Laporan Uta Mangrove: Sumberdaya Alam Penting Yang Terancam Onrizal Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Jl Tri Darma Ujung No 1, Kampus USU Medan 20155. Email:
[email protected],
[email protected] Pendahuluan Mangrove terdapat di pantai tropika dan sub-tropika (Chapman 1976, Tomlinson 1986), dan secara geografis, mangrove tersebar antara 30oLU – 30oLS (Gambar 1) (Giri et al., 2011). Ekosistem mangrove menyediakan berbagai jenis barang dan jasa bagi komunitas baik pada level nasional maupun internasional (FAO, 1982, Hamilton
& Snedaker 1984, Aksornkoae, 1993, Dahdouh-Guebas et al. 2000, Johsi et al., 2006). Gambar 2. Penyebaran hutan mangrove di dunia (berwarna hijau) berdasarkan citra landsat tahun 2000 (Giri et al., 2011) Hutan mangrove di sepanjang kawasan pesisir pantai merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Nilai penting mangrove terutama pada keunikan fungsinya berupa fungsi ekologi, fungsi ekonomi dan fungsi lindung. Fungsi utama hutan mangrove mencakup (a) sebagai habitat flora dan
fauna, (b) penghasil kayu olahan, tiang, kayu bakar, bahan baku arang bakau, dan serat, (c) penghasil berbagai hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti tanin, madu lebah, lilin madu lebah dan lain-lain, (d) sebagai tempat pembiakan (breeding ground) dan pengasuhan (nursery ground) bagi ikan, krustase, moluska, dan berbagai jenis daratan dan peraiaran pantai lainnya, (e) pengatur iklim mikro, (f) pelindung pantai dari erosi, (g) peningkatan pengendapan sedimen/pertambahan lahan, (h) penyuplai hara melalui jatuhan serasah ke kawasan pesisir pantai untuk mendukung produktivitas perairan pantai, (i) mengurangi dampak bencana alam, seperti tsunami, angin badai, dan perubahan drastis pasang surut, dan (j) perbaikan lingkungan melalui penyerapan karbon dan bahan pencemar lainnya (Macnae 1968, Aksornkoae, 1993, FAO, 1993, 1994, Fransworth & Ellison 1997, Kusmana et al., 1997, Soeroyo & Sapulete, 1998, Aprilwati, 2001, Joshi et al., 2006, Walton et al. 2006, Le et al., 2007, DahdouhGuebas & Pulukkuttige, 2009, Onrizal et al, 2009, Ostling et al., 2009, Onrizal, 2012a, 2012b). Fungsi dan manfaat mangrove sudah dikenal dengan baik secara luas, namun karena akses yang mudah serta nilai guna komponen biodiversitas dan lahan yang
WANAMINA
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
1
tinggi telah menjadikan sumberdaya mangrove sebagai sumberdaya alam yang terancam kelestariannya (Valiela et al., 2001, Onrizal, 2005). Dalam kurun waktu 1980 – 2000 (20 tahun), hutan mangrove dunia telah hilang sebesar 35% (Valiela et al., 2001, MA, 2005), dan hutan mangrove Indonesia dalam kurun waktu 1989-2009 (20 tahun) telah hilang sebesar 851.511 ha atau berkurang sebesar 20,8% (Onrizal, 2013), yakni dari 4.098.527 ha pada tahun 1989 (Giesen et al. 1991) berdasarkan hasil RePProt (1985-1989) menjadi 3.247.016 ha (Bakosurtanal, 2009) berdasarkan hasil analisis citra landsat terbaru. Kehilangan mangrove seluas 851.511 ha dalam kurun waktu 20 tahun (1989-2009) itu setara dengan 1,5 kali luas negara Brunai Darussalam, yakni 5.770 km2. Angka