ISSN 0854-3844 STT NO.2239/SK/DITJENPPG/STT/1996
Volume 16, Nomor 2, Mei—Agustus 2009 REDAKSI Penanggung Jawab Roy V. Salomo Pemimpin Editor Eko Prasojo Dewan Editor Agus Maulana, Amy S. Rahayu, Azhar Kasim, Bob Waworuntu, Bhenyamin Hoessein, Chandra Wijaya, Eko Prasojo, Ferdinand D. Saragih, Martani Huseini, Roy V. Salomo, Sudarsono Hardjosukarto, Gunadi, Haula Rosdiana, Irfan Ridwan Maksum, Lisman Manurung Redaktur Pelaksana Rachma Fitriati Sekretaris Redaktur Eko Sakapurnama Editor Teknik Defny Holidin Kesekretariatan Eliyani Noor, Gema Fikri A.P Diterbitkan Oleh: Pusat Kajian Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Alamat Redaksi Ruang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi Gedung Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, Lantai 2, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok 16424 Telp/Fax: 021 78849145 Email:
[email protected],
[email protected] http://www.jurnalbisnisbirokrasi.com JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinil tentang pengetahuan dan informasi riset atau aplikasi riset, beserta pengembangan terkini dalam bidang administrasi dan kebijakan publik, bisnis, dan fiskal. Jurnal ini merupakan sarana publikasi dan ajang berbagi karya riset dan pengembangannya dalam bidang-bidang yang bersangkutan. Pemuatan artikel pada jurnal ini dialamatkan ke ruang redaksi. Informasi lengkap mengenai pemuatan artikel dan petunjuk penulisan artikel tersedia pada setiap terbitan. Artikel yang masuk akan melalui proses seleksi mitra bestari dan atau dewan editor. Sejak 1993, jurnal ini terbit secara berkala sebanyak tiga kali dalam setahun (Januari, Mei, dan September). JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI is a scientific journal which publishes original articles on the most recent knowledge, researches or applied researches and other developments in the fields of public, business, and fiscal administration and policies. The journal provides a broad-bases forum for the publication and sharing of ongoing researches and development efforts in the respective fields. Articles should be sent to the editorial office. Detailed information on how to submit articles and instructions to the authors are available in every edition. All submitted articles will be subjected to peer-review and may be edited. Since 1993, this journal has been published three times a year (January, May, and September).
Volume 16, Nomor 2, Mei—Agustus 2009
DAFTAR ISI Penetapan Target Premi Asuransi Jiwa Syariah untuk Mencapai Titik Impas (Break Even Point) dengan Pendekatan Model Profit Testing
Sugeng Soedibjo, Rachma Fitriati
59-67
Consumers Perception under the Construct of Nationalism, Worldmindedness, “Made In” Label, and Brands
Guido Benny Sunardi
68-73
Scenario Indonesia Tahun 2025 dan Tantangan yang Dihadapi oleh Administrasi Publik
Roy V. Salomo
74-81
Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen Kebijakan Sektor Publik pada Pengelolaan Sungai
Sam’un Jaja Rahardja
82-86
Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan setelah Perubahan Kedudukan dan Fungsi Camat sebagai Perangkat Daerah
Rozy Afrial Jafar
87-95
Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Badan
Erwin Harinurdin
96-104
Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah di Indonesia
Yusuf Wibisono
105-115
Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan
Teguh Kurniawan
116-121
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 59-67
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Penetapan Target Premi Asuransi Jiwa Syariah untuk Mencapai Titik Impas dengan Pendekatan Model Profit Testing SUGENG SOEDIBJO1* & RACHMA FITRIATI2** 1
2
Teknik Asuransi BRIngin Life Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Abstract. This research aimed to give illustration of profit achievement through determination of premium income based on technical assumptions that could be controlled by the company. This model could generally be used as a management tool to take the decision and to arrange the company work planning through allocation of company’s resources. The research was carried out at BRIngin Life Syariah (BLS) company. The results of this study showed that premium income achievement to reach the break even point depended on the kind of insurance products marketed, the operational cost, the investment yield and the risk level of clients. Based on the analyses of profit testing and sensitivity, the product of Tabarru’ produced a better break even point and profit indicator than the insurance products that had the savings element. The results showed that the product of Tabarru with the operational cost between IDR 247,500.0 – IDR302,500.00 per year would reach the break even point between 3.60–5.26 a year. The savings products that had the same operational costs could reach the break even point at 3.91–5.47 a year. Keywords: premium income, operational cost, tabarru’, profit testing
PENDAHULUAN Perkembangan perolehan premi asuransi syariah di Indonesia sampai tahun 2006 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar rata-rata 45,17% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sampai dengan bulan Juni 2006 total perolehan premi asuransi syariah sebesar Rp 231,524 miliar. Namun secara makro, kontribusi premi asuransi syariah hanya menyumbangkan sebesar 1,5% dari target premi asuransi nasional. Dibandingkan dengan negara lain yang penduduknya mayoritas muslim, diperkirakan bahwa peranan asuransi syariah di Indonesia, seharusnya dapat memberikan sumbangan terhadap target perolehan premi nasional sekurangkurangnya sebesar 10% (Majalah Proteksi, 2006). Dalam rangka mendorong pengembangan bisnis asuransi jiwa syariah, diperlukan sejumlah indikator untuk meyakinkan para investor bahwa bisnis asuransi jiwa syariah di Indonesia mempunyai prospek yang sangat baik. Di samping masih terbukanya peluang pasar asuransi jiwa syariah di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, juga beberapa indikator keuangan lainnya yang menjadi acuan kegiatan operasional perusahaan memberikan daya tarik untuk dibukanya industri asuransi jiwa syariah. Menurut data makro ekonomi yang telah diolah, bahwa potensi pasar asuransi jiwa di Indonesia (lihat tabel 1).
*Korespondensi: +6221 5261260, +6221 5261261;
[email protected] ** Korespondensi: +62812 969323;
[email protected]
Sampai dengan tahun 2004, jumlah pemegang polis asuransi jiwa di Indonesia baru berjumlah 33,6 juta orang atau sekitar 15,29% dari total populasi. Hal ini berarti bahwa setiap enam orang penduduk Indonesia hanya memiliki satu polis asuransi jiwa. Artinya terdapat potensi pasar asuransi jiwa yang demikian besar kurang lebih sekitar 85% dari populasi Indonesia atau sekitar 190 Juta jiwa penduduk Indonesia yang belum memiliki polis asuransi jiwa. Sedangkan, sumbangan sektor asuransi jiwa terhadap PDB kurang dari 1%, yaitu baru sekitar 0,77% terhadap PDB tahun 2004. Ini berarti masih terbuka peluang untuk meningkatkan pendapatan premi asuransi jiwa di masa datang. Peningkatan pendapatan premi asuransi jiwa ini sangat tergantung pada iklim perekonomian nasional yang memungkinkan peningkatan pendapatan per kapita penduduk dan peranan industri asuransi dalam memobilisasi dana masyarakat untuk bersaing dengan industri keuangan lainnya. Disamping potensi pasar asuransi, tumbuhnya perusahaan asuransi dipengaruhi pula pada peranan yang saling ketergantungan dari berbagai bidang. Pertama, pada bidang pemasaran, mobilisasi aparat pemasaran dan pembuatan strategi pemasaran yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan diharapkan dapat meningkatkan volume penjualan. Kedua, pada bidang teknism perusahaan asuransi harus melakukan valuasi-valuasi kekayaan dan kewajiban perusahaan terhadap nasabahnya, pembuatan produk-produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan penetapan standar operasional teknis dan seleksi terhadap risiko calon peserta asuransi. Ketiga, pada bidang keuangan,
60
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67
Tabel 1. Indikator Ekonomi Makro tentang Potensi Pasar Asuransi di Indonesia Berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB), Premi dan Polis Asuransi Jiwa Tahun 2001–2004
Keterangan PDB pada harga berlaku (miliar Rp.) Pendapatan per Kapita (Rp.) Total Premi Asuransi Jiwa (miliar Rp.) % Premi Asuransi Jiwa terhadap PDB Pemegang Polis Asuransi Jiwa Jumlah Penduduk (juta) % Pemegang Polis Asuransi Jiwa terhadap Jumlah Penduduk
2001 1.449.398.10 6.938.000,00 8.815,73 0,61 25.293.099,00 208,90
2002 1.610.016,00 7.594.000,00 10.872,72 0,68 24.246.485,00 211,10
2003 1.786.691,00 9.572.480,00 13.311,60 0,74 30.867.931,00 215,00
2004 2.303.030,00 10.641.730,00 17.795,61 0,77 33.600.000,00 220,00
12,11
11,49
11,51
15,29
Sumber: Bank Indonesia, BPS, Dewan Asuransi Indonesia (DAI), 2005
perusahaan asuransi harus dapat melakukan pengelolaan dana masyarakat agar memberikan hasil yang optimal, pengendalian terhadap alokasi biaya-biaya perusahaan, dan penyusunan terhadap rencana anggaran perusahaan agar sedini mungkin ditetapkan rencana target perolehan keuntungan perusahaan. Pada perusahaan dengan prinsip syariah peranan ketiga bidang ini, harus senantiasa memenuhi karakteristik yang selaras dengan etika dan bisnis perusahaan yang berlandaskan pada etika bisnis Islam (Gillian, 1999; Alma, 2003). Selain itu, misi yang harus diemban asuransi syariah adalah misi akidah, ibadah (ta’awun), ekonomi (iqtisadl), dan pemberdayaan umat (sosial) (Anshori, 2007). Pada perusahaan asuransi syariah (ta’min, takaful, atau tadhamum), hubungan kerjasama antar kedua belah pihak akan terjadi jika transaksi dilakukan berdasarkan prinsip mudharabah, yang bertujuan untuk melindungi tertanggung dari risiko keuangan masa depan yang tidak terduga (Billah, 1998). Peranan perusahaan hanya berstatus sebagai pengelola dana atau mudharib, sedangkan pemegang polis atau peserta asuransi atau shahibul maal merupakan pemilik dana sepenuhnya (Billah, 1998). Hubungan muamalah keduanya disebut hubungan mudharabah (lihat gambar 1 & 2). Prinsip asuransi syariah harus mampu menciptakan keadilan, membangun moral, menetapkan bahwa uang bukan merupakan komoditas transaksi, diberlakukannya kebebasan dalam bertransaksi, menghindari adanya kekayaan beku dan kegiatan yang bersifat monopoli dan tidak menganut ‘economic value of time (Roy, 1991; Billah, 1999). Selain itu, asuransi syariah juga tidak boleh mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat (Anshory, 2007). Penempatan dana investasi pada asuransi syariah juga harus memperhatikan kaidah yang berlaku dalam sistem syariah, misalnya tidak menempatkan dana pada lembaga keuangan yang berbasis bunga, atau pembelian saham perusahaan yang memperjualbelikan komoditi haram secara syariah (Antonio, 2004 dan Sula, 2004). Selain itu, pembagian keuntungan investasi dana didasarkan pada akad asuransi yang disepakati dengan peserta yaitu dasar akad bagi hasil investasi (al–mudharabah) (Yusof , 1996; Karim, 2001). Sumber-sumber pendapatan perusahaan secara umum
bersumber dari ujrah atau fee (fee pengelolaan penjualan produk asuransi, nisbah bagi hasil investasi dan atau dari surplus operasional dari pengelolaan risiko) yang sebagian besar bersifat variabel, tergantung dari volume penjualan dan jumlah dana kelolaan oleh perusahaan, sedangkan sumber-sumber pengeluaran perusahaan dikelompokkan pada pengeluaran biaya variabel (variable cost)-biaya-biaya yang dikeluarkan tergantung pada besarnya volume penjualan; dan biaya tetap (fix cost) - yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional yang tidak tergantung langsung pada volume penjualan. Biaya tetap ini menjadi indikator langsung terhadap tingkat efisiensi suatu perusahaan. Kegiatan operasional perusahaan asuransi syariah ini dibiayai dari hasil perolehan ujrah (fee) atas seberapa besar fee yang diperoleh perusahaan untuk menutup seluruh biaya operasional yang telah dikeluarkan dalam kurun waktu tertentu. Selain itu, indikator pembagian keuntungan perusahaan ditentukan oleh besarnya dana yang dikelola baik yang bersumber dari dana tabungan (tabarru’) atau dana tabungan peserta sesuai dengan jenis produk dan akad asuransi yang diterapkan. Pada perusahaan asuransi jiwa syariah, sumber dana dikaitkan dengan akad asuransi yang akan diterapkan dan, daya saing terhadap tingkat persaingan pasar yang dihadapi, salah satunya melalui inovasi. Inovasi-inovasi dalam bisnis berorientasi pada upaya pemenuhan keinginan dan kebutuhan konsumen melalui penciptaan manfaat atau nilai (Soeling, 2005), termasuk pada produk asuransi syariah. Inovasi terhadap produk asuransi syariah mengacu pada kebutuhan pasar. Inovasi pada produk asuransi syariah sangat bergantung pada penerapan akad yang menjadi acuan pembagian hak dan kewajiban antara perusahaan dan calon peserta asuransi. Namun, hal ini tidak berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa syariah yang baru, mengingat biaya awal operasional perusahaan yang telah dikeluarkan belum mampu ditutup dari pendapatan perusahaan yang bersumber dari beberapa fee tersebut di atas. Pada kenyataannya biaya awal perusahaan yang tinggi digunakan untuk membiayai awal operasi perusahaan dalam bentuk pembangunan infrastruktur kantor dan pembukaan kantor-kantor cabang baru untuk mendukung pemasaran produk-produk perusahaan.
SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH
61
Gambar 1. Mekanisme Kerja Produk Asuransi Jiwa Syariah dengan Unsur Tabungan Sumber: PT. AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi Syariah, 2007
Gambar 2. Mekanisme Kerja Produk Asuransi Jiwa Syariah tanpa Unsur Tabungan Sumber: PT. AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi Syariah, 2007
Biaya-biaya awal operasional perusahaan tersebut bersifat biaya tetap atau fix cost sebagai Initial Investment perusahaan yang diharapkan akan ditutup dari perolehan fees di tahun-tahun mendatang. Sedangkan sumber-sumber pendapatan perusahaan, sebagian besar bersumber dari fee penjualan produk yang meningkat berdasarkan omset penjualan dari waktu ke waktu, fee bagi hasil mudharabah dari hasil investasi yang tergantung pada jumlah dana kelolaan dan kondisi eksternal iklim investasi maupun dari fee surplus operasional pengelolaan risiko oleh manajer risiko perusahaan yang tergantung pada besarnya pembayaran klaim dan manfaat asuransi jiwa pada peserta. Terjadinya gap di awal operasi perusahaan diharapkan dapat dicapai dengan bertambahnya jumlah peserta asuransi dari tahun ke tahun. Penetapan waktu titik impas (break even point) yaitu terjadinya keseimbangan antara total biaya operasional perusahaan dan sumber pendapatan menjadi indikator penting bagi para investor untuk mengkaji kelayakan bisnis perusahaan. Masalah lain yang terjadi dalam pengelolaan perusahaan asuransi jiwa syariah adalah, penetapan pengembalian hasil investasi dari dana kelolaan peserta. Dengan akad asuransi syariah, perolehan hasil investasi yang maksimal akan mempercepat tercapainya titik impas dan mempercepat perolehan keuntungan perusahaan
dan sebaliknya. Hal ini tergantung akad asuransi dan penetapan nisbah bagian perusahaan yang memungkinkan untuk mampu bersaing dalam lingkungan pemasaran. Semakin kecil nisbah bagi perusahaan memberi indikasi semakin efisiennya biaya-biaya operasi perusahaan dan sebaliknya. Korelasi lainnya adalah semakin tingginya tingkat pengembalian hasil investasi menunjukkan perusahaan memiliki kemampuan dalam mengelola dana peserta. Hal ini memberikan dampak terhadap meningkatnya kepercayaan peserta terhadap kemampuan perusahaan, dan mendorong tumbuhnya perusahaan dalam menjaring peserta-peserta asuransi lainnya. Pada sisi lain, secara agregat masalah yang dihadapi perusahaan adalah menetapkan target premi total peserta yang harus dikelola agar mencapai titik impas dan keuntungan perusahaan (Emms, Haberman, Savoulli, 2007). Pencapaian target premi ini dipengaruhi oleh jenis produk yang akan dipasarkan, jaringan pemasaran, penerapan akad asuransi, dan kualitas pelayanan perusahaan. Pada PT AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi Bisnis Syariah, analisa tentang penetapan target premi peserta adalah merupakan penjumlahan dari setiap unit bisnis pemasaran yang telah dibuka, baik yang bersumber dari bisnis asuransi jiwa individu maupun asuransi jiwa kumpulan. Keragaman perusahaan berasal dari
62
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67
Tabel 2. Tarif Premi Resiko (Tabarru’) per Rp. 1.000,00 Dana Kebajikan
Usia 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Tarif 1.97 1.98 1.95 1.93 1.87 7.85 7.83 1.82 1.83 1.85 1.85 1.87 1.91 1.98 2.09 2.21 2.36 2.53 2.71 2.88
Usia 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59
Tarif 3.06 3.26 3.49 3.77 4.11 4.56 5.11 5.78 6.54 7.36 8.21 9.06 9.84 10.57 11.33 12.24 13.38 14.82 16.56 18.45
Usia 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
Tarif 20.28 22.30 24.51 26.94 29.61 32.55 35.78 39.29 43.17 47.41 52.06 57.17 62.76 68.89 75.59 82.94 90.96 99.73 109.31 119.77
Usia 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
Tarif 131.17 143.60 157.12 171.82 187.79 205.11 223.85 244.14 266.02 289.61 314.97 342.17 371.27 402.30 435.32 470.31 507.26 546.13 586.82 629.20
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
akumulatif keragaan bisnis-bisnis yang dibangunnya. Untuk memberikan penilaian terhadap kinerja perusahaan, senantiasa dibutuhkan alat ukur dalam menggambarkan keragaan tersebut secara kuantitatif melalui indikator yang ditetapkan. Indikator-indikator ini antara lain penetapan target perolehan premi, penetapan waktu tercapainya titik impas, analisa profitabilitas perusahaan, dan analisa kepekaan (sensitivity analysis) sesuai dengan asumsi-asumsi yang ditetapkan. Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis cara menetapkan target premi agar tercapai titik impas (break even point) yang mengacu pada produk-produk asuransi yang dipasarkan dari akadakad asuransi yang diterapkan. METODE PENELITIAN Penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini menggunakan model Profit Testing (Hare dan McCutcheon,1996; Mungall,1993), yaitu model matematis yang berupa proses iterasi dari keseimbangan cash flow antara sumber pendapatan dengan sumber pengeluaran perusahaan pada setiap tahun produksi. Dalam model ini dilakukan identifikasi secara akurat besaran sumber-sumber pendapatan perusahaan melalui dimensi waktu yang ditetapkan dan mampu mengidentifikasi sumber-sumber pengeluaran perusahaan dari periode waktu pengamatan. Beberapa asumsi yang digunakan sebagai dasar penetapan perhitungan profit testing dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut. Pertama, asumsi teknis yang meliputi tabel mortalita yang digunakan, asumsi hasil investasi yang akan dicapai dalam tahun-tahun mendatang, penetapan bagi hasil investasi, besarnya profit sharing yang ditetapkan dalam mengelola risiko, penetapan biaya aktuaria (actuarial load) yaitu biaya yang dibebankan pada calon peserta untuk mengikuti
program asuransi yang dipilih, biaya mortalitas (mortality load) yaitu penetapan tingkat kematian berdasarkan tabel mortalita yang dipilih sebagai dasar menghitung tarif premi Tabarru’, dan asumsi tingkat hasil investasi per tahun yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk mengelola dana peserta. Kedua, asumsi data pertanggungan yang meliputi rata-rata usia peserta yang akan menjadi nasabah perusahaan yang bersangkutan, rata-rata dana kebajikan yang akan dikelola perusahaan yang mencerminkan segmen pasar yang akan dituju oleh perusahaan, ratarata masa asuransi yang akan masuk sebagai pilihan calon peserta, jumlah polis peserta baru (New Business = NB) yang diharapkan oleh perusahaan pada setiap tahunnya, dan asumsi kenaikan produksi baru per tahun yang mencerminkan target pertumbuhan usaha perusahaan pada setiap tahunnya. Ketiga, asumsi biaya dan beban perusahaan yang meliputi asumsi biaya pemasaran yaitu biaya-biaya yang digunakan untuk memasarkan produk-produk perusahaan, investasi awal perusahaan (Initial Investment) yaitu dana awal yang dibutuhkan perusahaan pada awal beroperasi, biaya over head yaitu biaya yang digunakan untuk membiayai kegiatan kantor-kantor, dan asumsi kenaikan biaya over head per tahun untuk mengatisipasi pertumbuhan biaya akibat koreksi faktor inflasi. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Cost of Insurance (Premi Tabarru’) Berdasarkan Tabel Mortalita Indonesia II 1993 (TMI II 1993), dengan asumsi hasil investasi 8% per tahun dan ditetapkan biaya sebesar 30% dari Premi Tabarru’, diperoleh tarif premi Tabarru’ untuk setiap Rp 1.000,00 dana kebajikan (lihat tabel 2). Hal ini memberikan beberapa gambaran bahwa (a) dengan semakin meningkatnya usia calon peserta maka risiko yang dihadapi perusahaan semakin tinggi sehingga peserta yang berusia lebih tinggi akan membayar secara adil lebih mahal dibandingkan dengan calon peserta yang berusia lebih muda; (b) Dengan asumsi hasil investasi 6% ini menunjukkan bahwa apabila perusahaan dalam mengelola dana Tabarru’ tersebut memperoleh hasil investasi lebih dari 6%, marjin yang diperoleh dari hasil investasi ini menjadi penambah pooling fund dana Tabarru’ yang dikelola perusahaan. Sebaliknya, apabila hasil investasi kurang dari asumsi yang ditetapkan maka defisit ini menyebabkan berkurangnya Pooling Fund dana Tabarru’; (c) Penetapan asumsi biaya sebesar 30% menunjukkan bahwa dari setiap premi Tabarru’ yang dihimpun perusahaan mempunyai alokasi biaya yang digunakan untuk operasional sebesar 30%. Apabila realisasi biaya operasional kurang dari 30% memberikan gambaran selisih tersebut merupakan keuntungan perusahaan atas efisiensi biaya yang dilakukan. Sebaliknya apabila
SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH
realisasi biaya operasional melebihi asumsi yang telah ditetapkan, maka kerugian ini harus ditutupi dari premipremi lanjutan dimasa yang akan datang. B. Analisis Biaya Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan tahun 2003-2005, diperoleh sejumlah hasil. Pada awal berdirinya perusahaan tahun 2003 biaya umum dan administrasi masih relatif rendah, yaitu sebesar Rp 256.845.793,71. Hal ini dikarenakan oleh masih terbatasnya jumlah sumber daya manusia, baik aparat penjualan maupun pegawai organik. Sarana kantor masih sangat terbatas dan jumlah kantor cabang yang dibuka baru satu kantor cabang. Pada tahun 2004 biaya umum dan administrasi mengalami kenaikan sebesar Rp 1.269.274.728,60 atau kenaikan 394,17% dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan kebijakan perusahaan untuk menambah sarana dan sumber daya manusia dengan dukungan lima kantor cabang di beberapa kota besar. Pada tahun 2005 terjadi perluasan jaringan distribusi dengan membentuk tujuh departemen pemasaran korporasi yang dikhususkan untuk memasarkan produk-produk asuransi kumpulan secara korporasi. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah biaya umum dan administrasi menjadi Rp 3.144.030.197,23 atau terjadi peningkatan sebesar 147,75% dari tahun 2004. Hasil yang kedua, berdasarkan data pada hasil pertama di atas, terlihat bahwa setiap pembukaan satu kantor cabang atau satu departemen pemasaran perusahaan harus mengalokasikan biaya per tahunnya berkisar antara Rp 250 juta-Rp 275 juta. Biaya ini dalam analisis perhitungan profitabilitas diperlakukan biaya modal kerja atau overhead cost kantor pemasaran. Hasil yang ketiga,dengan memperhatikan faktor inflasi, tanpa adanya penambahan julah kantor pemasaran, diperkirakan biaya modal kerja tahunan (diasumsikan) akan meningkat sebesar 10% pada tahuntahun berikutnya dari tahun sebelumnya. Hasil keempat, merujuk pada biaya underwriting dan biaya produksi/penjualan yang sangat tergantung pada besaran portofolio premi yang diperoleh selama periode berjalan. Biaya-biaya ini bersifat variabel dari premi yang dihimpun. Dengan demikian, keuntungan perusahaan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya portofolio premi yang akan dihimpun. Jika portofolio yang dikelola sangat rendah mengakibatkan sumber pendapatan perusahaan tidak akan cukup untuk menutup biaya umum dan administrasi yang telah dikeluarkan. Sebaliknya, jika portofolio premi yang dikelola sangat besar maka keuntungan perusahaan menjadi sangat besar pula karena sumber-sumber pendapatan perusahaan mampu menutup biaya umum dan administrasi. Hasil kelima besaran biaya underwriting dan biaya produksi/penjualan ditentukan berdasarkan pada jenis produk dan sesuai kebijakan perusahaan dalam menetapkan prosentase biaya. Selanjutnya biaya-biaya
63
ini dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan target portofolio premi yang harus dicapai, agar pencapaian target tersebut mampu menutup semua biaya dalam masa tertentu serta menghasilkan keuntungan dan pencapaian titik impas sesuai dengan target yang telah ditetapkan. C. Analisis Portofolio Premi dan Profitabilitas Analisis premi dan portofolio yang pertama adalah produk tabungan. Dalam menganalisa portofolio premi dan profitabilitas dari jenis produk non tabungan (Tabarru’) ini, terdapat beberapa asumsi teknis yang harus ditetapkan untuk menyusun perencanaan produksi setiap tahunnya. 1) Asumsi Teknis a Tabel Mortalita: TMI II 1999 b Hasil Investasi (Gross): 12,00% Hasil Investasi (Netto 60% c Mudharabah: a. Pesert 80,00% b. Perusahaa 20,00% d Profit Shari 30,00% e Loading Aktua 30,00% f Mortality Lo 90,00% g Hasil Investasi Tekn 6,00% 2) a b c d
3) a b c d
Data Pertanggung an Usia M asuk (Tahun): JU P (Rupiah) Masa Asura nsi (Tahun): Ju mlah Polis NB: Kenaikan Produksi Polis NB/ Tahun: Biaya da n Beban Biaya Pema saran Initial Investment: OHC: +/- OHC / Thn
40 15.000.000,00 10 20.000 10% 20,0 0% 500.000.000,00 275.000.000,00 10,0 0%
Berdasarkan asumsi teknis, data kepesertaan dan rencana anggaran biaya sebagaimana tersebut di atas dapat diperoleh proyeksi kepesertaan dan pendapatan premi tahun 2006 sampai dengan tahun 2015 seperti dalam tabel 3. Berdasarkan análisis portofolio premi dan profitabilitas, maka diperoleh grafik premi, klaim, dan laba (rugi) term insurance (yearly renewable term) Syariah Produk Non Tabungan (tabarru’), seperti pada gambar 3. Jika Kantor Cabang memenuhi pencapaian pendapatan premi dan jumlah kepesertaan setiap tahunnya selama 10 tahun produksi kedepan sesuai dengan target yang telah ditetapkan dan asumsi teknis dan rencana anggaran terpenuhi, maka profitabilitas yang dicapai oleh kantor cabang adalah seperti dalam poin nomor 4. Analisis produk premi dan portofolio yang berikutnya adalah produk tabungan. Dalam menganalisa portofolio premi dan profitabilitas dari jenis produk dengan unsur tabungan, terdapat beberapa asumsi teknis yang harus ditetapkan untuk menyusun perencanaan produksi setiap tahunnya.
64
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67
Tabel 3. Pencapaian Target Portofolio Jumlah Peserta dan Premi Produk Asursni Jiwa Syariah Non Tabungan (Tabarru’)
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Jumlah Peserta 20,0000.00 41,959.14 66,070.72 92,547.04 121,620.92 153,547.78 188,607.21 227,105.36 269,377.51 315,791.49
Premi 917,789,757.41 1,986,006,444.74 3,227,361,456.31 4,674,771,879.41 6,364,253,460.13 8,351,182,730.29 10,696,016,881.93 13,468,676,395.96 16,733,478,592.64 20,556,561,037.31
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Tabel 4. Pencapaian Target Portofolio Jumlah Peserta dan Premi Produk Asuransi Jiwa Syariah Tabungan (Mudharabah) Tahun 2006
Jumlah P eserta 4 00,00
Premi Tahunan GRO SS
NETTO
4.000 .0 00 .0 00,00
3 .6 00.000.000,00
2007
7 99,18
7.991 .8 28 .0 00,00
7 .4 79.991.440,00
2008
1.205 ,18
12.051.751.278,62
11.423.516.253,04
2009
1.624 ,59
16.245.946.120,27
15.495.107.197,86
2010
2.063 ,41
20.634.128.579,28
19.752.934.007,69
2011
2.527 ,22
25.272.224.236,90
24.251.416.552,16
2012
3.021 ,43
30.214.264.830,57
29.043.080.013,96
2013
3.551 ,39
35.513.939.200,53
34.180.070.944,52
2014
4.122 ,58
41.225.816.802,21
39.715.352.046,97
2015
4.740 ,64
47.406.449.914,53
45.703.777.655,12
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 3.Grafik Premi, Klaim, dan Laba (Rugi) Term Insurance (Yearly Renewable Term) Syariah Produk Non Tabungan (Tabarru’) Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 4. Grafik Premi, Klaim, dan Laba (Rugi) Term Insurance (Yearly Renewable Term) Syariah Produk Tabungan Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH
4) Profitability: a PVF Premium: b PVF Profi c Profit Margi d Internal Rate of Return (IRR): e Return on Investment (ROI): f Payback Period (th
4,676,695,967.51 2,445,750,376.43 5.47% 19.75% 43.98% 3.60
Berdasarkan asumsi teknis, data kepesertaan, dan rencana anggaran biaya, dapat diperoleh proyeksi kepesertaan dan pendapatan premi tahun 2006 sampai dengan tahun 2015 pada tabel 4. 1) Asumsi Teknis a Tabel Mortalita: TMI II 1999 b Hasil Investasi (Gross): 12,00% Hasil Investasi (Netto): 9,60% c Mudharabah: a. Peserta: 80,00% b. Perusahaan: 20,00% d Profit Sharing: 30,00% e Loading Aktuaria Thn-1: 10,00% Loading Aktuaria Thn-2, dst: 2,00% f Mortality Load: 90,00% g Tingkat hasil Investasi Teknis: 6,00% 2) Data Pertanggungan a b
Usia Masu k (Tahun): Jumlah Uang Pertanggungan:
40 10.000.000,00
c
Premi per Tahun (Rupi ah):
10.000.000,00
d
Masa Asurans i (Tahun):
e Jumlah Polis NB: f Kenaikan P roduksi Pol is NB/ Tahun:
10 400 10%
3) Bi aya dan B eban a
Biaya P ema saran Thn-1:
b
Biaya P ema saran Thn-2, dst
8,0% 2,0%
c
Initial Inves tme nt:
500,000,000.00
d
OHC:
275.000.000,00
e
+/- O HC/ Thn:
10,0%
Berdasarkan análisis portofolio premi dan profitabilitas diperoleh grafik premi, klaim, dan laba (rugi) term insurance (yearly renewable term) Syariah Produk Tabungan sebagai gambar 4. Seandainya kantor cabang memenuhi pencapaian pendapatan premi dan jumlah kepesertaan setiap tahunnya selama sepuluh tahun produksi kedepan sesuai dengan target yang telah ditetapkan dan asumsi teknis dan rencana anggaran terpenuhi, profitabilitas yang dicapai oleh kantor cabang adalah sebagai berikut. Analisa portofolio premi dan profitabilitas yang ketiga adalah analisis produk. Berdasarkan hasil perhitungan profit testing dari kedua produk di atas diperoleh gambaran sebagai berikut: Pertama, pencapaian titik impas kantor cabang dalam memasarkan produk asuransi Tabarru’ lebih cepat
4) Profitability: a PVF Premium: b PVF Profit: c Profit Margin: Internal Rate of Return d (IRR): Return on Investment e (ROI): f Payback Period (year):
65
122,794,211,151.36 1,157,869,601.78 0.94% 20.13% 54.94% 4.66
dibandingkan dengan produk tabungan. Hal ini disebabkan porsi keuntungan perusahaan yang bersumber dari biaya dan hasil investasi produk Tabarru’ lebih besar dibandingkan dengan produk tabungan. Kedua, ROI, IRR dan profit margin produk Tabarru’ lebih besar dari produk tabungan. Hal ini dikarenakan produk Tabarru’ tidak memberikan nilai tunai kepada peserta dalam masa kontrak asuransi sehingga perusahaan dapat memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan dengan produk tabungan. Ketiga, Produk Tabarru’ memberikan potensi keuntungan dan pencapaian titik impas lebih baik dari produk tabungan. Namun demikian, pencapaian target portofolio premi harus dicapai dalam jumlah peserta yang jauh lebih besar dibandingkan dengan produk tabungan mengingat premi yang dipasarkan sangat murah. Keempat, Tingkat kesulitan memasarkan produk Tabarru’ lebih tinggi dibandingkan dengan produk tabungan. Hal ini dikarenakan karena rancangan produk ini sangat sederhana - hanya memiliki satu manfaat asuransi. Sedangkan untuk produk tabungan dapat dirancang berbagai kombinasi produk sesuai dengan kebutuhan konsumen. Analisis portofolio premi dan profitabilitas yang keempat adalah analisis kepekaan. Dalam menganalisis kepekaan produk Tabarru’ dan Tabungan akan diuji sensitivitas profit margin, ROI, IRR, dan payback period terhadap perubahan hasil investasi, overhead cost (OHC), dan mortality. Asumsi-asumsi teknis lainnya dianggap tetap (cateris paribus). Berdasarkan perhitungan profit testing, dapat diketahui masingmasing kepekaan terhadap perubahan variabel tersebut diatas sebagai berikut. Kepekaan terhadap perubahan variabel tersebut yang pertama adalah produk non tabungan (Tabarru’). Untuk sensitivitas hasil investasi, peningkatan dan penurunan hasil investasi sebesar 1% akan menyebabkan perubahan terhadap indikator profitabilitas sebagaimana terdapat pada tabel 5. Peningkatan hasil investasi sebesar 1% dari asumsi semula menjadi akan menyebabkan peningkatan PM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 3,87%, 4,08%, dan 3,55%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih cepat 0,10 tahun. Penurunan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsi semula menjadi 11 % akan menyebabkan penurunan PM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 3,85%, 4,01% dan
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67
66
Tabel 5. Sensitivitas Perubahan Asumsi Hasil Investasi Produk Tabarru’ terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Skenario 1 2 3
Hasil Investasi 12,0% 13,0% 11,0%
PM
ROI
IRR
4,10% 4,26% 3,95%
60,67% 63,14% 58,24%
26,69% 27.64% 25,73%
Pay Back (Tahun) 4,33 4,23 4,44
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
1 2 3
Mortality Load 100.0% 110.0% 90.0%
PM
ROI
IRR
4.10% 2.73% 5.47%
60.67% 43.98% 79.87%
26.69% 19.75% 32.78%
Pay Back (year) 4.33 5.26 3.60
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
1 2 3
Overhead PM ROI IRR Cost 275,000,000.0 0.93% 54.53% 19.97% 302,500,000.0 0.77% 42.47% 16.77% 247,500,000.0 1.09% 71.58% 23.15%
1 2 3
275,000,000.0 302,500,000.0 247,500,000.0
Pay Back (year) 4.10% 60.67% 26.69% 4.33 3.66% 51.14% 24.05% 4.88 4.54% 73.25% 29.40% 3.82 PM
ROI
IRR
Tabel 8. Se nsitivitas Pe rubahan Asumsi Hasil Inve stasi Produk Tabungan terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Skenario 1 2 3
Hasil Investasi 12,0% 13,0% 11,0%
PM
ROI
IRR
0,93% 1,04% 0,83%
54,53% 61,44% 48,10%
19,97% 22,09% 17,77%
Pay Back (Tahun) 4,68 4,30 5,12
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Tabel 9. Sensitivitas Perubahan Asumsi Overhead Cost Produk Tabungan terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Scenario
Scenario Overhead Cost
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Tabel 7. Sensitivitas Perubahan Asumsi Mortality Load Produk Tabarru’ terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Scenario
Tabel 6. Sensitivitas Perubahan Asumsi Overhead Cost Produk Tabarru’ terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Tabel 10. Sensitivitas Perubahan Asumsi Mortality Load Produk Tabungan terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Pay Back (year) 4.68 5.47 3.91
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
3,60%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,11 tahun. Sementara pada sensitivitas overhead cost (OHC) 10% akan menyebabkan perubahan terhadap indikator profitabilitas sebagaimana terdapat dalam tabel 6. Peningkatan OHC sebesar 10%, dari asumsi semula menjadi Rp 302.500.000,00 akan menyebabkan penurunan PM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 10,69%, 15,71%, dan 9,88%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,55 tahun. Penurunan OHC sebesar 10%, dari asumsi semula menjadi Rp 247.500.000,00 akan menyebabkan peningkatan PM, ROI dan IRR masingmasing sebesar 10,71%, 20,73% dan 10,14%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih cepat 0,51 tahun. Untuk sensitivitas mortality load, peningkatan dan penurunan sebesar 10% akan menyebabkan perubahan terhadap indikator profitabilitas sebagaimana terdapat dalam tabel 7. Peningkatan mortality load sebesar 10%, dari asumsi semula akan menyebabkan penurunan PM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 33,42%, 27,51% dan 26,00%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,93 tahun. Penurunan mortality load sebesar 10%, dari asumsi semula akan menyebabkan peningkatan PM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 33,42%, 31,65% dan 22,82%, sedangkan payback period akan dicapai lebih cepat 0,73 tahun. Kepekaan terhadap peubahan variabel tersebut yang kedua adalah produk tabungan. Untuk sensitivitas hasil investasi, peningkatan dan penurunan hasil investasi sebesar 1% akan menyebabkan perubahan terhadap indikator profitabilitas sebagaimana terdapat dalam tabel
Scenario
Mortality Load
PM
ROI
IRR
1 2 3
100.0% 110.0% 90.0%
0.93% 0.92% 0.94%
54.53% 54.11% 54.94%
19.97% 19.81% 20.13%
Pay Back (year) 4.68 4.71 4.66
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
8. Peningkatan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsi semula menjadi 13% akan menyebabkan peningkatan PM, ROI dan IRR masing-masing sebesar 11,46%, 12,67%, dan 10,63%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih cepat 0,38 tahun. Penurunan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsi semula menjadi 11% akan menyebabkan penurunan PM, ROI dan IRR masing-masing sebesar 11,33%, 11,79%, dan 10,99%, sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,44 tahun. Sementara pada sensitivitas overhead cost, peningkatan dan penurunan OHC sebesar 10% akan menyebabkan perubahan terhadap indikator profitabilitas (lihat tabel 9). Peningkatan overhead cost sebesar 10%, dari asumsi semula menjadi Rp 302.500.000,00 akan menyebabkan penurunan PM, ROI dan IRR masing-masing sebesar 17,25%, 22,11%, dan 16,03%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,79 tahun. Penurunan overhead cost sebesar 10%, dari asumsi semula menjadi Rp 247.500.000,00 akan menyebabkan peningkatan PM dan ROI 15,94%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih cepat 0,77 tahun. Untuk sensitivitas mortality load, peningkatan dan penurunan mortality load sebesar 10% akan menyebabkan perubahan terhadap indikator profitabilitas (lihat tabel 10). Peningkatan mortality load sebesar 10%, dari asumsi semula akan menyebabkan penurunan PM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 0,98%, 0,76%, dan 0,8%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,03 tahun.
SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH
Penurunan mortality load sebesar 10%, dari asumsi semula akan menyebabkan peningkatan PM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 0,98%, 0,76%, dan 0,80%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih cepat 0,02 tahun. KESIMPULAN Dari penjabaran sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pencapaian portofolio premi dalam mencapai titik impas sangat tergantung pada jenis produk yang dipasarkan, biaya operasional, hasil investasi, dan tingkat resiko calon peserta asuransi. Kedua, berdasarkan analisa profit testing dan sensitivitas, produk asuransi jenis Tabarru’ menghasilkan titik impas dan indikator profitabilitas lebih baik dari pada produk yang mempunyai unsur tabungan. Namun demikian jumlah portofolio peserta produk Tabarru’ harus besar agar dapat menutup segala biaya. Ketiga, pencapaian target portofolio peserta dari produk tabungan membutuhkan jumlah populasi yang lebih kecil mengingat premi untuk produk tabungan ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk Tabarru’. Keempat, setiap unit pemasaran membutuhkan biaya operasional per tahun antara Rp 247.500.000 hingga Rp 302.500.000. Untuk produk Tabarru’, unit pemasaran akan mencapai titik impas pada selang 3,60 tahun sampai 5,26 tahun. Sementara produk Tabungan akan mencapai titik impas pada selang 3,91 tahun sampai 5,47 tahun. Kelima, faktor mortalita untuk produk Tabarru’ memilki tingkat kepekaan yang kuat dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya yaitu hasil investasi dan biaya, sedangkan untuk produk Tabungan faktor yang paling sensitif adalah perubahan hasil investasi. Keenam, tingkat pengembalian dan profit marjin produk Tabarru’ lebih baik dibandingkan dengan produk tabungan. Sehingga sebelum melakukan aktivitas pemasaran, manajemen menetapkan sasaran yang akan dicapai berdasarkan protofolio premi, kepesertaan, dan indikator-indikator profitabilitas yang telah dirumuskan. Manajemen perlu melakukan kajian terhadap beberapa asumsi dan indikator profitabilitas setiap tahunnya untuk mengukur penyimpangan terhadap asumsi dan indikator profitabilitas agar sesuai dengan sasaran perusahaan. Kantor pemasaran perlu melakukan pemasaran
67
produk secara kombinasi yaitu produk Tabarru’ dan atau tabungan agar tercapai target yang optimum. Serta, diperlukan kajian analisa investasi yang lebih mendalam dan seleksi risiko yang ketat mengingat kedua faktor ini memberikan kontribusi keuntungan yang signifikan bagi perusahaan. Manajemen perlu menganalis biaya-biaya yang lebih dalam mengingat perubahan-perubahan indikator ekonomi secara makro yang berdampak pada target perusahaan yang diluar kemampuan perusahaan untuk mengendalikannya. DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari. 2003. Dasar-dasar Etika Bisnis Islami. Cetakan ke 3. Bandung: CV Alfabeta Anshori, H.Abdul Ghofur. 2007. Asuransi Syariah di Indonesia: Regulasi dan Operasionalisasinya di dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. Billah, Mohd. Masum. 1998. Islamic Insurance: Its Origins and Development, Arab Law Quarterly, Vol. 13, No. 4 (1998). ____. 1999. Quantum of Damages in Takaful (Islamic Insurance): A Reappraisal of the Possibility of Adopting the Doctrines of Al-Diyah and Al-Daman Arab Law Quarterly, Vol. 14, No. 4 (1999). Emms, I. Haberman, dan I.S. Savoulli, I. 2007. Optimal Strategies for Pricing General Insurance, Insurance: Mathematics and Economics 40 (2007). Hare, D.J.P. dan J.J. McCutcheon. 1996. Some Remarks on Profit-Testing, NMG. Singapore: TRAINING COURSE. Karim, Rifaat Ahmed Abdel. 2001. International Accounting Harmonization, Banking Regulation, and Islamic Banks. Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions 36 (2001). Majalah Proteksi. 2006. No. 189, Tahun XXVII (Oktober). Mungall, John, R, FFA, 1993. Profit Testing. Konferensi Aktuaris Indonesia II, Cimacan, Jawa Barat. Rice, Gillian. 1999. Islamic Ethics and the Implications for Business, Journal of Business Ethics, Vol. 18, No. 4 (Februari). Roy, Delwin A. 1991. Islamic Banking, Middle Eastern Studies, Vol. 27, No. 3 (Juli). Soeling, Pantius D. 2005. Mendorong Munculnya GagasanGagasan Inovatif bagi Eksistensi dan Daya Saing Bisnis. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi. Vol.3, No. 1 (Januari). Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cetakan 1 Jakarta : Gema Insani Press Yusof, Mohd Fadzli. 1996. Takaful: Sistem Insuransi Islam, Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 68-73
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Consumers Perception Under the Construct of Nationalism, Worldmindedness, “Made In” Label, and Brands GUIDO BENNY SUNARDI1* 1
Bussiness Administration, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia
Abstract. The implementation of economic integration under the ASEAN Community is accelerated to 2015. Many observers argued that Indonesian businesses were not ready to compete. Then, a study was conducted to examine how Jakarta consumers perceived the competitiveness of domestic shoes products, a leading Indonesian export products, against similar products made in some ASEAN and other developed and newly industrialized countries. The study employed six dimensions of Country Image for shoes products in revealing consumers’ perception of “made in” labels and consumers’ perception of brands. The study also adopted the constructs of consumers’ nationalism and worldmindedness. To increase the validity of the study, the respondents were carefully selected with judgemental quota sampling, using gender, area and cohort variables. The research revealed some interesting results that would be important for business people and government as regulator. Keywords: consumers, nationalism, worldmindedness, brand origin, country of origin
INTRODUCTION The implementation of South East Asian Countries Economic Integration, named The ASEAN Community was accelerated to 2015. To compete in the global economy, the domestic business should prepare for the tighter competition. Goods and services are designed, made, and marketed all over the world through a dynamic production chain order and they have been able to go beyond country boundaries as well as across enterprises (Sangkala, 2005). According to some experts in marketing sciences, building brand is one of the key to win consumer choice (Kotler, 2003). From the consumers’ perspective, a brand offers guarantee for consistent performance and give the signal of higher benefits than the unbranded products. For the consumers, brand is also perceived as the “contract” with the provider of the products that the products bearing the brand name are guaranteed to del i ver qual i t y, com for t s, st a t us, a n d ot h er considerations which are important for consumers’ purchase. The leading expert of economics for competitiveness, Michael Porter (1994) had revealed brand as one of the factors that form the competitive advantage (Rosinta, 2007). Brand can be a key to differentiate the offer of a company from its competitors. Brand is also able to protect the company from fierce price war in the oligopoly competitive market. A strong brand can become a barrier of entry for competitors who are willing to entry to a business. Finally, brands make it possible for a company to attract and maintain loyal and profitable customers. In global competition context, consumers give higher * Correspondence: +6285 6923 69807;
[email protected]
attention to the brand’s origin. Studies of country of origin (COO) effects in the discipline of international marketing observed the country image as the multi dimensional constructs that influence perceived quality (Han, 1989). Stereotyping the products based on COO is universal but the level in which it applied and occurred to the evaluation of the products varied. The consumers’ sensitivity to COO image varied from one country to other country (Papadopoulus et al, 1990). It also varied by the level of consumers’ knowledge (Schaefer, 1997). Other study found the tendency that consumer may give positive attitude in evaluating their domestic products (Kaynak and Cavusgil, 1983). The tendency of consumer to prefer domestic products was mentioned in some study as consumer nationalism (Rawwas, Rajendran, and Wuehrer, 1996). Nationalist consumer regards that buying imported products as a wrong manner because it is unpatriotic, can ruin domestic economy, and lead to the loss of domestic working opportunity. Observing the nationalist consumer, Shimp and Sharma (1987) found that consumers with high nationalism tended to pay attention to the positive aspects of domestic products and tend to ignore the positive aspects of the imported ones. However, not every consumer is nationalist. In many countries, consumers face so many alternatives of products to choose (Netemeyer et al, 1991). Furthermore, with the increasing level of immigration, foreign children adoption, international marriage, and continuous transformation in the world because of the high adoption of information and communication technology, a new culture was created in many countries (Weiner, 1994). This hybrid culture gave birth to the appreciation of the “shared world” and public welfare. The citizen of those
SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION
69
Table 1. Description of Respondent’s Identity n = 288 Respondents
Variable Gender Cohort / age
Districts
Category / Groups
Number of Respondents
Male Female 15 to 19 years old 20 to 34 years old 35 to 49 years old 50 years old or more
141 147 73 72 70 73
Valid percentage 49% 51% 25.35% 25.00% 24.31% 25.35%
Jakarta North, Central, West, South, East, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok
Each 32 respondents
Each 11.11%
Source: data by author
countries then showed empathy and understanding to other countries’ society. In the international business context, this phenomenon is called “consumer worldmindedness” by Sampson and Smith (1957). This study used the constructs of consumer nationalism and consumer worldmindedness revealed by Rawwas, Rajendran, and Wuehrer (1996). The study also used the study of Mohamad, et al (2000) that examined the perception of the consumer on Malaysian and imported clothing products. Inspired by those studies, the writer then carried a study in Indonesia. Shoes, as product from Indonesia with high value of export, was choosen as the object of study. The research also studied the construct of brand origin that measure the consumer perception to the products marketed with the brands of several countries. Then, the purposes of this paper were (1) to reveal the nationalism and worldmindedness attitudes of Indonesian consumers; (2) to describe the perceived quality of shoes products made in several ASEAN and developed countries; (3) to describe the perceived quality of shoes products marketed under the brand name from several ASEAN and developed countries. RESEARCH METHOD To collect primary data, field survey was conducted to 288 consumers in the greater Jakarta area on November 2-14, 2007. The area consisted of nine districts; those are five districts of Jakarta (Central, North, South, East and West) and four neighboring districts (Bogor, Tangerang, Bekasi, and Depok). The study used judgmental quota sampling technique with gender, area, and cohort as the criteria variables. Each respondent is interviewed using a structured questionnaire. Each indicator in the consumer nationalism and consumer worldmindedness constructs was measured using 5-likert scale. The quality perceptions constructs were measured using 5 points secondary scale descriptors. The answers then were analyzed using descriptive data analyses and paired ttest to test the difference of quality perception of products and brands. Details of respondents’ identity are shown in Table 1. Respondents were chosen balanced based on quota
of gender, four cohort groups and nine district areas. The majority of respondents’ education were senior high school or above. RESULTAND DISCUSSION A. Consumer Nationalism and Worldmindedness In the study, consumer nationalism was measured by fourteen indicators. The indicators can be simplified into three dimensions: attitude toward domestic products, toward imported products, and perceived impact of import products to the national economy. Table 2 shows the consumer nationalism attitude. The majority of respondents agreed with the statements of attitude toward domestic products: Indonesian citizen should always buy Indonesian products, purchasing Indonesian product will always be the best option, and products made in Indonesia should be the first choice. However, they were not agree nor disagree if they wanted to stop buying imported products and wanted to shift to buy products made in Indonesia. This result revealed that, the nationality of Indonesian consumers was still high. However, they were hesitant to shift to the Indonesian products because they were not convinced enough that Indonesian products would satisfy their needs and desires. Under the attitude toward imported products dimension, majority of respondents agreed that: trade or purchase of goods from other countries should be pressed to the minimum level; prohibition to all imported products should be imposed on, except they were badly needed; they should only purchase the imported products that were not produced in the country; and only the goods that were not available in our country can be imported. However, most respondents shows their hesitant that they choose not to buy imported products that are subsidized by their government. This proved that, although respondents regarded themselves as nationalist, the pragmatism still their main attitude; if the imported products were to made available with lower price, they would choose the products. Under the third dimension of nationalism, the perceived impact of imported products to the national economy, majority of respondents agreed to all the
70
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 68-73
Table 2. The Consumer Nationalism Attitude Dimensions of Consumer Nationalism
Very disagree Not agree Agree and Very and Disagree nor disagree agree
1.
Dimension 1: Attitude toward Domestic Products We should always buy Indonesian products
I am willing to stop buying imported products and shift to buy the 18.06% 37.50% products made in Indonesia. Purchasing Indonesian product will always be the best option. 21.88% 33.33% The products made in Indonesia should be the first choice. 5.56% 27.78% Dimension 2: Attitude toward Imported Products Trade or purchase of goods from other countries should be pressed 10.42% 18.06% to the minimum level, except if the goods are badly needed. Prohibition to all imported products should be imposed on, except 21.88% 22.22% the products are badly needed. We should only purchase the imported products that we do not 18.75% 23.96% produce in our country. Only the goods that were not available in our country can be 19.10% 14.93% imported. I choose not to buy imported products that are subsidized by their 13.89% 44.79% government. Dimension 3: Perceived Impact Of Imported Products To The National Economy We should not buy imported products because it is harmful for 25.69% 24.0% Indonesian business and employment. Imported goods will affect negatively to our economy. 25.35% 28.47% Government should protect domestic industries by creating trade 21.53% 29.51% barriers. Imported goods that threaten local industry should be banned 13.54% 23.61% We should only accept imported goods from countries that accept 22.22% 25.69% our exports.
2. 3.
16.32%
30.21%
Average Value
Modus
53.47%
3.52
Agree
44.44%
3.33
Not agree nor disagree
44.79% 66.67%
3.33 3.82
Agree Agree
3.77
Agree
55.90%
3.42
Agree
57.29%
3.45
Agree
65.97%
3.58
Agree
41.32%
3.33
Not agree nor disagree
50.35%
3.37
Agree
46.18%
3.28
Agree
48.96%
3.30
Agree
62.85%
3.66
Agree
52.08%
3.35
Agree
71.53%
Note: The numbers in the table show the number of respondents that give specific statements. N = 288 Source: data by author Table 3. Consumer Worldmindedness Attitude Dimensions of Consumer Worldmindedness
I find imported goods more desirable than domestically produced products. My quality of life would improve if more imported goods were available. Where a good is produced does not affect my decision to purchase that item.
Very disagree Not agree nor Agree and and Disagree disagree Very agree
Average Value
Modus
40.28%
28.47%
31.25%
2.88
Disagree
52.78%
27.08%
20.14%
2.58
Disagree
16.67%
16.32%
67.01%
3.56
Agree
Note: The numbers in the table show the number of respondents that give specific statements. (N = 288) Source: data by author
statements. They admitted if imported goods will impact adversely to our economy; that government should protect domestic industries by creating trade barriers and imported goods that threaten local industry should be banned; if they should not buy imported products because it was harmful for Indonesian business and employment; and they should only accept imported goods from countries that accepted exports from Indonesia. Under this dimension, the nationality of respondents was high. Indonesian consumers’ attitude under the worldmindedness construct is exhibited in table 3. Majority of respondent showed their disagreement if they found imported goods more desirable than domestically produced products. Even, majority of respondents disagree if quality of life would improve when more imported goods available. However, when the third question is asked, that where a good is produced does not affect their decision to purchase the item, most respondents agreed. This results were consistent with previos the result under nationalism construct. It implied that the purchase
decision of respondents was not influenced highly by the place of production of a product or brand. If products are available with acceptable quality and reasonable price, the products will get enough opportunity to obtain consumer preference. B. Consumer Perception on the Quality of Product Under “Made in” Label The perceived quality of products under made in label was measured using questionnaire that ask respondents to rate the quality of shoes from eight countries/regions, as shown in Table 4. In general, consumer perceived that the shoes with highest quality of eight countries/ regions are the shoes made in Europe. Together with shoes made in USA and Japan, the quality is perceived to be good. Then, the shoes from five other countries are perceived to be in ‘so-so’ quality. How about the quality of shoes under each dimension of quality? The result are shown below (1) Product innovation and comfort of use: European shoes were perceived to be the highest, followed by the USA’s, and
SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION Table 4. The Consumer Perception on Quality of Shoes Product Product Design Innovation t-test t-test value Rank Country/Region value and M ean and Mean signifisignificance cance -9.23 -9.41 1 Europe 3.99 3.97 (0.00) (0.00) -7.24 -7.60 2 USA 3.88 3.92 (0.00) (0.00) -5.66 -5.65 3 Japan 3.72 3.7 (0.00) (0.00) -0.24 -0.63 4 Singapore. 3.4 3.43 (0.81) (0.70) 1.03 -0.38 5 Hongkong 3.32 3.42 (0.30) (0.53) 6
Indonesia
3.38
7
China
3.11
8
M alaysia
3.08
4.88 (0.00) 5.18 (0.00)
3.4 3.23 3.14
3.28 (0.00) 4.59 (0.00)
71
Made in Indonesia Compared with Shoes Made in Seven Other Countries Product Prestige
M ean
4.09 4.0 3.7 3.39 3.31
t-test t-test val ue value and Mean and signifisi gnificance cance -13.01 (0.00) -11.44 (0.00) -8.30 (0.00) -3.29 (0.00) -1.81 (0.07)
3.21 3.09 3.06
Workmanship
2.51 (0.01) 4.59 (0.00)
4.02 3.99 3.68 3.41 3.39 3.34 3.2 3.14
-10.68 (0.00) -9.82 (0.00) -6.17 (0.00) -1.00 (0.32) -0.64 (0.52) 2.89 (0.00) 3.79 (0.00)
Comfort to use
M ean
4.0 3.98 3.73 3.44 3.42 3.52 3.27 3.15
t-test value and significance -7.75 (0.00) -7.10 (0.00) -3.97 (0.00) 1.56 (0.12) 2.03 (0.04) 4.85 (0.00) 6.82 (0.00)
Quality Ave rage
M ean
4.01 3.95 3.71 3.41 3.37 3.37 3.18 3.11
t-test value and significance -12.00 (0.00) -10.18 (0.00) -7.45 (0.00) -0.85 (0.39) -0.03 (0.98) 4.77 (0.00) 5.61 (0.00)
Note: t-test value and significance was obtained from paired t-test procedure with the perceived quality of Indonesian product as the comparing variable. Numbers in parenthesis were the value of significance’s 2 tailed test with df = 287; N = 288. Source: data by author
Japan’s; while the Indonesian stood in the 4th rank; (2) product design, product prestige and workmanship: European shoes were perceived to be the highest, followed by the USA’s, and Japan’s; while the Indonesian stood in the 6th rank. From paired t-test statistics, in general the shoes made in Indonesia was perceived significantly lower than shoes made in Europe (t = -12.00; sig = 0.00), USA (t = 10.18; sig = 0.00), Japan (t = -7.45; sig = 0.00). Shoes made in Indonesia was perceived not significantly different in shoes from Singapore (t = -0.85; sig = 0.39) and Hongkong (t = -0.03; sig = 0.98). However, shoes made in Indonesia were perceived better in quality than China’s (t = 4.77; sig = 0.00) and Malaysia’s (t = -5.61; sig = 0.00). Furthermore, the competitiveness of shoes made in Indonesia in each dimension of quality was as follow (1) In product innovation dimension, product design dimension and workmanship dimension, shoes made in Europe, USA and Japan was perceived significantly higher than Indonesian. The shoes from Indonesia was perceived insignificantly different with Singapore’s and Hongkong’s. However, Indonesian shoes was perceived significantly higher than Chinese and Malaysian. (2) Shoes made in Europe, USA and Japan was perceived as significantly higher in product prestige than Indonesian was. Shoes made in Indonesia was perceived in the same prestige level with Hongkong’s. However, Indonesian shoes was perceived significantly higher than Chinese and Malaysian. (3) Finally, in comfort to use dimension, shoes made in Europe, USA, and Japan was perceived higher than Indonesia’s. Indonesian shoes product was perceived insignificantly different from Hongkong’s. While, Indonesian made shoes was perceived as significantly better than Singaporean, Chinese, and Malaysian. The finding of this study then confirmed the similar study in Malaysia (Mohamad et al, 2000). Products made
in more developed countries (USA, Europe, and Japan) were perceived higher in quality than the less developed countries’. The result was also consistent with the previous research (Tan and Farley, 1987; Hulland, Todino, and Lecraw, 1996). What interesting is that there was tendency that Indonesian consumers perceived Indonesian products’ quality as higher than several neighboring countries’ product, which was the developing countries. The same result shown in Mohamad et al. study (2000) in Malaysia, than Malaysian consumer tend to see the product of Malaysia higher than the other South East Asian countries’ products. Both of the study support the result of Kaynak and Cavusgil’s research (1983) that there is a tendency that consumers may be more positive in evaluating the products from their own country. More interestingly, Indonesian consumers put Malaysian products as the lowest. Some incidents with this neighboring country, (Rasa Sayange Song, Batik, Indonesian workers, etc) might hurt Indonesian feelings and then provoke Indonesian consumers’ nationality. C. Brand Origin: Consumer Perception on the Quality of Product Under National Brand How is Indonesian consumers’ perception on the quality of products under national brands and foreign brands? Table 5 shows the result under brand origin construct; that is the perception on the quality of shoes under Indonesian brands compared with other countries’ brands. In general, consumer perceived the shoes brands’ quality from Europe, USA and Japan was the high. While, shoes under the brands from 5 other countries rated middle in quality. Brand origin’s perceived quality under each dimension were as follows (1) for product innovation, product prestige, and workmanship, the brands from Europe were perceived to be the highest, followed by the USA, and Japan; while Indonesian stood in the sixth rank; (2) for product
72
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 68-73
Table 5. The Consumer Perception on the Quality of Shoes with Indonesian Brands Compared with Shoes with the Brands from Other Countries Product Innovation Rank
Country/ Region
t-test value and significance -11.32 4.04 (0.00)
Mean
1
Europe
2
USA
3.99
3
Japan
3.76
4
Singapore.
3.43
5
Hongkong
3.37
-9.95 (0.00) -7.23 (0.00) -2.37 (0.02) -0.93 (0.35)
6
Indonesia
3.31
-
7
China
3.15
8
Malaysia
3.08
2.87 (0.00) 4.09 (0.00)
Product Design t-test value and significance -9.23 4.04 (0.00)
Mean
3.40
-11.10 (0.00) -6.72 (0.00) -1.13 (0.26) -0.38 (0.70)
3.38
-
4.08 3.76 3.43
3.25 3.08
2.49 (0.01) 3.04 (0.00)
Product Prestige Mean
4.15
t-test value and significance -15.61 (0.00)
3.34
-5.86 (0.00) -10.16 (0.00) -5.86 (0.00) -3.89 (0.00)
3.11
-
4.04 3.72 3.47
3.03 3.04
1.72 (0.09) 1.46 (0.00)
Workmanship Mean
4.15
t-test value and significance -12.35 (0.00)
3.39
-10.33 (0.00) -8.53 (0.00) -1.08 (0.28) -1.26 (0.21)
3.31
-
4.05 3.83 3.44
3.09 3.18
4.16 (0.00) 2.43 (0.00)
Comfort to use Mean
4.06
t-test value and significance -8.60 (0.00)
3.44
-7.98 (0.00) -5.44 (0.00) 0.18 (0.86) 0.69 (0.49)
3.47
-
4.03 3.80 3.46
3.20 3.22
0.88 (0.38) 0.80 (0.00)
Quality Average Mean
4.09
t-test value and significance -14.25 (0.00)
4.04 3.77 3.45 3.39 3.32 3.14 3.12
-12.59 (0.00) -9.77 (0.00) -2.99 (0.00) -1.47 (0.14) 3.08 (0.00) 4.33 (0.00)
Note: t-test value and significance was obtained from paired t-test procedure with the perceived quality of Indonesian product as the comparing variable. Numbers in parenthesis were the value of significance’s 2 tailed test with df = 287; while number of samples were 288. Source: data by author
design, USA’s brands were perceived to be the highest, followed by the European brands, and Japan’s; while Indonesian stood in the sixth rank; (3) for comfort to use, brands from Europe were perceived to be the highest, followed by the USA, and Japan; while Indonesian stood in the fourth rank. From paired t-test statistics, in general the Indonesia shoes’ brands was perceived significantly lower than shoes made in Europe (t = -14.25; sig = 0.00), USA (t = 12.59; sig = 0.00), Japan (t = -9.77; sig = 0.00) and Singapore (t = -2.99; sig = 0.00). Indonesian brands were perceived not significantly different from the brands from Hongkong (t = -1.47; sig = 0.00). However, shoes made in Indonesia were perceived better in quality than China’s (t = 3.08; sig = 0.00) and Malaysia’s (t = -4.33; sig = 0.00). Furthermore, the position of competitiveness of Indonesian brands in each dimension of quality was as follows (1) in product innovation, the brands of shoes from Europe, USA, Japan, and Singapore was perceived significantly higher than Indonesian. The brands from Indonesia was perceived insignificantly different with the Hongkong’s. However, Indonesian brands was perceived significantly higher than Chinese and Malaysian (2) in product design and workmanship, shoes with brands from Europe, USA, and Japan was perceived significantly higher than Indonesian. The brands from Indonesia was perceived insignificantly different with Singapore’s and Hongkong’s. However, Indonesian brands was perceived significantly higher than Chinese and Malaysian (3) shoes with brands from Europe, USA, Japan, Singapore, and Hongkong was perceived as significantly higher in product prestige than the Indonesian. However, Indonesian brands was perceived significantly higher than Chinese and Malaysian (4) finally, in comfort to use, brands from Europe, USA, and Japan was perceived higher than Indonesian. Indonesian brands was perceived insignificantly different from Singaporean and Hongkong. While, Indonesian brands was perceived as
significantly better than Chinese and Malaysian. Comparing the result of quality perception of shoes made in Indonesia and shoes that was marketed under Indonesian brands, there were some interesting phenomena. In the dimension of product innovation, Indonesian brands were perceived lower in position compared to when they were marketed using the ‘made in Indonesia’ label, but marketed using the more developed countries’ brands. In other dimensions, consistently Indonesian brands obtained lower rating than when they were using the ‘made in Indonesia’ label but also were marketed under the more developed countries’ brands. From this phenomena, we can see that Indonesian consumer had not yet had enough trust to domestic brands that they can maintain good quality of their products. This was an important note for domestic business to strive for trust from Indonesian consumers. CONCLUSION In this globalized world, tighter competition could be the nightmare for the companies who do not well prepared. Some experts have shown their worries that the Indonesia people was just be the market in the more integrated ASEAN economy. From consumer nationalism perspective, the Indonesian consumer showed that their nationalistic attitude was still high. They still showed positive attitude to domestic products, compared to imported products. Generally, they perceived that imported products might harm the national economy. However, pragmatism were shown by the majority of consumer. If imported products were cheaper, they tended to choose them. Moreover, they showed hesitant to stop buying imported goods and to shift to Indonesian products. This prove that Indonesian consumers were not ready to change if there was no change in Indonesian products those were perceived
SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION
as lower in quality or more expensive than some imported products. The study also found that Indonesian consumers were heavily influenced by the country of origin of a product. In this case, the products made in or marketed under brands from more developed countries were perceived better than the products made in or marketed under the brands from developing countries. The study also proved that there was a tendency that Indonesian consumers were more positive in evaluating the products made in and marketed under Indonesian brands, comparing to other developing countries products. Furthermore, the study showed that Indonesian consumers give higher rating to the products with foreign brands although their products were made in Indonesia. Their ratings were higher than the products with Indonesian brands, although both the products were made in Indonesia. The study implies that country of origin can be a powerful tool that can be used in position the product. From the result of study, it is apparent that Indonesian consumers prefer foreign brand-names than domestic brand-names. One of brand-naming strategy was giving a foreign-image name to domestic made products. For examples, the Eagle and Spotec brands in shoes products; Lea jeans, Henry Adams, and The Executive for apparel products; Polytron, Digitec, B/Y/O/N, A-Note and Zyrex for electronic, etc. As the result, the products marketed under those brand names were impressed as high in quality, although the brands are originally domestic. Finally, for the government as regulator, it is recommended that they should be aware to the competitiveness of Indonesian products and brands in the global competition. While the time limits of ASEAN Community is approaching, government should prepare Indonesian business and consumers. Campaign for loving Indonesian products and brands can be promoted to increase the nationalism attitude of Indonesian consumers. ACKNOWLEDGEMENT This paper have been presented and reviewed by colleagues in the 14th Euro-Asia Conference/the 3rd International Conference on Business and Management
73
Research (ICBMR), Bali-Indonesia, 27 – 29th August 2008. The author expressed his gratitude to the Committee of A3 Program of the Department of Administrative Sciences FISIP UI, the Center of Research and Development on Domestic Trade – The Ministry of Trade; and all the research assistants who made this research possible. REFERENCES Han, C.M. 1989. Country Image: Halo or Summary Construct?. Journal of Marketing Research, Vol.26 (May). ____. 1988. The Effects of Cue Familiarity on Cue Utilization: The Case of Country of Origin. Paper presented to the Conference of the Academy of International Business, San Diego, CA. Kotler, Philip, and Kevin Lane Keller. 2006. Marketing Management¸12th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Mohamad, Osman, et al. 2000. Does ‘Made In…’ Matter to Consumers? A Malaysian Study of Country of Origin Effect. Multinational Business Review, Vol. 8, No.2 (Fall); ABI/INFORM Global. Netemeyer, R.G., Durvasula, S. and Lichtenstein, D.R.. 1991. A Cross-National Assessment of the Reliability and Validity of the CETSCALE. Journal of Marketing Research, Vol. 28 (August). Papadopoulos, N., and Heslop, L.A. 1990. A Comparative Image Analysis of Domestic versus Imported Products. International Journal of Research in Marketing, Vol. 7 (December). Porter, M.E. 1994. Keunggulan Bersaing. Jakarta: Bina Rupa Aksara,. Rawwas, M..Y.A., K.N. Rajendran, and G.A. Wuehrer. 1996. The Influence of Worldmindedness and Nationalism on Consumer Evaluation of Domestic and Foreign Products. International Marketing Review, Vol.13 No.2. Ries, Al and Laura Ries. 22 Immutable Law of Branding. 2000. Rosinta, Febrina. 2007. Pengaruh Citra Merk terhadap Loyalitas Pelanggan Museum Nasional. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No.1 (Januari). Samiee, S. 1994. Customer Evaluation of Products in a Global Market. Journal of International Business Studies, Third Quarter. Sampson, D.L., and H.P. Smith. 1957. A Scale to Measure Worldminded Attitudes. The Journal of Social Psychology, Vol.45. Sangkala. 2005. Intellectual Capital Management Pattern in the Advertisement Companies in Jakarta. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.13, No.3 (September). Shimp, T.A. and S. Sharma. 1987. Consumer Ethnocentrism: Construction and Validation of the CETSCALE. Journal of Marketing Research, Vol.24, (August). Weiner, E. 1994. The Last Approaching Future. Arthur Andersen, Retailing Issues Letter, Vol.6.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 74-81
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Scenario Indonesia Tahun 2025 dan Tantangan yang Dihadapi oleh Administrasi Publik Roy V. Salomo1* 1
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Abstract. The research aimed to construct the scenario of sub-national government administration in Indonesia and its available alternatives. The approach used was qualitative approach with the method of focus group discussion (FGD) and in-depth interview with economic and social politicians and bureaucrats. In addition secondary data were used to support the result. Two scenarios of the environment of Indonesian sub-national administration for 2025 are gained from two FGDs: the Utopian Scenario and Tumble into the Gutter Scenario. According to the first FGD, the utopian scenario is less likely to happen within the next 20 years, while the tumble-into-the-gutter scenario is considered more likely, especially if the recent condition is long-drawn-out, the homework is never done, and there is lack of awareness from national and local political elites on the recent crisis. Keywords: scenario planning, public policy, public administration, governance, civil society
PENDAHULUAN Lahirnya sejumlah undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah seperti UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, serta undangundang tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah seperti UU Nomor 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 telah membawa banyak perubahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan harapan dari banyak warga masyarakat akan adanya perubahan nasib mereka. Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut antara lain dapat dilihat dari semakin besarnya kewenangan yang ada pada pemerintah daerah, kabupaten dan kota, membesarnya peran DPRD dalam pengawasan (Maksum, 2006), pembuatan anggaran daerah dan pembuatan peraturan daerah. Harapan akan adanya perubahan nasib masyarakat daerah sangat berkaitan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan lebih cepat dan lebih baik melalui pelayanan publik dan akses terhadap pelayanan publik. Proses desentralisasi yang drastis, yang muncul dari dan bersama-sama proses reformasi politik telah menuntut banyak hal. Salah satu yang dituntut oleh masyarakat dalam proses perubahan ini adalah akuntabilitas dan transparansi serta partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan (Abidin, 2004; Gardono, 2001). Tuntutan di atas merupakan gejala yang memperlihatkan bahwa perubahan yang sedang terjadi bukanlah sekedar perubahan struktur, atau cara ataupun gaya dalam menjalankan pemerintahan lokal. Namun lebih dari itu, terjadi perubahan model atau pola, perubahan kerangka *Korespondensi: +6221 7884 9078;
[email protected]
