ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 September-Desember 2012
Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores
Vol. 33 No. 3 September-Desember 2012
Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Tony Rudyansjah
Redaksi Pelaksana
Dian Sulistiawati, Irwan M. Hidayana, Dave Lumenta.
Manajer Tata Laksana
Imam Ardhianto
Administrasi dan Keuangan
Sri Paramita Budi Utami
Sekretaris
Sarah Monica, Shabrina, Astrid Puspitasari
Distribusi dan Sirkulasi
Febrian
Pembantu Teknis
Geger Riyanto, Amira Waworuntu, Muhammad Damm
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 33 NO. 3 2012
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten 159 Ayatullah Humaeni Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki
di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores 180 J. Emmed M. Priyoharyono Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska Pengelolaan Sumber Daya Laut Kawasan Terumbu Karang Takabonerate dan Paradigma Komunalisme Lingkungan Masyarakat Bajo Masa Lalu Munsi Lampe
203
216
Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala 228 Timo Kaartinen
Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska1 Universitas Sumatera Utara Abstrak Tulisan ini menjelaskan bahwa pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia tidak selalu terjadi karena motif dan pertimbangan seperti lazim dinyatakan dalam dokumen resmi, atau hasil analisis para ahli tentang adanya kepentingan elit lokal melakukan pemekaran daerah untuk menduduki jabatan di kabupaten/kota/provinsi pemekaran. Tulisan ini menunjukkan bahwa politik etnisitas pun tidak kalah kuat memicu tindakan politik pemekaran daerah. Politik etnisitas dimaksud ialah politik yang terjadi dalam interaksi antara dua atau lebih kelompok etnis yang berbeda tetapi hidup bersama di dalam suatu masyarakat. Para pihak yang terlibat dalam interaksi mengedepankan kelompok etnis dan identitas etnis mereka sebagai sumber daya politik masing-masing. Kesadaran akan identitas etnis dan penggunaan identitas etnis kolektif untuk tindakan politik merupakan kekuatan yang menyemburkan energi yang langgeng dan tidak habis-habisnya, serta tidak harus dengan kekerasan. Ini tampak dalam perilaku politik etnisitas Orang Pakpak menghadapi Orang Batak Toba di Kabupaten Dairi: damai, bertahap, dan memiliki visi mendirikan masyarakat Pakpak Raya dalam bingkai provinsi. Kata kunci: Pakpak, politik etnisitas, identitas etnis, pemekaran daerah. Abstract This paper deals with the regional partition which do not always take place due to the considerations as commonly stated in official explanations, and also it does not like the outcome of the scientific analysis on the interests of local elites in efforts to devide regions for seizing local power in the new regions. In addition, this paper also shows that ethnic politics is often interwined with the region partitions. The local elite politically quite often to put forward ethnicity and identity loyalties as a political resources for demanding the regional division. Ethnic identity and the usage of collective ethnic identity as a never lasting prime mover. These can be politically seen from ethnic Pakpak behaviors in encountering ethnic Batak Toba in their own territory regarding the establishment of Great Pakpak province. Key-words: Pakpak, politics of ethnicity, ethnic identity, regional partition
1 Dr. Fikarwin Zuska, staf pengajar pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. E-mail:
[email protected].
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
203
Pendahuluan Pemekaran wilayah administrasi pemerintahan di Sumatera Utara (pemekaran daerah), sama seperti di wilayah provinsi se-Indonesia lainnya, banyak terjadi setelah masa pemerintahan Orde Baru berlalu. Di Sumatera Utara ada 16 kabupaten/kota lahir dalam kurun waktu 10 tahun pasca Orde Baru. Lahirnya kabupaten/ kota dan provinsi itu, sama seperti yang dicatat oleh Vel (2007: 89), “Throughout Indonesia, the campaigning rhetoric always mentions three main reasons for creating a new district: it brings the government closer to the people, it will be beneficial to economic prosperity, and it is the wish of the people to have their own district”. Kenyataannya, tulis Vel lebih lanjut, bahwa, “...all cases of pemekaran discussed reveal the strong interests of local elites, who act as initiators of the secession process, head the lobbying committees, and – if successful – occupy the offices of power in the new provinces or districts”. Selain dari yang dinyatakan Vel di atas, kelahiran kabupaten/kota itu juga berkaitan dengan etnisitas atau politik etnisitas. Politik etnisitas, menurut saya, dapat dikatakan sebagai politik yang terjadi dalam interaksi antara dua atau lebih kelompok etnis yang berbeda tetapi hidup bersama di dalam suatu masyarakat. Para pihak yang terlibat dalam interaksi mengedepankan kelompok dan i d e n t i t a s e t n i s mereka sebagai sumber daya politik masing-masing. Kemunculan politik etnisitas macam ini, terutama di negara-negara bekas jajahan, menurut Tambiah (1994), erat sekali berkaitan dengan ‘kesadaran dan penyadaran akan identitas etnis’ dan juga ‘kesadaran mengenai semakin tingginya kemungkinan identitas etnis kolektif (collective ethnic identity) digunakan dan dimanipulasi dalam tindakan politik’. Indonesia pasca Orde Baru dapat dikatakan sebagai Indonesia yang lepas dari “penjajahan” (baca: otoritarianisme dan militerisme Orde Baru) (Hanley & Davidson 2010 [2007]); masuk ke dalam era Indonesia
204
