BAB IV
See You
Malam itu dingin sekali. Sepi. Novi berada di kamar tamu sendirian. Meskipun sudah dipinjami baju hangat dan selimut tebal Mbak Diah, Novi tetap merasa kedinginan. Tapi bukan itu yang membuat Novi belum juga tidur meski jam pendek sudah menunjukkan ke angka 1. Sosok Juweni Wijaya yang mengganggu pikirannyalah yang membuatnya belum tidur. Pria yang baru dikenalnya sehari yang lalu. Banyak pria yang mencoba mendekatinya. Novi cukup ngetop di Fakultas Psikologi UGM. Banyak kakak kelas atau teman seangkatannya yang beberapa kali apel ke rumahnya. Kebanyakan datang dengan alasan yang sama. Mau pinjam buku catatan. Mau fotokopi. Novi tersenyum geli. Nggak kreatif. Ada juga mahasiswa kedokteran, teknik, akuntansi, dan jurusan lain yang tiba-tiba datang ke kosnya ngajak kenalan. Biasanya datang berduaan atau bertiga. Ada yang bilang tahu namanya dari temen kos Novi. Yang paling cuek adalah anak teknik, terutama teknik sipil. Ngaku kalo sengaja datang ke kantin Fakultas Psikologi maklum di kampusnya cowok melulu. Apanya yang mau dikecengin begitu mereka bilang. Terus mereka lihat gue, tanya ke Mbok Salim, yang jualan soto di situ. Mbok Salim nyebutin nama Novi. Kemudian mereka bergerilya untuk mencari alamatnya. Mungkin membuntuti dari belakang kali. Novi cukup dekat dengan mbok Salim. Mbok Salim punya cucu yang berumur tiga tahun, namanya Anton. Anaknya lucu. Imut-imut. Novi suka bawain dia permen coklat atau due donat. Pernah Anton diajaknya ke kosnya. Udah deh jadi kayak barang mainan di kos-kosan. Dikerubutin, diajak ngobrol dan becanda, ada yang gemas mencubit pipinya yang tembem. Ada yang nanya ke gua. Lu beli dimana tuh anak, Nov? Anak lu hasil MBA waktu SMA ya? Novi banyak disukai temen-temennya. Baik di kos maupun di kampus. Orang bilang kalo dia orangnya perhatian, sangan toleran, nggak pernah mau ikutan ngomongin orang yang jelek-jelek, supel. Tementemennya kadang suka heran kenapa dia belum juga pacaran. “Ntar lu keburu jadi perawan tua lho.“ “Lu nggak malu anak-anak malam minggu diapelin pacarnya. Lu diapelin banyak orang tapi nggak ada satupun pacarmu. Ntar dikira perek tahu rasa lu.” “Kalo lu punya pacar kan enak. Hemat ongkos transport dan makan. Paling cuma modal bibir aja. Sekalikali kasih dia ijin nyium bibir. Atau yang lain kalo kamu mau. Terserah. Yang penting hemat“ Kalo yang ini sih Novi cuma nanggapin singkat. “Emang dasar cewek matre ya kalian.” Novi memang tidak membatasi diri. Novi merasa mereka punya hak untuk datang bertamu, entah benarbenar untuk urusan kuliah atau untuk mendekati dan mencoba menarik perhatiannya. Semua diperlakukan sama. Yang Novi paling nggak suka adalah kalo ada anak orang kaya, biasanya anak pejabat atau jenderal, datang pakai mobil BMW atau sedan baru lainnya, terus omong besar tentang harta atau orang tuanya. Sama orang seperti ini, Novi paling males ngomong. Tapi orang kayak gitu suka nggak tahu diri. Nggak sadar-sadar. Kalo udah kebangetan Novi memancing ngomongin tentang film. Biasanya pancingan kena, ujung-ujungnya mereka ngajakin nonton film. Novi setuju dengan syarat dia ajak temen kosnya di hari Minggu. Soalnya