Investasi untuk Pintar dan Sehat
Laporan Tentang ANALISIS ANGGARAN SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN
Disusun oleh : Ferry Yuniver Deny P. Sambodo Mohammad Kholifan
Banda Aceh, Maret, 2009
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………..........
i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….........
ii
KATA PENGANTAR ..…………………………………………………………….........
iii
SEKAPUR SIRIH ………………………………………………………………........
iv
INTISARI …………………………………………………………………………..........
v
BAB I
Pendahuluan 1.1
Latar Belakang ……………………………………………………......
1
1.2
Tujuan dan Hasil yang Diharapkan..................................... ..........
1
1.3. Waktu............................................................................................. 1.3
BAB II
BAB III
Bab IV
Metode dan Dokumen yang digunakan .........................................
2
Perencanaan dan Penganggaran di Aceh 2.1
Bantuan dan Mou Helsinki.............................................................
3
2.2
Perencanaan Pembangunan di Aceh.....……………………………
4
Analisis Belanja Publik: Pendidikan dan Kesehatan 3.1
Perkembangan Pendapatan di Aceh ............................................
12
3.2
Belanja Pendidikan dan Kesehatan dalam APBA 2008................
14
3.3
Analisis Belanja Pendidikan..........................................................
16
3.3
Analisis Belanja Kesehatan...........................................................
26
3.4
IPM (Indeks Pembangunan Manusia)...........................................
33
Kesimpulan dan Saran
34
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR Halaman 3 6
Gambar 2
Perencaan dan Penganggaran Daerah........................... Alur dan Jadwal Penyusunan APBD...............................
Gambar 2
Penerimaan Aceh..........................................................
14
Gambar 3
Belanja Pendidikan Pemerintah Provinsi dan Kab/kota Tahun 2001-2007............................................................
19
Gambar 4
Belanja Sektor Kesehatan Tahun 2001-2007.................
28
Gambar 5
Perkembangan IPM Aceh dan Indonesia, 1990-2006.....
33
Tabel 1
Daftar Dokumen Perencanaan Provinsi Aceh.................
7
Tabel 2
Proses Penyusunan dan Pembahasan APBA...............
9
Tabel 3
Tanggal Pengesahan APBA Pemerintah Aceh dan APBK 10 Kabupaten/Kota Tahun 2005-2008................. Belanja Kesehatan dalam APBA 2008........................... Belanja Pendidikan dalam APBA 2008........................... Komposisi Belanja menurut Organisasi dalam APBA Tahun 2008..................................................................... Jumlah Sekolah di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2003/2004-2007/2008..................................................... Jumlah Murid di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2003/20042007/2008........................................................................ Jumlah Guru di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2003/20042007/2008........................................................................ Rasio Guru-Siswa (STR) di 10 Kab/Kota di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2004/2005 – 2005/2006................... Presentase Siswa SMU yang Lulus UAN di 10 Kab/Kota di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2006/2007...................... Rasio Tingkat Partisipasi Sekolah Berdasarkan Umur dan Tingkat Melek Huruf Orang Dewasa Tahun 2006..... Perbandingan Tingkat Penyelesaian dan Gagal Sekolah Tahun 2003/2004 - 2006/2007......................................... Jumlah Tenaga Kesehatan dan Rasionya per 10 Ribu Penduduk di 10 Kab/Kota di Provinsi Aceh, 2007............ Jumlah Sarana Kesehatan di Provinsi Aceh Tahun 20012007................................................................................. Tingkat Kematian Bayi dan Cakupan Imunisasi BCG di 10 Kabupaten/Kota di Aceh Tahun 2007......................... Perbandingan Tingkat Harapan Hidup dan Kematian Bayi Aceh dan Nasional Tahun 2000 dan 2005 .............
Gambar 1
Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17
10 14 15 16 20 21 22 22 23 24 25 29 30 31 32
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Pembangunan pendidikan dan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat sebagaimana dimaksud dalam konsitusi UUD 1945. Artinya, pembangunan kedua sektor tersebut harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang antara lain diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam ukuran IPM tersebut, pendidikan dan kesehatan merupakan dua komponen utama selain sektor ekonomi yaitu pendapatan perkapita. Pendidikan dan kesehatan juga merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penangggulangan kemiskinan.
Disadari pula bahwa perkembangan anggaran di Aceh dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir menunjukkan lonjakan yang sangat signifikan. Apalagi, pasca berlaku Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, pendidikan dan
kesehatan mendapatkan perhatian cukup serius oleh Pemerintah Aceh. Keberadaan UU No. 11 Tahun 2006 tersebut merupakan tonggak baru yang dapat memberikan harapan besar bagi reformasi pendidikan yang komprehensif di Aceh. Meskipun disadari bahwa pada prinsipnya merupakan urusan strategis yang masih menjadi kewenangan negara (pusat), namun karena keistimewaan dan kekhususan daerah, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan dan kesehatan sesuai dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat Aceh.
Di sisi lain, lonjakan anggaran juga terjadi cukup besar pada sektor pendidikan dan kesehatan di Aceh. Hal demikian semakin nampak pada lonjakan anggaran. Komponen anggaran merupakan salah satu isu besar, dan sangat strategis ketika disandingkan dengan kualitas pelayanan dua sektor ini. Oleh karena itu, sangat penting kiranya dilakukan analisis dokumen anggaran atas sektor pendidikan dan kesehatan pada level APBA.
1.2 Tujuan dan Hasil yang Diharapkan Analisis anggaran APBA dari tahun 2006-2008 memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis pelaksanaan kebijakan anggaran pendidikan dan kesehatan di ACEH tahun 2006 dan 2007 pada sektor pendidikan dan kesahatan dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan terkait b. Untuk mengetahui trend atas kebijakan anggaran pendidikan dan kesehatan dari tahun selama Pemerintahan baru di Aceh. c. Menganalisis alokasi anggaran untuk publik dan aparatur pada sektor pendidikan dan kesehatan.
Dari tujuan sebagaiman tersebut diatas, pada akhirnya hasil yang diharapka adalah: Adanya dokumen analisis (konsep paper) anggaran sektor pendidikan dan kesehatan Tahun Anggaran 2006 s.d Tahun Anggaran 2008.
1.3 Waktu Analisis ini dilakukan selama satu bulan, terhitung dari tanggal 1 Maret 2009 sampai dengan 31 Maret 2009
1.4 Metode dan Dokumen yang Digunakan Metode analisis yang digunakan untuk penyusunan kajian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan berbagai data sekunder dari berbagai instansi dan lembaga.
Dokumen-dokumen atau sumber data yang digunakan antara lain: -
Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2007 – 2012;
-
Qanun Aceh tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2006;
-
Qanun Aceh tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2007;
-
Qanun Aceh tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2008;
-
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Aceh (DPA-SKPA) yang terkiat dengan urusan pendidikan dan kesehatan;
Ooo000ooO
Bab II Perencanaan dan Penganggaran di Aceh
Sejak 26 Mei 1959, sesuai Ketetapan Perdana Menteri Hardi No 1/MISSI/1959, Provinsi Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan sebutan lengkap Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dengan UU No 18/1965.
Pada 2001, Aceh mendapatkan status otonomi khusus melalui UU No 18/2001. Dan pada 2006, setelah terjadinya perjanjian damai MoU Helsinki dan pasca bencana hebat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, Aceh mendapatkan status baru melalui UU Pemerintah Aceh No 11/2006. UU baru ini lebih memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan karena adanya pendapatan yang lebih besar melalui dana otonomi khusus dan migas.
2.1 Bantuan dan Mou Helsinki Konflik berkepanjangan membuat keadaan berubah, keadaan semua sektor kehidupan memburuk, termasuk kondisi
kesehatan dan pendidikan. Banyak rumah, sekolah,
puskesmas dan fasilitas publik rusak akibat konflik. Banyak pula aktor pembangunan seperti guru, paramedis meninggal dunia, hilang atau pergi keluar Aceh. Belum usai dampak yang ditinggalkan akibat konflik tersebut tanggal 26 Desember 2004 Aceh dirundung musibah. Gempa dan tsunami menyapu bersih daerah pesisir sepanjang 1000 kilometer pantai ACEH. Tidak kurang 132 ribu orang meninggal, 37 ribu orang dinyatakan hilang serta kerugian mencapai US$ 1,2 miliar (sumber: web site BRR)
Menyikapi kondisi tersebut, pada bulan Agustus 2005 Pemerintah RI bersama Gerakan Aceh Merdeka berhasil membangun kesepakatan damai.
