PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Alamat Redaksi: Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI. Jl. Salemba Raya No. 28 A Kotak Pos: 3624, Jakarta 10002 Telp : (021)-3154863 ext. 264 e-mail:
[email protected] homepage: http://www.pnri.go.id/MajalahOnline.aspx
JUMANTARA - JURNAL MANUSKRIP NUSANTARA Vol. 4 No. 1 Tahun 2013 PEMBINA Kepala Perpustakaan Nasional RI PENGARAH Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi PENANGGUNG JAWAB Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus PEMIMPIN REDAKSI Drs. Nindya Noegraha DEWAN REDAKSI Drs. H. Sanwani, Aditia Gunawan, S.Pd. Agung Kriswanto, SS., Drs. Nur Karim, M. Hum., Yudhi Irawan, S. Hum., Mardiono. MITRA BESTARI Prof. Dr. Achadiati, Dr. I. Kuntara Wiryamartana EDITOR BAHASA Dra. Dina Isyanti, M. Si. & Didik Purwanto, SS. SEKRETARIS REDAKSI Komari, Dian Soni Amellia, S.Hum. SIRKULASI Bambang Hernawan, SS. TATA LETAK Aditia Gunawan
JUMANTARA adalah jurnal ilmiah dengan fokus kajian naskah (manuskrip) nusantara yang menyajikan karangan ilmiah dalam bentuk hasil penelitian, penilaian terhadap hasil penelitian, serta tinjauan buku. Diterbitkan secara berkala dua kali dalam setahun oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan ISSN 2087-1074.
ii
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
iii v Artikel 1
30 46
65 85
113
125
151
165
Daftar Isi Pengantar
MUHAMAD SHOHEH Cerita Perbantahan Dahulu Kala: Pembelaan dan Sanggahan Tuanku nan Garang Atas Kritik Sayyid „Uthmān bin Yahya bin „Aqil Tahun 1885 IDA BAGUS PUTU SUAMBA Anugraha Bhaṭāra Śiwa dalam Teks Kakawin Śiwarātri-kalpa ENDANG ROCHMIATUN Farmakologi Tradisional di Palembang Dalam Perspektif Ekologi Budaya AGUS SULTON Syair Kanjeng Nabi dalam Mutiara Teks Ibadah RIZQI HANDAYANI Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj: Perjalanan Haji Sebagai Bentuk Migrasi Muslim Minangkabau GUSTI AYU NOVAENI Menggali Konsepsi Tri Hita Karana dalam Geguritan Sekar Mulat sebagai Upaya Pembentukan Karakter Bangsa FUAD MUNAJAT Hikayat Pencuri: Pergesekan Citra Penghulu Abad Ke-19 dalam Konstelasi Politik Hukum Pemerintah Kolonial ILHAM NURWANSAH Naskah Lontar Sunda Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian (624): Sebuah anomali pada pernaskahan Sunda Kuna ASEP YUDHA WIRAJAYA Welfare State sebagai Pilar Pengentasan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Kearifan Lokal dalam “Syair Nasihat”
Tinjauan Buku 181 ADITIA GUNAWAN A. Teeuw dan Kajian Sunda Kuna Agenda 189 PAMERAN NASKAH PECENONGAN KOLEKSI PERPUSTAKAAN NASIONAL
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
iii
iv
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Kearifan Nusantara tidak akan pernah usang dimakan jaman, dan akan selalu relevan dengan jamannya. Hanya saja, akhir-akhir ini pemahaman terhadap kearifan Nusantara kurang diminati oleh generasi muda. Mengapa hal ini dapat terjadi? Sebabnya generasi yang lebih dahulu memahami pengertian kearifan Nusantara kurang menularkan pemahamannya kepada generasi penerusnya, sehingga generasi muda tidak dapat disalahkan apabila mereka lebih mengetahui masalah kearifan di luar Nusantara yang mungkin tidak sesuai dengan akar budayanya. Seandainya generasi terdahulu tidak terlambat mengalihkan tongkat estafet ini, maka bangsa ini tentu menjadi bangsa yang kuat, berjati diri, kokoh, dan tidak mudah terombang-ambing dengan kondisi dunia saat ini. Bangsa ini mempunyai sejarah panjang tentang budayanya yang tinggi, sejak zaman Kalingga atau bahkan sebelumnya. Sayangnya, generasi sekarang boleh dikatakan sangat sedikit yang memahami sejarah bangsa sendiri. Hal ini disebabkan tidak adanya pelajaran sejarah seperti pada masa lampau. Padahal kearifan Nusantara akan mudah didapatkan pada peninggalan berupa karya ataupun catatan nenek moyang bangsa ini, yang terekam dalam naskah-naskah Nusantara. Kalau kita membaca apa yang termuat dalam naskah Nusantara, akan kita dapati bahwa banyak yang masih sesuai dengan jaman ini, misalnya masalah perdebatan (pada masa sekarang sering muncul dalam salah satu media elektronik). Pada masa lampau perdebatan juga sudah ada tetapi dalam bentuk karya tulis. Juga masalah perjalanan yang akhirnya membuka wawasan untuk membuka hubungan sosial, ekonomi dan menetap di suatu daerah baru (negara baru). Misalnya istilah kerifan Nusantara yang sering dipergunakan pada istilah perdagangan adalah tuna satak bathi sanak (rugi duaratus rupiah tapi mendapat saudara). Dalam dunia kapitalis tentu tidak dikenal istilah tersebut. Yang ada membeli semurah-murahnya, menjual setinggi-tingginya untuk mendapatkan untung. Sementara prinsip tuna satak bathi sanak sangat bertentangan dengan prinsip kapitalis tersebut. Memang dalam perdagangan, bagaimanapun keuntungan harus didapat, tetapi tidak harus berlipat-lipat. Walau untungnya minim, yang penting tidak rugi dan pelanggan menjadi banyak (banyak teman berarti banyak saudara). Ada istilah dalam kearifan Nusantara, bahwa: satu orang musuh itu banyak tetapi beribu teman itu sedikit, artinya janganlah kita mempunyai musuh dan bertemanlah setulus hati, jangan menusuk dari belakang. Ajaran moral semacam ini banyak diketemukan di dalam naskah Nusantara, yang tetunya sangat relevan dengan kondisi masa kini, karena pada dasarnya bangsa ini adalah bangsa yang tidak neka-neka (banyak tingkah), narima ing pandum (menerima saja apa yang diberikan), yang penting selamat di jagad dan selamat di alam kelanggengan (keabadian). Sebagai contoh bahwa manusia Nusantara membuka hubungan atau berinteraksi dengan bangsa lain terlihat dari tatanan masyarakat Bugis dan Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
v
