Volume 3, Nomor 2, September 2013
ISSN : 2088 - 1673
AGRICOLA Jurnal Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Musamus Merauke
Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage ) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke Yosehi Mekiuw Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Merauke Marthen Adrian Izaak Nahumury Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos Yosefina Mangera Analisis Subsektor dan Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Asmat Nita Nasution Daya Saing Ekspor Komoditas Kelapa Indonesia Terhadap Tiga Negara di Asia Ineke Nursih Widyantari Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata ) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar) Irianis Lucky Latupeirissa Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu Siti Mechram, Darwin dan Ratna
Diterbitkan oleh : FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUSAMUS MERAUKE
ISSN : 2088 - 1673
AGRICOLA Jurnal Pertanian
Pelindung Philipus Betaubun Penanggung Jawab Abdullah Sarijan Pimpinan Redaksi Ni Luh Sri Suryaningsih
Dewan Redaksi Wahida Irine Ike Praptiwi
Mitra Bestari Dr. Sumiyati, S.TP, M.P Dr. Ir. Ihwan Tjolly, MP Ir. Soeparwi, SU Dr. Trisiwi W. Widayanti, S.Pt., M.M. Dr.Ir. Petrus Hary Tjahja Soedibya, MS Sri Rahayoe, S.TP, M.P
Alamat : Fakultas Pertanian Universitas Musamus Merauke Jl. Kamizaun Mopah Lama - Merauke Telp. (0971) 326336, 325976, email :
[email protected]
Jurnal AGRICOLA terbit dua kali setahun (Maret dan September) Redaksi menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan oleh media lain dengan mengikuti format penulisan seperti tercantum di halaman terakhir jurnal ini.
ISSN : 2088 - 1673
AGRICOLA Jurnal Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Musamus Merauke
Volume 3, Nomor 2, September 2013
Daftar Isi Ruang Editorial Ni Luh Sri Suryaningsih
Hal. iii - iv
Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage ) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke Yosehi Mekiuw
72 - 90
Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Merauke Marthen Adrian Izaak Nahumury
91 - 101
Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos Yosefina Mangera
102 - 116
Analisis Subsektor dan Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Asmat Nita Nasution
117 - 127
Daya Saing Ekspor Komoditas Kelapa Indonesia Terhadap Tiga Negara di Asia Ineke Nursih Widyantari
128 - 135
Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata ) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar) Irianis Lucky Latupeirissa
136 - 149
Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu Siti Mechram, Darwin dan Ratna
150 - 164
RUANG EDITORIAL Salam AGRICOLA !!! Jelang akhir tahun 2013, AGRICOLA kembali hadir dengan identitas Volume III, Nomor 2. AGRICOLA merupakan wadah untuk menampung hasil-hasil penelitian dosen Faperta Unmus, namun senantiasa “membuka diri” untuk hasil penelitian dan tulisan teman-teman dari seberang yang didedikasikan untuk kemajuan bersama. Padi merupakan komoditas unggulan di Merauke yang mengandalkan kebutuhan air irigasi berasal dari curah hujan langsung dan dari waduk lapangan (long storage). Karena itu, Yosehi Mekiuw melakukan penelitian untuk menentukan kemampuan waduk lapangan (long storage) dalam memasok kebutuhan air tanaman dalam bentuk neraca air dan menentukan pola tanam yang tepat berdasarkan tingkat ketersediaan air pada waduk lapangan di Desa Semangga Jaya. Selain Yosehi, Marthen A.I. Nahumury juga menulis tentang usahatani padi dengan menitikberatkan tulisan pada analisis penggunaan input produksi yang lebih efisien sehingga petani padi mampu mengelola lahan garapan secara optimal. Selain padi, tanah Anim Ha yang subur juga memberikan hasil yang baik ketika ditanami komoditas lainnya seperti gandum yang diteliti oleh Yosefina Mangera. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian tersebut adalah kerapatan tanaman dan perimbangan pupuk N dari kompos dan urea. Seluruh parameter pertumbuhan gandum dalam penelitian tersebut memberikan penampilan yang baik, terutama pada jarak tanam 25 x 15 cm. Kajian di bidang agribisnis tentang pertanian sebagai sumber pendapatan daerah dilakukan oleh Nita Nasution yang mencoba mengidentifikasikan subsektor dan komoditas pertanian unggulan dan potensial untuk di kembangkan sebagai penggerak perekonomian di Kabupaten Asmat. Masih di bidang agribisnis, Ineke N. Widyantari melakukan analisis daya saing kelapa Indonesia terhadap 3 negara tetangga, yaitu Philipina, Malaysia dan Singapura. Irianis L. Latupeirissa membuat kajian di bidang Manajemen Sumberdaya Perairan. Sesuai bidangnya, Irianis melakukan analisis pendugaan stok ikan Tembang (Sardinella fimbriata) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar). Selanjutnya, Siti Mechram, dkk dari Universitas Syiah Kuala, Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian tersebut mempelajari metode kuantitatif yang dapat menjelaskan karekteristik aliran dan ekspresi matematik yang berguna pada penentuan kehilangan energi serta daya yang dibutuhkan untuk mentransfer bahan pangan cair dalam hal ini susu kental manis dalam suatu sistem.
iii
Kepada para pembaca dan simpatisan jurnal AGRICOLA diberitahukan pula bahwa pada tahun 2014 direncanakan akan menambah 1 (satu) artikel lagi pada setiap nomor-nya. Sehingga dalam setiap volume akan terbit 16 artikel. Jurnal AGRICOLA selalu berusaha menampilkan yang terbaik bagi siapapun yang ingin maju bersama. Langkah kecil yang pasti dan akan selalu berarti untuk maju meski tertatih demi mengejar hal-hal yang lebih besar di depan. Alangkah sangat bijaksana bila kita selalu menaruh pengharapan kita pada DIA yang telah dan selalu memelihara alam ini. Seperti harapan akan terus berkembang dan majunya AGRICOLA sebagai sarana untuk berkarya. VIVA AGRICOLA ! FAPERTA BISA ! Ni Luh Sri Suryaningsih
iv
STUDI NERACA AIR WADUK LAPANGAN (LONG STORAGE) DI DESA SEMANGGA JAYA KABUPATEN MERAUKE Yosehi Mekiuw *)
ABSTRACT The study aims to determine the capacity of field accumulating basin (long storage) in supplying plants with water in the form of water balance and to determine the appropriate cropping pattern based on water availability in this reservoir. The total water available in reservoir, once evaporation and seepage rates were subtracted to it, is ± 60,056.29 m3, thus water balance is in surplus position and thereby the available water is ready to meet the crop water needs in accord with the proposed cropping pattern. Keyword : Water balance, Field accumulating basin, Long storage, Cropping pattern
PENDAHULUAN Desa Semangga Jaya merupakan salah satu wilayah yang dikembangkan sebagai sentra produksi beras di Kabupaten Merauke. Sumber air yang digunakan untuk kebutuhan air irigasi berasal dari curah hujan langsung dan dari waduk lapangan (long storage). Waduk lapangan merupakan salah satu teknik konservasi air dan lengas tanah dengan cara menangkap air hujan serta merupakan usaha untuk mengurangi evaporasi dan aliran permukaan sehingga air dapat disimpan dalam tanah berupa lengas tanah atau air tanah sehingga air tetap berada di sekitar tanaman atau lahan produksi (Sukirno, 2001). Ketersediaan air pada waduk lapangan berasal dari limpasan permukaan dan curah hujan efektif. Ketersediaan air di pengaruhi juga oleh besarnya kehilangan air yang terjadi akibat evaporasi pada permukaan air serta resapan pada badan dan dinding waduk. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kemampuan waduk lapangan (long storage) dalam memasok kebutuhan air tanaman dalam bentuk neraca air dan menentukan pola tanam yang tepat berdasarkan tingkat ketersediaan air pada waduk lapangan. ___________________________ *) Staf Pengajar Pada Jurusan Teknik Pertanian Universitas Musamus
71
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei –Agustus 2010 bertempat di Desa Semangga Jaya, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke. Luas wilayah Desa Semangga Jaya adalah 107 km2. Secara geografis Desa Semangga Jaya terletak pada 08o25'039” LS - 140o 26'436” BT. Batas-batas wilayah adalah sebelah Utara berbatasan dengan Desa Marga Mulya, sebelah Selatan Desa Sido Mulya, sebelah Barat Desa Waninggap Kay dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kuper (Rejeki, 2010). Penelitian dilakukan pada salah satu waduk lapangan yang terdapat di blok E, dengan ukuran panjang mencapai 1 km, lebar 84 m, kedalaman 3 m. Letak waduk lapangan di sekitar lahan pertanian sehingga luas daerah tangkapan adalah 284,50 ha yang merupakan total dari 220 ha lahan sawah dan 64,50 ha lahan tegalan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rol meter, GPS, kamera digital, tali rafiah, alat tulis menulis dan papan meteran.
Analisis Potensi Ketersediaan Air Ketersediaan air pada waduk lapangan berupa air yang masuk ke dalam tampungan waduk lapangan terdiri atas dua bagian yaitu (1) air limpasan permukaan dari daerah tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan metode NRECA dan (2) hujan efektif yang langsung jatuh di atas permukaan waduk lapangan. Ketersediaan air di pengaruhi juga oleh besarnya kehilangan air yang terjadi akibat evaporasi pada permukaan air serta resapan pada badan dan dinding waduk, dengan demikian jumlah air yang masuk ke dalam waduk dapat dinyatakan seperti berikut (Kasiro, dkk.,1994). In = Vj + (AB. Rb) Dimana, In
: Volume air yang dapat mengisi waduk lapangan (m3)
Vj
: Aliran tengah bulanan (m3)
Rb : Curah hujan tengah bulanan (mm) AB : Luas permukaan waduk lapangan (ha)
72
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
a. Analisis limpasan permukaan, dihitung menggunakan metode NRECA Dalam menghitung analisis limpasan permukaan, terlebih dahulu disusun parameter-parameter yang akan digunakan dalam perhitungan. Parameter tersebut saling berhubungan sehingga perhitungan dilakukan secara bertahap. Parameter tersebut disusun sedemikian rupa sehingga mempermudah di dalam perhitungan. (1) Bulan (Januari – Desember). (2) Jumlah hari (n). (3) Nilai rerata curah hujan tengah bulanan (Rb), dalam (mm) (4) Nilai evapotranspirasi (ETo, dalam mm) (5) PET merupakan evapotranspirasi yang terjadi selama (n hari) (6) Nilai tampungan kelengasan awal (Wo), nilainya harus dicoba-coba misalnya diambil 200 (mm) di bulan Januari, selanjutnya merupakan penjumlahan antara tampungan kelengasan awal dan perubahan tampungan, keduanya dari bulan sebelumnya. (7) Tampungan kelengasan tanah (Wi), dihitung dengan rumus: Wi = Wo/N , N (Nominal) = 100 + 0,2 Ra ( hujan tahunan) (8) Rasio Rb/PET = Rb /PET (9) Rasio AET/PET, nilainya berasal dari grafik hubungan antara rasio Rb/PET dan Wi (10) AET = (Rasio AET/PET) x PET x Koefisien reduksi (0,9) , dalam (mm) (11) Neraca air = Rb – AET, dalam (mm) (12) Rasio kelebihan kelengasan. Bila neraca air positif, maka rasio tersebut dapat diperoleh dari grafik rasio tampungan kelengasan tanah dengan memasukan nilai tampungan kelengasan tanah (Wi). Bila neraca air negatif, maka nilai rasio = 0. (13) Kelebihan kelengasan = Neraca air x Rasio kelebihan kelengasan (14) Perubahan tampungan = Neraca air – Kelebihan kelengasan (15) Tampungan air tanah = P1 x Kelebihan kelengasan P1 = Parameter yang menggambarkan karakteristik tanah permukaan (kedalaman 0 – 2 m), nilainya berkisar antara 0,1 – 0,5 tergantung pada sifat lolos air lahan. 73
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
P1 = 0,1 bila bersifat kedap air, dan P1 = 0,5 bila bersifat lolos air (16) Tampungan air tanah awal harus dicoba-coba , untuk bulan berikutnya; Tampungan air tanah = tampungan air tanah bulan sebelumnya – aliran air tanah bulan sebelumnya. (17) Tampungan air tanah akhir = Tampungan air tanah – Tampungan air tanah awal (18) Aliran air tanah = P2 x Tampungan air tanah akhir P2 = parameter seperti P1 tetapi untuk lapisan tanah dalam (kedalaman 2 – 10 m). P2 = 0,9 bila sifat kedap air, dan P2 = 0,5 bila bersifat lolos air (19) Limpasan langsung (direct flow) = Kelebihan kelengasan – Tampungan air tanah (20) Limpasan total = Aliran air tanah + Limpasan langsung (mm) (21) Volume aliran = Limpasan total x 10 x Luas daerah tangkapan (A), (m3) Selanjutnya untuk perhitungan bulan berikutnya, diperlukan nilai tampungan kelengasan awal (Wo) dan tampungan air tanah (GWS) bulan sebelumnya, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut atau: Tampungan kelengasan awal = Wo + ΔS Tampungan air tanah (GWS) = GWS 2 – GWF Sebagai patokan akhir perhitungan, nilai tampungan kelengasan awal (Wo Januari) harus mendekati tampungan kelengasan bulan (Wo Desember). Jika perbedaan antara keduanya cukup jauh (>200 mm) perhitungan perlu diulang mulai bulan Januari lagi, dengan mengambil nilai tampungan kelengasan awal (Januari) sama dengan tampungan kelengasan bulan Desember.
b. Kehilangan air pada waduk lapangan, terjadi melalui proses : Evaporasi (Eo), diperoleh menggunakan metode transfer massa (Triatmodjo, 2009) Eo = 0,35 (0,5 + 0,54 u2) (es – ed) Ed = RH. es Dimana, Eo : Evaporasi (mm) 74
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
U2 : Kecepatan angin pada ketinggian 2 m di atas permukaan air (m/detik) es : Tekanan uap air jenuh (mm Hg) ed : Tekanan uap udara (mm Hg) RH : Kelembapan udara (%) Besarnya penguapan di permukaan waduk lapangan dihitung : Ve = AB. Ekj Dimana, Ve : Jumlah evaporasi waduk lapang (m3/dtk) AB : Luas permukaan waduk lapangan (ha) Ekj : Evaporasi bulanan pada bulan ke-j (mm/bulan) Jumlah Resapan (Vr), nilainya tergantung sifat lolos air material dasar (Kasiro, dkk. 1994) Dimana, K 10% : Bila dasar dan dinding reservoir praktis rapat air (k ≤ 10-5 cm/dtk), termasuk penggunaan lapisan buatan (selimut lempung, geomembran, rubber sheet, semen tanah). K 25% : Bila dasar dan dinding reservoir bersifat semi lolos air (k = 10-3 – 10-4 cm/dtk)
Analisis Kebutuhan Air Menurut Kartasapoetra, dkk (1991), kebutuhan air tanaman digunakan untuk: a) Penyiapan lahan (PL),dihitung menggunakan metode Van De Goor Zijlstra:
Dimana,
( ) = ( ) PL
: Kebutuhan air di tingkat persawahan (mm/hari)
M
: Kebutuhan air untuk mengganti air yang hilang akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang telah jenuh, (Eo + P), (mm/hari)
e
: Bilangan eksponensial,
Eo
: Evaporasi air terbuka yang diambil 1,1 x ETo (mm/hari)
ETo : Evapotranspirasi 75
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
P
: Perkolasi (mm/hari), nilai yang gunakan sebesar 2 mm/hari
k
: M x (T/S),
T
: Jangka waktu penyiapan lahan ( 30 hari)
S
: Air yang dibutuhkan untuk penjenuhan (200 mm)
Kebutuhan air untuk mengganti lapisan air (WLR) ditetapkan berdasarkan Standar Perencanaan Irigasi 1986, KP-1. Besar kebutuhan air untuk penggantian lapisan air di sawah adalah 50 mm/bulan (atau 3,33 mm/hari selama ½ bulan) dilakukan sebanyak dua kali. Pertama, dilakukan satu bulan setelah pemindahan bibit ke petak sawah (tansplantasi), sedangkan yang kedua dilakukan setelah dua bulan sejak transplantasi.
b. Penggunaan konsumtif tanaman (ETc) = ETo x kc ETo
0,408Rn U 2 (ea ad ) (1 0,34U 2 )
900 T 273
Dimana, ETc : Kebutuhan air konsumtif (mm/hari) kc : Koefisien tanaman ETo : Evapotranspirasi (mm/hari),
c. Curah hujan efektif (HE), diperoleh dari data curah hujan tengah bulanan dengan menggunakan metode Weibull (Mahmud, 2007) Pr =
Dimana,
100%
Pr : Probabilitas m : Rangking atau nomor urut data dari data terbesar ke data terkecil. n : Jumlah data atau jumlah tahun pengamatan Curah hujan efektif untuk tanaman padi dan palawija masing-masing diperoleh dengan Persamaan 2.8 dan 2.9 (Perencanaan Jaringan Irigasi, KP-01, 1986). 76
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
HE padi = 0,7
1 R80 15
HEpalawija = 0,7
1 R50 15
Dimana, HE
: Curah hujan efektif (mm/hari)
R80
: Curah hujan yang berpeluang gagal 20% (mm)
R50
: Curah hujan yang berpeluang 50% (mm)
d. Kebutuhan air irigasi Qir
ETc PL WLR P He xAi IE
Dimana, Qir
: Kebutuhan air irigasi (m3/ha)
ETc : Kebutuhan air konsumtif (mm/hari) WLR : Kebutuhan air untuk mengganti lapisan air (mm/hari) PL : Kebutuhan air ditingkat persawahan (mm/hari) Ai
: Luas areal irigasi (ha)
P
: Perkolasi (mm/hari)
HE : Curah hujan efektif (mm/hari) IE
: Nilai efisiensi Irigasi (%), nilai yang digunakan sebesar 0,85
e. Penetapan Pola Tanam dan Jadwal Tanam Suatu luasan areal (L) yang ditanami dengan pola tanam (p) adalah (Lp), maka kebutuhan airnya dapat dinyatakan sebagai luas areal pola tanam (Lp) x kebutuhan air (qpt). Agar jumlah air yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk areal yang seluasluasnya, maka total luasan Lp harus maksimum. Akan tetapi apabila daerah irigasi mempunyai luas maksimum (A), maka (Lp) tidak boleh lebih besar dari A. Apabila besarnya debit air tersedia (Qt) mampu memenuhi kebutuhan air suatu luasan (Lp x qpt) yang berarti air dalam keadaan tersedia atau neraca air dalam keadaan surplus,artinya
77
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
tanaman tidak mengalami kekurangan air (Wibowo, 2000). Menurut Kasuri ( 2008), perhitungan neraca air dapat dihitung berdasarkan persamaan neraca air global I = O ± ΔS Dimana, I
: Masukan (inflow)
O
: Keluaran (outflow)
ΔS : Perubahan tampungan
Prosedur Kerja Tahapan penelitian yang di lakukan adalah: a. Pengumpulan data sekunder berupa: data curah hujan dan iklim dua belas tahun 1999 – 2010 (suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan lama penyinaran), data diperoleh dari Stasiun Bandara Mopah Kabupaten Merauke. Data waduk lapangan, diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Merauke. Data Monografi Desa Semangga Jaya, data pola tanam dan luas lahan, data tanah dan topografi lahan, diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke, dan PPL Desa Semangga Jaya. b. Pengumpulan data primer berupa: luas waduk lapangan dan luas daerah tangkapan, tinggi muka air dan kedalaman waduk.Data luas waduk lapangan, tinggi muka air dan kedalamam waduk dilakukan dengan cara mengukur langsung menggunakan rol meter dan papan meter. Luas daerah tangkapan diperoleh dengan bantuan GPS. Selanjutnya data yang sudah diperoleh dianalisa sebagai berikut; 1.
Data curah hujan, dimanfaatkan untuk menentukan besaran hujan efektif baik di lahan pertanian maupun waduk lapangan, menentukan besaran hujan tahunan dan bulanan, data yang digunakan adalah rerata tengah bulanan.
2.
Data iklim yang digunakan adalah rerata bulanan, dimanfaatkan untuk menentukan besarnya nilai evapotranspirasi dengan menggunakan metode FAO Modified Penmann-Monteith yang dianalisa dengan bantuan software Cropwat for windows.
3.
Analisis ketersediaan air dilakukan pada lahan pertanian dan waduk lapangan.
78
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
(i)
Ketersediaan air pada lahan pertanian berupa hujan efektif yang diperoleh dengan metode probabilitas empiris Weibull, yaitu (a) mengurutkan data curah hujan rerata bulanan dari nilai terbesar ke nilai terkecil, (b) menghitung
probabilitas
kejadian
masing-masing
urutan
menurut
persamaan, (c) nilai hujan dengan keandalan tertentu dapat ditentukan, yaitu nilai yang paling mendekati probabilitas kejadian sebesar nilai yang dimaksud. (ii)
Ketersediaan air pada waduk lapangan berupa air yang masuk ke dalam tampungan waduk lapangan terdiri atas 2 kelompok yaitu (1) air permukaan dari daerah tangkapan yang diperoleh menggunakan metode NRECA dan (2) air hujan efektif yaitu air hujan yang jatuh langsung diatas permukaan waduk lapangan dikurangi dengan evaporasi dari permukaan air dan rembesan yang terjadi pada dasar dan dinding waduk lapangan. Evaporasi dianalisa dengan metode empiris transfer massa dan besarnya rembesan ditetapkan berdasarkan sifat lolos air material dasar dinding waduk lapangan.
4.
Penetapan pola tanam dilakukan berdasarkan analisis kebutuhan air pada pola tanam dan jadwal tanaman yang digunakan petani saat ini yaitu: Padi-Padi-Bero, MT-1 November, MT-2 Maret, MT-3 Juli. Penetapan pola tanam yang dilakukan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pembuatan RTTG (Rencana Tata Tanam Global), yang menggambarkan rencana pola tanam pada suatu daerah irigasi, belum terperinci per petak tersier.
5.
Analisis kebutuhan air untuk irigasi dilakukan berdasarkan kebutuhan air untuk penyiapan lahan, pengantian lapisan air yang hilang akibat evaporasi dan perkolasi, curah hujan dan kebutuhan air konsumtif tanaman, luas areal irigasi dan efisiensi irigasi.
6.
Analisis neraca air, dilakukan untuk mengetahui kondisi keseimbangan air antara kebutuhan air dan ketersediaan air pada lahan pertanian. Analisis neraca air menggunakan metode neraca air global dengan parameter berupa jumlah air tersedia dan jumlah air yang dibutuhkan pada luasan tertentu.
