mendefinisikan mutu sebagai “totalitas gambaran dan karakteristik suatu produk atau jasa yang mampu memuaskan kebutuhan pelanggan”. Hal ini mengandung arti bahwa kesesuaian terhadap spesifikasi teknis adalah sangat penting dan akhirnya harus mampu mencapai tingkat kepuasan pemustaka. Kesalahan Umum Penyajian Buku dan Permasalahannya Hasil pengamatan sederhana terhadap beberapa buku terbaru terbitan lembaga pemerintah menunjukkan bahwa terdapat banyak sekali kesalahan yang dilakukan dalam penyajian buku, sehingga dapat mengakibatkan
buku menjadi kurang bermutu. Beberapa kesalahan tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Halaman judul rekto tidak memuat informasi yang dibutuhkan (tidak lengkap) sehingga tidak bisa menjadi sumber utama informasi bibliografis buku. Sebaliknya banyak buku yang menyajikan informasi yang berlebihan pada halaman ini yang mengkibatkan informasi tentang judul buku menjadi tidak fokus; 2. Halaman judul verso (verso halaman judul) memuat informasi yang tidak lengkap, padahal halaman ini sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari halaman judul itu sendiri karena kedua halaman tersebut harus memuat keseluruhan informasi bibliografis buku secara lengkap. Oleh karena itu kedua halaman ini merupakan halaman judul utama dan dijadikan sumber informasi dalam pengolahan bahan pustaka; 3. Cover/sampul depan buku bagian luar banyak mencantumkan ISBN dan tahun. Menurut ketentuan standar, pada sampul buku cukup menyajikan judul, pengarang, dan edisi. Keterangan lain-lain dicantumkan pada halaman judul utama; 4. Penyajian judul lari sering terbalik. Judul buku seharusnya ditulis pada halaman genap ternyata sering ditemukan pada halaman ganjil dan sebaliknya judul bab sering ditulis di halaman genap, seharusnya berada di halaman ganjil. bahkan banyak buku yang memiliki judul lari yang sama untuk setiap halaman buku; 5. Penulisan judul bab dan/atau subbab dalam isi buku sering tidak sesuai dengan penulisan pada daftar isi buku, padahal harus sama persis dan tidak boleh ada perbedaan karena daftar isi merupakan gambaran isi dokumen termasuk pemberian nomor halamannya; 6. Sering terjadi inkonsistensi dalam penulisan yang terdapat dalam satu bagian dengan bagian lain. Hal ini sangat mengganggu kemapanan isi buku; 7. Banyak buku yang menggunakan judul punggung menaik, padahal ini tidak dianjurkan menurut aturan standar. Judul punggung seharusnya ditulis menurun atau mendatar/melintang. Hal ini untuk memudahkan pembaca ketika buku diletakkan dalam posisi sampul depan berada di atas; 8. Banyak buku yang tidak menyediakan ruang kosong (di bagian punggung buku) 3 cm dari ujung bagian bawah buku. Hal ini sangat penting untuk keperluan identifikasi perpustakaan (call number); 9. Halaman judul sering kelebihan informasi seperti alamat lengkap penerbit, penulisan nama pengarang yang lebih dari tiga orang, terutama bila penyusun buku adalah berupa tim; 10. Definisi/pengertian sering diulang-ulang sampai dua
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
37
atau tiga kali yang muncul dalam beberapa bagian isi buku. Hal ini tidak diperlukan karena yang penting keterkaitan satu bagian dengan bagian yang lainnya bisa dibangun melalui acuan silang (cross reference) dan tidak perlu pengulangan; 11. Penempatan nomor ISBN sering ditemukan berada pada posisi kanan atas pada sampul depan buku bagian luar seperti halnya ISSN, padahal nomor ISBN seharusnya ditempatkan pada dua tempat yaitu pada halaman judul verso, dan pada halaman luar dari sampul belakang buku bagian bawah; 12. Banyak buku yang tidak menggunakan indeks, padahal menurut standar bahwa indeks itu merupakan bagian penting dari penerbitan sebuah buku karena dapat membantu pembaca menuju isi buku. Bahkan menurut Asosiasi para ahli indeks internasional, jumlah halaman indeks sebuah buku sekurangkurangnya harus lima persen dari keseluruhan jumlah halaman buku (AIE, 1985). Kesalahan-kesalahan tersebut menunjukkan bukti adanya permasalahan serius dalam penyajian buku walaupun hasil analisis sementara menunjukkan bahwa kesalahan umum terutama terjadi pada buku-buku terbitan lembaga pemerintah. Permasalahan yang terjadi dapat mengganggu kemapanan data bibliografis sebuah dokumen, dan kalau ini terus terjadi, maka dampaknya akan sangat luas terhadap pekerjaan dokumentasi, perpustakaan, dan kearsipan yang pada akhirnya akan berpengaruh pula pada layanan kepada publik sebagai pengguna buku. Rekomendasi Menuju Perbaikan Berkelanjutan Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu penyajian buku agar mampu menghasilkan buku bermutu, khususnya di lingkungan lembaga pemerintah. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Asesmen mutu penerbitan Banyak buku di bidang perpustakaan yang telah terbit, namun berapa banyak buku tersebut yang telah memenuhi ketentuan standar nasional dan internasional terutama dalam format penyajiannya. Penulis telah mencoba memeriksa sebagian bukubuku dimaksud dan hasilnya sangat memprihatinkan karena pada umumnya buku-buku tersebut tidak mengikuti ketentuan standar dan tidak memenuhi spesifikasi teknis penyajian buku. Artinya jika spesifikasi teknis seperti diuraikan di atas menjadi kriteria untuk penilaian buku bermutu, maka bukubuku di bidang perpustakaan, khususnya yang terbit di lingkungan lembaga pemerintah tidak memenuhi
38
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
persyaratan sebagai buku bermutu. Oleh karena itu perlu dilakukan asesmen mutu buku secara luas untuk memastikan kepatuhannya terhadap ketentuan standar nasional dan internasional. 2. Mengembangkan Kebijakan Penerbitan Kebijakan tentang penerbitan buku khususnya di bidang perpustakaan nampaknya masih belum jelas. Buktinya lembaga pemerintah dan perguruan tinggi telah menerbitkan buku-buku yang tidak memenuhi persyaratan standar. Regulasi sebagai salah satu bentuk kebijakan di bidang perbukuan sangat diperlukan untuk mendorong semua pihak agar mematuhi ketentuan yang dipersyaratkan untuk menjamin mutu buku yang diterbitkan. Perpustakaan Nasional merupakan lembaga pemerintah yang paling kompeten untuk mengeluarkan regulasi yang dapat mengatur pelaksanaan penerbitan buku di bidang perpustakaan sehingga mampu menghasilkan buku/ terbitan bermutu. 3. Pengembangan Standar dan Pedoman Standar di bidang penerbitan buku, khususnya SNI masih sangat terbatas jumlahnya saat ini, yaitu sebanyak 10 judul. Standar tersebut masih sangat kurang dibanding dengan kebutuhan saat ini dan tantangan ke depan, apalagi standar yang ada rata-rata sudah berumur lebih dari lima tahun yang berarti sudah harus dilakukan kaji ulang sesuai dengan ketentuan standardisasi. Pengembangan standar tentang perbukuan sangat diperlukan untuk memperkaya acuan bagi masyarakat pelaku perbukuan. Pedoman dan manual juga harus disiapkan untuk membantu meningkatkan pemahaman publik perpustakaan terhadap berbagai ketentuan baku perbukuan. 4. Pelatihan Pelatihan/workshop peningkatan kemampuan penulis, editor, pustakawan dan pelaksana penerbitan tentang penyajian buku bermutu akan sangat membantu meningkatkan mutu pengelolaan penerbitan yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan mutu buku secara keseluruhan. Kesimpulan Penerbitan buku di bidang perpustakaan saat ini sangat memprihatinkan baik jumlah maupun mutunya. Apabila dibiarkan berlangsung dalam jangka waktu yang lama akan sangat berpengaruh pada lambatnya peningkatan kemampuan profesionalisme tenaga perpustakaan di Indonesia. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu penerbitan buku
di Indonesia. Fokus pembinaan adalah meningkatkan kemampuan para penulis, editor, pustakawan dan pelaksana penerbitan tentang penyajian buku bermutu di lingkungan lembaga pemerintah khususnya di bidang perpustakaan. Penataan kebijakan penerbitan berupa penyusunan regulasi tentang penerbitan, pengembangan standar dan pedoman, pelatihan/workshop peningkatan kemampuan tenaga perpustakaan dalam penerbitan buku bermutu merupakan upaya penting yang dapat dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan penyajian buku bermutu. Namun semua upaya tersebut harus diawali
dengan melakukan asesmen mutu publikasi terutama untuk buku terbitan lembaga pemerintah, dan untuk memastikan tingkat kepatuhan setiap lembaga terhadap aturan baku penerbitan. Peran Perpustakaan Nasional RI dalam hal ini sangat penting terutama dengan pembinaan teknis terhadap para pelaku penerbitan. Hal ini harus diawali dengan upaya pengembangan model terbaik (best practices) penerbitan buku bermutu di lingkungan Perpustakaan Nasional.