Minangkabau. Bangsa Bugis sejak dahulu terkenal sebagai pelaut tangguh, gemar berlayar kemana saja dengan kapal layar pinisinya. Bahkan ulama besar Syekh Yusuf al-Makasari (dari Makasar) juga telah menyebarkan agama Islam sampai Afrika Selatan. Jumantara kali ini juga memuat tulisan tentang perjalanan menunaikan ibadah haji orang Minangkabau, pada masanya. Tentu perjalanan ibadah ini mempunyai perbedaan dengan saat ini, selain tranportasi akomodasi tapi juga faktor lain. Naskah-naskah Nusantara sangat sarat dengan ajaran-ajaran yang masih berguna bagi kehidupan manusia jaman sekarang, karena isinya menyentuh berbagai aspek kehidupan sejak lahir sampai mati, juga hal-hal yang penuh misteri tentang kehidupan ini. Bahkan banyak naskah-naskah yang berisi tentang hubungan manusia dengan Tuhannya, baik yang menyangkut masalahmasalah yang ringan sampai ke arah marifat. Jumantara volume 4 No. 1 Tahun 2013 ini memuat berbagai artikel yang beragam isinya: (1) Cerita Perbantahan Dahulu Kala: Pembelaan dan Sanggahan Tuanku Nan Garang atas Kritik Sayyid Uthman Bin Yahya Bin Aqil; (2) Anugraha Baṭāra Śiwa dalam Teks Kakawin Śiwarātri-Kalpa; (3) Farmakologi Tradisional di Palembang dalam Perspektif Ekologi Budaya; (4) Syair Kanjeng Nabi Dalam Mutiara Teks Ibadah; (5) Syair Fi Kaifiyat Al-Hajj: Perjalanan Haji Sebagai Bentuk Migrasi Muslim Minangkabau; (6) Menggali Konsepsi Tri Hita Karana Dalam Geguritan Sekar Mulat Sebagai Upaya Pembentukan Karakter Bangsa; (7) Hikayat Pencuri: Pergesekan Citra Penghulu Abad ke-19 dalam Konstelasi Politik Hukum Pemerintahan Kolonial; (8) Naskah Lontar Sunda Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesia (624): Sebuah Anomali Pada Pernaskahan Sunda Kuna; (9) Welfare State sebagai Pilar Pengentasan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Kearifan Lokal dalam “Syair Nasihat”; dan (10) A.Teeuw dan Kajian Sunda Kuna (Tinjauan Buku). Redaksi selalu menunggu tulisan artikel yang bersumber pada naskah Nusantara, dengan sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu. Kritik dan saran untuk kemajuan Jumantara selalu kami tunggu. Terimakasih. Pemimpin Redaksi Nindya Noegraha
vi
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Abstrak Hingga kini belum banyak tulisan yang menampilkan sanggahan atas tuduhan yang pernah dilontarkan seorang ‗ulama atas ‗ulama lainnya dalam bentuk syair. Apalagi jika orang yang melontarkan tuduhan tersebut termasuk ‗ulama Hadrami yang pro-pemerintah kolonial Belanda.Yang lebih menarik lagi, terkadang perdebatan masalah keagamaan yang nampak di permukaan sebenarnya hanyalah ―bungkus‖ dari persaingan memperebutkan pengaruh, simpati, atau bahkan disebabkan karena sentimen Hadrami dan non Hadrami. Teks ―Cerita Perbantahan Dahulu Kala‖, terdapat dalam naskah nomor 104a KFH 1/30 koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta, setidaknya merupakan rekaman tak langsung atas hal itu, karena teks ini ditulis di masanya. Di dalamnya disebut tokoh-tokoh utama yang terlibat, semisal Shaykh Nawawi al-Bantani, Salim bin ‗Abdullah bin Sumair, Sayid Uthman bin Yahya bin ‗Aqil sebagai pengkritik, sedangkan Shaykh Isma‘il alMinangkabau, Shaykh ‗Abdussalam Cianjur, dan lain-lain diwakili oleh Tuanku nan Garang sebagai penyanggah. Kata Kunci: Teks CPDK, Tuanku Nan Garang, Shaykh Isma'il alMinangkabau, Sayid Uthman, Tarekat Naqshabandiyah
* Dosen IAIN SMH Banten. Artikel ini dipresentasikan pada Short Course Metodologi Penelitian Filologi yang diselenggarakan pada 1 Juli–30 September 2012 atas kerjasama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Terima kasih kepada Dr. Oman Fathurahman, Dr. Fuad Jabali, Dr. Saiful Umam, Jajang Jahroni, MA., Munawar Holil, M.Hum., M. Adib Misbachul Islam, M.Hum atas saran dan komentarnya terhadap artikel ini.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
1
MUHAMMAD SHOHEH
Tulisan ini akan mengupas teks karya Tuanku Nan Garang (nama samaran) yang berisi beberapa pembelaan atas kritikan dan tuduhan sesat yang disampaikan Sayid Uthman bin Yahya bin ‗Aqil (1822– 1913) yang diarahkan kepada Shaykh Ismāil al-Minangkabau (1125H– 1180H) selaku penyebar Tarekat Naqshabandiyah al-Khalidiyah. Teks ini ditulis pada 11 R. Awal 1303H/11 September 1885/6 untuk merespon tulisan Sayid Uthman yang berjudul al-Wathīqah al-Wafiyyah fī„Uluwwi Shāni Ṭarīqat al-Shūfiyyah yang sempat disebarkan terkait makin meningkatnya aktivitas Tarekat Naqshabandiyah di Jawa Barat tahun 1885, dan beberapa tulisan lain yang ditulis sebelumnya. Secara historis, tarekat dan tasawuf memang kerap dihujat. Bahkan kaum modernis kerap menuding bahwa tasawuf dan tarekat merupakan salah satu penyebab kemunduran dunia Islam1 Alasannya, tasawuf dan tarekat seringkali menjadi sumber bid‟ah dan takhayyul (menjauhi ortodoksi), sedangkan dari sisi sosial, tasawuf dianggap telah membawa kaum muslimin pada sikap ―pasif‖ dan lari dari semangat aktivitas keduniaan („uzlah dan zuhud). Kedua sebab itulah yang kemudian membawa kaum muslimin terkesan lamban dan tak mampu bersaing dengan kemajuan dunia Barat, yang sejak awal abad ke-17 semakin menguasai dunia Islam.2 Padahal, anggapan itupun tidak sepenuhnya benar, karena tasawuf selain merupakan salah satu bagian dari khazanah keilmuan Islam yang bersumber pada akhlak, dalam sejarahnya para pengamal tasawuf juga banyak berperan dalam proses Islamisasi ke wilayah-wilayah yang jauh dari pusat Islam. Sepanjang abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda tengah menghadapi banyak sekali perlawanan umat Islam Nusantara. Sebut saja misalnya Perang Paderi (1821–1827), Perang Diponegoro (1825–1830), Perang Aceh (1873–1903), pemberontakan di Kalimantan Selatan (1859), kasus Haji Ripangi dari Kalisalak (1859), serta yang tidak kalah pentingnya adalah peristiwa pemberontakan kaum santri dan ulama di Cilegon tahun 1888.3 Setelah diguncang berbagai gempuran tersebut, pemerintah kolonial baru membuka mata terhadap Islam, karena berdasarkan penelitian secara seksama, pemerintah kolonial Belanda 1. Pendapat dan tuduhan itu tentu tidak sepenuhnya benar karena tidak mempunyai dasar yang kuat. Sebab, justru pada sisi lain, tasawuf dan tarekat (organisasi para sufi) mempunyai peran besar dan berkontribusi dalam proses penyebaran agama Islam ke wilayah-wilayah yang jauh dari pusat dunia Islam seperti ke Asia Tenggara, ke Afrika Barat dan Timur. 2. Uraian lebih luas lihat FAZLUR RAHMAN (1966: 212–34, 144–8). 3. Studi tentang hal ini dapat dilacak pada penelitian yang pernah dilakukan STEENBRINK: 1984. 2
