MENYELAMATKAN AKAR LAPUK JURNALISME1 Arya Gunawan2 Dalam pertemuan “Teaching Up Date” yang diselenggarakan oleh Program Sarjana Reguler, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Program Sarjana Reguler, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Indonesia tahun 2006, saya mengajukan sebuah preposisi: bahwa pendekatan yang paling penting untuk menggali lebih jauh mengenai “jurnalisme baru” adalah justru “jurnalisme lama”. Disiplin lama di bidang jurnalistik yang semestinya sudah mewaris secara turun-temurun, semenjak jurnalisme bermutu (quality journalism) mulai dipraktikkan oleh para wartawan idealis dan pemilik media idealis, sejak awal abad ke-20. Dengan kata lain, usulan saya waktu itu adalah “untuk menyelamatkan jurnalisme, marilah kita semua berupaya dengan sungguh-sungguh dan sekuat daya upaya untuk kembali ke akar jurnalisme”. Adapun akar jurnalisme adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal berikut ini: Misi utamanya adalah mencerahkan khalayak, dengan niat mengungkapkan berbagai hal yang penting, relevan, dan diperlukan oleh khalayak yang dilayaninya. Untuk mencapai misi ini maka jurnalisme harus terus-menerus menjaga kemampuannya untuk menggugat, bersikap kritis dan skeptis, tak berhenti mempertanyakan segala hal dan keadaaan, dan berpihak kepada mereka yang tak memiliki suara atau yang berada dalam posisi yang “lemah”. Untuk konteks yang terakhir ini, misi jurnalisme adalah “to comfort the afflicted, and to afflict the comfortable” (ungkapan dari Finley Peter Dune, 1867-1936, seorang wartawan Amerika Serikat yang cukup berpengaruh di eranya). Senjata utamanya adalah imparsialitas alias mencoba berada di tengah-tengah. Disiplin yang selalu dijunjung tinggi adalah verifikasi, yakni melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa informasi yang akan disuguhkan kepada khalayak adalah informasi yang benar atau setidaknya paling mendekati kebenaran. Kredo yang dikedepankan adalah hak setiap orang untuk tahu. Dengan kredo ini maka para pelaku jurnalistik akan senantiasa mencoba memberikan yang terbaik yang mereka miliki untuk membayar kembali kepercayaan yang telah disematkan publik kepada mereka, dengan menyajikan informasi, berita, analisis, opini bagi khalayak yang mereka layani, dan pada saat yang sama juga menyediakan panggung bagi publik untuk menyuarakan pandangan mereka. Jika hal-hal ideal yang menjadi dasar atau akar jurnalisme seperti yang disebutkan barusan ini bisa diterapkan dengan baik, maka akan hadirlah jurnalisme yang memberikan sesuatu yang memiliki arti bagi khalayak, bukan jurnalisme yang sekadar ada dan sibuk memburu sesuatu di luar niat mulia untuk mencerahkan khalayak tadi. Jurnalisme yang memberikan arti inilah yang oleh sebagian kalangan – di antaranya para pegiat di PCIJ (Philippines Centre for Investigative Journalism), sebuah organisasi nirlaba di Filipina yang selama satu dasawarsa ini terlibat aktif dalam pemberdayaan media melalui disiplin jurnalisme investigatif – diistilahkan sebagai “journalism with an impact” (jurnalisme yang 1
Makalah ini pernah disampaikan pada kegiatan “Teaching Up Date”, Program Sarjana Reguler, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia tahun 2007. Dimuat dengan pertimbangan relevansi substansi. 2 Arya Gunawan pernah bekerja sebagai wartawan di harian Kompas, 1987-1995, penyiar di Radio BBC London , 1995-2000. Sejak tahun 2000 bekerja sebagai Penanggungjawab Program Pemberdayaan Media UNESCO untuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, dan Brunei Darussalam.
