Essay Pengantar Pameran Tunggal Wayan Karja “Journey to The Unknown”, tgl. 5 Maret 2015 CSIS Jakarta, Info di Http://guratinstitute.weebly.com/arts-reviu/wayan-karjajourney-to-the-unknown
Wayan Karja: “Journey to the Unknown” Oleh: Wayan Seriyoga Partai Wayan Karja adalah seniman yang memiliki posisi unik dalam perkembangan seni rupa modern Bali yang tumbuh dari generasi akademis. Awal perkembangan generasi akademis ini dapat dilihat dalam sosok dan karya-karya almarhum I Nyoman Tusan yang menempuh pendidikan seni rupa di ITB Bandung 1954-1960. Masih dalam garis generasi yang sama ada Wayan Kaye dan Ni Made Kajeng yang mengenyam pendidikan di ASRI (ISI) Yogyakarta. Disusul kemudian dengan hadir lebih banyak lagi seniman Bali yang mengenyam pendidikan seni rupa di (ISI) Yogyakarta, diantaranya adalah; I Nyoman Gunarsa, Pande Gede Supada, I Wayan Sika, I Made Wianta, Made Budiana, I Nyoman Erawan hingga Putu Sutawijaya dan generasi selanjutnya.ii Kemudian generasi berikutnya dari ITB Bandung lahir seniman patung asal Tabanan I Nyoman Nuarta Mereka tumbuh dari dunia akademis, dan mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah seni rupa modern dari Barat. Mempelajari dasar-dasar formal seni rupa dan wawasan seni Barat. Arus generasi akademik membawa perubahan dalam cara ungkap karya-karya seniman Bali. Abstraksi I Nyoman Tusan tumbuh dari formalisme Bandung asuhan Ries Mulder. Sementara generasi dari (ISI) Yogyakarta tumbuh dari atmosfer seni rupa berbasis spirit nasionalisme, yang cenderung menampilkan pencarian pada konteks tradisi dan ideom-ideom identitas lokal (Bali). Wayan Karja tumbuh dalam pusaran perkembangan ini, perkenalannya dengan seni rupa modern dimulai sejak tahun 1981. Saat memutuskan melanjutkan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) di Denpasar, untuk memperluas pengetahuan tentang wawasan seni rupa, dan mengasah kemampuan teknisnya. Dari para guru seni rupa di sekolah itulah ia yang memiliki dasar seni lukis tradisional dan Young Artists, mulai berkenalan dengan seni rupa modern. Kemudian berlanjut ke Program Studi Seni Rupa dan Desain (PSSRD) Universitas Udayana Denpasar. Pada masa kuliah inilah mulai muncul rasa tertariknya pada karya-karya seniman
1
Essay Pengantar Pameran Tunggal Wayan Karja “Journey to The Unknown”, tgl. 5 Maret 2015 CSIS Jakarta, Info di Http://guratinstitute.weebly.com/arts-reviu/wayan-karjajourney-to-the-unknown
Barat. Berbagai referensi visual gaya seni rupa Barat mulai dicerapnya, terutama impresionisme dan post-impresionisme, ia tertarik dengan karya-karya seniman seperti; Monet, Van Gogh dan Matisse. Keterpengaruhan pada langgam visual Barat itu terlihat dalam karya-karyanya awalnya di tahun 1990-an. Kekaguman yang dimulai dari melihat-lihat melalui reproduksi di buku-buku seni rupa, kemudian gayung bersambut saat ia mendapat kesempatan mengunjungi Eropa khususnya Swis tahun 1994. Mendapat kesempatan melihat secara langsung karya-karya seni rupa modern di museum Swis, membawa pengaruh besar pada proses kreatif dan cara pandangnya memahami seni rupa. Ketika melihat-lihat karya di museum, pandangannya diganggu oleh karya sederhana yang hanya menampilkan hamparan warna-warna minimalis, yaitu karya pelukis dari Amerika Mark Rothko. Karya-karya seniman yang dikenal dalam aliran Suprematisme itu membuatnya bingung, dan sekaligus begitu menginspirasi. Sebagai seorang yang tumbuh dalam balutan tradisi ritual dan seni tradisi, sejak kecil ia sudah mengakrabi aktivitas melukis tradisional dan gaya “Young Artists”. Dalam bimbingan langsung sang ayah yang juga pelukis I Ketut Santra. Wayan Karja yang lahir di Desa Penestanan Kaja Ubud yang dikenal sebagai kampungnya para pelukis “Young Artists”. Sebuah istilah untuk genre seni lukis yang dikembangkan oleh Arie Smith (pelukis asal Belanda) kepada