79
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Perhitungan Iklim Hasil perhitungan iklim selama dua belas tahun (1999 – 2010) dilakukan untuk mengetahui besarnya evapotranspirasi (ETo) yang terjadi. Nilai evapotranspirasi ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Rerata Evapotranspirasi Bulanan (ETo) Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rerata
ETo (mm) 3,74 3,76 3,93 3,63 3,48 3,00 2,98 3,48 4,16 3,90 4,56 3,73 3,70
Tabel 1, menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi terendah terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar (2,98 mm). Hal ini berkaitan dengan fenomena alam yang terjadi di Kabupaten Merauke dimana pada bulan Juni-Agustus suhu udara sangat dingin karena dipengaruhi oleh angin muson basah yang bertiup dari arah Barat Laut, kecepatan angin pada bulan Juli adalah 20 km/hari dengan kelembapannya cukup tinggi yaitu 80%. Evapotranspirasi tertinggi terjadi pada bulan November yaitu 4,56 mm/hari, hal ini disebabkan karena radiasi matahari yang cukup tinggi yaitu 22,2 MJ/m/hari, dengan suhu maksimum mencapai 32,30C dan suhu minimumnya 24,00C serta kelembapan yang rendah ( 78%).
80
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
Hasil Perhitungan Ketersediaan Air a. Ketersediaan Air Pada Lahan Pertanian Analisa ketersediaan air perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar air yang tersedia pada lahan pertanian yang dapat digunakan oleh tanaman. Analisa ketersediaan air pada lahan pertanian dilakukan berdasarkan perhitungan curah hujan efektif dari data rerata curah hujan tengah bulanan selama 12 tahun (1999 – 2010).
Tabel 2. Hujan Efektif Lahan Pertanian (mm) Bulan
R80 R50 Rerata Bulan R80 R50 Rerata 13,68 19,65 21,24 0,80 1,37 3,20 Januari Juli 12,83 18,43 19,91 0,75 1,29 3,00 11,38 21,59 21,11 0,25 0,77 2,10 Februari Agustus 13,13 24,92 24,36 0,24 0,72 1,97 17,27 24,31 24,55 0,16 0,65 2,44 Maret September 16,18 22,79 23,02 0,16 0,65 2,44 7,55 16,45 19,07 1,06 3,15 5,59 April Oktober 7,55 16,45 19,07 0,99 2,95 5,24 4,23 4,51 8,18 2,22 4,29 7,58 Mei November 3,97 4,23 7,67 2,22 4,29 7,58 1,11 3,25 5,11 7,87 12,78 14,57 Juni Desember 1,11 3,25 5,11 7,38 11,98 13,66
30 R80
Hujan (mm)
25
R50
Rerata
20 15 10 5 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Gambar 1. Hujan Efektif Desa Semangga Jaya
81
Des
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Tabel 2 dan Gambar 1, menunjukkan bahwa ketebalan hujan efektif 80% terbesar terjadi pada bulan Maret-1 (17,27 mm) dan ketebalan hujan terendahnya terjadi pada bulan September 1-2 (0,16 mm). Ketebalan hujan efektif 50% terbesar terjadi pada bulan Februari-2 (24,92 mm) dan hujan terendah terjadi pada bulan September 1-2 (0,65 mm). Rerata hujan bulanan terbesar terjadi pada bulan Maret-1 (24,55 mm) dan hujan terendah pada bulan Agustus-2 (1,97 mm). Pada bulan-bulan musim hujan (Desember – April) ketebalan hujan meningkat dan berkurang pada bulan musim kemarau (Mei – November). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air pada lahan pertanian sangat bergantung pada curah hujan sehingga berpengaruh pada penetapan pola tanam. Curah hujan pada bulan Desember – April dapat dimanfaatkan untuk penanaman tanaman padi dan pada bulan Mei – November dapat di manfaatkan untuk penanaman tanaman palawija sehingga berdasarkan curah hujan hanya dapat diterapkan pola tanam PadiPalawija. Oleh sebab itu untuk meningkatkan pola tanam dan luas lahan yang optimal maka di butuhkan tambahan air irigasi dari sumber lain dalam hal ini adalah dari waduk lapangan. Berdasarkan hujan efektif R80 dan R50, diperoleh besar hujan efektif pada lahan pertanian yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman padi dan palawija.
b. Ketersediaan Air Pada Waduk Lapangan Ketersediaan air (Qt) pada waduk lapangan bergantung pada curah hujan, besarnya limpasan, evaporasi dan rembesan. Total aliran masuk (Qi) pada waduk lapangan berasal dari hujan dan limpasan permukaan sedangkan total aliran keluar (Qo) tergantung pada evaporasi dan rembesan. Analisis aliran limpasan langsung diprediksikan berdasarkan data rerata iklim dan rerata curah hujan tengah bulanan selama 12 tahun, hasil perhitungan aliran limpasan dengan metode NRECA adalah sebagai berikut (untuk bulan Januari-1) (1) Nama bulan (Januari – Desember) (2) Jumlah hari, n = 15 (3) Nilai rerata curah hujan tengah bulanan (Rb), = 21,24 mm (4) Nilai evapotranspirasi (ETo) = 3,74 mm (5) Nilai PET = 3,74 x 15 = 56,10 mm 82
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
(6) Nilai tampungan kelengasan awal (Wo) = 200 mm (7) Tampungan kelengasan tanah (wi) = 200/739,91 = 0,27 mm (8) Rasio Rb/PET = 21,24/56,10 = 0,38 mm (9) Rasio AET/PET = 0,07 (10) AET = 0,07 x 56,10x 0,9 = 3,53 mm (11) Neraca Air = 17,71 mm (12) Rasio kelebihan kelengasan = 0,03 (13) Kelebihan kelengasan =17,71 x 0,03 = 0,53 mm (14) Perubahan tampungan = 17,71 –0,05 = 17,17 mm (15) Tampungan air tanah = 0,1 x 0,53 = 0,05 mm (16) Tampungan air tanah awal = 2 mm (17) Tampungan air tanah akhir = 2,00 + 0,05 = 2,05 mm (18) Aliran air tanah = 0,9 x 2,05 = 1,85 mm (19) Limpasan langsung = 0,53 – 0,05 = 0,48 mm (20) Limpasan total = 1,85 + 0,48 = 2,33 mm (21) Volume aliran = 2,33 x 10 x 284,50 = 6617,07 m3
Berdasarkan hasil perhitungan maka dapat diprediksikan jumlah air yang masuk ke dalam waduk lapangan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
83
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Tabel 3. Total Aliran Masuk (inflow) Volume Air (m³) RO (m ) Rb (mm) Qi (m3) 1 6617,07 21,24 8401,23 Januari 2 2646,98 19,91 4319,42 1 3133,02 21,11 4906,26 Februari 2 4760,32 24,36 6806,56 1 5474,92 24,55 7537,12 Maret 2 4960,19 23,02 6893,87 1 4173,03 19,07 5774,91 April 2 4219,54 19,07 5821,42 1 42,22 8,18 729,34 Mei 2 4,22 7,67 648,50 1 0,42 5,11 429,66 Juni 2 0,04 5,11 429,28 1 0 3,20 268,80 Juli 2 0 3,00 252,00 1 0 2,10 176,40 Agustus 2 0 1,97 165,48 1 0 2,44 204,96 September 2 0 2,44 204,96 1 0 5,59 469,56 Oktober 2 0 5,24 440,16 1 0 7,58 636,72 November 2 0 7,58 636,72 1 2118,13 14,57 3342,01 Desember 2 1755,24 13,66 2902,68 Keterangan : RO (Runoff), Rb (Rerata hujan bulanan), Qi (Volume inflow) Bulan
3
84
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
Volume air (m³/dtk)
0.25 Qi
0.2
Rb
RO
Bulan
0.15 0.1 0.05 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sept
Okt
Nov
Des
Gambar 2. Total Aliran Masuk (inflow)
Gambar 2, menunjukkan bahwa total aliran masuk pada waduk lapangan dipengaruhi oleh besarnya limpasan dan curah hujan yang terjadi. Pada bulan musim hujan (Desember – April) curah hujan yang terjadi cukup tinggi sehingga terjadi limpasan langsung dan mempengaruhi volume air pada waduk lapangan sedangkan pada bulan musim kemarau (Mei- November) curah yang terjadi sangat rendah atau bahkan tidak ada sehingga tidak terjadi limpasan langsung dan pengisian air pada waduk lapangan. Menurut Kasiro,dkk (1994) menyatakan bahwa untuk daerah semi kering atau kering, aliran dasar tidak ada atau sangat sedikit sehingga aliran masuk dapat diperkirakan hanya dari hujan yang terjadi. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor iklim, daerah kering mempunyai nilai evapotranspirasi potensial yang sangat tinggi sehingga mempengaruhi nilai rasio hujan bulanan dan evapotranspirasi aktual yang selanjutnya mempengaruhi neraca air. Besarnya masukan pada waduk lapangan dipengaruhi juga oleh faktor; kedalaman genangan dan tebal lapisan jenuh, kelembapan tanah, pemampatan oleh hujan, penyumbatan oleh butiran halus, tanaman penutup, topografi dan intensitas hujan. Pada musim kemarau, tanah di lahan menjadi sangat kering dan pecah-pecah sehingga pada saat terjadi hujan butiran tanah mengalami pemadatan dan proses infiltrasi yang terjadi sangat lambat karena pada permukaan tanah terdapat butiran halus yang menyumbat pori-pori tanah. Tanaman penutup tanah yang berada pada daerah tangkapan adalah berupa tanaman semusim (sayuran dan semak mimosa), sehingga 85
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
tidak dapat membentuk lapisan humus yang dapat menaikan kapasitas infiltrasi (Asdak, 2007). Kondisi topografi juga mempengaruhi aliran permukaan, Desa Semangga Jaya mempunyai topografi yang sangat datar ± 1% sehingga aliran permukaan yang terjadi sangat kecil. Besarnya kehilangan air pada reservoir terjadi melalui proses evaporasi dan resapan pada dinding. Hasil perhitungan total kehilangan air pada waduk lapangan di tunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Total Kehilangan Air (Outflow) Bulan
Eo (m³) Vr (m³) Qo (m³) 1 34,99 57,60 92,59 Januari 2 32,81 54,00 86,81 1 36,56 57,60 94,16 Februari 2 42,18 66,46 108,64 1 28,11 57,60 85,71 Maret 2 26,35 54,00 80,35 1 30,21 57,60 87,81 April 2 30,21 57,60 87,81 1 31,89 57,60 89,49 Mei 2 29,89 54,00 83,89 1 28,77 57,60 86,37 Juni 2 28,77 57,60 86,37 1 32,61 57,60 90,21 Juli 2 30,57 54,00 84,57 1 36,59 57,60 94,19 Agustus 2 34,30 54,00 88,30 1 51,61 57,60 109,21 September 2 51,61 57,60 109,21 1 48,66 57,60 106,26 Oktober 2 45,62 54,00 99,62 1 52,10 57,60 109,70 November 2 52,10 57,60 109,70 1 37,27 57,60 94,87 Desember 2 34,94 54,00 88,94 Keterangan : Eo (Evaporasi), Vr (Volume rembesan), Qo (Volume outflow)
86
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
Tabel 4, menunjukkan bahwa total volume air yang keluar dari waduk lapangan dipengaruhi oleh besarnya evaporasi dan rembesan, semakin besar kedua nilai tersebut maka kehilangan air yang terjadi akan semakin besar pula. Evaporasi dipengaruhi oleh radiasi matahari, temperatur udara, kelembapan udara, kecepatan angin dan luas permukaan waduk lapangan. Tipe waduk lapangan yang terdapat di Kabupaten Merauke, Desa Semangga Jaya adalah berupa long storage atau berbentuk memanjang dengan luas permukaan yang sangat kecil sehingga evaporasi yang terjadi pada permukaan waduk dapat dikurangi. Besarnya resapan yang terjadi pada waduk lapangan dipengaruhi oleh sifat lolos air pada material dasar dan dinding. Waduk lapangan yang terdapat di Desa Semangga Jaya bersifat nonpermanen atau sangat sederhana dimana dinding dan dasar dari waduk lapangan berasal dari lumpur yang dipadatkan, sehingga nilai yang digunakan untuk memprediksi besarnya rembesan adalah sebesar 10-4 cm/dtk atau 10-2 m3/dtk. Total air tersedia pada waduk lapangan (Qt) adalah volume total air tersedia (Qi) setelah dikurangi dengan volume total kehilangan air (Qo), yang kemudian ditampilkan dalam bentuk neraca air waduk lapangan (ΔS). Perhitungan neraca air merupakan perhitungan yang berkesinambungan, artinya volume air sisa pada bulan pertama ditambahkan pada volume air bulan kedua, demikian juga volume air sisa pada bulan kedua ditambahkan pada bulan ketiga dan seterusnya. Hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel 5.
87
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Tabel 5. Total Air Tersedia Bulan
Qi (m³) Qo (m³) Qt (m³) ΔS (m³) 1 636,72 109,70 527,02 527,02 November 2 636,72 109,70 527,02 1054,04 1 3342,01 94,87 3247,14 4301,18 Desember 2 2902,68 88,94 2813,74 7114,92 1 8308,64 92,59 8216,05 15330,97 Januari 2 4319,42 86,81 4232,61 19563,58 1 4906,26 94,16 4812,10 24375,68 Februari 2 6806,56 108,64 6697,92 31073,60 1 7537,12 85,71 7451,41 38525,01 Maret 2 6893,87 80,35 6813,52 45338,53 1 5774,91 87,81 5687,10 51025,63 April 2 5821,42 87,81 5733,61 56759,24 1 729,34 89,49 639,85 57399,09 Mei 2 648,50 83,89 564,61 57963,70 1 429,66 86,37 343,29 58306,99 Juni 2 429,28 86,37 342,91 58649,90 1 268,80 84,57 184,23 58834,13 Juli 2 252,00 84,57 167,43 59001,56 1 176,40 94,19 82,21 59083,77 Agustus 2 165,48 88,30 77,18 59160,95 1 204,96 109,21 95,75 59256,70 September 2 204,96 109,21 95,75 59352,45 1 469,56 106,26 363,30 59715,75 Oktober 2 440,16 99,62 340,54 60056,29 Total (m³) 62.305,43 2.249,14 60.056,29 60.056,29 Keterangan: Qi (Volume inflow), Qo (Volume outflow), Qt (Volume tersedia), ΔS (Neraca air) Penetapan Pola Tanam Dan Jadwal Tanam Penetapan pola tanam dibatasi hanya pada pembuatan RTTG (Rencana Tata Tanam Global) yang menggambarkan rencana jadwal tanam pada lahan daerah sekitar waduk lapangan. Alternatif pola tanam yang ditetapkan adalah: 1. Alternatif I, Padi-Padi-Palawija, MT-1 November, MT-2 Maret, MT-3 Juli 2. Alternatif II, Padi-Padi-Palawija, MT-1 Desember, MT-2 April, MT-3 Agustus 88
Yosehi Mekiuw, Studi Neraca Air Waduk Lapangan (Long Storage) di Desa Semangga Jaya Kabupaten Merauke
3. Alternatif III, Padi-Padi-Palawija, MT-1 Januari, MT-2 Mei, MT-3 September
Analisis kebutuhan air irigasi yang dimaksud merupakan besar kebutuhan air berdasarkan penggunaan pola tanam dan jadwal tanam yang diusulkan guna peningkatan hasil pertanian. Usulan alternatif pola tanam dan jadwal tanam yang diberikan diharapkan dapat memanfaatkan air yang tersedia secara efisien dan dapat menigkatakan produksi. Total kebutuhan air untuk masing-masing pola tanam per hektar ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Total Kebutuhan Air Alt.Pola Tanam I (Padi-Padi-Palawija) II (Padi-Padi-Palawija) III (Padi-Padi- Palawija) Total (m3/ha)
MT-1 708,34 644,23 680,81 2.681,52
Kebutuhan Air Irigasi (m3/ha) MT-2 MT-3 Total ΔS 647,09 310,74 1666,17 58390,12 644,23 315,36 1603,82 58452,47 640,11 320,16 1641,08 58415,21 2.224,43 1.237,34 6.143,29 53.913,00
Kebutuhan air total terbesar adalah pada alternatif I (MT-1 November, MT-2 Maret; MT-3 Juli) sebesar (1.666,17 m3/ha), karena awal musim tanaman dimulai pada awal musim hujan (bulan November) sehingga kebutuhan air yang digunakan untuk pengolahan lahan cukup besar, sedangkan MT-2 dan MT-3 menggunakan sisa air MT-1 yang tertampung pada waduk lapangan. Kebutuhan air total terendah adalah pada alternatif II (MT-1 Desember, MT-2 April, MT-3 Agustus) sebesar (1.603,82 m3/ha), karena awal musim tanam dimulai pada musim hujan (bulan Desember). Pada MT-3 dari ketiga pola tanam yang ada rata-rata kebutuhan air yang dibutuhkan untuk tanaman palawija lebih rendah karena digunakan hanya untuk pertumbuhan hingga pematangan, dibandingkan dengan MT-1 dan MT-2 untuk tanaman padi yang digunakan untuk pengolahan tanah dan penggantian air akibat evaporasi dan perkolasi.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil perhitungan ketersediaan air pada waduk lapangan (bendali) dapat dilihat bahwa ketersediaan air dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, limpasan
89
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
langsung, evaporasi dan rembesan. Ketersediaan air pada waduk lapangan mampu mencukupi kebutuhan air tanaman karena neraca air dalam kondisi surplus. Total air tersedia pada waduk lapangan adalah ± 60.056,29 m3, total kebutuhan air tanaman per hektar adalah ± 6.143,29 m3, sisa air ± 53.913,00 m3. Total kebutuhan air pada masing-masing pola tanam untuk alternatif I (1.666,17 m3/ha), alternatif II (1.603,82 m3/ha) dan alternatif III (1.641,08 m3/ha). Alternatif II dapat dikatakan lebih tepat untuk digunakan karena dapat memanfaatkan air secara maksimal sehingga luas lahan dapat dioptimalkan.
DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kartasapoetra, dkk. 1991. Teknologi Pengairan Pertanian Irigasi. Bumi Aksara. Jakarta. Kasiro, dkk. 1994. Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi Kering Di Indonesia. Pusat LITBANG Pengairan Badan LITBANG Pekerjaan Umum Departemen Pekerjaan Umum. Bandung. Kasuri,A.R., 2008. Kajian Penyediaan Air Baku DAS Krueng Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis Pascasarjana Teknik Sipil UGM. Mahmud, A. 2007. Optimasi Potensi Dan Pola Pemanfaatan Air Irigasi (Studi Kasus Pada Daerah Irigasi Wawatobi Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis Pascasarjana Teknik Pertanian UGM. Yogyakarta. Rejeki. 2011. Monografi WKPP Desa Semangga Jaya Distrik Semangga Kabupaten Merauke. Merauke. Sabri, F. 2008. Nilai Ekonomi Air Kolong DAM-3 Pemali Kabupaten Bangka. Tesis Pascasarjana Teknik Sipil UGM. Yogyakarta. Sukirno, 2001. Teknik Konservasi Tanah Dan Air. Bahan Ajar Fakultas Teknologi Pertanian Program Studi Teknik Pertanian UGM. Yogyakarta. Triatmodjo, B. 2009. Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta. Wibowo, S. 2000. Analisis Neraca Air Untuk Perbaikan Rencana Penetapan Pola Tanam Dan Jadwal Tanam (Studi Kasus di Daerah Irigasi Papah, Kulon Progo). Tesis Pascasarjana Teknik Pertanian UGM. Yogyakarta.
90
EFISIENSI USAHATANI PADI DI KABUPATEN MERAUKE Marthen Adrian Izaak Nahumury *)
ABSTRACT Research efficiency in rice farming is done by taking a sample of Merauke District in Sloping Land District and represented by five villages namely Yasa Maru Village, Village Waninggap Miraf, New Life Village, Village Amungkay, and Village Yaba Maru using as many as 51 respondents were selected at random (simple random sampling). This study aims to analyze the use of factors of production of rice farming, rice farming scale analyzes and analyze the efficiency of rice farming village in the district of Merauke Sloping Land. Research results showed that at the same factors of production (land, labor, seeds, fertilizers, and pesticides) affect rice production in the district of Merauke, Merauke rice farming on an increasing scale (increasing returns to scale) means that the scale of farming rice in Merauke managed inefficient farmers with arable land area of 1 ha. To get the level of efficiency, farmers are able to manage with the small size of arable land or small scale (<1 ha) given the conditions of rice farming in Merauke on an increasing scale (increasing returns to scale). There is no factor that paddy production reached a level of economic efficiency, so as to increase rice production in Merauke required optimizing the use of production factors efficiently. Based on the level of efficiency, production input of labor, seeds, fertilizers and pesticides to be added in order to obtain maximum production given the largescale land requires the addition of each input on rice production in the district of Merauke. Keywords : factors of production, was against the business, efficiency
PENDAHULUAN Salah satu bahan pangan nasional yang diupayakan ketersediannya tercukupi sepanjang tahun adalah beras yang menjadi makanan pokok bagi sebahagian besar penduduk Indonesia. Ketersediaan, pemerataan distribusi serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, merupakan issu sentral yang berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi nasional. Hal ini mengisyaratkan bahwa beras masih memegang peranan penting sebagai kebutuhan pangan utama di indonesia karena menjadi makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 230 juta jiwa. Di sisi lain, konsumsi beras secara nasional sampai saat ini masih cukup tinggi, bahkan cenderung meningkat.
___________________________ *) Staf Pengajar Pada Jurusan Agribisnis Universitas Musamus
91
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Kabupaten Merauke Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang menjadi sasaran program ekstensifikasi lahan sawah, memiliki geoekonomi yang sangat strategis untuk pengembangan usaha budidaya tanaman pangan. Pertanian sebagai ikon dari desa, menjadi perhatian Pemerintahan Kabupaten Merauke untuk membangun pedesaan, di mana potensi pengembangan padi di Kabupaten Merauke didukung antara lain oleh sumberdaya alam (khususnya iklim, tanah, dan air) yang sangat sesuai di sebagian besar lahan di Kabupaten tersebut. Potensi pengembangan padi di Kabupaten Merauke di dukung antara lain oleh sumber daya alam (khususnya iklim, tanah, dan air) yang sangat sesuai di sebagian besar lahan di Kabupaten tersebut. Luas panen padi di Kabupaten Merauke rata-rata sebesar 26.000.00 ha/tahun, dan luas ini bervariasi dari tahun ketahun karena lahan yang ada digunakan untuk berbagai komoditas. Fenomena yang dialami petani padi di Kabupaten Merauke adalah keterbatasan sumberdaya manusia atau tenaga kerja, kesulitan untuk mencari tenaga kerja pada saat musim tanam maupun panen karena petani melakukan kegiatan tanam dan panen pada waktu hampir bersamaan, penggunaan bibit, pupuk dan pestisida yang belum tepat. Kelebihan dalam penggunaan bibit, pupuk dan pestisida akan berdampak pada peningkatan biaya produksi, sebaliknya kekurangan bibit, pupuk dan pestisida akan menyebabkan penurunan produksi padi. luas lahan produksi yang digunakan petani di Kabupaten Merauke dikategorikan berskala besar (1.ha) sehingga dibutuhakan suatu kombinasi yang tepat dalam penggunaan input input produksi yang akan mempengharui pada efisiensi usahatani padi di Kabupaten Merauke. Pendapatan mempunyai hubungan langsung dengan hasil produksi usahatani, sedangkan produksi yang dihasilkan ditentukan oleh keahlian seseorang dalam mengelola penggunaan faktor produksi yang mendukung usaha tani seperti tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen. Dengan kata lain suatu kombinasi input serta dukungan suatu metode analisis yang tepat akan menciptakan sejumlah produksi yang lebih efisien. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran tentang penggunaan input produksi yang lebih efisien dalam pengolahan usahatani padi, agar petani padi mampu mengelola lahan garapan secara optimal.
