FAKTOR EKSPLOITASI DAN FAKTOR PENGAMAN PADA KEGIATAN PENEBANGAN SISTEM TEBANG PILIH TANAM INDONESIA DI HPH PT SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Yosep Ruslim1 dan Gunawan2 1
2
Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan Fahutan Unmul, Samarinda. Kanwil Dephutbun Provinsi Kalteng, Palangkaraya
ABSTRACT. The Exploitatation and Safety Factors on Logging Operation with Indonesian Selective Cutting and Replanting (TPTI) Systems in PT Sarmiento Parakantja Timber Concession, Central Kalimantan. The research was conducted in annual plan 2002. The data were collected at the sample plots of 9 ha of which 9 plots (100x100 m each) were placed purposively. For analyzing the factors affecting the explotation factor, investigation were conducted on topography, stand density, kind of wood, chainsawman, trees diameter, slope of felled trees. These were analyzed in both stand and felled trees. On the other hand, for the analyzing the safety factor, investigation were conducted to the realization of cutting volume. The results of this research were the value of the stand exploitation factor was 0.62, of which it was lower than the government had decided. On the other hand, the trees exploitation factor potenttialy reachable was 0.8. The value of the safety factor was 0.81, of which it was almost equal to the one that the government had decided. The exploitation factor of the floater trees was 0.80, which this was significantly higher than the one belonged to the sinker trees (0.66). Based on the source of waste, of which it happened from holed wood 22.32 log volume, the exploitation waste was generated from holed wood 22.92 m3/ha (44.14%), broken wood 11.37 m3/ha (21.89%), out of tractor reachable 8.65 m3/ha (16. 65%), rot heath 3.82 m3/ha (7.35%), style of stem 2.80 m3/ha (5.39%), corrected to transport equiptment size 1.47 m3/ha (2.84%) and the lowest, inaccurate to the lowest possible on felling and trimming 0.90 m3/ha (1.73%). Kata kunci: faktor eksploitasi, faktor koreksi, faktor pengaman
Luas dan potensi hutan alam primer di Indonesia secara umum semakin menyusut sejak pengusahaan hutan produksi secara besar-besaran dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada tahun 1970-an. Pengusahaan hutan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah sistem silvikultur hutan alam (sistem TPTI) secara tepat tepat dan benar, praktek penebangan liar yang semakin marak, konversi hutan alam menjadi perkebunan dan kebakaran hutan merupakan penyebab utama terjadinya degradasi hutan. Pada tahun 1990-an ditandai dengan berakhirnya periode/jangka waktu pengusahaan 20 tahun pertama, kebanyakan ijin konsesi HPH dan masa perpanjangan ijin diberikan bagi HPH yang dinilai mempunyai kinerja relatif baik. HPH yang masih beroperasi dituntut harus dapat melaksanakan pengelolaan hutan berdasarkan kaidah-kaidah kelestarian yang meliputi kelestarian fungsi produksi, 95
96
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
fungsi ekologi dan fungsi sosial-ekonomi berbasis masyarakat. Oleh karena itu HPH yang mendapatkan perpanjangan ijin pengusahaan harus dapat memanfaatkan sebaik-baiknya potensi hutan primer yang tersisa pada rotasi pertama ini, dengan pengertian di samping mendapatkan hasil panenan kayu yang tinggi (zero waste), juga menghasilkan tegakan tinggal yang berkualitas dan mempunyai produktivitas tinggi untuk dipanen pada rotasi berikutnya. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pengelolaan hutan yang lestari adalah penentuan Annual Allowable Cut (AAC) dan Jatah Produksi Tahunan (JPT) sebagai bagian dari sistem pengaturan hasil hutan yang lestari. JPT ditetapkan oleh Dinas Kehutanan dalam Rencana Karya Lima Tahunan (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT) yang besarnya sebagaimana pelaksanaan terdahulu, lebih rendah daripada AAC karena ada faktor reduksi berupa faktor eksploitasi (Fe) dan faktor pengaman (Fp). AAC volume tebangan dihitung berdasarkan luas areal berhutan dikalikan volume rata-rata per hektar pohon jenis komersial yang dapat dipanen, kemudian dibagi rotasi tebangan yang digunakan dan dikalikan faktor pengaman sebesar 0,8. JPT dalam RKT dihitung berdasarkan luas areal berhutan yang akan dipanen selama satu tahun dikalikan volume rata-rata per hektar jenis komersial yang dapat dipanen, kemudian dikalikan Fe dan Fp. Besarnya reduksi dari Fe dan Fp dapat mencapai hampir seperdua bagian dari potensi pohon yang dapat dipanen. Faktor eksploitasi (Fe) merupakan indikator dari efisiensi pemanfaatan potensi hutan yang besarnya selama ini ditetapkan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan), umumnya sebesar 0,7. Angka