! "# I.
"# "!
"
!
$
% &"#'
PENDAHULUAN
Fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global semakin hari semakin nyata. Berbagai peristiwa bencana alam terkait perubahan iklim yang sering terjadi sepanjang tahun 2006, menurut hasil analisis dari German Watch, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga paling beresiko terhadap perubahan iklim (Kompas, 12 Desember 2007). Dengan realita ini, maka tidak ada lagi alasan untuk menunda. Semakin lama menunda, semakian besar biaya (cost) yang harus dibayar. Kenyataan ini dialami oleh Negara Thailand sekarang ini sedang dilanda banjir bandang yang cuku dahsyat sehingga harus dibayar dengan mahal untuk memulihkan kondisi semula. Perubahan iklim global pada dekade terakhir ini terjadi karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbondioksida (CO ). Indonesia sebagai negara penyumbang CO terbesar ketiga di dunia (Wetland Internasional , 2006), dengan emisi CO rata-rata per tahun 3000 Mt atau berarti telah menyumbangkan sekitar 10% dari total emisi CO di dunia (Seputar Indonesia, 24 Maret 2007). Meningkatnya konsentrasi CO disebabkan oleh pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain pembakaran hutan dalam skala luas secara bersamaan dan pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan-lahan pertanian (Hairiah, K, Rahayu, S. 2010). Berdasarkan data yang bersumber dari Indonesia GHG Abatement Cost Curve tercatat bahwa 85 persen emisi Indonesia tahun 2005 diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan terkait dengan penggunaan lahan. Kegiatan-kegiatan penggunaan lahan tersebut meliputi: deforestasi hutan, degradasi hutan, absorbsi (termasuk dari hutan terkelola dan perkebunan kayu), dekomposisi gambut, kebakaran gambut, pertanian dan penggunaan lahan lainnya. Dari Cop15 Copenhagen, salah satu pesan untuk Indonesia terkait emisi karbon adalah dengan skenario BAU (business as usual) maka emisi dari lahan gambut dan hutan mencapai 60 % dari perkiraan emisi Indonesia di tahun 2020. Namun demikian, sektor-sektor lainnya juga turut andil dalam peningkatan pelepasan karbon dari Indonesia, seperti: transportasi, energi, pemukiman dan sektorsektor lainnya. Mengingat sumber emisi karbon berasal dari berbagai sektor, maka implentasi pembangunan berkarbon rendah (low carbon development) merupakan salah satu
strategi pembangunan yang diharapkan dapat membantu mengurangi emisi karbon secara keseluruhan. Oleh karenanya, kita semua harus segera melakukan langkahlangkah adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim tersebut yaitu dengan *) Koordinator Kelompok Kerja Relawan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Prov. Lampung.
segera menyusun strategi kebijakan adaptasi dan mitigasi yang di adopsi dalam strategi pembangunan baik dalam dokumen perencanaan pembangunan dan rencana tata ruang agar aktifitas pembangunan tidak menjadi akselerator laju pemanasan global. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada proses perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten, dan Kota, serta rencana rencana yang sifatnya lebih rinci; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRWnya. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah. Penerapan pendekatan penataan ruang diyakini akan mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Dengan kata lain, secara menyeluruh, penataan ruang harus mampu mengarahkan pengembangan wilayah yang berkelanjutan yang antara lain dicirikan oleh penurunan emisi gas buang serta terjaganya jumlah dan stabilitas ketersediaan sumber daya air. 1.1
Pemanfaatan Ruang Pembangunan Provinsi Lampung
Berdasarkan Perda Provinsi Lampung No 1/2010, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Lampung, pemanfaatan ruang pembangunan di distribusikan dalam peruntukkan ruang untuk fungsi Lindung, meliputi: Pelestarian Alam, Cagar Budaya, Perlindungan Bawahan, Perlindungan Setempat, Kawasan Rawan Bencana, dan peruntukkan ruang untuk fungsi budi daya, meliputi : Hutan produksi, Pertanian, Perikanan, Perkebunan, Peternakan, Pariwisata, Permukiman, Industri, Pertambangan, Transportasi, dan Commersial Districts. 1.2
Sektor – sektor pembangunan terkait emisi karbon
Berdasarkan base year 2000, sector kehutanan menyumbang 48% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional paling tinggi di banding sektor lain. Emisi ini berasal dari deforestasi, degradasi dan kebakaran hutan termasuk gambut. Sector lain menyusul adalah sector Energy, industry, pertanian (Stranas REDD+).
