apresiasi
1
Majalah
CIVITAS VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010 majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
suara bengkel
SAJAK SEONGGOK JAGUNG Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan. Memandang jagung itu, sang pemuda melihat ladang; ia melihat petani; ia melihat panen; dan suatu hari subuh, para wanita dengan gendongan pergi ke pasar ……….. Dan ia juga melihat suatu pagi hari di dekat sumur gadis-gadis bercanda sambil menumbuk jagung menjadi maisena. Sedang di dalam dapur tungku-tungku menyala. Di dalam udara murni tercium kuwe jagung
2
Diterbitkan oleh:
gagal. Seonggok jagung di kamar tidak menyangkut pada akal, tidak akan menolongnya. Seonggok jagung di kamar tak akan menolong seorang pemuda yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan tidak dari kehidupan. Yang tidak terlatih dalam metode, dan hanya penuh hafalan kesimpulan, yang hanya terlatih sebagai pemakai, tetapi kurang latihan bebas berkarya. Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda. Ia siap menggarap jagung Ia melihat kemungkinan otak dan tangan siap bekerja Tetapi ini : Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda tamat SLA Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. Ia memandang jagung itu dan ia melihat dirinya terlunta-lunta . Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik. Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase. Ia melihat saingannya naik sepeda motor. Ia melihat nomor-nomor lotre. Ia melihat dirinya sendiri miskin dan
Aku bertanya : Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya ? Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya ? Apakah gunanya seseorang belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja, bila pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata : “ Di sini aku merasa asing dan sepi !” Tim, 12 Juli 1975 Potret Pembangunan dalam Puisi
W.S. Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra) lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai “Burung Merak”. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena mendapat tekanan politik, ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Setiap orang butuh dihargai. Setidaknya itulah yang dikemukakan oleh Abraham Maslow dalam Teori Hierarki Kebutuhannya. Kebutuhan akan apresiasi atau dihargai diklasifikasikan oleh Maslow dalam kebutuhan dasar manusia, sama halnya dengan kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan untuk dicintai. Namanya kebutuhan dasar, sudah semestinya menjadi prioritas untuk dipenuhi. Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal tersebut. Fenomena brain drain, pindahnya orang-orang ahli dari negara berkembang ke negara maju, menjadi indikator bahwa negara tidak mampu memenuhi kebutuhan akan apresiasi warga negaranya. Meskipun demikian, kita juga tidak dapat menafikan upaya pemerintah dalam hal tersebut. Renumerasi adalah contohnya, meskipun beberapa waktu lalu dianggap program gagal pemerintah. Apresiasi tidak hanya terbatas pada penghargaan yang berupa piala maupun piagam. Masukan, baik berupa saran, kritikan, maupun sindiran, pada dasarnya juga apresiasi, karena hal tersebut berasal dari perhatian dan kepedulian. Selain itu, apresiasi seringkali disematkan pada prestasi. Padahal bukan hanya prestasi yang mestinya diapresiasi, melainkan juga pada usaha yang telah dilakukan. Apresiasi tetap patut diberikan meskipun upaya yang dilakukan tidak berujung pada hal yang diinginkan, karena pada kondisi tersebut apresiasi lebih ‘terasa’ fungsinya: menumbuhkan motivasi.
Hal-hal di atas menjadi alasan kami untuk mengangkat apresiasi sebagai topik utama dalam Majalah Civitas edisi kali ini. Pada Majalah Civitas yang ketujuh ini kami juga menyajikan liputan khusus mengenai dangdut, musik pribumi yang kerap disingkirkan dan tidak mendapat apresiasi di kalangan masyarakatnya sendiri. Dalam liputan khusus lainnya kami membahas pergulatan pergerakan mahasiswa dalam politik kampus, terutama mengenai organisasi eksternal kampus. Beberapa liputan lainnya, termasuk wawancara khusus dengan Anies Baswedan, menjadi persembahan kami yang ditujukan lebih dari sekadar mengharapkan apresiasi pembaca kepada kami , tapi juga dapat memberikan sesuatu yang kami harapkan dari setiap terbitan yang kami buat: mencerdaskan dan mencerahkan. Akhir kata, selamat membaca. Salam apresiasi!
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Pemimpin Umum Tulus Pambudi Sekretaris Umum Mohammad Ilham Syauqi Kepala Kesekretariatan Nurhidayati Bendahara Umum Muwardhani Wahyu Utami Pemimpin Redaksi Yayan Puji Riyanto Redaktur Pelasana Majalah Arief Kurniawan Sekretaris Redaktur Pelaksana Majalah Desi Arining Tyas Utami Redaktur Bahasa Agustina Rahayuningtyas Manajer Art Center Fakhrul Muslim Agustian Layouter Arswendy Danardhito Kepala Penelitian dan Pengembangan Tri Wahyuningsih Pemimpin Perusahaan Nur Ahmadi Reporter Arfindo Briyan Santoso Fauziyyah Arimi Tulad Peni Kharisma Yudha Hari Subagyo Kontributor Agus Fredy Muthi’ul Wahab Ali Sutopo Darmawan Sigit Dwinanda Ardhi S. Pringadi Abdi Surya Timothee Kencono Malye Alamat Jalan Kalimongso, Gang Setia Jurangmangu Timur, Pondok Aren Tangerang Selatan, 15222 Telepon 021-91274205 Pos-el:
[email protected] Laman: mediacenterstan.com
3
daftar isi 08 18 11 16 13
06 29
28
14 26
08 34
Pengantar: 24
4
1. Liputan Utama Orang Pintar Butuh Perhatian Profil: Fandi Ahmad Nurdiansyah Remunerasi, Harapan yang Tak Dimengerti 2. Opini Inovasi, Visi, dan Perubahan Janganlah Ayam Mati Kelaparan di Lumbung Padi Say No to Narcism! 3. Liputan Khusus Dangdut, Dicaci dan Dicintai Ekspansi Politik dan Geliat Perjuangan Mahasiswa 4. Wawancara Anies Baswedan: Optimisme yang Harus Tertularkan 5. Ekonomi Mengawetkan Uang 6. Politik Politisi vs Negarawan: Serupa Tapi Tak Sama 7. Sastra Satu Cerita tentang Cerita yang Tak Pernah Kuceritakan Sebelumnya 8. Jalan-Jalan Mengenal Pesona Karimunjawa 9. Budaya Batik: Warisan Budaya dari Indonesian untuk Dunia 10. English Corner Nguwongke Uwong 11. Resensi Inception: Infeksi Ide dan Nolan-isme Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan 12. Tips Nyari Duit Sampingan? Gampang Kok 13. Obrolan Bengkel Menulis Itu (Tak Selalu) Mudah 14. Wawancara Ahmad Fuadi: Menulis untuk Memperpanjang Umur 15. Kesehatan Sleep Paralysis 16. Tahukah Kamu 17. Satire Si Katanya: Cerita dan Berita
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Apresiasi, Seberapa Perlu?
20
Apresiasi, penghargaan, atau apapun nama yang punya kedekatan arti dengannya. Barangkali, kita sering menjumpai kata itu bersanding dengan kata-kata benda di belakangnya, seperti apresiasi sastra, apresiasi musik, atau apresiasi prestasi.
06 08 10 12 13 14 15 16 18 20 22 24 26 28 29 30 31 32 33 35 36 37 38
internet
Nah, mari sekarang menyinggung ke kisah nyata tentang penghargaan atau apresiasi ini, mulai dari dunia pendidikan, keuangan, bahkan politik. Saat Sri Mulyani lebih memilih pergi menerima pinangan Bank Dunia, banyak yang beranggapan bahwa pemerintah tak menghargai anak bangsanya yang berprestasi, padahal negara-negara lain percaya dan mengakui kiprahnya. Dalam tulisannya berjudul Ekonomi RI Tanpa Sri Mulyani, Rhenald Kasali, Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia, bahkan menulis dengan sangat dalam: “Sudah sering pula disaksikan para ahli kita lebih dihargai di luar daripada di sini… Persoalan yang dihadapi Sri Mulyani Indrawati adalah sama persis dengan anak- anak Indonesia yang gagal bersekolah di sini, tetapi berhasil di luar negeri… betapa sulit mendapat nilai bagus di sini, sementara di luar negeri kita sangat dihargai. Kita merasa bodoh di negeri sendiri bukan karena tidak mampu, melainkan karena betapa arogannya para pemimpin.” Tentu, Rhenald bukan menulis tanpa alasan. Banyak contoh bahwa para juara olimpiade, mulai tingkat kota/ kabupaten sampai internasional, masih kesulitan untuk sekolah di negeri sendiri. Masukkan saja kata kunci “juara olimpiade tidak dihargai” di search engine dunia maya, maka akan keluar banyak sumber yang memuat cerita-cerita pilu para siswa berprestasi itu. Ada yang tidak bisa meminta beasiswa karena menurut aturan harus jadi mahasiswa dulu, ada yang harus berutang untuk kuliah, ada pula yang pada akhirnya memilih
terbang ke Nanyang Technological University karena Pemerintah Singapura menjamin penuh kuliah di sana.
Dalam cerita-cerita dengan pola seperti itu, pemerintah menjelma jadi tokoh antagonis. Yang sering kali membuat geram, tata aturanlah yang dijadikan alasan olehnya. Aspek birokratis, dengan dalih agar tertib, sukses mengesampingkan aspek yang lebih human. Selalu begitukah? Adil itu perlu, termasuk dalam mencari contoh. Sebab untuk menilai harus melihat dua sisi. Di balik sisi antagonis di atas, banyak juga bukti bahwa pemerintah juga pernah dan bisa mengapresiasi, menghargai capaian manusia-manusia di buminya. Banyak cerita para pemenang lomba internasional mendapat jaminan beasiswa hingga jenjang S3. Bahkan, ada pula cerita pemerintah memberikan penghargaan dulu agar penerimanya terpacu untuk berprestasi. Program remunerasi bagi pegawai negeri bisa jadi contoh untuk hal ini. Namun, pada akhirnya semua harus dikembalikan kepada gagasan, bukan figur atau pemeran. Yang lebih penting bukanlah mencari siapa yang gagal memberi apresiasi atau siapa yang harus dikasihani karena tidak diapresiasi. Yang lebih penting, bagaimana tiap-tiap peranan benar-benar disadari dan dilaksanakan oleh yang berkewajiban.
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
[Redaksi]
5
liputan utama mereka yang punya prestasi itu adalah aset, yang tentu sangat disayangkan jika tidak dipelihara dengan selayaknya. Akan lebih mengerikan lagi jika ada pihak lain yang berhasil merayu, memberi jaminan bahwa kebutuhan mereka untuk meneruskan eksistensi akan terpenuhi di negara itu sehingga mereka akan lebih memilih mengabdi di sana. Hal seperti ini yang berbahaya.
internet
Orang Pintar Butuh Perhatian Banyak orang pintar di Indonesia, banyak juga yang punya prestasi level dunia. Di negeri sendiri direpotkan oleh aturan.
6
Di tengah tekanan politik yang dihadapinya, Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan, dipinang untuk menjadi Managing Director di World Bank. Sri Mulyani menerima pinangan itu, dan tak ayal, pilihannya menyulut kontroversi. Ada yang mendukungnya, ada yang menganggapnya tak nasionalis. Ada pula yang melihatnya sebagai bentuk penyia-nyiaan negara, yang gagal peduli pada putranya sendiri, yang membiarkan orang cerdasnya pergi.
Lain Sri Mulyani, lain lagi Fandi Ahmad Nurdiansyah. Fandi adalah seorang alumnus STAN yang baru lulus tahun 2009 lalu. Fandi, yang menguasai delapan bahasa dan mendapat penempatan di DJP ini, sejak lama mengidamidamkan penempatan di BKF, tepatnya di bagian Hubungan Internasionalnya. Demi mimpinya itu, dia pontang-panting memohonkan kepindahan dari DJP ke BKF. Namun, hasilnya nihil, karena terkendala berbagai aturan dia tidak diizinkan. Berhenti di situ? Tidak. Kini Fandi bersiap ke Jerman, mendapat beasiswa S1 empat tahun penuh di sana (baca: Delapan Bahasa yang Tak Sia-Sia). Kalau mau mencari lagi, banyak cerita tentang para jawara olimpiade internasional yang kesulitan untuk melanjutkan sekolah di sini hingga pada akhirnya memilih melancong belajar di negara lain yang mau menjamin pendidikannya. Sebut saja Winson Tanputraman, juara Olimpiade Fisika Tingkat Asia 2009, yang diberi beasiswa oleh Singapura untuk kuliah di sana. Bahkan biaya hidup ditanggung sepenuhnya. Seperti dilansir dari tempointeraktif.com, Singapura memang getol
memburu pelajar berprestasi dari Indonesia untuk sekolah di sana. Iming-iming jumlah beasiswanya pun lebih menggiurkan daripada yang ada di sini.
Peristiwa-peristiwa di atas sekilas dapat dijadikan bukti bahwa ada ketidakacuhan atas capaian mereka yang sudah jelas-jelas mampu membuktikan kemampuan atau kelebihannya. Apresiasi yang diberikan masih bisa dibilang memprihatinkan, bahkan mungkin gagal dipahami bahwa ia layak diwujudkan dan diberikan. Untuk juara olimpiade itu, mungkin memang mereka selalu menerima semacam upacara penyambutan. Namun, apa artinya jika untuk lanjut sekolah tetap kesulitan? Bahaya
Pada dasarnya, setiap manusia membutuhkan pengakuan dan penghargaan. Hal ini bukan berarti selalu sesuatu yang muluk dan bernilai mahal. Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki kebutuhan akan harga diri, ada kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain. Dan dalam kenyataannya, semakin kebutuhan seperti itu terpenuhi, motivasi belajar bisa semakin besar dan kuat.
Dalam hal ini, yakni tentang pemerintah sebuah negara dengan warga yang wajib diurusnya, pemberian apresiasi memang tak berarti setiap mereka yang sudah berprestasi dan mengharumkan nama negara harus serta merta dijadikan kaya raya. Poin penting yang harus disorot bukan terletak di sana. Yang tidak bisa dimungkiri adalah bahwa
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Singapura adalah contoh negara yang getol menawarkan beasiswa untuk pelajar-pelajar berprestasi dari Indonesia. Mereka punya agen yang mendatangi sekolah-sekolah, merayu pelajar-pelajar itu untuk sekolah di sana. Tentu, tawaran yang diberikan itu menggiurkan. Selain beasiswa, pelajar-pelajar itu juga ditawari subsidi biaya kuliah (tuition grant) dari Pemerintah Singapura sebesar 15.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 112,5 juta per tahun, atau pinjaman bank tanpa agunan untuk biaya kuliah. Jika siswa mengambil pinjaman bank, cicilan pinjamannya dibayar setelah mereka bekerja. Yang menarik, ada syarat lain yang mengikuti beasiswa ini. Singapura mengikat para penerima beasiswa itu dengan kontrak bekerja di perusahaan milik negara itu selama tiga tahun dan setelah itu baru boleh bebas bekerja di mana saja. Menurut Hendra Kwee, seorang Pembina di Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia, ini adalah cara halus agar para jenius itu tetap mengabdi kepada Singapura.
Kalau yang seperti di atas tidak diantisipasi dengan baik, akibat berikutnya bisa lebih menakutkan, yaitu ketika semakin banyak ahliahli milik suatu negara yang kemudian ‘diciduk’ oleh negara lain yang dirasa memberi jaminan lebih. Peristiwa dan cara seperti ini mungkin akan lebih mudah dimengerti sebagai sebuah fenomena brain drain. Sederhananya, brain drain adalah peristiwa di mana para ahli dari suatu negara berkembang menuju ke negara yang lebih maju karena dirasa lebih menjanjikan. Penghargaan prestasi, kelengkapan fasilitas kerja, dan peluang peningkatan diri yang lebih baik di negara orang seringkali menjadi alasan utama mereka untuk tidak mengabdi di negara sendiri. Masalah Aturan
Dalam cerita Fandi yang memohonkan kepindahan ke BKF di atas, dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada niatan dari negara untuk tidak menghargai prestasi dan kemampuannya bicara delapan bahasa. Menurutnya, atasan yang ditemuinya pun menghargai kemampuannya. Keinginannya untuk pindah ke BKF pun dihormati. Namun masalahnya, aturan dan hal-hal lain yang bersifat birokratis menjegal kesempatan itu. Fandi tidak bisa pindah karena memang sudah diatur bahwa lulusan tidak boleh memilih unit kerja dan tidak boleh meminta pindah jika sudah ditempatkan. Aturan tentang kebutuhan dan pemenuhan pegawai juga menguatkan larangan pindah itu. Meskipun di BKF masih ada tempat, Fandi tidak boleh pindah karena di Pajak masih kurang orang. Ada juga argumen lain, jika instansi mengabulkan keinginan pindah satu
orang, ditakutkan permohonan itu akan diikuti oleh rekan yang lain, dan untuk mewujudkan keinginan itu dirasa tidak mungkin.
Kejadian di atas mirip dengan yang terjadi dalam pemberian beasiswa untuk para juara olimpiade internasional yang disinggung di atas. Salah satu alasan mengapa para pelajar lebih bersedia untuk mengurusi beasiswa di Singapura, selain jumlahnya lebih menggiurkan, adalah karena prosedur di sana yang lebih sederhana. Di sini, menurut cerita Hendra Kwee, pernah ada seorang pejabat Kementerian Pendidikan Nasional yang mengharuskan juara olimpiade untuk kuliah dulu, baru dia bisa mengajukan beasiswa.
Dikutip dari tempointeraktif.com, Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Djalal menjelaskan, prosedur beasiswa di Tanah Air mungkin terkesan birokratis. Tapi hal itu dilakukan karena beasiswa merupakan uang negara, dan pemerintah tak mau kecolongan. Sebab, ada kalanya terjadi si penerima beasiswa ternyata kuliah di kampus lain, atau bahkan tidak mengikuti kuliah sementara uang telah digelontorkan. “Uang-uang itu harus bisa dipertanggungjawabkan,” katanya. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa aturan sering kali menjadi ganjalan utama. Dilihat dari sisi pejabatnya, mereka dituntut untuk melaksanakan aturan itu. Namun di sisi lain, ketegasan itu justru mengabaikan aspek lain. Kalau seorang Fandi yang menguasai delapan bahasa dipindahkan dari Pajak ke Hubungan Internasional BKF, ada kemungkinan dia bisa menjanjikan kinerja yang lebih, yang lebih sesuai dengan kemampuannya. Masalahnya, kemampuan khusus per individu tidak masuk dalam pertimbangan penempatan, mungkin hal ini yang patut dicermati. Dalam kasus Fandi ini, adanya hal-hal tertentu—kemampuankemampuan tertentu yang menjanjikan dari orang-orang tertentu—tidak dipertimbangkan ketika penggodogan aturan tentang kepegawaian. Sementara itu, dalam kasus juara olimpiade, para pelajar itu tidak mendapat jaminan bahwa langkah mereka akan dipermudah, padahal jika harus disederhanakan pun semestinya bisa. Masalah lain lagi adalah tentang rasa percaya. Diungkapkan sebelumnya bahwa pemerintah tidak mau kecolongan. Pemberi beasiswa lain, seperti Singapura, mungkin juga menyimpan pikiran semacam itu. Namun, titik beratnya seharusnya bukan di sana, melainkan dalam hal pengendalian dalam perjalanannya. Jangan Disia-siakan
Bayangkan jika semakin hari semakin banyak anak bangsa berkualitas yang lebih memilih pergi, dan bahkan mengabdi untuk negara lain, bukan untuk negaranya sendiri. Jelas akan jadi kerugian besar karena negara lain yang justru berpotensi untuk maju lebih cepat. Jika terjadi demikian, pada siapa harus melempar kesalahan? Maka, perbaikan atas perhatian dan penghargaan bagi mereka adalah sebuah keniscayaan.
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
[Arfindo Briyan Santoso/Agustina Rahayuningtyas]
7
8 profil
Fandi Ahmad Nurdiansyah,
Delapan Bahasa yang Tak Sia-Sia
Jumat sore itu, sekitar pukul 16.00-an, hujan turun deras. Di salah satu sudut tempat makan di Plaza Bintaro, seseorang tengah ‘curhat’ kepada Civitas. Dari obrolan lima puluhan menit itu, dia sepertinya tak bisa disebut orang biasa. Bayangkan, sampai hari ini, dia telah menguasai delapan bahasa: Jawa, Indonesia, Inggris, Jerman, Perancis, Itali, Arab, dan Rusia. Skor TOEFL terakhirnya bahkan mencapai 667, perfect! dok. Medcen
8
Nama lengkapnya Fandi Ahmad Nurdiansyah, akrab disapa Fandi. Dia baru lulus dari Diploma III Akuntansi tahun 2009 kemarin. Kini, ketika temanteman seangkatannya tengah magang di kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak, instansi penempatannya, Fandi malah ‘ngilang’, sebulanan tak menjamah kantor. ‘Terpaksa’ ke STAN
Dulu, selepas lulus dari SMA di Solo, Fandi diterima di Teknik Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. “Saya memang suka sekali soal kapal-kapal seperti itu, dari kecil,” ujarnya. Selain itu, dia juga diterima di Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. Namun, Fandi memilih Teknik Perkapalan untuk dijalani lebih lanjut.
Dalam masa-masa awal menjadi mahasiswa teknik, Fandi didaulat orang tuanya untuk mengikuti USM STAN. Fandi ogah-ogahan, apalagi dia sama sekali tak tahu-menahu apa itu STAN. Namun, karena permohonan sang ibu, pada akhirnya Fandi tetap berangkat. “Saya baru tahu tipe soal tes STAN itu ya pas ujian itu,” katanya. Saat pengumuman, nama Fandi muncul di daftar yang lolos ke STAN. Orang tua dan keluarga besarnya menyambut gembira, mereka berkumpul saat tahu dia lolos STAN. STAN itu sudah ada jaminan, apalagi masih punya dua adik kecil, begitu mungkin pikir keluarganya. Tapi kegembiraan itu menuntut sebuah
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
konsekuensi: Fandi harus hijrah ke STAN, meninggalkan Teknik Perkapalan. Delapan Bahasa Fandi mengaku selama di STAN nilainya biasa-biasa saja. Dari semester ke semester nilainya mepet, bisa lolos saja sudah syukur. Dia pun tidak mengikuti kegiatan kemahasiswaan, “Bisa dibilang saya apatis kalau di dalam kampus, tidak mengikuti kegiatan apa-apa. Tapi, jangan bilang saya apatis kalau di luar.”
Di luar, Fandi melatih yoga di Kemang. Dia juga rajin mengikuti kegiatan di lembaga-lembaga kebudayaan asing, seperti di pusat kebudayaan Itali. Dari berbagai lingkungan itu, Fandi mendapat kawan dari berbagai latar belakang, seperti mahasiswa-mahasiswa sastra, yang kemudian juga mengantarkannya berteman dengan kawan dari negara lain, seperti Jerman dan Perancis. Dari jaringan seperti itulah, selama sekitar tiga tahun lebih—dihitung sejak kuliah di STAN, hingga hari ini Fandi bisa menguasai delapan bahasa. Tiga bahasa, yaitu Jawa, Indonesia, dan Inggris, sudah dikenalnya sejak kecil. Saat kecil pun, tepatnya saat kelas 3—5 SD, dia pernah tinggal di Amerika, dari sanalah kemampuan bahasa Inggrisnya terasah. Sementara itu, lima bahasa lainnya, yaitu Jerman, Perancis, Itali, Arab, dan Rusia, justru mulai dipelajari dan dikuasainya setelah kuliah di STAN. Kemampuan menakjubkan? Boleh jadi demikian.
