Obat - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Siti Utari Rahayu Minggu, 11 September 2011 22:41 -
Sudah 20 menit Karmin berdiri memandangi tanaman cabai miliknya yang masih berumur sebulan, tangannya tampak kotor dengan tanah. Tanaman-tanaman itu terlihat begitu subur di atas tanah yang disewanya. Bulir-bulir air jernih berkilauan di ujung daun dan akhirnya menetes jatuh ke tanah ladang yang hitam. Dan jika Tuhan menghendaki, tanaman-tanaman itu kiranya dapat memberikan hasil yang baik untuk Karmin. Tetapi wajah lelaki kurus itu tampak begitu murung, menambah tua wajahnya yang legam dengan tulang-tulang pipi yang menonjol. Sementara itu matahari mulai naik, membuat gerah suasana sekitar. Semak-semak di pinggir ladang hanya diam, sepertinya angin belum hendak berkunjung.
“Min!!Karmin!!” Teriak seorang lelaki dari arah barat ladang.
Karmin menoleh ke segala arah mencari tempat suara berasal, dan pandangannya terpaku pada semak-semak tanaman senggani. Dari semak-semak itu muncul seorang lelaki tinggi besar berkaos biru dan bertopi hitam sedang berjalan ke arahnya. Wajah lelaki itu tampak segar, tangannya pun kotor dengan tanah hitam yang mengering.
“Wes siang, Min. Nggak pulang?” kata lelaki itu sambil duduk di sebuah potongan kayu di samping Karmin.
Karmin tersenyum singkat, dia pun ikut duduk di samping lelaki itu, Parsudi, abang iparnya. “Ng gak Kang, aku disini saja, kerjaanku belum siap,” katanya sambil menepuk-nepukkan tangannya, membersihkan tanah yang mengering di tangannya.
“Lha, belum siap toh? Iki lho, aku mau ngajak kamu kerja, jaga bilyarnya Pak Joni. Dia lagi butuh orang, kamu kan lagi sulit. Biar Tono saja yang ngurus ladang ini. Gimana, Min?”
Mendengar tawaran Parsudi barusan, Karmin jadi teringat dengan Tono, anaknya yang sedang sakit. Sudah 3 bulan batuknya tidak sembuh-sembuh dan setelah diperiksakan ke puskesmas kampung ternyata Tono menderita sakit TBC. Dan sekarang obat dari puskesmas sudah habis, Karmin belum sanggup membeli obat lagi, padahal Tono harus meminum obat itu selama enam
1/8
Obat - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Siti Utari Rahayu Minggu, 11 September 2011 22:41 -
bulan tanpa henti. Kendati obat TBC itu merupakan obat generik yang harganya murah, Karmin tetap tidak bisa membelinya, jangankan obat, beras untuk makan sehari-hari saja sudah habis dan belum dibeli. Sebenarnya dia sudah minta surat berobat gratis dari kepala desa, tetapi tidak bisa karena dia tidak mempunyai kartu kependudukan. Dan dia pun tidak sanggup untuk mengurus kartu tersebut, biayanya sangat mahal, padahal menurut berita di radio, pembuatan kartu itu gratis. Dan lagi, karena penyakit TBC itu, anaknya, Tono tak diterima bekerja dimana pun, sehingga semakin mempersulit keadaan keuangan keluarga Karmin.
“Kalau si Tono wes sembuh, iso kerjo nang kene, berobat dululah!” Kata Pak Amri, temannya yang menjanjikan memberi kerja Tono sebagai satpam bila dia telah sembuh. Hal inilah yang makin membebani pikiran Karmin. “Obat, obat, dan obat. Gara-gara Obat!”
Dia tahu dengan bekerja sampingan seperti itu mungkin dia dapat mengobat anaknya dan memperbaiki kehidupan lahirnya. Tetapi, bekerja di tempat bilyar sama saja dengan bekerja di tempat judi, semua orang tahu itu. Dia merasa malu. Bukan malu pada tetangga-tetangganya tetapi pada Allah. Karmin menjadi sangat bimbang. Dilihatnya Parsudi yang tengah mengipas-ngipaskan topinya ke wajahnya.
