KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI (DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)
ARTIKEL
HABIBULLAH NPM. 0910018412029
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS BUNG HATTA
2014
KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UNDANGUNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
Habibullah, 1Sofyan Muchtar, 1Yofiza Media Program Studi Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Bung Hatta
[email protected]
ABSTRAK
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Berbagai alasan, perkawinan dilakukan melalui berbagai model, diantaranya melalui perkawinan siri, yang dilakukan berdasarkan agama, tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Berdasarkan permasalahan di atas dirumuskan empat masalah : (1) bagaimana kedudukan perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ? (2)Bagaimana kedudukan anak hasil perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ? (3) Bagaimana kedudukan harta hasil perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ? (4) Bagaimana cara penyelesaian pembagian harta terhadap anak hasil perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, pengumpulan data dilakukan dengan meneliti bahan pustaka lalu dianalisis secara kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan menurut Islam perkawinan apabila memenuhi rukun, syarat dinyatakan sah, sementara menurut hukum perkawinan Indonesia dicatatkan berdasarkan perundang-undangan. Perkawinan siri berakibat buruk bagi rumah tangga. Secara yuridis, suami,istri, anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan terkait rumah tangganya. Anak-anak diakui negara sebagai anak luar kawin, hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu, keluarga ibunya. Istri, anak yang ditelantarkan suami/ ayah biologisnya tidak dapat melakukan tuntutan hukum dalam hal pemenuhan hak ekonomi, harta kekayaan milik bersama.
Kata kunci: Kedudukan, Perkawinan Siri, Anak, Harta.
Pendahuluan
Pada dasarnya manusia adalah mahkluk “zoon
Hidup
bersama
dalam
masyarakat
politicon,hayawanun jam’iyyun” ( mahluk sosial)
merupakan suatu gejala (fitrah) yang mendasar
artinya manusia selalu ingin bersama manusia
bagi setiap manusia. Salah satu bentuk hidup
lainnya dalam pergaulan hidup dan kemudian
bersama yang merupakan unit terkecil dalam
bermasyarakat.
bermasyarakat adalah keluarga. Keluarga ini
terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak(keluarga inti)
dibuat dan dikeluarkan oleh pegawai pencatat
yang terbentuk karena perkawinan.
nikah yang berwenang”.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa : “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdararkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal
2
Hukum perkawinan di Indonesia masih menimbulkan permasalahan-permasalahan, salah satu diantaranya adalah dualisme payung hukum perkawinan yaitu hukum Islam dan hukum nasional. Masalah pencatatan perkawinan ini meskipun telah diatur dalam peraturan nasional, tetapi masih sering ditemui perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan perkawinan, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA).
ayat
“perkawinan
(1)
adalah
menyebutkan
bahwa
sah,
dilakukan
apabila
:
menurut hukum masing-masing agamanya dan
Perkawinan ini disebut juga dengan perkawinan/ pernikahan siri ( perkawinan di bawah tangan ). Masalah pencatatan perkawinan ini masih menjadi pro dan kontra dalam masyarakat.
kepercayaannya itu” . sedangakan ayat (2)
Masalah nikah siri sering dipandang sebagai
menyebutkan bahwa: “ tiap-tiap perkawinan
masalah fiqih biasa. Perkawinan siri juga diartikan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan
dengan pernikahan yang sah secara agama namun
yang berlaku”.
tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang
Pencatatan perkawinan pada lembaga yang berwenang sangatlah penting untuk mendapatkan
(KUA). Peraturan
mengenai
perkawinan
ini
akta nikah sebagai bukti bahwa suatu perkawinan
meskipun sudah ada dan jelas diatur dalam
telah dilakukan secara sah menurut peraturan yang
peraturan perundang-undangan negara Indonesia
berlaku
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan
memiliki
kekuatan
hukum.
Perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga
tentang
yang berwenang akan menimbulkan adanya
perkawinan yang dilakukan secara di bawah
ketidak pastian terhadap status perkawinan karena
tangan. Hal ini bukan disebabkan karena ketidak
tidak adanya bukti otentik yang dapat menjelaskan
tahuan seseorang terhadap peraturan tersebut,
dan membuktikan bahwa peristiwa perkawinan
akan tetapi karena kurangnya kesadaran hukum
tersebut benar-benar terjadi.
seseorang untuk mengikuti dan menjalankan
Dalam Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum
Perkawinan
,
namun
masih
ada
peraturan yang sudah ada.