tersebut juga menjadikan laju kehilangan rata-rata mangrove Indonesia sekitar 42.575,6 ha/tahun atau setara dengan 61% dari luas negara Singapura, yakni 697 km2 . Artinya, tidak sampai dua tahun, luas mangrove Indonesia yang hilang melebihi luas negara Singapura. Apakah kita masih bisa bersantai-santai saja? Meskipun mangrove terus terancam kelestariannya, namun berbagai aktivitas penyebab kerusakan hutan mangrove terus terjadi dan adakalanya dalam skala dan intensitas yang terus meningkat (Primavera, 2005, Dave, 2006). Akibatnya, laju kehilangan hutan mangrove semakin cepat dibandingkan dengan kehilangan hutan tropis daratan dan terumbu karang (Duke et al., 2007). Hal ini telah menyebabkan penurunan produktivitas ekosistem
WANAMINA 2 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
mangrove dan pesisir pantai (Primavera, 2005, Dave, 2006) dan menjadikannya sebagai salah satu pusat dari isu lingkungan global. Ancaman kelestarian mangrove Kerusakan dan kehilangan hutan mangrove (mangrove forest degradation and deforestation) yang cepat di daerah tropika, termasuk di Indonesia terutama disebabkan oleh 5 (lima) faktor, yaitu: (a) konversi hutan mangrove, (b) penebangan hutan (baik legal maupun illegal), (c) pertambangan, (d) bencana alam, dan (e) pencemaran. Secara sederhana, faktor penyebab kerusakan dan kehilangan mangrove tersebut dapat dikelompokan menjadi 2 (dua), yakni (a) kerusakan akibat manusia, dan (b) kerusakan akibat gangguan alam. Adakalanya kerusakan hutan mangrove merupakan kombinasi kerusakan akibat manusia dan kemudian diperparah dengan hadirnya bencana alam, seperti tsunami dan angin badai. Meskipun demikian, pemicu utama kerusakan dan kehilangan hutan mangrove di daerah tropis, termasuk Indonesia adalah tekanan populasi penduduk yang sangat besar dan “pembangunan” yang mengabaikan aspek keberlanjutan. a. Konversi hutan mangrove a1. Konversi menjadi tambak Konversi hutan mangrove menjadi lahan untuk penggunaan lain merupakan penyebab utama kehilangan hutan mangrove, termasuk di Indonesia. Konversi hutan mangrove untuk dijadikan lahan budidaya perikanan (Gambar 2), terutama untuk tambak udang windu (Penaeus monodon, P. merguensis dan P. indicus)
(2002) menginformasikan bahwa luas areal tambak di ekosistem mangrove meningkat sebesar 14,4 % dalam kurun 2 tahun (dari tahun 1999 sampai 2001) atau 7,2 % per tahun, yaitu dari 393.196 ha (1999) menjadi 450.000 ha (2001). Selanjutnya pada tahun 2005, Kementerian Kehutanan sebagaimana diacu oleh Ilman et al. (2011) menyatakan bahwa ekspansi tambak udang menjadi penyebab kerusakan 750.000 ha hutan mangrove atau berkontribusi sebesar 50% dari kehilangan hutan mangrove di Indonesia. Areal tambak pada lahan mangrove di Sumatera Utara pada tahun 1977 hanya terdapat di Kabupaten Deli Serdang seluas 308 ha, dan kemudian menjadi 15.901,92 ha pada tahun 2006 yang menyebar di sepanjang pantai timur Sumatera Utara (Onrizal, 2010) atau meningkat 51,6 kali. Kalimantan Timur yang memiliki hutan mangrove seluas 750.000 ha, namun sekitar 300.000 ha telah dikonversi menjadi tambak (Ilman et al., 2011).