92
Marthen Adrian Izaak Nahumury, Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Merauke
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Merauke Propinsi Papua dengan mengambil sampel di Kecamatan Tanah Miring dan di wakili oleh lima kelurahan yakni Kelurahan Yasa Maru, Kelurahan Waninggap Miraf, Kelurahan Hidup Baru, Kelurahan Amungkay, dan Kelurahan Yaba Maru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan sampel secara acak sederhana (simple random sampling) yaitu sebuah sampel di ambil dari populasi tenaga kerja keseluruhan sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk di pilih sebagai sampel sebanyak 51responden, dan waktu penelitian April sampai Juni 2012. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari petani responden yang diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung. Data primer yang dikumpulkan adalah data usahatani padi periode 2012. Data sekunder bersumber dari Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Kabupaten Merauke dan beberapa instansi lain. Untuk memenuhi tujuan penelitian serta menguji hipotesis yang telah ditetapkan maka analisis yang digunakan analisis fungsi produksi CobbDouglas. Menurut Ferguson dan Gould (1975), fungsi produksi adalah suatu persamaan matematika yang menunjukkan jumlah hasil maksimum yang dapat dihasilkan dari kombinasi penggunaan faktor produksi tertentu pada tingkat teknologi tertentu, guna mengetahui pengaruh masing-masing faktor produksi dalam usaha tani padi. Jumlah produksi yang berbeda akan memerlukan berbagai faktor produksi dalam jumlah yang berbeda pula. Di samping itu, untuk satu tingkat produksi tertentu, juga dapat digunakan gabungan faktor produksi yang berbeda (Sukirno, 1996). Menurut Nicholson (1995), Definisi fungsi produksi (production function) sebuah perusahaan untuk sebuah barang/produk tertentu adalah Y = ALß1 Kß2 dimana Y menunjukkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat di produksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K), dan tenaga kerja (L) dan A, ß1dan ß2 adalah konstanta, Sementara Adiningsih, (2003), fungsi produksi menunjukkan berapa banyak jumlah maksimum output yang dapat di produksi apabila sejumlah input tertentu digunakan dalam proses produksi. Jadi fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat penggunaan input dan karena fungsi ini hanya menunjukkan hubungan fisik antara input dan output. 93
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Secara umum terdapat lima faktor produksi yang di analisis yaitu lahan, tenaga kerja, benih pupuk, dan pestisida. Sehingga model fungsi produksi Cobb-Douglas dengan formulasi umum sebagai berikut: Y= A X1b1 eμ
…………………………………………………………...
(1)
dimana : Y
= Produksi komoditi tanaman pangan
Xi
= vektor input produksi
A
= Technological shifter
eμ
= bilangan e dengan pangkat u adalah error terms.
Atau dapat juga di tulis persamaan seperti berikut ini: Y= b0 X1b1. X2b2. X3b3 .X4b4 .X5b5. eμ
dimana : Y
= Jumlah Produksi Padi diukur dalam satu kali musim tanam /(Kg)
bo
= Intercept.
X1
= Luas lahan ( Ha)
X2
= Tenaga kerja (HOK)
X3
= Penggunaan bibit (Kg)
X4
= Penggunaan pupuk (Kg)
X5
= Penggunaan Pestisida (Ltr)
b1,..,b5 = Parameter. eu
= bilangan e dengan pangkat µ adalah error terms.
Dari formulasi umum pada
persamaan (1) di atas dapat ditransformasikan
kedalam bentuk double log natural (Ln).
Penggunaan double log natural ini
mempunyai keuntungan : mendekatkan skala data sehingga menghindarkan diri dari
94
Marthen Adrian Izaak Nahumury, Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Merauke
heteroskedastisitas dan parameter atau koefisien regresinya bisa langsung dibaca sebagai elastisitas.
Skala Usaha Analisis skala usaha sangat penting untuk menetapkan skala usaha yang efisien . Dalam hubungan antara faktor produksi atau input dengan tingkat produksi atau output, skala usaha (returns to scale) menggambarkan respon dari output terhadap perubahan proposional dari input. Nilai produk marginal berpengaruh besar terhadap elastisitas produksi yang diartikan sebagai presentase perubahan output sebagai akibat dari presentase perubahan input, sehingga secara matematis dinyatakan sebagai berikut (Soekartawi, 1990).:
Ep =
=
.
.......................................................................................
(2)
dimana Ep
= elastisitas Produksi
ΔY
= tambahan produksi (output)
Y
= total produksi
ΔX
= tambahan faktor produksi (input)
X
= total input
Sedangkan skala ekonomi usaha dapat diketahui dengan menjumlahkan koefisien elastisitas masing-masing faktor produksi yakni (Soekartawi, 2003) dengan kriteria penilaian sebagai berikut: Jika ∑ > 1 berarti increasing return to scale yaitu suatu keadaan dimana setiap unit tambahan input menghasilkan tambahan output lebih banyak daripada unit input sebelumnya (i=1,2,..., n). Jika ∑ = 1 berarti constant return to scale yaitu suatu keadaan dimana setiap unit tambahan input menghasilkan tambahan output sama dengan unit input sebelumnya. (i=1,2,..., n). Jika ∑ < 1 berarti decreasing return to scale yaitu suatu keadaan dimana setiap unit tambahan input menghasilkan tambahan output lebih sedikit daripada unit input sebelumnya i=1,2,., n).
95
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Analisis Efisiensi Pasar / Penggunaan Tiap Input Untuk mengukur tingkat efisiensi pasar/penggunaan tiap input dapat dilakukan melalui pendekatan keuntungan maksimum. Dimana keuntungan maksimum dicapai apabila perbandingan antara nilai produk marginal (Marginal Value Product) dari masing masing input (Xi) sama dengan harga inputnya (Pxi):
π = TR-TC
.....................................................................................................
(3)
π = Py.Y-Pxi.Xi
....................................................................................................
.(4)
dimana π
= Keuntungan
TR
= Total penerimaan
TC
= Total biaya
Untuk memaksimumkan keuntungan yang konsisten dengan efisiensi produksi maka diperoleh kondisi:
Maka Py .
disebut Nilai Produk Marginal (NPMxi) atau NPM = Py .
dimana Y
= output
Py
= harga output
Xi
= input ke-i
Pxi
= harga input dari Xi
96
Marthen Adrian Izaak Nahumury, Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Merauke
Persamaan Produk marginal ∂Y/∂xi dapat pula dinyatakan dengan menurunkan secara parsial fungsi produksi Cobb Douglass sebagai berikut: Y= A X1 b1 . eμ sebagai berikut :
= bi a
(
)
∂xi
atau MPxi = bi Xi
(
)
............................................................ (5) Xi
Sehingga kondisi efisiensi ekonomi dapat dinyatakan dalam bentuk:
bi Y.Py / Xi.Pxi = 1
…………………………………………………………...
(6)
atau
PMxi.Py = Pxi
….................................................................................................... (7)
NPMXi = Pxi …………………………………………..…………………………
(8)
NPMxi / Pxi = 1 ……………………………………...…………………………..
(9)
Sehingga berdasarkan penjabaran di atas dapat di susun suatu kriteria penilaian efisiensi. Apabila NPMxi /Pxi =1, maka telah tercapai efisiensi harga. Apabila NPMxi/Pxi >1 berarti penggunaan input X belum efisien, maka untuk mencapai efisien penggunaan input X perlu ditambah, dan apabila NPMxi / Pxi <1, berarti penggunaan input X tidak efisien, maka untuk menjadi efisien penggunaan input X perlu dikurangi. Dan untuk mendapatkan input (x) yang optimum dapat diperoleh dengan rumus:
bi Y.Py / Xi.Pxi = 1
…….................................................................................
(10)
bi.Y.Py = xi.Pxi
…..……………………………………………………….
(11)
Xi =bi.Y.Py/Pxi
…..……………………………………………………
(12)
97
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Faktor Faktor Yang Mempengharui Produksi Hasil regresi antara variabel luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk, dan pestisida dengan hasil produksi padi pada luas lahan 1.ha sebagaimana dapat dilihat pada tabel dibawah ini;
Tabel . Hasil Regresi Variabel Bebas Terhadap Variabel Terikat (Lahan 1.Ha) Variabel Bebas 1 Luas lahan 2 Tenaga Kerja 3 Bibit 4 Pupuk 5 Pestisida Kostanta Keterangan : Koefisien determinasi (R2) Adjusted (R2) F.Ratio Signifikan pada taraf nyata No
Koefisien Regresi 0,155 0,654 0,053 0,141 0,263 5,658
T. Hitung 3,664 5,93 2,273 2,493 3,079 6,918
T.Tabel α = 0,05 1,684
F. Tabel α = 0,05 2,45
N = 51
: 0,487 : 0,423 : 8,322 : 5%
Berdasarkan Tabel diatas maka dapat dijelaskan bahwa koefisien determinasi (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,487, yang dapat diartikan bahwa terdapat 48,7 % pengaruh variabel independen luas lahan (x1), tenaga kerja (x2), bibit (x3), pupuk (x4), dan pestisida (x5) terhadap peningkatan produksi padi (Y) di Kabupaten Merauke, sedangkan sisanya yaitu 51,3% di pengharui oleh variabel lain di luar model penelitian. Melalui pengujian koefisien regresi secara individual dengan t-test menunjukkan bahwa luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk dan pestisida berpengaruh secara signifikan terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke (P > 0.05). Hasil pengujian koefisien regresi secara bersamaan atau serempak dilakukan melalui F-test, dimana dari pengolahan data didapatkan nilai F-Tabel sebesar 2,45 sementara T.Tabel nilainya pada α=0.05 adalah 1,684, dengan demikian F-Tabel > FTabel sehingga dapat dijelaskan bahwa semua variabel bebas secara bersama-sama 98
Marthen Adrian Izaak Nahumury, Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Merauke
berpengaruh terhadap variabel terikat. atau dengan kata lain luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk dan pestisida secara bersama-sama dapat menjelaskan variabel produksi padi. Hasil regresi diatas menunjukkan bahwa variabel luas lahan 1.ha memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,155 yang berarti bahwa jika terjadi penambahan luas lahan bertambah 1 meter persegi, maka produksi padi dapat meningkat sebanyak 15,5 %, dengan asumsi variabel X2, X3, X4, dan X5 dianggap tetap, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke. Demikian halnya yang terjadi dengan faktor produksi tenaga kerja dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,654 yang berarti jika terjadi penambahan 1 tenaga kerja, maka rata-rata produksi padi akan meningkat sebanyak 65,4 %, dengan asumsi variabel X1, X3, X4, dan X5 dianggap tetap,dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke.Untuk faktor produksi bibit, nilai koefisien regresi sebesar 0,053 yang berarti jika terjadi penambahan penambahan bibit anakan padi sebanyak 1 %, maka akan menambah produksi padi sebesar 5,3 %, dengan asumsi variabel X1, X2, X4, dan X5 dianggap tetap, dari hasil regresi diatas dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke. Selanjutnya untuk faktor produksi pupuk, nilai koefisien regresi sebesar 0,141 yang berarti apabila terjadi penambahan pupuk sebanyak 1 %, maka akan menambah produksi padi sebesar 14,1 %, dengan asumsi variabel X1, X2, X3, dan X5 dianggap tetap, dari hasil regresi diatas dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke. Dan untuk faktor produksi pestisida, nilai koefisien regresi sebesar 0,263
yang berarti apabila terjadi penambahan pupuk sebanyak 1 %, maka akan
menambah produksi padi sebesar 26,3 %, dengan asumsi variabel X1, X2, X3, dan X4 dianggap tetap, dari hasil regresi diatas dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke.
99
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
B.Hasil Estimasi Kondisi Skala Usahatani Padi. Nilai skala usaha lahan 1 ha dapat diperoleh melalui penjumlahan seluruh Koefisien Regresi (∑b) dari masing masing variabel independen. Oleh karena itu skala ekonomi usahatani padi di Kabupaten Merauke adalah:
∑b = b1 + b2 + b3 + b4 + b5 = 0.654 + 0,053 + 0.141 + 0.163 = 1,011.
Berdasarkan hasil estimasi usahatani padi di Kabupaten Merauke berada pada skala yang meningkat (increasing return to scale) yaitu suatu keadaan dimana setiap unit tambahan input menghasilkan tambahan output lebih banyak daripada unit input sebelumnya.
3.Efisiensi Efisiensi untuk lahan 1.ha menunjukkan bahwa input input produksi yang digunakan dalam usahatani padi di Kabupaten Merauke belum efisien. dari hasil analisis diperoleh nilai efisiensi harga atau alokatifnya 1,011 atau lebih besar dari satu, NPM > 1 dimana nilai tersebut belum mencapai nilai efisiensi yang disyaratkan (sama dengan satu). dengan demikian untuk mencapai nilai efisiensi maka perlu ada penambahaan pada setiap input produksi untuk lahan 1.ha.
KESIMPULAN Hasil estimasi menunjukkan bahwa Secara bersamaan faktor produksi (luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk, dan pestisida) berpengaruh terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke, secara parsial pengaruh tenaga kerja, bibit, pupuk,dan pestisida berhubungan positif dan signifikan terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke, Usaha tani padi di Kabupaten Merauke berada pada skala yang meningkat (increasing return to scale), belum ada faktor produksi usaha tani padi yang mencapai tingkat efisiensi secara ekonomi, sehingga untuk meningkatkan produksi padi di Kabupaten 100
Marthen Adrian Izaak Nahumury, Efisiensi Usahatani Padi di Kabupaten Merauke
Merauke. diperlukan optimalisasi penggunaan faktor faktor produksi dan dengan penggunaan secara efisien, berdasarkan tingkat efisiensinya, input produksi tenaga kerja, bibit, pupuk dan pestisida harus ditambah guna mendapatkan produksi yang maksimal mengingat skala lahan yang besar membutuhkan penambahan setiap input terhadap produksi padi di Kabupaten Merauke. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa Skala Usahatani padi di Kabupaten Merauke tidak efisien dikelola petani dengan lahan garapan yang luas 1 Ha Untuk mendapatkan tingkat efisiensi, petani hanya mampu mengelola dengan ukuran lahan garapan yang kecil atau skala usaha kecil ( < 1 Ha ) mengingat kondisi usahatani padi di Kabupaten Merauke berada pada skala yang meningkat (increasing return to scale).
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, Sri, 1991, T eori Ekonomi Mikro. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Ferguson, C and J.P Could, 1975. Microeconomic Theory. Fourth Edition. Richard D Irving. Nicholson. W,1995, Teori Mikro Ekonomi, Prinsip Dasar dan Perluasan, Alih Bahasa : Daniel Wirajaya, Edisi ke 5, Binarupa Aksara, Jakarta. Soekartawi, 1990, Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasaan Analisis Fungsi Cobb- Douglas. Rajawali Press, Jakarta. Sukirno,1997, Pengantar Teori Mikro Ekonomi. PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.
101
ANALISIS PERTUMBUHAN TANAMAN GANDUM PADA BEBERAPA KERAPATAN TANAMAN DAN IMBANGAN PUPUK NITROGEN ANORGANIK DAN NITROGEN KOMPOS Yosefina Mangera *)
ABSTRACT Objective of the experiment to evaluate wheat growth of some plant density and the proportion of inorganic nitrogen and compost nitrogen.The research was conducted in the Sirapu Village, Semangga District, Merauke Regency using Randomized Complete Block Design with 3 blocks as replication. The first factor was plant density of three level, i.e., 25 cm x 10 cm, 25 cm x 15 cm, 25 cm x 20 cm.The second factor was proportion of inorganic nitrogen and compost nitrogen consists of six levels, i.e., compost 0% + urea 0%, 0% compost + 100% urea, 25% compost +75% urea, 50% compost + 50% urea, 75% compost + 25% urea, 100%compost + 0%. The experiment results showed that there was interaction between plant density and the proportion of inorganic nitrogen and compost nitrogen for plant dry weigh and crop growth rate parameters.Plant density in 25 cm x 15 cm and proportion of inorganic nitrogen and compost nitrogen in 25% compost +75% urea showed the best effect in plant dry weight and crop growth rate at 42 to 63 DAP. Keyword : plant density, proportion nitrogent, wheat
PENDAHULUAN Tanaman gandum (Triticum aestivum L.) adalah salah satu komoditas utama yang mendominasi posisi papan atas perdagangan produk pertanian dan nutrisi dunia. Hal ini disebabkan gandum adalah bahan utama pembuat roti, jenis makanan paling populer di dunia, dan berbagai jenis makanan lain yang menjadi kebutuhan sebagian besar penduduk dunia. Indonesia merupakan negara yang mengonsumsi gandum cukup besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, konsumsi tepung gandum terus memperlihatkan kenaikkan yang signifikan setiap tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, kebutuhan gandum nasional dapat mencapai 10 juta ton per tahun. Kebutuhan tepung terigu rata-rata tumbuh minimal 5 persen setiap tahun (Anonim, 2009).
___________________________ *) Staf Pengajar Pada Jurusan Teknik Pertanian Universitas Musamus
102
Yosefina Mangera,Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos
Mengingat makin besarnya devisa yang dikeluarkan, maka perlu mengurangi ketergantungan terhadap terigu impor. Salah satu upaya untuk menekan volume impor terigu adalah mengembangkan gandum dalam negeri dengan penerapan teknologi budidaya yang sesuai dengan agroklimat di Indonesia (Sovan, 2002). Pembudidayaan gandum mempunyai prospek yang cerah di masa yang akan datang. Untuk dapat memberikan produksi yang tinggi sebagaimana tanaman pangan yang lainnya, dalam pertumbuhannya gandum juga membutuhkan pupuk sebagai penyuplai unsur hara. Pemupukan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi pertanian dan salah satu unsur hara esensial yang sering ditambahkan dalam pemupukan adalah nitrogen (Haryadi, 1983). Mengingat ketersediaan pupuk kimia pada saat
sekarang ini semakin sulit, dan harganya semakin mahal, akibat adanya
pengurangan subsidi oleh pemerintah, maka penggunaannya harus diusahakan seefisien mungkin. Pupuk kompos dapat menambah tersedianya dan unsur hara bagi tanaman termasuk unsur N. Pemanfaatan pupuk kompos sebagai subtitusi sebagian pupuk kimia buatan dalam budidaya tanaman gandum diharapkan dapat meningkatkan produksi, mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk kimia buatan, mengurangi biaya produksi, serta memperbaiki kondisi tanah. Penggunaan pupuk anorganik diketahui dapat meningkatkan produktivitas, namun apabila dilakukan secara terus menerus dapat merusak kesuburan tanah baik fisik, kimia maupun biologi, di samping itu unsur hara yang diberikan mudah hilang karena volatilasi maupun pelindian air hujan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemupukan nitrogen dengan kombinasi pupuk anorganik dan organik yang tepat untuk memberikan pertumbuhan dan hasil gandum yang terbaik. Jarak antar baris sama diikuti dengan jarak dalam baris yang bervariasi, akan diperoleh variasi kerapatan dan jumlah populasi tanaman. Pengaturan jarak dalam baris merupakan salah satu teknik budidaya yang berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan gulma dan hasil tanaman yang akan dicapai. Perbedaan kerapatan tanam akan mempengaruhi petumbuhan tanaman, khususnya dalam hal berat kering tanaman, indeks luas daun, dan laju pertumbuhan tanaman. Biomassa tanaman akan meningkat dengan semakin menyempitnya jarak 103
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
dalam baris sampai batas tertentu. Penyempitan jarak dalam baris sampai batas tertentu diharapkan mampu menekan pertumbuhan gulma, sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman meningkat. Pengaruh imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos dan kerapatan tanaman merupakan suatu alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam meningkatkan hasil gandum, sehingga perlu diketahui secara pasti peranan masingmasing faktor dalam mempengaruhi komponen pertumbuhan. Mengingat dan mempertimbangkan peranan gandum dalam perekonomian nasional, maka faktor-faktor di atas perlu diteliti, sehingga diperlukan perimbangan yang tepat antara pupuk nitrogen dengan kompos dan kerapatan tanam. Dengan demikian produktivitas dan produksi gandum secara nasional dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan tanaman gandum pada beberapa kerapatan tanaman dan imbangan pupuk nitrogen anorganik dan nitrogen kompos.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sirapu Distrik Semangga Kabupaten Merauke Papua. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih gandum varietas Dewata, pupuk urea, SP-36, KCl, pupuk kompos, darmafur. Alat yang digunakan adalah bajak, cangkul, penggaris, roll meter, gunting, gembor, timbangan digital, oven, lux meter, seed counter, dan thermometer. Penelitian ini menggunakan percobaan faktorial 3 x 6, disusun dalam pola dasar Rancangan Acak Kelompok Lengkap (Randomized Complete Block Design) dengan 3 blok sebagai ulangan. Faktor pertama adalah kerapatan tanam yang terdiri dari 3 aras :J1 = 25 cm ×10 cm (400.000 rumpun/ha); J2 = 25 cm ×15 cm (266.667 rumpun/ha); J3 = 25 cm ×20 cm (200.000 rumpun/ha). Faktor kedua adalah pupuk, yang diujikan meliputi perbandingan pupuk urea (46% N) dan kompos (1% N) dengan kombinasi sebagai berikut :K0 + U0 (kompos 0 % dan urea 0 %); K0 + U100 (kompos 0 % dan urea 100%); K25+ U75 (kompos 25% dan urea 75%); K50 + U50 (kompos 50 % dan urea 50 %);K75+ U25 (kompos 75% dan urea 25%); K100 + U0 (kompos 100% dan urea 0%).
104
Yosefina Mangera,Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos
Terdapat 3 x 6 kombinasi perlakuan, sehingga keseluruhan terdapat 54 petak perlakuan. Ukuran petak perlakuan 500 cm x 300 cm dengan jarak antar petak 50 cm dan jarak antar blok 100 cm. Dibuat 3 blok, satu blok terdiri atas 18 petak. Penanaman dilakukan dengan cara tugal dengan kerapatan tanam sesuai dengan perlakuan yang diberikan yaitu 25 cm ×10 cm, 25 cm×15 cm dan 25 cm ×20 cm. Setiap lubang ditanami 3 benih. Pemupukan dengan kompos diberikan saat menutup lubang tanam sesuai dengan takaran perlakuan. Sedangkan pemupukan urea (300 kg.ha-1) untuk setiap perlakuan diberikan sebanyak 2 kali masing-masing setengah dosis (pertama 7 hari setelah tanam bersama 170 kg SP-36 ha-1 dan 100 KCl ha-1, dan pemupukan kedua 35 hari setelah tanam). Pertumbuhan tanaman yang diamati meliputi tinggi tanaman, indeks luas daun, berat kering tanaman, laju pertumbuhan tanaman (LPT), dan laju asimilasi bersih (LAB). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila pada sidik ragam perlakuan menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5 % maka untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dianalisis dengan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) (Gomez and Gomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Tinggi tanaman Tinggi
tanaman
merupakan
hasil
pertumbuhan
dan
perkembangan
tanaman.Pertambahan tinggi tanaman merupakan bentuk peningkatan pembelahan sel-sel akibat adanya translokasi asimilat yang meningkat. Tinggi tanaman bukanlah indikator utama pertumbuhan tanaman. Di sisi lain tanaman yang lebih tinggi tidak menjamin produktivitas suatu tanaman lebih tinggi karena tanaman yang tinggi tetapi batang lemah akan rentan terhadap kerebahan. Tabel 1 menunjukkan bahwa pengaruh imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos nyata mempertinggi tanaman, sedangkan kerapatan tanam tidak nyata pada umur 2, 4, dan 6 minggu setelah tanam.