yang rakyatnya mendapatkan kebebasan untuk bersuara dan menyatakan pendapat, kebebasan politik, mendirikan partai politik, termasuk mendirikan pemerintahan otonom melalui proses pemekaran daerah (Benda-Beckmann & Benda-Beckmann 2011: 15). Tulisan ini akan membahas masalah politik etnisitasnya dalam pemekaran wilayah administrasi pemerintahan di Sumatera Utara, khususnya pemekaran Kabupaten Dairi yang telah melahirkan Kabupaten Pakpak Bharat. Kasus ini sangat menarik, spesifik, dan dapat dikatakan nyaris tanpa kekerasan walaupun nuansa etnisitasnya sangat kental. Mengapa politik etnisitas muncul dan bagaimana politik etnisitas itu ‘bekerja’ dalam proses pemekaran wilayah kabupaten Dairi, itulah yang merupakan pertanyaan pokok tulisan ini. Pertanyaan tersebut akan dijawab dengan bukti-bukti yang saya peroleh dari beberapa kali terlibat dalam tim penelitian lapangan di kalangan Orang Pakpak1. Saya akan memperlihatkan kemunculan kesadaran dan penyadaran Orang Pakpak mengenai identitas etnis mereka, dan juga kesadaran Orang Pakpak mengenai semakin tingginya kemungkinan identitas etnis kolektif Orang Pakpak digunakan dalam berbagai tindakan politik di seputar proses pemekaran Kabupaten Dairi dan kelahiran Kabupaten Pakpak Bharat. Pemekaran Daerah Kabupaten Dairi Pemekaran (baca: pembelahan) Kabupaten Dairi menjadi dua kabupaten adalah sebuah keputusan (tindakan) politik yang melibatkan kelompok etnis Pakpak atau Orang Pakpak. Tindakan politik yang melahirkan Kabupaten 1 Saya terlibat sebagai ketua tim peneliti dalam penelitian, “Membangun Model Pembelajaran Secara Antropologis Tentang Politik Etnisitas Dalam Pemekaran Daerah Di Sumatera Utara”, dibiayai Oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, 2010; sebagai ketua Tim dalam penelitian dan penulisan “Penyusunan Strategi Pembangunan Daerah Melalui Pendekatan Budaya, Kerjasama Bappeda Kabupaten Pakpak Bharat dengan Departemen Antropologi FISIP USU, 2011. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut di atas,namun segala pendapat dalam tulisan ini merupakan pendapat dan tanggung jawab saya pribadi.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Pakpak Barat sebagai kabupaten pemekaran, dan Kabupaten Dairi sebagai kabupaten induk, itu dikukuhkan dengan Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara. Pemekaran Kabupaten Dairi tersebut tidak terlepas dari pemberlakuan secara resmi pada tahun 2001 Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini memungkinkan masyarakat di daerah-daerah di seluruh Indonesia memprakarsai pemekaran daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Pemekaran Kabupaten Dairi secara organisatoris diawali oleh lahirnya Komite Pemekaran Kabupaten Dairi. Pengurus komite —terlihat dari surat mengenai Usul Pemekaran Kabupaten Dairi yang ditujukan kepada Ketua DPRD II Kabupaten Dairi, bertanggal Sidikalang 01 Juni 2001— mengklaim diri sebagai, “masyarakat Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan, Kecamatan Sitelu Tali Urang Jehe dan sebagian dari Kecamatan Silima Punggapungga Kabupaten Dairi”. Mereka semua, seperti terlihat dari nama-nama marga yang tercantum di belakang nama masing-masing pengurus Komite, dan juga menurut informasi dari berbagai pihak yang kenal, adalah Orang Pakpak. Lebih tepat lagi Orang Pakpak dari wilayah (suak atau lebbuh) Simsim 2. Tugas utama komite ada dua. Tugas pertama, menggalang dukungan masyarakat seluas-luasnya. Tugas kedua, meraih dukungan dan persetujuan Pemerintah Kabupaten Dairi untuk pemekaran. Komite ternyata berhasil menggalang 2 Orang Pakpak, secara tradisional, membagi wilayah yang mereka yakini sebagai wilayah leluhur Orang Pakpak atau Tanah Pakpak menjadi 5 wilayah (suak atau kadangkala lebbuh), yaitu Kelasen, Keppas, Boang, Simsim, dan Pegagan (Berutu 1998; Solin 1998). Pembagian wilayah secara tradisional ini berbeda atau tidak sebangun dengan pembagian wilayah menurut administrasi pemerintahan daerah. Sesuai keadaan sekarang, Suak Keppas dan Pegagan ada dalam wilayah ‘Kabupaten Induk’ Dairi; Suak Kelasen dalam wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan; Suak Boang di Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh; dan Suak Simsim sama dengan wilayah ‘Kabupaten pemekaran’ Pakpak Bharat. Sementara itu orang dari masing-masing suak, dalam pergaulan sosial, diidentifikasi menurut asal suak, dengan sebutan seperti Pakpak Simsim, Pakpak Kelasen, Pakpak Boang, Pakpak Keppas dan Pakpak Pegagan.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
seluas-luasnya dukungan masyarakat. Masyarakat pendukung pemekaran datang dari kalangan kelompok etnis Pakpak. Tidak hanya kalangan Pakpak Simsim, tetapi juga Pakpak Kelasen, Boang, Keppas, dan Pegagan. Tidak hanya Orang Pakpak yang tinggal di lebbuh3, tetapi juga Orang Pakpak yang tinggal di perantauan. Semua komponen Orang Pakpak itu nyaris bersamaan mendukung dan mengampanyekan pemekaran Kabupaten Dairi. Sementara penduduk lainnya, terutama Orang Batak Toba, selaku kelompok pendatang yang dominan dan juga penduduk mayoritas4 di Kabupaten Dairi, nyaris ‘tidak menghalangi’ (kalau tidak dapat dikatakan mendorong) tuntutan pemekaran tersebut. Alasannya, seperti terungkap dalam komunikasi pribadi saya dengan beberapa orang dari kalangan Orang Batak Toba di Kabupaten Dairi, bahwa tuntutan pemekaran oleh Orang Pakpak itu tidak bisa dibendung lagi, dan tuntutan itu adalah hak Orang Pakpak selaku penduduk asli. Lagi pula, menurut saya, tidak ada ruginya bagi Orang Batak Toba apabila Dairi dimekarkan. Sebab, selama ini domisili dan aktivitas Orang Batak Toba lebih dominan terkonsentrasi di Suak Pegagan dan Keppas saja, yaitu suak-suak yang tetap menjadi inti wilayah kabupaten induk Dairi saat ini. Komite berhasil meraih dukungan dan persetujuan Pemerintah Kabupaten Dairi terhadap gerakan pemekaran Kabupaten Dairi, namun berhasil meraih dukungan dari masyarakat. Respons Bupati Kabupaten Dairi, M.P. Tumanggor terhadap ide dan gerakan pemekaran Dairi sangat positif dan hangat. Semua proses berjalan sangat cepat dan mulus. Sesuai data dan informasi, saya sependapat dengan kesimpulan seorang informan yang menyatakan, “Sungguh besar peran Bupati Dairi dalam proses pemekaran Kabupaten Dairi. Tidak 3
Istilah ini, dalam bahasa Pakpak berarti ‘tanah asal’.
