Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
i
PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Alamat Redaksi: Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI. Jl. Salemba Raya No. 28 A Kotak Pos: 3624, Jakarta 10002 Telp : (021)-3154863 ext. 264 e-mail:
[email protected] homepage: http://www.pnri.go.id/MajalahOnline.aspx
JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Vol.3 No.1 Tahun 2012 Pembina Pengarah
Penanggung jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi
Mitra Bestari Editor Bahasa Sekretaris Redaksi Sirkulasi Tata Letak
: Kepala Perpustakaan Nasional RI : 1. Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi 2. Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi : Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus : Drs. Nindya Noegraha : 1. Drs. H. Sanwani 2. Aditia Gunawan, S.Pd. 3. Agung Kriswanto, SS. 4. Drs. Nur Karim, M. Hum. 5. Yudhi Irawan, S. Hum. 6. Didik Purwanto, SS. 7. Mardiono : 1. Prof. Dr. Achadiati 2. Dr. I. Kuntara Wiryamartana : Dra. Dina Isyanti, M. Si. : 1. Komari 2. Dian Soni Amellia, S.Hum. : Bambang Hernawan, SS. : Aditia Gunawan, S.Pd.
Jumantara adalah jurnal ilmiah dengan fokus kajian naskah (manuskrip) nusantara yang menyajikan karangan ilmiah dalam bentuk hasil penelitian, penilaian terhadap hasil penelitian, serta tinjauan buku. Diterbitkan secara berkala dua kali dalam setahun oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan ISSN 2087-1074.
ii
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Artikel 1
Anung Tedjowirawan Menelusuri Jejak Cerita Rama dalam Serat Pustakaraja Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita
44
Fakhriati Perempuan dalam Manuskrip Aceh: Kajian Teks dan Konteks
77
Atep Kurnia Sinurat Ring Merega; Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna
128
Tedi Permadi Identifikasi Bahan Naskah (Daluang) Gulungan Koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang dengan Metode Pengamatan Langsung dan Uji Sampel di Laboratorium
148
Ida Bagus Rai Putra Lontar: Manuskrip Perekam Peradaban dari Bali
100
Mahrus El-mawa Rekonstruksi Kejayaan Islam di Cirebon; Studi Historis pada Masa Syarif Hidayatullah (1479-1568)
167
Oman Fathurahman Sulalat al-Salatin Karya Tun Seri Lanang: Kebesaran Karya Sastra Melayu yang Melampaui Zamannya
Review Buku 178 Kuntara Wiryamartana Filologi Jawa dan Kuñjarakarṇa Prosa
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
iii
umantara telah menginjak usia ketiga, usia yang masih sangat rawan bagi keberlangsungan hidup sebuah jurnal. Apalagi jika melihat kenyataan bahwa penyumbang tulisan dalam jurnal ini adalah para ahli filologi yang jumlahnya saat ini semakin sedikit. Meski demikian, terus terbitnya Jumantara secara rutin menandakan bahwa para pakar dan peminat naskah tetap ada dan setia menyumbangkan hasil penelitiannya. Jerih payah para pakar pengkaji naskah pada gilirannya telah berperan serta melestarikan budaya Nusantara. Naskah memiliki peran penting bagi bangsa Indonesia. Ia dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bangsa. Sebagai contoh, istilah pancasila yang menjadi dasar negara dan bhineka tunggal ika yang merupakan semboyan negara diambil dari teks Kakawin Sutasoma. Andaikata naskah lontar tersebut tidak pernah terbaca, mungkin kita tidak pernah mendengar istilah-istilah “sakti” tersebut. Dalam nomor ini disajikan artikel-artikel yang menyampaikan berbagai pengetahuan penting dan menarik. Pertama, tulisan Anung Tedjowirawan tentang jejak cerita Rama. Dengan gamblang penulis memaparkan perjalanan teks Ramayana, dari India sampai Jawa, dari Ramayana Wālmīki sampai kepada teks Serat Pustakaraja karya pujangga Ranggawarsita. Meski teks Ramayana bukan berasal dari Nusantara, tetapi kisah ini termashur di Nusantara. Para pujangga seperti Ranggawarsita menyerap isi cerita kemudian disesuaikan dengan kebudayaan lokal. Kandungan naskah Nusantara tidak selalu hanya berkaitan dengan kesusastraan, tetapi juga mencakup tema-tema politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, obat-obatan, mitologi, sejarah, hukum, dan lain-lain. Inilah yang coba ditunjukkan oleh Fakhriati melalui tulisannya yang menyoroti kedudukan perempuan sebagaimana terkandung dalam sebuah naskah Aceh. Fakhriati mencoba menggali ajaran dan praktik tentang
J
iv
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
kehidupan perempuan di Aceh pada masa lalu melalui kehidupan Siti Islam, tokoh utama dalam teks Hikayat Siti Islam. Sebagai bahan perbandingan, Fakhriati menggunakan teks berjudul Siti Hasanah. Artikel ketiga, yang ditulis oleh Atep Kurnia, merupakan tinjauan terhadap kolofon naskah Sunda Kuna, mencakup informasi tentang identitas penulis atau penyalin, tempat, dan waktu penulisan naskah. Dari tulisan itu diperoleh gambaran bahwa identitas penulis naskah tidak selalu dinyatakan dengan jelas. Sebagian besar naskah Sunda Kuna yang ditulis di gunung dapat dijadikan petunjuk awal yang mengungkap kedudukan gunung sebagai skriptorium penciptaan sebuah karya intelektual pada masa lalu. Selain kajian teks, dalam edisi ini disajikan pula artikel yang membahas wujud naskah itu sendiri. Kajian seperti itu termasuk dalam ranah kodikologi. Tedi Permadi, peneliti dari UPI Bandung, membahas secara rinci naskah daluang yang berasal dari Candi Cangkuang. Banyak data yang sepertinya sepele, tetapi jika dicermati ternyata dapat memberikan informasi penting tentang sebuah naskah, misalnya: ketebalan naskah yang diukur secara cermat dapat membuktikan apakah sebuah naskah dikerjakan secara tradisional atau merupakan buatan pabrik. Dalam tataran praktis, kesimpulan tersebut dapat membantu pihak yang berkepentingan untuk menilai fisik suatu naskah. Ida Bagus membahas lontar sebagai media menulis naskah. Berbeda dengan Tedi Permadi, Ida Bagus Rai Putra membahas berbagai segi penggunaan daun lontar sebagai media menulis naskah, di antaranya dari dari segi fisik, proses pembuatan, sampai tradisi penulisan dan pembacaan lontar yang masih hidup di Bali. Tradisi lontar yang masih lestari di Bali saat ini dapat memberi petunjuk bagaimana fungsi naskah lontar pada masa lalu. Melalui perspektif sejarah, Mahrus el-Mawa mengkaji puncak kejayaan Islam di Cirebon pada masa Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Dalam artikelnya, Mahrus el-Mawa berusaha memaparkan secara luas salah satu
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
v
tokoh penting Walisongo ini. Walaupun ia tidak mengulas tentang guru dan ajaran keagamaan Syarif Hidayatullah secara mendalam, tetapi usahanya merekonstruksi kejayaan Islam di Cirebon pada masa Syarif Hidayatullah melalui teks lama dan bukti-bukti artefak, membuktikan bahwa Sunan Gunung Jati bukanlah tokoh mitos, melainkan tokoh historis. Artikel terakhir, karya Oman Fathurahman, mengkaji sejarah penelitian salah satu teks Melayu yang, meminjam istilah C. Hooykas, “demikian banyaknya diselidiki”, yaitu Sulalat alSalatin atau lebih populer disebut Sejarah Melayu. Meski banyak sarjana yang telah meneliti teks tersebut, bukan berarti pembahasan terhadapnya telah tuntas. Oman Fathurahman masih melihat adanya aspek yang belum tergali yang dapat dimanfaatkan oleh para peneliti selanjutnya, yaitu unsur Islam yang terkandung dalam teks tersebut. Filologi secara harafiah berarti “cinta kata”. Kecintaan itulah yang ditunjukkan I. Kuntara Wiryamartana dalam tinjauan buku Kritik Teks Jawa: Sebuah Pendekatan Baru terhadap Kunjarakarna Prosa karangan Wilem van der Molen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011). Secara cermat I Kuntara menunjukkan alternatif bacaan dan terjemahan (ada kalanya perbaikan) terhadap teks Jawa Kuna Kunjarakarna. Tulisannya mengingatkan kita akan pentingnya aspek-aspek mendasar dari filologi, yaitu penyajian teks dan terjemahan. Dari artikel-artikel yang kami sajikan dalam edisi kali ini, pembaca dapat melihat betapa beragamnya persoalan yang diangkat oleh para penulis. Ini menunjukkan bahwa naskah “kuno” Nusantara dapat dijadikan “sumber inspirasi baru” untuk perkembangan penelitian di Indonesia. Kami berharap Jumantara dapat dijadikan sebagai “arena” penulisan artikel yang berkaitan dengan pernaskahan di Indonesia sehingga isi dan kandungan naskah dapat dibaca secara luas oleh masyarakat. Selamat membaca!
vi
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Abstrak Jejak cerita Rama dalam Sĕrat Pustakaraja diantaranya terdapat dalam Sĕrat Rukmawati, Sĕrat Suktinawyasa, Sĕrat Prabu Gĕndrayana, Sĕrat Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara. Dalam Sĕrat Rukmawati dikemukakan tentang peristiwa ritual agung Aswameda yang diselenggarakan oleh Prabu Dasarata, Raja Ayodya dalam rangka memohon kelahiran putra yang menjadi penjelmaan Sang Hyang Wisnu. Ritual agung Aswameda tersebut diselenggarakan di hutan Madura dekat sungai Sarayu (Gangga), tempat keberadaan "Jamur Dipa", penjelmaan Rĕsi Anggira (Maharsi Paspa). Ritual tersebut disaksikan oleh para raja sekutu Prabu Dasarata serta dihadiri oleh Prabu Basurata dari Wiratha. Dari ritual agung Aswameda tersebut kemudian lahirlah putra-putra Prabu Dasarata antara lain: Rama, Laksmana, Barata dan Satrugna, sedangkan putra Prabu Basurata yang lahir bernama Raden Brahmaneka. Dalam Sĕrat Suktinawyasa jejak cerita Rama terdapat dalam cerita yang disampaikan Dhang Hyang Wiku Salya kepada Rĕsi Abyasa, mengenai kisah hidup Prabu Ramawijaya ketika dicopot dari tahta serta harus meninggalkan istana Ayodya untuk pergi ke hutan belantara bersama Dewi Sinta, istrinya, serta adiknya * Penulis, peneliti dan pengajar di Jurusan Sastra Nusantara FIB Universitas Gajah Mada
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
1
Laksmana, sampai Dewi Sinta diculik dan dibawa lari oleh Prabu Dasamuka ke Alengka. Cerita tersebut dikemukakan Dhang Hyang Wiku Salya dalam rangka untuk menghibur agar Rĕsi Abyasa tidak terlalu bersedih hati karena sepeninggal ayahandanya (Rĕsi Palasara) ia tidak ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja melainkan hanya diangkat sebagai raja pendeta. Dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana, jejak cerita Rama dikemukakan oleh Bagawan Danèswara kepada Prabu Gĕndrayana, bahwa Batara Ramawijaya sewaktu muda (8 tahun) sudah dibawa Bagawan Sutiknayogi ke Gunung Dhandhaka untuk diadu dengan para raksasa bala tentara Rahwana (Dasamuka), yang merusak pertapaan. Cerita tersebut diungkapkan Bagawan Danèswara agar Prabu Gĕndrayana merelakan putranya yaitu Raden Narayana (Jayabhaya) untuk diminta bantuannya melenyapkan segala jenis hama tanaman (yang dilindungi para Dewa), yang merusak segenap sawah dan ladang penduduk di wilayah Gunung Nilandusa (Wilis). Dalam Sĕrat Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara jejak cerita Rama tampak pada penampilan Sang Maharsi Mayangkara (Anoman, Hanūman). Dalam kedua Serat tersebut dikisahkan peran Sang Maharsi Mayangkara yang mendapat tugas Bathara Guru untuk menjalin kembali kerukunan di antara keturunan Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) dengan keturunan Prabu Sariwahana, lewat perka-winan putra-putri mereka. Mereka antara lain: Dèwi Pramèsthi dengan Prabu Astradarma (Purusangkara), Dèwi Pramuni dengan Radèn Darmasarana, dan Dèwi Sasanti dengan Radèn Darmakusuma. Dalam kedua cerita tersebut Sang Maharsi Mayangkara akhirnya gugur dalam pertempurannya yang dahsyat melawan Prabu Yaksadewa (penjelmaan Sang Hyang Kala) yang bersenjatakan gada (penjelmaan Sang Hyang Brahma). Kata Kunci: Kakawin Rāmāyaņa, Sĕrat Pustakaraja, Sĕrat Rukmawati, Serat Suktinawyasa, Sĕrat Prabu Gĕndrayana, Sĕrat Purusangkara, Sĕrat Mayangkara.
2
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Pengantar Rāmāyaņa adalah karya agung dari India, berbahasa Sanskerta, yang oleh pujangga penciptanya diwariskan untuk seluruh umat manusia. Keagungan dan kemasyuran kisah Rāmāyaņa ini memang sudah diramalkan ribuan tahun sebelumnya, bahwa selama masih ada gunung-gunung yang berdiri, sungai-sungai mengalir di permukaan bumi selama itu juga kisah Rāmāyaņa akan terus berlangsung di dunia (Padmapuspita, 1979: 1). Bagaimanakah mitologi terciptanya karya agung ini? Ada seorang putra Brahmana, yang karena senang berkumpul dan bergaul dengan para perampok, tumbuh menjadi seorang penjahat. Ketika merampok tujuh orang dewa – resi (Saptarşi), ia berhasil diinsyafkan dan disuruh bertapa di hutan sambil mengucapkan mantra: marā, marā, marā, terus-menerus dengan tempo secepat-cepatnya, selama seribu tahun tanpa boleh bergerak. Pada waktu Saptarşi menengoknya, si petapa tetap pada tempatnya semula, tidak bergerak sambil mengucapkan mantra: marā, marā, marā sedemikian cepatnya sehingga ucapannya terbalik menjadi: Rāma, Rāma, Rāma. Seluruh badan petapa tersebut tertimbun di bawah „onggokan sarang semut hutan‟ yang dalam bahasa Sanskerta disebut walmīka. Maka sejak itu pemuda petapa tersebut disebut Wālmīki (Padmapuspita, 1979: 1-2). Pada waktu Wālmīki akan menggubah Rāmāyaņa, ia duduk termenung di tepian sungai sambil melihat air sungai yang beriakriak. Saat itulah ia mendapat ilham untuk mencipta bentuk sanjak. Dalam mitologinya, Rāmāyaņa dicipta melalui proses waktu yang cukup panjang, yaitu 400 tahun, dari 200 tahun sebelum Masehi sampai dengan 200 tahun sesudah Masehi. Adapun Mahābhārata karya Mpu Vyāsa mengalami proses pertumbuhan selama 800 tahun, dari 400 tahun Sebelum Masehi sampai 400 tahun Sesudah Masehi. Baik Rāmāyaņa maupun Mahābhārata termasuk Itihāsa, kitab suci Weda yang kelima, melengkapi kitab suci Catur Weda Samhita, yang terdiri dari Ŗg-Weda, Sāma-Weda, Yayur-Weda, dan Atharwa Weda. (Padmapuspita, 1979: 1-2). Beberapa
sarjana
mengemukakan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
bahwa
hakikat
inti
3
Rāmāyaņa adalah: (a) Berisi lambang gerakan ekspansi bangsa Arya dari tanah India Utara ke India Selatan. Rāma melambangkan satria Arya yang, didalangi para Brahmana (yang ditokohkan sebagai Bharadwāja, Atri, Sarabhangga, Agastya, Sutīkşņa), menyerang Langka hingga takluk. Dalam hal ini cerita Rāma dianggap sebagai dokumen sejarah; (b) Dianggap sebagai lambang perebutan kekuasaan negara yang senantiasa terjadi di sepanjang sejarah, dengan pola cerita pengendalian Bharata oleh Kekayi, pertentangan Subali melawan Sugriwa, dan politik tinggi Wibisana; (c) Dianggap sebagai cerita roman cinta kasih, kesetiaan, kesucian yang tiada taranya; (d) Dianggap sebagai kitab suci yang keramat, lebih-lebih bagi golongan Waisnawa, yang menganggap bahwa Rāma adalah penjelmaan Dewa Wisnu; (e) Dasar pola cerita Rāma merupakan persoalan tindakan dharma melawan adharma (Darusuprapta, 1963: 12-13; Surjohudojo, 1961: 4-10). Di India, selain Wālmīki yang berhasil menggubah Rāmāyaņa, penyair-penyair India lain pun mencoba membuat cerita Rāma– Sīta tersebut, misalnya: Raghuvangśa (keturunan Raghu) karya Kalidasa, Rāvaņavadha (pembunuhan Rāvaņa) oleh Bhaţţi, Janakīharaņa (penculikan Sīta) oleh Kumaradasa;, Uttara Rāma oleh Bhavabhutti, Rāmācaritamanasa (telaga kisah Rāma) oleh Tulasi Dasa (Tulsi Das), dan Rāmāyaņa Kathāsara-mānjari oleh Ksemendra (Darusuprapta, 1963: 48; Surjohudojo, 1961: 10). Cerita Rāmāyaņa dari India tersebut kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di Asia Tenggara cerita Rāma terdapat di Vietnam, Kamboja, Laos, Birma, Filipina, Thailand, Melayu, maupun Jawa (Manu, 1998: 136-146). Di Indonesia cerita Rāma digubah ke dalam Kakawin Rāmāyaņa maupun terpatri pada relief di candi Prambanan dan candi Panataran. Relief cerita Ramayana di candi Prambanan rupanya lebih dekat dengan Sĕrat Rama Kĕling, adapun relief di candi Panataran dekat dengan Kakawin Rāmāyaņa. Dari berbagai penelitian para ahli teks, Kakawin Rāmāyaņa diperkirakan digubah pada abad IX Masehi (820-832 Ç atau 898-910 M), ketika kekuasaan rajawi masih
4
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
berpusat di Jawa Tengah. Berdasarkan penelitian Himansu Bhusan Sarkar, Manomohan Ghosh, Camille Blucke, dan Hooykaas, diketahui bahwa sumber penulisan Kakawin Rāmāyaņa adalah Rāvaņavadha karya Bhaţţikâvya (Poerbatjaraka, 1957: 2-3; Surjohudojo, 1961: 11-12; Darusuprapta, 1963: 53-56; Padmapuspita, 1979: 3; Zoetmulder, 1983: 288-290; Manu, 1998: 137; Somvir, 1998: 19-20). Berkaitan dengan penulisan Kakawin Rāmāyaņa, pada mulanya para sarjana, seperti: Kern, Juynboll, Berg, dan Hooykaas, mengikuti anggapan umum di Bali (misalnya Ktut Ginarsa) bahwa penulis Kakawin Rāmāyaņa adalah Yogīśwara (Darusuprapta, 1963: 60). Baris kalimat yang memuat kata yogīśwara tersebut berbunyi: "Sang yogīśwara çişţa sang sujana çuddha manahira huwus mace sira", yang artinya sang yogīśwara (pendeta besar) menjadi sangat pandai dan sang sujana (orang baik) menjadi bersih hatinya setelah membacanya (Rāmāyaņa ini) (Darusuprapta, 1963: 60). Oleh karena itu Poerbatjaraka menegaskan bahwa kata yogīśwara harus diartikan sebagai 'pendeta besar', bukan menunjuk pada penulis Kakawin Rāmāyaņa, sebagaimana anggapan yang terbiasa di Bali. Meskipun demikian Somvir (setelah 40 tahun kemudian) mengharapkan bahwa Yogīśwara sebagai pencipta Kakawin Rāmāyaņa menurut tradisi Bali selama ini dapat diterima (Somvir, 1998: 20). Somvir menyatakan pula bahwa pertimbangan utama Yogīśwara dalam memilih Bhaţţikâvya adalah bahwa penyair Bhaţţi tergolong ke dalam sekte Shiwa. Shiwaisme adalah sekte tertua yang dapat dibuktikan jejaknya lewat penempatan dewa-dewa penting yang memakai atributatribut Shiwa di candi Prambanan. Tradisi Shiwaisme itulah kiranya yang mendorong Yogīśwara untuk memilih Bhaţţikâvya sebagai sumber penggubahan Kakawin Rāmāyaņa (Somvir, 1998: 20-21). Dalam kaitannya dengan penulis dan saat penulisan Kakawin Rāmāyaņa menurut tradisi Bali, Padmapuspita menjelaskan beberapa alasan mengapa di dalam tradisi Bali penulisan Kakawin
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
5
Rāmāyaņa adalah pada tahun 1016 Ç (1094 M) oleh Yogīśwara. Rangkaian kata-kata "çişţa sujana çuddha manahira" itu dianggap memuat sengkalan yang menunjuk tahun 1016 Ç. Dalam hal ini kata çişţa = 6; sujana = 1; çuddha = 0; manah = 1. Jadi 6101 atau tahun 1016 Ç (Padmapuspita, 1979: 13). Akan tetapi dalam koreksinya, Padmapuspita lebih cenderung menyetujui bahwa sengkalan di atas menunjuk tahun 1018 Ç (1096 M), karena kata çişţa yang artinya 'terpelajar' atau 'pandai' diberi arti '8', sama dengan pendeta. Padmapuspita juga menemukan adanya kata "guna" sampai tiga kali (triguna) dari bait penutup dalam Kakawin Rāmāyaņa tersebut. Karena itu Padmapuspita menawarkan pandangannya bahwa kemungkinan penulis Kakawin Rāmāyaņa adalah Mpu Triguna, semasa pemerintahan Çri Jayawarsa Digwijaya Çastra Prabu, yang memerintah tahun 1026 Ç (1104 M). Walaupun demikian, Padmapuspita juga sependapat dengan Poerbatjaraka, bahwa yogīśwara bukanlah nama orang, melainkan sebutan penghormatan, seperti halnya kata yogīndra yang diberikan kepada Wālmīki. Bhaţţi sendiri (pengarang Rāvaņavadha) diperkirakan merupakan nama samaran Bhartrhari. Dalam hal ini kata bhaţţi dapat dihubungkan dengan kata bhaţţa, sebutan untuk sarjana besar, semacam penulisan gelar Doktor yang disingkat Dr. (Padmapuspita, 1979: 14-15). Dalam perkembangannya Kakawin Rāmāyaņa digubah dalam kesastraan Jawa Baru dengan judul Sĕrat Rama oleh pujangga R.Ng. Yasadipura I (Poerbatjaraka, 1957: 152; Darusuprapta, 1963: 43; Ricklefs, 1997: 276). Kakawin Rāmāyaņa juga digubah oleh R.Ng. Yasadipura II menjadi Sĕrat Arjuna Sasrabahu, baik yang berbentuk tembang macapat maupun yang berbentuk Kawi miring, serta juga digubah oleh Sindusastra menjadi Sĕrat Arjunasasra atau Sĕrat Lokapala (Mc. Donald dalam Manu, 1998: 138). Bila cerita dalam Rāmāyaņa dan Mahābhārata yang di India seperti tidak ada hubungannya satu sama lain, maka di Jawa kedua tradisi tersebut dicoba dihubungkan, terutama dalam
6
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
pewayangan. Misalnya tampak pada cerita Wahyu Makutharama (Ki Siswaharsaya), Sĕrat Kandha Lampahan Jayasĕmadi, Sĕrat Kandha Lampahan Sĕmar Boyong, Sĕrat Kandha Lampahan Rama Nitis, Arjuna Krama, Lampahan Wahyu Tunggul Naga, dan sebagainya. Sĕrat Pustakaraja Sebelum dikemukakan jejak cerita Rāma dalam Sĕrat Pustakaraja, akan dikemukakan secara sepintas tentang karya tersebut. Sĕrat Pustakaraja adalah karya agung dan merupakan puncak karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, disamping Sĕrat Ajipamasa maupun Sĕrat Witaradya. Bedanya, kalau Sĕrat Pustakaraja berbentuk prosa, maka Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat Witaradya berbentuk puisi Jawa Baru (Macapat). Disebut Pustakaraja karena karya ini dijadikan kitab pedoman bagi seorang Raja (pakĕmipun panjĕnĕngan nata). Pustakaraja dapat juga diartikan 'Rajanya Kitab', karena merupakan kitab yang terkemuka dan menjadi induk segala kitab cerita Jawa (Sĕrat Raja, amargi dados tĕtunggul tuwin dados baboning Sĕrat cariyos Jawi) (Ranggawarsita, 1938: 7). Sĕrat Pustakaraja dapat dibagi menjadi 2, yaitu Sĕrat Pustakaraja Purwa dan Sĕrat Pustakaraja Puwara. Sĕrat Pustakaraja Purwa dibagi menjadi beberapa kelompok besar, yaitu: 1.
Sĕrat Maha Parwa, meliputi: a. Sĕrat Purwa Pada; b. Sĕrat Sabaloka.
2.
Sĕrat Maha Déwa, meliputi: a. Sĕrat Déwa Buddha; b. Sĕrat Dewa Raja.
3.
Sĕrat Maha Rĕsi, meliputi: a. Sĕrat Rĕsi Kala; b. Sĕrat Buddha Krĕsna.
4.
Sĕrat Maha Raja, meliputi: a. Sĕrat Raja Kanwa; b. Sĕrat Palindria; c. Sĕrat Silacala; d. Sĕrat Sumanasantaka.
5.
Sĕrat Maharata, meliputi: a. Sĕrat Dyitayama; b. Sĕrat Tritarata; c. Sĕrat Sindula; d. Sĕrat Rukmawati; e. Sĕrat Sri
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
7
Sadana. 6.
Sĕrat Maha Tantra, meliputi: a. Sĕrat Sri Kala; b. Sĕrat Raja Watara; c. Sĕrat Crita Kaprawa; d. Sĕrat Ariawanda; e. Sĕrat Para Patra.
7.
Sĕrat Maha Putra, meliputi: a. Sĕrat Mahandya Purwa; b. Sĕrat Suktinawyasa; c. Sĕrat Hariwangsa; d. Sĕrat Darma Sarya; e. Sĕrat Kumbayana; f. Sĕrat Wanda Laksana; g. Sĕrat Darma Mukta; h. Sĕrat Drĕta Nĕgara.
8.
Sĕrat Maha Dharma, meliputi: a. Sĕrat Kuramaka; b. Sĕrat Smara Dahana; c. Sĕrat Ambarawaja; d. Sĕrat Krida Krĕsna; e. Sĕrat Kunjarakarna; f. Sĕrat Kunjara Krĕsna; g. Sĕrat Partayagnya; h. Sĕrat Manik Harya Purwaka; i. Sĕrat Sumantri Parta; j. Sĕrat Dĕwa Ruci; k. Sĕrat Parta Wiwaha/Mintaraga; Sĕrat Indra Naraga; m. Sĕrat Urubaya; n. Sĕrat Domantara; o. Sĕrat Bomantaka; p. Sĕrat Baratayuda; q. Sĕrat Kirimataya; r. Sĕrat Darmasarana; s. Sĕrat Yudhayana.
Sĕrat Pustakaraja Puwara juga dibagi menjadi beberapa kelompok besar, yaitu: 1. Sĕrat Maha Parma, meliputi; a. Sĕrat Budhayana; b. Sĕrat Sariwahana; c. Sĕrat Purusangkara; d. Sĕrat Partakaraja; e. Sĕrat Ajidharma; f. Sĕrat Ajipamasa. 2. Sĕrat Maharaka, meliputi; a. Sĕrat Witaradya; b. Sĕrat Purwanyana; c. Sĕrat Bandawasa; d. Sĕrat Déwatacèngkar. 3. Sĕrat Maha Prana, meliputi: a. Sĕrat Widayaka; b. Sĕrat Danèswara; c. Sĕrat Jaya Lĕngkara; d. Sĕrat Dharma Kusuma; e. Sĕrat Catasi Panuaka. 4. Sĕrat Maha Krasma, meliputi: a. Sĕrat Surya Wisésa; b. Sĕrat Raja Sunda; c. Sĕrat Madu Sudana; d. Sĕrat Panca Prabanggana. 5. Sĕrat Maha Kara, meliputi: a. Sĕrat Mundingsari; b. Sĕrat Raja Purwaka; c. Sĕrat Maha Kara.
8
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
6. Sĕrat Maha Para (Ranggawarsita 1938: 10-49; Mulyono, 1989: 191-200; Tedjowirawan, 2008: 84-86).
Sri
Dalam Kepustakaan Jawa (1957), Poerbatjaraka menilai bahwa Kitab (Sĕrat) Pustakaraja pada pokoknya digubah berdasarkan kitab-kitab lakon wayang, pendengaran R. Ng. Ranggawarsita tentang cerita-cerita dari temannya, dan dongengdongeng yang pada waktu itu sudah ada. Semuanya itu diubah dan ditambah oleh R. Ng. Ranggawarsita menurut kehendak hatinya. Lebih jauh Poerbatjaraka menyatakan bahwa: “Walau bagaimanapun juga keadaannya, dengan pendek Kitab Pustakaraja itu sebagian besar hanya berisi “omong kosong” belaka daripada R.Ng. Ranggawarsita. Kitab-kitab yang disebut di dalam Kitab Pustakaraja, itu seperti kitabkitab Maha Parwa, Purwa Pada, Sabaloka, Maha Déwa, Maha Rĕsi, dan sebagainya, itu sebenarnya tidak ada dan tak pernah ada.” (Poerbatjaraka, 1957: 186). C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (Javaansche Geschiedschrijving, dalam geschiedenis van Nederlands Indie, 1938) mengakui bahwa pihak Barat belum memberikan perhatian yang berarti terhadap Pustakaraja, namun diakui bahwa R.Ng. Ranggawarsita mempunyai pergaulan dengan ahli-ahli ilmu bahasa dan kebudayaan Jawa yang berkebangsaan Barat. Selanjutnya dikatakan bahwa R.Ng. Ranggawarsita dalam menulis karyanya menempuh jalan baru dan untuk memperoleh bahan-bahan ia menggali sumber-sumber baru. Akhirnya dikatakan juga bahwa R.Ng. Ranggawarsita (ternyata) mencurahkan amat banyak perhatian untuk menentukan tarikh peristiwa-peristiwa yang dibukukannya. Ia selalu memberikan dua tarikh, yang satu menurut tahun Syamsiah dan yang satu lagi menurut tahun Komariyah. Berdasarkan kenyataan itu bukan mustahil bila sesungguhnya R.Ng. Ranggawarsita bermaksud untuk menulis sejarah menurut tanggapan Barat. Bahwa usahanya tersebut tidak berhasil tidaklah penting. Apabila R.Ng.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
9
Ranggawarsita bermaksud mencari nama sebagai ahli sejarah pertama yang beraliran modern, maka kiranya kita harus membedakan karyanya dengan karya rekan-rekannya yang terdahulu, karena yang disebut belakangan ini (R.Ng. Ranggawarsita) bukanlah orang yang mempelajari ilmu sejarah, akan tetapi pendeta-pendeta magi sastra, pujangga dalam arti yang asli, “manusia ular”. Di sini C.C. Berg hanya dapat mengemukakan tidak lebih dari perkiraan-perkiraannya (Berg, 1974: 87). Pigeaud dalam Literature of Java Volume I (1967) menyatakan: “Rangga Warsita‟s books on mythology and ancient history, which he called Pustaka Raja, Books of Kings, impress the reader in a remarkable way. The events of myth and epic history are dated consecu-tively according to a chronology, solar and lunar years, of Rangga Warsita‟s own invention, and so the Pustaka Raja makes an impression of being historically reliable, which it is not. Rangga Warsita‟s chronicles of creation, cosmogony, myth and epics have parallels in the literatures of other peoples. His, at first sight preposterous, idea of dating all tales is to be considered as a consequence of his thoroughly Javanese belief in an all pervading Order, which should also be made visible in myth and ancient history” (Pigeaud, 1967: 170). Menurut Sri Mulyono, Sĕrat Pustakaraja, khususnya Sĕrat Pustakaraja Purwa, adalah hasil saduran kembali cerita dalam Mahābharāta dengan berbagai adaptasi dan inovasi. Sĕrat Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai suatu penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita Mahābharāta versi Indonesia) (Mulyono, 1989: 202). Sĕrat Pustakaraja isinya sudah menyimpang dan berbeda jauh dengan Ramāyāna maupun Mahābharāta. Keanehan dalam Sĕrat Pustakaraja tersebut justru sering dinilai “sangat menakjubkan” 10
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sehingga para sarjana berkesimpulan bahwa kitab tersebut adalah wishfull thinking pujangga R.Ng. Ranggawarsita sendiri. Di samping itu salah satu maksud tujuan disusunnya Sĕrat Pustakaraja adalah untuk mendidik anak cucu dengan mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya. Selain itu yang terpenting dari segala uraian karya-karya pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Sĕrat Pustakaraja) adalah menempatkan jatining panembah, yaitu memberikan penerangan bahwa dewa-dewa (para Jawata) yang diartikan sebagai nenek moyang orang Jawa itu bukanlah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, tetapi hanya sebagai titah biasa (Mulyono, 1989: 202; Wiryamartana, 1980: 2). Jejak Cerita Rama dalam Serat Pustakaraja Di dalam Sĕrat Pustakaraja jejak cerita Rāma terdapat di dalam: 1) Sĕrat Rukmawati bagian kelompok Kitab Maharata (bagian Pustakaraja Purwa), 2) Sĕrat Suktinawyasa bagian Sĕrat Mahapatra (bagian Pustakaraja Purwa), 3) Sĕrat Prabu Gendrayana yang dapat disejajarkan dengan Sĕrat Budhayana sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sĕrat Maha Parma (bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara), 4) Sĕrat Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sĕrat Maha Parma (bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara). Adapun jejak cerita Rāma dalam Serat-Serat di atas dapat dikemukakan sebagai berikut: Cerita Rāma dalam Sĕrat Rukmawati Pujangga R. Ng. Ranggawarsita di dalam Sĕrat Pustakaraja menyatakan: Sĕrat Rukmawati, wiyosipun punika cariyos lalampahanipun Dèwi Rukmawati, putranipun Sang Hyang Anantaboga anggènipun amĕmĕca saha mitulungi sarana dha-tĕng
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
11
sadhĕngaha ingkang nĕdha tulung. Kaanggit dé-ning Mpu Sindura ing Mamĕnang, panganggitipun anuju ing taun Suryasangkala 853, kaétang ing taun Candra-sangkala amarĕngi 879 (Ranggawarsita, 1938: 17). (Sĕrat Rukmawati, inilah cerita kisah perjalanan hidup Dewi Rukmawati, putra Sang Hyang Anantaboga ketika meramalkan dan menolong memberikan jalan (petunjuk) kepada siapapun yang meminta pertolongan (padanya). Dikarang oleh Mpu Sindura di Mamenang, penggubahannya pada tahun Suryasangkala 853, dihitung (ber-dasarkan) tahun Candrasangkala bertepatan tahun 879). Adapun cerita dalam Sĕrat Rukmawati dimulai dari tahun Suryasangkala 453 (Uninga – marganing – yoga) atau terhitung tahun Candrasangkala 467 (Rĕsi – rasaning – catur) sampai dengan tahun Suryasangkala 456 (Karasa – marganing – dadi) atau terhitung tahun Candrasangkala 470 (Kagunturan – sabda – pakarti – muluk) (Kamajaya, 1994: 33). Dikemukakan dalam Sĕrat Rukmawati bahwa pada waktu itu pulau Jawa masih bersatu dengan Bali, Madura dan Sumatra. Di Jawa ada empat raja: (1) Prabu Brahmanaraja (putra Sang Hyang Brahma), kerajaannya di Gilingwĕsi tanah Prayangan (Priangan). (2) Prabu Sri Mahapunggung, kerajaannya di Purwacarita, termasuk tanah Kendal atau Pekalongan. (3) Prabu Basurata kerajaannya di Wiratha yang pertama di tanah Tegal. Prabu Sri Mahapunggung dan Prabu Basurata adalah putra Sang Hyang Wisnu. (4) Sri Maharaja Sindhula (putra Prabu Watugunung), kerajaannya di Medanggalungan tanah Pekalongan (Ranggawarsita, 1939: 2-3; Kamajaya 1994: 2). Pada waktu itu bidadari bernama Dewi Rukmawati, putra Sang Hyang Anantaboga, turun ke dunia dan berdiam di pertapaan di Gunung Mahendra (Gunung Lawu) di tanah Surakarta. Dewi Rukmawati dengan ketajaman penglihatan batinnya sering meramal dan menolong orang yang sedang bersedih sehingga ia termashur
12
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sampai ke mancapraja (mancanegara). Pada waktu itu Prabu Basurata mendapat ilham dalam mimpinya bahwa ia hendaknya mencari cara agar mendapatkan putra. Ilham raja tersebut disampaikan kepada para pertapa. Resi Wisama (putra Bathara Laksmana) cucu Sang Hyang Resi Wismana, cicit Sang Hyang Pancaresi, menyarankan agar Prabu Basurata meminta petunjuk kepada Dewi Rukmawati di Gunung Mahendra. Prabu Basurata dengan diiringi Resi Wisama kemudian pergi berkunjung ke Gunung Mahendra. Oleh Dewi Rukmawati, Prabu Basurata disarankan agar pergi ke hutan Madura di tanah Hindi, termasuk dalam wilayah negara Ngayodya, sebab di sana terdapat Jamur Dipa yang tumbuh dari abu Rĕsi Anggira atau yang juga disebut juga Maharesi Paspa. Konon terjadinya abu tersebut bermula ketika Rĕsi Anggira yang dari kanak-kanak sampai tua melakukan tapa brata, sehingga didatangi Sang Hyang Jagadnata untuk memberikan anugerah. Permintaan Rĕsi Anggira adalah bahwa hendaknya telapak tangannya memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga apa yang diraba, terutama kepala seseorang, seketika akan menjadi abu. Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Hyang Jagadnata, akan tetapi Rĕsi Anggira ingin mencoba kesaktian telapak tangannya dengan meraba kepala Sang Hyang Jagadnata. Sang Hyang Jagadnata menolak, tetapi terus dikejar oleh Rĕsi Anggira. Sang Hyang Jagadnata kemudian lenyap dan tidak berapa lama muncullah Sang Hyang Wisnu menyamar sebagai seorang wanita yang sangat cantik bernama Dewi Anggarini. Ketika Rĕsi Anggira mencoba merayu dan ingin mencumbu Dewi Anggarini maka ia disarankan untuk mandi keramas dahulu. Ketika membersihkan rambutnya, Rĕsi Anggira lupa bahwa tangannya sudah memiliki kesaktian yang dahsyat, sehingga akhirnya ia sendiri yang menjadi abu. Karena berujud abu ia juga disebut Maharsi Paspa. Di dalam abu tersebut kemudian tumbuhlah jamur yang terkenal sebagai Jamur Dipa yang dapat menjadi sarana untuk mendapatkan seorang putera yang istimewa. Karena itu Prabu Basurata disarankan untuk mengambil/memetik Jamur Dipa ke hutan Madura di tanah India (Ranggawarsita, 1939: 12-14; Kamajaya, 1994: 3-10). Di dalam
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
13
Sĕrat Pustakaraja kisah mengenai Rĕsi Anggira (Maharsi Paspa) yang menjadi Jamur Dipa dapat dilihat pada kutipan berikut: Sarĕng ing wanci bangun énjing Dèwi Rukmawati amanggihi Prabu Basurata, aturipun Dèwi Rukmawati: 'Kakang Prabu, mĕnggah ingkang dados karsa paduka angudi wĕkasing tumuwuh ambabarakĕn wiji punika, sampun rinilan déning Sang Hyang Wisésa, nanging wontĕn sarananipun; panggénanipun sarana dumunung wontĕn sabrang ing wana Madura tanah Hindi, talatahipun nagarai Ngayodya.' Ing ngrika wontĕn Jamur-dipa, kadadosan awunipun Rĕsi Anggira, ugi sinĕbat nama Maharsi Paspa. Déné dados awu, bubukanipun makatĕn: „Kala ing kina Rĕsi Anggira punika tatapa sangkaning raré ngantos sĕpuh. Kala semantĕn nuju dhatĕng kanugrahanipun Rĕsi Anggira katĕdhakan Sang Hyang Jagadnata. Pangandikanipun Sang Hyang Jagad-nata: „Heh Anggira sutaning Sakru, putuning Sakutri, ba-ngĕt tĕmĕn ĕggonnira kapati-brata, apa kang dadi sĕdyanira ing mĕngko sayĕkti sun-turuti‟ Aturing Rĕsi Anggira: „Dhuh Pukulun Kang Binathara Ing Jagad, mugi kasĕmbadanana ing panuwun-amba. Èpèk-èpèk amba kalih pisan punika kaparingan kamayan tiksna, menawi anggĕpok utamangganing dumadi ingkang amba grayang sirahipun wau, sagĕda lajĕng dados awu sami sanalika.‟ Sang Hyang Jagadnata angandika: „Lah iya ingsun wus anĕmbadani.‟ Rĕsi Anggira umatur: 'Dhuh Pukulun, sarèhning sampun kasĕmbadan ing sapanuwun amba, kawula kamipurun anunuwun tandha, manawi amarĕngakĕn kawula kalilana anggrayang mustaka paduka.‟ Sang Hyang Jagadnata botĕn amarĕngi, nanging Rĕsi Anggira adrĕng badhé pari-pĕksa. Sarèhning tĕdhakipun Sang Hyang Jagadnata botĕn wontĕn ingkang ndhèrèkakĕn, Sang Hyang Jagadnata lumajĕng, lajĕng binujĕng. Sarĕng mèh kacandhak, Sang Hyang Jagadnata lajĕng muksa. Botĕn watawis dangu, rama paduka Sang Hyang Wisnu tumurun mimindha pawèstri langkung éndah ing warni. Rĕsi Anggira
14
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sarĕng aningali langkung kasmaran, lajĕng pitakèn namanipun. Rama-paduka angakĕn nama Dèwi Anggarini. Rĕsi Anggira botĕn darana Dèwi Anggarini lajĕng rinarurum ingarih-arih. Dèwi Anggarini darbé panĕdha, sarèhning Rĕsi Anggira mĕntas tapa lami, kinèn adus karamas rumiyin. Manawi sampun suci badan, sumanggèng karsa. Rĕsi Anggira langkung suka lajĕng dhatĕng ing lèpèn sumĕdya adus karamas. Saking déné srĕnging karsa, supé bilih tanganipun kadunungan kamayan tiskna. Sarĕng karamas tanganipun kadamĕl anguyĕg sirah, sami sanalika wau Rĕsi Anggira lajĕng dados awu, Dĕwi Anggarini uninga manawi Rĕsi Anggira pĕjah dados awu, lajĕng wangsul warni Sang Hyang Wisnu malih, sarwi angandika makatĕn: „Hèh Rĕsi Anggira ing mĕngko sira nĕmu wĕwĕlèh dadi awu dhéwé. Sira mari aran Rĕsi Anggira, sayĕktiné ing mĕngko sira aran Maharsi Paspa, awit sira wujud awu.' Sasampunipun ngandika makatĕn, rama-paduka Sang Hyang Wisnu muksa. Punika kakang Prabu, bubukanipun ing kina. Ing mangké awu wau cukul jamuripun katĕlah sinĕbut Jamur-dipa. Kathah ing-kang sami ngupados badhé kadamĕl sarananipun tiyang ig-kang sumĕdya angudi wĕkasing tumuwuh ambabarakĕn wiji. Pada waktu itu di negeri Ayodya Prabu Dasarata menjadi raja. Di dalam Sĕrat Rukmawati sosok Prabu Dasarata dan keadaan kerajaan Ayodya digambarkan sebagai berikut: ... gĕntos kacariyos, nagari ing Ayodya, ing nalika punika ingkang jumĕnĕng nata ajujuluk Prabu Dhasarata, tĕrahipun Ikswaku, ratu limpad ing Sĕrat Wéddha, akaliyan Sĕrat Weddhangga, sidik ing paningal, bijaksana, mandraguna sinĕkti, kinèdhĕpan samaning tumuwuh, putus dhatĕng kawajiban suci. Ratu pinandhita, mèh anyamèni para maharsi, kĕkah ing adilipun, kawasa amĕnggak budi hawanipun, saking anggènipun mungkul ing katĕmĕnan sarta anĕtĕpi agami tigang prakawis.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
15
Kautaman tuwin kaluhuranipun sang nata misuwur ing jagad titiga, prasasat sami akaliyan para déwa. Lulus tataraharjaning praja. Ing kitha wau titiyangipun sami bĕgja, botĕn wontĕn tiyang bodho, botĕn wontĕn tiyang kĕsèd, botĕn wontĕn tiyang musakat, botĕn wontĕn tiyang awon warninipun. Botĕn wontĕn tiyang ingkang drĕngki, botĕn wonten tiyang ingkang tanpa aji. Botĕn wontĕn tiyang ingkang awon griyanipun, botĕn wontĕn tiyang ingkang alit manahipun, botĕn wontĕn tiyang cĕlak umuripun. Botĕn wontĕn tiyang sakĕdhik anakipun, botĕn wontĕn tiyang murtad, botĕn wontĕn tiyang ingkang botĕn nĕtĕpi wajibing ngagĕsang. Tiyangipun èstri sami éndah-éndahing warni, tani-tani sarta bĕkti-bĕkti ing laki, botĕn wontĕn tiyang ingkang manganggé lungsĕd. Sawarninipun tiyang sami busana adi-adi ingkang rinĕngga ing kancana sosotya nawarĕtna, sarwi agaganda amrik arum. Kitha wau rinĕksa ing prajurit éwon, anggigirisi kados latu murub, sarta botĕn saged kawon pĕrang. Para nayakanipun sang Prabu cacahipun wowolu, ingkang sampun misuwur ing kautamanipun, bijaksana, sami limpad ing kawruh wéddha, putus dhatĕng wajib pangĕrèhing praja, botĕn pĕgat anggĕnipun ambudi wĕwahing kaluhuraning ratunipun. ( ... kemudian diceritakan, nagari di Ayodya, pada waktu itu yang menjadi raja bergelar Prabu Dasarata, keturunan Ikswaku, raja yang (telah) ahli dalam Sĕrat Wéddha dan Sĕrat Wéddhangga, tajam penglihatannya, bijaksana, sangat sakti, disegani oleh sesama makhluk, putus (mumpuni) dalam hal kewajiban suci. Raja (yang bersifat) pendeta, hampir menyamai para maharsi, kokoh dalam keadilan, kuasa menahan hawa nafsunya, karena dia (baginda) (sudah) tekun dalam kelurusan hati (kejujuran) serta menepati agama 3 macam. Keutamaan serta keluhuran sang raja termashur di tiga dunia, bagaikan sama dengan para dewa. Mumpuni
16
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
mengatur keselamatan dan kesejahteraan negara. Di dalam kerajaan tersebut rakyatnya semua bahagia, tidak ada orang yang bodoh, tidak ada orang yang malas, tidak ada orang yang hina, tidak ada orang yang buruk wajahnya. Tidak ada orang yang dengki, tidak ada orang yang tanpa harga diri. Tidak ada orang yang buruk rumahnya, tidak ada orang yang kecil hatinya, tidak ada orang yang pendek umurnya. Tidak ada orang yang sedikit anaknya, tidak ada orang yang murtad, tidak ada orang yang tidak menepati kewajiban hidupnya. Para perempuannya semua cantik-cantik parasnya, para petani (perempuan) pada berbakti pada suaminya, tidak ada orang yang berpakaian lusuh. Semua orang pakaiannya indah-indah yang dihiasi dengan emas intan permata, serta berbau harum semerbak. Kota tersebut dijaga oleh ribuan prajurit, menakutkan seperti api yang menyala serta tidak terkalahkan dalam perang. Para pemimpin sang Prabu berjumlah 8, (mereka) sudah termashur keutamaannya, semua ahli dalam ilmu Wédha, putus (ahli) dalam hal tata pemerintahan negara, tidak henti-hentinya dalam berusaha menambah keluhuran rajanya). Prabu Dasarata pada waktu itu juga menginginkan memiliki putra yang termashur di dunia karena pada waktu itu baginda belum berputra. Para pendeta menyarankan agar Prabu Dasarata mengadakan upacara (sedekah) Aswameda di hutan Madura di dekat sungai Sarayu. Sewaktu perlengkapan persembahan sudah siap, Prabu Dasarata mendapat petunjuk dewa bahwa ia hendaknya menunggu kedatangan putra Sang Hyang Wisnu. Kedatangan Prabu Basurata di hutan Madura disambut dengan gembira oleh Prabu Dasarata di Ayodya, bersama para raja di kerajaan Prawa, Mantili, dan Malawa. Ketika persembahan Aswameda tersebut dilakukan, Bathara Prayapati (Sang Hyang Jagadnata) yang diiringi para dewa sangat berkenan. Para dewa kemudian mengusulkan kepada Bathara Prayapati agar memberikan putra sebagai titisan Dewa Wisnu kepada Prabu
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
17
Dasarata. Hal ini dimaksudkannya agar putra Prabu Dasarata kelak dapat membunuh raja raksasa, Rahwana, yang sangat termashur kesombongannya dan sebagai perusak segala yang tumbuh (Ranggawarsita, 1938: 24-29; Kamajaya, 1994: 14-18). Prabu Basurata dan Prabu Dasarata serta para raja lainnya kemudian mendekati Jamur Dipa yang terlihat menyalanyala. Jamur Dipa tersebut kemudian berubah menjadi seperti mustika. Bathara Wisnu kemudian memberi Payasa yang ditempatkan di atas jamur tersebut. Payasa adalah makanan para dewa yang sangat lezat. Kepada kedua raja tersebut Bathara Wisnu menyatakan bahwa keduanya diperbolehkan mengambil Payasa yang terletak di Jamur Dipa untuk dimakan bersama istrinya, niscaya kedua raja tersebut akan memperoleh putra yang utama. Prabu Dasarata dan Prabu Basurata kemudian mengambil Japur Dipa dan Payasa untuk kemudian dimakan bersama permaisuri mereka. Beberapa waktu kemudian para istri Prabu Dasarata hamil. Di dalam Sĕrat Rukmawati prosesi ritual agung Asmaweda tersebut diuraikan sebagai berikut: ... Sarĕng sampun rĕrĕm sawatawis dintĕn, Prabu Dhasarata dhawuh angawiti pakurmataning sidhĕkah nĕtĕpi ingkang kasĕbut ing sastra tuwin adat waton. Ingkang dados pangagĕng tumandang pangruktining sidhĕkah Rĕsi Srĕngga. Wujudipun sidhĕkah, barang pèni raja pèni, tĕtĕdhan awarni-warni, amĕpĕki, sabarang ingkang kinarsakakĕn wontĕn. Kalanipun Prabu Dhasarata anggĕlarakĕn sidhĕkah, saking katrimahing sidhĕkahipun, Sang Hyang Jagadnata ingkang ugi sinĕbut Bathara Prayapati, anĕdhaki dhatĕng panggènan sidhĕkah kadhèrèkaken para déwa. Sarĕng para déwa aningali sidhĕkahipun Prabu Dhasarata ingkang tanpa timbang, sami matur dhatĕng Bathara Prayapati, mugi kaparĕnga amaringi putra dhatĕng Prabu Dhasarata saha mugi andhawuhna dhatĕng Bathara Wisnu, anjanma-a ing putranipun Prabu Dhasarata, sagĕda anyimakakĕn
18
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
ratuning danawa ingkang nama Rahwana, ingkang sakalangkung kumalungkung dados gĕgĕlahing bumi, angrisak samining tumuwuh. Bathara Pryapati amarĕngi panuwun wau. Sasampunipun sidhĕkah, Prabu Basurata akaliyan Prabu Dhasarata tuwin para ratu sami anĕdhaki panggènanipun Jamur-dipa. Jamur-dipa katinggal murub angkara-kara. Sarĕng Prabu Basurata, Prabu Dhasarata anyĕlaki, urubing Jamur-dipa sirĕp. Karsaning déwa angkĕripun Jamur-dipa dados cabar, jamur katingal amaya-maya kados musthika. Bathara Wisnu lajĕng amaringi "Payasa" kadunungakĕn sanginggiling jamur. Payasa wau dhaharipun para déwa ingkang raosipun sakalangkung éca. Bathara Wisnu angatingal sarwi angandika: „Hé ratu sudibya, kaki Prabu Basurata lan kaki Prabu Dhasarata, sira ingsun wĕnangaké ngalap Payasa kang dumunung ing Jamur-dipa iku. Banjur sira pangana lan somahira. Panganan iku kang dadi jalarané sira padha kasinungan suta, agawé undhaking kautaman lan kamulyan‟. Prabu Basurata, Prabu Dhasarata, andhĕku sumĕmbah ing Sang Hyang Wisnu, lajĕng sami mundhut Payasa ingkang dumunung ing Jamur-dipa, pinundhi ing mastaka, dalah Jamur-dipa ugi kapundhut. Sang Hyang Wisnu muksa. Ratu kalih lajĕng kondur dhatĕng pasanggrahan. Payasa ingkang kapundhut Prabu Dhasarata, tumuntĕn kadhahar akaliyan pramèswari nata titiga. Jamur-dipa dipun dum waradin dhatĕng para ratu. Pamukartaning sidhĕkan kĕndĕl. Para ratu tuwin para rĕsi, para brahmana sapanunggilanipun, sasampunipun anampèni pandumaning sidhĕkah, lajĕng sami bibaran. Prabu Dhasarata dalah pramèswari nata kondur dhatĕng praja. Prabu Basurata kaaturan tĕdhak kampir dhatĕng Ayodya. Naréndra ing Mantili, ing Malawa, ing Prawa, sami tumutur angurmati. Sarawuhipun ing Ayodya langkung sinuba-suba....
