WILAYAH EPISTEMOLOGIS AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN
Soedarso ~ 75 KONSEP ELING DALAM SERAT WULANG PUTRI
Sri Ratnawati ~ 82 MARGINALISASI WANITA MADURA: IMPLIKASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA BANYUWULU (SEBUAH PARADIGMA ETNOSAINS)
Eni Sugiarti ~ 89 MENIMBANG DIFABELISME SEBAGAI KRITIK SOSIAL
Slamet Thohari ~150511 PENGGUNAAN STRATEGI-STRATEGI KRITIK DALAM BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT DWILINGUAL INDONESIA-JAWA DI SURABAYA
Edy Jauhari ~ 114 UPAYA PEMBAKUAN EJAAN BAHASA MADURA DAN PERTIMBANGAN TERHADAP PERSOALAN YANG DIPERDEBATKAN
Akhmad Sofyan ~ 123 USING HI-FREQUENCY ITEM ANALYSIS-BASED SELF-LEARNING METHODOLOGY TO OBTAIN THE TOEFL SCORE EXCELLENCE
Amir Fatah ~ 132 MENERJEMAHKAN SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DAN HUBUNGANNYA DENGAN MODEL-MODEL DALAM TERJEMAHAN
Husein Shahab ~ 142 RESENSI BUKU: KRITIK (MATERIALISME) ATAS “AGAMA”: UPAYA MEMBELAH TEMPURUNG REDUKSI AGAMA
Listiyono Santoso ~ 148 UCAPAN TERIMAKASIH
WILAYAH EPISTEMOLOGIS AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN Soedarso* Abstract Science does not put factor of God in its clarifications about nature because it is outside of its methodological competence. Science explains the experienced phenomenon as far as empiric research gone through, a dissimilar field with the field which is often represented by religion. God is The Most Perfect, but the understanding of human being about God is imperfect. In other word, it is impossible to have perfect knowledge about God. Even about this nature itself human being never reach a perfect knowledge. Keywords: methodological competence, empiric, science, religion, imperfect human knowledge
Pendahuluan Sebagian kalangan agamawan menolak penjelasan dalam ilmu pengetahuan bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya. Logikanya setiap hal termasuk alam, pasti ada yang menciptakan, yakni Tuhan. Alam bukan penyebab yang terakhir karena ada penyebab lain yang mendahului. Penjelasan para ilmuwan yang menyatakan bahwa alam terjadi dengan sendirinya tidak dapat diterima oleh agamawan karena dianggap mengingkari adanya Tuhan (Heriyanto, 2003). Apakah benar penjelasan ilmu pengetahuan menyangkal keberadaan Tuhan? Apakah * Jurusan MKU Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, HP 08123116822
benar ilmu pengetahuan harus berbicara tentang Tuhan, adakah metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk itu? Pertentangan yang muncul sebagaimana telah diuraikan mencerminkan masih samarnya hubungan antara wilayah epistemologi ilmu pengetahuan dengan agama. Persoalan Epistemologi Berdasarkan metodologi yang ditempuhnya, ilmu pengetahuan memiliki basis dan wilayah epistemologis yang berbeda dengan agama. Tetapi, mengapa sering terjadi percampuradukkan? Bagi ilmuwan, jelas bahwa mereka hanya bermaksud memahami berbagai fenomena dunia empiris, yakni sejauh terindera oleh pengalaman dan
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
pengamatan hidup manusia umum. Ilmu pengetahuan tidak pernah berbicara halhal yang di luar empiri manusia umum, seorang ilmuwan bukanlah seorang nabi, pengetahuannya tidak diperoleh melalui wahyu melainkan melalui metode tertentu yang biasa disebut dengan metode ilmiah. Ilmu pengetahuan hanya sebatas persoalan tentang alam ini, bukan yang lainnya. Ilmu pengetahuan hanya mempelajari sifatsifat alam dan menggunakannya untuk kepentingan manusia. Ilmu pengetahuan bersifat teoritik dan operasional, didasarkan pada data dan argumentasi, agar dapat dibuktikan kebenarannya secara konkrit. Ilmu pengetahuan alam, khususnya fisika, sejauh ini tidak pernah membahas tentang Tuhan. Penjelasan bahwa alam berasal dari dalam dirinya sendiri, tanpa sebab-sebab yang lain, berdasarkan asumsi bahwa alam sebagai kenyataan yang ultima secara epistemologis. Dan hal ini tidak bisa disimpulkan begitu saja bahwa mereka (ilmuwan) tidak mengakui adanya Tuhan. Para ilmuwan hanya tidak harus menyebutkan tentang Tuhan dalam berbagai penjelasannya mengenai alam, karena dengan alam saja sudah dapat diperoleh gambaran yang cukup secara epistemologis. Tentu akan sangat sulit jika para ilmuwan harus memasukkan konsep-konsep ketuhanan dalam teori-teorinya, oleh karena terlebih dahulu harus menjelaskan tentang Tuhan, yang dalam hal ini tidak mungkin dilakukan oleh ilmuwan melalui metode ilmiahnya. Sejauh mana data-data yang diperolehnya, maka sejauh itu pula penjelasan yang di kemukakan para ilmuwan. Bahwa ilmuwan mengingkari adanya Tuhan adalah suatu kesimpulan yang dibuat oleh para agamawan bukan para ilmuwan an sich. Para agamawan menganggap bahwa ilmuwan mengingkari Tuhan. Bandingkan dengan keadaan senyatanya bahwa dengan 76
keilmuannya, seseorang tidak harus meninggalkan agama (Sudarminta, 2003). Dengan kata lain, dalam seorang yang berilmu dan beragama keduanya dapat menyatu. Bukti ini sangat jelas, dimana terdapat banyak orang beragama yang sekaligus ilmuwan. Sayangnya, pandangan bahwa ilmuwan mengingkari Tuhan oleh agamawan justru yang dipepulerkan dalam pendidikanpendidikan agama termasuk dalam perguruan tinggi. Hal ini menimbulkan dampak serius yang seolah-olah antara agama dan ilmu pengetahuan adalah dua hal yang bertentangan. Agama dianggap tidak cocok dengan ilmu pengetahuan, demikian sebaliknya. Sama seperti pertentangan agama dan ilmu pengetahuan mengulang peristiwa kasus Galileo pada abad ke-17 dan kasus Charles Darwin pada abad ke-19 (Barbour, 1966). Inilah sebetulnya isu yang tidak menguntungkan bahkan sangat merugikan bagi kedua belah pihak. Kebenaran ilmiah yang nyata-nyata menjadi penopang utama kehidupan modern, namun disia-siakan oleh agamawan. Hal inilah barangkali sebagian dari persoalan hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan alam yang perlu sesegera mungkin dipecahkan. Ilmuwan Tidak Berwenang Berbicara tentang Tuhan Ilmuwan melalui metode keilmuannya hanya mempelajari dunia, dan tidak memungkinkan sejauh ini mempelajari tentang Tuhan, karena metodenya belum diketemukan (Leahy, 1991). Sehingga, ilmuwan tidak mungkin pula menyimpulkan tentang Tuhan. Yang disimpulkan ilmuwan hanya tentang alam ini saja. Dalam posisi sebagai ilmuwan tidak dimungkinkan mengiyakan tentang adanya Tuhan atau pun sebaliknya menolak, karena metode ilmiah tidak memungkinkan untuk itu. Jika
Wilayah Epistemologis Agama Dan Ilmu Pengetahuan
terdapat seorang ilmuwan yang memberikan penjelasan bahwa Tuhan itu ada atau tidak ada, maka ia bertindak bukan atas dasar keilmuannya, bukan kesimpulan ilmiah, melainkan sekedar pendapat pribadinya. Metode ilmiah sejauh ini tidak bisa menjangkau penjelasan tentang Tuhan. Penjelasan tentang Tuhan diluar kemampuan dan kompetensi metodologis dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam tidak bermaksud menolak atau pun menerima penjelasan yang dilakukan oleh agama, melainkan sekedar menjelaskan alam berdasarkan metode yang dimilikinya. Seorang ilmuwan dapat saja sangat beriman tentang Tuhan melalui agama yang dianutnya, namun bukan dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan. Bahkan bisa terjadi ilmu pengetahuan justru menguatkan keimanan seseorang. Seorang ilmuwan yang menemui keajaiban-keajaiban alam yang dilihatnya melalui disiplin ilmunya bisa menjadi lebih beriman kepada Tuhan dengan perspektif yang lebih baru karena telah melihat rahasiarahasia alam yang akan sangat sulit dilihat oleh orang awam (Supeli, 2003). Melalui pembagian wilayah epistemologis dengan demikian maka menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam sebenarnya tidak bermaksud mencampuri urusan agama, termasuk pada saat melakukan penjelasan tentang alam. Ilmu alam hanya bermaksud mencari hukum-hukum yang bekerja pada alam. Kalaulah hukum-hukum tersebut dimaknai sebagai ‘kreasi Tuhan’ oleh para agamawan, secara epistemologis bukan merupakan persoalan ontologis bagi ilmuwan. Ilmuwan dilain pihak juga tidak pernah memaksakan teori-teorinya, tidak pula merasa paling tahu meskipun telah menemukan banyak pengetahuan tentang hukumhukum alam. Yang ilmuwan tahu dan sadari bahwa kebenaran yang ditemukan hanyalah
bersifat hipotetik, artinya sejauh belum ada penemunan lain yang menggugurkannya. Dalam setiap pengetahuan yang ditemukan terdapat lebih besar lagi misteri yang belum diungkapkan, oleh karena itu ilmuwan tidak pernah sekalipun berhenti untuk meneliti. Meneliti dan terus meneliti untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan, itulah pekerjaan setiap ilmuwan. Agamawan juga tidak seharusnya merasa paling tahu tentang kebenaran alam dan tentang Tuhan. Bisa jadi apa yang disampaikan ilmuwan hakikatnya sama dengan yang dikemukakan agamawan. Bagi manusia: alam dan Tuhan senantiasa merupakan misteri yang tidak bisa sepenuhnya terungkap, karena sekaligus hal ini menunjukkan keagungan-Nya, yang begitu jauh dari jangkauan manusia untuk memahaminya secara sempurna. Teori Evolusi vs Kreasionisme
Teori evolusi yang dikemukan Darwin dan para pengikutnya telah pernah sempat menggemparkan kalangan agama. Teori evolusi dituduh ateis, karena menolak penjelasan adanya campur tangan ‘Tuhan’ terhadap alam ini, sebagaimana keyakinan kalangan agamawan pada umumnya. Bagi agamawan: kehidupan dan alam seisinya ini bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Seandainya ada penjelasan tentang alam ini yang tanpa melibatkan Tuhan sebagaimana yang terjadi pada teori evolusi adalah suatu kesalahan yang sulit dimaafkan. Untuk menandingi teori ev olusi yang tidak bisa diterima karena dianggap ateis, sebagian agamawan bermaksud menggantinya dengan menawarkan “teori kreasionisme”, yang bersifat teistik dan menyejukkan hati. Teori kreasionisme ini berpangkal pada pandangan Thomas Aquinas
77
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
(1225-1274) yang dikenal dengan prinsip exnihilo yang berarti antara lain: dunia diciptakan bukan dari suatu bahan dasar, tetapi bergantung pada Allah, penciptaan oleh Allah tidak terbatas pada satu saat saja (Salam, 2000). Menurut teori kreasionisme ini, alam merupakan kreasi Tuhan. Tuhan selalu mencipta kapan dan dimanapun tidak pernah henti. Hanya Tuhan dan Tuhan yang berkuasa atas alam dan hidup ini, bukan yang lain, bukan alam itu sendiri. Baik teori evolusi maupun teori kreasionisme sebetulnya berpotensi ‘mengekang Tuhan’; Tuhan seolah-olah ‘dipaksa’ harus demikian adanya. Padahal, dalam kenyataan tidak sepenuhnya berisi keberaturan nan eksak, tidak pula sepenuhnya ketakberaturan nan misterius. Keberaturan yang belum terpahami akan tampak sebagai ketakberaturan. Eksak yang belum terungkap akan tampak sebagai misteri. Manakala ketakberaturan terungkap maka akan terlihatlah keberaturan, dan manakala misteri telah dibongkar akan terlihatlah sebagai sesuatu yang eksak. Tidak bisa diperoleh gambaran yang final tentang dunia, apalagi tentang Tuhan. Ada jarak yang jauh antara pengetahuan manusia dengan variasi terdalam yang terdapat pada setiap fenomena. Jika sebagian kecil hukum-hukum Tuhan yang bekerja pada dunia ini telah terpahami, atau ilmuwan menyebutnya sebagai hukum alam, bukan berarti itu sebuah jawaban final; karena hukumhukum tersebut masih dapat digugurkan jika ditemukan hukum baru yang lebih kuat. Hukum-hukum ilmiah pada saat tertentu akan nampak memiliki sejumlah kelemahan. Selalu masih ada berbagai hal yang harus diungkapkan lagi. Selamanya tidak akan dipahami sepenuhnya bagaimana alam ini. Dengan demikian, tidak dapat diketahui pula apa yang diperbuat Tuhan untuk alam dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. 78
Mau berbuat apalah Tuhan, itu adalah hak prerogratif Tuhan; akan menjadi salah kalau manusia membatasinya dengan teori-teori. Biarkanlah ilmu pengetahuan selamanya mencoba mempelajari alam di satu pihak, dan biarkan pula agama memaknai perbuatan Tuhan di pihak lain. Semuanya dalam satu kerangka bersama yaitu usaha mencoba mengungkapkan, bukan memastikan atas pengetahuan-pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui agama maupun melalui ilmu pengetahuan tidak akan pernah mutlak. Teori evolusi terbukti efektif untuk menjelaskan berbagai gejala alam tidak hanya di bidang Biologi, tetapi bidang lainnya, bahkan dalam bidang ilmu sosial. Teori evolusi adalah salah satu usaha mengungkap misteri alam, yang sejauh ini cukup teruji kebenarannya. Sejauh ini telah banyak perhitungan dan prediksi yang menggunakan prinsip dan dasar dari teori evolusi (Iskandar, 2003). Demikian sebaliknya, tidak perlu menolak teori kreasionisme, karena nyata pula misteri yang dianggap sebagai ‘cipta Tuhan’ tersebut selalu dijumpai, bahkan jelas dalam penjelasan keilmuan sekalipun terkadang tidak sepenuhnya dalam artian yang eksak. Teori evolusi yang mewakili pandangan ilmuwan, tidak perlu dipertentangkan dengan teori kreasionisme yang biasanya dianut agamawan. Semua berpadu sebagai realita cara pandang manusia tentang kehidupannya. Mempertentangkan keduanya sama halnya dengan ‘memenjara’ Tuhan dalam persepsipersepsi manusia. EPISTEMOLOGI KEILAHIAN DI LUAR AGAMA Sebenarnya semua orang mengakui adanya Tuhan, namun memahaminya secara berbeda-beda. Dalam filsafat: menolak
Wilayah Epistemologis Agama Dan Ilmu Pengetahuan
metafisika berarti juga suatu metafisika; analog dengan hal ini, penolakan adanya Tuhan adalah tetap merupakan pengakuan adanya Tuhan dalam suatu versi yang lain. Penolakan terhadap keberadaan Tuhan dapat disejajarkan dengan membuat penjelasan tersendiri tentang-Nya meskipun barangkali tanpa harus menyebutkan nama-Nya. Mengapa demikian? Tuhan sebagai yang ultima sangat mungkin memperoleh penjelasan berbeda-beda. Jika ada seseorang menyatakan: “saya tidak percaya adanya Tuhan, yang saya percayai hanyalah alam ini”; maka ia sebenarnya telah menuhankan alam ini, alam sebagai yang ultima. Orang yang tidak mempercayai Tuhan, hanya mempercayai bahwa hidup ini mengalir begitu saja, maka ia pun menuhankan hal itu, yakni hidup yang mengalir dipandang sebagai yang ultima. Jika ada seseorang mempercayai adanya Tuhan sang penguasa alam ini, maka ia jelas menuhankan “Sang penguasa alam ini” sebagai yang ultima. Dalam pemahaman melalui agama sekalipun, penjelasan tentang Tuhan tidak pernah gamblang, hanya seolah-olah saja terlihat gamblang. Perhatikan contoh-contoh berikut ini: a. Dari segi penyebutan: Tuhan dalam agama Islam disebut Allah, dalam agama Katholik/Kristen disebut Yesus, dalam Yahudi disebut Yahwe, dalam Hindu disebut Hyang Widi, dalam Taoisme disebut Tao dan seterusnya; apakah semua sebutan-sebutan tersebut hakikatnya berbeda? Kalau yang menciptakan alam ini adalah Tuhan, maka nama-nama Tuhan dalam berbagai agama tersebut hakikatnya tidak berbeda, karena sama-sama merujuk kepada sang Pencipta Alam. b. Penjelasan dalam agama tentang Tuhan dalam kaitannya dengan kejahatan. Jika dipertanyakan apakah Tuhan maha
c.
kuasa atas tiap-tiap sesuatu? Agamawan bisa menjawab “ya”, tetapi pada saat selanjutnya dipertanyakan: termasuk adanya kejahatan? Jawabnya biasanya “tidak”. Pertanyaannya, bagaimana kita memandang Tuhan maha kuasa sementara disisi lain kejahatan di luar kuasanya? Pe r t a n y a a n - p e r t a n y a a n s e p e r t i : Apakah Tuhan maha pencipta? Yang berarti sanggup menciptakan batu yang sangat besar sekali yang Tuhan sendiri tidak mampu mengangkatnya? Kalau jawabnya “ya”, berarti Tuhan maha pencipta, bisa menciptakan apa pun, tetapi memiliki kelemahan yakni tidak mampu mengangkat batu yang diciptakannya tersebut. Jika jawabnya “tidak”, maka Tuhan dalam hal ini berarti tidak maha pencipta karena tidak mampu menciptakan batu yang sangat besar sebagaimana dimaksud (Katsoff, 1992).
Dari contoh-contoh tersebut sama sekali tidak bermaksud menunjukkan kelemahan Tuhan, melainkan yang dimaksud adalah menunjukkan kelemahan manusia dalam memahami Tuhan. Karena kelemahan manusia, maka penjelasan tentang Tuhan selalu mengundang sejumlah pertanyaan, artinya penjelasannya tidak pernah benarbenar gamblang. Belum lagi, antara satu agama dengan yang lainnya terkadang memberi penjelasan sendiri yang berbedabeda antara satu dan lainnya: terdapatnya bermacam agama dalam dunia ini yang berarti terdapat bermacam penjelasan yang berbeda tentang Tuhan. Pertanyaannya: penjelasan manakah yang layak diikuti? Jawabnya hanya dengan iman masing-masing. Kalau seseorang dituntut har us memaknai Tuhan, bagaimana seharusnya orang tersebut memaknainya? Atas dasar
79
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
apa mempercayai suatu pemaknaan tertentu? Singkatnya, kalau di dunia ini misalkan ada tujuh agama (kenyataannya lebih), dan ketujuh agama tersebut sama-sama memberikan penjelasan tentang Tuhan. Dalam hal ini, jika mengikuti cara berpikir keilmuan, maka orang tidak dapat memilihnya karena semuanya tidak dapat diverifikasi. Namun, jika sebagai seorang penganut agama, maka perlu mengimani penjelasan yang ada dalam agama yang dianut tanpa harus memaksakannya kepada orang lain yang tidak menganutnya. Agama akan sangat membantu memenuhi kehausan manusia akan suatu misteri besar kehidupan yang tidak terjamah oleh ilmu pengetahuan. TUHAN DALAM PEMAHAMAN AKAL YANG TERBATAS Meski setiap orang mengakui adanya Tuhan, tetapi dapatkah memahamiNya? Kalau tidak dapat, lalu apa sebenarnya yang diakuinya itu? Hanya sekedar nama? Inilah permasalahan epistemologis dan sekaligus ontologis. Mengakui tidak identik dengan memahami (Soedarso, dkk, 2004). Pemahaman melalui agama sama-sama menggunakan penjelasan akal untuk mendukung pengakuan tentang Tuhan. Tetapi ternyata pemahaman tersebut memiliki kelemahan sebagaimana telah dikemukan dalam contoh-contoh dalam sub-bab sebelumnya. Perlukah pendekatan lain untuk memahami Tuhan? Menurut Krisnamurti akal tidak pernah menyelesaikan masalah justru akal itu sendiri sumber masalah (Bohn, 1986). Sifat akal hanya memecah-mecah dan membagi-bagi sesuatu, hanya efektif untuk sebagian penjelasan tentang alam, tetapi tidak untuk menjelaskan tentang Tuhan. Dengan demikian akal menjadi berhenti, dan mulailah wilayah ‘keimanan’.
80
Dalam keimanan akal tidak dapat berbuat banyak termasuk pada saat harus mempercayai bahwa: “Tuhan mampu memasukkan bumi ini ke dalam sebuah gelas!” (Ungkapan yang muncul dalam Sufisme). Itulah keimanan, pengakuan yang terdalam. Akal yang serba memecahbelah dan sumber konflik antar sesame, perlu ditanggalkan. Dalam keimanan yang demikian semua manusia berpadu dan tidak perlu berkonflik satu sama lain atas nama agama. SIMPULAN Ilmu pengetahuan tidak memasukkan unsur Tuhan dalam penjelasan-penjelasannya tentang alam karena diluar kompetensi metodologisnya. Adalah sangat sulit jika ilmu pengetahuan harus menjelaskan tentang Tuhan karena metode ilmiah untuk itu belum ada. Dalam hal ini ilmu pengetahuan pengetahuan tidak dapat disimpulkan menolak atau menerima konsep tentang Tuhan semata-mata karena diluar kewenangan epitemologisnya. Ilmu pengetahuan menjelaskan fenomena alam sejauh penelitian empiris yang ditempuhnya, diluar itu merupakan wilayah lain yang dalam ini sering merupakan wilayah agama dan filsafat. Baik ilmuwan maupun agamawan seharusnya menyadari bahwa pengetahuanpengetahuannya selalu memiliki kelemahan yang terus menerus perlu disempurnakan. Tuhan tidak memiliki kelemahan, akan tetapi pemahaman manusia akan Tuhan yang memiliki kelemahan. Menganggap telah sempurna pengetahuan akan Tuhan adalah mustahil, karena bahkan tentang alam ini saja manusia tidak pernah mencapai pengetahuan sempurna.
Wilayah Epistemologis Agama Dan Ilmu Pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Barbour, Ian G. 1966. Issues in Science and Religion, Prentice-Hall, Inc. Bohn, David. 1986. The Future of Humanity: Two dialogues between J. Krisnamurti / David Bohm, Krisnamurti Foundation Trust Ltd., London. Heriyanto, Husein. 2003. Pemetaan Hubungan Sains dan Agama dalam Perspektif Kemanusiaan, Makalah Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta. Iskandar, Djoko T. 2003. Evolusi: Dahulu dan Sekarang, Makalah Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta. Kattsoff, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat, terjemah dari Element of Philosophy oleh Soejono Soemargono, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Leahy, Louis. 1991. Esai Filsafat untuk Masa Kini: telaah masalah materi-roh berdasarkan data empiris baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Salam, Burhanuddin. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, PT Rineka Cipta, Jakarta. Soedarso, Heri Santoso. 2007. Filsafat Ilmu dan Etika, Penerbit Rasmedia, Yogyakarta. Sudarminta, Dr.j. 2003. Agama dan Kosmologi: Sama-sama Berkisah Tentang Keagungan Tuhan, Makalah Workshop ‘Agama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta. Supeli, Karlina. 2003. Kosmologi: Bercanda dengan Tuhan, Makalah Workshop ‘A gama dan Sains’ PPs UGM, Yogyakarta. 81
KONSEP ELING DALAM SERAT WULANG PUTRI Sri Ratnawati*
Abstract A Javanese language manuscript populary called the Serat Wulang Putri was specifically written for teaching the Javanese high class women. As widely assumed that the Javanese women with high social status are inherently attributed to the Javanessebased noble characters, including the self-consciousness as authentic Javanese women the so-colled Eling. In this view point, the term eling is genetically part of the world view Javanese people in general which has nowadays been eliminated among the contemporary Javanese wpmen. Therefore, it is required that research to revive the authenticity of wisdom among Javanese women as presented in text of Serat Wulang Putri be inevitably conducted, so that they can heritage it for their future and not to be eliminated from their own authentic cultural root. Keywords: women, education, morality
PENDAHULUAN Serat Wulang Putri merupakan sebuah manuskrip yang ditulis oleh Paku Buwono IV dalam bahasa dan aksara Jawa. Salah satu butir nilai yang diamanatkan adalah kata eling. Kata tersebut punya makna filosofis berdasarkan budaya Jawa. Orang Jawa dikenal dengan sikap “olah roso” dalam upaya membentuk kepribadian yang tangguh, berwibawa dan bermoral. Konsep tersebut berlaku baik bagi laki maupun perempuan yang punya keinginan untuk menjadi insan mulia. Peran sosial antara wanita dengan lakilaki di lingkungan budaya Jawa dibedakan secara signifikan. Perempuan ditempatkan dalam ranah domestik, yaitu perannya * Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, tlp 031-5035676
sebagai tiyang wingking (subordinat). Kondisi demikian tidak usah dipermasalahkan apalagi digugat, sebaliknya dipandang sebagai satu kehormatan. atau kemulyaan. Oleh karena perempuan punya peran penting sebagai character building generasi yang tangguh dan bermoral, ada pepatah mengatakan bahwa Wanita Sebagai Tiang Negara. Generasi muda menjadi tangguh tergantung bagaimana perempuan mencetak putra-putrinya. Jauh sebelum muncul teori gender yang mengatur soal peran laki-laki dan perempuan, Paku Buwono IV sudah terlebih dahulu merumuskan, kedudukan dan keberadaan perempuan dengan kosmologi Jawa, yaitu menempatkan posisi wanita secara terhormat, mulia tanpa harus meninggalkan kodratnya. Dengan pertimbangan wanitalah sebagai pendidik utama bagi putra-putri, dan wanita pulalah yang mengenalkan anak pertama kali
Konsep Eling Dalam Serat Wulang Putri
merasa, berpikir dan berbicara. Serat Wulang Putru (atau disingkat SWP) dibuat dengan tujuan untuk mencerdaskan wanita. Dengan cara belajar nembang itu sama halnya dengan belajar untuk tahu, memahami apa itu kodrat, peran sebagai perempuan. Mengingat perempuan punya fungsi ganda sebagai istri, ibu dan dirinya sendiri. Dualisme peran seperti itu bukalah hal yang mudah melainkan perlu dipelajari. Salah satu pembelajaran yang biasa dilakukan budaya Jawa adalah dengan cara nembang. Menembang merupakan salah satu sarana atau media pembelajaran bagi putraputri raja khususnya. Pendidikan selalu diarahkan pada kemasalahatan sang putraputri dengan tujuan positif, konstruktif, normatif. Agar nantinya mereka ini dapat menjelma menjadi sosok perempuan yang berakhalkulkarimah. Oleh karena itu PB IV sebagai orang tua dan sekaligus raja, punya kewajiban memberi pedoman hidup melalui eling. Kata tersebut punya kaitan dengan kesadaran eksistensi sebagai perempuan yang punya peran dwifungsi peran. Oleh karenanya, diperlukan adanya kesadaran akan dwifungsi peran yang pada dasarnya membutuhkan spirit guna menciptakan hidup seimbang lahir dan batin. Eling punya makna universal (lihat: Serat Wulangreh: 2002). Jika kemudian dalam SWP juga menyebut eling, tak lain karena konsep pemikiran tersebut punya makna general dan kiranya perlu juga dipahami oleh wanita, karena didalamnya memuat rumusan berupa kerangka norma dan pedoman hidup yang dikategorikan sebagai pengetahuan etik dan etika. SWP semacam sarana orientasi bagi para putri raja khususnya dan perempuan pada umumnya dalam usahanya untuk menjawab pertanyaan yang fundamental, yaitu bagaimana harus bertindak (Suseno, 1995:13). Para wanita diharapkan dapat membatin nilai-nilai
tersebut dengan cara dinamis sebagaimana hakikat budaya Jawa sendiri yang dinamis. Teks SWP merupakan kekayaan bangsa tiada harganya di masa lalu dan masa kini dan masa yang akan datang. Sekarang teks tersebut tersimpan dalam museum Sono Budaya Yogyakarta dengan nomor inventarisasi No. kol.:SK.20, tulisan tangan dalam aksara dan bahasa Jawa, bentuknya tembang. Teks diciptakan 4281 Caka yang bunyinya obahing para wanodya, esthining driya yang diterjemahkan tahun 1902 M. Seperti situasi sekarang ini, dengan makin gencarnya kritik terhadap peran dan kedudukan wanita yang lebih popular dengan istilah menggugat gender. Modernisme telah menjauhkan wanita dari akar budayanya, banyak kaum wanita yang berusaha menanggalkan nilai-nilai kultural yang dianggapnya sebagai penghambat karier. Akibatnya terjadi disorientasi, ini dapat diamati dari merebaknya perselingkuhan atau tindak kriminal yang dilakukan oleh wanita, maka kiranya perlu konsep eling perlu dimunculkan kembali. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penafsiran terhadap SWP perlu ditafsir ulang. Terlepas dari pro dan kontra, teks semacam itu memberi bekal etik dan pendidikan moral bagi wanita masa kini yang cenderung punya pandangan hidup prgmatis. Persoalan yang menyangkut “hak dan kewajiban” dijadikan issu ideologis. (Lori, 2000). FILOSOFI ELING Dalam budaya Jawa eling, merupakan satu aktivitas mengenal diri sendiri. Suatu aktivitas yang mangandalkan kekuatan pikiran yang dibarengi kekuatan batin. Dalam SWP kata-kata eling berkali-kali diucapkan mengiringi konteks wanita itu “…sabar mring panca kayaning / nganti tinampang sukur lan lila / legaweng tyas
83
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
wusing budi” (terjemahan bebasnya, sabar merupakan suatu kekayaan, bersyukur, rela dan legawa menciptakan keutamaan budi). Memang tidak mudah menjadi orang sabar ngalah, legawa, dan halus, diperlukan pemecahan dan pemikiran lebih arif dan lebih sejalan dengan makna spiritualitas yang mengharuskan orang beriman lebih bertaqwa dengan melakukan segala amal kebaikan. Bersikap sabar, legawa, halus, mengalah bukanlah sikap bawaan sejak lahir atau bukan tumbuh dari dalam diri, melainkan harus dilatih, membutuhkan proses terus menerus guna menumbuhkan kasih sayang kepada sesama. Bukan berarti menyerah, bersikap pasif menerima apa adanya, melainkan memasrahkan pada kehendak maha kuasa. Hidup sudah ada ketentuan, manusia tinggal menjalani dan berusaha. Sikap demikian selayaknya dimiliki setiap manusia, menahan diri menghadapi nafsu marah dari tindakantindakan negatif. Eling berangkat dari sebuah konsep kosmologi Jawa dalam upaya mengenal diri sendiri. Eling arti harfiahnya ingat, tahu, sadar, konsep tersebut dapat disejajarkan dengan ajaran Tao (jalan) dalam filsafat Cina atau eksistensi (tahu, sadar) dalam aliran Eksistensialisme. Konsep eling ditulis oleh seorang putra Jawa yang berusaha memberi jalan untuk mengenal diri sendiri, sadar akan eksistensi dirinya dalam melakukan sesuatu hendaknya eling, bahwa menjadi wanita harus mampu menjalankan peran di luar dirinya, seperti menjadi isteri, ibu dan peran sosial lainya. Realitasnya, menjalani peran yang demikian kompleks tidaklah mudah. Terlebih bagi wanita Jawa dari kalangan keraton, status sebagai anak raja harus ditampakkan dengan perilaku santun, intelek, berwibawa layaknya orang tuanya dan yang terpenting sanggup menguasai diri sendiri, karena sikap ini mempunyai kaitan logis dengan nilai keseimbangan, 84
keselarasan hidup dalam bermasyarakat. Berbekal pandangan kosmologi Jawa tersebut diharapkan wanita dapat menjalani peran secara ikhlas yang pada puncaknya akan menciptakan pola hidup harmoni baik untuk dirinya, suami dan keluarga dan masyarakat.. Secara konseptual eling dapat disejajarkan dengan kesadaran eksistensialisme dalam Filsafat Eksistensialisme, Taoisme dalam Filsafat Cina, yaitu menekankan penguasaaan terhadap diri sendiri dalam merespon sesuatu yang bermakna. Konsep penguasaan diri punya kaitan logis dengan nilai keseimbangan dalam arti orang sanggup menguasai dririnya sendiri akan sanggup menciptakan keseimbangan serta keselarasan hidup dengan masyarakat. Oleh karena itu manusia hendaknya selalu berusaha “eling” menguasai nafsu demi menciptakan keseimbangan batin, sehingga yang tampak dari luar adalah sikap halus, lemah lembut sebagaimana digariskan dengan jelas dalam SWP. Dalam teks di atas secara ekspilist dikemukakan konsep eling sebagai upaya meredam nafsu. Eling menyediakan suatu jalur atau jalan masuk yang bermanfaat untuk memahami diri sendiri. Eling memberi tempat berpijak di dalam diri kita sendiri. Dalam ajaran ini, tampaknya lebih ditekankan pada aspek kesadaran mental (kemampuan kognitif ) kematangan emosi, ketepatan sikap. Kematangan emosi, ketepatan sikap merupakan bagian dari aspek emosi (afektif ) yang erat kaitannya dengan aspek perilaku. Dalam segala tindakan harus menggambarkan alam sistem budaya, kognitif, psikologis dan sistem budaya Jawa. Istilah wanita yang katanya dari kata wani noto artinya berani ngatur (bukannya wani di toto: mau diatur). Dalam mengatur sesuatu atau memutuskan hal-hal penting, umumnya kaum wanita tidak mau menampakkan
Konsep Eling Dalam Serat Wulang Putri
dirinya, sebaliknya mereka ini lebih memilih di balik layar sesuai dengan spirit sepi ing pamrih karena mengggap tugas sebagai ibu rumah tangga adalah hal biasa dan itu sebuah konsekwensi hidup yang harus dilakukan oleh setiap wanita. Sebagai makhluk yang terakhir sebagai wanita, hendaknya diterima secara ikhlas, karena hal itu merupakan kekuasaan atau takdir (Wulangereh, 1986). Tahu akan asal usul dirinya (sejatining urip) sebagaimna dikemukakan bahwa “menjadi perempuan” termasuk suatu kepastian dari yang kuasa, karenanya jangan disesali atau dipertanyakan, semua itu sudah “angadhang takdiring widi” oleh karena itu harus dijalankan sesuai dengan syariat agama, moral. Seorang wanita haruslah cerdas, mau berpikir. Untuk menjadi wanita utama (baca:wanito utomo) memang dibutuhkan kecerdasan batiniah di samping kecerdasan intelektual. Kedua-duanya saling melengkapi. Hanya wanita-wanita yang eling yang dianggap cerdas, karena ia dapat menempatkan diri dimana saja dan kapan saja dengan ikhlas dan total tanpa harus berkonflik dengan dirinya sendiri. Hanya orang-orang yang punya kadar spiritualitas tinggi yang dapat menjalankan konsep tersebut dengan baik. Atas alasan itulah Paku Buwono IV mendahuluinya atau mendasarinya dengan pengetahuan spiritualis terlebih dahulu. Pengenalan dasar teologis diberikan sebagai usaha membentuk wanita yang memiliki keutamaan budi (wanita utama). Aspek moral keagamaan sudah ditanamkan sejak kecil. Dasar pendidikan dikembangkan, pertama tentang spirit hidup. Para putri raja diperkenalkan nilai teologis, seperti keberadaan Sang Hyang Widi, Hyang Murbeng, Hyang Sukma. Percaya adanya kekuasaan diluar dirinya bahwa sikap tindakan, ucapan, pengetahuan semuanya didasari atas nilai ketuhanan. Pengalaman keagamaan yang membawa
ajaran mencerahkan kesempitan ruang gerak perempuan. Memahami makna yang tersirat dalam eling tersebut berimplikasi pada pembangunan identitas pribadi melahirkan beberapa tingkat kesadaran tinggi, yang menurut istilah psikologi disebut the personal self (Gerungan, 2002), dalam teks SWP diwujudkan dengan saling tolong menolong, rukun dan menerima perbedaan. Kalaupun kecenderungan wanita memilih diam dan menghindari konflik, itu bukan berarti wanita itu pasif, pasrah melainkan strategi untuk bertahan (devensif ) demi menghindari percekcokan atau keributan. Mencipkan situasi menjadi harmoni lebih merupakan upaya penghalusan dan pendalaman rasa yang terus menerus. Jika dihubungan dengan butir nilai yang dalam SWP yang dianggap sebagai sumber segala nilai kewanitaan,seperti ungkapan berikut ini: “ Yen tinandak tanpa usul/asalaing nalar naluri/nalurining kang lakon/yen tinalar dalam luwih/winulya purbaning sukma/sukma dipun katitis”. Maksudnya, jika akan melakukan sesuatu haruslah dipikir atau dinalar, hal demikian jauh lebih baik. Terbukti dalam teks juga disebutkan bahwa wanita haruslah berpikir yang berarti wanita itu harus cerdas. Kecerdasan kognitif melainkan juga diimbangi dengan kecerdasan intuisi (rasa). Proses pendidikan yang menekankan pada kekuatan batiniah dan bersifat individual sejalan dengan pandangan kejawen, gerak diri harus mengalir dari luar ke bagian dalam, dari penguasaan yang lahir ke pengembangan yang batin yang berujung pada penampakan kepribadian yang peka terhadap situasi sosial (Simuh:2002) Terlebih seperti sekarang, zaman terus berkembang, segala nilai dalam sektor publik seperti ekonomi, pendidikan kerja, kekuasaan dan lain-lain terus berubah. Sedangkan dalam sektor domestik nilai-nilai yang ada hanya sedikit berubah. Akibatnya 85
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
banyak wanita modern seperti sekarang ini yang kehilangan orientasi hidup, mengejar nilai emansipasi barat yang dalam praktiknya justru menciptakan hidup tidak seimbang dan tidak harmoni. Ketidakseimbangan ini sekarang mulai digugat dengan motto “keadilan” hak antara pria dan wanita. Melihat kondisi demikian, kearifan kuno yang namanya eling perlu dipahami lebih dalam dikembangkan nilai-nilai yang dianggap positif dan masih relevan dengan situasi wanita masa kini. Kearifan kuno tentang wanita yang dikemukakan dalam teks tersebut di atas perlu dikaji kembali agar supaya wanita yang hidup masa kini dapat mengetahui dan menjadikan sebagai pedoman hidupnya sepanjang waktu. Hal inilah sebenarnya yang akhirnya dikenal sebagai peran ganda, yaitu sebagai ibu, sebagai istri sekaligus sebagai dirinya sendiri. faktor inilah yang membedakan peran antara perempuan dengan lakilaki. Maka dari itu tidak salah jika wanita ditekankan untuk wani noto (berani ngatur). Ungkapan tersebut mengandung makna filosofis yang positif. Disadari tidak mudah mengatur peran dan waktu bagi wanita. Untuk selalu menjadi wanita utama (baca wanito utomo) perlu secara terus menerus sadar atau ingat akan kodrat sekaligus peran sosial. Untuk itulah Paku Buwono menuliskan konsep eling. Konsep berbau filosofi tersebut lahir dari perenungan dan pikiran jernih dari seorang yang memiliki tingkat olah rasa dan olah pikir tingkat tinggi. Paku Buwono punya unsur tersebut dengan sempurna, sehingga ia mampu menciptakan SWP dengan estetis, sublimmasi sempurna. Eling punya makna universal (lihat: Serat Wulangreh: 2002). Jika kemudian dalam SWP juga menyebut eling, tak lain karena konsep pemikiran tersebut punya makna general dan kiranya perlu juga 86
dipahami oleh wanita, karena didalamnya memuat rumusan berupa kerangka norma dan pedoman hidup yang dikategorikan sebagai pengetahuan etik dan etika. SWP semacam sarana orientasi bagi para putri raja khususnya dan perempuan pada umumnya dalam usahanya untuk menjawab pertanyaan yang fundamental, yaitu bagaimana harus bertindak (Suseno, 1995:13). Para wanita diharapkan dapat membatin nilai-nilai tersebut dengan cara dinamis sebagaimana hakikat budaya Jawa sendiri yang dinamis. SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN Menurut Mardawarsito, (1989) kata “wulang” artinya mengajar atau mendidik. Sesuai dengan namanya Wulang Putri merupakan sebuah teks memuat tentang ajaran atau wejangan tentang etika dan moral dalam versi Jawa. Di dalamnya dijelaskan secara detil mengenai tahapan menuju kesempurnaan budi yang lebih dikenal dengan sebutan wanita utama (baca wanito utomo). Untuk itulah, Paku Buwono IV merumuskan nilai etika dan moral yang ditransformasi dari nilai kultur Jawa, salah satunya berupa konsep eling sebagai salah satu cara membentuk kepribadian putri atau wanita. Proses pendidikan terarah pada peningkatan penguasaan dan pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangan kepribadian wanita. Pengembangan diri tersebut dibutuhkan untuk menghadapi kehidupan nyata. Tidak dapat disangkal bahwa hidup setiap orang pastinya menghadapi problem dalam setiap langkah kehidupannya. Wanita Jawa diharapkan menampilkan kehalusan, kesucian, kecantikan (lihat Mulder, 1980 Cristina, 2004). Dimanapun wanita dalam bangsa dan adat mana pun, wanita selalu didambakan. Terlebih status sebagai wanita keraton
Konsep Eling Dalam Serat Wulang Putri
tentunya harus lebih mampu menampakkan citra sebagai wanita kalangan atas. Senantiasa mencitrakan kewibawaan layaknya orang tuanya. Mereka harus mampu menunjukkan sikap keutamaan budi, kehalusan perilaku, tutur kata, penampilan yang berbeda dengan putri rakyat kebanyakan. Salah satu pendidikan di lingkungan keraton pada umumnya meliputi kemampuan dalam bernyanyi yang dalam tradisi Jawa akrab dengan sebutan nembang. Putri raja atau wanita kalangan keraton di anjurkan untuk belajar nembang. Cara ini merupakan strategi agar dipandang sebagai wanita terpelajar di zamannya. Belajar nembang sekaligus sekaligus mencerap nilai pengetahuan yang ada di dalamnya, terkait dengan nilai etik dan etika moral. Metode belajar demikian memiliki sisi efektivitas, yaitu atas kesadarannya sendiri berusaha mewujudkan nilai moral tersebut dalam perilaku keseharianya. Corak pengajaran mengedepankan tata lingkungan nilai yang merupakan tata kehidupan nilai, baik nilai kemasyrakatan, sosial keagamaan yang hidup dianut akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap proses dan hasil pendidikan. Adapun tujuannya diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, yaitu tujuan pendidikan. Tujuan ini bisa menyangkut kepentingan sang putri maupun kepentingan raja, atau keduanya. Adanya teks SWP membantu para putri dalam mengembangkan diri, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya. Kalau dahulu SWP dibuat untuk kepentingan kerajaan dan sekarang kerajaan tidak ada lagi, bukan berarti kandungan filosofis dan moral yang terangkum dalam SWP tidak bermanfaat. Sebaliknya masa-masa sekarang ini kiranya perlu kaum wanita membaca ulang atau menafsir ulang teks tersebut di atas. Berhubung kandungan nilainya
masih relevan sampai saat ini. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman rasa (intuisi) dan kesadaran diri. Kata lakuning ati lebih menekankan pada eling bukan satu-satunya konsep nilai yang ada dalam SWP melainkan berkaitan dengan konsep nilai lainya seperti sabar, halus, legawa, ikhlas yang secara budaya dikontruksi untuk wanita. Jika eling mendapat prioritas dalam penulisan ini dengan pertimbangan, eling dapat dianggap semacam pintu gerbang menuju pemahaman hidup yang lebih luas, dalam membangun kepribadian menjadi wanita utama. Wanita Jawa khususnya wanita keraton dituntut berpenampilan halus mencitrakan kewibawaan ayahandanya yang seorang raja. Untuk bersikap demikian sejak dini sudah diingatkan atau disadarkan (eling) akan siapa dirinya, dan asal usul keluarganya melalui ajaran eling tersebut. maningsira angandhepi ing raba ibu ta nini tegese sira nucekna iya sariranireki dene dennya nglakoni eneng eninga ing kalbu awas eling supaya sirna nepsu ta nini anganak ana sih kalwan amirah
Terjemahan bebasnya: apabila engkau menghadap ibumu yaitu harus menyucikan jawa raga dengan menjalani keheningan hati dengan selalu eling, waspada supaya napsu hilang dan membangun kaasih sayang
Praktik pengajaran yang terdapat dalam SWP mencerminkan tradisi mistisisme. Maksudnya, pengajaran diarahkan pada perenungan untuk mendapatkan pencerahan batin. Biasanya melakukan dengan doa, olah rasa, sikap pasarah untuk mengikatkan pada Tuhan. Oleh karena itu bersifat perenungan, maka motif ajarannya dipaparkan lebih bersifat mengetahui dibandingkan pada 87
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
pengetahuan semata. Proses pendidikan Mardiwarsito. 1989. Kamus Jawa KunaIndonesia, Ende Flores: Penerbit Nusa demikian sengaja dipilih, karena berdasarkan Indah. pengalaman orang tuanya yang juga adalah turunan raja yang dalam tradisinya lebih Muyono, Sri. 1989. Simbolisme dan banyak pelaksanakan tapa brata. Mistikisme Dalam Wayang, Jakarta. Masagung SIMPULAN Mulder, Niels. 1980. “Holy Mother, Mother Dari ajaran Paku Buwono IV yang Dear” Basis, Edisi ke-39. tertuang dalam SWP patut direnungkan kembali, mana yang sudah dimakan zaman Simuh, 2002. Sufisme Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya. dan mana yang masih relevan hingga atau untuk sekarang. Pada masa SWP diciptakan Suseno, Magnis Franz,. 1999. Etika Jawa. pada abad ini, maka ajaran moralnya Jakarta: Pustaka Utama disesuaikan dengan dan situasi di masa ___________, 1989. Etika Dasar. itu. Ketika teks tersebut dibaca sekarang, Yogyakarta: Kanisius maka nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya dibaca dengan cara pandang Serat Jayengsastra Anggitan dalam Kanjeng Ratu Kencana Garwa Dalem Ing sekarang. Filosofi yang diwariskan kepada S i n u h u n K a n j e n g Su s u h u n a n wanita sejak zaman dahulu hingga kini sedikit Pakubuwono Kasambetaken dados ataupun banyak telah mengalami pergeseran ”Wulang Putri” atau sebagaimana perubahan sebagaimana berubahnya sistem politik, social ekonomi termasuk perubahan pemahaman akan nilai-nilai keagamaan, moral dan hubungan individu.
DAFTAR PUSTAKA
Gerungan, 2002. Psikologi Sosial, Bandung, Penerbit Rafika. Harsono, Andi, 2005. Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, Yogyakarta: Pura Pustaka. Handayani, Christina dkk. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Jogyakarta: LkiS. Handaran. Lori M. 2000. ”Teori Gender Menggugat Feminisme Ideologi” Gerbang Vol.06 no. 08
18
MARGINALISASI WANITA MADURA: IMPLIKASI PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI DESA BANYUWULU (SEBUAH PARADIGMA ETNOSAINS) Eni Sugiarti*
Abstract Marginalization of Madura women related to the failure of the Family Planning Program in Banyuwulu village. This failure is not a solely mistaken of the Family Planning Program. From the aspect of ethno science this failure is because of the differences viewpoint between government and society about that program. This successful and failure of the program is related to social culture. Keywords: marginalization, family planning program, ethno science.
PENDAHULUAN Berawal dari sebuah pengalaman hidup penulis ditengah-tengah “masyarakat Madura“ atau orang–orang Madura yang ada di wilayah Banyu Wuluh kecamatan Waringin Bondowoso, Jawa Timur. Berangkat dari adanya adanya kejadian penolakan masyarakat Banyuwulu untuk mengikuti program Keluarga Berencana. Menurut penuturan bidan desa di Banyuwulu problem ini sudah lama berlangsung dan belum mendapat solusinya. Permasalahan Keluarga Berencana untuk beberapa hal merupakan hal yang sudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum apalagi pada masa orde baru yang sangat gencar mensukseskan program Keluarga Berencana. Fenomena * Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 031-5035676
sosial yang dihadapi penulis sangat menarik untuk dikaji dengan menggunakan teori dan konsep kebudayaan. Dalam penelitian ini kegagalan program Keluarga berencana berhubungan dengan adanya proses marginalisasi wanita Madura yang dalam beberapa hal mereka sebagai kelompok masyarakat yang termajinalisasi secara social. Implikasinya adalah adanya perbedaan hak dan kewajiban yang terbentuk secara social. Proses marginalisasi wanita Madura membentuk adanya pola-pola social yang termanifestasikan dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita menengok di wilayahwilayah Madura dan juga wilayah lain yang mayoritas pendudukanya berasal dari etnis Madura seperti di Bondowoso, Situbondo dan lainnya program Keluarga Berencana
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
banyak mengalami hambatan kalau tidak dikatakan mengalami kegagalan. Kegagalan ini tidak semata-mata karena program ini tidak menyentuh daerah-derah “pedalaman”, wilayah yang sulit untuk dijangkau, belum masuknya program ini ditengah-tengah masyarakat, ataupun kurangnnya tenaga kader yang menangani program di desa-desa tersebut. Ketidakmampuan secara ekonomi untuk ikut sebagai peserta program keluarga Berencana rupanya bukan sebagai satu faktor penyebab dari kegagalan ini, hal ini tidak relevan dengan kenyataan dilapangan dimana program kerluarga Berencana tersebut tidak dipungut biaya, kalaupun ada biaya yang harus dibayar misalnya untuk ikut program KB spiral seorang ibu akan mendapatkan suplai dana dari desa. Dari sudut yang berbeda penulis mencoba untuk melihat permasalahan yang ada di Banyuwulu dengan menggunakan pendekatan etnosains. Tulisan ini akan mencoba menyoroti permasalahan Keluarga Berencana di Banyuwulu dari sudut etnoekologi, dengan dua bagian pokok kajian yaitu bagaimana kondisi social masyarakat Banyuwulu yang akan dikaitkan dengan munculnya perpektif terhadap program Keluarga Berencana terutama dengan adanya proses marginalisasai wanita madura. Tulisan ini dimaksudkan memberikan suatu gambaran yang berbeda dalam mensikapi terhadap suatu problematika social yang berkembang dalam suatu masyarakat dengan lebih mendekatkan pada permasalahan pemahaman terhadap pengetahuan dan prinsip-prinsip, aturan, norma, yang secara sadar atau tidak yang ada didalam sebuah struktur social masyarakat yang akan mempengaruhi terhadap munculnya pola-pola sikap dan tingkah laku dalam menerima atau menolak suatu fenomena. Dengan demikian tujuan dari tulisan ini memberikan suatu gambaran tentang sudut 90
suatu suku atau sekelompok masayarakat dalam hal ini masyarakat Desa Banyu wulu terhadap program Keluarga Berencana dengan menghubungkan pada adanya polapola di dalam masyarkat desa tersebut yang membangun tatananan social dalam bentuk marginalisasi terhadap wanita-wanita yang ada di desa tersebut. Etnosains berasal dari kata ethnos dalam bahasa Yunani yang berarti bangsa dan kata scienta berasal dari bahasa Latin yang berarti pengetahuan (Heddy, 2005: 30). Menurut Heddy Shri Ahimsa Putra yang merujuk pada pendapat Sturtevart (1991) bahwa etnisains kurang lebih berarti pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa atau lebih atau lebih tepatnya lagi satu suku bangsa atau kelompok social tertentu. Dalam penjelasannya Sturtevart mendefinisikan etnosains sebagai “ system of knwolegde and cognitions of a given culture”Sturtevart menekankan pada system dan perangkat pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat,karena berbeda dengan pengetahuan masyarakat yang lain (Heddy, 2005: 30). Lebih lanjut Heddy mejelaskan bahwa sebagai sebuah kajian antropologi,paradigma etnosains berujuan untuk mengetahui paling tidak ada tiga pusat kajian yaitu pertama, etnosains memusatkan perhatian pada kebudayaan yang didefinisikan sebagai the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi social yang dihadapi. Penelitian etnosains dalam kajian ini bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi yang dianggap penting oleh suatu kebudayaan dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam system pengetahuan mereka.apabila gejala-gejaal materi dapat diketahui maka akan dapat terungkap berbagai prinsip yang
Marginalisasi Wanita Madura: Implikasi Program Keluarga Berencana di Desa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains)
mereka gunakan untuk memahami suatu lingkungan dan situasi yang dihadapi, yang menjadi landasan bagi tingkah laku mereka disadur dari Tyler (Heddy, 2005: 32). Frake lebih lajut menyebutkan bahwa pada asetiap masyarakat, suku bangsa atau kelompok social tertentu pada dasarnya membuat klasifikasi yang berbeda atas lingkungan yang sama. Dengan mengetahui klasifikasi dan pengkatagorian dari berbagai macam gejala social dalam lingkungan ini akan dapat diketahui juga peta kognitif dunia dari suatu masyarakat tertentu (Frake dalam Haddy, 2005: 32). Dalam kajian ini peneliti berusaha mengungkap struktur-struktur yang digunakan untuk mengklasifikasi lingkungan, baik fisik maupun social. Kajian yang kedua, mengarahkan pada kajian yang lebih difokuskan pada kebudayaan sebagai “whatever it is one has to know or believe in order to operete in a manner acceptable to its members”, atau halhal yang harus diketahui oleh seseorang agar dia dapat mewujudkan perilaku atau melakukan sesuatu dengan cara yang dapat diterima oleh pendukung kebudayaan tersebut. Kajian budaya difokuskan pada cara-cara, aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai yang membolehkan atau sebaliknya yang melarang, serta mengarahkan atau menunjukan suatu hal. Kajian ketiga memuasatkan pada perhatian kebudayaan sebagai “a set of principles for creating dramas, for writing scripts, and of course, for recruiting player and audiences” atau seperangkat prinsip-prinsip untuk menciptakan, membangun peristiwa, untuk mengumpulkan individu-individu atau orang banyak. Dalam kajian ini penelitian akan difokuskan pada prinsip-prinsip yang mendasari berbagai macam kegiatan dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya untuk memahami struktur yang tidak disadari dan berada pada tataran nirsadar namun
mempengaruhi atau menentukan perwujudan perilaku dan tindakan sehari-hari. Etnosains bertujuan untuk mendeskripsikan, melukiskan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, suku bangsa atau kelompok social tertentu mengenai salah satu bagian atau unsure dari lingkungnnya. Perbedaaan gender (gender differences) yang dinyatakan oleh Ann Oakley dalam buku Sex, Gender and Society bahwa gender differences manusia antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Terjadinya perbedaan gender melalui saluran-saluran sosial dan kultural yang ada di dalam masyarakat. Perbedaan gender menjadi masalah saat salah satu pihak baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari ketidakadilan karena perbedaan jenis kelamin ini. Perbedaan gender bukan mengacu pada adanya perbedaan sexual dalam arti pebedaan kodrati sebagi lakilaki dan perempuan. Perbedaan gender yang mengakibatkan adanya ketidakadilan diakibatkan karena perbedaan perilaku (behavioral differnces) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang diciptakan oleh oleh manusia melalui proses sosial dan kultural (Fakih, 2001: 71). Feminitas dan makulinitas merupakan bentuk sosial-budaya yang sama sekali bukan bawaan yang tidak dapat berubah dari waktu ke waktu, dari sebuah tempat ke tempat lain. Masalah feminitas dan maskulinitas akan mengikuti perkembangan penciptaan makna dari simbol maskulin dan feminim. Adanya subordinasi yang dilekatkan pada diri seorang wanita menyebabkan perempuan membentuk kelompok-kelompok yang lemah. Subordinasi ini menyebabkan posisi wanita menjadi “ seolah-olah “ tidak penting dan perlu adanya penolong. Hal inilah yang seringkali menggiring wanita-wanita pada posisi-yang terpinggirkan dan dikatakan 91
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
sebagi posisi yang secara sosial dirugikan. Wanita-wanita diposisikan sebagai kelompok yang tidak penting dan akan mengakibatkan marginalisasi peran seorang wanita dalam aspek-aspek kehidupannya. Marginalisasi merupakan proses pemiskinan. Dalam pengertian disini proses marginalisasi sosial yang tidak hanya mengacu pada pemiskinan secara ekonomi tetapi dalam pengertian sebagai pemiskinan dalam arti yang lebih luas menyangkut masalah pemiskinan secara sosial, ekonomi, politik dan peran budaya. Menurut Mansour Fakih, proses marginalisasi merupakan proses eksploitasi dalam bentuk pemiskinan atas jenis kelamin yang bersumber dari kebijakan pemerintah, tafsir agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi-asumsi dari ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Fakih menggambarkan bentuk-bentuk marginalisasi terjadi dalam bentuk eksploitasi, pemiskinan,atau bentuk keterpinggiran lainnya (Fakih, 1997. hlm. 14 -15). Pemusatan pada kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada peran laki-laki (androcentris) dan wanita sebagai second sex merupakan sebuah penggambaran adanya perilaku sosial masyarakat yang secara sadar maupun tidak telah melakukan pengekploitasian dengan mengurangi peran yang sesungguhnya tanpa adanya pengakuan peran yang dijalankan oleh seorang perempuan. Marginalisasi menjadi hal yang dianggap wajar dalam sebuah masyarakat (Kuntowijoyo, 2003:91-113). Berkaitan dengan masalah marginalisasi perempuan menurut Nunuk P. Murniati menyatakan bahwa sistem patriarkhi memberikan kecenderungan yang besar untuk terjadinya marginalisasi yang dialami perempuan. Seorang perempuan kan ditempatkan pada area pelayanan domestik rumah tangga dan adanya kodrat wanita untuk mengandung, melahirkan dan menyusui sehingga seorang wanita akan lebih 92
baik ditempatkan pada posisi yang stabil di dalam rumah (Murniati, 2005: 54). Hal senada dengan dikatakan oleh Murniati tentang marginalisasi perempuan di kemukakan oleh Kuntjooroningrat bahwa proses marginalisasi perempuan dapat dilakukan dan dapat terjadi di dalam wilayah keluarga, rumah tangga atau dalam bentuk jaringan-jaringan sosial yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam sistem organisasi sosial yang berkembang. (Kuntjoroningrat, 1998: 54). Marginalisasi yang terjadi pada para perempuan dalam sebuah jaringan-jaringan sosial dimana ketidakadilan tersosialisasi secara mantap dapa kaum laki-laki dan perempuan yang pada akhirnya perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa peran gender itu sebagai kodrat, dan akan tercipta struktur dan sistem ketidakadilan gender yang “diterima “ dan sudah tidak lagi dapat dirasakan ada sesuatu yang salah. Wanita pada sistem patriarkhi ditempatkan sebagai objek oleh laki-laki. Dengan demikian dari banyak kasus tentang marginalisasi, posisi wanita selalu menjadi objek dari proses marginalisasi yang ada di dalam sebuah masyarakat (Engineer, 2005: 97). Dominasi kekuasaan dan kekuatan laki-laki atas perempuan terjadi dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek-aspek lainnya. Dominasi laki-laki terhadap perempuan merupakan suatu hal yang mengakar kuat pada sistem patriarkhi yang berkembang pada sebuah masyarakat (Muhadjir, 2001: 251-252). Hubungan antara sistem patriarkhi dengan permasalahan perbedaan gender (gender differences) dikemukakan oleh Kamla Bashin yang menyatakan bahwa permasalahan perbedaaan jenis kelamin dalam sebuah sistem kekerabatan akan membawa konsekuensi pada munculnya perbedaan-perbedaan jenis hak dan kewajiban yang akan diterima
Marginalisasi Wanita Madura: Implikasi Program Keluarga Berencana di Desa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains)
dan dibebankan pada masing-masing jenis kelamin (Bashin, 2003:3) Masalah analisis gender dalam tafsir agama menjadi suatu hal yang perlu dikaji dengan baik. Menurut Fakih ada kecederung dalam menafsirkan suatu ketidakadilan akibat gender dipengaruhi oleh pandanganpandangan yang ada di dalam sistem patriarkhi sehingga menghasilkan suatu penafsiran tentang agama yang menempatkan dalam perspektif patriakhi juga sebagai contoh Tuhan “ seolah-olah “ sebagai sosok laki-laki (Fakih, 2001: 129-130). Masri Singarimbun dalam tulisannya yang berjudul Keluarga Berencana Indonesia sampai Abad XXI: Beberapa Aspek Progrm dan Sosial Budaya menyinggung mengenai tumbuh dan berkembangnya program Keluarga Berencana dan mengapa program ini pada mulannya lebih ditujukan di daerah Jawa dan Madura. Masri juga memaparkan mulai dari munculnya program ini dan tujuan yangingin dicapai oleh pemerintah yaitu adanya penekanan angka kelahiran. Beberapa kalangan masyarakat mempunyai pendapatnya dan mensikapi keberadaaan program ini. Bagaimana perpektif masyarakat yang bermacam-macam muncul dan bagaimana usaha pemerintah dalam hal memberikan penjelasan tentang program ini. Disamping itu pemerintah menjadikan program Keluarga Berencana sebagai salah satu program Pelita I 1969/70 – 1974/75 (Masri, 1988: 3). Dalam sebuah makalah Masri Singarimbun yang berjudul Keluarga Berencana menjelaskan mengenai keragaman yang besar dalam program ini di negara-negara seperti Cina,Amerika utara, Jerman, Hongaria, Indonesia dengan memberikan suatu perbandingan yang dihubungkan dengan program pemerintah dan juga permasalahan perspektif masyarakat terhadap program ini. Dibeberapa Negara yang dikemukakan Masri
melihat adanya keberhasilan yang dicapai oleh pemerintah Indonesia terhadap program Keluarga Berencana, dengan mengedepankan peranan pemerintah dan juga adanya kemapanan struktur masyarakat yang sudah terbentuk sebelumnya serta pemanfaatan secara maksimal struktuk ke bawah dalam masyarakat (Masri, 1990:1-7). Salah satu hasil penelitian dari Proyek Penelitian Madura Depdikbud yang bekerjasama dengan Belanda tentang program Keluarga Berencana dan Kesehatan di Pulau Madura menyimpulkan bahwa program keluarga Berencana yang ada di Madura pada tahub 1977 masih memerlukan adanya penanganan yang serius hal tidak sematamata pada permasalahan Materi dari program tersebut adadalam penelitian tersebut dapat memmetakan adanya beberapa factor yang berkaitan dengan kegagalan dan keberhasilan dari program keluarga Berencana di Madura. Namun demikian dalam hasil penelitian ini kurang menyoroti bagaimana perpektif masyarakat dalam konteks sebagai masyarakat budaya yang akan memberikan perspektif terhadap program Keluarga berencana, sehingga tulisan ini kurang melihat pemahaman masyarkat dalam konteks budaya sehingga factor pendukung dan penghambat dalam program ini seperti sebuah hal yang bersifat kausalitas saja dan kurang memberikan dapat mendeskriptifkan dalam perpsektif budaya masyarakat. KONDISI LINGKUNGAN DI DESA BANYUWULU Desa Banyuwulu berada di perbukitan, merupakan jalan alternative untuk dapat mencapai Situbondo dengan membelah perbukitan yang cukup terjal. Secara geopolitik wilayah desa Banyuwulu berada di wilayah Bondowoso, mamun secara etnisitas penduduk yang menempati mereka adalah
93
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
berasal dari etnis Madura dan mempunyai ikatan cultural yang sangat kuat dengan kultur madura. Kondisi alam di banyu wulu secara geografis kurang menguntungkan karena wilayahnya yang berada dipuncak bukit. Sarana transportasi dan sarana komunikasi masih kurang memadai. Hal ini akan terlihat sangat perah pada saat musim kemarau. Tanah yang bergununggunung dengan struktur tanah yang mudah longsor dan bercampur batu menyebabkan tanah tidak produktif sebagai lahan pertanian. Masyarakat lebih memilih tanaman ladang dan tanaman yang cocok untuk tegalan seperti ketela pohon, dan jagung. Pada wilayah-wilayah tertentu saja terutama yang dekat dengan sumber mata air akan ditanami tembakau. Sumber airpun sangat minim. Masyarakat mengandalkan kebutuhan air pada mata air sumber yang alirannya akan mengecil pada saat musim kemarau. Pemukiman di daerah menyebar dengan membentuk kelompok-kelompok kecil seperti pola pemukiaman beji pada masyarakat Madura. Kelompok-kelompok pemukiman menyebar yang biasanya akan membentuk kesatuan hidup berdasarkan pada ikatan kekerabatan yang berasal dari oreng dalam (saudara dengan ikatan kekeluargaan yang masih dekat dan ada hubungan darah)dan oreng loar (ikatan persaudaraan yang tidak ada hubungan darah secara langsung. Pola-pola pemukiaman semacam ini sangat lazim di daerah Banyuwulu. Pola pemukiman di wilayah Banyuwulu secara umum terbagi menjadi dua yaitu pola kampong Meji dan pola Taneyan Lanjang. Teritori sebuah desa di Madura terdiri dari beberapa subdesa, yang terdiri dari beberapa kampong meji dan kampong meji terdiri dari beberapa keluarga. Desa-desa di Madura tinggal dalam kelompok-kelompok yang masing-masing kelompok biasanya masih ada hubungan kekeluargaan. Kelompok94
kelompok pemukiman dalam sebuah desa antara satu dengan yang lainya saling terisolasi. Dengan pola pemukiman yang demikian inilah maka ikatan solidaritas desa (sense of community) di Banyu Wulu cenderung rendah dan sangat longgar. Ikatan solidaritas sosial akan sangat kuat pada kelompok-kelompok tempat tinggal yang terdiri dari beberapa keluarga yang masih ada hubungan genealogis. Kampong Meji biasanya terdiri dari empat sampai delapan rumah. Rumah-rumah ini akan menghadap ke selatan. Deretan rumah-rumah dengan lahan yang sempit akan dibangun dengan formasi melingkar. Adanya solidaritas yang sangat kuat dalam kampong meji merupakan suatu bentuk kontrol sosial yang baik dalam sebuah kelompok masyarakat dimana anggota satu anggota keluarga akan menjadi pengontrol bagi anggota yang lain. Sebagai contoh pada saat terjadi perseteruan individu dengan kelompok yang lain maka akan dimaknai sebagai perseteruan antar kelompok kampong meji. Pola pemukiman yang lain yang dikenal masyarakat Maadura adalah pola taneyan lanjang. Taneyan lanjang merupakan satu unit sosial di Madura. Taneyan lanjang termasuk pekarangan besar dengan rumah-rumah yang dibuat berjajar dalam satu pekarangan yang memanjang. Kelompok-kelompok yang tinggal di taneyan lanjang adalah berasal dari satu kelompok geneologis, pasangan yang sudah menikah akan diharuskan untuk tinggal taneyan lanjang bersama dengan orang tua pihak perempuan dalam satu rumah yang khusus dibangun untuk anakanak mereka. Taneyan lanjang akan dibangun oleh keluarga-keluarga yang mempunyai keturunan yang banyak dengan jenis kelamin perempuan. Sistem pola tempat tinggal taneyan lanjang mencerminkan kombinasi antara uxorilokal dan matrilokal atau uxorimatrilokal artinya
Marginalisasi Wanita Madura: Implikasi Program Keluarga Berencana di Desa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains)
anak perempuan yang suah menikah akan tetap tinggal di pekarangan orang tuanya sementara anak laki-laki yang sudah menikah akan tinggal di pekarangan orang tua pihak istri atau mertua (Latif, 2002: 42). Selain pertimbangan banyaknya anak perempuan dalam satu keturunan, pola taneyan lanjang hanya dibangun oleh keluarga-keluarga yang mempunyai kemampuan secara ekonomis. Biasanya dalam satu taneyan lanjang terdiri lebih dari empat rumah dan tidak melebihi dari delapan rumah namun dalam beberapa taneyan lanjang ada yang lebih dari delapan rumah. Kelompok rumah-rumah yang ada di dalam sebuah taneyan lanjang akan dibangun memanjang dari barat ke timur. Rumah rumah tersebut menghadap ke arah selatan seperti layaknya rumah-rumah di kampong meji. Penempatan rumah huni diurutkan menurut kelahiran, jadi seorang anak perempuan yang paling tua akan menempati rumah yang paling barat, sedangkan anak perempuan yang paling muda akan menempati rumah yang paling timur. Hal itu juga mengandung nilai filosofis bahwa arah barat adalah terbenamnya matahari atau berakhirnya satu rotasi kehidupan, sehingga anak yang paling tua juga diletakkan pada posisi yang paling barat. Pola pemukiman taneyan lanjang di wilayah tidak banyak dijumpai hanya beberapa seperti taneyan lanjang yang dimiliki oleh kepala desa Banyuwulu dan beberapa keluarga yang mampu di desa Banyuwulu. KEDUDUKAN WANITA DI BANYU WULUH: KONSTRUKSI SISTEM SOSIAL DAN AGAMA Peranan dan kedudukan wanita dalam kebudayaan yang berkembang di masyarakat Indonesia cenderung berpotensi untuk diperlakukan secara tidak adil. Masyarakt
Indonesia yang mempunyai kecenderungan pada sistem patriarkhi menempatkan posisi wanita pada posisi di bawah kekuasaan lakilaki. Sistem patriarkhi memberikan andil yang besar terjadi adanya peminggiran peran wanita-wanita yang ada dalam masyarakat Sistem patriarkhi secara umum menempatkan kedudukan wanita yang identik dengan hal-hal yang bersifat pelayanan domestik dan seorang wanita identik dengan segala hal yang bersifat feminim. Seorang wanita menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Perempuan mengelola, mejaga dan memelihara kerapian, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggungjawab dan terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Seorang wanita harus menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, mengatur rumah tangga dan juga tanggung jawab mendidik dan membesarkan anak. Beban itu akan semakin besar apabila seorang wanita juga bekerja di luar rumah. Sebaliknya seorang laki-laki ditempatkan di atas wanita sebagai titik lawan dari peran wanita. Laki-laki pada posisi publik, maskulin, dan sebagai penentu kebijakan baik dalam rumah tangga maupun dalam lingkungan sosial masyarakat. Laki-laki tidak dibebani oleh tanggung jawab domestik, dan di beberapa tradisi masyarakat laki-laki dilarang untuk terlibat dalam pekerjaan domestik. Konsekuensi dari adanya penerapan sistem ini, di dalam masyarakat Madura interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan yang ada digiring pada hubungan sosial yang dominasi oleh laki-laki dan wanita berada di bawah kekuasaan laki-laki. Dominasi laki-laki Madura terhadap wanita-wanita Madura terjadi di dalam keluarga inti (nuclear family) maupun di dalam bentuk hubungan sosial masyarakat 95
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
yang lebih luas. Dominasi dan peranan pokok dalam kehidupan masyarakat Madura menjadi laki-laki sebuah kekuatan kekuasaan penentu kebijakan domestic dalam keluarga maupun kebijakan publik dalam masyarakat. Wanita-wanita Madura dalam struktur masyarakat dikondisikan pada posisi domestik sekitar dapur dan mengurus anak dan pelayan keluarga. Sebaliknya laki-laki Madura berada di depan dan menguasai peranan publik yang banyak berhubungan dengan dunia luar dan penentu kebijakan, dunia luar seakan-akan menjadi wilayah maskulin dari masyarakat Madura. Seorang laki-laki Madura akan menempatkan diri sebagai pelindung dan penjaga martabat wanita-wanita yang ada di bawah “ kekuasaannya”.. Sistem dan struktur masyarakat Madura mengkondisikan wanita-wanitannya mempunyai hubungan ketergantungan yang besar terhadap lakilaki. Wanita dikondisi dalam struktur sosial dalam posisi yang lemah, sedang laki-laki sebaliknya. Sistem sosial masyarakat yang ada di Madura akan berkaitan erat dengan munculnya konsep harga diri yang sedemikian besar pada diri seorang laki-laki Madura terlihat dari adanya sikap proteksi yang demikian ketat terhadap wanita-wanita Madura. Proteksi yang kuat pada wanita-wanita Madura seringkali dirasakan sebagai suatu bentuk ketertindasan hak wanita-wanita. Proteksi terhadap wanita-wanita Madura sering dibarengi dengan sikap yang berlebihan dari laki-lai madura dengan prasangka terhadap kemungkinan–kemungkinan terjadinya penyelewengan dan pelecehan terhadap wanita. Bagi seorang laki-laki untkapan harga diri terdapat dalam konsep “ malo ” (malu) dan juga konsep pada masyarakat Madura yang dijadikan dasar dalam segala aspek kehidupan adalah ango’an poteya tolang 96
etembang poteya mata (lebih baik mati dari pada menanggu malu). Pusat dari malo diletakkkan pada wanita-wanita Madura. Proteksi yang kuat pada wanita-wanita Madura dan peranan yang sangat dominan dari laki-laki Madura akan menggiring pada pembatasan-pembatasan ruang gerak dari wanita-wanita Madura. Peminggiran ruang gerak wanita-wanita Madura mengakibatkan marginalisasi (pemiskinan) sosial dalam arti terjadi adanya penekanan peran sosial dari wanita-wanita Madura, demikian juga marginalisasi ekonomi (pemiskinan) secara ekonomi serta marginalisasi peranan politiknya. Marginalisasi peranan wanita Madura juga didukung oleh sistem sosial yang ada yang terkecil yaitu keluarga. Keluarga inti maupun keluarga luas. Salah satu bentuk marginalisasi wanita yang dilakukan oleh laki-laki dan masyarakat secara umum di Madura tercermin dalam pola-pola pemukiman masyarakat Madura.. Proteksi dalam pola rumah orang-orang Madura lebih diarahkan pada keberadaan ruang gerak wanita-wanita Madura. Stratifikasi sosial didasarkan pada pemahaman agama merupakan Stratifikasi sosial ini penting untuk dikaji karena akan sangat berkaitan dengan pola pikir dari budaya Madura seperti pada penduduk Bnayuwulu yang mesih memmegang erat budaya Madura dan masih sangat terpengaruh oleh keberadaan Agama dalam hal ini agama Islam. Stratifikasi sosial berdasarkan pada agama terdiri dari dua penggolongan yaitu santre (santri) dan banne santre (bukan santri). Dalam kelompok santre akan dirinci lagi dalam tiga kelompok yaitu pertama, Keyae (kiai) yaitu kelompok orang-orang yang dikenal sebagai pemuka agama karena menguasai ilmu agama Islam. Kelompok keyae sebagai pembina umat yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan
Marginalisasi Wanita Madura: Implikasi Program Keluarga Berencana di Desa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains)
biasanya mempunyai kemampuan supranatural, mereka biasanya mempunyai lembaga pendidikan agama berupa pesantren. Selain itu Bindarah dianggap sebagai kelompok menengah dibawah Keyae. Ketiga adalah santre, kelompok ini terdiri dari orang-orang yang menjadi murid atau sedang belajar agama. Penduduk desa Banyuwulu merupakan masyarakat yang banyak terpengaruh oleh ajaran agama Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Fakih bahwa agama dapat mempengaruhi terhadap sistem nilai-nilai yang ada dan berkembang di dalam suatu masyarakat. Masyarakat Banyuwulu melihat keberadaan gender di tempat berdampingan erat dengan pengamalan agama Islam. Masyarakat Banyuwulu melihat sistem patriarkhi yang ada dalam praktek kehidupan sehari-hari dicampurkan dengan ajaranajaran Islam yang menempatkan posisi laki-laki sebagai kelompok yang lebih tinggi dan dominan. Keberadaan laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan seolah-olah membetuk adanya stratifikasi sosial tersendiri meskipun mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan stratifikasi ini. Stratifikasi ini didukung oleh ajaran agama yang digunakan untuk mengukuhkan keberadaan posisi laki-laki dalam masyarakat dan mendeskritkan perempuan sebagai kelompok yang ada di bawah laki-laki. Penggambaran seperti ini membentuk adanya pemahaman yang semu seolaholeh kekuasaan laki-laki sebagai suatu kekuasaan pemuka agama yang kata-katanya sering kali sebagai sebuah dogma yang tak terbantahkan. Sebagai contoh adalah sikap penghormatan seorang wanita pada lakilaki dalam berkomunikasi. Seorang wanita harus abasa menggunakan bahasa yang halus dan menggunakan bahasa yang baik dan digunakan untuk menghormati orang-orang yang dianggap mempunyai status sosial yang
tinggi. Sebaliknya seorang laki-laki akan mapas (tidak menggunkan bahasa halus untuk penghormatan pada wanita). Laki-laki akan mapas (menggunakan bahasa kasar) jika berkomunikasi dengan seorang wanita. Dengan demikian secara terstruktur masyarakat Madura sudah membiasakan para wanita untuk menerima perbedaan status antara laki-laki dan perempuan (gender) sebagai sebuah pengakuan terhadap sistem yang sudah selayaknya, seharusnya diterima oleh para wanita Madura. Berkaitan dengan permasalah dalam penelitian ini, penggunaan bahasa abasa oleh kaum perempuan terhadap suami atau laki-laki memberikan pembatasan-pembatasan seorang wanita Madura untuk mengekspresikan keinginan, perasaannya dan mungkin tindakannya. Seorang wanita yang ingin mengekspresikan kemarahnnya, tidak terekspresikan lewat bahasa karena pembatasan etika dan sopan santu yang terkandung dalam penggunaan bahasa tersebut. Sebaliknya seorang lakilaki biasanya akan menggunakan bahasa Mapas dalam berkomunikasi dengan istri atau para wanita pada umumnya. Menurut Siegel bahasa Mapas memberikan kebebasan dalam berkomunikasi secara leluasa untuk mengungkapkan keinginan, perasaan, yang tergambaran dalam penggunaan dan pemilihan kata yang lebih banyak dan ekspresif. Laki-laki secara hirarkis berada di atas perempuan karena penefsiran agama menganggap demikian. Asumsi teologis dan dikembangkan menjadi asumsi budaya yang sering memojokkan perempuan dengan pernyataan bahwa Hawa diciptakan untuk memenuhi hasrat laki-laki, Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, Adam terjerumus karena Hawa. Kedudukan wanita di Madura layaknya seperti yang digambarkan dalam tafsir agama tersebut. Apabila kita kembali pada 97
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
masyarakat Madura yang cenderung fanatik dan menerima apa ajaran agama seperti apa yang dikatakan oleh pemimpinan agama sebagai kebenaran yang mutlak. Dogma agama yang terbentuk karena penghormatan yang besar terhadap status keyae. Pada saat seorang keyae mengajarkan Para wanita desa Banyuwulu terkondisikan oleh sistem yang ada untuk menerima ketidakadilan gender dalam posisi yang termarginalisasi. Para wanita menerima kedudukan sosial diposisikan di bawah kedudukan lakilaki sebagai bentuk pengamalan agama dan dianggap sebagai keharusan yang dilandasi oleh ajaran-ajaran agama. Pemaknaan simbol-simbol status sosial berdasarkan gender yang ada pada masyarakat Madura diwujudkan dengan adanya gender difference adalah sebagai hasil pemaknaan simbol-simbol sosial dengan konstruk agama. Perempuan desa Banyuwulu terpojokan dalam kehidupan masyarakat, sedang lakilaki berperanan sebagai figur yang berkuasa dan sangat dominan. Seorang wanita Madura harus patuh kepada laki-laki (suami) dengan menyamakan kepatuhan mereka pada apa yang dikatakan oleh seorang ulama (keyae). Penggambaran kepatuhan seorang perempuan (istri) pada saat peneliti berada di tengah-tengah masyarakat Madura. Ketika program Keluarga Berencana masuk di desadesa seorang bidan desa mengeluh karena sulitnya mendapatkan aseptor yang mau ikut serta dalam program tersebut. Apa yang dikeluhkan oleh bidan disaksikan sendiri oleh peneliti di Desa Banyuwulu kecamatan Waringin seorang wanita yang sebenarnya mau mengikuti program Keluarga Berencana tetapi akhirnya memutuskan tidak ikut karena dilarang oleh suami yang katanya tidak boleh oleh keyae anutannya. Kasus ini tidak hanya dijumpai oleh satu dua orang saja tetapi rata-rata wanita-wanita desa lebih menuruti apa yang dikatakan oleh suami dari 98
pada menuntut hak sebagai perempuan. Agama seringkali disalahgunakan sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku dan sikap serta tindakan-tindakan yang akan diambil untuk memgesahkan pelanggaranpelanggaran hak asasi perempuan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakadilan dalam kehidupan wanita-wanita Madura. Peranan sentral yang dimiliki oleh seorang ulama dalam membentuk suatu wacana yang akan diberikan pada masyarakat sangat dominan. Namun berbeda dengan kedudukan seorang pemuka agama baik Keyae, bindarah, dan para santre, mereka adalah kelompok-kelompok pemimpin informal tetapi mempunyai kekuasaan riil, mempunyai pengikut yang setia dan loyal. Guru agama, ulama dan lembagalembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren memmpunyai andil yang besar didalam membentuk wacana perempuan sebagai kelompok sosial masyarakat yang terpinggirkan oleh keberadaan nilai-nilai budaya dan agama. Sebagai salah satu contoh konkrit yang ada di pesantren-pesantren di Madura di ajarkan tentang bagaimana seharusnya seorang wanita dan bagaiman posisi wanita yang terdapat dalam kitab Adabu Al- Mar’ah (kitab tentang etika pempuan). Kitab ini diajarkan untuk para santri wanita sebagai pegangan dan dijadikan sebagai rujukan untuk wanita-wanita Madura secara umum. Kitab ini mengajarkan bagaimana seorang wanita yang “ideal “ antara berisi tentang hak dan kewajiban seorang wanita, peranan wanita sebagai ibu terhadap pengasuhan anak, dimana hak asuh dan tanggungjawabnya dibebankan pada seorang istri (wanita dalam keluarga); wanita juga dibebani untuk menjaga martabat keluarga seolah-olah wania sebagai pusat dari terjadinya penyelewengan sehingga harus mampu menjaga martabatnya; seorang wanita juga sebagai penjaga harta laki-laki dan penata
Marginalisasi Wanita Madura: Implikasi Program Keluarga Berencana di Desa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains)
rumah tangga. Dalam kitab itu seolah-olah wanita banyak sekali beban tanggungjawab dalam lingkungan domestik. Kitab Adabu Al Mar’ah yang berisi tentang kewajiban perempuan yang harus mengabdi dan patuh pada suami, mendidik anak dan menjaga kehormatan keluarga semua mengarah pada bagaimana seharusnya seorang wanita meskipun dirasa kurang seimbang. Hak-hak perempuan dan istri dalam kitab tersebut tidak dikupas. Pesantren dan lembaga agama lainnya yang ada di Madura mensubordinasi dan memarginalisasi perempuan Madura. Aktivitas perempuan-perempuan Madura sebagai sebuah refleksi dari pemahaman sikap dan tingkah laku yang didasari oleh pemikiran “Good will Keyae”. Pemahaman ini akan diterapkan dalam sebah lingkup yang lebih kecil yaitu dalam sebuah keluarga. Penempatan seorang suami sebagai pemimpin keluarga menjadikan kedudukannya disamakan dengan kedudukan seorang pemimpin agama yang harus dipatuhi dan dihormati Good will husband. Seorang wanita yang melangsungkan pernikahan akan diberi mahar. Mahar (mas kawin) pada Masyarakat Madura merupakan sebuah simbol yang dimaknai dengan kepemilikan. Makna yang muncul dari sebuah simbol mahar (mas kawin) ditafsirkan oleh ulama syafiiyah yang berkembang pada masyarakat Madura baik yang ada diwilayah Madura atau orang-orang Madura diluar wilayah Madura seperti halnya yang ada di Banyuwulu. Makna yang diberikan pada simbol mahar (mas kawin) sebagai bentuk kepemilikan hak bagi seorang laki-laki untuk mengambil manfaat sexual, pelayaan keseharian seorang laki-laki Madura atas wanita-wanita yang dinikahinya. Pendapat ini secara kaku diikuti oleh guru-guru agama, sehingga pendapat-pendapat di luar syafiiyah di abaikan. Apabila kita melihat karakter
masyarakat Madura yang masih sangat kental dengan dogma agama maka suatu ajaran akan diterima secara mentah-mentah sebagi suatu kebenaran. Demikian juga tentang mahar, bagi orang Madura mahar dimaknai sebagai pembelian atas kepemilikan sebuah benda atau barang. Wanita yang sudah menikah dengan seorang laki-laki dinggap menjadi milik dari seorang suami dan seorang suami mempunyai hak atas perempuan. Sebuah contoh dalam proses sosialisasi nilai-nilai patriarkhi pada masyarakat Madura disosialisasikan sejak dini pada diri anak laki-laki dengan memberi pengajaran yang lebih pada laki-laki, misalnya seorang lakilaki boleh melanjutkan studi setelah lulus dari pesantren atau Madrasah tetapi untuk anak-anak perempuan kesempatan untuk mengenyam pendidikan sangat dibatasi dan ada anggapan bahwa seorang wanita tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, karena yang diperlukan oleh seorang wanita adalah pengetahuan sebagai rumah tangga dan pelayanan yang baik dalam keluarga. Di dalam masyarakat Madura dibentuk menjadi sebuah masyarakat dengan pandangan nilai-nilai yang menempatkan posisi perempuan yang terpojokkan. Domestikasi perempuan dengan wacana yang ditanamkan pada sosok wanita ideal seperti istri pendamping suami, ibu harus meladeni suami, dan anak-anak, keluarga masyarakat dan negara. Domestikasi perempuan menunjukan adanya dominasi kekuasaan patriarkhi. Perbedaan gender yang dikontruksi secara sosial selalu dilakukan melalui berbagai institusi termasuk di dalamnya institusi keluarga, dimana sosialisasi dan internalisasi terjadi. Sebuah keluaga menjadi media sosialisasi nilainilai yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Foucault kekuasaan tidak dapat dilokalisasi. kekuasaan merupakan suatu tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberikan struktur kegiatan 99
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
tidak representatif tetapi produktif serta melekat pada kehendak. Untuk mengetahui kekuasaan ini menurut Foucoult diwujudkan cerita-cerita yang turun temurun,guru, guru agama atau oleh lembaga yang sengaja dibentuk. Restisensi perempuan Madura terhadap konstruksi budaya dan agama dilingkungan setempat oleh Abdulatif dan Bustami disebut dengan “carok simbolis.” Carok yang sesungguhnya adalah merupakan perkelahian atau beradu kekuatan fisik dan senjata antara laki-laki madura karena sebab-sebab yang berhubungan dengan kehormatan dan seringkali berakhir dengan kematian, carok seperti ini dilakukan oleh laki-laki. Carok simbolis ini merupakan sebuah kondisi yang menyeret kaum perempuan Madura dalam kondisi yang rawan (resisten) dan sebagai pihak yang secara simbolis dan riil pada posisi yang terpinggirkan dan terkalahkan.
yang berada di Krajan sedangkan sekolah dasar yang ada di arak-arak hanya hari-hari tertentu saja dibuka itupun sangat tergantung pada kesediaan guru yang bersedia berangkat ke sekolah krajan. Secara efektif sekolah dasar Krajan sajalah yang dapat dikatakan sekolah yang sebenarnya. Penduduk desa mempunyai kecenderungan memasukan anak-anak usia sekolah mereka ke pesantren-pesantren di kecamatan atuapun di wilayah Madura dan wilayah Situbondo dan Jember. Prosentase anak usia sekolah yang sekolah di sekolah dasar dan pesantren tidak ada data kwantitatif namun apabila kita lihat dari perbandingan sekolah dasr yang ada maka anak-anak pada usia sekolah rata-rata mendapat pendidikan informal baik dari pesantren atau dari langgar dan masjid. Sebagai suatu gambaran pendidikan yang ada di Banyuwulu dapat dilihat dari pertikan peristiwa pada saat penulis melihat adanya perkawinan muda yang LATAR BELAKANG PENDIDIKAN dilakukan oleh anak perempuan yang baru MASYARAKAT DESA BANYUWULU kelas tiga sekolah dasar. Pada saat penulis menanyakan hal ini kepada ibu dari sianak Penduduk Banyuwulu sepanjang calon pengantin alasan pernikahan muda ibu pengetahuan penulis selama hidup 2 bulan tersebut menjawab: lebih mempunyai latar belakang pendidikan „sengkok takut Yam taÊ paju lakeÊ yang sangat minim. Ada dua katagori mon taÊ kawin dinaÊ Ning. BeÊnyak pendidikan yang berkembang di dea tersebut nak-kanak kinik kawin. (artinya Saya yaitu pendidikan formal sekolah negeri dan takut Yam tidak laku pria (tidak ada pria yang mau mengambil istri) pendidikan informal yaitu panddidkan kalau tidak menikah sekarang Mbak. yang idpat dari pendidikan agama, seperti Banyak anak-anak kecil menikah..‰ pesantren dan juga pengajian dilanggar atau Pada kenyataan dilapangan jumlah masjid. Jumlah sekolah dasar yang ada di desa anak perempuan yang bersekolah lebih ini sebanyak 2 buah dalam hal ini perlu sedikit dibandingkan dengan anak laki-laki. dibedakan lagi bahwa satu sekolah di daerah Anak-laki-laki akan diberi kebebasan untuk krajan dan satunya lagi di arak-arak (hamper melanjutkan paling tingkat sampai setingkat mendekati puncak bukit). Dari dua sekolah dengan SLTP namun kebanyakan dari dasar yang ada yang berjalan lancar artinya anak-anak laki-laki melanjutkan ke sekolah proses belajar mengajar mulai hari senin setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah, yang sampai sabtu hanya satu yaitu sekolah dasar berada di kecamatan Wringin Bondowoso.
100
Marginalisasi Wanita Madura: Implikasi Program Keluarga Berencana di Desa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains)
Di desa tersebut tidak tersedia madrasah baik Ibtidaiyah, Tsnawiyah maupun Aliyah. Dengan demikian sarana pendidikan dalam masyarakat belumlah mencukupi. Sepanjang pengetahuan dari penulis anak yang dikirim oleh orang tuanya untuk menuntut ilmu di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsnawiyah masih dapat dihitung dengan jari. Anak laki-laki lebih banyak digiring ke ladang setelah mereka mengenyam bangku sekolah dasar ataupun pesantren. Kalaupun mereka massih dipesantren mereka rata-rata sebagai santri saja tanpa menginjak jenjang pendidikan formal. Anak-anak perempuan jarang yang dikirim ke pesantren. Kecenderungan untuk menempatkan mereka ke ruang-runga domestik di dalam rumah. KONDISI EKONOMI MASYARAKAT DESA BANYUWULU Penulis tidak mendasarkan dari pengamatan kwantitatif sehingga dalam hal ini penulis hanya mendasarkan pada kepemilikan dari rumah yang ada di desa Banyuwulu. Di atas terlah dijelaskan secara sepintas kondisi geografis desa Bayuwulu yang cenderung berbukit dan dengan kondisi tanah yang tidak sesuai ditanami padi. Kondisi rumah rata-rata menggunakan bahan bambu dan kayu, serta atap jerami (welit). Ada beberapa rumah yang menggunakan kayu dan berlantai semen namun hanya orangorang yang “dianggap kaya” dan mempunyai ladang yang cukup saja. Kelompok ini seperti kepala desa, carik dan ada beberapa orang yang “dihormati” secara social seperti ulama yang rata-rata mereka sudah menjalankan ibadah haji. Masyarakat rata-rata sebagai petani peladang dan buruh ladang. Sebagai suatu gambaran tentang kondisi ekonomi tentang pemahaman “mayarakat gunung” atau “ oreng gunung” tentang sistim pertukaran uang.
Penulis pernah menjumpai seorang gunung yang membawa tempayan, tempat air, yang dibuat dari tanah, pada saat berbincang bincang orang tersebut belum begitu paham dengan uang dan ini merupakan hal yang bagi penulis suatu kemustahilan pada abad XX dan era globalisasi. Namun itulah kenyataan ada dilapangan dimana masih dijumpai adanya masyarakat yang tidak familiar dengan system tukar dengan uang tetapi lebih suka dengan system barter dan pedagang tersebut meminta pad apenulis untuk menukar dengan beras, dan lauk ikan asin. Kondisi ekonomi juga dilihat dari konsumsi makanan yang dionsumsi oleh masyarakat secara umum. Masyarakat desa Banyuwulu lebih banyk mengkonsumsi ketela dan jagung sebagai pengganti beras. Di desa tersebut tidak jumpai pasar desa, mereka akan ke pasar pada saat hari-hari pasaran dan letak pasar berada di kecamatan yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 1,5 jam atau menggunakan pepeda motor buntut. Dengan demikian masyarkat tidak terbiasa pergi kepasar untuk memnuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka seringkali makan seadanya, bahkan ada kebiasaan dari masyarakat untuk mengkonsumsi sejenis unthuk (sejenis hewan yang muncul dari kotoran kerbau yang sengaja dibuat oleh orang-orang di desa tersebut dengan menggali lubang dan menimbun kotoran tersebut dan dibiarkan beberapa hari), hewan tersebut dikatakan dibuat sebagai lauk pengganti daging. PERSPEKTIF PEMERINTAH TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA Pengertian Keluarga Berencana menurut perpsektif pemerintah yang diintegralkan dalam Pelita I yaitu untuk menurunkan angka fertilitas. Dalam pengertian ini Keluarga
101
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
Berencana bukan sebagai pembatasan kelahiran tetapi sebagai upaya untuk mengatur kelahiran. Dengan demikian Keluarga Berencana lebih ditempatkan sebagai upaya controlling terhadap tingkat fertilitas yang terjadi dalam masyarakat. Program Keluarga Berencana difokuskan pada pada pasangan usia subur (PUS). sedangkan alat kontrasepsi yang ada meliputi pil, IUD (Intra Uterine Device), CD (Condoom), Suntik, Susuk KB (Masri,1992: 25) ANALISA PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA BANYUWULU TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA Pada suatu pagi seorang bidan desa datang ke posko KKN dan mengatakan untuk meminta bantuan dari teman-teman mahasiswa untuk ikut mendatangi rumahrumah untuk meerangkan arti pentingnnya Keluarga Berencana. Bidan tersebut sebenarnnya sudah berkali-kali mendatangi rumah-rumah yang ada pasangan usia subur (PUS) namun selalu gagal untuk dapat menyetukan pemahaman tetang apa itu Keluarga Berencana. Usaha menyebarkan dan memahamkan masyarakat tetang program ini sebenarnya sudah berkali-kali juga dilakukan di kelurahan atau dukuhdukuh tetapi tetap saja peserta Keluarga Berencana tidak muncul secara sadar untuk ikut dalam program tersebut. Ada sebuah pengalaman yang mungkin dapat memberikan sebuah gambaran tentang perspektif masayarakat dalam penerimaan program tersebut dari sikap pada saat penulis dan bidan desa berkeliling bertandang kerumah-rumah warga ternyata sebgian dari rumah yang didatangi selalu sepi dan berkalikali diketuk tidak dibukakan. Meskipun ada dugaan kuat mereka ada di rumah, namun bukan permasalahan tidak mau menerima
102
tamu tetapi mereka sudah dapat menduga bahwa bidan desa akan mengingatkan dan menganjurkan masuk dalam program Keluarga Berencana. Pemasalahan mulai dapat penulis ketahui dengan lebih jelas ketika sebuah rumah terbuka dan kami sempat bertamu dan bidan desa menjelaskan tentang program KB, namun hal yang cukup mengejutkan adalah jawaban dari ibu yang kami datangi bahwa dia menyetakan “ engkok tak oleh mbe’ Apa mon KB, Ning, Pak Kyae ta’ oleh (saya tidak boleh ikut KB oleh Bapak dan juga pak Kyai. Dari jawaban itu maka penulis dapat melihat adanya sebuah struktur masyarkat yang sangat didominasi seorang suami dan juga dominasai seorang ulama sebagai rujukan dalam bertindak termasuk dalam hal ini permasalahan keluarga berencana. Apabila kita merujuk dengan system social yang berkembang di masyarakat Madura yang lebih menempatkan laki-laki dengan lebih dominan hal ini tentunya sangat dapat dimengerti. Pada saat penulis menanyakan tentang Keluarga Berencana banyak jawaban yang pad intinya mereka mengetahui Keluarga Berencana sebagai suatu hal untuk menghambat kelahiran, namun ada juga yang menjawab bahwa KB sebagai program pemerintah untuk tidak melahirkan. Dari du jawaban ini sebenarnya mempunyai dua perpspektif yang berbeda yang pertama lebih melihat sebagai usaha manusia untuk mengatur adanya kelahiran dan jawaban pertama ini rata-rata diberikan oleh istreriisteri dari pejabat desa. Jawaban kedua lebih mengarah pada pandangan yang negative bahwa program KB untuk mnyebabkan tidak melahirkan yang mengandung arti bias dari masyarakat sebagai upaya menolak pemberian anak dari Allah dan lebih ekstrim lagi sebagai upaya untuk “membunuh “ janin dalam kandungan. Jawaban kedua
Marginalisasi Wanita Madura: Implikasi Program Keluarga Berencana di Desa Banyuwulu (Sebuah Paradigma Etnosains)
rata-rata dari laki-laki dan segian wanita dengan alasan lain yaitu kata pak kyai, atau pak haji dan indikasi ini akan mengarahkan kita pada adanya dominasi kelompok kyai dalam masyarkat yang sangat mempengaruhi terhadap perspektif masyarakat terhadap program KB tersebut.
yang menempatkan status ulama sebagai kelompok social yang sangat dominant dan tinggi. Dengan demikian adanya hubungan yang secara langsung maupun tidak didinilah system budaya sangat berpengaruh terhadap pola-pola yang muncul dalam suatu masyarakat.
PERSPEKTIF MASYARKAT TERHADAP SIMPULAN ALAT KONTRASEPSI DAN ADANYA Program Keluarga berencana sebagai MARGINALISASI WANITA program pemerintah dalam upaya untuk Masyarakat mengetahui beberap alat mengatur fertilasi tidak sepenuhnya berhasil kontrasepsi yang bisa mereka gunakan antara terutama bila berhadapan dengan adanya lain Suntik, IUD, condom, pil, susuk. Pada perspektif yang berbeda di dalam memandang masyarakat yang sudah melakukan KB rata keberadaan dari program Keluarga Berencana rata menggunakan Pil KB sebagai pilahan ersebut. yang banyak dilakukan dengan alasan hal Di desa Banyuwulu program Keluarga tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Berencana kurang berhasil. Hal ini tidak agama dan boleh oleh suami. Hal yang paling semata-mata disebabkan oleh kelemehan ditolak adalah IUD dan susuk dengan lasan dari program tersebut ataupun pelaksanaan bahwa IUD berarti membunuh janin dan teknis di lapangan yang tidak menyentuh susuk sama saja. pada masyarkat tetapi ada hal yang lain Pemahaman tentang pembunuhan yang perlu diperhatikan dalam mensikapi janin setelah ditanyakan jawabannya banyak permasalahan Keluarga Berencana di desa merujuk pada “perkataan kyai“ dan tidak ini. Pendekatan etnosains ternyata mampu boleh oleh suami. Selain itu orang Madura memberikan suatu gambaran yang berbeda lebih suka melakukan KB sendiri dengan untuk melihat mengapa program tersebut jamu (yang dibuat dari ramuan dari merica tidak dapat diterima. Pemahaman tentang dan juga kapur yang sudah direndam Keluarga Berencana pada masyarakat desa beberapa bulan dan dibuat jamu) atau Banyuwulu lebih diartikan sebagai bentuk mereka lebih suka dengan KB alamiah dan pembatasan kelahiran bahkan dalam konteks KB tanggal. Pemakaian alat kontrasepsi yang berbeda dalam pemahaman agama dianggap”tidak baik“ menurut agama dan adalah upaya pembunuhan dini terhadap “suami”. janin. Dominasi suara laki-laki dalam Pemahaman yang berbeda terutama menentukan pilihan yang harus dilakukan sangat dipengaruhi oleh budaya yang ada oleh seorang wanita Madura merupakan yang lebih di dasarkan pada ajaran Islam bentuk peminggiran hak-hak wanita untuk dengan menempatkan figur-figur tokoh menentukan pilihan. Hal ini tentunya agama sebagai tokoh peran yang menentukan akan berimplikasi pada adanya bias gender. pola-pola tingkah laku dan sikap masyara. Keberadaan kyai sebagai panutan dan kat. nrujukan dalam bertindak dalam masyarakat Sasaran program pada PUS akan melibatjuga tidak lepas dari adnya system masyrakaat kan peran wanita (istri) dan laki-laki (suami
103
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
I) Bandung.STIS press. dalam menentukan keberhasilan program ini. Dalam masyarakat yang mempunyai Heropoetri, Arimbi. 2004. Percakapan kecenderungan patriarkhi dengan menempattentang Feminisme Vs Neoteralisme. kan posisi laki-laki lebih kuat dan dominan Jakarta: Debtwach Ind. menyebabkan peran wanita di desa ini cenderung termajinalisasi. Berkaitan dengan Koentjoroningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas program ini maka keputusan untuk ikut atau Indonesia Press. tidak seorang wanita (istri) dalam program ini sangat ditentukan oleh suami. Lie, Shirley. 2005. Pembebasan Tubuh Perempuan. Jakarta: Grasindo. DAFTAR PUSTAKA
Murniati, Nunuk P. 2005. Getar Gender jilid I. jakarta: Indonesia Tera.
Proyek Penelitian Madura. 1977.Keluarga Berencana dan Kesehatan di Pulau Bashin, Kamla. 2001. Memahami Gender Madura. Depdikbud. Telaah Keislaman atas Naskah Simboer Singarimbun, Masri.1988 Keluarga Tjahya. Jakarta: Millenium. Berencana Indonesia sampai Abad Clifford, J. and Mercus, G.E. (edt.). 1986. XXI: Beberapa Aspek Program Dan Writing Culture: The Poetics and Polities Sosial Budaya. Jakarta: tp. of Etnography. Berkeley: Univercity of ____________. 2001. Perubahan Sosial California Press. dalam Masyarakat Agraris Madura. Darwin, Muhadjir. 2001. Membongkar Yogyakarta: Mata Bangsa. Budaya Patriarkhi. Jakarta: Graffity ____________. 1990. Keluarga Berencana. Press. Yogyakarta:PAU UGM. De Jong, Huub. 1989. Agama, Budaya dan Ekonomi (Studi-studi Interdisiliner ____________. 1993. Keluarga Berencana di Sriharjo: Aspek-Aspek Sosial Budaya tentang Masyarakat Madura. dan Program. Yogyakarta: Pusat Yogyakarta. Rajawali press. Penelitian Gadjah Mada. Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. Wiyata, A. Latif. 2002. Carok (Konflik Yogyakarta: Kanisius. Kekerasan dan Harga Diri Orang Engineer, Asghar Ali. 2005. Pembebasan Madura. Yogyakarta: Lkis. Perempuan. Jakarta; LkiS. Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan SUMBER SURAT KABAR Tranformasi Sosial. Yogyakarta:Pustaka Jawa Pos, 19 januari 2003. Pelajar. Heddy Shri Ahimsa-Putra.. “ Ethnoart: Kompas, 27 Juni 2005. Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Kompas, 8 Aguatus 2005. Seni dan Ilmu, dalam Waridi.2005. Menimbang Pendekatan Pengkajian Kompas, 28 Oktober 2005 dan Penciptaan Musik Nusantara (cet.
104
MENIMBANG DIFABELISME SEBAGAI KRITIK SOSIAL Slamet Thohari*
Abstract This writing would like to elaborate a disability discourse in social studies realm. Allegedly, social science, especially in Indonesia, as far as very rare, sees disability as a part of the discourse which is considered as subject of study seriously. This writing attempt to present the importance of disability issues as part of the discourse development of social science. More than that, it attempts to inscribe the concept of disability issues as a theoretical building which aims to be a vehicle for social critic, such other social critic, e.g. feminism, post-colonialism and forth. Keywords: difabelisme, Normalisme, Kuasa, Ilmu Sosial
PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan yang merupakan instrumen sekaligus kebutuhan paling vital bagi manusia bergerak mengikuti zaman. Ilmu pengetahuan merupakan produk peradaban sekaligus produsen peradaban. Demikian dengan ilmu sosial, bergerak menjadi bagian dari refleksi manusia untuk memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi. Satu permasalahan manusia yang sulit diwujudkan adalah belum terwujudnya sistem/tatanan masyarakat yang “demokratis”, yakni sebuah persekutuan dimana berbagai ruang, wilayah, akses, ekspresi terbagi secara merata di antara berbagai individu maupun kelompok sosial kultur, politik dan ekonomi (Baso, 2002: 14). * Departemen Riset, Pengembangan dan Kajian SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel. Yayasan Umar Kayam (YUK) , Yogyakarta.
Dewasa ini, berbagai diskursus bermunculan untuk diperbincangkan sekaligus diarahkannya masyarakat demi terwujudnya cita-cita tersebut. Kajian dan gerakan seperti: gender, kebebasan agama, tuntutan hak-hak kaum adat, dan kelompok minoritas lainnya, merupakan usaha untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis tersebut. Namun begitu, gemerlap wacana sosial di Indonesia, sungguh sangat sepi bagi isuisu difabilitas. Orang-orang difabel: tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, dwarf (cebol) dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat, kerapkali menjadi gelandangan, pengemis di terminal-terminal, kereta dan perempatan jalan. Mereka sering dicemooh, dan diasosiasikan tak ubahnya seperti “sampah”, tidak bermanfaat dan membuat pandangan tidak “sedap” bagi ketertiban tata sosial yang dibentuk oleh orang-orang “normal”. Mereka adalah kelompok “the other”yang tergilas
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
oleh arus besar. Kajian difabel terlupakan begitu saja, bila dibandingkan wilayah kajian seperti perempuan/gender, kaum gay/homoseksual, lesbi dan kelompok minoritas yang lain yang akhir-akhir ini menjadi diskursus resmi dan seksi untuk dikaji. Padahal, bila kita mencermati fakta yang ada kaum difabel merupakan kelompok “minoritas” yang cukup signifikan bagi negeri ini. Dalam laporan Departemen Sosial Republik Indonesia, terdapat 6.000.000 orang, atau sekitar 3 persen dari 200.000.000 penduduk Indonesia, sedangkan data dari WHO mengatakan terdapat sekitar 10 juta difabel di Indonesia. Perbedaan data tersebut memang belum diverifikasi kepastiannya, tetapi yang sering terlupakan adalah tidak jarang keluarga sang difabel sering menyembunyikan anggotanya yang difabel untuk menghindari rasa malu atau atau menganggap orang difabel sebagai “aib” bagi citra keluarganya, sehingga luput dari sensus. Ini belum difabeldifabel baru setelah Gelombang Tsunami Aceh, Gempa di Jogja yang mencapai 16.000 orang, dan Gelombang tsunami di Ciamis dan sekitarnya. Tentu saja jumlah difabel akan terus bertambah (Darmatolo, 2005:2). DIFABEL DALAM SEJARAH The human body was entering a machinery of power that explores it, breaks it down and rearranges it. A Âpolitical anatomyÊ which was also Âmechanics of powerÊ was being born (Foucault, 1991: 138)
Tubuh, bagi orang Yunani merupakan replika dari dunia. Merawat tubuh sama saja merawat keindahan dunia (Turner, 1977). Dengan tubuh yang indah dan perkasa menjadi penting bagi masyarakat Yunani. Tentu saja ini juga mempunyai hubungan erat dengan pentingya seni perang, dan 106
tradisi perlombaan—yang sekarang menjadi Olimpiade—“olimpic games” bagi masyarakat Yunani (Sanet, 2004). Dengan begitu, tubuh harus kuat dan kekar, untuk menang dalam perang, atau mejadi juara dalam setiap permainan. Gagasan normalitas dan keperpakasaan tubuh dapat terpungut dari pemikiran Plato (427–347 SM), Sang “bapak idealisme” itu. Bagi Plato demokrasi adalah kumpulan pendapat-pendapat “orang bodoh”. Kesimpulan diambil, ketika Sang Guru Socrates dipaksa minum racun, dan demokrasi menjadi penentu pembunuhan itu: berdasar pada kehendak masyarakat. Plato pun percaya, sebuah negara harus dipimpin oleh seorang filsuf yang bijak, teruji secara keilmuan dan kekuatan fisiknya. Untuk itu, Plato lebih meyakini Sparta sebagai negara yang baik daripada Athena. Sparta adalah kota yang mengagungkan keperkasaan, mendamba akan kekuatan tentara, memuja keteraturan sekalipun dengan kekerasan: demi sebuah impian masyarakat yang kuat dan sempurna. Untuk itu, Sparta membolehkan pembunuhan bayibayi difabel (infanticade). Alasanya sederhana orang-orang difabel berseberangan, dan akan menghalangi penciptaan negara yang kuat dan sempurma (Bernes, 1997). Haphaestus kakak Hercules, anak Dewa Zeus dan Hera harus dibuang dan dikeluarkan dari surga. Haphaestus yang crilpled tak pernah mendapat cinta dari Sang Ibu, dan masyarakat pun sering menjadikan bahan ejekan, terlebih bagi para Olympian (Ebenstein, 2006). Demikian pula dengan cerita Oedipus yang terkenal itu (Bartels, 2001). Begitu mengetahui telah menikahi ibunya, menebus dosanya dengan menjadi buta. Dalam konteks ini, buta adalah simbol penderitaan dan kelemahan. Decak kagum akan keperkasaan tubuh juga di absorbsi oleh orang-orang Roma.
Menimbang Difabelisme sebagai Kritik Sosial
Masyarakat mendambakan akan pentingya, kebebasan individu, militer dan seni perang yang memang menjadi penyokong kekokohan Roma. Walhasil, semua mesti mendukung cita-cita tersebut. Tidak heran, “pembunuhan bayi” (infanticide) yang sakit-sakitan, lemah dan difabel disahkan oleh negara. Tragisnya dan tidak kalah kejamnya, dihanyutkan di sungai Tiber. Orang-orang kerdil (midget), dan orang buta menjadi sebuah permainan untuk bertarung dengan perempuan atau hewan, hingga menjadi tertawaan banyak orang (Bernes, 1997). Agama juga mempunyai sejarah buruk terhadap difabel. Agama Yahudi yang konon banyak mengabsorbsi gagasan Yunani, terutama saat Alexender Agung, beranggapan bahwa difabelitias merupakan suatu hal berada dalam wilayah kesucian Tuhan.. Leviticus bahkan meneguhkan, orang-orang buta, yang mempunyai tangan satu, kerdil, dan mempunyai kecacatan yang lain, sebagai orang yang tak berhak untuk mendapat uluran kasih dari Tuhan (Bernes, 1997). Demikian pula dalam agama Kristen, orang-orang yang melanggar aturan Tuhan, immoral dan bertindak jahat, akan mendapat hukuman dan Tuhan akan membutakan matanya. Cacat adalah suasana keburukan dan kesengsaraan. Hingga posisinya menjadi wilayah yang digunakan untuk menghukum orang-orang “jahat” dan keluar dari jalur Tuhan. Dalam Perjanjian Baru (New Testament) dalam kitab Matius, Yesus sanggup menyembuhkan penderita lumpuh setelah, mengabarkan bahwa dosa-dosa orang tersebut telah diampuni. Ini berarti kelumpuhan diderita karena gelimpangan dengan dosa, hingga kelumpuhan adalah balasannya (Bernes, 1997). Lebih lanjut lagi, dalam Bibel selalu menghubungkan orang difabel dengan garis kekotoran dan dosa. Ini dapat terbaca pada apa yang dipercayai oleh St Agustine, orang
yang dipercaya membawa agama Kristen di dataran Inggeris sekitar akhir abad ke-enam. Agustine mengobarkan bahwa difabilitas adalah hukuman bagi turunya Adam dan dosa-dosa yang lain. Pada abad pertengahan, tengah berkembang dalam benak masyarakat, difabel selalu saja dihubungkan dengan sihir tau kekuatan setan. Perempuan yang mempunyai anak difabel, selalu saja diasosiasikan mempunyai dan telah berani berhubungan ilmu sihir (witchcraft). Paling tidak mempelajari ilmu sihir. Difabilitas yang dimiliki oleh anak tersebut merupakan hukuman bagi sekaligus bukti “kejahatan” ibunya. Sejarah kepedihan terus saja melekat pada kaum difabel. Tafsiran dalam agama juga untuk kesekian kalinya terus saja mejadi pendukung yang sangat penting bagi proses pengenyahan difabel dalam masyarakat. Sang pendobrak, rasionalis dan konon ajarannya mejadi inspirasi bagi perkembangan Eropa, Marthin Luther juga terlibat dalam penggilasan orangorang difabel. Sang komandan besar dalam reformasi Protestan tersebut, menyokong dan memproklamasikan pembunuhan bayi-bayi difabel di Jerman. Ini terkait dengan streotip orang-orang difabel yang dianggap sebagai “titisan setan” (Bernes, 1991). Nasib yang tak menyenangkan terus menimpa kaum difabel, manakala revolusi imdustri mulai tumbuh di Eropa. Ketika semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya, ketika kemajuan ekonomi menjadi keyakinan bagi perkembangan sebuah peradaban. Revolusi politik dan revolusi industri, munculnya sosialisme, urbanisasi, pergeseran agama, dan kemajuan ilmu pengetahuan, serta pelbagai perubahan lainya yang dialami masyarakat Eropa, terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan 107
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
dalam segala bidang (Ritzer, 1996). Revolusi bukanlah gejala tunggal-universal ataupun partikular. Lebih dari itu, revolusi Industri merupakan rangkaian perkembangan yang berujung pada transformasi Eropa: dari corak ekonomi bersistem pertanian menuju ekonomi industrial. Karena topangan kemajuan teknologi, pabrik-pabrik berdiri menggurita. Birokrasi, secara otomatis, juga hadir sebagai penyangga dan memberikan pelayanan yang dapat memuluskan apa yang dinginkan oleh industri dan sistem ekonomi kapitalis tempat industri-industri tersebut bersemayam. Saat itulah orang-orang difabel terus tersisih dalam masyarakat, karena tidak sesuai dengan misi perkembangan masyarakat: keuntungan (Ritzer, 1996). Sekalipun pada era ini secara lamatlamat suara Hak Asasi Manusia (HAM) mulai didengungkan, namun begitu orangorang difabel memang mengalami pergeseran perlakuan. Mereka tetap saja menjadi bahan lelucon, dan penyakit yang mesti disembuhkan. Ini tampak dari usaha “belas kasihan” yang ditujukan bagi orang-orang difabel. Mereka di analisis secara medis, hingga kemudian di “rehabilitasi”, yang berarti diperbaharui selayaknya rumah yang rusak. Panti-asuhan dan pusat rehabilitasi didirikan di mana-mana, dibangun untuk mensterilkan difabel. Semua demi sebuah impian penciptaan masyarakat yang “teratur” dan “normal”. Selalu terdapat konstruksi bahwa masyarakat yang normal dan teratur, semua akan berjalan dengan baik: kota yang indah dan normal. The normal is... estbalished in the standardization of industruial processes...the forces of the body (in economic term of utility) and diminishes these same force (in term forces of obidience) (Foucault, 1991).
108
Kontruksi difabel yang demikian tak ubahnya seperti “orang gila” di abad pertengahan Eropa. Proses ini, sebagaimana dikatakan oleh Foucault didahului sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/medis, yang tentu saja menjadi bagian penting bagi proses indutrialisasi dan penciptaan masyarakat kelas menengah (Foucault, 1988). Bahkan lebih pedih dari zaman Yunani atau Eropa Klasik. Di era Hitler yang memang dipilih secara demokratis pada masyarakat Jerman yang terdemoralisasi. Hingga yang namanya demagog, penghasut, orang gila, pemimpi, dan pemimpin berdarah dingin, telah dan kemungkinan akan menjadi pemimpin lewat sistem ini. Sebagaimana kata Eric Fromm, manusia tampaknya memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri, demi kenyamanan dari pemimpin yang dekat di hati, tetapi jauh dari otak. Lalu peristiwa Holocous terjadi, Hitler menerapkan kebijakan untuk melenyapkan 80.000 sampai 100.000 orang-orang difabel, karena mereka adalah orang-orang lemah dan dianggap sebagai “pemakan roti yang tak berguna” (useless eater) (Bernes, 1991). Lalu bagaimana dengan Islam? Agama yang dianut teguh hampir semua penduduk negeri ini. Dalam pandangan Islam misalnya, tubuh dengan kecacatan dinilai sebagai sesuatu yang perlu “dikasiani”. Orang-orang cacat juga mendapat keistimewaan yang berupa pengasihan dengan adanya “rukhsoh “ (kelonggaran) saat menjalankan ibadah bila tidak bisa melaksanakan sebagaimana orang normal. Sekalipun terdapat ayat yang menyatakan tidak boleh bermuka masam tarhadap orang buta (QS. Abasa: 1-3). Namun banyak atribut-atribut agama yang menguntungkan orang-orang normal. Dalam pemahaman yang berkembang di Indonesia, misalnya ketika masih ada orang normal, maka seyogyanya
Menimbang Difabelisme sebagai Kritik Sosial
orang difabel tidak menjadi imam shalat. Kelak, dalam pandangan banyak muslim, orang yang ada di surga adalah orang yang cantik, ganteng dan kesempurnaan tubuh. Selain itu, Nabi Muhammad juga selalu memimpikan agar setiap muslim setidaknya kuat dan perkasa; sebagaimana terlihat dari keinginannya agar setiap individu mesti bisa berenang, memanah, bergulat, berkuda dan seterusnya. Bagaimana dengan sejarah difabel di Indonesia? Tubuh adalah bagian dari suatu kesatuan yang bergerak bersirkulasi alam membentuk jalinan “harmoni”. Tubuh pun menjadi salah satu penentu keseimbangan tersebut. Demikian pula dengan difabel, sebagaimana terbaca dalam dunia pewayangan: cerminan sederhana bagi orang-orang Jawa. Durgandini atau dikenal dengan Dewi Lara Amis putri dari Wirata merupakan seorang yang mempunyai keanehan tubuh, tubuhnya mengelupas, berbau anyir. Sang Dewi mempunyai anak bernama Abiasa yang juga mempunyai cacat persis seperti ibunya. Namun begitu, anak ini kemudian mempunyai kesaktian yang luar biasa. Lalu dalam pewayangan juga ditemukan Destarata dan Pandu, kedua orang ini juga cacat, Destarata buta dan Pandu dengan wajah pucat aneh, tidak sebagaimana biasa orang. Dari Destarata kemudian muncul 100 orang putra sebagai kutup “jahat”: Kurawa, sedangkan Pandu melahirkan lima orang putra sebagai kutup “kebaikan”: Pandawa. Tokoh difabel yang lainya adalah Dorna, orang jujur dan sakti. Namun atas politik Sangkuni dia berada di pihak Kurawa. Dialah sarjana ahli perang sejati yang memiliki kitab Sir Weda Danur Weda. Dalam pewayangan dapat dijumpai banyak lagi bagaimana tubuh dan kecacatan. Seperti halnya para Punokawan: Gareng yang Pincang, Petruk yang Dungu, Bagong yang
gendut dan bermulut lebar, atau Semar yang bungkuk, bermuka jelek, tetapi semuanya adalah orang-orang yang penting dan sakti “mandraguna”. Bisanya para Punokawan ini digambarkan sebagai “rakyat kecil”, berpakaian berpoleng dan tubuh-tubuh yang aneh. Sekalipun begitu para Ponokawan adalah orang-orang yang sakti, titisan para dewa. Bahkan para Punokawan ini adalah jelmaan dari dewa yang menyamar menjadi rakyat jelata, menjelma menjadi penyelamat, penyeimbang dan hadir dengan segala sikap bijaknya. Para Punokawan tak pernah lepas atau dilepaskan dari kehidupan di zaman siapapaun dalam pewayangan. Mereka hadir di zaman Pandawa hingga zaman Parikesit cucu dari Arjuna yang mati muda itu. Selain melintasi waktu, para Ponokawan juga melintasi ruang. Selain hadir di ruang dunia pewayangan, dalam pentas pewayangan, para Ponokawan berhak pula hadir dalam konteks manusia yang sejati. Sampai di sini kita akan menemukan bagaimana orangorang difabel dalam kosmologi masyarakat Jawa. Umunya, mereka bukanlah mahluk sembarangan, sekalipun sebagai wong cilik, para Punokawan tetap saja mempunyai andil yang luar biasa. Yakni sebagai orang-orang sakti dan penjaga keseimbangan dari sistem harmoni kehidupan1. Kecacatan sebagai pasekten juga banyak kita jumpai dalam kehidupan orang-orang Jawa yang lain, sebagai contoh misalnya, sebagaimana diberitakan oleh Ben Anderson, dalam kerajaan Jawa, ditemukan disana koleksi orang-orang aneh: kerdil, difabel 1. Pandangan mengenai orang difabel dianggap
sebagai orang sakti dan terkait dengan supranatural juga terdapat di Bali. Untuk detail mengenai ini, lihat Janene Byrne, 2003, “Disability in Indonesia Life is challenging for people with disabilities in Indonesia” dalam Inside Indonesia edisi JuliSeptember 2003
109
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
dan yang lain. Kesemuannya diperuntukkan untuk memperteguh kesaktian yang diampu oleh sang raja (Anderson, 1990). Ini dapat terlihat saat upacara-upacara yang digelar di keraton. Orang-orang kerdil, dan cacat selalu tampil sebagai pusaka, sebagai peneguh kesaktian sang raja. Karena memang orang-orang aneh ini dianggap sebagai pemberi petuah, dan bagian penting dari identitas kejawaan itu sendiri. Sebagaimana dikatakan John Pemberton. “ “Jawa” yang lain adalah “jawa” yang terbungkus dalam keunikan ritual, dirasuki oleh cebol-cebol metafisis, yang mengacung-acungkan gada penis, dan digerakkan oleh suatu kesenangan pertapa terhadap eksentrisitas- eksentrisitas, dan hal ihwal dunia lain” (Pemberton, 2003). Dalam altar sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, terdapat bentuk-bentuk negosiasi kultural antara Islam sebagai agama dan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Berbagai serat kontraversial menunjukan bagaimana unsurunsur hubungan antara Jawa dan Islam mengalami proses tarik ulur yang berliku. Ini dapat tergambar dalam berbagai serat, seperti: centhini, cibolek, dan yang paling kontraversial adalah Suluk Gatholotjo. Suluk Gatholoco, secara sederhana menceritakan perjalanan manusia yang buruk rupa dan cabul. Dia mengaku sebagai lelananging jagad, dan mampuni dalam berbagai bidang. Gatholoco di-identifikasikan sebagai seorang anak raja yang “cacat” secara fisik yang mengembara untuk menemukan jati diri. Sekalipun difabel, namun pandai dalam berfilsafat. Apa yang diuraikannya mencerminkan refleksi kehidupan yang mendalam. Dia juga pandai memprediksi dan membuat lelucon-lelucon yang sarat dengan hikmah. Bahkan konon, Hasan Basari ulama terkenal yang menjadi banyak guru bagi ulama-ulama di tanah Jawa, kalah 110
berdebat dengan Gatholoco. Dari sini, jelas sudah, dalam masyarakat Jawa, difabilitas dilukiskan sebagai orang yang luar biasa, sakti dan tidak sembarangan. Inilah Jawa, difabilitas jutru bukan dikelompokkan orang yang subordinated. Akan tetapi, menjadi lambang kesaktian, pusaka dan sesuatu yang berhubungan dengan supranatural dan metafisis (Su’ud Sukahar, 1999). KAJIAN DIFABILITAS SEBAGAI KRITIK SOSIAL: MENIMBANG DIFABELISME Orang-orang dengan tubuh yang berbeda seperti tangan cuma satu, kaki lumpuh, tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar dan lain sebagainya biasa dalam keseharian masyarakat diistilahkan sebagai “penyandang cacat”. Sebuah terma yang mempunyai makna orang yang mengidap kecacatan. Namun pernahkah diperjelas apa sebenarnya definisi “cacat” (disability) tersebut? Apakah cacat dapat dibenarkan dengan bila selalu dihubungkan dengan kondisi tubuh yang berbeda dengan bisa? Jika memang “iya” bukankah setiap tubuh orang selalu berbeda antara satu dengan yang lain, wajah, warna kulit hingga rambut? Cacat menurut siapa? Dari mana ketegori tersebut hadir? Jika dalam sebuah kerumunan masyarakat terdapat seribu orang berkaki satu, dan satu orang berkaki dua, maka siapa yang yang berhak dianggap cacat? Tentu saja orang berkaki genap tersebut yang dianggap cacat. Jika sebuah pulau nun-jauh seribu orang berkaki satu itu hidup, dapat dipastikan semua produk kebudayaan, alat-alat masak, bentuk rumah, tata kota, dan semua ornamen-ornamen yang ada tentu akan menyesuaikan dengan tubuh mereka. Sepeda
Menimbang Difabelisme sebagai Kritik Sosial
atau motor dipastikan bukan beroda dua, dan seterusnya. Semuanya menyesuaikan dengan konstruksi tubuh yang dimiliki. Definisi cacat yang dan beredar dalam alam kesadaran masyarakat seperti sekarang tidak berlaku lagi. Disadari betapa diskursus normalitas telah mendominasi, akibatnya semua struktur sosial kini terwujud dan hadir untuk meneguhkan normalitas itu sendiri. Dapat kita cerna berbagai fasilitas ruang publik seperti trotoar, terminal, kereta, tangga jembatan penyebrangan, tempat ibadah, tempat pendidikan, semuanya bias akan normalitas. Bahkan berdasar pada survey dari 35 gedung milik publik hanya ditemukan 0,3 persen yang memberikan akses untuk dapat dinikmati bagi orang-orang difabel (Soldier, 2005). Struktur sosial saat ini didominasi oleh struktur normalitas, maka difabel tidak lain masuk perangkap dalam struktur sosial tersebut. Lebih tepatnya “kecacatan” pada hakekatnya merupakan hasil “kontruksi sosial” yang tereproduksi oleh struktur dominan. Sebagaimana kontruksi sosial kaum laki-laki yang menyubordinasi kaum perempuan. Kontruksi sosial tentang kecacatan tersebut masuk dalam segala lini kehidupan, dan alam bawah sadar manusia, sehingga ketegori “cacat” merupakan suatu paket yang seoalah-olah benar adanya dan tidak perlu digugat. Dengan demikian cacat merupakan konstruksi sosial. Sebuah terma yang berjubal dengan kepentingan menempel di dalamnya. Sama halnya dengan ilmu pengetahuan sekarang. Benarkah bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasrat suci (pure curiouscity) manusia untuk menjawab permasalahan tersebut, hingga kita melegakan keberadaan ilmu pengetahuan bebas dari kepentingan (interest)?. Kesenyapan pertimbangan orang difabel untuk dijadikan bahan refleksi dalam
kajian ilmu sosial di Indonesia merupakan kenyataan evidensial akan bias-bias orang “normal”. SIMPULAN Segala lipatan kehidupan manusia penuh sekali dengan kepentingan orang normal atau sebut saja “normalisme”. Lalu jalan untuk ‘menjernihkan’ kepentingan tersebut adalah “pembongkaran”. Pembongkaran dimaksudkan menyikap tabir, dimana orangorang difabel menjadi bagian yang tertutup dalam perkembangan perjalanan peradaban. Pembongkaran dan usaha melihat sesuatu dengan perspektif difabelitas inilah yang kemudian dinamakan difabelisme. Difabelisme merupakan sebuah gugusan paradigma yang berlandaskan ontologis bahwa berbagai ornamen yang melekat dalam diri manusia—kebudayaan, tindakan, pengetahuan, apresiasi, persepsi, dan lain sebagainya—merupakan bongkahanbongkahan, yang karena pertarungan dalam field, (Bourdieu, 1990) difabel menjadi kelompok minor yang tertutup oleh kuasa normalitas “ebled-body”. Hingga kemudian difabelisme pun bekerja melakukan “penjernihan” dengan nalar difabilitas atas kuasa “ideologi nornalisme”. Sebagai sebuah bentuk “a clearing space” untuk memunculkan suara-suara minoritas/subaltern. Sebagaimana dikatakan Spivak, “this critical work can be practiced, not to give the subaltern voice, but to clear the space to allow it to speak” (Michael, 2006). Maka, difabelisme merupakan perangkat perpektif yang akan bekerja dalam banyak bidang: anthropologi, sosiologi, agama, sastra, politik dan ilmu-ilmu yang lain. Ketiak masalah yang diampu oleh orang-orang difabel adalah masalah kultural. Setidaknya yang dapat dilakukan adalah membongkar kultur masyarakat, yang
111
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
selama ini memasung orang-orang difabel dalam kegelapan. Mengurai unsur-unsur kebudayaan dan mengkontekstualisasikan nilai-nilainya, menjadi lebih ramah dan tidak lagi menjadi “hantu” bagi difabel. Menafsirkan aturan dan ajaran agama agar lentur dan mengakomodasi, hingga menjadi dorongan transformatif bagi kepentingan difabel. Dalam konteks politik: wilayah paling besar kontestasi kepentingan manusia, maka setidaknya difabelisme menjadi perspektif yang akan diperjuangkan dalam bentuk kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat based on equality rigth. Sebagai contoh, jika berpijak pada prinsip bahwa demokrasi bukan sekedar prosedural suara terbanyak, maka ada baiknya bila dipikirkan perlunya quota bagi orang-orang difabel di kancah politik. Entah itu politik di tingkat pusat, maupun lokal, sebagaimana quota perempuan. Dengan begitu, kepentingankepentingan difabel benar-benar dapat terepresentasikan. Dengan demikian, jika perbedaan merupakan sebuah hal yang tidak dapat digugat, maka difabelisme merupakan kajian kritik sosial yang akan menjadi warna untuk mencapai proses masyarakat yang minim dominasi, dimana masing-masing individu dan anggota masyarakat mampu menuangkan ekspresi dirinya tanpa rasa berat, leluasa, dan merasa nyaman. Dan difabelisme adalah bagian dari perangkat untuk dalam warna-warni masyarakat dalam proses deleberasi tersebut. Melibatkan orangorang difabel/difabelisme dalam kajian ilmu sosial tentu saja terkait dengan harapan kita semua untuk mewujudkan masyarakat demokratis dan adil.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson Benedict. 1990. Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia, Cornell University Press: New York Baso, Ahmad. 2002. Plesetan Lokal: Politik Pribumisasi Islam, Desantara, Depok Bernes, Colin. 1991. Disabled People in Britain and Discrimination: A Case for Anti Discrimination Legislation. The Disability Press: Leed. _____, Colin. 1997. “A Legacy of Operassion: S History in Western Culture” dalam Len Berton dan Mike Oliver Disability Studies Past Present and Future. The Disability Press: Leed. Hlm 13 Bourdieu, Pierre. 1990. Logic of Practice, Polity Press, Cambridge. Hlm 20 Byrne, Janene. 2003. “Disability in Indonesia Life is challenging for people with disabilities in Indonesia” dalam Inside Indonesia Juli-September Damartoto, Argyo. 2005. Menyibak Sensivitas Gender dalam Keluarga Difabel, Sebelas Maret University Press, Surakarta. Bartels, Denies Dan Bartels Alice L. 2001. “Image of Oedipus” dalam Dialectical Anthropolog y, Cluwer Academic Publisher tanpa kota. Ebenstein, William. 2006. “Toward an Archetypal Psychology of Disability Based on Hephaestus Myth” dalam Jurnal Disability Studies Quarterly, Edisi 26 No. 4 Musim Gugur, Hawaii University Press: Manoa Foucault, Michel. 1988. Madness and Civilization: A History of Insanity and age of Reason, Vintage Book: New
112
Menimbang Difabelisme sebagai Kritik Sosial
York _______, Michel. 1991. Discipline and Punish: The Birth of The Prison Allen Lane. London.hlm 138 Kyimlicka, Will. 1995. Multicultural Citizenship, Clarendon Press: Oxford Michael, Kilburn. 2006. Glosary of Key Term in the Work of Gayatri Chakravorty dalam www. english.emori.edu/bahry/ Glosary.html Pemberton, John, 2003, On the Subject of Java. Mata Bangsa: Yogyakarta. hlm 151 Ritzer, George. 1996. Classical Sociological Theory, McGraw-Hill Companies, Singapore. Hlm 4–9. Sanet, Richard. 2004. Flesh and Stone: The Body and the City in Western Civilization, Pinguin Book: London Su’ud Sukahar, Joko.1999. Tafsir Gatholocho, Wuwung: Surabaya Turner, Bryan, 1977, “The Body in Western Society: Social Theor y and its Perspectives” dalam Religion and the Body, Sarah Coakly (Ed), Cambridge University Press: Cambridge MAJALAH So l d i e r. 2 0 0 5 . e d i s i k e - 2 . S I G A B : Yogyakarta
113
PENGGUNAAN STRATEGI-STRATEGI KRITIK DALAM BAHASA INDONESIA PADA MASYARAKAT DWILINGUAL INDONESIA-JAWA DI SURABAYA Edy Jauhari*
Abstract This article is an attempt to account for the strategies of criticizing in the dwilingual Indoneia-Java language community of Surabaya. It is very interesting to study because critics is one of those language aspect which have a high potential of threatening to the person who make and receive a critic itself. To avoide conflict, every speaker has to choose the right critics strategy. From the five strategies which are given by Brown and Levinson (1978), bald on record is the strategy which has a highest potential of threatening the hearer. The community of Surabaya tend to avoid this strategy or use it carefully. Keywords: critics strategy, speech acts, face threatening acts, bald on record
PENDAHULUAN Tulisan ini hendak mengkaji pemakaian strategi-strategi kritik dalam bahasa Indonesia pada masyarakat dwilingual Indonesia-Jawa di Surabaya. Pengamatan di lapangan menunjukkan, telaah mengenai penggunaan strategi- strategi kritik ini cukup menarik dilakukan mengingat tindak tutur mengkritik ini adalah salah satu tindak tutur yang rawan menimbulkan disharmoni atau riskan menimbulkan konflik antara pelaku kritik (O1) dan penerima kritik (O2). Tindak tutur seperti ini oleh Browan dan Levinson (1978) disebut sebagai Face-Threatening Act (FTA), yakni tindak tutur yang bisa mengancam muka peserta tutur. Untuk mengurangi kekerasan ancaman terhadap muka itulah, * Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga email: edy-jhr @yahoo.com.
pelaku kritik perlu memilih strategi tertentu yang tepat agar kritik yang disampaikan berhasil dan dapat mencapai sasaran tanpa menimbulkan hal-hal yang mengganggu keharmonisan hubungan dengan penerima kritik. Dalam hal ini pemilihan strategi kritik tersebut perlu mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma sosiokultural yang dianut masyarakat yang bersangkutan (Gunarwan, 1992, 1994, 1996). Brown dan Levinson (1978), yang juga diikuti oleh Gunarwan (1994), menawarkan lima strategi bertutur yang dapat dipilih untuk melakukan tindak tutur. Kelima strategi tersebut adalah (i) melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, menurut istilah Brown dan Levinson, secara bald on record, (ii) melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif (on record
Penggunaan Strategi-Strategi Kritik Dalam Bahasa Indonesia Pada Masyarakat Dwilingual Indonesia-Jawa Di Surabaya
plus positive politeness), (iii) melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif (on record plus negative politeness), (iv) melakukan tindak tutur secara samar-samar (off record), dan (v) tidak bertutur sama sekali, atau bertutur dalam hati (act not performed). Yang menarik dipahami adalah bagaimana strategi-strategi bertutur tersebut digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Indonesia di Surabaya, khususnya penutur yang berlatar belakang budaya Jawa sub-Surabaya. Data dalam tulisan ini diperoleh dari responden dengan jumlah 50 orang yang tersebar di berbagai wilayah di Surabaya. Responden dipastikan berlatar belakang budaya Jawa Surabaya dan sehari-hari menggunakan bahasa Jawa Suroboyoan sebagai komunikasi utama dalam situasi informal. Anggota masyarakat lain seperti Batak, Bali, Jakarta, Madura, dan lain-lain, meskipun tinggal di Surabaya dan menetap di Surabaya, tetapi karena tidak memiliki ciri-ciri yang disebutkan di atas tidak dapat dipilih menjadi responden. Oleh karena itu, masyarakat Surabaya dalam konteks tulisan ini diperlakukan sebagai masyarakat yang relatif homogen mengingat mereka dibingkai oleh ikatan norma budaya yang sama, yaitu budaya Jawa sub-Surabaya. SITUASI HIPOTESIS DAN STRATEGI KRITIK Sebagaimana dijelaskan di atas, data dalam makalah ini diperoleh dari responden. Responden tersebut diminta menempatkan penggunaan startegi-strategi kritik sesuai dengan norma-norma yang diyakini ke dalam delapan situasi hipotesis yang dibuat oleh peneliti. Responden diminta memberi tanda silang atau tanda cawang pada kolom yang tersedia pada kuesioner. Tanda silang berarti strategi itu tidak boleh digunakan, tanda cawang berarti boleh digunakan.
Delapan situasi hipotesis yang dibuat peneliti dirangkum dalam table-1 berikut. Tabel-1 Delapan situasi hipotesis yang dihadapi pelaku kritik ()1)
JENIS SITUASI
SITUASI PELAKU KRITIK (O1) S
P
L
1
-
+
+
2
-
+
-
3
-
-
+
4
-
-
-
5
+
+
+
6
+
+
-
7
+
-
+
8
+
-
-
S dalam tabel di atas singkatan dari superior, P singkatan dari publik, dan L ingkatan dari lisan. Tanda (+) pada S berarti O1 lebih superior (lebih tinggi status sosial, kehomatan, kewibawaan, dsb.) daripada O2. Tanda (+) pada P berarti kritik disampaikan di tempat publik. Tanda (+) pada L berarti kritik disampaikan secara lisan. Sebaliknya, tanda (-) pada S berarti O1 kalah superior dengan O2. Tanda (-) pada P berarti kritik tidak disampaikan di tempat publik, dan tanda (-) pada L berarti kritik disampaikan secara tertulis. Dengan demikian, gambaran situasi yang terdapat di dalam tabel 1 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Situasi 1 menggambarkan bahwa penerima kritik (O2) lebih superior daripada pelaku kritik (O1), kritik disampaikan di tempat publik dan lisan. Situasi 2 menggambarkan bahwa O2 lebih superior daripada O1, kritik disampaikan di tempat publik dan tertulis. Situasi 3 menggambarkan bahwa 115
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
O2 lebih superior daripada O1, kritik tidak disampaikan di tempat publik dan lisan. Situasi 4 menggambarkan bahwa O2 lebih superior daripada O1, kritik tidak disampaikan di tempat publik dan tertulis. Situasi 5 menggambarkan bahwa O1 lebih superior daripada O2, kritik disampaikan di tempat publik dan lisan. Situasi 6 menggambarkan bahwa O1 lebih superior daripada O2, kritik disampaikan di tempat publik secara tertulis. Situasi 7 menggambarkan bahwa O1 lebih superior daripada O2, kritik tidak disampaikan di tempat publik secara tertulis. Situasi 8 menggambarkan bahwa O1 lebih superior daripada O1, kritik tidak disampaikan di tempat publik secara tertulis. Berikut ini dipaparkan penggunaan strategi-strategi kritik sesuai dengan yang dikemukakan Brown dan Levinson pada masyarakat dwilingual Indonesia-Jawa di Surabaya sesuai dengan delapan situasi hipotesis yang dikemukakan di atas. PENGGUNAAN STRATEGI-STRATEGI KRITIK PADA MASYARAKAT SURABAYA STRATEGI BALD ON RECORD Kritik yang disampaikan secara bald on record adalah kritik yang disampaikan secara langsung, transparan, tanpa basabasi, dan biasanya tanpa atau sedikit sekali menggunakan “bumbu-bembu leksikal” yang dapat memperlunak kritik. Daya ilokusi strategi bald on record ini sangat kuat dan karena itu pada umumnya memiliki tingkat kesantunan yang cukup rendah. Strategi ini memiliki peluang yang sangat besar untuk mengancam muka penerima kritik jika digunakan tidak empan papan atau tidak mempertimbangkan tepa slira. Contoh strategi bald on record ini terlihat seperti (1) sampai dengan (3) berikut.
116
(1) Sebagaimana laporan yang masuk pada saya dan secara kebetulan dua hari yang lalu saya menyaksikan sendiri bahwa Anda tiga hari berturut-turut tidak masuk kerja tanpa ada pemberitahuan. Anda Tampaknya kok memiliki disiplin yang rendah. Kenapa? Sebelum terlanjur lebih parah, saya harap Anda segera memperbaiki diri. (2) Anda ini bagaimana, kalau mengerjakan tugas kok selalu tidak beres (3) Sebagaimana laporan yang saya terima bahwa Saudara sering tidak masuk kerja tanpa ada pemberitahuan yang jelas. Saudara tampaknya memiliki etos kerja dan disiplin yang tidak cukup baik. Sebelum terlanjur lebih parah, saya harap Saudara segera memperbaiki diri. Berdasarkan data yang diperoleh, strategi bald on record ini tampaknya tidak dapat dipilih secara sembarangan. Hal ini terbukti dari fakta bahwa tidak ada satu responden pun yang menggunakan strategi bald on record ini pada situasi-1, situasi-2, situasi-3, situasi-4, dan situasi-6. Sementara itu, 15 % responden menggunakan strategi ini pada situasi-5, 90 % menggunakan pada situasi-7, dan 80 % menggunakan pada situasi-8. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah tabel-2 berikut. Tabel 2 Penggunaan Strategi Bald on Record
SALURAN
SITUASI PELAKU KRITIK (O1)
RESPONDEN
S
L
P
1
-
+
+
0%
2
-
+
-
0%
3
-
-
+
0%
Penggunaan Strategi-Strategi Kritik Dalam Bahasa Indonesia Pada Masyarakat Dwilingual Indonesia-Jawa Di Surabaya 4
-
-
-
0%
5
+
+
+
15 %
6
+
+
-
0%
7
+
-
+
60 %
8
+
-
-
50 %
Tabel 2 di atas memperlihatkan betapa strategi bald on record tidak dapat digunakan secara sembarangan. Pada situsi 1, sampai dengan situasi 4, dan juga pada situasi 6, strategi bald on record ini cenderung tidak dapat digunakan. Pada situasi 5 strategi ini dapat digunakan tetapi dengan angka yang tidak signifikan, yakni hanya 15 %. Sementara itu, pada situasi 7 dan situasi 8, penggunaan strategi bald on record ini tampak agak signifikan, yaitu dengan persentase 60% dan 50%. Jika tabel 2 di atas diamati dengan saksama, akan kelihatan bahwa ternyata parameter superior begitu menentukan dalam pemilihan strategi bald on record. Hanya O1 yang lebih superior yang memungkinkan menggunakan strategi bald on record ini, sedangkan. O1 yang lebih inferior cendering dipandang tidak santun melakukan kritik kepada O2 dengan menggunakan startegi bald on record. Di samping para meter superior, parameter publik tampaknya juga dapat menjadi kendala terhadap penggunaan strategi bald on record ini. Hal ini terbukti dari saluran-5. Meskipun O1 dalam saluran5 lebih superior daripada O2, tetapi karena kritik disampaikan di tempat publik, maka penggunaan strategi bald on record ini juga masih rawan menimbulkan disharmoni hubungan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan strategi bald on record ini relatif memungkinkan bila digunakan dalam situasi seperti 7 dan situasi 8; paling tidak efeknya yang membuat muka
O2 terancam menjadi lebih rendah. STRATEGI ON RECORD PLUS KESANTUNAN POSITIF Strategi on record plus kesantunan positif adalah strategi kritik yang dilakukan dengan berbagai cara, yaitu (a) O1 menunjukkan persamaan dengan O2, (b) O1 menunjukkan bahwa dirinya termasuk dalam kelompok yang sama dengan O2, (c) O1 menunjukkan adanya persetujuan dengan O2, (d) O1 menunjukkan adanya pujian atau penghargaan terhadap O2, dan (e) O1 memberikan alasan berkenaan dengan kritikannya tersebut kepada O2. Beberapa contoh yang bisa diberikan untuk strategi on record plus kesantunan positif adalah sebagai berikut. (4) Saya sangat setuju dengan Bapak bahwa semua karyawan harus disiplin. Tapi hendaknya Bapak juga harus memberi contoh dalam bekerja sehari-hari (5) Upaya Bapak untuk meningkatkan disiplin kar yawan sungguh saya hargai dan saya dukung. Tetapi sangat disayangkan, kalau dalam bekerja sehari-hari Bapak kurang memberikan contoh. (6) Sebagai pegawai negeri, gaji kita memang kecil. Tapi sebaiknya hal itu tidak kita jadikan sebagai alasan untuk bisa bermalas-malasan dan tidak disiplin seperti yang selama ini kita lakukan. Sehingga pekerjaan kita banyak yang terbengkalai. (7) Buat Saudara Hikam, upaya Anda untuk mengadakan lomba lukis anakanak tingkat kabupaten sungguh saya hargai. Tapi sayang, masih terkesan lomba tersebut belum Anda tangani secara profesional, perencanaannya tidak begitu matang, dan terkesan asalasalan. Ini semua akibat Anda kurang
117
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
disiplin (8) Saya setuju-sutuju saja Anda mencari penghasilan tambahan. Tapi kalau mencari penghasilan tambahan itu Anda lakukan pada jam-jam kantor, itu namanya Anda melanggar disiplin. Akibatnya banyak pekerjaan kantor yang terbengkalai. (9) Upaya Anda untuk mengadakan lomba lukis anak-anak tingkat Kabupaten sangat saya hargai. Tapi sayang dalam pandangan saya lomba tersebut masih belum Anda tangani dengan sungguhsungguh dan perencanaannya masih belum begitu matang Jika dibandingkan dengan strategi bald on record, strategi on record plus kesantunan positif ini memiliki daya ilokusi lebih halus. Hal ini berarti bahwa starategi ini dapat lebih mengurangai tingkat keterancaman muka O2. Walaupun demikian, strategi ini tampaknya juga harus digunakan secara hati-hati oleh masyarakat Surabaya. Hal ini terbukti dari data bahwa tidak ada satu responden pun yang menggunakan strategi ini pada situasi-1 dan situasi-2. Berdasarkan data di lapangan, penggunaan strategi on record plus kesantunan posisif ini paling banyak terdapat pada situsi-7 (90%), kemudian didudul dengan situasi8 (85%), situasi-5 (80%), situasi-1 (20%), situasi- 4 (15%), situasi-3 dan situasi-6 (10%), dan terakhir situasi-2 (5%). Hal ini sebagaimana terlihat dalam tabel-3 berikut.
118
Tabel 3 Penggunaan Strategi On Record Plus Kesantunan Positif SITUASI PELAKU KRITIK (O1) SALURAN RESPONDEN S
L
P
1
-
+
+
20 %
2
-
+
-
5%
3
-
-
+
10 %
4
-
-
-
15 %
5
+
+
+
80 %
6
+
+
-
10 %
7
+
-
+
90 %
8
+
-
-
85 %
Dari tabel-3 di atas dapat diamati bahwa situasi-5, situasi-7, dan situasi-8 ternyata tidak menunjukkan perbedaan persentase yang signifikan. Jika diamati, ketiga saluran tersebut memiliki kesamaan parameter, yaitu O1 lebih superior daripada O2. Parameter ini tampaknya cukup berpengaruh dalam menentukan pemilihan strategi on record plus kesantunan positif ini bagi masyarakat Surabaya. Hal ini terbukti dari situasi-3 dan situasi-4 yang mengandung parameter -S dan pemilihan strategi tersebut ternyata jauh berkurang. Yang menimbulkan permasalahan adalah bagaimana dengan situasi-6 yang juga mempunyai parameter O1 lebih superior daripada O2 tetapi ternyata memiliki perbedaan angka yang cukup signifikan dengan situasi-5, -7, dan -8. Tampaknya hal ini dipengaruhi oleh para meter –L dan parameter +P yang menjadi pasangannya. Dalam masyarakat Surabaya strategi ini tampaknya tidak dianggap santun jika disampaikan secara tertulis di ruang Publik betapa pun disampaikan oleh O1 yang lebih superior. Situasi-5 dan situasi -6 sebenarnya
Penggunaan Strategi-Strategi Kritik Dalam Bahasa Indonesia Pada Masyarakat Dwilingual Indonesia-Jawa Di Surabaya
mengandung parameter yang sama kecuali satu parameter yang berbeda, yaitu parameter L. Dengan demikian, jelaslah bahwa di camping parameter S, parameter L juga sangat berpengaruh terhadap pemilihan strategi ini. Sedangkan, parameter P tidak begitu menentukan. Yang menarik adalah jika situasi-6 dibandingkan dengan situasi-2. Kedua situasi itu tampak mirip dan perbedaannya hanya terletak pada parameter P. Angkanya sama-sama kecil, yaitu 10% dan 5%. Hal ini bisa memberi petunjuk bahwa strategi ini dipandang tidak santun jika disampaikan secara tertulis di ruang Publik, baik oleh O1 yang superior maupun inferior. Selanjutnya, strategi ini juga dipandang kurang santun jika disampaikan dalam situasi-1 dan situasi-4. Hal ini terbukti dari perolehan persentasenya yang tidak signifikan, yaitu 20% dan 15%. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi on record plus kesantunan positif pada umunya dipandang memiliki kadar keterancaman yang rendah terhadap muka O2, mungkin juga dipandang lebih santun, lebih bisa menjaga perasaan O2, dan sebagainya apabila strategi ini digunakan oleh O1 yang lebih superior daripada O2 dan kritik itu disampaikan secara lisan, baik di tempat publik maupun tidak atau secara tertulis tetapi bersifat pribadi. STRATEGI ON RECORD PLUS KESANTUNAN NEGATIF. Sebuah kritik itu dikatakan menggunakan strategi on record plus kesantunan negatif manakala kritik itu disampaikan dengan cara (a) O1 menunjukkan permintaan maaf kepada O2, (b) O1 mengungkapkan kritik itu dalam bentuk pertanyaan, dan (c) O1 menunjukkan rasa hormat kepada O2 yang ditandai dengan penggunaan unsur-unsur leksikal tertentu seperti mohon, berkenan,
kata sapaan Bapak, dan kata-kata honorifik lain. Contoh yang dapat diberikan di sini adalah sebagai berikut. (10) Bapak Kepala Sekolah yang saya hormati, sebelumnya saya mohon maaf karena terpaksa menyampaikan ini. Sebenarnya saya sangat setuju bahwa kita semua harus berdisiplin. Tetapi kami mohon agar Bapak juga memberi contoh. Selama ini yang terjadi Bapak hanya menganjur-anjurkan tetapi tidak memberi contoh. Hal ini bisa menimbulkan kesan yang kurang baik bagi Bapak sendiri. (11) Sebelumnya saya minta maaf kepada Bapak. Hal ini perlu saya sampaikan demi kebaikan dan kemajuan kantor kita bersama. Saya sangat mendukung maksud Bapak untuk meningkatkan disiplin pegawai. Tetapi saya mohon dengan sangat agar Bapak juga memberi contoh. Selama ini yang terjadi Bapak juga dinilai kurang disiplin oleh para pegawai. Sekali lagi, saya mohon maaf.. Tampaknya strategi on record plus kesantunan negatif ini di pandang sebagai strategi kritik yang sangat santun oleh masyarakat Surabaya. Hal ini terbukti dari fakta bahwa strategi ini paling merata pada semua situasi. Sebagaimana tampak dalam tabel-4 bahwa 90% responden menggunakan strategi ini pada situasi-5, 85% responden menggunakan pada situasi-8, 80% responden menggunakan pada situasi-7, 70% responden menggunakan pada situasi-1, dan 50% responden menggunakan pada situasi-3, dan 40% responden menggunakan pada situasi-4. Sementara itu, pada situasi-6 dan situasi-2 hanya 20% dan 10% responden yang menggunakan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel-4 berikut.
119
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
Tabel 4
Selanjutnya, bagaimana dengan situasi1 yang meskipun O1 kalah superior dengan O2, tetapi perolehan angkanya cukup tinggi, yakni 70%. Sebenarnya situasi-1 ini SITUASI PELAKU KRITIK (O1) mirip dengan situasi-2. Perbedaannya hanya SALURAN RESPONDEN terdapat pada ±L. Tetapi, perbedaan ini S P L membawa perbedaan angka yang significan 1 + + 70 % karena situasi-2 hanya mendapatkan angka 2 + 10 % 10%. Hal ini memberikan petunjuk bahwa ±L-lah yang menjadi faktor penyebabnya. 3 + 50 % Jadi, rupanya strategi ini bagi masyarakat 4 40 % Surabaya dianggap santun jika disampaikan 5 + + + 90 % secara lisan betapa pun di di ruang Publik dan disampaikan oleh O1 yang tidak lebih 6 + + 20 % superior daripada O2; akan tetapi, akan 7 + + 80 % dianggap kurang santun jika disampaikan 8 + 85 % secara tertulis. Sementara itu, pada situasi-3 dan Sebagaimana terlihat dalam tabel-4 di atas bahwa strategi on record plus kesantunan situasi-4, strategi ini mendapatkan angka negatif paling banyak digunakan pada situasi- yang seimbang, yakni 50% dan 40%. Hal 5, -8, -7 dan -1. Jika diamati dengan saksama, ini memberikan petunjuk bahwa strategi ini situasi-5, situasi-7, dan situasi-8 memiliki masih tergolong wajar disampaikan dalam kesamaan parameter, yaitu O1 lebih superior situasi seperti 3 dan 4 di atas. daripada O2. Perbedaannya hanya terdapat pada parameter ±P dan ±L. Parameter +S STRATEGI OFF RECORD tampaknya Sangat penting untuk strategi ini. Yang dimaksud dengan strategi off Hal ini terbukti dari perbedaan parameter- record adalah strategi di mana kritik itu parameter yang menjadi pasangannya yang disampaikan dengan cara tidak transparan ternyata tidak membawa pengaruh yang atau samar-samar. Kritik yang disampaikan signifikan terhadap perolehan angkanya dengan strategi ini pada umumnya memiliki yang sangat tinggi. LATU, bagaimana daya ilokusi yang sangat lemah sehingga nilai dengan situasi-6. Di dalam situasi-6 itu, O1 kesantunannya dipandang cukup tinggi. lebih superior daripada O2, tetapi ternyata Strategi off record ini memiliki dua substrategi, perolehan angkanya hanya kecil, yakni yaitu strategi siratan kuat dan strategi siratan 20%. Tampaknya hal ini dipengaruhi oleh halus. Perbedaan kedua substrategi tersebut parameter yang menjadi pasangannya, yaitu terdapat pada kadar ilokusinya. Siratan kuat +P dan-L. Jadi, tampaknya strategi ini dalam lebih tinggi daya ilokusinya daripada siratan masyarakat Surabaya dipandang kurang halus. Contoh (12) berikut merupakan contoh santun jika disampaikan secara tertulis strategi siratan kuat, sedangkan contoh (13) di ruang Publik (misalnya melalui papan merupakan strategi siratan halus. pengumuman atau sarana komunikasi Publik (12) Semua pegawai harus berdisiplih, yang lain) betapa pun disampaikan oleh O1 termasuk pimpinan. yang lebih superior. Penggunaan Strategi On Record Plus Kesantunan Negatif
120
Penggunaan Strategi-Strategi Kritik Dalam Bahasa Indonesia Pada Masyarakat Dwilingual Indonesia-Jawa Di Surabaya
(13) Sesuai dengan peraturan sekolah, semua situasinya adalah-P, maka sindikan itu akan guru dan siswa wajib mengikuti upacara bisa dirasakan secara langsung oleh O2 hari Senin. yang dalam hal ini posisinya lebih superior. Data di lapangan menunjukkan bahwa Berdasarkan pertimbangan seperti inilah penggunaan strategi off record ini hampir barangkali sebagian responden merasa tidak bisa digunakan pada semua situasi. Bangkali enak menggunakan strategi ini untuk situasi hal ini cukup beralasan karena strategi seperti 3 dan 4 di atas. ini merupakan strategi kritik yang paling lunak. Begitu lunaknya sehingga kadangkadang penerima kritik tidak terasa dikritik. Walaupun demikian, strategi ini tidak selalu sesuai untuk digunakan pada semua situasi. Hal ini seperti tercermin pada tabel-5 berikut. Tabel 5 Penggunaan Strategi Off Record SITUASI PELAKU KRITIK SALURAN (O1) RESPONDEN S
P
L
1
-
+
+
80 %
2
-
+
-
85 %
3
-
-
+
40 %
4
-
-
-
50 %
5
+
+
+
90 %
6
+
+
-
90 %
7
+
-
+
80 %
8
+
-
-
90 %
SIMPULAN Pertama, strategi bald on record paling banyak digunakan pada situasi-7 (60%) kemudian disusul dengan situasi-8 (50%), dan sedikit digunakan pada situasi-5 (15%). Strategi bald on record tidak ditemukan penggunaannya pada situasi-1, -2, -3, -4, dan situasi -6. Masing-masing mendapatkan 0%. Kedua, strategi on record plus kesantunan positif paling umum digunakan pada situasi7 (90%), kemudian disusul dengan situasi-8 (85%), situasi-5 (80%). Situasi-situasi yang lain mendapatkan angka kurang dari 50%. Ketiga, strategi on record plus kesantunan negatif banyak digunakan pada situasi-5 (90%), situasi-8 (85%), situasi-7 (80%), situasi1 (70%), dan situasi-3 (50%) Selebihnya strategi ini digunakan kuirang dari 50%. Keempat, strategi off record dapat digunakan secara merata hampir pada semua situasi, kecuali situasi-3 yang mendapatkan angka kurang dari 50%.
Yang perlu dicatat pada tabel-5 di atas adalah situasi-3 dan situasi-4. Kedua situasi itu mendapatkan angka yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan yang lain, yakni 40% DAFTAR PUSTAKA dan 50%. Persoalannya adalah bagaimana menjelaskan hal itu sebab strategi ini dikenal Blim-Kulka, Shoshana. 1989. Cross-Cultural sebagai strategi yang paling lunak sehingga Pragmatics: Request and Apologies. New mestinya dapat digunakan pada semua situasi. Jersey. Ablex Publishing Corporation Rupanya faktor yang menyebabkan adalah Norwood parameter –P yang dikombinasikan dengan parameter –S. Kombinasi ini menyebabkan Brown, Penelope dan S.C. Levinson. 1978. “Universals in Language Usage: strategi ini menjadi seperti sindikan. Karena 121
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
Politeness Phenomena”. dalam Question in Politeness. Cambridge: Cambridge University Press. Fraser, Bruce. 1990. “Perspectives on Politeness” dalam Journal of Pragmatics. Volume 14. No. 2. April 1990. Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Direktif di dalam Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta” dalam PELLBA 5. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. _____. 1994. “ Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan IndonesiaJawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik” dalam PELLBA 7. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. _____. 1996. “The Speech Act of Criticizing among Speakers of Javanese”. Makalah Dipresentasikan dalam Pertemuan ke6 South East Asian Linguistics Society. Tidak diterbitkan. _____. 2000. “Tindak Tutur Melarang di Kalangan Dua Kelompok Etnis Indonesia: Kearah Kajian Etnopragmatik” dalam PELLBA 13. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. Leech, Geoffrey. 1993. Prinisip-Prinsip Pragmatik. Diterjemahakan oleh M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia. Suseno, Frans Magnis. 1988. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia. Schiffrin, Deborah. 1994. Approaches to Discourse. Cambridge: Blackwell. Yanti, Yusrita. 2001. “Tindak Tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di Kalangan Penutur Minangkabau” dalam Linguistik Indonesia, Tahun 19, Nomor 1
122
UPAYA PEMBAKUAN EJAAN BAHASA MADURA DAN PERTIMBANGAN TERHADAP PERSOALAN YANG DIPERDEBATKAN Akhmad Sofyan*
Abstract There have been many attempts to standardize Madurese spelling since 1973; unfortunately, it has not shown any results. Even though more serious attempts have been conducted since 2002 and some points have been approved, debates over some other points are still underway. The points that have gained approval are (a) vowels /e/ and /⁄/ spelled differently as e and ⁄, (b) vowel /a/ written with two symbols ⁄ and ⁄, (c) consonants /k/ and /?/ spelled differently with k and apostrophe (⁄Ê⁄). Meanwhile, the points being debated are (a) voiced post-dental consonant (/d/) and voiced post-alveolar consonant (/D/), (b) voiceless post-dental consonant (/t/), (c) aspirated consonants, and (d) glides and phones resulted from affixation.
Keywords: madurese, consonant
PENGANTAR Kalau sampai sekarang bahasa Madura (BM) belum memiliki Ejaan yang Disempurnakan (EYD), faktor penyebabnya bukanlah karena tidak adanya upaya yang serius. Sebenarnya upaya pembakuan “Ejaan Bahasa Madura” (EBM) sudah dilakukan sejak tahun 1973. Upaya yang sudah sangat bahkan mungkin lebih tepat kalau dikatakan terlalu lama itu tidak segera membuahkan hasil, karena kita terlalu asik berdebat. Setiap kali dilakukan pembahasan masalah ejaan selalu diwarnai dengan perdebatan yang seru; yang semakin dicoba untuk diselesaikan, * Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Jember.
perdebatan bukannya “mendingin” tetapi justru semakin “memanas”. Perdebatan yang terjadi sebenarnya tidak dilatarbelakangi oleh faktor teoritis atau akademis, tetapi lebih cenderung dilatarbelakangi oleh faktor teknis dan faktor dialektis. Karena terlalu asik berdebat, para pemerhati BM sampai lupa bahwa permasalahan yang dihadapi BM semakin berat dan kompleks. Bahwa BM dihadapkan pada persoalan ketidakmampuan bertahan pada masa-masa mendatang. Sebagai bukti bahwa upaya pembakuan EBM dilakukan secara serius, berikut ini akan dipaparkan upaya-upaya yang dilakukan sejak tahun 2002. Setelah itu, akan diberikan penjelasan mengenai perkembangan terakhir
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
pembakuan EBM. Penjelasan ini—terutama yang berkaitan dengan permasalahan yang masih menjadi perdebatan—sama sekali tidak berpretensi untuk “menghakimi” atau “berpihak pada satu pihak”. Penjelasan ini hanya dimaksudkan untuk dijadikan pertimbangan dalam pembakuan EBM, sehingga perdebatan yang terjadi segera dapat diakhiri dan BM segera memiliki EYD UPAYA PEMBAKUAN Upaya-upaya pembakuan EBM yang dilakukan sejak tahun 2002 antara lain: (1) “Lokakarya Pemantapan Ejaan Bahasa Madura” tahun 2002, (2) revisi konsep EBM, dan (3) “Pemasyarakatan Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan” tahun 2005. Adapun hasil yang dicapai melalui upayaupaya tersebut adalah sebagai berikut. Lokakarya Pemantapan “Lokakarya Pemantapan Ejaan Bahasa Madura” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Surabaya pada tanggal 31 Desember 2002 menghasilkan rumusan bahwa Konsep Ejaan Bahasa Madura hasil sarasehan tahun 1973 dapat dilaksanakan dengan penyempurnaan sebagai berikut. (1) Vokal e peppet (/ə/) dan e talèng (/є/) perlu diberi tanda atau simbol yang berbeda (e dan è). (2) Konsonan beraspirasi dan takberaspirasi diberi simbol yang berbeda. (3) Bunyi pelancar (w, y, dan glotal) serta bunyi-bunyi lain yang muncul sebagai akibat proses afiksasi atau pengimbuhan tidak ditulis. Dengan ketiga penyempurnaan tersebut, secara otomatis, untuk penulisan bunyi hamzah atau glotal tetap menggunakan simbol yang digunakan dalam Konsep Ejaan Bahasa Madura hasil sarasehan tahun 1973, yakni menggunakan tanda apostrof (..’..). 124
Revisi Konsep Sebelum dicetak dalam bentuk buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan dan dipublikasikan secara terbatas dengan cara mengirimkan kepada para peserta lokakarya dan beberapa instansi terkait, terlebih dahulu dilakukan penyelarasan terhadap konsep EBM yang telah disusun oleh (1) RP. Abd. Sukur Notoasmoro, (2) Azis Sukardi, (3) Abdul Rachem, (4) Soegianto, dan (5) Slamet Riyadi. Tugas untuk melakukan penyelarasan diserahkan kepada saya (Akhmad Sofyan) dan Sri Ratnawati. Pada waktu melakukan tugas sebagai penyelaras, kami mengambil prakarsa untuk menambahkan catatan bahwa vokal /a/ ditulis dengan dua simbol, yakni a untuk vokal bawah-depan dan â untuk vokal bawah-pusat. Se t e l a h B a l a i B a h a s a Su r a b a y a mensosialisakan Keputusan Lokakarya Pemantapan Ejaan Bahasa Madura dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempur nakan, ada beberapa pihak yang mengajukan tanggapan, baik yang disampaikan secara lisan maupun secara tertulis atau resmi. Tanggapan yang disampaikan secara resmi diajukan oleh: Bapak RP. Abd. Sukur Notoasmoro (Sumenep) dan Yayasan “Pakem Maddhu” (Pamekasan). Tanggapan Bapak RP. Abd. Sukur Notoasmoro adalah pada rumusan yang ketiga yakni “masalah penulisan bunyi pelancar”. Tanggapan dari Yayasan “Pakem Maddhu” antara lain: (1) revisi terhadap kesalahan ketik yang terdapat dalam EBM; (2) penulisan bunyi vokal bawah pusat dengan â karena tidak termasuk dalam hasil rumusan lokakarya; (3) konsonan postalveolar bersuara takberaspirasi yang dalam ejaan BM ditulis d (d tanpa titik bawah), ditulis dengan d (d titik bawah); dan (4)
Upaya Pembakuan Ejaan Bahasa Madura Dan Pertimbangan Terhadap Persoalan Yang Diperdebatkan
menambahkan huruf t (t titik bawah) untuk bunyi post-dental takbersuara. Menyikapi tanggapan dan keberatankeberatan tersebut, sebagai pemakalah pada acara “Pemasyarakatan Pedoman Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan” yang diselenggarakan pada tanggal 27 September 2005 di Hotel Elmi Surabaya yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Peduli Anak Indonesia Jawa Timur bekerja sama dengan Balai Bahasa Surabaya, atas permintaan panitia, saya melakukan beberapa revisi, antara lain: (1) menambahkan dua butir aturan (butir 8 dan 9) pada bab 4 sub b, (2) memperbaiki semua kesalahan ketik, kecuali untuk penulisan d (d titik bawah) dan t (t titik bawah) dan (3) menambahkan konsonan th pada bab 1 sub d sebagai simbol dari t yang diusulkan oleh Yayasan “Pakem Maddhu”. Pemasyarakatan Dalam “Pemasyarakatan Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan” yang diselenggarakan oleh Komnas Peduli Anak Indonesia bekerja sama dengan Balai Bahasa Surabaya pada tanggal 27 September 2005 di Hotel Elmi Surabaya, yang terjadi bukanlah “pemasyarakatan” tetapi lebih bersifat “semi-loka”. Sebab, ternyata masih terdapat banyak hal yang diperdebatkan dalam konsep EYD. Perdebatan yang terjadi dalam forum tersebut antara lain: (1) penulisan vokal e peppet (/ə/) dan e talèng (/є/), (2) penulisan vokal a, (3) penulisan bunyi glotal ([?]), (4) penulisan konsonan d, (5) penulisan bunyi post-dental takbersuara ([T]), (6) penulisan bunyi-bunyi bersuara beraspirasi, dan (7) penulisan bunyi pelancar, glotal, dan bunyibunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afiksasi. Dari ketujuh permasalahan yang menjadi perdebatan tersebut, tiga permasalahan yang pertama mencapai
kesepakatan, sedangkan empat permasalahan yang terakhir belum mencapai kesepakatan dan masih tetap menjadi perdebatan. Bentuk kesepakatan yang dicapai sehubungan dengan: (1) penulisan vokal e peppet dan e talèng, (2) penulisan vokal a yang menggunakan dua simbol, dan (3) penulisan bunyi glotal ([?]), adalah sebagai berikut. (1) Vokal e peppet (/ə/) dan e talèng (/є/) ditulis dengan simbol yang berbeda, yakni e dan è. (2) Vokal a ditulis dengan dua simbol yakni a dan â. (3) bunyi glotal ([?]) yang merupakan fonem ditulis dengan simbol apostrof (..’..). Bentuk perdebatan yang terjadi sehubungan dengan: (1) penulisan konsonan d, (2) penulisan bunyi post-dental takbersuara ([T]), (3) penulisan bunyi-bunyi bersuara beraspirasi, dan (4) penulisan bunyi pelancar, glotal, dan bunyi-bunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afiksasi, adalah sebagai berikut. (1) Mengenai penulisan konsonan d, satu pihak berpendapat bahwa penulisan konsonan d harus dibedakan antara d (d tanpa titik bawah) dengan d (d titik bawah), sementara pihak yang lain berpendapat bahwa keduanya tidak perlu dibedakan dan digunakan simbol d (tanpa titik bawah). (2) Mengenai penulisan bunyi postdental takbersuara ([T]), satu pihak berpendapat agar ditulis dengan t (t titik bawah), sementara pihak yang lain berpendapat agar ditulis dengan th. (3) Mengenai bunyi-bunyi bersuara beraspirasi ([bh], [dh], [Dh], [gh], dan [jh]), ada yang berpendapat bahwa penulisan bunyi-bunyi tersebut tidak perlu dibedakan dengan bunyi-bunyi bersuara takberaspirasi; atau kalau memang harus
125
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
dibedakan, hendaknya digunakan satu huruf tidak menggunakan dua huruf seperti yang digunakan pada konsep EYD, yakni: bh, dh, đh, gh, dan jh. (4) Mengenai penulisan bunyi pelancar, glotal, dan bunyi-bunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afiksasi, satu pihak berpendapat harus ditulis, sementara pihak lain berpendapat untuk tidak ditulis.
norma atau pertimbangan utama, yaitu: (1) pertimbangan teoritis, artinya tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan teori-teori linguistik, khususnya teori mengenai fonem BM; (2) pertimbangan praktis, artinya mudah dalam pembacaan dan memperhatikan kekhasan-kekhasan yang terdapat dalam BM; dan (3) pertimbangan teknis, artinya penulisan dapat dilakukan secara relatif mudah dan cepat, dengan cara Dengan perkembangan terakhir yang menggunakan simbol-simbol yang lebih seperti itu, menurut hemat saya, terlepas sederhana (Samsuri, 1987). dari beberapa tahapan dan rumusan yang telah dilakukan, kita harus menyikapi bahwa Penjelasan Persoalan yang Sudah pembakuan ejaan BM masih belum final dan Disepakati masih berproses. Dengan sikap yang seperti Vokal e peppet dan e talèng itu, artinya kita tidak dapat menetapkan “harga mati” sehingga harus menolak setiap pendapat atau usulan yang tidak sesuai dengan apa yang telah dirumuskan sebelumnya. Untuk menyelesaikan polemik yang masih terjadi, saya kira akan lebih baik kalau segera diadakan “Lokakarya Pembakuan Ejaan Bahasa Madura”. Setelah itu, kita harus berhenti berpolemik. P E N J E L A S A N PERTIMBANGAN
D A N
Dalam melakukan pembakuan ejaan, satu hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwa penyusunan ejaan suatu bahasa tidak berhubungan dengan penentuan dialek standar dalam bahasa tersebut. Artinya, pembakuan ejaan tidak semata-mata didasarkan atas kebiasaan penggunaan ejaan yang berlaku dalam dialek standar. Dalam kasus BM, walaupun yang disepakati sebagai dialek standar adalah dialek Sumenep, pembakuan ejaan BM tidak dapat hanya didasarkan atas kebiasaan penggunaan ejaan yang berlaku dalam dialek Sumenep. Pembakuan ejaan yang baik adalah yang penyusunannya didasarkan pada tiga dasar 126
Dalam bahasa Madura, vokal e peppet ([ə]) dan e talèng ([є]) merupakan fonem yang berbeda. Sebab, kedua jenis vokal itu bersifat distingtif atau dapat dikontraskan pada pasangan minimal. Oleh karena itu, kedua jenis vokal itu harus diberi simbol yang berbeda, yakni e dan è. Sebagai bukti bahwa antara e dan è bersifat distingtif dapat dilihat pada bagan 2 berikut Bagan 2 Kontras antara e ([ə]) dan è ([ε]) No TULISAN UCAPAN
ARTI
><
1.
anteng
[antəŋ]
tenang
><
antèng
[antεŋ]
anting
2.
kèker
[kεkər]
bidik
><
kèkèr
[kεkεr]
kikir
3.
kerker
[kərkər]
mengkerut ><
kèrkèr
[kεrkεr]
bayak luka
4.
lempo
[ləmp]כ
lèmpo
[lεmp]כ
payah
gemuk
><
TULISAN UCAPAN
ARTI
Vokal a digunakan dua buah simbol (a dan â) Digunakannya dua simbol untuk vokal /a/ yakni a untuk vokal bawah-depan dan â untuk vokal bawah-pusat didasarkan pada alasan praktis (untuk memudahkan pembacaan) dan untuk menghindari kesalahan dalam penulisan. Sebab dalam
Upaya Pembakuan Ejaan Bahasa Madura Dan Pertimbangan Terhadap Persoalan Yang Diperdebatkan
banyak kasus, pada saat menulis BM, orang yang kurang menguasai masalah fonem BM cenderung menggunakan simbol e untuk bunyi [â]. Kecenderungan itu terjadi karena dari segi bunyi dan artikulasi, [â] memang lebih mirip dengan [ə] daripada dengan [a] (lihat Samsuri, 1987; Verhaar, 1981; Hyman, 1975; Lass, 1991). Bunyi [â] dan [ə] samasama merupakan vokal pusat, sedangkan [a] merupakan vokal depan. Padahal dalam BM bunyi [â] merupakan variasi dari vokal /a/ dan merupakan fonem yang berbeda dengan [ə]. Penulisan bunyi glotal dengan simbol apostrof (..Ê..) Bunyi hamzah atau glotal menggunakan tanda apostrof (..’..) karena di samping merupakan fonem yang berbeda dengan [k], distribusinya tidak hanya di akhir kata tetapi juga ada yang di tengah kata dan di antara dua vokal. Dengan distribusi yang seperti itu, kalau bunyi itu disimbolkan dengan huruf, maka akan menyulitkan dalam pembacaan karena tidak tampak sebagai konsonan akhir dari suku sebelumnya, tetapi tampak sebagai konsonan awal dari suku berikutnya. Pertimbangan terhadap Persoalan yang Menjadi Perdebatan Penulisan konsonan d Dalam bahasa Madura, antara bunyi post-dental bersuara ([d]) seperti pada kata dâlâ’ [dâlâ?] ‘sodomi’ dengan bunyi post-alveolar bersuara ([D]) seperti pada kata dâdâ [DâDâ] ‘dada’, dâpa’ [Dâpa?], dan mandi [manDi] ‘mandi’ merupakan dua fonem yang berbeda. Sebab, kedua bunyi tersebut dijumpai dalam pasangan minimal maupun dalam pasangan yang mirip. Oleh karena itu, kedua bunyi tersebut
perlu diberi simbol yang berbeda. Di antara kedua bunyi konsonan tersebut, yang sangat produktif penggunaannya adalah /D/, sedangkan /d/ penggunaannya sangat terbatas, hanya dijumpai pada kata-kata tertentu. Oleh karena itu, agar secara teknis tidak menyulitkan, kalau memang dianggap perlu untuk dilakukan pembedaan penulisan, hendaknya yang diberi tanda khusus adalah konsonan yang penggunaannya lebih terbatas yakni /d/. Dengan pertimbangan kemudahan teknis tersebut, maka untuk menuliskan konsonan post-dental bersuara ([d]) dapat didigunakan d (d titik bawah) atau đ, sedangkan untuk konsonan post-alveolar bersuara ([D]) cukup digunakan d (d tanpa tanda). Penulisan bunyi post-dental takbersuara ([T]) Dalam bahasa Madura, antara bunyi dental takbersuara ([t]) dengan dengan post-dental takbersuara ([T]) merupakan fonem yang berbeda. Kedua jenis bunyi tersebut bersifat distingtif. Sebagai dua fonem yang berbeda, keduanya harus diberi simbol yang berbeda. Menurut hemat saya, pemberian simbol yang berbeda untuk kedua fonem tersebut, yang secara teknis lebih mudah adalah t dan th. Penggunaan simbol th untuk konsonan /T/ jauh lebih mudah dibandingkan dengan t (t titik bawah). Penulisan bunyi bersuara beraspirasi ([bh], [dh], [gh], dan [jh]) Dalam bahasa Madura antara bunyi bersuara takberaspirasi ([b], [d], [g], dan [j]) dengan bunyi bersuara beraspirasi ([bh], [dh], [gh], dan [jh]) merupakan dua fonem yang berbeda. Sebab, kedua jenis bunyi tersebut bersifat distingtif atau dapat dikontraskan pada pasangan minimal. Oleh karena itu, kedua jenis bunyi tersebut sebaiknya diberi 127
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
simbol yang berbeda. Adapun simbol untuk bunyi-bunyi bersuara beraspirasi yang secara teknis lebih mudah dilakukan adalah bh, dh, gh, dan dh. Kalau kita berpegangan pada prinsip “satu fonem satu grafem”, secara teknis hal itu akan sangat menyulitkan. Sama halnya dengan fonem nasal-palatal dan nasal-velar yang lazim digunakan simbol ny dan ng. Kalau berpegangan pada prinsip “satu fonem satu grafem”, seharusnya digunakan simbol ñ dan ŋ. Selain itu, dalam BM juga terdapat bunyi post-alveolar bersuara beraspirasi ([Dh]) yang merupakan fonem yang berbeda dengan bunyi post-dental bersuara beraspirasi ([dh]). Sebagai dua buah bunyi yang merupakan fonem yang berbeda, maka keduanya sebaiknya diberi simbol yang berbeda pula. Oleh karena itu, untuk fonem post-alveolar bersuara beraspirasi perlu dicarikan simbol yang secara teknis relatif paling mudah. Alternatif yang dapat dipilih adalah đh atau dh. Di antara kedua jenis simbol tersebut—berdasarkan pengalaman saya—yang secara relatif lebih mudah adalah simbol yang pertama, yakni đh. Penulisan bunyi pelancar ([w] dan [y]), glotal ([?]), dan bunyibunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afiksasi Dalam proses morfologis BM, morfofonemis yang terjadi antara lain: (1) peluluhan fonem awal bentuk dasar, (2) peluluhan fonem awal bentuk dasar yang disertai dengan perubahan vokal, (3) asimilasi progresif, (4) pemunculan bunyi pelancar dan glotal, dan (5) geminasi atau perangkapan konsonan. Peluluhan fonem awal bentuk dasar terjadi sebagai akibat dari prefiksasi {N}. Misalnya: pèlè [pєlє] ‘pilih’ menjadi mèlè [mєlє] ‘memilih’, tolès [tכlєs] ‘tulis’ 128
menjadi nolès [nכlєs] ‘menulis’, sarè [sarє] ‘cari’ menjadi nyarè [ñarє] ‘mencari’, dan kala’ [kala?] ‘ambil’ menjadi ngala’ [ŋala?] ‘mengambil’. Peluluhan fonem awal bentuk dasar yang disertai dengan perubahan vokal, terjadi sebagai akibat dari prefiksasi {N-} dan kaidah fonologis BM. Perubahan vokal yang terjadi, ada yang terjadi pada suku pertama, suku kedua, dan semua vokal yang terdapat pada bentuk dasarnya. Perubahan vokal pada suku pertama, terjadi apabila vokal pada suku pertama bentuk dasarnya berupa vokal atas (/i/ dan /u/) dan vokal bawah-pusat ([â]) dan konsonan pada suku keduanya selain /y/, /w/, /l/ atau /r/. Misalnya: bittha’ [biTTa?] ‘kuak’ menjadi mèttha’ [mєTTa?] ‘menguak’, budi [budi] ‘belakang’ menjadi modi [mכdi] ‘terlambat, belakangan’, bukka’ [bukka?] ‘buka’ menjadi mokka’ [mכkka?] ‘membuka’, bâbâ [bâbâ] ‘bawah’ menjadi mabâ [mabâ] ‘agak ke bawah, rendah’, dan bâgi [bâgi] ‘bagi’ menjadi magi [magi] ‘membagi’. Perubahan vokal pada suku kedua, terjadi apabila vokal pada suku pertama bentuk dasarnya berupa vokal tengah-pusat (/e/ atau [ə]) dan konsonan pada suku keduanya: /y/, /w/, /l/ atau /r/. Misalnya, belli [bəlli] ‘beli’ menjadi mellè [məllє] ‘membeli’. Perubahan yang terjadi pada semua vokal yang terdapat pada bentuk dasarnya, terjadi apabila vokal pada suku pertama bentuk dasarnya berupa vokal atas (/i/ dan /u/) atau vokal bawah-pusat ([â]) dan konsonan pada suku keduanya: /y/, /w/, /l/ atau /r/. Misalnya, bâlâi [bâlâi] ‘beri tahu’ menjadi malaè [malaє] ‘memberi tahu’, buwâ’ [buwâ?] ‘muat’ menjadi mowa’ [mכwa?] ‘memuat’, dan buwâng [buwâŋ] ‘buang’ menjadi mowang [mכwaŋ] ‘membuang’ (Sofyan, 2005). Morfofonemis yang berupa asimilasi progresif terjadi pada sufiksasi {-na}. Misalnya: bhântal ‘bantal’ menjadi bhântalla ‘bantalnya’, ettas ‘tas’ menjadi ettassa ‘tasnya’,
Upaya Pembakuan Ejaan Bahasa Madura Dan Pertimbangan Terhadap Persoalan Yang Diperdebatkan
lajâr ‘layar’ menjadi lajârrâ ‘layarnya’, dan pangkèng ‘kamar’ manjadi pangkèngnga ‘kamarnya’. Bunyi pelancar w muncul apabila bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /o/ atau /u/ dilekati oleh sufiks {-a}, {-è}, atau {-i}. Bunyi pelancar y muncul apabila: (a) bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /è/ atau /i/ dilekati oleh sufiks {-a}, {-aghi}, {-ana}; (b) prefiks {e-} bergabung dengan bentuk dasar yang berfonem awal a atau o. Bunyi glotal ([?]) muncul apabila bentuk dasar yang berakhir dengan vokal /a/ dilekati oleh sufiks {-a}, {-aghi}, {-ana}. Geminasi atau perangkapan fonem akhir bentuk dasar terjadi apabila: (a) bentuk dasar yang berfonem akhir konsonan atau semi-vokal dilekati oleh sufiks {-aghi} dan (b) bentuk dasar yang suku terakhirnya bervokal /e/ ([ə]) dan berupa suku tertutup dilekati oleh sufiks yang berawal dengan vokal (-a, -ana, -è, dan -aghi). Contoh-contohnya, seperti ditampilkan pada bagan 3 berikut.
akan menyebabkan kata-kata yang berbeda ditulis sama sehingga dapat menimbulkan kesalahan arti. Sebagai contoh ditampilkan pada bagan 4 berikut. Bagan 4: Kata yang Mengandung Bunyi Glotal 1.a
KATA DASAR nompa
1.b
nompa’
2.a 2.b 3.a 3.b
ngala ngala’ kala kala’
No
DASAR + ARTI IMBUHAN nompa’a akan/hampir tumpah akan naik/ nompa’a mengendarai ngala’a akan mengalah ngala’a akan mengambil èkala’aghi dikalahkan èkala’aghi diambilkan
Dengan penjelasan tersebut, dari kelima jenis morfofonemis dalam BM, jenis morfofonemis yang berupa pemunculan bunyi pelancar dan glotal sebaiknya tidak perlu ditulis, sedangkan jenis yang lain sebaiknya ditulis. Dengan demikian, hasil rumusan Lokakarya tahun 2002 yang berbunyi, “Bunyi pelancar, glotal, serta bunyi-bunyi lain yang muncul sebagai akibat dari proses afiksasi atau pengimbuhan tidak Bagan 3: Geminasi dalam BM ditulis”, diubah menjadi, “Bunyi pelancar dan glotal yang muncul sebagai akibat dari DASAR + KATA ARTI IMBUHAN NO IMBUHAN DASAR proses afiksasi tidak ditulis”. Di samping itu, karena yang menjadi inti keberatan para ahli 1. antor -aghi antorraghi tabrakkan 2. keppay -aghi keppayyaghi kipaskan bahasa dari Sumenep (Bapak RP. Abd. Sukur 3. pokol -aghi pokollaghi pukulkan Notoasmoro, Bapak Abd. Rachem, Bapak 4. ghentos -aghi ghentossaghi benturkan Drs. H. Moh. Imron, dan Bapak Drs. M. 5. sèllem -aghi sèllemmaghi tenggelamkan 6. ngabbher -a ngabbherrâ akan terbang Baisuni) adalah penulisan bunyi glotal pada 7. èpogher -a èpogherrâ akan ditebang kata ulang, saya pikir akan lebih baik dan 8. èpakandhel -a èpakandhellâ akan ditebalkan kompromis kalau dalam ejaan yang disusun 9. ngèrrem -è ngèrremmè mengerami 10. èpakandhel -è èpakandhelli dipertebal nantinya ditambahkan catatan: “Untuk Dalam kaidah tata bahasa, morfofonemis keperluan praktis, bunyi glotal yang muncul yang terjadi, kecuali untuk bunyi pelancar, sebagai akibat dari proses afiksasi pada kata biasanya ditulis. Pemunculan bunyi pelancar ulang dapat ditulis”. ([w] dan [y]) biasanya tidak ditulis karena pemunculannya sudah dapat diramalkan SIMPULAN Kalau pembakuan ejaan BM atau diketahui oleh setiap penutur. Untuk berpegangan pada penjelasan di atas, saya bunyi glotal, di samping pemunculannya sudah dapat diramalkan atau diketahui oleh kira permasalahan dalam pembakuan ejaan setiap penutur, kalau bunyi tersebut ditulis BM akan segera terselesaikan, sehingga BM 129
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
akan segera memiliki EYD. Kita tidak perlu Kentjono, Djoko (Ed.). 1982. Dasar-Dasar khawatir bahwa ejaan BM akan kehilangan Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas ciri khasnya. Sebab, jika dibandingkan Sastra Universitas Indonesia. dengan EYD bahasa Jawa, ejaan BM memiliki Lass, Roger. 1991. Fonologi Sebuah Pengantar kekhasan lebih banyak, seperti ditampilkan untuk Konsep-konsep Dasar. Terjemahan pada bagan 5 berikut. Warsono, A. Maryanto, Alim Sukisno, dan Helena. Semarang: IKIP Semarang Bagan 5 Press. Kekhasan Ejaan Bahasa Jawa dan Ejaan Bahasa Madura KEKHASAN EJAAN JIKA DIBANDINGKAN DENGAN EYD BAHASA INDONESIA NO
1. 2.
BAHASA JAWA
BAHASA MADURA
Vokal
Konsonan
Vokal
Konsonan
tidak ada
dh
â
..’..
th
è
bh
3.
dh
4.
dh/đh
5.
gh
6.
jh
7.
th
8.
d/đ
DAFTAR PUSTAKA
Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Marsono. 1986. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moeliono, Anton M. (ed.). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 37-222. Parera, Jos Daniel. 1990. Morfologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ramlan, M. 1985. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono. Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Sofyan, Akhmad. 1994. “Analisis Kesalahan Fonologis terhadap Buku-buku Hasil Penelitian Bahasa Madura” (Laporan Pe n e l i t i a n ) . Je m b e r : L e m b a g a Penelitian Universitas Jember.
----------. 2003. “Prinsip Kejelasan, Keringkasan, dan Kemudahan dalam Balai Bahasa Surabaya. 2005. Pedoman Gramatika Bahasa Madura” dalam Umum Ejaan Bahasa Madura Yang Jurnal Semiotika Vol.IV/No.2/JuliDisempurnakan. Surabaya: Balai Desember 2003. Jember: Fakultas Bahasa Surabaya. Sastra Universitas Jember. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. ----------. 2005. “Fungsi Gramatik Prefiks Jakarta: Rineka Cipta. {N-}, {a-}, {ma-} dalam Bahasa Halim, Amran (Ed.) 1976. Politik Bahasa Madura Dialek Sumenep” Jurnal Nasional 1. Jakarta: Pusat Pembinaan Humanika Vol.18 No.4 Oktober dan Pengembangan Bahasa. 2005. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Hyman, Larry M. 1975. Phonology Theory Universitas Gadjah Mada. and Analysis. New York: Holt, Rinehart and Winston.
130
Upaya Pembakuan Ejaan Bahasa Madura Dan Pertimbangan Terhadap Persoalan Yang Diperdebatkan
Wibisono, Bambang, Akhmad Sofyan, Budi Suyanto, dan Arif Izzat. 2006. “Kodifikasi Morfologi Bahasa Madura” (Laporan Penelitian). Surabaya: Balai Bahasa Surabaya. Wibisono, Bambang, Akhmad Sofyan, Budi Suyanto, Foriyani Subiyatningsih, dan Yuyun. 2005. “Kodifikasi Fonologi Bahasa Madura” (Laporan Penelitian). Surabaya: Balai Bahasa Surabaya.
131
USING HI-FREQUENCY ITEM ANALYSIS-BASED SELFLEARNING METHODOLOGY TO OBTAIN THE TOEFL SCORE EXCELLENCE Amir Fatah*
Abstract Higher education centers strongly committed to world-class reputation have lately been faced with the requirement of such English proficiency with international standard as International English Language Testing System (IELTS) or Test of English as Foreign Language (TOEFL). Therefore, a great number of universities or institutes in Indonesia have required the TOEFL score for their graduates. However some findings taken from the TOEFL-Based English tests for first-year students of Airlangga University from 2002-2008 showed that about 83% among more or less 4500 students got too low(>450) and 12% less adequate level (451-500), 3,5% obtained adequate level (501-550), just 1% gained effective level (551-600), and 0,5% reached proficient level (<601). Such data shows that the English proficiency with international standard is still a great problem. This article aims at describing a newly innovated self-learning methodology called the High Frequency Item Analysis-Based Self-Learning which can improve the TOEFL score faster and more measurably during the teaching-learning process. Both the quickness and measurability becomes the most important factor to explain in this writing. Even the results of the process as part of the effectiveness necessary to be recognized cover reliability and validity which are supported by empirical data. The method used for data collecting were library research and participative observation. The theory of ÂReinforcementÊ by Rogers(1983) was used to analyse the data collected to find the reliability of stimulus-response intensity in the teachinglearning process. The result shows that the High Frequency Item Analysis-Based Self-Learning Methodology is effective enough to improve the TOEFL score faster and more measurably. The effectiveness lies on the quickness and measurability in the teaching-learning process, the reliability on levels of the score target gain related to the scheduled length of time, and the validity of the outputs if verified by other international tests. Keywords: High Frequency Item Analysis-Based Self-Learning, fast and measurable process of teaching-learning activities, reliability of target score gain, output validity * Departemen Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Kampus B, Jl Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya 60286, Telp. 031-5035676
Using Hi-Frequency Item Analysis-Based Self-Learning Methodology To Obtain The Toefl Score Excellenc
INTRODUCTION The growing movement towards globalization in such various sectors as business and information-communication technology, free trade, new markets, and increased employee mobility has inevitably heralded the education system in all levels, including the senior high schools to produce qualified, competitive outputs in the borderless world era. Education system in the global era also enables the senior high schools with their comparative strengths in international language skills such as English, Arabic, Mandarin, and Japanese as well as information-communication technology to have their outputs recruited in the worldwide job markets. In facing the immediate facts, the senior high schools have to tightly compete with world-class schools to produce qualified human resources as part of developing the globally integrated knowledge-based economy. On the other hand, based on the result of survey conducted by the international magazine ASIAWEEK, 2000, on the quality assurance of higher education in Asia and Australia, it is reported that the higher education quality of Indonesia either in socio-cultural sciences, natural sciences, or technology stands in low rank. Agreeing or disagreeing toward the ASIAWEEK report, such finding may be at least useful enough to further boost the Indonesian higher education quality in the upcoming period. Efforts to boost the Indonesian higher education quality in accordance with international standard are related not only to the management redesigning, but also to the teaching-learning process which needs changing suitable with the development of information-communication technology. Of course, the quality assurance implicates the increase of science-tech accessibility and
publicity, internationally qualified graduates, and value-added effect. These can be possibly accessed by utilizing the informationcommunication technology. In addition, the rapidly developed information technology has affected the birth of the next generation in which the learners lead their daily-life by using notebooks or laptops for information accessibility at home or on the road involving internet, CD-ROMs, and video conferencing linking professors and students although face-toface input is still required. With this way to learn, they can start learning anytime, work at their own speed everywhere without having to attend formal classes to obtain their degrees. Without mastering and utilizing information-communication technology and its soft-ware, the higher education as part of integrated world especially in the supply of human resources with global quality will have undergone significant inhibition in participating the competitive development of science-technology which is eventually implemented in the knowledgebased economy today and the future. One of the worldly used language of informationcommunication technology is commonly referred to as English. From this view-point, English as the digital language primarily functions to be the mediator of information and communication flow. Therefore, English proficiency with the international standard among the teachers and students especially in Indonesia should be concerned as part of education system to enter international quality assurance. Just a small number of education centers highly committed to the global quality have faced the above requests. One of the immediate requests to support the global quality is English proficiency with international standard such as International 133
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
E n g l i s h L a n g u a g e Te s t i n g S y s t e m (IELTS), Test of English for International Communication (TOEIC), Test of English as a Foreign Language (TOEFL), and English Language Proficiency Test (ELPT) Airlangga University. Teherefore, a great number of universities, colleges, departments, and schools including in Indonesia require the TOEFL score for their graduates. Up to now, no valid data on the TOEFL scores taken from Senior High Schools has been available. However, the TOEFL scores of new students Airlangga University during the academic periods 2002 – 2005 can be used to figure out the performance of the English proficiency as follows: >450 = 83%= too low and non-user, 451 – 500 = 12% = less adequate, 501 – 550 = 3,5% = adequate, 551 – 600 = 1% = effective, >601 = 0,5% = Proficient. So, the English proficiency with international standard, based on the above figure, is still a great problem to solve. One of the most effective solutions is what is more popularly called Hi-Freq Item AnalysisBased Self Learning Method. Such method is considered faster, more measurable, and more reliable to improve the TOEFL score although more continued studies on its effectiveness toward the quickness, measurability and reliability are still required in the future. This article aims at describing a newly innovated self-learning methodology called the High Frequency Item AnalysisBased Self-Learning which can improve the TOEFL score faster and more measurably during the teaching-learning process. Both the quickness and measurability becomes the most important factor to explain in this writing. Even the results of the process as part of the effectiveness necessary to be recognized cover reliability and validity which are supported by empirical data.
134
THE TOEFL PAPER-BASED TEST Although the most recently developed TOEFL test is now internet-based, more renowned called the TOEFL iBT after the previous generation, the so-called the TOEFL CBT or Computer-Based Test, the TOEFL paper-Based Test is the popular test in the world as used by Institutional Testing Program (ITP) TOEFL offered by IIEF Jakarta, a representative of Educational Testing Service,USA. It is an English language proficiency test for people whose native language is not English. The TOEFL is prepared and administered by the Educational Testing Service (ETS), a private company located in Princeton, New Jersey, USA. ETS handles all activities related to the TOEFL, but it does not establish the scores necessary for admission to particular universities, colleges, schools, or departments. These decisions are made by the individual educational institutions. Most TOEFL tests consist of three sections and 140 questions. The format of TOEFL test is a 130minute, paper and pencil-based, multiple choice test consisting of 140 questions. It is divided into three separately timed sections as seen in the table below.
