PENGARUH DOSIS BACITRACINE METHYLE DISALISILAT (BMD) DALAM EGG STIMULANT YANG DICAMPUR DENGAN PAKAN KOMERSIL TERHADAP PRODUKTIVITAS IKAN LELE SANGKURIANG Clarias sp
Wisnu Prabowo C14102006
SKRIPSI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
38
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : PENGARUH DOSIS BACITRACINE METHYLE DISALISILAT (BMD) DALAM EGG STIMULANT YANG DICAMPUR DENGAN PAKAN KOMERSIL TERHADAP PRODUKTIVITAS LELE SANGKURIANG Clarias sp. Adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun dalam perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang dikutip atau berasal dari hasil karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Februari 2007
WISNU PRABOWO C14102006
39
RINGKASAN Wisnu Prabowo (C14102006). Pengaruh Dosis Bacitracine Methyle Disalisilat (BMD) dalam Egg Stimulant yang Dicampur Dengan Pakan Komersil Terhadap Produktivitas Lele Sangkuriang Clarias sp. Di bawah bimbingan Dr Dinar Tri Soelistyowati DEA sebagai pembimbing I dan Harton Arfah M.Si sebagai pembimbing II. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetik dan Kolam Penelitian Perikanan Babakan yang bekerja sama dengan Mina Unggul Farm, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor pada tanggal 1 Agustus 2006 sampai dengan 5 Oktober 2006. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 bak pemeliharaan induk berukuran (4 x 2 x 3) m3 , alat bedah, mangkok, gelas fiber, bulu ayam, mikroskop cahaya dengan pembesaran 4 kali, akuarium (100 x 50 x 50) cm3 , botol film, timbangan digital, dan cawan. Sedangkan bahan yang digunakan adalah 12 pasang induk lele sangkuriang, Egg Stimulant, spidol permanen, ovaprim, larutan fisiologis merek Na-Otsu dan larutan sierra. Induk yang digunakan sebanyak 12 induk betina dengan bobot biomassa induk untuk kontrol adalah 3 kg, perlakuan 30 mg BMD/kg ikan adalah 2,5 kg, perlakuan 50 mg BMD/kg ikan adalah 3,1 kg dan perlakuan 70 mg BMD/kg ikan adalah 3,5 kg, masing- masing perlakuan terdiri dari tiga induk betina dan dipelihara pada tempat terpisah. Adapun 4 perlakuan dosis BMD dalam penelitian ini diberikan dalam kombinasi Egg Stimulant dan pelet sebagai berkut: Ø Perlakuan 1 = Kontrol : 90 gram. Ø Perlakuan 2 (30 mg BMD/kg ikan) : 75 gram pakan + 1,45 gram Egg Stimulant per hari. Ø Perlakuan 3 (50 mg BMD/kg ikan) : 93 gram pakan + 2,98 gram Egg Stimulant per hari. Ø Perlakuan 4 (70 mg BMD/kg ikan) : 105 gram pakan + 4,67 gram Egg Stimulant per hari. Parameter yang diamati adalah nilai tengah diameter telur, pergerakkan inti telur, fekunditas, derajat pembuahan (Fertilisasi Rate) dan derajat penetasan (Hatching rate). Data disajikan dalam tabel dan grafik. Selanjutnya diolah dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT). Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa nilai fekunditas induk lele meningkat dengan semakin meningkatnya dosis BMD yang diberikan dalam pakan. Namun peningkatan dosis BMD itu hanya mempengaruhi jumlah telur yang dihasilkan dan tidak mempengaruhi waktu pematangan kembali atau rematurasi dari induk lele sangkuriang. Nilai rata-rata penambahan diameter telur tidak berbeda nyata seiring dengan peningkatan dosis BMD yang diberikan dan pergerakan inti telur juga tidak berbeda nyata. Persentase FR dan HR menurun pada dosis 30 mg BMD/kg ikan yang disebabkan karena rendahnya kualitas sperma yang membuahi sel telur, kemudian meningkat kembali pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan dan 70 mg BMD/kg ikan. Antara perlakuan 50 mg BMD/kg ikan dan 70 mg BMD/kg ikan tidak menunjukan peningkatan pesentase FR yang signifikan dengan semakin meningkatnya dosis BMD yang diberikan.
40
PENGARUH DOSIS BACITRACINE METHYLE DISALISILAT (BMD) DALAM EGG STIMULANT YANG DICAMPUR DENGAN PAKAN KOMERSIL TERHADAP PRODUKTIFITAS IKAN LELE SANGKURIANG Clarias sp
Wisnu Prabowo C14102006
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
41
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dan menuliskannya dalam bentuk skripsi. Dalam penelitian ini penulis meneliti tentang Pengaruh Dosis Bacitracine Methyle Disalisilat (BMD) Dalam Egg Stimulant yang Dicampur dengan Pakan Komersil Terhadap Produktivitas Lele Sangkuriang Clarias sp. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium lapang kolam penelitian babakan dan laboratorium genetik dan pengembangbiakan ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor pada bulan agustus 2006 sampai dengan bulan oktober 2006. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Dinar Tri Soelistyowati DEA selaku dosen pembimbing 1, Bapak Harton Arfah M.Si selaku pembimbing II dan Bapak Dr. Kukuh Nirmala selaku dosen penguji atas saran, bimbingan dan masukannya terhadap perbaikan skripsi ini, ucapan terima kasih tak lupa saya haturkan kepada Bapak H. Achmad Djuansyah MBA, Bapak Kiki Triansyah SE dan Fadel serta Fatoni yang telah membantu dalam penyediaan sarana dan prasarana sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dan skripsi ini dapat tersusun. Bapak, Mama, Dik Dina, Dik Wikan dan Lisda atas dukungan doa dan motivasinya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya
Bogor, Januari 2007
penulis
42
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Februari 1984 dari ayah bernama Singgih Darmoko dan ibu Lukitowati Pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Karang Tengah 07, Ciledug Tangerang dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Ciledug yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 3 Tangerang. Lulus SLTP pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke SLTA 63 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Tahun 2002, penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) mengambil program studi Teknologi Manajemen Akuakultur. Selama menjadi mahasiwa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan seperti UKM Mersudi Patitising Tindak Pusakane Titising Hening, kegiatan keagamaan, pengurus IPB Crisis Center (ICC) dibawah naungan Departemen Sosial BEM KM IPB, Asisten matakuliah Fisika-Kimia Perairan, dan Asisten Dasar-Dasar Genetika. Penulis juga aktif turut serta melakukan kegiatan penyuluhan perikanan di Desa Sinar Sari dan Desa Petir, Ciherang, mengajar BIMBEL serta bisnis perikanan. Penulis pernah mengikuti magang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Penulis melaksanakan penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada bulan agustus 2006 sampai oktober 2006. Hasil penelitian yang penulis laksanakan tertuang dalam skripsi ini. Penulis dinyatakan lulus dari program studi Teknologi Mana jemen Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB pada tanggal 12 Maret 2007.
43
DAFTAR ISI
halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... i RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1. Latar belakang ......................................................................................... 1 1.2. Tujuan...................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3 2.1. Lele Sangkuriang Clarias sp ................................................................... 3 2.2. Bacitracin Methyle Disalisilat (BMD).................................................... 4 2.3. Kematangan Gonad ................................................................................. 6 2.4. Fekunditas ............................................................................................... 12 2.5. Pembuahan .............................................................................................. 13 2.6. Penetasan................................................................................................. 15 III. METODOLOGI........................................................................................ 16 3.1. Waktu dan Tempat .................................................................................. 16 3.2. Alat dan Bahan........................................................................................ 16 3.3. Metoda Penelitian.................................................................................... 16 3.4. Parameter yang diamati .......................................................................... 18 3.4.1. Nilai Tengah Diameter Kuning Telur (mm) ................................. 18 3.4.2. Pergerakan Inti Telur (%) ............................................................. 18 3.4.3. Fekunditas (Butir) ......................................................................... 19 3.4.4. Derajat Pembuahan (%) ................................................................ 19 3.4.5. Derajat Penetasan (%) ................................................................... 19 3.5. Analisis Data ........................................................................................... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 21 4.1. Fekunditas (butir) .................................................................................... 21
44
4.2. Rata-rata Diameter Telur (mm) .............................................................. 23 4.3. Pergerakan Inti Telur (%)........................................................................ 25 4.4. Derajat Pembuahan (%) .......................................................................... 29 4.5. Derajat Penetasan (%) ............................................................................ 31 V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 34 DAFTAR PUS TAKA ..................................................................................... 35 LAMPIRAN ..................................................................................................... 38
45
DAFTAR TABEL No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Teks halaman Komposisi Egg Stimulant ...........................................................................2 Keunggulan lele Sangkuriang Clarias sp bila dibandingkan dengan lele dumbo (Sunarma, 2004) .......................................................................3 Pengaruh pemberian BMD terhadap fekunditas ikan lele Sangkuriang Clarias sp .....................................................................21 Pengaruh pemberian BMD terhadap rata-rata diameter telur ...................23 Pengaruh dosis BMD terhadap derajat pembuahan ikan lele Sangkuriang Clarias sp .....................................................................29 Pengaruh dosis BMD terhadap derajat penetasan ikan lele Sangkuriang Clarias sp ......................................................................31
46
DAFTAR GAMBAR No.
Teks halaman 1. Rumus bangun Bacitracin…………………………………………..…...4 2. Spora Bacillus subtilis……………………………………………...........4 3. Diagram steroidogenesis ..........................................................................7 4. Bagan proses perkembangan oosit (Nagahama et al,1995)..................... 8 5. Grafik diameter oosit dalam perkembangannya (Purdom,1993) ...........11 6. Grafik hubungan FCE (Feed Convertion Efficiency) dengan Feeding Rate (purdom,1993) ................................................................12 7. Kaca sampling untuk menghitung derajat pembuahan dan derajat penetasan ....................................................................................18 8. Histogram fekunditas telur lele sangkuriang Clarias sp ........................22 9. Diagram dari perbedaan rata-rata diameter telur pada sampling pertama dan kedua ..................................................................24 10. Histogram pergerakan inti telur pada sampling 1 ..................................25 11. Histogram pergerakan iti telur pada sampling 2.....................................26 12. Bagan reaksi biokimia selama absorpsi dalam usus (Poediadi,1994)…………………………………………………...27 13. Telur ya ng telah mengalami GVBD ........................................................28 14. Histogram persentase FR telur lele sangkuriang Clarias sp....................29 15. Histogram persentase HR telur lele sangkuriang Clarias sp..................32
47
DAFTAR LAMPIRAN No.
