BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Volume 1 Nomor 2, September 1998
Suatu Kajian Trehadap Implikasi Dan Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Krisis Ekonomi: Overview Miranda S. Goeltom
Fundamental Ekonomi, Contagion Effect Dan Krisis Asia Endy Dwi Tjahjono
Manajemen Moneter Dalam Masa Krisis Doddy Zulverdi
Manajemen Nilai Tukar Di Indonesia Dan Permasalahannya Miranda S. Goeltom Dan Doddy Zulverdi
Ekspektasi Inflasi Di Masa Krisis Gantiah Wuryandani Dan Reza Anglingkusumo
Dampak Krisis Moneter Terhadap Sektor Riil Noor Yudanto Dan M. Setyawan Santoso
Memprediksi Kondisi Perbankan Melalui Pendekatan Solvency Secara Dinamis Indira & Dadang Muljawan
Setahun Krisis Asia : Beberapa Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Krisis Tersebut Mahdi Mahmudy
FUNDAMENTAL EKONOMI, CONTAGION EFFECT DAN KRISIS ASIA Endy Dwi Tjahjono Abstraksi Tujuan dari paper ini meneliti faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya krisis Asia saat ini. Ada 2 faktor yang dibahas dalam paper ini, yaitu faktor fundamental ekonomi dan efek penularan (contagion effect). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara fundamental ekonomi negara yang terkena krisis dengan negara yang tidak terkena krisis. Perbedaan tersebut terutama terletak pada perilaku defisit transaksi berjalan, pinjaman luar negeri, financial account, cadangan devisa, perbankan, dan kegiatan ekspor-impor. Untuk memperkuat analisa kondisi fundamental ekonomi negara-negara tersebut, dalam paper ini dicoba pendekatan ‘early warning system currency crisis’ yang dikembangkan oleh Kaminsky dan Reinhart. Hasilnya menunjukkan bahwa menjelang terjadinya krisis mata uang terjadi gejala overheating di kawasan Asia. Namun, pendekatan tersebut gagal mengidentifikasi terjadinya krisis di Indonesia, serta terjadi banyak ‘bad-signal’ pada beberapa negara yang tidak terkena krisis, seperti Singapore dan Hongkong. Selanjutnya diteliti juga peranan dari contagion effect dalam menimbulkan krisis. Hasil pengujian membuktikan bahwa terjadinya suatu serangan mata uang di suatu negara secara signifikan mempengaruhi pelaku pasar untuk melakukan serangan pada mata uang negara lain. Dengan kata lain, contagion effect memegang peranan sebagai pemicu terjadinya krisis yang dialami negara-negara Asia saat ini. Hasil penelitian ini menggaris bawahi perlunya dilakukan kerja sama yang lebih erat antar negara-negara Asia dalam melakukan regional surveillance. Tujuan dari regional surveillance ini adalah untuk mendeteksi secara dini kemungkinan terjadi krisis di suatu negara dan mencegah terjadinya contagion effect.
MANAJEMEN MONETER DALAM MASA KRISIS Doddy Zulverdi Abstraksi Krisis nilai tukar yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah berkembang menjadi krisis ekonomi akibat kerapuhan di sisi ekonomi mikro dan ketidaktepatan kombinasi kebijakan ekonomi makro. Permasalahan yang dihadapi dalam pemilihan strategi kebijakan ekonomi makro adalah adanya konflik (trade-off) antarkebijakan akibat sifat krisis yang multidimensional. Kebijakan moneter sebagai salah satu elemen kebijakan ekonomi juga tidak terlepas dari kesulitan yang sama, yaitu dalam mengakomodasi berbagai sasaran kebijakan secara serentak. Kesulitan tersebut telah berlangsung sejak periode sebelum krisis dan berdampak negatif terhadap kondisi fundamental ekonomi makro yang berdasarkan hasil pengamatan ternyata tidaklah sekuat yang diyakini semula. Kesulitan yang dihadapi oleh otoritas baik dalam memilih maupun mengimplementasikan strategi kebijakan moneter juga dialami oleh berbagai negara yang pernah mengalami krisis serupa. Tidak ada satu strategi pun yang cocok diterapkan di semua situasi dan di semua negara. Pemilihan strategi yang tepat ditentukan oleh jenis tekanan eksternal yang dihadapi, karakteristik struktur ekonomi, dan prioritas sasaran akhir yang dipilih. Berdasarkan kriteria tersebut dan mengingat masih rapuhnya sistem perbankan sebagai suatu jalur transmisi kebijakan moneter terpenting serta masih sangat rentannya perekonomian Indonesia terhadap tekanan-tekanan eksternal, maka penerapan strategi jangkar inflasi di dalam suatu sistem nilai tukar yang agak fleksibel kiranya layak untuk dipertimbangkan secara mendalam. Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menjelaskan latar belakang pentingnya memilih strategi kebijakan moneter (termasuk kebijakan nilai tukar) yang tepat untuk membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi. Dalam bagian kedua diulas beberapa alternatif strategi kebijakan ekonomi-moneter dari sisi teori. Selanjutnya, bagian ketiga membahas faktorfaktor yang memicu dan memperdalam krisis di Indonesia dan kebijakan yang telah diambil termasuk konflik yang dihadapi dalam penerapan strategi kebijakan moneter. Di bagian keempat, dengan mengacu kepada konsep teori dan pengalaman negara-negara lain serta pengalaman Indonesia sendiri, diajukan beberapa alternatif strategi kebijakan moneter yang dapat diterapkan di Indonesia. Bagian kelima mengemukakan beberapa kesimpulan umum berikut rekomendasi kebijakan yang ditawarkan.