Di Provinsi Lampung, sector-sektor yang ditengarai berpotensi menyumbang emisi karbon, adalah 1. Sektor Kehutanan, melalui aktivitas : land clearing (kebakaran), Illegal Logging, degradasi kawasan hutan (misal : konversi lahan, pembukaan jalan di dalam kawasan hutan) 2. Sektor Pertanian, melalui : pemakaian pestisida, Rumah kaca, alih fungsi lahan pertanian, pemakaian pemanfaatan teknologi, pembakataran jerami, pola tanam dan olah tanah 3. Sektor Perkebunan, melalui : pemakaian pestisida, land clearing (kebakaran), perluasan area perkebunan, ladang berpindah, penerapan system monokultur 4. Sektor Industri, melalui : berbagai pabrik (semen, pupuk, minyak kelapa sawit, tapioca, karet), limbah pabrik 5. Sektor Transpostasi dan Perhubungan, melalui : peningkatan jumlah kendaraan yang menggunakan BBM Karbon, jalur kereta api batubara, transportasi laut, udara, usia kendaraan, Jembatan Selat Sunda, terminal agrobisnis 6. Pariwisata, melalui : alih fungsi dan pembukaan lahan, wisata agro industry, wisata bahari 7. Sektor Pertambangan dan Energy, melalui : alih fungsi lahan, batubara, galian C, penambangan liar, eksplorasi minyak dan gas lepas pantai, PLTU 8. Sektor Kelautan, Perikanan dan Pulau-pulau kecil, meliputi : alih fungsi lahan, karusakan koral, mangrove, penggunaan potassium, pariwisata laut, water front city, industry perikanan, KAIL 9. Sektor Peternakan, melalui : Gas metan (kotoran ternak), industry pakan ternak
II. TIPOLOGI PEMANFAATAN RUANG PROVINSI LAMPUNG, POLICY INSTRUMENT, END PIPE TECHNOLOGIES DAN RUJUKAN 2.1 Kebijakan Pemanfaatan ruang di Provinsi Lampung Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Lampung 2010-2014, kebijakan yang mendukung pembangunan dengan emisi rendah karbon (low carbon development strategies) diakomodasi dalam misi 6 yaitu: meningkatkan pelestarian SDA dan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Selain itu isu lingkungan menjadi salah satu agenda pembangunan Provinsi Lampung, yaitu agenda 4: Pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Pemerintah Provinsi Lampung telah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Dalam kerangka spasial, upaya-upaya tersebut telah dituangkan secara lebih rinci dalam RTRW Provinsi Lampung. Aturan-aturan yang tertuang telah diklasifikasi sesuai dengan tipologi pemanfaatan ruang dan secara jelas mengatur pemnfaatan ruang dengan mempertimbangkan pengembangan ruang yang menghasilkan emisi rendah
karbon. Namun implementasi dari butir-butir kebijakan tersebut manghadapi banyak kendala diantaranya: lemahnya penegakan peraturan (law enforcement), tidak tuntasnya penyelesaian konflik pemanfaatan ruang dan tekanan politik kapitalisme terhadap hak masyarakat dalam mengakses hutan. Berdasarkan Perda No.1 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Lampung Tahun 20092029, pembagian tipologi pemanfaatan ruang berdasarkan pola ruang yaitu: kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung dan budidaya eksisting di Provinsi Lampung terdiri dari: 1. Kawasan lindung di Provinsi Lampung adalah: 7.796,45 Km² yang sudah ditetapkan berdasarkan SK MENHUT No. 256/KPTS-II/2000 2. Hutan produksi: 2.250,90 Km² yang sudah ditetapkan berdasarkan SK MENHUT No. 256/KPTS-II/2000 3. Kawasan pertanian sawah dan kebun: 15.997,26 Km² (analisis peta dan Lampung Dalam Angka 2008). Untuk kepentingan ketahanan pangan (menjaga kapasitas produksi), maka kawasan pertanian sawah dan kebun ini perlu dipertahankan keberadaannya, dengan menetapkan aturan tidak boleh dilakukannya konversi lahan menjadi lahan terbangun. 4. Kawasan perikanan: 578,86 Km² (analisis peta dan Lampung Dalam Angka 2008). Berdasarkan hasil identifikasi peta terhadap jenis tanah dan ketinggian, dapat diidentifikasi bahwa kawasan perikanan ini tidak bisa dijadikan kawasan terbangun Dengan membandingkan luas kawasan lindung dan beberapa peruntukan yang tidak dapat dialih fungsikan dengan luas Provinsi Lampung, maka potensi kawasan terbangun (eksisting) di Provinsi Lampung sebesar adalah 22.040,28 Km². Dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung 2009 – 2029, arahan pengembangan dan pola pemanfaatan ruang Provinsi Lampung merupakan pedoman bagi penggunaan ruang di wilayah Lampung yang didasari pada prinsip pemanfaatan sumberdaya alam berasaskan keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. Arahan ini diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan dan perkembangan antar kegiatan bagian wilayah Provinsi Lampung yang lebih berimbang dan proporsional tanpa mengganggu kelestarian. Pengelolaan kawasan-kawasan tersebut harus disertai dengan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatannya. Untuk menuju perkembangan wilayah yang berkelanjutan, maka tahap pertama yang dilakukan adalah melakukan penetapan kawasan lindung, selanjutnya pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya diarahkan berdasarkan sifat-sifat kegiatan yang akan ditampung, potensi pengembangan, dan kesesuaian lahan. Dalam hubungannya dengan rencana peruntukan kawasan lindung, pola pemanfaatan ruang pada kawasan lindung di provinsi Lampung pada garis besarnya mencakup 5 (lima) fungsi perlindungan sebagai berikut:
Kawasan Hutan Lindung yang tersebar di Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Barat, Lampung Tengah, Tanggamus dan Way Kanan mempunyai fungsi yaitu: 1. Kawasan yang berfungsi sebagai suaka alam untuk melindungi keanekaragaman hayati, ekosistem, dan keunikan alam. Termasuk dalam kawasan ini adalah cagar alam Kepulauan Krakatau, kawasan Bukit Barisan yang membentang dari Utara ke Selatan termasuk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Way Kambas, Taman Hutan Rakyat di sekitar Gunung Betung, Gunung Rajabasa dan kawasan perlindungan satwa Rawa Pacing dan Rawa Pakis, serta ekosistem mangrove dan rawa di pantai Timur dan Selatan; 2. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya, terutama berkaitan dengan fungsi hidrologis untuk pencegahan banjir, menahan erosi dan sedimentasi, serta mempertahankan ketersediaan air. Kawasan ini berada pada ketinggian diatas 1.000 mdpl dengan kemiringan lebih dari 40%, bercurah hujan tinggi, atau mampu meresapkan air kedalam tanah. Termasuk dalam kawasan ini adalah sebagian besar kawasan Bukit Barisan bagian timur dan barat yang membentang dari utara ke selatan, Pematang Sulah, Kubu Cukuh, dan kawasan hutan lainnya. Berdasarkan hasil analisis, luas total dari kawasan perlindungan daerah di bawahnya hingga tahun 2029 adalah 687,37 Km2; 3. Kawasan rawan bencana yang berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, longsor, banjir, tsunami dan sebagainya. Termasuk dalam kawasan ini adalah bencana tanah longsor (Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Pesawaran, dan Kabupaten Lampung Selatan), kebakaran hutan (Kabupaten Mesuji, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur), tsunami dan gelombang pasang (sepanjang pesisir pantai wilayah Provinsi Lampung), dan banjir (tersebar di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Mesuji, Kabupaten Tulang Bawang, Kota Metro, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Lampung Selatan). Berdasarkan hasil analisis, luas total dari kawasan rawan bencana adalah 4.411,04 Km2; 4. Kawasan perlindungan setempat yang berfungsi melindungi komponen lingkungan tertentu dan kegiatan budidaya. Fungsi ini berlaku secara setempat di sempadan sungai, sempadan pantai, sekitar mata air, dan sekitar waduk/danau untuk melindungi kerusakan fisik setempat, seperti Bendungan Batu Tegi, Bendungan Way Rarem, Bendungan Way Umpu, Bendungan Way Jepara dan Bendungan Way Bumi Agung. Berdasarkan hasil analisis, luas total dari kawasan perlindungan setempat adalah 355,83 km2; 5. Kawasan perlindungan laut/zona inti di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Konservasi pesisir dan laut sangat terkait dengan ekosistem pesisir dan laut, yaitu ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove.
Lebih lanjut dokumen RTRW ini menyebutkan bahwa, pengelolaan kawasan lindung dilakukan melalui berbagai upaya antara lain: a. Memantapkan ekosistem mangrove dan rawa di Pantai Timur dan Selatan Lampung. Untuk itu keberadaan hutan mangrove di pantai Timur dan Selatan dipertahankan dan direhabilitasi. b. Mengendalikan perambahan hutan dan alih fungsi hutan yang berfungsi lindung oleh kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi lindung hutan yang bersangkutan. Untuk itu kawasan hutan berfungsi lindung yang belum mengalami perambahan akan dipertahankan dan kawasan lindung yang telah dirambah akan dikembalikan fungsinya dan ditetapkan kembali statusnya sebagai hutan berfungsi lindung, terutama untuk kawasan-kawasan: Kecamatan Cukuh Balak, Wonosobo, dan Pulau Panggung di Kabupaten Tanggamus. Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah. Kecamatan Sribawono dan Labuhan Ratu di Kabupaten Lampung Timur. Kecamatan Kasui dan Banjit di Kabupaten Way Kanan. Kecamatan Bukit Kemuning dan Tanjung Raja di Lampung Utara. Kecamatan Balik Bukit, Sumberjaya, dan Belalau di Lampung Barat. Dalam penetapan status, kriteria yang dipergunakan adalah sejauh mungkin mempertahankan fungsi lindung dari kawasan hutan yang bersangkutan. Pada tahap tertentu, apabila tidak dimungkinkan memulihkan fungsi lindung dari kawasan hutan yang bersangkutan, dilakukan konversi untuk penggunaan lainnya, namun dengan terlebih dahulu mengkaji dampak yang ditimbulkannya. c. Mengendalikan pembangunan fisik dan perkembangan aktifitas binaan pada kawasan rawan bencana terutama di patahan/sesar Semangka. Pada RTRW lebih rinci, dilakukan deliniasi kawasan berstatus rawan bencana alam menurut zoning yang lazim berlaku, terutama dikaitkan dengan disaster management. Pada RTRW kabupaten dan kota, serta RTRW kecamatan dilakukan deliniasi kawasan perlindungan setempat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. d. Pengelolaan kawasan lindung di pulau-pulau kecil dan pesisir dilakukan melalui kegiatan konservasi seperti kegiatan penelitian, ekowisata, kegiatan perikanan tradisional dengam membagi zonasi pemanfaatan ruang lindung. e. Meningkatkan kemampuan daerah aliran sungai untuk melangsungkan daur hidrologinya agar kinerja jaringan irigasi dapat ditingkatkan. Prioritas pemanfaatan ruang kawasan lindung sebagai perwujudan pola ruang di Provinsi Lampung, adalah:
a. Rehabilitasi dan pemanfaatan fungsi Kawasan Lindung Nasional, sebagaimana arahan dalama RTRW Nasional. Kawasan Lindung Nasional menjadi penting untuk dijaga keberadaannya melalui kegiatan konservasi, karena perannya bagi terciptanya keseimbangan lingkungan skala nasional. Adapun Kawasan Lindung Nasional yang perlu direhabilitasi adalah Suaka Alama Laut Krkatau, Cagar Alam Krakatau dan Pulau Serum, serta Suaka Margasatwa TNBBS, Rawa Pacing dan Way Kambas. b. Rehabilitasi dan pemanfaatan fungsi Kawasan Lindung Provinsi, yaitu: • • •
Kawasan Perlindungan Daerah di Bawahnya, terutama berkaitan dengan fungsi hidrologis untuk pencegahan banjir, menahan erosi dan sedimentasi, serta mempertahankan ketersediaan air di Pematang Suluh, Kubu Cukuh Kawasan Perlindungan Setempat di sekitar waduk dan danau yang ada di Provinsi Lampung, guna mempertahankan fungsi dari waduk dan danau sebagai catchment area dan fungsi ekologis lainnya Kawasan Rawan Bencana, guna menghindari terjadinya pembangunan fisik di kawasan tersebut, sebagai bagian dari mitigasi bencana
Strategi pembangunan berkarbon rendah berbasis tata ruang dan wilayah di Provinsi Lampung, dikelompokkan sesuai dengan tipologi pemanfaatan ruang. Secara umum setiap tipologi telah didukung oleh aturan dan perundang-udangan yang cukup. Namun pemerintah daerah dapat mendukung kebijakan pembangunan rendah karbon ini melalui penerbitan peraturan setingkat daerah yang lebih spesifik. Hal lain yang patut menjadi konsideran adalah penegakkan hukum (law enforcement) dari setiap aturan tersebut. Selain itu, stakeholder pembangunan daerah harus lebih kreatif dan inovatif dalam rangka mencari strategi terbaik yang aplikabel sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah. 2.2. Strategi pembangunan Rendah Karbon 2.2.1. Strategi Terhadap Kawasan Lindung Beberapa strategi yang ditawarkan dalam upaya pembangunan rendah karbon di Kawasan Hutan Lindung antara lain yaitu: 1. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui HKm 2. Penertiban kawasan pemerintahan definitif dari kawasan hutan 3. Penetapan tata batas kawasan hutan 4. Pemantapan kawasan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) 5. Reforestasi (GNRHL, Gerhan, GELAM, One Man One Tree, Gerakan Penanaman satu Miliar Pohon) 6. Penambahan petugas pengawas hutan (POLHUT) 7. Kader Pengaman/Konservasi Hutan berbasis masyarakat 8. Penguatan master plan Mangrove Pantai Timur, Penyusunan Master Plan Mangrove di Pesisir Pantai dan Rawa Provinsi Lampung
Strategi terhadap Kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan di bawahnya 1. Pemantapan kawasan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) 2. Reforestasi (GNRHL, Gerhan, GELAM, One Man One Tree, Gerakan Penanaman 1 Miliar Pohon) 3. Kader Pengaman/Konservasi Hutan berbasis masyarakat 4. Pemberdayaan Dewan Sumber Daya Air Provinsi Lampung Strategi terhadap Kawasan suaka alam dan cagar budaya 1. Pengembangan kearifan lokal yang sudah ada dan berjalan. 2. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan suaka alam dan cagar budaya 3. Pengembangan konsep pariwisata ramah lingkungan (Eco-Tourism) 4. Sustainable Forest Management 5. Peningkatan cadangan Karbon 6. Menerapkan tehnologi yang ramah lingkungan dan tepat guna 7. Penguatan master plan Mangrove Pantai Timur, Penyusunan Master Plan Mangrove di Pesisir Pantai dan Rawa Provinsi Lampung Strategi terhadap Kawasan perlindungan setempat 1. Penetapan kawasan Sempadan Pantai 2. Green Belt di kawasan sempadan pantai 3. Pembuatan Sumur Resapan (biopori) 4. Revitalisasi Embung 5. Rehabilitasi DAS 6. Pengembangan Kawasan Konservasi 7. Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengembangan Budidaya Perikanan yang berkelanjutan 8. Pengembangan pertanian berbasis konservasi lahan dan air 9. Green Belt di sempadan bendungan Strategi terhadap Kawasan rawan bencana 1. Pelibatan masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan 2. Green Belt di kawasan sempadan pantai 3. Pengembangan pertanian berkelanjutan (konservasi lahan dan air) di kawasan rawan bencana 2.2.2. Strategi Terhadap Kawasan Budidaya a) Strategi terhadap Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Secara khusus, terkait pendayagunaan hutan dan lahan gambut, maka gubernur dan bupati selaku pemangku kepentingan di tingkat daerah wajib melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain jika tidak sesuai dengan Peta Indikatif Penundaan Izin
