ISSN: 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 September-Desember 2012
Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores
Vol. 33 No. 3 September-Desember 2012
Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012 Dewan Penasihat
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Pemimpin Redaksi
Tony Rudyansjah
Redaksi Pelaksana
Dian Sulistiawati, Irwan M. Hidayana, Dave Lumenta.
Manajer Tata Laksana
Imam Ardhianto
Administrasi dan Keuangan
Sri Paramita Budi Utami
Sekretaris
Sarah Monica, Shabrina, Astrid Puspitasari
Distribusi dan Sirkulasi
Febrian
Pembantu Teknis
Geger Riyanto, Amira Waworuntu, Muhammad Damm
Dewan Redaksi
Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia
ISSN 1693-167X
ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal
Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 33 NO. 3 2012
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten 159 Ayatullah Humaeni Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki
di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores 180 J. Emmed M. Priyoharyono Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska Pengelolaan Sumber Daya Laut Kawasan Terumbu Karang Takabonerate dan Paradigma Komunalisme Lingkungan Masyarakat Bajo Masa Lalu Munsi Lampe
203
216
Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala 228 Timo Kaartinen
Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala Timo Kaartinen1 University of Helsinki
Abstrak Artikel ini mengajukan pertanyaan bagaimana masyarakat Banda, yang tersingkir dari kepulauan Banda akibat kolonisasi Banda oleh VOC pada tahun 1621, melangsungkan keberadaannya sebagai satu kelompok budaya secara berkelanjutan. Masyarakat Banda di pengasingan memainkan peranan yang penting di dalam perniagaan bahari di Indonesia bagian timur pada periode awal kolonial. Mereka bertahan sebagai satu kelompok budaya pada dua desa di Kepulauan Kei. Lagu-lagu tradisional dua desa ini berkisar pada pelayaran laut. Argumentasi yang diajukan bahwa masyarakat Banda dimobilisasikan oleh tradisi-tradisi lisan yang mengungkapkan pertalian kekerabatan orang Banda dengan para mitra niaga mereka di wilayah-wilayah yang jauh. Kata Kunci: puisi lisan, Masyarakat Banda Eli, ketahanan budaya Abstract This article asks the question how Banda displaced from the Banda Islands due to colonization of Banda by the VOC in 1621, maintain their existence as a sustainable cultural group. Banda communities play an important role in maritime commerce in the eastern part of Indonesia at the beginning of the colonial period. They survive as one cultural group in two villages on the islands of Kei. The traditional songs of the two villages center on the sea voyage. The argument is that Banda people are mobilized by oral traditions that reveal the kinship ties of Banda people with their partners in commerce in distant lands. Key-words: oral poetry, Banda Eli Communities, cultural resistance
1
228
Timo Kaartinen, Ph.D., Lecturer Social and Cultural Anthropology, University of Helsinki. E-mail:
[email protected]
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Pengantar Di Kepulauan Indonesia bagian timur terdapat satu masyarakat yang diyakini telah punah. Leluhur mereka berasal dari Banda, gugusan Kepulauan Pala di Indonesia Timur. VOC telah menaklukkan Banda, membunuh, dan memperbudak sebagian besar penduduk aslinya pada Bulan April dan Mei 1621. Kolonisasi Banda merupakan babak yang terkenal dalam sejarah Indonesia, dan menjadi satu bahasan dalam beberapa buku yang populer. Yang paling mutakhir dari ini adalah yang ditulis oleh Giles Miles (2000) dengan judul Nathaniel’s Nutmeg. Miles menggambarkan satu pertarungan dramatis antara perusahaan dagang Belanda dengan perusahan dagang Inggris di Banda pada abad ke-17 sebagai “Perang Pala”. Bagi Miles, masyarakat asli Banda secara relatif merupakan korban pasif dari satu genocide (pemusnahan satu bangsa oleh satu bangsa lainnya). Dalam satu peristiwa dari tahun 1621, 44 tokoh Banda, di antaranya Syahbandar Lonthor, menjadi korban Jan P i e t e r s z o o n C o e n k e t i k a d i a b a l a s d e n d a m a t a s kematian Jan Verhoeven, pendahulunya sebagai pemimpin VOC, pada tahun 1609. Tokoh-tokoh Banda tidak disebut namanya, meskipun perannya dalam perlawanan terhadap VOC dan usahanya membuat perdamaian dicatat dengan rinci dalam dokumen dari masa kejadian. Dalam artikel ini, saya mengajukan satu perspektif yang berbeda. Saya berargumentasi bahwa masyarakat Banda merupakan pemenang dari Perang Pala itu. Salah satu dasar untuk mengakui demikian adalah sastra lisan yang menunjukkan bahwa perpindahan dari Banda terjadi bertahap-tahap, serta telah menciptakan persekutuan dan pemukiman baru di luar Banda ketika VOC pertama masuk. Masyarakat Banda berhasil memenangkan Perang Pala itu karena tidak seperti beberapa masyarakat lain yang disingkirkan Belanda di wilayah lainnya, orang Banda mampu mempertahankan bahasa dan kedaulatan bu-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
dayanya. Masyarakat Banda juga merupakan pemenang dalam arti yang lebih praktikal. Saat VOC mengalami kebangkrutan pada tahun 1799, keturunan masyarakat Banda berkelanjutan menjalankan jaringan perdagangan niaga pribumi jarak jauh, yang keberlangsungannya masih ada hingga awal abad ke-20. Keberhasilan orang Banda dalam perniagaan membantu menegaskan keberadaan mereka sebagai satu komunitas budaya. Meskipun berpartisipasi dalam kehidupan ritual dan politis masyarakat tetangga mereka, namun orang Banda tetap dapat mempertahankan tradisi Islamnya dan mengenang leluhur bahari mereka melalui berbagai lagu yang dinamai onotan. Lagu-lagu itu tidak sekedar citra nostalgik masa lampau semata. Dengan mempertunjukkan lagu-lagu itu, orang Banda mampu menegaskan hak-hak mereka atas perniagaan dan sumber-sumber daya di berbagai tempat berbeda-beda yang pernah disinggahi dan ditempati leluhur mereka. Melalui lagu-lagu dan sejarah panjang yang mempraktikkan Islam, orang-orang Banda mampu mengelaborasikan ke dalam kehidupan mereka pada berbagai pusat perniagaan dan kekuatan politik masa lampau dan masa kini di Maluku. Keyakinan diri orang Banda berdasarkan budaya ini terwujud di masa kini di dalam berbagai peranan penting mereka dalam kehidupan publik masyarakat modern dan perkotaan Indonesia. Ketahanan Budaya Daya tahan budaya masyarakat Banda terlihat jelas di Banda Eli, satu wilayah di mana saya melakukan penelitian selama tahun 1994 hingga 1996. Banda Eli adalah sebuah pedesaan besar di pantai timur Pulau Kei Besar. Banda Eli terletak di dataran sempit yang menghadap Laut Arafura, dan terisolasi dari Kepulauan Kei lainnnya karena terhalang oleh jalur gunung tinggi yang menutupi Pulau Kei Besar. tujuan riset lapangan saya di desa itu adalah untuk mengkaji cara orang Banda melihat peranan mereka di dalam sejarah di Maluku.
