MENGGAGAS PENGEMBANGAN BUDAYA SEKOLAH YANG UNGGUL Oleh: Hendrizal, S.IP., M.Pd. Dosen Prodi PGSD/Sekretaris Prodi PPKn FKIP Universitas Bung Hatta, Padang
Abstract The ministry of education in Indonesia has issued a vision “By 2025 Indonesian produce intelligent beings and competitive”. Schools are very strategic role in realizing the vision of the education department, it seems difficult to expect. It requires the seriousness of improving the quality of schools. To fix can be started on building a culture of organizations that excel in school. Given that needs to be initiated by the development of a superior school culture in order to realize the vision of a national education. Key words: school quality, superior school culture. I. PENDAHULUAN Departemen yang mengurus pendidikan di Indonesia sering berganti penyebutannya. Pernah dinamakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional, kembali lagi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kini, di era Presiden Joko Widodo, departemen itu dibagi dua: ada yang mengurus pendidikan dasar dan menengah, ada pula yang mengurus pendidikan tinggi dan riset. Meski berbeda istilahnya, namun secara substansi ada yang sangat menarik, departemen ini pernah mengeluarkan visi “Pada tahun 2025 menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif”. Secara detail, visi itu menghasilkan insan Indonesia yang cerdas secara spiritual (olah hati), cerdas secara emosional dan sosial (olah rasa), cerdas secara intelektual (olah pikir), serta cerdas secara kinestetis (olah raga). Sedangkan insan kompetitif yang dimaksud ialah insan yang memiliki keunggulan pengetahuan, keterampilan dan karya, yang sanggup berkompetisi dalam persaingan lokal serta global. Karena itu perlu upaya membangun individu-individu yang suka akan keunggulan, memiliki semangat juang tinggi, pantang menyerah, mandiri, menjadi manusia pembelajar sepanjang hayat, suka membangun dan membina jejaring, inovatif serta menjadi agen perubahan, sadar mutu, produktif, dan berorientasi global. Peran sekolah dalam mewujudkan visi departemen pendidikan itu sangatlah strategis, karena di sekolahlah visi itu bisa diwujudkan. Sebagus apapun visi pendidikan nasional Indonesia, namun tanpa diaplikasikan di sekolah dengan baik, visi itu tidak akan bermakna. Persoalannya, bagaimana mewujudkan visi itu di tengah kondisi persekolahan sekarang? Survei World Competitiveness Year Book tahun 2007 memaparkan, daya saing pendidikan
Hendrizal
1
(yang dihasilkan persekolahan) dari 55 negara yang disurvei, Indonesia berada pada urutan 53. Rendahnya daya saing pendidikan Indonesia ditingkahi pula maraknya tawuran pelajar di negeri ini. Rendahnya kualitas pribadi serta sosial siswa, akan bisa mendorong mereka berperilaku tidak pronorma. Buruknya mutu dan manajemen pendidikan mendorong rasa frustasi siswa yang dilampiaskan pada berbagai tindakan negatif, termasuk tawuran. Pengangguran, kemiskinan serta kesulitan hidup berkontribusi tinggi terhadap munculnya masyarakat – termasuk siswa – yang merasa kehilangan harapan untuk meraih hidup layak (Kunandar, 2011:1-2). Masalah lain yang muncul: Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan cenderung hanya mentransfer pengetahuan yang bersumber dari buku (text bookish) kepada peserta didik (Hendrizal, 2012). Semua itu membuat beragam “prestasi buruk” bagi dunia pendidikan Indonesia. Hal itu selama ini menghadapkan dunia pendidikan Indonesia pada pertanyaan mendasar tetapi sangat substansial: sejauh mana efektivitas pendidikan Indonesia bagi peningkatan mutu atau kualitas siswa? Masalah ini layak dikemukakan, karena mengingat kontribusi pendidikan bagi masyarakat belum tampak maksimal secara kasat mata. Pendidikan Indonesia belum sukses menjadi solusi bagi kesejahteraan hidup manusianya, namun sebaliknya: menciptakan masalah-masalah bagi masyarakat (Saidihardjo, 2004:2). Padahal “investasi” yang ditanamkan kepada dunia pendidikan amatlah besar. Ini berarti menuntut adanya keseriusan tinggi dan strategi jenius untuk membenahi mutu pendidikan, khususnya sekolah-sekolah, guna menopang perwujudan visi departemen pendidikan Indonesia. Untuk membenahinya bisa dimulai dari membangun budaya organisasi di ranah sekolah. Sekolah bisa dianggap sebagai miniatur masyarakat yang di dalamnya terjadi proses interaksi serta sosialisasi antarindividu yang selayaknya terjadi dalam masyarakat. Di sekolah perlu terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dan lingkungannya, baik fisik maupun sosial. Lingkungan akan dipersepsi dan dirasakan individu tersebut sehingga melahirkan kesan serta perasaan tertentu. Di sini, idealnya, sekolah harus bisa membuat suasana lingkungan kerja yang kondusif serta menyenangkan bagi setiap warganya melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Surya (1997) mengatakan, lingkungan kerja yang kondusif (baik lingkungan fisik, sosial ataupun psikologis) dapat menumbuhkan dan mengembangkan motivasi untuk bekerja
Hendrizal
2
secara baik dan produktif. Karena itu, perlu diciptakan lingkungan fisik yang sebagus mungkin, contohnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas, dan lainnya. Begitu juga lingkungan sosial-psikologis, misalnya hubungan antarpribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, bimbingan, kesempatan untuk maju, promosi, kekeluargaan dan lainnya. Hal itu senada dengan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Depdiknas (2001) mengungkapkan, salah satu karakterististik MPMBS adalah lahirnya lingkungan yang aman dan tertib serta nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara nyaman (enjoyable learning). Mengingat itulah perlu digagas pengembangan budaya sekolah yang unggul guna mewujudkan visi pendidikan nasional. II. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, dapat diidentifikasi dua masalah penting: Pertama, departemen pendidikan di Indonesia telah menetapkan visi pendidikan nasional tetapi belum terdukung oleh peran optimal sekolah untuk mewujudkannya. Kedua, mutu pendidikan (khususnya sekolah) di Indonesia masih rendah, salah satunya diakibatkan oleh belum terbangunnya budaya sekolah yang unggul. Mengingat masalah di atas, dalam tulisan ini diajukan rumusan masalah berikut: (1) Bagaimanakah sesungguhnya konsep budaya sekolah yang unggul? (2) Bagaimana sebaiknya aplikasi dan pengembangan konsep budaya sekolah yang unggul sehingga bisa dilahirkan sekolah-sekolah yang unggul pula? Dengan menguak jawaban atas masalah di atas, diharapkan tulisan ini bisa memberi wawasan kepada insan yang bergiat dalam dunia pendidikan, sehingga memahami budaya sekolah dan mampu mengaplikasikan konsep budaya sekolah yang unggul. Secara praktis, tulisan ini diharapkan bisa bermanfaat dalam penyelenggaraan persekolahan yang efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan mutu sekolah. III. ADOPSI BUDAYA ORGANISASI KE SEKOLAH Dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu konsep dasar budaya, budaya organisasi dan proses pembentukan budaya organisasi, yang kemudian dikaitkan dengan pembahasan tentang pengembangan budaya organisasi di sekolah. 3.1 Konsep Dasar Budaya Pemahaman budaya organisasi tidak lepas dari konsep dasar budaya. Konsep ini merupakan salah satu terminologi yang sering dipakai dalam tataran kajian antropologi. Belakangan ini, dalam perspektif antropologi, konsep budaya ternyata mengalami
Hendrizal
3
pergeseran makna. Peursen (1984) menyatakan, dahulu orang beranggapan bahwa budaya terdiri dari semua manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur serta bersifat rohani semisal filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara, kesenian, agama dan lainnya, namun anggapan itu sudah sejak lama dipinggirkan. Kini, budaya cenderung dimaknai sebagai manifestasi dari kehidupan setiap orang dan kelompok orang. Budaya dianggap sebagai sesuatu hal yang lebih dinamis (berkembang), bukan kaku dan statis. Budaya tidak lagi diartikan sebagai sebuah kata benda, tetapi lebih diartikan sebagai suatu kata kerja yang dikaitkan dengan aktivitas manusia. Muncul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu? Marvin Bower (dalam Cowling dan James, 1996) memaknai budaya sebagai fenomena “cara kita melakukan halhal di sini”. Vijay Santhe (dalam Ndraha, 1997) berpendapat, budaya merupakan “The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”. Pada tataran operasional, Schein (2002) berpendapat, budaya adalah “A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems”. Berdasarkan pendapat Santhe dan Schein, dapat ditemukan kata kunci makna budaya, yakni shared basic assumptions atau memandang pasti terhadap sesuatu. Ndraha (1997) mengemukakan, asumsi terdiri dari beliefs (keyakinan) serta value (nilai). Beliefs adalah asumsi dasar mengenai dunia serta bagaimana dunia berjalan. Duverger (dalam Anwar dan Amir, 2000) mengemukakan, belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan pikiran) yang cenderung terlepas dari ekspresi material yang didapat sebuah komunitas. Value (nilai) adalah sebuah ukuran normatif yang bisa mempengaruhi manusia untuk melakukan tindakan yang dihayatinya. Vijay Santhe (dalam Ndraha, 1997) berpendapat, nilai ialah “basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Di sisi lain, Surya (1995) membuat gambaran mengenai nilai seperti berikut: “Setiap orang memiliki berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang serta belajar. Dari pengalaman tersebut, individu memperoleh patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Contohnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, bagaimana menghormati orang lain. Patokan-patokan umum ini biasanya dilakukan dalam waktu serta tempat tertentu.”
Hendrizal
4
Surya (1995) mengemukakan pula, nilai memiliki fungsi sebagai: (1) standar; (2) dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) motivasi; (4) dasar penyesuaian diri; (5) dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan Rokeach (dalam Ndraha, 1997), “a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict and make decision.” Budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai serta keyakinan yang sama dengan semua anggota organisasi. Contohnya, berbagi nilai serta keyakinan yang sama dengan berpakaian seragam. Tetapi hanya menerima dan memakai seragam, tidaklah cukup. Pemakaian seragam perlu pula diikuti rasa bangga, menjadi alat kontrol serta membentuk citra organisasi. Dengan begitu, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Santhe (dalam Ndraha, 1997), shared basic assumptions terdiri dari: (a) shared things, (b) shared saying, (c) shared doing, dan (d) shared feelings. Schein (2002) mengatakan, basic assumption diproduksi melalui hal berikut: (a) evolve as solution to problem is repeated over and over again, (b) hypothesis becomes reality, serta (c) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking. 3.2 Budaya Organisasi Dengan memahami konsep dasar budaya di atas, berikutnya akan dipahami budaya dalam konteks organisasi atau umumnya disebut organizational culture (budaya organisasi). Organisasi di sini cenderung diarahkan dalam makna organisasi formal. Yaitu kerja sama yang terjalin antaranggota yang mempunyai unsur visi dan misi, dasar hukum, struktur dan anatomi yang jelas, serta sumber daya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sejak seperempat abad silam, kajian mengenai budaya organisasi memberi daya tarik bagi ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi. Schein (2002) menulis, budaya organisasi bisa dibagi dua dimensi, yaitu: Pertama, dimensi external environments; yang di dalamnya terdapat 5 hal esensial: (a) mission and strategy, (b) goals, (c) means to achieve goals, (d) measurement, serta (e) correction. Kedua, dimensi internal integration; yang di dalamnya terdapat 6 aspek pokok: (1) common language, (2) group boundaries for inclusion and exclusion, (3) distributing power and status, (4) developing norms of intimacy, friendship and love, (5) reward and punishment, serta (6) explaining and explainable ideology and religion. Di sisi lain, Schein (2002) mengungkapkan 10 karakteristik budaya organisasi, yaitu: (a) observe behavior: language, customs, traditions; (b) groups norms: standards and values; (c) espoused values: published, publicly announced values; (d) rules of the game:
Hendrizal
5