Using Hi-Frequency Item Analysis-Based Self-Learning Methodology To Obtain The Toefl Score Excellenc
Section Listening Comprehension
Structure and Written Expression
Part
Aspects tested
Number of items
timing
Part I Part II Part III
Short conversations Longer conversations Short talks
30 8 12
35 minutes
Nos.1-15 Nos.16-40
Sentence completion Error Recognition
15 25
40 minutes
Main idea, Details, Inference, Referent, Exception, Vocabulary
50
---------Reading Comprehension
The test takers respond the test questions by marking one of the letters (A), (B), (C), or (D) with a pencil or a separate answer sheet. Although the real testing time is 130 minutes, additional time about 10 minutes is previously given to allow them to complete such administrative formalities. All the test takers receive an official record of their scores, either a certificate of achievement or a score report. THEORETICAL BASIS A theoretical discourse on classroom learning process has long been developed by such theorists as B.F. Skinner conceptualized a ‘Stimulus-Response’ theory. It was assumed that a positive progress in teaching–learning process occurred through mutual relationship of stimulus-response, the stronger the stimulus given by the teacher, the greater the response of the learners. Furthermore, Skinner proposed another theory called ‘Reinforcement’. He theorized that learning is a function of change in over behavior. Changes in behavior are the result of an individual’s response to events or stimuli that occur in the environment. A response produces a consequence such as solving a math problem. When a particular StimulusResponse pattern is reinforced or rewarded,
55 minutes
the individual is conditioned to respond. In this point of view, reinforcement is the key element in Skinner’s Stimulus-Response theory. The reinforcer, an environment change contingent upon the response, is anything that strengthens the desired response. It includes verbal suggestion or recommendation, a better progress of learning achievement, a feeling of increased accomplishment, fast-response report of the analysed data, a teaching-learning system. Skinner also tried to account for verbal learning and language within the operant conditioning paradigm as used in classroom management and programmed instruction. In operant conditioning, reinforcement is an increase in the strength of a response following the change in environment immediately following that response. In addition to the a theory, the writer had conducted a two-year research on the reliability of the stimulus-response intensity from 2001 to 2002 and found that the reliability of stimulus-response intensity occurred if supported by the most condusive learning system more famously called the Item Analysis-Based Learning System. Such system considerably enabled the implementation of hi-freq item analysisbased self-learning method used in the fast
135
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
processs of teaching-learning activities and of evaluation process. The description of the system is as follows. ITEM ANALYSIS-BASED LEARNING SYSTEM As a teaching-learning process based on the item analysis, the system comprises seven main components. Each component should function optimally and interact interdependently to rapidly obtain the learning objectives as assessed in the syllabus. Further description on the main characteristics of all components are presented below. TOEFL Learners All TOEFL learners should meet such personal characteristics as strong motivation to improve the TOEFL score assessed, having knowledge on the HiFreq Item Analysis-Based Self-Learning methodology, ability to implement the methodology to gradually boost the scores, ability to do self-learning by using the hi-freq item analysis instruments measurably, intensively consulting the learning progress to the language consultants. Instructors Not all English intrustors are allowed to teach TOEFL materials in this system because of such definitely required variables implemented during the training as the achievement of the learners’ minimal score targets which are quite different among them, the scheduled time to rapidly and measurably transfer the teaching-learning materials in every face-to-face session, analytical ability to read the analyzed data of quiz results, and fast-response service toward the learners’
136
academic problems. Therefore, only skilled instructors who can implement the instruments to raise the scores and have ability to explain the score improvement by using the constant step method as well as is reliably proved to boost the learners’ scores as tighly scheduled are provided the license to teach TOEFL. Modular Book Due to the specific system to faster improve the TOEFL score improvement, it is impossible to use any books. Therefore, a modular book suitable with the hi-freq item analysis-based system is available, so called ELPT (English Language Proficiency Test) module. It contains the concepts of topics completed with examples and strengthened by sample questions commontly tasted.The graded sample questions are completed with the instruments to identify the number of incorrect answers which should be gradually reduced up to the targeted number of incorrect answers and the columns to do exercises of the same model test to raise the correct answers within assessed time. Item Analysis-Based Learning Instrument It is designed to give fast-response report of the incorrectly answered topics given directly after each quiz. and rapidly identify the number of incorrect answers which should be gradually reduced up to the targeted number of incorrect answers. High-Frequency Evaluation To improve the TOEFL score faster, more measurably, and more reliably,
Using Hi-Frequency Item Analysis-Based Self-Learning Methodology To Obtain The Toefl Score Excellenc
hi-frequency evaluation system should be established and implemented during the training program. This system covers fast-response report of test results as the stimulus reinforcement in order that the TOEFL learners highly enable to provide smart-response by intensively doing the remedial self-learning for all model tests supplied before taking the subsequent quizzes. Data Analysis Staff The data analysis staff must be able to analyze the item tested by using computerized instruments, supplying the analized data as scheduled to both instructors and learners, explain the implementation of instrument to boost the score, and identify the incorrectly answered topics to be reviewed in the teaching-learning activities. TOEFL Score Improvement Process Management The TOEFL score improvement process is carefully managed to produce quality assurance outputs. The management coordinates all the six components effectively to obtain the score target and evaluates the performance of the learners, instructors, and data analysis staff, because it is responsible for the accountability and reliability of the training program for the learners.
HI-FREQ ITEM ANALYSIS-BASED SELF-LEARNING METHODOLOGY This is a self-learning method that is based on the rapidly analysed data taken from high-frequency tests to find the reliability of obtaining the TOEFL score targets.
Using the item analysed-based instruments, identification of incorrectly answered topics and sub-topics for each test can run faster and even more measurably so that the remedial self-learning can be done intensively for the preparation of the following tests. Improving the TOEFL score based on the most recent information in the form of accurately analysed data might accelerate the diagnostic process to inhibit the similar mistakes in the subsequent tests so that the more intensive the remedial self-learning is conducted, the higher the TOEFL score will be. This way can contribute to the reliability of the TOEFL score target achievement. If compared with such other conventional learning methods as lecture, home-assignment, and discussion with the evaluation system just as many as six times within a semester and the TOEFL score gain 82% fail to get <500 as seen on the table, the hi-freq item analysis-based learning method shows much more effective and reliable due to the facts that 80% - 100% of the TOEFL learners achieve their targets 400, 500, 550, and 600 as scheduled. The sample below supports the above description. The hi-freq item analysis-based selflearning method is conceptualized based on the assumption that the more frequent the analysed items and the faster response-report as the main stimulus the teacher provides, the higher the speed the learners achieve the teaching-learning targets. It covers four main steps respectively (1) identifying all the topics and sub-topics to be learned and understanding them well, (2) remedial learning on the topics and sub-topics which are not understood well yet based on the analyzed data of incorrectly answered items taken from the hi-frequency quizzes, (3) diagnosing the topics and sub-topics which are incorrectly answered by repeating the same model test until they are correctly answered, and retaking the self-test for the 137
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
whole model tests with the same process as the previous steps. The table 1. Reliability of TOEFL score improvement by using Hi-Freq Item Analysis-Based self-Learning Methodology Class
TOEFL Score Target Number of ª Students Score Fail Pass
30+50 jam Mhs. Farmasi S1 96 Unair persons 30+50 hours Stdts.Pharmacy S1 Unair
50 hours Std. PPSUAS3 50 hours Std.S2 PPSUA 50 hours Std.S3 PPSUA
Place
Method
Quizzes
500
79 (82%)
17 (18%)
25-1 s/d 21-6-2001 (6 mnths)
Pinlabs FSUA
Ceramah Tugas
6x
500
17 (20%)
67 (80%)
4/3 s/d 28/4/2003 (2 mnths)
Pinlabs FSUA
HFIABL
17/25x
500
15 (18%)
77 (82%)
Pinlabs FSUA
HFIABL
17/25x
450
0 (0%)
11 (100%)
Batam
HFIABL
25x
15 persons
500
0 (0%) 15 (100%)
Denpasar
HFIABL
25x
18 persons
500
0 (0%) 18 (100%)
Malang
HFIABL
25x
19 persons
ª 475
0 (0%) 19 (100%)
Samarinda HFIABL
25x
10 persons
500
86 persons
15+30+50 hours 92 Std.PharmacyS1 persons Unair 50 hours 11 Std.S2 PPSUA persons 50 hours Std.S3 PPSUA
Length
2 (20%)
8 (80%)
12/1 s/d 20/2/2004 (4 days) 6 s/d 9/06/2005 (4 days) 19 s/d 22/02/04 (4 days) 9 s/d 12/09/Ê04 (4 days) (4 days) 2003 9 s/d 12/02/Ê04 (4 days)
Solo
HFIABL
25x
50 hours Reg. Class Angk. VI/2006
16 persons
550 2 (20%) 14 (80%) - 600
10/9 Pinlabs UA HFIABL – 21/11/Ê06
25x
30 hours Reg. Class Angk. I/2007
13 persons
450 - 600
12 (93%)
2/2 – Pinlabs UA HFIABL 16/3/2007
14x
450 2 (17%) 11 (83%) - 600
2/2 – Pinlabs UA HFIABL 16/3/2007
14x
30 hours Reg. 13 Class Angk. persons II/2007 30 hours Reg. 15 Class Angk. III/ persons MLM/2007 30 hours Reg. 16 Class Angk. persons VII//2007
138
400 - 550 450 - 600
1 (7%)
0 (0%) 15 (100%)
1 (5%)
15 (95%)
5/2 – 30/3/2007 Pinlabs UA HFIABL
14x
7/ 6– 25/7/2007 Pinlabs UA HFIABL
14x
Using Hi-Frequency Item Analysis-Based Self-Learning Methodology To Obtain The Toefl Score Excellenc 20 hours Privat 1 person Indiarsa Arif, dr.
500
0 (0%)
1 (100%)
6–20/8/07
Pinlabs UA HFIABL
10x
The table 2. The ELPT when compared to ITP TOEFL 2008 NO.
NAMA
NILAI TOEFL PRE TEST POST TEST ITP Awal ELPT ELPT TOEFL
1
NURINA H
530
533
573
600
2
TRIANA KESUMA DEWI
550
530
540
553
3
DINI RIRIN ANDRIAS
525
520
4
LISTYATI SETYO PALUPI
550
520
537
550
5
CHRISMAWAN ARDIANTO
503
510
553
583
6
ERNI AGUSTIN
530
503
7
MAYA SARI DEWI
523
503
8
NENY PURWITASARI
9
DAMAI NASUTION
10
FAIZAL KURNIAWAN
11
ATIKA DIAN ARIANA
12
FATHIA RAMADIANI
13
MARADONA
14
INDRA KHARISMA R
15
523
503
510
540
493
513
543
493
507
520
550
490
523
550
507
487
510
513
487
507
530
543
483
500
547
ROSA RISTAWATI
510
483
507
530
16
RICE DISI OKTARINA
540
480
507
523
17
SUJAYADI
487
477
503
533
18
ZENDY WULAN AYU WIDHI P
497
473
490
530
19
RAHKMAN ARDI
540
470
497
523
20
WENNY PUTRI NILAMSARI
513
447
21
FISKA SILVIA RR
510
443
483
503
22
YUNI SUFYANTI ARIEF
500
420
417
433
23
PURWANINGSIH
530
407
437
447
24
SARKAWI B HUSAIN
530
403
430
453
25
WIDYA SYLVIANA
510
397
420
450
503
139
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
26
ENDANG FITRIYAH MANNAN
27
HANIK ENDANG NIHAYATI
28
SUKARYANTO
29
FERRY EFENDY
397
447
480
450
387
390
367
500
383
400
423
500
507
540
The table above shows that the acceleration to achieve TOEFL score targets by using the Hi-Freq Item Analysis-Based Learning Method has high reliability as implemented from 2003 till 2007. On the contrary, previously the TOEFL score improvement was, due to the use of nonhigh frequency item analysis-based learning method, dominated by such conventional learning methods as lecturing and home assignment so that the result was failure obtaining 82%. It shows that such conventional methods are inefficient to improve the TOEFL scores, besides viewed from the length of time as long as 6 months. If compared with the use of hi-frq item analysis-based learning method tested from 2003 till 2007, all classes show a great success of TOEFL score target achievement from 80% to 100% and even within much shorter length of time respectively 2 – 5 days for 20-hour private classes, 4 days or 2 months for 50-hour classes, and one month for 30hour classes. Efficiency viewed either from the length of time or the average of TOEFL score target gain proves that the hi-freq item analysis-based method is the main factor in the teaching-learning process. The acceleration and the reliability of obtaining the TOEFL score target can be explained further through the establishment of evaluation system. A high-frequency evaluation system during the training hours should be established to possibly enable the implementation of high-frequency
140
item analysis-based learning method. Such system includes the availability of a great number of testbook collections, personal computer, scanner, data analysis staff, item analysis instrument, modular books completed with item analysis instrument to do self-testing, fast-response report of each test result, and language consultants. Every component in the system should function and interact maximally in order to reliably accelerate the improvement and the gain of TOEFL score targets. The reliability of obtaining the TOEFL score targets at the end of the training program can be prediced and explained based on the input of the earlier data and the first process of teaching learning activities by monitoring the learning progress of each face-to-face session in the classroom. Besides, the intensity of quizzes and fast-response report of the test result also significantly contribute to the reliability of obtaining the TOEFL score targets. For example, 20-hour private class offers 10 times of quizzes plus a post test, 30-hour regular class covers 17 times of quizzes plus a post test, and 50-hour regular class schedules 25 times of quizzes plus a post test. The fastresponse report directly submitted 10 to 30 minutes after each quiz is very important because it contains the incorrectly answered topics and sub-topics which need remedial learning soon. Thus, it might enable the TOEFL learners to faster improve their score gain as shown below.
Using Hi-Frequency Item Analysis-Based Self-Learning Methodology To Obtain The Toefl Score Excellenc
CONCLUSION Based on the data analysis, it is concluded that the method of High Frequency Item Analysis-Based Self-Learning shows its effectiveness during the TOEFL score improvement programs if compared with that of conventional one. The effectiveness lies on the availability of limited time as scheduled, the measurability of teachinglearning process, the reliability of TOEFL score target gain as seen in table 1, and the validity of outputs. The output validity can be examined based on the correlation between the result of the ELPT test as seen in table 2 and that of the ITP TOEFL test.
REFERENCES
Education Limited. Essex. Hinkel, Eli. 2004. TOEFL Test Strategies. United State of America: Seatle University.. Richard, Ananto, Praticia A, Ana Snow Marguerite. 2005. Academic Success for English Language Learners Pearson Education. New York. U.S.A. Rogers, Bruce. 2005. TOEFL Success. Peterson’s U.S.A. H t t : / / t i p . p s y c h o l o g y. o r g / s k i n n e r. html,OPERANT CONDITIONING (B.F. Skinner), downloaded June 23rd, 2008 http://en.wikipedia.org/wiki/Reinforcemet,REINFORCEMENT, downloaded June 23rd, 2008
Burgers, Sally, and Head, Katie. 2005. How to Teach For Exams. England: Pearson Education Limited. Essex.. Fatah, Amir. 2005. Metode Analisa Item: Temuan Inovatif Terbaru Mencapai Target Skor TOEFL Lebih Cepat,Terukur dan Terpercaya. Surabaya: Pinlabs UNAIR. Fa t a h , A m i r. 2 0 0 5 . “ Me m p e rc e p a t Peningkatan dan Pencapaian Target Skor dengan Menggunakan Metode Analisa Item dalam Proses Pembelajaran Program Training TOEFL di UPT PINLABS Universitas Airlangga”. Laporan Penelitian Proyek SP-4 UPT Pinlabs Unair 2004/2005. Surabaya. Gallagher, Nancy. 2005. Next Generation TOEFL Test. United States of America: Delta Publishing Company. Hamer, Jeremy.2005. The Practice of English Language Teaching. England: Person
141
MENERJEMAHKAN SEBAGAI SUATU ALTERNATIF DAN HUBUNGANNYA DENGAN MODEL-MODEL DALAM TERJEMAHAN Husein Shahab
Abstract There are many definitions made by experts in the field of translation. However, experts agree that translation is a process of rendering a work of one language into another. To do an appropriate translation, one needs to equip himself with tools, traditional and modern. Although there are a lot of models of translation one can adapt, one thing is sure: translation has to be done very carefully in order to get an effective result. Keywords: translation, language
PENDAHULUAN Melihat kenyataan yang ada dewasa ini bahwa membaca teks berbahasa Inggris masih belum dapat dilakukan dengan baik oleh mahasiswa ataupun dosen pada umumnya, maka pekerjaan penerjemahan masih mutlak diperlukan. Usaha menerjemahkan berbagai buku ilmiah dan teknik telah dicoba dilakukan oleh berbagai pihak. Sebagian dari pekerjaan itu menunjukkan hasil yang efektif, namun sebagian lainnya perlu mendapatkan perbaikan, penyesuaian serta peninjauan kembali. Penerjemahan senantiasa melibatkan teori, alat, model (strategi) serta syarat-syarat penerjemahan. Namun dari semua itu, yang paling penting adalah sang penerjemah. * Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, 031-5035676
Pekerjaan terjemahan yang ditekuni oleh seorang yang menguasai bahasa sumber (SL = Source Language) dan bahasa tujuan (TL = Target language) dengan baik, mengenal kedua budaya bahasa, menguasai topik permasalahan, berkemampuan mengungkapkan hasil terjemahan serta dapat menggunakan berbagai macam kamus dengan efektif, hampir dapat dipastikan akan melahirkan hasil terjemahan yang luwes, mudah diresapi dan tepat sasaran. DEFINISI PENERJEMAHAN Banyak pakar penerjemahan yang mencoba mendefinisikan penerjemahan menurut sudut pandang masing-masing. Menurut Catford (1965:20) translation is the replacement of textual material in one language by equivalent textual in another language. Definisi di atas dapat secara umum
Menerjemahkan Sebagai Suatu Alternatif Dan Hubungannya Dengan Model-Model Dalam Terjemahan
diartikan bahwa penerjemahan adalah usaha mengganti materi tekstual dalam suatu bahasa dengan padanan materi tekstual dalam bahasa lain. Nida dan Tiber (1969) memberikan definisi proses penerjemahan yang lebih jelas. Translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style. Penerjemahan adalah suatu usaha menciptakan kembali pesan yang ada dalam SL ke dalam TL dengan padanan sedekat mungkin, pertama menyangkut makna dan kemudian gaya bahasa. Selain kedua definisi di atas, masih banyak lagi definisi yang pernah ditulis oleh para ahli terjemahan seperti Savory (1968), Mc Guire (1980) dan Newmark (1981). Walhasil, meskipun terdapat perbedaan penekanan antara satu definisi dengan lainnya, pada dasarnya definisi-definisi di atas sejalan di dalam melihat translation (penerjemahan) sebagai usaha pengalihan pesan dan informasi suatu bahasa sumber ke dalam bahasa tujuan sampai pada tingkat yang sedekat-dekatnya. PROSES PENERJEMAHAN Proses penerjemahan adalah suatu model yang menggambarkan proses pikir internal yang dilakukan seseorang ketika melakukan penerjemahan. Pada waktu-waktu yang lalu, penerjemahan diaanggap terjadi secara langsung dalam satu arah. Proses penerjemahan secara linier ini seringkali digambarkan dalam bagan berikut:
Gambar 1 Bagan Proses Penerjemahan Linier
Gambar di atas menjelaskan bahwa penerjemahan dilakukan secara langsung dari teks SL ke dalam teks TL. Kalimat seperti ”He threw a stone at the dog” dapat diterjemahkan secara langsung menjadi ”dia melempar anjing itu dengan sebuah batu”. Namun jika kalimat yang harus kita terjemahkan lebih panjang dan komplek, masalah penerjemahannya akan lain lagi. Oleh karena itu, Nida dan Tiber (1969:33) kemudian menggambarkan proses penerjemahan yang lebih dinamis, seperti tampak di bawah ini: Gambar 2 Bagan Proses Penerjemahan Dinamis
Gambar di atas menjelaskan adanya tiga proses, yakni proses menganalisis, mentransfer dan merestrukturisasi. Proses pertama, yang dilakukan penerjemah adalah menganalisis teks bahasa sumber sehubungan dengan kaitan tata bahasa, arti kata dan rangkaian kata-kata yang tersusun menjadi kalimatkalimat dan teks. Bahasa sumber yang telah dipahami kemudian ditransfer di dalam pikiran penerjemah ke dalam TL. Dalam proses restrukturisasi, penerjemah kemudian melakukan pembenahan-pembenahan sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku dalam TL. Proses atau tahapan dari Nida dan Taber ini mirip dengan yang diajukan oleh Larson (1984: 3-4). Pada proses analisis dan restrukturisasi tidak tampak perbedaan antara Larson dengan Nida dan Taber. Yang tampak
143
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
berbeda di antara dua proses ini adalah tahap transfer. Larson tampaknya tidak menjelaskan tahapan ini secara tersendiri. Boleh jadi ia berpendapat bahwa proses ini sudah dengan sendirinya ada ketika penerjemah mengungkapkan kembali arti yang dapat ditangkap dalam bahasa tujuan. ALAT PENERJEMAH Ada dua jenis alat yang dibutuhkan penerjemah di dalam pekerjaannya yaitu alat umum dan alat khusus. Berbicara tentang kamus ini, kita mengenal monolingual dictionary (kamus ekabahasa), dan bilingual dictionary (kamus dwibahasa). Melihat isinya, kamus dibedakan menjadi kamus umum dan kamus khusus. Kamus umum seperti Advanced Learner’s Dictionary of Current English memuat entry atau aran secara umum sedangkan kamus khusus seperti misalnya Porland’s Pocket Medical Dectionary memuat keterangan entry dalam bidang tertentu, misalnya kedokteran, biologi, teknik dan sebagainya. Disamping jenis-jenis kamus di atas yang senantiasa diperlukan penerjemah, tesaurus atau kamus sinonim dan antonim (misal: Webster’s Dictionary of Synonyms) juga mempunyai peranan penting sebagai alat penerjemah. Alat-alat khusus penerjemah antara lain adalah kamus elektronik dan kamus komputer. Bagi penerjemah yang biasa bekerja dengan komputer, ini akan sangat membantu. Setiap saat ia ingin mendapatkan arti atau padanan suatu kata, ia dapat meminta bantuan komputer dengan mengetikkan kata bahasa sumber. Alternatif khusus lainnya adalah sumber daya internet. Dengan mengetahui alamat situs tertentu, penerjemah bisa memanfaatkan sumber daya internet yang dewasa ini disediakan oleh berbagai organisasi dan perusahaan.
144
MODEL PENERJEMAHAN Ada banyak model penerjemahan yang biasanya digolong-golongkan menurut fase dalam proses penerjemahannya. Fase penjajakan misalnya terdiri dari berbagai model penerjemahan antara lain model hermeneutik, situasional dan stilistik. Karena berbagai macam keterbatasan, sudah barang tentu tulisan singkat ini tidak dapat menguraikan semua model yang ada. Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan lima model penerjemahan yang menurut pendapat penulis penting untuk diketahui: Model Hermeneutik Menurut model ini, pesan dalam SL yang akan diterjemahkan ke dalam TL harus dilakukan dengan empat cara, yaitu; percaya bahwa pesan yang ada memang pantas untuk disampaikan, meresapi dan memahami arti yang ada, menyampaikan dalam TL, melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan kaidah yang terdapat pada TL Singkatnya, keempat cara atau langkah di atas menunjukkan suatu pandangan bahwa penerjemahan hendaknya diawali dengan suatu kesiapan bahwa apa yang akan dilakukan memang layak untuk dilakukan. Dengan sikap awal ini penerjemah akan membaca teks SL dengan seksama, mengalihbahasakan ke TL dengan cermat, dan melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Model Harfiah (kata-demi-kata) Larson dan Smalley menamakan model ini dengan glossing atau interlinear translation. Yang dilakukan penerjemah dalam model ini adalah mencari padanan arti kata satu dengan satu. Dengan sendirinya hasil yang diperoleh bukan merupakan hasil akhir sebab langkah yang dilakukan penerjemah kemudian adalah melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dapat diterima oleh TL. Kendatipun demikian,
Menerjemahkan Sebagai Suatu Alternatif Dan Hubungannya Dengan Model-Model Dalam Terjemahan
tidak jarang pula model terjemahan harfiah ini menghasilkan terjemahan yang baik. Bathgate meyakini model yang disebutnya dengan literal translation ini sebagai uji coba pertama penerjemahan. Bila hasilnya baik, penerjemahan dianggap berhasil. Setidak-tidaknya model penerjemahan katademi-kata ini membuat penerjemah semakin peka terhadap makna yang terkandung dalam setiap kata, dan bahwa usaha mencari padanan kata yang setepat-tepatnya mutlak perlu. Model Interlingua Sesuai dengan namanya, model ini mengisyaratkan adanya bahasa ketiga selain SL dan TL yang berperan sebagai bahasa pendukung terjemahan. Di dalam kaitannya dengan penerjemahan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, bahasa ketiga yang sering menjadi bahasa pendukung adalah bahasa Jawa, Batak, Arab dan sebagainya. Kata pirsawan yang sering menjadi padanan kata spectator atau viewer merupakan kata pendukung yang berasal dari bahasa Jawa, sementara kata literal dalam bahasa Inggris biasanya diterjemahkan dengan kata harfiah yang merupakan kata asli bahasa Arab. Model Modulasi Model penerjemahan ini merupakan suatu kiat atau strategi menerjemahkan frase, klausa, atau kalimat. Menurut Newmark (1988: 88), dengan model ini penerjemah memandang pesan dalam kalimat SL dari sudut dan pola pikir yang berbeda. Biasanya model ini dilakukan apabila penerjemah harfiah gagal mencapai hasil terjemahan yang wajar dan dapat diterima. Perbedaan pandang dan budaya biasanya akan menjadi salah satu penyebab timbulnya perbedaan di dalam cara mengungkapkan sesuatu. Perhatikan contoh berikut:
She broke her arm in a traffic accident
Kalimat ini biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: Lengannya patah dalam suatu kecelakaan lalu lintas
Dengan menggunakan strategi modulasi, penerjemah menitik beratkan masalah penerjemahan pada obyek yaitu ‘lengan’ dan bukan subyek ‘she.’ Hanya dengan cara demikian, yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, maka kalimat di atas dapat diterjemahkan sesuai dengan pesan aslinya. Terlepas dari semua yang dapat diungkap dalam tulisan ini, kewaspadaan serta kehati-hatian di dalam melakukan suatu penerjemahan mutlak harus dimiliki setiap penerjemah. Kesalahan didalam mendalami makna yang terdapat dalam suatu SL, boleh jadi menimbulkan akibat serius dalam terjemahan. Retmono (1977: 28-36) mengingatkan: ‘jarang ada sebuah bahasa yang mempunyai hanya satu arti bagi setiap kata dalam bahasa itu, baik arti sesungguhnya maupun arti kiasan.’ Bersamaan dengan peringatannya, Retmono memberikan sebuah contoh iklan yang tidak tepat sehingga hampir saja membuat sebuah perusahaan susu bangkrut. Iklan itu berbunyi: Our Milk Has Stable Flavor All Year Round.
Kata stable dapat diartikan stabil selain juga berarti kandang kuda. Bayangkan saja, andaikata yang dipahami orang bukan arti yang pertama! MODEL SEMANTIS KOMUNIKATIF
DAN
Orang yang pertama kali mengajukan model terjemahan semantis dan komunikatif adalah Peter Newmark (1981, 1988). Di
145
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
dalam salah satu pernyataannya (Newmark, 1991), ia mengakui model ini sebagai salah satu sumbangan yang paling penting pada teori penerjemahan. Menurut Newmark, bahasa adalah suatu sistem komunikasi dengan bunyi, dengan menggunakan lambang-lambang bunyi yang memiliki arti-arti sembarang berdasarkan agreement atau kesepakatan. Di dalam memperkenalkan terjemahan semantis, Newmark membandingkannya dengan terjemahan komunikatif. Berikut adalah bagan atau diagram yang sering digunakan Newmark di dalam rangka memperkenalkan kedua konsep terjemahan ini Berpihak pada SL Berpihak pada TL Kata – demi - kata (literal) Bebas (free) Setia (loyal) idiomatik (idiomatic) semantis
komunikatif
Di a g r a m d i a t a s m e n u n j u k k a n bagaimana ragam terjemahan ditinjau dari derajat kecendrungan atau keberpihakannya terhadap teks atau kepada pembacanya. Terjemahan yang cendrung berpihak pada teks SL termasuk terjemahan harfiah atau terjemahan kata – demi - kata. Tanpa memperhitungkan tingkat kewajarannya dalam TL, terjemahan jenis ini akan mempertahankan style atau gaya serta makna yang ada dalam teks SL. Seberapa besar terjemahan seperti ini dapat dimengerti oleh pembaca biasanya juga diabaikan. Perhatikan contoh di bawah ini: SL : It is wrong to think that Indonesian people do not understand what human rights is. Terjemahan semantis: adalah keliru untuk berpikir bahwa masyarakat Indonesia tidak mengerti apa hak-hak asasi manusia
terjemahan adalah suatu hasil terjemahan yang dapat dibaca oleh pembaca TL. Gaya bahasa asli pada SL biasanya diabaikan. Bahkan, gaya bahasa dan contoh-contoh tidak jarang berubah asalkan hal ini dapat mempermudah pembaca. Contoh kalimat di atas akan diterjemahkan: Kelirulah jika kita berpikir bahwa masyarakat Indonesia tidak memahami arti hak-hak asasi manusia.
Sekalipun terjemahan komunikatif berusaha mencapai efek pikiran atau tindakan tertentu pada pembacanya, terjemahan ini tidak lepas dari kelemahan. Salah satu kelemahan itu adalah subyektifitas yang terjadi pada proses penerjemahannya. Boleh jadi, karena subyektifitas ini, maka sebagian makna teks SL menjadi hilang. Menurut Newmark (1981: 51) makna mempunyai lapis-lapis yang banyak, bersifat fleksibel dan sekaligus kompleks. Sebuah kata yang dikaitkan dengan kata lain, bisa menimbulkan interpretasi bermacam-macam. Sehubungan dengan hal ini, setiap usaha menyederhanakan seperti yang dilakukan dalam penerjemahan komunikatif, pasti akan berkonsekuensi hilangnya sebagian makna ini. Dari kedua model terjemahan ini, kita tidak akan mengatakan mana yang akan lebih bagus atau jelek dari yang lain. Itu bukanlah tujuan penulisan artikel ini. Yang jelas, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri. Jika model semantis berpijak pada utuhnya struktur semantis dan sintaktis serta makna kontekstual dari teks SL, model komunikatif bertitik tolak pada keluwesan, pemahaman pembaca TL sekalipun harus ada yang terpaksa dikorbankan. Sekali lagi, perhatikan contoh bagaimana kedua model terjemahan berbeda dalam pendekatannya:
Di sisi yang lain, terjemahan komuni- SL : Beware of the dog katif cenderung berpihak pada TL. Tujuan Semantis : Hati-hati terhadap anjing Komunikatif : Awas anjing
146
Menerjemahkan Sebagai Suatu Alternatif Dan Hubungannya Dengan Model-Model Dalam Terjemahan
SIMPULAN
Nida, Eugene A. dan Charles R. Taber. 1982. The Theory and Practice of Translation. Disamping keempat ketrampilan bahasa Leiden: E. J. Brill. (speaking, listening, reading dan writing), penerjemahan (translation) merupakan salah Rachmadie, Sabrony., Zuchridin Suryawinata, satu ketrampilan yang tak kalah pentingnya. dan Achmad Efendi. 1988. Materi Di dalam kehidupan perguruan tinggi, Pokok Translation, Modul 1 – 6. Jakarta: kegiatan ini tak dapat diabaikan mengingat Penerbit Karumka dan Universitas kenyataan bahwa penguasaan membaca teks Terbuka. berbahasa asing (terutama bahasa Inggris) Savory, Theodore. 1969. The Art of Translation. masih rendah sekali. London: Jonathan Cape Ltd. Untuk dapat melakukan tugas terjemahan dengan baik, seorang penerjemah perlu Widyamartaya, A. 1993. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Penerbit Kanisisus. membekali dirinya dengan penguasaan SL dan TL yang baik, mampu menggunakan berbagai alat penerjemahan seperti kamus umum dan kamus khusus, kamus elektronik dan komputer, bahkan jasa internet. Dengan semua kemampuan di atas, ditambah pula dengan mengenal budaya dan latar belakang kedua bahasa, memahami berbagai proses penerjemahan yang ada, menguasai topik terjemahan dan sikap kehati-hatian yang tinggi, penerjemahan akan mencapai hasil yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA Catford, J. C. 1969. Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford University Press. Larsson, L. Mildred. 1984. Meaning Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. Lanham: University Press of America. McGuire, Susan Basnett. 1980. Translation Studies. London: Mcqueen & Co. Ltd. Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press.