berpikir yang dipacu oleh perubahan nilai-nilai tentang tata cara penyelenggaraan pemerintahan. Gejala ini dapat dikategorikan sebagai perubahan paradigma atau yang oleh Khum disebut sebagai model for thinking (Clarke dan Stewart Clegg, 1998). Selain adanya tuntutan yang datang dari masyarakat, tidak dapat disangkal pula banyak harapan diletakkan pada reformasi sistem pemerintahan daerah yang sedang terjadi. Masyarakat (di daerah) berharap pelayanan publik akan menjadi baik dalam arti kuantitas dan kualitas, termasuk akses kepadanya (PSKK UGM, 2001). Besar pula harapan agar KKN dapat diberantas, setidaktidaknya dikurangi. Berbagai harapan di atas sangat wajar mengingat desentralisasi dimengerti dan dipercayai sebagai cara untuk mencapai berbagai harapan di atas (Rondinelli dkk., 1983). Nyatanya setelah kurang lebih satu dasawarsa reformasi pemerintahan daerah (macro administrative reform) dijalankan, selain muncul banyak perubahan yang bersifat positif, banyak pula terjadi perubahan yang bersifat negatif yang sangat mengecewakan rakyat. Pelayanan publik tidak menjadi lebih baik (Suwandi, dkk., 2004), partisipasi tidak banyak berubah, bahkan KKN semakin merajalela di daerah. Kemiskinan, pengangguran, busung lapar, dan banyak masalah sosial lain semakin parah keadaannya. Sejumlah literatur dan penelitian memperlihatkan terjadinya kegagalan dalam melakukan reformasi pemerintahan daerah, terutama yang berkaitan dengan substansi desentralisasi. Breton mengemukakan sejumlah literatur yang secara eksplisit ataupun implisit memperlihatkan bahwa kompetisi antar daerah berakibat terjadinya inefisiensi, yang berarti tidak terjadi maximum social welfare. Daerah meningkatkan biaya informasi, biaya partisipasi politik, biaya kordinasi, diminishing supply cost, dan dynamic instability (Breton,
SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 75
2002). Jenie dkk. mendapatkan bahwa desentralisasi bukan merupakan hal yang baik dan juga bukan hal yang buruk bagi efisiensi, keadilan, dan stabilitas ekonomi. Pengaruh desentralisasi tergantung pada desain kelembagaan yang spesifik (Litvack, 1998). Sementara Tanzi berpendapat bahwa desentralisasi meningkatkan korupsi, menimbulkan konflik dalam koordinasi kebijakan ekonomi makro, kesulitan dalam transparansi fiskal serta meningkatkan kesenjangan antar wilayah (Tanzi, 2001). Azfar dkk. (2001) juga mengatakan bahwa desentralisasi tidak selalu mendorong allocative efficiency, mengurangi korupsi, dan memfasilitasi cost recovery. Tambahan pula dikatakan bahwa hanya bentuk tertentu dari desentralisasi atau hanya dengan kelembaggaan tertentu yang membawa desentralisasi berhasil. Bagi Indonesia, berbagai pendapat di atas sangat relevan. Ini berarti bahwa desentralisasi dan otonomi daerah merupakan hal yang penting namun tidak cukup untuk melakukan perubahan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah. Terdapat banyak hal yang harus dibenahi pada birokrasi pemerintah daerah. Oleh karena itu, mau tidak mau reformasi administrasi harus dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi birokrasi daerah. Untuk itulah perlu dibuat grand strategy reformasi administrasi pemerintah lokal. Upaya membangun grand strategy reformasi administrasi pemerintah lokal dihadapkan pada kondisi ketidakpastian lingkungan yang tinggi dan berkaitan dengan sejumlah strategyc issue, maka perlu dilakukan upaya memetakan beberapa kemungkinan masa depan, yang dikenal dengan skenario, yang terkait dengan perkembangan administrasi pemerintah lokal. Kerangka analisis yang dianggap paling relevan untuk menghadapi keadaan di atas adalah scenario planning (Schoemaker, 1991; Maami dan Cavana, 2000). Scenario planning merupakan suatu kerangka analisis yang dipakai untuk membangun strategi organisasi dengan menggali berbagai kemungkinan kondisi yang dapat terjadi di masa yang akan datang dengan rentang waktu dua puluh tahun. Scenario planning bukanlah usaha memproyeksikan masa kini ke masa depan melalui ekstrapolasi. Maani dan Cavana (2008) mengatakan “a scenario is not a forcast or an intention to describe a certain future state, but it is intended to provide a possible set of future conditions”. Porter dalam bukunya Competitive Advantage mendefinisikan skenario sebagai ‘an internally consistent view of what the future might turn out to benot a forecast, but one possible future outcome’. 2 Ringland sendiri mendefinisikan scenario planning sebagai ‘that part of strategic planning which relates to the tools and technologies for managing the uncertainties of the future’. Mengacu pada sejumlah pengertian tentang scenario planning di atas, dapat disimpulkan bahwa scenario planning merupakan usaha untuk menggambarkan kemungkinan yang dapat terjadi pada masa depan tanpa melakukan ekstrapolasi keadaan masa kini ke depan. Scenario planning juga dikaitkan
dengan ketidakpastian masa depan. Oleh karena itu, dalam membangun scenario seringkali terdapat scenario alternatif. Selanjutnya Becker mengatakan “preparing scenarios as a future history requires that a possible evolution of events and trends be described as an integral part of the scenario.” Hasil penelitian berisi evolusi berbagai kejadian dengan memasukkan sejumlah kecenderungan dan disajikan sebagai sebuah cerita “sejarah masa depan” dan merupakan bagian integral dari scenario planning itu sendiri. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan scenario (optimis, status quo, dan pesimis) lingkungan administrasi pemerintah lokal sampai dengan tahun 2025dan tantangannya bagi administrasi lokal. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam rangka membangun skenario terhadap ketiga change drivers, yaitu aspek sosial, politik, dan ekonomi. Penelitian dilakukan melalui teknik focused group discussion (FGD) sebanyak dua kali, dengan pakar ilmu sosial (sosiolog), pakar ilmu politik, dan pakar ilmu ekonomi dari Universitas Indonesia. FGD pakar merupakan metode yang banyak dipakai dalam membangun experts’ scenarios (Ringland, 1998), atau experts panels (Lindgren dan Bandhold). Selain itu dilakukan pula sejumlah wawancara mendalam dengan sejumlah pakar politik, sosiolog dan ekonom dari Universitas Hassanudin yang dianggap mewakili centre of excellence di kawasan timur Indonesia. Teknik lain yang juga digunakan adalah penelitian dengan menelusuri data skunder berdasarkan hasil dari pihak lain, seperti HDI, indeks korupsi, data demografi, data kecenderungan pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan sejumlah data lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Daya Dorong Perubahan (Driving Forces) Skenario lingkungan administrasi pemerintah lokal pada awalnya dibahas dalam tiga faktor daya dorong perubahan (driving forces), yaitu faktor sosial, faktor politik, dan faktor ekonomi. Faktor sosial politik mencakup sejumlah keadaan yaitu keadaan kohesi sosial, keberadaan civil society, dan kondisi demokrasi. Dalam faktor ekonomi keadaan yang dievaluasi adalah keadaan demografi, angkatan kerja dan pengangguran, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan peran ’pasar’ pada tingkat lokal. Berikut ini adalah gambaran kondisi sosial politik dan trennya. Gambaran kondisi sosial politik dan tren yang pertama adalah kohesi sosial. Focused group discussion (FGD) menyimpulkan bahwa masyarakat pada umumnya telah kehilangan kesabaran terhadap masa transisi atau
76
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81
perubahan yang tidak kunjung membawa hasil yang diharapkan. Rasa frustasi yang mendalam muncul karena di satu sisi Indonesia berada dalam keadaan yang dianggap lebih demokrasi. Namun di sisi lain, kehidupan masyarakat semakin sulit. Masa transisi telah membawa masyarakat Indonesia berubah menjadi masyarakat yang tidak peduli akan kepentingan orang lain atau pihak lain asalkan tujuan tercapainya. Ketidakpedulian antara lain berkaitan dengan pengguna lalu lintas; pedagang yang memakai formalin dan pewarna untuk mengawetkan dan meningkatkan daya tarik makanan; pedagang kaki lima yang memacetkan jalan; anak sekolah atau bahkan mahasiswa yang tawuran di tempat umum dan membahayakan bagi orang lain; kelompok yang sedang pro ataupun kontra terhadap suatu rancangan kebijakan atau kebijakan tertentu yang ada; birokrat dan etika kerjanya; wakil rakyat di DPR/DPRD yang lebih mementingkan partainya dan dirinya; pemilihan umum pusat maupun daerah yang masih penuh kecurangan; pilkada yang diwarnai dengan money politics, kemarahan dan pembakaran; penegakan hukum yang selalu melibatkan suap dalam prosesnya, dan seterusnya. Masing-masing bertindak untuk kepentingan dirinya, kelompoknya tanpa menaruh perhatian akan akibatnya bagi kepentingan orang lain atau pihak lain, bahkan bagi kepentingan sistem secara menyeluruh, serta kepentingan bangsa dan negara. Kondisi seperti ini, antara lain, dapat dikatakan sebagai salah satu gejala social disobedience dan masih terus menjadi kecenderungan yang kuat dan belum ada usaha signifikan pada tingkat kebijakan untuk mengatasinya. Para pakar mengatakan kondisi seperti ini dikarenakan kohesi sosial berada pada derajat yang sangat rendah. Suatu keadaan yang sangat jauh dan bertentangan dalam konteks proses terbentuknya civil society di Indonesia, yaitu masyarakat yang kritis dan rasional dalam public discourse. Public discourse yang berlaku bagi wacana (ucapan) maupun tindakan atau perbuatan (Chandoke; Nordholt, 2003). Dalam menggambarkan keadaan di atas, Pilliang (2006) mengatakan, “Ruang kehidupan bangsa kini dibangun oleh ruang, kotak, dan pagar-pagar ‘ekslusivisme’, yang di dalamnya setiap kelompok (sosial, politik, ekonomi, cultural, dan keagamaan) merayakan ruang-ruang eksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa aman dan nyaman secara ekstensial, namun dengan cara menutup diri dari bahkan meniadakan pihak-pihak lain. Ini secara paradoks menciptakan sebuah ruang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh prinsip ‘fundamentalisme’-the politics of fundamentalism.”. Pilliang berpendapat bahwa munculnya prinsip fundamentalisme di atas dikarenakan negara telah gagal menciptakan ruang dialog di atas bangsa ini sehingga pintu komunikasi antar kelompok tertutup rapat. Akibatnya adalah amarah menjadi model psikologis dalam penyelesaian setiap masalah dan kekerasan menjadi strategi politik dalam mencapai tujuan (Piliang,
2006). Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang kedua adalah keberadaan civil society. Sejak proses reformasi politik bergulir, Indonesia memasuki babak baru. Babak baru tersebut antara lain ditandai oleh proses demokratisasi yang sangat signifikan jika dibandingkan kondisi sebelumnya. Pemilu tahun 1999 yang berlangsung umum bebas dan rahasia disebutsebut sebagai salah satu indikator kuat proses demokratisasi yang berhasil di Indonesia. Pers bebas juga menjadi indikator kuat lainnya yang juga dapat diberi acungan jempol. Indikator lainnya yang juga disebut-sebut sebagai salah satu indikator proses demokratisasi adalah meningkatnya jumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau dikenal pula dengan non-governmental organization (NGO). Dari ketiga indikator di atas, indikator ketiga adalah indikator yang masih diragukan reliabilitasnya. Jika dilihat dari jumlah LSM yang secara resmi telah terdaftar, sebagai LSM nasional maupun LSM lokal, dapat dilihat jumlah kenaikan yang sangat signifikan. Namun, jika dilihat dari kemurnian pendiriannya maka jumlah yang banyak tersebut patut di waspadai atau dicurigai. Menayan2 mengatakan dari seluruh LSM yang ada di Indonesia sekarang mungkin kurang dari separuh yang murni berdiri sebagai LSM untuk memperjuangkan kepentingan publik dan sisanya kontraktor pencari kerja. Kondisi LSM di Indonesia memang masih memprihatinkan, salah satu contoh buruk adalah kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan. Di daerah ini LSMLSM di Makasar, bahkan di Sulawesi Selatan sempat berembuk untuk mengganti nama panggilan menjadi ORNOP (Organisasi Non Pemerintah). Alasan penggantian dari LSM ke ORNOP adalah karena masyarakat Sulawesi Selatan tidak percaya lagi dengan LSM yang ada disana. hal ini disebabkan LSM di Sulawesi Selatan mempunyai reputasi atau citra yang sangat buruk3. Menurut Dwi lebih lanjut, Kredit Usaha Tani (KUT) di Sulawesi Selatan yang disalurkan kepada masyarakat paling banyak diselewengkan oleh LSM. Hal senada juga diutarakan oleh Haris yang mengatakan di Sulawesi Selatan LSM adalah singkatan dari Lao Sala Maneng (semuanya dibawa pergi dan tidak ada yang beres/salah semua).4 Singkatan di atas dibuat sebagai suatu sinisme terhadap LSM. Dalam kenyataan tentu ada LSM yang baik dan ada LSM yang dapat dilihat dengan pesimisme.5 Pernyataan di atas sangat mungkin terjadi dalam keadaan demokrasi Indonesia belum terwujud dan tingkat pengguran sangat tinggi (kurang lebih 30% dari angkatan kerja). Pernyataan di atas juga sekaligus ingin 2
Hasil wawancara dengan Rio Menayang, Direktur IPKOS Hasil wawancara dengan Dr. Dwia Aries Tina P., MA, Pemerhati LSM di Sulawesi Selatan. Yang bersangkutan juga merupakan dosen FISIPUNHAS, pada tanggal Kamis 8 Desember 2005. 4 Hasil wawancara dengan Dr. Andi Haris, Sosiolog dan pengamat mayarakat dari FISIP-UNHAS 3
SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025
mengatakan bahwa jumlah LSM, nasional maupun lokal, tidak dapat dijadikan patokan atau indikator tingkat kemajuan atau peran civil society. FGD juga sepakat bahwa pada saat ini di Indonesia belum terbentuk civil society. Kondisi Indonesia masih jauh dari keberadaan dan peran civil society, baik di tingkat nasional maupun lokal. Nordholt mengutip pernyataan Romo Mangunwijaya yang berpendapat bahwa tahun 2045 sebagai patokan waktu (Nordholt, 2003). Pendapat para pakar dalam FGDpun sepakat bahwa pembentukan civil society di Indonesia akan memakan waktu yang sangat lama, paling tidak lebih dari dua puluh tahun. Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang ketiga adalah demokrasi dan partai politik (lokal). Euforia demokrasi yang muncul dari reformasi politik pada tahun 1998 antara lain telah memunculkan sistem multi partai di Indonesia. Litbang Kompas mengidentifikasi bertambahnya jumlah partai politik dari 3 partai sebelum reformasi menjadi 181 partai hanya dalam kurun waktu kurang dari setahun. Namun, hanya 48 partai politik yang lolos seleksi dan ikut dalam pemilu 1999. Pada kenyataan kondisi demokrasi di Indonesia pada saat ini belum masuk pada demokrasi substansial, masih pada indikator formal seperti perkembangan jumlah partai politik dan pelaksanaan pemilu. Wakil-wakil rakyat yang terpilih dalam pemilu pada kenyataanya lebih memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri, partainya, atau kelompoknya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat di daerah belum mengarah pada kepentingan publik dan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat banyak. Indikator demokrasi yang telah mendapat pujian hanya pelaksanaan pemilu secara nasional dan kebebasan pers. Pemilu nasional yang banyak dipujipuji adalah pemilu 1999 dan 2004. Namun, kebebasan pers pada saat ini ada kecenderungan akan diperlakukan kembali seperti masa pemerintahan Orde Baru, pers di bawah kontrol Pemerintah (Departemen Penerangan). Pada saat ini apa yang terjadi Indonesia pada demokrasi di Indonesia adalah demokrasi oligarki. Konfigurasi politik Indonesia sekarang ini adalah konfigurasi politik oligarkis, yakni suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elit yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling memberikan keuntungan di antara para elit sendiri (Mahfud MD, 2006). Hal ini terjadi pula pada demokrasi di tingkat lokal. Dimana elit lokallah (terutama anggota DPRD dan Kepala Daerah) yang paling banyak melakukan korupsi di daerah. Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang keempat adalah kondisi ekonomi. Indonesia merupakan negara di Asia yang pada saat dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997 mengalami pukulan paling parah. Hal 5
Hasil wawancara dengan Dr. Andi Haris, Sosiolog dan pengamat mayarakat dari FISIP-UNHAS
77
ini antara lain dapat dilihat dari nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang pada mulanya berada pada kisaran dua ribuan rupiah per dolar Amerika terdepresiasi sampai nilai kurang lebih lima belas ribuan per dolar Amerika. Pada tahun-tahun pertama terjadinya krisis, pertumbuhan ekonomi bahkan mengalami nilai negatif. Dunia perbankan hancur dan harus diselamatkan dengan mengucurkan dana ratusan triliun untuk menyelematkannya. Berbagai perusahaan di berbagai bidang, terutama bidang properti collapse. Yang menarik adalah ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia belum dapat membantu mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia. Situasi seperti ini diperkirakan karena pertumbuhan yang terjadi merupakan hasil dari berkembangnya sektor keuangan, bukan sektor riil yang selama ini justru merupakan sektor yang menampung tenaga kerja paling banyak. Tingkat kemiskinan yang masih tinggi pada tahun 2006 di Indonesia juga merupakan fenomena yang memperburuk kondisi ekonomi Indonesia. Selain masalah sumber daya alam dari minyak, sumber daya hutan yang selama ini menjadi tumpuan penghasil devisa juga semakin mengkhawatirkan. Jika tidak ada perubahan terhadap kebijakan penebangan hutan, maka Indonesia akan kehilangan 15 juta sampai 32,5 juta hektar hutan lagi pada tahun 2020.6 Bukan hanya sekedar kayu timber yang semakin sulit, tetapi kehilangan hutan sebesar itu akan membawa bencana mata pencaharian bagi banyak orang yang selama ini hidupnya sangat tergantung dari hasil hutan. Tambahan pula masalah lingkungan hidup menjadi semakin serius. Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang kelima adalah demografi Indonesia tahun 2000 dan 2025. Focus Group Discussion (FGD) pertama ‘dipicu’ dengan data tentang demografi Indonesia tahun 2000 dan tahun 2025 yang bersumber pada US Census Bureau. Data demografi tersebut disajikan pada gambar 1 untuk tahun 2000 dan gambar 2 untuk tahun 2025. Yang menjadi perhatian anggota FGD adalah kelompok penduduk dari usia 0–24 tahun pada gambar 1. Kelompok usia ini pada tahun 2000 adalah mereka yang sedang mengalami proses pertumbuhan fisik dan otak dilihat dari aspek kesehatan dan pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan dilihat dari aspek pendidikan. Kelompok yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan adalah usia pada kelompok 0–19 tahun, yaitu mereka yang sedang membutuhkan perkembangan fisik yang baik. Kelompok ini merupakan jumlah terbanyak. Kelompok yang sangat membutuhkan pendidikan pada tahun 2000 adalah mereka yang berusia 5 sampai 24 tahun. Penduduk pada kelompok usia 0–24 tahun mendapat perhatian khusus karena mereka pada tahun 2025 6 Merupakan analisis skenario Indonesia tahun 2025 yang dibuat oleh Charles Victor Barber dengan judul The Case Study of Indonesia, dari World Resources Institute
78
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81
Gambar 1. Struktur Penduduk Indonesia Berdasarkan Usia Tahun 2000 Sumber: U.S. Cencus Bereau, International Data Base, 2000
Gambar 2. Struktur Penduduk Indonesia Berdasarkan Usia Tahun 2025 Sumber: U.S. Cencus Bereau, International Data Base, 2000
merupakan angkatan kerja produktif di Indonesia. Mereka pada saat itu berusia 25–49 tahun (lihat gambar 2) dan mereka merupakan kelompok dengan jumlah yang cukup banyak. Dengan nilai HDI kesehatan dan pendidikan yang relatif rendah, diperkirakan mereka adalah angkatan kerja yang tidak potensial. Penyebabnya kelompok ini merupakan generasi yang tumbuh dengan gizi dan tingkat kesehatan yang buruk serta dididik dalam sistem pendidikan yang sekarang merupakan salah satu yang terburuk di ASEAN. Diperkirakan kelompok ini akan menjadi angkatan kerja yang tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja lainnya di kawasan ASEAN. Padahal pada tahun 2025 diperkirakan intensitas globalisasi sudah semakin tinggi dan batas-batas di antara negara-negara ASEAN semakin terbuka. Pada saat itu diperkirakan tenaga kerja Indonesia akan menjadi pekerja menengah ke bawah, sedangkan pekerja menengah ke atas (tingkat manajer) akan diisi oleh tenaga kerja negara-negara tetangga. Pada saat yang sama daya saing Indonesia di kawasan Asia–Pasifik juga akan rendah. Kondisi seperti ini akan membuat bangsa Indonesia menjadi sangat
frustasi dan mempunyai potensi konflik yang tinggi. Masih dalam konteks kelompok usia, pada tahun 2025, Indonesia akan menghadapi masalah baru yang belum pernah ada sebelumnya. Masalah tersebut adalah membesarnya jumlah penduduk usia tua yaitu kelompok usia 65 tahun ke atas. Kelompok usia ini diperkirakan sudah tidak produktif lagi dan lonjakan jumlahnya cukup besar. Pada saat itu berbagai kebijakan bagi warga negara senior sudah merupakan kebijakan yang perlu mendapat perhatian khusus terutama dalam konteks pelayanan. Hal ini berarti akan terjadi fiscal preasure bagi pemerintah subnasional untuk mengurus kelompok lansia ini. Kesimpulan yang dibuat pada FGD pertama adalah bahwa pada tahun 2025 Indonesia akan menghadapi potensi konflik yang cukup serius. Potensi konflik t ersebut di kar en a ka n di sa t u pi h ak ba nya k kecenderungan yang mengarah ke pesimisme. Di pihak lain, ada banyak ketidakpastian yang dihadapi dalam perkembangan masa transisi reformasi sosial politik dan ekonomi.
SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025
Kesimpulan kedua yang dibuat oleh FGD, walaupun tidak sepenuhnya disetujui oleh seluruh peserta FGD, bahwa walaupun terjadi banyak kecenderungan yang bersifat negatif dan banyak ketidakpastian, namun Indonesia akan dapat keluar dari masalah ini pada tahun 2025. Alasannya adalah sejarah memperlihatkan Indonesia selalu dapat bangkit dari keterpurukannya. Senantiasa ada orang-orang brilian, cream of the cream7, yang dapat membawa pembaharuan dan membawa Indonesia keluar dari masalah. Sejumlah best practices di daerah-daerah juga menjadi acuan optimisme yang berhati-hati ini. B. Skenario Indonesia 2025 Skenario pertama, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi baik (sedang sampai tinggi dan pada sektor riil), demokrasi dan civil society berkembang dengan baik. Skenario ini merupakan the best case scenario baik driving forces maupun kecenderungan yang terjadi mendukung. Namun tampaknya untuk kondisi Indonesia sekarang, skenario pertama merupakan Skenario Utopia sehingga merupakan Scenario yang ditolak oleh para pakar, terutama pada FGD pertama. Para pakar berpendapat bahwa kondisi kedua aspek dengan berbagai indikatornya sekarang ini menunjukkan trend yang tidak menggembirakan. Oleh karena itu, skenario pertama dianggap mempunyai kemungkinan yang sangat kecil untuk terjadi dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Walaupun skenario ini ditolak pada FGD pertama, akan tetapi skenario ini justru diterima di FGD kedua dengan catatan bahwa optimisme dibangun secara hati-hati. Optimisme secara berhati-hati melihat adanya best practice yang terjadi di Indonesia dengan berbagai kelemahannya. Optimisme berhati-hati juga dengan sejumlah catatan, yaitu jika muncul aktor terakhir lebih sulit dicapai karena melibatkan jumlah aktor yang sangat banyak. Skenario kedua, pertumbuhan ekonomi lamban demikian pula halnya dengan demokrasi dan perkembangan civil society. Ini merupakan skenario terburuk yang mungkin terjadi, namun dibangun berdasarkan kecenderungan berbagai fakta yang ada. Pada FGD pertama skenario inilah yang dianggap paling besar kemunginannya terjadi. Skenario ini terutama terjadi jika kondisi yang ada sekarang dibiarkan berlarut-larut, banyak ‘pekerjaan rumah’ tidak dibuat, kesadaran elit politik nasional, terutama lokal akan krisis tidak ada. Skenario ini akan berakhir dengan konflik berkepanjangan yang sulit diredakan. Skenario ini dapat pula dinamakan sebagai Skenario Masuk Kubangan. C. Peran, Desain, dan Kinerja Pemerintah yang Dituntut sampai Tahun 2025 Pada saat ini pemerintah subnasional (provinsi, kabupaten ,dan kota) dapat dikatakan sudah tidak dapat 7
Istilah yang dilontarkan oleh Prof.Dr. Maswadi Rauf dalam FGD kedua untuk menggambarkan orang-orang pilihan dari antara banyak orang Indonesia.
79
lagi menjalankan fungsi dan perannya dengan kualitas tinggi melalui administrasi publik yang ada. Kondisi administrasi publik pemerintah subnasional tersebut pada saat ini sudah terbukti tidak mampu menjawab tantangan yang ada sekarang apalagi untuk mengejar tantangan Indonesia tahun 2025. Oleh karena itu, administrasi publik pemerintah subnasional harus segera direformasi. Hal yang harus segera di reformasi administrasi publik yang pertama adalah peran pemerintahan subnasional. Kondisi change drivers pada Skenario Utopia memungkinkan state berkolaborasi dengan unsur-unsur yang ada dalam lingkungannya. Unsur-unsur tersebut adalah civil society yang semakin mapan, politisi yang memberikan dukungan penuh terhadap reformasi administrasi, serta pasar yang semakin kuat yang dihasilkan dari kompetisi yang semakin sehat dan good corporate governance yang semakin kuat. Ini berarti bahwa reformasi administrasi publik pemerintah subnasional menjelang berakhirnya jangka waktu 20 tahun ke depan akan menghasilkan posisi state berdampingan dengan peran civil society dan pasar. Jika Skenario Utopia terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Makassar, posisi civil society dan pasar dapat semakin kuat sehingga dapat menjadi partner state yang signifikan. Namun, posisi state sebagai partner civil society dan pasar tidak berarti state menjadi lemah (weak state). Kuat lemahnya posisi state merupakan pilihan politik dari regim yang berkuasa. Hal ini akan dibahas lebih detail kemudian. Keadaan akan berbeda jika skenario yang akan muncul adalah Skenario Masuk Kubangan. Pada skenario ini ‘infrastruktur’ sosial-politik dan ekonomi dalam kondisi buruk, maka posisi state akan dominan. Civil society belum dapat diandalkan sebagai kelompok penekan, elit politik masih mengalami disorientasi, dan pasar belum didukung oleh karakteristik kompetisi dan good corporate governance. Pemain ekonomi (investor) yang adapun dalam jumlah yang terbatas. Oleh karena itu, reformasi administrasi akan didorong oleh kekuatan birokrasi (bureaucracy-driven). Sedangkan politisi, civil society, dan pasar akan mempengaruhi reformasi administrasi secara terbatas. Sejumlah hal secara spesifik dapat dituntut dari pemerintah pusat dan pemerintah subnasional (provinsi, kabupaten dan kota) sejak saat ini sampai tahun 2025 untuk dilakukan. Pertama, pemerintah harus mampu membuat berbagai kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah ekonomi, masalah pembangunan demokrasi dan pembangunan civil society. Pemerintah dituntut untuk segera membuat kebijakan dalam rangka merespons krisis minyak dunia dan nasional, krisis pangan, serta krisis lingkungan hidup. Pemerintah juga dituntut untuk dapat memberantas KKN, dan menciptakan good governance yaitu good and clean government, good corporate governance dan vibrant civil society. Lebih dari itu,
80
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81
pemerintah dituntut untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing masyarakat dan pemerintah subnasional itu sendiri di tingkat regional dan internasional. Pada akhirnya pemerintah dituntut untuk dapat menyejahterakan masyarakatnya paling tidak pada tingkat yang signifikan, yaitu sejajar dengan rata-rata kesejahteraan negara-negara tetangga di ASEAN. Kedua, untuk dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam jangka panjang (20 tahun), maka pemerintah dituntut untuk memperbaiki pembangunan sektor pendidikan, pembangunan sektor kesehatan dan pembangunan infrastruktur secepatnya. Untuk itu dibutuhkan program-program pembangunan yang kondusif, kinerja yang tinggi, dan alokasi anggaran yang memadai agar pemerintah mampu menyejahterakan masyarakat. Ketiga, untuk dapat mewujudkan hal-hal di atas pemerintah harus mempunyai kemampuan (a) membuat kebijakan yang berkualitas dan mendesain program yang baik yang berkaitan dengan change drivers dan masalahnya, dan dengan menomorsatukan kepentingan bangsa; (b) melaksanakan kebijakan dan program-programnya dengan kinerja yang tinggi dan bertanggungjawab. Keempat, pemerintah dituntut untuk menjadi profesional dalam menjalankan kewajibannya dan dapat memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelima, pemerintah dituntut mempersiapkan dirinya sendiri dan masyarakat untuk dapat bersaing di tingkat regional dan global pada saat praktik globalisasi semakin intensif dan meluas dijalankan. Keenam, pemerintah dituntut untuk tetap menjaga integrasi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan menghindari sejauh mungkin konflik dan perpecahan. Berbagai tuntutan di atas memperlihatkan terfokusnya penekanan pada state-led development dan enhancing state capacity. Menurut Chung hal ini sebenarnya tidak aneh bagi negara-negara Asia dalam melakukan reformasi administrasinya karena secara tradisional state di negaranegara Asia bersifat interventionist. Jepang, Singapura, Cina, Vietnam, India, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, Thailand, dan Indonesia adalah contoh dari sejumlah negara Asia dimana state berperan secara dominan dalam proses pembangunan bangsa. Chung memperlihatkan bahwa Singapura yang telah melakukan empat tahapan reformasi administrasi sejak merdeka pada tahun 1965, secara terus menerus reformasi administrasinya bertujuan untuk memperkuat sektor publiknya. Secara rinci Chung mengatakan ‘Singapore has gone through four stages of public service reforms since independence in 1965 – from “survival” (1960s) and ‘efficiency’ (1970s) to ‘people’ (1980s) and ‘change’ (1990s). All of these reform processes aimed to strengthen and enhance the efficiency and leadership capacity of the civil service bureaucracy.’ Oleh karena itu, Chung berpendapat sebaiknya negara-negara yang secara tradisi mempunyai state yang
bersifat interventionist melakukan empowering rather than denigrating the bureaucracy. Tujuannya adalah untuk menghasilkan suatu struktur atau sistem yang diperbaharui, yang dapat memperbaiki kapasitas state atau birokrasi pemerintah agar dapat memimpin pembangunan bangsa dan usaha-usaha pembangunan ekonomi. Dengan demikian state-led atau dominated economic development di negara-negara Asia tidak konsisten dengan ideologi the private-led sebagai dasar dari reformasi institusi neo liberalisme. Bahkan negara seperti Malaysia yang mengadopsi reformasi administrasi dengan orientasi New Public Management tetap menolak resep-resep ekonomi neo liberalisme. Hal yang harus direformasi di administrasi publik pemerintah subnasional yang ketiga adalah desain. Dalam rangka merespons berbagai tuntutan lingkungan di atas desain administrasi publik yang didasarkan pada aspek-aspek the Seven S’s harus ditetapkan. Berdasarkan potret administrasi publik saat ini dan berdasarkan berbagai tuntutan di atas, maka berikut ini akan ditetapkan desain administrasi publik yang harus dibangun mulai dari sekarang sampai tahun 2025. Adapun desain tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, struktur yang ada harus ramping, efisien, dan mendorong profesionalisme sumber daya manusia dalam birokrasi. Kedua, sistem penganggaran yang ada harus menjamin terjadinya efisiensi, alokasi pada kepentingan publik dan menekan KKN secara signifikan. Ketiga, sistem pengelolaan dan Kualitas SDM harus memungkinkan munculnya SDM profesional dan diterapkannya sistem merit. Keempat, setiap pemerintah subnasional harus mempunyai strategi yang baik dan digunakan dalam proses pembangunan (eksternal lingkungan mapun internal organisasi). Kelima, yang dibutuhkan dalam desain administrasi publik masa depan adalah budaya organisasi yang kondusif bagi terciptanya kinerja yang tinggi, good and clean government yaitu profesionalisme, dan berorientasi pada pelayanan publik. Keenam, desain administrasi publik lokal yang baik harus pula ditunjang oleh desain hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Subnasional yang baik. Baik dalam arti desain sistemnya maupun dalam arti komitmen untuk mendorong pelaksanaan program-program otonomi daerah. Ketujuh, hubungan pemerintah dan masyarakat harus dibangun menuju partnership dan empowerment. Paradigma dalam melihat masyarakat adalah masyarakat sebagai citizen dan stakeholders, bukan sebagai konsumen (customers) saja. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah tidak dapat hanya terfokus kepada politisi melalui lembaga perwakilan saja, namun juga kepada masyarakat. Karena itu prinsip partisipasi, akuntabilitas, responsiveness serta transparansi merupakan prinsip yang dipakai dalam merekayasa hubungan pemerintah dan masyarakat selain the three Es. Dengan demikian ukuran keberhasilan pemerintah (kinerja) tidak dapat hanya diukur melalui indikator output dan outcome, tetapi juga
SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025
proses menjadi sangat penting. Kedelapan, kualitas kebijakan dalam bentuk peraturan perundangan harus baik. Saat ini banyak terjadi ‘tabrakan’ dalam berbagai peraturan perundangan yang ada. Pada tingkat lokal hal ini diperlihatkan dengan buruknya kualitas Perda. Demikian pula rule of law harus menjadi prinsip yang diimplementasikan dengan komitmen tinggi. Hal ini diperlukan untuk menghilangkan ’sektor informal’ dalam birokrasi dan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat dan pelaku bisnis/investor. Rule of law juga sangat dipentingkan untuk memberantas KKN. Hal yang harus direformasi di administrasi publik pemerintah subnasional yang ketiga adalah kinerja. Kinerja yang harus dicapai sebagai respon dari tuntutan lingkungan administrasi publik adalah kinerja yang sangat tinggi. Kinerja yang dimaksud disini adalah efisiensi, effektivitas, dan ekonomisnya administrasi publik dalam menjalankan fungsinya sebagai birokrasi pemerintahan, maupun dalam konteks pembuatan kebijakan dan penyediaan pelayanan publik. Kinerja yang optimum dibutuhkan bagi tercapainya target pembangunan dengan akselerasi yang tinggi untuk mengejar ketertinggalan. Oleh karena itu, untuk menjawab semua tantangan agar Skenario Masuk Kubangan tidak terjadi dan skenario Utopia-lah yang terjadi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Lokal dituntut untuk melakukan reformasi administrasi publik dalam rangka menjawab semua tantangan di atas. KESIMPULAN Scenario Indonesia tahun 2025 didominasi oleh skenario yang cenderung pesimis dan dinamakan Skenario Masuk Kubangan. Kondisi ekonomi dan sosial-politik yang memprihatinkan dapat membawa Indonesia terpuruk lebih jauh. Alternative scenario lainnya adalah Skenario Utopia yang dibangun berdasarkan pendapat optimisme yang dilontarkan oleh beberapa pakar. Terdapat sejumlah tantangan untuk perubahan yang dihadapi oleh administrasi publik di Indonesia sehingga perlu untuk dilakukan administrative reform baik di tingkat pusat maupun lokal. DAFTAR PUSTAKA Azfar, Omar, dkk,. 2001. “Decentralization, Governance, and Public Services the Impact of Institutional Arrangement: A review of the Literature”. Working Paper. Maryland; USA: IRIS Center, University of Maryland, College Park. Breton, Albert. 1969. An Introduction To Decentralization Failure, dalam Ehtisham Ahmad dan Gerald Vito Caiden. Ad-
81
ministrative Reform. London: Allen Lane The Penguin Press. Chandoke, Neera. 1995. State and Society, Exploration in Political Theory. New Delhi: Sage Production India Pvt Ltd. Cheema, G Shabir and Dennis A. Rondinelli. 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publication. Clarke, Thomas, and Stewart Clegg. 1998. Changing Paradigm: The Transformation of Management Knowledge for the 21 th Century. London: Haper Collins Business. Gardono, Iwan. 2001. Masyarakat Aktif, Transparansi dan Korupsi. Makalah yang dibawakan dalam Seminar Nasional Menciptakan Transparansi Penyeleggaraan Pemerintahan Daerah: Memberdayakan Momentum Reformasi, Kerjasama FISIP-UI dan The Foundation, Jakarta: (Juni). Ghez R. Gilbert dan Becker Gary S, 1975. The Alocation of Time and Goods Over the Life Cycle. New York: Collumbia University Press. Hoessein, Bhenyamin,. Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat Dengan Pemerintahan Daerah. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume I Nomor 1, (Juli). Lindgren, Mats dan Hans Bandhold, Scenario Planning: The Link Between future and Strategy,.New York: PALGRAVE MACMILLAN. Litvack, Jenie, Junaidi Ahmad dan Richard Bird. 1998. Rethinking Decentralization in Developing Countries, Washington, D.C.: The World Bank. Maami, Kambiz E. dan Robert Y. Cavana. 2000. System Thinking and Modeling: Understanding Change and Complexity . Auckland: Pearson Education NZ Limited. Made, Suwandi, I, et.al. 2004. Menggagas Format Otonomi daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama. Mahfud MD, Moh., Hukum dalam Politik Oligarkis, KOMPAS, Jumat, 5 Mei 2006. Maksum, Irfan Ridwan. 2006. Pengawasan Internal Daerah Otonom oleh DPRD. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi. Volume XIV, Nomor 4 (Desember). Mats Lindgren dan Hans Bandhold. Scenario Planning: The Link Between future and Strategy . New York: PALGRAVE MACMILLAN. Newman, W. Lawrence. 2003. Social Research Methods: Qualitative Approach. Boston: Pearson Education, Inc. Edisi kelima. Oentarto SM, Suwandi, dan Dosi Riyadmadji. 2004. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama. Pilliang, Y.A., “ Demokrasi Fundamentalis”, KOMPAS, 29 April 2006. Prasojo, Eko, KOMPAS, 6 November 2004. Ringland, Gill. 2006. Scenario Planning. West Sussex: John Willey & Sons Ltd. Schoemaker Paul J.H.1991. When and How to Use Scenario Planning: A Heuristic Approach With Illustration. Journal of Forescasting, Vol. 10, No.6 (November). Schoemaker, Pamela and Stephen D. Reese. 1991. Mediating the Message Theories of Influence on Mass Media Content. USA: Longman. Schulte Nordholt, Nico. 2003. Pelembagaan Civil Society dalam Proses Desentralisasi di Indonesia, dalam Henk Schulte Nordholtdan Gusti Asnan, ed, Indonesia in Transsition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tanzi, ed,, 2002. Managing Fiscal Decentralization. London: Routlege. Zainal Abidin, Said. 2004. Akuntabilitas dan Transparansi Pemerintahan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi Vol.12, No.I (Januari).