ini ditetapkan berdasarkan hasil penelitian Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH) periode 1974–1977 (Idris dan Endom, 1995) sebagai pencerminan tingkat efisiensi yang dicapai pengusaha dalam memanfaatkan kayu dari pohon yang dipanen yang besarnya rata-rata 70%. Sisanya merupakan limbah penebangan (logging waste) yang ditinggal di hutan. Faktor pengaman (Fp) ditetapkan sebesar 0,8 merupakan angka pengali terhadap perhitungan massa tegakan sebagai faktor kelestarian tegakan. Sutisna (1992) menyatakan, bahwa penggunaan faktor keamanan sebesar 0,8 bertujuan sebagai pengamanan kelestarian produksi dari resiko kesalahan inventarisasi potensi tegakan. Besarnya nilai Fe hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan bervariasi dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya tetapi umumnya menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan nilai Fe yang melebihi 0,7. Hal ini menunjukkan adanya sifat lokalitas dalam Fe yang dapat dicapai. Variasi nilai Fe disebabkan adanya perbedaan topografi, jenis kayu dominan, keterampilan operator dalam kegiatan pemanenan, peralatan dan manajemen perusahaan (Idris dan Endom, 1996), oleh karena itu nilai Fe pada dasarnya tidak dapat diberlakukan sama untuk seluruh perusahaan HPH. Nilai faktor pengaman (Fp) lebih banyak menjadikan kontroversi (Suyana dan Omon, 1998) dan disarankan agar Fp dihapus. Kekhawatiran adanya kerusakan hutan yang cukup besar bila tanpa Fp akan lebih relevan bila memperketat pengawasan pelaksanaan TPTI. Annahar (1997) dalam penelitiannya mencoba menghitung potensi aktual hutan
Ruslim dan Gunawan (2008). Faktor Eksploitasi dan Faktor Pengaman
97
yang didekati dengan penyusunan tabel volume dengan tujuan untuk menghilangkan faktor pengaman. Potensi hutan yang diperoleh dibandingkan dengan realisasi pemanfaatannya untuk memperoleh nilai faktor pemanenan (eksploitasi) yang sebenarnya. Nilai faktor eksploitasi ini diharapkan dapat menghubungkan secara tepat antara potensi hutan dan realisasi pemanenannya. Penentuan JPT berdasarkan nilai Fe dan Fp yang diperoleh dari penelitian di lapangan sangat diperlukan agar terjadi keseimbangan antara rencana dan realisasi produksi berdasarkan rotasi tebang dan dampak lingkungan (Haryono dan Endom, 1995), termasuk pada era otonomi daerah. Sumberdaya hutan pada era otonomi daerah ini dituntut dapat menjadi andalan sumber pendapatan asli daerah (PAD), sehingga pengelolaannya harus dapat menjamin kontinuitas produksi (sustainable yield). Faktor eksploitasi dan faktor pengaman yang berlaku terakhir untuk HPH di Provinsi Kalimantan Tengah ditetapkan berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 811/IV-BPH/1994 tanggal 6 April 1994. Nilai faktor eksploitasi berkisar antara 0,7 dan 0,8 sedang faktor pengaman ditetapkan sebesar 0,8 untuk seluruh HPH. Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan nilai Fe aktual dan menganalisis Fp yang diperoleh dari kegiatan penebangan di areal HPH PT Sarmiento Parakantja Timber (PT Sarpatim). Variabel yang diamati yang diduga berpengaruh terhadap nilai Fe adalah kelas kelerengan, kerapatan tegakan, kelas diameter, jenis pohon, dan penebang. Fp didekati dengan menganalisis realisasi penebangan yang dilakukan. Nilai faktor eksploitasi yang ditetapkan untuk PT Sarpatim saat ini sebesar 0,7. Angka ini tentu saja lebih kecil daripada yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang ada dan menunjukkan tidak adanya peningkatan dari ketetapan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk menegaskan kembali nilai faktor reduksi yang benar-benar dapat menghubungkan secara tepat potensi hutan aktual, efisiensi pemanfaatan hutan, kelestarian produksi dan akhirnya, penerimaan negara yang berasal dari hasil hutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor eksploitasi (Fe) dan faktor pengaman (Fp) di areal HPH PT Sarpatim, Provinsi Kalimantan Tengah. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui besarnya nilai faktor eksploitasi dan nilai faktor pengaman di areal HPH PT Sarpatim. 2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai faktor eksploitasi. 3. Mengetahui dan menganalisis realisasi penebangan di areal HPH PT Sarpatim dalam penerapan faktor pengaman. 4. Mengetahui nilai faktor koreksi dalam perhitungan potensi pohon berdiri. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai realisasi pemanenan dan pemanfaatan kayu di PT Sarpatim, sehingga dapat digunakan untuk menetapkan faktor pemanenan yang aktual dan sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan potensi tegakan atau menekan besarnya limbah penebangan melalui aktivitas perencanaan dan pelaksanaan penebangan.
