ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 September-Desember 2012
Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores
Vol. 33 No. 3 September-Desember 2012
Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Tony Rudyansjah
Redaksi Pelaksana
Dian Sulistiawati, Irwan M. Hidayana, Dave Lumenta.
Manajer Tata Laksana
Imam Ardhianto
Administrasi dan Keuangan
Sri Paramita Budi Utami
Sekretaris
Sarah Monica, Shabrina, Astrid Puspitasari
Distribusi dan Sirkulasi
Febrian
Pembantu Teknis
Geger Riyanto, Amira Waworuntu, Muhammad Damm
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 33 NO. 3 2012
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten 159 Ayatullah Humaeni Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki
di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores 180 J. Emmed M. Priyoharyono Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska Pengelolaan Sumber Daya Laut Kawasan Terumbu Karang Takabonerate dan Paradigma Komunalisme Lingkungan Masyarakat Bajo Masa Lalu Munsi Lampe
203
216
Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala 228 Timo Kaartinen
Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores J. Emmed M. Prioharyono1 Universitas Indonesia
Abstrak Artikel ini membahas relevansi penerapan konsep sumber asal-usul (source of origin) dan konsep sistem pengutamaan (system of precedence) posisi dalam hierarki maupun struktur social, yang memberikan legitimasi Mosalaki Lio untuk mereproduksi kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari dari hasil konstruksi dan produksi mereka, terutama dalam sistem politik tradisional. Data dianalisis dalam artikel ini adalah hasil dari penelitian lapangan yang dilaksanakan di Desa Nggela dan Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende Lio, Flores, dengan metode kualitatif, khususnya melalui teknik-teknik wawancara mendalam dan observasi partisipasi. Para Mosalaki, dalam kenyataannya, mendominasi sistem politik tradisional sebagai pemimpin adat dan tanah adat. Praktik-praktik kekuasaan mereka diwujudkan terutama dalam kegiatan dan pengelolaan hak-hak tanah tradisional. Hak-hak yang terlegitimasi ditransmisikan melalui garis keturunan patrilineal, dan berdasarkan sumber asal-usul dan sistem pengutamaan posisi dalam hierarki maupun struktur sosial, dalam kehidupan Lio. Kata kunci: sumber asal-usul, sistem pengutamaan, sistem politik tradisional, reproduksi kekuasaan Abstract This article discusses the relevance of applying the concepts of source of origin and system of precedence, that provide legitimacy for the Mosalaki of Lio in their construction and production as well as reproduction of power in everyday life, especially in their traditional political system. The data analyzed in this article is the result of fieldwork undertaken in the villages of Nggela and Tenda, District of Wolojita, the Regency of Ende Lio, Flores, with qualitative methods, specifically through the techniques of in-depth interviews and participant observation. The Mosalakis, as a matter of a fact, dominate the traditional political system as rulers of adat and adat land. Their practices of power are manifested mainly in ritual activities and the management of traditional land rights. The legitimated rights are transmitted through patrilineal descent, and is based upon source of origin and system of precedence, that are embeded in Lio culture. Key-words: source of origin, system of precedence, traditional political system, reproduction of power
1 J. Emmed M. Prioharyono, dosen Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. E-mail:
[email protected]
180
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Pendahuluan Masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia Timur sebagai salah satu wilayah persebaran penduduk Austronesia di Asia Tenggara, menjadi wilayah kajian Antropologi sejak era kolonial Belanda. Pada tahun 1935, J.P.B. de Josselin de Jong memperkenalkan konsep dasar kajian-kajian pembahasan dengan judul “De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld” di Universiteit Leiden. Konsep dasar ini secara garis besar membahas mengenai adanya kesamaan dan keselarasan dari karakteristik budaya yang umum ditemukan dan direfleksikan dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat Indonesia. Hal ini pun kemudian berkaitan erat dengan tulisan “Sociale structuur typen in de Groote Oost,” yang ditulis oleh F.A.E. van Wouden di tahun yang sama. Menurut van Wouden suku bangsa di wilayah Nusa Tenggara khususnya, memiliki tipe struktur sosial yang menunjukkan pola yang sama. Selain itu, hasil penerapan metode komparatifnya pada suku bangsa di pulau Sumba, Flores, Buru, Ambon, Seram dan Timor, mengenai sistem klen, mitos-mitos, dan pengorganisasian sosial, serta bentuk kesatuan-kesatuan politik asli menunjukkan pola yang kurang lebih sama (van Wouden 1935). Seperti adat perkawinan sepupu silang (cross cousin marriage) merupakan karakteristik budaya yang umum terdapat dalam suku bangsa tersebut. Kajian-kajian Antropologi yang berlandaskan konsep ESV (etnologisch studie veld) merupakan cerminan perkembangan aliran strukturalisme Leiden ketika itu. Dalam Konteks yang kurang lebih selaras, Fox memperkenalkan konsep origin structures, dalam kuliah umum berkaitan dengan De Wisselleer-stoel Indonesische Studien, Universiteit Leiden, pada tanggal 17 Maret 1988. Namun, cakupan operasionalisasi konsep ini tidak terbatas hanya dalam ruang lingkup masyarakat Indonesia sebagai etnologisch studie veld, melainkan mencakup masyarakat-masyarakat di wilayah persebaran penduduk Austronesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
wilayah Asia Tenggara. Menurut Fox (1988 :8), para peneliti perlu mengalihkan perhatian dari model menjadi metafor, kemudian dari konstruksi dan penerapan tipologi-tipologi menjadi penjelasan dari simbol-simbol budaya yang mendasar (the exegesis of basic cultural symbols). Kedua substansi, yaitu model dan penerapan serta konstruksi tipologi-tipologi merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh konsep dasar etnologisch studie veld, dalam rangka penerapan studi komp a r at i f kebud aya a n su k u ba ngsa m a sya r a k at Indonesia. Para peneliti Antropologi Belanda selama beberapa dekade melandasi kegiatan penelitian mereka pada suku bangsa di Indonesia, dengan berpedoman pada konsep dasar tersebut (ESV). Dengan kata lain, Fox berargumentasi bahwa kerangka pemikiran ESV tersebut perlu dinalar lebih mendalam lagi, tidak hanya terbatas pada pembahasan model dan tipologi-tipologi tertentu. Kajian-kajian yang mendalam dapat dilakukan untuk memahami metafor dan simbol-simbol budaya yang mendasar, dalam cakupan kajian yang jauh lebih luas, yaitu dalam konteks masyarakatmasyarakat Austronesia di wilayah Asia Tenggara. Hasil kajian Fox terhadap sejumlah suku bangsa di Indonesia dan wilayah persebaran penduduk Austronesia lainnya, menunjukkan bahwa konsep origin structures yang kemudian disebut source of origin, merupakan sebuah konsep yang operasional. Konsep ini untuk menjelaskan sumber asal usul leluhur sebuah klen atau pun komuniti sosial. Melalui mitos-mitos yang tercakup dalam kebudayaan sebuah suku bangsa dapat diperoleh penjelasan secara metaforik mengenai dasar, permulaan, dan awal perkembangan para leluhur. Dalam hal ini, seorang peneliti berkemungkinan menelusuri para leluhur awal dan keturunan genealogis selanjutnya. Dalam kenyataannya konsep sumber asal usul (source of origin) ini tidak semata-mata operasional dan berdasarkan prinsip keturunan genealogis saja, namun dapat pula ditelusuri berdasarkan konstituen-
181
konstituen lainnya, seperti misalnya melalui pura dalam suku bangsa dan kebudayaan Bali atau pun rumah klen (house based society) dan lokasi sebuah dusun atau desa bagi suku bangsa Atoni Pah Meto di Pulau Timor. Penjelasan dan pemahaman mengenai operasionalisasi konsep sumber asal usul tersebut, selanjutnya merupakan landasan bagi operasionalisasi konsep position of precedence atau system of precedence. Dengan kata lain, penjelasan mengenai sumber asal usul ini menentukan siapa yang paling pertama, diutamakan, dan dituakan (the first, foremost, elder, superior, greater) untuk menempati posisiposisi pusat dan terpenting dalam h ie r a r k i s u a t u k o m u n i t i sosial. Posisi dan status sosial tersebut, di sisi lain dapat merefleksikan kekuasaan yang dimiliki orang-orang tertentu, yang menduduki posisi-posisi tersebut. Para leluhur yang telah berjasa membuka sebuah lahan untuk dijadikan sebuah lokasi pemukiman, serta mengembangkan dan mengatur sebuah kesatuan sosial dalam wujud komuniti dusun atau desa, merupakan penduduk yang memiliki kekuasaan dibandingkan penduduk-penduduk lainnya. Kekuasaan ini selanjutnya diwariskan pada keturunan genealogis berikutnya berdasarkan pranata-pranata adat yang berlaku. Dalam tulisan ini saya akan membahas penerapan konsep sumber asal-usul (source of origin) dan konsep sistem pengutamaan posisi dalam hierarki maupun struktur sosial (system of precedence), dalam konteks posisi sosial dan kepemimpinan para Mosalaki sebagai kepala adat dalam masyarakat dan kebudayaan Lio, Flores. Pembahasan ini akan dikaitkan dengan praktik-praktik kekuasaan para Mosalaki dalam sistem politik tradisional di Desa Nggela dan Tenda, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende Lio, Flores. Ideologi Sumber Asal Usul (Source of Origin) Ideologi mengenai asal usul leluhur (source of origin) yang mencakup sejarah migrasi leluhur dari lokasi asal melalui proses migrasi
182
dan akhirnya datang ke sebuah lokasi tertentu, dimana mereka membuka lahan untuk dijadikan sebuah pemukiman, merupakan dasar legitimasi utama para Mosalaki. Para Mosalaki sebagai keturunan langsung para n e n e k m o y a n g m e w u j u d k a n praktik-praktik kekuasaan mereka. Generasi awal dari leluhur disebut ata nggoro, yang secara lengkapnya dijelaskan dalam ekspresi Lio: wa’u no’o mangu au turun memakai perahu nggoro sai fi’ijo datang dari dahulu kala. Mereka adalah leluhur langsung dari para Mosalaki. Para leluhur merupakan orang-orang yang telah berjasa, dalam mengawali kehidupan sebuah dusun dalam arti seluas-luasnya, termasuk menyediakan tanah dan mempertahankan dusun dari serangan dusun-dusun lainnya. Tanah adalah sumber kehidupan yang penting bagi komunitas-komunitas pedusunan, yang bermata pencaharian mengolah ladang dan kebun untuk menghasilkan bahan makanan pokok mereka sehari-hari sejak dahulu. Oleh karena itu kekuasaan para Mosalaki mencakup pula hak untuk mengelola tanah kolektif. Dalam hal ini, kekuasaan mereka diejawantahkan melalui hak mewariskan pada ana darinia (keturunan atau patrilineal langsung dari klen seorang Mosalaki) dan hak memberikan ijin pengolahan sebuah watas (bidang tanah garapan) pada anakalo fa’é walu. Mitologi-mitologi mengenai sejarah asal usul leluhur (source of origin) menunjukkan adanya pertalian antara masyarakat Lio di wilayah Pantai Utara Flores Tengah (daerah sekitar Desa Kanganara dan Desa Wologai) dengan mereka yang tinggal di wilayah selatan (Desa Nggela dan Desa Tenda). Me n u r u t merek a yang disebut terakhir, para leluhur datang melalui pantai utara dengan menggunakan perahu. Adakalanya disebut pula asal perahu yang berlabuh tersebut datang dari Jawa dan Malaka, yang selanjutnya mem-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