Islam juga menyebutkan bahwa : “perkawinan
Perkawinan siri jika dilihat dari segi hukum
yang sah menurut hukum adalah perkawinan yang
jelas tidak mempunyai perlindungan hukum dari
dapat dibuktikan dengan kutipan akta nikah yang
negara
karena
perkawinan
tersebut
tidak
dilaksanakan di muka pejabat yang berwenang
dan tidak dicatatkan. Pernikahan tersebut menurut
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
negara adalah tidak sah karena tidak memiliki
kekerasan dan diskriminasi”.
bukti
otentik
yaitu
adanya
buku
nikah.
Perkawinan siri ini dalam banyak hal sering merugikan pihak istri/perempuan dan anak-anak yang dilahirkan, baik dalam hal yang berkaitan dengan perkawinan maupun permasalahan yang muncul akibat perkawinan, seperti: hak waris, hak asuh
anak,
perceraian,
nafkah,
dan
lain
sebagainya.
Dari segi hukum, negara tidak mengatur secara jelas tentang pembagian hak waris dan hak asuh anak yang tidak mempunyai surat atau bukti yang sah dalam pernikahan.Jika terjadi perceraian akan sulit untuk membuktikan hubungan darah atau keturunan, juga masalah harta antara suami istri, hak warisan antara harta anak dan orang tua serta menimbulkan beban pisikologis dan sosial.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab IX Pasal 42 dan Pasal 43 bahwa status anak yang lahir di luar perkawinan (termasuk
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut
perkawinan siri) dianggap sebagai anak tidak sah,
1 Bagaimanakah kedudukan perkawinan siri
sehingga anak hanya mempunyai hubungan
menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
perdata
?
dengan
ibunya
dan
keluarga
ibunya,artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum
terhadap
ayahnya”.
Didalam
akte
kelahirannya hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
sipil,
tentunya
seseorang
telah
kedudukan
anak
hasil
perkawinan siri ditinjau menurut UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 ? 3 Bagaimanakah
Ketika perkawinan dicatatkan pada lembaga pencatatan
2 Bagaimanakah
kedudukan
harta
hasil
perkawinan siri ditinjau menurut UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 ?
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia
4 Bagaimanakah cara penyelesaian pembagian
jadikan sebagai alat bukti sah di hadapan majelis
harta terhadap anak hasil perkawinan siri
peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan
menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
dengan perkawinan maupun sengketa yang lahir
?
akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak,
Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui
perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
dan
menganalisis
kedudukan
perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Atas dasar perlindungan kepentingan dan hak anak, istri dalam pernikahan siri dapat menuntut pertanggung jawaban suami. UndangUndang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak, Pasal 4 menyebutkan bahwa : “ setiap anak berhak untuk mendapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai
dengan
harkat
dan
martabat
Tahun 1974, untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan anak hasil perkawinan siri ditinjau menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan harta hasil perkawinan siri ditinjau menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, untuk mengetahui dan menganalisis cara penyelesaian
pembagian harta terhadap anak hasil perkawinan
dari peraturan perundang-undangan, bahan
siri menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
hukum yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi.
1974.
Data
1) Kitab
Tipe penelitian yang digunakan dalam
penelitian
dalam
pada
menganalisa
asas-asas
hukum
perbandingan-perbandingan hukum 1
dalam
pada
perundang-
masyarakat .Aspek-aspek
Undang-undang
Hukum
Perdata
(KUH Perdata)
penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif,
didasarkan
bersumber
undangan, di antaranya :
Metodologi
yaitu
yang
data
2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
dan
tentang penetapan
yang ada
berlakunya
Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
hukum,baik
Pencatatan Nikah, Thalak dan Ruju’.
undang-undang sebagai hukum yang tertulis
3) Undang-undang
maupun hukum yang ada dalam masyarakat yaitu
Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
nilai-nilai atau norma yang ada dalam masyarakat.
4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Junto
Penelitian ini menggunakan pendekatan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 junto
perundang-undangan (statute approach), yakni
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
suatu penelitian dengan menggunakan legislasi
tentang peradilan agama.
dan regulasi yang bergantung pada bahan hukum primer yang merupakan bahan hukum Autoritatif
5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
(mempunyai otoritas), bahan hukum sekunder dan
tentang pelaksanaan perundang-undangan
bahan hukum tersier, dan pendekatan konseptual
nomor 1 tahun 1975
(conceptual
approach)
yang
beranjak
dari
6) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
tentang Konpilasi Hukum Islam (KHI)
berkembang dalam ilmu hukum. b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, Dalam penelitian ini diperlukan sumber data
majalah, makalah, pendapat pakar yang
yang berasal dari literatur yang berhubungan
berhubungan
dengan penelitian, sebab penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan normatif
dengan
perkawinan
dan
perkawinan siri
yang
bersumber pada data sekunder
c.
Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus hukum, ensklopedia hukum
Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang terdiri dari:
Setelah data terkumpul (data sekunder ), kemudian
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri 1
Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 6.
diolah
pengklasifikasian kualitatif
dengan
data
deskriptif
dan
yaitu
melakukan
dianalisa sebagai
secara prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan prilaku yang diamati, atau sebagai
Adapun
nikahsiriyang
masyarakat
yang secara fundamental yang bergantung pada
pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil
pengamatan manusia dalam wawasannya sendiri
wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak
dan hubungan dengan orang-orang tersebut dalam
dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah
dan
peristilahannya2,
sekarang
oleh
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
bahasanya
Indonesia
dikenal ini
ialah
sehingga
sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan
penemuan dalam penelitian ini akan dirumuskan
yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama
menjadi kesimpulan penelitian
bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan
Hasil dan pembahasan deskripsi hasil penelitian A.
Kedudukan Perkawinan Siri Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai akta nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. 2. Tata Cara Perkawinan Siri
1. Asal-Usul Kawin Siri Praktek
Perkawinan
Tata cara perkawinan siri itu sendiri siri
yang
banyak
sebenarnya
adalah
sama
dengan
tatacara
dilakukan oleh masyarakat di Indonesia tidak
perkawinan yang telah ditentukan dan diatur
lepas dari pengaruh tradisi Islam di negara-negara
dalam hukum perkawinan Islam. Hal demikian
Arab yang dilakukan pada masa setelah nabi
tentunya berbeda dengan tata cara perkawinan
Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya.
yang telah ditentukan dan diatur dalam Undang-
Hanya saja terdapat beberapa perbedaan apa yang dilakukan pada masa pensyi’aran agama Islam di negara Arab waktu itu dan di Indonesia kini. Bahkan istilah nikah siri berkembang dan diindonesiakan menjadi kawin bawah tangan, meski antara istilah kawin siri dan kawin bawah tangan tidak selalu sama. Namun demikian kedua istilah ini (kawin siri dan kawin bawah tangan) biasa dipahami sebagai suatu perkawinan yang mendasarkan dan melalaui tata cara pada agama dan kepercayaan serta adat istiadatnya tanpa dilakukan di hadapan dan dicatat pegawai pencatat nikah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 12 yang
menentukan
perkawinan
untuk
tatacara selanjutnya
pelaksanaan diatur
dan
dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pernikahan siri dilakukan di hadapan tokoh agama atau di pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang kyai, ustadz, buya dengan dihadiri oleh beberapa orang yang berfungsi sebagai saksi. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan siri ini cukup datang ketempattokoh agama yang diinginkan dengan membawa seorang wali bagi mempelai wanita dan dua orang saksi. Biasanya si tokoh agama setelah menikahkan pasangan kawin siri ini menyarankan pada mereka agar segera
2
Sudarwan Danin, 2002, Menjadi Penelitian Kualitatif, pustaka setia, Bandung, hlm 40
mendaftarkan perkawinan mereka ke Kantor Urusan Agama setempat.
Dalam perkawinan siri ini yang bertindak
2) Untuk menghemat ongkos dan menghindari
sebagai kadhi atau orang yang menikahkan adalah
prosedur administratif yang dianggap berbelit-
tokoh
menerima
belit (seperti syarat-syarat administrasi dari RT,
pelimpahan dari wali nikah calon mempelai
Lurah dan KUA, ijin isteri pertama, ijin
wanita.
Pengadilan Agama, ijin dari atasan jika
agama
Tidak
tersebut
semua
setelah
prosesi
perkawinan
siri
tersebut dilakukan memenuhi ketentuan, syarat dan rukun sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan Islam. Penyimpangan itu biasanya terjadi pada ketiadaan/ketidakhadiran orangtua atau wali dari calon pengantin perempuan, hal itu
PNS/anggota TNI/Polri; 3) Karena calon isteri terlanjur hamil di luar nikah; 4) Untuk melaukan pernikahan yang kedua kali (Poligami);4 5) Untuk menghapus jejak, agar tidak diketahui oleh
terjadi biasanya di kalangan mahasiswi yang jauh
atau
oleh orangtua pihak perempuan.
anggota
TNI/Polri
yang
perkawinan untuk yang kedua kali;
3. Beberapa fakta Dan Alasan Kawin Siri dapat
sekaligus
ditemukan
untuk
dijatuhkan oleh atasan, bagi mereka yang PNS
karena perkawinan itu tidak disetujui terutama
fakta
pertama,
menghindari hukuman administratif yang akan
dari orangtua atau walinya bahkan juga terjadi
Beberapa
isteri
melakukan 5
6) Salah seorang dari calon pengantian (biasanya pihak perempuan) belum cukup umur untuk
berkaitan
melangsungkan perkawinan melalui KUA;
perkawinan siri, yaitu;
Alasan lain yang bersifat khusus seperti di a. Pernikahan
siri
yang
dilakukan
oleh
masyarakat umum tanpa adanya wali.
