Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
EDITORIAL Dewan Redaksi menyampaikan rasa syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua penulis pada penerbitan Volume I Nomor 3 ini, meskipun jumlah judul yang terhimpun sedikit berkurang. Seluruh dukungan, dan kontribusi atas penulisan ini sangat berarti demi kepentingan bersama khususnya dalam memotivasi para peneliti yang konsisten terhadap peningkatan penulisan pada jurnal kesehatan yang semakin berkualitas. Publikasi rutin ketiga ini menampilkan sepuluh judul penelitian kesehatan dalam berbagai bidang. Kami ucapkan terimakasih kepada para kontributor naskah ilmiah, khususnya para peneliti dari Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang dan Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya yang telah turut serta melengkapi isi jurnal ini baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Rasa terimakasih juga kami sampaikan kepada para pembaca yang telah memberikan kepercayaan kepada jurnal ini sebagai sumber informasi penelitian kesehatan. Untuk meningkatkan jangkauan penyebarluasan informasi hasil-hasil penelitian, jurnal ini juga dipublikasikan melalui situs internet: www.suaraforikes.page.tl. Harapan Dewan Redaksi semoga para penulis, sejawat dan praktisi kesehatan, para dosen, di manapun berada senantiasa eksis berperanserta dalam mempresentasikan artikel guna pengembangan dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian. Redaksi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
1
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
DAFTAR ISI Analisis Perbedaan Berat Badan Sebelum dan Sesudah Menggunakan Alat Kontrasepsi 181-186 Implant Lebih Dari 5 Tahun Sutami, Kokoeh Hardjito Hubungan Pengetahuan Dengan Persepsi Kepala Keluarga Terhadap Penderita Kusta Suwoyo, Siti Asiyah, Intajul Fikriyah
187-196
Pengaruh Paket Pendidikan Kesehatan “Rindu” Terhadap Kesiapan Ibu Merawat Bayi 197-204 Prematur Setelah Pulang dari Rumah Sakit di Kediri Erna Rahma Yani, Muhammad Mudzakkir, Koekoeh Hardjito Perbedaan Kekuatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Postpartum Antara Sebelum dan 205-209 Sesudah Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Indah Rahmaningtyas, Ribut Eko Wijanti, Koekoeh Hardjito Karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Sampai tribulan II Tahun 2009 di Kota 210-222 Kediri Siti Asiyah, Suwoyo, Mahaendriningtyastuti Hubungan Antara Konsumsi Makanan Sumber Energi Dengan Status Gizi Tumirah, Sriani, Sherly Jeniawaty
223-227
Pengaruh Layanan Bimbingan Belajar Terhadap Faktor Yang Mempengaruhi Kesulitan 228-230 Belajar Sriami Rancang Bangun Rotating Biological Contractor (RBC) Dengan Menggunakan Media 231-236 Polyvinyl Chloride (RBC) Untuk Menuunkan Kadar Amoniak Beny Suyanto Efektifitas Limbah Serbuk Gergaji Kayu Kelapa dan Kayu Randu Dalam Mengeliminir 237-242 Logam Besi Pada Limbah Cair Beny Suyanto, Hery Koesmantoro Hubungan Antara Pekerjaan Dengan Partisipasi Ibu Mengikuti Senam Hamil (di URJ Poli 243-248 Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya) Sri Ratnawati, Sri Utami
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
2
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
ANALISIS PERBEDAAN BERAT BADAN SEBELUM DAN SESUDAH MENGGUNAKAN ALAT KONTRASEPSI IMPLANT LEBIH DARI 5 TAHUN Sutami *, Koekoeh Hardjito ** ABSTRAK Pertumbuhan penduduk di Indonesia berkisar antara 2,15% pertahun hingga 2, 49% pertahun. Kegiatan yang dilakukan untuk membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dengan mengurangi jumlah kelahiran. Di Indonesia menerapkan pengendalian penduduk, dengan menggalakkan program Keluarga Berencana. Susuk (implant) merupakan salah satu metode kontasepsi hormonal. Banyak wanita memperlihatkan tingkat penerimaan dan kepuasan yang tinggi terhadap sistem implant. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan berat badan sebelum dan sesudah menggunakan alat kontrasepsi implant lebih 5 tahun di Desa Morosari Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Desain penelitian yang dipakai adalah cross sectional. Dari hasil penelitian didapatkan, berat badan ibu sebelum menggunakan implant sebagian besar antara 46-50 kg. Berat badan ibu setelah menggunakan implant lebih dari 5 tahun sebagian besar antara 51-55 kg. Dari hasil uji t diketahui terdapat perbedaan berat badan sebelum dan sesudah menggunakan alat kontrsepsi implant lebih 5 tahun. Rekomendasi dari penelitian ini diharapkan dapat lebih meningkatkan pemahaman tentang alat kontrasepsi KB implant, terutama yang berhubungan dengan perubahan berat badan akseptor KB implant. Kata Kunci: Berat badan, alat kontrasepsi Implant. * : Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo ** : Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Malang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia berkisar antara 2,15% pertahun hingga 2,49% pertahun. Tingkat petumbuhan penduduk tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor utama fertillitas, mortilitas dan migrasi. Kegiatan untuk membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dengan mengurangi jumlah kelahiran. Indonesia menerapkan pengendalian penduduk dengan menggalakkan program KB (Rustanto, 2009). Gerakan KB di Indonesia telah berhasil dengan baik. Total fertility rate (TFR) turun dari 5,6 pada tahun 1970 menjadi 2,6 tahun 2002/2003. Pada tahun 1997, dua pertiga (66,67%) perempuan menikah di Indonesia menggunakan kontrasepsi modern, salah satunya implant sebanyak 11,0% (Widyastuti dkk, 2009). Pilihan kontrasepsi sekarang memungkinkan wanita atau pasangan memilih kontrasepsi yang paling sesuai untuk keadaan khusus mereka (Llewellyn, 2002). Ada berbagai metode KB yang disesuaikan dengan kebutuhan dan indikasi pasien yang ingin memilihnya. Susuk (norplant) adalah salah satu metode kontrasepsi hormonal. Banyak wanita memperlihatkan tingkat penerimaan dan kepuasan yang tinggi terhadap norplant (Varney dkk, 2007).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
181
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Pada tahun 2009, peserta KB aktif pengguna implant di Kabupaten Ponorogo sebanyak 7.492 (5,2%), di Kecamatan Sukorejo sebanyak 746 akseptor (8,7%) (Badan Keluarga Berencana Kab. Ponorogo, 2009). Sedangkan di Desa Morosari sebanyak 64 akseptor (20,2%), dengan akseptor yang lebih dari 5 tahun sebanyak 32 orang (UPTD Sukorejo, 2009). Secara keseluruhan angka kehamilan pada pemakai implant adalah 0,2 per 100 wanita dalam tahun pertama pemakaian, dengan angka kehamilan kumulatif 3,9 per 100 wanita per tahun kelima. Efektifitas implant tidak tergantung pada keterlibatan pemakai secara teratur (Wulansari dan Hartanto, 2007). Efektifitas jangka panjang yang sangat baik membuktikan bahwa implant adalah salah satu kontrasepsi reversibel paling efektif (Anna dan Aiesa, 2006). Sebagian wanita yang menggunakan implant mengalami efek samping, tersering adalah perubahan pola perdarahan haid (Wulansari dan Hartanto, 2007). Efek samping yang lebih jarang adalah peningkatan nafsu makan dan peningkatan berat badan (Varney dkk, 2007). Dari hasil studi pendahuluan tanggal 15 Februari 2010 di Desa Morosari, didapatkan 10 pengguna kontrasepsi implant, 1 orang mengalami peningkatan berat badan 6-7%, 6 orang mengalami peningkatan berat badan 3-4%, dan 3 orang tak mengalami kenaikan berat badan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi berat badan ibu sebelum menggunakan implant, 2) mengidentifikasi berat badan ibu sesudah menggunakan implant lebih dari 5 tahun, 3) menganalisis perbedaan berat badan ibu sebelum dan sesudah menggunakan implant lebih dari 5 tahun. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Populasi penelitian cross sectional pada tanggal 10-17 Juni 2010 ini adalah semua akseptor KB implant lebih dari 5 tahun di Desa Morosari Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo dengan sampel sebesar 32 orang. Variabel bebas penelitian ini adalah penggunaan alat kontrasepsi implant, sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah berat badan. Data berat badan sebelum menggunakan implant diambil dari data sekunder (kartu KB dan K4 KB), sedangkan sesudah menggunakan implant diukur secara langsung menggunakan timbangan berat badan. Data dianalisis dengan uji t 2 sampel berpasangan, dengan α=5%.
Jml (Orang)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 25 20 15 10 5 0
31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65 66-70
BB (Kg)
Gambar 1. Berat Badan Ibu Sebelum Menggunakan Implant
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
182
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Jml (Orang)
25 20 15 10 5 0 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65 66-70 71-75
BB (Kg)
Gambar 1. Berat Badan Ibu Sesudah Menggunakan Implant Lebih Dari 5 Tahun
Jml orang)
80 60 40 20 0 Bertambah
Turun
Tetap
Kriteria
Gambar 1. Perubahan Berat Badan Ibu Sesudah Menggunakan Implant Lebih Dari 5 Tahun Rerata peningkatan berat badan responden 2,95 kg. Hasil uji-t didapatkan nilai t hitung= 18,456, lebih besar dari nilai t tabel= 2,0399, maka H0 ditolak (terdapat perbedaan yang signifikan antara berat badan sebelum dan sesudah menggunakan implant lebih dari 5 tahun. Sebelum menggunakan implant, berat badan mayoritas adalah 46-50 kg (25%), urutan kedua 51-55 kg dan 56-60 kg (18,75%), urutan ketiga 36-40 kg dan 41-45 kg (12,50%), urutan keempat 30-35 kg (6,25%), dan urutan terakhir 61-65 kg dan 66-70 kg (3,13%) (Gambar 1). Berat badan merupakan salah satu indikator untuk menentukan status gizi seseorang. Berat badan merupakan indikator status gizi yang mudah berubah. Banyak sekali faktor yang dapat menyebabkan perubahan berat badan seseorang. Menurut Depkes RI (2000), berat badan merupakan salah satu ukuran tubuh yang sering dipakai untuk memberikan gambaran status energi dan protein seseorang. Berat badan merupakan antropometri yang sangat labil karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi berat tubuh. Faktor internal mencakup faktorfaktor hereditas seperti gen, regulasi termis, dan metabolisme. Faktor eksternal mencakup aktivitas fisik, dan asupan makanan. Selain itu kebiasaan hidup dan pola makan lebih dominan dalam mempengaruhi berat badan seseorang bila dibandingkan faktor internal. Sesudah menggunakan implant lebih dari 5 tahun, berat badan mayoritas adalah 51-55 kg (25 %), urutan kedua 41-45 kg, 56-60 kg, dan 61-70 kg (15,62%), urutan ketiga 41-45 kg (12,5%), urutan keempat 36-40 kg (6,25%), dan urutan terakhir 30-35 kg, 66-70 kg, dan 71-75 kg (3,13%) (Gambar 2).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
183
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Berat badan ibu sesudah menggunakan implant mengalami perubahan. Berat badan mayoritas sebelum menggunakan KB implant 46-50 kg, sedangkan mayoritas setelah menggunakan implant lebih dari 5 tahun menjadi 51-55 kg. Dengan adanya implant, dapat terjadi efek samping yaitu peningkatan berat badan. Peningkatan berat badan rata-rata dapat terjadi setelah pemakaian lebih dari 5 tahun. Perubahan ini disebabkan oleh efek dari levonorgestrel. Ada banyak faktor yang menyebabkan kenaikan berat badan seseorang dalam waktu lebih dari 5 tahun, yaitu estrogen menurun diikuti oleh menurunnya produksi kelenjar tiroid sehingga mengakibatkan berat badan meningkat terutama pada wanita menjelang menopause. Selain itu kenaikan berat badan pemakai implant dipengaruhi oleh perasaan tenang. Dengan memakai implant ibu tidak kawatir terjadi kehamilan sehingga dapat berpengaruh pada peningkatan berat badan. Faktor makanan dan aktifitas fisik juga dapat mempengaruhi berat badan ibu. Banyaknya konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan lemak dan kurangnya aktifitas fisik dapat mempengaruhi peningkatan berat badan. Faktor gen juga dapat mempengaruhi berat badan seseorang. Peningkatan berat badan juga dapat dipengaruhi oleh bertambahnya usia seseorang. Hanafi (2008) menyatakan bahwa ibu-ibu yang sudah memakai implant, yaitu suatu alat kontrasepsi yang dipasang dibawah kulit pada lengan bagian atas, mengandung hormon steroid dan digunakan untuk jangka lama. Salah satu di antaranya adalah implant Levonorgestrel (LNG), merupakan bahan bioaktif yang dewasa ini banyak digunakan. Hormon ini menghambat ovulasi, mengurangi gerakan saluran telur (tuba Fallopii), perubahan pada endometrium dan mengentalkan lendir serviks. Varney (2007) menyatakan bahwa peningkatan berat badan merupakan salah satu efek samping yang jarang dari pemakaian KB implant. Wanita yang meggunakan implant lebih sering mengeluhkan peningkatan berat badan dibandingkan penurunan berat badan. Penilaian perubahan berat badan pada pengguna implant dikacaukan oleh perubahan olahraga, diet, dan penuaan (Arini, 2009). Dua faktor eksternal yang sangat dominan mempengaruhi berat badan adalah aktivitas fisik dan asupan nutrisi. Karena untuk melakukan aktivitas fisik seseorang, manusia memerlukan sejumlah energi. Jika energi yang diberikan oleh makanan tidak cukup, maka energi diperoleh dari hasil pemecahan lemak di dalam tubuh. Keadaan berat badan ibu setelah memakai implant lebih dari 5 tahun adalah mayoritas meningkat: 25 orang (78,12%), selebihnya menurun: 3 orang (9,37%), dan tetap: 4 orang (12,5%). Di samping adanya efek samping implant, perbedaan berat badan seseorang juga dipengaruhi oleh: pertama faktor makan yang melebihi kebutuhan tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh kebiasaan makan yang berlebih atau cara memilih makanan yang salah. Kedua kurang menggunakan energi. Pekerjaan yang dilakukan sehari-hari dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang. Gaya hidup yang kurang menggunakan aktifitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktifitas fisik tersebut diperlukan untuk membakar kalori dalam tubuh. Bila pemasukan kalori berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktifitas fisik maka berat badan seseorang akan meningkat. Ketiga penuaan. Pada perempuan yang sedang mengalami menopause dapat terjadi penurunan fungsi hormon tiroid. Kemampuan untuk menggunakan energi akan berkurang dengan menurunnya fungsi hormon
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
184
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
ini. Hal tersebut terlihat dengan menurunnya metabolisme tubuh sehingga menyebabkan peningkatan berat badan. Keempat faktor kecepatan metabolisme basal yang rendah. Hal ini disebabkan energi yang dikonsumsi lebih lambat untuk dipecah menjadi glikogen sehingga akan lebih banyak lemak yang disimpan di dalam tubuh. Hanafi (2008) menyatakan, perbedaan berat badan itu akibat adanya efek samping pemakaian implant terhadap berat badan ibu, kenaikan berat badan selama lebih dari 5 tahun pemakaian implant (sekitar 2-3 kg). Sutarna dkk (2009) menyatakan efek samping yang mungkin terjadi dari pemakaian implant adalah penambahan berat badan yang signifikan. Ayurai (2009) juga menyatakan keterbatasan implant salah satunya adalah peningkatan atau penurunan berat badan. Kenaikan berat badan tersebut akibat pengaruh aktifitas androgenik LNG berupa efek metabolik yang menyebabkan peningkatan nafsu makan (Hanafi, 2008). Sedangkan kenaikan berat badan terjadi karena hormon ini mempengaruhi proses metabolisme lemak dan kolesterol dalam tubuh (Piogama, 2009). Efek ini tergantung pada potensi androgennya. Makin kuat potensi androgennya, makin besar efek buruknya pada metabolisme lemak (Mariyono, 2003). Metabolisme lemak merupakan salah satu faktor penentu dalam peningkatan berat badan. Pemakaian KB hormonal dapat meningkatkan proses pembentukan kolesterol dan lemak. Tetapi efek samping ini bersifat individual karena ada beberapa orang yang menggunakan KB implant tetapi tidak mengalami kenaikan berat badan (Piogama, 2009). Perbedaan berat badan yang terjadi pada akseptor KB implant adalah adanya efek samping yang ditimbulkan dari livonorgestrel. Levonorgestrel mempengaruhi peningkatan nafsu makan. Selain itu Levonorgestrel juga mempengaruhi metabolisme lemak dan kolesterol dalam tubuh. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penelitian adalah mayoritas berat badan ibu sebelum mengunakan implant 4650 kg, mayoritas berat badan ibu sesudah menggunakan implant lebih dari 5 tahun 51-55 kg, dan terdapat perbedaan berat badan sebelum dan sesudah menggunakan KB implant lebih dari 5 tahun. Disarankan petugas KB di lahan memberikan konseling secara berulang, setidaknya harus meliputi: pemahaman terhadap efektifitas relatif metode, penggunaan metode secara benar, cara kerja, efek samping yang umum terjadi, risiko kesehatan serta manfaat metode, tanda dan gejala yang mengharuskan klien kembali ke klinik, informasi tentang kembalinya kesuburan sesudah penghentian suatu metode. DAFTAR PUSTAKA Abdul Bari Saifudin, Afandi Biran, Enriguito, 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: yayasan Bina pustaka Sarwono Prawiroharjo. Agus Sutarna, Neti Juniarti, H.Y Kuncara, 2009. Buku Ajar Keperawatan PediatrikWong. Cetakan I. Jakarta: EGC Arini, 2009. Kontrasepsi Implant. http://arini.staf.gunadarma.ac.id. Akademi kebidanan widya karsa Jayakarta. Diakses tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB. Ayurai, 2009. Implant/susuk http://ayurai-wordpress.com/2009/06/18/implant-susuk. Diakses tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
185
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Badan Keluarga Berencana Kab. Ponorogo, 2009. Umpan Balik Hasil Pencapaian Program Keluarga Berencana Kabupaten Ponorogo Bulan Desember. Ponorogo. Cunningham. F. Gary, Hartono Andry, Suyono Joko. Y, 2006. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta. EGC. Derek Llewellyn-Jones, 2002. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi.Cetakan I. Jakarta: Hipokrates. DepKes RI, 2000. Pedoman Kerja Tenaga Gizi Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan. Dinkes Jabar, 2006. Informasi obat Levonorgestrel. http://www.clearinsyntec.com/ diakses tanggal 5 Februari 2010 jam 16.00 WIB. Dyah Noviawati & Sujiyatini, 2008.Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Cetakan I. Yogyakarta: Mitra Cendika Glasier Anna dan Gabibil Aiesa, 2006. Dasar-dasar Obstetri dan Genekolog. Catakan I. Jakarta: Hipokrates. Hanafi Hartanto, 2003. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hanifa Wiknjosastro 2002. Ilmu Kebidanan. Cetakan keenam. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Hanifa Wikjosastro, 2005. Ilmu Kandungan. Edisi 2. Cetakan keempat. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Hendrawan, 2009. Keluarga Berencana. www.bahtera.org/kateglo/ diakses tanggal 8 Februari 2010 jam 15.15 WIB Ida Bagus Gde Manuaba, 1999.Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Monica Ester. Jakarta: Arcan Indriani K Sumadikarya, 2009 Rekomendasi Praktik Pilihan Untuk Penggunaan Kontrasepsi. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta: EGC. Irsan Hanafi, 2008. Kontrasepsi yang Dipilih Tidak Cocok? http://www.parentguide.co.id diakses tanggal 8 Februari 2010 jam 15.00 WIB KB-Keluarga Berencana, 2008. KB-Keluarga Berencana Implant. http://KB-Keluarga berencana.blogspot.com/2008.05/implant.html Piogama, 2009. Kontrasepsi yang Dipilih Tidak Cocok?. http://piogama.ugm.ac.id/index.php/2009/02/kb-susuk-menyebabkan-berat-badan-naik/. Diakses tanggal 14 Juni 2010 jam 14.15 WIB. Pita Wulansari dan Huriawati. Hartanto, 2007.Ragam Metode Kontrasepsi. Cetakan I: EGC Rustanto, 2009. Kependudukan. http://id.wikipedia.org/wiki/penduduk. diakses tanggal 5 Februari 2010 jam 16.15 WIB Suyanto & Ummi Salamah, 2009. Riset Kebidanan. Cetakan keempat. Jogyakarta: Mitra Cendikia. UPTD Sukorejo, 2009.Pencapaian Akseptor KB Krcamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo, Bulan Desember. Varney Helen, Jan M.Kriebs, Carolyn L. Gegor. 2007.Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC Yani Widyastuti, Anita Rahmawati, Yuliasti Eka Pramaningrum. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
186
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN PERSEPSI KEPALA KELUARGA TERHADAP PENDERITA KUSTA Suwoyo*, Siti Asiyah*, Intajul Fikriyah* ABSTRACT Leprosy belongs to the oldest disease in the world, which is caused by Mycobacterium Leprae. This disease infects the skin and side nerve. Lack of right informations regarding leprosy, makes people often think it is a hereditary disease, or disease caused by curse, magic, as well as sexual intercourse during menstruasion. This wrong thought makes the lepers afraid or even hide themselves. The purpose of this research is knowing the relation between knowledge and perseption of the head of household in lepers, in the working area of Balowerti Public Health Center, Kediri City. The population of the research consisted of 1960 heads of household, live in the working area of Balowerti Public Health Center, Kediri Town. The sampel has been researched consisted of 1960 respondents using Multistage Random Sampling. The variable independent was about leprosy knowledge of the head of household, while its dependent variable was the perseption of the heads of household to lepres. Data’s analysis was performed by using Spearman Rho statistical tests. The Result of research shewed that heads of household having less knowledge category amoun to 80 respondents (45,5%), those having medium knowledge category are 76 respondents (43,2%), while those having good knowledge category are 20 responden (11,3%). Heads of househoul having less perception category amount to 76 responden (43,2%), those having medium perception category are 71 respondents (40,3%), and those having good perception category are 29 respondents (16,5%). Result of the data analysing, by the use of Sepearman Rho Statistical Tests at α = 0,05 shewed that correlation coefficient is ,627** and level of significance 0,000 is < 0,05. This mean H0 was rejected and H1 was accepted. Accordingly, thereis a relation between the head of household’s knowledge and perception in lepers, in the working area of Balowerti Public Health Center, Kediri Town. Based on the result of the research, it couldbe concluded that there was a relation between knowledge and perception of the head of the householdin lepers, in the working area of Balowerti Public Health Center, Kediri Town. Keywords: knowledge, perception, society, leprosy * : Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Malang. PENDAHULUAN Latar Belakang Kusta termasuk penyakit tertua di dunia. Kusta disebabakan oleh mycobacterium leprae, penyakit ini menyerang kulit dan syaraf tepi, jika tidak segera diobati dapat menimbulkan hilangnya rasa dan kelumpuhan otot pada daerah kaki, tangan dan muka. Beban berat yang harus di tanggung oleh pendrita kusta selain karena penyakitnya, juga karena masih kuatnya
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
187
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
stigma yang tertanam di Masyarakat. Minimnya informasi yang benar mengenai penyakit ini, membuat masyarakat kerap menganggap kusta sebagai penyakit kutukan (Susanto, 2009). Kebanyakan masyarakat menganggap penyakit kusta adalah penyakit menular, kutukan dan penderita harus di asingkan. Anggapan masyarakat yang demikian itu menyebabkan penderita takut untuk keluar rumah, bahkan untuk berobatpun harus sembunyi-sembunyi. Minimnya pengetahuan masyarakat yang benar dan pasti tentang penyakit kusta menyebabkan persepsi yang keliru, takut berdekatan dengan penderita (Ngeljaratan, 2008). Jumlah kasus yang tercatat pada tahun 1997 sebanyak 890.000 penderita di seluruh dunia. Kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara dan sekitar 82% nya berada di Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan Nigeria. Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2002 terdapat 12 ribu kasus kusta, 2003-14 ribu kasus dan semakin meningkat pada tahun 2007 mencapai 17 ribu kasus. Indonesia menempati nomor ke tiga di Dunia setelah India dan Brazil. Jumlah penderita kusta baru di Indonesia pada tahun 2002 sebanyak 12.000 orang, namun pada awal tahun 2008 angka itu melonjak pesat menjadi sekitar 17.000 (Susanto, 2009). Sebanyak 17 provinsi di Indonesia masih tergolong sebagai daerah endemis kusta. Kebanyakan di Indonesia timur, seperti Papua, Kalimantan, Halmahera, Sulawesi Selatan dan yang terbanyak Jawa Timur. Tingkat rata-rata kecacatan penderita penyakit kusta di Indonesia cukup tinggi, yakni mencapai 8,7 persen per kasus kejadian per tahun (Hernani, 2007). Di Provinsi Jawa Timur kusta merupakan penyakit endemis. Berdasarkan data di kantor Dinas Kesehatan setempat, sepanjang tahun 2006 ini sudah tercatat 6.317 kasus. Tahun sebelumnya terdapat 6.326 penderita dan pada tahun 2004 terdapat 6.061 penderita.. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Bambang Giatno. Rata-rata tiap tahun di provinsi ini ada penambahan jumlah penderita sebanyak 6-7 ribu orang. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kediri dari laporan triwulan I tahun 2009 ditemukan penderita baru kusta sebanyak 11 orang. Di puskesmas Balowerti didapatkan penemuan terbanyak yaitu 8 orang, Puskesmas Mrican 2 orang dan Puskesmas Ngronggo 1 orang. Dari hasil studi pendahuluan pada tanggal 6 April 2009 di Puskesmas Balowerti Kota Kediri didapatkan data penderita kusta sebanyak 12 orang, dan semuanya berobat ke puskesmas secara teratur. Dari hasil wawancara terhadap 5 orang di wilayah Puskesmas Balowerti melalui, 3 orang mengatakan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan yang mudah menular dan penderitanya harus di asingkan, 1 orang mengatakan bahwa penyakit kusta itu merupakan penyakit keturunan dan 1 orang mengatakan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang penularannya membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak perlu mengasingkan penderita kusta. Banyak hambatan untuk memberantas penyakit yang dinilai sebagian masyarakat sebagai penyakit kutukan, keturunan, dan akibat guna-guna ini. Salah satu penyebab sulitnya pemberantasan adalah akibat anggapan yang salah dari masyarakat. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan Drg. Rosihan Adhani akibat anggapan yang salah demikianlah timbul ketakutanan yang berlebihan terhadap penyakit kusta, hingga jadi penghambat program pemberantasan kusta, padahal penyakit itu tidak hanya mengancam pada aspek medis, tapi juga mengganggu aspek sosial dan ekonomi penderita (Zainuddin, 2008).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
188
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Menurut Sunanti Zalbawi, melalui wawancara mendalam pada masyarakat di dapatkan 48% kepala keluarga tidak tahu tentang penyabab penyakit kusta, kepercayaan masyarakat bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan tuhan masih ada. Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-sunguh untuk melakukan edukasi dan advokasi tentang penyakit kusta kepada masyarakat, sehingga stigma negatif terhadap penyakit ini terkikis, dan muncul kepedulian yang lebih besar kepada penderita kusta. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi pengetahuan Kepala Keluarga tentang kusta, 2) mengidentifikasi persepsi Kepala Keluarga tentang penderita kusta, 3) menganalisis hubungan pengetahuan dan persepsi Kepala Keluarga terhadap penderita kusta di wilayah puskesmas Balowerti Kota Kediri. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri pada tanggal 9-17 juli 2009 ini menerapkan desain adalah cross sectional. Populasi penelitian adalah semua kepala keluarga di wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri sejumlah 1960 yang terbagi dalam 8 RW dan 33 RT. Sampel penelitian adalah sebagian kepala keluarga di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri dengan anggota keluarga ada yang menderita kusta dan atau kepala keluarga dengan anggota keluarga tidak menderita kusta, kepala keluarga yang bersedia menjadi responden, kepala keluarga yang bisa baca dan tulis. Teknik sampling yang diterapkan adalah multistage random samplin. Cara samplingnya adalah semua kepala keluarga di wilayah Puskesmas Balowerti yang terbagi dalam 8 RW. Cluster Random Sampling dilakukan dengan cara melakukan randomisasi untuk menentukan RW yang terpilih. Kemudian setelah mendapatkan RW yang terpilih untuk menentukan sampel individu dilakukan Simple Random Sampling. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan kepala keluarga tentang kusta, dan variabel dependen adalah persepsi kepala keluarga terhadap penderita kusta. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Sampel pada penelitian ini sebanyak 176 KK yang berada di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Semua KK yang terpilih menjadi responden adalah KK yang dalam keluarganya tidak ada yang menderita kusta. 1. Karakteristik Pendidikan Responden Karakteristik pendidikan responden disajikan pada Gambar 1, yang menunjukkan bahwa dari 176 responden, sebagian besar KK berpendidikan SMP yaitu ada 67 responden (38%).