4 Data statistik mengenai jumlah penduduk Kabupaten Dairi berdasarkan etnistidak tersedia hingga saat ini, namun menurut estimasi informan-informan saya, kelompok etnis Batak Toba merupakan mayoritas.
205
hanya sekedar menjalankan proses pemekaran secara formal, melainkan juga terlibat secara emosional dengan ide atau gagasan pemekaran5”. Alasannya tidak lain karena gerakan pemekaran ini memang membawakan citacita Orang Pakpak ―kelompok etnis tempat sang Bupati terikat secara primordial― untuk mengangkat ‘kata’ Pakpak sebagai nama kabupaten. Cita-cita ini sudah sejak lama dibentangkan kelompok etnis Pakpak, namun masih terkendala realisasinya karena beberapa kekurangan yang dimiliki oleh masyarakat Pakpak di bidang sosial-politik61. Munculnya Kesadaran akan Identitas Etnik Ada beberapa sebab yang memicu munculnya kesadaran Orang Pakpak atas eksistensi dan atau identitas etnis mereka dalam kancah kehidupan bersama lintas kelompok etnis. Pertama, terjadi di dalam kancah gerejawi. Orang Pakpak Kristen cukup lama ‘menumpang’ untuk beribadah di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang menyebabkan Orang Pakpak harus menguasai Bahasa Batak Toba. Lama kelamaan mereka merasa ekspresi identitas etnis (bahasa) mereka agak terganggu dengan keadaan tersebut sehingga sejak 1963 gereja HKBP yang digunakan Orang Pakpak diberi kekhususan menggunakan Bahasa Pakpak dalam beribadah, dengan mendirikan HKBP-Simerkata Pakpak. Gerejanya tetap gereja HKBP, tetapi dengan bahasa pengatar saat beribadah menggunakan Bahasa Pakpak. Dengan kebijakan ini Orang Pakpak dianggap dapat merasa lebih nyaman, lebih bermartabat secara kesukuan dibandingkan sebelumnya, menggunakan ‘bahasa orang lain’ padahal ‘bahasa sendiri’ juga bisa digunakan dalam beribadah. Ternyata kebijakan kompromistis HKBP 5 Berbincang dengan Nazir Salim Manik, S.Sos, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Pakpak Bharat periode 2008 – 2013. 6 Duduknya M.P. Tumanggor sebagai Bupati Kabupaten Dairi ― satu-satunya Orang Pakpak menjadi bupati di Kabupaten Dairi setelah dulu, yang pertama kali, bermasalah karena terlibat partai terlarang― itu oleh berbagai pihak dianggap sebagai peluang untuk mewujudkan cita-cita mengangkat Pakpak sebagai nama kabupaten.
206
melalui HKBP-Simerkata Pakpak, bukan menjadi solusi yang memuaskan secara etnisitas. Berbagai persoalan yang terkait dengan isu keadilan dan kesetaraan kelompok etnis dalam gereja HKBP mencuat satu persatu. Perjuangan Orang Pakpak untuk mendirikan gereja sendiri, lepas dari HKBP, makin menguat sehingga akhirnya lahir gereja khusus Orang Pakpak, yaitu Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), hasil keputusan Sinode Agung HKBP di Sipoholon tahun 1991. GKPPD ini lahir setelah melalui perjuangan yang cukup hebat bahkan sempat menimbulkan pertikaian sampai melibatkan aparat militer. Seperti diketahui pemisahan seperti ini, selain berselimut sentimen etnisitas, juga terkait dengan keadilan pembagian aset gereja HKBP-Simerkata Pakpak. Sejak saat itu Orang Pakpak Kristen merasa lebih lega, bisa terlepas bukan saja dari kungkungan bahasa dalam beribadah tetapi juga dari ketergantungan kepada manajemen HKBP yang didominasi oleh Orang Batak Toba. Kedua, ketika Orang Pakpak ingin memisahkan diri dari Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibukota Tarutung. Tarutung adalah daerah yang menjadi salah satu pusat terpenting dalam keseluruhan wilayah leluhur Orang Batak Toba7. Pada waktu itu, Orang Pakpak ingin mendirikan sebuah kabupaten tersendiri, lepas dari Kabupaten Tapanuli Utara yang birokrasinya didominasi oleh Orang Batak Toba28. Kabupaten baru yang ingin dilahirkan itu akan diberi nama Kabupaten Pakpak agar nama Pakpak tidak ditenggelamkan oleh 7 Nama lain wilayah ini dalam sistem pengelompokan sosial tradisional Batak Toba adalah Silindung. Pengelompokan sosial tradisional lainnya adalah Samosir, Humbang dan Holbung. 8 Wacana resmi menyebut terputusnya jalan darat antara Sidikalang dengan Tarutung karena pemberontakan PRRI, menyebabkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memutuskan ―guna menghindari kevakuman pemerintahan― membentuk Wilayah Administratif Dairi (Surat Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 656/UPS/1958 tanggal 28 Agustus 1958). Tetapi, wacana resmi juga mengakui bahwa masyarakat di wilayah administratif yang bernama Dairi itu terus menuntut didirikannya daerah otonom yang lepas dari Tapanuli Utara. Akhirnya keluar Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor. 4 tahun 1964 tanggal 13 Pebruari 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi, yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No.15/1964 tentang Pembentukan Kabupaten Dairi.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Tapanuli yang nyaris identik dengan Batak. Namun dalam realisasinya, kabupaten yang berhasil terwujud adalah Kabupaten Dairi pada tahun 1964 ―bukan Kabupaten Pakpak seperti diinginkan Orang Pakpak― karena Bupati Kabupaten Tapanuli Utara, Parel Pasaribu, selaku bupati di kabupaten induk, tidak setuju dengan nama Pakpak tersebut sebagai nama kabupaten. Orang Pakpak tentu tidak puas dengan keputusan pemerintah yang dirasa tidak menghargai aspirasi mereka, namum secara politik mereka tetap menerima dan tidak menolak. Ketiga, ketika menurut berbagai sumber tertulis, juga percakapan lisan, bahwa penduduk terbesar Kabupaten Dairi adalah Batak Toba. Data mutahir kependudukan yang mengandung keterangan suku-bangsa atau kelompok etnis, tidak pernah ditemukan kecuali pada tahun 1930. Menurut data sensus 1930 (Purba & Purba 1998: 39) jumlah Orang Toba di Dairi sebanyak 24. 893, Pakpak 18.888, Karo 8.892, Simalungun 548, Angkola 42, Mandailing 29, dan Batak lainnya 15 orang. Dewasa ini data sejenis tidak tersedia namun para informan dapat merasakan bahwa sebaran terbesar orang Batak Toba di wilayah (suak) Keppas dan Pegagan. Di dua suak ini orang Pakpak sudah menjadi minoritas. Wilayah di mana Orang Pakpak sebagai mayoritas hanya tinggal di suak Simsim ―suak Simsim nyaris identik dengan penjumlahan luas wilayah Kecamatan Salak, Kecamatan Si Telu Tali Urang Jehe dan Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Dairi. Wilayah ini sering dijuluki orang sebagai suaka Orang Pakpak karena mayoritas penduduknya masih Orang Pakpak. Keempat, keadaan di wilayah (suak) Simsim —yang penduduknya mayoritas Orang Pakpak Simsim — bila dibandingkan dengan suak Keppas dan Pegagan yang sudah didominasi Orang Batak Toba, boleh dikatakan lebih te r t i n g g a l s o s i a l - e k o n o m i n y a .
