BABAK 1 .......
Saat itu, sekitar dua minggu lalu, seperti biasa selepas waktu pulang sekolah Rema mampir terlebih dulu ke kios koran dan majalah yang biasa berjualan di depan gerbang sekolah. Begitu tiba, majalah dan koran olahraga langsung menjadi menu utama yang disantapnya. Jauh berbeda dengan siswi-siswi lain yang ramai mengerubuti majalah fashion, musik atau gosip. Tanpa berlama-lama Rema segera mengambil salah satu koran bola langganannya dan siap-siap mengambil uang di saku untuk melakukan pembayaran. “3500 yah mas! Ini uangnya.”, kata sebuah suara asing dibelakang Rema. Orang tersebut kemudian mengulurkan tangan dan membayarkan koran yang akan dibeli Rema. Rema terkejut sekali sewaktu menengok ke belakang dan melihat sosok familiar yang telah menjadi asing berdiri tersenyum ramah seperti tidak ada masalah. “Lo kenapa sih Rin akhir-akhir ini jadi sering muncul dihadapan gue? Jangan bilang kalau lo lupa kita udah bukan sahabat dekat lagi.”, tanya Rema sinis pada orang yang seharusnya lebih berhak diberi ucapan terima kasih itu. “Lo justru kenapa Re selalu sinis, dingin, dan curiga sama kehadiran gue?”, tanya balik Airin, orang yang berburuk hati membayarkan koran Rema– kembali, ini menurut versi Rema. “Eits, tunggu dulu. Apa nggak kebalik tuh? bukannya selama ini justru lo yang selalu sinis dan dingin sama gue.”, tandas Rema sambil berbalik pergi menjauhi kios dan mengambil sepedanya yang terparkir di pohon dekat trotoar, bersiap untuk pulang. Sebelum Rema sempat menaiki sepeda, Airin berhasil menahannya dan memaksa Rema untuk tinggal lebih lama. “Gue pengen ngobrol sebentar sama lo Re. please!” Seperti sebelum-sebelumnya, Rema berniat untuk menolak kembali permintaan Airin tersebut. Namun, entah kenapa kali ini yang keluar dari mulutnya justru adalah kata ‘Oke’. “Lo jangan geer dulu. Gue lakuin ini karena udah capek terus-terusan diminta buat ngobrol terus.”, tegas Rema mengemukakan alasan kesediaannya. “Makasih Re, apapun itu alasan lo. Mmm, enaknya kita ngobrol dimana ya. Di kursi dekat pohon sana aja gimana?” Airin menunjuk tempat yang dimaksud dan langsung bergegas kesana. Dengan sikap tak antusias Rema mengikuti Airin dari belakang. Tidak banyak basa-basi, sesampainya di tempat tujuan Airin segera mengutarakan maksudnya selama seminggu terakhir ini terus-menerus menemui Rema. Semakin banyak penjelasan yang keluar dari mulut Airin, semakin Rema syok, tak percaya, dan marah. “Tunggu-tunggu Rin! Jangan bilang kalo lo pengen gue bantuin lo sama geng ‘4U Cupid’ lo itu buat menangin taruhan!”, potong Rema tak bisa menutupi keterkejutannya. Airin mengangguk cepat. Dan itu cukup membuat Rema kehilangan selera untuk melanjutkan perbincangan. Airin kemudian melanjutkan ucapannya sebelum Rema makin bertambah kesal. “Re, gue tahu kesalahan gue sama lo banyak. Dan gue juga tahu sampai detik ini lo belum bisa maafin gue.”