rules to all in organization; (e) formal philosophy: mission; (f) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (g) climate: climate of group in interaction; (h) metaphors or symbols; (i) embedded skills; (j) shared meanings of the group. Sementara itu Luthan (1995) mengingatkan 6 karakteristik penting budaya organisasi, yakni: (1) obeserved behavioral regularities; yaitu keberaturan cara bertindak dari para anggota yang teramati atau terlihat. Sewaktu anggota organisasi melakukan interaksi dengan anggota lainnya, mereka menggunakan bahasa, istilah atau ritual tertentu; (2) norms; yaitu berbagai standar perilaku yang ada, termasuk mengenai pedoman sejauh mana sebuah pekerjaan mesti dilakukan; (3) dominant values; yakni adanya berbagai nilai inti yang dianut secara bersama oleh semua anggota organisasi, contohnya mengenai kualitas produk yang tinggi, efisiensi yang tinggi, atau absensi yang rendah; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan serta karyawan; (5) rules; yakni adanya pedoman yang ketat, yang dihubungkan dengan kemajuan organisasi; (6) organization climate; yakni perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang terefleksikan dan disampaikan lewat kondisi tata ruang, cara berinteraksi antaranggota organisasi, serta cara anggota organisasi memperlakukan dirinya sendiri, pelanggan dan orang lain. Dari ketiga pendapat tadi, dapat dilihat adanya perbedaan pandangan mengenai karakteristik budaya organisasi, terutama dicermati dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Meski begitu, ketiga pendapat itu tidak menunjukkan perbedaan prinsipil. Budaya organisasi bisa dipandang sebagai suatu sistem. Namara (2002) mengatakan, dicermati dari segi input, budaya organisasi meliputi feed back (umpan balik) dari masyarakat, profesi, kompetisi, hukum, dan lainnya. Sedangkan dicermati dari proses, budaya organisasi mengacu kepada nilai, norma dan asumsi, contohnya nilai mengenai uang, waktu, manusia, fasilitas serta ruang. Sementara dicermati dari output, budaya organisasi berkorelasi dengan pengaruh perilaku organisasi, teknologi, strategi, image dan produk. Dicermati dari kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, Kotter dan Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi dua level: Pertama, pada level yang lebih dalam dan kurang terlihat. Di sini, ada nilai-nilai yang dianut secara bersama oleh orang dalam kelompok dan biasanya cenderung bertahan sepanjang waktu, bahkan walaupun anggota kelompok telah berganti. Pengertian ini mencakup mengenai apa yang penting
Hendrizal
6
dalam kehidupan, dan bisa amat bervariasi dalam perusahaan yang berlainan. Dalam satu hal, orang amat mempedulikan uang; dalam hal lain, orang amat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada level ini, budaya amat sulit berubah, antara lain karena anggota kelompok acap tidak sadar atas banyaknya nilai yang mengikat mereka. Kedua, pada level yang terlihat. Di sini, budaya menggambarkan dan merefleksikan pola atau gaya perilaku sebuah organisasi, sehingga karyawan baru secara otomatis terdorong mengikuti perilaku sejawatnya. Misalnya, katakanlah orang dalam sebuah kelompok sudah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, orang lainnya “amat ramah terhadap orang asing”, orang lainnya lagi “senantiasa mengenakan pakaian yang amat konservatif”. Maka budaya dalam pengertian ini masih kaku atau statis untuk berubah, namun tidak sesulit pada level nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya, level budaya ini bisa dicermati dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1: Level Budaya dalam Suatu Organisasi No. Level Jenis Contoh 1. Tidak Nilai yang dianut bersama: Para manajer yang lebih tampak keyakinan serta tujuan penting mempedulikan yang dipunyai secara bersama pelanggan; eksekutif oleh kebanyakan orang dalam yang senang dengan kelompok yang cenderung pertimbangan jangka membentuk perilaku kelompok, panjang dan acap bertahan lama, bahkan meskipun telah terjadi perubahan anggota kelompok 2. Tampak Norma perilaku kelompok: cara Para karyawan cepat bertindak yang telah lazim atau menanggapi permintaan meresap yang ditemukan dalam pelanggan; para manajer sebuah kelompok dan bertahan yang sering melibatkan karena anggota kelompok karyawan level bawah cenderung berperilaku sesuai dalam pengambilan dengan cara mengajarkan keputusan praktek-praktek (juga nilai-nilai yang mereka anut secara bersama) kepada para anggota baru, memberi imbalan kepada anggota kelompok yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak Sumber: modifikasi dari Kotter dan Heskett (1998:5).
Status Sulit berubah
Mudah berubah
Di sisi lain, Kotter dan Heskett (1998) mengemukakan juga mengenai 3 konsep budaya organisasi, yaitu: (a) budaya yang kuat, (b) budaya yang secara strategis cocok, dan (c) budaya adaptif.
Hendrizal
7
Budaya yang kuat ditandai adanya suatu kecenderungan bahwa hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai serta metode dalam menjalankan usaha organisasinya. Karyawan baru juga mengadopsi nilai-nilai ini secara amat cepat. Seorang eksekutif yang baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bosnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi. Di sini, gaya dan nilai suatu budaya cenderung tidak banyak mengalami perubahan dan akar-akarnya sudah mendalam, meskipun terjadi pergantian manajer. Dalam konteks organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan tampak cenderung berbaris mengikuti pola penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai serta perilaku yang dianut secara bersama bisa membuat orang merasa nyaman bekerja, komitmen dan loyal sehingga akan berusaha lebih keras. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat akan memberikan struktur serta kontrol yang diperlukan, tanpa mesti bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang bisa menekan lahirnya motivasi serta inovasi. Budaya yang secara strategis cocok menunjukkan bahwa arah budaya mesti menyelaraskan serta memotivasi anggota, kalau mau meningkatkan kinerja organisasinya. Konsep utamanya adalah “kecocokan”. Jadi, suatu budaya dianggap baik kalau cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud “konteks” dapat berupa kondisi obyektif organisasi atau strategi usahanya. Budaya yang adaptif beranjak dari logika bahwa cuma budaya yang bisa menolong organisasi mengantisipasi serta beradaptasi dengan perubahan lingkungan, sehingga akan diasosiasikan dengan kinerja superior sepanjang waktu. Klimann menggambarkan budaya adaptif ini sebagai suatu budaya dengan pendekatan yang berkarakter selalu siap menanggung resiko, percaya serta proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota organisasi secara aktif mendukung semua usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi segala masalah serta mengimplementasikan pemecahan yang bisa berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dipunyai bersama. Tanpa rasa bimbang, para anggotanya percaya, mereka dapat secara efektif mengatasi masalah baru serta peluang apapun yang akan ditemui. Kegairahan yang menyebar luas dapat menjadi semangat untuk melakukan apa saja yang mereka hadapi untuk meraih kesuksesan organisasi. Para anggota tersebut reseptif terhadap perubahan serta inovasi. Kanter mengemukakan, jenis budaya adaptif ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, bisa membantu suatu organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang bisa saja selalu berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi serta mengeksploitasi berbagai peluang baru yang akan dihadapi. Contoh perusahaan yang mengembangkan
