LAPORAN HASIL PENELITIAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN PASAL 36 AYAT (1)b TERHADAP PENEGAKAN KEADILAN BAG1 WAJIB PAJAK (PT. SENTRALWANA ALBASIA WOOD WORKING)
PELAKSANA: Dr. Suparmin, SH., M.Hum/ NPP : 09.06.1.0174 BENNY GUNAWAN 1NIM : 1 170 10552
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG 2014
KATA PENGANTAR
Assalamu 'alaikum Wr Wb Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq serta hidayahNya bagi kita. Shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta segenap keluarga, para sahabat dan kita semua. Amin. Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan kegiatan penelitian mengenai "Irnplementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi Dan Informasi Hukum Nasional (Studi Kasus : Pusat Dokumentasi Dan Informasi Hukum Kota Semarang)" Adapun sasaran penelitian terhadap pejabat pemerintahan di Pemerintah Kota Semarang Harapan atas kegiatan penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk mengatasi permasalaan hambatan penanggulangan kemiskinan tersebut. Kegiatan ini dapat terlaksana berkat kerja sama Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang dengan dosen Fakultas Hukurn Universitas Wahid Hasyim Semarang. Dukungan dan bantuan dari semua pihak sungguh sangat berarti bagi suksesnya kegiatan ini. Semoga kegiatan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penyidik, mahasiswa dan pihak-pihak yang berkepentingan. Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu pelaksanaan kegiatan ini.
Wmsalamu 'alaikum Wr Wb Semarang, 09 Januari 2014 K d m Pelaksana
NPP 09.06.1.0174
DAFTAR IS1 HALAMAN JUDUL .........................................................................................................
i
..
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................................... u
KATA PENGANTAR ..........................................-...........................-..-..--.... ...........---....-a iv DAFTAR IS1................................................................. .
BAB I
-..---...-...---------v'
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernasalahan ................................... .... ..............
1
B. Identifikasi Masalah ................... . . .......as...-.as....--.............. . 7 C. Ruang Lingkup ..................... ..-..................... ..... .. . . . . . ...
8
D. Rumusan Masalah ...................... ..-...-........-...... - ... . . .. .. ..........
8
E. Tujuan dm Manfaat Penelitian .............................................. 8
F. Sistematika Pembahasan .-........-.......... ....... .-..... ... . . ........
9
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A Tinjauan Pustaka ..................................................................
11
3 . UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal36 ayat (2) ................ 12 4 . Teori-teori Keadilan ..................................................... ........... ........................................ B. Kerangka Pemikiran .................... . . .
16 28
BAB m METODE PENELITIAN A. Obyek Penelitian ..........................................................................
B. Tahaptahap Penelitian ................... ........
30
........................... 30
C. Telcnik Pengumpulan Data ......................................................
32
D. Teknik Analisis Data .....................................................................
34
BAB IV ANALBIS DAN PEIWBAHASAN A. Latar Belakang Perusahaan ..........................................................
37
B. Pembahasan Masalah ................... . . ...... . ................................. 41 C. Hasil Penelitian ........-....................................................................
57
BAB V KE!3IMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ...............................................................................................
74
2. Saran ............................ . . ........................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.
Tabel Penerimaan Pajak...............................................................
1
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.
Skema Kerangka Pemikiran........................... ...................... 29
Gambar 4.1. Kronologi Gugatan......................................................................
49
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu negara yang menganut sistein inekanisine pasar, termasuk mekanisme pasar terkendali seperti Indonesia, pajak merupakan
"
instrumen
"
pemerintah yang sangat vital dan strategis. Dengan uang pajak , pemerintah dapat melaksanakan
pembangunan,
mengerakkan
roda
pemerintahan,
mengatur
perekonomian masyarakat dan negara. Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan bagi Negara Indonesia sangatlah penting, ha1 ini tercennin dari prosentase penerirnaan dari sektor pajak pada APBN di Indonesia dari tahun ke tahun semakin besar, sesuai dengan tabel sebagai berikut: Tabel 1.1 Tabel Penerimaan Pajak Tahun
Penerimaan Pajak
Penerimaan Lainnya
Jurnlah APBN
% Penerimaan Pajak
2007
490.988,6
215.119,7
706.108,3
70,7
2008
658.700,8
3 20.604,6
979.305,4
71,9
2009
725.843,O
258.943,6
984.786,5
76,9
2010
729.165,2
180.889,O
910.054,3
73,l
2011
850.255,5
280.678,2
1.130.933,7
75,2
2012
1.016.237
341.143
1.357.380
76,4
2013
1.192.994
332.196
1.525.190
78,2
Pada APBN
Penerimaan Negara dari sector pajak mempunyai nilai lebih dibandingkan peneriinaan dari sektor lainnya karena penerimaan dari pajak bersifat penerimaan dari warganegara dan orang asing yang dipungut berdasarkan undang-undang sehingga bebas dipergunakan, bersifat sah, berbentuk tunai, bukan utang sehingga tidak ada bunga atau beban atau perikatan apapun. Dikurnpulkan Negara dari rakyatnya dan mereka yang memperoleh penghasilan dari asset yang berada di Negara tersebut. Bersifat tunai siap dibelanjakan kembali untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah. Oleh karenanya pajak menjadi sumber utama penerimaan Negara, dan pajak di Indonesia telah beberapa kali dilakukan revisi, perbaikan, agar mampu setiap tahun meningkat sesuai dengan kebutuhan pengeluaran pemerintah. Setiap tahun pemerintah menyiapkan anggaran keuangan yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja yang mempunyai fungsi sebagai kebijakan keuangan pemerintahan dalarn memperoleh dan mengeluarkan uang yang digunakan . ..,
untuk menjalankan pemerintahan. Anggaran ini memperlihatkan jumlah pendapatan dan belanja yang diantisipasikan dalam tahun berikut. Dalam unsur pendapatan yang paling utama dan penting adalah pendapatan yang berasal dari pajak, selain dari pada itu berasal dari sumber lain yang dinamakan "Pendapatan Negara Bukan Pajak" (PNBP) dan hibah. PNBP merupakan pendapatan negara yang paling banyak jenisnya termasuk yang dinamakan "retribusi." Lebih 50% dari PNBP berasal dari pendapatan minyak bumi dan gas. Dari sejak dulu peran minyak bumi sangat besar pada pendapatan APBN di Indonesia.
Penjualan kekayaan atau aset negara, termasuk hasil privatisasi perusahaan milik negara, sewa dari aset negara, hasil sitaan, denda, laba perusahaan milik negara, dsb. hanya sebagian dari jenis PNBP. Oleh karena penataan dari PNBP yang jenisnya banyak sekali dapat diperkirakan bahwa baru sebagian yang dapat dimasukkan sebagai pendapatan. Dalam kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan, pajak memiliki fungsi-fungsi yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makrnur secara merata. Fungsi
-
fungsi tersebut adalah budgeter /
finansiul yang memberikan masukan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara dan
fungsi regulerend 1 ~nengaturbahwa pajak sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun politik. ( Erly Suandy, 2002 : 13 ) Adam Smith dalam bukunya An Inquire The Nature and Cause of the Wealth of
Nations mengemukakan empat prinsip pokok yang hams di perhatikan dalam pemunggutan pajak yaitu : keadilan (equity), yuridis (certaintyl, ekonomis dan efesiensi (convenience of payment). Bahwa penggenaan pajak jangan sarnpai mematikan atau memberatkan dunia usaha justru makin memotivasi berkembangnya ekonomi suatu Negara. Menurut Staf Ahli Tenaga Pengkajian Bidang Pengawasan dan Penegakkan Hukum Dirjen Pajak Djangkung Soerjawadi bahwa upaya yang telah dilakukan untuk memaksa wajib pajak membayar pajak dengan diterapkanya paksa badan ( gijzeling )
terhadap waiib pajak yang tidak kooperatif contoh seorang importir dari PT. EI Jakarta dan M. Greenswood seorang warga negara Inggris. ( Media Indonesia , 1 4
Pebruari 2004 ) Terhadap wajib pajak yang melakukan penghindaran diri dari kewajiban pajak dengan cara penyelundupan ( tax evasion ) terhadap perbuatan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut atau tidak membayar bea masuk dengan cara suatu perbuatan yang tidak benar, atau memberikan data-data tidak benar ( vide keterangan palsu pada dokumen ) maka tindakan ini merupakan pelanggaran undang undang dalam bentuk tindak pidana. Pajak menjadi sokoguru penerimaan Negara, dan oleh karenanya pengawasan pemungutan maupun penggunaan uang pajak inenjadi sangat penting untuk disterilkan dari hal-ha1 yang bersifat negatip seperti adanya KKN, seperti uang pajak yang seharusnya masuk ke Negara menjadi masuk ke kantong oknum petugas pajak atau masuk ke kantong wajib pajak karena penghndaran atau manipulasi dengan penyelewengan tidak membayar pajak sebagaimana semestinya. Alubat dari penyelewengan uang pajak di Indonesia diperkirakan sangat besar dari keadaaan sekarang, atau potensi penerimaan pajak di Indonesia diperhrakan seharusnya dapat ditingkatkan apabila pemerintah dengan serius membenahi sumber-sumber kebocoran penerimaan pajak melalui cara yang lebih efektif dan efisien Pembangunan nasional merupakan sarana untuk meningkatkan kemampuan
ekonolni negara agar sejajar dengan negara
-
negara yang sudah maju. Demi
tercapainya keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional tersebut diperlukan dana yang tidak sedikit sebagai sumber pembiayaan pembangunan negara. Dana tersebut dapat berasal dari penerimaan dalain negeri maupun dari luar negeri. Tidaklah mungkin dapat menggerakkan roda pemerintahan dan pembangunan nasional tanpa adanya dukungan dana terutama yang berasal dari penerimaan dalam negeri karena pada hakekatnya peinbangunan
nasional
di
suatu
negara
diselenggarakan oleh masyarakat bersama dengan pemerintah. Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi penyelengaraan pelnerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Sehingga pemerintah menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu wujud kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana pembiayaan dalam tenvujudnya pembangunan nasional. Pengertian
pajak
secara
urnum
adalah
iuran
wajib
dari
penduduk kepada negara berdasarkan undang-undang yang pelaksanaannya dapat dipaksakan
tanpa
mendapat
irnbalan
digunakan
untuk
menyelenggarakan
secara
langsung
pemerintahan
dan
yang
hasilnya
pembangunan
nasional. Dengan dtetapkannya kewajiban perpajakan bagi masyarakat, maka perlu suatu upaya yang bersifat legal agar pungutan pajak yang dilakukan negara memiliki dasar yang jelas. Legalitas dalarn ha1 ini adalah dengan menyandarkan pungutan pajak melalui undang-undang karena tanpa undang-undang, pemungutan pajak tidak mengikat masyarakat dan menjadi tidak sah. Di sisi lain, dengan adanya undang-undang yang mengatur perpajakan maka pemungutan pajak memiliki unsur
yang bersifat memaksa. Oleh karena pajak mempunyai unsur yang dapat dipaksakan maka apabila kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya inaka pemerintah berkewenangan melakukan upaya hukum. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka wajib pajak atau masyarakat juga berhak menempuh upaya hukum. Dari sudut pandang yuridis, dengan adanya unsur pemaksaan dalarn perpajakan maka apabila kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan dapat menimbulkan adanya konsekuensi hukum. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan. Salah satu upaya pemerintah untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan yang ada adalah melalui tahap pemeriksaan pajak. Dalam
pelaksanaan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan
kemungki~anterjadi bahwa wajib pajak merasa tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan maupun pemungutan yang dikenakan, maka dalam ha1 ini wajib pajak dapat mengajukan keberatan maupun banding. Ketentuan pengajuan keberatan dan banding oleh wajib pajak juga telah diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Mengacu pada pengajuan keberatan, dalam penelitian ini penulis ingin melihat implikasi undang-undang perpajakan yang mengatur tentang pengajuan keberatan dan banding yang dilakukan oleh waj ib pajak. Munculnya persepsi ketidak adilan yang diterima oleh wajib pajak dalam pengajuan proses keberatan maupun banding membuat penulis tertarik untuk melihat lebih lanjut mengenai implikasi
undang-undang perpajakan terhadap penegakan keadilan bagi wajib pajak. Atas dasar peraturan UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 36 ayat (1) huruf b penulis ingin melihat implikasi peraturan tersebut terhadap wajib pajak yang mengajukan keberatan maupun banding. Berdasarkan dari uraian tersebut penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dengan judul "Implikasi Undang-undang Perpajakan Pasal 36 Ayat l b Terhadap Penegakan Keadilan Bagi Wajib Pajak (PT. Sentralwana Albasia Wood Worlung)".