beberapa daerah yang telah menjadi tradisi melakukan perkawinan siri sebelum menikah di
b. Pernikahan yang sah secara agama (memenuhi syarat dan rukun) namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara dengan
hadapan pegawai pencatat nikah (KUA), adanya sikap orangtua/wali yang menganggap bahwa ia memiliki hak dan kewajiban menikahkan anaknya (perempuan) dengan pasangan yang dicarikan
berbagai alasan dan pertimbangan. Dari berbagai kasus nikah siri yang terjadi
tanpa meminta persetujuan anaknya.
di berbagai daerah, ada banyak alasan yang
4.
menyebabkan perkawinan itu dilaksanakan yaitu;
Pencatatan Perkawinan
1) Untuk
menghindari
perzinahan
lebih
perselingkuhan
baik
melakukan
Hubungan
Perkawinan
Siri
Dengan
dan nikah
siri.Dalam kasus ini biasanya di antara calon 4
pengantin salah satunya masih sekolah atau kuliah;3
3
Alasan Kawin siri banyak dikemukakan oleh mahasiswa, www.SuaraMerdeka.Com. Diakses tanggal 29 Februari 2014.
Leli Nurohmah. 2008. “Poligami” (Program kajian Wanita,S2)”. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 5 Syarnubi Som ,Widyaiswara Madya , Nikah Siri Merugikan Pihak Perempuan, Menguntungkan Laki-laki, BDK Palembangwww.syarnubi.wordpress.com. Diakses tanggal 29 februari 2014
Pada
dasarnya istilah nikah siri tidak
UUP, kalangan Muslim menentang keras, seolah-
dikenal dalam hukum negara. Hukum Perkawinan
olah pencatatan perkawinan lebih diutamakan
Indonesia hanya mengenal istilah perkawinan
daripada hukum agama.
yang dicatatkan dan tidak dicatatkan. Kawin siri
Pencatatan
perkawinan
memang
tidak
adalah realita, yang dipopulerkan masyarakat
ditolak bahkan dianggap penting tetapi tidak
Indonesia untuk menyebut perkawinan yang tidak
dianggap
dicatatkan dihadapan pihak berwenang (Islam di
perkawinan. Ada kekhawatiran akan ada orang
KUA dan non Islam di Catatan Sipil) meski dalam
Islam awam yang terbiasa meremehkan hukum
perkembangannya sering terjadi penyimpangan
perkawinan Islam, yang berakibat perkawinan
dalam proses perkawinannya (ada yang sesuai
dengan pencatatan belaka akan dianggap sah oleh
ketentuan agama dan ada yang tidak memenuhi
hukum sipil tetapi tidak sah menurut hukum
syarat).
Islam.6
Peraturan pencatatan perkawinan, seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Nikah,Thalak
dan Ruju’ tetap dipertahankan oleh UUP yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah bila dicatat dihadapan petugas resmi pencatat perkawinan sesuai syarat dan ketentuan. Bagaimana
hukum
tidak
mencatatkan
pendapat mengenai hal ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan bukan suatu pelanggaran hukum/undang-undang. Perbedaan pendapat tentang menentukan atau tidaknya pencatatan perkawinan terhadap kesahan perkawinan bersumber pada pemisahan
perkawinan
tentang menurut
keharusan hukum
melakukan agama
syarat
utama
sahnya
Terdapat dua kelompok yaitu kelompok pertama pro kawin siri dengan demikian menolak beberapa pasal dalam UUP termasuk Pasal 2 ayat (2). Kelompok kedua menentang kawin siri dengan demikian menerima semua pasal dalam UUP. Dua kelompok ini hingga kini masih melakukan silang pendapat berkaitan dengan kawin siri dan pencatatan perkawinan.
perkawinan dalam lembaga pencatatan? Ada dua
ketentuan
sebagai
dan
Dari latar belakang historis itulah dapat diketahui bahwa adanya upaya negara untuk menertibkan perkawinan siri melalui pencatatan perkawinan yang diatur melalui hukum negara sehingga lahirlah UUP, terlepas dari pro dan kontra. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP inilah pemicu kontroversi perkawinan siri, yang sah secara agama dan kepercayaannya tetapi tidak dicatatkan melalui lembaga pencatatan (KUA bagi Muslim dan Catatan Sipil bagi non Muslim). Selain telah diatur dalam Pasal 2 UUP, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), keabsahan
kepercayaan (agama) di satu pihak dan keharusan mencatatkan perkawinan di pihak lain pada ayat yang berbeda, meskipun sama-sama dalam Pasal 2 UUP. Pada awal perumusan sebelum menjadi
6
Muhammad Kamal Hassan. 1987. Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim. Jakarta. Lingkaran Studi Indonesia, hlm. 194-195.
perkawinan dan pencatatan perkawinan juga
berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat
diatur dalam pasal-pasal berikut:
berdiri sendiri.