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
19
Beberapa waktu kemudian Prabu Basurata, sekembalinya ke Wiratha, memperlihatkan Jamur Dipa dan Payasa tersebut kepada Dewi Rukmawati. Dewi Rukmawati melihat bahwa di dalam Jamur Dipa terdapat 2 rajah, yaitu rajah Purusa dan rajah Kani. Menurut Dewi Rukmawati bahwa Prabu Basurata kelak akan berputra raja besar serta seorang putri yang nantinya juga menurunkan raja besar. Jamur Dipa tersebut kemudian dipuja Dewi Rukmawati berubah menjadi buah-buahan disebut buah Wipula. Payasa dan buah Wipula kemudian diminta untuk dimakan Prabu Basurata bersama permaisuri Dewi Brahmaniyuta (Ranggawarsita, 1938: 28-32; Kamajaya, 1994: 18-21). Pada tahun Wiya terhitung tahun 454 (Suryasangkala) dengan sĕngkalan: Dadi-tataning-pakarti atau tahun 468 (Candrasengkala) dengan ditandai sĕngkalan: Sarira-angrasa-suci. Bertepatan masa Manggakala, permaisuri Dewi Brahmaniyuta melahirkan putra laki-laki diberi nama Raden Brahmaneka, sementara itu di kerajaan Ngayodya permaisuri Prabu Dasarata pun melahirkan putra. Dewi Kusalya berputra Rama, Dewi Kekayi berputra Bharata, adapun Dewi Sumitra berputra Laksmana dan Satrugna. Sebagai ungkapan kebahagiaan Prabu Dasarata disertai Raja Mantili, Raja Malawa dan Raja Prawa kemudian mengunjungi Prabu Basurata di Wiratha (Ranggawarsita, 1938: 34; Kamajaya, 1994: 22). Di dalam Sĕrat Rukmawati kelahiran Rāma bersaudara tersebut dikemukakan sebagai berikut: Kacariyos, kadi sarĕng lampahanipun, ananging cariyosipun kadamĕl gĕntos, ing tanah Hindi pramèswari Ngayodya, sampun ambabar putra kakung langkung rumiyin ingkang miyos saking Dèwi Kusalya kaparingan nama Rama. Ingkang miyos saking Dèwi Kĕkayi pinaringan nama Barata. Ingkang miyos saking Dĕwi Sumitra kakalih pinaringan nama Laksmana, akaliyan Satrugna. Prabu Dhasarata andhatĕngngakĕn suka pari suka. Sarĕng
20
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sampun dumugi anggĕnipun amangun suka, kabĕkta saking rĕnaning panggalih déné kadumugĕn ingkang dados karsanipun, Prabu Dhasarata karsa tĕdhak cangkrama dhatĕng nuswa Jawi, kanthi ratu ing Mantili, ing Malawa lan ing Prawa. Lajĕng sami bidhalan saking palabuhan Prawa anitih baita. Demikian jejak cerita Rama (Rāma) yang terdapat dalam Sĕrat Rukmawati, terutama berkaitan dengan prosesi ritual agung (Asmaweda) yang dilakukan oleh Prabu Dasarata, raja Ayodya, dalam rangka memohon kelahiran putra yang menjadi penjelmaan Sang Hyang Wisnu (Rāma bersaudara). Cerita Rāma dalam Sĕrat Sutiknawyasa Pujangga R. Ng. Ranggawarsita di dalam Sĕrat Pustakaraja menyatakan: Sĕrat Sutiknawyasa wiyosipun punika cariyos panjĕnĕngan nata Prabu Krĕsna Dwipayana ing Ngastina ngantos dumugi ambagawan nama Bagawan Byasa. Kaanggit déning Mpu Widdhayaka ing Mamĕnang. Panganggitipun anuju ing tahun Suryasangkala 853, kaétang ing tahun Candrasangkala amarĕngi 879. (Ranggawarsita, 1938: 21). (Sĕrat Sutiknawyasa, inilah cerita kisah hidup Prabu Kresna Dwipayana di Ngastina sampai menjadi begawan bernama Bagawan Byasa. Digubah oleh Mpu Widdhayaka di Mamenang, penggubahannya bertepatan tahun Surya-sangkala 853, terhitung tahun Candrasangkala bertepatan tahun 879). Jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat Sutiknawyasa tampak dari cerita yang disampaikan oleh Dhang Hyang Wiku Salya kepada Bagawan Abyasa tentang kisah Rama ketika ia harus
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
21
meninggalkan kerajaan Ayodya untuk pergi ke hutan, hanya disertai oleh istrinya (Dewi Sinta) dan adiknya Laksmana, seperti tampak pada kutipan berikut: "Kala Prabu Ramawijaya sinèrènan kaprabonipun ingkang rama Prabu Dasarata jumĕnĕng nata ing Ayudya, botĕn lami kalungsur ginantosan ingkang rayi anama Prabu Barata. Lajĕng kinèn tĕtaki dhatĕng wana pringga kawĕwahan kénging kadhusta ing duratmaka Prabu Dasamuka kabĕkta dhatĕng Alĕngka. Sapintĕn kémawon sungkawaning galihira Prabu Ramawijaya, parandosipun botĕn amĕgĕng pangandika kajawi amung tansah amĕsu cipta salĕbĕting samadi kémawon. Dumadakan angsal wasita sawantah, kinèn amitulungi sungkawaning wanara raja Sugriwa. Ing wĕkasan dados saraya sagĕdipun kapanggih kaliyan garwa Dĕwi Sinta. Lajĕng jumĕnĕng nata malih wontĕn ing Ayudya, punika among saking dènira tabĕri amarsudi rĕmbaging janma. Mila bĕbasanipun tiyang kadhatĕngan sungkawa, anggĕr lajaran asring angsal pitulungan saking tiyang ingkang sami kasungkawan. " (Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981: 443444). (Ketika Prabu Ramawijaya mendapatkan tahta dari ayahandanya Prabu Dasarata untuk menjadi raja di Ayodya, tidak berapa lama (tahta tersebut) diminta kembali untuk digantikan oleh adiknya yang bernama Prabu Barata. (Prabu Ramawijaya) kemudian disuruh bertapa ke hutan belantara, ditambah (Dewi Sinta) diculik oleh pencuri Prabu Dasamuka (untuk) dibawa ke Alengka. Betapa besar kesedihaan hati Prabu Ramawijaya, meskipun demikian ia tidak diam membisu, namun bahkan selalu mengasah pikirannya di dalam bersamadi. Tiba-tiba (Prabu Ramawijaya) mendapat petunjuk yang jelas bahwasanya ia disuruh menolong kesedihan raja kera Sugriwa. Kelak dikemudian hari (akan) menjadi sarana ia berjumpa kembali dengan istrinya Dewi Sinta. Kemudian
22
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
akan menjadi raja kembali di Ayodya, inilah hasil kalau (seseorang itu) rajin berupaya menolong manusia. Karena itu peribahasanya seseorang yang sedang sedih, apabila mau menolong seringkali (ia) mendapat pertolongan oleh seseorang yang juga mengalami kesusahan). Dengan demikian peristiwa kepergian Prabu Ramawijaya dari istana ke hutan belantara tersebut dihadirkan oleh Dhang Hyang Wiku Salya dengan maksud agar Rĕsi Abyasa tidak merasa terlalu bersedih hati dengan tidak diangkatnya dia menjadi raja di Ngastina menggantikan ayahandanya Bagawan Parasara (Palasara), karena ternyata yang menimpa Prabu Ramawijaya lebih pahit lagi. Nasehat Dhang Hyang Wiku Salya tersebut melengkapi nasehat dari Dhang Hyang Smarasanta kepada Rĕsi Abyasa agar tidak terlalu bersedih. Dhang Hyang Smarasanta mengemukakan keadaan dirinya yang telah berumur 150 tahun tetapi tetap tampak muda karena hatinya tenang dan damai. Dhang Hyang Smarasanta juga mengemukakan peristiwa yang dialami Maharĕsi Manumanasa yang menjadi pertapa setelah tidak diangkat menjadi raja menggantikan ayahandanya. Demikian pula kisah Sang Hyang Wisnu yang juga dicopot kedudukannya sebagai raja, ia kemudian menjadi pertapa di Waringin Sapta (Waringin Pitu) sampai akhirnya ia ditugaskan melenyapkan Prabu Silacala (Watugunung) sebelum diampuni kesalahannya oleh ayahnya, Bathara Guru, serta didudukkan kembali menjadi raja (Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981: 442-443). Cerita Rāma dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana Di dalam konstruksi teks-teks Pustakaraja, Sĕrat Prabu Gĕndrayana dapat dijajarkan dengan Sĕrat Budhayana. Dengan demikian Sĕrat Prabu Gĕndrayana termasuk dalam kelompok Sĕrat Mahaparma Bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara. Naskah Sĕrat Prabu Gĕndrayana terdiri dari 2 jilid, yaitu Sĕrat Prabu Gĕndrayana I dengan kode D 46 A yang terdiri atas 577
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
23
halaman dan pernah ditranskripsi oleh K.R.T. Soemarso Pontjo Soetjipto. Adapun naskah Sĕrat Prabu Gĕndrayana II dengan kode D 46 B yang terdiri atas 1.272 halaman dan sudah ditranskripsi oleh Soepardi Hadisuparto. Jadi Sĕrat Prabu Gĕndrayana terdiri atas 1.849 halaman. Naskah-naskah Sĕrat Prabu Gĕndrayana di atas adalah koleksi Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran Surakarta. Adapun waktu yang diceritakan dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana tahun 790 – 800 (Suryasangkala) atau tahun 816 – 824 (Candrasengkala). Isi ceritanya dimulai dari sewaktu Bathara Naradha mengukuhkan Arya Prabu Bambang Sudarsana menjadi raja di Yawastina (Ngastina Baru) bergelar Prabu Yudayaka atau Prabu Darmayana. Cerita diakhiri sewaktu Prabu Yudayaka bermaksud turun tahta menjadi begawan dan akan mengukuhkan putranya yaitu Raden Kijing Wahana sebagai raja di Yawastina. Adapun jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana dikemukakan oleh Bagawan Danèswara dari Gunung Nilandusa (Wilis) menghadap Prabu Gendrayana untuk mohon bantuan agar putra baginda, yaitu Raden Narayana, mau membantunya untuk melenyapkan segenap hama tanaman yang menyerang sawah dan ladang penduduk Gunung Nilandusa dan menyebabkan mereka gagal panen. Adapun hama tanaman yang menyerang sawah ladang mereka adalah: cèlèng, tikus, walang, burung, ludhĕp, lĕladhoh, bĕkocok, mĕnthèk, ganggĕngan, ulat, jamur dan lain sebagainya. Segala hama tanaman tersebut sulit dibasmi karena mereka dilindungi para Dewa keturunan Sang Hyang Kala. Misalnya: Bathara Kithaka merajai segala jenis belalang, Bathara Gindhala merajai segala jenis ludhĕp, Bathara Printanjala merajai segala jenis burung, Bathara Sungkara merajai segala jenis cèlèng, dan Bathara Hiranyaka merajai segala jenis tikus. Berdasarkan petunjuk (wangsit) dewa, yang dapat melenyapkan segala hama dan penyakit tanaman tersebut adalah Raden Narayana, putra Prabu Gendrayana, karena beliau adalah titisan Sang Hyang Wisnu Murti, pemelihara dunia. Apalagi pada
24
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
waktu lahir Raden Narayana sudah mendapatkan senjata dari dewa berupa panah Pasopati dan panah Sarotama. Akan tetapi, Prabu Gendrayana merasa ragu dan keberatan, karena bagaimana mungkin putranya yang baru berusia 13 tahun tersebut harus berhadapan dengan segala jenis hama tanaman yang dilindungi oleh para dewa. Hal inilah yang membuat Prabu Gendrayana khawatir atas keselamatan putranya. Oleh karena Prabu Gendrayana masih merasa ragu-ragu maka Bagawan Danèswara mengingatkan baginda atas kisah kepahlawanan Ramawijaya, putra Prabu Dasarata raja Ngayodya dari tanah Hindu. Menurutnya, sewaktu Ramawijaya baru berumur 8 tahun sudah dimintai bantuan oleh Bagawan Sutiksnayogi dari Gunung Dhandhaka agar menumpas para raksasa bala tentara Prabu Rahwana dari Ngalengka yang merusak pertapaan para pertapa. Adapun kisah kepahlawanan Ramawijaya dan adiknya, Laksmana, yang dapat dijadikan tauladan tersebut tersurat pada Sĕrat Prabu Gĕndrayana II seperti pada kutipan berikut: "Dhuh dhuh Pukulun Kangjĕng Déwaji, manawi kados makatĕn pamanggihipun ing karsa paduka punika Pukulun, dados kénging sinĕbut tilar kasantosaning galih supé dhatĕng kawasaning déwa, saèstunipun nadyan raréya ingkang taksih mudha punggung pisan, manawi Sang Hyang Wisésa ingkang adamĕl unggul sayĕkti botĕn sangsaya dènira hamisésa ing ama, ingkang saupami tiyang sĕpuh ingkang sampun sura sĕkti mandraguna, utawi ingkang luhur sugih wadya bala sami sura sakti ing yuda, manawi Sang Hyang Jagad Pratingkah adamel apĕsipun ing titiyang ingkang sami sura sakti wau, yĕkti botĕn dangu lajĕng dhadhal larut sadaya, kaliyan malih Pukulun, panjĕnĕngan paduka punika punapa supé cariyos lampahanipun Bathara Ramawijaya putranipun Prabu Dasarata ing Ngayodya tanah ing Indhu, yèn Bathara Ramawijaya wau inggih panuksamaning Sang Hyang Wisnumurti, sarĕng sawĕg yuswa wolung warsa lajĕng kasuwun dhatĕng Bagawan Sutiksnayogi ing wukir
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
25
Dhandhaka, panuwunipun badhé kaabĕn kaliyan danawa ingkang sami angririsak dhatĕng patapaning para wiku, danawa wau balanipun Prabu Rawana Ngalĕngka, Bathara Ramawijaya kalampahan kabĕkta dhatĕng Bagawan Sutiksnayogi, lampahipun saking nagari ing Ngayodya botĕn ambĕkta wadya bala aming kadhèrèkakĕn ingkang rayi satunggal anama Raden Laksmana Widagda, sarĕng dumugi ing patapan raja putra kalih wau karsaning Déwa tĕka lajĕng sagĕd anirnakakĕn sagunging raksasa tanpa étangan tumpĕs déning satriya kalih kémawon, botĕn antawis lami Bathara Ramawijaya wau kaliyan ingkang rayi bidhal saking patapaning pandhita lajĕng amĕdali sayĕmbara dhatĕng nagari ing Mantilidirja, panjĕnĕnganipun Prabu Janaka darbé atmaja pawèstri satunggal langkung ayu éndah warninipun, nama Dèwi Sinta, dèntĕn sayĕmbaranipun Prabu Janaka nguni singa ingkang sagĕd amĕnthang langkap pusakanipun Prabu Janaka saèstu dados jatu kraminipun putra nata Dèwi Sinta wau, kala semantĕn sagunging para nata sèwu nagari botĕn wontĕn ingkang lĕbda karya wĕkasan sami kawangsulakĕn, sarĕng Bathara Ramawijaya saking karsaning Dewa sagĕd amĕnthang, malah punang langkap pusaka lajĕng tugĕl tanpa karana, Prabu Janaka langkung suka kalampahan kadhaupakĕn kaliyan Dèwi Sinta, sarĕng bidhal saking Mantili kadhèrèkakĕn para punggawa langkung kathah, dupi wontĕn ing margi kabégal déning pandhita langkung sakti mandra guna, wasta Rĕsi Ramaparasu, inggih punika kang angawonakĕn Prabu Harjunasasra ing Mahèspati nguni, Sang Ramaparasu wau karsaning Déwa lajĕng kasor déning Bathara Ramawijaya, manawi ing yuswanipun nalika numpĕs sagunging diyu ditya rĕksasa wil danawa murka kang wontĕn ing wukir Dhandhaka nguni inggih sawĕg yuswa wolung warsa, saèstunipun sĕpuh putra paduka Radèn Narayana punika (Sĕrat Prabu Gĕndrayana II, D 46 B, hal. 848-853; Hadisuparto, 2007: 158-159; Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981: 480-481).
26
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
("Dhuh dhuh Pukulun Kanjeng Dewaji, jika demikian ini pendapat paduka Pukulun, dapat disebut meninggalkan kesentausaan hati, lupa pada kekuasaan Dewa, sesungguhnya meskipun masih anak-anak dan lagi masih bodoh, apabila Sang Hyang Wisesa yang membuat menang, tentu tidaklah sulit dalam meraih kemenangan atas hama (tanaman), sekalipun seumpama orang sudah tua, berani lagi sangat sakti, atau yang berkedudukan tinggi (memiliki) banyak bala tentara yang sakti-sakti dalam peperangan, apabila Sang Hyang Jagad Pratingkah membuat apĕs (malang) kepada orang-orang yang sangat sakti itu, tentu tidak lama juga akan tumpas semua, dan lagi Pukulun, apakah Paduka ini lupa pada cerita kisah hidup Bathara Ramawijaya, putra Prabu Dasarata di Ngayodya Tanah Hindu, bahwasanya Bathara Ramawijaya juga penjelmaan Sang Hyang Wisnu Murti, ketika baru berumur 8 tahun, kemudian diminta oleh Bagawan Sutiksnayogi dari Gunung Dhandhaka, permintaan (Bagawan Sutiksnayogi) Bathara Ramawijaya akan diadu dengan raksasa yang merusak pertapaan para wiku, raksasa tersebut adalah bala tentara Prabu Rahwana (dari) Ngalengka, Bathara Ramawijaya bersedia dibawa oleh Bagawan Sutiksnayogi, perjalanan (Bathara Ramawijaya) dari negeri Ngayodya tidak membawa bala tentara, (tapi) hanya diiringkan seorang adiknya bernama Raden Laksmana Widagda, sesampainya di pertapaan, kedua putra raja tersebut (karena) kehendak Dewa berhasil melenyapkan semua raksasa yang tak terhitung banyaknya (semua) tumpas hanya oleh kedua satria tadi. Tidak beberapa lama Bathara Ramawijaya bersama adiknya meninggalkan pertapaan pendeta untuk mengikuti sayembara ke negeri Mantilidirja. Prabu Janaka memiliki seorang putri yang sangat cantik parasnya bernama Dewi Sinta. Adapun sayembara Prabu Janaka tersebut, bahwasannya siapa saja yang mampu membentangkan busur panah pusaka Prabu Janaka, sungguh akan dikawinkan dengan putri raja tersebut. Pada waktu itu semua para raja (yang berjumlah) 1.000 negara tidak ada satu pun yang mampu melakukannya, akhirnya mereka semua
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
27
disuruh kembali (ke kerajaannya). Bathara Ramawijaya, karena kehendak Dewa berhasil membentangkan, bahkan busur panah pusaka kemudian putus tanpa sebab. Prabu Janaka sangat gembira (Bathara Ramawijaya) kemudian dikawinkan dengan Dewi Sinta. Ketika mereka meninggalkan Mantili diiringkan para punggawa yang sangat banyak. Pada waktu mereka di tengah jalan, dihadang (dirampok) oleh pendeta yang teramat sakti bernama Ramaparasu. Dialah yang dahulu mengalahkan Prabu Arjunasasra di kerajaan Mahespati. Sang Ramaparasu karena kehendak Dewa dapat dikalahkan oleh Bathara Ramawijaya. Ketika Bathara Ramawijaya menumpas para raksasa, wil dan sebangsanya yang merusak (pertapaan) di Gunung Dhandhaka dahulu usianya baru 8 tahun. Sesungguhnya masih lebih tua dengan putra Paduka, Raden Narayana). Demikianlah tampilnya cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana sengaja dihadirkan oleh Bagawan Danèswara untuk memberikan gambaran dan pandangan kepada Prabu Gendrayana agar merelakan putranya, yaitu Raden Narayana (yang juga penjelmaan Sang Hyang Wisnu Murti, sebagaimana Bathara Ramawijaya), untuk menumpas segala hama tanaman yang dilindungi para Dewa, yang menyerang sawah dan ladang penduduk di wilayah Gunung Nilandusa. Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan tentang usia Bathara Ramawijaya ketika dimintai bantuan oleh Bagawan Sutiksnayogi untuk melawan para raksasa perusak pertapaan di Gunung Dhandhaka. Kalau di dalam teks naskah Prabu Gĕndrayana II, kode D 46 B di halaman 849 dan halaman 853, Bathara Ramawijaya waktu itu berusia 8 tahun (wolung warsa), namun dalam Sĕrat Paramayoga (Sĕrat Kalĕmpakaning Piwulang) yang dikumpulkan oleh R. Ng. Karyarujita dari Sĕrat Paramayoga dan Sĕrat Pustakaraja dikatakan bahwa usia Bathara Ramawijaya adalah 18 tahun (wolulas warsa), sebagaimana yang terdapat pada halaman 480 dan 481. Jadi ada selisih waktu 10 tahun. Jika dikatakan bahwa
28
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Raden Narayana waktu itu lebih tua daripada Bathara Ramawijaya, maka hal ini ada benarnya karena usia Raden Narayana adalah 13 tahun. Beliau lahir pada tahun 801 (Suryasangkala) atau tahun 825 (Candrasangkala), seperti yang tersurat dalam naskah Sĕrat Prabu Gĕndrayana II halaman 112 – 139 (Hadisuparto, 2007: 20-25). Adapun peristiwa Raden Narayana dimintai pertolongan melenyapkan segala hama tanaman tersebut terjadi pada tahun 814 (Suryasangkala) atau tahun 839 (Candrasangkala) (Naskah halaman 816 – 1008; Hadisuparto, 2007: 152-187). Di sini pun terdapat kejanggalan. Jika usia Ramawijaya sewaktu dimintai pertolongan oleh Bagawan Sutiksnayogi baru 8 tahun, maka bagaimana mungkin dalam usia semuda itu ia mengikuti dan memenangkan sayembara di kerajaan Mantilidirja, sehingga ia kemudian dikawinkan dengan Dewi Sinta (dalam usia 8 tahun). Dalam hal ini jika usia Bathara Ramawijaya adalah 18 tahun akan lebih logis bila ia memenangkan sayembara memperebutkan Dewi Sinta dan dikawinkan dengannya. Hanya tentunya tidak dapat dikatakan bahwa ia masih kecil, jauh lebih muda usianya dari Raden Narayana (13 tahun) sewaktu ia dimintai pertolongan menumpas para raksasa yang merusak pertapaan para Brahmana dan Pendeta di Gunung Dhandhaka.
Cerita Rāma dalam Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat Mayangkara Di dalam Sĕrat Pustakaraja, maka Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat Mayangkara termasuk kelompok Kitab Maha Parma (bagian Kitab Pustakaraja Puwara). Kedua kitab tersebut adalah karya Mpu Sindungkara di Pengging. Penciptaannya bertepatan tahun 919 (Suryasangkala) atau tahun 948 (Candrasangkala). Namun pada halaman depan Sĕrat Mayangkara dikemukakan secara jelas bahwa R. Ng. Ranggawarsita adalah pengarangnya (Babon tĕmbung pangikĕtipun sang misuwuring jagad: R. Ng. Ranggawarsita, pujangga Dalĕm ing Kraton Surakarta
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
29
Adiningrat). Pujangga R. Ng. Ranggawarsita sendiri di dalam Sĕrat Pustakaraja juga menyatakan bahwa: "Sĕrat Purusangkara, wiyosipun punika cariyos lalampahanipun Prabu Purusangkara ing Yawastina, kala krama antuk putri ing Mamĕnang, ngantos dumuginipun nagari ing Yawastina kĕlĕm anjĕmblong dados samodra. Kaanggit déning Mpu Sindungkara ing Pĕngging, panganggitipun anuju ing tahun Suryasangkala 920, kaétang ing tahun Candrasangkala amarĕngi 948." (Ranggawarsita, 1938: 35). (Sĕrat Purusangkara, inilah cerita kisah (perjalanan) hidup Prabu Purusangkara di Yawastina, ketika kawin dengan putri dari Mamenang, sampai Kerajaan Yawastina tenggelam menjadi samodra. Digubah oleh Mpu Sindungkara di Pengging, penggubahannya bertepatan pada tahun Suryasangkala 920, terhitung tahun Candrasangkala bertepatan tahun 948) Adapun waktu yang diceritakan dalam Sĕrat Purusangkara mulai tahun 841 Suryasangkala (Ratu – gusthika – sarira ing boma) atau tahun Candrasangkala 866 dengan sengkalan berbunyi Anggas – angrasa – murti sampai dengan tahun Suryasangkala 846 atau terhitung tahun Candrasangkala tahun 871. Pada bagian permulaan, antara Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat Mayangkara isinya hampir sama, yaitu menceritakan tentang Sang Maharsi Mayangkara (Anoman). Hanya saja cerita di dalam Sĕrat Purusangkara masih cukup panjang, karena jika waktu penceritaan di dalam Sĕrat Purusangkara berlangsung selama 5 tahun, maka waktu penceritaan dalam Sĕrat Mayangkara hanya selama 1 tahun, dengan titik berat penceritaannya hanya mengenai Sang Hyang Mayangkara.
30
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Adapun penceritaan di dalam Sĕrat Purusangkara masih sangat panjang karena menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi di Kerajaan Widarba (Kediri) setelah gugurnya Sang Maharsi Mayangkara. Adapun cerita-cerita tersebut antara lain: 1) Perkawinan Raden Jayaamijaya dengan Ken Satapi, 2) Pertentangan antara Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) dengan ketiga menantunya yaitu Prabu Purusangkara bersaudara, sampai ditenggelamkannya Kerajaan Yawastina, 3) Kisah Madrim dan Madrika, 4) Perkawinan Madrim dengan Arya Susastra, dan 5) Prabu Darmadewa beserta saudara-saudaranya menyerbu kerajaan Widarba (Tedjowirawan, 1985: 33-40). Adapun garis besar cerita di dalam Sĕrat Mayangkara dan Sĕrat Purusangkara pada bagian awal dapat dikemukakan sebagai berikut: Sang Hyang Girinata mengadakan persidangan dengan para dewa di kahyangan Suralaya. Mereka memperbincangkan turunnya Sang Hyang Kala dan Sang Hyang Brahma ke dunia. Sang Hyang Narada menerangkan bahwa maksud Sang Hyang Kala dan Sang Hyang Brahma mau melenyapkan semua keturunan Sang Hyang Wisnu. Kemudian Sang Hyang Girinata memerintahkan Sang Hyang Narada untuk melindungi keturunan Sang Hyang Wisnu dengan sarana mengawinkan Prabu Astradarma (raja Yawastina) dengan putri Prabu Jayapurusa (Prabu Jayabhaya) di kerajaan Widarba. Dalam melanjutkan perjalanannya Sang Hyang Narada bertemu dengan roh Sang Maharsi Mayangkara (jiwa Anoman) yang mengungkapkan keinginannya untuk segera berkumpul dengan para dewa. Sang Hyang Narada menerangkan bahwa Sang Maharsi Mayangkara masih mendapat tugas dewa untuk mengawinkan para putra mendiang Prabu Sariwahana (Yawastina) dengan para putri Prabu Jayapurusa (Widarba). Sang Maharsi Mayangkara menyatakan kesanggupannya dan pulang kembali ke pertapaan Kendalisada menemui raganya (Rĕsi Anoman). Rĕsi Anoman menyatakan mau menyatu kembali dengan jiwa (rohnya) Sang Maharsi Mayangkara asal teka-teki yang diajukannya dapat ditebak secara tepat. Sang Maharsi
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
31
Mayangkara dapat menebak teka-teki yang diajukan padanya, sehingga ia menyatu kembali dengan raganya. Tidak lama kemudian datanglah Sang Hyang Narada yang memerintahkan Sang Maharsi Mayangkara ke Yawastina. Sesampainya di Yawastina, ia beristirahat di bawah pohon beringin kembar. Pada waktu itu, ketika Prabu Astradarma melihat adanya putih-putih di bawah pohon beringin, maka baginda segera memerintahkan punggawanya untuk memeriksa Sang Maharsi Mayangkara. Sang Maharsi Mayangkara kemudian dihadapkan kepada Prabu Astradarma. Sang Maharsi Mayangkara menyatakan kepada Prabu Astradarma bahwa ia ditugaskan Sang Hyang Narada untuk mengawinkan Prabu Astradarma bersaudara dengan ketiga putri Prabu Jayapurusa di Widarba. Hal itu dimaksudkan guna mempererat kembali tali persaudaraan yang telah retak akibat pertikaian yang terjadi antara Prabu Sariwahana dan Prabu Ajidarma di Malawapati melawan Prabu Jayapurusa di Widarba. Perselisihan dan perpecahan itu berawal dari nenek moyang mereka dahulu. Prabu Astradarma merasa ragu-ragu bahwa Prabu Jayapurusa telah melupakan permusuhan ayah-ayah mereka dahulu dengan baginda (Prabu Jayapursa), akan tetapi Sang Maharsi Mayangkara meyakinkan bahwa dewalah yang menentukan segalanya. Kemudian Prabu Astradarma dan saudara-saudaranya dibawa Sang Maharsi Mayangkara pergi ke kerajaan Widarba. Sementara itu para prajurit Yawastina di bawah pimpinan Patih Sudarma mempersiapkan diri menyusul rajanya. Prabu Jayapurusa di kerajaan Widarba sedang menerima Raden Jayamijaya, Patih Suksara serta para prajurit Widarba yang menghadap. Mereka memikirkan perkawinan Raden Jayaamijaya dengan putri Ken Satapi, anak Ajar Subrata. Patih Suksara mengusulkan agar Prabu Jayapurusa memikirkan pula perkawinan ketiga putri raja terlebih dahulu untuk menghindari dari pergunjingan rakyat Widarba, akan tetapi Prabu Jayapurusa menyerahkan jodoh ketiga putrinya kepada dewa. Pada waktu itu datanglah Gadaksa dan Pradaksa, utusan Prabu
32
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Yaksadewa dari kerajaan Selauma untuk melamar Dewi Pramesthi. Surat lamaran tersebut mengandung ancaman bahwa seandainya Dewi Pramesthi tidak diberikan maka kerajaan Widarba akan digempur. Raden Jayaamijaya sangat marah membaca surat lamaran tersebut. Prabu Jayapurusa mengambil jalan tengah yaitu andaikata Dewi Pramesti telah menjadi jodoh Prabu Yaksadewa maka perkawinan mereka akan segera dilangsungkan. Sepeninggal Gadaksa dan Pradaksa, maka Raden Jayaamijaya disertai Arya Susastra bersama pasukannya mengejar kedua utusan kerajaan Selauma tersebut. Pertempuran tak dapat dielakkan. Raden Jayaamijaya, Arya Susastra bersama pasukan Widarba dapat dikalahkan. Raden Jayaamijaya sangat malu dan ia bermaksud meminta bantuan kepada saudaranya, yaitu raja di Yawastina. Dalam perjalanan Raden Jayaamijaya bersama Arya Susastra, keduanya berjumpa dengan Sang Maharsi Mayangkara. Raden Jayaamijaya meminta bantuan kepada Sang Maharsi Mayangkara, tetapi Sang Maharsi Mayangkara meminta imbalan ketiga putri Widarba. Setelah Raden Jayaamijaya menyanggupi permintaan itu, maka mereka segera mengejar Gadaksa dan Pradaksa. Terjadilah pertempuran yang sangat hebat, namun Sang Maharsi Mayangkara dapat menghancurkan pasukan kerajaan Selauma, dan memaksa Gadaksa dan Pradaksa untuk mengundurkan diri kembali ke kerajaan Selauma. Raden Jayaamijaya, Arya Susastra dan Sang Maharsi Mayangkara kemudian kembali ke Widarba. Kepada ayahandanya (Prabu Jayapurusa) ia menerangkan bahwa Sang Maharsi Mayangkaralah yang berhasil memenangkan pertempuran melawan utusan kerajaan Selauma. Dikemukakannya pula bahwa ia telah terlanjur menyanggupi untuk memenuhi permintaan Sang Maharsi Mayangkara yang menginginkan kawin dengan ketiga putri Widarba. Prabu Jayapurusa menjadi ragu-ragu menerima permintaan Sang Maharsi Mayangkara tersebut, tetapi akhirnya baginda
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
33
meluluskannya. Selanjutnya Prabu Jayapurusa meminta kepada Sang Maharsi Mayangkara untuk menceritakan kembali pengalaman peperangannya sewaktu menjadi senapati perang yang terpercaya Prabu Ramawijaya. Prabu Jayapurusa segera memerintahkan kepada Empu Pulwa untuk mencatat keterangan Sang Maharsi Mayangkara guna meluruskan kembali peristiwa sebenarnya tentang cerita peperangan Prabu Ramawijaya melawan Prabu Rawana, Raja Alengka. Penulisan cerita Rama pada mulanya bersumberkan keterangan dari Brahmana Hindu yang bernama Dhang Hyang Asuman dan Dang Hyang Ilandhi. Di dalam Sĕrat Mayangkara permintaan Prabu Jayapurusa agar Sang Maharsi Mayangkara menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi senapati perang pasukan Prabu Ramawijaya tersebut diuraikan sebagai berikut: Sasampunipun makatĕn Prabu Jayapurusa andangu malih dhatĕng Sang Maharsi Mayangkara, rèhning nguni kawarti kawijilanipun saking nagari Guwakiskĕndha tanah Hindhu, bokmanawi èngĕt ing cariyos lalampahanipun Prabu Ramawijaya ing Ngayudyapala, dénya ambĕdhah nagari Ngalĕngka nguni. Sang Rĕsi Anoman matur: "Dhuh-dhuh Pukulun Kanjĕng Déwaji, manawi lalampahanipun Bathara Ramawijaya Ngayudyapala anggènipun ambĕdhah nagari ing Nglĕngka nguni, saèstunipun kawula nguni èngĕt sadaya, malah kala sĕmantĕn kawula inggih kinarya sénapatining ayuda, kaliyan adhi kula nak-sanak sutanipun paman kawula ingkang sĕpuh wasta Prabu Subali, ing Guwakiskĕndha, mila kawula dados sénapati, amargi paman kawula ingkang anèm wasta Prabu Sugriwa punika, kaambil sraya déning Bathara Ramawijaya wau, dados sawadyanipun para ratu wanara sadaya sami umiring Bathara Ramawijaya, dhatĕng nagari ing Ngalĕngka. Prabu Jayapurusa langkung suka angungun, sukanipun dèntĕn badhé angsal wĕwahing cariyos lalampahanipun Prabu Ramawijaya nguni, ingkang dados pangungunipun, dèntĕn Sang Maharsi Mayangkara langkung panjang yuswanipun. Pangandikanipun Prabu Jayapurusa:
34
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Hé Sang Maharsi Mayangkara kakasihing jawata, yèn sambada karsanipun sang wiku, mugi kagancarĕna sadaya, ingkang dados lalampahanipun Prabu Ramawijaya dènira ambĕdhah nagari Ngalĕngka wau, mila makatĕn awit ing nguni kula katamuwan brahmana saking tanah Hindhu, ngantos kaping kalih, ingkang rumiyin wasta Dhang Hyang Asuman ingkang kantun wasta Dhang Hyang Ilandhi, punika sami anyariyosakĕn ingkang dados lalampahanipun Prabu Ramawijaya nguni, sakalangkung rĕmĕn kula, malah ing mangké sampun kaanggit déning ĕmpu jangga kula kang wasta Émpu Pulwa, ananging pangraosing manah kula kados taksih kirang jangkĕping cariyosipun, amargi botĕn sumĕrĕp piyambak kados Sang Maharsi wau, milanipun manawi sang wiku karsa anyariyosakĕn lalampahanipun Prabu Ramawijaya, saèstu badhé andadosakĕn sukaning manah kula, awit bokmanawi wontĕn wĕwahipun malih saking cariyosing brahmana kalih nguni, ananging panuwun kula mugi kagancarĕna dalah lalampahanipun wontĕn ing margi sadaya, sampun ngantos wontĕn ingkang kalangkungan cariyosipun". Sang Maharsi Mayangkara matur sandika, lajĕng anyariyosakĕn kawiwitan saking nagarinipun Prabu Ramawijaya wontĕn ing Ngayudyapala, ngantos dumugi sédanipun ingkang putra Prabu Ramawijaya ingkang nama Prabu Batlawa ing Duryapura, kaliyan Prabu Kusia ing Ngayudyapala, salalampahanipun sampun sami kagancarakĕn sadaya, miwiti mĕkasi. Ing ngriku Prabu Jayapurusa langkung suka galihipun, lajĕng dhawuh dhatĕng Empu Pulwa kinèn amĕwahakĕn panganggitipun kaliyan ingkang saking cariyosing brahmana kalih nguni. Émpu Pulwa matur sandika, nulya cinathĕtan sadaya. (Kemudian Prabu Jayapurusa bertanya lagi kepada Sang Maharsi Mayangkara, karena dahulu konon berasal dari Guwakiskenda tanah Indu, barangkali teringat cerita perjalanan hidup Prabu Ramawijaya di Ngayudyapala, ketika
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
35
dahulu menyerbu kerajaan Ngalengka. Sang Resi Anoman berkata: "Duh-duh Pukulun Kanjeng Dewaji, jika peristiwa penyerbuan Batara Ramawijaya Ngayudyapala dahulu ke negara Ngalengka, sesungguhnya hamba teringat semuanya, bahkan pada waktu itu hamba juga sebagai senapati perang, bersama adik sepupu hamba, putra paman hamba yang bernama Prabu Subali di Guwakiskenda, makanya hamba menjadi senapati, karena paman hamba yang bernama Prabu Sugriwa itu diminta bantuannya oleh Batara Ramawijaya, jadi semua bala tentara para raja kera semua mengiring Batara Ramawijaya ke negara Ngalengka. Prabu Jayapurusa gembira (dan) heran, gembira karena akan mendapat tambahan cerita kehidupan Prabu Ramawijaya, (sedangkan) yang menjadi keheranannya, bahwa usia Sang Maharsi Mayangkara demikian panjang. Kata Prabu Jayapurusa: "Hai Sang Maharsi Mayangkara kekasih dewata, jika sang wiku berkenan, semoga diceritakan semua tentang perjalanan hidup Prabu Ramawijaya dalam menyerbu negara Ngalengka dahulu, oleh karena dahulu kala saya kedatangan Brahmana dari tanah Hindu, sampai dua kali, yang dahulu bernama Dhang Hyang Asuman, yang terakhir bernama Dhang Hyang Ilandhi, keduanya menceritakan perjalanan hidup Prabu Ramawijaya dahulu, saya sangat gembira, bahkan sekarang sudah disusun oleh pujangga saya yang bernama Empu Pulwa, akan tetapi menurut pendapat saya nampak masih kurang lengkap ceritanya, sebab tidak mengetahui sendiri seperti halnya Sang Maharsi, maka seandainya sang wiku mau menceritakan perjalanan hidup Prabu Ramawijaya, sungguh sangat menyenangkan hati saya, sebab barangkali ada penambahan lagi dari cerita dua brahmana dahulu itu, akan tetapi permintaanku hendaknya diuraikan sekaligus semua peristiwa yang terjadi di perjalanan, jangan sampai ada cerita yang terlewat." Sang Maharsi Mayangkara menyatakan kesediaannya, kemudian menceritakan mulai dari negara Prabu Ramawijaya di Ngayudyapala, sampai mangkatnya putra Prabu Ramawijaya yang bernama Prabu Batlawa di
36
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Duryapura dan Prabu Kusia di Ngayudyapala, semua peristiwa sudah diceritakan, mengawali mengakhiri. Prabu Jayapurusa sangat gembira hatinya, kemudian memerintahkan kepada Empu Pulwa untuk mengubah penyusunan cerita Ramawijaya seperti yang berdasarkan cerita dua brahmana dahulu. Empu Pulwa menyatakan kesanggupan-nya, kemudian semua dicacat.) Beberapa waktu kemudian, Prabu Jayapurusa mengawinkan Sang Maharsi Mayangkara dengan Dewi Pramesthi. Pada waktu malam pengantin tiba, Sang Maharsi Mayangkara mengeluarkan ketiga putra Yawastina untuk mengadakan pertemuan dengan ketiga putri Widarba. Prabu Astradarma mengadakan pertemuan dengan Dewi Pramesthi, Raden Darmasarana dengan Dewi Pramuni, dan Raden Darmakusuma dengan Dewi Sasanti. Akan tetapi, pertemuan itu diketahui oleh seorang ĕmban „inang pengasuh‟ yang kemudian melaporkannya kepada Prabu Jayapurusa. Prabu Jayapurusa segera memerintahkan Raden Jayaamijaya untuk menangkap perusak kesusilaan di taman sari itu. Dalam pertempurannya melawan Prabu Astradarma maupun dengan Raden Darmasarana dan Raden Darmakusuma, ia kalah. Oleh karena itu, Prabu Jayapurusa bermaksud mau maju sendiri, akan tetapi segera dicegah oleh Sang Maharsi Mayangkara. Selanjutnya Sang Maharsi Mayangkara menjelaskan, bahwa sebenarnya dialah yang menjadi pengatur pertemuan antara Prabu Astradarma bersaudara dengan ketiga putri raja. Hal itu dilakukan atas perintah dewa agar menjadi perekat kembali persaudaraan raja dengan ketiga putra mendiang Prabu Sariwahana. Mendengar penjelasan itu, Prabu Jayapurusa bergembira, karena ia akan bermenantukan Prabu Astradarma bersaudara. Kemudian dilangsungkannyalah pesta perkawinan Dewi Pramesthi, Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti dengan Prabu Astradarma bersaudara. Pesta perkawinan mereka sangat meriah dan berlangsung selama setengah bulan. Sementara itu, Gadaksa dan Pradaksa telah kembali ke
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
37
kerajaan Selauma serta melaporkan hasil lamaran raja. Prabu Yaksadewa sangat marah dan segera memerintahkan Patih Mohita untuk mempersiapkan pasukannya menyerbu ke Widarba. Kedatangan pasukan Selauma disongsong oleh pasukan Widarba yang diperkuat oleh Sang Maharsi Mayangkara serta tiga putra Yawastina. Dalam pertempuran yang dahsyat itu banyak perwira kerajaan Selauma gugur di tangan Sang Maharsi Mayangkara. Patih Mohita mencoba melawannya tetapi ia pun gugur. Prabu Yaksadewa menjadi sangat marah. Dengan gada saktinya ia menggempur Sang Maharsi Mayangkara. Dalam pertempuran yang dahsyat itu Sang Maharsi Mayangkara gugur di medan laga. Prabu Astradarma, Raden Darmasarana dan Raden Darmakusuma segera menuntut bela, maju melawan Prabu Yaksadewa, tetapi mereka pun gugur. Prabu Jayapurusa sendiri mau melawan Prabu Yaksadewa. Sebelum Prabu Jayapurusa maju datanglah Sang Hyang Narada memberitahukan bahwa Prabu Yaksadewa adalah penjelmaan Sang Hyang Kala, sedangkan gada saktinya adalah penjelmaan Sang Hyang Brahma. Kemudian Sang Hyang Narada menjelma menjadi gada sakti agar dapat dipakai Prabu Jayapurusa melawan gada sakti Prabu Yaksadewa. Dalam pertempuran yang dahsyat maka Prabu Yaksadewa menjelma menjadi Sang Hyang Kala, sedangkan gada saktinya menjelma menjadi Sang Hyang Brahma. Sang Hyang Narada pun menjelma kembali. Bertepatan dengan itu nampaklah Sang Hyang Girinata bersemayam di atas kepala Prabu Jayapurusa. Sang Hyang Girinata menerangkan kepada Prabu Jayapurusa bahwa gugurnya Sang Maharsi Mayangkara memang sudah merupakan kehendak dewa. Sang Maharsi Mayangkara telah menjalankan kewajibannya di dunia dengan baik pada akhir hidupnya dengan mengawinkan ketiga putra mendiang Prabu Sariwahana (Yawstina) dengan ketiga putri Prabu Jayapurusa (Widarba). Oleh karena itu sudah sepantasnya Sang Maharsi Mayangkara memperoleh anugerah dewa di surga. Kemudian Sang Hyang Girinata memerintahkan Sang Hyang Narada untuk menghidupkan kembali mereka yang tewas dalam pertempuran itu, kecuali Sang Maharsi Mayangkara. Sang Hyang
38
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Kala dan Sang Hyang Brahma segera menghidupkan kembali pasukan Widarba dan Selauma (Tedjowirawan, 1985: 29-32). Dengan demikian, jejak cerita Rama (Rāma) dalam Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat Mayangkara dikisahkan sendiri oleh Sang Maharsi Mayangkara (Anoman) yang pada waktu itu (jaman Kediri) masih hidup, sampai ia sendiri kembali ke surga setelah secara tidak langsung dijemput oleh Sang Hyang Kala (Prabu Yaksadewa) dan Sang Hyang Brahma, yang menjelma sebagai gada sakti senjata Sang Hyang Kala. Simpulan Cerita Rama (Rāma) pada mulanya digubah dalam bahasa Sanskerta oleh yogīndra Wālmīki, setelah melewati proses ritual (tapabrata) selama 1.000 tahun. Penyair-penyair India lain pun kemudian mencoba membuat cerita Rāma–Sīta, misalnya: Raghuvangśa karya Kalidasa, Rāvaņavadha oleh Bhaţţi, Janakīharaņa oleh Kumaradasa, Uttara Rāma oleh Bhavabhutti, Rāmācaritamanasa oleh Tulasi Dasa, Rāmāyaņakathāsaramānjari oleh Ksemendra. Cerita Rāmāyaņa dari India tersebut kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di Asia Tenggara cerita Rāma terdapat di Vietnam, Kamboja, Laos, Birma, Filipina, Thailand, Melayu, maupun Jawa. Salah satu versi cerita Rāma dari India yaitu Rāvaņavadha karya Bhaţţi, di Jawa kemudian digubah menjadi Kakawin Rāmāyaņa oleh pujangga yang belum ditetapkan secara pasti siapa nama sebenarnya. Kakawin Rāmāyaņa tersebut menjadi bahan perbincangan yang sangat ramai di antara para sarjana, terutama sarjana-sarjana barat yang pada mulanya mengadakan penelitian atas karya-karya sastra Jawa Kuna. Kakawin Rāmāyaņa kemudian digubah menjadi Sĕrat Rama oleh R.Ng. Yasadipura I. R.Ng. Yasadipura II menggubahnya menjadi Sĕrat Arjuna Sasrabahu, sedangkan Sindusastra menggubahnya menjadi Sĕrat Arjuna Sasra dan Sĕrat Lokapala. Cerita Rāma ternyata ditemui juga jejaknya di dalam bagian Sĕrat Pustakaraja, terutama di dalam Sĕrat Rukmawati, Sĕrat Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
39
Suktinawyasa, Sĕrat Prabu Gĕndrayana, Sĕrat Purusangkara maupun Sĕrat Mayangkara. Dalam Sĕrat Rukmawati jejak cerita Rāma terutama terkait dengan prosesi ritual yang dilakukan Prabu Dasarata untuk memohon kelahiran putra penjelmaan Sang Hyang Wisnu (Rāma). Dalam Sĕrat Suktinawyasa jejak cerita Rāma dikemukakan oleh Dhang Hyang Wikusalya kepada Rĕsi Abyasa agar tidak terlalu bersedih hati karena tidak diangkat menggantikan ayahandanya menjadi raja di Ngastina, melainkan hanya diangkat sebagai raja pendeta. Di dalam Sĕrat Prabu Gĕndrayana jejak cerita Rāma dikemukakan oleh Bagawan Danĕswara agar Prabu Gendrayana merelakan putranya yang masih sangat muda yaitu Raden Narayana (Jayabhaya) untuk dimintai bantuannya melenyapkan segala jenis hama tanaman yang menyerang sawah dan ladang para penduduk di wilayah Gunung Nilandusa (Wilis). Adapun dalam Sĕrat Purusangkara dan Sĕrat Mayangkara, jejak cerita Rāma tampak dengan tampilnya Sang Maharsi Mayangkara (Anoman). Bahkan gugurnya Sang Maharsi Mayangkara dijemput oleh Sang Hyang Kala (Prabu Yaksadewa) dan Sang Hyang Brahma, yang menjelma menjadi gada sakti Prabu Yaksadewa. Peristiwa gugurnya Sang Maharsi Mayangkara tersebut pada masa pemerintahan Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) di kerajaan Widarba (Kediri). Daftar Pustaka Berg, C.C. (1974). Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata. Darusuprapta (1963). Merunut Pupuh-pupuh Rama Djarwa Matjapat jang Bersumber dari Sarga II dan III Rāmāyaņa Kakawin (Tesis). Jogjakarta: Djurusan Sastra Djawa, Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada. Hadisuparto, Soepardi (Pengalih Huruf) (2007). Sĕrat Prabu Gĕndrayana II (46 B). Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta. Karyarujita, 40
R.Ng.
