YOGYAKARTA RIMBA DISKRIMINASI 1 Ringkasan Pendek2 Oleh Eko Prasetyo, SH dan Ari Sujito, S.Sos
DISKRIMINASI SEBUAH KERANGKA TEORITIS
Tiap kali kita menyebut tindakan diskriminasi maka disitu terdapat serangkaian arti yang mengarah pada bagaimana perlakuan berbeda itu diterapkan. Tiap tindakan yang diklasifikasikan sebagai diskriminasi selalu menempatkan seseorang, entah itu korban atau pelaku, dalam oposisi biner atau berlawanan. Diskriminasi nyata-nyata bukan tergantung dari sikap, pendapat atau semata-mata penilaian; akan tetapi juga berkait erat dengan bagaimana sistem sosial menempatkan posisi seseorang. Diskriminasi sesungguhnya merupakan wujud dari sebuah hubungan yang simetris, dimana masing-masing pihak berada dalam kedudukan yang saling mengeras. Kerapkali diskriminasi juga merupakan bentuk pengukuhan dari sebuah identitas, yang mana masing-masing kelompok, mendapatkan posisinya dalam kedudukan yang lebih unggul. Makanya diskriminasi, tak mengherankan, selalu saja bersangkut-paut dengan sederet prilaku yang kadangkala sudah berlangsung lama di masyarakat. Disana ada sterotipe, yang mewakili pandangan diskriminatif dan terlanjur dikukuhkan oleh sistem sosial serta budaya di masyarakat. Adalah Walter Lippman yang pertama kali menyatakan, kebanyakan tindakan seseorang bukan dipengaruhi oleh pertimbangan akal sehat melainkan juga didorong oleh hasil cetakan yang dibentuk sekian lama sehingga menjadi cara pandang tertentu. Sehingga diskriminasi dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari apa yang memang terlanjur lazim di masyarakat. Misalnya saja bagaimana beda perlakuan antara pria dan wanita atau antara kaum defabel dengan yang bukan. Sementara itu selain pada latar belakang kebudayaan diskriminasi adalah hasil dari sebuah proses sosial masyarakat yang mengalami kontradiksi. Diantaranya adalah efek dari pembangunan industrialisasi yang berorientasikan pada terciptanya tatanan masyarakat yang mengandalkan rasio berdampingan dengan dihelanya pertumbuhan 1
Disampaikan dalam Workshop II Penyusunan Strategi Kampanye Anti Diskriminasi, tg. 15-16 Januari 2003 di Hotel Jayakarta 2 Makalah ini merupakan versi ringkas dari sebuah edisi yang lebih lengkap dan memuat sejumlah data serta wawancara terhadap beberapa responden
1
ekonomi hingga mencapai titik kulminasi tertentu. Dengan latar belakang demikian kerapkali diskriminasi hadir bersamaan dengan pembentukan pengorganisasian klas sosial masyarakat yang sedang tumbuh. Alasan utama mengapa kecenderunganya demikian itu terjadi, diantaranya adanya kebutuhan dan keinginan mendapatkan pelayanan yang berbeda. Pada beberapa fasilitas publik sering banyak terjadi bagaimana pola diskriminasi ini diterapkan dan sulit untuk diidentifikasi, karena seringkali berlindung, di balik sistem birokrasi. Dapat dicatat bagaimana birokrasi berjalan dengan budaya yang mengandalkan pada sistem patronase. Patronase telah membawa dampak dalam birokrasi khususnya pada kedua sisi yang amat krusial, yakni pertanggung-jawaban terhadap publik serta rendahnya kontrol masyarakat. Birokrasi yang pada dasarnya menjadi wadah bagi segala urusan yang bersangkut-paut dengan kepentingan publik, kerapkali menjadi, sistem yang impersonal dan beroperasi secara sewenang-wenang. Terdapat banyak bukti bagaimana birokrasi dengan angkuh melakukan berbagai praktek yang berbau kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) Nampaknya bukan semata-mata karena muaranya ada di birokrasi saja akan tetapi juga diskriminasi, sekali lagi, muncul ketika klas-klas sosial di masyarakat saling berkompetisi di arena yang memang tidak ada aturan main yang cukup fair. Aturan main itu disebut sebagai tatanan hukum, yang mana secara prosedural memiliki kewenangan untuk mengatur segala bentuk hubungan yang terjadi antara klas-klas sosial di masyarakat. Hukum-lah yang menetapkan secara tegas, jelas dan konkret sanksi pada siapapun yang melanggar kesepakatan bersama. Hukum mustinya memberikan jaminan pada semua orang untuk dapat mengakses segala keperluanya dengan perlindungan penuh dari kekuasaan. Dari hukum masyarakat menetapkan apa itu ‘hak milik’ dan bagaimana hak itu dimanfaatkan agar tak melanggar hak orang lain. Melalui hukum belajar apa yang dimaksud dengan kepentingan umum dan bagaimana itu ditetapkan. Tapi lagi-lagi kekecewaan muncul, manakala hukum memang belum mampu mengambil fungsi idiilnya bahkan yang mengecewakan, berbagai pengkhianatan terhadap hukum terus dilakukan. Maka wajar jika kemudian kepercayaan publik merosot pada lembaga maupun aturan hukum. Jikalau demikian maka lengkap sudah serangkaian faktor yang memicu tindakan diskriminasi. Pertama sangat mungkin diskriminasi merupakan prilaku kolektif yang didukung oleh segala sistem kebudayaan dan sosial tertentu. Menariknya kondisi demikian ditunjang oleh perangkat sosial masyarakat baik berupa lembaga pendidikan maupun sistem birokrasi. Kedua sistem itu makin hidup di tengah kondisi politik yang mengalami masa-masa transisi. Sebagaimana diketahui, transisi selalu diawali dari kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi secara lebih bebas. Kebebasan ini yang selayaknya dijaga atau dibatasi oleh mekanisme konstitusi menjadi kurang mampu dikendalikan, karena lemahnya daya ikat ketentuan-ketentuan hukum maupun aparat lapanganya. Pertanyaanya kemudian bagaimana diskriminasi itu kemudian merambat luas, hingga menjadi aktivitas keseharian yang sulit untuk dicegah?