105
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Tabel 1. Tinggi tanaman (cm) pada berbagai kerapatan tanaman dan imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos umur 2, 4,dan 6 minggu Waktu Pengamatan
2 mst
4 mst
6 mst
Keterangan
Imbangan Kerapatan Tanaman Rerata Pupuk 25 cm x 10 cm 25 cm x 15 cm 25 cm x 20 cm K0+U0 19,93 20,07 20,11 20,04 c K0+U100 22,33 22,58 22,67 22,53 ab K25+U75 22,59 22,79 22,82 22,73 a K50+U50 22,18 22,29 22,38 22,28 ab K75+U25 21,65 21,96 21,99 21,87 ab K100+U0 21,37 21,67 21,72 21,59 b Rerata 21,68 p 21,89 p 21,95 p (-) K0+U0 37,17 37,41 37,49 37,36 c K0+U100 40,23 40,38 40,57 40,39 a K25+U75 40,36 40,48 40,55 40,46 a K50+U50 40,03 40,11 40,13 40,09 a K75+U25 39,38 39,43 39,50 39,44ab K100+U0 38,57 38,62 38,68 38,62b Rerata 39,29 p 39,41 p 39,49 p (-) K0+U0 50,51 50,61 50,69 50,60 c K0+U100 55,56 55,65 55,67 55,63 a K25+U75 55,67 55,79 55,81 55,76 a K50+U50 55,20 55,28 55,53 55,34 ab K75+U25 54,65 54,71 54,73 54,70 b K100+U0 53,57 53,65 53,71 53,64 b Rerata 54,19 p 54,28 p 54,36 p (-) : Tanda (-) menunjukkan tidak terjadi interaksi antar faktor. Angka diikuti huruf sama pada suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan 5%.
Hasil sidik ragam terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan kerapatan tanam dan imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos pada umur 2, 4, dan 6 mst. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Terlihat bahwa imbangan dengan pupuk nitrogen anorganik (urea) lebih banyak dan atau seimbang dengan nitrogen kompos akan menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibanding dengan imbangan yang mempunyai takaran urea lebih sedikit. Hal tersebut terkait dengan ketersediaan hara dalam tanah. Pupuk anorganik lebih cepat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, sehingga tanaman akan lebih mudah melakukan penyerapan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangannya. Namun pemberian pupuk kimia tanpa diimbangi dengan unsur hara lainnya akan kurang 106
Yosefina Mangera,Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos
dapat mendukung pertumbuhan tanaman selanjutnya, karena jumlah unsur hara yang terkandung di dalamnya sangat terbatas. Penambahan bahan organik akan lebih baik untuk menyuplai kebutuhan hara mikro bagi tanaman selain untuk menjaga kualitas tanah. Rendahnya tinggi tanaman selama pertumbuhan gandum pada perlakuan tanpa pemupukan disebabkan karena unsur N maupun unsur hara lainnya dalam tanah menjadi faktor pembatas. Nitrogen diperlukan untuk pembentukan sel-sel baru. Apabila tanaman mengalami kekurangan N maka pembelahan sel terhambat, selain itu karbohidrat yang dihasilkan pada proses fotosintesis tidak dapat diubah menjadi protein atau asam-asam nukleat sehingga tanaman tidak dapat melangsungkan proses fisiologi (Fuller dan Ray, 1967). Nitrogen berpengaruh terhadap laju pembelahan dan pembesaran sel. Menurut Haryadi (1983), jika laju pembelahan dan perpanjangan sel berlangsung dengan cepat maka pertumbuhan batang, akar, maupun daun berjalan dengan cepat pula.
b. Indeks luas daun Daun merupakan organ utama tempat proses fotosintesis dengan hasil fotosintat yang digunakan oleh tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Perkembangan daun-daun baru pada tanaman dipengaruhi oleh pasokan asimilat yang berasal dari daun yang lebih dewasa. Asimilat tersebut digunakan untuk pembelahan dan pembesaran sel sehingga daun-daun baru terbentuk dan ukurannya bertambah besar. Asimilat yang digunakan untuk membentuk daun baru dan membesarkannya berasal dari hasil fotosintesis daun yang lebih dewasa. Daun-daun dewasa dapat menjalankan fotosintesis dengan baik kalau faktor-faktornya mendukung antara lain ketersediaan nutrisi. Indeks luas daun meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman (tabel 2) . Dalam umur tanaman yang sama, perlakuan dapat menyebabkan perbedaan indeks luas daun. Peningkatan indeks luas daun sampai taraf tertentu adalah penyebab peningkatan kemampuan tanaman dalam pemanfaatan radiasi sinar matahari untuk proses fotosintesis.
107
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Daun-daun tanaman yang mampu menangkap sinar matahari (sun leaf) dapat melakukan fotosintesis untuk menghasilkan bahan kering, sehingga berfungsi sebagai organ sumber (source). Daun-daun tanaman yang ternaungi (shade leaf) tidak dapat berfotosintesis, justru membutuhkan bahan kering sehingga berfungsi sebagai organ lubuk (sink). Peningkatan indeks luas daun sampai pada taraf tertentu menyebabkan peningkatan kapasitas sumber (source). Indeks luas daun yang terlalu tinggi justru merugikan karena bertambahnya jumlah shade leaf, karena adanya mutual shading. Hubungan sumber-lubuk sangat dipengaruhi oleh variabel indeks luas daun. Pada fase vegetatif maksimum terjadi proses pembentukan organ-organ generatif. Fungsi daun-daun sebagai organ sumber sangat penting karena diperlukannya asimilat yang akan disalurkan ke organ generatif.
Tabel 2. Indeks luas daun pada berbagai jarak tanaman dan imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos umur 21, 42, dan 63 hst Waktu Pengamatan
Imbangan Kerapatan Tanaman Rerata Pupuk 25 cm x 10 cm 25 cm x 15 cm 25 cm x 20 cm K0+U0 0,58 0,54 0,52 0,55 b K0+U100 0,95 0,86 0,82 0,88 a K25+U75 0,98 0,96 0,87 0,94 a K50+U50 0,93 0,90 0,78 0,87 a 21 hst K75+U25 0,92 0,88 0,70 0,83 a K100+U0 0,81 0,85 0,65 0,77 a Rerata 0,86 p 0,83 pq 0,72 q (-) K0+U0 1,60 1,48 1,42 1,50 c K0+U100 2,84 2,84 2,30 2,66 ab K25+U75 2,95 2,79 2,41 2,72 a K50+U50 2,93 2,74 2,34 2,67 ab 42 hst K75+U25 2,91 2,68 2,23 2,61 ab K100+U0 2,69 2,36 1,92 2,32 b Rerata 2,65 p 2,48 p 2,10 q (-) K0+U0 1,31 1,21 1,16 1,23 c K0+U100 2,13 1,93 1,73 1,93 a K25+U75 2,21 2,16 1,96 2,11 a K50+U50 1,85 1,83 1,75 1,81 ab 63 hst K75+U25 1,65 1,59 1,57 1,60 b K100+U0 1,53 1,51 1,46 1,50 bc Rerata 1,78 p 1,71 p 1,61 p (-) Keterangan : Tanda (-) menunjukkan tidak terjadi interaksi antar faktor. Angka diikuti huruf sama pada suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan 5%.
108
Yosefina Mangera,Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos
Hasil penelitian menunjukkan nilai ILD pada umur 21 dan 42 hst tertinggi dicapai pada perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 10 cm dan 25 cm x 15 cm. Hal ini terkait dengan jumlah populasi tiap satuan luas lahan. Jarak tanam yang lebih sempit menyebabkan populasi tanaman semakin tinggi sehingga jumlah daun akan semakin banyak. Semakin banyak jumlah daun maka luas daun per satuan luas lahan makin tinggi. Tabel 2 menunjukkan bahwa pemupukan dengan imbangan pupuk nitrogen (urea) dengan nitrogen kompos berpengaruh nyata terhadap ILD. Pada pengamatan 21, 42, dan 63 hst, tanpa pemberian pupuk menunjukkan nilai ILD terendah. Pemupukan akan meningkatkan suplai unsur hara tersebut di sekitar perakaran. Pemberian pupuk N baik berasal dari urea maupun kompos akan terurai dan diserap oleh akar tanaman dan selanjutnya dapat dimanfaatkan gandum untuk pertumbuhan dan perkembangannya termasuk didalamnya pertumbuhan dan perkembangan daun. Daun merupakan organ utama tanaman karena proses fotosintesis tanaman berlangsung pada daun. Kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis sangat ditentukan oleh luas daunnya karena semakin besar luas daun semakin besar pula cahaya yang dapat disekap oleh tanaman. Kemampuan berfotosintesis meningkat sampai daun berkembang penuh, kemudian menurun secara perlahan. Luas daun hijau yang biasa dinyatakan dalam indeks luas daun (ILD), merupakan faktor penentu penyerapan cahaya matahari, fotosintesis tajuk dan dengan demikian juga hasil tanaman (Board dan Harville, 1992).
c. Berat kering tanaman Salah satu metode untuk mengetahui kemampuan tanaman dalam melakukan fotosintesis adalah dengan mengukur berat kering tanaman. Bila tanaman yang baru saja dipanen, dipanaskan pada suhu 750 – 800C selama 2 x 24 jam maka hampir seluruh air yang ada dalam jaringan akan menguap. Bahan yang tertinggal disebut bahan kering dengan komponen utama meliputi polisakarida dan lignin pada dinding sel, ditambah komponen sitoplasma seperti protein, lipida, asam amino dan asam organik (Salisbury, 1995). Berat kering tanaman disajikan pada tabel 3.
109
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada umur 21 hst perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 20 cm dan 25 cm x 15 cm menghasilkan berat kering tanaman tertingi, masingmasing 6,13 g/rumpun dan 5,89 g/rumpun, sedangkan perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 10 cm menunjukkan hasil berat kering tanaman terendah (4,80 g/rumpun). Imbangan pupuk nitrogen urea 100% dan imbangan nitrogen urea 75% dengan nitrogen kompos 25% memberikan hasil berat kering tanaman tertinggi masingmasing 6,68 g/ rumpun dan 6,56 g/ rumpun, dan keduanya berbeda nyata dengan imbangan pupuk lainnya. Tabel 3. Berat kering tanaman (g/tanaman) pada berbagai kerapatan tanaman dan imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos umur 21, 42, dan 63hst Waktu
Imbangan
Kerapatan Tanaman Rerata 25 cm x 10 25 cm x 15 25 cm x 20 Pengamatan Pupuk cm cm cm K0+U0 3,18 3,32 3,47 3,32 d K0+U100 5,65 7,06 7,34 6,68 a K25+U75 5,54 6,93 7,20 6,56 a K50+U50 5,20 6,50 6,76 6,15 b 21 hst K75+U25 5,02 6,28 6,53 5,94 b K100+U0 4,20 5,25 5,46 4,97 c Rerata 4,80 q 5,89 p 6,13 p (-) K0+U0 7,94 i 8,3 i 8,68 i 8,31 K0+U100 18,35 ef 24,7 abc 25,69 a 22.91 K25+U75 18,01 efg 24,24 abc 25,21 ab 22.49 K50+U50 16,91 fg 22,76 cd 23,68 bcd 21.12 42 hst K75+U25 16,33 g 21,98 d 22,86 cd 20.39 K100+U0 13,65 h 18,38 ef 19,11 e 17.05 Rerata 15,2 20,06 20,87 (+) K0+U0 9,05 i 9,46 i 9,90 i 9,47 K0+U100 21,18 ef 28,23 abc 29,36 a 26.26 K25+U75 20,78 efg 27,70 abc 28,81 ab 25.76 K50+U50 19,51 fg 26,02 cd 27,06 bcd 24.20 63 hst K75+U25 18,84 g 25,12 d 26,12 cd 23.36 K100+U0 15,75 h 21,00efg 21,84 e 19.53 Rerata 17,52 22,92 23,85 (+) Keterangan : Tanda (+) menunjukkan terjadi interaksi antar faktor. Tanda (-) menunjukkan tidak terjadi interaksi antar faktor. Angka diikuti huruf sama pada suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan 5%
110
Yosefina Mangera,Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos
Pada umur 42 hst, berat kering tanaman tertinggi dicapai pada kombinasi perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 20 cm dan imbangan pupuk urea 100% (25,69 g/rumpun), perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 20 cm dan imbangan nitrogen urea 75% dengan nitrogen kompos 25% (25,21 g/rumpun), perlakuan jarak tanam 25 cm x 15 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 100% (24,70 g/rumpun) dan pada perlakuan jarak tanam 25 cm x 15 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 75% dengan nitrogen kompos 25% (24,24 g/rumpun). Pada umur 63 hst, berat kering tanaman tertinggi dicapai pada kombinasi perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 20 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 100% (29,36 g/rumpun), perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 20 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 75% dengan nitrogen kompos 25% (28,81 g/rumpun), perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 15 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 100% (28,23 g/rumpun) dan pada perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 15 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 75% dengan nitrogen kompos 25% (27,70 g/rumpun). Hal tersebut disebabkan semakin lebar jarak tanam maka populasi tanaman semakin sedikit, sehingga tidak terjadi persaingan dalam penyerapan hara. Semakin tinggi dosis pupuk nitrogen anorganik (urea) maka ketersediaan unsur N yang dapat diserap oleh tanaman juga semakin besar. Terbentuknya biomassa secara keseluruhan sangat tergantung pada jumlah unsur hara yang diserap oleh tanaman. Suplai nitrogen di dalam tanah merupakan faktor penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Foth (1988), nitrogen yang berlimpah
menaikkan
pertumbuhan
dengan
cepat.
Tanaman
mengalami
perkembangan yang lebih besar baik pada batang, akar, maupun daun. Penyediaan nitrogen dalam jumlah yang cukup dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebaliknya rendahnya biomassa yang dicapai pada perlakuan tanpa pemupukan disebabkan karena ketersediaan unsur hara yang sangat terbatas. Berat kering dapat dijadikan sebagai suatu parameter pertumbuhan karena berat kering tanaman merupakan hasil penimbunan bahan yang dihasilkan pada proses fotosintesis. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin banyak asimilat yang dihasilkan oleh tanaman pada proses fotosintesis maka semakin berat
111
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
bahan kering yang dihasilkannya. Peningkatan berat kering merupakan indikator pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adrian (2006) menyatakan bahwa tanaman yang mempunyai daun lebih luas pada awal pertumbuhan akan lebih cepat tumbuh karena kemampuan menghasilkan fotosintat lebih tinggi. Fotosintat yang lebih besar akan memungkinkan membentuk organ tanaman yang lebih besar kemudian menghasilkan produksi bahan kering yang semakin besar. Berat kering tanaman merupakan hasil proses fotosintesis tanaman setelah dikurangi respirasi. Pada fase pertumbuhan (vegetatif) tanaman gandum sebagian besar fotosintat tersebut ditranslokasikan untuk pembentukan bagian batang, daun,serta anakan dan hanya sebagian kecil untuk pembentukan akar. Menurut Gardner et al. (1991), berat kering total tanaman didominasi oleh tajuk yang memberi andil60% dari berat kering total karena fotosintat cenderung ke tajuk dibanding akar tanaman.
d. Laju pertumbuhan tanaman Kemampuan tanaman dalam menghasilkan bahan kering per satuan luas lahan dan per satuan waktu digambarkan oleh laju pertumbuhannya. Laju pertumbuhan tanaman (LPT) menurut Gardner et al., (1991) adalah bertambahnya berat tanaman per satuan luas lahan dalam satuan waktu. Umumnya tanaman menghasilkan asimilat yang akan disimpan sebagai cadangan makanan, sebagian hasil tersebut digunakan untuk proses fotosintesis, dan sisanya digunakan untuk pembentukan bagian-bagian tanaman atau komponen hasil. Tabel 4 menunjukkan bahwa LPT tertinggi pada umur 21-42 hst diperoleh dari perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 10 cm. Hal ini disebabkan semakin sempit jarak tanam akan mendorong tanaman cepat tumbuh untuk mencari cahaya, selain itu populasi yang semakin tinggi per satuan luas akan menghasilkan bahan kering yang jauh lebih banyak. Imbangan pupuk nitrogen urea 75 % dengan nitrogen kompos 25% dan pemberian 100% pupuk nitrogen urea menghasilkan LPT lebih besar dibandingkan imbangan pupuk lainnya. Imbangan pupuk dengan dosis pupuk nitrogen anorganik lebih banyak sangat mendukung ketersediaan unsur N guna 112
Yosefina Mangera,Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos
penyerapan oleh tanaman. Imbangan dengan dosis nitrogen kompos seimbang ataupun lebih tinggi dari dosis nitrogen urea akan lambat menyediakan unsur hara bagi tanaman sehingga mempengaruhi laju pertumbuhan dari tanaman. Laju pertumbuhan tanaman pada umur 42-63 hst tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 10 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 100% (1,69 g dm-2 minggu-1) dan kombinasi perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 10 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 75% dengan nitrogen kompos 25% (1,66g dm-2 minggu-1) seperti disajikan pada tabel 4. Hal tersebut disebabkan pada jarak tanam yang lebih sempit, populasi tanaman persatuan luas akan lebih banyak sehingga bahan kering yang dihasilkan lebih tinggi dan juga ketersediaan unsur hara N yang dapat langsung diserap oleh tanaman menyebabkan pertumbuhan tanaman akan semakin cepat. Tabel 4. Laju pertumbuhan tanaman (g dm-2 minggu-1) pada berbagai kerapatan tanaman dan imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos umur 21-42 dan 42-63hst Waktu Imbangan Kerapatan Tanaman 25 cm x 10 25 cm x 15 25 cm x 20 Rerata Pengamatan Pupuk cm cm cm K0+U0 0,64 0,45 0,35 0,48 d K0+U100 1,69 1,59 1,22 1,50 a K25+U75 1,66 1,56 1,20 1,47 a K50+U50 1,56 1,46 1,13 1,38 b 21 - 42 hst K75+U25 1,51 1,41 1,09 1,34 b K100+U0 1,26 1,18 0,91 1,12 c Rerata 1,39 p 1,28 q 0,98 r (-) K0+U0 0,15 j 0,10 k 0,08 k 0,11 K0+U100 0,38 a 0,32 d 0,24 g 0,31 K25+U75 0,37 ab 0,31 de 0,24 gh 0,31 K50+U50 0,35 bc 0,29 ef 0,23 gh 0,29 42 - 63 hst K75+U25 0,33 cd 0,28 f 0,22 h 0,28 K100+U0 0,28 f 0,24 gh 0,18 i 0,23 Rerata 0,31 0,26 0,2 (+) Keterangan : Tanda (+) menunjukkan terjadi interaksi antar faktor. Tanda (-) menunjukkan tidak terjadi interaksi antar faktor. Angka diikuti huruf sama pada suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan 5%
113
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Menurunnya laju pertumbuhan tanaman disebabkan karena daun yang tidak aktif melakukan fotosintesis akan mengurangi fotosintat yang dihasilkan karena proses respirasi yang menggunakan energi metabolisme dari hasil fotosintat (William dan Josep, 1970).
e. Laju asimilasi bersih Laju asimilasi bersih (LAB) umumnya digunakan sebagai ukuran laju fotosintesis tanaman setelah dikurangi respirasi. LAB menggambarkan kemampuan tanaman menghasilkan biomassa per satuan luas daun per satuan waktu (Tampubolon et al., 1989). Menurut Gardner et al., (1991) LAB menunjukkan peningkatan berat kering dalam suatu interval waktu, dalam hubungannya dengan berat asal. Laju asimilasi bersih disajikan pada tabel 5. Tabel 5. Laju asimilasi bersih (g dm-2 minggu-1) pada berbagai kerapatan tanaman dan imbangan pupuk nitrogen anorganik dengan nitrogen kompos umur 21-42 dan 42-63hst Waktu Pengamatan
Imbangan Kerapatan Tanaman Rerata Pupuk 25 cm x 10 cm 25 cm x 15 cm 25 cm x 20 cm K0+U0 0,65 0,48 0,44 0,52 b K0+U100 1,00 0,97 0,91 0,96 a K25+U75 0,94 0,91 0,83 0,89 a K50+U50 0,91 0,88 0,81 0,87 a 21 - 42 hst K75+U25 0,89 0,88 0,83 0,87 a K100+U0 0,84 0,82 0,91 0,86 a Rerata 0,87 p 0,82 p 0,78 p (-) K0+U0 0,11 0,08 0,07 0,08 c K0+U100 0,16 0,14 0,13 0,14 a K25+U75 0,15 0,12 0,11 0,13 ab K50+U50 0,14 0,12 0,11 0,12 ab 42 - 63 hst K75+U25 0,14 0,12 0,11 0,12 ab K100+U0 0,13 0,12 0,11 0,12 b Rerata 0,14 p 0,12 q 0,11 q (-) Keterangan : Tanda (-) menunjukkan tidak terjadi interaksi antar faktor. Angka diikuti huruf sama pada suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan 5%
Berdasarkan tabel 5 pada umur 42-63 hst, perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 10 cm menunjukkan LAB tetinggi (0,14 g dm-2 minggu-1) dan berbeda nyata dengan perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 15 cm (0,12 g dm-2 minggu-1) dan kerapatan 114
Yosefina Mangera,Analisis Pertumbuhan Tanaman Gandum pada Beberapa Kerapatan Tanaman dan Imbangan Pupuk Nitrogen Anorganik dan Nitrogen Kompos
tanam 25 cm x 20 cm (0,11 g dm-2 minggu-1). Meningkatnya LAB pada perlakuan kerapatan tanam 25 cm x 10 cmterjadi karena tanaman mampu menyerap radiasi matahari lebih banyak karena memiliki ILD yang cenderung lebih tinggi. Efisiensi LAB salah satunya ditentukan oleh kemampuan daun untuk melakukan fotosintesis.Kemampuan fotosintesis dipengaruhi oleh besarnya radiasi matahari yang sampai atau diterima oleh permukaan daun.Pengaruh imbangan takaran pupuk nitrogen dengan kompos nyata pada LAB 21-42 hst dan 42-63 hst. Tanpa pemupukan menunjukkan LAB terendah, hal ini disebabkan tanaman kekurangan unsur hara yang sangat dibutuhkan untuk melakukan fotosintesis, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya akan sangat terhambat. LAB 21–42 hst lebih besar dibanding LAB 42–63 disebabkan konsistensi ILD yang dimiliki tanaman pada selang umur pengukuran (21–42 hst). Indeks luas daun yang tinggi tersebut menyebabkan kemampuan menyekap cahaya yang lebih besar, sehingga fotosintesis yang terjadi juga lebih besar dan akibatnya penimbunan bahan kering hasil asimilat juga lebih besar.