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
S o l i n ( 1 9 9 8 : 110―111) mengatakan, “Kecamatan Salak dan Kerajaan sebagai pusat paling dominan budaya dan penutur Pakpak merupakan dua kecamatan yang jauh tertinggal dibanding dengan kecamatan lain di Kabupaten Dairi dalam berbagai bidang, sarana dan prasarana sehingga sumber daya manusia dari dua kecamatan ini selalu tertinggal dibanding dengan kecamatan lain”. Sosial-ekonomi terbaik di Kabupaten Dairi tentu saja Sidikalang. Sidikalang adalah ibukota Kabupaten Dairi, dan secara tradisional masuk dalam suak Keppas. Di sini bangunan-bangunan perkantoran pemerintah, juga sarana pendidikan, lebih banyak dibangun. Penduduknya tidak hanya bekerja di bidang pertanian, tetapi juga sebagai pedagang dan pegawai negeri. Orang Indonesia, lazim mengaitkan okupasi pegawai (negeri atau swasta) dengan kemajuan atau modernisasi. Lawannya adalah pertanian yang tradisional, yaitu okupasi yang berkaitan dengan pengolahan lahan/tanah (sawah dan ladang) serta penangkapan oleh nelayan secara manual dan subsisten. Alasan dari pengaitan macam ini, kalau menurut orang Batak Toba, tidak lain karena okupasi pertama (pegawai) dengan syarat pendidikan —dalam hal ini pendidikan Barat (sekolah)— sementara yang lainnya (pertanian) tidak. Oleh sebab itu, okupasi yang pertama, yaitu pegawai, adalah okupasi yang dianggap modern, baru atau maju, sedangkan yang kedua (pertanian) adalah tradisional, lama, dan terbelakang. Penduduk Simsim masih lebih banyak bergelut dalam pertanian, mengolah tanah, tanpa memerlukan pendidikan sekolah. Semua ketertinggalan yang dirasakan oleh Orang Pakpak ini, menurut informan saya, tidak bisa dilepaskan dari sentimen-etnis aparatur Pemerintah Daerah Dairi yang birokrasinya senantiasa dikendalikan bukan oleh Orang Pakpak.
207
Tabel 1 Perbandingan Beberapa Indikator Kemajuan Antara Wilayah (Suak) Simsim dan Non-Simsim (Keppas dan Pegagan)
Dahulu, Orang Bata Toba yang telah mengenyam pendidikan sekolah bermigrasi ke Dairi. Banyak dari mereka kemudian mengisi posisiposisi birokrasi pemerintah jajahan di tanah leluhur Orang Pakpak. Bahkan sampai masa kemerdekaan RI, dan terkahir ketika Kabupaten Dairi berdiri tahun 1964, orang Batak Toba masih memimpin dalam dunia birokrasi di Dairi. Reputasi tersebut terus bertahan hingga masa ketika Kabupaten Dairi akhirnya dimekarkan (dibelah menjadi dua kabupaten) pada tahun 2003. Partisipasi Orang Pakpak dalam dunia eksekutif pemerintahan Kabupaten Dairi masih sangat kecil dibandingkan
208
dengan Orang Batak Toba. Begitu juga dalam dunia legislatif, dan yudikatif. Orang Batak Toba masih jauh lebih unggul dari segi jumlah ketimbang Orang Pakpak. Oleh sebab itu sulit membayangkan suatu kemenangan bagi Orang Pakpak kalau harus bersaing dengan Orang Batak Toba dalam menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan. Kelima, dalam kehidupan sehari-hari ―di pasar, kantor, sekolah dan juga dalam upacara keagamaan di Gereja― Bahasa Batak Toba menjadi bahasa pengantar (bahasa pergaulan). Setiap Orang Pakpak pasti bisa berbahasa Batak Toba karena sejak di sekolah para murid
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
dari kalangan Orang Pakpak sudah bersentuhan dengan Bahasa Batak Toba. Anak-anak Pakpak menyerap dengan cepat Bahasa Batak Toba yang mereka dengar, sehingga sangat fasih bertutur dalam Bahasa Batak Toba. Sementara itu dalam peribadatan, Orang Pakpak yang beragama Kristen Protestan, sejak mulai menginjakkan kaki di gereja, yaitu Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), mereka sudah harus bisa berbahasa Batak Toba9. Tidak heran jika kemudian ada pendapat yang mengatakan bahwa Orang Pakpak adalah dwibahasawan (Solin 1998), yaitu orang yang dapat bertutur dalam dua bahasa berbeda (Bahasa Pakpak dan Bahasa Batak Toba) dengan tingkat kefasihan relatif sama. Keenam, dalam hal marga. Orang Batak Toba telah menciptakan suatu silsilah (tarombo) yang meletakkan Orang Pakpak sebagai bagian dari keturunan nenek moyang Orang Batak Toba. Dengan silsilah ini perbedaan-perbedaan nama marga di antara Orang Batak Toba dan Orang Pakpak, itu dianggap hanya merupakan perbedaan istilah atau sebutan saja. Marga apapun yang ada di Pakpak, juga ada di Batak Toba. Marga Berutu di Pakpak, misalnya, sama dengan Sinaga di Batak Toba; Marga Siketeng di Pakpak, Sihotang di Batak Toba. Oleh sebab itu, banyak Orang Pakpak yang berganti marga ke marga Orang Batak Toba. Namun, Orang Batak Toba tidak ada yang menukar marga ke marga orang Pakpak10. Relasi timpang antara kelompok etnis Pakpak dan Batak Toba di atas, yang ternyata disadari oleh sebagian intelektual Orang Pakpak, itu dirasakan sangat menyakitkan. Ungkapan yang muncul dalam percakapan saya dengan seorang tokoh masyarakat Pakpak, dikenal sebagai sintua dan juga salah seorang 9 Walaupun ada HKBP-Simerkata Pakpak, Bahasa Batak Toba dalam pergaulan orang-orang gereja (di luar liturgi gereja yang berbahasa Pakpak) masih tetap dominan. 10 Ada informasi dari informan yang menyebutkan bahwa marga Habeahan di Pakpak sesungguhnya bukan Pakpak karena leluhur mereka ada di Samosir. Tetapi informasi ini masih sulit dikonfirmasi.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