229
Pada tahun 2009, saya kembali ke sana untuk meneliti migrasi orang Banda di masa kini ke wilayah Ambon dan pusat-pusat kota lainnya di Maluku. Usulan untuk penelitian etnografis masyarakat Banda pada mulanya datang dari Andreas Sol, seorang pensiunan pendeta Katholik di Ambon. Semasa masih bertugas sebagai seorang missionaris di Kei pada akhir tahun1940-an, ia terpukau oleh keunikan Banda Eli. Desa Banda Eli merupakan komunitas yang sepenuhnya Muslim, berbeda secara kontras dengan desa-desa di sekelilingnya yang masing-masing terdiri dari orang Katholik, Protestan, dan Islam. Desa Banda Eli penuh dengan berbagai objek perniagan dan keping mata uang tua. Masyarakat di Banda Eli membuat perahu dan periuk masak dari tanah, meriam mini, perhiasaan, dan kerajinan tangan lainnya. Penduduknya berbicara dalam bahasa berbeda yang disebut turwandan, atau bahasa Banda, yang berbeda dari Bahasa Evav yang merupakan bahasa mayoritas penduduk di Kepulauan Kei. Dalam ukuran orang Kei, Banda Eli adalah satu desa yang sangat besar. Desa itu dihuni oleh hampir 2.000 jiwa, sedangkan desa-desa orang Kei di sekitarnya masing-masing hanya dihuni beberapa ratus jiwa saja. Banda Eli merupakan situs pelabuhan yang terbaik di wilayah utara Kepulauan Kei Besar. Banda Eli terdiri dari dua kelompok kelas sosial, yakni: pendatang Banda dan orang biasa yang akarnya berasal dari masyarakat Kei. Dua kelompok itu tidak saling melakukan perkawinan, namun keduanya memiliki komitmen yang sama dalam memeluk agama Islam dan berbicara bahasa Banda. Beberapa dari kelompok-kelompok orang Kei telah tinggal di tanah Banda Eli sebelum orang Banda datang ke sana. Beberapa orang Kei datang ke Desa Banda Eli karena orang Banda, dengan hasil kekayaan yang berasal dari perdagangan, biasanya bersedia melunasi utang-utang yang sering melilit orang-orang Kei akibat sistem pembayaran mas kawin dan
230
denda yang cukup tinggi dalam masyarakatnya. Beberapa orang Kei lainnya tertarik akan akses orang Banda Eli atas dunia kosmopolitan perdagangan antar pulau (dunia Islam di Nusantara). Dalam 50 tahun terakhir ini, banyak penduduk pindah keluar dari Banda Eli dan tinggal di perkotaan di mana mereka dapat bekerja sebagai pegawai negeri, pekerja bangunan, pedagang, guru, pekerja pelabuhan, dan beraneka ragam profesi lainnya. Gelombang migrasi baru ini telah melahirkan pemukiman orang Banda di Ambon (ibukota Provinsi Maluku), dan di beberapa kota lainnya di seluruh Indonesia. Satu Masyarakat Perantau Sewaktu melakukan penelitian lapangan di Banda Eli, saya berupaya sebaik mungkin untuk dapat mengenali berbagai perspektif berbeda mengenai sejarah dan budaya mereka. Saya menemukan banyak sekali lagu-lagu dan ritual–ritual yang menekankan pertalian yang terus dipelihara antar desa-desa mereka, antar anggota-anggota mereka yang merantau, dan antar leluhur-leluhur mereka di seluruh Kepulauan Banda. Saya mengkaji sejarah tentang asal usul hirarki sosial, hak atas tanah, dan relasi Banda Eli dengan masyarakat Kepulauan Kei. Judul buku saya yang terakhir (Kaartinen 2010) mengacu pada dua perspektif ini sebagai “Lagu-Lagu Perantauan”/“Songs of Travel” dan “Riwayat-Riwayat Tempat”/“Stories of Place.” Lagu-Lagu Perantauan mengindikasikan bahwa Banda Eli merupakan satu masyarakat perantau dan migran. ‘Riwayat-Riwayat Tempat’, pada sisi lain, menjelaskan bagaimana Kepulauan Kei menjadi kampung halaman mereka. Baik lagu-lagu maupun riwayatriwayat itu merujuk pada satu tema budaya yang senantiasa hadir di berbagai wilayah yang berbeda-beda di dalam kehidupan orang Banda. Jika diringkas, tema budaya itu adalah bahwa komunitas orang Banda di kampung halaman tidak mungkin hidup dan tetap ada, kecuali ada
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
di antara mereka yang terus menerus merantau meninggalkan kampung halamannya dan menjadi orang asing di tempat lain. Lagu-lagu tersebut berperan menelusuri para perantau itu. Lagu-lagu itu merayakan momen saat para perantau itu tiba dan singgah di satu tempat sebagai sesuatu yang tetap bisa mengakrabkan maupun sebagai satu kehidupan sosial baru yang tetap menyenangkan. Lagu-lagu tersebut memberikan dalih bagi para perantau untuk kembali ke kampung halaman asalnya, namun pada saat yang bersamaan mengakui juga bahwa mereka semua mungkin saja sudah menemukan kampung halaman mereka di tempat lain. Lagu-lagu tradisional itu merujuk pada pelayaran samudera sebagai satu sumber transformasi sosial dan pribadi maupun sumber kelahiran kembali. Sepanjang penelitian lapangan di Banda Eli, saya menyaksikan praktik-praktik aktual perjalanan jarak jauh yang berkaitan dengan perspektif budaya seperti ini. Manakala menikah, para pemuda biasanya bergabung ke dalam rumah tangga para istri dan mertua mereka untuk periode selama satu tahun atau lebih. Para pemuda ini menikmati relasi yang penuh dengan keintiman dengan mertua-mertua mereka. Namun demikian, para pemuda itu tidak mau berlamalama di sana. Demi mencari nafkah, mereka lebih suka bermigrasi ke kota-kota yang cukup jauh selama berbulan-bulan atau bertahuntahun. Sepanjang penelitian lapangan saya di Banda Eli dari tahun 1994 sampai 1996, separuh dari para pemuda yang menikah bermigrasi ke pulau-pulau lain untuk bekerja selama jangka waktu antara 1 bulan sampai 1 tahun. Polapola migrasi kerja musiman seperti itu tentu saja dapat ditemukan di banyak masyarakat lain di Indonesia. Kasus orang Banda menjadi menarik karena pandangan bahwa migrasi kerja seperti itu dibayangkan mereka sebagai sesuatu yang berkontribusi terhadap reproduksi komunitas mereka secara lebih luas. Sebagian dari nafkah yang diterima digunakan mereka