”Nah itu lo tahu.”, timpal Rema ketus. ”Tapi taruhan ini teramat penting buat gue, Re. Ini menyangkut harga diri gue. Dan gue rela kalo harus memohon di kaki lo supaya lo bisa maafin kesalahan-kesalahan gue selama ini dan mau bantuin gue.”, mohon Airin dengan penuh harap. Sebagai bukti kesungguhan katakatanya, Airin bangkit berdiri lalu jongkok di samping kaki Rema. Rema sontak kaget, tapi itu tidak lantas meluluhkan hatinya. “Rin, masalahnya kenapa harus gue? Geng lo yang bikin taruhan sama si Prita, kenapa gue mesti ikut terlibat segala? Lo bisa kan andalin Arnett, Zeta atau Elvi, sobat-sobat lo di ‘4U Cupid’ dan bukannya gue, mantan sahabat lo.” Tuh, benar kan hati Rema belum melunak. Kata-katanya saja masih nyerempet hati kayak bajaj. Tapi bukan Airin namanya kalau menyerah begitu saja. Ia belum kehabisan akal untuk menaklukan hati Rema. “Gue gak pernah anggap lo sebagai mantan sahabat. Bagi gue lo itu tetap ‘Rema Thalita’ sahabat gue. Kalaupun setelah masuk SMA kita jadi sedikit menjauh, itu gue akuin karena kesalahan gue yang terlalu sibuk dengan teman-teman baru gue di klub cheers.” Mulut Rema terbuka lebar jengah mendengar pembelaan Airin barusan. Apa tadi katanya? Sedikit menjauh? Karena sibuk? Gak bisa dipercaya. “Udah deh Rin. Nggak ada gunanya debat soal siapa yang salah dan benar. Yang jelas gue gak bisa bantu lo menangin taruhan itu. Sekalipun misalkan gue masih sahabat lo, tetap aja bakalan sulit buat gue coba masuk ke kehidupan cowok itu. Lo pikir aja, secara fisik-duit-popularitas gue kalah jauh dibanding lo-Arnet-Zetta-Elvi, apalagi dibanding Prita sama antek-anteknya. Dan lo dengan seenak jidat lo malah nyuruh gue buat dekati sang target. Targetnya tuh ‘Stefano’, Rin! Walaupun secara personal gue gak kenal tuh cowok, tapi gue tahu segimana terkenalnya dia di sekolah dan seberapa banyak cewek yang antri kejar dia. Lo jangan nyindir gue deh!” Airin terdiam, kehilangan kata-kata untuk membalas omongan Rema. “Ini uang koran gue. Mulai sekarang lo nggak usah lagi sok dekat dan baik sama gue. Yang jelas alasan gue tadi udah cukup rasional buat bikin lo batalin niat lo nyuruh gue maju deketin Stefano.” Secara paksa Rema memberikan uang korannya ke tangan Airin lalu kemudian bangkit berdiri. Tidak mau menyerah, dengan cepat Airin segera menangkap tangan Rema sebelum gadis itu benar-benar pergi. “Gue benar-benar butuh pertolongan lo kali ini, Re. Gue serius.” Airin begitu putus asa, hingga nyaris menitikkan air mata. ”Anggap saja ini satu-satunya cara untuk membayar hutang budi lo sama gue atas kejadian dua tahun lalu. Selama ini lo selalu meminta untuk balas budi kan! Kalau lo benar-benar serius dengan ucapan lo itu Re, maka inilah saatnya lo buktikan.” Kata-kata pamungkas Airin tersebut seketika meruntuhkan tembok sikap penolakan tegas Rema yang sedari awal telah ia bangun. Bagaimana tidak? Jika itu menyangkut hutang nyawa yang ia miliki selama ini, apapun akan dilakukan, termasuk merubah keputusan untuk bersedia memenuhi permintaan Airin. Apa ini sudah tepat? Apa tindakan gue benar? Pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan tersebut terus menggelayuti pikiran Rema usai ia memberi tahu Airin tentang kesediaannya untuk membantu kemarin malam melalui telepon. Airin menyambut penuh sukacita perubahan sikap Rema tersebut. Berulang kali dia mengungkapkan rasa terima kasih sekaligus penyesalannya karena harus menggunakan cara yang sedikit tidak baik untuk mendesak Rema. ............
BABAK 2 Saat-saat seperti apa yang mampu membuat Arnett, Elvi, Zeta, dan Airin tegang bukan kepalang menantikan sesuatu. Jika pertanyaan itu diajukan kemarin atau sebelumsebelumnya, keempat anggota geng 4U Cupid ini pasti akan sepakat menjawab ‘saat menunggu keputusan final juri ketika mengikuti lomba dance di salah satu tv swasta’. Tapi itu dulu, karena saat ini mereka sedang mengalami rasa tegang yang luar biasa akibat tak kunjung munculnya seseorang yang sedang mereka nanti. “Rin, temen lo Rema-Rema itu beneran bakal datang kan?” Entah untuk keberapa kalinya Elvi menanyakan hal tersebut pada Airin. Dan berulang kali juga Airin meyakinkan ketiga sahabatnya kalau Rema pasti akan muncul. Meski keyakinan itu terus memudar karena faktanya hingga 30 menit berlalu batang hidung Rema tak nampak juga di hadapan mereka. Keempat anggota cheers sekolah ini sengaja berdiri di lapangan upacara sekolah saat waktu belajar telah usai bermaksud untuk menunggu Rema. Rencananya hari ini mereka akan mulai menjalankan