Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
ZAT BESI DARI SUMSUM TULANG SAPI SEBAGAI SUPLEMEN UNTUK PENCEGAHAN ANEMIA GIZI (The Ferrum Made of Marrow Cow Bones as Supplement for Preventing Anemia) ABUBAKAR, D.R. MUSTIKA dan SUGIARTO Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
ABSTRACT Nutrients deficiency is general problem of many people especially in developing country like Indonesia. One of important mineral required in the body is ferrum. The deficiency of Fe can influence the process of taking in nutrients, which called iron anemia. The aim of the study was to find out the efectivity of Fe from cattle bone marrow for Fe supplementation. In this study, the Fe content in cattle bone marrow was determined before tested in animals. Destruction method by HCl was used for the purpose and the Fe content in cattle bone marrow was measured using spectophotometer at ג460 nm and AAS at ג248,3 nm. The result showed that the Fe content of cattle bone marrow was 109 ppm (0,0109%) while using AAS indicated that Fe content bone marrow was higher which was 175.75 ppm (0.0176%). Fifteenth wistar mouses were used, and they were divided into 3 groups. Group A as control (Standard feed + drinking water); group B (standard feed + 35 ppm ml-1 hari-1 of Fe from cattle bone marrow); Group C (Standard feed + FeSO4 with concentration 35 ppm ml-1 hari-1). Parameter measured were body weight, hemoglobin (Hb) concentration, hematokrit (Ht) concentrates and blood Fe in the mice Measurement was done every week for 6 weeks. The result indicated that there was no significant increased on body weight, hemoglobin content. Key words: Fe, marrow cow bones, supplement ABSTRAK Kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Zat gizi yang mempunyai peranan penting dalam tubuh yaitu mineral, salah satunya adalah zat besi. Karena kekurangan zat besi sangat besar pengaruhnya dalam proses terjadinya kekurangan gizi maka seringkali istilah anemia gizi diidentikkan dengan istilah anemia besi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas zat besi (Fe) yang berasal dari sumsum tulang sapi dalam pemanfatannya sebagai suplemen. Pada penelitian ini, sumsum tulang sapi terlebih dahulu ditentukan kadar Fe-nya dengan metode destruksi dengan asam HCl yang kandungan Fe-nya diukur dengan spektrofotometer pada λ 460 nm dan dengan AAS pada λ 248,3 nm. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kandungan Fe pada sumsum tulang sapi dengan metode spektrofotometri sebesar 109 ppm (0,0109%), sedangkan dengan AAS sebesar 175,75 ppm (0,0176%). Sebagai hewan percobaan digunakan tikus galur wistar jantan sebanyak 15 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan. Kelompok A (kontrol negatif), kelompok B (diberikan sumsum tulang sapi dengan konsentrasi 35 ppm/ml/hari), sedangkan kelompok C (diberi FeSO4) dengan konsentrasi yang sama dengan kelompok perlakuan. Parameter yang diamati meliputi: bobot badan, kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht), dan kadar Fe darah tikus setiap minggu sampai minggu ke-6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga perlakuan belum menampakkan perbedaan yang nyata. Walaupun demikian jika dilihat dari nilai rataan dan pola kurva dari setiap parameter akan terlihat perbedaan dari ketiga perlakuan tersebut, dan ini menunjukkan bahwa sumsum tulang sapi memberikan indikasi dapat meningkatkan kadar Hb, Ht, dan Fe darah tikus. Kata kunci: Zat besi, sumsum tulang sapi, suplemen