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
untuk membeli pakaian anak-anaknya. Pada saat yang bersamaan, para pekerja yang mudik itu membuat juga satu kontribusi yang sangat penting bagi pembangunan kembali mesjidmesjid di desa mereka. Bagi kebanyakan mereka, penghasilan yang diperoleh dari luar merupakan juga satu cara untuk memperbaiki dan membangun kembali rumah mereka di tempat asal mereka dilahirkan. Dengan demikian migrasi kerja orang-orang Banda Eli tidak hanya merupakan satu respon terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi jangka pendek. Itu lebih merupakan persiapan menuju ke tahap yang lebih matang untuk kehidupan mereka. Sebagai seseorang yang telah dewasa (amani kakani), mereka pada akhirnya mengemban status sebagai seorang yang lebih tua di antara saudara-saudara kandungnya. Dengan dapat memiliki rumah sendiri, mereka dapat mewariskan keanggotaan berdasarkan pertalian menurut garis ayah kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka. Sampai dengan tahun 1960-an, kebanyakan rumah di Banda Eli merupakan rumah tinggal komunal besar dengan ruangan cukup luas yang dapat menampung sampai dengan 12 pasangan yang sudah menikah. Kata rumo, yang merujuk pada rumah sebagai satu kategori sosial dan kosmologis, berkaitan dengan pengelompokan tempat tinggal semacam ini. Setiap rumah di Banda Eli memantapkan sebuah penegasan tentang leluhur pendiri komunitasnya. Riwayat-riwayat tentang perjalanan para leluhur ini memberikan pengesanan bahwa mereka mempunyai saudara kandung yang tinggal di tempat lain. Namun manakala orang-orang mendiskusikan hak-hak atas tanah, jabatan-jabatan penting dan pertalian perkawinan di dalam desa, hal-hal yang biasa mereka bicarakan, seperti: “Rumah Tiga Orang” (“House of Three People”), “Rumah Tujuh Orang” (“House of Seven People”), atau “Tornado dan Empat Batu” (“Tornado and Four Stones”). Idiom-idiom itu mengandung arti bahwa rumah adalah satu kesatuan saudara kandung
231
laki-laki dan saudara kandung perempuan. Di satu sisi, hal itu dapat dipahami sebagai satu komunitas manusia yang konkrit. Ini terlihat di saat saudara kandung perempuan dan saudara kandung laki-laki menolak membagi rumah ayah mereka yang sudah meninggal, dan lebih suka menanggung bersama biaya-biaya perbaikan rumah itu. Komunitas saudara kandung itu kelihatan jelas di pemakaman-pemakaman saat saudara kandung yang paling tua dan yang paling muda melaksanakan kewajibankewajiban k husus ter tent u. Mesk ipu n demikian, dan ini merupakan sisi yang lainnya, rumah merupakan juga satu kesatuan kosmologis saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan di berbagai tempat nan jauh berbeda yang menyebar di seluruh dunia. Lagu-lagu tradisional orang Banda yang disebut onotan meriwayatkan para leluhur yang mengembara ke tempat-tempat jauh dalam rangka menemui saudara-saudara kandung yang telah lama menghilang. Di dalam perspektif ini, keutuhan dan kesatuan rumah berada tepat di masa lampau. Namun di tengah-tengah narasi-narasi ini, paparan cerita biasanya bergeser ke satu waktu dan ke satu tempat di mana orang-orang diperlihatkan dengan sungguhsungguh menanti kedatangan para perantau itu. Pertemuan kembali para saudara kandung itu menjadi satu kemungkinan kehidupan di masa kini. Fokorndan, kata yang digunakan orang Banda Eli untuk mengacu pada tanah asal leluhur mereka, sering dikaitkan dengan istilah fukar wandan atau “gunung Banda”. Dalam lagu onotan, itu merujuk pada satu bukit di pesisir pantai di tempat mana anak-anak biasa memandang laut dan merenung secara intensif memikirkan ayah-ayah mereka yang sedang merantau jauh. Pertemuan kembali saudara laki-laki dan saudara perempuan menjadi mungkin saat ayah mereka kembali pulang. Rumah yang dibangun ayah mereka merupakan hak milik bersama dari anak-anaknya. Kebun yang ia tanami akan mereka panen bersama. Dalam pengertian ini, pencitraan orang Banda
232