kalo malam minggu temen-temen kosnya biasanya udah pada punya acara sendiri-sendiri. Tahu nggak hampir semua anak kos pada ikutin. Jadi keki doi. Tahu dia dikerjain. Mau bilang nggak jadi, gengsi. Ya udah cowok kaya itu terpaksa ngempesin dompetnya bayarin sekitar tujuh cewek nonton gratis. Terus si Novi yang dia ajak nonton, nggak duduk di sampingnya. Novi pakai Civic Novanya. Sementara yang duduk disamping cowok itu sengaja dipilih cewek yang paling gokil. Paling cerewet dan jail. Udah deh, besok-besoknya doi nggak akan berani datang lagi. Novi tersenyum geli. Ada-ada saja. Lucu-lucu. Kalo yang sudah mulai keseringan biasanya Novi minta bantuan temen kosnya. Pas diapelin ada temen kosnya yang menelepon kosnya sendiri dari luar. Terus ada yang nyeletuk. “Novi. Dari Jakarta nih. Dari Rudi, cowokmu. Cepetan mau nggak?“
“Iya. Ya. Sebentar ya.“ Novi pura-pura bicara mesra di telepon. Nggak perlu lama-lama, cukup sepuluh menit. Cukup untuk membuat anak yang apel, ngobrol basa-basi sebentar, pamitan dan nggak akan datang lagi. Kadang Novi merasa bersalah juga. Sadis juga pikirnya. Tapi lebih baik begitu daripada nanti Novi nyakitin hati seolah memberi harapan karena kesupelannya. Terus si cowok bilang cinta. Nah, lebih parah kan. Novi sih nggak anti sama cowok. Cuma nggak ada yang sreg di hatinya aja. Bukan karena dia pernah sakit hati dikhianati dua pacarnya waktu SMA. Mungkin ada pengaruhnya sih. Novi jadi lebih hati-hati. Tapi bukan berarti menutup pintu hatinya. Entah kenapa ada perasaan yang lain sama orang yang satu ini, Joe. Yang sangat menyenangkan hatinya. Seperti dapat memberi warna pada hidupnya. Kekayaan atau kesuksesan karirnya jelas bukan. Amit-amit deh batin Novi. Sampai saat ini Joe nggak pernah cerita banyak tentang hal itu. Secara jujur, Novi malah mengharapkan kalo Joe hanya seorang dosen atau dokter yang nggak kaya-kaya amat. Nah, soal ini Novi sangat sensitif. Pernah dia terus terang bilang sama cowok kedokteran yang ngapelin. Dia paling sebel kalo baca di koran tentang orang miskin yang menderita karena tidak diterima di rumah sakit karena nggak punya cukup uang. Dia suka heran kenapa dokter-dokter itu pada kaya raya. Bukannya ilmunya itu emang untuk nolongin orang. Kalo mau kaya jangan jadi dokter dong. Jadi, akuntan kek. Lawyer kek. Orang nggak akan peduli. Memang Joe ganteng, berpenampilan keren dan mempunyai postur tubuh yang atletis. Tetapi nggak istimewa amat juga sebenarnya. Diantara cowok yang mencoba menarik perhatiannya ada yang tampan dan ganteng. Kalau hanya sekedar wajahnya, Novi banyak pilihan yang baik. Wajah mungkin mempengaruhi tapi bukan itu yang utama. Kombinasi wajah dan kekayaan juga bukan. Ada cowok yang kaya raya dan lebih ganteng daripada Joe. Bukan. Pasti ada yang lebih penting dari itu. Sesuatu yang sulit dijelaskan yang ada dalam diri Joe yang membuatnya jatuh hati. Entah apa yang menarik hatinya. Kepribadiannya? Banyak temannya juga yang Novi tahu berkepribadian baik. Ramah dan baik hati. Novi belum mengenal Joe secara mendalam. Cuma Novi merasa seperti melihat ada dirinya didalam Joe. Novi sangat suka waktu mendengar cerita Joe