lidik?” “Ya, sampai sekarang pekerjaan itu tidak berapa sulit, akan tetapi yang akan kita kerjakan sekarang adalah sulit sekali.” “Pshaw! Saya dapat menjalankannya juga!” “Betul? Nah, mari kita coba. Anda melihat dua buah api unggun kecil itu di mana ada orang Indian sedang bercakap-cakap. Anda pergi ke unggun-api yang terdekat. Hutan ini hampir menjulur sampai ke sana, sehingga Anda selalu dapat bersembunyi. Saya akan mengambil api yang sebelah sana, yang letaknya dekat pada danau. Itu sukar didekati. Anda setuju?” “Ya, walaupun bukan kehormatan bagi saya bahwa Anda memilih yang paling berbahaya.” “Dengarkanlah! Nanti kita harus balik ke tempat ini. Barangsiapa balik lebih dahulu, harus memberi tanda, bahwa pekerjaannya telah selesai. Tanda itu tidak boleh menimbulkan curiga pada orang kulit merah. Anda dapat meniru bunyi burung hantu?” “Saya kira dapat.” “Nah, segera setelah Anda balik ke mari, maka Anda harus meniru bunyi burung hantu; yang pertama dan kedua jaraknya agak lama, yang kedua dan ketiga cepat berturut-turut. Mengertikah Anda?” “Ya. Untuk membedakan dari bunyi burung hantu yang sebenarnya.” “Betul, Kalau saya lebih dahulu kembali ke mari, saya akan berbuat begitu juga. Sekiranya Anda diketahui orang, maka...” “Diketahui orang?” demikian ia menyela. “Saya akan menjaga jangan sampai dilihat orang.” “Jangan takabur. Penjelajah hutan yang paling cerdik dan paling hati-hatipun mungkin juga mendapat sial. Jadi kalau Anda dilihat orang, jangan Anda memikirkan keadaan saya, melainkan lekas-lekas kembali ke tempat perhentian kita melalui semak belukar yang lebat. Saya akan segera menyusul.” “Kalau Anda dilihat orang?” “Saya akan lari juga dan Anda harus mengikuti saya secepat-cepatnya. Masih hendak bertanya lagi?” “Tidak. Tugas saya sudah jelas.” “Sukses!” “Ya, sukses! Saya tidak akan membuat Anda kecewa.” Ia membelok ke kiri masuk ke dalam semak belukar. Betulkah ia tak akan membuat kesalahan? Saya masih belum yakin benar.
PERGI MENYELIDIK
Seperti telah saya katakan tadi, tugas saya jauh lebih berat daripada tugas Old Wabble. Api yang akan saya dekati itu letaknya di dekat danau, dan di antara api dan saya tidak ada sesuatupun yang dapat saya pergunakan sebagai tempat
bersembunyi. Bagaimana saya dapat mendekat dan dapat berbaring sekian lamanya tanpa dilihat orang? Itulah masalahnya. Saya harus pergi ke sana, sebab salah seorang yang duduk dekat api itu adalah ketua suku. Itu ternyata dari bulu burung rajawali yang tertusukkan dalam rambutnya. Kalau saya tidak salah, orang itu ialah Vupa Umugi, ketua suku orang Comanche. Satu-satunya jalan yang dapat saya tempuh ialah melalui air. Tetapi bagaimana itu dapat saya kerjakan sambil menyembunyikan diri saya. Belum pernah saya mengerjakan sesuatu yang sebesar itu risikonya. Tepi danau itu ditumbuhi oleh alang-alang. Kini saya memperoleh akal. Saya menanggalkan baju luar saya dan oleh karena kulit saya putih maka saya harus mencari tempat yang gelap. Di sebelah kanan, tidak seberapa jauh dari api itu, semak belukar berbatas kepada air. Lekas-lekas saya menanggalkan pakaian saya, lalu mengambil beberapa tali serta pisau bowie saya. Kemudian pakaian saya, saya sembunyikan di dalam semaksemak. Saya memotong beberapa batang alang-alang; saya jalin menjadi berkas yang dapat saya ikatkan pada kepala saya. Kemudian saya membuat lubang dalam alangalang itu, tepat di muka mata saya; gunanya ialah untuk melihat. Dengan perlahan-lahan saya merangkak ke dalam air. Baik berjalan ataupun berenang, selalu harus saya usahakan agar alang-alang di atas kepala saya itu letaknya tetap sama tingginya dengan alang-alang yang tumbuh di tepi danau. Kini saya bergerak maju dengan perlahan-lahan sekali. Sekiranya saya akan dilihat orang, maka saya harus berenang ke seberang danau dan balik kembali ke tempat saya menyembunyikan pakaian saya. Mula-mula saya melalui tempat yang agak dangkal. Saya harus berbaring dan merangkak di dalam lumpur. Kulit saya tersentuh pada daun alang-alang yang sangat tajam itu; jadi saya harus hati-hati supaya tidak mendapat luka. Akhirnya sampailah saya kepada tempat yang agak dalam. Di sini saya dapat berjalan. Kemudian kaki saya tidak menjejak tanah lagi, sehingga saya terpaksa berenang. Jarak yang harus saya tempuh itu jauhnya tidak lebih daripada enampuluh meter, akan tetapi dalam setengah jam saya belum menempuh seperdua dari jalan itu. Saya hati-hati benar, sebab orang-orang kulit merah itu tidak boleh melihat bahwa ikatan alang-alang saya bergerak. Dengan demikian perjalanan saya akan banyak sekali memakan waktu. Untung segera terjadi sesuatu yang membantu saya. Saya mendengar orang-orang bersorak-sorak dan ketika saya melayangkan pandang saya ke arah padang rumput, maka saya melihat dua orang Indian masuk ke tempat perkemahan. Kedua orang Indian itu ialah bekas tawanan kami. Mereka pergi mengejar Old Wabble atas perintah ketua suku. Kini setiap orang ingin mengetahui apa hasil mereka. Kebanyakan orang Comanche itu menyongsong mereka, akan tetapi ketua suku tetap duduk di tempatnya. Perhatian semua orang tertuju kepada mereka yang baru datang itu. Tidak seorangpun melihat ke arah danau. Kesempatan baik itu saya pergunakan; dalam semenit saja sampailah saya pada tempat yang saya tuju. Saya merangkak ke dalam lumpur di tepi danau. Di sana saya berbaring, bertumpu pada kedua siku lengan saya. Kini saya dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di padang rumput itu. Kedua orang Comanche itu sekarang sudah sampai ke dekat api unggun ketua suku. Vupa Umugi menyambut mereka dengan marah: “Saya tidak ada melihat scalp orang kulit putih pada ikat pinggang Anda. Sudah butakah Anda maka Anda tak dapat mengikuti jejak lagi? Adakah kuda Anda telah patah kakinya sehingga Anda tak dapat menyusul orang kulit putih itu?” Bekas tawanan-tawanan saya itu yang seorang berdiam diri saja seraya menunduk. Tetapi yang lain rupanya lebih berani; ia menatap muka ketua suku seraya menjawab: “Mata kami tidak buta dan kaki kuda kami tidak patah.” “Tetapi mana scalp orang kulit putih itu?”
“Masih ada pada kepalanya.” “Jadi ia tidak mati?” “Ia masih hidup.” “Jadi Anda membiarkan dia lolos?” Kini Vupa Umugi membelalakkan matanya, lalu bertanya dengan suara yang mengancam: “Sekali lagi, Anda membiarkan dia melarikan diri?” “Ia dapat menyelamatkan dirinya,” jawab orang Comanche yang lain. “Kalau begitu Anda berdua adalah anjing yang pincang, yang tidak boleh dipercayai mengejar seorang pelari! Anda akan saya pulangkan ke perkampungan perempuan-perempuan tua.” “Anda ialah Vupa Umugi, ketua suku kita di dalam perang, yang perintahnya harus kita patuhi, akan tetapi jikalau Anda memberi perintah yang tak dapat dilaksanakan, maka Anda tak boleh menghina orang yang sudah berusaha mematuhi perintah Anda. Kami bukan anjing pincang, melainkan prajurit yang berpengalaman dan yang gagah berani; kalau tidak begitu niscaya kami tidak akan Anda pilih untuk menjalankan tugas itu. Tidak, kami tidak akan pergi ke kemah perempuan tua. Mengapa Anda sudah mengecam, sebelum Anda mendengar apa sebabnya maka kami tidak ada membawa scalp?” Berani benar orang itu menyanggah perkataan ketua sukunya. Orang ini niscaya tidak takut. Vupa Umugi telah terkenal sebagai orang yang bengis, bukan saja terhadap orang kulit putih, melainkan terhadap sesama sukunya juga. Ia dihormati sebagai seorang prajurit, akan tetapi tidak disayangi. Banyak orang yang tidak senang akan sikapnya. Sikap prajurit Comanche tadi menunjukkan keberanian, akan tetapi ia tidak sembrono. Seorang ketua suku Indian bukanlah seorang diktator. Ia dipilih oleh seluruh suku; ia tetap menjabat ketua suku selama pengalamannya, kecerdikannya dan keberaniannya melebihi sesamanya, akan tetapi setiap waktu ia dapat dipecat oleh dewan kaum tua. Itu diinsafi oleh Vupa Umugi. Wajahnya menunjukkan bahwa jawab prajurit Comanche itu menimbulkan kemarahannya; tangannya sudah memegang pisaunya, akan tetapi ia menahan dirinya dan dengan tenang ia berkata: “Ceriterakanlah apa yang sudah terjadi. Saya hendak mendengarkannya, nanti akan saya putuskan bolehkah Anda tetap menjadi prajurit Comanche atau tidak.” Ia duduk; yang lain-lainpun duduk pula. Kini prajurit Comanche itu menceriterakan kisah pengejarannya. Semuanya berdiam diri sampai pada perkataan: “Tiba-tiba kepala kami dipukul orang dan rebahlah kami. Ketika kami sadar kembali, kami telah terikat pada pohon.” “Terikat?” seru ketua suku. “Dan Anda tidak memberi perlawanan?” “Dapatkah ketua suku Naiini memberi perlawanan kepada seorang musuh yang tidak dilihatnya?” “Saya akan melihat setiap musuh yang berani menyerang saya.” “Anda tak akan dapat melihat musuh ini!” “Siapa musuh itu? Sebutkan namanya!”