98
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di areal HPH PT Sarmiento Parakantja Timber (PT Sarpatim) Kecamatan Mentaya Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, pada petak Nomor 126 AD dan 128 AD. Kedua petak tersebut termasuk dalam blok RKT 2002 yang merupakan blok RKL VI (1998–2002) (Anonim, 1998). Objek yang diamati sebagai variabel penduga yang dianalisis dalam penelitian ini adalah potensi tegakan yang akan dipanen, kondisi topografi, kerapatan tegakan, pohon yang ditebang, limbah yang dapat dihindarkan di tempat tebangan sampai logpond, pohon yang tidak ditebang karena pertimbangan tertentu, operator penebangan. Studi ini dititikberatkan pada penentuan faktor eksploitasi (Fe) dan faktor pengaman (Fp). Faktor eksploitasi merupakan tingkat kecermatan eksploitasi, yaitu sebagai perbandingan volume batang yang dimanfaatkan setelah pengujian kayu di logpond, terhadap volume batang bebas cabang yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk industri plywood (kayu lapis). Sampel berupa plot ditempatkan secara purposive berdasarkan pertimbangan: (a) perbedaan kelas kelerengan lapangan (topografi), (b) kerapatan jumlah pohon, (c) masa kerja operator penebangan, (d) kesiapan operator dan peralatan pada kegiatan penebangan dan penyaradan, dan (e) informasi rencana lokasi pembuatan jalan dan TPn. Setiap plot berbentuk persegi dengan ukuran 100x100 m mewakili satu kelas kelerengan lapangan dan kelas kerapatan pohon tertentu yang merupakan 1 unit sampel. Ada 3 kelas kelerengan yang dibuat dengan ulangan sebanyak 3 buah, sehingga terdapat 9 unit sampel dengan luas total 9 ha. Untuk pengolahan data dilakukan perhitungan sebagai berikut: 1. Perhitungan volume a. Volume seksi pohon (Vi) Volume seksi pohon dirumuskan sebagai berikut : Vi = 0,25 x d2 x l yang mana Vi = volume seksi ke-i (m3). = 3,1416 d = diameter rata-rata bontos pangkal dan bontos ujung (m) = (dp + du)/2 l = panjang batang (m) Volume seksi dibagi menjadi 2, yaitu volume dengan kulit dan volume tanpa kulit. Volume dengan kulit dihitung dengan menggunakan diameter batang berkulit (ddk) yang diukur langsung di lapangan, sedangkan volume tanpa kulit dihitung dengan menggunakan diameter tanpa kulit (dtk). Diameter tanpa kulit diperoleh dengan cara sebagai berikut: dtk = ddk (2 x tebal kulit) b. Volume batang yang dimanfaatkan (Vn) Volume batang yang dimanfaatkan (Vn) adalah jumlah volume tanpa kulit dari seluruh seksi sesudah dikurangi sejumlah limbah yang seharusnya dapat dihindarkan di tempat tebangan, TPn, pengangkutan dan logpond. Rumus volume yang dimanfaatkan dituliskan sebagai berikut:
Ruslim dan Gunawan (2008). Faktor Eksploitasi dan Faktor Pengaman
99
Vn = Vlog = Vi - Vw yang mana Vi = volume batang seksi ke-i dalam kondisi tanpa kulit (m3). Vw = volume limbah pemotongan batang (m3). c. Volume pohon aktual (Va) Volume pohon aktual (Va) adalah penjumlahan volume bagian batang dengan kulit dari volume batang bebas cabang yang seharusnya dapat dimanfaatkan atau penjumlahan antara volume seksi ke-i (Vidk) dan volume limbah yang seharusnya dapat dihindarkan (Vw.) dari suatu log bersama dengan kulitnya. Va = Vidk + Vw Rumus untuk menghitung volume limbah adalah: Vw = 0,25 x d2 x l yang mana Vw = volume limbah (m3). d = diameter rataan bontos pangkal dan bontos ujung limbah (m) = (dp + du)/2 l = panjang batang limbah (m) 2. Perhitungan faktor eksploitasi (Fe) Faktor eksploitasi tiap pohon yang ditebang dihitung berdasarkan perbandingan volume pohon yang dimanfaatkan (volume kayu gelondongan sesudah di logpond) terhadap volume bagian pohon yang seharusnya atau diharapkan dapat dimanfaatkan (volume aktual pohon). Rumusnya dapat dituliskan sebagai berikut : a. Fe pohon: Fe(i) = Vn / Va Fe = Fe(i) / n Fe = faktor eksploitasi rataan per pohon Fe(i) = faktor eksploitasi untuk sampel pohon ke-i Vn = volume batang yang dimanfaatkan perpohon dalam keadaan tanpa kulit (m3) Va = volume aktual pohon seharusnya dapat dimanfaatkan dalam keadaan dengan kulit (m3) n = jumlah pohon sampel b. Fe tegakan: Fe(t) = Vn / Va Fe = Fe(t) / p yang mana Fe(t) = faktor eksploitasi tegakan plot ke-t seluas 1 ha. Fe = rataan faktor eksploitasi tegakan per ha. Vn = volume batang yang dimanfaatkan per ha (m3). Va = volume aktual tegakan seharusnya dapat dimanfaatkan (m3). p = jumlah plot. Sebagai perbandingan, perhitungan faktor eksploitasi juga dapat diperoleh melalui persentase limbah, yaitu: 100% (% limbah di tempat tebangan + % limbah TPn + % limbah pengangkutan + % limbah logpond).