Tiba-tiba angin datang, semilirnya merebakkan suasana segar dan damai, tak terkecuali pada wajah Karmin. Tetapi, petani tua itu tetap merasakan panas pada segumpal daging yang tersimpan di dalam tempurung otaknya, berbagai tanggung jawab hidup menimbulkan gesekan-gesekan yang memanaskan otaknya. Pikirannya terasa kacau dan semakin mengacau. Hatinya bingung dan semakin membingung, apakah dia harus mempertahankan prinsip hidupnya demi kesehatan batinnya atau dia harus mengadaikan prinsip hidupnya demi kesehatan lahir diri dan keluarganya. Dan pada puncaknya, dia memberatkan diri untuk menggantung saja dahulu prinsip hidupnya di tiang-tiang hatinya, jika kebutuhan lahirnya sudah terpenuhi barulah dia akan mengisi kembali hatinya dengan prinsip itu. Ya, dia akan menerima tawaran abang iparnya itu. Lagipula dia merasa bersalah pada Parsudi karena tak dapat membahagiakan Ginah, istrinya. Walau dia harus menjaga kemaksiatan, toh dia tetap tak bermaksiat.
“Kang, aku ikut karo riko,” katanya kemudian. Parsudi tersenyum dan mereka pun segera pergi dari ladang itu. Selepasnya angin pergi seakan hendak mengikuti mereka jua.
Karmin memasuki tempat bilyar di tengah kota itu dengan perasaan kacau, jantungnya pun berdegup kencang.
2/8
Obat - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Siti Utari Rahayu Minggu, 11 September 2011 22:41 -
“Pak, ini adik saya yang saya katakan itu. Dia yang akan membantu usaha Bapak di sini. Namanya Karmin,” kata Parsudi memperkenalkan Karmin.
“Apa! Membantu usaha ini, berarti aku membantu maksiat,” pikir Karmin sambil memandang hampa ke wajah Pak Joni, hingga dia tak sadar bahwa Pak Joni telah mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Min!!” Kata Parsudi sambil menyenggol tangan Karmin
Karmin tersentak dan begitu dia menyadari ada tangan terjulur ke arahnya, dia langsung menyambutnya dengan senyuman ragu. Pak Joni memandanginya dengan kening berkerut, tetapi kemudian dia tersenyum. “Ya sudah, kerja yang bagus ya! Parsudi, saya serahkan semuanya sama kamu. Saya mau pergi dulu, ada urusan,” katanya kemudian. Lalu Pak Joni pun segera berlalu dari hadapan mereka.
“Kamu ini kenapa toh, Min?” Tanya Parsudi kemudian, dia tadi merasa agak tidak enak terhadap Pak Joni karena sikap Karmin yang tampak aneh.
“Nggak, Kang. Aku cuma agak gugup,” jawab Karmin berbohong.
“Yo wes, sekarang kamu perhatikan kerjaan aku bagaiman caranya. Nanti kamu pelajari, biar n ggak salah-salah. Besok aku nggak di sini lagi, aku akan pindah ke cabang lain. Jadi kamu di sini sendiri,”
“Lho, Kang. Usaha iki ada cabangnya toh?”
3/8
Obat - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Siti Utari Rahayu Minggu, 11 September 2011 22:41 -
“Lha, ya jelas dong. Sekarang iki masyarakat itu pada gemar main bilyar toh. Udah sebagai hiburan, bisa dapat untung lagi.”
Karmin tertegun. Nyatanya selama ini dia terlalu naif.
Parsudi mulai duduk membuka sebuah buku besar dan menuliskan sesuatu di dalamnya. Alih-alih memperhatikan Parsudi, Karmin malah melamun memandangi orang-orang yang datang, mendaftar dan mulai bermain bilyar. Dipandanginya bola-bola bilyar yang bergulir kesana-kemari. Lama-lama dia melihat benda bulat berwarna-warni itu sebagai obat-obat hidup yang menertawakannya. Dia terkejut melihatnya. Dia pun mengucek-ngucek matanya, dipandanginya lagi dalam-dalam bola itu, yang dilihatnya hanyalah bola bilyar biasa. Dia pun menghembuskan nafas, hampir saja dia menjadi gila karena perkara obat.