membawa dampak). Ternyata akar yang seyogyanya menjadi pijakan jurnalisme yang ideal sebagaimana yang pernah saya ajukan itu tidak dalam kondisi yang sepenuhnya baik. Akar jurnalisme itu sebagian memang telah melapuk, sebagian tengah dalam proses tergerogoti, dan sebagian lainnya sedang dalam posisi yang berpeluang untuk tergerus oleh berbagai perkembangan yang luar biasa pesat, baik dari dalam disiplin jurnalisme sendiri maupun yang berasal dari luar bidang jurnalisme. Perkembangan ini di satu sisi memang berpeluang untuk diubah menjadi kesempatan, namun pada sisi yang lain menghadirkan situasi yang dapat mengundang keprihatinan. Singkat kata, akar jurnalisme yang seyogyanya akan kita gunakan sebagai landasan itu ternyata sedang dalam keadaan yang lapuk dan goyah, sebagaimana yang akan dipaparkan dalam bagian berikutnya dari tulisan ini. Akar yang tengah lapuk dan goyah itu menuntut perhatian kita bersama, dalam mencari upaya yang paling memungkinkan untuk menyelamatkannya. *** Pedoman apakah yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa akar tempat kita hendak bergantung tadi tengah dalam posisi yang lapuk dan goyah? Salah satu yang bisa kita gunakan sebagai pedoman adalah hasil survai yang dilakukan oleh Committee of Concerned Journalists (CCJ, atau Komite Para Jurnalis yang Prihatin), sebuah lembaga nirlaba di Amerika Serikat yang cukup terpandang di berbagai penjuru dunia. Survai tersebut dilakukan dalam kurun waktu antara 1997-2002, untuk mengetahui apa saja yang sebetulnya diharapkan oleh khalayak dari pekerjaan seorang jurnalis. Studi ini menghasilkan kesimpulan, yang sebagian menjadi dasar disusunnya buku The Elements of Journalism oleh Bill Kovach (yang juga pendiri dan sekaligus ketua CCJ) bersama-sama dengan Tom Rosenstiel. Buku ini menjadi salah satu buku pegangan para jurnalis di banyak negara, mengenai apa yang seyogyanya harus diingat oleh jurnalis dalam menjalankan tugas. Kesimpulan ini diringkas menjadi enam hal utama (versi buku The Elements of Journalism mencantumkan sembilan hal, bukan enam). Keenamnya adalah sb:
Jurnalis harus terus-menerus berburu kebenaran tanpa kenal lelah; Jurnalis harus menunjukkan bahwa kesetiaannya pertama-tama adalah kepada publik; Jurnalis harus menjaga independensinya dari subjek yang tengah mereka liput; Jurnalis harus mengawasi jalannya kekuasaan, dan memberikan suara kepada mereka yang tak mampu bersuara lantang; Jurnalis harus menyediakan forum bagi munculnya kritik dari publik dan forum bagi penyelesaian masalah; Jurnalis harus membuat berita yang proporsional dan relevan
Jika pedoman ini yang hendak digunakan untuk menilai situasi dan kondisi mutakhir di bidang jurnalisme, maka gambaran yang akan kita peroleh tidak terlampau menggembirakan. Betul bahwa tetap bisa dijumpai sumbangsih nyata dari jurnalisme untuk ikut membantu mengingatkan warga dunia tentang berbagai persoalan yang menjadi keprihatinan bersama umat manusia di dunia: mulai dari kerusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim dan pemanasan global, kemiskinan yang masih merajalela, pelanggaran hak asasi manusia. Namun secara keseluruhan, sumbangsih yang terserak-serak tadi seperti tertutupi oleh kecenderungan yang lebih besar yaitu persoalan yang tengah dihadapi oleh dunia jurnalisme itu sendiri. Berbagai kalangan – praktisi, akademisi maupun pengamat – menganggap bahwa jurnalisme dewasa ini tengah mengalami krisis, dan krisis tersebut bisa dijumpai di berbagai penjuru dunia mulai dari negara yang memiliki tradisi
jurnalisme yang panjang dan dianggap maju, sampai ke negara dengan tradisi jurnalisme yang relatif masih singkat. Di Amerika Serikat, misalnya, disiplin jurnalisme tengah dihantui oleh serentetan kasus yang terutama berkaitan dengan persoalan etika, mulai dari kasus individual seperti kasus Jayson Blair yang membuat skandal etika (plagiat dan rekayasa berita) saat dia bekerja sebagai jurnalis di koran New York Times, sampai kepada kasus-kasus yang bersifat kolektif seperti kontroversi di seputar praktik jurnalisme embedded yang dianggap telah mengikis kepercayaan publik terhadap liputan media mengenai Perang Irak, serta juga bias media dalam melaporkan konlfik Israel-Palestina. Di atas ini semua, juga bisa dijumpai kenyataan suram mengenai posisi media AS yang membela begitu rupa, praktis tanpa reservasi, posisi AS dalam “perang melawan terorisme”. Dalam konteks ini, ada baiknya dipaparkan di tulisan ini mengenai betapa akutnya kondisi media AS dalam kaitannya dengan bias yang muncul saat meliput peristiwa-peristiwa dimana AS terlibat secara langsung maupun tak langsung. Salah satu contoh yang paling nyata adalah bias media arus utama di AS dalam melaporkan konflik Israel-Palestina. Sebuah lembaga nirlaba