100
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
3. Perhitungan faktor koreksi (Fk) Faktor koreksi dihitung dari perbandingan volume aktual pohon yang ditebang dengan volume pohon dalam LHC. Rumus faktor koreksi dapat dihitung sebagai berikut: Fk = Va / Vc yang mana Fk = faktor koreksi. Va = volume aktual pohon yang ditebang atau sama dengan volume aktual yang seharusnya dimanfaatkan (m3). Vc = volume pohon menurut LHC (m3). 4. Perhitungan faktor pengaman Nilai faktor pengaman (Fp) diperoleh dari perbandingan antara jumlah volume realisasi penebangan (Va) dan volume tegakan sebelum dilakukan penebangan (Vst), sedang volume tegakan sebelum penebangan merupakan penjumlahan dari jumlah volume realisasi penebangan (Va) dan jumlah volume tegakan sisa (Vs). Rumus faktor pengaman dapat dituliskan sebagai berikut: Fp = Va / Vst Vst = Va + Vs yang mana Fp = faktor pengaman. Va = volume realisasi penebangan (m3). Vst = volume tegakan sebelum penebangan hasil estimasi (m3). Vs = volume tegakan sisa hasil estimasi (m3). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Faktor eksploitasi tegakan dan limbah eksploitasi Dari hasil pengolahan data, berdasarkan perbandingan rataan volume log yang dimanfaatkan dengan volume aktual dari pohon yang ditebang, nilai rataan faktor eksploitasi (Fe) tegakan yang diperoleh adalah 0,62 dengan nilai minimum 0,22 dan nilai maksimum 0,85. Nilai Fe terendah 0,22 terdapat pada plot II.2 dan nilai tertinggi 0,85 terdapat pada plot III.3. Nilai faktor eksploitasi di atas masih di bawah nilai minimum yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan, yaitu 0,7. Dengan nilai faktor eksploitasi yang relatif kecil tersebut, perusahaan belum berhasil menekan limbah maksimum yang diperkenankan, yang diasumsikan sebesar 30%. Nilai faktor eksploitasi ini juga lebih kecil daripada nilai faktor eksploitasi yang diperoleh dari beberapa hasil penelitian sebelumnya di beberapa HPH, diduga karena nilai Fe yang digunakan dalam perhitungan ini adalah Fe tegakan, yang menyertakan kayu-kayu afkir dan yang tidak disarad dalam proses kalkulasi. Disertakannya kayu-kayu tersebut dalam perhitungan Fe tegakan karena kayu-kayu tersebut termasuk bagian dari potensi tegakan yang sudah diperhitungkan dalam Laporan Hasil Cruising. Jumlah seluruh limbah yang dihasilkan dari kegiatan eksploitasi sebesar 51,93 3 m /ha. Jumlah ini tidak termasuk kulit kayu yang dikupas (debarking) di TPn dan atau di TPK antara, tetapi meliputi kulit kayu yang dipotong waktu proses trimming dan kulit kayu yang tidak disarad yang masih terdapat bersama dengan batang kayunya. Jika didasarkan pada hasil perhitungan menurut tempat terjadinya limbah, maka limbah terbesar terjadi di tempat tebangan, dengan persentase rataan per hektar 90,78%, kemudian limbah di TPn sebesar 8,42% dan limbah di logpond sebesar 0,80%, sedang limbah kegiatan pengangkutan 0% karena tidak ada kegiatan
Ruslim dan Gunawan (2008). Faktor Eksploitasi dan Faktor Pengaman
101
pengujian log di tiap-tiap TPK antara, tetapi hanya kegiatan administrasi pembongkaran, pemuatan dan pengangkutan kayu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor utama yang menentukan nilai Fe adalah pada saat kegiatan penebangan pohon di tempat tebangan. Limbah yang terjadi di TPn tidak disebabkan oleh traktor sarad, melainkan karena belum sempurnanya pemotongan batang di tempat tebangan, baik karena posisi kayu yang sulit dicapai maupun faktor kekurangcermatan. Tingginya persentase kayu growong (termasuk busuk hati), mengindikasikan bahwa cruiser dan penebang masih mengalami kesulitan dalam menentukan secara pasti pohon yang mempunyai persentase tinggi dalam hal cacat growong ataupun busuk hati, terutama bila terhadap jenis kayu keras dan berdiameter besar. Demikian juga dengan jumlah kayu yang tidak disarad oleh faktor keterjangkauan traktor, mengindikasikan masih adanya penebangan pada tempat bertopografi berat, meskipun hal tersebut justru merugikan bagi penebang sendiri karena harus kehilangan sejumlah waktu, biaya dan tenaga tanpa mendapatkan pendapatan dari pohon yang ditebang tersebut (produktivitas penebangan menurun). Hal demikian selain memberi keuntungan kepada operator traktor itu sendiri, juga menguntungkan bagi lingkungan, yaitu tidak menambah keterbukaan hutan dan lahan pada areal bertopografi berat. Oleh karena itu bagi penebang sendiri agar menghindari penebangan pada areal bertopografi berat, sesuai dengan prinsipprinsip pembalakan yang ramah lingkungan (reduced impact logging). Limbah yang disebabkan oleh kesalahan dalam pembuatan takik rebah, takik balas, maupun pemotongan batang memiliki persentase paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi teknik penebangan dan keterampilan penebang sangat baik. Sebagai