Karmin mulai bosan, dilihatnya Parsudi telah pergi ke salah satu meja bilyar, dia tampak bahagia tertawa-tawa bersama beberapa lelaki tegap pemain bilyar. Tawa mereka seakan memekakkan telinga Karmin. Karmin merasa benci dan semakin bosan. Dilihatnya sekeliling ruangan, pandangannya jatuh pada sebuah radio kecil di meja. Dengan langkah gontai didekatinya meja itu. “Lebih baik dengerin radio,” pikir Karmin.
Suara kemerisik radio segera mengudara, Karmin menyetel frekuensinya buat mendapatkan acara yang suaranya jelas.
“Nazaruddin akhirnya...” Acara berita yang suaranya sangat jelas, bahkan lebih jelas dari suara tawa pemain bilyar segera mengalun. “Sreek...Sreek...Sreek...” Karmin memilih menukar acara tersebut dan mencari acara lain. Karmin sedang tidak ingin mendengarkan berita semacam itu. Baginya berita-berita itu hanya untuk mengakal-akali rakyat miskin saja dan hanya menambah luka jiwanya.
“Saudara sekalian, penyakit hati itu obatnya adalah iman dan takwa.” Acara ceramah agama, Karmin tersenyum puas. Namun, baru beberapa detik dia mendengarkannya, semua mata pemain bilyar mengarah kepadanya, dengan sorot mata yang tajam. Dia diam saja memandangi mereka dari mata ke mata. Tiba-tiba suasana hening, tak ada lagi suara tawa atau suara bola beradu. Dengan langkah bijaksana Parsudi segera mendatangi Karmin yang terbengong sambil memegang radio, “Sreek...Sreeek...” Ditukarnya acara itu.
4/8
Obat - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Siti Utari Rahayu Minggu, 11 September 2011 22:41 -
“Baiklah yang mau request lagu boleh kirim sms ke 0812XXXX...” Akhirnya muncul acara musik, suasana menjadi biasa lagi, para pemain bilyar itu segera melanjutkan permainan, terdengar juga beberapa orang menggerutu.
“Kamu ini kenapa toh, Min? Masak kamu nyetel acara ceramah di tempat kayak gini,” kata Parsudi masygul.
“Maaf, Kang. Aku tadi cuma bosen aja,” ujar Karmin dengan lugu. Parsudi hanya manggut-manggut saja dan dia pergi lagi ke salah satu meja bilyar.
Sepeninggalan Parsudi, Karmin menjadi tambah bosan. Tempat seperti itu memang bukan tempat yang cocok untuknya. Dia merasa sangat tersiksa. “Sudah berapa jam aku di sini?” Tanyanya dalam hati. Diliriknya jam dinding. “Astaghfirullah, sudah jam dua lewat. Aku belum zuhur!!” Teriaknya dalam hati. Dia segera berlari menemui Parsudi.
“Kang, aku arek shalat dulu, ya!” Katanya terburu dan tanpa menunggu anggukan Parsudi dia sudah berlari.
Parsudi hanya bisa bengong, beberapa pemain bilyar juga bengong melihat Karmin yang lari pontang-panting. Beberapa detik kemudian, suara tawa mengudara, para pemain bilyar itu menertawakan Karmin. “Ada-ada saja Pak Joni,” gumam mereka. Hanya Parsudi yang tetap bengong, namun akhirnya dia tersenyum juga sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Begitu keluar dari tempat bilyar, Parsudi bingung hendak kemana dia shalat. Dengan modal bertanya, akhirnya dia dapat mengetahui mesjid yang berada di dekat tempat itu.
Dengan tergesa Karmin menuju toilet mesjid, disana dia bertemu Pak Yadi, salah satu pegawai perpajakan yang berasal dari kampungnya.
5/8
Obat - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Siti Utari Rahayu Minggu, 11 September 2011 22:41 -
“Eh, Pak Yadi!!” sapanya ramah.
“Eh, Min!! Kabare piye?” jawab Pak Yadi, dibukanya jam tangan emasnya dan diletakkannya dipinggir bak air.
“Waras, Pak,” jawabnya sambil mulai menggulung lengan kemejanya.