Gambar 2. Hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak di pantai timur Sumatera Utara (@2009 Onrizal)
a2. Konversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas padi sawah dan perkebunan kelapa. Kegiatan ini dilakukan oleh penduduk di kawasan pesisir dengan terlebih dahulu menebang habis (clear cutting) tegakan mangrovenya, sehingga sangat potensial menyebabkan hilangnya fungsi lindungan lingkungan dari hutan mangrove. Soegiarto (1980) melaporkan bahwa selama Pelita I dan II sekitar 700.000 hektar hutan mangrove telah dikonversi menjadi areal pertanian. Sampai tahun 1986, diperkirakan sekitar 4 persen areal persawahan di Indonesia terdapat di lahan pasang surut (MOA, 1986). Lebih dari 5.000 hektar lahan mangrove di Cilacap dikonversi menjadi lahan pertanian antara lain untuk tanaman padi, kelapa dan tanaman pertanian lainnya (Wirjodarmodjo & Hamzah, 1984). Sekitar 2.000 ha mangrove di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit (LiraNews, 2010) (Gambar 3). Bersebelahan dengan Kabupaten Langkat, seluas 17.000 ha dari total 20.000 ha hutan mangrove di Kabupaten Aceh Tamian, Aceh telah menjadi perkebunan sawit (Kompas, 2010). Penggunaan herbisida pada areal pertanian di daerah tengah dan hulu DAS berdampak buruk pada hutan mangrove yang berada di hilir DAS. Duke (2003) melaporkan bahwa sekitar 58% dari 53 km2 hutan mangrove di wilayah Mackay, Australia mati akibat akumulasi herbisida, diuron, dan ametryn yang konsentrasinya sudah bersifat racun bagi mangrove. WANAMINA 3
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Penggunaan herbisida tersebut telah berlangsung lama dan kemudian lambat laun terakumulasi di substrat mangrove seiring dengan bahan-bahan sedimen yang terbawa oleh aliran air melalui sungai.
Gambar 3. Perkebunan sawit yang ditanam pada lahan yang sebelumnya berupa hutan mangrove di Sumatera Utara (@2009 Onrizal) a3. Konversi menjadi lahan infrastruktur Areal mangrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk.dan hasil-hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove. Industri perikanan, industri tanaman dan hasil hutan kayu, pengeringan udang dan sebagainya yang didirikan di kawasan mangrove juga telah mengkonversi hutan ini dalam areal yang cukup luas. a4. Konversi menjadi padang garam Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini merupakan areal mangrove yang
WANAMINA 4 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
dikonversi yang tingkat kerusakannya bersifat irreversible. Kegiatan produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan pada areal mangrove yang memiliki curah hujan < 1.000 mm per tahun, misalnya seperti yang banyak dilakukan di daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Aceh dan beberapa provinsi lainnya (Gambar 4).
Gambar 4. Hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi padang garam di Sulawesi Selatan (@2013 Onrizal) a5. Konversi menjadi perkotaan/permukiman dan wisata Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi hutan mangrove yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Selain dijadikan lokasi pemukiman, hutan mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan jalan raya, tambak, pelabuhan, pembuangan limbah, dan lain-lain. Hal yang sangat mudah di lihat adalah konversi besar-besaran hutan mangrove di Penjaringan, Jakarta Utara menjadi permukiman elit di sepanjang Angke Kapuk. Meningkatkan aktivitas ekonomi dan pembangunan, pada sisi lain akan mendorong meningkatnya kebutuhan untuk berekreasi atau wisata. Tentunya
pilihannya adalah dengan mengkonversi areal hutan mangrove. Pada tingkat tertentu, aktivitas pembangunan prasarana wisata dan kegiatan wisata itu sendiri mengancam kelestarian hutan mangrove dan berbagai komponen penyusunnya, misalnya kegiatan reklamasi areal mangrove untuk tempat pembangunan prasarana wisata, dan wisata massal yang sangat berpotensi mengganggu dan mencemari lingkungan ekosistem hutan mangrove melalui bahan polutan yang dihasilkan, seperti pembuangan sampah, terutama sampah non-degradable, dan lainnya b. Penebangan Penebangan hutan mangrove, baik secara legal maupun ilegal untuk produksi kayu bakar, arang, chips dan sebagainya telah berlangsung lama. Eksploitasi mangrove secara berlebihan telah menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian besar hutan mangrove. Komiyama et al. (1992) menemukan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan industri kayu bakar dan arang dengan produktivitas primer hutan mangrove di Thailand bagian selatan, sehingga mengancam kelestarian mangrove di kawasan tersebut. Penebangan pohon mangrove untuk dijadikan arang bakau secara ilegal sampai saat ini masih ditemukan di pantai timur Sumatera Utara dan Aceh (Gambar 5).
