WOMANISME Oleh:Dra. S. W.E. Handayani DOSEN FISIPOL Univ. Surakarta
Pendahuluan Womanisme atau teori womanist, adalah sebuah kerangka konseptual yang mencakup sejarah, keluasan, kontinuitas, dan keragaman wanita kulit hitam dalam mengejar
solidaritas
kemanusiaan
dan
keadilan
sosial.
Womanisme
mengembangkan pengetahuan kita tentang komunikasi dengan memberikan konteks yang kritis untuk mengaji pengalaman komunikasi langsung para wanita Kulit
Hitam, yang mempertimbangkan situasi-situasi yang penting dan
kedudukan ideologis wanita Afrika Amerika (atau diaspora Kulit Hitam). Womanisme berasal dari ekspresi rakyat kulit hitam untuk para ibu yang mengingat putri-putrinya agar menahan diri dari perilaku womanish (kewanitawanitaan). Catatan ini meneliti sejarah womanisme, ajaran-ajaran pentingnya, dan kontur pemikiran womanist dan hubungannya dengan teori komunikasi. Istilah wanita kulit hitam dan Afrika Amerika digunakan secara bergantian untuk menyatakan saling keterkaitan diantara komunitas-komunitas diaspora kulit Hitam.
Asal Mula dan Ajaran Menurut Alice Walker yang menciptakan istilah womanist, seorang womanist adalah seseorang yang mewujudkan karakteristik berkiut ini: sebuah pilihan akan budaya wanita, kecintaan terhadap dirinya sendiri dan wanita lain, dan komitmen terhadap perjuangan dan kelangsungan hidup semua orang – baik wanita maupun pria. Istilah womanisme memberikan sebuah alternatif yang lebih tepat secara budaya kepada istilah feminist, yang mengasingkan wanita Kulit Hitam, aktivis sehari-hari dan akademisi. Menjadi womanist berarti memposisikan diri seseorang dan ilmu akademis seseorang didalam perjuangan global untuk emansipasi wanita, termasuk berbagai masalah yang terkait dengan perbedaan
kesehatan, status ekonomi wanita, seksualitas, hak-hak politik, kekerasan terhadap wanita, dan status perkawinan dan keluarga dan hak-hak yang mempengaruhi wanita kulit Hitam di Amerika Serikat dan dunia. Womanisme juga dipandang sebagai perspektif filosofis. Ini adalah suatu cara untuk berpikir, bertindak, dan berada di dunia – sebuah epistemology, atau cara mengenal Wanita Kulit Hitam. Seorang Womanist bukan merupakan sebuah kelompok separatis, kecuali secara berkala untuk kesehatan, dan secara tradisional universalist, yang mendefinisikan kembali semua orang kulit berwarna untuk menguniversalisasi perjuangan individu. Womanisme memerlukan sebuah versi integrasi sosial yang pluralist (majemuk) dimana, seperti yang diamati oleh Patricia Hills Collins, wanita dan pria hidup bersama seperti bunga-bunga di sebuah kebun. Tanpa kehilangan
perbedaan
budaya
mereka,
womanisme
berkomitmen
untuk
menghapuskan seksisme dan rasisme dan ‘isme-isme’ lainnya yang mewabah dalam komunitas manusia, seperti klasisisme, heteroseksisme, sambil membuat sebuah ruang ideologis untuk gerakan-gerakan penentuan nasib sendiri yang mandiri. Ajaran kunci dari womanisme meliputi berbagai macam bahaya, pengalaman langsung sebagai suatu cara untuk mengenal dan membuat makna tentang dunia, dan sebuah budaya perlawanan. Berbagai bahaya mengacu kepada cara-cara dimana wanita Afrika Amerika mengemudikan pertentangan antara berbagai penindasan yang saling berkaitan (misalnya rasisme, seksisme, klasisisme), dan berbagai identitas yang saling ketergantungan (misalnya, Kulit hitam, wanita, kelas pekerja). Pengetahuan wanita kulit hitam dan sensibilitas yang membuat makna berakar didalam pengalaman langsung. Aspek eksperiensial pengetahuan dan makna membentuk teori sehari-hari tentang wanita kulit hitam dan seringkali dianggap sebagai naluri tandingan bagi epistemologi Barat. Sebuah perlawanan budaya menurut sejarah telah menentang dan membentuk komunikasi wanita kulit Hitam. Budaya perlawanan menandai perjuangan pribadi dan bersama para wanita kulit hitam melawan rasisme, patriarki, dan bentuk-bentuk penindasan
manusia
lainnya
sambil
mengembangkan
pembebasan diri dan tatanan sosial yang lebih manusiawi.