KESIMPULAN Kerapatan tanam 25 cm x 15 cm dan imbangan pupuk nitrogen urea 75% dengan nitrogen kompos 25% memberikan pertumbuhan tanaman gandum lebih baik dibanding kombinasi perlakuan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Adrian, Y. 2006. Kajian Serapan Hara, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Sawah pada Pemberian Beberapa Jenis Pupuk Organik dan Anorganik. Tesis.Fakultas Pertanian UGM.Yogyakarta. Anonim. 2009. Mengurangi Impor Gandum. Online.http://www.tribun-timur.com Board, J.E and B.G Harville. 1992. Explanation for greater light interception in narrow vs wide-row soybean. Crop. Sci 32: 198-202. Foth, H. 1988. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Terjemahan E.D. Purbayanti, D.R. Lukiwati, dan R. Trimulatsih. Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Fuller, W.H., dan H.E. Ray. 1967. Basic Concepts of Nitrogen, Phosphorus and Photasium in Calcareous Soil. The University of Arizona Agricultural Experiment Stratation and Cooperative Extension Service Bulletin. A (4) : 1-28.
115
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Gardner, F. P., R. B. Pearce and R. L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plants. (Fisiologi Tanaman Budidaya, alih bahasa Herawati Susilo). UI Press. Jakarta, p: 428. Gomez, K.A. dan A.A. Gomez, 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Penerjemah: Sjamsuddin, E.,J. S. Baharsjah, dan A.H. Nasution. UI Press , Jakarta: 689 h. Haryadi, S.S. 1983. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1995. Plant Physiology. 4th Edition. Terjemahan: Diah R. Lukman dan Sumaryono. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I. Penerbit ITB Bandung.241 hal. Sarief, R.S. 1985.Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. Sovan, M. 2002.Penanganan Pacapanen Gandum. Rapat Koordinasi Pengembangan Gandum di Pasuruan. Direktorat Serealia, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Tampubolon, B.,J. Wiroatmodjo, J.S. Baharsjah dan Soedarsono. 1989. Pengaruh penggenangan pada berbagai fase pertumbuhan kedelai (Glysine max (L.) Merr.)terhadap pertumbuhan dan produksi. Forum Pascasarjana 12:17-25 William, C.N dan K.T. Joseph. 1970. Climate, Soil and Crop Production in The Humid tropics. Oxford University Press. Singapore.
116
ANALISIS SUBSEKTOR DAN KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN DI KABUPATEN ASMAT Nita Nasution *)
ABSTRACT This study aimed to identify leading subsectors and leading agricultural commodities in the regency of Asmat. The method used was descriptively-analytical and explorative method. The data used was time series data namely a secondary data of PDRB of Asmat regency at constant prices in 2000 and the value data of production of agricultural commodities during the period of 5 years (2006-2010). The analysis showed that forestry and fishery subsectors were leading agricultural subsectors in Asmat regency. The leading Agricultural commodities were marine fisheries, inland fisheries, logs, sawn timbers, sago, Kemedangan and Gambir. Keywords : economic growth, agricultural sector, leading subsector, and leading commodities.
PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi daerah sebagai suatu proses antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengelolah sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan pihak swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) diwilayah tersebut (Arsyad, 1999). Saat ini, pembangunan daerah lebih ditekankan pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya yang ada misalnya sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal. Orentasi pembangunan diarahkan kepada pengambilan inisatif yang berasal dari daerah yang bersangkutan guna menciptakan kasempatan kerja baru dan merangsang peningkatan ekonomi daerah tersebut. Tujuan pembangunan daerah antara lain : untuk meningkatkan peran serta masyarakat
dalam
melaksanakan
pembangunan,
untuk
mengoptimalisasaikan
penggunaan potensi sumber daya daerah dan untuk meningkatkan koordinasi antara
___________________________ *) Staf Pengajar Pada Jurusan Agribisnis Universitas Musamus
117
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
berbagai pihak yang terkait dalam melaksanakan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan menyelaraskan pertumbuhan ekonomi antar daerah, termasuk dalam hal ini penyelarasan pertumbuhan antar kota dan desa serta antar sektor ekonomi, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (KTI), daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan dan daerah terbelakang (Nopirin, 1996). Pembangunan suatu daerah tidak terlepas dari dukungan potensi sumber daya yang dimilikinya baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Oleh karena itu pengembangan potensi sumber daya serta pemanfaatannya secara optimal untuk kepentingan pembangunan merupakan hal mutlak yang dilakukan dalam pembangunan ekonomi suatu negara atau daerah. Indonesia secara geografis sebagai negara agraris memungkinkan pembangunan ekonomi diutamakan pada sektor pertanian.
Masyuri (2002) menyatakan bahwa
sekarang ini merupakan momentum yang paling tepat untuk menggali pemikiranpemikiran mengenai reorientasi kebijakan pembangunan pertanian. Kebijakan tersebut diarahkan agar pertanian menjadi sektor yang diandalkan serta mampu menghadapi krisis ekonomi dan mampu menghadapi globalisasi dengan sistem pertanian yang berkesinambungan. Salah satu indikator kinerja pembangunan daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Indikator ini memberikan gambaran tentang sejauh mana aktivitas perekonomian suatu daerah pada periode tertentu telah menghasilkan peningkatan pandapatan bagi masyarakat yang ditunjukkan oleh terjadinya kenaikan pendapatan perkapita (Kuncoro, 2000). Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah seluruh nilai produk barang dan jasa sebagai hasil kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi disatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun dikurangi dengan seluruh biaya antara yang dikeluarkan dalam proses produksi tanpa memperhatikan apakah faktor-faktor produksinya (tanah, tenaga, modal, dll) berasal dari atau dimiliki oleh penduduk dalam wilayah tersebut. Dengan kata lain PDRB adalah jumlah seluruh Nilai Tambah Bruto
118
Nita Nasution, Analisis Subsektor dan Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Asmat
(NTB) yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi dari seluruh lapangan usaha di suatu wilayah dalam dalam kurun waktu satu tahun. Kabupaten Asmat merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Merauke berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2002 yang terdiri dari 8 (delapan) distrik yaitu : Agats, Atsy, Pantai Kasuari, Sawa Erma, Suator, Akat, Fayit dan Suru-suru. Luas Kabupaten Asmat yaitu : 23.746 Km2. Penduduk Kabupaten Asmat pada akhir tahun 2009 berjumlah 89.851 jiwa dgn laju pertumbuhan penduduk 6,20%.
Terdiri dari penduduk laki-laki 47.299 jiwa dan
perempuan 42.552 jiwa. Kepadatan penduduk 3,78 jiwa/km2 meningkat dibanding tahun lalu sebesar 3,45 jiwa/km2.
Kepadatan tertinggi terdapat pada Distrik Pantai
Kasuari 8,00 jiwa/km2 dan kepadatan terendah terdapat pada Distrik Sawa Erma 2,25 jiwa/km2.
Tabel 1. PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Konstan 2000 Di Kabupaten Asmat Tahun 2006-2010 No. Subsektor Tahun (Jutaan Rp) 2006 2007 2008 2009 2010 1 Tanaman Bahan 776,02 799,38 808,92 864,19 937,94 Makanan 2 Tanaman Perkebunan 47,82 48,92 47,53 50,31 57,70 3 Peternakan dan 2.080.34 2.140,88 2.193,53 2.271,12 2.391,95 hasilnya 4 Kehutanan 45.898,70 46.958,96 47.437,90 47.482,65 47.557,43 5 Perikanan 33.956,28 36.384,15 39.647,92 42.387,74 45.092,45 Sumber : BPS dan BAPPEDA Kabupaten Asmat, 2012 Berdasarkan tabel diatas, terjadi peningkatan nilai PDRB yang hampir merata pada subsektor pertanian. Ini ditandai adanya peningkatan nilai PDRB setiap tahunnya untuk masing-masing subsektor. Subsektor kehutanan adalah subsektor yang memberikan kontribusi terbesar dibandingkan subsektor lainnya. Pemerintah Kabupaten Asmat melakukan upaya percepatan pembangunan ekonomi yang dirumuskan dalam suatu kebijakan pembangunan kawasan secara khusus yang dikenal dengan nama “Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)”. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan tertentu dimana diberlakukan ketentuan khusus di Bidang Kepabeanan, Perpajakan, Perizinan, Keimigrasian dan Ketenaga Kerjaan, juga 119
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
di dukung dengan ketersediaan infrastruktur yang handal serta badan pengelola yang profesional sesuai dengan standart internasional. Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Mengidentifikasi subsektor-subsektor pertanian unggulan dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian di Kabupaten Asmat. b. Mengidentifikasi komoditi pertanian unggulan dan potensial untuk di kembangkan sebagai penggerak perekonomian di Kabupaten Asmat.
METODOLOGI PENELITIAN Penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu di Kabupaten Asmat Provinsi Papua dengan alasan bahwa daerah ini merupakan daerah pemekaran baru dari Kabupaten Merauke. Metoda dalam penelitian ini adalah metoda deskriptif analitis yaitu studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat berdasarkan data-data. Selain itu juga bersifat eksploratif yang bertujuan untuk mengenal fenomena untuk penelitian selanjutnya. Pemilihan sektor dilakukan secara purposive, yaitu dengan sengaja memilih sektor yang akan diteliti untuk menggambarkan beberapa sifat dari sektor tersebut. Sektor yang dipilih adalah sektor pertanian karena sebagian besar masyarakat di Kabupaten Asmat bermata pencarian di bidang pertanian. Data yang digunakan adalah data runtun waktu (lime series) yaitu data sekunder PDRB Kabupaten Asmat selama kurun waktu 5 tahun (2006-2010). Data nilai produksi komoditas pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan selama kurun waktu 5 tahun (2006-2010). Sumber data antara lain dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua dan BPS Kabupaten Asmat, Bappeda Kabupaten Asmat serta Dinas Pertanian, Dinas perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Perikanan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Asmat dan provinsi Papua. Untuk menganalisis data digunakan metode Analisis Location Quotient (LQ) yang mengacu pada formulasi Bendavid-Val (1991) dengan persamaan sebagai berikut :
120
Nita Nasution, Analisis Subsektor dan Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Asmat
LQ =
⁄
⁄
Dimana : Pij = nilai produksi komoditas i pada daerah/kabupaten j; Pj = nilai produksi total subsektor pada daerah/kabupaten j; Pir = nilai produksi komoditas i pada daerah referensi/propinsi; Pr = nilai produksi total subsektor pada daerah referensi/propinsi. Selanjutnya jika nilai LQ > 1 maka komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan di kabupaten dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian kabupaten. Sebaliknya jika LQ < 1 berarti komoditas tersebut bukan merupakan komoditas unggulan dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian kabupaten.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sektor pertanian merupakan salah satu dari tiga sektor basis/unggulan ekonomi di Kabupaten Asmat, selain sektor jasa-jasa dan sektor bangunan. Tabel dibawah ini menujukkan hasil perhitungan rerata koefisien Location Quotient (LQ) sektor pertanian dan kelima subsektornya di Kabupaten Asmat.
Tabel 2. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Sektor Pertanian di Kabupaten Asmat Periode 2006-2010 AHDK 2000. No. Lapangan Usaha Sektor Pertanian Nilai Rerata LQ Keterangan 1,44 1. Tanaman Bahan Makanan 0,88 Bukan unggulan 2. Tanaman Perkebunan 0,78 Bukan unggulan 3. Peternakan dan Hasilnya 1,08 Unggulan 4. Kehutanan 1,68 Unggulan 5. Perikanan 2,56 Unggulan Sumber : Data diolah (2012) Tabel 2
menunjukkan bahwa sektor pertanian di Kabupaten Asmat selama
periode tahun 2006 – 2010 merupakan sektor unggulan karena ketiga subsektor yaitu : subsektor peternakan dan hasilnya, subsektor kehutanan dan subsektor perikanan 121
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
memiliki hasil analisis nilai LQ > 1. Dengan demikian sektor pertanian pada umumnya kecuali subsektor tanaman bahan makanan dan subsektor tanaman perkebunan memiliki keunggulan dan merupakan kegiatan yang dapat melayani pasar sendiri maupun pasar di luar Kabupaten Asmat. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten Asmat dapat melayani permintaan pasar di luar kabupaten (ekspor) sebesar 14,94 persen atau memberikan nilai tambah sebesar 92,671 milyar rupiah untuk subsektor perikanan, subsektor kehutanan sebesar 9,96 persen atau memberikan nilai tambah sebesar 61,796 milyar rupiah. subsektor peternakan dan hasilnya sebesar 4,11 milyar rupiah (0,66 persen), subsektor tanaman bahan makan 1,33 milyar rupiah (0,21 persen), dan subsektor perkebunan sebesar 96,11 juta rupiah (0,02 persen). Sumbangan sektor pertanian terhadap PDBR Kabupaten Asmat yaitu sebesar 29,04 persen atau 151,11 Milyar Rupiah (pada tahun 2010).
Kelima subsektor tersebut mengalami peningkatan secara absolute jika
dibanding tahun sebelumnya, namun peranannya mengalami penurunan. Meski secara absolut nilai tambah sektor pertanian pada tahun 2010 lebih besar dibanding tahun sebelumnya (151,156 milyar rupiah), tetapi peranannya pada tahun 2010 turun dibanding tahun sebelumnya (tahun 2009 sebesar 28,99 persen). Penurunan ini lebih disebabkan laju pertumbuhan PDRB di sektor pertanian paling kecil dibanding sektor lainnya. Selain itu, pada tahun 2010 sektor tersebut tumbuh tapi lebih lambat dibanding tahun sebelumnya, sehingga kontribusinya terhadap PDRB menjadi turun. Penurunan pertumbuhan ini disebabkan karena sistem pertanian yang dilaksanakan oleh petani di Kabupaten Asmat adalah system pertanian tradisional. Dimana masyarakat hanya mengambil hasil bumi yang disediakan oleh alam tanpa melakukan usaha budidaya. Sektor pertanian kecuali subsektor tanaman bahan makanan dan subsektor perkebunan menunjukkan hasil analisis LQ > 1 merupakan sektor basis atau sektor unggulan . Berarti nilai produksi ketiga subsektor ini di Kabupaten Asmat lebih besar daripada nilai produksi ketiga subsektor di Provinsi Papua. Hal ini disebabkan karena wilayah Kabupaten Asmat yang didomisasi oleh rawa-rawa dan merupakan daerah pesisir Laut Arafura yang mempunyai potensi sangat besar pada sub sektor perikanan; selain itu daerah kawasan hutan yang cukup luas menjadi potensi yang besar pada
122
Nita Nasution, Analisis Subsektor dan Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Asmat
subsektor kehutanan; dan terdapat beberapa daerah yang mempunyai potensi sebagai sumber penyedia bahan pakan ternak.
Tabel 3. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Pada Subsektor Tanaman Bahan Makanan Kabupaten Asmat Periode 2006-2010. Subsektor Tanaman Bahan Makanan LQ Keterangan Kelompok Palawija 1. Padi 0.83 Bukan Unggulan 2. Jagung 0.76 Bukan Unggulan 3. Ubi kayu 1.78 Unggulan 4. Ubi jalar 1.56 Unggulan Kelompok Buah-Buahan 1. Pisang 1.64 Unggulan 2. Salak 0.78 Bukan Unggulan 3. Rambutan 0.89 Bukan Unggulan 4. Durian 0.72 Bukan Unggulan 5. Mangga 0.66 Bukan Unggulan Kelompok Sayur-Sayuran 1. Petsai/sawi 0.72 Bukan Unggulan 2. Cabe 1.32 Unggulan 3. Tomat 0.67 Bukan unggulan 4. Terung 0.82 Bukan unggulan 5. Kacang Panjang 0.85 Bukan unggulan 6. Ketimun 0.76 Bukan unggulan Sumber : Data diolah (2012) Tabel 3. menunjukkan bahwa sebagian besar sektor tanaman bahan makanan mempunyai nilai LQ < 1 artinya subsektor ini bukan merupakan subsektor unggulan atau subsektor non basis. Yang merupakan komoditi unggulan adalah ubi kayu, ubi jalar, pisang dan cabe.
Tabel 4. Hasil Analisis Location Quitent (LQ) Komoditi Sektor Pertanian Subsektor Tanaman Perkebunan di Kabupaten Asmat Periode 2006-2010. Subsektor Tanaman Perkebunan LQ Keterangan Kelapa 1.53 Unggulan Karet 0.67 Bukan Unggulan Coklat 0.52 Bukan Unggulan Pinang 0.68 Bukan Unggulan Kopi 0.78 Bukan Unggulan Sumber : Data diolah (2012) 123
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Tabel 4 menunjukkan bahwa komoditi pada subsektor tanaman perkebunan mempunyai LQ < 1 artinya subsektor ini bukan merupakan subsektor unggulan atau subsektor non basis. Hanya komoditi kelapa yang merupakan komoditi unggulan pada subsektor ini. Artinya komoditi ini selain dapat memenuhi kebutuhan dalam wilayah Kabupaten Asmat, komoditi ini juga diekspor ke kabupaten lain. Hal ini memberikan pemasukan pendapatan bagi pemerintah daerah asmat. Komoditi kelapa di Kabupaten Asmat memiliki luas panen yang cukup luas dan komoditi kelapa sangat cocok tumbuh di wilayah Kabupaten Asmat dimana daerahnya merupakan daerah pinggiran Laut Arafura.
Tabel 5. Hasil Analisis Location Quitent (LQ) Komoditi Sektor Pertanian Subsektor Peternakan dan Hasilnya di Kabupaten Asmat Periode 20062010. Subsektor Peternakan & Hasilnya LQ Keterangan Sapi 0.53 Bukan Unggulan Kambing 0.77 Bukan Unggulan Babi 1.52 Unggulan Itik 1.27 Unggulan Ayam Buras 1.28 Unggulan Telur Itik 1.17 Unggulan Telur Ayam Buras 1.18 Unggulan Sumber : Data diolah (2012) Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar komoditas subsektor peternakan dan hasilnya memiliki nilai LQ >1 artinya komoditi pada subsektor peternakan dan hasilnya merupakan subsektor unggulan atau subsektor basis untuk Kabupaten Asmat. Komoditi unggulan ini selain dapat memenuhi kebutuhan dalam wilayah Kabupaten Asmat, komoditi ini juga diekspor ke kabupaten lain.
124
Nita Nasution, Analisis Subsektor dan Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Asmat
Tabel 6. Hasil Analisis Location Quitent (LQ) Komoditi Sektor Pertanian Subsektor Kehutanan di Kabupaten Asmat Periode 2006-2010. Subsektor Tanaman Perkebunan LQ Keterangan Kayu Bulat 1.53 Unggulan Kayu Gergaji 1.37 Unggulan Sagu 1.52 Unggulan Kemendangan 1.27 Unggulan Gambir 1.30 Unggulan Sumber : Data diolah (2012) Tabel 6 menunjukkan bahwa keseluruhan komoditi pada subsektor kehutanan memiliki nilai LQ>1 artinya komoditi pada subsektor kehutanan merupakan komoditi unggulan atau komoditi basis di Kabupaten Asmat.
Dimana selain memenuhi
kebutuhan atas komoditi tersebut di Kabupaten Asmat, komoditi ini diekspor guna memenuhi permintaan atas kebutuhan komoditi ini di wilayah/kabupaten lain bahkan dieksport ke provinsi lain, misalnya Surabaya.
Tabel 7. Hasil Analisis Location Quitent (LQ) Komoditi Sektor Pertanian Subsektor Perikanan di Kabupaten Asmat Periode 2006-2010. Subsektor Perikanan LQ Keterangan Perikanan Laut 2.27 Unggulan Perikanan Darat 1.89 Unggulan Sumber : Data diolah (2010) Tabel 7 menunjukkan bahwa komoditi pada subsektor perikanan memiliki nilai LQ > 1 artinya subsektor ini merupakan subsektor unggulan atau subsektor basis. Dimana komoditi pada subsektor ini selain memenuhi kebutuhan dalam wilayah asmat, komoditi ini juga di ekspor ke luar Kabupaten Asmat. Potensi komoditi pada subsektor perikanan sangat besar hal ini didukung oleh kondisi wilayah yang berupa rawa-rawa dan daerah pinggiran Laut Arafura.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis subsektor dan komoditas sektor pertanian yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
125
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
1. Subsektor pertanian unggulan/basis di Kabupaten Asmat terdiri dari subsektor perikanan , subsektor kehutanan dan subsektor peternakan dan hasilnya. Subsektor tersebut mempunyai keunggulan baik dilihat dari nilai kompetitifnya, pertumbuhan maupun kontribusinya sehingga subsektor tersebut perlu dipertahankan dan terus dikembangkan. 2. Komoditas unggulan/basis di Kabupaten Asmat terdiri dari perikanan laut dan perikanan darat (subsektor perikanan); kayu bulat, kayu gergajian, sagu, kemesangan dan gambir (subsektor kehutanan) serta babi, itik, ayam buras, telur itik, telur ayam buras (subsektor peternakan dan hasilnya). Komoditi-komoditi ini mempunyai keunggulan baik dilihat dari nilai kompetitif, pertumbuhan maupun kontribusinya sehingga
komoditi
tersebut
perlu dipertahankan dan terus
dikembangkan.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini peneliti tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Slamet Hartono, SU, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada 2. Dr. Ir. Lestari Rahayu Waluyati, MP selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama menyelesaikan penulisan tesis ini 3. Prof. Ir. Irham, M,Sc selaku Dosen Penguji pada sidang ujian akhir 4. Dr. Jamhari, SP, MP selaku Dosen Penguji pada sidang ujian akhir 5. Seluruh Dosen Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan. 6. Seluruh staf akademik Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada, terima kasih atas bantuannya selama ini.
DAFTAR PUSTAKA ……,
2008. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asmat. Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Asmat Dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Asmat . ……, 2009. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asmat. Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Asmat Dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Asmat . ……, 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asmat. Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Asmat Dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Asmat. 126
Nita Nasution, Analisis Subsektor dan Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Asmat
……,
2011. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asmat. Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Asmat Dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Asmat . Arsyad, L. 1999. “Pengantar Perencanaan Dan Pembangunan Ekonomi Daerah”, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta. Bendavid-Val, A. 1991. “Regional and Local Ecomonic Analysis for Practitioners”, Fourth Edition, Westport, Connecticuts, New York. Boediono. 1981. “Teori Pertumbuhan Ekonomi”, Seri Synopsis Penghantar Ilmu Ekonomi, No. 4, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta. BPS, 2007. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asmat. Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Asmat Dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Asmat . Ibrahim, K. 2008. Analisis Komoditi Dan Sub Sektor Unggulan Sektor Pertanian Provinsi Maluku Utara. Tesis Magister Ekonomi Pertanian. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, TidakDipublikasikan. Masyuri, 2002. “Kebijakan Pangan Nasional Dalam rangka otonomi daerah. Prosiding Round Table”. Magister Manajemen Agribisnis (MMA) Yogyakarta. Nopirin. 1996. “Globalisasi dan Regionalisasi Ekonomi : Indikator dan Tren Ekonomi Daerah” , Program Penataran Manajemen Sector Ekonomi Stategis, Puslit Pengkajian Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nur Anwar, M. 2010. “Analisis Sektor Ekonomi Dan Komoditas Pertanian Unggulan Di Kabupaten Halmahera Utara”. Tesis Program Magister Manajemen Agribisnis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tidak Dipublikasikan. Putuhena, A.M. 2010. “Analisis Subsektor Dan Komoditas Unggulan Pertanian Di Kabupaten Seram Bagian Barat”. Tesis Program Magister Manajemen Agribisnis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tidak Dipublikasikan. Sadau A. 2002. Identifikasi Sektor Ekonomi dan Prospek Pembangunan daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Kabupaten Kapuas Hulu 19951999[Tesis]. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Sidete, Demianus. 2010. “Analisis Pertumbuhan Komoditas Unggulan Di Kabupaten Halmahera Barat”. Tesis Program Magister Manajemen Agribisnis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tidak Dipublikasikan.