“Old Shatterhand!” “Uf!” seru ketua suku sambil bangkit, lalu duduk kembali. “Uf! Uf! Uf!” seru yang lain-lain. “Old Shatterhand! Anjing kulit putih yang sudah sekian kali tertangkap oleh orang Comanche, akan tetapi selalu dapat melepaskan diri! O, sekiranya saya ada di tempat Anda!” “Maka nasib Anda tak akan lain.” “Diam! Saya Vupa Umugi, saya tidak akan membiarkan orang mendekati saya. Kami sedang mengejar orang kulit putih yang lari. Dapatkah kami mengetahui bahwa ia sudah bertemu dengan orang kulit putih yang lain? Dan dapatkah kami menduga bahwa orang kulit putih yang lain itu ialah Old Shatterhand, yang belum pernah dikalahkan orang?” “Anda hendaknya lebih hati-hati.” “Kami sudah hati-hati. Demi kami mencium bau api, maka kami segera berhenti dan mengikatkan kuda kami pada pohon. Dengan tidak membuat bunyi kami menyuruknyuruk untuk melihat siapa yang duduk di dekat api itu. Kami yakin bahwa kami tidak akan dapat dilihat dan ditangkap orang; dugaan kami tak lain daripada hendak memperoleh scalp. Tetapi tiba-tiba Old Shatterhand telah mengikuti kami dari belakang. Ia men gadang saya di belakang semak-semak. Malam itu gelap dan kami tidak dapat melihat dia. Ketika kami lalu di dekatnya, maka kami disergapnya dan ditinjunya. Bukankah saudara-saudara saya sudah pernah mendengar betapa kuatnya, tangannya?” Pertanyaan itu ditujukannya kepada prajurit-prajurit yang berdiri sekelilingnya. “He, he, he, he (ya, ya, ya, ya)!” jawab mereka. “Bukankah Anda mendengar pula bahwa setiap orang yang ditinjunya akan jatuh pingsan?” “He, he, he!” “Sekiranya bukan kami melainkan Anda yang diadang oleh Old Shatterhand, adakah Anda mengira bahwa Anda akan melihat dia dan akan dapat menghindari dia?” “Ke, ke (tidak, tidak)!” Siasatnya untuk membela diri itu cerdik benar. Pernyataan teman-temannya bahwa mereka sependapat dengan dia dapat mengelakkan amarah ketua suku. Ia berceritera terus, tanpa disela lagi oleh Vupa Umugi. Setelah selesai kisahnya, maka ia bertanya: “Demikianlah Old Shatterhand memperlakukan musuhnya. Dapatkah Anda menerka, siapa orang kulit putih yang kami kejar itu?” Mereka menggelengkan kepalanya. “Orang kulit putih itu sudah seringkali kita dengar namanya.” “Saya ada melihat dia, ketika ia menerobosi pasukan kita seakan-akan ia kebal terhadap peluru dan senjata, akan tetapi saya tidak mengenal dia,” jawab Vupa Umugi. “Rambutnya panjang dan putih metah warnanya. Tidakkah Anda melihatnya?”
“Ya, saya melihatnya.” “Mukanya berkerut dan usianya sudah lebih daripada sembilan puluh tahun. Orang kulit putih yang selanjut itu usianya, yang putih metah warna rambutnya dan yang sepandai itu berkuda, hanyalah seorang saja.” “Uf! Uf!” seru ketua suku. “Adakah yang Anda maksud itu Old Wabble?” “Ya, itu yang saya maksud. Dialah orang kulit putih itu.” “Sial benar kita. Tidak ada orang kulit putih yang lain, yang sudah sedemikian banyak menumpahkan darah orang kulit merah seperti Old Wabble! Sekiranya ia jatuh ke tangan kita, maka sorak sorai orang-orang Comanche tidak akan ada habis-habisnya. Tetapi sekali lagi ia tak akan dapat lepas. Kita akan bertemu lagi dengan dia dan ia pasti akan kita tangkap, barangkali besok.” “Anda akan menyuruh kita semuanya mengejar dia?” “Tidak.” “Dengan jalan apa Anda hendak menangkap dia?” Ketua suku itu rupa-rupanya menjadi marah lagi oleh pertanyaan yang dipandangnya tidak sopan itu. “Saudara saya adalah prajurit biasa saja, tetapi berani bertanya kepada pemimpinnya apa yang hendak diperbuatnya. Pertanyaan serupa itu tidak patut, akan tetapi walaupun begitu saya mau menjawabnya, sekalipun hanya untuk membuktikan bahwa Anda sudah saya ampuni. Kita tidak usah mengejar Old Wabble sebab ia akan datang ke mari.” “Tidak, ia tidak akan datang ke mari,” kata prajurit itu. “Pasti! Ia tentu akan datang ke mari!” seru ketua suku. “Ia pergi untuk mencari bala bantuan. Ia sudah menjumpai sepuluh orang kulit putih dan di antaranya ada Old Shatterhand. Ia pasti akan datang ke mari untuk membebaskan orang kulit putih yang kita tawan di pulau.” “Mereka sudah kehilangan akal sehat mereka, apabila mereka mengira dapat mengalahkan kita dengan sebelas orang belaka!” “Old Shatterhand ada pada mereka! Orang kulit putih yang dipimpinnya selalu berani mengambil segala risiko.” “Mereka tidak tahu tempat kita.” “Anda meninggalkan jejak dan jejak itu niscaya akan diikutinya.” “Old Shatterhand telah berjanji tidak akan mengikuti jejak kami.” “Janji itu tidak akan ditepatinya.” “Tidak, ia bukan pembohong. Saya belum pernah mendengar bahwa Old Shatterhand sudah mengingkari janjinya.” “Sebaiknya saudara saya menutup mulutnya. Perbuatan Anda tidak sopan. DI hadapan prajurit-prajurit yang sudah tua-tua ini tidak patut Anda menyanggah perkataan ketua suku Anda!” Ini suatu teguran yang dapat mengandung ancaman, akan tetapi Vupa Umugi tidak disayangi oleh anak buahnya. Orang Comanche itu mengetahui dari pandang mata teman-temannya bahwa mereka sependapat dengan dia. Karena itu ia berkata lagi:
“Saya tahu bahwa saya jauh lebih muda daripada prajurit-prajurit tua yang sangat bijaksana ini, akan tetapi oleh karena sayalah yang menjumpai Old Shatterhand dan saya pulalah yang bercakap-cakap dengan dia dan saya juga yang memperoleh janjinya, barangkali saya akan diperkenankan mengatakan kata-kata apa yang saya dengar dari mulutnya.” Maka kini berkatalah seorang Indian tua yang duduk di samping ketua suku: “Silahkan saudara saya mengatakan kepada kami kata-kata apa yang didengarnya. Oleh karena kita telah menggali kapak peperangan, maka segala sesuatu yang tampaknya remeh boleh jadi mempunyai arti yang penting. Pertemuan dengan Old Shatterhand adalah suatu hal yang penting sekali. Di mana Old Shatterhand menampakkan diri, di sana tentu ada Winnetou, ketua suku Apache. Adakah Anda melihat Winnetou?” “Ia tidak ada di antara mereka,” jawab prajurit itu. “Tidak ada di sekitarnya pula?” “Kami tidak melihat tanda-tanda yang menunjukkan kemungkinan itu.” “Kata-kata apakah yang diucapkan oleh Old Shatterhand ketika ia berjanji?” Orang Comanche itu berpikir sebentar, lalu menjawab: “Demikian saya berkata kepada Old Shatterhand: Anda akan menyelidiki jejak kami untuk mengetahui ke mana kami pergi? “Ia menjawab: Tidak, saya berjanji tidak akan berbuat begitu. “Itulah dengan tepat kata-kata yang diucapkan oleh Old Shatterhand.” “Jikalau Old Shatterhand berkata begitu, maka janji itu mempunyai kekuatan yang sama dengan apabila ia mengucapkannya dalam upacara mengisap calumet. Ia pasti menepati janjinya dan ia tidak akan mengikuti jejak Anda! Howgh! Kini kita telah mendengar apa yang hendak kita ketahui. Saudara saya boleh mengundurkan diri.” Maka pergilah kedua orang Comanche itu, diikuti oleh mereka yang tadi berlarilari datang ke tempat api itu. Orang-orang Comanche yang akan dihampiri oleh Old Wabble, sementara itu datang pula ke tempat ketua suku. Karena itu maka saya menduga bahwa Old Wabble telah balik ke tempatnya. Sebentar kemudian dugaan saya itu ternyata benar, sebab saya mendengar bunyi burung hantu empat kali dengan cara seperti yang sudah saya sepakati dengan bekas cowboy itu. Sesungguhnya saat itu memberi kesempatan yang baik sekali bagi saya untuk mengundurkan diri. Akan tetapi saya menduga bahwa mereka akan meneruskan percakapan mereka mengenai soal-soal yang penting bagi kami. Lagi pula pada sangka saya nanti tentu tak akan ada kesempatan sebaik itu lagi. Orang-orang Comanche itu belum lagi makan. Nanti kalau persiapan mereka untuk makan malam telah selesai, mereka tentu akan pergi ke tempat api di mana orang membakar daging. Dengan demikian maka saya akan mendapat kesempatan untuk mengundurkan diri tanpa dapat dilihat orang. Karena pertimbangan itu maka saya tetap berbaring di atas lumpur. Ketua suku Comanche rupa-rupanya marah bahwa prajurit tua itu telah mencampuri percakapannya. Setelah kedua orang prajurit muda itu pergi, maka ia berpaling kepada prajurit tua itu: “Saudara saya rupa-rupanya lupa bahwa kewibawaan saya selaku ketua suku telah dirugikannya karena ia telah melindungi seorang prajurit muda terhadap saya!” Prajurit tua itu menjawab:
“Kewibawaan seorang ketua suku paling dirugikan oleh sikap yang tidak bijaksana. Kami percaya bahwa Old Shatterhand akan menepati janjinya, hanya Anda belaka yang tidak percaya.” “Karena saya mengenal anjing kulit putih ini.” “Kami mengenal dia juga. Lidahnya belum pernah dicemarkan oleh dusta.” “Ya, akan tetapi lidahnya itu licin sekali. Old Shatterhand ialah orang kulit putih yang paling jujur, akan tetapi dalam pada itu ia orang kulit putih yang paling cerdik juga. Ia tidak berdusta, itu benar. Apa yang dijanjikannya niscaya ditepatinya, akan tetapi hanya sesuai dengan apa yang dimaksudnya, tidak dengan apa yang dikehendaki orang. Kata-kata yang diucapkannya kepada musuhnya ialah seakan-akan mesiu yang ditimbang-timbang dengan saksama sebelum dimasukkan ke dalam laras bedil.” “Jadi Vupa Umugi menduga bahwa janji yang diucapkannya kepada kedua prajurit kita itu tadi dapat ditafsirkan lain!” “Tidak. Ia tidak akan mengikuti jejak mereka, akan tetapi ia tidak akan memberikan janji itu sekiranya ia tidak mengetahui jalan lain untuk mendengar apa yang hendak diketahuinya.” “Tidak ada jalan lain!” “Pendapat saudara saya begitu, akan tetapi pendapat saya berlainan. Seringkali orang mengatakan bahwa Old Shatterhand selalu tahu apa yang hendak diketahuinya. Saya yakin bahwa ia tahu dengan pasti bahwa kita berkemah di Saskuan Kui.” “Itu tidak mungkin, sebab tidak ada orang yang memberitahukannya. Tetapi sekiranya ia tahu maka itu belum lagi merupakan alasan untuk mengira bahwa ia akan datang ke mari.” “Ia hendak membebaskan tawanan kita.” “Old Shatterhand mengenal itu? Dan sekiranya begitu maka masih merupakan tekateki maukah ia menyabung nyawanya untuk mencobanya?” “Ia akan menolong setiap orang kulit putih!” “Rombongannya hanya sebelas orang banyaknya dan kita mempunyai seratus limapuluh orang prajurit!” “Ia tidak menghitung jumlah musuhnya, sebab ia mempunyai bedil khasiat yang dapat ditembakkannya terus-menerus. Dan tiadakah saudara saya mengetahui bahwa Old Shatterhand selalu menghindari pertumpahan darah? Ia lebih suka mempergunakan muslihat dan muslihatnya itu biasanya lebih mengena daripada bedil khasiatnya. Ia akan datang ke mari bukan hendak berperang, melainkan hendak membebaskan tawanan kita dengan jalan muslihat.” Prajurit tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berpikir, tetapi akhirnya ia berkata lagi: “Perkataan Vupa Umugi tak dapat mengubah pikiran saya, akan tetapi oleh karena kita sudah menggali kapak peperangan maka kita harus bersikap sangat waspada. Segala kemungkinan dan segala sesuatu yang biasanya kita pandang remeh, hendaknya kita timbang masak-masak. Saya yakin bahwa Old Shatterhand tidak akan datang ke mari. tetapi Anda berpendapat bahwa ia pasti akan datang. Anda kata benar bahwa ia dapat diharapkan akan datang ke mari, maka tidakkah sebaiknya kita menghindari dia?” “Takutkah saudara saya? Saya berharap benar mudah-mudahan dia akan datang. Itu akan memberi kita kesempatan untuk menangkap dia bersama-sama dengan Old Wabble.”
“Anda ingin menangkap angin?” “Adakah Old Shatterhand itu angin? Bukankah ia sudah beberapa kali tertangkap oleh orang kulit merah?” “Ya, saya tahu, akan tetapi bukankah ia selalu dapat lolos?” “Kalau ia jatuh ke tangan saya, maka ia tak akan mendapat kesempatan untuk melepaskan diri.” “Kalau begitu bukalah tangan Anda. niscaya ia akan masuk ke dalamnya.” “Tak usah Anda mengejek! Nanti benar-benar akan saya buka tangan saya, maka ia akan masuk ke dalamnya. Saya sudah tahu apabila ia akan datang, yaitu besok. Kedua prajurit kita itu meninggalkan orang kulit putih pada malam hari, tentunya Old Shatterhand akan berangkat keesokan harinya pagi-pagi. Dengan demikian maka prajurit kita mendahului dia. Dan oleh karena mereka datang malam ini, maka Old Shatterhand baru besok akan datang.” “Ke tempat ini?” “Tidak, tidak akan saya biarkan ia mendekat sampai tempat ini: ia akan saya adang di Rio Pecos.” “Tahukah Anda tempat di mana ia akan menyeberang?” “Ya, di tempat yang biasa dipergunakan orang untuk menyeberang. Dan jikalau tempat itu tidak diketahuinya, maka ia akan mencarinya dan akan mendapatkannya.” “Old Shatterhand tidak memerlukan tempat yang dangkal; ia pandai sekali berenang.” “Itu tidak saya lupakan juga. Besok saya akan memasang penjagaan sepanjang tepi sungai. Dengan demikian tiada dapat ia menipu mata kita. Alangkah baiknya sekiranya Nale Masiuv* (*Jari Empat) sudah ada di sini, tidak pada hari sesudah lusa. Ia membawa seratus orang prajurit; dengan bantuannya saya akan dapat memasang penjagaan yang sangat panjang.” Pada saat itu saya mendengar orang berteriak: “Teschkaro! Makan!” dan semua orang berlari-lari ke arah api di mana orang membakar daging. Vupa Umugi bangkit dengan perlahan-lahan lalu pergi mengambil makanannya. Itulah kesempatan yang sebaik-baiknya bagi saya untuk mengundurkan diri. Saya melayangkan pandangan saya ke seluruh padang rumput. Tidak seorangpun melihat ke arah danau, jangan lagi ke arah tempat saya bersembunyi. Rupa-rupanya mereka sangat lapar. Saya mundur sampai ke tempat yang dalam, kemudian saya berenang cepat-cepat tanpa berusaha sedikitpun untuk menyembunyikan diri saya. Setelah saya sampai ke tempat di mana saya menanggalkan pakaian saya, maka saya naik ke darat lalu mengenakan pakaian saya lagi. Sesudah itu saya merangkak ke tempat di mana Old Wabble menunggu saya. Ikatan alang-alang saya bawa. Sekiranya alang-alang itu saya tinggalkan di sana maka orang-orang Comanche niscaya akan mengetahuinya dan akan menaruh curiga. Sedemikian hati-hati saya merangkak sehingga Old Wabble tidak dapat mendengar kedatangan saya dan ketika bahunya saya sentuh dengan tangan saya ia terkejut: “Astaga! Andakah itu, Sir?” tanyanya. “Ya, saya,” jawab saya. “Sekiranya bukan Anda melainkan orang Comanche, niscaya saya tikam!” “Itu tidak mungkin, Mr. Cutter! Anda berbaring dengan tidak bergerak sama sekali
dan tempat ini sunyi sekali, akan tetapi sungguhpun begitu Anda tidak mendengar kedatangan saya. Bagaimana sekiranya bukan saya, melainkan seorang Comanche yang datang?” “Itu tidak mungkin, sebab tidak ada orang yang dapat merangkak tanpa membuat bunyi seperti Anda. Bagaimana, berhasilkah usaha Anda, Sir?” “Saya merasa puas.” “Saya juga.” “Apakah yang Anda dengar?” “Tidak banyak, akan tetapi penting sekali, Old Surehand hanya di jaga oleh dua orang kulit merah.” “Di mana?” “Aha, Anda ingin mengetahuinya? Sekiranya saya tidak ikut, maka Anda tidak akan mengetahuinya.” “Salah, Mr. Cutter Sayapun telah tahu. Ia ditawan di pulau.” “Ya. itu yang Anda sangka tadi.” “Bukan begitu; saya mendengarnya dari mulut Vupa Umugi.” “Adakah ia mengatakannya? Sial benar saya ini! Saya kira Anda akan bersenang hati mendengar dari mulut saya bahwa dugaan Anda benar.” “Janganlah itu Anda sesali! Apa yang masih Anda dengar lagi?” “Tidak apa-apa. Saya kira kabar saya itu merupakan barang baru bagi Anda, akan tetapi kini ternyata bahwa susah payah saya sia-sia belaka. Barangkali saya akan dapat mendengar lebih banyak, sekiranya kedua orang Comanche bekas tawanan kita itu tiada datang dengan sekonyong-konyong. Sejak saat itu orang-orang yang duduk di dekat saya itu pergi semuanya ke tempat ketua suku. Anda tentu mendengar lebih banyak?” “Ya, akan tetapi nanti saja saya ceriterakan. Ini bukan tempat untuk bercakapcakap. Marilah kita pergi!” “Ke mana?” “Ke padang terbuka melalui jalan yang kita tempuh tadi.” “Jadi menerobos hutan belukar. Dan itu Anda sebut jalan!” Dalam perjalanan pulang itu kami harus hati-hati seperti pada perjalanan kami ke mari, tetapi untung benar kami tidak menjumpai orang Indian. “He, kita berjalan ke arah tempat perhentian kita”, kata Old Wabble. “Ke mana lagi kalau tidak ke sana?” “Hm! Barangkali saya akan Anda tertawakan, akan tetapi saya mengira bahwa kita tidak akan kembali sebelum dapat membebaskan Old Surehand.” “Angan-angan itu melampaui batas keberanian yang wajar.” “Ya, sayang keadaannya berlainan sekali daripada yang kita harapkan. Sekiranya Old Surehand ditawan di tepi danau, bukan di pulau, maka tiada sulit bagi kita untuk membebaskannya. Kita merangkak mendekat... kita potong ikatannya... kita melompat bangkit... lalu berlari... orang-orang Indian mengejar kita... akan