(1981).
Sĕrat
Paramayoga:
Sĕrat
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Kalĕmpaking Piwulang, Alih Aksara dan Alih Bahasa oleh Moelyono Sastronaryatmo. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud. Mangkunegara IV (1914). Lampahan Jayapurusa. Padmapuspita, Y. (1979). “Runut Merunut Penulisan dan Penulis Kakawin Rāmāyaņa”. Makalah Ceramah. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Pigeaud, Th. G., Th. (1967). Literature of Java Vol. I. The Hague: Martinus Nijhoff. Poerbatjaraka, R.M. Ng. dan Tardjan Hadidjaja (1957). Kepustakaan Djawa. Cetakan Kedua. Djakarta: Djambatan. Ranggawarsita, R. Ng. (1908). Witaradya. Surakarta: Albert Rusche. _______. (1910). Hadji Pamoso Jilid I-X. Soerakarta: Albert Rusche. _______. (1924). Sĕrat Mayangkara. Solo: Boekhandel M. Tanojo. _______. (1938). Sĕrat Pustakaraja Purwa Jilid I – III, Cetakan Keempat. Djokdja: Boekhandel En Drukerij Kolf Buning. _______. (1979). Sĕrat Witaradya I & II. Alih Aksara dan Ringkasan oleh Sudibya, Z.H. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud. _______. (1993). Sĕrat Ajipamasa, Disalin oleh Soetomo W.E., dkk. Semarang: Yayasan Studi Bahasa Jawa "Kanthil". _______. (1994). Sĕrat Pustakaraja Purwa Jilid III, Alih Aksara Kamajaya. Surakarta dan Yogyakarta: Yayasan "Mangadeg" dan Yayasan "Centhini". Ricklefs, M.C. (1997). "The Yasadipura Problem". BKI 153-II. Soetjipto, Soemarso Pontjo, K.R.T. (Pengalih Huruf) (2007). Sĕrat Prabu Gĕndrayana I (46 A). Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta. Somvir (1998). „Ramayana: Asal-usul, Sejarah dan Transformasi
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
41
dari India ke Indonesia‟ dalam Ramayana, Pengembangan dan Masa Depannya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa dan Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, FPBS IKIP Yogyakarta. Sri Mulyono (1989). Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, Cetakan III. Jakarta: CV. Haji Masagung. Surjohudojo, Supomo (1961). Rama Kathā. Jogjakarta: Fakultas Sastra dan Kebudajaan Universitas Gadjah Mada. Tedjowirawan, Anung (1985). Analisis Struktural Serat Purusangkara, Satu Kajian Pada Karya Sastra R. Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). _______ (1986). Serat Mayangkara Karya R. Ng. Ranggawarsita: Sajian Teks-Terjemahan Pembahasan. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. _______ (2008). “Dari Gendrayana ke Bambang Sudarsana (Sebuah Suksesi Kepemimpinan di Ngastina menurut Teks-teks Pustakaraja Madya Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita”. Procedings Seminar Internasional Aktualisasi Teks-teks Ranggawarsitan dalam Konteks 100 Tahun Kebangkitan Nasional dalam rangka Dies ke 62 Fakultas Ilmu Budaya UGM 16 Mei 2008. Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Prodi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Widyaseputra, Manu Jayaatmaja (1998). “Persebaran Rāmāyaņa di Asia Tenggara”, dalam Ramayana, Pengembangan dan Masa Depannya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa dan Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, FPBS IKIP Yogyakarta. Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan, Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang, terjemahan Dick Hartaka. Jakarta: Djambatan. Naskah Sĕrat
42
Gĕndrayana,
Naskah
157.
Surakarta:
Museum
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Radyapustaka Surakarta. Sĕrat
Prabu Gĕndrayana I, Naskah 46 A. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Sĕrat Prabu Gĕndrayana II, Naskah 46 B. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta. Sĕrat
Purusangkara, Naskah Radyapustaka Surakarta.
155.
Surakarta:
Museum
Sĕrat Yudayana, Naskah 153. Surakarta: Museum Radyapustaka Surakarta.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
43
Abstrak Penelitian ini mencoba menggali kembali ajaran dan praktik kehidupan sehari-hari perempuan Aceh dalam keluarga dan masyarakat yang dituangkan ke dalam tulisan pada masa lampau, yang dewasa ini sudah menjadi manuskrip. Fokus utama penelitian ini tertuju kepada Siti Islam, tokoh utama dalam sebuah manuskrip Aceh sekaligus menjadi judul dari manuskrip tersebut, yaitu Hikayat Siti Islam. Selanjutnya perbandingan teks dilakukan dengan manuskrip lain yang mengisahkan tentang perempuan lain bernama Siti Hazanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya; menjelaskan tentang perilaku sosial lingkungan terhadap mereka; dan mencari korelasi positif antara perilaku perempuan dalam teks dengan perempuan Aceh pada umumnya dalam kurun waktu masa lampau dan dewasa ini. Kata Kunci: Perempuan, Manuskrip Aceh, Teks, Konteks.
*) Penulis adalah peneliti di Puslitbang Lektur – Balitbang Departemen Agama RI.
44
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Pendahuluan Perempuan merupakan lambang keberhasilan dan kekuatan sebuah keluarga dan negara, karena di tangan merekalah terletak kekuasaan yang terselubung, dibalik fisik dan tenaganya yang lemah jika dibandingkan dengan kekuatan fisik laki-laki. Ibn Arabi, sebagai tokoh sufi yang terkenal, mengakui akan kehebatan yang dimiliki perempuan. Mereka dapat memberikan inspirasi tertentu kepadanya. Sayyidah Nizam adalah salah seorang perempuan yang disebutkan Ibn Arabi yang dapat memberikan inspirasi kepadanya untuk menulis sekumpulan puisi dan telah memberikan pengaruh spiritual yang dalam kepadanya.1 Namun, fisik perempuan yang lemah, kadang disalahgunakan oleh lawan jenisnya. Sering perempuan mendapat perlakuan tidak seimbang dan bahkan melecehkan derajat dan kehormatannya. Perempuan diperlakukan seperti budak demi kepuasan kaum lakilaki. Bahkan tidak jarang kepada kaum perempuan dibebankan segala tumpuan dan pekerjaan keluarga, mulai dari mengurus rumah tangga hingga mencari nafkah di luar rumah. Dengan segala kelemahannya perempuan harus mengikuti perintah para suami, laki-laki yang menggunakan kekuatan dan kehebatan fisiknya untuk mencari kesenangan di bawah penderitaan isterinya. Laki-laki dengan bangga menjadi suami atas keberhasilan isterinya mempertahankan keluarga untuk menutupi kebutuhan keluarganya, mengurusi anak dan suaminya sendiri. Di luar rumah, sering perempuan dijadikan objek kesenangan laki-laki. Sering terjadi permerkosaan dan perlakuan tidak senonoh dari para pecundang birahi. Kasus yang muncul di media masa dan televisi tidak jarang adalah kasus pelecehan dan perusakan kehormatan perempuan. Karena itu, tidak berlebihan bila agama memperjuangkan hak perempuan dan bahkan menyamakannya dengan kaum laki-laki sesuai dengan fungsinya masing-masing.2 Perempuan bukanlah diciptakan untuk 1
Untuk uraian lebih rinci tentang makna perempuan bagi Ibn Arabi, lihat Austin, 2003:416-419 dan Azhari Noer, 2002: 220-222. 2 Untuk penjelesan lebih rinci lihat Quraish Shihab, 2005: 1-8.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
45
melengkapi hasrat dan keinginan laki-laki, melainkan untuk saling melengkapi. (Umar, 2000:16-17). Dalam Al-qur‟an disebutkan bahwa Segala sesuatu Kami menciptakan berpasangpasangan supaya kamu mengingat keesaan Allah. (Q.S. AlZariyat:49). Dalam setiap suku yang ada di Indonesia, perlakuan terhadap perempuan hampir boleh dikatakan sama dan serupa. Perempuan adalah sosok manusia yang hebat dan lemah, sehingga sering disalahgunakan karena dua faktor tersebut. Di Bali3, misalnya, perempuan menjadi tonggak keluarga untuk keberhasilan sebuah rumah tangga. Perempuan harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, mulai dari menghadirkan dan menyiapkan makanan sampai mengurus anak dan suami. Tidak hanya itu, perempuan harus bersedia untuk tidak mengecap dan merasakan manisnya pendidikan formal, demi untuk mempertahankan saudara laki-lakinya bersekolah. Mereka harus rela melakukan apa saja untuk memperjuangkan saudara laki-lakinya dan suaminya sukses di luar rumah. Di Aceh, perempuan juga menjadi tumpuan keluarga dan negara. Mereka tidak hanya bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga untuk anak dan suami mereka, melainkan juga di luar rumah. Di kalangan petani, para perempuan menjadi pekerja setia, mulai dari mencabut, menanam, hingga memanen padi. Di pasar, para ibu-ibu menjadi pedagang paling dominan ketimbang para laki-laki. Dari sisi lain, perempuan terlihat diberikan kebebasan dalam bergerak, tidak hanya berada di rumah melainkan juga di luar rumah. Dalam sejarah, kebebasan mereka diberikan untuk berjuang bersama kaum laki-laki untuk kepentingan agama dan bangsa. Sehingga dalam sejarah muncul srikandi-srikandi Aceh dengan berbagai istilah mereka sandang demi memperjuangkan agama dan negara. Istilah inong balee, misalnya, dijunjung oleh
3
Hasil Observasi dan wawancara langsung dengan sebagian penduduk Bali di Denpasar pada bulan Januari sampai April 1995.
46
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Malahayati dalam menggerakan kaumnya melawan Belanda dan mempertahankan agama. Meskipun demikian, masih perlu dipertanyakan apa yang dimaksud dengan kebebasan yang mereka miliki dan sejauh mana kebebasan tersebut didapatkan. Selanjutnya tidak semua perempuan Aceh menjadi srikandi. Nasib sebagian mereka tentu berbeda dengan srikandi-srikandi yang sudah harum namanya. Hal yang juga perlu dipertanyakan adalah apakah mereka mendapatkan kebebasan dan kehebatan seperti srikandi-srikandi yang telah harum namanya dalam sejarah. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pendorong saya untuk meneliti sejarah perempuan Aceh yang tidak hanya terfokus kepada para srikandi yang harum namanya dalam sejarah, tetapi juga terhadap perempuan-perempuan yang menjadi masyarakat biasa dalam kehidupan keluarga dan sosialnya. Penelitian ini mencoba menggali kembali ajaran dan praktik kehidupan sehari-hari perempuan Aceh dalam keluarga dan masyarakat yang dituangkan ke dalam tulisan pada masa lampau, yang dewasa ini sudah menjadi manuskrip. Fokus utama penelitian ini tertuju kepada Siti Islam, tokoh utama dalam sebuah manuskrip Aceh sekaligus menjadi judul dari manuskrip tersebut, yaitu Hikayat Siti Islam. Selanjutnya perbandingan teks dilakukan dengan manuskrip lain yang mengisahkan tentang perempuan lain bernama Siti Hazanah. Karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang dapat dirumuskan untuk penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya? 2. Bagaimana tanggapan lingkungan terhadap mereka? 3. Sejauhmana korelasi positif antara perilaku perempuan Aceh dengan isi teks naskah? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kembali sejarah perempuan Aceh yang terdapat di dalam manuskrip. Secara rinci tujuan tersebut adalah:
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
47
1. Untuk mengetahui kisah Siti Islam dan Siti Hazanah dalam kehidupan bersama suami, keluarga, dan masyarakatnya. 2. Untuk menjelaskan tentang perilaku sosial lingkungan terhadap mereka. 3. Untuk mencari korelasi positif antara perilaku perempuan dalam teks dengan perempuan Aceh pada umumnya dalam kurun waktu masa lampau dan dewasa ini. Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan: 1. 2.
Dapat mengungkapkan kembali khazanah tentang perempuan pada masa silam melalui manuskrip. Dapat menjadi referensi bagi peneliti khususnya yang bergelut dengan permasalahan gender.
Dari sisi kajian terdahulu, penelitian terkait dengan perempuan sudah sangat banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Demikian juga halnya dengan penelitian khusus perempuan Aceh. Sejarah sudah banyak berbicara tentang perempuan Aceh dari berbagai segi, mulai dari kiprah mereka dalam politik sampai kepada kehidupan sosial. Perempuan dalam kehidupan masa sekarang juga telah mendapat perhatian banyak peneliti untuk menelaahnya dari berbagai segi. Di antara penelitian yang terkait dengan perempuan Aceh adalah, karya Anthony Reid Female in Southeast Asia. Dalam artikelnya, Reid menjelaskan bahwa terdapat kesetaraan perempuan di wilayah Asia Tenggara termasuk di dalamnya Aceh dengan kaum laki-laki dalam konteks yang memungkinkan keduanya bersaing secara langsung, yaitu di dalam ekonomi dan politik. Karena itu, perempuan mendapatkan dua peran sekaligus, yaitu sebagai perempuan politisi dan ibu atau sebagai pedagang dan ibu. Hal ini ditemukan dalam berbagai peran ekonomi, sosial, dan politik yang dijalankan oleh perempuan dalam posisi mereka di keluarga dan masyarakat yang lebih luas. (Reid, 1998). Sher Banu A. L. Khan dalam The Jewel Affair; The Sultana, her Orang Kaya and the Dutch Foreign Envoys, menunjukkan peran para sultanat sebagai perempuan dalam menjalankan
48
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
tugasnya sebagai pemimpin negara setelah Sultan Iskandar Tsani. Mereka, khususnya Ratu Safiyatuddin dapat menjadikan barangbarang berharga, seperti intan permata, untuk kekayaan dan kepentingan kerajaan, bukan untuk berfoya-foya. (Khan, 2011). Jacqueline Aquino Siapno dalam karyanya Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh: The Paradox of Power, Cooptation and Resitance dengan menggunakan metode sejarah, etnografi, dan literatur, telah mengelaborasi dan membuka khazanah penafsiran mengenai sejarah politik perempuan di Aceh. Ia menggunakan manuskrip Melayu kuno dan cerita lisan untuk menjelaskan gagasan kekuasaan perempuan dalam tradisi kemaharajaan. Dalam manuskrip yang menceritakan Putri Betung, ia menemukan narasi yang mengedepankan perempuan supernatural, semacam bidadari atau peri dari antah berantah, yang memiliki kesaktian dan kekuasaan. Namun pada akhirnya bidadari tersebut harus menjadi agen kekuasaan para lelaki sebagai penguasa yang nyata. Demikian juga dalam cerita tradisi lisan, perempuan dijadikan sebagai orang yang mampu melakukan segalanya, namun tidak pernah dihargai keberhasilannya karena hal tersebut sudah menjadi tugasnya. (Siapno, 2002). Haslinda dalam bukunya Perempuan Aceh Dalam Lintas Sejarah Abad VIII – XIX menjelaskan tentang keberhasilan perempuan dalam membangkitkan negara dan agama sekaligus juga menjadi tumpuan keluarganya. Ia menjelaskan tentang peran perempuan dalam sejarah, yang melalui mereka telah muncul kejayaan-kejayaan untuk sebuah kerajaan. Putri Mayang Seuludang, adalah salah satu contoh perempuan yang diutarakannya. Ia adalah putri Istana Jeumpa, menikah dengan Pangeran Salman. Mereka dianugerahi empat orang anak Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, dan Syahir Tanwi. Semua mereka berhasil dididik olehnya dan mereka kemudian menjadi penguasa negeri (imum tuha peut). Begitu juga dengan Putri Tansyir Dewi yang berasal dari Peureulak. Ia adalah ibu dari Sayid Maulana Abdul Aziz, yang dikenal sebagai pendiri kerajan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
49
Islam Perlak pada tahun 840M. (Haslinda, 2008). Dari penelitian-penelitian di atas, dapat dilihat bahwa hanya Siapno yang menggunakan manuskrip sebagai salah satu sumber rujukan utamanya. Namun demikian, Siapno hanya menfokuskan kajian tentang perempuan yang berkaitan dengan tradisi kemaharajaan pada masa awal Islam. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang aktivitas perempuan dalam kehidupan sehari-hari dan ajaran yang berlaku padanya dengan berlandaskan manuskrip belum ada yang melakukan. Penelitian ini mencoba mengisi kekosongan tersebut, yaitu dengan fokus kajian pada manuskrip yang diperkirakan ditulis pada abad ke-18 dan 19M. Penelitian ini berbentuk library research dengan model pendekatan kualitatif. Untuk menelaah dua naskah yang menjadi sasaran penelitian ini perlu digunakan pendekatan interdisipliner; pertama, filologi dan kodikologi yang diperuntukkan pada kajian isi dan fisik naskah tersebut. Kedua, pendekatan intertekstual digunakan untuk membandingkan teks naskah yang menjadi fokus kajian ini dengan teks sejenis guna untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan topik kajian, yaitu budaya perempuan Aceh dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Ketiga, pendekatan sejarah sosial digunakan untuk mengetahui konteks latar belakang muncul dan keberadaan naskah yang dikaji dan tentang refleksi perempuan Aceh dalam sejarah secara umum serta fakta yang ada dewasa ini. Keempat, pendekatan antropologi. Untuk melihat dan mendiskusikan perkembangan budaya pada masa sekarang dan relevansinya dengan teks naskah, maka pendekatan antropologi menjadi penting, sehingga direct participant ke dalam masyarakat dalam waktu yang relatif lama dan in depth interview dapat dilaksanakan dengan cermat dan teliti.
50
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Kiprah Perempuan dalam Manuskrip Tentang Manuskrip Siti Islam Deskripsi Naskah ini dikoleksi oleh Ampon Hasballah Dayah Tanoh, seorang masyarakat Aceh yang berdomisili di Dayah Tanoh, Pidie, Aceh. Naskah ini kemudian didigitalkan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2010. Naskah ini memiliki ukuran 16X22 cm, dan blok teksnya berukuran 10X16 cm. Alas tulis naskah ini adalah kertas Eropa yang memiliki cap air berbentuk bulan sabit dalam bentuk wajah manusia dilingkari pagar atau yang dalam bahasa Inggris disebut dengan moonface in shield. Berdasarkan cap airnya, diperkirakan naskah ini ditulis sekitar abad ke-19M.4 Tidak terdapat bagian halaman yang kosong dalam naskah ini, sedangkan iluminasi serta ilustrasi juga tidak diketemukan. Tinta yang digunakan untuk menulis teks berwarna hitam. Tidak ada rubrikasi dalam teks, kemungkinan karena teks naskah ini berbentuk cerita, sehingga tidak ada kata-kata yang perlu ada penekanan maknanya. Naskah berjudul Hikayat Siti Islam ini, tidak diketahui siapa pengarangnya, karena ada beberapa halaman akhir telah hilang, yang mungkin saja memuat informasi tentang pengarangnya. Naskah ditulis dalam bentuk hikayat, yaitu berbentuk sajak dan berbait-bait atau puisi.
4
Menurut Heawood, cap air seperti ini tidak dapat diidentifikasi tahunnya, sehingga ia menyatakan bahwa kertas yang ber-watermark seperti di atas besar kemungkinan diproduksi pada waktu modern. Kemungkinan besar tahun produksinya setelah abad ke-18M, karena Buku Heawood dan Churchill hanya memuat daftar watermark dan countermark yang berkisar antara abad ke-17 dan 18M. Lihat Heawood, 1986:84; Churchill, 1935.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
51
Naskah Siti Islam
Teks naskah ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan Aceh, beraksara Arab dan Jawi. Naskah ini tidak memiliki kolofon, karena lembaran akhir sudah hilang. Ringkasan Isi Naskah ini berisi cerita (hikayat) fiktif dengan diiringi berita dari si pengarang terlebih dahulu. Empat halaman pertama digunakan pengarang khusus untuk mengungkapkan bahwa cerita yang ditulisnya sangat diharapkan oleh siapa pun di dunia ini. Ia mengambil cerita ini dari Arab, kemudian singgah di beberapa negara dan di beberapa tempat di Aceh, hingga sampai di kampung halamannya. Dalam persinggahannya ia mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak yang mendengarkan ceritanya. Cerita ini diberitakannya terjadi pada masa Rasulullah masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam teks: Nyoe hikayat Siti Islam
dara agam taphôm makna
... Nyoe calitera nabi Muhammad soe yang ingat raya bahgia ... na si‟at teuka si Nyak Ti
52
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Rupa jieh sa hana macam That taqwa uroe malam
Ti Islam nan keurasoe hana macam that bakti
Terjemahan: Ini [hikayat ini diberi nama dengan] Hikayat Siti Islam…
Ini cerita [masa] Nabi Muhammad…
Agar laki-laki dan perempuan yang masih muda dapat memahami artinya Siapa yang [mau] mengingatkannya sangat besar kesenangan Sebentar setelah itu datanglah Nyak Ti
Wajahnya cantik tiada banding
Ti Islam namanya dipanggil
Sangat takwa [kepada Tuhan] siang dan malam
Tiada ada tandingan sangat berbakti
Cerita ini memiliki tiga tokoh utama, yaitu: pertama, Siti Islam yang digambarkan sebagai tokoh perempuan yang taat, patuh, dan penurut; kedua, Nabi sebagai tokoh yang dapat memecahkan dan mengatasi segala persoalan; dan ketiga, Rajawali, suami Siti Islam, yang melindungi dan menguasai Siti Islam dalam hidupnya setelah berumah tangga. Cerita dalam naskah ini menggambarkan cara hidup seorang perempuan pada masa Nabi yang bernama Siti Islam. Pada awalnya, diceritakan terlebih dahulu segala hal yang terkait dengan pengajaran terhadap perempuan dalam menghadapi suami dan rumah tangga. Pengajaran dan bimbingan diberikan langsung oleh Nabi dan tertuju kepada Siti Islam sebagai tokoh utama dalam cerita ini. Nabi memberitahu bahwa perilaku wanita yang baik menurut agama adalah harus patuh, penurut, dan melayani suami. Bila tidak demikian, maka para perempuan akan menerima azab balasannya di hari akhirat.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
53
Nabi kemudian menjelaskan tentang perempuan yang membangkang dan tidak menjaga hubungan baik dengan suami, bahkan mencari orang lain sebagai tempat pelariannya. Bagi mereka disediakan siksa yang sangat pedih di hari akhirat. Begitu juga sebaliknya, laki-laki yang berhubungan dengan perempuan tersebut di luar nikah akan mendapat hukuman yang sama. Contoh dalam teks: Ureung lakoe yang celaka Jimoe sabee ureung ineng Azeub peudeh han pue tanyeng Jiduek ji eh ji jak ji deng ... Lom jibeudeh ineng ceulaka Trôh bak bahoe jiduek ineng Nibak agam meunoe jitanyeng Dilee galak keu lôn sidroe Oh han lôn tem yôh saboh uroe Terjemahan: Suami yang celaka Menangis selalu si isteri Azab pedih tidak dapat dikatakan Duduk tidur berjalan berdiri ... Lalu bangun perempuan yang celaka Lalu di bahunya duduklah perempuan Pada laki-laki begini ditanyakan Dulu engkau suka kepada saya seorang Ketika saya tidak mau pada
54
azeub siksa hana lawan nam plôh limeng tujôh lapan deungen ineng man saboh kawan lethat ineng jimoe sajan agam jiwa nibak badan jitanyeng meunoe lakuan lee ineng soe rimueng kuran lam taki-taki uroe malam meudeh meunoe lôn ta padan
azab siksa tiada lawan enam puluh lima tujuh delapan dengan isteri sebuah kelompok banyak sekali isteri menangis laki-laki dipeluk badannya ditanyakannya apakah begini balasan oleh perempuan dengan suara harimau engkau bohongi siang malam berbagai cara engkau rayu aku
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
satu hari Siksa yang akan dialami oleh mereka yang tidak patuh kepada suami dan berselingkuh dengan laki-laki lain tidak akan pernah berhenti, kecuali pada hari Jumat dan bulan Ramadan. Disebutkan dalam teks sebagai berikut: hancô hutak lheuh ngen gaki teumar meuwolom misei suboh meunan azeub barang jan masa malam Jumu‟at yang na reuda la‟en nibak nyan buleun puasa la‟en nibaknya hana reuda Terjemahan: Hancur otak lepas kaki Lalu kembali seperti semula Begitulah azab sepanjang masa [Cuma] Malam Jumat yang reda [tidak disiksa] Selain itu pada bulan puasa Selain itu tidak perlah lekang dari siksaan
tuleung ngen asoe jeut ka karam lom geusipak hana macam hana reuda uroe malam hana siksa ineng agam yang na reuda Ti Islam jih lam siksa hana macam
tulang dan daging sudah tiada lalu disepak lagi dengan sangat keras tiada reda siang dan malam tidak disiksa laki-laki dan perempuan yang tidak disiksa [hai] Ti Islam mereka dalam siksa tiada tara
Setelah mendapatkan pengajaran yang demikian panjang lebar, kepada Siti Islam kemudian diajarkan tentang bagaimana seharusnya kehidupan seorang isteri terhadap suami dalam berumah tangga. Nabi menjelaskan panjang lebar tentang ciri-ciri isteri yang baik yang dapat membawa kebahagiaan dunia dan akhirat serta akan mendapat balasan surga di akhirat. Seorang perempuan harus tunduk dan patuh kepada suaminya serta menjaga keharmonisan rumah tangga sesuai aturan agama, karena
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
55
surga berada di bawah telapak kaki suami. Lam syuruga wahe Nyak Ti Diyub tapak gaki suami
diyub gaki ureung agam ta deunge hai meunoe kalam
Terjemahan: Dalam surga wahai Nyak Ti Di bawah telapak kaki suami
di bawah kaki laki-laki dengarkanlah kalam seperti ini
Sebagai contoh, setiap kali suami pulang, si isteri harus selalu mencium lututnya dengan wajah tersenyum. Contoh teks: Oh woe lakoe geunap seupôt côm bak tu‟ôt barangkajan Terjemahan: Ketika pulang suami di waktu sore
cium di lutut kapan saja
Nabi juga menjelaskan bahwa seorang isteri harus menjadikan suaminya sebagai guru dan tempat belajar. Kalaupun tidak bisa seperti itu, maka isteri harus minta izin kepada suami untuk mencari ilmu kepada ulama: Teumar guree nibak lakoe Adat banta lakoe gata Lake izin nibak lakoe Beuna izin nibak lakoe
tameureunoe kebajikan bak ulama taberjalan suara bandum ban meunisan jak meureunoe iluemee Tuhan
Terjemahan: Lalu bergurulah kepada suami belajarlah kebajikan padanya Bila suami anda tidak bisa kepada ulama engkau pergi Minta izin kepada suami suara dan tingkah laku semuanya harus manis Harus ada izin dari suami pergi menuntut ilmu Tuhan Siti Islam dengan tekun dan penuh khidmat mengikuti ajaran Nabi. Ia terus mendesak Nabi untuk menceritakan segala hal yang
56
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
terkait dengan kehidupan isteri dan suami serta akibat-akibatnya. Siti Islam pada awalnya tidak berniat untuk menikah, karena takut tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam rumah tangga. Atas petunjuk Nabi, ia akhirnya menikah dengan seorang anak Sultan yang bernama Rajawali. Nabi memperingatkan agar Siti Islam tidak luput memperhatikan rambu-rambu yang perlu ditaati sebagai seorang isteri nantinya. Dalam membangun dan mempertahankan rumah tangganya, Siti Islam kemudian menerapkan segala ajaran dan bimbingan Nabi saw yang telah didapatnya. Ia adalah sosok perempuan yang patuh secara mutlak terhadap ajaran Nabi. Dalam menjalani rumah tangga bersama suaminya, Siti Islam menyerahkan dan mengabdikan dirinya secara penuh kepada suaminya tanpa ada rasa penolakan sedikit pun. Ia tidak pernah berani bertindak tanpa seizin suami, termasuk untuk keluar rumah. Pada suatu hari, Rajawali berniat hendak pergi jauh keluar wilayah kerajaannya karena ada urusan penting yang harus diselesaikan. Rajawali kemudian mengatakan bahwa Siti Islam dilarang keluar rumah sebelum ia pulang. Semua harta dan barangnya dititipkan kepada Siti Islam. Di tengah-tengah pejalanan suaminya keluar kota5, orang tua Siti Islam sakit keras. Karena harus menjunjung tinggi amanah suaminya, Siti Islam memutuskan untuk tidak pergi melihat orang tuanya. Orang tuanya pun meninggal. Siti Islam sangat sedih mendengar berita tersebut, namun dia tidak berani pulang ke rumah orang tuanya. Ia kembali pergi ke tempat Nabi dan bertanya tentang masalah yang dihadapinya. Nabi menjawab bahwa tindakan Siti Islam adalah benar. Tidak boleh sama sekali berjalan bila tidak dengan seizin suami. Dikatakan oleh Nabi bahwa Siti Islam akan mendapat pahala yang besar dengan sikap tersebut dan orang tuanya akan berada di tempat yang baik, karena anaknya yang taat kepada suaminya. Ketika suaminya pulang, Siti Islam menceritakan kepada 5
Dalam teks disebutkan bahwa keluar rumah menuju pasar membutuhkan waktu cukup lama. Mungkin pasarnya jauh di negeri lain.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
57
suaminya tentang peristiwa yang sudah terjadi selama suaminya tidak ada di rumah. Suaminya kemudian menjawab bahwa, untuk segala hal yang terkait dengan orang tua, ia sebenarnya mengizinkan Siti Islam pulang ke rumah orang tuanya untuk melihat mereka yang sedang sekarat. Akhirnya keduanya, Siti Islam dan Rajawali, pulang ke tempat orang tuanya. Ternyata ibunda Siti Islam masih hidup dan dalam keadaan sakit parah, namun ayahnya sudah tiada. Mereka bertiga sangat sedih dan jatuh dalam pelukan kerinduan dan keterharuan. Ibunya kemudian mewasiatkan kepada Siti Islam agar ia tetap menjaga dan menghormati perintah dan larangan suaminya. Setelah ibunya meninggal, Rajawali menggerakan rakyatnya untuk mengadakan kenduri selama tujuh hari tujuh malam. Dengan sukarela, ia mengeluarkan hartanya untuk memberi makan fakir miskin dan rakyat untuk mengharapkan pahala bagi orang tua isterinya. Setelah itu, Siti Islam dan Rajawali, kembali kepada Nabi untuk berkonsultasi tentang balasan dari apa yang telah mereka kerjakan dan apa yang harus mereka lakukan setelah ibunya meninggal. Nabi menjawab bahwa tindakan mereka adalah pekerjaan yang terpuji. Ibu dan ayah Siti Islam berbahagia di dalam kubur dan dapat merasakan kebaikan kedua anaknya. Mereka berdua diharapkan selalu berdoa untuk orang tuanya dan bersedakah untuknya. Bandingan dengan naskah Siti Hazanah Deskripsi Naskah ini adalah koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Aceh di Banda Aceh sebelum terjadi Tsunami tahun 2004 dengan nomor invetaris 007/NK/1998. Sebelumnya naskah ini dikoleksi oleh Sulaiman di Aceh Besar.6 Naskah ini dapat 6
Naskah ini sudah musnah akibat tsunami pada tahun 2004, termasuk gedungnya yang juga menyimpan sejumlah naskah Aceh lainnya. Meskipun naskah asli tidak ada lagi, tetapi kopi naskah tersedia, karena pada tahun 2003 telah dicopy dan dibuat edisinya oleh Fakhriati atas dukungan dari Program
58
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
dikatakan berasal dari Aceh Besar karena pengarangnya bernama Teungku Lam Ba‟it berasal dari Aceh Besar.7 Naskah Siti Hazanah berukuran 26x17 cm dan ukuran teks 24x16cm dengan jumlah baris 20 dan 21 pada tiap halaman. Alas tulisnya adalah kertas Eropa dengan ciri bergaris tebal dan halus dengan bayang-bayang di antaranya. Namun demikian tidak terlihat watermark dan countermark di atas garis-garis tersebut. Dari jenis kertasnya, dapat diprediksi bahwa umur naskah ini berkisar antara abad ke-19M.8 Naskah ini terdiri dari tiga kuras, yang masing-masing kuras terdiri dari delapan lembar, kecuali kuras ketiga yang terdiri dari tujuh lembar. Ada kemungkinan bahwa salah satu lembar naskah ini telah hilang. Sedangkan halamannya berjumlah 46 halaman dan setiap halaman terdiri dari 21 baris. Tulisan naskah berbentuk nastaklik dengan menggunakan tinta hitam untuk penulisan secara umum dan rubrikasi untuk penekanan pada kata-kata tertentu. Naskah ini memiliki ilustrasi dan iluminasi dalam bentuk bunga sulur. Naskah Siti Hazanah ini tidak memiliki kolofon di akhir teks, kemungkinan karena halamannya yang sudah hilang. Namun demikian pada halaman awal terdapat tulisan dalam bentuk pyramid -- mungkin dapat dikatakan sebagai kolofon – yang memberikan informasi tentang nama pengarang dan judul naskah, yaitu Hikayat Abdurrahman. Namun demikian, gaya tulisannya terlihat agak berbeda dengan tulisan di teks utama. Terkait dengan judul naskah, setelah dibaca isinya, ternyata naskah ini lebih layak diberi judul Kisah Siti Hazanah, karena teks naskah ini bercerita lebih banyak dan lebih dominan tentang kisah Siti Hazanah dalam mengarungi kehidupannya di dunia. Di beberapa halaman awal teks memang ditulis tentang kehidupan penggalakan Sumber-sumber Tertulis Nusantara, FIB-UI. 7 Sebutan nama orang berdasarkan nama tempat bisa bermakna tempat ia berasal atau kepopulerannya dalam berkarier. 8 Untuk diskusi tentang jenis-jenis kertas Eropa dan watermarknya dapat dibaca dalam makalah Fakhriati, 2011.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
59
orang tua Siti Hazanah, Abdurrahman, yang bertemu dan kemudian menikah dengan isterinya. Mereka kemudian hidup bersama dalam kekurangan di tempat yang jauh dari jangkauan manusia, yaitu di dalam hutan. Ringkasan Isi Teks naskah ini menceritakan tentang kehidupan Siti Hazanah yang sejak kecil berada dalam kesendirian dan kesepian setelah ditinggal wafat kedua orang tuanya. Setelah tumbuh besar, ia menikah dengan Teungku Ahmad Qusyasyi9 dan hidup dalam rumah tangga yang mawaddah dan rahmah. Selanjutnya ia menghadapi berbagai macam rintangan dan tantangan selama ditinggalkan suaminya ke tanah suci (Mekkah). Sejak lahir, Siti Hazanah sudah hidup sendirian dan hanya berteman dengan binatang di dalam hutan. Ia dipelihara oleh malaikat dengan berpakaian dedaunan. Siti Hazanah tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis. Pada masa ini, ia bertemu dengan seorang laki-laki, yaitu Teungku Ahmad Qusyasyi. Teungku tersebut tertarik melihat tingkah laku Siti Hazanah sehingga ia ingin menikahinya. Siti Hazanah menyetujui menikah dengannya dan hidup bersama dalam waktu yang tidak terlalu lama, karena Teungku berkehendak pergi ke Mekkah. Dalam kehidupan rumah tangganya, Siti Hazanah menyerahkan hidupnya untuk beribadah dan untuk suaminya. Waktu luangnya hanya digunakan untuk bertafakkur, menambah pengetahuan agama, dan melayani suaminya. Sama seperti Siti Islam, Siti Hazanah juga menghormati suaminya dengan 9
Ahmad Qusyasyi adalah guru tarekat Syattariyah Abdurrauf al-Fansuri dari Arab, Mekkah. Nama tokoh Ahmad Qusyasyi menjadi populer di kalangan masyarakat Aceh sejak diketahui bahwa Tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer di Aceh. (lihat Fakhriati, 2008). Selain itu, nama Ahmad Qusyasyi juga didapatkan di dalam naskah-naskah lain seperti Sarakata „surat raja-raja di Aceh‟. (lihat misalnya Sarakata uleebalang Cut Nyak Manfarijah yang berdomisili di Dayah Tanoh, Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ahmad Qusyasyi adalah tokoh yang populer bagi masyarakat Aceh.
60
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
mencium lutut suaminya ketika ia pulang dari bepergian. Disebutkan dalam teks: Teungku Syekh neurah gaki
tuan Siti seumah lee reujang
Terjemahan: Setelah Teungku Syekh mencuci kakinya
tuan Siti langsung menyembah di lututnya
Sama seperti Siti Islam, Siti Hazanah juga ditinggal pergi oleh suaminya, namun suaminya tidak berpesan seperti pesan suami Siti Islam. Ketika suami Siti Hazanah pergi ke Mekkah, ia hanya mengatakan: Lon keubah gata ubak Allah
lon jak langkah rijang keunoe
Terjemahan: Saya titipkan kamu pada Allah
saya akan kembali dalam waktu dekat
Pada masa ditinggalkan suami, Siti Hazanah mendapat cobaaan yang cukup berat., Saudara dari pihak suaminya berusaha menggangu kehormatannya. Tanpa goyah sedikit pun dalam hati, Siti Hazanah mempertahankan dan memperjuangkan nama baik suami dan kehormatannya semaksimal mungkin. Tidak ada celah sedikit pun untuk orang lain bisa masuk untuk mengganggunya. Ia harus menderita karena siksaan masyarakat sekitar akibat ulah saudara suaminya. Karena keteguhan dan kesufiannya, ia kemudian mendapat pembelaan yang tidak diduga-duga. Ketika berjalan menelusuri hutan dalam kesendirian, ia mendapat sambutan hangat dan kasih sayang dari binatang-binatang. Ia kemudian mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya membela kebenaran dan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
61
menjaga kehormatan suaminya. Pesan-Pesan dalam Teks Dalam kedua teks yang terdapat dalam dua naskah di atas terdapat pesan bahwa hendaknya seorang perempuan dalam mengarungi rumah tangga dan menghadapi masyarakat sekeliling harus sesuai dengan ajaran Islam dan tuntunan Nabi. Pengarang menekankan akan pentingnya seorang perempuan berperilaku sesuai dengan tuntunan ajaran Islam agar mendapatkan kebahagiaan ukhrawi dan disenangi oleh suami. Meskipun demikian, dalam kehidupan praktis yang dialami kedua perempuan tersebut, terdapat beberapa perbedaan pesan yang dapat dipetik. Dalam naskah Hikayat Siti Islam, pesan yang dapat dipetik adalah: 1)
2) 3) 4) 5)
Seorang perempuan harus benar-benar tunduk dan patuh kepada suami, karena syurga berada di bawah telapak kaki suami; Tugas seorang perempuan sepenuhnya melayani suami kapan pun dan dimana pun; Seorang perempuan harus menjadikan suami sebagai guru dan imam dalam hidupnya; Seorang perempuan harus mendahulukan kepentingan suami dari pada kepentingan orang tuanya. Bila tidak berlaku atau bersikap seperti di atas, maka azab akan menimpanya di hari kiamat tanpa henti, kecuali pada hari Jum‟at dan bulan Ramadan.
Sementara dalam naskah Siti Hazanah, pesan yang dapat diambil adalah: 1)
62
Seorang makhluk Allah, khususnya perempuan, harus melayani suami dengan baik, namun dia juga diperkenankan untuk menyisihkan waktu untuk kepentingan pribadinya dalam hal beribadah kepada Allah SWT;
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
2)
3)
4)
Seorang perempuan harus bisa berperilaku baik kepada kepada suami dan kepada siapa pun makhluk Allah yang ada di dunia; Seorang perempuan harus mampu menjaga kehormatan dirinya, meskipun berada dalam lingkungan yang tidak mendukung kepadanya; Seorang perempuan diharapkan dapat mencapai tujuan hidupnya yang utama, yaitu mencapai tingkat yang paling tinggi dalam kesufian berupa makrifatullah.
Perilaku Lingkungan Siti Islam dan Siti Hazanah Lingkungan Siti Islam yang tersebut dalam naskah pertama berbeda dengan lingkungan Siti Hazanah dalam naskah kedua. Siti Islam berada dalam lingkungan yang menganut budaya patrilineal, yaitu seorang isteri harus berada penuh di bawah naungan dan pengawasan suami. Isteri tidak dibenarkan keluar dari pantauan dan pengawasan suami sedikit pun. Siti Islam harus mengalami kesedihan dan kehancuran hati karena tidak dapat bertemu dengan orangtuanya yang sedang sekarat, hanya disebabkan belum ada izin suaminya untuk pergi ke rumah orang tuanya. Meskipun demikian, lingkungan Siti Islam sangat mendukung kehidupan dan perilaku Siti Islam yang telah dibentuk sebelumnya. Siti Islam mendapatkan seorang suami yang kaya dan berpendidikan agama yang tinggi, sehingga ia dapat menerapkan segala bentuk pengajaran dari Nabi yang didapatkannya sebelum menikah. Siti Islam benar-benar taat kepada perintah suaminya. Ia menghormati dan melayani suaminya sebagaimana diajarkan Nabi. Siti Islam selalu menjunjung tinggi pesan-pesan suaminya, meskipun ia harus menahan hatinya untuk tidak menjenguk orang tuanya yang sakit. Demikian juga dengan suaminya. Ia sangat sayang kepada Siti Islam sebagai isteri yang sangat baik baginya. Ia memberikan peluang kepada Siti Islam untuk menjaga hartanya, dan sekaligus berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada orang tuanya.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
63
Hal ini dapat dilihat ketika ia mendengar keluhan Siti Islam tentang orang tuanya yang sedang sakit, namun Siti Islam tidak berani keluar rumah, karena belum ada izin suaminya. Suaminya memberitahu Siti Islam bahwa untuk berkunjung kepada orang tua, tidak menjadi larangannya. Di dalam teks disebutkan: Meunyo tawoe saket umi Hana lôn tham saket umi Terjemahan: Bila engkau pulang untuk lihat ibu sakit Tidak saya larang pada sakit umi
selama lôn bri wahe Intan geugrak pakri hai buleun trang
selamanya saya izinkan pergi saja hai Bulan terang
Ibu Siti Islam juga memberi dukungan penuh kepadanya agar selalu setia kepada suami, kapan dan di mana pun. Pelayanan yang sempurna kepada suami sangat ditekankan oleh orang tuanya, sehingga mereka pun dapat hidup dalam rumah tangga yang mawaddah dan rahmah. Karena itu, ibunya tidak keberatan bila Siti Islam tidak menjenguknya, dikarenakan belum adanya izin suami. Kondisi masyarakat luas lainnya yang berada di lingkungan Siti Islam juga sangat mendukung kehidupan dan perilaku Siti Islam dan suaminya. Ketika mereka berdua harus melaksanakan ritual atas meninggalnya orang tua Siti Islam, seluruh masyarakat dan rakyat yang ada di wilayah tempat tinggal Siti Islam dan suaminya membantu dan saling bahu- membahu mensukseskan acara tersebut. Hal ini terjadi karena suami Siti Islam sendiri adalah raja yang berhasil memimpin umatnya. Berbeda dengan lingkungan Siti Islam, Siti Hazanah mendapat kesempatan untuk keluar rumah dan mempertahankan dirinya sebagai perempuan suci di hadapan masyarakat luas. Ia bahkan mampu menyendiri ke hutan untuk mencari ketenangan hidup dan mencapai tujuan kesufian tingkat terakhir.