PENDAHULUAN Dalam bidang kesehatan, masalah yang sering dihadapi di negara-negara yang sedang
berkembang termasuk di Indonesia adalah kekurangan zat gizi. Kasus kekurangan gizi ini dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, salah satunya adalah dapat menghambat
107
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
aktivitas kerja, bahkan apabila kekurangan zat gizi ini telah mencapai angka yang tinggi dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya. Istilah kecukupan gizi yang dianjurkan (Recommended Dietary Allowance, RDA) mempunyai arti yang berbeda dengan kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya setiap zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat, sedangkan kebutuhan gizi lebih meng gambarkan banyaknya zat gizi minimum yang diperlukan oleh setiap individu dan cenderung dipengaruhi oleh faktor genetik (KARYADI, 1991a). Zat gizi yang mempunyai peranan penting dalam tubuh ialah mineral, salah satunya adalah zat besi. Karena kekurangan zat besi sangat besar pengaruhnya dalam proses terjadinya kekurangan gizi maka seringkali istilah anemia gizi diidentikkan dengan istilah anemia besi. Kekurangan zat besi adalah penyebab utama terjadinya anemia (BEARD et al., 1996). Menurut beberapa pakar gizi, anemia digambarkan sebagai suatu kondisi menurunnya jumlah sel darah merah sehingga kadar hemoglobin dalam tubuh berada di bawah normal (COOK et al., 1992 dan BARUNAWATI, 2000). Kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh konsumsi besi yang rendah atau cadangan besi dalam tubuh yang tidak mencukupi kebutuhan untuk pembentukan sel darah merah. Selain itu, kekurangan zat besi dapat dikarenakan adanya gangguan penyerapan besi dalam saluran pencernaan (HUSAINI, 1997). Apabila cadangan besi yang tidak mencukupi terjadi secara terus menerus maka pembentukan sel darah merah menurun dan hal ini akan menimbulkan efek menurunnya aktivitas tubuh. MERTZ (1987) menyatakan bahwa anemia lebih banyak diderita oleh wanita dibandingkan dengan pria terutama selama masa subur, karena wanita akan banyak kehilangan zat besi mereka pada masa-masa haid, kehamilan, melahirkan, dan menyusui. Secara umum kekurangan zat besi dapat disebabkan karena beberapa kemungkinan antara lain karena kekurangan gizi sehingga kadar besi dalam tubuh rendah, makanan cukup tetapi kandungan besinya sulit diserap oleh tubuh sehingga diperlukan suplemen besi yang mudah diserap. Kemungkinan lainnya ialah
108
adanya gangguan pencernaan yang dapat mengganggu penyerapan besi (kondisi yang terlalu asam atau basa) (KARYADI, 1974). Konsumsi makanan (zat gizi) seseorang juga sangat menentukan status besinya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu, faktor konsumsi makanan terutama konsumsi mineral besi sangat perlu diperhatikan. Selain itu, pendekatan teknologi intervensi suplementasi dengan Fe dan mineral lainnya juga perlu dilakukan sebagai tindakan preventif kekurangan gizi pada masyarakat. Menurut KARYADI (1991b), usaha ini sudah sejak 20 tahun dilaksanakan di Indonesia dan juga di luar negeri. Suplementasi berfungsi mengatasi defisit RDA yang sudah ada, sebagai pelengkap bukan sebagai substitusi. Dalam suplementasi, faktor kondisi penyakit, umur dan kegiatan merupakan pertimbangan yang sangat penting dalam menentukan jumlah takaran, lamanya serta penggunaannya (BORENSTEIN, 2001). Didasari oleh hal-hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mempelajari kadar besi yang terdapat pada sumsum tulang sapi untuk dimanfaatkan