CYNDIEALIA Alamanda
Beberapa kali Cyndie mengusap peluh dengan sapu tangan warna merah muda, ia ingin cepat sampai di kos, minum air dingin dan kemudian merebahkan tubuh di tempat tidur. Tapi apa bisa dikata, terik matahari seakan merenggut sisa kekuatannya sehingga ia justru mengurangi kecepatan berjalan. Beberapa kali ia` melihat jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Jarum pendek jamnya menunjukkan angka tiga sementara jarum panjang berdetak tepat diangka dua, namun panas matahari bagai waktu masih menunjuk jam dua belas, panas dan gerah. Tas kecil miliknya sudah dua kali nyaris terjatuh dari pundak, ia merasa sangat lelah, tak seperti hari-hari biasanya.
Alamanda butik, dimana ia bekerja berjarak kurang lebih satu kilo dari tempat kos. Ia kesulitan mencari tempat kos yang lebih dekat dengan tempat kerja sehingga setiap hari ia harus jalan kaki menuju dan pulang kerja. Dengan alasan agar bisa berhemat, ia hampir tidak pernah menggunakan jasa angkutan kota. Ketika baru diterima di butik dimana ia bekerja, ia pernah mencari kos yang berada dekat tempat kerjanya namun kebanyakan bertarif jauh diatas jangkauannya sehingga ia harus tetap bertahan di kos dimana sekarang ia tempati. Beberapa orang ia sapa ketika memasuki gang menuju kos. Setelah enam bulan berinteraksi dengan orang-orang
di
lingkungan
dimana
ia
tinggal,
mengingatkannya ketika berada di rumahnya sendiri. “Ya, baru pulang kerja” beberapa kali ia mengucapkan kalimat itu kepada bebarapa tetangga yang memang menanyakan kepulangannya. Beberapa anak kecil juga sekedar menyapa dan meneruskan permainan dengan yang lain. Beberapa pemuda bersiul-siul menggoda, bahkan salah satu dari meraka mendatangi dan ikut 2
berjalan mengiringi. “Pulang kerja, ya?” tanya pemuda itu basa-basi. “Memang nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu, nih? Aku kan masih pakai seragam, berarti pulang kerja dong” jawab Cyndie ramah menambah salah tingkah pemuda itu. “Sudah ada panggilan?” Cyndie bermaksud menanyakan tentang panggilan dari lamaran kerja yang di sebar pemuda itu pada perusahaanperusahan. “Belum, makanya masih bisa nongkrong sama teman-teman” jawab pemuda itu lesu. “Nanti malam kita jalan-jalan, yuk!” tambahnya tiba-tiba. “Bang Dino bisa aja. Pacar Bang Dino di kemanakan?” kata Cyndie sembari tersenyum tipis. Selama ini telah banyak pemuda di lingkungan itu yang mengejar Cyndie agar bisa menjadi pacarnya. Tak terkecuali Dino yang memang
sudah
mempunyai
pacar
itu
selalu
menggunakan trik-trik agar bisa kencan dengan Cyndie. Penolakan Cyndie yang halus dan tidak aroganlah yang justeru membuat para pemuda itu pantang menyerah berlomba-lomba menarik perhatian Cyndie. “Tadi siang kerjaku agak capek sebab barang-barang banyak datang di butik, makanya malam ini pengennya istirahat aja.
3
Kalau jalan malah tambah capek” tambahnya diplomatis. Dino kemudian berwajah pasrah “Lain kali mau ya, jalan sama Abang?” tanyanya menyadari usahanya telah gagal, memberi isyarat untuk kembali ke ganknya yang masih sibuk bermain gitar dan menggoda setiap gadis yang melalui gang itu. Cyndie merasa lega ketika ia melihat pagar rumah kos, keinginan pertamanya adalah minum air dingin sepuasnya. Setelah membuka kunci kamar, ia langsung
melempar
tas
kecil
dan
kemudian
melampiaskan hasrat untuk menghilangkan rasa haus. Dua gelas sekaligus ia minum karena rasa panas yang mendera, dan setelah merasa puas ia mulai melepas seragam dan mengganti dengan pakaian rumah agar lebih nyaman dan dingin. Setelah kegiatan itu selesai, pintu terdengar
diketuk
oleh
seseorang.