MANAJEMEN NILAI TUKAR DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Miranda S. Goeltom dan Doddy Zulverdi Abstraksi Nilai tukar rupiah yang relatif stabil dan bahkan cenderung mengalami apresiasi sebelum Juli 1997 telah mendorong capital inflow yang cukup besar ke Indonesia. Fenomena tersebut merupakan hal yang logis bagi suatu negara yang menganut sistem devisa bebas dan perekonomiannya terbuka karena arus modal akan selalu mengikuti return investasi yang terbesar dan resiko seminimal mungkin. Namun sejak currency turnmoil melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya pada pertengahan Juli 1997, capital inflow tersebut telah menjadi bumerang karena telah berubah menjadi arus balik yang membahayakan baik terhadap nilai tukar rupiah maupun terhadap perekonomian nasional. Nilai tukar rupiah secara simultan mendapat tekanan yang cukup berat karena besarnya capital outflow akibat hilangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut diperberat lagi dengan semakin maraknya kegiatan speculative bubble, sehingga sejak krisis berlangsung nilai tukar rupiah mengalami depresiasi hingga mencapai 75%. Krisis nilai tukar yang telah berkembang menjadi krisis ekonomi hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir sehingga telah mempengaruhi kinerja perekonomian nasional. Laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan dan bahkan telah memasuki masa resesi yang cukup dalam, inflasi meningkat pesat baik karena gangguan produksi maupun karena imported inflation, tingkat pengangguran semakin meningkat dan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin banyak, serta permasalahan-permasalahan lainnya. Disadari bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah hanya merupakan muara dari akumulasi permasalahan ekonomi yang selama ini terpendam baik yang dialami di sektor moneter, perbankan dan sektor riil. Dengan demikian usaha menstabilkan nilai tukar rupiah tidak akan bermanfaat jika tidak didukung dengan usaha-usaha pembenahan seluruh kelemahan aspek perkonomian nasional baik berupa sistem, perangkat dan peraturan. Sehubungan dengan hal tersebut pembenahan di sektor mikro bersamaan dengan kebijakan makro untuk menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan langkah yang ideal untuk dilakukan agar Indonesia dapat segera keluar dari krisis.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut serta permasalahan dan karakteristik perekonomian nasional, permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mempercepat stabilitas nilai tukar rupiah guna mempercepat usaha pemulihan ekonomi nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka mendiskusikan manajemen moneter yang ideal untuk menstabilkan nilai tukar rupiah merupakan suatu topik yang menarik untuk dikaji pada kesempatan ini. Berbagai pendapat masih diperdebatkan mengenai manajemen nilai tukar yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Termasuk apakah sistem nilai tukar flexible cukup memadai untuk perekonomian Indonesia, dan apakah langkah untuk mengisolasikan nilai tukar suatu negara dari perekonomian global misalnya melalui capital control seperti yang dilakukan oleh Malaysia, cukup memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia. Kesemua hal tersebut akan dibahas dalam paper ini, yang pembahasannya dibagi atas tujuh bagian. Bagian kedua akan membahas secara singkat aspek teoritis dari sistem nilai tukar dikaitkan dengan sistem devisa yang dianut suatu negara. Bagian ketiga akan mendiskusikan perkembangan manajemen nilai tukar di Indonesia. Bagian keempat akan membahas perkembangan sistem devisa di Indonesia. Bagian lima akan membahas permasalahan-permasalahan yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia dalam era nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Bagian keenam akan mendiskusikan arah kebijakan nilai tukar dan sistem devisa di masa yang akan datang. Sementara bagian terakhir akan menyajikan kesimpulan dari tulisan ini.