Gambar 1. Karakteristik Pendidikan Responden di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
189
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
2. Karakteristik Pekerjaan Responden Karakteristik pekerjaan responden disajikan pada Gambar 2, yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pekerjaan swasta yaitu 81 (46%) dari 176 responden.
Gambar 2. Karakteristik Pekerjaan Responden di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. 3. Pengetahuan KK tentang kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Distribusi responden berdasarkan indikator pengetahuan tentang kusta selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1, yang menunjukkan bahwa sebagian besar KK mempunyai pengetahuan dalam kategori kurang tentang kusta, yaitu sebanyak 80 responden (45,5%). Tabel 1. Pengetahuan KK Tentang Kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri No Pengetahuan Jumlah Persentase (%) 1 Kurang 80 45,5 2 Sedang 76 43,2 3 Baik 20 11,3 Jumlah 176 100 4. Persepsi KK terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Distribusi responden berdasarkan indikator persepsi terhadap penderita kusta dapat di lihat dalam Tabel 2, yang menunjukkan bahwa sebagian besar KK mempunyai persepsi dalam kategori kurang terhadap penderita kusta yaitu sebanyak 76 responden (43,2%). Tabel 2 : Persepsi KK terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri No Persepsi Jumlah Persentase (%) 1 Kurang 76 43,2 2 Sedang 71 40,3 3 Baik 29 16,5 Jumlah 176 100 5. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi KK Terhadap Kusta Pengetahuan dan persepsi KK terhadap Penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri disajikan pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa bahwa: 1) kelompok responden dengan pengetahuan kurang, mayoritas memiliki persepsi kurang, 2) kelompok responden dengan pengetahuan sedang, mayoritas juga memiliki persepsi sedang, 3) kelompok responden dengan pengetahuan baik mayoritas juga memiliki persepsi baik terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Maka, tampak bahwa semakin baik tingkat pengetahuan, semakin baik pula persepsi KK terhadap penderita kusta.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
190
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel 3. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi KK Terhadap Penderita Kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Persepsi Kurang (%) Sedang (%) Baik (%) Jumlah (%) Pengetahuan Kurang (%) 58 (72,5,0) 22 (27,5) 0 (0,0) 80 (100) Sedang (%) 17 (22,4) 44 (57,9) 15 (19,7) 76 (100) Baik (%) 1 (5,0) 5 (25,0) 14 (70,0) 20 (100) Jumlah (%) 76 (43,2) 71 (40,3) 29 (16,5) 176 (100) Uji Spearman Rho disajikan pada Tabel 4, dengan nilai sig (2-tailed) 0,000. Karena nilai ini <0,05 maka Ho ditolak, maka ada hubungan antara pengetahuan dan persepsi KK terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Nilai correlation coefficient 0,627(**) artinya hubungan antar variabel cukup erat karena 0,627(**) >0,5 dan keeratannya pada level 63%. Tabel 4: Correlations Spearman”s rho Pengetahuan Persepsi Spearman's Pengetahuan Correlation Coefficient 1.000 .627(**) rho Sig. (2-tailed) . .000 N 176 176 Persepsi Correlation Coefficient .627(**) 1.000 Sig. (2-tailed) .000 . N 176 176 Pembahasan 1. Pengetahuan Kepala Keluarga Tentang Kusta Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar KK berpengetahuan kurang. Kurangnya pengetahuan KK dipengaruhi oleh kurang intensifnya penyuluhan kesehatan yang didapat oleh KK. Karena jarak puskesmas dengan pabrik gudang garam yang dekat ± 450 m, sebagian besar KK di Wilayah Puskesmas Balowerti adalah sebagai pegawai swasta, sehingga tidak bisa mengikuti penyuluhan. Tenaga kesehatan memfokuskan penyuluhan pada penderita kusta, sehingga penderita kusta akan rutin berobat dan sembuh dari penyakitnya. Padahal masyarakat juga perlu mendapatkan informasi ataupun penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kusta sehingga masyarakat pengetahuannya lebih baik. Dengan pengetahuan yang baik, masyarakat tidak akan takut atau menyudutkan penderita kusta. Perlu adanya tindak lanjut dari tenaga kesehatan untuk lebih meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kusta di daerah penderita kusta. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Dengan tingginya pendidikan diharapkan tingkat pengetahuan seseorang berubah sehingga
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
191
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
memudahkan dalam menerima. Dengan majunya teknologi akan tersedia pula bermacam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Dengan banyaknya pendengar penyuluhan maka pengetahuan seseorang akan bertambah (Notoatmodjo, 1996). Kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Ditjen PPM & PL, 2002). Kebanyakan masyarakat menganggap penyakit kusta merupakan penyakit menular, kutukan dan penderita harus diasingkan. Anggapan masyarakat itu menyebabkan penderita takut untuk keluar rumah, bahkan untuk berobatpun harus sembunyi-sembunyi. Masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular tidak dapat di obati, penyakit keturunan, kutukan tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan (Zulkifli, 2003). Masyarakat Indonesia saat ini masih terdapat lepropobia atau ketakutan masyarakat akan tertular penyakit kusta. Akibatnya, penanganan penderita kusta jadi terhambat. Penderita kusta malu memeriksakan diri sehingga penyakitnya menjadi kronis dan menimbulkan cacat pada tubuhnya. Ironisnya, kusta dianggap sebagai penyakit kutukan sehingga masyarakat biasa mengucilkan penderita, bahkan penderita yang sudah sembuh (Bambang, 2004). Pengertian yang keliru di masyarakat tentang penyakit kusta, yakni sebagai penyakit keturunan, akibat guna-guna atau akibat berhubungan seks saat haid, menjadikan penderita takut dan malah bersembunyi. Kusta juga dianggap tidak bisa disembuhkan (Hernani, 2007). Dari uraian di atas dapat diasumsikan bahwa pendidikan yang rendah akan mempengaruhi tingkat pengetahuan, sehingga dari hasil penelitian didapatkan 80 responden (45,5%) berpengetahuan rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya penyuluhan yang di terima serta pendidikan responden yang rendah yaitu terdapat 67 responden (38%) berpendidikan SMP, sehingga responden menganggap penyakit kusta merupakan penyakit keturunan, kutukan Tuhan yang tidak dapat di sembuhkan. Dari 176 responden sebanyak 91 responden (52%) menjawab kusta adalah penyakit keturunan dan sebanyak 121 responden (68,7%) menjawab bahwa penyakit kusta dapat mengakibatkan lepasnya jari-jari tangan maupun kaki. Banyaknya responden yang berpengetahuan rendah mengakibatkan adanya hambatan untuk memberantas penyakit kusta yang dinilai sebagian masyarakat sebagai penyakit kutukan Tuhan. Dengan pengetahuan yang rendah, masyarakat akan mengucilkan penderita kusta karena masyarakat menganggap penyakit kusta tidak bisa disembuhkan. 2. Persepsi Kepala Keluarga Terhadap Penderita Kusta Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi KK terhadap penderita kusta dalam kategori kurang. Persepsi adalah pengalaman yang terbentuk berupa data yang didapat melalui indera, hasil pengolahan otak dan ingatan (Widayatun,1999). Objek stimulus yang mengenai alat indra atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf penerima sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
192
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Stigma negatif membuat banyak penderita kusta menyembunyikan diri atau dikucilkan masyarakat sekitarnya. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menyatakan, ada persepsi keliru sebagian masyarakat bahwa kusta adalah penyakit keturunan, akibat guna-guna, dan salah makan. Kusta dianggap sangat menular dan tidak dapat disembuhkan (Susanto, 2009). Sebagian besar masyarakat mengucilkan mereka yang terserang kusta, sehingga orang menderita kusta sulit melakukan aktifitas layaknya orang normal karena stigma yang ada di masyarakat. Image masyarakat yang memfonis penderita kusta dengan pendapat yang tidak baik itulah yang akhirnya membuat para penderita kusta takut untuk berobat dan berdampak pada lambannya penanggulangan (Zainuddin, 2008). Penderita kusta sulit untuk diterima di tengah masyarakat, masyarakat menjauhi penderita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong keluarga dan penderita diasingkan (Zulkifli, 2003). Banyaknya responden yang memiliki persepsi kurang dipengaruhi oleh kurangnya informasi tentang penyakit kusta yang benar sehingga mengakibatkan persepsi yang kurang baik terhadap penderita kusta. Dengan persepsi yang kurang akan memunculkan stigma negatif terhadap penderita kusta, sehingga penderita kusta akan memiliki harga diri yang rendah dan hal ini akan mengurangi proses penyembuhan bagi penderita kusta. Persepsi juga terbangun oleh mitos yang sesat tentang kusta, persepsi masyarakat harus diubah dari masa bodoh, tidak peduli dan tidak manusiawi menjadi ikhas dan manusia yang penuh rasa kasih sayang. Masyarakat sepatutnya melihat mereka yang nasibnya kurang beruntung dari segi kesehatan justru sebagai kelompok yang harus dikasihi, disayangi, diperhatikan dan di perlakukan lebih baik dari perlakuan buruk sebelumnya. Untuk merubah persepsi tersebut perlu diberikan informasi yang benar, sehingga struktur berfikir yang keliru bisa diperbaiki. Banyak KK yang menganggap bahwa penderita kusta harus dikucilkan, juga bahwa penderita kusta tidak akan sembuh dari penyakitnya meskipun sudah berobat. Persepsi masyarakat yang kurang akan memberikan dampak yang buruk bagi penderita kusta karena akan menimbulkan penyebaran penyakit yang lebih luas kepada masyarakat. Dengan persepsi masyarakat yang kurang akan muncul tindakan yang diskriminatif terhadap penderita kusta di dalam masyarakat, akibatnya penderita kusta sulit melakukan aktifitas seperti orang normal lainnya, karena stigma negatif yang ada di masyarakat. 3. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi KK Terhadap Penderita Kusta Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar KK berpengetahuan kurang, dan persepsi responden sebagian besar dalam kategori kurang. Hal tersebut dipengaruhi oleh minimnya informasi atau penyuluhan kesehatan tentang kusta di masyarakat. Kebanyakan masyarakat mempunyai pengetahuan yang kurang sehingga penimbulkan persepsi yang negatif pula terhadap penderita kusta dengan demikian kebanyakan masyarakat takut berdekatan dengan penderita kusta, mereka khawatir akan tertular panyakit tersebut. Hasil uji Spearmen rho menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan persepsi masyarakat terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
193
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Dengan tingginya pendidikan diharapkan tingkat pengetahuan seseorang berubah sehingga memudahkan dalam menerima. Dengan majunya teknologi akan tersedia pula berbagai media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Dengan banyaknya pendengar penyuluhan maka pengetahuan seseorang akan bertambah (Notoatmodjo, 1996). Masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan, sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular tidak dapat di obati, penyakit keturunan, kutukan tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan (Zulkifli, 2003). Pengertian yang keliru di masyarakat tentang kusta, yakni kusta adalah penyakit keturunan, sakit akibat guna-guna atau akibat hubungan seks saat haid, menjadikan penderita menjadi takut dan bersembunyi. Kusta juga dianggap tak bisa disembuhkan (Hernani, 2007). Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali saraf pustat (Daili dkk, 2005). Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera (Walgito B, 2002). Objek stimulus yang mengenai alat indra atau reseptor. stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu. Minimnya pengetahuan masyarakat yang benar dan pasti tentang masalah penyakit kusta menyebabkan persepsi yang keliru, masyarakat takut berdekatan dengan penderita (Ngeljaratan, 2008). Hingga saat ini masyarakat umum tidak punya pengetahuan cukup tentang kusta, sehingga mengakibatkan munculnya stigma negatif dan tindakan diskriminatif terhadap penderita kusta di dalam masyarakat. Stigmatisasi itu membuat banyak penderita kusta menyembunyikan diri atau dikucilkan masyarakat sekitarnya. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menyatakan, ada persepsi keliru sebagian masyarakat bahwa kusta adalah penyakit keturunan, akibat guna-guna, dan salah makan. Kusta dianggap sangat menular dan tidak dapat disembuhkan (Susanto, 2009). Sebagian besar masyarakat mengucilkan penderita kusta, sehingga mereka sulit melakukan aktifitas layaknya orang normal karena stigma di masyarakat. Image masyarakat yang memfonis penderita kusta dengan pendapat yang tidak baik itulah yang membuat para penderita takut berobat dan berdampak pada lambannya penanggulangan (Zainuddin, 2008). Akibat minimnya pengetahuam dan informasi tentang kusta pada masyarakat, penderita sulit untuk diterima di tengah masyarakat, masyarakat menjauhi penderita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong keluarga dan penderita diasingkan (Zulkifli, 2003). Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan kurang akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap penderita kusta, hal ini di buktikan dari hasil penelitian yand di lakukan pada KK di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri didapatkan sebagian besar masyarakat berpengetahuan kurang dan persepsi kurang. Juga dari hasil uji Spearman rho yang membuktikan adanya hubungan antara pengetahuan dan persepsi terhadap penderita kusta.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
194
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Pengetahuan yang kurang akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap penderita kusta, sehingga masyarakat akan mempunyai pandangan yang keliru terhadap penderita kusta, hal ini akan mengakibatkan penderita kusta menjadi takut untuk melakukan aktifitas sehari-hari seperti masyarakat yang lain, akibatnya penanganan penderita kusta jadi terhambat dan penderita kusta malu memeriksakan diri sehingga penyakitnya menjadi kronis dan menimbulkan cacat pada tubuh penderita kusta. Masyarakat beranggapan penderita kusta harus di asingkan, karena kusta adalah penyakit kutukan dan menjadi aib, sehingga sulit disembunyikan, padahal tidak demikian, penyakit kusta bisa diobati meskipun prosesnya agak lama sekitar 6-18 bulan terapi. Jika penyakit ini disembunyikan akan menjadi masalah yang berlarut-larut. Untuk merubah persepsi seseorang di perlukan waktu yang lama, namun dengan upaya berkelanjutan dari tenaga kesehatan diharapkan leprophobia dapat dihilangkan. Salah satu caranya adalah dengan terus menekan agar tidak menganggap rendah mereka yang yang terkena kusta, karena mereka juga tidak menghendaki terkena penyakit itu. Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya dan mitos yang menjijikan terhadap penderita kusta tanpa alasan yang rasional. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri ini adalah: 1) pengetahuan KK tentang kusta sebagian besar dalam kategori kurang, 2) persepsi KK terhadap penderita sebagian besar dalam kategori kurang, 3) ada hubungan pengetahuan dan persepsi KK terhadap penderita kusta, 4) semakin rendah tingkat pengetahuan KK tentang kusta maka persepsi masyarakat terhadap penderita kusta cenderung negatif pula. Saran yang diajukan antara lain: 1) Diharapkan masyarakat meningkatkan pengetahuan yang lebih mendalam tentang kusta, sehingga masyarakat dapat lebih mengerti dan tidak mempunyai persepsi yang salah terhadap penderita kusta, 2) Diharapkan institusi menggunakan penelitian ini sebagai sumbangan fikiran dan pengetahuan dengan persepsi masyarakat terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri, 3) Diharapkan dilakukan penelitian lanjutan dengan lebih mendetail, dengan melibatkan faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri, 4. Diharapkan perawat meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit kusta, dengan waktu disesuaikan dengan waktu yang memungkinkan masyarakat bisa berkumpul. DAFTAR PUSTAKA __________(2005). Penyakit Kusta dan Kepedulian Kita. Bersumber dari. http://pestagagasan.com [Di akses tanggal 30 Maret 2009. Bambang. (2004). Indonesia targetkan bebas kusta pada 2005. Bersumber dari http://Pdpersi.co.id [di akses tanggal 27 April 2009] Daili, Sjamsoe. dkk (2005). Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta: Medikal Multimedia Indonesia
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
195
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
DIT JEN PPM & PL. (2002). Buku Pedoman Pemberantasan Penyaki Kusta. Jakarta DIT JEN PP & PL. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta Elia, Ana. (2008). Lawan Stigma Kusta. Bersumber dari http://manadocyti.com [di akses tanggal 08 MEI 2009] Entjang, indan. (2000). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : Citra Aditia Bakti Guntoro. (2007). Tempat Penderita Kusta Berharap. Bersumber dari http://www.sinarharapan.co.id [di akses tanggal 30 Maret 2009] Hernani. (2007). Indonesia Masih menjadi Negara Ketiga Terbanyak Penderita Kusta di Dunia. Bersumber dari http://www.cybermeb.cbn.net.id [di akses tanggal 30 Maret 2009] Hidayat, A.aziz. Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta; Salemba Medika Maramis, willy. F. (2006). Ilmu Prilaku Dalam Pelayanan kesehatan. Surabaya: Universitas Airlangga Mutakin, Awan dkk (2004). Dinamika Masyarakat Indonesia. Bandung: Genesindo Nabhani. (2007). Masyarakat. Bersumber dari http://www.id.wikipedia.org [di akses tanggal 16 April 2009] Ngeljaratan. (2008). Penderita Kusta Kita. Bersumber dari http://www.fajar.co.id [di akses tanggal 30 April 2009] Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rinika Cipta Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metedeologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Mitra Husada Kediri (2007). Panduan Penulisan Sekripsi. Kediri : Ekskarno. Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia. Susanto. (2009). Penyakit Kusta Tidak Mudah Menular. Bersumber dari http://www.kesehatan.kompas.com [di akses tanggal 02 April 2009] Walgito, Bimo. (2002). Teori Perilaku. Jakarta. EGC Widayatun, Tri Rukmi. (2001). Ilmu Prilaku. M.A. Fajar interpratama. Zainuddin. (2008). Kusta Masih Menjadi Persoalan Serius di Kalimantan Selatan.bersumber dari http://hasanzainuddin.com [di akses tanggal 29 Maret 2009] Zalbawi, Sunanti dkk. (2004). Evaluasi Model Penanggulangan Penyakit Kusta di Daerah Endemis Dengan Pendekatan Sosial Budaya di Bayusangkah Kabupaten Bangkalan Madura. Bersumber dari http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id [di akses tanggal 29 Maret 2009] Zulkifli. (2003). Penyakit Kusta dan Masalah yang di Timbulkannya. Bersumber dari http://library.usu.ac.id [di akses tanggal 30 Maret 2008]
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
196
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
PENGARUH PAKET PENDIDIKAN KESEHATAN ”RINDU” TERHADAP KESIAPAN IBU MERAWAT BAYI PREMATUR SETELAH PULANG DARI RUMAH SAKIT DI KEDIRI Erna Rahma Yani*, Muhammad Mudzakkir**, Koekoeh Hardjito* ABSTRACT Low birth weight (LBW) and preterm birth are the most cause of infant death. After going home there is a problem of preterm infant care due to inadequate and inability mother to anticipate the emergency condition that threat the baby. The purpose of this study is to identify the influence of “RINDU” health education package to mother readiness for nurturing preterm baby at home. The design of the study is quasi-experimental with pretest-posttest control group. The samples of this study was 50 mothers of preterm infant treated in Aura Syifa, Melinda, Muhammadiyah, and Gambiran district hospital at Kediri. The samples was devided in two groups, 25 participants of intervention group and 25 participants of control group. Descriptive statistic were gotten the data that almost 56% mother were 25th years, 88% had the under junior high school, 52% participants had income more than Rp 450.000,00 and 76% had no experience to preterm infant care. There are significant differences in the readiness of the mother in intervention and control group for caring preterm infant at home (p=0,000; α=0,05). Readiness of mother take care of preterm infant is not influenced by age, education, incomes and experience ( p>0,05). “RINDU” health education package effectively used to improve knowledge, attitude, and skill of mother to care the preterm babies at home. Nursing services in hospital should be using “RINDU” a health education package as an independent nursing intervention programe for preterm infant’s mother. Key words: mother readiness, knowledge, attitude, skill, preterm infant. * : Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Malang. ** : Akademi Keperawatan Dharma Husada Kediri PENDAHULUAN Latar Belakang Angka kematian bayi (AKB) adalah indikator kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 menunjukkan AKB sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup pada periode 1998-2002. Angka ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007). Salah satu penyebab kematian neonatus tersering adalah bayi berat lahir rendah (BBLR) baik cukup bulan maupun kurang bulan (prematur). Pertumbuhan dan perkembangan BBLR setelah lahir mungkin akan mendapat banyak hambatan. Perawatan setelah lahir diperlukan bayi untuk dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangannya. Kemampuan ibu untuk memahami sinyal dan berespons terhadap bayi