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
berkesimpulan bahwa kaum santri dan tarekat memiliki keterkaitan erat dalam memotivasi gerakan ‗jihad‖ untuk melawan Belanda. Sejak itu, kebijakan untuk tidak mencampuri masalah agama Islam, akhirnya tidak dijalankan secara konsisten, karena memang tidak adanya garis yang jelas untuk itu, sehingga sikap campur tangan tak dapat dihindarkan. Satu contoh, misalnya, dalam masalah haji dan kaum tarekat. Para haji dan kaum tarekat kerap dicurigai, karena dianggap fanatik dan sering menjadi inspirator untuk memberontak.4 Baru setelah C. Snouck Hurgronje (1857–1936) datang tahun 1889, pemerintah Hindia Belanda mempunyai kebijakan yang jelas mengenai Islam di Nusantara ini. Menurut Snouck, pemerintah Hindia Belanda harus membedakan Islam dalam arti ―ibadah‖ dengan Islam sebagai ―kekuatan sosial politik‖. Jadi menurutnya, Islam itu setidaknya memiliki tiga kategori, yakni: Islam sebagai agama murni (ibadah), Islam dalam bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan, dan Islam politik. Ketiga kategori inilah yang kemudian sering disebut sebagai Islam politiek, atau politik Islam pemerintah Hindia Belanda (SUMINTO, 1985: 12). Untuk Islam dalam kategori pertama dan kedua, pemerintah kolonial hendaknya tidak ikut campur tangan, karena keduanya termasuk ke dalam hak kemerdekaan setiap warga. Bahkan untuk kategori bidang sosial dan kemasyarakatan, pemerintah kerap memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku untuk diarahkan pada kegiatan agar rakyat mendekati Belanda. Tetapi untuk Islam dalam kategori ketiga, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam. Setelah timbulnya beberapa gerakan perlawanan — sebagaimana yang telah disebutkan di atas — maka sejak itulah, pemerintah kolonial sama sekali tidak mentolerir timbulnya gerakan fanatisme Islam, karena mengancam eksistensi kekuasaannya. Organisasi tarekat, menurut mereka, termasuk dalam kategori itu. Sehingga para penguasa Belanda di Nusantara ini merasa takut dan khawatir bahwa gerakan tarekat itu akan dipergunakan para pemimpin fanatiknya sebagai basis kekuatan untuk melawan pemerintah kolonial. Untuk menilai satu tarekat, apakah ia mengajarkan ajaran fanatik dan menyimpang dari Islam atau tidak, pemerintah kolonial biasanya dibantu oleh seorang penasehat urusan Pribumi dan Arab, yang sejak tahun 1899 dipercayakan kepada C. Snouck Hurgronje, dan yang memang sejak tahun 1885 telah banyak memberikan masukan tentang 4. Sepanjang tahun 1825–1859 terbit aneka peraturan tentang Haji yang bertujuan untuk membatasi dan mempersulit untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
3
MUHAMMAD SHOHEH
Islam kepada Pemerintah kolonial. Sejak berada di Makkah hingga berada di Nusantara, Snouck banyak dibantu oleh ulama dan para penghulu, baik yang berlatar pribumi maupun dari keturunan Arab. Sebut saja misalnya: Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, KH. Hasan Mustafa (1852–1940), Raden H. Muhammad Moesa (1822–1886), Mas Haji Ihsan (1875/77–1929), Muhammad Adnan (1889-1969), Habib Abdurrahman al-Zahir (1832–?), Sayyid Uthman bin ‗Aqil (1822–1914) (mufti Betawi), dan masih banyak lagi. Masukan yang diberikan oleh seorang penghulu kepada pemerintah kolonial, ada yang diterima dan ada yang tidak. Beberapa masukan penghulu tersebut terkadang menimbulkan pro-kontra dengan ulama non pemerintah (ulama independen), bahkan tak jarang menimbulkan priksi dan polemik berkepanjangan. Salah satu contohnya adalah apa yang terekam pada naskah Cerita Perbantahan Dahulu Kala (Selanjutnya disebut CPDK saja) koleksi Perpusnas 104a KFH 1/30 yang berisi cerita polemik antara murid Shaykh Ismāil Minangkabau yang menyebut dirinya dengan sebutan ―Tuanku Nan Garang‖ dengan Sayid Uthman bin ‗Aqil bin Yahya yang kala itu menjadi Mufti di Batavia terkait fatwanya yang menyatakan bahwa tarekat Naqshabandiayah adalah termasuk tarekat yang sesat. Peristiwa Cianjur 1885 Peristiwa Cianjur adalah suatu peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1885, ketika pemerintah Hindia Belanda sangat mencemaskan aktivitas organisasi Tarekat Naqshabandiyah di Jawa Barat, karena jumlah anggota tarekat ini dari waktu ke waktu makin meningkat tidak hanya dari rakyat biasa kebanyakan, tetapi juga dari kaum birokrat dan kaum menak, bahkan termasuk para birokrat setempat seperti Bupati Cianjur, hoofdpanghulu (Penghulu Besar) Cianjur, hoofdpanghulu Sukabumi, dan Patih Sukabumi (MORIYAMA, 2003: 148-9). K.F. Holle dan Raden H. Muhammad Musa (1822–1886) (Penghulu Besar Kab. Limbangan, Garut) memandang bahwa pengikut Tarekat Naqshabandiyah yang berpusat di Cianjur itu ―beraliran fanatik‖ sehingga dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban. Dalam menghadapi hal ini, Holle menyarankan, melalui suratnya yang ia kirim kepada Peltzer (Residen Priangan), agar Penghulu besar Cianjur dan Sukabumi dipecat saja. Pada saat yang bersamaan, Sayyid Uthman di Batavia juga menerbitkan pamflet yang mengkritik persaudaraan tarekat, khususnya Naqshabandiyah, karena dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Islam. Pamflet tersebut berjudul al-Nasīhat alAnīqah li al-Mutalabbisīn bi al-Tarīqah (Nasehat yang Elok untuk 4