EKSPEKTASI INFLASI DI MASA KRISIS Gantiah Wuryandani dan Reza Anglingkusumo Abstraksi Persepsi pelaku ekonomi terhadap perkembangan perekonomian termasuk inflasi cenderung berubah sepanjang krisis moneter. Sehingga proses pembentukan ekpektasi inflasi pelaku ekonomi juga berbeda antara sebelum dan sepanjang krisis . Oleh karena itu, penelitian mengenai perubahan perilaku ekspektasi inflasi masyarakat di masa krisis, perlu menjadi agenda taktis dalam rangka mengupayakan efektifitas dan efisiensi pengendalian moneter. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu benchmark untuk mengukur ekspektasi inflasi dimasa mendatang sebagai arahan bagi pelaksanaan kebijakan moneter. Hasil penelitian membuktikan adanya “expectation loop” dalam pembentukan laju inflasi dan adanya proses backward maupun forward looking oleh pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi inflasi dimasa krisis. Metodologi yang digunakan adalah estimasi liniear sederhana untuk memperoleh taksiran ekspektasi dari masing-masing variabel pembentuk ekspektasi inflasi. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) pengaruh laju inflasi historis terhadap tekanan inflasi yang sedang berlangsung (inertia), (2) kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah, dan (3) ekspektasi kurs nilai tukar Rp/ USD secara historis, sebagai komponen-komponen pembentuk ekspektasi inflasi backward looking. Sedangkan ekspektasi inflasi forward looking ditentukan oleh variabel yield spread dan forward rate Rp/USD. Taksiran yang diperoleh dengan estimasi linear tersebut selanjutnya di estimasi ulang dengan menggunakan neural network, untuk menangkap dampak bounded rationality para pelaku pasar dalam pembentukan ekspektasi inflasi di masa krisis. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dimasa sebelum krisis terdapat ekspektasi inflasi yang mendekati inflasi aktual. Variabel kredibilitas kebijakan disinflasi pemerintah merupakan determinan utama dalam pembentukan ekspektasi inflasi, disusul kemudian oleh ekspektasi kurs nilai tukar Rp/USD dan laju inflasi secara historis. Dari hasil simulasi ekspektasi inflasi dimasa krisis terlihat bahwa dalam bulan-bulan tertentu terdapat indikasi deviasi yang cukup signifikan yang menunjukkan adanya ketidakpastian yang sangat tinggi. Ketidakpastian tersebut terutama bersumber dari noise, seperti fenomena panic buying di bulan Januari 1998 dan gejolak yang tidak terduga pada harga Sembako di bulan Juli 1998. Hal ini selanjutnya menunjukkan bahwa tekanan inflasi karena meningkatnya gejolak sosial politik di bulan April dan Mei 1998 telah sepenuhnya diantisipasi oleh pelaku ekonomi. Demikian pula dengan gejolak harga Sembako di bulan Agustus dan September 1998. Dari berbagai pengujian dalam paper ini disarankan otoritas moneter perlu memilahmilah faktor-faktor pembentuk inflasi dari sisi moneter maupun non-moneter. Disamping itu perlu pula ditetapkan target band inflasi moneter berikut leading indicator pemantaunya, sebagai suatu langkah untuk mengendalikan inflasi secara preemptive oleh otoritas moneter. Dalam rangka pengendalian laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanan struktural dan noise, otoritas moneter perlu melakukan koordinasi dengan departemen terkait.
DAMPAK KRISIS MONETER TERHADAP SEKTOR RIIL Noor Yudanto dan M. Setyawan Santoso Abstraksi Melemahnya nilai rupiah dalam skala yang cukup serius telah memberikan tekanan yang kurang menguntungkan bagi kegiatan usaha di sektor riil. Berbagai faktor seperti struktur produksi yang sangat tergantung pada bahan baku impor, pembiayaan non-rupiah, dan inefisiensi manajemen internal diduga menjadi penyebab rentannya sektor riil. Namun ternyata terdapat usaha sektor riil yang bertahan bahkan diuntungkan oleh krisis. Sehubungan dengan fenomena menarik tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mengkaji seberapa jauh dampak dari krisis moneter terhadap kinerja sektor riil. Analisa dilakukan berdasarkan tinjauan makro sektoral maupun secara mikro melalui pengamatan empiris kinerja perusahaan yang tercatat di bursa saham. Untuk memperoleh gambaran deskriptif perubahan kinerja perusahaan digunakan analisa konsentrasi sementara uji cross section dimanfaatkan untuk menghitung dampak fluktuasi suku bunga terhadap keuntungan sebelum pajak perusahaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis usaha sektor riil yang memiliki resource base kuat, berorientasi ekspor, sumber pembiayaan non-rupiah yang rendah, serta mempunyai korelasi maupun elastisitas yang rendah terhadap perubahan suku bunga maupun nilai tukar terbukti mampu bertahan bahkan masih tumbuh positif selama krisis. Sehubungan dengan hal itu kebijakan yang disarankan dalam jangka pendek adalah menciptakan suku bunga dan nilai tukar yang stabil dan wajar sedangkan dalam jangka panjang mendorong restrukturisasi usaha sektor riil agar lebih efisien dan kompetitif baik di pasar domestik maupun pasar ekspor.