B. Identifikasi Masalah Pada tahun 2003 PT. Sentralwana Albasia Wood Working diperiksa oleh Kantor Pelayanan Pajak Magelang, dan kemudian meneriina Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) yang kemudian berlanjut dengan keberatan hingga banding. Dalam mengajukan keberatannya atas SKPKB yang diterima PT. Sentralwana Albasia Wood Working menggunakan dasar hukurn dari UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal36 ayat (1) huruf b ; UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal36 ayat (2); dan Keputusan menteri Keuangan Nomor : 542/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000, tentang TATA-CATA Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Adrninistrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak. Pada putusan akhlr dinyatakan bahwa PT. Sentralwana Albasia Wood Working tidak dapat diterima (NO) dalam persidangan, meskipun secara formil Dirjen Pajak tidak menanggapi permohonan pembatalan SKPKB dalam waktu 12 bulan (mengacu pada Keputusan menteri Keuangan Nomor : 542/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000). Oleh karena permasalahan yang dihadapi oleh PT. Sentralwana Albasia Wood Working bersifat
khusus dan unik, maka peneliti tertarik untuk meneliti Implikasi Undang-undang Perpajakan Pasal36 Ayat l b Terhadap Penegakan Keadilan Bagi Wajib Pajak. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang data-datanya diperoleh dari data primer maupun sekunder. Di sisi lain penelitian ini juga diharapkan dapat sebagai bahan kajian ataupun sebagai bahan perbandingan mengenai pelaksanaan pajak di Indonesia.
C. Ruang Lingkup Objek dalam penelitian ini adalah PT. Sentralwana Albasia Wood Worlung. PT. Sentralwana Albasia Wood Working merupakan perusahaan yang memproduksi barang-barang furniture kayu yang berlokasi di Magelang.
D. Rumusan Masalah 1. Apakah Implikasi Undang-undang Perpajakan Pasal 36 Ayat l b Terhadap
Penegakan Keadilan Bagi Wajib Pajak sudah berjalan dengan baik?
2. Bagaimana Impllkasi Undang-undang Perpajakan Pasal36 Ayat 1b Terhadap Penegakan Keadilan Bagi Wajib Pajak?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat Implikasi Undang-undang Perpajakan Pasal36 Ayat 16 Terhadap Penegakan Keadilan Bagi Wajib Pajak, sehngga dalam ha1 ini wajib pajak juga dapat lebih memperhatikan ketentuan perpajakan yang berlaku di
Indonesia. b. Manfaat Penelitian
Dalam bidang iliniah adalah untuk inenambah pengetahuan dalam bidang hukum tentang salah satu undang-undang perpajakan yang berlaku. Dalam bidang praktek penelitian ini bermanfaat sebagai bahan kajian ataupun sebagai bahan perbandingan mengenai pelaksanaan pajak di Indonesia.
E Sistematika Pembahasan BAB I Pendahuluan Bab ini membahas mengenai latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, ruang lingkup, tujuan dan manfaat penelitian. BAB I1 Landasan Teori Bab ini berisikan teori-teori dasar yang mendukung penelitian implikasi UU KUP tahun 2000 pasal36 ayat l(b) terhadap penegakan keadilan bagi wajib pajak. BAB I11 Metode Penelitian Bab ini berisikan pemilihan obyek penelitian, metode penarikan sampel, t e h k pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik pengujian hipotesis. BAB IV Hasil Penelitian Bab ini menguraikan gambaran urnum unit observasi seperti data penelitian, perusahaan, daerah, lokasi, proses, serta menguraikan analisis dan pembahasan hasil penelitian.
BAB V Kesimpulan dan Saran Bab ini mengemukakan secara singkat kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang
telah
dilakukan
dan
menjawab
pennasalahan
penelitian,
serta
mengemukakan secara singkat saran pada kelemahan dan merupakan pemecahan masalah.
BAB IX LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka
1. UU KIJP Tahun 2007, Pasal ll ayat I;(') bahwa ferlzadup semun hak & kewajiban Perpajakan Tahun 2001 s/d Tahun 2007 yang belum diselesaikan diberlakukan UU K W Tahun 2000. Aturan peralihan UU No. 2812007 mengatur bahwa terhadap seinua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan UU No. 6/ 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaiinana telah beberapa kali diubah terakhr dengan UU No. 16/2000. Pasal itu mengecualikan ketentuan masa daluwarsa penetapan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhlr Tahun Pajak 2013. Aturan peralihan tersebut mengandung dua ha1 pokok yaitu prosedur yang menyangkut tahun pajak 2007 dan sebelumnya tetap tunduk pada UU KUP lama (UU No. 16/2000) dan masa daluwarsa tahun pajak 2007 dan sebelumnya adalah setelah 2013. (I) Undang-uniiang KUP Tahun 2007, Pasal 11 ayat 1
Entang Kewajiban Perpajakan
Tahrn 2001 s'd Tahun 2007yang belrrm diselesaikan diberlakt~kanUUKUP Tahdn 2000.
UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal36 ayat (1) huruf b; yang berisi
Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP menyatakan bahwa karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, semisal Wajib pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhl persyaratan formal (terlambat membayar minimal 50% dari nilai sengketa pajak) meskipun persyaratan material terpenuhi.
3 . UU
KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 36 ayat (2);(2) Tata-Cara
Pengurangan, Penghapusan atau Pembatalan Utang Pajak sebagaimanu dimaksud dalam ayat (I) DIA TUR dengan KEP UTUSAN MENTERI KEUANGAN. Keputusan Menteri Keuangan yang dimaksudkan adalah Keputusan Nomor : 542/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000, tentang
TATA-CARA
Pengurangan
atau
Penghapusan
Sanksi
Adrninistrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak. Yang berisi:
(2)
UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal36 ayal(2) Tentang Tata-Cara Pengurangan, Penghapusan atau Pembatalan Utang Pajak.
Pasal 1 (1) Direktur jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan Wajib pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak. (2) Pennohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan sebagaimana dimaksud dalarn ayat ( I ) harus memenuh ketentuan sebagai berikut : a. Permohonan hams diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan untuk mendukung permohonannya. b. disampaikan oleh Wajib pajak kepada Direktur Jenderal .
:..
Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak yang mengenakan sanksi administrasi;
c. tidak melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan Swat Tagihan Pajak, Swat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Swat Ketetapan Pajak Kwang Bayar Tambahan, kecuali apabila Wajib pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan Q luar kekuasaannya.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan meinberikan alasan yang jelas dan meyakinkan untuk mendukung permohonannya. (4) Setiap permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya boleh diajukan oleh Wajib Pajak yang tidak mengajukan keberatan atas ketetapan pajaknya, dan diajukan atas suatu Surat Tagihan Pajak, suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Pasal2 (1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan
Wajib pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. (2) Setiap permohonan pengurangan atau pembatalan ,ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan untuk suatu swat ketetapan pajak. (3) Setiap permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hams menyebutkanjumlah pajak yang menurut penghitungan Wajib Pajak seharusnya terutang. Pasal3 (1) Direktur Jenderal Pajak hams memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau penghapusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima. (2) Direktur Jenderal pajak hams memberi keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal2 paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima. (3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka pennohonan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Pasal4 (1) Terhadap keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 hanya dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak. (2) Terhadap keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak yang berkaitan dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalarn Pasal2 dapat diajukan permohonan kembali kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan keputusan tersebut. Pasal5 Terhadap permohonan Wajib Pajak untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi adrninistrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, yang diajukan sebelum Keputusan
Menteri Keuangan ini berlaku, tetap berlaku Keputusan Menteri Keuangan Nomor 186/KMK.04/1998. Pasal6 Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 7 Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 186/KMK.04/1998 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Adiministrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januan 200 1.
4. Teori-teori Keadilan Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan "the searchfirjustice".(3)Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.
(3) Theo Huijbers, 1995, Filsctfat Hukrrrn dalam lintasan sejarah, cet n I I , h i s i u s ,
Yogyakarta, h h . 196.
Diantara teori-teori itu dapat disebut : teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Raw1 dalam bukunya a theory ofjustice dan teori hukurn dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunyageneral theory of law and state.
Teori Keadilan Aritoteles Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalan karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nicoinachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat h u b n Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, "karena hukurn hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan".
(4)
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan .hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sarna. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukurn sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemarnpuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan "distributief' dan keadilan "commutatief '. Keadilan
(4) Carl Jorrchim Friedrich, 2001, Filsafaf Hukrmt Persyeklif Hisloris, Nun/~sa dun
N u m e d i a , ha1 24, Baildung.
distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan coinmutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa inembeda-bedakan prestasinya dalam ha1 ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian inacam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang saina-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan "pembuktian" matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. Teori Keadilan John Rawls
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilar~.(~' John Rawls yang dipandang sebagai perspektif "liberal-egalitarian of social justice", berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utarna dari hadirnya institusi-institusi sosial (sociul institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh
(5) Pan Mohamd Fak, 2009, Eori Keadilan John Rawls, dalam Jlrnlal Konstittrsi, Volue 6
Nomor I , hlni. 135.
masyarakat tidak dapat inengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat le~nahpencari keadilan. Secara
spesifik, John
Rawls
mengembangkan
gagasan
mengenai
prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan "posisi asli" (originul position) dan "selubung ketidaktahuan" (veil of ignorance).'6' Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu "posisi asli" (original position) yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektfdengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (fieedonz), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure ofsociety). Sementara konsep "selubung ketidaktahuan" diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendri, termasuk terhadap posisi sosial d m doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai "Justice asfairness". (6) Pan Mohamad Faiz, 2009, Eori Keadilan John Ranlls, dalam Jurnal Konstitusi, VoIue
6 Nomor I , hlm. 135.
Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep "posisi asli" (originalposition) terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu. Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty princple), seperti kebebasan beragama (freedom of rel~gion),keinerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi Cfreedom of speech and expre~~vion), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (drference princzple), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunityprincple). Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah inemperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sarna atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.(7) Dengan demlluan, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-ha1
(7) John Rawls, 1973, A lheory of Justice, London: Oxford University press, yarg sudah
diterjemahkan &lam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan &n Heru Prmetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelaja~Yogyakarta.
utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadlan sosial hams diperjuangkan untuk dua hal: Yertanza, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan hams memposisikan &ri sebagai pemandu untuk inengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah. Teori Keadilan Hans Kelsen Hans Kelsen dalam bukunya general theory of' law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagan didalarnnya.(*' Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-nilai keadilan
individu dapat
diketahui
dengan
aturan-aturan hukum
yang
mengakomodir nilai-nialai umurn, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni
(8) Hans Kelsen, 2011, General Theory of
Muttaqieq Nusa Media, hhlm. 7, Bandung.
Law and State, diterjemahkcnl obh Rasiszl
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhl, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keahlan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alain beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari dam, dari penalaran inanusia atau kehendak ~ u h a n . ( ~ ) Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.
(9) Hans Kelsen, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahknn oleh Rasisul
Muttaqien, Ntrsa Media, hlm. 7, Bandung.
Menurut Hans Kelsen : "Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari filsafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapat ditangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tarnpak.,,(lo1
Dua ha1 lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen : pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat benvujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan. Kedua, konsep keadlan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian "Keadilan" bermaknakan legalitas. Suatu peraturan urnurn adalah "adl" jika ia
(10)Hans Kelsen, 2011, Geizeral n e o of ~ La,+#and State, diterjemahknlz oleh Rasisul
Mzrttaqien, Nusa Media, hlm. 7, Bandung.
benar-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umurn adalah "tidak adil" jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu merniliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukuin tersebut.(")
Perspektif Keadilan Dalam Hukum Nasional Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara CfiolosoJische grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu bemilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan,
(1 1)Undang-undang
Republik Indonesia Nomor I 2 Tahun 2011 tentmig Pembe?itrlkcn~
Peraturan P e r u h g ~ ~ ~ l - u r h n g a n
penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalarn sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam ha1 ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukurn nasional bangsa Indonesia. Pandangan keadilan dalarn hukurn nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila. Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga ha1 tentang pengertian adil.(12)
(1) "Adil" ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya. (2) "Adil" ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.