perkenalkan alat musik gong. Dalam sejarah kesenian nusantara, alat musik gong (sebagai komponen gamelan) memang berasal dari seni musik Jawa. Sejumlah kata-kata dalam Bahasa Lio memiliki kemiripan dan kesamaan dengan Bahasa Jawa, seperti misalnya kata bulan (wula/Lio dan wulan/Jawa), kuda ( jara/ Lio dan jaran/Jawa), padi (paré/Lio dan pari/ Jawa) dan ayam (manu/Lio dan manuk/Jawa). Bahasa Lio memang termasuk dalam keluarga Bahasa Austronesia, yang menyebar pula ke wilayah Nusa Tenggara Timur. Dari wilayah Pantai Utara Flores Tengah inilah, mereka mulai menyebar hingga ke wilayah selatan, yang antara lain bermukim di Desa Tenda dan Desa Nggela. Mitologi-mitologi yang berasal dari Desa Kanganara seperti yang diteliti oleh Howell (2000) dan Desa Wologai yang diteliti oleh Yamaguchi (1989), menjelaskan bahwa nenek moyang penduduk kedua desa tersebut adalah Anakalo yang berasal dari Gunung Lépé Mbusu; “Anakalo came to island of Flores in a small boat. He sat on top of the mountain Lépé Mbusu, which at that time was surrounded by water from which only its summit emerged. There was so little space that he had to crouch. Putting his food into his hand he had to eat straight out of the palm; it was impossible to use his fingers. He made a garden. However, someone stole the fruits at night. So he watcher the garden during the night in order to catch the thief. It was a red pig (wawi méra, this name also denotes a star). When Anakalo chased the cosmic tree which connects these with the earth. Anakalo cut the cosmic tree in anger. Then the heavens started to ascend, whereas the water receded, allowing the mountain to display its shape. Anakalo had many children with his sister. Yet all the infants died because Anakalo did not know how to cut the umbilical cord. Then
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
he decided to fashion the must of a boat into a knife with which to cut the umbilical cord (Yamaguchi, 1989: hlm. 482-483)”
Mitologi Anakalo dan istrinya tersebut kemudian ditransformasikan oleh para Misionari Katolik ke dalam metafor-metafor cerita genesis dalam perjanjian lama, yaitu Adam dan Hawa, manusia-manusia ciptaan Tuhan pertama. Kebun yang terdapat di puncak Gunung Lépé Mbusu merupakan taman Firdaus, tempat kedua makhluk manusia tersebut hidup (Howell 2000: 21). Anakalo, dalam hal ini memang lebih jelas disebut dalam mitologi masyarakat Lio yang bermukim di sekitar wilayah utara, tempat awal kedatangan nenek moyang dengan perahu yang berasal dari wilayah Pantai Utara. Gunung Lépé Mbusu juga terletak di sekitar wilayah utara. Saya berasumsi bahwa keturunan-keturunan selanjutnya dari Anakalo inilah kemudian disebut Ata nggoro, yang bermigrasi dan menyebar dari wilayah utara ke wilayah tengah dan kemudian ke arah selatan Flores Tengah. Dalam konteks ini Anakalo sebagai cikal bakal Ata nggoro, tidak disebut lagi dalam mitologi asal usul nenek moyang masyarakat Desa Nggela dan Desa Tenda, yang terletak di wilayah selatan Flores Tengah. Menurut penjelasan para informan saya, baik yang bermukim di Desa Nggela maupun di Desa Tenda, nenek moyang mereka berasal dari daerah Wewaria di wilayah utara. Mereka pun menjelaskan bahwa Ata nggoro (nenek moyang dari wilayah utara) berasal dari luar Pulau Flores−kemungkinan besar dari Pulau Jawa karena membawa memperkenalkan alat musik gong−yang datang dengan perahu dan berlabuh di Pantai Utara Flores Tengah (lihat Skema 1).
183
Skema 1. Mitologi Proses Migrasi Nenek Moyang Suku Bangsa Lio
Para Mosalaki di Desa Tenda meyakini bahwa Déra sebagai nenek moyang pertama adalah Ata nggoro yang berasal dari Wewaria (sebuah nama daerah di wilayah Maurole di Pantai Utara Flores Tengah). Secara hipotetis, saya rekonstruksikan proses migrasi berdasarkan hasil temuan lapangan Howell (2000) dan Yamaguchi (1989) mengenai konsepsi mitologi Anakalo sebagai cikal bakal nenek moyang Lio yang datang ke Flores dengan perahu dan bermukim di Gunung Lépé Mbusu. Dalam mitologi asal usul nenek moyang para Mosalaki di Desa Tenda dan Desa Nggela memang konsepsi Anakalo tidak disebut karena mitologi-mitologi
184
tersebut hanya memberikan sebutan Ata nggoro bagi nenek moyang yang datang dengan perahu dari luar Flores. Dengan kata lain, mitologi mengenai Anakalo merupakan sebuah fragmen yang tidak tercakup dalam mitologi sejarah asal usul nenek moyang para Mosalaki di Desa Tenda dan Desa Nggela. Selanjutnya keturunan-keturunan Anakalo mulai menyebar ke berbagai daerah, dimulai dari daerah Gunung Lépé Mbusu. Salah satu arah penyebaran ini sampai di daerah Wewaria, sebagai salah satu induk percabangan arah migrasi. Dari daerah ini, sekelompok nenek moyang melanjutkan perjalanan melalui daerah
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Desa Detusoko, Desa Wolotukuku−daerah pegunungan Kelibara− dan akhirnya tiba di Desa Tenda (lihat Skema 1). Itulah kisah perjalanan migrasi nenek moyang yang diceritakan oleh seorang Mosalaki di Tenda kepada saya. Ia menambahkan bahwa di setiap perhentian di sebuah desa, kelompok nenek moyang biasanya bermukim sekian lama, seperti misalnya di Detusoko. Kemungkinan besar, peperangan antar dusun yang sering terjadi di masa dahulu telah menyebabkan mereka berpindah mencari lokasi baru yang aman; “Mbu-mbu (kakek-kakek) saya pernah bercerita soal perang antar dusun jaman dahulu. Hidup di dusun dulu harus siap-siap menghadapi serangan musuh dari dusun lain. Dorang biasanya menyerang mau rebut tanah-tanah di dusun kami, ya… itulah mau meluaskan kekuasaan Mosalaki-mosalaki dorang (mereka). Itu sebabnya MosalakiMosalaki disini punya tugas juga untuk menjaga wilayah dusun di bagian timur. Jadi, Mosalaki juga bertugas sebagai Panglima Perang. Mereka juga punya macam-macam kekuatan magis supaya bisa memenangkan perang. Katanya dulu ada mantera-mantera khusus untuk perang.”
Déra sebagai nenek moyang pertama masyarakat Desa Tenda kemudian memiliki empat orang anak laki-laki, yaitu Léko, Ngguwa, Raja, dan Wondo. Dari ketiga anak tersebut, kecuali Wondo yang tidak berketurunan, lahirlah keturunan Mosalaki-Mosalaki yang berkuasa di Desa Tenda hingga sekarang. Mereka merupakan keturunan langsung dari Déra, nenek moyang pertama secara genealogis. Oleh karena itu, mereka dikategorikan sebagai Mosalaki besar karena hak, kekuasaan, dan kewenangan mereka lebih besar dibandingkan sebagai Mosalaki Lo’o (kecil). Mereka yang disebut terakhir bukanlah keturunan langsung dari Déra, melainkan berasal dari desa-desa tetangga yang bermigrasi dan menetap di Desa Tenda. Kisah-kisah mengenai asal usul kedatangan dan proses migrasi, serta genealogi
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
hingga generasi-generasi tertentu, dalam kenyataannya terangkum dengan jelas dalam mitologi asal usul nenek moyang para Mosalaki di Desa Tenda. Fox (1980) menjelaskan bahwa tema-tema mengenai source of origin (sumber asal usul) yang menghasilkan system of precedence merupakan hal penting yang perlu dikaji dalam studi-studi A nt ropologi, k h u s u s ny a dalam masyarakat Indonesia Timur. Tema-tema inilah yang menjadi sumber kerangka acuan bagi legitimasi sebuah kekuasaan dan adakalanya menjadi dasar sebuah hierarki sosial dalam masyarakat. Menurut saya kerangka teoretis ini sangat operasional dalam pengejawantahan praktik-praktik kekuasaan para Mosalaki. Relasi-relasi kekuasaan antar sesama Mosalaki dan antara mereka dengan penduduk non-Mosalaki, baik dalam konteks kegiatan-kegiatan ritual maupun kehidupan sosial sehari-hari, senantiasa mengacu dan berdasarkan hal-hal tersebut di atas. Meskipun dalam konteks kehidupan sosial antara para Mosalaki dan anakalo fa’é walu (commoners) mereka cenderung mewujudkan interaksi sosial berdasarkan prinsip egaliter. Namun dalam konteks kehidupan sosial tertentu, misalnya memanggil dan meminta Mosalaki untuk datang menghadiri rapat di Balai Desa merupakan hal yang tidak memungkinkan. Ideologi yang mencakup source of origin terefleksi pula dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Nggela. Menurut mitologi asal usul nenek moyang para Mosalaki, bermula dari cerita empat orang bersaudara kakakberadik yang berkuasa di Nggela. Mereka yang laki-laki bernama Nogo (ata tei mulutana/yang datang lebih awal), Tori (tou tata koba/memotong tanaman merambat/pembuka jalan), Nira (dai ma’u énga nanga/menjaga lokasi ujung desa dan wilayah pantai) dan yang perempuan adalah Nggela. Perjalanan migrasi mereka berawal dari Wewaria (Kecamatan Maurole, wilayah pantai utara Flores Tengah), kemudian secara bertahap mereka melakukan beberapa persinggahan dan bermukim di Desa Roga, Desa Waga, Desa Pora dan akhirnya tiba di
185
lokasi yang diberi nama Nggela, sesuai nama saudara perempuan mereka bertiga. Nogo, dalam hal ini berperan sebagai saudara tertua/ sulung yang melihat kondisi lokasi yang cocok untuk pemukiman mereka. Tori ber peran sebagai pembu ka jalan sambil menebas tanaman-tanaman yang merambat. Selanjutnya, Nira berperan sebagai penjaga pemukiman bagian selatan yang menghadap ke laut. Nggela dalam mitologi dikisahkan suatu hari sedang mandi di atas batu di pantai dalam keadaan telanjang bulat. Tidak jauh dari pantai berlayar sebuah perahu, seseorang dari perahu−yang disebut ata mangu mangulau laja ghawa/atau ata goa Jawa yang berarti orang yang naik sebuah perahu dengan tiang layar besar dari Jawa−melihat Nggela yang sedang mandi. Ia tertarik dan mendatangi pantai serta menghampiri Nggela yang sedang mandi di atas batu. Kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan Nggela menjadi hamil. Orang dari perahu tersebut mengajak Nggela untuk ikut bersamanya berlayar, namun ditolak oleh Ng-
gela yang mengatakan bahwa Ia memiliki tiga saudara yang tinggal di kampung. Selanjutnya Nggela mengajak orang yang telah menghamili dirinya masuk ke dalam kampung dan memperkenalkannya kepada tiga saudara lakilakinya. Akhirnya laki-laki ini diijinkan tingal di kampung dan diberikan sebuah rumah, yang sekarang dikenal sebagai Sa’o Ria (rumah adat besar). Hingga sekarang Sa’o Ria disimbolkan ke dalam kategori perempuan sebagai Nggela. Oleh karena itu, dalam adat istiadat khusus masyarakat Nggela, calon pengganti seorang Mosalaki harus lahir dari seorang wanita asli dari Nggela. Jika seorang Mosalaki menikah dengan seorang wanita dari luar Desa Nggela, maka anak laki-lakinya tak dapat dicalonkan sebagai pengganti Mosalaki. Solusinya adalah mencari calon pengganti lain anak laki-laki dari adik atau kakak Mosalaki yang meninggal yang menikah dengan wanita Nggela. Hingga sekarang keturunan dari empat bersaudra tersebut merupakan para Mosalaki, yang memiliki kekuasaan besar di Nggela (lihat Skema 2).