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 82-86 ISSN 0854-3844
Volume 16, Nomor 2
Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen Kebijakan Sektor Publik pada Pengelolaan Sungai SAM’UN JAJA RAHARJA1* Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
1
Abstract. The aim of this research is to analyze the public sector policy management in the management of Citarum river by using governance paradigm. The research used qualititive approach by using triangular sources techniques consisting of: the state, civil society, and private sector. The result shows that the management of drainage basin becomes a public matter involving the three main governance actors. However, the involvement of these three actors entails three implications: (1) the addition of core competence principle to the distribution of authority among actors, apart from ultra vires and general competence principles; (2) the addition of accessibility and effectiveness criteria in the affair distribution among the actors, apart from externality, efficiency, and accountability criteria; and (3) the revision of Government Regulation Number 38 year 2007 particularly on the affair distribution that involves non-state elements (civil society and private sectors) according to governance paradigm. More over there has been a need to revise the regulations related to the management of drainage basin. Keywords: governance, public policy, civil society, drainage basin
PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya alam yang makin langka dan kritis akibat berbagai tekanan kehidupan. Di dunia diperkirakan ada 1,4 km3 air, 97,3% merupakan air laut dan 2,7% merupakan air di permukaan bumi. Dari 2,7% air di permukaan bumi, 77,3% merupakan salju dan geyser; 22,4% air tanah dan resapan (itupun yang dapat dijangkau hanya 0,79%); air rawa dan danau 0,0035%; uap air 0,004%; dan air sungai 0,00001%. Dari beberapa sumber air di atas, sumber air yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah air tanah yaitu dari sumur dangkal dan artesis sebesar 0,79%; air sungai; dan sumber mata air yang belum dikuasai oleh sektor swasta atau produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Namun kondisi sungai yang merupakan penyedia sumber daya air, memiliki masalah tersendiri. Pergantian musim hujan dan kemarau membuat kondisi sungai tidak stabil antara banjir dan kekeringan, ditambah lagi masalah pencemaran berbagai limbah industri dan domestik yang menjadikan air di sungai menjadi tidak layak dikonsumsi. Sungai atau daerah aliran sungai merupakan suatu sumber daya air yang memiliki karakteristik yang khas dan sifat yang berbeda dengan sumberdaya lainnya. Keberadaan sungai dengan sifatnya yang mengalir dari hulu ke hilir memiliki potensi opportunity value dan externality effect antara hulu-hilir atau di sepanjang aliran sungai (Pangesti, 2000, 2002). Sifat sungai yang mengalir dan melintasi batas wilayah administratif dan bahkan negara, banyak pihak yang berkepentingan dan Korespondensi: +6281 2200 3228;
[email protected]
*
atas nama “hak” yang dimilikinya, terjadi eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing yang spesifik. Keadaan ini berpotensi memunculkan kompetisi dan konflik, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal. Konflik yang dimaksud antara lain konflik kuantitas berkaitan dengan kelangkaan, konflik kualitas karena pencemaran dan kerusakan lingkungan, konflik organisasional, karena pengelolaan yang fragmentaris dan sektoral atau kewilayahan administratif, konflik nilai berkaitan dengan pandangan penguasaan dan pemanfaatan sumber air sebagai barang publik atau privat dan komoditas ekonomi global. Ironisnya dan sekaligus juga paradoks, yaitu manakala terjadi hal-hal negatif pada aliran sungai, seperti pencemaran, banjir, dan kekeringan, masing-masing pihak cenderung saling menyalahkan. Melihat banyaknya organisasi yang terlibat atau memanfaatkan Sungai Citarum memperlihatkan bahwa pengelolaan tidak dapat di lakukan oleh satu pihak saja. Tetapi harus melibatkan pihak lainnya dalam suatu konsep multipihak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis manajemen kebijakan sektor publik pada pengelolaan Sungai Citarum denagn paradigma Governance berdasarkan tiga pilar: state, civil society dan private. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan mengambil obyek pada pengelolaan Sungai Citarum. Di lintasan Sungai Citarum, terdapat berbagai instansi pemerintah, swasta, dan organisasi kemasyarakatan yang mengelola dan memanfaatkan keberadaan Sungai Citarum tersebut. Instansi pemerintah dan perusahaan antara lain PLTA, PDAM, BBWS Citarum, BPSDA, BPDAS, dll,
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI
Sedangkan organisasi kemasyarakatan antara lain Mitra Cai, P3A, GP3A, LPC, Masyarakat Cinta Citarum, dll. Di sinilah urgensinya pengelolaan menggunakan pendekatan atau paradigma governance. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Konsisten dengan metode, data dikumpulkan dengan teknik triangulasi sumber, meliputi studi pustaka, angket, wawancara mendalam, dan diskusi stakeholder. Unit analisis penelitian ini pada level organisasi, sesuai dengan pokok bahasan governance yang meliputi tiga pilar: state, civil society, dan private. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kewenangan dan Urusan Pengelolaan Sungai dalam Tinjauan Teknis dan Organisasi Ada persoalan prinsip yang melekat dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pertama, dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah memungkinkan masing-masing wilayah administratif membagi aliran sungai sesuai dengan wilayah masing-masing. Hal ini memungkinkan terjadinya benturan kewenangan dan kepentingan. Kedua, sungai merupakan sumberdaya yang mengalir, tidak mengenal batas-batas wilayah administratif dan secara teknis tidak memungkinkan aliran sungai dihentikan atau dialihkan ke wilayah lain, sesuai dengan kewenangan setiap instansi atau organisasi. Konsekuensinya pengelolaan daerah aliran sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan secara sektoral-mandiri oleh masing-masing instansi pemerintah atau organisasi yang berkepentingan dan yang berada dalam lintasan daerah aliran sungai tersebut. Urusan pemerintahan, khususnya urusan pemerintahan daerah merupakan bagian dari desentralisasi. Namun banyak makna dalam desentralisasi. Pada konteks ini, terdapat ketidaksepakatan mengenai makna desentralisasi itu sendiri. Banyak pihak yang sepakat bahwa pengalihan kekuasan dan sumberdaya kepada pemerintahan daerah bukanlah suatu bentuk desentralisasi. Meskipun begitu, banyak yang mengasumsikan bahwa desentralisasi pada konteks ini juga termasuk transfer kekuasaan dan sumberdaya dari pemerintahan pusat (Schneider, 2003). Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan kekuasaan, pelimpahan kekuasaan, penyebaran dan pemencaran kekuasaan. Desentralisasi juga didefinisikan sebagai penyerahan urusan (function) dan kewenangan (authority) dari pemerintahan yang lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga ditingkat yang lebih rendah atau kepada individu (Agusalim, 2007). Cheema , Nellis, dan Rondinelli (1983) juga memberikan pengertian desentralisasi dalam arti yang lebih luas “...the transfer of authority to plan, make decision and manage public function from higher level of government to any individual organization or agency at lower level” Pendapat Cheema dkk. ini menggariskan bahwa kendati desentralisasi itu berasal dari pemerintah
83
(pusat), tapi penyerahannya tidak selalu kepada pemerintah daerah saja. Penyerahan ini dapat pula diberikan kepada suatu organisasi, badan atau bahkan kepada individu. Terkadang desentralisasi dijadikan bertalian dengan dekonsentrasi. Di sini terjadi peran ganda, antara sebagai administrasi lapangan dengan sebagai perangkat pemerintahan umum (Ridwan, 2005). Pengelolaan daerah aliran sungai merupakan salah satu kewenangan pemerintah yang dapat didesentralisasikan berdasarkan authority maupun urusan (fungsi). Bentuknya sendiri dapat mengacu kepada model pembagian Cheema dan Rondinelli (Agusalim, 2007) yaitu dekonsentrasi, delegasi kepada organisasi parastral atau semi otonom, devolusi, privatisasi atau transfer urusan dari pemerintah kepada lembaga non pemerintah. Konteks penyerahan urusan sendiri dikenal dengan tiga pendekatan yaitu ultra vires, general competence, dan campuran perpaduan keduanya. Pengelolaan DAS secara eksplisit merupakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. Namun, sebagaimana diketahui dalam DAS, melekat juga wilayah sungai yang mengalir. Urusan pengelolaan sungai secara eksplisit menjadi urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Dengan demikian terdapat dua instansi pemerintah yang bersama-sama mengurusi satu entitas dalam daerah aliran sungai. Pembagian urusan pemerintahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menetapkan tiga kriteria sebagai dasar pembagian yaitu eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Kriteria eksternalitas adalah kriteria pembagian dengan memperhatikan dampak yang timbul dari penyelenggaraan suatu urusan apakah lokal, regional, atau nasional. Kriteria akuntabilitas, kriteria pembagian urusan berdasarkan tanggung jawab penyelenggaraan urusan kepada masyarakat bersifat lokal, regional atau nasional. Kriteria efisiensi yaitu pembagian urusan berdasarkan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan urusan pemerintahan. Kriteria tersebut tidak memadai jika diterapkan pada pengelolaan sungai. Hal ini dikarenakan, pertama, berdasarkan pada kriteria eksternalitas, dampak aliran sungai bukan hanya dampak lintas daerah atau regional tetapi juga dampak lintas stakeholder, lintas fungsi, dan lintas departemen/instansi/organisasi. Kedua, mendasarkan pada kriteria efisiensi, apabila diserahkan pada satu instansi saja tidak cukup karena pengelolaan sungai bersifat sangat kompleks dan mahal. Ketiga, penerapan kriteria akuntabilitas pada satu tingkatan pemerintahan juga tidak cukup. Hal ini karena dalam kenyataan aliran sungai tidak benar-benar secara eksak berada dalam satu lingkup/batas wilayah administrasi pemerintahan tertentu, tetapi selalu bersambung dengan wilayah administrasi lainnya. Jika dicermati, pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 masih menggunakan paradigma
84
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 82-86
lama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bertumpu pada government. Penggunaan paradigma lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dapat ditelaah dalam pasal-pasal maupun penjelasannya. Pasal 1 ketentuan umum tentang urusan pemerintahan menjelaskan “ .... urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsifungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.....”. Hal ini juga dipertegas dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan “.... Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan...”. Ketentuan umum maupun pasal dalam dalam PP 38 tahun 2007 tersebut sama sekali tidak menyinggung atau menyebut sektor privat atau civil society sebagai unsur yang terlibat atau dilibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang desentralisasi juga menyiratkan dan menyuratkan tidak dilibatkannya unsur di luar pemerintah dalam urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan. Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah bergeser dari government ke governance yang bercirikan “...adanya multi-aktor dalam penyelenggaraan pemerintahan, aktor tersebut meliputi state, civil society dan privat. Keterlibatan para aktor ini mengakhiri monopoli state dalam penyelenggaraan pemerintahan” (Prasojo, 2007; Muluk). Berdasarkan terminologi umum, governance dipahami sebagai keterkaitan antar organisasi, pelibatan lembaga publik dalam formulasi dan implementasi kebijakan, serta terhubungnya berbagai organisasi untuk melaksanakan tujuan-tujuan publik (Keban, 2004). Perluasan makna tentang governance juga dikemukakan Rhodes (2002), yaitu (1) governance sebagai corporate governance, (2) governance sebagai new public management, (3) governance sebagai good governance, (4) governance sebagai international interdependence, (5) governance sebagai socio cybernetic system, (6) governance sebagai new political economy, dan (7) governance sebagai network. Governance sebagai networks juga memiliki beberapa makna yaitu (1) cara para stakeholder berinteraksi untuk mempengaruhi kebijakan, (2) pola atau struktur yang muncul dalam sistem sosial politik sebagai keluaran bersama dari seluruh aktor yang
terlibat, (3) koordinasi antar swasta dan publik baik secara formal maupun informal, (4) konsep atau teori yang mencerminkan koordinasi suatu sistem sosial (Laffer, 2002; Pierre) Konsep networks sebagai bentuk spesifik dari governance dalam menganalisis relasi antar aktor/ organisasi diimplementasikan dalam berbagai bentuk (mode of governance) atau mode of governing. Koiman mengemukakan beberapa mode of governing yaitu co-governing dan mixed mode governing (Kooiman, 2000; Pierre). Co-governing dicirikan dengan dominasi hubungan yang bersifat horizontal dan kesetaraan antar pihak yang berelasi. Pada co-governing, para pihak bekerja sama, berkoordinasi, dan berkomunikasi tanpa terlalu didominasi oleh aktor pengatur. Ada beberapa tipe dari modus co-governance, yaitu (1) public private partnership yang menekankan cooperation ; (2) communicative governing, yaitu suatu proses belajar dan penyesuaian pola perilaku dalam pengelolaan perubahan structural sebagai tanggung jawab bersama; (3) responsive regulation, dimana institusi-institusi kunci dalam tatatan sosial (masyarakat, negara, dan asosiasi) berpartisipasi secara langsung. Mixed mode governing mencirikan berperannya masyarakat sipil, pasar, dan pemerintah secara mixed (bercampur). Pada saat bersamaan peran sentral pemerintah secara langsung menurun, sehingga bergeser menjadi mitra kerja dan fasilitator melalui bentuk pengaturan bersama (shared governance). Argumentasi model ini didasarkan pada pemikiran bahwa masalah kolektif bersifat kompleks dan dinamis yang dalam penanganannya memerlukan pembagian tanggung jawab dan aransemen bersama. Mengacu kepada makna governance sebagai network maka keterlibatan aktor non state dalam pengelolaan sungai merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, penerapan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang bertumpu pada tiga kriteria yang disebutkan terdahulu, dipandang tidak cukup memadai. Sehubungan dengan itu, perlu ditambahkan setidaknya dua kriteria tambahan yaitu aksesibilitas dan efektivitas. Kriteria aksesibilitas adalah pengelolaan urusan dengan mempertimbangkan instansi atau organisasi apa yang (1) paling dekat dengan lokasi, (2) paling mengetahui tata cara pengelolaan sesuai dengan nilainilai kearifan lokal yang berlaku, serta (3) paling dekat dengan masyarakat yang terkena dampak suatu urusan dijalankan. Penelitian di Sungai Citarum Jawa Barat misalnya ditemukan bahwa kendati masalah yang terjadi secara organisatoris merupakan urusan pemerintah pusat, justru masyarakat mengajukan tuntutan kepada pemerintah daerah setempat melalui LSM. Berdasarkan ini, maka terdapat dua organisasi yang memenuhi kriteria aksesibilitas yaitu organisasi pemerintah daerah setempat dan organisasi swadaya masyarakat (non-state). Pada kerangka yang lebih luas, kriteria ini juga terkait dengan konsep kebijakan publik dan otonomi daerah.
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI
Sebagaimana diketahui sasaran kebijakan otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan pelayanan publik yang lebih baik. Implementasinya harus sesuai dengan content, context, dan kondisi lapangan. Dalam hal ini masyarakat setempat lebih tahu apa yang harus dilakukan. Di samping masyarakat merupakan target group dalam implementasi kebijakan yang secara teoritis target group merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, di samping pelaksana kebijakan (Suwaryo, 2005). Kriteria efektivitas adalah pengelolaan urusan dengan mempertimbangkan hasil guna tertinggi yang diperoleh dari suatu penyelenggaraan urusan pemerintahan. Kriteria hasil guna diukur bukan hanya dalam perspektif berjalannya program dan tercapainya tujuan/urusan pemerintahan saja, tetapi tercapainya tujuan berdasarkan perspektif para stakeholder lainnya. Kriteria efektivitas juga berkaitan dengan kebijakan publik dan otonomi daerah. Berhasil tidaknya suatu kebijakan tergantung kepada insterest affected dari suatu masyarakat yaitu sejauh mana kepentingan masyarakat terakomodasi oleh suatu kebijakan dan dapat memberi ruang gerak, partisipasi dan berbagi kekuasaan dengan masyarakat (Grindle, 2005; Suwaryo). Perlunya penerapan kriteria aksesibilitas maupun efektivitas diperkuat oleh temuan penelitian Atmanto di Citarum dan Ciliwung (2007). Atmanto mengemukakan empat hal yang terkait dengan partisipasi masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sungai. Pertama, penerapan ekohidraulik dalam pengelolan kualitas air sulit berhasil tanpa melibatkan masyarakat. Kedua, adanya modal sosial yang kuat dengan member ruang gerak peran serta masyarakat. Ketiga, penerapan sosio hidraulik pada Sungai Citarum telah berhasil dengan baik karena didukung oleh konstribusi masyarakat. Keempat, pengelolaan air sungai berbasis masyarakat terjadi penguatan karena masyarakat memiliki kemampuan dalam mengelola sungai khususnya dalam hal kualitas. Pengelolaan sumber daya air dengan model Dharma Tirta menunjukan bahwa aksesibilitas dan efektifitas ini berkaitan dengan kelembagaan birokrasi pada level pelaksana daerah dan pola paternalisme keterlibatan masyarakat setempat (Ridwan, 2006). B. Pergeseran Prinsip dalam Ultra Vires and General Competence ke Core Competence Tidak ditemukannya penjelasan tentang pembagian kewenangan atau urusan yang bersifat perpaduan antara doktrin ultra vires dan general competence mengundang satu pertanyaan penting. Hal itu berkaitan dengan tidak ada penjelasan resmi pembagian kewenangan campuran tersebut seperti kewenangan apa saja? Apa dasar pembagian? Apa kriteria distribusi pembagian? Dan penetapan mana yang harus dibagi dan tidak dibagi? Oleh karena itu, perlu diajukan satu doktrin atau kriteria berdasarkan kompetensi inti (core competence). Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa setiap organisasi pada umumnya memiliki satu atau lebih
85
kompetensi inti. Penerapan doktrin ini, khususnya pada pengelolaan sungai ini didasarkan pada beberapa hal. Pertama, instansi atau organisasi tertentu yang terlibat pada dasarnya memiliki kelebihan dibanding yang lain dalam urusan atau kasus tertentu. Kedua, kelebihankelebihan seperti (1) sektor society (masyarakat) pada edukasi dan motivasi masyarakat, (2) kelebihan sektor pemerintahan lokal pada aksesibilitas, artikulasi persoalan dan urgensi penyelesaian kasus, (3) kelebihan departemen teknis pada aspek teknis, (4) kelebihan sektor private pada pengelolaan secara efisien, dan (5) masyarakat lokal dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal. Ketiga, pengelolaan sungai pada dasarnya adalah otonomi bersama di antara organisasi yang terlibat dengan menggabungkan kompetensi inti masing-masing. C. Ilustrasi Empirik dalam Pengelolaan DAS Citarum Dalam Pengelolaan DAS Citarum masih kuat terlihat ego sektoral masing-masing instansi pemerintah maupun organisasi masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa temuan penelitian yang dikompilasi dari persepsi atau berdasarkan perspektif pengelola saat ini. Temuan penelitian diringkas sebagai berikut. Pertama, dalam praktik pengelolaan DAS Citarum masih terjadi benturan otoritas antara instansi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah bahkan dengan masyarakat khususnya dalam menetapkan wilayah kewenangan. Hal ini terlihat dalam otoritas pengelolaan dan pemberian izin dalam area in-stream dan off –stream untuk DAS yang sama. Kedua, beberapa benturan kepentingan secara lebih luas dapat dipaparkan sebagai berikut (1) perbedaan kehendak antara masyarakat dengan instansi lain dalam pemanfaatan lahan di sekitar DAS; (2) benturan kepentingan antara pemerintah Kabupaten Bandung dengan Propinsi Jawa Barat, khususnya dalam pemanfaatan air permukaan; (3) benturan antara kemanfaatan ekonomi dan kebutuhan akan pengendalian dampak lingkungan yang terjadi karena inkonsistensi dan perbedaan sikap dan posisi organisasi pengendali dampak lingkungan; (4) benturan kepentingan antara pemerintah daerah, khususnya di perbatasan. Aktivitas pemerintah daerah tertentu di perbatasan, membawa dampak ke wilayah pemerintah lainnya di seberang perbatasan; (5) benturan kepentingan berkaitan dengan peran dan fungsi tiap instansi baik antara instansi di daerah maupun antar instansi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. KESIMPULAN Pengelolaan sungai merupakan urusan bersama di antara organisasi, baik organisasi pemerintah pusat maupun daerah (government sector), society (lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal setempat), serta private. Implementasi kebijakan dari pengelolaan
86
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 82-86
sungai sebagai urusan bersama memiliki implikasi. Pertama, implikasi prinsip pembagian urusan pemerintahan yaitu perlu ditambahkannya prinsip pembagian kewenangan dari dua prinsip (ultra vires dan general competence) menjadi tiga prinsip (ultra vires, general competence, dan core competence). Kedua, implikasi kriteria pembagian urusan dari tiga kriteria (eksternalitas, efisiensi, akuntabilitas) menjadi lima kriteria (eksternalitas, efisiensi, dan akuntabilitas, aksesibilitas dan efektivitas). Ketiga, implikasi kebijakan yaitu perlunya penyempurnaan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007. Pada hal ini khususnya dalam pembagian urusan yang memasukan unsur nonstate sesuai dengan paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan, governance, yang multi aktor yang terdiri unsur state, civil society, dan private. Peraturan khusus terkait dengan sungai secara umum juga perlu ditinjau kembali. DAFTAR PUSTAKA Agusalim, Gadjong Andi. 2007. Pemerintah Daerah : Kajian Politik dan Hukum. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Atmanto, Dwi. 2007. Pendekatan Sosio Hidraulik dalam Pengelolaan Kualitas Air: Studi Kasus Pengelolaan Sungai Ciliwung dan Citarum. Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Cheema, G. Shaber et.al.1983. Decentralization in Developing Countries : A Review of Recent Experience, World Bank Paper. Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Penerbit Gava Media
Michaels S., Nancy P. Goucher, Dan McCarthy. 2006. Policy Windows, Policy Change, and Organizational Learning: Watersheds in the Evolution of Watershed Management. Environt Manage Journal. 38:983–992. Muluk, MR Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah. Malang, Penerbit Bayu Media. Pangesti, Dyah Rahayu. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sungai Menyongsong Abad–21. Orasi Ilmiah APU, Depkimbangwil. ____. 2002. Sungai sebagai Sumberdaya Alam Yang Mengalir, dalam Kodoatie (ed) Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta. Penerbit Andi. Pierre, Jon. 2000, Debating Governance : Authority, Steering, and Democracy. London: Oxford Univerisity Press Raharja, Sam’un Jaja. 2008. Model Kolaborasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI. Ridwan, Irfan. 2005. Dekonstentrasi dan Instansi Vertikal (Catatan Kritis UU No.32 Tahun 2004). Jurnal Ilmu Administasi dan Organisasi, Bisnis & Brokrasi, Vol.12, No.2 (Mei). ____. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Air Model Dharma Tirta di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 14, No. 1 (Januari). Rodhes, RAW, 1999. Foreword in Walter JM Kickert et.al. (ed) Managing Complex Network : Strategies for the Public Sector. London: Sage Publication. Schneider, Aaron. 2003. Decentralization: Conceptualization and Measurement. Comparative International Development, (Fall), Vol.38, No. 3. Suwaryo, Utang. 2005. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Disertasi, Bandung, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 87-95
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan setelah Perubahan Kedudukan dan Fungsi Camat sebagai Perangkat Daerah ROZY AFRIAL J.1* 1
Micronutrient Initiative Indonesia
Abstract. This research aims to analyze the quality of subdistrict public services in decentralization era, identify services dimensions or attributes that are prioritized by subdistrict for a better performance, and conduct comparative study to analyze whether a subdistrict with larger delegated authorities has a better quality of public services. The analysis was conducted using the Service Quality (ServQual) that had been developed into Importance Performance Analysis (IPA). The research was conducted through surveys in two locations i.e. Katapang Subdistrict in Bandung and Dramaga Subdistrict in Bogor, on three types of services namely 1) civil administration/registration services 2). Business license services and 3). Building construction license services.The research result showed that although the subdistricts had legally and formally shifted into local government institution, the quality of public service performance is still not optimal. This was indicated by the lower performance index as well as the importance index of the respondents for both subdistricts, in other words there were gaps between respondents perception and respondents expectation on public service quality. Keywords: local government institution, subdistrict, service quality, importance performance analysis
PENDAHULUAN Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa perubahan paradigma yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Reformasi pemerintahan daerah ini diwujudkan dalam bentuk pergeseran model dan paradigma pemerintahan dari pendekatan “structural efficiency model” yang menekankan peningkatan efisiensi, efektivitas dan keseragaman. Penyelenggaraan pemerintahan menjadi pendekatan “local democracy model” yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi (Hoessein, 2002), atau dari paradigma pemerintahan yang sentralistik kearah desentralistik. Salah satu perubahan mendasar dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah dihapuskannya wilayah administrasi pemerintahan untuk tingkat kabupaten/ kota ke bawah. Wilayah administrasi yang masih ada hanya wilayah administrasi propinsi (Ridwan, 2005), sehingga pemerintahan untuk tingkat kabupaten/kota kebawah sepenuhnya menjalankan asas desentralisasi, kecuali untuk lima kewenangan pemerintah pusat, ini yang dinamakan dengan Split Model (BC Smith, 1985,
*Koresponding penulis: +6221 7981 651, 7987 130;
[email protected]; www.micronutrient.org
dalam Wasistiono, 2005). Penggabungan asas desentralisasi dan dekonsentrasi atau disebut dengan Fused Model hanya terjadi pada tingkat provinsi. Propinsi sebagai wilayah administrasi merupakan wakil pemerintah pusat (menjalankan asas dekonsentrasi) sekaligus juga adalah daerah otonom yang melaksanakan asas desentralisasi. Perubahan mendasar tersebut telah secara nyata mempengaruhi pula kedudukan, peran, dan fungsi camat dan kecamatan. Dengan dihapuskannya wilayah administrasi pemerintahan untuk tingkat kabupaten/kota ke bawah, kecamatan bukanlah lagi wilayah administrasi. Camat adalah perangkat daerah kabupaten/ kota bukan lagi kepala wilayah administrasi pemerintahan seperti pada masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 (lihat UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004). Sebagai konsekuensinya camat bukan lagi penguasa tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Camat kini tidak lagi secara otomatis memiliki kewenangan untuk menjalankan urusan pemerintahan umum (Hoessein, 2002; Rosyidi, 2007). Dengan demikian, kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan (Ambs-kring), melainkan sebagai wilayah kerja (Werk-kring) kecamatan bukan lagi wilayah kekuasaan camat melainkan menjadi areal tempat camat bekerja (Wasistiono, 2005). Camat tidak lagi menjadi pusat dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi, namun telah beralih menjadi perangkat daerah yang hanya memiliki Werk-kring dalam lingkungan wilayah kecamatan (Kertapradja; Kinseng, 2008). Pelayanan publik merupakan unsur paling penting dalam meningkatkan kualitas hidup sosial di dalam masyarakat manapun (Saragih, 2006). Reformasi
88
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95
pelayanan publik terjadi dalam konteks usaha “pembangunan” dan promosi proses globalisasi ekonomi (Reed, 2002). Reformasi pelayanan publik merupakan prime mover (penggerak utama) yang dinilai strategis untuk memulai pembaharuan praktik governance (Dwiyanto, 2005). Sesuai dengan paradigma Reinventing Government maupun Good Governance, pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari bupati/walikota kepada camat harus dapat memaksimalkan prinsip 4E, yakni efektivitas, efisiensi, equity/keadilan dan ekonomis. (Terry, 1961, Frederickson, 1997 dan E.S. Savas, 1987; Wasistiono, 2005). Pendelegasian kewenangan bukan hanya sekedar memindahkan kewenangan yang dijalankan secara langsung oleh bupati/walikota kepada camat, melainkan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemberian pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Dewasa ini kualitas merupakan bahasan yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk pada organisasi atau institusi pemerintah sebagai lembaga penyedia pelayanan publik. Negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan warga negara dalam memperoleh jaminan atas hak-haknya karenanya peningkatan kualitas pelayanan (quality of services) akan menjadi penting (Zauhar, 2001, Prasojo, Pradana dan Hiqmah, 2006). Lembaga atau organisasi pemerintah semakin dituntut untuk menciptakan kualitas pelayanan yang dapat mendorong dan meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat. Karena itu, pelayanan (aparatur) pemerintah harus lebih proaktif dan cermat dalam mengantisipasi paradigma baru global agar pelayanannya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang dinamis. Sejumlah ahli menjelaskan konsep kualitas dengan pengertian yang saling menguatkan sesuai dengan perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri pelayanan yang spesifik (Feigenbaum, 1986; Albrecht dan Zemke, 1990; Bahill dan Gissing, 1998; Goetsh dan Davis, 1994, Mulyawati, 2003; WE. Deming;Sinambela dkk., 2006). Kualitas pelayanan merupakan perbandingan antara kenyataan atas pelayanan yang diterima dengan harapan atas pelayanan yang ingin diterima (Brady dan Conin, 2001). Pada awalnya instrumen untuk mengukur kualitas pelayanan (service quality) dikembangkan oleh peneliti pemasaran untuk melakukan evaluasi terhadap kualitas pelayanan yang dapat memenuhi kepuasan pelanggan (Jiang, Klein, dan Carr, 2002). Kaitannya dengan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi didalam negara demokrasi paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni responsiveness, responsibility, dan accountability (Lenvine, 1990). Dalam hal ini kinerja pelayanan publik terdiri dari aspek produksi, mutu, efisiensi, fleksibilitas, dan kepuasan untuk ukuran jangka pendek, sedangkan aspek persaingan dan pengembangan untuk jangka menengah serta aspek kelangsungan hidup untuk jangka panjang. Selain itu, ukuran kualitas pelayanan ditentukan oleh
banyak faktor yang bersifat intangible (tidak nyata/tidak berwujud) dan memiliki banyak aspek psikologis yang rumit untuk diukur (Zaithaml, Parasuraman dan Berry, 1990). Idealnya pengukuran kualitas pelayanan dilakukan terhadap dua dimensi yang saling terkait dalam proses pelayanan, yakni penilaian kepuasan pada dimensi pengguna layanan/pelanggan (service users) dan penilaian yang dilakukan pada penyedia pelayanan (service providers). Pengembangan service quality gap model kedalam suatu instrumen skala pengukuran multi dimensi yang dinamakan Servqual (Zathaml, dkk., 1990). Dalam perkembangannya, Zaithaml, Parasuraman dan Bery kemudian menyederhanakan sepuluh dimensi menjadi lima dimensi Servqual (Zaithaml dkk., 1990), yakni Tangible (Nyata, Berwujud), Reliablility (Keandalan), Responsiveness (Cepat tanggap), Assurance (Jaminan) dan Emphaty (Empati). Kaitannya dengan reformasi pemerintahan daerah dimana camat tidak lagi menjadi pusat dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi, namun telah beralih menjadi perangkat daerah yang hanya memiliki wilayah kerja dalam lingkungan wilayah kecamatan. Sudah selayaknya apabila kecamatan dijadikan sebagai Pusat Pelayanan Masyarakat (Pusyanmas) untuk jenis-jenis pelayanan yang sederhana, cepat, dan murah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengetahui dan memperbandingkan kualitas pelayanan Kecamatan Katapang dan Kecamatan Dramaga setelah perubahan kedudukan dan fungsi kecamatan sebagai perangkat daerah. Selain itu, penelitian ini membandingkan tiga jenis pelayanan kecamatan yakni pelayanan administrasi kependudukan, pelayanan izin-izin usaha, dan izin gangguan serta pelayanan IMB. METODEPENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan pendekatan kuantitatif-positivistik. Metode ini dilakukan untuk mengetahui arah dan fokus penelitian yang ditujukan untuk menguraikan dan menggambarkan secara obyektif dan logis sifat-sifat dari fenomena atau gejala sosial yang diteliti - dalam hal ini adalah adalah kualitas pelayanan publik kecamatandengan cara verifikasi langsung melalui data empirikal. Untuk dapat melakukan analisis komparatif kualitas pelayanan publik kecamatan, maka diperlukan dua lokus atau daerah penelitian, yaitu Kecamatan Katapang di Kabupaten Bandung dan satu lagi Kecamatan Dramaga di Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yang didasarkan pertimbangan adanya kekhasan delegasi kewenangan dari bupati kepada camat, pada masing-masing kabupaten. Pemilihan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor didasarkan pertimbangan bahwa pada kedua kabupaten tersebut telah ada pendelegasian kewenangan bupati kepada camat dengan jumlah, jenis
AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN
89
Tabel 1. Sampe l Pe nelitian
No 1 2 3
Jenis Layanan Administrasi kependudukan, (KTP, KK dll) Izin usaha/ izin tempat usaha (SITU, SIUP, HO dll) Pelayanan izin bangunan atau IMB Jumlah
Jumlah sampel Kec. Katapang Kec. Dramaga 100 60 50 210
100 100 36 236
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
serta besaran kewenangan yang berbeda. Kabupaten Bandung merupakan representasi dari kabupaten yang melimpahkan cukup besar kewenangan kepada camat, sedangkan Kabupaten Bogor adalah representasi kabupaten yang minim melimpahkan kewenangan kepada camat (gambar 1). Obyek penelitian terdiri dari tiga jenis kelompok pelayanan yang umumnya terdapat pada kecamatan, yaitu (1) Pelayanan administrasi kependudukan (KTP, KK dll), (2) Pelayanan izin usaha/ izin tempat usaha (SITU, SIUP, HO dll), dan (3) Pelayanan izin bangunan atau IMB. Sampel penelitian diperoleh secara purposive terhadap responden yang sudah atau pernah menggunakan pelayanan kecamatan dengan menggunakan teknik gabungan “accidental sampling dan snowballing sampling”. Pada accidental sampling, responden adalah siapa saja yang ditemukan peneliti ketika sedang mengurus atau mendapatkan pelayanan publik di kantor kecamatan. Sedangkan snowballing sampling dilakukan melalui penelusuran baik dari data yang ada pada kecamatan maupun dari responden yang telah diwawancarai untuk mendapatkan responden berikutnya dengan sampel dalam tabel 1. Survei dengan kuesioner Service Quality yang dirancang untuk menjaring: (1) data kualitas pelayanan kecamatan yang diharapkan dan (2) data kualitas pelayanan kecamatan yang diterima oleh masyarakat pengguna layanan. Setiap jenis kuesioner terdiri dari dua bagian. Pertama adalah penilaian responden terhadap kualitas pelayanan publik kecamatan yang diterima atau dialami (tingkat kinerja) dan kedua adalah penilaian responden terhadap kualitas pelayanan publik kecamatan yang diharapkan (tingkat kepentingan) dengan dimensi dan indikator (tabel 2). Selanjutnya, analisis data dilakukan dua tahap, pertama menggunakan teknik analisis kuantitatif dengan Importance-Performance analysis/IPA atau analisa tingkat kepentingan-kinerja (Martila dan James, 1977; Supranto 1997) dan Focus Group Discussion (FGD). IPA, pelayanan yang diharapkan (expected service) masyarakat pengguna layanan dikonversi menjadi “tingkat kepentingan” akan pelayanan, sedangkan pelayanan yang diterima masyarakat (perceived service) dikonversi menjadi “tingkat kinerja” pelayanan. Data yang diperoleh ditransformasikan menjadi data kuantitatif dengan pembobotan menggunakan skala likert yang terdiri dari 5 skala kontinum. Perhitungan pembobotan
setiap indikator dituangkan dalam tabel frekuensi untuk seluruh 20 indikator kualitas pelayanan, baik untuk indikator kinerja maupun indikator kepentingan pelayanan. Kemudian ,dihitung tingkat kesesuaian antara tingkat kinerja dengan tingkat kepentingan, sebagai berikut. Tki = Xi X 100%, Yi Dimana: Tki = Tingkat kesesuaian responden untuk indikator i Xi = Skor penilaian kinerja pelayanan indikator i Yi = Skor penilaian kepentingan indikator i Setelah seluruh analisis kuantitatif selesai, maka dilakukan FGD untuk mengklarifikasi, menggali, dan menelusuri lebih mendalam permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh kecamatan untuk dapat menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan Hasil perhitungan IPA menunjukkan belum optimalnya kualitas pelayanan publik kecamatan. Belum optimalnya kualitas pelayanan ditunjukkan oleh indeks kinerja seluruh 20 atribut pada ketiga jenis pelayanan (Pelayanan Adminsitrasi Kependudukan, Pelayanan Izin Usaha., dan Izin Gangguan dan Pelayanan IMB) yang lebih rendah dari indeks kepentingan. Kualitas layanan publik kecamatan dapat dilihat melalui perbandingan pelayanan publik pada kecamatan Katapang dan Dramaga. Secara umum dapat dilihat pada gambar 1-7. B. Perbandingan Pendelegasian Kewenangan Bupati kepada Camat Pemerintah Kabupaten Bandung memiliki komitmen untuk mendelegasikan kewenangan kepada camat yang jauh lebih baik dibanding pemerintah Kabupaten Bogor. Keputusan Bupati Bandung Nomor 21 Tahun 2001 Bupati Kabupaten Bandung melimpahkan 27 Bidang Kewenangan yang mencakup 110 Rincian Kewenangan kepada camat. Jumlah, jenis, serta besaran kewenangan yang dilimpahkan bupati kepada camat kemudian ditingkatkan menjadi 25 bidang kewenangan dan 614
90
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95
Tabel 2 . Dimensi dan Indikator Surv ey Kualitas Pe layanan Ke camatan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 1. Kerangka Analisis Sumber: Hasil olahan penelitian, 2007
AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN
Gambar 2. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Pelayanan Adminsitrasi Kependudukan, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Bandung.
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 3. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Pelayanan Izin Usaha dan Izin Gangguan, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Bandung Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 4. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Pelayanan IMB, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Bandung Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
rincian kewenangan melalui keputusan Bupati Bandung No. 8 Tahun 2004. Dari 614 rincian kewenangan yang dilimpahkan Bupati Bandung kepada Kecamatan Katapang (dan kecamatan lain di Kabupaten Bandung), empat puluh dua diantaranya adalah kewenangan
91
pelayanan langsung kepada masyarakat yang harus diselenggarakan Kecamatan Katapang Bandung. Status hukum pendelegasian kewenangan bupati kepada camat ini kemudian ditingkatkan dimana pada tahun 2007 berhasil disahkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2007 mengenai pendelegasian sebagian kewenangan bupati kepada pemerintah kecamatan. Selain itu, pemerintah Kabupaten Bandung telah menata ulang organisasi kecamatan kemudian, mengisi organisasi kecamatan dengan pegawai yang sesuai dengan kebutuhan serta merencanakan dan melaksanakan pendidikan teknis fungsional bagi personil yang akan ditempatkan di kecamatan sesuai kebutuhan lapangan. Walaupun belum memenuhi kebutuhan, diklat-diklat teknis tetap dilaksanakan bertahap bagi personel yang telah ditempatkan di kecamatan. Demikian pula peralatan dan perlengkapan secara bertahap mulai diisi untuk memenuhi kebutuhan kantor kecamatan dalam menyelengarakan pelayanan publik yang kini menjadi kewenangannya. Komitmen untuk implementasi pendelegasian kewenangan bupati kepada camat diwujudkan secara kongkrit dengan mengalokasikan anggaran bagi masing-masing kecamatan sesuai dengan beban tugasnya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan pemerintah daerah sehingga kecamatan di Kabupaten Bandung adalah pengguna anggaran sama seperti satuan perangkat daerah lainnya. Kabupaten Bogor hanya melimpahkan 12 bidang kewenangan yang meliputi 31 rincian kewenangan kepada camat. Akibat ketiadaan political will dari Bupati Bogor untuk sungguh-sungguh mendelegasikan kewenangan kepada camat dari 12 bidang kewenangan yang dilimpahkan Bupati Bogor kepada Camat Dramaga. Hanya satu bidang kewenangan yang berjalan efektif dan merupakan kewenangan penuh camat, yaitu pelayanan administrasi kependudukan (KTP/KK) yang merupakan kewenangan penuh camat untuk menyelenggarakannya (lihat gambar 2). Sementara pelayanan lainnya seperti dalam pelayanan perijinan usaha, izin gangguan atau HO dan izin bangunan (IMB), kewenanganan kecamatan hanya mengeluarkan surat keterangan atau surat rekomendasi. Kewenangan mengeluarkan IMB yang sebelumnya pernah diserahkan kepada camat khusus untuk bangunan dengan luas di bawah 200 m2 kemudian pada tahun 2007 ditarik kembali oleh dinas pemukiman. Kecamatan Dramaga bukan pengguna anggaran sebagaimana perangkat daerah lainnya. Anggaran kecamatan masih dikelola oleh lembaga atau instansi lain seperti bagian otonomi daerah, sekretariat daerah, dan dinas catatan sipil di kabupaten. Kondisi SDM, peralatan, dan perlengkapan untuk menyelenggarakan pelayanan juga nampak seadanya saja pada Kecamatan Dramaga. Dua kondisi yang berbeda dari dua daerah ini, tentunya berimplikasi terhadap kualitas pelayanan yang diselenggarakan oleh kedua kecamatan yang diuraikan pada pembahasan berikut ini.