(3) "Adil" ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran".
(1 2) Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral &ti Akhlnk, Kalam Mulia, Jakarta, hlm. 71.
Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui "hak hidup",
maka sebaliknya hams
mempertahankan hak hdup tersebut dengan jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu.(I3) Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan keseinpatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi demiluan apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai
sumber
hukurn
nasional
bangsa
Indonesia,
menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan
pada
hakikatnya
yang serasi antar
manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehngga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Hubungan ad1 dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap.
(13)SuhrawardiK. Lunis, 2000, Etika Profesi Huhm, Cetakan Kedua, Sinar GrMka, Jakarta. hlm. 50
Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan "keadilan sosial", maka keadilan itu hams dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai: 'I4) "(1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak. (2) Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan
pengusaha-pengusaha. (3) Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang kaya dengan harta mewah yang didapatnya dengan tidak wajar".
Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang yang "main hakim sendiri", sebenarnya perbuatan itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu. Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu hams menyisihkan kebebasan individunya
untuk kepentingan Individu yang lainnya. Hukurn nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan
(14)Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dun Akhlak, KaIam Mulia, Jakarta, hhlm. 71.
yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.
B. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menggambarkan seluruh kegatan penelitian sejak tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, sampai dengan tahap penyelesaian. Tahap perencanaan dimulai dengan mempelajari masalah yang terjadi di PT. Sentralwana Albasia Wood Worlung untuk mengidentifikasi permasalahan, merumuskan, dan menetapkan j udul penelitian serta mempelajari teori clan literatur yang dapat mendukung penelitian. Tahap pelaksanaan dimulai dengan pengumpulan data, pengolahan data, dan inenganalisis serta membahas hasil pengelolaan data, dan menganalisis serta membahas hasil pengelolaan data tersebut. Pada tahap penyelesaian dilakukan penarikan kesimpulan dan saran atas penelitian. Berikut ini adalah skema kerangka pemikirannya.
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
-Perencanaan
Mempelajari masalah pada perusahaan
b
+ Memilih judul: Implikasi Undang-undang Perpajakan Pasal36 Ayat I b Terhadap Penegakan Keadilan Wajib Pajak
I Mengumpulkan data
SKPKB, SK Keberatan, SK Banding dari PP, PK-MA, Putusan MA, Surat-surat pada DJP, Surat-surat jawaban dari DJP
Pasal I1 ayat 1
Tahun 2000 Pasal36 ayat (1) huruf b & ayat 2
I
I Penyelesaian
Pengolahan
Kesimpulan dan
I
BAB m METODE PENELITIAN
A. Objek Penelitian Objek dalan penelitian ini adalah PT. Sentralwana Albasia Wood Working. PT. Sentralwana Albasia Wood Working merupakan perusahaan yang memproduksi barang-barang furniture kayu yang berlokasi di Magelang.
B. Tahap-tahap Penelitian Untuk mempermudah penelitian terhadap hukum pajak di Indonesia kami menggunakan metode dari surnber data. Sumber data penelitian terdiri atas sumber data skunder dan primer sebagai pendukung. a. Dengan data
sekunder pengambilan bahan penelitian kaini melalui
media-media yang ada, online (website, blog dll.) maupun offline (buku, UU yang terkait, karya ilmiah Koran dll.) b. Dengan data primer data yang kami peroleh langsung dari sumber asli, antara lain: SKPKB, SK Keberatan, SK Banding dari PP, PK-MA, Putusan MA, Surat-surat pada DJP, Surat-surat jawaban dari DJP Dalam penelitian terdapat dua tahap penelitian, yaitu : (1) Tahap persiapan penelitian; (2) Tahap pelaksanaan penelitiaan. Pertama peneliti membuat pedoinan wawancara yang disusun berdasarkan permasalahan yang dihadapi. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang nantinya akan berkeinbang dalam wawancara. Pedoinan wawancara yang telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalain ha1 ini adalah pembibing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti membuat pedoman observasi yang disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subyek selarna wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau tempat wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subyek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti selanjutnya sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada subyek tentang kesiapannya untuk diwawancarai. Setelah subyek bersedia untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan dengan subyek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara. Selanjutnya peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang djabarkan pada bagian metode analisis data di a h r bab ini. setelah itu, peneliti memberikan kesimpulan dan saran-saran.
C. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitiaan ini, peneliti menggunakan 2 teknik pengumpulan data, yaitu :
(1) Wawancara; (2) Observasi. Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang responden, caranya adalah dengan bercakap-cakap secara tatap muka. Kerlinger (dalam Hasan 2000) menyebutkan 3 ha1 yang menjadi kekuatan metode wawancara : (1) Mampu mendeteksi kadar pengertian subjek terhadap pertanyaan yang diajukan. Jika mereka tidak mengerti bisa diantisipasi oleh interviewer dengan inemberikan penjelasan; (2) Fleksibel, pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan masing-masing individu; (3) Menjadi stu-satunya ha1 yang dapat dilakukan disaat tehnik lain sudah tidak dapat dilalcukan. Menurut Yin (2003) disainping kekuatan, metode wawancara juga memiliki kelemahan, yaitu : (1) Retan terhadap bias yang ditimbulkan oleh kontruksi pertanyaan yang penyusunanya h a n g baik; (2) Retan terhadap terhadap bias yang ditimbulkan oleh respon yang kurang sesuai; (3) Probling yang kurang baik menyebabkan hasil penelitian menjadi kurang akurat; (4) Ada keinungkinan subjek hanya memberikan jawaban yang ingin didengar oleh intewiwer. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tarnpak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian.
Dalam penelitian ini observasi dibutuhkan untuk dapat memahami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap obyek penelitian dan hal-ha1 yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tainbahan terhadap hasil wawancara. Menurut Patton tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. Patton menyatakan bahwa hasil observasi menjadi data penting karena : (1) Peneliti akan mendapatkan pemahainan lebih baik tentang konteks dalam ha1 yang diteliti akan atau terjadi; (2) Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan dari pada pembuktian dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktic (3) Observasi memungkinkan peneliti melihat hal-ha1 yang oleh subjek penelitian sendiri kurang disadari; (4) Observasi memunglunkan peneliti memperoleh data tentang hal-ha1 yang karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka dalarn wawancara; (5) Observasi memungkinkan peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukan. Impresi dan perasan pengamatan akan menjadi bagian dari data yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk memahami fenomena yang diteliti.
D. Teknik Analisis Data Dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan (Marshall dan Rossman dalam Kabalmay, 2002), diantaranya :
(1) Mengorganisasikan data; (2) Pengelompokan berdasarkan kategori, tema dan pola jawaban; (3) Menganalisis hasil wawancara; (4) Menguji asumsi atau pennasalahan yang ada terhadap data; (5) Mencari alternatif penjelasan bagi data; ( 6 ) Menulis hasil penel~itian. Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam (indeptlz inteviwer), dimana data tersebut direkam dengan tape recorder atau dibantu alat tulis lainnya. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah didapatkan. Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data, perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-ha1 yang muncul di luar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoinan dalam melakukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dbuat.
Pada penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti. Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-ha1 diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan teina-tema penting serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap pengalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditiqjau kembali berdasarkan landasan teori yang telah dijabarkan dalam bab 11, sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. Walaupun penelitian ini tidak memilih hipotesis tertentu, narnun dari landasan teori dapat dibuat asurnsi-asumsi mengenai hubungan antara konsep-konsep dan faktor-faktor yang ada. Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, peneliti masuk ke dalam tahap penjelasan. Dan berdasarkan kesimpulan yang telah ddapat dari kaitannya tersebut, penulis merasa perlu mencari suatu alternatif penjelasan lain tentang kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada alternatif penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada kemungkinan terdapat hal-ha1 yang menyimpang dari asumsi atau tidak terpikir sebelumnya. Pada tahap ini akan djelaskan dengan alternatif lain melalui referensi atau teori-teori lain. Alternatif ini akan sangat berguna pada bagian pembahasan, kesimpulan dan saran.
Penulisan data subjek yang telah berhasil dikurnpulkan merupakan suatu ha1 yang membantu penulis untuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalarn penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah presentase data yang didapat yaity penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawancara mendalam dan observasi dengan subjek. Proses dimulai dari data-data yang diperoleh dari subjek, dibaca berulang kali sehingga penulis mengerti benar permasalahannya, kemudian dianalisis, sehingga didapat gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari subjek. Selanjutnya dilakukan interprestasi secara keseluruhan, dimana di da1amnyd"mencakup keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian.
BAB IV PEMBAHASAN A. Latar Belakang Perusahaan PT. Sentralwana Albasia Wood Working merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan kayu, perusahaan ini didirikan pada 7 Desember 1989. Perusahaan ini terletak di 31. Jenggolo No.23 Magelang. Perusahaan ini melakukan eksport kayu albasia yang diolah menjadi barecore. Barecore adalah kayu yang diolah menjadi bentuk lembaran kayu dengan ukuran tertentu dan biasanya digunakan untuk dijadikan salah satu bagian pelapis furniture. Untuk quality control barecore itu sendiri sesungguhnya tidaklah terlalu tinggi karena barecore hanya merupakan salah satu bagian pelapis furniture, namun kualitas barecore dianggap semalun bagus jika barecore tersebut semakin tebal. Ekspor barecore yang dilakukan PT. Sentralwana Albasia Wood Working mencakup negara Jepang dan Taiwan. Pada mulanya ekspor PT. Sentralwana Albasia Wood Working dilakukan melalui perantara, ha1 tersebut dilakukan karena saat itu volume pengiriman barecore masih terlalu kecil. Namun, dalam perkembangannya saat ini PT. Sentralwana Albasia Wood Working sudah mengekspor sendiri hasil produksinya karena jumlah barecore yang diekspor sudah lebih besar. Untuk setiap bulannya, PT. Sentralwana Albasia Wood Working dapat mengekspor kurang lebih empat kontainer barecore ke luar negeri. Perusahaan yang memiliki 40 karyawan ini memiliki visi dan misi yang ingin dicapai. Visi PT. Sentralwana Albasia Wood Working adalah untuk menjad perusahaan yang sehat dan berkembang besar yang memberikan dampak positif
kepada banyak pihak. Melalui visi tersebut perusahaan ingin menjadikan perusahaan PT. Sentralwana Albasia Wood Working inenjadi perusahaan yang sehat baik dari sisi aktiva, hutang, dan modal serta penjualan dan laba perusahaan yang terus berkembang dari tahun ke tahun menjadi besar sehngga mampu menciptakan kesejahteraan bagi banyak pihak seperti kepada para pemegang saharn, karyawan, bank, pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu para pendiri perusahaan memimpikan bahwa PT. Sentralwana Albasia Wood Working dapat berkembang menjadi perusahaan sentral dari hasil kehutanan yang memberikan kemakmuran yang baik sehingga kehadiran perusahaan bersifat positif dan mensejahterakan banyak pihak. Di sisi lain, misi PT. Sentralwana Albasia Wood Working adalah untuk mewujudkan perusahaan besar yang sehat dengan menjaga aktiva perusahaan, hutang, dan modal serta penjualan dan tingkat laba yang tinggi melalui pengelolaan perusahaan dengan tata kelola yang baik yang memberi tempat kepada karyawan untuk berkembang kreatif, dlsiplin, dan kerja keras yang tinggi dan membina hubungan yang baik yang saling menguntungkan kepada seluruh stakeholder. Melalui misi ini perusahaan ingin mewujudkan sebuah perusahaan yang dikelola dengan tata kelola yang baik yang memberi tempat kepada karyawan untuk memberikan kontribusi yang maksimal dan memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan seperti pemegang saham, karyawan, bank, pemerintah, pemasok, dan konsumen melalui manfaat yang sebesar-besarnya serta memberikan kesejahteraan kepada seluruh stakeholder tersebut. Dengan demikian kehadiran perusahaan benar-benar
memberikan dampak yang baik bagi banyak pihak. Dalam mewjudkan visi dan misi yang telah disebutkan pada paragraf di atas, tentunya dibutuhkan waktu dan usaha yang tidaklah sedikit. Dalam perjalanannya meskipun PT. Sentralwana Albasia Wood Working sudah cukup lama beroperasi, namun sesungguhnya perusahaan ini tidaklah mudah untuk berkembang dikarenakan adanya berbagai macam faktor, Qantaranya adalah adanya keterbatasan modal. Sistem peinbelian bahan baku utama yang menggunakan sistem pembayaran tunai, mengakibatkan PT. Sentralwana Albasia Wood Working membutuhkan modal yang cukup besar untuk menambah volume produksi. Di sisi lain, sarana prasarana produksi seperti mesin yang sudah tua membuat PT. Sentralwana Albasia Wood Working kurang bisa menambah volume produksi dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, terkadang untuk inemenuhl permintaan pasar yang ada, pemilik PT. Sentralwana Albasia Wood Working perlu memberikan dana tambahan ke perusahaan yang kemudian diakui PT. Sentralwana Albasia Wood Working sebagai hutang kepada pemilik. Seperti telah dijelaskan pada paragraf di atas, adanya dana tambahan untuk modal kerja dari pemilik yang diakui sebagi hutang oleh PT. Sentralwana Albasia Wood Working dari sisi pajak dianggap menjadi objek pajak. Berbeda dengan perusahaan perorangan yang sewaktu-waktu dapat naik dan turun sesuai kebutuhan. l\Tamun untuk Perseroan Terbatas jumlah modal hams tetap sesuai dengan yang tertera pada akte pendirian perseroan. Oleh karena itu, jika perseroan mendapatkan dana dari pemilik maka dianggap sebagai hutang yang menjaQ objek pajak PPh 23 karena perseroan dan pemilik dianggap sebagai dua pihak
yang terpisah. Pada kasus PT. Sentralwana Albasia Wood Working, dari sisi perpajakan perusahaan dianggap memberikan dividen kepada pemilik ketika ada aliran dana keluar untuk mengembalikan hutang.Sehingga pengembalian hutang oleh PT. Sentralwana Albasia Wood Working kepada pemilik djadikan objek pajak PPh 23 atas dividen dan dikenakan tarif sebesar 15%. Sebaliknya ketika pemilik memberikan dana pinjaman kepada PT. Sentralwana Albasia Wood Working, dikenakan PPh 23 atas bunga pinjaman sebesar 15%. Berdasarkan surat Direktur Jendral Pajak noinor S- 165lPJ.3 1211992 tentang Pinjaman Tanpa Bunga dari Pemegang Saham menyatakan bahwa pinjainan perusahaan tanpa bunga dari pemegang saham dapat dianggap wajar dan tidak perlu dilakukan koreksi apabila:
1. Pinjaman tersebut berasal dari dana rnilik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendri dan bukan berasal dari pihak lain. 2. Modal seharusnya disetor oleh pemegang saham peinberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah disetor seluruhnya. 3. Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi.
4. Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya. Apabila salah satu dari keempat unsur di atas tidak terpenuh, maka atas pinjaman tersebut dilakukail koreksi n~eiljaditerutang bullga deilgan tiiigkat bwga wajar. Dalam kasus ini PT. Sentralwana Albasia Wood Worlung masuk dalam persyaratan yang telah disebutkan di paragraf di atas, sehingga pinjaman tanpa
bunga yang diakui sebagai hutang PT. Sentralwana Albasia Wood Working tidak dapat dianggap sebagai objek pajak. Oleh karena kejadian tersebut, PT. Sentralwana Albasia Wood Working melakukan upaya hukurn melalui UU Perpajakan Pasal 36 ayat (1) huruf b untuk mengajukan pembatalan maupun pengurangan atas surat ketetapan pajak yang tidak benar. Dalam bab ini akan dibahas lebih lanjut terkait kronologi gugatan PT. Sentralwana Albasia Wood Working melalui UU Perpajakan Pasal36 ayat lb.
B. Pembahasan Masalah
Dari latar belakang di atas sudah sedikit dijelaskan bahwa adanya pemberian pinjaman dari pemilik yang diakui sebagi hutang oleh PT. Sentralwana Albasia Wood Working dari sisi pajak danggap menjadi objek pajak. Berbeda dengan perusahaan perorangan yang sewaktu-waktu dapat menerima atau membayar dana dari pribadi pemilik tanpa terkena pajak. Pada kasus PT. Sentralwana Albasia Wood Working, dari sisi perpajakan perusahaan dianggap memberikan dividen kepada pemilik ketika mengembalikan hutang atas pinjainan sementara dari pemilik dan dikenakan PPh 23 dengan tarif sebesar 15% (tarif PPh 23 atas dividen yang berlaku pada tahun 2002). Sebaliknya, penerimaan hutang oleh PT. Sentralwana Albasia Wood Worlung dari pemilik dijadikan objek pajak PPh 23 atas bunganya sebesar 15%. Atas peristiwa tersebut, laporan SPT Tahun 2002 PT. Sentralwana Albasia Wood Worlung diperiksa oleh KPP Magelang dengan Surat Tugas tanggal 22 Mei 2003. Setelah pemeriksaan terhadap PT. Sentralwana Albasia Wood Working
dilakukan, KPP Magelang inenerbitkan SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 Noinor: 0002112061021524104 tanggal 11 Februari 2004 dan SKPKB PPN Masa Januari sld Desember 2002 Nomor: 00032/207/02/524/04 tanggal 11 Februari 2004. Kemudian pada tanggal 11 April 2004 pihak pemohon, yaitu PT. Sentralwana Albasia Wood Working mengajukan keberatan atas SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 dengan Surat Nomor : 0 l/KPJSWAlIIZ/04 dan Keberatan atas SKPKB PPN Masa Januari s/d Desember 2002 dengan Surat Nomor : 03/KPJSWA/IIL/04. Atas Pengajuan Keberatan PT. Sentralwana Albasia Wood Working, Direktur Jendral Pajak inenerbitkan KEP-241WPJ.23/BD.03/2005 tanggal 24 Maret 2005 atas SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 Nomor : 00021/206/02/524/04 tanggal 11 Februari 2004 atas Keberatan yang diajukan PT. Sentralwana Albasia Wood Working, dengan
Keputusan Menolak. Selain itu juga diterbitkan KEP-
281WPJ.23IBD.0412005tanggal 12 April 2005 atas SKPKB PPN Masa Januari s/d Desember 2002 Nomor: 00032/207/02/524/04 tanggal 11 Februari 2004, dan keputusan Direlctur Jendral Pajak adalah menolak keberatan tersebut. Setelah diterimanya putusan penolakan atas keberatan SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 Nomor : 00021/206/02/524/04 tanggal 11 Februari 2004 dan atas SKPKB PPN Masa Januari s/d Desember 2002 Nomor: 00032/207/02/524/04 tanggal 11 Februari 2004 maka PT. Sentralwana Albasia Wood Working mengajukan banding ke pengadilan pajak dengan Swat Nomor: 007IB.SWAN105 tanggal 18-Mei-2005 untuk SKPB PPh Badan dan Nomor Swat 009IB.SWAN105 tanggal 18 Mei 2005 untuk SKPKB PPN. Atas swat tersebut Pengadilan Pajak
kemudian menerbitkan Putusan Banding Nomor: Put.07639PP/M.IIY16/2006 untuk
PPN
dengan
putusan
diterima
sebagian
besar
dan
Put.06042/PP/M.111/15/2005 untuk PPh Badan dengan putusan PPh tidak dapat diterima sama dengan NO (NO--niet
ontvunkel~ike verklaard). tanggal 02-
Agustus-2005 dengan Amar Putusan - Tidak Dapat Diterima - karena persyaratan formal tidak terpenuh yaitu pembayaran 50% pajak terutang yang dimintakan Banding ("pasal36 ayat (4)"Undang - Undang Pengadilan Pajak Nomor 14 Tahun 2002) dibayar pada hari ke 91 (sembilan puluh satu) sedangkan sesuai Ketentuan "Pasal36 ayat (4)" adalah 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal diterima Putusan Keberatan. Dengan demikian, pembayaran sebesar 50% terlarnbat dibayar 1 (satu) hari, sehingga syarat fonnal menjadi tidak terpenuhi. Atas putusan banding no. 06042PP/M.III/15/2005 maka PT. Sentralwana Albasia Wood Working mengajukan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak atas SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 a quo di Mahkamah Agung dengan Surat Nomor: 0 101B.SWAlMA/IX/2005 tanggal 0 1-September-2005 dan Mahkarnah Agung telah menerbitkan Putusan Peninjauan Kembali Noinor: REG No. 148/C/PKPJIU2006 tanggal
23-Maret-2006, amar Putusan
-
Menolak -
dengan Pertimbangan dalam Putusan, bahwa Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan gugatan Tidak Dapat Diterima
-
sudah tepat dan benar-, karena
pelunasan 50% Pajak terutang dibayar telah melewati tenggang waktu "3 (tiga) bulan". Berdasarkan alasan penolakan bandng dan peninjauan kembali yang dikarenakan tidak terpenuhinya syarat formal inaka dengan demikian baik Pengadlan Pajak maupun Mahkamah Agung belum pernah melakukan
pembahasan terhadap materi pokok perkara (NO--niet ontvankelijke verklaard). Hasil penolakan banding dan peninjauan kembali yang diterbitkan oleh Pengadilan Pajak dan Mahkarnah Agung tidak menyatakan perintah atau memerintahkan kepada PT. Sentralwana Albasia Wood Working untuk hams memenuhi pembayaran jumlah tertentu sebagaimana yang dltetapkan di SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 Noinor: 0002 1/206/02/524/04 tanggal 11 Februari 2004 maka PT. Sentralwana Albasia Wood Worhng mengajukan gugatan permohonan melalui W Perpajakan Nomor 6 Tahun 1983 stdtd W Nomor 16 Tahun 2000 dengan memuat ketentuan khusus Pasal 36 ayat (1) huruf b, Penjelasan Pasal 36 ayat (1) huruf b dan Pasal36 ayat (2). Bahwa ketentuan khusus Pasal36 ayat (1) huruf b UU KUP mengatur bahwa Direktur Jendral Pajak karena jabatannya (ex oficio) dan berdasarkan unsur keadilan dapat mengurangkan atau inembatalkan ketetapan pajak yang tidak benar (ketetapan pajak yang belum ada ketentuan bentuk salah atau benar sebagai kelanjutan belwn teruji dalam forum resmi atau belum ada putusan positif Q semua tingkat meQa peradilan pajak) atau wajib pajak yang dltolak pengajuan keberatannya karena tidak m e m e n h persyaratan formal, meskipun persyaratan materiil telah terpenulu. Atas dasar UU KUP pasal36 ayat (1) huruf b PT. Sentralwana Albasia Wood Working mengirirnkan surat nomor 0 l/SWA/I/2009 tanggal 9 Januari 2009 perihal permohonan diterbitkannya Swat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar. Setelah surat permohonan dihrim, Direktur Jendral Pajak mengeluarkan keputusan dengan nomor KEP-232/WPJ.32/BD.06/2009 tanggal 9
Juni 2009 yang isinya menolak atas Perrnohonan Pengurangan atau Peinbatalan Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2002, putusan dianggap tidak cacat fonnil, dan tidak batal derni hukuin. Oleh karena adanya keputusan dengan nomor KEP-232/WPJ.32/BD.06/2009 tanggal 9 Juni 2009 yang isinya menolak atas Perrnohonan Pengurangan atau Pembatalan Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2002 maka PT. Sentralwana Albasia Wood Working inengajukan surat lagi atas dasar UU KUP pasal 36 ayat (1) huruf b dengan swat nomor 01/SWA/IX/2009 pada tanggal 1 .September 2009 dengan isi ekualisasi antara putusan SKPKB PPN dan SKPKB PPh. Setelah surat dikirin, Direktur Jendral Pajak kembali mengeluarkan keputusan dengan nomor 01/SWA/IX/2009 pada tanggal 1 September 2009 yang isinya menolak, bahwa putusan tidak cacat formil, dan tidak batal demi hukum. Oleh karena itu, PT. Sentralwana Albasia Wood Working atas dasar UU KUP pasal 36 ayat (1) huruf b dan KMK nomor 542lKMK.04 pasal 2 ayat (1) mengirim surat nomor 01/SWMII/20 10 tanggal 1 Maret 20 10 kembali memohon kepada Direktur Jendral Pajak untuk secara jabatan membatalkan SKPKB PPh Badan nomor 0002 1/206/02/524/04, karena kekosongan hukum sebagai kelanjutan tidak berjalannya perintah pasal6 KMK nomor 542/KMK.04/2000. Surat nomor 0 11sWA/III/20 10 tanggal 1 Maret 20 10 kemudian dijawab melalui swat nomor S-225/WPJ.32/BD.0601/2010 tanggal 13 Juli 20 10. Surat tersebut menyatakan bahwa pembatalan secara jabatan tidak dapat diproses karena tidak memenulx ketentuan UU KUP pasal36 ayat (1) huruf b dan pasal2 ayat (2)