yang berdiri sekitar lima tahun lalu, yaitu If Americans Knew (Andai Saja Warga Amerika Tahu), melakukan pengamatan terus-menerus mengenai sikap media massa di AS ini terhadap konflik Israel-Palestina. Ketua lembaga ini, Nyonya Alison Weir, memaparkan hasil temuan lembaganya di hadapan sekitar 200 peserta Asia Media Summit 2007 yang berlangsung di Kuala Lumpur, akhir Mei 2007, dalam sebuah presentasi yang menyentuh dan mendapatkan sambutan hormat dari para peserta. Menurut lembaga ini, media massa utama di AS berpihak kepada Israel. Ambil contoh kurun waktu antara 29 September 2000 hingga 28 September 2001. Pada periode ini sebanyak 28 anak-anak dari pihak Israel tewas, sedangkan jumlah anak-anak Palestina yang tewas adalah 131. Pada kurun waktu yang sama ini, televisi utama di AS, yaitu ABC, NBC, CBS melaporkan angka yang sama sekali berbeda: jumlah anak-anak Palestina yang tewas dan dilaporkan di media-media tersebut hanya 20 persen dari angka yang sesungguhnya. Bagaimana halnya dengan laporan mengenai anak-anak yang tewas dari pihak Israel? Ternyata ketiga saluran televisi utama tadi melaporkan angka 1,5 kali lebih besar daripada angka yang sesungguhnya. Bagi yang berminat untuk melihat lebih jauh informasi yang disiapkan oleh Nyonya Alison Weir, bisa mengakses ke alamat www.ifamericansknew.org. Secara keseluruhan, di AS publik bersikap skeptis terhadap misi jurnalisme yang diidealisasikan oleh CCJ tadi. Berbagai survai yang dilakukan oleh sejumlah lembaga untuk melihat seberapa jauh media massa dianggap sebagai lembaga yang terhormat dan bisa dipercaya, menunjukkan hasil yang mengundang keprihatinan. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, antara tahun 1985 hingga 2005, publik AS menilai bahwa media massa menjadi kurang profesional, kurang menjunjung tinggi moral, kurang peduli terhadap kepentingan bangsa, dan lebih tidak akurat. Pada saat yang sama, media massa juga dinilai lebih sensasional dan kasar. Salah satu hasil survai, umpamanya, memberikan hasil sebagai berikut: Jumlah warga yang menganggap media benar-benar bersikap profesional menurun dari 72 persen menjadi 49 persen. Jumlah warga yang menganggap media massa menjunjung tinggi moral menyusut dari 54 persen menjadi 39 persen. Jumlah warga yang menilai media massa mencoba menutupi masalah-masalah yang dihadapi di lingkungan internal mereka meningkat dari 13 persen menjadi 67 persen. Jumlah warga yang menganggap bahwa media massa bisa menangkap dan menyajikan fakta secara benar berkurang dari 55 persen menjadi 35 persen. Jumlah warga yang memandang media massa memiliki bias secara politik meningkat dari 45 persen menjadi 59 persen.
Hasil survai ini menunjukkan bahwa warga AS menganggap media massa tidak berhasil mencapai tujuan atau misi utamanya yang mulia. Warga kian merasa bahwa media massa lebih dimotivasi oleh keinginan mengeduk keuntungan besar, atau oleh ambisi pribadi para wartawan. Kasus yang muncul di Inggris – negara lain dengan tradisi jurnalisme yang panjang dan maju – tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di AS. Bulan lalu, BBC melakukan kesalahan yang lumayan melunturkan kepercayaan publik terhadapnya. Dua peristiwa yang menimpa BBC terjadi dalam rentang waktu yang tak terpaut jauh, pada pertengahan Juli lalu. Pertama, BBC ternyata membohongi publik dengan melakukan pemalsuan/rekayasa dalam hal pemenang kuis dan jumlah hadiahnya. Kejadian kedua adalah saat BBC juga dipermalukan karena salah menyebutkan dalam promo program yang ditayangkan bahwa Ratu Elizabeth meninggalkan ruangan dan membatalkan pertemuan untuk sebuah sesi pemotretan; padahal yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa Sang Ratu justru sedang bergerak menuju ke ruangan tempat pengambilan foto akan dilangsungkan. Kasus yang menimpa BBC ini tentu merupakan pukulan cukup berat bagi lembaga yang dikenal mengandalkan mutu, etika, dan profesionalisme itu. Beberapa tahun sebelumnya BBC juga mengalami kejadian yang lebih serius ketika seorang wartawannya salah dalam melaporkan kasus senjata pemusnah massal yang dituduhkan dimiliki oleh Irak. Peristiwa tahun 2003 itu bahkan sampai berujung pada dibentuknya sebuah komisi untuk menyelidiki kasus pelanggaran etika sekaligus pelanggaran profesionalisme BBC tersebut. Setidaknya tiga orang penting BBC harus rela terdepak dari posisi mereka. “ Ada persoalan serius yang terkait dengan merosotnya standar di industri media yang mendesak untuk dicarikan solusinya,” kata Aidan White, Sekjen International Federation of Journalists (IFJ). “Jika sebuah lembaga yang berada di barisan terdepan seperti BBC mengalami guncangan, maka hanya sedikit orang yang ragu bahwa krisis mengenai mutu seperti ini sudah terjadi secara mendalam dan meluas.”