anak-anak muda di daerah Penestanan. Kala melihat fenomena baru yang ditemuinya di Swis, imajinasinya melayang pada memori kultural. Kultur Bali yang lekat dengan ideom-ideom tradisi ritual yang kaya dengan komposisi warna. Impresi itu pun bersambut, karena setahun kemudian ia mendapat kesempatan mengunjungi pameran retrospektif Mark Rothko di Amerika. Pengalaman melihat secara langsung karya-karya seniman Amerika ini, membuat Karja terobsesi untuk mengenal lebih jauh tentang medan seni rupa modern Amerika. Sehingga setelah menyelesaikan kuliah strata satu dan kemudian terangkat menjadi staf pengajar di STSI (ISI) Denpasar, ia mencanangkan sebuah tekad untuk menempuh studi lanjutan (S-2) ke Amerika. Berbalut usaha yang gigih, tekad kuatnya pun berbuah keberhasilan, aplikasi studi pasca sarjananya akhirnya diterima di Amerika. Tahun 1997-1999 Wayan Karja pun melanjutkan studinya di Amerika. Namun setibanya di sana, bukan hanya Rothko yang menginspirasinya tetapi juga sosok seniman modern lain diantaranya Richard Diebernkorn. Karyanya memberikan gambaran tentang proses transformasi menuju abstraksi, terutama pada masa studinya di University of South Florida. Pengalaman mempelajari secara langsung seni rupa modern di pusat perkembangannya yaitu Amerika, membuatnya semakin memantapkan tekad untuk menekuni seni lukis abstrak lengkap dengan referensi visual dan teorinya. Belajar berbagai teori seni rupa modern, terutama teori-teori estetika Karja pun menyadari adanya dialektika di dalam lingkup keilmuan tersebut. Dan membawa implikasi signifikan terhadap metode penciptaan yang tengah dilakoninya. Teori estetika dalam perkembangannya terbagi menjadi dua arus besar, yang lebih memfokuskan pada kajian bentuk (form) dan pada isi (content).
2
Essay Pengantar Pameran Tunggal Wayan Karja “Journey to The Unknown”, tgl. 5 Maret 2015 CSIS Jakarta, Info di Http://guratinstitute.weebly.com/arts-reviu/wayan-karjajourney-to-the-unknown
Kajian estetika tentang bentuk terangkum dalam estetika formalisme telah melahirkan mazab pemikiran, diantaranya Clive Bell dan Roger Fry adalah dua pemikir penting pada aliran ini. “Mereka meyakini bahwa apa yang secara estetis penting bukanlah isi dari suatu karya seni rupa karena dua karya seni dengan isi yang sama dapat secara estetis berbeda”. iii Karya dengan kandungan isi yang sama misalnya tentang kemiskinan bisa terdapat dalam dua karya atau bahkan lebih, tapi pasti akan berbeda dalam representasi. Clive Bell mengembangkan teori “Significant Form” (bentuk bermakna). Menurut Bell cara seniman menghadirkan suatu ekspresi perasaan dalam lukisan, adalah dengan mengorganisasi atau mengkomposisi elemen-elemen formal. Melalui garis dan relasinya dengan warna (“relations and combinations of lines and colours.”) dan bentuk serta relasinya dengan bentuk-bentuk lainnya (“forms and relations of forms,”).iv Relasi dan kombinasi elemen formal secara estetis menggerakkan bentuk-bentuk secara signifikan. Kaum formalis tidak menampikkan kandungan isi dalam karya seni rupa, seperti dijelaskan Bell kandungan isi dalam sebuah karya haruslah dimaknai melalui cara representasinya. Sementara teori estetika yang memfokuskan pada isi (content) juga mengalami perkembangan yang dialektik, perdebatan antara bentuk dan isi kemudian bergerak menjadi berdebatan bentuk, isi dan konteks (context). Pergeseran ini menyiratkan kandungan dalam karya seni tidak hanya berpusat pada bentuk dan isi saja. Kandungan isi di dalam karya seni rupa tentunya dipresentasikan dengan rangkaian obyek-obyek yang diambil dari kontekskonteks yang melatar belakanginya. Terdapat pertanyaan berantai mengenai obyek yang representasikan; obyek apakah itu? Dari mana asalnya? Dari etnik apa? Kebudayaan apa? Apa yang menyebabkannya bisa seperti itu? dan berbagai rentetan pertanyaan