perbandingan, limbah tunggak yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0,09 m3 per pohon, sedikit lebih kecil dari limbah tunggak yang dihasilkan oleh PT ITCI, Kalimantan Timur, yaitu sebesar 0,10 m3 per pohon (Yusuf, 2000). Pengaruh kelerengan arah rebah, diameter dan kerapatan tegakan sekitar pohon yang ditebang terhadap faktor eksploitasi pohon Analisis varians regresi hubungan antara (a) kelerengan arah rebah, (b) kerapatan tegakan sekitar pohon yang ditebang dan (c) diameter pohon di satu sisi dengan nilai faktor eksploitasi per individu pohon menunjukkan, bahwa nilai significance-F adalah 0,182 atau lebih besar daripada 0,05, artinya pada taraf kepercayaan 95%, peluang nilai-nilai koefisien regresi untuk ketiga variabel bebas di atas sama dengan nol, sangat besar. Nilai P (P-value) koefisien regresi untuk variabel kelerengan arah rebah (b1) sebesar 0,409, variabel Dbh (b2) sebesar 0,034 dan variabel kerapatan pohon (b3) sebesar 0,905. Dengan demikian, selain koefisien regresi untuk variabel Dbh, pada taraf 95%, peluang koefisien-koefisien regresi sama dengan nol, sangat besar, atau koefisien regresi tersebut sama dengan nol. Oleh karena itu tidak dapat dibentuk persamaan regresi untuk hubungan antara nilai faktor eksploitasi pohon di satu sisi dengan kelerengan rebah pohon, diameter setinggi dada dan kerapatan tegakan di sekitar pohon yang ditebang.
102
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
Pengaruh kerapatan tegakan terhadap faktor eksploitasi tegakan Dari hasil analisis varians nilai P lebih besar dari 0,05. Artinya pada taraf kepercayaan 95% tidak ada pengaruh yang signifikan dari kerapatan tegakan terhadap nilai faktor eksploitasi. Hal ini karena tebangan tidak diarahkan pada pohon-pohon berdiameter besar tetapi ke arah pohon-pohon berdiameter kecil (pohon inti) atau tidak masuk kelas kayu tebang. Akibatnya dominasi kayu yang ditebang terhadap kayu berdiameter kecil sangat besar sehingga kerusakan lebih banyak terjadi pada tingkat pohon inti dan permudaan di bawahnya. Dari sketsa arah rebah pohon, terlihat bahwa pada umumnya arah rebah tidak saling menimpa satu dengan lain, kecuali pada plot II.1 karena intensitas tebangan dan kerapatan paling tinggi dengan bentang alam yang memaksa arah rebah pohon menuju satu tempat, tetapi hal tersebut belum cukup mempengaruhi nilai faktor eksploitasi karena adanya kayu growong dan keterjangkauan traktor sarad. Penebangan yang dilakukan secara bertahap juga memberikan peluang yang besar tidak terjadinya saling menimpa antar pohon yang ditebang sehingga dapat menekan terjadinya limbah kayu pecah yang lebih besar. Faktor eksploitasi berdasarkan jenis pohon Perbedaan nilai faktor eksploitasi pohon untuk jenis floater (kayu terapung) dan jenis sinker (kayu tenggelam) berbeda signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Hasil uji t menunjukkan, nilai P(Tt) lebih kecil dari 0,05 dan nilai kritis t lebih kecil dari nilai t hitung, artinya peluang perbedaan nilai rataan antara kedua jenis tersebut tidak sama dengan nol, sangat besar. Dengan demikian, komposisi jenis pohon berpengaruh signifikan terhadap nilai faktor eksplotasi. Nilai rataan Fe jenis kayu floater (0,78) lebih tinggi daripada nilai rataan Fe jenis kayu sinker (0,66). Dengan demikian kelas kuat kayu dalam penelitian ini tidak berbanding lurus dengan nilai faktor eksploitasinya. Ada kemungkinan jumlah sampel jenis kayu sinker terlalu sedikit dibanding sampel jenis kayu floater. Di samping itu jenis keruing yang merupakan kayu sinker pada umumnya tidak berbanir atau berbanir rendah, sehingga dengan teknik penebangan yang menyesuaikan dengan posisi badan penebang, jenis kayu ini lebih sering menghasilkan kelebihan tunggak sebagai limbah daripada jenis lain. Faktor eksploitasi pohon antar penebang Dari hasil uji t terhadap rataan nilai-nilai faktor eksploitasi yang diperoleh dari 2 orang penebang dengan sampel total 54 pohon, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua nilai faktor eksploitasi tersebut. Hal ini ditunjukkan pada uji 2 arah (/2), nilai P(Tt) lebih besar dari 0,05 dan nilai mutlak t hitung lebih kecil dari nilai kritis t. Artinya pada taraf kepercayaan 95%, peluang perbedaan 2 nilai rataan faktor eksplotasi antar penebang tersebut sama dengan nol, sangat besar. Dengan jumlah sampel sebanyak 54, yaitu dengan membuang data dari kayu afkir dan tidak disarad, dengan asumsi tidak ada pengaruh faktor topografi dan cacat kayu, nilai faktor eksploitasi pohon yang diperoleh kedua penebang tersebut mengalami kenaikan cukup tinggi, sehingga dapat dikatakan dari segi teknik
Ruslim dan Gunawan (2008). Faktor Eksploitasi dan Faktor Pengaman
103