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
197
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
prematur, berinteraksi dan memberkian dekapan, dalam bentuk perawatan metode kanguru, merupakan beberapa hal yang dapat membantu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan bayi prematur setelah lahir. Bayi prematur dengan berat minimal 1800–2000 g sudah aman untuk dibawa pulang asalkan tidak ada kelainan atau faktor penyulit akibat belum sempurnanya organ tubuh. Berat badan 2000 g setara dengan usia kehamilan 34 minggu, sehingga bayi sudah memiliki refleks isap dan pola nafas teratur. Sebelum pulang, bayi harus mampu minum secara aktif. Trachtenbarg dan Goleman (1998) menambahkan kriteria sosial pemulangan bayi prematur berupa kemampuan orangtua merawat bayi prematur di rumah. Kriteria ini sesuai dengan rekomendasi dari American Academy of Pediatrics (AAP), meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan ibu untuk merawat bayi prematur di rumah. Kemampuan ibu untuk berespons, berinteraksi dan memberikan dekapan perlu dipersiapkan selama bayi masih di rumah sakit. Salah satu faktor yang menghambat kesiapan ibu merawat bayi adalah tidak efektifnya penerimaan informasi akibat stres, kecemasan dan depresi yang dialami ibu pasca persalinan.Kesulitan ibu merawat bayi prematur di rumah juga berkaitan dengan masih kurangnya keterlibatan ibu selama perawatan di rumah sakit. Survey yang dilakukan McKim (1993) di Kanada terhadap 56 ibu bayi prematur didapatkan 48% ibu mengalami kesulitan merawat bayi setelah pulang dari rumah sakit. Mereka mendatangi pelayanan kesehatan kembali karena bayi mengalami apnea selama di rumah, ibu memerlukan informasi spesifik tentang kolik, dan jadwal kunjungan ke rumah sakit berikutnya. Pendidikan kesehatan yang efektif akan meningkatkan kepercayaan diri dan kesiapan ibu untuk merawat bayi prematur di rumah. Kemampuan ibu berespons yang tepat terhadap sinyal yang diberikan bayi dan menghasilkan interaksi antara keduanya yang dapat dilihat selama pemberian ASI. Interaksi yang sejak di ruang perawatan menunjukkan sensitifitas ibu yang lebih baik dalam mengenal sinyal yang diberikan oleh bayi (Browne & Talmi, 2005). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gambiran di kota Kediri, bimbingan perawatan bayi prematur di rumah diberikan kepada ibu dan keluarga pada saat bayi diperbolehkan pulang. Umumnya bayi prematur yang dirawat di RSUD Gambiran adalah pasien rujukan dan dirawat tanpa didampingi orangtua. Pada saat bayi diperbolehkan pulang, ibu dan keluarga dihubungi untuk datang ke rumah sakit dan mendapatkan bimbingan tentang perawatan bayi di rumah. Bimbingan diberikan untuk pemberian ASI, memonitor suhu tubuh bayi dan mempertahankan kehangatan, perawatan metode kanguru, dan perawatan tali pusat. Satu hari setelah pulang dari rumah sakit, ibu dan bayi dianjurkan untuk melakukan kontrol ke poli KIA sekaligus mengevaluasi kemampuan ibu melakukan perawatan di rumah. Pendidikan kesehatan yang diberikan dalam waktu singkat dengan banyak topik dirasakan kurang efektif. Meskipun tak ada laporan resmi tentang rehospitalisasi bayi prematur di Kota kediri, namun diketahui selama proses bimbingan masih banyak ibu yang mengalami kesulitan dalam memberikan ASI setelah pulang dari rumah sakit. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi kesiapan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) ibu merawat bayi prematur sebelum dan sesudah periode intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
198
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
2. Mengidentifikasi perbedaan kesiapan (pengetahuan, sikap, dan ketertampilan) ibu sebelum dan sesudah periode intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. 3. Mengidentifikasi perbedaan kesiapan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) ibu setelah periode intervensi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. 4. Mengidentifikasi hubungan karakteristik responden dengan kesiapan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) ibu merawat bayi prematur. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di rumah sakit yang ada di kota Kediri yaitu RSUD Gambiran, RSIA Melinda, RS Muhamammadiyah, dan RSIA Aura Syifa di Kediri. Penelitian ini menggunakan quasi-experimental design dengan pendekatan rancangan pretest–posttest control group design. Rancangan ini digunakan karena kontrol eksperimen secara penuh tidak mungkin dilakukan dan tidak menggunakan dasar random dalam menentukan kelompok intervensi atau kontrol (Wood & Haber, 2006). Populasi penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan bayi prematur di rumah sakit di kota Kediri. Sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang ibu yang melahirkan bayi prematur di rumah sakit di kota Kediri pada saat dilakukan penelitian 4 Mei sampai 14 Juni 2009 dengan kriteria inklusi sebagai berikut: a) bersedia menjadi responden, b) ditegakkan diagnosis medis melahirkan bayi prematur, c) bayi memerlukan perawatan secara intensif dan terpisah dengan ibu, d) ibu akan merawat bayi di rumah setelah pulang dari rumah sakit, e) ibu bisa membaca dan menulis. Kriteria eksklusi yaitu ibu yang melahirkan bayi prematur dengan: a) bayi meninggal dunia, b) ibu mengalami penurunan kesadaran, c) ibu memerlukan perawatan di ruang intensif, d) ibu dirujuk ke rumah sakit lain, e) ibu mengundurkan diri berpartisipasi. Paket “RINDU” (respons, interaksi, dan dekapan ibu), merupakan paket pendidikan kesehatan untuk ibu bayi prematur yang diberikan selama bayi dirawat di rumah sakit. Paket Rindu diberikan dengan menggunakan satu booklet yang berisi panduan cara merawat bayi prematur, meliputi respons, interaksi, dan dekapan ibu. Pendidikan kesehatan akan dilakukan di ruang perawatan pasien. Kegiatan pre-test dilakukan pada hari kedua setelah persalinan dan sebelum mendapatkan paket pendidikan kesehatan, dengan harapan pada hari kedua ibu telah memasuki fase taking hold sehingga telah memiliki kesiapan untuk belajar, sedangkan post-test dilakukan setelah pasien menyelesaikan paket pendidikan kesehatan ”RINDU”. Pretest dan post-test dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang mengukur pengetahuan, sikap dan keterampilan ibu dalam melakukan perawatan bayi prematur. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Karakteristik responden yang merupakan ibu bayi prematur diidentifikasi berdasarkan umur, pendidikan, pendapatan keluarga, dan pengalaman merawat bayi prematur. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui kesetaraan kedua kelompok responden sebelum diberikan intervensi pendidikan kesehatan “RINDU”. Uji homogenitas menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna untuk umur ibu (p=1,000;α=0,05), pendapatan keluarga, pendidikan (p=0,667;α=0,05). Sebelum diberikan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
199
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
intervensi, tidak ada perbedaan bermakna pengalaman merawat bayi pada kedua kelompok (p=0,741;α=0,05), pengetahuan (p=0,490; α=0,05), dan sikap (p=1,000; α=0,05). Perbedaan kesiapan diidentifikasi dari perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan antara kondisi pre-test dengan post-test pada masing-masing kelompok. Analisis perbedaan dilakukan dengan uji McNemar. Perubahan masing-masing variabel disajikan Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Ibu Saat Pre-Test dan Post-Test pada Kelompok Intervensi di Kediri Bulan Mei-Juni 2009 Post-test (n=25) Pre-test Total p value Baik Tidak Baik (n=25) f % f % F % Pengetahuan 0,000 Baik 0 0 0 0 0 0 Tidak Baik 23 92 2 18 25 100 Total 23 92 2 18 25 100 Sikap 0,000 Positif 5 20 0 0 5 20 Negatif 15 60 5 20 20 80 Total 20 80 5 20 25 100 Keterampilan 0,000 Terampil 0 0 0 0 0 0 Tidak Terampil 25 100 0 0 25 100 Total 25 100 0 0 25 100 Tabel 2. Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Ibu Saat Pre-Test dan Post-Test Pada Kelompok Kontrol di Kediri Bulan Mei-Juni 2009 Post-test (n=25) Pre-test Total p value Baik Tidak Baik (n=25) f % f % f % Pengetahuan 0,625 Baik 1 4 1 4 2 8 Tidak Baik 3 12 20 80 23 92 Total 4 16 21 84 25 100 Sikap 0,125 Positif 5 20 0 0 5 20 Negatif 4 16 16 64 20 80 Total 9 36 16 64 25 100 Keterampilan Terampil 0 0 0 0 0 0 Tidak Terampil 0 0 25 100 25 100 Total 0 0 25 100 25 100
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
200
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Pada kelompok intervensi tidak didapatkan ibu yang memiliki pengetahuan baik saat pretest dan saat post-test didapatkan 92% memiliki pengetahuan baik. Analisis dengan uji McNemar pada kelompok intervensi menunjukkan ada perbedaan bermakna sebelum dan sesudah intervensi, untuk pengetahuan (p=0,000; α=0,05), sikap (p=0,000; α=0,05), dan keterampilan ibu (p=0,000; α=0,05). Pada kelompok kontrol didapatkan tidak ada perbedaan bermakna pengetahuan ibu sebelum dan sesudah intervensi (p=0,625 α=0,05), sikap (p=0,125 α=0,05) dan keterampilan seluruh ibu (100%) post-test. Kondisi kedua kelompok setelah posttest dapat dilihat dalam table 3 berikut. Tabel 3. Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Ibu setelah Periode Intervensi Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Di Kediri Mei-Juni 2009 Intervensi Kontrol p Value Variabel f % F % Pengetahuan Baik 23 92 4 16 0,000 Tidak Baik 2 18 21 84 Jumlah 25 100 25 100 Sikap Positif 20 80 9 36 0,004 Negatif 5 20 16 64 Jumlah 25 100 25 100 Keterampilan Terampil 25 100 0 0 0,000 Tidak Terampil 0 0 25 100 Jumlah 25 100 25 100 Setelah post-test analisis dengan chi-square menunjukkan adanya perbedaan bermakna pengetahuan ibu setelah post-test antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p=0,000; α=0,05), sikap (p=0,004; α=0,05), dan keterampilan ibu (p=0,000; α=0,05). Pembahasan Ibu yang melahirkan bayi prematur di Kediri selama bulan Mei sampai dengan Juni 2009 sebagian besar (56%) berumur lebih dari 25 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang diperoleh Kaaresen, et al. (2006) di Norwegia, didapatkan rata-rata umur ibu yang melahirkan bayi prematur adalah usia 30,7 tahun dengan standar deviasi 4,8. Penelitian yang dilakukan McCormick, et al. (2008) di California juga menunjukkan umur rata-rata ibu yang melahirkan bayi prematur adalah 31,5 tahun dengan standar deviasi 7,5. Pendidikan kesehatan merupakan aktifitas pembelajaran yang dirancang oleh perawat sesuai kebutuhan klien. Pencapaian tujuan pendidikan kesehatan akan lebih mudah dengan penggunaan alat bantu dan peraga yang sesuai dan dapat meningkatkan kemudahan penerimaan informasi. Menurut Nies dan McEwen (2001) penggunaan alat bantu berupa tulisan akan lebih menghasilkan peningkatan pengetahuan daripada dengan kata-kata. Paket pendidikan kesehatan ”RINDU” dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa booklet dan alat peraga. Pemilihan alat bantu dilakukan dengan tujuan membantu
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
201
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
penggunaan indera sebanyak-banyaknya. Menurut Notoatmodjo (2003a) kurang lebih 75% dari pengetahuan manusia diperoleh melalui mata, sedang sisanya melalui indera yang lain. Dengan penggunaan booklet dan alat peraga, informasi yang disampaikan melalui mata lebih banyak, sehingga informasi akan lebih mudah diterima oleh ibu sebagai peserta didik. Penggunaan media pembelajaran visual berupa booklet, poster, leaflet banyak dilakukan dalam pendidikan kesehatan dan menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan. Penelitian yang dilakukan Mintarsih (2007) di Tasikmalaya menunjukkan bahwa setelah diberi perlakuan pendidikan kesehatan menggunakan media booklet dan poster, pengetahuan dan sikap kelompok intervensi meningkat secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol (p<0,05). Muthmainnah (2006) mendapatkan peningkatan pengetahuan ibu dengan melakukan pendidikan kesehatan tentang perawatan bayi. Penelitian lain yang dilakukan Utami (2008) dengan metode ceramah, tanya jawab dan demonstrasi mendapatkan peningkatan proporsi ibu berpengetahuan baik sebesar 33,04% dari kondisi sebelumnya (p=0,010). Hasil penelitian mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Ahmed (2008) di Mesir, yang menjelaskan program pendidikan kesehatan efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu bayi prematur untuk menyususi. Dalam penelitiannya Ahmed mendapatkan kelompok ibu yang diberikan intervensi pendidikan kesehatan mengalami peningkatan pengetahuan secara bermakna berbeda dengan kelompok kontrol (p=0,041). Hasil penelitian juga mendukung penelitian Bang, et. al (2005) tentang pendidikan kesehatan dengan ”home-based neonatal care” telah meningkatkan proporsi ibu berpengetahuan baik sebesar 78,7% dan sikap ibu sebesar 69,7%. Paket pendidikan kesehatan ”RINDU” dapat digunakan sebagai intervensi keperawatan mandiri, untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di rumah. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Mintarsih (2007) di Tasikmalaya, yang menunjukkan bahwa setelah diberi pendidikan kesehatan, pengetahuan dan sikap kelompok intervensi meningkat secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol (p<0,05). Proses perubahan sikap hampir selalu dipusatkan pad cara-cara memanipulasi atau mengenadlikan situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perubahan sikap yang dikehendaki (Azwar, 2003). Paket pendidikan kesehatan ”RINDU” memberikan informasi tentang interaksi ibu dengan bayi prematur, respon yang sesuai dengan sinyal bayi, dan kewaspadaan ibu terhadap tanda bahaya. Informasi ini selain dapat meningkatkan pengetauan, juga dapat mempengaruhi pembentukan sikap yang lebih positif terhadap perawatan bayi prematur. Keterampilan ibu meliputi pengukuran suhu tubuh bayi, pemberian ASI, memandikan, dan perawatan metode kanguru untuk bayi pematur. Hasil analisis menunjukkan seluruh ibu pada kelompok intervensi mengalami peningkatan keterampilan, sedang seluruh ibu pada kelompok kontrol tidak mengalami peningkatan keterampilan (p=0,000; α=0,05). Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Muthmainnah (2006), yang mendapatakan bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan kepada ibu pada hari kedua dan ketiga setelah melahirkan dapat meningkatkan secara efektif pengetahuan dan perilaku ibu merawat bayi sehat di Jambi (p<0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang Ahmed (2008) di Cairo, bahwa program pendidikan dapat meningkatkan keterampilan ibu dalam melakukan pemerasan ASI, dan 80% ibu berhasil memberikan ASI eksklusif.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
202
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Paket pendidikan kesehatan ”RINDU” memberikan kesempatan kepada ibu untuk melatih keterampilan merawat bayi prematur. Pelaksanaan pendidikan kesehatan pada hari ke dua dan ke tiga efektif meningkatkan keterampilan ibu, meskipun keterampilan masih berupa praktik dengan menggunakan phantoom. Sebelum diberikan pendidikan kesehatan dengan paket ”RINDU” ibu pada kelompok intervensi maupun kontrol memiliki persamaan karakteristik. Kondisi pengetahuan, sikap, dan keterampilan ibu pun bersifat homogen. Setelah diberikan pendidikan kesehatan, didapatkan 64% ibu pada kelompok intervensi siap merawat bayi pematur, sedang pada kelompok kontrol tidak didapatkan ibu yang siap merawat bayi prematur (p=0,00). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2009) yang mengidentifikasi perbedaan metode demonstrasi dan belajar mandiri tentang sikap dan pengetahuan ibu di Kebumen. Wibowo mendapatkan bahwa metode ceramah dan demonstrasi lebih efektif dibandingkan metode belajar mandiri dengan modul pendidikan kesehatan (p=0,000). Hasil penelitian ini mendukung penelitian Tram, et al. (2003) di Vietnam tentang pengaruh pendidikan kesehatan kepada ibu terhadap pengetahuan, sikap dan praktik ibu. Tram mendapatkan perubahan bermakna pengetahuan ibu sebelum dan sesudah diberikan intervensi (p<0,05). Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Bang et.al (2005) di Gadchiroli, India yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan dengan ”home-based neonatal care” dapat menurunkan morbiditas neonatal hingga mecapai setengahnya. Perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan ibu setelah periode intervensi diasumsikan sebagai akibat pemberian pendidikan kesehatan ”RINDU”. Dengan demikian paket pendidikan kesehatan ”RINDU” efektif untuk mempersiapkan ibu mampu merawat bayi prematur di rumah, didukung adanya indikasi peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan ibu. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penelitian adalah: 1) Sebagian besar bayi prematur dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 25 tahun, berpendidikan dasar dan menengah, tidak punya pengalaman merawat bayi prematur, dan pendapatan lebih dari Rp 450.000,00, 2) paket pendidikan kesehatan “RINDU” meningkatkan kesiapan ibu 76% untuk merawat bayi prematur di rumah. Berdasarkan simpulan disarankan: 1) Perawat menerapkan paket pendidikan kesehatan “RINDU” untuk meningkatkan kesiapan ibu merawat bayi prematur, 2) pelaksanaan post-test jika memungkinkan dilakukan secara berulang dengan waktu yang lebih panjang, sehingga responden memiliki kesempatan lebih banyak menyerap informasi yang disampaikan, dan dapat mengaplikasikan keterampilan secara langsung kepada bayi prematur. Penelitian yang telah dilakukan adalah pencapaian peran maternal pada tahap formal. Penelitian dapat ditindaklanjuti untuk pencapaian peran maternal tahap antisipasi, informal, atau personal. DAFTAR PUSTAKA Ahmed, A.H. (2008). Breasfeeding preterm infant: an educational program to support mothers of preterm infants in Cairo, Egypt. Pediatric Nursing. 34(2), 125-130.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
203
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Azwar, S. (2003). Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2007). Laporan pencapaian millennium development goals Indonesia. Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan nasional. Bang, A.T., Bang, R. A., Reddy, H. M., Deshmukh, M. D., & Baitule, S. B. (2005). Reduced incidence of neonatal morbidities: effect of home-based neonatal care in rural Gadchiroli, India. Journal of Perinatilogy, 25, S51-S61. Browne, J.V. & Talmi, A. (2005). Family-based intervension to enhance infant-parent relationships in the neonatal intensive care unit. Journal of Pediatric Psychology, 30(8), 667-677. Kaaresen, P.I., Ronning, J.A., Ulvund, S.E., & Dahl, L.B. (2006). A randomized controlled trial of the effectiveness of an early-intervention program in reducting parenting stress aftaer preterm birth. Pediatrics, 118(1), 9 – 19. McCormick, M.C., Escobar, G.J., Zheng, Z., & Richardson, D.K. (2008). Factors influencing parental satisfaction with neonatal intensive care among the families of moderately premature infants. Pediatrics, 121(6), 1111 – 1118. McKim, E.M. (1993). The difficult first week at home with a premature infant. http://www3.interscience.wiley.com diperoleh 14 Pebruari 2009. Mintarsih,W. (2007). Pendidikan kesehatan menggunakan booklet dan poster dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi di Kabupaten Tasikmalaya. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Tesis. Muthmainnah, M. (2006). Efektifitas pendidikan kesehatan pada periode awal pos partum dengan metode CPDL terhadap kemampuan ibu primipara merawat bayi di propinsi Jambi. Program Pascasarjana FIK UI. Tesis. Tidak dipublikasikan. Nies, M.A., & McEwen, M. (2001). Community health nursing: Promoting the health of population (3rd ed.), USA: W.B. Saunders Company. Notoatmodjo, S. (2003a). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Trachtenbarg, D.E. & Golemon, T.B. (1998). Care of the premature infant: part 1 Monitoring growth and development. American Academy of Family Physician 57(9), 21-28. Tram, T.T., Anh, N.T.N., Hung, N.T., Lan, N.T., Cam, L.T., Chuong, N.P., et al. (2003). The impact of health education on mother’s knowledge, attitude and practice (KAP) of Dengue Haemorrhagic Fever. Dengue Bulletin 27, 174-180. Utami, S. (2008). Pengaruh metode pelatihan terhadap kemampuan ibu dalam deteksi dini perkembangan anak usia 0-2 tahun (studi di wilayah kerja Puskesmas Tanah Kalikedinding Surabaya).