Skema 2: Garis Keturunan Patrilineal dari Nogo, Tori, Nira dan Nggela sebagai Nenek Moyang Para Mosalaki di Desa Nggela
Source of origin dan System of precedence dalam kenyataannya, memiliki makna penting dalam ideologi masyarakat Desa Tenda dan Desa Nggela. Para Mosalaki dari kedua Desa menceritakan riwayat asal usul nenek moyang mereka melalui ekspresi penuh kebanggaan, serta begitu meyakini riwayat tersebut, yang telah ditransmisikan dari satu generasi ke
186
generasi berikutnya melalui medium sejarah lisan (oral history). Bagi mereka s e j a r a h m e n g e n a i s u m b e r asal usul para nenek moyang merupakan sebuah keyakinan dan kebenaran, yang tak dapat diganggu-gugat oleh siapa pun. Ketika saya melakukan penelitian mengenai suku bangsa Ngadha di Desa Nagé, Kabupaten Bajawa, saya pun menyaksikan
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
para tetua adat setempat dalam upacara Reba melantunkan syair-syair tradisional mengenai sejarah asal usul dan berbagai peperangan yang telah melibatkan nenek moyang mereka. Tema mengenai sumber asal usul nenek moyang seperti yang telah diuraikan oleh Fox, memang terungkap kembali dalam konteks ritual Reba, yang melibatkan seluruh anggota klen-klen di desa. Dalam konteks ideologi masyarakat Desa Nggela dan Desa Tenda, konsep sumber asal usul dan pola urutan derajat seseorang berdasarkan asal tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut: • Pertama, mitologi yang berkaitan dengan sumber asal usul dalam sejarah kedatangan awal nenek moyang melalui jalur laut dengan menggunakan perahu, serta berlabuh di wilayah Pantai Utara Flores Tengah (sekitar Kecamatan Marolé), menunjukkan adanya keselarasan antara masyarakat Lio di wilayah utara (seperti yang diteliti oleh Howell, 2000 dan Yamaguchi, 1989) dan di wilayah selatan (Desa Tenda dan Desa Nggela). Dalam hal ini, konsep ata nggoro dan anakalo memiliki kesamaan makna. Dengan kata lain, secara tersirat kedua konsep nenek moyang pertama (ata nggoro dan anakalo) berasal dari luar Pulau Flores karena datang dengan perahu. Dalam Bahasa Lio kata anakalo berarti anak yatim piatu atau tanpa orang tua. Kemungkinan besar dialah orang pertama tanpa mengaitkannya dengan generasi sebelumnya atau orang tuanya. • Kedua, daerah Wewaria (di wilayah Kecamatan Maurolé) disebut dalam mitologi sebagai daerah titik percabangan serta penyebaran ata nggoro ke arah selatan secara bertahap, melalui beberapa kali persinggahan di sejumlah dusun (sekarang berstatus Desa) dan berakhir di Desa Tenda dan Desa Nggela. Pada setiap kali persinggahan kemungkinan besar mereka bermukim di lokasi persinggahan tersebut. Kemungkinan besar pula, gejala migrasi bertahap ini disebabkan karena mereka senantiasa berupaya menemukan lokasi pemukiman yang aman dari serangan musuh.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
• Ketiga, Nogo, Tori, Nira dan Nggela sebagai cikal bakal para Mosalaki di Nggela, serta Déra sebagai cikal bakal para Mosalaki di Tenda, kemudian menjadi titik tolak acuan genealogis keturunan-keturunan patrilineal para Mosalaki selanjutnya. Dengan demikian sistem urutan bertingkat seseorang berdasarkan asal muasal (system of precedence) memberikan legitimasi kekuasaan langsung pada mereka. • Keempat, legitimasi kekuasaan yang dimiliki para Mosalaki mencakup sejumlah aspek, yaitu: a. Hak mengelola tanah kolektif yang dikuasai oleh sebuah klen yang dikepalai seorang Mosalaki. Dalam konteks ini Ia berhak mewariskan tanah kepada ana darinia (anggota klen berdasarkan garis patrilineal). Ia pun berhak mempertimbangkan permohonan akan watas (sebidang tanah garapan) dari anakalo fa’é walu. b. Hak dan kewenangan membahas dan menentukan denda adat (khususnya Mosalaki Riabewa) bila terjadi pelanggaran adat. c. Hak dan kewenangan memimpi n ritual penghormatan (ancestor worship) bagi nenek moyang klen bersama ana darinia di dalam Sa’o masing-masing Mosalaki. d. Hak dan kewenangan (status sosial) sebagai seorang Mosalaki dalam kehidupan sosial masyarakat desa secara umum, pola interaksi sosial antara Mosalaki dan anakalo fa’é walu cenderung berdasarkan prinsip egaliter. Namun dalam konteks-konteks sosial tertentu diferensiasi sosial antara kedua belah pihak dapat terwujud secara signifikan. e. H a k d a n ke w aji b a n m e m i m p i n dan menyelenggarakan ritual-ritual adat khususnya yang berkaitan dengan jadwal kegiatan berladang secara tradisional dan penghormatan terhadap nenek moyang di Kanga (lokasi kuburan batu nenek moyang). f. “The original ancestors and the cosmogonic past play an integral part in Lio self definitions, and just as they were unified
187
in action and space, so no claim for authority of any kind can legitimately be made outside a cosmological domain (Howell 2000: 26). Dengan demikian, aspek sumber asal usul (source of origin) leluhur (ata nggoro) yang dipaparkan dalam mitologi asal usul dan migrasi memberikan legitimasi penuh kepada keturunan-keturunan selanjutnya dan tidak dapat diganggu-gugat oleh kewenangan apapun. g. “The Mosalaki combine in their person religious as well as mundane authority. There are no other public office in Lio society, and for this reason I translate the term with priestleader, detoning the profound connectedness in functions, roles and value. As the authority of the Mosalaki – religious, political and economic – is expressed through the idiom of “religion”, so too is the authority of one village vis a vis other villages (Howel 2000: 27-28). Oleh karena itu, kedudukan seorang Mosalaki sebagai tetua adat (priest-leader) memiliki sejumlah kewenangan untuk mengelola dan mengatur aspek-aspek kehidupan masyarakat, yang berkaitan dan merupakan nilai dalam ideologi Lio. Kesemua hak dan kewenangan Mosalaki tersebut diartikulasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sosial masyarakat secara responsif terhadap komponen-komponen dari sistem sosial internal (masyarakat desa sendiri), maupun eksternal (pengaruh dan dampak sosial, ekonomi, politik serta budaya dari supra lokal). Sebagai contoh, keterlibatan mereka dalam struktur pemerintahan administratif perdesaan, dalam hal ini sebagai Kepala Desa, yang berkiprah pula hingga tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam sejarah k o l o n i a l B e l a n d a , p a r a M o s a l a k i telah pula memainkan peran sebagai Kapitan dan cultural broker dalam konteks penyebaran agama Katolik. merekalah yang dalam kenyataannya sebagai pihak pertama yang bersinggungan di tahap awal masuknya proses modernisasi, melalui jalur pendidikan, pemerintahan formal, dan agama Katolik, serta kegiatan ekonomi modern. Oleh karena itu, jabatan dan kedudu-
188
kan sebagai Kepala Desa bukanlah merupakan “barang baru” bagi para Mosalaki, karena mereka dahulu pernah berperan sebagai Kapitan, Mandor, dan Opas. Para Mosalaki terdahulu memperoleh prioritas fasilitas pendidikan dasar bagi anak-anak mereka, dengan “timbal balik” pembaptisan sebagai penganut agama Katolik. Sekurangkurangnya mereka terlibat dalam sistem perekonomian modern melalui sistem penggajian dan prosedur penghitungan berbagai pajak, yang terkait dengan jabatan kolonial tersebut. Keterkaitan mereka dengan komponen eksternal lainnya, diwujudkan oleh mereka dengan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian budaya. P e n g a r u h d a n d a m p a k komponen-komponen baik internal maupun eksternal tersebut ditanggapi secara dialektis dan manipulatif berdasarkan kepentingan pribadi dan kelompok Mosalaki, maupun masyarakat desa secara umum. Oleh karena itu, praktik-praktik kekuasaan yang diwujudkan para Mosalaki dalam berbagai aspek kehidupan di dalam maupun luar desa, senantiasa merefleksikan nuansa kepentingan yang berbeda-beda (pribadi, kelompok serta umum masyarakat). Dalam rangka meraih kepentingan-kepentingan tersebut (personal, group’s and public interest) biasanya diterapkan pula strategi-strategi tertentu untuk menunjang keberhasilan upaya-upaya tersebut. Strategistrategi ini dapat dilakukan dengan cara mengaktifkan maupun memanipulasi simbolsimbol yang berkaitan dengan source of origin atau systems of precedence. Melalui sumber asal usul dan pola penentuan derajat seorang Mosalaki dalam hierarki sosial masyarakat, memperoleh legitimasi atas praktik-praktik kekuasaan yang mereka wujudkan, baik dalam bentuk tindakan-tindakan ritual maupun nonritual. Mitologi, Hierarki Sosial, dan Kedudukan Sosial Para Mosalaki Dalam konteks kebudayaan dan masyarakat