Pasal 4 : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Pasal 47 ayat (1) anak yang belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun
atau
belum
pernah
melangsungkan
perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya
Pasal 5 ayat (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Pasal 98 dan 99 Kompilasi Hukum Islam,
Pasal 5 ayat (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1),
Pasal 98 ayat (1) menyatakan batas usia anak yang
dilakukan
Nikah
mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
sebagaimana yang diatur dalam Undang-
tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-
maupun
undang Nomor 32 Tahun 1954.
melangsungkan perkawinan, ayat (2) menyatakan
oleh
Pegawai
Pencatat
mental
atau
belum
pernah
orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai
Pasal 6 ayat (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
segala perbuatan hukum didalam dan diluar
setiap
dilangsungkan
pengadilan, ayat (3) pangadilan agama dapat
dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai
menunjuk salah satu kerabat terdekat yang mampu
Pencatat Nikah.
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua
perkawinan
harus
Pasal 6 ayat (2)
orang tuanya tidak mampu. Pasal 99 ayat (1) :
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
atau akibat perkawinan sah, ayat (2) hasil
kekuatan Hukum.
pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim yang dilahirkan oleh isteri tersebut.
B.
Kedudukan Anak Hasil Perkawinan
Siri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Seorang anak, dilihat dalam
hukum
perkawinan Indonesia secara langsung memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
Ini dapat
Dalam hal kedudukan anak dapat dipahami
dipahami dari Pasal 43 ayat (1) Undang-undang
dari beberapa ketentuan, diantaranya Pasal 42 dan
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
45 serta 47 Undang-undang perkawinan. Pasal 42
anak yang lahir di luar perkawinan hanya
dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak
memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
keluarga ibunya.
perkawinan yang sah. Pasal 45 ayat (1) kedua orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) ini
Dapat dipahami dari peraturan tersebut,
masih fifty-fifty. Artinya bisa diputuskan lewat
bahwa seorang anak dapat dikategorikan sah, bila
jalur hukum itu sehingga masing-masing pihak
memenuhi salah satu dari 3 syarat sebagai berikut:
merasa puas atau gagal lewat peradilan sehingga
1). Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dengan dua kemungkinan; Pertama, Setelah terjadi akad nikah yang sah istri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, Sebelum akad nikah istri telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah akad nikah. 2).
Anak
yang
menjadi sengketa yang berkepanjangan. Menurut Rika Kurnia, dampak hukum yang timbul dari sebuah pernikahan siri akan terjadi kalau ada perceraian, si isteri sulit untuk mendapatkan hak atas harta bersama mereka apabila si suami tidak memberikan. Selain itu, jika ada warisan yang ditinggalkan suami - karena suami meninggal dunia, isteri dan anak juga
lahir
sebagai
akibat
dari
perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan
sangat sulit mendapatkan hak dari harta warisan.8 Pada dasarnya penyelesaian masalah harta
kemudian suami meninggal. Anak yang
kekayaan
dikandung istri adalah anak sah sebagai akibat
dilakukan
dari adanya perkawinan yang sah.
7
dari
perkawinan
oleh
siri
ini
perempuan/isteri
banyak dengan
pendekatan secara persuasif dengan melibatkan
3). Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan
keluarga pihak suami.
suami istri yang sah, dan kemudian dilahirkan
Harta Bersama Dalam Hukum Perkawinan
oleh istrinya. Ketentuan ini untuk menjawab
Indonesia
kemajuan teknologi tentang bayi tabung. C.
Istilah dan konsep harta bersama/gono-gini
Kedudukan Harta Hasil Perkawinan
akhirnya digunakan dalam hukum positif di
Siri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Indonesia, hal ini merupakan hasil kompromi
1974.
antara tokoh-tokoh masyarakat (tokoh agama dan Adat) dengan memadukan antara hukum Islam
Harta Bersama Dalam Perkawinan Siri
dan hukum adat yang berkembang di masingUraian
tentang
harta
bersama
pada
masing daerah.
pembahasan sebelumnya mempertegas bahwa
Dari kompromi itulah, beberapa klausul
eksistensi harta gono-gini dalam perkawinan atau
dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 1
rumah tangga muslim sebagian masih menemui
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Juga
masalah baik dalam praktek sehari-hari maupun
melalui kesepakatan para Ulama, istilah dan
pembagiannya bila terjadi perceraian suami isteri
konsep
tersebut.