2
Kerangka Teoritis Konsep Diskriminasi
Adalah Jack Snyder, guru besar ilmu politik Universitas Columbia, melakukan penelitian memikat tentang hubungan Demokratisasi dengan konflik SARA. Tesisnya dibangun dari sebuah kenyataan bahwa, hampir semua konflik etnis yang penuh kekerasan selama dasawarsa 1990-an terjadi di negara yang baru mengalami kebebasan politik, perlindungan hak-hak sipil dan kebebasan pers. Konflik itu memuncak ketika gelombang ke arah demokratisasi itu juga memuncak. Temuanya yang menarik itu bermula dari dua konsep dasar tentang nasionalisme (baca politisasi SARA) dan demokrasi3. Buat Synder kedua konsep itu memiliki implikasi pada bentuk partisipasi di tingkatan rakyat, dimana masing-masing bentuk partisipasi berjalan dengan gaya berbeda. Kunci pembedaan itu ada pada dua hal yakni faktor: motivasi dan peluang. Apa motivasi di balik ledakan partisipasi, adakah kesesuaian antara kepentingan para elit dengan tatanan demokratik. Semakin terancam kepentingan para elit oleh demokratisasi maka motivasi untuk menghancurkan tatanan demokratik akan semakin besar. Sedangkan peluang adalah seberapa besar kipasan isu SARA dengan kualitas yang ada pada pranata demokrasi. Di suatu negara dimana birokrasi berjalan demikian kuat dan pranata partisipasi politik lemah, maka peluang untuk mengipasi isu SARA dapat mudah tersulut. Penjelasan Snyder ini sebenarnya hendak meringkaskan sebuah tesis besar, bahwa percikan kerusuhan yang berbalut SARA akan lebih mudah muncul akibat dari proses persaingan politik yang tidak beriring dengan kuatnya pranata demokrasi. Pranata politik yang demokratis sepertinya menjadi kunci pemahaman tesis diatas, akan tetapi yang luput dari pendekatan diatas, adalah bagaimana nilai-nilai yang tertanam itu mampu direhab. Suatu nilai atau pandangan yang cenderung diskriminatif apa dengan gampang bisa dirontokkan oleh munculnya pranata politik. Karena nilai yang memiliki kemampuan sebagai penggerak tingkah laku suatu kelompok muncul melalui berbagai jalur. Dengan kemunculan berbagai organisasi, misalnya kelompok milisi bersenjata, nilai dan pandangan diskriminatif itu mengalami pengorganisasian. Tak jarang melalui pengintegrasian dalam bentuk simbol-simbol tertentu, nilai dan pandangan diskriminatif itu diusahakan untuk menjadi bagian integral dari sebuah identitas suatu kelompok. Pada titik ini, benar jika dikatakan bahwa, sosialisasi melalui berbagai instrumen formal maupun non formal dan juga 3
Syender mempertajam rumusan nasionalisme sebagai “doktrin bahwa rakyat, yang percaya punca ciriciri khas dalam kebudayaan, sejarah, lembaga dan kaidah-kaidah sosial, patut punya hak untuk mengatur diri sendiri dalam suatu unit politik yang berfungsi mencerminkan dan melindungi ciri-ciri tersebut” Sedangkan pengertian demokrasi dibedakan antara “demokrasi matang” dan “yang sedang demokratisasi”, dimana kalangan ahli politik kadang mempertautkan ini dengan mampu-tidaknya kekuasaan untuk menjalankan fungsi konsolidasi. Lih Parakitri T Simbolon, Demokratisasi Menimbulkan Disintegrasi, Kompas 02-03-2001.
3
pengorganisasian memberikan kontribusi bagi kebudayaan atau kultur yang diskriminatif. Patut dicatat, dalam kaitan ini, adalah kontribusi dari faktor kebudayaan; sebagaimana pengertian Karl Jaspers4, kebudayaan memiliki dua makna; pertama Das Umgreifende, nilai-nilai yang didukung oleh organisasi sosial di atas suatu landasan materil yang sesuai sehingga membentuk suatu konfigurasi; kedua sebuah Gestalt dimana bagian-bagianya mendapat makna, suatu Geist, memberikan kesatuan kepada pikiran dan perasaan. Dengan pengandaian ini, apa yang membuat prilaku maupun organisasi yang berwatak diskriminasi itu subur? Apakah pranata politik atau kebudayaan yang tidak produktif memberinya lahan untuk eksis? Mungkin pengalaman Hannah Arendt5 ketika mengamati kekuasaan buas Hitler bisa dipetik pelajaran. Hitler merupakan lambang yang tepat untuk menggambarkan bagaimana prilaku diskriminasi itu dijalankan dengan sangat antusias. Bagi Arendt kondisi ini timbul karena memang, batas antara kekuasaan serta tanggung jawab sudah tidak ada lagi. Kenapa muncul sikap demikian? Arendt menyantakan, ketidaan berpikir membuat orang memiliki kemungkinan berpikir irrasional dan gilanya, dukungan massif dengan gampang diperoleh. Apa yang membuat dukungan itu muncul, ada dua jawaban yang dimunculkan oleh Arendt yakni, klasifikasi dimana pikiran orang dimanipulasi sehingga dengan wajar diterima gagasan tentang perlunya memperlakukan kelompok yang berbeda dengan dirinya secara berbeda pula. Bagi mereka keragaman pikiran disangkal yang muncul hanyalah kepatuhan yang membabi buta. Jawaban kedua ada dalam birokrasi, dimana jaringan birokrasi menjadikan manusia memusatkan diri pada kelanjutan pekerjaan sematamata tanpa mempertanyakannya. Melalui Arendt sebuah kenyataan modernitas dibongkar, karena menurutnya, semua kejahatan diskriminasi difasilitasi oleh elemenelemen progresif modern. Norma-norma yang dalam bentuk ketepatan tekhnis, efisiensi, obyektifitas ilmiah, distansi emosi; adalah nilai-nilai yang kadang menjadi perantara efektif bagi pemfungsian diskriminasi. Dalam konteks inilah Arendt percaya, kalau manusia bukan hanya tidak selalu mampu mengetahui dan mengontrol efek dari tindakanya, ia juga seringkali bahkan tidak bisa menghentikan rangkaian tindakan yang muncul, begitu memulainya. Arendt secara kritis melakukan telaah lebih mendalam mengenai hakekat watak manusia yang berprilaku diskriminatif. Dalam karya besarnya The Human Condition, Arendt6 memfokuskan tiga kegiatan dasariah manusia, yakni kerja7, karya8 dan tindakan. Bagi Arendt ketiga hal diatas bisa mengantarkan manusia dalam perubahan, diantaranya yang dimaksud adalah tindakan, dimana manusia melakukanya dalam konteks hubungan dengan orang lain. Apakah sebuah tindakan diskriminasi itu? Arendt menjawab tangkas, 4
