Noke Kiroyan:
“Institusionalisasi CSR Itu Sulit Dijalankan…” Sumber: Judul buku Ditulis ulang dari
: Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan : Jurnal Galang, Vol.3 No.3 Desember 2008, PIRAC, 2008, Opini, Hal 99 – 108
Dalam lima tahun ke belakang, muncul semacam kecenderungan atau trend tentang institusionalisasi, apakah kemudian berupa standarisasi dan/atau regulasi mengenai Corporate Social Responsibility (CSR). Seiring perkembangannya, CSR dimaknai secara beragam. Namun demikian, manurut mainstream pemahaman dari CSR itu sendiri yaitu merupakan komitmen dan tindakan perusahaan dalam mengantisipasi atau menanggulangi dampak lingkungan alam dan sosial yang ditimbulkan dari operasionalisasi mereka. Sehingga sifatnya merupakan sukarela berdasarkan komitmen masing-masing perusahaan. Dalam dunia perusahaan sendiri, mutu atau kualitas sebuah perusahaan atas produk yang dihasilkan seringkali dikompetisikan untuk menguji keunggulan satu di antara yang lain. Pada prosesnya dibutuhkan standarisasi baik berupa ISO 9000 dll. Perkembangan terus berlanjut hingga RUU tentang CSR itu sendiri. Sejauh mana institusionalisasi (baik oleh perusahaan maupun pemerintah) ini mempengaruhi perkembangan diskursus dan praktek CSR di tanah air? Kemungkinan yang terjadi dan tantangan-tantangan CSR di Indonesia di masa datang seperti apa? Bagaimana sepatutnya CSR dipahami? Dan perkembangan sekaligus perbandingan CSR di negara-negara lain, berikut wawancara Galang dengan Noke Kiroyan, Managing Partner pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang solusi bisnis dan komunikasi strategis di Jakarta. Beliau juga adalah seorang yang concern sekaligus pelaku dalam membidangi CSR.
Kami melihat beberapa tahun terakhir ada kecenderungan atau trend institusionalisasi terhadap konsep dan praktik CSR. Hal itu terlihat pada upaya untuk melakukan standarisasi, regulasi yang diiringi dengan pemberian insentif dalam bentuk pengurangan pajak dan punishment. Bagaimana Bapak melihat kecenderungan tersebut? Pada dasarnya semua yang diinstitusionalisasikan akan lebih berbobot dari pada yang berada di tataran yang tidak institusional. Konsep CSR sendiri saat ini sudah relatif dikenal dan diimplementasikan dengan baik. Jadi, upaya untuk melakukan institusionalisasi CSR pada dasarnya upaya yang bagus. Saya kira upaya ini juga baik untuk pemahaman CSR secara bersama. Karena, sampai sekarang belum ada yang namanya pemahaman baku, walaupun ada yang namanya mainstream atau pemahaman yang paling banyak dianut. Dalam pemahaman dan praktiknya, CSR diperlakukan berbeda-beda di masing-masing negara. Misalnya, CSR di China berbeda maksudnya dengan pemahaman CSR kebanyakan, di mana ia dimaksudkan mendukung program partai komunis. Pemahaman CSR secara mainstream terutama dikaitkan dengan sustainable development. Salah satu pemahaman atau definisi yang mainstream, sebagai contoh yang sering saya kemukakan adalah, definisi dari World Bank. CSR dimaknai sebagai komitmen dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan yaitu bekerja sama dengan para pemangku kepentingannya. Hanya saja di pihak lain, CSR merupakan pemahaman atau suatu pengertian yang masih mengalami evolusi dan belum diketahui sejauh mana ia akan berkembang. Dengan
arus pemahaman yang berkembang seperti sekarang ini nampaknya sudah mengarah kepada yang mainstream. Namun, jangan dilupakan juga bahwa kalau kita ingin menginstitusionalisasikan ini, terutama karena belum adanya standarisasi, kepentingan negara berkembang dengan negara industri yang sudah lebih maju perekonomiannya akan berbeda. Ini akan sangat nyata kalau kita bertemu dalam forum-forum internasional mengenai CSR. Di antara negara-negara berkembang akan berbicara banyak mengenai bagaimana kita berkontribusi mengurangi kesenjangan sosial. Karena itu, program-program community development akan mendapat porsi yang jauh lebih besar bahkan sangat besar. Namun, isu tersebut sama sekali tidak relevan untuk negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris, yang akan lebih banyak menitikberatkan pada isu hak asasi manusia, hak buruh, dan urusan lingkungan. Sementara itu, kita sendiri tidak banyak memasukkan pemahaman lingkungan di dalam CSR, sehingga isu lingkungan dianggap isu tersendiri. Ini penangkapan saya dari beberapa forum diskusi. Lingkungan kadang-kadang menjadi isu tersendiri sehingga ada suatu gagasan tentang CSR lingkungan. Ini gagasan yang menurut saya sebenarnya tidak masuk akal. Pada hari bumi beberapa bulan lalu, saya diminta bicara sebagai ketua konsorsium CSR. Saya katakan, kalau kita bicara CSR, maka kita juga harus memasukkan aspek lingkungan. Jadi kalau kita masih bicara atau ingin membentuk lembaga CSR lingkungan, akan sangat tidak produktif dan akan membiaskan pemahaman tentang CSR itu sendiri karena tidak ada yang namanya CSR lingkungan. Kalau kita bicara tentang sustainable developemnt itu otomatis mencakup pemahaman tentang lingkungan dan kepedulian terhadap lingkungan dan upaya kita menjaga kelestariannya. Di mana social development mencakup persoalan economic, social, dan environmental. Apakah hal itu terjadi karena konteks keragaman usaha yang digeluti perusahaan sehingga persoalan atau kasus yang dihadapi berbeda-beda. Misalnya, perusahaan pertambangan banyak menghadapi isu atau persoalan lingkungan, sementara perusahaan jasa lebih banyak berurusan dengan isu atau masalah konsumen. Saya kira tidak demikian. Perusahaan apapun harus memperhatikan lingkungan, bukan? Jadi, jangan kemudian urusan lingkungan hanya ditimpakan pada satu sektor tertentu. Saya kira ini juga mungkin karena kita di Indonesia ini masih terbiasa berpikir secara sektoral, sehingga muncul gagasan CSR lingkungan dari KLH, dll. Sehingga yang muncul ego sektoral. Karena punya porsi atau concern di bidang lingkungan kemudian memunculkan ise atau mendirikan CSR lingkungan. Ini justru membuat pemahaman CSR menjadi bias dan parsial. Kalau dalam konteks negara luar, kecenderungan standarisasi CSR ini sudah sejauh mana? Yang saya amati standarisasi CSR terutama dilakukan dalam bentuk ISO 26000. Sayang, upaya ini nampaknya tidak berjalan dengan lancar dan mengalami kemunduran jadwal. Ini bisa dipahami karena pasti tidak mudah menyatukan konsep dengan pemahaman yang beragam ini dalam satu standar. Saya sendiri sebenarnya tidak termasuk yang mendukung upaya untuk standarisasi. Kenapa? Bagaimana kita menstandarisasi sebuah pertanggungjawaban yang menyangkut CSR? Coba kita pikirkan bersama. Upaya ini sebenarnya cukup mulia, di mana ingin membuat suatu pemahaman bersama. Tapi bagi saya, kemunduran jadwal ini saja sudah menunjukkan bahwa menstandarisasikan itu tidak mudah. Ini berbeda dengan upaya untuk menstandarkan mutu usaha. Kalau standarisasi mutu usaha, itu lebih mudah karena ukuran-ukurannya jelas. Itu berbeda dengan CSR. CSR lebih berkenaan dengan tanggungjawab yang terkait dengan moralitas, di mana itu sulit untuk distandarisasikan. Saya kira, kalau kita sudah bisa menemukan pemahaman bersama tentang bentuk dasarnya, karena standarisasi berarti kita berbicara detil, dan detil itu akan bisa berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Detil bagi perusahaan kita lebih ke arah CD,
sementara detil bagi negara-negara Barat pada hak-hak asasi manusia, hak-hak buruh, dan urusan-urusan semacam itu. Karena, mungkin dari segi kesejahteraan mereka sudah cukup. Di samping itu paham yang dianut pun berbeda. Kalau negara-negara Eropa Barat banyak yang memakai paham demokrasi sosial, tentu berbeda jauh dengan Amerika yang menggunakan kapitalisme murni. Dan ini saya bisa bayangkan betapa sulitnya menyatukan dua paham tersebut. Kalau pemahaman bersama itu belum bisa ditemukan atau diciptakan, saya khawatir standarisasi itu terjebak kepada hal-hal yang sifatnya mekanistik. Bahkan ada yang melihat ini malah mengarah kepada industrialisasi CSR, yang akhirnya dilihat sebagai peluang yang nantinya akan ada sertifikasi dll. Saya curiga trendnya memang ke arah itu juga. Karena ISO merupakan badan standarisasi yang kemudian melakukan sertifikasi. Sementara untuk ISO 26000 ini katanya tidak akan ada sertifikasi. Tetapi saya ragu, apa iya ISO tidak ada sertifikasi? Bicara tentang CSR itu ibaratnya berbicara persoalan kualitatif. Baik atau tidak baik tergantung pada yang melaksanakan. Tapi, adanya pelaporan-pelaporan akan banyak menggiring kita pada suatu pemahaman bersama. Saya sendiri masih belum yakin akan kegunaan ISO 26000. Itu bergantung tantangan-tantangan dan situasi yang sangat berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Kalau kita bicara mutu, itu mungkin lebih mudah karena kita bicara tentang suatu produk akhir yang harus memenuhi beberapa kriteria, seperti ISO 9000. Kendalanya ada di aspek apa? Apakah kondisi di masing-maisng negara juga berpengaruh? Ya, itu akan berpengaruh sekali. Seperti saya katakan tadi contohnya kalau kita bicara CSR dari sudut pandang negara berkembang akan lebih banyak penekanannya tentang community development (CD). Oleh karena itu timbul kesalahpahaman di beberapa kalangan bahwa CD itu identik dengan CSR. Di kalangan pertambangan khususnya, CSR itu sama, sebangun dan seide. Di mana CD merupakan bagian yang cukup besar memakan porsi khususnya untuk negara berkembang. Fakta ini juga terjadi di India. India mendefinisikan tata CSR lebih banyak yang menyorot apa yang kita sebut community development (CD), seperti bagaimana mengurangi kemiskinan di daerah-daerah sekitar perusahaan, meningkatkan pendidikan, dll. Dan itu sangat relevan, karena masyarakat kita masih banyak yang miskin. Saya mendukung bahwa CD ini harus menjadi komponen yang cukup dominan dalam memahaman CSR di negara seperti kita. Karena, perusahaan juga perlu melakukan kegiatan di luar kegiatan ekonominya yang berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi. Dengan kata lain, perusahaan harus melakukan upaya-upaya untuk turut membantu mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat. Sebetulnya, apa latar belakang yang memunculkan ISO 26000? Kenapa terlihat ada kekhawatiran akan adanya penyeragaman CSR? Saya sendiri tidak mendalami bagaimana sampai menjadi format itu. Tapi ISO 26000 ini nampak sangat ambisius dalam pengertian bahwa mereka ingin memperluas cakupan dari konsep social responsibility ini kepada semua institusi, termasuk pemerintah, NGO dll. Pertanyaannya, apa bisa? Saya khawatir ini akan menjadi wacana selama sepuluh tahun paling tidak, tanpa tahu bagaimana kita menyatukan pemahaman social responsibility itu sendiri karena unsur corporatenya yang hilang. Dan juga bahayanya jika kita bicarakan ini terlepas dari pemahaman CSR, ini juga akan mengaburkan pertanggungjawaban dari tiap perusahaan. Karena sekarang menjadi sesuatu yang jauh lebih besar? Di mana semua organisasi tercakup di dalamnya. Kira-kira kekhasan apa yang menjadikan CSR tidak bisa dicampuradukkan dengan social responsibility lainnya di instansi atau institusi lainnya?
Kalau kita bicara corporate social responsibility itu subjek dan fokusnya jelas. Subjeknya adalah korporasi dan fokusnya adalah menuntut adanya perilaku tanggung jawab dari dunia usaha. Sedangkan jika kita bicara social responsibility dalam kaitannya ISO 26000 sangat tidak jelas. Karena ia mencakup semua organisasi termasuk pemerintah, LSM dan korporasi. Jadi, bagi saya, fokus merupakan faktor yang penting. Saya kira akan lebih mudah dibangun pemahaman bersamanya. Tuntutannya juga datang dari sesama perusahaan. Jadi ada semacam peer pressure dari pihak perusahaan itu sendiri. Tapi kalau pemahamannya social responsibility dalam CSR dikaburkan oleh ISO 26000, maka akan lebih jauh dari pencapaian dari tujuan CSR. Kerena, CSR saja sampai saat ini belum dipahami secara seragam. Bagaimana dengan kecenderungan untuk meregulasi CSR, yang salah satunya nampak pada UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bahkan, diberitakan dalam waktu dekat pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah tentang infrastruktur sosial yang juga terkait dengan CSR? Kita boleh-boleh saja membuat regulasi untuk CSR asal jelas tujuannya. Sayangnya, itu tidak kita temui dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas. Karena itu, Indonesia mungkin menjadi satu-satunya negara yang mencoba meregulasi itu hingga saat sekarang. Beberapa negara seperti Inggris dan Perancis pernah juga mempunyai pemikiran serupa. Tapi, mereka sadar bahwa yang dihadapi adalah isu yang kompleks dan sedang berevolusi, maka akhirnya mereka mundur. Kita satu-satunya negara yang berani maju dengan membuat undang-undangnya, meski tidak bisa dilaksanakan karena PP atau peraturan pemerintahnya belum ada. PP-nya tidak mudah untuk dibuat karena terbentur pada pemahaman yang masih simpang siur. Saya sempat diundang beberapa kali dalam pembahasan PP ini, dan setiap kali pertemuan mengalami deadlock. Menurut saya, ayat satu saja dari UU tersebut mengandung kontradiksi yang tidak mungkin dipertemukan. Dimulai dari kata bahwa ‘diwajibkan pada perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam’, kemudian diteruskan ‘dan atau yang memberi dampak pada sumber daya alam’. Ini kan dua hal yang sama sekali berbeda? Bagaimana kita membuat rekonsiliasi di antara kedua anak kalimat yang tidak mungkin disatukan ini. Mereka yang memanfaatkan sumber daya alam tentu cukup jelas, tapi bagi mereka yang berdampak pada sumber daya alam membuat persoalan ini kemudian kabur secara total. Perusahaan mana yang tidak memberi dampak pada sumber daya alam? Sebagai contoh, perbankan yang mungkin menggunakan lebih banyak kertas daripada sektor industri lain, yang berdampak pada penebangan hutan? Selain itu, penggunaan listrik lebih besar daripada perusahaan lain dan berdampak pada sumber daya alam. Tinggal bagaimana kita mendefiniskan dampak tersebut? Jadi, saya kira itu mencerminkan pekerjaan yang terburu-buru, sehingga akhirnya bingung sendiri. Terus terang saya kasihan pada pemerintah karena yang merumuskan ini adalah DPR. Sudah setahun lebih sejak UU ini diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2007 sampai saat ini masih belum keluar juga PPnya. Salah satu alasan dari terbitnya regulasi tersebut adalah mendorong agar CSR lebih diperhatikan. Selama ini CSR dianggap sebagai tindakan sukarela sehingga perusahaan sering mengabaikannya. Bagaimana Bapak melihat argumen ini? Saya tetap menganggap bahwa CSR adalah sesuatu yang sukarela karena dilakukan demi kepentingan perusahaan itu sendiri. Jadi ada unsur self interest dan itulah yang harus dibangkitkan. Saya penganut madzhab yang mengatakan CSR adalah sukarela. Saya menganggap bahwa sesuatu yang kita lakukan dengan sukarela, yang dilakukan atas dasar nalar, maka hasilnya labih baik. Karena, kita punya komitmen yang datangnya dari diri kita sendiri. Kalau sesuatu yang diwajibkan, orang cenderung mencari peluang untuk menghindari. Selain itu, jika diwajibkan dengan aturan yang tidak jelas, akhirnya membuat hukum kita tidak dihormati. Misalnya, pengaturan CSR dalam UU No. 40 Pasal 74 tentang
Perusahaan Terbatas mengandung banyak kontradiksi. Dalam pasal 1 UU ayat 3 menyebutkan CSR sebagai komitmen. Pasal satu dapat dikatakan sebagai pemahaman mainstream tentang CSR. Namun, pemahaman di pasal 1 kemudian dikaburkan atau ditiadakan sama sekali di pasal selanjutnya. Inggris mempunyai konsep yang menarik, awalnya mereka ingin meregulasi CSR, tapi karena tidak bisa mereka kemudian mengangkatnya dalam satu posisi di dalam kabinet, semacam minister for CSR dalam sistem Inggris. Walaupun namanya minister dalam sistem ketatanegaraan Inggris, posisi ini setingkat dengan Dirjen (DIrektur Jenderal) karena menteri di kabinet mereka disebut secretary. Minister itu bekerja membuat kondisi yang lebih baik khsusnya untuk pengembangan usaha dan bertanggungjawab untuk memfasilitasi pemahaman CSR. Dengan kata lain, mereka mencoba untuk menciptakan enabling environment bagi pemahaman dan pelaksanaan CSR. Saya kira enabling environment ini penting. Kalau tidak, orang tidak akan paham. Jangan sampai mengharuskan sesuatu tapi tidak tahu apa yang diharuskan. Apalagi yang mewajibkan pun tidak mengerti sehingga menciptakan situasi kacau balau seperti yang kita hadapi sekarang. Apakah upaya di negara-negara lain yang mencoba mendorong pelaksanaan CSR tanpa harus mengatur atau mewajibkannya? Di Perancis dan beberapa negara lainnya memiliki regulasi bagi perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan besar, termasuk perusahaan yang go public, membuat laporan tentang pelaksanaan CSRnya. Kewajibannya secara tidak langsung, yaitu lebih pada kewajiban melakukan reporting. Dengan demikian diharapkan muncul juga dorongan untuk melaksanakan CSR dengan baik, tanpa harus mewajibkannya secara langsung. Saya pikir ini bisa menjadi salah satu alternatif yang baik, paling tidak untuk perusahaan publik di Indonesia, untuk membuat laporan apa yang sudah dilakukannya dalam bidang CSR. Sehingga mereka mau tidak mau akan mencari tahu tentang CSR, alat dan mekanisme yang seharusnya dilakukan. Sementara di negara-negara Uni Eropa (UE) ada juga upayaupaya untuk menyebarluaskan pemahaman dari mainstream tentang CSR ini. Kerena di komisi Eropa, khususnya di lembaga eksekutif di UE, terdapat bagian tertentu yang bertugas menyebarluaskan pemahaman tentang CSR ini. Ada guide-lines yang dibuat berdasarkan studi-studi tentang CSR, di samping itu juga lebih banyak disebarluaskan laporan-laporan tentang CSR melalui consorcium CSRnya. Perbedaan antara sustainable report misalnya, dengan mekanisme yang sudah ada dengan ISO 26000, dan apa yang sekarang sebenarnya sudah dianggap bagus? Kalau ISO 26000 lebih banyak pada membuat standar-standar, kalau sustainable reporting lebih pada hal-hal yang mungkin dapat diukur karena acuannya yang jelas seperti accounting. Jadi ada tahapan atau guide-line mengenai upaya-upaya yang perlu dilakukan. Ini juga masih dilakukan dalam tataran sukarela dengan berupaya melakukan standarstandar yang ketat yang mendukung sustainability seperti keuangan, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jadi, mereka yang melakukan itu akan membuat beberapa parameter apa yang dilakukan dari tahun ke tahun untuk memperbaiki kehidupan sosial atau juga lingkungan fisik sekitarnya. Dalam lingkungan sosial, di dalamnya juga tercakup. Misalnya, dari perusahaan melaporkan setiap tahun terjadi peningkatan jumlah karyawan wanita. Meskipun demikian, memang tidak ada standard bahwa jumlah pekerja wanita harus fifty-fifty. Karena, pada kondisi tertentu di daerah tertentu susah mencapai angka tersebut. Beberapa perusahaan mengkhawatirkan pengaturan CSR ini akan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk mengambil dana-dana CSR dari perusahaan yang beroperasi di daerahnya. Kata-kata “dana CSR” ini sebenarnya mengerikan. Karena memang tidak ada yang namanya dana CSR. Ini adalah suatu kekhawatiran bahwa akan ada suatu penghimpunan
dana, yang tadinya ada pada tingkat pusat. Kerena ada juga ucapan atau pengakuan akan ada penghimpunan dana CSR oleh pemerintah. Padahal kalau dikumpulkan oleh pemerintah sama saja dengan pajak? Dan kenyataannya di daerah, dengan adanya UU No. 40 ini, telah mewajibkan CSR bagi perusahaan di daerahnya bahkan sudah ada beberapa daerah yang mengeluarkan perda. Hal ini terjadi karena tidak ada acuannya, dan akan membuat situasi akan berantakan. Di samping tiap daerah memiliki pemahaman yang berbeda. Oleh pemerintah daerah Jakarta sekalipun, pernah ada ucapan bahwa kita akan minta dana CSR dari perusahaan untuk turut menanggulangi banjir. Padahal yang ada adalah Corporate Social Responsibility, dan bukan dana Corporate Social Responsibility. Kenapa pemahaman semacam itu timbul? Kalau kita lihat, praktek CSR itu beragam. CSR tidak harus diwujudkan dalam bentuk kontribusi dana, tapi bisa lewat in-kind, transfer informasi dan teknologi, dan lain-lain. Ya, karena itu saya menganggap komponen utama CSR adalah komitmen. Komitmen itu bisa dijabarkan dalam bentuk kegiatan yang mengeluarkan dana dan kegiatan yang tidak mengeluarkan dana. Seperti inisiatif anti korupsi, itu tidak mengeluarkan dana? Kita hanya mengeluarkan atau membuat peraturan yang bertujuan menegakkan pengawasan atas korupsi. Kalau saya boleh mengambil contoh perusahaan saya sendiri, kita punya kebijakan untuk tidak menyogok siapapun atau pejabat manapun dalam mengurus semua perijinan kita. Saya katakan, saya juga ingin menegakkan CSR di perusahaan saya yang kecil sekalipun. Memang ada konsekuensi dari kebijakan itu. Misalnya, waktu pengurusannya lebih lama. Misal, pengurusan SIUP baru selesai setelah 2 bulan, meski kebijakan resminya bisa 6 hari. Kita bisa tuntaskan 6 hari, tapi ada embel-embel menyogok. Karena kita nggak nyogok, jadinya enam puluh hari. Itu pengalaman saya sendiri. Kita juga upayakan agar semua perijinan kita dapatkan dari dan dengan tanpa ada upaya yang melanggar hukum. Jadi, CSR tidak selalu terkait dengan mengeluarkan uang, tapi lebih kepada komitmen. Begitu juga mengenai lingkungan. Dalam perusahaan yang sekecil ini pun kita coba upayakan untuk mengumpulkan kertas bekas, plastik bekas yang kemudian bisa kita berikan kepada pihak-pihak yang akan menggunakannya secara lebih lanjut. Itu semua juga bagian dari CSR. Karena itulah, saya selalu bilang tidak ada yang namanya dana CSR. Pemahaman dana CSR itu justru menjerumuskan orang pada pemahaman bahwa CSR itu dilakukan dengan mengeluarkan dana. Bahkan, pemahaman itu kemudian menjurus kepada penyalahgunaan dana yang dikeluarkan perusahaan yang ingin menjalankan CSR. Itu bahaya yang terbesar. Aspek-aspek lain yang menjadi tantangan dalam pemahaman CSR? Pertama-tama tentu kesadaran. Banyak perusahaan yang mengatakan sudah melakukan kewajibannya sehingga enggan melaksanakan CSR. Misalnya, dengan membayar pajak mereka beranggapan berarti bebas perkara. Itu sama saja dengan pendapat Milton Friedman, dan itu tidak kontekstual dengan Indonesia. Sedangkan untuk negara seperti Indonesia, dunia usaha justru mempunyai tanggung jawab lebih. CSR juga dikontekstualkan dengan persoalan-persoalan rill yang dihadapi Indonesia. Misalnya, persoalan korupsi dan penyuapan. Menurut hemat saya, menghindari atau melawan korupsi merupakan tanggung jawab sosial perusahaan juga. Perusahaan harus tuntut serta dalam memberantas praktekpraktek korupsi, meskipun banyak orang tidak mengaitkan anti korupsi sebagai bagian dari CSR. Karena itu, IBL sebagai salah satu lembaga yang mempromosikan CSR di Indonesia juga berupaya untuk mengaitkan aspek CSR dengan persoalan korupsi. Kita bekerja sama dengan KPK sudah sejak 4 tahun lalu dalam menyelenggarakan sosialisasi mengenai anti korupsi di berbagai daerah melalui kegiatan lokakarya dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya kondisi rill dan pemahaman pelaku usaha terhadap persoalan korupsi dan gratifikasi sebagai bagian dari praktik CSR?
Hal itu sangat relevan. Dalam lokakarya-lokakarya CSR yang kami selenggarakan banyak mengemuka pertanyaan-pertanyaan seputar gratifikasi itu. Saya masih ingat, ada pertanyaan mengenai gratifikasi oleh salah seorang peserta dari perusahaan tambang. Pengelola perusahaan tambang itu memerlukan kehadiran dari pejabat pusat untuk melakukan penilaian situasi tertentu. Sementara pejabat dari Departemen Sumber Daya Energi dan Mineral itu tidak punya anggaran untuk memenuhi undangan tersebut. Kemudian perusahaan itulah yang membayar ongkos perjalanan pejabat yang bersangkutan. Mereka bertanya, apakah hal itu termasuk gratifikasi atau tidak? Dan jawaban dari KPK saat itu adalah tidak. Dengan alasan hal itu karena dalam rangka melaksanakan tugas dan ia tidak punya anggarannya. Dengan jawaban itu pengusaha tidak perlu khawatir bahwa uang yang dikeluarkannya itu tidak dikategorikan menyuap atau korupsi. Ini menarik, sangat relevan, dan nuansa-nuansa seperti ini perlu. Sehingga tidak semua pembayaran kepada pejabat itu termasuk korupsi. Jadi bukan generalisasi yang berujung pada ketakutan yang tak berdasar atas semua pembayaran semacam hal itu tadi. Kalau CSR itu lebih menekankan pada komitmen dan bersifat kesukarelaan, apakah adanya regulasi dan standarisasi justru membebani atau memberikan harapan yang berlebihan terhadap CSR? Kalau regulasi, apalagi regulasinya tidak jelas, tentu saja akan membebani. Minimal dia akan membebani pikiran. Walaupun tidak membebani dana, tapi para pelaku usaha tiap hari dihantui apa ini CSR? Belum lagi kemudian secara nyata dipahami oleh Pemda sebagai alat untuk menghimpun dana dari perusahaan. Itu kan jadi beban. Padahal bukan itu maksudnya. Oleh karena itu, menitikberatkan pemahaman CSR pada “komitmen”, saya kira yang lebih penting. Kalau setiap perusahaan punya komitmen ke arah itu, dunia korporasi nantinya akan lebih baik. Korupsi, penyogokan, pencemaran lingkungan akan bisa diminimalisir. Praktik-praktik semacam penyuapan itu kan takes two to tango, ada yang minta dan ada yang ngasih. Kalau ada yang minta, tapi tidak ada yang memberi, maka tidak akan terjadi transaksi penyuapan. Jadi, kalau kita punya komitmen untuk menyuap, kita tidak akan menawari orang dan kita juga tidak akan memenuhi permintaan suap. Oleh karena itu, buat saya, komitmen itu lebih penting dari pada yang lain. Bagaimana dampak regulasi dan standarisasi terhadap perkembangan CSR di Indonesia? Bagaimana pula kaitan CSR dengan bidang-bidang lain, misalnya PR (Public Relation) Diskusi seputar CSR ini mendapat perhatian yang serius dalam setahun terakhir, khususnya karena UU No. 40 tentang Perseroan Terbatas yang di dalamnya juga menyinggung tentang CSR. Istilah dan konsep CSR menjadi makin populer karena undang-undang tersebut. Saya kira kita lihat sisi positifnya dari keberadaan UU PT itu. Karena banyak orang bicara CSR, maka yang lain akan mencari informasi mengenai CSR. Saya lihat juga ada upaya untuk mengaitkan konsep dan implementasi CSR, misalnya, dengan public relation. Orang mulai mencoba mengaitkan CSR kemudian PR. Bisakah CSR itu digunakan sebagai sarana untuk mengangkat imej perusahaan. Saya kira itu sah-sah saja. Namun, yang perlu diingat, dalam melakukan PR kita tidak bisa mengkomunikasikan hal yang keliru. Jadi, kita harus melakukan CSR yang benar dulu sebelum mengkomunikasikannya kepada stakeholder kita. Kalau kita tidak melakukan itu, maka sebagai perusahaan kita tidak melakukan apa yang dinamakan risk-management. CSR itu sebenarnya ada kaitannya dengan kepentingan perusahaan dan juga merupakan bagian dari risk-management. Kita mengurangi kemungkinan diserang, dan itu akan berpengaruh pada reputasi perusahaan. Kalau kita melakukan CSR yang baik, maka niscaya reputasi kita akan menjadi baik pula. Hanya saja, kalau perusahaannya sudah bermasalah, misalnya menggelapkan dana BLBI, apapun yang akan dilakukan tidak akan berdampak. Jadi, yang perlu diutamakan adalah menyelesaikan persoalannya dengan memprioritaskan pembayaran dana yang menjadi tanggungan.
Saya kira itu pemahaman PR yang keliru. PR itu hanya bisa mengkomunikasikan hal-hal yang baik. Jadi kita harus memiliki kinerja yang baik terlebih dulu, baru kita bisa “PR-kan”, karena jika dalamnya busuk begitu juga yang akan tercium ke luar. Begitu halnya dengan CSR, jika hanya mencoba untuk mengemasnya dalam bentuk PR maka tidak akan sustainable (tidak akan langgeng). Karena lambat laun akan terlihat diskrepansi antara kenyataan dengan apa yang dikatakan. Tidak adanya kesatuan antara perkataan dan perbuatan akan membuat reputasi rusak, sehingga tujuan PR tidak dapat tercapai juga. Karena PR ingin mencapai reputasi yang baik. Kalau prinsip-prinsip CSR yang sustainable itu seperti apa? Kadang-kadang ukuran keberhasilan dan keberlanjutannya dikaitkan dengan adanya divisi khusus CSR, adanya dana tetap, adanya kebijakan, dll. Kembali kepada komitmen. Kalau kita mempunyai komitmen, tentu hal itu akan dapat disesuaikan dengan pertumbuhan perusahaan. Perusahaan saya ini kecil, cuma 14 orang, dan jelas mempunyai keterbatasan. Tapi bukan berarti kita tidak bisa melakukan CSR, contohnya dalam bidang lingkungan, dalam bidang anti korupsi, dan juga kita bisa melakukan voluntarism misalnya. Program kemudian kegiatan-kegiatan di mana kita berasal dari pihak perusahaan membebaskan karyawan untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Itu kan juga suatu sumbangan, walaupun in-kind. Tapi kalau banyak yang melakukan itu, tentunya ada manfaatnya bagi masyatakat. Mungkin di situ juga bahayanya standarisasi? Karena, kalau sudah ditentukan bahwa CSR harus memiliki standar tertentu, sementara kondisi perusahaannya tidak memungkinkan, agak sulit melaksanakan standar-standar tersebut Betul, di mana di kemudian hari CSR akan dianggap atau diasumsikan hanya bagi perusahaan yang besar. Kembali lagi bahwa perusahaannya masih kecil, bukan menjadi alasan bahwa tidak bisa melakukan (cannot afford to) CSR. Itu tidak betul. Imbasnya, dengan sengaja ia bisa melakukan gratifikasi dll. Oleh karena itu saya menganggap bahwa CSR itu berlaku untuk semua dengan komponen komitmen yang paling penting, sebab tanpa komitmen maka CSR tidak akan berjalan. Apakah kecenderungan adanya standarisasi dan regulasi nantinya akan berdampak pada pemaknaan CSR itu sendiri sebagai sesuatu yang sukarela menjadi sesuatu yang wajib dan terakreditasi di masa akan datang? Saya kira baik langsung maupun tidak langsung, tentu akan ada dampaknya. Sebab kalau CSR diregulasi, sementara regulasinya sendiri mungkin tidak mengena, maka sebagian besar perusahaan akan mencoba untuk mematuhi undang-undang itu, sementara undangundangnya sendiri tidak mengenai akar permasalahannya. Oleh karena itu harus jelas apa yang dimaksudkan dalam undang-undang itu, meskipun undang-undangnya sendiri sampai sekarang belum ada kejelasannya. Dalam artian kita ingin mematuhi undang-undang tapi undang-undangnya tidak bisa dipatuhi karena tidak jelas apa yang dikehendaki. Jadi jelas akan ada dampaknya. Sementara dampak standarisasi berarti kita dimasukkan dalam kotak-kotak tertentu yang tidak mungkin keluar dari situ lagi. Karena dunia ini begitu luas dan rumit, apakah kotaknya cukup bisa menampung? Selain isinya, juga subjeknya yang sangat luas, di mana ada pemerintah, dunia usaha, LSM, dll sementara titik berat dari masing-masing ini berbeda. Upayanya mulia, tapi apakah ini dapat dilaksanakan? Apakah LSM juga harus punya tanggungjawab sosial? Atau apakah harus dalam bentuk yang sama dengan perusahaan? Apakah pemerintah juga harus memiliki tanggung jawab sosial? Jawabanya bisa iya, tapi masing-masing memiliki fungsinya yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Jadi, bagaimana jalan yang terbaik untuk tetap mengembangkan CSR tanpa merubah naturenya? Saya kira kita perlu mengembangkan komitmen ini, khususnya di kalangan perusahaan. Oleh karena itu saya tidak membicarakan tentang SSR tapi mengenai CSR. Jadi CSR subjeknya jelas yaitu perusahaan, sedangkan fokus di dunia usaha yaitu harus melakukan kegiatannya dengan memenuhi norma-norma tertentu dan bertanggungjawab secara sosial. Jadi menurut saya institusionalisasi itu agak sulit untuk dijakankan, itu kesimpulannya. Selama masih ada asumsi tentang adanya dana CSR, maka kekhawatiran bahwa persoalan ini sebagai proyek tertentu akan semakin meningkat. Selain itu, jika ada lembaga khusus yang akan melakukan sertifikasinya, ini akan menambah panjang persoalan karena hal itu bisa menjadi lahan bisnis lagi, dan kembali hanya menjadi membuat daftar tertentu apakah akan dipenuhi atau tidak. Kita bisa belajar pada kasus Enron di Amerika. Perusahaan itu punya good governance yang luar biasa. Itu karena dia mempunyai peraturan yang sangat ketat. Tapi, kalau kita kembali kepada kebenaran formal dari segi hukum, good government perusahaan ini memenuhi standar, tapi tidak secara material. Jadi nampak bahwa lebih mementingkan bungkus dari pada inti. Dan inilah artinya standarisasi. Saya melihat kecenderungan untuk melakukan standarisasi lewat ISO 26000 ini terus bergulir. Saya mengharapkan bisa sampai mencapai sesuatu, meskipun sampai sekarang tingkat skeptisisme saya terus terang masih sangat tinggi. Saya tahu, badan standarisasi juga ikut terlibat. Coba bayangkan, badan standarisasi nasional mau mencoba menstandarisasi CSR di Indonesia