Hendrizal
8
budaya adaptif tersebut ialah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang cenderung mempromosikan inovasi, pembahasan yang jujur, pengambilan resiko, kewiraswastaan serta kepemimpinan di banyak level dalam hierarki. 3.3 Proses Pembentukan Budaya Organisasi Berikut ini akan dibahas proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Lahirnya berbagai ide atau solusi yang kemudian tertanam dalam suatu budaya di organisasi bisa bermula dari manapun, dari perorangan atau kelompok, dari level bawah atau atas. Ndraha (1997) menginventarisir berbagai sumber pembentuk budaya organisasi, yaitu: (a) pendiri organisasi, (b) pemilik organisasi, (c) sumber daya manusia asing, (d) luar organisasi, (e) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stakeholder), dan (f) masyarakat. Diungkapkan pula, proses budaya bisa terjadi melalui: (1) kontak budaya, (2) benturan budaya, dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Biasanya, butuh waktu lama dan biaya banyak untuk bisa menerima berbagai nilai baru dalam suatu organisasi. Sesudah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam beberapa hal. Calon anggota kelompok akan disaring berdasarkan atas kesesuaian nilai serta perilakunya dengan budaya organisasi. Sementara kepada anggota organisasi yang baru terpilih perlu diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Berbagai kisah atau legenda historis perlu diceritakan secara kontinyu untuk mengingatkan setiap orang mengenai berbagai nilai kelompok dan apa maksudnya. Para manajer dapat secara eksplisit bertindak sesuai contoh budaya dan ide budaya itu. Demikian pula, anggota senior dapat mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara kontinyu dalam percakapan sehari-hari atau lewat ritual dan perayaan khusus. Orang-orang yang sukses menggapai ide-ide yang tertanam dalam budaya ini bisa terkenal dan dijadikan pahlawan dalam organisasi. Proses alamiah dalam identifikasi diri bisa mendorong anggota muda/baru untuk mengambil alih nilai serta gaya mentor mereka. Di sisi mendasar, orang yang mengikuti berbagai norma budaya akan diberi imbalan (reward), sedangkan yang tidak, akan memperoleh sanksi (punishment). Imbalan dapat berbentuk materi ataupun promosi jabatan dalam organisasi tertentu. Sementara untuk sanksi tidak sekadar diberikan berdasarkan aturan organisasi yang berlaku, tetapi juga dapat berupa sanksi sosial. Artinya, anggota itu menjadi isolated di lingkungan organisasinya. Dalam sebuah organisasi, sejatinya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, tapi yang ada ialah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok”. Kalau dalam suatu organisasi
Hendrizal
9
mempunyai budaya yang cocok, manajemennya bisa lebih berfokus pada usaha pemeliharaan berbagai nilai yang ada serta perubahan tidak dibutuhkan. Tetapi kalau muncul kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berefek terhadap rendahnya mutu kinerja, maka perubahan kultur mungkin dibutuhkan. Karena budaya ini sudah berevolusi selama bertahun-tahun lewat berbagai proses belajar yang berakar, maka mungkin saja susah untuk dirubah. Kebiasaan lama akan sukar dihilangkan. Meski begitu, Schwartz dan Davis (1981:32-35) mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen kultur organisasi, yakni: (1) lupakan kultur, (2) kendalikan lingkungan di sekitar, (3) usahakan mengubah berbagai unsur budaya agar cocok dengan strategi, dan (4) ubah strategi. Cahyono (1996) menulis, ada 5 alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara ekstrem: (1) Kalau organisasi mempunyai nilai-nilai yang kuat tetapi tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Kalau organisasi sangat berkompetisi dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Kalau organisasi mulai memasuki peringkat sangat besar; (5) Kalau organisasi kecil namun berkembang pesat. Jika tidak ada satupun alasan seperti di atas, jangan lakukan perubahan. Kennedy (dalam Cahyono, 1996) mengungkapkan, analisis terhadap 10 kasus usaha mengubah budaya menunjukkan fenomena bahwa hal ini akan memakan biaya sekitar 5%-10% dari yang sudah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang, dan mungkin hanya akan diperoleh setengah perbaikan dari yang diharapkan. Dia mengingatkan, hal itu akan memakan biaya lebih banyak dalam bentuk waktu, usaha dan uang. 3.4 Pengembangan Kultur Organisasi di Sekolah Dengan memahami konsep dan proses pembentukan budaya organisasi seperti di atas, berikutnya di bawah ini akan dibahas tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Umumnya, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah tidak jauh berbeda dengan aplikasi konsep budaya organisasi lainnya. Jikapun ada perbedaan, itu hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkan dan karakteristik para pendukungnya. Berkaitan dengan pendukung kultur organisasi di sekolah, Paul E. Heckman (dalam Stolp, 1994) mengungkapkan, “the commonly held beliefs of teachers, students and principals.” Berbagai nilai yang perlu dikembangkan di sekolah tentu tidak bisa dilepaskan dari eksistensi sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang mempunyai peran dan
Hendrizal
10