lainnya. Kandungan isi dalam sebuah karya tidak dapat dilepas dari konteks-konteks yang melingkupi obyek karya tersebut. Dalam subject matter yang paling personal dan non representasional sekalipun tetap ada konteks kondisi psikologis yang melatar belakangi sang seniman dalam berkarya. Wayan Karja pun menyadari dialektika teori di seputar seni rupa modern, memberi ruang pada eksplorasi yang tengah dijalaninya. Ruang yang memberi peluang baginya untuk memperjuangkan sebuah tesis penciptaan yang berbasis pada estetika-formalis dan berdimensi konteks-etnografi. Berkaitan dengan hal itu, pergulatan kreativitasnya di kampus juga berhubungan dengan seniman dari berbagai Negara dengan berbagai etnisitas. Ia menyadari, larut dalam fenomena estetika formalistik dapat membawanya pada kreativitas yang hanya bergulat pada nilai permukaan tanpa penghayatan personal. Maka dari itu ia semakin memantapkan diri memperjuangkan makna yang berdimensi konteks, pada eksplorasi karya yang secara kasat sangat formalistik. Makna tersebut digali dari latar belakang etnisitasnya, yaitu nilai-nilai filosofi Hindu Bali yang tersirat dalam rangkaian ritual yang sarat komposisi visual. Terutama nilai-nilai simbolisasi warna yang berdimensi filosofi kosmologi Hindu yaitu “Pengider Bhuwana”. Rangkaian komposisi warna yang menempati sembilan penjuru mata angin yang disimbolkan dengan Mandala. Makna
3
Essay Pengantar Pameran Tunggal Wayan Karja “Journey to The Unknown”, tgl. 5 Maret 2015 CSIS Jakarta, Info di Http://guratinstitute.weebly.com/arts-reviu/wayan-karjajourney-to-the-unknown
yang berdimensi konteks etnografis inilah yang ia perjuangkan menjadi tesis masternya pada kampus tempat studinya di Amerika. Simbolisasi warna dalam Mandala bagi Karja merupakan ruang penghubung antara kesadaran mikro dan makro kosmos. Rangkaian warna Mandala dalam penghayatan spiritual, bukan hanya sebagai gugusan warna simbolik di penjuru arah mata angin. Sebagai contoh warna merah tidak hanya melambangkan gairah atau kehangatan, sebagaimana halnya sensasi warna yang dipahami secara umum. Dalam filosofi Mandala, pemaknaan terhadap warna melampaui sensasi-sensasi, menuju pada tahap penyerapan energi-energi. Warna tidak hanya menciptakan sensasi, tetapi juga menghadirkan energi. Warna pada Mandala masing-masing memiliki dimensi mikrokosmos, yaitu keterkaitan dengan bagian tubuh. Misalnya, paru-paru seseorang beresonansi dengan warna merah muda dan hati seseorang dengan warna putih. Oleh karena itu warna memberikan efek tertentu pada tubuh, dalam penghayatan kosmologi Hindu bahkan diyakini memiliki dampak pada penyembuhan dan pemeliharaan kesehatan jaringan tubuh. Tahun 1999 Ia kembali ke Bali dan menjalani aktivitasnya sebagai seniman dan pengajar di STSI (ISI) Denpasar. Sebagai seorang seniman yang pernah mencerap iklim akademik di Barat (Amerika), dan memahami konsetalasi dan konsepsi perkembangan seni rupa modern dan kontemporer. Karja semakin menyadari kekuatan kontekstual dari penghayatan personalnya, membuatnya semakin khusuk. Ia menyakini, kandungan nilai filosofi Hindu sebagaimana halnya yang dijalaninya dan masyarakat Bali, memiliki kandungan nilai-nilai spiritual yang sejatinya berdimensi universal. Filosofi Hindu Bali seperti Rwa Bhineda, tak lain adalah pengejawantahan hukum universal sebab akibat dalam lingkaran kosmos. Perkembangan ide dan pemikiran manusialah yang membuat terjadinya perberbedaan. Dalam sejarah pemikiran di Barat, terjadi pertentangan secara bipolar, hingga menghasilkan pemisahan yang tajam. Sebagaimana halnya pemisahan tubuh dan jiwa oleh para filsuf sejak Plato, berujung pada pengagungan nalar-rasionalitas atas irasionalitas oleh filsuf Decartes. Sedangkan perkembangan dunia ide di Timur justru sebaliknya, dua unsur paradoksal itu tidak dinegasi alih-alih justru hayati