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Lio di wilayah Flores Tengah, para Mosalaki dikenal sebagai tetua adat dan pemimpin berbagai kegiatan ritual adat dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi masyarakat pedesaan. Mereka adalah keturunan langsung genealogis dari para leluhur. Berdasarkan mitos-mitos dalam Kebudayaan Lio di wilayah bagian selatan Flores Tengah, para leluhur dikenal dengan istilah ata nggoro, lebih lengkapnya wa’u no’o mangu au, nggoro sai fi’ijo (mereka turun memakai perahu dan datang dari dahulu kala). Berdasarkan data lapangan yang diperoleh, mitos-mitos mengenai leluhur senantiasa menceritakan mereka dari luar Flores, yang datang dengan perahu dan berlabuh di wilayah pesisir utara Flores Tengah, yaitu di daerah Wewaria dan Maurole. Melalui proses migrasi, mereka pun menyebar dan berpindah-pindah hingga ke wilayah selatan Flores Tengah, antara lain wilayah Kecamatan Wolojita. Berdasrkan hasil-hasil penelitian terdahulu (Yamaguchi 1989; Howell 1989, 1996, 2000; Sugishima 1994, 2006) mengenai masyarakat dan Kebudayaan Lio, dapat dijelaskan di sini bahwa tidak terwujud keseragaman budaya di seluruh wilayah persebaran Kebudayaan Lio. Oleh karena itu, varian-varian budaya antara masyarakat Lio yang bermukim di wilayah utara dan selatan Flores Tengah, adakalanya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Bahkan corak kebudayaan dua masyarakat desa yang relatif juga menunjukkan perbedaan. Seperti misalnya perbedaan struktur hierarki para Mosalaki di Desa Nggela dan Desa Tenda, yang merupakan lokasi penelitian saya. Kedua masyarakat pedesaan ini memiliki tarian sakral yang berbeda satu dengan yang lainnya. Para Mosalaki di Desa Nggela dan Desa Tenda adalah penguasa dan pengelola seluruh wilayah tanah ulayat di desa masing-masing. Tanah, dalam hal ini, merupakan sumber kehidupan bagi penduduk desa yang mayoritas merupakan petani ladang dan kebun. Penduduk biasa (commoners/anakalo fa’é walu), warga desa dapat mengolah tanah-tanah garapan (watas) yang merupakan tanah ulayat, berdasarkan
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
ijin dan hak menggarap yang diberikan oleh Mosalaki. Selain itu, berbagai pelanggaran pranata adat diselesaikan dan diberikan sanksi denda adat berdasarkan musyawarah adat para Mosalaki yang mencakup pengambilan keputusan untuk mendeklarasikan perang antar dusun, maupun mewujudkan aliansi politik dengan dusun-dusun lain. Para Mosalaki jugalah yang memiliki hak dan kewenangan untuk menerima tamu-tamu terhormat yang datang berkunjung ke sebuah dusun. Hingga sekarang mereka senantiasa berperan menerima tamu secara adat, baik mereka yang datang dari Kantor Kabupaten Ende maupun dari instansi-instansi pemerintah di Jakarta. Dalam konteks sistem politik formal, para Mosalaki telah berkiprah sebagai penguasa politik yang menduduki posisi Kapitan, Mandor dan Opas dari sebuah Haminte (gemeente) sejak era kolonial Belanda. Dewasa ini, mereka pun senantiasa mendominasi posisi Kepala Desa di Desa Tenda dan Desa Nggela. Dalam kehidupan sosial masyarakat Desa Nggela dan Desa Tenda dikenal dua kategori sosial utama, yaitu Mosalaki dan anakalo fa’é walu atau ongga fa’é walu (istilah/kata sinonim) yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang berbeda satu sama lain secara signifikan. Selain itu, Mosalaki memiliki pula kekuasaan dan kewenangan adat, yang tidak dimiliki oleh anakalo fa’é walu, sebagai sebuah hak istimewa merupakan metafor dari suatu ketidakmampuan atau ketidaklengkapan yang terkait pada diri seseorang karena kondisi sosial mereka tergantung pada Mosalaki. Secara etimologi, anakalo fa’é walu dalam Bahasa Lio berarti anak yatim piatu dan janda. Dari perspektif Budaya Lio, tidak dimilikinya hak dan kekuasaan terhadap tanah garapan (watas), secara langsung memosisikan diri mereka sebagai orang yang tidak mampu menguasai tanah dan semata-mata merupakan penduduk desa biasa (commoner). Tanah (watas) dalam hal ini adalah sumber kehidupan yang dikuasai oleh para Mosalaki untuk menggarap pada anakalo fa’é walu, yang secara timbal balik
189
memberikan sebagian dari hasil garapannya dan hasil pemeliharaan ternaknya dalam rangka kegiatan-kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh para Mosalaki. Dalam hierarki sosial masyarakat perdesaan posisi mereka secara jelas berada di bawah para Mosalaki yang memiliki kekuasaaan dan hak berlebih. Menurut Dumont (1970), kekuasaan dalam pranata-pranata hierarkis dikondisikan dalam cakupan keyakinan dan prinsip-prinsip ritual. Kekuasaan para Mosalaki, dalam hal ini tersirat melalui mitologi mengenai leluhur mereka dan dominasi mereka dalam berbagai kegiatan adat. Berdasarkan sejarah sosial proses migrasi dan perkembangan populasi Desa Nggela dan Tenda, mengenal pula kategorisasi penduduk Ata Mai (orang pendatang). Dalam Bahasa Lio, kata Ata berarti orang (person). Mereka adalah pendatang dari luar desa, baik dari wilayah-wilayah di Flores, maupun dari luar Flores. Sejak jaman dahulu hingga sekarang masyarakat Lio di dua desa ini tidak menerapkan diferensiasi sosial orang asing selamanya bagi para pendatang tersebut. Melalui proses perkawinan dengan penduduk asli desa, mereka dapat terserap dalam struktur dan hierarki sosial masyarakat desa. Selain proses perkawinan gejala penyerapan ini dapat pula terjadi bila para pendatang yang bersangkutan telah mengajukan permintaan watas (sebidang tanah garapan) pada salah satu Mosalaki. Sebagai contoh, sepasang suami istri dari Jawa, pindah dan bermukim di salah satu desa tersebut, mengajukan permintaan watas dan Mosalaki menerima permintaan tersebut. Dengan demikian mereka dapat memperoleh status sosial sebagai anakalo fa’é walu atau lo fa’é walu tebho anakalo karena mereka telah diberikan hak menggarap watas dan berkewajiban mendistribusikan sebagian hasil panen ladang mereka. Gejala sosial yang sama juga diberlakukan pada mereka, yang melakukan perkawinan dengan pria atau wanita penduduk asli desa. Mereka pun akan memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban sosial yang sama seperti halnya anakalo fa’é walu. Dalam hal
190
ini tidak diberlakukan persyaratan adat secara khusus lainnya, selain memenuhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut. Para pendatang yang telah lama menetap di sebuah desa, memiliki kemungkinan dan kesempatan menjadi ata du’a oné nua (orang yang terpandang atau tokoh masyarakat). Dalam konteks sosial ini, mereka perlu memenuhi beberapa aspirasi dan social expectation dari masyarakat desa terhadap peran sebagai tokoh masyarakat. Pemahaman akan adat istiadat Lio dan pintar berbicara mengenai masalah-masalah sosial sehari-hari dalam Bahasa Lio, merupakan ekspektasi sosial yang perlu dipenuhi oleh seorang Mosalaki jika ingin memperoleh sebutan sebagai ata du’a oné nua dalam masyarakat perdesaan. Seorang Romo (rohaniawan Katolik) pernah menceritakan gejala sosial yang kurang lebih sama dalam konteks masyarakat Desa Jopu. Menurutnya seorang pedagang kaya dan terpandang serta bukan penduduk asli Jopu sekarang ini memiliki kemungkinan dan akses untuk menjadi seorang Mosalaki. Hal ini terutama disebabkan karena masyarakat Jopu dibandingkan masyarakat-masyarakat perdesaan lainnya seperti masyarakat Nggela dan Tenda, menunjukkan potensi ekonomi yang lebih baik. Kegiatan-kegiatan pertanian dan kewirausahaan mereka maju cukup pesat dalam satu dekade ini. Orientasi kegiatan-kegiatan ekonomi mereka telah diarahkan ke luar dari ekonomi perdesaan semata-mata. Faktor-faktor ini merupakan motivator yang membuka wawasan pemikiran mereka menjadi luas dan relatif lebih fleksibel untuk merespons hal-hal baru dan berbagai aspek kemajuan. Romo tersebut bahkan dapat meyakinkan saya bahwa Ia pun memiliki kesempatan menjadi Mosalaki di Jopu, jika Ia memang menginginkannya, karena Ia dikenal dengan baik sebagai seorang Romo dari Pastoran Jopu. “Menjadi seorang Mosalaki di Jopu tidak berdasarkan persyaratan adat yang ketat seperti di Nggela. Saya berasal dari Maumere
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
dan suku bangsa saya Sikka tetapi saya telah lancar berbahasa Lio, karena telah bertugas di Pastoran Jopu kurang lebih 5 tahun. Kalau saya mau jadi seorang Mosalaki di Jopu bukanlah hal yang sulit atau tidak mungkin. Sebagai rohaniawan pastinya saya mengenal secara pribadi hampir seluruh penduduk Jopu dan saya rasa mereka menerima saya dengan baik sekali selama ini. Hubungan sosial saya dan mereka sangat bersahabat. Saya tahu berbagai masalah-masalah sosial dan pribadi dari sebagian besar umat saya di sini. Kalau mereka ada masalah apa saja dan minta bantuan pasti mereka datang ke Pastoran. Sebagai balas budi mereka ada yang datang membawa sebotol moké (minuman tradisional beralkohol), atau ayam seekor atau juga buah kesukaan saya pisang kapok. Menurut saya buat orang Jopu untuk jadi seorang Mosalaki yang terpenting harus mengenal dan menerima masyarakat apa adanya dan juga mendengarkan mereka. Kalau bisa calon Mosalaki aktif mengajukan ekonomi desa. Itu saja yang terpenting dan tidak perlu lagi persyaratan harus penduduk asli dan ibu kandung berasal dari Nggela seperti yang diharuskan para Mosalaki Nggela.”
