BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Definisi Jamban Pembuangan tinja merupakan salah satu upaya kesehatan lingkungan yang harus memenuhi sanitasi dasar bagi setiap individu. Pembuangan kotoran yang baik harus dibuang ke dalam tempat penampungan kotoran yang disebut jamban. Jamban atau tempat pembuangan kotoran adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia yang lazim disebut kakus/WC dan memenuhi jamban sehat dan baik. Setiap individu harus menggunakan jamban untuk buang air besar. Penggunaan jamban akan bermanfaat untuk menjaga lingkungan bersih, sehat, dan tidak berbau. Jamban mencegah pencemaran sumber air yang ada disekitarnya. Jamban juga tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit diare, kolera disentri, typus, kecacingan, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan keracunan.
2.1.1 Syarat jamban sehat Membuang tinja di jamban yang memenuhi aturan kesehatan adalah salah satu upaya untuk memutus mata rantai penularan penyakit menular bersumber dari tinja. Oleh karena itu jamban harus dipelihara supaya tetap sehat. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air. Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat, tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran. Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, dan air bersih) dan bila ada
10
11
kerusakan, segera diperbaiki. Menurut Proverawati dan Rahmawati (2012), syarat jamban yang sehat adalah : 1. Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang penampungan tinja minimal 10 meter). 2. Tidak berbau. 3. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus. 4. Tidak mencemari tanah sekitarnya. 5. Mudah dibersihkan dan aman digunakan. 6. Dilengkapi dinding dan atap pelindung. 7. Penerangan dan ventilasi yang cukup. 8. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai. 9. Tersedia air, sabun, dan alat pembersih.
2.1.2 Manfaat menggunakan jamban Membangun dan menggunakan jamban dapat memberikan manfaat berikut ini, yaitu : 1. Peningkatan martabat dan hak pribadi 2. Lingkungan yang lebih bersih 3. Bau berkurang, sanitasi dan kesehatan meningkat 4. Keselamatan lebih baik (tidak perlu lagi ke ladang di malam hari) 5. Menghemat waktu dan uang, menghasilkan kompos pupuk dan biogas untuk energi 6. Memutus siklus penyebaran penyakit yang terkait dengan sanitasi
12
2.2 Pengaruh Tinja Bagi Kesehatan Manusia Tinja manusia merupakan buangan padat yang kotor dan bau juga media penularan penyakit bagi masyarakat. Kotoran manusia mengandung organisme pathogen yang dibawa air, makanan, serangga sehingga menjadi penyakit seperti misalnya : bakteri Salmonella, vibriokolera, amuba, virus, cacing, disentri, poliomyelitis, ascariasis, dan lain-lain. Penyakit yang ditimbulkan oleh kotoran manusia bisa digolongkan yaitu : 1. Penyakit enterik atau saluran pencernaan dan kontaminasi zat racun. 2. Penyakit infeksi oleh virus seperti hepatitis infektiosa. 3. Infeksi cacing seperti schitosomiasis, ascariasis, ankilostosomiasis. Hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk bisa langsung maupun tidak langsung. Efek langsung bisa mengurangi insiden penyakit yang ditularkan karena kontaminasi dengan tinja seperti kolera, disentri, typus, dan sebagainya. Efek tidak langsung dari pembuangan tinja berkaitan dengan komponen sanitasi lingkungan seperti menurunnya kondisi hygiene lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi pekembangan sosial dalam masyarakat dengan mengurangi pencemaran tinja manusia pada sumber air minum penduduk.
2.2.1 Mata rantai penularan penyakit oleh tinja Manusia merupakan sumber penting dari penyakit, penyakit infeksi yang ditularkan oleh tinja merupakan salah satu penyebab kematian.
13
Skema 2.1 Alur Penularan Penyakit (Water & Sanitation Program, 2011) Berdasarkan skema alur penularan penyakit diatas maka perlu dilakukan tindakan pencegahan agar penyakit menular berbasis lingkungan tidak menjadi wabah dalam masyarakat setempat. Pencegahan itu memutuskan alur penularan penyakit menggunakan rintangan sanitasi dan mengisolasi tinja dengan jamban sehat. Rintangan sanitasi ini mencegah kontaminasi tinja sebagai sumber infeksi pada air, tangan, dan vektor (serangga).