KMK nomor 542/KMK.04/2000. Jawaban tanpa dasar hukum secara formal tidak mengikat dan tidak menggugurkan surat nomor 0 l/SWA/IIV20 10 tanggal 1 Maret 2010 sehingga secara formal jangka waktu 12 bulan berjalan terns. PT. Sentralwana Albasia Wood Working kemudian mengirimkan surat kembali atas dasar UU KUP pasal 36 ayat (1) hurnf b dan pasal 2 ayat (2) KMK nomor 542/KMK.04/2000 dengan surat nomor 011sWAlW20 10 tanggal 20 September 2010 yang berisi bahwa Direktur Jendral Pajak karena jabatan (ex officio) dan berdasarkan unsur keadilan dapat mengurangkan dan membatalkan SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 nomor 00021/206/524/04. Surat tersebut juga berisi analisa hukum bahwa SKPKB PPh Badan tidak melekat asas ne bis in idem. Oleh karena surat nomor 0 1/SWA/IX/20 10 tanggal 20 September 20 10 tidak dijawab sesuai ketentuan waktu dalain 12 bulan maka PT. Sentralwana Albasia Wood Working kembali mengirimkan surat nomor 01/SWA/XV2011 tanggal 30 November 20 11. Isi surat menyampaikan Posita dan Petiturn atas Permohonan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar terhadap SKPKB PPh Badan. Atas surat nomor 0 l/SWA/W20 10 tanggal 20 September 20 10, Direktur Jendral Pajak menjawab melalui surat nomor S-572PJ. 07/2012 tanggal 25 Januari 2012. Surat tersebut berisi tentang PT. Sentralwana Albasia Wood Working yang dianggap sudah menggunakan seluruh haknya terkait dengan penerbitan SKPKB PPh Badan nomor 00021/206/02/524/04 dengan putusan t e r a h r berupa Putusan Mahkamah Agung. Selain itu di dalam surat nomor S-572PJ.07/2012 tanggal 25 Januari 20 12 disebutkan bahwa terkait permohonan pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak secara jabatan adalah atas suatu surat ketetapan pajak, sedangkan keputusan Mahkamah Agung bukan merupakan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 14 UU KUP. Surat nomor S572lPJ.0712012 tanggal 25 Januari 20 12 yang diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak sudah melewati jangka waktu yang ditentukan, yaitu paling lama 12 bulan. Atas dasar UU KUP pasal 36 ayat (1) hwuf b dan pasal 2 ayat (2) KMK nomor 542/KMK.04/2000 PT. Sentralwana Albasia Wood Working kemudian kembali mengirimkan swat noinor Ol/SWA/XI/2012 tanggal 30 November 2012 yang berisi penegasan bahwa surat nomor 01/SWPJXL/2011 tanggal 30 November 201 1 mengenai permohonan pengurangan atau pembatalan SKPKB PPh badan tahun pajak 2002 telah memenuhi persyaratan fonnil maupun materil atas pasal 3 ayat (2) KMK nomor 542/KMK.04/2000 dengan kelanjutan efektif pasal 3 ayat (3). PT. Sentralwana Albasia Wood Working kemudian mengajukan gugatan atas perkara formil dan materil melalui surat tanggal 28 Desember 2012 yang diterima sekretariat Pengadilan Pajaic tanggal 2 Januari 2013, gugatan atas keputusan Tergugat nomor: ---,tentang : Keputusan untuk tidak mengambil keputusan atas permohonan yang ditempatkan dalam surat Penggugat Nomor Ol/SWA/XI/2011 tanggal 30 November 20 11.
Berikut dasar hukurn yang relevan menurut PT. Sentralwana Albasia Wood Working inenanggapi surat tanggapan terakhir dari Direktur Jendral Pajak : 1. UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal36 ayat (1) huruf b; Direktur Jenderal Yajak dapat Mengurangkan atau Membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak benar. 2. UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal36 ayat (2); Tata-Cara Pengurangan, Penghapusan atau Peinbatalan Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) DIATUR dengan KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN. 3. Keputusan menteri Keuangan Nomor : 542KMK.0412000 tanggal 22 Desember 2000, tentang TATA-CATA Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Adrninistrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak. Pasal3 ayat (2) mengatur : Direktur Jenderal Pajak HARUS MEMBER1 KEPUTUSAN atas Permohonan Pengurangan atau Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Permohonan diterima. Meskipun telah menempuh jalan yang panjang, sampai saat ini PT. Sentralwana Albasia Wood Working masih menunggu proses hukum selanjutnya dan masih belum mendapatkan kepastian hukum atas gugatan nomor 0 1ISWIVXII20 11 tanggal 30 November 20 11. Berikut gambar 4.1 yang berisi alur kronologi kasus PT. Sentralwana Albasia Wood Worlung.
Gambar 4.1
SPT Tahunan 20 12 Diperiksa oleh KPP Magelang
Keluar SKPKB PPh Badan no. 00021/206/02/524/04 dan SKPKB PPN no. 00032/207/02/524/04
Mengajukan surat keberatan PPh Badan & PPN Th. 2002 L
Keli~arkepi--~t~-l-s;m penolakan terhadap surat keberatan PPh Badan, keputusan cacat formil.
Keluar keputusan penolakan terhadap surat keberatan PPN
Mengajukan permohonan banding atas SK SKPKB PPH Badan dan SKPKB PPN
Keluar Putusan 1VO dari pengadilan pajak terhadap banding SKPKB PPh yg diajukan
/
*
\
Mengajukan SKPKB PPh melalui permohonan PK ke MA I
Keluar Putusan dari pengadilan pajak yang berisi pengabulan sebagian besar terhadap SKPKB PPN
Putusan Mahkamah Agung dikeluarkan yang berisi penolakan karena putusan NO atas PPh sudah tepat dan benar
Oleh karena itu, mengajukan permohonan pembatalan SKPKB PPh Badan melalui pasal36 ayat l b
Keluar Putusan dari kanwil DJP yang berisi Penolakan terhadap pennohonan yang diajukan
Mengajukan kembali permohonan untuk ke dua kalinya atas pembatalan SKPKB PPh Badan melalui pasal36 ayat 1b
Keluar Putusan dari kanwil DJP yang berisi Penolakan terhadap permohonan yang diajukan
Mengajukan kembali permohonan atas pembatalan SKPKB PPh Badan secara jabatan
Kanwil Jateng I1 menjawab surat permohonan secara jabatan tidak dapat diproses, jawaban tanpa dasar hukum, sehingga formal jangka waktu 12 bulan jalan terus.
Mengajukan surat penegasan ke DJP Pusat atas balasan dari Kanwil Jateng I1
Paska 12 bulan, mengajukan surat ke DJP pusat dengan isi posita dan petetum Permohonan Pembatalan SKPKB PPh Badan
1
F
DJP membalas surat Wajib Pajak yang diajukan tgl20 September 2010, jawaban tanpa dasar hukurn, secara formal jangka waktu 12 bulan telah terlewati
I
Iviengajukan swat ite DJF dengan isi penegasan bahwa surat 30 November 20 11 telah lewat 12 (dua belas) bulan, tidak memberi keputusan
Mengajukan Gugatan, perkara formil dan materil, Sampai saat ini masih menunggu kepastian hukum
Dari kronologi di yang digambarkan di atas, bahwa ketentuan Pasal3 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan No. 542/KMK.04/2000 mengatur; bahwa Direktur Jenderal Pajak hams memberi keputusan atas permohonan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Permohonan diterima, bahwa Peraturan tersebut menunjuk Kepada Direktur Jenderal Pajak, sehingga merupakan Lex Spesialis. Bahwa Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Pengadilan Pajak menunjuk kepada Pej abat, sehingga merupakan Lex Generali. Bahwa oleh karena Peraturan Khusus mengalahkan Peraturan Umum (Lex spesialis derogat legi generali). Bahwa Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 apabila oleh Direktur Jenderal Pajak dihadapkan dengan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Pengadilan Pajak Nomor 14 Tahun 2002, maka timbul pertanyaan masalah konsistensi dan etika
kepatutan. Kekuasaan Pengadilan Pajak Pasal 3 1 ayat (3) UU Pengadilan Pajak; Pengadilan Pajak dalam ha1 Gugatan, memeriksa dan meinutus Sengketa atas Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalarn; Pasal 23 ayat (2) UU KLP dan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku. Berdasarkan kronologi yang terjadi, kewenangan DJP untuk memberikan Keputusan dalam jangka waktu atau paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Permohonan diterima akan berakhir pada tanggal 0 1-Desember-20 12. Bahwa 12 (dua belas) bulan dengan penghitungan; bahwa pada stempel POS pengiriman tertulis tanggal 02-Desember-20 11 untuk mencapai 12 (dua belas) bulan jatuh pada tanggal 0 1-Deseinber-2012. Bahwa antara tanggal 08-Maret-20 12 sampai dengan tanggal 0 1Desember-2002, DJP masih dalam jangka waktu atau memiliki waktu untuk memberi keputusan sesuai dengan yang ditentukan oleh Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 5421KMK.0412000 mengatur: bahwa DJP hams memberi keputusan atas Permohonan PALING LAMA 12 (dua belas) bulan sejak Permohonan diterima. Sehingga gugatan hanya sah dilakukan setelah lewat 12 (dua belas) bulan terhadap keputusan untuk tidak mengambil Keputusan dalarn jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Dari sisi penggugat, bahwa baik secara lisan dalam Persidangan inaupun tulisan dalam Swat Tanggapan Gugatan tanggal Mei 2013 dan dengan penegasan dalam Swat Tanggapan Akhir No. S-4615PJ.0712013 tanggal 10 Juli 2013 telah dinyatakan oleh DJP tidak menerbitkan keputusan atas Permohonan yang ditempatkan dalarn surat No. 01/SWA/XI/2011 tanggal 30 November 2011
bahwa keputusan adalah merupakan bukti lawan (tegenbewijs) atas gugatan, sebagai kelanjutan adalah sah dan meyakinkan berdasarkan tidak ada bukti lawan (tegenbewijs) oleh karena itu, ternyatakan untuk dapat dikualifikasi. Bahwa DJP melakukan tindakan hukum berupa; keputusan untuk tidak inemberi keputusan. Pasal 74 UU PP Menentukan; Pengakuan para pihak tidak dapat ditarlk kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diteriina oleh Majelis atau Hakim Tunggal. Bahwa yang dinyatakan secara lisan dalarn Persidangan dan yang dinyatakan dalarn Swat Tanggapan Gugatan tanggal Mei 20 13 berikut penegasan
yang
dinyatakan
dalam Swat Tanggapan Alchir No.
S-
46 15/PJ.07/2013 tanggal 1O Juli 20 13 berupa; DJP tidak meinberi keputusan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Permohonan diterima, bahwa keputusan a quo tidak diterbitkan dalam 12 (dua belas) bulan oleh DJP adalah terpenuhinya unsur sebagaimana diatur oleh Ketentuan Pasal 3 ayat (3)
KMK No. 542/KMK.04/2000; bahwa apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) telah lewat, DJP tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Permohonan Pengurangan atau Pembatalan sebagaimana persyaratan yang dimaksud Pasal2 (Pasal2 ayat (I), Pasal2 ayat (2) dan Pasal2 ayat (3)); Pasal2 ayat (1) mengatur; Bahwa Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan "Ketetapan Pajak yang Tidak Benar". Bahwa sesuai Ketentuan tersebut diatas Permohonan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak diajukan kepada Yth. Bapak
Direktur Jenderal Pajak yang diberi kewenangan untuk inelakukan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar atas SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 a quo. Pasal 2 ayat (2) mengatur; Bahwa setiap permohonan Pengurangan atau Pembatalan Utang Pajak sebagaimana dimasud dalam ayat (1) diajukan untuk "Suatu" Surat Ketetapan Pajak. Bahwa "Suatu" Surat Ketetapan Pajak adalah :
k Bahwa "SUATU" menyatakan kondisi yang belum ada ketentuan bentuk salah atau benar, sebagai kelanjutan persyaratan formal tidak terpenuhi pada tingkat Banding di Pengadilan Pajak dan Peninjauan Kembali di Mahkainah Agung.