92
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95
Gambar 5. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Pelayanan Adminsitrasi Kependudukan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 6. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Pelayanan Izin Usaha dan Izin Gangguan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
C. Perbandingan Kualitas Pelayanan Kecamatan Katapang dan Kecamatan Dramaga Untuk mengetahui perbandingan antara kualitas pelayanan publik di Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung dan kualitas pelayanan publik di Kecamatan Dramaga maka dilakukan analisis komparatif kualitas pelayanan di dua kecamatan tersebut. Analisis dilakukan dengan membandingkan kinerja pelayanan dan tingkat kesesuaian (antara apa yang dialami dengan apa yang diharapkan oleh responden) untuk ketiga jenis pelayanan (pelayanan administrasi kependudukan, pelayanan izin usaha dan izin gangguan, dan pelayanan izin mendirikan bangunan) pada dua Kecamatan (lihat tabel 3). Te rdapat perbandingan kualitas pelayanan administrasi kependudukan di kecamatan Katapang dan kecamatan Dramaga. Secara umum kualitas pelayanan publik di Kecamatan Katapang lebih baik dari kecamatan Dramaga (tabel 3). Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata indeks kinerja pelayanan administrasi kependudukan Kecamatan Katapang yang lebih tinggi (3.27) dari ratarata indeks kinerja pelayanan administrasi kependudukan Kecamatan Dramaga (2.90) serta rata-rata tingkat kesesuaian (antara apa yang dialami dengan apa yang diharapkan oleh responden) yang lebih tinggi pada Kecamatan Katapang (75%) dibanding tingkat
Gambar 7. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Pelayanan IMB, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
kesesuaian pada Kecamatan Dramaga (67,99%). Analisis lebih jauh lagi, hampir seluruh atribut pelayanan publik Kecamatan Katapang memiliki indeks kinerja pelayanan dan tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dibanding indeks kinerja pelayanan dan tingkat kesesuaian Kecamatan Dramaga. Dari dua puluh atribut pelayanan administrasi kependudukan kecamatan, kecuali atribut nomor 2, yaitu kenyamanan, kebersihan, dan kerapihan ruang pelayanan, seluruh atribut pelayanan lainnya menunjukkan kualitas pelayanan Kecamatan Katapang lebih baik dari kualitas pelayanan Kecamatan Dramaga (lihat gambar 8). Gambar 8 memperlihatkan hanya atribut nomor 2, yaitu kenyamanan, kebersihan dan kerapihan ruang pelayanan indeks kinerja pelayanan Kecamatan Dramaga lebih baik dari Kecamatan Katapang. Kondisi yang sama juga terjadi pada tingkat kesesuaian antara persepsi responden akan kualitas pelayanan dengan harapan responden akan kualitas pelayanan kecamatan (gambar 9), dimana Kecamatan Katapang memiliki tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dari Kecamatan Dramaga untuk hampir seluruh atribut pelayanan. Terdapat perbandingan kualitas pelayanan izin-izin usaha dan izin gangguan di Kecamatan Ketapang dan Kecamatan Dramaga. Secara umum kualitas pelayanan publik di Kecamatan Katapang lebih baik dari Kecamatan Dramaga (tabel 3). Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata
AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN
93
atribut
Tabel 3. Perbandingan Kinerja Pelayanan dan Tingkat Kesesuaian Pelayanan Publik antara Kecamatan Katapang dan Kecamatan Dramag a
Adm Kpddk
Kec am atan Katapang Izin usaha dan gangguan Indek s Tkt kekinerja sesuaian 3.53 90.21% 3.48 80.69% 3.38 77.19% 3.33 74.07% 3.32 78.66%
Indeks kinerja 3.6 0 3.3 2 3.3 6 3.0 8 3.6 0
Tkt kesesuaian 88 .2 4% 76 .1 5% 80 .7 7% 68 .7 5% 81 .0 8%
3.3 9 3.2 0 3.0 8 3.5 2 3.1 2 3.1 6 3.2 2 3.2 0 3.2 4 3.4 4 3.2 9 3.2 0 2.9 2 3.2 4 3.0 4 3.1 0
7 9.00% 72 .7 3% 66 .3 8% 79 .2 8% 70 .2 7% 75 .2 4% 7 2.78% 68 .9 7% 71 .0 5% 76 .7 9% 7 2.27% 76 .1 9% 72 .2 8% 75 .0 0% 70 .3 7% 7 3.46%
3.41 3.13 2.93 3.43 3.38 3.32 3.24 3.15 3.55 3.45 3.38 3.10 3.25 3.45 3.55 3.34
18
3.4 8
81 .3 1%
19
3.2 4
73 .6 4%
20
3.3 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
¶
IMB
Adm Kpddk
Kecamatan Dramaga Izin u saha dan ganggua n Indek s Tkt kekinerja se sua ian 3.48 85.29% 3.52 83.02% 3.48 78.38% 3.28 71.30% 3.32 74.11%
Indek s kinerja 3.56 3.36 3.36 3.12 3.48
Tkt kese sua ian 86.41% 80.77% 77.78% 71.56% 85.29%
Ind eks kiner ja 3.40 3.36 3.24 3.00 3.12
Tkt kesesuaian 84.16% 80.77% 74.31% 63.56% 70.91%
80 .1 6% 68.61% 64.71% 75.46% 75.75% 75.38% 71 .9 8% 70.79% 79.48% 79.62% 76 .6 3% 79.49% 77.38% 76.95% 80.08% 78 .4 7%
3.38 3.40 3.20 3.52 3.20 3.20 3.30 3.52 3.48 3.60 3.53
80.36% 77.98% 73.39% 78.57% 73.39% 74.77% 75.62% 78.57% 79.09% 85.71% 81.13%
3.24 3.08 3.52 3.44 3.32
80.20% 73.33% 83.81% 79.63% 79.24%
3.22 2.92 2.76 3.28 2.64 2.76 2.87 2.76 2.88 2.96 2.87 2.20 2.68 2.92 3.08 2.72
74.74% 64.04% 62.16% 73.21% 60.00% 62.73% 64.43% 63.89% 69.23% 68.52% 67.21% 47.41% 70.53% 68.87% 71.30% 64.53%
3.42 2.68 2.80 3.12 2.52 2.84 2.79 2.80 2.92 3.28 3.00 2.40 2.88 2.84 3.32 2.86
3.22
76.89%
3.56
81.65%
2.96
75.51%
3.47
80.31%
3.44
78.90%
2.52
60.00%
75 .4 5%
3.30
72.26%
3.40
75.22%
2.64
3.3 5
7 6.80%
78.59%
7 5.00%
76 .4 9% 76 .7 0%
3.47
3.2 7
3.33 3.34
3.38
78.80%
IMB Ind eks kiner ja 3.39 3.42 3.33 3.11 3.31
Tkt kesesuaian 89.71% 84.83% 75.95% 68.71% 71.69%
78.42% 60.36% 63.06% 72.90% 59.43% 67.62% 64.67% 66.04% 69.52% 78.85% 71.47% 53.57% 75.79% 68.93% 79.05% 69.34%
3.31 2.47 2.72 3.28 2.67 2.67 2.76 3.03 2.86 2.97 2.95
78.18% 53.61% 64.05% 73.75% 59.63% 60.38% 62.28% 70.78% 67.76% 68.15% 68.90%
2.64 3.06 2.92 3.47 3.02
61.69% 85.27% 70.95% 73.10% 72.75%
3.12
74.29%
3.22
76.82%
3.04
72.38%
3.11
75.17%
68.75%
3.04
76.00%
3.14
70.63%
2.71
68.09%
74.22%
3.16
74.20%
2.90
67.99%
3.07 3.03
71.49%
3.04
71.13%
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 8. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut Pelayanan Administrasi Kependudukan pada Kecamatan Katapang dan Kecamatan Dramaga Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 9. Perbandingan Tingkat Kesesuaian Atribut Pelayanan Administrasi Kependudukan pada Kecamatan Katapang dan Kecamatan Dramaga Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
indeks kinerja pelayanan izin-izin usaha (SITU, SIUP) dan izin gangguan (HO) Kecamatan Katapang yang lebih tinggi (3.34) dari rata-rata indeks kinerja pelayanan pelayanan izin-izin usaha dan izin gangguan Kecamatan Dramaga (3.03). Selain itu, rata-rata tingkat kesesuaian yang lebih tinggi pada Kecamatan Katapang (76.70%) dibanding tingkat kesesuaian pada Kecamatan Dramaga (71,49%). Jika ditinjau dari masing-masing atribut pelayanan izinizin usaha dan izin gangguan, sebagian besar atribut pelayanan Kecamatan Katapang memiliki indeks kinerja yang lebih tinggi dibanding indeks kinerja Kecamatan Dramaga (gambar 10). Hanya pada atribut nomor 2 yakni kenyamanan, kebersihan, dan kerapihan ruang pelayanan dan atribut nomor 3 yakni pengaturan loket pelayanan indeks kinerja pelayanan izin-izin usaha dan izin gangguan Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari pada indeks kinerja Kecamatan Katapang. Sedangkan jika ditinjau dari tingkat kesesuaian untuk masing-masing atribut, Kecamatan Katapang juga memiliki tingkat kesesuaian antara persepsi responden akan kualitas pelayanan dengan harapan responden akan kualitas pelayanan izin-izin usaha dan izin gangguan yang lebih baik dari Kecamatan Dramaga (gambar 11). Atribut nomor 2 yakni kenyamanan, kebersihan, dan kerapihan ruang pelayanan, atribut nomor 3 yakni pengaturan loket pelayanan dan atribut nomor 20 yakni kemudahan menghubungi pegawai, jika ada masalah dalam pengurusan SITU dan HO Kecamatan Dramaga memiliki tingkat kesesuain pelayanan yang sedikit lebih
94
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95
Gambar 10. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut Pelayanan Izin-Izin Usaha dan Izin Gangguan pada Kecamatan Katapang
Gambar 12. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut Pelayanan IMB pada Kecamatan Katapang dan Dramaga
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Gambar 11. Perbandingan Tingkat Kesesuaian Atribut Pelayanan Izin-Izin Usaha dan Izin Gangguan
Gambar 13. Perbandingan Tingkat Kesesuaian Atribut Pelayanan IMB pada Kecamatan Katapang dan Dramaga
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
tinggi dibanding Kecamatan Katapang. Terdapat perbandingan kualitas izin mendirikan bangunan di Kecamatan Katapang dan Kecamatan Dramaga. Tabel 4 diatas juga menggambarkan perbandingan kinerja pelayanan dan tingkat kesesuaian untuk seluruh atribut pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB) pada Kecamatan Kecamatan Katapang dan Kecamatan Dramaga. Sama seperti pada pelayanan administrasi kependudukan dan pelayanan izin-izin usaha izin gangguan, pada pelayanan izin mendirikan bangunan pun secara umum kualitas pelayanan Kecamatan Katapang lebih baik dari Kecamatan Dramaga (tabel 6). Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata indeks kinerja pelayanan IMB Kecamatan Katapang lebih tinggi (3.38) dari rata-rata indeks kinerja pelayanan IMB Kecamatan Dramaga (3.04) serta rata-rata tingkat kesesuaian pelayanan Kecamatan Katapang lebih tinggi (78.80%) dibanding tingkat kesesuaian pelayanan Kecamatan Dramaga (71,13%). Jika ditinjau dari indeks kinerja masing-masing atribut
pelayanan IMB, sebagian besar atribut pelayanan Kecamatan Katapang memiliki indeks kinerja yang lebih tinggi dibanding indeks kinerja Kecamatan Dramaga (gambar 12). Hanya untuk atribut 2 yakni Kenyamanan, kebersihan, dan kerapihan ruang pelayanan dan atribut 17 yakni jaminan keamanan dalam pelayanan IMB (keamanan surat2/berkas), keamanan diruang tunggu indeks kinerja pelayanan IMB Kecamatan Dramaga lebih baik dari Kecamatan Katapang. Mengenai kesesuaian pelayanan IMB, Kecamatan Katapang memiliki tingkat kesesuaian yang lebih baik dari Kecamatan Dramaga (gambar 13). Hanya pada atribut 1 yaitu Fasilitas dan keadaan fisik gedung kantor Kecamatan, atribut yaitu kenyamanan, kebersihan, dan kerapihan ruang pelayanan dan atribut 15 yaitu mekanisme atau jalur pengaduan, jika pengguna layanan mengalami masalah dalam pengurusan IMB Kecamatan Dramaga memiliki tingkat kesesuaian pelayanan IMB yang lebih baik dari Kecamatan Katapang. Untuk atributatribut lainnya tingkat kesesuaian pelayanan IMB
AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN
Kecamatan Katapang lebih baik dari Dramaga. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung memiliki kualitas pelayanan yang lebih baik dibanding Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Seperti pendelegasian kewenangan bupati kepada camat yang relatif berjalan lebih efektif di Kabupaten Bandung dibanding Kabuputen Bogor. Komitmen kuat pemerintah Kabupaten Bandung juga diperlihatkan meningkatkan produk hukum pendelegasian kewenangan bupati kepada camat dari Keputusan Bupati menjadi peraturan daerah. Meski demikian, masih terdapat sejumlah catatan yang menandai bahwa kualitas pelayanan publik kecamatan, setelah perubahan kedudukan dan fungsi kecamatan sebagai perangkat daerah, masih belum optimal. Hal ini ditunjukkan oleh indeks kinerja seluruh dua puluh atribut pada ketiga jenis pelayanan (pelayanan adminsitrasi kependudukan, pelayanan izin usaha dan izin gangguan, dan pelayanan IMB) yang lebih rendah dari indeks kepentingan.
DAFTAR PUSTAKA Bahill, A.T. and B. Gissing.1998. Re-evaluating systems engineering concepts using systems thinking, IEEE Transactions on Systems, Man and Cybernetics, Part C: Applications and Reviews, Vol. 28, No. 4 (November). Brady, Michael K. Brady and J. Joseph Cronin Jr. 2001. Some New Thoughts on Conceptualizing Perceived Service Qual-
95
ity: A Hierarchical Approach. Journal of Marketing, Vol. 65, No. 3 (July). Dwiyanto, Agus 2005. Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hoessein, Bhenyamin. 2002. Kebijakan Desentralisasi. Jurnal Administrasi Negara Vol. I, No. 02, (Maret). Jiang, James J., Gary Klein, L. Christopher. Carr. 2002. Measuring Information System Service Quality: SERVQUAL from the Other Side. MIS Quarterly, Vol. 26, No. 2 (Juni). Kinseng A. Rulius. 2008. Kecamatan di Era Otonomi Daerah: Kekuasaan dan Wewenang serta Konflik Sosial. Prasojo, Eko, Aditya Perdana dan Nor Hiqmah. 2006. Kinerja Pelayanan Publik, Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja, Keterlibatan dan Partispasi Masyarakat dalam Pelayanan Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Kependudukan , YAPPIKA. Jakarta. Reed, Daryl. 2002. Corporate Governance Reforms in Developing Countries. Journal of Business Ethics, Vol. 37, No. 3, Corporate Governance Reforms in Developing Countries (May). Ridwan, Irfan. 2005. Desentralisasi dan Instansi Vertikal: Catatan Kritis UU No. 32 Tahun 2004. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume XII, Nomor 2 (Mei). Rosyidi, Unifah. 2007. Reformasi Administrasi Sub Nasional: Analisis Reformasi Pemerintahan Kecamatan Kota Bogor. Disertasi, Program Pasca Sarjana Ilmu Adminsitrasi FISIP Universitas Indonesia. Saragih, Ferdinand D. 2005. Menciptakan Pelayanan Publik yang Prima Melalui Metode Benchmarking Prakts. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.3 (September). Wasistiono, Sadu. 2005. Optimalisasi Peran dan Fungsi Kecamatan, Modul Badan Diklat Depdagri-JICA. Zaithaml, A. Vallerie, A Passuraman and Leonard L. Berry. 1990. Delivering Quality Service: balancing Customer Perception and Expectation: Maxwell Macmillan, Canada. Zauhar, Susil. 2001. Administrasi Pelayanan Publik: Sebuah Perbincangan Awal. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1 No. 2, (Maret).
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 96-104
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Badan ERWIN HARINURDIN1* 1
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Abstract. This research was carried out to research the behavior of the company’s tax compliance especially the big company that was registered in the Large Tax Ofce in Jakarta. The design of this research was the survey research by using the instrument of the questionnaire. The data in the analysis by using Structural Equation Modeling (SEM) with the LISREL program 8,54. This research found proof that was the same as the research beforehand Bradley (1994), Bobek (2003), Lussier (200), Sihaan (2005) and Mustikasari (2007) those are (1) the Perception of the control behavior have positive and signicant the professional intention to the tax compliance. (2) the professional intention have inuential tax positive and signicant of the company’s tax compliance, (3) the Perception of the condition for the company’s have positive and signicant of the company’s tax compliance, (4) the Perception of the company’s facilities have positive and signicant the company’s tax compliance, (5) the Perception of the Climate Organization have positive and signicant of the company’s tax compliance. Whereas the variable (6) the perception of the control behavior have not signicant was directly of the company’s tax compliance. Keywords: perceived behavioral control, tax professional intention, company’s tax compliance.
PENDAHULUAN Perpajakan merupakan salah satu instrumen kebijakan skal yang dinamis, penerapannya harus senantiasa mengikuti dinamika perekonomian, baik domestik maupun internasional (Rosdiana, 2006). Mengingat adanya dua fungsi yang melekat pada pajak (budgetair dan regulerend), maka dalam pemungutan pajak bukan hanya ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan momentum pertumbuhan ekonomi, juga menggenjot penerimaan negara. Oleh karena itu, setiap tahun Dirjen Pajak dituntut untuk selalu meningkatkan penerimaan dari sektor pajak sejalan dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan (Rahayu, 2007). Selama lebih dari dua dasawarsa terakhir, penerimaan dari sektor pajak di Indonesia mengalami tren yang selalu meningkat. Hingga saat ini tidak kurang dari 76% anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2008 dibiayai oleh penerimaan dari sektor pajak. Sebagai sebuah kebijakan yang lebih memandang ke dalam (inward looking policy), penerimaan dari sektor pajak diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri serta mampu membangkitkan kembali kepercayaan diri bangsa Indonesia. Ini selaras dengan misi yang diemban oleh Direktorat Jenderal Pajak selaku otoritas pajak yang berkompeten di negeri ini, yaitu menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak guna menunjang kemandirian pembiayaan APBN (Iswahyudi, 2005). Pada akhir tahun 2005, tax ratio atau rasio penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia sebesar 12,3% menurun dibandingkan pada tahun 2003 yaitu 13,5%. Tax ratio Indonesia masih di bawah angka rata-rata internasional yang *Korespondensi: +6281 8715 832;
[email protected],
[email protected]
mencapai sebesar 20%. Bahkan jika dibandingkan dengan beberapa negara yang berpendapatan perkapita lebih rendah, tax ratio Indonesia masih dibawah Pakistan dan Srilangka yang memiliki tax ratio 13,76% dan 19,8% (Gunadi, 2005). Dari gambaran sebelumnya, ada dua implikasi utama berkaitan dengan rendahnya tax ratio. Pertama, pada satu sisi mencerminkan rendahnya kepatuhan pajak (tax compliance) masyarakat sehingga jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan masih relatif sedikit dibandingkan dengan basis pajak (tax base) yang ada. Kedua, relatif rendahnya jumlah pajak yang dikumpulkan dibanding dengan basis pajak yang ada juga memberikan harapan untuk peningkatan peneriman pajak selanjutnya. Dengan kata lain, masih tersedia ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak (Gunadi, 2005). Menurut Simon (2003) seperti yang dikutip oleh Gunadi (2005) pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu ada pemeriksaan, investigasi seksama (obtrusive investigation), peringatan, ancaman, dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Kepatuhan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakkannya akan meningkatkan penerimaan negara dan pada gilirannya akan meningkatkan besarnya rasio pajak (Nurmantu, 2007). Melayani wajib pajak berarti melakukan komunikasi dengan wajib pajak. Isi pesan yang disampaikan skus adalah tangibles terkait pada lingkungan layanan itu disampaikan; reability terkait pada kinerja dan kepercayaan; responsiveness terkait dengan kemauan untuk membantu langganan; courtesy terkait dengan perilaku pihak yang melayani seperti kesopanan dan keramah-tamahan; communication terkait pada ke-
HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN
Tabel 1. Penelitian Terdahulu Mengenai Pengaruh Persepsi Kontrol Perilaku dan Niat Tax Professional terhadap Kepatuhan
Peneliti Blanthorne (2000)
Bobek dan Hatfield (2003) Mustikasari (2007)
Hasil Persepsi – kontrol – perilaku berpengaruh – positif – terhadap Niat Persepsi – kontrol – perilaku dan niat berpengaruh positif terhadap kepatuhan Persepsi – kontrol – perilaku berpengaruh negatif terhadap kepatuhan Niat berpengaruh positif terhadap kepatuhan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008 Tabel 2. Penelitian Terdahulu Mengenai Pengaruh Persepsi Kondisi Keuangan, Persepsi Fasilitas Perusahan, dan Persepsi Iklim Organisasi terhadap Kepatuhan
Peneliti Reichers dan Scheider (1990) Slemrod (1992) Bradley (1994) Vardi (2001) Lussier (2005) Siahaan (2005)
Hasil Iklim organisasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan Profitabilitas dan arus kas berpengaruh terhadap kepatuhan Fasilitas – perusahaan – mempunyai pengarauh terhadap kepatuhan pajak Iklim – keorganisasian – berpengaruh terhadap perilaku perusahaan iklim organisasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan Perilaku Organisasi bepengaruh positif terhadap kepatuhan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008
kemampuan menyampaikan pesan sehingga dapat dipahami oleh pelanggan (Nurmantu, 2007). Berlakunya ‘self assessment” di Indonesia mempunyai pe-ranan wajib pajak dalam menentukan penerimaan negara dari sektor pajak. Masalahnya, apakah kepatuhan pajak sudah mendukung pelaksanaan sistem tersebut (Mansury, 2000). Sistem self assessment, wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang terhutang. Sistem self assesment diterapkan atas dasar kepercayaan pihak otoritas pajak kepada wajib pajak (Rahayu, 2007). Implikasi dari sistem ini adalah bahwa instansi yang bertugas memungut pajak harus memiliki kemampuan baik untuk mengadministrasikan pajak, serta wajib pajak harus diawasi oleh skus sehingga dapat diketahui apakah kewajiban perpajakan telah dijalankan dengan benar oleh wajib pajak. Dari data wajib pajak yang telah diadministrasikan akan terlihat apakah wajib pajak tersebut telah patuh atau belum (Brotodihardjo, 1998). Tax Compliance atau kepatuhan pajak diartikan sebagai kondisi ideal wajib pajak yang memenuhi peraturan perpajakan serta melaporkan penghasilannya secara akurat dan jujur. Dari kondisi ideal tersebut, kepatuhan pajak didenisikan sebagai suatu keadaan
97
wajib pajak yang memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya dalam bentuk formal dan kepatuhan material. Konsep kepatuhan perpajakan di atas sesuai dengan pendapat Yoingco (1997) yang menyebutkan tingkat kepatuhan perpajakan sukarela memiliki tiga aspek yaitu aspek formal, material (honestly), dan pelaporan (reporting). Penelitian terhadap kepatuhan pajak dapat menggunakan indikator perilaku wajib pajak berdasarkan kerangka model Theory of Planned Behavior (TPB) atau perilaku yang direncanakan. Teori tersebut digunakan untuk menjelaskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Adapun penelitian terhadap persepsi kontrol perilaku dan niat tax professional dapat dilihat pada tabel 1. Penelitian terdahulu mengenai pengaruh persepsi kontrol perilaku dan Niat Tax Professional terhadap kepatuhan (tabel 1) memperlihatkan bahwa sikap, norma subyektif, niat, dan persepsi kontrol perilaku atau perilaku individu mempunyai pengaruh positif terhadap kepatuhan pajak. Perilaku yang dimunculkan oleh individu timbul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu, yaitu behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs. Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap dan niat terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan soial yang dipersepsikan dan control beliefs menghasilkan kontrol perilaku yang dipersepsikan (Ajzen, 2002) Teori ini menggunakan tiga indikator dalam mengukur kontrol keprilakuan, yaitu pertama, kemungkinan diperiksa oleh skus; kedua, kemungkinan dikenakan sanksi dan; ketiga, kemungkinan pelaporan pihak ketiga (Blathorne, 2000, Bobek dan Harled, 2003, Mustikasari, 2003). Sedangkan, untuk menjelaskan variabel niat menggunakan indikator kecenderungan dan memutuskan. Hasil penelitian tersebut dapat menunjukkan bahwa variabel kontrol perilaku mempengaruhi secara positif dan signikan terhadap niat. Selanjutnya niat berpengaruh positif dan signikan terhadap kepatuhan pajak. Persepsi kontrol perilaku mempunyai pengaruh yang positif dan signikan terhadap kepatuhan pajak. Namun menurut hasil penelitian lain, persepsi kontrol perilaku mempunyai pengaruh yang negatif dan signikan terhadap kepatuhan (Mustikasari, 2003). Penelitian kepatuhan wajib pajak badan/perusahaan berdasarkan indikator perilaku organisasi/perusahaan, yang menggunakan indikator kondisi keuangan, fasilitas perusahaan dan iklim organisasi telah banyak dilakukan. Adapun daftar peneliti yang telah melakukan studi terhadap kepatuhan pajak badan dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel 2, lebih lanjut Slemrod (1989) menjelaskan pengaruh protability dan arus kas terhadap kepatuhan. Perusahaan yang mempunyai protabilitas yang tinggi cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur dari pada perusahaan yang mempunyai protabilitas ren-
98
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 96-104
X1_1 X1_2 Y1_1
H1 (+) X1_3 PERILAKU
NIAT
X1_4
Y1_2
X1_5
H2(+) H3 (+)
X1_6
Y2_1
Y2_2 X2_1 KEUANGAN
Y2_3
X2_2
H4 (+) X3_1
Y2_4 KEPATUHAN
Fasilitas
X3_2
Y2_5 X3_3 Y2_6
H5 (+) X4_1
H6 (+) Y2_7
X4_2 X4_3
Iklim_Or Y2_8
X4_4 X4_5 X4_6
Gambar 1. Gambar Model Penelitian dengan Predicted Sign Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008 Blanthorne (2000), Bobek & Hatfield PERILAKU
NIAT
Blanthorne (2000), Bobek & Hatfield (203)
Hanno & Violette (1996) Blanthore (2000)
KEUANGAN
Bobek (2003)
Slemrod (1992), Fasilitas
Slemrod (1992)
KEPATUHAN
Reicher & Schneider (1990)
Bradley (1994), Iklim_Or
Vardi (2001)
Gambar 2. Gambar Model Penelitian Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008
dah. Perusahaan dengan protabilitas rendah pada umumnya mengalami kesulitan keuangan (nancial difculty) dan cenderung melakukan ketidakpatuhan pajak. Demikian pula, perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas ada kemungkinan tidak mematuhi peraturan perpajakan dalam rangka upaya untuk mempertahankan arus kasnya. Iklim keorganisasian yang sering digunakan dalam melihat perilaku perusahaan menggunakan tujuh dimensi, yaitu struktur, kewajiban, imbalan, keakraban, dukungan, identitas organisasi dan loyalitas, dan risiko
(Luissier, 2005). Indikator tersebut dapat digunakan dalam melihat perilaku perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan (Siahaan, 2005). Lebih jauh lagi, terdapat bukti empiris bahwa fasilitas perusahaan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak badan dan bukti tersebut juga telah diteliti lebih lanjut oleh Siahaan (2005) (Bradley, 2005). Hasil dari penelitian Siahaan juga memperkuat hasil penelitian Bradley terhadap fasilitas perusahaan. Perlu ditumbuhkan terus menerus kesadaran dan kepatuhan masyarakat untuk mencapai target pajak. Hal ini untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan, maka perlu secara intensif dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pajak, khususnya wajib pajak badan. Penelitian mengenai kepatuhan pajak sudah banyak dilakukan. Bradley (1994), Siahaan (2005), dan Mustikasari (2007) melakukan penelitian kepatuhan wajib pajak badan dengan responden tax professional. Penelitian tersebut bukan merupakan penelitian perilaku. Tax professional adalah profesional di perusahaan yang ahli di bidang perpajakan. Oleh karena itu, untuk menjelaskan perilaku wajib pajak badan yang diwakili oleh tax professional perlu menggunakan teori perilaku individu dan perilaku organisasi. Perilaku kepatuhan (compliance) atau tidak patuh (noncompliance) wajib pajak sangat dipengaruhi oleh variabel persepsi kontrol perilaku (Blanthorne, 2000, Bobek, 2003). Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian tentang kepatuhan wajib pajak badan adalah (1) mengetahui pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat tax professional untuk berperilaku patuh, (2) mengetahui persepsi kontrol perilaku berpengaruh langsung terhadap kepatuhan (3) mengetahui pengaruh niat tax professional terhadap kepatuhan, (4) mengetahui pengaruh persepsi kondisi keuangan perusahaan terhadap kepatuhan, (5) mengetahui pengaruh persepsi kondisi fasilitas perusahaan terhadap kepatuhan, dan (6) mengetahui pengaruh persepsi kondisi iklim organisasi terhadap kepatuhan METODE PENELITIAN Berdasarkan pemikiran dan tinjauan literatur serta penelitian-penelitian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis pengaruh perilaku tax profesional dan kondisi organisasi/perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan. Model yang dibangun dalam studi ini melibatkan enam variabel laten, yaitu persepsi kontrol perilaku untuk berperilaku patuh; persepsi kondisi keuangan; persepsi fasilitas perusahaan; persepsi iklim organisasi; niat tax professional dan; kepatuhan pajak badan. Berdasarkan hipotesis penelitian maka predicted sign dapat dilihat dalam gambar 1, sedangkan model penelitian dilihat
HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN
pada gambar 2. Penelitian ini akan menguji hipotesis pengaruh perilaku individu dan kondisi organisasi atau perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan. Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan menggunakan analisis untuk mendapatkan gambaran pengaruh perilaku individu dan kondisi organisasi atau perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Structural Equation Model (SEM) dengan perangkat lunak yang disebut Linear Structural Relationship (LISREL). Peneliti menggunakan SEM karena ada salah satu variabel laten endogen yang berfungsi sebagai variabel dependen dan berfungsi juga sebagai variabel independen untuk varaibel laten lainnya serta pengujiannya dilakukan secara simultan dan bersamaan sehingga tidak bisa menggunakan analisis multiple regresi. Selain itu, penggunaan SEM untuk menggambarkan model alternatif dan menguji kecocokan model serta hipotesis model berdasarkan data sampel. Populasi penelitian ini adalah perusahaan besar yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar karena pada umumnya perusahaan besar memiliki sistem informasi akuntansi formal (Bouwens dan Abernethy, 2000; Siahaan, 2005) memungkinkan tax professional untuk menyusun pelaporan pajak badannya. Lokasi penelitian adalah kantor pajak pertama yang menerapkan administrasi perpajakan modern berdasarkan sistem teknologi informasi untuk meningkatkan pelayanan, kepatuhan, dan penerimaan negara. Data-data yang diperoleh dari survei lapangan dianalisis dengan menggunakan model Structural Equation Modeling (SEM). Oleh karena itu, ukuran sampel yang sesuai jika menggunakan teknik Maximum Likelihood Estimation dalam pemodelan ini antara 100–150 sampel (Ferdinand, 2002). Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratied random sampling yaitu pengambilan sampel perusahaan besar. Populasinya adalah seluruh wajib pajak badan kantor pelayanan pajak (KPP) Wajib Pajak Besar. Kuesioner dikirimkan ke perusahaan melalui Account Representative yang terdapat di KPP tersebut untuk selanjutnya dikirimkan kepada wajib pajak. Responden yang dijadikan sasaran adalah ahli pajak atau staf pajak atau yang lebih dikenal dengan sebutan tax professional yang bekerja pada perusahaan tersebut dengan kriteria perusahaan telah terdaftar minimal dua tahun, dan pernah mengisi SPT. Persyaratan tersebut dibuat agar sampel yang diambil dapat obyektif dalam mengukur kepatuhan pajak. Adapun kriteria wajib pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003, adalah wajib pajak patuh yang memenuhi semua syarat sebagai berikut. (a) Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan tahunan dalam dua tahun terakhir; (b) dalam tahun terakhir, penyampaian SPT Masa yang
99
terlambat tidak lebih dari tiga masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; (c) SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya; (d) tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dan tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk dua masa pajak terakhir; dan (e) tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir. Pada penelitian ini, variabel perilaku yang diteliti menggunakan kerangka Theory of Planned Behavior (TPB), untuk menggali keyakinan-keyakinan perilaku (behavioral beliefs), dan keyakinan-keyakinan kendali (control beliefs) responden, yang mendorong wajib pajak berperilaku patuh dan tidak patuh. Variabel teramati merupakan variabel yang dapat diamati atau diukur secara empiris, sering pula disebut sebagai indikator (Wijanto, 2006). Pada penelitian ini setiap pertanyaan yang ada dalam kuesioner mewakili sebuah variabel teramati. Semua jawaban atas butirbutir pertanyaan akan diukur dalam skala likert 7 point. Penggunaan skala likert 7 points telah digunakan oleh Siahaan (2005) dan Mustika (2007). Untuk melihat klasikasi variabel laten dan variabel indikator dalam penelitian ini dapat dilihat papada tabel 3. Data yang terkumpul melalui daftar kuesioner yang telah diisi oleh responden dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan alat aplikasi program yang disebut LISREL. Model yang akan dianalisis dengan SEM harus memiliki kerangka teori yang mendukungnya, yaitu teori tax compliance dengan pendekatan teori perilaku individu dan teori perilaku organisasi. Kontrol keperilakuan dalam kerangka konsep dan teori sudah dipaparkan memberikan pengaruh yang kuat dalam niat perilaku individu, sementara teori tax compliance yang menyatakan bahwa kepatuhan perpajakan dipengaruhi oleh kontrol keperilakuan, niat, kondisi dan perilaku organisasi seperti struktur, rewards, punishment, teknologi informasi, perpustakaan. Korelasi antarvariabel merupakan alat ukur yang utama dalam SEM dengan menggunakan faktor-faktor utama tipe skala pengukuran: rentang nilai (range of values) yang homogen, timpang atau kurtosis, linear, jumlah sampel yang cukup (mewakili dan tepat), signikan, dan kuat (Schumacker dan Lomax, 1996). Skala pengukuran yang digunakan dapat memakai skala nominal, ordinal, interval, atau rasio, akan tetapi tidak direkomendasikan untuk menggunakan skala yang berbeda dalam matriks korelasi. Korelasi pe arson produc t -mome nt digunakan sebagai dasar analisis regresi, path, analisis faktor, dan structural equation modeling. Mengukur nilai variabel digunakan skala numerical (1-7 atau 1-9) sehingga
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 96-104
100
Tabel 3. Klasikasi Variabel Laten dan Variabel Indikator
No
Variabel
1 2
Niat tax professional berperilaku patuh (Y1) Kepatuhan pajak badan (Y2)
3
Persepsi kontrol perilaku (X1)
4
Persepsi tentang kondisi keuangan (X2) Persepsi tentang fasilitas perusahaan (X3)
5
6
Persepsi tentang Iklim Organisasi (X4)
Variabel Indikator 1. Kecenderungan pribadi untuk melakukan kepatuhan pajak 2. Keputusan pribadi untuk melakukan kepatuhan pajak 1. Kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance) 2. Kepatuhan pembayaran (payment compliance) 3. Kepatuhan pelaporan (reporting compliance) 1. Kemungkinan diperiksa pihak fiskus 2. Kemungkinan dikenai sanksi 3. Kemungkinan pelaporan oleh pihak ketiga 1. Kondisi arus kas tahun terakhir 2. Laba sebelum pajak tahun terakhir 1. Kecukupan tax professional perusahaan 2. Perpustakaan 3. Sistem informasi 1. Struktur 2. Imbalan (reward) dan hukuman ( punishment) 3. Dukungan atasan 4. Dukungan sesama (keakraban) 4. Risiko 6. Kewajiban
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008 Tabel 4. Uji Kecocokan pada Beberapa Kriteria Goodness of Fit Index
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008
mendapatkan pengukuran interval atau rasio (Schumacker dan Lomax, 1996). Skala pengukuran yang sama akan sangat membantu dan memudahkan interpretasi hasil dan perbandingan variabel. Kerangka teori yang digunakan akan sangat menentukan dalam menginterpretasikan korelasi antar variabel. Bisa saja didapatkan korelasi antar variabel yang kuat, akan tetapi hubungan antar variabel tersebut tidak bermakna sama sekali. Hubungan antar variabel yang digunakan sebagai dasar sebuah model berasal dari kerangka teori yang jelas dan masuk akal, serta telah menjadi kesepakatan di antara pakar dalam disiplin ilmu tersebut. Model yang akan diuji dalam penelitian ini adalah pengaruh persepsi kontrol perilaku, niat, kondisi keuangan, iklim organisasi, dan perilaku organisasi terhadap kepatuhan pajak. Pengujian model menggunakan structural equation modeling (SEM), yang akan mengestimasi model hubungan antara variabel independen terhadap variabel dependen. Prosedur SEM dilakukan dengan langkah-langkah (1) spesikasi model; (2) identikasi; (3) estimasi; (4) uji kecocokan; dan (5) respesikasi (Bollen dan Long, tt; Wijanto, 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Structural Equation Modeling Berdasarkan output analisis SEM diperoleh nilai-
nilai yang digunakan sebagai acuan dalam pengujian model secara keseluruhan. Pengujian kesesuaian keseluruhan model berdasarkan daftar ukuran goodness of t yang dikompilasi dari Hair dkk. (1995), Chin dan Todd (1985), Doll, Xia, dan Tordadeh (1994), Joreskog dan Sorbon (1993), dan Byrne (1998) dalam Wijanto (2006). Berdasarkan tabel 4 maka dapat disimpulkan bahwa keseluruhan nilai memenuhi model t. Semua variabel memenuhi kriteria dan derajat kesesuaian model pengukuran adalah baik (good-t). Jadi, dapat disimpulkan bahwa model isi secara keseluruhan memiliki kecocokan yang tinggi di antara semua variabel laten dan semua variabel teramati ( lihat tabel 4). Kecocokan model dengan tingkat kecocokan yang baik. Diperoleh nilai P-Value sebesar 0,08737 yang berada di atas nilai minimal yang disyaratkan yaitu sebesar 0,050. Nilai P-Value ini mendukung kecocokan, sementara itu kecocokan model ini juga didukung oleh nilai GFI yang disyaratkan mendekati 1. Nilai GFI diperoleh sebesar 0,96. Nilai RMSEA sebesar 0.037 menunjukan model yang baik karena lebih kecil di 0,050. Nilai NNFI sebesar 0.96 (bernilai lebih besar di 0.90) menunjukkan model baik (good t). Semakin tinggi nilai NNFI atau nilainya mendekati (1), maka semakin baik model. Berdasarkan pada nilai-nilai koesien, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum, model yang diperoleh memiliki tingkat
HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN
Gambar 3. Gambar T-Value dari Persamaan Model Struktural Sumber: Hasil pengolahan penelitian dengan program Lisrel versi 8,54
101
Gambar 4. Gambar Standarized Solution untuk Model Persamaan Struktural Sumber: Hasil pengolahan penelitian dengan program Lisrel versi 8,54
kecocokan yang baik. B. Pengujian Jalur Individual–Measurement Model Setelah dilakukan pengujian secara keseluruhan, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian sesecara individual, yaitu untuk melihat apakah seluruh jalur yang dihipotesiskan memiliki tingkat signikansi yang tinggi atau tidak. Untuk mengetahui apakah masing-masing jalur memiliki tingkat signikansi yang tinggi atau tidak dilakukan dengan melihat nilai t-hitung yang diperoleh. Sebuah jalur dikatakan signikan jika nilai t-hitung untuk jalur tersebut lebih besar dari 1,96 (lihat gambar 3, berisikan nilai-nilai T-Value dan Standardized Solution untuk seluruh koesien jalur). Dari gambar 4 terlihat bahwa seluruh jalur dari model pengukuran memiliki nilai t-hitung yang lebih besar dari 1,96 dan dapat disimpulkan bahwa seluruh koesien jalur model pengukuran tersebut signikan. Rangkuman hasil P-values dan standarized solution pada hasil output LISREL 8.54 dapat dilihat pada tabel 4. Dari gambar dan tabel sebelumnya terlihat bahwa seluruh jalur yang dihipotesiskan memiliki t-hitung lebih besar dari 1.96 dan p-value di bawah 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh koesien jalur tersebut signikan. C. Pengujian Jalur Individual – Structural Model Untuk pengujian jalur individual masing-masing variabel dapat dilihat dari nilai T-Value masing-masing variabel. Nilai T-Value masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel 5. Pengujian persepsi kontrol perilaku terhadap kepatuhan pajak menghasilkan variabel persepsi kontrol perilaku tidak signikan mempengaruhi kepatuhan. Ini
ditunjukkan oleh nilai signikansi P-value 0.184 lebih besar dari alpha 0.05 dan lebih kecil nilai nilai T-Value yaitu 1.33 dari pada T-tabel 1.96. Koesien jalur dan besaran pengaruh dari variabel laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.14 (0.0196). Karena memiliki T-value yang lebih kecil dari T-tabel, maka nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang diukur sertakan dalam model, variable persepsi kontrol perilaku tidak memiliki pengaruh yang signikan dalam pembentukan kepatuhan (compliance). Tidak sinikannya pengaruh langsung persepsi kontrol perilaku terhadap kepatuhan (compliance) dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang disimpulkan sama oleh Bobek dan Hateld (2003) dan Blanthorne (2000). Variabel persepsi kontrol perilaku bisa membuktikan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap kepatuhan (Bobek dan Hateld, 2003, Blanthorne, 2000. Sedangkan peneliti lain membuktikan bahwa persepsi kontrol perilaku berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pajak badan (Mustikasari, 2007). Tidak signikannya hasil penelitian terhadap variabel persepsi kontrol perilaku mempengaruhi kepatuhan berarti bahwa persepsi kontrol tax professional atas kontrol yang dimilikinya tidak mampu mendorong badan untuk berperilaku patuh. Semakin rendah persepsi atas kontrol yang dimiliki tax professional, maka akan mendorong perilaku tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan badan yang diwakilinya. Pengujian persepsi kontrol perilaku terhadap niat tax professional menghasilkan variabel persepsi kontrol perilaku signikan mempengaruhi niat untuk berperilaku patuh. Ini ditunjukkan oleh nilai signikansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 3.84 dan
102
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 96-104
Tabel 5. Faktor Muatan (Loading Factor) dan Nilai t Hasil Perhitungan Variabel
KONTROL PERILAKU KONDISI KEUANGAN KONDISI FASILITAS KONDISI IKLIM ORGANISASI NIAT
KEPATUHAN
Indikator
Faktor Muatan
T-Value
P-Value
Sikap WP Diperiksa Sikap WP Dikenai Sanksi Sikap WP Dilaporkan Pihak Ketiga Sikap Perusahaan Diperiksa Sikap Perusahaan Dikenai Sanksi Sikap perusahaan Dilaporkan Pihak Ketiga Arus Kas Laba Sebelum Pajak Jumlah Tax Profesional Perpustakaan Sistem Informasi Wewenang Reward Dukungan dari atasan Dukungan sesame rekan Resiko pribadi Resiko perusahaan Cenderung Memutuskan Denda SPT Masa Denda SPT Tahunan Bunga Keterlambatan Bunga Kekurangan Akuntan yang tdk masalah Wajar Tanpa Pengecualian Koreksi Fiskal Tindak Pidana
0.84 0.83 0.74 0.86 0.85 0.72 0.95 0.99 0.87 0.89 0.88 0.77 0.76 0.85 0.73 0.84 0.81 0.85 1.06 0.85 0.91 0.77 0.87 0.85 0.87 0.84 0.85
10.76 10.25 8.72 10.64 10.81 8.42 12.79 13.86 11.06 11.33 11.11 8.98 8.91 10.54 8.40 10.36 9.74 -----9.36 -----12.89 9.75 11.92 10.67 12.08 8.88 11.31
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 ----0,000 -----0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel 2003 Tabel 6. T-Value dan Signikansi
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel 2003
P-Value-nya sebesar 0.000 masih lebih kecil dari alpha 0.05 Koesien jalur dan besaran pengaruh dari variabel laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.41 (0.1681). Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang diikut sertakan dalam model, persepsi kontrol perilaku memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan niat untuk berperilaku patuh. Adanya pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat dalam penelitian ini ternayata juga disimpulkan sama oleh Bobek dan Hateld (2003) dan Hanno dan Violette (1996). Variabel persepsi kontrol prilaku berpengaruh positif terhadap niat (Bobek dan Hateld, 2003, Hanno dan Violette, 1996). Pengujian niat tax profesional terhadap kepatuhan pajak menghasilkan variabel kepatuhan dipengaruhi secara signikan oleh variabel niat. Ini ditunjukkan oleh
nilai signikansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 2,99 dan nilai P-Value-nya sebesar 0.003 masih lebih kecil dari alpha 0.05. Koesien jalur dan besaran pengaruh dari variabel laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.116 (0.0256). Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang diukur sertakan dalam model, variabel niat memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan kepatuhan. Adanya pengaruh niat terhadap kepatuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh Bobek dan Hateld (2003) dan Hanno dan Violette (1996). Keempat peneliti tersebut membuktikan bahwa variabel niat berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan. Niat yang diwakili oleh kecenderungan dan keputusan berarti bahwa niat seseorang belum tentu diwujudkan dalam perilakunya. Pengaruh tekanan orang sekitar (perceived social pressure) yang kuat mempengaruhi niat tax professional untuk berperilaku patuh. Pengujian kondisi keuangan perusahaan menghasilkan variabel kepatuhan dipengaruhi secara signikan oleh variabel kondisi keuangan. Ini ditunjukkan oleh nilai signikansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 4.41 dan nilai P-Value-nya sebesar 0.000 masih lebih kecil dari alpha 0.05. Adanya pengaruh kondisi keuangan terhadap kepatuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh Slemrod dan Watts Zimmerman (Siahaan, 2005) dan Bradley (1994). Para peneliti tersebut membuktikan bahwa variable kondisi keuangan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan. Pengujian kondisi fasilitas perusahaan menghasilkan variabel kepatuhan dipengaruhi secara signikan oleh variabel fasilitas perusahaan. Ini ditunjukkan oleh nilai signikansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 5.57 nilai P-Value-nya sebesar 0.050 masih lebih kecil sama dengan dari alpha 0.05. Adanya pengaruh fasilitas perusahaan terhadap kepatuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh Siahaan (2005) dan Bradley (1994). Para peneliti tersebut membuktikan bahwa variabel fasilitas berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan. Pengujian iklim organisasi menghasilkan variabel kepatuhan dipengaruhi secara signikan oleh variabel iklim organisasi. Ini ditunjukkan oleh nilai signikansi yang sama dari 1,96 yaitu 1.96 dan nilai P-Value-nya sebesar 0.000 masih lebih kecil dari alpha 0.05. Adanya pengaruh iklim organisasi terhadap kepatuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh Vardi (2001) dan Lussier (2005). Para peneliti tersebut membuktikan bahwa variabel iklim organisasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan. Nilai pengaruh dari persepsi kontrol perilaku terhadap niat dan persepsi kontrol perilaku, kondisi keuangan perusahaan, kondisi fasilitas perusahaan, dan kondisi iklim perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan hasil pengaruhnya secara keseluruhan
HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN
Tabel 7. Nilai Pengaruh Secara Keseluruhan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel 2003
ditampilkan pada tabel 6. Terlihat dari tabel 7 bahwa pengaruh total terhadap niat adalah sebesar 0,17, sedangkan terhadap kepatuhan pajak badan adalah sebesar 0,75. Angka tersebut menunjukkan bahwa dari empat variabel laten yang diteliti, variabel kondisi keuangan perusahaan, fasilitas perusahaan kondisi perusahaan, dan iklim perusahaan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tax professional untuk patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakan perusahaannya sedangkan variabel persepsi control perilaku tidak dapat mendorong tax professional untuk berperilaku patuh. Variabel kontrol tax professional hanya berpengaruh cukup kecil terhadap niat untuk berperilaku patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya kontrol perilaku, niat, dan kondisi organisasi atau perusahaan serta manfaat patuh terhadap peraturan perpajakan bagi banyak pihak. Bagi organisasi atau perusahaan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi perusahaan sangat berpengaruh terhadap kepatuhan pajak sehingga sangat penting untuk meningkatkan kinerja kondisi perusahaan. Bagi tax profesional niat untuk patuh sangat dipengaruhi oleh kontrol perilaku. Jadi, penting untuk mengetahui dan menjaga kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh terhadap pajak. Terakhir bagi pemerintah, kondisi pelayanan dan teknologi juga mempengaruhi wajib pajak untuk bersikap patuh.