Keisenganlah yang menuntun Fandi. Waktu itu, ia tertarik pada sebuah klub belajar bahasa Jerman. “Iseng karena murah banget, di Bintaro, hanya 25 ribu sebulan,” jelasnya. Tak berhenti di sana, secara berurutan dia belajar juga bahasa Perancis, Itali, Arab, lalu Rusia. Bahasa Perancis dipelajarinya secara otodidak. Bahasa Itali dipelajarinya di Italiano, sebuah pusat kebudayaan Itali di Jakarta. Di tempat itu juga ia belajar bahasa Arab, dari seorang kawannya asal Arab yang datang ke Jakarta. Di antara bahasa-bahasa asing itu, kecintaan Fandi paling tampak pada bahasa Jerman. Bahasa itu menurutnya, “Bikin orang jadi pinter, strukturnya sangat rumit, bikin orang jadi mikir kalau ngomong itu. Dari bahasanya saya tahu kalau orang yang punya bahasanya pinter-pinter. Dari situ saya mulai berpikir untuk kuliah di sana.”
Fandi pun tak main-main dengan cita-citanya. Sejak tingkat II, dia mengusahakan beasiswa untuk kuliah di Jerman. Sungguh-sungguh, dia mengikuti tahap demi tahap dari 14 tes yang harus dilaluinya untuk bisa mendapat beasiswa itu. Sempat, semangatnya untuk beasiswa diiringi niat dalam hatinya untuk men-DO-kan diri saat itu juga, tapi sayang, karena dia juga perlu di Jakarta untuk keperluan beasiswa itu. Terganjal Aturan, Gagal ke BKF
Saat poling penempatan, ketika setiap mahasiswa diwajibkan memilih tiga instansi penempatan, Fandi memilih secara berurutan Kemenkeu, Kemenkeu, dan BPK. Malah, di belakang setiap kata Kemenkeu dia tambahkan nama BKF. Padahal, lumrahnya, para mahasiswa memilih Kemenkeu, BPK, dan BPKP. “Seluruh dunia tahu aku mau masuk BKF, seluruh anak Akun tahu aku pingin masuk BKF,” katanya.
Pada akhirnya, Fandi memang mendapat Kemenkeu. Namun, bukan BKF sesuai yang diimpi-impikannya, melainkan DJP. Fandi mengeluhkan hasil itu, sebab dia tak terlalu suka di Pajak, merasa tak begitu mengerti perihal perpajakan. Pelayanan publik macam apa yang bisa diberikan kalau dia sendiri tak begitu mengerti, begitu pikirnya. Fandi tak menyerah, dia tetap mengupayakan pindah ke BKF. Di hatinya, dia yakin, dia lebih bisa menggunakan kemampuannya di sana. Pikirnya, dia sudah punya bekal, TOEFL terakhir pun nilainya 667—sebuah nilai sempurna, perfect score! “ Saya menawarkan apa yang saya punya, kalau saya kerja di tempat yang saya bisa, kan
akan lebih baik,” tegas Fandi.
Fandi lalu menemui Anies Said Basalamah, Kabiro SDM Kemenkeu, untuk melobi kepindahan itu. Dia mengaku sempat dilempar-lempar sampai ke Badan Kepegawaian Nasional (BKN) untuk mengurus berkas. Ke Biro SDM, ke BKN, ke Biro SDM lagi, lalu ke BKF. Sebulan dia melobi seperti itu.
Fandi juga menemui Dini Kusumawati, Kabag Perencanaan dan Pengadaan SDM Setjen Kemenkeu. Dini menghargai, tapi dia menyatakan bahwa keputusan penempatan itu sudah final, kalaupun pindah harus berstatus PNS dulu. Aturan juga menegaskan bahwa lulusan tidak boleh memilih instansi dan tidak bisa pindah jika sudah ditempatkan.
Menjawab hal itu, kepada Dini Fandi mengungkapkan, “Motivasi orang mengalahkan apa pun yang dia miliki. Kalau dia punya motivasi, kinerja dia akan lebih positif. Saya dari semester III sudah tahu mau ke mana (BKF). Saya tanya ke teman-teman yang penempatan di BKF, bahkan mereka nggak tahu BKF itu apa. Lalu, kinerja apa yang diharapkan dari mereka?” Di mata Fandi, aturan itu tidak layak dijadikan alasan. Toh aturan itu dibuat sendiri oleh pihak-pihak atasan, berarti bisa mereka cabut kapan saja. “Atau paling tidak, saya diberi kesempatan untuk menunjukan. Kalau saya mampu, kenapa tidak?” Tak cukup itu, Fandi mengejar Anggito Abimanyu, Kepala BKF saat itu, untuk bertanya cara ke BKF. Di suatu kesempatan Fandi memepet Anggito yang sedang berjalan, “Pak Anggito bilang, ‘Bahasa Inggrisnya dibagusin, belajar juga bahasa yang lain!’”
Setelah pontang-panting ke sana ke mari, segala usaha Fandi untuk pindah hanya mendapat satu jawaban: tidak bisa, titik. BKF, yang sebenarnya masih punya dua kursi yang belum terisi, menurut Fandi tertarik dan bersedia menerimanya. Namun, dengan alasan Pajak masih kekurangan banyak orang, dia tak diizinkan pindah. Jadi, satu putusan bulat dari atasan: Fandi harus tetap di Pajak. Kecewa? Jelas itu ada. Terbang ke Jerman
Di tengah usaha melobi dan pergulatan kecewanya, Fandi seperti mendapat ‘pelarian’.Usahanya mencari beasiswa sejak tingkat II berbuah hasil. Dia mendapat beasiswa sampai lulus S1 ke Jerman. Jelas, kesempatan ini tak akan dia lepas. Terhitung mulai November tahun ini, dia akan belajar di Frankfurt, mengambil bidang macroeconomics.
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Dengan demikian, dia akan melepas Kemenkeu dan mengulang lagi kuliah dari awal. Soal ganti rugi karena keluar dari PNS, “Anggap saja itu harga yang harus saya bayar untuk kuliah berbeasiswa di sana (Jerman).”
Mengenai transkrip nilai dari kampus, Fandi menjawab tegas, “Saya tidak akan mengambil transkrip itu. Buat apa? Saya nggak butuh nilai-nilai yang saya nggak tahu itu dari mana.” Fandi, yang punya 27 kardus koleksi buku berbagai genre di kosnya ini, jujur merasa heran bagaimana dia bisa lulus dengan predikat sangat memuaskan, padahal tiap semester IP-nya mepet-mepet. Ketika berandai-andai, bagaimana jika dia berhasil pindah ke BKF, Fandi tersenyum cukup lama. Mungkin akan berbeda, ujarnya. Mungkin dia akan minta izin belajar dulu ke Jerman, karena memang sudah dapat beasiswa yang diincarnya. BKF toh memberi kesempatan langsung bisa kuliah lagi, tidak seperti instansi lain yang mewajibkan lulusan harus kerja dulu sekian tahun.
Walau sempat kecewa, kalau nanti sudah lulus dari Jerman, akan kembali ke sini? “Iya, saya akan kembali ke sini. Karena.. I belong to my people,” pungkasnya mantap.
[Agustina Rahayuningtyas]
9
liputan utama
Remunerasi,
Keuangan, Mahkamah Agung, dan BPK menjadi tiga lembaga yang diprioritaskan.
Harapan yang Tak Dimengerti
Jadi, cita-cita dari awalnya adalah bahwa remunerasi merupakan satu pelecut agar reformasi birokrasi bisa berjalan ideal. Analogi sederhananya, kalau hadiah lomba, prestasi ada dulu baru hadiah atau penghargaan diberikan, agar si penerima semakin semangat untuk berprestasi lebih baik. Kalau remunerasi, perangkat kesejahteraan (dalam hal ini berbentuk uang) dulu yang diberikan, agar para pegawai semakin semangat dan semakin berprestasi. Selain itu, juga agar para pegawai tidak ‘main serong’, mencari celah untuk curang yang ujungnya merugikan negara.
internet
Remunerasi dicita-citakan ibarat insentif, pemacu agar para pegawai alias pelayan publik semakin tertib, semakin getol berkontribusi dan berprestasi.
10
Dalam acara Seminar Penempatan di Gedung G, 14 Juni lalu, “Apakah benar, nanti lulusan STAN akan ditempatkan di Pemda?” tanya salah seorang peserta. Yang ditanyai, Kabag Perencanaan dan Pengadaan SDM Sekretariat Jenderal Kemenkeu, Dini Kusumawati, menjawab tegas, “Sampai sekarang, belum ada permintaan ke Pemda, jadi Anda tidak usah resah!” Jawaban tegas itu disambut tepuk tangan meriah para peserta seminar, menandakan ada bahagia dan lega, sebab merasa ada jaminan pasti ke Kemenkeu, bukan ke kementerian lain.
Tidak usah resah, sebab tidak akan ditempatkan di instansi di luar Kemenkeu. Kalau ditarik lebih dalam lagi, pernyataan ini menunjukkan sebuah hubungan, yaitu bahwa penempatan di luar Kementerian Keuangan—sekalipun itu juga masih sama-sama pegawai negeri sipil—adalah pertanda ‘suram’, sehingga mau tak mau kemungkinan itu meresahkan meskipun baru kabar liar. Yang jadi pertanyaan, mengapa ada ketakutan jika ada kemungkinan penempatan di Pemda? Mengapa ada kekhawatiran jika penempatan akan di luar Kementerian Keuangan? Berdasarkan survei sederhana kepada sejumlah mahasiswa, nyaris semuanya menyatakan bahwa jelas, dengan keadaan seperti sekarang, akan lebih memilih Kemenkeu daripada
kementerian lain.
Survei sederhana itu memuat pertanyaan, dengan kondisi lingkungan kerja seperti saat ini, manakah yang lebih dipilih, Kemenkeu atau kementerian lain—dalam hal ini yang belum ada remunerasi, serta apa alasannya. Serentak, semua menjawab jelas: Kemenkeu. Kalau toh ada yang menyebut mau juga di kementerian lain, itu pun disertai penambahan syarat dalam jawabannya, seperti syarat kesejahteraan. Alasan yang paling banyak muncul atas pilihan itu berturutturut adalah berikut: ada relevansi antara bidang pekerjaan di Kemenkeu dengan ilmu yang sudah diterima dan dipelajari di kampus; di Kemenkeu sudah ada remunerasi; lingkungan kerja di Kemenkeu sudah lebih kondusif untuk bekerja; ada prestise jika menjadi pegawai Kemenkeu. Remunerasi
Tingkat kesejahteraan, nyatanya memang menjadi faktor yang berpengaruh dalam pertimbangan kerja. Di lingkungan kita, di lahan Keuangan, praktik remunerasi bisa jadi merupakan elemen yang akan paling banyak disebut jika kita bicara mengenai tingkat kesejahteraan. Ya, kali ini kita akan membicarakannya, tentu dengan sudut pandang sebagai calon pengelola keuangan. Namun, ini bukan
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
untuk mendebatkan remunerasi gagal atau tidak, bukan menganalisis apakah remunerasi diskriminatif dan tidak layak, bukan pula menentukan apakah remunerasi harus dicabut atau boleh lanjut. Akan terlalu luas jika mengambil sudut tersebut.
Remunerasi pada dasarnya adalah anak dari cita-cita reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sendiri merupakan gagasan untuk membuat perubahan drastis ke arah perbaikan dalam sistem pemerintahan. Dibayangkan, dengan dijalankannya reformasi birokrasi, akan ada pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik daripada sekarang. Masyarakat tak perlu dipersulit, tak perlu keluar duit pelicin untuk urusan macam pembuatan KTP atau surat-surat lain. Seperti itu sederhananya.
Adalah Sri Mulyani, Menkeu saat itu, yang bercerita pada suatu kesempatan di tahun 2007. Ia berpandangan bahwa tidak mungkin reformasi birokrasi dilakukan, kalau take home pay pegawai negeri secara umum masih minim. Tidak akan bisa seseorang bekerja maksimal kalau ia masih mengeluh lapar. Setelah melalui berbagai pembahasan, ide remunerasi, dengan ide pengikut seperti penekanan kompetensi jabatan dan penilaian kinerja, pun disetujui untuk dilaksanakan, . Namun, itu harus bertahap dan butuh pilot project. Saat itu, Departemen (saat ini Kementerian)
Gagal PahamSayangnya, cita-cita reformasi birokrasi yang memuat remunerasi itu sepertinya gagal dipahami. Tidak ada keseragaman pemahaman, apalagi yang komprehensif, oleh pegawai-pegawai yang jadi sasaran sekaligus pemegang peran. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, EE Mangindaan, di akhir 2009 pernah menuturkan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi 2008/2009 berjalan tersendat karena terjadi disorientasi konsepsi, yang lebih cenderung berorientasi dan mengejar tunjangan kinerja atau remunerasi. Padahal, remunerasi hanya salah satu bagian dari reformasi birokrasi. Sementara unsur penilaian kinerja individual, bagian penting lainnya, malah tidak terlalu diperhatikan.
Lebih lanjut Mangindaan menyatakan, reformasi birokrasi juga tersendat karena belum adanya grand design dan roadmap yang jelas sebagai acuan
setiap kementerian/lembaga/pemda untuk melaksanakan reformasi. Selain itu, pengorganisasian masih lemah dan mekanisme kerja tim kurang berjalan dengan baik. Sosialisasi pun kurang intens di berbagai instansi pemerintah. Kasus Gayus Tambunan, dengan rekeningnya yang luar biasa besar itu, tak ayal memicu kecaman di sana-sini. Gayus selaku individu pegawai Pajak diseret-seret dan dihujat. Padahal, Gayus bisa jadi hanya anak bau kencur. Padahal juga,Gayus bisa jadi bukan yang paling tercela. Bisa jadi, kan? Selain kecaman, muncul juga generalisasi, bahwa perilaku seluruh pegawai Pajak juga tak ubahnya Gayus, jadi sama-sama pantas dihinanya. Karuan saja, yang merasa sama ‘seragam’-nya dengan Gayus tak terima. Lahirlah pembelaan diiringi semangat korps di berbagai suara maupun tulisan. Cek saja status-status terkait kasus Gayus di akun-akun jejaring sosial milik kawan-kawan yang sudah berkantor di instansi naungan Kementerian Keuangan. Idealisme terasa di kalimatkalimat mereka. Bahwa Gayus hanya oknum, bahwa rekan-rekan di Pajak juga tak kalah banyak yang tak main-main memberi pelayanan.
Sekarang, yang perlu dicermati, kalau mau jujur, relatif gampang untuk menemukan dan menyimpulkan bahwa masih banyak yang kacau dalam sistem yang ada. Tanyalah pada mereka yang tengah praktik kerja lapangan di kantorkantor. Akan mudah mendapatkan cerita: banyak pegawai yang seharian hanya duduk-duduk, banyak yang menghilang saat jam kerja dan muncul ketika tiba waktu fingerprint saja, banyak juga yang diam saja ketika rekan
seruangnya justru lembur. Begitukah pelayanan yang diklaim selayaknya dibanggakan di depan publik? Begitukah balasan bagi mereka yang membayar pajak, yang uangnya salah satunya mengalir untuk remunerasi? Bukan Akhir
Remunerasi masih berjalan. Itu yang jelas terlihat sampai sekarang, terlepas dari apakah nanti kekuatan politik atau yang lainnya akan membuatnya dihentikan. Para penggagas dan yang berwenang atas aturan juga tetap jalan. Mungkin, wajar saja untuk tenang dan berbangga ketika kemudian masuk ke lingkungan yang dianggap punya prestise, sudah remunerasi lagi. Sah juga jika marah ketika kecaman yang harusnya untuk Gayus seorang malah dirasa salah arah. Namun, euforia ini boleh jadi tak berarti dan tak berpengaruh apa-apa bila tak disertai koreksi dan introspeksi. Maka pemahaman itu penting, bahwa remunerasi bukan lakon terakhir tanda sebuah cerita berhenti, karena di belakangnya ada tanggung jawab yang mengikuti.
Sekali lagi, remunerasi membawa harapan agar reformasi birokrasi sukses digalakkan. Tidak ada kan, yang tidak mau negaranya makin maju? Remunerasi hadir bukan dimaksudkan untuk yang suka mangkir. Bukan juga untuk sekadar buang-buang duit anggaran. Kalau sudah diremunerasi tapi masih sering atau malah lebih rajin ongkang-ongkang kaki? Yah, Anda bisa menjawabnya sendiri.
[Agustina Rahayuningtyas]
Sekilas Reformasi Birokrasi Implementasi program reformasi birokrasi terdiri dari 9 program yang meliputi 23 kegiatan. Program-program itu meliputi : 1. Arahan Strategis, meliputi kegiatan percepatan (quick wins), penilaian kinerja organisasi, dan postur birokrasi 2025; 2. Manajemen perubahan, dengan kegiatan proses sosialisasi dan internalisasi; 3. Penataan sistem, dengan kegiatan analisis jabatan, evaluasi jabatan dan sistem tunjangan kinerja; 4. Penataan organisasi, dengan kegiatan redefinisi visi, misi, strategi, restrukturisasi, dan analisa beban kerja; 5. Penataan tata laksana, meliputi kegiatan penyusunan tata laksana (business process) yang menghasilkan standar operasional prosedur (SOP), elektronifikasi dokumentasi/kearsipan; 6. Penataan sistem manajemen SDM, meliputi asesmen kompetensi individu bagi pegawai/tenaga ahli, membangun sistem penilaian kinerja, mengembangkan sistem pengadaan dan seleksi, mengembangkan pola pengembangan dan pelatihan, memperkuat pola rotasi, mutasi, promosi, memperkuat pola karir, dan membangun/memperkuat database pegawai; 7. Penguatan unit organisasi, dengan kegiatan penguatan unit kerja/organisasi kepegawaian, penguatan unit kerja kediklatan, dan perbaikan sarana dan prasarana; 8. Penyusunan peraturan perundang-undangan, dengan kegiatan memetakan regulasi, deregulasi, menyusun regulasi baru; 9. Pengawasan internal, dengan kegiatan menegakkan disiplin kerja, dan menegakkan kode etik. *** (HUMAS MENPAN-RB)
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
11
opini
Inovasi, Visi, dan Perubahan Sejarah ditentukan oleh inovasi. Tanpa inovasi, yang ada hanyalah pengulangan. Tanpa inovasi ponsel, mungkin saat ini kita masih berulangulang ke wartel. Tanpa inovasi computer, mungkin saat ini kita masih berulang-ulang menggunakan mesin ketik. Hanya inovasi yang dapat mengubah pengulangan. Ketika pengulangan (kebiasaan) berubah, maka inovasi tersebut berhasil. Inovasi adalah tanda perubahan.
12
Di sini, dapat kita maklumi kenapa birokrasi (dan organisasi birokratis mana pun) sulit melakukan inovasi. Reinventing government di era Bill Clinton saja digagas konsultan swasta bernama David Osborne. Wajar, setiap hari birokrasi memang hanya melakukan pengulangan. Kantor Pajak, setiap hari ya melakukan pelayanan pajak. Pengulangan ini terintegrasi dengan uraian kerja yang detail, hierarki struktural, serta segala peraturan administratif, yang kemudian menutup ruang bagi lahirnya ide baru. Bahkan, inisiatif pun menjadi berisiko. Padahal, tanpa inisiatif dan ide baru, mustahil ada inovasi.
Dengan hanya melihat dua konteks tersebut, sebenarnya kita sudah bisa tahu kenapa kegiatan kemahasiswaan di kampus kita ini miskin pengunjung. Dari sisi inovasi, setiap tahun selalu sepi. Yang ada hanya pengulangan. Tahun lalu ada kegiatan X, tahun ini juga ada X. Kalau konsepnya berubah sih, mending. Namun, seringnya sama. Parahnya, kalau sampai program kerja disusun hanya dengan memodifikasi dokumen (baca: kata-kata) program kerja pengurus tahun sebelumnya. Kemudian, apakah organisasi kemahasiswaan kita saat ini terlampau birokratis? Tengok sendiri-sendiri saja. Jika kita sudah mempersoalkan hal-hal sepele seperti format surat yang harus
Oleh: Darmawan Sigit*
begini, atau harus melewati otorisasi tertentu hanya untuk menempel pamflet, atau saat otak kita mulai prosedural, itu sudah cukup menjadi indikasi. Tidak ada bedanya kita dengan birokrasi. Kalau kita mengaku sebagai agen perubahan, kita harus berani menghapus peraturan yang tidak perlu, lalu berinovasi. Baru perubahan bisa terjadi. Inovasi adalah aplikasi dari ide atau gagasan. Dia adalah sebuah tindakan. Akan hal ini, saya yakin mayoritas penghuni kampus ini tahu persis kenapa dia harus ada. Inovasi merupakan refleksi paling relevan dari sifat al-Khaliq yang bisa kita terapkan. Inovasi adalah amalamal (tindakan) yang dibebankanNya kepada manusia untuk memakmurkan bumi.
Inovasi juga akan mudah dilakukan ketika pengetahuan (termasuk pengalaman dari penyelenggaraan kegiatan) dikelola dengan baik. Dikelola berarti di-share, ditransfer, diakumulasikan, dan dikembangkan, baik di tahun tersebut maupun ke tahun-tahun berikutnya. Bukan hanya di lingkup organisasi tersebut, tetapi menyentuh seluruh Keluarga Mahasiswa STAN (oleh karenanya, KM STAN perlu menjadi komunitas yang saling terhubung dan berinteraksi). Dengan pengetahuan yang diakumulasi dan dikembangkan, selain dapat menghindarkan diri dari pengulangan, juga akan merangsang munculnya inovasi baru. Karena saling terhubung dan ada knowledge-sharing tadi, mahasiswa merasa terlibat dalam kehidupan kampus. Kegiatan tidak lagi bersifat vertikal tetapi sudah horizontal. Vertikal itu seperti menjual, panitia (BEM, HMS, dll) menempatkan diri ‘di atas’ lalu dengan ke-pede-annya membidik dan menyuguhi pembeli (mahasiswa) yang ada ‘di bawah’ produk dan layanannya. Sementara,
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
horizontal itu memfasilitasi dan memberdayakan (empowering). Organisasi kemahasiswaan sifatnya hanya memfasilitasi mahasiswa untuk memberdayakan potensi terbaiknya. Sebagai penyelenggara kegiatan, panitia menyediakan diri untuk membantu dan melayani mahasiswa. Perspektifnya dari mahasiswa, bukan dari panitia.