Teks halaman 1. Pergerakan inti telur (%) pada sampling 1 …………………………...….38 2. Pergerakan inti telur (%) pada sampling 2 …………………………...….39 3. Tabel Sidik Ragam diameter telur (mm) pada sampling 1 ………...…….40 4. Tabel Sidik Ragam diameter telur (mm) pada sampling 2 ........................41 5. Tabel Sidik Ragam pergerakan inti telur (%) pada sampling 1 .................42 6. Tabel Sidik Ragam pergerakan inti telur (%) pada sampling 2 .................43 7. Tabel Sidik Ragam fekunditas (butir) .......................................................45 8. Tabel Sidik Ragam derajat pembuahan (%) ..............................................46 9. Tabel Sidik Ragam derajat penetasan telur (%) ........................................47 10. Contoh perhitungan dosis Egg Stimulant pada perlakuan 30 mg BMD/ 1 kg ikan ..............................................................................48 11. Contoh perhitungan dosis Egg Stimulant pada perlakuan 50 mg BMD/ 1 kg ikan ..............................................................................49 12. Contoh perhitungan dosis Egg Stimulant pada perlakuan 70 mg BMD/ 1 kg ikan ..............................................................................50
48
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang telah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau Jawa. Pengembangan usaha budidaya ikan ini semakin meningkat setelah masuknya jenis ikan lele dumbo ke Indonesia pada tahun 1985. Peningkatan tersebut dapat terjadi karena ikan lele dumbo dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air terbatas dengan padat tebar yang relatif tinggi dan modal usaha yang relatif rendah, karena menggunakan sumber daya yang mudah didapat dengan teknologi budidaya yang mudah dikuasai masyarakat dan pemasaran benih serta ukuran konsumsinya mudah. Namun kendala yang dihadapi oleh para petani ini adalah produksi dalam jumlah banyak tidak terjadi sepanjang tahun, pada musim kemarau produksi benih ikan lele ini menurun bila dibandingkan dengan musim hujan. Faktor cuaca dan suhu cukup mempengaruhi produksi terutama produksi telur yang pada akhirnya mempengaruhi
pendapatan
skala
industri.
Penurunan
pendapatan
dapat
menimbulkan kerugian terutama pada industri baru karena tidak mampu menutupi biaya operasional produksi. Biasanya untuk mencegah penurunan produksi telur, petani menggunakan keong sebagai makanan tambahannya. Masalah yang timbul pada musim kemarau adalah populasi keong juga berkurang, Faktor ini menyebabkan harga jual keong menjadi meningkat dan semakin memberatkan petani terutama petani kecil. Harga 1 kg keong basah dengan cangkangnya adalah Rp. 500, kebutuhan keong untuk 1 ekor sangkuriang adalah 700 gram, untuk 59 ekor lele sangkuriang akan membutuhkan keong sebanyak 41,3 kg. Jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membeli keong selama 1 hari sebesar
Rp 20.650 dan selama satu bulan
sebesar Rp 619.500. Maka dicari alternatif pemecahan masalah yaitu mengganti keong dengan Egg Stimulant. Egg Stimulant merupakan produk peternakan yang digunakan oleh peternak untuk meningkatkan produksi telur dan mempertahankan jumlah
49
produksi telur pada unggas. Adapun kandungan dari Egg stimulant ini seperti yang tertera dalam tabel 1 berikut:
Tabel 1. Komposisi Egg Stimulant BAHAN
KANDUNGAN
Bacitracin MD
55000 mg
Vitamin A
6000000 IU
Vitamin D3
1000000 IU
Vitamin E
2000 IU
Vitamin K3
1000 mg
Vitamin B1
2000 mg
Vitamin B2
5000 mg
Vitamin B6
1000 mg
Vitamin B12
2 mg
Vitamin C
20000 mg
Ca-d- pantothenat
4800 mg
Nicotic acid
15000 mg
Folic acid
250 mg
Berdasarkan Tabel 1 di atas, pada umumnya komposisi penyusun Egg Stimulant berperan untuk meningkatkan produksi telur. Terdapat satu bahan yang umum digunakan peternak tetapi tidak digunakan oleh petani ikan yaitu Bacitracin Methyle Disalisilat (BMD). BMD menurut Federal Food, Drug, and Cosmetic Act (FFDCA) adalah antibiotik yang berperan mencegah infeksi bakteri Clostridium perifingensis dan Clostridium walchii pada ayam serta mampu meningkatkan effisiensi pakan pada unggas.
1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant yang dicampur dengan pakan komersil terhadap kematangan gonad dan fekunditas ikan lele sangkuriang Clarias sp.
50
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lele sangkuriang Clarias sp Induk lele sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik antara induk betina generasi ke-2 (F2 ) dengan induk jantan generasi ke-6 (F6 ). Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT)
Sukabumi, merupakan hasil
keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1985, sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang berada di BBPBAT Sukabumi (Sunarma,2004). Antara lele sangkuriang dengan lele dumbo memiliki beberapa kesamaan dalam hal diameter telur yaitu sebesar 1,1-1,4 mm, lamanya waktu inkubasi telur yaitu selama 30-36 jam, lamanya penyerapan telur yaitu 4-5 hari setelah penetasan, panjang larva umur 5 hari yaitu 9,13 cm, berat larva umur 5 hari yaitu 2,85 gram, dan pakan alami. Namun lele sangkuriang me miliki beberapa keunggulan yaitu seperti yang tertera dalam tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Keunggulan lele sangkuriang bila dibandingkan dengan lele dumbo (Sunarma,2004). No 1.
Keterangan Umur
kematangan
gonad
Lele sangkuriang
Lele dumbo
8-9
4-5
40.000-60.000
20.000-30.000
pertama (bulan) 2.
Fekunditas (butir)
3.
Derajat penetasan telur (%)
> 90
> 80
4.
Pertumbuhan harian bobot umur
29,26
20,38
pada
0,8-1
>1
Intensitas Trichodina sp pada
30-40
> 100
6,30
19,50
5 hari-26 hari (%) 5.
Konversi
pakan
pembesaran 6.
pendederan di kolam 7.
Intensitas Ichtiophthirius sp pada pendederan di kolam
51
2.2. Bacitracin Methyle Disalisilat (BMD) BMD merupakan suatu bahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pakan. Menurut Federal Food, Drug, and Cosmetic Act (FFDCA) BMD ini merupakan suatu antibiotik yang digunakan untuk mengobati penyakit Clostridium perifingens dan digunakan untuk merangsang pertumbuhan pada kalkun dengan cara meningkatkan bobot rata-rata dan peningkatan efisiensi pakan. Bacitracin adalah antibiotik polipeptida hasil dari Bacillus subtilis yang dibiakkan pada tryptone atau kaldu hidrolisa protein, yang terdiri dari : ammonia, sistein, asam aspartat, asam glutamate, histidin, lesin, isolesin, lisin dan phenilalanin (Maynard et al.,1983). Menurut Brander dan Pugh (1977) secara struktural bacitracin memiliki rumus bangun seperti pada gambar berikut: H
H
Polipeptida
NH2
H
O
C
S
N
C
C
N
H
C
C
CH3
C
C2 H5
H
Gambar 1. Rumus bangun Bacitracin. Sekuen dari genom Bacillus subtilis telah disempurnakan pada tahun 1997 dalam bentuk bakteri soliter. Genomnya memiliki panjang 4,2 mega base pair (pasang basa) dengan 4.100 protein. Bacillus subtilis mampu mensintesis peptide anti fungal.
H
B. subtilis dapat digunakan sebagai biokontrol untuk meningkatkan
hasil pertanian.
Gambar 2. Spora Bacillus subtilis
52
Bacillus subtilis termasuk kedalam jenis bakteri gram-positif, bersifat aerobik atau fakultatif anaerobik. Kebanyakan bacilli bersifat saprofit. Masingmasing bakteri menghasilkan satu spora, yang tahan terhadap suhu tinggi, suhu rendah, radiasi dan disinfektan, mampu hidup dalam lingkungan yang ekstrim seperti di gurun pasir dan tanah arktik. Spesies dari Bacillus dapat bersifat thermofilik, psikofilik, acidofilik, alkalifilik, halotoleran atau halofilik yang dapat hidup dalam kisaran pH, temperatur dan konsentrasi garam dimana organisme lain tidak mampu hidup. Bacillus subtilis bersifat saprofit dan kebanyakan bakteri saprofit mampu menguraikan bahan organik. Bacillus subtilis hidup pada akar-akar tanaman dan tanah. Akar tanaman dan lapisan biofilm akan berpengaruh pada kimia tanah sehingga membentuk lingkungan yang unik. Bacillus subtilis bersifat kanibal apabila berada pada lingkungan yang ekstrim. Agar mampu hidup dalam lingkungan ekstrim Bacillus subtilis membentuk spora (Gambar 2), tetapi ini membutuhkan energi yang besar bagi bakteri. Langkah termudahnya bakteri ini menghasilkan antibiotic untuk menghancurkan sesamanya, sehingga bakteri ini mampu bertahan dalam lingkungan yang ekstrim
dengan jumlah yang lebih
sedikit Secara fisik, bacitracin memiliki wujud berupa tepung berwarna kuning pucat, sedikit berbau dan sangat pahit. Tepung ini bersifat higroskopis sehingga larut dalam air dan larut sebagian dalam ethyl, methyl alkohol serta asam asetat, tetapi tidak larut dalam aseton, chloroform dan ether (Brander dan Pugh,1977). Dijelaskan kembali oleh keduanya bahwa antibiotik tersebut dalam bentuk kering akan stabil dalam suhu kamar dan aktif kurang lebih selama 15 bulan, tetapi bila suhu meningkat sampai diatas 30 o C kualitasnya semakin buruk dan penurunan kualitas
itu
makin
cepat
terjadi
pada
suhu
56 o C. Larutan bacitracin akan rusak dalam waktu cepat pada suhu kamar, tetapi masih berpotensi 90% jika didinginkan selama 2 sampai 3 bulan. Menurut rekomendasi Swan (1968) yang dikutip Brander dan Pugh (1977), Zinc Bacitracin digunakan dalam ransum babi dan unggas terutama untuk pemacu pertumbuhan. Bacitracin tidak menyebabkan resistensi bakteri atau silang
53
resisten dengan pengobatan antibiotik lain dan hampir tidak ada penyerapan ole h usus (Coates dan Harrison,1962). Zinc Bacitracin mempunyai aktivitas bakteriostatik dan berspektrum sempit, hanya melawan satu grup organisme bakteri yaitu ”gram positif”, beberapa spirochaeta dan juga untuk melawan amoebiasis usus pada manusia (Jones,1957; Brander dan Pugh,1977). Menurut Gan (1980), Zinc Bacitracin mempunyai cara kerja menghambat sintesa dinding sel mikroba. Terutama Clostridium walchii dalam usus ayam (Woodbine,1977). Sejalan dengan pernyataan tersebut Anggorodi (1985) menjelaskan bahwa dengan pemberian antibiotik, racun yang dihasilkan Clostridium walchii atau mikroorganisme lain akan disingkirkan dari alat pencernaan sehingga dinding usus menjadi lebih tipis dan akan mempertinggi penyerapan zat- zat makanan seperti kalsium, fosfor atau magnesium. Dalam percobaannya, Wickler et al (1977) yang dikutip Kedi (1980) memperlihatkan bahwa selain sebagai pemacu pertumbuhan dan memperbaiki konversi ransum, Zinc bacitracin juga mampu mencegah terjadinya enteritis nekrotik. Rosen (1976) menjelaskan bahwa pemberian Zinc bacitracin 20-100 mg/kg ransum pada ayam petelur akan meningkatkan produksi telur dan menurunkan konversi ransum dibandingkan dengan tanpa pemberian Zinc bacitracin. Pada kalkun pemberian 110 mg/kg ransum memperlihatkan pengaruh lebih besar dari pada pemberian 55 mg/kg ransum (Daghigian dan Waibel,1982).