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
harta
bersama
dimasukkan
dalam
Banyak kasus perebutan harta gono-gini harus diselesaikan lewat peradilan yang hasilnya 8
7
Abdul Kadir Muhammad. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti, hlm. 95
Paralegal Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI) dalam penelitian Dampak Negatif Nikah Siri Bagi Perempuan dan Anak, www.idlo.int/bandaacehawareness. diakses tanggal 05 April 2014
Konsep harta bersama (gono-gini) ini adalah
ayat (1) dan atau cerai hidup (UUP Pasal 37 dan
khas Indonesia yang dikembangkan oleh seorang
KHI Pasal 97), masing-masing pihak dapat
ulama Indonesia terkemuka dari Banjarmasin,
menyelesaikan
Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari,
memperoleh kesepakatan atau jika tidak terjadi
penulis
kitab “Sabilal Muhtadin”.
secara
musyawarah
untuk
kesepakatan dapat mengajukan gugatan kepada
UUP dan KHI, telah mengadopsi pembagian
Pengadilan Agama (PP Nomor 9 Tahun 1975,
waris gono gini yang disebut “harta bersama”. Ini
KHI Pasal 95 ayat (1) dan Pasal 136 ayat (2).
adalah sebuah terobosan yang jarang ditemukan
D.
dalam perundang-undangan hukum keluarga di
Anak Hasil Perkawinan Siri Menurut Undang-
sejumlah negara Islam yang lain. Masyarakat
Undang Nomor 1 Tahun 1974
muslim Indonesia telah menerima ketentuan ini, karena dipandang sejalan dengan nilai-nilai keadilan yang dirasakan masyarakatnya. Kenyataan
penerimaan
ketentuan
ini
menunjukkan bahwa perubahan hukum seperti ini terbukti tidak menjadi masalah dan tidak ada yang menyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah,
bahkan
justru
mencerminkan
tujuan
penegakan hukum, yakni keadilan. Harta benda dalam Perkawinan ada tiga macam, yakni: 1) Harta gono-gini yaitu harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan (KHI Pasal 91 ayat (1), ayat(2) 2) Harta bawaan yaitu harta benda milik masingmasing suami dan isteri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah (UUP Pasal 35 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 2, KHI Pasal 87 ayat (2) ayat (3) 3) Harta perolehan yaitu harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami isteri) setelah terjadinya ikatan perkawinan (KHI Pasal 87 ayat (2). Seperti dijelaskan sebelumnya pembagian
Upaya Penyelesaiyan Pembagian Harta
Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam penyelesaiyan
pembagian
harta
anak
hasil
perkawinan siri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut:
1.
Itsbat Nikah Esensi Itsbat nikah adalah perkawinan yang
semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum. Itsbat nikah merupakan istilah baru dalam fiqh munakahat, yang secara harfiah berarti penetapan
atau
pengukuhan
nikah.
Secara
substansial konsep ini difungsikan sebagai ikhtiar agar perkawinan tercatat danmempunyai kekuatan hukum.9 Dasar Itsbat nikahadalah pasal 7 ayat (1),(2),(3) KHI. (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam
hal
perkawinan
tidak
dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
harta gono gini terjadi bila adanya perceraian baik salah satu pihak meninggal dunia (KHI Pasal 96
9
Adang Djumhur Salikin, Itsbat Nikah, Adjumhur.blogspot.com. diakses tanggal 11 April 2014
(3) Itsbat
nikah
yang dapat
diajukan
ke
Perkawinan
ulang
dilakukan
layaknya
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-
perkawinan menurut agama Islam (tajdid). Tajdid
hal yang berkenaan dengan:
ini bukan karena menganggap pernikahan pertama
(a) Adanya perkawinan dalam rangka
tidak sah akan tetapi, tajdid dilakukan untuk
penyelesaian
perceraian,
hilangnya
pertama (siri), namun, perkawinan harus disertai
Akta Nikah; (b) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (c) Adanya
perkawinan
yang
terjadi
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
tidak
mempunyai
halangan
berwenang (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan suami isteri.
yang lahir dalam perkawinan siri (sebelumnya) akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin,
perkawinan menurut Undang-Undang
karena
Nomor 1 Tahun 1974.