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Pengikut Tarekat) (BURHANUDDIN, 2012: 181). Tulisan Sayyid Uthman inilah yang kemudian dijadikan dasar argumen keagamaan oleh K.F. Holle dan Raden HM. Musa untuk mendongkel Penghulu Besar Cianjur dan Sukabumi, karena telah masuk menjadi anggota Tarekat Naqshabandiyah. Pada sisi lain, Habib as-Saghaf, seorang keturunan Arab yang baru saja dipecat sebagai penghulu Kampung Jawa di Banda Aceh, terlibat cekcok dengan Patih Sukabumi karena tidak bersedia membayar hutanghutangnya. Karena jengkel, ia mengirimkan surat berisi fitnah kepada Brunner yang kemudian menerbitkan ertikel penuh sensasi di dalam surat kabarnya, Java-Bode, edisi 28 September 1885, tentang aktivitas keagamaan Patih Sukabumi dan keterlibatannya yang terlalu jauh dalam Tarekat Naqshabandiyah. Oleh karena itu, menurut artikel tersebut, Perang Sabil akan segera pecah. Selain itu, beredar desas desus bahwa orang-orang Eropa akan segera dibunuh saat diadakan acara pacuan kuda tahunan di Bandung. Suasana itu mengakibatkan makin diperketatnya kontrol Belanda atas aktivitas keagamaan (khususnya tarekat) dan makin tumbuhnya rasa takut terhadap ―fanatisme Islam‖ itu (MORIYAMA, 2005: 148–9). Walaupun demikian, baik Residen Priangan maupun Asisten Residen Sukabumi tidak terlalu serius menganggap Tarekat Naqshabandiyah itu, dan tidak menanggapi peringatan Holle, bahkan kemudian melarang pengedaran pamflet yang ditulis oleh Sayyid Uthman di atas, karena di balik usulan Holle dan Musa terdapat tujuan politik pribadi Penghulu Limbangan, Garut, tersebut, yakni agar putra bungsunya yang bernama Djaenal Asikin (saat itu menjabat sebagai nāib di Wanaraja, namun kebetulan mempunyai kaki yang pincang akibat terjatuh dari kuda sejak kecil, karenanya ayahnya sangat mengkhawatirkan akan masa depan putra bungsunya itu) mendapatkan kedudukan. Selain itu, Musa juga berkeinginan agar putra sulungnya, Soeria Nata Ningrat, yang sedang menjabat Bupati Lebak dapat dipindahkan menjadi Bupati Cianjur (MORIYAMA, 2005: 149). Sebelum tercapai, kedua maksud pribadi ini sudah terlebih dahulu diketahui oleh Peltzer, Residen Priangan. Oleh karenanya, untuk menutupi rasa malunya, Musa akhirnya mengirim surat kepada Gubernur Jenderal van Rees untuk meminta agar ia dipecat dari jabatan Hoofdpanghulu Garut, untuk selanjutnya mengangkat putra bungsunya, Djaenal Asikin, untuk menggantikannya menduduki jabatan tersebut. Namun permintaan itu pun kemudian ditolak. Setahun kemudian Raden Muhamad Musa akhirnya wafat (MORIYAMA, 2005: 149). Dari sisi konteks, naskah CPDK ini adalah naskah koleksi Perpusnas Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
5
MUHAMMAD SHOHEH
yang ada dalam koleksi berpeti yang berasal dari milik K.F. Holle. Snouck Hurgronje pernah menyimpannya, karena keduanya pernah saling bertemu, bahkan Snouck sempat merawat Holle sebelum akhirnya ia wafat. Jadi, naskah CPDK ini ditulis terkait dengan peristiwa Cianjur. Tentang Naskah, Penulis dan Konteks Naskah Cerita Perbantahan Dahulu Kala adalah salah satu naskah koleksi Perpusnas berpeti dengan kode nomor 104a KFH_1/30. Kode KFH maksudnya adalah singkatan dari Karel Frederik Holle (1829– 1896), yakni salah seorang sarjana Belanda yang mendirikan perkebunan teh di Garut/Bogor, yang sangat konsen pada budaya dan bahasa Sunda (BEHREND, 1998: 398–403). Ia juga menjadi teman dekat C. Snouck Hurgronje dan Raden H. Muhammad Musa, hoofdpanghulu, alias Penghulu Besar daerah Limbangan, Garut. Secara historis, hubungan K.F. Holle dengan Musa begitu dekat, karena Holle kemudian menjadi ipar Raden Muhammad Musa, yakni karena menikah dengan Djoeariah, yang tidak lain merupakan adik perempuan penghulu tersebut (MORIYAMA, 2005: 149). Naskah ini asalnya merupakan milik Dr. Snouck Hurgronje, karena pada f.11verso tertulis: “Copy van eenen brief, dien Sejjid Othman uit Padang ontring naar aanleiding van Zyne geschriften tegen de tariqah‟s”. Hal ini tidak mengherankan, karena menjelang kematiannya, terutama saat K.F. Holle menderita sakit di Buitenzorg, ia memang dirawat oleh Snouck Hurgronje (BURHANUDIN, 2012: 165). Naskah 104a KFH_1/30 ini, dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia diberi judul Ṭarīqah, namun sebenarnya penulis/penyalinnya secara tidak langsung menyebutnya “Cerita Perbantahan Dahulu Kala” (bait 103), karena memang isinya adalah cerita tentang polemik antara Shaykh Nawawi al-Bantani dengan Salim bin Sumair dan antara Sayid Uthman dengan Shaykh Ismāil Minangkabau, khususnya terkait dengan masalah posisi dan perkembangan tarekat (khususnya Naqshabandiyah). Teks ―Cerita Perbantahan Dahulu Kala”(selanjutnya disebut CPDK saja) ini tampaknya ditulis oleh salah seorang murid Shaykh Ismāil Minangkabau dengan sebutan (mungkin nama samaran) Tuanku Nan Garang (bait 108). Naskah ini ditulis di bandar Padang (bait 78), Sumatera Barat, tepatnya di Minangkabau pada tanggal 11 Rabīul Awwal tahun 1303H (bait 8, 107, 115), tatkala Shaykh Ismail telah wafat (bait 18, 59). Untuk lebih jelasnya dapat dibaca bait-bait berikut ini : 6
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
108
Aku bernama Tuanku nan Garang5, Di negeri Padang ada sekarang, Di tenga[h] padang kampung ku terang, Jawab surat ku jangan se[m]barang.
78
Ismā‘īl itu orang sebrang, Di tanah Mina[ng]kabau negerinya terang, Di bandar Padang naẓam terkarang, Duduk bernanti kabar sekarang.
8
Sekarang ini ku membalas, Kepada ‗Uthmān tulus dan ikhlas, Di surat kutulis hari sebelas, Dengan kināyah beberapa qiyās.
107
Seribu tiga masanya thana[h], Di bulan Rabī‟ul Awwal di akhirnya sempurna, Duduk berpikir hamba yang hina, Soal dan jawab tidak berguna.
115
Tiga ratus tiga masanya Hijrat, Di waktu yang tersebut khatamlah surat, Di dalamnya beberapa qiyas ‗ibarat, Mudah-mudahan manfāat dunia akherat,
18
Karena Ismā‘īl tidak yang membela, telah wafat dianya ke-roḥmatullāh,6 biarlah biarlah biar salah, ganjarannya besar dari pada Allah.
59
Asal Melayu di tanah Simabur7, Sekarang di Makkah tempat terkubur, Engkau keduanya sangatlah takabbur, Mencela-cela seorang ‗ulama yang masyhur.