penebangan, keterampilan yang dimiliki oleh kedua penebang tersebut cukup baik, meskipun keduanya memiliki masa kerja yang berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan pola pengangkatan operator chainsaw yang selektif, yaitu harus melalui prosedur menjadi helper lebih dahulu sebelum menjadi seorang operator. Berdasarkan hasil pengamatan, teknik yang digunakan oleh penebang dalam upaya mendapatkan volume hasil tebangan yang tinggi adalah sebagai berikut : Penebangan yang dilakukan secara bertahap, yaitu pada saat sebelum dan selama penyaradan untuk menekan limbah kayu pecah yang diakibatkan pohon yang ditebang saling menimpa. Pembuatan takik tebang dan pemotongan batang dilakukan serendah mungkin, terutama pada pohon banir tinggi, sedang pohon banir rendah dan tidak berbanir semata-mata menyesuaikan dengan posisi badan yang paling memungkinkan. Jika ada potongan melebihi batas banir, hal itu karena terdapat cacat growong atau busuk hati, atau faktor cacat bentuk batang. Dengan penerapan teknik tersebut di atas, persentase limbah yang dihasilkan dari kesalahan teknik penebangan (tidak termasuk kesalahan perencanaan penebangan) relatif kecil, yaitu 1,73% dari total limbah. Dengan teknik penebangan yang dikuasai baik oleh penebang, merupakan modal yang sangat penting bagi perusahaan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu melalui penebangan yang terencana dengan berupaya menghindari sumbersumber penyebab limbah yang besar sebagaimana disebut di atas, yaitu (a) topografi berat, (b) pohon growong, (c) intensitas penebangan yang tinggi pada tegakan rapat dan bentang alam yang memaksa arah rebah pada satu tempat sehingga batang kayu rebah saling menimpa, dan (c) permukaan tanah yang tidak rata. Untuk itu perlu dilakukan ujicoba penerapan pemanenan berwawasan lingkungan (RIL = Reduced Impact Logging) yang berintikan pada aktivitas perencanaan dan pelaksanaan pemanenan secara nyata di lapangan (Tinambunan, 1999). Faktor eksploitasi berdasarkan diameter pohon Dari hasil analisis varians dan analisis regresi hubungan antara diameter pohon dengan nilai faktor eksploitasi, pada taraf kepercayaan 95% nilai signifikansi F lebih kecil dari 0,05. Artinya peluang koefisien regresi tidak sama dengan nol sangat besar. Dari analisis ini juga diperoleh nilai b0 = 0,677 dan b1 = 0,001 sehingga terbentuk persamaan regresi sebagai berikut: Y = 0,677 + 0,001 X, yang mana Y = variabel nilai faktor eksploitasi. X = variabel diameter pohon. Koefisien determinasi (r2) yang diperoleh dari persamaan regresi sangat kecil, yaitu 0,079, dengan demikian hubungan antara kedua variabel tersebut lemah, sehingga persamaan regresi yang terbentuk tidak dapat digunakan. Oleh karena itu Endom dan Idris (1996) juga menyarankan, bahwa untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan melalui peningkatan nilai faktor eksploitasi, perlu dihindarkan penebangan pohon berdiameter besar, tetapi diperkirakan sudah mengalami cacat alami. Dari hasil uji t terhadap volume pohon aktual dan volume hasil ITSP diperoleh nilai t hitung lebih besar daripada nilai kritis t atau nilai P untuk uji 2 arah lebih kecil daripada 0,01. Artinya perbedaan rataan volume di atas signifikan pada taraf
104
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
kepercayaan 99% atau sangat signifikan. Hal ini disebabkan dalam metode penaksiran volume hasil ITSP, hasil pengukuran diameter maupun tinggi bebas cabang pohon under estimate. Seperti halnya volume, rataan tinggi bebas cabang pohon dan diameter setinggi dada antara hasil pengukuran aktual dan LHC berbeda sangat signifikan. Disamping itu dalam pengukuran di lapangan diduga diameter pohon sudah diperhitungkan terhadap cacat growong terutama terhadap pohon berdiameter besar, sehingga selisih antara pengukuran aktual dan LHC cukup tinggi. Hal ini diindikasikan dengan adanya pohon layak tebang yang tidak tercantum dalam LHC. Pohon-pohon yang tidak terinventarisasi inilah yang memberi kontribusi besar terhadap akurasi penaksiran volume per hektar. Dalam pengukuran tinggi pohon pihak PT Sarpatim menerapkan tinggi bebas cabang efektif, artinya nilai yang diperoleh merupakan tinggi bebas cabang yang sudah dikeluarkan dari banir dan cacat pohon, bahkan pohon-pohon yang menurut hasil identifikasi cruiser tidak layak tebang. Dari kelima persamaan volume yang diuji, dipilih persamaan yang mempunyai nilai koefisien determinasi terbesar dan galat baku terkecil, sehingga kemudian 2,23815 terpilih persamaan V = 14,54236 D untuk menaksir volume tegakan sisa. Persamaan terpilih memiliki nilai r2 yang tinggi, yaitu 0,936, artinya pengaruh variabel diameter terhadap volume pohon sebesar 93,6% sedang sisanya 6,4% merupakan variabel random yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam regresi. Koefisien korelasi sebesar 0,967, artinya keeratan hubungan antara diameter