tetapi kita lebih cepat sampai ke tempat perhentian kita... lalu naik ke atas kuda serta... lari secepat-cepatnya.” “Wah, enak benar rencana Anda itu di dengar, mudah benar pekerjaan itu kedengarannya.” “Dengan terus terang saya mengakui, bahwa ingin sekali saya memperlihatkan kepada teman-teman kita betapa dua orang pemburu prairi yang sejati seperti kita ini, tanpa bantuan orang, dapat merebut seorang tawanan dari tangan seratus limapuluh orang prajurit Comanche.” “Dengan perkataan lain: Anda ingin berlagak.” “Boleh Anda sebut begitu, apa boleh buat. Tetapi, bukankah itu perbuatan yang jantan, yang serasi untuk dikerjakan oleh Old Shatterhand dan Old Wabble! Ya, kesempatan seperti itu tidak akan ada lagi. Nanti Sam Parker, Jos Hawley dan teman-teman yang lain tentu akan Anda perkenankan ikut membantu.” “Membantu yang sebenar membantu tidak. Mereka hanya akan saya beri tugas menghalang-halangi orang-orang Comanche yang mungkin akan mengejar kita. Tetapi pekerjaan membebaskan Old Surehand akan kita jalankan berdua.” “Itu sangat menyenangkan hati saya.” “Tetapi saya minta satu syarat, yakni bahwa Anda benar-benar pandai berenang seperti yang Anda katakan.” “Jangan khawatir, saya berenang seperti ikan, seperti ikan, it’s clear! Jadi, Mr. Shatterhand, kita akan berenang?” “Ya, bukankah kita harus pergi ke pulau? Jadi Anda benar-benar berani berenang dari seberang danau ini ke pulau lalu berenang kembali?” “Mengapa Anda masih bertanya! Tadi sudah saya katakan bahwa kalau perlu saya mau berenang dari sini ke bulan, sekiranya antara bumi dan bulan ada air.” “Nah! Kalau begitu pekerjaan kita tidak akan terlalu sulit. Kita berenang ke pulau, kita pukul kedua orang penjaganya sampai tidak dapat berdaya, kita bebaskan Old Surehand, lalu kita bawa berenang ke tepi danau.” Old Wabble berhenti, memegang tangan saya lalu berkata: “Wah! mudah benar kedengarannya.” “Rencana Anda tadi begitu juga.” “Ya, tetapi lain. Yang saya maksud ialah membebaskan dia di darat, bukan melalui air. Kita belum mengetahui adakah Old Surehand pandai juga berenang?” “Seorang pemburu prairi seperti dia tentu pandai berenang.” “Tetapi ia terikat. Tentu tangan dan kakinya akan menjadi kaku, sehingga masih merupakan pertanyaan dapatkah ia mempergunakannya.” “Saya tidak khawatir, sebab kata orang badannya sangat kuat.” “Itu saya yakin. Baiklah, rencana Anda akan kita jalankan. Akan tetapi, lihatlah ke langit. Bintang-bintang sedang gemerlapan. Saya takut kalau-kalau penjaganya akan melihat kita.” “Mereka tidak akan dapat melihat kita, kita akan menyembunyikan diri kita di belakang alang-alang.” “Anda akan membawa alang-alang? Saya kira orang-orang kulit merah itu tidak akan
dapat kita tipu dengan jalan yang sederhana itu.” “Dapat juga; itu sudah saya buktikan.” Maka saya ceriterakan kepadanya bagaimana saya mendekati api unggun ketua suku orang Comanche, Maka Old Wabble berkata lagi: “Hm! Ya, dengan seikat alang-alang masih dapat, akan tetapi bagaimana halnya dengan dua buah ikatan. Bukankah kedua berkas itu tiada akan dapat sama benar geraknya? Itu akan menimbulkan syak pada orang-orang Indian itu.” “Ya, tentu. Karena itu kita tidak akan membuat dua buah ikatan, melainkan kita membuat pulau kecil dari alang-alang yang dengan perlahan-lahan sekali hanyut ke arah pulau; kita bersembunyi di bawahnya.” “Ya, itu barangkali mungkin.” “Mula-mula kita berenang dengan cepat, akan tetapi apabila kita sudah dekat pada pulau sehingga dapat terlihat oleh mata para penjaga, maka pulau itu harus bergerak dengan perlahan-lahan sekali, seakan-akan dihanyutkan oleh arus air.” “Tetapi bagaimana kita menyembunyikan badan kita? Kalau kita berenang berdampingan, maka pulau itu harus kita buat besar-besar agar tubuh kita tersembunyikan baik-baik. Lagi pula kita mempunyai kulit putih sehingga lekas tampak oleh penjaga itu.” “Kita berenang dengan pakaian lengkap.” “Hm,” jawabnya. “Anda khawatir kalau-kalau dengan demikian kita tidak akan dapat bergerak dengan bebas di dalam air?” “O, sama sekali tidak! Hanya masih tinggal satu pertanyaan, yaitu adakah para penjaga itu akan membiarkan alang-alang kita menyentuh tepi pulau?” “Dapatkah Anda menyelam?” “Seperti katak, seperti katak, Its’ clear! Katakan sajalah berapa dalam saya harus menyelam!” “Itu bagus, sebab kita harus menyelam. Jikalau para penjaga itu melihat pulau kita hanyut di dekat pulau, maka mereka akan berlari-lari melihat benda yang terapung itu.” “Ya, saya sependapat dengan Anda. Benda itu akan dibiarkannya hanyut.” “Saya kira begitu, akan tetapi akan kita jaga jangan sampai alang-alang itu menyentuh daratan. Setelah kita dekat pada pulau maka kita menyelam di bawah permukaan air, lalu berenang mengeliling, sehingga kita dapat mendarat di balik pulau. Pada saat para penjaga itu mengamat-amati alang-alang, kita naik ke darat dan kita serbu mereka dari belakang. Dengan dua pukulan tinju mereka akan rebah.” “Bagus, bagus sekali, Mr. Shatterhand! Dan apa tugas saya?” “Anda harus segera melepaskan ikatan Old Surehand. Itu harus Anda kerjakan secepat-cepatnya, sebab ada pula kemungkinan bahwa kita harus pergi dengan segera, umpamanya jikalau salah seorang dari penjaga itu dapat berteriak minta tolong.” “Celaka benar kalau itu terjadi.” “Ya. Anda maklum bahwa semuanya harus kita kerjakan dengan tepat. Tak boleh ada
satu bagianpun dari rencana itu yang gagal. Karena itu maka mengertilah Anda, mengapa saya tadi bertanya adakah Anda sungguh-sungguh yakin dapat menjalankan apa yang saya kehendaki daripada Anda.” “Tentu, dengan mudah sekali. Percayalah, Sir!” “Dengan terus terang saya mengakui bahwa saya tidak memandang pekerjaan itu mudah. Jangan kita bersikap sembrono!” “Saya tidak akan sembrono, Sir! Sudah pernahkah Anda melihat Old Wabble berenang dan menyelam?” “Belum.” “Lihat sajalah nanti. Dan kalau semuanya sudah selesai, maka Anda akan mengetahui, bahwa Anda tidak akan mendapatkan seorang pembantu yang lebih cakap daripada saya, it’s clear!” “Syukur, sebab dalam usaha itu kita akan mempertaruhkan nyawa kita.” Sesungguhnya saya belum yakin benar bahwa orang tua itu dapat saya andalkan. Badannya yang sangat kurus itu tidak memberi jaminan bahwa ia pandai berenang dan cara ia menjawab pertanyaan saya itu menunjukkan bahwa ia gemar bersombong, akan tetapi sudah umum diketahui orang bahwa cowboy tua itu orang yang gagah berani dan berpengalaman. Dan karena ia tidak pernah ragu-ragu memberi jawaban dengan tegas, maka saya harus percaya.
