•
,
. 469
•
WALl TIDAK MERUPAKAN SYARATUNTUK SAHNYA PERKAWINAN DITINJAU DARI SEGI . HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974?
•
, •
,
•
•
.•,
•
Oleh: Mohd. Idris Ramulyo, S.H. _ _ _ _ __ •
Pendahuluan Apakah wali merupakan syarat untuk sahnya nikah? Pertanyaan ini sudah lama menjadi bahan perdebatan di antara para faqih (ahli ilmu fiqh), sejak lahirnya madzhab Syafii yang didirikan oleh Iman Abu Hanifah. Perdebatan karena perbedaan pendapat itu bukanlah perselisihan ptmdapat. Oleh karena itusetahu penulis belun, pernah ada baik diskusi, seminar maupun lokakarya atau simposium tentang: "Apakah wali merupakan sahnya suatu perkawinan atau tidak", Hal itu bisa terjadi karena di Indonesia pada umumnya Umat Islam menganut paham madzhab Syafii yang . menganggap wali adalah salah satu syarat untuk sahnya nikah.
•
••
Dalam tulisan ini penulis mencoba mengungkapkan secara deskriptip perbedaan antara dua pendapat dari sekian banyak pendapat di Indonesia tentang masalah wali nikah, yaitu pendapat madzhab Syafii di satu piha:;: dan . madzhab Hanafi. Maliki dan . Hambali di pihak lain,
Fungsi Wall Nikah Dalam Perka• wman •
Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk syahnya perkawinan (Nikah) menurut Hukum Islam .
Wali Nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut Syafii tidak syah Nikah tanpa adanya wali bagi pihak penganten perempuan; sedangkan bagi calon pengantin lakilaki tidak diperlukan wali Nikah untuk syahnya Nikah tersebut. Menurut madzhab Hanafi yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah, wali itu sunnah saja hukumnya. Di samping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa wali Nikah itu sebenarnya tidak perlu apabila yang lmengucapkan ikrar ijab · dalam proses aqad Nikah ialah pihak laki-Iaki. Tetapi kenapa dalam praktek selalu pihak wan ita yang ditugaskan mengucapkan ijab (penawaran), sedang menganten lakiclaki yang diperintahkan mengucapkan ikrar qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu (i,tinJ awa), maka pengucapan .ij.ab itu perlu diwakilkan kepada walfnya, Gadi walimya), jadi wali itu sebenarnya wakil dari penganten perempuan biasanya diwakili oleh ayahnya, bilamana tidlik ada ayah, dapatdigantikan oleh kakek'nya (ayah dari a,y ah). Wali Nikah yang demikian itu disebut Wali Nikah yang Memaksa' maksudnya di sini ialah lah (ayah) yang berhak menjadi Wali Nikah untuk menikahkan anak perempuannya. Bila tidak ada ayah (Bapak) mungkin karena meninggal atau ghaib (hilang tak tentu hutan rim banya) , •
•
•
Hukum dan Pembangunan
470
maka ayah -dari ayahlah (Kakek) yang berhak tampil menjadi Wali Nikah dari cucu perempuannya. Apabila tidak ada Bapak atau Kakek maka dapat diwakilkan lagi kepada saudara laki-Iaki kandung dari pengantin perempuan (Saudara laki-Iaki) yang menjadi Wali itu harus sudah aqil baliq (dewasa dan berakal), laki-Iaki beragama Islam dan • adil. Bila tidak ada Saudara laki-laki, maka dapat pula diwakilkan kepada Saudara laki-laki dari Bapak (Paman), dari si wanita yang akan menikah itu, wali sesudah Bapak' dan Kakek itu disebut w'ali Nasab biasa (tidak memaksa). Kadangkala keempat jenis laki-laki yang berhak menjadi Wali Nikah perempuan tersebut di atas tadi tidak ada, mungkin sudah meninggal atau ghaib, atau mungkin juga ada tetapi tidak memenuhi syarat-syarat Wali Nikah, misalnya karena belum dewasa, maka dapat ditunjuk sebagai wali Saudara laki-laki ibu yang menguasai hukum-hukum munakahat (hukum-hukum Nikah) wali demikian disebut WaIi Hakim. Dapat juga diangkat sebagai wali Nikah terse but orang lain yang terpandang, disegani luas ilmu fiqhnya terutama ten tang munakahat (hukumhukum Nikah), berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki, dise but waH muhakam. Apabila tidak ada sarna sekali wali yang disebutkan di atas, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 , dapat bertindak sebagai wali atas permintaan pihak mempelai perempuan ialah WaH Hakim, yaitu Pejabat Pencatat Nikah/Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi perempuan itu bertempat tinggal. J adi wali Hakim ialah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah Khusus untuk mencatat . pendaftaran nikah dan menjadi WaH Nikah bagi wanita yang tidak
mempunyai atau wanita yang akan menikah itu berselisih paham dengan walinya.