cara-cara
menuju
Sejarah Sejarah tentang womanisme dimulai dari wanita Kulit Hitam sehari-hari pada abad ke-19 yang berkomitmen terhadap pemberdayaan dan persatuan seluruh rakyat. Wanita Afrika yang diperbudak menciptakan sebuah wacana pertentangan yang muncul sebagai respon terhadap narasi tuan tentang gender, ras dan supremasi kelas – sebuah narasi yang menghukum, mencemarkan, dan mengabaikan eksistensi dan kemanusiaan wanita Kulit Hitam. Karena menuntut warisan perlawanan dan perjuangan, wanita kulit hitam menciptakan sebuah tradisi intelektual yang memiliki wanita biasa, sebagai landasannya, yang berbagi pengalaman tentang kehidupan sehari-hari mereka dan yang menghasilkan penamaan dan dengan demikian menentukan kembali identitas mereka. Cerita budak wanita kulit hitam seperti cerita Harriet Jacobs, retorika anti hukuman mati Ida B. Wells, gerakan Club pada akhir abad ke-19 dan awal bad ke-20 dengan Mary Church Terrell dan pidato kaum abolisionist kulit hitam seperti: -
Sojouner Truth,
-
Maria W. Stewart, dan
-
Frances E.W. Watkins Harper. Gelombang kedua pikiran womanist (1960an-1980an) adalah inisiatif
dasar yang dipahami oleh antara lain Patricia Hill Collins. Muncul dari praktek wanita feminist kulit berwarna AS, fase pemikiran womanist memberikan sebuah wacana tandingan pada tahun 1980an terhadap wacana feminist arus utama Amerika Serikat. Dengan demikian, womanisme menawarkan sebuah istilah alternatif untuk feminist kulit hitam pada suatu waktu dimana banyak wanita kulit berwarna yang mengutarakan keterpinggiran atau pengikisan mereka didalam wacana feminist kulit Putih. Kontur-kontur womanisme lainnya telah muncul secara kritis untuk membahas dinamika konflik antara feminist arus utama dengan wanita feminis kulit berwarna. Sebagai contoh, womanisme Afrika membuat teori tentang
pengalaman wanita kulit hitam dari kosmologi Afrosentris yang nasionalistis. Gambaran tentang womanisme ini menekankan dampak pemberdayaan dari mommo atau penamaan diri sendiri, dan pendefinisian diri sendiri sebagai tema intinya dalam menciptakan identitas dan mengendalikan situasi kehidupan dalam mengejar persatuan. Di lain pihak, teologi womanist, menggali kerumitan seksualitas, homophobia, dan heteroseksisme sebagai titik-titik penindasan di gereja Kulit Hitam. Ahli teologi Womanist mendukung sebuah wacana tentang etika seksual positif didalam masyarakat kulit hitam yang memungkinkan wanita kulit hitam untuk menegaskan, mencintai dan memeluk dirinya sendiri. Persatuan didalam teologi womanist berasumsi tentang penegasan wanita kulit hitam dalam kelengkapan seksualitas sambil mengubah wacana struktur heteroseksis dan system gereja kulit hitam. Walaupun beberapa ahli mengabungkan womanisme dengan feminisme kulit hitam, yang mencatat sejarah dan tradisi perjuangan yang saling berhubungan, yang lain berpendapat bahwa kedua istilah tersebut tidak sesuai dan mengkaji karakteristik yang dapat dibedakan dari masing-masing. Para kritikus womanisme Afrika mendorong pembahasan tentang sejauh mana teori womanist Afrikana dapat membentuk dan menginformasikan komunitas aktif dan partisipasi rakyat banyak dalam politik. Penting untuk diingat bahwa womanisme bukan merupakan sebuah pandangan esensialis monolitik tentang wanita Afrika Amerika maupun ideologi statis. Tetapi, hal ini diperoleh dari pola eksistensi wanita Afrika Amerika