sebagai suplemen terutama untuk kalangan yang berpeluang besar menderita anemia. Sumsum tulang sapi diyakini sebagai tempat pembentukan sel-sel darah merah, sehingga sumsum tulang diduga mengandung zat besi yang siap digunakan untuk pembentukan sel darah merah tersebut. Pada penelitian ini akan ditentukan juga keefektivan zat besi yang berasal dari sumsum tulang sapi dibandingkan dengan suplemen zat besi lainnya pada tikus. MATERI DAN METODE Percobaan ini dilakukan melalui dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan penentuan kadar besi dari sumsum tulang dengan menggunakan metode spektrofotometri dan metode AAS (Atomic Absorbtion Spectrofotometry). Pada tahap kedua, dilakukan penentuan efektivitas sumsum tulang setelah diberikan pada tikus sebagai suplemen dengan cara menentukan kadar besi, hemoglobin (Hb), dan hematokrit (Ht) dalam darah. Sebagai hewan percobaan digunakan 15 ekor tikus putih jantan (Rattus norve gicus) galur wistar yang sehat dengan umur antara 4 sampai 5 bulan dengan berat
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
rataan awal 200 g. Hewan percobaan diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner. Pemilihan tikus sebagai hewan percobaan didasarkan atas sifatsifat tikus yang sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat. Tikus yang dipilih adalah tikus jantan sehingga pemberian suplemen zat besi dari sumsum tulang sapi dapat diamati tanpa dipengaruhi faktor internal estrogen seperti pada hewan betina. Sebelum diperlakukan tikus-tikus tersebut diadaptasikan terlebih dahulu agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tikus ditempatkan dalam kandang individu. Selain diberi suplemen setiap hari hewan percobaan diberi pakan berupa pelet sebanyak 13 g ekor-1 hari-1. Setiap minggu dilakukan penimbangan bobot badan tikus. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok, masingmasing kelompok berisi 5 ekor tikus: 1) Kelompok A (kontrol negatif, kelompok yang diberikan pakan standar dan minuman biasa). 2) Kelompok B (diberikan suplemen zat besi dari sumsum tulang sapi dengan konsentrasi 35 ppm). Konsentrasi yang diberikan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa kebutuhan tikus terhadap zat besi sebesar 35 ppm setiap hari. 3). Kelompok C, (diberikan zat besi dalam bentuk FeSO4). Pemberian suplemen dilakukan setiap hari dengan konsentrasi yang tetap untuk setiap kelompok tikus, kemudian sampel darah diperiksa kadar besi, hemoglobin, dan hematokritnya. Pemeriksaan sampel darah untuk penentuan parameter di atas dimulai setelah pemberian suplemen pertama kali dan selanjutnya setiap minggu sampai minggu keenam. Sampel darah diambil setiap satu minggu sekali sebelum tikus diberi pakan. Data bobot badan, hemoglobin, hematokrit, dan kadar Fe darah tikus dari setiap kelompok dianalisis secara statistik dengan metode Rancangan Acak Lengkap. Kadar Fe pada sumsum tulang sapi baik dengan metode spektrofotometri maupun AAS dilakukan dengan metode regresi linier. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis sumsum tulang sapi Sampel yang digunakan adalah sumsum tulang sapi yang telah disterilkan dan