*** Selain sejumlah persoalan yang terkait dengan aspek etika (termasuk di dalamnya juga sikap bias seperti yang ditunjukkan dengan nyata oleh lembaga If Americans Knew) dan profesionalisme sebagaimana yang disebutkan di atas, persoalan lain yang juga menghantui jurnalisme belakangan ini adalah kecenderungan yang kian menguat dalam hal konsolidasi kepemilikan media. Ini juga mengundang keprihatinan serius di kalangan para pemerhati media, karena konsolidasi bisa mengarah pada monopoli kepemilikan, yang berpotensi mengurangi keberagaman isi media. Salah satu kejadian yang paling mutakhir – terjadi akhir bulan Juli lalu -- berkaitan dengan konsolidasi kepemilikan media ini adalah pembelian Dow Jones oleh perusahaan News Corporation milik Rupert Murdoch. Rupert Murdoch, sang mogul media yang seperti tak pernah puas mengembangkan “kekaisaran” medianya itu, membeli Dow Jones dengan harga 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 45 triliun. Bandingkan dengan alokasi APBN Indonesia 2008; Departemen Pekerjaan Umum merupakan departemen dengan anggaran belanja tertinggi, yaitu Rp 30,77 triliun, masih lebih rendah dari nilai transaksi Murdoch-Dow Jones ini). Transaksi ini sekaligus menandai terjadinya perubahan besar dalam perusahaan media yang mengkhususkan diri pada liputan di bidang bisnis dan keuangan itu, yang didirikan 125 tahun lalu (tahun 1889) oleh Charles Henry Dow dan Henry Davis Jones. Selama 105 tahun terakhir ini, perusahaan tersebut dikendalikan oleh keluarga Bancroft Peristiwa pembelian Dow Jones oleh Murdoch ini menjadi pembicaraan hangat di dunia industri media sejak tiga bulan sebelumnya, dan
mencapai klimaksnya ketika kesepakatan tersebut diumumkan secara resmi kepada publik di akhir Juli lalu. Hampir semua media besar di berbagai pojok dunia menjadikannya topik liputan. Koran Asian Wall Street Journal yang menginduk kepada Dow Jones, dalam edisi Kamis, 2 Agustus lalu, memuat 4 tulisan di rubrik News In Depth-nya, ditambah dengan satu tulisan di ruang editorial/tajuk rencana (diberi judul “A New Owner”, menunjukkan bahwa AWSJ telah beralih ke pemilik baru, yaitu Murdoch), ditambah pula satu tulisan dari Gordon Crovitz selaku pihak penerbit AWSJ. Tajuk rencana AWSJ di edisi tersebut berisi pesan dari pengelola AWSJ bahwa pembelian koran tersebut oleh Murdoch tidak akan mengubah standar-standar editorial yang selama ini diterapkan di sana. Ini memang menjadi isu utama di kalangan industri dan pelaku media, yang menganggap bahwa masuknya Murdoch akan berpeluang melunturkan tradisi jurnalisme yang berlaku di AWSJ. Pandangan seperti ini dihembuskan oleh, antara lain New York Times dan Financial Times, dua media yang menjadi pesaing utama AWSJ. Kelompok kiri juga mendukung kecurigaan ini. Tajuk rencana AWSJ tersebut tampak sekali mencoba memberikan pembelaan bahwa masuknya Murdoch tidak akan membahayakan posisi kemerdekaan editorial mereka. Lihatlah misalnya kalimat keras di tajuk tersebut, “ Benar, kami semua mesti menyesuaikan diri dengan cara-cara baru khalayak pembaca dalam menerima berita-berita bisnis dan politik. Namun menyatakan bahwa AWSJ akan berhenti menjadi sumber berita yang bisa diandalkan untuk berita-berita bisnis dan politik, sama artinya dengan melecehkan integritas sekitar 700-an karyawan profesional yang bekerja di AWSJ.” Kesepakatan pembelian Dow Jones oleh Murdoch ini, ditandai pula oleh kesepakatan yang disebut sebagai “kemerdekaan editorial”, antara Murdoch dan keluarga Bancroft selaku pemilik lama. Menurut tajuk rencana tadi, “kesepakatan ini bukanlah dimaksudkan untuk menjadi semacam tameng yang melindungi para editor AWSJ dari pemilik baru”. Justru kesepakatan tersebut merupakan ungkapan niat Murdoch untuk mempertahankan nilai-nilai dan integritas AWSJ. Undangan dari Murdoch kepada seorang anggota keluarga Bancroft untuk duduk di jajaran dewan News Corp. (induk perusahaan Murdoch), menurut tajuk AWSJ, merupakan cermin niat baik dari Murdoch. Jika dalam acara seminar tahun 2006 makalah saya menyebutkan bahwa Murdoch merupakan salah