Konsep ata mai dalam kebudayaan Lio di Nggela dan Tenda, dapat ditelusuri jauh hingga ke generasi-generasi awal leluhur masyarakat kedua desa tersebut. Setelah kelompok pertama atanggaro (orang datang dari laut memasuki wilayah pantai utara di daerah Wewaria dan Maurolé), tiba di desa-desa tersebut selanjutnya berdatangan pula kelompok-kelompok pendatang lain dari berbagai kampung di wilayah Flores Tengah. Mereka kemudian menikah dengan warga kelompok pertama (ata nggoro) karena mereka diterima dengan baik dan mulai membaur dengan warga ata nggoro. Dalam konteks proses pembauran sosial ini ata nggoro yang menikah dengan wanita-wanita pendatang dari berbagai kampung tersebut, selanjutnya menjadi anakalo fa’é walu dan mewujudkan pengelompokan sosial, yaitu Kunu (kesatuan sosial keturunan garis ibu/matritineal descent group). Keturunan-keturunan selanjutnya dari Kunu-kunu tertentu seperti misalnya Kunu
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Kowé (berasal dari Kampung Waioti Sikka Lela) dan Kunu Wio (berasal dari Pulau Sumba) dapat menjadi Mosalaki, meskipun mereka bukan ata nggoro dan merupakan leluhur pendatang dari luar Desa Nggela. Dalam konteks asal usul nenek moyang (source of origin) masyarakat Desa Tenda, terlihat pula gejala sosial dan budaya yang sama, seperti dalam masyarakat Nggela. Nenek moyang pertama masyarakat Tenda disebut déra, yang mempunyai empat orang anak laki yang disebut dan bernama Mbu Léko, Mbu Ngguwa, Mbu Raja dan Mbu Wondo. Keturunanketurunan dari mereka kecuali Mbu Wondo tidak berketurunan, merupakan sebagian besar dari Mosalaki-mosalaki di Tenda. Istilah Mbu dalam Kebudayaan Lio di Tenda berarti nenek moyang dan kelompok sosial keturunan garis ayah (patrilineal clan). Keempat Mbu tersebut diatas merupakan keturunan langsung dari ata nggoro (kelompok pertama nenek moyang dari wilayah Flores Tengah di Pantai Utara) yang mendirikan dan membuka Kampung Tenda. Selain keempat mbu tersebut, terdapat pula mbu-mbu lain yang bukan berasal dari ata nggoro, melainkan dari kampung-kampung lain di sekitar Wolojita. Mereka adalah Mbu Leja dari Wolojita, Mbu Nira dari Kampung Nggela, Mbu Dhalé dari Kampung Wolopau dan Mbu Lo’u dari Kampung Pemo. Keturunan-keturunan dari mbu-mbu yang berasal dari luar Desa Tenda ada pula yang menjadi Mosalaki-mosalaki di Desa Tenda sejak dahulu hingga sekarang. Dengan demikian konsep ata mai (pendatang dari luar yang menetap dan bermukim di sebuah kampung/desa) dalam Kebudayaan Lio di Flores Tengah bagian Selatan, yang sangat fleksibel dan memiliki kemampuan mengakses berbagai pranata-pranata sosial masyarakat, sebenarnya telah terwujud sejak generasi-generasi awal nenek moyang masyarakat Nggela dan Tenda. Kemungkinan dan kesempatan yang dimiliki ata mai menjadi ata du’a oné nua (orang yang terpandang atau tokoh masyarakat) bahkan menjadi seorang Mosalaki (khususnya di luar konteks masyara-
191
kat Nggela), dalam kenyataannya terbuka bagi
para pendatang bukan penduduk asli (ata mai).
Skema 3. Hierarki Sosial Masyarakat Desa Nggela dan Tenda
Sumber: Hasil penelitian lapangan J. Emmed M. Prioharyono 2010
Selain tiga ketegori sosial tersebut, dahulu hingga kurang lebih pertengahan abad XX dalam hierarki sosial masyarakat Lio secara umum mengenal pula kategori sosial budak. Di luar konteks gejala perbudakan dalam masyarakat Lio, terindikasi pula bahwa pelabuhan Kota Ende merupakan pelabuhan transaksi perdagangan budak, yang kemudian diperjualbelikan lagi ke Batavia. Pulau Sumba adalah daerah pusat perburuan budak untuk selanjutnya dikirim ke Pelabuhan Ende (Dietrich 1983; Needham 1983; 1987; Sugishima 2006). Dalam hal ini, kemungkinan besar, pola distribusi budak berasal dari wilayah-wilayah tertentu di Flores. Argumentasi saya tersebut berdasarkan atas data lapangan yang menginformasikan bahwa masyarakat Lio khususnya mengenal istilah budak, yang disebut dalam Bahasa Lio sebagai ata ko’orowa (orang yang disuruh atau pesuruh) atau ata ré’é (hamba). Sejarah sosial masyarakat Desa Nggela dan Tenda menunjukkan bahwa para budak yang tidak terlalu banyak populasinya secara langsung menempati lapisan terbawah dalam hierarki sosial masyarakat perdesaan. Dalam Kebudayaan Lio terdapat pula metafor mengenai istilah budak, yaitu n’du longgo su’u té’é yang berarti berjalan di belakang. Arti yang lengkap dari metafor ini adalah hamba yang berjalan mengikuti majikannya dari belakang,
192
sambil membawa perlengkapan sirih pinang sang majikan. Hasil wawancara saya terhadap beberapa informan yang berusia antara 80-85 tahun menginformasikan latar belakang sejarah perbudakan dalam masyarakat perdesaan. Acuan dan sumber utama dari hierarki sosial, yang terwujud dalam kehidupan sosial masyarakat Desa Nggela dan Desa Tenda, serta dalam konteks pola interaksi sosial di antara sesama Mosalaki, adalah sejarah asal usul leluhur (system of precedence) masing-masing warga desa dan Mosalaki. Nilai budaya yang berkaitan dengan konsep keturunan langsung dari generasi-generasi awal, sebelum lokasi Kanga (lokasi kuburan Mosalaki-mosalaki pertama) didirikan menjadi dasar dikotomi wacana keturunan ata nggoro (nenek moyang yang berasal dari Pantai Utara). Keturunan ata nggoro yang membuka lahan lokasi dusun pertama kali, dan keturunan ata mai (para pendatang setelah menjadi sebuah pemukiman dusun), yang datang dan bermukim kemudian setelah itu. Ideologi ini lebih lanjut mendasari pula dikotomi antara para Mosalaki dan anakalo fa’é walu (commoners) yang dibedakan secara signifikan sebagai penguasa tanah, keturunan langsung dari ata nggoro serta pemimpin dan pelaksana ritual-ritual adat, serta sebagai warga desa biasa yang tidak menguasai tanah dan tidak berhak melaksanakan ritual. Walaupun
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
mereka terlibat dalam kegiatan ritual, namun hanya terbatas sebagai penunjang atau pelaksana distribusi benda (beras) dan hewan yang akan disajikan dan dikurbankan dalam ritual. Dengan kata lain, mereka melakukan redistribusi atas distribusi watas (tanah garapan), yang telah memberikan hak pengolahan watas pada mereka. Menurut Bougle (1971) sistem kasta adalah hasil konfigurasi yang unit dari tiga komponen yang berkaitan dalam kasta, yaitu: (1) pemisahan (separation); (2) hierarki (hierarchy); dan (3) saling ketergantungan (interdependence). Dumont (1970), dalam hal ini, berargumentasi lebih maju lagi karena berupaya membahas sebuah prinsip yang mengaitkan dan mendasari ketiga komponen tersebut di atas. Selain itu, Dumont berhasil mengembangkannya menjadi sebuah konsep hierarki yang lebih abstrak, yaitu adanya nilai budaya (pure dan impure) yang mendasari dan memayungi sebuah sistem kasta dan mewujudkan sebuah hierarki sosial. Appadurai (1988) menjelaskan pula bahwa masing-masing unsur dari konsepsi hierarki memiliki genealogi yang berbeda-beda, yakni: Pertama, konsepsi tertentu dari keseluruhan (a particular conception of the whole). Ide yang mendasari Dumont mengenai konsepsi keseluruhan (the whole) secara langsung berasal dari pandangan aliran Hegel yang bersumber dari Philosophy of History (1902), dimana terdapat pembahasan mengenai Orientalisme Jerman yaitu konsepsi holisme. Selain itu, ide-ide Mauss yang membahas khususnya pemberian (the gift) dan pengurbanan (sacrifice) yang dikaji sebagai fenomena sosial total, merupakan pula dasar pemikiran Dumont mengenai konsepsi tertentu dari keseluruhan tersebut. Kedua, konsepsi tertentu dari bagian-bagian (a particular conception of parts). Dalam hal ini, karya Evans-Pritchard mengenai konsep pensegmenan masyarakat Nuer, dimana segmen-segmen sosial tersebut berdasarkan sistem kekerabatan. Jika genealogi konsepsi tersebut ditelusuri lebih mendalam lagi, maka akan muncul dua nama pelopor ilmu-ilmu so-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
sial, yaitu Robertson Smith dan Henry Maine. Tulisan-tulisan mereka lah yang menjadi sumber inspirasi Dumont ketika konsep sistem kasta dibahas olehnya. Ketiga, konsepsi tertentu dari oposisi bersih/suci dan tidak bersih/suci (a particular conception of the opposition of pure and impure). Genealogi dari pemikiran konsepsi ini mengacu pada pemikiran A.M. Hocart yang membahas konsep kasta dalam tulisannya “Caste: a Comparative Study” (1950). Pemikiran Hocart dalam hal ini, mengkaji dasar keagamaan dalam masyarakat India yang berkaitan dengan sistem kasta, serta penulisan secara ritual (ritual separation) dan kesucian dari para pemimpin (purity of chiefs). Selain itu tulisan Hocart dijadikan acuan ketika Dumont membahas mengenai larangan-larangan makanan ( food prohibition), yang perlu dipatuhi oleh kasta-kasta tertentu di India. Dalam konteks kehidupan sosial para Mosalaki di Nggela, mereka pun mengenal dan menerapkan larangan terhadap makanan tertentu, yaitu ubi kayu/singkong (cassava), bahkan makananmakanan tertentu apa pun yang terbuat dari tepung tapioka, misalnya kue basah yang bahan utamanya dari tepung singkong/tapioka. Menurut Mitologi dalam Kebudayaan Lio di Nggela, dahulu nenek moyang pernah mengonsumsi ubi kayu yang diambil dari hutan. Setelah mereka mengonsumsi ubi kayu tersebut, muncullah gejala keracunan sehingga sejak itu para Mosalaki dilarang mengonsumsi ubi kayu/singkong. Pemikiran konsepsi hierarki yang berkaitan dengan holisme/keseluruhan (the whole/ holism) atau fenomena sosial total, direfleksikan pula oleh masyarakat Desa Nggela dan Desa Tenda melalui pranata wurumana (gift exchange) khususnya dalam ritual antar belis (perkawinan) dan kematian, bahkan sambut baru (catholic first communion). Warga-warga masyarakat perdesaan, dalam hal ini, diikat dalam satu jalinan kekerabatan, melalui pranata wurumana kurban (sacrifice) dalam wujud benda (beras, juwawut) dan hewan (babi) yang menjadi objek dalam berbagai kegiatan ritual,