2.3. Kematangan gonad Secara lengkap proses steroidogenesis di dalam tubuh ikan menurut Nagahama (1987); Yaron (1995); Vanston et al (1996) digambarkan sebagai berikut: proses steroidogenesis dimulai dengan pemecahan kolesterol menjadi pregnenolon dengan bantuan vitamin K (Gambar 3).
Pregnenolon
dengan
aktivitas dari enzim 3ß-hidroxysteroid
dehidrogenasi
(3ß-HSD)
diubah
menjadi
progesteron.
Kemudian progesteron ini oleh enzim 17a-hidroxylase diubah menjadi 17ahidroxyprogesteron.
Selama
proses
vitelogenesis
berlangsung,
17a-
54
hidroxyprogesteron diubah menjadi androstenedion. Proses ini dibantu oleh C17C20 lyase. Androstenedion kemudian diubah menjadi testosteron. Sintesis testosteron ini dibantu oleh enzim 17ß-hydroxysteroid dehidrogenase (17ß-HSD). Proses perubahan kolesterol menjadi testosteron terjadi didalam lapisan teka pada folikel oosit. Selanjutnya testosteron yang dihasilkan didalam lapisan teka ini masuk kedalam lapisan granulosa. Di dalam lapisan granulosa testosteron diubah menjadi estradiol-17ß, dengan demikian selama proses vitelogenesis terjadi konsentrasi estradiol-17ß di dalam tubuh ikan tinggi. Sintesis estradiol-17ß ini dibantu oleh enzim aromatase. Pada waktu terjadi pematangan oosit, 17a-hydroxyprogesteron yang dihasilkan oleh lapisan teka menyebar kedalam lapisan granulosa pada folikel oosit. Di dalam lapisan ini,17a- hydroxyprogesteron diubah menjadi 17a,20ß-dihydroxy-4-pregnen-3-one (17a,20ß-diOHProg). Proses ini dibantu oleh enzim 20ß-hydroxysteroid dehydrogenase (20ß-HSD). Kolesterol Vitamin K Pregnenolon
3ß-HSD
Progesteron
17a-hidroxylase 17a-hidroxyprogesteron
C17 -C20 lyase Androstnendion
Testosteron
Estradio 17ß Gambar 3. Diagram steroidogenesis Purdom (1993) menjelaskan bahwa siklus seksual ikan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (temperatur dan cahaya) dan hormonal. Hal ini secara praktis menguntungkan
karena
situasi/lingkungan
dapat
merangsang
reproduksi.
Reproduksi dapat dirangsang oleh rangsangan lingkungan seperti suhu dan fotoperiodisme dengan pengaruh hormon secara langsung (De Vlaming,1972; Donaldson dan Hunter,1983 dalam Purdom,1993).
55
Otak hipotalamus
GnRH
Umpan balik
Umpan
Pituitary
balik positif negatif
Gonad
Gonadotropin
Sel teka Gonad Sel teka
Sel granulosa
Testosteron Testosteron
P450 Aromatase
Estradiol-17ß
Perkembangan oosit
Gambar 4. Bagan proses perkembangan oosit (Nagahama et al,1995). Gambar 4 menjelaskan bahwa proses perkembangan gonad ikan membutuhkan hormon gonadotropin yang dilepas oleh kelenjar pituitari yang kemudian terbawa oleh aliran darah dan masuk ke gonad. Gonadotropin kemudian masuk ke sel teka menstimulir terbentuknya testosteron yang kemudian testosteron ini masuk ke sel granulosa dan dirubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol-17ß, kemudian masuk ke hati melalui aliran darah dan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang akan dialirkan lewat darah menuju gonad untuk diserap oleh oosit, sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006).
56
Perkembangan telur atau penyerapan vitelogenin ini berhenti ketika oosit mencapai ukuran maksimal. Epler (1981) menyatakan bahwa aksi hormon gonadotropin maupun steroid menyebabkan posisi inti yang semula berada di tengah mulai bergeser menuju ke tepi dekat mikrofil dan sesaat sebelum ovulasi inti tadi melebur. Bila kondisi GTH (Gonadothropin) II cukup maka akan merangsang sekresi 17a- hidroksiprogesteron yang bersama hidroksi steroid dehidrogenase membentuk 17 a,20 ß- hidroksi pregnen yang akan masuk ke dalam sel telur untuk mendorong Maturation Promoting Factor (MPF) yang mendorong inti ke tepi dan inti mengalami Geminal Vesicle Break Down (GVBD), kemudian folikel pecah dan sel telur siap untuk diovulasikan. Menurut Nayak dan Singh (1992), konsentrasi hormon- hormon steroid seks (estradiol-17ß dan estron) selama siklus reproduksi tahunan ikan lele betina (Clarias batracus) rendah selama fase previtelogenesis, meningkat secara cepat pada fase vitelogenesis dan mencapai puncak pada fase akhir vitelogenesis. Begitu juga dengan konsentrasi testosteron yang meningkat pada fase akhir vitelogensis. Oogenesis adalah proses transformasi oogonia yang tersebar dalam ovary menjadi oosit. Oogonia menjadi oogonia primer melalui pembelah meiosis yang bertahan pada fase diplotein. Kemudian mengalami pertumbuhan hingga terbentuk
previtelogenesis
dan
vitelogenesis.
Previtelogenesis
adalah
bertambahnya ukuran oosit tanpa disertai dengan penambahan materi kuning telur. Pada tahap ini terbentuk dua lapisan sel dan membentuk folikel, yaitu sel granulose dan sel teka. Vitelogenesis adalah proses penimbunan atau akumulasi kuning telur yang menyebabkan oosit pada fase pertumbuhan kedua. Vitelogenesis dibagi menjadi dua, yaitu vitelogenesis endogen dan vitelogenesis eksogen. Oosit yang telah tumbuh penuh memiliki satu nukleus GV(germinal vesicle) yang terletak ditengah oosit. Fenomena yang pertama kali dilihat berkenaan dengan pematangan oosit akhir adalah pergerakkan GV ke kutub anima, kemudian membran itu pecah dan terjadi GVBD (Germinal Vesicle Break Down). Tingkat kematangan gonad ikan secara umum menurut Woynarovich dan Horvath (1990) adalah sebagai berikut :
57
Tingkat 1 : muda ukuran gonad kecil. Tingkat 2 : tahap istirahat, ukuran gonad belum dapat dibedakan dengan mata biasa. Tingkat 3 : proses pemasakan, proses pertumbuhan berat gonad sangat cepat, telur dapat dibedakan dengan mata. Tingkat 4 :
masak, gonad mencapai berat maksimum tetapi telur belum mau keluar jika ditekan di daerah perut.
Tingkat 5 : tahap reproduksi, telur akan keluar jika perut ditekan. Dari awal pemijahan berat gonad turun drastis. Tingkat 6 : kondisi salin, telur telah dikeluarkan, lubang genital berwarna kemerah- merahan, gonad telah mengempis dan berisi telur dalam jumlah yang sangat sedikit. Tingkat istirahat : produk seksual telah dikeluarkan, lubang genital tidak berwarna merah lagi dan ukuran oosit masih sangat kecil. Tahap perkembangan telur menurut Woynarovich dan Horvath (1990): Tahap 1 : sel-sel telur (oogonia) berukuran sangat kecil (8-12 mikron). Sel–sel ini diperbanyak melalui proses mitosis. Tahap 2
: sel-sel telur tumbuh mencapai ukuran 12-20 mikron, mulai terbentuk folikel, akhirnya terbentuk 2 lapisan sel.
Tahap 3 : pada tahap ini sel tumbuh mencapai ukuran 40-200 mikron Tahap 4 : tahap ini, akumulasi kuning telur dimulai (Vitelogenesis). Telur tumbuh mencapai ukuran 200-350 mikron. Tahap 5 : telur mencapai ukuran 350-500 mikron. Tahap 6 : telur mencapai ukuran 500-900 mikron. Tahap 7
: proses vitelogenesis lengkap mulai terbentuk mikrofil dan ukuran telur pada tahap ini adalah 900-1000 mikron.
Setelah tahap 7 adalah fase dorman atau resting.
58
Diameter telur
Oogonia
Growing
Resting
Oosyte
Oocyte
Yolk
Mature
formation
10.00
1.00
0.10
0.01 Tahap perkembangan oosit Gambar 5. Grafik diameter oosit dalam perkembangannya menurut Purdom (1993). Gambar 5 menjelaskan oogonia merupakan stadia awal perkembangan telur dengan diameter 0.01 mikron. Perkembangan oogonia terjadi cepat pada saat mengalami pertumbuhan yaitu pembelahan sel secara meiosis hingga mencapai ukuran 1.00 mikron. Pertumbuhan ini terjadi karena oogonia aktif melakukan pembela han kemudian istirahat dan berhenti pada fase diplotein atau profase II. Pada saat itu terjadi akumulasi kuning telur hingga ukurannya bertambah lagi mencapai 10 mikron disertai dengan pergerakkan inti ke tepi. Pada saat inti telah mengalami GVBD maka telur telah matang dan siap dibuahi. Menurut Purdom (1993) oogonia merupakan sel kecil yang belum terdiferensiasi yang memiliki nukleus besar dan sitoplasma yang sangat kecil. Oosit primer merupakan perkembangan lebih lanjut dari oogonia, pada fase ini terjadi perkembangan sitoplasma dengan cepat. Terdapat 2 kejadian dalam telur pada saat oosit primer matang, yaitu peningkatan ukuran dan modifikasi susunan kromosom atau meiotic cell division. Ukuran telur meningkat dari beberapa mikrometer hingga centimeter pada beberapa spesies tertentu, namun pada umumnya selang maksimum dari ukuran telur adalah 1-2 mm. Peningkatan
59
ukuran diameter telur ini disebabkan karena penyerapan glicolipoprotein dalam jumlah besar yang disebut Vitelogenesis. Glicolipoprotein dibuat di liver dibawah kontrol hormon steroid yang terdapat pada ovarian folikel. Glicolipoprotein ini juga berperan dalam perkembangan telur. Pada keadaan ini telur dalam tahap oosit sekunder dan dapat terlihat dengan ukuran beraneka macam/ beragam. Ukuran telur ikan sangat penting untuk diketahui dalam budidaya karena telur yang besar akan menghasilkan larva yang besar dan ini berpengaruh terhadap waktu pemberian pakan alaminya (Purdom,1993).