[email protected]., diperoleh tanggal 20 Juni 2009. Wibowo, P. (2009). Perbedaan metode demonstrasi dan mandiri tentang sikap dan pengetahuan ibu di Kebumen. Tesis. Universitas Islam Indonesia. Wood, G.L., & Haber, J. (2006). Nursing research methods and critical appraisal for evidencebased practice. St.Louis, Missouri. Mosby Elsyvier
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
204
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
PERBEDAAN KEKUATAN KONTRAKSI UTERUS PADA IBU POST PARTUM ANTARASEBELUM DAN SESUDAH MELAKSANAKAN INISIASI MENYUSU DINI (IMD) Indah Rahmaningtyas*, Ribut Eko Wijanti*, Koekoeh Hardjito* ABSTRAK Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab. Salah satu penyebab perdarahan setelah melahirkan adalah karena lemahnya kontraksi uterus. Untuk mengatasi perdarahan post-partum, bisa dikurangi dengan menyusui sedini mungkin dalam kurun waktu kurang dari 30 menit setelah bayi lahir, karena isapan bayi pada payudara akan menstimulasi produksi oksitosin secara alami. Oksitosin membantu uterus untuk berkontraksi, sehingga dapat mengontrol perdarahan setelah persalinan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap terjadinya kontraksi uterus pada ibu post-partum, dengan desain One Group Pre-Post Test. Populasi penelitian adalah seluruh ibu yang melahirkan di RSIA Swasta Kota Kediri. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Penelitian ini dilakukan dari tanggal 14 s/d 20 Oktober 2009 dengan besar sampel yang diperoleh 31 responden. Terdapat 34 persalinan normal, tetapi hanya 31 yang dilanjutkan dengan IMD. Data dari 31 responden dianalisis menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank Test dengan nilai signifikansi sebesar 0,000, berarti Ho ditolak (ada pengaruh penerapan IMD terhadap kontraksi uterus pada ibu post-partum. Dengan hasil penelitian tersebut maka perlu disosialisasikan lebih gencar kepada masyarakat umum terutama kepada ibu hamil, tentang pentingnya IMD. Kata kunci : IMD, post-partum, bayi baru lahir. * : Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Malang PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasar Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masíh berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam ada 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab, sehingga upaya penurunan AKI sebagai program prioritas. Sebagian besar penyebab utama kematian ibu di negara berkembang adalah faktor obstetri langsung, yaitu perdarahan post partum, infeksi dan eklamsi (Mochtar, 1998). Salah satu penyebab perdarahan setelah melahirkan adalah lemahnya kontraksi uterus, yang terjadi karena ibu kelelahan saat meneran selama persalinan berlangsung, faktor lain yang mempengaruhi kontraksi uterus adalah tertinggalnya jaringan plasenta di dalam uterus (Manuaba, 1998). Perdarahan post partum bisa dikurangi dengan menyusui sedini mungkin dalam kurun waktu kurang dari 30 menit setelah bayi lahir, karena isapan bayi pada payudara akan menstimulasi produksi oksitosin secara alami. Oksitosin membantu uterus untuk berkontraksi, sehingga dapat mengontrol perdarahan setelah kelahiran (Manuaba, 1998). Cara ini merupakan bagian dari manajemen aktif kala III.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
205
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Hasil studi pendahuluan (24 Januari 2008 di RSIA Melinda Kediri) pada catatan persalinan tahun 2007 adalah: perdarahan post partum dalam 24 jam setelah persalinan adalah 16 dari 312 persalinan normal (5,1%), secara umum disebabkan oleh atonia uteri. Yang menjadikan kendala adalah ibu masih enggan melakukan IMD, apalagi ibu primipara. Beberapa faktor yang menyebabkan ibu belum mau melakukan IMD adalah karena ibu belum siap menerima bayinya, dengan alasan masih takut, geli, lemas dan kurang memahami manfaat IMD. Padahal manfaat menyusu dini akan mempercepat kontak antara ibu dan bayi, sehingga bayi cepat mendapatkan kehangatan dan kenyamanan (Roesli. 2008). Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kontraksi uterus ibu postpartum sebelum IMD, 2) mengidentifikasi kontraksi uterus ibu post partum setelah IMD, 3) menganalis perbedaan kekuatan kontraksi uterus ibu post partum antara sebelum dan sesudah IMD. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian analitik dengan desain One Group Pre-Post Test ini mencari hubungan sebab akibat dengan melibatkan satu kelompok subyek yang diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilakukan intervensi. Populasi penelitian adalah seluruh ibu yang melahirkan normal di RSIA Swasta di Kota Kediri. Sampel diperoleh dengan teknik accidental sampling. Variabel independen adalah inisiasi menyusu dini pada bayi baru lahir, dan variabel dependen adalah kontraksi uterus pada ibu post-partum. Tempat dan waktu penelitian di RSIA di Kota Kediri, yaitu RSIA Muhammadyah, RSIA Citra Keluarga dan RSIA Melinda, pada tanggal 7 s/d 20 Oktober 2009. Tabel 1. Definisi Operasional Variabel No Variabel Definisi Parameter Meletakkan bayi di dada ibu 1. Variabel Menyusu independen: setidaknya 60 menit sampai bayi inisiasi menyusu, dengan naluri dan menyusu upayanya sendiri bayi dapat dini menetek, bersamaan dengan kontak dini kulit bayi di dada ibu. 2. Variabel Kekuatan uterus berkontraksi Kontraksi uterus dependen: setelah melahirkan. teraba: lembek, Kontraksi sedang, keras, uterus sangat keras.
Alat Ukur Skala Lembar nominal observasi
Lembar Ordinal observasi
Teknik Pengolahan data dilaksanakan dengan cara melakukan tabulasi data hasil observasi perbedaan kontraksi uterus sebelum dan sesudah dilakukan inisiasi menyusu dini dengan cara palpasi fundus uteri, selanjutnya dilakukan pengurangan skala kontraksi yang diperoleh sebelum dan sesudah dilakukan inisiasi menyusu dini, dengan hasil sebagai berikut : Nilai 0: tidak ada perubahan; Nilai 1: sedikit meningkat (lebih keras sedikit); Nilai 2: meningkat (lebih keras moderat); Nilai 3: sangat meningkat (keras). Untuk mengetahui dan menganalisis
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
206
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
hasil eksperimen pre-test dan post-test terhadap ada tidaknya pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap kontraksi uterus pada ibu post-partum, dilakukan Wilcoxon Signed Ranks Test. Hipotesis penelitian diterima, bila nilai signifikansi α<0,05. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan kepada ibu yang melahirkan di RSB/RSIA Swasta di Kota Kediri, dimana responden sebelumnya diberitahu bahwa setelah bayinya dilahirkan akan segera ditaruh didada ibu untuk melakukan inisiasi menyusu dini (Tabel 2). Uji statistik dengan bantuan software SPPS Ver.15 memberikan hasil nilai signifikansi sebesar 0,000, jika dibandingkan dengan alpha 0,05 memberikan hasil lebih kecil dari alpha, hal ini berarti H0 ditolak artinya terdapat pengaruh penerapan inisiasi menyusu dini pada bayi baru lahir dengan terjadinya kontraksi uterus pada ibu post partum. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Pada Bayi Baru Lahir di RSB/RSIA Swasta di Kota Kediri. No RSB/RSIA di Kediri Jml. Persalinan Frekuensi Prosentase 1. RSIA Melinda 15 13 87 2. RSIA Citra Keluarga 7 6 86 3. RSIA Muhamadiyah 12 12 100 Tabel 3. Perubahan Kontraksi Uterus Sebelum dan Setelah Dilakukan IMD Mean Sum of N Rank Ranks Kontraksi Uterus setelah Negative Ranks dilakukan IMD - Kontraksi Uterus 0(a) ,00 ,00 sebelum dilakukan IMD Positive Ranks 16(b) 8,50 136,00 Ties 15(c) Total 31 a Kontraksi Uterus setelah dilakukan IMD < Kontraksi Uterus sebelum dilakukan IMD b Kontraksi Uterus setelah dilakukan IMD > Kontraksi Uterus sebelum dilakukan IMD c Kontraksi Uterus setelah dilakukan IMD = Kontraksi Uterus sebelum dilakukan IMD Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah bayi dengan naluri dan upayanya sendiri dapat menetek segera dalam satu jam setelah lahirbersamaan dengan kontak dini kulit bayi di dada ibu. Bayi dibiarkan setidaknya 60 menit di dada ibu sampai dia menyusu (Linkages, 2007). Pelaksanaan IMD di RSIA Swasta di Kota Kediri. Pelaksanan IMD di RSIA Swasta di Kota Kediri menunjukkan hasil yang bagus yaitu 91%, ini sejalan dengan program pemerintah yang bertujuan menurunkan angka kematian bayi. Penerapan IMD dapat menyelamatkan 22% nyawa bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan dalam satu jam pertama kelahiran. Penerapan IMD segera setelah bayi dilahirkan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
207
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
berguna juga dalam menyukseskan program ASI ekslusif sampai bayi berumur 6 bulan dan dilanjutkan sampai bayi berumur 2 tahun dilengkapi makanan tambahan (Yuliati, 2008). Dada ibu akan menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak mencari payudara, kondisi ini akan menurunkan kematian bayi karena kedinginan (hypothermia). Ibu dan bayi akan merasa lebih tenang, pernapasan dan detak jantung bayi lebih stabil, bayi akan lebih jarang menangis sehingga mengurangi pemakaian energi. Saat bayi merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit ibunya dan dia akan menjilat-jilat kulit ibu dan menelan bakteri ‘baik’ di kulit ibu. Bakteri ‘baik’ ini akan berkembang biak membentuk koloni di kulit dan usus bayi, menyaingi bakteri ‘jahat’ dari lingkungan (Roesli, 2008). Selain kondisi bayi yang diuntungkan dari program tersebut, ternyata dampak positif lain bisa dijumpai pada ibu salah satunya adalah adanya kondisi kontraksi uterus yang semakin baik karena dipicu oleh hormon oksitosin yang dipicu oleh isapan pada puting susu ibu. Kontraksi Uterus sebelum pelaksanaan IMD Sebelum dilakukan IMD, distribusi ontraksi uterus adalah lembek: 6 responden, sedang: 9 responden, keras: 16 responden, dan sangat keras: tak ada. Hal ini dikarenakan segera setelah plasenta lahir dan membran-membran dikeluarkan, terjadi konstriksi vaskuler dan trombus untuk menutupi tempat tumbuhnya plasenta dengan suatu nodul-nodul yang ireguler dan area elevasi (Irene, 2000). Sebelum IMD sebagian besar kontraksi uterus keras (51,6%) kemungkinan dikarenakan mekanisme konstriksi vaskuler dan trombus, sehingga fundus uteri teraba keras. Kontraksi uterus sedang lembek mungkin disebabkan oleh mekanisme konstriksi vaskuler dan trombus kurang efektif. Kontraksi uterus ini akan diperkuat oleh adanya peningkatan hormone oksitosin, yang selain dapat membantu kontraksi uterus juga membantu mengurangi perdarahan ibu (Roesli, 2008). Pengeluaran oksitosin dipicu oleh hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di puting susu dan sekitarnya, emutan dan jilatan bayi pada puting (Roesli, 2000). Begitu pentingnya peran oksitosin dalam meningkatkan kontraksi uterus, maka sudah selayaknya bila bayi diupayakan untuk segera menyusu sendiri dalam satu jam pertama kehidupannya. Kontraksi Uterus setelah pelaksanaan IMD Setelah pelaksanaan IMD didapatkan peningkatan kontraksi uterus, yang semula tidak ada responden dengan kontraksi uterus sangat keras, setelah dilakukan IMD ada 4 responden dengan kontraksi sangat keras. Dari 6 responden yang semula berkontraksi uterus lembek, 5 responden mengalami peningkatan. Pada saat ibu menyusui bayinya oksitosin akan disekresikan oleh kelenjar pituitrin posterior akibat dari respon yang distimulikan pada puting susu sebagai dampaknya uterus berkontraksi. Kekuatan kontraksi uterus ditentukan oleh intensitas, lamanya dan frekuensi kontraksi (Mander, R. 1998). Masih adanya kekuatan kontraksi uterus yang tidak maksimal pasca IMD dapat disebabkan oleh kondisi psikis ibu post partum yang tidak stabil, hal ini sesuai dengan pendapat Sulistya GG bahwa sekresi hormon pituitrin, prolaktin dan oksitosin selain dengan pengisapan dipengaruhi oleh emosi ibu. Sehingga untuk memberikan kondisi kesehatan yang terbaik bagi bayi dan ibu post partum maka perawatan selama kehamilan sangat diperlukan yang tidak hanya aspek fisik ibu saja tetapi juga aspek mental emosional ibu.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
208
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penelitian adalah: 1) perbandingan frekuensi kekuatan kontraksi uterus sebelum pelaksanaan IMD adalah berimbang, 2) frekuensi kekuatan kontraksi uterus setelah pelaksanaan IMD mayoritas keras, 3) ada perbedaan kekuatan kontraksi uterus antara sebelum dan sesudah melaksanakan IMD. Saran yang diajukan adalah: 1) perlu proses sosialisasi ke masyarakat umum terutama ibu hamil tentang pentingnya pelaksanan IMD, 2) perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang manfaat dan keuntungan dari proses pelaksanaan IMD untuk ibu maupun bayi. DAFTAR PUSTAKA Depkes, RI. 2001. Panduan Manajemen Laktasi. Jakarta : Dit Gizi Masyarakat Depkes. Ganiswarna , SG. 2003. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Gaya Baru. Handerson, C and Jones, K (ed). 1997. Essential Midwifery. Anjarwati, R, dkk. 2005 (alih bahasa). Jakarta : EGC. Jimenez, SLM.1992. The Pregnant Woman’s Comfort Guide. Maria, P. 1999 (alih bahasa). Jakarta : Arcan. Liewellyn, JD. 1994. Fundamentals of Obstetrics and Gynecology 6 edition. Hadyanto. 2001 (alih bahasa). Jakarta : Hipokrates. Linkages. 2007. Melahirkan, Memulai Pemberian ASI dan Tujuh Hari Pertama Setelah Melahirkan. Academy for Educational Development. 1825 Connecticut Avenue, NW, Washington, DC 20009. Long, BC. 1989. Essential of Medical-Surgical Nursing A Nursing Process Approach. Karnaen, R, dkk. 1996 (alih bahasa). Bandung : Yayasan IAPK. Mander, R.1998. Pain in Childbearing and its Control. Sugiarto, B. 2003 (alih bahasa). Jakarta : EGC. Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC. Rustam, Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri, jilid I. Jakarta : EGC. Soekijo Notoadmojo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Smeltze, SC. 1996. brunner and Suddarth’s Tex Book of Medical-Surgical Nursing Vol I. Waluyo, A. 2001 (alih bahasa). Jakarta : EGC. Utami Roesli. 2008. Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta : Pustaka Bunda. Varney, H. 1998. Varney’s Pocket Midwife 6 edition. Pakaryaningsih, E. 2001 (alih bahasa). Jakarta : EGC. WHO. 2003. Perawatan dalam Kelahiran Normal, Jakarta : EGC. Yulianti. 2008. Studi Kualitatif mengenai Gambaran Niat Ibu Hamil dalam Penerapan Proses Inisiasi Menyusu Dini di Rumah Sakit Islam Jakarta tahun 2008. Jakarta : Perpustakaan Universitas Indonesia
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
209
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
KARAKTERISTIK BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) SAMPAI TRIBULAN II TAHUN 2009 DI KOTA KEDIRI Siti Asiyah*, Suwoyo*, Mahaendriningtyastuti** ABSTRACT The low birth weight infant is one of the risk factor that has contribution to the infant’s death. The purpose of this research is to know the discription of the caracteristic of low birth weight infant, by identified case from mother’s factor, pregnancy’s factor and from other factor. This research is a discriptive research by using purposive sampling technique. The data collection by using check list form. The location of this research are in 9 Public Health Centre in Kediri city. This research is only use one variable, which is the caracteristic of low birth weight infant, and the research sampling are 41 people. From the data analizing, it can be identified that most of low birth weight infant are caused by mother’s factor that caused by anemia during the pregnancy (67%). From the pregnancy factor, the biggest is caused by pregnancy complication (22%). While from other factor, as much as 7% is caused by genetic factor. That’s why, it is necessary to make the priority of the program to reduce the low birth weight infant case. Key words: infant, low birth weight * : Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. ** : Dinas Kesehatan Kota Kediri PENDAHULUAN Latar belakang Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian neonatal sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam satu tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan meninggal. Dengan kata lain setiap 6 menit ada satu neonatus meninggal di Indonesia oleh berbagai sebab. Penyebab utama kematian neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), sebanyak 29 % (Depkes, 2007). Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi di negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah (Depkes, 2007). Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di Negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (Meta, 2008). Angka kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 2,0%-15,1% (Joeharno, 2006). Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5%. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7% (Meta, 2008). Di Provinsi Jawa Timur, BBLR masih menjadi penyebab kematian neonatal tertinggi, pada tahun 2007 sebesar 40,7% dan 2008 sebesar 41,4%. Sedangkan prevalensi BBLR sendiri mengalami peningkatan yaitu 1,26% pada tahun 2005; 1,55 % pada tahun 2006 dan 2,2 % pada tahun 2008 (Data LB3 KIA Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2008). Untuk Kota
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
210
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Kediri, pada tahun 2008 BBLR juga merupakan penyebab kematian neonatal tertinggi, yaitu sebesar 62,6%. Sedangkan sampai tribulan II tahun 2009, BBLR menyumbangkan angka sebesar 42,1% terhadap kematian neonatal (lampiran 16). Selain itu, juga terdapat trend peningkatan kasus BBLR, dari 66 kasus selama tahun 2008 menjadi 91 kasus sampai tribulan II tahun 2009 ini (Data LB3 KIA Dinkes Kota Kediri, 2009). Kejadian BBLR pada dasarnya berhubungan dengan kurangnya pemenuhan nutrisi pada masa kehamilan ibu dan hal ini berhubungan dengan banyak faktor dan lebih utama pada masalah perekonomian keluarga sehingga pemenuhan kebutuhan konsumsi makanan pun kurang (Joeharno, 2008). BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi, dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya di masa depan. Bayi dengan berat lahir rendah umumnya mengalami proses hidup masa depan kurang baik, memiliki resiko tinggi untuk meninggal dalam usia balita jika dibandingkan dengan bayi non BBLR. Bila tidak meninggal pada awal kelahiran, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih lambat, apalagi jika kekurangan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Maka bayi BBLR cenderung besar menjadi balita dengan status gizi rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup, dalam lima tahun pertama akan mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang kehidupannya jika dibandingkan dengan bayi non BBLR (Pioda, 2007 ). Menurunkan insiden BBLR hingga sepertiganya menjadi salah satu tujuan utama “ A World Fit for Children “ hingga tahun 2010, sesuai deklarasi dan rencana kerja United Nation General Assembly Special Session on Children in 2002 (Rahayu, 2009). Perbaikan dalam angka kematian perinatal dapat dicapai dengan pengawasan antenatal untuk semua wanita hamil dan dengan menemukan dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan janin dan neonatus (Sarwono, 2002 ). Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kasus BBLR karena faktor ibu, 2) mengidentifikasi kasus BBLR karena faktor kehamilan, 3) mengidentifikasi kasus BBLR karena faktor lain, 4) mendapatkan gambaran penyebab terbanyak kejadian BBLR. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di 9 wilayah Puskesmas di Kota Kediri pada tanggal 19–28 November 2009 ini menggunakan desain penelitian deskriptif, untuk menggambarkan karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah yang lahir pada bulan Januari sampai Juni tahun 2009 di Kota kediri. Populasi dalam penelitian ini adalah semua BBLR yang ada di wilayah kota Kediri yang lahir pada bulan Januari sampai Juni 2009. Sampel dalam penelitian ini adalah semua BBLR di Kota Kediri yang lahir pada bulan Januari sampai Juni 2009 yang datanya tercatat pada register Kohort bayi Puskesmas. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Penelitian ini memiliki satu variabel yaitu karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah. Data primer (umur ibu, jumlah anak, jarak kelahiran, penyakit ibu, kebiasaan yang merugikan kesehatan, komplikasi kehamilan, hamil ganda, dan faktor genetik) dikumpulkan dengan metode wawancara terstruktur. Sedangkan data (status gizi, status anemia, dan
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
211
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
frekuensi ANC) dikumpulkan dengan metode dokumentasi, yaitu melihat catatan pada buku KIA yang dimiliki ibu. Instrumen pengumpul data menggunakan lembar check-list. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan dengan jumlah responden 41 orang. Hasil Penelitian Data tentang faktor ibu disajikan meliputi status gizi saat hamil, status anemia saat hamil, umur ibu, jumlah anak, jarak kelahiran, penyakit ibu, dan kebiasaan yang merugikan kesehatan. Dari faktor kehamilan, data disajikan meliputi komplikasi kehamilan yang dialami ibu dan jenis gestasi. Sedangkan data faktor lain, meliputi faktor genetik dan frekuensi ANC. 1. Status Gizi Ibu saat Hamil
Gambar 1. Status Gizi saat Hamil Status gizi saat hamil dibedakan menjadi KEK (kurang energi kronis) dan non KEK, dengan parameter ukuran lingkar lengan atas. Dikatakan ibu hamil KEK jika ukuran lingkar lengan atas ≤ 23,5 cm. Gambar 1 menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR sampai tribulan II tahun 2009 di Kota Kediri dilahirkan oleh ibu dengan status gizi non KEK (85%). . 2. Umur Ibu saat Hamil
Gambar 2. Umur Ibu saat hamil Gambar 2 menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR (81%) dilahirkan oleh ibu pada usia reproduksi sehat (umur 20-35 tahun). 3. Status Anemia saat Hamil
Gambar 3. Responden yang Diperiksa Kadar Hb saatHamil Status anemia saat hamil dibedakan menjadi : tidak anemia, anemia ringan, anemia sedang, dan anemia berat. Gambar 3 menunjukkan bahwa tidak semua responden diperiksa Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
212
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
kadar Hb-nya saat hamil. Dari 41 responden, hanya 73% (30 orang) saja yang dilakukan pemeriksaan Hb saat hamil. Dari 30 responden dengan pemeriksaan Hb saat hamil, sebagian besar mengalami anemia (67%), dan terbanyak merupakan anemia ringan (54%).