5. Maksudnya: orang yang berani. Ia tampaknya sengaja menyembunyikan jati dirinya secara pasti dengan tidak menyebut namanya secara langsung. Atau memang itulah panggilan namanya yang sudah umum kala itu. Namun yang jelas ia adalah murid Shaykh Isma‘il Minangkabau yang berusaha melakukan pembelaan atas hinaan yang telah dilakukan oleh Syaykh Nawawi Banten dan Sayid Uthman kepada Shaykh Isma‘il di kala gurunya itu telah wafat. 6. Maksudnya: tatkala surat ini ditulis Syeikh Isma‘il al-Minangkabau telah meninggal dunia (wafat). 7. Naskah: Sinmābūr, nama satu kampung di Batusangkar, Sumbar. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
7
MUHAMMAD SHOHEH
Gambar 1. Halaman awal Cerita Perbantahan Dahulu Kala (Naskah No. Peti 104 KFH 1/30 Koleksi Perpustakaan Nasional RI)
8
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Teks CPDK tersebut ditulis dalam bentuk naz‘am sebanyak 116 bait, ditambah 2 bait tambahan, lalu ditambah lagi terkait penjelasan tentang asal mula Tarekat Naqshabandiyah sehingga seluruhnya menjadi 157 bait. Waktu penulisan naskah ini, bila dikonversi ke dalam angka tahun masehi kira-kira bertepatan dengan tahun 1885 M. Secara kodikologis, naskah berukuran 34,5 cm × 22 cm, sedangkan teksnya berukuran 27,5 cm × 16,5 cm. Naskah terdiri dari 10 halaman (1 kuras) recto-verso ditambah kertas pelindung yang berfungsi sebagai sampul. Alas naskah adalah kertas buffalo tebal warna putih krem cerah tanpa watermark. Dalam tiap halaman, teks rata-rata terdiri dari 24 baris, kecuali pada halaman 7, 9, dan 10, terdiri dari 23, 22, dan 16 baris. Nomor halaman diletakkan pada setiap bagian tengah halaman, ditulis dengan pensil, tampaknya diberikan oleh pembuat deskripsi awal. Kata alihan diletakkan pada pojok kiri bawah pada setiap halaman verso. Terdapat garis panduan dalam bentuk line yang ditekan yang dibuat dengan pensil. Kondisi naskah masih sangat baik dan teks jelas terbaca karena ditulis dengan tinta hitam, meski ada beberapa kata yang sudah dikoreksi menggunakan pulpen. Naskah dijilid tanpa cover dengan cara dijahit dengan benang warna putih, kecuali kertas pelindung luar menggunakan kertas merk ‗Conqueror‘. Teks ditulis dengan aksara Arab, sedang bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu, kecuali beberapa baris terakhir menggunakan bahasa Arab. Khat yang digunakan adalah khat Naskhi. Terdapat halaman kosong yang tidak ditulisi, yakni pada 1r, 1v, 2r, 2v, 3r, 3v, 4r, 10r dan 10v. Keterangan tentang titi mangsa penulisan naskah ini adalah pada hari sebelas tahun 1303 Hijrat (tertera di f.7v baris ke 7). Naskah ini sebetulnya berisi cerita tentang polemik yang pernah terjadi di masa lalu, yang ditulis oleh murid Syaikh Ismāil alMinangkabau dengan nama samaran Tuanku Nan Garang. Naskah ini ditulis untuk menjawab hinaan Sayid Uthman terhadap Syeikh Ismail. Di bagian awal juga disebut bagaimana polemik pernah terjadi antara Salim bin Sumair dengan Syaikh Nawawi, juga dengan Sayid Uthman. Untuk mengetahui siapa penulis naskah CPDK dengan pasti tampak agak sulit. Karena, hingga kini, belum dapat dideteksi secara pasti siapa sebenarnya orang yang menyebut dirinya sebagai Tuanku Nan Garang tersebut. Namun yang jelas, ia adalah murid dan pengikut setia dari ajaran Shaykh Ismāil Minangkabau, selaku guru yang menyebarkan ajaran Tarekat Naqshabandiyah ke Kedah, Riau, dan terakhir hingga ia wafat di Makkah. Ia pun sama-sama pernah menuntut ilmu di Makkah, menerima baīat Tarekat Naqshabandiyah di Jabal Qubays. Ada beberapa Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
9
MUHAMMAD SHOHEH
indikasi bahwa yang bersangkutan juga sangat mengenal Sayid ‗Uthman bin ‗Aqil, artinya ia juga hidup dan masih mengalami kala gurunya masih hidup. Sedangkan dengan Sayid Uthman, ia juga nyatakan bahwa ia sempat mengenal dekat dan menghormati Sayid Uthman. Hal ini sebagai mana ia nyatakan pada empat bait pertama dalam naskah CPDK berikut ini: /1v/Bismillah itu awal bermula, Memohonkan karunia kepada Allah, Supaya naẓam jangan tersala, Membalaskan qaṣad 8 mula kala. Alḥamdulillah pula ku kata, Memuji Tuhan semata-mata, Dengan berkata penghulu kita, Seorang ulamasabda ing pandita. Kepada Uthmān mengaturkan surat, Dengan bahasa Melayu segala ibarat, Luas paduka tidak darurat, Mudah-mudahan manfāat dunia akherat. Sekian tahun beberapa lama, ‗Uthmān termasyhur dikata ulama, Akupun sudah duduk bersama, b-ḥ-l-h a-l-m-a-k-w-z terkeji nama.
Meskipun ia juga tidak menerima begitu saja perlakuan Sayid ‗Uthman kepada gurunya, Shaykh Ismāil Minangkabau. Untuk membela gurunya, Tuanku Nan Garang tak jarang menjuluki Sayid ‗Uthman sebagai orang yang bebal, tidak sabar, kurang akal, bahkan gila dan ―buta‖ atau ―picek‖. Perhatikan bait ke 5,7, dan 9–17 berikut ini: Aku mendapat mendengar kabar, Surat ṭariqat banyak terbiyar, Perbuatan ‗Uthmān orang yang bebal, Mengapa maka tiada apa engkau sabar. ‗Uthmān bernama bin Yahya, Sungguhlah ini perbuatan sia-sia, Engkau seorang orang yang mulia, 8. 10
Kata Qaṣad berasal dari bahasa Arab, artinya maksud, kehendak. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Tidaklah patut mengata dia. Hawa nafsu lawan berperang, Supaya kasih sekalian orang, Bukannya aku disini melarang, Biar betul biarlah terang. Duduk berfikir aku sekarang, Surat bertiba kepada orang, Rasaku ‗Uthmān mengarang-ngarang, Atawa9 akalnya sudah terkurang. Apakah asal apakah mula, Maka menjadi asal muasala, Atau bersungguh-sungguh sebab membela, Maka jadi sak10 pada orang gila. Di sinilah aku empunya kata, Kepada ‗Uthmān menjawab semata-mata kata, Banyaklah istighfar tobatlah kita, Akhirnya menjadi bumi yang rata. Yang rata itu artinya mati, Sebarang pekerjaan hendaklah hati-hati, Jikalau mencela patut berhenti, Sehingga mendapat taḥqiq nya pasti. Artinya gila akal yang rusak, Jadi saq pada seorang yang picak, Ilmumu yang mengerti di mana diletak, Bukanlah begitu orang yang bijak. Artinya bijak akalnya sempurna, Tidaklah ia mau menghina, Mengeluarkan yang tidak ada berguna, Seperti menebar surat kepada.