Janganlah Ayam Mati Kelaparan di Lumbung Padi
Kekuatan Visi
Meskipun kita menemukan masalah setelah menginvestigasi keadaan, jangan biarkan otak kita terjebak pada “problem frame thinking” (pemikiran dengan bingkai masalah), apalagi ‘blame (menyalahkan) frame thinking’. Hal tersebut tidak akan pernah memberikan solusi. Kita sebaiknya berpikir dalam bingkai hasil yang diinginkan (outcome frame thinking). Cara berpikir outcome framing mensyaratkan kita untuk tahu apa yang sebenarnya kita inginkan, dan ke mana persisnya kita ingin pergi. Namun, agar keinginan dan tujuan kita tidak keliru, kita memerlukan pemahaman mengenai konteks. Keinginan dan tujuan yang kontekstual itulah yang disebut visi. Saat segala sesuatunya kontekstual, kita tidak perlu lagi berbusa-busa berdebat apakah visi ini menantang, terukur, atau realistis. Sudah bukan zamannya. Visi yang asli adalah apa yang tergambar dalam pikiran kita, dengan segenap emosinya. Gambar abstrak ini kemudian ditegaskan dalam bentuk kata-kata. Proses inilah yang akan membedakannya dengan kalimat visi lain yang meniadakan proses tersebut, sekalipun secara harfiah lebih manis.
Lalu, bagaimana visi yang baik bagi kehidupan kemahasiswaan di kampus kita? Detailnya tidak kita bahas dalam tulisan ini. Yang pasti, selain dalam konteks inovasi, debirokratisasi, knowledge management, dan perspektif horizontal tadi, kita perlu melihat konteks lain yang ada.
*penulis adalah Ketua BLM STAN 2010/2011 dan mahasiswa semester 8 DIV Kurikulum Khusus tinggal di www.sipetualang.com
“Mahasiswa STAN lebih dari 5.000 orang. Tapi kenapa kalau hari Sabtu—Minggu kampus begitu sepi, padahal kegiatan kemahasiswaan selalu ada?”
Dalam kesempatan ini, saya diminta menulis tentang apresiasi mahasiswa terhadap kegiatan kemahasiswaan di kampus. Banyak yang mendorong untuk menggugat sepinya kampus, dan mencari siapa yang sebenarnya patut dipersalahkan. Tapi mohon maaf, sepertinya saya tidak tertarik untuk membahas hal tersebut.
Di antara kampus kedinasan yang lain, harus diakui bahwa STAN memberikan keleluasaan yang jauh lebih longgar kepada mahasiswanya untuk berkreasi, berorganisasi, dan mengembangkan pikiran di luar kegiatan perkuliahan yang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada mahasiswa. Prolog yang saya tulis di atas adalah kata-kata Direktur STAN, Bapak Kusmanadji, dalam suatu obrolan dengan kami. Lembaga, pada dasarnya menginginkan mahasiswa STAN menjadi para intelektual yang tidak hanya menguasai ‘hard skills’, tapi juga ‘soft skills’. Hard skills dan soft skills menjadi istilah yang populer di lingkungan kita akhir-akhir ini, karena dipercaya bahwa untuk mencetak calon birokrat yang profesional dan reformis tidak hanya cukup berbekal hard skills seperti ilmu akuntansi, perpajakan, dan sebagainya, tetapi juga butuh soft skills berupa kepemimpinan, manajerial, sifat rela berkorban, dan sifat-sifat lain yang jarang diasah di bangku kuliah. Dengan kata lain, para pengajar di lingkungan STAN sebenarnya mengharapkan mahasiswa untuk tidak hanya belajar di dalam kelas, tetapi juga mengembangkan bakat dan kemampuannya di luar kelas untuk membantu tercapainya tujuan belajar. Kampus Sepi?
Banyak yang mengatakan kalau kampus STAN sepi kegiatan. Padahal, segala macam organisasi mulai dari keagamaan sampai kesenian, pengembangan ilmu pengetahuan sampai perkumpulan kedaerahan, semua tersedia di kampus ini. Sebenarnya kampus ini tidak pernah sepi dari kegiatan, kecuali saat liburan, ketika hampir semua penghuni kampus pulang ke kampung halaman. Persoalannya tinggal bagaimana mahasiswa memanfaatkan kesempatan
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Oleh : Agus Fredy Muthi’ul Wahab*
itu untuk membina dan mengembangkan diri melalui kegiatan-kegiatan yang ada. Yang suka olahraga, bisa bergabung dengan UKM olahraga. Yang suka mengkaji agama, bisa bergabung dengan organisasi keagamaan. Yang tertarik dengan bidang keilmuan, bisa bergabung dengan organisasi dan klub keilmuan. Mahasiswa STAN yang sudah melalui saringan bertubi-tubi untuk dapat lulus dari kampus ini seharusnya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan mahasiswa dari kampus lain, sehingga tidak ada lagi ungkapan “Kementrian Keuangan batang tubuhnya diisi oleh anak STAN, dan pucuk-pucuknya diisi oleh alumni kampus lain”. Dan yang perlu diingat, main goal dari semua organisasi dan kegiatan di kampus STAN sebenarnya (dan seharusnya) hanyalah satu: mencetak generasi birokrasi yang profesional dan berintegritas demi kemajuan bangsa. Karena memang untuk itulah STAN berdiri. Talenta dan kreativitas yang kita miliki, janganlah mati kelaparan di lumbung ilmu dan kreativitas ini. Epilog
Tidak ada lagi yang meragukan kualitas mahasiswa yang setiap tahun diterima oleh STAN. Ribuan anak manusia dengan segudang talenta dan keunikan setiap tahun masuk ke kampus ini. Tentu, sangat disayangkan apabila orang-orang hebat itu menenggelamkan bakatnya sendiri dan memutuskan untuk menjadi orang biasa-biasa saja, sementara kesempatan untuk meningkatkan kemampuan diri membentang di depan mata. Jangan sampai potensi kita bagaikan ayam yang mati kelaparan di lumbung padi, karena pertiwi ini membutuhkan generasi cerdas yang energik untuk mengangkatnya dari lubang kehancuran yang semakin menganga. Dan karena sangat terbatasnya ruang tulisan yang diberikan di kesempatan ini, banyak hal yang belum sempat saya sampaikan di ruang ini. Semoga lain waktu ada kesempatan untuk membahas lagi. Maaf kalau kurang berkenan. Terima kasih.
*penulis adalah Presiden Mahasiswa STAN 2010-2011
13
liputan khusus
opini
Say No To Narcism!
Oleh: Ali Sutopo*
Dangdut, Dicaci dan Dicintai
internet
Keponakan saya sedang gundah. Kebelet nikah? Walah, nggak lah. Lha wong baru mau naik kelas 5 SD kok. Kalo kebelet yang itu sih, teman-teman tingkat III yang sudah pada mau lulus kali ya, hehe-he.
14
Ternyata, gundahnya itu karena kebelet ingin sunat. Iya, dia mau segera disunat. Soalnya, teman-teman di sekolah dan teman-teman mainnya sudah pada disunat. Kebetulan, keponakan saya ini sejak umur dua tahun tinggal di Jakarta. Dan anak-anak di daerah tempat tinggal keponakan saya itu memang rata-rata disunat waktu masih kecil. Sekitar awal-awal sampai pertengahan SD. Beda dengan usia sunat anak-anak di Kudus, daerah asal bapaknya keponakan saya itu. Kalau di Kudus, biasanya bocah disunat saat akhir-akhir SD atau awalawal SMP. Nah, karena sunat itu perlu biaya, dan biaya ada di tangan bapaknya, keponakan saya itu terpaksa manut bapaknya. Bapaknya, karena asli orang Kudus seperti saya, masih membawa pandangannya sendiri bahwa usia sunat itu akhir-akhir SD nanti atau awal-awal SMP. Sunat di waktu-waktu itu sudah seperti konsekuensi menjadi orang asli Kudus. Ada lagi konsekuensi lainnya. Secara alami, biasanya orang asli Kudus itu punya sedikit bakat main badminton. Seperti halnya orang Brasil yang secara alami ada bakat main bola gitu. Masih ingat Lim Swie King dan Hariyanto Arbi, kan? Mungkin, karena ada sedikit bakat badminton, yang merupakan konsekuensi ke-Kudus-an saya itu, seorang teman mengajak saya untuk ikut turnamen badminton STAN Open 2010, ikut di ganda putra. Sebenarnya, agak malas juga. Tapi, ya kapan lagi?
Sebentar lagi insya Allah mau lulus. Walaupun akhirnya harus kalah di pertandingan ketiga, paling tidak saya sudah ikut berpartisipasi dalam kegiatan kampus. Ya maklum, walaupun saya ada sedikit bakat, kesuksesan itu kan buah dari satu persen bakat ditambah sembilan puluh sembilan persen kerja keras? He-he-he. Kalau diamat-amati, ternyata banyak juga yang ikut turnamen STAN Open 2010 itu. Entah kenapa, karena bayarnya murah? Karena ternyata banyak bakat badminton di STAN? Atau, karena lagi pada pingin saja? Entahlah. Yang jelas, tempat pertandingannya rame. Beda dengan beberapa kegiatan lain yang bisa dibilang sepi peminat. Penempatan Bukan Akhir
Kegiatan seperti seminar ini-itu, donor darah, bahkan pemira kemarin pun, kalau saya tidak salah, tingkat partisipasinya kurang dari lima puluh persen. Mahasiswa-mahasiswa sepertinya pada gimana gitu, nggak pada datang. Gejala apa ini? Keapatisan mahasiswa STAN? Mungkin. Fakta bahwa kita adalah mahasiswa STAN yang memperoleh jaminan penempatan kerja setelah lulus mungkin menjadi salah satu sebabnya. Fakta-fakta tersebut cenderung menjadikan kita, mahasiswa STAN, sebagai mahasiswa-mahasiswa yang study oriented. Ya iyalah, IP sangat menentukan penempatan kita nanti soalnya. Salahkah?
Jelas tidak. itu pilihan tiap-tiap individu.
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Hanya saja, ada fakta lain, hidup kita itu tidak berhenti setelah kita penempatan lho. Setelah penempatan, kita akan terus hidup dan mau tidak mau akan banyak membangun hubungan dengan orang lain. Kemampuan seperti ini tidak datang sendiri. Dia perlu dilatih, dan tempat latihan paling enak ya di kampus, di organisasi-organisasi yang banyak bertebaran itu. Kita butuh IP untuk menentukan penempatan, dan itu hanya satu kali di awal kelulusan. Namun, kita butuh kemampuan membangun hubungan dengan banyak orang itu sejak awal, bahkan mungkin sejak saat ini, sampai akhir penempatan. Kita butuh kemampuan dan hubungan itu selamanya. Jadi, sangat disayangkan, jika kita mengorbankan kesempatan besar untuk belajar kemampuan yang sangat penting itu demi IP yang hanya dipakai sejumlah hitungan jari.
Tidak perlu susah-susah, awalnya ikut-ikut saja dulu jadi peserta, seperti saya yang ikut turnamen STAN Open itu. Nanti lama-lama, ikut jadi penyelenggara. Kan ada banyak open recruitment yang digelar di kampus. Kalau sudah ikut, insya Allah bakalan asyik kok. Hidup kita jadi lebih dinamis, terhindar dari rutinitas-rutinitas mekanis ala mahasiswa.
Tulisan ini saya tulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Mungkin, cerita-cerita tentang keponakan dan diri saya sendiri di atas membuat sebagian dari teman-teman menganggap saya narsis. Waduh, jangan sampai deh! Namun, kalau memang teman-teman tetap menganggap saya narsis, maka angkatlah tangan kanan ke depan dada, buka telapaknya, dan katakan “Say no to narcism!”, he-he-he.
*penulis adalah mahasiswa DIV
Dangdut merupakan salah satu genre musik asli Indonesia yang berakar dari musik Melayu. Dalam perjalanannya menuju bentuk kontemporer seperti sekarang, dangdut dipengaruhi unsur-unsur musik India (terutama penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). internet
Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik Barat yang kuat dengan pengaruh penggunaan gitar listrik dan bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an, dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuk kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.
Penyebutan nama ‘dangdut’ merupakan onomatope1 dari suara tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal di 1970-an bagi bentuk musik Melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu. Kampungan
Musik dangdut hadir diikuti dengan adanya pandangan beberapa kalangan masyarakat bahwa ia adalah musik kampungan. Apalagi kalangan muda, ketahuan menonton dangdut pun bisa dirasa memalukan. Label itu tetap ada walaupun musik dangdut sukses masuk istana, dibawakan oleh penyanyipenyanyi terkenal semacam Iis Dahlia, Ike Nurjanah, dan Evie Tamala. Namun, di balik liku itu, tak berarti dangdut tak punya cerita membanggakan. Sekitar 17 tahun yang lalu, musik
dangdut sangat akrab di telinga masyarakat. Saat itu, televisi masih berwarna hitam putih dengan satu saluran (TVRI saat malam dan TPI saat siang). Film yang ditayangkan kala itu adalah film-film Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, dan Balada Dangdut. Tentu saja, film tersebut tidak terlepas dari nyanyian-nyanyian yang beraroma dangdut.
Di kurun waktu 2003—2006, musik dangdut benar-benar merajalela. Stasiun televisi telah bertambah banyak. Dalam rentang tersebut stasiun televisi seperti RCTI, TVRI, TPI, Indosiar, Trans TV, dan Lativi (sekarang TV One) berebut perhatian pemirsa melalui tayangan langsung konser dangdut outdoor. Indosiar dan TPI bersaing ketat melalui acara KDI (TPI) dan Kondang In (Indosiar). Redup
Tahun 2007, pesona dangdut mulai meredup. Hanya ada satu lagu dangdut yang benar-benar meledak pada tahun ini, yaitu Kucing Garong. Selanjutnya, sepanjang tahun 2008 industri dangdut lesu. Tidak ada satu pun lagu dangdut yang meledak di pasaran. Keadaan ini berlanjut hingga sekarang.
Sekarang, dangdut memang masih ada. Buktinya, masih sering terdengar musik dangdut dilantunkan pada acara resepsi pernikahan, panggung kampanye menjelang pemilu, atau hari ulang tahun kesatuan-kesatuan TNI. Ketika kita naik
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
kereta mendekati Stasiun Tanah Abang di malam hari, kita pun bisa mendengar dengan jelas musik dangdut menemani malam mereka yang berumah di pinggiran rel-rel kereta api.
Kemerosotan popularitas musik dangdut di kalangan masyarakat dewasa ini disebabkan oleh pergeseran selera para penggemar musik. Namun, terkadang artis pembawa goyang tak seronok dikambinghitamkan atas kemerosotan ini. Mungkin, sekarang memang bukan eranya musik dangdut. Posisi itu kini diisi oleh musik pop dan aliran lainnya. Namun, meredupnya musik dangdut bukan berarti ia mati. Masih banyak masyarakat yang menyukai musik dangdut, menjadikannya sebagai sarana hiburan yang cukup memuaskan. Itulah yang membuatnya tetap hidup, karena dangdut memang layak terus dijaga untuk hidup. Amerika Serikat, negara kiblat modernisasi, pun menghargai keberadaan musik dangdut. Beberapa waktu lalu, Ike Nurjanah terbang ke negeri Uncle Sam ini untuk melakukan presentasi mengenai musik dangdut. Jadi, mari tetap menghargai keberadaan musik dangdut. Jangan sampai, suatu saat nanti kita justru menimba ilmu tentang dangdut—musik asli milik sendiri—dari negeri lain seperti Uncle Sam itu.
[Tri Wahyuningsih]
15
liputan khusus Kanan, bagi organisasi-organisasi mahasiswa yang berlatar belakang Islam. Kiri, bagi organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasis sosialis atau marxis. Netral, bagi organisasiorganisasi mahasiswa yang cenderung nasionalis, sekuler, formal. OMEK dalam beberapa kampus tertentu memiliki corak dan dominasi yang kental. Hal ini juga dipengaruhi faktor-faktor tertentu, termasuk sisi historis dari kampus tersebut.
Ekspansi Politik dan Geliat Perjuangan Mahasiswa Di banyak artikel, majalah, dan sumbersumber pemberitaan lainnya, semua orang pasti setuju apabila menyebutkan mahasiswa sebagai garda terdepan dalam pendobrak rezim-rezim yang tidak lagi dapat dikatakan populis dalam mengedepankan kepentingan rakyat. Namun, apakah itu saja cukup? Rasanya belum.
16
Sebagai pasukan pendobrak, peran mahasiswa memang tidak diragukan lagi. Dimulai dari tumbangnya rezim Orde Lama yang diperjuangkan generasi-generasi muda seperti Soe Hok Gie, sampai tumbangnya Orde Baru yang kemudian melahirkan alternatif pemimpin-pemimpin baru seperti Amien Rais. Sudah sewajarnya mahasiswa melakukan pendobrakan, tetapi selebihnya biarlah menjadi urusan kalangan politik. Siapa kalangan politik itu? Ya orang-orang partai, orang-orang oposisi. Karena sejatinya mahasiswa bergerak bukan untuk berkuasa. Reformasi pada hakikatnya merupakan kegiatan politik, dan kegiatan politik sudah selayaknya dilakukan oleh kalangan politik. Mahasiswa jelas bukan pemain politik, walau bisa saja melakukan kegiatan politik. Maka, jalan yang sudah dibuka mahasiswa sebagai pendobrak, sudah seharusnya dilanjutkan oleh kalangan politik.
Akan tetapi, banyak juga mahasiswa yang melakukan kegiatan politik karena minatnya untuk bermain dalam kancah perpolitikan daerah ataupun nasional. Untuk melapangkan langkah tersebut, kebanyakan dari mereka mulai memasuki Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) yang dinilai vokal dan sesuai dengan karakter ideologi perjuangan mereka. Menurut Setyo Aji Laksono, pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Depok periode 2009-2010, tidak bisa kita pungkiri bahwa OMEK itu lebih matang, baik secara organisasi, metodologi pengkaderan, serta konsep dan strategi gerakan. Untuk sebagian orang, OMEK dapat dijadikan sebagai batu loncatan. Namun, tak hanya dalam ranah politik, banyak hal lain diluar ranah politik yang bisa didapat. “Politik itu hanya cara dalam menggunakan kemampuan intelektual kita untuk mencapai visi yang lebih besar dengan ditunjang dengan people skill dan jaringan yang kita punya,” ujar pria yang kerap disapa Aji ini.
Masa Lahirnya Corong Eksternal Mahasiswa Dalam sejarahnya pada periode liberal, wapres pada saat itu mengeluarkan Maklumat Nomor X, yang isinya pemerintahan permisif dengan sistem multipartai. Hal inilah yang membuat banyak partai yang mucul pada periode 1945-1967, saat aroma kemerdekaan masih kental. Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) nyaris lahir serentak setelah itu.
internet
Karena sejatinya mahasiswa bergerak bukan untuk berkuasa.
Dalam rangka pengkaderan dan perluasan dukungan terhadap partainya, maka kampus menjadi salah satu sasaran pengaruh dengan dibentuknya OMEK sebagai organisasi massa underbauw kampus. Lahirlah kemudian HMI (Masyumi), PMII (Nahdlatul Ulama), CGMI (PKI), PMKRI (Partai Katolik), GMNI (PNI), GMKI (Parkindo) dan sebagainya.
Di masa kini, ada juga OMEK baru seperti KAMMI dan LDK yang cenderung memilki kedekatan dengan parpol PKS. Namun, Aji membantah akan klaim organisasi underbauw tersebut. Menurutnya, secara organisasi tidak ada keterkaitan sama sekali HMI dengan kelompok atau parpol mana pun, bahkan dalam AD/ART jelas tertulis tentang independensi organisasi yang menaunginya tersebut, “Secara organisasi tidak ada hubungan sama sekali HMI dengan parpol mana pun. Jikalau ada anggota HMI yang menjadi pemain politik tentunya ia sudah tidak lagi menjadi anggota dan itu sudah diatur.” Di sisi lain ia juga tidak memungkiri apabila memang ada OMEK-OMEK yang memang memiliki kedekatan dengan parpol-parpol tertentu. Namun, hal itu tentunya perlu dikaji lebih dalam lagi selama belum ada bukti oktentik yang menyebutkan OMEK tersebut merupakan organisasi underbauw dari salah satu parpol. Ramadhinara Pratopo, Wakil Presiden BEM Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan bahwa
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
sebenarnya tidak ada kata pasti apakah OMEK-OMEK itu memiliki hubungan langsung dengan parpol-parpol di Indonesia. “Hubungan antara keduanya bisa diibaratkan hubungan senior dan junior. Jadi, memang sebenarnya OMEK (yang ada di UIN) memiliki hubungan dengan parpol di Indonesia, tapi tidak secara langsung”.
Pada masa Orde Lama, keterkaitan beberapa OMEK dengan parpol-parpol tertentu memang terlihat jelas. Keadaan pada saat itu bisa dikatakan sangat kondusif bagi parpol untuk memenuhi kebutuhan dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Namun, melihat persaingan kepentingan antar partai yang semakin kelewatan, Presiden Sukarno mengajukan konsep demokrasi terpimpinnya. Berawal dari pidato kenegaraan Presiden Sukarno tahun 1945 “Manifesto Politik Republik Indonesia” (Manipol), maka Manipol disahkan sebagai GBHN melalui Penpres No.1/1960 dan TAP MPRS No.1/MPRS/1960. Presiden Sukarno menyatakan bahwa intisari dari Manipol adalah Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK). Dengan ini, hanya ada satu asas parpol yang diperbolehkan. Akhirnya, melalui Kepres No.200/1960 dan 201/1960, Masyumi dan PSI dibubarkan oleh presiden karena tetap mempertahankan asas partai dan terlibat makar lewat PRRI/PERMESTA-nya. OMEK di Beberapa Kampus
Dalam peta ideologis, gerakan mahasiswa dibagi menjadi tiga bagian.
Corak ideologis yang kental dapat kita lihat misalnya di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang memiliki sisi historis sebagai kampus Islam. Di kampus UIN Syarif Hidayatullah terdapat banyak OMEK beraliran kanan, ada HMI, PMII, KAMMI, LDK, dan lainnya. Namun, ada juga yang netral. Menurut Ramadhinara, hal ini karena UIN memiliki sisi historis sebagai kampus Islam, jadi organisasi yang berkembang kebanyakan organisasi yang berbasis Islam. Namun, tidak ada peraturan yang melarang organisasi-organisasi yang berlainan ideologi untuk terjun disini. Bahkan, jika kita melihat sistem perpolitikan di UIN, hampir setiap OMEK memiliki partai sendiri sebagai basis massa untuk memberikan dukungan terhadap calon atau kader mereka dalam pemilihan wakil mahasiswa. Bisa dibilang sistem politik kampus UIN merupakan miniatur dari sistem politik Indonesia. Walau cenderung didominasi OMEKOMEK kanan, kondisi perpolitikan mahasiswa di kampus UIN Syarif Hidayatullah masih terbilang cukup dinamis. Menurut Ramadhinara, proses politik yang ada di sini memang sudah cukup dinamis walaupun hanya mencakup dua ideologi yang ada (kanan: Islam, dan netral: nasionalis). “Hal ini tidaklah terlalu signifikan untuk membuat iklim perpolitikan di UIN menjadi kurang dinamis,” ungkapnya. Corak ini akan sedikit lebih berbeda jika kita mengamati peta ideologis OMEK di kampus Universitas Indonesia (UI) yang bisa dikatakan cenderung lebih kompleks. Aji, yang juga mahasiswa Fakultas Hukum UI angkatan 2006, menjelaskan bahwa kondisi kemahasiswaan di UI sangat berimbang antara OMEK dan organisasi intrakampus. Hal ini karena di kampus sudah banyak organisasi internal yang merupakan badan otonom dan semiotonom yang pola gerakannya hampir sama dengan organisasiorganisasi eksternal. Lembaga Dakwah Kampus juga cukup eksis di UI, bahkan yang sifatnya olahraga dan seni cukup menarik massa.