strategi dalam rangka memenangkan taruhan. Jelas tanpa kehadiran Rema strategi tersebut tidak akan berjalan mengingat Remalah sesungguhnya aktor utama di dalam rencana yang mereka susun. “Rin, gimana kalau tanpa sepengetahuan lo si Rema mendadak berubah pikiran dan nggak mau bantu kita?”, khawatir Elvi. “Nggak mungkin El. Rema bukan orang yang seperti itu.” Penegasan Airin ini lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. Yah, nggak mungkin Rema membuatnya kecewa. Meski selama setahun ini hubungan mereka merenggang, tapi Airin tahu pasti Rema bukan tipe orang yang mudah ingkar janji. “Kalau kemungkinan terburuknya ternyata dia nggak akan datang dan nggak jadi bantu kita, terus kita mesti gimana? Apa kita ganti strategi aja pake cara yang dulu dipake ke Marlon?” Zeta berkomentar sekaligus memberi usul. “Gak mungkin berhasil Ta kalo pake cara dulu saat kita berusaha dekati Marlon. Masalahnya Marlon sama Fano itu beda. Marlon sering beredar dimana-mana. Gak sulit buat kita nemuin dan dekati dia. Di setiap acara party anak-anak sekolah, dia pasti datang. Ngubek ke Citos, PIM, atau Plaza Senayan pasti ada. Tapi Fano, selain di sekolah dan di klub bola, kita gak tahu lagi tempat cowok itu biasa mangkal dimana.” “Mangkal? Ojek kali, Net. Tapi, omongan Arnett tadi benar banget. Di kelas kita sulit banget deketin Fano, di luar kelas apalagi. Nah, tinggal lewat jalur klub bola ini kita bisa benar-benar berusaha mendekati dia. Dan gue jamin, kalo yang kita ajuin buat jadi calon manajer klub itu adalah Rema. Sesuai cerita Airin tentang cewek itu, gue yakin om gue pasti bakal setuju.”, ucap Zeta mendukung pernyataan Arnett sebelumnya. “Yah, kita berdoa saja semoga semua rencana yang sudah disusun bisa berjalan lancar. Gue agak sedikit khawatir, apalagi kalau ingat kejadian tadi pas istirahat. Gue lihat Prita sama bandit-banditnya semeja bareng anak klub bola. Emang sih gue gak lihat ada Fano disitu, tapi gue udah bisa tebak mereka gunakan cara deketin anak klub bola buat bisa deketin Fano.
Hah, mentang-mentang kakaknya si Prita mantan manajer klub bola. Mereka jadi gunakan akses tersebut.”, rutuk Zeta dengan mulut bersungut. “Girl,,girl, simpan kekecewaan kalian untuk hal lain. Rema udah datang!” Airin berseru senang saat melihat Rema muncul dari kejauhan. Segera saja ia menghampiri Rema yang datang terpogoh-pogoh karena lelah berlari. “Sorry Rin gue telat. Tadi mesti pulang ke rumah dulu buat ambil kunci rumah. Ibu mau pergi ke rumah saudara di Bandung soalnya. Terus pas balik menuju ke sini mendadak ban sepeda gue kempis. Terpaksa di sisa perjalanan gue mesti dorong sepeda gue.” Rema menjelaskan panjang lebar alasan keterlambatannya. “Nggak apa-apa Re. Gue senang banget lo jadi datang. Makasih banget Re.”, ucap Airin tulus dengan mata berkaca-kaca. Dipeluknya Rema dengan erat. Membuat kedua sahabat lama ini teringat kembali akan masa-masa SMP dulu. Drama Rema-Airin terhenti begitu Zeta, Elvi, dan Arnett datang menghampiri keduanya. Jika dibiarkan lebih lama beberapa saat bukan tidak mungkin akan terjadi pertumpahan air mata. “Hei, Rema yah! Kita belum kenalan secara formal, gue Elvi!” Elvi yang pertama memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya pada Rema. Sedikit canggung Rema menyambut uluran tangan Elvi. “Eh, Rema.” Rema memerhatikan sosok Elvi dengan cermat. Badannya sedikit kurus dibanding yang lain, tapi tetap berisi. Kulitnya putih dan hidungnya sangat mancung. She’s beautiful. Dibanding dirinya, Elvi sangat jauh lebih masuk akal untuk bisa dekati Fano. Cowok mana yang bakal nolak replika Asmirandah ini. “Hai, gue Arnett.”, kata gadis berikutnya. Melihat gaya serta postur tubuhnya yang tegap dan sedikit berotot, Rema bisa tebak kalau Arnett adalah cewek yang tomboy dan sporty. “Zeta”, sapa cewek terakhir yang ikut memperkenalkan diri. Zeta sosok cewek yang sangat fashionable. Terlihat dari outlooking, gaya rambut dan aksesoris yang dikenakan. Semua yang menempel di tubuh Zeta mulai dari jepit rambut sampai sepatu tidak ada yang tidak up to date. Usai acara perkenalan singkat tersebut, Zeta langsung mengusulkan untuk segera menemui Om-nya. Entah siapa si Om yang dimaksud dan mengapa mereka harus menemuinya. Hal itu menjadi pertanyaan lain yang ada di benak Rema mengingat masih ada hal penting yang harus ia tanyakan terlebih dulu pada anak-anak 4U Cupid. “Tunggutunggu! Sebelumnya ada yang pengen gue tanyain sama kalian. Dan gue mau tanya itu sekarang juga.” Airin saling bertatapan bingung dengan Zeta, Elvi, dan Arnett. “Mmh, boleh. Lima menit aja yah, gak apa-apa kan. Soalnya takut om gue keburu pergi.” Lagi-lagi si om. Emang penting banget yah nemuin orang itu. “Begini Rin dan semuanya, gue pengen tahu dulu rencana kalian secara rinci sebenarnya seperti apa? Gue pengen tahu, apa peran gue dalam rencana kalian?” 4U Cupid sedikit bingung menentukan siapa diantara mereka yang akan memberi penjelasan pada Rema. Dan akhirnya, Airin terpilih secara otomatis karena dia orang yang paling dekat dengan Rema. “Re, seperti apa yang udah lo ketahui, saat ini kami sedang
