5
Pengujian Sifat Binderless MDF. Pengujian sifat fisis dan mekanis binderless MDF dilakukan mengikuti standar JIS A 5905 : 2003. Sifat-sifat tersebut meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan tebal, daya serap air, modulus elastisitas (MOE), modulus patah (MOR), keteguhan rekat (IB), kuat pegang sekrup dan konduktivitas panas. Pengujian konduktivitas panas dilakukan menggunakan Netzsch 436 heat flow meter thermal conductivity di dalam ruangan bersuhu 23 ± 2ºC atau RH ± 50%. Pengujian Kristalinitas MDF. Pengujian kristalinitas papan dilakukan menggunakan difraktometer sinar-X (XRD). Pengujian dilakukan pada sampel papan (kontrol, papan terbaik dan papan pembanding) yang dibentuk berukuran 5,5 cm x 3,5 cm x 0,2 cm dengan kondisi pengoperasian pengujian kristalinitas adalah pada 40 kV dan 30 mA dengan interval daerah theta 10º hingga 50º. Rancangan Percobaan. Penelitian ini menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) tiga kali ulangan dengan faktor tingkat konsentrasi NaOH sebesar 3%, 6% dan 12%. Model umum rancangan yang digunakan adalah : Yij = µ + αi + εij Keterangan : Yij
= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan ke-i
εij
= pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Binderless MDF. Sifat fisis dan mekanis papan serat diuji mengikuti standar JIS A 5905 : 2003. Sifat fisis yang diuji meliputi kerapatan, kadar air, pengembangan tebal, dan daya serap air, sedangkan sifat mekanisnya meliputi modulus of elasticity (MOE), modulus of rupture (MOR), internal bond (IB), kuat pegang sekrup, dan konduktivitas panas.
6
Berdasarkan uji statistik, konsentrasi NaOH pada perlakuan hidroksimetilasi berpengaruh nyata terhadap semua sifat fisis papan, sedangkan pada sifat mekanis konsentrasi NaOH tidak berpengaruh nyata terhadap IB dan konduktivitas panas papan serat yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Duncan menunjukkan terjadi perbedaan yang signifikan antar perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap konsentrasi NaOH. Kerapatan papan serat hasil penelitian ini berkisar dari 0,51 g/cm³ sampai 0,71 g/cm³. Gambar 1 menunjukkan bahwa kerapatan terendah dihasilkan papan kontrol dan kerapatan tertinggi dihasilkan papan serat dengan perlakuan konsentrasi NaOH 12%. Secara keseluruhan nilai kerapatan papan serat yang dihasilkan memenuhi standar JIS A 5905 : 2003 yang mensyaratkan nilai kerapatan sebesar 0,35 g/cm³ ≤ ρ ≤ 0,80 g/cm³. Nilai kerapatan papan serat perlakuan HL 3%+lignin teknis memiliki nilai kerapatan tertinggi dibandingkan dengan nilai kerapatan keempat perlakuan lainnya. Valásquez et al. (2003) menyebutkan bahwa penambahan jumlah lignin setelah perlakuan akan meningkatkan kerapatan papan. Hal ini diduga karena pada perlakuan tersebut dilakukan penambahan lignin teknis yang mana rongga yang ada diantara serat diisi oleh lignin teknis sehingga kontak antar serat menjadi kompak dan papan menjadi lebih padat (Bowyer et al. 2003; Arianti 2011).
Gambar 1 Histogram nilai kerapatan (g/cm³) papan serat dibandingkan standar JIS A 5905 (2003) dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis. Hidroksimetilasi dengan konsentrasi NaOH 12% menghasilkan papan dengan kadar air tertinggi (22,28%) dan kadar air terendah (12,15%) diperoleh dari papan kontrol. Reaksi kayu dengan NaOH dapat meningkatkan jumlah gugus OH
7
selulosa dan hemiselulosa yang menyebabkan peningkatan afinitas terhadap air dan potensinya untuk membentuk ikatan hidrogen (Sjöström 1993). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 2, dimana hanya kadar air papan kontrol yang memenuhi syarat JIS A 5905:2003 yaitu 5% ≤ KA ≤ 13%.
Gambar 2 Histogram nilai kadar air (%) papan serat dibandingkan standar JIS A 5905 (2003) dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis. Nilai pengembangan tebal papan serat tidak memenuhi persyaratan JIS A 5905 : 2003 yaitu ≤ 12%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan tebal papan serat terendah (15,08%) diperoleh dari papan kontrol sedangkan nilai pengembangan tebal papan serat tertinggi (28,06%) diperoleh dari papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3%, sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Ketidakhadiran resin perekat dalam papan menyebabkan pengembangan tebal bergantung pada perilaku kimia partikel selama perlakuan (Widyorini et al. 2005). Perlakuan kimiawi terhadap bahan berlignoselulosa membuat dimensi panjang serat selulosa mengkerut dan disertai dengan pengembangan (Sjöström 1993). Pengembangan tebal papan yang tinggi dapat pula disebabkan oleh kadar hemiselulosa pulp yang tinggi, karena hemiselulosa bersifat lebih hidrofilik (Quintana et al. 2009).