sebagai sirkulasi dari derap lingkaran kosmis. Hal ini tercermin dalam ajaran Budhisme, Zen, dan Hinduisme. Berdasarkan pemahaman tersebut, Karja meyakini bahwa nilai-nilai universal itu dapat dituangkan dalam penghayatan personal melalui eksplorasi seni rupa. Yaitu melalui pengolahan elemen-elemen seperti garis, bidang, warna bahkan tekstur. Penghayatan yang lahir dari kekhusukan dan keyakinan niscaya akan melahirkan “rasa-rupa”. Rasa yang memiliki kandungan nilai personal dan bahkan konteks (latar belakang kultural). Keyakinan inilah yang menjadikannya begitu khusyuk pada eksplorasi yang tiada batas pada ekspresi formalistik (abstraksi) atau non representasional. Bahkan ketika terjadi arus perkembangan yang mengarah kepada tren representasional pada awal dekade millennium 4
Essay Pengantar Pameran Tunggal Wayan Karja “Journey to The Unknown”, tgl. 5 Maret 2015 CSIS Jakarta, Info di Http://guratinstitute.weebly.com/arts-reviu/wayan-karjajourney-to-the-unknown
kedua ini. Karja tetap tak bergeming dalam kekhusyukkannya, ia menyadari proses kreasi yang tengah dijalaninya berada pada jalur yang sunyi. Sebuah perjalanan yang dia sendiri tidak pernah mengetahui akan bermuara kemana dan seperti apa nantinya (journey to the unknown). Berkarya baginya juga sebuah terapi, aktivitas melukis dapat menjadi sarana penyembuhan (heeling). Hal ini disadari setelah ia mengalami musibah yaitu ketika anak sulungnya menderita sakit kritis, yang mengharuskannya hingga berobat ke Amerika pada tahun 2004. Selama enam bulan ia menemani anaknya yang tengah menjalani perawatan di rumah sakit, tak ada hal yang dapat dilakukannya selain menunggu dan berdoa. Namun sembari menunggu proses dan segala bentuk prosedur pengobatan untuk anaknya, dalam kondisi jiwa dan pikiran yang tak karuan. Mengisi kekosongan aktivitas kala itu, Ia pun mengambil kertas dan alat lukis yang mudah diakses yaitu pensil, bolpoint dan pensil warna serta pastel. Dalam pikiran yang tak menentu tangannya dibiarkan bergerak sendiri menguratkan rangkaian garis yang silang sengkarut, semakin intens aktivitas ini dilakukan perlahan ada ketenangan yang dirasakan. Kekalutan, ketakutan dan berbagai perasaan dan pikiran negatif perlahan luruh. Jiwanya menjadi lebih tenang dan dapat berpikir lebih jernih. Dari aktivitas yang tak disengaja itulah, ia kemudian menyadari proses kreasi yang selama ini dijalaninya dengan memanfaatkan unsur rupa elementer, ternyata dapat mengarah pada sebentuk terapi jiwa. Karena itulah ia kemudian meyakini aktivitas berkarya juga merupakan sebentuk upaya “pemurnian jiwa”. Ia bahkan membayangkan aktivitas umat Hindu Bali yang begitu khusyuk membuat rangkaian upakara dan dilakukan secara berulang-ulang (repetitif), sejatinya adalah sebentuk penghayatan spiritual murni. Rangkaian upakara hanyalah sarana, kuncinya adalah pada penghayatan personal. Pengalaman demi pengalaman yang laluinya dalam kehidupan pribadi sebagai seniman, sebagai orang tua dan kepala keluarga dan anggota masyarakat yang terikat adat, semuanya saling berkaitan. Terus-menerus terelaborasi dalam gerak laku kreativitasnya. Sehingga melahirkan eksplorasi yang bersifat evolutif, seiring dengan kesadaran dan penghayatannya atas gerak ritme menjalani kehidupan. Perkembangan karya-karyanya terakhir merupakan akumulasi dari penghayatan tersebut. Di dalamnya ia menggabungkan elemen repetitif yang berdimensi terapiutik-spiritual, elemen-elemen organis yang terlahir dari merasakan alam, dan elemen-elemen yang bersifat intuitif lahir dari menjelajahan imajinasi tanpa batas. Karya-karya terbarunya dalam pameran yang bertajuk “Journey to the Unknown” ini, dapat diklasifikasikan menjadi dua kecenderungan besar yaitu tema yang berhubungan dengan penghayatan diri terhadap alam (nature) dan penghayatan pada derap kosmos (cosmic energy).