Gambar 5. Penebangan mangrove secara ilegal di Sumatera Utara untuk arang bakau (@2009 Onrizal) c. Pertambangan Pertambangan, terutama minyak bumi, cukup banyak dilakukan di areal hutan mangrove. Lahan diperlukan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat penyimpanan minyak mentah, pipa, pelabuhan, perkantoran dan pemukiman pekerja. Minyak yang mencemari mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi mangrove. Kegiatan pertambangan di Indonesia banyak dilakukan di wilayah pesisir untuk mengambil timah, bauksit, pasir besi, minyak, dan lain-lain. Beberapa kegiatan pertambangan dilakukan secara tradisional oleh masyarakat pantai dengan cara sederhana, maupun secara modern dalam skala besar. Deposit timah diperoleh di dasar laut yang meliputi pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (Sumatera). Kegiatan pertambangan dilakukan di luar jalur mangrove, tetapi proses pengolahan mengakibatkan gangguan serius pada lingkungan yang dampaknya dirasakan sekali terhadap kelestarian hutan mangrove.
WANAMINA 5
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
pertambangan bauksit terhadap hutan mangrove mungkin tidak saja disebabkan karena hilangnya tegakan mangrove, tetapi juga oleh proses yang dikonsentrasikan pada suatu tempat dan limbahnya dibuang ke sungai yang mengalir ke pantai, dimana mangrove berada. Eksploitasi endapan pasir besi dilakukan di teluk Cilacap, hal penting yang perlu dicatat adalah pertambangan ini memakai sistem terbuka dan penyemprotan air (Hardjosuwarno, 1984). Konsekuensinya teluk terganggu oleh kegiatan ini yang dirasakan semakin meningkat dengan cepat dalam beberapa waktu terakhir. Pertambangan atau pengalian pasir menyebabkan kerusakan pada ekosistem mangrove. Penambangan pasir dalam skala luas di kepulauan Riau untuk diekspor ke Singapura merupakan salah satu contoh penambangan pasir tersebut. Kegiatan ini tidak saja akan mengancam keberadaan hutan mangrove, namun lebih jauh akan menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut akan hilang. d. Bencana Alam Sebelum tsunami 26 Desember 2004, sebagain besar hutan mangrove di Aceh telah dikonversi menjadi lahan tambak dan penggunaan lainnya. Hutan mangrove yang tersisa sebagian besar memiliki kualitas yang rendah karena mengalami penebangan ilegal secara besar-besaran untuk arang bakau dan kayu bakar. Akibatnya hutan mangrove di Aceh yang tersisa sebagian besar tidak mampu meredam tsunami yang datang dan mengalami kerusakan yang sangat besar. LAPAN (2005) melaporkan sekitar 32.000 hutan mangrove di Aceh rusak akibat tsunami di akhir tahun 2004
ii
WANAMINA
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
tersebut. Selain itu, penulis juga menemukan bahwa hutan mangrove yang tidak hancur oleh tsunami, namun mengalami kematian (Gambar 6) karena tanahnya mengalami penurunan akibat gempa besar 26 Desember 2004 yang memicu tsunami besar tersebut.