MEMBEBASKAN OLD SUREHAND.
Kami sudah sampai ke tempat perhentian kami. Teman-teman kami sudah mulai cemas, karena lama sekali kami belum kembali. Kami ceriterakan apa yang kami alami dan apa yang telah kami lihat, lalu kami katakan pula apa yang hendak kami perbuat. Parker dan Hawley merasa sayang bahwa mereka tidak mendapat peranan yang lebih aktif. Teman-teman yang lain berdiam diri, barangkali mereka merasa puas bahwa saya tidak menghendaki dari mereka supaya menyabung nyawanya. Segera kami naik ke atas kuda, lalu berjalan mengeliling ke arah seberang danau. Setibanya di sana kami turun, lalu mengikatkan kuda kami pada pohon-pohonan. Di seberang kami, kami melihat api unggun orang Comanche. Segera kami memotong alang-alang sebanyak yang kami perlukan. Dari beberapa ranting kami membuat rangka rakit yang akan kami pergunakan. Alang-alang yang telah kami potong itu kami ikatkan kepada rakit sehingga ranting kayu itu tidak kelihatan dari atas. Di tengah rakit itu ada beberapa lubang untuk kepala kami. Dari beberapa utas tali kami membuat empat buah simpul yang kami ikatkan kepada rakit dan nanti akan kami pergunakan sebagai tempat berpegang. Kami usahakan pula; agar kami dapat melihat dengan leluasa apabila kami bersembunyi di dalam pulau alang-alang itu. Kini kami hendak memulai pelaksanaan rencana kami. Saku-saku kami, kami kosongkan. Dari senjata-senjata kami hanya pisau saja yang akan kami bawa. Setelah selesai, maka Parker bertanya: “Jadi benar-benar kami tak usah berbuat apa-apa, Mr. Shatterhand?” “Tidak, akan tetapi Anda mempunyai tugas yang sangat penting. Sekiranya kami dilihat orang serta dikejar, maka dengan segera kami berenang kembali. Apabila pengejar ada di belakang kami, maka adalah tugas Anda menghalang-halangi mereka
menyusul kami.” “Bolehkah kami menembak?” “Ya.” “Ya.” “Dalam gelap gulita ini? Kalau orang berenang, yang kita lihat hanyalah kepalanya. Bagaimana kita dapat membedakan kepala seorang kulit putih daripada kepala seorang kulit merah? Jangan-jangan Anda yang kami tembak?” “Jangan Anda menembak sebelum Anda melihat dengan jelas kepada siapa Anda membidik. Lagi pula kami akan berteriak. Jikalau salah seorang dari kami berkelahi dengan orang kulit merah di dalam air, jangan sekali-kali Anda menembak, biarpun kami dekat sekali pada Anda. Nah, ini semuanya sudah jelas. Marilah kita berangkat.” “Ya, setengah jam lagi kami akan kembali membawa Old Surehand,” seru Old Wabble dengan menyombong. Old Wabble turun ke dalam air; saya menyusul. Selama kami masih jauh dari pulau, kami dapat berenang biasa, belum perlu kami memasukkan kepala kami ke dalam lubang di dalam rakit. Dalam pada itu saya mengerlingkan mata saya ke arah Old Wabble untuk mengetahui, adakah ia benarbenar dapat berenang seperti ikan. Saya tidak merasa kecewa, akan tetapi beberapa menit kemudian saya melihat bahwa rakit itu agak tenggelam di bagian sebelah Old Wabble. “Anda terlalu menekan pada rakit, Mr. Cutter,” kata saya. “Anda belum lelah, bukan?” “Lelah? Mana boleh?” jawabnya. “Rakit di sebelah saya ini agak tenggelam oleh bretel pada celana saya. Karena badan saya terlalu kurus.” Saya tidak menyangkal, akan tetapi tidak lama kemudian rakit pada bagian Old Wabble itu makin banyak tenggelam, sehingga timbul di atas air di sebelah saya. Maka saya berkata: “Saya kira lebih baik Anda kembali saja, Mr. Cutter. Kini belum terlambat. Ruparupanya pekerjaan ini terlalu berat bagi Anda.” “Omong kosong! Tidakkah Anda melihat bahwa saya berenang seperti ikan?” “Karena saya mendorong rakit yang Anda tekan ini.” “Hanya tampaknya saja begitu. Aduh, bretel ini mengganggu sekali. Biarlah saya lepaskan.” Dengan tangannya yang satu ia berpegang pada rakit, dengan tangannya yang lain ia melepaskan bretelnya, lalu dimasukkannya ke dalam saku celananya. Ruparupanya benar bretel itu mengganggu dia, sebab kini rakit itu tidak tenggelam lagi. Saya mendengar dengus napasnya makin lama menjadi makin keras. Teranglah bahwa ia harus mempergunakan segala tenaganya. Ketika saya menyindir, ia menjawab: “Ah, itu paru-paru saya sebelah kiri; selalu membuat suara keras apabila saya bernapas, akan tetapi paru-paru saya sebelah kanan masih sempurna.” Kini lima menit lamanya kami berenang tanpa berkata. Kemudian saya melihat bahwa ia makin lama makin dalam tenggelam ke dalam air.
“Rupa-rupanya badan Anda makin lama makin menjadi berat,” kata saya. “Itu tak perlu mengherankan. Pakaian saya kini sudah basah kuyup, jadi menjadi berat, lagi pula... hai, apa itu?” Tangan kanannya meraba-raba celananya. “Anda mencari apa, Sir?” “Saya mencari... yah... Mr. Shatterhand, bretel saya harus saya pasang lagi.” “Mengapa?” “Karena celana saya turun. Jangan-jangan celana itu sebentar lagi akan lepas. Tolonglah saya!” Saya tolong dia menarik celananya. Kini kami berenang terus. Tetapi dari menit ke menit saya menjadi lebih cemas lagi. Saya insaf bahwa ia bukan perenang yang ulung. Bukan saja saya harus mendorong rakit, melainkan harus mendorong dia juga. “Kita harus kembali, Mr. Cutter,” kata saya. “Anda benar-benar sudah lelah, padahal rencana kita ini memerlukan seluruh tenaga kita. Ingatlah akan bahaya yang kita hadapi.” “Saya belum mempergunakan seluruh tenaga saya. Saya tidak mau balik. Anda tidak hendak membuat saya malu, bukan?” Ya, saya tak hendak membuat dia malu, akan tetapi bolehkah saya meneruskan usaha ini apabila cowboy itu selama ini hanya menjadi beban saja? Tetapi barangkali betul ia belum mempergunakan seluruh tenaganya. Selalu ia mencoba meyakinkan saya, bahwa ia hanya hendak menghemat tenaga saja. Lagi pula kami sudah menempuh separoh jalan. Apa boleh buat, kita terus! Tetapi lima menit kemudian saya terpaksa berkata: “Saya kira lebih baik Anda membaringkan dada Anda di atas rakit. Dengan demikian Anda dapat melepaskan lelah Anda sedikit; nanti Anda segar kembali.” “Itu benar. Akan tetapi tiadakah akan menjadi terlalu berat bagi Anda?” “Tidak, cobalah.” Ia menuruti nasihat saya. Sedang saya mendorong rakit, ia berkata: “Hai, Mr. Shatterhand! Para penjaga itu tentu akan menaruh curiga jikalau mereka melihat rakit ini bergerak, sebab air ini sama sekali tidak berombak.” “Tidak apa. Air ini mengalir ke Rio Pecos; karena itu sudah selayaknya rakit kita bergerak, akan tetapi geraknya harus perlahan-lahan benar. Saya tidak merasa cemas. Ada soal lain yang saya khawatirkan.” “Apa?” “Anda.” “Pshaw! Saya belum mau melelah-lelahkan badan saya. Nanti kalau pertunjukan kita sudah mulai, barulah saya akan mempergunakan segenap tenaga saya.” “Hm! Kini soal lain. Sebentar lagi kita harus menyelam: kalau tidak dapat menjalankannya maka celakalah kita!” “Mr. Shatterhand, Anda jangan khawatir, betul-betul, kecemasan Anda sama sekali tidak beralasan. Barangsiapa sekurus saya ini tentu pandai sekali menyelam.”