dikeringkan dalam bentuk serbuk. Sterilisasi sumsum tulang sapi dilakukan dengan otoklaf selama 1 jam dengan temperatur 121°C dan tekanan uap absolut 1 bar. Tujuan dari sterilisasi ini yaitu untuk mematikan mikroba sehingga sumsum tulang sapi yang digunakan tetap dalam kondisi yang baik dalam jangka yang cukup lama. Selain itu sterilisasi juga bertujuan untuk mengeluarkan lemak dan meminimalkan kadar air (GIRINDRA, 1989). Setelah melalui tahap sterilisasi selanjutnya sumsum tulang sapi dikeringkan dengan double drum drier. Prinsip alat ini yaitu memanaskan dan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga mempermudah terjadinya penguapan, dengan demikian kandungan air dalam sumsum tulang sapi akan dapat diminimalisasi. Rendemen yang dihasilkan dari sumsum tulang sapi sebelum dan setelah dikeringkan yaitu sekitar 3%. Kemudian serbuk sumsum tulang sapi yang dihasilkan dianalisis kadar proksimatnya sebelum ditentukan kadar besinya (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisis proksimat serbuk sumsum tulang sapi berdasarkan bobot kering Komposisi
(%)
Kadar abu
4,74
Kadar air
4,81
Kadar lemak
67,11
Hasil analisis proksimat ini menunjukkan bahwa kadar air dan kadar abu sumsum tulang sapi relatif kecil, sedangkan kadar lemaknya relatif cukup tinggi, hal ini sesuai dengan pendapat WAJDA (1985) dan COOK (2000) yang menyatakan bahwa komposisi sumsum tulang sebagian besar terdiri atas fosfolipid. Sebelum dilakukan pengujian kadar Fe secara kuantitatif terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan secara kualitatif untuk meyakinkan bahwa dalam sumsum tulang sapi terdapat zat Fe. Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil uji kualitatif kadar Fe pada sumsum tulang sapi. Menurut MOELYOHARDJO et al. (1989), uji besi pada suatu bahan menunjukkan hasil positif jika ditambahkan amonium tiosianat akan terbentuk warna merah dan jika ditambah kalium ferosianida akan menghasilkan warna biru. Hal ini berarti dari uji kualitatif yang
109
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
dilakukan menunjukkan bahwa sumsum tulang sapi mengandung zat besi. Selanjutnya sumsum tulang sapi ini ditentukan kadar besinya dengan menggunakan 2 metode, yaitu metode spektrofotometri dan metode AAS. Tabel 2. Hasil uji kualitatif kadar Fe sumsum tulang sapi Pereaksi
Hasil pengujian
Keterangan
Amonium tiosianat
+
Terbentuk warna merah
Kalium ferosianida
+
Terbentuk warna biru
Tahap pertama dilakukan penentuan kadar besi dengan metode spektrofotometri. Dalam metode ini, sebelumnya dilakukan penentuan spektrum absorbsi untuk mengetahui panjang gelombang maksimum yang sesuai dengan kondisi spektrofotometer yang digunakan. Panjang gelombang maksimum yang dihasilkan dalam penentuan spektrum absorbsi ini yaitu 460 nm. Setelah panjang gelombang maksimum ditentukan, selanjutnya dilakukan pembuatan kurva standar dengan konsentrasi Fe, 0 ppm sampai 2,8 ppm dengan interval 0,4 ppm. Dari kurva standar yang dihasilkan maka diperoleh persamaan garis Y= -0,0293 + 0,2239X dengan ketelitian 98,45%. Berdasarkan persamaan garis tersebut maka dapat ditentukan kadar Fe dari sumsum tulang sapi. Penentuan sampel dilakukan triplo, dan hasil yang diperoleh merupakan rataan dari ketiga ulangan tersebut. Kadar Fe dalam sumsum tulang sapi dari hasil penentuan dengan menggunakan metode spektrofotometri yaitu sebesar 0,0109% atau 109 ppm. Tahap kedua yaitu penentuan kadar Fe pada sumsum tulang sapi dengan menggunakan metode AAS. Persamaan metode ini dengan metode spektrofotometri yaitu pada proses destruksi dari sumsum tulang sapi sebelum dianalisis. Tahap destruksi ini bertujuan untuk memisahkan bahan organik dan bahan anorganik (mineral) yang terdapat dalam sumsum tulang sapi. Tahap destruksi pada kedua metode ini diawali dengan pemanasan sampel diatas nyala bunsen sampai tidak berasap lagi. Pemanasan ini berfungsi untuk menghilangkan lemak/minyak dan bahan organik lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan pengabuan sampel pada suhu 500°C selama 5