mengenai rantau tidak hanya berkenaan dengan sejarah etnis mereka, melainkan juga mengenai pengalaman yang sedang berlangsung maupun pembaharuan relasi-relasi sosial di masa depan. Keasyikan kosmologis dan budaya akan tempat-tempat asing mencerminkan sejarah panjang orang Banda sebagai satu masyarakat berlayar. Saya akan menggambarkan sejarah hal itu dalam bagian berikut. Sejarah Perniagaan Hingga saat ini, Banda Eli merupakan salah satu pusat perdagangan jarak jauh dan pembuatan kapal di Kei. Ia menghasilkan kapal yang dijual kepada pedagang-pedagang Makassar yang membutuhkannya untuk mengarungi pengairan di antara Kepulauan Aru yang berjarak sekitar 80 kilometer sebelah timur Kei Besar. Banda Eli secara luas dikenal dengan pot atau belanga tanah yang mereka ekspor ke desa-desa tetangga sampai akhir tahun 1970-an. Pot yang serupa biasa dibuat di Banda masa pra-kolonial (Ellen and Glover 1974; Lape 2000), dan seorang kapten Belanda yang sedang berkunjung ke sana di tahun 1820-an melaporkan pernah melihat pot-pot itu di rumah Raja Keffing, di sebuah desa di Seram (Kolff 1840: 303). Dalam tahun 1810an, orang-orang dari Banda Eli diketahui juga mengunjungi pulau-pulau Banda setiap tahun dengan menggunakan kapal-kapal mereka (Miller 1980: 52). Sejak setengah abad yang lalu, orang-orang dari Banda Eli terus menerus mengunjungi mitra-mitra dagang tradisional mereka dengan menggunakan kapal-kapal yang mereka miliki. Pelayaran-pelayaran semacam itu secara reguler membawa mereka ke pesisir Papua yang sampai tahun 1965 masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Dalam tahun 1964 sekelompok orang Banda Eli memuat kapal mereka dengan kopra atau sekam kelapa dan menyeberangi samudera ratusan kilometer menuju pulau-pulau Arobi, Karawatu dan Kilimata, yang terletak dekat wilayah Kaimana di Neth-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
erlands New Guinea (sekarang Papua New Guinea). Bagi pemilik kapal itu, agen niaga satu perusahaan Belanda yang ada di wilayah ini memberikan satu akses singkat pada pasar internasional. Namun, bagi orang-orang lain di kapal itu pelayaran tersebut mengandung satu maksud lain yang bersifat budaya. Itu merupakan satu kunjungan kepada Raja Muslim di Namatota yang berkeinginan memperbaharui persekutuan dagang tradisional yang ia miliki dengan orang-orang Banda dengan cara memberikan satu hadiah berupa piring Cina yang sangat besar kepada mereka. Banda Eli dan Namatota merupakan hanya dua titik di dalam jaringan luas perniagaan yang mulai berkembang pada awal abad ke-17, di satu masa yang bersamaan dengan pengungsian saat orang Banda keluar dari kampung halamannya. Pusat utama jaringan perniagaan ini ada di kepulauan sekitar Seram Timur, satu pulau yang terbesar di Maluku Tengah. Seram Timur merupakan tempat pertama kali orang Banda menemukan tempat p e rl i ndu nga n ya ng a m a n set ela h p e ca h nya kon f li k denga n Bela nd a. Pad a Bu la n Mei 1621, r at u s a n orang Banda menunggu di perbukitan Lonthor, satu pulau terbesar di Banda, hingga armada utama VOC pergi berlayar menjauhi mereka. Pada satu malam penuh badai, mereka keluar dari persembunyiannya, mengayuh perahu mereka keluar dari hutan dan menyeberang ke Seram, satu pulau terbesar di Maluku Tengah, dan bergabung dengan sekutu Muslim mereka di sana (Chijs 1886: 162). Beberapa dari mereka berlayar lebih jauh ke Kepulauan Kei, tempat mereka mendirikan dua desa yang bernama Banda Eli dan Banda Elat. Seram saat itu sudah menjadi lokasi niaga yang penting jauh sebelum kedatangan orang Belanda. Ia merupakan lumbung sagu, satu makanan pokok bagi 15.000 orang yang menanam pohon pala di Banda. Selain sagu, Seram Timur juga pengekspor massoy—kulit kayu penghasil minyak yang digunakan sebagai rempah dan kosmetik maupun obat di Pulau Jawa.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Sewaktu orang Banda menetap di Seram Timur, keberadaan mereka mendorong berkembangnya minat yang lebih luas dalam perniagaan jarak jauh. Pedagang-pedagang yang berdiam di Seram Timur mulai berlayar ke pesisir New Guinea dalam rangka memperoleh kulit kura-kura, mutiara, bulu burung, siput laut dan damar (Swadling 1996: 137). Pada saat komoditas-komoditas baru ini memasuki Seram Timur, wilayah itu berubah menjadi satu titik pertemuan baru bagi pedagang-pedagang Asia yang aktivitasnya mulai terganggu sejak kedatangan VOC (Knaap 1987: 53). Total nilai perdagangan yang ditangani pedagang Seram Timur setara nilainya dengan perdagangan rempah-rempah yang dikontrol VOC. Para pedagang di Seram Timur ini bahkan memiliki keunggulan di atas VOC. Pada saat harga bunga pala, buah pala dan cengkeh jatuh di tahun 1650an, pedagang-pedagang di Seram Timur sudah terlebih dahulu mendiversifikasikan barang-barang dagangan mereka dengan komoditas lain yang dapat diekspor ke Cina. Di jantung organisasi perniagaan orang Seram Timur terdapat satu sistem waralaba perniagaan yang dikenal dengan istilah sosolot. Ia mengandung arti bahwa perdagangan di desa-desa pesisir Papua hanya terbuka bagi kelompok-kelompok khusus tertentu (Ellen 2003; Goodman 2006). Pedagang Banda dan pedagang lainnya yang tinggal di Seram Timur memperoleh hak-hak niaga di beberapa tempat di mana kapal-kapal Belanda bahkan tidak dapat singgah untuk mengambil air tawar. Pertalian khusus antara pedagang pendatang dan tuan rumah setempat acapkali dikonstruksikan sebagai kerabat. Para pedagang menikahi perempuan dari komunitas tuan rumah setempat, dan sekutu tempatan mereka seringkali beralih agama menjadi Islam. Melalui cara ini, mitra-mitra niaga ini menegaskan diri satu sama lain sebagai bagian dari kebangsawanan perniagaan di Maluku. Orang Banda dan pedagang Muslim lainnya mengkonstruksikan mitra niaga mereka di dalam setiap sosolot sebagai kerabat. Salah satu