147
RESENSI BUKU Buku Agama itu bukan Candu karya Eko P. Darmawan,Resist Book (2005)
KRITIK (MATERIALISME) ATAS “AGAMA”: UPAYA MEMBELAH TEMPURUNG REDUKSI AGAMA Listiyono Santoso
PENGANTAR Membincangkan agama memang selalu menarik. Tidak saja karena di dalamnya mengandung problema perenialis sepanjang peradaban kemanusiaan, tetapi juga terkait di dalamnya tawaran kebenaran dan ajaran keselamatan yang bersifat abadi. Bagi pemeluknya, tawaran kebenaran dan keselamatan yang diberikan agama –apapun namanya- adalah bersifat kepastian. Tidak ada tawar menawar didalamnya. Apalagi ketika tawaran kebenaran dan keselamatan itu datangnya dari Tuhan sebagai Sang Pemiliki Kebenaran. Karena memberikan tawaran kebenaran dan keselamatan (di dunia), utamanya di akhirat, maka agama kemudian dikonstruksikan sebagai sesuatu yang suci (sakral). Tidak jelas secara pasti, apakah kedua sisi tersebut lahir secara bersamaan atau yang satu merupakan implikasi logis dari yang lainnya. Inklusivitas muncul karena adanya paham eklusivitas, atau sebaliknya, * Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Kampus B, Jl. Dharmawangsa Dalam Se;atan Surabaya 60286, Tlp 031-5035676, email:
[email protected]
eklusivitas merupakan akibat langsung dari paham inklusivitas. Yang jelas keduanya merupakan dua entitas yang saling bertalian sebagai sebuah dialektika sejarah, yang dalam bahasa Hegel; tesis-antitesis-sintesis. Artinya, pemahaman keagamaan kita seringkali dihadapkan pada munculnya dua arus utama yang (ironisnya) bersifat –meminjam terminologi Ferdinand De Saususrebinary opposition. Selalu saja akan muncul paradigma ‘melawan’ arus mainstream yang akan berhadapan vis a vis. Sayangnya, umat Islam –dalam banyak hal- tidak dibiasakan untuk memahami secara sadar munculnya berbagai bentuk pemikiran-pemikiran alternatif (lain) sebagai suatu keniscayaan sejarah, meski seringkali pemikiran tersebut berbanding terbalik secara ‘hitam-putih’. Munculnya pemikiran baru akan dipahami secara stigmatig sebagai bentuk penyimpangan dari arus utama yang berkembang. Arus mainstream diletakkan sebagai ‘juru tafsir’ satu-satunya yang sah atas penafisran agama. Pemikiran (keagamaan) yang dominan dianggap sebagai satu-satunya kebenaran tafsiran, yang menolak munculnya tafsiran baru. Dilihat dari sudut sosiologis,
Kritik (Materialisme) Atas “Agama”: Upaya Membelah Tempurung Reduksi Agama
-meminjam terminologi Mohammad Sobary (1988: 34) - terutama dalam kaitan dengan proses sosial yang masih terus berlangsung –dan memperlihatkan bahwa segala sesuatu pada dasarnya masih sibuk ‘membentuk’ dirinya- pemahaman seperti itu mengakibatkan kebekuan dan tidak menarik. Soalnya, dalam hidup, sesuatu –termasuk model pemikiran- yang sudah jadi (mapan) dan hegemonik, sering tidak bersedia diajak; “tawar-menawar’. Sekali ‘jadi’ tetap ‘jadi’, dan perspektif lain, karenanya tidak boleh ‘hadir’ bahkan ‘dihadirkan’. Dalam terminologi ini, maka memahami lahirnya paradigma Islam Inklusif versus Islam Eksklusif (misalnya) secara binary oposition –meski keduanya memang bertolak belakang- akan melahirkan benturanbenturan yang sifatnya konterproduktif. Seharunya, keduanya dipahami sebagai suatu bentuk kewajaran dalam kreativitas pemikiran manusia –dalam koridor tertentu- tanpa harus saling ‘menghardik’ dan ‘menghakimi’, apalagi dalam konteks pemahaman keagamaan. Hal ini karena persoalan keagamaan seringkali berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya personal; yang tidak hanya berkaitan dengan rasionalitas, melainkan juga rasa yang berurusan dengan wilayah unspekable yang melembaga di bagian terdalam diri manusia: hati dan intuisi. Truth claim penafsiran keagamaan pada akhirnya justru mereduksi absolutivitas kebenaran Tuhan, yang sifatnya dogmatik. Padahal kita tidak ingin hidup di bawah tirani kesadaran normatif idiil –apalagi yang sekedar tafsiran manusia- seperti itu. Maka jalan keluar harus dibangun betapapun sukarnya, agar kebebasan –dalam pemikiran maupun pemahaman atas perkara hidup: termasuk pemahaman keagamaan- bisa dinikmati. Kita tidak ingin agama yang ramah, yang turun ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan manusia itu,
dipahami secara konterproduktif menjadi sesuatu yang malah serba menakutkan (Mohammad Sobary, 1988: 35). Terlepas dari persoalan ini, prolog panjang ini hanya untuk mengantarkan kita pada suatu pendekatan komprehensif atas munculnya fenomena Islam Inklusif sebagai keniscayaan sejarah yang mesti diterima secara wajar, tanpa euphoria dan tanpa sebuah kecurigaan mendasar. Artinya, sudah saatnya, umat Islam membangun suatu dialog konstruktif; agar proses pencarian kebenaran Mutlak (milik Tuhan) dapat dijalankan secara terus menerus. Bukan persoalan siapa yang benar, melainkan bagaimana proses pencarian kebenaran itu ditemukan; bukan siapa melainkan bagaimana. Barangkali Erich Fromm (1950: 26) benar tatkala menyatakan bahwa dengan melihat kenyataan adanya naluri beragama dari manusia –agama apapun dia- termasuk ‘ersatz religion’, ‘religio illicita’ dan ‘religio equivalents’ seperti Fasisme, Nazisme dan Marxisme- maka persoalannya bukanlah terutama bagaimana mendorong manusia untuk bergama, melainkan bagaimana manusia dapat menemukan agama atau cara memeluk agama dan menghayatinya begitu rupa sehingga tidak membuatnya lumpuh secara kerohanian, melainkan yang akan mengembangkan lebih lanjut nilai kemanusiaannya sendiri dan membuat mekar potensi spesifiknya sebagai manusia. Dengan demikian, jenis (penafsiran) keagamaan yang jelas sekali tidak dikehendaki dan tidak dapat diterima ialah (tafsiran) agama yang membuat seseorang tunduk patuh dan pasrah total kepada sesama manusia dan membuatnya terasing dari dirinya sendiri meskipun semuanya dilakukan dalam ‘kedok’ menyembah Tuhan (Erich Fromm, 1950: 21 dan Edy A. Effendy, ed., 1999: 24). Kepasrahan total pada seseorang akan melahirkan suatu 149
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
gejala kultus (cult), yaitu bentuk gerakan spiritual (dan keagamaan) dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolutistik, dan dengan sendirinya, kurang toleran kepada kelompok lain. Gejala kultus ini pada akhirnya memunculkan ‘gundukan’ fundamementalisme1 cara beragama. DISCOURSE ISLAM INKLUSIF: MERUNUT MUNCULNYA DISTORSI EPISTEMOLOGIS Belakangan ini, wacana Islam Inklusif memasuk wilayah “VIP” dalam konstelasi pemikiran ke-Islam-an di Indonesia. Setelah beberapa lama, umat dihadapkan suatu perdebatan panjang tentang Islam Rasional; kemudian Islam Peradaban dan akhirnya Islam Tarnsformatif (Buddy Munawar R dalam Edy A Effendi, ed., 1999: 99133), kini percaturan dan pergolakan pemikiran umat (Islam) memasuki fase baru dengan di’kampanye’kannya Islam Inklusif sebagai bentuk perlawanan atas pemahaman keagamaan yang eksklusif dan tertutup. Meskipun harus diakui pemaknaan Islam Inklusif tidak begitu saja bisa disejajarkan dengan ketiga pemaknaan atas Islam di atas, tetapi pemikiran Islam Inklusif sedikit banyak diberi pijakan oleh ketiganya. Bahwa tokohtokoh dalam Islam Rasional, Islam Peradaban dan Islam Tarnsformatif di Indonesia utamanya adalah ‘merepresentasikan’ awal dibukanya ‘kran’ liberalisasi pemikiran (atas) Islam yang selama ini ‘terkukung’ oleh dogma-dogma dan mitologi. Sebagai keniscayaan sejarah, maka lahirnya (pemikiran) Islam Inklusif pada dasarnya merupakan pendobrakan atas realitas (ekslusivitas) keagamaan yang diperankan oleh umat (Islam). Penganut Islam Inklusif 1. Istilah ini –sesungguhnya- merupakan ‘proyek’ hegemoni bahasa dari mainstream pemikrian dominan untuk ‘menolak’ lahirnya pemikiran lain.
150
seolah memperoleh suatu pencerahan (aufkalrung) setelah lama terlelap oleh tidur dogmatisnya. Betapa tidak? Liberalisasi pemikiran Islam Inklusif dalam banyak hal sanggup melakukan ‘dekonstruksi’2 atas bahasa-bahasa agama yang selama ini terlembaga secara ‘kaku’. Liberalisasi Islam Inklusif dalam artian sederhana diletakkan pada upaya untuk melakukan pendekonstruksian atas wacana keislaman yang selama ini dianggap beku. Namun, dekonstruksi yang dilakukan, sepertinya bukan untuk menihilkannya, melainkan untuk menuju apa yang disebut Komaruddin Hidayat (dalam Edi A Effendi, 1999: 91100) sebagai rekonstruksi konseptual dan pendakian rohani menuju Realitas Absolut. Bagi penganut Islam Inklusif, liberalisasi pemikiran dalam (penafsiran) atas Islam akan mendorong terciptanya ‘suasana’ kehidupan ke(ber)agamaan yang damai dan toleran atas agama lain di tengah pusaran pluralitas keagamaan. Inklusivitas pemaknaan agama menjadi suatu keharusan ditengah realitas kemajemukan agama. Agama (Islam) yang Inklusif memberikan makna mendalam bagi terciptanya suasana ‘dialog’ antar agama, yang mungkin secara epistemologis tidak dapat disatukan. Disadari betapa lahirnya Islam Inklusif merupakan antitesa dari adanya pemahaman keagamaan (selama) ini yang kaku; yang cenderung hitam-putih; bahwa ‘kita’ benar, ‘mereka’ salah, kita lurus mereka sesat. Kekakuan pemahamaan keagamaan menimbulkan suatu persoalan besar tatkala dihadapkan pada realitas kemajemukan, karena berakibat fatal timbulnya berbagai bentuk konflik berkepanjangan. Sejarah menjadi bukti tipikal pemahaman keagamaan 2. Pemaknaan dekonstruksi disini lebih diletakkan sebagai upaya untuk membaca ulang bahasa-bahasa agama, dan harus dibedakan dengan terminologi destruksi.
Kritik (Materialisme) Atas “Agama”: Upaya Membelah Tempurung Reduksi Agama
seperti ini seringkali menjadi ‘penyulut’ utama terjadi konflik berdarah atas nama agama. Kekakuan pemahaman keagamaan ini menghadirkan claim truth tafsiran dengan memberikan ‘stigma’ kesalahan pada tafsiran lain, apalagi atas agama lain Maraknya konflik antar agama misalnya, acapkali bermuara pada semangat untuk memberikan stigma bagi keberagamaan yang lain. Sebenarnya, ikhwal konflik antar umat beragama, disamping dipicu oleh unsur eksternal, tapi tidak kalah pentingnya lagi untuk disebut adalah, adanya distorsi epistemologi dalam menangkap absolutisme agama, yang alih-alih memperkokoh komitmen Ilahiyah pemeluk agama, malah, berkembang ke arah juvenile extremism (ekstrimisme mentah), yang dapat menumbuhsuburkan sikap eksklusivisme (Syamsul Arifin, 2000: 57). Pa d a d a s a r n y a , a b s o l u t i v i s m e , terutama yang berbentuk Realitas Mutlak atau Kebenaran Tertinggi (The Ultimate Reality) merupakan kebutuhan alami bagi manusia sebagai makhluk yang serba relatif (relativismus uber alles). Dengan kerelatifan itu, nalar rasional manusia acapkali gagal memberikan jawaban yang memuaskan jika dihadapkan pada persoalan eksistensi dan fundamental yang bersumber dari keberadaan dirinya dalam realitas kosmik, seperti tentang ikhwal ontologis manusia beserta proses telogis manusia dalam mengarungi kesemestaan kehidupan ini. Sebagai bukti kegagalan nalar manusia itu, dapat dilihat pada filsafat, yang meskipun telah diakui kecanggihannya dalam menguak hal-hal yang bersifat fundamental, toh pada akhirnya, filsafat harus mengakui sempitnya ruang epistemologis yang dimilikinya (Syamsul Arifin, 2000: 58). Sempitnya ruang epistemologi dalam menerjemahkan Realitas Absolut ini menjadi suatu keadaan untuk memberikan asumsi
betapa tafsiran-tafsiran yang kita berikan atas Kebeneran Absolut tidak sendirinya membuat tafsiran itu berlaku absolut. Hanya ditangan Tuhan, kebenaran mutlak memang tetap mutlak. Tapi –meminjam istilah Mohammad Sobary (1988: 72)- kita bukan Tuhan. Manusia dengan sendirinya tidak bisa hidup secara mutlak-mutlakan, sebab dengan pegangan aturan yang serba sempurna pun manusia tetap punya kecenderungan menyimpang. Pemutlakan sebuah tafsiran keagaman –selama ini- cenderung menjadi cara pandang (religion way of knowing) yang selalu mengutamakan klaim kebenaran (truth claim) atas informasi kemutlakan yang diterima oleh masing-masing pemeluk agama. Klaimklaim inilah yang secara sosiologis berpotensi memperlebar jarak sosial (social distance), serta menimbulkan pertentangan dan konflik realistik pada wilayah sosial-politik. Berbagai bentuk prasangka (teologis) menjadi mudah diletupkan, tatkala klaim kebenaran menjadi titik tolaknya. Padahal Erich Fromm (1950: 52) pernah menyebut bahwa prasangka adalah pangkal keonaran sosial yang paling berbahaya. Itulah sebabnya, dalam pergaulan agama, pendeknya, konsep ‘kesombongan’ mayoritas dan ‘tirani’ minoritas harus ditiadakan. Setiap pemeluk agama tidak boleh lagi melakukan menteror kesalehan masing-masing. Sejarah telah memberikan bukti cukup jelas betapa konflik yang mengatasnamakan agama seringkali tidak pernah bisa diselesaikan secara penuh damai. Selalu saja muncul perlebaran eskalasi kekerasan atau konflik ketika agama dijadikan ‘pemicunya’. Setiap bentuk kekerasan atau konflik yang mengatasnamakan ‘agama’ maka beriringin dengan hal tersebut akan muncul legitimasi teologis atas kekerasan yang terjadi. Munculnya sakralisasi kekerasan adalah fenomena yang tidak bisa dihindarkan. 151
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
Artinya, setiap kekerasan atas nama agama dianggap sebagai sesuatu yang ‘sakral’ atau suci, karena dianggap sebagai pembelaan atas sesuatu yang (memang) suci. Cara pandang yang menempatkan agama sebagai salah satu variabel konflik jika dihadapkan dengan cara pandang teologis, jelas terkesan anakronistik. Sebab, semua agama yang dibawa oleh para utusan Tuhan ke muka bumi ini pada hakikatnya berada dalam misi universal yang sama, yaitu, pertama, memberikan afirmasi terhadap kebutuhan spitirtual manusia terdapat struktur esensial yaitu sensus religious, kepekaan terhadap segala sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Kedua, agama diharapkan mampu mewadahi terimplementasikan amal-amal sosial dan kemanusiaan. Dengan begitu kedekatan hubungan dengan Tuhan tidak hanya dibangun melalui ritus-ritus dan upacaraupacara yang rutin dan ketat, melainkan juga bisa dicapai melalui penciptaan harmoni sosial, pembelaan terhadap keadilan dan penindasan ataupun pengentasan sesama manusia dari keterbelakangan. Dengan demikian, kehadiran agama mengemban misi penyelamatan manusia (the salvation of man) dalam kehidupan dunia fisik, sampai kelak penghuni dunia metafisik (Syamsul Arifin, 2000: 62). Problem utama yang kemudian muncul adalah problem hermenutik yang berkaitan dengan persoalan proses pemahaman atas ajaran agama. Sampai kapanpun persoalan ini terus berlanjut karena adanya perbedaan yang mendasar antara watak agama par excellence dengan realitas sosial manusia. Agama –sekali lagi- bersifat absolut karena bersumber dari realitas ontologis yang absolut juga. Sementara manusia bersifat realtif. Nah, ketika dikonstruksi oleh manusia, maka absolutisitas agama mengalami proses relativitas, bahkan mungkin juga distorsi. Pada titik ini maka terjadilah 152
apa yang –mungkin- disebut oleh Samuel Hutington sebagai Clash of Civilization, karena setiap agama pasti akan mengusung klaim kebenarannya masing-masing, yang meski –ironisnya- kemutlakan itu dibangun dari sebuah penafsiran atau konstruksi yang dibuat sendiri oleh manusia yang serba relatif. Realitas keagamaan yang demikian –disadari- telah memunculkan situasi yang stigmatis bagi agama, yang dalam rentang sejarahnya telah mengalami faith accompli. Itulah sebabnya, agama menurut Leobard Swidler dalam tulisannya,”The Age of Global Dialoque and Global Ethic,” untuk masa depan dihadapkan pada satu pilihan; death or dialogue. Sebuah tawaran yang menakutkan. Tetapi setidaknya, tawaran ini harus ditangkap sebagai keinginan untuk mengembalikan (peran) agama secara benar di tengan realitas masyarakat yang plural ini. Apalagi, manusia juga tidak mungkin menciptakan suatu –meminjam istilah Gus Dur- republik surga di bumi, yang semuanya serba ‘damai’, ‘satu bentuk kebenaran’, dsb. Faith accompli atas (peran) agama memang layak untuk ‘diajukan’ tatkala kita menyaksikan sejumlah fakta tentang pengintegrasian agama dalam setiap konflik. Bahkan, dalam setiap perjalanan sejarah, selalu ada suatu babakan di mana agama mengalami decleaning, meskipun sebelumnya menjalankan peran yang menentukan dalam kehidupan manusia. Nietsche misalnya, seorang nihilis sejati, jauh-jauh sebelumnya telah memperingatkan kemungkinan bahaya nihilisme, yaitu runtuhnya seluruh nilai dan makna yang bersumber dari agama yang mengantarkan manusia ke dalam confused world. Terbuktilah ramalan Nietzche? Agama memang tidak segera menemui ajal kematiannya, sebagaimana diteriakkan oleh Nietzche: ”Tuhan telah mati! Kita telah membunuhnya!” (Nurcholis Majid, dalam
Kritik (Materialisme) Atas “Agama”: Upaya Membelah Tempurung Reduksi Agama
Edy A Effendi, (ed.), 1999: 64-65). Seorang novelis dan wartawan Inggris A.N. Wilson, pada tahun 1992 menerbitkan buku yang ‘menggemparkan’: Against Religion: Why We Should Try to Live Without IT (Melawan Agama: Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia). Buku yang isinya melakukan ‘penghujatan’ dan mungkin juga penghinaan atas agama adalah salah satu dari sekian banyak buku yang mencoba mempertanyakan peran agama di tengah hiruk-pikuknya kehidupan ini, apalagi ketika pernyataan tersebut didukung oleh sejumlah fakta betapa di banyak negara; seringkali terjadi pembunuhan, perang, dsb, yang ‘berlindung’ dibalik agama. Sebenarnya, kalau ditelusuri secara epistemologik, ‘gugatan’ atas agama yang muncul seharusnya dipahami sebagai peringatan kepada kita bahwa dalam agama-agama, atau lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya. Sinyalemen serupa itu biasanya disanggah para penganut agama, sambil mengakui bahwa keonaran atau konflik memang senantiasa muncul di kalangan para penganut agama, namun agama tidak dapat disalahkan. Yang salah adalah penganutnya, karena tidak memahami sekaligus mempraktekkan ajaran agama secara benar. Akan tetapi, seorang yang kritis akan membalik argumen itu dengan mengatakan: kalau agama itu memang benar, namun tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar, namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya? (Nurcholis Madjid, dalam Edi A. Effendi (ed).,1999: 12). Paradoks ini yang menjadi ‘dilema Wilson’, yaitu dilema bahwa agama mengajak kepada kebaikan, dan semakin orang yakin kepada agamanya, adalah semakin baik;
tapi justru ‘orang baik’ itu semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran sendiri. Mungkin menjadi terbukti pernyataan seorang uskup Ortodoks Yunani dalam sebuah khutbahnya bahwa seorang agamawan yang baik adalah orang yang punya cukup iman untuk dapat menganiaya orang lain karena (diangga) kekeliruan keagamaan. (Wilson, 1950: 4-7). Berbagai bentuk ‘hujatan’ atas agama ini –seharusnya- menjadi suatu kritik mendasar kita untuk memberikan rumusan atas cara beragama yang benar, baik secara sosiologis, lebih-lebih teologis. Dalam konteks plralitas beragama, maka semangat untuk menyodorkan klaim kebenaran atas nama agama harus dikritisi karena hanya melahirkan gundukan ekskluvisme dan fundamentalisme 3 yang membahayakan semangat untuk dapat hidup berdampingan di sebuah ‘ruang’ yang bernama dunia empirik. Bahaya ekskluvisme dengan sendirinya mengharuskan kita untuk menyodorkan suatu ‘gerakan’ baru untuk kembali melakukan upaya dekontsruksi atas bahasabahasa agama yang seringkali disalahtafsiri. Upaya itu melahirkan fenomena Agama (Islam) Inklusif yang belakangan ini marak 3. Fundamentalisme merupakan suatu gerakan emosional reaksioner yang berkembang dalam budaya-budaya yang sedang mengalami krisi sosial dan bersifat otoriter, tidak toleran, dan bersemangat memaksa dalam menampilkan dirinya terhadap masyarakat yang lain. Fundamentalisme adalah sikap jiwa yang melihat segala sesuatu secara hitam putih yang untuk itu tidak dikenal adanya kompromi. Ciri utama dari fundamentalisme (biasanya lahir dari ekskluvisme) adalah ketertutupan, pemaksaan disiplin yang keras, hasutan kepada pengorbanan harta dan jiwa yang tidak proporsional, absolutivisme, serta janji-janji keselamatan yang diberikan dengan tegas dan sederhana. Seperti terlihat dalam gerakan People’s Templenya James Jones, Moral Majority-nya Jerry Falwell, dsb, Lihat, Nurcholis Madjid, Ibid. hlm.19.
153
VOL. 2. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
diberbagai diskusi-diskusi, utama perguruan tinggi keagamaan. Islam Inklusif yang belakang marak pasca terjadinya tragedi WTC (World Trade Centre), 11 September 2001, yang kemudian Amerika Serikat, yang memaknai dirinya sebagai ‘polisi dunia’ melemparkan wacana fundamentalisme Islam sebagai biang keladinya. Artinya, gerakan fundamentalisme Islam dianggap sebagai suatu gerakan teroris yang ‘mengancam’ yang harus segera dibasmi. Terlepas dari ‘tindakan’ sewenag-wenang AS tersebut, agaknya kita (umat Islam) tetap memiliki tanggungjawab historis untuk membuktikan kesalahan epistemologi tuduhan AS atas Islam. Sebab, realitas empirik menjadi bukti betapa ada banyak gundukan fundamentalisme Islam yang ‘bertebaran’ dibeberapa negara, termasuk Indonesia. Meskipun demikian pembuktian (ajaran) Islam yang Inklusif bukanlah disebabkan adanya tuduhan dari gerakan fundamentalisme tersebut, melainkan karena hal tersebut merupakan suatu keharusan sejarah. Islam Inklusif adalah tawaran (paling) logis untuk menyikapi realitas kemajemukan ini. Kita tidak akan bisa melakukan suatu ‘proyek’ raksasa untuk menjadikan agama itu satu, bernama A atau B, sebab ia sekali lagi berurusan dengan sesuatu yang sifatnya personal. Konstruk Islam Inklusif menawarkan cara pandang baru atas agama; untuk lebih terbuka ‘menerima’ realitas kemajemukan serta memahami setiap bentuk (tafsiran) kebenaran yang mungkin berkelindan dalam ruang sosial kita. Selama ini, umat Islam ‘terkungkung’ oleh tradisi pemikiran yang dogmatik-ideologis, produk zaman skolastik (madzabiyah) abad pertengahan. Dimana tradisi ini pada gilirannya telah menjadi imagine (angan-angan tentang kebenaran), yang secara turun-temurun berabad-abad menghidupi masyarakat agam 154
(Islam) diberbagai belahan bumi. Dengan kekhasan sistem reproduksi maknanya, telah menggerakkan masyarakat untuk berpikir, berbicara, merumuskan nilai-nilai dan membangun institusi-intitusi demi kehidupan yang dicita-citakan. Sebuah ortodoksi keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat. Ortodoksi keberagamaan ini menjadi persoalan tersendiri berabad-abad lamanya, yang membuat umat Islam ‘gagap’ mengejar berbagai bentuk ketertinggalan dalam wacana pemikiran, bahkan justru melahirkan semangat eksklusif sebagai bentuk pelarian atas ketidakmampuan tersebut, yang mungkin oleh Erich From disebut sebagai “Escape from Freedom.. Mungkinkah, bahwa gundukan ekskluvisme dan fundamentalisme adalah cerminan kegagalan dalam menghadapi realitas perubahan? Doktrin-doktrin agama yang absolut yang terlahir dari pemahaman yang eksklusif dalam banyak hal masih melakat dalam bingkai ideologis dogmatis yang mewujud dalam angan-angan pemeluknya, sehingga umat tidak mampu keluar dari kungkungan tempurung ajaran agama yang tereduksi. Untuk itu harus dipecah tempurung apologi dan pereduksian agama, selanjutnya menyingkirkan ketakutan-ketakutan terhadap agama lain, agar suasana kedamaian terjaga terus, dan agar setiap (tafsiran) agama saling berdialog secara konstruktif. Islam Inklusif semestinya diletakkan dalam semangat ini, yaitu semangat untuk memberikan ‘ruang’ bagi munculnya liberalisasi tafsiran atas agama dan agar dalam ruang tersebut setiap (tafsiran) agama saling menyapa membangun prinsip kemanusiaan secara universal, daripada disibukkan untuk memberikan truth claim yang tidak akan pernah ada pangkalnya. Kita hidup didunia empirik, sehingga realitas ini yang semestinya juga harus digagas oleh agama (meski dengan
Kritik (Materialisme) Atas “Agama”: Upaya Membelah Tempurung Reduksi Agama
tidak melupakan dunia immaterial), bahwa kewajiban keagamaan. Berbagai bukti kita tetap tidak akan mampu mencipatkan empirik seringkali menunjukkan betapa sebuah Republik Surga di bumi ini. penganut Islam Inklusif tidak konsisten dalam mencoba mempertahankan ajaranK R I T I K A K S I O L O G I S I S L A M ajaran agama yang sifatnya ‘mutlak’, karena asas kompromi yang dianutnya. INKLUSIF Dhiman Abror dalam artikelnya Namun demikian, meski paradigma berjudul STMJ (Jawa Pos, 1/12/2001) Islam Inklusif mampu menyodorkan menyebut bahwa penganut Islam ini (Islam semangat baru dalam beragama dengan Liberal sebagai paradigma Inklusif ) seringkali memberikan ‘ruang’ secara leluasa untuk terjebak untuk membiarkan pemikirannya munculnya liberalisasi pemikiran, tetapi secara ‘liar’ dalam menerjemahkan perintah didalamnya juga mengandung sejumlah agama, sehingga justru meningggalkan ‘pereduksian’ –mungkin- dalam bahasa perintah-perintah agama, atau kalau tidak teman-teman di jamaah Tabligh (yang berada justru tidak bisa meletakkan keduanya dalam lingkup skripturalis) pendangkalan (antara perintah dengan larangan) dalam semangat dalam beragama (Islam). proporsinya. Istilah, penganut Islam Liberal Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa seringkali berada pada suatu kasus yang fenomena (wacana) Islam Inklusif tumbuh Shalat Terus Maksiat Jalan, bahkan ada subur di lingkungan anak muda didikan banyak yang justru meninggalkan perintah pesantren atau yang berada dalam kampustersebut. kampus Islam (IAIN). Secara sosiologis, Barangkali dalam konteks ini Mohamad setelah lama (sepanjang hidupnya) mengunyah Iqbal benar tatkala mengatakan bahwa agama berbagai doktrin-doktrin (dogmatis) agama, ada dalam dada, bukan di otak, ketika agama mereka kemudian di ‘ruang’ yang lain seakan dinaikkan di otak maka hilanglah yang di menemukan sebuah gairah baru dalam dada. Artinya, ketika segala sesuatu dicoba beragama. Lihat saja, betapa mereka lebih untuk dirasionalisasikan, maka semangat asyik ‘mengunyah’ buku-buku (kiri) seperti pelaksanaan perintah Tuhan hanya berhenti Mohammad Arkuen, Asghar Ali Engineer, pada periferi (pinggiran), meski yang ini harus Hasan Hanafi, Ali Syari’ati, bahkan bukudilakukan penelitian secara mendalam. buku (kiri) sekuler lainnya yang bermazhab Konsekuensi dari sebuah liberalisasi kritis-Marxian, ketimbang membaca bukupemikiran adalah (juga) memutus mata buku (kanan) seperti Sayyd Quthb, Hasan rantai hubungan dengan yang sifatnya Al Banna, dsb, yang saat ini menjadi ‘bacaan’ ‘sakral’, ada keterputusan dengan kekuatan wajib kelompok-kelompok Islam yang yang trasendental, karena agama diletakkan berada di perguruan tinggi umum. semata hanya pada orientasi rasionalisme Terlepas dari fenomena tersebut, ada belaka. Memang dalam filsafat penecerahan, suatu fenomena menarik untuk dicermati manusia adalah subyek otonom yang berhak seiring dengan ‘maraknya’ wacana Islam untuk membuat sejarahnya, tetapi ia kan Inklusif tersebut. Betapa, liberalisasi tetap terikat pada suatu koridor, suatu aturan pemikiran keagamaan yang ditawarkan oleh main yang –tentu saja- aturan main ini bisa paradigma Islam Inklusif membawa suatu saja didekonstruksi oleh rasio manusia. konsekuensi logis berupa ‘pereduksian’ atas Sehingga, secara aksiologis, sesungberbagai ritual-ritual yang menjadi suatu guhnya pemahaman Islam Inklusif yang 155
VOL. 1. NO. 2, JULI – DESEMBER 2007
berlatarbelakangi Islam Liberal seringkali ashshawab. hanya berada pada lingkup ‘wacana’ atau pemikiran, yang justru juga mereduksi situasi batiniah tatkala umat menjalankan perintah agama. Jalaludin Rahmat juga pernah DAFTAR PUSTAKA menyindir fenomena ini sebagai munculnya Mazhab Boy4. Yaitu sebutan untuk kelompok Arifin, Syamsul, 2000, Merambah Jalan Baru anak muda yang bersemangat berbicara dalam Beragama, Bigraf: Jogjakarta tentang agama, tetapi disisi lain dia aktif pula untuk berbuat maksiat atau menyimpang Darmawan, Eko P., 2005, Agama itu bukan Candu, Resist Book: Yogyakarta perilakunya dari frame agama. Erich Fromm, 1950, Psychoanalysis and Religion, Yale University Press: New York, Disinilah sebenarnya dilema dari Islam Inklusif yang –sesungguhnya- mempunyai Madjid, Nurcholis, Beberapa Renungan ikhtiar untuk meletakkan agama pada Kehidupan Keagamaan untuk Generasi posisi yang benar, bukan sebagai sebuah Mendatang, dalam Edy A. Effendi fundamentalisme. Secara pemikiran, wacana (ed), 1999, Dekonstruksi Islam Mazhab Islam Inklusif harus tetap menjadi pijakan Ciputat, Zaman: Jakarta kita tatkala memberikan ‘ruang’ dialog Sobary, Mohammad, 1998, Diskursus Islam agama ditengah pluralitas agama, tanpa Sosial, Memahami Zaman Mencari saling menyalahkan, tetapi dalam realitas Solusi, Zaman: Bandung praksis (pelaku) Islam Inklusif juga seringkali meninggalkan perintah-perintah agama WIlson, A.N., 1992, Agains Religion, Why We Should Try to Live Without It, yang lain (sekali lagi apakah memang Chatto and Windus: London perintah tersebut sudah ditafsiri lain, Wallahua’lam). Namun demikian, semuanya tidak bisa digeneralisir, bahwa penganut Islam Inklusif mempunyai kecenderungan seperti itu. Karenanya, tugas kita sekarang adalah bagaimana mensinergikan pemahaman Islam Inkusif tanpa mereduksi perilaku beragama kita. Sebab, tanpa pemaknaan yang inklusif, Islam bisa menjadi sebuah ‘ancaman’ bagi perdaban yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Persoalannya adalah apakah kita mempunyai kualitas yang integrated yang bisa mensinergikan keduanya? Wallahu A’lam bis SIMPULAN
4. Lihat film berjudul Catatan Si Boy yang diperankan oleh Ongky Alexander, yang kesana kemari bawa sajadah dan tasbih, fasih membaca Al Qur’an, tetapi juga ‘maksiat’; minum bir, pacaran melampui batas dijalankan pula.
156
UCAPAN TERIMAKASIH
Mozaik Jurnal Ilmu Humaniora 2 (dua) edisi yakni Vol. 1 No 1 dan Vol 2 No 2 Tahun 2007 yang merupakan edisi awal dari perubahan format Jurnal Mozaik sebelumnya. Jurnal Mozaik dalam edisi-edisi tersebut tidak akan bisa terbit dengan baik tanpa keterlibatan beberapa mitra bestari yang telah meluangkan waktunya untuk mengedit substansi (isi) materi tulisan dari penulis dalam edisi tersebut. Untuk itu, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Mitra Bestari, Mozaik, Jurnal Ilmu Humaniora, antara lain: 1. Prof. Dr. Aminudin Kasdi yang telah bersedia memberikan telaahnya terhadap tulisantulisan dengan tema sejarah 2. Subandi, M.A., Ph.D yang telah memberikan telaahnya terhadap tulisan-tulisan dengan tema kebudayaan dan kesusasteraan Jepang 3. Prof. Dr. Setyo Yuwono atas koreksinya untuk naskah-naskah bertemakan sosial kebudayaan 4. Dr. A. Sudiarja atas koreksinya terhadap naskah-naskah bertemakan filsafat Demikian semoga jurnal Mozaik dapat memberikan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu-ilmu humaniora di Indonesia. Tim Penyunting