8
Gambar 3 Histogram nilai pengembangan tebal (%) papan serat dibandingkan standar JIS A 5905 (2003) dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis. Sebagaimana halnya dengan pengembangan tebal, peningkatan daya serap air papan serat akibat tingginya kadar hemiselulosa telah dilaporkan terjadi juga pada papan serat berbahan jerami gandum (Eroglu et al. 2001) dan kulit kacang (Akgül dan Tonzluoğlu 2008). Meskipun daya serap air bukan merupakan sifat fisis yang disyaratkan oleh JIS A 5905 : 2003, namun demikian pengujian sifat ini diperlukan untuk menentukan apakah layak dipergunakan pada eksterior atau interior (Sarumaha 2008). Daya serap air papan serat yang dihasilkan berkisar dari 81,94% sampai 122,94% seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai daya serap air terendah diperoleh dari papan kontrol sedangkan nilai tertinggi dari papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3%.
Gambar 4 Histogram nilai daya serap air (%) papan serat dibandingkan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis. Nilai modulus of elasticity (MOE) papan serat hasil penelitian ini disajikan secara grafis pada Gambar 5 yang besarnya berkisar dari 752,96 N/mm2 sampai dengan 1431,33 N/mm2. MOE terendah diperoleh dari papan kontrol dan tertinggi
9
diperoleh dari papan serat pada perlakuan konsentrasi NaOH 3%. Kecuali MOE kontrol, semua nilai MOE papan serat hasil penelitian ini memenuhi persyaratan JIS A 5905 : 2003 tipe 5, yaitu ≥ 800 N/mm2. Sejalan dengan pernyataan sebelumnya oleh Ramli et al. (2002), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi NaOH cenderung menurunkan MOE papan serat. Penurunan nilai MOE ini dapat berasal dari degradasi hemiselulosa, lignin dan selulosa oleh NaOH yang menyebabkan kerusakan dan penipisan dinding sel kayu (Sjöström 1993). Sangat beralasan bahwa degradasi selulosa oleh NaOH menurunkan nilai MOE karena selulosa merupakan bahan utama penyusun kekuatan bahan berlignoselulosa seperti kayu (Widyorini et al. 2005).
Gambar 5 Histogram nilai MOE (N/mm2) papan serat dibandingkan standar JIS A 5905 (2003) dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis. MOR papan terendah (6,31 N/mm2) diperoleh dari papan kontrol sedangkan nilai MOR tertinggi (12,32 N/mm2) diperoleh dari papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3%. Nilai MOR memenuhi standar JIS A 5905 : 2003 tipe 5 yaitu ≥ 5 N/mm2 seperti yang terlihat pada Gambar 6. Rendahnya nilai MOE dan MOR yang menurun bersamaan dengan bertambahnya konsentrasi NaOH diduga akibat terjadinya degradasi komponen kimia (selulosa, hemiselulosa dan lignin) dari kenaf. Degradasi komponen kimia dapat terjadi juga akibat suhu tinggi yang diterapkan saat pengempaan papan. Depolimerisasi polisakarida dan lignin terdegradasi akibat suhu tinggi telah diasumsikan oleh Han et al. (2009).
10
Selain itu, peningkatan kadar serat pendek dan terjadinya keruntuhan dinding sel dapat menyebabkan penurunan MOR (Ye et al. 2007). Penggilingan (refining) serat kenaf dalam proses pembuatan papan penelitian ini dapat mengakibatkan terjadinya pemotongan serat dan perubahan struktur dinding sel. Papan yang dibuat dari serat dengan perlakuan HL 3%+lignin teknis memiliki nilai MOE dan MOR tertinggi. Hal ini disebabkan oleh kadar lignin adonan yang lebih tinggi dari kadar lignin papan lainnya (Valásquez et al. 2003)
Gambar 6 Histogram nilai MOR (N/mm2) papan serat dibandingkan standar JIS A 5905 (2003) dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis. Papan serat hasil penelitian ini memiliki nilai internal bonding dari 0,181 N/mm2 hingga 0,211 N/mm2. Nilai IB papan serat yang dihasilkan memenuhi prasyarat JIS A 5905 : 2003 tipe 5 yaitu ≥ 0,2 N/mm2, kecuali papan kontrol dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3%. Nilai IB papan serat yang dihasilkan disajikan pada Gambar 7. Dalam penelitian Widyorini et al. (2005) menyebutkan bahwa lignin lebih tahan terhadap perlakuan pemanasan daripada hemiselulosa sehingga hanya sedikit lignin yang terdegradasi. Hal ini yang diduga menyebabkan kuat rekat internal antar serat secara signifikan berhubungan dengan perubahan komposisi kimia pada serat. Disamping itu, nilai IB yang meningkat dengan bertambahnya konsentrasi NaOH diduga karena semakin tipisnya dinding sel (Sjöström 1993) dan ada kecenderungan semakin meningkatnya diameter lumen sehingga dapat menghasilkan ikatan antar serat yang lebih baik (Fitriasari 2001).