Gambar 6. Hutan mangrove mengalami kematian akibat penurunan permukaan tanah akibat gempa pada tanggal 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005 di Aceh Singkil, Aceh (@2009 Onrizal) e. Pencemaran Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan. Minyak menutupi permukaan sistem perakaran mangrove (sedimen, kulit kayu, akar penyangga, pneumatofor dan sebagainya) yang berfungsi sebagai tempat pertukaran CO2 dan O2, sehingga akan menurunkan ketersediaan oksigen dalam ruang akar 1-2 % dalam waktu dua hari (Clark, 1986). Fraksi minyak yang bersifat toksik akan menembus substrat dasar,
tertinggal dan mengendap pada sedimen. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap proses perkecambahan dimana biji yang jatuh ke substrat dilapisi minyak sehingga proses perkecambahan terganggu. Pakpahan (1993) menduga kegagalan permudaan buatan jenis Rhizophora dan Ceriops di Cagar Alam Pulau Rambut disebabkan oleh tingginya kadar lemak dan minyak di lokasi tersebut. Gejala kematian akibat pencemaran minyak pada mangrove dicirikan oleh daun rontok, kulit mengering serta timbulnya cendawan dan bakteri. Toksisitas pencemaran minyak bersifat kronik dan bertahan lama sehingga berasosiasi dengan organisme dan lingkungannya. Tumpahan minyak di Equador mematikan organisme sessil dan terputusnya migrasi organisme sessil serta beberapa krustacea dan moluska. Beberapa sessil seperti teritip, kerang dan tiram menderita dan mati secara masal dan tidak ditemukan dalam waktu dua bulan setelah tumpahan minyak. Organisme semi sessil seperti gastropoda bermigrasi ke lokasi yang tidak terkontaminasi. Pengaruh lain adalah penurunan jumlah kepiting, khususnya pada stadium muda. Sumber pencemar lain ekosistem mangrove adalah logam berat (nomor atom 22 – 92 dan periode 3 – 7 pada susunan sistem berkala/periodik), yang sebagian berasal dari limbah industri di darat yang terbawa oleh sungai ke laut, limbah pertambangan dan limbah industri di sekitar pantai termasuk industri minyak. Kadmiun (Cd) dan Seng (Zn) merupakan zat pencemar umum dalam air dan sedimen di pelabuhan sekitar instalasi industri. Selain itu timbal (Pb), tembaga
(Cu), Arsen (As), Berilium (Be), Boron (B), Mangan (Mn), Merkuri (Hg), Molibdenum (Mo), Selenium (Sn) dan Nikel (Ni) juga merupakan logam berat yang toksik (Saeni, 1989). Akumulasi logam berat pada jaringan tanaman berpengaruh terhadap kemampuan memperoleh sumberdaya (air, hara, CO2, dan energi sinar) serta kemampuan penggunaan sumberdaya, misalnya menghambat kerja enzim, pembelahan sel, kehilangan substrat, respirasi atau defisiensi oksigen (Andani dan Purbayanti, 1981). Penutup Ekosistem mangrove yang menyediakan berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, kini dalam kondisi terancam. Berbagai aktivitas manusia telah menyebabkan hutan mangrove hilang atau rusak. Kehilangan atau kerusakan hutan mangrove di suatu wilayah telah menyebabkan penurunan produktivitas mangrove dalam mendukung ekosistem pesisir dan telah menimbulkan berbagai persoalan lingkungan, seperti banjir rob, intrusi air laut, abrasi pantai dan berbagai persoalan lainnya. Oleh karena itu, akankah kondisi ini akan terus berjalan. Lalu, apa peran kita? Semoga kita bisa berperan dalam mengurangi ancaman kelestarian mangrove dan menjaga mangrove yang masih baik. Daftar Pustaka Aksornkoae S. 1993. Ecology and management of mangroves. IUCN: Bangkok Andani S, & ED Purbayanti. 1981. Fisiologi lingkungan tanaman. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta. Aprilwati S. 2001. Analisis ekonomi manfaat ekosistem mangrove di Batu Ampar,