Buru-buru
ia
membuka dan mendapati Siska berdiri menghadang. “Baru pulang, Sis?” tanya Cyndie mendahului menyapa. Siska yang juga teman kerjanya tidak menjawab pertanyaan itu melainkan berbicara dengan topik lain. “Aku hanya mengingatkan, setiap anak yang kos disini 4
dilarang menerima tamu laki-laki di dalam kamar” kata Siska ketus. “Tapi aku tidak pernah menerima tamu lakilaki dalam kamar” sangga Cyndie cepat. “Aku hanya memperingatkan sebab hampir setiap malam kamu menerima tamu laki-laki. Siapa tahu kamu berencana menerima tamu dalam kamar. Kami tidak mau, gara-gara kamu, ibu kos memperketat peraturan disini” bibir sebelah kiri Siska terangkat sehingga hanya ada kesan sinis disana. “Jangan kuatir, aku tidak akan melakukan itu. Dan selama belum ada bukti, kamu tidak bisa menuduh Cyndie” Cyndie mengucapnya dengan sangat santun, namun kalimat itu cukup ampuh menutup mulut iseng Siska. Tanpa permisi Siska beranjak sembari mengibaskan rambut panjangnya. Sebelum menutup pintu kamar, Cyndie terlihat berfikir sejenak tentang apa yang direncanakan Siska selanjutnya. Beberapa orang yang berada di kos “Pondok Wahana Putri” itu tidak menyukai Cyndie namun ia tidak mengetahui alasan membencinya. Hanya beberapa orang yang dekat dengan
Siska
yang
membecinya
sehingga
ia
berkesimpulan bahwa Siskalah yang sengaja meracuni
5
pikiran teman-temannya agar ikut membenci. Sering kali Cyndie memikirkan agar ia bisa cepat menemukan kos yang baru dengan orang-orang yang bersahabat, namun sering waktu, kendaraan, dan tarif kos yang selalu menjadi masalah. Ia hampir tak mempunyai waktu untuk sekedar keluar mencari kos karena hari liburnya di gunakan untuk mencuci dan menyetrika pakaiannya, setelah
jam
kerjapun
ia
merasa
lelah
dan
mengharuskannya untuk istirahat. Mencari tempat kos baru juga akan sangat sulit tanpa ada kendaraan karena harus berputar-putar mencari kesana kemari. Dan terkadang dengan segala pengorbanan, Cyndie akhirnya mendapatkan tempat kos yang lebih nyaman, namun ia buru-buru membatalkannya karena biaya kosnya yang sangat mahal bagi seorang penjaga butik sepertinya. Cyndie mencoba melupakan segala kepenatan tubuh dan hati atas masalah yang terjadi di tempat tinggalnya dengan merebahkan tubuh di ranjang kecil yang memang disediakan oleh pemilik kos untuknya. Enak rasanya bisa berada di pembaringan sembari menguragi rasa capek setelah selama seharian kerja di 6
butik, namun kejadian yang baru saja dialami tak pelak tetap mengganggu pikirannya. Cyndie kembali memikirkan Siska dan gank yang selalu membuat gara-gara. Ia berpendapat bahwa karena banyak pemuda di lingkungan itu yang bisa dekat dengannya sedangkan tidak ada satu pemudapun yang dekat dengan Siska. Pemuda-pemuda yang nongkrong di jalan yang dilewati oleh para penghuni kos putri cenderung iseng atau sekedar menggoda para penghuni asrama, namun hal itu tidak berlaku pada Siska dimana mereka tak pernah menegur gadis berambut panjang itu. Secara
fisik
Siska
tidak
terlalu
minus,
namun
keangkuhanya sering membuat orang-orang engan mengajak bicara. Sebenarnya tidak hanya Cyndie yang di “musuhi” oleh Siska, beberapa penghuni kos putri itu juga merasakan ketidaknyamanan itu, namun hanya kepada Cyndielah, Siska menampakkan kebenciannya. Teringat
akan
kejadian
beberapa
minggu
sebelumnya ketika di kos itu heboh karena ibu kos mendengar adanya bisik-bisik yang mengatakan bahwa ia seperti singa betina. Rambutnya yang mengembang 7
dan kelewat cerewet sehingga ada salah seorang penghuni kos yang sedang jengkel dengan peraturan di kos tersebut dan kemudian bergosip dengan sesama penghuni kos. Dari situlah kemudian muncul istilah “Singa Betina” hingga akhirnya terdengar oleh ibu kos. Atas kesaksian Siska bahwa Cyndie adalah biang kerok dari semuanya hingga Cyndie hampir dikeluarkan dari kos. Dengan kegigihanya menyakinkan bahwa ia tidak pernah berkata seperti itu akhirnya ibu kos lebih percaya kata-katanya daripada Siska. Hikmah dari fitnah yang ia dapatkan yaitu semakin akrab ibu kos dengannya sehingga ia dapat menonton televisi di rumah ibu kos karena tidak ada televisi dikamarnya, tidak seperti sebagian penghuni kos lain yang mempunyai televisi di setiap kamar mereka. Setelah otaknya kekelahan memikirkan segala yang terjadi selama menempati kamar berukuran dua kali tiga meter itu, Cyndie terlelap dalam buaian kasur yang sudah mulai mengeras itu.
8