Daftar Pustaka
Assiciation of International Indexer. 1985. Book Indexing. London: AII Haryono, T. 2014. Manual Gaya Penulisan Buku Berdasarkan SNI dan ISO (Styles Manual). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Irianto, D. 2009. Standardisasi: Pijakan Awal untuk Peningkatan Kualitas di Industri. Dalam: Standardisasi dan Regulasi Teknis di Bidang Industri, Pandangan Pemangku Kepentingan. Jakarta: Departemen Perindustrian. ISO 690: 2010. Information and Documentation – Guidelines for bibliographic references and citations to information resources. Geneva: ISO. ISO 2108. 2005. Information and Documentation – International Standard Book Number (ISBN). Geneva: ISO. LIPI. Peraturan Ketua LIPI Nomor 04/E/2012 tentang Pedoman Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: LIPI
Rifai, M.A. 1995. Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan. UGM Press bekerjasama dengan Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat-Ditjen Dikti. Yogyakarta: UGM Press. SNI 19 – 1937. 1990. Halaman judul buku. Jakarta: BSN SNI 19 – 4190. 1996. Rujukan Karya Tulis. Jakarta: BSN. SNI 19 – 4195. 1996. Penomoran bagian dan subbagian dalam dokumen tertulis. Jakarta: BSN. SNI 19 – 6651. 2002. Penyajian laporan ilmiah dan teknis. Jakarta: BSN. SNI 19 – 6963. 2003. Judul punggung pada buku dan publikasi lainnya. Jakarta: BSN. SNI 1946. 1990-D. Index of a publication. Jakarta: BSN. SNI 19 – 4192. 2002. Abstrak untuk dokumentasi dan publikasi. Jakarta: BSN.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
39
Oleh: Asnawi, S.IP1 Email:
[email protected]
Perpustakaan Desa Sebagai Sumber Layanan Informasi Utama Abstrak Perpustakaan sebagaimana yang ada dan berkembang sekarang, telah digunakan sebagai salah satu pusat informasi, sumber ilmu pengetahuan, penelitian, rekreasi, pelestarian khazanah budaya bangsa, serta memberikan berbagai jasa layanan lainnya. Pelayanan sumber informasi di perpustakaan desa merupakan ujung tombak kesuksesan kegiatan perpustakaan. Perpustakaan desa yang sudah dibentuk merupakan subsistem dalam sistem nasional perpustakaan. Tujuan utama pembentukan Perpustakaan Desa adalah sebagai satu sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan membaca guna mencerdaskan kehidupan masyarakat desa. Nilai-nilai dasar yang ada dalam perpustakaan desa bisa dijadikan sebagai sumber informasi utama bagi perpustakaan desa dalam melayani masyarakat, baik yang mau belajar, meneliti, berkarya, memperluas wawasan, mencari pengetahuan baru serta informasi-informasi lainya yang dibutuhkan. Keberhasilan suatu perpustakaan desa dapat diukur berdasarkan pada tinggi rendahnya kemampuan perpustakaan tersebut dalam melaksanakan fungsinya sebagai pusat kegiatan belajar mandiri serta pusat pelayanan informasi dan rekreasi masyarakat. Adapun kendala-kendala yang dihadapi perpustakaan desa adalah keberadaan perpustakaan yang belum dikenal luas, kondisi perpustakaan yang serba terbatas, pengelolaan perpustakaan yang belum optimal, akses informasi yang relatif sulit, cara memanfaatkan dan kegunaannya yang belum efektif dan pembinaan perpustakaan desa yang belum diselenggarakan dengan baik. Kata kunci: Perpustakaan Desa, Layanan Informasi, Pemberdayaan Perpustakaan Pendahuluan Perpustakaan sebagaimana yang ada dan berkembang sekarang telah digunakan sebagai salah satu pusat informasi, sumber ilmu pengetahuan, penelitian, rekreasi, pelestarian khazanah budaya bangsa, serta memberikan berbagai jasa layanan lainnya. Salah satu jenis perpustakaan yang ada di Indonesia adalah perpustakaan desa. Perpustakaan Desa merupakan perpustakaan umum yang berada ditingkat pemerintahan paling rendah dalam struktur perpustakaan umum. Landasan keberadaan Perpustakaan Desa adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000. Perpustakaan Umum Desa berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari perpustakaan umum kabupaten/kota. Pemerintah desa adalah bagian dari sistem pemerintahan negara, yang strukturnya terdiri atas desa, 1
Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
40
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
kecamatan, kabupaten / kota, provinsi dan pemerintah pusat. Tugas pokok dan fungsi pemerintah desa adalah menyelenggarakan pemerintah, kemasyarakatan dan pembangunan. Tugas pokok itu kemudian dijabarkan dalam pelayanan umum dan perlindungan kepada seluruh lapisan masyarakat. Semua potensi yang ada di setiap desa perlu secara terus-menerus, teratur, dikembangkan dan diberdayakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah dengan membangun perpustakaan desa. “…Perpustakaan Desa/Kelurahan adalah perpustakaan masyarakat sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan dan mendukung kegiatan
pendidikan masyarakat pedesaan, yang merupakan bagian integral dari kegiatan pembangunan desa/ kelurahan. Tujuan pembentukan perpustakaan desa yaitu untuk menyediakan fasilitas membaca, belajar yang memadai yang sesuai dengan kondisi, situasi, wilayah dan kebutuhan masyarakat” (Kartosedono et.al., 2000, hal. 3) Perpustakaan desa yang sudah dibentuk merupakan subsistem dalam sistem nasional perpustakaan. Semua sistem yang sudah ada perlu disempurnakan dan sesuai dengan yang baru, yaitu sebagaimana mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Perpustakaan desa yang sudah ada harus lebih maju, berkembang dan membuahkan hasil. Perpustakaan desa diharapkan bisa menjadi sumber informasi utama masyarakat desa serta bisa mengatasi masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Perpustakaan desa dan masyarakat yang membutuhkan informasi ibarat dua sisi mata uang yang saling berhubungan yang tak dapat dipisahkan. Hal itu dapat terwujud manakala perpustakaan desa sudah siap melayani dengan sumber informasi yang memadai. Sementara masyarakat mampu memahami, menghayati, dan memaknai pentingnya informasi dalam kesehariannya (Sutarno, 2006, hal. 1). Rumusan Masalah • Bagaimana layanan perpustakaan desa sebagai sumber informasi utama bagi masyarakat desa? • Apa kendala-kendala dalam proses pelayanan sumber informasi kepada masyarakat? Pengertian Perpustakaan Desa Pengertian perpustakaan mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Dalam pengertian yang sederhana, perpustakaan diartikan sebagai kumpulan buku atau bangunan fisik sebagai tempat buku dikumpulkan dan disusun menurut sistem tertentu untuk kepentingan pemakai (Lasa, 2007, hal. 19). Konsep perpustakaan memang selalu diidentikkan dengan buku dan aspeknya. Sulistyo Basuki (1991, hal. 1) menyatakan bahwa perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian atau sub bagian dari gedung ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku, biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu serta digunakan untuk anggota perpustakaan. Pada Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3 Tahun 2001 dijelaskan, bahwa