pemrakarsa lahirnya GKPPD ―ketika saya mempertanyakan makna dari berdirinya Kabupaten Pakpak Bharat― melukiskan suasana emosional, hubungan antara Orang Pakpak dan Orang Batak Toba sebagai berikut: “Salah satu yang bisa diperjuangkan itu adalah GKPPD. GKPPD itu hasil perjuangan Pakpak seluruhnya. Belum ada terbetik berita tentang pemekaran daerah, kita sudah bergerak untuk mendirikan GKPPD. Karena dorongan apa? Karena ada cita-cita untuk mandiri. Karena dirasakan, ya itu tadi. Bukan saja dalam pemerintahan kita ter…ini istilah orang itu kita pinjam…terjajah. Terjajah kita di bidang adat! Terjajah kita di bidang Pendidikan! Terjajah kita di bidang Agama! Agama tidak salah, tetapi dalam pelaksanaannya kita ini bisa jadi alat.”
Intinya ada perasaan terjajah. Terhinakan martabat dan harga diri kesukuan disebabkan oleh dominasi kelompok lain di tanah leluhur sendiri, yang dirasa makin tidak adil oleh masyarakat dari kalangan Orang Pakpak. Perasaan-perasaan seperti inilah yang kemudian menghidupkan kesadaran Orang Pakpak untuk bangkit dan bersatu melakukan perubahanperubahan dalam berbagai hubungan yang dianggap timpang. Pemekaran: Membangun Martabat dan Harga Diri Kelompok Etnik Secara teoritis, ketegangan yang dialami Orang Pakpak akibat hubungan yang timpang dengan Orang Batak Toba di atas bisa terjadi karena ada sentimen etnis yang berakar pada ‘perasaan-paling-dalam’ warga Pakpak. Sentimen etnis tersebut dapat memancarkan energi untuk menggerakkan orang melakukan sesuatu guna meraih keadaan yang labih baik, termasuk pemekaran Dairi dan melahirkan Pakpak Bharat. Geertz menyebut primordial attachments (ikatan-ikatan primordial) ―suatu ikatan yang berasal dari “unsur-unsur
209
bawaan” (givens) seperti misalnya hubungan kekerabatan, dan juga keadaan bawaan karena terlahir dalam komunitas agama tertentu, bertutur dengan bahasa tertentu, dialek bahasa tertentu, bahkan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu― itu sebagai sesuatu yang bersifat emosional. Geertz menyatakan bahwa primordial ini mempunyai kekuatan memaksa yang terkadang terlalu kuat: “These congruities of blood, speech, custom and so on, are seen to have an ineffable, and at times overpowering, coerciveness in and of themselves” (Geertz 1973: 259). Itulah yang dirasakan oleh Orang Pakpak ketika mereka sadar melihat kehadirannya di dalam relasi-relasi dengan kelompok etnis lain. Sementara itu Isaacs (1993 [1974]) mengilustrasikan aspek emosional etnisitas melalui apa yang disebutnya Rumah Muumbi. Istilah ini diambilnya dari Suku Kikuyu di Kenya. Orang Kikuyu di Kenya rupanya bersumpah setiap tahun guna meredakan ke t eg a ng a n a nt a r su k u d i sa na . Dala m su mpa h nya mereka berikrar: “Aku tidak akan meninggalkan Rumah Muumbi”. Muumbi, kata Isaacs, adalah seorang leluhur. Rumahnya merupakan rahim ibu tempat semua orang Kikuyu dikandung dan dilahirkan, dan tempat semua orang Kikuyu dibesarkan. Dengan sumpah itu, terang Isaacs selanjutnya, setiap (orang) dari suku itu menyatakan loyalitas mereka kepada suku, lebih dari pada segalanya. Isaacs menegaskan bahwa: “Tidak hanya di Kenya, namun di mana-mana di seluruh bumi ini terdapat Muumbi, nenek moyang yang mengilhami rumah-rumah semacam itu. Masyarakat yang hidup di dalamnya tergabung lebih akrab dan lebih bersatu daripada sebelumnya. Mereka yang pergi ke tempat-tempat yang lain untuk melihat kehidupan lain di dunia ini, akan kembali pulang. Yang lain yang masih mencari tempat lain yang lebih terbuka untuk didiami kemudian menghentikan niatnya, karena tidak yakin ke mana mereka akan pergi. Di mana-mana rumah Muumbi yang mulai runtuh, dipugar kembali atau dibangun rumah-rumah yang baru” (Isaacs 1993 [1974]: 2).
Itulah yang juga dirasakan oleh Orang Pak-
210
pak ketika di tanah leluhurnya mereka mulai tersisih. “Rumah muumbi” memanggil mereka untuk pulang. Melakukan sesuatu yang lebih keras dari sebelumnya. Mereka harus bersatu, tidak boleh cekcok, tidak mau dipecah belah, supaya dapat memperbaiki posisi tawar mereka terhadap kelompok lain mana pun. Hale (2008:16) ketika membahas etnisitas, juga menekankan sisi emosional etnisitas itu. Ia mengatakan: “Orang mendapat martabat, harga diri, dan/atau perasaan memiliki, itu adalah karena ia menjadi bagian dari suatu kelompok etnis yang dianggap lebih baik dari pada kelompok atau sekumpulan kelompok yang lain. Alasan kunci mengapa orang mengidentifikasi begitu kuat dengan kelompok etnis―bahkan sampai mau membunuh atau mau mati demi kelompok mereka― adalah karena halhal itu terkait secara inherent dengan perasaan manusia paling dalam, hal-hal yang mengobarkan darah, kebutuhan untuk martabat, harga diri, dan atau keterlibatan.”