103
kondisi fasilitas perusahaan mempunyai pengaruh positif yang signikan terhadap kepatuhan pajak. Karena itu, jika tax professional berpersepsi bahwa fasilitas yang disediakan perusahaan tinggi atau mencukupi, maka kepatuhan pajak akan tinggi. Kelima, kondisi iklim organisasi mempunyai pengaruh positif yang signikan terhadap kepatuhan pajak sehingga jika persepsi iklim organisasi positif atau baik akan berpengaruh terhadap tingginya kepatuhan pajak, Keenam, niat mempunyai pengaruh yang signikan terhadap kepatuhan pajak. Apabila tax professional memiliki niat kepatuhan pajak tinggi, kepatuhan pajak badan yang dimilikinya tinggi begitu pula sebaliknya. Hal ini memperkuat pendapat Ajzen bahwa niat seseorang diwujudkan dalam perilakunya. Ketujuh, kesimpulan terakhir berkenaan terhadap niat dan kepatuhan ialah apabila tax professional memiliki kontrol perilaku terhadap kepatuhan positif, niat kepatuhan pajaknya tinggi dan pengaruh lingkungan perusahaan yang kuat mempengaruhi tax professional untuk berperilaku patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan yang diwakilinya. DAFTAR PUSTAKA Blanthorne, Cynthia M. 2000. The Role of Opportunity and Beliefs On Tax Evasion: A Structural Equation Analysis. Dissertation. Arizona State University. Bobek, D dan Richard C. Hateld. 2003. An Investigation of Theory of Planned Behavior and the Role of Moral Obligation in Tax Compliance. Behavioral Research in Accounting. Bradley, Cassie Francies. 1994. An Empirical Investigation of Factor Affecting Corporate Tax Compliance Behavior. Dissertation, The University of Alabama, USA. Brown, Robert E. and Mazur Mark J. 2003. IRS’s Comprehensive Approach to Compliance Measurement. National Tax Journal. Vol. 56, Iss.: 3 (September). Ferndinand, Augusty. 2002. Structural Equation Modelling Dalam Penelitian Manajemen. Semarang: Badan Penerbit Universitas
KESIMPULAN
Diponegoro. Fishbein, M. and I Ajzen . 1975. Beleif, Attitude, Intention and
Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, persepsi kontrol perilaku tidak signikan berpengaruh langsung pada kepatuhan pajak. Perihal bahwa persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya tidak sesuai dengan badan yang dilayaninya. Kedua, persepsi kontrol perilaku mempunyai pengaruh positif yang signikan terhadap niat. Berarti semakin tinggi persepsi tax professional atas kontrol yang dimilikinya akan mendorong kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Badan yang dilayani. Ketiga, kondisi keuangan mempunyai pengaruh positif yang signikan terhadap Kepatuhan Pajak. Jadi, jika tax professional mempunyai persepsi bahwa kondisi keuangan perusahaan baik, maka akan mendorong kepatuhan menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan yang diwakilinya. Keempat,
Behavior: An Introduction to Theory and Research. Reading, MA: Addison-Wesley. Gunadi. 2002. Indonesian Taxation; A Reference Guide. Jakarta: Multi Utama Publishing. ———. 2005. Kebijakan Pemeriksaan Pajak Pasca Berlakunya Undang Undang Perpajakan Baru, Berita Pajak. Hanno, D.M. dan G.R. Violette. 1996. An Analysis of Moral and Social Inuences on Taxpayer Behavior. Behavioral Research in Accounting. Husnan, Suad. 1998. Manajemen Keugan Teori dan Penerapan (Keputusan jangka panjang). Buku 1, Edisi 4, Yogyakarta: BPFE. Icek, Ajzen., dan Fishbein, M. 1980. Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior. Prentice-Hall, Englewood Scliffs, NJ. Icek, Ajzen. 1988. Attitudes, Personality, dan Behavior. Dorsey
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 96-104
104
Press, Chicago. Icek, Ajzen. 2005. Attitudes, Personality and Behavior,. (2nd edition), Berkshire, UK: Open University Press-McGraw Hill Education _____. 2002. Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and Methodological Considerations. (September ). _____. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes. Iswahyudi. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak, Berita Pajak . Jakarta Kiryanto. 1999. Pengaruh Penerapan Struktur Pengendaliuan Intern Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam Memenuhi Pajak Penghasilannya. Makalah dalam Simposium Nasional Akuntansi II. Koeswara, E. 1989. Motivasi, Teori dan Penelitiannya. Bandung: Penerbit Angkasa. Lussier, Robert N. 2005. Human Relations In Organization, Irwin, USA.
Climate and Culture. San Francisco: Jossey-Bass. Riyanto, Bambang. 1991. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada. Schumacker, Randall E dan Ricard G Lomax. 1996. A Beginner’s Guideto
Structural Equation Modeling. Lawrence Erlbaum
Associates. New Jersey. Siahaan, Fadjar O.P. 2005. Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Perilaku Kepatuhan Tax Professional dalam Pelaporan Pajak Badan pada Perusahaan Industri Manufaktur di Surabaya. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Tidak Dipublikasikan. Slemrod, J. 1989. Complexity, Compliance Cost, and Tax Evasion. An Agenda for Compliance Research, Vol. 2. Philadelphia: University of Pensylvania Press. Turner Mark and David Hulme. 1997. Governance, Administration and Development : Making the State Work. London: Macmilan Press Ltd.
Mustikasari Elia. 2007. Kajian Empriris Tentang Kepatuhan Wajib
Vardi, N. 2001. Deviant Workplace Behavior and the Organization’s
pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya.
Ethical Climate, Journal of Business and Psychology, Springer
Simposium Nasional Akuntansi X, Universitas Hasanudin Makassar. Nurmantu, Safri. 2007. Faktor- Faktor yang mempengaruhi Pelayanan Perpajakan. Jurnal Ilmu Adminstrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.15, No.1 (Januari). Rahayu, Ning. 2007. Kebijakan Baru Direktorat Jenderal Pajak Dalam Pengajuan Restitusi PPN dan Perencanaan Pajak untuk Menghadapinya. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No.1 (Januari). Reichers, A.E. dan Schneider, B. 1990. Climate and Culture: An Evolution of Constructs. In B. Schneider (Ed.) Organizational
Netherlands. Violette, G. 1989. Effect of Communication Sanctions on Taxpayer Compliance. The Journal of American Taxation Association (Fall). Wijanto, Setyo Hari. 2006. Catatan Kuliah : Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.7. FE UI Pascasarjana Ilmu Manajemen. Jakarta. Yoingco, Angel Q. 1977. Taxation in the Asia Pasicif Region : A Salute to the years of RegionalCooperation in Tax Administration and research. Dalam studi Group in Asian Tax Administrtion & Research.Manila.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 105-115 ISSN 0854-3844
Volume 16, Nomor 2
Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah YUSUF WIBISONO1* Pusat Ekonomi Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
1
Abstract. Building an effective legal and regulatory framework for Islamic banking is imperative. Initiative to enact Islamic banking laws in Indonesia can be regarded in this respect. The objective of this paper is to examine the critical issues in Islamic banking laws. This paper examines and highlights the main features of Islamic banking laws. It is suggested that the main goal of the laws are to enhance Shari’ compliance and promoting stability of the system. Despite the progress achieved through this approach, it is recommended that Islamic banking development needs more efforts and initiatives. This paper also attempts to provide an analysis of future direction in the development of Islamic banking industry in Indonesia. Keywords: regulation and business law, islamic banks
PENDAHULUAN Perkembangan perbankan syariah yang telah mendapat momentum sejak 1970-an, secara umum mengambil dua pola. Pertama, mendirikan bank syariah berdampingan dengan bank konvensional (dual banking system) seperti kasus di Mesir, Malaysia, Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Bahrain, Bangladesh, dan Indonesia. Kedua, merestrukturisasi sistem perbankan secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam (full fledged Islamic financial system) seperti kasus Sudan, Iran, dan Pakistan. Peranan regulasi menjadi titik kritis terpenting dalam kedua kasus tersebut. Seluruh inisiasi awal perbankan syariah dimulai dengan dukungan regulasi yang memadai.1 Di Iran, bank syariah beroperasi setelah UU Perbankan Bebas-Bunga disahkan pada Agustus 1983 dan berlaku pada Maret 1984. Faisal Islamic Bank of Sudan mulai beroperasi sejak 1978 dengan dekrit khusus dan seluruh sistem perbankan Sudan “di-Islamisasi” pada September 1984. Bank Islam Malaysia Berhad beroperasi pada Juli 1983 setelah disahkannya UU Perbankan Islam Nomor 276 pada Maret 1983. Jordan Islamic Bank for Finance and Investment berdiri pada 1978 berdasarkan UU Sementara Khusus Nomor 13 yang kemudian diperkuat oleh UU Permanen Nomor 62 pada 1985. Kemajuan perkembangan industri perbankan syariah selalu dapat ditelusuri dari dukungan regulasi yang diperolehnya. Dan sebaliknya, lambannya perkem-
bangan perbankan syariah hampir selalu berasosiasi dengan minimnya regulasi yang mendukung. Bank syariah pertama di Kuwait, Kuwait Finance House, berdiri pada 1977. Namun hingga kini, Kuwait baru memiliki dua bank syariah dan dua puluh sembilan perusahaan investasi syariah. Minimnya jumlah bank syariah di Kuwait dikarenakan regulasi yang dibutuhkan baru dikeluarkan pada tahun 2003, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2003, sebagai tambahan terhadap Bab 3 UU Nomor 32 Tahun 1968. Praktek perbankan syariah di Indonesia baru dimulai pada tahun 1992 dan stagnan selama hampir 7 tahun sesudahnya, dikarenakan oleh minimnya dukungan regulasi. Perkembangan pesat perbankan syariah di Indonesia saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari dukungan regulasi. Kehadiran bank syariah pertama, Bank Muamalat Indonesia, pada 1992, terjadi berkat dukungan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Perkembangan perbankan syariah secara pesat sejak 1999 juga merupakan hasil dari dukungan regulasi yang memadai yaitu UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diperkuat oleh UU Nomor 3 Tahun 2004. Terhitung sejak 17 Juni 2008, industri perbankan syariah Indonesia secara resmi memasuki era baru. RUU Perbankan Syariah yang telah masuk ke DPR sejak pertengahan 2005 sebagai RUU inisiatif DPR, telah disahkan sehingga Indonesia kini resmi memiliki regulasi perbankan syariah yaitu UU Nomor 21 Tahun
Korespondensi: +62815972 7904;
[email protected],
[email protected] Sebagian besar negara di dunia mengadopsi common law atau civil law sehingga kerangka hukum mereka tidak mendukung perkembangan perbankan syariah yang memiliki karakteristik unik. Sebagai misal, aktivitas utama perbankan syariah adalah jual beli (murabahah) dan penyertaan modal (musyarakah dan mudharabah). Namun hukum dan regulasi perbankan pada umumnya justru melarang bank komersial untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Lihat Habib Ahmed and Tariqullah Khan, “Risk Management in Islamic Banking”, in M. Kabbir Hasan and Mervyn K. Lewis (Eds.). Handbook of Islamic Banking. Cheltenham: Edward Elgar, 2007, hal. 146. * 1
106
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115
2008 tentang Perbankan Syariah. UU PS sebagai regulasi terhadap perbankan syariah, memiliki banyak argumentasi. Rasionalitas utama adalah pertimbangan sistemik, kegagalan sebuah bank akan berimplikasi luas pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomi secara keseluruhan. UU PS juga menjadi penting untuk melindungi konsumen/nasabah. Bank harus menjaga risiko dengan bersikap rasional dan hati-hati dalam keputusan investasi, menghindari mis-manajemen, dan tidak mengambil tindakan yang berisiko tinggi. UU PS juga diharapkan dapat menjamin kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya. Dan terakhir, UU PS ini diharapkan dapat memuluskan langkah perbankan syariah nasional di pasar antarbank internasional. Perbankan syariah nasional dituntut untuk menerapkan standar regulasi perbankan internasional untuk berkiprah di tingkat internasional. Namun regulasi yang terlalu ketat dan komprehensif, dapat menjadi bumerang. Regulasi yang berlebihan dapat meningkatkan biaya kepatuhan serta menghambat inovasi dan kreativitas. Trade-off antara stabilitas dan efisiensi harus mendapat perhatian yang memadai. Hal ini mengingat bahwa industri perbankan syariah masih kecil dan sangat membutuhkan pertumbuhan yang signifikan. PEMBAHASAN A. Kerangka Regulasi Perbankan Syariah Indonesia Jejak rekam regulasi terhadap perbankan syariah nasional selama ini sudah positif. Tonggak sejarah penting dari kerangka regulasi perbankan syariah dimulai pada tahun 1990 dengan diselenggarakannya simposium MUI yang menyepakati pendirian bank syariah di Indonesia. Simposium MUI ini mendorong lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memperkenalkan “bank bagi hasil”. Dengan aturan pelaksana PP Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, maka lahirlah bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia di tahun 1992. Eksperimen dual banking system di Indonesia berpuncak di tahun 1998 dengan lahirnya UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 yang mengizinkan perbankan konvensional untuk membuka unit usaha syariah. Regulasi baru ini memicu ekspansi industri perbankan syariah nasional secara signifikan setelah mengalami stagnasi selama lebih dari 7 tahun dan sekaligus secara resmi menandai penerimaan Bank Indonesia terhadap eksistensi bank syariah dalam dual banking system. UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) menegaskan tanggung jawab bank sentral atas regulasi dan supervisi sistem perbankan nasional termasuk bank syariah dan BPR syariah. Melalui UU ini,
bank sentral juga mendapat kewenangan untuk melakukan pengelolaan moneter berbasis syariah. Tugas pokok tersebut mempertegas bahwa BI berkewajiban mengembangkan bank syariah dengan menyusun ketentuan dan menyiapkan infrastruktur yang sesuai dengan karakteristik bank syariah. Dukungan undang-undang inilah yang kemudian melahirkan Biro Perbankan Syariah di BI pada tahun 2001 yang kemudian pada tahun 2004 ditingkatkan statusnya menjadi Direktorat Perbankan Syariah. Berbekal otoritas ini pula, BI memperkenalkan instrumen moneter syariah pertama yaitu Sertifikat Wadiah BI (SWBI) di tahun 1999. Di tahun 2000, BI bergerak maju dengan memperkenalkan Pasar Uang Antar-bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS). Peran BI ini semakin diperkuat dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999. Di tahun 2002, BI memperbaiki aturan tentang unit usaha syariah melalui PBI Nomor 4/1/PBI Tahun 2002 yang mengatur tentang: [1] konversi bank konvensional menjadi bank syariah; [2] konversi cabang konvensional menjadi cabang syariah; [3] konversi kantor kas konvensional menjadi cabang syariah; [4] pembukaan sub-cabang syariah di cabang konvensional; dan [5] pembukaan unit syariah di cabang konvensional. Di bulan Maret 2006, BI meluncurkan kebijakan syariah office channeling (layanan syariah) melalui PBI Nomor 8/3/PBI Tahun 2006, yaitu mekanisme kerjasama penghimpunan dana antara kantor cabang syariah sebagai bank induk dengan kantor cabang konvensional bank yang sama. Ketentuan ini kemudian disempurnakan melalui PBI Nomor 9/7/PBI Tahun 2007, ketentuan pembukaan office channeling diperlonggar dan fungsinya diperluas dimana semula hanya menghimpun dana menjadi dapat melakukan pembiayaan dan pelayanan jasa keuangan. Ketentuan office channeling ini secara efektif memperluas jaringan pelayanan dan menaikkan aset perbankan syariah. Sampai dengan bulan Desember 2008, jumlah jaringan office channeling lebih dari 1.400 outlet dengan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun telah menembus Rp1 triliun. Melalui berbagai dukungan regulasi inilah, industri perbankan syariah tumbuh pesat. Di tahun 1992, hanya terdapat 1 bank umum syariah (BUS) yaitu Bank Muamalat Indonesia dan 9 BPR Syariah (BPRS). Di tahun 1999, berdiri BUS kedua yaitu Bank Syariah Mandiri dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang pertama yaitu UUS Bank IFI, dan jumlah BPRS melonjak mencapai 78. Di tahun 2004, berdiri BUS ketiga yaitu Bank Syariah Mega Indonesia dan jumlah UUS dan BPRS melonjak berturut-turut menjadi 15 dan 86. Dan kini, per Desember 2008, terdapat 5 BUS, 27 UUS, dan 131 BPRS dengan total jaringan kantor BUS, UUS, dan BPRS mencapai 951 kantor. Pada November 2008 berdiri BUS keempat yaitu Bank
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
Syariah BRI dan pada Desember 2008 berdiri BUS kelima yaitu Bank Syariah Bukopin. Per Desember 2008, aset perbankan syariah telah mencapai Rp 49,55 trilyun. Per November 2008, aset perbankan syariah ini telah mencapai 2,05% dari total aset perbankan nasional, sedangkan aset BPRS mencapai 4,8% dari total aset BPR nasional. Selain UU tentang Perbankan dan Bank Sentral, terdapat beberapa perundang-undangan yang terkait industri perbankan syariah antara lain UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia serta beberapa regulasi yang sedang dipersiapkan seperti RUU Pembiayaan (leasing), RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan, dan RUU PPN. B. Rasionalitas Undang-Undang Perbankan Syariah Rasionalitas utama dari regulasi terhadap perbankan adalah alasan sistemik, begitupun halnya dengan perbankan syariah. Regulasi terhadap perbankan syariah sangat dibutuhkan sebagaimana halnya terhadap perbankan konvensional untuk beberapa alasan (Errico dan Farahbaskh,1998; Chapra dan Khan, 2000): [1] risiko kebangkrutan perbankan syariah tidak bisa diabaikan, terutama ketika operasi bank dijalankan ber-dasarkan skema two-tier mudharabah dimana sisi aset dan kewajiban dari neraca bank secara penuh diintegrasikan3; [2] risiko kerugian ekonomi sebagai hasil dari buruknya keputusan investasi, yang bisa dikarenakan oleh kombinasi berbagai faktor seperti lingkungan usaha yang rentan, lemahnya tata kelola internal dan rendahnya disiplin pasar; [3] bank yang lemah akan menurunkan kinerja makroekonomi seperti efisiensi sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter khususnya kebijakan yang diimplementasikan melalui instrumen tidak langsung, serta dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap sistem finansial secara keseluruhan; dan [4] sistem perbankan yang lemah akan menghalangi perekonomian untuk mendapat manfaat dari globalisasi dan liberalisasi pasar finansial domestik.
107
Secara umum, kerangka regulasi untuk perbankan adalah penting untuk memberi lingkungan yang baik untuk pertumbuhan dan pengembangan industri serta stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan. Hal ini sangat relevan untuk perbankan syariah dimana terdapat beragam jenis investasi yang rumit dan harus mematuhi ketentuan syariah dan dengan inovasi yang terus berlanjut beserta implikasi risiko yang terkandung didalamnya. Ketersediaan regulasi yang sesuai akan berkontribusi pada perbaikan pembinaan dan pengawasan, peningkatan efektivitas kebijakan moneter dan kredit, serta stabilitas dan jaring pengaman sistem. Kerangka regulasi untuk perbankan syariah harus mengakomodasi karakter dasar perbankan syariah dengan pada saat yang sama mengatur isu-isu yang umum bagi semua lembaga intermediasi keuangan seperti manajemen kontrak, kepailitan, jaminan, dan pemulihan aset. Regulasi perbankan syariah juga harus memberi definisi yang tegas tentang lembaga bank syariah sejalan dengan persyaratan perizinan, permodalan, cakupan aktivitas, dan hubungannya dengan otoritas regulator. Regulasi perbankan syariah juga harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan mengelola risiko yang inheren di dalam aktivitas perbankan syariah. Regulasi untuk perbankan syariah adalah tantangan bagi otoritas agar dapat memahami dan menyeimbangkan antara pengawasan yang efektif dan memfasilitasi industri untuk pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, regulasi adalah keperluan industri untuk level playing field, infrastruktur yang efektif, berfungsi-nya pasar dan penetrasi ke pasar global. Regulasi untuk perbankan syariah adalah tantangan bagi otoritas agar dapat memahami dan menyeimbangkan antara pengawasan yang efektif dan memfasilitasi industri untuk pertumbuhan dan pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, regulasi adalah keperluan industri untuk level playing field, infrastruktur yang efektif, berfungsinya pasar dan penetrasi ke pasar global4. Peranan pemerintah dan otoritas pengawasan bukanlah untuk mendikte industri atau memaksakan aturan, namun untuk memfasilitasi pengembangan perbankan syariah dengan menciptakan lingkungan usaha yang kompetitif dan sehat. Tujuan dari setiap usaha regulasi
Secara teoritis, terdapat dua jenis sistem operasi perbankan syariah: [i] Two-tier mudharabah: di sisi kewajiban, dana masuk dengan kontrak mudharabah, dan di sisi aset, bank menyalurkan dana juga dengan kontrak mudharabah. Sebagai tambahan, bank juga diizinkan menerima demand deposits yang tidak menerima return dan bank berhak mengenakan biaya. Dengan skema ini, tidak ada reserve requirement yang dibutuhkan; [ii] two windows: sisi kewajiban bank terbagi dua jenis yaitu rekening giro dan rekening investasi. Dengan skema ini, 100% reserve requirement diterapkan untuk demand deposit, dan tidak ada reserve requirement untuk rekening investasi. Namun dalam prakteknya hal ini sulit dilakukan. IFSB (Islamic Financial Services Board) menetapkan ketentuan kecukupan modal untuk perbankan syariah adalah 8% dari total modal. 4 Meski demikian, perbankan syariah masih tetap menghadapi legal risk terutama lintas wilayah yurisdiksi yang berasal dari interaksi antara hukum komersial dan syariah. Jika terdapat konflik antara ke-duanya, terdapat peluang bagi pihak yang mengalami gagal bayar untuk menghindari tanggungjawab dengan cara tidak patuh terhadap syariah. Hal ini terjadi di pengadilan Inggris antara Shamil Bank of Bahrain E.C. dan Beximco Pharmaceuticals Ltd and Others. Lihat Yusuf Talal DeLorenzo and Michael J.T. McMillen. “Law and Islamic Finance: An Interactive Analysis”, in Simon Archer and Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds.). Islamic Finance: The Regulatory Challenge. Singapore: John 3
108
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115
adalah untuk mempertahankan kepercayaan terhadap sistem perbankan secara keseluruhan, melindungi konsumen, dan mendorong kesadaran publik. Regulasi juga harus memberi kerangka untuk kebijakan, standar, kontrol, dan instrumen pengawasan yang baik dan efektif, sesuai dengan syariah dan standar internasional.5 Kerangka pengawasan bank konvensional dapat dijadikan benchmark, dalam hal ini, seperti ketentuan tentang kecukupan modal, pengelolaan likuiditas, tata kelola perusahaan, transparansi, disclosure, disiplin pasar, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen. Kontribusi benchmarking sendiri dapat dimanifestasikan melalui pengkajian ulang secara fundamental kualitas pelayanan menurut standar nilai terbaik (Saragih, 2006). Terkait hal ini, kerangka regulasi yang ditujukan pada perbankan konvensional sering dijadikan rujukan seperti kerangka regulasi dari Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)6. Sebagai bagian integral dari proses regulasi, perbankan syariah adalah pengembangan infrastruktur pasar keuangan syariah untuk menjamin keberlanjutan dan berfungsinya perbankan syariah. Fokus dari usaha ini adalah dengan membangun instrumen syariah yang efektif untuk memfasilitasi pengelolaan dana perbankan syariah di pasar modal. Keberadaan industri penunjang, seperti perusahaan sekuritas dan asuransi, juga penting untuk mendukung pengembangan perbankan syariah. Pada kasus Indonesia, kehadiran UU Perbankan Syariah akan menjadi legitimasi paling akurat untuk berjalannya praktik perbankan syariah. Selain itu, kehadiran UU Perbankan Syariah juga akan menjadi daya dorong kepada pemerintah pusat dan daerah serta pihak-pihak lain untuk melaksanakan sistem ekonomi dan perbankan syariah. Tanpa undang-undang, sosialisasi dan pengembangan perbankan syariah dinilai akan kurang efektif. Kehadiran UU Perbankan Syariah di Indonesia seharusnya tidak hanya sebagai kekuatan akselerator bagi industri perbankan syariah yang sedang tumbuh cepat, namun juga sebagai kekuatan transformatif bagi industri perbankan nasional secara keseluruhan agar lebih berorientasi kepada sektor riil dan beroperasi
sesuai syariah sehingga mendorong terciptanya perekonomian yang sehat dan kuat. Keberadaan UU Perbankan Syariah diharapkan tidak hanya sekedar mempercepat perkembangan syariah sebagai alternatif, namun lebih dari itu menjadikan perbankan syariah sebagai solusi bagi perekonomian yang kuat dan dinamis7. Regulasi terhadap perbankan syariah di Indonesia harus memperhatikan beberapa hal krusial. Pertama, regulasi harus mampu mendukung kegiatan operasional perbankan syariah yang sehat dan sesuai dengan karakteristik operasionalnya. Kedua, regulasi harus mampu mendorong perkembangan bank syariah di masa depan. Regulasi harus mendukung terciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, termasuk pemain asing dan bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas atau mendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional. Ketiga, regulasi harus mampu memberi landasan dan menjawab ketiadaan institusi-institusi pendukung yang diperlukan bagi industri perbankan syariah, Dewan Syariah Nasional, Badan Arbitrase Syariah Nasional, auditor syariah, lembaga penjamin simpanan dan pembiayaan syariah, peradilan syariah, serta pusat informasi dan data keuangan syariah. Institusi pendukung yang lengkap, efektif, dan efisien berperan penting untuk memastikan stabilitas dan pengembangan perbankan syariah secara keseluruhan. C. Pokok-Pokok Pikiran UU Perbankan Syariah Pembahasan RUU PS membutuhkan waktu yang panjang, terhitung sejak digulirkan pada tahun 2000, masuk ke parlemen pada 2005, dan disahkan pada 17 Juni 2008. Namun yang menarik, pembahasan intensif RUU PS dengan pemerintah sendiri berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama, bahkan pembahasan intensif hanya dilakukan pada bulan-bulan terakhir menjelang 17 Juni 2008. Dari naskah RUU PS April 2008, RUU PS usulan DPR terdiri dari 15 bab dan 75 pasal. Secara umum, pokok-pokok pikiran RUU PS ini dapat di-
Perbankan syariah menghadapi resiko sebagaimana perbankan konvensional sehingga juga membutuhkan pengawasan yang efektif untuk menjamin stabilitas sistem secara keseluruhan. Perbankan syariah menghadapi credit risk lebih besar terkait masalah adverse selection, moral hazard dan costly state verification. Begitupun halnya dengan liquidity risk terkait cash flow yang lebih tidak terprediksi dan keterbatasan instrumen keuangan untuk menutup defisit. Namun perbankan syariah menghadapi inflation risk dan market risk yang lebih rendah karena pada instrumen bagi hasil melekat fungsi indeksasi penuh secara otomatis. Lihat Tarsidin dan Perry Warjiyo. “Perbankan Syariah dan Perbankan Berdasarkan Bunga: Manakah yang Lebih Optimal?”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2006. 6 BCBS pada 2004 mengeluarkan dokumen berjudul International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards: A Revised Framework, dokumen yang dikenal sebagai Basel II, menggantikan Basel I yang dikeluarkan pada 1988. Struktur Basel II terdiri dari tiga ”pilar”, yaitu: (i) ketentuan modal minimum, dengan pendekatan baru terhadap resiko kredit dan resiko operasional; (ii) proses tinjauan pengawasan, dari sudut pandang regulator untuk mempromosikan stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan; dan (iii) disiplin pasar; menguraikan ketentuan pengungkapan publik (disclosure) minimum terkait resiko dan manajemen resiko. 7 Secara teoritis, perbankan syariah dengan sistem bagi hasil memiliki dua karakter utama yaitu cost of fund bank selalu lebih kecil daripada pendapatan operasionalnya dan risk sharing antara nasabah penyimpan dana dan bank terkait resiko aktivitas pembiayaan bank. Dua hal ini sangat penting untuk optimalitas fungsi intermediasi perbankan dan stabilitas sistem keuangan. 5
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
109
Tabel 1. Komparasi Struktur RUU Perbankan Syariah
Sumber: Naskah DIM RUU Perbankan Syariah, April 2008. Tabel 2. Struktur UU Perbankan Syariah BAB I: KETENTUAN UMUM BAB II: ASAS, TUJUAN DAN FUNGSI BAB III: PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR DAN KEPEMILIKAN Bagian Pertama: Perizinan Bagian Kedua: Bentuk Badan Hukum Bagian Ketiga: Anggaran Dasar Bagian Keempat: Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah BAB IV: JENIS, KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA DAN LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS Bagian Pertama: Jenis dan Kegiatan Usaha Bagian Kedua: Kelayakan Penyaluran Dana Bagian Ketiga: Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS BAB V: PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI, DAN TENAGA KERJA ASING Bagian Pertama: Pemegang Saham Pengendali Bagian Kedua: Dewan Komisaris dan Direksi Bagian Ketiga: Dewan Pengawas Syariah Bagian Keempat: Penggunaan Tenaga Kerja Asing BAB VI: TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH Bagian Pertama: Tata Kelola Perbankan Syariah Bagian Kedua: Prinsip Kehati-hatian Bagian Ketiga: Kewajiban Pengelolaan Risiko BAB VII: RAHASIA BANK Bagian Pertama: Cakupan Rahasia Bank Bagian Kedua: Pengecualian Rahasia Bank BAB VIII: PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama: Pengaturan dan Pengawasan Bagian Kedua: Tindak Lanjut Pengawasan BAB IX: PENYELESAIAN SENGKETA BAB X: SANKSI ADMINISTRATIF BAB XI: KETENTUAN PIDANA BAB XII: KETENTUAN PERALIHAN BAB XIII: KETENTUAN PENUTUP Sumber: UU Perbankan Syariah, 17 Juni 2008.