fungsi untuk mengembangkan, melestarikan serta mewariskan berbagai nilai budaya kepada para siswanya. Lashway (1996) mengungkapkan, “schools are moral institutions, designed to promote social norms.” Berbagai nilai yang perlu dikembangkan di sekolah bisa amat beragam. Kalau merujuk pada pemikiran Spranger (dalam Suryabrata, 1990), setidaknya ada 6 jenis nilai yang perlu dikembangkan di sekolah. Dalam Tabel 2 di bawah ini dikemukakan enam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya. Tabel 2: Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya Menurut Spranger No. Jenis Nilai Jenis Perilaku Dasar 1. Ilmu pengetahuan Berpikir 2. Ekonomi Bekerja 3. Kesenian Menikmati keindahan 4. Keagamaan Memuja 5. Kemasyarakatan Berbakti/berkorban 6. Politik/kenegaraan Berkuasa/memerintah Sumber: dimodifikasi dari Suryabrata (1990). Dengan merujuk pemikiran Luthan dan Schein, berikut ini diuraikan karakteristik kultur organisasi di sekolah, yakni mengenai: (1) obeserved behavioral regularities, (2) norms, (3) dominant value, (4) philosophy, (5) rules, dan (6) organization climate. Pertama, obeserved behavioral regularities. Artinya, kultur organisasi di sekolah ditandai adanya keberaturan cara bertindak dari semua anggota sekolah yang bisa diamati. Keberaturan berperilaku ini bisa berbentuk acara ritual tertentu, bahasa atau simbol tertentu yang dipakai, semuanya mencerminkan nilai-nilai yang dianut anggota sekolah. Kedua, norms. Artinya, kultur organisasi di sekolah ditandai juga adanya berbagai norma yang berisi seputar standar perilaku dari anggota sekolah, baik untuk siswa ataupun gurunya. Standar perilaku itu dapat berdasarkan atas kebijakan intern sekolah tersebut maupun kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Standar perilaku siswa terutama berkaitan dengan perolehan hasil belajar siswa, yang selanjutnya akan menentukan seorang siswa bisa dinyatakan naik kelas/lulus atau tidak. Standar perilaku siswa tidak cuma berkaitan dengan aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. Misalnya, standar perilaku yang diharapkan dari lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) antara lain: (a) Mempunyai keyakinan dan ketakwaan sesuai ajaran agama yang dianutnya; (b) Menguasai pengetahuan serta keterampilan akademik dan beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (c) Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan; (d) Berekspresi serta menghargai seni; (e) Menjaga kebersihan, kesehatan, serta kebugaran jasmani; (f) Mengalihgunakan kemampuan Hendrizal
11
akademik serta keterampilan hidup di masyarakat lokal dan global; (g) Berwawasan kebangsaan dan berpartisipasi dalam hidup bermasyarakat, berbangsa serta bernegara secara demokratis. Sedangkan standar perilaku guru erat hubungannya dengan standar kompetensi yang perlu dipunyai guru, yang akan menunjang kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah sudah merumuskan 4 jenis kompetensi guru seperti tercantum dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, seperti berikut: (1) Kompetensi pedagogik, yakni kemampuan mengelola peserta didik yang terdiri dari: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pengembangan kurikulum atau silabus; (c) pemahaman kepada peserta didik; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik serta dialogis; (f) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya; dan (g) melakukan evaluasi hasil belajar. (2) Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang meliputi: (a) mantap; (b) stabil; (c) berwibawa; (d) dewasa; (e) arif dan bijaksana; (f) memiliki akhlak mulia; (g) melakukan evaluasi terhadap kinerja sendiri; (h) bisa menjadi teladan bagi peserta didik dan juga masyarakat; serta (i) berusaha mengembangkan diri secara kontinyu. (3) Kompetensi sosial, yakni kemampuan pendidik sebagai bagian dari warga masyarakat untuk: (a) berkomunikasi lisan serta tulisan; (b) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar lingkungannya; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) menggunakan teknologi komunikasi serta informasi secara fungsional. (4) Kompetensi profesional, yakni kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas serta mendalam yang terdiri dari: (a) materi ajar yang terdapat dalam kurikulum sekolah; (b) konsep, struktur serta metode keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (c) kaitan konsep antarmata pelajaran; (d) aplikasi berbagai konsep keilmuan dalam hidup sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks kehidupan global dengan senantiasa melestarikan nilai serta kultur nasional. Ketiga, dominant values. Kalau dikaitkan dengan tantangan pendidikan nasional Indonesia belakangan ini, yakni mengenai pencapaian kualitas pendidikan, maka kultur organisasi di sekolah perlu diletakkan dalam rangka pencapaian kualitas pendidikan di sekolah. Di sini, nilai serta keyakinan akan pencapaian kualitas pendidikan di sekolah sebaiknya menjadi hal utama bagi semua warga sekolah. Jiyono (dalam Danim, 2002)
Hendrizal
12
mengartikan makna mutu pendidikan sebagai gambaran kesuksesan pendidikan dalam mengubah tingkah laku peserta didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Jika berbicara tentang upaya menumbuhkembangkan budaya mutu di sekolah pada era sekarang, akan terkait dengan pembahasan konsep Total Quality Management (TQM). TQM adalah suatu pendekatan dalam menjalankan unit usaha dalam rangka mengoptimalkan daya saing organisasi lewat prakarsa perbaikan secara kontinyu atas produk barang ataupun jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis (dalam Danim, 2002) menyatakan, penerapan TQM didasarkan atas kaidah sebagai berikut: (a) Fokus terhadap pelanggan; (b) obsesi atas kualitas; (c) memprioritaskan kesatuan tujuan; (d) komitmen terhadap jangka panjang; (e) mengutamakan kerjasama tim; (f) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dengan optimal. (g) perbaikan kinerja sistem secara kontinyu; (h) memakai pendekatan ilmiah; (i) memberikan diklat dan pengembangan; serta (j) memberikan kebebasan terkendali. Setelah mempelajari pendapat Scheuing dan Christopher, Danim (2002) mengemukakan pula 4 prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM yaitu: (1) memberikan kepuasan pelanggan; (2) pengelolaan sesuai fakta; (3) respek kepada setiap orang; serta (4) perbaikan secara kontinyu. Dalam rangka manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, Depdiknas (2001) juga sudah merinci berbagai elemen yang perlu ada dalam budaya mutu di sekolah, yaitu: (a) informasi kualitas perlu dipakai untuk perbaikan, bukannya untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus mengacu sebatas tanggung jawab; (c) imbal jasa sebaiknya sepadan dengan nilai pekerjaan; (d) hasil perlu diikuti reward (penghargaan) atau punishment (sanksi); (e) warga sekolah perlu merasa mempunyai sekolahnya. (f) kolaborasi dan sinergi (bukannya kompetisi) perlu menjadi basis kerjasama; (g) atmosfir keadilan (fairness) perlu ditanamkan; dan (h) warga sekolah harus merasa aman atas pekerjaannya. Jann E. Freed (dalam Digest, 1997) memaparkan pula tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik dengan memakai prinsip-prinsip TQM, yakni: (1) systems dependent; (2) vision, mission, and outcomes driven; (3) leadership: supporting a quality culture; (4) leadership: creating a quality culture; (5) systematic individual development; (6) planning for change; (7) collaboration; (8) decisions based on fact; dan (9) delegation of decision making. Dinyatakan juga, “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created.” Dari pendapat Jann E. Freed itu, bisa dibuat tafsiran bahwa untuk mampu membangun kultur keunggulan akademik ataupun