Kesepakatan tersebut
dikenal dengan MoU Helsinki. Salah satu butir MoU tersebut kemudian mendorong terbentuknya Undang-undang No 11, Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Banyak hal yang diuraikan dalam UU tersebut. Namun demikian masih banyak juga yang belum dapat mengakomodir persoalan-persoalan rakyat Aceh. Paling tidak, kebijakan ini membuka ruang lebih luas bagi upaya Aceh mengejar ketertinggalan dengan provinsi lainnya dalam proses pembangunan. Dalam UU Pemerintahan Aceh tersebut, sektor pendidikan kembali memiliki perhatian khusus. Hal itu dapat dilihat pada pernyataan
pasal 182, dimana menyebutkan bahwa biaya pendidikan dialokasikan paling sedikit 30 % dari anggaran belanja tahunan.
Di saat bersamaan, situasi pasca tsunami di Aceh juga menyedot perhatian dunia untuk berkontribusi dalam proses pembangunan di Aceh. Sumber-sumber pendanaan selama 2006-2008 (masa rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh) dukungan tersebut sangat dominan dibandingkan dengan sumber-sumber pendanaan dari dalam negeri. Sumber pendanaan dari negara asing mencapai dua pertiga dari keseluruhan bantuan yang digunakan untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias, Sumatera Utara (Sumber: Kantor Berita Antara, tanggal 24 Januari 2008)
2.2. Perencanaan Pembangunan di Aceh Proses pembangunan di Aceh mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Sistem ini merupakan satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencanarencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat. Gambar 1 Perencaan dan Penganggaran Daerah
Pedoman
Pedoman
RPJM NASIONAL
Pedoman
RKAKL
RINCIAN APBN
dijabarkan
RKP
Pedoman
RAPB N
RAPBN
Diserasikan melalui MUSRENBANG diacu
RPJM DAERAH
dijabarkan
RKPD
Pedoman RENSTRA SKPD
Pedoman
RENJA SKPD
PERENCANAAN
Pedoman
KU
Pedoman
A PPA S
Pedoman
RKA SKPD
RAPB D
APBD
PENJABARA N APBD
PENGANGGARAN
Sumber: UU No 17/2003 dan UU No 25/2004, diolah
Pemerintah Daerah
RPJP DAERAH
Pedoman
diacu
Pedoman
RPJP NASIONAL
RENJA KL
Pemerintah Pusat
RENSTRAKL
UU ini
mewajibkan Pemerintah Provinsi ACEH menyusun Dokumen Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Dengan demikian, perencanaan pembangunan tidak lepas dari perencanaan pembangunan di Indonesia pada umumnya.
Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan, termuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah didalamnya. Dokumen ini merupakan penjabaran visi, misi dan program Kepala Daerah terpilih dimana juga mengakomodir dokumen-dokumen perencanaan lainnya, seperti: (1) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD. Dokumen ini merupakan perencanaan 5 tahunanan yang disusun Satuan Kerja Perangkat Daerah. (2) Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dokumen ini merupakan dokumen perencanaan daerah untuk periode perencanaan 1 (satu) tahunan. (3) Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD). Dokumen ini merupakan dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode perencanaan 1 (satu) tahunan.
Proses perencanaan pembangunan yang dianut merupakan sistem perencanaan bottom-up dan topdown. Perencanaan pembangunan disusun melalui partisipasi warga, sehingga proses pembangunan sesuai dengan kebutuhan mendesak bagi warga. Sinergisasikan antara proses perencanaan dan pengeluaran pembangunan di tingkat nasional dikaitkan dengan proses perencanan dan pembangunan dari unit warga tertuang dalam Permendagri No. 13/2006.
Fakta yang terjadi saat ini, sistem perencanaan pembangunan di Aceh belum berjalan dengan baik. Baik dari sisi proses penyusunan, dokumen yang dihasilkan maupun pelaksanaan dari dokumen perencanaan itu sendiri. Dari sisi proses, belum secara konsisten menggunakan tata cara dan mekanisme yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sedangkan dari sisi dokumen yang dihasilkan, belum seluruh dokumen wajib sudah ada dan disahkan menjadi produk hukum. Secara detail dokumen status dokumen perencanaan pembangunan dapat dilihat dalam Tabel 1.
Gambar 2 Jadwal Penyusunan APBD MUSRENBANGNAS
RPJMD
Rancangan Mei RKP
Apr
MUSRENBANG PROV
Rancangan Awal RKPD •Prioritas pemb, •Pagu indiakatif berdasar fungsi SKPD, sumber dana & Wilayah kerja
Rancangan RKPD Prov Mei
Apr
Rancangan RKPD
Musrenbang RKPD/ MUSRENBANGDA
Okt
Rancangan Ahir RKPD
Penetapan RKPD
RAPBD
Mar Mei
KUA & PPAS Jun
Renstra SKPD
Rancangan Renja SKPD Feb.
Renja SKPD
Forum SKPD Feb/Mar
MUSRENBANG Feb. Kecamatan
RKASKPD
Apr
Agt
Pokok-pokok Pikiran DPRD
MUSRENBANG Jan Desa/Kel.
Sumber: Permendagri 13/2006
Sebagaimana disebut dalam tabel 1, Pemerintah Aceh telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode 2007-2012. Dalam dokumen tersebut, tertera bahwa Visi Provinsi AcehH adalah Terwujudnya perubahan yang fundamental di Aceh dalam segala sektor kehidupan masyarakat Aceh dan pemerintahan, yang menjunjung tinggi asas transparansi dan akuntabilitas bagi terbentuknya suatu pemerintahan Aceh yang bebas dari praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga pada tahun 2012 Aceh akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan dan adil dalam kemakmuran.
Meskipun dokumen tersebut masih berupa Peraturan Gubernur namun tetap menjadi penting bagi peletakan dasar-dasar pembangunan dan juga lanjutan dari upaya pembaharuan untuk mewujudkan Visi Pembangunan Provinsi ACEH. Visi yang tertuang
didalmnya adalah: “Menuju masyarakat Aceh yang madani berdasarkan Islam, sekaligus bagian dari upaya untuk mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain di Indonesia, melalui pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya yang ada, pengelolaan pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta didasari oleh kerjasama yang sinergis dan harmonis dari seluruh komponen yang ada di Provinsi NAD”.
Tabel 1 Daftar Dokumen Perencanaan Provinsi Aceh Dokumen Status Keterangan Rencana Pembangunan belum ada Seharusnya dalam bentuk Jangka Panja Aceh Qanun Aceh Rencana Pembangunan Sudah ada, namun Seharusnya dalam Qanun Jangka Menengah Aceh dalam masih dalam Aceh, sesuai dengan PP No. 2007-2012 Peraturan 8 tahun 2008 Gubernur Rencana Strategis Satuan Belum semua Dinas Pendidikan belum Kerja Perangkat Aceh SKPA ada punya (Rensta-SKPA) Dinas Kesehatan belum punya Rencana Kerja Pemerintah Tidak selalu ada di Tahun Anggaran 2009 ada Aceh (RKPA) setiap tahun dalam bentuk Peraturan anggaran Gubernur Nomor 36 Tahun 2008 tentang Rencana Kerja Pemerintah Aceh Sumber: www.nad.go.id dan wawancara dengan beberapa sumber Untuk pencapaian visi tersebut, disusun beberapa rumusan misi. Rumusan misi disusun berdasarkan isu/sektor, diantaranya: a.Kepemimpinan yang aspiratif, inovatif, dan intuitif b.Penegakan hukum c.Pengembangan sumberdaya manusia d.Perekonomian e.Politik f.Sumber daya alam g.Adat istiadat, kebudayaan, dan olahraga
Jika merujuk pada misi pada sektor/isu pengembangan sumberdaya manusia (butir c). Pemerintah Aceh memiliki keinginan kuat untuk memperkuat kualitas pendidikan dan kesehatan. Isi dari butir-butir yang teruat didalamnya, diantaranya:
Pendidikan akan dijadikan sebagai media pemerataan kesempatan untuk berkembang (mobilitas vertikal) bagi semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat lapisan bawah.
Kualitas dan mutu sekolah di seluruh Aceh akan ditingkatkan baik kualitas fisik bangunannya maupun kualitas para pendidik terutama administrasinya.
Pemerintah Aceh akan memberikan subsidi untuk universitas-universitas atau perguruan tinggi di Aceh guna meningkatkan mutu sumberdaya manusia dan fasilitas pendidikan (sarana penunjang).
Pemerintah Aceh akan mengusahakan pendidikan gratis minimal bagi murid sekolah dasar (SD/MI) sampai dengan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA/MA) Sekolah akan dibersihkan dari pungutan yang membebani orang tua siswa.