Menurut Madzhab Syafii , Imam Idris as Syafii beserta para penganutnya bertitik tolak dari Hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Tarmidzi berasal dari Siti Aisyah (isteri Rasulullah) berbunyi seperti di bawah ini : Barang siapa di an tara perempuan yang nikah dengan tidak seizin walinya, nikah· nya itu batal. 1)
•
Dalam hadits Rasulullah terse but • terlihat bahwa seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti tanpa waH, nikah itu batal menurut Hukum Islam atau Nikahnya tidak syah. Dari Hadits Rasulullah yang lain Rawahul Imam Ahmad, dikatakan oleh Rasulullah, bahwa: Tidak syah Nikah melainkan dengan wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil. z:, -
Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya (Rawahul Daruquthny) diriwayatkan lagi oleh Ibnu Majah. 3)
-
Tiap·tiap wan ita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, batal, batal, (tiga kali kata-kata batal itu diucapkan oleh Rasulullah untuk menguatkan kebatalan Nikah tanpa izin wali ' pihak perempuan (berasal dari isteri Rasulullah; Siti Aisyah).4) Apabila mereka berselisih paham tentang wali, maka Wali Nikah bagi wanita itu adalah "Sulthan" atau Wali
-
1)
Rasyid H. Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta Atthaniriyah 1955, hal. 362.
z:,
Ibid., hal. 368
3)
Ibid., hal. 363.
4)
Ibid., hal. 363
471
. Wali/syarat perkawinan Hak;m, begitupun apabi/a bagi wan ita itu tidak ada wali sama sekali, (Rawahul Abu Daud, Al Termidzi Ibnu Majah dan Imam Ahmad). )
Apabila wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita yang tidak pakai waIi itu, wajib dibayarkan kepadanya mahar mitsil dengan mahar itu dianggap halal melakukan hubungan seksual dengannya . Tidaklah wan ita menikahkan wanita dan tidaklah wan ita menikahkan dirinya sendiri, bahwa wanita yang menikahkan dirinya sendiri adalah wanita pezina, Hadits Rasul dari Abu Hurairah Rawahul Iimu Majah Al Daruquth dan Al Baihagi. 6) .
Di sam ping alasan-alasan berdasarkanHadit3 Rasul terse but di atas oleh Imam Syafii dikemukakan pula alasan menurut Al Qur'an antara lain: Q.xXIV (AI Nuur) ayat : 32. Dan Nikahkanlah orang-orang yang sendirian di an tara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang laki-Iaki dan hamba sahayamu yang perempuan. 7)
1
II. Q.II (AI Baqarah)ayat : 221. Dan janganlah kami Nikahkan wanitawanita musyrik dengan wanita-wanita . mukmin, sebelum mereka beriman. a:>
Kedua ayat Qur'an terse but ditujukan kepada wali, mereka diminta menikahkan orang-orang yang tidak bersuami dan orang-orang yang tidak beristeri , di satu pihak dan melarang wali itu menikahkan laki-Iaki muslim dengan wanita non muslim, sebaliknya wanita muslim dilarang dinikahkan denganla...tki-laki non muslim sebelum mereka beriman. Andaikata wanita itu berhak )
Ibid., hal. 368
6)
Hosen Ibrahim, K.H. Fiqh Perbandingan Islam Masalah Talaq , Jakarta, Ihya U/umuddin, 1977 hal. 102.
')
Ibid., hal. 549.
a:>
Ibid., hal. 53.
secara langsung menikahkan dirinya dengan seorang laki-Iaki, tanpa wall maka tidak ada artinya Khittah ayat terse but ditujukan kepada wali, semestinya ditujukan kepada wanita itu, karena urusan Nikah (Perkawinan) itu adalah urusan wali, maka perintah dan larangan untuk menikahkan wanita itu ditujukan kepada wali, seperti halnya juga wanita menikahkan wanita atau wanita menikahkan dirinya sendiri Haram hukumnya (dilarang).