2.4. Fekunditas
FCE
Maximum Efective Ratio
Ratio Pakan
Gambar 6. Grafik hubungan antara FCE (Feed Convertion Efficiency) dengan Feeding Rate (FR) (Purdom,1993) Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi telur adalah makanan. Pada gambar 6 dijelaskan bahwa pada saat ikan berada dalam lingkungan dengan kondisi pakan yang rendah maka ikan akan kehilangan berat badan dan menyebabkan Food Conversion Eficiency (FCE) menjadi tinggi, tingginya FCE ini disebabkan karena energi makanan yang diperoleh tidak langsung disimpan oleh tubuh dalam bentuk daging melainkan digunakan terlebih dahulu untuk kegiatan perawatan sel-sel tubuh yang rusak dan aktivitas metabolismenya atau maintenence. FCE adalah perband ingan jumlah pakan yang diberikan dengan bobot tubuh yang dihasilkan. Dalam kondisi seperti itu pakan hanya digunakan sebesar 0.1 % untuk berat badannya, itu juga bergantung pada temperatur dan
60
ukuran ikan. Pada musim kemarau suhu perairan menjadi tinggi, aktivitas metabolisme ikan juga ikut tinggi, penyerapan makanan oleh tubuh ikan juga semakin tinggi dan penambahan bobot ikan menjadi lebih cepat jika ketersediaan makanan mencukupi, tetapi apabila ketersediaan makanan tidak mencukupi maka akan berakibat pada kekurangan energi, karena jumlah energi untuk metabolisme tidak sebanding dengan jumlah energi yang masuk. Dalam kondisi itu pakan yang diberikan, hanya digunakan untuk metabolisme sehari-sehari (Maintenance), tidak ada kelebihan energi yang disimpan menjadi daging atau untuk kematangan gonad, maka diperlukan suatu suplement atau makanan tambahan yang digunakan untuk memenuhi kekurangan energi yang berasal dari pakan akibat tingginya metabolisme (Purdom,1993). Penambahan suplemen dalam pakan yang diberikan tidak langsung dapat menyebabkan FCE hingga batas optimum. Beberapa digunakan untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya hingga benar-benar tercukupi. Apabila kondisi ketersediaan makanan dalam tubuh berlebih, maka kelebihan itu akan disimpan dalam bentuk daging atau lemak untuk energi cadangan, atau dialokasikan untuk aktivitas reproduksi, keadaan ini menyebabkan FCE mencapai titik optimum. Setelah mencapai titik optimum FCE akan kembali turun bergantung pada pengaruh lingkungan dan genetik induk seperti tampak pada Gambar 6 (Purdom, 1993). Kondisi ini menjelaskan mengapa pada awal-awal musim kemarau produksi telur menjadi berkurang. Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan dalam satu siklus reproduksi. Fekunditas terdiri dari fekunditas mutlak, fekunditas relatif dan fekunditas
nisbi.
Faktor
yang
mempengaruhi
fekunditas
adalah
umur
induk,makanan dan lingkungan.
2.5. Pembuahan Pembuahan adalah bersatunya oosit (telur) dengan sperma membentuk zigot (Fujaya,2004) dimana terjadi pencampuran materi genetik antara keduanya (John et al,1991). Pembuahan ini terjadi melalui pencampuran inti sel telur dan sel sperma membentuk zigot (Djuwita dkk,2000). Pada ikan umumnya terjadi
61
pembuahan diluar tubuh (eksternal). Telur yang tidak dibuahi akan mati dan akan berubah morfologinya menjadi berwarna putih dan keruh (Sumantadinata,1981). Telur yang belum dibuahi, bagian luarnya dilapisi oleh selaput yang dinamakan selaput korion. Dibawah korion ada selaput vitellin, selaput yang mengelilingi plasma telur disebut selaput plasma. Ketiga selaput ini menempel satu sama lain dan tidak ada ruang diantaranya. Bagian telur yang mengandung sitoplasma berkumpul pada bagian atas telur disebut kutub anima dan bagian bawahnya yang mengandung kuning telur disebut kutub vegetatif (Affandi dan Tang,2002). Telur ikan setelah keluar dari tubuh induk bersifat melekat dan tidak melekat. Telur yang melekat memiliki lapisan pelekat pada dinding cangkangnya dan aktif ketika kontak dengan air. Sifat pelekat telur dibagi menjadi dua macam, yaitu melekat pada obyek atau substrat dan melekat pada sesama telur sehingga tampak seperti membentuk koloni. Telur yang melekat kuat pada substrat mudah menjadi rusak atau koyak ketika diangkat. Kekuatan melekat tersebut semakin melemah seiring dengan perkembangan telur hingga menetas (Effendi, 2004). Menurut Balinsky (1970) telur maupun spermatozoa yang dikeluarkan oleh masing- masing tetua akan menghasilkan zat kimia yang berguna dalam proses pembuahan yaitu fertilizine atau gamone. Fertilizine merangsang spermatozoa untuk berenang mencapai telur. Fertilizine dikeluarkan oleh telur pada saat-saat terakhir ketika telur dilepaskan dan siap untuk dibuahi (Sumantadinata,1981). Pembuahan diawali dengan masuknya sel spermatozoa melalui lubang mikrofil pada sel telur. Kepala spermatozoa menembus lubang mikrofil dan ekornya tertinggal pada lubang sehingga dengan keadaan yang demikian menghambat masuknya sperma lain kedalam sel telur (Fujaya,2004). Cara lain yang digunakan sel telur untuk mencegah sperma lain masuk adalah terjadinya reaksi kortikal sehingga mikrofil menjadi lebih sempit dan spermatozoa yang bertumbuk pada saluran mikrofil terdorong keluar. Reaksi korteks juga membersihkan korion dari spermatozoa yang melekat, karena akan mengganggu pernapasan zigot yang sedang berkembang (Fujaya,2004). Ketika telur dilepas kedalam air dan dibuahi, alveoli korteks yang ada dibawah korion pecah dan melepaskan material koloid mucoprotein kedalam
62
ruang perivitellin yang terletak antara membran telur dan korion. Air tersedot akibat pembengkakan dari mucoprotein ini. Korion mula- mula menjadi kaku dan licin kemudian mengeras dan mikrofil tertutup. Sitoplasma menebal pada kutub telur berinti dan ini merupakan merupakan titik dimana embrio berkembang. Pengerasan korion akan mencegah terjadinya pembuahan polisperma. Dengan adanya ruang perivitellin yang mengeras maka telur dapat bergerak selama dalam perkembangannya (Affandi dan Tang,2002). Pengerasan korion mempunyai fungsi lain, yaitu untuk melindungi embrio yang masih sangat sensitif pada saat awal (Sumantadinata,1981).
2.6. Penetasan Menetas merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya (Effendi,1997). Penetasan dipengaruhi oleh aktivitas embrio di dalam cangkang dan pembentukkan corionase. Embro sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkang atau karena embrio telah lebih panjang dari lingkungannya di dalam cangkang. Kelenjar endodermal di daerah pharynk embrio mengeluarkan enzim disebut corionase yang berfungsi untuk mereduksi korion menjadi lembek. Nilai pH dan suhu memegang peranan penting dalam proses ini. Nilai pH yang berperan 7,9-9,6 dan suhu 14-20o C merupakan kondisi yang optimum dalam penetasan telur (Effendi,1997).
63
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilakukan di Kolam Penelitian Perikanan Babakan dan Laboratorium Genetik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, yang bekerja sama dengan Mina Unggul Farm. Penelitian dilaksanakan pada tanggal
1 Agustus 2006 sampai dengan 5 Oktober 2006.
3.2. Alat dan bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bak pemeliharaan induk berukuran (4 x 2 x 3) m3 sebanyak 4 buah bak, alat bedah, mangkok, gelas fiber, bulu ayam, mikroskop cahaya dengan pembesaran 4 kali, akuarium (100 x 50 x 50) cm3 , botol film, timbangan digital, dan cawan. Sedangkan bahan yang digunakan adalah induk lele sangkuriang sebanyak 12 pasang, Egg Stimulant, spidol permanen, ovaprim, larutan fisiologis merek Na-Otsu dan larutan sierra. 3.3. Metoda penelitian Induk yang digunakan sebanyak 12 induk betina dengan bobot biomassa induk untuk kontrol adalah 3 kg, perlakuan 30 mg BMD/kg ikan adalah 2,5 kg, perlakuan
50 mg BMD/kg ikan adalah 3,1 kg dan perlakuan 70 mg BMD/kg
ikan adalah 3,5 kg, masing- masing perlakuan terdiri dari tiga induk betina dan dipelihara pada bak terpisah. Adapun takaran kombinasi Egg Stimulant dan pelet untuk masing- masing perlakuan adalah sebagai berkut: 1. Perlakuan 1 = Kontrol : 90 gram pakan. 2. Perlakuan 2 (30 mg BMD/kg ikan) : 75 gram pakan + 1,45 gram Egg Stimulant per hari (contoh perhitungan Lampiran 10). 3. Perlakuan 3 (50 mg BMD/kg ikan): 93 gram pakan + 2,98 gram Egg Stimulant per hari (contoh perhitungan Lampiran 11). 4. Perlakuan 4 (70 mg BMD/kg ikan): 105 gram pakan + 4,67 gram Egg Stimulant per hari (contoh perhitungan Lampiran 12). Pakan diberikan 2 kali sehari pada pagi dan malam hari hingga inti telur mencapai GVBD. Adapun metoda pencampuran Egg Stimulant dalam pakan adalah: pertama-tama pakan dicampur dengan tepung kanji sebanyak 30% dari bobot pakan dan diaduk hingga merata, tepung kanji ini berperan sebagai pengikat
64
atau binder antara Egg Stimulant dengan pakan. Kemudian serbuk Egg Stimulant dilarutkan kedalam air ha ngat dan diaduk. Setelah itu larutan Egg Stimulant tadi dimasukkan ke dalam pelet yang telah bercampur dengan tepung kanji dan diaduk hingga tercampur secara sempurna. Pemberian larutan Egg Stimulant ke dalam pakan dilakukan secara sedikit demi sedikit. Setelah itu pelet diangkat dan diletakkan di tempat teduh hingga kering oleh angin selama 15 menit, setelah kering campuran pelet dengan Egg Stimulant diberikan ke ikan. Setiap 2 minggu sekali dilakukan sampling telur dengan menggunakan kateter hingga diperoleh telur yang mencapai fase GVBD, kateter adalah alat yang digunakan untuk mengambil contoh telur. Telur yang telah diambil disimpan dalam botol film yang telah diberi larutan fisiologis, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisa secara mikroskopis. Sebelum diamati dibawah mikroskop, telur ditetesi dengan larutan sierra, didiamkan ± 15 menit kemudian diamati dengan pembesaran 4 kali. Larutan sierra adalah campuran antara larutan alkohol absolut, formalin 40 % dan asetat glasial dengan perbandingan 6:3:1. Fungsi dari larutan ini adalah untuk mengetahui posisi inti telur, kemudian diukur diameter telurnya. Apabila telah diperoleh telur yang telah mencapai fase GVBD, maka induk itu segera dipijahkan dan diamati fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan (HR). Pada saat pemijahan, hal pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan kaca sampling (Gambar 7). Kaca sampling memiliki panjang 65 cm dan lebar 15 cm dibagi menjadi 39 buah kotak-kotak kecil yang berdimensi (5 x 5) cm2 , diletakkan pada akuarium secara mendiagonal dari kiri atas ke kanan bawah. Kegiatan pemijahan dilakukan secara buatan. Ikan betina disuntik menggunakan ovaprim dengan dosis 0.2 ml yang diencerkan dengan akuabides hingga volumenya menjadi 0.5 ml. Ovaprim merupakan obat yang mengandung hormon gonadotropin, berperan dalam mempercepat proses ovulasi. Penyuntikan dilakukan secara intraperitonial. Induk betina yang telah disuntik dikarantina selama 12 jam pada bak berbeda sesuai dengan perlakuan. Setelah 12 jam induk betina di-striping dan induk jantan dibedah untuk diambil gonad jantannya. Telur yang telah keluar dari oviduct ditimbang menggunakan timbangan digital dan diukur berat totalnya, kemudian ditimbang berat telur contoh dari telur total yang
65
keluar dan dihitung jumlah telur contoh. Jumlah telur contoh per berat telur contoh dikali dengan berat telur total merupakan nilai dari fekunditas induk (KomPers,2006).