terlibat taruhan dengan Prita dan teman-temannya. Taruhannya adalah siapa diantara kami dan mereka yang bisa jadian dengan Fano, maka dialah pemenangnya. Kalo Fano itu seperti kebanyakan cowok di sekolah sih, kita mungkin gak perlu repot-repot minta bantuan lo. Masalahnya Fano itu much different. Selain karena dia murid baru, dia juga orangnya sangatsangat tertutup dan anti sosial. Sangat susah dekati dia. Teman-teman dekatnya juga hanya yang berasal dari klub bola saja, nggak ada yang lain. Di kelas sulit banget dekati dia karena sifat anehnya itu, di luar kelas lebih-lebih lagi. Kita nggak tahu tempat dia biasa main, hang out, yah menghabiskan waktunya di luar jam sekolah di mana. Tinggal lewat jalur klub bola lah harapan kita satu-satunya supaya lebih mengenal dekat Fano. Karena alasan itulah Re kita berniat untuk masukin lo ke klub bola sebagai manajer.” Rema tercengang mendengar penjelasan dan kata-kata terakhir Airin. Ia jadi teringat pendapat Indah tentang adanya kaitan antara dirinya yang penggemar bola dengan Fano yang tergabung di klub bola. “Nah, kebetulan Zeta punya link oke yang bisa bantu kita buat masukin lo ke klub bola. Dengan masuknya lo ke komunitas dia. Kita berharap lo bisa cari informasi sebanyak-banyak mungkin tentang Fano, deketin dia, jadi sahabat dekatnya, atau kalau perlu lo jadi pacarnya sekalian.” Rema melotot ngeri mendengar ucapan terakhir Airin. Gila aja nyuruh orang pacaran seenaknya. Sekalipun ada keajaiban yang bisa membuat Fano jatuh cinta padanya, belum tentu juga ia mau jadian dengan cowok asing. Lagipula dalam hati Rema sudah lama terisi seseorang. Seseorang yang bahkan mungkin tidak menyadari keberadaannya. Kembali pada penjelasan panjang Airin, entah kenapa bukannya membuat semua semakin jelas, justru di otak Rema kini semakin banyak muncul pertanyaan lain. “Tunggu. Kalo kalian punya link yang bagus, kenapa nggak salah seorang dari kalian aja yang jadi manajer klub bola? Selesai kan urusan.” “Good question. Masalahnya di antara kami berempat gak ada satu pun yang ngerti bola. Bahkan mungkin cewek-cewek di sekolah ini jarang ada yang ngerti atau suka bola, kecuali lo. Dan meski kita punya link yang bagus yaitu Om nya Zeta, tapi tetap aja kita mesti ajuin orang yang benar-benar memenuhi persyaratan dan standar klub.” I see. Jadi itu alasan utamanya kenapa gue, tangkap Rema. Sebagai sahabat lama, Airin tentu tahu dengan pasti tentang kegilaan Rema terhadap semua hal berbau sepakbola. “Sudah semua, kita bisa pergi sekarang kan!”, ajak Zeta tak sabar seperti tengah diburu waktu. “Tunggu-tunggu! Satu eh tiga lagi,” potong Rema menghentikan langkah kaki Zeta, Airin, Arnett, dan Elvi yang sudah siap melangkah, “Gue Cuma jadi manajer aja kan di klub bola nanti, gak merangkap jadi pelatih? Trus tugas gue Cuma deketin Fano dan cari informasi sebanyak-banyaknya tentang dia kan, gue gak harus jadian sama dia? Oh ya, soal peluang beasiswa yang lo janjiin itu gimana Rin?” Pertanyaan yang sangat memusingkan bagi 4U Cupid. Apalagi untuk pertanyaan pertama. Mereka sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaan Rema. Tapi karena sedang berpacu dengan waktu, Airin pun menjawab dengan asal. “Jadi manajer ya berarti jadi manajer, bukan pelatih. Lalu soal tugas lo untuk sementara memang dekati Fano. Kalau soal beasiswa, dengan masuknya lo ke klub bola dan sedikit bantuan dari omnya Zeta, lo bakal dapat rekomendasi dari klub buat dapatin beasiswa. Semua oke sekarang!” Alis Rema berkerut, bingung. Semudah itukah ia bisa mendapatkan beasiswa kembali. Tapi mengingat di sekolahnya ini kegiatan ekskul sangat-sangat berperan penting, hal
tersebut mungkin saja. “Udah-udah, penjelasannya kita lanjut nanti.” Dengan terpaksa Airin harus menarik tangan Rema agar mau berangkat dan berhenti mengajukan pertanyaan. Sedetik kemudian, mereka berlima pun segera meluncur menuju tempat om Zeta berada.