surutterhadap status anak yang dilahirkan sebelum
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka,
wali
nikah
dan
pihak
yang
berkepentingan dengan perkawinan itu. Dari klausul Pasal 7 KHI tersebut di atas, permohonan Itsbat nikah bagi perkawinan siri yang dilakukan pada saat sebelum pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) sepanjang
dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang
Apabila telah ada anak, status anak-anak
(d) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
melengkapi kekurangan yang ada pada pernikahan
memenuhi
persyaratan,
dalam
prakteknya, Pengadilan Agama mengabulkan. Mengenai tingkat keberhasilan permohonan itsbat nikah (dikabulkan atau ditolak) sepenuhnya menjadi kewenangan hakim yang menyidangkan perkaranya setelah meneliti data persyaratan yang diajukan pemohon. Tentu saja hakim di setiap Pengadilan Agama berbeda dalam memberi ketetapan. Semua dikembalikan pada hati nurani para hakim dalam memberi rasa keadilan bagi pemohon dan yang menjadi korban. 2. Perkawinan Ulang
perkawinan
ulang
tidak
berlaku
perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan. Pasal 43 Undang-undang Perkawinan dan Pasal 100 KHI menyebutkan anak yang lahir di luar pernikahan yang sah (menurut hukum positip) hanya mempunyai hubungan nasab/ perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya maka upaya perkawinan ulang menjadi tidak berarti bagi kepentingan status hukum anaknya, kecuali belum ada anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang. 3. Yurisprudensi Pengadilan Agama Jakarta Utara dalam Penetapan No.004/Pdt-P/1996/PA.JU tanggal 27 Mei 1996M/9 Muharram 1417 H. Menetapkan sah menurut hukum perkawinan antara Rahayu binti Wahabi
dengan
Hasanuddin
Amier
(saat
permohonan diajukan termohon telah meninggal
akibat ketentuan Undang-Undang Perkawinan
dunia) yang dilaksanakan pada tanggal 16
yang diskriminatif. Lebih dari itu, Putusan MK
Pebruari 1972 di Tanjung Priok dengan wali
telah mengakhiri diskriminasi yang dialami jutaan
hakim bernama Kosim, Amil KUA Kecamatan
anak di luar Perkawinan, sejak berlakunya
Tanjung Priok. Mereka memiliki Akta Nikah yang
Undang-undang Perkawinan.
ternyata tidak terdaftar sesuai dengan Surat Keterangan Kepala KUA Tanjung Priok No
Simpulan Dari uraian di atas, maka dapat ditarik
K2/Mj-2/PW.01/906/96. Permohonan itsbat nikah diajukan oleh Rahayu karena diperlukan antara
simpulan sebagai berikut:
lain untuk mengurus harta peninggalan suaminya.
1.
Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam Penetapan No. 6/Pdt.G/1996/PA.JT tanggal 23
Kedudukan perkawinan siri
menurut
Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut :
September 1996 M./10 Jumadil Awal 1417 H.,
a. Perkawinan siri menurut hukum Islam
menetapkan: menolak permohonan yang diajukan
adalah sah apabila telah memenuhi rukun
oleh Siti Azizah binti Abdul Madjid agar
dan
Pengadilan Agama mengesahkan perkawinannya
dicatatkan. Menurut hukum perkawinan di
dengan Sucipto bin Suprapto.
Indonesia, perkawinan dianggap sah apabila
Mahkamah
Agung
RI
dalam
telah
perkara
hubungan kedua pasangan tersebut
b. Perkawinan
perkara
dianggap hukum
undang-undang
(judicial
review) untuk memperoleh hak konstitusionalnya dan mengakhiri diskrimimasi yang dialaminya, 10
Dampak Perkawinan Bawah Tangan terhadap Anak, http://www.lbh-apik.or.id. Diakses tanggal 26 April 2014
(UUP)
perkawinan
masing-masing
agamanya
dan
perundang
undangan
yang
berlaku.
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujian
undang-undang
sah apabila dilakukan menurut
peraturan
tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang
pemohon
dalam
kepercayaannya itu dan dicatat menurut
Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Machica Mochtar dan Mohammad Iqbal selaku
siri
undang perkawinan
permohonan
pada 17 Februari 2012 yang lalu, melegalkan
ketentuan
perkawinan tidak dikenal. Menurut Undang-
padahal
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no atas
menurut
harus
nikah.
perkawinan mereka adalah perkawinan siri.10
46/PUU-VII/2010
dilaksanakan
tanpa
dan dilakukan dihadapan pegawai pencatat
Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara
mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil
perkawinan
agama dan terpenuhinya syarat dan rukun
Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan
Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu
syarat
Perkawinan
siri
diidentikkan
dengan
perkawinan secara agama dan adat, dimana perkawinan ini tidak dilakukan dan dicatatkan di hadapan
Pegawai
Pencatat
Nikah
(PPN).