Skema 2.2 Pemutus Alur Penularan Penyakit (Water & Sanitation Program,2011)
14
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Menurut L.W.Green, di dalam Notoatmodjo (2012) faktor penyebab masalah kesehatan adalah faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : 1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang, keluarga atau masyarakat, adalah pengetahuan dan sikap seseorang, keluarga atau masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan. Disamping itu, kepercayaan/keyakinan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, sistem nilai yang dianut masyarakat setempat juga mempermudah (positif) atau mempersulit (negatif) terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. 1) Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan
penginderaan
terhadap
suatu
objek
tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).
15
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu : a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan umtuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus
dapat
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus buang air besar di jamban. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-
16
perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun,
dapat
merencanakan,
dapat
meringkaskan,
dapat
menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara
17
keluarga yang berperilaku hidup bersih dan sehat dengan keluarga yang tidak berperilaku hidup bersih dan sehat, dapat menangkapi terjadinya diare di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa masih ada keluarga yang buang air besar sembarangan dan sebagainya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas. 2) Pendidikan Pendidikan merupakan hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuan untuk tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai suatu kesatuan. Menurut Yusuf (1992), dalam Notoatmodjo (2012) bahwa “Pendidikan juga dikatakan sebagai pengembangan diri dari individu dan kepribadian yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab. Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan serta nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan”. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya, bahwa Ibu/Bapak yang berpendidikan relatif tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk menggunakan sumber daya keluarga yang lebih baik dibandingkan Ibu/Bapak yang berpendidikan rendah. Karena pengetahuan buang air besar yang sering kurang dipahami
18
oleh keluarga yang tingkat pendidikannya rendah. Sehingga memberi dampak dalam mengakses pengetahuan khususnya dibidang kesehatan untuk penerapan dalam kehidupan keluarga terutama pada keluarga yang berperilaku buang air besar sembarangan (Notoatmodjo, 2012). Ruang lingkup pendidikan terdiri dari pendidikan informal, non formal, dan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di rumah dalam lingkungan keluarga. Pendidikan informal berlangsung tanpa adanya organisasi, yakni tanpa orang tertentu yang diangkat atau ditunjuk sebagai pendidik tanpa suatu program yang harus disesuaikan dalam jangka waktu tertentu dan tanpa evaluasi yang formal berbentuk ujian, sementara itu pendidikan non formal meliputi berbagai usaha khusus yang diselenggarakan secara terorganisasi terutama generasi muda dan orang dewasa, yang tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali tidak berkesempatan mengikuti pendidikan sekolah dapat memiliki pengetahuan praktis dan keterampilan dasar yang mereka perkirakan sebagai masyarakat produktif. Sedangkan pendidikan formal adalah pendidikan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu seperti terdapat di sekolah atau universitas (Notoatmodjo, 2003). Kartono (1992), dalam Marliana (2011) menyatakan bahwa “Menurut Undang-Undang Republik Indonesia tentang pendidikan No.20 tahun 2003, jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi. Pendidikan dasar yaitu jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah seperti SD, MI,
19
SMP, dan MTS atau bentuk lain yang sederajat. Sementara itu pendidikan menengah yaitu lanjutan pendidikan dasar yang terdiri dari pendidikan menengah kejurusan seperti SMA, MA, SMK, dan MAK atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi”. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan terbagi menjadi 3 yaitu 1) faktor umum, 2) faktor tingkat sosial ekonomi, dan 3) faktor lingkungan. Semakin bertambah umum, pendidikan yang didapat akan lebih banyak baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang diinginkan adalah terjadinya perubahan kemampuan, penampilan, dan perilaku. Selanjutnya perubahan perilaku didasari adanya perubahan atau penambahan pengetahuan, sikap atau keterampilannya (Notoatmodjo, 2003). Faktor tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi perbaikan pendidikan dan perbaikan pelayanan kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat. Menurut Effendy (1998), dalam Marliana (2011) bahwa “Rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan memiliki tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang bagus dan bermutu. Sedangkan faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan seseorang seperti contoh orang yang berada dalam lingkungan keluarga yang mendukung serta mengutamakan pendidikan mereka akan lebih termotivasi untuk belajar sehingga pengetahuan yang mereka peroleh
20
akan lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang keluarganya tidak mendukung untuk merasakan bangku sekolah”. 3) Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Dalam Notoatmodjo (2012), beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat dikutipkan sebagai berikut. “An individual’s social attitude is a syndrome of response consistency with regard to social object” (Campbell, 1950). “Attitude entails an existing predisposition to response to social objecs which in interaction with situational and other dispositional variables, guides and direct the overt behavior of the individual” (Cardno, 1955). Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus social. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah
21
laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Stimulus Rangsangan
Reaksi
Proses Stimulus
Tingkah Laku (terbuka) Sikap (tertutup)
Skema 2.3 Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi (Notoatmodjo, 2012). a. Komponen pokok sikap Dalam bagian lain Allport (1954), dalam Notoatmodjo (2012) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok. a) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorang Ibu telah mendengar tentang penyakit polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa Ibu untuk berpikir dan berusaha agar anaknya tidak terkena polio. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga Ibu tersebut berniat mengimunisasikan anaknya untuk
22
mencegah supaya anaknya tidak terkena polio. Ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit polio. b. Berbagai tingkatan sikap Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan. a) Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat dilihat dari kesediaan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). b) Merespon (responding) Memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
mengerjakan,
dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. c) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang Ibu yang mengajak Ibu yang lain (tetangganya, saudaranya dan sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau
23
mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si Ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak. d) Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. 4) Keyakinan Keyakinan adalah pendirian bahwa suatu fenomena tau objek benar atau nyata. Kebenaran adalah kata-kata yang sering digunakan untuk mengungkapkan atau menyiratkan keyakinan agar terjadi perubahan perilaku. a. Seseorang harus yakin bahwa kesehatannya terancam. b. Orang tersebut harus merasakan potensi keseriusan kondisi itu dalam bentuk nyeri atau ketidaknyamanan, kehilangan waktu untuk bekerja, kesulitan ekonomi. c. Dalam mengukur keadaan tersebut, orang yang bersangkutan harus yakin bahwa manfaat yang berasal dari perilaku sehat melebihi pengeluaran yang harus dibayarkan dan sangat mungkin dilaksanakan serta berada dalam kapasitas jangkauannya. d. Harus ada “isyarat kunci yang bertindak” atau suatu kekuatan pencetus yang membuat orang itu merasa perlu mengambil keputusan.
24
5) Nilai-nilai Di dalam suatu masyarakat apa pun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi
pegangan
setiap
orang
dalam
menyelenggarakan
hidup
bermasyarakat. Secara langsung bahwa nilai-nilai perseorangan tidak dapat dipisahkan dari pilihan perilaku. Konflik dalam hal nilai yang menyangkut kesehatan merupakan satu dari tantangan penting bagi para penyelenggara pendidikan kesehatan.
2. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja belum menjamin terjadinya perilaku, maka masih diperlukan sarana atau fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut. Dari segi kesehatan masyarakat, agar masyarakat mempunyai perilaku sehat harus terakses (terjangkau) sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan kesehatan. Misalnya, untuk terjadinya perilaku keluarga yang selalu menjaga kesehatan keluarga, maka diperlukan alat-alat kebersihan, alat bersih, dan sebagainya. Agar keluarga atau masyarakat buang air besar dijamban, maka harus tersedia jamban, atau mempunyai uang untuk membeli alatalat kebersihan atau membangun jamban sendiri.
25
1) Kepemilikan Jamban Jamban merupakan sarana yang digunakan manusia untuk buang air besar. Menurut konstruksi dan cara mempergunakannya, dikenal bermacam-macam tempat pembuangan kotoran/jamban, yaitu : a. Jamban Cemplung Bentuk kakus inilah adalah paling sederhana yang dapat dianjurkan kepada
masyarakat.
Nama
ini
digunakan
karena
bila
orang
mempergunakan kakus macam ini, maka kotorannya langsung masuk jatuh kedalam tempat penampungan. Jamban cemplung yaitu jamban yang penampungannya berupa lubang yang berfungsi menyimpan kotoran/tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung diharuskan ada penutup agar tidak berbau (Proverawati dan Rahmawati, 2012). b. Jamban Plengsengan Plengsengan juga berasal dari bahasa Jawa “Melengseng” yang berarti miring. Nama ini digunakan karena dari lubang tempat jongkok ke tempat penampungan kotoran dihubungkan oleh suatu saluran yang miring. Jadi, tempat jongkok dari kakus ini tidak dibuat persis di atas tempat penampungan, tapi agak jauh. c. Jamban Bor Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat dengan mempergunakan bor. Bor yang dipergunakan adalah bor tangan yang disebut “Bor Auger” dengan diameter antara 30-40 cm. Sudah
26
barang tentu lubang yang dibuat harus jauh lebih dalam dibandingkan dengan lubang yang digali seperti pada jamban cemplung dan kakus plengsengan, karena diameter jamban bor jauh lebih kecil. d. Angsatrine (Water Seal Latrine) Jamban ini dibawah tempat jongkoknya ditempatkan atau dipasang suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotorang yang berada di tempat penampungan tidak tercium baunya karena terhalang oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang melengkung. e. Jamban Di atas Balong (Empang) Membuat jamban diatas balong (yang kotorannya dialirkan ke balong) adalah cara pembuangan kotoran yang tidak dianjurkan, tetapi sulit untuk menghilangkannya, terutama di daerah yang terdapat banyak balong. Menurut Mubarak (2009), dalam Marliana (2011) bahwa “Sebelum kita berhasil mengalihkan kebiasaan tersebut kepada kebiasaan yang diharapkan, dapatkah cara tersebut diteruskan dengan memberikan persyaratan tertentu”, antara lain : a) Air balong tersebut jangan dipergunakan untuk mandi. b) Letak jamban harus sedimikian rupa, sehingga kotoran manusia selalu jatuh di air. c) Tidak terdapat sumber air minum yang terletak di bak balong tersebut atau yang sejajar dengan jarak 15 meter. d) Aman dalam pemakaiannya.