Hendrizal
13
mutu pendidikan, betapa pentingnya mengimplementasikan prinsip-prinsip TQM dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama bagi setiap anggota sekolah. Keempat, philosophy. Budaya organisasi ditandai adanya keyakinan dari semua anggota organisasi dalam memandang sesuatu secara hakiki, contohnya tentang waktu, manusia dan lainnya, yang dijadikan kebijakan organisasi. Kalau mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang sudah terbukti bisa memberikan keunggulan terhadap perusahaan, yang mana filosofi ini diletakkan pada usaha memberikan kepuasan terhadap para pelanggannya, maka sekolah pun perlu mempunyai keyakinan atas pentingnya memberi kepuasan terhadap pelanggannya. Dalam rangka manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, Depdiknas (2001) mengungkapkan, “Pelanggan, terutama siswa harus menjadi fokus dari segala kegiatan di sekolah. Artinya bahwa semua input - proses yang dikerahkan di sekolah harus tertuju utamanya untuk meningkatkan kualitas dan kepuasan peserta didiknya. Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan input, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.” Kelima, rules. Budaya organisasi ditandai adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat semua anggota organisasi. Setiap sekolah mempunyai ketentuan dan aturan main tertentu, baik bersumber dari kebijakan sekolah setempat maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah dikemas dalam bentuk tata tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan warga sekolah, sekaligus dilengkapi ketentuan sanksi kalau melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (dalam Digest, 1997:78) menyatakan, “School discipline has two main goals: (a) ensure the safety of staff and students; and (b) create an environment conducive to learning.” Keenam, organization climate. Budaya organisasi ditandai adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan, “Organizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the atmosphere of the workplace and people’s perceptions of the way we do things here.” Lingkungan kerja yang kondusif, baik fisik, sosial ataupun psikologis, harus dapat menumbuhkan serta mengembangkan motif untuk bekerja secara baik dan produktif. Karenanya, harus diciptakan lingkungan fisik yang kondusif atau sebaik mungkin, contohnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan lainnya. Begitu juga lingkungan sosial-psikologis, misalnya kepemimpinan, pengawasan,
Hendrizal
14
relasi antarpribadi, kekeluargaan, kehidupan kelompok, bimbingan, promosi, kesempatan untuk maju, dan lainnya. IV. APLIKASI PENGEMBANGAN BUDAYA SEKOLAH Dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu pengembangan otonomi dalam budaya sekolah, yang kemudian dikaitkan dengan pembahasan tentang pengembangan nilai-nilai dalam budaya sekolah. 4.1 Pengembangan Otonomi dalam Budaya Sekolah Dalam konteks peningkatan mutu berbasis sekolah, menurut Depdiknas (2001), kualitas pendidikan terdiri dari aspek input, proses, dan output. Pada aspek input, kualitas pendidikan ditunjukkan lewat tingkat kesiapan serta ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan berbagai harapan. Kian tinggi tingkat kesiapan input, kian tinggi pula kualitas input-nya. Pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan lewat pengkoordinasian, penyerasian, dan pemanduan input sekolah yang dilakukan secara harmonis, sehingga dapat mewujudkan situasi pembelajaran menyenangkan (enjoyable learning), mendorong motivasi dan minat belajar, dan memberdayakan peserta didik. Sedangkan dari aspek output, kualitas pendidikan bisa dicermati dari prestasi sekolah, terutama prestasi siswa, baik dalam ranah akademik ataupun non akademik. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memberikan otonomi yang seluasluasnya bagi sekolah. Otonomi sekolah itu mengandung pengertian: (1) Kemandirian sekolah dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. (2) Kewenangan sekolah untuk mengatur serta mengurus kepentingan warga sekolah sesuai prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warganya sesuai peraturan perundangan pendidikan nasional. (3) Kewenangan sekolah untuk memilih dan mengembangkan nilai-nilai dalam budaya sekolah yang diyakini bersama oleh semua warganya bahwa nilai-nilai tersebut bisa memberikan dampak positif untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan merupakan ciri khas sekolah yang membedakan sekolah tersebut dengan sekolah lainnya. Usaha mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkaitan dengan tugas kepala sekolah sebagai leader serta manajer di sekolah. Di sini, kepala sekolah harus sanggup melihat lingkungan sekolahnya secara menyeluruh, sehingga didapat kerangka kerja yang lebih meluas dan mendalam guna memahami berbagai masalah yang sukar serta berbagai relasi yang kompleks di sekolahnya (Hendrizal, 2011a). Melalui pendalaman pemahaman mengenai kultur organisasi di sekolah, diharapkan kepala sekolah bisa lebih baik dalam memberikan penajaman seputar keyakinan, nilai serta sikap yang amat berguna
Hendrizal
15