Gambar 4. Status Anemia saat Hamil 4. Paritas Ibu
Gambar 5. Paritas Ibu Paritas ibu diklasifikasikan menjadi: primipara (bayi BBLR adalah anak pertama), multipara (bayi BBLR adalah anak ke-2 sampai ke-3), grandemulti (bayi BBLR merupakan anak ke-4 atau lebih). Sebagian besar bayi BBLR (52%) dilahirkan oleh ibu multipara. 5. Jarak Kelahiran Jarak kelahiran dibedakan menjadi jarak kelahiran rapat (<2 tahun), dan jarak kelahiran renggang (≥2). Hampir semua BBLR (95%) dilahirkan dengan jarak kelahiran renggang (Gambar 6).
Gambar 6. Jarak Kelahiran 6. Penyakit yang diderita ibu saat hamil Ada 3 kasus penyakit kronis yang diderita ibu saat hamil, yaitu hipertensi kronik, asma, dan hipertiroid. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari mayoritas responden (89%) tak menderita penyakit kronik saat hamil. Penyakit kronis terbanyak adalah hipertensi kronik (7%). Tabel 1: Penyakit yang Diderita Ibu saat Hamil Jenis Penyakit Frekuensi Persentase Tidak ada 36 89 % Hipertensi Kronik 3 7% Asma 1 2% Hyperthyroid 1 2% Jumlah 41 100 % .
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
213
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
7. Paparan Asap Rokok saat Hamil Kebiasaan yang merugikan kesehatan hanyalah terpapar asap rokok. Sebagian besar BBLR (63%) dilahirkan oleh ibu yang terpapar asap rokok saat hamil (Gambar 7).
Gambar 7. Paparan Asap Rokok saat Hamil 8. Komplikasi Kehamilan yang Dialami Ibu Ada 3 jenis komplikasi kehamilan yang dialami ibu, yaitu KPD (ketuban pecah dini), APB (ante partum bleeding), dan preeklamsi-eklamsi. Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas BBLR (78%) dilahirkan oleh ibu tanpa komplikasi. Jenis komplikasi terbanyak adalah APB (10%). Tabel 2: Data Komplikasi Kehamilan yang Dialami Ibu Jenis komplikasi kehamilan Frekuensi Persentase Tidak ada 32 78 % KPD 3 7% APB 4 10 % Preeklamsi-Eklamsi 2 5% Jumlah 41 100 % 9. Jenis gestasi Jenis gestasi diklasifikasikan menjadi gestasi tunggal dan multipel. Sebagian besar (85%) BBLR merupakan gestasi tunggal (Gambar 8).
Gambar 8 Jenis Gestasi 10. Faktor genetik Dikatakan ada faktor genetik jika ibu atau saudara perempuan responden pernah melahirkan bayi BBLR (prematur). Gambar 9 menunjukkan bahwa sebagian besar (93%) kasus BBLR (prematur) bukan merupakan faktor genetik (keturunan).
Gambar 9 Faktor Genetik 11. Frekuensi ANC Frekuensi ANC adalah seberapa banyak responden datang ke petugas kesehatan untuk memeriksakan kehamilannya. Gambar 10 menunjukkan bahwa hampir semua (95%) bayi BBLR dilahirkan oleh ibu yang telah melakukan ANC ≥ 4 kali selama periode kehamilannya.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
214
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Gambar 10 Frekuensi ANC . 12. Resume dari 41 responden Tabel 3 menunjukkan bahwa penyebab BBLR merupakan kombinasi dari beberapa macam faktor, dan faktor dari ibu merupakan faktor terbesar yang menyebabkan BBLR. Tabel 3. Penyebab BBLR Berdasarkan 3 Faktor yang Diteliti Faktor Penyebab BBLR Jumlah Persentase Faktor Ibu 22 54 % Faktor Kehamilan 3 7% Faktor Lain 0 0% Faktor Ibu & Faktor Kehamilan 8 20 % Faktor Ibu & Faktor Lain 0 0% Faktor Ibu, Faktor Kehamilan, & faktor Lain 5 12 % Faktor di luar yang diteliti 3 7% Jumlah 41 100 % Pembahasan 1. Status Gizi saat Hamil Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR sampai tribulan II tahun 2009 di Kota Kediri dilahirkan oleh ibu dengan status gizi baik (non KEK). Hal tersebut erat kaitannya dengan sosial ekonomi keluarga, yang dalam penelitian ini ada 24% responden dengan pendapatan keluarga kurang dari Rp.500.000,00 per bulan. Sebaliknya ibu hamil dengan status gizi kurang (KEK) bisa juga melahirkan bayi dengan berat badan normal jika kebutuhan nutrisi pada saat hamil tercukupi. Kenyataan di lapangan, bahwa pada umumnya status gizi ibu hamil hanya ditentukan dari pengukuran lingkar lengan atas (LILA), padahal LILA bukanlah suatu parameter yang tepat untuk menentukan status gizi pada saat hamil. Karena ukuran lingkar lengan atas hanya mendeteksi adanya kurang energi kronis pada ibu dan merupakan parameter yang terakhir dalam menentukan status gizi. Sedangkan adanya kurang gizi yang sifatnya akut pada ibu hamil juga dapat mempengaruhi pertumbuhan janin dan tidak dapat dilihat dari ukuran LILA saja. Sehingga perlu parameter lain untuk menentukan status gizi ibu hamil, antara lain memantau pertambahan berat badan selama hamil. Ketika hamil kebutuhan kalori dan protein meningkat. Kalori digunakan untuk produksi energi sehingga bila kurang energi akan diambilkan dari pembakaran protein yang mestinya dipakai untuk perkembangan buah kehamilannya yaitu pertumbuhan janin. Di samping itu, status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang dikandung, sehingga ibu yang menderita kurang energi kronik (KEK) mempunyai resiko kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
215
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
hamil normal (Lubis, 2003). Maka, ketika hamil ibu harus makan makanan yang mengandung nilai gizi bermutu tinggi meski tak berarti makanan yang harganya mahal (Kusmiati dkk, 2003). 2. Umur Ibu Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu pada usia reproduksi sehat. Hal ini terjadi karena sebagian besar ibu usia reproduksi sehat yang melahirkan BBLR selalu disertai faktor lain seperti anemia, gestasi multipel, komplikasi kehamilan, dan paparan asap rokok. Sesungguhnya jika dilihat dari faktor usia, ibu pada usia reproduksi sehat tidak termasuk resiko tinggi dalam kehamilan. Akan tetapi faktor penyebab BBLR sangatlah kompleks, sehingga tidak menutup kemungkinan ibu dengan usia reproduksi sehat melahirkan BBLR jika disertai faktor lain. Meskipun hanya sebagian kecil saja BBLR yang dilahirkan oleh ibu pada usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun, keadaan ini cukup menunjukkan bahwa dari faktor usia masih berperan dalam menyebabkan BBLR. Apalagi jika faktor lain penyebab BBLR juga menyertai ibu dengan usia di bawah 20 tahun atau di atas 35 tahun, maka akan lebih besar lagi kemungkinannya melahirkan BBLR. Hal tersebut didukung oleh pendapat Hasan, dkk (2000) dalam Joeharno (2008) bahwa umur ibu merupakan salah satu faktor penyebab BBLR. Organ reproduksi wanita kurang dari 20 tahun belum siap untuk menerima kehamilan dan melahirkan. Selain itu keadaan psikologis mereka juga masih labil. Selama hamil, kebanyakan wanita mengalami perubahan psikologis dan emosional, karena kehamilan merupakan suatu kritis maturitas yang dapat menimbulkan stres (Yuni Kusmiyati dkk, 2008). Stress dapat mempengaruhi bayi lewat perubahan fisik yang terjadi akibat stress, seperti peningkatan detak jantung, dan peningkatan hormon adrenalin. Pada penelitian didapatkan bahwa ibu hamil yang mempunyai stress yang tinggi dapat meningkatkan resiko kelahiran bayi prematur (Suririnah, 2008). Sedangkan wanita berumur >35 tahun adalah wanita yang tergolong resiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan, karena pada usia ini berbagai penyakit dan komplikasi kehamilan dan persalinan meningkat dengan jelas. Kehamilan dengan penyakit dan komplikasi kehamilan sering menyebabkan hambatan pertumbuhan dan merupakan faktor risiko bagi kelahiran preterm (Cunningham dkk, 2005). 2. Status Anemia saat Hamil Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu yang mengalami anemia saat hamil. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia ibu hamil di Kota Kediri masih cukup tinggi. Jenis anemia yang sering terjadi pada wanita hamil adalah anemia defisiensi besi. Keadaan ini disebabkan oleh penambahan volume plasma yang relatif lebih besar daripada volume sel darah merah. Penelitian menemukan bahwa sebagian besar ibu yang melahirkan BBLR dengan status anemia ringan. Anemia ringan ini dapat ditanggulangi dengan mengkonsumsi tablet tambah darah (tablet besi) secara rutin. Telah ada program pemberian 90 tablet besi selama masa kehamilan. Namun ada kemungkinan pemberian tablet besi ini tanpa disertai KIE yang tepat, sehingga masih banyak ibu hamil yang kurang disiplin dalam mengkonsumsi. KIE tentang waktu, cara minum dan efek samping harus disampaikan setiap memberikan table tambah darah kepada ibu hamil. Adanya efek samping berupa rasa mual dapat mempengaruhi ibu untuk tidak mengkonsumsi tablet tambah darah. Selain itu ada minuman tertentu yang menghambat dan membantu
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
216
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
penyerapan besi yang harus diketahui ibu. Pencegahan anemia ini tidak hanya dengan pemberian tablet tambah darah saja, namun ibu hamil juga harus mengkonsumsi makanan sumber zat besi. Pemeriksaan kadar Hb pada setiap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan untuk pertama kali merupakan cara untuk mendeteksi secara dini anemia dalam kehamilan, sehingga jika ibu menderita anemia dapat segera ditanggulangi. Dengan cara tersebut diharapkan prevalensi anemia dalam kehamilan dapat ditekan serendah mungkin, sehingga insiden BBLR dapat diturunkan. Karena, sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu dampak anemia adalah gangguan pertumbuhan janin dan persalinan prematur. Keadaan ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh De Meeyer dalam Ridwan Amiruddin (2006), bahwa anemia ibu hamil dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan dan akan mengganggu pertumbuhan janin, sehingga akan memperkuat risiko terjadinya persalinan prematur dan berat badan bayi lahir rendah. Di samping itu, hasil penelitian Jumirah, dkk (1999) menunjukkan bahwa ada hubungan kadar Hb ibu hamil dengan berat lahir bayi, yaitu semakin tinggi kadar Hb ibu semakin tinggi berat badan bayi yang dilahirkan. Penelitian Amiruddin (2006) menunjukkan bahwa ibu hamil yang anemia mengalami persalinan prematur 2,375 kali lebih besar dibanding ibu yang tidak anemia. 3. Paritas Ibu Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu multipara (jumlah anak 2-3), dan hanya sebagian kecil yang dilahirkan oleh ibu dengan paritas tinggi (grandemulti). Hal itu terjadi karena pada ibu multipara dengan paritas rendah yang melahirkan BBLR hampir semua disertai dengan faktor lain seperti anemia kehamilan, komplikasi kehamilan, dan paparan asap rokok. Di pihak lain, ibu dengan paritas tinggi yang melahirkan BBLR juga disertai oleh beberapa faktor lain seperti anemia, umur, dan komplikasi kehamilan. Keadaan tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa kejadian BBLR tidak hanya disebabkan satu faktor saja, tapi sangatlah kompleks. Meskipun hanya sebagian kecil, faktor paritas tinggi masih tetap merupakan faktor resiko terjadinya BBLR. Kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian Joeharno (2008), bahwa ibu dengan paritas lebih dari 3 anak beresiko 2,4 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR. Karena setiap proses kehamilan dan persalinan akan menyebabkan trauma fisik dan psikis, semakin banyak trauma yang ditinggalkan menyebabkan penyulit pada kehamilan dan persalinan berikutnya. 4. Jarak Kelahiran Sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu dengan jarak kelahiran renggang (≥2 tahun) dan hanya sebagian kecil yang dilahirkan oleh ibu dengan jarak kelahiran rapat (< 2 tahun). Meskipun teori menyebutkan bahwa jarak kelahiran yang rapat berisiko lebih besar melahirkan BBLR, namun tidak menutup kemungkinan ibu yang hamil dengan jarak kelahiran renggang juga beresiko melahirkan BBLR. Hal ini terjadi jika ibu dengan jarak kelahiran renggang juga mempunyai faktor resiko lain melahirkan BBLR seperti, komplikasi kehamilan, penyakit, gizi kurang, dan anemia. Meskipun hanya sebagian kecil saja, jarak kelahiran rapat tetap merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR, apalagi jika disertai faktor lainnya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Joeharno (2008), bahwa jarak kelahiran merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan jarak kelahiran rapat beresiko
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
217
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
2 kali untuk melahirkan bayi dengan BBLR. Karena proses pengembalian kondisi setelah persalinan tidak hanya selesai setelah nifas berakhir, akan tetapi membutuhkan waktu yang lebih panjang sehingga dibutuhkan rentang waktu yang cukup bagi organ-organ tubuh untuk dibebani dengan proses kehamilan dan persalinan lagi (Yuni Kusmiyati dkk, 2008). 5. Penyakit yang Diderita Ibu saat Hamil Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak menderita penyakit kronik saat hamil dan hanya sebagian kecil saja yang menderita penyakit saat hamil. Jenis penyakit terbanyak adalah hipertensi kronik. Meskipun hanya sebagian kecil saja responden yang mengalami hipertensi kronik, tetapi angka ini cukup besar jika dibandingkan dengan jenis komplikasi yang lain. Hipertensi kronik yang dimaksud adalah ibu yang telah menderita tekanan darah tinggi sejak sebelum hamil, dan tanpa disertai oedem dan proteinuri. Pada penelitian ini, hipertensi kronik lebih banyak terjadi pada ibu dengan usia lebih dari 35 tahun. Pada ibu hamil dengan hipertensi, aliran darah ke plasenta akan terganggu, sehingga bayi bisa kekurangan oksigen dan nutrisi. Hal ini menyebabkan hambatan pertumbuhan janin. Keadaan ini didukung oleh pendapat Mc Cowan, dkk (1996) dalam Cunningham, dkk (2005) bahwa kelahiran preterm meningkat pada wanita dengan hipertensi kronik. Di samping itu, Cunningham, dkk (2005) juga menyebutkan bahwa insiden hambatan pertumbuhan janin berkaitan langsung dengan keparahan hipertensi. Sejumlah gangguan hasil perinatal secara substantif meningkat pada kehamilan dengan penyulit hipertensi kronik. Insiden hambatan pertumbuhan janin berkaitan langsung dengan keparahan hipertensi. 6. Paparan Asap Rokok saat Hamil Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu yang terpapar asap rokok saat hamil. Hal ini menunjukkan bahwa paparan asap rokok saat hamil menyumbangkan angka yang cukup besar terhadap kejadian BBLR. Yang dimaksud terpapar asap rokok di sini adalah jika ibu terpapar asap rokok dari keluarga yang satu tempat tinggal dengan ibu atau dari perokok yang satu tempat kerja dengan ibu. Sehingga disimpulkan bahwa 100% ibu yang terpapar rokok sebagai perokok pasif. Peneliti mengelompokkan ibu yang terpapar rokok dengan melihat jumlah minimal rokok yang terpapar pada ibu sebesar lebih dari lima batang perhari. Meskipun angka yang disumbangkan oleh asap rokok terhadap BBLR cukup besar, namun pada umumnya orang tua tidak menyadari hal itu. Merokok bagi sebagian besar orang merupakan suatu kebutuhan pokok yang kedudukannya sama dengan makan dan minum dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu point dalam PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) disebutkan bahwa disebut keluarga yang ber- PHBS jika tidak ada anggota keluarganya yang merokok di dalam rumah. Hal ini merupakan cara untuk menghindarkan ibu hamil dan anggota keluarga yang lain agar tidak terpapar asap rokok. Pengaruh nikotin yang terkandung di dalam rokok menimbulkan kontraksi pada pembuluh darah, akibatnya aliran darah ke tali pusat janin akan berkurang sehingga mengurangi kemampuan distribusi zat yang diperlukan janin. Selain itu karbonmonoksida dari asap rokok akan mengikat Hb dalam darah yang menyebabkan distribusi zat makanan dan oksigen yang disuplai ke janin menjadi terganggu, sehingga kondisi ini dapat beresiko
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
218
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
melahirkan bayi prematur (Ridwan Amiruddin, 2006). Hasil penelitian yang telah dilakukan Ridwan Amiruddin, 2006 menunjukkan bahwa, ibu hamil yang terpapar rokok berpeluang melahirkan bayi prematur 46,3%. Sehingga pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa ibu hamil yang terpapar rokok berpeluang 2,3 kali lebih besar dibanding dengan ibu hamil yang tidak terpapar rokok. Sedangkan penelitian di RS Sitti Fatimah Makasar (2005) didapatkan hasil bahwa jumlah bayi yang lahir BBLR dari suami yang merokok lebih 10 batang perhari sebesar 59,5% dan untuk yang kurang dari 10 batang perhari lahir BBLR sebanyak 45,5%. 7. Komplikasi Kehamilan yang Dialami Ibu Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan, dan hanya sebagian kecil yang dilahirkan oleh ibu dengan komplikasi kehamilan. Jenis komplikasi terbanyak adalah APB, yaitu sebesar 10%. Berdasarkan keterangan responden, APB diklasifikasikan dalam plasenta previa, yaitu suatu keadaan di mana plasenta terletak menutupi atau sangat dekat dengan ostium uteri interna (mulut rahim). Pada plasenta previa biasanya terjadi perdarahan pada saat mulai terbentuk SBR (segmen bawah rahim) yaitu pada kehamilan 26-28 minggu. Pada saat itu ada bagian plasenta yang robek oleh pergeseran jaringan di sekitar mulut rahim. Selain itu, rangsangan dari luar berupa aktifitas seksual juga dapat menimbulkan perdarahan pada plasenta previa. Bila ini terjadi, kesejahteraan janin akan terganggu dan bisa memacu prematuritas. Keadaan ini didukung oleh pendapat Crane, dkk (1999) dalam Cunningham, dkk ( 2005) yang menyebutkan bahwa angka persalinan prematur sebesar 47% pada plasenta previa. Di mana persalinan prematur ini terjadi karena adanya rangsangan koagulum darah pada serviks. Selain itu, jika banyak plasenta yang lepas, kadar progesteron turun dan dapat terjadi his, juga lepasnya plasenta itu sendiri dapat merangsang his (Cunningham dkk, 2005). 8. Faktor Gestasi Multiple Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kasus BBLR merupakan gestasi tunggal dan hanya sekitar 15% kasus yang merupakan gestasi multiple (kehamilan ganda). Pada kehamilan ganda, uterus lebih besar dari kehamilan normal, sehingga sering terjadi kontraksi dan terjadi proses persalinan sebelum aterm. Selain itu, secara fisiologis rahim hanya dipersiapkan untuk satu janin. Jika terjadi gestasi multipel, maka tempat harus dibagi dua, dan nutrisi serta oksigen yang seharusnya hanya untuk satu janin juga harus dibagi. Hal inilah yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin dengan gestasi multipel. Keadaan ini didukung oleh pendapat Bueken dan Wilcox (1993) dalam Cunningham, dkk (2005), bahwa gestasi multiple cenderung ditandai oleh BBLR dibandingkan dengan janin tunggal, disebabkan terutama oleh terhambatnya pertumbuhan janin dan persalinan preterm. Sedangkan Cunningham, dkk (2005) menyebutkan bahwa seiring meningkatnya jumlah janin, durasi gestasi menurun. Sekitar separuh janin kembar lahir pada usia 36 minggu atau kurang. 9. Faktor Genetik Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kasus BBLR (prematur) bukan merupakan faktor genetik (keturunan). Hanya sebagian kecil saja kasus BBLR yang dilahirkan oleh ibu yang mempunyai riwayat keturunan melahirkan bayi prematur. Hal ini
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
219
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
disebabkan karena penyebab BBLR sangatlah kompleks, yang pada penelitian ini faktor genetik selalu disertai oleh faktor penyebab BBLR lainnya. Meskipun secara teori faktor genetik merupakan faktor penyebab kelahiran preterm, namun faktor ini tidak memberikan kontribusi yang banyak pada kasus BBLR (prematur). Faktor genetik lebih besar pengaruhnya terhadap kehamilan ganda. Hal ini didasari tinjauan yang dibuat Hoffman dan Ward (1999) dalam Cunningham, dkk (2005) bahwa ada kemungkinan faktor-faktor genetik yang dicurigai pada kelahiran preterm. 10. Frekuensi ANC Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua kasus BBLR dilahirkan oleh ibu yang telah melakukan ANC ≥ 4 kali selama periode kahamilannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa kesadaran responden untuk memeriksakan kehamilan sangat tinggi, karena sebagian besar dari mereka sudah berpendidikan menengah dan tinggi, sehingga pengetahuan tentang akses ke pelayanan kesehatan cukup baik. Terlebih lagi, sebagian besar responden memilih untuk memeriksakan kehamilan di fasilitas swasta, dengan biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya pemeriksaan di instansi pemerintah seperti Puskesmas. Namun sangat disayangkan, pelayanan ANC ini tidak didukung dengan kualitas yang optimal. Salah satu buktinya, tidak semua ibu hamil yang telah melakukan ANC rutin, telah menjalani pemeriksaan kadar Hb saat hamil. Hal ini lebih banyak dialami oleh responden yang menjadi konsumen di BPS (Bidan Praktek Swasta), padahal, berdasarkan standar 6 pelayanan kebidanan disebutkan bahwa sebagai prasyarat, bidan mempunyai alat mengukur Hb yang berfungsi baik, dan harus memeriksa kadar Hb semua ibu hamil pada kunjungan pertama, dan pada minggu ke-28. Sehingga jika diketahui kalau ibu hamil tersebut mengalami anemia, dapat segera dilakukan penanganan. Kemungkinan, masih ada standar pelayanan kebidanan yang lain yang belum dilaksanakan dalam memberikan pelayanan pada konsumen. Sementara itu, pelayanan ANC yang lengkap tidak hanya dilihat dari kuantitas kunjungan saja, namun lebih ditekankan pada kualitas pelayanan yang sesuai dengan standar. Keadaan ini didukung oleh hasil penelitian Joeharno (2006), yang menunjukkan bahwa pemanfaatan pelayanan antenatal care merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR di mana ibu yang tidak melaksanakan pemeriksaan kehamilan secara lengkap beresiko 5 kali untuk melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian adalah: 1) Dari faktor ibu, urutan penyebab BBLR mulai dari terbanyak adalah: anemia saat hamil, terpapar asap rokok saat hamil, faktor umur ibu, kurang gizi saat hamil, penyakit yang diderita ibu saat hamil, jarak kelahiran yang terlalu dekat, dan paritas tinggi. 2) Kasus BBLR karena faktor kehamilan berturut-turut disebabkan oleh komplikasi kehamilan (KPD, APB, dan preeklamsi), sisanya kehamilan ganda. 3) Dari faktor lain, urutan penyebab dari yang terbanyak adalah: genetik, sisanya pemanfaatan ANC yang kurang, 4) Dari 3 faktor yang diteliti sebagian besar kasus BBLR disebabkan karena faktor ibu berupa anemia kehamilan.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
220
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Saran yang diajukan adalah: 1) Bagi Lahan Penelitian: diharapkan lebih meningkatkan upaya-upaya promotif dan preventif seperti pelayanan ANC yang sesuai dengan standar, menggalakkan P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) di seluruh Kelurahan di wilayah kerjanya, dan mensosialisasikan program PHBS bagi masyarakat. 2) Bagi Dinas Kesehatan: diharapkan untuk lebih memprioritaskan program yang berhubungan dengan promosi kesehatan, dan kesehatan ibu dan anak, serta dapat melakukan advokasi pada penentu kebijakan untuk memberikan dukungan baik moril maupun materiil dalam pelaksanaan program kesehatan, khususnya dalam upaya menurunkan kejadian BBLR. 3) Bagi Organisasi Profesi: dengan melihat fakta di lapangan, diharapkan organisasi profesi meningkatkan supervisi dan pembinaan pada anggota yang melakukan praktek swasta secara berkala dalam pelaksanaan standar pelayanan kebidanan. 4) Bagi Institusi Pendidikan: diharapkan penelitian ini dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya, dengan mengupas lebih dalam tentang hubungan anemia kehamilan dengan BBLR, dan pengaruh paparan asap rokok pada ibu hamil terhadap kejadian persalinan prematur, agar bisa menambah ilmu pengetahuan bidang kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Asrining Surasmi, Siti Handayani, Heni Nur Kusuma. 2002. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC. Cunningham F. Gary (et al) (2001). Williams Obstetrics, 21 Ed, Andry Hartono, dr, dkk. (2005) (Alih Bahasa),Jakarta : EGC. Depkes RI . 2003. Buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan, dan Perawat di Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI. ____________ . 2007. Manajemen BBLR untuk Bidan. Jakarta : Depkes RI. Eka Rahayu. 2009. Masalah BBLR di Indonesia. http://eka-punk.blogspot. com/2009/05/22/Masalah-BBLR-Indonesia.html (diakses 20 Juli 2009) Joeharno. 2008. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). http://blogjoeharno.blogspot. com/2008/05/berat-badan-lahir-rendah (diakses tanggal 20 Juli 2009) Meta. 2008. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) http://kuliahbidan.worldpress.com. (diakses tanggal 20 Juli 2009) Nurcahyo. 2007. Sindroma Alkohol Pada Janin. www.indonesiaindonesia.com /07/02/Sindroma Alkohol Pada Janin. (diakses 21 Juli 2009) Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Pioda. 2007.Gizi Buruk, Kegagalan Berinvestasi pada generasi bangsa. Pioda.multiply.com. (diakses tanggal 20 Juli 2009) Riduan, DRS. MBA. 2004. Statistika untuk Lembaga & Instansi pemerintah / Swasta. Bandung : Alfabeta Ridwan Amiruddin. 2006. Risiko Asap Rokok dan Obat-obatan Terhadap Kelahiran premature di rumah Sakit ST. Fatimah Makasar. med.unhas.ac.id/datajurnal/thn06no4. (diakses 21 juli 2009)
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
221
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Sarwono Prawirohardjo. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. __________ . 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Soekidjo Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Sumarah dkk. 2008. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin). Yogyakarta : Fitramaya. Suririnah. 2004. Stress Dalam Kehamilan Berpengaruh Buruk. www.infoibu.com/mod.php. (diakses 27 Nopember 2009 ) Tim. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta : Balai Pustaka. Yuni Kusmiyati dkk. 2008. Perawatan Ibu Hamil ( Asuhan Ibu Hamil ). Yogyakarta : Fitramaya. Zulhaida Lubis. 2003. Status Gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya Terhadap Bayi yang dilahirkan. e-mail:
[email protected]
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
222
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI MAKANAN SUMBER ENERGI DENGAN STATUS GIZI Tumirah*, Sriani**, Sherly Jeniawaty* ABSTRACT This research is aimed to make a study of correlation between energy-resource-food consumption and nutrition status of 1 to 3 year-old children in the village of Kedungjati, Balerejo, Madiun. The main problem of this research is high KEP Rate in this area. Among 113 weighed-children, there are 17 children (15,04%) with KEP. This research makes use of analytical survey with cross-sectional design. The population of this research is families with their 1 to 3 year old children. 29 children are lotted by using simple random-sampling-technique and listed in Krejcei table.|The free variable of this research is nutrition status. Energy-resource-food consumption is measured through an observation sheet. Nutrition status is measured by using a portable balanced-scale. The statistic test used is Kendal Tau with 0,05 signification rate. The observation on energy-resource-food consumption shows 9 children (31%) with sufficient food-consumption, 20 children (69%) with insufficient food-consumption and no children (0%) with more food-consumption. The observation on nutrition status shows no children (0%) with more nutrition-status, 20 children (69%) with good nutrition-status, 8 children (27,6%) with insufficient nutrition-status, and 1 child (3,4%) with poor nutrition-status. The result of Kendal Tau correlation test show the score of 0,288 with 0,059 probability (P<0,05). Thus, HO is approved or HI is rejected. This research concludes that most of 1 to 3 year old children obtain insufficient energy-research consumption. They are in good nutrition-status. There is not correlation between energy-resource-food consumption and nutrition status of 1 to 3 year-old children Keyword: energy-resource-food consumption, nutrition status *: Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya **: Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak pembuahan hingga dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas, dan produktif (Admin, 2008). Menurut WHO, 10,4 juta kematian di negara berkembang terjadi pada anak-anak di bawah lima tahun akibat defisiensi energi dan protein. Dari data Statistik Kesehatan Depkes RI Tahun 2005, dari 241.973.879 penduduk Indonesia terdapat 14,5 juta anak (16%) menderita gizi buruk. Penderita gizi buruk pada umumnya anak-anak di bawah usia lima tahun (balita). Dari target angka KEP <15%, di Propinsi Jawa Timur kejadian KEP sebanyak 47% (Admin,
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
223
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
2008). Dari laporan Dinas Kesehatan Madiun tahun 2007, jumlah balita KEP sebanyak 4.175 anak (13,77%) dari 34.245 anak balita yang ditimbang. Di Puskesmas Balerejo terdapat 251 anak balita (21,83%) dengan KEP dari 1.150 anak yang ditimbang. Sedangkan di Desa Kedungjati dari 113 anak yang ditimbang terdapat 17 anak balita (15,04%) dengan KEP. Kesehatan dan gizi merupakan faktor sangat penting untuk menjaga kualitas hidup yang optimal. Konsumsi makanan berpengaruh besar terhadap status gizi, dan status gizi yang baik dapat dicapai bila memperoleh cukup energi dan zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan perkembangan otak untuk mencapai tingkat kesehatan optimal (Depkes RI, 2003:1). Kejadian tersebut sering terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun yang merupakan kelompok rentan terhadap kesehatan dan gizi (Depkes RI, 2000:1). Status gizi yang buruk pada bayi dan anak dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pertumbuhan fisik dan mental maupun kemampuan berfikir yang pada gilirannya akan menurunkan produktifitas. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa pada hakekatnya gizi buruk atau kurang akan berdampak pada sistem fisiologis dan metabolisme tubuh individu yang berdampak tingginya angka kematian bayi dan anak (Suhardjo, 2003). Menurut Depkes RI (1999), upaya peningkatan status gizi anak balita dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang selama ini telah dilakukan oleh Pemerintah melalui Dinas Kesehatan. Langkah-langkah tersebut di antaranya ialah: 1. Pemberdayaan keluarga melalui revitalisasi Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dalam bentuk peningkatan pengetahuan keluarga sadar gizi, peningkatan deteksi dini kelainan gizi, peningkatan dan pemanfaatan pendapatan, peningkatan pemanfaatan pekarangan serta peningkatan penganekaragaman menu makanan keluarga. 2. Pemberdayaan masyarakat melalui revitalisasi posyandu dalam bentuk peningkatan peran serta masyarakat, peningkatan pemberdayaan kader, penggerakan sumberdaya masyarakat, peningkatan konseling/KIE, dan pemberian makanan tambahan. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara konsumsi makanan sumber energi dengan status gizi anak usia 1-3 tahun. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah survei analitik yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsumsi makanan sumber energi dengan status gizi anak usia 1-3 tahun. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan di Desa Kedungjati Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun mulai bulan Juli 2008 hingga Pebruari 2009. Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga beserta anaknya usia 1-3 tahun pada bulan November 2008 sebesar 30 orang dan sampel dalam penelitian ini minimal 28 orang berdasarkan Tabel Krejcie dari http://www.usd.edu/mbaron/edad810/Krejcie.pdf dan diambil dengan teknik simple random sampling menggunakan undian. Karena jumlah anak pada saat pengumpulan data hanya 29 anak maka seluruhnya dijadikan responden. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan pencatatan pada lembar observasi oleh ibu selama 3 hari berturut-turut untuk variabel konsumsi makanan sumber energi, sedangkan untuk status gizi, data dikumpulkan melalui pengukuran langsung BB yang selanjutnya dibandingkan dengan umur yang diperoleh dari data sekunder pada
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
224
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
anak. Selanjutnya data ditabulasi sesuai dengan pengelompokan data dengan mengacu pada variabel penelitian dan ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan diagram pie yang dikonfirmasikan dalam bentuk persentase dan narasi. Data yang didapat kemudian dianalisis secara deskriptif dalam bentuk persentase dan disajikan dalam diagram pie. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dari keseluruhan responden, mayoritas mendapat konsumsi makanan yang kurang (Gambar 1), dan mayoritas berstatus gizi baik (Gambar 2).
Gambar 1. Distribusi Frekuensi Konsumsi Makanan Sumber Energi Anak Usia 1-3 Tahun
Gambar 1. Distribusi Frekuensi Status Gizi Anak Usia 1-3 Tahun Tabel 1. Hubungan antara Konsumsi Makanan Sumber Energi dengan Status Gizi Status Gizi Total Konsumsi Baik Kurang Buruk Makanan Jumlah % % Jumlah % Jumlah % Jumlah Cukup Kurang Total
8 12 20
88,9 60,0 69
1 7 8
11,1 35,0 27,6
0 1 1
0 5 3,4
9 20 29
100 100 100
Dari Tabel 1 diketahui bahwa anak dengan konsumsi makanan sumber energi yang cukup ternyata mayoritas memiliki status gizi yang baik. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan anak yang mendapat konsumsi makanan sumber energi yang kurang. Hasil uji korelasi Kendal Tau menunjukkan nilai 0,288 dengan probabilitas 0,059. Karena angka ini lebih besar daripada 0,05, maka disimpulkan bahwa H0 diterima atau H1 ditolak. Dengan demikian tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi makanan sumber energi dengan status gizi anak usia 1-3 tahun. Pembahasan Anak usia 1-3 tahun Di Desa Kedungjati, Balerejo, Madiun mayoritas mendapat konsumsi makanan sumber energi yang kurang. Asupan kalori anak tergolong rendah dari kalori yang dianjurkan yaitu 100-110 kal/kg/BB (Depkes RI, 2002). Hal tersebut merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Menurut Depkes RI (2005) pada usia
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
225
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Karena itu, kebutuhan zat gizi tiap satuan berat badannya juga meningkat. Mayoritas anak berstatus gizi baik, namun masih ada anak yang mempunyai status gizi kurang dan gizi buruk. Sehingga dalam hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari semua pihak. Kurang gizi sangat berpengaruh terhadap perkembangan otak dengan kemampuan berpikir dan perkembangan mental anak. Menurut Suhardjo (2003) jaringan otak anak yang tumbuh normal akan mencapai 80 persen berat otak orang dewasa sebelum berumur 3 tahun, sehingga dengan demikian apabila terjadi gangguan gizi kurang dapat menimbulkan kelainan fisik maupun mental. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi makanan sumber energi dengan status gizi anak usia 1-3 tahun di Desa Kedungjati. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti yang sudah dijelaskan dalam keterbatasan penelitian bahwa pemilihan skala data dalam jenjang ordinal memungkinkan data yang mempunyai nilai berbeda dikategorikan dalam nilai yang sama, sehingga menyebabkan ketidaktepatan dalam metode uji statistik (Nursalam, 2003). Ketidaksesuaian hasil uji hipotesis penelitian tersebut mungkin juga disebabkan adanya pengaruh faktor lain yang lebih besar terhadap status gizi anak usia 1-3 tahun, karena faktor lain yang mempengaruhi status gizi belum dikendalikan dalam penelitian ini. Menurut Depkes RI (2001), banyak faktor yang mempengaruhi status gizi antara lain: kesediaan pangan, mutu makanan, cara pengolahan, pola asuh anak, kesediaan air bersih dan sanitasi, kesadaran masyarakatuntuk menggunakan sarana kesehatan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Mayoritas anak usia 1-3 tahun mendapat konsumsi makanan sumber energi yang kurang, mayoritas anak usia 1-3 tahun berstatus gizi baik, tetapi masih ada anak dengan status gizi kurang dan status gizi buruk, dan tidak ada hubungan antara konsumsi makanan sumber energi dengan status gizi anak usia 1-3 tahun. Saran Berdasar hasil penelitian disarankan: a) perlu dilakukan penyuluhan tentang pentingnya gizi seimbang kepada ibu balita maupun keluarga yang dominan agar anak bisa mendapatkan konsumsi makanan sesuai kebutuhannya, b) ibu balita atau keluarga yang dominan diharapkan lebih mewaspadai kecenderungan gizi kurang dan gizi buruk pada anak usia 1-3 tahun dan bisa menindaklanjuti bila terjadi gizi kurang dan gizi buruk, c) hendaknya dilakukan penelitian lanjutan dengan mengendalikan faktor lain yang mempengaruhi status gizi. DAFTAR PUSTAKA Admin. 2008. Marasmus. http://dokterfoto.com/Marasmus/ (diakses 06 April 2008). Anonim. 2009. Memprediksi Status Gizi dengan Konsumsi Energi, Protein dan Lemak Menggunakan Logika Fuzzy. http://top1hit4m.wordpress.com/tools/fuzy-logic/fuzzy-logic (diakses 20 Januari 2009).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
226
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depkes R.I. 1999. Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi di Indonesia. Tangerang: Tim Koordinasi Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi. _________. 2001.Penanggulangan Kurang Energi Protein, Dinkes Jawa Timur, Surabaya. ________. 2002. Panduan Makan Untuk Hidup Sehat. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. _________. 2003. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. _________. 2003. Terapi Gizi Medis. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. _________. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. _________. 2007. Terapi Gizi Medis. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Dinkes Jatim. 2002. Capacity Building Program Pangan dan Gizi Kabupaten/Kota, Dinkes Jawa Timur Surabaya. Irianto, K. dan Waluyo, K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung, Yrama Widya. Jhon. 2008. Pemenuhan Gizi Pada Balita. http://jhon-solution.blogspot.com/pemenuhangizi pada balita/(diakses 12 September 2008). Krejcie, Robert V. 2009. Determining Sample Size For Research Activities. http://www.usd.edu/mbaron/edad810/Krejcie.pdf (diakses 8 Januari 2009). Maesaroh, S. 2006. Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan Status KEP pada Bayi dan Balita. Karya Tulis Ilmiah, Program Studi Kebidanan Magetan Politeknik Kesehatan Surabaya, Magetan. Moehji, S. 2002. Ilmu Gizi I. Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Muchtadi, D. 2009. Kebutuhan Zat-zat Gizi Bagi Manula. http://web.ipb.ac.id/tpg/de/pupdentrtnhlth-gizimanula.php (diakses 20 Januari 2009). Notoatmodjo S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto. Pudjiadi, S. 1997. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru. Sediaoetama, A. D. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Sudijono, A. 2006. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada Sugiono. 2000. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Suhardjo, 2003. Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius. Supariasa, I. D. N. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Sutardjo, S., dkk. 1997. Penuntun Diit Anak, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Zainudin, 2000. Metodologi Penelitian. Surabaya
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
227
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
PENGARUH LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESULITAN BELAJAR Sriami* ABSTRAK Mahasiswa keperawatan menurut kategori umur termasuk usia remaja, yang tentunya mempunyai kebutuhan spesifik dalam tumbuh dan berkembangnya. Sistem pembelajaran di pendidikan kesehatan menuntut mahasiswa mendapat pengalaman di tatanan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat. Mahasiswa dilatih untuk merawat orang sakit dengan segala permasalahannya dan bekerjasama dengan personal lainnya yang kesemuanya menuntut mahasiswa untuk mampu melakukan penyesuaian diri. Hal tersebut menimbulkan kesulitan belajar bagi mahasiswa yang ditandai dengan angka drop out sekitar 1,5%, walaupun telah disediakan pembimbing akademik. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh layanan bimbingan belajar terhadap faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar. Jenis penelitian adalah quasy experiment dengan desain one group pre-post test design. Sampel adalah 40 mahasiswa keperawatan tingkat satu. Variabel independen adalah layanan bimbingan belajar, dan variabel dependen faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar. Instrumen penelitian berupa kuesioner. Data dianalisis dengan uji t sampel berpasangan dengan α = 0,05. Hasil t hitung 11.17 dan t tabel 2.101 artinya ada perbedaan faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar antara sebelum dan sesudah bimbingan belajar tentang cara belajar efisien. Kata Kunci : bimbingan belajar, kesulitan belajar * : Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Mahasiswa keperawatan menurut kategori umur termasuk usia remaja, yang tentunya mempunyai kebutuhan spesifik dalam tumbuh dan berkembangnya yaitu masa perubahan usia yang menimbulkan ketakutan, masa tidak realistis dengan emosi meningkat untuk pemahaman diri (Hurlock,E B 1998). Pendidikan keperawatan dalam proses pembelajaran selain menuntut kemampuan akademik juga ketrampilan berperilaku serta ketrampilan teknis medis untuk dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien. Pasien yang memerlukan asuhan keperawatan terdiri atas berbagai macam sosial budaya, tingkat usia, penyakit yang diderita. Sekitar 1,5% mahasiswa tingkat awal ada yang keluar dikarenakan berbagai sebab. Salah satu penyebab kondisi ini kiranya adalah adanya kesulitan belajar yang dialami mahasiswa, yang selama ini belum dideteksi secra seksama dan sedini mungkin. Untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa telah dilakukan bimbingan secara individu oleh dosen selaku pembimbing akademik, namun kenyataannya masih ada mahasiswa yang kurang mampu mengikuti proses pendidikan sehingga drop out.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
228
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh bimbingan belajar terhadap faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar pada mahasiswa keperawatan. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian analitik ini menggunakan metode penelitian quasy experiment dengan one group pre test-post test design. Populasi adalah mahasiswa keperawatan, dengan sampel 40 mahasiswa keperawatan tingkat satu. Variabel independen adalah layanan bimbingan belajar sedang variabel dependen adalah faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan uji t untuk sampel berpasangan dengan tingkat kemaknaan 0,05. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Hasil uji t menunjukkan t hitung= 11,17, sedangkan nilai t tabel= 2,101. Karena nilai t hitung lebih besar daripada t tabel, maka Ho ditolak artinya terdapat perbedaan bermakna tentang faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar, antara sebelum dan sesudah dilakukan bimbingan belajar cara belajar efisien. Pembahasan Terdapat perbedaan faktor yang memperngaruhi kesulitan belajar antara sebelum dan sesudah bimbingan belajar tentang cara belajar efisien. Dengan kata lain, bimbingan belajar berpengaruh terhadap faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar. Artinya, dengan bimbingan dan konseling yang menyangkut layanan informasi khususnya informasi cara belajar yang baik/efisien diperlukan untuk pemecahan masalah bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan belajar, memakai alternatif pemecahan masalah dengan menurunkan faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar dalam mencapai tujuan belajar agar dapat mencapai sesuai dengan kemampuan dan ketepatan waktu yang diinginkan baik oleh individu, keluarga maupun ketentuan pendidikan/sekolah. Oleh karena itu, diperlukan bantuan bimbingan dan konseling khususnya layanan informasi bimbingan belajar yang fokusnya adalah cara-cara belajar yang baik/efisien. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian adalah pada institusi pendidikan dengan usia mahasiswa termasuk kategori remaja sangat diperlukan keseimbangan antara kebutuhan yang berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan masa remaja berkenaan dengan perkembangan diri, ketrampilan, ilmu pengetahuan. Terlebih lagi dalam perawatan, obyek untuk sarana pembelajaran menggunakan model hidup (pasien) yang bermasalah baik fisik maupun psikologis. Diperlukan pengembangan sikap aktif dan terprogram baik belajar mandiri maupun
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
229
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
kelompok mengingat banyaknya factor yang mempengaruhi kesulitan belajar agar dapat mencapai kebutuhan yang diinginkan dalam hal belajar. Untuk mencapai keselarasan dalam mencapai tujuan belajar dengan tugas-tugas perkembangan pribadi perlu adanya layanan bimbingan dan konseling utamanya layanan bimbingan belajar yang khususnya adalah caracara belajar yang baik/efisien. Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Seorang konselor harus selalu meningkatkan aktifitas dan mengembangkan berbagai teknik bimbingan sesuai dengan permasalahan yangdihadapi mahasiswa 2. Untuk mengatasi kesulitan belajar mahasiswa diperlukan kerjasama antara dosen bidang studi dengan dosen pembimbing dan kemauan mahasiswa 3. Untuk menurunkan factor yang mempengaruhi kesulitan belajar hendaknya pelayanan bimbingan dan konseling lebih diintensifkan 4. Bagi institusi pendidikan yang belum ada guru BK perlu direncanakan untuk diusulkan guna meningkatkan layanan bimbingan dan Konseling di sekolah DAFTAR PUSTAKA Djumhur,I,Moch.Surya, 1995, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Bandung: CV Ilmu Gunarsa, Singgih D.,Singgih D.,Gunarsa, 1992, Psikologi untuk Bimbingan, Jakarta :PT BPK Gunung Mulia Hadi, Sutrisno, 1994, Metodologi Research ,JOgyakarta: yayasan Penerbitan Psikologi UGM Hamalik,Oemar 1990, Metode Belajar dan Kesulitan Belajar, Bandung: Tarsito Ketut Sukardi, Dewa 1998, Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Pt Bina Aksara Mappiiare, Andi, 1994, Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Surabaya: Usaha Nasional Noto Atmodjo, Soekidjo, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta Nursalam, 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Jakarta: Salemba Medika Suradi SA, Sutjipto, 1990, Masalah dan Kesulitan Belajar, Surabaya: University press IKIP The Liang Gie, 1994, Cara Belajar yang Efisien, Yogyakarta: UGM Press Walgito, Bimo, 1998, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Andi Offset
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
230
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
RANCANG BANGUN ROTATING BIOLOGICAL CONTRACTOR (RBC) DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA POLYVINYL CHLORIDE (PVC) UNTUK MENURUNKAN KADAR AMONIAK Beny Suyanto* ABSTRAK Prototipe Rotating Biological Contractor (RBC) merupakan alat yang digunakan untuk mengolah air limbah secara biologis menggunakan bahan media pipa polyvinyl chloride (PVC) sebagai media perkembangbiakan mikroorganisme pengurai. Tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan rancang bangun Rotating Biological Contractor (RBC) untuk menurunkan kadar amoniak air limbah Kulit. Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan membuat alat uji Rotating Biological Contractor (RBC) dengan spesifikasi: volume 10,5 liter dengan media pipa PVC diameter 1,6 cm, panjang 30 cm, jumlah 46 buah. Rotor yang digunakan 5/6 rpm dan sampel dari limbah kulit dengan aklimatisasi selama ±3 hari digunakan starter bio 2000. Hasil penelitian pemeriksaan awal kadar amoniak dari lima replikasi rata-rata 8,04mg/l dengan suhu 28°C pH 8, dan pemeriksaan setelah ±5 jam proses pengolahan kadar amoniak rata-rata 6,05mg/l dengan suhu 25°C pH 7. Diketahui bahwa Rotating Biological Contractor RBC dengan menggunakan media pipa polyvinyl chloride (PVC) sebanyak 46 buah dengan kondisi 40% luas media kontak air limbah 60% kontak udara dan dengan kecepatan perputaran 5/6 rpm dengan replikasi lima kali mampu menurunkan rata-rata 1,99 mg/l (25%) dalam 10 liter air limbah, dengan suhu 25°C dan pH 7. Kata Kunci: RBC, PVC, bakteri aerob, limbah kulit * : Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sistem pengolahan limbah cair, perlu pemahaman tentang sifat, karakteristik, serta dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tersebut, agar proses pengolahan berjalan efektif dan efisien. Karakteristik yang dihasilkan limbah cair dipengaruhi faktor internal (berasal dari alam) dan faktor eksternal (berasal dari aktifitas manusia), misalnya jumlah air bersih yang dipakai. Semakin banyak air bersih yang digunakan maka air limbah yang dihasilkan tidak akan memiliki kepekatan tinggi. Semakin bervariasi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan dalam proses produksi maka air limbah yang dihasilkan akan semakin pekat. Salah satu kandungan limbah cair adalah amoniak yaitu senyawa nitrogen yang menjadi + NH4 pada pH rendah. Keasaman air (pH) sangat mempengaruhi apakah jumlah amoniak yang ada akan bersifat racun atau tidak. Jika limbah cair dibuang ke badan air, maka konsentrasi amoniak harus selalu terkendali atau dibatasi karena akan mempengaruhi ketersediaan oksigen. Amoniak dapat menyebabkan kekurangan oksigen pada air. Jika kadar oksigen terlarut dalam cairan menurun, maka dapat menyebabkan makhluk biologis misalnya ikan tidak dapat hidup di sana. Untuk itu perlu pengolahan limbah cair khususnya yang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
231
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
mengandung amoniak. Amoniak dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan hasil oksidasi zat organik secara mikrobiologis yang berasal dari air buangan domestik maupun industri. Kadar amoniak yang tinggi akan menandakan adanya pencemaran pada air buangan. Rotating Biological Contactor (RBC) merupakan salah satu teknologi pengolahan air limbah yang mengandung pencemar zat organik yang biodegradable dengan sistem biakan melekat. Beberapa keunggulan dari sistem RBC adalah memiliki operasi dan konstruksi sederhana, kebutuhan energi relatif lebih kecil, tidak memerlukan udara dalam jumlah yang besar, lumpur yang terjadi relatif kecil, serta relatif tidak menimbulkan bau. Reaksi nitrifikasi lebih mudah terjadi sehingga efisiensi penghilangan amoniak lebih besar (BBPT, 1999). Berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan penelitian tentang Rancang Bangun RBC Dengan Menggunakan Media Polyvinyl chloride (PVC) Untuk Menurunkan Kadar Amoniak. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menguji kemampuan alat hasil rancang bangun RBC untuk menurunkan kadar amoniak menggunakan bahan PVC dengan 5 jam proses operasional. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
5,5
2
14
12
5,5
Jenis penelitian ini adalah penelitian Pra Eksperimen. Peneliti melakukan perlakuan pengolahan terhadap sampel dengan menggunakan RBC untuk mengetahui kadar amoniak dalam limbah cair. Rancangan yang diguanakan adalah One Group Pre and Test Design, yaitu peneliti melakukan penelitian sebelum dan sesudah perlakuan pada sampel. Dilakukan replikasi untuk mengetahui efisiensi perlakuan. Kemudian hasil yang diperoleh dibandingkan untuk mengetahui tingkat penurunan kadar amoniak pada limbah cair dengan menggunakan RBC, dengan media tempat melekat yaitu PVC (Praktiknya, 1996).