Menurut Madzhab Hanafi Menurut Hanafi Nikah (Perkawinan) itu tidak merupakan syarat harus pakai wali. Hanafi dan beberapa penganutnya mengatakan bahwa akibat Ijab (penawaran), aqad Nikah yang diucapkan oleh wanita yang dewasa dan berakal (aqil baliq) adalah syah secara mutlak, demikian juga menurut Abu Jusub, Imam Malik dan riawayat Ibnu 9 Qasim. ) Beliau itu mengemukakan pendapatnya berdasarkan analisa dari Qur'an dan Hadits Rasul sebagai berikut di bawah ini.
Menurut Al Qur'an 1. Q.II (AI Baqarah) ayat : 230 Apabila suami mentalaq isterinya (isteri-isteri) sesudah talaq yang kedua , maka perempuan itu tidak halai lagi baginya, sehingga dia (perempuan) itu menikahi calon suami mereka yang baru . 2. Q.II (Ai Baqarah) ayat : 232 Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya janganiah kami (para wali) , menghalangi mereka 10 nikah lagi dengan calon suaminya. )
~ 10\
)
Ibid., hal. 102. Departemen Agama, Al Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta Bumi Restu 1974, hal. 55. September .1984
.
472
•
Hukum dan Pembangunan
Oleh Hanafi ditinjau asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya Q.II : 230 dan Q.II : 232) , mengemukakan contoh dari kasus Ma 'qil bin Yasar, yang menikahkan Saudara perempuannya ke- ' pada seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian laki-laki itu menceraikan perempuan tersebut. Setelah habis tenggang waktu menunggu (tenggang waktu iddah), maka kedua bekas suami-isteri itu ingin kembali lagi bersatu sebagai suami-isteri dengan jalan menikah lagi, tetapi Ma'qil bin Yasar tidak memperkenankan kembali menjadi suami daTi Saudara • perempuannya laki-Iaki muslim itu. Setelah disampaikan orang berita ini kepada Rasulullah, maka turunlah Qur'an surah II ayat 232, yang mengatur dan melarang wali menghalangi mereka menikah lagi dengan bekas suaminya tadi (Rawahul Al Bukhari, Abu Daud , dan Termidzi).1 1) . Al Qur'an surat II ayat 232 demikian juga Qur'an II : 230 terdapat kata-kata Yankihna dan kata kerja tankhiha yang terjemahannya menikah ' di sini pelakunya adalah wanita bekas isteri itu tadi. Pekerjaan mana dalam isnad haqiqi (riwayat) semestinya dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya, tegasnya tidak dikerjakan orang lain sebagaimana halnya pada isnad majazi (kiasan). Demikian juga dilihat dalam Q.II: 234 , terdapat kata kerja "fa 'alna" yang artinya mengerjakan atau perbuatan pelakunya (failnya) adalah wanita-wanita yang kematian suami. 3. Quran II : 234 Bahwa aqad nikah yangdilakukan oleh wan ita dan segala sesuatu yang dikerjakannya tanpa menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah syah. Shaleh, K.H. Qamaruddin dkk., Asbabun Nuzuul, Jakarta, Diponegoro, tanpa tahun hal. 78.
Jadi wanita mempunyai hak penuh terhadap urusan dirinya termasuk menikah tanpa bantuan wali. 4. Hadits Rasul Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daTi pada walinya, dan anak gadis diminta izinnya mengenai dirinya, sedangkan izinnya adalah diamnya (Rawahul-J ama'ah Ahli Hadits , kecuali Bukhori. Diriwayatkan juga oleh Abu Daud dan Al Nasai). S. Hadits Rasul Dari Ummu Salamah, meriwayatkan bahwa tatkala Rasulullah s.a.w. memi• • nang¥:nya untuk dinikahi dia berkata kepada Rasulullah. Tiada seorangpun hal Rasulullah di an tara wali-waliku yang hadir , maka bersa bda Rasulullah: Tidak seorangpun walimu baik yang hadir, maupun yang tidak hadir (ghaib) , menolak perkawinan kita. Berdasarkan Al Qur'an dan Hadits Rasul tersebut, menurut Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wan ita mengenai urusan dirinya dengan meniadakan campur tangan orang lain (wali) dalam urusan pernikahan. . •
Pertim bangan rational lbgis oleh Hanafi tentang tidak wajibnya wali Nikah bagi perempuan yang hendak menikah. Bahwa ijab menurut lazimnya dalam suatu akad Nikah diucapkan oleh wanita, jadi penganten wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki, seda~gkan qabul (penerimaan) ikrar nikah diucapkan oleh penganten laki-Iaki, seperti contoh di bawah ini: -
Ijab dari Penganten Perempuan: Aku nikahkan diriku kepada lakilaki nama A bin B bayar maharnya seribu rupIah kontan.