untuk meningkatkan stabilitas dan upaya pemeliharaan lingkungan belajar para peserta didiknya. Kalau pemahaman lingkungan sekolah secara holistik sudah dimiliki kepala sekolah, guru dan warga sekolah lainnya, maka aplikasi dan pengembangan budaya sekolah bisa ditempuh melalui langkah-langkah berikut: (1) Merumuskan budaya sekolah yang akan dikembangkan di sekolah oleh stakeholders (kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, tata usaha, orangtua siswa, tokoh agama, tokoh masyarakat, dinas/instansi terkait). (2) Sosialisasi budaya sekolah yang sudah dirumuskan kepada warga sekolah dan masyarakat luas. (3) Melaksanakan budaya sekolah dengan penuh tanggungjawab sesuai tujuan pokok dan fungsinya. (4) Menilai pelaksanaan budaya sekolah. (5) Analisis hasil pelaksanaan penilaian budaya sekolah. (6) Tindak lanjut hasil analisis. (7) Memberikan reward dan punishment. 4.2 Pengembangan Nilai-nilai dalam Budaya Sekolah Di sekolah, berbagai nilai yang perlu dikembangkan tidak dapat dilepaskan dari eksistensi sekolah itu sendiri sebagai sebuah organisasi pendidikan. Di sini, sekolah mempunyai fungsi serta peran yang berupaya mengembangkan, melestarikan, dan mewariskan berbagai nilai budaya kepada para peserta didiknya. Lashway (1996) menyebutkan, “schools are moral institutions, designed to promote social norms.” Dalam pengembangan budaya sekolah, Depdiknas (2004) juga mensyaratkan pengembangan nilainilai budaya sekolah seperti tercantum dalam Tabel 3 berikut: Tabel 3: Pengembangan Nilai-nilai Budaya Sekolah No. Nilai Budaya Makna Sekolah 1 Budaya fokus • Fokus pada visi dan misi sekolah • Semua warga sekolah memahami dan komit untuk mewujudkan visi dan misi sekolah • PBM efektif, efisien dengan target yang jelas, siswa sadar dalam belajar dan tekun • Seluruh kebijakan sekolah tertuju pada pencapaian visi dan misi sekolah • Pemanfaatan semua sumber daya sekolah secara optimal 2 Budaya adil • Bersikap adil terhadap sesama dan obyektif warga sekolah • Memberikan perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Hendrizal
•
• • • •
Strategi dan Model Pengembangan Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) Sosialisasi RPS Implementasi RPS Monitoring dan evaluasi Penyusunan Rancana Tindak Lanjut (RTL)
• Tupoksi dan job description yang jelas • Tata tertib guru, siswa dan karyawan jelas 16
3
4
5
6
seluruh warga sekolah dan dilaksanakan • Menerapkan reward dan • Dilakukan penilaian punishment yang adil kepada semua disiplin dan keberhasilan tugas warga sekolah serta tanggung jawab secara berkala • Reward dan punishment yang obyektif Budaya mutu • Selalu bekerja dengan cara terbaik • Menerapkan 8 untuk hasil terbaik standar nasional pendidikan • Menghindari pola kerja asal jadi • Tingkat profesionalisme yang • Melaksanakan TQM diukur dari kualitas proses dan hasil • Responsif terhadap perubahan dan feet • Belajar dari pengalaman untuk back dari orangtua meningkatkan kualitas, kemampuan siswa dan masyarakat dan kesiapan sekolah Budaya • Semua tahu hak dan kewajibannya • Palaksanaan seluruh transparan kegiatan sesuai • Membangun suasana saling percaya dengan rencana dan dan menghindari rasa saling proposal serta mencurigai dilaporkan kepada • Siap memberi informasi apapun berbagai pihak terkait kepada siapapun sesuai dengan • Mengoptimalkan tanggungjawabnya. peran seksi Humas • Jabatan dan pekerjaan apapun terbuka untuk siapapun di sekolah, • Mengoptimalkan web sekolah untuk asal memenuhi persyaratan dan memberikan sesuai dengan ketentuan yang informasi kepada berlaku masyarakat luas Budaya • Semua warga sekolah bersikap • Pembiasaan dan santun dan ramah, santun dan saling pengembangan diri ramah menghormati serta keteladanan • Menghargai dan menghormati orang yang sedang berbicara • Berjabat tangan dan mengucapkan salam saat bertemu antarwarga sekolah Budaya tertib, • Memberikan motivasi dan • Pembiasaan budaya bersih dan bimbingan kepada siswa untuk antri, membuang indah berbuat tertib, bersih, indah dan sampah pada tempatnya, sehat, kapanpun dan di manapun melakukan kewajiban • Menangani siswa yang bermasalah piket kelas, lomba • Lingkungan sekolah yang kondusif kebersihan kelas, dll. • Menghindari perbuatan yang dapat • Mengoptimalkan merusak alam sekitar pelaksanaan bimbingan konseling • Penerapan konsep wawasan wiyata
Hendrizal
17
7
8
9
10
Budaya keteladanan
• Kepala sekolah, guru dan karyawan wajib dan harus memiliki budi pekerti luhur dan dapat diteladani di lingkungan sekolah dan masyarakat Budaya aktif • Membiasakan aktif dan proaktif dan proaktif untuk memperoleh peluang dan hasil • Menghindari bekerja dengan sikap menungggu juklak, juknis, perintah, tetapi terus melangkah sambil belajar bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan • Memastikan langkah pekerjaan jauh lebih baik daripada menunggu kepastian Budaya ulet • Setiap kesulitan bukanlah hambatan dan tangguh untuk meraih sukses, melainkan tantangan untuk diatasi • Tidak baik berkeluh kesah dan putus asa, dan mencari dalih, akan lebih baik jika mencari solusinya • Waspada akan tantangan yang menghadang
Budaya jujur • Jabatan itu adalah amanah, dan amanah melaksanakan tugas dengan ikhlas, jujur, bersih, terbaik dan bertanggungjawab • Berorientasi pada kepuasan kerja dan kepuasan pelanggan • Efisien, efektif dan produktivitas tinggi • Memberikan kepercayaan penuh kepada orang lain yang ditugaskan
mandala • Implementasi kode etik guru • Pembangunan karakter guru dan karyawan • Mengembangkan kreativitas dan menghindari manajemen yang mengangkat aspirasi dan kreativitas guru • Mengembangkan tim manajemen yang solid untuk setiap kegiatan sekolah • Biasa memberikan tugas yang menantang (di atas kemampuan rata-rata siswa) • Memompa semangat dengan yel-yel khas sekolah • Melaksanakan kegiatan outbond • Memberikan penghargaan kepada yang berhasil melaksanakan tugas • Kembangkan motto bekerja adalah beribadah • Biasakan melaporkan hasil pekerjaan tepat waktu • Kembangkan usaha warung kejujuran • Kembangkan manajemen team work dalam setiap kegiatan
Sumber: modifikasi dari Depdiknas (2004). Agar bisa mengembangkan budaya sekolah seperti di atas secara baik, perlu dicermati prinsip-prinsip berikut: Pertama, budaya sekolah sebagai suatu sistem, yang mana di dalamnya memprioritaskan kerjasama (team work). Keberhasilan diraih atas dasar kebersamaan, Hendrizal
18