Dengan nafas terengah-engah dan posisi lari yang tidak nyaman -k–rena pake rok-, Rema berusaha sekuat tenaga secepatnya sampai di lapangan. 4U Cupid hanya mengantarnya hingga ke gerbang sekolah. Mereka harus segera tampil di sebuah pertandingan basket pukul setengah empat. Rema sempat terharu melihat pengorbanan 4U Cupid yang sampai rela mengesampingkan kepentingan mereka untuk dirinya. Tetapi saat teringat tujuan akhir mereka sebetulnya apa, yaitu untuk memenangkan taruhan, rasa haru itu pun mendadak hilang. Akhirnya, dengan penuh perjuangan sampailah Rema di pintu masuk lapangan sepakbola sekolah. Jantungnya yang sudah bergerak liar karena kecapean semakin berdetak kencang saat akan mendekati kerumunan laki-laki berpakaian seragam bola di kejauhan sana. Mereka tengah berkumpul di sisi lapangan. Rasa sesal sempat memasuki pikiran Rema kenapa sudah mau bersedia membantu Airin dan ikut terlibat dalam taruhan gak masuk akal ini. Tapi pikiran buruk itu segera ia singkirkan manakala mengingat beasiswa yang sedang diperjuangkannya saat ini. Yah, gue harus bertahan. Fight Rema! ”Selamat sore!” sapa Rema dengan segenap keberanian yang dapat dikeluarkan begitu telah berada dekat dengan kerumunan para pemain. Para pemain yang ia sapa hanya terdiam heran menatap Rema tanpa ada seorang pun yang bersedia memberi balasan. Di saat itulah Rema tersadar kalau Bima tidak ada diantara kerumunan para pemain. Kegugupan pun menjalar ke seluruh sel tubuhnya. Keadaan yang akan selalu terjadi setiap ia berada di komunitas baru dan asing. ”Lo, Rema?” Terdengar sebuah suara di belakang Rema. Setelah ditengok, sosok Bima muncul dan seketika membawa hawa kelegaan ke dada Rema. ”Lo Rema manajer tim yang baru itu kan?”, tanyanya sekali lagi untuk memastikan. Rema mengangguk senang. Tidak menyangka Bima sampai harus memastikan benar itu dirinya padahal mereka baru bertemu beberapa jam lalu. Apa gue benar-benar terlihat berbeda yah setelah didandani 4U Cupid? Pikir Rema yang sedikit berharap Bima bisa tertarik dengan penampilan barunya ini. Oke, sangat berharap. ”Oh sori, penampilan lo lain banget. Jadi gue agak ragu buat nyapa.” Yes! Sorak Rema dalam hati. ”Oke, semua! mohon perhatiannya sebentar! Ada pengumuman penting yang pengen gue sampaikan pada kalian.”, teriak Bima yang ditujukan pada rekan-rekan setimnya. Semua pemain yang berjumlah empat belas orang tersebut segera mengalihkan perhatiannya pada Bima. Dari sini Rema bisa lihat betapa besar dan kuatnya pengaruh Bima di tim. Ya iyalah, secara dia kapten tim. ”Teman-teman, cewek yang ada di sebelah gue ini adalah Rema, anak kelas XI F. Rema ini yang akan bertugas menggantikan Gina sebagai manajer baru tim. Semua, ayo beri sapaan hangat!”