127
DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS KELAPA INDONESIA TERHADAP TIGA NEGARA DI ASIA Ineke Nursih Widyantari *)
ABSTRACT Indonesia has an area of widest coconut and its products is high ranking in the world. However, Indonesia is still exporting coconut in crude form, processing is not as much as other countries such as the Philippines. This study aims to determine the level of coconut export commodities competitive in Indonesia. This research using the method of RCA (Revealed Comparative Advantage) and CEP (Comparative Export Performance) Index. The results of this study based on the RCA method indicate that Indonesia coconut commodity export during the period 2006 - 2010 is larger than 1. Based on the CEP method Indonesia indicate that during the period 2006-2008 is greater than 1 and during the period 2009-2010 is smaller than 1. Indonesian have competitiveness and decreased from specialized be not specialized. Keywords: competitiveness, export, coconut commodity, Indonesian
PENDAHULUAN Kelapa merupakan tanaman yang menjadi bagian dari kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Dari luas 3.739.349 ha yang tercatat pada Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun 2010, sebagian besar (97,83%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat. Kebun kelapa Indonesia tersebar dibeberapa pulau antara lain di Sumatera (32,9 persen), Jawa (24,3 persen), Sulawesi (19,3 persen), Kepulauan Bali, NTB, NTT (8,2 persen), Maluku, dan Papua (7,8 persen), dan Kalimantan (7,5 persen) . (Allorerung, D. dan Z. Mahmud, 2002). Areal tanaman kelapa di Indonesia merupakan areal terluas di dunia (2004) yaitu mencapai 31,92% disusul Philipina (26,12%), India (15,22%), Sri langka (3,17%) dan Thailan (2,75%). (Basri, 2007). Menurut data FAOSTAT 2010 produksi kelapa Indonesia menduduki ranking pertama kemudian disusul Philipina dan selanjutnya India, Srilanka, dan Brazil. Namun demikian produktifitas kelapa masih rendah yaitu sekitar 1,1 ton/ha, pengelolaan usaha kelapa belum optimal, eksport kelapa sebagian besar masih dalam bentuk produk primer, jenis turunan produk kelapa yang dihasilkan ___________________________ *) Staf Pengajar Pada Jurusan Agribisnis Universitas Musamus
128
Ineke Nursih Widyantari, Daya Saing Ekspor Komoditas Kelapa Indonesia Terhadap Tiga Negara di Asia
masih terbatas dibanding negara lainnya seperti Philipina, adanya persaingan dengan minyak nabati lainnya khususnya kelapa sawit telah menekan pengembangan tanaman kelapa. Kondisi tersebut merupakan tantangan bagi perkembangan industri kelapa di Indonesia dalam mewujudkan kelapa sebagai komoditas unggulan. Oleh sebab itu maka dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian bagaimana daya saing komoditas kelapa Indonesia. Komoditi kelapa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komoditas kelapa yang masuk dalam kode HS 0801110 description : coconut, fresh or dried ( kelapa, segar atau kering). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing ekspor komoditas kelapa Indonesia dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan komoditas kelapa.
METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari UNData Comtrade, WTO.Org, Intracen.org . Daya saing eksport Komoditas Kelapa dianalisis dengan menggunakan metode perhitungan Revealed Comparative Advantage,(RCA)
RCA = ( Xij / Xit) / ( Xnj / Xnt) = ( Xij / Xnj)/( Xit / Xnt) ……………………………. (1) Dimana :Xij adalah Nilai ekspor komoditi kelapa ne gara j (US$), Xit adalah Nilai total ekspor komoditi negara j (US$), Xnj adalah Nilai ekspor komoditi kelapa semua negara j (US$), Xnt adalah Nilai ekspor total komoditi semua negara j (US$), j adalah 1= Indonesia, 2= Philipina, 3= Singapura, 4= Malaysia dan untuk mengetahui apakah komoditas tersebut terspesialisasi dianalisis dengan Comparative Export Performance (CEP) Index.
CEP = ln (Xij / Xj) / (XiA / XA) ………………………………………………..… (2) Dimana :Xij adalah Nilai ekspor komoditi kelapa negara j (US$), Xj adalah Nilai Total Ekspor Negara j, XiA adalah Nilai Total Ekspor Dunia komoditi Kelapa, XA adalah 129
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Nilai Total Ekspor Dunia, Negara j meliputi 1) Indonesia, 2) Philipina, 3) Singapura, 4) Malaysia. Adapun untuk Total Ekspor Dunia hanya dibatasi pada lingkup Asia yang diwakili empat negara saja yakni Indonesia, Philipina, Singapura, Malaysia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Revealed Comparative Advantage Komoditas Kelapa NEGARA
RCA 2006
2007
2008
2009
2010
Indonesia
1.63
1.55
1.28
1.37
1.58
Philipina
7.04
7.31
9.67
8.82
8.21
Singapura
0.25
0.27
0.18
0.25
0.20
Malaysia
0.10
0.08
0.05
0.11
0.08
Sumber : UNData Comtrade yang diolah
Tabel 1 menunjukkan bahwa RCA komoditi kelapa Indonesia selama periode tahun 2006 – 2010 bernilai lebih besar dari 1 ini berarti komoditas kelapa Indonesia memiliki daya saing. Daya saing tertinggi dicapai Indonesia pada tahun 2006, dan daya saing terendah dicapai Indonesia pada tahun 2008. Tetapi walaupun komoditas kelapa Indonesia memiliki daya saing ternyata daya saing Indonesia lebih rendah dari Philipina. Untuk komoditas kelapa Singapura dan Malaysia tidak memiliki daya saing karena nilai RCA kurang dari 1. Faktor-faktor penyebab komoditas kelapa Indonesia memiliki daya saing adalah 1) Areal tanaman kelapa Indonesia merupakan areal terluas didunia dengan luas areal 3.808.000 pada tahun 2010 kemudian peringkat kedua Philipina (3.400.000). 2) Dengan adanya lahan yang luas maka akan berdampak pada produksi kelapa yang dihasilkan oleh Indonesia. Menurut FAO produksi kelapa Indonesia dari tahun 2006 hingga 2010 selalu menduduki urutan nomor satu didunia dengan jumlah produksi kelapa pada tahun 2010 adalah 17,125,000 MT, urutan kedua Philipina sebesar 15,540,000 MT. 3) Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar dengan upah buruh 130
Ineke Nursih Widyantari, Daya Saing Ekspor Komoditas Kelapa Indonesia Terhadap Tiga Negara di Asia
yang murah. Data BPS 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 231,641,326 jiwa dimana 6,9 juta kepala keluarga sumber penghidupannya berasal dari kelapa. Walaupun komoditas kelapa Indonesia memiliki daya saing, namun apabila dibandingkan dengan Philipina, ternyata daya saing komoditas kelapa Indonesia masih dibawah Philippina. Jika dilakukan perbandingan antara volume ekspor kelapa dengan harga antara Indonesia dan Philipina maka dapat diketahui bahwa harga ekspor komoditas kelapa Indonesia perkilogramnya lebih rendah dari harga kelapa Phillipina. Harga rata- rata komoditas kelapa Indonesia per kilogramnya adalah 0.51 USD, sedangkan Philipina harga rata-ratanya adalah 1.26 USD. Harga per kilogram komoditas kelapa Philipina yang lebih tinggi dari harga komoditas kelapa Indonesia mengakibatkan daya saing Philipina lebih tinggi dari Indonesia. Harga komoditas kelapa Indonesia yang rendah tersebut disebabkan antara lain menurut Muslim (2006) produk ekspor komoditi kelapa Indonesia masih lemah dan kelemahan itu disebabkan oleh tingkat harga yang berfluktuasi dan cenderung menurun. Hal itu disebabkan karena Indonesia dalam perdagangan produk agroindustri dipasar dunia hanya berperan sebagai penerima harga (price taker). Susila dan Drajat (2001) mengatakan secara umum penurunan harga disebabkan karena faktor kompleks antara lain kelebihan pasokan dipasaran dunia, depresiasi mata uang yang cukup besar yang dialami negara produsen, lemahnya organisasi lembaga produsen, serta faktor sentiment pasar yang cenderung menekan secara terus menerus harga produk perkebunan. Menurut Karseno (1992) sebagian besar barang Indonesia yang dibeli diluar negeri bukan karena diminati konsumen tetapi lebih dikarenakan menguatnya permintaan negara tujuan ekspor . Implikasinya menyatakan bahwa beberapa barang ekspor Indonesia memiliki kualitas dibawah standar, dengan memiliki harga yang relatif rendah dibandingkan barangbarang yang sejenis dari negara lain.
131
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Tabel 2. Perbandingan Ekspor Komoditas Kelapa Dan Ekspor Agroindustri Kelapa Indonesia Terhadap Philipina. INDONESIA (Kg) PHILIPINA (Kg) 1) 3) Ekspor Ekspor Ekspor 1) Ekspor 3) Tahun Komoditas Agroindustri Komoditas Agroindustri 2) 2) 2) kelapa/Produksi Kelapa/Produksi kelapa/Produksi Kelapa/Produksi2) 2006 1.0% 5.5% 1.0% 11.6% 2007 0.7% 6.3% 0.9% 10.3% 2008 0.7% 5.4% 1.0% 10.0% 2009 0.6% 5.2% 0.8% 9.2% 2010 0.8% 5.5% 0.7% 5.9% Rata-rata 0.8% 5.6% 0.9% 9.4% Sumber : 1) UNData Comtrade, 2) FAOStat 3) APCC yang diolah Tabel 2 menunjukkan bahwa dari produksi kelapa Indonesia pada tahun 20062010 yang digunakan untuk ekspor komoditas kelapa adalah 0,8%, sedangkan untuk ekspor agroindustri kelapa adalah 5,6%. Ini berarti produksi kelapa Indonesia yang digunakan untuk ekspor masih rendah, sedangkan Philippina ekspor komoditas kelapa adalah 0,9% dan agroindustri kelapa adalah 9,4%. Berarti jumlah produksi kelapa yang digunakan untuk ekspor komoditas kelapa dan agroindustri kelapa Philipina lebih besar dari Indonesia, sehingga membuat daya saing ekspor kelapa Philipina lebih unggul dari Indonesia.
Tabel 3. Perbandingan Nilai Ekspor Komoditas Kelapa Negara Indonesia dan Philippina (US$) Indonesia
Tahun
Philipina
Kelapa Segar
Agroindustri
Kelapa Segar
Agroindustri
2006
39%
2%
61%
98%
2007
30%
3%
70%
97%
2008
27%
3%
73%
97%
2009
34%
2%
66%
98%
2%
69%
98%
2010 31% Sumber : APCC yang diolah
132
Ineke Nursih Widyantari, Daya Saing Ekspor Komoditas Kelapa Indonesia Terhadap Tiga Negara di Asia
Tabel 3 menunjukkan bahwa devisa yang dihasilkan Philipina selalu lebih besar dari Indonesia. Hal ini disebabkan karena macam produk agroindustri yang diekspor Indonesia lebih sedikit dari Philipina. Menurut APCC ekspor agroindustri kelapa Indonesia baru 9 produk, sedangkan Philipina sudah dapat mengekspor 22 macam produk agroindustri kelapa. Perbedaan jumlah macam produk agroindustri kelapa yang diekspor Philipina tersebut juga menjadi salah satu faktor penyebab daya saing komoditas kelapa Philipina lebih tinggi dari Indonesia. Selama ini ekspor Indonesia sangat mengandalkan faktor-faktor keunggulan komperatif sebagai penentu utama daya saingnya, terutama daya saing harga , seperti upah buruh yang murah dan sumber daya alam berlimpah sehingga biaya pengadaan menjadi murah. Namun dalam era perdagangan bebas, teknologi know-how dan keahlian khusus yang merupakan faktor keunggulan kompetitif semakin dominan dalam penentuan daya saing. Selain itu adanya tuntutan masyarakat dunia yang makin kompleks menyangkut masalah lingkungan hidup, kesehatan, keamanan membuat faktor keunggulan komperatif semakin kurang penting dibandingkan faktor keunggulan kompetitif (Tambunan,2004). Melihat hal tersebut maka Indonesia perlu mempertimbangkan juga faktor keunggulan kompetitif dalam perdagangannya.
Tabel 4. Comparative Export Performance (CEP) Index CEP NEGARA 2006 2007 2008 Indonesia 0,31 1,24 Philipina 2,77 2,79 Singapura -0,58 -0,52 Malaysia -1,51 -1,69 Sumber : UNData Comtrade yang diolah
1,08 3,10 -0,86 -2,11
2009
2010
0,85 2,71 -0,86 -1,72
0.89 2.53 -1.16 -2.06
Comparative Export Performance (CEP) Index digunakan untuk mengukur spesialisasi ekspor suatu Negara. Tabel 4 menunjukkan bahwa CEP Indonesia tahun 2006-2008 lebih besar dari 1 ini berarti produksi dan ekspor komoditas kelapa Indonesia terspesialisasi, pada tahun 2009-2010 lebih kecil dari 1 ini berarti pada tahun tersebut Indonesia tidak terspesialisasi pada produksi dan ekspor komoditas kelapa, sedangkan
133
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
CEP Philipina lebih besar dari 1 ini berarti Philippina memiliki spesialisasi pada produksi dan ekspor komoditas kelapa. Sedangkan Singapura dan Malaysia CEP bernilai negatif (tidak terspesialisasi). Comparative Export Performance (CEP) Index Indonesia pada tahun 2006-2008 terspesialisasi, tahun 2009-2010 tidak terspesialisasi, Philipina memiliki nilai lebih besar dari 1 berarti terspesialisasi untuk komoditas ini, sedangkan Singapura dan Malaysia nilai CEP kurang dari 1 (tidak terspesialisasi). Philipina lebih unggul dari Indonesia karena jumlah nilai komoditas kelapa yang diekspor dari tahun 2006-2010 selalu lebih banyak bahkan dua kali lipat dari nilai komoditas kelapa yang diekspor Indonesia. Sedangkan untuk Singapura dan Malaysia memiliki nilai negatif karena komoditas kelapa yang diekspor kedua negara tersebut tdak memiliki daya saing. Agar komoditas kelapa Indonesia menjadi terspesialisasi lagi maka Indonesia harus memperbesar jumlah ekspor komoditas kelapa mengingat areal tanaman kelapa Indonesia yang luas maka bisa lebih ditingkatkan produktifitas tanaman kelapa dengan melakukan kebijakan intensifikasi ataupun ekstensifikasi. Untuk meningkatkan kualitas kelapa bisa dilakukan dengan cara penggunaan bibit unggul dalam peremajaan kelapa dan juga melakukan penetapan standar mutu kelapa yakni dengan penetapan SNI. Cara selanjutnya adalah melakukan diversifikasi produk kelapa atau pengolahan lebih lanjut.
KESIMPULAN Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa komoditas kelapa Indonesia memiliki daya saing dan mengalami penurunan dari terspesialisasi menjadi tidak terspesialisasi. Untuk itu supaya dapat terspesialisasi maka Indonesia dapat meningkatkan ekspor kelapa dengan meningkatkan produktivitas kelapa, peningkatan mutu kelapa, dan melakukan diversifikasi produk kelapa.
DAFTAR PUSTAKA Allorerung, D. dan Z. Mahmud. 2002. Dukungan Kebijakan IPTEK Dalam Pemberdayaan Komoditas Kelapa. Makalah Utama Dalam Konfrensi Nasional Kelapa V di Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau. Riau 22-24 Oktober 2002. Asian and Pasific Coconut Community (APCC). 2011. Coconut Statistical Yearbook 2010. Jakarta.2011. Asian and Pasific Coconut Community (APCC).
134
Ineke Nursih Widyantari, Daya Saing Ekspor Komoditas Kelapa Indonesia Terhadap Tiga Negara di Asia
Basri, Hariadi, 2007, Grand Strategi, Dewan Kelapa Indonesia, diakses tanggal 28 Oktober 2011 pukul 01.15. WIT. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. 2010. Peran Kelembagaan Kelapa dalam Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Hasil Kelapa. Disampaikan pada Pertemuan Kelembagaan Perkelapaan Nasional. Jakarta 21 Juni 2010. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen PPHP), 2011. Rencana Strategis 2010-2014. Kementerian Pertanian, Ditjen PPHP.Jakarta. UNComtrade. 2012. Commodity Trade Statistics Database. USA http:/unstat.un.org/unsd/comtrade. Diakses tanggal 20/2/2012, jam 16.00 WITA Badan Pusat Statistik (BPS).2010. Kependudukan . Jakarta. http://dds.bps.go.id. Diakses tanggal 25/2/2012, jam 17.00 WITA Food And Agriculture Organization Of The United Nations (FAO). 2009. Top Production Coconut. USA. http://fao.go.id. Diakses tanggal 12 Februari 2012. Jam 11.14 WITA Ikhsan, M. 2000. Dari Pembangunan Pertanian Menuju Pembangunan Pedesaan. Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan, Bogor, 9-10 November 2000. Muslim, C. 2006. Analisis Daya Saing Produk Ekspor Agroindustri Komoditas Berbasis Kelapa di Indonesia. Icaseps Working Paper No.87.Deptan. November 2006. Simatupang, P. dan B. Isdijoso. 1992. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Nilai Tukar Sektor Pertanian : Landasan Teoritis dan Bukti Empiris, hal 33-48. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia (EKI), Vol.XL. No.1, 1992. Susila, W.R., dan Drajat, B. 2001. Agribisnis Perkebunan Memasuki Awal Abad 21 : Beberapa Agenda Penting. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor. Tambunan. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Ghalia Indonesia, Bogor
135
PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) Irianis Lucky Latupeirissa *)
ABSTRACT Sardinella fimbriata stock assessment purposes on sea Flores to know the stock, Maximum Sustainable Yield (MSY) and the level of utilization of fish in the sea Flores on Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto and Takalar district. The method used is surplus production models, this model uses secondary data analysis of the catch per unit (CPUE) and business units (effort f). Data were analyzed by calculating the F MSY and optimal. Data analysis of fishery production in South Sulawesi province, it can be concluded that the presence of the Sardinella fimbriata population in the sea Flores Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto and Takalar district year 1999-2007 has not happened over fishing, sustainable MSY estimated value limit of 10,000 tons per year with an estimated value of f OPT. 1,000,000 trips per year from the data obtained, the production of the highest catches in 2001 is 6256.50 tons. Keywords: Sardinella fimbriata, stock assessment, sea Flores
PENDAHULUAN Wilayah perairan Sulawesi Selatan memiliki sumberdaya ikan yang berlimpah dan beraneka ragam. Data statistik tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan produksi dan jumlah nelayan untuk melakukan penangkapan ikan karang (Haemulidae sp, Serranidae sp dan Lutjanidae sp). Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan dan gizi yang lebih baik sangat memacu tingginya permintaan masyarakat pada kebutuhan konsumsi ikan. Permintaan ikan yang meningkat tentu berpengaruh positif bagi peningkatan pendapatan nelayan, namun perlu disadari bahwa peningkatan permintaan sumberdaya tersebut selalu diikuti tekanan untuk melakukan eksploitasi semakin intensif. Sampai saat ini hasil tangkapan khususnya ikan biji nangka (Upeneus moiluccensi) di Sulawesi Selatan telah mencapai 4.135.377.8 ton pada tahun 2000 - 2007. Melihat potensi sumberdaya yang ada, maka tentunnya pengelolaan perikanan menjadi alat yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ini (DKP, 2008). ___________________________ *) Staf Pengajar Pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Musamus
136
Irianis Lucky Latupeirissa, Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar)
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar sebagai kabupaten maritim dengan andalan utama sektor perikanan dan kelautan sangat berkepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan. Perencanaan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal harus berdasar pada potensi sumberdaya yang ada. Namun sampai saat ini belum ada hasil kajian potensi sumberdaya perikanan dan kelautan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka sebagai tahap awal diperlukan studi pendugaan dan pemetaan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai dasar untuk pengembangan dan perencanaan selanjutnya. Salah satu yang diperlukan yaitu “Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Pada Laut Flores” (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar). Tujuannya untuk mengetahui MSY serta mengetahui tingkat pemanfaatan potensi ikan tembang di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar.
METODOLOGI PENELITIAN Pendugaan stok ini dilakukan melalui penelusuran dan studi pustaka tentang : status eksploitasi sumberdaya perikanan laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar. Pengambilan data dilakukan di Dinas Perikanan Sulawesi Selatan Makassar. Data hasil tangkapan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) per jenis alat tangkap kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar tahun 1999 – tahun 2007 diambil pada tanggal 23 – 26 Februari dan 9 – 12 September 2009. Metode atau model yang digunakan dalam pendugaan stok ikan tembang pada laut flores ini, menggunakan Model Produksi ;
A. Model Produksi Model produksi dalam analisis populasi atau stok ada dua macam berdasarkan data yang digunakan dalam analisisnya yaitu : a). Surplus produksi model atau biasa disebut “global production model”. Model tersebut disajikan pada Tabel 1. Model ini menggunakan data sekunder dalam analisisnya yaitu hasil tangkapan perunit effort (CPUE) dan unit usaha (effort f.). Dalam aplikasinya usaha biasa berupa data fishing power atau fishing trip. Dalam kasus suatu spesies ditangkap oleh banyak 137
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
jenis alat tangkap maka dilakukan standarisasi alat. Alat yang digunakan ”standard” adalah yang paling banyak menangkap jenis ikan yang diteliti, model ini menghitung MSY dan F optimal untuk suatu spesies atau stok (Johanis Widodo dan Suadi, 2006).
Tabel 1. Pendugaan Stok dengan Model Produksi
Ket :
CPUE F MSY R F M
: : : : : :
hasil tangkapan per unit usaha effort (unit usaha) maksimum tangkapan lestari recruitment mortalitas penangkapan mortalitas alami
Te Tr S Z K W~
: : : : : :
umur tangkapan umur recruitment varians mortalitas total Koef pertumbuhan berat infiniti
B. Pengambilan Data Pengambilan data pada Dinas Perikanan Sulawesi Selatan Makassar dimulai pada tanggal 20 Februari dengan 20 April 2009.