11
Nilai IB yang dihasilkan pada penelitian ini secara keseluruhan relatif rendah. Hal ini diduga karena serat yang dihasilkan pada penelitian kurang halus akibat kondisi penggilingan (refining) kenaf yang hanya dilakukan sebanyak dua kali pengulangan dengan revolution yang tidak terlalu besar. Xu et al. (2006) menyatakan bahwa kondisi penggilingan bahan (refining) dengan revolution yang besar menghasilkan serat yang lebih halus karena terjadi peningkatan di daerah ikatan antar serat (interfiber bonding) dan pada akhirnya dapat meningkatkan nilai IB. Disisi lain, tingginya suhu yang digunakan pada proses pengempaan papan pada penelitian ini juga diduga mempengaruhi nilai IB. Sifat alir lignin di permukaan serat meningkat dengan meningkatnya suhu pengempaan sehingga memperbaiki distribusi lignin pada papan serat (Quintana et al. 2009) dan menyebabkan ikatan kimia antar serat yang lebih baik (Arias 2008). Perlakuan pembanding (HL 3%+lignin teknis) memiliki nilai IB tertinggi. Peningkatan kerapatan papan akan meningkatkan nilai IB, MOE, MOR (Okuda dan Sato 2004). Penyataan ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dimana kerapatan berbanding lurus dengan IB. Penambahan lignin teknis pada perlakuan ini diduga dapat membantu proses perekatan antar serat sehingga kontak antar serat menjadi kompak dan papan menjadi lebih padat sehingga terjadi ikatan rekat yang baik.
. Gambar 7 Histogram nilai internal bonding (N/mm2) papan serat dibandingkan standar JIS A 5905 (2003) dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis.
12
Hasil penelitian menunjukkan kuat pegang sekrup papan serat terendah (236,15 N) diperoleh dari kontrol sedangkan nilai kuat pegang sekrup papan serat tertinggi (502,31 N) diperoleh dari papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 12%, sebagaimana disajikan pada Gambar 8. Nilai kuat pegang sekrup papan serat yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan JIS A 5905 : 2003 tipe 5, yaitu ≥ 200 N. Seperti nilai kerapatan papan, nilai kuat pegang sekrup meningkat dengan meningkatnya konsentrasi NaOH dalam proses hidroksimetilasi. Hasil penelitian ini memperkuat pernyataan Bowyer et al. (2003) bahwa nilai kuat pegang sekrup berhubungan langsung dengan kerapatan.
Gambar 8 Histogram nilai kuat pegang sekrup (N) papan serat dibandingkan standar JIS A 5905 (2003) dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis. Konduktivitas
panas
merupakan
indikator
dari
suatu
material
dalam
menghantarkan panas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konduktivitas panas papan serat terendah (0,089 W/m.K) diperoleh dari papan serat hasil perlakuan dengan konsentrasi NaOH 3% sedangkan nilai konduktivitas panas papan serat tertinggi (0,134 W/m.K) diperoleh dari papan serat hasil perlakuan dengan konsentrasi NaOH 6%, sebagaimana disajikan pada Gambar 9. Okuda dan Sato (2004) menyebutkan bahwa konduktivitas panas meningkat bersamaan dengan meningkatnya kerapatan papan. Secara langsung konduktivitas panas berhubungan dengan kepadatan papan. Xu et al. (2004) menyebutkan papan kerapatan rendah mengandung sejumlah rongga yang diisi dengan udara, yang merupakan salah satu konduktor buruk.