193
merupakan simbol kebersamaan para Mosalaki dan anakalo fa’é walu, ketika mereka makan bersama (communal meal) diakhir kegiatan upacara. Konsep hierarki dalam masyarakat Nggela dan Tenda, dalam kenyataannya, bersifat kontekstual karena terwujud khususnya dalam konteks kegiatan-kegiatan ritual. Ketika kegiatan ritual dilaksanakan, masyarakat desa pun menjadi tersegmentasi dan terpisah antara kategori sosial Mosalaki dan anakalo fa’é walu (commoners), begitu pula antara sesama Mosalaki terwujud diferensiasi sosial berdasarkan hak serta kewenangan masing-masing. Tidak semua Mosalaki berhak naik dan masuk ke dalam Kanga. Mereka yang tidak berhak merupakan keturunan dari nenek moyang yang datang (ata mai/pendatang) bermukim di dusun ketika itu, setelah lokasi kuburan generasi awal Mosalaki telah didirikan. Selain itu, diferensiasi sosial tersebut direfleksikan pula melalui banyaknya jumlah beras yang dibawa masuk ke dalam sa’o masing-masing Mosalaki, setelah ritual Ka uwi (redistribusi hasil panen) dan penghormatan terhadap leluhur dilaksanakan di Kanga. Mosalaki Pome Goré (pemilik wadah beras terbesar) menerima beras terbanyak dari anakalo fa’é walu. Tugas, kewajiban, hak, dan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing Mosalaki sekarang diwujudkan dalam konteks sosial kehidupan ekonomi, ritual serta keyakinan, dan organisasi sosial warga-warga yang bermukim dalam sebuah nua (dusun). Sebutan dan istilah ini diterapkan untuk menandai dan membatasi cakupan sebuah lokasi pemukiman penduduk, ketika pengaruh kolonial Belanda belum merambah masuk ke wilayah-wilayah pedalaman. Baru setelah pengaruh kolonial akhirnya mulai menjadi mapan hingga wilayah pedalaman, maka diterapkanlah konsep kampung sebagai sebuah lokasi pemukiman penduduk terkecil dalam struktur wilayah administrasi pemerintahan kolonial. Bersamaan dengan penerapan kebijakan kolonial tersebut, diterapkan pula istilah Hoofd Kampung (Kepala Kampung)
194
sebagai seseorang yang memimpin sebuah lokasi perkampungan penduduk. Dalam era berlakunya konsep nua (dusun) sejak generasi-generasi awal leluhur bermukim, hampir seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, keyakinan, ekonomi dan politik kelompok sosial atau penduduk sebuah nua diatur dan dikelola oleh para Mosalaki. Mereka membuat pengelompokan sosial seperti semacam dewan adat yang mengatur segalanya. Dalam hal ini, dewan adat memiliki seorang pemimpin/kepala yang tertinggi dan lazim disebut dengan istilah Mosalaki Pu’u (Mosalaki Tertinggi diantara para Mosalaki lainnya). Tinggi rendahnya kedudukan seorang Mosalaki dalam hierarki kepemimpinan adat adalah sesuai dengan hak, kewajiban, dan kewenangan adat, yang dimiliki oleh masing-masing Mosalaki. Sejarah sosial kehidupan sebuah nua menentukan pula tinggi rendahnya kedudukan seorang Mosalaki. Saya berasumsi bahwa faktor inilah merupakan salah satu penyebab terwujudnya sejumlah varian budaya dalam konteks penyebaran Kebudayaan Lio di wilayah Flores Tengah, mulai dari wilayah pantai Utara hingga Selatan. Mengacu pada pembahasan saya sebelumnya, bahwa varian-varian budaya ini bahkan terwujud antara desa-desa bertetangga yang berjarak hanya tiga kilometer. Mungkin pula hal tersebut disebabkan oleh perang antar nua yang perlu mempersiapkan strategi dan aliansialiansi politis yang efektif untuk menghadapi peperangan tersebut (Howell, 2000; Sugishima, 2002). Desa Nggela sebagai sebuah nua ketika era pra-kolonial, secara geografis lebih mudah diakses melalui pintu masuk dari arah pantai, karena lebih terisolasi ke wilayah-wilayah di bagian Utara. Oleh karena itu, Desa Nggela memiliki tempat berlabuh perahu-perahu dan merupakan akses terbuka (open access) bagi lalu lintas para pendatang dan pedagang dari luar. Saya berasumsi bahwa kondisi inilah yang menyebabkan adanya “jabatan” Mosalaki dari para Mosalaki di Nggela, yang khusus berkewajiban dan bertugas menerima tamu, yaitu Mosalaki Nata Aé (Mosalaki yang me-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
nyuguhkan sirih dan air minum untuk tamu yang datang). Dalam konteks ini, nata (sirih) dan aé (air minum) adalah metafor bagi ritual penyambutan tamu yang harus dilakukan tuan rumah. Ini merupakan varian budaya yang lain, yang hanya berlaku dalam perdagangan penduduk Nggela. Hal ini menunjukkan bahwa para pedagang Nggela telah berdagang kopra sebagai komoditi andalan mereka hingga ke Kota Pelabuhan Ende. Lalu lintas perdagangan inilah yang kemungkinan besar menyebabkan frekuensi kedatangan pendatang dan pedagang masuk ke nua Nggela cukup signifikan. Politik Perdesaan dan Kekuasaan Mosalaki Kontemporer Dalam konteks kehidupan sosial seharihari, para Mosalaki berperan sebagai warga desa yang mewujudkan interaksi sosial dengan warga-warga desa lainnya, berdasarkan prinsip egaliter antar sesama warga desa. Mereka bersama warga desa lainnya terlibat dalam berbagai program pembangunan desa, yang diterapkan oleh kantor pemerintahan desa. Sebagai contoh, ketika program kebersihan lingkungan dilaksanakan di desa, mereka tanpa pengecualian terlibat dalam kegiatan membersihkan lingkungan di sekitar pemukiman mereka. Tidak tampak di sini bahwa mereka memperoleh hak istimewa untuk tidak terlibat dalam program-program pembangunan desa, meskipun Kepala Desa Nggela dan mantan Kepala Desa Tenda adalah Mosalaki. Mereka juga mengolah lahan perladangan dan perkebunan mereka sendiri, bahkan dalam hal memelihara hewan ternak (babi) mereka. Dalam konteks kegiatan pertanian ini, anakalo fa’é walu tidak memiliki kewajiban sosial (social obligation) menunjang dan bekerja untuk para Mosalaki. Masing-masing warga desa bekerja untuk ladang dan kebun mereka sendiri. Selain itu, para Mosalaki memiliki kewajiban sosial yang sama dengan kerabat-kerabat seketurunan lainnya ketika pranata wurumana (pranata tukar menukar pemberian/gift exchange di antara
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
para kerabat), perlu dilakukan berkaitan dengan ritual-ritual daur hidup, khususnya ritual antar bélis (bridewealth). Kewajiban Mosalaki sebagai anggota kerabat dalam wurumana tergantung pada kedudukan mereka dalam struktur kelompok kekerabatan. Meskipun dalam kenyataannya seorang Mosalaki merupakan kepala sebuah rumah adat (Sa’o) dan sekaligus kepala suku (klen patrilineal dalam sebuah rumah adat), namun kewajiban sosial dalam bentuk pranata wurumana tetap harus dilaksanakannya. Tidak ada perlakuan hak istimewa bagi Mosalaki. Dalam konteks kegiatan-kegiatan ritual adat kedudukan dan tindakan para Mosalaki akan berbeda secara signifikan dengan gejala dan kenyataan sosial seperti dalam uraian di atas. Praktik-praktik kekuasaan para Mosalaki memang dalam kenyataannya terwujud dalam berbagai kegiatan ritual adat dan penyelesaian secara adat terhadap kasus-kasus pelanggaran adat.Pertama, dalam hal kegiatan ritual di luar rumah adat (sa’o) para Mosalaki dipimpin oleh Mosalaki Pu’u, membahas dan menentukan persiapan dan jadwal kegiatan ritual, dengan mengacu pada kalender kegiatan adat, khususnya dalam kegiatan perladangan. Termasuk juga di dalamnya larangan-larangan yang harus dipatuhi oleh anakalo fa’é walu (commoners). Hasil musyawarah adat para Mosalaki, tanpa pengecualian harus dilaksanakan pula oleh anakalo fa’é walu. Jika terdapat kasus bahwa anakalo fa’é walu tidak dikenakan hasil musyawarah adat tersebut, maka mereka har us dikenakan sanksi adat berupa denda adat, seperti dalam ritual jokeju (ritual menolak bala). Para Mosalaki khususnya Mosalaki Da’i Kanga di Nggela senantiasa menjaga kesakralan Kanga dari tindakan pencemaran, yang dilakukan oleh anakalo fa’é walu maupun pihakpihak luar/tamu-tamu dari luar, yang belum/ tidak memahami adat istiadat setempat. Dalam hal ini, berlaku pula untuk bangunan sakral Keda (“Singgasana” atau tempat musyawarah para Mosalaki) seperti yang terdapat di Desa Tenda. Masyarakat Nggela sedang berupaya
195
membangun kembali Keda yang telah runtuh karena kondisi lapuk. Dalam Kebudayaan Lio, bangunan Keda merupakan simbol pria sebagai pasangan bangunan-bangunan rumah adat (sa’o) yang memiliki simbol wanita. Peresmian secara adat sebuah bangunan Keda yang telah didirikan kembali, merupakan sebuah ritual terbesar dan termahal biaya pelaksanaannya. Para anakalo fa’é walu tidak dapat memulai kegiatan penanaman benih tanaman-tanaman di ladang dan kebun mereka sebelum ritual Ka’uwi dilakukan oleh para Mosalaki. Hal serupa yang perlu dilaksanakan oleh anakalo fa’é walu ketika mereka memanen hasil ladang dan kebun yang menentukan kapan hasil panen boleh memasuki lokasi desa ke masing-masing rumah mereka. Dalam hal ini, denda adat diberlakukan pula bagi mereka yang melanggar. Mosalaki memiliki kekuasaan untuk membagi dan mendistribusikan watas (tanah garapan) kepada anakalo fa’é walu. Kekuasaan mereka diwujudkan dalam menentukan di mana dan berapa luas watas yang akan diberikan. Sebagai wujud resiprositas dan pemberian hak mengolah watas, para anakalo fa’é walu harus panen dalam pelaksanaan kegiatan ritual, untuk kepentingan tersedianya bahan makanan dalam sebuah rumah adat (sa’o) maupun sebagai sesaji bagi para nenek moyang. Jika anakalo fa’é walu tidak mematuhi ketentuan adat tersebut, maka seorang Mosalaki dapat mencabut hak mengolah watas dari anakalo fa’é walu. Mosalaki senantiasa mengawasi wilayah kekuasaan tanah adat yang dikelolanya dari tindakan-tindakan pelanggaran batas wilayah yang dikuasainya.Selain hal-hal tersebut, para Mosalaki memiliki kekusaan untuk menetapkan denda adat pada desa lain, jika terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan tana tura watujaji, yang telah disetujui oleh dua desa. Walaupun dalam kenyataannya kesepakatan adat ini pada awalnya dilakukan oleh para nenek moyang mereka di jaman dahulu, namun tana tura watu jaji ini senantiasa berlaku hingga sekarang. Para Mosalaki di Desa Nggela dan Tenda mengetahui secara pasti
196
dengan desa apa dan substansi sebuah tana tura watu jaji, yang mereka miliki sejak dahulu. Meskipun terdapat hal-hal tertentu yang kurang relevan lagi dalam kesepakatan adat tersebut, namun spirit aliansi politik dan ekonomi antar dua desa senantiasa lestari. Sebagai contoh misalnya tana tura watu jaji yang menyangkut dukungan politis untuk berperang menghadapi desa lainnya, yang tidak relevan lagi dalam kehidupan sosial kontemporer sekarang ini. Kondisi tersebut tidak menafikan spirit aliansi politis yang bahwa mereka senantiasa menjalin hubungan yang kondusif dengan desa-desa tertentu berdasarkan tuna tura watu jaji. Kedua, dalam konteks kegiatan-kegiatan ritual dalam rumah adat (sa’o), seorang Mosalaki merupakan kepala suku (klen patrilineal) dari sejumlah ana darinia (anak yang mewarisi). Ia berhak memberikan watas (tanah garapan) sebagai warisan pada ana darinia khususnya berdasarkan pada garis keturunan patrilineal. Warisan watas diberikan pula pada suami seorang anak perempuan, yang mendapatkan bélis (bridewealth) dalam jumlah yang besar dari pihak keluarga suaminya, misalnya seekor kuda, beberapa ekor babi, dan wéa (perhiasan emas wanita) yang berlimpah. Dalam sebuah rumah adat (sa’o) sebagai sebuah organisasi kesatuan sosial patrilienal, terdiri atas sejumlah podo (wadah tempat memasak nasi dari tembikar yang merupakan metafor dari satu garis keturunan patrilineal). Jika nenek moyang Mosalaki terdahulu dari generasi pertama memiliki lima orang anak laki-laki, maka organisasi sosial dalam rumah adat tersebut terdiri atas lima podo. Keturunan laki-laki dari masing-masing podo harus terlibat aktif dalam berbagai kegiatan ritual yang dilaksanakan dalam rumah adat. Selain anakalo fa’é walu para ana darinia wajib pula mendistribusikan sebagian hasil panen ladang dan kebun mereka (sula sobé geju nggala) untuk kepentingan penyelenggaraan sebuah ritual. Kekuasaan Mosalaki secara lebih signifikan akan diterapkan pada ana darinia yang secara lebih khusus ketika atap rumah adat perlu di-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
ganti yang baru karena telah lapuk dan rumah adat telah mengalami kebocoran. Keseluruhan biaya pemugaran atap yang dapat mencapai puluhan juta harus ditanggung oleh seorang Mosalaki dengan seluruh kerabat ana darinia, yang wajib pula terlibat dalam pengerjaan ganti atap tersebut. Selain itu, seorang Mosalaki berhak pula menerapkan denda adat pada ana darinia yang tidak melakukan kewajiban sosialnya sebagai anggota klen. Ritual-ritual adat yang dilakukan dalam rumah adat (sa’o) lebih difokuskan pada ritual memberi sesaji bagi leluhur Mosalaki, yang merupakan pula leluhur seluruh ana darinia. Tidak semua Mosalaki memiliki istri dengan status ata fai laki (istri Mosalaki yang berhak memasak nasi untuk sesaji leluhur). Jika hal ini terjadi, maka istri Mosalaki terdahulu (yang telah meninggal) berperan sebagai ata fai laki yang menggantikan tugas memasak nasi tersebut. Sejarah birokrasi pemerintahan desa mulai bergulir, ketika kekuasaan politik pemerintah kolonial mulai merambah masuk ke wilayah perdesaan. Dalam periode sebelumnya, kehidupan politik perdesaan semata-mata dimonopoli dan dikuasai oleh sebuah sistem politik tradisional, yang dikelola oleh para pemimpin politik tradisional. Mereka mengelola dan memimpin berbagai aspek kehidupan komuniti sosial berdasarkan legitimasi politik, yang diperoleh melalui mitos-mitos, prinsip garis keturunan, dan pranata-pranata adat, dalam rangka mengimplementasikan kekuasaan politik mereka. Dalam komunitas-komunitas sosial tertentu kekuasaan politik ini bersifat otoriter, namun ada pula komunitas-komunitas sosial lainnya memiliki penguasa politik yang demokratis dan mengedepankan prinsip-prinsip egaliter. Adakalanya mitos-mitos menceritakan bahwa konsepsi sebuah kekuasaan yang hanya dimiliki oleh warga komunitas tertentu, sarat dengan aspek ke-ilahian yang bersumber pada sistem keyakinan mereka. Sebagai contoh,Schouthen (1988: 81-82) menjelaskan bahwa kepemimpinan tradisional di Minahasa tidak dapat dipisahkan dari konsep
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
keter, yang senantiasa menempati posisi sentral dalam pembahasan kekuasaan politik seorang pemimpin. Istilah ini berasal dari Bahasa Totembuan yang mengandung banyak konotasi. Pengertian dasarnya adalah kekuatan (power), yaitu kekuatan fisik, mental, untuk menahan orang lain dan bertutur kata. Keter dapat pula berarti superioritas dan juga kekuasaan dan sarat ke-ilahian karena pemilikan keter memperlihatkan anugerah yang bersifat ke-ilahian. Status tertinggi yang dapat diperoleh adalah Wai’lan. Kedudukan terkemuka ini hanya dapat diperoleh setelah melewati sembilan rangkaian pengorbanan, yang menuntut tindakan-tindakan yang berani dan sulit. Perburuan kepala (head hunting) merupakan unsur pokok dalam sistem keyakinan tersebut. Seseorang yang telah berhasil melakukan tindakan-tindakan tersebut, membuktikan bahwa Ia memiliki keberanian dan kekuatan, serta memperoleh anugerah dari dewa-dewa dan leluhur. Hal yang kurang lebih selaras direfleksikan pula oleh sosok kepemimpinan seorang Mosalaki dalam masyarakat Lio. Ia dituntut mampu memiliki kekuatan-kekuatan seperti yang termaktub dalam konsepsi keter di Minahasa. Selain itu, Ia adalah keturunan langsung dari para leluhur dan merupakan wakil leluhur, serta personifikasi dari leluhur dalam keg iat a n-keg iat a n r it u al. Ke ma mpu a n b e r p e r a n g b a i k menyerang dusun lain maupun bertahan menghadapi serangan musuh dari dusun lain adalah termasuk faktor utama, yang perlu dimiliki oleh Mosalaki. Sejumlah Mosalaki inilah yang menjadi pem i mpi npemimpin tradisional sebagai pengelola d a n p e nge nd a l i a r a h b e r ba g a i a s p e k kehidupan komuniti dusun-dusun Lio. Hak dan kekuasaan yang mereka miliki tidak dapat diintervensi dan ditandingi oleh warga dusun biasa (commoner). Mereka adalah penguasa sumber utama kehidupan warga dusun, yaitu tanah. Kekuasaan akan tanah ini bersifat mutlak dan memiliki hak untuk menerapkan sanksi adat, bagi para pelanggar pranata-pranata adat, yang mengatur pengelolaan tanah-tanah gara-
197
pan. Dengan kata lain, kekuasaan yang mereka miliki adalah yang tertinggi dalam konteks kehidupan politik, sosial dan ekonomi serta budaya dalam sebuah dusun. Tidak ada lagi kekuasaan supra lokal yang berada di tingkat hierarki lebih tinggi dari mereka. Dalam konteks ini, Kerajaan Lio belum dibentuk karena pengaruh politik kekuasaan pemerintah kolonial yang merambah ke dalam wilayah Flores secara menyeluruh. Walaupun pelabuhan Ende telah menjadi salah satu lokasi transaksi jual beli budak yang berasal dari Pulau Sumba di penghujung abad XX. Kesimpulan Pertama, masyarakat Desa Tenda dan Desa Nggela sebagai pendukung Kebudayaan Lio dan merupakan bagian dari kategori penduduk Austronesia, senantiasa memiliki mitos-mitos mengenai asal usul dan sejarah migrasi para leluhur. Secara garis besar mitos-mitos tersebut menceritakan wa’u no’o mangu au, nggoro sai fi’ijo (turun memakai perahu, datang dari dahulu kala) atau yang disebut pula dengan istilah ata nggoro, yang dalam Bahasa Lio berarti leluhur/nenek moyang. Meskipun hasil penelitian sebelumnya (Howell 2000; Yamaguchi 1989) menyebut istilah anakalo sebagai leluhur bagi Penduduk Lio di wilayah utara Flores Tengah, namun hal ini merupakan perwujudan keragaman varian yang berbeda-beda antara wilayah utara dan wilayah selatan (Desa Tenda dan Desa Nggela). Dalam hal ini, wilayah pesisir Pantai Utara Wewaria dan Maurole merupakan lokasi awal kedatangan leluhur. Mitos-mitos dalam kebudayaan masyarakat Tenda dan Nggela, dalam konteks ini, senantiasa menyebut nama Dera sebagai leluhur para Mosalaki di Tenda dan nama Tori, Nogo, Nira dan Nggela sebagai leluhur para Mosalaki di NggelaWalaupun demikian, ide-ide mengenai asal usul nenek moyang (ancestral ideas of origin) tidak dimetaforkan dengan ide-ide mengenai asal usul tumbuhan (botanic ideas of origin), namun lebih pada ide-ide historis dan spasial (Fox
198
1995; Geertz 1975). Selaras dengan masyarakat Bali, menyebut pura sebagai konstituen penting dari metafor yang berkenaan dengan source of origin (Rudyansyah 2009; Geertz 1975), bagi masyarakat Tenda dan Nggela sebuah lokasi sakral yang disebut Kanga merupakan kuburan nenek moyang, yang merupakan dasar konstituen bagi source of origin mereka. Lokasi kuburan megalitikum nenek moyang sebagai sebuah konstituen belum pernah dibahas sebelumnya oleh para peneliti Antropologi (Fox 1980, 1975; Nooy-Palm 1979; Reuter 2002; Molnar 2000; Schulte Nordholt 1971). Hal ini merupakan salah satu hasil temuan penelitian lapangan saya di kedua desa tersebut, yang masing-masing desa memiliki lokasi sakral Kanga,merupakan lokasi kegiatan ritualritual sakral mereka dan pusat orientasi ruang. Dengan demikian, teori source of origin, dalam konteks ini, operasional dan relevan diterapkan untuk mengkaji Kebudayaan Lio di Desa Tenda dan Nggela, Kecamatan Wolojita. Kedua, di awal pembahasan teori origin structures Fox (1988) telah mengaitkannya dengan teori system of precedence, karena tujuan utama dari origin structures adalah penentuan atau kategorisasi siapa yang pertama, yang diutamakan, yang dituakan, yang paling unggul (to be the first, foremost, elder, superior, greater) untuk menduduki posisi sentral. Oleh karena itu, para Mosalaki sebagai keturunan patrilineal (patrilineal descent group) langsung dari nenek moyang berdasarkan source of origin, memperoleh legitimasi kekuasaan untuk menjadi penguasa adat dan tanah ulayat. Dalam Kebudayaan Lio status Mosalaki berlaku seumur hidup dan tertata dalam sebuah hierarki adat. Mereka merupakan pemimpin sosial formal yang berhasil mendominasi posisi Kepala Desa sejak beberapa dekade terakhir. Kekuasaan para Mosalaki terefleksi secara signifikan dalam sistem politik masyarakat Desa Tenda dan Desa Nggela. Hasil-hasil penelitian sebelumnya (Fox 1980, 1995; NooyPalm 1979; Reuter 2002; Schulte-Norholt 1971) tidak membahas secara spesifik praktik-praktik