2 2,5
30
2,5 2
RBC (Potongan B-B)
30
2,5
2,5
RBC (Tampak Atas)
Gambar 1. Struktur RBC Alat dan bahan yang digunakan adalah: RBC dengan dimensi panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 35 cm, 25 cm dan 12 cm (Gambar 1). PVC ukuran diameter 1,6 cm panjang
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
232
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
30 jumlah 46 buah yang diputar dengan kecepatan rotor 5/6 rpm dan kapasitas bak 10 liter serta sampel berasal dari limbah cair Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Lingkungan Industri Kecil (LIK) Magetan pada bagian bak pengendap I. Setelah persiapan alat dan bahan selesai, maka sebelum dilakukan percobaan alat diaklimatisasi terlebih dahulu untuk menumbuhkan, mengadaptasikan mikroorganisme dengan menggunakan starter bio 2000 selama waktu ± 3 hari. Kemudia air limbah yang mengandung amoniak dimasukkan ke dalam bak pengolahan RBC dengan proses pengolahan limbah cair sistem aliran butch (tanpa aliran). Kemudian air limbah akan dikontakkan dengan RBC diputar secara pelan-pelan dengan kecepatan 5/6 rpm, proses ini berlangsung terus menerus selama ± 5 jam kemudian direplikasi 5 kali. Hasil penelitian diperiksa dilabolatorium untuk dinanalisis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil pemeriksaan amoniak disajikan pada Tabel 1, yang menunjukkan persentase penurunan kadar amoniak setelah mengalami proses pengolahan melalui RBC hasil rancang bangun selama + 5 jam proses pengolahan. Tabel . 1 Perbandingan Kadar Amoniak (NH3) Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan Menggunakan RBC Hasil Rancang Bangun No Replikasi Penurunan Presentase (%) Hasil e (mg/l) f = x100% Sebelum (mg/l) Sesudah (mg/l) (e = c – d ) c a b c d e f 1 I 9,14 7,31 1,87 20 2 II 7,73 5,41 2,32 30 3 III 7,96 5,57 2,39 30 4 IV 6,67 5,00 1,67 25 5 V 8,71 6,97 1,74 20 Rata-rata 8,04 6,05 1,99 25 Keterangan: e = c – d
e c
f = f = x 100%
Hasil pemeriksaan suhu dan pH masing-masing disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. Perbandingan Suhu Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan Menggunakan RBC Hasil Rancang Bangun No Replikasi Hasil Pengukuran Sebelum Perlakuan (0 C) Selama Proses (0 C) 1 I 28 25 2 II 28 25 3 III 28 26 4 IV 28 25 5 V 28 26
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
233
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel 4. Perbandingan PH Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan Menggunakan RBC Hasil Rancang Bangun No Replikasi Hasil Pengukuran pH Sebelum Perlakuan Selama Proses 1 I 8 7 II 8 7 2 3 III 8 7 4 IV 8 7 5 V 8 7 Paired Sample T-Test menunjukkan nilai α <0,05, maka Ho ditolak, yang berarti ada pengaruh rancang bangun RBC dengan menggunakan media PVC untuk menurunkan kadar amoniak. Pembahasan 1. Aklimatisasi Alat Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan kegiatan aklimatisasi alat uji, dengan memberikan perlakuan pada air limbah. Aklimatisasi berjalan selama ± 3 hari. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung mencul lendir pada media pipa PVC, di samping itu warna air limbah berangsur berubah. Hal ini diasumsikan bahwa mikroorganisme mulai tumbuh. Secara skematis proses aklimatisasi dapat digambarkan sebagai berikut.
Sampel
Memberikan bio 2000 pada air limbah dan dilakukan pengolahan dengan alat uji (Kecepatan 5/6 rpm) selama 15 menit .
Muncul lendir pada media pipa PVC
Tumbuh mikroorganisme
Gambar 2. Skema Aklimatisasi Alat Uji 2. Kinerja Alat Uji RBC Hasil Rancang Bangun RBC merupakan alat uji hasil rekayasa yang terdiri dari bak RBC berbentuk persegi panjang dengan kapasitas 10,5 liter, serta media tempat pertumbuhan mikroorganisme berupa pipa PVC sebanyak 46 buah dan diameter masing–masing pipa 1,6 cm, sehingga luas seluruh permukaan media PVC 1,4 m2. Kinerja RBC yaitu mengontakkan media pipa PVC dengan limbah cair yang berada di dalam bak dan media PVC diputar dengan kecepatan putaran 5/6 rpm dalam keadaan 40% dari luas permukaan tercelup ke dalam air limbah. Berdasarkan hasil waktu yang diperlukan media pipa PVC untuk 1 kali putaran adalah 72 detik. Selama 1 kali putaran keadaan media pipa PVC pada RBC dengan luas seluruh permukaan 1,4 m2 (46 buah pipa PVC). Luas media yang kontak dengan udara (O2) adalah 0,6 m2 (18 buah pipa) dan media yang kontak
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
234
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
dengan air limbah adalah 0,8 m2 (28 buah pipa PVC). Waktu yang digunakan untuk sekali proses pengolahan selama 5 jam proses perlakuan dan media berputar sebanyak 250 kali. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium kadar amoniak sebelum proses perlakuan paling tinggi pada replikasi ke I yaitu 9,14 mg/l dan kadar amoniak paling rendah pada replikasi ke IV yaitu 6,67 mg/l. Setelah proses pengolahan selama ±5 jam dengan menggunakan RBC hasil rancang bangun diketahui bahwa kadar amoniak paling tinggi pada replikasi ke I yaitu 7,31 mg/l dan kadar amoniak paling rendah yaitu pada replikasi ke IV yaitu 5,00 mg/l. Penurunan kadar amoniak (NH3) setelah mengalami perlakuan menggunakan RBC hasil rancang bangun (selama + 5 jam proses) penurunan kadar amoniak paling rendah adalah pada replikasi ke IV yaitu 1,67 mg/l (25%) dan penurunan yang paling tinggi pada replikasi ke II yaitu 2,39 mg/l (30%) denagn rata-rata 5 replikasi senilai 1,99 mg/l (25%). Pada saat RBC mengolah air limbah media 18 buah pipa PVC (40%) tercelup, air limbah akan masuk ke dalam rongga pipa kemudian pada saat berputar mikroorganisme dalam air limbah akan terangkat dan kontak dengan udara dan terjadi proses metebolisme pada mikroorganisme. Pada saat pipa tercelup kembali ke dalam air limbah senyawa hasil metabolisme akan menyebar dan mengubah amoniak menjadi nitrit dan nitrat sehingga kadar amoniak mengalami penurunan. Dari proses di atas sesuai dengan BPPT tahun 1999 pada saat media pipa PVC tercelup (kontak dengan limbah) bakteri nitrosomonas dan nitrobakter akan menyerap amoniak (NH3) sebagai energi. Ketika bakteri kontak dengan udara (O2) bakteri akan mengambil oksigen untuk proses metabolisme. Senyawa hasil metabolisme akan terbawa oleh aliran air dan akan tersebar tersebar melalui rongga-rongga disk. Sehingga kandungan amoniak (NH3) dalam limbah akan berkurang. Sama halnya dengan penelitian ini yang menggunakan media pipa PVC. 3. Nilai Suhu Umumnya bakteri nitrosomonas dan nitrobakter dapat melakukan proses nitrifikasi secara baik pada kondisi suhu 300 C–360 C (mesofilik). Tetapi nitrifikasi masih dapat berlangsung pada suhu dibawahnya (Betty Sri. L, 1990). Berdasarkan hasil nilai suhu pada seluruh replikasi sampel air limbah kulit sebelum mengalami perlakuan berkisar 280C. Sedangkan hasil pengukuran suhu setelah proses perlakuan menggunakan RBC hasil rancang bangun berkisar 250 C–260 C. Dari hasil di atas diketahui bahwa nilai suhu pada air limbah turun setelah proses pengolahan menggunakan RBC hasil rancang bangun, dan pada kisaran suhu tersebut proses nitrifikasi oleh organisme dapat tetap berlangsung. 4. Nilai pH Berdasarkan hasil pengukuran pH pada air limbah kulit sebelum mengalami perlakuan berkisar 8, Sedangkan setelah proses berlangsung pH berkisar 7. Dari hasil pengukuran didapat bahwa pH mengalami penurunan setelah dilakukan proses pada air limbah kulit menggunakan RBC hasil rancang bangun. Pada pengamatan langsung bau pada air limbah semakin berkurang. Umumnya pH optimum bagi proses nitrifikasi adalah 7,5 hingga 8,5. Selama berlangsungnya proses nitrifikasi akan menghasilkan ion hidrogen yang menyebabkan penurunan pH. Hal ini menyebabkan berkurangnya bau pada limbah karena pH telah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
235
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
mendekati kondisi normal. Betty Sri L. (1990) sehingga pH 7 masih memenuhi kondisi normal proses nitrifikasi dan bakteri tetap tumbuh. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa : 1. RBC hasil rancang bangun dapat dimanfaatkan untuk pengolahan limbah cair dalam menurunkan kadar amoniak (NH3). Dimensi alat uji Rotating Biological adalah sebagai berikut : a. Bak RBC (berbentuk persegi panjang) , dengan panjang = 35 cm ,lebar = 25 cm , tinggi 12 cm ,dengan kapasitas volume = 10500 cm . b. Media yang terbuat dari pipa PVC degan panjang = 30 cm , jumlah = 48 buah , diameter pipa = 1,6 cm . c. Kecepatan putaran 5/6 rpm dengan menggunakan rotari. 2. Hasil pemeriksaan kadar amoniak pada sampel sebelum mengalami perlakuan (replikasi 5 kali) rata-rata adalah 8,04 mg/l dengan keadaan suhu 280 C dan PH 8. 3. Hasil pemeriksaan mengenai kadar amoniak pada sampel setelah mengalami perlakuan (replikasi 5 kali) rata-rata adalah 6,05 mg/l dengan keadaan suhu 250 C – 260 C dan PH 7. 4. Terjadi penurunan kadar amoniak pada limbah cair setelah dilakukan perlakuan dengan RBC, dengan penurunan rata-rata 1,99 mg/l (25%). Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai: penggunaan alat uji untuk menurunkan parameter lain, penggunaan jenis limbah yang lain untuk pengujian pada RBC, dan perubahan variasi dimensi alat uji (lebih besar atau lebih kecil + rpm). DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1999, Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Peningkatan Kualitas Air, Jakarta, Direktorat Teknologi Lingkungan Alaerts, G dan S.S, Sartika, 1987, Metode Penelitian Air, Surabaya, Usaha Nasional Didik Sugeng P, 2002, Pengolahan Limbah Cair, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Surabaya. Didik Sugeng P, 2004, Pengolahan Limbah Cair, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Surabaya Djabu U, dkk, 1990, Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja dan Air Limbah Pada Institusi Pendidikan Sanitasi, Jakarta, Departemen Kesehatan RI Jenie G.S.L dan Rahayu, 1998, Pembangunan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta, Kanisius Kaderi, H, dkk, 2000, Pedoman Praktikum Laboratorium, Akademi Kesehatan Lingkungan Madiun. Nurhasan, dkk, 1991, Penanganan Air Limbah Pabrik Tahu, Yayasan Bina Karta Lestari (Bintari). Pratiknya, A.W., 2001, Pedoman Bidang Studi Pembuang Tinja dan Air Limbah Pada Institusi Pendidikan Sanitasi, Jakarta, Departemen Kesehatan RI.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
236
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
EFEKTIFITAS LIMBAH SERBUK GERGAJI KAYU KELAPA DAN KAYU RANDU DALAM MENGELIMINIR LOGAM BESI PADA LIMBAH CAIR” Beny Suyanto*, Hery Koesmantoro* ABSTRAK Limbah cair hasil proses produksi dari suatu industri yang mengandung banyak sekali unsur-unsur logam berat seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Ni, Cr, Zn, Fe, Mn, dan Si serat Au dapat meracuni tubuh manusia jika mencapai kadar tertentu. Oleh karena itu pengelolaan limbah cair di industri harus bisa ditangani agar tidak mencemari lingkungan. Penelitian ini adalah pra eksperimen. Untuk mengeliminir besi dalam limbah cair digunakan bahan serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu sebagai filter. Berat kedua bahan filter tersebut 0,65 kg, ditempatkan pada alat dengan desain 80 cm x 11 cm x 6 cm terbuat dari talang PVC. Prinsip kerja filtrasi yaitu limbah cair yang mengandung besi (Fe) dialirkan dengan debit 3,16.10-3 l/s melalui filter serbuk gergaji kayu. Besar kandungan Fe dalam sampel limbah cair sebelum perlakuan 2,064 mg/l. Hasil penelitian menunjukan bahwa serbuk gergaji kayu randu mampu mengeliminir Fe 78,86% (1,628 mg/l) dan ternyata lebih baik dibanding serbuk kayu kelapa sebesar 49,52% (1,022 mg/l). Warna sampel limbah cair sebelum perlakuan kuning bening dan setelah perlakuan filtrasi kedua serbuk gergaji kayu tersebut menjadi kuning keruh kecoklatan. Namun warna sampel yang berasal dari serbuk gergaji kayu kelapa lebih kuning keruh kecoklatan dibanding serbuk gergaji kayu randu. Kata kunci: Serbuk gergaji, kayu kelapa, kayu randu, filtrasi, limbah cair. * : Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Limbah adalah sisa hasil dari proses aktivitas manusia yang perlu untuk di tangani secara serius, karena limbah dari suatu industri dapat meracuni rantai hidup dari makluk hidup di sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pengelolaan limbah di industri harus bisa ditangani dengan benar agar tidak mencemari lingkungan sekitar. Sayur-sayuran, ikan–ikan dari beberapa daerah yang kaya industri, sering mengandung logam berat. Jika makanan tersebut terkonsumsi terus menerus, dapat terakumulasi di dalam tubuh dan dapat menyebabkan kanker, atau penyakit lain seperti gangguan ginjal, sistem saraf pusat, saluran pencernaaan, pernafasan, darah, kulit, sistem endokrin, dan kardiovaskuler. Logam berat tersebut bersifat kumulatif akan menumpuk dalam jumlah banyak dalam tubuh jika kita sering mengkonsumsi makanan yang mengandung logam berat tersebut. Pengelolaan logam berat dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu memanfaatkan arang tempurung kelapa atau serbuk gergaji dari berbagai kayu, atau menggunakan tanaman seperti enceng gondok, kayu apu, kangkung, serta semanggi air. Dengan memanfaatkan mikroorganisme seperti Escherichia coli, Theobacillius ferooxidan, bacillus,sp dapat digunakan untuk mengeliminir Pb (Prawira, 2003). Karbon aktif atau arang tempurung kelapa (cocos nucefera L) menyerap atau mengeliminir Cd dalam larutan sebesar 64,06 persen. Serbuk
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
237
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
gergaji kayu sengon (albizzia falcata) menyerap Pb sebesar 0,15 mg/gram atau menurunkan kadar Pb sebesar 35,81 persen (Harian Surya, 19 Desember 2007). Di Jawa Timur, di setiap kota dan kabupaten ada perusahaan penggergajian kayu, yang bergerak di bidang bangunan perumahan atau mebel rumah tangga seperti kayu kelapa, jati, randu, kruing, balau, dan sebagainya. Perusahaan tersebut biasanya melayani kebutuhan perumahan seperti kuda-kuda, kaso, reng, gawang, dan jenis mebeler seperti meja, kursi almari bifet dan lain-lain. Limbah yang dihasilkan berupa limbah gergajian, kawul potongan kayu–kayu kecil, yang selama ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak, untuk pembakaran genteng atau batu bata. Tak jarang limbah gergajian dimanfaatkan sebagai campuran lem kayu untuk menambah, atau menyambung dan merekatkan kayu. Dari survei awal diperoleh data bahwa limbah gergajian dari satu perusahaan menghasilkan ½-2 m3 dalam satu hari tanpa pemadatan atau 19–76 m3 limbah gergajian. Buangan limbah serbuk gergaji hingga saat ini tidak bermasalah karena konsumen selalu datang untuk membeli limbah tersebut, dengan harga satu sak serbuk gergaji biasanya Rp.5.000 – Rp.9.000. Pengolahan air limbah bertujuan mengurangi BOD, partikel terlarut, membunuh mikroorganisme patogen, menghilangkan komponen beracun dan mengurangi bahan pencemar yang tak terdegradasikan (air limbah yang mengandung unsur-unsur logam berat). Air limbah dari beberapa industri setelah melalui proses pengolahan masih terdapat efisiensi removal yang masih kecil, sehingga efluen air limbah masih dapat berdampak negatif menjadikan dampak kerusakan ekosistem perairan (badan air), seperti sungai, danau dan laut. Kondisi demikian dapat berdampak kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan. Butiran serbuk gergaji mempunyai porositas yang dapat dipakai sebagai media filter untuk menyaring logam berat pada limbah cair. Dalam proses filtrasi ini, bahan–bahan berbahaya seperti logam berat dapat terikat, tereliminir bahkan tereduksi. Kandungan golongan beracun yaitu air raksa (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr), tembaga (Cu), besi (Fe), nikel (Ni), seng (Zn), mangan (Mn), Selenium (Sn), Au dan Ag (Pramito, 2003). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendesain alat uji yang dapat digunakan untuk mengeliminir besi pada larutan (limbah cair) dengan bahan serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Dalam penelitian eksperimen dengan rancangan one group pre end post test ini, peneliti memberi perlakuan terhadap kelompok sampel yaitu melakukan proses filtrasi dengan menggunakan serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu untuk mengeliminir Fe dalam larutan. Peneliti melakukan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan, kemudian hasil kedua pengukuran tersebut dibandingkan untuk melihat perbedaan tingkat kemampuan serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu dalam mengeliminir logam Fe pada larutan. Bahan penelitian ini adalah larutan yang mengandung Fe dengan bahan dasar fericlorit, serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu yang diayak dengan ukuran Ø 1 mm. Alat penelitian adalah talang pipa berukuran 12 x 12 cm, panjang 100 cm, sekap (baffle) berukuran 10 x 6 cm2, dilengkapi fitting untuk distribusi (Gambar 1 dan Gambar 2).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
238
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Gambar 1. Denah: Alat Filtrasi Tanpa Skala
Gambar 2. Potongan A-A: Alat Filtrasi Tanpa Skala Prosedur kerja yang dilakukan adalah: 1) menyiapkan alat dan bahan, 2) memasukkan larutan yang mengandung Fe dalam tangki, 3) memeriksa kandungan Fe dalam larutan sebelum proses filtrasi dimulai, 4) membuka valve sesuai dengan kebutuhan menandakan proses filtrasi dimulai, 5) menghitung debit filtrasi, 6) menampung hasil olahan larutan setelah mengalami proses filtrasi, 7) memeriksa kandungan Fe dalam larutan sesudah proses filtrasi dimulai, 8) memasukkan hasil pemeriksaan dalam tabel untuk dianalisis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian disajikan pada Tabel 1. Data pendukung dalam penelitian berkaitan dengan debit, waktu proses filtrasi (detention time Td) dan kepadatan serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu tercantum dalam Tabel 2. 1. Tingkat penurunan kandungan Fe setelah perlakuan Berdasarkan Tabel 1, kandungan Fe limbah cair melalui media filter serbuk kayu gergaji kelapa sebelum dan sesudah perlakuan serta persentase tingkat penurunannya berbedabeda. Dari 5 kali pengukuran, penurunan kandungan Fe terbanyak pada pengukuran ke I (54,84%) atau 1,132 ppm, sedangkan terendah 45,8% (0,945 ppm). Sedangkan pengukuran suhu pada proses filtrasi berkisar antara 25 s/d 25,5 0C sedang pH tetap yaitu 7. Berdasarkan Tabel 1, kandungan Fe limbah cair melalui media filter serbuk kayu gergaji randu sebelum dan sesudah perlakuan serta persentase tingkat penurunannya bervariasi dari 5 kali pengukuran. Serbuk kayu randu dapat menurunkan kandungan Fe terbanyak pada pengukuran ke III (84,3%) atau 1,739 ppm, sedangkan terendah 72,4% (1,494 ppm). Suhu pada proses filtrasi berkisar antara 25 s/d 25,5 0C sedang pH antara 6 s/d 7.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
239
Vol.I No.3 Juli 2010
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
ISSN: 2086-3098
240
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Tabel 2. Debit, Waktu Filtrasi dan Kepadatan Serbuk Gergaji Kayu Kelapa dan Kayu Randu Serbuk Berat Serbuk Ukuran Filter Volume Kepadatan Debit Td gergaji gergaji kayu Panjang Lebar Tinggi filter Filter Lt/s (menit) 3 3 kayu (kg) (m ) (Kg/m ) (m) (m) (m) A B C D E F G H I -3 -3 Kelapa 0,65 0,6 0,11 0,04 2,64.10 246,21 3.16. 10 23 -3 -3 Randu 0,65 0,6 0,11 0,05 3,30. 10 196,97 3.16. 10 20
Keterangan : Formula : F = C x D x E, G =
B F
2. Rekapitulasi data hasil pengukuran. Persentase penurunan kandungan Fe pada limbah cair rata-rata serbuk gergaji kayu kelapa 49,52% (1,022 ppm), sedangkan serbuk gergaji kayu randu mencapai 78,86% (1,628 ppm). Hal ini menunjukan bahwa serbuk gergaji kayu randu jauh lebih baik dalam menurunkan kandungan Fe dalam limbah cair selama 5 kali percobaan. Ada indikasi kayu randu yang mempunyai berat jenis lebih ringan dibanding kayu kelapa menunjukan lebih baik dalam mengeliminir Fe dalam limbah cair. Dalam berat yang sama, volume serbuk kayu kelapa lebih kecil dari volume serbuk gergaji kayu randu Perbedaan suhu dan pH baik serbuk gergaji kayu kelapa maupun kayu randu tidak banyak perbedaan yaitu suhu antara 25 s/d 26 0C dan pH antara 6 s/d 7. Warna limbah cair sebelum dan sesudah melalui filter serbuk gergaji kayu kelapa ada perbedaan. Sebelum melalui filter warna kuning terang namun setelah melalui proses filtrasi berubah warna kuning kecoklatan. Begitu juga terjadi pada proses yang melalui serbuk gergaji kayu randu. Akan tetapi setelah proses filtrasi air sampel dari serbuk gergaji kayu kelapa lebih kuning kecuh kecoklatan dibanding dengan serbuk gergaji kayu randu. Serbuk gergaji kayu kelapa maupun kayu randu keduanya mampu mengeliminir kandungan Fe dalam limbah cair, kendatipun keduanya menjadikan air setelah proses filtrasi menjadi lebih kuning keruh kecoklatan dibanding sebelum proses. 3. Data pendukung dalam penelitian Berat serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu dibuat sama yaitu 0,65 kg, begitu juga dengan debit limbah cair yang dialirkan pada media filter tersebut. Dengan berat serbuk gergaji yang sama ternyata volume dari serbuk gergaji kayu kelapa lebih kecil (2,64.10-3 m3) dibanding volume serbuk gergaji kayu randu (3,30. 10-3 m3). Sedangkan tingkat kepadatan serbuk gergaji kayu kelapa lebih besar (246,21 kg/m3) dibanding kepadatan serbuk gergaji kayu randu (196,97 kg/m3). Hal ini menunjukan serbuk gergaji kayu kelapa mempunyai berat jenis lebih besar dibanding serbuk gergaji kayu randu. Waktu proses filtrasi (detention time) yaitu waktu yang diperlukan limbah cair mulai dari awal proses pengaliran hingga keluar dari filter (menit). Ada perbedaan waktu proses filtrasi antara serbuk gergaji kayu kelapa (23 menit) dengan serbuk gergaji kayu randu (20 menit).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
241
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
SIMPULAN DAN SARAN 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4.