seorang mogul media yang dengan kesadaran penuh ingin memanfaatkan berbagai cara untuk melakukan konvergensi di bidang media, entah lewat ekspansi dari segi kepemilikan, maupun lewat penggunaan berbagai outlet/saluran yang tersedia untuk menjangkau sebanyak mungkin khalayak, maka pendiriannya itu ditunjukkannya dengan nyata dalam proses transaksi pembelian Dow Jones ini. Koran AWSJ edisi 2 Agustus itu juga menyebutkan secara eksplisit bahwa fokus utama Murdoch dalam kaitan dengan Dow Jones yang baru dibelinya itu adalah bidang pengembangan sektor web-nya. “Bulan Juni Murdoch mengatakan bahwa dia akan menanamkan investasi di bidang operasi digital Dow Jones, antara lain termasuk MarketWatch (situs yang menampilkan pergerakan harga bursa saham dunia), dan situs Web koran AWSJ yang dikhususkan hanya bagi pelanggan yang membayar.” Langkah Murdoch ini sekaligus membawa perubahan pada peta konglomerasi media. Gabungan nilai pasar perusahaan Murdoch News Corp. dan Dow Jones menjadi sbb: News Corp. 69,2 milyar dollar AS, dan Dow Jones 4,9 milyar dollar AS. Gabungan keduanya menjadi 74,1 milyar dollar AS, menempatkannya pada posisi ketiga dari perusahaan media terbesar di dunia, di bawah Google Inc. (dengan nilai pasar sebesar 161 milyar dollar AS, dan Time Warner (81,7 milyar dollar AS). Pembelian AWSJ oleh Murdoch ini mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak dalam industri media, sebagian besar berisi kritik keras yang menentang langkah Murdoch
itu. Para pengkritik ini tidak begitu saja mempercayai apa yang dituliskan oleh AWSJ dalam serangkaian laporannya, termasuk surat kepada pembaca, sebagaimana yang disebutkan di atas. Para pengkritik ini menilai, selama ini AWSJ dikenal sebagai media yang independen, dan dipandang oleh banyak pihak sebagai salah satu sumber informasi yang bisa diandalkan dalam informasi/berita yang berkaitan dengan dunia bisnis. Pada saat yang sama AWSJ juga memainkan perannya sebagai pengawas yang kritis terhadap perilaku dan sepak terjang para pelaku dunia usaha. (Namun untuk bidang politik, AWSJ condong membenarkan posisi pemerintah Bush dengan kebijakan “perang melawan terorisme”-nya). Manuver Murdoch ini dapat mengarah kepada monopoli kepemilikan media, dan iklim yang monopolistik merupakan sebuah situasi yang tidak menguntungkan bagi demokrasi. Sebab monopoli media dapat mengarah pada monopoli informasi yang pada gilirannya akan mengurangi pilihan-bebas yang dimiliki oleh warga negara. Kondisi semacam ini tentu dapat mengancam keberadaan demokrasi, atau setidaknya dapat menggerus pilar demokrasi karena warga negara tidak memiliki pilihan yang beragam yang dapat mereka gunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil sebuah keputusan penting yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kehidupan mereka. Murdoch sudah lama menjadi pusat perhatian karena banyaknya media yang dia miliki, mulai dari Inggris (setidaknya dia memiliki enam media outlet di sana, mulai dari koran, radio, televisi dan media online), AS, hingga Hong Kong dan Australia (negara asal Murdoch), bahkan sampai ke Indonesia lewat keterkaitannya dengan stasiun televisi ANTV. Sudah lama pula Murdoch menjadi sasaran kritik atas sepak terjangnya yang terlihat amat ekspansif itu. Ini memang menjadi kekhawatiran yang cukup beralasan, karena banyak pakar dan periset yang melihat betapa nilai-nilai editorial yang independen, dan integritas para editor serta wartawannya dapat pula terpengaruh. Para pengkritik ini mengkhawatirkan Murdoch akan campur tangan terlampau jauh dalam pengelolaan AWSJ, sehingga akan dapat berpengaruh terhadap kemerdekaan editorial jajaran redaksi. Di antara jajaran para pengkritik itu termasuk mantan Senator John Edwards, yang tiga tahun lalu menjadi calon wakil presiden dari Partai Demokrat, berpasangan dengan John Kerry sebagai calon presidennya. “Landasan dari sebuah demokrasi yang kuat dimulai dan diakhiri dengan hadirnya media yang kuat, tidak bias, dan jujur – semua kualitas ini sulit untuk dilekatkan pada Fox News dan News