233
dari mereka akan menikah seorang perempuan lokal dan tinggal menetap di desa perempuan lokal itu. Ini menyebabkan munculnya keberadaan orang Muslim di wilayah pesisir Papua. Orang Banda Eli menggunakan metode yang sama dalam menciptakan pertalian kekerabatan dengan keluarga pemilik tanah di Kepulauan Kei, meskipun mereka tidak meneruskan kebiasaan saling kawin mengawini dengan orang- orang Kei. Lagu-lagu Banda mengindikasikan bahwa beberapa orang laki-laki Banda tinggal menetap di pulau-pulau kecil sepanjang rute niaga antara Seram Timur dan Kei dan menikah dengan perempuan setempat. Beberapa lagu mengandung kenangan terhadap pertalian kekerabatan antara orang Banda dan orangorang di sepanjang kepulauan ini yang mereka harus lalui dari Kepulauan Kei ke Seram Timur sebagai satu pusat utama perniagaan antar pulau. Lagu-Lagu Perantauan Selama penelitian lapangan saya di Banda Eli dari tahun 1994 sampai 1996, banyak orangorang tua di sana yang masih bisa menyanyikan lagu-lagu tradisional itu. Penyanyi-penyanyi ini lancar dalam bahasa Banda, Kei dan Melayu, masing-masing bahasa ini digunakan untuk langgam lagu khusus tertentu. Paling sering saya mendengar langgam lagu-lagu perantauan dalam konteks domestik. Mereka dinyanyikan untuk menidurkan anak-anak, dan sebagai hiburan bagi para perempuan yang harus tinggal di rumah setelah mereka melahirkan. Penyanyi terbaik yang dikenal biasanya perempuan, namun terdapat juga beragam jenis lagu-lagu yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan. Lagu-lagu Banda Eli dapat disebut “lagulagu perantauan” karena kebanyakan langgam lagu-lagu tradisional berkaitan dengan merantau melalui samudera. Orang-orang me nye n a nd u ng k a n la ng g a m -la ng g a m semacam itu sebagai rin safur (‘lagu-lagu se-
234
lancar’), atau sanambal (‘lagu-lagu pelayaran’). Satu lagu selancar secara khusus menuturkan satu kisah tentang janji pernikahan yang tak kunjung terpenuhi. Nama dari langgam ini merujuk pada arus selancar yang mengisyaratkan para pelaut untuk menjauh dari gulungan ombak yang berbahaya. Ia merupakan sebuah metafor untuk saling menghindari sumber menyakiti hati satu sama lain maupun kehilangan harga diri di antara pihak-pihak yang ada. Lagu-lagu pelayaran membantu kapal-kapal dan anak buah kapal untuk bisa secara aman mengarungi karang-karang, arus-arus maupun tanjung-tanjung berbahaya. Lagu-lagu itu merujuk pada spirit-spirit yang menghuni tempat-tempat itu. Lagu-lagu pelayaran yang saya dengar merupakan bagian dari siklus di mana kapten dan anak buah kapal dapat bergantian menyenandungkannya. Dengan demikian, lagu-lagu pelayaran itu membuat sebuah komentar metaforik berkaitan dengan pertalian antara kelas terhormat dan orang biasa di kampung, sebuah pengingat bahwa kedua kelompok itu (kapten dan anak buah kapal) tergantung satu sama lain bagi kehidupan mereka. Dua langgam penting lagu yang dinyanyikan para perempuan di Banda Eli adalah singnyat (lagu duri babi) dan onotan yang dapat diterjemahkan sebagai ‘tangisan’. Singnyat disenandungkan oleh orang Kei, sedangkan onotan secara ekslusif merupakan langgam lagu orang Banda. Singnyat atau duri babi adalah satu binatang penyengat yang dapat mengakibatkan sengatan menyakitkan bagi seseorang yang sedang menceburkan diri ke air yang dangkal, seperti yang dilakukan para perempuan di pasang laut dangkal untuk menangkap ikan dan binatang laut lainnya. Sebagai nama satu langgam lagu, kata ini merupakan sebuah metafor dari satu kenangan yang tiba-tiba muncul terhadap seorang saudara laki-laki, anak laki-laki maupun suami yang sedang merantau jauh. Singnyat menggambarkan keterasingan yang diderita para perantau dan rasa sakit hati para ibu dan istri yang ditinggalkan di rumah.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Onotan secara eksklusif adalah satu jenis lagu orang Banda. Ia merupakan naratif mengenai migrasi leluhur-leluhur Banda. Secara khusus lagu-lagu ini memulai dengan satu paparan tentang pahlawan-pahlawan leluhur berlayar di kapalnya, dan berakhir dengan satu paparan yang mengingatkan mereka akan kehidupan di masa kini yang lebih akrab. Paparan naratif secara tiba-tiba bergeser dari bahaya dan kegalauan pelayaran dan beralih ke satu percakapan di antara tokoh-tokoh yang dapat dikenali penonton. Sebagai satu contoh dari perangkat yang berkaitan dengan gaya bahasa ini, saya akan mendiskusikan satu onotan pendek mengasyikkan yang ditampilkan oleh Mustika Latar pada tahun 1996. Lagu ini