27
f. Jamban Septic Tank Jamban septic tank berasal dari kata septic, yang berarti pembusukan secara anaerobik. Kita pergunakan nama septic tank karena dalam pembuangan kotoran terjadi proses pembusukan oleh kuman-kuman pembusuk yang sifatnya anerobik. Mubarak (2009), dalam Marliana (2011) mengemukakan bahwa “Septic Tank bisa terjadi dari dua bak atau lebih serta dapat pula terdiri atas satu bak saja dengan mengatur sedemikian rupa (misalnya dengan memasang beberapa sekat atau tembok penghalang), sehingga dapat memperlambat pengaliran air kotor di dalam bak tersebut”. 2) Prasarana Adalah alat penunjang keberhasilan suatu proses upaya yang dilakukan didalam pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini tidak tersedia maka semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana. a. Dana merupakan bentuk yang paling mudah yang dapat digunakan untuk menyatakan nilai ekonomis dan karena dana atau uang dapat dengan segera dirubah dalam bentuk barang dan jasa. b. adalah pemindahan manusia, hewan atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia dan atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktifotas sehari-hari.
28
c. Fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat mempermudah upaya dan memperlancar kerja dalam rangka mencapai suatu tujuan. d. Kebijakan pemerintah adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi. Menurut Notoatmodjo (2005), hambatan yang paling besar dirasakan dalam mewujudkan perilaku hidup sehat masyarakat yaitu faktor pendukungnya (enabling factor). Dari penelitian-penelitian yang ada terungkap meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat sudah tinggi tentang kesehatan, namun praktek tentang kesehatan atau perilaku hidup sehat masyarakat masih rendah. Setelah dilakukan pengkajian oleh WHO, terutama di Negara-negara berkembang, ternyata faktor-faktor pendukung atau sarana dan prasarana tidak mendukung masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Misalnya, meskipun kesadaran dan pengetahuan orang, keluarga atau masyarakat tentang kesehatan sudah tinggi, tetapi apabila tidak didukung oleh fasilitas yaitu tersedianya jamban sehat, air bersih, makanan yang bergizi, fasilitas imunisasi, pelayanan kesehatan dan sebagainya maka mereka sulit untuk mewujudkan perilaku tersebut.
29
3. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan serta dukungan keluarga. Termasuk juga disini undangundang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarkat, agama, dan para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Menurut Green dan Marshal (2005), dalam Marliana (2011) bahwa “Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dimana masyarakat menerima feedback dan setelah itu ada dukungan sosial”. Faktor reinforcing dalam penelitian ini yakni dukungan keluarga. 1) Petugas Kesahatan Merupakan tenaga professional, seyogyanya selalu menerapkan etika dalam sebagian besar aktifitas sehari-hari. Etika yang merupakan suatu norma perilaku atau biasa disebut dengan asas moral, sebaiknya selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat kelompok manusia. (Notoatmodjo, 2003).