Lih Ignas Kleden, Sikap Ilmiah & Kritik Kebudayaan, LP3ES, 1998, Jakarta Lih Karlina Leksono-Supelli, Sebuah Warisan Tanpa Wasiat, Kompas 01-02-2001 6 Lih Haryatmoko, Budaya Politik Santun dan Pruralitas, Kompas 02-02-2001 7 Kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup. Seperti binatang, manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariah untuk hidup. Makanya “bekerja adalah perbudakan demi kebutuhan hidup, dan perbudakan ini melekat dalam kehidupan manusia” Kerja menghasilkan barang yang habis dikonsumsi. 8 Melalui karya manusia menghasilkan obyek dan dapat mengusai alam serta membebaskan diri dari ketertundukkan pada binatang, sehingga manusia disebut homo faber 5
4
diskriminasi yang berujung pada kekerasan, dimulai dari adanya tindakan yang tanpa wicara. Atau dapat diringkas dengan lebih sederhana, tindakan yang sama sekali tidak menerima pruralitas. Kapan itu terjadi? Tentu ketika kekuatan kata-kata diubah menjadi propaganda yang biasanya berfungsi semata-mata, untuk memobilisir. Bahasa propaganda inilah yang biasanya muncul, karena terobsesi untuk mendapatkan hasilhasil yang konkret dan tidak sabar dengan proses politik yang berjalan amat lamban. Pada tingkatan inilah, diskriminasi berjalan dengan rapih dan digalang melalui persekutuan politik yang dihasilkan melalui proses politik yang otoriter. Ini artinya peluang terjadinya diskriminasi biasanya ada pada sistem maupun kondisi politik yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai pruralitas. Jika kekuasaan mengambil bentuk otoriter maka yang terjadi dan kerapkali muncul adalah dipakainya cara-cara kekerasan. Diskriminasi akan cenderung memanfaatkan cara-cara kekerasan, karena dengan itu, dapat dihidupkan ketakutan sehingga lebih mudah propaganda dikerjakan. Namun apa yang sesungguhnya menjadi karakter khas dari sistem politik yang otoriter, apakah itu melulu seperti yang berlangsung pada pemerintahan Hitler, Stalin atau Mussolini. Mungkinkah sistem politik yang otoriter itu juga terjadi melalui pranatapranata yang dari ‘sisi luar’ memenuhi kriteria demokrasi? Mungkin sosok yang agak jeli dalam memandang kekuasaan adalah Michel Foucault9. Berbeda dengan teoritisi sebelumnya, Foucault memandang kuasa bukan lagi bersifat subyektif. Ia menolak pandangan Marxistis, dimana kuasa tidak sematamata bekerja dengan cara negatif dan represif, kadangkala melalui cara positif dan produktif. Dalam artian ini kuasa tidak bekerja melalui cara penindasan, melainkan dengan menempuh kiat normalisasi dan regulasi. Disini apa yang biasa kita istilahkan dengan menjaga dan menghukum, menjadi rangkaian disiplin dan ujung tombak dari kuasa. Diskriminasi akan dengan tanpa sadar menghasilkan korban bahkan dijalankan dengan lancar, manakala kuasa itu seolah-olah diterima secara normal. Salah satu bidang yang menjadi perhatian Foucault adalah tubuh; dimana semua gerak-gerik dan respon akan mengikuti bentuk tubuh. Dalam memperlakukan kaum defabel misalnya, tentu pandangan sebagai orang ‘cacat’ amat mempengaruhi pada cara perlakuan maupun ketika menjalin hubungan dengan mereka. Hal yang sama dapat disebut bagaimana perlakuan terhadap orang yang ‘terhukum’ sudah pasti mengalami pembedaan. Menurut Foucault, kuasa ini tidak menghancurkan melainkan menghasilkan sesuatu. Melalui kejelianya kuasa menjadi sebuah kekuatan yang sudah tidak lagi bisa dikendalikan, bahkan perlawanan terhadapnya, merupakan bagian dari pengukuhan sebuah kuasa. Melalui analisisnya inilah Foucault kemudian melakukan berbagai penjelajahan pada semua infrastuktur modernitas, baik itu sekolah, rumah sakit, pabrik, tangsi hingga parade-parade militer. Melalui penjelasanya itulah Foucault telah membuka kesadaran baru mengenai tahta kuasa dan bagaimana operasionalnya di lapangan masyarakat. Lewat Foucault, mulai kentara bagaimana diskriminasi merupakan bagian dari siasat kuasa, untuk mempertahankan dan memproduksikan bentuk-bentuk kekuasaanya.
9
Lih K Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis, 1996, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
5
Karenanya kekuasaan akan selalu ambigu: mempesona sekaligus menakutkan. Ambigu sebab kekuasaan akan selalu memiliki relasi yang, menurut Galtung, akan bersifat eksploitatif dan represif. Dalam membincangkan tentang diskriminasi, melalui Galtung dibincangkan bagaimana kekuasaan yang menggunaan kekuatan akan berimbas pada berbagai diskriminasi. Bagaimana bekerjanya kekuasaan yang kemudian berujung pada diskriminasi maka Galtung kemudian mengklasifikasikan kekuasaan atas orang lain melalui tiga bentuk yang berujung pada diterimanya perlakuan terhadap kekuasaan. Seperti tertera dalam tabel di bawah, kekuasaan ideologis harus memiliki kepatuhan, kekuasaan remuneratif mengandaikan faktor ketergantungan dan kekuasaan punitif mengandaikan adanya ketakutan. Ketigatiganya merupakan kombinasi yang mendorong siapapun akan tergantung dan menerima kekuasaan, meskipun itu akan menjadi kuasa yang berjalan diskriminatif.10
Kekuasaan Ideologik
:
Kekuasaan Remuneratif
Kekuasaan Punitif
:
:
-
Ideologi Kebudayaan Bahasa
-
Penduduk (labor) Tanah (area) Modal (GNP)
-
Anggaran belanja militer Persenjataan militer Personil militer