>
Surat Ketetapan Pajak adalah sebagaimana dimaksud dengan pengertian dalam Pasal 1 angka 14 UU KUP. Pasal 4 ayat (2) mengatur; Bahwa terhadap Keputusan yang diterbitkan Direktur Jenderal Pajak yang berkaitan dengan Surat Ketetapan Pajak sebagaiinana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diajukan permohonan kembali paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan Keputusan tersebut.
Keputusan berdasarkan Kewenangan pada Pasal 2 ayat (1) joncto Pasal 3 ayat (2) KMK No. 542/KMK.04/2000 yang diterbitkan oleh DJP c.q. Kanwil DJP yang berkaitan dengan Surat Ketetapan Pajak adalah sebagai Keputusan yang merupakan produk hukum DJP c.q. Kanwil DJP, dan , produk hukurn sebagai Keputusan DJP c.q. Kanwil DJP dapat diajukan Permohonan kembali kepada DJP
paling lama 3 (tiga) bulan. Surat No. 01/SWA/XY2011 tanggal 30 November 20 13 di halaman 22,23 dan 24 menyatakan posita dengan petiturn menurut penghitungan Wajib Pajak atas Pajak yang terutang. Selain itu Surat No.Ol/SWA/XY2011 tanggal 30 November 201 1 menyatakan Permohonan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar atas SKPKB PPh Badan Tahun Pajak 2002 a quo : P Bahwa Permohonan tersebut diatas sebagai Perkara Materi Pokok
telah memenuhi persyaratan yuridis yang diatur oleh Ketentuan Pasal 2 (Pasal 2 ayat (I), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3)) Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 542/KMK.04/2000 mengatur : (1). Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan Pajak yang tidak benar. (2). Setiap permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) diajukan untuk suatu surat ketetapan pajak. (3). Setiap permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dirnaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan jurnlah pajak yang menurut perhitungan Wajib Pajak seharusnya terutang. Bahwa di dalam setiap Laporan Keuangan dari SPT Tahunan PT. Sentralwana Albasia terdapat hutang perusahaan kepada Pernegang Saham, dan
fakta yuridis tersebut telah dilegitimasi oleh telah dilakukannya Penelitian dan Pemeriksaan, oleh Kantor Pelayanan Pajak Magelang, dan terbukti secara sah dan ipso jure atas efektifnya Pasal29 ayat (1) dan Pasal 17A, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan stdtd UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 maka, Kantor Pelayanan Pajak Magelang menerbitkan, Swat Ketetapan, Swat Keputusan, dan Surat Pemberitaan Tahun Pajak; 1992,1993,1994,1995,1996,1997 dan 2001.
C. Hasil Penelitian
Bahwa dari kronologis uraian permasalahan perpajakan PT. Sentralwana Albasia Wood Working tersebut di atas dapat diketahui bahwa pemeriksaan pajak tahun 2002 yang dilakukan oleh fiskus pada tahun 2003 dengan mengkoreksi fiskal PPh khususnya Pph 23 padahal dasar koreksinya lemah dan tidak memperhatikan SPT tahun-tahun sebelumnya yang telah dilakukan pemeriksaan oleh pihak fiskus sendiri dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1997 dan terakhir tahun 2001 telah diketahui dan diterirna oleh pihak fiskus adanya pos hutang persero. lqamun pada pemeriksaan tahun 2002 pembayaran hutang persero tidak diakui oleh pihak fiskus dan Qanggap sebagai dividen, jadi terdapat ketidak konsitensian dari pihak fiskus. Jadi dari sisi materi atau pokok permasalahan sebenarnya dasar koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa sangat lemah bahkan bertentangan dengan fakta-fakta yuridis dari tahun-tahun sebelumnya. Seharusnya demi kepastian h u h n dan keadilan bagi wajib pajak terdapat suatu mekanisme koreksi yang bisa &tempuh oleh wajib pajak agar wajib pajak tidak
dirugikan dan tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat pajak. Namun yang terjadi pada kasus PT. Sentralwana Albasia Wood Working, wajib pajak mengalami kesulitan bahkan kerugian untuk mengupayakan atau mendapatkan keadilan atas koreksi fiskal yang ditetapkan secara sepihak oleh pihak fiskus secara sembarangan. Wajib pajak hams menempuh berbagai cara mulai dari proses keberatan, banding, membayar 50% dari pokok perkara, mengajukan PK ke Mahkamah Agung, inenyampaikan surat permohonan berkali-kali ke DJP, melakukan gugatan ke pengadilan pajak. Di mana semua upaya hukum tersebut memakan waktu yang sangat panjang dan melelahkan, dari 2003 sampai dengan awal 2014, sampai penelitian ini ditulis belum ada keputusan hukum. Jadi jalan bagi wajib pajak untuk mendapat keadilan terlalu lama, mahal, rumit dan melelahkan bagi wajib pajak. KESENJANGAN ANTARA PENGUSAHA DAN APARAT PAJAK
Masalah pajak di Indonesia adalah masalah yang sangat rumit, bagi dunia usaha pajak menjadi momok yang menakutkan karena sering menjadi faktor yang sulit dikendalikan, terlebih pada saat dilakukan pemeriksaan oleh aparat pajak pengusaha menjadi pihak yang inferior. Pemeriksaan pajak sampai saat ini lebih didasarkan pada potensi pajak atau target penerimaan yang dapat d.isetorkan ke kas Negara. Semakin besar jurnlah peredaran usaha atau penjualan perusahaan semakin besar pula probabilitas diperiksa oleh kantor pajak. Demikian pula semalun besar asset yang dilaporkan semalun besar probabilitas diperiksa karena dianggap potensi pajaknya besar. Sehingga
perusahaan yang melaporkan penjualannya atau assetnya besar akan sering dilakukan pemeriksaan, sebaliknya perusahaan yang kurang patuh dan tidak ada cross data kelawan transaksi dapat melaporkan penjualan dan assetnya sangat kecil inalah probabilitas diperiksa pajaknya kecil. Wajib pajak yang pernah dilakukan pemeriksaan cenderung akan diperiksa lagi. Sebaliknya wajib pajak yang tidak pernah atau jarang diperiksa juga akan jarang atau malah tjdak pernah diperiksa. Dengan pola pemeriksaan demikjan mendorong wajib pajak di Indonesia untuk tidak melaporkan atau memperkecil juinlah penjualan atau asset yang sesungguhnya agar tidak memanggil aparat pajak untuk datang memeriksa. Dari sisi peraturan perpajakan juga terdapat banyak sekali peraturan baru, tambahan atau revisi terhadap ketentuan yang sudah ada, boleh dikatakan secara urnurn hampir tiap minggu setidaknya tiap bulan terdapat peraturan baru, selungga wajib pajak seringkali mengalami banyak kesulitan bahkan kebingungan untuk dapat mengetahui ketentuan yang terbaru yang berlaku. Banyak peraturan baru yang diberlakukan mundur (back date), banyaknya pengecualian dan tarif yang berbeda-beda juga menjadi kesulitan tersendiri bagi para wajib pajak. Bahkan aparat pajak sendiri juga mengalami kesulitan untuk dapat menguasai dengan persis ketentuan/peraturan perpajakan yang berlaku sesuai bidang usaha dari wajib pajak. Rata-rata aparat pajak tidak dapat menjawab secara langsung pertanyaan dari wajib pajak tapi akan ininta waktu untuk mempelajari dulu ketentuan pajak yang berlaku sesuai dengan pertanyaan dimaksud. Jadi baik wajib pajak maupun aparat pajak sama-sama kesulitan mernaharni dengan tepat seluruh ketentuan perpajakan yang berlaku sesuai dengan
bidang usaha wajib pajak masing-masing. Kondisi demikian tentu saja tidak menguntungkan bagi wajib pajak karena inenjadi mudah sekali kecolongan terkena koreksi fiscal akibat belum dilaksanakannya suatu ketentuan bam. Peraturan pajak sebagai suatu peraturan yang apabila telah diundangkan di Berita Negara dianggap semua pihak telah inengetahuinya meskipun tanpa melalui sosialisasi terlebih dulu kepada wajib pajak, ditambah bahasa hukum yang digunakan pada peraturan perpajakan seringkali meniinbulkan tafsir yang berbeda bergantung dari persepsi masing-masing pembaca inenjadikan kesulitan tersendiri antara wajib pajak dengan aparat karena berbeda penafsiran mengenai suatu ketentuan perpajakan. Wajib pajak kembali menjadi pihak yang inferior atau lemah karena aparat pajak akan mengenakan koreksi fiscal sesuai penafsiran yang menguntungkan dirinya sendiri, Adanya beban target penerimaan yang hams dicapai oleh aparat pajak menjadikan beban tersendiri karena target penerimaan tersebut mau tidak mau hams dapat tercapai dengan cara apapun. Target penerimaan saat ini secara rutin bahkan harian dimonitoring secara ketat oleh masing-masing Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KaKPP) dan Kepala Wilayah (Kanwil) pajak. Dalam rangka upaya untuk mencapai target penerimaan tersebut seringkali memaksa aparat pajak melakukan himbauan, pemanggilan, pemeriksaan secara berlebihan kepada wajib pajak yang penting target penerimaan tercapai dan dinilai baik oleh pimpinan pajak. Semua jalan dan cara dihalalkan dalam rangka mencapai target tersebut. Oleh karena itu seringkali dunia usaha menjadi resah dan tidak kondusif apabila sudah berkaitan dengan pajak, apapun menjadi salah kecuali melakukan
tambah bayar atau talnbah setor dan jurnlahnya pun harus besar sehingga menjadi beban tersendiri bagi wajib pajak. Prof. Dr Mr J.Van der Poel
(IS)
( Direktur Pajak Kerajaan Belanda dan
Direktur merangkap Guru Besar Akademi Pajak Rotterdam), dalain bukunya
Rondom Composite en Crompomis mengutarakan, bahwa hukum pidana pajak sebanyak munglun hams sesuai dengan hukum pidana umuin. Sudah barang tentu tetap ada ketinggalan perbedaannya yang khusus, karena hukum pajak sangat membutuhkannya dalam detail-detailnya. Lagi pula, sekalipun dasar fikirannya sama, namun dalain sejarah ternyata pertumbuhannya agak menyimpang. Menurut pendapatnya, sebelum setengah abad yang lalu, pelanggaran-pelanggaran pajak terlalu dianggap simplistis (remeh) dan terlalu formal, sedangkan teori dan filsafat yang terbaru mengenai ha1 itu tidak lagi membedakan antara " pencurian " terhadap negara dan pencurian terhadap individu. Upaya reformasi birokrasi yang digulirkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun serasa belum cukup. Seperti diwartakan, upaya-upaya tersebut, misalnya, meningkatkan remunerasi pegawai pajak d m online payment. Dikatakan Emerson, guna mengikis habis masalah ini, diperlukan upaya reward
and punishment. Bagi yang berprestasi, pemerintah hams memberikan reward. "Bagi yang salah, hams dihukurn. Dan untuk memberikan efek jera, pelaku pajak (15) Prof: Dr Mr J. Van der Poel ( Direbur Pajak Ker$aait Belanda dan Direlclur
merangkap Guru Besar Akademi Pajak Rotterdam), dalam bukunya Rondom Composite en Crompomis.
jangan hanya pasal pidana biasa, tetapi juga money laundering dan undangundang tindak pidana korupsi. Harus berlapis. Tren saat ini, pelaku hanya dijerat pasal-pasal KUHP. Ini untuk meminimalisir pelaku bebas dari jeratan hukum."