64
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Meskipun demikian, Siti Hazanah hidup dalam lingkungan yang kurang menguntungkan bagi dirinya. Di satu sisi, suami Siti Hazanah sangat sayang kepada isterinya. Ia memberikan kebutuhan isterinya dalam berbagai sisi, termasuk kebutuhan untuk beribadah. Di sisi lain, keluarga suaminya tidak menghargai Siti Hazanah sebagai bagian dari keluarganya yang perlu dilindungi dan dijaga kehormatannya. Adik suaminya berani mengganggu Siti Hazanah yang sedang sendirian karena ditinggal suami untuk pergi haji. Karena tidak berhasil untuk mengotori kehormatan Siti Hazanah, ia pun dengan beraninya menjelekkan dan memfitnah Siti Hazanah di hadapan masyarakat luas. Tanggapan masyarakat menjadi keliru terhadap Siti Hazanah. Segala fitnah dan penyiksaan dari masyarakat luas ditimpakan kepada Siti Hazanah. Siti Hazanah menerimanya dengan penuh kesabaran dan ketabahan, namun sebagai manusia ia memiliki keterbatasan. Siti Hazanah akhirnya memutuskan untuk keluar dari kampung tersebut dan pergi menyendiri di hutan serta berpisah dengan suaminya. Lingkungan di hutan yang terdiri dari berbagai macam binatang sangat sayang kepada Siti Hazanah. Mereka bahu membahu memberi bantuan dan perlindungan kepada Siti Hazanah, sehingga Siti Hazanah mendapatkan ketenangan hidup. Ia dapat menjalankan ibadah dengan baik sampai akhirnya ia mendapatkan derajat paling tinggi dalam kesufiannya, yaitu makrifatullah. Lifestyle Perempuan Aceh Dan Isi Teks Dua naskah di atas memberikan gambaran dan pengajaran kepada perempuan Aceh dalam menjalani kehidupan rumah tangga, terutama suami mereka, keluarga, dan masyarakat. Naskah ini juga menunjukkan bahwa salah satu ciri perempuan Aceh adalah patuh kepada ajaran agama dan tangguh menghadapi segala cobaan dan rintangan. Isi
naskah
Hikayat
Siti
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Islam
diperuntukkan
kepada
65
perempuan Aceh agar mereka dapat membaca dan mengikuti ajaran dan perilaku serta konsep yang wajar menurut Islam, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi. Cara kehidupan sehari-hari yang harus dipraktikkan dalam kehidupan berumah tangga, terutama dengan suami diuraikan secara detail, agar dapat dicontoh oleh perempuan Aceh pada umumnya. Dalam kehidupan sehari-hari, hal seperti yang diungkapkan dalam naskah di atas sebagian besar telah diterapkan oleh perempuan Aceh, terutama pada masyarakat tradisional yang tinggal di desa dan dayah, yang belum terkontaminasi oleh budaya luar. Para perempuan/isteri pada umumnya tunduk dan patuh kepada suaminya tanpa mengharap imbalan apa pun selain rida dari Tuhannya. Di dayah, misalnya, pengajaran seperti yang terdapat dalam hikayat tersebut dijumpai dalam bahan ajar untuk santri. Tidak hanya itu, mereka juga membaca kitab-kitab lain, seperti kitab fikih terkait dengan hal yang layak dan tidak layak dilakukan, dan hal yang dianjurkan dan tidak dianjurkan agama dalam berumah tangga dan bermasyarakat. Pada intinya, perempuan harus secara total berada di bawah penguasaan suami. Bacaan-bacaan dari berbagai kitab yang disediakan di dayah menjadi tauladan dan pedoman mereka dalam bergerak dan bertindak di dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi yang masih sangat jelas dilihat di Aceh adalah tradisi mencium lutut ketika suami pulang dan datang dari jauh atau pada hari-hari tertentu, seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi tersebut juga diberlakukan kepada orang yang patut dihormati, misalnya guru mereka. Karena itu, suami adalah orang yang patut dihormati, serupa dengan seorang guru, dan salah satu cara penghormatan adalah dengan mencium lututnya. Di dayah Darussaadah dan Darussalam Teupin Raya, Pidie, tradisi ini masih berlaku hingga sekarang. Setiap santri dan masyarakat kampung lain mencium lutut gurunya ketika bertemu untuk belajar dan ketika selesai belajar. Demikian juga, ketika menjumpai guru pulang dari Mekkah.
66
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Di desa-desa yang dekat dengan dayah, seorang isteri diwajibkan mencium lutut suami pertama sekali adalah ketika berlangsungnya acara pernikahan. Setelah selesai ijab qabul, maka hal yang pertama sekali dilakukan isteri adalah mencium lutut suami sebagai tanda penghormatan awal kepada suami.10 Ketangguhan seorang perempuan dalam berjuang mempertahankan agama dan kehormatan dirinya seperti yang diceritakan dalam naskah kedua juga terlihat dalam jati diri perempuan Aceh. Perempuan dari suku Aceh dikenal dengan sifat dan wataknya yang agamis, berani, dan tangguh, baik dalam memperjuangkan keluarganya maupun agama dan negara. Gerak dan langkahnya yang tiada mengenal lelah telah mewarnai sejarah Aceh. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan Aceh dalam sejarah sebagiannya adalah karena campur tangan perempuan Aceh. Sebagaimana contoh yang diuraikan dalam sejarah, tentang seorang perempuan di Bireun yang telah berhasil mendorong suami dan anak-anaknya untuk menjadi raja. Putroe Manyang Seuleudong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala, Anak Meurah Jeumpa, yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa di wilayah tersebut. Selanjutnya dikatakan kerajaan tersebut menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Islam lain di wilayah Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam11. (Haslinda, 2008:14). Contoh lain tokoh-tokoh perempuan Aceh yang berani berada di garis depan dalam berjuang melawan penjajah Belanda yang ingin meruntuhkan agama dan negara adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Malahayati, dan para inong balee lainnya. Ketangguhan mereka dalam menghadapi dunia yang tidak sejalan dengan kepribadian, agama dan negara mereka telah diabadikan dalam sejarah, namun dalam setiap tindakan yang mereka 10
Hasil observasi di wilayah Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Besar. Lihat http://www.atjehcyber.tk/2011/04/putroe-jeumpa-manyang-seuleudongmaha.html 11
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
67
lakukan telah mendapatkan izin sebelumnya dari suami mereka. Kehidupan mereka tetap berada di bawah penguasaan suami. Cut Nyak Dhien melakukan perjuangan terhadap Belanda atas izin suaminya. Ia pergi berdampingan membantu suaminya terjun ke dalam medan perang. Cut Meutia, atas izin suaminya, bergerak melawan penjajah. Malahayati berjuang melawan penjajah melanjutkan perjuangan suaminya yang telah mendahuluinya di laut. Teungku Fakinah dari Lam Krak, Aceh Besar (1856 - 1933M), adalah contoh perempuan Aceh lainnya yang memiliki semangat dan jiwa yang luhur untuk memperjuangkan agama dan negaranya. Pada mulanya ia mendukung penuh suaminya untuk berjuang melawan Belanda. Setelah suaminya meninggal, ia bergerak mengumpulkan perempuan-perempuan lain untuk berjuang melawan Belanda. Meskipun demikian, ia tidak bisa dengan leluasa berjuang di tengah-tengah masyarakat banyak, karena pandangan masyarakat umum menjadi tidak bagus bila ia sendirian tanpa ada laki-laki yang mendampinginya pergi keluar, apalagi untuk berjuang. Akhirnya ia memutuskan untuk menikah lagi. Akan tetapi dalam berjuang, suaminya kemudian meninggal lagi. Ia lalu berniat ingin melaksanakan ibadah haji, namun masalah timbul lagi, yaitu tidak adanya suami sebagai muhrim untuk pergi jauh, apalagi untuk beribadah. Akhirnya ia menikah untuk ketiga kalinya. Kali ini suaminya meninggal di tanah suci. Ia kembali berdiam di dayah dan mengajar mengaji para santrinya. (Ismail, 2004:31-44). Di dalam rumah tangga, pada masa perjuangan melawan Belanda, perempuan Aceh mampu berperan sebagai isteri yang sabar menanti suaminya pergi berperang dan dengan setia menjaga anak-anaknya. Dalam lirik lagu yang disenandungkan bagi anak-anak balita, tercermin peran mereka. Aduhai do ku do da idi (Aduhai do ku do da idi) Meurah Pati ateuh awan (Burung Merpati di atas awan) Beuridjang rajeuk Banta Saidi (Cepat Besar Anakku Sayang)
68
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Djak Prang Sabi Bela Agama (Pergi ke Medan Perang Membela Agama)12 Karena itu dapat dikatakan bahwa setiap aktivitas perempuan Aceh, meskipun dia berada di luar rumah untuk kepentingan umat dan agamanya, tetap berada di bawah pengontrolan suaminya. Siapno mengatakan bahwa kebebasan perempuan Aceh tidak sepenuhnya berlaku. Kejayaan menguasai negara juga tidak sepenuhnya berada di tangan perempuan. Mereka tetap berada di bawah kekuasaan laki-laki. (Siapno, 2002). Ajaran Islam telah mengatur hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sesuai dengan fungsinya masing-masing. Perempuan berbeda dengan laki-laki dalam hal kekuatan fisik sehingga ia perlu mendapatkan perlindungan dari laki-laki. Selanjutnya perempuan adalah makhluk yang dipimpin oleh laki-laki karena adanya ayat yang mengatakan bahwa laki-laki sebagai qawwam. (Shihab: 2005, 338-339). Meskipun ayat tersebut diperuntukkan kepada laki-laki yang mencari nafkah. Kemudian perempuan mendapatkan tempat lebih banyak di rumah untuk menjadi sebagai ibu dan menjaga keluarga dan harta suaminya, karena di luar dia harus dijaga oleh suami sebagai muhrimnya. (Muslikhati, 2004:114-122). Selain dari itu, setidaknya ada tiga faktor yang membentuk gaya hidup perempuan Aceh seperti tersebut di atas. Pertama, pengaruh didikan orang tua yang sejak kecil menanamkan pendidikan Aagama dan cara bergaul Islami. Perempuan Aceh sangat taat kepada agama, karena didikan orang tua untuk menyantri. Adalah kewajiban orang tua untuk memasukkan anak perempuannya ke pendidikan agama, yaitu pendidikan menyantri di pesantren. Pengaruh pendidikan ini telah membuat perempuan Aceh secara mutlak tunduk dan patuh kepada orang tua sebelum menikah dan kepada suami setelah menikah. Tidak ada pilihan lain. Terkadang para suami memanfaatkan kesempatan ini dengan 12
Lihat http://www.Gender Melayu-Aceh.html
Aceh/12981-Posisi-Perempuan-Dalam-Politik-
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
69
memperlakukan isterinya sekehendak hati. Akhirnya para isteri hanya bisa pasrah dan kembali kepada Tuhan yang Maha Esa. Tempat pengaduannya hanyalah Tuhan yang Maha Esa. Kedua, pengaruh pendidikan tradisional yang agamis yang diperoleh dalam menyantri di dayah selama bertahun-tahun. Melalui dayah juga, terbentuk pola pikir perempuan Aceh untuk mempertahankan agama lebih dari segalanya. Pada masa perjuangan melawan Belanda, tepatnya pada tahun 1919M, di Matang Kuli, Aceh Utara, seorang santri perempuan berani melakukan perjuangan untuk kepentingan agamanya dengan membunuh kontroler Belanda. Dikatakan bahwa pada waktu malam hari, ia bermimpi bertemu dengan Nabi, dan Nabi memerintahkan untuk membunuh kafir yang mengganggu agama dan negaranya. (Kern, 1979: 26-27). Ketiga, lingkungan yang mendidik mereka untuk berjiwa besar dan tangguh, karena kondisi politik dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sebagian besar tertumpu kepada mereka. Perempuan Aceh hidup dalam sejarah perjuangan yang cukup panjang, mulai dari perjuangan menghadapi Portugis, Belanda, Jepang, dan kemudian setelah kemerdekaan konflik telah terjadi berkali-kali di Aceh. Reaksi Sosial Terhadap Perilaku Perempuan Di Aceh Model kehidupan yang dipraktikkan oleh perempuan Aceh, kemudian, dimanfaatkan oleh lawan jenisnya untuk mengambil berbagai keuntungan. Perempuan sepertinya tidak kuasa untuk melawannya. Dalam kehidupan sehari-hari, idiom untuk perempuan sebagi isteri adalah njang po reumoh (yang memiliki rumah) (Siegel, 1969:51) di dalam rumah tangganya. Hal ini tetap berlangsung sampai dewasa ini, dan sebutan umum untuk isteri oleh suaminya menjadi peureumoh. Hal ini tersirat maknanya bahwa seorang isteri tempatnya di rumah, berfungsi melayani suami dan menjadi ibu untuk anak-anaknya sebagai hal yang mutlak. Selanjutnya, isteri, kadang, juga mampu berperan di luar rumah, mencari
70
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
nafkah untuk kebutuhan keluarganya. Pada abad 16-17M, perempuan Aceh telah menunjukkan kemampuan untuk melakukan dua fungsi tersebut. (Reid, 2006). Mereka diizinkan para suami mereka untuk keluar rumah mencari nafkah. Penyalahgunaan kemampuan perempuan pun muncul. Tidak jarang perempuan Aceh diperlakukan buruk oleh para lelaki, terutama suaminya, dipaksa memeras tenaganya lahir dan batin dalam menanggung beban keluarga, membesarkan anak-anaknya, serta tidak luput juga melayani suami yang tinggal menunggu yang sudah jadi dan masak. Bahkan kadang lebih tragis lagi, yaitu bahwa seorang isteri kadang harus menyuapi atau memasukkan makanan ke dalam mulut sang suami. Mungkin menjadi wajar bila isteri melayani suami hanya di rumah saja, tidak untuk mencari nafkah di luar, sebagaimana dipaparkan dalam naskah bahwa Siti Islamdengan segala sukarelanya melayani suaminya hingga dalam bentuk yang sekecil-kecilnya, sampai pada tahap mencuci tangan suami bila ia hendak makan. Di dalam teks disebutkan: Oh neupajôh bu jirah jaroe Ketika makan suami dia [Siti Islam] mencuci tangan suaminya Mungkin aktivitas utama perempuan ada di sektor domestik sesuai dengan fitrahnya sebagai perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Nabi memberikan jawaban kepada pertanyaan yang diajukan oleh seorang perempuan yang mewakili perempuan lain, yaitu... Pergilah kepada perempuan mana saja dan beritahukanlah mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian (para perempuan) dalam memperlakukan suaminya, mencari keridaan suaminya, dan mengikuti keinginannya adalah mengalahkan semua itu... (HR alBaihaqi).13 Tekait dengan penyalahgunaan kemampuan yang dimiliki 13
Untuk isi hadis secara keseluruhan dan cerita lebih rinci lihat Muslikhati, 2004:127-129.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
71
perempuan, dewasa ini, di desa-desa masih ditemukan lelaki beristeri yang duduk berjam-jam di kedai kopi menghabiskan waktu untuk menunggu si isteri pulang kerja dan selesai memasak. Bila mereka pergi ke sawah, maka para perempuan bertugas menanam padi sementara suami duduk di atas rangkang menonton isteri bekerja. Cerita lisan juga didapatkan dari rakyat Aceh tentang kisah kehidupan keluarga Pak Pande. Isteri Pak Pande adalah orang yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya, sementara Pak Pande sendiri bermalasmalasan menunggu dari hasil yang dibawa oleh isterinya untuk kebutuhan rumah tangganya. (Siapno, 2002:91-101). Eksploitasi terhadap perempuan mungkin tidak hanya ditinjau dari sisi keinginan dan kemauan para laki-laki saja, akan tetapi juga pengaruh budaya masa lampau, yaitu masa sebelum datang Islam, yang masih tersisa dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Budaya Aceh sangat mungkin masih diwarnai sisa pengaruh budaya Hindu14 meskipun sebenarnya ajaran Islam lebih mendominasi. Tradisi seperti di atas, tidak hanya berlaku pada perempuan Aceh, akan tetapi di wilayah lain juga, seperti Batak. Di Batak, seorang isteri dikatakan baik bila ia dapat menunjukkan keberhasilan mengurus suami, keluarga dan saudara pihak suami dalam menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga dan dapat mencari nafkah di luar15. Kemungkinan besar hal ini didasarkan kepada tradisi pernikahan yang berlaku di Batak. Perempuan yang baru menikah sering kali disendaguraukan oleh keluarga pihak suami bahwa dia harus tunduk dan patuh dan melayani suami serta keluarga karena sudah dibeli, ibarat dagangan yang 14
Pengaruh kental dari budaya Hindu di Aceh masih dapat dilihat dalam cara pelaksaaan ritual peusijuek (tepung tawar), meskipun sudah dimodifikasikan dengan ajaran Islam. Lihat karya Saifuddin Dzuhri, „Peusijuek; Sebuah Tradisi Ritual Sosial Masyarakat Pasee dalam Perpektif Tradisionalis dan Reformis‟ artikel dipresentasikan pada International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, 23 – 24 February 2009, Banda Aceh, Indonesia. 15 Hasil observasi dan wawancara dengan perempuan-perempuan asal Batak.
72
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sudah dibeli. Kata beli dalam bahasa Batak disebut dengan boli atau disebut juga dengan tuhor. Boli dan tuhor ini, kemudian setelah datang Islam, berubah maknanya menjadi mahar yang diserahkan kepada pihak calon isteri, yang menandakan bahwa perempuan tersebut sudah sah menjadi isteri suaminya. (Parsadaan Marga Harahap, 1993: 270-271). Tradisi seperti ini memiliki kemiripan dengan tradisi yang berlaku pada masa Majapahit. Setelah diberikan tukon (mahar) perempuan dianggap seperti barang yang sudah laku dan dia seratus persen berada di bawah kekuasaan suami dan keluarganya. Dalam rumah tangga, si isteri hanya berfungsi sebagai pelayan semata untuk suami, keluarga, dan anaknya. Dia tidak memiliki hak sama sekali untuk mengatur dan membuat keputusan dalam rumah tangga. Anak adalah milik suami, isteri hanya melahirkan saja. Seperti dalam hal mencari jodoh anaknya si ibu tidak punya hak sama sekali untuk menjodohkan anaknya, dan bila juga terjadi, maka ayahnya dapat menceraikan anaknya. (Muljana, 2006:251-253). Penutup Kisah perempuan dalam dua manuskrip Aceh yang menjadi fokus dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai refleksi gaya hidup perempuan pada umumnya di Aceh, terutama mereka yang tinggal di pedesaan terpencil dan jauh dari pengaruh budaya luar, sementara perempuan yang tinggal di perkotaan, gaya hidupnya sudah dipengaruhi oleh gaya hidup „modern‟ yang datang dari berbagai budaya di dunia. Korelasi positif ditemukan dalam sikap dan tingkah laku serta gaya hidup perempuan, baik dalam sejarah maupun dalam kehidupan sekarang ini pada masyarakat pedesaan. Kehidupan mereka diwarnai sifat patrilineal, yaitu mereka berada pada posisi di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini terjadi karena pengaruh sistem budaya lokal dan kemudian dipadukan dengan budaya dan ajaran Islam. Karena itu, dapat dikatakan bahwa bias gender masih sangat kentara untuk suku Aceh, meskipun tidak separah pada suku Batak dan Bali yang
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
73
masih memperlakukan perempuan sebagai manusia kedua setelah laki-laki dan membebani mereka dengan pekerjaan di dalam dan di luar rumah tangga. Selain dua manuskrip di atas, masih banyak manuskrip Aceh lainnya yang menceritakan tentang hal yang berkaitan dengan perempuan di Aceh, karena diketahui bahwa Aceh adalah salah satu gudang manuskrip Nusantara. Karena itu, penelitian untuk kajian perempuan masih harus terus dilakukan untuk mengungkapkan budaya-budaya pada masa lampau yang menjadi bagian hidup perempuan. Daftar Pustaka Austin, R. W. J. (2003). “Feminin Sofianik (Perempuan Bijak) dalam Karya Ibn Arabi dan Rumi”, dalam Warisan Sufi, diedit oleh Seyyed Hossein Nasr dkk., diterjemahkan oleh Ade Alimah dkk. Jogjakarta: Pustaka Sufi. Azhari Noer, Kautsar dan Oman Fathurrahman (2002). “PriaPerempuan sebagai Korespondensi Kosmis: Perempuan dalam Literatur Tasawuf”, dalam Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, diedit oleh Ali Munhanif. Jakarta: Gramedia. Churchill, W.A. (1935). Watermarks in Paper in Holland, England, France in the XVII and XVIII Centuries and their Interconnection. Amsterdam: Enno Hertzberger & Co. Dhuhri, Saifuddin (2009). “Peusijuek; Sebuah Tradisi Ritual Sosial Masyarakat Pasee dalam Perpektif Tradisionalis dan Reformis”. Makalah International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies II Civil Conflict and Its Remedies, 23 – 24 February 2009, Banda Aceh, Indonesia. Fakhriati (2008). Menelusuri Tarekat Syattariyah di Aceh melalui Naskah. Jakarta: Balitbang dan Diklat Departemen Agama RI. Ismail, Nurjannah (2004). “Teungku Fakinah: Profil Ulama dan Pejuang Perempuan Aceh”, dalam Ensiklopedi Pemikiran
74
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Ulama Aceh. IAIN Ar-Raniry Press. Heawood, Edward (1986). Watermark: Malay of the 17th and 18th centuries. Amsterdam: The Paper Publications Society. Kern, R. A. (1979). Hasil Penyelidikan tentang Sebab Musabab terjadinya Pembunuhan, Trans. By Aboe Bakar. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Muljana, Slamet (2006). Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: LKiS. Muslikhati, Siti (2004). Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani. Parsadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna (1993). Horja Adat Dalihan Natolu. Bandung: Grafiti. Reid, Anthony (1988). “Female Roles in Pre-Colonial Southeast Asia”. Modern Asian Studies Vol. 22, No.3, Special Issue: Asian Studies in Honour of Professor Charles Boxer. hlm. 629-645. Reid, Anthony (eds.) (2006). Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press. Shihab, M. Quraish (2005). Perempuan. Jakarta: Lentera Hati. Siapno, Jacqueline Aquino (2002). Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-optation and Resitance. London: Routledge-Curzon. Siegel, James T (1969). The Rope of God. Berkeley: University of California Press. Syahrul, Haslinda (2008). Perempuan Aceh dalam litas sejarah Abad VIII – XXI. [s.n]: Pelita Hidup Insani. Umar, Nasaruddin (2000). Paradigma baru Teologi Perempuan. Jakarta: Fikahati Aneska. ---------------------- (2000). Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: Fikihati Aneska.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
75
Situs Web: http://www.Gender Aceh/12981-Posisi-Perempuan-DalamPolitik-Melayu-Aceh.html. http://www.atjehcyber.tk/2011/04/putroe-jeumpa-manyangseuleudong-maha.html.
76
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Abstrak Tulisan ini bermaksud memetakan hal-hal yang berkaitan dengan kolofon Naskah Sunda Kuna (NSK), mencakup identitas penulis atau penyalin, tempat, dan waktu penulisan naskah. Sebagai titik pijak saya menggunakan penelusuran Munawwar Holil dan Aditia Gunawan (2010) atas NSK koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, dengan pertimbangan bahwa di Perpustakaan Nasional tersimpan NSK dalam jumlah terbesar, di samping yang disimpan oleh masyarakat. Untuk menganalisis identitas penulis-penyalin, serta tempat dan waktu penulisan NSK, pertama-tama saya menyajikan tabel yang berisi kode, judul, nama penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan NSK. Kedua, saya melakukan analisis atas penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan. Kata Kunci: Naskah Sunda Kuna, Kolofon.
*) Peneliti di Pusat Studi Sunda (PSS). Bergiat di Rumah Baca Buku Sunda, dan Sanggar Sastra Kampus (Sasaka) UIN Sunan Gunung Jati. Bisa dihubungi melalui surat elektronik,
[email protected]. 16 Kata-kata ini bisa ditemukan pada baris-baris akhir Kropak 408 (Sewaka Darma), yang diterjemahkan oleh Saleh Danasmita, dkk (1987:72) sebagai “ditulis di jalan”.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
77
Pendahuluan Menurut hasil rekatalogisasi Holil dan Gunawan (2010), Perpustakaan Nasional mengoleksi 63 Naskah Sunda Kuna (NSK). Di samping menerakan jumlah NSK, kedua penulis itu juga melampirkan pemerian NSK yang ada di Perpusnas RI. Dari lampiran tersebut dapat diketahui ada beberapa puluh NSK yang mengandung kolofon di akhir teksnya, karena kedua penulis itu juga menyeertakan manggala atau awal teks NSK dan kalimatkalimat yang ada di akhir teksnya. Oleh karena itu, untuk keperluan tulisan ini penelusuran keduanya sangat membantu. Saya juga menggunakan berbagai sumber bacaan untuk menambah luas pemahaman, termasuk di dalamnya, transkripsi, transliterasi, dan terjemahan NSK yang selama ini telah dikerjakan para filolog dan peneliti NSK. Selain itu, bahan-bahan bacaan mengenai perikehidupan kegiatan literasi di Jawa Tengah dan Timur, Bali, dan India, sejauh yang saya baca, juga digunakan sebagai perbandingan untuk membaca identitas penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan NSK. Untuk menganalisis identitas penulis-penyalin, serta tempat dan waktu penulisan NSK, pertama-tama saya menyajikan tabel yang berisi kode, judul, nama penulis-penyalin, tempat, dan waktu penulisan NSK sebagaimana yang saya baca pada tulisan Munawwar Holil dan Aditia Gunawan serta bahan-bahan dari bacaan lainnya, yang pada gilirannya ditambahkan pada tabel yang telah dibuat. Kedua, saya melakukan analisis atas penulispenyalin, tempat, dan waktu penulisan. Tabel Kolofon Naskah Sunda Kuna Koleksi Perpustakaan Nasional RI No
Kode
Judul
1
1**Peti 85
Sanghyang
2
408 Peti
Penulis
Tempat
Waktu
Nusakrata?
Bulan ke-
Siksa Kandang
10, Selasa
Karesian
Manis
Kawih
Buyut Ni
Pertapaan Ni Teja Puru
78
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
16
Panyaraman
Dawit
Bacana, Kuta Wawatan, Gn. Kumbang
3
4
410 Peti 15
411 Peti 15
Carita Ratu
Gn. Larang Sri
Pakuan
Manganti
Ratu Pakuan
Gn. Larang Sri Manganti
5
416 Peti 15
Carita
Kai Raga
Purnawijaya 6
420 Peti 15
Kawih
Gn. Larang Sri Manganti
Kai Raga
Sutanangtung
Kai Raga
Gn. Larang Sri
Paningkes 7
8
9
423 Peti 15
424 Peti 15
610 Peti 15
Carita Purnawijaya
Manganti
Kawih
Gn. Larang
Panyaraman
Sela
Pitutur ning
cucu Sang
Jalma
Sida, buyut
Gn. Cikuray
Téjanagara 10
11
12
13
621 Peti 15
Sanghyang
Desa
Sasana Maha
Mahapawitra,
Guru
Gn. Jedang
bulan ke-4
622 Peti
Warugan
Rabu
88
Lemah
Manis
623 Peti 16
Bimaswarga/Bi
Euncu nu
maleupas
Ngahérang
625 Peti
Sri Ajnyana
88
Gn. Cikuray
bulan ke-1
Mandala
Bulan ke-8
Betung Pamaringinan, Cisanti
14
626 Peti
Sanghyang
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Buyut
Gn.Cikuray,
bulan ke-8
79
69
Swawar Cinta
Téjanagara
Hulukumbang Batuwangi
15
628 Peti 16
Siksa Guru
Lurah Kamulan?
16
630 Peti 16
Sanghyang
bulan ke-
Siksa Kandang
3, 1440
Karesian
Saka (1518 M)
17
18
632b Peti
Kaluputan
Hulu
16
Sanghyang
Kumbang Batu
Darma
Wangi
Siksa Guru
Desa Sunya
633 Peti 16
bulan ke10
19
634 Peti 16
Sanghyang
Désa
1445 Ś (±
Hayu
Mahapwité,
1523 M)
Tajak Barat, Giri Wangsa 20
636 Peti 16
Sanghyang
Sang
Giri Sunya
Hayu
Bujangga Resi Laksa
21
637 Peti 16
Sanghyang
Désa
Hayu
Mahapawita, Tajak Barat
22
638 Peti 16
Sanghyang
Argasela,
dimulai
Hayu
Talagacandana
Selasa
, Gn. Cupu
Kliwon, bulan ke-7, selesai hari pon bulan ke-9, 1357 Ś (± 1435 M).
80
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
23
641 Peti 16
Arjunawiwāha
sang
Sanghyang
1256 Ś
Guguron?
Mandala
(1334 M).
Katyagan di Gugur 24
642 Peti
Siksa Guru
88
Desa
Tahun
Mahapawitra
Saka hlaŕ twa ya wu?
25
1095 Peti
Langgeng Jati
Gn. Jati Sunya,
69
Hulu Alas Sunya, Mandala Puntang
26
1097 Peti
Carita Jati Mula
Sagara Wisésa
69
27
KBG 75
Wirid
Kai Raga
Jum’at Kliwon, Bulan Muharam
“Beunang Diajar Nulis17” Dari tabel di atas, kita berkenalan dengan tujuh nama penulispenyalin NSK, yakni Buyut Ni Dawit, Kai Raga, Cucu Sang Sida/Buyut Tejanagara, Euncu nu Ngaherang, Buyut Tejanagara, Sang Bujangga Resi Laksa, dan Sang Guguron. Ketujuh nama di atas, dengan jelas menunjukkan jenis kelamin berbeda. Ada penulis perempuan dan ada juga laki-laki. Penulis perempuan diwakili Buyut Ni Dawit, sementara penulis 17
Kata-kata ini muncul pada baris-bari menjelang akhir NSK Kropak 410 (Carita Ratu Pakuan), yang diterjemahkan oleh Undang A. Darsa (2007:217) sebagai “hasil belajar menulis”.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
81
laki-laki diwakili Kai Raga dan Sang Bujangga Resi Laksa. Sedangkan Cucu Sang Sida/buyut Téjanagara, Euncu nu Ngahérang, Buyut Téjanagara, dan Sang Guguron belum dapat dipastikan jenis kelaminnya. Mengenai Buyut Ni Dawit, ada keterangan menarik mengapa ia diasumsikan sebagai perempuan. Menurut Saleh Danasasmita, dkk18, Buyut Ni Dawit adalah seorang wanita. Selengkapnya Danasasmita menyatakan: Bila kata “buyut” berarti cicit, bukan gelar kehormatan untuk pertapa ulung, tentu penyusunnya adalah cicit Ni Dawit tanpa diketahui siapa namanya. Ada petunjuk bahwa pengarangnya wanita, sebab ia bertapa di Gunung Kumbang di pertapaan Ni Teja Puru Bancana. Pada halaman 39 iapun asyik mengisahkan sebuah gisa (lesung) dengan istilah-istilah yang khas untuk wanita seperti “dyangiran”, “dikasayan”, dan “dipesekkan”. Di samping itu, iapun paham benar kelengkapan pakaian bidadari yang tentu dikhayalkannya dari pakaian wanita bangsawan dalam zamannya. Untuk memperluas bahasan mengenai keterlibatan perempuan dalam kegiatan baca-tulis dalam NSK, ada baiknya dilihat sumber lain yang terkait dengan hal tersebut. NSK Bujangga Manik, misalnya, dapat kita jadikan salah satu rujukan. Pada baris ke-850 hingga 868 naskah itu, digambarkan Bujangga Manik “digoda” oleh rahib perempuan. Inilah gambarannya: 850 Datang tiagi (wa)don, na rua mamarayaeun. Téka béka mulung lanceuk, carékna: „Kaka lanceuking, 18
Datang seorang pertapa perempuan, rupanya ingin menjalin persaudaraan. Hingga terus-terang menganggap kakak, katanya: „Kakandaku,
Saleh Danasasmita, spk. (1987: 1)
82
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Rakaki Bujangga Manik, 855 haup aing ebon-ebon,
Yang mulia Bujangga Manik, kemarilah, aku ini rahib perempuan, aing na pitiagieun, aku calon biarawati, manan hésé ku mamanéh, daripada sulit-sulit memikirkan diri sendiri, rusuh ku na panga/wakan, /16r/ repot karena penampilan badan, héman ku na karuaan.‟ sayang sekali akan ketampananmu.‟ 860 Carékna Bujan(ga) Manik: Bujangga Manik berkata: „Ku ngaing dirarasakeun. „Biarlah kupertimbangkan dahulu. Bawaing apus sata(m)bi, Kubawa kitab selengkapnya, Ngaran(n)a na Siksaguru. Yang berjudul Siksaguru. Carék di na apus téa: Menurut kitab itu: 865 “Kadiangganing ring geni, “Bagaikan kobaran api, lamun padeukeut deung eu(n)juk, jika berdekatan dengan ijuk, mu(ng)ku burung éta seungeut, sudah pasti terjadi kebakaran, kitu lanang deungeun wadon”.‟ begitulah antara laki-laki dengan perempuan19.”
Di samping Bujangga Manik, tulisan H.I.R. Hinzler perihal naskah-naskah lontar di Bali20 bisa juga dijadikan rujukan. Ketika membahas para penulis atau penyalin naskah (scribes), Hinzler (1993: 464) menyatakan: There was no caste or sex restriction on learning to write. References to males and females being able to read and write are to be found in literary texts as well as in the colophons of manuscripts. Literary sources show this as early as the sixteenth century, but data in texts from the nineteenth century are the most abundant. 19
J. Noorduyn & A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna (2009: 298-299). H. Hinzler, „Balinese Palm-Leaf Manuscripts‟ dalam BKI 149 No. 3 (1993: 438-473) 20
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
83
Dari uraian Hinzler, tidak ada pembatasan yang jelas [dalam hal kasta dan jenis kelamin] penulis dan pembaca naskah ketika tradisi itu hidup di Bali, dan agaknya hal itu dapat diparalelkan dengan kehidupan para pembaca dan penulis yang hidup di Jawa Timur, Tengah, dan Jawa Barat, sekiranya tradisi menulis dan membaca naskah masih hidup di wilayah yang bersangkutan. Sebagaimana kita ketahui, tradisi menulis manuskrip di Bali sangat terpengaruh budaya literasi India dan Jawa Timur, terutama setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, di penghujung abad ke-15. Bila diterapkan pada tradisi menulis NSK, maka hal tersebut pun agaknya tidak akan jauh berbeda. Selanjutnya, yang menarik adalah Kai Raga. Nama penulispenyalin ini agaknya bukan nama sebenarnya. Bisa jadi nama itu adalah nama gelaran. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa naskah yang ditulisnya. Dari keempat naskah yang diakhiri dengan keterangan Kai Raga, terselip naskah yang berisi unsur keislaman, yakni NSK “Wirid” (KBG 75). Menurut Holil dan Gunawan (2010: 146), naskah kertas daluang, bersampul kertas marmer berwarna merah dan berjumlah 12 halaman itu berisi perihal asal-usul terciptanya alam dan manusia, ditulis Kai Raga pada hari Jum‟at Kliwon, bulan Muharram. Karya yang ditulis Kai Raga tersebut bisa jadi sangat kontras dengan naskah lain yang tertulis atas namanya, misalnya NSK Kropak 420 yang ditulis di atas lontar, beraksara dan berbahasa Sunda Kuna dan berisi dialog yang bersifat moral-religius antara pendeta dengan Pwah Batari Sri sebagai penguasa alam kahyangan. Di dalamnya, diterangkan pula tentang persiapan dan pelaksanaan kegiatan peribadatan. Demikian pula dengan NSK L 423 yang juga ditulis oleh Kai Raga, di atas daun lontar, beraksara Sunda Kuna dan Cacarakan, berbahasa Sunda kuna, yang isinya hampir sama dengan NSK L 420. Hal tersebut mengindikasikan, bahwa Kai Raga melintasi zaman yang sangat panjang. Kalau dikaitkan dengan nama satu orang pasti mengandaikan orang yang berumur sangat panjang,
84
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
hingga beratus tahun. Oleh karena itu, saya yakin Kai Raga tidak merujuk pada nama seseorang, melainkan kepada nama gelaran. Mengenai hal ini, penelusuran Pleyte mengenai Kai Raga dan tulisan Hinzler dapat digunakan untuk membaca perihal tidak dipentingkannya nama pribadi bagi para penulis-penyalin naskah yang masih berada di bawah bayang-bayang budaya literasi Hindu-Budha. C.M. Pleyte menelusuri identitas Kai Raga21. Menurut penemuannya, Kai Raga yang menyerahkan beberapa NSK kepada Raden Saleh yang pada tahun 1865 ditugaskan untuk berkeliling Priangan untuk mengumpulkan peninggalan purbakala, termasuk NSK. Kai Raga yang dianggap menyerahkan naskah kepada Raden Saleh adalah cucu Kai Raga yang menjadi pemuka kelompok keagamaan, yang pertapaannya terletak di Gunung Cikuray, Garut. Selain itu, pada 1904, Pleyte berkunjung ke Cikuray. Saat itu, ia mendapat keterangan dari lurah Desa Ciburuy bahwa, menurut cerita rakyat di sana, pada mulanya nama Cikuray adalah Sri Manganti, yang didasarkan pada nama sebuah kampung yang terletak di lereng sebelah barat gunung tersebut. Menindaklanjuti perjalanan itu, Pleyte mengirim surat kepada Asisten Residen Garut, C.F.K. Huls van Taxis. Dalam jawabannya, van Taxis menerangkan bahwa Cikuray memang mulanya biasa disebut Sri Manganti. Pada mulanya Kampung Sri Manganti termasuk dalam wilayah Desa Cigedug, namun kampung tersebut tidak dikenal lagi karena telah ditinggalkan penduduknya. Van Taxis juga menyatakan bahwa orang tidak ingat lagi mengenai keberadaan pertapa di tempat tersebut. Mengenai ihwal cucu Kai Raga, sejak tahun 1856, tidak ada lagi keterangan yang lebih lanjut. Pleyte meyakini orang tersebut dipastikan telah meninggal dan tidak meninggalkan keturunan. Uraian Kai Raga dapat pula dibandingkan dengan Kiai Windusana yang memelihara dan menuliskan kembali sejumlah 21
Lihat „Poernawidjaja‟s Hellevaart of de Volledige Verlossing‟ dalam TBG No. 56 (1914: 365-441) dan Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng Gunung Tjikura (1970) garapan Atja.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
85
naskah Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, dan Jawa Modern di lereng Gunung Merbabu sebagaimana yang ditelusuri I. Kuntara Wiryamartana dan Willem van der Molen22. Menurut kedua filolog itu, Windusana hidup di sekitar abad ke-18. Ia dikenal sebagai pendeta tinggi dalam agama Budha dan dilaporkan memiliki ribuan naskah yang aneh. Namun saat Bataviaasch Genootschap mengambil naskah-naskahnya pada tahun 1852, jumlahnya hanya berkisar empat ratusan naskah. Selain menyatakan para penulis naskah itu bisa laki-laki maupun perempuan, Hinzler menyatakan dua hal lain yang berkaitan dengan para penulis-penyalin naskah. Pertama, berkaitan dengan kriteria dan profesi penulis-penyalin naskah. Menurut Hinzler, di Bali: A Scribe, usually man, was a person of distinction. This is apparent from the colophons of eighteenth and nineteenthcentury manuscripts. The rulers of the kingdom employed scribes (manghuri, panyarikan, panulisan) not only of highcaste families, but also of low-caste families23. ... Bila pernyataan tersebut kita tarik kepada kegiatan literasi NSK, maka sebenarnya mengindikasikan bahwa para penulisnya cenderung menyembunyikan nama mereka sebenarnya karena mereka justru sedang menyembunyikan diri dari dunia luar atau cenderung mengasingkan diri, bahkan menolak dunia luar sebagaimana yang dapat kita temukan sosoknya pada diri Bujangga Manik. Mereka kebanyakaan berasal dari kalangan agamawan dan ada juga yang berasal dari kalangan istana. Tidak terbatas hanya pada laki-laki semata, melainkan perempuan pun ikut terlibat di dalamnya, baik karena mereka menjadi anggota kelompok agamawan maupun karena termasuk kalangan istana. 22
„The Merapi-Merbabu Manuscripts: A Neglected Collection‟ karya W. Van der Molen dan I. Wiryamartana yang dimuat dalam BKI 157 No. 1 (2001: 52). 23 Hinzler (1993: 465).
86
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Giri Sunya24 Dari tabel di atas kita juga dapat berbicara mengenai tempat NSK ditulis. Dari tabel itu nampak bahwa gunung dan sekitarnya, seperti bukit dan puncak gunung (hulu), menjadi pilihan para penulis-penyalin NSK untuk menulis. Dari tabel itu kita juga mendapatkan nama Gunung Kumbang (Kawih Panyaraman), Gunung Larang Sri Manganti (Carita Ratu Pakuan, Ratu Pakuan, Carita Purnawijaya, Carita Purnawijaya), Gunung Larang Sela (Kawih Panyaraman), Gunung Cikuray (Pitutur ning Jalma, Bimaswarga/Bimaleupas, Sanghyang Swawar Cinta, Kaluputan Sanghyang Darma), Gunung Jedang (Sanghyang Sasana Maha Guru, Sanghyang Hayu, Sanghyang Hayu, Siksa Guru), Giri Sunya (Sanghyang Hayu), dan Gunung Cupu (Sanghyang Hayu). Sebagai catatan, sebagaimana yang termaktub pada pembahasan mengenai penulis, dapat diketemukan keterangan bahwa Larang Sri Manganti adalah nama lama Gunung Cikuray. Dengan demikian, kalau dihitung, maka kita mendapatkan delapan naskah yang dalam kolofonnya diterangkan ditulis di Gunung Cikuray. Meski banyak yang berlatar gunung, namun ternyata ada dua naskah yang merujuk ke daerah dekat atau di sekitar laut., seperti Naskah Kropak 1 Peti 85 Sanghyang Siksa Kandang Karesian ternyata ditulis di Nusakrata? Dan Carita Jati Mula ditulis di Sagara Wisésa. Kata nusa dan sagara dengan jelas mengindikasikan daerah yang paling tidak berdekatan dengan lautan. Namun tetap saja dengan banyaknya nama yang berkaitan dengan gunung mengindikasikan sentralnya tempat tersebut sebagai tempat penulisan NSK. Oleh karena itu, dalam bagian berikut disajikan ulasan mengenai peran gunung dalam peri kehidupan orang Sunda atau Jawa Barat. Menurut Agus Aris Munandar25, gunung memang dijadikan 24
Kata ini berasal dari nama yang dijadikan tempat penulisan NSK Kropak 636 (Sanghyang Hayu), sebagaimana yang terlihat dari deskripsi Gunawan & Holil (2010).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
87
sebagai tempat keramat bagi kalangan masyarakat yang ada di Jawa Barat. Keyakinan ini tidak saja hidup ketika ke daerah ini hadir pengaruh agama Hindu-Budha, melainkan telah ada sebelumnya, yakni ketika masyarakatnya berada di masa prasejarah. Dari masa prasejarah, terutama dari masa bercocok tanam dan perundagian, di Jawa Barat banyak peninggalan megalitik yang terdapat di wilayah yang bergunung-gunung. Tradisi megalitik ini berkaitan dengan konsep kultus leluhur, yakni pemujaan pada arwah nenek moyang. Adapun tempatnya yang berada di daerah ketinggian, seperti gunung, menunjukkan bahwa masyarakat prasejarah di Jawa bagian barat percaya bahwa leluhur bersemayam di puncak-puncak gunung, bukit, dan dataran tinggi lainnya. Situs-situsnya, misalnya, situs Gunung Padang di Cianjur, Pangguyangan, Salak Datar, Lebak Sibedug, Arca Domas di pusat Kanekes, Banten Selatan, Batu Lulumpang di Garut, Cipari, Cireme, dan sebagainya. Saat memasuki periode pengaruh Hindu-Budha (kurang lebih abad ke-9 hingga abad ke-16), gunung juga begitu sentral perannya. Karena dalam keyakinan kosmologis Hindu-Budha, Gunung Mahameru yang mempunyai empat puncak lain yang lebih rendah dan terletak di tengah benua yang bernama Jambhudwipa dipercaya sebagai pusat alam semesta. Sementara alam semestanya berbentuk pipih melingkar seperti cakram. Gunung tersebut dikelilingi tujuh lautan dan tujuh pegunungan berselang-seling. Di puncaknya terdapat tempat tinggal para dewa, yang dikepalai Dewa Indra. Di kedelapan arah mata anginnya dijaga dewa Astadikpalaka sebagai pelindung alam semesta. Demikian pula yang terjadi pada keyakinan kosmologis Budha. Di Gunung Meru terdapat alam berlapis-lapis. Bedanya, 25
“Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya Sastra” (1991) yang disajikan pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor, 11-13 Nopember 1991, dan “Sebaran Situs Arkeologi di Jawa Barat: Tinjauan Terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan” (2001) yang disajikan pada Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I, Bandung, 2224 Agustus 2001, dan kemudian dimuat dalam Prosiding KIBS 1 Jilid 1 (2006).