Sumber : The European Community : A Superpower in the making, hlm. 37
Barangkali karena, operasi kekuasaan itulah, diskriminasi selalu mengintip di balik diri setiap orang, melalui segala bentuk tekhnologi sosial yang canggih dan rapat. Semua institusi yang ada memiliki kecenderungan untuk mengambil peran sebagai agen dikriminasi. Saksikan bagaimana lembaga pendidikan telah mementaskan tindak diskriminasi lewat berbagai seleksi penerimaan siswanya. Begitu pula institusi birokrasi ikut menyumbang kebijakan yang diskriminatif baik melalui berbagai regulasi atau bahkan disalurkan melalui tindakan aparaturnya sendiri. Kerapkali melalui kegiatan suap diskriminasi dilakukan tanpa dikontrol oleh siapapun, malahan berulang kali ditunjang dengan, sikap pasif masyarakat. Sikap pasif ini, menurut hipotesa tim, mungkin dilatar-belakangi oleh berbagai penyebab, yang satu sama lain, berjalinberkelindan. Pertama, apatisme masyarakat muncul karena timbul penilaian bahwa diskriminasi bukan sesuatu yang terlarang atau bahkan melanggar hukum. Semua orang tiba-tiba memaklumi kalau diskriminasi merupakan sesuatu yang wajar bahkan kadang dibudayakan oleh anggota masyarakat sendiri. Kedua, sistem hukum yang lemah mendorong kegiatan diskriminasi berjalan tanpa sanksi. Arena suap-menyuap yang terjadi di semua lingkungan publik tidak mudah untuk dijerat hukum karena miskin pembuktian serta tidak adanya saksi. Bukan semata-mata lemah dalam sisi 10
I Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan, menurut Johan Galtung, Kanisius, 1992
6
penegakan melainkan juga dari isi kandungan ternyata hukum mengandung banyak pasal diskriminatif. Ketiga, diskriminasi didukung oleh lemahnya kesadaran kritis pada tingkatan publik sehingga mereka lebih baik memutuskan diam atau sengaja membiarkan jika menyaksikan tindakan diskriminasi. Ketiga sebab diatas juga dipengaruhi oleh belum adanya pendifinisian yang bisa jadi pegangan masyarakat mengenai apa itu diskriminasi. Meskipun dalam banyak gambaran dengan mudah orang dapat membuat contoh tentang prilaku diskriminasi tapi sedikit orang yang bisa dijerat oleh hukum karena melanggar pasal yang bersangkut-paut dengan diskriminasi. Secara definisi, Konvensi International tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, menyebut bahwa diskriminasi rasial diartikan sebagai: “segala bentuk perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang berdasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan, pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain dari kehidupan masyarakat (Bagian I Pasal 1 ayat 1) Sedangkan jika menilik mengenai definisi diskriminasi, menurut UU HAM No 39/1999 menyatakan, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Definisi ini menggali dan mengusut kembali penyebab diskriminasi yang selama ini berlangsung. Dalam analisis yang ringkas mengenai penyebab diskriminasi dikemukakan sejumlah faktor yang saling jalin-berkelindan, diantaranya (1) faktor ekonomi dimana melalui Perpu atau PP telah dijalankan sebuah kebijakan yang secara diskriminatif telah mengistimewakan golongan etnis tertentu (2) faktor politis yang kadang menempatkan diktator pada kekuasaan yang dominan sehingga berbuah pada penyingkiran etnis tertentu (3) faktor psikologis sebagaimana terjadi di Afrika Selatan dimana golongan tertentu mengagungkan superioritas ras (4) faktor religius sebagaimana yang berlangsung pada sejumlah konflik di beberapa daerah (5) faktor biologis yang biasanya secara aktual muncul dalam beberapa iklan media. Dengan menyorot berbagai penyebab diatas maka diskriminasi bukan saja melibatkan sejumlah faktor sistem atau struktur kekuasaan melainkan juga pada kultur sekaligus psikologi masyarakat. Meskipun definisi yang dimuat dalam UU No 39/1999 maupun konvensi international ini memperluas dan mengungkap segi-segi diskriminasi yang-sepertinyajauh lebih kaya meskipun memiliki peluang untuk pemalsuan. Yang dimaksud pemalsuan, pasal tentang diskriminasi ini pada kenyataanya berbenturan dengan sejumlah aturan-aturan hukum yang sejajar posisinya bahkan ada aturan yang tingkatanya lebih bawah bertentangan dengan UU HAM No 39/1999 ini. Mengapa bisa begitu? Ini terjadi disebabkan-apa yang populer-dinamakan dengan instrumentalisasi
7
hukum, yakni memanfaatkan hukum untuk kepentingan penguasa. Yang amat menakutkan jika hukum tambah digunakan untuk melindungi sejumlah praktekpraktek diskriminasi. Kebijakan yang paling kentara misalnya tentang tata kota yang tidak pernah mengindahkan keberadaan kalangan miskin maupun pedagang kaki lima, karena berpedoman semata-mata, pada estetika lingkungan. Kebijakan hukum demikian tentu dilatar-belakangi oleh faktor yang bersifat sangat ideologis, yakni positivisasi pada nilai-nilai hukum. Positivisasi ini menyakini secara ideologi bahwa dalam teori maupun dalam praktiknya hukum itu akan dikonstruksikan dan dikelola sebagai institusi yang netral (neutrality of law) dan terlepas dari politik (law politics distinction) Mereka mengidealkan bahwa hukum sebagai hasil positivisasi normanorma yang telah disepakati, yang dipastikan akan mempunyai otoritas internal yang mengikat siapapun dari pihak manapun, tidak peduli kelas sosialnya11. Diandaikan dalam pandangan hukum demikian, bahwa sebuah ketentuan benar-benar bersifat netral dan akan ditegakkan oleh badan yudisial yang netral pula. Pandangan inilah yang kemudian mereduksi benih-benih potensial dari diksriminasi yang ada dalam kandungan sebuah ketentuan hukum-tentu penggalian ini-akan dilihat secara lebih jeli oleh bahasan lain.