WANAMINA 7
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
Bakosurtanal. 2009. Peta Mangroves Indonesia. Pusat Survey Sumberdaya Alam Laut. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional Chapman VJ. 1976. Mangrove vegetation. J Cramer Verlag, Vaduz, Liechtenstein Clark RB 1986. Marine pollution. Claredon Press. Oxford. Dahdouh-Guebas F, C Mathenge, JG Kairo, & N Koedam. 2000. Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) amongst subsistence and commercial users. Economic Botany 54 (4): 513-527. Dahdouh-Guebas F, & JL Pulukkuttige. 2009. A bibliometrical review on pre- and posttsunami assumptions and facts about mangroves and other coastal vegetation as protective buffers. Ruhuna Journal of Science 4: 28-50 Dave R. 2006. Mangrove ecosystem o f south, west Madagascar: an ecological, human impact, and subsistence value assessment. Tropical Resources Bulletin 25: 7-13 Ditjen Perikanan Budidaya. 2002. Pengelolaan ekosistem mangrove untuk perikanan budidaya. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Duke NC. 2003. Mangrove dieback in Mackay region. http://www.marine.uq. edu.au/marbot/significantfindings/mangr ovedieback.htm [5 Agustus 2003] Duke NC, J-O Meynecke, S Dittmann, AM Ellison, K Anger, U Berger, S Cannicci, K Diele, KC Ewel, CD Field, N Koedam, SY Lee, C Marchand, I Nordhaus, F DahdouhGuebas. 2007. A world without mangroves? Science, 317, 5834, 41–42. FAO. 1982. Management and utilization of mangroves in Asia and the Pacific. FAO Environmental Paper 3. FAO: Rome FAO. 1993. Mangrove for production and protection: a changing resource system – case study in Can Gio District, Southern Vietnam. FAO Regional Wood Energy Development Programme in Asia: Bangkok FAO. 1994. Mangrove forest management guidelines. FAO Forestry Paper 117. Rome. Fransworth EJ, AM Ellison. 1997. Global patterns of predispersal propagule predation in mangrove forests. Biotropica 29(3):318– 330 Giesen W. 1991. Hutan Bakau Pantai Timur Nature Reserve, Jambi, Sumatra. Project report
WANAMINA 8 WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA
PH PA/AWB Sumatra Wetland No. 17, Bogor. Giri C, E Ochieng, LL Tieszen, Z Zhu, A Singh, T Loveland, J Masek, N Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography 20, 154–159 Hamilton LS, & SC Snedaker. 1984. Handbook for mangrove area management. EWC/IUCN/UNESCO/UNEP Hardjosuwarno S. 1984. Hutan mangrove Segara Anakan: suatu tinjauan keadaan sekarang dan perkembangannya pada masa mendatang. In Soemodihardjo, S., A. Nontji dan A. Djamali (Eds.). Prosiding Seminar II Ekosistem Mangr ove. MAB – LIPI, Jakarta. pp. 112-123. Ilman M, TCW Iwan, & INN Suryadiputra. 2011. State of the Art Information on Mangrove Ecosystems in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor Joshi L, U Kanagaratnam, & D Adhuri. 2006. Nypa fruticans – useful but forgotten in mangrove restoration programs? World Agroforestry Centre – ICRAF Southeast Asia Regional Office: Bogor Komiyama A, J Kongsangchai, P Patanaponpaiboon, S Aksornkoae, & K Ogino. 1992. Socioecosystem studies on mangrove forestscharcoal industry and primary productivity of secondary stands. Tropics I (4): 233-242 Kompas. 2010. Hutan Mangrove Jadi Kebun Kelapa Sawit. Harian Kompas, Senin, 25 Januari 2010 Kusmana C, S Takeda, & H W atanabe. 1997. Litter production of a mangrove forest in east Sumatra, Indonesia. Indonesian Journal of Tropical Agriculture 8 (3) : 52 - 59 LAPAN. 