”Hai!”, sapa para pemain terdengar enggan dan dipaksakan. ”Rema, kenalkan dari yang paling kanan itu namanya Ilham, dia kiper andalan tim. Kemudian di sebelah kirinya secara beruntun ada Juki, Fedi, Angga, Luki, Hendra dan Gary. Mereka berenam adalah para jangkar pertahanan tim. Selanjutnya ada Faisal, Kemal, Paundra, Gobin, dan Candra gelandang juga kreator serangan kita. Dan terakhir yang paling kiri itu adalah Fano dan Maksi, mereka penyerang handal dan mesin gol kita. ” Rema mulai menghapalkan satu-persatu nama yang baru saja Bima perkenalkan. Saking sibuk mengingat Rema sampai lupa untuk balik memperkenalkan diri. Setelah melihat tatapan menunggu Bima, Rema pun buru-buru angkat bicara. ”Oh ya, nama gue Rema. Semoga kedepannya nanti kita bisa saling membantu.”, ucap Rema gugup, seketika langsung menyesali kata-kata yang keluar yang dirasa terlalu formal. Emangnya ini perkenalan di perkantoran apa. Huhu, begooo!! ”Re, sekarang ini kita mau pemanasan lari-lari kecil sekitar lapangan. Kalau mau, lo bisa lihat-lihat dulu ruang klub disana.”, usul Bima menunjuk sebuah bangunan kecil bercat hijau yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Rema mengangguk, undur diri dan kemudian berjalan memasuki markas klub. Ruang klub yang menjadi base camp para pemain bola ini ukurannya tidak begitu luas dibanding ruang klub ekskul lain semisal renang atau kimia, meski begitu tetap cukup luas untuk menampung beberapa lemari serta loker, dan sebuah kursi kayu panjang yang diletakkan di tengah ruangan. Dinding ruangan yang tidak jelas warna, -akibat kotor, banyak dihiasi foto-foto para pemain dan pengurus tim dari berbagai angkatan. Selain itu terpajang tiga buah white board yang berisi jadwal pertandingan, skema permainan, dan jadwal latihan. ”Biasa main 4-4-2 toh!”, celetuk Rema melihat skema permainan tim di salah satu white board. Saat sedang asyik memerhatikan seluruh isi ruangan, secara tidak sengaja Rema menemukan sebuah pintu tersembunyi di samping lemari penyimpanan peralatan latihan. Rema yang penasaran kemudian membuka pintu tersebut yang ternyata adalah.. ”Busyet deh, ini kamar mandi apa tempat pembuangan? Bau dan kotornya sepuluh kali lebih parah dari wc umum terminal.” Rema stres sendiri melihat keadaan kamar mandi klub yang sangat bau serta di penuhi oleh baju dan celana kotor. Untunglah tidak ada binatang atau sesuatu yang aneh di dalamnya sehingga Rema bisa dengan tenang mengangkat pakaian-pakaian kotor yang berserakan di lantai ke dalam sebuah kantong plastik besar dengan menggunakan ujung jari telunjuk dan jempolnya. Setelah merasa cukup melihat-lihat isi ruangan, Rema berniat kembali ke lapangan untuk mengamati latihan para pemain. Sebelum akan keluar, mata Rema terlebih dulu menangkap sebingkai foto yang terpasang di atas pintu. Foto itu merupakan foto anggota klub angkatan sebelumnya. Hampir semua pemain yang tadi diperkenalkan Bima termasuk Bima sendiri ada dalam foto tersebut. Yang tidak ada hanya beberapa orang seperti Angga, Gary, Candra, Paundra, dan Fano, karena kelimanya baru masuk sekolah dan klub tahun ini. ”Cewek yang di samping kak Bima siapa yah? Kok rasa-rasanya pernah lihat.” tanya Rema penasaran sambil berusaha mengingat-ngingat siapa wanita cantik yang ikut tersenyum di dalam foto. Tunggu, jangan bilang dia cewek yang sama dengan yang ditunjuk Indah waktu itu. Tapi emang iya sih, dia cewek yang dulu pernah dibilang Indah sebagai pacarnya kak Bima. Kok bisa yah dia ikut ada di foto? Mungkin karena dia pacarnya kak Bima kali ya.