Gambar 7. Kaca sampling untuk menghitung derajat pembuahan dan derajat penetesan ikan lele sangkuriang. Setelah dihitung fekunditasnya, telur dicampur dengan sperma yang telah diencerkan dengan larutan fisiologis ± selama 5 menit hingga tampak bintik merah pada telur. Kemudian disebar merata kedalam tiga akuarium. Dalam waktu 26 jam telur mene tas dan dihitung HR dan FR. FR dihitung setelah 5 jam pembuahan. 3.4. Parameter yang diamati 3.4.1. Nilai tengah diameter telur (mm) Diameter telur diukur dengan menggunakan mikrometer yang berada di dalam mikroskop. Kemudian nilai yang tertera dalam mikrometer itu dikonversikan dengan tingkat pembesaran 4 kali. Keseluruhan diameter telur yang teramati dicari nilai tengahnya dengan menggunakan rumus: x rata-rata = Sxi/n keterangan : xi = diameter telur yang teramati. Untuk pembesaran 4 x 100, setiap nilai yang tertera dikalikan dengan faktor konversi 24 mikrometer kemudian diubah ke milimeter 3.4.2. Pergerakkan inti telur (%) Dihitung persentase telur yang intinya berada ditengah, ditepi dan yang telah mengalami GVBD dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4
66
kali. Sebelum diamati telur ditetesi terlebih dahulu dengan larutan sierra dan didiamkan selama 15 menit. Rumus yang digunakan untuk menghitung persentase pergerakkan inti telur adalah sebagai berikut: Persentase pergerakkan inti telur = Jumlah telur dengan inti x
X 100 %
Jumlah total telur teramati Keterangan, x = Tengah, tepi, GVBD 3.4.3. Fekunditas (butir) Fekunditas = Jumlah telur sampel X Bobot telur total Bobot telur sampel 3.4.4. Derajat pembuahan atau FR (Fertilitation Rate) (%) FR = Jumlah telur yang dibuahi
X
100 %
Fekunditas 3.4.5. Derajat penetasan atau HR (Hatching Rate) (%) HR = Jumlah telur yang menetas
X
100 %
Jumlah telur yang dibuahi
3.5 Analisis data Data diamati secara deskriptif dan
diolah dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan hipotesis : H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi parameter pengamatan H1
=
peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi parameter pengamatan Data diuji menggunakan tabel F dengan nilai Probabilitas 0,05 atau selang
kepercayaan 95 %. Persamaan RAL : Yij = µ + a i + ? ij keterangan : Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke- i dan ulangan ke-j µ = Rata-rata umum a i= Pengaruh perlakuan ke- i (1,2,3,4) ? ij = Galat perlakuan ke- i, ulangan ke-j
67
Rumus BNT = t (a/2,dbs) . √(2. KTS)/r keterangan : dbs = Derajat bebas sisa KTS = Kuadrat Tengah Sisa r = Ulangan
68
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Fekunditas Fekunditas merupakan jumlah telur yang dihasilkan dalam satu siklus reproduksi. Fekunditas menunjukan kinerja dari induk. Kinerja induk yang terjadi tidaklah tetap, bergantung pada musim, makanan, dan genetik dari induk itu sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja induk ini adalah musim, pada musim panas terjadi penurunan jumlah produksi telur bila dibandingkan dengan musim hujan. Untuk menstabilkan jumlah produksi telur atau bahkan meningkatkan produksi telur maka diperlukan suatu inovasi berupa pemanfaatan Egg Stimulant yang dicampur didalam pakan. Salah satu bahan penyusun dari Egg Stimulant itu adalah Bacitracine Methyle Disalisilat (BMD) yang merupakan bahan yang biasa digunakan oleh peternak untuk meningkatkan efisiensi pakan tetapi belum pernah digunakan oleh petani ikan. Tabel 3. Pengaruh pemberian BMD terhadap fekunditas (butir) ikan Lele Sangkuriang Clarias sp 30 mg BMD/kg
50 mg BMD/kg
70 mg BMD/kg
ikan
ikan
ikan
71.240
73.315
103.912,5
236.860
2
67.536
74.976
214.665
260.084
3
58.800
63.360
150.070
260.000
Rerata
65.858,67
70.550,3
156.215,83
252.314,67
(±) Sd
5215,27
5129,35
45.422,88
10.928,15
Ulangan
Kontrol
1
Pada Tabel 3 diperoleh nilai rata-rata fekunditas ikan paling tinggi terdapat pada perlakuan BMD 70 mg BMD/kg ikan, yaitu sebesar 252.314,67 ± 10.928,15 butir, sedangkan nilai rata-rata fekunditas paling rendah terdapat pada perlakuan kontrol, yaitu sebesar 65.855,67 ± 5215,27 butir telur (Tabel 3). Menururt Sunarma (2004) fekunditas lele Sangkuriang dengan bobot 1 kg sebesar 40.000 sampai dengan 60.000 butir telur per ekornya. Antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang signifikan (P<0,05) terhadap kontrol, berdasarkan uji lanjut BNT
69
diketahui bahwa perlakuan 50 mg BMD/kg ikan dan 70 mg BMD/kg ikan memiliki tingkat signifikansi yang cukup besar (Lampiran 7).
Fekunditas telur 30000 0 20000 0 10000 0
kontrol
30 mg/kg
50 mg /kg
70 mg/kg
Gambar 8. Histogram fekunditas (butir) telur ikan Lele Sangkuriang Clarias sp Dari Gambar 8 dilihat bahwa dengan meningkatnya dosis BMD maka fekunditas juga meningkat. Pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan perbedaan fekunditas kurang berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan dan 70 mg BMD/kg ikan berbeda nyata. Menurut Anggorodi (1985) BMD mampu meningkatkan penyerapan kalsium, magnesium dan phospor. Magnesium dan Phospor merupakan mineral anorganik yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan proses-proses metabolismenya secara normal. Menurut FFDAC, BMD selain mampu menghancurkan racun dari bakteri Clostridium perifingens atau Clostridium walchii juga mampu meningkatkan efisiensi pakan. Pernyataan ini didukung oleh Rosen (1976) yang menjelaskan bahwa pemberian Zinc bacitracin 20-100 mg BMD/kg ikan ransum pada ayam petelur akan meningkatkan produksi telur dan menurunkan konversi ransum dibandingkan dengan tanpa pemberian Zinc bacitracin. Dalam percobaannya, Wickler et al (1977) yang dikutip Kedi (1980) memperlihatkan bahwa selain sebagai pemacu pertumbuhan dan memperbaiki konversi ransum, Zinc bacitracin juga mampu mencegah terjadinya enteritis nekrotik. Meningkatnya efisiensi pakan berarti menurunkan konversi pakan, memiliki 2 keuntungan bagi ikan, yaitu pemanfaatan energi untuk menyerap sari-sari makanan menjadi lebih efisien karena konversi pakan yang rendah meningkatkan efisiensi pakan sehingga
70
ketersediaan energi untuk reproduksi meningkat dan penyerapan bahan-bahan yang terkandung dalam pakan atau stimulan yang diberikan juga akan terjadi secara sempurna. Sehingga dengan semakin tinggi dosis pemakaian akan berdampak pada peningkatan fekunditas yang tinggi pula.
4.2. Rata-rata diameter telur Tabel 4. Pengaruh pemberian BMD terhadap rata-rata diameter telur (mm) ikan Lele Sangkuriang Clarias sp Ulangan
Kontrol
30 mg BMD/kg ikan
50 mg BMD/kg ikan
70 mg BMD/kg ikan
S1
S2
S1
S2
S1
S2
S1
S2
1
1,08
1,236
1,027
1,223
0,667
1,060
1,02
1,0
2
1,124
1,114
1,027
1,257
1,188
1,078
0,996
1,045
3
1,194
0,982
1,010
1,187
0,860
1,249
0,891
1,013
Rerata
1,133
1,111
1,021
1,222
0,905
1,129
0,969
1,019
(±) Sd
0,047
0,104
0,008
0,029
0,215
0,085
0,056
0,019
d (S2 -S1 )
0,022
0,201
0,222
0,05
Rata-rata diameter telur menurun dari kontrol dan mencapai titik terendah pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan, kemudian meningkat kembali pada pelakuan 70 mg BMD/kg ikan (Tabel 4). Pada sampling 1 diperoleh rata-rata diameter telur paling tinggi pada kontrol yaitu sebesar 1,133 ± 0,047 mm, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan yaitu 0,905 ± 0,215 mm (Tabel 4). Namun penurunan rata-rata diameter telur ini tidak berbeda nyata (Lampiran 3), sehingga dapat dikatakan bahwa apabila dilakukan suatu pembulatan antara titik terendah dan titik tertinggi berada pada bilangan angka yang sama, yaitu 1 mm. Pada pengambilan sampling ke dua ini diketahui bahwa rata-rata diameter telur paling tinggi terdapat pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan yaitu sebesar 1,222 ± 0,029 dan yang paling rendah terdapat pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan yaitu sebesar 1,019 ± 0,019 (Gambar 9). Antara perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap peningkatan dosis BMD dalam Egg Stimulant yang diberikan melalui pakan komersil (Lampiran 4)
71
Dari Tabel 4 dan Gambar 9 ini dapat dilihat bahwa selisih dari rata-rata diameter telur pada sampling pertama dengan kedua adalah sebagai berikut : pada kontrol 0,024 mm, pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan sebesar 0,201 mm, pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan sebesar 0,224 mm dan pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan sebesar 0,05 mm (Tabel 4). Bila dibandingkan dengan pengambilan sampling yang pertama, rata-rata diameter telur pada pengambilan sampling ke dua menunjukkan adanya peningkatan diameter telur / dS2 >dS1 untuk setiap perlakuan (Tabel 4). Dari data itu tampak bahwa semakin tinggi dosis perlakuan peningkatan diameter telur juga semakin tinggi. Rata-rata diameter telur (mm)
diameter telur (mm)
1.4 1.2 1 0.8
sampel 1
0.6
sampel 2
0.4 0.2 0 kontrol
30 mg/kg
50 mg/kg
70 mg/kg
Gambar 9. Diagram perbedaan rata-rata diameter (mm) telur pada sampling pertama dan kedua Berdasarkan
hasil
penelitian
ini
diperoleh
bahwa
BMD
tidak
mempengaruhi perkembangan diameter telur. Menurut Nagahama (1987); Yaron (1995); Vanston et al (1996) menjelaskan bahwa proses perkembangan diameter telur dipengaruhi oleh
vitamin K dan enzim-enzim yang bekerja dalam
memetabolisme suatu bahan/nutrien menjadi bahan/nutrien (Glikolipoprotein) lain yang pada akhirnya akan digunakan untuk meningkatkan akumulasi kuning telur. Mekanisme kerja dari BMD adalah dalam membantu proses penyerapan asam lemak untuk kemudian diubah menjadi kolesterol sebagai bahan dasar steroidogenesis. Mekanisme kerja BMD untuk meningkatkan diameter telur dibantu oleh vitamin- vitamin yang berada didalam Egg Stimulant itu. Proses yang paling dipengaruhi oleh BMD terhadap perkembangan diameter telur adalah pada saat telur mengalami vitellogenesis.