Teks CPDK sebenarnya merupakan respon atas beredarnya tulisan Sayid Uthman berbentuk pamflet yang berjudul al-Nasīhat al-Anīqah li al-Mutalabbisīn bi al-Tarīqah yang kemudian diterjemahkan menjadi 9. Maksudnya ―atau‖. ّ ش ي ّ ) yang artinya 10. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yakni dari akar kata ( ش ragu, meragukan. Jadi seharusnya ditulis syak, namun pada Naskah ditulis Saq (dengan kof). Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
11
MUHAMMAD SHOHEH
Nasehat yang Elok untuk Pengikut Tarekat (BATAVIA 1883) (BURHANUDDIN, 2012: 181), yang isinya mengkritik persaudaraan tarekat, khususnya Naqshabandiyah, karena dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Islam. Karya ini dipakai oleh pemerintah Belanda, khususnya Holle bersama Raden H. Muhamad Musa (Penghulu Garut) dalam menangani peristiwa Cianjur tahun 1885.11 Karya terjemahan dari karya yang sebenarnya merupakan tulisan Sayyid Salim bin ‗Abdullah bin Sumair (ditulis 1850) itu kemudian dijadikan Holle sebagai dasar argumen akan potensi bahaya tarekat di Cianjur, khususnya Tarekat Naqshabandiyah.12 Hal ini terekam dalam lima bait naskah CPDK berikut: Surat tersebar telah aku lihat, Menghina seorang mengeji menjahat, Surat terbiyar pada segala menjahat, Engkaulah terkeji yang amat jahat. Seu[m]pama pici[a]k dibuat, celamu terlalu sangat keliwat, mengusahakan mencela berkuat-kuat, akupun mengata apa boleh buat. Surat terbiyar pada tiap-tiap tempat, Kau segera ada mendapat, Perkataannya di dalam ada mengu[m]pat, Apa betul salahnya sudah engkau dapat. ‗Uthmān bernama bin Yahya, Sungguhlah ini perbuatan sia-sia, Engkau seorang orang yang mulia, Tidaklah patut mengata dia. Sekarang ini ku membalas, Kepada ‗Uthmān tulus dan ikhlas, Di surat kutulis hari sebelas, 11. Tahun 1885, seiring dengan peristiwa Cianjur, Holle bersama Raden Muhammad Musa mengusulkan agar Penghulu besar Cianjur dan Sukabumi dipecat karena masuk menjadi anggota tarekat Naqshabandiyah yang beraliran ―fanatik‖, karenanya dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban. Pada saat yang sama Sayid Uthman juga menerbitkan pamflet berisi kritikan atas sesatnya tarekat. Tahun itu adalah momen terpenting di mana Sayid Uthman mulai aktif masuk dalam lingkaran kekuasaan kolonial. Lihat MORIYAMA, 2005: 148–9 dan BURHANUDDIN, 2012: 180–181. 12. Penjelasan lebih detail terkait peristiwa Cianjur akan dibahas kemudian. 12
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Dengan kināyah beberapa qiyās.
Pada tahun yang sama (1303H/1885M), Sayyid Uthman juga menerbitkan karyanya yang berjudul al-Wathīqah al-Wafiyyah fī „Uluwwi Shāni al-Ṭarīqah (sebenarnya merupakan terjemahan dari alNasīḥat al-Anīqah karya Sālim bin Sumair) berisi syarat-syarat memasuki organisasi tarekat yang tidak mungkin dilakukan oleh kaum muslimin kebanyakan saat itu, karena ketatnya persyaratan yang dikemukakan. Karya itu sebetulnya merupakan hujatan terhadap Tarekat Naqshabandiyah yang dianggapnya telah sesat. Perhatikan bait ke 5 dan 6 naskah CPDK berikut ini: Aku mendapat mendengar kabar, Surat ṭariqat banyak terbiyar, Perbuatan ‗Uthmān orang yang bebal, Mengapa maka tiada apa engkau sabar. Surat terbiyar pada tiap-tiap tempat, Kau segera ada mendapat, Perkataannya di dalam ada mengu[m]pat, Apa betul salahnya sudah engkau dapat.
Beberapa Polemik Keagamaan yang pernah terjadi sebelum 1885 Polemik antara Tuanku Nan Garang dengan Sayid Uthman sesungguhnya telah didahului oleh polemik-polemiksebelumnya yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun sebelumnya; yakni antara Shaykh Salim bin ‗Abdullah bin Sumair dengan Shaykh Ismāil al-Minangkabau (1850-an), antara Shaykh Nawawi al-Bantani dengan Shaykh Ismāil alMinangkabau (1856), serta antara Sayid Uthman sendiri dengan Shaykh Ismāil al-Minangkabaui (1883). 1. Kritik Salim bin „Abdullah bin Sumair terhadap Shaykh Ismāil al-Minangkabau Shaykh Ismāil al-Minangkabau kembali dari Makkah di awal tahun 1850-an setelah bertahun-tahun ia sempat mengajarkan Tarekat Naqshabandiyah al-Khalidiyah di Makkah dan telah menjadi ulama yang masyhur. Singapura merupakan tempat persinggahan pertamanya. Setibanya di sana ia diundang oleh Tumenggung Ibrahim di Teluk Belanga. Shaykh Ismāil menjadikan Singapura sebagai basis pertamanya dalam mengajarkan Tarekat Naqshabandiyah. Tak lama kemudian, kemasyhurannya didengar oleh petinggi Kesultanan Riau Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
13
MUHAMMAD SHOHEH
Lingga, sehingga Yang Dipertuan Muda, Raja Ali, mengirimkan perahunya sendiri untuk mengundang sang Shaykh ke pulau Penyengat. Raja beserta keluarga dan para kerabatnya kemudian menjadi pengikut Shaykh Ismāil dan selalu mengamalkan zikir Naqshabandiyah bersamasama dua kali seminggu. Bahkan adik Raja Ali sendiri, Raja Abdullah, kemudian diangkat menjadi khalifah Naqshabandiyah untuk wilayah Riau (BRUINESSEN, 1996:100). Selain ke Riau, dari Siangapura, Shaykh Ismāil juga menyebarkan pengaruh ajaran Tarekat Naqshabandiyah hingga ke Kesultanan Kedah. Sebagai bukti, antara lain terdapat setidaknya terdapat dua naskah risalah yang sempat ditulisnya dan telah diulas oleh murid-muridnya, dijumpai di Penang sekitar tahun 1880-an (BRUINESSEN, 1996: 101). Sedemikian cepat reputasi yang diperolehnya, sehingga Salim bin ‗Abdullah bin Sumair, salah seorang ulama Hadramaut yang saat itu juga sedang tinggal di Singapura, mengkritik sang Shaykh dengan keras lewat sebuah karangan pendeknya. Salim bin Abdullah bin Sumair menyatakan bahwa tarekat yang diajarkan Ismāil bin Sumair itu bertentangan dengan Islam yang murni. Kritik Salim bin Sumair ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh rasa iri dalam dirinya terhadap Shaykh Ismāil yang dalam waktu begitu singkat mampu mendapat simpati para Sultan Melayu, di saat dirinya tengah mengalami kesulitan ekonomi setelah dipecat sebagai penasehat (mufti) Sultan Yaman sehingga terdampar di Singapura (http://bagjabersama.multiply.com, Kehebatan Kitab Safinatunnaja dan Biografi Penulis oleh YAHYA WAHID DAHLAN). Jadi kritik Salim bin Sumair atas Shaykh Ismāil itu sebenarnya bukan kritik atas ajaran yang sedang dibawanya, melainkan kritik atas pribadi yang tengah dimainkannya. Hal ini dapat dilacak dalam penjelasan Bruinessen dalam karangan Sayid Uthman yang berjudul “Arti Thariqat dengan Pendek Bicaranya” (BATAVIA, 1889: 9) berikut ini: ...ada kira-kira jalan tiga puluh tujuh tahun punya lama, telah datang dari negeri Mekah satu orang Minangkabau bernama Haji Ismāil sampai di Singapura. Telah mengajar akan orang-orang di Singapura masuk thariqat Naqshabandiyah. Maka kebetulan itu waktu ada satu ulama besar telah datang dari negeri Hadramaut bernama Syekh Salim bin Samir. Maka Syekh Salim ini telah menekad dengan kasi ingat kepada Haji Ismāil yang tersebut bahwa pengajarannya itu telah melanggar agama. Beserta lagi itu Syekh Salim bikin satu buku buat kasi terang akan kesalahannya itu Haji Ismāil punya ajaran begitu rupa. Dan Haji Ismāil sudah balik kembali ke negeri Mekah dengan bawa uang terlalu banyak adanya. (BRUINESSEN, 1996:101) 14
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Jika kita cermati ungkapan Sayid Uthman pada bagian kalimat terakhir kutipan di atas, tampak bahwa alasan keuangan (harta) itulah yang sebenarnya menjadi penyebab sehingga Shaykh Salim bin Sumair sangat keras mengkritik Shaykh Ismāil. Yang dimaksud dengan ―sejumlah uang yang di bawa Ismāil ke Mekah‖ adalah hadiah-hadiah yang diberikan sejumlah muridnya yang terdiri dari para pembesar kerajaan Riau, Kedah, dan Teluk Belanga. Uang itulah yang kemudian dijadikan modal Shaykh Ismāil membangun zawiyahnya kemudian di Makkah. Karena kritikan-kritikan pedas itulah serta kondisi Nusantara yang sudah dikuasai Belanda, sehingga Shaykh Ismāil enggan kembali ke tanah air dan memilih menetap selamanya di Makkah hingga ia wafat. 2.Kritik Syakh Nawawi Banten terhadap Shaykh Ismāil Minangkabau (tashih pada teks Risalah al-Aniqah) Kasus yang terjadi sebenarnya berawal dari permintaan dukungan Sayid Uthman kepada Shaykh Nawawi al-Bantani untuk memerangi makin merebaknya gerakan tarekat di Nusantara yang dianggap oleh Sayid Uthman bersifat fanatis dan sesat. Upaya permintaan dukungan tersebut awalnya tidak dikabulkan oleh Shaykh Nawawi Banten secara tegas, karena Shaykh Nawawi juga berusaha berdiri moderat di tengah-tengah pro-kontra sesatnya tarekat, khususnya Tarekat Naqshabandiyah (STEENBRINK, 1984:121). Namun, pada suatu kesempatan lain, Sayid Uthman kemudian meminta tasṣḥīḥ (rekomendasi) karya Salim bin Sumair yang berjudul al-Nasīḥat al-Anīqah yang hanya terdiri dari 20 halaman. Lalu, karena memang isinya juga berisi panduan dasar bagi mereka yang hendak memasuki tarekat dan tidak menyinggung tarekat apapun, maka tashih itupun diberikan kepada kitab itu (STEENBRINK, 1984:121). Dokumen terkait dengan masalah ini antara lain tersimpan di Arsip Nasional Jakarta, yakni MGS 23-5-1886 no. 91/c. Satu bundel arsip yang di dalamnya juga tersimpan beberapa surat dari Makkah yang ditujukan kepada Sultan Deli dan Langkat mengenai perkara perdebatan dan perselisihan antara dua tokoh Naqshabandiyah di Makkah, yakni antara Shaykh Sulaiman Effendi dan Shaykh Halil Pasya, yang berujung pada pembakaran buku Sulaiman Effendi di Makkah sebagai wujud pelarangan atas ajaran tarekat tokoh yang dimaksud (Ibid: 184). Pada bundel itu juga terdapat salinan taṣḥīḥ (rekomendasi) Shaykh Nawawi Banten terhadap buku Sayid Uthman yang berisi penentangan terhadap tarekat. Adapun bunyinya adalah sebagai berikut: Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
15
MUHAMMAD SHOHEH
―Ini tashih atas kebetulan kitab “al-Nasīḥat „ala Nīqat”, karangan Sayyid ‗Uthmān bin ‗Abdullāh bin ‗Aqil. Ini tashih daripada Syekh Nawawi yang ‗alim di Negeri Mekkah. Setelah dikasih lihat kitab itu kepadanya, maka inilah katanya: memuji ia akan itu kitab dan menyatakan kesalahan Syekh Ismāil Minangkabau. Ini salinannya: Ini kitab Al-Nasīḥat „ala Niqat tinggi segala kedudukannya, sahih segala maknanya, bagaimana ia tiada begitu, sebab ia kumpul daripada perkara ulama besar-besar. Adapun orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau adalah perkataan dan perbuatan mereka itu mufakat pada syarā Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar, maka maqbul; dan jika tiada begitu maka tentulah seperti yang telah jadi banyak di dalam anak-anak murid Syekh Ismāil Minangkabau. Maka bahwasanya mereka itu bercela akan zikir Allah dengan (...) dan mereka itu bercela-cela akan orang yang tiada masuk di dalam tarekat. Mereka itu hingga, bahwasanya mereka itu menegah akan mengikut bersembahyang padanya dan bercampur makan padanya dan mereka itu benci padanya istimewa pada bahwasanya Syekh Ismāil itu hanyasanya mengambil ia akan tarekat itu: asalnya karena kumpul harta buat bayar segala hutangnya. Maka ia di dalam asal itu mau jual agama dengan dunia adanya. Ini salinan teks Syekh Nawawi itu...13