Tidak pantas kelompok etnis sebaik yang dia miliki, begitu kira-kira logika di balik ketersinggungan anggota sesuatu kelompok etnis, jika diperlakukan tidak adil oleh kelompok etnis lainnya. Oleh sebab itu, seperti kata Hale, mereka mau berbuat kasar seperti membunuh ataupun sebaliknya dibunuh demi martabat dan harga diri. Bergeraknya suatu kelompok etnis secara sosial untuk mengatasi keadaan buruk yang dialami, menurut ahli yang mengamati pergerakan sosial di masyarakat, tak bisa dilepaskan juga dari proses globalisasi. Proses globalisasi dewasa ini mendorong masyarakat di manapun berada melakukan gerakan sosial untuk melindungi tanah, identitas budaya dan otonomi, serta mengembangkan kesadaran mengenai ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kesadaran mengenai penderitaan akibat pelanggaran HAM. Nash (2005:3) menegaskan: “Globalization processes related to the expansion and integration of capitalist investment, production, and markets in new areas have generated social movements of people mobilizing to protect their lands, their cultural identities, and their autonomy. At the same time, improved communication systems
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
and the development of a global civil society acting through grassroots movements and United Nations and nongovernmental organizations (NGOS) are promoting a growing awareness of inequities in the distribution of wealth and of misfortune related to human rights violations.”
Oleh sebab itu, peluang politik memekarkan Kabupaten Dairi, melahirkan harapan bagi Orang Pakpak untuk melakukan dekonstruksi atas ketimpangan yang ada. Informan saya mengatakan, banyak rapat-rapat dilakukan oleh Orang Pakpak di luar Komite —termasuk yang bersifat informal, yang terbatas pesertanya, dan bersifat sporadis— yang isinya membicarakan berbagai macam kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Orang Pakpak sehubungan dengan berlakunya UU No.22/1999. Isu sentral dari semua rapat dan pembicaraanpembicaraan di seputar ‘peluang’ yang terbuka menyusul pemberlakuan UU No.22/1999 itu mengenai identitas Pakpak, Orang Pakpak, atau keberadaan Orang Pakpak di masa depan. Dengan kata lain dapat disebut bahwa isu yang dibahas itu adalah isu etnisitas, isu primordial, isu yang berkenaan dengan ‘panggilan leluhur’ atau, panggilan rumah muumbi. Kenapa nama ‘Pakpak’ diinginkan menjadi nama kabupaten? Untuk apa nama Pakpak harus dikedepankan? Itu adalah pokok permasalahan yang diajukan dalam musyawarahmusyawarah. Dari penyelidikan yang saya lakukan, jawabannya ada dua. Pertama, karena wilayah Kabupaten Dairi itu merupakan wilayah tradisional suku bangsa Pakpak; tanah leluhur Orang Pakpak dari sub-kelompok Pakpak Simsim, Keppas, dan Pegagan. Idealnya, menurut pandangan emik Orang Pakpak, wilayah dimaksud bernama Pakpak! Tanah Pakpak atau Kabupaten Pakpak. Bukan Dairi! Dairi adalah sebuah nama yang tidak punya makna secara tradisional-kultural; nama yang lebih menggelorakan emosi-kesukuan Orang Pakpak karena nama itu menyimpan sejarah kekalahan politis dalam negosiasi politik
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
tokoh-tokoh Pakpak atas Orang Batak Toba tahun 1964, saat pertama kali pemerintah akan mendirikan Kabupaten Dairi sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Kedua, karena “hanya tinggal”11 Orang Pakpak yang identitas kelompok etnisnya tidak menjadi nama kabupaten. Ini menurut pandangan dan perasaan subjektif Orang Pakpak. Orang Karo mempunyai Kabupaten Karo. Orang Simalungun mempunyai Kabupaten Simalungun, dan Orang Nias mempunyai Kabupaten Nias. Kenapa Orang Pakpak tidak bisa mendirikan Kabupaten Pakpak dengan cara mengganti Dairi yang wilayahnya merupakan tanah leluhur Orang Pakpak? Ini pertanyaan yang senantiasa menggugah emosi kesukuan Orang Pakpak; menyentuh dimensi-dimensi kemanusian, rasa keadilan dan kesetaraan di antara sesama warga masyarakat di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Sampai saat ini gagasan ideal mengganti Dairi dengan Pakpak belum tercapai, melainkan baru mendirikan Kabupaten Pakpak Bharat. Membelah Dairi menjadi dua dan membiarkan sebagian daripadanya dinamai dengan Pakpak; sebagian lagi masih tetap Dairi. Namun demikian, hal ini sudah dianggap cukup realistis secara politis untuk saat ini. Dirangkum dari berbagai pendapat informan, saya menyimpulkan bahwa pilihan ini memang realistis karena: (1) mempertimbangkan berbagai kemungkinan resistensi dari kelompok etnis Batak Toba di satu pihak, dan di lain pihak kemampuan Orang Pakpak menghadapi resistensi tersebut (2) mempertimbangkan saat UU N0.22/1999 masih baru berlaku sehingga persyaratannya masih relatif longgar.
11 Kata ‘hanya tinggal’ di sini lebih bersifat emosional ketimbang rasional, karena sebenarnya masih banyak kabupaten di Sumatera Utara yang tidak dinamai dengan nama kelompok etnis penduduknya. Sebagai contoh kota/kabupaten Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tanjung Balai, Labuhan Batu, dan lain-lain. Tetapi ketika emosi-kesukuan berbicara, maka kata itu menjadi wajar digunakan untuk menambah bobot signifikansi emosionalnya.