138
Irianis Lucky Latupeirissa, Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar)
C. Analisa Data Standarisasi Effort Unit usaha (effort) sejumlah armada penangkapan ikan dengan alat tangkap dan waktu tertentu dikonversi ke dalam satuan “boat-days” (trip) (Johanis Widodo dan Suadi, 2006). Pertimbangan yang digunakan adalah : 1) Respon persediaan terhadap alat tangkap standar akan menentukan status sumberdaya selanjutnya berdampak pada status perikanan alat tangkap lain, 2) Total hasil tangkap ikan per unit usaha (effort) alat tangkap standar lebih dominan dibanding alat tangkap lain, dan 3) Daerah penangkapan alat tangkap standar meliputi dan atau berhubungan dengan daerah penangkapan alat tangkap lain. Prosedur standarisasi alat tangkap ke dalam satuan baku unit alat tangkap standar, dapat dilakukan sebagai berikut : 1) Alat tangkap standar yang digunakan mempunyai CPUE terbesar dan memiliki nilai faktor daya tangkap (fishing power index, FPI) sama dengan 1. Nilai FPI dapat diperoleh melalui persamaan (Gulland, 1983):
dimana : CPUEr
=
total hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap r yang akan distandarisasi (ton/trip).
CPUEs
=
total hasil tangkapan (catch) per upaya tangkap (effort) dari alat tangkap s yang dijadikan standar (ton/trip).
FPIi
=
fishing power index dari alat tangkap i (yang distandarisasi dan alat tangkap standar)
139
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
2) Nilai FPIi digunakan untuk menghitung total upaya standar, yakni :
dimana : E = total effort atau jumlah upaya tangkap dari alat tangkap yang distandarisasi dan alat tangkap standar (trip) Ei = effort dari alat tangkap yang distandarisasi dan alat tangkap standar (trip) Maximum Sustainable Yield Estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap didasarkan atas jumlah hasil tangkapan ikan yang didaratkan pada suatu wilayah dan variasi alat tangkap per trip. Prosedur estimasi dilakukan dengan cara (Sparre, Ursin dan Venema, 1989) : 1) Menghitung hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE), melalui persamaan :
dimana : CPUEn =
total hasil tangkapan per upaya penangkapan yang telah
distandarisasi
dalam tahun n (ton/trip) Catchn =
total hasil tangkapan dari seluruh alat dalam tahun n (ton)
En
total effort atau jumlah upaya tangkap dari alat tangkap
=
yang
distandarisasi dengan alat tangkap standar dalam tahun n (trip).
2) Melakukan estimasi parameter alat tangkap standar dengan menggunakan model Schaefer berikut : CPUEn = α – βEn atau Catchn = α En – βEn2 dimana : CPUEn
= total hasil tangkapan per upaya setelah distandarisasi pada tahun n (ton/trip)
En
= total effort standar pada tahun n (trip/tahun)
α dan β
= konstanta dan koefisien parameter dari model Schaefer
140
Irianis Lucky Latupeirissa, Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar)
3) Melakukan estimasi effort optimum pada kondisi keseimbangan (equilibrium state), digunakan persamaan : Eopti = ½ (α / β)
4) Melakukan estimasi Maximum Sustainable Yield (MSY) sebagai indikator potensi sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan (lestari) melalui persamaan : MSY = ¼ (α / β)
Nilai effort optimum dan MSY yang diperoleh melalui persamaan (3) dan (4) selanjutnya dimasukkan sebagai kendala tujuan dalam model ekonomi sumberdaya perikanan tangkap (model dasar LGP). Dengan demikian, secara biologi pengelolaan perikanan menunjukkan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Propinsi Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada koordinat 0°12' - 8° LS, 116°48' - 122°36' BT, dengan ibukota Makassar dengan luas daerah 62.482,54 km2 (Gambar 1).
Gambar 1. Propinsi Sulawesi Selatan
141
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
1.1 Analisa Pendugaan Stok Serta MSY Ikan Tembang Di Laut Flores Pada Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar. Penangkapan ikan Tembang di Sulawesi selatan biasanya menggunakan alat tangkap seperti payang/lampara (include lampara), pukat pantai (Beach Seine), pukat cincin (Purse Seine), jaring insang hanyut (Drift Gill Net), jaring lingkar (Enclircing Gill Net), jaring insang tetap (Set Gill Net), bagan perahu (Boat Net), bagan tancap (bagan), rawai tetap (Set Long Line), pancing yang lain (Other Pole and Line), sero (Guiding Barier). Semua alat tangkap yang menangkap ikan Tembang di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar adalah alat tangkap pukat cincin (Purse Seine) dengan jumlah tangkapan dari tahun 1999-2007 yaitu 13.356,94 ton sehingga prosedur analisis estimasi harus menggunakan alat tangkap standar yang ditentukan berdasarkan nilai Fishing Power Index (FPI) tertinggi. Estimasi potensi sumberdaya ikan Tembang dilakukan dengan cara menganalisis data total hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan dari beberapa jenis alat tangkap (Tabel 2). Tabel 2. Hasil tangkapan per jenis alat tangkap dari tahun 1999-2007 di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar (DKP, 1999-2007). Catch(ton) Tahun Payang 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Total
523,38 406,61 489,02 298,05 462,97 205,33 147,33 148,85 148,82 2830,36
Pukat pantai 587,00 489,70 715,59 347,21 541,75 559,01 342,05 348,61 355,93 4286,84
P. cincin 1510,04 1256,14 1702,66 776,01 1594,49 1184,35 1318,99 1845,28 2168,97 13356,94
J. i. hanyut 1086,56 959,63 929,42 508,27 783,55 597,43 530,20 543,63 691,31 6629,99
J. lingkar 314,69 259,43 273,50 261,31 390,69 288,92 220,40 235,22 233,03 2477,18
J. i. tetap 699,71 697,82 550,85 490,75 824,08 963,65 905,85 928,84 1047,16 7108,70
B. perahu 0,00 6,50 7,70 15,99 0,00 0,00 0,00 0,00 169,87 200,06
B. tancap 142,71 143,12 212,09 52,41 91,86 99,67 105,00 112,82 112,89 1072,57
Rawai t. 576,71 487,11 818,03 521,17 861,54 566,60 466,66 460,03 280,75 5038,59
Pancing yg Lain 1065,47 668,19 537,39 324,67 424,53 196,29 395,09 170,84 167,35 3949,83
Hasil yang diperoleh dari estimasi merupakan jumlah tangkapan ikan Tembang maksimum yang diperbolehkan agar ketersediaan sumberdaya perikanan tangkap tetap lestari (berkelanjutan) atau MSY (Tabel 3).
142
Sero 22,08 19,98 20,24 16,37 22,55 22,35 253,35 25,87 13,21 416,01
Irianis Lucky Latupeirissa, Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar)
Tabel 3. Catch, Effort standar, CPUE, dan Ln CPUE ikan Tembang di Laut Flores pada Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar tahun 1999-2007 berdasarkan metode scafer dan fox Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Catch (Ton) 5441,85 5394,70 6256,50 3612,20 5998,00 4683,60 4684,90 4820,00 5376,09
Effort (F) standar 1147731,00 1388505,00 1386948,00 1615770,00 1567561,00 702325,00 753053,00 628494,00 188716,00
CPUE 0,00474 0,00389 0,00451 0,00224 0,00383 0,00667 0,00622 0,00767 0,02849
LnCPUE -5,3514231 -5,5505659 -5,40124 -6,1032499 -5,5658501 -5,0103292 -5,079791 -4,8705526 -3,558282
Untuk mengetahui MSY dan Fopt, harus diketahui dahulu nilai a dan nilai b. Dengan menggunakan model scheafer untuk mendapatkan nilai a dan nilai b maka digunakan effort standard dan CPUE yang dimasukan kedalam grafik scatter sehingga didapat persamaan linear y = -1E-08x + 0,020 (Gambar 2).
0.03
CPUE
0.025 0.02
Series1 Linear (Series1)
0.015 0.01 0.005 0 0.00
500000.00 1000000.001500000.002000000.00
y = -1E-08x + 0.020 R² = 0.615
f (standar)
Gambar 2. grafik linier hasil tangkapan perunit usaha model scheafer.
Jadi didapatkan nilai a dan nilai b untuk model scheafer yaitu : a = 0,02 dan nilai b = -0,00000001 ; MSY = -a2/4b = 10.000 ; Fopt = -a/2b = 1.000.000 (Gambar 2). Menggunakan model fox untuk mendapatkan nilai a dan nilai b maka digunakan effort standard dan LnCPUE yang dimasukan kedalam grafik scatter sehingga didapat persamaan linear y = -1E-06x – 3,803. (Gambar 3)
143
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Jadi didapatkan nilai a dan nilai b untuk model fox yaitu : a = -3,803 dan nilai b = -0,000001 ; MSY = -1/b exp a-1 = 8205,0948 ; Fopt = -1/b = 1.000.000 (Gambar 3).
0 -1 0.00
500000.00 1000000.00 1500000.00 2000000.00
Series1 Linear (Series1)
LnCPUE
-2 -3 -4
y = -1E-06x - 3.803 R² = 0.838
-5 -6 -7
f (standar)
Gambar 3. grafik linier ln hasil tangkapan perunit usaha model fox. N4o Nilai Sceafer Fox Hasil regresi dengan menggunakan model Schaefer terhadap data CPUE dan effort menunjukkan nilai estimasi effort optimum yang diperbolehkan dalam usaha penangkapan kelompok ikan Tembang agar tetap lestari yakni 10.000 ton per tahun dengan nilai estimasi Fopt 1.000.000 trip per tahun (Tabel 4).
Tabel 4. Potensi Lestari Maksimum dan Effort Optimum Ikan Tembang di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar, Tahun 1999-2007 berdasarkan metode Sceafer dan Fox No Nilai Scheafer Fox Satuan 1 2 3 4
a b MSY Fopt
0,02 -0,00000001 10.000 1.000.000
-3,803 -0,000001 8205,09 1.000.000
Ton Trip
Berdasarkan data tahunan kegiatan penangkapan ikan tembang di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar belum terjadi over fishing sejak tahun 1999 – 2007 karena data hasil tangkapan belum melewati nilai MSY dan nilai effort optimal (F opt) (Gambar 4).
144
Irianis Lucky Latupeirissa, Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar)
Catch (Ton) 7000.00 6000.00 Catch(ton)
5000.00 4000.00 3000.00
Catch (Ton)
2000.00 1000.00 0.00 Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Gambar 4. Grafik Produksi ikan tembang di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar, dari tahun 1999 – tahun 2007. Hasil analisa tabel dan grafik di atas menunjukkan bahwa tangkapan ikan tembang di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar belum melewati nilai MSY model scheafer dan model fox yaitu 10.000 ton dan 8.205,09 ton, produksi hasil tangkapan yang tertinggi pada tahun 2001 yaitu 6.256,50 ton. Nelayan biasanya menggunakan berbagai macam alat tangkap untuk memperoleh produksi tangkapan ikan tembang seperti yang dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Adapun alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap pukat cincin dengan nilai CPUE 0,03106030 seperti pada data terlampir dan gambar kurva MSY ikan Tembang di laut Flores seperti pada (Gambar 5). Kurva MSY ikan Tembang dengan menggunakan Metode scheafer yaitu effort (f) dan Y = af + bf^2.
145
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
a = b = Effort (f) 0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000 2000000
0,02 -0,00000001 Y = af + bf^2 0 3600 6400 8400 9600 10000 9600 8400 6400 3600 0
MSY = Fopt =
MSY=-a2/4b = Fopt = - a/2b =
10000 1000000
Yield
MSY ikan tembang M.Scheafer 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
1000000, 10000 1200000, 9600 800000, 600000, 84009600 1400000, 8400 400000, 6400
1600000, 6400
200000, 3600
1800000, 3600
0, 0 0
Y = af + bf^2
2000000, 0 500000
1000000
1500000
2000000
2500000
Effort
Gambar 5. Garafik Kurva MSY ikan Tembang di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar tahun 1999- tahun 2007(model scheafer). Kurva MSY ikan Tembang dengan menggunakan Metode fox yaitu effort (f) dan Y = f EXP (a+bf).
146
Irianis Lucky Latupeirissa, Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar)
a = b =
-3,803 -0,000001 Y = f EXP Effort (f) (a+bf) 0 0 1000000 8205,094805 2000000 6036,971383 3000000 3331,316488 4000000 1634,030464 5000000 751,4077675 6000000 331,7129635 7000000 142,3687762 8000000 59,85662382 9000000 24,77252399 10000000 10,12589142 11000000 4,097618006
MSY = Fopt =
MSY = -1/b exp a-1 Fopt = -1/b
8205,094805 1000000
MSY ikan tembang M. Fox 9000 1000000, 8205.094 805
8000 7000
2000000, 6036.971 383
6000
Series1
5000
Y = f EXP (a+bf)
4000
3000000, 3331.316 488
3000 2000 1000 0
0, 0 0
2000000
4000000, 1634.030 464 5000000, 751.4077 6000000, 331.7129 675 7000000, 142.3687 8000000, 59.85662 24.77252 10000000, 10.1258 11000000, 4.09761 635 762 9000000, 382 399 9142 8006 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000
Gambar 6. Grafik Kurva MSY ikan Tembang di laut Flores pada kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar tahun 1999- tahun 2007(model fox). Gambar 5 dan Gambar 6, menunjukkan bahwa dengan penambahan effort atau usaha penangkapan secara terus-menerus, akan mengakibatkan jika melewati nilai catch atau hasil tangkapan 10.000 ton (scheafer) atau 8.205 147
ton (fox) akan mengalami
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
penurunan hasil tangkapan. Ini berarti bahwa pada effort di atas 1.000.000 trip, maka akan mengalami penurunan hasil tangkapan, usaha penangkapan akan merugi karena biaya opersional lebih besar dari hasil tangkapan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari analisis data produksi hasil perikanan Sulawesi Selatan selama tahun 1999 - 2007, dengan alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap pukat cincin dengan nilai CPUE 0,03106030 bahwa keberadaan populasi ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di laut Flores kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar belum terjadi over fishing. Produksi ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Sulawesi Selatan pada laut Flores belum melewati nilai maksimum tangkapan lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY) model scheafer dan model fox yaitu 10.000 ton dan 8.205,09 ton. Produksi hasil tangkapan ikan Tembang (Sardinella fimbriata) yang tertinggi pada tahun 2001 yaitu 6.256,50 ton, batas nilai estimasi MSY lestari yang boleh ditangkap harus dibawah angka 10.000 ton per tahun dengan nilai estimasi Fopt. 1.000.000 trip per tahun. Sarannya yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan ikan Tembang di laut Flores kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar perlu dimaksimalkan dengan tetap mengontrol usaha penangkapan (effort), dibawah nilai Fopt 1.000.000 trip per tahun. DAFTAR PUSTAKA Anonim, Ikan tembang. http ://stp.dkp.go.id/index.php?option = com_ content & view =article & id=549: tembang-sardinella-fimbriata -& catid=97: ikan-laut & Itemid=130. (download, 15 Mei 2010) DKP, 1999. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data StatistikDinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. DKP, 2000. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data StatistikDinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. DKP, 2001. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. DKP, 2002. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. DKP, 2003. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. DKP, 2004. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. 148
Irianis Lucky Latupeirissa, Pendugaan Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) pada Laut Flores (Kab. Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto dan Takalar)
DKP, 2005. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. DKP, 2006. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. DKP, 2007. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. DKP, 2008. Data Produksi Hasil Perikanan Provinsi Sulawesi selatan. Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan Tingkat 1. Gulland, J.A. 1983. Fish stock assessment A manual of basic methods. FAO/Wiley Ser. on Food and Agriculture Johanis Widodo dan Suadi, 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sparre, P., E. Ursin and S. C. Venema. 1989. Introduction to tropical fish stock assessment. Part I – Manual. FAO Fisheries Technical Paper 306/1. FAO of the UN. Rome.
149
ANALISIS PENGARUH SIFAT REOLOGI TERHADAP KEHILANGAN ENERGI PADA SISTEM TRANSFER SUSU Siti Mechram, Darwin dan Ratna *)
ABSTRACT This research aimed to know the influence of rheological properties of cream to energy losses that occured during transporting process. In addition, this research was conducted by using a computer programming designed for calculating and analysing any complicated data. Those rheological properties were derived from analysis in the laboratory, such as viscosity from any kind of cream. Results analysed by a computer programming revealed that flow behaviour Index (n) and consistency coefficient (m) were the rheological properties interacting with each other since these parameters were the viscosity of cream that influences energy losses in the transport system. Once the total of energy losses was obtained from the system, the pump power required for transfering the product also can be known. Based on the simulation conducted by using rheological parameters of cream with consistency coefficient of 4.5 PaSn, and flow behaviour Index at 0.772 was obtained total energy losses at 282.76 J/kg with the pump power requirement at 0.285 kW. Once consistency coefficient was 7.16 PaSn, and flow behaviour Index was at around 0.768, the total of energy losses increased to 426.30 J/Kg with pump power requirement at 426.30 J/Kg Keywords : rheology, full cream, energy losses
PENDAHULUAN Reologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang aliran dan deformasi dari suatu bahan (Herth et al., 2000). Pengukuran dan instrumentasi reologi merupakan hal penting yang harus dimiliki pada laboratorium analisis industri pangan untuk mengetahui karakteristik bahan, serta karakteristik dari produk akhir. Sistem transfer bahan pangan cair merupakan hal yang penting dilakukan sebelum bahan dikemas. Hal ini sangat diperlukan untuk menjaga kebersihan produk sehingga dapat tercapai kualitas yang baik. Pada pabrik pengolahan pangan, bahan pangan cair diproses dengan berbagai tahapan, termasuk diantaranya pemanasan, pendinginan, pengentalan atau yang lain sering diperoleh dengan menggunakan pompa. Kualitas suatu produk pangan sangat tergantung pada komposisi kandungannya (Herth et al, 2000). Perubahan komposisi suatu produk dapat terjadi selama proses ___________________________ *) Staf Pengajar Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala E-mail :
[email protected]
150
Siti Mechram, dkk, Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu
transfer dari suatu bioreaktor ke tangki penampungnya yang disebabkan material atau peralatan yang digunakan tidak steril. Lebih lanjut, upaya untuk menjaga kebersihan suatu produk susu kental manis, agar tidak terjadi gumpalan dan buih yang dapat mengakibatkan rusaknya susu kental manis pada saat dipasarkan, maka diperlukan sistem transfer susu yang efektif sehingga kualitas susu dapat dipertahankan. Kusumah (1992) menjelaskan bahwa untuk keperluan industri pangan perlu diperhatikan pemilihan pipa yang tidak membahayakan makanan yang dihasilkan. Selama mengalir di dalam pipa akan terjadi hambatan terhadap aliran karena adanya gesekan dengan dinding dalam pipa. Besar gesekan ini sangat dipengaruhi oleh jenis fluida, bahan pipa dan parameter-parameter aliran lain. Heldman (1980) menyatakan bahwa faktor utama yang harus dimasukkan dalam penerapan data reologi untuk menghitung masalah aliran fluida dalam operasi pengolahan pangan adalah gesekan. Gaya gesekan sangat bervariasi dengan berbagai kondisi seperti angka Reynold dan kekasaran permukaan. Gesekan mempengaruhi sifat aliran produk pangan dengan berbagai cara, termasuk aliran satu lapisan produk diatas lapisan lainnya, aliran produk diatas permukaan dinding, dan aliran produk melalui berbagai perubahan dalam sistem transpor. Dalam penerapan umum, gesekan diartikan sebagai sebuah gaya yang menentang aliran fluida dalam sistem yang diamati. Menurut Tipler (1991), gaya-gaya gesekan ini juga dinamakan sebagai gaya viskos. Akibat gaya-gaya viskos ini, kecepatan fluida tidak konstan di sepanjang diameter pipa, dengan kecepatan tertinggi di dekat pusat pipa dan terendah terdapat pada tepi pipa, dimana fluida bersinggungan dengan dinding pipa. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa penurunan tekanan dapat sebanding dengan laju aliran volume. Tipler (1991) juga menyatakan bahwa pada umumnya, viskositas cairan bertambah bila temperatur menurun. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan terhadap kebutuhan energi untuk memompakan cairan dengan menggunakan pipa, antara lain: (1). Gesekan yang terjadi di sepanjang pipa . (2). Kebutuhan energi untuk memindahkan cairan dari satu tempat ke tempat yang lebih tinggi. (3). Energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan kecepatan aliran yang diinginkan. (4). Energi yang dibutuhkan untuk mengatasi perbedaan tekanan diantara input dan output dari pompa. Gesekan yang diciptakan oleh 151
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
perubahan aliran, sambungan pipa yang berubah secara langsung dan gesekan yang ditimbulkan oleh perubahan aliran, sambungan pipa yang berubah secara langsung dan gesekan yang ditimbulkan oleh pengunaan peralatan-perlatan lain pada sistem (Heldman 1993). Untuk mengatasi hal ini maka sangat diperlukan untuk menentukan kebutuhan daya pompa dengan mempertimbangkan parameter reologi pada susu kental manis. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari metode kuantitatif yang dapat menjelaskan karekteristik aliran dan ekspresi matematik yang berguna pada penentuan kehilangan energi serta daya yang dibutuhkan untuk mentransfer bahan pangan cair dalam hal ini susu kental manis dalam suatu sistem.
METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian ini terdiri atas persiapan peralatan dan bahan, serta metode penelitian. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Viscometer rheology International, Power Supply and Drive, timbangan digital, Software Visual Basic 6.0. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah: beberapa jenis susu kental manis dengan tingkat kekentalan yang berbeda. Ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam penelitian ini diantaranya adalah (1) Pengukuran viskositas atau kekentalan, viskositas ini berfungsi sebagai koefisien konsistensi dari bahan dan indeks perilaku alirannya yang akan menentukan jenis aliran dalam sistem transfer susu kental manis. (2) Menentukan total kehilangan energi dari sistem transpor serta menentukan kebutuhan daya pompa yang sesuai untuk mengalirkan susu kental manis dari hasil proses pengolahan, dengan tidak merubah sistem yang ada pada suatu pabrik maka dapat dilakukan dengan analisis pendekatan simulasi komputer. Adapun data-data yang diperlukan untuk perencanaan sistem transfer ini adalah ukuran diameter tangki dan diameter pipa, panjang pipa, jumlah penggunaan keran (Valve), Tee, dan alat penukar panas (Heat Exchanger) pada sistem, jumlah belokan pada sistem, data kekentalan susu kental manis yang terdiri dari indeks perilaku aliran dan koefisien konsistensinya. Heldman (1980) mengungkapkan bahwa sistem transfer bahan pangan cair sangat tergantung sifat reologi bahan tersebut. Sistem transfer ini sangat berbeda dengan fluida 152
Siti Mechram, dkk, Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu
air, dimana pada produk pangan cair sedapat mungkin dihindarkan kerusakan seperti terjadinya busa pada saat pengaliran yang dapat menurunkan kualitas produk. Oleh karena itu untuk menghindari kerusakan pada saat pengaliran bahan pangan cair, maka perlu diketahui berapa besar kehilangan energi yang terdapat pada sistem transfer yang didesain sehingga besarnya daya pompa yang dibutuhkan juga dapat diketahui (Heldman, 1980). Ada beberapa parameter yang harus diketahui untuk memperoleh total kehilangan energi pada sistem, diantaranya adalah:
1. Perhitungan kecepatan rata-rata bagi aliran produk Pada persamaan kecepatan aliran massa mempunyai hubungan langsung antara kecepatan fluida U, kecepatan aliran massa fluida w dan rapat massa fluida ρ, juga menunjukan pengaruh luas penampang melintang pipa dimana aliran berlangsung, kita dapat menghitung kecepatan
rata-rata bagi aliran produk dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut : U
w .A
…………………………………........................................................