Methodologi Riset Penelitian yang mengambil sampel sejumlah anggota masyarakat DIY ini menggunakan metode partisipatoris. Metode ini dipilih setelah melalui serangkaian pertemuan dengan berbagai kalangan serta sebuah workshop yang dilakukan oleh Pusham UII. Sengaja dipilih methode ini karena diharapkan hasilnya dapat memberikan perubahan terhadap situasi yang ada dan yang terpenting mekarnya kesadaran kritis sejumlah kalangan, untuk dapat melihat dan mau mengubah persoalan. Methode ini sengaja dipilih dengan pertimbangan, bahwa semua jenis riset sosial yang sasaranya adalah masyarakat, akan mengandaikan sejumlah ciri-ciri sbb (1) riset sosial adalah suatu studi mengenai individu-individu, kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi dalam masyarakat (2) peneliti adalah sesama manusia bagi individu-individu dalam masyarakat yang dipelajarinnya (3) kegiatan penelitian itu diharapkan menghasilkan beberapa dampak atas sistem sosial yang dipelajari. Ketiga ciri inilah yang membuat riset sosial jelas sangat berbeda dengan riset untuk pengetahuan alam. Kalau ilmu pengetahuan alam hanya sebatas pengetahuan dan tambahnya pemahaman kalau riset sosial tidak ‘cukup’ hanya dengan itu. Pertanyaanya kemudian dampak apa yang diinginkan dari sebuah riset yang menggunakan methode partisipatoris? Dampak yang hendak dituju dari riset ini adalah kesadaran di tingkatan masyarakat, utamanya korban untuk berani melepaskan diri dari kukungan struktur 11
Lih Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies, dalam Jurnal Wacana, Gerakan Studi Hukum Kritis, Edisi 6 Tahun II 2000
8
dan kultur yang selama ini ada. Karenanya riset ini merupakan upaya untuk berbagi tanggung jawab dan pemenuhan terhadap kelompok yang lemah dalam masyarakat sekaligus suatu proses pertumbuhan kesadaran di tingkatan mereka. Jelas dari apa yang telah dinyatakan pendekatan partisipatoris tidaklah netral, melainkan secara ideologis memihak bagian masyarakat yang paling lemah. Pendekatan ini ditempuh mengingat riset, yang dilakukan oleh Pusat Studi HAM, berorientasi memang pada perlindungan dan pembelaan atas korban. Dimensi korban yang selama ini cenderung diabaikan dan kurang memperoleh perhatian, melalui riset ini, coba hendak diatasi. Mengapa harus korban? Dalam studi HAM korban mendapat perhatian besar terutama jika ditilik dari sejumlah kovenan yang telah dikeluarkan oleh PBB yang menyangkut mengenai kedudukan korban. Mengacu pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power) menyatakan bahwa “korban berarti orang yang secara perorangan atau kelompok menderita kerugian, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka” Dalam kaitan itu maka deklarasi ini juga menyatakan “....istilah korban juga termasuk-sejauh dipandang tepat-keluarga langsung atau orang yang secara langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban yang sengsara atau dalam mencegah orangorang agar tidak menjadi korban” Karenanya deklarasi itu juga mengandung sejumlah ketentuan-ketentuan sbb: (1) para korban berhak untuk mendapatkan penggantian segera atas kerugian yang mereka derita (2) mereka harus diberitahu tentang hak mereka untuk mendapatkan ganti rugi (3) para pelaku atau pihak ketiga harus memberi restitusi yang adil bagi para korban, keluarga dan tanggungan mereka (4) bilamana kompensasi tidak sepenuhnya didapat dari pelaku atau sumber-sumber lainnya, negara harus berusaha menyediakan kompensasi keuangan (5) para korban harus mendapatkan dukungan dan bantuan material, pengobatan psikologis dan sosial yang diperlukan12. Berdasar atas ketentuan diatas itu pula maka penelitian ini mengambil sampel, 80% kalangan yang selama ini ‘dianggap’ berpotensi besar untuk menjadi korban diskriminasi. Diantaranya kaum defabel (dalam istilah umum orang cacat), tapol/napol, PSK (Pekerja Seks Komersial), kaum non pri, PRT (Pembantu Rumah Tangga), pedagang kaki lima (PKL) yang rata-rata berpenghasilan menengah ke bawah. Sedangkan sisa sampel (20%) meliputi kalangan aktivis yang selama ini menjadi pendamping, kalangan birokrasi yang mempunyai interaksi intens dengan kelompokkelompok diatas serta sejumlah akademisi yang ditempatkan sebagai kelas menengah terdidik. Methode yang digunakan untuk responden diatas yang pertama dengan menyebarkan sejumlah angket-kurang lebih berjumlah 200 angket- dengan tujuan utama menggali informasi responden atas pengetahuan mereka soal diskriminasi dan ‘reaksi’ pertama jika mereka menyadari menjadi korban diskriminasi. Sedangkan 12
Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban; Hak Korban atas Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi, 2002, Elsam
9
methode yang kedua adalah melakukan wawancara-sekurang-kurangnya ada 25 responden yang diwawancarai- yang bertujuan (1) memperoleh gambaran mendalam mengenai persoalan diskriminasi serta sejumlah faktor yang melatar-belakanginya (2) mendapatkan opini dan analisis yang lebih tajam mengenai posisi dan peran korban ketika dihadapkan pada persoalan diskriminasi (3) menggali gagasan dan usulan dari sejumlah responden terutama menyangkut bentuk dan model bagi ‘kampanye’ anti diskriminasi. Di samping polling dan wawancara maka tim riset juga memanfaatkan methode penggalian informasi melalui berita-berita yang dimuat di media massa, radio dan TV. Menurut pertimbangan tim riset, kekuatan media-lah yang terkadang memiliki kemampuan dalam membentuk sebuah opini. Karenanya bukan hal aneh jika “perilaku politik yang demokratis (atau tidak demokratis) secara nasional maupun international makin tergantung pada media”13 Dengan riset ini diharapkan dapat diperoleh gambaran yang memadai mengenai bagaimana korban diskriminasi, kalangan aktivis dan media massa saling mempertautkan dan mengartikulasikan sejumlah kepentingan-kepentingan. Melalui riset ini akan dieksplorasi pola-pola diskriminasi yang kerapkali terjadi kemudian bagaimana korban memberikan reaksi dan apa peran yang dimainkan oleh kalangan aktivis dan media, khususnya yang ada di Yogyakarta. Pengamatan yang memang tidak berjalan lama (kurang lebih riset ini hanya menghabiskan waktu selama 3 bulan) sesungguhnya cenderung untuk menggunakan pendekatan advokasi14. Amat berbeda dengan riset akademis maka riset advokasi yang memanfaatkan methode partisipatoris ini sejak awal sudah memegang kebenaran bahwa “diskriminasi itu ada dan lapisan tertentu saja yang berpeluang menjadi korban” dengan pembuktian bukan melalui ‘kebenaran ilmiah’ melainkan lewat sejumlah ‘kasus atau kejadian’ yang didapatkan di lapangan atau media massa. Dengan demikian maka riset ini memang memiliki manfaat ganda, pada satu sisi adanya dorongan dan dukungan dari sebagian anggota masyarakat untuk terlibat dalam kampanye anti diskriminasi serta sisi lainya memberikan umpan balik bagi pengambil kebijakan untuk mengadopsi prinsip-prinsip non diskriminasi dalam setiap pembuatan kebijakanya. Sedangkan pada tingkatan pelaksana, tim lapangan memang sejak awal mengambil posisi ‘ideografis’ (justru subjektif, harus memihak terutama pada korban dan tentu kaidah bakunya tergantung pada situasi yang ada ketika turun ke lapangan) Itu sebabnya tim lapangan riset ini agak ‘campuran’- dalam artianpelibatan sejumlah anggota masyarakat untuk menjadi ‘penunjuk’ dan sekaligus ‘responden’ yang terlibat. Sedang tim inti memang tetap terkoordinasi pada Pusham UII serta sejumlah voulenter.