88
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
di luar lingkaran tujuh pegunungan itu terdapat lagi samudera, yang di tengahnya, pada keempat arah mata angin utama, terdapat empat benua. Benua yang terletak di sebelah selatan Gunung Meru dinamakan Jambudwipa, tempat hidup manusia dan hewan, sementara ketiga benua yang ada di timur, utara, dan barat dihuni oleh mahluk ajaib. Keyakinan ini terbawa ke Pulau Jawa, dan tentu saja ke Tatar Jawa Barat, dan kemudian diterapkan pemeluk agama HinduBudha yang ada di sana ke dalam lingkungan mereka. Dalam hal ini, Munandar, misalnya, menafsirkan Prasasti Kawali I, terutama baris ke-5 sampai ke-7, berkaitan dengan keinginan Prabu Raja Wastu untuk menyelaraskan purinya dengan gambaran alam semesta menurut ajaran Hindu-Budha. Demikian pula Sri Baduga Maharaja yang membangun gugunungan, seperti yang termaktub dalam Prasasti Batutulis, atau dalam NSK Sewaka Darma terdapat uraian bahwa para dewata Hindu mempunyai istana yang indah di Gunung Kendan, Medang, dan Menir. Oleh karena kekeramatan itulah, gunung dan tempat-tempat di sekitarnya dijadikan tempat tinggal, pengamalan keagamaan, dan penyebaran ilmu oleh kalangan agama Hindu dan Budha, yang disokong serta dilindungi kekuasaan kerajaan yang ada di Tatar Jawa Barat. Dalam beberapa hal, bagaimana penguasa melindungi situs yang ada di gunung dan sekitarnya, yang dijadikan tempat penyebaran ilmu keagamaan khususnya dapat terlihat dari sepak terjang Rakeyan Darmasiksa, Prabu Jayadewata, dan Prebu Niskala Wastukancana. Rakeyan Darmasiksa dalam NSK Kropak 632 (Amanat Galunggung) menegaskan pentingnya memelihara kabuyutan atau tempat yang dikeramatkan karena menjadi pusat pengamalan serta penyebaran ilmu keagamaan, terutama Kabuyutan Galunggung. Ia menyatakan [Terjemahan dari pernyataannya?]: “Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, para pedagang (orang
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
89
asing) yang akan merebut Kabuyutan di Galunggung26” Hal itu karena dengan dikuasainya Kabuyutan Galunggung, maka orang yang menguasainya akan beroleh manfaat dari sana, seperti: memperoleh kesaktian dari tapa, unggul dalam berperang, dan lama berjaya. Kabuyutan itu akan dikuasai orang lain karena telah ditinggalkan rama dan resi, dua dari tiga unsur “trias politika” Sunda kuna. Dengan demikian, kabuyutan itu harus dipertahankan sekuat tenaga, bahkan sampai titik darah penghabisan. Nasihat Rakeyan Darmasiksa juga sekali lagi menekankan pentingnya Kabuyutan Galunggung: “Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di sana....Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain27.” Hal ini pun diperjelas dalam NSK Kropak 406 (Carita Parahyangan), yang menyatakan bahwa Rakeyan Darmasiksa adalah raja Sunda yang mendirikan lembaga pendidikan bernama Sanghyang Binayapanti, dengan kompleks pendidikannya yang disebut kabuyutan. Selain itu, Rakeyan Darmasiksa, yang digambarkan sebagai titisan Dewa Wisnu, menjamin keberlangsungan kehidupan keagamaan, baik yang menganut kepercayaan kepada leluhur (ngawakan jati Sunda) maupun yang memeluk agama lainnya. Dan yang lebih penting, ia mendorong berlangsungnya tradisi baca-tulis atau literasi di kalangan agamawan, sekaligus juga di kalangan istana28. 26
Saleh Danasasmita dkk, (1987: 12). Ibid (1987: 125-6). 28 Kutipan lengkapnya: Sang Rakeyan Darmasiksa, pangupatyan Sanghyang Wisnu, inya nu nyieun Sanghyang Binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang rêsi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina Parahyangan. Ti naha bagina? Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghyang 27
90
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Hal serupa juga dilakukan Prabu Jayadewata. Pada Prasasti Kabantenan (E.42-43) ia mengamanatkan kepada rakyatnya untuk menjaga dan memelihara Jayagiri, Sunda Sembawa, dan tanah Dewa Sasana yang berada di Gunung Samaya sebagai daerah yang tidak boleh diganggu gugat. Wilayah tersebut juga tidak boleh dikenai pajak karena merupakan daerah larangan, tempat tinggal para wiku. Yang mencoba mengganggu daerah-daerah tersebut diperintahkan untuk dibunuh. Dalam Prasasti E-44 daerah larangan itu disebut dengan nama kabuyutan dan kawikuan. Dalam Kropak 406 (Carita Parahyangan) pun ada gambaran penguasa Sunda yang berdedikasi tinggi pada kehidupan keagamaan sekaligus kegiatan literasinya, yaitu Prebu Niskala Wastukancana. Pada masa Kerajaan Sunda diperintah oleh raja yang merupakan adik Dyah Citraresmi yang gugur di Bubat, Kerajaan Sunda mengalami kejayaan. Salah satu bukti kejayaannya: sang resi dapat tenteram melaksanakan tugas kependetaannya, menjalankan kebiasaan leluhur ... dan sang wiku tenteram melaksanakan atau menunaikan undang-undang dewa (Sang resi enak ngaresianana, ngawakan na purbatisti purbajati .... Sang wiku enak ngadewasasana, ngawakan sanghyang Watangageung, enak ngadeg manurajasunyia).29 Kabuyutan-kabuyutan yang dikenal selama ini antara lain: Kanekes (Banten), Koleang, Jasinga (Bogor), Sanghyang Tapak (Sukabumi), Sunda Sembawa dan Jayagiri (Bekasi?), Cisanti (Bandung), Wanareja dan Ciburuy (Garut), Galunggung (Tasikmalaya), dan Kawali (Ciamis). Dari sekian nama Darma, ngawakan Sanghyang Siksa (Kropak 406, lempir 36a & 20b) 29 Kutipan lengkapnya: Nya mana sang rama enak mangan. Sang rêsi enak ngarêsianana, ngawakan na purbatisti purbajati. Sang disi enak masini, ngawakan na manusasana, ngaduuman alas parialas. Ku beet hamo diukih, ku gêde hamo diukih. Nya mana sang tarahan enak lalayaran, ngawakan manurajasasasana. Sanghyang apah, teja, bayu, akasa, sang bu enak ngalungguh di Sanghyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghyang rajasasana, angadêg di Sanghyang Linggawêsi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku enak ngadewasasana, ngawakan sanghyang Watangageung, enak ngadêg manurajasunyia. (Kropak 406, lempir 21b, 21a, 22b, dan 22a)
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
91
kabuyutan itu yang dikenal sebagai tempat penulisan NSK, karena secara jelas atau tertulis dalam NSK atau tempat diperolehnya sejumlah NSK seperti yang diinventarisasi oleh Gunawan dan Holil (2010), yakni Kabuyutan Ciburuy dan Kabuyutan Wanareja di Garut, Kabuyutan Kawali di Ciamis, Kabuyutan Cisanti di Bandung, dan Kabuyutan Koléang, Bogor. Dari Kabuyutan Koleang antara lain ditemukan NSK Kropak 1095 (Langgeng Jati), 1097 (Carita Jati Mula), 1099 (Pakéeun Raga), 1101 (Sasana Sang Pandita), 1102 (Para Putera Rama dan Rahwana), 1103 (Serat Jati Niskala), 1104 (Primbon), jeung Kropak 105. Ti Cisanti, Bandung, aya Kropak 620 (Tutur Bwana), 621 (Sanghyang Sasana Maha), 622 (Warugan Lemah), 623 (Bimaswarga), 624 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), 625 (Sri Ajnyana), dan Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta). Dari kabuyutan yang ada di Garut, antara lain ditemukan NSK Kropak 610 (Pitutur ning Jalma), 633 (Siksa Guru), 634 (Sanghyang Hayu), 635 (Sanghyang Hayu), 636 (Sanghyang Hayu), 637 (Sanghyang Hayu), 638 (Sanghyang Hayu), 639 (Serat Buana Pitu), 641 (Arjunawiwāha), dan Kropak 642 (Siksa Guru). Ke sebelah timurnya, ke Ciamis, ditemukan Kropak 406 (Carita Parahyangan & Fragmen Carita Parahyangan), 407 (Carita Raden Jayakeling), 408 (Kawih Panyaraman), 409 (Kapaliasan), 412 (Fragmen Carita Parahiyangan), 413 (Ajaran Islam), 414, 415 (Mantra Darma Pamulih), 416 (Carita Purnawijaya), 418 (Nur Illahi), 422 (Jatiniskala), 423 (Carita Purnawijaya), Naskah Bambu 426 B (Kaleupasan), Naskah Bambu 426 C (Sanghyang Jati Maha Pitutur), 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), dan Kropak 631 (Candrakirana). Pada tataran praktisnya, menurut Edi S. Ekadjati30, ada tiga jenis kegiatan yang dilakukan di kabuyutan. Pertama, melakukan upacara ritual. Kedua, melaksanakan pendidikan. Ketiga, mendalami dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan (agama). Jenis kegiatan pertama antara lain dalam bentuk mendoakan raja 30
„Pendidikan di Tatar Sunda I‟ HU. Pikiran Rakyat, 20 November 2004.
92
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
serta pejabat negara dan rakyat pada umumnya, menyelenggarakan dan memimpin upacara ritual, dan membaca teks-teks keagamaan. Untuk keperluan itu pejabat negara dan masyarakat umum sering datang ke kabuyutan dan sebaliknya penghuni kabuyutan sering pula diundang ke wilayah negara. Mengajarkan pengetahuan agama, mendidik anak-anak calon pendeta, memberi nasihat orang, memberi contoh cara hidup di mandala termasuk jenis kegiatan kedua (pendidikan). Anak-anak dan orang muda yang memilih kegiatan keagamaan sebagai jalan hidupnya memasuki kompleks dan menjadi siswa (sisya) di kabuyutan untuk menerima berbagai ilmu pengetahuan (agama) dan tata cara hidup sebagai penghuni kabuyutan. Mendalami ilmu pengetahuan (agama), mengarang suatu ilmu pengetahuan, dan menulis naskah (asli atau salinan) tergolong kegiatan intelektual. Selanjutnya Ekadjati menjelaskan mengenai bahan ajar dan spesialisasi guru-guru yang ada di kabuyutan. Ia menjelaskan bahwa bahan ajarnya berupa berbagai pengetahuan agama (Hindu-Budha) dan ajaran hidup yang berasal dari intisari pengalaman, aturan, dan renungan para leluhur (patikrama). Berbagai pengetahuan tersebut telah dikuasai oleh para guru yang kemudian disampaikannya secara lisan dan tertulis kepada siswasiswanya. Di antara guru-guru itu ada yang memiliki spesialisasi pengetahuan, seperti: brahmana menguasai aneka macam mantra, pendeta menguasai pustaka, janggan menguasai berbagai jenis upacara ritual, pratanda menguasi ilmu agama dan parigama. Sebagaimana uraian Ekadjati di atas, hasil akumulasi ilmu pengetahuan tersebut, baik yang ada di kabuyutan sendiri maupun yang datang dari luar, kemudian diwujudkan dalam bentuk karya tulis. Media tulisnya terdiri atas beberapa jenis bahan (lontar, nipah, kelapa, aren, pandan, bambu), sedangkan alat tulisnya berupa pisau pangot, kalam, dan tinta. Penulisan itu merupakan tugas pendeta yang menjadi penanggungjawabnya. Di sana juga terlihat lalu-lintas naskah antar satu kabuyutan dengan kabuyutan lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
93
rahib atau pendeta pengelana yang (berkelana?) sambil belajar dari satu kabuyutan ke kabuyutan lain, yang tidak hanya berada di Jawa Barat saja, namun ada juga yang berada di luar Jawa Barat. Jadi, memang terjadi penulisan, penyalinan, penerjemahan, penyaduran naskah-naskah yang dihasilkan dari daerah lain dan kemudian dibawa oleh para rahib pengelana tersebut ke Tatar Jawa Barat. Contoh rahib pengelana ini adalah tokoh Bujangga Manik atau Perebu Jaka Pakuan atau Ameng Layaran yang berkeliling Pulau Jawa dan Bali. Dari Jawa Barat, ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan melintasi Pulau Bali untuk belajar keagaamaan. Dalam perjalanan tersebut memang Bujangga Manik tidak terlepas dari naskah-naskah yang dibawa dan dibacanya. Dengan kehadiran nama-nama tempat yang berkaitan dengan pulau dan laut dapat diduga bahwa, pada prinsipnya, yang diutamakan adalah keberjarakan dari dunia ramai. Seperti yang kita saksikan dari peri kehidupan Bujangga Manik yang dalam perjalanannya senantiasa mencari tempat-tempat sepi, karena keramaian itu akan terasa mengganggunya. Dalam beberapa adegan, misalnya, ia memang mencari tempat-tempat sepi. Titimangsa Dari tabel di atas juga dapat dibahas mengenai titimangsa atau waktu penulisan NSK, karena nampak bahwa pada NSK terdapat keterangan hari, bulan, dan tahun. Pada praktiknya, para penulis-penyalin NSK ada yang hanya menyertakan hari saja, seperti yang dapat kita temukan pada NSK sebagai berikut: Kropak 622 (Warugan Lemah), Rabu Manis. Namun ada juga yang menyertakan hari dan bulan, yakni Kropak 1** (Sanghyang Siksa Kandang Karesian) bulan ke-10, Selasa Manis dan Kropak KBG 75 (Wirid), Jum‟at Kliwon, bulan Muharam. Yang menyertakan bulan saja bisa dikatakan merupakan yang paling banyak bila dibandingkan dengan yang menyertakan hari maupun tahun. NSK berikut memakai bulan saja sebagai titimangsa penulisan NSK: Kropak 621 (Sanghyang
94
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Sasana Maha Guru) ditulis pada bulan ke-4; Kropak 623 (Bimaswarga/Bimaleupas), bulan ke-1; Kropak 625 (Sri Ajnyana), bulan ke-8; Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta), bulan ke-8; dan Kropak 633 (Siksa Guru), bulan ke-10. Sementara yang memakai keterangan tahun ada: Kropak 634 (Sanghyang Hayu), 1445 Ś (± 1523 M); Kropak 641 (Arjuna Wiwaha), 1256 Ś (1334 M); dan Kropak 642 (Siksa Guru), Tahun Saka hlaŕ twa ya wu? Ada pula yang hanya campuran antara bulan dan tahun, yang terdapat pada Kropak 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian) bulan ke-3, 1440 Saka (1518 M). Sementara Kropak 638 (Sanghyang Hayu) terbilang yang paling lengkap menyertakan hari, bulan, dan tahun penulisannya, yaitu dimulai Selasa Kliwon, bulan ke-7, selesai hari Pon bulan ke-9, 1357 Ś (± 1435 M); Dari paparan di atas nampak beberapa kenyataan yang patut dibahas secara luas dan mendalam. Pertama, nampaknya tidak ada aturan yang ketat, dalam artian tidak ada keharusan atau kewajiban untuk mencantumkan titimangsa pada umumnya NSK, sehingga terkesan arbitrer alias sewenang-wenang, tergantung pada penulis-penyalin naskahnya. Kedua, kesewenang-wenangan itu juga terjadi pada pemilihan unsur waktu yang dicantumkan ketika penulis-penyalin NSK memberikan keterangan waktu penulisan. Hal itu terbukti dari tabel di atas. Pemilihan unsur waktu penulisan NSK sangat acak, dalam artian bahwa ada yang hanya yang memakai hari, bulan, atau tahun saja, namun ada juga yang mencantumkan campuran dua sampai tiga unsur waktu, dan ada yang mencantumkan campuran hari dengan bulan, hari dengan tahun, bulan dengan tahun. Ada juga yang bisa dikatakan lengkap menyebutkan ketiganya. Ketiga, penggunaan candrasangkala atau kronogram. Penggunaan kode-kode ini memang biasa dilakukan oleh para penulis-penyalin naskah-naskah di India. Para penulis-penyalin naskah di India biasanya memberikan catatan penomoran dengan menggunakan kata-kata dan huruf-huruf. Mengenai hal ini
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
95
George Buhler menyatakan31: In many manuals of astronomy, mathematics and metrics, as well as in the dates of inscriptions and of MSS, the numerals are expressed by the names of things, beings or ideas, which, naturally or in accordance with the teaching of the Sastras, connote numbers. Sementara untuk penomoran yang menggunakan huruf, Buhler menyatakan: Two system of numeral notation, according to Burnell originally South-Indian, which both employ the phonetically arranged characters of the alphabet, have still to be described, as they are not without interest for paleography. Dalam hal ini Buhler memberikan contoh dari angka 0 hingga 49, meskipun ada yang ia lewati. Angka 0 bisa diwakili oleh kata Sunya, Ambara, Akasa, dan Ananta. Angka 1 diekspresikan dengan rupa, indu, sasi, sitarasmi, bhu, mahi, adi, nayaka, dan tanu. Angka 9 digambarkan dengan anka, nanda, cidra. Pada penomoran menggunakan huruf, Buhler menyatakan ada dua sistem yang dipakai. Sistem pertama dianggap hanya hurufhuruf konsonan yang tak mempunyai huruf vokal yang penting, seperti pada huruf k=1, kh=2, t=6, th=7, y=1, dan m=5. Sistem kedua memakai konsonan bervokal untuk penomoran, seperti huruf ka hingga ke la yang berarti sama dengan 1 hingga 34, atau ka sampai kah yang sama dengan 1 hingga 12. Baik penggunaan kata-kata maupun huruf, keduanya, selain digunakan untuk penonoran halaman naskah, juga digunakan untuk memberikan titimangsa penulisan naskahnya. Untuk 31
Lihat Buhler, George. Indian Paleography (1980: 103-107).
96
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
contoh penggunaan dari kata-kata, Buhler memberikan contoh dari Pancasiddhantika, 4, 44: kha – kha- veda- samudra= 0-0-4-41=14400. Sementara untuk penggunaan huruf, Buhler memberikan contoh dari Sarvanukramani: 23
1
565
1
khago=ntyan=mesam=apa Penggabungan angka-angka di atas nilainya sama dengan 1565132, yang mengandung arti penulis-penyalinnya memaksudkan angka-angka itu pada masa-masa selepas masa awal Kaliyuga, yang menghasilkan pada musim semi yang siang maupun malamnya hampir sama waktunya (vernal equinox), 24 Maret 1184 Masehi, sebagai tanggal diselesaikannya. Keterangan ini bisa menjadi jalan memahami kehadiran katakata maupun huruf-huruf yang digunakan pada akhir sejumlah NSK. Untuk Kropak 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian), misalnya, di akhir naskahnya terdapat kata-kata nora catur sagara wulan yang sama dengan tahun 1440 Saka atau, bila dikonversi ke penanggalan masehi, menjadi 1518 Masehi. Demikian juga pada naskah NSK Kropak 634 (Sanghyang Hayu) terdapat kata-kata panca warna catur bumi yang artinya 1445 Saka, atau 1523 Masehi. Dalam NSK ditemukan juga kata-kata yang belum ditemukan artinya, seperti NSK Kropak 408 (Sewaka Darma) yang mengandung kata-kata akhir nanu namas haba jaja atau NSK Kropak 642 (Siksa Guru) yang diakhiri dengan katakata hlaŕ twa ya wu? Sugan aya sastra leuwih suda baan, kurang wuwuhan. Cibiru, Maret-April 2012
Daftar Pustaka
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
97
Atja (1968). Tjarita Parahijangan Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung: Jajasan Nusalarang. Atja (1970). Ratu Pakuan: Tjeritera Sunda-Kuno dari Lereng Gunung Tjikuraj. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah. Buhler, George (1980). Indian Paleography. New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation Danasasmita, Saleh dkk. (1987). Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan”. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan Nasional Darsa, Undang A. dan Edi S. Ekadjati (2003). “Fragmén Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan (Kropak 406)”. Séri Sundalana 1: Tulak Bala. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda (PSS). Darsa, Undang A. (2007). “Carita Ratu Pakuan (Kropak 410): Suntingan dan Terjemahan Naskah Sunda”. Seri Sundalana 6: Menyelamatkan Alam Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda . Edi S. Ekadjati (2004, 20 Nopember). “Pendidikan di Tatar Sunda I”. HU Pikiran Rakyat. Gunawan, Aditia & Munawwar Holil (2010). “Membuka Peti Naskah Sunda Kuna di Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi”. Seri Sundalana 9: Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda Hinzler, H. (1993). “Balinese Palm-Leaf Manuscripts”. BKI 149 No. 3. Molen, W. Van der dan I. Wiryamartana (2001). “The MerapiMerbabu Manuscripts: A Neglected Collection”. BKI 157 No. 1. Munandar, Agus Aris (1991). “Kegiatan Keagamaan dalam Masyarakat Kerajaan Sunda: Data Prasasti dan Karya Sastra”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan
98
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Sejarah Pakuan Pajajaran, Bogor, 11-13 Nopember. __________ (2001). “Sebaran Situs Arkeologi di Jawa Barat: Tinjauan Terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan”. Makalah Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I, Bandung, 22-24 Agustus 2001, dan kemudian dimuat dalam Prosiding KIBS 1 Jilid 1 (2006). Noorduyn, J. & A. Teeuw (2009). Tiga Pesona Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan, teks Sunda kuna oleh Tien Wartini dan Undang A. Darsa, dari Three Old Sundanese Poems (2006). Jakarta: Pustaka Jaya. Pleyte, C.M. (1914). “Poernawidjaja‟s Hellevaart of de Volledige Verlossing”. TBG No. 56.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
99
Abstrak Dari berbagai sumber tertulis diketahui bahwa pada masa Syarif Hidayatullah peradaban Islam di Cirebon mencapai masa kejayaannya. Tulisan ini merupakan upaya untuk melakukan rekonstruksi sejarah kejayaan peradaban Islam di Cirebon pada era Syarif Hidayatullah (1479-1568), menunjukkan bukti-bukti sejarah peradaban tersebut sebagai bukti kejayaan peradaban Islam di Cirebon, serta mengungkapkan pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan dakwah Islam di Jawa. Signifikansi tulisan ini untuk menunjukkan adanya pembuktian atau lebih tepatnya penegasan akademik bahwa Syarif Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung Jati itu bukan sekedar tokoh legenda, mitos, atau semacamnya, tetapi bagian dari tokoh historis dan fakta sosial melalui rekonstruksi historis peradaban Islam Nusantara, terutama di Cirebon pada tahun 1479-1568. Secara strategis, tulisan ini diharapkan mampu menjadi kelengkapan khazanah sejarah Islam Indonesia dalam konteks rekonstruksi sejarah Islam Nusantara dan kehidupan keagamaan masyarakat, terutama di Cirebon. Kata Kunci: Islam, Cirebon, Syarif Hidayatullah * Kandidat Doktor Filologi di Departemen Susastra FIB UI Depok, Dekan Fakultas Ushuluddin ISIF dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu tulisan ini sehingga dapat hadir di hadapan pembaca, terutama kepada ISIF, dan Balai Litbang Agama Jakarta. Beberapa nama penting juga disebutkan disini, Nurul Huda SA dan Aan Jaelani yang telah menemani saya ketika beberapa kali turun lapangan, Saeful dan Salman dari Balai Litbang Agama Jakarta.
100
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana
Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tatacara berdoa dan membaca matera, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan.32
Mengapa (masih) Mengkaji Syarif Hidayatullah? Rekonstruksi sejarah Islam Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kontribusi pemikiran dan tindakan setiap tokoh di daerahnya. Terlebih lagi, daerah-daerah di mana suatu kerajaan Islam telah berdiri dan berjaya pada masanya. Di antara tokoh tersebut, hampir dipastikan terdapat seorang tokoh yang mempunyai keutamaan dan pengaruh kuat bagi masyarakatnya. Sekedar menyebut beberapa contoh tokoh tersebut adalah Abdur Rauf asSinkili di Aceh (1615-1693), Sultan Agung di Jogjakarta (dulu Kesultanan Mataram; 1613-1645), dan Syarif Hidayatullah di Cirebon (1479-1568). Era Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon.33 Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah. Salah satu di antara kontribusi Syarif Hidayatullah adalah bahwa ia menjadi salah seorang dewan Walisongo34 di Jawa. 32
Kutipan ini merupakan bagian dari tugas-tugas Wali Songo dalam Primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan, seperti dikutip Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, (Jakarta: Transpustaka, 2011), hlm. 90 33 Matthew Isaac Cohen, “An Inheritance from the Friends of God: The Southern Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia”, Disertasi, (Yale University: 1997), hlm. 7 34 Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil membawa murid-muridnya untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara pada abad ke-15. Walisongo terdiri dari Sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Penjelasan lebih lanjut pada Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha (edit.), Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
101
Syarif Hidayatullah mendapatkan tugas berdakwah di Cirebon (Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Tugas itu dirumuskan sebagai berikut; “Kanjeng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana”. (Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca matera, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan).35 Perbedaan lain dengan para Walisongo ialah bahwa Syarif Hidayatullah selain sebagai ulama juga umara, yaitu Sultan di Cirebon.36 Berbagai bukti kejayaan kepemimpinannya antara lain Masjid Merah Panjunan (+ 1480) dan masjid Agung Sang Cipta Rasa (1500). Sejalan dengan bukti tersebut, pemikir Aljazair, Malik Bin Nabi (1905-1973) dalam Syuruth al-Nahdlah, berpendapat bahwa suatu peradaban muslim tidak dapat bangkit kecuali dengan akidah keagamaan.37 Dalam konteks itulah Syarif Hidayatullah membangun peradaban muslim di Cirebon. Selaras dengan itu, peradaban Islam pada periode tersebut telah melahirkan berbagai tokoh pemikirnya, antara lain Sadr al-Din al-Syirazi (w. 1497), Abu al-Ma‟ali al-Maqdisi (w. 1499), Jalal al-Din al-Suyuti (w. 1505), Al-Qarafi (1533-1600),38 Abd al-Wahhab al-Sya‟rani/alSya‟rawi (w. 1565), dan Abd al-Rahman Jami (w. 1492).39 Periode tersebut merupakan era renaisans bagi benua Eropa (1495-1500). Dalam catatan sejarah, renaisans adalah periode yang berlangsung dalam kurun waktu 25-50 tahun dan mencapai puncaknya pada tahun 1500. Era renaisans bukan sekedar merupakan kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran, maupun kesusastraan yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 21-34. 35 Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah., hlm. 90. 36 H,M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta; Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm.757. 37 Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, penterj. Afif Muhammad dan Abdul Adhem, (Bandung: Mizan, 1995) cet. II, hlm. 73. 38 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, penterj. Husein Muhammad, (Yogyakarta: LKPSM, 2001). 39 Smith, Margaret. Mistikus Islam: Ujaran-ujaran dan Karyanya, penterj. Ribut Wahyudi (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 183.
102
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
intelektual Abad Pertengahan, tetapi juga merupakan suatu revolusi budaya. Salah satu revolusi pemikiran pada era tersebut dikemukakan Nicolas Kopernick (Copernicus), yang menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. 40 Pada tahun 1492, Christopher Columbus, nakhoda dari Italia, telah menemukan kepulauan Amerika.41 Sekalipun peristiwa-peristiwa besar di belahan dunia tersebut tidak berhubungan langsung dengan Cirebon ataupun Syarif Hidayatullah, tetapi sebagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang berkembang pada saat itu menarik untuk dilihat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga Sunan Gunung Jati tidak hanya dibaca seperti yang selama ini dikenal dalam legenda atau mitos. Pada masa itu, Cirebon dikenal juga sebagai „Jalur Sutra‟. Adanya Pelabuhan Muara Jati yang berada di lalu lintas utama kawasan tersebut telah menjadi arena perdagangan internasional.42 Pelabuhan yang ramai dan jalur utama transportasi yang menghubungkannya dengan wilayah-wilayah lain menyebabkan kota tersebut tampil dengan keterbukaan dan menerima, atau paling tidak, menjadi tempat persinggahan bagi setiap budaya, gerakan, dan pemikiran yang melintasi kawasan tersebut. Keterbukaan itu pula yang terdapat dalam diri Syarif Hidayatullah selama memimpin di Cirebon. Meneruskan pendahulunya, pusat Kesultanan Islam Cirebon berada di Kraton Pakungwati.43 Di istana itulah Syarif Hidayatullah memulai membangun dan mengembangkan Kesultanan Cirebon sampai dengan pengunduran dirinya. Tahun 1662, pada masa Panembahan Ratu II (Girilaya), Pakungwati terbagi menjadi dua kesultanan, yaitu: daerah Panembahan Sepuh (Kasepuhan) dan daerah Panembahan Anom 40
Yenne, Bill. 100 Peristiwa yang Berpengaruh di dalam Sejarah Dunia (100 Events That Shaped World History), penterj. Lili Sri Padmawati, [t.k.]: Karisma Publishing Group, 2005), hlm. 74-75 41 Ibid., hlm. 72 42 Diskusi tentang Cirebon sebagai jalur perdagangan dapat dibaca Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1996). 43 Kraton Pakungwati merupakan tempat kedudukan utama para Raja Cirebon.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
103
(Kanoman). Kasepuhan berkedudukan di Pakungwati dan Kanoman menempati kraton baru bekas istana Panembahan Cakrabuana. Pembagian wilayah kesultanan tersebut didasarkan pada kesepakatan yang difasilitasi oleh Kesultanan Jogjakarta dan Banten, untuk Samsuddin Mertawijaya (1677-1697) dan Badruddin Kartawijaya (1677-1703). Bersamaan dengan kedatangan Belanda sebagai penjajah yang menguasai Cirebon sekitar tahun 1700, Kesultanan Kanoman terbagi lagi menjadi dua kraton, yaitu:; Kanoman dan Keprabonan. Terakhir, Kesultanan Cirebon terbagi pada masa Sultan IX yang bernama Sultan Anom Muhammad Kaeruddin. Saat itu, Kasultanan Kanoman terbagi menjadi dua lagi; Kanoman dan Kaceribonan. Pudjiastuti mencatat sisi positif dari perpecahan Kesultanan Cirebon, yaitu telah terjadi perubahan progresif dalam kesusteraan setiap kali muncul Kraton baru. Di situlah kesusasteraan tumbuh maju dan berkembang.44 Artinya, situasi pernaskahan di kraton itu sangat bergantung dengan perkembangan dari kraton sendiri. Menurut Siddique, Kesultanan Cirebon telah mengalami kemerosotan karena pihak lain (asing) sejak tahun 1681-1940. Beberapa perjanjian dengan VOC telah mendorong terjadinya kemunduran itu, antara lain: perjanjian 7 Januari 1681 yang menetapkan bahwa ekonomi-perdagangan, seperti perdagangan pakaian dan opium, dimonopoli VOC; dan perjanjian 8 September 1688 yang ditandatangai Sultan Sepuh I, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati, tentang pengakuan dan pembagian cacah. Dampak internalnya, timbul perpecahan dalam Kesultanan Cirebon.45 Sekitar tahun 1800, salah seorang Sultan Kanoman Cirebon dibuang ke Ambon. Bersamaan dengan kedatangan Daendels pada tahun 1808, Sultan Kanoman yang dibuang tersebut 44
Titik Pudjiastuti, “Cirebon” dalam Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 87. Dalam sumber lain, Sultan IX yang dimaksud barangkali Sultan Kacirebonan, bukan Kanoman. Sebab, Sultan Kanoman IX itu bernama Sultan Muhammad Nurbuat. 45 Siddique, Sharon. Relics of the Past: Sociological Study of the Sultanates of Cirebon West Java, seperti dikutip dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm. 65
104
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
dibebaskan oleh Daendels yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal, tetapi pemberontakan di daerah perbatasan melawan penjajah tetap belanjut. Pada tahun 1809, Daendels membangun jalan raya melintasi pegunungan dari Batavia ke Cirebon (Jalan Raya Pos/Groote Postweg). Selain dikuasai Belanda, Kesultanan Cirebon juga dijajah Inggris ketika pemerintahan Inggris menguasai (sebagian) Indonesia sekitar tahun 1811-1816. Pada tahun 1815, Stamford Raffles memerintah langsung atas Cirebon namun pemerintahannya sangatlah singkat, karena Britania harus mengembalikan Jawa dan bekas daerah kekuasaan HindiaBelanda lainnya kepada Belanda sesuai persetujuan akhir Perang Napoleon. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia disebutkan, bahwa kekuasaan Cirebon makin lama makin dipersempit. Pada tahun 1700 Belanda mengangkat Jacob Palm menjadi Residen pertama. Tak ayal lagi, pemberontakan pun timbul sebagai salah satu cara untuk menolaknya. Pemberontakan Cirebon telah dimulai sejak tahun 1788 dan terbesar tahun 1802, tetapi semua dapat dipadamkan Belanda. Bahkan kemudian, gelar Sultan di lingkungan kraton sudah tidak diperbolehkan dipakai lagi.46 Kenyataan itu sejalan dengan pendapat Kern bahwa Cirebon berakhir kejayaannya pada abad ke-17, ketika suasana damai di Cirebon terganggu oleh kolonial.47 Penegasan serupa ditulis H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud dalam De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, Studen Over de Staatkundige Geschiendenis van de 15 de en 16 de Eeuw;
46
Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I A-H, Jakarta: Djambatan, 2002, cet. II. revisi, hlm. 213. Dalam entri Cirebon ini, terdapat informasi yang masih meragukan validitasnya, bahwa nama lain Sunan Gunung Jati itu Fatahillah. Sebab, dalam tradisi lisan Cirebon dan beberapa tulisan menyebutkan, Fatahillah itu bukan keturunan Cirebon, tetapi dari Kesultanan Pasai yang diperbantukan di Cirebon, lalu ditugasi di Sunda Kelapa dan Banten. Tentang klarifikasi Fatahillah, lihat juga pada P.A. Hoesein Djajadiningrat, “Beberapa Catatan Mengenai “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinja”, dalam Kern, R.A. dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm. 33-39 47 Kern, R.A. “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal., hlm. 21.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
105
“Kedaulatan atas daerah Cirebon termasuk daerah-daerah Sunda pada 1705 diserahkan oleh susuhunan di Kartasura kepada kompeni (VOC) di Batavia. Keraton-keraton para keturunan Sunan Gunung Jati di kota Cirebon masing-masing tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan dengan tunjangan uang dari pemerintah Hindia Belanda hingga abad XX ini.”48 Dengan demikian, pemerintah Kolonial Belanda telah semakin dalam ikut campur mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan kraton-kraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1906 dan 1926, kekuasaan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon (Gemeente Cheirebon). Saat itu, luas wilayahnya mencakup 1.100 hektar, dengan sekitar 20.000 jiwa penduduk (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.49 Sejak tahun 1965 Cirebon telah berubah menjadi kota madya dan sekarang menjadi kota Cirebon dengan luas 37,36 km2.50 Memperhatikan latar belakang tersebut, tulisan ini menjadi penting untuk mengungkap Kesultanan Cirebon sebelum adanya campur tangan pihak asing, termasuk intervensi pihak kesultanan Jogjakarta dan Banten. Dari berbagai sumber tertulis diketahui bahwa pada masa Syarif Hidayatullah itulah peradaban Islam di Cirebon dapat dikatakan mencapai masa kejayaannya. “Ingsun titip tajug lan fakir miskin” adalah salah satu pernyataan atau petatah petitih dari Syarif Hidayatullah yang digunakan sebagai ikon oleh kalangan, baik pemerintah maupun swasta di Cirebon. Saat ini, Cirebon tetap dijadikan sebagai nama salah satu kota dan kabupaten di Jawa Barat. Sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia dan selama Cirebon menjadi pusat pemerintahan kota dan kabupaten, keluarga besar Kraton Cirebon sepertinya belum pernah ada yang menjadi bupati ataupun
48
De Graaf, HJ. & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, penyunting Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), hlm. 132. 49 http://indahartgallery.webs.com/keraton.htm 50 Profil kota Cirebon Jawa Barat.
106
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
walikota.51 Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penting dikemukakan pertanyaan, bagaimana kejayaan peradaban Islam di Cirebon pada era Syarif Hidayatullah, tahun 1479-1568? Bukti-bukti sejarah apa yang mendukung adanya kejayaan tersebut? Dengan bukti-bukti tersebut, seberapa jauh peran Syarif Hidayatullah pada perkembangan dakwah Islam di Jawa? Tulisan ini merupakan upaya untuk melakukan rekonstruksi sejarah kejayaan peradaban Islam di Cirebon pada era Syarif Hidayatullah, tahun 1479-1568, dan untuk menunjukkan buktibukti sejarah peradaban tersebut sebagai bukti kejayaan peradaban Islam di Cirebon, serta mengungkapkan pengaruh Syarif Hidayatullah pada perkembangan dakwah Islam di Jawa. Signifikansi tulisan ini untuk menunjukkan adanya pembuktian atau lebih tepatnya penegasan akademik bahwa Syarif Hidayatullah yang lebih populer dengan nama Sunan Gunung Jati itu bukan sekedar tokoh legenda, mitos, atau semacamnya, tetapi bagian dari tokoh historis dan fakta sosial melalui rekonstruksi historis peradaban Islam Nusantara, terutama di Cirebon pada tahun 1479-1568. Secara strategis, tulisan ini diharapkan mampu menjadi kelengkapan khazanah sejarah Islam Indonesia dalam konteks rekonstruksi sejarah Islam Nusantara dan kehidupan keagamaan masyarakat, terutama di Cirebon. Penelitian Terdahulu dan Landasan Kajian Penelitian Kejayaan Peradaban Islam di Cirebon pada Era Syarif Hidayatullah, tahun 1479-1568 ini tidak dapat dilepaskan dari kajian-kajian sebelumnya, baik karena kemiripan dalam penggunaan metode dan pendekatannya, maupun kedekatan konteks serta cakupannya. Kajian terdahulu berguna untuk mengetahui perbedaan kajian ini dengan kajian-kajian tersebut, sehingga kajian ini ditemukan orisinalitasnya. Adapun kajian secara khusus dengan nama Syarif 51
Bahan awal tentang Cirebon dapat dibaca dalam Sulendraningrat, P.R.A. Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985) dan Membumikan Wasiat Sunan Gunung Djati Dalam Membangun Jawa Barat Bermartabat, (Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon, 2004).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
107
Hidayatullah, sampai dengan penulisan laporan ini belum ditemukan, kecuali kajian terhadap naskah kuno, yaitu Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, baik dalam Naskah Mertasinga (2005) maupun Naskah Kuningan (2007). Kajian naskah serupa dilakukan Atja (1972) dengan judul, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon). Dengan pendekatan sejarah dan filologi, Atja mengungkap sejarah awal mula Cirebon; diuraikan pula tentang Syarif Hidayatullah melalui naskah yang ditulis Pangeran Arya Cirebon dan transliterasinya, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari.52 Nama Sunan Gunung Jati lebih sering digunakan para peneliti daripada nama Syarif Hidayatullah., misalnya dalam disertasi Dadang Wildan yang telah diterbitkan dengan judul Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural (Bandung, 2002).53 Akbarudin Sucipto menulis Dakwah Sunan Gunung Jati dalam Perspektif Politik: Analisis Deskriptif terhadap Proses Islamisasi Cirebon abad ke-XV dan XVI (Skripsi: STAIN Cirebon, 2006). Kajian tentang Sunan Gunung Jati juga dapat ditemukan dalam ensiklopedi-ensiklopedi, seperti Ensiklopedi Islam (2002, cet.II), Ensiklopedi Ulama Nusantara (2009), dan Intelektualisme Pesantren (2003). Kajian mutakhir tentang Sunan Gunung Jati dilakukan Agus Sunyoto (2011). Dalam buku yang diberi judul Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Sunyoto memaparkan sehistoris mungkin berdasarkan data manuskrip dan arkeologi gugatan para penulis sejarah Islam di Jawa, di mana Wali Songo masih diabaikan. Kajian tentang Cirebon dalam konteks sejarah beberapa kali telah dilakukan, termasuk bahasan khusus tentang Syarif Hidayatullah walaupun tidak mendalam. De Graaf dan Pigeaud (2003 cet. V) menulis Riwayat Kerajaan di Jawa Barat pada 52
Untuk melengkapi penelitian ini, transliterasi Atja dilampirkan, sebagai bagian tak terpisah dari hasil penelitian ini. Penelitian Atja tahun 1972 ini diterbitkan Ikatan Karyawan Meseum. 53 Dalam kajian Wildan tersebut, dipaparkan pula 7 (tujuh) naskah yang terkait dengan Syarif Hidayatullah dalam bentuk prosa dan tembang. Dalam bentuk prosa yaitu Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda, dan Sejarah Cirebon. Dalam bentuk tembang, yaitu Carub Kanda, Babad Cerbon, Babad Cirebon, dan Wawacan Sunan Gunung Jati.
108
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Abad XVI: Cirebon. Kajian tentang Cirebon tersebut hanyalah salah satu bagian dari kajiannya tentang kerajaan Islam di Jawa, yang dimulai dari Demak, Kudus, Madura, hingga Banten. Acuan penulisan keduanya adalah literatur lokal atau pribumi. Kajian serupa juga dilakukan RH. Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809 (1983). Begitu pula Uka Tjandrasasmita, yang menulis “Kesultanan Cirebon: Tinjauan Historis dan Kultural” dalam karya arkeologisnya, Arkeologi Islam Nusantara (2009). Tjandrasasmita menguraikan tentang Cirebon dengan pendekatan sejarah, mulai dari pertumbuhan, perkembangan, sampai dengan keruntuhan kesultanan. Paparan lainnya terkait dengan beberapa aspek penting di Cirebon, seperti keagamaan, seni sastra, seni bangun dan ragam hias, serta wayang dan topeng. Kajian lain tentang Cirebon secara khusus dilakukan oleh tim peneliti dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNPAD dengan judul Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas (Bandung, 1991). Kajian lain tentang Cirebon dilakukan oleh Darkum (Skripsi Pendidikan Sejarah Fak. Ilmu Sosial UNNES, 2007) dengan judul Peranan Pangeran Walangsungsang dalam Merintis Kesultanan Cirebon 1445-1529. Kajian lain yang masih berkaitan dengan Cirebon dilakukan oleh Heriyanto (Tesis UI, 2000) dengan judul Upacara Panjang Jimat: Suatu Kajian tentang Kraton Kasepuhan Cirebon Masa Kini. Dalam salah satu bagian kajiannya, Heriyanto memaparkan tentang Kraton Pakungwati dan Syarif Hidayatullah. Informasi tersebut, sekalipun tidak berasal dari sumber primer, dapat menjadi informasi penegasan. Adapun kajian dengan pendekatan sastra dan filologi dilakukan Pudjiastuti, yaitu Cirebon (2001) dan Kajian Kodikologis atas Surat Sultan Kanoman, Cirebon [Cod. Or. 2241 ILLB 17 (N0. 80)] (2007). Studi kodeks dalam kajian Pudjiastuti dapat mempertajam analisis untuk mengungkap konteks surat Sultan Kanoman pada akhir abad ke-17. Isi surat itu menobatkan putra bungsu Sultan menjadi Panembahan. Penjelasan lebih luas tentang dinamika Kesultanan Cirebon diungkap Pudjiastuti pada “Cirebon” sebagai salah satu entri Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. Konteks Cirebon dalam tulisan Pudjiastuti berkaitan dengan pernaskahan kuna di Cirebon.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
109
Penelitian dan penulisan tentang Cirebon dapat ditemukan pula dalam hasil penelitian dan buku-buku yang berasal dari seminar ataupun lainnya. Sulendraningrat menulis Sejarah Cirebon (1978). Sebagai keluarga kraton Cirebon, Sulendraningrat memaparkan tentang Cirebon sejak masa Pra Sejarah sampai dengan masa masuknya Islam di Indonesia, silsilah Sunan Gunung Jati dari garis ayah/ibu, silsilah 4 (empat) kesultanan, hingga tentang peleburan kota-kota kecil, seperti Kuningan ke Cirebon, dst. Karya orang dalam kraton tersebut mengacu pada Babad Cirebon, Carub Kanda, Catur Kanda, dan kitab-kitab lokal lainnya. Paparan senada diungkap Kosoh, Suwarno, dan Syafe‟I dalam „Jawa Barat pada masa Pemasukan dan Perkembangan Islam‟ dan „Jawa Barat dalam Abad ke-19‟ sebagai bagian dari Sejarah Daerah Jawa Barat (1979). Dengan perspektif yang berbeda, para penulis asing juga melakukan kajian tentang Kesultanan Islam Cirebon, mulai dari Raffles dalam The History of Java (Terj. 2008), Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008 (2010 cet. III), Van Der Kemp dalam Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 (1979), dan Karel Steenbrink dalam Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1941) (1995). Dalam kajian Ahmed E. I. Wahby (2007), Architecture of the Early Mosques and Shrines of Java: Influences of the Arab Merchants in the 15th and 16th Centuries?, yang berasal dari disertasinya pada Fakultät Geistes und Kulturwissenschaften (GuK) der Otto-Friedrich-Universität Bamberg, Syarif Hidayatullah, masjid Agung, dan Panjunan Cirebon dikupas sekilas. Pada kajian-kajian terdahulu di atas, sekurangnya terdapat beberapa landasan kajian yang digunakan, yaitu sejarah, kebudayaan, filologi, arkeologi, dan arsitektur. Adapun dalam kajian ini, untuk mengungkap Cirebon pada masa Syarif Hidayatullah (1479-1568) digunakan pendekatan sejarah yang belum pernah dilakukan, karena itu menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan. Sejarah dalam kajian ini juga didasarkan pada sumber naskah dan artefak budaya. Kritik internal dan eksternal dalam pendekatan sejarah juga digunakan dalam penelitian ini demi menjaga obyektifitas keilmuan. Dengan demikian, kajian ini diharapkan selain dapat
110
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
memberikan sumbangsih kepada masyarakat, kajian ini dapat pula menjadi penegas, bahwa Syarif Hidayatullah atau sering dikenal dengan Sunan Gunung Jati itu bukanlah legenda, dan mitos belaka, tetapi memang dapat dibuktikan melalui fakta-fakta historis, filologis, dan arkeologis. Silsilah Syarif Hidayatullah: Arab dan Cirebon Menurut Ensiklopedi Ulama Nusantara, Syarif Hidayatullah dilahirkan pada tahun 1448 dari perkawinan Raja Abdullah (Syarif Abdullah) dengan Rara Santang, putri Prabu Siliwangi asal Pajajaran yang bergelar Syarifah Mudaim. Dilahirkan di Mesir, pada usia 120 tahun Syarif Hidayatullah (tahun 1568) dipanggil sang Khalik dan dikebumikan di Gunung Sembung Cirebon. Syarif Hidayatullah masih termasuk keturunan Rasulullah SAW, dalam urutan ke-22, sama dengan Sunan Bonang dan Sunan Drajat atau Sunan Giri.54 Menurut Purwaka Caruban Nagari, pada masa remajanya, ketika umur 20 tahun, Syarif Hidayatullah telah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri selama 2 tahun dan Syekh Ataillahi Syazally yang bermazhab Syafei.55 Guru Syarif Hidayatullah lainnya adalah Syekh Nur Jati (Datuk Khafidz), Sunan Ampel, Syekh Najmurini (Nujumuddin) Kubra di Mekkah, Syekh Sidiq, Syekh Bentong, dan Syekh Quro.56 54
Syarif Hidayatullah adalah putra raja Abdullah (Syarif Abdullah) bin Ali Nurul Alam bin Jamaluddin Husein (al-Husaini) bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan Nurdin bin Abdul Malik bin Gazam bin Alwi bin Muhammad bin Ubaidillah bin Ahmad Muhajir bin Isa al-Bakir (ar-Rumi) bin Muhammad Idris an-Naqib bin Ali al-Uraidhi (Kasim al-Kamil) bin Ja‟far Shadiq bin Muhammad al-Bakir bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib (suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW.). Ayah Syarif Hidayatullah, Raja Abdullah bukanlah raja di Mesir, tapi kemungkinan besar sebagai penguasa kawasan Aceh, terutama Perlak atau Pasei, walaupun berdarah Timur Tengah. Ini mirip dengan pendapat Hosein Jayadiningrat dengan argumentasi yang berbeda. Lihat Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 755 dan 758. 55 Naskah Mertasinga; dengan judul Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. 219 56 Lihat pada Naskah Mertasinga dan Kuningan, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju,
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
111
Syarif Hidayatullah pernah beberapa kali menikah; pernikahan pertama dengan Retna Pakungwati (Putri Pangeran Cakrabuana) dikaruniai dua anak, yaitu: Ratu Ayu (istri Fatahillah) dan Pangeran Pesarean (Dipati Muhammad Arifin); pernikahan kedua dengan Ong Tien (Putri Cina, berganti nama Rara Sumanding) tidak berlangsung lama, karena Ong Tien meninggal dunia; pernikahan ketiga dengan Nyi Mas Retna Babadan (Putri Ki Gedeng Babadan); keempat dengan Dewi Kawunganten (Putri Ki Gedeng Kawunganten, Banten) dikaruniai dua anak, yaitu:; Ratu Winaon dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I); kelima dengan Nyi Mas Rara Kerta (Putri Ki Gedeng Jatimerta) dikaruniai dua anak: Pangeran Jaya Lelana dan Pangeran Brata Lelana.57 Silsilah Syarif Hidayatullah dari jalur ayah sampai pada Rasulullah SAW., secara singkat sebagai berikut:; Rasulullah SAW. mempunyai seorang putri bernama Siti Fatimah yang berputra Sayid Husein yang berputra Zainal Abidin yang berputra Syekh Zainal Kabir yang berputra Syekh Jumadil Kubra dari Quswa yang berputra Raha Umrah-Raja Odhara dari Mesir yang berputra Sultan Bani Israil yang berputra Syarif Hidayatullah. 58 Adapun silsilah Syarif Hidayatullah dari jalur ibu sampai ke Prabu Bunisora. adalah sebagai berikut: Sang Prabu mempunyai anak Ki Gedeng Kasmaya (Ki Ageng Giridewata) Penguasa Carbon Girang yang mempunyai putrid Nyi Karancang Singapuri dari Pulo Pinang/Singapura menikah dengan Ki Gedeng Tapa (Ki Gedeng Juman Jati, Juru Labuhan Muarajati II) mempunyai anak Nyi Subang Larang yang menikah dengan Prabu Siliwangi. Dari pernikahannya dengan Prabu Siliwangi mempunyai tiga anak; Pangeran Cakrabuana, Sari Kabun (Rara Santang, Syarifah Mudaim), dan Raja Sangara. Rara Santang menikah dengan Sultan Bani Israil (Sultan Hud, Sultan Mahmud), dan dari pernikahannya dengan Sultan Mahmud mempunyai dua putra; (Bandung: Pustaka, 2007) 57 Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), hlm. 756-757 58 Naskah Kuningan; Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. lampiran
112
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. 59 Guru dan Ajaran Syarif Hidayatullah Menurut Bruinessen, dalam babad-babad tentang Syarif Hidayatullah diceritakan bahwa sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, Syarif Hidayatullah telah mendalami akidah, syari‟ah, bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Bruinessen juga berpendapat bahwa Syarif Hidayatullah merupakan penganut Tarekat Kubrawiyah, yaitu tarekat yang dihubungkan dengan nama Najamuddin al-Kubra, yang dalam Babad Cirebon selalu disebutsebut. Setelah itu, Syarif Hidayatullah berguru kepada Ibnu Atha‟illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di Madinah dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah. Syarif Hidayatullah juga belajar Tarekat Syattariyah, Istika‟i, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.60 Adapun beberapa ajarannya melalui pesan, antara lain sebagai berikut: Pesan Syekh Najmuddin Kubra kepada Syarif Hidayatullah61; “Mapam kita iki ing ngahurip. sira aja angebat-tebat ing laku den teka patine. Yen ngucap kang satuhu, lan aja nyerang hukuming Widhi, iku samono kang nyata den kukuh laku iku”. (Dalam hidup ini, janganlah kamu bertindak berlebihan, demikian hingga akhir hidup. Kalau bicara, bicaralah yang jujur dan jangan melawan hokum dari Yang Maha Esa, itulah hal yang nyata dan lakukanlah hal itu dengan teguh). Pesan Syekh Athaillah di Sadili kepada Syarif Hidayatullah; “Perkara lampah kang katiti, sira aja ngebat-tebat. Den 59
Ibid. Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, TradisiTradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999) cet. III. hlm. 223-245. Bandingkan dengan Naskah Mertasinga, hlm. 23 61 Naskah Mertasinga dalam Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007) 60
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
113
basaja sira iku, aja langguk ing wicara, sira aja ilok anglaluwih ing padaning manusa. Iku lampah kang sampurna jati. Pan sira aja susah tatapa ing gunung utawa guane iku dadi takabur. Sira laku tapaha maring ingkang remening jalma. Lan duwea muhung. Wong kang luput den ampura. Mung semana lampah ingkang sejati”. (Mengenai langkah yang harus dijalani, janganlah kamu berlebihan, hiduplah dengan bersahaja, jangan sombong dalam bicara dan jangan berlebihan terhadap sesame manusia. Itulah langkah sempurna yang sejati. Bertapa di gunung atau di gua itu akan menjadikanmu takabur, lakukanlah tapa di tengah ramainya manusia. Milikilah sikap luhur dan maafkan orang yang salah, hanya itulah langkah yang sejati). Sunyoto (2011) dalam analisisnya tentang pendidikan dan pengembangan keilmuan Syarif Hidayatullah, seperti di atas, menyebutnya dengan “..diwarnai cerita-cerita absurd yang perlu penafsiran untuk mengetahui kebernaran historisnya”.62 Memang penelitian ini perlu dilanjutkan lagi, khusus mengenai guru dan ajaran Syarif Hidayatullah, untuk mendalami apa yang dinyatakan Sunyoto. Bukti Kejayaan Pada Era Syarif Hidayatullah Periode Syarif Hidayatullah (1479-1568) memimpin Cirebon merupakan masa perkembangan sekaligus masa kejayaan Islam di Cirebon. Pada masa itu, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan, maju sangat pesat. Pada masa itu pula berlangsung penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) melalui penempatan salah seorang putra Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin.63 Peristiwa itu terjadi setelah keruntuhan pemerintahan Pucuk Umum, penguasa kadipaten dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang. Kemajuan Islam pada era Syarif Hidayatullah tidak berhenti pada terbentuknya pusat pemerintahan di bawah pimpinan 62
Sunyoto, Wali Songo,. hlm. 156 Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Gramdia, 2009), hlm. 164 63
114
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Maulana Hasanuddin yang terletak di Surosowan, dekat Muara Cibanten, tetapi pengembangan juga dilakukan ke arah Priangan Timur, antara lain ke Kerajaan Galuh (tahun 1528), kemudian Talaga (tahun 1530). Jika dipetakan, wilayah perkembangan Islam pada era itu, seperti yang tampak dalam gambar, yaitu Indramayu, Krawang, Bekasi, Tangerang, dan Serang (Banten). Bukti-bukti kejayaan Syarif Hidayatullah di Cirebon, selain terlihat dari sisi keagamaannya, yaitu yang bersifat rohaniah seperti penyebaran Islam, juga dapat dilihat pada perkembangan bangunan fisiknya, seperti Tajug (Masjid), Kraton Pakungwati, saat ini berada di Kasepuhan, dan pelabuhan yang saat ini tidak seramai dahulu lagi.