110
jam, tujuan dari proses ini yaitu untuk menyempurnakan proses penguapan bahanbahan organik sehingga yang tersisa hanya bahan anorganik/mineral (SUTARDI, 1980). Selanjutnya abu sumsum tulang sapi tersebut dilarutkan dengan asam klorida (HCl) yang merupakan pereaksi spesifik untuk penentuan Fe. HCl digunakan dalam penentuan Fe karena selain Fe dapat larut dalam HCl, juga karena HCl akan bereaksi dengan Fe yang terdapat dalam sumsum tulang sapi. Selanjutnya larutan ini dianalisis dengan metode spektrofotometri dan metode AAS untuk mengetahui besarnya kadar Fe yang terdapat dalam sumsum tulang sapi. Pada metode AAS, penentuan kadar Fe dilakukan pada panjang gelombang 248,3 nm, dari kurva standar yang dibuat diperoleh persamaan garis Y= 0,0447 + 0,0008X dengan ketelitian 99,96%. Penentuan dilakukan duplo dan rataan dari kedua ulangan tersebut merupakan kadar Fe dari sumsum tulang sapi, yaitu sebesar 175,75 ppm atau 0,0176%. Hasil yang diperoleh dari kedua metode tersebut dapat disimpulkan bahwa penentuan dengan menggunakan metode AAS ternyata lebih sensitif dibandingkan dengan metode spektrofotometri. Hal ini dapat dilihat dari sumsum tulang sapi yang dianalisis dengan AAS menunjukkan kadar Fe yang lebih tinggi hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan kadar Fe sumsum tulang sapi yang dianalisis dengan spektrofotometer. Dengan demikian data yang digunakan untuk analisis selanjutnya adalah data yang diperoleh dari penentuan kadar Fe dengan metode AAS, yaitu 175,75 ppm. Selanjutnya serbuk sumsum tulang sapi dilarutkan dalam air mendidih dengan konsentrasi yang sesuai dengan kebutuhan tikus. Larutan sumsum ini digunakan untuk dicekokkan pada tikus percobaan. Dosis larutan sumsum tulang sapi yang diberikan pada tikus percobaan adalah 1 ml ekor-1 hari-1 dengan konsentrasi 35 ppm. Selama masa adaptasi atau sebelum perlakuan, bobot badan tikus cenderung meningkat, hal ini menunjukkan tikus dalam kondisi sehat. Tikus yang digunakan adalah tikus jantan, sehingga pengaruh sumsum tulang sapi terhadap hemoglobin, hematokrit, dan kadar Fe darah tikus dapat diamati tanpa dipengaruhi faktor internal (estrogen) seperti pada hewan betina.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
dalam kondisi normal dan rata-rata mengalami peningkatan secara kontinyu. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa pola kenaikan dan penurunan kurva bobot badan tikus untuk ketiga kelompok tikus relatif sama. Pada masa adaptasi atau sebelum perlakuan bobot badan tikus cenderung meningkat, namun setelah mengalami perlakuan, yaitu pengambilan darah yang dimulai pada minggu ke-0 dan pencekokan pada minggu ke-1 bobot badan ketiga kelompok tikus ini mulai menurun cukup drastis, hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor stres yang dialami tikus akibat perlakuan yang dialaminya. Kenaikan bobot badan ketiga kelompok tikus tersebut mulai terjadi lagi setelah perlakuan memasuki minggu ke-3 dan ke-5. Hal ini berarti mulai pada minggu ini tikustikus tersebut telah mampu beradaptasi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan, namun apabila dilihat dari pola kurva dari ketiga kelompok tikus ini yang relatif sama, ini menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan terhadap ketiga kelompok tersebut tidak berpengaruh terhadap bobot badan tikus.