-
Qabul dari Penganten Laki-laki : Aku terima nikahmu wanita C binti
473
Walijsyarat perkawinan
D dengan maharnya seribu rupiah kontan. Oleh karena wanita fitrahnya adalah sangat pemalu (isin = Jawa), maka dia harus' diwakili oleh orang tuanya yang bertindak sebagai wali (wakil penganten perempuan). Tetapi bila ditinjau secara juridis apa alasan atau dasar hukumnya perempuan yang mengucapkan ijab lakilaki mengucapkan qabul ? Hampir semua firman Allah dalam Qur'an ten tang baik perintah maupun larangan perkawinan (nikah)ditujukan kepada laki-laki bukan kepada wanita, bahkan poliyandri atau wanita yang bersuami dua larangan tetap ditujukan kepada laki-laki. 1. J angan kamu nikahi wanita yang telah bersuami (Q.lV : 24).12)
anggukan saja, seperti sabda Rasulullah diam nya wanita itu adalah izinnya atau persetujuannya. Kesimpulan menurut madzhab Hanafi bahwa wali Nikah itu tidak merupakan syarat unyuk ayahnya nikah, tetapi baik itu laki-laki maupun wanita yang hendak menikah sebaiknya mendapat restu atau izin orang tua.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut Undang-undang NomOI 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan, aqad nikah dilakukan oleh wali sendiri at au diwakilkan kepada pegawai pencatat nikah atau P.3 N .T .R. atau orang lain yang menuru t Pegawai Pencata t Nikah (P.3 NTR) dianggap memenuhi syarat.
•
Aqad Nikah dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (P.3 NTR), yang mewilayahi tempat tinggal calon isteri dan dihadiri oleh dua orang saksi.
2. Jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak kamu, perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji (Q.IV : 22).13) 3. -
Diharamkan kamu menikahi ibu kamu , Saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara ibumu yang perempuan, Anak-anak perempuan dari Saudara-saudaramu yang perempuan . 14) dst. dst. (Q.IV : 23).
Semua ayat-ayat Al Qur'an terse but lara ngannya selalu ditujukan kepada laki-laki , seyogyanya ijab itu diperintahkan pula kepada laki-laki dan qabul kepada wanita , sehingga wanita yang mengucapkan qabul cukup dengan 12)
Departemen Agama, Al Qur'an dan Terjemahamiy a, Jakarta, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur'an 19 78, hal. 120.
13)
Ibid., hal. 120.
14)
Ibid ., hal. 120.
Apa bila aqad nikah dilaksanakan di luar ketentuan di atas, maka calon penganten atau walinya harus memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tem pat tinggal calon isteri (pasal 23 P.M.A . No .3 Tahun 1975) .15) Dalam pasal 25 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tersebut diatur lagi sebagai berikut: Pada waktu aqad Nikah, calon suami dan Wali Nikah datang sendiri menghadap P.P .N. (P.3 NTR). Apabila calo n suami atau wali Nikah tidak hadir pada waktu aqad Nikah disebabkan keadaan memaksa, maka dapat diwakili oleh orang lain. •
1
~
, Saleh K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta Ghalia Indonesia 1980 hal. 99. September 1984
•
•
474
Hukum dan Pembangunan .