13
Lih Krisna Sen dan David T Hill, Media, Budaya & Politik di Indonesia, 2000, Jakarta, ISAI Lih Roem Topatimasang dll (ed), Merubah Kebijakan Publik, Read, 2001, Yogyakarta Insist, Pustaka Pelajar 14
10
Rumusan Masalah Dengan menggunakan methode seperti diatas maka riset sosiologis tentang diskriminasi ini hendak menjawab sejumlah masalah, diantaranya: 1. Apa yang sesungguhnya mendasari sejumlah tindakan diskriminasi, sehingga diskriminasi terkadang oleh pelakunya dianggap sebuah tindakan yang memang ‘benar’adanya sekaligus apa yang membuat ‘korban’ begitu tak berdaya. Pertanyaan ini hendak menjawab kekuasaan seperti apa yang mampu menciptakan ‘hegemoni’ sehingga telah melumpuhkan kesadaran ‘kritis’ baik di tingkatan masyarakat apalagi korban 2. Dengan mengambil perhatian pada media, riset ini hendak mengidentifikasi sejumlah kecenderungan pemberitaan yang secara perlahan-lahan ikut membudayakan praktek diskriminasi dan bagaimana ‘reaksi’ yang timbul di kalangan masyarakat terhadap sajian media yang diskriminatif itu. Media disini tidak dibatasi pada audio dan visual melainkan juga sejumlah media ‘informal’ yang wujudnya dapat berupa spanduk, papan pengumuman maupun propaganda peringatan 3. Secara umum riset ini juga ingin menjawab ‘bentuk’ atau ‘model’ kampanye seperti apa yang cocok untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahayanya praktek diskriminasi. Dengan menggali ‘usulan atau harapan’ masyarakat maka riset ini diharapkan dapat memberi semacam kerangka aksi bagi sejumlah kalangan yang memiliki komitmen dan kepedulian pada program anti diskriminasi
MENELUSURI AKAR PENYEBAB DISKRIMINASI Dalam pandangan responden diskriminasi dipahami sebagai perlakuan yang tidak adil kepada sesama anggota masyarakat. Definisi ini dipahami dalam kaitan bahwa diskriminasi berkaitan erat dengan kepentingan dirinya. Responden yang digolongkan sebagai mahasiswa, pekerja seks komersial, ex tapol, sopir, anak jalanan dan kaum defabel memandang diskriminasi dalam pengertian diatas. Sedangkan kalangan birokrasi maupun petugas hukum memahami diskriminasi secara lebih luas, baik itu menyangkut tindakan sewenang-wenang kepada sesama manusia, perampasan hak milik orang lain dan menutup akses informasi. Jika didefinisikan secara keseluruhan diskriminasi memang lebih gampang dipahami sebagai sebuah tindakan yang tidak adil, seperti tertera di bawah ini. Dalam beberapa wawancara dengan beberapa responden memang bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh korban kebanyakan beraspek pada perlakuan yang tidak adil dan bahkan beberapa diantaranya terang-terangan merupakan pelanggaran hukum.
11
Pengertian Disksriminasi menurut Responden Menutupi Informasi 16%
other's 1% Perlakuan yang tidak adil 45%
Perampasan hak orang lain 16%
Tindakan Sewenangwenang 22%
Pertanyaan berikutnya siapa saja yang menjadi korban diskriminasi maka kelompok sosial seperti (1) kaum miskin (2) perempuan dan (3) kelompok minoritas menjadi sasaran utama praktek diskriminasi. Sejak tesis Karl Marx hingga kajian ekonomi-sosial yang dilakukan oleh Amartya Sein memang kaum miskin menjadi golongan yang paling rawan dalam tindakan diskriminasi. Sedangkan kaum perempuan sebagaimana dalam beberapa studi menjadi golongan sosial yang rawan untuk menjadi korban mengingat kombinasi seperti budaya, struktur politik dan sistem sosial meng-alienasi posisi serta kedudukan mereka. Beberapa wawancara yang dilakukan oleh tim, seperti yang dialami oleh pembantu rumah tangga, menunjukkan bagaimana diskriminasi makin menunjukkan intensitas yang tinggi jika terjadi pada perempuan yang kebetulanberkedudukan sosial rendah. Sebagiaman yang tertera pada tabel di bawah ini nampak siapa saja korban diskriminasi dan bagaimana bentukbentuk perlakuan terhadap mereka. Anggota Masyarakat yang sering Mengalami Diskriminasi Orangtua & Anak 13%
Kaum Minoritas 24%
Korban Pembantu Rumah
Other's 7% Orang-orang Miskin 30%
Kaum Perempuan 26%
Bentuk Diskriminasi Penghinaan, penyiksaan, penundaan pembayaran gaji, jam
12
Tangga Tapol/ Napol eks 65
Pedagang Kaki Lima
Kaum Homoseksual
Kelompok (Pekerja Komersial)
PSK Seks
Kaum Militan Islam (Laskar Jihad)
Anak-anak Jalanan
Kalangan Non Pri
Kaum Defabel (Orang Cacat)
kerja yang tak terbatas, dibatasi dalam hak berorganisasi Labelisasi masyarakat dan pemerintah dalam KTP, alienasi terhadap segala bentuk aktivitas harian, dihapuskanya sejumlah hak-hak berorganisasi Marginalisasi tempat beroperasi dengan alasan penertiban, kebijakan yang membeda-bedakan antara satu pedagang dengan yang lain, keterlibatan minimal dalam penyusunan aturan yang sasaranya adalah PKL, dimnfaatkan untuk kepentingan politik Sterotipe yang negatif pada kalangan ini, masih sulitnya penerimaan masyarakat atas kehadirannya, birokrasi yang mempersulit untuk mendapatkan KTP, opini yang terbentuk menjadikan mereka sebagai kalangan yang menjadi sasaran banyolan Lemahnya perlindungan baik secara fisik maupun status hukum pada kalangan ini, kekerasan baik psikis maupun fisik, anggota masyarakat atau oknum aparat yang