Menurut Aji, di UI dominansi eksternal kampus sudah tidak seperti dulu. HMI dan GMNI masih ada di UI tapi tidak mendominasi, cenderung berimbang. Mahasiswa UI sudah sangat dewasa dan matang secara organisasi. Mereka tidak lagi melihat seseorang dari backgroundnya saja, tapi lebih ke kualitas
individunya.
Geliat Politik di STAN Dalam setiap ajang pemilihan wakil mahasiswa seringkali kita amati mengapa tidak ada yang berubah dari calon-calon yang terpilih. Selalu saja dari satu golongan, tarbiyah. Jika nantinya lembaga kemahasiswaan diberi hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan strategis secara formal, maka layak untuk dievaluasi kembali apakah mereka telah mewakili aspirasi mahasiswa secara keseluruhan. Rendahnya partisipasi mahasiswa dalam Pemira tahun ini juga menimbulkan pertanyaan, sudahkah lembaga mahasiswa mewakili kepentingan mahasiswa?
Hal inilah yang kemudian memunculkan stigma dalam masyarakat kampus bahwa memang kampus ini dikuasai rezim tarbiyah. Menurut Arif Saputra, Wapres BEM STAN periode 2009-2010, memang ada beberapa pos yang saat ini diisi oleh orang-orang tarbiyah dan ada juga pos yang diisi orang nontarbiyah. Jadi, tidak bisa dibilang juga bahwa sistem kemahasiswaan di STAN benar-benar ‘dikuasai’ oleh orang-orang tarbiyah. Galuh Chandra Wibowo, ketua IMP STAN, memberikan alasan lain mengenai hal tersebut, “Orang-orang yang aktif di organisasi kemahasiswaan memang kebanyakan tipikal dan ideologinya seragam, mulai dari level HMS sampai eksekutif. Namun, hal ini masih belum mengarah bahwa peta kemahasiswaan ini dipegang oleh orang-orang berlatar belakang tarbiyah,” ujar Galuh. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di kampus STAN juga terdapat OMEKOMEK yang hingga kini masih eksis walaupun geliatnya tidak seintens OMEK-OMEK di kampus-kampus negeri dan swasta lainnya. Namun, apakah itu masih sesuai dengan regulasi yang ada di kampus? Menurut Arif, keterlibatan OMEK dalam kegiatan kemahasiswaan sah-sah saja, asal visi dan misi yang disusung tidak bertentangan dengan peraturan kampus dan negara, serta mengadakan kegiatan yang bermanfatan bagi mahasiswa secara umum. Mengenai posisi OMEK, idealnya mereka tetap berada di luar sesuai tujuan gerakan mereka. “Posisi OMEK harus tetap diluar, sehingga mempunyai ruang gerak yang lebih luas, serta tetap mempunyai daya juang dan independensi yang tinggi dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi rakyat”, terang Arif. Namun, menurut Galuh, pengaruh OMEK dalam kampus STAN masih dirasa kurang. “KAMMI masih jarang disini, kebanyakan yang terlihat lembaga-lembaga yang bersifat agamis seperti HTI, Syalafi, HMI juga gak begitu keliatan disini.” Hal ini juga diakui Sukmawan, mahasiswa tingkat II Akuntansi Pemerintahan, kurang riuhnya partisipasi OMEK di
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
kampus dapat disebabkan beberapa hal, seperti sistem DO yang membuat mahasiswa tidak bisa all out dalam kegiatan dan organisasi mahasiswa intra dan ekstrakampus. Di sisi lain, bisa dikarenakan sistem organisasi kemahasiswaan yang ada menyulitkan OMEK-OMEK lain untuk eksis di dalam kampus. Tentunya keadaan ini membuat eksistensi OMEK secara gerakan dinilai kurang sehingga geliat politik kampus pun terasa kurang dinamis.
Pendapat lainnya, sebagian mahasiswa merasa dominansi politik kemahasiswaan di STAN tidak menjadi masalah selama mereka tidak membawa kepentingan golongan dalam kegiatan kampus. Seperti yang diungkapkan Asri Kusuma Wardhini, mahasiswi tingkat III Akuntansi Pemerintahan. “Tidak masalah mereka itu tarbiyah, mereka itu marhaen, ataupun sosialis, selama yang dibelanya adalah kepentingan mahasiswa, bukan lagi berbicara golongan,” ujarnya singkat. Format ke Depan
Menurut Drs. Andik Matulessy, Msi., Psi., dalam disertasinya, variabel politik dan variabel psikologis memiliki pengaruh besar dalam partisipasi politik mahasiswa. Hal ini tentunya harus ditunjang dengan bekal pemahaman politik kepada mahasiswa baru agar mereka tidak salah mengartikan makna politik itu sendiri. Pengetahuan politik yang memadai dan positif akan menjadi dasar kuat bagi mahasiswa untuk melakukan kontrol politik secara benar dan positif. Mahasiswa memiliki kewajiban akademis yang jelas, tapi mahasiswa juga dituntut mampu dan peka memahami persoalan lain di masyarakat. Sedangkan pemahaman politik yang sempit akan menumpulkan keinginan untuk mengadakan perubahan politik yang lebih baik di negara ini. Keinginan yang kurang untuk berpartisipasi politik akan mengarahkan pada identitas yang lemah sebagai warga negara yang wajib berpartisipasi dalam kegiatan politik nasional. Hal ini juga diakui oleh Arif, bahwa pemahaman politik yang positif perlu diberikan pada mahasiswa untuk membuat perubahan dalam instansinya nanti. “Pendidikan politik positif perlu didapat oleh mahasiswa STAN, terutama kedudukan politik dalam dunia birokrasi, bukan politik praktis apalagi pragmatis,” tegasnya. Sekarang, tinggal bagaimana membangun sinergi pergerakan mahasiswa ke depan. Semua ini berpulang kembali pada para penggerak gerakan, bagaimana mereka menerima perbedaan dalam ideologi yang dianut, bagaimana mereka tetap memfungsikan diri sebagai wadah penyalur aspirasi. Dan anda semua, terlibat di dalamnya.
[Yudha Hari Subagyo dan M. Ilham Syauqi]
17
wawancara
Anies Baswedan, Optimisme yang Harus Tertularkan
internet
18
Mengenai pendidikan di tingkat perguruan tinggi Indonesia, apa masalah yang paling krusial? Banyak ya. Ada tiga tema besar. Accesibility, affordability, quality. Tiga ini, idealnya diselesaikan bersamaan. Apa itu accesability? Bahwa pendidikan bisa diakses oleh siapa saja. Yang kedua, affordability. Bisa terjangkau oleh siapa saja. Dan yang ketiga, berkualitas. Sehingga, kalau orang masuk pendidikan, maka sebelum masuk dan sesudah masuk akan mengalami lonjakan kompetensi yang tinggi. Nah, dari ketiga unsur ini belum terfasilitasi secara optimal. Apa penyebab utamanya?
Setiap tahun, kalau tidak salah ada sekitar 2,8 juta orang yang mendaftarkan ke perguruan tinggi. Lalu, hanya sekitar 1,1 (juta) yang diterima. Berarti, itu ada masalah kapasitas. Yang mau daftar banyak, tapi yang mampu diterima hanya sedikit. Dari 1,1 juta ini, yang diterima di universitas yang terjangkau, lebih sedikit lagi. Saya ingin memberikan gambaran, betapa pentingnya universitas atau perguruan tinggi di Indonesia berperan sebagai eskalator mobilitas sosial untuk rakyat kebanyakan. Bisa dijelaskan mengenai eskalator mobilitas sosial?
Nama lengkapnya Anies Rasyid Baswedan. Namanya sering disebut saat isu seputar kriminalisasi KPK alias Cicak vs. Buaya sedang hangat, sebab dia menjadi salah satu anggota Tim Delapan. Saat masih mahasiswa, Anies adalah ketua senat mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Kini, lelaki kelahiran 7 Mei 1969 ini sudah menjadi rektor Universitas Paramadina. Menerima Civitas dalam satu kesempatan, Anies berbicara mengenai pendidikan di Indonesia, gagasannya, serta optimismenya.
Ketika Republik merdeka tahun ’45, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, itu di mana-mana ada. Lalu, apa yang dikerjakan pemimpin awal? Dibuatlah SMA di setiap kabupaten di Indonesia. Tapi, membangun SMA itu kan bukan soal bangunannya. Siapa yang mengajar? Lalu, mahasiswa dikirim, namanya PTM, Pengerahan Tenaga Mahasiswa, untuk ikut mengajar. Tahun ’50-an itu. Dan tahun ’60-an, terjadi ledakan jumlah mahasiswa. Tidak pernah ada dalam sejarah Republik ini, jumlah mahasiswa sebanyak itu. Kenapa bisa terjadi? Karena dibangun SMA di seluruh kabupaten.
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa ini, the son and the daughter of nobody, bisa menjadi mahasiswa. Baru di tahun ‘60-an, orang-orang yang bukan anak siapasiapa, bisa menjadi mahasiswa. Orang-orang ini, kemudian lulus dan masuk dunia kerja. Awal tahun ‘80an mereka menjadi kelas menengah pertama Indonesia yang diciptakan oleh negara melalui pendidikan. Kelas menengah itu indikasinya apa? Mandiri. Itu yang paling sederhana. Kalau Anda sakit masih ke puskesmas, you are not independent yet. Kalau Anda masih mengirimkan anak Anda ke SD inpres, you are not independent yet. Kalau di-trace, kelas menengah di
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Jakarta ini, 40 tahun yang lalu mereka pasti juga bilang,”Saya juga bukan siapasiapa.” Pendidikan itu menjadi eskalator, karena itu mereka terbawa naik ke atas, hanya karena pendidikan. Dan itu Anda lihat dari fenomena mudik. Memangnya ada, tahun ’60-an mudik? Nggak ada! Why? Belum ada kelas menengah yang dari udik. As simple as that! Karena kelas menengah yang ada adalah kelas menengah kota. Setelah ada mobilitas vertikal itulah, terbentuk kelas menengah baru. Rumahnya di mana? Di kampung sana. Nah, pertanyaannya, bisakah pola ini diteruskan? Saya takut itu nggak bisa. Jadi?
Cara pandang terhadap biaya pendidikan harus kita ubah. (Pandangan selama ini adalah) Pendidikan itu mahal. Nah, cara tradisional, bebankanlah pada mahasiswa. Kan Anda memanfaatkan jasa ini, maka bayarlah. Teknisnya seperti apa? Kita menggunakan cara perbankan untuk memberikan uang modal. Biaya modal ini, kalau Anda pinjam 10 juta, kembalinya bisa 13 juta, 14 juta. Nah, kalau orang pinjam modal harus bayar biayanya di awal, siapa yang bisa pinjam? Cuma orang yang punya uang. Itulah cara pendidikan kita. Anda ingin pendidikan kan? Oke, bayar nih di muka. Ya nggak jalan. Nggak ada yang bisa terjadi.
Gagasan saya, semua orang yang sudah mendapatkan manfaat perguruan tinggi, bayar balik. Saya sekarang ini tidak mungkin bisa sekolah sampai S2, S3, kalau dulu saya nggak sekolah di UGM yang harganya Rp97.000 per semester. Saya dibayari negara. Gagasan saya, setelah orang bekerja 10 tahun pertama, mulai dia bayar balik ke universitas. Senilai biaya hari ini. Jadi, tanggung jawab saya, memberi beasiswa minimal ke satu anak, berarti lunas tanggung jawab saya.
Anda tahu, berapa orang yang sekolah di jam ini (sekitar pukul 11.30)? 46 juta orang. Terus kita mau minta pada negara, seluruhnya diongkosi? Ya nggak mungkin! Perguruan tinggi bisa melakukan cara lain. Kalau mereka cuma minta pada negara, manja! Kalau SD di ujung Rejang Lebong sana minta pada negara, namanya wajar. Tapi, sebuah universitas yang punya lembaga riset, punya profesor dan doktor, dan masih hanya telepon minta pada negara, malas itu! Contoh, berapa penduduk Indonesia pada saat merdeka? 70-an juta. Sekarang 240 juta. Negara disuruh menanggung konsekuensi dari ekspansi sebesar itu? Nggak mungkin! Kita tanggung jawab. Rakyat yang menduplikasi jumlah sebegitu besar. Aneh nggak kalau kita impor beras? Ya nggak aneh. Apa jumlah sawah tambah banyak? Tidak, kan? Tapi, kita marah. Kalau impor beras, mahasiswa pasti marah. Tapi lihat, berapa yang harus kita beri makan? Masih mengenai pendidikan, bagaimana mengenai pendidikan yang mengedepankan IPK?
Kalau akademik, penilaiannya memang harus pakai angka. Tetapi, penilaian kinerja seorang mahasiswa, bukan hanya akademik. Saya dengan senang hati adu argumen dengan siapa pun yang mengatakan bahwa angka adalah satu-satunya tolok ukur kinerja mahasiswa. Saya berani katakan,”Your high GPA (Grade Point Average) will get you a job interview, titik. Cuma sejauh itu?
(mengangguk) It is your leadership, that get you the job! Secara umum, apakah sistem pendidikan tinggi di Indonesia sekarang ini sudah mengarah ke pembinaan leadership seperti itu?
Belum. Kebanyakan masih menganggap
IP sebagai faktor yang paling utama. Menurut saya, IP tinggi itu penting. Kalau IP tidak cukup, Anda tidak bisa daftar beasiswa. Tapi, jangan nganggur. Kalau IP Anda tinggi, memenuhi syarat beasiswa, tapi nggak ngapa-ngapain, itulah orang-orang yang merugi. Kalau IP memenuhi syarat, dan ada aktivitas penunjang, that, you have the equipment. IP itu yang mengetuk pintu. Tapi, setelah masuk ruangan (kerja), apa yang Anda kerjakan tidak berbasis IP. Saat berkarir, Anda tidak akan ditanya berapa IP Anda. Yang ada adalah, “Apa yang bisa anda kontribusikan?”. Nah, kontribusi ini ditentukan oleh kompetensi.
Leadership itu penting. (Kemampuan) Negosiasi, persuasi. Itu didapat dari ruang kelas? Tidak. SD lulus, ke mana? Masuk SMP. SMP lulus ke SMA. SMA lulus ke perguruan tinggi. Perguruan tinggi lulus? Nah, see! Kita lupa, hanya karena fase-fase yang selama itu (SD—SMA) selalu mengandalkan nilai, seakan-akan sesudah universitas juga masih mengandalkan nilai. Analogikan bahwa Anda akan memasuki dunia baru itu seperti masuk ke samudra besar. Anda mau belajar berenang setelah di samudra, atau saat masih di kolam renang kecil? Kalau saya jadi Anda, saya belajar di kolam renang kecil. Kenapa? Tekanan airnya terkontrol, ombak terkontrol, kedalaman juga. Sekarang, pilihannya adalah, Anda mau belajar ‘renang’ ketika masih menjadi mahasiswa atau nanti? Kalau, misalnya, sudah ada mindset dari perguruan tinggi bahwa kompetensi nonakademik mahasiswa tidak terlalu perlu dikembangkan, mengingat mahasiswanya memang sudah disiapkan untuk menjadi tenaga tertentu?
Anda bisa cek ke alumni STAN, kirakira kepemimpinan diperlukan tidak? Kemampuan organisasi, manajemen, persuasi, diperlukan tidak? Diperlukan.. Mungkin tidak, Anda hanya menjadi teknisi akuntan saja? Dalam karir awal, itu (kompetensi akademik) diperlukan. Tapi, dalam perjalanannya, itu tidak cukup. Sebaliknya, kalau Anda hanya punya kemampuan organisasi di awal, Anda juga tidak bisa apa-apa, karena kompetensi profesi tetap dibutuhkan. Saya yakin, alumni-alumni STAN yang menonjol tidak hanya kuat dalam teknis, tetapi juga kemampuan
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
networking, negosiasi.
Kalau masyarakat Indonesia strukturnya lengkap, pendidikan tinggi bisa menjadi semata-mata penyedia tenaga kerja. Tapi, selama Indonesia masih memerlukan agen-agen perubahan untuk membangun, maka diperlukan pelibatan perguruan tinggi yang lebih dari (sekadar) penyedia tenaga kerja. Pandangan Bapak terhadap pendidikan Indonesia, katakanlah sekitar sepuluh tahun lagi?
Begini, saya melihat sekarang ada kesadaran yang cukup besar. Mulai muncul kesadaran tentang pentingnya kualitas, pentingnya capability. Mudahmudahan ini mempunyai efek yang positif. Kemudian, yang kedua adalah Indonesia di kancah internasional. Menurut saya, semakin hari semakin dominan, dan salah satu sebabnya karena anak-anak muda Indonesia lebih terdidik. Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, kita bisa semakin cepat. Dan Indonesia ini bangsa yang tangguh, sangat tangguh dan ulet. Kita harus membangun perasaan yang positif tentang bangsa. Yang sering adalah kita, (punya) perasaan negatif tentang Indonesia. Apalagi media, menggandakan semangat yang pesimistik. Padahal lihat, achievement pendidikan. Pada saat kita merdeka, tingkat buta huruf itu 95% dan sekarang 5%. Itu kerja kolektif seluruh bangsa.
Kita lebih suka berbicara tentang problem daripada keberhasilan. Nah, ini menjadi masalah. Pemimpinpemimpin Indonesia, termasuk kampus-kampus, itu harus berbicara tentang optimism. Itu menular. Karena bangsa ini tumbuh dengan optimisme. Coba anda hidup di masa (awal kemerdekaan) itu, kemiskinan, kebodohan, buta huruf di manamana. Tapi, kita menyatakan bahwa kemerdekaan ini adalah jembatan emas menuju rakyat adil dan makmur. Mereka memiliki seluruh persyaratan untuk pesimis, tapi mereka memilih untuk optimis. Kemudian ribuan orang, mau mati untuk optimisme itu. Jadi, tetap ada optimisme untuk sepuluh tahun ke depan? Sangat . Sangat optimistis.
[Tulad Peni Kharisma, Agustina Rahayuningtyas, Fauziyyah Arimi]
19
ekonomi
Mengawetkan Uang bahwa model ekonomi global telah gagal dan sistem uang kertas telah mati. Pernyataan tersebut kemudian diamini oleh beberapa ilmuwan Barat beberapa waktu kemudian. Sementara itu, setahun sebelum Kurtzman menerbitkan buku tersebut, di Eropa, Prof Dr. Umar Ibrahim Vadillo telah memberi solusi, yakni mencetak kembali dinar dan dirham di Granada Spanyol, pada tahun 1992.
20 internet
Sebagai calon pegawai negeri, ke manakah harus melangkah untuk memupuk kekayaan dengan cara yang legal dan halal? Atau minimal, sekadar mempertahankan nilai intrinsik kekayaan untuk kebutuhan masa depan yang penuh spekulasi? Sayangnya, kini, sistem keuangan yang menggunakan uang kertas sudah terlihat makin rapuh. Hal tersebut tampak dari daya belinya terhadap emas yang semakin turun. Salah satu contohnya, cincin emas 22 karat ditaksir dengan harga Rp2 juta pada tahun 2005, padahal perhiasan tersebut bernilai Rp 400.000,00 pada tahun 1995. Dengan demikian, dalam waktu sepuluh tahun, daya beli uang kertas turun hingga 20%nya. Kenaikan nilai emas ini berarti pula penurunan daya beli uang kertas terhadap definisi uang yang sebenarnya, yakni emas. Penyebab kunci harga emas yang semakin naik tidak lain karena salah satu setan kembar dalam
sistem perekonomian dewasa ini. Inflasi, inilah yang secara bertahap menurunkan nilai tabungan uang kertas di bank. Kecenderungan masyarakat pun bergeser. Menabung di bank bukanlah suatu solusi jangka panjang dalam mempertahankan kekayaan karena inflasi akan menggerogoti nilai uang itu.
Masyarakat awam cenderung untuk berpikir kembali mengenai jenis investasi apakah yang aman bagi orang kebanyakan dan dapat menjaga kekayaan. Tentunya setiap orang yang telah bekerja keras atau berbisnis akan berupaya membuat hasil usahanya awet tak dimakan masa. Hal tersebut harus dipertimbangkan karena uang yang tersedia sebagai alat pembayaran sangat rawan terhadap inflasi. Jika ingin menjaga harta, hasil usaha atas perputaran uang harus disimpan agar terjaga keaslian nilai intrinsiknya.
Joel Kurtzman dalam bukunya yang berjudul The Death of Money (Boston: Little Brown, USA 1993) menyebutkan
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Artikel ini tidak akan membahas bagaimana culasnya sistem perekonomian sekarang di mana kekayaan dunia bisa saja dikuasai oleh segelintir kelompok yang mempunyai kendali perekonomian. Sistem uang kertas yang secara intrinsik tak bernilai masih dipakai, tapi tidak menutup kemungkinan akan semakin rapuh hingga sistem uang lain bisa lebih berkembang. Sistem lain tersebut bisa saja dalam bentuk uang digital, suatu sistem keuangan yang sekarang sudah mulai menyebar dalam perekonomian dunia. Dengan semakin pesatnya teknologi informatika yang memudahkan orang dapat membeli barang melalui internet, uang digital mulai membangun kekuatannya. Dan bisa jadi pula, sistem uang ini akan lebih kejam dari uang kertas karena tanpa ada bentuk uang dengan nilai intrinsiknya secara kasat mata. Polling yang dilakukan dengan sampel sebanyak 30 orang mahasiswa DIII STAN menunjukkan bahwa 24 responden menyatakan mereka mempunyai niat untuk menjaga hartanya dalam bentuk emas dan/ atau dinar ketika disodori pertanyaan tentang investasi di emas dan/ atau dinar. Dua orang lainnya menyatakan ingin menjaga hartanya dalam bentuk tanah atau properti. Berdasarkan kuisioner tersebut dan dengan didukung oleh jawaban atas pertanyaan lainnya, dapat disimpulkan
bahwa mahasiswa STAN sebagai calon pegawai negeri sipil mempunyai kesadaran untuk menjaga hartanya dari ancaman kerapuhan sistem ekonomi dunia yang akan rumit apabila dijelaskan dalam artikel ini. Ada pula responden yang menganggap dinar sebagai sesuatu yang masih asing dan identik dengan suatu bangsa tertentu sehingga belum merasa tertarik untuk memilikinya. Menyimpan harta dalam aset tetap dapat berupa tanah kosong, tanah dan bangunan, bangunan, atau emas. Ketika membeli tanah, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan seperti apakah sertifikat tanah tersebut ganda. Birokrasi di Indonesia masih memungkinkan diterbitkannya sertifikat ganda atas tanah dan keduanya sah secara hukum. Di samping itu, bila membeli tanah kosong, perlu memperhatikan pula bagaimana cara mengamankannya dari penghuni liar yang datang begitu saja dan menempati tanah tersebut jika tanah itu hanya akan didiamkan. Alangkah baiknya jika tanah tersebut diproduktifkan sehingga tidak mengundang penghuni liar. Tata kota sekitar tanah juga harus menjadi perhatian calon pemilik tanah. Bisa saja tiba-tiba tanah atau sekitar dijadikan tempat pembuangan sampah karena kebijakan pemerintah terhadap tata letak kota. Hal itu akan membuat harga tanah jatuh. Dengan demikian, pengamatan yang jeli akan letak tanah sangat dibutuhkan sebelum memutuskan untuk membelinya.