Perkawinan siri yang dijalankan sebagian umat Islam
di
Indonesia
adalah
mengadopsi
pemahaman dalam kitab fiqh yang menyatakan pernikahan dianggap sah bila telah memenuhi
rukun dan syarat dan memadukan akar tradisi poligami
yang
berkembang
padamasyarakat
Bila salah satu pihak dengan itikad tidak baik
melakukan
pengingkaranterhadap
harta
feodalistik dimana seorang laki-laki yang kaya
dalam perkawinan siri tersebut, maka pihak yang
bisa menikahi wanita lebih dari satu.
menjadi korban (biasanya isteri) tidak mempunyai kekuatan hukum untuk memperoleh haknya bila
2.
Kedudukan anak hasil perkawinan siri
dihadapkan hukum negara.
menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
4.
adalah sebagai berikut:
pembagian harta anak hasil perkawinan siri
Kedudukan anak dalam hukum Islam tetap memperoleh
pengakuan
yang
sama
dengan
Upaya
hukum
dalam
penyelesaian
adalah sebagai berikut: a.
Itsbat nikah
perkawinan yang dicatatkan. Akan tetapi menurut
Melalui itsbat nikah (penetapan nikah),
peraturan
perkawinan siri bisa ditetapkan sebagai
perundang-undangan
perkawinan,
dengan tidak adanya akte nikah orang tuanya, akte
penikahan
kelahiran anak tersebut tidak tercantum nama ayah
pengadilan agama, selama perkawinan
biologisnya dan hanya tercantum nama ibu yang
yang sedang dijalani masih ada (belum
melahirkan. Anak tersebut dianggap sebagai anak
bercerai)
luar kawin sehingga tidak bisa melakukan hubungan hukum
b.
sah
melalui
penetapan
Perkawinan ulang
keperdataan dengan ayah
Perkawinan ulang ini dapat diajukan ke
biologisnya. Anak hanya memiliki hubungan
Kantor Urusan Agama (KUA), namun
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.
demikian cara ini tidak mempunyai arti
Hal ini menimbulkan beban psikologis dan sosial
bila telah ada anak dari perkawinan siri
bagi si anak. Ayah biologisnya dengan itikad tidak
sebelumnya karena anak tetap tidak diakui
baik sewaktu-waktu bisa mengingkari bahwa ia
sebagai anak sah dari kedua pasangan yang
adalah
baru menikah (tidak berlaku surut).
anaknya
sehingga
hakhaknya
tidak
didapatkan sebagaimana anak-anak yang lain.
c.
Yurisprudensi Dengan
3.
Kedudukan harta hasil perkawinan siri
keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) No 46/PUU-VII/2010
menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
atas
adalah sebagai berikut:
Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun
Akibat hukum perkawinan siri terhadap
1974
perkara
tentang
permohonan
Perkawinan
pengujian
terhadap
kedudukan harta kekayaan, menurut hukum Islam
Undang-Undang Dasar Negara Republik
akan diperhitungkan sesuai ketentuan syari’at
Indonesia Tahun 1945, pada 17 Februari
Islam. Akan tetapi menurut peraturan perundang-
2012 dalam kasus Machica Mochtar
undangan perkawinan harta hasil perkawinan siri
menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan
tidaklah dianggap sebagai harta bersama atau
di luar perkawinan mempunyai hubungan
gono-gini.
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya
yang
berdasarkan
ilmu
dapat
dibuktikan
pengetahuan
dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai
termasuk
hubungan
hubungan
darah,
perdata
dengan
keluarga ayahnya.
A. Buku-buku Abdul Kadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditia Bakti, Bandung Leli Nurahmah, 2008, Poligami, Program Pascasarjana Universitan Indonesia, Jakarta Khamal
Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam C. Website
Adang Djumhur Salikin, Itsbat Nikah, Adjumhur.blogspot.com. diakses tanggal 11 April 2014
DAFTAR PUSTAKA
Mohammad
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Hasan,
1987,
Modernisasi Indonesia, Lingkaran Studi
Alasan Kawin Siri Banyak Dikemukakan Oleh Mahasiswa, www.SuaraMerdeka.com. Diakses tanggal 3 Desember 2013. Syarnubi Som ,Widyaiswara Madya , Nikah Siri Merugikan Pihak Perempuan, Menguntungkan Laki-laki, BDK Palembangwww.syarnubi.wordpress.com . Diakses tanggal 29 februari 2014
Indonesia, Jakarta Soerdjono Soekanto.2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada, Jakarta Sudarwan Danin, 2002, Menjadi Penelitian
Paralegal Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI) dalam penelitian Dampak Negatif Nikah Siri Bagi Perempuan dan Anak, www.idlo.int/bandaacehawareness. Diakses tanggal 25 Maret 2014
Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung. Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap Anak, http://www.lbh-apik.or.id. Diakses tanggal 26 April 2014
B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 7 1989.TentangPeradilan Agama
Tahun
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974