2
Tanah, Keadilan dan Reforma Agraria
4
Dewan Perwakilan Rakyat
6
Pemilihan Kapolri: Politik Kartel dan Impunitas
9
Toleransi dan Demokrasi Paedagogis
no.28 November 2010
konstelasi Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
De-institusionalisasi olitik Indonesia, tampaknya sudah mengalami kondisi deinstitusionalisasi. Satu tahap menuju pembangkangan sosial. Institusi-institusi publik tidak lagi berguna bagi masyarakat, karena itu penghormatan terhadap pejabat negara dan elit politik menjadi sangat merosot. Kepemimpinan politik sudah kehilangan “kesakralan”, karena terus menerus memamerkan “popularitas”. Pidato para pemimpin politik diucapkan tanpa arah, keterangan para menteri melulu defensif, komentar anggota DPR hanya sekadar bunyi-bunyian. Dan publik menerima itu semua sekedar tontonan, karena tahu bahwa pada akhirnya, di dalam setiap pilkada dan pemilu, yang berguna cuma uang tunai! De-institusionalisasi adalah akibat dari ketidaktegasan kepemimpinan politik. Dan ketidaktegasan itulah yang dimanfaatkan oleh kekuatan politik kartel untuk mengepung presiden. Ketidaktegasan itu juga digunakan oleh politik fundamentalis untuk mengendalikan presiden di dalam ruang hegemoni moral mayoritas. Tahap sejarah politik kita hari ini sedang menuju pada pengujian komprehensif tentang bentuk pelembagaan demokrasi. Artinya, berbagai peristiwa akhir-akhir ini
P
memperlihatkan bahwa kondisi kebudayaan politik kita sangat rawan dimanipulasi oleh jaringan kepentingan anti demokrasi. Jaringan itu justru memanfaatkan suasana demokratis sebagai alasan eksistensinya, sambil mengkonsolidasi kekuatan untuk pada akhirnya memanipulasi demokrasi. Pertanyaan kita adalah: cukupkah persediaan akal sehat dalam masyarakat untuk menyadari politik manipulatif itu? *** Kita terpaksa menghitung kemampuan daya tangkal akal sehat itu pada masyarakat sipil karena partai-partai politik tidak dapat lagi menjadi indikator kesehatan politik kita. Oportunisme dan personalisasi politik telah mengaburkan identitas ideologi politik partai. Akibatnya, jarak antara publik dan politik terhalang justru oleh partai politik. Politik perwakilan berubah menjadi oligarki kartel. Sementara kepemimpinan politik presiden berlangsung tanpa dukungan institusi. Dalam kondisi de-institusionalisasi, politik menjadi sepenuh-penuhnya permainan individual. Dan itu berarti kekuasaan hanya ditentukan oleh kekuatan uang dan moral mayoritas. Satu hal yang mungkin masih dapat kita spekulasikan adalah
masih kuatnya kondisi “kebhinekaan” dalam masyarakat kita. Artinya, basis kebudayaan bagi politik kemajemukan harus kita carikan jaminannya bukan pada institusi politik formal, tetapi pada daya tahan masyarakat itu sendiri. Di sini kita sebetulnya berjudi dengan akal sehat “the silent majority” yang ekspresi etisnya dapat kita tangkap dalam bentuk “apatisme politik”. Apatisme itu bukan sikap pasif terhadap keadaan, melainkan protes aktif terhadap “the establishment” (rejim moral, rejim korup, rejim kartel). Terhadap potensi “apatisme aktif ” itulah sesungguhnya kita percayakan arah sejarah politik kita hari ini. Kita hanya memajukan sejarah bila konfrontasi politik berlangsung secara kualitatif. Antagonisme dalam politik hanya diuji dalam persaingan total antara dua posisi yang secara kualitatif berseberangan. Dan itu berarti seluruh profil personal, ideologi dan pandangan etik harus dibuka di dalam kontestasi politik publik. *** Mengupayakan suatu transformasi politik dengan mengandalkan energi “apatisme aktif ” itu, adalah spekulasi yang memberi harapan baru bagi perwujudan demokrasi n RGX
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis
Tanah, Keadilan dan R “Tuan tanah semakin kaya dalam tidur mereka tanpa bekerja, mengeluarkan resiko atau meningkatkan nilai ekonominya. Nilai tanah yang terus meningkat, sebagai hasil dari seluruh kerja masyarakat, seharusnya kembali kepada masyarakat dan bukan cuma untuk individu-individu yang memegang kuasa atasnya” utipan bebas di atas adalah pernyataan filsuf terkemuka Inggris, John Stuart Mill (18061873) berkait dengan realitas ekonomi-politik Inggris pertengahan abad ke-19. Mill, yang terkenal sebagai pelopor paham liberalisme (menolak campur tangan negara dalam ekonomi pasar) menyadari pentingnya sebuah moralitas yang menjaga ketamakan dan kesewenangan individu dalam menikmati kekayaan dari penguasaan/pemilikan atas tanah di dalam masyarakat. Gagasan Mill memiliki relevansi dalam kehidupan kontemporer Indonesia, khususnya tentang realitas ekonomi politik penguasaan/kepemilikan tanah yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Titik tolaknya berangkat dari sebuah kebijakan pemerintah yang baru lahir, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di Indonesia. Paparan berikut ini akan menguraikan tentang mengapa kebijakan itu penting dan bagaimana seharusnya dijalankan.
K
Persoalan Pertanahan dan Ketamakan Landasan pemikiran mengapa peraturan ini lahir termaktub dengan jelas dalam Pasal 2 PP No. 11/2010 tersebut: Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak
2
konstelasi — www.p2d.org
oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan atau asar penguasaan atas tanah “yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya”. Unsur utamanya di sini adalah terdapat sebuah keadaan “penyelewengan” hak yang diberikan negara kepada badan hukum atau perseorangan. Data awal Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) menunjukkan bahwa dari segi Hak Guna Usaha (HGU) saja terindentifikasi sekitar 1,913 juta hektar tanah yang terlantar. Data ini belum mengungkapkan status hak lainnya yang diperkirakan mencapai sekitar 10 juta hektar. Bisa dibayangkan betapa besarnya luas tanah terlantar (baca: ditelantarkan oleh para pemilik hak yang notabene pengusaha) di Indonesia, yang bisa kita bandingkan dengan luas pulau Jawa yang mencapai sekitar 12.756.900 hektar. Pertanyaannya, mengapa hal ini terjadi? Di sini kita tengah menghadapi sifat “cari untung cepat” dari para pengusaha. Segera setelah mengantongi lisensi hak penguasaan/pengusahaan atas tanah, mereka mengagunkannya kepada perbankan sebagai modal untuk jenis usaha lain. Bagi mereka cara tersebut memberi keun-
tungan lebih cepat daripada harus mengolahnya melalui kegiatan produksi, menunggu bertahuntahun sebelum memberi keuntungan, ditambah kemungkinan resiko berat di tengah jalan. Di sini argumentasi Mill cukup relevan. Dengan “tidur” saja mereka dapat menjadi semakin kaya tanpa harus bersusah payah. Dan kita tidak perlu mengurut ke belakang lagi bagaimana para pengusaha tersebut mengantungi ijin penguasaan atas lahan yang kemudian mereka telantarkan. Dekade-dekade ketamakan kekuasaan otoriter masa lalu terasa tetap mengekang. Sampai saat ini kita masih terbelenggu aturanaturan yang menghalangi rakyat mendayagunakan aset terlantar tersebut. Dalam hitungan kasar nilai ekonomisnya diperkirakan mencapai sekitar Rp 3.000 triliun! Angka ini cukup untuk membangun perekonomian Indonesia yang mandiri. Dan ironisnya adalah kita masih terjebak dalam lingkaran ketamakan tersebut sampai sekarang. Keadilan Redistribusi lahan terlantar harus dilihat sebagai persoalan keadilan. Dalam karya mutakhirnya, The Idea of Justice (2009), Amartya Sen menyatakan bahwa prinsip-prinsip keadilan tidak bisa sematamata dijelaskan dalam konteks kelembagaan, namun justru dalam konteks kehidupan dan kebebasan
Reforma Agraria
Sumber Foto : Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
(the lives and freedom) orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sen berpendapat bahwa institusiinstitusi tidak akan mampu menjangkau pemenuhan keadilan, namun hanya sampai pada kemampuan untuk memainkan peran instrumental dan signifikan dalam pemenuhan keadilan. Keadilan berkaitan erat dengan kebebasan, dalam hal ini bagaimana manusia memiliki kebebasan untuk memilih pola dan cara hidup yang
berbeda-beda, dan mengarah ke mana kehidupan itu bermuara. Keadilan juga berarti kapabilitas dalam diri setiap orang, yakni kemampuannya untuk mencapai beragam kombinasi dan fungsi yang bisa diperbandingkan dengan lainnya dalam konteks. Bagi Sen, meski pendekatan kapabilitas semacam ini sifatnya individual, namun perhatian sepenuhnya pada kemampuan untuk mencapai kombinasi dari fungsi-fungsi
nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Pendekatan kapabilitas berfokus pada kehidupan manusia, bukan persoalan mengenai berapa pendapatan atau komoditas yang dapat dimiliki setiap orang, yang umumnya dianggap sebagai kriteria utama keberhasilan manusia dalam disiplin ekonomi. Kapabilitas menawarkan titik berangkat dari konsentrasi pada cara hidup, Bersambung ke hlm. 11 www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
Dewan Perwakilan Rakyat ecara sederhana demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat, idealnya ada keterlibatan rakyat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Guna mempermudah mekanisme pengambilan keputusan, Indonesia menggunakan sistem demokrasi perwakilan. Para wakil rakyat dipilih secara rutin melalui pemilihan umum, yang bertugas mewakili kepentingan rakyat banyak. Sebagai representasi rakyat, mereka diharapkan mengakomodasi aspirasi rakyat, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melakukan kontrol terhadap pemerintah dalam menjalankan kebijakan publik. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersifat konstitutif dalam demokrasi. Meskipun demikian eksistensi dan kualitasnya turut mempengaruhi perkembangan demokrasi. Jika mereka tidak melaksanakan fungsinya, demokrasi akan berjalan dalam kehampaan. Esensi demokrasi akan lenyap dalam keriuhan pengulangan pasar pemilihan umum yang diadakan lima tahun sekali. Sayangnya dalam rentang satu tahun pertama saja, DPR RI periode 2009-2014 lebih banyak menampilkan disfungsi daripada performa layaknya penyambung aspirasi masyarakat.
S
Fasilitas Mewah, Kinerja Rendah Dari total anggaran APBN-P 2010, sebanyak Rp 1,22 triliun dihabiskan untuk mendukung kinerja DPR. Anggaran besar terhadap fasilitas pendukung berupa 4
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto : http://2.bp.blogspot.com/
gedung, rumah dinas baru, rumah aspirasi, dana desa, dan kunjungan kerja memicu banyak kritik dari berbagai kalangan. Pembangunan gedung baru diperkirakan akan menelan biaya sebanyak 1,8 triliun rupiah. Rencananya gedung baru tersebut akan dibangun 36 lantai, lengkap dengan fasilitas kebugaran serta
kolam renang. Uniknya, setelah mendapat kritik masyarakat, anggaran pembangunan gedung baru ini turun menjadi 1,5 triliun, dan kemudian menjadi 1,3 triliun. Perubahan drastis ini menunjukkan semacam tawar menawar antara DPR dan rakyat, termasuk menunda pelaksanaan pembangunan untuk meredam kemarahan
publik. DPR juga mengajukan ide rumah aspirasi publik yang akan digunakan sebagai wadah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Untuk memenuhi ide DPR yang tertuang dalam tata tertib DPR periode 2009-2014 itu, dana aspirasi ini diusulkan sebanyak 15 miliar rupiah per daerah permilihan (dapil). Namun, ide ini tidak terealisasi karena mendapatkan tentangan dari masyarakat. Bukan hanya tempat kerja, sejak tahun 2008 DPR sudah menganggarkan renovasi 495 rumah dinas dan pembangunan 10 rumah dinas baru yang menghabiskan anggaran negara sebanyak Rp 155 miliar. Pengerjaan perbaikan yang berlarut-larut mengakibatkan pemborosan APBN sekitar Rp 90,90 miliar untuk biaya kontrak rumah 505 anggota DPR periode 2010-2014. Pemborosan APBN juga terjadi melalui aktivitas kunjungan kerja. Sepanjang tahun 2010, DPR dijadwalkan melakukan 58 kunjungan ke 20 negara. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, biaya kunjungan DPR pada tahun 2010 mencapai Rp 162,9 miliar. Dengan kata lain jika biaya kunjungan tersebut dibagi rata kepada 560 anggota DPR, setiap orang mendapat Rp 290,9 juta setahun atau Rp 24,25 juta setiap bulan. Masalahnya adalah besarnya dana penunjang tidak serta merta meningkatkan kinerja DPR. Bahkan, pada realitasnya prestasi kerja mereka terus menurun. Menurut data Formappi, sampai dengan satu tahun DPR menjabat, dari 70 RUU (36 inisiatif DPR dan 34 inisiatif Pemerintah) yang menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010, hanya 8 RUU saja yang
telah selesai dibahas. Dari 8 RUU itu, hanya 1 RUU yang masuk Prolegnas 2010, yakni RUU Grasi. Selama satu tahun atau empat masa sidang dan satu masa sidang berjalan, baru 21 RUU saja yang sudah dalam proses pembahasan. Akibatnya, dalam tiga bulan DPR harus membahas 49 RUU untuk mencapai target. Parahnya lagi, untuk RUU Prolegnas tahun ini, sebanyak 24 RUU inisiatif DPR belum ada naskah akademik dan drafnya. Sementara 26 RUU inisiatif Pemerintah juga belum disampaikan DPR. Sebenarnya tidak aneh melihat lambatnya kinerja legislasi, jika tingkat kehadiran wakil rakyat selama tiga masa sidang terus menurun. Jika pada masa sidang I (1 Oktober 2009 - 4 Desember 2009) tercatat 92,57 persen anggota Dewan menghadiri rapat, maka pada masa sidang II (4 Januari 2010 - 5 Maret 2010) hanya 84,32 persen yang hadir. Bahkan, pada masa sidang III (5 April 2010 - 18 Juni 2010) hanya 71,59 persen yang menghadiri rapat. Hal-hal tersebut di atas masih ditambah lagi dengan kontroversi-kontroversi yang berkaitan dengan kewenangan DPR dalam pemilihan pimpinan lembagalembaga negara. Keputusan DPR untuk dengan segera meloloskan calon tunggal Kapolri yang diajukan oleh presiden, misalnya, juga tak lepas dari kritik. Timur Pradopo diduga bertanggung jawab dalam kasus Trisakti (1998) dan Semanggi (1999). Sementara pemilihan pimpinan KPK masih belum ada tanda-tanda akan dibahas oleh DPR. Relasi DPR dan Rakyat Bentuk hubungan antara wakil rakyat, rakyat, dan partai politik (Parpol) oleh Gilbert Abcarian
dalam karyanya Contemporary Political Systems (1970) dibagi menjadi empat tipe relasi: (1) trustee/wali, DPR bebas mengambil keputusan berdasarkan pertimbangannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan yang rakyat; (2) delegate/utusan, DPR harus mengikuti perintah rakyat; (3) politico/politisi, DPR terkadang bertindak sebagai wali, dan diwaktu lain bertindak sebagai utusan; dan (4) partisan, DPR mengambil keputusan sesuai dengan program partainya. Realitas empiris perilaku DPR selama setahun belakangan menunjukkan relasi DPR dengan rakyat bahkan tidak masuk dalam keempat kriteria tersebut. Tipe hubungan trustee mengandaikan bahwa mereka memiliki tingkat pendidikan yang baik dan memiliki keahlian legislasi yang tinggi. Memang tingkat pendidikan DPR sekarang ini meningkat (46,1% adalah Sarjana), namun jika dilihat dari keahlian legislasi, DPR sekarang ini cukup buruk. Kemudian, tipe hubungan delegate hanya tercermin menjelang dan selama pemilu, di mana suara rakyat mengalami komodifikasi menjadi “kursi DPR”. Begitu pula dengan tipe hubungan partisan. Sebagai salah satu contoh; meskipun Golkar, PAN, dan Demokrat telah menyatakan melarang anggotanya untuk berpergian ke luar negeri selama Indonesia dilanda bencana, tetap saja anggota dari fraksi mereka berpergian ke mancanegara. Dalam praktiknya, relasi antara DPR dan rakyat cenderung saling bertolak belakang. DPR dan rakyat benar-benar menjadi dua entitas yang berbeda. DPR semakin tidak representasional, Bersambung ke hlm. 12 www.p2d.org — konstelasi
5
analisis
Pemilihan Kapolri: Politik imur Pradopo akhirnya terpilih sebagai Kapolri menggantikan Bambang Hendarso Danuri. Pilihan yang cukup mengejutkan banyak pihak karena sejak awal proses pencalonan Kapolri, hanya muncul dua nama yaitu Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo. Ketika SBY memunculkan nama Timur Pradopo sebagai calon Kapolri, sejumlah pihak mempersoalkan rekam jejaknya. Ia ditengarai bertanggung jawab atas terjadinya penembakan mahasiswa Trisakti pada Mei 1998. Meski Usman Hamid (mantan kordinator Kontras) berpendapat bahwa tidak adil menyalahkan tanggung jawab pengamanan demonstrasi mahasiswa kala itu ke tangan Timur Pradopo semata, sebagian besar aktivis HAM tetap menentang pencalonannya sebagai Kapolri. Terpilihnya Timur Pradopo menunjukkan bahwa para elite politik tak peduli dengan peranannya dalam tragedi Trisakti 1998. Keputusan politik untuk memilih beliau bertendensi melupakan dan menghilangkan jejak kekerasan masa lalu. Upaya untuk tidak mengutak-atik kekerasan masa silam adalah politik impunitas. Sejak awal reformasi banyak pihak telah melakukan sejumlah aktivitas untuk memperjuangkan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM karena politik otoriter rejim Orde Baru. Namun, perlawanan para pejuang HAM tak berhasil membendung politik impunitas yang terjadi selama satu dasawarsa. Politik kartel yang terjadi
T
6
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto : http://www.dpr.go.id/images/newsphoto/CALON_KAPOLRI_KOMJEN_POLISI_TIMUR_PRADOP
pascapembentukan aliansi besar pemerintahan SBY turut menyuburkan praktek impunitas. Pemilihan Timur Pradopo menjadi Kapolri nyaris tak menyisakan perlawanan yang berarti. Semua kekuatan politik di pemerintahan dan DPR setuju dengan pemilihan Timur. Bagi mereka, jejak keterlibatannya dalam tragedi Trisakti di masa silam tak cukup menghalangi
Timur Pradopo untuk memimpin masa depan Polri. Pelestarian Impunitas Pada tahun 2001, Komnas HAM membentuk KPP HAM Trisakti, Semanggi I, Semanggi II untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Hasil investigasi mencatat sejumlah nama yang diduga bertanggung jawab atas terjadinya
Kartel dan Impunitas
OPO_BERTEMU_PIMPINAN_DPR__37.jpg
pelanggaran HAM. Sejumlah nama itu mencakup pelaku lapangan maupun perwira yang menjadi penanggung jawab pengamanan. Nama-nama tersebut melingkupi sejumlah anggota TNI, polisi maupun sipil. Salah satu nama yang tercatat dalam laporan KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan II adalah Timur Pradopo, sebab Ia adalah Kapolres Jakarta Barat yang
bertanggung jawab secara langsung atas pengamanan demonstrasi damai di sekitar kampus Trisakti pada Mei 1998. Setelah merampungkan laporannya, Komnas HAM membawanya ke DPR dan Kejaksaan Agung. Laporan Komnas tak hanya mencatat nama-nama korban dan pelaku, tetapi juga menyimpulkan tragedi Trisakti, Semanggi I dan II adalah pelanggaran HAM berat yang menuntut kesungguhan negara untuk memberikan rasa adil kepada para korban dan menghukum para pelakunya. Hanya dua fraksi yang sempat bersuara mendukung suara para korban yaitu Fraksi PAN dan PDIP. Tetapi suara mereka lenyap dalam gemuruh mayoritas fraksi di DPR yang menyatakan tragedi Trisakti, Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Peristiwa yang serupa juga terjadi di Kejaksaan Agung. Dengan dalih kekurangan bukti dan ketidaklengkapan laporan, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas laporan ke Komnas HAM. Pengajuan laporan agar menjadi bahan dasar tuntutan di pengadilan akhirnya menemui jalan buntu. Kegagalan di DPR dan Kejaksaan Agung adalah upaya impunitas yang dilakukan oleh kekuatan politik di pemerintah dan DPR. Para pelaku bebas melenggang dan tinggal menyisakan cerita tentang derita para korban. Satu dekade telah berlalu, para elite politik saat ini tidak ingin mengungkit peristiwa kelam di masa silam. Mufachri Harahap,
seorang politisi Partai Amanat Nasional menyatakan, persoalan masa lalu Timur itu terjadi sebelum era reformasi dan tidak bisa dijadikan justifikasi untuk menghalangi pencalonan dan pemilihan dirinya. Mufachri juga mengimbau Timur Pradopo untuk tidak menghiraukan suarasuara miring yang ada (Rakyat Merdeka, 15 Oktober 2010).
konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi
Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Fajrimei A. Gofar Fitria Achmada Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Ivan Iwa Abdul Rozak Otto Pratama Rachland Nashidik Rizki Setiawan Robby Kurniawan Robertus Robet Sahat K Panggabean Redaktur Ahli
Bagus Takwin Richard Oh Rocky Gerung Alamat Redaksi
Jl. Maleo X No.25, Bintaro Jaya Sektor 9, Tangerang 15229 Tel: (021) 7452992 Fax: (021) 7451471 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
Ironis kedengaran, karena dulu Fraksi PAN cukup gigih memperjuangkan keadilan bagi korban Trisakti, Semanggi I dan II. Praktik Kartel Ketika muncul dua nama kandidat Kapolri yaitu Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo, suara partaipartai pendukung pemerintahan SBY terbelah. Bagi SBY, adanya keterbelahan dukungan dari partai-partai pendukungnya berpotensi menghambat pemilihan Kapolri. SBY pun menunda pengumuman kandidat Kapolri. Setelah cukup lama menunda, akhirnya SBY mengajukan kandidat baru yaitu Timur Pradopo.Tak mau ada perpecahan dalam koalisi, SBY mengajukan nama Timur ke Setgab untuk disepakati bersama oleh seluruh anggota Setgab. Setgab menyepakati nama tersebut sebagai satu-satunya kandidat Kapolri. Semua parpol yang tergabung dalam Setgab juga berjanji akan meminta anggota parpol yang ada di DPR untuk menyetujui pencalonan Timur Pradopo. Adanya dukungan mayoritas dari anggota DPR yang partainya tergabung dalam Setgab, dan juga tak adanya penolakan yang berarti dari parpol non-Setgab di DPR, akhirnya memuluskan pencalonan Timur Pradopo. Menarik mencermati proses pencalonan Timur Pradopo. Ia harus mendapat bintang tiga agar layak menjadi kandidat Kapolri yang nantinya berbintang empat. Timur segera dipromosikan dari jabatan Kapolda DKI ke Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri. Promosi ini terjadi hanya selang beberapa jam sebelum pengajuan nama Timur Pradopo sebagai Kapolri. Sejumlah pihak mengkritik promosi jabatan dan pengajuan
8
konstelasi — www.p2d.org
Salah satu nama yang tercatat dalam laporan KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan II adalah Timur Pradopo... nama Timur Pradopo sebagai calon Kapolri yang terjadi begitu cepat. Menurut Nasir Djamil, politisi PKS, SBY tidak terbuka dalam proses pengajuan nama Kapolri. Namun akhirnya, suara Nasir lenyap diganti dengan kebulatan tekad PKS sebagai anggota Setgab mendukung calon yang diajukan SBY. Demikian juga, kritik yang pernah disampaikan oleh Syarifudin Suding (Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR) bahwa ada “pengkarbitan” dalam pencalonan Timur Pradopo (Inilah.com, 5 Oktober 2010). Pendapat Syarifudin pupus ditelan suara Fraksi Partai Hanura yang akhirnya juga mendukung pemilihan Timur Pradopo. Tak Boleh Lupa Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II adalah fondasi kemanusiaan untuk membangun Indonesia pasca-Orde Baru. Kita berutang banyak pada para korban sehingga kita bisa mereguk udara demokrasi. Ingatan ini tak akan hilang meski tak ada pelanggaran HAM berat dari peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, meski para pelaku tak pernah diadili. Ingatan itu juga tak akan hilang meski Setgab dan semua fraksi di DPR telah menyetujui secara bulat Timur Pradopo sebagai
calon ideal dan sekaligus Kapolri terpilih. Dari peristiwa pencalonan sampai pada pemilihan Timur Pradopo menjadi Kapolri, kita tahu bahwa politik impunitas dan politik kartel semakin merajai panggung politik Indonesia. Ketika negara abai terhadap upaya pencarian keadilan dan kebenaran dari pelanggaran HAM di masa silam, maka sangatlah mungkin orang-orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM akan menentukan arah masa depan kita. Timur Pradopo tentu bukan satu-satunya pelaku pelanggaran HAM dan mungkin juga tak adil menyalahkan dia karena penanggung jawab pengamanan ada di tangan militer. Tetapi karena negara tak pernah menuntaskan pelanggaran HAM dalam kasus Trisakti 1998 (misalnya melalui pengadilan HAM atau KKR), maka nama Timur Pradopo tetap tercatat dalam lembaran laporan Komnas HAM dan ingatan para korban. Semua kekuatan politik di pemerintah dan DPR telah seiasekata mendukung Timur meski sang calon masuk dalam daftar para pelaku pelanggaran HAM di masa silam. Para elite politik itu juga tak mempersoalkan suarasuara yang mengkritisi cepatnya promosi jabatan Timur Pradopo. Politik impunitas dan politik kartel dalam pencalonan Timur Pradopo mungkin saja akan terulang di masa depan, selama kita tak mampu melawan kedua arus politik itu. Kita tak boleh lupa dengan jalan terus melawan politik impunitas dan politik kartel. Kita harus melawan agar di masa depan, politik tak seenaknya ditentukan oleh sebagian besar kekuatan politik yang melakukan praktik impunitas n HBX
analisis Toleransi dan Demokrasi Paedagogis* ajak pendapat Kompas pada hari Senin, 20 September 2010 mengungkap sebuah kenyataan menarik dan membesarkan hati, yakni “tujuh puluh empat persen persen responden menyatakan tidak khawatir bahwa kelompok agama yang berbeda akan memengaruhi keyakinan mereka”. Jajak pendapat ini juga menyampaikan bahwa 88 persen menerima jika tetangga dekat rumah mengadakan acara keagamaan dan 74,2 persen menerima jika di dekat tempat tinggal mereka dibangun rumah ibadah dari kelompok agama yang berbeda. Dengan kata lain, jajak pendapat ini secara implist mengatakan bahwa toleransi beragama masih berakar kuat di dalam masyarakat Indonesia. Di sisi yang lain, peristiwa aktual yang terjadi belakangan ini menampilkan suasana yang kontras dengan jajak pendapat tersebut. Di Ciketing Bekasi, kebaktian HKBP dilarang oleh sejumlah orang yang mengaku warga setempat. Di Bogor, ijin Gereja Kristen Indonesia dibekukan oleh pemda, sekalipun kasasi pemkot telah ditolak oleh MA. Sejumlah ketegangan berkaitan dengan isu pendirian rumah ibadah dan hubungan antar pemeluk agama terjadi di beberapa lokal di Indonesia —terutama di Jawa Barat. Terakhir sejumlah pengungsi muslim akibat bencana
J
Merapi di daerah Bantul, diminta pindah dari sebuah gereja oleh sekelompok orang berjubah. Dari dua paparan di atas, kita melihat berlangsungnya dua keadaan yang kontradiktif: yang satu menyatakan bahwa secara sosial toleransi beragama masih kuat; sementara yang lain menyatakan bahwa toleransi berada dalam ancaman serius. Mana yang benar? Dalam hal ini Kompas benar, toleransi merupakan nilai yang diterima secara umum di Indonesia, tetapi kekhawatiran bahwa prospek toleransi dan kebebasan beragama terancam oleh aksi kekerasan kelompok-kelompok ekstrem di dalam masyarakat juga benar dan memiliki dasar. Kalau boleh digeneralisasi dapat dikatakan bahwa, secara sosial masyarakat Indonesia masih memiliki sedikit pertahanan ‘kultural’ untuk tidak segera jatuh pada intoleransi; akan tetapi secara politik, kebijakan politik yang ada memang tidak mampu mengakomodasi suatu politik pluralis yang lebih bisa menjamin toleransi. Sebenarnya, ketegangan dan gesekan antar-komunitas primordial (agama, suku, etnis) di Indonesia sudah sering terjadi, memiliki akar yang panjang dan berlangsung lama. Dengan kondisi itu maka ketegangan serupa bisa dipastikan sudah pasti akan terjadi. Suatu bangsa dengan tingkat
keragaman budaya dan sistem nilai yang luar biasa tingginya, berkombinasi dengan apirasi politik yang berbeda-beda dan basis ekonomipolitik yang masih timpang di mana-mana, sudah pasti akan menghasilkan konflik dan ketegangan. Pluralitas dan ketegangan di dalamnya adalah suatu fakta sosial. Masyarakat kita selama berabad-abad hidup dan belajar dalam kondisi semacam ini. Ini yang memberikan basis antropologis bagi pluralisme dan toleransi secara umum. Lebih dari itu, secara historis pendirian Indonesia sebagai republik dengan sendirinya dimaksudkan untuk mengatasi gesekan primordial. Ketika menyebut Indonesia sebagai Republik, maka secara tidak langsung kita menempatkan “pandangan primordial” sebagai pandangan “praIndonesia”. Itu sebabnya kita selalu gegap gempita meritualkan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Kelahiran Pancasila, serta Hari Proklamasi. Dengan demikian, para pendiri bangsa sebenarnya memposisikan negara dan bangsa Indonesia sebagai bentuk transformasi dari unsur-unsur primodial. Itu sebabnya, nasionalisme Indonesia dinyatakan berbasis pada paham kebangsaan, bukan etnis dan agama. Namun demikian kita juga tahu bahwa konsensus-normatif itu sendiri adalah sebuah “ruang-
* Versi asli tulisan ini pernah dimuat di Majalah Hidup, ini merupakan naskah yang telah diperbaiki. www.p2d.org — konstelasi
9
Sumber Gambar: http://1.bp.blogspot.com/_fImTIYAP7RU/R-_GGpUdQoI/AAAAAAAAAGc/gw6iX_3hGOY/s400/tolerance.png
kosong”. Betapapun ia telah ditetapkan sebagai dasar pijakan, usaha untuk menggeser dan mengkontestasi konsensus-konsensus dasar itu selalu muncul dalam sejarah politik Indonesia. Berhadapan dengan hal ini, setiap pemerintahan yang datang dan pergi dari panggung politik di Indonesia mengajukan cara yang berbeda-beda. Soekarno-Hatta mengajukan pendasaran dan politik fundamental yang normatif dengan basis karisma dan populisme politik. Sementara rejim Orde Baru mengisi ruang kosong konsensus itu dengan represi. Pemerintahan era reformasi sesudah Orde Baru juga mengajukan cara yang beragam. Presiden Habibie meski berlatar politik dari kelompok cendekiawan sektarian, relatif memiliki pandangan yang modern dan sekular mengenai bangsa. Sementara Megawati dan Gus Dur memiliki pandangan yang juga relatif sama dalam soal toleransi 10
konstelasi — www.p2d.org
dan konsensus nasional itu. Pada ketiganya komitmen dan akomodasi terhadap pandangan pluralis terlihat dengan jelas dan lebih tegas. Hasilnya, meski pada masamasa mereka konflik dan gesekan tidak kurang, tapi secara umum setidaknya masyarakat menilai toleransi dan konsensus nasional tidak dalam ancaman. Suasana dan keyakinan ini yang terasa hilang di masa pemerintahan SBY. Sejak RI didirikan, barangkali di era pemerintahan inilah toleransi dan pluralisme mengalami ancaman yang paling banyak dan paling serius. Presiden SBY, boleh saja mengatakan di setiap pidatonya bahwa konsensus dasar negara tidak boleh diganggu gugat lagi. Yang jadi soal kemudian adalah komitmen dan langkah kepolitikan apa yang harus dilakukan untuk terus mencapai konsensus itu? Konsensus politik bukanlah mantra atau jampi-jampi politik yang sekali diucapkan akan ber-
telur di kejadian. Konsensus politik adalah nama kosong, yang mesti diisi dengan tindakan politik yang sejalan dengan pendirian-pendirian di dalam konsensus dasar itu. Kita mungkin percaya pada komitmen Presiden SBY akan demokrasi, tapi demokrasi tidak bisa dipahami sebagai mekanisme yang tanpa pendasaran etis atau sekadar reproduksi suara terbanyak. Jauh-jauh hari HattaSyahrir mengingatkan bahwa demokrasi mesti memiliki dimensi penyadaran, mentransformasi massa yang gerombolan menjadi warga yang sadar akan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. SBY perlu memahami bahwa demokrasi tidak dapat dipraktikkan dalam makna negatifnya: penyebaran kebencian, pengucilan terhadap hak-hak minoritas, kekerasan, dan pembakaran. Di dalam demokrasi selalu disyaratkan sifat paedagogi: demokrasi yang mampu mentransformasi dan mengubah kesadaran massa n RBX
Sambungan dari hlm. 3
kepada kesempatan hidup yang aktual. Kebebasan dan kapabilitas akan mendorong terciptanya banyak kesempatan bagi setiap orang untuk mencapai tujuan utama hidup atau well-being. Dalam konteks reformasi agraria, redistribusi lahan-lahan terlantar kepada para petani yang membutuhkannya merupakan bagian dari ide keadilan yang ditawarkan Amartya Sen. Tanah merupakan wujud kebebasan dan perluasan dari kapabilitas petani untuk mendorong penciptaan beragam kemungkinan bagi dirinya.Tanah bukan semata-mata dimaknai sebagai pendapatan dan komoditi, melainkan kesempatan hidup yang aktual. Dengan memaknainya secara demikian, kita bisa mendorong reforma agraria secara lebih luas, dan menjangkau lebih banyak para petani yang menjadikan tanah sebagai bagian dari diri dan hidupnya, bukan semata-mata aset, yang hanya dapat dijaminkan dan diperjualbelikan. Jadi, program Reforma Agraria ini, kalau merujuk pada Sen, merupakan peran instrumental dan signifikan dari institusi, dalam hal ini merupakan upaya negara menjangkau pemenuhan keadilan. Dengan demikian, ada kebutuhan strategis negara yang bertemu dengan pemenuhan kebutuhan kehidupan masyarakat petani. Karena itu, cukup melegakan juga bahwa dalam salah satu peraturan tersebut, yaitu Pasal 15 yang menegaskan bahwa tanahtanah terlantar itu akan dialihkan dalam dua aspek penting kehidupan bangsa kita. Pertama adalah mencukupi kebutuhan strategis negara, dan kedua adalah
kebutuhan kehidupan rakyat melalui program Reforma Agraria. Para pendukung ekonomi pasar (dan termasuk di dalamnya para pengusaha di bidang ini) bisa saja menanggapi dengan sinis kebijakan tersebut. Apakah mungkin rakyat dapat menggunakan tanah yang mereka terima melalui program tersebut? Bukankah cepat atau lambat kebutuhan akan kehidupan sehari-hari akan menyebabkan para penerima tanah menjual kembali tanah mereka dalam pasar tanah? Bagaimanapun pandangan sinis ini melupakan banyak hal. Pertama, kita bisa melihat kebijakan itu sebagai sebuah bentuk konkret janji keadilan yang diberikan oleh pemerintahan sekarang terhadap rakyat banyak. Di tengah hiruk-pikuk politik nasional yang disibukkan oleh persaingan elite memperebutkan jabatan dan kekayaan, kita bisa bernafas lega bahwa ada satu kebijakan yang setidaknya memiliki dampak langsung terhadap masyarakat banyak. Mereka yang selama ini hanya menjadi penggarap tak bertanah (dan terusir dari tanah mereka), penjaga warung dan tukang ojek di sekitar perkebunan yang terlantar, untuk pertama kalinya dalam hidup mereka memiliki peluang untuk “berdaya” dengan aset yang mereka terima melalui program tersebut. Jadi, prinsip keadilan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut tidak dapat diremehkan dalam hitungan ekonomis dan politik apapun. Kedua, memang sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk membuat rakyatnya lebih berdaya. Pemberian aset tanah kepada masyarakat melalui kebijakan Reforma Agraria baru satu langkah awal mewujudkan
itu. Langkah selanjutnya adalah memberdayakan mereka untuk menjadikan aset yang ada menjadi lebih bernilai ekonomis dibanding menjadi aset tidur di tangan para pengusaha yang berkolusi dengan penguasa. Oleh karenanya, tugas BPN-RI tidak boleh berhenti di sekitar pemberian aset tanah bagi rakyat semata tanpa merancang agenda lanjutan —melalui kerja sama dengan lembagalembaga masyarakat dan pemerintah— yang bertujuan membangkitkan keberdayaan masyarakat penerima manfaat kebijakan tersebut. Penutup Sekarang ini, kita cukup beruntung dapat hidup di alam demokrasi yang menghargai hakhak bersuara dan berorganisasi bagi rakyat. Kondisi ini menjadi modal besar bagi segenap kekuatan dalam masyarakat untuk memastikan bahwa pelaksanaan kebijakan tersebut dijalankan secara transparan dan dapat dipertanggung-gugatkan, sekaligus tepat sasaran, seperti halnya mandat yang terkandung dalam kebijakan tersebut. Dan ketika masyarakat politik (partai sebagai salah satunya) disibukkan oleh pertarungan kekuasaan dan kekayaan, adalah peluang bagi masyarakat sipil di Indonesia, dari kalangan akademisi, intelektual, LSM, dan organisasi-organisasi lain untuk memberikan kesempatan kepada rakyat banyak di Indonesia untuk menikmati keadilan dalam proses pembangunan yang berjalan di Indonesia. Jutaan penduduk Indonesia, di desa dan kota, miskin dan terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan yang pernah ada, bisa berharap bahwa ini bukan lagi sekedar janji dan mimpi n DGX www.p2d.org — konstelasi
11
Sambungan dari hlm. 5 kepentingannya terpisah dari kepentingan rakyat, keputusan yang diambil DPR selalu menuai reaksi negatif dari rakyat. Posisi rakyat seakan sebagai pagar pembatas gerak DPR, yang ditunjukkan oleh berbagai pembatalan dan penundaan keputus-
an dan kerja DPR dalam rangka meredam kritik. Sederet fakta terputusnya suara rakyat dengan tindakan DPR menyiratkan demokrasi kita masih berupa prosedural kenegaraan belaka. Sebagai langkah awal, kita harus mendorong perubahan relasi DPR dengan rakyat menjadi hubungan politico, yakni relasi DPR sebagai
delegate yang diutamakan, secara berkelanjutan sebagai trustee. Sejalan dengan itu, partai pun harus dikembalikan pada fungsi awalnya, sehingga fungsi partisan dengan sendirinya hilang karena program partai adalah kebutuhan rakyat. Satu perubahan yang penting dan mendesak demi mewujudkan harapan rakyat dalam setiap langkah Indonesia n RSX
Tabel Potensi Pemborosan Uang Rakyat (2010) No
Peruntukan
Jumlah
1. Gedung baru DPR Rp 1,7 triliun 2. Rumah Aspirasi 3. Dana Desa
Keterangan Belum terealisasi
Pemborosan jika semua usul diterima
Rp 1,7 triliun
Rp 1,5 miliar/orang Ditolak
Rp 8,4 triliun
Rp 1 miliar/desa Ditolak
Rp 70 triliun
4. Sewa rumah dinas Rp 90,90 miliar 5. Studi banding Rp162,9 miliar TOTAL
Masuk APBN 2010
Rp 90,90 miliar
Masih berjalan
Rp 162,9 miliar Rp 80,3 triliun
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Ket: Kunjungan kerja pada APBN 2010 sebesar Rp 111,3 miliar, namun dalam APBN perubahan 2010 naik sebesar 46,4% (Rp 51,6 miliar), sehingga totalnya Rp 162,9 Miliar. Sumber: diolah dari berbagai sumber 12
konstelasi — www.p2d.org