Baru (sesuai Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut). Peraturan ini berlaku dua (2) tahun sejak dikeluarkannya peraturan ini yakni 20 Mei 2011. Strategi lainnya adalah: 1. Tebang Lestari Kebijakan pendukung adalah Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.36/Menhut-II/2009. Secara khusus dinyatakan bahwa penyerapan karbon melalui Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan usaha seperti: a. Penanaman dan pemeliharaan Hutan Tanaman dan Hutan Tanaman Rakyat b. Penanaman dan pemeliharaan sampai daur tanaman Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam dan Hutan Restorasi Ekosistem c. Pengayaan pada areal bekas tebangan d. Penanaman pada jalur tanam e. Peningkatan produktivitas melalui peningkatan riap tegakan dengan penerapan teknik silvikultur. Tehnik silvikultur adalah penggunaan teknik-teknik atau perlakuan terhadap hutan untuk mempertahankan dan mengingkatkan produktivitas hutan. Penerapan silvikultur mempertimbangkan atribut ekologi, ekonomi, social dan admnistrasi serta manfaat yang ingin dicapai agar hutan berfungsi secara lestari dan optimal. Kebijakan yang secara langsung mendukung pelaksanaan tebang lestari adalah SK Menhut No. 252/Kpts-II/1993 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Produksi Alam Indonesia Secara Lestari. 2. Community Logging 3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Strategi ini memungkinkan pertumbuhan kuantitas luasan kawasan hutan, yang berarti pula sumber baru cadangan karbon. Dengan strategi ini masyarakat di sekitar hutan yang selama ini menjadikan kawasan hutan sebagai sumber mata pencahariannya tetap bisa berpartisipasi aktif dalam peningkatan kualitas hutan. Masyarakat tidak hanya begitu saja mengambil manfaat langsung produk-produk hutan, tetapi turut menciptakan hutan bagi lingkungannya. Selain itu, langkahlangkah tersebut juga untuk proses pembelajaran bagi masyarakat bahwa melindungi fungsi hutan dan menjaga kelestarian hutan adalah bukan kewajiban salah satu pihak tapi merupakan tugas bersama. 4. Mencegah aktivitas pembakaran hutan untuk pembukaan lahan. Aktivitas pembakaran hutan untuk pembukaan lahan merupakan sumber utama tingginya emisi karbon di Indonesia. Hal ini terjadi karena biasanya memicu terjadinya kebakaran hutan secara luas. Pengurangan aktivitas ini akan membantu penurunan emisi karbon secara signifikan. b) Strategi Terhadap Kawasan Peruntukan Pertanian
Dewasa ini, banyak terjadi tarik ulur antara berbagai kepentingan yang lintas sektoral. Pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat serta keterbatasan lahan pertanian membuat pergerakan pembangunan di sektor pertanian telah memasuki ranah kawasan lindung yang seharusnya berbeda peruntukkannya. Tantangan terbesar adalah menyelesaikan permasalahan yang telah ada, mensiasati semua kepentingan masing-masing sektor dengan pola win-win solution serta penegakan aturan tanpa melibatkan konflik kepentingan di dalamnya. 1. Pola tanam ramah lingkungan Strategi ini dilakukan dengan budidaya komoditas pertanian dengan varietas tertentu yang lebih pendek waktu penanamannya, lebih sedikit pemakaian bibit, hemat air dan rendah bahan kimia. Bisa dikatakan pola ini jauh berbeda dengan pola tanam konvensional dan memiliki sisi keunggulan hemat biaya. Pergantian pola tanam tentu bukan hal mudah diterima petani, sehingga strategi lanjutan yang mesti diterapkan adalah sosialisasi dan pilot project yang melibatkan masyarakat. 2. Budidaya Low Pesticide Budidaya pertanian yang rendah pestisida sudah lama dicanangkan. Petani dapat menggunakan pupuk alamai yang berasal dari hewan dan jerami yang busuk alami di lahan sawah. Dengan pola ini jerami sisa panen tidak boleh di bakar tetapi dibiarkan mengalami proses pembusukan secara alami, yang pada gilirannya akan menghasilkan nutrient baru bagi tanah. Namun hingga saat ini masih banyak petani yang tetap menggunakan bahan pestisida dalam jumlah berlebihan. Aktivitas ini akan merusak unsur hara tanah yang yang pada gilirannya akan mengakibatkan kerusakan lahan. Kondisi ini secara terus-menerus akan membuat tanah miskin unsur hara tertentu atau berlebihan mengandung bahan kimia tertentu. Kondisi ini bisa mengakibatkan tanah menjadi tidak subur sehingga terjadi kesulitan dalam siklus tanam tumbuh berbagai tanaman yang ada di atasnya. 3. Pertanian Organik Pengembangan pola tanam ini menjadikan siklus penanaman kembali ke pola alami dan menghasilkan produk yang lebih aman dan sehat, karena teknik budidaya ini mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan unsur-unsur kimia. 4. Recycle Waste Management Limbah pertanian yang masih bisa digunakan untuk input aktivitas pertanian ataupun industri didaur ulang kembali. Beberapa limbah bahkan bisa langsung digunakan tanpa mendapat perlakuan tertentu. Sebagai contoh, limbah kulit nenas, kulit kakao, kulit kopi, limbah pemanenan sayuran dapat digunakan untuk sumber pakan bagai peternakan sapi atau kambing. 5. Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu. Sistem pertanian terpadu memfokuskan pertanian yang hemat energi, mempertahankan keanekaragaman hayati pertanian serta mampu mencapai produksi optimum dengan diversifikasi produk (multikultur) meskipun dalam lahan pertanian yang terbatas. Karena menggunakan pupuk alami maka pengikatan bahan organik di dalam tanah serta pengikatan karbon menjadi lebih rendah.