Corp. Warga AS membutuhkan lebih banyak media, bukannya lebih sedikit. Inilah waktunya bagi seluruh anggota Partai Demokrat, termasuk mereka yang mencalonkan diri untuk jabatan Presiden, untuk berdiri dan bersuara melawan merger ini dan bentuk lainnya konsolidasi di bidang media,” demikian pernyataan John Edwards. Fox News adalah saluran televisi di AS yang dinilai oleh banyak orang condong membenarkan sepak terjang pemerintahan Bush. News Corp. adalah perusahaan induk bisnis media milik Murdoch. *** Apa yang terjadi di AS dan Inggris sebagaimana yang dikemukakan dalam contohcontoh di atas, juga ditemui di berbagai pojok dunia lainnya. Indonesia tak terkecuali. Persoalan etika dan profesionalisme yang terjadi di Inggris sudah merupakan sesuatu yang bisa disebut akut di Indonesia. Di mata sebagian besar media yang ada di Indonesia, etika tampaknya tak lagi menjadi prioritas yang harus dijunjung tinggi. Penelitian kecil-kecilan yang dilakukan oleh seorang kawan bahkan memperlihatkan kenyataan yang lumayan ironis: tak sampai seperempatdari jumlah jurnalis yang disurvai, pernah membaca panduan Kode Etik Jurnalistik yang baru, yang disusun pada bulan Maret 2006. Persoalan pengerucutan kepemilikan media – tentu saja dalam skala yang jauh lebih kecil dari apa yang dilakukan
Murdoch terhadap Dow Jones -- juga sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir ini; jumlah pemain besar di bidang industri media juga kian mengerucut. Persoalan yang ada di Indonesia menjadi lebih rumit dibandingkan dengan apa yang terjadi di AS atau Inggris, antara lain karena masih rendahnya tingkat pendidikan umum rakyat Indonesia (apalagi jika sudah berbicara mengenai literasi media), kesejahteraan dan jaminan yang masih jauh dari memadai yang diterima oleh jurnalis di Indonesia, dan korupsi yang merajalela sehingga ikut mengimbas kepada para pekerja media. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak media di Indonesia melakukan berbagai praktik tak terpuji, mulai dari menerima amplop, menjual halaman atau jam siar kepada pihak penguasa dan atau pengusaha, sampai kepada tindakan yang dapat digolongkan sebagai pemerasan. Singkat kata, jurnalisme di Indonesia masih menghadapi persoalan utama yang terkait dengan dua pilar utama yang menopang jurnalisme, yakni pilar etika dan pilar profesionalisme Dari sisi profesionalisme, dengan mudah kita jumpai produk jurnalistik yang masih jauh dari standar yang semestinya. Profesionalisme dalam hal ini adalah kemampuan dan keterampilan: menangkap isu penting (nose for news, yang merupakan perpaduan dari aspek ketajaman analisis, kekayaan jejaring/networking, dipadukan dengan intuisi), merancang liputan, menggali bahan dari lapangan (termasuk pengolahan tempat kejadian sebuah berita, menentukan, menemui, dan mewawancarai narasumber), lalu menuliskan bahan-bahan ini sampai menjadi produk yang siap disajikan ke khalayak, dengan misi utama memberikan pencerahan kepada mereka. Salah satu indikator berita yang memiliki kemampuan mencerahkan tadi adalah bahwa berita tersebut mampu menjawab hampir seluruh pertanyaan atau rasa ingin tahu yang mungkin ada di benak pembaca/pemirsa. Dengan kata lain: tiada lagi lubang yang menganga yang menimbulkan rasa penasaran dari khalayak. Justru di sanalah masalah utamanya. Banyak peristiwa penting yang tidak digarap tuntas oleh media, dibiarkan menggantung untuk kemudian menguap terlupakan. Ambil contoh kasus kebijakan mengganti bahan bakar minyak tanah dengan gas. Bagaimana lahirnya kebijakan ini; apa saja langkah yang telah disiapkan pemerintah; siapa yang merakit kompor gas dan tabung gas baru yang kemudian dibagi-bagikan secara gratis kepada warga; berapa harga proyek perakitan tersebut; mengapa tak ada tindakan tegas setelah muncul keluhan mengenai mutu kompor dan tabung gas sehingga mengakibatkan sejumlah kasus ledakan dan kebakaran; bagaimana mengatasi kelangkaan pasokan minyak tanah hingga menyusahkan para pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidup mereka dari berjualan minyak tanah. Semua