Simpulan penelitian adalah: Desain alat filter: 80 cm x 11 cm x 10 cm, berat kedua serbuk gergaji 0,65 kg, kepadatan serbuk gergaji kayu kelapa 246,21 kg/m3 dan serbuk gergaji kayu randu 196,97 kg/m3 Serbuk gergaji kayu kelapa menurunkan Fe rata-rata 49,52% (1,022 ppm) dan serbuk gergaji kayu randu mencapai 78,86% (1,628 ppm). Warna limbah cair setelah proses filtrasi lebih kuning keruh kecoklatan dibanding dengan sebelum proses filtrasi. Serbuk gergaji kayu randu lebih efektif dalam mengeliminir Fe dalam limbah cair dibanding serbuk gergaji kayu kelapa. Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah: Perlu penelitian lebih lanjut tentang penghilangan warna limbah cair setelah proses filtrasi. Perlu penelitian lebih lanjut tentang tingkat kemampuan optimum filtrasi (m3/m2/jam) berbagai serbuk gergaji kayu. Perlu penelitian lebih lanjut tentang efektifitas serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu dalam mengeliminir logam berat lain Perlu penelitian lebih lanjut dengan variasi model, diameter dan kepadatan serbuk, tekanan air, untuk mendapatkan penurunan kandungan logam yang lebih optimum.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1993. Prinsip–Prinsip Saringan Pasir Lambat. DPU Ditjen Cipta Karya Pusat Pelatihan Bidang AB & PLP. Andulrahman dkk. 1999. Atlas Kayu Indonesia. Puslitbang Kehutanan. Anominus. 1991. Pedoman Teknis Perbaikan Kualitas Air. Jakarta. Ditjen PPM PLP Depkes. Bowo DM. 1997. Unit Operasi. Surabaya. Bowo DM. 1995. Hidrolika Teknik Penyehatan dan Lingkungan. Surabaya. Bueche Frederick J. 1992. Teori dan Soal-soal Fisika. Jakarta. Darmono. 2000. Toksikologi Senyawa Logam. Penyediaan Air Bersih Dalam Pelita VI. Surabaya. Herman Widodo Soemitro. 1990. Teori dan Soal-soal Mekanika Fluida dan Hidraulika. (simetrik). Drexel Institute of Tecnology. Suriawiryo U. 1996. Mikrobiologi Air dan Dasa-Dasar Pengolahan Buangan Secara Biologi, Bandung. Sanripie Djasio. 1984. Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih APK-TS. Proyek Pengembangan Tenaga Sanitasi Pusat, Pusdiklat Pegawai Dep.Kes.RI. Siregar AS. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Yogyakarta. Kanisius. Soetarmo. 1994. Penyediaan Air Bersih Dalam Pelita VI, Diklat Air Bersih & PLP Graha Mandala Tirta. Tim Baku Mutu Lingkungan Jatim. 1990. Baku Cara Uji Air dan Air Limbah di Jawa Timur. Pemda Tk I Jatim. Surabaya. Trihadiningrum Y. 2000. Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun. ITS. Surabaya. Palar Hermanto. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Renika Cipta. Wardana AW. 2001. Dampak pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
242
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
HUBUNGAN ANTARA PEKERJAAN DENGAN PARTISIPASI IBU MENGIKUTI SENAM HAMIL (Di URJ Poli Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya) Sri Ratnawati *, Sri Utami * ABSTRAK Masalah senam hamil sudah mulai mendapat perhatian masyarakat. Namun, kesibukan, rasa takut, dan kurang percaya diri membuat ibu hamil enggan untuk melakukan senam hamil (Brayshaw, 2006). Dari hasil pengamatan di URJ Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya tercatat bahwa hanya sebagian kecil ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya mengikuti senam hamil. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul ”Hubungan Antara Pekerjaan dengan Partisipasi Ibu Hamil mengikuti Senam Hamil”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pekerjaan ibu hamil, mengidentifikasi partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil, dan menganalisis hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dimana peneliti melakukan observasi dan pengukuran variabel hanya satu kali pada saat waktu pengkajian data. Populasi penelitian adalah ibu hamil trimester II dan III sebanyak 60 orang. Pengambilan sampel dipilih secara non probability dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling, dengan total sampel 28 responden yang diambil sesuai kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data selanjutnya dianalisis menggunakan uji Chisquare yang dilanjutkan dengan uji Eksak Fisher. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengahnya ibu hamil yang bekerja tidak mengikuti senam hamil. Hasil uji Eksak Fisher diperoleh nilai p= 0,0111, yang menunjukkan H1 diterima, yang berarti ada hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil. Sebaiknya bidan dapat mengupayakan adanya program peningkatan pelaksanaan senam hamil, sehingga pelaksanaan senam hamil selain dilakukan di tempat pelayanan kesehatan juga dapat dilakukan di rumah. Kata Kunci : Pekerjaan, Partisipasi Mengikuti Senam Hamil, Ibu Hamil * : Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah senam hamil sudah mulai mendapat perhatian masyarakat. Namun, rasa takut dan kurang percaya diri membuat ibu hamil enggan untuk melakukan senam hamil. Selain itu, banyak ibu hamil yang tidak mengetahui besarnya manfaat jika melakukan senam hamil (Bandiyah, 2009). Faktor lain yang membuat ibu enggan melakukan senam hamil adalah karena mereka sibuk bekerja, mengasuh anaknya, dan karena kemajuan teknologi, mereka lebih memilih di rumah untuk menonton TV daripada mengikuti senam hamil. Berbagai peralatan rumah tangga seperti mesin cuci, transportasi seperti mobil, dan alat modern lain membuat hidup semakin mudah dan tidak terlalu mengandalkan fisik (Brayshaw , 2006).
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
243
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Senam hamil bukan merupakan suatu keharusan. Namun, dengan melakukan senam hamil banyak memberi manfaat dalam membantu kelancaran proses persalinan antara lain dapat melatih pernapasan dan relaksasi, menguatkan otot-otot panggul dan perut, serta melatih cara mengejan yang benar. Kesiapan ini merupakan bekal penting bagi calon ibu dalam menghadapi persalinan (Salmah, Rusmiati, Maryanah, dkk, 2006). Senam hamil dilakukan dengan tujuan membuat elastis otot dan ligamen yang ada di panggul, memperbaiki sikap tubuh, mengatur kontraksi dan relaksasi, serta mengatur teknik pernapasan. (Saminem, 2008). Tujuan lain senam hamil adalah memberi dorongan serta melatih jasmani dan rohani dari ibu secara bertahap agar ibu dapat menghadapi persalinan dengan tenang, sehingga proses persalinan dapat berjalan lancar dan mudah (Salmah, Rusmiati, Maryanah, dkk, 2006). Di RSUD Dr. Soetomo tercatat hanya 20% dari 60 ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya mau mengikuti senam hamil. Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada 6 orang ibu hamil tercatat bahwa 4 orang ibu hamil tidak mengikuti senam hamil. Di antara 4 orang yang tidak mengikuti senam hamil, 3 orang ibu bekerja dan 1 orang tidak bekerja. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara pekerjaan ibu hamil dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil. Tujuan penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi pekerjaan ibu hamil, 2) Mengidentifikasi partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil, 3) Menganalisis hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah analitik observasional karena peneliti tidak memberikan perlakuan pada obyek penelitian tetapi melakukan pengamatan di lapangan berdasarkan data yang ada. Jenis penelitian ini menggunakan studi analitik, bentuk cross sectional. Besar populasi adalah 60 orang dan sampel dipilih dengan teknik purposive sampling sebesar 28 responden yang diambil sesuai kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data selanjutnya dianalisis menggunakan uji Chi-Square yang dilanjutkan dengan uji Eksak Fisher. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 28 responden, sebagian besar (53,57%) responden adalah ibu hamil yang bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta dan wiraswasta. Tabel 1 Distribusi Pekerjaan Responden Di URJ Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tanggal 19 April – 21 Mei 2010 Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Jumlah
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Frekuensi 15 13 28
Persentase 53,57 46,43 100
244
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan terutama untuk menunjang terhadap kehidupan dan keluarganya (Notoatmodjo, 2003). Menurut teori, faktor yang mempengaruhi pekerjaan adalah faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor lingkungan. Seorang istri harus bekerja karena harus membantu suami dalam meningkatkan ekonomi keluarga dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, seorang istri bekerja karena merasa dirinya berguna dan eksistensi dirinya lebih baik untuk mengaktulisasikan diri; selain itu seorang ibu bekerja juga karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu semua ibu di lingkungannya bekerja. Tujuan bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mencari nafkah, dan meningkatkan karir (Marx, 2007). Seseorang bekerja dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membeli makanan, pakaian dan keperluan hidup lainnya. Meningkatnya krisis ekonomi membuat seseorang untuk berlomba-lomba bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, tidak peduli meskipun sedang hamil. Selain itu, bekerja merupakan usaha manusia untuk membuktikan dirinya bahwa manusia adalah makhluk sosial. Bekerja dapat merealisasikan apa yang ada dalam pikirannya serta dapat mengabdikan dirinya di masyarakat, dan merasa dirinya bermanfaat di lingkungannya. Faktor lain yang mempengaruhi pekerjaan adalah lingkungan, karena sebagian besar ibu bekerja sehingga ibu hamil juga terinspirasi untuk bekerja. Seiring dengan kemajuan teknologi, tidak hanya seorang suami yang harus bekerja namun tidak menutup kemungkinan seorang istri juga bekerja. Manusia berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya agar tetap bisa bertahan hidup. Dengan bekerja, manusia akan menjadi makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan orang lain, selanjutnya manusia dapat mengembangkan dirinya untuk mengapresiasikan seni dan bakatnya sehingga dapat meningkatkan prestasi kerjanya. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa dari 28 responden, sebagian besar 18 orang (64,28%) responden tidak pernah mengikuti senam hamil, dan 10 orang ( 35,71%) responden pernah mengikuti senam hamil. Tabel 2 Distribusi Partisipasi Responden Mengikuti Senam Hamil Di URJ Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tanggal 19 April – 21 Mei 2010 Partisipasi mengikuti Senam hamil
Frekuensi
Persentase (%)
Ikut senam hamil
10
35,71
Tidak ikut senam hamil
18
64,29
Jumlah
28
100
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
245
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Partisipasi berasal dari bahasa latin partisipare yang mempunyai arti dalam bahasa Indonesia mengambil bagian atau turut serta (Rohman, Putra, Riansyah, dkk, 2009). Menurut Arnstein, terdapat 3 tingkatan partisipasi yaitu, 1) Citizen Power; pada tingkatan ini masyarakat berpartisipasi pada sebuah kegiatan mulai dari awal sampai akhir, 2) Tokeni; pada gradasi ini masyarakat tidak mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir, tetapi mengikuti kegiatan pada saat-saat tertentu saja ataupun hanya sekali mengikuti kegiatan, 3) Nonparticipation; yang merupakan gradasi terendah menurut Arnstein. Pada tingkatan ini masyarakat tidak ikut serta pada sebuah kegiatan. Faktor yang mempengaruhi partisipasi ibu mengikuti senam hamil adalah kurangnya pengetahuan, kesibukan bekerja, rasa malas, tidak percaya diri dan banyaknya anak yang membuat ibu sibuk merawat anaknya (Gaffar, 2009). Partisipasi mengandung berbagai macam pengertian. Berdasarkan teori yang telah dijelaskan dapat diketahui bahwa seseorang dikatakan berpartisipasi jika seseorang tersebut pernah mengikuti suatu kegiatan meskipun hanya sekali. Sebaliknya seseorang dikatakan tidak berpartisipasi jika orang tersebut tidak pernah mengikuti suatu kegiatan. Begitu pula dengan ibu hamil yang dikatakan berpartisipasi mengikuti senam hamil adalah ibu hamil yang pernah mengikuti senam hamil, baik mengikuti senam hamil secara teratur, maupun hanya sekali mengikuti senam hamil. Sedangkan ibu hamil yang tidak berpartisipasi mengikuti senam hamil adalah ibu hamil yang tidak pernah mengikuti senam hamil. Partisipasi ibu hamil mengikuti senam adalah sebagai berikut. Berdasarkan tabel 4.3, dapat dijelaskan bahwa hampir seluruhnya 13 orang (86,67%) adalah kelompok responden yang bekerja dan tidak mengikuti senam hamil, dan sebagian besar 8 orang (61,54%) adalah kelompok responden yang tidak bekerja dan mengikuti senam hamil. Tabel 3 Distribusi Partisipasi Mengikuti Senam Hamil Menurut Status Pekerjaan Di URJ Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tanggal 19 April – 21 Mei 2010 Partisipasi senam hamil Pekerjaan
Jumlah
Senam
%
Tidak senam
%
f
%
Bekerja
2
13,33
13
86,67
15
100
Tidak bekerja
8
61,54
5
38,46
13
100
Jumlah
10
35,71
18
64,49
28
100
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh bahwa ibu hamil yang bekerja lebih banyak tidak mengikuti senam hamil daripada mengikuti senam hamil. Dari hasil uji hipotesis diperoleh p= 0,0111 dengan α = 0,05; sehingga ditarik
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
246
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
kesimpulan yaitu ada hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil. Menurut Wasistiono (2001), dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang tidak berpartisipasi adalah karena kesibukan pribadi dan banyak hal yang harus dikerjakan. Brayshaw (2006), menyatakan bahwa kesibukan bekerja, mengasuh anak, dan kemajuan teknologi membuat ibu hamil lebih memilih di rumah untuk menonton TV daripada mengikuti senam hamil. Seseorang yang sibuk tidak akan dengan mudahnya mengikuti suatu kegiatan tertentu jika banyak hal yang harus dikerjakan. Salah satu kesibukan tersebut adalah pekerjaan. Seorang wanita yang bekerja pasti akan sibuk dengan pekerjaannya. Sebagian besar waktu digunakan untuk bekerja sehingga tidak sempat untuk melakukan kegiatan lain. Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ibu hamil tidak berpartisipasi mengikuti senam hamil. Tuntutan ekonomi membuat ibu hamil giat bekerja agar mampu memenuhi kebutuhan hidup, mencari makan dan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Berbagai macam pekerjaan dilakukan, seperti berjualan di pasar, menjadi pembantu rumah tangga, dan ada pula sebagai buruh pabrik. Selain itu, tuntutan karir juga mendorong ibu hamil untuk giat bekerja, karena dengan bekerja dapat menuangkan apresiasi seni dan bakatnya sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja. Selanjutnya meningkatnya prestasi kerja akan meningkatkan pula jabatan dan gaji seseorang. Ibu hamil yang berkarir dapat mengembangkan dirinya, hal tersebut membuat ibu hamil semakin tidak memiliki banyak waktu luang untuk mengikuti senam hamil. Adanya hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi mengikuti senam hamil dikarenakan ibu hamil tersebut bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya dengan kesibukan pekerjaan tersebut membuat ibu hamil enggan atau bahkan tidak mau mengikuti senam hamil. Semakin sibuk ibu hamil maka semakin enggan pula untuk mengikuti senam hamil karena waktu yang mereka miliki semakin sedikit. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Sebagian besar ibu hamil adalah bekerja 2. Sebagian besar ibu hamil tidak berpartisipasi mengikuti senam hamil 3. Ada hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil. Saran Diharapkan ibu hamil dapat lebih menekankan latihan senam hamil, sehingga senam hamil tidak hanya dapat dilakukan di tempat pelayanan kesehatan, tetapi juga dapat dilakukan di rumah. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2007.Pengertian Parstiipasi.www.partisipasi.com Arikunto, S. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
247
Vol.I No.3 Juli 2010
ISSN: 2086-3098
Bandiyah, S. 2009. Kehamilan, Persalinan, dan Gangguan Kehamilan. Yogyakarta : Nuha Medika Brayshaw, E. 2007. Senam Hamil Dan Nifas Pedoman Praktis Bidan. Jakarta : EGC Gaffar. 2009. Senam Hamil.www.senamhamil15.110mb.com (diakses 16 Maret 2010) Hidayat, AA. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika Indiarti, MT. 2008. Senam Hamil Dan Balita. Yogyakarta : Cemerlang Publishing Margono, S. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta :Rineka Cipta Marx, K. 2007. Konsep Pekerjaan Menurut Marx, www.Konsep-pekerjaan-menurut-marx.html (diakses 23 Maret 2010) Mufdlilah, 2009. Panduan Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. Yogyakarta: Nuha Medika Nabila, 2009. Macam-macam Usaha Manusia Untuk Memenuhi Kebutuhannya. http://www7aclass-7a.blogspot.com/2009/08/macam-macam-usaha-manusia-untuk.html (diakses 23 Maret 2010) Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Rineka Cipta _________. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta Nursalam, 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis, Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Rohman A, Putra Faktor, Riansyah L, dkk, 2009. Politik, Partisipasi, dan Demokrasi Dalam Pembangunan. Malang : Averroes Press Salmah, Rusmiati, Maryanah, dkk. 2006. Asuhan Kebidanan Antenatal. Jakarta : EGC Saminem. 2008. Asuhan Kebidanan kehamilan Normal. Jakarta : EGC Wasistiono, 2001. Psikologi Sosial. One.indoskripsi.com. (diakses 23 Maret 2010)
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
248