Itu benar. Saya mencoba menekan kecemasan saya, sungguhpun kini saya yakin bahwa sebenarnya lebih menguntungkan bagi saya apabila ia tidak ikut, melainkan tinggal bersama-sama dengan teman-teman yang lain. Kami sudah dekat pada pulau dan rakit itu saya kemudikan ke arah yang saya kehendaki. Api unggun di pulau untung hanya kecil saja, lagi pula tertutupi oleh semak belukar. Saya berenang dengan tenang dan tertib, supaya jangan membuat ombak. Kini kami sudah dekat sekali pada pulau sehingga tak boleh lagi kami berenang secara biasa. “Mr. Cutter, kini sudah tiba waktunya untuk masuk ke dalam rakit.” “Ya, marilah!” “Ingat-ingatlah! Jikalau Anda hendak mengatakan sesuatu, hendaknya Anda berbisik-bisik saja.” “Ya, saya mengerti!” “Walaupun rakit ini harus bergerak atas kekuatan arus air belaka, akan tetapi harus dikemudikan juga. Itu akan saya kerjakan sendiri.” “Baik. Berilah saya isyarat apabila kita harus menyelam.” Kami menyuruk ke bawah rakit lalu memasukkan kepala kami di dalam lubang yang sudah disediakan untuk itu. Gerak tangan atau kaki yang sedikit saja sudah cukup untuk mengemudikan rakit. “Anda dapat melihat, Sir?” demikian Old Wabble berbisik. “Ya.” “Saya juga. Lihatlah itu!” “Ya, saya sudah melihat.” “Ia melihat kita. Apa yang akan diperbuatnya?” Jarak kita dari pulau kira-kira enampuluh langkah. Dalam semak-semak yang tumbuh di tepi pulau ada celah-celah, sehingga kami dapat melihat api unggun. Dari celah itu kami melihat seorang Indian yang pergi ke tepi untuk menceduk air. Orang Indian itu melihat rakit kami. Ia memandang ke arah kami, akan tetapi segera kembali ke api unggun. Orang Indian itu tidak kembali ke tepi. Dalam pada itu kami makin lama makin mendekat. Masih empatpuluh langkah, tigapuluh langkah, duapuluh langkah, yakni hanya sepuluh langkah saja jarak kami dari pulau. “Mr. Cutter, sekarang!” kata saya dengan berbisik, “Saya menyelam ke sebelah kiri, Anda ke sebelah kanan, di balik pulau kita akan bertemu. Sudah siapkah Anda?” “Ya, kita boleh mulai.” “Ayo, satu... dua... tiga!” Saya melepaskan kedua tangan saya, lalu menyelam dalam-dalam, kemudian saya berenang di bawah permukaan air, mengelilingi pulau itu dari sebelah kiri. Saya timbul kembali tepat di belakang pulau. Saya tidak ada melihat Old Wabble. Tentu saja ia sudah mendarat di tempat yang lain. Saya tak sempat mencari dia. Segera saya naik ke darat, lalu merangkak melalui semak-semak. Kedua orang penjaga itu duduk di dekat api. Di sebelah mereka saya melihat tawanan berbaring
di dekat belukar. Mukanya tidak dapat saya lihat, akan tetapi kakinya diterangi oleh cahaya api: kaki itu terikat. Kini saya harus cepat-cepat bertindak! Saya bangkit; dengan dua lompatan saja sudah sampailah saya kepada api, meninju ke kiri dan meninju ke kanan, sebentar saja kedua orang kulit merah itu sudah rebah. Saya membungkukkan badan saja untuk menyelidiki mereka. Kedua orang itu sudah pingsan. “Hai, orang kulit putih,” demikian saya mendengar suara tawanan. “Anda datang untuk....” “Ya, tetapi jangan Anda berbicara, kita harus bertindak dengan cepat.” Saya mencabut pisau saya untuk memotong ikatannya, akan tetapi pada saat itu saya mendengar bunyi di belakang saya. “Andakah itu, Mr. Cutter?” tanya saya tanpa menoleh, sebab pada saat itu saya yakin bahwa bunyi itu dibuat oleh Old Wabble. “Uf! Uf!” Kata-kata itu diucapkan dengan suara yang asing bagi saya. Segera saya bangkit, lalu menoleh. Saya melihat dua orang Indian yang basah kuyup. Kelak saya mendengar dari Old Surehand bahwa penjagaan di pulau itu selalu diganti setiap tiga jam. Pengganti itu datang ke mari dengan berenang. Itulah sebabnya maka kedua orang itu basah kuyup. Segera saya bertindak. Saya dapat merebahkan seorang kulit merah dengan tinju saya, kemudian saya hendak memegang Indian yang kedua. Akan tetapi usaha saya itu gagal; orang Indian itu menjerit, lalu menceburkan diri ke dalam air. Sambil berteriak-teriak ia berenang ke arah perkemahan orang Comanche. Kini saya tak boleh membuang-buang waktu. Dengan cepat saya potong tali ikatan Old Surehand. “Dapatkah Anda bergerak?” tanya saya ketika ia bangkit. “Lekas! Lekas!” Tawanan itu menggeliatkan badannya, lalu membungkuk untuk memungut pisau dari salah seorang Indian yang pingsan itu. Ia menjawab dengan suara yang tenang sekali: “Saya dapat menjalankan apa saja yang Anda kehendaki, Sir.” “Anda dapat berenang?” “Ya. ke mana?” “Ke seberang sana! Di sana kita ditunggu oleh beberapa orang kulit putih.” “Marilah. Orang-orang kulit merah segera akan datang ke mari.” Itu betul. Saya mendengar orang-orang Comanche memekik-mekik dan meraung-raung. Kami tidak melihat mereka, akan tetapi kami mendengar bunyi mereka menceburkan diri ke dalam air dan sebentar kemudian kami mendengar suara mereka berenang. Kami harus lekas pergi. Akan tetapi di manakah Old Wabble? “Mr. Cutter, Mr. Cutter!” demikian saya berteriak. “Mr. Cutter, di mana Anda?” Old Surehand berlari ke tepi pulau untuk melihat ke arah perkemahan orang Comanche. Ia segera berbalik, lalu bertanya dengan ter-gesa-gesa: “Mr. Cutter? Yang Anda maksud Old Wabble?” “Ya. Ia bersama-sama dengan saya berenang ke pulau ini, tetapi ia tidak saya
lihat.” “Masih ada lagi orang kulit putih di sini kecuali dia?” “Tidak.” “Kalau begitu tak usah kita mencari dia. Saya kenal dia, selalu banyak tingkahnya.” “Tetapi celaka dia!” “Jangan khawatir. Sir! Ia pandai mencari jalannya sendiri. Biarkanlah, ayuh, kita pergi! Orang-orang kulit merah semuanya sudah ada di air, yang paling di muka barangkali sudah hampir sampai ke mari. Ayuh, cepat!” Tangan saya ditariknya. Saya mengerti mengapa ia tergesa-gesa benar. Di air antara pulau dan perkemahan orang Comanche berkecimpungan orang kulit merah. Yang ada di muka sekali tidak lebih daripada sepuluh meter jauhnya dari pulau. Betul, saya tidak boleh mencari Old Wabble, melainkan harus memikirkan keamanan saya sendiri dan keamanan Old Surehand. “Ya, marilah, lekas mencebur!” jawab saya, “Ikutilah saya, secepat-cepatnya!” Kami terjun ke dalam air lalu berenang dengan gaya yang tertib supaya tidak lekas lelah. Teriak orang Indian makin lama makin keras. Mereka telah melihat kami dan berusaha sekeras-kerasnya untuk menyusul kami. Tentang diri saya, saya tidak takut, tak ada orang Indian yang dapat menyusul saya, akan tetapi bagaimana Old Surehand? Sebagai seorang penjelajah hutan yang sejati tentu ia pandai sekali berenang, akan tetapi karena ia sudah beberapa hari tertawan maka tenaganya sudah banyak berkurang dan saya tahu benar betapa eratnya ikatan tali Indian. Barangkali kakinya bengkak-bengkak dan urat dagingnya masih kaku. Saya berenang di sampingnya serta mengamat-amati keadaan badannya. Ia berenang dengan cepat sehingga mula-mula sudah hampir hilang kecemasan saya. Akan tetapi segera saya melihat bahwa gerak tangannya makin menjadi lambat. “Anda sudah lelah, Sir?” tanya saya. “Tidak,” jawabnya, “akan tetapi tangan dan kaki saya sudah semutan.” “Itu akibat Anda terikat beberapa hari. Bagaimana, dapatkah kiranya Anda bertahan sampai ke tepi danau?” “Mudah-mudahan. Dalam keadaan biasa tak ada orang Indian dapat menyusul saya, akan tetapi kini rasanya darah saya tidak mau mengalir.” Sebentar kemudian kakinya menjadi kejang. Itu berbahaya sekali; karena itu saya berkata: “Balikkan badan Anda dan berenanglah pada punggung Anda; pergunakan kaki saja supaya tangan Anda mendapat kesempatan untuk melepaskan lelah.” Nasihat saya itu diturutinya. Kecepatan kami berkurang sekali. Saya pun berenang pada punggung pula untuk dapat melihat mereka yang mengejar kami. Semuanya masih ada di belakang kami, akan tetapi jaraknya berlain-lainan. Seorang dari mereka hanya kira-kira seratus langkah saja jauhnya dari kami. Old Surehand melihat ia mendekat lalu berkata: “Kita harus berenang lebih cepat lagi; saya akan mencoba berenang secara biasa lagi.”
Itu dicobanya, akan tetapi segera ia harus mengaku: “Tangan saya masih semutan. Tinggalkanlah saya; Anda berenang terus.” “Tidak! Anda akan saya dukung.” “Jangan. Badan saya terlalu berat!” “Tidak bagi saya.” “Akan tetapi kecepatan kita masih kurang juga dan kita akan tersusul oleh mereka.” “Belum tentu. Marilah!” Dengan ragu-ragu ia memenuhi permintaan saya. Kini kami maju lebih cepat sedikit, akan tetapi belum cukup, sebab orang Indian yang saya maksud tadi makin lama makin dekat pada kami. Ia memeras segala tenaganya. Saya mengerti bahwa akhirnya ia akan dapat menyusul saya. Untung hanya dia seorang saja yang sudah dekat; yang lain-lain masih jauh ketinggalan. Dalam gelap gulita sesungguhnya ia tidak akan dapat melihat kami, akan tetapi danau itu diterangi cahaya api unggun di perkemahan orang Comanche. Betul cahaya itu tidak sampai ke tempat kami akan tetapi dipantulkan oleh permukaan air sehingga kepala kami kelihatan juga. Ruparupanya mata orang Indian itu tajam sekali; ia berenang ke arah kami. Akhirnya ia hanya kira-kira tigapuluh langkah di belakang kami, padahal kami baru menempuh tiga perempat jalan. Orang Indian itu menyerukan pekik peperangan. “Kita akan tersusul!” kata Old Surehand. “Itu salah saya. Anda seorang perenang yang ulung, akan tetapi Anda mendukung kira-kira seratus kilo. Anda tak akan dapat bertahan.” “Pshaw! Anda didukung pula oleh air dan saya tidak takut kepada seorang Indian belaka.” “Saya tidak takut juga. Kalau ia mendekat, ia akan saya tikam dengan pisau ini. Kini rupa-rupanya tangan saya sudah mulai pulih kembali.” “Serahkan pekerjaan itu kepada saya. Badan saya masih segar.” “Anda hendak membunuh dia? Sesungguhnya saya enggan menumpahkan darah kalau tidak perlu benar.” “Saya sependapat dengan Anda. Maksud saya hendak meninju kepalanya, kemudian akan saya seret ke tepi.” “Sir, hanya Old Shatterhand dapat berbuat begitu. Urat daging saya kuat juga, akan tetapi jikalau saya hendak membuat orang pingsan, maka saya harus memukul beberapa kali berturut-turut.” “Itu bukan soal kekuatan; saya tahu akalnya. Bagaimana, dapatkah Anda sekarang berenang lagi?” “Ya, lepaskanlah saya; saya rasa badan saya sudah cukup kuat lagi.” “Kekuatan Anda belum pulih kembali dan Anda sudah mau berkelahi dengan orang Indian itu. Hanya Old Surehand berani berbuat begitu.” “Anda tahu nama saya. Bolehkah saya mengetahui nama Anda?” “Nanti akan saya beritahukan. Tetapi sekarang cobalah berenang seperti biasa.”
Betul, tangannya sudah dapat dipergunakannya lagi. Pada saat itu tidak kami insafi betapa ganjil perbuatan kami: dua orang kulit putih yang sedang berenang di dalam danau, dikejar oleh sepasukan orang Indian, akan tetapi bercakap-cakap seakan-akan mereka enak duduk di dalam kamar. Hanya penjelajah hutan yang sejati dapat berbuat begitu. Dalam pada itu kecepatan kami belum banyak bertambah; orang Indian itu berenang lebih cepat lagi dan makin dekat pada kami, kemudian ia menyerukan pekik peperangan lagi. “Kini dia akan saya lawan; biarlah Anda melihat saja kalau Anda mau,” kata saya. Kemudian saya berenang menyongsong orang Indian itu. Musuh saya melihat bahwa saya hendak melawan, lalu berhenti berenang. Sambil mengangkat pisaunya ia berseru: “Saya Vupa Umugi, ketua suku orang Comanche. Pisau saya akan menembusi jantung anjing-anjing kulit putih itu.” Aha! Itu ketua suku. Senang hati saya. “Saya Old Shatterhand, yang Anda kira tidak akan dapat lolos,” jawab saya. “Perlihatkanlah sekarang bahwa dugaan Anda benar.” “Old Shatterhand! Old Shatterhand!” demikian Old Surehand dan orang Indian itu berseru bersamaan dan ketua suku orang Comanche itu menyambung: “Ah, Anda si coyote busuk! Kalau begitu Anda akan mati.” Sesudah berkata demikian ia cepat-cepat menyelam. Ia hendak menikam saya dari bawah, akan tetapi saya tidak hendak menunggu sampai ia berbuat begitu. Sayapun menyelam, akan tetapi lebih dalam lagi daripada dia. Kini badan saya kira-kira lima meter di bawah permukaan air, lalu saya melihat ke atas, ya, ketua suku itu saya lihat ada di atas saya! Ia berenang ke atas, akan tetapi pada saat itu saya sudah ada di belakangnya dan timbul di atas air tepat di belakangnya. Saya tinju kepalanya lalu saya pegang rambutnya agar ia tidak tenggelam. “Old Shatterhand! Benar-benar Old Shatterhand! Itulah buktinya,” seru Old Surehand. “Ya, Sir, saya Old Shatterhand. Masih kejangkah tangan Anda?” “Saya kira tidak lagi.” “Marilah kita berenang lebih cepat. Orang kulit merah ini saya seret.” Betul, kini kami berenang dengan cepat. Akhirnya sampailah kami ke tepi danau dengan selamat. Ketua suku itu sudah siuman kembali, lalu kami ikat. Usaha kami telah berhasil, sayang ada tetapinya. Saya telah membebaskan Old Surehand dan menangkap ketua suku orang Comanche, akan tetapi Old Wabble sudah hilang. Apakah yang terjadi dengan dia? Old Surehand tidak percaya bahwa ia sudah mati. “Anda rupa-rupanya belum mengenal dia, Sir! Ia tidak dapat mati. Saya berani bertaruh bahwa kini ia sedang bersembunyi di tempat yang aman. Saya tidak akan heran sekiranya ia sekonyong-konyong datang di tengah-tengah kita sambil membawa seorang tawanan atau lebih.” “Mudah-mudahan begitu. Tetapi sekiranya ia tertawan, dapat juga kita menolong dia. Ketua suku ini dapat kita tukarkan dengan dia.”
“Jadi tidak akan Anda bunuh?” “Saya bukan pembunuh! Sekiranya Old Wabble kembali dengan selamat, maka orang kulit merah ini akan saya bebaskan.” “Setuju sekali, Sir. Tetapi lihatlah itu, saya melihat banyak kepala orang timbul di atas permukaan air.” Kebanyakan orang Comanche sudah kembali, akan tetapi ada beberapa orang yang terus mengejar kami. Mereka itu semuanya diusir kembali oleh tembakan temanteman saya orang kulit putih. Untuk sementara kami semuanya aman. Teman-teman saya tentu saja ingin mengetahui apa yang sudah terjadi di pulau tadi. Dengan singkat saya ceriterakan pengalaman saya. Belum selesai saya berceritera maka saya mendengar bunyi di semak-semak di belakang saya. Saya memberi isyarat kepada teman-teman saya supaya berdiam diri. Kami mendengar bunyi ranting patah, diseling oleh bunyi depak kuda. Kemudian saya mendengar orang memberi perintah: “Tundukkan kepalamu, hai orang kulit merah, nanti habis hidungmu tertusuk-tusuk oleh duri, it’s clear!” “Old Wabble!” seru Old Surehand. “Nah, Anda melihat sendiri bahwa ramalan saya benar”.. Betul, Old Wabble terbit dari semak-semak sambil membimbing kuda yang memikul seorang Indian yang terikat pada punggung kuda itu. Lain daripada itu Old Wabble masih menuntun dua ekor kuda beban. “Nah, saya sudah kembali,” katanya. “Saya ada membawa oleh-oleh. Ah, good evening, Mr. Surehand! Anda ada di sini juga? Saya sudah tahu bahwa Mr. Shatterhand tidak memerlukan bantuan saya.” “Di mana Anda selama ini, Mr. Cutter?” tanya saya. “Kami cemas sekali.” “Cemas? Mengapa Anda cemas? Saya dapat menjaga diri saya sendiri; inilah buktinya.” “Mengapa Anda tidak mendarat di pulau?” “Karena saya tolol, it’s clear. Saya mengira bahwa saya pandai sekali berenang dan menyelam, akan tetapi bersama-sama dengan Anda saya selalu ketinggalan. Saya enggan berenang kembali dan saya tidak mau kehilangan celana saya. Apalagi saya harus menyelam! Barangkali saya tidak akan timbul lagi. Karena itu maka saya tetap bergantung pada rakit dan saya ikut hanyut dibawa arus air. Kemudian saya mendengar orang memekik-mekik. Orang-orang kulit merah terjun ke dalam air. Tidak seorangpun tinggal di darat. Bahkan para penjaga kuda datang juga berlari-lari, lalu ikut mengejar Anda. Hanya seorang saja yang tinggal dan saya sudah membulatkan hati saya untuk menangkap dia. Karena itu maka saya mendarat. Orang Indian itu saya tinju kepalanya sehingga ia rebah tanpa minta izin lebih dahulu. Lekas-lekas ia saya ikat dengan tali yang dipergunakan oleh orang Comanche untuk menjemur daging. Maka terpikirlah oleh saya bahwa daging itu dapat kita pergunakan. Karena itu maka saya berlari-lari ke tempat kuda. Saya mengambil tiga ekor, seekor untuk mengangkut orang kulit merah ini dan yang dua ekor untuk mengangkut daging. Saya masih sempat juga membawa pelana. Saya harus bergegas-gegas agar jangan terlambat, akan tetapi semuanya berjalan dengan lancar. Demi orang kulit merah yang pertama telah mendarat kembali, maka saya pergi membawa orang kulit merah ini dan oleh-oleh saya berupa daging dan pelana. “Nah, katakanlah, akan kita
apakan orang Indian ini? Itu saya serahkan kepada Anda sekalian. Akan kita apakan daging ini, tak usahlah Anda jawab. Saya tahu bagaimana kita mempergunakannya.” “Tawanan ini besok kita bebaskan,” kata Old Surehand. “Saya tidak berkeberatan, asalkan ia mau berjalan kaki. Hai, itu Vupa Umugi, ketua suku orang Comanche! Bagaimana ia jatuh ke tangan Anda?” “Ditangkap oleh Old Shatterhand.” “Ia ada di pulau juga?” “Tidak, ditangkap di dalam air.” “O, pertempuran laut! Itu harus Anda ceriterakan nanti. Ia hendak Anda bebaskan juga?” “Ya.” “Sayang! Sebenarnya lebih baik dia kita gantung. Tetapi jangan dia dibebaskan sebelum Anda memperoleh kembali segala milik Anda. Saya bukan sahabat orang Indian: mereka semuanya bodoh: kalau kita bersikap murah hati maka mereka mengira bahwa kita takut. Sekiranya seratus limapuluh orang Comanche itu semuanya tenggelam di dalam danau, maka masyarakat dunia ini tidak kehilangan apa-apa, it’s clear!” Demi keamanan kami maka saya ajak teman-teman saya mencari tempat lain untuk bermalam. Musuh-musuh kami tahu bahwa kami ada di tepi danau sebelah sini, karena itu kami pergi ke prairi sehingga mereka tidak akan dapat menyerang kami dengan tiba-tiba. Setelah saya mengatur penjagaan maka kami pergi tidur. Sebelum saya berbaring, saya mendapatkan Old Surehand untuk bertanya: “Mr. Surehand, adakah Anda mempunyai maksud tertentu di daerah ini?” “Ya. Saya hendak pergi ke perkampungan orang Apache Mescalero untuk sekiranya dapat menjumpai Winnetou. Saya ingin berkenalan dengan dia. Saya malu sudah sekian lamanya mengembara di prairi, tetapi belum pernah bertemu dengan Winnetou dan Old Shatterhand!” “Kami pun belum mengenal Anda juga, akan tetapi sudah banyak sekali mendengar tentang Anda. Keinginan Anda akan terpenuhi, sebab saya setujuan dengan Anda. akan tetapi tidak akan pergi ke perkampungan orang Apache Mescalero; Winnetou tidak ada di sana.” “Di manakah ia?” “Di Llano Estacado.” “Bolehkah saya ikut dengan Anda?” “Dengan segala senang hati. Kami memerlukan bantuan Anda. Besok akan saya ceriterakan sebabnya; kini kita harus tidur supaya besok tenaga kita pulih kembali. Tetapi sudah dapat saya katakan juga sekarang, bahwa maksud kami ialah akan menghalang-halangi orang Comanche menjalankan perbuatan yang tidak baik.” “Orang Comanche ini?” “Orang Comanche ini dan orang Comanche lain, yang akan menggabungkan diri dengan mereka. Anda tentu mendengar apa yang dibicarakannya. Tiadakah mereka menyinggung-nyinggung tujuan perjalanan mereka?” “Ya. Akan tetapi mereka berbisik-bisik, sehingga saya tak dapat mendengarnya. Tetapi saya ingin sekali membayar utang saya, yakni bahwa mereka telah dapat menyergap saya seakan-akan saya seorang plonco. Sesungguhnya saya merasa malu
terhadap Anda.” “Anda tak usah malu. Saya sendiri sudah beberapa kali tertangkap oleh orang Indian dan saya merasa beruntung dapat berjasa sedikit terhadap Anda. Selamat malam!” “Good night, Mr. Shatterhand!” Walaupun pakaian saya basah, namun saya tidur sampai pukul empat pagi, pada saat mana saya dibangunkan oleh penjaga yang terakhir. Fajar sudah menyingsing, waktu teman-teman saya bangunkan. “Good morning, Sir,” demikian Old Surehand memberi salam kepada saya. “Nyenyak benar saya tidur dan badan saya rasanya segar-bugar. Segala akibat ikatan sudah hilang belaka. Dengan perbuatan apa kita mulai hari ini, Sir?” “Ketua suku orang Comanche kita beritahu apa yang kita kehendaki dari padanya. Tawanan Old Wabble kita bebaskan untuk menyampaikan pesan ketua sukunya.” “Sambil menunggu utusan itu kembali, kita dapat makan sarapan sekenyangkenyangnya,” kata Old Wabble. “Daging oleh-oleh saya itu seberapa dapat hendaknya kita simpan di dalam perut saja.” Ajakan Old Wabble itu tentu saja kami sambut dengan gembira. Akan tetapi lebih dahulu kami harus berunding dengan Vupa Umugi. Old Surehand kami persilahkan menyampaikan syaratnya kepada ketua suku itu. Vupa Umugi menerima segala syarat tanpa ragu-ragu. Tawanan Old Wabble lepaskan dari ikatannya, lalu pergi untuk menyampaikan pesan ketua sukunya kepada orang-orang Comanche. Kini kami dapat makan sepuas-puasnya. Kira-kira dua jam sesudah itu utusan Vupa Umugi kembali dengan beberapa orang Indian. Mereka membawa kuda, senjata dan segala milik Old Surehand. Setelah Old Surehand menyatakan bahwa semuanya serba lengkap, maka ketua suku itu kami bebaskan. Sebenarnya lebih baik ia kami suruh berjanji tidak akan bermusuhan lagi dengan kami, akan tetapi kami yakin bahwa itu tak ada gunanya, sebab ketua suku itu niscaya tidak akan menepati janjinya. Setelah kami lepaskan ikatannya, maka ia berpaling kepada saya: “Kini kita sudah berdamai, saya ingin mengetahui berapa lama perdamaian itu akan berlangsung.” “Selama Anda kehendaki,” jawab saya. “Mengapa Old Shatterhand tidak mempergunakan bahasa yang lebih jelas? Apa sebabnya ia tidak menyebut waktu yang tentu?” “Karena saya tidak dapat berbuat begitu. Kami tidak bermusuhan dengan orang kulit merah dan kami ingin hidup dengan damai dengan mereka. Selama mereka mau berdamai kami tidak akan menggali kapak peperangan.” “Uf! Berapa lama orang-orang kulit putih ini akan tinggal di daerah ini?” “Kami akan pergi dengan segera.” “Ke mana?” “Ke manakah angin bertiup? Kadang-kadang ke arah sini, kadang-kadang ke arah sana. Demikian pula halnya dengan seorang pemburu prairi; ia tak akan dapat mengatakan dengan tepat ke mana ia akan pergi.” “Jawab Old Shatterhand mengelaki pertanyaan saya.” “Sekiranya saya yang bertanya, niscaya jawab Anda begitu juga.”
“Tidak! Saya akan berkata benar.” “Nah, itu kami coba. Berapa lama prajurit-prajurit kulit merah akan tinggal di Air Biru?” “Masih beberapa hari. Kami datang ke mari untuk mengambil ikan dan apabila pekerjaan itu sudah selesai, maka kami akan pergi.” “Ke mana?” “Pulang ke perkampungan kami.” “Itu bijaksana sekali; hendaknya mereka berbuat sesuai dengan perkataan Anda!! Anda telah berkata bahwa Anda tidak takut kepada Old Shatterhand. Memang, Anda tak usah takut, asal Anda tidak memaksa dia berjuang dengan Anda Howgh!” Ketua suku itu tidak memberi jawaban, melainkan segera pergi diikuti oleh orangorang kulit merah yang lain. Jilid I berakhir di sini. Jikalau pembaca ingin mengetahui, bagaimana Old Shatterhand bertemu dengan Winnetou dan bagaimana mereka bersama-sama pergi ke Llano Estacado untuk menolong Bloody Fox yang terancam oleh serangan suku-suku Comanche dan kejadian-kejadian apa yang dialami oleh para pemburu prairi itu di jalan, maka kami persilahkan pembaca membaca sambungan jilid ini, yaitu Llano Estacado jilid II.
Scan & DJVU: BBSC
Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers http://epublover.blogspot.com http://facebook.com/epub.lover