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
kekuasaan kategori-kategori sosial tertentu yang berlandaskan system of precedence dalam sebuah komuniti sosial atau masyarakat, yang memiliki dominasi kekuasaan dalam struktur formal seperti halnya sistem pemerintahan Desa Tenda dan Desa Nggela. Dalam konteks ini, system of precedence berdasarkan hasil penelitian saya adalah teori yang relevan dan operasional untuk memahami legitimasi kekuasaan para Mosalaki yang berlandaskan source of origin dalam Kebudayaan Lio. Kekuasaan, sebagai suatu bentuk sistem budaya, bukanlah merupakan suatu wujud kesatuan (entitas), yang lepas dari pelakunya. Kekuasaan dan kebudayaan senantiasa dipahami sebagai sesuatu yang senantiasa dibentuk melalui praktik-praktik sosial, yang diwujudkan pelakunya dalam kehidupan sosial mereka. Dalam hal ini kekuasaan dan kebudayaan senantiasa bersifat konstitutif. Dengan demikian melihat kekuasaan dan kebudayaan sebagai sebuah konsensus ataupun konsensus adalah sesuatu yang esensialis sifatnya dan sangat bertentangan dengan temuan-temuan yang saya peroleh dari kegiatan penelitian lapangan dalam masyarakat di Kecamatan Wolojita. Meskipun kekuasaan dalam masyarakat Lio di Wolojita mendapatkan landasan legitimasinya dari ideologi “sumber asal usul” (source of origin), namun “sumber asal usul” ini sebagai bentuk historitas, senantiasa dapat digugat oleh pihak-pihak tertentu,terutama sesama Mosalaki. Orang yang berhasil memangku kekuasaannya secara efektif adalah pelaku-pelaku yang berhasil memperagakan
versi dari “sumber asal usul” nya, melalui berbagai kegiatan ritual. Adanya fakta bahwa Ia berhasil menampilkan “sumber asal usul” serta “sistem urutan posisi berdasarkan sebuah hierarki sosial (system of precedence) memberikan makna secara tersirat telah adanya pengakuan dan penerimaan warga-warga masyarakat Lio di Kecamatan Wolojita. Keutamaan posisi seorang Mosalaki dalam sistem urutan posisi berdasarkan sebuah struktur hierarki (system of precedence), sangat ditentukan oleh kecanggihan dan kecerdikan Mosalaki dalam hal mengaitkan “sumber asal usul” nya dengan konteks-konteks sosial masa kini, seperti sistem administratif pemerintahan Desa Tenda dan Desa Nggela sehingga “sumber asal usul” senantiasa dianggap relevan hingga sekarang. Oleh karena itu, para Kepala Desa di kedua desa tersebut sejak dekade-dekade yang lalu, merupakan Mosalaki atau kerabat Mosalaki. Dengan demikian, system of precedence tersebut tidak hanya semata-mata berlaku dalam sistem politik tradisional, melainkan berlaku pula dalam sistem politik formal. Source of origin berkaitan erat dengan system of precedence, serta diasosiasikan dengan ata nggoro (leluhur), yang tingkat kesempurnaannya dinilai tidak mungkin melakukan hal-hal yang salah. Oleh karena itu, figur Mosalaki sebagai titisan ata nggoro (leluhur) tidak dapat juga digugat melakukan kesalahan.
Referensi Appadurai, Arjun 2002 “Disjunction and Difference in the Global Culture Economy.” Dalam The Anthropology of Globalization, a Reader. Oxford: Blackwell Publishers. Ataupah, Hendrik 1992 Ekologi, Persebaran Penduduk Dan Pengelompokan Orang Meto di Timor Barat, disertasi Program Doktoral tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
199
Cunningham, Clarck E. 1966 Categories of Descent Groups in a Timor Village. Oceania, 37, hlm. 12-21. 1967 Recruitment to Atoni Descent Groups. Anthropological Quarterly. 40, hlm. 1-12. Dumont, Louis 1970 Homo Hierarchicus: an Essay on the Caste System. Chicago: University of Chicago Press. Evans, Pritchard, E.E. 1940 The Nuer. London: Clarendon. Fernandez, Inyo Yos 1996 Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores, Kajian Linguistik Historis Komparatif Terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Penerbit Nusa Indah. Fox, James J (peny.) 1993 Inside Austronesian Houses, Perspectives on Domestic Designs for Living. Canberra: Department of Anthropology, The Australian National University. Fox, James J 1977 Harvest of the Palm, Ecological Change in Eastern Indonesia. London: Harvard University Press. 1980 The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia. Cambridge: Harvard University Press. 1988 “Origin, Descent, Precedence in the Study of Austronesian Society.” Public Lecture in Connection with De Wisselleerstoel Indonesische Stüdien. Leiden: University of Leiden 1994 “Reflection on Hierarchy and Precedence,” dalam History and Anthropology 7 (1-4): 87-108 1995 “Origin Structures and Systems of Precedence in the Comparative Study of Austronesian Societies,” Austronesian Studies 27(25). 1997 The Poetic Power of Place, Comparative Perspectives on Austronesian Ideas of Locality (peny.). Canberra: A Publication of the Department of Anthropology, The Australian Nasional University. 1998 “Foreword: The Lingusitic Context of Florenese Culture”, dalam Journal Antropologi Indonesia, No. 56, Tahun XXII, hlm 1. Geertz, Clifford 1973 The Interpretation of Culture. New York: Basic Books. 1975 Kinship in Bali. Chicago: The University of Chicago Press. 1980 Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali. Princenton: Princenton University Press. Howell, Signe 1989 “Of Persons and Things: Exchange and Valiables Among the Lio of Eastern Indonesia”, Man, Vol. 24 No.3. 1996 For the Sake of Our Future: Sacrificing in Eastern Indonesia. Leiden: Research School CNWS. 2000 Ata Lio, Institutions, Values and Practice of The Northern Lio People, Flores, Indonesia.
200
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Oslo: University of Oslo Press. Irianto, Sulistyowati (peny.) 2009 Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kohl, Karl-Heinz 2009 Aspek-aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur. Maumere: Penerbit Ledolero. Lewellen, Ted C. 2002 The Anthropology of Globalization, Cultural Anthropology Enters The 21st Century. London: Bergin & Garvey. Lewis, E. D. 1988 “People of the Source: The Social and Ceremonial Order of Tana Wai Brama on Flores”, KITLV Verhandelingen 135. Dordrecht: Foris Machmud, Hidajat Z. 1976 Masyarakat dan Kebudayaan Suku-Sukubangsa di Nusa Tenggara Timur. Bandung: Penerbit Tarsito. Mbete, AM dan P. Wake, E.S.A Wangge, S. Adam 2008 Nggu’a Bapu: Ritual Perladangan Lio-Ende. Ende: Pustaka Larasan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende. Molnar, Andrea Katalin 2000 “Grandchildren of the Ga’è Ancestors, Social Organization and Cosmology Among The Hoga Sara of Flores”, Verhandelingen KITLV 185. Leiden: KITLV Press. Nooy-Palm. C. Hetty M. 1979 “The Sa’dan Toraja: a Study of Their Social Life and Religion”, Verhandelingen KITLV 1 (87). The Hague: Martinus Nijhof. Orienbao, P. Sareng 1969 Nusa Nipae Ende – Flores. Ende: Nusa Indae. 1992 Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio. Nita: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Prior, John Mansford 1987 Church and Marriage in an Indonesian Village: A Study of Customary Church and Marriage among Ata Lio of Central Flores, Indonesia, as a Paradigm of the Ecclesial Interrelationship between Village and Institutional Catholicism. New York: Verlag Peter Lang. Reuter, Thomas 2002 “The House of Our Ancestors”, Verhandelingen KITLV 198. Leiden: KITLV Press. Reuter, Thomas 2002 Custodians of the Sacred Mountains, Culture and Society in the Highlands of Bali. Honolulu: University of Hawai’i Press.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
201
Rudyansjah, Tony 2009 Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan, Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. Jakarta: Rajawali Press. Schulte Nordholt, H.G. 1971 “The Political System of the Atoni of Timor,” Verhandelingen KITLV No.60, The Hague: Martinus Nijhof. Sugishima, T 1994 “Double Descent, Alliance and Botanical Metaphors Among The Lionese of Central Flores,” Bijdragen Tot de Taal, Land en Volkenkunde 150 (1). hlm 146-170. 2006 “Where Have the Entrepreneurs Gone?, A Historical Comment on Adat in Central Flores”. Asian and African Area Studies, 6 (1), hlm 120-150. Turner, Victor W 1969 The Ritual Process, Structure and Anti Structure. New York: Cornell University Press. 1972 Schism and Continuity in an African Society, A Study of Ndembu Village Life. Manchester: Manchester University Press. Van Wouden, FAE 1935 Sociale Structure Typen in de Groote Oost, Leiden: KITLV. Yamaguchi, Masao 1989 “Nai Kèu, a Ritual of The Lio of Central Flores, dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde,” Part I Nusa Tenggara Timur 145. hlm 478-489.
202
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email
[email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.
Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. copyright © 2010 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected]
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 33 NO. 3 2012
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten 159 Ayatullah Humaeni Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki
di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores 180 J. Emmed M. Priyoharyono Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska Pengelolaan Sumber Daya Laut Kawasan Terumbu Karang Takabonerate dan Paradigma Komunalisme Lingkungan Masyarakat Bajo Masa Lalu Munsi Lampe
203
216
Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala 228 Timo Kaartinen