Penelitian ini dilakukan selama 6 minggu untuk perlakuan terhadap tikus. Khusus untuk pengamatan terhadap bobot badan tikus dimulai 5 minggu sebelum perlakuan sebagai masa adaptasi tikus. Pemberian sumsum tulang sapi setiap hari dengan konsentrasi yang sama untuk setiap ekor tikus. Kelompok tikus A, hanya dicekok air, kelompok ini digunakan sebagai kontrol. Kelompok tikus B, dicekok dengan larutan sumsum tulang sapi sebagai kelompok perlakuan, sedangkan kelompok tikus C, dicekok larutan FeSO4 dengan konsentrasi yang sama dengan konsentrasi sumsum tulang sapi, kelompok ketiga ini digunakan sebagai standar. Selain diberi perlakuan setiap tikus juga diberi pakan berupa pelet dengan jumlah yang sama, yaitu 13 g/hari. Bobot badan Gambar 1 menyajikan rataan bobot badan untuk ketiga kelompok perlakuan. Sebelum perlakuan bobot badan untuk semua kelompok
Bobot badan (g)
245 240
235 230 225 220 215 210 205 200
-4
-3
-2
kontrol negatif
-1
0
1
2
3
4
5
6
Minggu ke-
perlakuan (+sumsum) kontrol positif (standar)
Gambar 1. Pengaruh sumsum tulang sapi terhadap bobot badan
111
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Kadar hemoglobin Kadar hemoglobin tikus dianalisis setiap minggu dengan metode sianmethe moglobin. Dari analisis kadar Hb ini dapat dilihat bagaimana pengaruh ketiga perlakuan tersebut terhadap kestabilan kadar Hb tikus. Adanya kemungkinan keragaman yang besar maka sebelum pengambilan darah semua tikus percobaan dipuasakan terlebih dahulu selama semalam. Hal ini dilakukan agar semua tikus dalam kondisi yang sama. Gambar 2 menyajikan rataan kadar Hb selama 6 minggu perlakuan. Kadar Hb untuk minggu ke-0 merupakan kadar Hb awal tikus sebelum perlakuan. Kadar Hb awal ini digunakan sebagai kontrol atau pembanding untuk kadar Hb setelah perlakuan. Kadar Hb awal untuk ketiga kelompok tikus tersebut relatif normal, hal ini menunjukkan kondisi tikus yang cukup baik. Kadar Hb tikus normal yaitu sekitar 11−18% (MALOLE dan PRAMONO, 1989). Kurva pada Gambar 2, menunjukkan bahwa semua kelompok tikus mengalami peningkatan kadar Hb selama perlakuan. Namun peningkatan yang cukup berarti terjadi pada kelompok tikus perlakuan (kelompok B). Hal ini dapat dilihat pada persentase kenaikan kadar Hb setiap minggu selama perlakuan, sedangkan untuk kelompok tikus Standar (kelompok C) cenderung lebih stabil. Perbandingan kedua perlakuan ini dilakukan terhadap kelompok tikus kontrol negatif
(kelompok A). Dari persentase kenaikan kadar Hb ketiga perlakuan setiap minggu, kelompok B mempunyai persentase kenaikan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya. Bahkan, pada minggu ke-6 setelah perlakuan kenaikannya mencapai 50,83%. Dengan demikian perlakuan B dinilai lebih dapat meningkatkan kadar Hb dibandingkan kedua perlakuan lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar Hb pada ketiga perlakuan ini tidak berbeda. Namun perbedaan dapat dilihat dari nilai rata-rata ketiga kelompok tersebut. Kelompok tikus perlakuan (kelompok B) memiliki rataan yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok A dan C, sedangkan kelompok C memiliki rataan yang sama dengan kelompok tikus kontrol. Hematokrit Menurut DJOJOSOEBAGIO et al. (1985) dan HUSAINI (1997), untuk mendeteksi keadaan anemia gizi terutama anemia besi secara medis selain menggunakan uji Hb juga sering digunakan uji Ht. Menurut HODSON (2001), Hematokrit merupakan persen volume eritrosit pada tikus. Dengan asumsi bahwa semakin besar kadar Fe yang terdapat dalam tubuh maka semakin tinggi kadar hematokritnya. Hal ini disebabkan karena Fe sangat berperan dalam proses pembentukan sel darah merah (eritrosit). Kadar Ht tikus normal adalah sekitar 36−48% (MALOLE dan PRAMONO, 1989).