Coba gue yang ada di situ. Hihihi! Rema cengengesan sendiri menanggapi khayalan tingkat tingginya. ”Bi, lo yakin cewek tipe itu bisa jadi manajer tim kita? Bisa gantiin posisi Gina?”, tegur sebuah suara asing di balik pintu yang membuat Rema kembali mengurungkan niatnya untuk keluar dari ruangan. ”Yah, semoga aja bisa Fed. Oh ya, nama cewek itu Rema.” deg.. jantung Rema langsung berdegup kencang mendengar namanya disebut Bima. Kali ini bukan degupan kebahagiaan seperti biasa, melainkan degupan kegelisahan. Apa saat ini mereka sedang membicarakan gue? Rema merasa was-was. ”Gak penting siapa dia, yang terpenting adalah apa lo yakin si Rema-Rema itu orang yang tepat dan capable untuk posisinya? Manajer sekaligus pelatih loh Bi! Itu bukan posisi sembarangan. Apalagi melihat keadaan tim kita saat ini yang masih perlu banyak berbenah dalam menghadapi kejurnas. Kita butuh manajer yang competent bukan yang entertaint! Lo gak lihat apa dari penampilannya sekarang. Dia lebih cocok masuk klub cheers ketimbang klub bola. Takutnya bukan membantu, dia malah makin membuat kita repot.” Hati Rema terasa sakit mendengar pendapat buruk Fedi tentang dirinya, padahal mereka baru berkenalan tapi kenapa dia bisa membuat judge seperti itu? Rema memandangi kembali penampilannya hari ini. Walau sedikit menyakitkan, tapi kata-kata cowok itu memang benar. Saat ini ia tidak jauh berbeda dengan 4U Cupid atau PrincesShine. ”Yah kita lihat saja dulu sejauh mana kualitas manajer baru kita.”, jawab Bima berusaha bijak. ”Berapa lama? Seminggu, dua minggu, apa sebulan? Kelamaan.” ”Terus mau lo sekarang gimana?” Bima menyerah dan mulai membuka opsi. Fedi segera memanfaatkan dengan menjelaskan maksud keinginannya. ”Gini Bi, gue udah ngobrol tadi sama anak-anak, dan kita semua sepakat buat bujuk Gina batalin keputusannya cabut dari tim. Lo bisa bantu kita kan?” Bima terdiam sejenak, cukup lama suasana menggantung sepi. Begitu jawaban keluar dari mulutnya, ada sedikit kepiluan yang terdengar. ”Bukan hanya kalian yang pengen Gina tetap bareng kita Fed, gue juga. Bahkan mungkin gue orang yang paling kecewa atas keputusannya keluar dari klub. Tapi gue gak bisa berbuat apa-apa. Mau pakai cara apapun, dia tetap tidak akan merubah keputusannya.” Kali ini giliran Fedi yang tidak langsung melanjutkan obrolan. ”Sori, Bi. Gue nggak bermaksud menyinggung perasaan lo. Oh yah, hubungan lo sama Gina sendiri baik-baik saja kan?” Rema tidak sanggup lagi mendengarkan percakapan kedua pria itu lebih lanjut. Hatinya terlampau perih dan sakit. Baru beberapa saat yang lalu Rema merasa berada di atas langit dengan khayalan-khayalan bodohnya. Namun sekarang, ia serasa terlempar jatuh ke bumi dan hancur berkeping-keping. Tangan kirinya yang sejak tadi menggantung di atas kenop pintu perlahan terlepas seiring dengan memudarnya keinginan untuk keluar dan bertemu dengan Bima atau siapapun.
BABAK 3
”Gue mau berhenti jadi manajer klub!”, putus Rema sehari setelah latihan pertama bersama tim klub sepakbola. Ia ungkapkan keputusannya tersebut pada Razy dan Indah di kelas. ”loh-loh, baru juga sehari lo jadi manajer udah langsung KO gitu!”, heran Indah. ”Justru karena baru sehari merasakan neraka itu makanya gue gak mau balik lagi kesana.”, jelas Rema. Razy dan Indah saling bertatapan tak mengerti. ”Kok bisa sih Re? Kalau kemarin-kemarin sewaktu lo gabung di ekskul lain terus ngomong kayak gini gue gak heran. Tapi ini klub bola loh Re, bukannya lo football lover banget!”, tanya Indah kembali. ”Masalahnya gue merasa gak nyaman di sana Ndah, Zy. Sekalipun gue berada di dunia yang gue banget. Gak ada satu orang pun di tim yang welcome dengan kehadiran gue, kecuali kak Bima. Dan parahnya, semua pemain terus saja membanding-bandingkan gue sama manajer tim yang dulu. Gue udah gak tahan.”, tambah Rema berusaha menarik simpati kedua sahabatnya. ”Lagi-lagi. Alasan klasik tahu Re!”, komen Razy terdengar sinis. ”Terus gimana dengan masalah perjanjian lo sama Airin? Lo mau jelasin apa ke