72
Proses
perkembangan
sel
telur
terjadi
dalam
2
tahap
yaitu
previtellogenesis dan vitellogenesis (Affandi,2002). Proses previtellogenesis adalah tahap dimana telur aktif dalam melakukan pembelahan dan terhenti pada tahap profase meiosis pertama (fase diplotein), pada fase diplotein ini dihasilkan oosit primer. Sedangkan vitellogenesis merupakan tahap dimana terjadi pergerakan inti telur yang telah mengalami perkembangan diameter telur disebabkan oleh aktivitas MPF untuk kemudian terjadi peleburan inti di bawah mikrofil yang disebut GVBD. Nutrien hasil dari steroidogenesis yang berasal dari estradiol-17ß oleh hati diubah menjadi vitellogenin, kemudian oleh darah vitellogenin diangkut dan masuk ke dalam oosit fase diplotein itu, menyebabkan peningkatan akumulasi kuning telur dan diameter telur. Inilah alasan yang menjelaskan mengapa pada Tabel 4 dan Gambar 9 tampak dengan semakin meningkatnya dosis BMD akan meningkatkan diameter telur. Peningkatan yang terjadi tidak berbeda nyata disebabkan karena dosis vitamin yang diberikan dalam pakan belum optimum. Peningkatan diameter telur bersifat spesifik dan berkaitan dengan seberapa cepat induk ikan menghasilkan vitellogenin.
4.3. Pergerakan Inti Telur 120 100 80
0
0
33,33 GVBD
0 15,26
60
100 89,65
40 20
0 10,35
66,67
Tepi Tengah
51,41
0 kontrol
30 mg/kg
50 mg/kg
70 mg/kg
Gambar 10. Histogram pergerakan inti telur (%) pada sampling 1 Pergerakan inti telur pada pengambilan contoh atau sampling 1 seperti pada Gambar 10, dengan semakin meningkatnya dosis BMD, persentase inti telur yang ada di tengah menurun pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan, kemudian meningkat pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan dan 70 mg BMD/kg ikan.
73
Persentase inti telur ya ng ada di tepi menurun dari kontrol hingga mencapai perlakuan 70 mg BMD/kg ikan. Rata-rata tertinggi persentase inti telur berada di tengah yang dicapai sebesar 100 % pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan, sedangkan yang paling rendah sebesar 51,41 % terdapat pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan dan rata-rata tertinggi persentase inti telur yang berada di tepi dicapai sebesar 33,3 % pada perlakuan kontrol, sedangkan yang paling rendah sebesar 0 % pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan (Lampiran 1). Pada pengambilan contoh pertama ini, perlakuan 70 mg BMD/kg ikan diperoleh telur dengan inti telur berada di tengah sebesar 100 %. Antar perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peningkatan pergerakan inti telur (Lampiran 5).
100%
0 12,67
2,6 38,97
80%
0
0
44,47 45,5
60%
GVBD Tepi
40% 87,32
58,63
Tengah 55,53
54,5
20% 0% kontrol
30 mg/kg
50 mg/kg
70 mg/kg
Gambar 11. Histogram pergerakan inti telur (%) pada sampling 2 Pada pengambilan contoh kedua diperoleh inti telur yang telah mengalami GVBD, yaitu pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan. Persentase inti telur yang telah mengalami GVBD ini rata-rata 2,6 % dari total pengamatan (Lampiran 2). Semakin tinggi dosis maka persentase inti telur yang berada di tengah menurun dan persentase inti telur yang berada di tepi meningkat. Berdasarkan Gambar 11 diatas, persentase inti telur yang berada di tengah paling rendah terdapat pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan, yaitu sebesar 54,5 % dan yang paling tinggi terdapat pada kontrol sebesar 87,32 %. Sedangkan persentase inti telur yang berada di tepi paling rendah terdapat pada kontrol, yaitu sebesar 12,67 % dan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan sebesar 45,5 %. Dengan demikian telah terjadi perkembangan telur yang cukup baik pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan bila dibandingkan dengan
74
perlakuan-perlakuan lainnya, dan perkembangan yang terjadi bersifat berbeda nyata (Lampiran 6). Pergerakan inti telur dipengaruhi oleh proses steroidogenesis, dalam proses steroidogenesis, BMD berperan dalam membantu proses penyerapan asam lemak ke dalam pembuluh getah bening/kelenjar limfe. Menurut Poedjiadi (1994) proses penyerapan asam lemak oleh dinding usus dapat terjadi apabila monogliserida telah diubah dan berikatan dengan protein pembawa asam lemak membentuk
lipoprotein,
ikatan
ini
disebut
khilomikron.
Pembentukan
khilomikron dari monogliserida membutuhkan ion phospat dan salah satu enzim yang membantu dalam transformasi bentuk monogliserida menjadi khilomikron yaitu asil KoA yang dibentuk dari asam lemak dan enzim asil KoA sintetase dengan bantuan ion Mg++ (Gambar 12).
Sel mukosa Asam lemak
Asam lemak
75
ATP KoA ADP + Pi Glukosa Asil KoA
++
+Mg Asil koA sintetase
Fosfogliserat
Gliserol Membran mikrovilus
Monogliserat-P Asil KoA
Digliserida-P
Monogliserida
Digliserida Asil KoA Trigliserida Lipoprotein Khilomikron
Khilo mikron
Gambar 12. Bagan reaksi biokimia selama absorpsi dalam usus (Poedjiadi,1994) BMD juga berperan dalam mekanisme kerja hormon dalam sel. Setelah kuning telur terakumulasi oleh vitellogenin, maka 17a-hidroxyprogesteron dari lapisan teka masuk ke lapisan granulosa, di dalam lapisan ini 17ahidroxyprogesteron diubah dengan bantuan 20ß-hidroxysteroidehidrogenase (20 ß-HSD)
menjadi
17a,20ß-dihydroxy-4-pregnen-3-one
(17a,20ß-diOHProg).
Kemudian 17a,20ß-diOHProg akan masuk kedalam sel telur untuk mendorong Maturation Promoting Factor (MPF) bila kondisi Gonadotropin (GTH II) cukup. MPF ini berperan dalam mendorong inti telur yang berada ditengah bergerak kearah tepi dan melebur dibawah lubang mikrofil yang disebut GVBD seperti tampak pada Gambar 13 (Epler 1971). GVBD dipengaruhi oleh seberapa cepat MPF terbentuk dan pembentukan MPF dipengaruhi oleh seberapa cepat 17ahidroxyprogesteron dan 20 ß-HSD dihasilkan dalam suasana dosis GTH II cukup.
76
Gambar 13. Telur yang telah mengalami GVBD GTH II merupakan hormon yang mekanisme kerjanya diatur oleh hipotalamus dan rangsangan lingkungan. Mekanisme kerja hormon juga dipengaruhi oleh adanya ion Mg++ dalam sel target. Ion Mg++ berperan dalam proses perubahan ATM menjadi AMP siklik (adenosin 3’,5’ monofosfat) atas sinyal yang berasal dari adenin siklase (Poedjiadi,1994), dengan semakin meningkatnya dosis BMD maka kinerja ion Mg++ juga akan semakin cepat, dengan demikian pergerakan inti telur yang terjadi menjadi signifikan (Lampiran 6). Apabila diamati, pada pengambilan contoh pertama dengan pengambilan contoh kedua (Gambar 10 dan Gambar 11) terdapat kejangga lan persentase pergerakan telur pada kontrol dan perlakuan 30 mg BMD/kg ikan. Persentase inti telur yang berada ditengah pada kontrol
mengalami peningkatan, sedangkan
persentase inti telur yang berada di tepi mengalami penurunan. Persentase inti telur yang berada di tengah pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan mengalami peningkatan. Kejanggalan yang terjadi disebabkan karena peluang pengambilan yang berbeda dari satu sampel dengan sampel yang lain
4.4. Derajat pembuahan Tabel 5. Pengaruh dosis BMD terhadap derajat pembuahan (%) Lele Sangkuriang Clarias sp Ulangan
Kontrol 81,5 72,8
30 mg BMD/kg ikan 77 66,9
50 mg BMD/kg ikan 82 83,47
70 mg BMD/kg ikan 95 97,1
1 2 3 Rerata (±) Sd
63,3 72,53 7,43
51,1 65 10,66
85 83,49 1,23
93 95,03 1,647
77
Pada Tabel 5 tampak bahwa rata-rata persentase FR dari kontrol menurun hingga perlakuan 30 mg BMD/kg ikan, kemudian meningkat sampai perlakuan 70 mg BMD/kg ikan. Persentase FR paling rendah terdapat pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan sebesar (65 ± 10,66) % dan ya ng paling tinggi terdapat pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan sebesar (95,03 ± 1,647) %. Dalam satu perlakuan diketahui bahwa perlakuan 50 mg BMD/kg ikan dan 70 mg BMD/kg ikan menunjukan keseragaman yang tinggi, kemudian pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan. Sehingga pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan dan 70 mg BMD/kg ikan ini menunjukkan pengaruh BMD yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan 30 mg BMD/kg ikan. Pengaruhnya yaitu kualitas telur yang dihasilkan dari induk yang diberi pakan dengan kandungan BMD sebesar 50 mg BMD/kg ikan dan 70 mg BMD/kg ikan menunjukkan kualitas yang lebih baik. Antar perlakuan, pengaruh pemberian BMD dalam Egg Stimulant tidak berbeda nyata/tidak signifikan (P=0,05), hal ini ditunjukkan bahwa nilai Fhit
100
Persentase FR
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 kontrol
30 mg/kg
50 mg/kg
70 mg/kg
Gambar 14. Histogram derajat pembuahan (%) telur ikan Lele Sangkuriang Clarias sp Pada Gambar 14, peningkatan dosis BMD menyebabkan kenaikan persentase FR namun kenaikan yang terjadi bersifat tidak berbeda nyata (Lampiran 8). Hal ini disebabkan karena dosis Egg Stimulant diramu berdasarkan jumlah BMD maka kandungan vitamin E yang ada dalam pakan menjadi lebih sedikit dan bisa jadi kurang optimal. Vitamin E merupakan bahan yang paling
78
berperan dalam meningkatkan kualitas telur, kondisi ini yang menyebabkan terjadinya peningkatan %FR tidak berbeda nyata antar perlakuan. Fertilisasi atau pembuahan dipengaruhi oleh kualitas induk jantan dan induk betina. Kualitas induk jantan dilihat dari kualitas dan kuantitas sperma yang dihasilkan sedangkan kualitas induk betina dilihat dari kualitas sel telur yang dihasilkan. Kualitas sperma yang baik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kekentalan dari cairan semen. Menurut Affandi (2002) sperma yang memiliki semen yang encer merupakan sperma yang memiliki kualitas yang baik, karena sperma yang memiliki semen encer memiliki kadar fruktosa dan galaktosa yang tinggi. Fruktosa dan galaktosa merupakan sumber energi bagi sperma untuk motil. Faktor lainnya adalah kadar potasium dan sodium dalam sperma. Sperma yang baik adalah sperma yang memiliki kadar potasium rendah dan kadar sodium tinggi (Effendi,2002). Kualitas telur dipengaruhi oleh genetik, umur, dan makanan. BMD dan bahan-bahan lain penyusun Egg Stimulant mampu memenuhi asupan gizi yang cukup bagi induk sehingga kebutuhan energi untuk reproduksi tercukupi. Purdom (1993) menjelaskan bahwa pada musim kemarau terjadi kenaikan nilai FCE dalam tubuh induk akibat dari meningkatnya metabolisme dalam tubuh ikan, peningkatan ini terjadi karena tubuh ikan membutuhkan banyak energi untuk metabolisme. Pada musim kemarau ini kebutuhan pakan ikan menjadi meningkat akibat dari meningkatnya metabolisme dalam tubuhnya. Kebutuhan yang meningkat mengakibatkan biaya yang diperlukan untuk membeli pakan itu juga ikut meningkat, sedangkan harga jual tetap atau walaupun ada peningkatan itu terjadi sedikit sekali. Akibatnya untuk mencegah terjadi kenaikan biaya produksi, petani ikan memberikan pakan kepada ikan-ikan mereka dengan jumlah yang sama sepanjang tahun dan ini mengakibatkan ketersediaan makanan dalam perairan menjadi rendah. Ketersediaan makanan yang rendah mengakibatkan energi yang masuk kedalam tubuh ikan juga rendah dan ini dapat mengakibatkan belum tercukupinya kebutuhan energi untuk melakukan pertumbuhan dalam hal ini peningkatan bobot ikan pada ikan- ikan muda atau reproduksi pada induk. Dengan memberikan suplemen atau makanan tambahan pada induk menyebabkan tertutupnya kekurangan energi dalam tubuh. Dosis yang tepat dari suplemen atau
79
makanan tambahan itu akan menghasilkan kelebihan energi yang oleh tubuh ikan digunakan untuk mematangkan gonad. Pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan diperoleh nilai persentase FR dan HR yang rendah, hal ini diduga disebabkan karena kualitas sperma yang membuahi telur dalam kondisi yang kurang baik. Pengambilan induk jantan yang akan digunakan untuk membuahi telur dilakukan secara acak dari kolam pemeliharaan induk jantan. Dalam kolam itu terdapat induk jantan sebanyak 40 ekor induk dari berbagai macam bobot dengan umur yang sama. Induk jantan yang digunakan untuk membuahi sel telur bersifat bebas, artinya tidak diberi perlakuan apa-apa. Jika dilihat dari komposisi Egg Stimulant ini, adalah tidak mungkin jika peningkatan dosis tidak memberikan pengaruh terhadap kualitas telur yang dihasilkan walaupun tidak signifikan, hanya saja derajat pembuahan dan derajat penetasan dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satunya adalah kualitas telur yang dihasilkan. Walaupun salah satu faktor memberikan pengaruh terhadap derajat pembuahan dan penetasan telur misalnya kualitas telur, sedangkan faktor lain malah menghambat maka akan terjadi kesalahan atau galat data yang teramati. Secara keseluruhan dari data perlakuan yang lain dalam parameter derajat pembuahan ini dapat diambil kesimpulan bahwa dengan semakin meningkatnya dosis BMD akan meningkatkan derajat pembuahan tidak berbeda nyata.