Pengikatan karbon yang rendah secara langsung membuat karbon yang dilepaskan ke udara juga hanya sedikit. 6. Perluasan lahan sawah dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan lingkungan. Tak bisa dipungkiri bahwa tekanan kebutuhan pangan serta semakin banyaknya perubahan alih fungsi lahan pertanian, membuat kebutuhan akan lahan pertanian terus meningkat. Yang harus menjadi perhatian dalam penambahan lahan sawah adalah tetap menjaga fungsi-fungsi ekologi lahan yang akan direklamasi. Contoh yang jelas adalah alih fungsi kawasan hutan lindung dan reklamasi kawasan rawa. Sebagai catchment area bagi air tanah, maka sebaiknya reklamasi tidak dilakukan secara menyeluruh. Tetap dipertahankan sebagain lahan untuk tanaman keras di kawasan hutan serta tetap menyisakan sebagian kawasan rawa sebagai kolam penampung air, untuk menghindari bencana banjir. c) Strategi terhadap Kawasan Peruntukan Perkebunan Pembukaan lahan perkebunan berskala besar di kawasan hutan dan lahan gambut merupakan salah satu aktivitas yang memicu pelepasan karbon lebih banyak. Tantangan terbesar sektor ini adalah tetap dapat meningkatkan produksi untuk memenuhi tuntutan pasar, tanpa harus merusak hutan alam yang tersisa. Pengembangan dengan prioritas pada peningkatan kualitas dan produktivitas dari lahan yang ada, serta memanfaatkan lahan terbuka yang belum terpakai. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain: 1. Intenfisikasi Perkebunan yang keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. Intensifikasi perkebunan adalah upaya untuk meningkatkan hasil perkebunan yang optimal yang dilakukan dengan menerapkan tehnik serta manajemen pengelolaan dan perawatan yang tepat. Strategi ini salah satunya adalah dengan penggunaan bibit unggul yang mampu berproduksi lebih cepat, lebih banyak dan berkualitas. Teknik-teknik tertentu seperti tehnik perawatan cabang pada tanaman kopi, merupakan contoh teknik yang ramah lingkungan, akan menghasilkan tanaman kopi yang berbuah lebat. Penggunaan lahan secara optimal serta penggunaan lahan yang belum termanfaatkan, menjadi alternatif yang lain untuk peningkatan kuantitas produksi. Perkebunan yang berkelanjutan juga mewajibkan pelaku usaha untuk meminimalisisr pemakaian bahan kimia dan pestisida. 2. Pengembangan Sistem Perkebunan Terpadu Dengan sistem ini maka pola pengelolaan perkebunan menjadi lebih alami dan efisien. Biaya yang sebelumnya harus dikeluarkan pada pola konvensional bisa banyak dikurangi bahkan menjadi sumber yang bernilai ekonomi. Tanaman gulma yang semula memerlukan biaya penyiangan, menjadi sumber pakan ternak. Lahan diantara tanaman perkebunan juga memungkinkan menghasilkan sumber pendapatan dengan melakukan budidaya tanaman pertanian dengan sistem tumpang sari.
Sistem perkebunan terpadu ini menerapkan pola community development yang juga mengintegrasikan perkebunan dengan usaha lain, misalnya: a. Perkebunan jagung di dalam kebun kelapa sawit dengan sistem tumpangsari b. Peternakan sapi potong di areal perkebunan c. Industri pupuk organik di kawasan pabrik kelapa sawit. d) Strategi terhadap Kawasan Peruntukan Perikanan dan Kelautan Luas perairan laut Provinsi Lampung diperkirakan ± 24.820 km2, dengan garis pantai sepanjang ± 1.105 km. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung sampai saat ini belum dikelola secara optimal serta pemanfaatan yang cenderung eksploitatif dan bersifat sektoral. Kondisi ini mengakibatkan potensi penyerapan karbon yang berasal dari sektor ini semakin menipis, sehingga langkah-langkah pencegahan dan pemulihan kondisi kawasan ini menjadi hal yang penting. Pemerintah Provinsi Lampung sejatinya telah menyusun suatu kebijakan terkait wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mendukung konsep pembangunan rendah karbon. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Lampung dalam Renstra KP3K dijabarkan melalui beberapa misi, yaitu: 1. Mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui penataan ruang dan penegakan hukum. 2. Mewujudkan percepatan pembangunan pulau-pulau kecil yang terencana, ramah lingkungan dan berbasis masyarakat. 3. Meningkatkan fungsi ekologi WP3K untuk menjamin daya dukung lingkungan dan mengurangi resiko bencana. 4. Meningkatkan kapasitas mitigasi bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim. 5. Memadu serasikan kebijakan lintas sektor dan kabupaten/kota untuk mempercepat perwujudan kawasan strategis dan sarana umum vital lainnya. Beberapa strategi yang diterapkan diharapkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kemampuan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor penyerap karbon (carbon sink), diantara adalah: 1. Penetapan kawasan Sepadan Pantai dan jalur hijau (green belt) Penetapan melalui peraturan daerah setingkat gubernur dan bupati/walikota akan memungkinkan pelaksanaan peraturan yang aplikatif. Banyaknya kawasan mangrove yang rusak di wilayah pesisir pantai Lampung perlu segera dilakukan tindakan perbaikan yang menyeluruh. Penetapan adanya jalur hijau di sepanjang garis pantai, akan memberikan hutan mangrove penyerap karbon yang ideal. Salah satu contoh positif telah dilakukan oleh Kabupaten Lampung Timur dengan menerbitkan Perda No.3 tahun 2002. Regulasi ini mengatur bahwa hutan bakau di pesisir pantai setidaknya harus memiliki ketebalan 100 meter dari garis pantai pasang tertinggi. Tindakan ini merupakan langkah yang tepat mengingat kerusakan hutan mangrove diwilayah ini juga tergolong tinggi. Langkah reboisasi kawasan mangrove dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama antara berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, swasta maupun intitusi/lembaga yang terkait dengan kelautan dan perikanan. Contoh positif dari