Selain tanah, investasi pada properti juga cukup diminati. Properti itu dapat berupa kondominium, rumah hunian, town-house, apartemen, atau pun perkantoran dan ruang usaha.
Membeli Emas Menyimpan dana dalam bentuk emas adalah cara tradisional masyarakat Indonesia sejak dulu. Kini, cara ini masih sangat diminati karena nilai emas kuat dan tidak terpengaruh inflasi. Emas yang dimaksud dapat berupa emas batangan, koin, dinar, atau pun emas perhiasan. Namun, emas perhiasan kurang cocok dijadikan sebagai aset investasi karena ada penurunan nilai akibat biaya proses pembuatan dan peleburannya. Jika tertarik pada emas, sebaiknya membeli yang berkadar 22 sampai dengan 24, bukan emas muda (18 karat), karena emas murni lebih mudah dijual kembali. Selain itu, membeli emas dengan satuan gram yang kecil akan lebih berguna ketika membutuhkan dana sewaktu-waktu untuk ditukarkan dengan mata uang yang dibutuhkan. Kesadaran untuk memiliki emas semakin meningkat. Kini, bukan hanya emas yang dicari. Dinar, mata uang emas masa silam di Timur Tengah telah dijualbelikan tapi hanya sebagai komoditas investasi. Perekonomian dunia memang belum menjadikan emas sebagai alat pembayaran yang sah. Dengan demikian, dinar akhirnya hanya sebagai komoditas investasi. Untuk mendapatkan dinar, Anda dapat datang ke wakala, gerai, atau agen dinar yang Anda percaya. Harga dinar fluktuatif, berubah tiap enam jam sekali. Kini, 1 Dinar setara dengan Rp1.501.070,00 (per Kamis, 8 Juli 2010, pukul 00.30). Dinar yang beredar di pasar dan banyak digunakan adalah dinar yang terbuat dari emas 22 karat dengan berat 4,25 gram. Dinar tersebut diproduksi oleh PT. Aneka Tambang (Antam) yang
merupakan perusahaan negara. Jika Anda membeli dinar, maka Anda juga akan dipungut PPN,ini tidak berlaku jika Anda membeli emas batangan. Untuk menukarkan dinar dengan uang, Anda dapat melakukannya di tempat membelinya atau di toko mas.
Emas atau dinar umumnya digunakan pula sebagai tabungan bagi keperluan dalam jangka waktu lebih dari satu tahun. Misalnya saja, untuk biaya naik haji. Menabung untuk biaya haji melalui emas akan mempercepat pencapaian nilai yang diinginkan daripada menyimpannya dengan bentuk uang kertas, sekali lagi karena emas memiliki nilai intrinsik yang kuat.
Di lingkungan STAN sendiri, Dino Yudha Anindhita, mahasiwa DIV STAN, sudah mencoba merintis bisnis sebagai agen dinar. Menurut keterangannya, selama ini yang menjadi pembelinya adalah temanteman DIV, baik dengan tunai maupun dengan sistem arisan dinar. Kalangan ibu rumah tangga juga telah menjadi konsumennya.
Jadi, mengapa tidak mencoba untuk menjajal merencanakan keuangan dengan memiliki komoditas bernilai intriksik kuat sebagai upaya mempertahankan nilai kekayaan uang, daripada hanya memiliki tumpukan uang kertas yang semakin turun nilainya? Tentu saja, pilihan ada di tangan Anda, karena tidak ada pilihan yang salah. Hanya saja, tiap pilihan mengandung konsekuensi. Semoga ini bisa memberi pemahaman, bekal tambahan tentang cara mengolah gaji nanti.
[Nurhidayati]
internet
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
21
politik telah disepakati bersama. “Dengan terjadinya kasus ini, dapat dikatakan bahwa Demokrat tidak bertanggung jawab atas tidak bertanggung jawabnya Andi Nurpati. Nurpati akan menjadi objek yang lebih disudutkan karena dia harus menghadapi Dewan Kehormatan KPU, sedangkan partai Demokrat tidak ada aturan internal apapun,“ terangnya lagi.
internet
Dewan Keamanan (DK) KPU berfungsi dalam menegakkan kehormatan KPU. Agar DK bisa melakukan tugas itu, DK juga harus punya kehormatan. Salah satu indikasi kehormatan DK ini adalah tegas dalam membuat keputusan. Jika keputusan tidak tegas dan berbelit-belit, sama saja DK tidak kredibel. Dengan kata lain, DK menjadi tidak terhormat karena nilai yang sesungguhnya tidak berani disebutkan. “Jangan sampai ada nuansa kepentingan politik yang bermain dalam kasus ini,” tandas Arbi lagi.
Politisi vs Negarawan: Serupa Tapi Tak Sama
Nilai-nilai Publik
Pengamat politik sekaligus Ketua DPP PAN, Bima Arya, juga memberikan pandangannya. “Sebenarnya kasus ini melanggar dua hal,” jelasnya.
22 internet
Pertama, aspek perundangundangan, karena dalam hal ini tidak ada celah untuk anggota KPU bisa mundur. Pintunya hanya ada dua, yakni berhalangan tetap dan
tidak dapat menjalankan tugas lagi sebagaimana mestinya. Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa jika ingin menjadi pengurus parpol, seorang anggota KPU boleh mundur. Dengan demikian terjadi pelanggaran UU, yang bisa memunculkan preseden tidak baik untuk masa depan. Untuk ke depannya, tentu semua berharap tidak akan terjadi lagi hal seperti ini. Yang kedua adalah aspek nilai yang ada pada publik. “Katakanlah kita berbaik sangka bahwa Andi Nurpati tidak ada kaitan apa-apa dengan Demokrat terkait dengan proses pemilu. Namun, kemudian publik lantas bisa menduga bahwa ada suatu proses balas jasa Demokrat terhadap Andi Nurpati. Sebenarnya sulit dibuktikan, tapi pradugapraduga seperti ini menimbulkan legitimasi, tidak saja terhadap Demokrat, melainkan juga terhadap KPU,” tambahnya lagi.
Memang setiap warga negara punya hak untuk memilih dan dipilih, tetapi ada juga aturan-aturan lain yang membatasi dalam kondisi tertentu dan hal tersebut masih terbilang sah-sah saja. Misalnya, hak memilih tidak diberikan kepada TNI dengan pertimbangan yang lebih besar tentunya. Anggota KPU pun begitu, ada konsekuensi yang terbawa, dalam artian dengan menjadi pejabat publik—yang tugasnya terkait dengan posisi yang independen dan mandiri—tentu harus dijaga dengan baik sehingga kemudian tidak luntur
dan mempengaruhi kinerja lembaga. Undang-Undang perlu di-review kembali
Kemudian, ada usul agar ada aturan yang jelas bahwa anggota KPU tidak boleh berhenti sebelum menyelesaikan masa jabatannya dan jika ingin menjadi politisi partai paling tidak harus menunggu satu kali penyelenggaraan pemilu. “Hal ini dirasa tepat untuk mencegah dijadikannya KPU sebagai lembaga untuk lompatan karir politik berikutnya,” tutur Bima.
Arbi juga menuturkan bahwa masyarakat Indonesia ibarat setan perundang-undangan. UU salah, tapi masih tetap dijalankan juga. Rakyat hanya menjadi alat—mesin UU, padahal idealnya rakyat mampu memanusiakan dirinya terhadap UU. “Oleh karena itu, UU memang harus gamblang menjelaskan dengan pasti, apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan,” tandas Arbi kembali. Faktanya, bangsa ini memang belum sanggup kehilangan sosok negarawan, sehingga terasa ada bagian yang pincang dalam birokrasi dan dunia perpolitikan. Menengok kembali niat awal acap luput dari perhatian. Ya, sekali lagi, jangan sampai kita kehilangan figur negarawan sejati.
[Muwardhani Wahyu Utami]
Tertarik menjadi politisi? Satu pesan yang harus dijaga dengan baik. Hati-hati. Banyak pihak yang berlomba menjadi politisi. Entah itu dari kalangan pengusaha, akademisi, ahli hukum, bahkan dari profesi artis sekalipun. Posisi tawar seorang politisi tentu bukan hanya dengan modal nekat, melainkan butuh mental tahan banting untuk bisa bertahan dari pembelokan niat. Politisi seyogianya mengedepankan kepentingan publik, bukan? Merekalah yang kemudian bisa diharapkan sebagai seorang negarawan tulen—walaupun tipe politisi seperti ini relatif sulit ditemui. Sayangnya, tidak semua dari mereka yang terjun di dunia politik punya niat demikian. Bukan Lagi Negarawan
Politisi yang hanya mengejar kekuasaan karena kepentingan pribadi dapat merusak segala hal, termasuk
kepentingan institusi. Adapun negarawan seharusnya menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan kepentingan publik atau rakyat.
Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, ketika dihubungi saat ditanyai pendapatnya terkait dengan posisi seorang politisi, menyatakan bahwa cacatnya seorang politisi telah membuat statusnya mencacatkan posisinya sebagai seorang negarawan. Banyak peristiwa dunia politik yang semakin membingungkan. Misal saja kasus yang baru-baru ini mengaitkan nama Andi Nurpati, anggota KPU yang kemudian dilamar oleh Partai Demokrat sebagai Kepala Divisi Komunikasi Publik. “Jelas tidak etis, tidak menggambarkan tanggung jawab,” jelas Arbi. Arbi pun
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
masih kukuh bahwa hengkangnya Andi Nurpati dari KPU jelas tidak mengacuhkan keseimbangan antara hak dan kewajiban. “Seharusnya jika Andi Nurpati memang mau berpolitik, jangan gunakan haknya di KPU, tapi pakai saja haknya untuk berpolitik sehingga tanggung jawabnya di KPU tidak telantar. Ketika melamar jadi anggota KPU dia menggunakan haknya, tapi setelah diterima jadi anggota KPU dia meninggalkan kewajibannya di tengah jalan ,” lanjut Arbi. Arbi menambahkan bahwa setiap partai berhak merekrut siapa saja menjadi pengurus partai, tapi harus ada tanggung jawab yang mengikat, jangan sampai merusak tatanan yang ada, jangan sampai mengacaukan administrasi institusi. Jika dilanggar, maka ibaratnya terjadi kesewenangwenangan terhadap aturan yang
UU Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Bab III Komisis Pemilihan Umum Bagian Keempat Persyaratan Pasal 11 a. tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurangkurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan; b. tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri; c. bersedia bekerja penuh waktu; dan d. bersedia tidak menduduki jabatan di
pemerintahan dan badan usaha milik negara (BUMN)/ badan usaha milik daerah (BUMD) selama masa keanggotaan. Bagian Kelima Pengangkatan dan Pemberhentian Paragraf 5 Pemberhentian Pasal 29 (1) Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berhenti antar waktu karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. (2) Diberhentikan sebagaimana dimaksud pada (1) huruf c. apabila: a. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan/ atau kode etik; c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan secara berturut-turut
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
selama 3 (tiga) bulan atau berhalangan tetap. d. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; e. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana Pemilu. f. tidak menghadiri rapat pleno yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas; atau g. melakukan perbuatan yang terbukti menghambat KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dalam mengambil keputusan dan penetapan sebagaimana ketentuan peraturan perundangundangan.
23
24
sastra Satu Cerita tentang Cerita yang Tak Pernah Kuceritakan Sebelumnya oleh : Pringadi Abdi Surya
Sebab tidak pernah ada yang tahu aku mampu kembali ke masa lalu dan mengubah segala hal yang keliru itu. Aku berada dalam ruang sempit bercat dinding serba putih. Hanya ada sebuah kasur yang sedang kutiduri dan sebuah meja kosong yang tiap tiga kali sehari akan terisi dengan beberapa menu yang membosankan seperti bubur putih saat pagi dan makan malam dengan acar mentimun. Satu kali sehari, seorang dokter akan datang dan menanyakan beberapa hal yang itu-itu saja seperti perihal keluarga dan teman-teman yang tak ingin aku ucapkan sejak kematian Alina, entah sudah berapa tahun yang lalu. Permasalahan hari dan tempat memang rumit. Aku bisa tiba-tiba saja berada di sebuah kelas menggambar, di sebuah mall, di sebuah ruang ujian, di sebuah stasiun kereta api pada tubuh dan waktu yang berbeda-beda. “Di mana?” tanyaku marah kepada dokter itu. Setiap kunjungannya selalu saja tangan dan kakiku diikat. Sepertinya dia takut dan khawatir kalau-kalau aku kembali memukulnya, tepat di bagian pipi sebelah kanan saat pertanyaan yang sama kuajukan sudah berulang-ulang. “Apanya yang di mana? Album fotomu?” “Ya, kalian pasti menyembunyikannya. Kalian pasti tidak ingin aku kembali ke masa lalu dan memperbaiki semua ini. Aku tidak gila. Aku tidak seperti yang kalian kira. Aku hanya ingin Alina hidup kembali!” ***
“Ceritakan satu hal tentangmu yang tidak pernah orang lain tahu, Kum.” “Apa dengan ini kau akan menerimaku, Lin?” “Ayolah, anggap saja ini hadiah ulang tahunku yang ke-17!” “Tapi kau mau jadi pacarku, kan?” “Kalau hal itu bisa bikin aku terkejut, tentu aku akan menerimamu.” “Aku bisa mengubah masa lalu...” “Apa?! Kau tidak sedang mengigau kan?” “Baru saja kau terkejut...” Bahkan Tuhan pun tak mampu mengubah masa lalu, bukan? Itulah alasan kenapa semua orang yang kukenal tidak mempercayaiku dan setiap orang yang berkata telah mempercayaiku akan memiliki hidup yang tidak mengenakkan. Aku lupa kapan pertama kali aku melakukannya— kembali ke masa lalu. Tidak, tidak, aku tidak semata-mata kembali dalam sosokku yang saat ini ke saat itu, tetapi kesadarankulah yang kembali ke dalam tubuhku yang lalu. Caranya mudah dan tidak terduga. Album foto. Ya, cukup dengan melihat sebuah foto dan berkonsentrasi terhadap
momen itu, tiba-tiba buuumm, seperti sulap, aku akan berada di sana, di momen sebelum terjadinya foto itu diambil. Tentu, ini seperti sebuah fiksi, sebutlah aku pengarang jenius, pengkhayal tingkat tinggi, atau orang gila seperti yang sekarang divoniskan kepadaku. “Kau sinting!” Alina menertawakanku. “Empat tahun lalu seharusnya kau tertabrak mobil. Dan meninggal. Tetapi aku kembali ke masa itu, dan aku tahu kau akan menyeberang jalan di pukul sembilan, sebuah mobil truk pengangkut air yang sopirnya mengantuk akan berjalan dengan kecepatan kencang lalu menabrakmu. Aku mengikutimu dan aku menyelamatkanmu!” “Jadi seharusnya aku sudah meninggal sekarang? Begitukah?” tanya Alina masih sambil tertawa. “Kau yang tidak tahu betapa aku merasakan kehilangan, Lin. Aku... aku hampir gila karenanya.” “Sekarang kau lebih tampak seperti orang gila dengan cerita-ceritamu itu, Kum!”
*** Persoalan ini sebenarnya tidaklah serumit benang kusut. Satu kali kau temukan pangkal permasalahan lalu kau mempercayainya, selesai sudah masalah itu. Sejak kapan Alina tiba-tiba sudah berpacaran dengan laki-laki lain yang berpura-pura mengirimkan sepotong senja ataupun sepotong bibir yang katanya paling indah di dalam sebuah surat. Bah! Bibir cuma bisa berbicara. Sementara senja tak ubahnya lanskap cengeng yang sok-soknya menguras airmata. Mampu kembali ke masa lalu itu jauh lebih keren dari semua itu. Bayangkan kalau kau bisa mengubah segala hal yang kira-kira tak terjadi dengan semestinya, dengan mengetahui seluk beluk duduk perkara, duh, bahkan ujian naik kelas pun bisa mendapat hasil sempurna, bukan? Bisa sok-sok pahlawan dengan berpura-pura meramalkan kematian, bencana alam, ataupun teror-teror bom yang meluluhlantakkan gedung tinggi pun kepercayaan? Huh! Alina mungkin saja tidak ingat ketika pertama kali bertemu ia begitu tak mampu berpaling dari sisiku. Alina memang murid pindahan. Sebagaimana lazimnya murid pindahan, Alina tidak pandai bergaul. Ia anak yang pendiam dan malu-malu. Suatu hari saat ada ulangan Matematika, Alina tampak gelisah. Aku perhatikan ia sedang mencoba menghapus jawabannya di kertas dengan ujung pensil. Alina lupa bawa penghapus. Tentu sebagai lelaki sejati, penghapusku aku bagi dua, sebelah untuknya. “Terima kasih, Kum,” ucapnya waktu itu. Kata ‘terima kasih’ pertama yang aku dengar dari mulutnya bahkan dari semua orang yang sepertinya sudah lupa caranya mengucapkan terima kasih. Sampai sekarang, Alina masih memanggilku dengan ‘Kum’ saja. Padahal Sakum namaku.
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
“Kau yang tidak pernah mengerti caranya hati digunakan, Kum...” Alina menatapku dalam. Kesekian kali kami berdebat tentang perasaan. Kali ini kukatakan kepadanya bahwa Sukab sialan itu tidak lebih dari playboy murahan. Alina marah. “Kau cuma cemburu, Kum,” lanjut Alina lagi. Aku kehabisan kata-kata untuk menjelaskan hal ini. Terutama untuk kata yang terakhir itu, aku tidak bisa mengelak. Aku memang cemburu. Aku memang tidak rela meski sekadar tahu bahwa Alina harus bersama dengan lelaki brengsek itu. Lelaki yang kulihat berjalan bersama Maneka, gadis paling populer di sekolah ini, ketika Alina yang sering dibilang gadis terpopuler nomor dua (meski aku menganggapnya yang pertama) hanya dikarenakan kesantunannya ketimbang Maneka yang berani tampil seksi itu. Sesungguhnya aku laki-laki yang mengerti bahwa laki-laki terkadang bisa buas seperti binatang. Aku takut nasib Alina akan berakhir hanya di atas tempat tidur, jika ia tetap bersama Sukab. Aku ungkapkan hal ini, aku malah mendapatkan hadiah tamparan di pipi kananku. “Kau pikir aku wanita murahan?” jawabnya marah. Ya, kau memang bukan wanita murahan, tetapi marahan! jawabku dalam hati. Kemudian satu-satunya cara yang kusadari bisa kulakukan adalah mengambil sebuah album foto kenaikan kelas dulu, sebelum Alina dan Sukab bertemu. Andai saja ketika itu aku tidak pergi ke kamar mandi akibat sakit perut setelah tak mampu menahan hasrat untuk mencomot tiap makanan yang dihidangkan, pastilah Alina tidak akan sempat berbincang dengan Sukab. Pastilah Alina tidak akan berpacaran dengannya sekarang. Aku pandangi foto itu lekat. Alina sangat cantik dengan gaun merah muda yang lembut dan rambut diikat memperlihatkan betapa jenjang leher yang ia miliki. Sementara aku tampak seperti biasa dengan kemeja kotakkotak dan rambut yang tak pernah disisir. Berantakan. Alina tidak suka laki-laki berantakan. Beberapa detik kemudian aku sudah berada di tempat dalam foto itu. Sekolah. Musik. Remang lampu. Aneka hidangan. Orang-orang. Alina. “Hei, apa yang ingin kau katakan kepadaku tadi?” Alina tiba-tiba bertanya. Aku belum ngeh. “Maksudmu?” tanyaku bingung. “Hal yang bisa bikin aku terkejut?” tanya Alina kembali. Upss! Aku ingat kalau di hari ini pulalah aku pertama kali mengungkapkan perasaanmu pun mengungkapkan kebenaran kalau aku mampu kembali ke masa lalu itu. “Apa kesungguhanku mencintaimu belum membuatmu terkejut, Lin?” Aku balik bertanya, melemparkan bola panas ini kembali ke arahnya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hening. Kami seperti tuli. “Kau serius?” Alina meminta penegasan. Aku menganggukkan kepala. “Sebenarnya aku tidak terkejut....” “Tapi...?” “Ya, tapi, aku sepertinya sudah lama menantikan ini, saat kau... ya saat kau mengungkapkan perasaanmu ke aku, Kum...” “Jadi sekarang kita pacaran?” Tidak seharusnya dia menganggukkan kepala. Tidak seharusnya pula ia bersedia kuantar pulang malam itu. Terlalu malam bahkan sampai seperti semua jalan sudah menjadi milik kami. Udara yang dingin. Bayangan pohon yang melambai mesra tertimpa lampu jalan. Dan deru kecepatan motorku yang meraung-raung melampaui batas aman. Alina duduk tenang memelukku dari belakang. Aku sepertinya mabuk,
bukan karena arak, tapi cinta. Hanya saja, sesuatu yang memabukkan memang sumber malapetaka. Dalam laju yang kencang itu, dalam semua pikiran yang menganggap hanya ada aku dan Alina itu, kematian datang menghampiri kami. Sebuah mobil dari arah berlawanan juga tampak mengalami ekstasi, kemabukan, meski dari sumber yang berbeda, kemudian mengadu nyali dengan kami. Tentu, satu hal yang kuingat terakhir kali, sebelum aku tiba-tiba terbangun dan berada di ruang bercat serba putih adalah tubuh Alina yang tidak lagi memelukku terkapar berlumur darah. Dan ketika aku tanya di mana Alina berada, mereka bilang ia telah menemukan peristirahatan terakhirnya, tanpa aku hadiri pula. Betapa brengseknya aku yang telah mengantarkan kematian kepadanya. Aku menangis. Aku meraung. Aku tergelak. Menertawakan diriku sendiri. Menertawakan keegoisanku yang penuh rasa ingin memiliki tetapi malah merasakan kehilangan yang lebih. Semua ini salahku. Salahku! Setelah itu dokter memvonisku mengalami sakit mental. Gila kasarnya. Sebab semua barang yang masuk ke kamarku akan aku pecahkan. Saat semuanya diganti dengan barang antipecah, aku pun mencoba memecahkan kepala sang dokter dengan membenturkan kepalanya ke dinding agar aku tahu mana yang lebih keras antara dinding dan kepalanya. Sebab sudah kubilang kalau aku tidak gila, tetapi dia tetap tidak percaya. *** Aku tidak punya ayah. Begitu kata ibu. Lalu apa aku sama dengan Tuhan Yesus, Bu? Aku ingat saat itu umurku sembilan tahun. Aku sedang berada di rumah sendirian. Ibu pergi ke pasar. Berbelanja. Pertanyaanku itu tak pernah dijawab oleh ibu. Suara pintu depan terdengar diketuk berulang. Ibu berpesan aku tidak boleh membukakan pintu kalau ada orang asing yang datang. Aku mengintip dari lubang kunci. Seorang lelaki awut-awutan sedang berdiri. Aku masih asik mengamati, tiba-tiba ia sudah mengintipku juga lewat lubang kunci. “Anda siapa?” “Ibumu ada?” “Ibu sedang pergi ke pasar.” “Kalau ayahmu?” “Ayahku Tuhan, Tuan.” “O, tidak, Tuhan tidak beranak dan diperanakkan, Nak.” “Lalu siapa ayahku?” “Coba tanya ibumu?” “Dia bilang aku tidak punya ayah.” “Ibumu berbohong.” “Tuan yang berbohong.” “Aku tidak berbohong.” “Buktinya?” “Aku tahu kamu punya ayah.” “Siapa ayahku?” “Sukab.” “Sukab? Siapa itu?” “Kamu tidak perlu tahu, Nak.” “Lalu siapa Anda?” “Humm, kamu boleh memanggilku pria lubang kunci... atau...” “Atau?” “Kamu berjanji kan tidak menceritakan hal ini kepada siapapun?” “Siap, Pak.” “Aku adalah seseorang dari masa depan yang ingin memberitahumu bahwa album foto bisa menimbulkan bencana bagi orang-orang di sekitarmu, Nak.”***
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
25
26
jalan-jalan Kartini I. Ini adalah kapal khusus berkapasitas 168 penumpang dengan fasilitas AC. Anda hanya harus berada di atas laut selama 2,5 jam untuk sampai ke tujuan jika berangkat dari dermaga Jepara. Sedangkan dari dermaga Kartini Semarang membutuhkan waktu 3,5 jam perjalanan.