PERLUNYA
PEMBARUAN
SISTEM
PERATURAN
PERUNDANGAN PERPAJAKAN Pencapaian target penerimaan pajak sebenarnya tidak saja melalui pengharapan bahwa masyarakat akan sadar .memnbayar pajak yang menjadi kewajibannya. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa tingkat realisasi pajak diperkirakan masih kecil. Ini berarti bahwa dengan peraturan perundangundangan yang sekarang, terutama Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, belum menjamin pemerintah mendapatkan dana pajak yang maksimal. Sebagai dasar hukum dalam melakukan pemungutan pajak, UndangUndang tentang Ketentuan Umurn dan Tata Cara Perpajakan serta UndangUndang lainnya yang terkait dengan perpajakan, hams dapat digunakan untuk mencapai target penerimaan pajak. Di sinilah pemerintah perlu mengamati dan mencerrnati perkembangan di dalam masyarakat, sehingga prinsip-prinsip dan metode pemungutan pajak tetap aktual. Kekuatan berlakunya hukum tidak semata-mata dilihat dari s e g yuridis, melainkan juga dari segi sosiologis.
Secara sosiologis, masyarakat tidak menginginkan suatu sistem yang ruinit dan berbelit-belit. Jarnan kini menuntut adanya kemudahan, kesederhanaan dan efektivitas. Tanpa inelihat faktor-faktor sosiologis ini, sulit pemerintah memperoleh hasil yang maksimal dengan memberlakukan sebuah UndangUndang. Sebagai contoh konkrit, saat ini di Internet berlaku sistem pembayaran online, baik melalui kartu kredt maupun dengan sistem-sistem pembayaran lain yang memiliki karakteristik yang berbeda daripada pembayaran sistem konvensional, seperti peinbayaran melalui rekening e-Gold, PayPal dan sebagainya. Berlandaskan tujuan agar target penerimaaan pajak akan terpenuhi atau bahkan melampaui target penerimaan, pemerintah hams melakukan upaya dan cara semaksimal mungkin, baik secara kuantitas, maupun secara kualitas untuk dapat mendukung sistem pembayaran ini. Tentu saja juga dengan melakukan pembenahan sistem adrmnistrasi perpajakan yang ada. Hanya dengan cara demikian pemerintah berperan aktif. Jadi, tidak melulu mengharapkan kesadaran yang tinggi d m pembayar pajak. Salah satu keengganan masyarakat di dalam membayar pajak disebabkan oleh rurnitnya birokrasi perpajakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pajak merupakan kewajiban yang hams dilakukan oleh pembayar pajak. Pemerintah melakukan pemungutan dan pembayar pajak wajib melakukan penyetoran. Di bidang pajak penghasilan, pembayar pajak diwajibkan memilih Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang diberikan sebagai sarana administrasi perpajakan
kepada peinbayar pajak dan sebagai tanda pengenal diri bagi wajib pajak di dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2000, NPWP ini berfungsi sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui identitas wajib pajak
2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
3. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan sehingga semua yang berhubungan dengan dokumen perpajakan hams mencanturnkan NPWP 4. Untuk inemenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan (misalnya, dalam surat setoran pajak). 5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan mencantumkan NPWP dalan dokumen-dokumen yang diajukan (misalnya, dokumen impor, dokumen ekspor).
6. Untuk keperluan pelaporan surat pemberitahuan (SPT) masa atau tahun.
Ketentuan yang mengharuskan adanya NPWP ini sebenarnya sangat dilematis. Di satu sisi, pemerintah perlu melakukan pengawasan dan tertib administrasi, di sisi lain, banyaknya calon-calon pembayar pajak tidak dapat tersalurkan. Dalam kenyataannya, target penerimaan pajak tidak tercapai karena jumlah minimnya pembayar pajak. Jika suatu pajak sulit dipungut, padahal potensinya
sangat
signifikan,
pemerintah
dapat
mengedepankan
asas
kesederhanaan. Di sinilah, pemerintah perlu mengainbil langkah-langkah bijaksana agar calon-calon pembayar pajak tanpa memiliki NPWP dapat dipungut. Pemerintah sebaiknya merancang sebuah sistem yang memungkinkan masyarakat yang ingin menyetorkan pajaknya tanpa hams melakukan pendafiaran untuk memperoleh NPWP. Menurut penulis, di sinilah peranan dari sistein Self Assessment, yang meinberikan tidak saja kepercayaan semata, melainkan juga menerima itikad balk dari pembayar pajak. Masih banyak masyarakat yang mau menunaikan kewajiban pajaknya, namun tidak dengan sistem yang rurnit tanpa adanya jaminan kepastian hukum. Selain itu, berkenaan dengan efisiensi administrasi perpajakan, pemerintah hams membuat sistem yang menentukan dasar pengenaan pajak dan tarif secara tetap sehingga tingkat klaim pengembalian pajak (restitusi) menjadi lebih kecil. Cara ini dapat dilakukan, misalnya dengan menghtung tarif secara lebih akurat seusai dengan obyeknya, tidak berdasarkan perhitungan rata-rata yang di kemudian hari dapat diminta restitusi bila pembayaran pajak berlebih. Menurut hemat penulis, sistem yang selama ini diterapkan lebih banyak merugikan karena sangat terbuka terhadap penyelewengan. Sudah waktunya bagi pemerintah melakukan pembaruan-pembaruan dalarn bidang administrasi perpajakan agar lebih sesuai dengan kondisi saat ini. Tata cara pemungutan pajak hams segera dimodernisasi dengan memanfaatkan teknologi-teknologi yang tersedia. Selain pembenahan segi administrasi perpajakan, pemerintah juga hams melakukan perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (fiskus) dan meningkatkan
kesadaran masyarakat dalain ha1 inembayar pajak dengan cara inensosialisasikan masalah-masalah perpajakan kepada masyarakat melalui media-media yang ada. Wajib pajak, terutama perusahaan dilaporkan banyak membuat pembukuan ganda untuk inengakali fiskus. Kondisi ini tentu meinbutuhkan fiskus-fiskus yang handal dan sekaligus bermoral sehingga tidak berkompromi dengan pembayar pajak dengan cara berkolusi. Peningkatan pengawasan dalam administrasi perpajakan juga menjadi bagian penting dalam reformasi perpajakan. Pemerintah hams merancang sebuah sistem yang dapat melakukan pengawasan terhadap fiskus maupun pembayar pajak agar sekecil inungkin penyelewengan dan kebocoran pajak dapat dihndari. Tidak kalah pentingnya bahwa optimalisasi penerimaan pajak sedilat banyaknya dipengaruhi oleh wujud nyata dari pembayaran pajak itu sendiri. Di sini, pemerintah dituntut benar-benar menggunakan dana pajak untuk kesejahteraaan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkannya. Transparansi administrasi perpajakan dibutuhkan guna memuluskan cita-cita ideal ini. Di awal pembahasan ini, telah disinggung bahwa pembayar pajak tidak mendapat manfaat secara langsung. Namun, bila pemerintah dapat menunjukkan bukti nyata dari manfaat tidak langsung tersebut, bukan mustahil target penerimaan pajak akan tercapai.
PEMBENAHAN TERaADAP MENTALITAS APARAT PADA DIREKTORAT
JENDERAL
PAJAK
SEBAGAI
PELAYAN
MASYARAKAT Upaya selanjutnya adalah upaya penegakan hukum terhadap terjadlnya
penyimpangan, . yaitu dengan menindak tegas jika memang ada dan terbukti .
sebagian dari mereka melanggar aturan main yang telah ada. Upaya terakhir itulah yang tampaknya sangat penting mengingat kenyataan di lapangan telah sedemikian rupa, sehingga proses penegakan hukum deini pulihnya citra aparat pajak menjadi sangat diperlukan. Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia ProJ: Dr. Gunudi, MSc., Akt., menuturkan sehubungan dengan reformasi, disimpulkan bahwa pajak ini
mengikuti fenomena kehid-tpafi sosial ekonomi iiiasyarakat. Ei setiap peiubahan kehidupan sosial perekonomian masyarakat maka sudah sepantasnyalah bahwa pajak hams mengadakan refonnasi. Refonnasi perpajakan ini pada dasarnya ada dua. Yang pertama adalah refonnasi regulasi atau peraturannya yang berupa undang-undangnya. Kemudian yang kedua, reformasi administrasinya. Refonnasi regulasi ini berarti bahwa undang-undang uajak itu perlu disesuaikan dengan perubahan situasi dan kondisi baik sosial ekonomi maupun sistem hukum yang berlaku di negara kita. Dengan demikian kalau ada perubahan model-model atau metode-metode berbisnis maka setiap mode-mode bisnis baru ini yang umumnya belum ditampung di dalam perundangan perpajakan, ini akan ditampung daiam UndangUndang Perpajakan. Demikian juga dengan adanya kemungkinan yang disebut sebagai loopholes atau celah-celah di dalam Undang-Undang Perpajakan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, ini juga akan segera disesuaikan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku karena celah-celah yang dimanfaatkan oleh
masyarakat yang diikuti dengan penghindaran, penyelundupan, penggelapan pajak, ketidakpatuhan, dan ha1 ini menimbulkan ketidakadilan di dalam perpajakan. Ketidakadilannya dimana, yaitu bahwa orang yang patuh inembayar pajak beban pajaknya dirasa menjadr berat dibandingkan dengan orang yang tidak patuh membayar pajak. Demikian juga dengan tingkat persaingan, pengusahapengusaha yang patuh membayar pajak itu akan mempunyai daya saing yang kurang dibandingkan dengan mereka-mereka yang tidak patuh membayar pajak. Kemudian untuk reformasi administrasi, dapat kami sampaikan bahwa administrasi perpajakan ini tujuan yang terutama dan utama untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kedua, untuk mengadministrasikan atau untuk mengelola penerimaan pajak sehingga penerimaan pajak ini setiap saat bisa di cek transparansinya dan akuntabitasnya dan sekaligus pengeluaran pembayaran uang dari pajak. Yang ketiga, untuk inemberikan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan pajak. Pengawasan ini dapat dilaksanakan baik kepada aparat pengumpul pajaknya maupun kepada wajib pajak ataupun masyarakat pembayar pajak. Terutama sekali didalam reformasi untuk pengawasan kepada aparat pengumpul pajak ini kita laksanakan untuk meningkatkan kualitas dan integeritas dari para pengumpul pajak. Sehingga suatu ketika dapat diharapkan bahwa uang yang betul-betul drbayarkan oleh masyarakat dapat diterima sepenuhnya oleh negara dan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian bahwa suatu semboyan pajak dari rakyat kemudian dikurnpulkan atas nama rakyat dan untuk rakyat, ini betul-betul dapat dilaksanakan dengan baik.
Jika tidak demikian, semua petugas pajak akan gainang dalam inelaksanakan tugasnya. Dilema dan kegamangan akan merugikan semua pihak. Pajak yang dikelola secara administrasi (termasuk proses pemeriksaan dan keberatan) hams dituntaskan dengan proses hukum administrasi. Sulit dibayangkan apa jadinya jika petugas pajak tidak mau menuntaskan keberatan WP atas ketetapan pajak yang terbit. WP akan rugi, negara pun akan rugi. Akhirnya, pajak dalarn APBN akan terganggu. Terganggunya APBN akan mengganggu percepatan berbagai kegatan pemerintahan termasuk pembangunan fasilitas publik. Kepatuhan pajak menurut International Tax: Glossary sebagaimana ~) adalah tingkatan yang menunjukkan wajib dikutip Chaizi ~ a s u c h a ( ' (2004) pajak patuh atau tidak patuh terhadap aturan pajak di negaranya. Kepatuhan pajak merupakan pelaksanaan atas kewajiban untuk atau menyetor dan melaporkan pajak yang terhutang sesuai dengan peraturan perpajakan. Di dalam SelfAssessment System, kepatuhan pajak yang diharapkan adalah kepatuhan pajak yang sifatnya sukarela (teori konsensus) dan bukan kepatuhan yang dipaksakan. Artinya bahwa kepatuhan pajak yang ada pada d r i wajib pajak diharapkan merupakan kepatuhan yang bersumber pada adanya kesadaran dalam berpajak, sehingga kesukarelaan lahlr. Sedangkan kepatuhan yang dipaksakan biasanya ada karena wajib pajak hams mementh kewajiban terhadap undangundang yang memaksa karena ketentuan sanksinya yang berat. (16) Chaizi Nasucha, 2004, Refonnasi Administrasi Publik (Teori darr Prabk), Grasindo,
Jahta
Sedangkan dilihat dari perspektif hukum menurut Soerjono Soekanto bahwa kepatuhan dapat mengandung empat proses utama, yaitu :
1 . Indoctrination, yaitu orang m e m a t h hukum karena diindoktrinasi untuk
berbuat seperti yang dikehendaki oleh kaidah hukum tersebut. Keadaan ini umumnya terjadi melalui proses sosialisasi sehingga orang mengetahui dan mema&
kaidah hukum tersebut.