Pemerintah Aceh juga mengupayakan sesuai dengan kemampuan ekonomi Pemerintah Aceh pembebasan biaya pendidikan bagi semua anak yatim korban konflik dan korban tsunami sampai tamat Perguruan Tinggi (S1).
Pemerintah Aceh akan mengusahakan (sesuai kemampuan pemerintahan Aceh) pembebasan uang kuliah atau sekurang-kurangnya akan dikembangkan sistem subsidi yang adil untuk semua program studi S1 yang memenuhi criteria dan kualifikasi tertentu.
Pemerintah Aceh akan meminta kepada institusi-institusi/lembaga pendidikan pencetak tenaga pendidik untuk meningkatkan standar mutu penerimaan calon tenaga pendidik dengan menaikkan rating kualifikasi penerimaan mahasiswa baru. Institusi ini akan mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Aceh.
Institusi-institusi pendidikan agama seperti dayah akan mendapat perhatian serius dari Pemerintah Aceh.
Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian khusus dalam bentuk programprogram beasiswa secara luas untuk mahasiswa cerdas dan berprestasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 dan S3 di universitas-universitas terkemuka di luar negeri.
Dalam rangka pemerataan kesempatan pendidikan, Pemerintah Aceh akan mengembangkan sistem subsidi/beasiswa kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu namun memiliki keinginan dan kemampuan kecerdasan untuk melanjutkan pendidikan.
Di daerah-daerah tertentu akan dikembangkan sekolah-sekolah kejuruan (vocational).
Sekurang-kurangnya 30% APBD akan digunakan untuk pendidikan.
Pemerintah Aceh akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pemerintah Aceh bertekad akan memberantas penyakit-penyakit menular klasik seperti Malaria, TBC, DBD, Lepra, dan sebagaimana.
Pemerintah Aceh akan memberikan pelayanan medis gratis bagi ibu hamil dan anak.
Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, politik, adat istiadat dan agama.
Tabel 2 Proses Penyusunan dan Pembahasan APBA Tahun Anggaran Tahapan 2005 2006 2007 2008 1 Nop 19 Nop 10 Jan 28 Nop Penyerahan Dokumen 2004 2005 2007 2007 Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara kepada DPRA 4 Nop- 14 20 Nop– 16 Feb 29 Nop– Pembahasan KUA dan Des 04 27 Jan 06 2007 2 Des 07 PPAS oleh Tim Anggaran Pemerintah Aceh dan Panitia anggaran DPRA 28 Jan 8 Dec Penandatanganan Nota 16 Des 2004 2006 2007 Kesepakatan KUA dan PPAS oleh Gubernur dan DPRA 9–28 24 Mar– Penyerahan Rancangan 26 Feb– 19 Mar 06 April 07 16 Mei Anggaran Pendapatan 08 dan Belanja Aceh (APBA) kepada DPRA Rapat Paripurna 1 – 25 16 Maret 2 – 18 21 – 30 Pembahasan RAPBA April 2006 – 25 April Mei 2007 Mei 2008 2006 Rapat Paripurna 26 April 27 Maret 18 Mei 24 Juni Persetujuan RAPBA 2006 2006 2007 2008 menjadi APBA Penyerahan ke 1 Juli Departemen dalam 2008 Negeri untuk dievaluasi Hasil Evaluasi dari Depdagri
2009 13 Juni 2008
29 Jan 2009 5 Feb 2009 19 Feb 2009
Sumber: T. Surya Darma dalam Bank Dunia, 2008, www.dpra.nad.go.id dan dengan modifikasi Dari sisi penganggaran dan proses penyusunan berbagai dokumen anggaran, Pemerintah Aceh juga mempunyai prestasi yang kurang baik, terutama dari sisi kepatuhan atas jadwal sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan seperti: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 13 tahun 2006 juncto Permendagri Nomor 59 tahun 2007, serta Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dari sisi ketepatan waktu, pembahasan dalam penyusunan anggaran, juga selalu terjadi ketidaktepatan waktu sebagaimana jadwal yang tertuang PP 13/2006. Deskripsi tentang realisasi pelaksanaan waktu pembahasan perencanaan anggaran di level DPRA untuk APBA 2005 sampai dengan APBA 2009 digambarkan dalam tabel 2.
Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa sejak tahun anggaran 2005 sampai dengan tahun anggaran 2009, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh belum pernah disahkan sesuai dengan jadwal yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu satu bulan sebelum tahun anggaran baru dimulai.
Tabel 3 Tanggal Pengesahan APBA Pemerintah Aceh dan APBK 10 Kabupaten/Kota Tahun 2005-2008 2005
2006
2007
2008
1 Prov NAD
25-Apr
5-May
20-Jun
24-Jun
2 ACEH SELATAN
31-May
29-Mar
6-Jan
28-Mar
3 ACEH TENGGARA
31-Mar
21-Apr
22-Mar
31-Mar
4 ACEH TENGAH
15-Mar
13-Mar
30-Mar
11-Jan
5 ACEH BARAT
10-Aug
30-Jun
9-Apr
28-Apr
n.a
26-Apr
8-May
26-Mar
19-Jan 27-Jun
14-Mar 15-May
11-Apr 12-Mar
17-Apr 7-Apr
No
Wilayah
6 SABANG 7 ACEH TIMUR 8
ACEH UTARA 9 PIDIE 10 ACEH BESAR
23-May
28-Mar
13-Jun
28-Apr
13-Jun
1-May
12-Apr
4-Apr
11 BANDA ACEH n.a 22-Mar 20-Apr 24-Mar Sumber: Bank Dunia (2008) Kondisi sebagaimana terlihat dalam Tabel 3 tidak hanya dialami oleh Pemerintah Aceh, tetapi juga hampir seluruh kabupaten/kota. Dampak dari molornya pembahasan proses penyusunan APBA adalah molornya pengesahan APBA. Akibatnya, pemerintah hanya memiliki waktu yang sedikit untuk merealisasikan belanja pembangunannya.
Lebih dari setengah kabupaten/kota di Aceh sejak tahun 2005 selalu menetapkan APBD setelah bulan April. Padahal, menurut UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, APBD seharusnya disahkan tiap bulan Desember tahun sebelumnya. Upaya untuk mempercepat pengesahan APBD memang terus dilakukan. Namun hingga kini belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Pelbagai alasan mengemuka, diantaranya perubahan format APBD dari lama ke format Anggaran Berbasis Kinerja berdasarkan Permendagri No 13/2006 dan 59/2007.
Ooo000ooO
Bab III Analisis Belanja Publik: Pendidikan dan Kesehatan
3.1. Perkembangan Pendapatan di Aceh Dari sisi pendapatan daerah, sejak sejak pemberlakukan UU No 18/2001 Pendapatan daerah di Provinsi ACEH maupun kabupaten/kota, mengalami peningkatan yang siginifikan. Pendapatan itupun kian meningkat pasca pemberlakukan UU No 11/2006 tentang Pemerintah Aceh (PA). UU PA mengamanatkan Aceh mendapatkan dana otonomi khusus (DOK) berupa 2 persen dari DAU nasional dan dana bagi hasil minyak dan gas.
UU No 11 Tahun 2006 jelas memberikan peluang kepada Aceh untuk mendapatkan penerimaan yang sangat besar dan bisa dipergunakan sepenuhnya untuk meningkatkan taraf kehidupan penduduknya. Sebagaimana tersebut dalam UU No 11/2006, pendapatan Aceh terdiri atas PAD, Dana Perimbangan, DAU dan DAK, Dana Otsus, Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (TDBHMG) atau migas, Dana Pengembangan Masyarakat yang bersumber dari pelaku usaha
(minimal 1 % dari
harga total produksi), serta lain-lain pendapatan yang sah. Jumlah Dana Otonomi Khusus setara dengan 2% dari plafon alokasi DAU nasional. Sedangkan Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi sebesar 55% dan 40%. Pengalokasian dana otsus dan migas ini bertujuan utama untuk mengakselerasi pembangunan.
Sedangkan dana perimbangan, menurut Pasal 181 ayat (1) huruf b, terdiri dari Dana Bagi Hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain (kehutanan, perikanan, pertambangan umum, pertambangan panas bumi, masing-masing 80%, serta pertambangan minyak 15%, dan pertambangan gas bumi 30%).
Menurut UUPA Pasal 183 ayat (2), dana otsus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas (2008-2022) besarnya setara dengan 2% plafon DAU Nasional, dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh (2023-2028) besarnya setara dengan 1% plafon DAU Nasional.