30
2) Tokoh Agama Adalah panutan yang merepresentasikan kegalauan umatnya dan persoalan yang sudah diungkap oleh para tokoh agama menjadi perhatian untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya. 3) Tokoh Masyarakat Adalah orang yang dianggap serba tahu dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat. Sehingga segala tindak tanduknya merupakan pola aturan yang patut diteladani oleh masyarakat. 4) Dukungan keluarga Salah satu aspek terpenting dari perawatan adalah penekanan pada unit keluarga. Keluarga bersama dengan individu, kelompok dan komunitas adalah klien atau resipien keperawatan. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, merupakan klien keperawatan atau si penerima asuhan keperawatan. Keluarga berperan dalam menetukan cara asuhan yang diperlukan anggota keluarga yang sakit. Keberhasilan keperawatan di rumah sakit dapat menjadi sia-sia jika tidak dilanjutkan oleh keluarga. Secara empiris dapat dikatakan bahwa kesehatan anggota keluarga dan kualitas kehidupan keluarga menjadi sangat berhubungan atau signifikan. Keluarga menempati posisi di antara indvidu dan masyarakat sehingga dengan memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga, perawat mendapat dua keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama adalah memenuhi kebutuhan individu, dan keuntungan yang kedua adalah memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pemberian pelayanan kesehatan
31
perawat harus memerhatikan nilai-nilai dan budaya yang ada dalam keluarga sehingga dalam pelaksanaannya kehadiran perawat dapat diterima oleh keluarga. a. Struktur keluarga Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung diantara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah. Menurut Effendy (1998), dalam Marliana (2011) bahwa “ Struktur keluarga ada bermacam-macam diantaranya adalah : a) Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis Ayah. b) Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis Ibu. c) Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal beserta bersama keluarga sedarah istri. d) Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal beserta bersama keluarga sedarah suami. e) Keluarga kawinan adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami istri.
32
b. Fungsi keluarga Menurut Friedman (1999), dalam Andarmoyo (2012) bahwa Lima fungsi dasar keluarga adalah sebagai berikut : a) Fungsi Efektif Adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh, dan memberikan cinta kasih serta saling menerima dan mendukung. b) Fungsi Sosialisasi Peran Adalah proses perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di lingkungan sosial. c) Fungsi Reproduksi Adalah menjamin kelangsungan generasi dan kelangsungan hidup masyarakat. d) Fungsi Ekonomi Adalah fungsi untuk pengadaan sumber dana, pengalokasian dana serta pengaturan keseimbangan. e) Fungsi Perawatan Kesehatan Adalah kemampuan keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. f)
Fungsi Pengontrol/Pengatur Adalah memberikan pendidikan dan norma-norma.
33
c. Jenis dukungan keluarga Menurut Friedman (1998), dalam Marliana (2011) bahwa terdapat empat jenis atau dimensi dukungan, yaitu: a) Dukungan Emosional Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi, meliputi empati, kepedulian, dan perhatian terhadap anggota keluarga yang masih buang air besar sembarangan misalnya umpan balik, penegasan. b) Dukungan Penghargaan (Penilaian) Keluarga
bertindak
sebagai
sebuah
bimbingan
umpan
balik
membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas anggota. Yang terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk perilaku BAB, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif perilaku BAB dengan yang lain yaitu: Orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah penghargaan diri). c) Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit. Mencakup bantuan langsung seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi, lingkungan, maupun menolong dengan pelajaran waktu mengalami stress.
34
d) Dukungan Informatif Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminato (penyedia) informasi tentang dunia mencakup memberi nasehat, petunjukpetunjuk, sarana-sarana, atau umpan balik. Bentuk dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat, pemberi nasehat, atau pengawasan tentang perilaku BAB sehari-hari. Dukungan keluarga juga merupakan perasaan individu yang dapat perhatian, disenangi, dihargai, dan termasuk bagian dari masyarakat.
d. Hubungan dukungan keluarga dengan kesehatan Keluarga harus dilibatkan dengan program pendidikan dan penyuluhan agar mereka mampu mendukung usaha keluarga yang masih buang air besar di sembarang tempat. Bimbingan/penyuluhan dan dorongan secara terus-menerus biasanya diperlukan agar keluarga yang buang air besar sembarangan tersebut mampu melaksanakan rencana yang dapat diterima dan mematuhi peraturan. Brunner dan Suddart (2001), dalam Marliana (2011) mengemukakan bahwa “Keluarga selalu dilibatkan dalam program pendidikan sehingga mereka dapat memperingati bahwa buang air besar sembarangan dapat berdampak penyakit-penyakit”.
35
2.4 Kerangka Teori Faktor Predisposisi Pengetahuan Pendidikan Sikap Keyakinan Nilai
Faktor Pemungkin Kepemilikan jamban Prasarana
Pemanfaatan Jamban
Faktor Pendukung Petugas kesehatan Tokoh agama Tokoh masyarakat Dukungan keluarga
Skema 2.4 Kerangka Teori Sumber : L. W Green, di dalam Notoatmodjo 2012
36
2.5
Kerangka Konsep
Pengetahuan
Pendidikan
Kepemilikan Jamban
Pemanfaatan Jamban
Dukungan Keluarga Skema 2.5 Kerangka Konsep