211
Sosok Bupati Dairi saat itu, M.P. Tumanggor, adalah putra Pakpak dari suak Kelasen; dan (3) mempertimbangkan strategi perjuangan bertahap yang optimistik, di mana Kabupaten Pakpak yang akan dilahirkan saat ini adalah sebuah tahap permulaan bagi upaya yang lebih besar nantinya, yakni mendirikan Provinsi Pakpak! Menggabungkan kelima suak ke dalam satu Provinsi, yaitu Provinsi Pakpak Raya. Menurut M.T. Banurea, salah seorang sesepuh masyarakat Pakpak, suak Keppas dan Pegagan yang menjadi inti Kabupaten Dairi sekarang, tidak boleh lepas dari ikatan Orang Pakpak, walaupun secara administrasi pemeritahan mereka terlepas dari Pakpak Bharat. Orang Pakpak, di mana pun berada, baik itu Simsim, Keppas, Pegagan, Kelasen atau Boang, sama saja. Mereka adalah satu karena darahdagingnya satu. “Pakpak adalah darah daging kita”, kata M.T. Banurea, mantan Sekretaris Daerah dan mantan Ketua DPRD Kabupaten Dairi ini. Dia menceritakan kepada peneliti tentang persatuan Orang Pakpak yang akan pudar ketika berbeda kabupaten, “Pernah kami Orang Pakpak di Medan ini dialog dulu di sini (menunjuk ke suatu tempat jauh di luar rumahnya). ‘Apa rupanya kata kalian pengertian Pakpak, tanya saya”. Kalian jangan sampai salah. Kalau sudah disebut Pakpak, yang darah-daging kalian lah itu. Jadi pikiran itu harus luas, cakrawala harus luas! Orientasi harus kepada Pakpak! Jadi jangan nanti kalianpun tidak mendukung atau keberatan Pakpak Bharat. Anda sudah termasuk di dalamnya.......jadi itu yang baru kita capai...ya itulah. Sekarang Pakpak Bharat.”
Polemik di seputar isu mendirikan Kabupaten Pakpak Bharat yang berarti meninggalkan tanah leluhur Dairi, dan membiarkannya diurus orang lain, dipatahkan dengan satu pertanyaan: “Kapan Orang Pakpak bisa menjadi Bupati jika selalu tinggal sebagai minoritas di Dairi? Jumlah populasi sedikit, sementara rekrutmen pemimpin melalui mekanisme Pemilu-
212
kada langsung?”. Pertanyaan ini meyiratkan pemikiran politis yang menyatakan adanya pertalian antara masalah martabat atau harga diri kelompok etnis dengan jabatan-jabatan publik. Dalam jabatan publik, dilekatkan unsur harga diri, rasa bangga dan kemenangan oleh Orang Pakpak. Makin tinggi jenjang jabatan publik yang diduduki dalam hirarki organisasi pemerintahan, makin tinggi pula harkat dan martabat dari kelompok etnis tempat pejabat tersebut berasal. Begitu pula apabila makin banyak jabatan-jabatan publik tersebut —terutama jabatan strategis— dipegang oleh orang orang-orang dari kelompok etnis mereka, maka mereka akan bangga. Tetapi dalam kenyataan di lapangan, Orang Pakpak kalah dengan Orang Toba dalam urusan merebut jabatan-jabatan publik di Kabupaten Dairi. Kekalahan ini akan terus bertahan karena ‘jaringan Toba’ sudah sangat luas, lama, dan cukup mapan bertahan dalam birokrasi pemerintahan setempat. Dalam kondisi seperti itu, Orang Pakpak tidak akan bisa maksimal memobilisasi dan meningkatkan harkat dan martabat kelompok etnis mereka jika mereka tidak segera menguasai birokrasi pemerintahan kabupaten. Kabupaten Pakpak Bharat yang akan dibuat dapat memastikan pemimpinnya Orang Pakpak; bupati dan pejabat-pejabat publik lainnya Orang Pakpak. Secara nasional, ini membanggakan suku atau kelompok etnis: ada pejabat Bupati, ada pejabat lainnnya yang Orang Pakpak; bisa mewakili Orang Pakpak bila ada pertemuan-pertemuan antar Bupati se-Indonesia. Ini adalah soal eksistensi, identitas, dan harga diri kelompok etnis12. Selain karena rasa bangga bila anggota dari kelompok etnis Pakpak yang menjadi pejabat Bupati, kelak akan peduli kepada kelompok etnis Pakpak, juga menjadi alasan atau argumen mendirikan Kabupaten Pakpak. “Kesetiaan 12 Informan saya dengan senang hati memberi tahu nama-nama mantan pejabat yang Orang Pakpak kepada saya, walaupun dengan nada yang rada getir mengingat pejabat dimaksud, katanya, sudah sangat terkenal tetapi menyandang identitas marga non-Pakpak. Mereka antara lain seorang mantan Dirjen ber-marga Sibero, mantan Bupati ber-marga Ginting, Mantan Bupati bermarga Purba, dan seorang Profesor kedokteran bermarga Sihotang. Informan kami mengatakan dirinya, sebagai Orang Pakpak, ikut bangga dengan reputasi tokoh-tokoh tersebut.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Bupati yang Orang Pakpak kepada rakyat Pakpak tidak perlu diragukan lagi!”. Itu kesan yang tertangkap oleh saya dari pembicaraan dengan informan. Cara berpikir seperti ini terungkap dalam penjelasan informan dalam suatu percakapan berikut: “Kan lain itu kalau di situ Toba (maksudnya kalau Bupati Orang Toba - peneliti), gak mungkin membawa aspirasi Pakpak. Dibilangnya pun Pakpak, setengah nya itu. Belum tentu pun itu setengah. Entah kadang hanya sepertiga ‘kan? [...] Tapi kalau orang Pakpak dia, batin dan semangatnya satu ‘kan?. Begitulah cita-cita itu [...] Jadi dengan demikian Pakpak ini pada satu ketika bisa mensejajarkan dirilah dengan suku-suku yang ada di sekitarnya. Dengan pengertian supaya jangan lagi ada yang memarjinalkan Pakpak.”