Hemoglobin (g %)
23 21 19 17 15 13 11 0
1
2
3
4
5
6
Minggu kekontrol negatif perlakuan (+sumsum) kontrol positif (standar)
Gambar 2. Pengaruh sumsum tulang sapi terhadap hemoglobin tikus
112
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
hasil reaksi antara Fe3+ dan kalium tiosianat. Semakin tinggi Fe yang terdapat dalam darah maka intensitas warna merah yang dihasilkan juga semakin tinggi (LINCH dan BAYNES, 1996). Gambar 4, menyajikan rataan kadar Fe dalam darah tikus selama perlakuan. Dari kurva yang dihasilkan dapat dilihat bahwa sumsum tulang sapi memiliki efektivitas yang cukup baik jika dibandingkan dengan kontrol maupun dengan standar. Hal ini terlihat dari kurva yang setiap minggunya mengalami peningkatan. Untuk kelompok tikus standar cenderung tidak banyak mengalami perubahan, dengan kata lain peningkatan yang terjadi tidak begitu tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa, kadar Fe darah tidak berbeda nyata pada ketiga perlakuan, namun menunjukkan adanya perbedaan hasil walaupun tidak terlalu besar. Dari keempat parameter yang dianalisis dapat dilihat efektivitas sumsum tulang sapi cukup baik walaupun antara ketiga perlakuan yang dilakukan perbedaannya tidak tampak nyata. Walaupun demikian sumsum tulang sapi memberikan indikasi dapat meningkatkan kadar Hb, Ht, dan Fe darah tikus. Perbedaan mungkin akan nyata apabila konsentrasi dan dosis pemberian sumsum tulang ditingkatkan atau waktu perlakuan diperpanjang.
Gambar 3 menyajikan rataan kadar Ht tikus selama perlakuan. Kurva yang dihasilkan menunjukkan bahwa dari ketiga perlakuan peningkatan kadar Ht yang cukup tinggi terjadi pada kelompok tikus perlakuan (kelompok B), sedangkan untuk kelompok tikus standar (kelompok C) cenderung stabil. Hal ini juga dapat disebabkan karena pada awal perlakuan kadar Ht untuk kelompok B menunjukkan nilai paling kecil dibandingkan dengan kelompok yang lain, dan setelah mengalami perlakuan selama 6 minggu kadar Ht tikus kelompok B mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini juga dapat dilihat pada persentase kenaikan kadar Ht kelompok B lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (A) maupun standar (C). Dari hasil uji statistik tidak ada perbedaan yang nyata, untuk semua perlakuan. Kadar Ht cenderung sama untuk semua tikus percobaan meskipun memperoleh perlakuan yang berbeda. Hal ini diduga perlakuan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap perubahan Ht tikus. Kadar besi
Hematokrit (%)
Kadar Fe ini dianalisis menggunakan metode kalium persulfat dengan menggunakan spektrofotometer. Pengukuran didasarkan dari intensitas warna merah yang dihasilkan dari 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 0
1
2
3
4
5
6
Minggu kekontrol negatif perlakuan (+sumsum) kontrol positif (standar) Gambar 3. Pengaruh sumsum tulang sapi terhadap hematokrit tikus
113
Kadar Fe (mg/100 ml)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
24 22 20 18 16 14 12 10
0
2
1
3 Minggu ke-
4
5
kontrol negatif perlakuan (+sumsum) kontrol positif (standar) Gambar 4. Pengaruh sumsum tulang sapi terhadap kadar Fe tikus
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Sumsum tulang sapi mengandung kadar Fe yang cukup tinggi. Hasil analisis dengan metode spektrofotometri menunjukkan bahwa sumsum tulang sapi mengandung Fe sebesar 109 ppm atau 0,0109%, sedangkan analisis dengan metode AAS menunjukkan bahwa kandungan Fe dalam sumsum tulang sapi yaitu sebesar 175,75 ppm atau 0,0176%. Hasil analisis proksimat sumsum tulang sapi berdasarkan bobot kering yaitu kadar air 4,81%, kadar abu 4,74%, dan kadar lemak 67,11%. Hasil uji statistik dari keempat parameter yang diamati menunjukkan bahwa ketiga perlakuan belum menampakkan perbedaan yang nyata. Walaupun demikian jika dilihat dari nilai rataan dan persentase kenaikan setiap parameter terdapat perbedaan dari ketiga perlakuan tersebut dan ini menunjukkan sumsum tulang sapi memberikan indikasi untuk meningkatkan Hb, Ht, dan kadar Fe darah tikus. Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan meningkatkan dosis atau meragamkan konsentrasi sumsum tulang sapi yang dicekokkan pada hewan percobaan dan memperpanjang waktu percobaan agar lebih nyata peningkatan kadar Hb, Ht dan Fe.