pertanyaan ini tak terjawab. Hingga kini. Media di Indonesia belum menjalankan fungsinya secara tuntas dan memuaskan, secara umum dan apalagi jika sudah dikaitkan dengan liputan-liputan yang bermuatan investigasi. Beberapa media memang sudah memperlihatkan niat yang sungguh-sungguh untuk menjalankan fungsi ini dengan lebih maksimal, sebuah upaya tentunya layak mendapat dukungan dan penghargaan. Namun jumlah media yang masuk dalam kelompok ini masih jauh dari memadai. *** Dapatkah perkembangan dan kemajuan di bidang teknologi mengatasi persoalanpersoalan yang masih menghantui disiplin jurnalisme sebagaimana yang dipaparkan di atas, termasuk juga yang dihadapi di Indonesia? Perkembangan teknologi informasi yang membawa akibat hadirnya konvergensi, merupakan suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Blog, videoblog, podcasting adalah beberapa unsur dari konvergensi tersebut. Dalam proses itu, berita dan informasi tak lagi hanya menjadi monopoli para jurnalis di lapangan, melainkan dapat diproduksi pula oleh warga biasa. Inilah yang melahirkan istilah “media
warga” (“citizen journalism”). Bagi mereka yang berpandangan optimis, berbagai perkembangan teknologi ini akan membuat masa depan jurnalisme menjadi lebih cerah. Teknologi telah memperluas akses khalayak terhadap keragaman jurnalisme. Munculnya “media warga” (“citizen media”) membuat khalayak memiliki kemungkinan untuk bertindak sebagai sumber berita, dan bukan sekadar menjadi konsumen dari berita-berita yang diproduksi oleh lembaga media. Teknologi digital juga memungkinkan terbukanya banyak cara untuk menjangkau khalayak; dengan kata lain hambatan yang harus dihadapi oleh khalayak dalam mengakses berita menjadi lebih sedikit. Dengan berkembang pesatnya blog, kian bertambah pula jumlah orang yang mengawasi keakuratan data dan fakta yang disajikan oleh media massa. Munculnya peluang untuk melakukan liputan yang menggabungkan jurnalis profesional dengan mereka yang amatir (yang selama ini aktif menulis blog). Meningkatnya pendapatan dari iklan yang dipasang di media online. Tulisan ini menyikapi semua perkembangan teknologi ini dengan hati-hati bahkan berwaspada. Sebab, bukan tidak mungkin perkembangan tersebut justru akan menghadirkan berbagai dampak yang tak begitu menggembirakan bagi perkembangan jurnalisme. Berbagai gejala yang mengarah ke dampak negatif seperti ini juga mulai terlihat. Kemajuan teknologi sejauh ini lebih banyak muncul dalam bentuk kecepatan dan jumlah berita/informasi yang disampaikan kepada khalayak, namun belum banyak berimbas pada peningkatan mutu. Lebih dari itu, kemajuan di bidang teknologi yang dimiliki oleh lembaga media, kerapkali dikompensasikan dengan hal-hal berikut ini: a) semata-mata hanya mengejar kecepatan dan keluasan daya jangka berita, namun mutu masih terabaikan karena persaingan lebih bertumpu pada keinginan untuk berpacu siapa cepat di kuat. Akibat dari kondisi ini, berita yang diproduksi lebih pada hal-hal yang remeh-temeh. Kemudian, b) akan terjadi pengurangan jumlah staf (ingat bahwa teknologi cenderung tidak padat karya) dan pengurangan jumlah alokasi dana untuk pengembangan kualitas produk jurnalistik, khususnya berita investigatif. Teknologi memang sesuatu yang penting dan diperlukan. Namun ia bukan tujuan, ia bukan segala-galanya. Jika teknologi ini diibaratkan sebagai “gun” atau senjata, maka yang jauh lebih penting lagi adalah “the man behind the gun” tadi. Dalam konteks inilah pendidikan jurnalisme mencuat sebagai sebuah hal yang krusial dan mendesak untuk dikedepankan, karena ia merupakan salah satu hulu dari proses dilahirkannya seorang jurnalis. Tentu saja upaya yang dilakukan di wilayah pendidikan jurnalisme ini harus dilakukan bersama-sama dengan upaya di luar pendidikan, misalnya kesungguhan perusahaan media untuk memperhatikan kesejahteraan wartawan, pemantauan rutin yang dilakukan oleh Dewan Pers dan lembaga-lembaga independen pemantau media untuk melihat seberapa etis dan profesional sepak terjang media, pemberdayaan masyarakat di bidang literasi