4.5. Derajat penetasan Tabel 6. Pengaruh dosis BMD terhadap derajat penetasan (%) Lele Sangkuriang Clarias sp
90 89,5 65 81,5
30 mg BMD/ kg ikan 41,04 36,1 4,2 27,11
50 mg BMD/kg ikan 80 89 50 73
70 mg BMD/kg ikan 78 93,5 94,2 88,57
11,67
16,33
16,67
7,477
Ulangan
Kontrol
1 2 3 Rerata (±) Sd
Pada Tabel 6 tampak bahwa persentase HR dari kontrol menurun di perlakuan 30 mg BMD/kg ikan, kemudian meningkat hingga pelakuan 70 mg BMD/kg ikan.
80
Persentase HR paling rendah terdapat pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan, yaitu sebesar (27,11 ± 16,33) % dan yang paling tinggi terdapat pada pelakuan 70 mg BMD/kg ikan yaitu sebesar (88,57 ± 7,477) %. Dengan semakin tingginya dosis perlakuan maka persentase derajat penetasan juga semakin tinggi dan peningkatan ini tidak berbeda nyata. Perbedaan yang cukup signifikan terjadi pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan. Perbedaan ini disebabkan karena telah terjadi kegagalan hidup dari embrio yang disebabkan karena gagalnya embrio dalam melakukan pembelahan mitosis hingga pembentukan organ yang disebabkan karena kualitas sperma yang membuahi sel telur kurang berkualitas. Antara kontrol dan perlakuan peningkatan dosis BMD dalam Egg Stimulant tidak signifikan kecuali pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan. Pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan (Gambar 15) terjadi penyimpangan hasil yang menyebabkan nilai HR- nya jauh lebih rendah dari pada kontrol. Penyimpangan hasil yang terjadi disebabkan karena kualitas dari sperma yang membuahi telur kurang baik. Kualitas sperma yang buruk akan mempengaruhi perkembangan embrio dalam telur, diduga karena pada saat terjadi pembuahan, sperma dengan kualitas yang buruk tidak memiliki cukup energi untuk melakukan pembelahan didalam sel telur. Energi itu telah habis digunakan untuk berenang mencapai sel telur. Dari segi genetik sperma dengan kualitas yang buruk terdapat ketidaklengkapan struktur basa nitrogen akibat kurang sempurnanya proses pindah silang karena hormon atau mineral dalam proses spermatogenesis bekerja tidak optimal, sehingga terdapat salah satu gen yang berperan terhadap pembelahan zigot tidak tersedia.
persentase HR 100 80 60 40 20 0
kontrol
30 mg/kg
50 mg/kg
70 mg/kg
81
Gambar 15. Histogram derajat penetasan (%) telur ikan Le le Sangkuriang clarias sp Pada umumnya, menurut Affandi (2002), derajat penetasan dipengaruhi oleh faktor non mekanik dan faktor mekanik. Faktor non mekanik terdiri dari faktor hormonal dan volume kuning telur. Faktor hormonal dipengaruhi oleh hipotalamus dan kelenjar tiroid. Faktor mekanik dipengaruhi oleh gerakan larva dalam telur dan enzim korionase. Semakin tinggi dosis BMD maka penyerapan kalsium, magnesium dan fosfor juga semakin baik. Kalsium, magnesium dan fosfor merupakan mineral yang diperlukan dalam pembentukan cangkang telur. Cangkang telur merupakan organ penting dalam mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cangkang telur berperan dalam melindungi telur dari tekanan lingkungan yang berada di sekitar embrio.
82
DAFTAR PUSTAKA Affandi R., Tang MU.2002. Fisiologi Hewan Air. UNRI Press. Pekan Baru,Hlm 213. Anggarodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Edisi ke Dua Cetakkan ke-3. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. Balinsky SI.1970. An Introduction to Embriology. WB.International Review of Cytology,12:361-403.Saunders Company. London. Hlm 219-253. Brander, G.C., and D.M. Pugh.1977. Veterinary Applied Pharmacology And Therapeutics, 3rd Ed. The English Language Book Society and Bailliere Tindal, London. Coates, M.E. and G.F. Harisson.1962. Zinc Bacitracin and Chick Growth, The Veterinary Record 74(44): 1191-1192. Daghighian,P. and P.E. Waibel. 1982. The Efficacy of Bacitracin Methylene Disalisilat and Zinc Bacitracin in Turkey Nutrition. Poultry Science 61 : 962-975. Djuwita I., Boediono A., Mohammad K. 2000. Embriologi. Laboratorium Embriologi Bagian Anatomi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Effendi I.2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya, Jakarta. Epler P.1981. Effect of Steroid Gonadotropin Hormone the Matur ation of Carp Oocyte Maturation and Ovulation. Pol. Arch hydroid,28: 127-133. Federal Food, Drug and Cosmetic Act (FFDAC). 2006. For The Prevention of Coccidiosis by Eimeria acervulina, E. maxima, E. mivati, E. necatrik and E.
tenella
and
Improved
Food
Efficiency
In
Broiler.
http://www.fda.gov/cvm/FOI/1470.htm. Freedom of Information Officer Center For Veterinari Medicine. Rockville. Fujaya Y.2004. Fisiologi Ikan, Dasar-dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Rineka Cipta Press. Jakarta. Gan, S.1980. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Universitas Indonesia,Jakarta.
83
Kedi, S. 1980. Mencegah Necrotic Enteritis pada Broiler dengan Zinc Bacitracin. Majalah Ayam dan Telur, Nomor 7, Thn IX, Halaman 36-37. John H., Postlet W., Janet L., Hopson, Ruth C, Veres. 1991. Biology. Bringing Science to Life. MC Graw-Hill, Inc, Hlm 207. Jones, L.M.A.B. 1957. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Second Ed. Iowa State University Press Ames, Iowa. USA. Martati, E. 2006. Efektivitas Madu Terhadap Nisbah Kelamin Ikan Gapi (Poecilia reticulate peters). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. Maynard, L.A., J.K. Loosli, H.F. Hintz and R.G. Warner. 1983. Animal Nutrition. Seventh Ed. Tata McGraw Hill Publishing Co., Limeted. New Delhi. Nagahama,Y. 1987. Gonadotropin Action on Gametogenesis and Steroidogenesis in Teleost Gonad. Zoological Science,4 : 209-222. Nagahama Y., M. Yoshikuni, M. Yamashita, T. Tokumoto, Y. Katsu. 1995. Regulasi of Oocyte Growth and Maturation In Fish Developmental Biology. Vol.30. Academic press, inc. P:103-245. Nayak P.K., and T.P. Singh.1992. Seasonal Change in Plasma Level of Reproductive Steroid Hormones in Female Tropical Catfish Clarias batracus. Zoologische Jahrbucher, Abteilung-fur Allgemeine Zoologie-und Physiologi-dertiere. Purdom, C.E. 1993. Genetics and Fish Breeding. Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. Fisheries Laboratory. Lowestoff. Suffolk. UK. Rosen,D.G.,1976. Zinc Bacitracin for Laye rs. Poultry International. January Ed. : 24-30 Sumantadinata, K. 1981. Pengembangan Ikan-Ikan Peliharaan di Indonesia. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institute Pertanian Bogor. Sumantri, D. 2006. Efektivitas Ovaprim, dan Aromatase Inhibitor Dalam Mempercepat Pemijahan Pada Ikan Lele Dumbo Clarias Sp. Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institute Pertanian Bogor. Sunarma,A. 2004. Peningkatan Produktifitas Usaha Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp). Makalah Disampaikan Pada Temu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) dan Temu Usaha Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,
84
Departemen Kelautan dan Perikanan, Bandung 04-07 Oktober 2004. Bandung. 13 Halaman. Vanston, A., Arthur P. Arnold and B.A. Schlinger.1996. 3β-Hydroxysteroid Dehidrogenase/Isomerase and Aromatase Activity in Primary Culture of Developing Zebra Finch Telencepalone: Dehydroepiandrosterone as Substrat for Sintesis of Androstenedione and Estrogens. General and Comparative Endocrinology,102:342-350. Wood bine, M. 1977. Antibiotics and Antibiosis In Agriculture, Butter Worth. London. Woynarovich E. dan L. Horvath. 1990. The Artificial Propagation of Warm-Water Finfish a Manual for Extension. FAO Fisheries Technical Paper No. 201.183 p. Food Agricultural Organization of The United Nation. Roma. Yaron Z. 1995. Endocrine Control of Gametogenesis and Spawning Induction in The Carp. Aquaculture,129: 49-73.