- Wilayah Kekuasaan Syarif Hidayatullah 1479-1568 -
Tajug dan (atau) Masjid Pendirian tempat ibadah, khususnya masjid, telah dilakukan sejak Islam masuk di Cirebon. Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, Pangeran Cakrabuana mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (jala artinya air; graha artinya rumah). Masjid ini merupakan masjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Sampai saat ini masjid tersebut masih terpelihara dan dikenal dengan nama dalam dialek Cirebon, masjid Pejalagrahan,
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
115
bertempat di dalam Kraton Pakungwati, Kasepuhan. Masjid tersebut dibangun sekitar tahun 1454.64 Selain itu, terdapat beberapa bangunan masjid yang dibangun pada masa Syarif Hidayatullah, yang sampai hari ini diakui keberadaannya, yakni masjid Merah Panjunan dan masjid Agung Sang Cipta Rasa. Menurut salah seorang takmir masjid, masjid Agung Sang Cipta Rasa, dibangun sesudah masjid Merah Panjunan, yaitu sekitar tahun 1480. Bangunan kedua masjid terbagi menjadi 2 (dua), yaitu bangunan dalam dan luar. Bagian dalam masjid digunakan hanya untuk waktu-waktu khusus, sedangkan bagian luar berfungsi untuk salat maktubah. Khusus untuk Masjid Merah Panjunan, bagian dalam hanya digunakan untuk Salat hari raya („Ied). 65 Sebagaimana ciri khas masjid Cirebon lainnya, di dinding bagian pengimaman terdapat lukisan khusus, berbentuk undukan bata, dan dihiasi piring keramik dari Cina.
Bagian dalam Masjid Merah Panjunan, tempat pengimaman hanya digunakan salat idul fitri dan idul adha
64
Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat, seperti ditulis Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, hlm. 45 65 Wawancara Agustus 2011 di Masjid Merah Panjunan Cirebon. Berbeda dari informasi yang berkembang di masyarakat, menurutnya, para walisongo sering mengadakan rapat di dalam masjid untuk membicarakan beberapa hal penting urusan umat, sebelum masjid Agung Sang Cipta Rasa didirikan.
116
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Mesjid Merah Panjunan
Mesjid Merah Panjunan
Kejayaan era Syarif Hidayatullah juga terlihat dari keberadaan sebuah bangunan masjid yang bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang saat ini berada dalam lingkungan kompleks Kraton Kasepuhan. Masjid itu dibangun tahun 1549 atau seperti yang tertulis dalam candrasangkala yang berbunyi Waspada
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
117
Penenbehe Yuganing Ratu, yang bermakna 1500. Simbol bangunan masjid melambangkan filsafat Hayyun ila Ruhin (hidup tanpa ruh).66 Bentuk bangunan dan simbol-simbol dalam masjid semuanya sarat dengan makna filosofis. Kraton dan Sistem Pemerintahan Cirebon Sarip Hidayat menikah dengan Pakungwati dan mulailah pembangunan negara (kota) Carbon, mulai dengan alun-alun dan istana yang kemudian terkenal dengan nama Istana Pakungwati (Pupuh 18, Dhandhanggula)67 Sejak serah terima dari Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah tinggal di Kraton Pakungwati. Perkembangan Islam secara luas dan massif bermula dari tempat itu. Berbagai perubahan sistem pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai Islam mulai diterapkan. Keaktifan dakwah Islam Syarif Hidayatullah tidak membuatnya melupakan penataan pemerintahan di daerah sekitarnya. Hal itu pula merupakan konskuensinya sebagai anggota penting Walisongo. Sebagai bagian dari Walisongo, Syarif Hidayatullah di akhir hayatnya lebih memilih untuk menjadi seorang ulama daripada penguasa pemerintahan. Baginya, kekuasaan cukup dijalankan oleh putranya di Banten. Mempertimbangkan hal itu, Syarif Hidayatullah menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Cirebon kepada Pangeran Pesarean pada kurun waktu 1528-1552. Pesarean merupakan putra Syarif Hidayatullah dengan Nyai Tepasari. Syarif Hidayatullah sendiri lebih memilih mengkhususkan diri dalam syiar Islam ke daerah pedalaman.68
66
Waspada = 2, Panembehe = 2, Yuga = 4, Ratu = 1, jadi 1422 caka. Nama lain masjid ini adalah Masjid Pakungwati. Paramita R. Abdurrachman (penyunt.), Cerbon, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 83. Tetapi menurut Naskah Mertasinga, Masjid Agung dibangun ketika Syarif Hidayatullah berumur 113 tahun atau sekitar 1561. Naskah Mertasinga, hlm. 123 67 Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto (Jakarta: Depdikbud, 1979), hlm. xxviii 68 Adeng ,dkk. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1998), hlm. 34-35
118
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Masjid Agung Sang Cipta Rasa dari berbagai sisi
Pintu Gerbang Masjid
Pintu Masuk Masjid Dalem
Dengan tidak aktifnya Syarif Hidayatullah dalam pemerintahan, maka ia mendapat julukan Pandita Ratu (ulama yang menjadi raja, tetapi lebih giat menjalankan keagamaan daripada bergerak di bidang politik).
Kraton Kasepuhan sebagai pintu gerbang menuju Kraton Pakungwati
Kraton Cirebon setelah ditinggal Syarif Hidayatullah mengalami
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
119
berbagai kemunduran. Hal itu sejalan dengan perkembangan pesat dari beberapa kerajaan Islam di Jawa dan Banten. Gelar penguasa Cirebon pernah mengalami beberapa perubahan, yaitu Panembahan Ratu dan Sultan. Dari berbagai sumber diketahui, bahwa perubahan nama gelar untuk penguasa di Kraton Cirebon juga menunjukkan adanya dinamika yang luar biasa, terlebih lagi setelah adanya pengaruh pihak kolonial atau masuknya VOC ke Cirebon. Pelabuhan sebagai Pusat Perdagangan Peninggalan Syarif Hidayatullah yang pernah menjadi bagian dari jalur sutra perdagangan dunia internasional adalah pelabuhan. Pelabuhan Cirebon diduga berdiri seiring dengan kelahiran Cirebon pada 1371. Sebagai kota pantai, Cirebon merupakan pusat perdagangan untuk daerah sekitarnya.69 Selain itu, kota Cirebon juga menjadi kota pelabuhan alternatif terpenting di pantai utara Jawa setelah Jakarta dan Semarang. Pelabuhan Cirebon merupakan pelabuhan yang memiliki peran strategis dalam hal perdagangan sejak masa Syarif Hidayatullah masih berkuasa. Kapal-kapal asing yang mengangkut barang-barang niaga dari dan ke luar negara pernah meramaikan pelabuhan ini. Pemandangan itu pun masih dapat ditemui hingga saat ini. Pada sore hari, dapat disaksikan puluhan kapal besar tengah bersandar di dermaga. Perkembangan pelabuhan paling pesat terjadi pada abad ke-19, bersamaan dengan berlangsungnya era kolonialisme.70 Menurut Singgih Tri Sulistiono, penyebaran Islam ke daerah Babadan, Kuningan (Selatan Cirebon), Indramayu, dan Karawang, terjadi dengan damai dan tanpa kekerasan. Mungkin fenomena ini bisa ditafsirkan sebagai upaya Cirebon untuk memperkuat posisinya di bidang perdagangan dan pelayaran dengan cara menguasai daerah pedalaman yang menjadi sumber 69
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/475/jbptunikompp-gdl-midiansoem-237253-bab2-mid-n.pdf 70 Sigit W., “Perkembangan Pelabuhan Cirebon 1859-1930”, (Semarang: Skripsi Fak. Sastra UNDIP, 1994) dalam http://eprints.undip.ac.id/22079/
120
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
penghasil komoditas perdagangan, seperti beras dan kayu, serta sekaligus tempat mensuplai barang-barang dari luar. Lebih-lebih pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568) yang lebih kurang berusia satu abad, kota pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon sudah lebih banyak penduduknya dan lebih ramai. 71
Pelabuhan Kota Cirebon saat ini
Saat ini, pelabuhan Cirebon berstatus pelabuhan internasional, pelabuhan samudra dan pelabuhan ekspor impor, yang berarti bahwa pelabuhan Cirebon terbuka bagi kegiatan bongkar muat barang dari dan ke luar negeri atau barang ekspor dan impor. Adapun pelabuhan Cirebon dikelola oleh BUMN yang keberadaannya dibawah manajemen PT (Persero).72 Pelabuhan Cirebon inilah salah satu sumber ekonomi terbesar Kraton Cirebon sehingga pihak kraton dapat memenuhi kehidupan masyarakatnya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa jika pelabuhan tersebut kurang dimanfaatkan, maka kejayaan Cirebon juga sudah mulai tenggelam. Pengaruh Syarif Hidayatullah di Jawa Sebagaimana disebut di awal pembahasan, setiap Sunan dalam Wali Songo mempunyai tugas masing-masing. Seperti disebutkan 71
Seperti dikutip Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara, hlm. 164 http://boykomar.multiply.com/photos/album/91/Pelabuhan_Cirebon
72
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
121
Sunyoto, tugas tokoh-tokoh Wali Songo dalam mengubah dan menyesuaikan tatanan nilai dan sistem sosial budaya masyarakat, adalah sebagai berikut: Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa. Sebagai Raja Pandita di Gresik ia merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan, dan lauk pauk, memperbarui alat-alat pertanian, serta membuat gerabah. Syarif Hidayatullah di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, dan windu, menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan. Sunan Bonang mengajar ilmu suluk, membuat gamelan, dan menggubah irama gamelan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah dan membuat alat untuk memikul orang, seperti tandu dan joli. Sunan Kudus merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan, undang-undang, hingga sistem peradilan yang diperuntukkan bagi orang Jawa.73 Menurut Serat Walisana, seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif Hidayatullah dikisahkan memiliki kaitan dengan ajaran sufisme 73
Sunyoto., hlm. 90-91. Dalam bahasa Primbonnya, sebagai berikut: Susuhunan ing Ngampel-denta handamel pranating agami Islam, kanggenipun ing tiyang Jawi. Raja Pandhita ing Gresik amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang batik, kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing wangunipun kakapaning kuda. Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan, dadaharan hutawi ulam-ulaman, kaliyan amewahi parabotanipun ing among tani, utawi andamel garabah. Kanjeng Susuhunan ing Gunung Jati ing Cirebon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi parasat miwah jajampi utawi amewahi dadamelipun tiyang babad wana. Kanjeng Susuhunan ing Giri adamel pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi bangsa pepetangan lampahing dinten wulan tahun windu, utawi amewahi lampahing pawukon sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damel dalan tiyang Jawi. Kanjeng Susuhunan Bonang, adamel susuluking ngelmi kaliyan amewahi ricikanipun ing gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gending. Kanjeng Susuhunan Drajat, amewahi wanguning griya, utawi tiyang ingkang karembat ing tiyang, tandu joli sapanunggalanipun. Kanjeng Susuhunan Kudus amewahi dapuripun dadamel, waos duwung sapanunggalanipun, utawi amewahi parabotipun bekakasing pande, kaliyan kemasan, saha adamel angger-anggeripun hingga pangadilan hokum ingkang keninging kalampahan ing titiyang Jawi.
122
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki, Syaikh Sbti, Syaikh Muhyiddin Ibn „Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani. Perkembangan Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula dinisbatkan pada ajaranajaran Wali Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Syekh Siti Jenar.74 Dalam Serat Kanda, seperti dikutip Muljana, terdapat berita bahwa Sunan Cirebon ikut serta membangun masjid Demak sebagai salah satu di antara Sembilan wali.75 Keterlibatan Syarif Hidayatullah dengan kerajaan Islam di Demak, disebutkan pula dalam Naskah Mertasinga. Sekurangnya terdapat beberapa peristiwa besar di Demak, antara lain rapat Wali Songo pernah dipindah dari Demak ke Cirebon untuk membicarakan banyak hal di Jawa. Bukti kedekatan pengaruh juga ditunjukkan dengan pola pernikahan putra putrinya. Begitu pula dengan keterlibatannya dengan kerajaan Islam di Banten.76 Menurut sumber lain, Syarif Hidayatullah juga ikut dalam perjuangan Islam di Jayakarta melalui utusannya, Fatahillah. Kesimpulan Mengkaji teks Syarif Hidayatullah sungguh mengasikkan. Setiap teks selalu menawarkan informasi yang tak jarang berbeda dan bertentangan satu teks dengan teks lainnya tentang sosok Syarif Hidayatullah. Sebagai sosok historis, intelektual dan muballig, Syarif Hidayatullah yang hidup pada abad ke-15/16 di Cirebon, sampai dengan tulisan ini dibuat, tidak ditemukan suatu kitab atau karya akademiknya. Abad tersebut, bersamaan dengan masa renaisans di Eropa dan kehadiran para pemikir besar muslim pada masanya. Sebagai tokoh yang lebih memilih dakwah syiar Islam bagi masyarakatnya, daripada sebagai penguasa formal birokratis di kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah telah menanamkan suatu 74
Sunyoto., Ibid., hlm. 91-92 Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya NegaraNegara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS, 2007), cet. V, hlm. 100-101 76 Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga), alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007), hlm. 72-88 75
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
123
peradaban moral dan teologis bagi muslim Indonesia terutama di Cirebon. Karena itu, bukti kejayaannya dapat ditemukan melalui bangunan tajug atau masjid dengan keragaman seni dan filosofinya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Merah Panjunan, barangkali merupakan sebagian di antara bukti peradaban muslim klasik Indonesia dari Syarif Hidayatullah selama kurun waktu 1479-1568 di Cirebon. Pengaruh Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan Islam di Jawa sangat besar sekali. Adanya kerajaan Islam di Demak dan Banten merupakan beberapa contohnya. Tak kalah pentingnya lagi kontribusi Syarif Hidayatullah pada perkembangan Islam di Jawa Barat dengan cara dakwah dengan damai, mulai dari Kuningan, Indramayu, Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis, Sumedang, bahkan Jayakarta (Betawi). Wallahu a‟lam bis sawab Bibliografi Adeng, dkk. (1998). Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud. Atja (1974). Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah muladjadi Tjirebon), Jakarta: Ikatan Karyawan Meseum. Bruinessen, Martin van (1999). Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Cet. III. Bandung: Mizan. Cohen, Matthew Isaac (1997). “An Inheritance from the Friends of God: The Southern Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia”. Disertasi. Yale University. Darkum (2007). “Peranan Walangsungsang dalam Merintis Kesultanan Cirebon 1445-1529”. Skripsi UNES Semarang. Graaf, HJ. De & Th. Pigeaud (2003). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Penyunting Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
124
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Djajadiningrat, P.A. Hoesein (1974). “Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinja”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta: Bhratara. Tim IAIN Syarif Hidayatullah (2002) Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I A-H. Cet. II. Jakarta: Djambatan. Iskandar, Yoseph (2008) Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakwasa). Cet. X. Bandung: Geger Sunten. Denzin. K.N. & Lincoln S.Y. (2000) Hand Book of Qualitative Research. United States: Sage Publications Inc. Kern, R.A. (1974) “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta: Bhratara. al-Maraghi, Abdullah Mustofa (2001) Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. Penterj. Husein Muhammad. Yogyakarta: LKPSM. Masduqi, Zaenal (2010) “Pemerintahan Kota Cirebon (19061942)”. Tesis. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Munandar, Agus Aris dan Titik Pudjiastuti (1997) “SumberSumber Tekstual tentang Sejarah Cirebon”, dalam Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Depdikbud. Abdurrachman, Paramita R. (penyunt.) (1982). Cerbon. Jakarta: Sinar Harapan. El-Saha, Mastuki HS, dan M. Ishom (edit.) (2003). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka. Siddique, Sharon (1992). Relics of the Past: Sociological Study of the Sultanates of Cirebon West Java, seperti dikutip dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
125
Pertumbuhan dan Perkembangan III. Jakarta: Balai Pustaka. Smith, Margaret (2001). Mistikus Islam: Ujaran-ujaran dan Karyanya. Penterj. Ribut Wahyudi. Surabaya: Risalah Gusti. Sulendraningrat, PRA (1985). Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka. _______ (2004) Membumikan Wasiat Sunan Gunung Djati Dalam Membangun Jawa Barat Bermartabat. Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon. Sunyoto, Agus (2011). Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka. Suprayogo dan Tobroni, Imam (2001). Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya. Suprapto, Bibit (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gramedia. Tjandrasasmita, Uka (2009) Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Gramedia. Wildan, Dadan (2002). Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung: Humaniora. Sigit W (1994) “Perkembangan Pelabuhan Cirebon 1859-1930”. Skripsi. Fakultas Sastra UNDIP. Tulisan dapat diakses di http://eprints.undip.ac.id/22079/ Yenne, Bill (2005). 100 Peristiwa yang Berpengaruh di dalam Sejarah Dunia (100 Events That Shaped World History). penterj. Lili Sri Padmawati. [t.k.]: Karisma Publishing Group. Suntingan/Terbitan Naskah Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan
126
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002) Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002) Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto (Jakarta: Depdikbud, 1979) Naskah Mertasinga, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2005) Naskah Kuningan; Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007) Website http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php http://boykomar.multiply.com/photos/album/91/Pelabuhan_Cireb on http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/475/jbptunikompp-gdlmidiansoem-23725-3-bab2-mid-n.pdf http://www.nusawarta.com/2010/12/kisah-sejarah-kotacirebon.html http://indahartgallery.webs.com/keraton.htm
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
127
Abstrak Tulisan ini berupaya memaparkan hasil identifikasi naskah berbahan daluang dengan menggunakan dua metode, yaitu pengamatan langsung dan uji sampel di laboratorium. Dalam hal metode pengamatan langsung, digunakan beberapa alat bantu identifikasi agar hasilnya lebih terukur. Adapun uji sampel di laboratorium mengacu pada Standard Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia (BNSNI) sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dua metode tersebut digunakan untuk identifikasi bahan naskah gulungan koleksi Cagar Budaya Candi Cangkuang (CBCC). Karakteristik bahan naskah yang dihasilkan berupa ketebalan bahan, warna bahan, jenis serat, panjang serat, kadar asam dan jenis kerusakan naskah. Adanya kemungkinan penggunaan metode dan hasil identifikasi bahan naskah daluang tersebut diharapkan dapat memperkaya metode kajian naskah dan mempertajam analisis filologis selanjutnya. Kata Kunci: Identifikasi, Bahan Naskah, Daluang, Candi Cangkuang *) Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia
128
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Pendahuluan Naskah dibedakan atas adanya fisik dan kandungan teks, fisik naskah adalah medium yang mewadahi teks sebagai kandungannya (Baried, 1985: 4-5; Sudardi, 2001: 18-20; Sudjiman, 1994: 11). Medium dalam naskah dapat dibedakan pula atas dua hal, yaitu bahan dan teknik. Dalam identifikasi naskah, yang pertama kali dapat dilakukan di antaranya adalah pendeskripsian medium. Terkait dengan bahan naskah, daluang merupakan salah satu dari sekian banyak bahan naskah yang digunakan dalam tradisi tulis Nusantara. Namun patut dicatat bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan dalam memahami daluang, di antaranya Lubis (1996:37) yang menyatakan bahwa “daluang adalah kertas yang digunakan di Pulau Jawa yang terbuat dari kulit kayu sebagai campuran”. Contoh kesalahan dalam pendeskripsian naskah yang memakai daluang sebagai bahannya adalah pendeskripsian bahan naskah pada koleksi Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat (BPMNSBJB), yang menyatakan bahwa dari 137 buah koleksi naskah yang ada terdaftar, 74 buah di antaranya berbahan “daluang”, 2 buah berbahan saéh, dan 1 naskah berbahan daluang saéh. Dalam hal ini digunakan tiga istilah untuk satu jenis bahan naskah yang sama, yaitu daluang, saéh, dan daluang saéh. Di samping itu, terdapat pula kekeliruan dalam pendeskripsian bahan naskah pada materi pameran tetap di BPMNSBJB, yaitu naskah Babad Pajajaran yang kemungkinannya besar berbahan daluang dideskripsikan sebagai naskah berbahan kulit binatang. Kasus serupa terjadi pada pendeskripsian naskah gulungan CBCC di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Naskah berbahan daluang dideskripsikan sebagai naskah berbahan kulit kambing. Terjadinya kesalahan dalam identifikasi naskah berbahan daluang, baik dari segi peristilahan, pengenalan karakteristik bahan, dan aspek-aspek lainnya, bisa jadi disebabkan oleh hilangnya tradisi pembuatan daluang, yang secara otomatis
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
129
menyebabkan informasi mengenai daluang menjadi terputus. Kini banyak orang, termasuk para petugas yang menangani naskah, tidak mengenal wujud dan ciri-ciri daluang dengan baik. Sehubungan dengan hal itu, daluang sebagai bahan naskah yang dihasilkan oleh tradisi tulis Nusantara menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut. Dalam hal ini peran kajian kodikologi untuk mengenali bahan, teknik, serta fungsinya diperkirakan dapat memberi jalan bagi pendalaman kajian terhadap naskah serta pengembangan bagi disiplin ilmu filologi. Di antara sekian banyak naskah yang berhasil dihimpun dalam berbagai katalog naskah Nusantara, naskah CBCC ternyata belum banyak diteliti, bahkan dalam berbagai katalog naskah pun belum tercantum. Adapun informasi mengenai koleksi naskah CBCC dapat dilihat pada buku Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya yang disusun oleh Zaki Munawar (2002). Naskah koleksi CBCC seluruhnya berjumlah tujuh belas naskah dan seluruh bahan naskahnya diperkirakan berupa daluang. Kemasan naskahnya terdiri dari dua bentuk, berupa buku (binding) dan gulungan (scroll). Naskah-naskah koleksi CBCC disimpan di tiga lemari kaca yang berbeda, lima belas buah naskah berbentuk buku disimpan berjajar dalam dua lemari kaca dan dua naskah disimpan terpisah dalam sebuah lemari kaca lainnya, termasuk di dalamnya naskah berbentuk gulungan. Kondisi fisik naskah berbentuk buku umumnya sudah mulai rusak (dari enam belas naskah hanya tiga naskah yang kondisinya masih cukup baik); lembar halamannya terurai dari jilidannya sehingga halaman demi halamannya tercecer, lembab, berjamur, dan aksaranya sudah tidak terlalu jelas, sehingga menyulitkan ketika akan dibaca. Buruknya kondisi naskah-naskah berbentuk buku bisa jadi disebabkan oleh tingginya tingkat penggunaan pada masa naskah itu digunakan atau karena kurang baiknya teknik penjilidan, penyimpanan, dan perawatan naskah, atau karena kurang baiknya pemeliharaan masyarakat pendukung berikutnya. Berbeda dengan yang berbentuk buku, naskah gulungan kondisinya lebih baik;
130
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
lembarannya relatif masih utuh, tidak terlalu lembab, tidak terlalu berjamur, dan aksaranya terlihat jelas sehingga memudahkan pembacaan teks. Kondisi naskah berbentuk gulungan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi naskah berbentuk buku mengundang beberapa pertanyaan, di antaranya: apakah naskah yang dikemas dalam bentuk gulungan lebih baik daripada naskah berbentuk buku atau apakah ada kaitan antara bahan naskah dan bentuk kemasan naskah dengan tingkat kekuatan fisik naskah?
Gambar 1. Tampak kerusakan naskah berbentuk buku koleksi CBCC. (dok. pribadi)
Naskah gulungan koleksi CBCC mempunyai ukuran 176 X 23 cm., kedua permukaannya ditulisi dengan teks beraksara Arab,; tinta yang digunakan untuk menuliskan aksara berwarna hitam dan tinta yang digunakan untuk menuliskan tanda baca berwarna merah. Identifikasi bahan naskah gulungan koleksi CBCC pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan berdasarkan pengujian di laboratorium. Pengamatan secara langsung di lapangan dapat dilakukan dengan bantuan alat ukur dan peralatan lainnya yang
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
131
diperlukan. Alat ukur yang digunakan di lapangan memberikan hasil ukur secara langsung, seperti panjang dan lebar bahan naskah, ketebalan bahan naskah, warna bahan naskah, jenis aksara, dan warna tinta tulis yang digunakan. Adapun pengujian bahan di laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan laboratorium dan didasarkan pada metode dan standar yang sudah diakui secara nasional, yaitu SNI. Pengamatan Langsung Pengamatan terhadap bahan naskah gulungan koleksi CBCC yang bisa dilakukan secara langsung di lapangan adalah berupa pengukuran dimensi panjang dan lebar bahan naskah dengan menggunakan mistar, pengukuran ketebalan bahan naskah dengan menggunakan mikrometer digital, dan pengukuran warna dengan menggunakan tabel warna; di samping itu dilakukan pula pengambilan gambar dengan menggunakan kamera digital untuk keperluan dokumentasi penelitian. Setelah dilakukan pengukuran, hasilnya menunjukkan bahwa ukuran bahan naskah adalah 176 X 23 cm., sama dengan informasi yang diberikan oleh juru pelihara CBCC. Ukuran bahan naskah seperti itu termasuk jarang digunakan dalam penulisan naskah, hal ini dapat di antaranya dapat dilihat pada data dalam Katalogus Naskah Sunda (1988), yang menunjukkan bahwa naskah-naskah Sunda umumnya mempunyai ukuran di bawah ukuran bahan naskah gulungan koleksi CBCC dan umumnya berbentuk buku. Kelangkaan ukuran bahan naskah tersebut juga dapat mengindikasikan bahan baku yang digunakannya. Dalam hal ini bisa diyakini bahwa naskah gulungan koleksi CBCC bukan terbuat dari kulit kambing seperti yang dideskripsikan oleh petugas juru pelihara CBCC, berangkat dari asumsi panjang kulit kambing dari bagian leher sampai dengan bagian ekor berkisar antara 90 sampai dengan 120 cm. Di samping itu tidak terdapat bintik-bintik bekas pori-pori dan bekas tumbuhnya bulu seperti pada lembaran kulit binatang pada umumnya. Serat pembentuk
132
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
lembarannya pun serat panjang seperti halnya serat pembentuk lembaran kulit kayu. Mengenai kepastian jenis serat pembentuk bahan, selanjutnya akan dipastikan melalui uji laboratorioum.
Gambar 2. Tampak serat pembentuk bahan naskah NGCBCC. (dok. pribadi)
Mengenai ketebalan bahan naskah gulungan koleksi CBCC, setelah dilakukan pengukuran ternyata bahwa ketebalan bahannya tidak sama, paling tipis adalah 0.29 mm dan paling tebal adalah 0.48 mm. Berpijak pada adanya variasi ketebalan bahan dan dikaitkan dengan jenis serat pembentuk lembaran yang diduga berasal dari serat kulit kayu, maka dapat dipastikan bahwa bahan naskah gulungan koleksi CBCC dibuat secara tradisional; bukan dibuat secara modern dengan menggunakan mesin pembuat kertas yang dapat menghasilkan kertas dengan ketebalan yang sama karena dibentuk oleh sebuah mekanisme pembentuk lembaran (sheet former) yang presisi. Dengan adanya kenyataan serat pembentuk bahan naskah berupa jenis serat panjang yang berasal dari kulit kayu, penentuan bahan naskah pun bisa dirujuk pada adanya daluang sebagai bahan naskah Nusantara. Mengenai warna bahan naskah gulungan CBCC, agar
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
133
keterukurannya lebih akurat, maka pengukuran warna disandarkan pada tabel warna C/M/Y/K. Setelah diukur secara acak berdasarkan kesamaan dan perbedaan warna yang mencolok, didapatkan hasil ukur warna dengan pola (1) 10/20/50/0, (2) 40/40/50/0, (3) 5/5/50/0, (4), 5/20/50/0 (5), 0/10/50/0, dan (6) 5/10/50/0. Jika keseluruhan pola warna tersebut dikonversikan ke tabel warna yang dikeluarkan oleh Winsor & Newton, maka warna bahan naskah gulungan CBCC dapat termasuk ke dalam warna naples yellow, yellow ochre, atau raw sienna.
Gambar 3. Tampak pengukuran ketebalan kertas - 0.29 mm. (dok. pribadi)
Gambar 4. Tampak nilai warna pola 1. 10/20/50/0 (dok. pribadi).
134
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Adanya perbedaan atau gradasi warna yang terdapat pada naskah gulungan CBCC menunjukkan bahwa, jika pada saat pembuatan warna bahan naskah adalah sama, maka perbedaan warna yang dapat disaksikan saat ini adalah perbedaan warna yang dihasilkan atau diakibatkan oleh perjalanan waktu serta perlakuan terhadap naskah itu sendiri.
Gambar 5. Tampak hasil konversi warna bahan NGCBCC yang menunjuk pada warna naples yellow, yellow ochre, atau raw sienna (dok. pribadi).
Hasil Uji Laboratorium Untuk melakukan identifikasi bahan naskah di labotatorium, berdasarkan informasi studi lapangan yang dilakukan pada tanggal 3 Pebruari 2011 di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) yang berlokasi di Jalan Raya Dayeuhkolot 132 Bandung; Nina Elyani, Kepala Bidang Pengujian, Sertifikasi, dan Kalibrasi, menyatakan bahwa bahan naskah gulungan koleksi CBCC dapat diidentifikasi berdasarkan uji atas (1) pH atau kadar asam, (2) jenis serat, (3) panjang serat, (4) daya serap tinta atau penetrasi minyak IGT, (5) daya serap air atau Cobb 60, dan (6) ketahanan lipat. Seluruh pengujian tersebut metodenya didasarkan pada standar yang telah ditetapkan BSNI, yaitu: pengujian pH didasarkan pada SNI 14-0479.2-1998, pengujian jenis serat didasarkan pada SNI 0441-2009, pengujian panjang serat didasarkan pada SNI ISO 16065.2-2010, pengujian daya serap
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
135
tinta didasarkan pada SNI 14-9584-1989, pengujian daya serap air didasarkan pada SNI 0449-2008, dan pengujian ketahanan lipat didasarkan pada SNI 0491-2009. Untuk melakukan uji kualitas bahan naskah diperlukan bahan atau sampel dengan ukuran minimum 15 X 20 cm yang akan hancur setelah proses pengujian berlangsung. Ukuran minimun bahan untuk uji kualitas tersebut nampaknya tidak dapat dipenuhi karena naskah gulungan CBCC merupakan benda koleksi dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya. Keberadaannya harus senantiasa dijaga dan harus tetap berada di lokasi CBCC. Etika keilmuan filologi juga tidak memperkenankan untuk pengambilan bahan naskah karena akan merusak naskah itu sendiri. Namun demikian, ternyata masih terdapat peluang untuk melakukan uji pH atau kadar asam, penentuan jenis serat, dan panjang serat bahan naskah karena contoh bahan naskah yang diperlukan untuk pengujian tersebut tidak terlalu besar, yaitu sekitar 1 X 1 cm untuk uji kadar asam dan 1 X 1 cm untuk uji jenis serat dan panjang serat. Sampel bahan diambil dari bagian naskah gulungan CBCC yang koyak, yang selanjutnya disebut sampel utama.
Gambar 6. Tampak bagian ujung bahan naskah yang koyak. (dok. pribadi)
Pengujian kadar asam serta penentuan jenis dan panjang serat bahan naskah gulungan CBCC menjadi sangat penting untuk dilakukan karena melalui pengujian ini akan dapat diketahui apakah bahan naskah tersebut termasuk kertas yang kuat, dengan
136
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
permanensi (kekuatan) dan durability (ketahanan) tinggi, atau bahkan sebaliknya seperti yang dipaparkan Lukman (2009: 55). “permanensi adalah kemampuan kertas untuk tetap stabil dan tahan terhadap aksi kimia, baik dari dalam maupun dari lingkungan sekitarnya. Sementara itu, ketahanan (durability) merupakan sifat ketahanan kertas terhadap perlakuan fisik yang dapat menyebabkan rusaknya kertas, contohnya goresan dan lipatan. Permanensi berhubungan dengan stabilitas kimia kertas, sedangkan ketahanan berhubungan dengan kekuatan fisik.” Adapun menurut Harvey, dalam Lukman (2009: 56), dinyatakan bahwa ukuran terpenting yang menjadi penentu kertas bersifat permanen adalah kadar pH, yaitu kadar keasaman atau kebasaan suatu kertas dengan skala 0 – 14, di mana skala pH 0 menunjukkan derajat asam, skala pH 7 menunjukkan sifat netral, dan skala pH 14 menunjukkan derajat basa. Selanjutnya, mengenai unsur asam pada yang terdapat dalam kertas (termasuk daluang), Wan Mamat (1988:62--63) memaparkan bahwa, “unsur asam atau lignin, pada dasarnya merupakan salah satu bahan baku pembuatan kertas dan sudah dipergunakan sejak kira-kira seratus tahun yang lalu, lignin juga merupakan kandungan dari serat kayu itu sendiri. Di samping lignin, penggunaan zat-zat kimia seperti clorine untuk pemutih kertas, potassium alumunium sulphate untuk penghalus permukaan kertas (bahan kimia dalam proses pembuatan kertas pabrikan) dan penggunaan tinta tulis yang mengandung unsur iron gallotannate (garam besi) juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan tingkat keasaman (acid sulfurik) bahan naskah menjadi tinggi”.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
137
Secara kebetulan, di sekitar lokasi CBCC, tepatnya di Desa Cangkuang Kecamatan Leles, ditemukan naskah yang bahannya diperkirakan sejenis dengan bahan naskah gulungan koleksi CBCC, yang oleh pemiliknya, Zaki Munawwar, diserahkan kepada penulis agar bahannya dapat dimanfaatkan untuk uji laboratorium. Sampel ini selanjutnya disebut sampel pembanding. Di samping itu, diuji pula sampel daluang hasil rekonstruksi, selanjutnya disebut sampel rekonstruksi, agar didapatkan gambaran mengenai kualitasnya guna pemanfaatan praktis selanjutnya.
Gambar 7. Tampak bahan naskah sampel pembanding dan daluang hasil rekonstruksi. (dok. pribadi)
Berdasarkan laporan hasil uji atas ketiga sampel yang dikeluarkan BBPK tertanggal 17 Pebruari 2012, dari sampel utama didapatkan hasil uji pH sebesar 4,81 ± 0,01, hasil uji jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 2,725 mm; dari sampel pembanding didapatkan hasil uji pH sebesar 5,96 ± 0,02, hasil uji jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 2,985 mm, daya serap tinta permukaan atas 48,5 ± 2,9, daya serap tinta permukaan bawah 53,3 ± 3,6, daya serap air permukaan atas 15,4 ± 2,1, dan daya serap air permukaan bawah 17,0 ± 0,7; adapun dari sampel rekonstruksi didapatkan hasil uji pH sebesar 6,82 ± 0,01, hasil uji jenis serat menunjukkan bahwa jenis serat bahan adalah jenis softwood, dan hasil uji panjang serat sepanjang 3,575 mm, daya serap tinta permukaan atas 50,2 ± 9,1, daya serap tinta permukaan
138
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
bawah 77,5 ± 29,2, daya serap air permukaan atas 150,0 ± 3,5, dan daya serap air permukaan bawah 193,1 ± 1,4, ketahanan lipat arah serat sebesar 4246 ± 935, dan ketahanan lipat silang serat 496 ± 333. Seluruh hasil uji tersebut didasarkan pula pada kondisi ruang pengujian dengan suhu 23 ± 10 C, kelembaban ruangan pada RH 50 ± 2 %. Untuk memudahkan pembahasan, berikut ini adalah tabel hasil uji dimaksud.
Hasil Uji No.
1
Parameter
Satuan
Sampel
Sampel
Sampel
Utama
Pembading
Rekonstruksi
5,96 ± 0,02
6,82 ± 0,01
4,81 ±
pH
-
2
Jenis serat
-
Softwood
Softwood
Softwood
3
Panjang serat
mm
2,727
2,985
3,575
-
-
48,5 ± 2,9
50,2 ± 9,1
-
-
53,3 ± 3,6
77,5 ± 29,2
4
0,01
Penetrasi minyak IGT - Top side - Bottom side
5
Cobb 60 - Top side - Bottom side
6
g/m2
-
15,4 ± 2,1
150,0 ± 3,5
2
g/m
-
17,0 ± 0,7
193,1 ± 1,4
-
-
-
4246 ± 935
-
-
-
496 ± 333
Ketahanan Lipat - Arah serat -Silang serat
Tabel 1. Hasil Uji Sampel Bahan Kertas.
Tabel di atas memuat hasil uji atas tiga parameter yang dapat dibandingkan dari sampel utama, sampel pembanding, dan sampel rekonstruksi, yaitu pH, jenis serat, dan panjang serat.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
139
Derajat pH sampel utama 4,81 ± 0,01, derajat pH sampel pembanding 5,96 ± 0,02, dan derajat pH sampel rekonstruksi 6,82 ± 0,01; jenis serat ketiga sampel adalah softwood; dan panjang serat sampel utama 2,727 mm, panjang serat sampel pembanding 2,985 mm, dan panjang serat sampel rekonstruksi 3,575 mm. Hasil perbandingan atas tiga parameter di atas menunjukkan bahwa untuk derajat pH, sampel utama memiliki derajat keasaman paling tinggi, diikuti oleh sampel pembanding, dan sampel rekontruksi. Tingkat derajat keasaman yang didapat dari perbandingan hasil uji tersebut, untuk sampel utama dan sampel pembanding, secara objektif menunjukkan tingkat derajat keasaman pada waktu pengujian; sedangkan untuk sampel rekonstruksi, di samping menunjukkan tingkat derajat keasaman pada waktu pengujian, juga menunjukkan tingkat kadar asam pada waktu selesai pembuatan. Ross Harvey, dalam Lukman (2009: 59), menyatakan bahwa kadar pH kertas pada waktu pembuatan tidak boleh kurang dari 6,5 agar dapat dikategorikan sebagai kertas permanen. Melihat kenyataan bahwa kadar pH bahan naskah gulungan koleksi CBCC termasuk ke dalam kategori di bawah netral atau cenderung asam, maka penanganan naskah-naskah koleksi CBCC selanjutnya menjadi sangat penting untuk diperhatikan; karena jika penanganannya tidak dilakukan secara baik, maka tingkat penurunan kualitas bahan naskah akan berlangsung dengan cepat dan mengakibatkan kerusakan naskah-naskah itu sendiri. Selanjutnya untuk jenis serat, ketiga sampel menunjukkan jenis serat yang sama, yaitu jenis softwood. Namun demikian, setelah melakukan penelusuran lebih lanjut atas penggolongan jenis serat, softwood adalah pengolongan jenis serat untuk kayu dan bukan untuk jenis serat kulit kayu. Menurut Iswanto (2008: 1) dan Sucipto (2009: 1), secara umum kayu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu hardwood (kayu keras atau kayu daun lebar) dan softwood (kayu lunak atau kayu daun jarum); dan yang membedakan keduanya adalah keberadaan sel pembuluh yang hanya terdapat pada kayu daun lebar.
140
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Mengenai kulit kayu, Batubara (2008) menyatakan bahwa pada dasarnya kulit kayu dan kayu adalah dua bagian yang berbeda, kayu adalah jaringan xylem dan kulit kayu adalah jaringan phloem; kedua jaringan ini merupakan pembentuk struktur kayu secara utuh. Dengan demikian, untuk penentuan jenis serat ketiga sampel di atas, karena dikategorikan sebagai jenis yang sama, maka akan lebih baik jika digolongkan ke dalam jenis serat kulit kayu (daluang); Teygeler (1995) menyarankannya dengan menyatakan bahwa “ finally dluwang can be defined as beaten treebark (tapa) of paper – mulberry tree (Broussonetia papyrifera Vent.) from Java or Madura.” Adapun untuk panjang serat, sampel utama memiliki panjang serat yang paling pendek, selanjutnya diikuti oleh sampel pembanding, dan sampel rekonstruksi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ketahanan lipat sampel utama dan sampel pembanding lebih rendah dari sampel rekonstruksi, karena panjang serat berbanding lurus dengan ketahanan lipat dan kekuatan kertas, seperti yang dipaparkan Budi (1995: 105). “Secara umum panjang serat mempunyai peranan langsung terhadap sifat-sifat kekuatan kertas, hal ini dikarenakan panjang serat erat hubungannya dengan banyaknya kontak perkesatuan sel. Selain itu kekuatan internal dalam serat atau sel, lebih besar dari pada ikatan antar sel. Selain itu lembaran kertas yang terdiri dari kumpulan sel-sel yang terpisah terikat kembali satu sama lain secara lamai tanpa adanya tambahan bahan perekat, sehingga kekuatan kertas lebih didasarkan atas exobond dari luas permukaan setiap selnya. Semakin panjang sel serat akan memberikan pengaruh yang positif terhadap kekuatan pada kertas, artinya semakin panjang serat, maka kekuatan kertasnya semakin baik.” Namun demikian, panjang serat ketiga sampel di atas, masih lebih panjang jika dibandingkan dengan panjang serat dari empat jenis kayu yang diteliti oleh Budi (1995: 103) yaitu, kayu terap 1,413 mm, kayu meranti merah 1,345 mm, kayu kapur 1,410 mm,
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
141
dan kayu keruing 1,689 mm. Dengan demikian, kekuatan kertas berbahan baku kulit kayu seperti yang terdapat pada ketiga sampel yang diuji di BBPK masih lebih tinggi tingkat kekuatan kertasnya jika dibandingkan dengan kertas berbahan baku kayu terap, kayu meranti merah, kayu kapur, dan kayu keruing. Penyimpanan dan Perawatan Naskah Penyimpanan dan perawatan naskah memerlukan penanganan yang baik, karena pada dasarnya bahan naskah mudah rusak jika tidak ditangani dengan baik. Di beberapa tempat penyimpanan koleksi naskah yang sudah maju, naskah disimpan di ruangan khusus dengan suhu dan kelembaban udara tertentu. Naskah pun ditempatkan dalam lemari, rak, dan kotak yang terbuat dari kertas bebas asam. Mengenai suhu ruangan untuk penyimpanan naskah, Wan Mamat (1988:57--58) menyatakan bahwa suhu ideal berkisar antara 550F (130C) sampai dengan 650F (180C) dengan kondisi udara yang mengalir, sedangkan kelembaban berkisar 50%. Alat untuk mengatur suhu ruangan dikenal sebagai air conditioning (AC) dan alat untuk mengatur kelembaban dikenal sebagai higrometer. Dengan memperhatikan hal tersebut, laju kerusakan bahan naskah dapat diperlambat dan kondisi fisiknya dapat dipertahankan sehingga suatu naskah dapat bertahan lebih lama. Naskah gulungan koleksi CBCC dengan dimensi 176 X 23 cm. saat ini tampak disimpan dalam sebuah lemari kaca yang cukup baik sehingga terbebas dari debu dan serangga yang dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada naskah. Pengemasan dan penyimpanan naskah dalam bentuk gulungan diperkirakan ada sudah sejak lama, diperkirakan sejak bahan naskah dibuat sampai saat ini. Pengemasan naskah dalam bentuk gulungan sepertinya merupakan pengemasan yang cukup baik untuk dimensi panjang 176 cm, karena dalam bentuk gulungan serat-serat pembentuk lembaran bahan akan lebih terjaga dibandingkan jika dikemas dalam bentuk lipatan, memungkinkan serat pembentuk lembaran 142
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
bahan akan putus sebagai akibat dari proses buka tutup lipatan yang berulang.