Mengenal Pesona Karimunjawa Letaknya memang jauh dari Ibu Kota, sekitar 505 km. Namun, bukan berarti tak bisa dijangkau dan dinikmati. Bisa jadi pilihan untuk yang bosan dengan objekobjek laut lainnya yang ‘sudah pasaran’.
Karimunjawa adalah kawasan wisata yang masuk daerah Jepara, Jawa Tengah. Namanya diambil dari kisah para wali. Alkisah, dulu, Sunan Muria punya anak bernama Sunan Nyamplung alias Syech Amir Hasan. Karena terlalu dimanja sejak kecil, Amir Hasan menjadi cenderung nakal. Merasa gagal mendidik puteranya, Sunan Muria menitipkan Amir Hasan kepada Sunan Kudus, dengan harapan menjadi lebih baik. Di bawah bimbingan Sunan Kudus, Amir Hasan memang menjadi pribadi yang lebih baik dan taat, sehingga ia dikembalikan kepada keluarganya. Namun, setelah berkumpul kembali dengan keluarganya, perilaku Amir Hasan kembali seperti semula. Sunan Muria merasa prihatin dan akhirnya memerintahkan puteranya tersebut untuk turun dari Gunung Muria dan mengamalkan ilmu agama di pulau yang tampak sangat samar dari Pulau Jawa (Jawa: kremunkremun saka Jawa). Sejak saat itu, pulau yang letaknya sekitar 83 km dari Kota Jepara ini dijuluki Karimunjawa. Karimunjawa kaya dengan keindahan bahari. Untuk mengisi liburan yang tanggung, 3—5 hari, tak ada salahnya Anda jadi backpacker dan melirik Taman Nasional yang merupakan gugusan 27 buah pulau ini sebagai tujuan wisata.
Di Karimunjawa, ada panorama alam seperti terumbu karang, rumput laut, padang lamun dengan biota laut yang beraneka ragam, hutan mangrove, gunung, dan sisa hutan tropis dataran rendah, semuanya itu masih alami. Faunanya pun bervariasi, seperti rusa dan kera ekor panjang maupun fauna akuatik yang terdiri atas 242 jenis ikan hias dan 133 genera akuatik. Terdapat pula jenis fauna langka yang
berhabitat di Pulau Burung dan Pulau Geleang, seperti burung elang laut dada putih serta dua jenis penyu, yaitu penyu sisik dan penyu hijau.
Untuk menikmati pesona-pesona itu, Anda bisa menyelam, snorkling, memancing, berenang, berjemur, menjelajah laut, hingga melihat terumbu karang melalui kapal khusus yang bagian tengah bawahnya terbuat dari kaca. Terumbu karang adalah yang paling terkenal keindahannya di sana. Hampir seluruh gugusan pulau dikelilingi terumbu karang hingga kedalaman 40 meter. Berbagai macam terumbu karang, ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias, dan biota laut ada di dalamnya.
internet
Kapal Kartini I berangkat dari Jepara ke Karimunjawa setiap hari Senin pukul 10.00 WIB. Rute Karimunjawa—Jepara tiap hari Selasa 13.00 WIB. Kalau dari Semarang, jadwal penyeberangannya adalah hari tiap Sabtu pukul 09.00 WIB. Sedangkan hari Minggu adalah waktu untuk rute Karimunjawa— Semarang. Tentu saja tarif untuk yang terakhir ini lebih mahal. Untuk kelas bisnis (Semarang—Karimun) dipatok Rp108.000 dan eksekutif Rp128.000. Dari Jepara akan lebih hemat, bisnis seharga Rp63.000 dan eksekutif Rp83.000. Untuk masalah penginapan, tidak akan menguras isi kantong karena penduduk di sana menyediakan fasilitas homestay. Jadi, dengan duit minim pun Anda bisa saja memperoleh tempat penginapan yang nyaman. Ada banyak homestay, khususnya di Pulau Karimunjawa, dengan bermacam harga. Khusus mahasiswa pada umumnya dipatok tarif Rp50.000 untuk satu malam dan sudah termasuk makan.
Jika ingin menginap di tempat yang tidak biasa, Anda bisa mencoba penginapan apung. Penginapan ini akan memberikan kesan yang berbeda karena berada di laut, jadi sekeliling kamar adalah laut. Untuk dapat sampai ke penginapan ini, disediakan kapal kayu oleh pemilik penginapan. Karena bangunan yang terbuat dari kayu, angin laut dapat masuk melalui sela-sela kayu. Sementara begitu keluar kamar, Anda dapat melihat hamparan air laut dan bisa bermain-main dengan ikan. Tidak perlu khawatir dengan ketersediaan listrik dan air jika menginap di penginapan apung ini. Listrik di sana menggunakan genset pada sore hingga pagi hari, sedangkan air diambil dari Pulau Karimunjawa. Ada beberapa tarif dalam penginapan ini karena ada kamar yang dilengkapi dengan fasilitas AC. Tarif kamar biasa dan harga mahasiswa adalah Rp50.000 semalam. Cukup murah, kan? Dan satu lagi yang menarik, yang membedakan penginapan ini dengan penginapan di darat adalah di sini kita bisa melihat hiu dari dekat. Ada kolam di dalam penginapan yang digunakan untuk penangkaran hiu. Kita juga bisa turun ke dalam kolam untuk memberi makan hiu, tapi dengan diawasi oleh pengawas tentunya. Tertarik? Silakan jalan-jalan ke sana!
[Arfindo Briyan Santoso]
27
Ada beberapa cara untuk menyeberang ke Karimunjawa. Ada kapal ASDP KM Muria, yaitu kapal penyeberangan—untuk penumpang dan barang/mobil dll—berkapasitas 250 penumpang dengan 2 tingkat dek. Waktu tempuh dari Jepara 5—6 jam perjalanan. Pada bulan tertentu, Anda akan dikawal oleh sekawanan lumba-lumba yang menari-nari di samping kapal.
Kapal Muria berlayar dari Jepara pada hari Sabtu dan Rabu pukul 09.00 WIB dan sampai di Karimunjawa sekitar pukul 15.00 WIB. Sedangkan jadwal penyeberangan dari Karimunjawa ke Jepara adalah pada hari Senin dan Kamis di waktu yang sama. Tarifnya beragam. Tiket VIP dipatok pada harga Rp48.000 dan ekonomi Rp24.000 per orang. Jika membawa barang, Anda akan kena charge Rp25.000 per ton. Tarif penyeberangan untuk sedan dan sepeda motor berturut-turut Rp211.000 dan Rp22.000. Jika ingin perjalanan yang lebih cepat dan eksklusif, Anda dapat mencoba Kapal Cepat
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
internet
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
budaya
english corner
Nguwongke
Batik:
Uwong
Warisan Budaya dari Indonesia untuk Dunia
28
internet
Batik merupakan salah satu warisan budaya (cultural heritage) Indonesia yang juga merupakan identitas bangsa. Dewasa ini, kehadiran batik sudah mendapat pengakuan dari dunia internasional. Hal ini dibuktikan dengan dikukuhkannya batik sebagai global cultural heritage pada tanggal 2 Oktober 2009 oleh UNESCO (United Nation Educational Scientific and Cultural Organization). Selanjutnya, tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional. Saat ini, batik sedang menjadi trend fashion yang digemari masyarakat. Hal ini didorong, di antaranya, oleh adanya klaim Malaysia atas batik dan kebijakan pemerintah yang mewajibkan pegawainya memakai batik sekali dalam sepekan. Para perancang busana pun bersaing untuk mempersembahkan karyanya dengan memasukkan unsurunsur batik dalam desainnya.
Kata batik dianggap berasal dari bahasa Jawa, meskipun sampai sekarang belum dapat dipastikan asal-usulnya, yaitu ‘amba’ yang bermakna menulis dan ‘titik’ yang bermakna titik. Ada dua pendapat tentang asal-usul batik. Pendapat pertama, adanya kecenderungan untuk mengatakan bahwa di Mesir pada abad VI telah terdapat kain batik dan pada akhirnya menyebar ke jazirah Afrika. Ada bukti bahwa orang Mesir dan Persia memakai pakaian batik dalam reliefrelief yang terdapat pada piramida. Pendapat kedua, berdasar pada bukti arkeologis menyatakan bahwa orang India, Cina, Jepang, dan negeri lain di Asia Timur juga telah mengenal batik. Namun demikian, ada fakta bahwa batik telah ada di Jawa pada abad XII sebagai bagian penting dari kebudayaan dan ekonomi Kerajaan Majapahit. Dalam perkembangan awal di Indonesia, batik beredar di lingkungan keraton sebagai perhiasan istri raja. Dari keraton, batik lalu dikenal sebagai barang istimewa yang menunjukkan status ningrat pemakainya. Dalam sejarah nasionalisme Indonesia, batik menjadi pakaian nasional yang digunakan oleh perempuan dan lelaki
untuk membedakan dengan bangsa Barat (kaum kelas satu), yang umumnya berpakaian kemeja dan jas, serta bangsa Timur lain (kaum kelas dua) yang umumnya menggunakan pakaian khas mereka.
Sebagai warisan budaya, batik lahir dari keluhuran spiritual yang mengandung nilai-nilai filosofis tersendiri, khususnya bagi masyarakat Jawa. Orang Jawa percaya bahwa untuk mencapai kebaikan dibutuhkan keseimbangan dan keselarasan antara manusia, lingkungan, dan alam. Keyakinan tersebut perlu diwujudkan dalam budaya material yang dihasilkan dan dikembangkan dalam lingkungan keraton, termasuk dalam proses pembuatan batik. Kecanggihan teknik, makna simbolik, dan aspek spiritual batik juga menyebar ke luar keraton.
Ragam hias batik berkaitan dengan kedudukan sosial seseorang, misalnya batik dengan ragam hias parang rusak barong dan kawung. Batik yang menggunakan ragam hias tersebut hanya boleh digunakan oleh para raja beserta keluarga dekat. Hal itu berkaitan dengan arti atau makna filosofis dalam kebudayaan Hindu-Jawa. Kedua ragam hias tersebut sering disebut sebagai ragam hias larangan (tidak semua orang boleh menggunakannya). Namun, seiring perkembangan zaman, kedua ragam hias batik tersebut telah menjadi milik masyarakat bersama. Dengan kata lain, masyarakat bebas untuk menggunakannya. Batik-batik di Indonesia pada umumnya merupakan buah karya para pembatik yang memiliki keterampilan membatik secara turun-temurun. Para pembatik mengikuti kaidah yang diajarkan orang tua atau pendahulunya, mulai dari kegiatan mendesain, menulis (batik tulis) atau mencetak (batik cap), hingga proses akhir sampai dihasilkannya kain batik yang indah.
Secara tidak sadar, nenek moyang bangsa Indonesia ternyata telah berpikir secara sistematis. Hal ini terlihat dari motif batik yang dihasilkannya. Menurut
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
hasil penelitian Pixel People Project Reseacrh and Design (PPPRD), sebuah kelompok riset dan desain di Bandung, pada tahun 2007, motif-motif batik Indonesia merupakan perwujudan dari sistem fraktal, yaitu suatu sistem di alam semesta ini yang memiliki prinsip utama iterasi (pengulangan). Kenyataan ini membuktikan bahwa motif batik Indonesia dapat diteliti dari sudut sains (matematika). Batik fraktal merupakan batik yang didesain dengan menggunakan rumus fraktal. Dengan kata lain, batik fraktal adalah motif batik tradisional yang ditulis ulang secara matematis. Penulisan ulang yang telah dimodifikasi lebih kompleks (diubah formulanya) dapat menghasilkan motif yang baru atau berbeda.
Batik Indonesia dijadikan warisan budaya dunia oleh UNESCO karena batik Indonesia memiliki motif dan filosofi bukan sekadar produksi seperti di negara-negara lain. Munculnya inovasi dalam budaya batik tidak mengurangi nilai seni batik Indonesia. Hal ini justru semakin mendukung perkembangan batik agar batik semakin dekat di hati masyarakat.
Sebagai masyarakat Indonesia, sudah selayaknya kita mengapresiasi hasil budaya bangsa sendiri, dalam konteks ini adalah apresiasi terhadap batik sebagai suatu karya seni. Pemakaian batik dalam berbagai kesempatan merupakan salah satu wujud apresiasi masyarakat. Saat ini, batik tidak hanya berupa busana, tetapi juga dalam bentuk sepatu, tas, dan aksesori lainnya. Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya. Oleh sebab itu, mari kita menghargai dan melestarikan budaya kita. Jangan sampai budaya asli bangsa ini diklaim oleh negara lain. Mari kita tumbuhkan rasa memiliki terhadap budaya yang kita miliki sejak dini, tanpa perlu dipicu dulu oleh pengklaiman negara lain.
[Tri Wahyuningsih]
internet
Yes indeed it is an English Corner and you are reading an English article. I pick this title because this old Javanese term ‘nguwongke wong’ (‘memanusiakan manusia’) is a perfect brief description of treating a person as a perfect human being. Human being that has rights. Feelings. Human being that, whoever and whatever their jobs and principles are, worthy. We often forget this. We forget that people need to be recognized as human, to be loved, and to be appreciated. Most of us admit that people do have rights to live. But, we often forget or do not care about their other rights. We admit and appreciate a person because of their beauty, intelligence, position, or whatsoever it is.
One day during my second years here in Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, I rode a motorcycle inside the campus from the dormitory to the other building inside campus. Because it is urgent, I rode it pretty fast, and the security guard of our campus stopped me because of it. He stood at front of my motorcycle and yell: “Stop it! Anjing!” and I do not remember what he said after that, I just remember it is rude and unnecessary. Honestly, as an almost-twenty-years-old college student, I got really offended at that time, because I think I am on an urgent business and I do not deserved that scolding. But I just say sorry and passed by. After my business is done, I got back to the security and have a little chit-chat with him, and we got mutual understanding after that (well even though it is always harder to the older people to understand the younger one on a discussion, because they usually got an enormous amount of pride and our society culture always teach that “the older, the wiser”, so we young generation really have to be patient on this, no offense to the old-timer though). And after that moment, I heard a lot of stories from my friends that the security guards of our campus are indeed rude, they do not respect us
at all, etc. So here is the problem: The security guards on our campus need to be respected. They actually want us, the college students to appreciate them, to greet them when we meet them, and such things. While not all of us, including me, thinks greet people that we do not know as an important thing, even some of us feel awkward if some unknown people (even though they are also STAN students) greet us. Cultural difference. This simple difference makes prejudice from both side of the house. If just from the beginning we always greet them when we meet them, or if just they do not expect such thing from us, there will be no clashes. But the expectations do exist, and we have to meet that expectation. Communication is a very simple way to solve many problems. On this problem the solution is only to talk with other side of the house and sometimes we do not have to find a complicated solution toward the subjects. We just need to talk and got some mutual understanding, thus we can appreciate each other ideas and moreover, existence as a human being. We always think that we or our groups are the one who are right. Our idea is the correct one, the other one is trash and totally wrong. Dude, wake up! If we want a world that only people with the same idea or social status with us live there, just make our own Utopia! We have to move to a jungle or something so we do not have to be bothered by other people that have differences from us. Well if you are a Tarzan that can survive in the jungle for the rest of your life, there is no problem. For the rest of us, we unfortunately have to start appreciating others for the sake of the peace of the earth. We can not always count on Kotaro Minami a.k.a Ksatria Baja Hitam to preserve peace on earth, he has grown old now by the way.
Cogito ergo sum (I think, therefore I am), said Descartes the Philosopher. We as college students of course consider
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
the brain capability of human as a very important measurement to value others. It is not totally wrong, but we often forget that not everybody has that much brain. Not everybody knows who Descartes is. Not everybody can works in an appropriate place and position. But everybody needs recognition and appreciation. The funny thing is, we indeed appreciate people who are smart (since we are college students), but we often criticize people because, for example, he got a strange hair cut. Voila, we just value people based on what on top of their head, not what inside of it. Well, inconsistency and double standard always happened though. Sometimes our ego leads us to have less respect and appreciation to those inferior people (e.g. cleaning service, house maid, etc). For this case, I got another fairy tale for you. One day, I went to the police office because I was caught using drugs in the Church. Kidding. I lost my debit card and need their legal paper to made a new one. I went there during my OJT (On Job Training) time, so I’m on formal suit that time. There is another person in that room, with a casual T-Shirt and a quite messy-long-haircut. The Police Officer then showed up and asked that guy: “What do you want?!” with a high and impolite tone (And that is the Public Relation office they said, waw) then after that, he asked me who is formally dressed that time: “What’s up?”, well it is still impolite for a common standard, especially for a Public Relation officer, but he is still more polite than when he asked the previous person. I really angry at that time for the difference of treatment and I wonder if he would used a sameimpolite tone to me if I wore a bandana and a casual T-Shirt. I bet you got my point.
Everybody needs recognition and appreciation. Most of the time they do not need a huge-scale appreciation such as noble prizes, they just need a sincere praise for their job result, or simply a polite greetings. If just everybody practice ‘nguwongke wong’.
Timothee Kencono Malye
3A Government Receiveable & Auction Administration
29
30
resensi
MUHAMMAD :
Lelaki Penggenggam Hujan (sebuah novel biografi)
internet
“What’s the most resilient parasite? An Idea. A single idea from the human mind can build cities. An idea can transform the world and rewrite all the rules. Which is why I have to steal it,” (Dom Cobb-Inception) Sedikit petunjuk bagi yang kesulitan membayangkan film macam apa Inception ini, ambil saja inti alur yang mengambil tempat di pikiran tokohnya, seperti film Pintu Terlarang. Lalu padukan dalam dunia tak nyata ala The Matrix versi lebih logis yang (setidaknya) berlapis empat. Itulah Inception.
Film yang disutradarai oleh Christopher Nolan ini berpusat pada Dom Cobb (Leonardo Di Caprio), seorang pencuri. Jika Ocean Eleven dan Italian Job menawarkan petualangan dalam membobol uang di brankas, Cobb mengambil aset lain dari korbannya: ide. Letaknya? Di dunia pikiran, tentu. Dunia ini pula yang menjadi setting utama sepanjang cerita.
Kisah dimulai saat Dom Cobb menerima kebalikan dari kebiasaannya. Alih-alih mencuri, ia diharuskan Saito (Ken Watanabe) untuk melakukan penanaman ide (inception) pada seorang pengusaha saingan bernama Robert Fischer (Cillian Murphy). Saat mencuri, Cobb hanya perlu menyelinap ke dalam mimpi, mencari di mana ide tersebut disembunyikan, lalu mengambil dan ‘mentransfer’ ke dunia nyata dengan cara mengingatnya. Namun, untuk menanamkan, ide tak bisa ditaruh begitu saja. Cobb harus masuk ke dunia mimpi bersama Fischer, meyakinkan korbannya bahwa ide tersebut benar. Di sinilah kompleksitas cerita
INCEPTION: Infeksi Ide dan Nolan-isme terbangun, karena untuk membuat Fischer percaya, Cobb mesti menskenario dunia mimpi tersebut. Supaya bisa diotak-atik, maka dunia mimpi yang digunakan bukanlah milik korban. Fischer hanya sebagai ‘tamu’ yang diseret masuk ke dunia mimpi milik salah satu komplotan Cobb. Agar tak curiga, dunia tersebut dirancang sesuai dengan dunia mimpi korban. Rekayasa dunia mimpi inilah yang menjadi bagian sang arsitek, Ariadne (Ellen Page), Arthur (Joseph GordonLevitt), forger Eames (Tom Hardy) dan ahli bius Yusuf (Dileep Rao). Bersama Saito, kelima orang ini masuk ke dunia mimpi untuk menjalankan misi inception.
Film ini, tanpa basa-basi, cerdas. Tema “lintas dunia pikiran” memang tidak benar-benar baru, ada Eternal Sunshine of The Spotless Mind yang pernah mengangkat hal serupa. Namun, yang perlu dicatat baik-baik adalah sentuhan gaya Nolan. Seperti halnya Batman Begins dan The Dark Knight, film Nolan yang ini pun lihai mendalamkan karakter utamanya tanpa menjadi gamblang. Tidak sekadar berlaga dengan sinematik yang ‘wah’ dan rapi, film sci-fi ini juga melibatkan drama via masa lalu Cobb dengan Mal (Marion Cotillard), istrinya yang mati bunuh diri. Di tangan Nolan, drama pelik tersebut naik pangkat dan diberi peran penting dalam plot, jauh dari sekadar tipikal pemanis cerita. Alur kisah yang maju-mundur, beberapa tokoh yang peranannya multitafsir, memaksa penonton untuk mau tak mau berkutat dengan detail plot yang meloncat-loncat: dari dunia mimpi Yusuf, lalu dunia Arthur dan pindah ke Eams. Nolan, sepertinya
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Penulis
: Tasaro GK
Penerbit
: Bentang
Jumlah halaman : xxvi+543 halaman
memang tak pernah berniat membuat filmnya tersimpulkan dengan mudah. Dan meskipun sesak dengan detail dan plot yang rumit, film ini tidak lantas sengaja dibuat membingungkan. Nolan sukses merunut alur dan membangun kerumitan cerita secara bertahap. Garis besar kisahnya mungkin bisa dipahami dengan jelas, tetapi ulasan detail akan menawarkan banyak penafsiran,sekaligus membaiat Inception sebagai film yang masih akan memicu diskusi berkelanjutan seusai ditonton.