kerjasama ini adalah perbaikan (rehabilitasi) hutan mangrove di Desa Margasari dan Kuala Penet, Lampung Timur. 2. Pengembangan Kawasan Konservasi Kawasan Konsevasi merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Banyak kebijakan yang telah disusun terkait pengembangan kawasan konservasi di bidang kelautan dan perikanan. Provinsi Lampung telah menetapkan beberapa kawasan konservasi, diataranya: Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan (Tambling), kawasan Gunung Anak Krakatau, Teluk Semangka, Pantai Timur dan Kawasan konservasi penyu di Lampung Barat. Upaya menjaga kondisi kawasan konservasi serta menambah jumlah kawasan yang termasuk dalam kawasan konservasi perairan akan memperbaiki kondisi ekologi dan lingkungan secara keseluruhan. Hal ini akan menjadi media penyerapan karbon dari wilayah-wilayah yang telah memiliki catatan pelepasan karbon yang tinggi. 3. Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengembangan Budidaya Perikanan yang berkelanjutan Strategi ini dapat dilakukan dengan kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir untuk malakukan aksi konservasi di wilayah mereka mencari atau membudidayakan ikan dengan program-program pemerintah dalam bentuk kegiatan sebagai berikut: • Pelatihan pengelolaan kawasan konservasi • Pembentukan kelompok nelayan • Pembuatan kebon bibit (mangrove) • Perawatan kawasan konservasi e) Strategi terhadap Kawasan Peruntukan Pertambangan 1. Pengembangan Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan Kebutuhan akan energi yang terus meningkat, perlu disikapi dengan mengaplikasikan teknik pemnfaatan sumber energy baru dan terbarukan baik dalam skala yang besar maupun terbatas. Sosialisasi yang cukup dan dukungan pemerintah akan menarik masyarakat secara sdwadana dan swadaya menggunakan sumber-sumber energy baru yang ramah lingkungan. Aktivitas ini diharapkan menjadi penyumbang yang signifikan dalam mengurangi emisi karbon di sektor pertambangan. 2. Pemulihan wilayah eks. Pertambangan terbuka UU No.4 Th 2009 ttg Pertambangan Mineral dan Batubara mensyaratkan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pasca tambang serta pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan. Dasar hukum ini telah cukup kuat bagi aparat penegak hukum untuk mewajibkan pengusaha pertambangan melakukan pemulihan kondisi lingkungan di lahan-lahan pertambangan yang sudah tidak
berproduksi lagi. Upaya reboisasi merupakan salah satu contoh aksi yang bisa dilakukan untuk menghijaukan kembali wilayah tersebut. 3. Penegakan Hukum terhadap pelaksanaan IPAL Mengingat banyak aturan yang telah mewajibkan pelaksanaan IPAL di wilayah pertambangan, maka langkah yang justru krusial adalah implentasi dari peraturanperaturan tersebut. Strategi ini diharapkan dapat menekan laju kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan, khususnya yang berada di kawasan hutan penyerap karbon. 4. Ruang terbuka hijau di wilayah konsesi pertambangan Penyediaan ruang terbuka di wilayah konsesi pertambangan akan menjadi buffer bagi pelepasan karbon dalam aktivitas pertambangan. Kawasan ini akan langsung menetralisir karbon yang dilepas dengan menyerap kembali melalui pohon-pohon hijau yang berada di kawasan ruang terbuka hijau. f) Strategi terhadap Kawasan Peruntukan Perindustrian 1. Penerapan Green Operation Management di kawasan industri Kawasan industry yang cenderung berupa bangunan-bangunan pabrik belaka, secara fisik perlu di re-desain dengan memasukkan unsure penghijauan di kawasan industri. Banyaknya karbon yang dilepaskan dari sector ini memerlukan penyerap langsung di sekitar kawasan. Penanaman pohon di sekitar kawasan akan memperbaiki kondisi lingkungan yang juga tempat hidup dan bernafas para pekerja di kawasan industri. 2. Menyiapkan instrumen Standardisasi kebijakan industri ramah lingkungan menuju sistem eco-labelling Pemerintah harus bertindak lebih aktif pada strategi ini, mengingat beberapa pihak swasta telah menawarkan kegiatan-kegiatan eco-labelling pada perusahanperusahaan industry yang perduli pada lingkungan. Penyusunan instrument yang jelas, mudah dan terjangkau akan menarik para pelaku usaha untuk menerapkan system eco-labelling pada produk-produknya. Sesungguhnya perusahaan industri tersebut banyak mendapat manfaat dengan status produknya yang telah memenuhi standar kebijakan industri ramah lingkungan. Perusahaan dapat memasuki pasar internasional yang sekarang banyak mensyaratkan standar ini bagi suppliersupliernya. Label ramah lingkungan dewasa ini juga secara otomatis memperbaiki citra produk dan citra perusahaan. g) Strategi terhadap Kawasan Peruntukan Pariwisata 1. Pengembangan konsep pariwisata ramah lingkungan (Green Tourism) Strategi ini lebih fokus pada pengembangan kawasan-kawasan wisata yang telah secara alami telah tersedia di alam. Pariwisata tipe ini, dengan regulasi yang jelas, memungkinkan pembangunan ekonomi yang tanpa merusak lingkungan. Beberapa tempat wisata di Provinsi Lampung yang berbasis keindahan alam diantaranya: kawasan anak gunung Krakatau, teluk kilauan, wisata selancar di Tanjung Setia Lampung Barat, wisata keindahan alam di Danau Ranau, dan wisata aksi gajah di Taman Nasional Way Kambas.