Gambar 8. suhu ruangan 27 derajat celcius dan kelembaban 64 persen, data diambil pada bulan Juni 2008. (dok. pribadi)
Walaupun saat ini penyimpanan dan perawatan naskah sudah cukup baik, yaitu naskah disimpan dalam lemari kaca sehingga terhindar dari kontak langsung dengan udara luar, debu, dan terbebas dari jamahan tangan, namun secara kasat mata terlihat bahwa pada permukaan bahan naskah masih terdapat beberapa kerusakan yang mungkin akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut. Faktor penyebab kerusakan naskah yang nampak, di antaranya, adalah faktor lingkungan. Hal ini tampak dari adanya bagian naskah yang lembab karena terhidrolisis oleh udara basah. Bagian naskah yang lembab ini kemudian menimbulkan kerusakan lebih lanjut, yaitu mendorong tumbuhnya jamur. Di samping itu terdapat pula kulit telur kecoa yang menempel di permukaan bahan naskah dan beberapa lubang kecil yang diperkirakan disebabkan serangga sejenis kutu buku. Adanya jamur, kulit telur kecoa, dan lubang-lubang pada naskah menunjukkan adanya faktor biologis sebagai penyebab kerusakan naskah.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
143
Gambar 9. Tampak faktor biologis sebagai faktor penyebab kerusakan naskah. (dok. pribadi)
Atas dasar hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa kerusakan bahan naskah gulungan koleksi CBCC, di antaranya, disebabkan oleh faktor usia, faktor lingkungan, faktor biologis, dan faktor mekanis. Pada kalangan masyarakat tertentu di Indonesia saat ini, khususnya masyarakat tradisional, terdapat kegiatan penyimpanan dan perawatan naskah secara tradisional. Berdasarkan pengamatan sepintas, upaya yang dilakukan masyarakat tradisional dalam melakukan penyimpanan dan perawatan naskah memberikan keuntungan bagi kondisi naskah, sehingga keberadaan naskah masih dapat disaksikan sampai saat ini. Upaya yang dilakukan masyarakat tradisional di antaranya dengan menyimpan naskah pada kotak kayu, menyimpan naskah di atas tempat yang agak tinggi pada bagian dinding rumah agar tidak terjangkau anak-anak, membungkus naskah dengan kain, dan ada kalanya di dalam kotak kayu dan bungkusan kain tersebut disertakan pula beberapa batang cerutu, biji cengkih, bunga melati, dan sebagainya.
144
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Gambar 10. Tampak gulungan Wayang Beber dan kotak penyimpannya di Gunung Kidul. (dok. pribadi)
Cerutu, biji cengkih, dan bunga melati yang disimpan di dalam kotak kayu ataupun kain pembungkus naskah ternyata dapat menghindarkan serangan rayap, kutu buku, semut, ataupun serangga pengganggu lainnya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada naskah. hal ini dapat dipahami karena ternyata baik cerutu, biji cengkih, dan bunga melati masing-masing mempunyai aroma khas yang tidak disukai serangga.
Gambar 11. Tampak penyimpanan naskah yang dijadikan sarang semut. (dok. pribadi)
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
145
Di beberapa tempat tertentu, yang masyarakat pendukungnya masih memegang teguh adat istiadat, naskah dan benda-benda koleksi lainnya hanya boleh dibuka dan dilihat satu tahun sekali, biasanya pada bulan-bulan yang dianggap sakral, seperti bulan Mulud sekaligus dengan melakukan prosesi pembersihan pusaka. Pengaturan waktu untuk membuka dan membersihkan naskah beserta benda-benda yang dianggap keramat (termasuk mengkeramatkan naskah), ternyata ada sisi positif dan sisi negatifnya. Sisi positifnya adalah memberikan ketahanan bagi naskah itu sendiri, dalam hal ini naskah tidak sembarang waktu dijamah tangan dan dibuka tutup. Sisi negatifnya adalah kandungan informasi naskah tidak diketahui masyarakat banyak sehingga, jika terjadi penurunan kualitas kondisi naskah, maka tingkat kerusakannya tidak cepat diketahui dan kerusakannya tidak akan dapat dicegah. Daftar Pustaka Baried, Siti Baroroh (1985). Pengantar Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Batubara, Ridwanti (2008). Kimia Kulit Kayu, Potensi dan Peluang Pemanfaatannya. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Budi, Agus Sulistyo (1995). “Morfologi Serat Pulp dari Empat Jenis Kayu Daun Lebar dalam Hubungannya dengan Kekuatan Kertasnya”. Jurnal FRONTIER Nomor 17. September 1995. Ekadjati, Edi S. (1988). Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan The Toyota Foundation. Lubis, Nabilah (1996). Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah. Lukman
146
(2009).
“Penggunaan
Kertas
Permanen
sebagai
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Pencegahan Kerusakan Kertas”. Jurnal BACA Vol. 30, No. 1, Agustus 2009 (01-72). Munawar, Zaki (2002). Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya. Garut: Dinas Pariwisata Seni dan Budaya. Sudjiman, Panuti (1994). Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya. Teygeler, René (1995). “Dluwang, a Javanese/Madurese Tapa from The Paper-mulberry Tree” dalam www\IIAS Newsletter\IIASN-6\Southeast Asia. Dikunjungi pada tanggal 14 April 2004. Wan Mamat, Wan Ali Hj. (1988). Pemuliharaan Buku dan Manuskrip. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
147
Abstrak Lontar adalah produk budaya Bali dan telah diakui menjadi warisan budaya dunia. Masyarakat Bali berkeyakinan lontar memiliki arti yang penting dan sangat bermanfaat untuk hidup dan kehidupannya. Lontar dengan segala bentuk wacana penuturannya memotret dan memberikan cermin kehidupan yang dapat dijadikan smerti, yaitu contoh dan implementasi kehidupan yang patut dan tidak patut dilakukan. Tulisan ini mendeskripsikan lontar dari berbagai dimensi mencakup lontar sebagai warisan budaya, tradisi penulisan manuskrip, serta proses pembuatan manuskrip lontar. Kata Kunci: Lontar, Bali, Manuskrip Pendahuluan Kata lontar memiliki kaitan erat dengan sumber bahan dasar pembuatannya, yaitu rontal /daun ental/tal (sejenis daun palma/borassus flabelliformis). Lontar sebagai produk budaya kaya makna telah mengangkat citra tradisi Bali di tengah-tengah pergaulan peradaban masyarakat dunia. Warisan budaya yang satu ini juga telah memberikan aura keluhuran dan mentransmisikan keunggulan pemikiran masyarakat Bali yang melahirkannya. Tradisi lontar di Bali memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan umur yang tua seiring dengan nilai-nilai *) Pengajar di Jurusan Sastra Bali, Fakultas Sastra, Universitas Udayana Bali.
148
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
sejarah, agama, filsafat, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan tinggi lainnya. Lontar perekam jagat pemikiran masyarakat Bali sampai dalam bentuknya sekarang merupakan saksi sejarah dan menjadi penampang historik masyarakat pendukungnya. Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut dari generasi ke generasi dalam suasana kerohanian dan kemurnian hati nurani. Masyarakat Bali meyakini lontar adalah wahana bersemayam Sang Hyang Aji Saraswati, yaitu manifestasi Ida Sang Hyang Widi (Tuhan) sebagai sumber ilmu pengetahuan. Setiap 6 bulan sekali, bertepatan dengan perhitungan kalender Bali Sabtu Kliwon Wuku Watugunung lontar-lontar dibuatkan upacara piodalan Saraswati. Pada hari ini masyarakat menghaturkan aneka banten pasucian Weton Saraswati. Keesokan harinya, pada hari Minggu Umanis Watugunung, masyarakat Bali pagi-pagi benar membawa toya kumkuman (air suci) menuju sumber-sumber mata air atau pantai melaksanakan upacara banyu pinaruh (menyambut turunnya ilmu pengetahuan). Para panglingsir (orang tua berpengetahuan) di Bali memaparkan kata Saraswati ke dalam dua bentuk dasar, yaitu saras dan wati. Saras diterjemahkan sebagai sang mraga toya, dangan mes membah (beliau yang berbadankan air, begitu mudah mengalir atau sesuatu yang mengalir) dan kecap bebaos sang mraga wagmi sajroning bebaosan (kata-kata orang bijaksana saat memberikan petuah). Wati diterjemahkan sang adrue (pemilik). Dari uraian itu, kata Saraswati diterjemahkan sebagai Ida Sang mambek toya tur wagmi sajroning bebaosan yang artinya beliau yang mengalirkan air suci pengetahuan. Saraswati adalah sumber dari segala sumber kata-kata bijak (mraga wagmi). Karena itu, Dewi Saraswati juga dijuluki Dewi Wagmiswari (Dewi Katakata) atau Wagmimaya (Kata-kata Bertuah). Julukan yang lain untuk memuliakan Dewi Saraswati sebagai sumber ilmu pengetahuan yaitu: Putkari Dewi, Bhatari Dewi, Sarada Dewi, dan Brahma Putri. Itulah Saraswati, Dewi sumber ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang berupa tastra (manuskrip aksara Bali) yang bersemayam di mahligai lontar.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
149
Lontar Warisan Budaya Lontar adalah produk budaya Bali dan telah diakui menjadi warisan budaya dunia. Betapa tidak. Menurut Bali Cultural Heritage Coservation, Volume 10 (1998: 2-6) lontar Bali termasuk salah satu warisan budaya dunia karena memiliki karakteristik, seperti: 1) warisan budaya intelektual (intellectual heritage), 2) tradisi yang hidup (living tradition), 3) mudah dipindahkan (moveable), 4) memiliki wujud fisik (tangible) dan non-fisik (intangible), 5) memiliki fungsi dan kedudukan yang terhormat dan disucikan dalam masyarakat (abstract), dan 6) sudah menjadi salah satu warisan dunia (wolrd heritage). Lontar Warisan Intelektual Kekayaan pemikiran dan rohani masyarakat Bali secara tradisi terekam dalam manuskrip lontar. Masyarakat Bali berkeyakinan lontar memiliki arti yang penting dan sangat bermanfaat untuk hidup dan kehidupannya. Lontar dengan segala bentuk wacana penuturannya memotret dan memberikan cermin kehidupan yang dapat dijadikan smerti, yaitu contoh dan implementasi kehidupan yang patut dan tidak patut dilakukan. Itu artinya, kandungan lontar dengan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang pernah ada dan dimiliki masyarakat Bali masa lampau dapat dikembangkan untuk menata dan meningkatkan kehidupan spiritual dan material saat ini dan masa-masa mendatang. Tradisi keberaksaraan dan keterpelajaran pada lontar adalah warisan budaya yang sangat berharga dan penting. Bukan saja penting untuk para leluhur dan orang Bali kini, tetapi juga penting untuk menghiasi khazanah intelektual masyarakat luas lainnya. Semuanya masih relevan dan patut diwarisi, dilestarikan, dan diteruskan agar tercapai kehidupan material-spiritual yang lebih baik. Tradisi masyarakat Bali mempelajari dan menekuni lontar disebut anak nyastra (a man of letters) yang artinya beliau yang terpelajar (gelettered). Mereka itulah yang sesungguhnya steak holders lontar di Bali. Lontar Tradisi yang Masih Hidup Kita meyakini tradisi lontar adalah tradisi masyarakat Bali yang sudah tua. Walaupun usianya telah tua, tradisi ini masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat Bali. Keadaan ini berbeda jauh dengan masyarakat Indonesia lainnya yang mewarisi tradisi
150
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
manuskrip. Sekriptorium-sekriptorium yang ada di Bali masih menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya. Hidupnya tradisi lontar dalam masyarakat Bali sangat didukung oleh masih hidupnya aktivitas budaya dan sumber alam lainnya, seperti: (1) Tersedianya cukup banyak pohon lontar. Pohon lontar yang menjadi sumber utama bahan penulisan lontar tumbuh subur di belahan Timur dan Utara pulau Bali. Jumlahnya mencapai ribuan pohon. Pohon lontar adalah sumber alam yang dapat diperbaharui. Mengingat lontar memiliki multimanfaat, seperti untuk bahan anyaman dan kerajinan tangan lainnya, maka pohon lontar dibudidayakan dengan baik, sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya tidak pernah berkurang. (2) Masih adanya orang yang mewarisi tradisi pembuatan daun lontar sebagai bahan rumah pintar” Dewa Catra, dan yang lainnya. (3) Adanya pusat-pusat penulisan lontar dan kegiatan penyalinan lontar di masyarakat. (4) Adanya sekolah khusus yang mengajarkan cara menulis lontar, seperti SMUN I Sidemen (dulu SMU Sidamaha) Karangasem, Jurusan Sastra Bali di berbagai perguruan tinggi di Bali, seperti Fakultas Sastra di Universitas Udayana, Unisha Singaraja, IKIP PGRI Bali, IHDN, Universitas Dwijendra, dan perguruan tinggi lainnya. (5) Masih banyak orang yang mampu menulis lontar secara tradisional. (6) Adanya perpustakaan lontar yang memiliki latar belakang sejarah yang penting seperti: Gedong Kitrya di Singaraja, Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Perpustakaan Lontar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Perpustakaan Musieum Bali, Perpustakaan Unhi Denpasar, Balai Bahasa Denpasar, dan yang lainnya, yang menyimpan lontar-lontar penting yang dibutuhkan masyarakat. (7) Tradisi membaca lontar dalam aktivitas bersastra di Bali secara tradisional erat kaitannya dengan sistem upacara dan sistem keagamaan Hindu di Bali. (8) Adanya kegiatan mabasan (membaca, menyanyikan, dan mengapresiasi) karya-karya sastra tradisional Bali di
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
151
lingkungan masyarakat Bali, yang menjadikan manuskrip lontar sebagai bahan bacaannya. (9) Perkembangan pariwisata menyumbangkan peran untuk mempertahankan tradisi lontar, seperti di desa Tenganan Pegringsingan Karangasem. Banyak anggota masyarakat Tenganan Pagringsingan menggambar dan menulis prasi serta melukis di atas media daun lontar. Lontar-lontar dalam bentuk baru itu khusus dibuat untuk dijual sebagai komoditas pariwisata ( BUIP, Bali CHC: Volume 10, 1999: 3-4). (10) Banyak masyarakat umum yang mengoleksi lontar, baik sebagai warisan maupun atas usahanya sendiri membangun perpustakaan pribadi. (11) Aktivitas lomba menyalin huruf Latin ke dalam aksara Bali di atas lempiran lontar untuk tingkat SMP dan SMA terus digalakkan. Lomba menyalin huruf Latin ke dalam aksara Bali di atas lempiran lontar selalu ada dalam ajang Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar, Pekan Olahraga dan Seni Pelajar (Porsenijar) se-Bali, Pesta Kesenian Bali, dan pihak penyelenggara lainnya, serta acara-acara khusus seperti Gebiar Nyurat Lontar oleh Pemerintah Kota Denpasar. Acara ini dikaitkan dengan misi Kota Denpasar sebagai Kota Kreatif Berwawasan Budaya Unggulan.
Gambar 1. Aktivitas pembacaan lontar cakepan. Jumlah lontar cakepan di masyarakat Bali adalah ribuan.
152
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Gambar 2. Penulis melakukan pengukuran terhadap lontar yang dikeramatkan masyarakat Desa Bayan Beleq, sisi Utara lereng gunung Rinjani di Lombok Utara.
Mudah Dipindahkan Wujud fisik lontar cukup simpel. Dengan panjang antara 30 cm. sampai 60 cm. dan lebar tidak lebih dari 4 cm. lontar mudah dibawa dan dibaca. Karena fisiknya yang sederhana ini lontar juga mudah dipindahtangankan, maka tidak jarang lontar diperjualbelikan sebagai barang antik. Sejumlah masyarakat pemilik lontar menjual lontar warisannya dengan beragam alasan, diantaranya: ingin menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya, tidak mampu mengurus sehingga kuatir rusak di tempat, untuk modal usaha, dan beragam alasan ekonomi lainnya. Alasan-alasan ini pula yang membuat semakin bersemangatnya para ”pemburu” lontar, baik dari kalangan masyarakat lokal maupun mancanegara. Golongan yang terakhir ini yang memanfaatkan tenaga lokal untuk keluar masuk desa ‟mengejar‟, lontar yang berusia tua dan berkarakter antik dan unik. Lontar-lontar tua, antik, dan unik yang telah dijual masyarakat Bali tentu tidak dapat diidentifikasi judul dan isinya. Karenanya lontar-lontar yang sudah raib ke luar dari pulau Bali dan tidak sempat katedun (disalin ke dalam naskah yang baru) ini tidak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan yang ada. Diperkirakan
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
153
bahwa lontar yang telah ”raib” jumlahnya ratusan, kalau tidak mau dikatakan ribuan. Memiliki Wujud Fisik dan Non-Fisik Jumlah lontar yang ada di masyarakat dapat diperkirakan lebih dari 55 ribu cakep (dalam kesatuan yang utuh) lontar. Jumlah itu belum termasuk yang tersimpan di perpustakaan lontar yang resmi, seperti di Gedong Kirtya. Di tempat ini tersimpan sebanyak 2414 cakep, di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana tersimpan sebanyak 738 cakep, di perpustakaan Balai Bahasa Denpasar tersimpan sebanyak 90 cakep, di Perpustakaan Universitas Hindu Indonesia tersimpan sebanyak 151 cakep, di Perpustakaan Lontar Universitas Dwijendra Denpasar tersimpan sebanyak 50 cakep, di Perpustakaan Museum Bali tersimpan 60 cakep, dan di Perpustakaan Lontar Dokumentasi Budaya Bali, Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tersimpan sebanyak 2274 cakep. Lontar yang tersimpan di lembaga-lembaga resmi biasanya mendapat pemeliharaan yang baik, sedangkan yang tersimpan di rumah-rumah penduduk, khususnya di Griya dan Puri di Bali yang jumlahnya begitu banyak, perlu mendapat penanganan fisik secara khusus agar terhindar dari kelapukan. Perlu dilakukan usaha-usaha konservasi dan pengobatan secara ilmiah dan bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan kemauan bersama, baik dari kalangan masyarakat pengoleksi maupun dari pihak pemegang kebijakan, yaitu instansi pemerintah yang terkait. Diperlukan juga kemauan politik dari para wakil rakyat, DPRD, tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Bali. Kalau semua pihak cermat dalam menangani dan mensosialisasikan fungsi strategis manuskrip lontar Bali, tentu nilai manfaat lontar dapat disumbangkan untuk memperkaya khazanah budaya bangsa dan budaya dalam lingkup internasional. Lontar sebagai bagian dari khazanah ilmu kepustakaan memiliki kodifikasi keilmuan yang kompleks dan beragam. Para ahli kepustakaan lontar, baik ilmuwan luar negeri maupun dalam negeri, membuat klasifikasi lontar Bali secara sangat beragam, sesuai dengan keluasan pengetahuan masing-masing mengenai jenis dan isi naskah lontar yang didapatkannya. Th Pigeaud yang telah mempelajari klasifikasi Freiderich (1847) dan R. Van Eck (1875), pada tahun 1967 mengklasifikasikan kepustakaan lontar
154
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Bali menjadi empat kategori besar, yaitu : (1) Religion and Ethics, seperti pustaka lontar: a. weda, mantra, dan puja, b. Kalpasastra, c. Tutur, d. Sasana, dan e. Niti; (2) History and Mythologi, seperti pustaka lontar : babad, pamancangah, usana, prasasti, dan uwug/rusak/rereg; (3) Belles Lettres, seperti pustaka lontar parwa, kakawin, kidung, geguritan dan parikan, serta satua; dan (4) Science, Arts, Humanities, Law, Folklore, Customs, antara lain: usada, prasi, awig-awig, uar-uar, sima, pipil, urak dan yang lainnya. Klasifisasi termutakhir yang banyak dirujuk adalah klasifikasi yang diterapkan Nyoman Kadjeng dari perpustakaan lontar Gedong Kirtya Singaraja (1928), yaitu: (1) Weda, yang terdiri dari jenis lontar weda, mantra, dan kalpasastra; (2) Agama, yang terdiri dari jenis lontar palakreta, sasana, dan Niti; 3) Wariga, yang terdiri dari jenis lontar wariga, tutur, kanda, dan usada; (4) Itihasa, yang terdiri dari jenis lontar parwa, kakawin, kidung, dan geguritan; (5) Babad, yang terdiri dari jenis lontar pamancangah, usana, dan uwug/rereg/rusak; dan (6) Tantri yang terdiri dari jenis lontar tantri dan satua. Kemudian I Ketut Suwidja menambah klasifikasi lontar Gedong Kirtya dengan kelompok VII, yaitu lelampahan, yang memuat lakon-lakon pertunjukan kesenian gambuh, wayang, arja dan yang lainnya. Klasifikasi manuskrip lontar di atas telah dapat memberikan citra wujud fisik naskah lontar yang ada di Bali. Wujud fisik naskah lontar yang disebut pengetahuan-pengetahuan lain oleh kalangan peneliti pernaskahan di Bali dikelompokkan karena menguraikan pengetahuan tertentu, seperti pengetahuan kearsitekturan (Astakosali, Astakosala, Asthabhumi, Wiswakarma, dan yang lain). Lontar memuat kode etik arsitektur tradisional seperti Dharmaning Sangging, dan yang berhubungan dengan upacara penyucian bangunan, seperti lontar Pemlaspas. Naskah leksikografi dan tata bahasa seperti lontar Adiswara, Ekalavya, Kretabasa, Suksmabasa, Cantakaparwa, Dasanama, dan yang memakai judul Krakah, seperti Krakah Sastra, Krakah Modre dan yang lainnya. Lontar Ekalawya dan Dasanama tidak sekedar memuat daftar kata, tetapi juga memuat sejumlah makna sinonim, sedangkan lontar Krakah antara lain memuat uraian beserta makna istilah dalam naskah-naskah tertentu. Naskah hukum juga ditemukan dalam dunia lontar di Bali. Beberapa yang penting adalah: lontar Adigama, Dewagama, Kutara Manawa,
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
155
dan Purwadhigama. Lontar-lontar hukum yang lebih banyak bercorak Bali, diantaranya: Kretasima, Kretasima Subak, Paswara, dan awig-awig. Lontar yang memuat pengetahuan astronomi biasanya memakai judul Wariga dan Sundari. Lontar jenis ini banyak dijumpai. Banyak menguraikan masalah-masalah pertanian seperti penentuan iklim, hari baik atau buruk untuk suatu pekerjaan, sampai dengan penentuan hari-hari baik untuk upacara keagamaan (Agastia: 1985:13-14). Memiliki Abstraksi Nilai Fungsi dan kedudukan lontar dalam masyarakat memiliki kaitan yang erat dengan sistem kepercayaan dan kehidupan keagamaan masyarakat Bali. Lontar bagi masyarakat Bali adalah kitab suci yang selain disucikan juga dipelajari untuk dijadikan pegangan hidup sehari-hari (suluh nikang prabha). Ada hari khusus yang ditetapkan untuk menghormati dan mensucikan lontar, yaitu hari Puja Saraswati. Puja Saraswati mendapat tempat istimewa bagi umat Hindu di Bali sehingga masuk ke dalam sistem kalender Bali. Hari dan Wuku peringatan Puja Saraswati ditempatkan pada hari terakhir, yaitu hari Sabtu (Saniscara) dan Wuku terakhir, Watugunung. Hari khusus tersebut ditandai dengan kegiatan mengumpulkan benda-benda pusaka lontar. Puja Saraswati ditandai dengan kegiatan membuat candi aksara atau candi pustaka (mengumpulkan lontar-lontar terpilih) yang dijadikan sthana bagi Sang Aji Saraswati, kemudian orang Bali melakukan pemujaan pada pagi hari, sedangkan pada malam harinya (semalam suntuk) membaca dan menyanyikan sastra-sastra lontar pilihan. Sang Hyang Aji Saraswati, Hyang Wagiswari disimbolkan bersthana dalam aksara suci. Lontar-lontar suci disthanakan sebagai candi Tastra Saraswati (candi pustaka, candi bahasa, candi sastra, ataupun candi aksara) yang adalah tempat suci bagi Saraswati. Aksara menjadi badan Sang Hyang Aji Saraswati. Warisan Budaya Dunia Lontar kaya wujud dan jenis, serta kaya makna dan filosofi. Para ahli pernaskahan dari berbagai belahan dunia mengakui bahwa lontar merupakan warisan budaya dunia yang harus diselamatkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan. Manakala warisan budaya dunia ini lenyap, itu berarti salah satu warisan dunia yang penting telah
156
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
hilang. Manakala hal itu benar-benar terjadi, hal itu merupakan kebodohan, kemunafikan, dan kesalahan besar yang dilakukan oleh generasi “anak bumi” di dunia ini. Karena itu, sudah saatnya dilakukan upaya yang lebih besar dan kuat untuk menyelamatkan lontar sebagai warisan budaya dunia. Perlindungan yang sifatnya mengharuskan pewaris lontar untuk menyelamatkan, melanjutkan, dan mempelajari lontar yang diwarisinya adalah implementasi keberlangsungan hidup dan kehidupan lontar sebagai warisan budaya dunia.
Gambar 3. Lontar yang dikeramatkan masyarakat saat dibaca didahului dengan melakukan prosesi upacara, untuk memohon kemurahan-Nya, sehingga prosesi pembacaan menjadi lancar dan apa yang dicari dalam lontar didapatkan.
Tradisi Menulis di Atas Daun Lontar Sebelum mencermati goresan artistik aksara Bali di atas daun lontar, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan aksara Bali sebagai lambang bahasa, karena melalui aksara Balilah bahasa sebagai unsur universal dari kebudayaan itu terdokumentasikan. Aksara Bali adalah lambang bahasa yang telah mengambil fungsi dan peran sebagai lambang identitas masyarakat Bali. Aksara Bali adalah wahana atau sarana untuk mengungkapkan segala hal tentang kebudayaan Bali (BUIP, CHC, 1999:4). Dalam tradisi penulisan lontar, sebelum memulai
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
157
menggoreskan pangrupak di atas lempiran lontar, seorang pengawi atau penyalin biasanya melakukan ritual kecil untuk memohon anugerah ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati, sida sidi kasaraswaten. Hakikat menulis adalah mempraktikkan yoga spiritualitas, mengasah dan mempraktikkan seluruh kemampuan intelektual dan kualitas intuitif, kehalusan rasa, serta menjaga irama pernafasan yang teratur dan jernih. Sebagaimana dinyatakan dalam lontar Tutur Saraswati, Hyang Yogiswara difilsafatkan berstana pada kedua mata penulis lontar, Bhagawan Mredhu berstana pada kedua tangan penulis, dan Baghawan Reka berstana pada ujung pangrupak. Dengan cara ini mereka yakin akan berhasil menciptakan teks lontar yang utama dan memiliki jiwa (ruh suci). Karena itu pula, seorang penulis lontar selalu berusaha keras agar tidak mematikan atau ngucek (mencoret) aksara. Mereka percaya hal itu akan mendatangkan akibat buruk pada diri, seperti umur pendek. Mencoret sandangan aksara yang berada di atas pangawak (badan pokok aksara) seperti ulu akan mengakibatkan kebutaan atau berkurangnya daya ingat, mencoret taleng/taling dan bisah/wisah berakibat pancet (sakit pinggang), dan melangkahi aksara akan mengakibatkan kebodohan. Kepercayaan ini menjadikan lontar yang ada kelihatan bersih serta rapi tulisannya, dan tampak seperti tidak ada penulisan. Tidak pernah ada aksara Bali yang dicoret. Seandainya terjadi salah tulis, penulis membubuhkan dua sandangan (pangangge) aksara, sehingga aksara yang salah tulis tidak berbunyi (mati). Sandangan yang lazim dipakai adalah ulu dan suku. Karenanya, ada perumpamaan yang jamak dituturkan dalam masyarakat Bali, yaitu ”bagaikan aksara memakai dua sandangan suara, masuku (memakai suku) dan maulu (memakai ulu)”, yang artinya sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi alias sudah mati. Bagaimana membaca lontar yang banyak ditemukan aksara matinya? Pembaca lontar harus tanggap, cepat-cepatlah melirik aksara berikutnya yang merupakan sambungan aksara didepannya. Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa, sastra dan aksara Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para stake holders ini menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1) pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan (alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari
158
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya), (3) serbuk tinggkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar, (4) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (6) penggaris dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu menghasilkan urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi dan bersih), (7) panakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9) dan sesajen seperlunya. Jenis pangrupak yang dipakai menggores lontar disesuaikan dengan maksud dan tujuan penulisan; yaitu: pangrupak dengan kelancipan 45 derajat untuk menulis aksara Bali, pangrupak dengan kelancipan 70 derajat untuk membuat prasi (menggambar di atas daun lontar), dan pangrupak kelancipan sedang (kurang lebih 10 derajat), lebar, dan tajam untuk memotong rontal. Cara menulis di atas daun lontar berbeda dengan di atas kertas. Demikian juga menggunakan pangrupak berbeda dengan cara menggunakan pisau dapur atau alat pertukangan lainnya. Pangrupak memiliki tiga mata sisi yang tajam untuk menghasilkan karakter aksara Bali ideal, yaitu aksara Bali yang memiliki kakuub (karakter) wayah dan ngatumbah/matan titiran (bundar, lembut, halus, dan mengagumkan). Masing-masing pangrupak juga memakai hiasan, ada yang menyerupai pendeta, patung hanoman, burung merak, aksara Ongkara, dan yang lainnya. Menulis di atas daun lontar menggunakan pangrupak, memerlukan keterampilan menulis yang khusus, yang berkaitan dengan posisi tangan saat menggores lontar. Tangan kiri berada di posisi bawah untuk mengalasi atau memegang lontar, sedangkan tangan kanan berada di posisi atas memegang pangrupak seraya menggerakkan jari-jemari tangan sedemikian rupa. Ibu jari dan jari tengah tangan kanan menjepit lembut pangrupak, telunjuk menekan halus saat menggoreskan bentukan aksara. Jempol kiri bertugas mendorong-dorong pangrupak hingga terjadi pergerakan lontar ke arah kanan. Dua jemari tangan kanan lainnya, jari manis dan kelingking, membantu menjaga kestabilan dan berfungsi mensuplai energi kelembutan sehingga tangan tidak mudah lelah. Dalam menggoreskan aksara Bali dari kiri ke kanan harus
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
159
dicermati ruang-ruang diantara tiga lubang yang ada di kiri, tengah, dan kanan. Terdapat empat garis yang tersedia di atas rontal. Mulailah menulis dari garis yang memiliki ruang paling sempit, dengan aksara digantung pada garis yang telah disediakan. Perhatikan lebar ruang yang disediakan di antara garis-garis yang tersedia. Berkosentrasi dan menciptalah dengan perasaan halus, lembut, tenang, dan senang. Goresan simbol aksara yang pertama sangat mempengaruhi besar kecil dan kehalusan aksara berikutnya. Karena itu jagalah hati, cerdaskan intuisi dan intekstualitas yang dimiliki. Bernafaslah yang teratur. Lemah lembut dalam ketenangan hati yang menakjubkan. Sekalikali nikmati bunyi irama yang ditimbulkan oleh goresan yang dibuat. Irama yang mengkhusukkan.
Gambar 4. Menulis aksara Bali di atas daun lontar memerlukan pengetahuan tersendiri.
Proses Pembuatan Lempiran Lontar Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi masyarakat Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasardasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan
160
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana yang khusuk, sehingga menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai. Penulisan prosesi daun lontar ini disajikan berdasarkan pengalaman penulis meneliti prosesi pembuatan lempiran lontar dan berdasarkan bahan bacaan yang ada. Pada kesempatan ini penulis sarikan informasi pembuatan lempiran daun lontar sebagaimana yang dilakukan oleh Ida I Dewa Gde Catra di Rumah Pintar Tradisional di bilangan jalan Untung Surapati, Amlapura, di ujung Timur pulau Bali. Berikut penulis sarikan teknik tradisional Prosesi Pembuatan Lempiran Lontar (2010) Bali seperti yang dilakukan budayawan lontar asal Puri Sidemen Karangasem ini. Ida I Dewa Gde Catra (pelaku prosesi pembuatan lempiran lontar yang paling produktif sampai hari ini di Bali) menyebut helai daun lontar yang dihasilkannya sebagai lempiran. Daun lontar atau lempiran yang dimaksud berbentuk blanko, dihasilkan melalui proses khas teknologi tradisi Bali, selempir demi selempir sehingga menghasilkan pepesan. Satu bendel terdiri dari 100 lempiran. Inilah lempiran lontar kosong yang siap ditulisi. Dinyatakan pula pembuatan lempiran lontar memakan waktu yang relatif lama, rumit, membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Tujuannya adalah mendapatkan mutu lempiran yang baik, bertahan dalam waktu yang panjang, mudah ditulisi, serta bentuknya indah dan rapi. Sebelum prosesi pembuatan lontar dilakukan, seniman lontar perlu memperhatikan jenis pohon rontal yang akan dipetik daunnya. Pohon rontal yang baik adalah yang telah berumur lebih dari 30 tahun., Pohon tersebut harus tumbuh di tanah yang mengandung kapur, tanah bebatuan seperti tanah lahar, tanah di tepi laut, yang mendapat sinar matahari langsung dari pagi hingga sore. Pohon itu juga sudah pernah disadap niranya, sehingga tidak banyak mengandung sagu. Pohon rontal yang tumbuh di tanah yang subur, daunnya kurang baik dibuat pepesan karena tebal, berserat besar-besar dan kaku. Masyarakat Bali membedakan pohon rontal atas dua jenis, yaitu rontal luh (betina) yang dapat menghasilkan buah atau tuak (nira) dan rontal muani (jantan) yang tidak menghasilkan buah. Rontal muani berbunga tetapi bunganya tidak pernah menjadi buah. Demikian pula jenis dan kualitas daun pohon rontal berbeda-beda. Pohon rontal yang daunnya luwes, kenyal, serat
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
161
halus disebut ron tal taluh (telor). Pohon yang daunnya tebal berserat kasar dan kaku seperti kulit binatang disebut ron tal belulang. Sedangkan pohon yang helai daunnya panjang dan lebar disebut dolog (menyerupai senjata dolog, yaitu sejenis golok yang panjang). (pohon rontal, pohon lontar, pohon tal???) Daun tal yang dipilih untuk prosesi pembuatan pepesan berkatagori panyaja (muda atau menengah). Usia daun tal penyaja diketahui dari kategori hijau daunnya juga ditandai dari posisi kecondongan pelepahnya yang kurang lebih 45 drajat, dengan semua ujungnya panjut (merapat dan sedikit mengering). Sedangkan lontar yang masih muda berupa busung (janur) ataupun yang sudah berupa danyuh/wayah (tua) tidak dapat dimanfaatkan sebagai lempiran pepesan. Pemetikan daun tal untuk pepesan menggunakan joan anggetan (galah yang ujungnya memakai pisau). Daun tal yang berbentuk kipas kangget (dipotong dan dicari ) hanya bagian tengah saja, tidak lebih dari empat sampai enam helai setiap satu pelepah daun tal. Mengingat daun tal cukup tebal dan tiap bilahnya terdiri dari dua helai dalam satu lidi, maka agar benar-benar kering seperti yang diinginkan, tentu proses pengeringannya memakan waktu yang cukup lama. Daun tal harus dijemur di tempat yang terang beberapa kali, sehingga benar-benar renyah (kering benar). Musim petik daun tal yang baik pada sasih kasanga - kadasa (seputar bulan Maret - April), yang disebut kreta masa, dan sasih katiga-kapat (seputar bulan September - Oktober), yang disebut gegadon. Bulan-bulan ini adalah musim kemarau, saat matahari bersinar panas dan langit terang benderang. Daun tal petik kering yang dipilih untuk pepesan adalah yang bilahnya panjang, lebarnya sesuai, permukaan rata tidak tuludan (berlekak-lekuk), seratnya halus, tidak berbintik-bintik, dan helai daunnya tidak terlalu tebal atau terlalu tipis. Bilah daun tal petik kering dipotong ujung dan pangkalnya dengan ukuran panjang tertentu sesuai dengan keperluan. Ngesit (melepas lidi) dilakukan secara hati-hati agar bilah daun lontar kering petik tidak amis (rusak). Bilah daun tal kering petik yang sudah kasit (dilepaskan lidinya) dikumpulkan dan ditata sedemikian rupa, kemudian kakum (direndam) selama tiga minggu. Pada minggu pertama air kum berwarna keruh kekuningan dan berbau kurang sedap sehingga harus diganti setiap hari, pagi, dan sore. Pada minggu
162
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
kedua dan ketiga air kum diganti setiap tiga hari sekali, hingga benar-benar bersih, tidak berbuih, dan tidak berbau lagi. Ngekum (merendam) daun tal kering petik dengan tujuan menghilangkan sagunya, agar hampa tak rapuh (serbukan) yang disukai rayap. Tiga minggu prosesi ngekum tal telah berlalu. Daun tal diangkat dan di diguyur air bersih, dijemur, ditebarkan sedemikian rapi di tempat yang terang sehingga hari itu juga dipastikan benar-benar kering. Dua hari dua malam dianginanginkan untuk tiga bulan kemudian baru direbus. Merebus daun tal kering petik memerlukan panci besar, tunggu, kayu api, dan air yang cukup dan harus dijaga dengan saksama. Ramuan bahan pengawet seperti kulit pohon kayu intaran, kayu wong, kulit pangkal pohon kelapa, batang kantewali, daun sambiroto, umbi gadung diparut. Rempah-rempah seperti: lada, merica, jebug harum, dan jebug (buah pinang yang tua) semua dirajang dan kemudian ditumbuk hingga halus menjadi serbuk. Bahan-bahan itu digunakan sesuai dengan jumlah rontal yang akan direbus. Saat perebusan, setiap kali air rebus menyurut petugas harus menambahkan air secukupnya, berulang-ulang hingga lima sampai enam jam. Lebih lama direbus hasilnya lebih baik. Daun tal yang dianggap telah masak jangan langsung diangkat. Biarkan agar dingin dengan sendirinya. Setelah dingin, angkat dan segera jemur di tempat yang lapang dan mendapat sinar matahari penuh. Agar lebih cepat kering, lontar dibolak-balik selembar demi selembar. Setelah merata kering, diangkat perlahan-lahan agar tidak pecah, kemudian dayuhin (diangin-anginkan) di tempat yang teduh. Tiga puluh sampai dengan lima puluh lembar lontar disatukan, diikat ujung, tengah dan pangkalnya, lalu simpan di tempat yang aman, terhindar dari sinar matahari, ujan, hawa panas berlebihan. Lama menyimpan tiga-empat bulan, dan semakin lama disimpan kualitasnya semakin membaik. Blagbag, pres tradisional untuk lontar yang dibuat dari kayu dengan menggunakan pasak. Alat ini digunakan untuk meluruskan dan memampatkan serat dan rongga-rongga yang kemungkinan masih terdapat pada lontar setelah proses pengeringan. Caranya, daun lontar yang telah direbus dan disimpan berbulan-bulan dimasukkan ke dalam penjepit blagbag secara teratur sesuai dengan panjang lontar masing-masing. Setelah berjumlah seratus, disela dengan penampang kayu (pandalan), demikian juga selanjutnya hingga penuh, sesuai
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
163
kapasitas blagbag, kemudian pasak dipasang. Setelah beberapa hari lontar mengalami pemampatan, pasak pun akan menjadi longgar, sehingga harus disela dengan pandalan dan dipasak kembali hingga mampat. Proses ini dilakukan berminggu-minggu, kadang berbulan-bulan, hingga rontal benar-benar lurus dan rata. Pembuatan lontar pepesan didahului dengan pembuatan mal yang dibuat dari daun tal dengan panjang dan lebar yang telah ditetapkan, lalu diisi lubang sebasar jarum. Mal ditempal di atas daun tal, jarum pirit (paser tradisional Bali) ditusukkan pada tengah-tengah lubang kecil mal yang di kiri, kanan, dan tengah. Mirit artinya melubangi lontar di samping kiri, kanan, dan tengah tepat di titik ujung pirit. Lontar yang telah mapirit (berlubang) dimasuki lidi (jelujuh) agar tidak mudah bergerak saat diiris dan dirapikan pinggirannya. Langkah berikutnya dalam proses pembuatan lontar adalah nepes (menjepit), nyerut (mengetam), dan nyepat (menggaris). Nepes adalah pres terakhir lontar tepesan, nyerut adalah merapikan ujung pangkal dan diisi cat tradisional Bali agar kelihatan indah dan rapi. Sedangkan nyepat adalah pembuatan lontar tepesan siap tulis (gores) dengan pangrupak (pisau tulis tradisional Bali). Kesimpulan Lontar sebagai manuskrip masyarakat Bali telah mengangkat citra tradisi peradaban Bali di tengah-tengah intelektualitas peradaban dunia. Manuskrip lontar adalah produk budaya Bali yang kaya makna dan memberikan citra keluhuran dan keunggulan jagat pemikiran masyarakat Bali yang melahirkannya. Warisan dan tradisi lontar telah berusia cukup tua. Di Bali banyak dijumpai lontar yang berumur tua yang memiliki nilai sejarah, filsafat, agama, pengobatan, sastra, dan ilmu pengetahuan tinggi lainnya. Pewarisan tradisi lontar di Bali berlanjut dari generasi ke generasi. Sebagai tradisi yang hidup, manuskrip masyarakat Bali ini didukung oleh ketersediaan bahan baku yang cukup, kegiatan penulisan lontar yang masih berlangsung, kegiatan pembacaan yang masih semarak, dan penelitian teks naskah lontar yang semakin meningkat. Sebagai warisan budaya, manuskrip lontar di Bali memiliki karakter antara lain: (a) warisan budaya intelektual (intellectual heritage), (b) tradisi yang masih hidup (living tradition), (c)
164
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
mudah dipindahkan (moveable), (d) memiliki wujud fisik (tangible) dan non-fisik (intangible), (e) memiliki fungsi dan kedudukan terhormat atau disucikan oleh masyarakat Bali (abstract), dan (g) menjadi salah satu warisan budaya dunia (world heritage). Secara tradisi, pengarang karya sastra Bali (pangawi) dan penedun (penyalin) lontar adalah para stake holders bahasa, sastra dan aksara Bali. Dalam aktivitas penulisan lontar, para stake holders ini menyiapkan bahan-bahan utama seperti: (1) pepesan (daun tal siap tulis), pangrupak (pisau tulis), (2) pelikan (alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua sisinya), (3) serbuk tingkih (buah kemiri) atau buah naga sari yang dibakar sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar, (4) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (5) dulang kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (6) penggaris dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu menghasilkan urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi dan bersih), (7) penakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (8) kapas atau kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas material penghitam, (9) dan sesajen seperlunya. Lontar terbuat dari daun alami pohon Tal/Rontal. Lontar mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama, sampai berabad-abad. Bagi masyarakat Bali, lontar memiliki wibawa, taksu (kekuatan ilahi), dan dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan tidak lepas dari dasardasar budaya dan keyakinan masyarakat Bali yang melahirkannya. Di samping itu, lontar Bali dibuat dengan cara yang saksama, menggunakan teknologi tradisional, membutuhkan kesabaran yang tinggi, dan dalam suasana yang khusuk, sehingga menghasilkan lempiran lontar sehelai demi sehelai.
Daftar Pustaka Agastia, IBG (1985). Keadaan dan Jenis-Jenis Naskah Bali. Yogyakarta: Javanologi. Catra, Ida I Dewa Gde, ”Prosesi Pembuatan Daun Lontar”, Denpasar: Jurusan Sastra Daerah FS Universitas Udayana . Medera, I Nengah, dkk. (2005). Pedoman Pasang Aksara Bali.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
165
Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Rai Putra, Ida Bagus (2006). ”Teknik Nyurat Aksara Bali untuk Kejuaraan”. Denpasar: PWII Bali. ------------- (2008). ”Tastra Sastra Saraswati”. Makalah diskusi hari suci Saraswati. Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar. Simpen AB, I Wayan (1973). Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Pengajaran Propinsi Bali Daerah Tingkat I Bali. Tim Consultancy Service (1999). BUIP CHC Volume 10. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
166
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Abstrak Teks Sulalat al-Salatin (Perteturun Raja-raja) karya Tun Seri Lanang jelas sangat fenomenal. Teks ini mampu „hidup‟ berabadabad melampaui kebesaran zamannya, dan bahkan pengarangnya. Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu klasik, Sulalat al-Salatin dapat dianggap sebagai salah satu teks Melayu terpenting yang berhasil memikat dan menyita perhatian sejumlah sarjana. Tulisan ini akan menegaskan kembali signifikansi teks Sulalat al-Salatin sebagai sebuah karya sastra Melayu tradisional adiluhung yang dihubungkan dengan tokoh Tun Seri Lanang dengan melihatnya dari perspektif tahqiq atau kajian filologis. Kata Kunci: Sulalat al-Salatin, Tun Seri Lanang, Tahqiq, Kajian Filologis.
* Penulis adalah peneliti senior di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Saat ini menjabat sebagai ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara. 77 Tulisan ini berasal dari “Seminar Ketokohan Tun Seri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa”, Biereun, Aceh, 8 Desember 2011, yang diselenggarakan oleh Direktorat Nilai Sejarah, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, bekerja sama dengan Yayasan Tun Sri Lanang.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
167
“…Tak ada tulisan Melayu jang demikian banjaknya diselidiki [selain Sulalat al-Salatin]…”. Dr. C. Hooykaas, Perintis Sastra (1951: 132). “…Di dalamnya terbayang bukan saja genius pengarangnya tetapi juga genius sastera serta bangsa yang menciptanya…” Muhammad Haji Salleh, dalam Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu (teks diunduh dari situs MCP). Membincangkan Tun Seri Lanang berkaitan dengan karya sastranya, ingatan orang niscaya akan langsung mengarah pada sebuah karya sastra sejarah, Sulalat al-Salatin (Perteturun Rajaraja). Teks ini merupakan satu-satunya karya sastra yang kepengarangannya dihubungkan dengan tokoh „jagoan‟ kita dalam tulisan ini, Tun Seri Lanang. Sejauh pengetahuan saya, Tun Seri Lanang memang tidak dikenal memiliki karya sastra Melayu lain selain Sulalat al-Salatin. Kendati demikian, Sulalat al-Salatin jelas sangat fenomenal. Teks ini mampu „hidup‟ berabad-abad melampaui kebesaran zamannya, dan bahkan pengarangnya. Dalam konteks sejarah kesusastraan Melayu klasik, Sulalat alSalatin dapat dianggap sebagai salah satu teks Melayu terpenting yang berhasil memikat dan menyita perhatian sejumlah sarjana. Terkait dengan kutipan di atas, Hooykaas menegaskan bahwa para sarjana sedemikian tertarik dengan Sulalat al-Salatin karena “…cara kitab itu melukiskan sesuatu hal dengan tjara jang sederhana sekali dan oleh isi kitab itu jang amat indah2nya; mereka membuat terdjemahan2 dan daftar isi tjerita itu…”.78 Teuku Iskandar menambahkan bahwa semua kisah dalam Sulalat al-Salatin tersebut, seperti persiapan perang sebelum Portugis menyerang, peristiwa pertempurannya, pengunduran Sultan ke Muar dan Pahang, diceriterakan dengan begitu hidup, seolah 78
Dr. C. Hooykaas, Perintis Sastra (Groningen, Djakarta: J. B. Wolters, 1951), 131.