2005. Laporan LAPAN Dalam Kegiatan Tanggap Darurat Dan Mitigasi Bencana Alam Gempa dan Tsunami di Aceh dan Sumut 26 Desember 2004. LAPAN. Pekayon. Indonesia Le TTH, XV Nguyen, & TTT Le. 2007. Management of Nypa forest (Nypa fruticans) and provision of livelihood alternatives for rural people in Chau Thanh District, Tra Vinh Province, Vietnam. Final Report for the Runfford Small Grants for Nature Conservation (RSG). Vietnam Institute of Oceanography: Nha Trang LiraNews. 2010. 2000 ha Hutan Mangrove di Langkat Hancur. Downloaded on Novemb er 07, 2010 from
http://liranews.com/otonomidaerah/2010/11/07/2000-hektar-hutanmangrovehancur/ MA (Millennium Ecosystem Assessment). 2005. Mille ecosystems and human well-being: synthesis. Island Press, Washington, DC. Macnae W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Adv Mar Biol 6:73–270 MOA [Ministry od Agriculture]. 1986. Agricultural reasearch and development in tidal swamps II. Agency for Agricultural Research and Development, Ministry of Agriculture. Jakarta. Onrizal, C Kusmana, M Mansor. 2009. The effect of tsunami in 2004 on mangrove forests, Nias Island, Indonesia. Wetland Science 7 (2): 130-134 Onrizal. 2005. Hutan mangrove selamatkan masyarakat di pesisir utara Nias dari tsunami. Warta Konservasi Lahan Basah 13 (2): 5-7 Onrizal. 2010. Perubahan penggunaan lahan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Jurnal Biologi Indonesia 6 (2): 163172 Onrizal. 2012a. Mangrove dan keutuhan wilayah Indonesia. Wanamina 1 (2): 1-5 Onrizal. 2012b. Mangrove, nelayan dan kita. Wanamina 1 (2): 6-11 Onrizal. 2013. Pengelolaan hutan mangrove di Indonesia. Bahan diskusi untuk lokakarya pemeriksaan berspektif lingkungan hidup. Kerjasama Litbang BPK RI dengan Fakultas Pertanian USU yang dilaksanakan di Medan, 13 Juni 2014. Ostling JL, DR Butler, RW Dixon. 2009. The Biogeomorphology of mangroves and their Role in natural hazards mitigation. Geography Compass 3 (5): 1607–1624 Pakpahan AM. 1993. Kerusakan dan upaya rehabilitasi hutan mangrove di cagar alam pulau Rambut Teluk Jakarta. Dalam Simposium Nasional Rehabilitasi dan Konservasi Kawasan Mangrove. STIPER Yogyakarta. Primavera JH. 2005. Mangroves, fishpond, and the quest for sustainability. Science 310 (5745): 57-58 Saeni MS. 1989. Kimia lingkungan. PAU Ilmu Hayati IPB, Bogor. Soegiarto A. 1980. The present state of mangrove ecosystem in Southeast Asia and the impact of pollution in Indonesia. FAO/UNDP South China Sea Fisheries
Development and Coordinating Programme, Manila. Soeroyo, & D Sapulete. 1998. Pemanfaatan tumbuhan Nypa fruticans pada kawasan pasang surut. Makalah disampaikan pada Workshop Jaringan Pelestari Mangrove. Pemalang, 12 Agustus 1998 Tomlinson CB. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge Tropical Biology Series, Cambridge University Press, Cambridge, New York, USA Valiela I, JL Bowen, & JK York. 2001. Mangrove forest: one of the world’s threatened major tropical environments. Bioscience 51(10): 807-815 Walton MEM, GPB Samonte-Tan, JH Primavera, G Edwards-Jones, LL Vay. 2006. Are mangrove worth replanting? The direct economic benefits of a community based reforestation project. Environ Conserv 33(4):335–343 Wirdjodarmodjo H, & Z Hamzah. 1984. Beberapa pengalaman Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan mangrove. In Soemodihardjo, S., I. Soerianegara, M. Sutisna, K. Kartawinata, Supardi, N. Naamin, & H. Al Rasyid (Eds.). Pros. Seminar II ekosistem mangrove. MABLIPI. pp. 29-40.
WANAMINA 9
WAhaNa beritA Mangrove INdonesiA