Sekarang tim bul pertanyaan apakah wali menurut Peraturan Menteri Agarna Nomor 3 Tahun 1975 , ini? Kita harus mempelajarinya·, secara sistematis dari pasal t Undang"undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan yang mengatur sebagai berikut: - Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua. (pasal 6 ayat 2). - Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua tdah mehinggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua • yang mampu menyatakan kehendaknya (pasal 6 ayat 3). - Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Sekarang tim bul pertanyaan lagi siapa wali nikah yang diatur oleh pasal 23 dan 25 PMA Nomor 3 Tahun 1975 itu? Apakah orang tua calon mempelai (bapak at au ibu) ataukah orang lain yang memelihara anak yang ~enikah itu karena orang tuanya meninggal dunia atau dalam kea,daan tak mampu menyatakan kehendaknya, tidak diperoleh penjelasan karena penjelasan dari pasal terse but secara resmi mengatakan cukup jelas, pada hal belum jelas. Demikian juga dalam pasal 6 Undang-undang Nomor I Tahun 1974 , yang harus diteliti oleh Pengawas Pencatat Nikah tidak ada keharusan izin •
•
orang tua atau wali Nikah . Sedangkan menurut Hukum Islam WaH Nikah itu adalah Bapak , bilamana tidak ada bapak, kakak (Bapak dari Bapak) yang kedua-duanya merupakan wali Nikah yang mujbir (memaksa) , jadi salah seorang dari orang tua yaitu Bapak bukan kedua orang tua . Oleh karena itu menurut penulis Undang-undang Nomor I Tahun 1974, tentang Perkawinan, menganggap bahwa WaH bukan merupakan syarat untuk ayahnya nikah, yang diperlukan hanyalah izin dari orang tua, itupun bila calon mempelai baik laki-Iaki , maupun wanita yang belum dewasa (di bawah umur 21 tahun), bila telah dewasa 21 (dua puluh satu) tahun ke a tas tidak iagi diperlukan izin dari orang tua.
Beberapa Pu tu san Pengadilan . Agama Tentang Fasid Nikah Karena Tidak Ada Wall •
Beberapa putusan Pengadilan Agarna yang disajikan di bawah ini ten tang fasidnya (batalnya) nikah karena tidak ada wali Nikah atau ada wali tetapi tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali. I. Putusan Pengadilan Agama Jakarta • Barat tanggal 22 Pebruari 1984, nomor 32 Tahun 1984, telah menetapkan fasid (rusak) Nikah saudara M. Arsad So bur bin Abdullah Sobur dengan . isterinya Hasanah binti Mahbub, yang dilakukan pada tanggal 25 Nopember 1968, di bawah tangan di hadapan Ustadz K.H.M. Sarban, sebagai wali, sedangkan Ustadz K.H.M. Sarban tersebut tidak berhak menjadi wali, walaupun suami isteri itu telah beritikad baik waktu menikah dan telah dikarunia 7 (tujuh) orang anak.
,
475
Wali/syarat perkawinan
syah dari Termohon II, sedangkan ayah kandungnya Termohon II masih hidup dan ada di Padang sedangkan tidak ada persetujuan tertulis dari walinya yang syah itu. c) melanggar pasal 4 ayat (1) U.U. No.1 Tahun 1974, jo. P.O. No.9 Tahun 1975 Bab 4, tentang izin beristeri Ie bih dari seorang.
Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama tersebut adalah sebagai berikut: a) bahwa perkawinan tersebut tidak dilaksanakan dengan wali yang syah, walaupun telah memenuhi kewajiban membayar mahar Rp. 1.000,b) bahwa perkawinan tersebut telah melanggar Ketentuan Un dangundang Nomor 22 Tahun 1946, jo. Undang-undang No.32 Tahun 1954, pasal I ayat (1) dan pasal 3 ayat (I), akan tetapi perkawinan itu tidaklah berarti menjadi batal dengan sendirinya (tidak syah), karena tujuan Undang-unterse but dimaksudkan hanya tertib administrasi saja. c) bahwa perkawinan tersebut telah melanggar ketentuan pasal I ayat (I) jo. pasal 2 ayat (1) P.M.A. Nomor I Tahun 1952 tentang Wali Hakim. d) Hadits Rasul rrienyatakan bahwa tidak syah Nikah kecuali dengan wali yang syah dan dua orang saksi yang adil (Rawahul Ahmad bin Ham bali).
3. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan , tanggal 13 September 1983, Nomor 344 ' Tahun 1983, memfasidkan Nikah an tara Ny. Rosita Hamzah dengan T.B. Iwan Suwandi bin T.B. Uteng Marta Sudarrna yang dilaksanakan pada tanggal 29 Agustus 1974, walaupun telah dikarunia 4 (empat) orang anak laki-Iaki dan 3 (tiga) orang anak perempuan dan nikah dilakukan secara resmi di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Baru, tetapi tidak dipenuhinya salah satu persyaratan menurut Hukum Islam yaitu Wali Nikah, yang menjadi Wali Nikah hanya Bapak Angkat yang telah mengangkat Ny. Rosita Hamzah sebagai anak syah sejak dia berumur 1 (satu) bulan sedangkan Bapaknya sampai dia mau menikah ghaib (hilang tidak diketahui di mana dia berada).