kadangkala melakukan pemerasan terhadap PSK, kebijakan tata kota yang tak pernah menghitung keberadaan PSK, sterotipe yang menempatkan mereka sebagai Pekat (Penyakit Masyarakat) Sterotipe kalau mereka sebagai kelompok fundamentalistik dan tidak toleran, dipersulit dalam melakukan berbagai hubungan-hubungan publik, mendapatkan perlakuan kasar bahkan kadang diadu domba oleh kekuatan politik Dipersulit dalam mendapatkan layanan birokrasi (seperti untuk mendapatkan KTP) maupun layanan publik (seperti rumah sakit yang kadang menolak merawat meraka), perlakuan yang sewenang-wenang jika mereka ditangkap saat razia misalnya harus membayar untuk kasus yang dikategorikan Tipiring (tindak pidana ringan) dijadikan objek bagi Ornop tertentu untuk mendapatkan bantuan dana Sterotipe sebagai ‘orang yang banyak duit dan bukan pahlawan’, pelayanan yang harus memakai SKBRI, sasaran pemerasan oknum maupun kelompok masyarakat tertentu, keterlibatan yang terbatas dalam organ birokrasi maupun politik, hapusnya berbagai kebiasaan maupun tradisi semasa Orde Baru karena kebijakan tentang pembauran, diidentikkan dengan kelompok politik tertentu pada masa-masa Orde Baru Pelayanan publik yang tidak memberikan ruang untuk kalangan defabel, penerimaan masyarakat yang masih diskriminatif terutama dalam kaitan dengan perolehan lapangan pekerjaan, pelayanan angkutan umum yang masih serba membatasi, sikap merasa ‘dikasihani’ masih muncul di kalangan masyarakat
13
Jurnalis
Upah yang masih rendah, manajemen yang feodalistik, rendahnya perlindungan pada konsumen pembaca, kurangnya menampilkan jurnalisme sastra dan lebih menyukai pemberitaan yang menawarkan sensasi
Wilayah dominan mana saja yang kerapkali terjadi tindakan diskriminasi? Hampir semua responden menunjuk pada pelayanan umum dan penetapan aturan hukum. Keduanya mendapatkan pilihan yang tinggi diantara sejumlah responden, seperti mahasiswa, anak jalanan, pedagang kaki lima dan aktivis NGO. Untuk mereka yang bekerja sebagai PSK dan kaum defabel justru sektor yang rawan diskriminasi ada pada rekruitmen tenaga kerja. Kalau demikian siapa pelaku dominan tindak diskriminasi? Responden menunjuk memang aparat negara menjadi pelaku utama tindak diskriminasi, baik itu petugas hukum, birokrasi atau petugas pelayanan umum, sebagaimana tertera pada tabel di bawah ini. Kualitas pelayanan yang masih jauh dari ideal ini dijelaskan oleh seorang aktivis YLKI yang banyak menerima keluhan dari konsumen dan betara rendahnya tingkat perlindungan dan keberpihakan pada konsumen. Tidak sulit untuk menelusuri faktor kenapa pemerintah atau aparat birokrasi dijadikan sebagai sumber masalah mengingat kultur kekuasaan maupun sistem internal di dalam kekuasaan masih jauh dari prinsip demokrasi, keterbukaan dan akuntabilitas publik. Pejabat Publik yang Kerap Melakukan Diskriminasi
Petugas Perhubungan 10% Tenaga Pendidik 9%
Polisi 26%
Petugas Rumah sakit 19% Birokrat Pemerintah 36%
Pertanyaan berikut yang digali bagaimana kalau mereka menjadi korban diskriminasi? Sebagian besar responden memang memilih untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang akan tetapi sebagian yang lain memilih untuk melakukan investigasi untuk kemudian dipublikasikan, sebagaimana yang tertera pada pabel di bawah ini. Kategori responden memang berbeda-beda dalam menjawab sejumlah pertanyaan, akan tetapi yang menarik, ada sebagian anggota masyarakat yang lebih memilih untuk bersikap realistis dengan simpati atau bahkan tidak peduli. Dalam surat pembaca yang dimuat di Kedaulatan Rakyat memang ada kasus pencopetan yang dilakukan di Bus Kota dan semua penumpang yang lebih memilih untuk bersikap diam. Situasi serupa juga dialami oleh korban-korban penganiayaan aktivis mahasiswa yang
14
dilakukan oleh kelompok sipil yang sangat kecil mendapat dukungan. Fakta ini menarik mengingat di Yogyakarta terdapat banyak kelompok Ornop HAM yang tentunya amat peduli dengan korban. Andaikan situasinya memang sudah seburuk ini maka amat sukar untuk menjalin solidaritas diantara sesama korban. Tekanan kuat dari media kadang memang tidak punya korelasi yang positif bagi keberhasilan untuk melakukan pembasmian terhadap tindak diskriminasi. Bagaimana Sikap Anda Melihat Perlakuan Diskriminasi other's 6% tidak perduli 4%
Melaporkan ke Pihak yg Berwenang 23%
hanya bersimpati 26% Mempublikasikan 21%
membantu investigasi korban &pelaku diskriminasi 20%
Jika demikian apa yang menjadi penyebab utama diskriminasi. Dalam kesimpulan tim memang ada serangkaian penyebab sistemik yang jadi akar dari diskriminasi, diantaranya kombinasi kultur, kebijakan dan struktur. Tiga-tiganya memberikan sumbangan yang amat penting bagi tumbuh-suburnya kegiatan diskriminasi. Sehingga ketika akar penyebabnya se-kompleks itu maka usulan untuk melakukan perubahan jelas memerlukan sejumlah kondisi. Diantaranya adalah penegakan hukum, struktur politik yang demokratis dan serangkaian pendidikan yang menyemaikan prinsip non diskriminasi. Seperti tertera di bawah ini gambaran pemecahan ini membutuhkan kerja besar dari berbagai kalangan.