BARUNAWATI, M. 2000. Keragaan Konsumsi Pangan dan Kadar Mineral Besi (Fe) dan Seng (Zn) dalam Serum Darah Ibu Hamil. Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
114
BEARD, J.L., H. DAWSON and D.J. PINERO. 1996. Iron metabolism: a comprehensive review. Nut. Rev. 54(10): 295−317. BORENSTEIN, B. 2001. Rasionale and technology of food fortification with vitamin, minerals and amino acid. Critical Rev. Avi Publishing Co, Westport, Conn. COOK, J.D. 2000. Absorption iron in bread. Am. J. Clim. Nutr. 20: 65−74. COOK, J.D., R.D. BAYNES and B.S. SKIKNE. 1992. Iron deficiency and the measurement of iron status. Nut. Res. Rev. 5: 189−202. DJOJOSOEBAGIO, S., M.A. HUSAINI, W.G. PILIANG dan D. KARYADI. 1985. Anemi dan non anemi kurang besi dalam hubungannya dengan aspek-aspek fungsional. I. Hasil tapisan screening. Laporan Penelitian. Jurusan Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. GIRINDRA, A. 1989. Petunjuk Praktikum Biokimia Patologi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
HODSON, A.Z. 2001. Conversion of ferric to ferrous iron in weight control dietaries. J. Agr. Food Chem. 8: 46−48. HUSAINI, M.A. 1997. Untuk mendeteksi anemia: apakah sama hasil test hemoglobin dengan hasil test hematokrit. Buletin Penelitian Kesehatan 25(1): 9−18. HUSAINI, M.A. 1989. Prevalensi anemia gizi. Buletin Gizi 13: 1−4. KARYADI, D. 1974. Hubungan Ketahanan Fisik dengan Keadaan Gizi dan Anemi Gizi Besi. Tesis. Fakultas Kedokteran, UI, Jakarta. KARYADI, D. 1991a. Tinjauan kecukupan gizi yang dianjurkan dan penyakit degeneratif serta implikasinya. Cermin Dunia Kedokteran 78: 5−8. KARYADI, D. 1991b. Manfaat suplementasi vitamin dan mineral. Cermin Dunia Kedokteran 73: 26−28.
LINCH, S.R. and R.D. BAYNES. 1996. Deliberation and evaluations of the approaches endpoints and paradigms for iron dietary recommendations. J. Nut. 126: 2404S−2408S. MALOLE, M.B.M. and C.S.U. PRAMONO. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. MERTZ, W. 1987. Trace Elements in Human and Animal Nutrition. Ed. ke-5. Academic Press, San Diego. MOELYOHARDJO, D.S., A. GIRINDRA, M. ANWAR, E. KUSTAMAN, M. BINTANG dan SULISTIYANI. 1989. Penuntun Praktikum Biokimia. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. SUTARDI, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. WAJDA, M. 1985. Lipid composition of human bone marrow. Biochem. J. 95: 252−255.
115