Tantangan pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) adalah mengemas wisata ini dengan tetap menjaga keasriaan lingkungan sebagaimana sediakala. Kalaupun memerlukan polesan dalam rangka memperbesar daya tarik wisatawan (dengan penyedian fasilitas penginapan, souvenir, tempat atraksi dan lain-lain), disyaratkan bahwa penambahan fasilitas tersebut tidak banyak merubah kondisi awal kawasan wisata tersebut. h) Startegi terhadap Kawasan Peruntukan Pemukiman 1. Pengawasan eksploitasi air tanah ramah lingkungan Pemanfaatan air tanah oleh masyarakat di Provinsi Lampung cenderung tidak banyak mendapat pengawasan yang ketat. Aktivitas ini jika dibiarkan berlarut-larut akan merusak ekologi lingkungan dan ekosistem. Pengaturan yang jelas, berupa pembatasan kedalaman pengekploitasian air tanah, dapat mencegah kerusakan lingkungan yang akan berdampak di kemudian hari. Untuk kawasan tertentu yang memiliki kerawanan ekologi serta telah mendapat suplai air bersih yang cukup dari perushaan penyedia air, perlu dilakukan pelarangan ekploitasi air tanah secara bebas. 2. Pengembangan pengolahan sampah ramah lingkungan Pengelolaan sampah ramah lingkungan dimulai dari skala kecil di tingkat rumah tangga hingga pada pengolahan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah. Sosialisasi kepada masyarakat untuk mulai memisahkan sampah yang mereka hasilkan baik anatara sampah organic dan non-organik serta samapah yang bisa didaur ulang dan tidak dapat didaur ulang, merupakan hal yang mutlak dilakukan. Selain itu, perlu didukung dengan penyediaan tempat-tempat sampah yang berbeda sesuai dengan jenis sampa, di tempat-tempat umum (public areas). Sortifikasi sampah ini akan mempermudah penganan sampah di tahap-tahap selanjutnya, serta dapat menjadi sumber ekonomi baru dengan munculnya industry kreatif pendaur ulang sampah dan turunannya. Pengolahan akhir sampah yang ramah lingkungan harus pula diterapkan di TPA sampah. Salah satu tindakan yang dapat diterapkan adalah: penggunaan bahan organik pengurai sampah untuk mempercepat proses pembusukan, penggunaan tehnik pengolahan yang ramah lingkungan serta mengurangi pembakaran sampah secara langsung karena akan meningkatkan pelepasan karbon di udara. 3. Pengembangan jaringan jalan dengan menyediakan ruang hijau pada sisi jalan Penanaman atau penyedian ruang hijau disisi jalan merupakan langkah cerdas mengurangi emisi karbon secara langsung yang berasal dari kendaran yang lewat. Meskipun keberadaan tanaman hijau ini tidak bisa menuntaskan seluruh emisi yang dihasilkan oleh sektor transportasi, tetapi banyak membantu perbaikan kondisi lingkungan di sekitar jalan dan memeberi efek psikologis bagi pengguna jalan terhadap upaya perbaikan kondisi lingkungan secara keseluruhan. Faktor estetika juga menjadi factor pendukung yang lain terhadap keberadaan jalur hijau di sepanjang jalan. 4. Pengembangan pemukiman yang terencana
Pengembangan pemukiman yang berkonsep green city atau eco-city merupakan tipe pengembangan yang akan menciptakan kawasan hunian yang sehat dan mendukung keseimbangan lingkungan. Sudah banyak perencana pemukiman yang memasukkan konsep ini dan mendapat respon yang positif baik dari para developer maupun peminat perumahan. Provinsi Lampung telah menerapkan konsep ini dalam rencana pembangunan Kota Baru Lampung. 5. Pengembangan ruang terbuka hijau pada pemukiman dan peningkatan cadangan air melalui biopori/embung. Aturan penyediaan ruang terbuka hijau telah dituangkan dalam Permendagri 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTKP). Peraturan ini meyatakan bahwa RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu secara khusus ditetapkan bahwa luas ideal RTHKP minimal 20% dari luas kawasan perkotaan. Ruang terbuka hijau ini akan menjadi daearh resapan air sekaligus cadangan air bagi kawasan pemukiman disekitarnya. Sementara itu, pembuatan biopori/embung merupakan bentuk langsung langkahlangkah antisipatif peningkatan cadangan air. Ketersediaan air dalam tanah selain untuk kepentingan manusia, juga sebagai salah satu fase dalam siklus ekologi dan lingkungan. i) Strategi terhadap kawasan Pertahanan Keamanan 1. Penyiapan lahan khusus untuk kegiatan hankam dengan tidak merusak lingkungan Kegiatan pertahanan dan keamanan seperti latihan perang, latihan peluncuran senjata maupun pembangunan markas-markas tertentu, akan memberi dampak lingkungan yang negative. Kerusakan lingkungan yang dimbulkan akan mengurangi kawasan yang dapat berfungsi sebagai penyerap karbon. Penetapan lahan khusus yang spesifik pemakaiannya dan lokasinya, diharapkan mampu mengeliminir kerusakan-kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. 2. Menyediakan ruang hijau untuk konservasi lahan dan air Seperti juga pengembangan kawasan hijau di sektor-sektor yang lain, penyediaan ruang hijau dan konservasi lahan air di kawasan pertahanan dan keamanan akan memperbaiki secara langsung kondisi lingkungan sekitar. Diharapkan kepada seluruh Kabupaten/kota di Provinsi Lampung didalam penyusunan dokumen Tata Ruang Kabupaten/Kota sudah mengantisipasi terjadinya perubahan iklim terutama dalam penyusunan perencanaan pembangunannya dengan memperhatikan strategi-strategi pembangunan rendah karbon.