85
LAMPIRAN
86
Lampiran 1. Pergerakan inti telur (%) pada sampling 1
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Rata-rata
Perlakuan Tengah
Tepi
GVBD
Tengah
Tepi
GVBD
Tengah
Tepi
GVBD
Tengah
Tepi
Kontrol
0
100
0
100
0
0
100
0
0
66,67
33,33
30 mg BMD/kg ikan
0
0
0
72,97
27,02
0
81,25
18,75
0
51,41
15,26
0
50 mg BMD/kg ikan
79,31
20,69
0
100
0
0
89,65
10,35
0
89,65
10,35
0
70 mg BMD/kg ikan
100
0
0
100
0
0
100
0
0
100
0
0
87
GVBD 0
Lampiran 2. Pergerakan inti telur (%) pada sampling 2 Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Rata-rata
PERLAKUAN Tengah
Tepi
GVBD
Tengah
Tepi
GVBD
Tengah
Tepi
GVBD
Tengah
Tepi
GVBD
Kontrol
90
10
0
90.9
9.1
0
81.1
18.9
0
87,32
12,7
0
30 mg BMD/kg ikan
55.9
33.3
7.1
78,6
21,4
0
37,8
62,2
0
58,63
39
2,6
50 mg BMD/kg ikan
54,5
45,5
0
64,7
35,3
0
47,4
52,6
0
55,53
44,5
0
70 mg BMD/kg ikan
43,3
56,7
0
54,8
45,2
0
65,4
34,6
0
54,5
45,5
0
88
Lampiran 3. Tabel Sidik Ragam diameter telur (mm) pada sampling 1 SK Perlakuan Sisa Total
Db 3 8 11
JK 0,083 0,155 0,238
KT 0,028 0,019
Fhit 1,474
Ftab 4,07
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi parameter pengamatan. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi parameter pengamatan. Fhit < F tab, gagal tolak H0 Kesimpulan : peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant yang berbeda tidak mempengaruhi penambahan diameter telur pada sampling 1.
89
Lampiran 4 Tabel Sidik Ragam diameter telur (mm) pada sampling 2 SK Perlakuan Sisa Total
Db 3 8 11
JK 0,062 0,058 0,12
KT 0,021 7,25 x 10-3
Fhit 2,896
Ftab 4,07
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi parameter pengamatan. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi parameter pengamatan. Fhit
90
Lampiran 5 Tabel Sidik Ragam pergerakan inti telur (%) pada sampling 1 •
tengah df
SS
MS
Regression
1
824.2999086
824.3
Residual
2
626.2613664
313.131
Total
3
1450.561275 Standard Error 15.58511352 0.342137691
Coefficients 56.11579439 0.55511215
Intercept X Variable 1
F
Significance F
2.632447
t Stat 3.6006 1.62248
0.246167969
P-value 0.069221 0.246168
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi pergerakan inti telur. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi pergerakan inti telur. Fhit < Ftab dan P>0,05 ; gagal tolak H0 Kesimpulan : peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulan berbeda tidak mempengaruhi pergerakan inti telur. •
tepi df
SS
MS
F 92.96
Regression
1
570.13
570.13
Residual
2
12.267
6.1333
Total
3
582.4
Intercept X Variable 1
Coefficients 32.0473832 -0.4616636
Standard Error 2.181202476 0.047883615
t Stat 14.693 -9.641
Significance F 0.010587241
Pvalue 0.005 0.011
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi pergerakan inti telur. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi pergerakan inti telur. Fhit > F tab dan P=0.05 ; tolak H0 Kesimpulan : peningkatan dosis BMD mempengaruhi pergerakan inti telur agar terjadi perpindahan ke tepi.
91
Lampiran 6. Tabel Sidik Ragam pergerakan inti telur (%) pada sampling 2 •
tengah df
Regression Residual Total
1 2 3
SS
MS
F
583.04 151.61 734.65
583.04 75.806
7.69
Coefficients 81.502243 0.46685981
Intercept X Variable 1
Significance F 0.10914276
Standard Error 7.668303027
t Stat 10.628
Pvalue 0.0087
0.168341121
-2.773
0.1091
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi parameter pengamatan. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi parameter pengamatan. Fhit > Ftab, Phit < 0.05 ; tolak H0 Kesimpulan : peningkatan dosis BMD dalam egg stimulant mempengaruhi pergerakan inti telur. •
tepi df
Regression Residual Total
SS 599.4 113.67 713.07
1 2 3
MS 599.4 56.835
F 10.55
Significance F 0.08316276
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi parameter pengamatan. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi parameter pengamatan. Fhit > Ftab, tolak H0 Kesimpulan : peningkatan dosis BMD mempengaruhi pergerakan inti telur. •
GVBD df
Regression Residual Total
1 2 3
SS 0.14 4.93 5.07
MS 0.14 2.46
F 0.06
Significance F 0.832556328
92
Intercept X Variable 1
Coefficients 0.923364486
Standard Error 1.382486566
-0.00728972
0.030349523
t Stat 0.6679 0.2402
P-value 0.57295 0.83256
Fhit
93
Lampiran 7.Tabel Sidik Ragam (%) fekunditas SK Perlakuan Sisa Total
Db 3 8 11
JK 0,694 x 1011 0,067 x 1011 0,761 x 1011
KT 2,313 x 1010 8,375 x 108
Fhit 27,618
Ftab 4,07
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi parameter pengamatan. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi parameter pengamatan. Fhit > Ftab, tolak H0 Kesimpulan : peningktan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant yang berbeda mempengaruhi fekunditas.
Uji lanjut BNT BNT = t (0,025;8) v(2 x 8,375x108 /3) = 54488,654 Kontrol
30mg BMD/kg ikan
50mg BMD/kg ikan
70mg BMD/kg ikan X rata-rata 65858,667
70550,3
156215,83
252314,667
4691,633 90357,166* 186456*
Kesimpulan : pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan dan 70mg BMD/kg ikan yang berpengaruh nyata terhadap kontrol apabila diberikan BMD dalam pakan yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah telur induk atau fekunditas.
94
Lampiran 8. Tabel Sidik Ragam derajat pembuahan atau FR SK Perlakuan Sisa Total
Db 3 8 11
JK 881,808 1508,274 2390,082
KT 293,936 188,534
Fhit 1,1556
Ftab 4,07
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi parameter pengamatan. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi parameter pengamatan. Fhit
95
Lampiran 9.Tabel Sidik Ragam derajat penetasan atau HR SK Perlakuan Sisa Total
Db 3 8 11
JK 6903,388 2209,96 9113,348
KT 2301,129 276,245
Fhit 8,33
Ftab 4,01
H0 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda tidak mempengaruhi parameter pengamatan. H1 = Peningkatan pemberian dosis BMD dalam Egg Stimulant berbeda mempengaruhi parameter pengamatan. Fhit>Ftab, tolak H0 Uji Lanjut BNT = t(0,025;8) v(2 x 276,245/3) = 15,877 X rata kontrol = 81,5 > BNT X rata 30mg BMD/kg ikan = 27,113 > BNT X rata 50 mg BMD/kg ikan = 73 > BNT X rata 70mg BMD/kg ikan = 88,567 > BNT
96
Lampiran 10. Contoh perhitungan dosis Egg Stimulant pada perlakuan 30 mg BMD/kg ikan. Dik : Dosis BMD 30 mg/1 kg ikan. 1 kg Egg Stimulant mengandung 55.000 mg BMD = 55.000 mg BMD/1 kg Egg stimulant. Maka : Dosis Egg Stimulant untuk 30 mg BMD/kg ikan = 1 kg Egg Stimulant x 30 mg BMD / 1 kg ikan = 0,55 g Egg Stimulant/ kg ikan 55.000 mg BMD Penambahan 5 % untuk antisipasi kehilangan akibat terbuang (leaching) = 5/100 x 0,55 g Egg Stimulant/kg ikan = 0,03 g Egg Stimulant/kg ikan Sehingga dosis Egg Stimulant untuk 1 kg ikan menjadi = 0,55 g Egg Stimulant/kg ikan + 0,03 g Egg Stimulant/kg ikan = 0,58 g Egg Stimulant/kg ikan Biomassa ikan = 2,5 kg Dosis Egg Stimulant untuk 2,5 kg ikan = 0,58 g Egg Stimulant/kg ikan x 2,5 kg ikan = 1,45 g Egg Stimulant Pakan yang diberikan = 3/100 x 2,5 kg = 75 g Pakan Perlakuan 1 = 75 g Pakan + 1,45 g Egg Stimulant
97
Lampiran 11. Contoh perhitungan dosis Egg Stimulant pada perlakuan 50 mg BMD/kg ikan. Dik : Dosis BMD 50 mg/1 kg ikan. 1 kg Egg Stimulant menga ndung 55.000 mg BMD = 55.000 mg BMD/1 kg Egg stimulant. Maka : Dosis Egg Stimulant untuk 50 mg BMD/kg ikan = 1 kg Egg Stimulant x 50 mg BMD / 1 kg ikan = 0,91 g Egg Stimulant/ kg ikan 55.000 mg BMD Penambahan 5 % untuk antisipasi kehilangan akibat terbuang (leaching) = 5/100 x 0,91 g Egg Stimulant/kg ikan = 0,05 g Egg Stimulant/kg ikan Sehingga dosis Egg Stimulant untuk 1 kg ikan menjadi = 0,91 g Egg Stimulant/kg ikan + 0,05 g Egg Stimulant/kg ikan = 0,96 g Egg Stimulant/kg ikan Biomassa ikan = 3,1 kg Dosis Egg Stimulant untuk 3,1 kg ikan = 0,96 g Egg Stimulant/kg ikan x 3,1 kg ikan = 2,98 g Egg Stimulant Pakan yang diberikan = 3/100 x 3,1 kg = 93 g Pakan Perlakuan 2 = 93 g Pakan + 2,98 g Egg Stimulant
98
Lampiran 12. Contoh perhitungan dosis Egg Stimulant pada perlakuan 70 mg BMD/kg ikan. Dik : Dosis BMD 70 mg/1 kg ikan. 1 kg Egg Stimulant mengandung 55.000 mg BMD = 55.000 mg BMD/1 kg Egg stimulant. Maka : Dosis Egg Stimulant untuk 70 mg BMD/kg ikan = 1 kg Egg Stimulant x 70 mg BMD / 1 kg ikan = 1,27 g Egg Stimulant/ kg ikan 55.000 mg BMD Penambahan 5 % untuk antisipasi kehilangan akibat terbuang (leaching) = 5/100 x 1,27 g Egg Stimulant/kg ikan = 0,06 g Egg Stimulant/kg ikan Sehingga dosis Egg Stimulant untuk 1 kg ikan menjadi = 0,27 g Egg Stimulant/kg ikan + 0,06 g Egg Stimulant/kg ikan = 1,33 g Egg Stimulant/kg ikan Biomassa ikan = 3,5 kg Dosis Egg Stimulant untuk 3,5 kg ikan = 1,33 g Egg Stimulant/kg ikan x 3,5 kg ikan = 4,67 g Egg Stimulant Pakan yang diberikan = 3/100 x 3,5 kg = 105 g Pakan Perlakuan 3 = 105 g Pakan + 4,67 g Egg Stimulant
99
100