perpustakaan Desa/Kelurahan adalah perpustakaan masyarakat sebagai salah satu sarana/media untuk meningkatkan dan mendukung kegiatan pendidikan masyarakat pedesaan, yang merupakan bagian integral dari kegiatan pembangunan desa/kelurahan. Apabila kita analisis secara sederhana, ada 3 (tiga) unsur pokok dalam perpustakaan desa, yaitu: 1. perpustakaan sebagai sebuah sarana 2. perpustakaan sebagai pendukung pendidikan 3. perpustakaan desa bersifat terintegrasi dengan pembangunan desa. Adapun tujuan pembentukan Perpustakaan desa adalah “…Salah satu media/sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan membaca guna mencerdaskan kehidupan masyarakat desa/ kelurahan adalah perpustakaan, oleh karena itu maka secara umum tujuan penyelenggaraan Perpustakaan desa adalah: 1. Untuk menunjang program wajib belajar 2. Menunjang program kegiatan pendidikan seumur hidup bagi masyarakat 3. Menyediakan buku-buku pengetahuan maupun keterampilan untuk mendukung keberhasilan kegiatan masyarakat diberbagai bidang, misalnya: • Pertanian (yang produktif ) • Perikanan, peternakan, perindustrian • pengolahan. pemasaran dan lain-lain 4. Menggalakkan minat baca masyarakat dengan memanfaatkan waktu luang untuk membaca agar tercipta masyarakat kreatif. dinamis. produktif, dan mandiri 5. Menyimpan dan mendayagunakan berbagai dokumen kebudayaan sebagai sumber infomasi, penerangan, pembangunan dan menambah wawasan pengetahuan masyarakat pedesaan. 6. Memberikan semangat dan hiburan yang sehat dalam pemanfaatan waktu senggang dengan halhal yang bersifat membangun. 7. Mendidik masyarakat untuk memelihara dan memanfaatkan bahan pustaka secara tepat guna dan berhasil. Sedangkan fungsi Perpustakaan Desa adalah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan, mengorganisasikan dan mendaya gunakan bahan pustaka tercetak maupun terekam. 2. Mensosialisasikan manfaat jasa perpustakaan. 3. Mendekatkan buku dan bahan pustaka lainnya kepada
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
41
masyarakat. 4. Menyediakan Perpustakaan Desa sebagai pusat komunikasi dan informasi. 5. Menyediakan Perpustakaan Desa sebagai tempat rekreasi dengan menyediakan bacaan hiburan sehat.” (Kartosedono et.al., 2000, hal. 3) Perpustakaan Desa sebagai Sumber Informasi Utama Perpustakaan desa sangat berperan dalam memberikan sumber-sumber informasi kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Koleksi yang dimiliki perpustakaan desa harus benar-benar mendukung terciptanya kemakmuran masyarakat tersebut. Agar perpustakaan desa bisa berjalan dengan semestinya, maka pihak pemerintah atau kelurahan harus mengangkat orang yang mengerti tentang perpustakaan sebagai pengelola perpustakaan. Sehingga perpustakaan desa akan berfungsi dengan baik sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Sutarno (2006, hal. 49-62) ada beberapa nilai-nilai dasar perpustakaan desa yaitu: • Hakekat Perpustakaan Desa • Sejarah kebudayaan dan pelestarian budaya • Layanan Masyarakat • Sarana Belajar Masyarakat • Pengembangan budaya baca • Referensi dan penelitian sederhana • Pengayaan dan perluasan ilmu pengetahuan • Makna nilai praktis Nilai-nilai dasar yang ada dalam perpustakaan desa tersebut bisa dijadikan sebagai sumber informasi utama bagi perpustakaan desa dalam melayani masyarakat, baik yang mau belajar, meneliti, berkarya, memperluas wawasan, mencari pengetahuan baru serta informasiinformasi lainya yang dibutuhkan. Keberhasilan suatu perpustakaan desa dapat diukur berdasarkan pada tinggi rendahnya kemampuan perpustakaan tersebut dalam melaksanakan fungsinya sebagai pusat kegiatan belajar mandiri serta pusat pelayanan informasi dan rekreasi masyarakat. Perpustakaan ini merupakan suatu lembaga pendidikan non formal dan sebagai sarana penunjang pendidikan formal. Sesuai dengan tujuan dan fungsi perpustakaan desa yang cukup strategis, maka persyaratan yang dituntut untuk petugas perpustakaan desa adalah (Perpustakaan Nasional RI, 2000, hal. 8): ”.. 1. Persyaratan mental, seorang petugas perpustakaan desa harus mempunyai jiwa mengabdi terhadap kepentingan masyarakat. Apalagi dana yang
42
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
diperuntukkan perpustakaan desa yang ada sekarang sangat minim. 2. Persyaratan pengetahuan, hal-hal umum yang seharusnya diketahui dan kadang-kadang harus dipelajari secara mendalam adalah hal-hal yang menyangkut masyarakat setempat, antara lain tentang mata pencarian pokok masyarakat. 3. Teknik-teknik penyelenggaraan perpustakaan desa yang meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Menata gedung/ruangan perpustakaan, antara lain dengan mengatur rak-rak buku, lemari katalog, meja bacaan, serta perlengkapan lainnya. b. Mengembangkan koleksi baik melalui pembelian, hadiah, tukar menukar, sumbangan masyarakat dan lain-lain. c. Memberikan bimbingan kepada masyarakat, antara lain cara-cara administrasi peminjaman, bimbingan terhadap pembaca serta pelayanan informasi lainnya.“ Mengingat tugas dan fungsi perpustakaan desa yang cukup strategis, maka kepala perpustakaan desa seyogyanya memiliki persyaratan yang dibutuhkan seperti pendidikan minimal SLTA plus ijazah Diklat/khusus di bidang pepustakaan. Seluruh kegiatan perpustakaan akan berjalan lancar apabila perpustakaan dikelola oleh tenaga yang berlatar belakang pendidikan yang sesuai dengan pekerjaannya. Serta memiliki sarana dan prasarana yang memadai (Lasa HS, 2008, hal. 58). Hakekat Perpustakaan Desa Pada dasarnya perpustakaan mempunyai peran dan posisi yang sangat strategis di dalam kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, upaya pembentukan dan penyelenggaraan, perpustakaan desa sudah sangat mendesak. Namun, dalam praktiknya belum semua orang menyadari tentang hal tersebut karena keterbatasan dan pemahaman. Faktanya belum semua pemerintah desa menjabarkannya dalam kebijakan dan pelaksanaan untuk mewujudkan atau membangun perpustakaan. Menurut Sutarno (2006, hal. 46), perpustakaan desa adalah sumber kekuatan, imajinasi, inspirasi untuk berpikir, belajar, bekerja, berkarya dan berprestasi. Sebuah kemajuan kehidupan akan akan diwarnai atau tergangtung pada kemampuan atau pengembangan berpikir. Untuk menciptakan ide-ide dan temuan-temuan baru yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia, bukan untuk merusak tatanan dan norma-norma yang sudah ada.
Perpustakaan merupakan refleksi budaya dan cerminan sebuah bangsa. Hal itu bisa kita perhatikan bahwa kehidupan masyarakat yang sudah maju biasanya ditandai oleh kemajuan perpustakaan. Hakikat perpustakaan, sebagai simbol kehidupan yang menjelma dalam berpikir rasional, berbicara realistis, bertindak yang positif dan konstruktif untuk menghasilkan sesuatu yang produktif dan bermanfaat. Perpustakaan desa adalah sumber informasi, ilmu pengetahuan dan pengembangan diri. Sejarah kehidupan dan pelestarian Pemahaman yang sederhana tentang perpustakaan desa adalah tempat menghimpun koleksi bahan pustaka yang berupa data, informasi, pengetahuan serta karya umat manusia masa lalu yang dikoleksi di perpustakaan. Hasil karya yang merupakan khazanah bangsa itu telah ditemukan, diciptakan dari masa-masa yang lalu sampai sekarang. Semua itu direkam, disimpan dan dilestarikan di perpustakaan. Dengan adanya perpustakaan, kita mengetahui apa yang pernah terjadi dimasa lalu dan apa yang pernah dilakukan oleh para pendahulu sehingga menjadi seperti sekarang ini yang bisa kita alami dan nikmati. Jika tidak ada perpustakaan yang menghimpun semua informasi dan mengoleksikannya, mungkin sekarang sejarah, pengetahuan, budaya dan lainnya akan hilang sedikit sedikit. Melalui perpustakaan, sejarah kehidupan dan buah karya umat manusia akan terus berproses berkelanjutan untuk menjadi yang terbaik dan menuju kesempurnaan. Perpustakaan desa yang berfungsi dengan baik mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan budaya umat manusia. Perpustakaan memberikan sumber aspirasi, inspirasi dan intuisi dalam memperkaya, memperluas ilmu pengetahuan dan pengalaman anggota masyarakat yang mau belajar dan instropeksi atas kekurangannya. Pada gilirannya akan berkembang pula kehidupan budaya nusantara yang menjadi kebanggaan dan ciri khas masyarakat setempat. Sementara untuk membentuk budaya membaca dan belajar masyarakat pedesaan masih dalam tahap upaya penekanan intensitas atau pembudayaan dan masih butuh waktu dan kesabaran. Layanan Masyarakat Layanan pengguna (masyarakat) merupakan tolak ukur keberhasilan sebuah perpustakaan. Perpustakaan akan dinilai baik oleh masyarakat jika mampu memberikan layanan yang terbaik, dan dinilai buruk secara keseluruhan jika layanan yang diberikan buruk (Rahayuningsing, 2007, hal. 84).