yang berakar dalam sejarah yang berbeda dan pengalaman langsung tentang berbagai identitas dan tradisi perlawanan yang saling ketergantungan terhadap berbagai penindasan yang saling berkaitan. Tradisi pemikiran dan aktivisme feminist dan womanist kulit hitam telah saling berpotongan dengan gerakan sosial untuk membangun koalisi dan untuk mengutarakan perjuangan bagi keadilan sosial kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam sejarah AS. Sebagai contoh, pada tahun 1960an dan 1970an, womanisme dikenal didalam radikalisme wanita Black Panther, seperti: -
Assata Shakur,
-
Kathleen Cleaver, dan
-
Angela Davis,
serta karya para feminist akademis kulit hitam seperti: -
Barbara Christian,
-
Audre Lorde, dan
-
Patricia Hill Collins.
Womanisme dan Teori Komunikasi Teori komunikasi dari perspektif womanisme mengungkapkan produksi intelektual wanita kulit hitam tentang pemikiran, wacana, dan aktivisme yang memusatkan bukan memarjinalkan pengalaman sosial politik dan budaya mereka yang unik. Dalam disiplin ilmu penelitian komunikasi, sebuah pembahasan tentang womanisme telah mencoba membuat suara para ahli komunikasi didengar dalam percakapan yang terus menerus didalam penelitian wanita Afrika Amerika dan suara ilmuwan feminist dan womanist Afrika dan Amerika yang didengarkan didalam komunikasi. Cerita-cerita tentang kelangsungan hidup, perjuangan, perlawanan dan pembebasan dalam pengalaman hidup sehari-hari adalah unsur wacana womanist yang penting – sebuah wacana yang menantang sistem kekuatan dan eksploitasi sambil menciptakan vista-vista baru tentang makna dan pengalaman. Wacana wanita Afrika Amerika, selanjutnya adalah sebuah cerita tentang strategi retorika wanita, yang mengubah kebiasaan kehidupan sehari-hari menjadi retorika kelangsungan hidup, pendefinisian diri, kehormatan pribadi dan pembebasan dalam kaitannya dengan kerumitan kehidupan dan budaya Amerika. KOMENTAR PENULIS Dunia ini penuh dengan dominasi kaum laki-laki. Benarkah demikian? Lalu bagaimana dengan kaum perempuan; apakah mereka merupakan bagian masyarakat yang terbuang, kelas masyarakat tanpa eksistensi dan tidak mempunyai arti dan makna sering kehadiran manusia di jagat ini? Argumentasinya tidak. Sebab kehadiran kaum perempuan telah memberikan
warna tersendiri bagi dinamika kehidupan itu sendiri kendati sumbangsih mereka lebih sering diklaim tidak sedyasat dengan apa yang telah diraih kaum laki-laki. Barang kali absord untuk menilai kenyataan tersebut apabila kacamata yang kita pakai adalah produk modern. Namun kesaksian sejarah tidak bisa diabaikan. Dalam masa modern masih ada pihak ataupun perlakuan yang menempatkan kaum perempuan hanya sekedar sebagai pelengkap kalau enggan disebut sebagai masyarakat kelas dua. Sesungguhnya pernyataan awal diatas merupakan potret yang mewakili realitas bagaimana perenmpuan pernah ditindas, dibatasi hakhaknya dalam ranah apapun juga merupakan cuatan nurani yang keluar dari hegemoni kekuasaan yang melegalkan diskriminasi gender terhadap perempuan. Berabad-abad lamanya perempuan hidup tatanan patriarki yang sungguh tidak berpihak pada asas egaliter sehingga aktivitas yang dilakukan lebih bernuansa pelayanan dalam segala aspek; memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga, mengasuh anak, dan melayani suami sedangkan perkara-perkara yang ada di luar rumah tangga merupakan wilayah tabu.