dengan volume sebesar 0,967. Realisasi pemanenan adalah sebesar 151,87 m3/ha dari total volume tegakan 187,58 m3/ha atau 80,96% dari volume potensi tegakan. Volume tegakan yang ditinggalkan sebagai tegakan sisa sebesar 35,71 m3/ha. Dengan demikian volume pohon yang ditinggalkan sebagai tegakan sisa sebesar 19,04% atau hampir 20%. Artinya tetapan nilai faktor pengaman sebesar 0,8 hampir tercapai. Hasil pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa dari total tegakan sisa, 48,07% merupakan pohon yang diduga growong, 42,08% karena faktor keterjangkauan traktor sarad, 5,82% karena cacat mekanis terutama bagian tajuk dan 4,04% sudah tumbang secara alami. Ada satu hal yang dapat menambah peluang tidak ditebangnya pohon, yaitu tidak dimanfaatkannya peta penyebaran pohon secara nyata oleh penebang pada pelaksanaan penebangan di lapangan. Hal ini disebabkan oleh pohon yang besar growong dan berada di luar jangkauan traktor sarad atau medan berat. Berdasarkan hasil penelitian ini, realisasi penebangan sebesar 151,87 m3/ha dan realisasi pemanfaatan volume sebesar 94,05 m3/ha. Jika dikonversi ke realisasi pemanfaatan volume penebangan selama satu tahun pada blok RKT 2002 seluas 4.700 ha, realisasi pemanfaatan kayu pada blok RKT 2002 sebesar 442.035 m3/th. Volume ini masih lebih tinggi daripada AAC maksimum yang ditetapkan oleh pemerintah kepada PT Sarpatim sebesar 300.000 m3/th. Hal ini mengindikasikan bahwa AAC yang diberikan lebih kecil daripada AAC yang sebenarnya dapat diberikan, karena dalam kegiatan penebangan ini meninggalkan tegakan sisa hampir 20% atau 35,71 m3/ha dari volume aktual potensi tegakan, sebesar 187,58 m3/ha, meskipun tidak melalui perencanaan khusus.
Ruslim dan Gunawan (2008). Faktor Eksploitasi dan Faktor Pengaman
105
Dengan menggunakan metode pengukuran yang memanfaatkan persamaan tarif volume lokal, potensi tegakan dengan diameter 60 cm up di PT Sarpatim ini cukup tinggi. Beberapa penelitian di areal HPH yang lain juga menunjukkan volume potensi yang tinggi, di antaranya: (a) di PT Melapi Timber, Kalimantan Timur sebesar 180,65 m3/ha dengan volume penebangan 126,29 m3/ha (Annahar, 1997), (b) potensi hasil HPH untuk proyek pengembangan KPHP di Kuala Kurun, pernah mencapai 120 m3/ha (Anonim, 1999). Dengan realisasi penebangan sebesar 151,87 m3/ha dan volume pemanfaatan sebesar 94,05 m3/ha, Fe tegakan yang diperoleh adalah 0,62 atau lebih rendah dari nilai yang ditetapkan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh tingginya persentase pengurangan volume kayu yang akan dimanfaatkan akibat (a) kayu growong sehingga dinyatakan afkir (44,14%), (b) kayu pecah (21,89%) dan (c) kayu hasil penebangan yang tidak disarad karena topografi berat (16,65%). Sehubungan dengan peranan tegakan sisa dalam meningkatkan peluang tercapainya kelestarian produksi ini, maka dalam perencanaan penebangan harus dipisahkan antara faktor pengaman dan faktor eksploitasi, masing-masing sebagai faktor reduksi yang independen. Faktor pengaman diperhitungkan dari pohon-pohon hasil inventarisasi yang memiliki potensi pemanfaatan yang rendah. Pohon-pohon yang ditebang hanya pohon yang memiliki potensi pemanfaatan yang tinggi berdasarkan peralatan pemanenan yang tersedia. Oleh karena itu Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan harus dilaksanakan secara tepat, supaya dapat diperoleh akurasi yang tinggi dalam penaksiran potensi volume tegakan yang dapat dimanfaatkan. Untuk menjamin efektivitas dan efisiensi pemanfaatan pohon-pohon yang ditebang dan pohon-pohon yang ditinggalkan sebagai tegakan sisa, perlu dilakukan perencanaan dan pembuatan jalan sarad sebelum pelaksanaan penebangan dan pengawasan secara nyata di lapangan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Nilai faktor eksploitasi (Fe) tegakan pada kegiatan pengusahaan hutan tahun 2002 di PT Sarpatim sebesar 0,62, masih di bawah nilai minimum yang ditetapkan Departemen Kehutanan. Nilai faktor eksploitasi pohon yang dapat diperoleh dari kegiatan penebangan yang direncanakan dengan tepat adalah 0,80. Ada perbedaan yang signifikan antara nilai Fe jenis kayu floater dan jenis kayu sinker. Rataan nilai Fe jenis kayu floater adalah 0,78, sedang jenis kayu sinker adalah 0,66. Faktorfaktor kelerengan rebah pohon, kerapatan individu dan tegakan pohon, kelas diameter dan masa kerja operator penebangan tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai faktor eksploitasi. Faktor utama yang menyebabkan pohon tidak ditebang dan ditinggalkan sebagai tegakan sisa adalah karena diduga cacat growong (alami) dan faktor keterjangkauan traktor sarad, sedang nilainya tidak ditetapkan melalui suatu perencanaan. Nilai faktor koreksi sebagai perbandingan antara volume hasil pengukuran aktual dan hasil ITSP (LHC) adalah 2,26.