Perpustakaan desa yang dikelola dengan baik dapat dikembangkan menjadi pusat pelayanan informasi dan ilmu pengetahuan bagi penduduk wilayah desa tersebut. Informasi dan pengetahuan tersebut bersumber pada koleksi bahan pustaka dan dokumen resmi pemerintah desa, data statistik, gambar, foto, grafik. Perpustakaan desa merupakan salah satu sarana yang harus dikembangkan agar masyarakat bisa meningkatkan wawasan dan ketrampilan, khususnya untuk mandiri. Selain itu, perpustakaan desa juga bisa membantu pemerintah desa dalam melayani kebutuhan masyarakat, seperti pelayanan surat-menyurat kependudukan, jasa kesehatan, membentuk usaha tani yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Informasi yang ada diperpustakaan harus dikelola dengan baik, sehingga masyarakat akan mudah menemukan informasi yang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. “…Informasi yang dapat disajikan dan dilayankan di perpustakaan desa antara lain: 1. Peta yang memuat tentang kondisi geografi wilayah dan luas wilayah, iklim, akses jalan, potensi alam/ daerah, kekayaan, keunggulan, kelebihan, produk masyarakat dan keunikan lainnya. 2. Jumlah penduduk disertai data lengkap tentang jenis kelamin, tingkat pendidikan, etnis, agama dan kepercayaan, sumber mata pencaharian dan informasi penting lainnya. 3. Objek tertentu yang dapat dikembangkan, seperti objek wisata dan kerajinan pedesaan. 4. Aset dan kekayaan pemerintah desa yang dapat dimanfaatkan oleh umum. 5. Upacara adat atau kehidupan adat istiadat, benda pusaka, kesenian dan nilai-nilai kedaerahan yang menjadi ciri khas, kebanggaan yang perlu dilestarikan.“ Sutarno (2006, hal. 51) Hermawan (2010, hal. 183) berpendapat bahwa untuk dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, maka petugas perpustakaan desa harus memiliki sikap sebagai berikut: 1. Mengenal masyarakat pengguna, ini merupakan bagian penting dan tak dapat dipisahkan dari perpustakaan, sehingga informasi yang disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna. 2. Luwes dalam melayani, pustakawan harus bersikap luwes dalam melayani masyarakat pengguna, karena minat masyarakat desa untuk ke perpustakaan masih minim.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
43
3. Mengetahui kemauan pengguna, pustakawan harus berkomunikasi dengan masyarakat, sehingga dapat mengetahui apa yang mereka inginkan. Pustakawan harus bisa menunjukkan bahwa ia dapat melayani mereka dengan baik dengan cara memberikan pelayanan yang cepat, tepat, ramah dan profesional sehingga masyarakat merasa puas. 4. Mempromosikan produk layanan, pustakawan wajib mempromosikan produk layanannya kepada masyarakat. Mempromosikan produk layanan bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui media cetak seperti pamflet, brosur, stiker, dan lain sebagainya. Selain itu pustakawan juga bisa mempromosikan layanannya melalui obrolan-obrolan sehari-hari. 5. Melayani sampai tuntas agar masyarakat merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pustakawan. 6. Melayani dengan wajah ceria, hal ini berguna untuk mengangkat citra perpustakaan dimata masyarakat. 7. Mau mendengar keluhan masyarakat, pustakawan harus dapat bersikap sabar dalam mendengarkan keluhan masyarakat dan memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapinya. 8. Mengucapkan terima kasih, sehingga masyarakat pengguna merasa nyaman dan dihargai. Sarana Belajar Masyarakat “…Perpustakaan desa yang dikelola dan berfungsi dengan baik merupakan salah satu sarana dan tempat untuk belajar, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menambah wawasan dan pengetahuan warganya. Perpustakaan desa sebagai pusat kegiatan dan sumber belajar dalam lingkup pendidikan nonformal dan otodidak, yaitu dengan belajar sendiri, dengan teman, petugas perpustakaan maupun masyarakat pengunjung lainnya. Perpustakaan harus menyediakan bahan pustaka cetak maupun digital sebagai sumber belajar disamping sumber belajar seperti guru, lingkungan alam dan lingkungan masyarakat” (Lasa, 2013, hal. 6). Perpustakaan desa harus berperan dalam menciptakan suasana masyarakat yang harmonis, selaras dan seimbang. Peran ini dijalankan dengan menyediakan akses informasi yang tidak ada batas di perpustakaan. Perpustakaan desa merupakan sumber informasi dan pengetahuan yang tidak pernah kering. Oleh karena itu, perpustakaan desa tidak boleh membatasi pelayanannya dalam menyediakan informasi dan harus terus menambahkan informasi yang sesuai dengan lingkungan masyarakat sekitar.
44
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Pengembangan Budaya Baca Minat, kegemaran dan kebiasaan membaca harus dipupuk dan dibentuk dari usia dini. Perpustakaan desa dapat dimanfaatkan sebagai tempat pengembangan minat, hobi dan kebiasaan membaca serta belajar bagi anak-anak, remaja dan masyarakat yang berminat. Perpustakaan harus bisa meningkatkan hobi, kegemaran dan kebiasaan masyarakat untuk membaca, serta memotivasi mereka bahwa membaca adalah kebutuhan. Menurut Sutarno (2006, hal. 26), minat baca diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi dari seseorang kepada suatu sumber bacaan tertentu. Budaya baca adalah suatu sikap dan tindakan atau perbuatan seseorang untuk membaca yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan, sedangkan di dalam pengertian budaya baca ini mencakup kebiasaan dan proses dalam waktu yang lama di dalam kehidupan seseorang untuk selalu menggunakan sebagian waktunya untuk membaca. Kebiasaan membaca yang berkembang yang menjadi budaya membaca harus terus dipelihara agar terus berkembang. Karena perpustakaan desa merupakan salah satu sarana penting dalam mempersiapkan generasi muda sebagai kader dan calon pemimpin masa depan bangsa. Referensi dan penelitian sederhana Perpustakaan desa harus mempunyai koleksi rujukan, meskipun sifatnya terbatas dan sederhana disamping koleksi umum. Lasa (1994, hal. 34) menyatakan bahwa layanan referensi yang ada di perpustakaan desa sengaja dipersiapkan untuk memberikan informasi, penjelasan dalam hal-hal tertentu. Koleksi tersebut bisa digunakan oleh pengunjung sebagai sumber referensi untuk menambah pengetahuan dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi sehari-hari. Menurut Sutarno (2006, hal. 57) Koleksi yang harus dimiliki perpustakaan desa adalah: 1. Publikasi pemerintah penting bagi masyarakat seperti peraturan perundang-undangan, kependudukan, pengurus akte kelahiran. 2. Peta wilayah, direktori, alamat dan nomor telepon penting seperti nomor telepon rumah sakit dan kantor polisi. 3. Kelender kegiatan pemerintah yang menyangkut masyarakat banyak. 4. Pranata mangsa sebagai pegangan bagi kaum petani dalam menggarap lahan dan bercocook tanam, bukubuku keagamaan, kamus umum bahasa. 5. Surat kabar, majalah, brosur dan lainnya yang diterbitkan di pusat maupun daerah.” Perpustakaan harus memiliki koleksi dasar yang memadai yang didalamnya terdapat sumber referensi
yang sudah disebutkan di atas. Penelitian sederhana dapat dilakukan di perpustakaan desa dengan melakukan studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang penelitian yang dilakukan oleh masyarakat, petugas perpustakaan merujuk mereka keperpustakaan umum kabupaten kota atau pusat dokumentasi dan informasi lainnya. Pengayaan dan perluasan ilmu pengetahuan Masyarakat desa yang sudah mengerti dan memahami perpustakaan diharapkan sering mengunjungi perpustakaan. Mereka memanfaatkan informasi yang tersedia untuk memperoleh pengetahuan baru, pengalaman dan keterampilan tambahan. Keterampilan yang dimaksud adalah pengetahuan praktis dan pragmatis yang diterapkan dalam kehidupan nyata baik di rumah atau di tempat kerja. Selain itu juga bisa berguna untuk berwirausaha antara lain teknologi tepat guna, cara bercocok tanam, budidaya ekonomi usaha kecil, keterampilan mengolah hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan lain sebagainya. Masyarakat desa yang memanfaatkan perpustakaan dengan maksimal akan bertambah kaya dan luas wawasannya. Orang yang rajin membaca dan belajar dapat mengikuti perkembangan yang terjadi disekitarnya dan memanfaatkannya dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya. Makna nilai praktis Pada dasarnya ada sejumlah nilai yang ada pada keberadaan perpustakaan desa. Nilai-nilai itu dapat dimanfaatkan untuk membantu penduduk berkunjung ke perpustakaan. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah ekonomis, historis, filosofis, edukatif dan rekreatif. Kandungan ekonomi yang lebih bermanfaat adalah koleksi yang ada di perpustakaan dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga mereka mempunyai pengetahuan baru dan kemampuan tertentu. Nilai historis yang terkandung dalam perpustakaan desa antara lain dengan mengoleksi, menyimpan, melestarikan dan melayankan ilmu pengetahuan, maka masyarakat telah belajar sejarah kehidupan masa lalu. Nilai filosofis dalam lingkup perpustakaan tentang ilmu pengetahuan sebagai sumber informasi yang harus ditimba dalam kehidupan dan kemanusiaan. Untuk mencari jawaban tentang apa, mengapa dan bagaimana kehidupan manusia, alam dan lingkungan.pemahaman dan penghayatan filosofis mengajarkan dan mengajak orang berpikir tentang apa, mengapa dan bagaimana masyarakat dan kehidupan, tentang kebenaran hakikat, dan banyak lagi yang dapat digali informasinya di perpustakaan desa.