meriwayatkan pelayaran yang dilakukan oleh seorang pahlawan yang bernama Tinggirmas. Tokoh utama dari naratif ini adalah dua saudara kandung, Pati dan Pande, yang memohon dapat bergabung dengan Tinggirmas dan naik ke kapal di menitmenit terakhir sebelum melepaskan sauhnya. Sewaktu mereka singgah di sebuah rumah bangsawan di satu pulau nan jauh, Pati mempertunjukkan berbagai barang berharga yang dibawanya. Pande, di sisi lain, tidak memiliki apa pun selain topi jerami yang Tinggirmas berikan kepadanya sebagai satu tanda sayang. Oleh karena itu, Pande melanjutkan pelayarannya dan berakhir di Banda Eli. Terdapat dua pesan dalam lagu itu. Pertama berkenaan dengan ikatan dan kasih sayang antara Pande dan Tinggirmas. Orang luar tidak dapat melihat kasih sayang dan kebaikan yang Tinggirmas perlihatkan kepada Pande. Satu-satunya tanda hanyalah hadiah sederhana berupa topi jerami. Pesan lainnya dari lagu itu adalah bahwa Pande mempunyai seorang saudara laki-laki termasyhur yang kaya di pulau yang nan jauh. Rumah bangsawan di pulau itu adalah tempat di mana ia berada. Lagu ini menggoda para keturunan Pande akan kemungkinan bahwa mengunjungi pulau itu akan mengungkapkan pentingnya diri mereka. Mereka memang
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
hanya orang biasa di kampung halaman, namun di tempat lain mereka adalah kaum bangsawan. Pikiran semacam ini meneguhkan hati orang Banda untuk merantau ke tempat-tempat asing di mana orang-orang dalam kenyataan sesungguhnya kadang kala menyambut mereka sebagai saudara yang lama menghilang. Lagu yang telah saya gambarkan ini merupakan satu contoh tradisi yang memiliki kemampuan menelusuri masyarakat Banda di dalam gerak. Pokok dari pelayaran laut bukan hanya soal perdagangan. Orangorang itu melakukan perjalanan dalam rangka menemui orang asing yang dapat mengenali mereka sebagai sahabat dan kerabat. Dalam pengertian ini, hubungan orang-orang Banda dengan tempat-tempat yang jauh merupakan satu sumber makna diri dan harga diri. Pemikiran tentang dunia luar sebagai satu sumber pemaknaan hadir juga di dalam kosmologi penduduk lainnya di Kepalaun Kei. Meskipun demikian, mereka semua setuju bahwa orang Banda memiliki relasi yang istimewa dengan dunia luar ini. Ini merupakan satu alasan orang Banda tidak mengasimilasikan dirinya dengan masyarakat di Kepulauan Kei. Sebagian besar orang-orang dari desa-desa tetangga orang Kei-lah yang justru berpindah masuk Islam dan bergabung dengan komunitas orang Banda. Lagu-lagu onotan meriwayatkan juga tentang dinamisme internal masyarakat Banda Eli. Lagu-lagu tersebut merupakan kekayaan intelektual kelompok-kelompok patrilineal, namun penyanyinya adalah para perempuan yang sering berpindah dari satu kelompok patrilineal ke kelompok patrilineal lainnya pada saat mereka menikah. Penyanyi-penyanyi yang paling disegani mengetahui lagu-lagu dari beberapa garis keturunan yang telah saling menikah di masa lampau yang tidak terlalu jauh. Mustika, penyanyi yang lagunya telah dibicarakan di atas, dapat menyanyikan lagu-lagu yang dimiliki keluarga ayahnya, keluarga ibunya dan keluarga suaminya, di samping lagu-lagu yang dimiliki oleh sekutu dan bawahan keluarga mereka. Lagu-lagunya
235
menarasikan pertalian yang ada di masa kini antara keluarga-keluarga tersebut. Lagu-lagu itu menganjurkan mereka agar dapat menelusuri lebih dalam ke masa lampau. Lagu-lagu perantauan mempertahankan juga pengetahuan orang-orang Banda akan hak-hak perniagaan mereka di tempat-tempat yang jauh. Dari tahun 1960-an dan seterusnya, praktik lawas dari perniagaan jarak jauh telah melancarkan jalan bagi migrasi kerja. Banyak orang Banda yang pergi mencari pekerjaan di Ambon dan kota-kota yang lebih kecil telah menetap di Maluku Tengah tidak terlalu jauh dari kampung halaman orang Banda. Leluhur mereka sudah lebih dahulu dikenal di wilayah ini. Beberapa kelompok di Maluku Tengah membuat satu penegasan yang berkaitan dengan asal-usul orang-orang Banda. Mereka menganggap Boiratan, seorang perempuan pengelana mitikal dari Banda, sebagai kerabat mereka. Bagi kelompok-kelompok semacam itu, onotan tentang Boiratan merupakan bukti dari kekerabatan dan sejarah bersama mereka dengan orang-orang Banda. Dalam beberapa dasawarsa terak hir ini, orang Banda secara berulang-ulang mengajukan seruan akan pertalian kekerabatan leluhur mereka dengan kelompokkelompok yang menguasai tanah di daerah perkotaan agar mereka dapat memperoleh hak-hak atas tanah dan sumber daya lainnya di sana. Pada tahun 1970-an mereka mengumandangkan lagu tentang Boiratan untuk mendemonstrasikan pertalian mereka dengan Raja Amahusu yang beragama Kristen, dan memperoleh hak membangun rumah di wilayah raja itu di bagian selatan Kota Ambon. Selama lebih dari dua dasawarsa, mereka telah tinggal di wilayah yang dikuasai orang Kristen. Setelah konflik etnis dan krisis pengungsi tahun 1999 sampai 2002, orang Banda mencari tanah di daerah yang mereka anggap aman. Di Kota Tual di Kepulauan Kei, orang-orang Banda Eli mengajukan seruan akan pertalian kekerabatan mereka dengan Raja Dullah yang muslim, dan memperoleh izin membangun satu