Menurut Pasal 183 ayat (1), Dana Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur,
pemberdayaan
ekonomi
rakyat,
pengentasan
kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Selain dana Otsus, Aceh juga berhak mendapatkan Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (TDBHMG) atau migas. Menurut UU PA Pasal 182, Pemerintah Aceh berwenang mengelola Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak (sebesar 55%) dan Gas Bumi (sebesar 40%) yang merupakan pendapatan dalam APBA. Sedangkan pembagian Dana Bagi Hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain antara provinsi dan kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (yakni UU 33/2004, Pasal 19 dan 20).
Sementara itu, dana-dana yang didapatkan dari sektor ini juga sudah diatur peruntukannya yaitu, paling sedikit 30% dialokasikan untuk membiayai pendidikan di Aceh dan paling banyak 70% dialokasikan untuk membiayai program pembangunan yang disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah kabupaten/kota. Pengaturan tentang pengalokasian dana-dana ini tertuang dalam dalam Qanun No 2/2008 tentang Tatacara Pengalokasian TDBHMG dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.
Jika pada tahun 1999 pendapatan Aceh hanya berkisar Rp 2,2 triliun, setelah pelaksanaan UU 18/2001, penerimaan Aceh tahun 2002 meningkat menjadi hampir Rp 9 triliun. Penerimaan ini terus meningkat setelah disahkannya UU No 11/2006. Pada tahun 2007 pendapatan Aceh hingga sebesar Rp 11,6 triliun, sedangkan pada tahun 2008 pendapatannya mencapai Rp 16 triliun. Kenaikan-kenaikan pendapatan tersebut sebagai akibat transfer DOK sebesar hingga mencapai Rp 3,59 triliun. Demikian pula dengan transfer dana alokasi umum (DAU) yang meningkat hingga sebesar 31 persen pada 2006 dan terus meningkat pada tahun 2007 dan 2008. Hal ini berarti, penerimaan Provinsi Aceh dari Otsus dan Migas menyumbang 72% dari total pendapatan dalam APBA 2008. Diperkirakan, pada tahun 2011 jumlah penerimaan provinsi akan mencapai Rp 16,7 triliun. (sumber: Bank Dunia, 2008). Ilustrasi pendapatan Aceh bisa dilihat dalam grafik berikut ini.
Gambar 2 Penerimaan Aceh
3.2. Belanja Pendidikan dan Kesehatan dalam APBA 2008 Dana yang teranggarkan dalam APBA 2008 sebesar Rp 8,518 Triliun dengan komposisi 23% untuk belanja tidak langsung dan 76,5% untuk belanja langsung. Dari jumlah ini, sebesar Rp 1,045 Triliun atau 12,67% dipergunakan untuk belanja pendidikan yang terbagi dalam Rp 1,019 Triliun untuk belanja langsung (97,5%) dan Rp 25,7 milyar (2,5%) untuk belanja tidak langsung. Sedangkan belanja kesehatan dalam APBA 2008 sebesar Rp 508 milyar atau 5,9% dengan pembagian Rp 426,7 Milyar (83,9%) adalah belanja langsung dan Rp 81,6 milyar (16,1%) adalah belanja tidak langsung. Tabel 4 Belanja Kesehatan dalam APBA 2008 Kesehatan
Jumlah (Milyar)
Persen
Langsung
426,7 83,9
Tidak Langsung
81,6 16,1
Total Anggaran
508 100%
Sumber: Pemerintah Aceh, 2008
Tabel 5 Belanja Pendidikan dalam APBA 2008 Pendidikan
Jumlah (Milyar)
Langsung
Persen
1.019 97,5
Tidak Langsung
25,7 2,5
Total Anggaran
1.045 100%
Sumber: Pemerintah Aceh, 2008
Dengan menggunakan analisis belanja menurut urusan, pengeluaran Pemerintah Aceh pada 2008 untuk urusan pendidikan dan kesehatan dapat dikatakan masih rendah, jika dibandingkan dengan total belanja. Terlihat bahwa belanja pendidikan baru mencapai 12 persen. Ini artinya belanja urusan pendidikan masih dibawah alokasi 20 persen sebagaimana
diamanat
dalam
Undang-Undang
Sistem
Pendidikan
Nasional.
Sedangkan belanja urusan kesehatan, pengeluaran Pemerintah Aceh tahun anggaran 2008 baru mendekati 6 persen.
Alokasi belanja pendidikan sebesar 12 persen dan belanja kesehatan sebesar 6 persen ini dapat dikatakan masih rendah jika dilihat dengan tingkat kualitas sumberdaya manusia di Aceh yang ditunjukkan dengan IPM yang berada pada posisi di bawah ratarata nasional, tingkat derajat kesehatan yang belum cukup baik, serta yang tidak kalah penting adalah masih terbatasnya tenaga medis dan paramedis yang belum memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh standar pelayanan minimal maupun standar yang diatur oleh World Health Organization.
Meskipun persentase masih rendah, namun total belanja kesehatan dan pendidikan terus menaik dari tahun ke tahun sebagai akibat dari terus meningkatnya jumlah anggaran dalam APBA. Sehingga meskipun persentase belanja pendidikan dan kesehatan dalam APBA 2008 lebih rendah dibandingkan 2007, namun jumlah anggaran yang dibelanjakan tetap lebih tinggi dibandingkan 2007.
Analisis pengeluaran menurut organisasi, pengeluaran Pemerintah Aceh tahun 2009 yang terkait dengan isu pendidikan dan kesehatan, Dinas Pendidikan mendapatkan alokasi 10,5 persen, Badan Pembinaan Pendidikan Dayah mendapatkan 1,7 persen, Sekretariat Majelis Pendidikan Daerah mendapat alokasi kurang dari 1 persen dari total belanja dalam APBA tahun 2008. Sedangkan pengeluaran menurut organisasi yang terkait dengan isu kesehatan, Dinas Kesehatan mendapatkan alokasi 2,6 persen, Rumah Sakit Zainal Abidin juga mendapatkan alokasi anggaran sebesar 2,6 persen, Rumah Sakit Jiwa mendapatkan alokasi 0,4 persen dan Rumah Sakit Ibu dan Anak mendapatkan alokasi sebesar 0,4 persen.
Tabel 6 Komposisi Belanja menurut Organisasi dalam APBA Tahun 2008 Belanja
Organisasi Tidak Langsung
Langsung
Total
Dinas Pendidikan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Sekretariat Majelis Pendidikan Daerah
24,324,270,169
2,7
873,968,479,714
97,3
898,292,749,883
100
991,200,000
0,7
143,334,252,500
99,3
144,325,452,500
100
399,100,000
16,4
2,039,859,758
83,6
2,438,959,758
100
Dinas Kesehatan Rumah Sakit Umum dr. Zainal Abidin
20,898,757,332
9,4
204,205,888,168
90,7
225,104,645,500
100
40,076,410,800
18,3
178,920,143,400
81,7
218,996,554,200
100
Rumah Sakit Jiwa
13,102,191,030
34,8
24,515,898,970
65,2
37,618,090,000
100
7,553,442,824
28,4
19,062,826,206
71,6
26,616,269,030
100
107,345,372,155
6,9
1,446,047,348,716
93,1
1,553,392,720,871
100
Rumah Sakit Ibu dan Anak
Sumber: Pemerintah Aceh, 2008
Berdasarkan analisis ini, dalam bidang kesehatan orientasi Pemerintah Aceh masih menggunakan paradigma sakit dibanding memilih paradigma sehat. Hal ini dibuktikan dengan tingginya belanja yang dialokasi pada ketiga rumah sakit, dibandingkan dengan belanja yang dialokasi pada dinas kesehatan. Secara detail, profil belanja menurut organisasi dalam urusan pendidikan dan kesehatan dapat dilihat pada Tabel 6.
3.3. Analisis Belanja Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan mendasar masyarakat sebagai upaya mencerdasakan kehidupan bangsa. Sehingga perlu menjadi tanggung jawab bagi stakeholder untuk terlibat dalam meningkatkan pelayan pendidikan. Dari sisi proses,
pelibatan masyarakat dan organisasi profesi yang bergerak dibidang pendidikan, menunjukan proses-proses pembangunan yang lebih partisipasipatif, non diskriminatif, bertumpu pada kebutuhan serta pengoptimalan potensi yang ada dengan mengadobsi muatan-muatan lokal. Perhatian terhadap beberapa aspek ini memberikan jaminan bahwa pelayanan pendidikan yang dilaksanakan merupakan ekspresi kebutuhan sosial masyarakat. Dalam konteks itu, adanya jaminan pelayanan pendidikan yang diberikan akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, masyarakat akan merasa memiliki aset sarana dan prasaran tersebut sehingga pelaksanaannya diterima dan didukung penuh oleh masyarakat.