Sementara nilai pendidikan, masyarakat bisa belajar tentang pengetahuan dan banyak hal lainya di perpustakaan. Perpustakaan merupakan tempat belajar yang mudah dan murah bagi semua masyarakat tanpa memandang umur, pendidikan, budaya, ras maupun etnis. Nilai yang tak kalah penting atas keberadaan perpustakaan desa yaitu rekreasi atau hiburan. Ketenangan dan kepuasan batin merupakan sisi lain seseorang yang berfungsi menjadi penyeimbang dari hal-hal yang bersifat mendunia, untuk itulah maka perpustakaan desa sangat bararti bagi anggota masyarakat yang gemar dan biasa membaca atau belajar sebagai wisata hati. Sebuah hiburan atau rekreasi merupakan sisi lain dari kebutuhan umat manusia yang harus dipenuhi sebagaimana kebutuhan yang lainnya. Hiburan di perpustakaan yang infotainment, edutaiment, tentu berbeda dengan di tempat-tempat hiburan lainnya yang lebih menekankan amusement. Perpustakaan desa menjadi tempat wisata atau hiburan tersediri bagi masyarakat, tergantung cara pandang masyarakat itu sendiri. Kendala-kendala perpustakaan desa dalam pelayanan sumber informasi Data dan fakta di lapangan memperlihatkan bahwa banyak masyarakat yang belum menaruh perhatian dan kepedulian terhadap perpustakaan desa. Banyak perpustakaan desa belum bisa menjalani tugasnya secara optimal. Adapun kendala-kendala yang dihadapi perpustakaan desa menurut Sutarno (2006, hal. 58) adalah: 1. Keberadaan perpustakaan yang belum dikenal luas. 2. Kondisi perpustakaan yang serba terbatas. 3. Pengelolaan perpustakaan yang belom optimal. 4. Akses informasi yang relatif sulit. 5. Cara memanfaatkan dan kegunaannya yang belum efektif. 6. Pembinaan perpustakaan desa yang belum diselenggarakan dengan baik. Kesimpulan Perpustakaan desa adalah perpustakaan yang diselenggarakan oleh pemerintah tingkat desa, guna untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat desa serta sebagai pusat belajar dan sumber informasi utama masyarakat desa. Menurut Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3 Tahun 2001, perpustakaan Desa/Kelurahan adalah perpustakaan masyarakat sebagai salah satu sarana/media untuk meningkatkan dan mendukung kegiatan pendidikan masyarakat pedesaan, yang merupakan bagian integral dari kegiatan pembangunan desa/kelurahan.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
45
Adapun layanan yang diberikan perpustakaan desa sebagai sumber informasi utama adalah layanan informasi tentang kehidupan dan sejarah, layanan informasi umum, sebagai pusat belajar mengajar masyarakat desa, sebagai pusat pengembangan minat dan budaya baca masyarakat, layanan referensi tentang informasi-informasi tertentu, pusat penelitian sederhana serta sebagai pusat pengayaan dan perluasan ilmu pengetahuan masyarakat. Adapun kendala-kendala yang dihadapi perpustakaan desa adalah: 1. Keberadaan perpustakaan yang belum dikenal luas. 2. Kondisi perpustakaan yang serba terbatas. 3. Pengelolaan perpustakaan yang belom optimal. 4. Akses informasi yang relatif sulit. 5. Cara memanfaatkan dan kegunaannya yang belum efektif. 6. Pembinaan perpustakaan desa yang belum diselenggarakan dengan baik.
Saran Perpustakaan desa harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, sehingga perpustakaan desa tidak terkesan terabaikan begitu saja. Kepala kelurahan harus berpartisipasi dalam membangun dan mengembangkan perpustakaan desa serta menjalankan tujuan dan fungsi perpustakaan desa dengan baik. Perpustakaan desa sangat berperan penting dalam membangun kecerdasan bangsa, karena perkembangan suatu masyarakat dimulai dari desa. Perpustakaan desa harus dikelola oleh petugas yang memiliki latarbelakang pendidikan perpustakaan, minimal SLTA yang di bekali dengan diklat perpustakaan. Apabila belum ada tenaga yang seperti itu, maka perpustakaan desa bisa bekerjasama dengan perpustakaan daerah dan perpustakaan sekolah yang ada disekitarnya.
Daftar Pustaka
Hermawan, Rachman & Zen, Zulfikar. 2010. Etika Kepustakawanan. Jakarta: Sagung Seto Indonesia. (2007). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan Kartosedono, Soekarman dkk. (2000). Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Desa. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI Lasa, HS. (1994). Jenis-Jenis Pelayanan Informasi Perpustakaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Lasa, HS. (2007). Manajemen Perpustakaan Sekolah. Yogyakarta: Pinus
46
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Lasa, HS. (2008a). Membina Perpustakaan Desa. Jakarta: Sagung Seto Lasa, HS. (2008b). Manajemen Perpustakaan. Yogyakarta: Gama Media Lasa, HS. (2013). Manajemen Perpustakaan Sekolah/ Madrasah, Yogyakarta: Penerbit Ombak Rahayuningsih, F. 2007. Pengelolaan Perpustakaan. Yogyakarta: Graha Ilmu Sulistyo-Basuki. 1991. Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sutarno. 2006. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Sagung Seto.
Oleh: Wuri Setya Intarti1 Email:
[email protected]
The POWER of Librarian Management Abstrak Segala sesuatu bila dilakukan dengan cara yang baik dan dilaksanakan sesuai aturan, hasilnya akan baik. Cara yang baik diperlukan manajemen yang baik. Manajemen merupakan kekuatan (POWER) untuk mencapai keberhasilan. Power tidak hanya mempunyai makna kekuatan. Power disini juga mempunyai maksud positif lain yaitu POWER (Plan, Obsesion, Willingness to do more, Egality dan Responsibility). Pustakawan yang setiap kegiatannya dilakukan dengan Management By Anticipation (MBA) sama halnya mempersiapkan keberhasilan dengan melakukan antisipasi hal-hal yang akan menghambat keberhasilan. Oleh karena itu agar menjadi pustakawan yang sukses setiap kegiatannya harus dilakukan dengan Management By Anticipation (MBA). Kata kunci: POWER, manajemen, sukses
Pendahuluan Masih banyak pustakawan yang cara kerjanya tidak terencana dengan baik. Setiap pekerjaan yang harus dilakukan sering langsung dikerjakan tanpa memahami pekerjaan tersebut dengan teliti sehingga di dalam proses penyelesaiannya sering mengalami hambatan bahkan tidak mencapai hasil yang diharapkan. Pustakawan di dalam melakukan setiap pekerjaan tanpa memahami maksud dan tujuan dari pekerjaan tersebut akan sulit membuat perencanaan alur kerja mencapai tujuan. Di dalam membuat perencanaan yang baik dibutuhkan intuisi (pemikiran ke depan) yang kuat untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hambatan/masalah di dalam mencapai tujuan/penyelesaian tugasnya. Di sinilah perlunya pustakawan melengkapi dirinya untuk selalu menambah pengalaman dan pengetahuan agar bisa mengeksplorasi pikirannya, menganalisis kemungkinan, supaya bisa membuat perencanaan pelaksanaan pekerjaan lebih detil untuk mengantisipasi hambatan di dalam mencapai tujuan. Tugas menambah pengalaman dan pengetahuan adalah kewajiban mandiri bagi pustakawan. Namun untuk mengingatkan pentingnya bekerja dengan perencanaan yang baik, di dalam artikel ini akan dijabarkan mengapa membuat perencanaan pekerjaan itu penting bahkan wajib di dalam setiap melakukan
1
pekerjaan, tentunya agar tercapai tujuannya. Oleh karena itu setiap pekerjaan harus diatur dengan baik, dengan cara ”Management by Anticipation” Pengertian Apa yang dimaksud dengan the power of librarian management? The power of librarian management tidak hanya mempunyai makna kekuatan manajemen pustakawan, namun bisa juga merupakan singkatan dari POWER yang mempunyai pengertian luas (Plan, Obsesion, Willingness to do more, Egality dan Responsibility). Dengan demikian, apapun persepsinya, siapapun pelakunya bila segala sesuatu yang dikerjakan dikelola, diatur dan dilakukan dengan baik pasti hasilnya baik. Begitu pula kegiatan-kegiatan kepustakawanan yang dilakukan oleh pustakawan. Agar pustakawan sukses, apapun yang dilakukan harus diatur dengan baik. Salah satu unsur dari manajemen adalah PLAN, perencanaan. Setiap pekerjaan yang dilakukan bila tidak terencana dengan baik hasilnya tidak akan baik, karena tidak terstruktur, alurnya tidak terarah hasilnya tidak bisa dimanfaatkan dengan baik (useless). Bahkan ada pepatah mengatakan “To do without plan is plan to be fail” (melakukan sesuatu tanpa