236
pemukiman baru yang besar di Fidatan, sebuah desa di sebelah utara Kei Kecil. Bahasa dan Masyarakat Keterisolasian relatif Banda Eli bukan merupakan alasan bahasa dan sejarah lisan orang Banda lestari di desa ini. Melalui praktik rantau dan tradisi lisan, mereka dapat memperoleh satu titik pijakan dalam dunia perniagaan yang lebih besar. Ini menjelaskan alasan orang-orang Banda di Kepulauan Kei tidak terasimilasikan ke dalam penduduk mayoritas di sekitarnya. Malahan sebaliknya, sepanjang empat abad keberadaannya di Kei, Banda Eli terutama telah menarik ke dalam masyarakatnya ratusan orang dari masyarakat Kei di sekitarnya. Terdapat alasan serupa orang Banda masih memiliki bahasa mereka, turwadan. Bahasa ini paling banyak hanya memiliki 5.000 penutur, dan mereka terpecah dua baik di Banda Eli maupun Banda Elat, dua desa yang dipisahkan oleh jarak yang dapat ditempuh dalam satu hari perjalanan. Bahasa ini dikelilingi oleh bahasa lokal yang jauh lebih besar, yang dikenal sebagai bahasa evan atau bahasa orang Kei, yang memiliki setidaknya 100.000 penutur. Secara sangat mencolok, bahasa Banda telah hidup selama hampir dari empat abad di kedua lokasi yang terisolasi ini, yang dikelilingi oleh komunitas bahasa yang jauh lebih banyak. Salah satu alasannya adalah bahwa bahasa orang Banda agak berbeda dari evev, dan orang Kei memandang bahasa Banda sulit untuk bisa dipelajari. Bahasa-bahasa lain yang paling dekat berhubungan dengan bahasa Banda dituturkan orang di sekitar Seram Timur (Collins 1983). Meskipun demikian, Bahasa orang Banda tetap mempertahankan beberapa unsur tata bahasa, seperti konjugasi lisan dan bentuk-bentuk kepunyaan, yang telah menghilang dalam bahasabahasa di Seram Timur. Tata bahasa yang rumit dari bahasa orang Banda tidak digunakan terbatas hanya pada wilayah yang intim dan pribadi. Setidaknya hingga tahun 1980-an, bahasa itu digunakan
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
untuk pidato di depan publik. Orang-orang Banda Eli menggunakannya di depan hadirin yang lebih luas di saat mereka berupaya mengatasi berbagai pertikaian perkawinan dan konflik tanah. Keunggulan menggunakan bahasa Banda dalam konteks semacam itu memungkinkan seseorang untuk mengutarakan secara jujur perasaan hati yang terluka dan harga diri yang dilanggar. Berbeda dengan banyak bahasa lain yang telah usang, bahasa orang Banda secara mencolok telah bertahan hidup lama sebagai satu medium mengungkapkan kemarahan, harga diri dan otoritas. Kesimpulan Saya telah menyatakan bahwa orang Banda akhirnya telah menjadi pemenang dalam Perang Pala. Organisasi niaga mereka telah bertahan hidup jauh melampui keberadaan perusahaan Hindia Belanda (VOC). Pada saat yang bersamaan, mereka telah bertahan hidup sebagai satu komunitas yang berkembang secara penuh. Komunitas-komunitas perniagaan pada umumnya membentuk kelompok-kelompok etnis yang berbeda karena mereka biasanya tetap berada di luar dari jaringan kekerabatan dan ekonomi moral dari tetangga-tetangga etnis lain terdekat di sekelilingnya. Saya mengutarakan bahwa ini bukan merupakan keseluruhan cerita tentang orang Banda. Tidak seperti kelompok-kelompok lainnya, seperti orang Bugis, Makassar, ataupun orang Arab Hadrami, yang telah terlibat dalam perniagaan jarak jauh di Indonesia Timur, orang-orang Banda menekankan pada asal usul mereka di pulau-pulau yang ada di Maluku. Tampaknya bersifat paradoksikal bahwa orang Banda mengajukan penegasan akan pertalian kekerabatan dan kedekatan dengan mitramitra niaga di berbagai tempat jauh sewaktu perniagaan jarak jauh telah mengasingkan mereka satu sama lain. Meskipun begitu, saya telah mengajukan argumen bahwa mereka tidak melihat adanya satu kontradiksi di an-
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
tara dua macam loyalitas itu. Leonard Andaya (1993: 3) beragumentasi bahwa orang Maluku mengidentifikasikan diri mereka baik dengan komunitas pulau tertentu yang khusus maupun dunia Maluku yang lebih luas. Bagi orang Banda, pertalian kerabat dengan orang yang nampaknya asing dan loyalitas di antara para orang tua, di antara anak-anak mereka dan di antara pasangan-pasangan mereka merupakan nilai-nilai budaya yang bersifat komplementer. Melalui perantauan-perantauan jarak jauh, masyarakat Banda secara terus menerus memperluas diri ke pusat-pusat politik dan perniagaan. Dari sudut pandang para perempuan, pusat-pusat ini merupakan bagian dari ‘lahan perniagaan’ yang mengasingkan. Para lelaki pergi ke sana, dan kadang kala mereka tidak lagi kembali. Namun, lagulagu itu mengekspresikan lebih daripada hanya sudut para perempuan dalam situasi ini. Mereka melihat dunia Maluku dengan mata memandang ke berbagai generasi di masa lampau maupun di masa depan. Onotan yang telah saya diskusikan di atas tidak menyatakan apapun