•
•
2. Pengadilan Agama Jakarta Timur, tanggal4Juni 1981 Nomor 175 Tahun 1981, membatalkan pernikahan Termohon I Mansyurdin dengan Termohon II Ny. Nurhayati binti Nurdin yang dilakukan pada tanggal 26 Pebruari 1981, di tempat kediaman A. Wahab, karena dianggap tidilk syah, dengan alasan-alasan sebagai berikut: a) bahwa Wali Nikah A. Wahab bu\ kan Kepala Kantor Urusan Agarna Kecamatan, melanggar P.M.A. Nomor 1 Tahun 1952 pasal 2 ayat (1). b) bahwa melanggar hukum-hukum syaraq , yaitu tidak ada wali yang
4. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 9 Pebruari 1984, Nomor 48 Tahun 1984 mem batalkan Nikah Termohon I Bernadette Rina SD. binti Richard Harisno dengan Termohon II Any Pribadi bin Sugiono yang dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 1983, yang dilakukan Termohon III H.,Mohd. Nasir bin H. Madinah umur 46 tahun pekerjaan dagang, walaupun walinya Richard Harisno bin Sugondo (wali mujbir) tidak berhak menjadi wali karena beragama KatoJilc, demikian •
•
September 1984
.
476
Hukum dan Pembangunan
juga Wali Hakim tidak memenuhi syarat karen a bukan kepala K.U.A. setempat. 5. Putusan Pengadilan Agama Jakarta , Utara, Nomor 96 Tahun 1984, tanggal 31 Januari 1984 membatalkan nikah antara Hasnah binti Hanan umur 21 tahun dengan Permin bin Sardi umur 25 tahun, yang dilangsungkan pada tanggal 14 Oktober 1982, karena tiqak ada wali, walaupun baik Bapak maupun kakak dan saudara dari ayah dan saudari pamah tidak ada, dan nikah terse but tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama Ciomas dengan No. 802/234/1982. sebagaimana dijelaskan dengan suratny <1 Kepala KUA tersebut Nomor K-04/ A.020 1/804/1983 berarti syah nikahnya menurut hukum. •
6. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara tanggal 8 Maret 1983 No.69/ 1983, telah membatalkan pernikahan antara Rusli bin Sarimin dengan Dasri binti Darin, yang dilaksanakan di Lagoa pada ., tanggal 24 Pebruari 1981, karena tanpa adanya wali Nikah, tanpa .setahu keluarga dan tidak didaftar pada Kantor Pencatat Nikah (K.U.A. Kecamatan) dimana mereka bertempat tinggal. Seharusnya Pengadilan Agama mempertimbangkan juga pendapat Madzhab Hanafi tentang Wali Nikah , yang •
menyatakan bahwa wanita dewasa tidak perlu pakai wali, demikian juga pendapat Abu Jusuf, Imam Malik dan 16 Ibnu Qasim. ) Karena syarat-syarat perkawinan lainnya sudah terpenuhi, yang lebih penting lagi demi kemaslahatan dan keharmonisan hid up sang anak yang telah 7 (tujuh) orang. Akibat hukum apa yang ditimbulkan terhadap anakanak, isteri, hubungan seksual selama ini iktikad baik, harta bersama dan lain-lain sebagainya.
Kesimpulan Bahwa menurut Madzhab . Syafii, wali merupakan syarat syahnya nikah, apabila wanita menikah tanpa wali, maka nikahnya batal, batal, batal. Menurut madzhab Hanafi, wali tidak merupakan syarat untuk syahnya nikah, tetapi sunnah saja hukumnya boleh ada wali boleh tidak ada , yang penting harus ada izin orang tua pad a waktu menikah, baik dia itu pria maupun wanita. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tidakjelas mengatur tentang wali Nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin orang tua bagi yang menikah apabila belum berumur 2 1 (dua puluh satu) tahun. 16)
Hasen Ibrahim K.H. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Talaq , Jakarta, lhya Ulumuddin, 1971, hal. 102. i
•
•
.
DAFTAR KEPUSTAKAAN 1.
Departemen 'Agama, Al Qur'an dan Terjemahannya, Jakarta, Bumi Restu, 1974.
2.
Hosen Ibrahim, K.H. Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Talaq, Jakarta, Ihya Uiumuddin, 1972.
3.
Rasyid H. SuJaiman, Fiqh [slam, Jakarta, Attahiriyah 1955.
4.
Sholeh K.H. Qamaniddin dkk, Asbabun Nuzuul, Jakarta, Diponegoro, tanpa tahun.
5.
Saleh K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980. •