membelikan mobil dan rumah untuk kakak dan ibunya. Tahu membalas budi meskipun agak kelewatan juga kurang menyisihkan waktu untuk ibunya. Novi juga sangat suka waktu tahu anak-anak kecil sangat suka sama Joe. Very nice person, begitu kesimpulannya. Udah punya pacar belum ya pikirnya. Ah, emang gue pikirin. Sebuah senyuman tersungging di wajahnya malam itu sebelum tertidur lelap beberapa menit kemudian. *** Ibu Joe dan Mbak Diah bangun jam lima pagi. Bersih-bersih rumah dan mulai masak. Joe terbangun sebentar. Siapa tahu Novi sudah bangun. Nggak ada. Belum bangun rupanya. Dasar anak kuliahan. Joe pun kembali ke kamarnya. Tidur lagi. Jam enam Novi bangun. Cuci muka. Duduk di ruang tamu. Dia berjalan ke dapur sewaktu mendengar suara Mbak Diah bersenandung sambil memasak. Novi pun membantu kakak ipar Joe memasak. Tapi cuma sebentar karena Joe bangun dan mengajaknya jalan-jalan. Jam enam lewat lima belas menit, jalan raya di Magelang masih sepi. Ada satu dua sepeda motor dengan orang berpakaian rapi. Mau berangkat ke gereja kayaknya. Cuma satu dua mobil yang lewat. Mobil angkutan umum yang penumpangnya kebanyakan ibu-ibu memakai kebaya mau berangkat ke pasar.
Mereka berdua berjalan ke taman Badaan, dekat rumah. Cukup banyak yang jalan-jalan. Senam. Berlarilari. Semuanya berolahraga di pagi yang segar dan masih berembun itu. Mumpung belum banyak kendaraan lewat yang mengotori udara dengan asap dari knalpot. “Kita balik ke Yogya jam berapa Joe?“ “Jam sembilan aja ya. Aku harus ke hotel dulu mengambil barangku dan check out.“ “Ok. Jam sembilan. Kali ini aku yang nyetir ya. Kamu kan mau pulang ke Jakarta. Ntar capek di jalan, kamu nyesel ke sini deh.” “Nggak. Siapa yang nyesel. Ketemu kamu lagi.“ Joe ngegombal dikit. Melirik ke Novi. Nggak ada perubahan raut muka. Nggak ada wajah yang merah tersipu-sipu. Tetap cuek. “Ok. Kamu yang nyetir.” “Kapan kamu kembali ke Jakarta?“ “Dua minggu lagi. Habis selesai ujian. Mamaku minggu depan datang ke Yogya.“ “Ngapain?“ “Kok ngapain. Ya nengok anaknya dong. Pantes aja kamu nggak pernah nengok Ibumu. Nggak niat sih kamu“ Joe agak nggak suka mendengar ucapan Novi. “Aku benar-benar sibuk, Novi. Bukannya nggak niat.” “Dengan posisimu saat ini. Kamu kan bisa ngatur anak buahmu. Delegasikan kerjaan, kek.“ “Ada kerjaan yang nggak bisa didelegasikan begitu saja Novi. Lagian, mereka juga sibuk. Sabtu mereka kerja juga di kantor. Aku cuma melarang mereka kerja hari Minggu. Biar mereka bisa bersosialisasi juga di hari Minggu. Meluangkan waktu bersama keluarga. Kasihan kan kalo anak istri mereka nggak bisa merasakan kehadiran suami dan ayah mereka di rumah di hari libur.“ “Nah, tuh kamu tahu sendiri. Kenapa kamu sendiri kerja di hari Minggu? Allah aja beristirahat di hari ke tujuh waktu menciptakan alam semesta “ “Aku kan nggak punya keluarga di Jakarta. Dan biasanya pun aku bersosialisasi dengan relasi di hari Minggu. Main golf. Kan beristirahat juga kan.“ “Tapi tetap pusing mikiran kerjaan waktu main golf kan?“ Joe diam saja. “Terus menurut kamu gimana. Apa aku harus ninggalin kerjaan begitu saja? Terus terpaksa kerja lebih banyak lagi di hari Senin sampai Jumat untuk menghindari kerja di hari Sabtu dan Minggu?