5
Essay Pengantar Pameran Tunggal Wayan Karja “Journey to The Unknown”, tgl. 5 Maret 2015 CSIS Jakarta, Info di Http://guratinstitute.weebly.com/arts-reviu/wayan-karjajourney-to-the-unknown
Kepekaan Karja dalam menghayati nilai-nilai filosofi Hindu, yang diejawantahkan dalam ekspresi modern adalah buah dari perjalanan hidupnya terutama ketika berada di luar negeri. Membawa nilai-nilai lokal ke luar menyebabkan ia dapat lebih dalam menyelami dan menghayati makna-makna filosofis. Dari luar, Ia bisa merasakan nilai-nilai filosofis lebih jernih, perlahan-lahan lapis demi lapis dimensi yang menyelimuti nilai lebih inti dapat diselami dan dirasakan. Rangkaian perjalanan panjang olah rasa melalui rupa yang telah dilakoni, membawanya pada kesadaran bahwa berproses dalam balutan kreativitas adalah juga perihal merasakan nilai-nilai kehidupan. Hal itu tertuang dalam konsep penciptaan yang terdiri atas tiga aspek yaitu; 1. “to be free”, 2. “to play”, 3. to pure expression. Yaitu bagaimana membebaskan diri, agar dapat lebih leluasa memainkan elemen-elemen dan material rupa, sehingga melahirkan kemurnian ekspresi. Pada tataran ini menurut Karja, segala bentuk konsep, pemikiran, teoritik sudah luluh dalam gerak eksplorasi kreativitasnya.v Penghayatan itu merupakan cerminan usahanya dalam memahami hubungan diri dengan alam lingkungan, hubungan diri dengan kosmos. Penghayatan personal nan subjektif yang terpendam dalam karya-karyanya, yang coba didedahkan melalui olah rupa; komposisi warna yang menghampar, lelehan warna yang bercampur air, susunan warna-warna yang berlapis-lapis, barik-barik tekstur yang mengundang imaji. Goresan dan tarikan garis horizon dan vertikal menggugah imaji ruang. Karya-karya itu menjadi cerminan sebuah derap kesadaran subjektif, bahwa “aku memiliki korelasi dengan alam, dengan energi-energi dan menyadari diri sebagai bagian dari sebuah rangkaian kosmik”.vi
Sanggulan Tabanan, Februari 2015
Naskah ini merupakan pengantar untuk Pameran Tunggal Wayan Karja, bertajuk “Journey to the Unknown” di Selenggarakan oleh CSIS Jakarta, Maret 2015 i
Penulis adalah Staf Pengajar di UNG Gorontalo, bersama beberapa peneliti muda kini tengah menggiatkan sebuah lembaga independen yang bergerak dalam Pengkajian dan Pengembangan Budaya Rupa (Visual Studies) di Bali, infonya dapat dilihat di http://guratinstitute .weebly.com. ii
Wayan Seriyoga Parta, 2012, Jagad Nyoman Erawan dan Seni Rupa, dalam Salvation of The Soul, Penerbit Arti Denpasar Marcia Muelder Eaton, 2010, Persoalan-Persoalan Dasar Estetika, Penerbit Salemba Humanika Jakarta (penerjemah: Embun Kenyowati Ekosiwi) p. 101 iv Davies, etc,2009, A Companion to Aesthetics, Wiley-Blackwell UK, p.172 v Wawancara dengan Wayan Karja di Studionya di Desa Penestanan, ditranskrip oleh Made Susanta Dwitanaya vi Wayan Seriyoga Parta, 2014, Kosmologi Ketut Budiana, Pengantar Pameran Tunggal “Cosmos” Ketut Budiana di tiga Bentara Budaya, Bali, Jakarta dan Yogyakarta, p.34 iii
6