Pustakawan Madya di Perpustakaan Nasional RI
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
47
rencana sama halnya merencanakan suatu kegagalan). Perencanaan adalah langkah awal dari setiap kegiatan, dan perencanaan merupakan salah satu bagian dari manajemen. Pustakawan yang ingin sukses, Librarian management-nya harus baik. Sebelum membahas lebih jauh tentang POWER of Librarian Management, saya akan sampaikan dulu bahwa manajemen menurut sudut pandang Reza M. Syarif, seorang motivator ternama di Indonesia, ada dua macam, yaitu Management By Accident (MBA) dan Management By Anticipation (MBA). Di sini pemahaman tersebut yang akan digunakan untuk menggambarkan/menjabarkan dari sudut pandang Pustakawan dan kepustakawanan. Manajemen By Accident, adalah suatu tindakan dilakukan setelah ada kejadian. Ini sama halnya manajemen tanpa perencanaan, sehingga hasil yang didapat adalah masalah. Setelah masalah muncul baru tergerak untuk menyikapinya. Pola manajemen seperti ini sama saja merencanakan kegagalan. Manajemen By Anticipation, adalah mempersiapkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan di dalam melakukan kegiatan/pekerjaan untuk menghindari adanya masalah yang muncul selama melaksanakan kegiatan. Jadi Management By Anticipation ini manajemen yang sudah dipersiapkan secara detail apa saja yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan. Oleh karena itu Managemen By Anticipatian merupakan suatu keharusan untuk dilakukan bagi siapa saja yang menginginkan kesuksesan, sebab kalau tidak, berarti mempersiapkan kegagalan. Purpose Banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan dengan menerapkan Management By Anticipation, sangat luar biasa sekali. Ada lima huruf kata kunci yang akan dijabarkan di dalam artikel ini. Kata kunci tersebut adalah POWER yang sudah disampaikan di awal tulisan ini. P adalah PURPOSE (tujuan), mulailah sesuatu itu dengan tujuan. Tujuan itu bisa dirumuskan dengan sebuah perencanaan. Karena orang bisa membuat perencanaan sudah pasti tahu tujuannya. Orang-orang yang melakukan perencanaan kegiatan dengan antisipasi, berarti sudah dipikirkan dengan baik, dengan matang, jangan sampai terjadi kegagalan atau meminimalisir kegagalan. Para ilmuwan menyarankan plan your work, work your plan (rencanakan kerja anda, kerjakan rencana-rencana Anda). Seperti Allah SWT memperingatkan pada kita dalam surah Al-Hasyr ayat 18, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
48
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
setiap diri memperhatikan apa yang akan diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” Dalam ayat tersebut, Allah menyuruh kepada manusia yang beriman untuk merencanakan apa yang akan dikerjakannya. Jadi ciri orang beriman dan bertaqwa salah satunya memiliki perencanaan dalam hidup. Berarti untuk bisa menerapkan Management By Anticipation huruf P adalah planning. Sebagai pustakawan Anda harus punya perencanaan kepustakawanan Anda, dan melakukan kegiatan kepustakawanan yang Anda rencanakan, karena tentunya Anda punya tujuan, PURPOSE. Hal tersebut sejalan dengan program pemerintah, yang mana setiap pegawai diwajibkan untuk membuat SKP (Sasaran kerja pegawai). SKP tersebut dimaksudkan sebagai kontrak kerja yang akan dilakukan, dan merupakan rencana kerja pegawai yang harus diselesaikan atau dicapai. Dengan membuat SKP, diharapkan pegawai memahami dan mengerti tujuan dari pekerjaan-pekerjaan yang direncanakan/ target yang ingin dicapai. Dengan demikian pegawai atau pustakawan tinggal melaksanakan target atau capaian kinerja yang menjadi kewajibannya. Proses kerja seperti ini akan lebih terarah untuk mewujudkan capaian kinerja yang sudah direncanakan. Dengan demikian membuat SKP merupakan salah satu perwujudan bentuk keimanan, berarti sifatnya menjadi wajib. Memperhatikan peringatan Allah SWT dan program Permerintah dengan pembuatan SKP bagi pegawai tersebut, memerintahkan bahwa sebagai pustakawan yang beriman tentunya membuat perencanaan tugas adalah wajib. Oleh karena itu pustakawan untuk mencapai jenjang kepangkatan lebih tinggi wajib merencanakan apa saja kegiatan/pekerjaan kepustakawanan yang akan dilakukan. Untuk membuat perencanaan yang terukur dan terarah sebaiknya menggunakan rumus SMARTER (Spesific, Measureable, Achievable, Realistic, Time Limit, Exciting, Reward). Specific (khusus atau tertentu), berarti pilihlah kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan jenjang jabatannya, agar mendapat nilai angka kredit dari hasil kegiatan atau yang dikerjakan. Measurable (terukur), pilih kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kemampuannya. Achieveable (bisa dicapai), pilih kegiatan-kegiatan yang pasti bisa dicapai. Realistik (masuk akal), pilih kegiatankegiatan yang tidak mengada-ada atau diluar kegiatan yang terdaftar atau diakui di dalam penilaian angka kredit pustakawan sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya tersebut. Time limit (batas waktu), berarti kegiatan-kegiatan yang sudah Anda pilih harus
dipertimbangkan dengan waktu yang tersedia/ditentukan. Exciting (menyenangkan), apabila pustakawan melakukan sesuatu, pustakawan tersebut harus mengetahui motif atau tujuannya, agar dapat mencapai hasil yang paling baik sehingga hasilnya memuaskan/menyenangkan, karena kalau pustakawan dapat melakukan sesuatu tahu tujuannya, potensi diri pustakawan tersebut juga akan terbangkitkan. Jim Rohn, motivator terkenal di dunia dan juga guru Anthony Robins, berkata ”Sesuatu yang dilakukan dengan beralasan, pasti akan berhasil”. Reward (hadiah/imbalan), pustakawan boleh menetapkan hadiah untuk dirinya sendiri. Syaratnya, tujuan yang ditetapkan bisa tercapai. Ini akan merangsang pustakawan untuk berusaha lebih keras lagi. Hadiah itu tidak harus mahal, tetapi sesuatu yang sangat pustakawan dambakan sebagai bentuk penghargaan. Obsession Huruf yang kedua adalah O, Obsession. Pustakawan harus memiliki satu obsesi. Obsesi adalah mempunyai hasrat yang sangat tinggi sekali dalam mencapai satu tujuan. Untuk bisa menerapkan Management By Anticipation dibutuhkan kesabaran. Kesabaran ini ibarat fuel, sebagai bahan bakarnya. Sebagai bahan bakar untuk melakukan kegiatan adalah motivasi, tepatnya inner motivation (motivasi dari dalam diri). Apapun kegiatan/ pekerjaan yang dilakukan dengan inner motivation pasti tidak merasa terbebani, karena sesuai keinginan dirinya, sehingga hasilnya akan bagus. Contohnya, Apabila kita melakukan pekerjaan yang kita senangi tanpa disuruh pun akan diselesaikan dengan senang hati, karena kita mempunyai obsesi dengan pekerjaan tersebut. Atau kita ingin mencapai yang kita cita-citakan, misalnya, kita ingin naik pangkat lebih cepat dari target maka tanpa disuruh kita akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendukung tercapainya target tersebut. Otak kita akan terangsang untuk kreatif. Di samping harus melakukan pekerjaan yang punya nilai kredit pustakawan tapi juga pekerjaan yang tidak langsung bernilai kredit pustakawanpun diubah menjadi pekerjaan yang punya nilai kredit pustakawan, dengan cara dijadikan bahan tulisan. Contohnya dengan mengembangkan ide-ide kreatif berupa solusi, melakukan evaluasi, menyampaikan opini atau bahkan inovasi sebagai terobosan atau cara efektif meningkatkan produktifitas kinerja pustakawan. Kita bisa juga membuat tulisan karena menulis angka kreditnya lebih besar dibanding pekerjaan kepustakawanan yang lain, dan ternyata dengan menulis akan termotivasi untuk banyak membaca. Menulis tanpa banyak membaca hasilnya tidak bagus, karena menulis dibutuhkan perbendaharaan kata
