Mahasiswa Fisipol UGM Bicara Konflik Lingkungan oleh Ajik Permana* Rabu (11/3), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Politik & Pemerintahan Universitas Gajah Mada (UGM) mengadakan acara nonton bersama film dokumenter “Samin Versus Semen”. Sebuah film yang menceritakan perlawanan orang-orang Samin menolak rencana pertambangan semen di daerahnya. Menurut Ketua HMJ Ilmu Politik dan Pemerintahan, Ibnu Nugroho, kegiatan ini bertujuan untuk mengajak mahasiswa Fisipol UGM untuk ikut bahu-membahu menyuarakan hak-hak warga penolak pendirian pabrik semen di Rembang dan Pati yang selama ini tak diperhatikan oleh pihak semen dan penguasa. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai kelompok mahasiswa yang tertarik pada isu konflik lingkungan di wilayah Kendeng Utara. Acara ini dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan dua pembicara, yakni Dian Lestariningsih, peneliti dari Research Centre of Politics and Government (Polgov), dan Angga Palsewa Putra, aktivis dari Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Sumber foto: dokumentasi Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) UGM. Mengawali materi diskusi, Dian Lestariningsih, menyampaikan adanya dua kubu dari warga Rembang yang saling berseberangan. Kubu pertama adalah mereka yang pro pembangunan pabrik Semen, dan kubu lainnya adalah kubu penolak tambang semen. Kubu pertama, menurut Dian, sebagian besar menerima iming-iming kesejahteraan. Sedangkan, kubu kontra, justru mempertanyakan kesejahteraan macam apa yang dijanjikan kepada warga? Menurut peneliti Polgov ini, pertanyaan warga penolak tambang
tidak bisa dijawab dengan baik oleh Pemerintah maupun PT. SI. Ukuran kesejahteraan yang ditawarkan berupa: lapangan kerja baru, fasilitas baru, dan janji kesejahteraan yang lebih baik, ternyata bertentangan dengan cara petani penolak tambang mencapai kesejahteraannya.
Warga penolak tambang melihat kehidupan mereka sebagai petani telah sejahtera. Mereka hidup dengan rumah seadanya, bisa makan, bisa bertani, dan memiliki tanah yang dapat diwariskan untuk melanjutkan hidup anakcucunya. Karenanya, tidak mengherankan jika muncul pernyataan, “Kita tidak butuh semen. Kita butuh tempat tinggal, makan, tanah, dan air,” ujar seorang warga dalam film “Samin vs Semen”. Dian yang menggunakan perspektif perempuan, melihat bahwa gerakan perempuan yang terdiri dari ibu rumah tangga di Rembang sungguh luar biasa. Berbanding terbalik dengan realitas kebanyakan perempuan sekarang yang jauh dari isu-isu sosial. “Mereka orang yang luar biasa menurut saya, mereka menolak berdasarkan pemahaman mereka tentang bumi dan alam,” jelasnya. Sedangkan pembicara kedua, Angga Palsewa Putra, yang merupakan seorang organisator gerakan menilai diskusi ini sudah cukup terlambat. Angga menilai telah banyak media alternatif yang mengangkat isu ini, bahkan kasus ini sekarang sudah menjelang tahap akhir sidang di PTUN. Angga juga mengingatkan, dalam kasus semacam ini, kita semua berhadapan dengan penguasa. Ia pun tanpa sungkan menyentil para peserta diskusi dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana posisi dan peran kita dalam kasus (red. konflik lingkungan) semacam ini?”. Mempertanyakan Peran Mahasiswa? Menginjak sesi tanya jawab, seorang audien secara frontal mengajukan pertanyaan menukik kepada pembicara pertama, peneliti Polgov, “Siapa yang membiayai riset Anda? Sebab,
selama ini tidak ada riset di daerah konflik semacam ini yang tanpa kepentingan,” ujarnya. Untuk menjawab keraguan salah satu peserta itu, Dian menjelaskan bahwa ia melakukan riset dengan dana kerjasama Universitas Gajah Mada dan Universitas Oslo (Norwegia) sebagai proyek penelitian isu-isu politik di Indonesia. Tujuan penelitian ini dalam jangka panjang adalah mendesain tatakelola yang lebih baik atas eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia. Selain Rembang, timnya juga meneliti daerah kaya minyak bumi di Bojonegoro, pertambangan mangan di Nusa Tenggara Timur, dan pertambangan batubara di Kalimantan Timur. “Motif kami sebagai peneliti adalah ilmu pengetahuan untuk melihat studi tentang transformasi politik di Indonesia,” ujarnya. Selanjutnya,
salah
satu
mahasiswi
Jurusan
Politik
dan
Pemerintahan ikut meramaikan sesi tanya jawab. Ia menceritakan posisinya yang bersinggungan dengan warga dan sedikit banyak tahu tentang persoalan di Kendeng Utara. Ia mengajukan pernyataan pada Angga sebagai pembicara kedua, “Masalahnya, sepanjang Pegunungan Kendeng yang luasnya luar biasa, nyaris tidak ada pohon besar. Jangan-jangan warga belum memanfaatkan daerah itu? Mungkin Mas Angga bisa membantu memahamkan persoalan itu (red. pemaksimalan lahan)”. Angga Palsewa yang berpembawaan penuh semangat ternyata menolak argumen sang penanya. Menurutnya, kedatangan aktivis bukan untuk mengajar atau mendidik warga, karena warga lebih mengerti permasalahan daerahnya. Justru para aktivis harus belajar dari warga. Meski sebagian warga berpendidikan terbatas, tapi mereka mengerti seluk beluk alam mereka sendiri. “Logika memaksimalkan alam sudah jamak dipakai, dan pembangun pabrik pun beralasan demikian,” jelasnya. Acara diskusi yang berlangsung dua jam itu kemudian diakhiri oleh moderator, Faiz Kalsyfilham, Menteri Kajian Strategis HMJ
Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM. Faiz mengakhiri acara diskusi dengan sebuah otokritik, “Sudah saatnya melihat isu di dekat kita”.Pernyataan ini merupakan otokritik bagi para mahasiswa yang selama ini hanya mengekor isu-isu yang disajikan media massa, padahal ada konflik lingkungan di dekat wilayahnya sendiri. Sebuah otokritik yang mengena. [] * Pemimpin Redaksi literasi.co. [icon icon=’Icomoon/icomoon-calendar||size:17px’]14 Maret 2015