106
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 1 (1), APRIL 2008
Persamaan volume yang terbaik untuk pendugaan volume pohon di PT Sarpatim adalah V = 14,54236 D2,23815. Penyebab pengurangan volume kayu yang tinggi sehingga nilai faktor eksploitasi tegakan rendah adalah kayu growong, kayu pecah dan kayu tidak disarad oleh traktor. Nilai faktor eksploitasi dipengaruhi oleh topografi lapangan, dalam kaitannya dengan besarnya persentase kayu yang tidak disarad. Saran Perlu peningkatan kemampuan penebang menerapkan teknik penebangan yang baik, memberi peluang nilai faktor eksploitasi yang dinamis dan meningkat. Sebagai batas produksi maksimum digunakan AAC, karena sudah diperhitungkan dengan faktor kelestarian tegakan. Penanganan limbah tebangan harus dilakukan secara sungguh-sungguh karena volume aktual limbah tebangan relatif besar, baik melalui diversifikasi usaha di bidang perkayuan yang memanfaatkan limbah tebangan, atau untuk membantu kebutuhan kayu lokal. Pada lokasi dengan topografi berat dan tegakan rapat agar dilakukan penebangan secara selektif dan terencana baik dengan memperhatikan keterjangkauan traktor sarad dan peluang arah rebah pohon yang memungkinkan. Oleh karena itu sangat diperlukan perencanaan jalan sarad sebelum dilakukan penebangan. Perlu ditingkatkan kemampuan mengidentifikasi pohon yang memiliki persentase cacat tinggi, seperti growong dan busuk hati, baik bagi tenaga ITSP maupun penebang. Dengan demikian potensi limbah dapat ditekan dan faktor eksploitasi dapat ditingkatkan. Perlu dilakukan penelitian tentang nilai ekonomis minimum yang berlaku untuk tahun yang terakhir dari volume kayu yang dimanfaatkan untuk mengoptimalkan nilai faktor eksploitasi dan nilai faktor pengaman. DAFTAR PUSTAKA Annahar, Z. 1997. Studi tentang Potensi dan Realisasi Pemanenan Hutan Alam dengan Sistem Silvikultur TPTI di Kalimantan Timur. Tesis Program Magister Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Anonim. 1998. Rencana Karya Lima Tahun Pengusahaan Hutan Ke-6 PT Sarmiento Parakantja Timber. PT Sarmiento Parakantja Timber, Jakarta Anonim. 1999. Final Report of the Senior Management Advisory Team and the Provincial Level Forest Management Project. Indonesia Towards Sustainable Forest Management. DFID, Jakarta Haryono dan W. Endom. 1995. Faktor Eksploitasi (FE) untuk Hutan Produksi Alam Lahan Kering. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Bogor. Idris, M.M. dan W. Endom. 1995. Kecenderungan Meningkatnya Nilai Faktor Eksploitasi di Hutan Produksi Alam. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Bogor.
Ruslim dan Gunawan (2008). Faktor Eksploitasi dan Faktor Pengaman
107
Sutisna, M. 1992. Silvikultur Hutan Alam. Buku Pelengkap Kuliah Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Suyana, A. dan M. Omon. 1998. Kajian Penerapan Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Seminar Sistem Silvikultur dan Manajemen Hutan Tropika, 24 Maret 1998. Tinambuan, D. 1999. Pemanenan Hutan Berwawasan Lingkungan: Pengertian dan Peranannya dalam Pengelolaan Hutan Secara Lestari. Info Hasil Hutan Vol. 5 No. 2. Yusuf, A. 2000. Penentuan Faktor Eksploitasi Dalam Hubungannya dengan Kelerengan, Kerapatan Tegakan dan Kelas Diameter di Areal HPH PT Internasional Timber Corporation Indonesia Kalimantan Timur. Tesis Program Magister Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.