Secara filosofis pelayanan sektor pendidikan merupakan salah satu alasan dan tujuan dibentuknya negara, dengan demikian negara sebagai pemegang mandat dari rakyat bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Dalam hal ini, posisi negara adalah sebagai pelayan rakyat (public servant) dan pemberi layanan. Sementara, rakyat memiliki hak atas pelayanan sektor pendidikan negara karena sudah memenuhi kewajibannya sebagai warga negara, seperti membayar pajak (langsung maupun tidak langsung) dan terlibat dalam pengawasan dan partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Bahkan, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 negara ini menegaskan bahwa salah satu tujuan didirikan negara Indonesia adalah mencerdaskan seluruh rakyat. Cara yang digunakan untuk mencapainya dengan memanfaatkan institusi pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi. Melalui institusi tersebut negara diberi kewajiban untuk membuka akses bagi semua anggota masyarakat agar memperoleh layanan pendidikan bermutu.
Sadar akan kewajiban tersebut, negara menaruh perhatian khusus untuk bidang pendidikan. Hal ini terlihat dalam konstitusi negara RI pasal 31 UUD 1945; UU No 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas (pasal 49 ayat 4) dimana semuanya menyatakan alokasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN/APBD. Bahkan, pada pasal 182 ayat 3 UU No 11 Tentang Pemerintahan Aceh, alokasi dana pendidikan paling sedikit 30 % dari APBA.
Keterkaitan antara UUPA dengan Kebijakan-kebijakan lain sebagaiman tersebut tercermin dalam UUPA pasal 215, pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional serta disesuaikan dengan karakteristik, potensi dan kebutuhan masyarakat setempat. Pada butir pertama dari Pasal 217 disebutkan pula bahwa penduduk Aceh yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Terkait dengan disahkannya UU-PA, kemudian memiliki konsekuensi hukum terhadap perubahan dan penyempurnaan qanun tentang penyelenggaraan pendidikan di Provinsi ACEH yang sebelumnya telah dituangkan dalam Qanun No 23 Tahun 2002
Pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa ada diskriminasi. Karenanya, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.1
Kedua aturan tersebut dengan jelas menerangkan bahwa mutu dan bebas biaya dalam pelayanan pendidikan menjadi satu bagian. Artinya, selain harus membiayai seluruh kegiatan operasional pendidikan, pemerintahpun bertanggungjawab dalam peningkatan mutu guru, ketersediaan buku ajar, serta peralatan dan perlengkapan belajar mengajar2. Upaya pemerintah dalam membangun dunia pendidikan tergambar pada program wajib balajar yang harus tuntas tahun 2008, program bantuan operasional sekolah (BOS), program perbaikan saran sekolah yang rusak dll. Namun usaha tersebut belum dapat memberi angin segera bagi dunia pendidikan. Ini terlihat dari informasi media tentang penyimpangan dana pendidikan. Penelitian Peter Lanjouw dan kawan-kawan3 menggambarkan, tanpa adanya intervensi pemerintah untuk menjaga agar biaya tetap murah, warga terutama kaum miskin tidak akan mungkin bisa mengakses layanan pendidikan. Padahal, memajukan pendidikan sangat penting, sebab memiliki nilai instrinsik dalam meningkatkan kemampuan dan kemerdekaan individu. Selain itu, juga memiliki nilai instrumental dalam mendorong peningkatan pendapatan serta saling memperkuat satu dengan yang lain. Begitupun 1
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003, pasa 10 ayat (1) dan (2) Biaya pendidikan adalah nilai rupiah dari seluruh sumber daya (input) atau seluruh pengeluaran dalam bentuk natura atau berupa uang yang digunakan untuk kegiatan pendidikan. 3 Peter Lanjouw, Poverty, Education and Health in Indonesia: Who Benefits from Public Spending?, 2001 2
penelitian Bank Dunia4. Pertumbuhan ekonomi sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Investasi di sektor pendidikan dengan menyediakan anggaran yang besar, merupakan strategi untuk mewujudkan kesejahteraan.
Pendidikan dapat dijadikan indikator dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karenanya pendidikan formal dan nonformal sangat dibutuhkan. Sedemikian pentingnya pendidikan, maka Kementerian Pendidikan Nasional telah menerbitkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 129a/U/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pendidikan. Demikian pula UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan formal di Indonesia dimulai dari dua tahun belajar di taman kanak-kanak (TK) dilanjutkan dengan pendidikan sekolah dasar (SD) pendidikan menengah pertama (SMP) dan menengah atas (SMA) masing-masing selama tiga tahun.
Pemerintah Aceh juga telah memberikan perhatian besar dalam bidang pendidikan. Hal ini terlihat jelas dari belanja bidang pendidikan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, sebelum UU Sisdiknas mewajibkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran, Pemerintah Aceh telah melaksanakannya. Sejak 2002, belanja pemerintah bidang pendidikan telah di atas angka 20 persen, sebagaimana terlihat dalam grafik di bawah ini. Seiring dengan terus meningkatnya penerimaan Aceh, maka belanja di sektor pendidikan juga terus meningkat. Bahkan pada 2007, pengeluaran bidang pendidikan dari Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota di Aceh mencapai Rp 2,737 triliun, atau mencapai 34 persen dari total anggaran.
Gambar 3 Belanja Pendidikan Pemerintah Provinsi dan Kab/kota Tahun 2001-2007
4 Financing Education – Investments and Returns, Analysis of The World Education Indicators 2002 Edition, Unesco Institute for Statistic, 2002
3000
2737
2500
2250
2319
2195
2053 2000
1704
1500 1000 561 500 0 1 2001
2 2002
3 2003
4 2004
5 2005
6 2006
7 2007
Sumber: Bankpendidikan Dunia (2007, 2008) Belanja sektor yang besar tentu saja diarahkan untuk mencapai keluaran yang baik pula. Pembangunan gedung sekolah terus ditingkatkan setiap tahunnya untuk menjangkau semua wilayah di Aceh. Terutama pasca gempa bumi dan tsunami yang menghancurkan Aceh, pembangunan gedung sekolah terus digalakkan untuk semua tingkatan.
Tabel 7 Jumlah Sekolah di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2003/2004-2007/2008 Jumlah Sekolah No
Tahun
SMK SD Negeri & Swasta
SMP Negeri & Swasta
SMU Negeri
Negeri & Swasta
1
2003/2004
3,244
566
256
56
2
2004/2005
3,271
572
292
61
3
2005/2006
3,291
585
288
76
4
2006/2007
3,259
738
333
87
5
2007/2008
3,278
701*
289
97
* hanya SMP Negeri Sumber: BPS (2008)
Data dari BPS 2008 menunjukkan bahwa jika pada tahun ajaran 2003/2004 sekolah SD hanya berjumlah 3.244 unit, maka pada 2007/2008 telah mencapai 3.278 unit. Demikian juga dengan jenjang SMP yang terus mengalami peningkatan, dari 566 unit sekolah pada tahun ajaran 2003/2004 menjadi 701 unit sekolah (hanya SMP negeri) pada 2007/2008. Jumlah SMU juga terus meningkat menjadi 289 unit sekolah pada 2007/2008, dan SMK menjadi 97 unit sekolah pada tahun ajaran 2007/2008, sebagaimana terlihat dalam tabel 7.
Jumlah murid yang bersekolah relatif stabil dari tahun ke tahun. Jika pada tahun ajaran 2003/2004 jumlah murid SD sebanyak 575.510 murid, maka pada tahun ajaran 2007/2008 mencapai 537.287 murid. Murid SMP juga relatif stabil pada kisaran antara 180 ribu sampai dengan 200 ribu murid per tahun ajaran. Sedangkan siswa SMU terus meningkat menjadi 168.224 pada tahun ajaran 2007/2008 setelah pada tahun 2003/2004 hanya berjumlah 99.571 murid. Jumlah siswa SMK juga terus naik secara signifikan seiring dengan komitmen pemerintah yang mendorong peningkatan kualitas SMK dan menyesuaikannya dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Kampanye tentang pentingnya sekolah di SMK juga terus digalakkan. Hal ini mendorong kenaikan jumlah siswa SMK dari 15.014 murid pada 2003/2004 menjadi 24.993 murid pada tahun ajaran 2007/2008. Tabel 8 memperlihatkan secara rinci jumlah murid sekolah di Provinsi Aceh.