untuk mengungkapkan sesuai dengan apa yang dipikirkan, tahu tata cara penulisan, dan lain sebagainya, tapi yang pasti dengan banyak membaca akan banyak menambah ilmu pengetahuan. Contoh lain lagi bila sedang banyak pekerjaan, kalau pekerjaan tersebut dikerjakan akan bermanfaat bagi orang lain, maka segera kerjakan pekerjaan tersebut, karena dengan melakukan pekerjaan merupakan peluang untuk menambah keterampilan, pengalaman dan pengetahuan, sehingga membuat kualitas diri kita bertambah dan hidup menjadi mudah. Karena tahu apa yang harus dilakukan. Sebetulnya, memang esensi bekerja adalah membantu, melayani dan memudahkan orang lain (Arvan Pradiansyah; 2014). Bila pemahamannya sudah ditaraf ini berarti obsesinya bagus, karena tidak hanya ingin mencapai yang diinginkan, tetapi membuat diri jadi lebih bermakna, disamping itu juga menambah kualitas diri dan membuat diri kita senang. Bila di dalam hati kita merasa senang melakukan pekerjaan ataupun menulis karena menyadari betul akan manfaat selain untuk diri sendiri bermanfaat juga buat orang lain, maka tanpa disuruh oleh siapapun, hati dan pikirannya tergerak untuk melakukan pekerjaan itu dengan rasa senang dan serius serta berusaha fokus hingga pekerjaan atau tulisan tersebut selesai. Untuk menjaga motivasi kita tetap tumbuh, kita harus menanamkan rasa “apa saja yang dilakukan bermanfaat bagi orang lain” sehingga keberadaan kita bermakna. Dengan demikian kita menjadi senang. Kalau kita sudah merasa senang dengan apa yang kita lakukan, kita menjadi tidak terbebani. Willingness To Do More Kemudian huruf yang ketiga adalah W, Willingness to do more (keinginan untuk melakukan yang lebih). Pustakawan yang menerapkan Management By Anticipation adalah pustakawan yang mau meluangkan waktunya untuk hal-hal yang lebih, hal-hal yang extra. Dia bila belajar bukan sekedarnya, bila bekerja bukan sekenanya dan bila berprestasi bukan seadanya. Tetapi pustakawan tersebut berusaha untuk lebih dari apa yang sudah ditentukan. Memiliki Willingness to do more ‘keinginan untuk melakukan yang lebih’, bukan sekedar apa yang diminta, tapi lebih dari apa yang diminta. Misalnya, disuruh membuat 5 pertanyaan, pustakawan tersebut akan mempersiapkan lebih dari 5 pertanyaan; pertanyaan boleh sederhana saja, tetapi dia akan membuat pertanyaan yang cukup kualitas atau berbobot. Target mengumpulkan angka kredit 30 saja, pustakawan tersebut akan mengumpulkan angka kredit 40. Ketika diminta membuat tulisan sebanyak dua judul, pustakawan tersebut akan berusaha menyelesaikan tiga judul atau lebih dan selanjutnya. Jadi di dalam dirinya terbentuk mindset bahwa dia tidak menyerah pada target standar,
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
49
namun harus mencapai target di atas standar atau dia harus berbuat lebih dari yang orang lain lakukan. Egality Huruf keempat adalah E, Egality. Kita sebagai pustakawan membutuhkan persamaan/standar personal. Kita ketahui bahwa dunia ini terdiri dari 3 dimensi waktu, kita hidup di masa lalu, dimasa kini, dan di masa depan. Bila kita menengok ke belakang, kita akan bertemu dengan dimensi yang disebut past time (masa lalu). Past time adalah the point of experiences (titik pengalaman). Sesuatu yang sudah terjadi adalah pengalaman. Misalnya bila Pustakawan pernah mendapat peringatan untuk segera mengajukan DUPAK (Daftar Usulan Penilaian Angka Kredit) sesuai jenjang jabatannya, maka hal tersebut jangan sampai terulang, kedepan harus lebih baik jangan sampai melampaui batas waktu yang ditentukan. Jadikan masa lalu sebagai pengalaman untuk memperbaiki diri. Sedangkan masa kini, masa yang sedang kita jalani adalah present time merupakan the point of reality (titik kenyataan). Kita berada di kondisi sekarang. Kondisi sekarang kita harus membuktikan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Apalagi kita sudah mendapatkan pengalaman hari kemarin. Maka dari itu evaluasi adalah penting, sebagai perbandingan dan merupakan stimulus langkah berikutnya yang lebih baik. Seperti contoh diatas, mindset kita harus terpola bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Bila kemarin pengajuan DUPAK-nya hasil dari pekerjaan selama 4 tahun, sekarang harus bisa dicapai kurang dari 4 tahun. Jadi realita yang harus ditunjukkan atau dibuktikan, anda mampu mencapai target naik pangkat ditempuh misalnya dalam waktu 3,5 tahun atau bahkan 3 tahun. Dimensi yang ketiga adalah Future time, melihat ke depan. What is future time? That’s the point of prediction, itu adalah titik prediksi, titik perkiraan-perkiraan. Namanya perkiraan ya tidak bisa dipastikan, point of expectation, ‘titik harapan kita’. Tapi bisa direncanakan dari sekarang. Karena gambaran hari esok merupakan hasil tindakan hari ini dan bila mengacu kepada tindakan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, hari esok harus lebih baik dari hari ini, untuk menjadi pustakawan yang mau maju di dalam pembuatan SKP (Sasaran Kerja Pegawai) harus berani merencanakan hari esok lebih baik dari yang sudah dicapai sekarang. Nah bagaimana strategi kita selaku pustakawan dengan egality tadi? Kita harus seimbang melihat dimensi waktu ini. Orang-orang yang menerapkan pola Management By Anticipation adalah orang-orang yang
50
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
belajar dari kesalahan masa lalu. Kita ambil pengalaman itu sebagai satu pelajaran yang sangat berarti, introspeksi, self evaluation, atau bila dalam perusahaan disebut dengan ‘audit’. Kita lakukan introspeksi, apakah hari ini kita sama seperti dahulu, atau hari ini kita lebih buruk dibanding yang terdahulu. Kemudian, kita selaku pustakawan melihat kedepan. Berarti kita melakukan apa yang disebut dengan estimasi, yakni memperkirakan, kita memprediksi sesuatu. Dari mana kita bisa memprediksi sesuatu? Dasar kita adalah belajar dari dua hal; Pertama, mengukur kekuatan kita dengan menganalisis realita saat ini secara mendalam baik kekuatan, kelemahan, peluang, maupun ancamanancaman kita, analisis SWOT. Kedua, menginventarisir kemampuan untuk bisa membaca sejarah di masa lalu. Dua hal ini yang akan mengantarkan kita untuk bisa memprediksi sesuatu di masa yang akan datang dengan baik. Analisis masa kini dan mengevaluasi masa lalu, baru kita bisa merencanakan bagaimana kita di masa yang akan datang. Para pembaca budiman, saya berharap mudahmudahan kita bisa menerapkan satu pola atau prinsip Management By Anticipation bukan Management By Accident sehingga, kita bisa menjadi orang yang bermanfaat dalam kehidupan ini. Bukan hidup tanpa rencana, karena hidup tanpa rencana sama halnya menyiapkan kegagalan. Bila kita hidup tanpa rencana sama halnya pula kita berperan dalam menyiapkan kegagalan/ kehancuran. Oleh karena itu marilah kita selalu membuat perencanaan dalam kehidupan ini atau kegiatan apapun yang akan dilakukan, agar kita tidak turut menyiapkan kegagalan /kehancuran, agar kita menjadi orang yang punya tanggung jawab. Responsibility Mudah-mudahan dengan Management by Anticipation akan mengantarkan pustakawan menjadi orang-orang yang Responsibility (R), bertanggung jawab. Pustakawan menjadi orang-orang yang bertanggung jawab bukan saja kepada dirinya, juga buat orang lain termasuk kepada Tuhan, Allah SWT. Setelah diuraikan satu persatu dari kata kunci POWER, ternyata muatan Management By Anticipation tersebut mengindikasikan bahwa POWER tersebut adalah ‘kekuatan’. Kekuatan manajemen yang hebat, yang mengajak manusia menjadi orang yang beriman dan bertaqwa. Setiap pustakawan pasti berkeinginan untuk sukses. Orang ingin sukses tanpa melakukan langkah-langkah sukses, kesuksesan yang diharapkan
tidak akan terwujud. Bagaimana mungkin mau sesuatu, tidak melakukan sesuatu, ingin mendapatkan sesuatu?! Jangan khawatir, pasti akan mendapatkan sesuatu, yaitu nihil. Oleh karena itu Pustakawan yang ingin sukses tindakannya harus direncanakan dengan baik, dilakukan dengan baik dan hasilnya ditunggu dengan baik, yaitu sabar dan tawakal. Lakukan yang terbaik bagian kita dan Tuhan pasti melakukan kebaikan untuk kita sebagai pustakawan.
Selamat berjuang dengan anugerah kekuatan yang diberikan Tuhan untuk mengatur kehidupan mencapai sukses yang diharapkan. Manage yourself. You have to be responsibility with your life, your carrier, and your institution (organization).