“ “Ya, nggak. Aku nggak tahu kamu harus gimana. Kamu lebih tahu kan Joe. Aku cuma tahu kalo ada something wrong kalau kamu kerja melulu. Kurang istirahat. Nggak sempat nengok ibu atau telpon barangkali. Itu saja sih. Something wrong, you know?“ Joe melirik Novi. Ah, wajahnya serius banget ini anak. Kemudian Joe membela diri. “Aku sebenarnya juga nggak suka sih. Tapi tuntutan pekerjaan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Meski diakui aku dapat duit banyak dari pekerjaanku. Tapi nggak cuma itu Novi. Aku bisa melindungi wajib pajak dari kesewenangan orang pajak. Sedikit melindungi orang pajak kalau ada klienku yang agak semena-mena merendahkan orang pajak dan menyamaratakan bahwa semua orang pajak itu brengsek dan korup. Aku coba mempengaruhi klienku agar berpikir positif. Juga mengadvise mereka agar membayar pajak secara benar sehingga negara tidak dirugikan. See. Ada manfaat buat negara juga kan.“ Joe melanjutkan lagi, “Sebenarnya aku punya rencana untuk mengurangi waktu di PCI. Atau kalau nggak mungkin, sekalian keluar dari PCI. Jadi dosen aja. Lebih banyak waktu yang bisa aku berikan buat keluargaku nanti kalau udah married. Tapi nggak saat ini. Mungkin sepuluh tahun lagi.“ Novi diam saja. Ah ternyata Joe nggak parah-parah amat seperti papanya dulu. Masih ada kesadaran untuk memperhatikan keluarga juga. Tapi ntar dulu, coba kalau Joe udah berada di kantor. Siapa tahu berubah. Terhipnotis oleh kerjaannya. Novi pun berkomentar singkat dan mengalihkan pembicaraan. Terlalu serius pikirnya. “Bagus juga Joe. Eh, omong-omong. Makan yuk. Disini ada gudeg yang enak nggak?” “Ada. Kenapa udah kelaperan ya?“ “Nggak.“ “Kan udah dimasakin mbak Diah.“ “ Ntar makan lagi di rumah. Aku pengin banget nih makan gudeg.“
“Dasar anak kos. Rakus.“ Novi tertawa. Joe pun memanggil becak dan mereka naik becak ke suatu tempat yang Joe tahu betul gudeg yang paling enak di Magelang. “Pak. Ke RSU Tidar ya pak.“ “Monggo“ *** Sekitar jam sebelas, mereka sudah berada di bandara Adi Sucipto. Novi memarkir Civic Novanya di bawah pohon. Biar nggak panas terkena terik matahari. Mereka berjalan cepat menuju ke gedung pemberangkatan. Menghindari terik matahari. Setelah check in, Joe berjalan menuju boarding roam. Sebenarnya Novi nggak boleh masuk ke boarding roam. Entah apa yang dibicarakan Joe dengan petugas Bandara sehingga Novi dapat ikut masuk ke Boarding Roam. Mereka masuk ke ruang tunggu eksekutif. Biar lebih nyaman. “Kalau ada apa-apa sama Mamamu di Jakarta dan ada yang bisa saya bantu., kasih tahu saja Nov.“ Novi menganggukkan kepala. Diam. Agak sedih juga melepas Joe. “Mungkin kamu perlu dijemput di bandara pulang dari Yogya. Terus nggak ada yang jemput. Atau Mamamu yang perlu dijemput. Kalau aku sempet aku akan lakukan. Kalau nggak mungkin supirku yang jemput. That’s what friends are for, Ok.“ Novi menganggukkan kepala lagi. “Kok kamu diam aja Novi.“ “Capek, Joe.