tentang perkawinan dengan orangorang dari pulau lain, namun tetap secara jelas mengutarakan bahwa pulau ini merupakan kampung halaman bagi saudara kandung lakilaki yang telah lama hilang. Kemungkinan saling bisa berjumpa merupakan satu alasan yang kuat untuk mengunjungi pulau itu. Keut u han i kat an di ant ara saudara kandung merupakan nilai budaya yang memotivasi perantauan dan peniagaan. Nilai yang sama juga ditegaskan oleh citra anak-anak yang sedang berkumpul di atas bukit dan menanyakan berbagai berita akan ayah mereka yang sedang merantau. Meskipun saya mengajukan argumentasi bahwa perniagaan jarak jauh orang Banda distrukturkan oleh budaya mereka, saya tidak mengatakan bahwa orang Banda, lebih dari orang di Banda Eli, adalah satu kelompok yang seragam. Migrasi, pembagian kelas dan pertalian beragam mereka dengan komunitas
237
etnis dan lokal lainnya berarti bahwa mereka hidup dalam beberapa dunia yang berbeda. Beberapa dari mereka hidup di desa, beberapa yang lain di kota. Beberapa hidup dari gaji, beberapa lainnya dari pertanian. Beberapa berkomitmen terhadap pendidikan modern,
beberapa yang lainnya berkomitmen terhadap praktik-praktik kosmologis kehidupan desa. Budaya Banda secara fundamental merupakan satu cara orang-orang yang hidup dalam duniadunia yang berbeda dapat berkomunikasi satu sama lainnya.
Referensi Andaya, Leonard 1993 “Cultural State Formation in Eastern Indonesia.” Anthony Reid (peny.) Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief. Cornell University Press. hlm.23-41. Chijs, Mr. J.A. van der 1886 De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda-Eilanden (1599-1621). 's Hage: M. Nijhoff. Collins, James 1983 “The Historical Relationships of the Languages of Central Maluku.” Pacific Linguistics, Ser. D 47. Ellen, Roy 2003 On the Edge of the Banda Zone. Past and Present in the Social Organization of a Moluccan Trading Network. Honolulu: University of Hawaii Press. Ellen, Roy and Glover, I. C. 1974 “Pottery Manufacture and Trade in the Central Moluccas.” Man, n.s. 9(3): 353-379. Goodman, Thomas 2006 The Sosolot: An Eighteenth Century East Indonesian Trade Network. Ph.D. Dissertation, University of Hawai’i. Kaartinen, Timo 2010 Songs of Travel and Stories of Place. Poetics of Absence in an Eastern Indonesian Society. Folklore Fellows’ Communications 299. Helsinki: Academia Scientarium Fennica. Knaap, G.J. 1987 Kruidnagelen en Christenen. De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. VKI 125. Dordrecht: Foris Publications. Kolff, Dirk Hendrik 1840 Voyages of the Dutch Brig of War Dourga through the Southern and Little-Known parts of the Moluccan Archipelago and the Previously Unknown Southern Coast of New Guinea Performed during the Years 1825 & 1826. London: James Madden & Co. Lape, Peter 2000 “Political dynamics and religious change in the late pre-colonial Banda Islands, Indonesia.” World Archaeology 32(1): 138-155.
238
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
Miller, W.G. 1980 “An account of trade patterns in the Banda Sea in 1979, from an unpublished manuscript in the India Office library.” Indonesia Circle 23:41-57. Milton, Giles 2000 Nathaniel’s Nutmeg. How One Man’s Courage Changed the Course of History. London: Hodder and Stoughton. Reid, Anthony 1993a Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Volume Two: Expansion and Crisis. New Haven: Yale University Press. Swadling, Pamela 1996 Plumes from Paradise. Trade cycles in outer Southeast Asia and their impact on New Guinea and nearby islands until 1920. With contributions by Roy Wagner and Billai Laba. Boroko: Papua New Guinea National Museum, in association with Robert Brown & ass.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 33 No. 3 2012
239
• Panduan Penulisan untuk Kontributor
• Guidelines for contributors
Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email
[email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:
Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:
Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.
If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.
Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.
Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.
Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. copyright © 2010 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail:
[email protected]
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 33 NO. 3 2012
Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten 159 Ayatullah Humaeni Kekuasaan Politik dan Adat Para Mosalaki
di Desa Nggela dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores 180 J. Emmed M. Priyoharyono Politik Etnisitas dalam Pemekaran Daerah Fikarwin Zuska Pengelolaan Sumber Daya Laut Kawasan Terumbu Karang Takabonerate dan Paradigma Komunalisme Lingkungan Masyarakat Bajo Masa Lalu Munsi Lampe
203
216
Puisi Lisan Masyarakat Banda Eli Ketahanan Budaya di Maluku setelah Perang Pala 228 Timo Kaartinen