Tabel 8 Jumlah Murid di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2003/2004-2007/2008 Jumlah Murid No
Tahun
SMK SD Negeri & Swasta
SMP Negeri & Swasta
SMU Negeri
Negeri & Swasta
1
2003/2004
575,510
184,350
99,571
15,014
2
2004/2005
579,804
148,529
173,892
16,347
3
2005/2006
547,436
194,422
125,104
20,346
4
2006/2007
526,831
208,973
137,900
24,128
5
2007/2008
537,287
167533*
168,224
24,993
* hanya SMP Negeri Sumber: BPS (2008) Dengan pelbagai kebijakan yang membuat guru lebih sejahtera dan memiliki kualifikasi yang layak, jumlah guru terus ditingkatkan oleh pemerintah. Jika pada 2003/2004 jumlah guru SMP sebanyak 7,462 orang, maka pada 2006/2007 jumlahnya meningkat menjadi 10,102 guru. Sedangkan untuk tingkat SMU, jumlah guru juga terus mengalami peningkatan. Jika pada 2003/2004 jumlah guru SMA sebanyak 794 guru, maka pada tahun ajaran 2006/2007 jumlahnya telah meningkat menjadi 1.277 guru. Hanya pada tingkat SD, jumlah guru mengalami penurunan. Pada 2007/2008 jumlah guru SD sebanyak 23,737 guru, sedangkan pada 2003/2004 berjumlah 24.283 orang.
Tabel 9 Jumlah Guru di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2003/2004-2007/2008 Jumlah Guru No
Tahun
SMK SD Negeri & Swasta
SMP Negeri & Swasta
SMU Negeri & Swasta
Negeri
1
2003/2004
24,283
7,462
6,810
794
2
2004/2005
29,774
7,942
7,956
864
3
2005/2006
27,252
4,888
6,655
1,076
4
2006/2007
27,641
10,102*
6,164
1,277
5
2007/2008
23,737
-
-
-
* hanya SMP Negeri; Sumber: BPS (2008) Meskipun demikian, rasio guru-siswa masih tergolong kecil di Aceh. Rata-rata rasio guru-siswa untuk SD pada 2003/2004 hanya 23,1 persen dan terus menurun pada 2004/2005 menjadi 20,7 persen. Untuk tingkat SMP, rasio ini juga mengalami penurunan. Jika pada 2003/2004 rasionya adalah 24,2 persen, pada 2004/2005 turun menjadi 19,3 persen. Demikian juga dengan SMU, rasionya mengalami penurunan. Jika pada 2003/2004 rasionya adalah 32,8 persen, pada 2004/2005 turun menjadi 22,1 persen. Tabel 10 Rasio Guru-Siswa (STR) di 10 Kab/Kota di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2004/2005 – 2005/2006
No
Kab/Kota
SD 2004/ 2005/ 2005 2006
SMP* 2004/ 2005/ 2005 2006
SMU 2004/ 2005/ 2005 2006
%
%
%
1
Prov ACEH (rata-rata)
23,1
20,7
24,2
19,3
32,8
22,1
2
ACEH SELATAN
26,3
22,3
27,2
21,6
22,6
30,7
3
ACEH TENGGARA
12,4
21,5
4,7
20,9
25,1
28,3
4
ACEH TENGAH
13,4
16,8
16,8
15,5
17,7
21,6
5
ACEH BARAT
24,0
19,7
27,9
23,6
36,4
12,6
6
SABANG
14,5
7
ACEH TIMUR
8
9,9
10,7
5,3
18,2
11,1
103,0 25,3
67,5
16,3
82,0
24,1
ACEH UTARA
24,4
26,9
30,7
17,0
32,7
19,0
9
PIDIE
16,7
19,3
19,7
16,2
21,3
17,7
10
ACEH BESAR
16,4
13,6
52,1
8,5
3,9
12,6
11
BANDA ACEH
7,7
10,7
4,2
33,2
17,5
29,9
* hanya SMP Negeri: Sumber: BPS (2008)
Namun, kemungkinan besar rasio guru-siswa ini terus meningkat pada tahun ajaran 2005/2006 sampai sekarang. Hal ini bisa dilihat dari penerimaan guru PNS yang terusmenerus ada setiap tahunnya. Hanya saja, hingga kini belum ada catatan resmi dari pemerintah tentang rasio ini. Layanan pendidikan juga masih belum sesuai pada tingkat yang diharapkan. Tantangan berat masih harus terus dihadapi untuk mencapai pendidikan untuk semua.
Tabel 11 Presentase Siswa SMU yang Lulus UAN di 10 Kab/Kota di Provinsi Aceh Tahun Ajaran 2006/2007 Kab/Kota
No
Persentase
1
Prov ACEH (rata-rata)
72,6
2
ACEH SELATAN
72,31
3
ACEH TENGGARA
85,82
4
ACEH TENGAH
92,31
5
ACEH BARAT
48,20
6
SABANG
72,04
7
ACEH TIMUR
50,03
8
ACEH UTARA
78,75
9
PIDIE
80,27
10
ACEH BESAR
43,18
11 BANDA ACEH Sumber: Dinas Pendidikan Aceh, 2007
89,51
Program pendidikan untuk semua bertujuan untuk mencapai (1) seluruh siswa dapat ditampung sampai pendidikan tingkat menengah pertama. (2) menjamin bahwa anakanak miskin mendapat akses yang sama dan penuh terhadap sekolah yang menyediakan lingkungan belajar yang menarik dan pengajaran yang efektif dan (3) menyediakan pendidikan dengan mutu yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai kondisi sosial ekonomi Indonesia.
Peningkatan infrastruktur sekolah, jumlah murid dan guru saja tidaklah cukup untuk menjamin kualitas pendidikan. Masih diperlukan upaya lainnya, misalnya meningkatkan kualifikasi guru dan mendorong proses belajar-mengajar yang memberikan ruang berpikir lebih bebas bagi siswa. Mutu pendidikan di Aceh yang rendah ditandai dengan rendahnya persentase hasil UAN (Ujian Akhir Nasional). Dari 33 Provinsi di Indonesia, Provinsi Aceh menempati peringkat ke 21 (Depdiknas 2005). Pada tahun ajaran 2006/2007, presentase kelulusan siswa SMU di Aceh masih rendah, 72,6 persen untuk rata-rata provinsi. Jika melihat per kabupaten/kota, Kabupaten Aceh Besar hanya meluluskan 43,18 persen siswa SMU, sebagaimana terlihat dalam 11.
Tabel 12 Rasio Tingkat Partisipasi Sekolah Berdasarkan Umur dan Tingkat Melek Huruf Orang Dewasa Tahun 2006
Area
Rasio Tingkat Partisipasi Sekolah Berdasarkan Umur Sekolah
Tingkat Melek Huruf Orang Dewasa
%
(%)
7-12
13-15
16-18
19-24
Laki-laki
Perempuan
98,88
93,83
72,43
20,95
96,26
92,38
Nasional 97,39 Sumber: BPS (2008)
84,08
53,92
11,38
94,56
88,39
Aceh
Beberapa indikator penentu dalam mutu pendidikan tidak terpenuhi seperti kualifikasi para guru, struktur gaji guru, mutu ruang kelas, tingkat kehadiran guru dan jumlah siswa dalam satu kelas. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi konflik Aceh selama 30 tahun
dan konflik terparah di tahun 1997 sampai 2001 hingga kondisi infrastrukturpun telah rusak berat. Sementara itu, tingkat partisipasi sekolah berdasarkan umur di Aceh telah berada di atas angka rata-rata nasional. Demikian juga dengan tingkat melek huruf bagi orang dewasa. Capaian Aceh ini adalah hal yang menggembirakan karena mampu berada di atas rata-rata nasional.
Tabel 13 Perbandingan Tingkat Penyelesaian dan Gagal Sekolah Tahun 2003/2004 - 2006/2007 Tingkat Penyelesaian Sekolah Tingkat Kegagalan Sekolah Menurut Menurut Tahapan Sekolah (%) Tahapan Sekolah (%) 2003- 2004- 2005- 2006- 2003- 2004- 2005- 20062004 2005 2006 2007 2004 2005 2006 2007 Sekolah Dasar Aceh
89,72
96,12
98,50
96,60
11,86
6,22
5,59
4,01
Nasional
97,41
95,05
97,40
96,81
2,97
2,99
3,17
2.37
Sekolah Menengah Pertama Aceh
92,26
93,90
92,91
95,46
3,09
2,17
2,25
3,46
Nasional
93,32
94,24
93,79
97,56
3,54
2,83
1,97
2,88
98,76
96,56
95,99
92,73
4,16
3,4
2,03
2,58
Nasional 97,76 Sumber: BPS (2008)
96,50
96,66
96,26
2,84
3,14
3,08
3,33
Sekolah Menengah Atas Aceh
Tantangan
pengurangan
kesenjangan
dalam
angka
partisipasi
sekolah
dan
kesenjangan antara materi pengajaran masih dirasakan. Beberapa koran Indonesia sering memberitakan adanya kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat untuk berpartisipasi dalam sisitem elektorat serta jiwa wirausaha dengan daya nalar dan keahlian. Namun, tingkat penyelesaian dan gagal sekolah di Aceh, secara umum, sudah lebih baik dibandingkan angka rata-rata nasional.
Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah terus berusaha menangani permasalahan pendidikan dengan memberlakukan UU tentang sertifikasi terhadap guru sejak
Desember 2005 melalui penyediaan dana tunjangan kepada guru. Tunjangan ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan guru dalam jumlah yang cukup besar. Peningkatan ini dapat berdampak terhadap hasil pembelajaran yang lebih tinggi jika kontrol terhadap mekanisme dan kinerja kelembagaan yaitu tingkat kehadiran guru dan mutu pengajaran diperketat.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, investasi di bidang pendidikanpun telah mengalami perubahan, misalnya dengan disediakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Bantuan ini diperuntukkan bagi sekolah-sekolah yang terisolir yang mengalami kesulitan di bidang sarana dan prasarana pendidikan. Biaya langsung layanan pendidikan di setiap jenjang merupakan biaya agregat dari unit biaya yang disebabkan di setiap jenjang sekolah dan biaya yang dikeluarkan di setiap pemerintahan untuk mengurus seluruh keperluan administrasi pendidikan.
Penambahan jumlah guru memang sangat dibutuhkan namun lokasi penempatan juga sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Selama ini tenaga pengajar terkonsentrasi di perkotaan sedangkan di daerah pedalaman jumlah guru masih kurang dan tingkat kehadiranpun relatif rendah. Insentif yang diberikan kepada tenaga pengajar di pedalaman tidak mampu mendongkrak partisipasi tenaga pengajar.
3.3. Analisis Belanja Kesehatan Health is not everything, but without health everything is nothing (kesehatan memang bukan segala-galanya, namun tanpa kesehatan segala-galanya menjadi tidak berarti). Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat mendalam dan penting, bahwa kesehatan merupakan modal dasar untuk melakukan berbagai aktivitas baik yang bersifat produktif maupun reproduktif.
Dalam paradigma lama, kesehatan dianggap sebagai fungsi dari pembangunan ekonomi,
yaitu diasumsikan ketika pembangunan ekonomi yang diukur dengan
tingginya angka pertumbuhan ekonomi, maka diasumsikan atau otomatis rakyat akan sehat. Padahal senyatanya tidak selalu seperti itu bahkan seringkali bertolak belakang. Maka paradigma ini sudah tidak diakui diganti dengan cara berpikir baru didalam memaknai tentang pentingnya kesehatan.
Dalam cara pandang baru (paradigma baru), kesehatan termasuk pembangunan dianggap sebagai sebuah investasi terhadap kualitas sumberdaya manusia (human capital), sehingga dengan dengan alokasi modal/uang maksimal akan menghasilkan kualitas sumberdaya manusia yang optimal. Artinya kualitas sumberdaya manusia sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya investasi dalam bentuk belanja sektor kesehatan.
Dalam paradigma baru ini, kesehatan diakui sebagai hak (right to health). Paradigma ini menempatkan negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab atas pemenuhan hak atas kesehatan tersebut. Dalam perspektif hak asasi manusia, negara c.q. pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate).
Sebagai contoh, negara tidak melakukan intervensi terhadap hak pilih warga saat pemilu. Kewajiban ini harus diterapkan pada semua hak, baik hak hidup, integritas personal, privasi maupun hak untuk bekerja, hak atas pangan, kesehatan dan pendidikan. Kewajiban untuk memenuhi (the obligation to fulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut. Kewajiban negara untuk menghormati adalah kewajiban paling dasar.
Secara internasional, pengakuan bahwa kesehatan adalah hak tertuang dalam Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Convention on Economic, Social and Cultural Rights). Dalam konteks Indonesia, Perjanjian ini sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang, yaitu pada tanggal 30 Septermber 2005.
Pada tanggal tersebut, DPR dan Pemerintah sepakat meratifikasi piagam penting hak asasi manusia (Bill of Rights) yaitu International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Proses ratifikasi tersebut dilakukan pada
28 Oktober 2005, dimana Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengesahkan UU No. 11 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ratifikasi terhadap the bill of human rights ini tentu saja membawa harapan baru bagi kondisi yang lebih kondusif bagi pemajuan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia di negeri ini, termasuk didalamnya hak atas kesehatan (right to health).
Gambar 4 Belanja Sektor Kesehatan Tahun 2001-2007
12.0% 500
500
439
Milyar Rp
400
435
410
508 10.0% 420
8.0%
358
7.0% 6.6% 276 300 6.0% 6.0% 6.0%
10.0%
5.5%
6.0%
6.0%
200
4.0%
100
2.0%
0
0.0%
% dari total belanja
600
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber: Bank Dunia (2008)
Selain itu yang ikut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan rata-rata lama sakit. Sementara itu, untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan
masyarakat dapat dilihat dari indikator penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan dan memelihara mutu pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat, merupakan prioritas utama pemerintah dalam meningkatkan angka harapan hidup. Upaya Pemerintah Aceh untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat terus membaik dari tahun ke tahun seiring dengan terus meningkatnya pendapatan Aceh. Kementertian Kesehatan juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.
Hal ini terlihat dari makin tingginya belanja pemerintah untuk sektor kesehatan, sebagaimana dalam Gambar IV.3. Sebelum otonomi khusus diberlakukan, belanja sektor kesehatan tidak pernah lebih dari Rp 400 milyar, maka sejak 2002 belanja sektor kesehatan terus meningkat. Bahkan pada 2007, setelah pemberlakukan UU No 11/2006, belanja kesehatan mencapai angka tertinggi, yakni Rp 972 milyar.
Tabel 14 Jumlah Tenaga Kesehatan dan Rasionya per 10 Ribu Penduduk di 10 Kab/Kota di Provinsi Aceh, 2007 No
Daerah
Jumlah Dokter
Dokter Ahli
Dokter Gigi
Rasio Dokter
Jml Bidan
Rasio Bidan
1
Prov ACEH
596
155
154
n.a
4,475
n.a
2
ACEH SELATAN
25
4
9
1,6
139
6,9
3
ACEH TENGGARA
27
3
3
2,0
152
8,4
4
ACEH TENGAH
21
4
4
1,3
204
12,5
5
ACEH BARAT
18
7
4
0,9
127
8,3
6
SABANG
21
4
2
5,1
37
11,8
7
ACEH TIMUR
24
1
10
0,7
371
11,1
8
ACEH UTARA
23
21
12
0,9
468
9,5
9
PIDIE
49
6
4
1,3
715
14,2
10
ACEH BESAR
61
0
17
2,6
451
16,1
11 BANDA ACEH Sumber: BPS (2008)
22
7
12
7,5
124
6,2
Besarnya belanja kesehatan telah membuahkan hasil dengan semakin banyaknya sarana kesehatan maupun tenaga kesehatan yang melayani masyarakat, meskipun jumlah tenaga medis masih terkonsentrasi di daerah-daerah perkotaan seperti Banda Aceh, seperti terlihat dalam tabel 14. Terlihat jelas, rasio per 10 ribu penduduk tertinggi, yakni 7,5 ditempati oleh Banda Aceh. Sedangkan Aceh Timur yang didominasi daerah pedesaan memiliki rasio terendah, yakni 0,7.
Namun kondisi bidan relatif merata di semua kabupaten/kota di Aceh. Kabupaten Aceh Besar yang sebagian besar pedesaan ternyata memiliki rasio bidan tertinggi, yakni 16,1 per 10 ribu penduduk. Rasio jumlah dokter dan perawat dengan jumlah penduduk Aceh masih rendah. Secara rata-rata seorang dokter pemerintah akan memberikan pelayanan kesehatan kepada sekitar 9.674 orang penduduk yang ingin mendapat layanan kesehatan publik. Wilayah layanan kebidanan bagi bidan pemerintah secara umum lebih kecil dari pada wilayah kerja dokter (tergantung jumlah tenaga kerja swasta di ibu kota provinsi). Aceh memiliki angka yang tinggi, sekitar 111 bidan untuk setiap 10.000 penduduk. (Bank Dunia, 2007). Sedangkan bila kita analisis terhadap jumlah tenaga kesehatan yang lebih terlatih dan tenaga spesialis, seperti dokter gigi, ahli gizi, angka rata-rata hampir nol.