Pak Yadi mengangguk-angguk sambil tersenyum dan kemudian mereka sibuk dengan keperluannya masing-masing.
Karmin mulai berwudhu, dia membasuh tangan, wajah, telinga, dan kepalanya dengan perasaan malu yang datang dari lubuk hatinya. Malu kepada Allah. Dia tahu pekerjaannya itu salah, tetapi dia seperti tak berdaya. Air matanya keluar ringan, dia tak ingin bermaksiat kepada Allah. Namun, dia pun merasa tak ada cara lain buat memperbaiki hidupnya. Ketika sadar dia menangis, segera dibasuhnya air mata itu.
Selesai berwudhu, Karmin bergegas menuju tempat shalat, tetapi dilihatnya jam tangan emas tergeletak di pinggir bak, dia teringat bahwa jam tangan itu adalah milik Pak Yadi. Karmin pun mengambilnya dan bergegas keluar toilet hendak mengembalikan jam itu, tapi dilihatnya Pak Yadi sudah tak ada di mesjid, jam tangan itu pun dibawanya.Dia berniat mengembalikannya nanti sore selepas bekerja.
Selepas shalat Karmin memohon ampun kepada Allah, air matanya keluar bercucuran, tak terbendung lagi. Kemudian, Karmin merasa menyesal telah mengiyakan Parsudi, biarlah dia miskin asal berkah. Dia teringat bahwa jika dia mengobati Tono dengan uang hasil kerja di bilyar, itu artinya darah Tono adalah darah judi. Dan jika Tono dapat bekerja setelah sembuh, uang hasil kerja Tono juga bagian dari hasil kesembuhan yang diperoleh dari uang maksiat. Itu tidak boleh terjadi.
Karmin bertekad untuk berhenti bekerja pada Parsudi. Dia pun segera berjalan cepat ke arah bilyar. Di jalan dikarang-karangnya alasan agar Parsudi tidak tersinggung apalagi marah. Tiba-tiba dia berhenti, di seberang jalan dilihatnya ada sebuah apotek besar. Dia teringat
6/8
Obat - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Siti Utari Rahayu Minggu, 11 September 2011 22:41 -
kembali akan obat Tono yang tak terbeli. Dirogohnya saku kemeja, dia terkejut karena ada benda di dalamnya. Dia tersadar bahwa ada jam tangan Pak Yadi di sakunya.
“Andai saja Pak Yadi nanti mau berbaik hati padaku,” khayalnya.
Dia berjalan lagi, kini di seberang jalan dilihatnya sederetan toko, didepan toko itu banyak pedagang emas suasa kaki lima. Jika dia lebih tak tahu diri, bisa saja dijualnya jam tangan itu, dia tersenyum ringan dan kembali berjalan. Pandangannya masih diarahkan ke seberang jalan.
Tiba-tiba dia berhenti lagi, dipandanginya baik-baik pemandangan seberang jalan hingga beberapa kali pedagang emas suasa itu melambaikan tangan padanya, menyuruhnya mendekat.
Karmin tersenyum, dikeluarkannya jam tangan itu dari sakunya, digenggamnya erat. Dan dia segera menyebrang jalan. Namun, dia tak memperhatikan kiri-kanan jalan hingga sebuah sepeda motor kencang menghempaskannya jauh ke pinggir jalan. Pengendara sepeda motor itu pergi bersama sepeda motornya, kini tinggallah Karmin terbaring tanpa daya dengan darah mengucur dari kepalanya. Dia sudah tak sadarkan diri dan jam tangan emas itu terlempar ke selokan, tenggelam di airnya yang hitam.
Orang-orang mulai ramai: para tukang becak, tukang parkir, pejalan kaki, bahkan orang-orang dari toko pinggir jalan itu semuanya berhamburan keluar buat melihat kecelakaan itu. Dan dari orang-orang yang keluar dari toko itu tampak pula Pak Yadi ada diantara mereka.
Medan, Agustus 2011
7/8
Obat - Cerpen - Horison Online Ditulis oleh Siti Utari Rahayu Minggu, 11 September 2011 22:41 -
Joomla SEO by AceSEF
8/8