bukan hanya kerja satu orang kepala sekolah (one man show). Bisa saja kepala sekolah akan berganti setiap periode, namun sistem yang ada akan terus berjalan menyertai siapapun pemimpin sekolah tersebut. Dengan adanya budaya organisasi, dikembangkan struktur organisasi, komitmen para civitas akademika, aturan kepegawaian serta kesejahteraan, merencanakan penggunaan teknologi dengan menempatkan access point di setiap sudut sekolah, sistem pemeliharaan fasilitas, pengembangan program, layanan pendidikan dan sumber keuangan sekolah. Kedua, budaya sekolah sebagai identitas diri. Setiap sekolah perlu menciptakan kultur sekolahnya sendiri sebagai suatu identitas diri serta rasa kebanggaan akan sekolahnya. Kegiatan tidak sekadar terfokus pada intrakurikuler, namun juga ekstrakurikuler yang bisa mengembangkan ranah otak kiri dan otak kanan siswa secara seimbang sehingga bisa melahirkan kreativitas, bakat, serta minat peserta didiknya (Hendrizal, 2010). Di samping itu, dalam rangka mewujudkan kultur sekolah yang kokoh, perlu pula berpedoman kepada misi dan visi sekolah yang bukan cuma mencerdaskan otak namun juga watak siswa. Hal ini sering disampaikan tokoh pendidikan Indonesia, Arief Rachman. Menurutnya, jika mau menciptakan budaya sekolah yang kokoh, perlu mengacu kepada empat ranah kecerdasan, yakni: kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan rohani (SQ), kecerdasan emosional (EQ), serta kecerdasan sosial. Ketiga, stakeholders sekolah perlu terlibat dalam pengembangan budaya sekolah. Budaya sekolah akan subur dan tetap eksis kalau orangtua siswa dilibatkan dalam menunjang kegiatan kesiswaan. Keterlibatan orangtua dalam menopang kegiatan di sekolah, keteladan pendidik (memahami dan memfasilitasi bakat, minat, serta kebutuhan belajar siswa, mendidik secara benar, mewujudkan suasana dan lingkungan belajar yang baik, menyenangkan, nyaman), dan prestasi peserta didik yang membanggakan, merupakan 3 hal yang bisa menyuburkan budaya sekolah (Hendrizal, 2011b). Berbagai hal di atas bisa menjadi gengsi tersendiri dalam suatu sistem sekolah yang holistik (utuh) dengan indikator yang jelas pula, sehingga diharapkan watak atau karakter peserta didik bisa terkover secara maksimal lewat berbagai kegiatan yang dilakukan sekolah. Hal itu perlu menjadi budaya dan bisa berpengaruh terhadap perkembangan siswa selama bersekolah. V. PENUTUP Berdasarkan uraian bagian terdahulu, bisa diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Hendrizal
19
Pertama, budaya sekolah merupakan implementasi nilai-nilai dan norma-norma yang sudah diyakini kebenarannya oleh stakeholders sekolah dalam tata kehidupan sekolah lewat penataan-penataan lingkungan, baik fisik ataupun sosialnya, yang tercermin dalam kebiasaan bertindak, guna mewujudkan tujuan sekolah. Kedua, membangun budaya sekolah yang unggul merupakan upaya membangun pencitraan publik sekolah (public school image) sehingga tumbuh karakter sekolah yang mampu menciptakan citra sekolah tersebut, yang berbeda dengan sekolah lainnya. Ketiga, untuk membangun budaya sekolah yang unggul perlu mewujudkan lingkungan dan suasana kerja yang kondusif, baik serta menyenangkan bagi semua warga sekolah. Lingkungan kerja yang kondusif (baik fisik, sosial ataupun psikologis), dapat menumbuhkan serta mengembangkan motif untuk bekerja secara baik dan produktif. Karenanya, perlu diwujudkan lingkungan fisik sekondusif mungkin, contohnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan lainnya. Begitu juga lingkungan sosial-psikologis, misalnya kepemimpinan, pengawasan,
relasi antarpribadi, kekeluargaan, kehidupan kelompok,
bimbingan, promosi, kesempatan untuk maju, dan lainnya. Keempat, upaya membangun budaya sekolah yang unggul bisa ditempuh melalui kegiatan pembiasaan dan pengembangan diri serta pengelolaan semua aspek dalam sistem persekolahan secara holistik dan berkesinambungan, sehingga terbangun iklim kerja yang kondusif dan terselenggara manajemen sekolah yang efektif dan berkinerja tinggi. Demikian uraian dan kesimpulan tulisan ini. Semoga hal ini bisa membantu mewujudkan visi departemen pendidikan Indonesia sampai tahun 2025, dan bisa pula memberikan tambahan pengetahuan dan bermanfaat bagi para insan pendidikan. Amin. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Idochi dan Yayat Hidayat Amir. 2000. Administrasi Pendidikan: Teori, Konsep & Isu. Bandung: Program Pascasarjana UPI. Cowling, Alan and Philip James. 1996. The Essence of Personnel Management and Industrial Relations. New York: Prentice Hall. Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen. Depdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Hay Resources Direct. 2003. “Intervention: Managerial Style & Organizational Climate Assessment”. Hendrizal. 2010. “Perlunya Sekolah Bernuansa Budaya.” Padang: Harian Haluan, 17 Februari 2010, artikel rubrik Opini, halaman 4.
Hendrizal
20
Hendrizal. 2011a. “Sekolah Berwawasan Budaya.” Padang: Harian Singgalang, 1 Februari 2011, artikel rubrik Opini, halaman A-9. Hendrizal. 2011b. “Sekolah, Mutu dan Strategi.” Padang: Harian Singgalang, 26 April 2011, artikel rubrik Opini, halaman A-9. Hendrizal. 2012. “Reformasi Pendidikan Tambal Sulam?” Padang: Harian Singgalang, 1 Juni 2012, artikel rubrik Opini, halaman A-9. Kotter, John P. dan James L. Heskett. 1998. Corporate Culture and Performance. Terjemahan Benyamin Molan. Jakarta: Prehalindo. Kunandar. 2011. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Lashway, Larry. 1996. “Ethical Leadership.” Eric Digest, Number 106, June 1996. Luthan, Fred. 1995. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill, Inc. McNamara, Carter. 2002. “Organizational Culture.” The Management Assistance Program for Nonprofits. Ndraha, Taliziduhu. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta. Peursen, C.A. van. 1984. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Saidihardjo. 2004. Pengembangan Kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Schein, Edgar H. 2002. Organizational Culture & Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass. Schwartz, Howard and Stanley M. Davis. 1981. “Matching Corporate Culture and Business Strategy.” Jurnal Organisational Dynamics, Vol. 10 No. 1 Summer 1981, halaman 32-35. Steers, Richard M., dkk. 1985. Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga. Stolp, Stephen. 1994. “Leadership for School Culture.” Eric Digest, Number 91, Tahun 1994. Surya, Mohammad. 1995. “Nilai-nilai Kehidupan.” Makalah. Kuningan: PGRI PD II Kuningan. Surya, Mohammad. 1998. “Peningkatan Profesionalitas Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21 (I): Organisasi & Profesi.” Suara Guru, Nomor 7, Tahun 1998, halaman 15-17. Suryabrata, Sumadi. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.
Hendrizal
21