Daftar Pustaka
Andrew Ho. (2007). Highway to success: 10 sistem untuk mencapai kesuksesan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya Pradiansyah, Arvan. (2014). Happines at Work. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Romli, Asep Syamsul M. (2003). Lincah Menulis Pandai Bicara: Panduan ringkas menulis artikel, teknik berpidato di depan umum. Nuansa Cendikia. Bandung Syarif, Reza M. (2007). Life Exellence: menuju hidup lebih baik. Jakarta: Prestasi.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
51
PETUNJUK UNTUK PENULIS Judul Artikel1 (Setiap kata diawali huruf kapital, 14 pt, bold, centered)
Penulis Pertama2, Penulis Kedua3 dan Penulis Ketiga3 (penulis tanpa gelar 12 pt) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
E-mail:
[email protected] (11 pt, italic) (kosong dua spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal dan rata kiri-kanan. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup latar belakang, tujuan penelitian, metode penelitian (teknik pengumpulan dan analisis data), serta hasil analisis yang disampaikan tidak lebih dari 250 kata. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Kata Kunci: maksimum 5 kata kunci (10 pt, italic) (kosong tiga spasi tunggal, 12 pt)
Pendahuluan (12 pt, bold) Naskah ditulis dengan Times New Roman ukuran 12 pt, spasi tunggal dan rata kiri. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3,5 cm, bawah 2,5 cm, kiri dan kanan masingmasing 2 cm. Panjang naskah hendaknya tidak melebihi 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Apabila halaman naskah jauh melebihi jumlah tersebut maka dianjurkan untuk dibuat dalam dua naskah terpisah. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk istilah asing ditulis miring (italic). Judul naskah hendaknya singkat dan informatif serta tidak melebihi 20 kata. Kata kunci ditulis di bawah abstrak untuk mendeskripsikan isi naskah. (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan heading dan subheading diawali huruf besar tanpa diberi penomoran. Kata pertama pada setiap awal paragraf menjorok 0.5 inch /1,27 cm. Sistematika penulisan sekurang-kurangnya mencakup Pendahuluan, Metode Penelitian, Analisis dan Interpretasi Data, Kesimpulan dan/atau Diskusi, serta Daftar Pustaka. Sebaiknya penggunaan subheadings dihindari, apabila diperlukan maka gunakan outline numbered yang terdiri dari angka Arab.
Daftar Pustaka (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 12 pt)
Penulisan daftar pustaka mengadopsi format APA (American Psychological Association). Daftar pustaka sebaiknya menggunakan sumber primer (jurnal atau buku). Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis berdasarkan nama keluarga/nama belakang pengarang. Secara umum, urutan penulisan daftar pustaka adalah nama pengarang, tanda titik, tahun terbit yang ditulis dalam kurung, tanda titik, judul tulisan, tempat terbit, tanda titik dua/colon, nama penerbit. Paling banyak nama 3 (tiga) orang pengarang yang dituliskan, apabila lebih dari 4 orang digunakan kata dkk. Nama keluarga Tionghoa dan Korea tidak perlu dibalik karena nama keluarga telah terletak di awal. Tahun terbit langsung dicantumkan setelah nama pengarang agar memudahkan penelusuran kemutakhiran bahan acuan. Apabila pengarang yang diacu menulis dua atau lebih tulisan dalam setahun maka pada saat penulisan tahun terbit diberi tanda pemerlain agar tidak membingungkan pembaca tentang tulisan yang diacu, misalnya: Miner (2004a), Miner (2004b). Makalah pernah dipresentasikan/disampaikan pada acara… (bila ada) 2 Vol. 22 Pustakawan No. 3 TahunMuda 2015 pada Perpustakaan X 3 Pustakawan Pertama pada Perpustakaan X 1
52
Contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Rujukan dari buku:
Lofland, Lyn. (1999). A World of Strangers: Order and action in urban public space. New York: Basic Books.
Rujukan bab dalam buku:
Markus Hazel Rose, Kitayama Shinobu, Heiman Rachel H. (1996). Culture and basic psychological principles. Dalam E.T. Higginss & A.W. Kruglanski (EDS.), Social psychology: Handbook of basic principles. New York: The Guilford Press.
Rujukan dari dokumen online:
Van Wagner, Kendra. (2006). Guide to APA format. About Psychology. Diakses November 16, 2006 dari http://psychology.about.com/od/apastyle/guide\
Rujukan artikel dalam jurnal:
McCright, Aaron M. & Dunlap, Riley E. (2003). Defeating Kyoto: The concervative movement’s impact on U.S. climate change policy. Social Problems, 50, 348-373.
Rujukan dari jurnal online:
Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social behavior. Journal of internet Psychological, 4. Diambil 16 November 2014 from http://www.journalofinternetpsychology.com/archives/ volume4/3924.html
Artikel dari database:
Henriques, Jeffrey B. & Davidson, Richard J. (1991). Left frontal hypoactivation in depression. Journal of Abnormal Psychology, 100, 535-545. Diambil 16 November 2014 dari PsychINFO database
Online Forums, Discussion Lists or Newgroups:
Leptkin, J. L. (2006, November 16). Study tips for psychology students [Msg.11]. Pesan disampaikan dalam http://groups.psychelp.com/forums/messages/48382.html.
Rujukan dari makalah:
Santamaria, J.O. (September 1991). How the 21st century will impact on human resource development (HRD) professional and practitioners in organizations. Makalah dipresentasikan pada International Confrence on Education, Bandung, Indonesia.
Rujukan dari tugas akhir, skripsi, tesis dan disertasi:
Santoso, Guritnaningsih A. (1993). Faktor-faktor sosial-psikologis yang berpengaruh terhadap tindakan orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak ke sekolah lanjutan tingkat pertama (Studi lapangan di pedesaan Jawa Barat dengan analisis model persamaan struktural). Disertasi Doktor , Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Rujukan dari laporan penelitian:
Villegas, Martha & Tinsley, Jeanne. (2003). Does education play a role in body image dissastification? Laporan Penelitian, Buena Vista University. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia, 2005. Depok: Pusat Penelitian UI dan Badan Narkotika Nasional.
Rujukan dari ensiklopedia atau kamus:
Sadie, Stanley. (Ed.). (1980). The new Groove dictionary of music and musicians (6th ed., Vols. 1-20). London: Macmillan.
Lampiran Lampiran/Appendices hanya digunakan jika benar-benar sangat diperlukan untuk mendukung naskah, misalnya kuesioner, kutipan undang-undang, transliterasi naskah, transkripsi rekaman yang dianalisis, peta, gambar, tabel/bagian hasul perhitungan analisis, atau rumus-rumus perhitungan. Lampiran diletakkan setelah Daftar Pustaka. Apabila memerlukan lebih dari satu lampiran, hendaknya diberi nomor urut dengan angka Arab.
1. 2.
3.
Catatan: Untuk menghindari adanya duplikasi tulisan dan pelanggaran etika keilmiahan, penulis tidak diperkenankan untuk mengirimkan dan mempublikasikan naskah yang sama pada penerbitan jurnal ilmiah yang lain. Mohon cantumkan kutipan dengan jelas, baik di dalam artikel dan terdaftar dalam daftar pustaka. Format kutipan: Nama penulis yang dikutip (tahun publikasi: halaman berapa kata/kalimat yang akan dikutip) - Kutipan tidak langsung: Seperti definisi X menurut Arif (2011:11) adalah sesuatu yang hidup dan berkembang biak di alam Y. - Kutipan langsung: Menurut Sunderland (1979:12): “Pendirian lembaga maupun jurnalnya dapat dilihat sebagai upaya pihak kolonial untuk melanggengkan jajahannya.” Hindari copy paste dari artikel lain, blog pribadi seseorang, Wikipedia, ataupun situs yang tidak jelas, karena tidak bisa dijadikan sebagai rujukan.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
53
4.
Untuk gambar dan artikel diberi keterangan dan narasi dalam artikel. Sehingga kelihatan kejelasan dan penjelasannya. Untuk gambar keterangan di bawahnya, sedangkan untuk tabel keterangan ada di atasnya.
Gambar 1. Hasil pencarian publikasi menggunakan scholarometer. Tabel 1. Sumber Data yang digunakan Sumber Buku Dari Columbus untuk Indonesia: 70 tahun tahun Prof Bill Liddle
34
Buku direktori KITLV
316
Buku direktori LIPI
192
Buku direktori UNAIR Press
288
Jurnal Indonesia terbitan Cornell University’s Southeast Asia Program
454
Lipsus Tempo 14-20 November 2011 Total jumlah peneliti yang ditelusur via google scholar
5.
Jumlah
58 1342
Redaksi berhak menolak atau mengembalikan naskah artikel yang tidak memenuhi petunjuk penulisan ini.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
Kebersamaan para Peserta Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015.
55
Para Peserta Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2015 bersama Presiden Republik Indonesia dan jajaran Kabinet Kerja di Istana Bogor.
Vol. 22 No. 3 Tahun 2015
56