2 . Habituation, yaitu sikap lanjut dari proses sosialisasi diatas. Dimana
dilakukan suatu sikap dan prilaku yang terns-menerns dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan. 3 . Utility, yaitu orang cenderung untuk berbuat sesuatu karena memperoleh manfaat dari sikap yang dilakukannya. Orang akan mematuhi hukum karena merasakan kegunaan hukum untuk menciptakan keadaan yang diharapkan. 4 . Group Identification, yaitu kepatuhan hukum berdasarkan pada kebutuhan untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok sosialnya. Kepatuhan terhadap hukum danggap merupakan sarana yang paling tepat untuk mengadakan identifikasi tersebut (Chaizi Nasucha, 2004)(17).
(1 7 ) Chaiu' Nasucha, 2004, Reforrnasi Administra~iPublik (Teori dun Praktik), Grasindo,
Kepatuhan sukarela sebagaimana diharapkan dari Self Assessment System dalam kenyataannya inasih belum optimal. Hal yang mendorong wajib pajak untuk melakukan kepatuhan tersebut salah satunya karena pengelolaan pajak belwn efektif, sehingga manfaatnya belum dapat kembali dinilnati masyarakat. Namun demikian, sebelum sampai pada taraf pengelolaan penerimaan pajak kadangkala ditengah jalan dijumpai adanya ketidakpuasan wajib pajak terhadap kinerja aparat. Ketidakpuasan cendemng membuat wajib pajak melakukan penghindaran. Wajib pajak dengan kesadaran yang masih rendah memang masih sulit diharapkan untuk dapat melaksanakan Self Assessment System secara jujur dan transparan. Kepatuhan pajak pun pada akhirnya hams dipaksa dilakukan demi memenuhi target pemasukan pajak ke dalam kas negara. Aparat pajaklah yang menjadi salah satu petugas benvenang untuk memaksakan kewajiban pajak masyarakat. Kontrol terhadap kepatuhan wajib pajak masih hams dilakukan oleh aparat pajak. Sebagai pengontrol, maka diri aparat pajak mutlak hams bersih. Namun dalam perjalanannya persoalan muncul, tidak tertutup kemungkinan terjalin kerja sama haram antara wajib pajak dengan aparat pajak yang kurang profesional. Memang tidak mudah melaksanakan Self Assessment System, tetapi upaya ini hams berkelanjutan dan tugas utama seluruh aparatur pajak adalah mewujudkannya. Kepatuhan wajib pajak secara sukarela ini akan mempunyai dampak besar, bukan saja bagi instansi pajak secara parsial, melalnkan juga bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan dan kenyataannya dapat meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak secara sangat luar biasa. Oleh karena itu,
target kepatuhan sukarela ini mestinya merupakan misi utama dari seluruh jajaran aparatur pajak dan aparatur pemerintah lainnya secara universal Bagaimanapun peran aparat pajak dalan menjalankan fungsinya sebagai pelayan, pembina atau penyuluh, pengawas dan penerap sanksi masih dibutuhkan. Lalu apa jadinya jika aparatnya saja sudah menyimpang? Oleh karena itu, kunci utama peningkatan kepatuhan pajak wajib pajak untuk dapat melaksanakan Self Assessnzent System adalah tersedianya aparat pajak yang profesional. Jika tidak
profesional, maka penyelenggaraan penegakan hukum terhadap mereka menjadi harapan besar. Tentu saja ha1 tersebut akan berkaitan erat dengan profesionalitas aparat penegak hukwn di lapangan. Proses penegakan hukum menjadi cara jitu
untuk mendongkrak
keprofesionalitasan aparat pajak dalarn melakukan tugasnya. Melalui cara itu diharapkan kualitas aparat pajak meningkat dan citra aparat pajak berangsurangsur akan membaik, tentu saja hams dilakukan secara tegas dan konsisten. Berbagai kenyataan di lapangan telah memberikan bukti bahwa kinerja yang buruk oleh sebagian aparat pajak justru membuat kepatuhan wajib pajak makin menurun. Pencitraan kembali wajah aparat pajak yang terlanjur memiliki "lembar hitarn" tampaknya memang hams disertai dengan tekad bulat untuk segera dilakukan. Penyelewengan demi penyelewengan yang semakin lama justru inenjadi "budaya" akan semakin menipiskan harapan untuk mewujudkan penerimaan pajak sesuai target. Harus dijauhkan pandangan salah mencari "target" tertentu kepada fiskus yang memang menjalankan pekerjaannya dengan itikad baik. Lalu, apa ukurannya
itikad baik yang dimaksud undang-undang? Penjelasan Pasal 36A Ayat (5) tegas menyebutkan petugas pajak yang melaksanakan tugasnya tidak mencari keuntungan dan tindakan lain berindikasikan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dianggap beritikad baik. Kalangan akademisi dan praktisi di bidang perpajakan patut memberikan banyak masukan kepada penegak hukum. Nota kesepahaman Ditjen Pajak dengan Kepolisian beberapa waktu lalu, hams memberikan ruang untuk mendapatkan satu visi yang sama memandang pajak dalam konteks hukurn pajak. Begitupun dengan pihak Kejaksaan. Itulah sebabnya, inulai saat ini perlu menyamakan persepsi melihat hukum pajak dalam arti hukum admnistrasi yang memiliki jalur hukumnya sendiri, sejauh tidak ada unsur KKN dan unsur keuntungan bagi diri petugas pajak itu sendiri. Penegakan hukum menjadi jalan untuk mengukuhkan aparat pajak menjadl aparat yang mampu menjalankan fungsi-fungsinya kepada masyarakat, khususnya terhadap waj ib paj ak.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan mengetahui Implikasi Undang-undang Perpajakan Pasal 36 Ayat l b KLP tahun 2000 Terhadap Penegakan Keadilan Bagi Wajib Pajak, apakah dan bagaimana Undang-undang yang telah diterapkan tersebut telah memberikan unsur keadilan sebagaimana diharapkan. Apakah implikasi dari ketentuan perpajakan tersebut telah cukup memberikan unsur keadilan kepada wajib pajak. Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara terhadap subjek yang berwenang atau subjek yang kompeten dan observasi langsung pada laporan keuangan dan data-data yang telah didapatkan. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya Implikasi Undang-undang Perpajakan Pasal 36 Ayat 1b Terhadap Penegakan Keadilan Wajib Pajak bahwa peraturan tersebut terlalu lama, mahal, rumit dan melelahkan bagi wajib pajak untuk mendapatkan keadilan dalarn bentuk kepastian hukum bagi PT. SentralwanaAlbasia Wood Worlung. Teori keadilan menjadi landasan utama yang hams diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari hukum. Bagnya, keadilan dipaharni dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesarnarataan. Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukannya. Arietoteles juga membedakan
dua macam keadilan, keadilan "distributiej" dan keadilan "conzmututief '. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan comnzututief inemberikan saina banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya. John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa "maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu : pertama, memberi b k dan keseinpatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (recprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari
kelompok beruntung maupun tidak beruntung." John Raw1 dengan konsep "posisi asli" (original position) terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu. Hans Kelsen mengemukakan keadlan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui j uga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni Iahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atas kehendak Tuhan. Pengertian "Keadilan" bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah "adil" jika ia benar-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah "tidak adil" jika diterapkan pada suatu
kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Keadilan dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat, dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu hams menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya. Keadilan didalam perspelctif hukum nasional ini adalah keadilan yang menselaraskan keadilan-keadllan yang bersifat urnum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Keadilan ini lebih menitikberatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
B. Saran 1. Untuk mencapai perspelctif keadilan dalain hukum nasional yang paling utama diperlukan pemahaman dan kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara, oleh karenanya sikap, perbuatan untuk meneinpuh kebahagiaan dan kesejahteraan pada individulah perlu ditanamkan lebih dulu. 2. Antara hukurn dan keadilan bagaikan dua mata pisau yang tajam yang berlawanan, tidak pernah menyatu, oleh karenanya diperlukan suatu materi peraturan hukurn nasional yang dapat menghannonisasikan antara hukum dan keadilan, dalam arti peraturan yang memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban, maupun peraturan yang menegaskan untuk mengutamakan kepentingan umum Qatas kepentingan inQvidu.
3. Perlu penyederhanaan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia saat ini agar mudah Qpelajari oleh seluruh pihak yang berkepentingan baik wajib pajak maupun aparat pajak, sehngga penegalckan peraturan dan penegakkan
keadilannya menjadi jelas, sederhana, cepat, mudah, dan murah. 4. Perlu perbaikan atas mentalitas aparat pajak agar dalam melaksanakan tugas pemeriksaan lebih berhati-hati, memperhatikan unsur keadilan bagi wajib pajak karena saat ini pemeriksaan pajak yang kurang berhati-hati (sembrono) membawa dampak kerugian yang besar bagi wajib pajak dan jalan untuk memperoleh keadilan bagi wajib pajak telah sulit, lama, dan mahal.
DAFTAR PUSTAKA
http://~~~.pa_jak.go.idcontent/seri-pph-paiak-penghasilan-pasal-23, 23 Februari
2014 http://www.ortax.orn/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=3 583 , 21 Februari
2014 http://www.kanwilioaia.paiak.~o.idppaiak.php?id=4267,21 Februari 2012
---------,Keputusan Menteri Keuangan 512/KMK.ON2000 tanggal22 Desember 2000, Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak
---------,Surat Direktur Jenderal Pujuk Nomor S - 165/PJ. 312/1992 Tentang Pinjaman Tanpa Bunga dari Pemegang Saham
--------- Undang-undang KUP Tuhun 2007, Pasal II ayat I
Tentang Kewajiban
Perpajakan Tahun 2001 s/d Tahun 2007 yang belum diselesaikan diberlakukan UU
KUP Tahun 2000.
---------, UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 36 ayut (2) Tentang Tata-Cara Pengurangan, Penghapusan atau Pembatalan Utang Pajak. Beilharz, Peter. Ed. Teori-Teori Sosial. (Social Theory: A Guide to Central Thinkers). Diterjemahkan oleh: Sigit Jatmiko. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
2002.
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur. International Law Book Services. 1994. Dannodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 1995. Friednann, W. Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan oleh: Mohamad Arifin. Susunan I. Cetakan 11. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1993.
.
Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan oleh:
Mohamad Arifin. Susunan 11. Cetakan 11. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1993. Hart, H.L.A. .The Concept Of Law. Tenth Impression. London. Oxford University Press. 1961. Kelsen, Hans. Introduction To The Problems Of Legal Theory. (Reine Rechtslehre). First Edition. Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford. Clarendon Press Oxford. 1996. Nasucha, Chaizi. Reformasi Adrninistrasi Publik (Teori dan Pr&k).
Grasindo.
Jakarta. 2004. Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Edisi Revisi. Cetakan 11. Jakarta. Pustaka Mizan. 1997.
Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya. (Open Society and Its Enemies). Diterjeinahkan 01eh:Uzair Fauzan. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002. Ansori, Abdul Gafur, 2006, Filsafat Hukum Seiarah, Aliran Dan Peinaknaan, Gajah Mada Universisty Press, Yogyakarta. Fuady, Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor. Garvey, James, 2010, 20 Karya Filsafat Terbesar, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Halim, A. Ridwan, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Dalarn Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta. Kelsen Hans, 2009, Penaantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung. Manullang, E. Fernando M, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Koinpas, Jakarta. Rato,Dominikus, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya. Carl Joachiin Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung. Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1. Hans Kelsen, 2011, General Theow of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung.
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum dalain lintasan seiarah, cet VIII, kanisius, Yogyakarta. John Rawls, 1973, A Theow of Justice, London: Oxford University press, yang sudah diterjeinahkan dalain bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta. Suhrawardi K. Lunis, 2000, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Kahar Masyhur, 1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta.