XENOTRANSPLANTASI SEL TESTIKULAR IKAN GURAMI KEPADA LARVA IKAN NILA
IRMA ANDRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa semua pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : Xenotransplantasi Sel Testikular Ikan Gurami kepada Larva Ikan Nila merupakan hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan pembimbingan oleh komisi pembimbing terkecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2012
Irma Andriani C161060081
i
ii
ABSTRACT IRMA ANDRIANI. Xenotransplantation of Giant Gourami Testicular Germ Cells into Larvae of Nile Tilapia. Under direction of ALIMUDDIN, KOMAR SUMANTADINATA, and ITA DJUWITA. We were attempting to develop testicular germ cell (TGC) transplantation as a tool to produce surrogate broodstock of commercially valuable fish and long generation time species. Giant gourami testis had been used as a model for donor and Nile tilapia larvae as recipient. The research was conducted to study the competency of giant gourami TGC as donor and Nile tilapia larvae as recipient for xenotransplantation of giant gouramy TGC into larvae of Nile tilapia. We developed TGC xenotransplantation system by some steps as follow : 1) The characterization of spermatogonia to identify optimal donor of giant gourami based on body weight using histological approach, 2) The determination of dissociation method for giant gourami testicular tissue by comparing two different composition of dissociation medium with 5 hours incubation time, 3) Optimizing the timing of intraperitoneal TGC transplantation into peritoneal cavity of 1, 3, 5 and 7 days post hatching (dph) recipient by investigating the colonization efficiency of donor cell labelled PKH 26 fluorescent membrane dye under fluorescent microscope and of molecular technique using growth hormone of giant gourami specific primer, 4 ) Analyzing the proliferation of spermatogonia colonized in recipient gonad using molecular approach, and 5) The evaluation of TGC isolated from testis of giant gourami which preserved at 4 oC using NaCl 0.7% for 6, 12, 24 and 48 hours and then transplanted into peritoneal cavity of recipient. The result showed that the donor with abundant spermatogonia stem cell and A type spermatogonia (cell diameter = 14.43–20.53 µm) were found in giant gourami with body weight ranged from 500–1000 g. The dissociation method produced high number of spermatogonia with high viability was one used medium PBS containing trypsin, DNase, CaCl2, HEPES, FBS and incubated for 3 hours. The highest colonization efficiency was observed at 3 dph recipient (61.1±34.71%) suggesting that 3 dph Nile tilapia larvae was the optimum recipient for transplantation. Intraperitoneally transplanted xenogenic spermatogonia efficiently colonized the ovary as well with sex ratio male out of female was 1:1, and possibly proliferated indicated by cell cluster forming and the increase of DNA concentration of donor in recipient testis during time interval 1 month to 2 or 3 month pt. The successful colonization of spermatogonia isolated from preserved testis were also observed with colonization efficiency not differed significantly as from non preserved testis. In conclusion : the testis of giant gouramy was composed of cells that had competency as donor for xenotransplantation using Nile tilapia larvae as recipient. Key words : xenotransplantation, testicular germ cell, giant gourami, Nile tilapia, colonization efficiency, proliferation, preservation.
iii
iv
RINGKASAN IRMA ANDRIANI. Xenotransplantasi Sel Testikular Ikan Gurami kepada Larva Ikan Nila. Dibimbing oleh ALIMUDDIN, KOMAR SUMANTADINATA, dan ITA DJUWITA. Lambatnya pertumbuhan ikan gurami (Osphronemus goramy) tidak hanya berdampak pada lamanya ikan gurami mencapai ukuran konsumsi tetapi juga pada lamanya ikan gurami mencapai ukuran induk (matang kelamin) sehingga ketersediaan induk untuk menghasilkan benih ikan gurami menjadi terbatas. Keterbatasan induk dan benih tentu saja menjadi kendala bagi kegiatan peningkatan produksi ikan gurami. Saat ini berkembang satu sistem pembenihan untuk produksi ikan yang lama matang kelamin yaitu benih diproduksi oleh induk lain atau induk pengganti (surrogate broodstock). Untuk aplikasi sistem pembenihan ini dibutuhkan suatu teknologi yang disebut xenotransplantasi sel testikular yaitu transplantasi sel testikular yang berasal dari jenis ikan (donor) yang ingin diproduksi ke jenis ikan (resipien) berbeda yang memiliki pertumbuhan cepat. Jika teknologi ini diterapkan pada budidaya ikan gurami diharapkan sel spermatogonia dari suspensi sel testikular ikan gurami yang ditransplantasikan akan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan sel testikular resipien hingga dikeluarkan sebagai sel gamet ikan gurami dalam waktu yang lebih cepat. Pada penelitian ini resipien yang digunakan adalah ikan nila karena cepat matang kelamin, masa rematurasi 2 bulan, viabilitas larva tinggi dan mudah beradaptasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kompetensi sel testikular ikan gurami sebagai donor dan larva ikan nila sebagai resipien pada teknologi xenotransplantasi sel testikular ikan gurami kepada larva ikan nila. Ruang lingkup penelitian terdiri atas 5 tahap. Tahap 1: Identifikasi tipe sel spermatogonia dan penentuan kelompok bobot tubuh ikan gurami yang dapat dijadikan sebagai sumber sel spermatogonia, keduanya dilakukan dengan pendekatan histologis. Tahap 2: Penentuan metode disosiasi yang optimum dengan parameter pengamatan adalah jenis larutan disosiasi dan lama inkubasi yang menghasilkan jumlah spermatogonia terbanyak dan viabilitas spermatogonia tertinggi. Jenis larutan disosiasi yang diujikan adalah larutan A (tripsin dalam larutan phosphate buffered saline/PBS) dan larutan B (tripsin dan DNase dalam larutan PBS dilengkapi CaCl2, HEPES dan fetal bovine serum /FBS), sedangkan lama inkubasi dalam larutan disosiasi yang diujikan adalah 1,2,3,4 dan 5 jam. Tahap 3: Transplantasi sel testikular ikan gurami ke beberapa umur larva. Sel hasil disosiasi diwarnai PKH 26 fluorescent membrane dye dan disuntikkan secara intra peritoneal (i.p) pada beberapa kelompok umur larva ikan nila yaitu 1, 3, 5 dan 7 hari pascamenetas (hpm) sebanyak 20.000/0,5 µL medium L15 per larva. Parameter yang diamati adalah sintasan pascatransplantasi (pt) dan efisiensi kolonisasi sel donor pada resipien. Umur resipien yang optimum adalah yang memiliki sintasan dan efisiensi kolonisasi tertinggi dilakukan. Tahap 4: Analisis proliferasi sel donor pada gonad resipien. Gonad resipien umur 1, 2 dan 3 bulan pt yang membawa sel donor dianalisis secara molekular menggunakan primer spesifik growth hormone (GH) ikan gurami. Pita DNA hasil elektroforesis dikuantifikasi menggunakan program unscan IT gel 6.1. Parameter yang diamati v
adalah konsentrasi DNA gurami pada resipien umur 1,2 dan 3 bulan pt . Tahap 5: Transplantasi sel testikular yang berasal dari sumber donor yang dipreservasi dalam larutan fisiologis NaCl pada suhu 4 oC selama 24 dan 48 jam . Preservasi dilakukan untuk mengatasi masalah sinkronisasi ketersediaan sel donor dan resipien. Parameter yang diamati adalah viabilitas sel spermatogonia, kerusakan histologis dan efisiensi kolonisasi sel donor pada resipien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami yang memiliki peluang terkolonisasi adalah sel spermatogonia tidak terdiferensiasi yaitu sel punca spermatogonia (SSC) dan spermatogonia A (SpA) dengan diameter sel berukuran 14,43–20,53 µm. Kelompok bobot tubuh ikan gurami yang memiliki kelimpahan SSC dan SpA tertinggi adalah kelompok 500–1000 g dengan frekuensi relatif rata-rata SSC dan SpA masing-masing 2,96±1,20% dan 23,23±3,75%. Larutan disosiasi yang mengandung tripsin dan DNase (larutan B) memberikan hasil disosiasi dengan jumlah sel spermatogonia yang lebih tinggi dibandingkan larutan disosiasi yang mengandung tripsin saja (larutan A). Waktu inkubasi yang optimum untuk disosiasi adalah 3 jam. Dengan demikian untuk metode disosiasi jaringan testikular yang optimum untuk ikan gurami adalah menggunakan larutan B yang terdiri atas tripsin dan DNase yang dilengkapi CaCl2, HEPES dan FBS dalam larutan PBS dengan lama masa inkubasi jaringan 3 jam. Teknik transplantasi menggunakan mikroinjeksi secara i.p menghasilkan sintasan larva 24 jam pt berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol untuk kelompok larva umur 1 hpm yaitu 82,74±6,76%. Hasil transplantasi sel pada berbagai umur larva ikan nila menunjukkan efisiensi kolonisasi yang cenderung menurun dengan semakin bertambahnya umur resipien. Efisiensi kolonisasi tertinggi terdapat pada resipien umur 3 hpm (61,10±34,71%) dan yang terendah pada umur 7 hpm (19,33±17,33 %). Dengan demikian umur larva ikan nila yang optimum dijadikan sebagai resipien adalah 3 hpm. Sel donor spermatogonia juga mampu terkolonisasi pada ikan betina dengan perbandingan jantan dan betina yang membawa sel donor adalah 1:1. Hasil kuantifikasi DNA genom gonad resipien ikan nila pada 1, 2 dan 3 bulan pt juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi DNA dan jumlah sel donor sebesar 3,42 kali dari umur 1 bulan pt ke 2 bulan pt atau ke 3 bulan pt. Hal ini mengindikasikan sel spermatogonia ikan gurami yang terkolonisasi pada gonad ikan nila mampu berproliferasi. Lama preservasi testis dalam NaCl 0,7% (4 oC) mulai berpengaruh nyata terhadap viabilitas sel spermatogonia (P<0,05) pada 12 jam preservasi dan menurun tajam pada lama preservasi 48 jam. Jenis kerusakan sel secara histologis berupa disintegrasi jaringan interstitial dan inti piknotik. Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami yang diisolasi dari testis pascapreservasi 0, 24 dan 48 jam pada resipien ikan nila tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan efisiensi kolonisasi masing-masing adalah 61,11±19,25%, 55,56±9,62% dan 55,56±9,62%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa testis ikan gurami mengandung sel yang kompeten sebagai donor dalam xenotransplantasi menggunakan larva ikan nila sebagai resipien. Kata kunci : xenotransplantasi, sel testikular, ikan gurami, ikan nila, kolonisasi, proliferasi, preservasi.
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
viii
XENOTRANSPLANTASI SEL TESTIKULAR IKAN GURAMI KEPADA LARVA IKAN NILA
IRMA ANDRIANI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ix
Penguji pada Ujian Prakualifikasi Doktor : Prof.Dr.Ir.Enang Harris M.S. Dr.Ir.Agus Oman Sudrajat M.Sc. Penguji pada Ujian Tertutup
: Prof.Dr.Ir.M.Zairin Junior M.Sc. Prof.drh.Arief Boediono Ph.D, PAvet.
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr.Ir.Rudhy Gustiano M.Sc. Dr.Ir.Widanarni M.Si.
x
Judul Disertasi
: Xenotransplantasi Sel Testikular Ikan Gurami Larva Ikan Nila
Nama
: Irma Andriani
NIM
: C161060081
kepada
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Alimuddin S.Pi. M.Sc. Ketua
Prof.Dr.Ir.Komar Sumantadinata M.Sc Anggota
Dr.drh.Ita Djuwita M.Phil. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Enang Harris M.S.
Dr.Ir.Dahrul Syah M.Sc Agr
Tanggal Ujian: 27 Januari 2012
Tanggal lulus :
xi
xii
PRAKATA Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmatNya sehingga karya ini berhasil dilakukan. Tema penelitian ini adalah Xenotransplantasi Sel Testikular Ikan Gurami kepada Larva Ikan Nila. Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2008 hingga bulan Juli 2011 dengan uraian tahap penelitian, waktu, tempat penelitian sebagai berikut : 1) karakterisasi morfologi sel spermatogonia ikan gurami dan penentuan sumber donor berlangsung dari bulan Agustus 2008 hingga Januari 2009 di Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB), di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), IPB dan di Tokyo University of Marine Science and Technology di Jepang, 2) metode disosiasi jaringan testikular ikan gurami berlangsung dari bulan Februari hingga Mei 2009 di Laboratorium Embriologi, FKH, IPB , 3) xenotransplantasi sel testikular ikan gurami pada berbagai umur larva ikan nila berlangsung dari bulan Juni hingga Desember 2009 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Ikan Air Tawar (BBPBAT) di Sukabumi, 4) analisis proliferasi sel spermatogonia yang terkolonisasi pada gonad resipien dan 5) viabilitas dan efisiensi kolonisasi spermatogonia dari testis ikan gurami pascapreservasi dingin berlangsung dari bulan April 2010 hingga Juli 2011 di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, FPIK, IPB dan Laboratorium Embriologi, FKH, IPB. Sebagian dari disertasi ini khususnya bab II dan bab III telah dipublikasikan dalam Indonesian Aquaculture Journal 5 (2) :165-172 dengan judul “Morphological characteristic of spermatogonia and testis dissociation : A preliminary study for the germ cell transplantation in giant gourami (Osphronemus goramy) dan sebagian dari bab VI telah dipresentasikan pada Kongres Perhimpunan Biologi Indonesia (PBI) pada tahun 2009 di Malang. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada komisi pembimbing: Dr.Alimuddin S.Pi (ketua) M.Sc., Prof.Dr.Ir.Komar Sumantadinata M.Sc. (anggota) dan Dr.drh.Ita Djuwita M.Phil (anggota) atas segala bimbingan dan arahannya sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi. Terkhusus untuk Prof.Dr.Ir.Komar Sumantadinata M.Sc., penulis menghaturkan terima kasih yang sebanyakbanyaknya atas kesediaan dan keluangan waktunya selama kurang lebih 5 tahun menjadi ketua komisi pembimbing sebelum digantikan oleh Dr.Alimuddin S.Pi karena alasan pensiun. Terima kasih penulis juga ucapkan kepada penguji luar komisi pada ujian tertutup penulis yaitu Prof.Dr.Ir.M.Zairin Junior M.Sc. dan Prof.drh.Arief Boediono Ph.D, PAvet, penguji luar komisi pada ujian terbuka penulis yaitu Dr.Ir.Rudhy Gustiano M.Sc. dan Dr.Ir.Widanarni M.Si., penguji luar komisi pada ujian prakualifikasi Program Doktor yaitu Prof.Dr.Ir.Enang Harris M.S, Dr.Ir.Agus Oman Sudrajat M.Sc. atas semua saran dan arahannya untuk keberhasilan penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada staf pengajar di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, FPIK, IPB serta di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, FKH, IPB atas ilmu dan dukungannya selama penulis menjalankan studi.
xiii
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas bantuan beasiswa BPPS, beasiswa SANDWICH, dan beasiswa Hibah Disertasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan semaksimum mungkin. Penghargaan yang setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Goro Yoshizaki dan koleganya di Tokyo University of Marine Science and Technology atas kesempatan dan pelatihan teknik transplantasi pada ikan selama penulis mengikuti Program SANDWICH–DIKTI pada tahun 2008-2009. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ir. Maskur M.Si selaku Kepala BBPBAT Sukabumi saat itu, Adi Sucipto S.Pi, M.Si. dan tim, Dian Hardianto S.Pi, M.Si. dan tim serta Ade Sunarma S.Pi., M.Si. dan tim atas bantuan fasilitas dan berbagi ilmu selama penulis melakukan penelitian di BBPBAT. Terima kasih kami ucapkan kepada Keluarga Besar Jurusan Biologi dan FMIPA, Universitas Hasanuddin (UNHAS) atas doa dan dorongan morilnya. Terima kasih juga kepada semua rekan-rekan akuakultur angkatan 2006 dan rekan-rekan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, BDPFPIK IPB, di Laboratorium Embriologi, FKH-IPB, dan sahabat-sahabat seperjuangan penulis atas dukungan semangatnya selama studi dan penelitian penulis. Terima kasih kepada guru-guru kelima anak-anak saya atas perhatiannya yang ekstra dan bantuannya mendidik serta upaya menjaga akhlak kelima anakanak kami selama penulis menjalankan studi di IPB. Akhirnya penulis menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada ayahanda M.Idrus Abdullah (alm) dan Ibunda Fatimah, suami Syamsari Syamsuddin, tante Puang Puji, serta kelima anak-anak saya atas doa dan dukungan moril serta semangat yang diberikan kepada penulis selama menjalankan studi. Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan perkembangan penelitian khususnya di bidang Budidaya Perairan. Kepada semua yang penulis sebutkan di atas, penulis senantiasa berdoa “Jazakumullahu khairan katsiira” : Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang diberikan kepada penulis dengan sebaikbaik balasan dari Allah SWT. Amiin ya Rabbal „Alamiin.
Bogor, Januari 2012 Irma Andriani
xiv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 9 Agustus 1971 dari pasangan ayah Drs. M. Idrus Abdullah (Alm) dan ibu Ir. Fatimah Husain M.Si. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana di tempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 1996. Pada tahun 2000 menyelesaikan pendidikan master di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Biologi dengan beasiswa Karya Siswa, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional dan oleh DIKTI penulis ditempatkan sebagai staf pengajar di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin sejak tahun 1999 hingga sekarang. Kesempatan melanjutkan ke pendidikan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006 dengan Beasiswa BPPS DIKTI. Selama penulis menjalani pendidikan di Program Doktor IPB penulis mendapatkan beasiswa Program Sandwich oleh DIKTI ke Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT) di Jepang dan telah mengikuti pelatihan transplantasi sel germinal spermatogonia ikan rainbow trout selama 1 bulan di Ooizumi Training Station, TUMSAT, Jepang. Pada akhir penelitian, penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa Hibah Disertasi tahun 2011. Penulis telah mempresentasikan makalah berjudul : “Isolasi Sel Spermatogonia dan Karakteristik Morfologis Jaringan Testikular Ikan Gurami Pascapreservasi” di konggres Perhimpunan Biologi Indonesia , Malang pada tahun 2009. Satu buah karya ilmiah bagian dari penelitian disertasi telah dibuat dengan judul : Morphological characteristic of spermatogonia and testis dissociation: a preliminary study for the germ cell transplantation in giant gourami (Osphronemus goramy) dan telah diterbitkan pada Indonesian Aquaculture Journal 5(2):163-171 tahun 2010.
xv
xvi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………… DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………… I
II
III
IV
V
xix xxi xxv
PENDAHULUAN .........................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................... Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian .......................................... Kebaruan Penelitian ....................................................................... Manfaat Penelitian .........................................................................
1 7 8 8
KARAKTERISASI MORFOLOGI SEL SPERMATOGONIA IKAN GURAMI DAN PENENTUAN SUMBER DONOR .........
9
Abstrak........................................................................................... Abstract .......................................................................................... Pendahuluan................................................................................... Bahan dan Metode ......................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................... Kesimpulan ....................................................................................
9 10 10 13 14 23
METODE DISOSIASI JARINGAN TESTIKULAR IKAN GURAMI .......................................................................................
25
Abstrak........................................................................................... Abstract .......................................................................................... Pendahuluan................................................................................... Bahan dan Metode ......................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................... Kesimpulan ....................................................................................
25 26 26 28 29 36
XENOTRANSPLANTASI SEL TESTIKULAR IKAN GURAMI PADA BERBAGAI UMUR LARVA IKAN NILA .....................
37
Abstrak........................................................................................... Abstract .......................................................................................... Pendahuluan................................................................................... Bahan dan Metode ......................................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................... Kesimpulan ....................................................................................
37 38 38 41 44 58
ANALISIS PROLIFERASI SEL SPERMATOGONIA IKAN GURAMI YANG TERKOLONISASI PADA IKAN NILA ........
59
Abstrak........................................................................................... Abstract ..........................................................................................
59 60
xvii
Halaman
Pendahuluan........................................................................................ Bahan dan Metode............................................................................. Hasil dan Pembahasan....................................................................... Kesimpulan .......................................................................................
60 62 66 73
VIABILITAS DAN EFISIENSI KOLONISASI SPERMATOGONIA DARI TESTIS IKAN GURAMI PASCAPRESERVASI DINGIN PADA LARVA IKAN NILA ............................................
75
Abstrak.................................................................................. ............ Abstract ............................................................................................. Pendahuluan ...................................................................................... Bahan dan Metode............................................................................. Hasil dan Pembahasan....................................................................... Kesimpulan .......................................................................................
75 76 76 79 81 89
VII PEMBAHASAN UMUM .................................................................
91
VIII KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ...........................................
101
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
103
LAMPIRAN ...............................................................................................
111
DAFTAR ISTILAH MENURUT KAMUS ...............................................
133
VI
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Deskripsi morfologi tipe spermatogonia pada ikan gurami .............
18
2
Frekuensi relatif rata-rata (%) spermatogonia dari jaringan testis ikan gurami pada berbagai bobot tubuh (g) ....................................
20
Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami dalam larutan A dan B ..................
35
Konsentrasi DNA (ng/µL) dan jumlah sel hasil kuantifikasi DNA produk PCR sel donor ikan gurami dalam gonad resipien umur 1, 2 dan 3 bulan pascatransplantasi (pt) ...........................................
72
Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia hasil disosiasi jaringan testis ikan gurami pascapreservasi pada lama inkubasi berbeda .............................................................................................
82
Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia dalam 20.000 sel testikular ikan gurami yang disuntikkan pada larva ikan nila ........
85
3 4
5
6
xix
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
2
3
4
5
6.
7.
8
Testis dan penampang melintang histologis testis. A. Sepasang organ testis ikan gurami tidak simetris (bobot tubuh = 740 g, IGS=1,35x10-4), skala: 1 mm; B. Penampang melintang testis (insersi: kotak), skala: 200 µm; C. Insersi: spermatogonia (Sp) tersebar di daerah tepi tubulus (Tb) dengan sel sertoli (SS) di sekitarnya, skala: 20 µm………………………………………….....
15
Tipe spermatogonia yang ditemukan pada preparat histologis ikan gurami. SSC: sel punca spermatogonia, SpA:spermatogonia tipe A, SpT: spermatogonia transisi, SpB: spermatogonia tipe B. Panah merah menunjukkan sel sertoli. Skala : 20 µm……………………...
17
Penampang melintang testis ikan gurami. A. Kelompok ikan bobot tubuh <500 g (344 g,IGS=1,75x10-4), B. Kelompok ikan bobot tubuh 500-1000 g (700 g, IGS=1,97x10-4), C. Kelompok ikan bobot tubuh > 1000 g (1,6kg,IGS=1,19x10-4)…………………………….
22
Suspensi sel testikular ikan gurami pascadisosiasi. A. Tipe-tipe sel spermatogonia. B. Sel punca spermatogonia dengan membran sel yang tipis (kepala panah adalah membran sel). C. Sel yang mati berwarna biru setelah pewarnaan dengan trypan blue………………
30
Jumlah dan viabilitas sel spermatogonia ikan gurami pada larutan disosiasi dan lama inkubasi berbeda. A. Jumlah sel spermatogonia yang dihasilkan pada lama waktu inkubasi 1 hingga 5 jam dalam larutan A dan larutan B. B. Viabilitas sel spermatogonia pada lama inkubasi 1 hingga 5 jam dalam larutan A dan larutan B……………
31
Pewarnaan suspensi sel testikular ikan gurami dengan PKH 26 fluorescent membrane dye. A–D. Suspensi sel setelah pewarnaan. E–F.Suspensi sel sebelum pewarnaan ……………………………...
45
Sintasan resipien ikan nila perlakuan umur 1, 3, 5, 7 hari pascamenetas dan tanpa transplantasi (kontrol) pada 24 jam dan 2 bulan pascatransplantasi. ………………………………………….
46
Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami pada resipien ikan nila perlakuan umur transplantasi 1, 3, 5 ,7 hari pascamenetas (hpm)………………………………………………………………..
49
xxi
Halaman 9
Kolonisasi sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila pascatransplantasi (pt) dengan posisi kepala di sebelah kiri (posterior) dan ekor di sebelah kanan (anterior)…………………….
51
10 Elektroforegram DNA produk PCR dari gonad resipien ikan nila 2 bulan pascatransplantasi menggunakan marka molekuler spesifik GH ikan gurami dan primer β-aktin ikan nila sebagai kontrol internal………………………………………………………………
52
11 Ovari resipien ikan nila. A. Tanpa transplantasi, B. Perlakuan umur transplantasi 1 hari pascamenetas (hpm), C. Perlakuan umur transplantasi 3 hpm, D. Perlakuan umur transplantasi 5 hpm, E. Perlakuan umur transplantasi 7 hpm. ………………………………
54
12 Kumpulan sel donor ikan gurami yang terkolonisasi (kepala panah) pada testis (A) dan ovari (B) resipien ikan nila pascatransplantasi………………….…….………………………….
55
13 Gonad resipien ikan nila umur transplantasi 3 hari pascamenetas. A. Resipien betina 72 hari pascatransplantasi (pt). B. Resipien betina 95 hari pt. C,D (insersi). Pembesaran dari kotak………….....
57
14 Elektroforegram DNA produk PCR dari sel testikular ikan gurami dan ikan nila yang diamplifikasi menggunakan marker spesifik GH gurami (340 bp) dan β aktin (150 bp) sebagai kontrol internal.……………………………………………………………...
66
15 Kurva standar konsentrasi produk PCR dari DNA genom ikan gurami dalam suspensi sel testikular ikan nila……………………...
67
16 Gonad resipien ikan nila yang membawa sel donor ikan gurami yang terlabel oleh PKH 26 (kepala panah). Garis putus-putus menunjukkan batas gonad. A,C,E,I,J: pengamatan dengan mikroskop fluoresens, B,D,F: pengamatan tanpa fluoresens. A,D: resipien umur 1 bulan pascatransplantasi (pt), E,F: resipien jantan umur 2 bulan pt, G,H(insersi): kumpulan sel donor pada resipien jantan umur 3 bulan pt, I,J(insersi): kumpulan sel donor pada resipien jantan umur 2 bulan pt…………………………………….
68
17 Elektroforegram DNA produk PCR dari gonad resipien ikan nila 1, 2 dan 3 bulan pascatransplantasi (pt) menggunakan marka molekuler spesifik GH ikan gurami (340 bp) dan primer β-aktin ikan nila (150 bp) sebagai kontrol internal……………………….....
70
xxii
Halaman 18 Estimasi jumlah sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila berdasarkan konsentrasi DNA hasil kuantifikasi pita DNA produk PCR menggunakan program unscan IT Gel 6.1…………….
71
19 Hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami. A.Tanpa preservasi, B. Pascapreservasi 24 jam, C. Pascapreservasi 48 jam. Kepala panah merah menunjukkan sel spermatogonia yang mati terwarnai oleh trypan blue, sedangkan kepala panah hitam menunjukkan sel spermatogonia hidup……………………. ………………………….
83
20 Penampang melintang preparat histologis jaringan testis ikan gurami. A,B: testis tanpa preservasi, C,D: testis pascapreservasi 6 jam, E,F: testis pascapreservasi 12 jam, G,H:testis pascapreservasi 24 jam, I,J: testis pascapreservasi 48 jam…………………………...
84
21
Sintasan resipien ikan nila pada 24 jam dan 1 bulan pascatransplantasi…………………………………………………………
86
22 Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami yang diisolasi dari gonad pascapreservasi 0, 24 dan 48 jam pada resipien ikan nila……………………………...…………………………………...
87
23 Gonad resipien ikan nila yang membawa sel donor ikan gurami dari testis pascapreservasi dan tanpa preservasi. A–C: testis, D–F: ovari, A,D: tanpa preservasi, B,E: preservasi 24 jam, C,F: preservasi 48 jam.………………………………. ………………………………...
88
24 Mekanisme pewarnaan oleh PKH 26 (Wallace et al. 2008)………...
93
xxiii
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Analisis karakteristik morfologi tipe spermatogonia ikan gurami…………………………………………………………….
111 11
Analisis data kelimpahan sel testikular (frekuensi relatif) ikan gurami pada bobot tubuh ikan <500 g (1), 500–1000 g (2), >1000 g (3)……………………………………………………….
113
Analisis faktorial pengaruh larutan disosiasi dan lama masa (waktu) inkubasi terhadap jumlah dan viabilitas sel spermatogonia ikan gurami............................................................
117
Profil resipien larva ikan nila pada berbagai umur hari pascamenetas …………………………………………………….
119
Persentase sel testikular dan sel spermatogonia ikan gurami yang terlabel oleh PKH 26 (Sigma)……………………………...
119
6
Sintasan ikan nila pascatransplantasi…………………………….
120 122
7
Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami pada ikan nila resipien………………………………………………………
122 124
Hasil pengukuran ekstraksi DNA gonad ikan gurami menggunakan gene quant.........…………………………………..
123 125
Hasil kuantifikasi DNA produk PCR DNA genom gonad ikan nila menggunakan program unscan IT Gel 6.1…………………..
124
10 Hasil analisis ragam estimasi konsentrasi dan jumlah sel resipien ikan nila 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan pascatransplantasi………..
127 129
11 Jumlah dan viabilitas spermatogonia ikan gurami dari testis pascapreservasi serta analisis ragam terhadap viabilitas spermatogonia……………………………………………………
129 131
12 Sintasan resipien ikan nila 24 jam pascatransplantasi dan efisiensi kolonisasi resipien dengan sumber donor sel testikular ikan gurami dari gonad pascapreservasi…………………………
130
2
3
4
5
8
9.
xxv
xxvi
I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Beberapa tahun terakhir ini, para peneliti mencoba mengatasi masalahmasalah reproduksi pada hewan melalui teknologi transplantasi sel germinal jantan atau disebut juga transplantasi sel testikular. Transplantasi merupakan teknik pemindahan organ, jaringan atau sel tertentu dari donor ke resipien. Jika hewan
donor
dan
resipien
merupakan
individu
yang
sama
disebut
autotransplantasi (transplantasi autogenik), sedangkan jika hewan donor dan resipien merupakan individu yang berbeda namun dari spesies yang sama disebut allotransplantasi (transplantasi singenik). Transplantasi sel atau jaringan dari hewan donor ke resipien yang berasal dari individu dan spesies yang berbeda disebut xenotransplantasi (transplantasi xenogenik) (Johnston et al. 2000). Transplantasi sel testikular memiliki banyak aplikasi dalam bidang biologi, peternakan dan perikanan di antaranya untuk 1) menjajaki proses-proses perkembangan dan diferensiasi sel germinal (gametogenesis), 2) terapi regeneratif penyakit organ reproduksi, 3) memproduksi hewan transgenik melalui sistem transfer gen yang dimediasi sel, dan 4) menciptakan sistem pembenihan dimana spesies target dapat diproduksi dari induk yang lain atau dikenal dengan istilah induk pengganti atau surrogate broodstock (Brinster & Zimmermann 1994, Okutsu et al. 2006a). Penelitian transplantasi sel germinal telah banyak dilakukan pada vertebrata tingkat tinggi. Transplantasi sel germinal pertama kali diperkenalkan pada ayam oleh Tajima et al. (1993), kemudian pada tikus dengan menggunakan sel punca spermatogonia
(Brinster & Zimmerman 1994) dan selanjutnya pada hewan-
hewan lain seperti kambing, babi dan primata (Schatt 2002, Dobrinski 2005). Pada bidang perikanan, teknologi transplantasi sel germinal pertama kali dikembangkan pada ikan rainbow trout menggunakan sel germinal bakal gonad yang disebut PGC (primordial germ cell) sebagai sel donor.
Pada awalnya
Takeuchi et al. (2003) melakukan transplantasi sel donor PGC dari ikan rainbow trout transgenik ke dalam rongga peritoneal larva ikan rainbow trout dalam rangka pembuatan model sistem transfer gen yang diperantarai oleh sel. Allotransplantasi
2
tersebut menghasilkan sel donor yang mampu bermigrasi, mampu bergabung (terkolonisasi) dengan sel-sel somatik saluran bakal gonad larva, dan mampu berdiferensiasi hingga menjadi sel gamet yang fungsional. Penelitian ini telah membuktikan bahwa sel donor yang berasal dari individu berbeda tidak mengalami penolakan oleh sistem imun resipien. Keberhasilan transplantasi tersebut menjadi inspirasi bagi Takeuchi dan koleganya untuk menerapkan sistem transplantasi menggunakan sel donor PGC ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) ke resipien yang berbeda spesies ikan salmon
masu
(Oncorhynchus
masou)
yang
dikenal
dengan
istilah
xenotransplantasi. Meskipun ikan rainbow trout memiliki masa matang gonad yang lebih lama (sekitar 2 tahun) dari ikan salmon (sekitar 1 tahun) namun PGC ikan rainbow trout yang ditransplantasikan pada ikan salmon ternyata dapat melakukan gametogenesis secara normal pada gonad ikan salmon masu bahkan diperoleh sel spermatozoa ikan rainbow yang fungsional dari induk ikan salmon yang berumur 1 tahun pascatransplantasi (Takeuchi et al. 2004). hasil xenotransplantasi tersebut merupakan model
Ikan salmon
surrogate broodstock atau
induk pengganti pertama pada ikan. Disebabkan oleh jumlah PGC yang sedikit dan sulit ditemukan, penelitian transplantasi sel germinal pada ikan ini kemudian dikembangkan dengan menggunakan sel testikular sebagai sel donor seperti yang telah dilakukan oleh Okutsu et al. (2006a), Lacerda et al. (2008), Takeuchi et al. (2009). Penggunaan sel testikular sebagai sel donor ini didasari atas kesamaan sifat tipe sel testikular spermatogonia dengan PGC (Okutsu et al. 2006a). Spermatogonia pada allotransplantasi sel testikular ikan rainbow trout ternyata tidak hanya mampu berdiferensiasi menjadi sel gamet jantan yang fungsional tetapi juga mampu berdiferensiasi menjadi sel gamet betina yang fungsional (Okutsu et al. 2006b). Kemampuan sel spermatogonia berdiferensiasi menjadi spermatosit dan derivatnya serta menjadi oosit dan derivatnya disebut sebagai development plasticity atau sexual plasticity (Okutsu et al. 2006a, Yoshizaki et al. 2010). Xenotransplantasi pada hewan ternak yang memiliki kekerabatan jauh dan imunokompetensi yang berbeda sangat memungkinkan berhasil meskipun ada juga kegagalan xenotransplantasi yang diakibatkan oleh hubungan filogeni yang
3
jauh (Hill & Dobrinsky 2006). Xenotransplantasi sel testikular manusia ke tubuli seminiferi mencit mampu menghasilkan kolonisasi dan produksi spermatozoa manusia pada 25% resipien (Sofikitis et al. 1999). Sebaliknya, xenotransplantasi hamster ke tikus (Ogawa et al. 1999) dan primata ke tikus (Nagano et al. 2001) mengalami proses spermatogenesis tidak sempurna yang diduga karena perbedaan morfologis sel donor dan gonad resipien serta hubungan filogeni yang jauh. Perbedaan hasil xenotransplantasi tersebut menunjukkan bahwa faktor yang menentukan terjadinya inkompatibilitas antara hewan donor dan resipien bersifat spesifik atau dapat berbeda pada spesies tertentu. Pada dekade terakhir xenotransplantasi sel testikular juga telah dilakukan pada beberapa jenis ikan yang berbeda spesies hingga berbeda famili dan menghasilkan sel donor yang mampu bermigrasi ke saluran bakal gonad, terkolonisasi dan berproliferasi pada gonad resipien (Yazawa et al. 2010) bahkan ada pula yang dapat menghasilkan sel gamet jantan yang fungsional (Majhi et al. 2009). Namun belum terdapat informasi apakah kemampuan development plasticity spermatogonia pada resipien yang berbeda jenis juga masih dapat terjadi. Keberhasilan xenoransplantasi sel testikular pada beberapa jenis ikan telah memberikan peluang dan harapan bagi aplikasi xenotransplantasi ini untuk dijadikan sebagai alternatif metode pembenihan dengan cara pembuatan induk pengganti untuk ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan untuk ikanikan langka
namun sulit penanganan produksinya. Oleh karena itu aplikasi
teknologi transplantasi sel germinal ini perlu diupayakan di Indonesia. Penelitian ini merupakan upaya awal penerapan teknologi xenotransplantasi di bidang perikanan di Indonesia. Sebagai model hewan donor digunakan ikan gurami (Osphronemus goramy) dan sebagai model resipien digunakan ikan nila (Oreochromis niloticus).
Ikan gurami digunakan sebagai model hewan donor
karena ikan gurami adalah ikan air tawar ekonomis penting yang mencapai umur matang gonad pertama yang lama. Menurut SNI (2000), ikan gurami mencapai matang gonad pertama pada umur 24–30 bulan untuk jantan dan 30–36 bulan untuk betina. Teknologi xenotransplantasi sel germinal sangat tepat digunakan untuk pembenihan ikan-ikan yang matang gonadnya lama (Takeuchi et al. 2004). Jika sel testikular spermatogonia ikan gurami ditransplantasikan ke resipien yang
4
memiliki masa matang gonad cepat serta dapat berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel gamet fungsional pada gonad resipien, melalui teknik pemijahan buatan, benih ikan gurami dapat diperoleh dengan cepat. Ikan nila dijadikan sebagai model resipien untuk aplikasi teknologi xenotransplantasi sel testikular ikan gurami karena matang gonad pertamanya lebih cepat (4–5 bulan) dan masa rematurasi juga lebih cepat. Selain itu, ikan nila mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan viabilitas larvanya yang tinggi (Stickney 2000). Di masa yang akan datang, teknologi xenotransplantasi sel testikular ikan gurami menggunakan ikan nila sebagai induk pengganti ini diharapkan dapat menciptakan model sistem pembenihan baru dalam budidaya ikan gurami khususnya dan ikan air tawar pada umumnya. Ikan gurami dan ikan nila telah terpisah pada tingkatan taksonomi ordo, yaitu ikan gurami berasal dari ordo Labyrintichii dan ikan nila dari ordo Percomorphii (Saanin 1984). Biologi reproduksi kedua ikan ini juga memiliki beberapa perbedaan.
Salah satu perbedaan yang menyolok adalah pada tipe
telurnya. Ikan gurami memiliki tipe telur mengapung, sedangkan telur ikan nila tenggelam ke dasar. Melalui teknologi xenotransplantasi sel germinal jantan antar ikan gurami dan ikan nila ini, maka kita dapat mengkaji sejauh mana kemampuan sel donor ikan gurami terkolonisasi dan berproliferasi pada resipien yang jauh hubungan filogeninya dan memiliki perbedaan morfologis pada sel gametnya. Selain hubungan genetik, respons lingkungan mikro sel germinal resipien seperti sel-sel sertoli dan sel-sel somatik lainnya terhadap sel donor juga mempengaruhi keberhasilan dari transplantasi (Doitsidou
et al. 2002).
Xenotransplantasi sel testikular ikan nibe ke larva ikan yang berbeda famili yaitu ikan chub mackerel menunjukkan bahwa lingkungan mikro ikan chub mackerel mampu mendukung sel spermatogonia ikan nibe terkolonisasi dan berproliferasi pada gonad ikan mackerel
(Yazawa et al. 2010).
Saito et al. (2011)
Xenotransplantasi PGC ikan sidat Jepang yang fase larvanya di air laut ke ikan air tawar zebra menghasilkan kolonisasi PGC ikan sidat Jepang pada daerah gonad ikan zebra sebanyak 42,7% dalam waktu pengamatan 6 hingga 7 hari. Namun setelah 7 hari PGC menghilang dan diduga disebabkan oleh perbedaan tahap awal kehidupan kedua ikan tersebut.
Menurut Saito et al. (2011) penelitian ini
5
membuka peluang untuk menjadikan ikan air tawar sebagai induk pengganti jenis ikan air laut. Beberapa fenomena transplantasi sel germinal pada ikan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya perlu dikaji untuk keberhasilan aplikasi teknologi xenotransplantasi sel testikular ikan gurami kepada ikan nila. Sebagai tahap awal dibutuhkan beberapa informasi dasar dan tahapan teknis transplantasi di antaranya adalah preparasi sel donor yang terdiri atas karakterisasi sel spermatogonia ikan gurami, penentuan sumber donor ikan gurami dan penentuan metode disosiasi jaringan gonad ikan gurami. Ketiga tahapan teknis ini merupakan upaya untuk menyiapkan suspensi sel donor yang kaya akan sel donor yang memiliki kemampuan kolonisasi. Menurut Grisswold et al. (2001), karakterisasi sel spermatogonia yang tidak jelas sering menjadi faktor pembatas dalam pelaksanaan transplantasi sel germinal. Kemampuan mengidentifikasi spermatogonia dari sel testikular lainnya penting karena hanya spermatogonia yang tidak terdiferensiasi, yaitu spermatogonia A, yang memiliki kemampuan terkolonisasi pada resipien (Okutsu et al. 2006a). Oleh karena itu karakterisasi sel spermatogonia ikan gurami merupakan informasi dasar yang harus diketahui sebelum melakukan kegiatan transplantasi sel germinal ikan gurami. Selanjutnya dilakukan penentuan tahap perkembangan gonad ikan gurami yang dapat dijadikan sebagai sumber donor. Menurut Zapata (2009) kelimpahan spermatogonia berkaitan dengan perkembangan gonad. Hingga saat ini belum terdapat informasi yang jelas mengenai tahap perkembangan gonad pada ikan gurami.
Dengan metode disosiasi yang tepat, jaringan gonad dari ukuran ikan
gurami yang optimum dapat menghasilkan suspensi sel testikular yang mengandung banyak spermatogonia. Setelah mendapatkan suspensi sel donor, tahapan teknis penting selanjutnya adalah menentukan umur resipien yang optimum untuk keberhasilan transplantasi. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa umur resipien juga berpengaruh terhadap efisiensi kolonisasi (Takeuchi et al. 2003, Takeuchi et al. 2009, Yazawa et al. 2010). Kemampuan lingkungan mikro resipien mengarahkan sel donor ke rongga genital semakin berkurang dengan semakin berkembangnya
6
gonad resipien atau dengan semakin bertambahnya umur resipien (Okutsu et al. 2006a). Pengaruh interval umur resipien yang mempengaruhi efisiensi kolonisasi berkaitan dengan sistem imunodefisiensi yang belum sempurna pada larva (Manning & Nakanishi 1996). Faktor-faktor tersebut dilaporkan berbeda-beda di antara spesies (Dobrinski et al. 1999, Johnston et al. 2000). Hingga saat ini larva ikan nila belum pernah digunakan sebagai resipien dalam kegiatan transplantasi. Pada penelitian ini dilakukan uji kompetensi terhadap larva ikan nila sebagai resipien dengan menganalisis kemampuan kolonisasi sel testikular ikan gurami pada gonad berbagai umur awal larva ikan nila untuk mengetahui umur larva ikan nila yang optimum untuk kegiatan transplantasi. Selanjutnya dilakukan pula analisis kemampuan proliferasi sel donor yang telah terkolonisasi pada resipien tersebut. Pada aplikasi teknik transplantasi, faktor ketersediaan sel juga sering menjadi faktor pembatas (Griswold et al. 2001). Sinkronisasi ketersediaan sel donor dengan resipien dan terbatasnya jumlah sel donor spermatogonia adalah dua hal yang berkaitan dengan ketersediaan sel.
Terkadang sel atau jaringan donor
sudah tersedia tetapi resipien belum siap ditransplantasi. Sementara itu, jaringan gonad yang dikeluarkan dari tubuh ikan akan beresiko mengalami kerusakan jika tidak segera diproses.
Oleh karena itu untuk mengatasi kendala ini dibutuhkan
teknik penyimpanan atau teknik preservasi jangka pendek untuk menghindari kerusakan sel-sel gamet pada gonad sebelum transplantasi dilakukan dan sekaligus menambah daya tahan hidup. Preservasi jangka pendek yang paling sederhana adalah penyimpanan pada suhu dingin (4 oC) atau preservasi dingin.
Hingga saat ini belum diperoleh
informasi mengenai teknik preservasi jangka pendek pada ikan namun pada hewan vertebrata teknik ini sudah dilakukan seperti yang telah dilakukan oleh Eriani et al. (2008) dengan melakukan preservasi duktus deferens dan epididimis kucing pada suhu 4 oC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel gamet jantan masih bisa diselamatkan hingga 6 hari.
Pada bidang kedokteran, teknik
preservasi jangka pendek umumnya digunakan untuk proses transportasi sumber gonad ke laboratorium atau sesaat sebelum dilakukan transplantasi organ testis. Pada bidang perikanan, selain untuk mengatasi kendala sinkronisasi ketersediaan
7
sel donor dan resipien, preservasi jangka pendek ini juga merupakan upaya bagi proses penyelamatan plasma nutfah gonad atau testis yang langka dan bernilai ekonomis karena dapat digunakan
sebagai sumber donor dalam kegiatan
transplantasi sel germinal. Sel spermatogonia hidup yang dihasilkan dari gonad preservasi akan menjadi sesuatu yang berharga jika digunakan pada aplikasi teknologi transplantasi sel testikular sebagai sumber donor. Oleh karena itu pada tahap akhir penelitian ini dilakukan pula transplantasi sel donor dari testis ikan gurami pascapreservasi dingin ke larva ikan nila. Beberapa tahapan dan kendala teknis yang mempengaruhi keberhasilan xenotransplantasi khususnya pada ikan gurami belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu penelitian xenotransplantasi sel germinal jantan ikan gurami ke ikan nila ini diharapkan dapat menambah
informasi dasar tentang
teknologi
transplantasi sel spermatogonia pada ikan.
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kompetensi
sel testikular ikan
gurami sebagai donor dan ikan nila sebagai resipien pada teknologi xenotransplantasi sel testikular ikan gurami kepada ikan nila. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Melakukan karakterisasi sel spermatogonia ikan gurami dan menganalisis kelimpahan sel spermatogonia pada beberapa kelompok bobot tubuh ikan gurami untuk penentuan sumber donor. 2. Menentukan metode disosiasi jaringan testikular ikan gurami yang optimum. 3. Menganalisis pengaruh umur resipien terhadap efisiensi kolonisasi sel spermatogonia pada gonad ikan nila. 4. Menganalisis
kemampuan
proliferasi
sel
spermatogonia
yang
telah
terkolonisasi pada resipien. 5. Menganalisis kemampuan sel donor dari testis ikan gurami yang dipreservasi dalam larutan fisiologis pada suhu 4 oC terkolonisasi pada resipien ikan nila.
8
Ruang lingkup penelitian ini terdiri atas : 1. Karakterisasi morfologi sel spermatogonia ikan gurami dan penentuan sumber donor . 2. Metode disosiasi jaringan testikular ikan gurami. 3. Xenotransplantasi sel testikular ikan gurami pada berbagai umur larva ikan nila. 4. Analisis proliferasi sel spermatogonia yang terkolonisasi pada gonad resipien. 5. Viabilitas dan efisiensi kolonisasi spermatogonia dari testis ikan gurami pascapreservasi dingin pada larva ikan nila. KEBARUAN PENELITIAN Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah : 1. Tersedianya data karakteristik morfologi beberapa tipe sel spermatogonia ikan gurami. 2. Pembuktian bahwa sel spermatogonia ikan gurami mampu terkolonisasi dan berproliferasi pada gonad ikan nila. 3. Pembuktian bahwa sel testikular ikan gurami yang diisolasi dari gonad yang dipreservasi pada suhu 4 oC dalam larutan fisiologis mampu terkolonisasi pada ikan nila. 4. Penggunaan larva ikan nila sebagai resipien untuk xenotransplantasi sel testikular ikan gurami. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan kolonisasi sel donor pada resipien dalam kegiatan xenotransplantasi organisme vertebrata tingkat rendah, khususnya pada ikan.
Penelitian ini juga diharapkan menjadi upaya awal
penerapan teknologi xenotransplantasi dan sistem pembenihan surrogate broodstock pada bidang perikanan di Indonesia untuk mengatasi masalah-masalah reproduksi khususnya pada ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi tetapi bermasalah dalam reproduksinya dan pada ikan-ikan yang telah mengalami kepunahan.
II. KARAKTERISASI MORFOLOGI SEL SPERMATOGONIA IKAN GURAMI DAN PENENTUAN SUMBER DONOR ABSTRAK Salah satu faktor pembatas dalam melakukan transplantasi adalah bahwa tipe sel spermatogonia yang memiliki kemampuan terkolonisasi tidak terkarakterisasi dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk 1) melakukan karakterisasi tipe sel spermatogonia dari jaringan testis ikan gurami dan 2) menentukan sumber donor ikan gurami. Untuk keperluan karakterisasi, dilakukan kajian histologis testis dari 3 ekor ikan gurami (bobot 700-900 g/ekor) dengan karakter morfologi yang diamati adalah diameter sel dan inti, volume sel dan inti, volume sitoplasma dan jumlah sel dalam satu sista. Penentuan sumber donor dilakukan dengan kajian histologis testis ikan gurami dari bobot tubuh <500 g, 500–1000 g dan >1000 g, masing-masing 3 ekor. Parameter yang diamati adalah kelimpahan sel spermatogonia yang diformulasikan sebagai frekuensi relatif sel spermatogonia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karakter diameter sel, volume sel, dan volume sitoplasma dapat dijadikan karakter pembeda tipe sel spermatogonia ikan gurami. Tipe spermatogonia yang memiliki peluang terkolonisasi adalah sel yang berdiameter 14,43–20,53µm. Bobot ikan gurami yang terbaik dijadikan sebagai sumber donor adalah yang berada pada kisaran 500 g hingga 1000 g per ekor. Kata kunci : karakterisasi, morfologi, sel spermatogonia, ikan gurami, donor
*) Bab ini sebagian telah dipublikasi dengan judul : Morphological characteristic of spermatogonia and testis dissociation: a preliminary study for the germ cell transplantation in giant gourami (Osphronemus goramy), pada Indonesian Aquaculture Journal 5(2):163-171.
10
II. THE MORPHOLOGICAL CHARACTERIZATION OF GIANT GOURAMI SPERMATOGONIA AND THE DETERMINATION OF DONOR ABSTRACT One of the major limitation to the transplant procedure is that the type of spermatogenic that are able to colonize is not well characterized. The aim of this research were 1) to identify type and characteristic of spermatogonia in testis of giant gourami, and 2) to detemine the donor for the application of germ cell transplantation in giant gourami. All research were based on histological approach. We defined histomorphological characteristic of four types of spermatogonia from three giant gourami (weight 700–900 g) including diameter and volume of cell and nuclear, volume of cytoplasm and the amount of spermatogonia per cyst. Meanwhile, to determine donor based on the abundant of spermatogonia in each testis formulated as relative frequency, the testis were isolated from three different body weight group, those were <500 g, 500–1000 g and >1000 g (n=3,each). The result showed that diameter of cell, volume of cell and volume of cytoplasm could be used for characterization of type of spermatogonia. The type of spermatogonia with cell diameter ranged between 14.43 to 20.53 µm were identified having high probability of colonization. The best source of donor was testis of giant gourami weighed ranged from 500 g to 1000 g Key words : characterization, morphology, spermatogonia, giant gourami, donor
PENDAHULUAN Spermatogonia merupakan sel germinal yang merupakan cikal bakal terbentuknya spermatozoa yang selanjutnya setelah proses fertilisasi akan berkembang menjadi satu organisme baru yang membawa material genetik dari gamet asalnya. Selama proses spermatogenesis berlangsung, spermatogonia akan mengalami tahapan perkembangan selanjutnya menjadi spermatosit, spermatid dan spermatozoa dalam satu sista (Vilela et al. 2003). Perkembangan sel germinal yang sama dalam satu sista ini yang membedakan tahapan perkembangan sel germinal ikan dengan tahapan perkembangan sel germinal pada vertebrata lainnya. Seperti vertebrata pada umumnya spermatogenesis pada ikan melalui tiga tahap perkembangan sel yaitu 1) tahap proliferasi sel atau tahap mitosis (tahap
11
spermatogonia), 2) tahap meiosis (tahap spermatosit) dan 3) tahap diferensiasi sel (tahap spermiogenik) (Hess & Franca 2007).
Tahap spermatogonia merupakan
tahapan perkembangan sel yang paling diminati untuk diteliti karena sel spermatogonia mengawali proses spermatogenesis dan peningkatan jumlah sel germinal bergantung pada proliferasi aktif spermatogonia (deRooij & Russel 2000). Spermatogonia
memiliki
beberapa
keistimewaan
karena
terdapat
sekolompok sel yang memiliki karakteristik menyerupai PGC (primordial germ cell) atau sel punca dengan tingkat development plasticity yang tinggi yakni spermatogonia yang dapat berkembang tidak hanya menjadi sel spermatozoa tetapi juga dapat berkembang menjadi oosit (Okutsu et al. 2006a). Sifat-sifat spermatogonia tersebut menjadikan lebih banyak peneliti yang menggunakan sel spermatogonia sebagai sel donor dibandingkan PGC yang jumlahnya sangat terbatas dalam satu individu. Secara umum spermatogonia terbagi menjadi dua tipe, yaitu spermatogonia yang tidak terdiferensiasi (spermatogonia
A) dan spermatogonia
yang
terdiferensiasi (spermatogonia B). Spermatogonia yang tidak terdiferensiasi ini memiliki sifat seperti sel punca dan pada aplikasi teknologi transplantasi, hanya spermatogonia yang memiliki karakteristik menyerupai sel punca saja yang mampu terkolonisasi pada gonad resipien (Okutsu et al. 2006a, Yano et al. 2008). Beberapa peneliti cenderung membagi spermatogonia atas beberapa tipe, yaitu diawali dengan sel punca spermatogonia (primary spermatogonia), spermatogonia A, spermatogonia transisi (intermediate spermatogonia) dan spermatogonia B yang dibedakan berdasarkan karakter morfologisnya, yaitu diameter sel, morfologi inti dan jumlah sel dalam satu sista (Miura 1999, Schulz et al. 2005, Fishelson et al. 2006, Almeida et al. 2008, Zapata 2009). Selama ini karakterisasi terhadap spermatogonia dapat menjadi faktor pembatas dalam tahapan transplantasi. Identifikasi spermatogonia dengan tepat akan membantu perolehan suspensi sel donor yang kaya akan spermatogonia. Pada hewan mamalia seperti tikus, terdapat dua pendekatan yang dilakukan oleh para peneliti untuk mendapatkan suspensi sel yang kaya dengan spermatogonia, yaitu pendekatan biokimia seperti
12
penggunaan penanda spesifik untuk sel spermatogonia dan pendekatan biologi dengan memanfaatkan sifat-sifat biologi reproduksi hewan tersebut, seperti penggunaan hewan mutan yang pada testisnya hanya ada kelompok sel spermatogonia (Grisswold et al. 2001). Pada ikan, penggunaan penanda sel spesifik untuk isolasi spermatogonia dalam kegiatan transplantasi telah dilakukan pada ikan rainbow trout oleh Yano et al. (2008). Pendekatan lain adalah berdasarkan sifat biofisik sel. Salah satu metode yang umum digunakan adalah pemisahan sel spermatogonia dari sel testikular lainnya dengan metode percoll gradient densitas seperti yang dilakukan pada ikan nila (Lacerda et al. 2008).
Dengan metode tersebut suspensi sel
testikular yang kaya akan spermatogonia dapat diperoleh. Baik pendekatan penanda sel spesifik maupun dengan pendekatan sifat biofisik sel membutuhkan aplikasi teknik yang tidak sederhana sehingga pada penelitian ini upaya untuk mendapatkan suspensi sel testikular yang kaya akan spermatogonia ditempuh melalui pendekatan lain, yaitu dengan cara mencari tahap perkembangan gonad ikan gurami berdasarkan bobot tubuh yang memiliki kelimpahan spermatogonia yang maksimum. Pendekatan ini juga dilakukan oleh Takeuchi et al. (2009) dalam kegiatan transplantasi sel testikular pada ikan nibe dengan mencari tahap perkembangan ikan nibe berdasarkan ukuran panjang ikan donor yang memiliki spermatogonia terbanyak. Semakin besar persentase sel spermatogonia khususnya sel punca spermatogonia dan spermatogonia A dalam suspensi sel testikular yang ditransplantasikan, maka semakin besar peluang sel spermatogonia terkolonisasi pada resipien. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan kajian histologis jaringan testis
berdasarkan bobot tubuh untuk
mendapatkan gambaran karakteristik sel-sel testikular ikan gurami khususnya spermatogonia.
Informasi karakteristik sel-sel testikular tersebut selanjutnya
menjadi acuan dalam mengevaluasi kelimpahan sel spermatogonia jaringan testis yang diisolasi dari beberapa kelompok bobot tubuh ikan gurami. Evaluasi ini dilakukan untuk mendapatkan sumber donor bagi kegiatan transplantasi sel testikular ikan gurami ke larva ikan nila sebagai resipien.
13
BAHAN DAN METODE Karakterisasi Morfologi Sel Spermatogonia Gonad ikan jantan (testis) dari 3 ekor ikan gurami dengan bobot tubuh sekitar 700–900 g/ekor diisolasi dan difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam untuk selanjutnya diproses secara histologis menurut metode Kiernan (1990) hingga diperoleh preparat potongan melintang dan berseri dengan ketebalan potongan 5 µm.
Preparat diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin dan
diamati di bawah mikroskop. Identifikasi morfologi sel-sel testikular merujuk pada Takashima & Hibiya (1995). Parameter yang diamati adalah diameter sel dan inti sel, volume sel dan inti sel, volume sitoplasma serta jumlah sel dalam satu sista. Pengamatan morfologi sel serta diameter sel dan inti sel dilakukan pada 30 sel/tipe sel
yang dipilih secara acak dari tiga lapang pandang pada setiap
potongan
melintang testis. Untuk menghindari
perhitungan berulang,
pengamatan dilakukan pada setiap potongan dengan kelipatan 6 dari setiap preparat testis bagian tengah. Volume sitoplasma adalah selisih antara volume inti dan volume sel. Pengamatan jumlah sel per sista dilakukan pada enam sista utuh per tipe sel spermatogonia pada setiap testis. Estimasi Kelimpahan Sel Spermatogonia pada Testis Ikan Gurami Penelitian ini menggunakan sumber donor dari tiga kelompok bobot tubuh ikan gurami, yaitu 1) kelompok bobot tubuh <500 g/ekor, 2) kelompok bobot tubuh 500–1000 g/ekor, 3) kelompok bobot tubuh >1000 g/ekor. Sebanyak 3 pasang testis ikan gurami per kelompok bobot tubuh diisolasi dan difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam serta diproses secara histologis menurut metode Kiernan (1990). Preparat histologis diwarnai dengan pewarnaan HematoksilinEosin.
Pengamatan preparat menggunakan mikroskop Olympus IX70 yang
disambungkan dengan kamera dan program TUCSEN. Pengamatan dilakukan pada tiga lapang pandang per preparat yang dipilih secara acak merujuk pada metode Carrasco et al. (1998). Parameter yang diamati adalah kelimpahan sel punca spermatogonia atau spermatogonia stem cell (SSC), spermatogonia A (SpA), spermatogonia transisi (SpT), spermatogonia B (SpB) dan sel-sel germinal serta sel somatik lainnya yang diistilahkan sebagai sel selain spermatogonia (SL).
14
Data kelimpahan diformulasikan sebagai frekuensi relatif (FR), yaitu persentase rasio jumlah grid yang di dalamnya terdapat tipe sel yang diamati dan total grid (Carasso et al. 1998). Analisis Data Data kuantitatif karakteristik morfologi yang disajikan dalam bentuk nilai tengah diuji secara statistik menggunakan ANOVA (analysis of variance), dan dilanjutkan dengan uji Duncan multiple range test untuk menentukan beda nyata antar perlakuan. Analisis menggunakan program SPSS 17.0 for windows dan MS Office Excell 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel Spermatogonia Ikan Gurami Testis ikan gurami terdiri atas sepasang organ yang tidak simetris (Gambar 1A). Hasil pengamatan preparat histologis jaringan testis ikan gurami (indeks gonad somatik/IGS= [11,78±2,93]x10-5) memperlihatkan bahwa terdapat tiga tahap spermatogenesis pada jaringan yang diamati, yaitu tahap spermatogonia, tahap spermatosit dan tahap spermiogenik. Testis ikan gurami memiliki tipe unrestricted spermatogonia yang berarti spermatogonia tersebar di sepanjang tubulus (Gambar 1B dan 1C). Spermatogonia berukuran lebih besar dibandingkan sel-sel testikular lainnya, dan umumnya terletak di bagian tepi serta dikelilingi oleh satu atau beberapa sel sertoli (Gambar 1C, ditunjukkan dengan tanda panah). Distribusi sel spermatogonia pada ikan gurami ini juga terlihat pada ikan rainbow trout, gilthead seabream, ikan nila dan beberapa ikan lainnya (Takashima & Hibiya 1995). Determinasi tipe sel spermatogonia yang ada di jaringan testikular khususnya pada awal terjadinya spermatogenesis hingga saat ini masih belum jelas dan masih sering diperdebatkan (deRooij & Russel 2000). Beberapa peneliti menyatakan bahwa PGC pada mamalia ketika mencapai jaringan bakal gonad dan berasosiasi dengan sel-sel somatik akan berubah menjadi gonosit yang biasa disebut prespermatogonia.
Gonosit pada mamalia dewasa ini mungkin sama
dengan spermatogonia tak terdiferensiasi atau mungkin juga merupakan tipe sel
15
sebelum spermatogonia tak terdiferensiasi (deRooij & van Dissel-Emiliani 1997). Untuk karakterisasi morfologis tipe-tipe spermatogonia, umumnya para peneliti melakukannya berdasarkan diameter sel dan inti sel, morfologi inti sel dan jumlah sel dalam satu sista seperti pada ikan rainbow trout (Takashima & Hibiya 1995), catfish (Santos et al. 2001), ikan nila (Schulz et al. 2005, Nobrega et al. 2009), dan ikan zebra (Leal et al. 2009). Berdasarkan studi histomorfometrik jaringan testikular beberapa jenis ikan tersebut diketahui deskripsi morfologi beberapa tipe spermatogonia.
Gambar 1 Testis dan penampang melintang histologis testis ikan gurami. A. Sepasang organ testis tidak simetris (bobot tubuh= 740 g, IGS=1,35x10-4), skala: 1 mm; B. Penampang melintang testis (insersi: kotak), skala: 200 µm; C. Insersi: spermatogonia (Sp) tersebar di daerah tepi tubulus (Tb) dengan sel sertoli (SS) di sekitarnya, skala: 20 µm. Pewarnaan: Hematoksilin-Eosin. Pada ikan zebra, spermatogonia yang paling awal disebut oleh Leal et al. (2009) sebagai SpA tidak terdiferensiasi dengan ciri-ciri merupakan sel tunggal dengan diameter inti sel terbesar (ø = 8,6±0,1 µm) dan volume sel terbesar (V = 677 ± 34 µm3), sedikit heterokromatin pada intinya serta terdapat 1 atau 2 nukleoli pada intinya jika diamati di bawah mikroskop elektron. Pada ikan zebra SpA tidak terdiferensiasi ini ditandai dengan membran inti sel tidak beraturan yang diprediksi sebagai SSC.
Takashima & Hibiya (1995) juga menggambarkan
morfologi yang sama untuk SSC ikan rainbow trout. SpA tidak terdiferensiasi ini akan melakukan proses memperbaharui diri (self renewal) dan juga sebagai penghasil SpA terdiferensiasi dengan cara pembelahan secara mitosis.
16
Leal et al. (2009) menggambarkan SpA terdiferensiasi dengan ciri-ciri benang-benang kromatin pada inti sudah mulai memadat menyerupai flek-flek yang tidak beraturan pada bagian membran inti sel. Jumlah SpA dalam satu sista pada ikan zebra adalah 2, 4, atau 8 sel. Namun, pada ikan nila jika jumlah sel dalam sista sudah mencapai lebih dari dua sel dikategorikan sebagai SpB (Schulz et al. 2005).
Hingga saat ini belum ada terminologi yang jelas mengenai
spermatogonia tidak terdiferensiasi dan terdiferensiasi.
Menurut deRooij &
Russel (2000) istilah terdiferensiasi dan tidak terdiferensiasi erat kaitannya dengan perubahan fungsi sel sebagai sel punca. Meskipun demikian dinyatakan pula bahwa
spermatogonia telah mengalami diferensiasi jika terjadi perubahan
penampakan morfologis pada sitoplasma dan intinya. Sel SpA akan berproliferasi menghasilkan SpB dengan ciri-ciri sudah terjadi kondensasi heterokromatin dan terdistribusi secara merata pada bagian tepi membran inti sehingga membran inti semakin terlihat jelas, berbentuk bulat dengan diameter menjadi lebih kecil dari diameter SpA. Umumnya para peneliti menyebut SpB sebagai spermatogonia terdiferensiasi. Menurut Chaves-Poso et al. (2005) selama proses spermatogenesis berlangsung diameter inti sel berkurang sekitar 1–2 µm. Deskripsi tipe SpA tidak terdiferensiasi seperti yang digambarkan Leal et al. (2009) atau SSC seperti yang digambarkan Takashima & Hibiya (1995) ini juga ditemukan pada preparat histologis testis ikan gurami dan umumnya terdapat pada bagian tepi tubulus atau dekat tunika albuginea dengan ciri-ciri merupakan sel tunggal, diameter terbesar, membran inti sel sering tidak terlihat, inti berbentuk lonjong dan pucat karena belum terbentuk banyak kondensasi benangbenang kromatin. Pada penelitian ini jumlah nukleoli pada inti tidak dapat terlihat dengan jelas karena pengamatan hanya dilakukan menggunakan mikroskop cahaya. Dengan morfologi inti sel yang menyerupai dengan yang digambarkan oleh Takashima & Hibiya (1995), maka tipe sel ini diidentifikasi sebagai SSC ikan gurami.
17
Gambar 2 Tipe spermatogonia yang ditemukan pada preparat histologis ikan gurami. SSC: sel punca spermatogonia, SpA:spermatogonia tipe A, SpT: spermatogonia transisi, SpB: spermatogonia tipe B. Panah merah menunjukkan sel sertoli. Skala : 20 µm. Pewarnaan : Hematoksilin-Eosin. Pada bagian tepi tubulus jaringan testikular ikan gurami (Gambar 2) juga ditemukan tipe spermatogonia dengan membran inti yang sudah mulai terlihat jelas bentuknya, tapi masih terlihat pucat karena belum banyak terjadi kondensasi benang-benang kromatin.
Jumlah sel ini dalam satu sista mencapai 2–4 sel
sehingga tipe sel ini diduga merupakan turunan dari SSC yang membelah menjadi SpA. Pada lokasi yang sama terdapat tipe sel yang memiliki ukuran diameter inti yang tidak berbeda nyata dengan SpA, namun secara morfologi intinya menyerupai SpB. Inti sel sudah terlihat lebih pekat karena kondensasi heterokromatin semakin banyak dan jumlah sel dalam satu sista juga lebih banyak (Gambar 2). Karena tipe sel ini memiliki sebagian kriteria SpA dan SpB, maka tipe sel tersebut dikategorikan sebagai SpT. Yang membedakan SpB dari tipe spermatogonia lainnya adalah diameter sel dan inti paling kecil, inti berwarna
18
lebih pekat dengan benang-benang kromatin di tepi sel yang menurut deRooij & Russel (2000) morfologi tersebut mengindikasikan kemungkinan telah terjadi proses diferensiasi yang ditandai dengan semakin banyaknya benang-benang heterokromatin pada inti sel. Deskripsi morfologi tipe-tipe spermatogonia yang ada pada ikan gurami menunjukkan bahwa karakter diameter sel, volume sel dan volume sitoplasma berbeda nyata pada keempat tipe spermatogonia yang teridentifikasi (Tabel 1 dan Lampiran 1). Dengan demikian untuk kebutuhan identifikasi dapat digunakan ukuran diameter sel, volume sel dan volume sitoplasma
sebagai karakter
pembeda. Tabel 1 Deskripsi morfologi tipe spermatogonia pada ikan gurami Tipe Sel
Diameter sel (µm)
Diameter inti (µm)
Volume sel (µm3)
Volume inti Volume Jumlah (µm3) sitoplasma (µm3) sel/sista
SSC
18,63±1,90a
8,79±1,15a 3.490±1.087a
374±136a
3.115±1.017a
1
SpA
15,96±1,53b
8,38±1,32b
2.186±617b
330±147b
1.854±524b
2-4
SpT
12,33±1,17
c
b
8,33±1,06
1.008±276
c
b
SpB
8,88±1,41d
5,92±1,13c
394±207d
317±122
691±208
121±78c
c
273±141d
6-22 18-48
Keterangan: SSC: sel punca spermatogonia, SpA: Spermatogonia tipe A, SpT: spermatogonia transisi, SpB: spermatogonia tipe B. Huruf superskrip yang berbeda setelah angka pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05). Angka adalah rata-rata±SD, n=3.
Berdasarkan penelitian Yano et al. (2008), hanya spermatogonia tidak terdiferensiasi
yang
terkolonisasi
pada
resipien
ikan
rainbow
trout.
Spermatogonia ikan rainbow trout tidak terdiferensiasi ini dikategorikan sebagai SpA dengan ukuran diameter sel sekitar 15 µm. Spermatogonia terdiferensiasi atau SpB yang berukuran sekitar 10 µm tidak terkolonisasi. Namun demikian pada hewan mencit telah dibuktikan bahwa SpA terdiferensiasi (SpA1-4) juga dapat terkolonisasi, meskipun dengan efisiensi kolonisasi yang rendah (Barocca et al. 2009). Pada ikan nila dewasa, Schulz et al. (2005) melaporkan terdapat 7 tipe spermatogonia yang terdiri atas 1 tipe SpA dan 6 tipe SpB. Dilaporkan pula bahwa volume sel dan inti sel SpA pada ikan nila masing-masing 2.261±82 µm dan 548±20 µm, sedangkan volume sel dan inti sel SpB ikan nila masing-masing
19
berukuran 992±35 µm dan 251±9 µm atau ukuran diameter sel SpA dan SpB pada ikan nila masing-masing 16,28 µm dan 12,38 µm. diameter
Dengan demikian
sel SpA ikan nila dan ikan gurami ini tidak berbeda jauh dengan
spermatogonia ikan gurami, meskipun secara taksonomi kedua ikan ini telah terpisah pada tingkat ordo.
Berdasarkan
hasil
identifikasi
tipe
sel
spermatogonia pada Tabel 1 dan beberapa rujukan diameter sel donor spermatogonia yang berhasil terkolonisasi pada beberapa jenis ikan air tawar (Okutsu et al. 2006b, Lacerda et al. 2010), diduga spermatogonia yang memiliki peluang terkolonisasi pada ikan gurami adalah yang dikategorikan sebagai SSC dan SpA dengan diameter sel masing-masing 18,63±1,90 µm dan 15,96±1,53 µm, atau dapat dikatakan bahwa sel spermatogonia yang memiliki peluang untuk terkolonisasi adalah sel yang berdiameter antara 14,43 hingga 20,53 µm. Evaluasi Testis Ikan Gurami sebagai Sumber Donor pada Beberapa Tahap Perkembangan Berdasarkan Bobot Tubuh Berbeda dengan ikan air tawar pada umumnya, ikan gurami belum dapat diidentifikasi jenis kelaminnya berdasarkan ciri-ciri seks sekunder pada umur muda.
Dari 10 ekor ikan gurami berbobot tubuh <500 g yang diduga jantan,
hanya 3 ekor yang gonadnya teridentifikasi jantan setelah dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop dengan bobot tubuh rata-rata 301±88 g. Pada kelompok ikan dengan bobot tubuh 500–1000 g dan >1000 g, jenis kelamin jantan sudah dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri sekundernya, yaitu memiliki benjolan atau nonong pada dahinya dan pangkal sirip dadanya yang putih bersih tanpa pigmen. Bobot tubuh rata-rata ikan gurami dari kelompok 500-1000 g adalah 733±104 g sedangkan dari kelompok > 1000 g bobot tubuh rata-rata ikan gurami yang digunakan adalah 1393±261 g. Pengelompokan berdasarkan bobot tubuh dilakukan karena hingga saat ini belum ada informasi yang jelas tentang tahap perkembangan gonad pada ikan gurami. Berbagai macam cara dilakukan para peneliti untuk mendeskripsikan kepadatan atau kelimpahan sel. Beberapa peneliti menggunakan nilai frekuensi relatif (FR) untuk menggambarkan profil perkembangan sel germinal atau untuk menggambarkan kepadatan sel dalam satu satuan luas (Carrasco et al. 1998,
20
Bendsen et al. 2001, Segatelli et al. 2004).
Pada penelitian ini digunakan grid
2
10x10 dengan luas grid 220x170 µm . Hasil kuantifikasi sel testikular preparat histologis testis ikan gurami pada berbagai bobot tubuh dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 2. Frekuensi relatif rata-rata SSC pada testis dari kelompok ikan gurami <500 g tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan testis dari kelompok ikan gurami 500–1000 g dan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan gurami berbobot tubuh >1000 g. Nilai FR rata-rata SpA, SpT dan SpB tertinggi (P<0,05) terdapat pada testis dari kelompok ikan gurami berbobot tubuh 500–1000 g.
Jenis sel selain
spermatogonia tampak mendominasi pada semua kelompok dengan perbedaan tidak nyata (P>0,05). Tabel 2 Frekuensi relatif rata-rata (%) spermatogonia dari jaringan testis ikan gurami pada berbagai bobot tubuh (g) Tipe sel SSC
<500 g (IGS rata-rata=1,49x10-4) 3,94 ± 1,18a
500–1000 g (IGS rata-rata= 1,62x10-4) 2,96 ± 1,20a
>1000 g (IGS rata-rata= 1,14x10-4) 0,34 ± 0,50b
SpA
14,71 ±
4,60b
23,23 ±
3,75a
7,13 ±
2,34c
SpT
11,80 ±
2,90b
18,99 ±
4,76a
15,26 ±
3,97b
SpB
6,98 ±
6,01b
17,17 ±
6,68a
15,22 ±
2,67a
SL
49,03 ±
5,93a
41,39 ±
6,75a
46,20 ±
14,10a
Keterangan: SSC: sel punca spermatogonia, SpA: Spermatogonia tipe A, SpT: spermatogonia transisi, SpB: spermatogonia tipe B, SL: sel germinal derivat sel spermatogonia dan sel-sel somatik, BT: bobot tubuh, IGS: indeks gonada somatik. Huruf superskrip yang berbeda setelah angka pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05). Angka adalah rata-rata±SD, n=3.
Menurut Zapata (2009), untuk menjadi sumber donor, syarat yang harus dimiliki adalah jumlah spermatogonia tidak terdiferensiasi melimpah dan jumlah relatif sel testikular lainnya khususnya yang mengalami tahap meiosis dan sel-sel somatik sedikit.
Semakin banyak jumlah spermatogonia tidak terdiferensiasi
maka peluang terkolonisasinya sel donor pada gonad resipien semakin besar (Meachem et al. 2001). Sel testikular lainnya terutama spermatozoa dan sel-sel somatis lain sebaiknya dalam jumlah sedikit karena kedua tipe sel ini menjadikan larutan disosiasi memiliki viskositas tinggi terganggu (Zapata 2009).
sehingga proses injeksi akan
21
Berdasarkan studi karakteristik morfologi spermatogonia ikan gurami sebelumnya diketahui bahwa jenis sel yang memiliki peluang terkolonisasi adalah SSC dan SpA. Dengan demikian berdasarkan hasil perhitungan kelimpahan spermatogonia pada Tabel 2 maka ikan gurami yang terbaik dijadikan sebagai sumber donor adalah yang berasal dari kelompok dengan kisaran bobot tubuh 500–1000 g karena memiliki populasi SSC yang relatif besar, jumlah SpA tertinggi serta jumlah SL (sel derivat spermatogonia dan sel somatik) yang terendah dibandingkan testis ikan yang berasal dari kedua kelompok bobot tubuh ikan gurami lainnya. Kelayakan testis dari kelompok ikan berbobot tubuh 500–1000 g sebagai sumber donor juga tampak pada profil penampang melintang jaringan histologis testis (Gambar 3). Penampang melintang jaringan histologis testis pada Gambar 3 menggambarkan bahwa pada ikan dengan bobot <500 g, tubulus yang berisi selsel germinal hanya mengisi sebagian dari rongga gonad dan sebagian lagi terisi oleh jaringan-jaringan somatik sehingga besarnya nilai FR dari komponen SL pada ikan berbobot tubuh <500 g didominasi oleh sel-sel somatik. Beda halnya dengan kelompok ikan dengan bobot tubuh >1000 g yang hampir seluruh bagian testis tersusun atas tubulus yang berisi sel germinal sehingga tingginya jenis sel selain spermatogonia disebabkan oleh melimpahnya jumlah sel testikular tahap spermatosit dan spermiogenik. Berdasarkan hasil evaluasi profil penampang melintang jaringan histologis testis, sumber sel donor terbaik dari penelitian ini adalah testis dari kelompok ikan gurami dengan bobot tubuh berada dalam kisaran 500 g hingga 1000 g dengan bobot rata-rata 733±104 g karena memiliki frekuensi relatif SSC dan SpA yang tinggi dan SL yang lebih rendah. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa ikan gurami dengan bobot tubuh >500 g lebih mudah diidentifikasi jenis kelaminnya melalui ciri-ciri sekundernya dibandingkan bobot tubuh <500 g.
ikan gurami dengan
22
Gambar 3 Penampang melintang histologis testis ikan gurami. A. Kelompok ikan bobot tubuh <500 g (344 g,IGS=1,75x10-4), B. Kelompok ikan bobot tubuh 500–1000 g (700 g, IGS=1,97x10-4), C. Kelompok ikan bobot tubuh > 1000 g (1,6kg,IGS=1,19x10-4). Sp;spermatogonia,Tb:tubulus,Js:jaringan somatik,Ta:tunika albuginea. Skala: 100 µm. Pewarnaan : Hematoksilin-Eosin. Mengidentifikasi sumber donor yang mengandung banyak spermatogonia untuk mendapatkan suspensi sel donor yang kaya akan spermatogonia dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan transplantasi (Hill & Dobrinsky 2006). Okutsu et al. (2006b) menyuntikkan sekitar 18.000 sel testikular ikan rainbow trout (di
23
dalamnya termasuk 10.000 spermatogonia) ke resipien dan jumlah sel yang terkolonisasi pada resipien hanya berkisar 1–9 sel per resipien. Demikian halnya pada hewan mamalia seperti tikus memiliki peluang kolonisasi sel donor spermatogonia pada gonad resipien hanya sekitar 7–20% dari 100 SSC yang ditransplantasikan (Nagano et al. 1999). Semakin sedikit jumlah spermatogonia yang terkandung dalam suspensi sel yang disuntikkan tentunya akan semakin sedikit peluang sel yang dapat terkolonisasi. Berbagai macam teknik digunakan para peneliti untuk mengisolasi sel spermatogonia dari populasi sel testikular namun untuk teknik-teknik tersebut membutuhkan teknologi tinggi dan biaya yang cukup besar. Mencari sumber donor berdasarkan ukuran, umur atau bobot tubuh merupakan teknik yang paling sederhana untuk mendapatkan sumber donor yang kaya akan spermatogonia.
KESIMPULAN 1.
Karakter diameter sel, volume sel dan volume sitoplasma dapat dijadikan karakter pembeda ke empat tipe spermatogonia ikan gurami, yaitu SSC, SpA, ST, dan SpB.
2.
Sel spermatogonia ikan gurami yang memiliki peluang terkolonisasi adalah yang memiliki ukuran diameter sel 14,43 µm hingga 20,53 µm.
3.
Sumber donor yang terbaik dari penelitian ini adalah yang berada pada kisaran bobot tubuh 500 g hingga 1000 g dengan kelimpahan rata-rata SSC dan SpA masing-masing adalah 2,96±1,20% dan 23,23±3,75%.
III. DISOSIASI JARINGAN TESTIKULAR IKAN GURAMI ABSTRAK Disosiasi jaringan testikular untuk mendapatkan suspensi sel donor yang mengandung populasi sel spermatogonia banyak dan viabilitas tinggi merupakan teknik dasar yang menunjang keberhasilan transplantasi. Pada penelitian ini dilakukan pengujian jenis larutan disosiasi dan lama inkubasi terhadap jumlah dan viabilitas sel spermatogonia yang dihasilkan pascadisosiasi. Dua jenis larutan disosiasi yang diuji, yaitu larutan A: tripsin 0,5% dalam PBS (phosphate buffered solution) , dan larutan B dengan komposisi: tripsin 0,5%, dan DNase 10 unit/µL dalam PBS dilengkapi dengan 1 mM CaCl2, 25 mM HEPES, dan 5% FBS (fetal bovine serum). Lama inkubasi dalam larutan disosiasi adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 jam. Setiap perlakuan dilakukan 3 ulangan. Testis segar didisosiasi pada masingmasing larutan hingga mendapatkan suspensi sel testikular. Jumlah sel spermatogonia yang berdiameter >10 µm dihitung menggunakan hemositometer dan viabilitas sel diidentifikasi menggunakan pewarna trypan blue; sel yang hidup (viable) terlihat transparan, sedangkan yang mati berwarna biru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah rata-rata sel spermatogonia hasil disosiasi menggunakan larutan B lebih banyak (P<0,05) dibandingkan larutan A, sedangkan viabilitas sel spermatogonia pada kedua jenis larutan tidak berbeda (P>0,05). Lama waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah sel (P>0,05), namun berbeda nyata terhadap viabilitas sel. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa viabilitas sel hingga lama masa inkubasi 3 jam belum berbeda nyata dengan lama inkubasi 1 dan 2 jam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa larutan disosiasi B lebih baik dari larutan A untuk disosiasi jaringan testikular ikan gurami, dan masa inkubasi optimum dalam larutan B adalah 3 jam. Kata kunci: testis, spermatogonia, ikan gurami, disosiasi, viabilitas .
*) Bab ini telah dipublikasi dengan judul: Morphological characteristic of spermatogonia dan testis dissociation : a preliminary study for the germ cell transplantation in giant gourami (Osphronemus goramy), pada Indonesian Aquaculture Journal 5(2):163-17.
26
III. THE DISSOCIATION OF TESTICULAR TISSUE ON GIANT GOURAMI ABSTRACT Testis dissociation is the first necessary steps to obtain highly amount and viable population of spermatogonia as donor cells for transplantation. This research examined the effect of two methods of testis dissociations (i.e. medium A contained 0.5% trypsin in PBS (phosphate buffered solution) and medium B contained 0.5% trypsin and DNase 10 IU/µL in PBS complemented with 1 mM CaCl2, 25 mM HEPES and 5% FBS (fetal bovine serum). We also determined the optimum incubation time (1, 2, 3, 4 and 5 hours) in dissociation medium. Freshly isolated testis of immature giant gouramy were minced in dissociation medium and then incubated to get monodisperce cell suspension. Parameters observed were the number and viability of spermatogonia (ø > 10 µm). The viability was analyzed using trypan blue exclusion dye, a cell with blue color indicated a death cell. The results showed that the average number of spermatogonia observed in medium B was higher than in medium A (P<0.05), meanwhile the viability of spermatogonia between medium A and B were not significantly different (P>0.05). The viability of spermatogonia decreased by the increasing of duration time of dissociation, however the amount of spermatogonia were not different significantly by the increasing of duration time of incubation. Post hoc test showed that until 3 hours incubation, the viability of spermatogonia did not differed significantly with cell viability in 1 dan 2 hours incubation time. In conclusion, application of dissociation medium B yielded higher number of viable spermatogonia than dissociation medium A with 3 hours optimum incubation time in medium B. Key words: testis, spermatogonia, giant gourami, dissociation, viability.
PENDAHULUAN Disosiasi merupakan teknik dasar yang menunjang keberhasilan tansplantasi sel spermatogonia. Selama ini ketersediaan sel spermatogonia dalam jumlah dan viabilitas tinggi adalah salah satu kendala dalam melakukan transplantasi sel germinal spermatogonia.
Semakin sedikit jumlah spermatogonia yang
terkandung dalam suspensi sel yang disuntikkan, maka peluang sel donor terkolonisasi semakin kecil. Oleh karena itu, pengadaan sel donor yang kaya spermatogonia merupakan langkah penting dalam melakukan transplantasi (Kim et al. 2006, Shinohara & Brinster 2000).
27
Tahap pertama yang dilakukan untuk mendapatkan spermatogonia sebagai sel donor adalah disosiasi jaringan gonad testis dengan tujuan memisahkan sel-sel gamet dari bagian atau jaringan pengikat tempatnya melekat, dan menghilangkan bagian-bagian yang nekrotik, pembuluh darah dan lemak yang menempel. Jaringan dapat didisosiasi secara mekanik melalui proses pencacahan dan pemipetan secara perlahan-lahan. Cara lain adalah secara enzimatik, yaitu dengan menggunakan enzim-enzim tertentu seperti tripsin, kolagenase, elastase, hyaluronidase, DNase, pronase atau variasi dari beberapa jenis enzim dalam larutan dapar atau medium tertentu sampai diperoleh suspensi sel tunggal (Worthington 2003). Selain bertujuan untuk mendapatkan suspensi sel testikular yang tunggal, teknik disosiasi yang efektif seharusnya menghasilkan suspensi sel yang memiliki viabilitas tinggi dan dapat meminimumkan terjadinya proses agregasi sel kembali pascadisosiasi (Freshney 2005). Oleh karena itu berbagai macam teknik disosiasi pada hewan vertebrata dilakukan oleh para peneliti untuk mendapatkan suspensi sel yang memiliki kriteria-kriteria tersebut, namun sedikit sekali yang menjelaskan teknik disosiasi pada ikan. Penelitian disosiasi jaringan testikular pada ikan masih sangat terbatas (Takeuchi et al. 2003, Hong et al. 2004, Okutsu et al. 2006b, Lacerda et al. 2008). Sementara itu, disosiasi jaringan dapat berbeda-beda pada setiap jenis hewan dan jaringan karena setiap hewan atau jaringan memiliki karakteristik anatomi yang berbeda-beda khususnya yang berkaitan dengan besarnya jaringan pengikat antar tubulus pada testis dan kekuatan membran tunika yang membungkus testis (Kim et al. 2006).
Selain jenis dan asal jaringan yang digunakan, umur hewan, tipe
enzim, dan larutan dapar atau medium serta lama inkubasi jaringan dalam larutan disosiasi juga menentukan efektivitas proses disosiasi (Worthington 2003). Oleh karena itu, untuk mendapatkan suspensi sel spermatogonia ikan gurami yang dapat digunakan sebagai sel donor, dibutuhkan uji coba metode disosiasi yang tepat untuk jaringan gonad ikan gurami. Pada penelitian ini diuji dua metode disosiasi enzimatik sel testikular ikan gurami. Metode pertama merujuk pada Takeuchi et al. (2002) yang menggunakan satu jenis enzim pengurai saja, yaitu tripsin. Metode disosiasi ini diterapkan pada ikan rainbow trout. Metode kedua merujuk pada Takeuchi et al. (2009) yang
28
menggunakan dua enzim pengurai, yaitu tripsin dan DNase untuk mendapatkan suspensi sel testikular tunggal dari jaringan testis ikan nibe. Tripsin dikenal sebagai enzim pengurai yang kuat, sedangkan DNase merupakan enzim pengurai yang lemah (Worthington 2003). Tripsin bertugas melepaskan matriks ekstraseluler glikoprotein dari sel dan sekaligus menguraikan sisa-sisa matriks yang terdapat dalam larutan disosiasi (Jones & Werb 1980). Sementara DNase pada beberapa kasus ditambahkan ke dalam larutan disosiasi untuk menghindari terjadinya penggumpalan sel akibat pelepasan DNA bebas dari sel-sel yang mati selama proses disosiasi (Crabbe et al. 1997). Kombinasi dari kedua enzim ini diharapkan juga dapat meningkatkan jumlah sel spermatogonia tunggal dalam suspensi sel testikular yang dihasilkan pascadisosiasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa dalam proses disosiasi jaringan, enzim dapat menyebabkan efek kerusakan pada sel (Nicosia et al. 1975, Bellve et al. 1977, Du et al. 2006). Lama waktu inkubasi dalam larutan disosiasi yang mengandung enzim merupakan faktor yang penting diketahui dalam melakukan disosiasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan pada sel-sel selama proses disosiasi berlangsung. Oleh karena itu pada penelitian ini juga dilakukan pengujian lama waktu inkubasi terhadap hasil disosiasi yang meliputi jumlah dan viabilitas sel spermatogonia.
Metode disosiasi dengan larutan disosiasi yang
tepat dan waktu inkubasi yang optimum diharapkan dapat menghasilkan suspensi sel spermatogonia ikan gurami dalam jumlah dan viabilitas yang tinggi. Metode disosiasi yang efektif akan memperbesar peluang keberhasilan
transplantasi
spermatogonia pada ikan khususnya pada ikan gurami.
BAHAN DAN METODE Gonad (testis) ikan gurami dengan bobot tubuh 700–900 g/ekor diisolasi serta dibersihkan dari jaringan lemak dan pembuluh darah yang menempel dalam larutan NaCl fisiologis lalu ditimbang beratnya.
Selanjutnya gonad dipotong-
potong menjadi 5 bagian secara acak dengan kisaran bobot gonad per potong sekitar 30 mg.
Kelima potongan testis segar dicincang secara terpisah dengan
29
skapel atau gunting dalam 1 mL larutan disosiasi dan diinkubasi pada suhu ruang masing-masing selama 1, 2, 3, 4 dan 5 jam. Larutan disosiasi pertama terdiri atas larutan tripsin (Worthington) 0,5% dalam Phosphate Buffered Saline/PBS (selanjutnya diberi nama larutan A) dan larutan disosiasi kedua terdiri atas larutan tripsin 0,5% dan 30 µL DNase 10 IU/µL dalam larutan PBS yang telah ditambahkan 5% fetal bovine serum/FBS (Sigma), 1 mM CaCl2 dan 25 mM HEPES (selanjutnya diberi nama larutan B). Setiap 30 menit
inkubasi, suspensi sel dipipet dengan perlahan-lahan agar
jaringan ikat cepat terlepas dari sel.
Setelah masa inkubasi selesai, suspensi sel
hasil disosiasi disaring menggunakan nylon screen steril dengan ukuran 35 μm untuk menghilangkan jaringan-jaringan yang tidak diinginkan.
Untuk
menghilangkan aktivitas tripsin, suspensi sel dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali. Percobaan ini diulang sebanyak tiga kali dengan rancangan acak lengkap faktorial pada lima taraf lama waktu inkubasi. Parameter yang diamati adalah jumlah dan viabilitas sel spermatogonia yang berdiameter >10 µm atau sebesar satu skala pada pembesaran lensa objektif mikroskop 10x. Sebanyak 10 µL suspensi sel hasil disosiasi diwarnai dengan menggunakan pewarna vital trypan blue 0,4% (1:1). Sel yang mati akan terwarnai oleh trypan blue sehingga terlihat berwarna biru, sedangkan yang hidup akan tetap terlihat transparan. Jumlah total sel spermatogonia dan jumlah sel spermatogonia yang mati dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop. Viabilitas dihitung berdasarkan persentase jumlah sel spermatogonia yang hidup per jumlah total sel spermatogonia. Jumlah dan viabilitas sel spermatogonia pada setiap perlakuan dianalisis dengan sidik ragam. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Duncan multiple range test (DMRT). Data diolah dengan menggunakan program SPSS 17.0 dan MS Office Excell 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab II dijelaskan bahwa tipe-tipe spermatogonia dapat diidentifikasi berdasarkan karakter diameter sel. Hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami pada Gambar 4A memperlihatkan morfologi berbagai tipe spermatogonia
30
berdasarkan perbedaan ukuran diameter sel. Sel punca spermatogonia (SSC) adalah sel spermatogonia yang paling mudah dikenali karena memiliki ukuran yang terbesar dengan membran sel yang lebih tipis dan transparan (Gambar 4B). Sel spermatogonia lainnya hanya dapat dibedakan berdasarkan ukuran diameter selnya. Dengan pewarnaan trypan blue, sel-sel yang mati tampak berwarna biru (Gambar 4C), sedangkan sel-sel yang transparan adalah sel-sel testikular yang masih hidup.
Gambar 4
Suspensi sel testikular ikan gurami pascadisosiasi. A. Tipe-tipe sel spermatogonia. B. Sel punca spermatogonia dengan membran sel yang tipis (kepala panah adalah membran sel). C. Sel yang mati berwarna biru setelah pewarnaan dengan trypan blue. Skala 20 µm. SSC = sel punca spermatogonia, SpA = spermatogonia A, SpT = spermatogonia transisi, SpB = spermatogonia B.
Pengaruh Lama Waktu Inkubasi dan Jenis Larutan Disosiasi terhadap Jumlah dan Viabilitas Sel Spermatogonia Hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami memperlihatkan bahwa jumlah sel rata-rata hasil disosiasi pada masing-masing larutan A dan B bertambah sejalan dengan meningkatnya lama waktu inkubasi (Gambar 5A) meskipun hasil analisis statistik RAL faktorial menunjukkan bahwa faktor waktu inkubasi tidak
pengaruh nyata terhadap jumlah sel (P>0,05) (Lampiran 3).
Peningkatan jumlah sel secara rata-rata seiring dengan meningkatnya lama waktu inkubasi menunjukkan bahwa semakin lama jaringan diinkubasi dalam larutan
31
disosiasi, maka semakin banyak bagian dari jaringan ikat yang terdisosiasi oleh proses enzimatik tripsin dan DNase sehingga jumlah sel spermatogonia tunggal yang dapat diisolasi juga semakin banyak. Sementara itu viabilitas sel rata-rata yang menggambarkan persentase jumlah sel yang hidup mengalami penurunan yang nyata baik pada larutan A maupun larutan B diakibatkan oleh semakin lamanya jaringan diinkubasi dalam larutan disosiasi (Gambar 5B). Hasil analisis menunjukkan bahwa lama waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap viabilitas sel (P<0,05).
Semakin lama
jaringan diinkubasi baik dalam larutan disosiasi A maupun larutan disosiasi B dapat menyebabkan semakin banyak sel yang mati atau rusak.
Gambar 5
Jumlah dan viabilitas sel spermatogonia ikan gurami pada larutan disosiasi dan lama inkubasi berbeda. A. Jumlah sel spermatogonia yang dihasilkan pada lama waktu inkubasi 1 hingga 5 jam dalam larutan A dan larutan B. B. Viabilitas sel spermatogonia pada lama inkubasi 1 hingga 5 jam dalam larutan A dan larutan B. Larutan A ( ), Larutan B ( ).
Analisis pengaruh larutan disosiasi terhadap jumlah dan viabilitas sel spermatogonia (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan larutan disosiasi yang digunakan berbeda
nyata terhadap jumlah sel spermatogonia yang
dihasilkan (P<0,05) tetapi tidak berbeda nyata terhadap viabilitas sel spermatogonia (P>0,05). Jumlah rata-rata sel spermatogonia yang dihasilkan oleh larutan A adalah 27.489±11.062 sedangkan larutan B menghasilkan jumlah ratarata 55.318±29.304. Dengan demikian komposisi larutan disosiasi B memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap jumlah sel hasil disosiasi dibandingkan larutan
32
disosiasi A. Larutan disosiasi B yang mengandung dua enzim (tripsin dan DNase) mampu menguraikan atau mendisosiasi jaringan testikular lebih banyak dibandingkan larutan A yang hanya mengandung enzim tripsin. Metode disosiasi jaringan testis bersifat spesifik spesies karena masingmasing spesies memiliki karakteristik anatomi testis yang berbeda (Marret & Durant 2000, Kim et al. 2006). Testis ikan terdiri atas 2 rongga yaitu tubular dan intertubular. Rongga tubular terdiri atas epitel seminiferus, tempat menempelnya sel germinal dalam sista dan sel-sel sertoli, tunika propria tersusun atas basal lamina dan sel-sel peritubular myoid serta lumen yang berisi cairan yang dikeluarkan oleh sel sertoli (Nobrega et al. 2009). Rongga intertubular terdiri atas sel-sel Leydig, jaringan ikat dan pembuluh darah (Grier 1993, Pudney 1993). Antar sel germinal terdapat juga jembatan sitoplasmik yang menghubungkan sel germinal yang satu dengan yang lainnya (Loir et al. 1995). Anatomi dan ciri-ciri fisik ini mungkin saja berbeda pada setiap jenis ikan sehingga metode disosiasi enzimatik yang sama dapat memberikan hasil yang berbeda-beda. Enzim tripsin dalam larutan A dan B berfungsi menghidrolisis proteinprotein yang menyusun jaringan ikat pada gonad menjadi ikatan-ikatan peptida kecil atau asam-asam amino. Selama proses disosiasi berlangsung, jaringan ikat dan jaringan interstisial antara tubulus maupun sista akan terurai oleh enzim. Secara bersamaan sel-sel germinal terlepas dari sel sertoli dan jembatan sitoplasmik menjadi melemah hingga akhirnya sel germinal akan terlepas sebagai sel tunggal. Proses enzimatik ini digambarkan oleh Bellve et al. (1977) pada disosiasi jaringan testikular tikus menggunakan enzim tripsin. Namun demikian, proses enzimatik ini juga memungkinkan membran sel tercerna (Du et al. 2006), sehingga semakin lama jaringan diinkubasi, maka sel-sel testikular yang telah terpisah dari jaringan ikat tadi juga akan mengalami kerusakan membran sel. Oleh karena itu semakin lama jaringan didisosiasi, jumlah sel yang mati semakin bertambah atau dengan kata lain viabilitas sel semakin menurun. Penambahan enzim DNase dalam larutan disosiasi B membantu proses disosiasi jaringan. DNase adalah enzim hidrolisis yang berfungsi untuk digesti asam-asam nukleat dengan cara menghidrolisis ikatan DNA ganda menjadi ikatan-ikatan DNA tunggal. Disosiasi sel darah merah yang memiliki sitoskeleton
33
dengan protein
membran periferal kompleks ketika ditambahkan DNase,
sitoskeleton menjadi terdisosiasi dan filamen aktin menjadi larut.
DNase
mencegah terjadinya polimerisasi aktin (Sheetz 1979). Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis larutan disosiasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap viabilitas sel (P>0,05). Viabilitas rata-rata yang tidak berbeda nyata antara larutan A dan larutan B menunjukkan bahwa penggunaan dua enzim dalam larutan B tidak mempengaruhi kemampuan atau daya tahan sel spermatogonia selama proses disosiasi. Tripsin dikenal sebagai enzim pengurai yang kuat namun DNase merupakan enzim pengurai yang lemah (Worthington 2003). Dengan tambahan senyawa komplemen seperti FBS, CaCl2 dan HEPES, larutan B dapat mempertahankan daya hidup sel spermatogonia seperti halnya pada larutan A yang hanya terdiri atas satu enzim saja. Dalam aktivitas hidrolisisnya, DNase membutuhkan kondisi fisiologis dimana Ca2+ dan Mg2+ tersedia dalam jumlah cukup. Penambahan CaCl2 pada medium atau larutan disosiasi
meningkatkan efisiensi DNase menguraikan
jaringan (Dwyer et al. 1999). Ion Ca2+ berfungsi mempertahankan integritas membran plasma spermatogonia tikus sehingga viabilitas sel tetap tinggi selama proses disosiasi berlangsung. Di samping itu, ion Ca2+ juga sangat dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan osmotik dan potensial membran sel (Yazawa et al. 2007). Penambahan serum berfungsi untuk menekan aktivitas tripsin dan memberikan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh sel selama proses disosiasi berlangsung (Freshney 2005). Pemberian serum pada medium disosiasi biasanya dilakukan untuk disosiasi yang menggunakan konsentrasi tripsin tinggi dan dalam waktu inkubasi yang lama
agar sel tetap kuat.
Pemberian tripsin dengan
konsentrasi tinggi bertujuan agar penempelan antar sel tidak terjadi (Brown et al. 2007).
Oleh karena itu meskipun aktivitas disosiasi tinggi disebabkan oleh
kedua enzim yang berperan dalam proses disosiasi tetapi viabilitas sel pada larutan disosiasi B ini tetap tinggi. Serum juga bermanfaat untuk melindungi medium dari efek toksisitas senyawa-senyawa tertentu pada media yang digunakan (Mather & Roberts 1998).
34
Senyawa HEPES atau 4-(2-hydroxyethyl)-1-piperazineethanesulfonic acid umumnya digunakan sebagai komplemen medium sel-sel yang dikultur pada udara terbuka atau tanpa menggunakan inkubator CO2. Dalam proses disosiasi sel, HEPES berperan sebagai dapar dan menstabilkan pH dalam medium (Mather & Roberts 1998). Lama Waktu Inkubasi yang Optimum dalam Larutan Disosiasi A dan B Secara umum kriteria lama waktu inkubasi yang optimum dalam disosiasi sel adalah lama waktu inkubasi yang menghasilkan jumlah sel spermatogonia yang terbanyak dengan viabilitas tertinggi. Viabilitas menggambarkan persentase jumlah sel yang hidup. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa analisis faktorial (Lampiran 3) menghasilkan lama waktu inkubasi yang hanya berpengaruh nyata pada viabilitas sel spermatogonia (P<0,05), tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah sel (P>0,05).
Jenis larutan disosiasi diketahui tidak
memiliki interaksi yang nyata dengan lama inkubasi (P>0,05).
Hal ini
mempertegas pembahasan sebelumnya bahwa jenis larutan disosiasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap viabilitas sel atau dengan kata lain perbedaan viabilitas pada lama masa inkubasi berbeda tidak dipengaruhi oleh jenis larutan. Dengan demikian faktor lama inkubasi terhadap viabilitas sel akan memberikan pengaruh yang sama pada larutan A dan larutan B. Hasil uji lanjut pengaruh lama waktu inkubasi terhadap viabilitas sel menunjukkan bahwa viabilitas sel rata-rata dari larutan disosiasi A dan B jam ke 1 hingga jam ke 3 tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa disosiasi jaringan testikular baik dalam larutan A maupun larutan B dengan lama waktu inkubasi satu hingga tiga jam belum menunjukkan penurunan viabilitas yang nyata (Tabel 3). Penurunan viabilitas mulai terlihat nyata pada jam ke 4 dan menurun drastis pada jam ke 5 inkubasi.
Meskipun lama inkubasi tidak
berpengaruh nyata terhadap viabilitas namun jumlah sel rata-rata baik pada larutan A maupun larutan B menunjukkan kenaikan dengan semakin bertambahnya lama masa inkubasi. Dengan demikian lama waktu inkubasi yang optimum adalah tiga jam karena waktu tiga jam inkubasi memberikan jumlah sel spermatogonia hidup lebih banyak dari satu dan dua jam inkubasi.
35
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah sel hasil disosiasi tidak berbeda nyata dengan semakin lamanya jaringan diinkubasi. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya peran proses disosiasi secara mekanik yang terjadi selama proses disosiasi berlangsung yaitu pemipetan larutan setiap 30 menit selama masa inkubasi. Oleh karena itu proses penguraian jaringan testikular menjadi sel-sel testikular tunggal tidak sepenuhnya disebabkan oleh disosiasi enzimatik. Pada penelitian ini terdapat dua tahap disosiasi mekanik, yaitu 1) proses eliminasi pembuluh darah dan jaringan-jaringan ikat lainnya pada testis semaksimum mungkin dengan tujuan agar proses disosiasi berlangsung sama dan tidak terkontaminasi oleh sel-sel darah, dan 2) proses pencacahan dan pemipetan larutan setiap 30 menit selama masa inkubasi dengan tujuan untuk membantu sel terpisah dari jaringan.
Secara teknis, kedua proses mekanik ini dapat
mempengaruhi hasil disosiasi, baik dari jumlah maupun viabilitas sel sehingga hasil penghitungan jumlah sel spermatogonia tidak memberikan perbedaan nyata terhadap lama waktu inkubasi. Tabel 3
Larutan disosiasi A
B
Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami dalam larutan A dan B Waktu inkubasi (jam) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Jumlah spermatogonia (x103)/ mg testis 15.946 ± 3.475 23.461 ± 6.807 29.429 ± 15.390 31.654 ± 12.094 36.956 ± 4.978 42.100 ± 38.822 53.316 ± 33.713 57.556 ± 35.026 60.667 ± 37.671 62.952 ± 17.757
Viabilitas (%) 100,00 98,15 97,32 95,20 94,15 100,00 100,00 97,51 96,00 91,81
± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0,00 a 3,21 a 2,52 ab 0,94 bc 2,07 c 0,00 a 0,00 a 0,93 ab 1,75 bc 5,84 c
Larutan A: Tripsin dalam PBS. Larutan B: Tripsin dan DNase dalam PBS mengandung HEPES, CaCl2 dan FBS. Huruf superskrip yang berbeda setelah angka pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05). Angka adalah rata-rata±SD, n=3.
Informasi lama waktu inkubasi yang optimum pada ikan khususnya teleostei dan kaitannya dengan jumlah sel yang dihasilkan dan viabilitasnya setelah disosiasi belum ada. Namun, umumnya para peneliti menggunakan lama waktu
36
inkubasi 2 jam dalam larutan disosiasi seperti pada ikan rainbow trout (Okutsu et al. 2006b), ikan nila (Lacerda et al. 2008), dan ikan nibe (Takeuchi et al. 2009). Pada ikan gurami dengan lama waktu disosiasi 3 jam, viabilitas sel spermatogonia selama proses disosiasi belum berbeda dengan lama waktu inkubasi 1 dan 2 jam. Hal ini menunjukkan bahwa daya tahan sel spermatogonia ikan gurami diduga lebih kuat dibandingkan dengan ikan nila, rainbow trout dan ikan nibe.
KESIMPULAN 1.
Larutan disosiasi yang mengandung tripsin-DNase memberikan hasil disosiasi dengan jumlah sel spermatogonia yang lebih banyak dibandingkan larutan disosiasi yang mengandung tripsin saja.
2.
Waktu inkubasi yang optimum untuk disosiasi adalah 3 jam.
37
IV. XENOTRANSPLANTASI SEL TESTIKULAR IKAN GURAMI PADA BERBAGAI UMUR LARVA IKAN NILA
ABSTRAK Xenotransplantasi sel testikular merupakan suatu metode untuk melestarikan dan mengembangkan plasma sel germinal dari ikan-ikan yang terancam punah dan untuk produksi induk pengganti bagi ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Pada penelitian ini, ikan gurami digunakan sebagai model donor dan ikan nila sebagai model resipien. Pengembangan xenotransplantasi sel testikular ini diawali dengan penentuan umur resipien yang optimum untuk kegiatan transplantasi sel germinal. Testis segar diisolasi dari ikan gurami ukuran 600– 800 g, lalu dicacah dalam larutan disosiasi dan selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 3 jam untuk mendapatkan suspensi sel testikular sebagai sumber donor. Sel donor dilabel dengan PKH 26 fluorescent dye sebelum ditransplantasikan ke dalam rongga peritoneal larva ikan nila umur 1, 3, 5 dan 7 hari pascamenetas (hpm). Parameter yang diamati adalah sintasan larva ikan nila 24 jam pascatransplantasi (pt) dan efisiensi kolonisasi sel donor pada resipien umur 2 dan 3 bulan pt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva ratarata terendah adalah pada perlakuan umur larva 1 hpm (82,74±6,76%) dan tertinggi pada larva 3 dan 5 hpm masing-masing 95,00±5,00% and 95,00±2,50%). Efisiensi kolonisasi rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan umur transplantasi larva 3 hpm (61,1±34,71% ) dan terendah pada larva umur 7 hpm (19,43±17,33%). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa larva ikan nila umur 3 hpm adalah resipien terbaik untuk xenotransplantasi sel testikular ikan gurami. Kata kunci: xenotransplantasi, sel germinal jantan, ikan gurami, ikan nila, efisiensi kolonisasi
38
IV. XENOTRANSPLANTATION OF GIANT GOURAMI TESTICULAR GERM CELLS INTO DIFFERENT AGE OF NILE TILAPIA’S LARVAE
ABSTRACT The recent study has been conducted to develop testicular germ cell transplantation as a tool for preservation and propagation of male germ-plasm from endangered fish species, as well as to produce surrogate broodstock of commercially valuable fish. Giant gourami testis had been used as a model for donor and Nile tilapia larvae as recipient. We developed testicular cell xenotransplantation by optimizing the timing of intraperitoneal cell transplantation to recipient larvae aged 1, 3, 5 and 7 days post hatching (dph). Freshly isolated testis of giant gourami weighed 600–800 g were minced in dissociation medium and then incubated for 3 hours in room temperature to collect monodisperce cell suspension. Donor cells labeled with PKH 26 were transplanted into the peritoneal cavity of Nile tilapia larvae using glass micropipettes. Parameters observed were survival rate of Nile tilapia larvae at 24 hours post transplantation (pt) and colonization efficiency of donor cells at 2 and 3 months pt. The incorporated donor cells were observed under fluorescent microscope. The result showed that the lowest survival rate at 24 hours pt was 1 dph larvae (82.74±6.76%) and the highest survival rate were 3 and 5 dph larvae The highest colonization (95.00±5.00% and 95.00±2.50%, respectively). efficiency was on 3 dph larvae (61.1±34.71%) and the lowest colonization efficiency was on 7 dph larvae (19.43±17.33%). In conclusion, 3 dph Nile tilapia larvae was the best recipient for giant gourami testicular germ cells xenotransplantation. Key words: xenotransplantation, testicular germ cell, giant gourami, Nile tilapia, colonization efficiency
PENDAHULUAN Teknologi xenotransplantasi sel testikular yang mengandung spermatogonia pertama
kali
diaplikasikan
pada
ikan
gurami
(Osphronemus
goramy)
menggunakan resipien larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Pada penelitian xenotransplantasi ini digunakan ikan gurami sebagai model donor dan ikan nila sebagai model resipien, yang mana kedua jenis ikan ini berbeda pada tingkat ordo. Saat ini xenotransplantasi antar dua spesies ikan yang berbeda famili telah berhasil dilakukan.
Spermatogonia ikan nibe (famili Scianidae) yang
39
ditransplantasikan ke larva ikan chub mackerel (famili Scombridae) telah berhasil hingga tahap proliferasi sel spermatogonia ikan nibe pada gonad ikan chub mackerel (Yazawa et al. 2010). Xenotransplantasi PGC ikan loach ke embrio ikan zebra fase blastoderm (chimera) bahkan mampu menghasilkan spermatozoa ikan loach yang fungsional tetapi belum mampu menghasilkan sel telur yang fungsional (Saito et al. 2008). Sementara itu xenotransplantasi PGC ikan pearl danio ke ikan zebra, yang memiliki hubungan filogeni yang lebih dekat (satu genus) menghasilkan ikan kimera pearl danio-ikan zebra.
Hibrid dari kimera dan ikan zebra normal
menghasilkan individu yang normal namun sel gametnya tidak berkembang. Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat mekanisme dan faktor-faktor yang membatasi keberhasilan transplantasi antar dua spesies yang berbeda termasuk peran imunokompetensi dari resipien terhadap sel donor, hubungan filogenetik antar donor dan resipien, faktor intrinsik sel itu, dan peran sinyal ekstrinsik dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sel donor pada resipien (Saito et al. 2008). Faktor-faktor tersebut dilaporkan berbeda-beda antar spesies (Dobrinski et al. 1999, Johnston et al. 2000). Ketersediaan resipien yang kompeten merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan kegiatan transplantasi sel germinal (Honaramooz & Yang 2011). Ikan nila telah sering dijadikan ikan model untuk penelitian biologi reproduksi, namun penggunaannya sebagai resipien dalam kegiatan transplantasi belum banyak dilaporkan. Selama ini hanya Lacerda et al. (2008) yang telah berhasil melakukan uji kompetensi ikan nila sebagai resipien untuk kegiatan transplantasi sel germinal ikan nila dan katak. Resipien yang digunakan adalah ikan nila dewasa yang saluran reproduksinya telah disterilkan dengan busulfan, suatu senyawa yang berfungsi untuk merusak sel endogenus
Meskipun menghasilkan
sel spermatozoa yang fungsional dan sel donor katak terkolonisasi pada gonad ikan nila namun metode ini tidak aman digunakan dalam kegiatan pembenihan karena busulfan bersifat karsinogenik bagi manusia. Beberapa penelitian transplantasi sel germinal telah menggunakan larva sebagai resipien dan hasilnya menunjukkan bahwa umur resipien juga berpengaruh terhadap keberhasilan kolonisasi (Takeuchi et al. 2003, Takeuchi et
40
al. 2009, Yazawa et al. 2010). Kemampuan lingkungan mikro somatik resipien mengarahkan sel donor ke rongga genital semakin berkurang dengan semakin berkembangnya gonad resipien atau dengan semakin bertambahnya umur resipien (Okutsu et al. 2006a).
Manning & Nakanishi (1996) menyatakan interval umur
resipien sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi kolonisasi, karena umur larva berkaitan dengan perkembangan sistem imunodefisiensi.
Sistem
imun larva yang baru menetas belum berkembang sehingga antigen atau benda asing belum dapat terdeteksi. Pada tahap awal larva, organ limfomieloid (limpa, timus dan darah) sebagai organ pembentuk respons imun belum berkembang dengan sempurna. Umumnya respon imun pada tahap larva berasal dari transfer antibodi induk dalam bentuk maternal immunoglobulin yang terdapat pada kuning telur dan dalam limfosit beberapa jenis ikan (Mulero et al. 2007).
Pada ikan Tilapia mossambica,
jaringan limfoid mulai terbentuk pada umur 5 hari pascamenetas (Ali 1987) sehingga diduga pada umur tersebut respons imun mulai berkembang. Ijiri et al. (2008) menyatakan bahwa larva ikan nila umur 5 hingga 6 hari pascamenetas (hpm) adalah titik kritis bagi gonad untuk berdiferensiasi menjadi ovari atau testis. Hal ini menunjukkan bahwa gonad larva umur lebih dari 6 hari yang telah terdiferensiasi dapat menciptakan penghalang (barrier) bagi sel donor untuk terkolonisasi pada gonad yang telah terdiferensiasi. Menurut Takeuchi et al. (2009) epitel gonad yang telah terdiferensiasi dapat menghalangi inkorporasi sel spermatogonia A. Fenomena respons imun dan diferensiasi kelamin tersebut menunjukkan bahwa terdapat keterbatasan waktu yang pendek bagi sel donor untuk bermigrasi. Keterbatasan waktu tersebut dipengaruhi oleh tahap perkembangan larva. Oleh karena itu umur larva merupakan salah satu faktor yang perlu dikaji. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kemampuan kolonisasi sel donor ikan gurami pada berbagai umur larva ikan nila sebagai resipien. Untuk mendapatkan umur resipien yang optimum digunakan empat umur larva, yaitu 1, 3, 5 dan 7 hpm. Xenotransplantasi sel spermatogonia ikan gurami ke berbagai umur larva ikan nila diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kompetensi larva ikan nila sebagai resipien untuk xenotransplantasi dengan parameter yang diamati
41
adalah
sintasan
larva pascatransplantasi dan
kemampuan
kolonisasi sel
spermatogonia ke saluran gonad resipien.
BAHAN DAN METODE Disosiasi Jaringan Testis Testis ikan gurami berbobot tubuh sekitar 600–800 g didisosiasi untuk mendapatkan suspensi sel donor mengacu pada metode disosiasi yang optimum pada bab III. Setelah dicuci dengan PBS sebanyak 2x, suspensi sel dihitung jumlah spermatogonianya.
Sel spermatogonia yang dihitung adalah yang
berdiameter ≥15 µm yang ditentukan berdasarkan kriteria yang diperoleh pada penelitian pada bab III, dan jumlahnya dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop CX10 (Olympus). Pewarnaan Sel Donor Visualisasi sel donor dilakukan dengan pewarnaan atau pelabelan menggunakan PKH 26 fluorescent membrane dye (Sigma-Aldrich Inc., St. Louis, MO) yang terpancar pada panjang gelombang 551–567 nm. Dalam pelabelan ini digunakan 2 mikrotube 1,5 µL (mikrotube A dan mikrotube B). Mikrotube A berisi diluent C (larutan iso-osmotik yang telah tersedia pada paket pewarna PKH 26) dan sel testikular, sedangkan mikrotube B berisi diluent C dan PKH 26, dengan perbandingan volume dari mikrotube A:B = 1:1.
Formulasi yang
digunakan adalah 1,5 µL PKH 26/0,1 mL diluent C untuk jumlah sel sekitar 2x106 sel testikular. Untuk melarutkan sekitar 4x106 sel, maka volume diluents C yang digunakan adalah 0,2 mL (mikrotube A) dan PKH yang digunakan sebesar 3 µL dilarutkan dalam 0,2 mL diluent C (mikrotube B). Suspensi sel dalam mikrotube A selanjutnya dicampurkan ke dalam larutan PKH 26 di mikrotube B dan diinkubasi selama 5 menit dalam ruang tanpa cahaya. Aktivitas pelabelan selanjutnya dihentikan dengan penambahan medium
L15 dan
diinkubasi kembali selama 2 menit. Suspensi sel disentrifugasi pada 2000 rpm selama 10 menit, dicuci dengan medium L15 sebanyak 2 kali dan dibuat konsentrasi suspensi sel mencapai 20.000 sel per 0,5 µL medium L15.
42
Penyiapan Resipien Ikan Nila Resipien yang digunakan adalah larva ikan nila putih berumur 1, 3, 5, dan 7 hpm. Morfologi larva pada berbagai umur dapat dilihat pada Lampiran 4. Telur ikan nila yang telah dibuahi diperoleh dari pemijahan massal induk nila putih di BBPBAT Sukabumi. Telur ikan nila ditetaskan di atas saringan halus yang ditempatkan di dalam akuarium pada suhu air 28 oC. Transplantasi Sel Testikular ke Larva Ikan Nila Tahap transplantasi sel donor diawali dengan persiapan mikroinjeksi yang meliputi persiapan jarum dan mikroinjektor serta menyedot sel ke jarum. Jarum transplantasi disiapkan dengan cara membagi dua glass capillary (GD-1, Narishige) menggunakan alat electric puller (PC-10, Narishige). Ujung jarum diasah dengan menggunakan mesin gurindam (EG-400, Narishige) hingga mencapai bukaan lubang jarum 60 µm.
Jarum selanjutnya dipasang pada alat
mikroinjektor. Alat mikroinjektor terdiri atas mikroinjektor yang tersambung ke mikroskop (Olympus SZX 16). Volume sel yang disuntikkan sebanyak 0,5 µL dengan jumlah sel testikular sekitar 20.000 sel. Larva dibius dengan fenoksietanol (0,03-0,05%) sebelum diinjeksi. Cawan agar yang berisi agarosa 2% dikeluarkan dari refrigerator dan didiamkan selama beberapa menit hingga gel tidak terlalu dingin.
Setelah larva pingsan, larva diletakkan di atas cawan agar.
Sel
diinjeksikan secara intraperitoneal (i.p) berdasarkan metode Takeuchi et al. (2003). Larva ikan nila hasil injeksi dan yang tidak disuntik (kontrol) dipelihara dalam akuarium (60x60x60) cm3 hingga siap dianalisis. Penelitian transplantasi ini diulang sebanyak 3 kali pada setiap umur resipien dengan jumlah larva yang disuntik sebanyak 20 hingga 40 ekor per perlakuan per ulangan. Analisis Kolonisasi Sel Donor Analisis kolonisasi sel donor pada gonad ikan nila menggunakan dua metode, yaitu 1) identifikasi sel germinal ikan gurami yang membawa PKH 26 fluoroscent membrane dye pada gonad ikan nila pascatransplantasi (pt), dan 2) menggunakan marka molekular spesifik gen hormon pertumbuhan (growth hormone, disingkat GH) ikan gurami dengan desain primer dan program PCR merujuk pada Achmad (2009).
43
Analisis kolonisasi melalui pengamatan sel donor pada gonad resipien di bawah mikroskop fluoresens Nikon Ellips E600 menggunakan 4 ekor resipien ikan nila umur sekitar 2 bulan pt dari setiap perlakuan umur transplantasi (sekitar 10% dari jumlah resipien yang ditransplantasi). Sebagai kontrol digunakan ikan nila yang tidak ditransplantasi. Sedangkan untuk analisis kolonisasi menggunakan marka molekular GH ikan gurami hanya dilakukan pada kelompok resipien dengan sintasan dan efisiensi kolonisasi tertinggi. Sebanyak 15 ekor resipien ikan nila 2 bulan pt diisolasi gonadnya dan diekstraksi DNA menggunakan kit dari Puregene (Gentra, Minneapolis, USA). Sampel dimasukkan ke dalam 200 μL cell lysis solution yang berisi 1,5 μL Proteinase K (20 mg/mL). Sampel diinkubasi pada suhu 55 °C selama semalam. Setelah sel terlisis sempurna, ditambahkan 1,5 μL RNase (4 mg/mL) dan diinkubasi pada 37 oC selama 60 menit. Kemudian ke dalam tabung sampel ditambahkan 100 μL protein precipitation solution (Gentra, Minneapolis, USA), disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam mikrotub yang berisikan 300 μL isopropanol. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan 300 μL etanol 70% dingin ke dalam mikrotub berisi pelet DNA. Sampel disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet DNA dikeringudarakan dan ditambahkan 20 μL sterille destillated water (SDW). Pereaksi PCR dibuat berdasarkan jumlah sampel yang akan diamplifikasi. Volume total pereaksi PCR adalah 10 µL untuk setiap sampel yang terdiri atas 4 µL SDW, 1 µL masing-masing primer forward dan reverse, 1 µL dNTPs mix, 1 µL LA Taq buffer, 1 µL MgCl2, 0,05 µL LA Taq polimerase (Takara Bio, Shiga, Japan), 1 µL DNA cetakan. Primer yang digunakan adalah GH ikan gurami dan β-aktin ikan nila. Suhu annealing dan lama waktu ekstensi untuk primer GH dan β-aktin masing-masing adalah 58 oC dan 45 detik untuk primer GH serta 61 oC dan 30 detik untuk primer β-aktin. Sedangkan, suhu predenaturasi, denaturasi. dan ekstensi akhir sama untuk kedua primer yaitu masing-masing 94 oC selama 3 menit, 94 oC selama 30 detik, dan 72 oC selama 3 menit dengan siklus amplifikasi sebanyak 35 siklus. Hasil amplifikasi selanjutnya divisualisasikan dengan
44
elektroforesis menggunakan gel agarosa 1% dengan volume DNA sebesar 7 µL dan loading dye (10x loading buffer, Takara bio, Japan) sebesar 3 µL. Hasil PCR diseparasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1 %. Tingkat keberhasilan kolonisasi diamati dari efisiensi kolonisasi yaitu persentase rasio antara jumlah resipien yang pada gonadnya terdapat spermatogonia gurami+PKH26 dan total jumlah resipien yang diperiksa. Analisis Data Data resipien yang membawa sel donor disajikan secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif berupa sintasan larva ikan nila pascatransplantasi dan efisiensi kolonisasi sel donor pada gonad resipien disajikan dalam bentuk nilai tengah dan diuji secara statistik menggunakan ANOVA (analysis of variance). Uji Duncan multiple range test dilakukan bilamana terdapat beda nyata antar perlakuan.
Analisis menggunakan program SPSS 17.0 for windows dan MS
Office Excell 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pewarnaan Sel Spermatogonia Ikan Gurami dengan PKH26 Pada dekade terakhir, teknik pewarnaan atau pelabelan sel untuk mendeteksi keberadaan sel semakin berkembang dengan semakin bertambahnya penelitian transplantasi sel pada hewan vertebrata khususnya kelas Pisces. Penggunaan PKH 26 fluorescent membrane dye telah banyak digunakan untuk mewarnai sel germinal beberapa ikan dari subklas teleostei (Lacerda et al. 2008, Takeuchi et al. 2009, Yazawa et al. 2010). Testis yang digunakan sebagai sumber donor dalam penelitian ini diisolasi dari ikan gurami dengan kisaran bobot tubuh 600-800 g per ekor dengan kisaran indeks gonad somatik adalah 10,8x10-5–16,3x10-5. Jumlah sel yang disuntikkan sekitar 20.000 sel dengan komposisi rata-rata spermatogonia (ø ≥15 µm ) berkisar 7–15%. Dengan volume 3 µL PKH 26 dalam 0,2 mL diluent C, PKH 26 mampu mewarnai atau melabel sel testikular ikan gurami sebanyak 91,93±2,90%, dan khusus sel spermatogonia sebanyak 69,44±24,53% (Gambar 6 dan Lampiran 5). Dibandingkan dengan kemampuan PKH 26 mewarnai sel testikular ikan nibe
45
yang mencapai 96,4±1,2% dan mewarnai spermatogonia sebesar 92,3 ±1,4%, maka pewarnaan sel testikular ikan gurami menggunakan PKH 26 dapat dikatakan efektif karena >90% sel terwarnai oleh PKH 26. Lensa tanpa fluoresens
Lensa fluoresens
Gambar 6 Pewarnaan suspensi sel testikular ikan gurami dengan PKH 26 fluorescent membrane dye. A–D. Suspensi sel setelah pewarnaan. E–F. Suspensi sel sebelum pewarnaan dengan. Tanda panah hitam dan putih adalah spermatogonia yang terwarnai PKH 26, panah merah adalah spermatogonia yang tidak terwarnai PKH 26. Sel dalam lingkaran adalah spermatogonia A. Skala 50 µm. Sintasan Larva Ikan Nila Pascatransplantasi Sintasan larva ikan nila setelah transplantasi secara intraperitoneal (i.p) dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 6. Sintasan rata-rata terendah pada 24 jam pt dapat terlihat pada perlakuan larva ikan nila umur 1 hpm yaitu
46
82,73±6,74% dan berbeda nyata dengan larva umur 3,5,7 hari hpm dan larva transplantasi (P<0,05). Sintasan rata-rata larva ikan nila yang berumur 3, 5, dan 7 hpm pada 24 jam pt tidak berbeda nyata dengan kontrol (P>0.05) yaitu 95,00±5,00%, 95,00±2,50% dan 94,17±5,20%
(P>0.05).
Sedangkan pada
pengamatan 2 bulan pt tidak terlihat perbedaan nyata antar perlakuan umur suntik larva.
Larva yang masih muda memiliki daya tahan tubuh lemah dan rentan
terhadap gangguan fisik dari luar yang dalam
hal ini adalah proses injeksi.
Namun, dengan teknik penyuntikan yang tepat maka efek penyuntikan terhadap kematian larva dapat dikurangi.
Gambar 7
Sintasan resipien ikan nila perlakuan umur 1, 3, 5, 7 hari pascamenetas dan tanpa transplantasi (kontrol) pada 24 jam dan 2 bulan pascatransplantasi. Keterangan gambar : larva 1 hari pasca menetas (hpm) ( ), 3 hpm ( ), 5 hpm ( ), 7 hpm ( ), kontrol ( ).
Dalam melakukan transplantasi sel germinal ke resipien berupa larva, terdapat beberapa faktor teknis yang perlu diperhatikan diantaranya adalah teknik dalam mempersiapkan jarum mikroinjeksi.
Sudut bukaan lubang jarum atau
keruncingan dan kelenturan bahan jarum berperan dalam proses penetrasi jarum ke jaringan target (Costa 2010). Pada penelitian ini jarum yang digunakan adalah glass capillary needle (Narishige) dengan sudut bukaan jarum 30–35o. Faktor teknis kedua yang dapat mengurangi tingkat kematian pada larva adalah mengurangi motilitas larva pada saat penyuntikan berlangsung. Untuk
47
mengurangi motilitas larva, beberapa macam teknik dilakukan oleh para peneliti di antaranya adalah menyuntik larva di atas cawan yang berisi gel agarosa yang telah didinginkan pada suhu 4 oC selama 10 menit (Costa 2010). Takeuchi et al. (2009) melarutkan 0,1% bovine serum albumin (BSA) dalam larutan anastesi atau dalam medium penyimpanan larva pascapenyuntikan dan hasilnya ternyata cenderung meningkatkan sintasan larva meskipun tidak berbeda nyata dengan yang tanpa pemberian BSA. Pada penelitian ini, upaya untuk mengurangi motilitas larva ikan nila adalah dengan cara merendam larva dalam larutan anastesi fenoksietanol dengan konsentrasi 0,03–0,05% untuk larva umur 3, 5 dan 7 hpm sehingga proses penyuntikan tidak terganggu oleh gerakan larva. Sedangkan larva yang baru menetas, pergerakan larva rendah sehingga tidak perlu direndam dalam larutan fenoksietanol, melainkan hanya diletakkan di atas cawan petri berisi gel agarosa yang agak dingin dan diupayakan tidak terendam air. Dengan teknik ini tingkat mortalitas larva ikan nila yang diakibatkan oleh mikroinjeksi tergolong relatif kecil. Faktor teknis lain yang perlu diperhatikan adalah penyuntikan yang tepat pada sasarannya. Penyuntikan yang tidak tepat sasaran akan menyebabkan organ atau jaringan tertentu mengalami kerusakan. Di dalam rongga peritoneal larva terdapat banyak organ-organ abdomen
vital seperti saluran pencernaan dan
pembuluh darah sehingga penyuntikan yang tidak tepat akan berpeluang merusak organ-organ vital lainnya (Costa 2010). Ukuran larva juga berpengaruh pada proses penyuntikan. Pertumbuhan larva akan menyebabkan organ-organ yang terdapat dalam rongga tubuh juga semakin besar hingga memenuhi rongga peritoneal. Fujimura & Okada (2007) menggambarkan bahwa pada larva ikan nila (Oreochromis niloticus) 7 hari pascafertilisasi (hpf), massa kuning telur akan mulai menutupi saluran pencernaan. Pada 8–9 hpf atau 4–6 hpm, berbagai pigmen iriodhopore ditemukan pada permukaan tubuh yang menutupi saluran pencernaan, sehingga rongga peritoneal tidak dapat terlihat dengan jelas. Kondisi ini juga dapat menyebabkan penyuntikan menjadi salah sasaran. Sebaliknya ukuran resipien larva yang terlalu kecil juga berpengaruh terhadap mortalitas larva setelah penyuntikan seperti pada
48
ikan nibe yang mortalitasnya dapat mencapai 40% (Takeuchi et al. 2009). Rongga peritoneal yang terlalu kecil akan menyulitkan proses injeksi sel ke dalam rongga tersebut. Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah intraperitoneal yang berarti sel disuntikkan tepat ke dalam rongga peritoneal atau rongga tubuh seperti digambarkan oleh Takeuchi et al. (2003)
pada ikan rainbow trout.
Seperti
umumnya ikan teleostei, gonad ikan rainbow trout maupun gonad ikan nila berkembang dari satu bakal gonad yang terdapat pada dinding peritoneal. PGC endogen akan bergerak ke rongga genital tersebut melalui dinding peritoneal. Oleh karena itu dengan penyuntikan sel germinal ikan gurami secara i.p diharapkan dapat meningkatkan peluang migrasi sel donor bersama-sama dengan PGC endogen ke rongga genital. Kolonisasi Sel Donor Ikan Gurami pada Gonad Resipien Ikan Nila Hasil identifikasi sel donor dari ikan gurami pada gonad resipien ikan nila berumur sekitar 2 bulan pt menunjukkan bahwa efisiensi kolonisasi rata-rata pada umur resipien 1, 3, 5,dan 7 hpm tidak berbeda nyata (P>0,05) namun cenderung mengalami penurunan.
Efisiensi kolonisasi rata-rata pada resipien tertinggi
terdapat pada perlakuan larva umur 3 hpm (61,10±34,71%), sedangkan terendah pada perlakuan larva umur 7 hpm (19,43±17,33%) (Gambar 8). Kemampuan sel donor terkolonisasi pada resipien diduga mulai mengalami penurunan pada resipien umur 7 hpm.
Dugaan ini didasari oleh adanya satu perlakuan
transplantasi sel dari kelompok umur suntik 7 hpm yang efisiensi kolonisasinya 0,00 % atau dengan kata lain tidak terjadi kolonisasi sel donor pada gonad resipien (Lampiran 7). Rendahnya efisiensi kolonisasi rata-rata pada perlakuan 7 hpm tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor pertama adalah faktor yang
terkait dengan teknik transplantasi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kondisi larva dapat menyebabkan penyuntikan menjadi salah sasaran. Fujimura & Okada (2007) menyatakan bahwa larva ikan nila umur 4–6 hpm telah mengalami proses pigmentasi permukaan tubuh. Larva ikan nila umur 7 hpm juga telah mengalami proses pigmentasi khususnya pada permukaan tubuh yang
49
menutupi saluran pencernaan sehingga suspensi sel yang disuntikkan berpeluang untuk tidak tepat sasaran. Profil larva 7 hpm dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 8 Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami pada resipien ikan nila perlakuan umur transplantasi 1, 3, 5 ,7 hari pascamenetas (hpm). Faktor kedua yang dapat menyebabkan penurunan efisiensi kolonisasi adalah terkait dengan peran sinyal kemotaktik (kemoaktraktan) yang diproduksi oleh lingkungan mikro rongga genital resipien yang berperan dalam proses migrasi sel donor ke bakal gonad resipien. Peran kemoatraktan ini dapat terlihat pada beberapa penelitian transplantasi sel testikular pada ikan secara i.p. Kemoatraktan tersebut cenderung menghilang dengan semakin bertambahnya umur ataupun ukuran tubuh resipien. Pada transplantasi allogenik PGC ikan rainbow trout, kemoatraktan resipien menghilang pada umur 45 hpm sehingga pada umur tersebut tidak terjadi lagi kolonisasi sel donor pada rongga genital resipien (Takeuchi et al. 2003). Transplantasi allogenik ikan nibe menghasilkan kolonisasi sel donor tidak terjadi lagi pada saat resipien mencapai ukuran 6 mm (Takeuchi et al. 2009).
Demikian halnya transplantasi xenogenik ikan nibe
(donor) dan ikan mackerel (resipien) menunjukkan terjadinya penurunan efisiensi kolonisasi pada saat ukuran ikan mackerel telah mencapai 6,9 mm (Yazawa et al. 2010). Untuk resipien ikan nila, hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa senyawa kemoatraktan yang berperan dalam proses migrasi sel PGC ke
50
rongga genital masih berfungsi hingga larva berumur 7 hpm walapun terlihat adanya kecenderungan menurun. Selain peran kemoatraktan pada rongga genital resipien, faktor ketiga yang dapat menyebabkan rendahnya efisiensi kolonisasi adalah rongga genital resipien yang tidak dapat lagi menampung sel donor akibat adanya proses proliferasi dari PGC endogen. Menurut Kobayashi et al. (2000) PGC ikan nila mulai mencapai rongga genital pada umur larva 3 hpm dan pada saat itu sel-sel somatik sudah mulai membungkus PGC dan proses proliferasi pun mulai berlangsung. Proses proliferasi PGC ini ditunjang oleh lingkungan mikro somatik dari rongga genital. Semakin cepat PGC berproliferasi maka kebutuhan terhadap sel-sel somatik yang berperan dalam proses proliferasi juga semakin besar.
Schulz et al. (2005)
menyatakan bahwa proliferasi sel germinal berkorelasi positif dengan proliferasi sel-sel sertoli. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan oleh Takeuchi et al. (2009), niche atau lingkungan mikro sel germinal yang terdapat di rongga genital resipien yang berperan dalam proses
proliferasi PGC endogen juga akan
memperkecil peluang sel eksogen atau sel donor
terkolonisasi pada rongga
genital resipien. Menurut Ijiri et al. (2008) larva ikan nila berumur 5–6 hpm merupakan titik kritis atau titik awal bagi terjadinya diferensiasi gonad menjadi betina maupun jantan.
Sedangkan Takeuchi et al. (2009)
menyatakan bahwa salah satu
penyebab sel donor tidak terkolonisasi karena adanya proses penolakan epitel gonad resipien yang sedang berkembang. Jika gonad resipien telah terdiferensiasi menjadi betina maka sel spermatogonia yang disuntikkan pada larva ikan nila berumur 5 hpm atau lebih akan berpeluang untuk ditolak oleh epitel gonad terdiferensiasi yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, meskipun tidak
terdapat perbedaan nyata antara efisiensi kolonisasi resipien ikan nila perlakuan umur transplantasi 1, 3, 5 dan 7 hpm namun penggunaan larva ikan nila berumur 5 hpm atau lebih dapat memperkecil peluang sel donor terkolonisasi pada resipien. Pada penelitian ini, tidak teramati adanya kecenderungan perbedaan distribusi sel spermatogonia pada gonad terhadap umur transplantasi resipien yang berbeda (Gambar 9).
51
Gambar 9
Kolonisasi sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila pascatransplantasi (pt) dengan posisi kepala di sebelah kiri (posterior) dan ekor di sebelah kanan (anterior). A. Sel donor (kepala panah) di bagian tengah gonad resipien 45 hari pt (perlakuan larva 1 hari pascamenetas/hpm); B. Sel donor di bagian posterior (dekat kepala) dari gonad resipien 72 hari pt (perlakuan larva 3 hpm); C. Sel donor di bagian tengah (di tepi pembuluh darah gonad, panah kuning) dari gonad resipien 72 hari pt (perlakuan larva 5 hpm); D. Sel donor di bagian tengah dari gonad resipien 45 hari pt (perlakuan larva 7 hpm), sebagian spermatogonia berada di bagian luar gonad (panah putih); E-F. Gonad ikan nila yang tidak ditransplantasi : tidak ada pendaran PKH 26.
Sel testikular dengan pendaran fluoresens merah umumnya terdapat di bagian posterior hingga bagian tengah gonad 45 hari pt pada semua umur resipien. Hasil pengamatan pada 2 ekor resipien perlakuan umur larva 7 hpm, di sekitar gonadnya menempel beberapa sel yang berpendar yang memiliki bentuk bulat dan
52
berukuran sama besar dengan spermatogonia (Gambar 9D).
Sel-sel tersebut
diduga merupakan spermatogonia yang tidak dapat bermigrasi ke rongga genital. Keberhasilan kolonisasi sel donor ikan gurami pada gonad ikan nila juga dibuktikan melalui metode PCR menggunakan marker GH ikan gurami. Pada analisis kolonisasi melalui pengamatan sel donor yang dilabel pewarna fluoresens PKH 26 tidak terdapat perbedaan efisiensi kolonisasi secara nyata antar perlakuan umur larva. Pada penelitian ini digunakan sampel ekstraksi DNA gonad resipien dari dua perlakuan umur resipien yaitu 3 dan 5 hpm yang diduga merupakan resipien yang optimum untuk transplantasi berdasarkan tingkat kelangsungan hidup atau sintasan pascatransplantasi dan efisiensi kolonisasi tertinggi.
Dari
masing-masing 15 sampel gonad yang dianalisis sebanyak 26,7% (sumur c, d, f, g) sampel gonad resipien ikan nila perlakuan 3 hpm, dan 16,7% (sumur h, j) sampel gonad resipien ikan nila perlakuan 5 hpm yang teridentifikasi membawa DNA ikan gurami (Gambar 10).
500 bp bp
GH gurami 340 bp
β -aktin nila 200 bp bp
150 bp
Gambar 10 Elektroforegram DNA produk PCR dari gonad resipien ikan nila 2 bulan pascatransplantasi menggunakan marka molekuler spesifik GH ikan gurami dan primer β-aktin ikan nila sebagai kontrol internal. Ket : a-g:sampel DNA nila transplantasi perlakuan 3 hari pascamenetas (hpm), h-k:sampel DNA nila transplantasi 5 hpm, M: marker DNA; G: DNA ikan gurami, N: DNA ikan nila,(-): kontrol negatif bahan PCR. Efisiensi kolonisasi menggunakan metode marka molekuler lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan metode pengamatan marker fluoresens PKH 26. Hal ini diduga karena jumlah sel donor yang terkolonisasi pada beberapa gonad resipien relatif sedikit. Hasil uji sensitivitas marka molekuler GH
53
menunjukkan bahwa GH dapat mendeteksi 1 sel ikan gurami dalam 104 sel ikan nila
(Ahmad 2009).
Sensitivitas marka molekuler
GH
diduga menjadi
penyebab sulitnya sel donor terdeteksi selama proses PCR. Menurut Kuske et al. (1998), jumlah DNA template yang sedikit adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sensitivitas PCR dalam mendeteksi DNA target. Kolonisasi Sel Donor Spermatogonia Ikan Gurami pada Ovari Ikan Nila Hasil pengamatan dari 48 ekor jumlah sampel yang diperiksa, diperoleh 29 ekor yang berkelamin jantan dan 19 ekor berkelamin betina (rasio kelamin = 3 : 2). Sebanyak 44,90 % dari 49 ekor resipien membawa sel yang terwarnai PKH 26 dengan komposisi jantan dan betina masing-masing 50% dan 50% atau dengan kata lain rasio kelamin jantan dan betina yang membawa sel donor adalah 1:1. Hal ini menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami yang diisolasi dari gonad dewasa juga mampu terkolonisasi ke dalam jaringan gonad resipien betina (Gambar 11). Banyaknya jumlah ikan nila betina yang ditemukan membawa sel donor menunjukkan bahwa sel testikular dalam penelitian ini tidak menyebabkan proses maskulinisasi pada resipien.
Yoshizaki et al. (2010) menyatakan bahwa
diferensiasi kelamin lebih banyak dipengaruhi oleh sel-sel somatik pada jaringan gonad dibandingkan kontrol dari sel eksogen itu sendiri. Menurut Yamamoto (1983) mekanisme yang sangat berperan dalam proses diferensiasi kelamin pada ikan adalah kontrol dari regulasi hormon steroid yang terdiri atas hormon androgen untuk maskulinisasi, estrogen untuk feminisasi dan progesteron yang berhubungan dengan proses maturasi. Hormon-hormon tersebut disekresikan oleh jaringan steroidogenik yang terdiri atas sel-sel granulosa dan sel-sel theca pada ovari serta sel-sel Leydig dan sel-sel sertoli pada testis di bawah pengaruh hormon gonadotropin di pituitari. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sel spermatogonia pada ikan rainbow trout dan ikan nibe memiliki kemampuan development plasticity yaitu kemampuan untuk berkembang menjadi sel spermatosit dan derivatnya maupun menjadi sel oosit dan derivatnya (Okutsu et al. 2006a, Takeuchi et al. 2009). Kemampuan multipotensi ini umumnya dimiliki oleh sel punca dan penelitian ini membuktikan bahwa pada sel testikular ikan gurami yang ditransplantasikan
54
masih terdapat sifat-sifat yang menyerupai sel punca yang selanjutnya diidentifikasi sebagai spermatogonia belum terdiferensiasi atau SpA. Lensa fluoresens
Gambar 11
Tanpa lensa fluoresens
Ovari resipien ikan nila. A. Tanpa transplantasi, B. Perlakuan umur transplantasi 1 hari pascamenetas (hpm), C. Perlakuan umur transplantasi 3 hpm, D. Perlakuan umur transplantasi 5 hpm, E. Perlakuan umur transplantasi 7 hpm. Kepala panah adalah sel donor yang terkolonisasi. Skala = 100 µm.
55
Proliferasi Sel Donor pada Gonad Resipien Dari hasil kolonisasi sel donor dengan pengamatan fluoresens, terdapat beberapa gonad yang menunjukkan adanya indikasi proliferasi sel donor pada gonad. Indikasi pertama adalah beberapa gonad ditemukan membawa sel donor dalam bentuk kumpulan sel. Takeuchi et al. (2003) menggambarkan salah satu indikasi terjadinya proliferasi adalah sel donor yang terkolonisasi membentuk kumpulan sel (cluster) pada jaringan gonad resipien (Gambar 12). Gambar 12B menunjukkan gonad resipien betina dengan kumpulan sel-sel yang terkolonisasi dengan diameter yang hampir sama besar. Pada resipien jantan, kumpulan sel donor yang terkolonisasi lebih sulit diamati morfologinya di bawah mikroskop fluoresens yang digunakan (Gambar 12A).
Lensa fluoresens
Gambar 12
Lensa tanpa fluoresens
Kumpulan sel donor ikan gurami yang terkolonisasi (kepala panah) pada testis (A) dan ovari (B) resipien ikan nila pascatransplantasi. Skala : 50µm.
C Indikasi adanya proliferasi sel donor yang terkolonisasi pada gonad resipien juga terlihat pada Gambar 13. Kedua gonad ini berasal dari perlakuan umur transplantasi yang sama dan jumlah sel yang disuntikkan sama. Kedua gonad dari resipien yang berbeda yang diisolasi dalam selang waktu 23 hari tersebut
D
56
terlihat memiliki perbedaan jumlah sel yang terwarnai PKH 26 sangat nyata. Selain itu intensitas cahaya fluoresens yang dipancarkan oleh sel yang terwarnai PKH 26 pun terlihat berbeda pada kedua gonad tersebut yang mana pada gonad yang berumur 72 hari dengan jumlah sel yang lebih sedikit, intensitas warna selselnya lebih terang dibandingkan dengan intensitas warna yang dipancarkan oleh sel-sel pada gonad yang diisolasi pada umur 95 hari pada perlakuan yang sama. Menurut
Wallace et al. (2008) intensitas warna label pada sel dapat
menggambarkan banyaknya generasi pembelahan menggunakan metode flow cytometry.
Perbedaan intensitas warna PKH 26 pada kedua gonad tersebut
menunjukkan kemungkinan telah terjadi proses pembelahan sel (proliferasi sel). Menurut Kobayashi et al. (2000), oogenesis pada ikan nila mulai berlangsung pada umur 20-25 hpm dan pada umur 35 hpm tahap pembelahan meiosis sudah terlihat (Kobayashi et al. 2010). Kumpulan sel donor pada Gambar 13 menunjukkan bahwa sel donor spermatogonia telah berproliferasi dengan cepat dalam selang waktu 23 hari karena hampir semua bagian gonad terisi oleh sel donor dan diduga telah terjadi proses perkembangan (diferensiasi) ditandai oleh sebagian besar ukuran sel yang berpendar melebihi ukuran spermatogonia. Berbeda halnya dengan ikan nila jantan, proses spermatogenesis terjadi setelah ikan nila berumur 50 hpm (Kobayashi 2010).
Pada penelitian ini,
beberapa gonad resipien yang diamati juga menunjukkan adanya kemungkinan proliferasi sel spermatogonia ikan gurami yang ditandai dengan terdapatnya selsel donor yang membentuk kumpulan sel baik pada resipien jantan berumur sekitar 2 bulan maupun yang berumur sekitar 3 bulan.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami kemungkinan telah mengalami proses spermatogenesis pada umur sekitar 2 bulan. Meskipun belum ada informasi bagaimana spermatogenesis berlangsung pada ikan gurami, namun indikasi proliferasi sel spermatogonia pada ikan nila menunjukkan bahwa proses proliferasi sel spermatogonia kemungkinan tidak banyak dipengaruhi oleh mekanisme intrinsik yang berasal dari sel germinal itu sendiri melainkan didominasi oleh peran lingkungan mikro sel germinal yaitu peran sel-sel somatik pada gonad resipien.
57
Gambar 13 Gonad resipien ikan nila umur transplantasi 3 hari pascamenetas. A. Resipien betina 72 hari pascatransplantasi (pt). B. Resipien betina 95 hari pt. C,D (insersi). Pembesaran dari kotak. Kepala panah menunjukkan kumpulan sel dengan ukuran yang sama, indikasi terjadinya proliferasi. Skala= 100 µm. Nagahama (1994) menggambarkan proses gametogenesis pada ikan dikontrol oleh regulasi hormon gonadotropin yang disekresikan oleh kelenjar pituitari.
D Pada
ovari, hormon gonadotropin akan merangsang sel theca
memproduksi substrat androgen (testosteron). Testosteron berdifusi ke sel-sel granulosa dan melalui aktivitas aromatase, testosterone dikonversi menjadi estradiol 17-β (estrogen). Hormon estradiol ini kemudian merangsang sintesis vitellogenin di hati untuk pembentukan kuning telur. Untuk proses pematangan oosit dikatakan bahwa selain kontrol gonadotropin, terdapat pula peran kontrol maturation-inducing hormone (MIH) dan maturation-promoting hormone (MPF). Sedangkan pada testis, hormon gonadotropin berfungsi merangsang sel Leydig memproduksi 11-ketotestosterone yang selanjutnya mengaktivasi sel sertoli untuk memproduksi aktivin B.
Aktivin B inilah
menginduksi proses mitosis sel spermatogonia.
yang selanjutnya
Untuk proses pematangan
menjadi spermatozoa diperankan oleh hormon 17α-hydroxyprogesterone pada sel-
58
sel somatik di bawah kontrol hormon gonadotropin (Nagahama 1994). Beberapa hormon lain yang berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi oogonia dan spermatogonia yaitu E2 dan 17,20 β-P (Young et al. 2004). Sel spermatogonia ikan gurami diharapkan dapat berdiferensiasi menjadi sel sperma pada jantan dan sel telur pada betina, namun sejauh mana keberhasilan diferensiasi tersebut berlangsung juga sangat didukung oleh peran sel-sel somatik ikan nila selama proses perkembangan sel germinal.
Diferensiasi sel germinal
donor pada resipien yang jauh hubungan filogeninya membutuhkan hubungan kerjasama yang tepat antara sel germinal donor dan sel somatik resipien seperti misalnya sinyal-sinyal yang berperan dalam proses transfer material pembentuk telur (Saito et al. 2008).
Penelitian ini tidak akan melihat kemampuan sel donor
spermatogonia ikan gurami berdiferensiasi pada gonad resipien
hingga
menghasilkan sel spermatozoa atau sel telur. Namun demikian hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sel spermatogonia ikan gurami mampu bermigrasi, terkolonisasi
dan
kemungkinan
berlangsungnya spermatogenesis dan
berproliferasi
merupakan
merupakan peluang bagi
awal
dari
keberhasilan
aplikasi teknologi xenotransplantasi sel testikular ikan gurami kepada ikan nila.
KESIMPULAN
1. Umur resipien larva ikan nila yang optimum untuk transplantasi adalah 3 hari pascamenetas. 2. Sel spermatogonia ikan gurami dapat terkolonisasi dan terdiferensiasi menjadi sel oogonia pada gonad ikan nila betina. 3. Kumpulan sel
donor
ikan
gurami pada
mengindikasikan terjadinya proliferasi sel donor.
gonad
resipien ikan nila
V. ANALISIS PROLIFERASI SEL SPERMATOGONIA IKAN GURAMI PADA GONAD IKAN NILA ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan proliferasi sel spermatogonia ikan gurami yang terkolonisasi pada gonad ikan nila. Analisis proliferasi dilakukan menggunakan pendekatan molekular. Penelitian ini terdiri atas 5 tahap, yaitu 1) transplantasi sel testikular ikan gurami secara intraperitoneal ke larva ikan nila umur 3 hari pascamenetas (hpm), 2) isolasi DNA larva ikan nila 24 jam pascatransplantasi (pt), dan gonad dari ikan nila resipien yang terdeteksi membawa sel donor berlabel PKH 26 pada umur 1,2, 3 bulan pt, 3) amplifikasi PCR cetakan DNA dengan primer spesifik gen hormon pertumbuhan ikan gurami, 4) pembuatan kurva standar DNA produk PCR dari supensi campuran sel testikular ikan gurami dan ikan nila pada berbagai rasio, dan 5) kuantifikasi pita DNA hasil elektroforesis menggunakan program unscan IT gel 6.1. Parameter yang diamati adalah konsentrasi DNA produk PCR ikan gurami pada resipien nila umur 24 jam serta 1, 2, dan 3 bulan pt. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi peningkatan konsentrasi DNA dan estimasi jumlah sel donor secara nyata (P<0,05) dari resipien yang berumur 1 bulan pt ke resipien umur 2 bulan pt atau 3 bulan pt dengan persentase peningkatan 3,42 kali, sedangkan dari umur 2 bulan pt ke 3 bulan pt tidak berbeda nyata (P>0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sel donor spermatogonia ikan gurami yang ditransplantasikan mampu berproliferasi pada gonad ikan nila resipien. Kata kunci : spermatogonia, proliferasi, hormon pertumbuhan, konsentrasi DNA, jumlah sel.
60
V. THE PROLIFERATION ANALYSIS OF GIANT GOURAMI SPERMATOGONIA IN NILE TILAPIA GONAD ABSTRACT The research was conducted to analyze the proliferation of giant gourami spermatogonia as donor cells that had been colonized in Nile tilapia as recipient. The analysis were done using molecular approach. The research comprised of 5 stages, those are, 1) the intraperioneally transplantation of giant gourami testicular germ cell into 3 dph tilapia larvae, 2) the DNA isolation of 24 hours post transplantation (pt) larvae and positive colonized gonads of 1, 2, and 3 months pt recipient, 3) the amplification of DNA with PCR using giant gourami growth hormone gene as specific primer, 4) the determination of standard curve of DNA PCR product upon some ratios of mix number of giant gourami and Nile tilapia testicular germ cell to estimate the number of cell colonized in recipient gonad, and 5) the quantification of DNA band in electrophoresis gel using unscan IT gel 6.1 software. Parameter observed was the DNA concentration of 24 hours, 1 month pt, 2 month pt and 3 month pt recipient. The result showed that the DNA concentration and the amount of colonized cells increased 3.42 times significantly from 1 month pt recipient to 2 or 3 month pt recipient (P<0.05), meanwhile, there were no significant different concentration of DNA and amount of cells from 2 month pt recipient to 3 month pt recipient (P>0.05). In conclusion, the transplanted giant gourami spermatogonial cells could proliferated in tilapia gonad. keywords : spermatogonia, proliferation, growth hormone, DNA concentration, number of cell.
PENDAHULUAN Gametogenesis adalah serangkaian proses transformasi sel-sel germinal menjadi sel yang terspesialisasi, yaitu sel telur pada betina (oogenesis) dan spermatozoa pada jantan (spermatogenesis). Selama proses gametogenesis, sel bakal gonad akan melewati tiga tahap, yaitu tahap proliferasi, tahap meiosis dan tahap spermiogenik (Jiang & Short 1998, Nakamura et al. 1998). Selama tahap proliferasi, sel bakal gonad atau dikenal sebagai primordial germ cell (PGC) akan melakukan perbanyakan diri (self renewal) secara mitotik untuk mempertahankan jumlah sel punca dan juga untuk memproduksi spermatogonia terdiferensiasi yaitu spermatogonia B (SpB). Selanjutnya terjadi proliferasi secara aktif sehingga jumlah sel meningkat dengan pesat.
Peningkatan jumlah sel oleh proliferasi
61
mitosis tersebut merupakan indikasi terjadinya spermatogenesis. Sel SpB yang terbentuk selanjutnya berdiferensiasi dengan pembelahan meiosis menjadi spermatosit primer hingga ke tahap perkembangan berikutnya yaitu spermatid. Spermatid selanjutnya akan mengalami tahap spermiogenik hingga akhirnya membentuk spermatozoa (Jiang & Short 1998, Hess & Franca 2007). Pada bab IV
telah dibuktikan bahwa sel germinal spermatogonia ikan
gurami mampu berkoloni dengan sel-sel testikular pada gonad ikan nila. Hal ini mengindikasikan bahwa sel donor ikan gurami dapat hidup pada gonad ikan nila tanpa penolakan sistem imun dari ikan nila seperti yang terjadi pada umumnya dalam xenotransplantasi. Hasil ini merupakan awal dari keberhasilan teknologi xanotransplantasi
sel germinal jantan ikan gurami pada ikan nila.
Namun
demikian, untuk mendapatkan sel gamet ikan gurami dari ikan nila sebagai induk pengganti
maka
sel
donor
yang
telah
terkolonisasi
harus
mampu
bergametogenesis. Dari pengamatan sel donor yang telah dilabel PKH 26 pada gonad resipien (bab IV) diduga adanya indikasi sel spermatogonia yang terkolonisasi mengalami proliferasi pada resipien berdasarkan
adanya kumpulan-kumpulan sel yang
terlabel PKH 26 pada resipien yang berumur lebih dari 2 bulan. Di samping itu, berdasarkan pengamatan gonad resipien di bawah mikroskop fluoresens ditemukan pula perbedaan intensitas warna PKH 26 dari resipien umur 2 bulan pascatransplantasi (pt) ke resipien umur 3 bulan pt. Untuk membuktikan indikasi proliferasi sel donor ikan gurami pada resipien ikan nila maka pada penelitian ini dilakukan analisis proliferasi sel spermatogonia ikan gurami pada gonad ikan nila. Berbagai macam cara digunakan oleh para peneliti untuk menganalisis proliferasi sel. Proliferasi sel dapat dianalisis secara tidak langsung dengan parameter yang diamati adalah aktivitas senyawa tertentu yang berperan dalam proses pembelahan sel tersebut. Cara ini dapat ditempuh dengan teknik ELISA, western blots atau imunohistokimia. Parameter lain adalah dengan mengukur peningkatan jumlah sintesis DNA sebagai tanda terjadinya proses replikasi. Untuk tujuan tersebut, maka pada DNA biasanya dilakukan pelabelan (Roche 2003). Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah peningkatan jumlah sel
62
donor pada resipien umur 1, 2 dan 3 bulan pt. Teknik yang digunakan untuk mengestimasi terjadinya peningkatan jumlah sel donor adalah teknik polymerase chain reaction (PCR) dengan marka molekuler gen growth hormone (GH) ikan gurami. Dengan marka molekuler gen GH ikan gurami, sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila dapat diidentifikasi.
Ketebalan pita pada gel
elektroforesis menunjukkan besarnya konsentrasi DNA donor pada gonad resipien. Peningkatan tebal pita DNA pada gel elektroforesis hasil PCR gonad ikan nila umur 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan pt diharapkan dapat menunjukkan terjadinya proliferasi sel donor ikan gurami pada resipien ikan nila.
BAHAN DAN METODE Transplantasi Sel Testikular Ikan Gurami ke Larva Ikan Nila Transplantasi sel testikular ikan gurami ke larva ikan nila dilakukan mengikuti prosedur yang telah dijelaskan pada bab IV.
Testis ikan gurami
dengan kisaran bobot tubuh sekitar 600–700 g didisosiasi untuk mendapatkan suspensi sel donor. Sebelum disuntikkan, suspensi sel dihitung untuk menentukan volume label PKH 26 yang dibutuhkan untuk mewarnai sel donor dan untuk mengetahui jumlah sel spermatogonia (diameter ≥ 15 µm) yang berpeluang terkolonisasi. Jumlah sel dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop CX10 (Olympus). Pelabelan sel testikular ikan gurami dengan PKH 26 fluorescent membrane dye dilakukan berdasarkan protokol yang telah disajikan pada bab IV. Transplantasi sel testikular ikan gurami dilakukan secara i.p pada 45 ekor larva ikan nila yang berumur 3 hpm dengan jumlah sel yang disuntikkan sekitar 20.000 sel/0,5 µL medium L15. Pemeliharaan resipien dilakukan hingga mencapai umur analisis yaitu 24 jam, 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan pt. Untuk isolasi DNA dari larva yang berumur 24 jam pt digunakan 3 ekor larva yang dipilih secara acak. Untuk isolasi DNA dari larva umur 1, 2 dan 3 bulan pt digunakan masing-masing 6 ekor resipien yang positif membawa sel donor.
63
Isolasi DNA DNA diekstraksi dari sampel: 1) larva ikan nila pada 24 jam pt sebanyak 3 ekor yang dipilih secara acak, 2) gonad dari ikan nila umur 1, 2 dan 3 bulan pt yang positif membawa sel donor sebanyak masing-masing 6 ekor, 3) suspensi campuran sel testikular ikan gurami dan ikan nila, 4) suspensi sel-sel testikular ikan gurami sebagai kontrol positif, dan 5) gonad ikan nila tanpa transplantasi umur 3 bulan sebagai kontrol negatif. Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan kit dari Puregene (Gentra, Minneapolis, USA). Sampel dimasukkan ke dalam 200 μL cell lysis solution yang berisi 1,5 μL Proteinase K (20 mg/mL). Sampel diinkubasi pada suhu 55 °C selama semalam.
Setelah sel terlisis sempurna,
ditambahkan 1,5 μL RNase (4 mg/mL) dan diinkubasi pada 37 oC selama 60 menit.
Kemudian ke dalam tabung sampel ditambahkan 100 μL protein
precipitation solution (Gentra, Minneapolis, USA), disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam mikrotub yang berisikan 300 μL isopropanol. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, kemudian ditambahkan 300 μL etanol 70% dingin ke dalam mikrotub berisi pelet DNA. Sampel disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet DNA dikeringudarakan dan ditambahkan 20 μL sterille destillated water (SDW). DNA disimpan dalam freezer suhu -20 oC hingga digunakan. Kuantifikasi hasil ekstraksi DNA dilakukan dengan spektrofotometer GeneQuant. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 260 (λ260) nm. Kemurnian DNA diketahui dengan melihat rasio DNA pada perbandingan absorbansi panjang gelombang 260 nm dengan panjang gelombang 280 nm. Kandungan DNA ditentukan dari pengukuran pada λ260. Amplifikasi DNA dengan PCR Pereaksi PCR dibuat berdasarkan jumlah sampel yang akan diamplifikasi. Volume total pereaksi PCR adalah 10 µL untuk setiap sampel yang terdiri atas 4 µL SDW, 1 µL masing-masing primer forward dan reverse, 1 µL dNTPs mix, 1 µL LA Taq buffer, 1 µL MgCl2, 0,05 µL LA Taq polimerase (Takara Bio, Shiga, Japan), 1 µL DNA cetakan. Primer yang digunakan adalah GH ikan gurami dan
64
β-aktin ikan nila. Suhu annealing dan lama waktu ekstensi untuk primer GH dan β-aktin masing-masing adalah 58 oC dan 45 detik untuk primer GH serta 61 oC dan 30 detik untuk primer β-aktin. Sedangkan, suhu predenaturasi, denaturasi. dan ekstensi akhir sama untuk kedua primer yaitu masing-masing 94 oC selama 3 menit, 94 oC selama 30 detik, dan 72 oC selama 3 menit dengan siklus amplifikasi sebanyak 35 siklus. Hasil amplifikasi selanjutnya divisualisasikan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa 1% dengan volume DNA sebesar 7 µL dan loading dye (10x loading buffer, Takara bio, Japan) sebesar 3 µL. Pembuatan Kurva Standar Konsentrasi DNA Ikan Gurami dalam Gonad Ikan Nila Untuk mengetahui jumlah sel testikular minimal yang dapat terdeteksi dengan metode PCR jika berada dalam gonad ikan nila maka dibuat suspensi campuran sel testikular ikan gurami dan sel testikular ikan nila dengan rasio yang berbeda yang selanjutnya disebut larutan standar konsentrasi. Sebagai langkah awal dilakukan isolasi sel testikular ikan gurami dan ikan nila yang didisosiasi berdasarkan metode yang telah dijelaskan pada bab IV. Testis ikan gurami ukuran sekitar 700 g didisosiasi dan dihitung jumlah total sel yang dihasilkan. Demikian halnya testis ikan nila umur 2,5 bulan sebanyak tiga ekor juga masing-masing didisosiasi dengan metode yang sama lalu dihitung jumlah selnya. Nilai rata-rata jumlah sel testikular ikan nila diasumsikan sebagai nilai A. Selanjutnya dibuat suspensi campuran sel testikular ikan gurami dan ikan nila dengan perbandingan rasio yang berbeda yang diformulasikan sebagai berikut: Standar 1. 101 : (A-101) Standar 2. 102 : (A-102) Standar 3. 103 : (A-103) Standar 4. 104 : (A-104) Standar 5. 105 : (A-105) DNA dari sel hasil pencampuran tersebut diisolasi dan selanjutnya digunakan dalam proses PCR dengan metode seperti dijelaskan oleh Achmad (2009). Sebagai kontrol internal loading DNA, digunakan primer β-aktin DNA. Hasil PCR dielektroforesis dan ketebalan atau intensitas pita DNA pada gel
65
diukur menggunakan program unscan UT Gel 6.1 sehingga diperoleh konsentrasi DNA untuk setiap pita yang terbentuk. Hasil konsentrasi DNA tersebut kemudian dikorelasikan dengan jumlah sel testikular ikan gurami sehingga terbentuk kurva konsentrasi terhadap jumlah sel.
Kurva ini akan menjadi kurva standar dan
persamaan dari kurva standar tersebut digunakan untuk mengestimasi jumlah sel donor ikan gurami dalam gonad resipien ikan nila. Analisis Proliferasi Sel Donor pada Resipien Resipien larva ikan nila umur 24 jam pt dan dari gonad ikan nila umur 1 bulan pt, 2 bulan pt dan 3 bulan pt diekstraksi menggunakan kit isolasi DNA (Gentra, Minneapollis-USA) dengan prosedur seperti dalam manual. PCR dilakukan menggunakan marka molekular spesifik GH ikan gurami dengan program seperti dijelaskan oleh Achmad (2009) dan sebagai kontrol internal loading DNA digunakan primer β-aktin DNA.
Pita DNA gurami hasil
elektroforesis dikuantifikasi menggunakan program unscan UT Gel 6.1. Hasil kuantifikasi atau digitasi berupa konsentrasi DNA dari pita yang terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar konsentrasi DNA yang telah dibuat untuk mengestimasi jumlah sel donor yang terdapat pada gonad resipien. Peningkatan tebal pita DNA atau meningkatnya konsentrasi DNA hasil digitasi gel dalam selang periode waktu 1, 2 dan 3 bulan pt menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel donor atau telah mengalami proliferasi. Analisis Data Data kualitatif disajikan secara deskriptif dalam bentuk elektroforegram dan grafik sedangkan data kuantitatif dalam bentuk nilai tengah diuji secara statistik menggunakan ANOVA (analysis of variance), dan dilanjutkan dengan uji beda nyata Duncan multiple range test. Analisis dilakukan menggunakan program SPSS 17.0 for windows dan MS Office Excell 2007.
66
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil amplifikasi DNA genom yang diisolasi dari suspensi campuran sel testikular ikan gurami dan ikan nila dengan berbagai rasio sel dapat dilihat pada elektroforegram DNA produk PCR pada Gambar 14.
Hasil amplifikasi dengan
PCR menggunakan marker spesifik gen GH ikan gurami tersebut menunjukkan bahwa rasio sel ikan gurami terendah yang dapat dideteksi jika berada dalam gonad ikan nila adalah 1: 4999 (satu sel testikular ikan gurami di dalam suspensi yang berisi 4999 sel testikular ikan nila). Hal ini berarti bahwa sel donor ikan gurami pada gonad ikan nila hanya bisa dideteksi dengan teknik molekular ini jika jumlah sel donor ikan gurami yang terkolonisasi pada gonad ikan nila yang berumur 2,5 bulan adalah lebih besar dari 100 sel (jumlah sel testikular rata-rata dari tiga ekor ikan nila umur 2,5 bulan adalah 457.778±46.825,
dibulatkan
menjadi 500.000 untuk memudahkan penghitungan).
Gambar 14 Elektroforegram DNA produk PCR dari sel testikular ikan gurami dan ikan nila yang diamplifikasi menggunakan marker spesifik GH gurami (340 bp) dan β aktin (150 bp) sebagai kontrol internal. Ket : M = marker; N=sampel DNA gonad ikan nila; G= sampel DNA sel testikular ikan gurami. Selain untuk mengetahui jumlah minimal sel donor yang dapat terdeteksi oleh mesin PCR, pembuatan suspensi campuran sel testikular ikan gurami dan ikan nila dengan rasio yang berbeda-beda juga bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsentrasi DNA hasil amplifikasi PCR dan jumlah sel donor yang terkolonisasi.
Oleh karena itu elektroforegram
yang diperoleh pada
67
Gambar 14 dikuantifikasi dan dibuatkan kurva standar konsentrasi DNA ikan gurami dalam gonad ikan nila menggunakan program unscan IT Gel 6.1 . Hasil penyebaran titik jumlah sel donor (y) terhadap konsentrasi DNA sel donor (x) menghasilkan persamaan regresi linear y= 323+1129x dan R2=0,99. Persamaan
ini
selanjutnya
digunakan
sebagai
model
penduga
yang
menggambarkan hubungan jumlah sel dan konsentrasi DNA hasil kuantifikasi gel (Gambar 15). Jumlah sel (x1000)
y 1. 2. 3. 4. 5.
100000 10000 1000 100 10
x 88,43 4,62 2,25 1,70 0,00
Gambar 15 Kurva standar konsentrasi DNA produk PCR dari DNA genom sel testikular ikan gurami dalam suspensi sel testikular ikan nila. Kuantifikasi DNA Ikan Gurami pada Resipien Ikan Nila Pascatransplantasi Hasil transplantasi sel testikular ikan gurami kepada larva ikan nila yang berumur 3 hpm menunjukkan bahwa sintasan larva 24 jam pt pada penelitian ini adalah sebesar 91,11% (41/45).
Kemampuan kolonisasi yang dianalisis melalui
pengamatan mikroskop fluoresens dari seluruh total larva yang hidup hingga 3 bulan pt adalah 54,54 % (18/33). Jumlah larva yang membawa sel donor pada pemeriksaan 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan pt adalah masing-masing 6 (13), 6 (12) dan 6 (8) ekor. Perbandingan jumlah jantan dan betina dari resipien yang berumur 2 dan 3 bulan pt yang dapat diidentifikasi dari morfologi gonadnya masingmasing 4:2 dan 3:3 (jantan:betina). Sedangkan pada resipien yang berumur 1 bulan pt, gonad belum dapat diidentifikasi. Beberapa resipien yang teridentifikasi membawa sel donor berlabel PKH 26 dapat dilihat pada Gambar 16.
68
Gambar 16 Gonad resipien ikan nila yang membawa sel donor ikan gurami yang terlabel oleh PKH 26 (kepala panah). Garis putus-putus menunjukkan batas gonad. A,C,E,I,J: pengamatan dengan mikroskop fluoresens, B,D,F: pengamatan tanpa fluoresens. A,D: resipien umur 1 bulan pascatransplantasi (pt), E,F: resipien jantan umur 2 bulan pt, G,H(insersi): kumpulan sel donor pada resipien jantan umur 3 bulan pt, I,J(insersi): kumpulan sel donor pada resipien jantan umur 2 bulan pt.
69
Pada resipien yang berumur 1 bulan pt, jumlah sel donor yang dapat diamati sangat sedikit (Gambar 16A-D). Tidak demikian halnya dengan resipien umur 2 bulan pt (Gambar 16E,16F) dan 3 bulan pt (Gambar 16G,16H), beberapa sel donor dapat ditemukan di sepanjang gonad ikan bahkan beberapa di antaranya menyerupai kumpulan sel. Seperti yang telah dikemukakan pada bab IV bahwa selama pengamatan gonad resipien di bawah mikroskop fluoresens ditemukan beberapa pendaran PKH 26 yang menyerupai kumpulan sel. Menurut Takeuchi et al. (2003) salah satu
indikasi terjadinya proliferasi adalah sel donor yang
terkolonisasi membentuk kumpulan sel pada jaringan gonad resipien. Kumpulan sel berpendar yang terdapat pada Gambar 16J dengan ukuran sel yang bervariasi menunjukkan bahwa SSC yang terkolonisasi pada gonad resipien tidak hanya melakukan pembelahan dalam rangka memperbanyak diri, tetapi juga diduga telah berproliferasi menjadi sel-sel derivat SSC. Berdasarkan hasil pemeriksaan secara molekular menggunakan marka GH ikan gurami
dengan jumlah sampel masing-masing 6 ekor resipien yang
membawa sel donor berdasarkan pemeriksaan fluoresens, terdapat 2 ekor resipien yang berumur 1 bulan pt, 6 ekor resipien yang berumur 2 bulan pt dan 5 ekor resipien yang berumur 3 bulan pt yang terdeteksi membawa sel donor ikan gurami atau sebanyak 72,22% (13/18) yang dapat dideteksi secara molekular (Gambar 17).
Terdapat dua ekor resipien yang berumur 1 bulan pt tidak dilanjutkan ke
proses PCR karena dari hasil penghitungan gen, diperoleh kandungan DNA= 0 atau dengan kata lain tidak mengandung DNA (Lampiran 8). Pada Gambar 17 tampak bahwa ketebalan pita yang dihasilkan sangat bervariasi yang menunjukkan bahwa jumlah sel yang terdapat pada gonad ikan nila juga sangat bervariasi.
Kuantifikasi pita DNA menggunakan program
unscan IT Gel 6.1 dilakukan untuk mendapatkan prediksi berapa konsentrasi sel gurami yang terdapat pada gonad ikan nila (data luaran unscan IT Gel dapat dilihat pada Lampiran 9).
70
Gambar 17 Elektroforegram DNA produk PCR dari gonad resipien ikan nila 1, 2 dan 3 bulan pascatransplantasi (pt) menggunakan marka molekuler spesifik GH ikan gurami (340 bp) dan primer β-aktin ikan nila (150 bp) sebagai kontrol internal. Ket : L1-L3:DNA resipien 24 jam pt, 12-15:DNA gonad resipien 1 bulan pt, 21-26:DNA gonad resipien 2 bulan pt, 31-36:DNA gonad resipien 3 bulan pt, M: marker, G: DNA suspensi sel testikular ikan gurami, N: DNA gonad ikan nila tanpa transplantasi, (K-): kontrol negatif bahan PCR. Untuk menduga berapa banyak sel ikan gurami yang terdapat pada gonad ikan nila, digunakan model penduga yang telah diperoleh dari kurva standar konsentrasi DNA sehingga diperoleh estimasi jumlah sel seperti terdapat pada Gambar 18. Hasil pemeriksaan DNA genom larva 24 jam pt pada Gambar 18 menunjukkan konsentrasi DNA dan jumlah sel testikular ikan gurami yang berhasil masuk ke dalam rongga peritoneal larva ikan nila sangat bervariasi dengan nilai konsentrasi rata-rata sebesar 37,41±27,47 ng/µL dan jumlah sel rata rata sebesar 42.565±31.017. Besarnya variasi konsentrasi sel pada 24 jam pt tersebut diduga disebabkan oleh besarnya variasi tipe sel testikular yang terdapat dalam suspensi sel yang disuntikkan sehingga meskipun jumlah sel yang disuntikkan sekitar 20.000 sel, tetapi memiliki kandungan DNA yang berbeda-beda.
Suresh et al. (1992)
menyatakan bahwa konsentrasi DNA genom sel-sel testikular berbeda-beda. Sel testikular yang dalam keadaan diploid (spermatogonia, spermatosit) memiliki jumlah DNA yang lebih besar dari sel haploid (spermatosit sekunder, spermatid,
71
spermatozoa).
Dugaan lain adalah adanya perbedaan kekuatan isap dari
mikromanipulator sehingga mengakibatkan perbedaan jumlah sel yang disedot ke dalam jarum mikroinjeksi.
Gambar 18 Estimasi jumlah sel donor ikan gurami pada gonad resipien ikan nila berdasarkan konsentrasi DNA hasil kuantifikasi pita DNA produk PCR menggunakan program Unscan IT Gel 6.1. Sementara itu nilai rerata konsentrasi DNA hasil kuantifikasi pita DNA maupun jumlah sel hasil pendugaan model persamaan linear menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi DNA yang nyata dari umur 1 bulan pt ke 2 bulan pt maupun 1 bulan pt ke 3 bulan pt (P<0,05) (Tabel 4 dan Lampiran 10). Jika nilai konsentrasi DNA ini dimasukkan ke dalam model pendugaan persamaan y= 323+1129x, di mana y=jumlah sel dan x=konsentrasi DNA, maka terjadi peningkatan jumlah sel sekitar 3,42 kali dari umur 1 bulan pt ke 2 bulan pt atau ke 3 bulan pt (sampel yang tidak teramplifikasi diabaikan).
72
Tabel 4 Konsentrasi DNA (ng/µL) dan jumlah sel hasil kuantifikasi DNA produk PCR sel donor ikan gurami dalam gonad resipien ikan nila umur 1, 2 dan 3 bulan pascatransplantasi (pt) Umur resipien (pt) 1 bulan 2 bulan 3 bulan
Konsentrasi DNA (ng/µL) 1,66 ± 1,93a 11,64 ± 4,07 b 9,15 ± 5,57 b
Jumlah sel 2.201 ± 2.175 a 13.463 ± 4.594 b 10.654 ± 6.285 b
Huruf superskrip yang berbeda setelah angka pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05).
Peningkatan konsentrasi DNA produk PCR ikan gurami tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan telah terjadi proses proliferasi spermatogonia ikan gurami dalam gonad resipien setelah resipien berumur lebih dari 1 bulan meskipun tidak diketahui secara jelas berapa kali sel mengalami pembelahan karena jumlah awal sel yang terkolonisasi tidak diketahui. Namun demikian dapat diduga bahwa telah terjadi peningkatan jumlah sel spermatogonia pada umur 1 bulan pt karena dari 20.000 sel testikular yang disuntikkan, terdapat 2.006±158 sel yang berada pada tahap spermatogonia belum terdiferensiasi (SSC dan SpA).
Jika semua sel spermatogonia ini terkolonisasi maka telah terjadi
penambahan jumlah sel testikular rata-rata minimum 2 kali lipat. Beberapa penelitian transplantasi sel spermatogonia pada spesies ikan juga memberikan hasil bahwa dari sekitar 20.000 jumlah sel yang disuntikkan, jumlah sel yang dapat bermigrasi dan terkolonisasi pada tahap awal larva hanya sedikit yaitu berkisar 1 hingga 9 sel pada ikan rainbow trout yang berumur 20 hari pt (Okutsu et al. 2006b) dan 32–45 sel pada ikan nibe 21 hari pt (Yazawa et al. 2010), setelah itu proliferasi terjadi lebih cepat. Menurut Kobayashi et al (2000), pada ikan nila oogenesis mulai terjadi saat berumur 20–25 hpm. Sedangkan Kobayashi et al (2010) menyatakan bahwa pada umur 35 hari mulai terlihat fase meiosis dan saat itu oogonia akan berkembang menjadi oosit primer dan membelah menjadi satu oosit sekunder dan polar body. Namun, pada ikan yang memijah secara parsial seperti ikan nila, proses meiosis tidak terjadi sekaligus sehingga oogonia masih sering ditemukan di antara folikelfolikel ovari (Takashima & Hibiya 1995). Sedangkan pada jantan proliferasi baru terjadi pada umur 50 hpm dan meiosis pertama kali teramati pada umur 85 hpm (Kobayashi 2010). Proses mitosis dan meiosis pada jantan berlangsung secara
73
terus-menerus. Jika sel donor mengikuti proses spermatogenesis pada ikan nila, peningkatan jumlah sel dari umur 1 bulan pt ke 2 bulan pt atau 1 bulan pt ke 3 bulan pt sangat mungkin terjadi. Sementara itu, konsentrasi DNA rata-rata pada umur 2 bulan pt dan 3 bulan pt tidak terlihat perbedaan nyata bahkan terlihat adanya penurunan konsentrasi DNA ikan gurami pada gonad ikan nila dari umur 2 bulan pt ke 3 bulan pt. Terdapat beberapa kemungkinan penyebab penurunan konsentrasi DNA tersebut yaitu 1) kemampuan primer GH mendeteksi sel donor yang berkurang diakibatkan oleh konsentrasi sel endogen lebih besar yang disebabkan oleh sel testikular ikan nila yang terlalu besar dibandingkan sel donor pada gonad ikan nila umur 3 bulan sehingga sensitivitas PCR dalam mendeteksi gen target menjadi berkurang. Berat rata-rata gonad ikan nila 3 bulan yang diekstraksi adalah 0,0127±0,0068 g sedangkan berat rata-rata gonad ikan nila 2 bulan adalah 0,0047±0,0044 g Menurut Kuske et al. (1998) DNA pengganggu (background DNA) dapat mempengaruhi sensitivitas PCR. Kemungkinan kedua adalah jumlah sel testikular yang berhasil masuk ke rongga peritoneal pada individu berbeda.
Hal ini bisa terlihat dari hasil
kuantifikasi DNA genom ikan gurami dalam larva ikan nila 24 jam pt yang sangat bervariasi (Gambar 18) sehingga jumlah sel spermatogonia yang berpeluang terkolonisasi juga sangat bervariasi. Terdapat pula dugaan terjadinya penolakan sistem imun resipien terhadap sel donor pada umur 3 bulan pt namun menurut Ali (1987) jaringan limfoid yang berperan terhadap respon imun ikan nila sudah terbentuk pada umur 5 hpm dan sel-sel limfoid terbentuk pada umur 14 hpm. Pengamatan terhadap respon imun ikan nila pada 56 hpm menunjukkan bahwa respon imun telah berfungsi secara normal. Fenomena respon imun ini menunjukkan bahwa sel donor ikan gurami tidak ditolak oleh respon imun ikan nila sebagai resipien.
KESIMPULAN 1. Sel donor spermatogonia ikan gurami mampu berproliferasi pada gonad resipien ikan nila. 2. Proliferasi sel donor terjadi setelah 1 bulan pascatransplantasi.
VI. VIABILITAS DAN EFISIENSI KOLONISASI SPERMATOGONIA DARI TESTIS IKAN GURAMI PASCAPRESERVASI DINGIN PADA LARVA IKAN NILA
ABSTRAK
Pada aplikasi transplantasi, ketersediaan sel donor sering tidak sinkron dengan ketersediaan resipien sedangkan testis tidak dapat bertahan lama di luar tubuh. Oleh karena itu dibutuhkan upaya preservasi jaringan testis sebagai sumber sel donor sebelum transplantasi dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengevaluasi viabilitas spermatogonia dari testis pascapreservasi, dan 2) mengevaluasi efisiensi kolonisasi sel donor dari testis yang dipreservasi. Testis dipreservasi pada larutan NaCl fisiologis pada suhu 4 oC selama 6, 12, 24, dan 48 jam. Testis didisosiasi dalam larutan PBS (phosphate buffered solution) dengan 0,5% trypsin dan 3% DNase 10 IU/µL, 5% FBS (fetal bovine serum), 25 mM HEPES dan 1 mM CaCl2 untuk mendapatkan suspensi sel testikular. Parameter yang diamati adalah viabilitas spermatogonia (diameter sel > 10 µm) dan kerusakan sel akibat preservasi. Viabilitas sel dianalisis dengan trypan blue sedangkan kerusakan sel dan jaringan dianalisis secara histologis. Suspensi sel testikular dari 24 dan 48 jam preservasi dilabel dengan PKH26 dan ditransplantasikan ke larva ikan nila umur 3 hari pascamenetas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa viabilitas sel mulai menurun pada preservasi 12 jam (P<0,05), dan pada preservasi 48 jam viabilitas sel mencapai 54,48±8,33%. Kerusakan histologis yang ditemukan berupa disintegrasi jaringan dan inti piknotik. Efisiensi kolonisasi rata-rata tidak berbeda nyata antara donor tanpa preservasi (61,11%) dan yang dipreservasi selama 24 jam (55,56%) dan 48 jam (55,56%). Hal ini berarti testis yang dipreservasi pada suhu 4 oC hingga 48 jam masih dapat digunakan sebagai sumber sel donor bagi kegiatan transplantasi sel testikular ikan gurami ke ikan nila. Kata kunci: preservasi, spermatogonia, ikan gurami, viabilitas, efisiensi kolonisasi
76
VI. THE VIABILITY AND COLONIZATION EFFICIENCY OF SPERMATOGONIA ISOLATED FROM GIANT GOURAMI COLD PRESERVED TESTIS IN NILE TILAPIA LARVAE ABSTRACT In practice of germ cell transplantation, recipient and donor cell may not be immediately available at the same time whereas the testis can not be survive longer when it is outside of the body. Therefore, preservation of testis tissue may be required before transplantation. The research was conducted to evaluate 1) the viability of spermatogonia isolated from short term preserved testis and 2) colonization efficiency of preserved donor cells after transplantation. Testis was preserved in physiological NaCl solution at 4 oC for 6, 12, 24, and 48 hours. Testis were dissociated in 0.5 % trypsin and 3% DNase 10 IU/µL in PBS (phosphate buffered solution) complemented with 5% FBS ( fetal bovine serum), 25 mM HEPES and 1mM CaCl2 to obtain testicular germ cell suspension. Parameters observed were viability of spermatogonia (cell diameter > 10 µm) and cell damaged caused by preservation. The viability was analyzed using trypan blue exclusion dye meanwhile cell and tissue damaged were analyzed histologically. Testicular germ cell isolated from 24 and 48 hours preservation and labeled with PKH 26 membrane fluorescent dye then transplanted into 3 days post hatched tilapia recipient. The results showed that the viability of spermatogonia started to decrease significantly in 12 hours preservation (P<0.05) and in 48 hours preservation, the amount of viable cells was only 54,48±8,33%. Histological study showed there were disintegration of interstitial tissue and picnotic nucleus found at the testicular tissue preserved for 6 until 48 hours. Two months post transplantation, the efficiency of colonization were analyzed in recipient and the result showed insignificant difference of efficiency colonization between recipient transplanted with testicular tissue preserved 24 and 48 hours (55,56% each) and without preservation (61,11%) . In conclusion, preserved testicular tissue at 4oC could be used as the source of donor cell for testicular germ cell transplantation of giant gourami into Nile tilapia. Key words: preservation, spermatogonia, giant gourami, viability, efficiency colonization.
PENDAHULUAN
Selama dua dekade terakhir, teknologi transplantasi sel germinal telah berhasil dilakukan pada beberapa jenis ikan (Takeuchi et al. 2004, Okutsu et al. 2006b, Lacerda et al. 2008, Majhi et al. 2009). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, beberapa yang menggunakan donor dan resipien yang berbeda
77
spesies yang dikenal dengan istilah xenotransplantasi (Saito et al. 2008, Yazawa et al. 2010). Pada vertebrata tingkat tinggi, xenotransplantasi ini masih banyak terbatasi oleh penolakan sistem imun dari resipien terhadap sel donor yang berbeda spesies.
Oleh karena itu xenotransplantasi pada ikan memiliki peluang
lebih besar untuk dikembangkan termasuk pengembangan beberapa aplikasi teknik yang mendukung keberhasilan transplantasi seperti preservasi sel donor, identifikasi dan kultur sel donor, transgenesis dan lain-lainnya (Johston et al. 2000, Hills & Dobrinski 2006). Pada aplikasi teknik transplantasi, sering ditemui beberapa kendala diantaranya adalah sinkronisasi ketersediaan sel donor dengan resipien. Terkadang sel atau jaringan donor sudah tersedia namun resipien belum siap ditransplantasi. Sementara itu, jika donor tersebut berupa jaringan testis maka testis setelah dikeluarkan dari tubuh ikan akan beresiko mengalami kerusakan jika tidak segera diproses.
Oleh karena itu untuk mengatasi kendala ini dibutuhkan
teknik penyimpanan (preservasi) untuk menghindari kerusakan sel-sel gamet pada testis sebelum transplantasi dilakukan dan sekaligus menambah daya tahan hidup gamet. Terdapat dua macam teknik preservasi yaitu penyimpanan jangka panjang dengan suhu penyimpanan di bawah 0 oC dan preservasi jangka pendek dengan suhu penyimpanan di atas 0 oC (Browne et al. 2001). Umumnya penyimpanan jangka panjang dilakukan pada suhu beku (biasa dalam nitrogen cair) dikenal dengan istilah kriopreservasi dengan menggunakan krioprotektan tertentu. Pada beberapa vertebrata tingkat tinggi, kriopreservasi testis dengan tingkat kematangan yang tidak merata terkadang menurunkan viabilitas sel terutama bagi sel spermatogonia atau PGC, bahkan menurunkan kemampuan kolonisasi setelah ditransplantasikan pada tubuli seminiferi (Jahnukainen et al. 2006, Ehmcke & Schlatt 2008). Pada ikan, proses penyimpanan testis baru dilakukan pada ikan rainbow trout. Kriopreservasi testis ikan rainbow trout pada berbagai jenis krioprotektan dan berbagai konsentrasi krioprotektan menghasilkan viabilitas sel tertinggi sekitar 50%,
menurun sekitar 40% dari kontrol atau tanpa kriopreservasi
(Kobayashi et al. 2007). Efek yang ditimbulkan oleh kriopreservasi tersebut
78
menyebabkan teknik ini dikatakan tidak efisien untuk penyimpanan jangka pendek (Jahnukainen et al. 2006). Dalam dunia kedokteran, penyimpanan (preservasi) jangka pendek merupakan protokol tetap atau protokol intermediet sebelum melakukan Testis yang dipreservasi pada suhu 4 oC
transplantasi organ atau jaringan.
(preservasi dingin) terlebih dahulu ternyata tidak mempengaruhi kemampuan kolonisasi sel donor pada tubuli seminiferi bahkan dapat mempercepat spermatogenesis bagi testis prepubertal pada resipien (Jahnukainen et al. 2008, Honaramooz & Yang
2011).
Pada hewan vertebrata, Eriani et al. (2008)
melakukan preservasi duktus deferens dan epididimis kucing pada suhu 4 oC, dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sel gamet jantan masih bisa diselamatkan hingga 6 hari. Namun pada ikan, teknik preservasi testis pada suhu 4 oC belum pernah dilakukan. Lahnsteiner et al. (1977) menyatakan bahwa selain untuk tujuan sinkronisasi sel gamet jantan dan betina, preservasi jangka pendek juga digunakan untuk menyelamatkan plasma nutfah selama proses pengangkutan atau transportasi.
Dalam pengembangan xenotransplantasi sel germinal, faktor
ketersediaan sel punca spermatogonia atau spermatogonia belum berdiferensiasi juga menjadi faktor pembatas (Grisswold et al. 2001).
Okutsu et al. (2006a)
menyatakan bahwa hanya spermatogonia yang belum berdiferensiasi saja (spermatogonia A) yang memiliki kemampuan terkolonisasi pada resipien dan tipe sel ini jumlahnya paling sedikit dibandingkan tipe sel-sel testikular lainnya (Olive & Cuzin 2005, Lacerda et al. 2006, Oatley et al. 2006). Oleh karena itu ketersediaan spermatogonia sebagai sel donor
juga menjadi suatu tantangan
dalam mengembangkan teknologi transplantasi spermatogonia. Dengan teknik preservasi dingin selama proses transportasi ini, ketersediaan sel dapat diantisipasi dengan pemanfaatan limbah-limbah testis pada tempat-tempat pemotongan ikan atau restoran-restoran yang menyajikan ikan gurami. Untuk mengevaluasi potensi spermatogonia dari testis ikan gurami pascapreservasi dingin (4 oC), dilakukan transplantasi sel testikular yang diisolasi dari testis pascapreservasi beberapa lama waktu penyimpanan.
pada
79
BAHAN DAN METODE Preservasi Jaringan Testis Ikan Gurami Sebanyak 5 pasang testis diisolasi dari ikan gurami jantan dewasa berukuran 700–800 g. Setiap testis dimasukkan ke dalam larutan fisiologis NaCl 0,7% pada cawan petri steril dan dipreservasi pada suhu 4 oC dengan masa penyimpanan masing-masing 0, 6, 12, 24 dan 48 jam.
Larutan fisiologis NaCl 0,7%
sebelumnya diberi antibiotik gentamycin 1,25 µL/mL.
Setelah masa
penyimpanan selesai, testis selanjutnya dikeluarkan dari lemari/kotak pendingin. Sepasang testis tersebut dibagi menjadi dua bagian, satu bagian testis didisosiasi dan satu bagian lainnya diproses secara histologis.
Penelitian ini diulang
sebanyak 3 kali . Disosiasi Testis Ikan Gurami Pascapreservasi Sebanyak ±20 mg dari jaringan testis yang telah dipreservasi diambil untuk didisosiasi menurut metode disosiasi yang optimum pada bab III.
Untuk
menghilangkan aktivitas tripsin, suspensi sel dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali. Parameter yang diamati adalah viabilitas spermatogonia. Sebanyak 10 µL dari 1 mL suspensi sel hasil disosiasi diwarnai dengan trypan blue 0,4% (1:1). Sel yang mati akan terwarnai oleh trypan blue sehingga terlihat berwarna biru; sedangkan yang hidup akan tetap terlihat transparan. Jumlah total spermatogonia dan jumlah spermatogonia yang mati dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop.
Persentase viabilitas dihitung berdasarkan jumlah spermatogonia
yang hidup per jumlah total spermatogonia dikalikan seratus. Pembuatan Preparat Histologis Testis Pascapreservasi Preparat histologis jaringan testis dibuat untuk mengamati adanya perubahan morfologi sel spermatogonia sebelum dan sesudah preservasi. Testis yang telah dipreservasi difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam dan selanjutnya diproses mengikuti metode Kiernan (1990). Potongan jaringan testikular diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin.
Perubahan dan kerusakan
morfologi yang terjadi pada jaringan atau spermatogonia diamati pada 10 potongan melintang preparat histologis per perlakuan. Perubahan histologi testis
80
atau testis pascapereservasi diamati pada tiga bagian utama dari testis yaitu jaringan interstisial, tubulus dan sista spermatogonia.
Perubahan histologis
tersebut mengacu pada Pieterse (2004) yang meliputi disintegrasi jaringan interstisial, disorganisasi dan degenerasi lobul atau tubulus serta degenerasi sista dan kondensasi nukleus dari spermatogonia yang dikenal dengan istilah piknotik. Inti piknotik pada spermatogonia juga dapat dikenali dari rasio diameter sel dan inti sel yang melebihi rasio rata-rata diameter sel dan inti sel spermatogonia normal pada bab II. Transplantasi Sel Testikular yang Diisolasi dari Testis Ikan Gurami Pascapreservasi Kelayakan testis pascapreservasi sebagai sumber sel donor diuji melalui pendekatan transplantasi sel. Testis yang digunakan sebagai sumber donor adalah testis yang dipreservasi selama 24 dan 48 jam serta testis tanpa preservasi sebagai kontrol. Testis yang dipreservasi selama 6 jam tidak diuji kelayakannya dalam penelitian ini karena viabilitas selnya tidak berbeda nyata dengan testis tanpa preservasi sedangkan testis yang dipreservasi selama 12 jam tidak diuji karena viabilitas selnya tidak berbeda nyata dengan testis yang dipreservasi 24 jam. Resipien yang digunakan adalah yang optimum untuk kegiatan transplantasi berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu larva umur 3 hpm sebanyak 20 ekor per perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. a. Persiapan sel donor Testis diisolasi dari ikan gurami jantan dewasa dengan bobot tubuh 500-700 g dan dipreservasi pada larutan fisiologis NaCl 0,7% di dalam cawan petri steril pada suhu 4 oC selama 0 jam, 24 jam dan 48 jam. Testis didisosiasi menurut metode disosiasi optimum pada bab III. Setelah suspensi sel dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, jumlah sel selanjutnya dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop CX10 (Olympus) untuk menentukan volume pewarna atau label PKH 26 yang digunakan. Untuk visualisasi, sel donor dilabel dengan PKH 26 fluorescent membrane dye menurut metode pelabelan pada bab IV. Jumlah sel spermatogonia yang diameter selnya ≥ 15 µm dihitung menggunakan hemositometer. Suspensi sel
81
selanjutnya dipadatkan hingga konsentrasi 20.000/0,5 µL lalu disimpan pada suhu dingin dan tanpa cahaya hingga digunakan. b. Transplantasi sel donor ke dalam rongga genital larva resipien dan analisis kolonisasi sel donor pada gonad resipien Transplantasi sel donor ke dalam rongga genital mengikuti metode transplantasi pada bab IV.
Suspensi sel yang diinjeksikan sebanyak 0,5 µL
dengan jumlah sel testikular sebanyak 20.000 sel. Resipien larva nila dipelihara dalam aquarium (60x60x60) cm3 hingga siap dianalisis. Untuk mengevaluasi inkorporasi dari sel donor pada gonad resipien, gonad resipien ikan nila 2 bulan pascatransplantasi diamati di bawah mikroskop fluoresens Nikon Ellips E600. Jumlah resipien yang diperiksa sebanyak 6 ekor per perlakuan.
Parameter
keberhasilan transplantasi dihitung dari efisiensi kolonisasi yaitu persentase rasio jumlah resipien yang membawa spermatogonia gurami+PKH26
dengan total
jumlah resipien yang diperiksa. Analisis Data Semua data kualitatif disajikan secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif dalam bentuk nilai tengah diuji secara statistik menggunakan ANOVA (analysis of variance), dan dilanjutkan dengan uji Duncan multiple range test untuk menentukan beda nyata antar perlakuan. Analisis menggunakan program SPSS 17.0 for windows dan MS Office Excell 2007.
Perbedaan karakter morfologis
diuji secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas Spermatogonia dari Jaringan Testis Ikan Gurami Pascapreservasi Viabilitas hasil disosiasi testis pascapreservasi 0 (kontrol jaringan testis segar), 6, 12, 24 dan 48 jam dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa lama preservasi dingin (4 oC) jaringan testis
dalam larutan NaCl fisiologis berpengaruh nyata terhadap
viabilitas sel spermatogonia (P<0,05). Perbedaan nyata mulai terlihat pada lama penyimpanan 12 jam yang mana viabilitas sel telah menurun dan berada di bawah
82
80%. Viabilitas menurun drastis pada jaringan testis yang dipreservasi selama 48 jam. Hampir separuh dari spermatogonia mengalami kematian yang ditandai dengan sel berwarna biru (Gambar 19). Tabel 5
Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia hasil disosiasi jaringan testis ikan gurami pascapreservasi pada lama inkubasi berbeda
Lama preservasi (jam) 0 6 12 24 48
Jumlah rata-rata spermatogonia/mg testis 31.407 ± 8.668 43.152 ± 2.240 30.504 ± 1.997 11.365 ± 3.201 19.755 ± 12.102
Viabilitas spermatogonia (%) 96,77 ± 3,23a 88,37 ± 3,79a 77,70 ± 3,01b 74,30 ± 5,41b 54,48 ± 8,33c
Huruf superskrip yang berbeda setelah angka pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05).
Preservasi adalah suatu cara untuk menyimpan bahan (organ, jaringan, atau sel) yang bertujuan untuk pengawetan, pemeliharaan dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan pada bahan tersebut. Preservasi dapat berupa penyimpanan pada suhu rendah
atau penyimpanan menggunakan bahan-bahan kimia.
Preservasi
dalam bentuk penurunan suhu di atas suhu beku dan dibawah suhu tubuh dapat menurunkan aktivitas metabolik, kebutuhan akan oksigen, konsumsi energi dan karenanya preservasi ini dapat memperpanjang viabilitas sel (Honaramooz & Yang 2011). Namun, jika pendinginan dilakukan terlalu lama akan merusak keseimbangan dan homeostasis seluler sehingga sel mengalami kematian. Umumnya suhu penyimpanan untuk jangka pendek adalah suhu refrigerator 4 oC. Ketidakseimbangan pada sel juga dipengaruhi oleh adanya peran reactive oxygen species (ROS), yaitu agen oksidatif yang termasuk dalam kategori radikal bebas hasil turunan metabolisme oksigen selama proses respirasi sel berlangsung (Sikka 1996). Aitken & Baker (2006) mengatakan bahwa produk ROS berupa senyawa-senyawa
radikal bebas seperti O2-, H2O2, OH- dapat menurunkan
viabilitas sel. Selama proses preservasi organ/jaringan/sel terus melakukan metabolisme untuk tetap hidup dengan melakukan proses oksidasi. Jika produk ROS pada sel dalam kondisi tidak terkendali akan berakibat negatif pada sel.
83
Gambar 19 Hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami. A. Tanpa preservasi, B. Pascapreservasi 24 jam, C. Pascapreservasi 48 jam. Kepala panah merah menunjukkan sel spermatogonia yang mati terwarnai oleh trypan blue, sedangkan kepala panah hitam menunjukkan sel spermatogonia hidup. Skala : 50 µm. Deskripsi Histologis Jaringan Testis Pascapreservasi Perubahan histologis semakin banyak ditemukan dengan semakin bertambahnya lama waktu preservasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa testis yang tidak dipreservasi dan dipreservasi selama 6 jam belum memperlihatkan disintegrasi jaringan interstisial (Gambar 20C,20D). Demikian halnya pada testis yang dipreservasi selama 12 jam, meskipun pada perlakuan ini tampak jaringan interstisial sudah mengalami kerusakan (Gambar 20E,20F). Selsel Leydig dan sel-sel somatik yang terdapat pada jaringan interstisial masih terlihat jelas pada jaringan interstisial. Sedangkan pada testis yang dipreservasi selama 24 jam ditemukan beberapa batas antara tubulus yang sudah tidak terlihat dengan jelas atau dengan kata lain telah terjadi disintegrasi jaringan interstisial (Gambar 20G,20H). Disintegrasi jaringan interstisial sangat jelas terlihat pada sebagian besar area testis yang dipreservasi selama 48 jam sehingga jaringan interstisial antar tubulus tidak dapat dikenali lagi bahkan tubulus utuh sulit ditemukan (Gambar 20I,20J).
Fenomena lain yang juga terjadi akibat dari
preservasi 24 dan 48 jam tersebut adalah adanya disorganisasi lobul atau tubulus sehingga sel-sel pada jaringan interstisial seperti sel-sel darah dan sel Leydig yang seharusnya berada pada jaringan interstisial sering ditemukan di dalam tubulus (Gambar 20H,20J). Pada preparat histologis jaringan testis preservasi 48 jam, sista sel germinal tidak terlihat dengan jelas.
84
Gambar 20 Penampang melintang preparat histologis jaringan testis ikan gurami. A,B: tanpa preservasi, C,D: pascapreservasi 6 jam, E,F: pascapreservasi 12 jam, G,H: pascapreservasi 24 jam, I,J: pascapreservasi 48 jam. Gambar sebelah kanan adalah perbesaran dari kotak hitam di sebelah kiri. Keterangan: sel spermatogonia normal (kepala panah hitam), inti spermatogonia piknotik (kepala panah kuning), disintegrasi jaringan (DiJr), batas antar tubulus (Tb), sel Leydig (SL), sel sertoli (SS), sel darah (SD). Pewarnaan : Hematoksilin-Eosin.
85
Disintegrasi jaringan interstisial dan disorganisasi tubulus tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi proses enzimatik
baik pada jaringan
interstisial maupun pada tunika albuginea dari tubulus meskipun telah dipreservasi pada suhu 4 oC.
Menurut Pieterse (2004) disintegrasi jaringan
interstisial dan disorganisasi lobul (tubulus) dapat menyebabkan hilangnya spermatogonia,
tidak
dijelaskan
mekanismenya,
namun
diduga
sista
spermatogonia utamanya yang berada pada daerah tepi tubulus dan sel-sel yang ada di dalamnya mengalami disintegrasi yang berakibat pada kematian sel spermatogonia. Perubahan histologis lain yang dapat diamati pada penelitian ini adalah beberapa inti sel spermatogonia mengalami penyusutan yang dikenal dengan istilah inti piknotik. Menurut Pieterse (2004) inti piknotik merupakan pertanda kematian sel yang dicirikan oleh berkumpulnya kromatin dan terjadi kondensasi kromatin. Hal inilah yang menyebabkan inti terlihat mengkerut dan berwarna sangat pekat.
Inti sel piknotik mulai teramati pada testis yang dipreservasi
selama 6 jam (Gambar 20D) dan semakin banyak ditemukan dengan semakin bertambahnya lama waktu preservasi (Gambar 20F,20H,20J). Analisis Kolonisasi Sel Spermatogonia Ikan Gurami yang Diisolasi dari Testis Pascapreservasi yang Ditransplantasikan pada Larva Ikan Nila Sebelum suspensi sel testikular disuntikkan secara i.p ke larva ikan nila, jumlah sel testikular dan viabilitas sel spermatogonia diamati (Tabel 6). Viabilitas sel spermatogonia terlihat mengalami penurunan seiring dengan semakin lamanya testis dipreservasi. Tabel 6
Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia dalam 20.000 sel testikular ikan gurami yang disuntikkan pada larva ikan nila
Periode preservasi 0 jam 24 jam 48 jam
Jumlah spermatogonia/ 20.000 sel testikular 2.258 ± 369 2.565 ± 553 2.764 ± 422
Viabilitas sel testikular (%) 94,47 ± 1,06 88,76 ± 2,51 76,68 ± 2,18
Viabilitas spermatogonia (%) 92,63 ± 4,11 79,84 ± 2,06 66,94 ± 3,74
86
Dari tiga kali ulangan dengan jumlah larva yang disuntik masing-masing 20 ekor diperoleh sintasan larva ikan nila 24 jam dan 1 bulan pt tidak berbeda nyata antara ketiga kelompok perlakuan periode preservasi 0, 24 dan 48 jam (P>0,05) (Gambar 21). Tingkat kelangsungan hidup di atas 90% pada 24 jam pt pada penelitian ini menegaskan kembali bahwa resipien ikan nila yang berumur 3 hpm secara fisik layak digunakan sebagai sel donor.
Gambar 21
Sintasan resipien ikan nila pada 24 jam dan 1 bulan pascatransplantasi. Keterangan gambar : tanpa preservasi ( ), ), preservasi 48 jam ( ). preservasi 24 jam (
Hasil identifikasi sel donor pada gonad resipien berumur sekitar 2 bulan pt menunjukkan bahwa sel spermatogonia baik yang berasal dari testis yang dipreservasi dingin selama 24 jam maupun 48 jam mampu bermigrasi dan terkolonisasi pada gonad resipien. Efisiensi kolonisasi rata-rata sel spermatogonia dari testis yang dipreservasi sedikit lebih rendah dibandingkan tanpa preservasi, namun dari hasil uji statisik menunjukkan bahwa efisiensi kolonisasi sel spermatogonia baik yang berasal dari testis yang dipreservasi maupun tanpa preservasi tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata (P>0,05) (Gambar 22, Lampiran 12). Sel spermatogonia dari sumber donor yang dipreservasi mampu bermigrasi dan terkolonisasi pada resipien sama halnya dengan yang berasal dari testis tanpa preservasi. Hal ini menunjukkan bahwa preservasi dingin pada suhu 4 oC tidak menghilangkan
respon
sel
spermatogonia
terhadap
kemoatraktan
yang
87
dikeluarkan oleh lingkungan mikro termasuk sel-sel somatik di area gonad resipien sehingga sel spermatogonia ikan gurami tersebut tetap mampu bermigrasi hingga ke saluran gonad larva ikan nila.
Periode preservasi (jam) Gambar 22
Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami yang diisolasi dari testis pascapreservasi 0, 24 dan 48 jam pada resipien ikan nila.
Hasil pengamatan gonad resipien di bawah mikroskop fluoresens juga menunjukkan bahwa sel spermatogonia yang diisolasi dari testis yang dipreservasi tidak hanya terkolonisasi pada gonad resipien jantan (testis) melainkan juga pada gonad betina atau ovari (Gambar 23).
Hal ini menunjukkan bahwa proses
preservasi testis pada suhu 4 oC hingga 48 jam tidak menghilangkan kemampuan development plasticity dari sel spermatogonia ikan gurami sehingga sel spermatogonia ikan gurami yang terkolonisasi dapat berkembang menjadi sel germinal jantan maupun betina selama niche dari resipien dapat mendukung perkembangan tersebut. Seperti yang telah diungkapkan pada bab IV bahwa diferensiasi kelamin lebih banyak dipengaruhi oleh sel-sel somatik pada jaringan gonad dibandingkan kontrol dari sel eksogen itu sendiri (Yoshizaki et al. 2010). Teknik preservasi dingin merupakan teknik preservasi jangka pendek. Teknik ini sangat mudah diaplikasikan di lapangan karena hanya membutuhkan kotak pendingin (cool box) dan larutan fisologis. Daniel (1971) mengatakan bahwa larutan garam fisiologis selain digunakan sebagai cairan pembilas dari
88
organ, juga dapat menjadi medium buffer dan mempertahankan pH fisiologis (7,2–7,6) serta menyediakan lingkungan cairan ionik untuk metabolisme sel.
Lensa fluoresens
Tanpa lensa fluoresens
Lensa fluoresens
Tanpa lensa fluoresens
Gambar 23 Gonad resipien ikan nila yang membawa sel donor ikan gurami dari testis pascapreervasi dan tanpa preservasi. A–C: testis, D–F: ovari, A,D: tanpa preservasi, B,E: preservasi 24 jam, C,F: preservasi 48 jam. Tanda panah menunjukkan sel germinal ikan gurami yang terkolonisasi. Skala: 100 µm.
89
Dengan dibuktikannya kemampuan kolonisasi sel donor yang diperoleh dari testis pascapreservasi dan dengan teknik isolasi yang optimum maka beberapa permasalahan teknis yang berkaitan dengan prosedur transplantasi dapat teratasi. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa tujuan utama dari preservasi jaringan testikular ikan gurami pada suhu 4 oC adalah sinkronisasi ketersediaan sel donor dan resipien dalam kegiatan transplantasi spermatogonia pada ikan gurami. Dengan teknik preservasi dingin ini, limbah testis dari tempat-tempat pemotongan ikan gurami juga akan berpotensi untuk diselamatkan dan digunakan sebagai sumber donor sehingga masalah ketersediaan sel donor yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam kegiatan transplantasi juga dapat teratasi.
Teknik
preservasi ini juga dapat berperan bagi upaya penyelamatan sel gamet ikan-ikan yang hampir punah yang mungkin saja ditemukan jauh dari lokasi laboratorium.
KESIMPULAN 1. Testis ikan gurami dapat dipreservasi dingin pada suhu 4 oC. 2. Viabilitas sel menurun menjadi 55% pada preservasi selama 48 jam. 3. Sel testikular hasil preservasi dingin selama 48 jam dapat digunakan dalam transplantasi.
VII. PEMBAHASAN UMUM Transplantasi sel germinal saat ini telah menjadi sebuah teknologi yang sangat diminati oleh para peneliti di bidang reproduksi karena memiliki potensi diaplikasikan pada sistem pengobatan penyakit-penyakit reproduksi, preservasi atau pelestarian sumber daya genetik yang langka dan bernilai ekonomis tinggi serta untuk peningkatan aspek reproduksi hewan. Teknologi yang diprakarsai oleh Brinster dan kawan-kawan pada tahun 1994 merupakan teknologi dasar bagi sistem pembenihan surrogate broodstock yaitu sistem pembenihan dengan menggunakan induk pengganti. Dengan sistem pembenihan ini, gamet hewanhewan tertentu dapat diproduksi dengan cepat dan tanpa batas (Brinster & Zimmermann 1994, Okutsu et al. 2006a ). Penelitian xenotransplantasi sel testikular menggunakan ikan gurami sebagai model donor dan ikan nila sebagai model resipien ini merupakan langkah awal bagi upaya penerapan sistem pembenihan surrogate broodstock bagi ikanikan budidaya di Indonesia khususnya yang mengalami masalah pada reproduksinya seperti ikan gurami ataupun bagi ikan-ikan yang tergolong langka atau hampir punah.
Penelitian ini telah berhasil memberikan informasi awal
bahwa spermatogonia ikan gurami ternyata dapat bermigrasi, terkolonisasi dan berproliferasi pada gonad ikan nila yang berbeda ordo dengan ikan gurami. Hasil yang diperoleh
ini
mempertegas kembali
penemuan beberapa
peneliti
xenotransplantasi sel germinal sebelumnya bahwa mekanisme sel donor yang bermigrasi ke rongga genital lalu terkolonisasi pada gonad resipien adalah tetap (lestari) pada ikan teleostei meskipun memiliki perbedaan hubungan genetik yang jauh (Saito et al. 2008, Takeuchi et al. 2009, Majhi et al. 2010, Yazawa et al. 2010). Fenomena ini membuka peluang bagi aplikasi xenotransplantasi antar ikan-ikan teleostei yang memiliki hubungan filogenetik yang jauh. Sebagaimana halnya peneliti-peneliti sebelumnya, kegiatan transplantasi sel spermatogonia diawali dengan preparasi sel donor.
Beberapa informasi dasar
yang dibutuhkan untuk preparasi sel donor telah dilakukan, yaitu 1) karakterisasi sel spermatogonia ikan gurami dengan pendekatan histologis (bab II), 2) penentuan
sumber
donor
berdasarkan
bobot
tubuh
sebagai
indikator
perkembangan gonad (bab II), dan 3) penentuan metode disosiasi jaringan
92
testikular ikan gurami untuk mendapatkan suspensi sel testikular dalam jumlah yang banyak dengan viabilitas spermatogonia yang tinggi (bab III). Identifikasi sel spermatogonia sangat penting dalam teknologi transplantasi karena tidak semua sel spermatogonia dapat terkolonisasi pada gonad resipien. Hanya sel spermatogonia yang memiliki kemampuan seperti sel punca dan yang tidak terdiferensiasi saja yang mampu terkolonisasi pada resipien (Griswold et al. 2001, Yano et al. 2007). Hasil penelitian telah berhasil mengkarakterisasi sel spermatogonia ikan gurami yang mampu terkolonisasi yaitu yang memiliki ukuran diameter sel
≥15,96 µm (tipe sel punca spermatogonia/SSC dan
Spermatogonia A/SpA) dan diameter sel tersebut ternyata hampir sama dengan diameter sel ikan nila yaitu sekitar 16,28 µm (Schulz et al. 2005). Persamaan morfologi sel testikular yang dari kedua spesies yang berbeda pada tingkat ordo ini diharapkan menjadi peluang bagi sel spermatogonia
ikan gurami untuk
berkembang dan berdiferensiasi menjadi sel gamet yang fungsional pada gonad ikan nila. Untuk mendapatkan suspensi sel donor dengan kelimpahan SSC dan SpA yang tinggi dapat menggunakan sumber gonad dari
ikan gurami yang
memiliki bobot tubuh pada kisaran berat antara 500 g hingga 1000 g. Meskipun disosiasi jaringan testikular telah dilakukan pada beberapa jenis ikan namun penetuan metode disosiasi yang tepat untuk testis ikan gurami tetap dilakukan karena metode disosiasi enzimatik dapat berbeda pada setiap spesies. Menurut Kim et al. (2006) serta Marret & Durant (2000) metode disosiasi bersifat spesies spesifik karena masing-masing spesies memiliki karakteristik anatomi testis yang berbeda. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan metode disosiasi yang sama untuk ikan rainbow trout dan ikan nibe (Takeuchi et al. 2003, Takeuchi et al. 2009) menggunakan lama inkubasi 2 jam sedangkan untuk ikan gurami lama inkubasi jaringan testikular hingga 3 jam masih menghasilkan viabilitas yang tinggi. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa penggunaan enzim DNase tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas disosiasi enzimatik sehingga jaringan testikular lebih cepat dan lebih banyak terurai namun juga bermanfaat dalam menjaga sel spermatogonia tetap dalam keadaan tunggal, tidak menempel atau bertautan kembali pada sel-sel lainnya.
Dalam hal ini, enzim DNase
93
melakukan digesti terhadap
DNA ekstraseluler
selama proses disosiasi
berlangsung. Makromolekul DNA ekstraseluler ini dapat menyebabkan sel-sel bergumpal dan dapat meningkatkan viskositas larutan disosiasi sehingga menyulitkan dalam pemipetan (Worthington 2003). Pada penelitian ini dilakukan juga pelabelan sel donor dengan PKH 26. Pewarna PKH 26 adalah molekul menyerupai lemak yang memiliki gugus berpendar pada bagian kepala dan gugus alifatik yang panjang yang sifatnya lifofilik sehingga dapat berikatan kuat dengan gugus atau rantai karbon. Oleh karena gugus alifatik PKH 26 memiliki rantai yang panjang sehingga PKH 26 terperangkap dengan kuat pada membran lapisan ganda lipid (lipid bilayer). Sifat inilah yang menyebabkan PKH 26 dapat lebih stabil.
Interaksi molekul non
kovalen yang kuat antara ekor lipid dengan sekitarnya akan mempertahankan warna PKH 26 dan intensitas pendarannya khususnya pada sel-sel yang tidak membelah (Gambar 24). PKH 26 memiliki waktu paruh yang lama (bisa lebih dari seratus hari, 6–8 generasi pembelahan) dan efek toksisitas yang lebih rendah dibandingkan pewarna PKH lainnya. Diluent C adalah pelarut PKH 26 yang bersifat iso-osmotik dan bebas garam serta bahan-bahan terlarut lainnya. Diluent C memaksimalkan daya larut pewarna dan membantu interaksi pewarna ke dalam lapisan ganda lipid (Horan et al. 1990, Wallace et al. 2008).
Gugus alifatik PKH 26
Lapisan eksternal Lapisan ganda lipid Lapisan internal
Gambar 24 Mekanisme pewarnaan oleh PKH 26 (Wallace et al. 2008)
94
Pewarna berpendar ini telah diaplikasikan pada beberapa jenis hewan (Chang et al. 1995, Herrid et al. 2006, Choi et al. 2007) termasuk pada ikan (Lacerda et al. 2008, Takeuchi et al. 2009, Yazawa et al. 2010). Berlebihan dalam mewarnai termasuk konsentrasi pewarna dan lama inkubasi tidak diperbolehkan, meskipun demikian konsentrasi PKH 26 tinggi pada membran sel tidak akan mempengaruhi viabilitas dan pertumbuhan sel (Wallace et al. 2008). Pada penelitian ini, PKH 26 masih dapat diamati dengan jelas hingga umur ikan mencapai 95 hari. Beberapa sel memperlihatkan intensitas warna yang berkurang dan ini menunjukkan bahwa kemungkinan sel donor yang terwarnai PKH 26 ini telah mengalami proliferasi. Penelitian ini juga mengungkap peran faktor imunokompetensi antara sel donor dan resipien yang selama ini diduga menjadi penyebab gagalnya sel donor terkolonisasi pada hewan vertebrata tingkat tinggi. Pada penelitian ini upaya yang dilakukan untuk menekan penolakan sistem imun ikan nila terhadap sel spermatogonia ikan gurami adalah dengan menggunakan larva ikan nila awal menetas. Pada tahap larva ikan kapasitas imunnya belum berkembang dengan sempurna hingga umur ikan mencapai beberapa minggu dan umur ini bervariasi pada beberapa spesies ikan (Chantanachookhin et al. 1991, Manning & Nakanishi 1996). Selain menggunakan larva ikan awal menetas, teknik lain yang juga digunakan oleh beberapa peneliti untuk menekan penolakan sistem imun resipien diantaranya dengan menggunakan ikan dewasa yang disterilkan dengan cara melumpuhkan aktivitas mitogenik sel germinal endogennya menggunakan busulfan (Lacerda et al. 2008, Majhi et al. 2009).
Teknik ini lebih mudah
penanganannya karena menggunakan resipien ikan dewasa, tetapi memiliki resiko yang berbahaya pada manusia jika diaplikasikan untuk ikan konsumsi karena busulfan merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik. Hasil transplantasi sel testikular pada berbagai umur larva ikan nila menunjukkan bahwa sel donor ikan gurami masih dapat terkolonisasi pada gonad resipien larva ikan nila berumur 7 hari
pascamenetas (hpm).
Hal ini
menunjukkan bahwa respons sistem imunitas larva ikan nila belum bekerja dengan sempurna hingga larva berumur 7 hpm.
Hingga saat ini belum ada
95
informasi yang jelas mengenai mekanisme kerja respons imunitas larva terkait dengan transplantasi sel namun umumnya faktor pertahanan tubuh pada larva ikan berasal dari transfer antibodi maternal (maternal IgM) ke larva melalui kuning telur sebagai sumber makanan utama di awal pertumbuhan larva (Mulero et al. 2007). Menurut Ali (1987) sel-sel limfoid mulai terbentuk pada saat ikan Tilapia mossambica, satu genus dengan ikan nila, pada umur 14 hpm sehingga diduga pada umur ikan nila 14 hpm, sudah terjadi respons imun terhadap antigen asing dari sel donor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel donor ditemukan pada gonad resipien ikan nila umur 1, 2 dan 3 bulan pt sehingga diduga tidak terjadi penolakan sel donor ikan gurami oleh ikan nila. Keberhasilan migrasi sel spermatogonia ikan gurami ke ikan nila ini juga menunjukkan bahwa lingkungan somatik sekitar bakal gonad dan bakal gonad ikan nila sendiri ternyata dapat berinteraksi dengan sel spermatogonia ikan gurami.
Hal ini menunjukkan bahwa molekul-molekul yang berfungsi sebagai
kemoatraktan yang diproduksi oleh lingkungan somatik bakal gonad ikan nila maupun reseptor yang terdapat di spermatogonia ikan gurami yang berperan dalam proses migrasi diduga bersifat lestari (tidak berevolusi) pada ikan-ikan teleostei. Fenomena yang sama dibuktikan beberapa peneliti xenotransplantasi sebelumnya pada ikan yang memiliki jarak taksonomi jauh (Saito et al. 2008, Yazawa et al. 2010). Hal ini menunjukkan bahwa larva ikan nila berkompeten untuk digunakan sebagai resipien dalam kegiatan transplantasi. Terdapat dua mekanisme interaksi molekul-molekul yang berperan dalam proses migrasi PGC pada ikan, yaitu : 1) interaksi ligan senyawa SDF-1(stromal cell-derived factor-1) atau senyawa kemokin CXCR12 yang dilepaskan oleh selsel somatik dengan reseptornya senyawa CXCR4b pada sel germinal, 2) reduksi protein phosphoinositide 3-kinase (P13K) yang berperan terhadap morfologi (adesifitas PGC dan matriks ekstraseluler), kecepatan migrasi dan pergerakan filopodia atau lobopodia dari PGC (Dumstrei et al. 2004). Weidinger et al. (2002) juga menggambarkan pola migrasi yang terjadi pada vertebrata, yaitu 1) PGC menuju bakal saluran gonad dengan kombinasi pergerakan morfogenetik pasif dan migrasi aktif dari PGC. Pada ikan rainbow
96
trout, PGC dengan alat geraknya disebut lobopodia bergerak ke rongga genital tersebut melalui dinding peritoneal (Takeuchi et al. 2003), 2) pola migrasi dikontrol oleh sinyal dari lingkungan somatik di sekitar bakal gonad, bukan dari dalam PGC itu, sehingga ke arah mana PGC bergerak sangat bergantung dari tanda-tanda yang dikeluarkan oleh lingkungan somatik,
3) interaksi antara
motilitas PGC dengan matriks ekstraseluler berperan penting dalam migrasi seperti yang terjadi pada orientasi PGC Xenopus yang bergantung pada substrat matriks ekstraseluler yang menyusun lingkungan somatiknya (Heasman et al. 1981) dan akumulasi PGC tikus pada gonad yang disebabkan oleh sifat adesif PGC pada substrat dan interkoneksi antar PGC (Garcia-Castro et al. 1997), 4) bakal gonad memproduksi sinyal kemoatraktan yang akan menarik PGC menuju bakal gonad. Dari beberapa mekanisme yang diungkapkan oleh para peneliti sebelumnya maka diduga mekanisme yang terjadi pada proses migrasi sel donor ikan gurami ke bakal gonad ikan nila adalah bahwa sel spermatogonia yang disuntikkan ke rongga peritoneal akan menempel di dinding rongga peritoneal pada areal bakal gonad melalui mekanisme yang terjadi antara matriks ekstraseluler area bakal gonad dengan sifat adesif dari spermatogonia yang mungkin masih dimiliki seperti yang dimiliki oleh PGC. Selanjutnya terjadi interaksi ligan senyawa SDF1(stromal cell-derived factor-1) atau senyawa kemokin CXCR12 yang dilepaskan oleh sel-sel somatik bakal gonad dengan reseptornya senyawa CXCR4b pada spermatogonia sehingga spermatogonia terarahkan untuk bergerak masuk ke saluran bakal gonad (genital ridge).
Pada saat
polaritas sel spermatogonia
hilang, SDF-1 juga menurun aktivitasnya maka sel akan berhenti pada organ target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
larva ikan nila khususnya yang
berumur 3 hpm cocok untuk dijadikan sebagai model resipien bagi kegiatan transplantasi karena memiliki sintasan rata-rata dan efisiensi kolonisasi rata-rata yang tertinggi. Terdapat kecenderungan penurunan efisiensi kolonisasi selama selang waktu umur larva nila 1 hingga 7 hpm. Efisiensi kolonisasi tertinggi pada perlakuan larva umur 3 hpm (61,10±34,71%) dan semakin menurun pada umur 7 hpm (19,43±17,33%). Penurunan ini diduga disebabkan oleh pergantian peran
97
lingkungan mikro (niche) gonad resipien dari proses migrasi ke proses proliferasi PGC endogen yang telah lebih dahulu masuk ke dalam gonad. Pada ikan nila, proliferasi PGC endogen mulai berlangsung saat PGC mulai mencapai rongga genital yaitu pada umur larva 3 hpm dan pada saat itu sel-sel somatik sudah mulai membungkus PGC (Kobayashi et al. 2000). Selanjutnya sel akan mengalami proses perkembangan yang mana pada larva jantan meliputi tahap memperbanyak atau memperbaharui diri (self renewal), proliferasi, diferensiasi dan maturasi sedangkan pada betina tahap perkembangan sel germinal meliputi tahap perbanyakan dan proliferasi, tahap previtellogenik, tahap vitellogenik dan maturasi (pematangan) (Young et al. 2004).
Secara umum, proses gametogenesis pada gonad dikontrol oleh
mekanisme intrinsik yaitu faktor-faktor regulator transkripsi yang berperan dalam perbanyakan diri, proliferasi dan diferensiasi, dan mekanisme ekstrinsik yaitu peran sel-sel somatik menghasilkan hormon-hormon yang dibutuhkan untuk proses gametogenesis (Zhou & Griswold 2008). Pada penelitian ini,
sel donor juga ditemukan pada ovari ikan nila.
Fenomena ini dapat saja terjadi karena dua faktor yaitu 1) sel testikular yang disuntikkan mengandung spermatogonia yang masih memiliki sifat sebagai sel punca dan berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya sel ini masih memiliki kemampuan multipotensi untuk berdiferensiasi menjadi sel gamet jantan maupun betina atau dikenal dengan istilah development plasticity (Okutsu et al. 2006a, Takueci et al. 2009, Yoshizaki et al. 2010),
2)
regulasi hormonal oleh
lingkungan mikro atau lingkungan somatik gonad resipien yang mengontrol proses perkembangan gonad pada ikan.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa
kontrol hormonal oleh lingkungan somatik ini lebih banyak berperan terhadap proses diferensiasi kelamin sel germinal dibandingkan kontrol genetik sel germinal tersebut (Okutsu et al. 2006a, Takueci et al. 2009, Yoshizaki et al. 2010, Saito et al. 2011). Pada ikan nila betina, sel-sel somatik penghasil hormon steroid lebih cepat terbentuk yaitu pada umur 5 hpm dan selanjutnya akan mengalami proliferasi sedangkan pada ikan nila jantan sel-sel penghasil steroid baru terlihat pada umur 40 hpm (Kobayashi 2010).
98
Kemampuan proliferasi sel donor pada resipien setelah umur 1 bulan pt menguatkan dugaan bahwa sel donor ikan gurami mampu berasosiasi dengan selsel somatik endogen yang berperan dalam proses proliferasi (Bab V). Sel-sel somatik pada membran tubulus berperan dalam mengsekresikan faktor-faktor pertumbuhan (growth factor) yang dibutuhkan oleh sel germinal yang berasosiasi dengannya untuk berproliferasi (Ohta et al. 2000, de Alvarenga & Franca 2009). Dari penelitian transplantasi sel germinal yang telah dilakukan dapat dipahami bahwa mekanisme yang terjadi ketika sel donor ditransplantasikan ke rongga peritoneal resipien diawali dari tahap migrasi ke saluran bakal gonad, tahap inkorporasi dan penggabungan dengan sel-sel somatik gonad resipien yang dikenal dengan istilah kolonisasi dan selanjutnya tahap gametogenesis yang meliputi perbanyakan diri secara mitosis, berproliferasi dan berdiferensiasi hingga menjadi sel gamet yang fungsional. Semua mekanisme ini dikontrol oleh faktor intrinsik yang berasal dari mekanisme genetik sel spermatogonia itu sendiri dan faktor ekstrinsik yang berasal dari lingkungan mikro (niche) sel spermatogonia termasuk di dalamnya hormon, faktor-faktor pertumbuhan, molekul matriks ekstraseluler dengan mekanisme interaksi ligan dan reseptornya seperti yang terjadi pada sistem sel-sel lainnya (Weidinger et al. 2002, Zhou & Grisswold 2008, Oatley et al. 2009). Interaksi antara sel spermatogonia dengan sel-sel somatik akan menentukan keberhasilan xenotransplantasi (Doitsidou et al. 2002, Oatley et al. 2009). Kemampuan lingkungan somatik ikan nila mengarahkan sel spermatogonia ikan gurami hingga terkolonisasi pada gonadnya dan berproliferasi merupakan salah satu bukti bahwa ikan nila dapat dijadikan sebagai kandidat induk pengganti tidak hanya bagi ikan gurami tetapi mungkin juga bagi ikan-ikan teleostei lainnya. Penggunaan induk pengganti atau surrogate broodstock tidak hanya dibutuhkan sebagai alternatif sistem budidaya ikan tetapi juga dapat digunakan sebagai alternatif sistem preservasi plasma nutfah ikan-ikan yang hampir punah. Hasil transplantasi sel testikular dari gonad ikan gurami yang dipreservasi pada larutan fisiologis dan suhu 4 oC (Bab VI) telah membuktikan bahwa lingkungan somatik ikan nila mampu mengarahkan sel donor dari testes pascapreservasi masuk dan terkolonisasi pada gonad ikan nila.
99
Pada
penelitian
ini,
tidak
diamati
kemampuan
diferensiasi
sel
spermatogonia menjadi derivatnya hingga mengalami tahap pematangan menjadi sel spermatozoa yang fungsional atau sel telur yang fungsional. Namun, dengan regulasi diferensiasi sel yang banyak dipengaruhi lingkungan mikro (niche) sel pada resipien seperti yang telah dikemukakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dan didukung oleh karakteristik morfologi sel testikular ikan gurami dan ikan nila yang tidak berbeda, maka sel spermatogonia ikan gurami diduga memiliki peluang untuk berdiferensiasi dan mengalami maturasi pada gonad ikan nila. Ikan gurami memiliki tipe telur mengapung sedangkan ikan nila memiliki tipe telur tenggelam. Perbedaan morfologis kedua tipe telur ini merupakan salah satu kendala yang perlu diperhatikan jika sistem pembenihan surrogate broodstock ini berhasil diaplikasikan pada budidaya ikan gurami. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi perbedaan tipe telur ini adalah dengan melakukan pemijahan buatan. Saat ini pemijahan buatan pada ikan nila telah berkembang dengan pesat. Rangkaian tahapan penelitian dari bab II hingga bab VI
menunjukkan
bahwa sistem surrogate broodstock dengan aplikasi teknologi xenotransplantasi sel testikular yang mengandung spermatogonia memiliki peluang untuk diaplikasikan pada sistem budidaya ikan gurami.
Selain itu hasil penelitian yang
diperoleh juga menunjukkan bahwa ikan nila dapat menjadi kandidat induk pengganti (surrogate broodstock) dalam aplikasi teknologi xenotransplantasi sel germinal.
Namun, untuk mendapatkan sel gamet ikan gurami dan ikan nila
sebagai induk pengganti, maka sel donor yang telah terkolonisasi harus mampu bergametogenesis secara sempurna menjadi sel gamet spermatozoa maupun sel telur. Pada penelitian ini, kemampuan gametogenesis sel donor hingga menjadi spermatozoa maupun sel telur belum diuji.
Untuk mendukung aplikasi
transplantasi sebagai alternatif metode pembenihan dibutuhkan beberapa penelitian
lanjutan,
yaitu
melakukan
upaya-upaya
mempercepat
proses
diferensiasi dan maturasi sel donor menjadi sel gamet spermatozoa dan sel telur yang fungsional
dan menghilangkan sel endogen dari resipien di antaranya
melalui penggunaan resipien triploid sehingga diperoleh maksimum untuk
lingkungan mikro
sel donor berkembang, dan menghasilkan sel gamet yang
100
fungsional.
Upaya ini telah dilakukan pada xenotransplantasi spermatogonia
ikan rainbow trout ke ikan salmon triploid (Okutsu et al. 2007) dan xenotransplantasi oogonia ikan zebra ke ikan pearl danio hybrid steril (Wong et al. 2011) yang menghasilkan spermatozoa dan sel telur yang fungsional.
VIII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
KESIMPULAN UMUM Testis ikan gurami mengandung sel yang kompeten sebagai donor dalam xenotransplantasi menggunakan larva ikan nila sebagai resipien.
SARAN Untuk mencapai target akhir yaitu memproduksi sel gamet ikan gurami dari ikan nila melalui aplikasi teknologi xenotransplantasi sel testikular maka dibutuhkan uji lanjut terhadap kemampuan sel spermatogonia ikan gurami terdiferensiasi menjadi sel gamet yang fungsional dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sel donor pada resipien termasuk mengkaji peluang penggunaan resipien ikan nila triploid sebagai upaya memberikan lingkungan mikro yang maksimum kepada sel donor ikan gurami untuk berkembang dan menghasilkan sel gamet yang fungsional.
DAFTAR PUSTAKA Achmad M. 2009. Pengembangan marka molekuler DNA dalam identifikasi sel gonad ikan gurame Osphronemus gouramy dan ikan nila Oreochromis niloticus menggunakan PCR. [Master Tesis]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Affandi R, Tang M. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press. Aitken RJ, Bajker MA. 2006. Oxidative stress, sperm survival and fertility control. Mol Cell Endocrinol 25:66–69. Ali HM. 1987. The Histogenesis of lymphoid organs in Tilapia mossambica and antibody responses in adults and fry. [Doctoral Thesis]. Aston University. Almeida FF, Kristoffersen C, Taranger GL, Schulz RW . 2008. Spermatogenesis in Atlantic cod (Gadus morhua): a novel model of cystic germ cell development. Biol Reprod 78:27–34. Bellve AR, Milletfe CF, Bhatnagar YM, Obrien DO. 1977. Dissociation of the mouse testis and characterization of isolated spermatogenic cells. J Histochem Cytochem 25:480–494. Bendsen E, Laursen SB, Olesen C, Westergaard LG, Andersen CY, Byskov AG. 2001. Effect of 4-octylphenol on germ cell number in cultured human fetal gonads. Hum Reprod 16:236–243. Brinster RL, Zimmermann JW. 1994. Spermatogenesis following male germ cell transplantation. Proc Nat Acad Sci 91:11298–11302. Browne RK, Clulow J, Mahony M. 2001. Short-term storage of cane toad (Bufo marinus) gametes. Reproduction 121:167–173. Bryant PJ. 1999. Filopodia: Fickle fingers of cell fate? Curr Biol 9:655–657 Carrasco LAP, Doroshov S, Penman DJ, Bromage N. 1998. Long-term, quantitative analysis of gametogenesis in autotriploid rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. J Reprod Fertil 113:197–210. Chang IK, Yoshiki A, Kusakabe M, Tajima A, Chikamune T, Naito M, Ohno T. 1995. Germ line chimera produced by transfer of cultured chick primordial germ cells. Cell Biol Int 19:569–576. Chantanachookhin C, Seikai T, Tanaka M, 1991. Comparative study of the ontogeny of the lymphoid organs in three species of marine fish. Aquaculture 99:143–155. Choi YJ, Park JK, Lee MS, Ahn JD, Hwang KC, Song H, Kim JH. 2007. Longterm follow-up of porcine male germ cells transplanted into mouse testes. Zygote 15:325–335. Chong SW, Nguyet LM, Jiang YJ, Korzh V. 2007. The chemokine Sdf-1 and its receptor Cxcr4 are required for formation of muscle in zebrafish. BMC Dev Biol 7:1–14.
104
Costa DC. 2010. Embryological and micromanipulation techniques in zebrafish (Danio rerio) and Pacific oyster (Crassostrea gigas). [Doctoral Thesis]. Valencia:Universidad Politechnica De Valencia. Crabbe E, Verheyen G, Tournaye H, Van Steirteghem A. 1997. The use of enzymatic procedures to recover testicular germ cells. Hum Reprod 12:1682–1687. Daniel JCJr. 1971. Methods in Mammalian Embriology. San Fransisco : W.H. Freeman and company. De Alvarenga ER, Franca LR. 2009. Effects of different temperatures on testis structure and function, with emphasis on somatic cells, in sexually mature Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Biol Reprod 80:537–544. De Rooij DG, van Diessel-Emiliani FMF. 1997. Regulation of proliferation and differentiation of stem cells in the male germ line. Di dalam Potten CS, editor. Stem Cells. London:Academic. hlm 283–313. De Rooij DG, Russell LD. 2000. All you wanted to know about spermatogonia but were afraid to ask. J Androl 21:776–798. Dobrinski I, Avarbock MR, Brinster RL. 1999. Transplantation of germ cells from rabbits and dogs into mouse testes. Biol Reprod 61: 1131–1139. Dobrinski I. 2005. Germ cell transplantation. Semin Reprod Med 23: 257–265. Doitsidou M, Reichman-Fried M, Stebler J, Koprunner M, Dorries J, Meyer D, Esguerra CV, Leung T, Raz E. 2002. Guidance of primordial germ cell migration by the chemokine SDF-1. Cell 111:647–659. Du M, Han H, Jiang B, Zhao L, Qian C, Shen H, Xu Y, Li Z. 2006. An efficient isolation method for domestic hen (Gallus domesticus) ovarian primary follicles. J Reprod Dev 52:570–576. Dumstrei K, Mennecke R, Raz E. 2004. Signaling pathways controlling primordial germ cell migration in zebrafish. J Cell Sci 117:4787–4795. Dwyer MA, Huang AH, Pan CQ, Lazarus RA. 1999. Expression and characterization of a DNase I-Fc fusion enzyme. J Biol Chem 274:9738– 9743. Ehmcke J, Schlatt S. 2008. Focus on fertility preservation : animal models for fertility preservation in the male. Reproduction 136:717–723. Eriani K, Boediono A, Djuwita I, Sumarsono SH, Al-Azhar. 2008. Development of domestic cat embryo produced by preserved sperms. Hayati J Bio 15:155–160. Figueiredo JR, Hulshof SC, Van den Hurk R, Ectors FJ, Fontes RS, Nusgens B, Bevers MM, Beckers JF. 1993. Development of a combined new mechanical and enzymatic method for the isolation of intact preantral follicles from fetal, calf and adult bovine ovaries. Theriogenology 40:789– 799.
105
Fishelson L, Delarea Y, Gon O. 2006. Testis structure, spermatogenesis, spermatocytogenesis, and sperm structure in cardinal fish (Apogonidae, Perciformes). Anat Embryol 211:31–46. Freshney RI. 2005. Culture of Animal Cells : A Manual of Basic Technique. John Wiley and Sons Inc. Fujimura K, Okada N. 2007. Development of the embryo, larva and early juvenile of Nile tilapia Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae). Developmental staging system. Develop Growth Differ 49:301–324. Garcia-Castro MI, Anderson R, Heasman J, Wylie C. 1997. Interactions between germ cells and extracellular matrix glycoproteins during migration and gonad assembly in the mouse embryo. J Cell Biol 138:471–480. Grier HJ. 1993. Comparative organization of sertoli cells including the sertoli cell barrier. Di dalam: Russell LD and Griswold MD, editor. The Sertoli Cell. Cache River Press. hlm 704–730. Griswold MD, McLean D, Russell L. 2001. Promise and limitations of germ cell transplantation in the testis. J Androl 22:713–717. Heasman J, Hynes RO, Swan AP, Thomas V, Wylie C. 1981. Primordial germ cells of Xenopus embryos: the role of fibronectin in their adhesion during migration. Cell 27:437–447. Herrid M, Vignarajan S, Davey R, Dobrinski I, Hill JR. 2006. Successful transplantation of bovine testicular cells to heterologous recipients. Reproduction 132:617–624. Hess RA, Franca LR. 2007. Spermatogenesis and cycle of the seminiferous epithelium. Di dalam: Cheng CY, editor. Molecular Mechanisms in Spermatogenesis. Landes Bioscience. hlm 1–15. Higashino T, Miura T, Miura C, Higashino KY. 2002. Histological studies on early oogenesis in barfin flounder (Verasper moseri). Zoo Sci 19:557–563. Hill JR, Dobrinski I. 2006. Male germ cell transplantation in livestock. Reprod Fertil Dev 18:13–18. Honaramooz A, Yang Y. 2011. Recent advances in application of male germ cell transplantation in farm animals. Vet Med Int 2011:1–9. Hong Y, Liu T, Zhao H. 2004. Establishment of a normal medakafish spermatogonial cell line capable of sperm production in vitro. Proc Nat Acad Sci 101:8011–8016. Horan PK, Melnicoff MJ, Jensen BD, Slezak SE. 1999. Fluorescent cell labeling for in vivo and in vitro cell tracking. Methods Cell Biol 33:469–490. Jaglarz MK, Howard KR. 1995. The active migration of Drosophila primordial germ cells. Development 121:3495–3503.
106
Ijiri S, Kaneko H, Kobayashi T, Wang DS, Sakai F, Paul-Prasanth B, Nakamura M, Nagahama Y. 2008. Sexual dimorphic expression of genes in gonads during early sexual differentiation of a teleost fish, the Nile tilapia Oreochromis niloticus. Biol Reprod 78:333–341. Jahnukainen K, Ehmcke J, Hergenrother SD, Schlatt S. 2007. Effect of cold storage and cryopreservation of immature non-human primate testicular tissue on spermatogonial stem cell potential in xenografts. Hum Reprod 22:1060–1067. Jiang FX , Short RV. 1998. Male germ cell transplantation: present achievements and future prospects. Int J Dev Biol 42:1067–1073. Johnston DS, Russel LD, Griswold MD. 2000. Advances in spermatogonial stem cell transplantation. Rev Reprod 5:183–188. Jones PA, Werb Z. 1980. Degradation of connective tissue matrices by macrophages : influence of matrix composition on proteolysis of glycoproteins, elastin, and collagen by macrophages in culture. J Exp Med 152:1527–1536. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. Toronto: Pergamon Press. Kim Y, Selvaraj V, Dobrinski I, Lee H, Mcentee MC,Travis AJ. 2006. Recipient preparation and mixed germ cell isolation for spermatogonial stem cell transplantation in domestic cats. J Androl 27:248–256. Kobayashi T, Kajiura-Kobayashi H, Nagahama Y. 2000. Differential expression of vasa homologue gene in the germ cells during oogenesis and spermatogenesis in a teleost fish, tilapia, Oreochromis niloticus. Mech Dev 99:139–142. Kobayashi T, Takeuchi Y, Takeuchi T, Yoshizaki G. 2007. Generation of viable fish from cryopreserved primordial germ cells. Mol Reprod Dev 74:207– 213. Kobayashi T. 2010. In vitro germ cell differentiation during sex differentiation in a teleost fish. Int J Dev Biol 54:105–111. Kuske CR, Banton KL, Adorada DL, Stark PC, Hill KK, Jackson PJ. 1998. Small-scale DNA sample preparation method for field PCR detection of microbial cells and spores in soil. Appl Environ Microbiol 64:2463–2472. Lacerda SMSN, Batlouni SR, Assis LH, Resende FM, Campos-Silva SM, Campos-Silva R, Segatelli TM, França LR. 2008. Germ cell transplantation in tilapia (Oreochromis niloticus). Cybium 32:115–118. Lahnsteiner F, Weismann T, Patzner RA. 1997. Aging processes of rainbow trout semen during storage . The Progress Fish-Cult 5:272–279.
107
Leal MC, Cardoso ER, Nobrega RH, Batlouni SR, Bogerd J, França LR, Schulz RW. 2009. Histological and stereological evaluation of zebrafish (Danio rerio) spermatogenesis with an emphasis on spermatogonial generations. Biol Reprod 81:177–187. Loir M, Sourdaine P, Mendis-Handagama SMLC, Jegou B. 1995. Cell-cell interactions in the testis of teleost and elasmobranchs. Micr Res Tech 32:533–552. Majhi SK, Hattori RS, Yokota M, Watanabe S, Strussmann CA. 2009. Germ cell transplantation using sexually competent fish: an approach for rapid propagation of endangered and valuable germline. PLoS ONE 4:e6132. doi:10.1371/journal.pone.0006132. Manning MJ, Nakanishi T. The specific immune : celluler defences. Di dalam: Iwama G, Nakanishi T, editor. The Fish Immune System. New York: Academic Press. hlm 159–205. Marret C, Durand P. 2000. Culture of porcine spermatogonia: effects of purification of the germ cells, extracellular matrix, and fetal calf serum on their survival and multiplication. Reprod Nut Dev 40:305–319. Mather JP, Roberts PE. 1998. Introduction to Cell and Tissue Culture: Theory and Technique. New York: Plenum Press. Meachem S, Schonfeldt V, Schlatt S. 2001. Spermatogonia: stem cells with a great perspective. Reproduction 121:825–834. Miura T. 1999. Spermatogenic cycle in fish. Di dalam: Knobil E, Neill JD, editor. Encyclopedia of Reproduction. Vol 4. San Diego: Academic Press. hlm 571–578. Mulero I, Garcia-Ayala A, Meseguer J, Mulero V. 2007. Maternal transfer of immunity and ontogeny of autologous immunocompetence of fish: a minireview. Aquaculture 268:244-250. Nagahama Y. 1994. Endocrine regulation of gametogenesis in fish. Int J Dev Biol 38:217–229. Nagano M, Avarbock MR, Brinster RL. 1999. Pattern and kinetics of mouse donor spermatogonial stem cell colonization in recipient testes. Biol Reprod 60:1429–1436. Nagano M, McCarre JR, Brinster RL. 2001. Primate spermatogonial stem cell colonize mouse testes. Biol Reprod 64:1409–1416. Nakamura M, Kobayashi T, Chang XT, Nagahama Y. 1998. Gonadal sex differentiation in teleost fish. J Exp Zool 281:362–372. Nicosia SV, Evangelista I, Batta SK. 1975. Rabbit ovarian follicles. I. Isolation technique and characterization at different stage of development. Biol Reprod 13:423–447. Nobrega RH, Batlouni SR, Franca LR. 2009. An overview of functional and stereological evaluation of spermatogenesis and germ cell transplantation in fish. Fish Physiol Biochem 35:197–206.
108
Oatley JM, Avarbock MR, Telaranta AI, Fearon DT, Brinster RL. 2006. Identifying genes important for spermatogonial stem cell self-renewal and survival . Proc Nat Acad Sci 103:9524–9529. Oatley JM, Oatley MJ, Avarbock MR, Tobias JW, Brinster RL. 2009. Colony stimulating factor 1 is an extrinsic stimulator of mouse spermatogonial stem cell self-renewal. Development 136:1191–1199. Ogawa T, Dobrinski I, Avarbock MR, Brinster RL. 1999. Xenogenic spermatogenesis following transplantation of hamster germ cell to mouse testes. Biol Reprod 60:515–521. Ohta H, Yomogida K, Dohmae K, Nishimune Y. 2000. Regulation of proliferation and differentiation in spermatogonial stem cells: the role of ckit and its ligand SCF. Development 127:2125–2131. Okutsu T, Takeuchi Y, Yoshizaki G. 2006a. Manipulation of fish germ cell : visualization, cryopreservation and transplantation. J Reprod Dev 52:685– 693. Okutsu T, Suzuki K, Takeuchi Y, Takeuchi T, Yoshizaki G. 2006b. Testicular germ cells can colonize sexually undifferentiated embryonic gonad and produce functional eggs in fish. Proc Nat Acad Sci 103:2725–2729. Okutsu T, Shikina S, Kanno M, Takeuchi Y, Yoshizaki G. 2007. Production of trout offspring from triploid salmon parents. Science 317:1517. Olive V, Cuzin F. 2005. The spermatogonial stem cell: from basic knowledge to transgenic technology. The Int J Biochem Cell Biol 37:246–250. Pieterse GM. 2004. Histopathological changes in the testes of Oreochromis mossambicus (Cichlidae) as a biomarker of a heavy metal pollution.[Doctoral Thesis]. Johannesburg : Rand Africaan University. Promega. 2009. MagneSil® Genomic, Large Volume System. Technical Bulletin. Pudney J. 1993. Comparative cytology of the non-mammalian vertebrate sertoli cell. Di dalam: Russell LD, Griswold MD, editor. The Sertoli Cell. Clearwater, FL: Cache River Press. hlm 611–657. Roche. 2003. Cell proliferation and viability measurement. Biochemica 3:26–29. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid II. Binacipta. Bandung. Saito T, Goto-Kazeto R, Arai K, Yamaha E. 2008. Xenogenesis in teleost fish through generation of germ-line chimeras by single primordial germ cell transplantation. Biol Reprod 78:159–166. Santos JE, Bazzoli N, Rizzo E, Santos GB .2001. Morphofunctional organization of the male reproductive system of the catfish Iheringichthys labrosus (Luetken, 1874) (Siluriformes:Pimelodidae). Tisues and Cell 33:533–540. Schatt S. 2002. Spermatogonial stem cell preservation and transplantation. Mol Cell Endocrinol 187:107–111.
109
Schultz RW, Miura T. 2002. Spermatogenesis and its endocrine regulation. Fish Physio Biochem 26:43–56. Schulz RW, Menting S, Bogerd J, Franca LR, Vilela DAR, Godinho HP. 2005. Sertoli cell proliferation in the adult testis – evidence from two fish species belonging to different orders. Biol Reprod 73:891–898. Segatelli TM, Franca LR, Pinheiro PFF, Almeida CCD, Martinez M, Martinez FE. 2004. Spermatogenic cycle length and spermatogenic efficiency in the gerbil (Meriones unguiculatus). J Androl 25:872–880. Sheetz MP. 1979. DNase I-dependet dissociation of erythrocyte cytoskeletons. Cell Bio 81:266–270. Shinohara T, Brinster LR. 2000. Enrichment and transplantation of spermatogonial stem cells. Int J Androl 23:89–91. Sikka SC. 1996. Oxidative stress and role of antioxidants in normal and abnormal sperm function. Front in Biosci 1:78–86. Stickney R. 2000. Tilapia culture. Di dalam Stickney RR, editor. Encyclopedia of Aquaculture. New York: John Wiley & Sons. hlm 83. Sofikitis N, Mio Y, YamamotoY, Miyagawa I. 1999. Transplantation of human spermatogonia into the seminiferous tubules of animal testicles result in the completion of the human meiosis and the generation of human motile spermatozoa. Fertil Steril 72:83–89. Suresh R, Aravindan GR, Moudgal VR. 1992. Quantitation of spermatogenesis by DNA flow cytometry: comparative study among six species of mammals. J Biosci 17:413–419. [SNI] Standardisasi Nasional Indonesia. 2000. Induk ikan gurame (Osphronemus gouramy, Lac) kelas induk pokok (parent stock). SNI-01-6485.1-2000. Tajima A, Naito M, Yasuda Y, Kuwana T. 1993. Production of germ line chimera by transfer of primordial germ cells in the domestic chicken (Gallus domesticus). Theriogenology 40:509–519. Takashima F, Hibiya F. 1995. An Atlas of Fish Histology : Normal and Pathological Features. Tokyo: Kodansha Ltd. Takeuchi Y , Yoshizaki G, Kobayashi T, Takeuchi T. 2002. Mass isolation of primordial germ cells from transgenic rainbow trout carrying the green fluorescent protein gene driven by the vasa gene promoter. Biol Reprod 67:1087–1092. Takeuchi Y, Yoshizaki G, Takeuchi T. 2003. Generation of live fry from intraperitonially transplantation primordial germ cells in rainbow trout. Biol Reprod 6:1142–1149. Takeuchi Y, Takeuchi T , Yoshizaki G. 2004. Surrogate broodstock produces salmonids. Nature 430 : 630–639. Takeuchi Y, Higuchi K, Yatabe T, Miwa M, Yoshizaki G. 2009. Development of spermatogonial cell transplantation in nibe croaker, Nibea mitsukurii (Perciformes, Sciaenidae). Biol Reprod 81:1055–1063.
110
Vilela DAR, Silva SGB, Peixoto MTD, Godinho HP, Franca LR. 2003. Spermatogenesis in teleost: insights from the Nile tilapia (Oreochromis niloticus) model. Fish Phy Biochem 28:187–190. Wallace PK, Tario JD Jr, Fisher JL, Wallace SS, Ernstoff MS, Muirhead KAPK. 2008. Tracking antigen-driven responses by flow cytometry: monitoring proliferation by dye dilution. Cytometry 73A:1019–1034. Weidinger G, Wolke U, Koprunner M, Thisse C, Thisse B, Raz E. 2002. Regulation of zebrafish primordial germ cell migration by attraction towards an intermediate target. Development 129:25–36. Wong T, Saito T, Crodian J, Collodi P. 2011. Zebrafish germline chimeras produced by transplantation of ovarian germ cells into sterile host larvae. Biol Reprod 84:1190–1197. Worthington. 2003. Corporation.
Tissue Dissociation Guide.
Worthington Biochemical
Yamamoto, T. 1983. Sex differentiation. Di dalam: Hoar WS, Randall DJ, editor. Fish Physiology. Vol. 3. New York: Academic Press. hlm 117−175. Yano A, Suzuki K, Yoshizaki G. 2008. Flow-cytometric isolation of testicular germ cells from rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) carrying the green fluorescent protein gene driven by trout vasa regulatory regions. Biol Reprod 78:151–158. Yazawa M, Ferrante C, Feng J, Mio K, Ogura T, Zhang M, Lin P, Pan Z, Komazaki S, Kato K, Nishi M, Zhao X, Weisleder N, Sato C, Ma J, Takeshima H. 2007. TRIC channels are essential for Ca2+ handling in intracellular stores. Nature 448:78–83. Yazawa R, Takeuchi Y, Higuchi K, Yatabe T, Kabeya N, Yoshizaki G. 2010. Chub mackerel gonads support colonization, survival, and proliferation of intraperitoneally transplanted xenogenic germ cells.Biol Reprod 82:896– 904. Yoshizaki G, Okutsu T, Ichikawa M, Hayashi M, Takeuchi Y. 2010. Sexual plasticity of rainbow trout germ cells. Anim Reprod 7:187–196. Young G, Kusakabe M, Nakamura I. 2005. Gonadal steroidogenesis in teleost fish. Di dalam: Melamed P, Sherwood N, editor. Hormones and Their Receptors in Fish Reproduction. Singapore: World Scientific. hlm 155-223. Zapata RF. 2009. Expression of gfp in transgenic tilapia under the control of the medaka β – actin promoter : establishment of a model system for germ cell transplantation. [Master Thesis]. Tokyo : Master’s Course of Marine Life Sciences, Tokyo University of Marine Science and Technology. Zhou Q, Griswold MD. 2008. Regulation of spermatogonia. The Stem Cell Research Community. StemBook. doi/10.3824/ stembook.1.7.1. http://www.stembook.org/index.html [14 Juli 2008].
111
Lampiran 1
Analisis karakteristik morfologi tipe spermatogonia ikan gurami ANOVA df
Diameter sel
Sum of Squares
Between Groups
4883,242
3
1627,747
813,594
356
2,285
5696,836
359
Between Groups
460,171
3
153,390
Within Groups
486,193
356
1,366
Total
946,364
359
Between Groups
5,043E8
3
1,681E8
Within Groups
1,515E8
356
425617,000
Total
6,558E8
359
Between Groups
3404584,990
3
1134861,663
Within Groups
5415640,978
356
15212,475
Total
8820225,968
359
Between Groups
4,406E8
3
1,469E8
Within Groups
1,222E8
356
343270,224
Total
5,628E8
359
Within Groups Total Diameter inti
Volume Sel
Volume inti
Volume sitoplasma
ANOVA (lanjutan) F
Sig,
Diameter sel
Between Groups
712,245
,000
Diameter inti
Between Groups
112,315
,000
Volume Sel
Between Groups
394,925
,000
Volume inti
Between Groups
74,601
,000
Volume sitoplasma
Between Groups
427,841
,000
Post Hoc Tests Diameter inti Tipe sel Duncana
Subset for alpha = 0,05 N
1
2
3
SpB
90
SpT
90
8,3250
SpA
90
8,3833
SSC
90
Sig,
Mean Square
5,9222
8,7917 1,000
,738
1,000
112
Volume Sel Tipe sel Duncana
Subset for alpha = 0,05 N
1
SpB
90
SpT
90
SpA
90
SSC
90
Sig,
2
3
4
394,1871 1008,1969 2185,6430 3489,5740 1,000
1,000
1,000
1,000
Volume inti Tipe sel Duncana
Subset for alpha = 0,05 N
1
2
3
SpB
90
SpT
90
316,9541
SpA
90
331,2899
SSC
90
Sig,
121,2708
373,6576 1,000
,436
1,000
Volume sitoplasma Tipe sel Duncana
Subset for alpha = 0,05 N
1
SpB
90
SpT
90
SpA
90
SSC
90
Sig,
2
3
4
272,9163 691,2428 1854,3531 3115,9164 1,000
1,000
1,000
1,000
113
Lampiran 2
Analisis data kelimpahan sel testikular (frekuensi relatif) ikan gurami pada bobot tubuh ikan <500 g (1), 500–1000 g (2), >1000 g (3)
Bobot tubuh (g) 1. <500
2. 500-1000
3. >1000
1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3
SSC 4,17 6,00 4,00 4,30 2,06 3,09 5,21 3,09 3,53 3,03 2,00 2,00 4,12 2,06 5,10 2,06 4,17 2,11 0,00 1,02 0,00 0,00 1,00 0,00 0,00 0,00 1,03
SpA 16,67 18,00 20,00 13,98 15,46 4,12 12,50 17,53 14,12 19,19 18,00 22,00 22,68 26,80 30,61 23,71 21,88 24,21 6,82 4,08 8,00 5,00 8,00 10,00 5,10 11,00 6,19
SpT 14,58 15,00 14,00 9,68 9,28 8,25 9,38 15,46 10,59 19,19 14,00 29,00 22,68 18,56 15,31 16,49 20,83 14,74 19,32 10,20 18,00 18,00 17,00 15,00 14,29 9,00 16,49
SpB 13,54 6,00 16,00 0,00 4,12 2,06 3,13 14,43 3,53 15,15 8,00 31,00 16,49 14,43 22,45 19,59 15,63 11,58 15,91 12,24 10,00 16,00 18,00 18,00 16,33 14,00 16,49
SL 41,67 54,00 47,00 41,94 55,67 55,67 47,92 43,30 54,12 46,46 43,00 41,00 45,36 41,24 43,88 24,74 45,83 40,00 51,14 17,35 52,00 70,00 50,00 40,00 52,04 40,00 43,30
Keterangan : SSC : sel punca spermatogonia, SpA : spermatogonia A, SpT : spermatogonia transisi, SpB : spermatogonia B, Sel L: sel derivat spermatogonia dan sel somatik
114
ANOVA
Sum of Squares SSC
SpA
62,376
2
31,188
Within Groups
24,838
24
1,035
Total
87,214
26
1167,625
2
583,813
328,458
24
13,686
1496,083
26
Between Groups
231,807
2
115,904
Within Groups
348,991
24
14,541
Total
580,798
26
Between Groups
524,993
2
262,496
Within Groups
700,450
24
29,185
1225,442
26
277,101
2
138,550
Within Groups
2221,243
24
92,552
Total
2498,344
26
Within Groups Total
SpB
Total Sel lain
Mean Square
Between Groups
Between Groups
SpT
df
Between Groups
POST HOC TEST SSC Bobot tubuh a
Duncan
Subset for alpha = 0,05 N
1
2
3
9
2
9
2,9611
1
9
3,9389
Sig,
,3389
1,000
0,053
F
Sig,
30,136
0,000
42,658
0,000
7,971
0,002
8,994
0,001
1,497
0,244
115
SpA Bobot tubuh a
Duncan
Subset for alpha = 0,05 N
1
3
9
1
9
2
9
Sig,
2
3
7,1322 14,7089 23,2311 1,000
1,000
SpT Bobot tubuh Duncan
a
Subset for alpha = 0,05 N
1
1
9
11,8022
3
9
15,2556
2
9
Sig,
2
18,9778 0,067
1,000
SpB Bobot tubuh
Subset for alpha = 0,05 N
1
2
Duncana 1
9
3
9
15,2189
2
9
17,1467
Sig,
6,9789
1,000
0,456
1,000
117
Lampiran 3. Analisis faktorial pengaruh larutan disosiasi dan lama masa (waktu) inkubasi terhadap jumlah dan viabilitas sel spermatogonia ikan gurami 1.
Pengaruh larutan disosiasi dan lama masa inkubasi terhadap jumlah sel
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Jumlah sel Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected Model 7,401E9 9 8,223E8 Intercept 5,143E10 1 5,143E10 Larutan 5,808E9 1 5,808E9 Waktu inkubasi 1,575E9 4 3,937E8 Larutan * waktu 1,764E7 4 4411033,583 Error 1,214E10 20 6,071E8 Total 7,097E10 30 Corrected Total 1,954E10 29 a, R Squared =0,379 (Adjusted R Squared = 0,099)
F
Sig.
1,354 84,706 9,567 0,648 0,007
0,272 0,000 0,006 0,635 1,000
Uji beda nyata faktor larutan disosiasi tidak dapat dianalisis karena hanya terdiri atas dua kelompok sehingga indicator beda nyata dapat dilihat dari nilai rata-rata jumlah sel pada setiap jenis larutan 2
Pengaruh larutan disosiasi dan lama waktu inkubasi terhadap viabilitas sel Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Viabilitas Source Corrected Model Intercept larutan Waktu inkubasi larutan * waktu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares
df a
203,690 282361,187 0,080 189,341 14,269 119,614 282684,492 323,304
Mean Square
9 1 1 4 4 20 30 29
a, R Squared = 0,630 (Adjusted R Squared = 0,464)
22,632 282361,187 0,080 47,335 3,567 5,981
F 3,784 47211,932 0,013 7,915 0,596
Sig. 0,006 0,000 0,909 0,001 0,669
118
Uji lanjut beda nyata faktor lama waktu inkubasi terhadap viabilitas sel Post Hoc test Viabilitas
Duncana,,b
Subset
lama inkubasi (jam)
N
1
5
6
92,9833
4
6
95,6033
3
6
2
6
99,0733
1
6
100,0000
2
3
95,6033 97,4183
Sig. 0,078 0,213 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 5.981. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = 0,05.
97,4183
0,098
119
Lampiran 4 Profil resipien larva ikan nila pada berbagai umur hari pascamenetas (hpm). Tanda panah menunjukkan daerah yang disuntik. Skala=1 mm
Lampiran 5
Persentase sel testikular dan sel spermatogonia ikan gurami yang terlabel oleh PKH 26 (Sigma)
Lapang Pandang Sel testikular Sel terlabel persentase sel terlabel(%) Rerata sel terlabel (%) Spermatogonia Sel terlabel Persentase sel terlabel(%) Rerata sel terlabel (%)
Ikan donor pertama Ikan donor kedua 1 2 3 1 2 3 20 18 15 28 23 18 18 17 14 25 22 16 90,00 94,44 93,33 89,29 95,65 88,89 91,93±2,90 3 2 2 2 2 4 2 1 2 1 2 2 66,67 50,00 100,00 50,00 100,00 50,00 69,44±24,53
120
Lampiran 6 Sintasan ikan nila pascatransplantasi
Perlakuan (hari pascamenetas) 1
Rerata 3
Rerata 5
Rerata 7
Rerata Kontrol
Ulangan
Jumlah ikan ditransplantasi
1 2 3
20 40 35
1 2 3
25 40 40
1 2 3
20 40 40
1 2 3
30 40 40
1 2 3
20 40 35
Sintasan pascatransplantasi (%) 24 jam 2 bulan 75,00 20,00 87,50 77,50 85,71 65,71 82,74±6,76 54,40±30,37 100,00 64,00 90,00 55,00 95,00 70,00 95,00±5,00 63,00±7,55 95,00 60,00 92,50 75,00 97,50 90,00 95,00±2,50 82,96±15,00 100,00 83,33 90,00 80,00 92,50 82,50 94,17±5,20 81,94±1,73 100,00 75,00 100,00 80,00 100,00 80,00 100,00±0,00 82,50±2,50
Rerata
UJI ANOVA UNTUK SINTASAN LARVA PASCATRANSPLANTASI
24 jam
2 bulan
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
488,827
4
122,207
5,873
0,011
Within Groups
208,078
10
20,808
Total
696,905
14
Between Groups
1376,710
4
344,178
1,396
0,304
Within Groups
2646,890
10
246,489
Total
3841,601
14
121
24 jam
a,,b
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Umur resipien
N
1
1
3
82,7381
7
3
94,1667
3
3
95,0000
5
3
95,0000
0
4
100,0000
Sig.
2
1,000
0,175
2 bulan
Duncana,,b
Subset for alpha = 0.05
Umur resipien
N
1
1
3
54,4048
7
3
63,8889
3
3
75,0000
5
3
78,3333
0
4
79,1667
Sig.
0,106
122
Lampiran 7 Efisiensi kolonisasi sel spermatogonia ikan gurami pada resipien ikan nila
Perlakuan (hari pascamenetas) 1
Ulangan 1 2 3
Jumlah sampel Jantan Betina 2 2 2 2 3 1
Jumlah sampel yang membawa sel donor Jantan Betina 0 1 1 1 2 1
rerata 3
1 2 3
2 1 3
2 2 2
0 0 3
2 1 2
1 2 3
2 3 3
2 1 1
1 1 2
1 0 1
1 2 3
2 3 3
1 1 2
1 0 0
0 1 0
rerata 5
rerata 7
rerata
Efisiensi kolonisasi (%) 25 50 75 50±25 50 33,33 100 61,1±34,71 50 25 75 50±25 33,3 25 0 19,43±17,33
ANOVA EFISIENSI KOLONISASI Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
2887,796
3
962,599
1,398
0,312
Within Groups
5509,352
8
688,669
Total
8397,148
11
123
Lampiran 8
Hasil pengukuran ekstraksi DNA gonad ikan gurami menggunakan gene quant
Sampel Rasio λ260/280 11 -1,381 12 1,659 13 1,7 14 1,679 15 1,778 16 0,778 21 1,815 22 1,783 23 1,756 24 2,291 25 1,775 26 1,652 31 1,685 32 1,83 33 1,702 34 1,761 35 1,756 36 1,845 L1 1,744 L2 1,761 L3 1,837 ST1 1,871 ST2 1,802 ST3 1,882 ST4 1,750 ST5 1,727 G 1,745 N 1,849 Keterangan 11-16 21-26 31-36 L1-L3 ST1 ST2 ST3 ST4 ST5 G N
Kandungan DNA (µg/µL) 0 0,032 0,240 0,048 0,040 0 0,152 0,416 0,056 0,016 0,192 0,072 1,296 3,576 1,020 0,080 3,284 3,112 0,596 0,712 0,688 0,288 0,168 0,128 0,088 0,068 0,144 0,064
Keterangan tidak digunakan pascapurifikasi pascapurifikasi pascapurifikasi pascapurifikasi tidak digunakan
= Gonad resipien ikan nila 1 bulan pt = Gonad resipien ikan nila 2 bulan pt = Gonad resipien ikan nila 3 bulan pt = Resipien larva ikan nila 24 jam pt = Suspensi sel tesikular ikan gurami dan nila rasio 100000:400000 = Suspensi sel tesikular ikan gurami dan nila rasio 10000:490000 = Suspensi sel tesikular ikan gurami dan nila rasio 1000:499000 = Suspensi sel tesikular ikan gurami dan nila rasio 100:499900 = Suspensi sel tesikular ikan gurami dan nila rasio 10:499990 = Suspensi sel testikular ikan gurami = Gonad ikan nila tanpa transplantasi
124
Lampiran 9
Hasil kuantifikasi DNA produk PCR DNA genom gonad ikan nila menggunakan program unscan IT Gel 6.1
1. Elektroforegram DNA produk PCR DNA genom larutan standar (SD) dan larva 24 jam pascatransplantasi
Segmen/Sampel
Pixel Total
Concentration
Pixel Total %
Segment Size
Segment Size %
1.Marker 500 bp 2. Marker 1000 bp 3.24 jam 5.24 jam
57.198 57.386 80.503 136.743
14,28* 14,53* 45,35466 120,3454
6,96 6,98 9,8 16,64
456 462 660 782
7,2 7,3 10,42 12,35
6.24 jam 7.G
69.534 107.050
30,72854 80,75256
8,46 13,03
630 552
9,95 8,72
8.100.000 9.10.000 10.1.000 11.100
162.553 52.548 49.447 48.718
154,7605 8,079326 3,944437 2,972385
19,78 6,4 6,02 5,93
752 598 720 720
11,88 9,44 11,37 11,37
*konsentrasi DNA standar
125
2. Elektroforegram DNA produk PCR DNA genom gonad ikan nila umur 1 bulan pascatransplantasi.
Segmen/Sampel
Pixel Total
Concentration
Pixel Total %
Segment Size
Segment Size %
1.Marker 500 bp 2.Marker 1000 bp 3.12 4.13
124.215 118.440 169.799 200.492
14,28* 14,53* 12,30642 10,97756
20,27 19,32 27,7 32,71
960 1.280 1.771 2.666
14,38 19,17 26,52 39,93
*konsentrasi DNA standar
126
3.
Elektroforegram DNA produk PCR DNA genom gonad ikan nila umur 2 bulan dan 3 bulan pascatransplantasi
Segmen/Sampel 1.Marker 1000 bp 2.Marker 500 bp 3.31 4.32 4.34 5.35 6.36 7.G 8.21 9.22 10.23 11.24 12.25 13.26
Pixel Total Concentration 290.640 14,28* 299.723 14,53* 395.818 17,1739 419.128 17,81525 274.798 13,84417 382.579 16,80964 878.062 30,4423 513.354 20,40777 806.373 28,46985 766.415 27,37046 613.787 23,17107 417.854 17,7802 301.396 14,57598 165.639 10,84078
*konsentrasi DNA standar
Pixel Total % 4,45 4,59 6,07 6,42 4,21 5,86 13,46 7,87 12,36 11,74 9,41 6,4 4,62 2,54
Segment Segment Size Size % 2.496 5,42 2.604 5,66 3.710 8,06 4.214 9,15 3.456 7,51 3.520 7,65 4.992 10,85 3.094 6,72 3.744 8,13 3.488 7,58 3.952 8,59 2.600 5,65 2.392 5,2 1.768 3,84
127
Lampiran 10 Hasil analisis ragam estimasi konsentrasi dan jumlah sel resipien ikan nila 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan pascatransplantasi
Gonad dari resipien pasca transplantasi 24 jam 24 jam 24 jam 1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 2 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan 3 bulan
Konsentrasi DNA (ng/µL)
Jumlah sel
25,92 68,77 17,56 0,00 3,52 3,14 0,00 16,27 15,64 13,24 10,16 8,33 6,19 9,81 10,18 0,00 7,91 9,61 17,40
29.583 77.963 20.147 323 4.293 3.864 323 18.690 17.981 15.272 11.794 9.727 7.317 11.403 11.816 323 9.254 11.168 19.963
ANOVA KONSENTRASI DNA DAN JUMLAH SEL IKAN GURAMI
Konsentrasi
Jumlah sel
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
247,189
2
123,595
6,452 0,011
Within Groups
249,038
13
19,157
Total
496,227
15
Between Groups
3,152E8
2
1,576E8
Within Groups
3,172E8
13
2,440E7
Total
6,325E8
15
6,459 0,011
128
Uji beda nyata terhadap konsentrasi DNA Duncana,,b Subset for alpha = 0,05 Perlakuan
N
1
1
4
1,6650
3
6
9,1517
2
6
11,6383
Sig.
2
1,000
0,379
Uji beda nyata terhadap jumlah sel Duncana,,b Subset for alpha = 0,05 Perlakuan
N
1
1 3 2 Sig.
4 6 6
2200,75
1,000
2 10654,50 13463,50 0,378
129
Lampiran 11 Jumlah dan viabilitas spermatogonia ikan gurami dari testes pascapreservasi serta analisis ragam terhadap viabilitas spermatogonia Lama preservasi (jam) 0
6
12
24
48
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Jumlah spermatogonia/mg testes 27.556 25.333 41.333 44.211 40.580 44.667 28.406 30.725 32.381 10.526 14.902 8.667 26.133 5.797 27.333
Viabilas spermatogonia (%) 96.77 100.00 93.55 84.13 91.43 89.55 75.51 81.13 76.47 80.00 73.68 69.23 44.90 60.00 58.54
ANOVA
viabilitas Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3079,162 264,918 3344,080
df Mean Square F Sig. 4 769,790 29,058 0,000 10 26,492 14
Uji beda nyata Duncan
a
Periode preservasi (jam) 48 24 12 6 0 Sig.
Subset for alpha = 0,05 N
1
3 3 3 3 3
54,4800
2
3
74,3033 77,7033
1,000
0,437
88,3700 96,7733 0,073
130
Lampiran 12 Sintasan resipien ikan nila 24 jam pascatransplantasi dan efisiensi kolonisasi resipien dengan sumber donor sel testikular ikan gurami dari gonad pascapreservasi Periode preservasi (jam) 0
Ulangan 1 2 3
Sintasan 24 jam pt (%) 90 100 90
Rata-rata
93,33 ± 5,77
1 2 3
90 85 100
66,67 50 50
Rata-rata
91,67 ± 7,64
55,56 ± 9,62
1 2 3
80 90 90
50 50 66,67
Rata-rata
86,67 ± 5,77
55,56 ± 9,62
24
48
Efisiensi kolonisasi (%) 83,33 50 50 61,11 ± 19,24
ANOVA Sintasan 24jam pt
Sintasan 1 bulan pt
Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
72,222
2
36,111
Within Groups
250,000
6
41,667
Total
322,222
8
Between Groups
16,667
2
8,333
Within Groups
883,333
6
147,222
Total
900,000
8
61,679
2
30,840
Within Groups
1111,111
6
185,185
Total
1172,790
8
Efisiensi kolonisasi Between Groups
F
Sig.
Sintasan 24jam pt
Between Groups
0,867
0,467
Sintasan 1 bulan pt
Between Groups
0,057
0,945
Efisiensi kolonisasi Between Groups
0,167
0,850
131
ANOVA SINTASAN DAN EFISIENSI KOLONISASI
Sintasan 24jam
Efisiensi kolonisasi
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
72,222
2
36,111
0,0867
0,467
Within Groups
250,000
6
41,667
Total
322,222
8
Between Groups
61,679
2
30,840
0,167
0,850
Within Groups
1111,111
6
185,185
Total
1172,790
8
DAFTAR ISTILAH MENURUT KAMUS Derivat Diferensiasi
: turunan. : suatu tahap perkembangan embrio dari fase muda ke fase yang definitif. Disosiasi : pemisahan atau penguraian. Donor : pemberi, masuk dan berintegrasi dengan inang Duktus deferens : vas deferens, saluran mani yang menyalurkan mani dari epididimis ke urethra. Epididymis : epididimis, anak testis (pelir). Sperma dari vas efferensia mengalami pematangan di epididimis sehingga jadi motil dan bergerak lalu disalurkan ke vas deferens. Filogenetik : proses perkembangan evolusi makhluk hidup Fluoresens : berbinar atau pendar fluor, membuat sediaan jadi berbinar jika dilihat di bawah mikroskop fluorescence. Grid : kisi; garis imajiner membujur dan melintang Immune : imun,kebal Imunokompetensi : mampu berespons imun Imunodefisiensi ; tak mampu menghasilkan imunitas. Larva : suatu tahap perkembangan setelah sel telur menetas, memiliki bagian tubuh khas yang tidak dimiliki oleh tahap dewasa dan aktif bergerak. Mutan : sel atau individu yang terbentuk akibat mutasi . Nutfah : benih Niche : nike, relung yaitu cara hidup pada suatu habitat. Pluripoten : memiliki potensi menumbuhkan atau berkembang menjadi beberapa macam sel.atau jaringan. Preparat : bahan yang disiapkan secara kimiawi, sediaan Preservasi : pengawetan, pemeliharaan. Primordial germ cell (PGC) : calon atau bakal sel benih. Proliferasi : penggandaan atau perbanyakan gametogonium secara mitosis untuk membentuk gametosit. Resipien : penerima Resiprok : berbalasan, sebaliknya. Perkawinan F1 betina x resesif jantan, resiproknya F1 jantan x resesif betina. Testikular : testis Tubuli seminiferi : Jamak dari tubulus, saluran-saluran halus penghasil semen dalam testis. Xenogeneic : xenogenik, berasal dari berbagai spesies. Xenotransplantasi : Transplantasi xenogenik, transplantasi sel donor ke resipien yang berbeda spesies.