“ Novi bohong. Bagi dia sih nyetir dua jam juga nggak masalah. Kalau liburan panjang. Novi nyetir sendiri mobilnya antara Yogya Jakarta. Jam lima pagi berangkat. Jam lima sore sudah sampai di Jakarta. Novi nggak pernah menempuh perjalanan jauh di malam hari. Takut. Joe terdiam juga. Setelah sejak kemarin siang banyak obrolan yang dilakukan. Sekarang tiba-tiba seperti kehilangan objek obrolan. Kalaupun ada, mereka tidak bersemangat ngobrol. Kenyataan harus berpisah agak membuat sedih mereka. Meskipun mereka tidak mengungkapkan melalui kata-kata. Sekitar lima menit lagi penumpang akan dipersilakan naik pesawat. “Joe. Sekali-kali kamu telepon aku ya. Kadang aku suka sedih jauh dari Mama.“ “Ok.” “Kalau ke Yogya lagi kasih tahu aku dulu ya. Biar kamu nggak perlu naik taksi.“ “Ok.“ “Kalau ke Magelang, ajak aku ya. Aku pasti kangen sama Rendi dan Resti.“ Ah, Novi selalu mencari alasan. Novi nggak mau Joe ge er dan menyepelekannya, meski Novi tahu Joe nggak mungkin melakukannya. “Ok.“ Mereka diam lagi. Ingin rasanya Joe membelai rambut Novi. Menghiburnya. Joe teringat adiknya, Rina. Kalau Rina masih hidup. Mungkin sekarang seusia Novi. Atau malah Rina menjadi sahabat Novi dan Rinalah yang mengenalkan Novi ke Joe. Joe merasa seperti memperoleh adik baru. Apakah Novi nanti menjadi sahabatnya saja atau menjadi seperti adiknya. Atau lebih jauh lagi. Joe segera membuang jauh kemungkinan itu. Dia baru mengenalnya dua hari lalu apalagi telah ada Vena. Yang jelas saat ini ingin rasanya Joe tidak berangkat ke Jakarta. Tinggal di Yogya atau Magelang. Rumah dan mobilnya di Jakarta dijual. Beli rumah dan mobil disini. Cari kerja disini. Dosen atau bikin konsultan pajak kecil-kecilan. Ambil S-2 di MM UGM. Tapi untuk meninggalkan karirnya yang cemerlang, Joe masih ragu. Dua bulan lagi, dia mungkin sudah jadi partner. Tiga tahun kemudian bisa gantiin Pak Joko sebagai Direktur Pajak PCI. Dia masih muda. Baru menginjak angka tiga puluhan. Joe memandang Novi yang menunduk dan memainkan sendok di cangkir tehnya. “Melihat kamu seolah aku melihat Rina.“ Novi mengangkat kepalanya. Menatap mata Joe. Tidak sanggup Novi menatap mata itu berlama-lama. Takut ketahuan isi hatinya. Dia alihkan pandangannya ke landasan pacu. Memperhatikan bongkar muat sebuah pesawat.
Ah, mungkin Joe memang tidak ada maksud lain. Cuma menganggapnya sebagai pengganti Rina, adiknya yang telah meninggal. Meskipun Novi baru dua hari mengenalnya, Novi sangat mengharapkan mereka dapat saling mengenal lebih jauh. Bukan sekedar teman. Bukan sekedar pengganti adik yang telah meninggal. Lebih dari itu. Novi terdiam. Lama mereka diam sampai panggilan penumpang Garuda menuju Jakarta terdengar. Joe bangkit berdiri. Tas notebook menggantung di pundaknya. Tangan kiri mengambil kopernya. Dan tangannya memegang punggung telapak tangan Novi yang masih menggenggam sendok. Mereka bersalaman. Joe berjalan keluar menuju pesawat. Novi memandangnya sampai ke pintu pesawat. Di pintu pesawat Joe menoleh, tersenyum, dan melambai-lambaikan tangannya. Joe tidak dapat melihat ke boarding roam. Jarak yang jauh dan silaunya sinar matahari menghalanginya. Tetapi dia yakin Novi masih di situ. Sejenak Joe teringat Vena. Ia menghela nafas. Novi melambaikan tangannya pelan. Semoga tidak ada novi-novi lain di pesawat itu pikirnya. Novi tersenyum.