Efek grafis disuguhkan dengan cantik dan tak berlebihan,tidak seperti filmfilm yang tengah latah 3D lantas hanya menjual efek. Tidak hanya lewat segi orisinalitas plot dan pemanjaan mata dengan efek, Nolan pun mengawal ketat suspense yang dibangun sejak awal cerita lewat adegan action yang menegangkan dan emosional. Hasilnya, intensitas dan ketegangan alur mendominasi bagian tengah cerita dan menggiring pada klimaks dengan apik. Ketegangan dan intensitas plot ini pula yang sekaligus menjadi unsur favorit dari film bertabur bintang ini, membuat durasi panjangnya (hampir mencapai tiga jam) sangat layak ditoleransi. Ending-nya sendiri sukses menjadi bagian terbaik sepanjang film, memukau dengan cukup satu adegan simbolis sederhana, tetapi menjungkirbalikkan persepsi penonton, membuat cerita sebenarnya dipertanyakan: film ini hanya sebagian yang mimpi, atau seluruhnya? Nolan, lagi-lagi, berhasil membuat kita tak keluar dari bioskop tanpa kesan.
[Tulad P. K.]
Dalam banyak naskah tua, namanya beragam. Astvat-ereta, nabi yang dijanjikan, disebut-sebut oleh pengikut Zardhust yang lurus di Persia. Disebut Maitreya oleh pengikut Budhha di Tibet untuk masa depannya menghancurkan kesalahan dan ketidaktahuan yang ada selama berabadabad. Disebut Bar Nasha, yang kehadirannya dimuliakan Tuhan dan dipercaya menghentikan ‘tanduk durhaka’. Disebut Malechha Dharma oleh pengikut ajaran ,yang berarti seorang yang memiliki semua sifat baik.
Dikisahkan bahwa Kashva, pengikut ajaran Zardhust dengan julukan Sang Pemindai Surga, melakukan perjalanan dari Suriah demi mengungkap ayat-ayat Zardhust yang menjanjikan kedatangan seorang Pangeran Kedamaian. Lelaki Mulia yang kelahirannya disebut-sebut oleh semua kitab suci yang ia pelajari. Perjalanannya seperti diarahkan oleh Biksu El yang berkoresponden terhadap keingintahuannya akan seorang Lelaki Mulia. Sehingga, pencariannya sekaligus adalah menemui sosok El yang menemani kepercayaannya terhadap kemunculan Lelaki Mulia. Dalam latar waktu yang sama, ada rekaman perjalanan Kashva yang melelahkan dari kuil Sistan dan mengambil rute menuju Tibet melalui perbatasan India dan pegunungan Tibet. Seperti sebuah film bernarasi, kehidupan Rasulullah hingga pada adegan masuk Islamnya Abu Sufyan Sang Penentang juga ditampilkan. Antara keduanya, ada selaput tipis yang bukan memisahkan melainkan menjelaskan perkara kehadiran Kashva dan Muhammad saw.
Kashva memang tokoh fiksi. Dan Tasaro membuat Kashva sebagai objek perumpaan yang mewakili perasaan banyak umat yang merindukan kehadiran Sang Lelaki Mulia, Muhammad. Biasanya, perindu Muhammad membasuh kerinduan dengan mendalami sejarah Muhammad. Maka, novel ini adalah fiksi (sekaligus
internet
nonfiksi atas sejarah kehidupan Muhammad) yang ditujukan untuk bersalawat kepada Muhammad. Potongan-potongan kehidupan Muhammad pada novel ini jauh dari kesan kebakuan sejarah. Justru, pembaca dibawa ikut merasakan kehidupan Muhammad secara personal, seolah-olah secara virtual pembaca berada di sisi Muhammad, sehingga bisa lebih mudah menyelami kearifan pribadinya. Benarlah, bahwa novel ini adalah biografi Muhammad yang dipadankan dengan fiksi. Dengan kata lain, novel ini menjadi bacaan pengganti untuk mereka yang hendak mengenal Muhammad tetapi belum mampu mempelajari secara seksama sejarah tentangnya. Pada akhir novel ini, perjalanan Kashva dibuat menggantung. Memastikan keberadaan Biksu El yang berkoresponden dengannya tentang keberadaan Lelaki Mulia atau memilih mendapatkan konfirmasi tajam dengan mendatangi Yastrib, tanah Arab tempat kemunculan Lelaki Mulia.
Novel ini tidak merangkum kisah Muhammad hingga akhir hayatnya. Namun, di titik tersebut justru membuat pembaca memiliki keinginan untuk mencari tahu kisah Muhammad lebih lengkap lagi melalui penjelajahan lain seperti menyimak sejarahnya, dan sebagainya.
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
[Fauziyyah Arimi]
31
32
tips
Nyari Duit Sampingan? Gampang kok Menyandang status mahasiswa, di kampus ini terutama, tak berarti hanya bisa duduk di kelas dan selebihnya menghabiskan uang. Banyak alternatif kegiatan yang produktif alias mendatangkan pendapatan.
Seperti banyak diketahui, sebagaian besar mahasiswa STAN mencari uang saku tambahan dari aktivitas ngajar, baik itu privat maupun bimbingan belajar. Apalagi saat mendekati USM STAN, banyak mahasiswa yang menjadikannya ladang ibadah dengan membagi ilmu, sekaligus ladang penghasilan. Jangan ditanya, fee dan profit-nya juga lumayan besar. Hobi pun bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan uang. Misalkan mereka yang tertarik pada dunia desain, hanya dengan menerima order dari klien, menjalankan permintaan order, desain kelar, uang pun masuk ke saku sebagai imbal jasa. Sama halnya dengan fotografi, aktivitas merakit komputer, atau menulis dan mengirim artikel ke media massa. Yang punya jiwa wiraswasta juga bisa berjualan, misal jualan pulsa. Jualan pulsa juga bisa jadi alternatif karena tidak membutuhkan skill khusus. Tak hanya pulsa, barang sederhana lain pun jadi, dari jilbab sampai camilan Rp2.500-an. Apakah kegiatan nyambi ini mengganggu belajar? Sebagian besar mereka yang menjalankannya mengatakan kegiatan akademik masih berjalan seperti biasa, mereka menikmati. Sebagian lagi mengatakan manajemen waktu saja sepertinya yang perlu menjadi tambahan perhatian. Namun, toh juga tidak masalah, karena kuliah dan tugas-tugas tidak menuntut waktu seharian penuh. Mamat Maslutfi (3M Akuntansi Pemerintahan)
Karena kuliah yang tidak menyita banyak waktu, Mamat berinisiatif menjalankan aktivitas sampingan yang bisa
menghasilkan uang. Hanya dengan duduk-duduk depan komputer, selama musim USM STAN tahun ini, ia bisa memperoleh uang saku tambahan yang terbilang lumayan. “Ya cukuplah untuk duit makan selama setahun,” ujarnya memperkirakan. Masa semester genap tingkat II adalah titik awal Mamat mulai fokus menjalankan bisnis online, tapi sayangnya fasilitas belum memadai karena yang tersedia hanya seperangkat komputer tanpa koneksi internet. Selanjutnya, di tahun ketiga ia pindah ke kos yang sekaligus memiliki warnet,
“Namanya juga bisnis, enggak akan pernah stabil. Kalau mau stabil, jadi karyawan saja”
jadi tersedia fasilitas internet gratis. Saat tingkat tiga pula, sebagai langkah keseriusannya dalam menekuni bisnis online, ia berani berinvestasi dengan membeli modem sendiri. “Cukup hanya dengan bermodalkan PC dan koneksi internet,” ujarnya. Mulai dengan membuat website pribadi, selanjutnya ia mengusahakan agar webnya bisa masuk lima besar pencarian di google, first rank bahkan. Untuk bertengger pada posisi puncak google ini, diperlukan teknik sendiri, yakni dengan membuat banyak back link yang menghubungkan web yang satu dengan web lainnya. Alasannya adalah karena semakin banyak back link, google semakin suka. “Kadang untuk cari
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
back link doang, bisa sampai membuat seratus blog,” ujarnya. Khusus untuk bisnis yang digelutinya saat musim USM kemarin, masih sebatas jualan buku lewat website pribadi. Menurutnya, ada banyak bisnis yang bisa dijalankan dengan menggunakan internet sebagai media, layaknya internet marketing. Bentuknya bisa dengan menjual produk sendiri atau produk titipan—dengan sang pemilik web sebagai broker, menayangkan iklan pihak lain, atau ada yang cuma sekadar membuat pay per action. “Salah satu web yang saya punya juga menjual barang milik orang lain,” lanjutnya lagi. Seorang temannya, Adryan Fitra, seorang lulusan S1 yang dalam jangka waktu hampir tiga tahun serius menekuni bisnis online, bisa meraup keuntungan bersih sekitar 5.000-20.000 dolar sebulan. Saat ini, ia telah melibatkan beberapa karyawan yang juga mengurusi banyak website-nya. “Penghasilan yang diperoleh diinvestasikan kembali,” ujarnya. Saat ini, ia lebih memilih menginvestasikannya dalam wujud emas. Terkait dengan kesibukannya sebagai seorang mahasiswa, Mamat mengaku saat musim ujian tentu ia mengurangi intensitas mengasuh website-nya. Kadang ia juga dihinggapi rasa bosan, tapi ia menganggap hal tersebut wajar dan merupakan tantangan tersendiri. Dengan keterikatan sebagai calon pegawai milik pemerintah, ia mengatakan bukan berarti apa yang dirintisnya sekarang akan langsung dihentikannya begitu saja. Ke depannya, ia berniat tetap melanjutkan aktivitas ini. “Namanya juga bisnis, enggak akan pernah stabil. Kalau mau stabil, jadi karyawan saja,” tutupnya.
Nuril Ilmi Primadevi (3S Akuntansi Pemerintahan) Facebook pun bisa jadi media promosi. Demikianlah yang dilakukan Nuril untuk memasarkan produknya. Berawal dari kegelisahannya karena tabungan hanya bersisa tujuh ratusan ribu rupiah, ia pun berpikir bagaimana cara cepat dan tepat agar dapat mengembangkan nominal ini menjadi banyak. “Saat masih tingkat satu gue ngajar, tapi sepertinya enggak cocok karena terikat dengan jadwal dan waktu,” ungkapnya. Selain alasan tersebut, ia juga mengaku kurang sabar menghadapi siswa yang kurang cepat dalam memahami materi pelajaran. Dengan demikian, begitu bertemu seorang supplier barang yang harganya murah, ia pun tertarik menekuni bisnis jualan produk pakaian. Barangnya ia peroleh dari supplier yang memang lagi cuci gudang, barang-barang factory outlet dengan kualitas ekspor. Produk yang dijual lantas semakin beragam dengan adanya aksesori dan juga tas. Selanjutnya, ia menjadikan facebook sebagai media promosi. Lewat facebook, aktivitas order bisa dipantau hanya dengan online. Saat sedang sibuk, misalnya saat ujian, ia tidak perlu meng-upload barang hingga waktu luang kembali datang. Untuk ongkos kirim, jelas pembeli yang menanggung biaya. “Sejak JNE dekat Harmoni buka, distribusi order semakin mudah. Bahkan jika lagi rajin, tiap hari bisa nganter order,” terangnya. Sebelumnya, ia mengaku menggunakan jasa JNE yang berlokasi di Sektor I sehingga mengantar kiriman pun dilakukan dengan frekuensi yang terbilang lebih sedikit, biasanya hanya sekali sepekan. Awalnya ia membuat akun sendiri, tapi karena ada limit, maka ia buat juga fan page di facebook. Untuk menarik pelanggan dan pembeli, ia membuat dua jenis harga, harga eceran dan harga grosir. Aktivitas ini ternyata bisa menghasilkan duit yang lumayan. Menurutnya, jika sedang rajin mengupload dan memantau akunnya di facebook, sebulan bisa menghasilkan pemasukan bersih sekitar Rp2—3 juta. Namun, jika rasa malas menyerang, ia hanya meng-upload sekali sebulan dan hanya bisa menghasilkan pemasukan sekitar Rp500 ribu. Walau nantinya akan menjadi PNS, ia berharap bisa memiliki toko off line atau butik sendiri. Dengan melakoni aktivitas sampingan seperti ini, ia pun benar-benar merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Satu hal yang
jadi kepuasan tersendiri ialah saat lagi jalan bersama keluarga, ia sudah sering mentraktir dengan uang hasil ‘nyambi’. “Alhamdulillah, untuk kebutuhan seharihari udah bisa mencukupi sendiri, walaupun nyokap tetap sering nanya ada duit apa enggak,” jelasnya. Mandiri secara finansial pun sudah bisa ia rasakan sejak akhir tingkat II, saat usaha sampingan ini mulai serius dijalaninya. Muhammad Iqbal (3A Akuntansi Pemerintahan) Dengan modal iseng, Iqbal tertarik menekuni kegiatan yang bisa menghasilkan uang. “Ngisi waktu sekaligus melatih mental,” ujarnya. Aktivitas mencari duit sampingan dilakukannya sejak tingkat I dengan mencoba berjualan donat, “Karena kuliah enggak terlalu padat dan banyak waktu luang.” Dia mengaku sebagai orang yang cepat bosan jika melakukan aktivitas yang monoton dan itu-itu saja, jadi ia berpikir untuk mencari pengalaman lain. Di suatu kesempatan,
“Berpikirlah kreatif, buatlah bisnis baru, jangan sok ikut-ikutan karena hasilnya enggak akan maksimal. Kalau mau sukses, bergeraklah!”
secara kebetulan ia bertemu dengan abang penjual donat. Saat itu, ia memutuskan untuk mengambil tiga kotak donat. Lalu, Iqbal bingung, harus dikemanakan tiga kotak donat itu. Namun, akhirnya ludes juga saat ia tawarkan pada teman-teman kos tetangga. Respon cukup baik itu memancingnya untuk lanjut, selama 3—4 bulan ia meluaskan pasar. Saat sudah cukup berkembang, sehari bisa habis 20 kotak dan penghasilan bersih yang bisa diraup sekitar Rp500 ribu sebulan. Untuk memudahkan mobilisasi, ia memutuskan untuk nyicil motor. Selanjutnya, karena merasa aktivitas ini tidak seimbang antara hasil dan jerih payahnya, ia kemudian vakum. Namun bukan sama sekali berhenti, ia malah beralih membuka usaha laundry kiloan. Kenapa harus laundry? “Karena
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
saat itu hanya ada satu laundry di daerah PJMI dan harganya pun sangat mahal, Rp8 ribu per kg. Kalau bisa dibilang, enggak manusiawi untuk ukuran mahasiswa,” paparnya sambil berkelakar. “Usaha laundry ini dibuka bersama dengan beberapa teman, ada Mas Amin yang udah lulus, juga ada Yepe teman seangkatan juga,” jelasnya. Iqbal menambahkan bahwa bisnis laundry ini sangat berbeda dengan jualan donat sebelumnya karena ia mengaku hanya bermodal nekat dan sama sekali belum paham apa-apa terkait dengan usaha barunya. Bisnis ini sempat jatuh bangun, sempat setahun tidak menghasilkan profit dan tertipu tukang listrik, kena tagihan sampai Rp5 juta. Namun, karena tujuan awalnya adalah dapat memberikan fasilitas yang murahmeriah untuk mahasiswa, pelayanan pun tetap jalan. Akhirnya, sedikit demi sedikit mereka berbenah, yang kurang diperbaiki, mulai dari sistem yang kurang baik sampai pegawai yang kurang jujur. Jadilah, usaha laundry itu bisa bertahan sampai sekarang. Dari bisnis ini, dalam sebulan bisa dihasilkan pemasukan sekitar Rp300 ribu hingga Rp2 juta lebih. Namun, jika sifatnya proyek bisa meraup sekitar Rp 1—30 juta. Proyek yang dimaksud adalah yang bersifat one shot only, tidak berkelanjutan. “Baru terjun ke dunia bisnis memang menyita banyak perhatian dan waktu. Jika dijalani hanya karena profitoriented, yang ada hanya capek. Tapi kita senang-senang aja, intinya memberikan service terbaik, masalah doku pasti ngikutlah,” ungkapnya. Ia menambahkan, “Hambatan adalah tantangan, tentu juga harus dibarengi dengan percaya pada Allah. Walaupun sudah berstatus PNS, kita akan tetap menjalankan bisnis yang telah dirintis, toh bisnisnya sudah jadi, tinggal bagaimana kita mendelegasikan, mengawasi, dan mengecek. Mungkin saja nantinya bisnis akan jadi pekerjaan utama, profesi PNS yang jadi sampingan.”. “Berpikirlah kreatif, buatlah bisnis baru, jangan sok ikut-ikutan karena hasilnya enggak akan maksimal. Kalau mau sukses, bergeraklah!” tutupnya. [Muwardhani Wahyu Utami]
33
34
wawancara
obrolan bengkel
Menulis Itu (Tak Selalu) Mudah Oleh: Desi Aring Tyas Utami*
Ahmad Fuadi: Menulis Untuk Memperpanjang Umur Bagaimana rasanya jadi penulis buku?
dok. Medcen
Sulit sekali rasanya memulai tulisan ini, apalagi merampungkannya. Dan saking merasa sulitnya, saya bilang sama Pemimpin Redaksi Media Center alasan-alasan saya, yang mungkin terlihat tak cukup masuk akal, untuk ‘perlahan mundur’ dari kewajiban mengisi kolom ini. Alasan pertama, saya sedang sibuk PKL di KPKNL Bogor. Dan saya berharap teman-teman yakin bahwa PKL saya benarbenar menyibukkan, bukan mengada-ada. Sejak hari Rabu minggu pertama di kantor itu, selama delapan hari kerja, saya dan empat teman PKL saya ikut lembur menggarap rekonsiliasi BMN. Seringnya, kami harus di kantor sampai pukul sembilan malam, bahkan pernah sekali pukul sepuluh. Dalam hati, ingin sekali saya tak kembali ke sana setelah minggu pertama terlewati. Tapi ‘sialnya’, saya harus kembali juga ke sana, melanjutkan lembur-lembur berikutnya.
Setelah rekonsiliasi BMN kami anggap selesai, kami sudah ditunggu oleh Ibu Fatma, atasan kami di seksi piutang negara, untuk input data berkas-berkas lama piutang negara yang jumlahnya bejibun dengan aplikasi bernama SIMPLe (Sistem Informasi Manajemen Piutang dan Lelang). Ya Tuhan… Rasanya hampir putus asa, sampai akhir minggu ketiga PKL saya bahkan tak bisa menyelesaikan Bab II Laporan PKL saya. Kemudian, alasan kedua saya adalah, saya tak punya ide yang cukup bagus untuk dituangkan di kolom ini. Lho, kok? Bukannya untuk urusan menulis begini sudah biasa buat makhluk Bengkel? Masak masih tetap kesulitan? Mungkin begitu pikir teman-teman. Memang, saya sering menulis, tapi sepotong-sepotong saja, dan menurut saya, itu bukan sesuatu yang bagus untuk dipublikasikan. Saya lebih sering menulis untuk pribadi, tak terbiasa menulis untuk orang banyak dengan sukarela. Dalam banyak kesempatan, ketika saya menulis untuk orang lain, saya selalu menaruh harapan berlebihan bahwa tulisan saya akan bagus, layak diberi jempol, menginspirasi, mengesankan, dan bla bla bla. Saya berharap bisa menulis tentang hal-hal yang menarik, segar, cerdas, orisinal, dan lain-lain yang tampak keren. Naif sekali, begitu saya bilang.
Akhirnya, dengan harapan-harapan seperti itu, hasilnya adalah: saya tidak menjadi orang yang menulis dengan tulus. Beberapa sumber mengatakan, menulis haruslah dengan perasaan, mengalir, mengikuti keinginan kita apa adanya, tidak dibuat-buat, harus fokus, menggunakan gaya bahasa yang baik dan benar sesuai kaidah, memberi teladan, mengajak pada kebaikan, dan kriteria-kriteria ideal lainnya. Kalau saya bilang, menulis adalah tentang keberanian. Berani bertanggung jawab atas apa yang dituliskan. Berani menerima kritik dan caci lalu memperbaiki. Berani berbagi, bukan menyimpan sendiri, sehingga orang lain bisa ikut belajar apa yang kita pelajari. Dan paling tidak, berani berusaha agar bermanfaat untuk orang lain.
Menulislah sebanyak-banyaknya, tentang apa saja. Sekalipun tulisan yang remeh temeh tentang catatan belanja atau cendol aneka rasa. Sekalipun tulisan itu dianggap sampah karena tak memenuhi keinginan pembaca. Apa pun orang mengganggapnya , tenang saja, tak usah terlalu dipikirkan. Selalu ada orang yang suka dan tak suka dengan kita. Namun, saya pikir rugi sekali rasanya jika kita justru menghabiskan banyak waktu untuk menggubris anggapan mereka. Di akhir tulisan ini, saya hanya ingin berkata: “Terima kasih Tuhan, akhirnya tulisan ini selesai. Saya tak keberatan kalau pembaca menganggap tulisan saya ini bukan apa-apa. Tapi saya tetap berharap Engkau memperhitungkan ini sebagai kebaikan. Dan setelah ini, harapan saya sederhana saja, saya tak mau lagi dikejar-kejar editor yang menagih tulisan. Karena saya tahu betul, rasanya tak nyaman sekali punya utang. Semoga Engkau mengabulkan. Amin.” Bogor, 19 Juli 2010
*Penulis adalah Sekretaris Redaktur Pelaksana Majalah CIvitas,
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
LPM Media Center STAN periode 2009/2010
Novel pertamanya, Negeri 5 Menara, mendulang sukses. Banyak pembaca yang mengaku terinspirasi oleh kisahnya, yang diadaptasi oleh perjalanan hidup penulisnya, Ahmad Fuadi. Pernah menjalani kehidupan sebagai wartawan Tempo dan aktivis lembaga swadaya, kini Ahmad Fuadi mengaku ingin fokus menulis. Untuk memperpanjang umur katanya.
dok. Medcen
Saya lebih banyak bersyukur. Tidak ada yang terlalu aneh karena saya tidak menuliskan sendiri. Yang saya tuliskan (dalam buku Negeri 5 Menara) ini, hanya pengalaman hidup yang dikontribusi oleh Bapak-Ibu saya, para kyai saya di pondok, teman-teman, para ustad. Kebetulan saya punya kesempatan menulis, meramunya menjadi sebuah buku. Jadi, kadang-kadang saya juga bingung kalau ada yang bilang, “Wah, hebat bukunya.” Alhamdulillah. Terima kasih. Tapi, agak susah juga mengklaim itu kredit saya sendiri. Kata-kata yang inspiratif itu kata-kata guru, orang tua, dan ustad-ustad saya.
Selain penulis, Anda juga pernah jadi wartawan Tempo dan direktur sebuah NGO (non-government organization) ya? Iya.
Berapa tahun jadi wartawan? Dari 1998 sampai 2004.
Apa yang menarik dari profesi wartawan dan direktur NGO ini? Saya Direktur Komunikasi NGO internasional untuk konservasi, sampai 30 Desember 2009. Terhitung 1 Januari 2010 saya resign karena mau fokus untuk menulis, mendampingi pembuatan film, dan membangun Komunitas 5 Menara. Saat menjadi direktur komunikasi, saya merasa berada di pihak yang berseberangan dengan wartawan. Kalau dulu saya yang bertanya, sebagai direktur komunikasi NGO saya yang ditanya. Jadi lebih memahami, lebih berempati terhadap apa yang diinginkan wartawan karena saya pernah ada di posisi itu. Saat jadi wartawan, apa yang paling berkesan?