Diskriminasi
Kebijakan
- Undang-undang - Kepres - Perpu
Kultur
-
Kepercayaan Adat/Tradisi Agama Simbol/Mithos
Struktur
- Birokrasi yang otoriter - Militer/polisi yang tidak demokratis
15
Stake Holders Media Massa
Peran Pembentuk Opini publik
Lembaga Pendidikan
Menyemai pemahaman dan nilai-nilai non diskriminasi
Kalangan Ornop
Mendorong kepedulian akan persoalan diskriminasi dan kepedulian atas korban
Kalangan agamawan
Mengaitkan nilai-nilai sipiritual dengan konsep-konsep non diskriminasi Institusi Birokrasi dan Melakukan pengawasan aparat keamanan dan model manajemen yang mengambil prinsipprinsip non diskriminasi Kalangan Daerah
Sasaran Target Kalangan masyarakat Mendorong kesadaran awam pasif menuju kesadaran kritis Peserta didik (SD Membentuk kesadaran sampai Perguruan dan prilaku yang Tinggi) berorientasi pada prinsip non diskriminasi Masyarakat Umum Mengembangkan solidaritas antar sesama warga agar peduli baik pada korban maupun problem diskriminasi Jamaa’ah masing- Mendorong tumbuhnya masing agama kesalehan yang toleran dan berpegang pada prinsip non diskriminasi Semua jajaran Menciptakan sebuah pemerintahan tatanan pemerintahan yang bersih, transparan dengan menggunakan prinsip non diskriminasi Semua anggota Mengembangkan Parlemen kesadaran dan kepedulian pada kalangan parlemen akan pentingnya persoalan diskriminasi
Parlemen Mengeluarkan sejumlah kebijakan atau aturan yang memberi perlindungan pada korban yang potensial menjadi sasaran diskriminasi Korban Diskriminasi Mengembangkan dan Kalangan mendorong tumbuhnya potensial keberanian agar segala korban persoalan diskriminasi dapat dijelaskan pada publik sehingga mendapatkan dukungan yang nyata
yang Tumbuhnya kesadaran menjadi aktif di kalangan korban sehingga dapat memfasilitasi ternbentuknya solidaritas dan jaringan yang kuat antar sesama korban diskriminasi
Pada akhirnya untuk merumuskan sebuah kampanye anti diskriminasi diperlukan media yang efektif. Media ini dapat dipahami sebagai bagian yang penting khususnya dalam mendorong opini masyarakat agar memiliki ‘nyali’ untuk melawan diskriminasi. Sebab, ditengarai ada sejumlah media maupun propaganda yang sangat diskriminatif dan timbul marak di masyarakat belakangan ini. Apalagi dengan tumpang-tindihnya kepentingan politik, ekonomi yang saling berkompetisi untuk berebut pengaruh. Karenanya sebuah kampanye anti diskriminasi perlu memperhatikan hal-hal berikut: pertama pesan dari kampanye anti diskriminasi dapat dikonsumsi oleh semua kelompok masyarakat, kedua dapat mengidentifikasi sejumlah penghalang yang muncul dalam target sasaran kampanye, ketiga bagaimana strategi kampanye itu
16
mampu mengetahui dinamika politik yang akan terjadi sehingga masyarakat mampu memiliki harapan serta kemampuan dalam menyerap nilai-nilai yang menjadi pesan kampanye, keempat memahami peta kampanye yang ada di sekitar kita dan kelima yang tak kalah penting adalah memahami media yang digunakan dalam kampanye.
Rekomendasi & Kesimpulan Sebagaimana sebuah kampanye maka keperluan untuk melakukan komunikasi yang intens mungkin dilakukan, dengan mengerjakan beberapa aktivitas-aktivitas yang akan diorientasikan, pada penyadaran baik untuk masyarakat maupun untuk korban. Sebuah kampanye andaikata akan dikerjakan, nampaknya perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Kultur masyarakat Jawa yang kiranya memiliki pengaruh pada pola pergaulan. Mengikuti Geertz, terdapat kaidah yang amat menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa. Pertama, dalam setiap situasi, manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan konflik. Kedua, menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajad dan kedudukannya. Meski banyak didera penderitaan manusia Jawa berfikir secara post factum, yaitu baru berfikir setelah ada kejadian baru dicari hikmahnya. Sebuah kampanye akan berhasil jika mempertimbangkan logika kultur Jawa yang sulit untuk diajak konflik secara terbuka. Mungkin karena itu berbagai bentuk aksi perlawanan kurang memperoleh dukungan memadai mengingat tidak menyesuaikan dengan kultur yang berlaku di masyarakat. 2. Korban diskriminasi yang diperlukan bukan saja perlindungan dan pemberian ganti rugi melainkan juga memerlukan pendampingan yang intensif. Sebagai contoh anak jalanan yang kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah maupun masyarakat. Meskipun pemerintah daerah telah mendirikan sejumlah rumah singgah untuk menampung anak-anak jalanan tapi kenyataanya rumah itu kosong. Pendekatan dan penanganan terhadap korban perlu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Bagi anak jalanan mungkin kesediaan untuk mendengar terasa perlu ketimbang penyediaan secara lengkap sarana. Hal yang serupa juga berlaku untuk korbankorban kekerasan yang tidak saja segera membutuhkan penanganan hukum melainkan yang jauh lebih penting adalah kesediaan untuk mengetahui kebutuhan. Empati mungkin kata yang tepat untuk menggantikan sejumlah pendekatan yang cenderung birokratis.
17
3. Keterlibatan pemerintah menjadi penting mengingat sumber kebijakan maupun aturan terletak pada lingkungan ini. Keterbukaan dan komunikasi yang intens nampaknya perlu dijalin sehingga pemerintah akan menjadi lebih responsif pada kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat. Sebuah program semacam Community Policing nampaknya perlu pula dikerjakan oleh institusi pemerintah dengan menitik-beratkan; pertama arus komunikasi yang transparan dan akuntabel harus dikerjakan sesegera mungkin dengan bantuan sejumlah ornop, kedua yang juga tak kalah penting adalah kerja-sama yang terpadu antara masyarakat dengan isntitusi pemerintah dalam penanganan sejumlah masalah sosial. Inisiatif mandiri masyarakat untuk mengelola asrama buat anak-anak jalanan memerlukan dukungan pemerintah bukan lantas dianggap sebagai saingan. Secara sederhana fungsi pelayanan sosial menjadi kebutuhan yang mutlak saat ini mengingat beban persoalan yang menghimpit masyarakat kian dirasakan berat. 4. Kehadiran institusi informal khususnya yang berasal dari komunitas masyarakat setempat menjadi diperlukan pada saat merumuskan bentuk dan isi kampanye seperti apa yang perlu dikedepankan. Mengingat beberapa instrumen masyarakat kadang juga terlibat dalam kegiatan diskriminasi maka dibutuhkan adanya forum yang secara khusus membicarakan tentang kebutuhan-kebutuhan yang ada pada golongan masyarakat yang rentan menjadi korban diskriminasi. Forum ini dapat dijalankan dengan melibatkan semua komponen masyarakat sehingga fokus issu maupun stake holders yang terlibat mewakili semua komponen masyarakat. Hal ini untuk tidak mengulang sebuah kampanye yang semula berniat mendorong anak untuk sekolah tapi tambah cenderung melakukan diskriminasi. 5. Dibutuhkan sebuah kampanye yang melibatkan institusi pendidikan mengingat melaluinya nilai-nilai anti diskriminasi itu disemaikan. Dengan mendekatkan anak didik pada sejumlah persoalan diskriminasi maka anak didik diharapkan mampu memahami sekaligus mengetahui sumber serta potensi diskriminasi yang ada di lingkungan masyarakat. Dalam kaitan ini diperlukan berbagai methode yang secara efektif dapat mengembangkan kesadaran anti diskriminasi pada lingkungan peserta didik sekaligus sejumlah contoh konkrit yang ada pada lingkungan sekitar. Sensibilitas terhadap persoalan diskriminasi penting dikembangkan sehingga program kampanye anti diskriminasi akan tertuju pada sasaran yang lebih terfokus.
18