110
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115
pilah ke dalam empat kelompok besar: [1] regulasi terhadap operasional perbankan syariah yang khas seperti jenis dan kegiatan usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah; [2] regulasi terhadap infrastruktur yang dibutuhkan perbankan syariah, seperti pembentukan komite perbankan syariah; [3] regulasi terhadap perbankan syariah sebagai bagian dari sistem perbankan dan keuangan nasional seperti ketentuan perizinan, pemegang saham pengendali, dan kerahasiaan bank; dan [4] regulasi terhadap tata kelola dan disiplin pasar perbankan syariah. Naskah RUU PS April 2008 usulan pemerintah cukup jauh berbeda dengan naskah usulan DPR. Beberapa perubahan penting yang terlihat dari naskah RUU PS usulan pemerintah adalah [1] penghapusan bab VI tentang Komite Perbankan Syariah; [2] perubahan di bab IV tentang ketentuan pelaksanaan prinsip syariah dengan masuknya DSN MUI menggantikan Komite Perbankan Syariah; [3] penghapusan Dewan Pengawas Syariah di bab V bagian kedua dan menjadikannya di bagian baru dengan ketentuan lebih ringkas; [4] penghapusan komisaris yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah; [5] penambahan ketentuan tata kelola yang baik (good governance) dan prinsip akuntansi syariah pada bab VII; [6] penghapusan bab X tentang jaring pengaman sistem perbankan syariah; [7] penghapusan bab XI tentang kewenangan dalam penyidikan tindak pidana di bidang perbankan; dan [8] penambahan satu bab tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah. Selain itu, terdapat berbagai perubahan lainnya dari naskah usulan DPR baik teknis maupun substantif yang tersebar di berbagai tempat. Dengan demikian, naskah RUU PS usulan pemerintah secara umum lebih ramping dibandingkan naskah usulan DPR yaitu terdiri dari 13 bab dan 68 pasal (lihat tabel 1). Yang menarik, UU PS yang disahkan sangat mirip dengan RUU PS usulan pemerintah, baik dari sisi struktur maupun substansi (lihat tabel 2). Dengan kata lain, walau UU PS adalah UU inisiatif DPR, dan telah masuk secara resmi di DPR sejak pertengahan 2005, namun pemerintah ternyata jauh lebih dominan dalam pembahasan RUU yang ternyata berlangsung relatif lancar dan singkat. Secara umum, substansi ketentuan dalam UU PS memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberi keyakinan bagi masyarakat untuk menggunakan produk dan jasa perbankan syariah. Hal ini terlihat dari ketentuan-ketentuan tentang jenis usaha,
ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, larangan bagi bank syariah dan UUS, kerahasiaan bank, serta penyelesaian sengketa. Kedua, menjamin kepatuhan syariah (shari’ah compliance). Hal ini terlihat dari ketentuan kegiatan usaha yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, penegasan kewenangan fatwa syariah oleh MUI, kewajiban pembentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap bank syariah dan UUS, serta pembentukan Komite Pengawas Syariah di Bank Indonesia (BI). Ketiga, menjamin “stabilitas sistem”. Hal ini terlihat dari diadopsi-nya 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision seperti ketentuan tentang pendirian dan kepemilikan, pemegang saham pengendali, tata kelola, prinsip kehati-hatian, kewajiban pengelolaan risiko serta pembinaan dan pengawasan.8 Semangat “stabilitas sistem” ini semakin terlihat jelas dengan adanya ketentuan tentang sanksi administratif dan ketentuan pidana. Beberapa aspek penting lain dalam UU PS nampak sudah berada pada arah yang tepat antara lain, [1] ketentuan bahwa bank konvensional dapat dikonversi menjadi bank syariah dan larangan bank syariah dan BPRS dikonversi menjadi bank konvensional atau BPR; [2] mengizinkan kepemilikan asing secara kemitraan dengan investor domestik; [3] mendorong spin-off UUS menjadi BUS secara smooth yaitu ketika aset UUS telah mencapai 50% dari induknya atau 15 tahun setelah berlakunya UU PS; [4] saat terjadi merger atau konsolidasi bank syariah dengan bank lain, maka bank hasil merger atau konsolidasi harus menjadi bank syariah; [5] dana zakat dan sosial yang dihimpun perbankan syariah harus disalurkan ke organisasi pengelola zakat; [6] bank syariah dapat menghimpun wakaf uang; [7] penegasan dan landasan yang kuat untuk BPR Syariah; dan [8] kewajiban tata kelola yang baik dan penyampaian laporan keuangan berdasarkan prinsip akuntansi syariah. Melihat kecenderungan tersebut, UU PS akan memiliki dampak positif terhadap aspek kepatuhan syariah, iklim investasi dan kepastian usaha, serta perlindungan konsumen, dan stabilitas sektor perbankan secara keseluruhan. Dari sisi supply, hal ini langsung bisa dirasakan dampaknya oleh industri dengan rencana berdirinya sejumlah BUS dan UUS baru, termasuk asing. Dari sisi demand, dibutuhkan waktu lebih panjang untuk melihat dampak UU PS ini seiring proses sosialisasi. D. Evaluasi UU Perbankan Syariah Hasil evaluasi UU Perbankan Syariah menunjukkan terdapat beberapa masalah substantif ekonomi dan
BCBS dalam dokumen berjudul Core Principles for Effective Banking Supervision (1997) menetapkan 25 prinsip-prinsip dasar yang dibutuhkan untuk sistem pengawasan perbankan yang efektif, yaitu: pra-kondisi untuk pengawasan yang efektif (prinsip 1), perizinan dan struktur (prinsip 2-5), regulasi dan persyaratan kehati-hatian (prinsip 6-15), metode pengawasan perbankan yang berkelanjutan (prinsip 1620), persyaratan pengungkapan informasi (prinsip 21), otoritas pengawasan formal (prinsip 22), dan cross-border banking (prinsip 23-25).
8
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
beberapa masalah yuridis-formal. Pada dasarnya agenda terpenting industri perbankan syariah saat ini adalah peningkatan daya tarik dan daya saing untuk membesarkan dirinya. Daya tarik dan daya saing perbankan syariah akan meningkat jika setidaknya empat hal terpenuhi yaitu: [1] ukuran (size) perbankan syariah yang cukup besar sehingga dapat efisien dan kompetitif; [2] variasi produk-produk perbankan syariah yang beragam sesuai kebutuhan bisnis dan masyarakat; [3] terdapatnya jaringan perbankan syariah yang luas; dan [4] adanya pasar modal dan pasar uang syariah yang memiliki produk dan instrumen keuangan syariah yang beragam, kompetitif dan likuid. Sudahkah UU PS bergerak ke arah sana? Dari pembahasan sebelumnya terlihat bahwa semangat utama UU PS adalah semangat kepatuhan syariah (shari’ah compliance) dan stabilitas sistem. Tidak ada yang salah dengan kecenderungan ini. Menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah dan prinsip-prinsip kesehatan bank syariah jelas merupakan hal positif. Permasalahannya adalah UU PS ini sangat minim insentif untuk pengembangan dan peningkatan daya saing perbankan syariah. Belum terlihat upaya serius untuk membesarkan size perbankan syariah dalam UU PS ini. Aturan kepemilikan asing di industri perbankan syariah nasional sudah diakomodasi namun belum memberi insentif yang memadai. Insentif yang memadai bagi bank konvensional yang ingin konversi menjadi BUS atau spin-off UUS menjadi BUS, juga belum mendapat perhatian. Namun memang harus diakui bahwa banyak inisiatif yang dibutuhkan untuk membesarkan size perbankan syariah, berada di luar cakupan UU PS ini seperti netralitas pajak untuk transaksi keuangan syariah, insentif pajak untuk investor syariah, dan instrumen syariah utang pemerintah untuk pengembangan pasar modal syariah. Sementara itu, aturan yang ekstensif tentang kegiatan usaha dan akad syariah yang digunakan, dikhawatirkan akan memasung inovasi dan kreatifitas perbankan syariah. Di tengah kebutuhan yang tinggi untuk produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan masyarakat, tidak seharusnya perbankan syariah terpasung oleh ketentuan yang tidak perlu. Seharusnya yang lebih dibutuhkan disini adalah ketegasan tentang kewenangan DSN untuk product development dan shari’ah approval. DSN seharusnya diperkuat dengan kewenangan dan sumberdaya untuk melakukan riset dan pengembangan, tidak hanya pasif menerima permintaan fatwa dari industri. Wacana DSN dilebur ke dalam Komite Perbankan Syariah dan berada di bawah BI (usulan DPR) yang menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya identitas dan independensi DSN, akhirnya dihilangkan, namun memiliki rasionalitas kuat terkait eratnya kaitan antara fatwa dan regulasi yang berada dibawah otoritas BI. Hal ini kemudian diselesaikan dengan kompromi bahwa kedudukan DSN dan MUI dikukuhkan dan Ko-
111
mite Perbankan Syariah di BI tetap ada namun dengan kewenangan untuk menterjemahkan fatwa MUI ke dalam regulasi BI. Di sisi lain, telah terdapat arah positif untuk pengembangan jaringan perbankan syariah yaitu dengan penegasan ketentuan UUS, ketentuan bank syariah tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional, memfasilitasi spin-off UUS menjadi BUS, dan penegasan kewenangan BI terkait perizinan pembukaan kantor cabang. Di saat yang sama, pengembangan pasar modal syariah ke depan diprediksi akan semakin baik dan cepat pasca dikeluarkannya UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN pada 9 April 2008 yang lalu. Sementara itu, pasar uang syariah semakin kompetitif dengan hadirnya SBI syariah yang memiliki fitur hampir sama dengan SBI konvensional. SBI syariah terbit berdasarkan PBI Nomor 10/11/PBI Tahun 2008 pada 31 Maret 2008, menggantikan SWBI yang memiliki imbal hasil jauh lebih rendah dari SBI konvensional. Namun ke depan, SBI syariah ini sebenarnya tidak diperlukan karena kini, seiring dengan kehadiran UU Surat Berharga Syariah Negara, telah ada sukuk pemerintah. Instrumen moneter syariah secara bertahap harus diarahkan sepenuhnya pada sukuk pemerintah untuk menggantikan SBI syariah. Selain beberapa masalah substantif-ekonomi, UU PS juga masih menyimpan sejumlah masalah yuridisformal. Pertama, terkait ketentuan tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pada Bab IX UU PS tercantum bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, namun dimungkinkan penyelesaian dilakukan di pengadilan umum sepanjang sesuai isi Akad. Ketentuan ini merupakan hasil kompromi dari rancangan awal dimana penyelesaian sengketa dilakukan oleh pengadilan umum. Secara yuridis, ketentuan kompromi ini tetap bermasalah karena secara jelas bertabrakan dengan ketentuan yang telah ada di UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dimana peradilan agama berwenang secara penuh untuk menerima dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Ketentuan ini juga konflik dengan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah memberi legitimasi kompetensi absolut peradilan agama sebagai peradilan yang berwenang menangani perkara-perkara dalam ranah hukum Islam, termasuk didalamnya ekonomi syariah. Secara metodologis, masuknya aturan penyelesaian sengketa dalam UU PS merupakan hal tidak lazim dan berpotensi menyalahi UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penyelesaian sengketa masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman, bukan ranah bisnis sehingga seharusnya tidak masuk dalam UU PS ini. Pengalaman negara-negara lain tentang penyele-
112
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115
saian sengketa perbankan syariah menunjukkan kesimpulan yang ambigu. Di Malaysia, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan umum. Sedangkan di Qatar, sebelum sistem kehakiman digabung pada Oktober 2004, sengketa perbankan syariah diselesaikan oleh pengadilan syariah. Kedua, terkait ketentuan kepemilikan asing dalam sektor perbankan syariah. UU PS menetapkan bahwa BUS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh pihak asing secara kemitraan dengan investor domestik. Sedangkan maksimum kepemilikan asing di BUS ditetapkan oleh BI. Ketentuan ini berpotensi konflik dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menetapkan kebebasan berusaha di semua bidang untuk penanaman modal, baik dalam negeri maupun asing. Bidang usaha yang tertutup atau terbuka dengan persyaratan diatur oleh pemerintah melalui Perpres. Perpres Nomor 77 Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksana UU Nomor 25 Tahun 2007 yang berlaku selama 3 tahun, telah menetapkan bahwa maksimum kepemilikan asing di sektor perbankan syariah adalah 99%. Ketiga, tidak terselesaikannya permasalahan hukum lembaga keuangan mikro syariah (LKMS). LKMS direpresentasikan oleh BPRS, koperasi (KSP, USP, KJKS, UJKS) syariah, dan BMT. BPRS diakomodasi dalam UU PS ini dan kini memiliki dasar hukum yang kuat, namun yang lain tidak terakomodasi. Koperasi syariah belum diakomodasi dalam UU Koperasi disamping koperasi itu sendiri bukan merupakan bentuk badan hukum yang ideal untuk LKMS, sedangkan BMT sama sekali tidak memiliki payung hukum (informal). Akibatnya, sebagian besar BMT memilih badan hukum koperasi. Ketiadaan regulasi yang memadai membuat LKMS informal memiliki banyak kelemahan sebagaimana halnya LKM konvensional yaitu highrisk bagi nasabah deposan, high-cost bagi nasabah peminjam dan tingkat kesehatan usaha yang rendah. Arah kebijakan ke depan, harus ada dukungan regulasi yang memadai untuk mendorong perkembangan LKMS dengan mengakomodasi eksistensi dan segala karakter yang melekat padanya. Langkah terbaik adalah mengatur LKMS dalam UU terpisah mengingat sifat dasar dan karakteristiknya yang berbeda dari perbankan syariah. Namun dalam UU PS seharusnya ada inisiatif untuk mendorong kemajuan LKMS, terutama BMT dan koperasi syariah, melalui insentif bagi BUS/UUS untuk akuisisi LKMS dan menjadikannya sebagai unit mikro dari BUS/UUS. Hal ini secara efektif akan mendorong kemajuan LKMS dengan menghapus permasalahan kesenjangan antara besarnya pembiayaan dengan terbatasnya sumber pendanaan dan meningkatkan tata kelola LKMS. E. Dukungan yang Diharapkan Secara umum, UU PS telah memuat banyak hal penting yang dibutuhkan perbankan syariah untuk
tumbuh dan berkembang. Namun kita membutuhkan lebih banyak lagi dukungan regulasi yang progresif, visioner, dan berbasis pasar. Hal ini menjadi semakin krusial mengingat persaingan global yang semakin sengit. Berbagai negara telah jauh melangkah memberi dukungan regulasi untuk mengembangkan perbankan syariah dan untuk menjadi pusat keuangan syariah global. Salah satu yang paling progresif dan ambisius adalah Malaysia. Sebagai misal, untuk pengembangan pasar sukuk-nya, Malaysia melibatkan berbagai inisiatif yang luas dan ekstensif seperti memfasilitasi proses penerbitan yang efisien, mendorong proses penetapan harga, menciptakan benchmark yield, memperluas basis investor, mempromosikan likuiditas di pasar sekunder, dan memperkuat kerangka hukum, regulasi dan syariah. Inisiatif-inisiatif ini juga didukung dengan pembangunan infrastruktur finansial yang luas termasuk sistem settlement dan sistem informasi sukuk. Untuk menjadikan Malaysia sebagai pusat sukuk global, sejumlah langkah liberalisasi pasar dilakukan untuk mendorong masuknya perusahaan asing guna menjadikan Malaysia sebagai pusat sukuk global. Hal itu dilakukan untuk menghimpun dana di pasar sukuk Malaysia dana yang dihimpun dapat digunakan untuk membiayai investasi di wilayah yurisdiksi lain. Pada tahun 2006, sukuk berdenominasi mata uang asing diizinkan diterbitkan di pasar sukuk Malaysia. Pemerintah Malaysia juga memberikan dukungan berupa netralitas pajak untuk mengakomodasi penerbitan sukuk serta pembebasan pajak untuk pendapatan dari sekuritas syariah yang diterbitkan di Malaysia. Sektor perbankan syariah Malaysia diliberalisasi pada tahun 2004 dengan penerbitan izin untuk institusi keuangan Islam asing untuk mendorong keterkaitan sektor finansial domestik dengan global. Kepemilikan asing di institusi keuangan Islam dinaikkan hingga 49% dari total saham. Izin baru juga diperluas untuk perusahaan yang menjalankan bisnis perbankan syariah, takaful, dan retakaful dalam mata uang internasional untuk institusi ini kepemilikan asing diperbolehkan hingga 100%. Keleluasaan operasional dengan mendirikan kantor cabang atau pembantu, dan fasilitas tax holiday selama 10 tahun berdasarkan UU Pajak Pendapatan Malaysia. Inisiatif yang paling dibutuhkan perbankan syariah kini untuk kasus Indonesia adalah upaya atau insentif dan keberpihakan untuk membesarkan size dan jaringan perbankan syariah dalam rangka mencapai critical mass. Perbankan syariah dengan tercaainya critical mass akan mencapai efisiensi dan menaikkan daya saingnya terhadap perbankan konvensional. Jika hal ini tercapai, maka perbankan syariah dapat menjadi mainstream, tidak lagi sekadar alternatif. Hal yang paling mendasar adalah adanya perlakuan yang adil dan non-diskriminatif terhadap perbankan syariah seperti penghapusan pajak ganda untuk transaksi
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
murabahah yang hingga kini masih harus menunggu pembahasan RUU PPn. Perbankan syariah juga tidak semestinya secara dini dihadapkan pada persaingan dengan pemerintah di pasar penghimpunan dana syariah ritel khususnya melalui sukuk ritel. Sukuk pemerintah semestinya lebih ditujukan untuk investor besar dan luar negeri. Selain itu, perbankan syariah membutuhkan keberpihakan yang nyata seperti pelibatan perbankan syariah dalam pengelolaan dana (cash management) baik pemerintah pusat maupun daerah. Katakan setidaknya 15-20%, pengguliran dana pengembangan ekonomi kerakyatan dengan skim syariah melalui bank syariah, menunjuk bank syariah sebagai bank penghimpun setoran penerima negara (BPSPN), dan bahkan mengkonversi bank BUMN/BUMD konvensional menjadi bank syariah. Liberalisasi perbankan syariah domestik oleh Perpres Nomor 77 Tahun 2007 telah berada di arah yang tepat dilihat dari aspek pengembangan size perbankan syariah. Namun, harus ada upaya agar proses masuknya pemain asing ini selalu melibatkan mitra domestik sebagai mitra strategis yang sejajar dan dengan cara mendirikan bank syariah baru atau membeli bank konvensional yang telah ada dan mengkonversinya menjadi bank syariah, bukan dengan membeli bank syariah yang telah ada. BI diharapkan mampu memberi arahan kebijakan yang tepat disini. Perbankan syariah juga membutuhkan penegasan dalam UU PS ini terkait kewajiban transaksi-transaksi yang terkait syariat Islam dan bernilai ibadah agar dilakukan secara eksklusif hanya oleh perbankan syariah, seperti kewajiban setoran haji melalui perbankan syariah dan hanya menunjuk bank syariah sebagai bank penerima setoran haji, serta kewajiban pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq, dan sadaqah melalui perbankan syariah. Sebagai contoh, UU Nomor 13 Tahun 2008 masih memberi toleransi untuk bank konvensional sebagai bank penerima setoran dana haji sepanjang memiliki unit usaha syariah. Selain itu, perlu ada sosialisasi, dorongan, dan insentif untuk pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga pendidikan Islam, ormas Islam, dan lembaga-lembaga Islam lainnya melalui perbankan syariah. Selain itu, mendorong pengembangan industri perbankan syariah seharusnya juga diikuti secara simultan dengan pengembangan SDM dan riset. Di sini hampir tidak ada perhatian sama sekali dari regulator.
113
Hal yang sangat ironis ketika pertumbuhan industri dipacu namun ketersediaan SDM sangat minim karena memang tidak pernah dipersiapkan. Kecenderungan ini sangat berbahaya karena perbankan syariah adalah industri yang tidak semata market-driven namun juga shari’ah-driven. DSN seharusnya diperkuat dengan sumber daya untuk riset dan pengembangan. Di saat yang sama, kita membutuhkan pendirian institusi setingkat universitas sebagai pusat pendidikan keuangan dan perbankan syariah. Perkembangan industri akan berkelanjutan dengan keberadaan pusat riset dan pendidikan karena ditopang oleh SDM yang mumpuni dan paham syariah. F. Mengembalikan Paradigma Asli Perbankan Syariah Pengalaman terkini di berbagai negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang lebar antara paradigma asli dengan praktek nyata perbankan syariah, antara lain: [1] seluruh dana nasabah secara implisit dan eksplisit dijamin, termasuk dana di rekening investasi; [2] prinsip-prinsip bagi hasil belum diterapkan secara ketat; [3] pembiayaan bank didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil; dan [4] diskresi yang luas dalam ketentuan jaminan, termasuk dalam pembiayaan bagi hasil. Secara umum terlihat bahwa perbankan syariah, alih-alih semakin menuju sistem bagi hasil, kini justru semakin bersandar pada sistem debt-like financing seperti murabahah dan ijarah. Sejumlah faktor berkontribusi dalam pergeseran perbankan syariah dari paradigma aslinya ini, antara lain: [1] kerangka regulasi dan institusional yang tidak kondusif bagi pengembangan perbankan syariah, terutama bagi adopsi sistem bagi-hasil; [2] pembiayaan bagi-hasil memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dan sebaliknya pembiayaan non bagi-hasil lebih rendah risiko-nya dan lebih mudah dikelola; [3] nasabah penyimpan dana telah lama terbiasa dengan pola risk-free deposits dari perbankan konvensional sehingga tidak siap berbagi kerugian; dan [4] pada dual banking system, perbankan syariah harus bersaing juga dengan perbankan konvensional dimana seluruh dana pihak ketiga dijamin.9 Secara teknis, untuk masuk ke pembiayaan bagi hasil, diperlukan banyak persyaratan yang harus dipenuhi perbankan syariah untuk meminimalisir moral hazard, menekan risiko pembiayaan, dan sekaligus menghindari masalah mismatch dana, antara lain: [1]
9 Di ranah teori perbankan konvensional, kini muncul proposal bailing-in banks dimana pemegang saham bank dimungkinkan menanggung kerugian dari kredit. Ketika modal bank tidak mencukupi untuk menutup kerugian yang besar, maka implikasinya bank dimungkinkan gagal sehingga penyimpan dana juga akan menanggung kerugian ketika jaminan penuh tidak tersedia dari lembaga penjamin simpanan. Lihat Chapra and Khan. Op. Cit., hal. 8-9. 10 Lihat Shamim Ahmad Siddiqui. “An Evaluation of Research on Monetary Policy and Stability of the Islamic Economic System”, in the Proceedings of the 7th International Conference on Islamic Economics, Jeddah, April 1-3, 2008, hal. 235-270. 11 Untuk kajian yang mendalam tentang dukungan regulasi yang dibutuhkan untuk mendorong pembiayaan bagi hasil dan menekan pembiayaan debt-like financing di Indonesia, lihat Ascarya dan Diana Yumanita. “Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2005.
114
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 105-115
kemampuan memahami bisnis mudharib dan cara mengawasinya; [2] transparansi usaha mudharib; [3] perlindungan hukum yang kuat ketika terjadi dispute; [4] ketersediaan data rate of return dari setiap sektor usaha untuk penetapan rasio bagi hasil yang fair dan sekaligus untuk menghindari penggunaan suku bunga sebagai benchmarking; dan [5] ketersediaan dana jangka panjang yang siap untuk berbagi risiko dalam investasi di sektor riil. Kita membutuhkan dukungan regulasi dalam jangka panjang untuk mendorong penerapan sistem bagi hasil yang lebih luas. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan untuk mendorong sistem bagi hasil dan menahan laju sistem murabahah antara lain10: [1] perubahan aturan mudharabah yang membuat bank dapat terlibat dalam keputusan bisnis mudharib dan mendapat akses yang memadai tentang semua informasi terkait tingkat keuntungan mudharib; [2] pembentukan pengadilan yang cepat untuk menyelesaikan sengketa antara bank dan mudharib; [3] pembentukan departemen evaluasi mudharib, evaluasi proyek dan monitoring bisnis di setiap bank syariah; dan [4] pembentukan lembaga keuangan khusus di bawah pemerintah yang menangani pembiayaan konsumer barang tahan lama. Dibutuhkan banyak dukungan regulasi untuk mendorong pembiayaan dalam kasus Indonesia antara lain11: [1] mencetak SDM yang memahami bisnis perbankan syariah secara utuh dan mendalam; [2] memastikan kemurnian pembiayaan murabahah, yang disinyalir banyak mengalami penyimpangan dalam praktiknya; [3] memberikan target indikatif pembiayaan murabahah dan memberlakukan margin maksimum pembiayaan murabahah; dan [4] memberikan kelonggaran tingkat kolektibilitas pembiayaan bagi hasil. Aspek lain yang penting diperhatikan adalah adanya jaminan eksplisit terhadap semua simpanan di perbankan syariah. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2004 dinyatakan bahwa penjaminan simpanan juga berlaku bagi perbankan syariah. Dan dalam PP Nomor 39 Tahun 2005 disebutkan bahwa penjaminan ini berlaku baik untuk giro dan tabungan dengan akad wadiah maupun tabungan dan deposito dengan akad mudharabah. Hal ini tidak sesuai dengan paradigma asli perbankan syariah rekening investasi mudharabah tidak dijamin. KESIMPULAN Secara umum, UU PS telah memuat banyak hal penting yang dibutuhkan perbankan syariah untuk tumbuh dan berkembang. Namun kita membutuhkan lebih banyak lagi dukungan regulasi yang progresif, visioner, dan berbasis pasar. Hal ini menjadi semakin krusial mengingat persaingan global yang semakin sengit. Inisiatif yang paling dibutuhkan perbankan syariah kini untuk kasus Indonesia adalah upaya atau insentif dan keberpihakan untuk membesarkan size dan jaringan perbankan syariah dalam rangka mencapai critical
mass. Perbankan syariah dengan tercapainya critical mass akan mencapai efisiensi dan menaikkan daya saingnya terhadap perbankan konvensional. Jika hal ini tercapai, maka perbankan syariah dapat menjadi mainstream, tidak lagi sekadar alternatif. Hal yang paling mendasar adalah adanya perlakuan yang adil dan non-diskriminatif terhadap perbankan syariah seperti penghapusan pajak ganda untuk transaksi murabahah yang hingga kini masih harus menunggu pembahasan RUU PPN. Perbankan syariah juga tidak semestinya secara dini dihadapkan pada persaingan dengan pemerintah di pasar penghimpunan dana syariah ritel khususnya melalui sukuk ritel. Sukuk pemerintah semestinya lebih ditujukan untuk investor besar dan luar negeri. Selain itu, perbankan syariah membutuhkan keberpihakan yang nyata seperti pelibatan perbankan syariah dalam pengelolaan dana (cash management) baik pemerintah pusat maupun daerah, katakan setidaknya 15-20%. Pengguliran dana pengembangan ekonomi kerakyatan dengan skim syariah melalui bank syariah, menunjuk bank syariah sebagai Bank Penghimpun Setoran Penerima Negara (BPSPN), dan bahkan mengkonversi bank BUMN/BUMD konvensional menjadi bank syariah. Liberalisasi perbankan syariah domestik oleh Perpres Nomor 77 Tahun 2007 telah berada di arah yang tepat dilihat dari aspek pengembangan size perbankan syariah. Namun harus ada upaya agar proses masuknya pemain asing ini selalu melibatkan mitra domestik sebagai mitra strategis yang sejajar dan dengan cara mendirikan bank syariah baru atau membeli bank konvensional yang telah ada dan mengkonversinya menjadi bank syariah, bukan dengan membeli bank syariah yang telah ada. BI diharapkan mampu memberi arahan kebijakan yang tepat disini. Perbankan syariah juga membutuhkan penegasan dalam UU PS ini terkait kewajiban transaksi-transaksi yang terkait syariat Islam dan bernilai ibadah agar dilakukan secara eksklusif hanya oleh perbankan syariah, seperti kewajiban setoran haji melalui perbankan syariah dan hanya menunjuk bank syariah sebagai bank penerima setoran haji, serta kewajiban pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq, dan sadaqah melalui perbankan syariah. Sebagai misal, UU Nomor 13 Tahun 2008 masih memberi toleransi untuk bank konvensional sebagai bank penerima setoran dana haji sepanjang memiliki unit usaha syariah. Selain itu perlu ada sosialisasi, dorongan, dan insentif untuk pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga pendidikan Islam, ormas Islam, dan lembaga-lembaga Islam lainnya melalui perbankan syariah. Selain itu, mendorong pengembangan industri perbankan syariah seharusnya juga diikuti secara simultan dengan pengembangan SDM dan riset. Hampir tidak ada perhatian sama sekali dari regulator. Hal yang sangat ironis ketika pertumbuhan industri dipacu
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH
namun ketersediaan SDM sangat minim karena memang tidak pernah dipersiapkan. Kecenderungan ini sangat berbahaya karena perbankan syariah adalah industri yang tidak semata market-driven namun juga shari’ah-driven. DSN seharusnya diperkuat dengan sumber daya untuk riset dan pengembangan. Di saat yang sama, kita membutuhkan pendirian institusi setingkat universitas sebagai pusat pendidikan keuangan dan perbankan syariah. Perkembangan industri akan berkelanjutan dengan keberadaan pusat riset dan pendidikan karena ditopang oleh SDM yang mumpuni dan paham syariah.
115
Ahmad, Ausaf. 2000. Instruments of Regulation and Control of Islamic Banks by Central Banks. Jeddah: IRTI-IDB. Archer, Simon and Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds.). 2007. Islamic Finance: The Regulatory Challenge. Singapore: John Wiley &
2006. Jakarta: BI. ____. 2008. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2007. Jakarta: BI. Chapra, M. Umer and Tariqullah Khan.2000. Regulation and Supervision of Islamic Banks. Jeddah: IRTI-IDB. Errico, Luca and Mitra Farahbaksh.1998. “Islamic Banking: Issues in Prudential Regulations and Supervision”, IMF Working Paper (March). Hasan, M. Kabbir and Mervyn K. Lewis (Eds.).2007. Handbook of Islamic Banking. Cheltenham: Edward Elgar. Lewis, Mervyn and Latifa Algaoud. Islamic Banking (terj.). 2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Naskah Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah, April 2008. Undang-Undang Perbankan Syariah, 17 Juni 2008. Saragih, Ferdinand D. 2006. Menciptakan Pelayanan Publik yang Prima Melalui Metode Benchmarking Praktis. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 14. No. 3 (September). Siddiqui, Shamim Ahmad. 2008. An Evaluation of Research on
Sons (Asia) Pte Ltd. Ascarya dan Diana Yumanita. 2005. “Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (Juni). Bank Indonesia. 2008. Statistik Perbankan Syariah Desember 2008. Jakarta: BI. ____. 2003. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2005. Jakarta: BI. ____. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun
Monetary Policy and Stability of the Islamic Economic System, in the Proceedings of the 7th International Conference on Islamic Economics, Jeddah (April). Tarsidin dan Perry Warjiyo. 2006. Perbankan Syariah dan Perbankan Berdasarkan Bunga: Manakah yang Lebih Optimal? Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, (Oktober). The National Bureau of Asian Research. 2008. Islamic Finance: Global Trends and Challenges, NBR Analysis, Vol. 18, No. 4 (March).
DAFTAR PUSTAKA
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agustus 2009, hlm. 116-121
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan TEGUH KURNIAWAN1* 1
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Abstract. This article attempts to give the picture concerning the importance of public accountability and citizen participation as one of the instruments to eradicate bureaucratic corruption, seen from various theories. This paper provides equal and adequate understanding of the role of public accountability and citizen participation in the eradication process of corruption and the various efforts that can be done to strengthen it. The results of this literature review shows that the efforts taken to eradicate corruption in Indonesia is still partial and tend not to have a clear design strategy so that in many cases is not able to reduce signicantly the level of corruption that occurred. Besides that, the important role of public accountability and citizen participation in the eradication of corruption has not received much attention as well as has not been thoroughly studied. Therefore we need further study of the various aspects of public accountability and citizen participation in the eradication of corruption in Indonesia. Keywords: corruption, public accountability, citizen participation
PENDAHULUAN Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia dalam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di 1 dunia. Hasil ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya, sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa korupsi di Indonesia tetap dianggap sebagai endemic, systemic dan widespread (Lubis, 2005). Apabila kita melihat dari sejumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia, kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) sebagian besar (77%) adalah kasus tindak pidana korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa (Hardjowiyono, 2006). Artinya, dalam banyak hal korupsi yang terjadi di Indonesia adalah korupsi birokrasi atau menurut Mahmood (2005) korupsi di pemerintahan sipil. Korupsi yang seperti ini terjadi
dalam semua tingkatan pemerintahan, tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah-daerah. Bahkan, sejak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah di ta-hun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di Pemerintahan Daerah yang semakin meningkat dengan tajam (Rinaldi, Purnomo, dan Damayanti, 2007). Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat bahwa upaya yang dilakukan masih cenderung parsial dan tidak memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam banyak hal tidak mampu mengurangi secara signikan tingkat korupsi yang terjadi. Terdapat setidaknya dua kemungkinan dari gagalnya suatu program anti-korupsi dalam mencapai tujuannya, yaitu akibat kesalahan dalam mendesain program anti-korupsi yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh serta akibat diagnosa yang salah terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi (Mahmood, 2005). Sementara itu terkait dengan penyusunan strategi anti-
*Korespondensi: +6281 1833 093;
[email protected] 1 Lihat misalnya dari hasil Survey Transparency International Tahun 2008 dimana Indonesia berada di urutan 126 dari 180 Negara yang di survey dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 2,6. Skor ini hanya naik 0,3 poin dari skor sebelumnya (2007) sebesar 2,3. Pada tahun 2006 skor IPK Indonesia sebesar 2,4 sementara tahun 2005 sebesar 2,2. Angka-angka ini lebih kecil dibandingkan dengan Negara-Negara ASEAN lainnya. Untuk Tahun 2008 saja, hanya Filipina, Laos, Kamboja dan Myanmar saja yang skornya berada di bawah Indonesia yakni masing-masing sebesar 2,3; 2,0; 1,8 dan 1,3, sementara Negara lainnya memiliki skor jauh di atas Indonesia. Bandingkan dengan skor IPK dari Singapura, Malaysia dan Thailand yang masing-masing memiliki skor IPK sebesar 9,2; 5,1 dan 3,5. Survey lainnya yang dapat menunjukkan peringkat korupsi di Indonesia dilakukan oleh PERC (Political & Economic Risk Consultancy) Ltd melalui the annual graft ranking serta World Economic Forum melalui Growth Competitiveness Index (GCI). Dalam survey PERC tahun 2006 Indonesia mendapatkan skor 8,6 yang menurun apabila dilihat dari skor tahun 2005 (9,10) serta skor tahun 2004 (9,25). Namun demikian angka ini tetap di atas Negara-Negara ASEAN lainnya, dimana untuk tahun 2006 Singapura mendapatkan Skor 1,30; Malaysia 6,13; Thailand 7,64; Philipina 7,80; dan Vietnam 7,91. Sementara itu, dalam GCI Index tahun 2008, Indonesia mendapatkan skor 4,25 dan memiliki peringkat 55. Peringkat ini mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2007) meskipun skor-nya mengalami kenaikan dimana Indonesia menempati peringkat 54 dengan skor 4,24. Angka ini juga tetap berada jauh lebih kecil dari Singapura, Malaysia dan Thailand yang memiliki skor di tahun 2008 masingmasing sebesar 5,53; 5,04 dan 4,60. Dari data-data di atas dapat menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia termasuk Negara yang paling korup di Dunia (Waluyo, 2006, 5-10).
KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI
korupsi ini, Klitgaard (1998a; 1998b) berpendapat bahwa strategi anti-korupsi juga harus diarahkan pada penguatan peran masyarakat dalam mengawasi pemerintah serta penguatan akuntabilitas publik. Pentingnya peran partisipasi masyarakat dan akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi ini ternyata belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat, misalnya dari kesulitan yang penulis dapatkan dalam upaya pencarian dan penggalian informasi mengenai kedua hal tersebut. Namun demikian, terdapat pernyataan dari sejumlah pihak yang menegaskan mengenai pentingnya peran masyarakat dan akuntabilitas publik dalam upaya pemberantasan 2 korupsi di Indonesia. Minimnya perhatian dan kajian terhadap peran partisipasi masyarakat maupun akuntabilitas publik dalam upaya pemberantasan korupsi telah memberikan dampak terhadap kualitas yang tidak memadai dari partisipasi masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat misalnya dari laporan pengaduan masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 yang diterima oleh KPK yang sebagian besar diantaranya tidak mengindikasikan adanya suatu tindak pidana korupsi. Berdasarkan buku laporan tahunan KPK tahun 2007 diperoleh informasi bahwa pada tahun 2005, 2006, dan 2007 telah diterima laporan pengaduan masyarakat dari seluruh Indonesia masing-masing sejumlah 7.361; 6.938; dan 6.510. Namun demikian, pengaduan masyarakat yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 tersebut masing-masing hanya berjumlah 2.466 (33,5%); 1.628 (23,4%); dan 1.229 (18,8%). Aturan dalam PP Nomor 71 Tahun 2000 sendiri hanya mengatur mengenai tata cara pelaporan oleh masyarakat ke KPK terhadap suatu tindak pidana korupsi, padahal, untuk melakukan itu diperlukan upaya penguatan masyarakat sehingga masyarakat bisa berpartisipasi secara lebih baik dan dapat menghasilkan laporan yang berkualitas. Sementara itu, terkait akuntabilitas publik, kita dapat menemukan adanya aturan mengenai Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 589/IX/6/Y/99 juncto Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003.
2
Hal ini dapat dilihat misalnya dari pendapat Teten Masduki mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi (http://satudunia.oneworld.net/?q=node/2235). Menurut Teten Masduki, tidak dapat dipungkiri bahwa peran aktif masyarakat dalam mendorong program pemberantasan korupsi pada tingkat tertentu relatif besar. Namun demikian, fondasi gerakan sosial anti korupsi belum cukup kuat sehingga pengaruhnya belum terlalu kuat untuk memotivasi masyarakat luas, bisnis dan pemerintah untuk bersamasama melawan korupsi. Lihat pula permasalahan di dalam partisipasi itu sendiri, misalnya partisipasi termanipulasi (Muluk, 2006:683).
117
Namun demikian, mekanisme akuntabilitas sebagaimana diatur oleh sejumlah peraturan tersebut belum memenuhi kriteria akuntabilitas publik sebagaimana dimaksud oleh sejumlah pakar seperti Dubnick, Romzek, dan Ingraham, Fesler dan Kettl, serta Shafritz (Callahan, 2007). Mekanisme akuntabilitas yang diatur dalam LAKIP hanya ditujukan secara internal kepada atasan saja serta hanya mengukur sejauh mana target yang sudah ditetapkan telah tercapai dalam rangka pelaksanaan misi organisasi. Akuntabilitas publik yang seharusnya dibangun dalam pandangan para pakar sebagaimana dikutip oleh Callahan (2007) adalah akuntabilitas publik yang tidak hanya ditujukan secara internal (pemerintah atasan saja), tetapi juga ditujukan kepada para pemangku kepentingan lainnya seperti masyarakat. Selain itu, mekanisme akuntabilitas publik juga tidak hanya ditujukan untuk mengukur kinerja, tetapi juga dapat memantau perilaku dari pejabat publik agar sesuai dengan etika dan aturan hukum yang berlaku. Minimnya kajian yang mendalam terhadap permasalahan akuntabilitas publik pada akhirnya telah menyebabkan pemahaman yang berbeda mengenai akuntabilitas publik serta ketidakmampuan dari sistem akuntabilitas publik yang ada untuk dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan berusaha untuk memberikan gambaran mengenai pentingnya akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat sebagai salah satu instrumen dalam pemberantasan korupsi di pemerintahan dari berbagai perspektif teori yang ada. PEMBAHASAN A. Korupsi: Konteks, Denisi, Jenis, dan Penyebab Korupsi dalam sejarah peradaban manusia merupakan salah satu masalah yang senantiasa menyertai perjalanan kehidupan manusia. Perilaku yang dapat digolongkan ke dalam tindakan korupsi seperti penyuapan dapat ditemukan dalam peradaban kuno masyarakat Yahudi, Cina, Jepang, Yunani, dan Romawi (Thakur, 1979; Khan, 2000). Bahkan korupsi dengan skala besar yang mempengaruhi kehidupan masyarakat telah terjadi pada masa peradaban India kuno (Thakur, 1979, Padhy, 1986; Khan, 2000). Pada peradaban Indonesia sendiri, korupsi juga telah berlangsung lama. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam tulisan Smith (1971). Menurut Smith, korupsi di Indonesia dapat ditemukan sejak mulai masuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ke Indonesia pada abad ke-18 dan bahkan jauh sebelum itu apabila dilihat dari perilaku tradisional yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di era sejumlah kerajaan nusantara. Karenanya dapat dikatakan bahwa korupsi merupakan endemik yang
118
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 116-121
dapat ditemukan pada semua negara di dunia dengan berbagai tingkatan aplikasinya. Menurut Gillespie dan Okruhlik (1991), terdapat lima isu utama dalam literatur mengenai korupsi, yakni denisi, penyebab, dampak, konteks, dan tipe aktivitas yang termasuk korupsi. Menyangkut denisi itu sendiri, dalam pandangan Gillespie dan Okruhlik (1991), (1) sebuah denisi konseptual membutuhkan dua kualitas yaitu sebuah denisi, (2) harus cukup umum dan memungkinkan komparasi lintas budaya serta harus cukup berguna secara empirik. Dua kriteria tersebut telah terbukti menimbulkan kontroversi dalam upaya sejumlah pakar untuk mencoba mendenisikan konsep dari korupsi. Berbagai denisi yang berbeda dari korupsi tersebut, pada intinya menurut Desta (2006) dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu denisi yang ber-pusat pada jabatan publik (public ofce centred denitions); denisi yang berpusat pada pasar (market centred denitions); serta denisi yang berpusat pada kepentingan publik (public interest centred denitions). Denisi yang berpusat pada jabatan publik misal-nya denisi yang disampaikan oleh Nye (1967; Desta, 2006), yaitu perilaku yang menyimpang dari tanggungjawab seharusnya sebagai petugas publik karena kepentingan pribadi (keluarga, kawan dekat), karena mengharapkan keuntungan uang atau status; atau pelanggaran aturan dengan memanfaatkan pengaruh pribadi. Denisi yang berpusat pada pasar dapat dilihat dari denisi yang dikemukakan oleh van Klaveren (1957; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu seorang pegawai negeri yang korup menganggap kantornya sebagai sebuah usaha dan menghasilkan pendapatan yang sebanyak-banyaknya bagi dirinya. Kantor kemudian menjadi unit untuk dimaksimalkan. Sementara itu, denisi yang berpusat pada kepentingan publik dapat dilihat dari kutipan pernyataan Friederick (1966; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang kekuasaan yang memiliki tanggungjawab untuk melakukan sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, mendukung atau mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan orang yang memberinya hadiah dan karena perbuatannya tersebut merusak kepentingan publik. Berdasarkan tiga denisi tersebut, denisi yang penulis gunakan adalah denisi yang berpusat pada jabatan publik (Nye, 1967). Denisi tersebut dalam pandangan penulis lebih sesuai dengan denisi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001, terdapat tiga puluh bentuk/jenis dari tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam tiga belas buah pasal pada UU tersebut. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan
negara; suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan; pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; serta gratikasi (KPK, 2006). Selain denisi, para pakar juga mencoba untuk membuat kategori dari korupsi. Terkait hal tersebut, korupsi dapat dibagi ke dalam jumlah kategori berdasarkan besarannya maupun berdasarkan kategori pelakunya. Pembagian korupsi berdasarkan besarannya dapat dilihat misalnya dari pendapat Jayawickrama (1998; Feng, 2004). Menurut Jayawickrama, korupsi dapat dibedakan menjadi dua yakni korupsi kecil (petty corruption) dan korupsi besar (grand corruption). Sementara itu, dilihat dari kategori pelakunya, Warren (2004) membaginya menjadi enam kategori, yakni korupsi yang dilakukan oleh negara yang terdiri dari tiga kategori (korupsi eksekutif, korupsi peradilan, dan korupsi legislatif); korupsi yang dilakukan oleh ranah pubik (media, dan lembaga pembentuk opini publik lainnya); korupsi yang dilakukan oleh masyarakat sipil; serta korupsi yang dilakukan oleh pasar. Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi dan jenisnya, aspek selanjutnya yang perlu diketahui adalah terkait penyebab dari terjadinya tindak pidana korupsi. Merujuk berbagai literatur yang tersedia dapat diketahui sejumlah kondisi yang disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya korupsi. Berdasarkan informasi dari berbagai literatur tersebut dapat diketahui bahwa pada intinya, korupsi dikarenakan sejumlah faktor baik yang memiliki kontribusi secara langsung maupun secara tidak langsung. Selain itu, faktor penyebab korupsi juga dapat dibedakan antara faktor yang terkait dengan karakteristik individual maupun pengaruh struktural. Pemahaman mengenai penyebab korupsi yang dikarenakan oleh faktor penyebab langsung dan tidak langsung dapat dilihat dalam tulisan Tanzi (1998). Menurut Tanzi, terdapat setidaknya enam faktor penyebab langsung dari korupsi, yakni (1) pengaturan dan otorisasi; (2) perpajakan; (3) kebijakan pengeluaran/anggaran; (4) penyediaan barang dan jasa dibawah harga pasar; (5) kebijakan diskresi lainnya; serta (6) pembiayaan partai politik. Sementara itu, penyebab tidak langsung dari korupsi terdiri dari setidaknya enam faktor, yak-ni (1) kualitas birokrasi; (2) besaran gaji di sektor publik, (3) sistem hukuman; (4) pengawasan institusi; (5) transparansi aturan, hukum dan proses; serta (6) teladan dari pemimpin. Adapun penjelasan mengenai faktor penyebab korupsi yang terkait dengan karakteristik individual maupun pengaruh struktural dapat diihat dalam tulisan Nas, Price, dan Weber (1986). Menurut Nas dkk., korupsi dilihat dari karakteristik individual terjadi ketika seorang individu itu serakah atau tidak bisa menahan godaan, lemah dan tidak memiliki etika sebagai seorang pejabat publik, sementara penyebab korupsi dari sisi struktural dikarenakan oleh tiga hal, yakni (1) birokrasi atau organisasi yang gagal; (2)
KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI
kualitas keterlibatan masyarakat; dan (3) keserasian sistem hukum dengan permintaan masyarakat. Pendapat lain mengenai penyebab korupsi dapat dilihat dari tulisan Bull dan Newell (2003) dalam kaitannya dengan korupsi politik. Mereka membagi penyebab korupsi ke dalam empat faktor yang dianggap dapat mewakili faktor-faktor penyebab langsung maupun faktor yang memfasilitasi tumbuhnya korupsi yakni faktor sejarah, struktur dan budaya. Keempat faktor penyebab korupsi menurut Bull dan Newell adalah (1) budaya politik; (2) struktur dan institusi politik; (3) sistem kepartaian, partai pemerintah, partai politik, dan politisi; serta (4) ekonomi politik antara sektor publik dan sektor privat. Sementara itu, dalam pandangan Shah (2007), terjadinya korupsi di sektor publik akan sangat tergantung kepada sejumlah faktor yakni (1) kualitas manajemen sektor publik; (2) sifat alamiah (kondisi) hubungan akuntabilitas antara pemerintah dan masyarakat; (3) kerangka hukum; serta (4) tingkatan proses sektor publik dilengkapi dengan transparansi dan diseminasi informasi. Upaya mengatasi korupsi tanpa mempertimbangkan keempat faktor ini menurut Shah akan menyebabkan hasil yang kurang mendalam dan tidak berkelanjutan. Pada kasus Indonesia sendiri, terdapat sejumlah analisis yang mencoba untuk menjelaskan mengapa korupsi begitu berkembang di Indonesia. Salah satu analisis tersebut adalah sebagaimana diungkapkan Snape (1999). Menurut Snape, setidaknya ada tiga faktor yang disinyalir menjadi sebab berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia, yakni faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor budaya Jawa. Berdasarkan pandangan Snape, faktor politik yang dicirikan dengan adanya kesenjangan akuntabilitas, transparansi, institusi demokrasi, dan pers yang bebas merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi terhadap meluasnya korupsi dalam masyarakat Indonesia, khususnya di era Orde Lama dan era Orde Baru. Sementara itu, terkait faktor ekonomi, intervensi pemerintah yang ekstensif dalam perekonomian dinilai Snape sebagai penyebab dari korupsi di Indonesia. Melalui intervensi ini memunculkan sejumlah keuntungan secara nansial bagi sejumlah kecil masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang memiliki patron politik dengan penguasa. Faktor ketiga yang dinilai Snape memberikan kontribusi bagi praktek KKN di Indonesia adalah faktor yang terkait dengan penjelasan budaya. Praktek-praktek KKN yang terjadi di masa Orde Baru memiliki akar pada tradisi budaya masa lalu Indonesia, khususnya budaya yang berlaku di Jawa (Snape, 1999; Schwartz, 1994). Terkait hal ini, sejumlah praktek KKN menurut Snape mengakar pada kebiasaan Jawa kuno sehingga untuk kemudian dianggap sebagai sesuatu hal
119
yang wajar. Kebiasan-kebiasan ini meliputi kebiasaan dalam memberikan hadiah kepada penguasa; loyalitas kepada keluarga yang lebih kuat dibandingkan kepada negara; serta konsep kekuasaan Jawa yang hierarkis, tetap dan patrimoni. B. Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Memberantas Korupsi: Penguatan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat Permasalahan korupsi telah ada sejak lama dan memiliki besaran/tingkatan kompleksitas permasalahan yang tinggi. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi akan membutuhkan usaha dan kerja keras, serta pendekatan yang komprehensif, efektif, dan memadai. Penentuan upaya apa yang paling efektif dalam memberantas korupsi juga merupakan perdebatan dalam banyak literatur mengenai korupsi (Gillespie dan Okruhlik, 1991). Perdebatan ini pada intinya berupaya untuk menawarkan pendekatan multi perspektif/komprehensif yang dianggap dapat memberikan hasil yang substansial dan berkelanjutan dalam mengatasi korupsi. Terdapat setidaknya empat strategi pemberantasan korupsi yang dapat dilakukan, yakni (1) strategi terkait masyarakat; (2) strategi terkait hukum; (3) strategi terkait pasar; serta (4) strategi terkait politik. Strategi terkait masyarakat menurut Gillespie dan Okruhlik ditekankan pada tiga hal utama, yakni norma etika, pendidikan, dan kewaspadaan publik. Adapun strategi terkait dengan hukum adalah berkenaan dengan pengenaan aturan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Namun demikian, sanksi hukum terhadap tindak pidana korupsi akan lebih efektif jika diperkuat oleh strategi pendukung lain seperti keberadaan auditor dan investigator independen, komisi khusus yang dapat melakukan tindakan hukum terhadap pelaku korupsi, serta peningkatan besar hukuman bagi pelaku korupsi. Strategi terkait pasar menurut Gillespie dan Okruhlik (1991) adalah dengan mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian serta mengurangi regulasi yang kompleks dan berlapis. Sementara strategi terkait politik menekankan pada tiga perhatian, yakni kewenangan, akses terhadap proses politik, serta reformasi administrasi/birokrasi. Pendapat lainnya mengenai strategi yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi adalah sebagaimana disampaikan oleh Klitgaard (1998b). Menurut Klitgaard, terdapat 4 (empat) komponen utama dari strategi anti korupsi, yakni dimulai deng-an “menggoreng ikan yang besar”, melibatkan masyarakat guna menghasilkan kampanye yang berhasil, memperbaiki sistem yang korup, serta meningkatkan penghasilan pegawai negeri. Terdapat empat strategi yang dapat dilakukan guna memberikan hasil yang berbeda dalam upaya pemberantasan korupsi, yakni memfokuskan pada
120
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei—Agust 2009, hlm. 116-121
penegakkan hukum dan penghukuman terhadap pelaku, melibatkan masyarakat dalam mencegah dan mendeteksi korupsi, melakukan upaya reformasi sektor publik yang utama, termasuk di dalamnya kegiatan penguatan akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan, serta memperkuat aturan hukum, meningkatkan kualitas UU anti korupsi, penanganan tindakan pencucian uang, dan mempromosikan tata kelola pemerintahan yang baik (Widjajabrata dan Zaechea, 1991). Sistem politik diharapkan membantu proses recruitment maupun pengembangan anggota parlemen menadi wakil rakyat yang tangguh (Isworo, 2007). Menyangkut korupsi di pemerintahan daerah, menurut de Asis (2006) terdapat lima strategi yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi, yakni meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, penilaian keinginan politik dan titik masuk untuk memulai, mendorong partisipasi masyarakat, mendiagnosa masalah yang ada, serta melakukan reformasi dengan menggunakan pendekatan yang holistik. Sejalan dengan pendapat de Asis (2006) khususnya menyangkut poin mengenai diagnosa terhadap permasalahan yang ada, Shah (2007) berpendapat bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan pemahaman terhadap penyebab dari munculnya masalah korupsi tersebut pada sebuah negara/daerah. Karenanya, perlu dipertimbangkan pula kondisi pengaruh dari korupsi atau kualitas dari tata kelola pemerintahan yang ada di masing-masing negara/daerah tersebut. Pemilihan prioritas anti korupsi pada suatu negara/daerah harus disesuaikan dengan kondisi pengaruh dari korupsi atau kualitas dari tata kelola pemerintahan yang ada sebagaimana. KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa upaya yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia masih cenderung parsial dan tidak memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam banyak hal tidak mampu mengurangi secara signikan tingkat korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Strategi antikorupsi yang baik adalah strategi yang telah mempertimbangkan semua faktor yang berpengaruh dan dengan melakukan diagnosa yang benar terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi. Selain itu, strategi anti-korupsi juga harus diarahkan pada penguatan peran masyarakat dalam mengawasi pemerintah serta penguatan akuntabilitas publik. Pentingnya peran akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi ini ternyata belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam di Indonesia. Akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat merupakan instrumen yang dianggap mampu mengatasi
tindak pidana korupsi baik yang terjadi sebagai akibat dari faktor-faktor yang bersifat langsung dan tidak langsung maupun akibat dari faktor-faktor yang berasal dari karakteristik individual dan struktural. Akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat juga dapat sejalan dilakukan sebagai strategi yang berfokus baik terhadap masyarakat, hukum, pasar, maupun politik. Karenanya, dalam upaya pemberantasan korupsi yang lebih efektif, esien dan tepat sasaran di masa mendatang, perlulah kiranya dilakukan berbagai ka-jian yang mendalam terhadap berbagai aspek dari akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat ini. DAFTAR PUSTAKA Bull, Martin J and James L. Newell eds. 2003. Corruption in Contemporary Politics, New York: Palgrave Macmillan. Callahan, Kathe. 2007. Elements of Effective Governance: Measurement, Accountability and Participation. Florida: CRC Taylor & Francis Group. De Asis, Maria Gonzales. 2006. Reducing Corruption at the Local Level. Washington: World Bank Institute. Desta, Yemane. 2006. Designing Anti-Corruption Strategies for Developing Countries: A Country Study of Eritrea. Journal of Developing societies, Vol. 22 No. 4. Feng, Kenny. 2004. The Human Rights Implications of Corruption: An Alien Tort Claims-Act Based Analysis, Wharton Research Scholars Journal, WH-299-301 (April). Gillespie, Kate and Gwenn Okruhlik. 1991. The Political Dimensions of Corruption Cleanups: A Framework for Analysis. Comparative Politics, Vol. 24, No. 1. Hardjowiyono, Budihardjo. 2006. Pengadaan Barang dan Jasa yang Bersih dari Korupsi. Bahan Presentasi dalam Rapat Regional Pemprov, Pemkab, Pemkot Sumatera dalam rangka Kormonev Inpres 5 Tahun 2004, Batam, 22-23 November. Isworo, Waluyo Iman.2007. Akuntabilitas, Responsibilitas, dan Etika dalam Administrasi Publik. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No. 1 (Januari). Khan, Mohammad Mohabbat. 2000. Problems of Democracy: Administrative Reform and Corruption, paper presented at the Norwegian Association for Development Research Annual Conference on the State under Pressure, Bergen, Norway 5-6 October 2000. Klitgaard, Robert. 1998a. International Cooperation Against Corruption. Finance & Development, Vol. 35, No. 1. _____. 1998b. Combating Corruption. United Nations Chronicle, Vol. 35, No. 1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2006. Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK. _____. 2007. Laporan Tahunan 2007: Pemberdayaan Penegakan Hukum. Jakarta: KPK. Lubis, Todung Mulya. 2005. Index Persepsi Korupsi Indonesia. Bahan Presentasi. Jakarta: Transparency International Indonesia. Mahmood, Mabroor. 2005. Corruption in Civil Administration: Causes and Cures. Humanomics, Vol. 21, No. 3 / 4. Muluk, M.R. Khairul. 2006. Menggagas Tangga Partisipasi Baru dalam Pemerintah Daerah di Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.4
KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI
(Desember). Nas, Tevk F, Albert C Price, and Charles T Weber. 1986. A PolicyOriented Theory of Corruption. The American Political Science Review, Vol. 80, No. 1. Rinaldi, Tauk, Marini Purnomo dan Dewi Damayanti. 2007.
121
donesia, Vol. 11. Snape, Fiona Robertson. 1999. Corruption, Collution and Nepotism in Indonesia. Third World Quarterly, Vol. 20, No. 3. Tanzi, Vito. 1998. Corruption Around The World: Causes, Consequences, Scope, and Cures. IMF Staff Papers, Vol. 45, No. 4.
Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi
Waluyo. 2006. Sambutan Pimpinan KPK di Rapat Koordinasi
Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah, Bank
Regional Kormonev Inpres 5/2006. Bahan Presentasi dalam
Dunia: Justice for the Poor Project. Senior, Ian. 2006. Corruption - the World’s Big C: Cases, Causes, Consequences, Cures. London: The Institute of Economic Affairs. Shah, Anwar, (Editor). 2007. Performance Accountability and Combating Corruption. Washington DC: The World Bank. Smith, Theodore M. 1971. Corruption, Tradition and Change. In-
Rapat Regional Kormonev, Bali 8-9 November. Warren, Mark E. 2004. What Does Corruption Mean in a Democracy. American Journal of Political Science, Vol. 48, No. 2 Widjajabrata, Safaat and Nicholas M Zacchea. 2004. International Corruption: The Republic of Indonesia is Strengthening the Ability of Its Auditors to Battle Corruption. The Journal of Government Financial Management, Vol. 53, No. 3.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei--Agus 2009
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
Index Penulis Volume 16, Nomor 2 Fitriati, Rachma, 59. Harinurdin, Erwin, 96. Jafar , Rozy Afrial, 87. Kurniawan, Teguh, 116.
Rahardja, Sam’un Jaja, 82. Salomo, Roy Valiant, 74. Soedibjo, Sugeng, 59. Sunardi, Guido Benny, 68. Wibisono, Yusuf, 105.
Index Subyek Volume 16, Nomor 2 Administrasi Publik, 74. Akuntabilitas Publik, 116. Consumer Perception, 68. Fungsi Camat, 96. Governance, 82. Indonesia Consumer, 68. Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, 92. Kecamatan Ketapang Kabupaten Bandung, 92. Label and Brands, 74. Manajemen Kebijakan, 86. Partisipasi Masyarakat, 120. Pelayanan Publik, 91. Peluang, 99. Pemberantasan Korupsi, 120. Pengelolaan Sungai, 82.
Perangkat Daerah, 89. Perbankan Syariah, 105. Perilaku Kepatuhan, 105. Perubahan Kedudukan, 87. Perspektif Teoritis, 120. Politik ekonomi, 99. Premi Asuransi, 59 Profit Testing, 60. PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera, 59. Regulasi Industri, 105. Scenario Indonesia, 74. Sektor Publik, 82. Tantangan, 99. Titik Impas, 59. Wajib Pajak, 105.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agus 2009
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
PERSANTUNAN Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi mengucapkan terima kasih kepada Dewan Editor dan Mitra Bestari yang telah berpartisipasi pada Volume 16 Nomor 2, Mei - Agustus 2009 Amy S. Rahayu, Pakar Kualitas Pelayanan Publik, Pengajar Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Azhar Kasim, Pakar Pembuatan Keputusan dan Teori Organisasi, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Indonesia Dewa Made Budiarta, Pakar Pemeriksaan Transaksi Khusus Perpajakan, Kasubdit Pemeriksaan Transaksi Khusus Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI Eko Prasojo, Pakar Pemerintahan Daerah, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Endang Wirjatmi Trilestari, Pakar Ilmu Administrasi, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara Bandung Gunadi, Pakar Perpajakan Internasional, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Haryah Widiawati, Konsultan Bahasa dan Editor Ahli, Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran Liberty P Sihombing, Penulis Buku , Pakar Linguistik, dan Konsultan Bahasa dari Antar Bahasa Language Service Lisman Manurung, Pakar Kebijakan Publik, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Martani Huseini, Pakar Pemasaran Internasional, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI M.R. Khairul Muluk, Pakar Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Ngadisah, Pakar Otonomi Daerah, Staf Ahli Menteri Departemen Dalam Negeri Ningky Sasanti Munir, Pakar Manajemen Pengetahuan, Sekolah Tinggi Manajemen PPM Sadu Wasistiono, Pakar Manajemen Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri Safri Nugraha, Pakar Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia Salim Al-Bakry, Pakar Asuransi Syariah, Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti, Jakarta Sigit Pramono, Pakar Ekonomi Syariah, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI, Jakarta
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei–Agust 2009
Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844
PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI, BISNIS & BIROKRASI Penulis diharapkan berpedoman kepada ketentuan yang dibuat ketika menyiapkan naskahnya. Semua naskah yang dikirim akan ditelaah oleh satu editor dan paling sedikit dua reviewer. Penulis bisa mengajukan nama-nama calon reviewer. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi memegang prinsip anonymous (tanpa nama) ketika dilakukan review terhadap naskah dimana identitas baik penulis maupun reviewer akan dijaga kerahasiaannya. I. BENTUK NASKAH Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian (research article), ulasan (review), baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam Bahasa Inggris. 1. Hasil Penelitian (Research Article), ide penting dan asli (original) dalam ilmu administrasi yang memiliki ruang lingkup penelitian yang luas, serta pembahasan temuan yang mendalam, baik dalam bentuk field research maupun desk research. 2. Ulasan (Review) dapat berupa perkembangan keilmuan terkini, ringkasan hasil beberapa penelitian dengan penekanan pada ide penelitian selanjutnya (what next research idea), perkembangan kebijakan di tingkat nasional dan internasional, pemikiran mendalam peneliti, perkembangan telaah buku-buku yang menjadi pokok ilmu. Catatan: Kepioniran isi tulisan ditentukan oleh kemutakhiran state-of the art ilmu dan teknologi yang dikandung, kecanggihan sudut pandang dan pendekatan, kebaruan temuan bagi ilmu (novelties, new to science) yang disajikan, ketuntasan penggarapan (tidak hanya mengulang penelitian sejenis sebelumnya, tidak memermutasikan metodologi dan objek, tidak memecah satu persoalan penelitian dalam serangkaian tulisan), dan kehebatan teori serta keluasan perampatan setiap artikel yang dimuatnya. (Sumber: Keputusan Dirjen DIKTI No. 11/DIKTI/Kep./2006 tentang Paduan Akreditasi Berkala Ilmiah, Dirjen DIKTI, Depdiknas, 2006, hal. 9) II. PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim ke Ruang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Gedung B Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi Lantai 2 Kampus FISIP Universitas Indonesia, Depok 16424 Atau kirim email ke:
[email protected], bisnis.birokrasi_
[email protected], atau telp/faks +6221 78849145 Penulis diharap menyebutkan bentuk naskah yang dikirim: Hasil Penelitian (Research Article), atau Ulasan (Review) di POJOK KANAN ATAS HALAMAN JUDUL ARTIKEL.
Naskah dikirim dalam tiga hard copy, satu soft copy dalam bentuk CD atau melalui email
[email protected] dan bisnis.
[email protected]. III. FORMAT NASKAH 1. Naskah dapat berupa hasil pemikiran maupun hasil penelitian. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan gaya naratif. Pembabakan dibuat sederhana sedapat mungkin menghindari pembabakan bertingkat. Tabel dan gambar harus mencantumkan sumber. Tabel dan gambar diberi nomor secara berurut sesuai dengan kemunculannya. Semua kutipan dan referensi dalam naskah harus tercantum dalam daftar pustaka dan sebaliknya, sumber bacaan yang tercantum dalam daftar pustaka harus ada dalm naskah. 2. Nomor halaman diletakkan di ujung kanan atas. Bagian pertama tulisan tidak perlu diberi halaman. 3. Nomor baris diletakkan di sebelah kiri tiap kalimat 4. Halaman cover harus menunjukkan judul tulisan, nama penulis, institusinya, dan korespondensi berupa nomor telepon dan e-mail (diharapkan e-mail institusi). 5. Angka dilafalkan dari satu sampai sepuluh, kecuali jika digunakan dalam tabel atau daftar dan ketika digunakan dalam unit atau kuantitas matematika, statistik, atau teknis, misalnya empat hari, 5 kilometer, 25 tahun. Semua angka lainnya disajikan secara numerik. 6. Persentase dan desimal untuk penggunaan teknis dapat menggunakan simbol (%) dan (,). 7. Tabel dan gambar diletakkan pada halaman yang terpisah dan diletakkan pada akhir teks. Masing-masing tabel atau gambar diberi nomor dan judul lengkap yang menunjukkan isi tabel atau gambar. 8. Acuan ke masing-masing tabel atau gambar harus ada dalam teks. IV. URUTAN NASKAH Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut : 1. Judul dalam Bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah Bahasa Indonesia, Judul dalam Bahasa Inggris untuk naskah bahasa Inggris (judul maksimum 14 kata) 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar 3. Nama, telepon, dan email penulis untuk korespondensi 4. Abstrak dalam bahasa Inggris (diutamakan di bawah 200 kata). Abstrak diharapkan mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan kontribusi penelitian 5. Kata kunci (keywords) dalam Bahasa Inggris paling banyak 3-5 kata kunci yang akan memudahkan pemberian indeks. Kata pertama menjadi kata yang paling penting, dan diurut seterusnya 6. Korespondensi penulis pada catatan kaki halaman pertama 7. Bentuk naskah terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu (1) Hasil Penelitian (Research Article). Naskah dibuat menggunakan Microsoft Office Word. Seluruh bagian dalam naskah diketik dengan huruf times new roman. Ukuran 12 pt, spasi 1, ukuran kertas A4, dan margin
PEDOMAN PENULISAN
2 cm untuk semua sisi serta jumlah halaman tidak melebihi 25 halaman termasuk daftar pustaka. Untuk kepentingan penyuntingan naskah seluruh bagian naskah (termasuk tabel, gambar, dan persamaan matematika) dibuat dalam format yang dapat disunting oleh editor. Editor dapat meminta data yang digunakan dalam gambar untuk kepentingan penyuntingan. Struktur artikel ini meliputi 1. Judul 2. Nama penulis 3. Jabatan institusi 4. Abstrak dan Keywords 5. Pendahuluan (termasuk kerangka teori dan tujuan penelitian) 6. Metode Penelitian 7. Hasil dan Pembahasan 8. Kesimpulan 9. Daftar Pustaka, dengan mempertimbangkan a. derajat kemutakhiran bahan yang diacu dengan melihat proporsi, diharapkan mencakup minimal 60% terbitan sepuluh tahun terakhir, b. semakin tinggi pustaka primer yang diacu, semakin tulisan bermutu, c. keseringan pengarang mengacu pada diri sendiri (self citation) dapat mengurangi nilai jurnal. 7. Ucapan terima kasih jika ada. (2) Ulasan (Review). Naskah dibuat menggunakan Microsoft Office Word. Seluruh bagian dalam naskah diketik dengan huruf times new roman. Ukuran 12 pt, spasi 1, ukuran kertas A4, dan margin 2 cm untuk semua sisi serta jumlah halam tidak melebihi 20 halaman termasuk daftar pustaka. Struktur artikel ini meliputi 1. Abstrak dan Keywords 2. Pendahuluan (termasuk kerangka teori) 3. Pembahasan 4. Kesimpulan 5. Daftar Pustaka, dengan mempertimbangkan a. derajat kemutakhiran bahan yang diacu dengan melihat proporsi, diharapkan mencakup minimal 60% terbitan sepuluh tahun terakhir, b. keseringan pengarang mengacu pada diri sendiri (self citation) dapat mengurangi nilai jurnal. 6. Ucapan terima kasih jika ada. V. DOKUMENTASI Acuan Karya yang diacu harus menggunakan format penulis-tahun. yang mengacu pada karya pada daftar acuan. Dalam teks, karya diacu dengan cara berikut : nama akhir/ keluarga penulis dan tahun dalam tanda kurung. Contoh (Andi, 1984), dua penulis (Andi dan Clark, 1984), lebih dari dua penulis (Andi dkk., 1984), lebih dari dua sumber diacu bersamaan (Andi, 1984; Cipta, 1990), dua tulisan atau lebih oleh satu penulis (Andi, 1984; 1990). Acuan penulisan yang merupakan karya institusional sedapat mungkin harus menggunakan akronim atau singkatan sependek mungkin. Contoh: (Komite SAK-IAI, PSAK28, 1984)
Catatan Kaki Catatan kaki tidak digunakan untuk acuan. Catatan kaki digunakan hanya untuk perluasan informasi yang jika dimasukkan ke dalam teks bisa mengganggu kontinuitas bacaan. Catatan kaki diketik dalam spasi 1 dan ditempatkan pada akhir teks. Daftar Acuan (Daftar Pustaka) Setiap naskah harus mencantumkan daftar Acuan (Daftar Pustaka) yang isinya hanya karya yang diacu. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penulisan daftar pustaka adalah 1. nama penulis didahului dengan penulisan nama belakang atau nama keluarga, 2. disusun secara urut berdasarkan abjad, 3. tidak menyebutkan nomor halaman, 4. penulisan dilakukan dengan sistem paragraf menggantung. Contoh : Buku: Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interests and Institutions, the Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell. Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline Fieldbook: the Art and Practice of the Learning Organization. New York: Currency-Doubleday. ____. 1994. The Fifth Discipline Fieldbook: Strategies and Tools for Building a Learning Organization. New York: Currency-Doubleday. Keterangan: jika ada lebih dari satu buku yang dikarang oleh seorang penulis, tidak perlu menulis nama lagi, hanya membuat garis sepanjang empat ketukan. Peraturan Perundang-Undangan: Republik Indonesia. Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. ____. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32. Jurnal : Chotim, Erna E dan Yulia I. Sari. 1999. Krisis: Peluang bagi Usaha Kecil?. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 4 No. 1 (Januari). Hardjosoekarto, Sudarsono. 1993. Perubahan Kelembagaan: Teori, Implikasi, dan Kebijakan Publik. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume 1, Nomor 1 (Januari). Internet : Depdiknas Libatkan Elemen Masyarakat Dalam Berantas Buta Huruf. 2005. www.kompas.com. 27 Januari. Kramadibrata, Ade Moetangad. 2004. Pengelolaan Sampah Terpadu. www.detik.com. 13 Mei. SUMBER : Keputusan Dirjen DIKTI No. 11/DIKTI/Kep./2006 tentang Paduan Akreditasi Berkala Ilmiah, Dirjen DIKTI, Depdiknas, 2006. HAYATI Journal of Biosciences, Penerbit: Perhimpunan Biologi Indonesia dan Departemen Biologi FMIPA IPB, ISSN 0854-8587
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS & BIROKRASI Naskah yag diserahkan penulis haruslah sebuah karya yang tidak melanggar hak cipta (copyright) yang ada. NAskah yang dimasukkan harus yang belum pernah diterbitkan dan tidak dikirimkan pada waktu yang bersamaan kepada penerbit lain. Hak cipta atas semua material termasuk yang berbentuk cetak, elektronik dan bentuk lainnya dipegang oleh Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS dan BIROKRASI. Untuk itu penulis perlu menyetujui pengalihan hak cipta dengan mengisi dan menandatangani Pernyataan Pengalihan Hak Cipta dibawah ini untuk diserahkan bersamaan dengan penyerahan naskah. Pernyataan Pengalihan Hak Cipta dalam bentuk softcopy (hasil pemindaian/scan). Setelah naskah telah melewati proses penyuntingan substansi dan positif diterima, penulis mengirimkan berkas Pernyataan Hak Cipta dalam bentuk hardcopy asli ke alamat redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS & BIROKRASI.
Pernyataan Pengalihan Hak Cipta Tulisan Hak Cipta dari tulisan yang tertera dibawah ini dialihkan kepada Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS & BIROKRASI dan berlaku efektif sejak tulisan diterima dan dipublikasikan. Pengalihan Hak Cipta mencakup hak ekslusif untuk mencetak kembali dan mendistribusikan tulisan, termasuk menerjemahkan, reproduksi fotografi, microform, bntuk elektronik atau bentuk reproduksi lainnya. Penulis menjamin tulisan ini adalah hasil karya asli dan penulis mempunyai wewenang penuh untuk mengalihkan hak cipta. Penulis menandatangani dan menerima tanggung jawab untuk memberikan Tulisan ini atas nama penulis yang lain.
Judul Tulisan : ……………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………… Penulis (sebutkan semua) : ……………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………… Tanda Tangan Penulis (atas nama)
………………. Tanggal
Untuk diisi oleh Ketua Dewan Editor: Diterbitkan pada Volume…………….., Nomor …………………, Tahun ………………….. FORMULIR INI DAPAT DIFOTOKOPI
Kepada yth :
Redaksi Jurnal Bisnis dan Birokrasi Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Kampus Baru FISIP UI Gedung B Lt.2 Ruang Jurnal Bisnis & Birokrasi Telp/fax : (021)78849145 E-mail :
[email protected],
[email protected]
FORMULIR BERLANGGANAN JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI Mohon dicatat sebagai pelanggan Jurnal Bisnis & Birokrasi Nama Lengkap
:
Pekerjaan
:
Alamat Rumah
:
Telepon/Hp
:
Nama Institusi
:
Alamat
:
Telepon
:
Bersama ini kami mohon dikirimkan Jurnal Bisnis & Birokrasi untuk : 1 kali 6 bulan sebanyak……………..expl. @ Rp.30.000,- = Rp. …………………………………. 1 tahun sebanyak……………………expl. @ Rp.30.000,- = Rp. ………………………………….. Pembayaran di muka melalui : Tunai Rp. ………………………………………… Terbilang : Transfer ke : BNI Cab UI Depok a/n : FISIP UI Non BP No. Rek . 127 3000 295
Hormat kami,
(
Nama Pelanggan
, 20.....
)