media, kesungguhan asosiasi jurnalis untuk menjadikan dirinya sebagai wadah yang benar-benar bermanfaat bagi para anggota. Keprihatinan akan pentingnya aspek pendidikan ini bahkan sudah menjadi sesuatu yang global, ditandai antara lain dengan keterlibatan lembaga internasional seperti UNESCO yang mengambil prakarsa di akhir tahun 2005 untuk mengumpulkan 16 praktisi, pakar, akademisi dari berbagai penjuru dunia untuk merumuskan panduan mengenai pendidikan jurnalisme. Acara ini berpuncak dengan tersusunnya sebuah buku berjudul “Model Curricula for Journalism Education for Developing Countries and Emerging Democracies”. Keprihatinan serupa juga dirasakan oleh Asosiasi Pendidikan Jurnalisme dan Komunikasi (AEJMC, Association for Education in Journalism and Mass Communication), dan semua pihak ini bersama-sama terlibat dalam sebuah konferensi yang baru pertama kalinya terselenggara dalam skala internasional, yaitu Kongres Dunia Pendidikan Jurnalisme, yang berlangsung di Singapura, akhir Juni lalu. Di forum ini pula buku panduan UNESCO yang disebutkan di atas tadi diluncurkan secara resmi.
Tulisan ini akan mengutip salah satu konsepsi yang ditawarkan oleh Model Kurikulum yang disusun oleh 16 pakar yang difasilitasi oleh UNESCO itu, yaitu bahwa pendidikan jurnalisme umumnya disusun di seputar tiga poros atau garis pengembangan kurikulum, yang meliputi: a) Poros yang mencakup norma-norma, nilai-nilai, perangkat keterampilan, standard dan praktik dalam jurnalisme. Ini akan membuat para peserta pendidikan dapat melaporkan, menulis dan mengedit; b) Poros yang mencakup studi mengenai posisi/hubungan jurnalisme dan masyarakat baik nasional maupun internasional, kaitan antara jurnalisme dan demokrasi. Ini akan membangun landasan bagi peserta pendidikan untuk memahami peran jurnalisme dalam kaitannya dengan kemanusiaan; c) Poros yang mencakup pengetahuan mengenai dunia secara keseluruhan dan tantangan intelektual yang dihadapi oleh jurnalisme. Ini akan membuat peserta pendidikan memiliki pemahaman mengenai situasi dunia, dan menyadari bahwa jurnalisme bukanlah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Peserta didik juga akan menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan yang menanti di luar. Poros pertama agaknya merupakan poros yang menjadi landasan utama, karena di sanalah akan dibangun kemampuan memahami dan menerapkan etika (yang merupakan jiwa dari jurnalisme), dan keterampilan profesional (yang merupakan otak dari jurnalisme). Perpaduan jiwa dan otak ini akan menghasilkan seorang jurnalis yang mampu menjalankan tugas sehari-harinya dalam merancang liputan, menggali informasi, mewawancarai narasumber, melaporkan dari lapangan, lalu menulis dengan baik. Di antara sejumlah keterampilan ini terdapat pula keterampilan menggunakan bahasa yang merupakan tulang punggung nan penting pula, ibarat senjata atau amunisi yang harus selalu tersedia jika ingin memenangkan pertempuran. Dalam hal ini pertempurannya adalah pertempuran untuk memenangkan khalayak pembaca/pemirsa melalui proses pencerahan yang menjadi misi utama jurnalisme. Singkat kata: etika dan bahasa seyogianyalah mendapatkan tempat dan perhatian yang serius dalam proses pendidikan jurnalisme nantinya. Ketiga poros inilah hendaknya yang perlu segera dipikirkan penerapannya secara rinci oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang memiliki jurusan jurnalisme, bersama-sama dengan lembaga-lembaga pelatihan di bidang jurnalisme. Sebuah wadah yang telah terbentuk untuk Indonesia, beranggotakan lebih dari 40 lembaga pendidikan jurnalisme yang berkumpul di Yogyakarta pertengahan April lalu, dipelopori oleh Departemen Ilmu Komunikasi Program Sarjana Reguler, Universitas Indonesia dan didukung oleh UNESCO Jakarta, agaknya perlu mengambil sejumlah langkah lanjutan setelah pertemuan Yogyakarta. Waktunya memang sudah cukup mendesak, dan tantangannya memang tidak main-main: yaitu bagaimana meracik obat yang tepat dan menggalang upaya kolektif untuk menyelamatkan akar jurnalisme yang tengah lapuk dan goyah ini. ***