Yang paling berkesan, ketika Twin Tower dihantam oleh pesawat teroris (Tragedi 11 September), saat itu saya ada di Amerika. Pagi itu saya ke kantor seperti biasa jam 10 pagi. Semua orang ribut karena Twin Tower tiba-tiba runtuh, di Washington juga tiba-tiba sebuah pesawat lagi menghantam Pentagon. Dan itu suasana luar biasa! Secara psikologis,
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
orang itu nggak tahu apa yang terjadi. Dan sebagai wartawan, saya punya sebuah kesempatan luar biasa untuk melaporkan langsung. Melaporkan langsung dari Pentagon yang kena hantam itu, beberapa hari kemudian melaporkan Amerika kena terror, dan wawancara tokoh penting seperti Colloin Powel langsung.. Itu pengalaman luar biasa menurut saya.
Saya juga mewawancari salah satu orang Indonesia yag dituduh menjadi bagian teroris, kalau nggak salah namanya Agus Budiman. Dia diikuti CIA, FBI, ditahan, dan nggak bisa dihubungi siapa-siapa, dan saya berhasil mewawancarai melalui bantuan adiknya. Jadi, kami menyelundupkan tape ini pada adiknya, “Kamu tolong berkunjung.” Karena dia di penjara dengan fasilitas khusus untuk teroris, nggak bisa dikunjungi seperti biasa. Saya menjadi wartawan pertama yang mewawancarai Mas Agus itu karena nggak ada yang bisa mengakses dia. Dan itu jadi salah satu berita penting di Tempo waktu itu. Jadi, lebih enak mana? Penulis buku atau wartawan?
Kalau saya mungkin jadi penulis, ya. (Menulis) Ini sarana yang memberikan banyak kemungkinan menginspirasi orang, menjelaskan ide dengan lebih serius dalam hal waktu dan kedalaman. Kita setiap hari bisa menulis banyak berita, tapi banyak orang besoknya sudah lupa, karena ada berita lagi, kan? Kalau buku, setelah nanti mungkin umur saya habis, saya meninggal, insya Allah buku ini akan terus hidup. Jadi, dia memperpanjang umur kita.
Kelebihan penulis adalah bisa hanya berdua dengan pembaca. Anda kalau baca buku saya, kayak berdua saja dengan saya. Kita bisa menyampaikan ide, pandangan, inspirasi, atau dakwah sangat personal. Itu nggak ada di sarana lain. Orang dakwah di mimbar pun itu nggak personal, menurut saya. Banyak jamaah, ribuan, banyak yang bisa fokus, banyak juga yang tidak. Membaca buku sampai tamat itu nggak ada pilihan lain selain fokus. Jadi menurut saya, menarik jadi penulis itu, kalau misi awalnya, itu tadi, men-share sesuatu.
bersambung ke halaman 35
35
36
kesehatan
tahukah kamu
Sleep Paralysis Pernahkah Anda merasa kaku ketika baru terbangun dari tidur? Anda sadar, tapi seluruh badan rasanya sangat sulit digerakkan. Nafas terasa sesak, seakan-akan tertindih sesuatu. Peristiwa tersebut merupakan gejala dari sleep paralysis atau tidur lumpuh. Kelumpuhan itu adalah suatu kondisi seseorang yang sedang berbaring terlentang saat baru saja tertidur atau baru akan terbangun, tapi menemukan dirinya tidak bisa bergerak atau berbicara. Sleep paralysis berlangsung dalam hitungan detik atau paling lama sekitar satu menit. Namun, bagi orang yang mengalaminya akan terasa lama karena timbulnya kepanikan.
Kejadian tersebut biasanya juga disertai dengan perasaan hal yang menakutkan, seperti bayangan hitam yang berada di atas atau hantu yang menindih badan, sehingga sering dikaitkan dengan hal mistis. Dalam keseharian, peristiwa tersebut sering disebut tindihan atau irep-irep. Bahkan, di kalangan medis Barat, peristiswa ini pernah dinamakan The Old Hag Syndrome, yang maknanya dalam kejadian ini seakan-akan ada penyihir (old hag) yang menduduki dada orang yang mengalaminya. Hampir setiap orang pernah mengalami sleep paralysis. Sleep paralysis bisa terjadi pada siapa saja, laki-laki atau perempuan. Orang biasanya pertama kali mengalami kejadian ini ketika usia 14—17 tahun.
Berdasarkan gelombang otak, tidur terbagi dalam empat tahapan. Tahapan itu adalah tahap tidur paling ringan (kita masih setengah sadar), tahap tidur yang lebih dalam, tidur paling dalam dan tahap rapid eye movement (REM). Ketiga tahapan awal disebut juga tahapan non-REM. Ketika kita tidur, 80 menit pertama, kita memasuki kondisi non-REM, lalu diikuti 10 menit REM, yakni saat terjadinya mimpi. Selama non-REM, tubuh kita menghasilkan beberapa gerakan minor dan mata kita bergerak-gerak kecil. Ketika masuk ke kondisi REM, detak jantung bertambah cepat, hembusan nafas menjadi cepat dan pendek dan mata kita bergerak dengan cepat (rapid eye movement). Dalam kondisi inilah, mimpi kita
orang lain di dalam ruangan atau bahkan kita bisa merasakan adanya makhluk yang sedang melayang di atas kita. Halusinasi yang menyertai kelumpuhan tidur ini bisa dalam berbagai bentuk, seperti eksosomatik (gelombang, getaran, dan ada gemetar), akustik (dering bernada tinggi atau suara yang keras), visual (cahaya atau persepsi ekstrim terhadap suatu objek), somatosensori (perasaan tubuh menjadi bengkok, diputar, ditekan, atau sensasi seperti terbang dan mengambang), dan fisik (tiba-tiba merasa sakit di bagian tubuh).
tercipta dengan jelas dan kita bisa melihat objek-objek di dalam mimpi.
Menurut Al Cheyne, peneliti dari Universitas Waterloo, Kanada, sleep paralysis adalah sejenis halusinasi karena adanya malafungsi tidur di tahap REM. Selain itu, menurut dr. Max Hirshkowitz, Direktur Sleep Disorders Center di Veterans Administration Medical Center, Houston, Amerika Serikat, sleep paralysis muncul ketika otak mengalami kondisi transisi antara tidur mimpi yang dalam (REM dreaming sleep) dan kondisi sadar. Selama REM dreaming sleep, otak kita mematikan fungsi gerak sebagian besar otot tubuh sehingga kita tidak bisa bergerak atau lumpuh sementara yang disebut dengan REM Atonia. Saat kondisi tubuh terlalu lelah atau kurang tidur, gelombang otak tidak mengikuti tahapan tidur yang seharusnya. Jadi, dari keadaan sadar (saat hendak tidur) ke tahap tidur paling ringan, lalu langsung melompat ke mimpi (REM) atau sebaliknya. Ketika terjadi lompatan ketika akan tidur tersebut, seseorang masih setengah sadar saat otak sudah mematikan fungsi gerak dan mulai terjadi mimpi. Atau, kadang otak kita tidak mengakhiri mimpi atau kelumpuhan kita dengan sempurna ketika terbangun, sehingga tubuh masih terasa kaku ketika sudah tersadar. Florence Cardinal, seorang peneliti masalah sleep disorder asal Kanada, mengatakan kalau halusinasi biasanya memang menyertai sleep paralysis. Kadang, ada perasaan kalau ada
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
Sleep paralysis umumnya terjadi pada orang dengan posisi tidur telentang. Waktu tidur, rasa lelah, dan jadwal normal tidur juga berpengaruh. Seseorang yang mengalami kelelahan berlebihan, waktu tidurnya berkurang, atau jadwal normal tidurnya terganggu punya kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami sleep paralysis. Selain itu, orang yang biasa mengkonsumsi obat penenang akan menjadi lebih sering mengalami kejadian tersebut. Pada dasarnya, tidak perlu panik ketika mengalami sleep paralysis karena hanya berlangsung sesaat. Namun, gejala tersebut tidak dapat dianggap remeh karena bisa jadi merupakan pertanda narcolepsy (serangan tidur mendadak tanpa tanda-tanda mengantuk), sleep apnea (mendengkur), kecemasan, atau depresi.
Salah satu cara untuk menghindari sleep paralysis adalah dengan mengubah posisi tidur. Jika gejala tersebut sering dialami, ada baiknya untuk membuat catatan pola tidur selama beberapa minggu. Dengan demikian, dapat diketahui penyebab utama sleep paralysis yang dialami. Jika karena terlalu lelah, dianjurkan untuk memperbanyak istirahat. Di samping itu juga disarankan untuk tidur yang cukup dan teratur, mengurangi stres, dan olahraga yang teratur. Selain itu, kondisi ruangan tidur juga patut diperhatikan, apakah pertukaran udara ruangan dengan luar ruangan telah baik karena ruangan yang sesak juga tidak baik untuk pernapasan ketika tidur. Diolah dari: kompas.com, senior
[Arief Kurniawan]
Tahukah kamu? ketika Anda merasa kepedesan karena ‘ulah’ si cabe, maka cepat-cepatlah pergi ke kamar mandi dan siram kaki anda dengan air berulang kali, maka rasa pedas akan punah.
Tahukah kamu? 75% debu di rumah kita berasal dari kulit kita yang sudah mati.
Tahukah kamu? Setiap raja dalam kartu remi melambangkan raja-raja besar jaman dahulu kala: raja sekop—Raja Daud raja kriting—Alexander Agung raja hati—Raja Charlemagne raja wajik—Julius Caesar
Jika Anda (maaf) kentut secara konsisten selama 6 tahun 9 bulan, Anda akan menghasilkan gas yang cukup untuk menciptakan energi yang diperlukan alam untuk membuat bom atom. Tahukah kamu? Orang buta juga bermimpi, tetapi mimpinya berupa suara, rabaan, dan getaran.
37
Tahukah kamu? Memakai headphone selama satu jam dapat menstimulasi perkembangan bakteri dalam telinga sebanyak 700 kali lipat!
internet
sambungan dari halaman 33 Sebagai penulis, Anda melihat minat baca masyarakat saat ini pada umumnya bagaimana? Saya pikir ada perkembangan yang bagus. Dulu ketika saya kuliah, ada novel Saman. Kalau tidak baca Saman tidak gaul. Tapi, setelah itu kayak kosong. Kemudian tiba-tiba ada Ayat-Ayat Cinta. Kemudian ada tetralogi Laskar Pelangi, yang juga luar biasa. Menurut saya, kayak Kang Abik dan Andrea itu adalah pendorong kebangkitan semangat membaca lagi, walaupun belum seperti di luar negeri.
Waktu tinggal di Amerika, dari apartemen saya naik bus atau kereta bawah tanah kalau ke kantor. Kalau pagi itu kan penuh. Semua orang memegang buku, novel, atau koran. Orang membaca, bukan ngomong sama sebelahnya atau
tidur. Di sana buku murah, sebuah novel mungkin sekitar 6 atau 5 dolar, artinya 50 ribuan (rupiah). Bayangkan, 5 dolar itu bisa beli sepotong roti di sana.
Untuk Indonesia, buku masih mahal. Itu salah satu faktor juga barangkali. Buku mahal, karena yang beli sedikit, karena tidak mass production. Di Amerika kenapa bisa murah? Mungkin karena orang senang membaca tadi. Semua orang harus membawa novel. Novel itu bisa ada di tas mereka, di kamar mandi juga biasanya ada buku yang menumpuk. Semangat membaca masyarakat tinggi membuat produksi buku lebih banyak, artinya menekan biaya produksi. Ada misi untuk meningkatkan minat baca, lewat buku Anda misal? Sebuah masyarakat yang maju itu
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
memulainya dengan literasi, menulis dan membaca. Kalau kita kan masih banyak ngobrol, ya? Budaya lisan. Bangsa-bangsa yang maju, itu bangsa yang mengenal baca tulis. Yunani beberapa abad sebelum masehi sudah mempunyai tulisan, sudah punya sistem yang lengkap. Kita, di abad ke-21, temanteman kita di Papua bahkan belum mengenal baca tulis. Mudah-mudahan, lewat novel ini (Negeri 5 Menara)bisa menambah kontribusi minat baca. Saya nggak tahu berapa persen. Tapi ketika melihat komentar-komentar pembaca saya senang. Bahkan ada yang bilang baru pertama baca novel.
[Agustina Rahayuningtyas/Dwinanda Ardhi Swasono]
38
satire Si Katanya: Cerita dan Berita Namanya adalah Katanya. Bukan Katadia, Kata-kamu, Kata-mereka, apalagi Kata-pejabat berwenang atau oknum tertentu. Si Katanya ini sebenarnya bukan siapa-siapa, tak pernah menunjuk secara tentu. Namun, di padepokan kita ini, ia punya pengaruh, jauh lebih besar dari yang orang tahu.
“Iya, Katanya kan kepanitiaan yang ini memang hanya menerima orang-orang dari aliran itu.”
“Katanya mereka bolos rapat lagi,” atau “Dia Katanya masuk rumah sakit.”
“Lalu, kau tak coba ikut pemilihan? Katanya mereka kurang pendaftar seperti biasa, sampai minta-minta.”
Terang saja Katanya protes. Minta dilahirkan saja ia tidak pernah, apalagi dibesarkan dan disebut-sebut. Namun, pengadilan tetap butuh seseorang untuk disalahkan. Mereka lalu ingat pada sosok Konfirmasi, yang merepotkan bin menyebalkan, dan telah lama hilang sejak Katanya ada. Mendengar ini, seperti biasa, orangorang akan latah ikut menyalahkan, karena dengan demikian mereka aman dari tuduhan.
“Memang artinya apatis itu apa? Tiga minggu? Katanya belum pasti?”
“Salah Konfirmasi, ia tidak membumi, diucapkan saja ribet. Mending Katanya, lebih gampang, cepat, instan. Dan kita tetap dapat perhatian.”
Awal cerita, Katanya lahir dari obrolan sehari-hari. “Benarkah?” “Iya”
“Sakit apa?”
“Entah. Tak bisa bangun tiga hari. Kecelakaan mungkin. Katanya sih…”
Kemudian, seperti yang kita semua tahu, orang-orang akan menoleh. Mereka akan mengitari dia yang menyebut nama Katanya, lantas ikut nimbrung sekenanya.
Lambat laun, Katanya makin disukai. Berkat dia, yang menyampaikan kata-kata jadi pusat perhatian. Mereka yang punya berita, meskipun masih menyebut Katanya, jadi sentra percakapan karena dianggap punya bahan untuk dibicarakan. “Biar kelihatan tidak ketinggalan zaman,” dalih mereka. Kini, tiap ada kabar – entah sudah dikonfirmasi atau belum, entah kabar angin atau burung— penyebarannya tak terbendung.
“Pak Bupati nggak suka duduk di kursi itu. Sakit, katanya.”
“Katanya Pak Bupati nggak suka di situ. Kesakitan dia.” “Kasihan Pak Bupati. Katanya dia menderita. Sudah pindahkan saja kalau tak betah.” “Memang ada masalah apa di kantor Pak Bupati? Katanya dia sampai ngebet pindahan.”
Demikianlah. Tak hanya cepat, Katanya berkembang seenak mulut yang mengenalnya dan yang memakai namanya. Walhasil, metafora, hiperbola, dan perubahan makna ikut naik tahta dalam mengabarkan. Dari satu ke satu, tiap-tiap mereka menyebarkan lagi. Masih dengan mengikutsertakan Katanya, tiap orang yang mendengar baik-baik atau hanya sepintas lalu, lantas spontan mewartakan ulang kabar yang semakin kabur tadi. Mirip pesan berantai, mulut ke mulut, dengan jumlah yang berpangkat. “Katanya, kau ditolak ikut kepanitiaan?”
“Oh, pantas dia juga nggak keterima. Tapi, dia Katanya sudah di-CR (Close Recruitment) kepanitiaan itu?”
“Dia kan memang anak asli situ, lha wong bidang itu Katanya sengaja diisinya orang-orang daerah itu semua.” “Sama saja, ah. Katanya itu malah sudah diskenario segala. Toh yang menang juga dari aliran itu-itu saja. Mending jadi apatis saja. Belajar buat ujian tiga minggu.” “Apatis itu pokoknya nggak aktif lah, Katanya gitu. Tiga minggu! Sudah ketok palu kok Katanya” “Ckck, minta ganti rugi tiket ke padepokan lah ini. Mereka saja Katanya loyal keluar 400 juta untuk acara silaturahmi, apalah arti seuprit duit.”
“Mimpi saja kau itu, wong perkumpulan pengobatan yang anggaran per tahunnya sekarat, yang hanya seperdua-ratus acara sehari silaturahmi tadi saja, Katanya susah dapat tambahan dana..” Percakapan, lagi-lagi, seperti tak bertujuan. Hanya pamer ‘pengetahuan’ dan sekadar mengeluarkan perkataan. Tidak memberi solusi, tanpa sepakat atas pernyataan mana yang benar. Sementara Katanya makin besar, tanpa tahu dari mana asalnya. Ia dijadikan argumen. Mirip virus, terpecah jadi kepingan, menginfeksi, lantas tumbuh sendiri-sendiri. Katanya, yang tak jelas tadi, banyak dipakai orang sebagai dasar untuk berpihak. Mulanya ia senang-senang saja. Sampai suatu ketika, “Mereka memboikot pemilihan. Kita disalahkan. Aliran kita terlalu mendominasi, Katanya.”
“Bukannya bagus kalau kita mendominasi? Aliran kita kan memang aliran orang-orang yang menuju kebaikan. Justru aneh kalau mereka sampai keberatan. Benar Katanya, konspirasi sudah sampai sini.” Orang-orang geram berkat isu yang beredar. Mereka saling menggugat. Interogasi berlangsung, rekamannya dicatat dan ditariklah Katanya sebagai pihak yang paling banyak disebut saat
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
kejadian.
“Salahkan Konfirmasi, ada masalah begini ia hilang begitu saja, melarikan diri.”
“Siapa perlu Konfirmasi kalau kita bisa berimajinasi—lewat Katanya?”
Penyidikan dimulai. Berbeda dengan Katanya, Konfirmasi jelas penelusurannya. Dicarilah ia di tempatnya sering nongkrong: Media Massa. Namun Konfirmasi tidak sedang di sana. Disembunyikan Media, Katanya. Orang-orang makin senang, mereka dapat kambing hitam tambahan. Media berang, “Memangnya cuma katakata kami yang harus di-Konfirmasi? Apa hanya Media yang menyebar kabar berita?” Pengadilan diam. Hakim manggutmanggut. Hadirin juga setuju: Katanya, si sumber masalah, memang sering berasal dari ucapan para penebar kabar. Hakim, yang merasa ini saat tepat untuk tampil, mengajukan pertanyaan pamungkas, “Siapa yang pernah menyebar cerita sebagai berita dengan bantuan Katanya?” Seperti yang bisa ditebak, seluruh hadirin mengangkat tangan. Hakim bingung. Ia tak pernah diajari untuk menyalahkan mayoritas, apalagi saat tangannya juga ikut terangkat begitu.
Pengadilan bubar diam-diam. Tak pernah diadakan lagi. Demi ketertiban umum, Katanya. Dan sumber masalah kita, si Katanya ini, masih berdengung di mana-mana. Padepokan makin bodoh, tak bisa membedakan mana berita mana cerita. Hanya di kejauhan sana, di tempat yang dalam sekali, satu suara bergema massal, “Konfirmasi sudah lama mati dikebiri, bersama standar kekritisan berita kita yang duluan bunuh diri.”
Di Gugur Daun Perihalku hanya menyapu daun gugur yang rebah di basah tanah. Kematian tidak pernah membutuhkan isak tangis di pemakaman. Ketika ranting saja tetap tabah menjadi tempat buah. Tapi kutilang tak lagi mau menimang kehilangan, atau tunas baru?
Rantai Makanan
Sejatinya ulat tahu Memaknai kerja keras. Sebelum unggas berkaki Mematuki kematian Dengan paruhnya yang tempayan. Ke mana tikus Harus mencari lubang yang menyembunyikan Cicit ibu? O, anak elang Cakar-cakarmu adalah doa para Pemburu, tanah basah Airmata, Nyanyian para petani di gabah-gabah Yang tabah Sebelum rebah di resah lelaki Yang menukar keringatnya dengan Anai-anai.
Kolam
Ada yang merasa bersalah, tiap hijau lumut menutupi jalan cahaya. Telur-telur katak menempuh jalan busa belajar terbang, lalu buih kehidupan. Di mana waktu, selalu ada yang bertanya di gerak insang yang tak mengenal kata berhenti. Segerombolan anak lelaki, berdiri mengeluarkan patung air mancur.
Di Taman, 1
Mengapa benalu, tumbuh di batang sawo. Rumput-rumput jepang menangkap
embun, memimpikan diri menjadi pohon yang rimbun. Aku kumbang yang lupa kepulangan tersesat di kuntum mawar, tertusuk duri, meluka sayap.
Di Taman, 2
Aku meranggas, berpura-pura kematian telah datang menjemput.
Ular kadut yang berliang di celah kayu seperti mandi sauna.
Di Taman, 3
Seekor tupai melompat Dari kabel listrik, seekor capung Sedang berpura-pura pesawat Terbang, Seekor kalajengking angkuh Menantang para semut Yang Taat ratu, seekor katak Mematai para serangga Yang sabar menanti Darah manis Milikmu.
Aku batu, tumbuh di bawah pohon jambu.
Sedikit Saja, Kubiarkan Kau Mengerti Kubiarkan kau mengerti, hujan di bulan Juni tidak lebih tabah dari aku
dan musim yang gugur, akar yang berpilin, cinta yang marah, atau bunga kecil dari geneva, sesungguhnya akan tersia-sia dari teriakan kecil, “Avante, Avante, aku memujaMu! aku merindui Mu lebih dari malam-malam
Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Terpilih menjadi duta bahasa prov. Sumatera Selatan 2009. Berkuliah di D3 Akuntansi STAN. Buku puisinya berjudul ALUSI (2009), dan termuat dalam beberapa antologi puisi dan cerpen seperti Kepada Cinta (2009), Musibah Gempa Padang (2009), Kain Batik Ibu (2010), Koloid (2010), G 30 S (2010), Berjalan ke Utara (2010), Teka-Teki tentang Tubuh dan Kematian (2010). Karya-karyanya pun pernah dimuat di Batam Pos, Harian Global Medan, Sumut Pos, Jambi Ekspres, Berita Pagi Palembang, Suara Pembaruan, Jurnal Bogor, dan Suara Merdeka.
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010
di Kartika Plaza!”
Sedikit saja, kubiarkan kau mengerti kalau aku tak akan menyunting bulan sabit ketimbang lesung pipit dan betapa sipit matamu yang mengutukku jadi Melayu!
Ruang Tamu
Satu ketukan pintu, pigura abrahah telah menunggu. Pasukan gajah lamur, oleh sekumpulan jamur mata rayap mengundang ulat kayu. Meja marmer, kursi sofa yang empuk, dan satu toples kue kering mengalamatkan salam pada secangkir kopi yang tandas tinggal ampas. Ke mana Tuan rumah yang berjanji menyajikan mimpi? Belum lama, seekor kucing mengeong dan menggelayut manja di samping tempat dudukku.
39
40
Anies Baswedan: “IP itu yang mengetuk pintu. Tapi, setelah masuk ruangan (kerja), apa yang Anda kerjakan tidak berbasis IP.”
majalah civitas
VOL.7 | TAHUN 4 | AGUSTUS 2010