168
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
penulisnya hadir menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri.79 Muhammad Haji Salleh bahkan dengan berbunga-bunga mengakui: “… Dengan rasa bahawa saya sedang berdiri di depan rimba rahasia fikiran leluhur maka sebagai seorang pembaca Melayu, betapa pun saya terpisah dari akar ini, dan juga sebagai seorang pengarang yang menghadapi pendahulunya, saya berdiri kagum…”.80 Sejumlah buku, artikel, dan edisi teks atas Sulalat al-Salatin pernah ditulis dan diterbitkan dalam kurun waktu hampir dua abad ini! Sarjana paling awal di antaranya adalah John Leyden, Malay Annals: Translated from the Malay language by the late Dr. John Leyden with an introduction by Sir Thomas Stamford Raffles (London: Longman etc., 1821; diterbitkan ulang di Kuala Lumpur: MBRAS, 2001), menyusul kemudian Abdullah bin Abdul Kadir [ed.] Sejarah Melayu (Singapore: Thomas McMicking, 1841), kemudian W.G. Shellabear [ed.], Sejarah Melayu (Singapore: Methodist Publishing House, 1898), R.O. Winstedt, “The Malay Annals or Sejarah Melayu: The Earliest Recension from MS 18 of the Raffless Collection,” JMBRAS 16, 3 (1938): 1-226, T.D. Situmorang & A. Teeuw [eds.], Sedjarah Melayu Menurut Terbitan Abdullah (ibn Abdulkadir Munsji) (Jakarta: Djambatan, 1952), dan Muhammad Haji Salleh, Sulalat al-Salatin, ya‟ni Perteturun Segala Raja-raja Karangan Tun Seri Lanang (Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997). Publikasi lebih kemudian tentang Sulalat al-Salatin adalah artikel yang mencoba melihat teks ini sebagai „mitos politik Melayu‟ oleh Henri Chambert-Loir, „The Sulalat al-Salatin as A Political Myth‟ yang terbit di Jurnal Indonesia 79 (April 2005). Chambert-Loir menegaskan bahwa Sulalat al-Salatin tidak sekedar teks yang merekam dan menggambarkan peristiwa masa 79
Teuku Iskandar, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Brunei: Jabatan Kesusasteraan Melayu, Universiti Brunei Darussalam, 1995), 242. 80 Muhammad Haji Salleh, Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu (teks diunduh dari situs MCP), h. 1.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
169
lalu, melainkan juga merupakan kumpulan motif yang dapat dianggap sebagai mitos politik Melayu yang secara sadar digunakan untuk menonjolkan sebuah visi sejarah tertentu.81 Apresiasi paling mutakhir terkait Sulalat al-Salatin barangkali adalah artikel yang ditulis bersama oleh Abdrurrahman, Muhammad Ridhuan Tony Lim Abdullah, dan Raja Ahmad Iskandar Raja Yaacob berjudul “The Malay world: an analysis of Quranic verses in Sulalat al-Salatin”. Artikel ini dipresentasikan dalam “2011 International Conference on Social Sciences and Society” di Shanghai, China, 14-15 Oktober 2011 lalu, dan mengemukakan tinjauan atas ayat-ayat al-Quran yang dikutip oleh pengarang Sulalat al-Salatin. Banyaknya perhatian para sarjana tersebut tidak terlalu mengherankan mengingat kenyataannya Sulalat al-Salatin adalah sebuah sumber tertulis langka yang menjelaskan Kesultanan Melayu di Malaka abad ke-15. Apakah kemudian pembahasan tentang Sulalat al-Salatin boleh dianggap lengkap dan tuntas? Tampaknya tidak juga. Barangkali, salah satu aspek penting yang belum banyak dielaborasi terkait teks Sulalat al-Salatin adalah unsur Islam dalam teks tersebut. Artikel Abdurrahman dkk. di atas pun rasanya belum memadai karena hanya memaparkan tinjauan sederhana atas ayat-ayat al-Quran dalam Sulalat al-Salatin. Masih perlu diungkapkan, misalnya, sejauh mana Islam tergambar dalam Sulalat al-Salatin sebagai pedoman kehidupan negara di Melaka saat itu? Adakah pengaruhnya dalam penegakan hukum dan kebijakan politik? dan beberapa pertanyaan terkait awal Islamisasi lainnya. Meski demikian, artikel ini belum akan menjawab pertanyaanpertanyaan yang saya kemukakan sendiri di atas, mengingat telaah semacam itu membutuhkan penelitian dan pembacaan atas sumber-sumber primer yang memadai yang, sayangnya, tidak tersedia saat artikel ini ditulis. Karenanya, dalam kesempatan ini 81
Henri Chambert-Loir, “The Sulalat al-Salatin as a Political Myth” dalam Indonesia 79 (April 2005), h. 160.
170
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
saya hanya akan menegaskan kembali signifikansi teks Sulalat alSalatin sebagai sebuah karya sastra Melayu tradisional adiluhung yang dihubungkan dengan tokoh Tun Seri Lanang, dan sedikit melihatnya dari perspektif tahqiq atau kajian filologis. Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu? Henri Chambert-Loir memberikan komentar kritis atas kebanyakan sarjana, seperti Shellabear (1896), Winstedt (1938, 1969), Liaw Yock Fang (1993) Teuku Iskandar (1995), dan lainnya, yang lebih suka menyebut judul teks Sulalat al-Salatin sebagai Sejarah Melayu atau Malay Annals. Menurutnya, penyebutan Sejarah Melayu atau Malay Annals tersebut mengikuti dua tulisan paling awal terkait teks Sulalat al-Salatin yang disebutnya „misleading‟. Dua tulisan yang dimaksud adalah Leyden 1821 dan Abdullah 1841 seperti dikemukakan di atas.82 Muhammad Haji Salleh barangkali adalah salah seorang kekecualian, karena dalam publikasinya (1997), ia memberi judul Sulalat al-Salatin, demikian juga dalam artikelnya yang lain berjudul “Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu”.83 Dalam perspektif filologi dan tahqiq,84 judul sebuah teks memang seyogyanya didasarkan pada informasi asal yang berasal dari teks itu sendiri, sejauh informasi terkait bisa dijumpai.85 Dalam hal Sulalat al-Salatin, tanpa diragukan lagi bahwa salah 82
Henri Chambert-Loir, “The Sulalat al-Salatin, h. 133. Artikel tersebut dapat dibaca di: http://mcp.anu.edu.au/papers/MHS%20Esei1.html. 84 Tahqiq seyogyanya merupakan terjemahan dari kata „criticism‟, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai „ihkam al-shay‟ (menghakimi sesuatu). Dalam konteks sastra, tahqiq didefinisikan sebagai „al-fahs al-„ilm li-al-nusus aladabiyah min haythu masdaruha wa-sihhat nassuha wa-insha‟uha wa-sifatuha wa-tarikhuha‟ (sebuah telaah ilmiah atas teks-teks sastra, dari aspek sumber, validitas teks, penyebaran, sifat, dan sejarah teks tersebut). Lihat Lihat „Abd alHadi al-Fadli, Tahqiq al-turath, (Jeddah: Maktabat al-„Ilm, 1982), h. 31-32. 85 „Abd al-Hadi al-Fadli menjelaskan bahwa di antara tugas seorang muhaqqiq (filolog) adalah untuk: memverifikasi judul sebuah karya, memverifikasi nama pengarang, dan menegaskan hubungan sebuah karya dengan nama pengarang yang disebut. „Abd al-Hadi al-Fadli, Tahqiq al-turath, h. 121. 83
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
171
satu bagian dari mukadimah teks yang sedang didiskusikan ini berbunyi: “…maka Fakir karanglah hikayat ini kama sami‟tuhu min jaddi wa-abi, supaya akan menyukakan duli hadhirat baginda. Maka Fakir namai hikayat itu Sulalat al-Salatin yakni peraturan segala raja-raja…”.86 Berdasar pada sumber tertulis di atas, tidak ada alasan yang masuk akal untuk tidak menyebut Sulalat al-Salatin sebagai judul teks. Akan tetapi jika yang dimaksudkan adalah kandungan isinya, maka penyebutan „Sejarah Melayu‟ atau Malay Annals tentu boleh-boleh saja. Anehnya, bukan hanya sumber-sumber yang disebut di atas saja yang banyak menjadikan Sejarah Melayu sebagai judul teks, melainkan juga katalog manuskrip yang menginventarisasi dan mendeskripsikannya. Katalog Ricklefs & Voorhoeve 1977 misalnya, mendaftarkan kata kunci „Sejarah Melayu‟ dalam indeksnya87 yang merujuk pada manuskrip yang disebut sebagai Sulalat al-Salatin ini, termasuk manuskrip Raffles Malay 18 yang dijadikan sebagai landasan edisi oleh Winstedt 1938.88 Kata „Sulalat al-Salatin‟ bahkan tidak terdaftar sama sekali dalam katalog ini. Apakah hal itu disebabkan karena kata Sulalat al-Salatin adalah bahasa Arab yang tidak terlalu jelas maknanya bagi sebagian orang sehingga kebanyakan merasa lebih „nyaman‟ menyebut „Sejarah Melayu‟ yang lebih mudah difahami? Tentu ini bukan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, karena yang lebih penting adalah menampilkan apa yang tertulis dalam teks, bukan apa yang difahami peneliti atas teks tersebut! Judul berbahasa Arab untuk teks-teks Melayu adalah sebuah kelaziman pada masa lalu. 86
Dikutip dari Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245. M. C. Ricklefs and P. Voorhoeve, Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections (Oxford: Oxford University Press, 1977), h. 230. 88 M. C. Ricklefs and P. Voorhoeve, Indonesian…, h. 134-135. 87
172
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa ke depan, penyebutan „Sejarah Melayu‟ sebagai judul teks yang dihubungkan dengan dengan tokoh Tun Seri Lanang ini, seyogyanya diluruskan, kecuali jika dimaksudkan sebagai penjelasan atau pemerian belaka, dan diganti menjadi Sulalat alSalatin saja. Kata „Sulalat‟ sendiri, yang menjadi acuan terjemahan judul tersebut, dalam bahasa Arab berarti „keturunan‟ (descendant)89, sedangkan al-Salatin berarti raja-raja (kings/sultans)90. Dalam beberapa sumber, kata „Sulalat‟ ini diterjemahkan menjadi berbeda-beda. Sebagian mengejanya sebagai „Peraturan‟91, sebagian lagi „pertuturan‟92, dan sebagian lainnya „perteturun.‟93 Memperhatikan maknanya, terjemahan yang paling mendekati dari definisi kata Sulalat tersebut tampaknya adalah „perteturun‟, dan karena itulah versi Melayunya perlu dibaca sebagai „Perteturun Raja-raja‟. Tun Seri Lanang: Diskusi Kepengarangan Sulalat al-Salatin Pengetahuan umum kita menyatakan bahwa Tun Seri Lanang adalah pengarang langsung teks Sulalat al-Salatin. Hal ini terutama karena ada bukti tertulis dalam mukaddimah naskah Sulalat al-Salatin sebagai berikut: “…setelah Fakir mendengar demikian, jadi beratlah atas anggota Fakir alladzi murakkabun „ala „l-jahli, Tun Muhammad namanya, Tun Seri Lanang timang-timangannya, Paduka Raja gelarannya, Bendahara, anak Orang Kaya Paduka Raja, cucu Bendahara Seri Maharaja, cicit Bendahara Seri 89
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Urbana: Spoken Language Services, 1994), h. 489. 90 Hans Wehr, A Dictionary, h. 493. 91 Lihat antara lain Mohammad Daud Mohammad, Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1987), h. 110, 116; Teuku Iskandar, Kesusasteraan… h. 245. 92 Lihat misalnya Henri Chambert-Loir, The Sulalat…, h. 134. 93 Lihat misalnya Muhammad Haji Salleh, Sulalat al-Salatin, ya‟ni Perteturun Segala Raja-Raja Karangan Tun Seri Lanang (Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
173
Maharaja, cicit Bendahara Tun Nara Wangsa, piut Bendahara Seri Maharaja anak Seri Nara Diraja Tun Ali, anak baginda Mani Purindam, qaddasa „llahu sirrahum, Melayu bangsanya, dari Bukit Siguntang Mahameru, Malakat negerinya, Batu Sawar Darussalam…”94 Akan tetapi, ada beberapa sarjana seperti R. J. Wilkinson dan R. O. Winstedt yang masih mendiskusikan apakah Tun Seri Lanang dapat disebut sebagai pengarang langsung teks Sulalat al-Salatin atau penyalin? Teuku Iskandar mendiskusikan perbincangan para sarjana tersebut secara panjang lebar.95 Disebutkan, Wilkinson misalnya berasumsi bahwa kalimat “…maka Fakir karanglah hikayat ini…” dalam teks Sulalat al-Salatin tidak cukup lazim ditulis oleh seorang pengarang Melayu yang menyebut dirinya sendiri sebagai seorang „pengarang‟. Selain itu, tambahan berbagai gelar serta asal-usul pengarang sebagai keturunan para pembesar kerajaan, yang terkesan sebagai pamer status, juga tidak menunjukkan kerendahan hati bangsa Melayu pada umumnya. Alih-alih menganggap Tun Seri Lanang sebagai pengarang langsung, Wilkinson menduga bahwa teks Sulalat al-Salatin tersebut dikarang oleh seorang peranakan Tamil yang mengenal kehidupan istana Melaka, mengetahui bahasa Sanskritt, Parsi, Tamil dan Arab, serta mengetahui sedikit bahasa Cina dan Siam. 96 Winstedt menambahkan beberapa hal yang membuat dirinya sangsi bahwa Tun Seri Lanang adalah pengarang Sulalat alSalatin. Salah satunya adalah karena di akhir naskah versi Raffles Malay 18 tertulis kalimat: “…wa-katibuhu Raja Bungsu…”, yang mengisyaratkan seolah-olah pengarangnya adalah Raja Bungsu.97 Argumen seperti ini tentu saja masih dapat diperdebatkan, karena 94
Dikutip dari Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 244. Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245-259. 96 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 245; lihat juga Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), h. 97. 97 Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 249. 95
174
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
kata „katib‟ sendiri, yang dalam bahasa Arab berarti „penulis‟, dapat saja merujuk, baik pada pengarang maupun penyalin sebuah teks. Itulah mengapa Teuku Iskandar memberikan komentar bahwa manuskrip Raffles Malay 18 yang diakhiri dengan kalimat “…wa-katibuhu Raja Bungsu…” adalah salinan manuskrip dari hikayat yang dibawa dari Goa, yang dimiliki oleh Raja Bungsu.98 Demikianlah, terlepas dari pengakuan atas keindahan dan keagungan Sulalat al-Salatin sebagai karya sastra sejarah Melayu, tampaknya sebuah kajian tekstologis untuk secara khusus memastikan Tun Seri Lanang sebagai pengarang Sulalat alSalatin perlu dilakukan, karena selain Wilkinson dan Winstedt di atas, masih ada beberapa lagi sarjana yang masih belum yakin bahwa Tun Seri Lanang adalah pengarangnya. Liaw Yock Fang adalah salah satu di antaranya. Ia, misalnya, mengatakan bahwa penyebab keraguan itu adalah karena: “…kebanyakan daripada versi-versi [manuskrip Sulalat al-Salatin, pen.] ini masih belum cukup diselidiki dan sukar ditentukan pengarang dan masa tertulisnya…”.99 Tentu saja ada sejumlah sarjana lain yang tidak sependapat dengan pandangan di atas. Teuku Iskandar dan C. Hooykaas misalnya, termasuk di antara mereka yang meyakini bahwa Tun Seri Lanang adalah pengarang Sulalat al-Salatin. Menurut Teuku Iskandar, harus difahami bahwa konsep „penyalin‟ dalam tradisi kesusasteraan Melayu lama dapat juga berarti „pengarang‟, karena ia tidak hanya sekedar menyalin, melainkan juga menambahkan bagian, kadang satu episode cukup panjang, yang dianggap perlu, memperbaiki bagian yang dianggap tidak tepat, bahkan mengubah bahasa karya asal atau menerjemahkan, sesuai konteks dan kebutuhan pada masanya.100 Dengan demikian, setelah memaparkan argumentasi yang cukup panjang, Teuku Iskandar secara tegas mengatakan: 98 99 100
Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 252. Liaw Yock Fang, Sejarah… h. 97. Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 250.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
175
“…sejak tahun 1964 kita telah menyatakan bahwa Tun Seri Lananglah pengarang Sejarah Melayu dan menentang pendapat Winstedt yang menafikan hakikat ini…”.101 Dalam konteks ini, barangkali pendekatan tahqiq seperti saya kemukakan di atas dapat diterapkan untuk melakukan sebuah kajian khusus berkaitan dengan kepengarangan teks Sulalat alSalatin, meski sarjana semisal Henri Chambert-Loir mengaku tidak tertarik memperdebatkan apakah Sulalat al-Salatin ini dikarang oleh Tun Seri Lanang sendiri atau pengarang lainnya, karena ia tidak melihat ada alasan kuat untuk mempermasalahkannya. Hal ini mungkin karena dalam kenyataannya, kebesaran dan keindahan teks Sulalat al-Salatin itu sendiri sebagai sebuah karya sastra sejarah Melayu klasik dalam beberapa hal sepertinya sudah jauh melebihi kebesaran zaman dan pengarangnya. Penutup Demikianlah, tulisan ini mungkin tidak memberikan kontribusi penting dan juga tidak menyediakan informasi baru terkait karyakarya sastra yang dihubungkan dengan Tun Seri Lanang. Saya hanya berharap bahwa kajian atas karya-karya sastra Melayu semisal Sulalat al-Salatin dapat terus digalakkan dengan melihatnya dari berbagai perspektif, agar kajian tersebut memberikan gambaran yang lebih utuh terkait peradaban Melayu Nusantara kita pada masa lalu. Wallahu a‟lam bissawab. Daftar Bacaan Chambert-Loir, Henri (2005). „The Sulalat al-Salatin as a Political Myth‟ dalam Indonesia 79 (April 2005), h. 160. Fadli, „Abd al-Hadi al- (1982). Tahqiq al-turath. Jeddah: Maktabat al-„Ilm. Fang, Liaw Yock (1993). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2. 101
176
Teuku Iskandar, Kesusasteraan, h. 256.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Jakarta: Penerbit Erlangga. Hooykaas, C. (1951). Perintis Sastra. Groningen, Djakarta: J. B. Wolters. Iskandar, Teuku (1995). Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Brunei: Jabatan Kesusasteraan Melayu, Universiti Brunei Darussalam. Mohammad, Mohammad Daud (1987). Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ricklefs M. C. and P. Voorhoeve (1977). Indonesian Manuscripts in Great Britain: A Catalogue of manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections. Oxford: Oxford University Press. Salleh, Muhammad Haji. Sulalat al-Salatin: Adikarya Akalbudi Melayu. Artikel diunduh dari situs Malay Corcondance Project (http://mcp.anu.edu.au/papers/MHS%20Esei1.html), h. 1 ----------. (1997). Sulalat al-Salatin, ya‟ni Perteturun Segala Raja-Raja Karangan Tun Seri Lanang. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan & Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997). Wehr, Hans (1994). A Dictionary of Modern Written Arabic. Urbana: Spoken Language Services, 1994.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
177
Willem van der Molen (2011). Kritik Teks Jawa; Sebuah pemandangan umum dan pendekatan baru yang diterapkan kepada Kunjarakarna. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Tebal x + 392 hlm. ISBN 978-979-461-787-8.
Artikel resensi ini adalah telaah lama yang pernah diterbitkan di majalah Basis (Th. XXXIII, no. 7, Juli 1984, hlm. 255-272). Sehubungan dengan terbitnya disertasi W. van der Molen dalam terjemahan bahasa Indonesia, saya merasa perlu untuk menerbitkan lagi artikel itu dengan pengurangan dan perubahan seperlunya. Terbitan teks, terjemahan, dan perbaikan bacaan Terbitan diplomatik teks Kuñjarakarṇa (prosa) dari ketiga naskah yang diteliti, yang disajikan secara sinoptik, sungguh membantu pembaca untuk bekerja sendiri: menganalisis, mengemukakan alternatif bacaan, bahkan mungkin mencoba membuat rekonstruksi. Berdasarkan kesempatan luas yang diberikan itu
178
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
akan dikemukakan beberapa hal yang mungkin membantu pemahaman dan penelitian lebih lanjut. Diandaikan, bahwa setiap penerbit atau penyunting teks memahami teks dan menguasai bahasa teks yang diterbitkan atau disuntingnya. Erat hubungan dengan hal itu, suatu masalah yang berulang kali dibahas oleh para penerbit teks Jawa adalah masalah pemisahan kata beserta dasar-dasar linguistiknya. Dalam hal ini terbitan teks Kuñjarakarṇa (prosa) menunjukkan kekurangan yang menyolok. Sekalipun hal-ihwal ejaan telah diselidiki secara rumit, namun barulah menyangkut pemakaian beberapa huruf saja, dan terbatas pada tataran kata dasar (h. 121162). Selanjutnya masih perlu dilakukan penelitian ejaan dengan memperhatikan tataran morfo-sintaksis. Penelitian ini diharapkan akan menampilkan ciri-ciri kebahasaan dari teks yang bersangkutan, yang dapat membantu untuk menentukan kedudukan teks itu dalam sejarah bahasa dan tahapan tradisi. Ejaan yang tidak konsisten sangat penting diselidiki demi pemahaman teks dan perbaikan bacaan. Pemahaman teks dan perbaikan bacaan secara bertahap perlu memperhatikan: teks dari satu naskah, bandingan antarteks dengan karya yang sama dari naskah lain, dan hubungan antar teks dengan berbagai karya lainnya. Sejumlah contoh berikut ini dimaksudkan sebagai sumbangan pikiran untuk pemahaman teks dan perbaikan bacaan, terutama dari naskah H. Kesalahan terjemahan.
pemisahan
kata
menimbulkan
kesalahan
(1) 125 H paŋan inum. sanḍaŋ agoh arabihanakkanak Terjemahan: “Makan, minum, berkeluarga, […]”. (h. 175)
pakaian,
ternak,
Terjemahan “ternak” berhubungan dengan bacaan “agoh” (“goh”, lembu). Seharusnya dibaca: 125 H paŋan inum. sanḍaŋ
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
179
ago harabi hanakkanak “Sanḍaŋ a <ṅ> go” berarti: “pakaian dan perhiasan” (lihat Zoetmulder, 1982, Old-Javanese English Dictionary = OJED, I: 100, aŋgo; II: 1647, sandaŋ) (2) 334 H
śammi dadupa mrabukk arum pawaŋi
Terjemahan: “[…] mewangi. (h. 185)
berbau
dupa
semerbak
harum
Seharusnya dibaca: “śammida dupa”, yang berarti: “kayu bakar (dan) dupa” (OJED, II: 1638, samidha, samiddha). Lalu “winoŋan” (333) seharusnya dihubungkan dengan “śammida dupa”. (3) 1028 H wawa ṣima ŋuyu ḷbuguntuṅ, Terjemahan: “wawal, sima, nguyu, lebuguntung”. (h. 219) Seharusnya dibaca: “wawaṣi manguyu ḷbuguntuṅ”, yang adalah nama-nama jenis pertapa. (OJED, II: 2216, wasi; I: 1114, maŋuyu; bdk. 594 H pamanuyon; I: 1001, lebuguntur). (4) 2440 H […] Ø watu pinaŋka ta wulan. […] Terjemahan: “[…] Ø Batu sebagai bulan (h. 290-291) Seharusnya dibaca: “watu pinaŋka tawulan”, yang berarti: “batu merupakan tulang(nya)”. (OJED, II: 1901, tahulan). (5) 3130 H halŋa burat. ma oṃ, kĕmbaṅ kuṣaṅ runtiṅruntiṅ, cinakuṣ i wawaŋi kambaŋ wĕrataŋanta, […]
180
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
Terjemahan: “[…] dengan minyak dan boreh. Mantra: om, bunga kusang dan runting … wewangian. Bunga wratanganta. (h. 325). Seharusnya dibaca: 3130 H halŋa burat. ma oṃ, kĕmbaṅku ṣaṅ runtiṅruntiṅ cinaku ṣi wawaŋi kambaŋ wĕratanaŋta, […] Artinya: “Mengenakan minyak boreh. (Ungkapan ini menandai tahap upacara, tidak termasuk mantra yang terdahulu. Mantra: Oṃ, Bungaku Sang Runting-runting. Ciriku (OJED, I: 327, cihna II) Si Harum Bunga Weratanganta (? Bdk. K: kĕmbaṅ wĕratta baranta).” Seperti telah terlihat pada contoh-contoh di atas, banyak bagian tidak diterjemahkan (ditandai: …), karena arti masih gelap, sebab: pemisahan kata salah; pemisahan kata ditangguhkan; arti kata tidak dicari, baik dalam kamus, dalam bandingan intrateks, maupun bandingan antarteks; bahasa, ungkapan, dan konteks kurang dipahami; perbaikan bacaan belum dilakukan, dan lain-lain. Berikut ini disajikan beberapa contoh lagi. (6) 1792 H sammana rupanta, kadi hantiga kinulitan. […] Terjemahan: “Rupa anda waktu itu seperti telur berkulit” (h. 257). “Hantiga kinulitan” artinya bukanlah “telur berkulit”, melainkan “telur yang dikuliti (dikupas kulitnya)”. (OJED, I: 918, kulit). (7) 2203 H […] maŋke taṇn agiraha, ranak baṭara, pukulun
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
181
tan panaŋguha lara, Terjemahan: “Sekarang … Hamba tidak menganggapnya penderitaan. […]”. (h. 279) Memang naskah K berbunyi: “maŋge tan agiraṅ”, tetapi sejajar dengan “tan panaŋguha lara”, “tan agiraha” (naskah H) selayaknya dibaca: “tan ageraha” (tak akan merasa sakit). (OJED, I: 540, grah). (8) 3188 H […] pun puṙṇawijaya, amintaha, 3190
amit kantuna paṣĕk kapaŋgaḥ, haniti hi pantaraṇn aji, pukulun.
Terjemahan: “Purnawijaya mohon diri: „Tinggallah baikbaik … di atas singgasana raja, Batara. […]‟”. (h. 327). Larik 3191 seharusnya dibaca: “paṣĕkk apaŋgaḥ, hanitihi”. (OJED, II: 1310, pasak I, pasĕk; II, 2023, titih). Mungkin “pantaraṇn aji” (3192) lebih baik tetap dibaca: “pantaraṇnaji” (gabungan kata: pa [n] taraṇnaaji; K pataraṇna maṇni). Perihal sandhi atau gabungan kata semacam ini perlu dipertimbangkan lagi demi pemahaman ciri kebahasan dari teks yang bersangkutan. Terjemahan sementara: “[…] Si Purnawijaya mohon diri. (Bagian kalimat ini termasuk langsung! OJED, II: 1438, pun I). Hendaklah tinggal tetap terhormat menduduki singgasana Tuanku”
hendak ucapan Tuanku rajawi,
(9) 3124 H timbul krawa len bujana kulit. K tinbul krawa le bujana kulit 3125 H tan tĕtĕsa deniṅ wwakadaga, K tan tĕtĕsa deniṅ wwakadga
182
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
3126 H lwir pusuḥ tĕg kĕṅ kĕṅ; […] K lwir pusuḥ kĕg. kĕṅ kĕṅ […] Terjemahan: “tak tertembus oleh … seperti kuncup bunga. Teg keng keng”. (h. 325). Bacaan dapat diperbaiki menjadi: “timbul krawalen (atau: krawale; OJED, I: 806, karawalya (karawali?), Us 156: timbal kurawale) bujan<eṅ> kulit. (bdk. 3116 H: puspa liŋganeṅ siraḥku). Tan tĕtĕsa deninṅ <sar>wwakadga, lir pusuḥ tĕg (atau: kĕg) kĕṅkĕṅ”. Menurut konteks “gḍug. gḍug.” (3123 H; suara orang menghentak bumi) berhubungan dengan “om […] dalamakanku”. Terjemahan sementara: “Timbul Krawale Buja (Sakti Kebal Lengan?) ada di kulit, tak akan mempan oleh segala macam pedang (senjata) bagaikan kuncup bunga (?). Tĕg. Membatu”. (10) 3116 H satakuṣilulunnonen […] K maṭakuśilulukonĕn […] Pemisahan kata belum ditentukan, dan tidak diterjemahkan. (h.323). berdasarkan bandingan teks dari kedua naskah, dan bandingan antarteks dengan karya lain, diusulkan bacaan: “mataku si lulut onĕng”, dengan arti: “Mataku Si Lulut Onĕng (Si Asyik-Masyuk)”. (OJED, I: 1055, lulut; II: 2121, unĕŋ, unaŋ). Dalam Korawāçrama (Swellengrebel, 1936) terdapat Aji Sūkṣma-jahinang dengan ungkapan: “lulut onĕng ring utari” (h. 136). Dalam Cantakaparwa terdapat pula Aji Jahinang dengan ungkapan: “Lulur onĕng ring untunku” (naskah Kirtya 398, h. 99a). Aji ini terdapat sesudah cerita tentang Kuñjayakarna dan Pūrṇawijaya. (bdk. Ensink, On the OldJavanese Cantakaparwa and Its Tale of Sutasoma, 1967, h. 9).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
183
(11) 1009 H […] upamanya yi kadyaŋga ṇniṅ saṅ besawaṙṇna hatuŋgu kaywaŋan. papa ṭa humaḥnya kĕbĕk deṇniṅ raja drawwa, mas pirak miraḥ kommala hinten. […] Terjemahan: “Bandingkan dengan Besawarna yang menunggui kayangan pendosa. Rumahnya penuh dengan harta benda emas, perak permata, kemala, intan.” (h. 219) Terjemahan: “yang menunggui kayangan pendosa” berhubungan dengan bacaan “papa ṭa” dan salah hubung dengan “kaywaŋan” (1011). Seharusnya dibaca: “papaṭ
a humahnya”, yang berarti: “Empatlah rumahnya”. Rumah itu bukan milik Besawarna, melainkan milik orang-orang di dunia yang berbuat kebaikan, dan nanti akan dinikmati, bila mereka sudah mati. (H 1015-1030). Seperti itulah halnya kawah tempat siksaan. Maka: (12) 1032 H iwa maŋkana yayi kawa ulun… Terjemahan: “[…] …meskipun demikian saya ragu adik. (h. 219) Seharusnya dibaca: “iwa maŋkana yayi kawa<ḥ>ulun”, yang berarti: “seperti itulah, Dinda, kawahku.” (Terjemahan “iwa maŋkana” dengan “meskipun demikian”, 1032, 1698, 1708, 1716, atau “meski demikian”, 1043, tidak tepat, dan mengacaukan arti!). Bukanlah Yama yang memiliki kawah itu, melainkan orang-orang di dunia. Maka: (13) 1001 H […] tanta
184
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
niṅ ŋulun. drawe ni kawah hi wwaṅ, madyapada kaṅ drawenni kaṅ yayi, Terjemahan: “[…] … ku. Kawah adalah milik orang di dunia; merekalah yang punya, dik.” (h. 219). Seharusnya dibaca: 1001 H […] tantan i ṅŋulun. draweni kawah hi wwaṅ madyapada kaṅ drawenni ka [n] yayi, Terjemahan: “Bukanlah aku yang memiliki kawah itu, orang-orang di dunialah yang memiliki itu, Dinda”. Bukanlah Yama yang memasukkan atau memasak orangorang berdosa di dalam kawah, melainkan orang-orang itu sendirilah yang masuk ke dalam kawah. Maka: (14) 989 H […] tanta, ṇni ŋulun haḷbokna kawaḥ hika, hawake ḍawak aḷbokĕṇ nika yayi Terjemahan: “[…] … Caranya pada saya kalau saya memasukkan orang ke kawah, saua suruh masuk sendiri dik”. (h. 217). Seharusnya dibaca: 989
H
[…] tanta, ṇn i ŋulun haḷbokna kawaḥ hika, hawake ḍawak aḷbokĕṇn ika yayi
Terjemahan: “Bukanlah aku yang memasukkan ke dalam kawah itu, dirinya sendiri memasukkan itu, Dinda”.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
185
(15) 1096
H
[…] tanta ulun. klĕ, wwaṅ tuhu si maḷbu ḍawak mariṅ kawaḥ […]
Terjemahan: “[…] … Ada orang yang masuk yang sangat … Ia masuk sendiri ke dalam kawah […]”. (h. 223). Seharusnya dibaca: 1096
H
[…] tanta (atau: tan ta?) ulun. kĕla, wwaṅ tuhu si maḷbu ḍawak mariṅ kawaḥ […]
Terjemahan: “Tidaklah aku masak, orang-orang itu sesungguhnya masuk sendiri ke dalam kawah”. Perbaikan bacaan “klĕ” (1097) menjadi “kĕla” sejalan dengan “tlĕs” (156, tĕlas), “pjĕh” (3392, pĕjah), dan lainlain. (16) 1301 H […] hacukit hadulit. Terjemahan: “… pemulung, penjual kapur”. (h. 233) 2822 H kunaṅ pañcanmanya, ywa tukit. tadulit. […] Terjemahan: “selanjutnya … … penjual kapur”. (h. 309). Dalam naskah H bentuk huruf “c” agak mirip dengan “j”, sedangkan “t” jauh berbeda dengan “c”. Namun demikian, berdasarkan bandingan dengan larik 1301-1302 dan dengan bacaan naskah K (2822-2823: janmanya acukitt adulit), dapatlah bacaan larik 2822-2823 diperbaiki menjadi: “kunan pañjanmanya, ywacukit.t adulit.” Bentuk “ywacukit” dapat dipandang sebagai gabungan kata “yaacukit” dengan sisihan/tambahan “wa” pada kata “ya”. Jadi artinya: “Ada pun penjelmaannya adalah orang-orang
186
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
(yang pekerjaannya) „cukit‟, „dulit‟ ” (pedagang terasi, kapur, dan lain sebagainya). Sisipan/tambahan “w(a)” atau “y(a) dalam ejaan naskah H perlu diperhatikan untuk perbaikan bacaan dan pemahaman bahasa. (17) 28 A sakala maray. ta, K ikaṅ satala marayata H ikaṅ ṣwatala, maratabwan. “Ikaṅ ṣwatala” (naskah H) diterjemahkan: “tempatnya sendiri” (h. 169). Di sini mungkin terdapat sisipan tambahan “wa”, sehingga “ṣwatala” ekuivalen dengan “satala” (naskah K), dan berasal dari “sakala” (t
untuk
bepergian,
itulah
Mungkin harus diperbaiki demikian: 68 H laŋ kaleswa ywaki (yweki?) ywaki (yweki?) bawanya Ø Kata “klesa” (1933, 1951, 1970, dan passim) dalam naskah H kadang kadang dieja “kalesa”/kaleṣa” (1541, 1544, 1556, dan passim), “kalṣe” (1076, I. kaleṣa, h. 286), “kalweṣa” (80, 1942, 1946), dan “kleswa” (116). Maka terbukalah kemungkinan untuk bacaan “kaleswa” (68). Jadi arti perbaikan bacaan itu: “supaya hilanglah
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
187
kecemarannya, itulah maksudnya”. (19) 1114
H
[…] sapa ka yweku riṅ pakśanya, yeki maŋke tinmunya dyan tuṭ ri kaṅ kawaḥ
Terjemahannya: “[…] … Mereka sekarang berhadapan dengan perbuatan jahatnya dan harus mengikutinya ke kawah”. (h. 223). Dalam perbaikan bacaan terdapat: “sapa ka 1. sapata?” . Pertanyaan itu tidak perlu. Yang perlu diperhatikan ialah: “dyan tuṭ ri kaṅ kawah”. Mungkinkah diperbaiki menjadi: “dyan tḍuni kaṅ kawaṅ”? (A: den tĕḍūni ikaṅ kawaḥ). Bila demikian, maka bacaannya: 1114 H […] sapa kayweku riṅ pakśanya, yeki maŋke tinmunya dyan tḍuni kaṅ kawaḥ Terjemahan: “Siapa yang seperti itu sikapnya, inilah sekarang yang ditemuinya, diterjunilah kawah itu”. (20) 8
H
[…] ummilu atatya dewata kabeḥ myamujaha rwiṅ ḃaṫara byudda sri wiroñcana, […]
Terjemahan: “Sesudah itu berturut-turut para dewa memuja Batara Buddja Sri Wironcana”. (h. 169). Dalam perbaikan bacaan terdapat: “atatya? b. ata tyan?” (h. 356). Sebenarnya “atatya” ekuivalen dengan “atata” (OJED, II: 1958, tata I), seperti halnya: “byuda” – “budda”,
188
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
“myamujaha” – “mamujaha”, “tirtya” (3082) – “tirta”, “wuwustya” (3009) – “wuwusta”, dan lain-lain. Kurangnya “pasangan” beserta “sandangan”-nya perlu diperhitungkan dalam perbaikan bacaan. (21) 1074 H […] den aswruḥ hiṅ saṅ hyaṅ daṙmma, ilaŋana kalṣe ṇniṅ sariranta, Terjemahan: “[…] Pahamilah Darma maka penyakit akan hilang dari badan anda”. (h. 221). Dalam perbaikan bacaan terdapat: “1075. aswruḥ b. awruḥ. 1076. kalṣe b. kaleṣa” (hlm. 359) Mungkin “s” pada “aswruh” perlu dipertahankan. Jadi: 1074 H […] den <wu> s wruḥ hiṅ saṅ hyaṅ daṙmma, ilaŋana kaleṣa niṅ sariranta, Terjemahan: “Bila sudah tahu akan Sang Hyang Dharma, hendaklah dihilangkan kecemaran tubuhmu”. (22) 1555
H […] maŋkana ilaŋan niṅ (sic) kaleṣa papa nniṅ sarira, nandaḥ padaŋdana kita rari, […]
Terjemahan: “[…] Begitulah caranya menghilangkan kekotoran serta kekurangan badan. Ayo berpakaianlah anda”. (h. 245) Lebih tepat diperbaiki menjadi: 1555
H […] maŋkana ilaŋan niṅ kaleṣa papa nniṅ sarira, n
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
189
ndaḥ padaŋdana kita rari, […] Di sini diandaikan pasangan “ta” hilang (K: sariranta). (23) 3039 H itipa ka sla kabeh, panteni denta kabeh, […] Terjemahan: “... harus anda bunuh semua”. (h. 319) Perbaikan bacaan: 3039 H itip kasmala kabeḥ, panteni denta kabeh, […] Diandaikan, “pa” (pada “itipa”) kehilangan “wulu” dan “cĕcak”, dan “s” (pada “kasla”) kehilangan “pasangan m(a)” (bdk. 2165 H: kasmalammu). Jadi artinya: “Kerak segala kecemaran, hendaklah kau bunuh semua”. (24) 1587 H maŋaḷŋĕn śaṅ kuñjarakaṙṇna swojaṙ riṅ saṅ puṙnawijaya Terjemahan: “Sambil memegang lengannya berkata Kunjarakarna kepada Purnawijaya”. (h. 247). Bentuk huruf “ḷ” serupa dengan bentuk kombinasi huruf “ŋ(a)” dan “n(a)” (sebagai “pasangan”). Maka sebaiknya dibaca: 1587 H maŋaŋnaŋĕn śaṅ kuñjarakaṙṇna swojaṙ riṅ saṅ puṙnawijaya Terjemahan: “Berpikirlah (OJED, I: 96, aŋĕn) Sang Kunjarakarna, (lalu) berkata kepada Sang Purnawijaya: […]”. Begitu pula: (25) 3179 H ih hiŋaḷnĕndriya haja tan
190
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
prayatna, Terjemahan: “Hai, … berusahalah keras […]”. (h. 327) Sebaiknya dibaca: 3179 H ih hiŋaŋnaŋĕn driya haja tan prayatna, Artinya: “Nah, dipikir dengan periksa, jangan tak waspada, […]” (26) 399
H […] gagakk alwar curiga
Terjemahan: “[…] Mereka jahat” Teks naskah H dan perbaikan bacaan atas bacaan Kern pada naskah A: “gālak” (VG X: 57) menjadi “gāgak” tidak diikuti dengan terjemahan yang sesuai. Seharusnya: “[…] burung gagak (OJED, I 473, gagak, gāgak) yang bersayap keris”. Selanjutnya transliterasi.
perlu
diperhatikan
konsistensi
dalam
Dalam hal ini sangat penting pertimbangan dari segi linguistik. Sekedar contoh: (27) 835 A mawāk masarira
- 1824 A mawak masarira
K mawakasarira
K mawaṅk asarira
H mawakaṣarira
H mawak asarira
Semestinya 835 K dan H ditransliterasikan: “mawak asarira” dan “mawak aṣarira”. Begitu pula tempat-tempat lain yang paralel, seperti: “taṇn ana lena kapaŋguḥ” (2464, 2900, 3539), dan lain-lain. Namun demikian, perlu dipertahankan pula kekhasan bahasa
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
191
dan tradisi teks masing-masing. Misalnya: 1. 574. meŋkeneha b. maŋkeneha. (h. 358) Kiranya perlu dipertahankan: “meŋkeneha” (3369 H: meŋkeneha; OJED, I: 1139, meṅkene). Jadi pada naskah H terdapat: “maŋkana” (513, passim) – “moŋkono” (2136 H: moŋkonoha; OJED, I: 1149, moŋkono) – “meŋkene”. 2. 29. raśaksa b. rakśasa. (h. 356); 1504. raṣaksa b. rakṣasa. (h. 360); 1760. rasakṣa b. rakṣasa. (h. 361). Bisa ditambah: 1507 H: rasakṣa. Di sini pun perlu dipertahankan: “raśaksa” (beserta varian ejaannya), yang menunjukkan tahap perkembangan bahasa tertentu (bdk. Jawa Baru: rasĕksa). 3. 1300. hamahĕk b. hamahĕt. (h. 360); 2825. hamahĕt b. hamahat. (h. 364). Dalam hal ini perbaikan bacaan tidak konsisten. Untuk naskah H lebih tepat ditentukan: “hamahĕt”. 4. Perbaikan bacaan nama-nama “kuñjayakaṙṇna” beserta varian ejaannya (105, 160, 170; bdk. Cantakaparwa) menjadi “kuñjarakaṙṇna” (h. 356), dan “paladara” (3270, 3306, 3346, 3353; bdk. Sakula < Nakula) menjadi “muladara” (h. 365), perlu dipertimbangkan lagi dalam rangka tradisi penulis/penyalin. Sejarah teks dan tradisi Dalam melacak sejarah teks dan tradisinya W, van der Molen menyimpulkan, bahwa:
192
1.
mengingat kesalahan-kesalahan yang terjadi berkat salah baca, penyalin naskah A bekerja dengan lebih teliti daripada penyalin naskah H dan K.
2.
pertukaran „d‟ dan „n‟ pada naskah H dan K menyatakan, bahwa kedua naskah itu mempunyai induk yang bersamaan, di mana bentuk kedua huruf itu serupa.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
3.
penggantian kata-kata dengan sinonimnya dalam ketiga naskah itu tak dapat memberi kepastian, manakah bacaan yang harus dianggap asli.
4.
perbandingan dengan teks naskah A menunjukkan, bahwa pada sebagian episode siksaan di neraka (larik 464-570 pada terbitan teks) terdapat kekacauan urutan dan kehilangan pada naskah H dan K; hal itu disebabkan oleh salah susun satu lempir pada naskah induknya.
5.
Perbandingan isi dan struktur teks menyatakan, bahwa (a) teks naskah A menekankan pengetahuan (esoteris), sedangkan teks naskah H dan K menekankan perbuatan (ritual); (b) teks naskah A mewakili bentuk yang lebih asli, sedangkan teks naskah H dan K mengalami perubahan-perubahan yang penting.
Dengan kesimpulan-kesimpulan itu W. van der Molen meletakkan dasar untuk penelitian lebih lanjut, baik ke arah penentuan tradisi maupun ke arah rekonstruksi teks yang dicitacitakan. Untuk tidak memperpanjang artikel ini akan diberikan beberapa pokok pikiran untuk penelitian lebih lanjut. 1.
Salah satu perbedaan teks yang penting terdapat pada larik 294: “saṅ mātiwatiwa (naskah A) dan “sṣaṅ mati” (naskah H)/ “sṣa mati” (naskah K). Ada kemungkinan teks naskah A berhubungan dengan upacara orang mati (OJED, II: 2026, tiwa; Tengger: Ĕntas-ĕntas). Dalam konteks itu diberikan ajaran tentang dunia orang mati, hukum karma, penjelmaan kembali, proses kelahiran, serta hakekat pengetahuan akan dharma, samādhi dan tapa sebagai penghilang kecemaran dan jalan kelepasan. Teks naskah H dan K memperluas ajaran itu dan lebih terarah pada praktek dengan mengambil alih teks upacara (mis. larik 3085-3137), yang bersifat pembayatan (inisiasi) atau ruwat. Pengambilalihan teks itu sesuai
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
193
dengan ajaran yang juga termuat dalam naskah A (mis. larik 1973-1975). 2.
Perbandingan struktur teks ketiga naskah itu memperlihatkan, bahwa perubahan atau tambahan pada teks naskah H dan K bersifat membuat keseimbangan: a. antara unsur-unsur cerita - lukisan tapa Kunjarakarna dan Purnawijaya pada akhir cerita (3549-3559, A-H-K) diimbangi dengan lukisan tapa Kunjarakarna pada awal cerita (39-46, H-K). - lukisan pintu Ayahbumipantana (321-340, A-H-K) diimbangi dengan lukisan pintu yang dijaga oleh Dorakala (222-230, H-K). b. antara yang terjadi pada diri Kunjarakarna dan yang terjadi pada diri Purnawijaya -
ajaran tentang “atma” dari Wairocana kepada Kunjarakarna (805-810, 828-835, A-H-K) diimbangi dengan ajaran serupa dari Wairocana kepada Purnawijaya (2305-2310, 2312-2317, H-K).
-
ajaran tentang “pañcabuta” dari Wairocana kepada Purnawijaya (2237-2260, A-H-K) diimbangi dengan ajaran serupa dari Yama kepada Kunjarakarna (844-866, H-K).
-
pembersihan dengan “tirta pañjitah mala” pada diri Kunjarakarna (2038-2044, A-H-K) diimbangi dengan pembersihan serupa pada diri Purnawijaya (3048-3071, H-K). Bdk. juga 3080-3138, H-K dengan 2048-2060, H-K).
c. antara ajaran dan praktek -
194
ajaran tentang “atma” dari Wairocana kepada Purnawijaya (2312-2317, H-K) diimbangi dengan lukisan praktek Purnawijaya (2905-2917, H-K).
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
-
ajaran tentang “samadhi” dari Wairocana kepada Purnawijaya (2436-2454, H-K) diimbangi dengan lukisan praktek Purnawijaya (dua tahap: 2491-2494, 2550-2555, H-K). Perbedaan teks ajaran dengan lukisan praktek mungkin menunjukkan tahap penyusunan yang berbeda.
Masih banyak hal serupa bisa ditemukan. Analisis semacam ini dapat membantu untuk mengenali lapisan-lapisan teks dan tahaptahap penyusunannya.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
195
Ketentuan Penulisan untuk Jumantara: 1. Jenis tulisan berupa artikel hasil penelitian atau setara hasil penelitian mengenai naskah serta tinjauan buku. 2. Panjang tulisan berkisar antara 20.000 – 40.000 karakter (1520 halaman termasuk bibliografi, ketik spasi rangkap di atas kertas A4). 3. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia disertai abstrak dan kata kunci dalam bahasa Indonesia. 4. Penulis menyertakan identitas lengkap meliputi jenjang pendidikan terakhir, kedudukan tetap, karya tulis yang dianggap penting, alamat surat elektronik pribadi, dan alamat lengkap yang mudah dihubungi. 5. Tulisan dikirim melalui surat elektronik dengan alamat [email protected] atau melalui pos ke Redaksi Jumantara, Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta 10002. 6. Naskah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi bersama Mitra Bestari dan apabila perlu akan dilakukan penyempurnaan tanpa mengubah substansi naskah. 7. Tulisan yang dimuat akan diberikan imbalan/honor sesuai peraturan yang berlaku.
196
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012