MEMPREDIKSI KONDISI PERBANKAN MELALUI PENDEKATAN SOLVENCY SECARA DINAMIS Indira & Dadang Muljawan Abstraksi Munculnya krisis keuangan dan perbankan yang terjadi di suatu negara ditandai oleh beberapa indikator seperti tingginya kredit bermasalah, kesulitan likuiditas serta insolvensi dari lembaga keuangan maupun perbankan. Terdapat beberapa konsep yang menerangkan definisi krisis perbankan, pertama adalah penilaian terhadap negative net present value dari cashflow dan kedua adalah penilaian terhadap net worth dari lembaga keuangan atau perbankan. Apabila otoritas pengawasan perbankan dapat mengetahui secara akurat dan bahkan memprediksi tingkat solvency untuk masa yang akan datang akan sangat membantu dalam menentukan tindakan-tindakan yang harus diambil agar sistem perbankan selalu berada dalam kondisi solvent. Insolvency dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya kualitas aktiva perbankan, buruknya permodalan serta sebab-sebab secara makro yang tidak secara langsung mempengaruhi kondisi perbankan. Namun berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal perbankan melalui penghitungan rasiorasio keuangan yang dapat dianggap sebagai proxies dari kesehatan bank serta dengan menggunakan metoda Discriminant Analysis diperoleh beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi kondisi solvency. Faktor-faktor tersebut adalah kualitas aktiva produktif, kecukupan modal (CAR) dan likuiditas. Faktor-faktor penentu tersebut tidak berdiri sendiri, namun memiliki interkorelasi antara satu dengan lainnya dalam satu jangka waktu tertentu. Interkorelasi antar variabel berdasarkan fungsi waktu dinyatakan dalam matrix system. Berdasarkan matrix system dapat diprediksi kondisi faktor-faktor penentu satu periode yang akan datang dan kondisi solvency perbankan baik secara individual maupun global. Melalui pengembangan lebih lanjut dengan mengidentifikasi variabelvariable mikro serta makro yang memiliki korelasi dengan kondisi solvency perbankan, metode ini dapat digunanakan sebagai dasar dalam membangun sistem pengawasan dini (early warning model) guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis perbankan dimasa mendatang.
SETAHUN KRISIS ASIA : BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI KRISIS TERSEBUT Mahdi Mahmudy
Abstraksi Krisis keuangan Asia yang pertama kali dipicu oleh devaluasi Thai Baht pada pertengahan tahun lalu telah menyeret jatuhnya nilai mata uang dan pasar modal negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Phillipina, Korea, dan Indonesia. Semakin terpuruknya perekonomian, mengakibatkan negara-negara yang terkena krisis untuk meminta bantuan lembaga internasional seperti IMF, world Bank dan ADB. Berbagai kebijakan ekonomi makro baik moneter, fiskal, keuangan dan sektor riil telah dicoba untuk mengatasi krisis tersebut. Namun, karena kompleks faktor penyebab, serta munculnya permasalahan sosial dan politik akibat krisis tersebut, kebijakan makro yang konvensional berupa pengetatan moneter dan fiskal belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Krisis tersebut diperburuk oleh kondisi perekonomian Jepang yang juga sedang mengalami berbagai permasalahan internal. Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar kedua didunia, merupakan lokomotif yang penting dalam mendorong perekonomian Asia dan dunia. Terpuruknya perekonomian Asia telah membawa pengaruh contagion terhadap Russia, Eropa Timur dan Amerika Latin. Bila tidak segera diatasi secara menyeluruh dan bersama-sama, krisis tersebut diduga akan mengakibatkan krisis global dan membawa perekonomian dunia kearah depresi.