(1)
Pada persamaan 1, diasumsikan bahwa luas penampang pipa dan tangki penampung (A) yang digunakan pada sistem adalah sama.
2. Perhitungan Bilangan Reynold Pada sistem transpor bahan pangan cair, rumus perhitungan bilangan Reynoldnya berbeda dengan fluida air. Pada fluida bahan pangan cair perhitungan bilangan Reynold menggunakan rumus bilangan Reynold yang digeneralisir, yang didefinisikan pada persamaan berikut :
U
N RE 2
n3
2n
Dn
3n 1 m n
n
……………………………….……………….
153
(2)
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Pada rumus bilangan Reynold yang digeneralisir juga menggunakan parameter yang sama seperti bilangan Reynold yang biasa, tetapi nilainya beragam karena dipengaruhi koefisien konsistensi (m) dan indeks perilaku aliran bahan (n).
3. Perhitungan hubungan antara faktor gesekan dengan bilangan Reynold. Untuk jenis aliran laminer dimana Re ≤ 2100, maka untuk menghitung faktor gesekannya dapat digunakan persamaan (2).
f
16 Re
……………………………………..…………………………………… (3)
Sedangkan pada aliran turbulen dimana Re > 2100, maka perhitungan faktor gesekannya menggunakan persamaan (4).
f
0,3164 ……………………………………….………………………………. (4) Re 0, 25
4. Perhitungan energi kinetik Perhitungan energi kinetik (EK) dari produk yang mengalir dapat dihitung dengan persamaan (5).
U2 EK
……………………………………….…..…………………………… (5)
dimana energi kinetik tersebut dipengaruhi oleh kecepatan rata-rata dan faktor koreksi energi. Dimana faktor koreksi energi (α ) bagi aliran laminer yaitu dihitung berdasarkan persamaan (6).
4n 25n 3 2 3 3n 1
………………………………………….………..………
sedangkan untuk aliran turbulen α = 2.
154
(6)
Siti Mechram, dkk, Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu
5. Perhitungan susut energi karena gesekan dalam pipa Susut energi karena gesekan dalam pipa ini disebut juga dengan Head Loss Mayor. Untuk menghitungnya dapat digunakan persamaan berikut :
Ef 1 f
U
………………………………………..……………………
2
. L R
(7)
Faktor gesekan (f) ditentukan berdasarkan jenis aliran fluida yang terjadi pada sistem. Besarnya Head Loss Mayor juga ditentukan oleh jari-jari dari pipa (R) serta panjang pipa yang digunakan (L). Pada penentuan susut energi pada gesekan dalam pipa ini diasumsikan bahwa diameter yang digunakan ukurannya sama, tidak ada perubahan diameter pipa sepanjang aliran bahan pangan cair, begitu juga dengan diameter pipa Heat Exchanger harus sama dengan diameter pipa pada sistem.
6. Perhitungan susut energi karena gesekan pada bagian masuk ke pipa dari tangki utama Perhitungan ini dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut :
Ef 2 Kf
................................................................................................
U2
(8)
Dimana, nilai koefisien gesekan (Kfp) untuk menghitung susut energi karena gesekan pada bagian masuk ke pipa dari tangki utama atau susut energi pada entrance dapat dihitung berdasarkan persamaan (9) dan (10).
pada
2 D Kf p 0,4 1.25 2 2 D1
D2 Kf p 0,5 1 22 D1
pada
D
2 2
D1 D
2 2
D1
< 0,715 …………………………………………........
(9)
> 0,715 …………………………………………........
(10)
2
2
155
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
7. Perhitungan susut energi karena gesekan dalam jumlah siku Perhitungan ini dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut : a. Susut energi karena gesekan pada Elbow 90 o Standard .................................................................................................. (11)
U2 Ef 3a Kf s b1
b. Susut energi karena gesekan pada Elbow 90 o Medium Sweep Ef3b Kfms
U2 b2
.................................................................................................... (12)
c. Susut energi karena gesekan pada Elbow 90 0 Long Sweep
Ef 3c Kf ls
.................................................................................................. (13) U2 b3
d. Susut energi karena gesekan pada Elbow 90 o Square Ef 3 d
.................................................................................................. (14) U2 Kf sq b4
Dimana
Kf s = Koefisien gesekan Elbow 900 Standard 0 Kf ms = Koefisien gesekan Elbow 90 Medium sweep 0 Kf ls = Koefisien gesekan Elbow 90 Long sweep Kf sq = Koefisien gesekan Elbow 900 Square
b
= Jumlah siku
Dengan demikian perhitungan total susut energi karena gesekan dalam jumlah siku dapat ditentukan dengan persamaan; Ef3 Ef3a Ef3b Ef3c Ef3d
..................................................................................... (15)
156
Siti Mechram, dkk, Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu
8. Perhitungan susut energi karena gesekan dalam alat penukar panas (Heat Exchanger) dapat ditentukan dengan persamaannya adalah sebagai berikut : Ef
4
HE
.................................................................................................... (16)
Pada perhitungan susut energi karena gesekan dalam alat penukar panas ini dapat dikalikan dengan jumlah penggunaan Heat Exchanger pada sistem. Dimana HE = Tekanan pada Heat Exchanger (kPa)
9. Perhitungan susut energi karena gesekan dengan jumlah katup (valve) Nilai KfV dapat dilihat dalam Tabel 1 yang menunjukkan susut energi untuk Standard Fittings sesuai dengan jenis katup yang digunakan dalam sistem. Persamaan yang digunakan sebagai berikut :
a. Susut energi karena gesekan pada katup gerbang (Gate Valve) Ef 5 a Kf GV
U2 q1
............................................................................................... (17)
b. Susut energi karena gesekan pada katup bola (Globe Valve) Ef
5b
Kf
GlV
U 2 q2
............................................................................................... (18)
c. Susut energi karena gesekan pada katup siku (Angle Valve) Ef 5 c Kf
AV
U 2 q3
............................................................................................. (19)
Dengan demikian total susut energi karena gesekan dalam jumlah katup dapat ditentukan dengan persamaan : Ef5 Ef5a Ef5b Ef5c
......................................................................................... (20)
Dimana : q
= jumlah katup
KfGV = Koefisien gesekan pada Gate Valve (katup gerbang) KfGlV = Koefisien gesekan pada Globe Valve (katup bola) KfAV = Koefisien gesekan pada Angle Valve (katup siku) 157
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Persamaan 7 sampai dengan 19 merupakan persamaan energi kinetik yang terjadi pada sistem transfer yang didesain. Persamaan-persamaan tersebut diperlukan untuk mengetahui besarnya kehilangan energi yang terjadi pada peralatan yang dirangkai pada sistem transfer, seperti kehilangan energi pada pipa, tangki penampung, elbow, jumlah dan jenis katup yang digunakan, heat exchanger,
dan tee. Semua
parameter ini sangat diperlukan untuk mengetahui jumlah kehilangan energi yang terjadi pada sistem, sehingga dapat diketahui daya pompa yang sesuai untuk dipasang pada sistem.
Tabel 1. Susut Energi Untuk Standard Fittings Fitting
Friction Constan
Equivalent Length Pipe Diameters
Elbow, 90 o Standard Elbow, 90o Medium Sweep Elbow, 90o Long Sweep Elbow, 90o Square Tee, used as elbow, entering run Gate Valve, open Globe Valve, open Angle Valve, open
0,74 0,5 0,25 1,5 1,5 0,13 6,0 3,0
32 2,6 20 60 60 7 300 170
10. Perhitungan susut energi karena gesekan pada Tee Nilai Kf pada perhitungan ini dapat dilihat pada tabel koefisien gesekan untuk Standard Fittings. Dengan demikian dapat digunakan persamaan sebagai berikut; Ef
6
Kf
U 2
............................................................................................... (21)
Pada perhitungan susut energi karena gesekan pada Tee ini dapat dikalikan dengan jumlah Tee yang digunakan pada sistem.
11. Perhitungan total susut energi karena gesekan dalam sistem Susut energi karena gesekan (Head Loss) pada sistem terbagi dua yaitu; Head Loss Mayor dan Head Loss Minor. Head Loss Mayor merupakan susut energi karena
158
Siti Mechram, dkk, Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu
gesekan dalam pipa (Ef1). Sedangkan Head Loss Minor merupakan susut energi akibat perubahan diameter dari tangki utama masuk ke dalam pipa (Ef2), belokan (Ef3), Heat Exchanger (Ef4), Keran (Ef5) dan Tee (Ef6). 12. Perhitungan Total Kerja Pada Sistem Untuk menentukan kerja total dalam sistem transpor bahan pangan cair digunakan persamaan energi mekanis sebagai berikut; gZ 1 ( KE ) 1
P1 P W gZ 2 ( KE ) 2 2 Ef
.................................... (22)
Dalam menentukan total kerja pada sistem, kehilangan energi (Ef) yang digunakan merupakan total kehilangan energi yang terjadi pada sistem.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis pengaruh sifat reologi susu kental manis dalam perancangan suatu sistem transpor bahan pangan cair merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Hal ini diperlukan karena dengan mengetahui sifat reologi bahan maka kehilangan energi yang terjadi selama proses pengangkutan bahan tersebut juga dapat diketahui, sehingga ukuran pompa yang diperlukan pada sistem juga dapat diketahui. Untuk mencegah terjadinya buih atau gumpalan tentunya kita harus mengetahui daya pompa yang dibutuhkan agar suatu produk bahan pangan cair yang dialirkan dapat berjalan efektif. Untuk melakukan analisis pengaruh sifat reologi susu kental manis terhadap kehilangan energi yang terjadi pada suatu sistem transpor bahan pangan cair tentunya diperlukan suatu data-data reologi susu kental manis itu sendiri yaitu viskositas atau kekentalan susu kental manis tersebut. Parameter viskositas bahan pangan cair dalam hal ini susu kenyal manis adalah koefisien konsistensi dan indeks perilaku aliran. Analisis simulasi komputer untuk mengetahui kehilangan energi pada sistem transpor bahan pangan cair dengan menggunakan parameter reologi susu kental manis ini diasumsikan bahwa ketinggian, panjang pipa, diameter pipa mempunyai ukuran yang tetap, serta tidak adanya pembesaran dan pengecilan pipa. Pada penelitian ini dilihat perubahan parameter reologi susu kental manis terhadap kehilangan energi pada sistem. 159
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan program komputer dapat diketahui bahwa dengan semakin meningkatnya nilai koefisien konsistensi (m) dari susu kental manis maka kehilangan energi yang terjadi pada sistem juga akan semakin meningkat sehingga daya pompa yang dibutuhkan untuk mengalirkan produk tersebut juga akan semakin besar. Dimana jenis aliran yang terjadi yaitu aliran laminer, hal ini terjadi karena koefisien konsistensi yang tinggi mencerminkan kekentalan yang tinggi dari produk tersebut. Sehingga dengan semakin meningkatnya kekentalan dari susu maka alirannya juga lambat sehingga banyak terjadi kehilangan energi baik dari gesekan internal pada bahan dan juga gesekan pada peralatan yang digunakan pada sistem juga semakin besar. Heldman (1980) menjelaskan bahwa untuk mengubah kecepatan aliran fluida,maka pompa dapat digunakan untuk meningkatkan energi kinetik fluida tersebut. Pengaruh sifat reologi dari susu kental manis terhadap kehilangan energi dan daya pompa yang dibutuhkan dalam mentransfer fluida susu kental manis tersebut dari vessel (bejana) utama menuju ke vessel kedua yang lebih tinggi dapat dilihat pada hubungan antara koefisien konsistensi dengan kehilangan energi pada sistem serta daya
Kehilangan Energi (J/kg)
pompa yang dibutuhkan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 4.5
5.34
7.16
Koefisien konsistensi (Pa.Sn)
Gambar 1.
Hubungan antara koefisien konsistensi dan total kehilangan energi pada sistem
160
Daya Pompa (kW)
Siti Mechram, dkk, Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 4.5 5.34 7.16 n Koefisien konsistensi (Pa.S )
Gambar 2.
Hubungan antara koefisien konsistensi dan Daya Pompa yang dibutuhkan oleh sistem.
Berdasarkan Gambar 1 dan 2 dapat diketahui hubungan atau pengaruh koefisien konsistensi terhadap kehilangan energi dan daya pompa yang dibutuhkan oleh sistem. Semakin besar nilai koefisien konsistensi bahan maka semakin besar pula kehilangan energi dalam sistem transfer fluida tersebut. Hal ini dapat dilihat ketika koefisien konsistensi bernilai 4,5 Pa.Sn maka kehilangan energi pada sistem yaitu berkisar 282,76 J/kg, dengan 0,285 kW daya pompa yang dibutuhkan oleh sistem. Sedangkan, pada saat koefisien konsistensi berkisar 7,16 Pa.Sn energi yang hilang pada sistem juga bertambah besar mencapai 426,30 J/kg. Kondisi tersebut menyebabkan kebutuhan daya pompa untuk mentransferkan fluida susu kental manis juga semakin meningkat menjadi 0,404 kW. Kehilangan energi juga mempunyai korelasi dengan total kerja pada sistem transfer susu kental manis. Hal itu dapat dilihat pada Gambar 3, menunjukkan kehilangan energi pada sistem tidak hanya berpengaruh terhadap daya pompa saja tetapi juga berpengaruh terhadap total kerja sistem, semakin besar kehilangan energi pada sistem maka total kerja pada sistem juga semakin besar. Akibat peningkatan total kerja maka daya pompa yang dibutuhkan juga semakin besar supaya transfer susu kental lebih efekti dan kerusakan produk dapat diminimalisir.
161
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
Kehilangan Energi (J/kg)
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 0.2848
0.3537
0.4044
Daya Pompa (kW)
Gambar 3.
Hubungan daya pompa yang dibutuhkan oleh sistem terhadap kehilangan energi
Pengaruh parameter reologi susu kental manis terhadap angka reynold dalam sistem juga dapat menggambarkan lebih dalam tentang pengaruh parameter reologi susu kental manis terhadap kehilangan energi dan daya pompa yang dibutukan untuk mentransfer fluida tersebut. Hal ini ditunjukan pada Gambar 4.
12
Angka Reynold
10 8 6 4 2 0 282.76
Gambar 4.
365.48 426.29 Kehilangan Energi (J/kg)
Hubungan antara kehilangan energi dan angka Reynold
Berdasarkan Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa semakin besar kehilangan energi pada sistem maka angka Reynold semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan pada saat kehilangan energi sistem maka kecepatan aliran fluida juga nenurun. Penurunan diakibatkan adanya gesekan di sepanjang pipa yang dialiri fluida susu kental berupa
162
Siti Mechram, dkk, Analisa Pengaruh Sifat Reologi Terhadap Kehilangan Energi Pada Sistem Transfer Susu
gesekan peralatan (kran, tee, sambungan dan belokan) dan gesekan internal fluida (lapisan-lapisan fluida). Semakin kental fluida maka gesekan internal juga semakin tinggi dan kehilangan energi pada sistem juga semakin besar. Widiharsa (1997) menyatakan bahwa untuk mempertahankan gesekan seminimum mungkin maka sebaiknya dipakai pipa yang berdiameter besar dan belokanbelokan yang berjari-jari panjang. Oleh karena itu pilihlah tinggi tekanan pompa untuk dapat memberikan tinggi tekan sistem yang diinginkan Berdasarkan Gambar 4 juga dapat dipahami bahwa sifat reologi dari susu kental manis yang berupa koefisien konsistensi sangat mempengaruhi jenis aliran yang terjadi selama proses pengangkutan fluida tersebut karena sifat reologi yang berupa koefisien konsistensi itu merupakan sifat viskositas dari susu. Dari Gambar 4 dapat dilihat juga bahwa pada saat nilai koefisien konsistensi dari susu 4,5 Pa.Sn maka nilai angka reynoldnya mencapai 11,132. Sedangkan disaat koefisien konsistensi dari bahan mencapai 7,16 Pa.Sn maka bilangan Reynoldnya menurun drastis menjadi 7,105. Dengan demikian dapat diketahui bahwa aliran yang terjadi pada sistem merupakan aliran laminer, dimana bilangan reynoldnya berada di bawah 2100. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dengan semakin tinggi nilai kekentalan dari susu kental manis maka aliran yang terjadi akan sangat lambat karena besarnya energi yang hilang pada sistem, sehingga dibutuhkan daya pompa yang besar untuk mengangkut fluida tersebut dari satu bejana ke bejana lainnya.
KESIMPULAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini bahwa sifat-sifat reologi dari susu kental manis yang berupa koefisien konsistensi sangatlah mempengaruhi kehilangan energi dari sistem transfer fluida susu kental manis tersebut karena parameter ini merupakan sifat kekentalan dari susu. semakin besar kehilangan energi pada suatu sistem maka daya yang dibutuhkan untuk mentransferkan fluida susu kental manis juga akan semakin besar. Selanjutnya dapat disarankan bahwa sebaiknya diadakan pengumpulan data parameter yang lain seperti perubahan ketinggian pipa, perubahan diameter pipa, penggunaan elbow, tee, Heat Exchanger dari suatu sistem transpor fluida susu kental 163
JURNAL AGRICOLA, TAHUN III, NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
manis pada pabrik pembuatan susu kental manis sehingga hasil analisis dari program komputer yang berupa sismulasi dapat dilakukan validasi yang baik, dan dapat diperoleh suatu software program komputer yang mempunyai ketepatan yang tinggi dalam penentuan kehilangan energi.
DAFTAR PUSTAKA Heldman, D.R.,and R.P. Singh. 1980 a. Food Proses Engineering Second Edition. AVI Publishing. New York. Heldman, D.R., and R.P. Singh. 1993 b. Introduction to Food Engineering Second Edition. Academic Press. New York. Herth, P.K.W., S.M.Colo, N. Roye, K.Hedman. 2000. Rheology of foods: New techniques, capabilities, and instruments. ATS RheoSystems:16-20. Kusumah, A.W. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. IPB. Bogor. R. L. Earle. 1969. Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Sastra Hudaya. Bogor. Tipler, P.A. 1991. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Erlangga. Jakarta. Widiharsa, F.A. 1997. Analogi Sistem Instalasi Air dan Sistem Listrik Tenaga Surya. Sains Jurnal Iptek Lembaga Penelitian, Universitas Merdeka Malang.
164
PANDUAN PENULISAN NASKAH
Umum Redaksi Jurnal AGRICOLA menerima naskah hasil penelitian, kajian analitis kritis atau kajian kepustakaan di bidang Pertanian yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk publikasi di penerbitan lain. Penulisan naskah agar mengikuti kaidah penulisan yang berlaku. Redaksi diharapkan telah mendapatkan persetujuan dari para penulis untuk melakukan penyuntingan naskah yang akan diterbitkan. Untuk menghindari penyuntingan yang berlebihan atau ketidak sesuaian penulisan maka setiap penulis harus mematuhi ketentuan Format Naskah yang ditetapkan. Format Penulisan dan Pengiriman Naskah Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris yang baik dan benar. Penulisan naskah menggunakan word-processor, Microsoft Word. Naskah ditulis dengan ukuran kertas A4 dengan margin 2,5 cm di sekitar teks. Isi naskah diketik dengan huruf Times New Roman 12 dan jarak spasi 1,5. Penulisan abstrak dengan huruf Times New Roman 10 dan jarak spasi 1. Panjang naskah berkisar antara 15–20 halaman, termasuk gambar dan tabel. Naskah dibagi dalam seksi-seksi : (a) Judul; (b) Nama-nama penulis; (c) Abstrak (apabila naskah berbahasa Indonesia maka abstrak dalam bahasa Inggris, dan sebaliknya); (d) Pendahuluan; (e) Metode Penelitian; (f) Hasil dan Pembahasan; (g) Kesimpulan; (h) Ucapan terima kasih (apabila diperlukan); (i) Daftar Pustaka. Gambar dan tabel dapat digunakan untuk menerangkan hal-hal yang tidak mudah diterangkan dalam teks. Referensi atau rujukan ditulis dengan urutan : nama akhir pengarang, tahun penerbitan dan nomor halaman (bila diperlukan). Misalnya : (Kusnaedi, 1999) atau (Kusnaedi, 1999:20) atau “Menurut Kusnaedi (1999:20) ….” Kata atau istilah asing yang belum lazim digunakan dalam bahasa Indonesia atau menjadi istilah teknis diketik dengan huruf miring. Naskah untuk diterbitkan dikirimkan ke alamat email :
[email protected],
[email protected] dan atau
[email protected]. Penggantian Biaya Cetak dan Ruang Promosi Redaksi membebankan biaya cetak kepada penulis yang karya ilmiahnya dipublikasikan pada setiap terbitan sebesar Rp. 400.000 untuk setiap judul tulisan. Redaksi juga menyiapkan Ruang Promosi khususnya untuk produk Program Kreatifitas Mahasiswa atau usaha dalam bidang pertanian lainnya, ukuran ½ halaman (tersedia 8 kolom) dengan biaya Rp.500.000/tahun (dua kali terbit). Kepada penulis ataupun pemasang kolom promosi yang disetujui akan dilakukan pemberitahuan selambatnya 3 minggu sebelum diterbitkan agar segera melakukan pembayaran dan jika dalam seminggu terdapat diantaranya yang belum melakukan pembayaran maka pemuatan tulisan ataupun promosi dibatalkan. Penulisan Pustaka Daftar pustaka diurutkan secara alfabetis dan hanya memuat literatur yang dirujuk dalam naskah serta diketik dengan spasi 1. Penulisan daftar pustaka tersebut diurutkan sebagai berikut : nama penulis, tahun penerbitan, judul buku (dengan huruf miring),
nama penerbit dan kota penerbit. Penulisan pustaka dalam Daftar Pustaka mengikuti contoh penulisan seperti tertera di bawah ini. Pustaka dari jurnal : Ririhena, Samel, W. 2008. Hakikat Pembangunan sebagai Proses Multidimensional. Jurnal Ilmu Sosial & Humaniora 1:1-11. Pustaka dari buku : Purwendero. S, Nurhidayati. 2007. Mengolah Sampah Untuk Pupuk dan Pestisida Organik. Penebar Swadaya, Jakarta. Pustaka dari bab suatu buku : Romano,A H. dan Saier, M.H.. 1992. Evolution of bacterial phospoenolpyruvate:sugar phosphotransferase system. I .Physiological and organismic consideration . Dalam Mortlock, R.P. (ed.). The Evolution of Metabolic Function, hal 171-204. CRC Press, Boca Raton. Informasi dari internet : ___________. 2007. Ubi Alabio, Sumber Pangan Alternatif dari Lahan Rawa Pengganti Beras. http//www.litbang.deptan.go.id/berita/one/431/ [26 Peb. 2007]. Lain-lain Bagi penulis yang naskahnya dimuat serta pemasang produk promosi akan diberi 2 eksemplar Jurnal AGRICOLA sebagai nomor bukti. Penulis dan pemasang ruang promosi yang tidak mendapat konfirmasi pembayaran merupakan penulis dan pemasang ruang promosi yang belum disetujui permohonannya dan akan dipersiapan untuk penerbitan berikutnya.