Gagasan mendirikan kabupaten baru, Kabupaten Pakpak Bharat, memang akhirnya didukung secara luas oleh masyarakat Pakpak. Tidak hanya oleh orang Pakpak yang berdomisili di Kabupaten Dairi, tetapi juga oleh Orang Pakpak di suak/lebbuh lain, misalnya Orang Pakpak Kelasen di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah, serta Orang Pakpak Boang di Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil, Nanggro Aceh Darussalam. Tidak terkecuali Orang-Orang Pakpak yang berada di perantauan, seperti Medan dan Jakarta, ikut mendukung gagasan realistis ini, mendirikan Kabupaten Pakpak yang terpisah dari Dairi! Dukungan dimaksud, kata informan, tidak hanya secara moral tetapi juga material. Orang Pakpak di perantauan banyak mengeluarkan dana untuk berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Komite123 , di antaranya seperti menyambangi komunitas-komunitas Orang Pakpak di berbagai tempat untuk mencari dukungan secara sosial, ekonomi, politik 13 Seorang informan kami menyebutkan dirinya pernah terlibat atau diajak oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengadakan sosialisasi dan jajak pendapat sehubungan dengan rencana pemekaran Dairi dan pelahiran Papak Bharat ke berbagai lebbuh/ suak Orang Pakpak. Hasilnya secara umum Orang Pakpak di mana pun berada mendukung didirikannya Kabupaten Pakpak, terpisah dengan Kabupaten Dairi.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
dan kultural. Ini semua memerlukan biaya yang cukup besar. Menurut informan, dukungan-dukungan sosial dari berbagai komunitas Pakpak sangat penting artinya134 . Dukungan dari masyarakat membuat proses pemekaran yang harus dilalui secara formal menjadi lebih lancar. Minimal tidak ada gangguan, seperti demonstrasi atau berkirim surat penolakan kepada pihak-pihak yang berwenang, oleh kelompok-kelompok berkepentingan yang sifatnya bisa memengaruhi sikap para pengambil keputusan. Begitu juga dari kalangan Orang Toba penduduk Kabupaten Dairi, sama sekali tidak ada keberatan. Menurut informan, walaupun mereka tidak menyatakan dukungan, mereka juga tidak menyatakan penolakan secara formal dan terangterangan. Pemerintah cukup aman mengambil sikap atau keputusan berkenaan dengan adanya usul pemekaran Kabupaten Dairi dari pihak Komite. Penutup Pemekaran Kabupten Dairi, seperti pemekaran kabupaten lain di Indonesia, walaupun ditutupi secara resmi, sebenarnya berselimut sentimen etnis. Pemekaran yang diselimuti oleh sentimen etnis, tidak selalu menimbulkan kekerasan, karena hal itu sangat tergantung pada politik etnisitas yang dijalankan oleh para pihak. Politik etnisitas Orang Pakpak dalam pemekaran Kabupaten Dairi melahirkan Kabupaten Pakpak Bharat, menunjukkan caracara damai, mengedepankan dialog, sehingga terhidar dari benturan fisik. Cara-cara damai yang ditempuh dalam politik etnisitas, sama sekali tidak mengurangi sentimen etnis dan kecintaan terhadap ‘rumah muumbi’. Pelanpelan namun jelas kelihatan, secara politik, etnisitas Orang Pakpak membentangkan visi membangun Provinsi Pakpak Raya. 14 Dalam surat Bupati Kabupaten Dairi No. 136/1653/2002 Sidikalang 23 April 2002 perihal: Usul Pemekaran Kabupaten Dairi, yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri Cq. Gubernur Sumatera Utara dan Ketua DPRRI di Jakarta, juga disebutkan sebagai pertimbangan: “surat-surat dukungan dari berbagai Organisasi Politik, Organisasi Masyarakat dan LSM”.
213
Referensi Benda-Beckmann, Franz von dan Keebet von Benda-Beckmann 2011 “Identitas Dalam Perselisihan di Minangkabau”, dalam Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail (peny.), Kegalauan Identitas: Agama, Identitas dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Hlm. 15−39. Berutu, Lister dan Nurbani Padang (peny.) 1998 Tradisi dan Perubahan Konteks Masyarakat Pakpak. Medan: Monora. Geertz, Clifford 1973 The Interpretation of Culture. New York: Basic Books, Inc., Publishers. Hale, Henry E. 2008 The Foundations of Ethnic Politics: Separatism Of States And Nations In Eurasia And The World. Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo: Cambridge University Press. Hanley, David dan Jamie S. Davidson 2010 “Pendahuluan: Konsevatisme Radikal – Aneka Wajah Politik Adat”, dalam Jamie S. Davidson, David Hanley dan Sandra Moniaga, Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. Hlm. 1−55. Isaacs, Harold R. 1993 Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Identitas Kelompok dan Perubahan Politik. Jakarta: YOI. Nash, June 2005 “Introduction: Social Movements and Global Processes”, dalam June Nash (peny.), Social Movements an Anthropological Reader. USA, UK, Australia: Blackwell Publishing. Hlm. 1−26. Purba, O.H.S dan Elvis F. Purba 1997 Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak): Sebab, Motif, dan Akibat Perpindahan Penduduk dari Dataran Tinggi Toba. Medan: Monora. 1998 Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara: Suatu Deskripsi. Medan: Monora. Solin, Mutsyuhito 1998 “Bahasa Pakpak dan Gambaran Masyarakat Pemakainya”, dalam Lister Berutu dan Nurbani Padang (peny.), Tradisi dan Perubahan Konteks Masyarakat Pakpak. Medan: Monora. Hlm. 107−123. Sukma, Rizal 2005 “Ethnic Conflict in Indonesia: Causes and the Quest for Solution”, dalam Kusuma Snitwongse dan W. Scott Thomson (peny.), Ethnic Conflicts in Southeast Asia. Singapore: Institute Of Southeast Asian Studies. Hlm. 1−41. Tambiah, Stanley J. 1994 “The Politics of Ethnicity”, dalam Robert Borofsky (peny.), Assessing The Cultural
214
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Anthropology. New York: McGrawl-Hill. Hlm. 430–442. Vel, Jacqueline 2007 “Campaigning for a New District in West Sumba”, dalam Henk Schulte Nordholtdan Gerry Van Klinken (peny.), Renegotiating Boundaries Local Politic in Post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. Hlm. 104−119.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
215
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email
[email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.
Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. copyright © 2010 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected]
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 33 NO. 3 2012
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten 159 Ayatullah Humaeni Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki
di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores 180 J. Emmed M. Priyoharyono Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska Pengelolaan Sumber Daya Laut Kawasan Terumbu Karang Takabonerate dan Paradigma Komunalisme Lingkungan Masyarakat Bajo Masa Lalu Munsi Lampe
203
216
Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala 228 Timo Kaartinen