13
Gambar 9 Histogram nilai konduktivitas panas (W/m.K) papan serat dibandingkan standar JIS A 5905 (2003) dan papan serat perlakuan konsentrasi NaOH 3% + lignin teknis. Perubahan Kimia Permukaan Pulp. Spektroskopi inframerah telah banyak digunakan untuk melakukan karakterisasi lignin dan bahan berlignoselulosa (Cotrim et al. 1999). Alat ini dapat digunakan untuk menentukan struktur lignin dan perubahan kimianya selama proses pulping (Nada et al. 1997). Analisis gugus fungsional terhadap spektogram FTIR serat yang telah mengalami modifikasi melalui hidroksimetilasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan panduan dari George dan McIntyre (1987). Serapan panjang gelombang (cm-1) spektogram FTIR pulp dari keempat perlakuan (kontrol, HL 3%, HL 6% dan HL 12%) mengandung beberapa gugus fungsi yang tidak jauh berbeda yaitu benzena, alkohol, fenol, eter, dan asam karboksilat. Selain itu, terdapat juga senyawa halogen pada papan serat seperti C–Cl dan C–F. Spektrum FTIR dari pulp dan lignin yang belum dimodifikasi dan yang telah dimodifikasi menggunakan metode hidroksimetilasi dengan konsentrasi NaOH 3%, 6% dan 12% ditunjukkan oleh Gambar 10. Pita serapan di daerah 3430 cm-1 menjadi ciri khas gugus OH pada lignin (Nada et al. 1997). Dari grafik spektrum FTIR tersebut menunjukkan bahwa spektrum dari keempat perlakuan pada panjang gelombong disekitar daerah 3400 cm-1 mengalami perubahan gugus OH, yaitu
pada
kontrol
terdapat
OH
terikat
sedangkan
pada
pulp
yang
terhidroksimetilasi menjadi OH bebas. Hal ini diduga dapat diakibatkan oleh kadar air papan perlakuan hidroksimetilasi yang tinggi sehingga menyebabkan
14
intensitas serapan OH menjadi tinggi yang akhirnya terjadi peningkatan daya serap air dan pengembangan tebal pada papan perlakuan hidroksimetilasi.
Lignin
HL 3% Kontrol HL 6%
Lignin HL 3%
HL 12%
Gambar 10 Spektrum inframerah dari pulp dan lignin yang belum dimodifikasi dan yang telah dimodifikasi. Serapan panjang gelombang di daerah 2949 cm-1 sampai 2930 cm-1 menunjukkan gugus C-H pada lignin (Nada et al. 1997). Gugus C-H dalam penelitian ini ditunjukkan pada serapan gelombang 2937,59 cm-1 sampai 2906,73 cm-1 dimana pada perlakuan hidroksimetilasi gugus C-H menjadi semakin curam dibandingkan dengan kontrol. Nada et al. (1997) menyebutkan gugus C=O pada lignin terdapat pada serapan panjang gelombang antara 1727 cm-1 sampai 1690 cm-1. Pada kontrol gugus C=O terdeteksi pada serapan panjang gelombang 1734,01 cm-1 sedangkan pada perlakuan hidroksimetilasi gugus tersebut tidak terdeteksi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Malutan et al. (2008) bahwa gugus C=O tidak terdeteksi setelah dilakukannya perlakuan hidroksimetilasi.
15
Dua pita serapan pada panjang gelombang 1600 cm-1 dan 1500 cm-1 merupakan karateristik cincin aromatik dari lignin (Nada et al. 1997). Dalam penelitian ini cincin
aromatik
ditunjukkan
pada
serapan
panjang
gelombang
antara
1643,35 cm-1 sampai 1500,62 cm-1. Dengan meningkatnya konsetrasi NaOH pada perlakuan hidroksimetilasi, gugus cincin aromatik menjadi semakin curam dibandingkan dengan kontrol. Cincin aromatik pada serapan 1600 cm-1 dan 1500 cm-1 akan meningkat akibat reaksi alkali. Penyerapan intensitas cincin aromatik yang lebih baik kemungkinan menyebabkan reaksi formaldehida yang lebih baik dan dapat menyatu dengan gugus cincin aromatik setelah reaksi hidroksimetilasi (Arias 2008) sehingga diduga mempengaruhi nilai internal bonding menjadi lebih baik. Perubahan Kristalinitas. Pengujian kristalinitas dengan difraktometer sinar-X bertujuan untuk mengetahui derajat kristalinitas. Pada tingkat tertentu, kristalinitas selulosa mencerminkan sifat fisik dan kimia serat (Guo et al. 2011). Hasil pengujian menunjukkan terjadi peningkatan nilai derajat kristalinitas dari papan serat kontrol (34,89%), papan serat perlakuan hidroksimetilasi dengan konsentrasi NaOH 12% (43,21%) hingga papan serat perlakuan pembanding HL3%+lignin teknis (44,32%) sebagaimana disajikan pada Gambar 11. Dalam penelitiannya, Pari (2011) menyatakan bahwa peningkatan kristalinitas terjadi karena struktur dasar selulosa yang bersifat kristalin yang mana monomernya (glukosa) saling berikatan satu sama lainnya hingga polimer liniernya tersusun rapat secara lateral antar rantai polimer dengan rantai polimer lainnya yang selanjutnya akan membentuk mikrofibril dan fibril. Sangat beralasan bahwa secara umum, kekuatan tarik, kekakuan, kerapatan dan stabilitas ukuran meningkat dengan peningkatan kristalinitas selulosa (Chen et al. 2011).