dia? Terus tekad lo buat dapatkan beasiswa itu?” Pertanyaan Razy selanjutnya ini sukses membuat Rema diam tak berkutik. Dia lupa akan janji tersebut sewaktu semalam memutuskan untuk resign dari posisinya sebagai manajer bola. Tak disangka masalahnya akan serumit ini. Tapi walau bagaimana pun keputusan sudah bulat dan mutlak. Rema akan tetap akan keluar dari klub bola. ”Nanti gue ngomong langsung ke Airin masalah keputusan terbaru gue ini. Gue akan coba jelasin ke dia hambatan-hambatan apa yang bikin gue sulit untuk tetap bertahan. Gue akan cari cara lain untuk membalas budi Airin. Semoga saja dia mau mengerti. Sekali pun enggak, gue gak peduli.”, tutur Rema mencoba sedikit egois. Razy dan Indah nampak terkejut dan kecewa dengan jawaban yang Rema berikan, terlebih Razy. Kekecewaan tersebut diungkapkan Razy melalui kritikan pedasnya kepada Rema. ”Gue kecewa sama lo, Re. Bukan hanya karena lo udah ingkar janji sama Airin. Lebih dari itu, gue kecewa karena mental lo dari dulu belum juga berubah, masih aja cemen. Sifat pengecut dan pecundang lo itu nggak juga hilang sampai sekarang.” Rema sangat terkejut mendengar respon Razy yang benar-benar di luar dugaan. ”Lo ngomong apa barusan Zy? Gue apa? Cemen? Pengecut? Pecundang?”, tanya balik Rema tidak terima. ”Iya, lo itu cemen, pengecut, dan pecundang. Lo gak bisa bertahan di kondisi luar zona comfort lo. Bahkan tanpa usaha yang berarti lo langsung mundur gitu aja, kembali berlindung
di zona nyaman lo.”, tambah Razy lebih pedas, cukup untuk membuat Rema bangkit berdiri dan berhadapan wajah langsung dengan cowok segudang prestasi tersebut. ”Oh, enak banget lo Zy ngomong gitu. Lo tuh gak ngerasain bagaimana berada di posisi gue saat ini. Terdampar di komunitas orang-orang yang gak anggap lo exist. Selain itu, lo juga terus diatur dan ditekan oleh orang-orang yang gak bisa lo tolak karena alasan janji dan persahabatan.” ”Itu adalah keputusan yang sudah lo ambil dan harus lo selesaikan sendiri, Re. Tapi tidak dengan cara melarikan diri seperti ini.” Rema membuang muka, kesal. Namun dalam hati kecilnya ia sedikit membenarkan ucapan Razy. ”Lo kira gue gak dapat hambatan apa selama berada di klub kimia dan selama gue mengikuti olimpiade di Singapura kemarin. Salah kalo lo anggap tidak ada. Dari sejak awal gabung, sebenarnya gue udah dapat banyak tekanan. Di sekeliling gue semua murid-murid nomor satu di kelasnya, sedang gue saat itu cuma orang nomor dua.” Rema sedikit tergerak mendengar cerita Razy. Saat itu, dialah orang nomor satu tersebut. ”Tapi gue gak mau larut dalam keminderan gue, Re. Gue terus berusaha menganggap hal tersebut tidak ada. Dan sewaktu klub ajuin anggotanya buat ikut seleksi tim olimpiade kimia tingkat nasional, gue bahkan gak masuk dalam pilihan mereka. Gue akhirnya bisa ikut setelah ada murid yang mundur karena sakit. Baru akhirnya gue terpilih. Itu pun setelah melalui tes ketat bersama semua anggota klub lain. Status gue yang hanya sebagai pengganti membuat semua orang memandang sebelah mata dan tidak mengunggulkan gue. Tapi gue bertekad untuk patahin segala anggapan dan prediksi itu. Gue berusaha terus, bekerja keras hingga akhirnya gue bisa jadi juara pertama dan dikirim ke olimpiade kimia tingkat dunia.” Tidak ada maksud menyombongkan diri saat Razy memutuskan untuk menceritakan perjalanan beratnya selama mengikuti olimpiade kimia pada Rema. Rema dan Indah pun tidak memiliki pikiran negatif tersebut. Kalaupun memang benar Razy berniat seperti itu, kenapa baru sekarang dia menceritakannya pada mereka. Rema dan Indah memang baru tahu sekarang cerita pahit Razy dibalik kesuksesannya sebagai peraih medali perunggu Olimpiade Kimia Internasional. Sebelumnya cerita yang mereka ketahui hanya permukaan saja, tidak sampai mendetail. Razy bukan tipe orang yang senang menceritakan segala kesulitan hidupnya. Dan jika sekarang dia mau membeberkannya, itu berarti ada maksud penting lain yang ingin disampaikan. Rema bisa menangkap maksud lain Razy tersebut.
............