Womenisme pada dasarnya adalah perjuangan terhadap kesamaan hak, eksistensi, peranan dan status seorang wanita, sehingga tidak akan terjadi dominasi, kaum pria terhadap dirinya, peran dan hak yang diperjuangkan womenisme meliputi berbagai aspek kehidupan: Aspek Selarasi, budaya, kesehatan, seksualitas, maupun hak-hak politik, dengan peran hak yang sama dengan kaum pria diharap terjadi suatu proses komunikasi dan interaksi yang harmonis. Kesenjangan psikologis antara kaum pria dan wanita dapat dijembatani dengan pola komunikasi yang terbuka. Seperti yang dikemukakan oleh Latamani, bahwa dengan kultural studies dapat menembus sekat-sekat perbedaan yang ada dalam masyarakat, seperti, ras, seks, kebudayaan. Juga dapat menembus sekat antar bangsa. Dapat mrengkombinasikan dan dapat pula diartikulasikan ke dalam segala kemajemukannya. (Pawito Phd, outline kuliah teori-teori komunikasi fisip UNS, hal 37).
Womenisme yang berjuang menghapus sistem kekuatan dan eksploitasi terhadap wanita berusaha membangun jaringan yang luas dalam rangka membangun image terhadap dunia agar wanita tidak terpinggirkan hal ini sesuai dengan teori interaksionisme simbolik dari George Herberp Mead yang mengatakan bahwa, manusia memiliki kapasitas yang unik dalam mengambil peran dalam kehidupan bersama orang lain sejak kanak-kanak hingga dewasa. Konsep sels merupakan pola interaksi serta perilaku komunikasi, seseorang dengan orang lain ( Pawito Phd, outline kuliah teori-teori komunikasi fisip UNS hal 12). Perjuangan yang dilakukan dalam womenisme tersebut tidak terlepas dari kemampuannya membangun interaksi ungtuk mengkomunikasikan ide-ide, hak, dan perannya kepada orang lain, kepada mata dunia. Kecenderungan lain yang muncul pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 telah menjadi jembatan retorika dengan post-modernisme. Sebagai contoh, ahli-ahli teori retorika post-modern mengistimewakan pendirian akan ras, kelas, gender, dan seksualitas ketika mereka masuk ke dalam pengalaman kehidupan khusus seseorang daripada mencari teori-teori yang luas dan penjelasanpenjelasan mengenai retorika. Penganut faham womenisme dan praktik-praktik retorika gender seruing kali masuk ke dalam bidang post-modern ( Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Theories of Human Communication, hal 76) Wacana wanita Afrika Amerika ini merupakan sebuah cerita tentang strategi retorika wanita, yang mengubah kebiasaan kehidupan sehari-hari menjadi retorika kelangsungan hidup, pendefinisian diri, kehormatan pribadi dan pembebasan dalam kaitannya dengan kerumitan kehidupan dan budaya Amerika.
DAFTAR PUSTAKA Littlejohn, Stephen W. Encyelopedia of Communication Theory Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi-Theories of Human Communication Edisi 9. 2009. Jakarta: Salemba Humanika Muktiyo, Widodo. Sukses Berkomunikasi dengan Manajemen Citra. 2010. Surakarta: Citra Emas Press Griffin, EM. A First Lookat Communication Theory Seventh Edition. 2010. New York : McGraw-Hill
V4 no 10 oktober 2011-2