Tabel 15 Jumlah Sarana Kesehatan di Provinsi Aceh Tahun 2001-2007 Pusling No
Tahun
Puskesmas
Pustu
Polindes Mobil
Perahu Motor
1
2001
224
803
203
10
2
2002
233
691
193
2
3
2003
240
779
-
237
1
4
2004
259
830
-
244
1
5
2005
272
798
-
253
2
6
2006
278
825
-
286
7
7 2007 Sumber: BPS (2008)
284
896
2,230
342
11
Belanja pemerintah yang besar dalam sektor kesehatan juga menghasilkan jumlah sarana kesehatan yang terus meningkat di Provinsi Aceh. Jika pada Tahun 2003, Aceh hanya memiliki 240 puskemas, maka pada 2007 jumlahnya telah mencapai 278 unit puskesmas. Jumlah Pustu (puskesmas pembantu) juga terus meningkat hingga mencapai 896 unit, atau meningkat sekitar 15 persen dibandingkan pada tahun 2003. Polindes juga menunjukkan jumlah yang signifikan, mencapai 2.230 unit pada tahun 2007. Hal ini mengindikasikan bahwa polindes telah menjangkau hampir sepertiga desa/gampong di Aceh yang berjumpah 6.424 desa/gampong. Wilayah-wilayah yang tidak terjangkau, masih bisa terlayani dengan puskesmas keliling baik itu mobil maupun perahu motor yang berjumlah 342 unit (mobil) dan 11 unit (perahu motor) (lihat Tabel 15).
Namun, masih ada isu tentang kualitas pelayanan yang masih belum memadai akibat lemahnya penyediaan infrastruktur dan penyediaan layanan kesehatan yang tidak cukup. Pemberian layanan kesehatan menurun akibat ketidakhadiran petugas kesehatan yang tinggi. Penelitian yang dilakukan Bank Dunia (2007) menunjukkan bahwa tenaga kerja kesehatan Indonesia memiliki tingkat absensi sebanyak 40 persen dari waktu pelayanan kesehatan, kualitas kesehatan yang rendah, ketidaktersediaan air bersih dan rendahnya standar hidup.
Tabel 16 Tingkat Kematian Bayi dan Cakupan Imunisasi BCG di 10 Kabupaten/Kota di Aceh Tahun 2007 No
Kab/Kota
Tingkat Kematian Bayi %
Cakupan Imunisasi BCG %
1
Prov ACEH (rata-rata)
0,62
89,10
2
ACEH SELATAN
0,58
69,26
3
ACEH TENGGARA
1,43
92,96
4
ACEH TENGAH ACEH BARAT
1,63 0,45
97,49 83,97
5 6
SABANG
1,59
96,50
7
ACEH TIMUR
0,16
78,14
8
ACEH UTARA
0,25
95,15
9
PIDIE
0,76
89,80
10
ACEH BESAR
0,74
97,97
11 BANDA ACEH Sumber: BPS (2008)
0,14
94,15
Akibat dari rendahnya pelayanan, maka indikator kesehatan terpilih pada 2007 masih belum tercapai. Tingkat kematian bayi di Aceh masih relatif tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata nasional. Demikian juga dengan cakupan imunisasi BCG. Di beberapa daerah masih sangat rendah. Di Aceh Selatan bahkan hanya mencapai 69,26 persen dari jumlah bayi yang harus mendapatkan imunisasi BCG.
Jika melihat indikator kesehatan dari tingkat kematian bayi dan harapan hidup di Aceh dibandingkan dengan angka rata-rata nasional, Aceh juga masih lebih rendah, antara tahun 200-2005. Pada 2005, angka kematian bayi di Aceh mencapai 39 per seribu kelahiran, sementara rata-rata nasional sudah mencapai 32 per seribu kelahiran. Tingkat harapan hidup masyarakat Aceh juga lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Jika pada tahun 2000 angka harapan hidup rata-rata nasional mencapai 68,1 tahun, di Aceh masih 68 tahun. Dan meskipun pada 2005 meningkat, namun masih lebih rendah dibandingkan angka rata-rata nasional: Aceh 68,3 tahun, sedangkan nasional 68,5 tahun, sebagaimana terlihat dalam Tabel 17. Tabel 17 Perbandingan Tingkat Harapan Hidup dan Kematian Bayi Aceh dan Nasional Tahun 2000 dan 2005 Harapan Hidup (thn)
Aceh
Tingkat Kematian Bayi
2000
2005
2000
2005
68
68,3
40
39
68,5
41
32
68,1 Nasional Sumber: BPS (2008)
Kesehatan masyarakat menjadi faktor penting bagi peningkatan kesejahteraan. Karena itu, terus meningkatnya belanja pemerintah pada sektor kesehatan adalah hal yang positif. Yang selanjutnya perlu diperhatikan adalah pembelanjaan yang tepat sasaran dan pengelolaan pelayanan kesehatan. Penempatan tenaga kesehatan di wilayah perdesaan menjadi hal penting yang harus dilaksanakan untuk mengurangi jumlah kesenjangan antara jumlah penduduk dan tenaga kesehatan. Selain itu, peningkatan kemampuan tenaga kesehatan juga layak diperhatikan.
3.4. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh sejak tahun 1999 selalu mengalami peningkatan, meskipun secara relatif IPM di Aceh masih lebih rendah dibanding Indeks Pembangunan Manusia untuk seluruh Indonesia. Pada tahun 1999, IPM Aceh sebesar 65,30. Angka ini lebih tinggi dibanding IPM Indonesia yang hanya mencapai 64,30. Pada tahun 2002, IPM Aceh mencapai angkat 66,00 dan IPM Indonesia berada pada angka 65,80. Pada tahun 2005 IPM Aceh sebesar 69,00 dan IPM Indonesia sebesar 69.00. Pada tahun 2006, IPM Aceh sebesar 69,40 lebih rendah jika dibandingkan dengan IPM Indonesia yang mencapai 70,10
Gambar 5 Perkembangan IPM Aceh dan Indonesia, 1990-2006
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Secara umum, angka IPM ini menunjukkan kualitas sumberdaya manusia di Aceh, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kualitas sumberdaya manusia secara ratarata Indonesia. Hal ini berarti dalam sektor kesehatan, kondisi kesehatan penduduk Aceh masih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi kesehatan rata-rata nasional, meskipun berdasarkan Gambar 4.1 tersebut sebelum tahun 1999, kualitas sumberdaya manusia di Aceh lebih tinggi dibanding kualitas data secara rata-rata nasional.
Ooo000ooO Bab IV Kesimpulan dan Saran
Perencanaan
pembangunan
telah
diamanatkan
agar
bisa
terarah
dan
berkesinambungan sesuai dengan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, sebagaimana filosofi penyusunan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang, 20 tahun), RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah, lima tahun), RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah, tahunan), Renstra SKPD (Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, lima tahun), dan Renja SKPD (Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, tahunan). Karena itu, konsistensi dalam perencanaan pembangunan penting untuk dilakukan demi menjamin realisasi program pembangunan pemerintah. Belanja publik harus diarahkan tepat sasaran dengan pengawasan yang ketat guna menjamin pencapaian indikator keberhasilannya. Dalam sektor pendidikan, pengeluaran harus diarahkan tidak hanya memprioritaskan pembangunan fisik, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar dan meningkatkan partisipasi sekolah sehingga kualitas pendidikan terus meningkat. Sedangkan belanja di sektor kesehatan diarahkan tidak hanya untuk meningkatkan jumlah sarana kesehatan dan menurunkan rasio tenaga kesehatan, tetapi juga diprioritaskan untuk menjamin penurunan tingkat absensi tenaga kesehatan dalam melayani masyarakat. Meningkatnya pendapatan pemerintah di Aceh, baik provinsi maupun kabupaten, harus diikuti dengan semakin tingginya kemampuan aparatur dalam manajemen pemerintahan
untuk
mewujudkan
tata
kelola
pemerintahan
yang
baik
(good
governance). Karena itu, perbaikan kualitas aparatur adalah hal yang mendesak untuk
dilakukan. Perbaikan aparatur juga berarti membenahi penempatan pegawai guna menjamin konsep right person on the right place. Untuk menjamin program pemerintah benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan.
Ooo000ooO