(STEENBRINK, 1984:184-5) Pada kutipan tashih tersebut, tampaknya yang menjadi kritik Shaykh Nawawi Banten kepada Shaykh Ismāil adalah seputar tata cara zikir Tarekat Naqshabandiyah, perilaku mencela orang yang tidak mau masuk tarekat, sikap eksklusif tidak mau ikut shalat berjamaah kecuali hanya dengan kelompok Naqshabandiyah saja dan tidak mau bergaul dengan kaum muslimin umumnya, dan sebagainya. Bahkan Shaykh Nawawi menuduh Shaykh Ismāil sengaja mencari harta agar mendapat untung supaya dapat membayar hutang yang melilitnya. Perilaku itu sebenarnya sama saja dengan menjual agama untuk kepentingan dunia. 13. Jika diperhatikan secara seksama, penyalin tampaknya salah dalam menyebut judul kitab yang dimaksud yakni dengan menyebut kitab Al-Nasīḥat „ala Niqat padahal yang benar kitab Al-Nasīḥat al-Anīqah, dan kitab tersebut bukan karangan Sayid Uthman melainkan karangan Sālim bin ‗Abdullāh bin Sumair sekitar tahun 1850-an yang memang sengaja di karang untuk mengkritik Shaykh Isma‘il Minangkabau terkait ajaran tarekat yang disebarkannya di Riau, Johor/Kedah, dan Singapura. Salim bin Sumair sendiri saat itu tinggal di Singapura setelah sebelumnya ia dipecat sebagai penasehat oleh Sultan Yaman yang bernama Sultan Abdullah bin Muhsin dari kerajaan Kasiriyyah di Yaman (lihat DAHLAN: 2010). 16
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Tuduhan maupun kritik Shaykh Nawawi Banten—yang diterakan sebagai tashih pada kitab al-Nasihat al-Aniqah—yang ditujukan kepada Shaykh Ismail tersebut kemudian coba dijawab dan dijelaskan oleh Tuanku Nan Garang yang menyatakan bahwa Shaykh Nawawi justru seperti orang yang tidak beragama, asal menulis dan asal menuduh tanpa bukti. Bukankah mencela dan menuduh tanpa bukti termasuk perbuatan haram, dan diancam masuk neraka. Cuplikan jawaban tersebut dapat dibaca dalam naskah CPDK sebagai berikut: Nawāwī berkata menjual u[a]gama, Engkau pun juga lagi bersama, Sangka hidup mu selama-lama, Seperti seorang tidak beru[a]gama. Janganlah gampang mencela orang, Pikir dahulu di hati yang terang, Jangan menulis se[m]barang-barang, Mana kehendak lantas dikarang. Adapun segala isi negeri, Dapatlah orang engkau ajari, Kenapa mencela berperi-peri, Membiyar surat antara negeri. Bukankah itu perbuatan yang haram, Siapa yang berbuat dirinya karam, Ke dalam neraka nanti terselam, Menjadi air laksana garam. Dari pada air asalnya garam, Dijadikan kembali sebesar ‗alam, Di dalam neraka timbul tenggelam, Tercebur di dalam neraka yang dalam.
Khusus untuk menjawab perkara tuduhan Shaykh Nawawi dan Sayyid Uthman terhadap Shaykh Ismāil yang kerap mencari harta untuk membayar hutang-hutangnya dengan jaminan Tarekat Naqshabandiyah sebagai taruhannya, Tuanku Nan Garang menjawabnya bahwa realitasnya tidaklah demikian, karena sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh para murid tarekat ini seperti dari Raja Kedah, Raja Riau, Wazir/Tumenggung dari Pulau Penang di Teluk Belanga, dan lain-lain justru sebagian digunakan bukan untuk membayar hutang Shaykh Ismāil sendiri, melainkan hutang teman dekatnya yang berkebangsaan Turki Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
17
MUHAMMAD SHOHEH
yang meninggal namun tidak punya ahli warits. Oleh karena itu, Shaykh Ismāil bersedia menanggung bebab hutang tersebut. Dalam hal ini Tuanku Nan Garang mengungkapkan: Tuan Habib berkata kabar terlayang, Tuan Shaykh mengambil ṭarīqat pembayar/9r/ hutang, Itulah kabar ada sekarang, Tuan layangkan tiap-tiap negeri orang. Kalau sanggup kata tuan seperti itu, Tiadalah suka kami yang demikian itu, Ajaran tuan dahulu menjadi mutu.
Lalu pada bait-bait selanjutnya ia jelaskan lebih detail: Pada suatu hari saya melihat, Raja Istambul berkirim surat, Suratnya iri amat, Bukannya di muat, Memuji tuan Shaykh serta rahmat. Dia berhutang ia sebetulan, Sebab mengaku hutang sahabatnya, Orang Turki nama bangsanya, Lama bercampur serta dia-nya. Sudahlah nasib takdir Allah, Orang Turki itu berpulang kerahmatullāh, Warithnya tidak di negeri Makkah, Jadi kepadanya hutang berpindah. Tetapi itu hutangnya, Bukannya ṭarīqat akan pembayarnya, Hanyalah pemberian dari pada Tuhannya, Raja-raja saja menolong pada ẓāhirnya14. Mula pertama ialah raja Kedah, Kemudian raja Riau sultan yang indah, Sebelebihnya angkau Temenggung wazir yang megah. Di Teluk Belanga15 tempatnya bertahtah.
14. Maksudnya: wujud lahirnya, kenyataannya, realitasnya. 15. Nama salah satu negeri/kampung tempat singgah Shaikh Isma‘il al-Minangkabau di pulau Penang. 18
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Kabar ini tidak dipanjangkan, Sekedar akan menjadi peringatan, Kepada tuan Habib minta sampaikan, Ganti ziarah mengadap telapakan.
Kembali kepada masalah rekomendasi Syekh Nawawi Banten pada Sayyid Uthman. Berbekal taṣḥīḥ itulah, Sayyid Uthman membentengi dirinya bahwa ia telah didukung oleh Shaykh Nawawi Banten dalam memerangi tarekat, khususnya Tarekat Naqshabandiyah. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Sayyid Uthman pada halaman kedua karyanya yang berjudul al-Wathīqah al-Wafiyyah fī „uluwwi shāni ṭarīqati al-ṣūfiyyah yang juga ia sebarkan pada tahun 1885 berikut ini: Bismillāhirrahmānirrahīm segala puji bagi Tuhan yang menyatakan barang yang benar dari pada barang yang salah dengan sebenar ilmu dari pada ulama yang seperti kamala. Dan salawat beserta sejahtera atas sayidina Muhammad dan atas keluarganya dan sahabatnya sekaliannya, wabādu. Kemudian daripada itu maka ini terjemah kitab al-Wathīqah al-Wafiyyah dengan bahasa Melayu Negeri dengan memuda[h]kan sebutan maksudnya dan maksud segala dalil-dalilnya dengan pendek cerita supaya boleh lekas mengerti oleh sembarang orang padanya. Adapun orang yang minta lafaẓ-lafaẓ dalilnya maka bole[h] ia lihat pada kitab al-Wathīqah yang bahasa ‗Arab. Bermula ada tersebut dimulanya kitab bahwa sering-sering kali datang beberapa soal kepada aku atas halnya kitab al-Nashīḥah al-Anīqah dan atas hal taṣḥiḥ Shaykh Nawawi atasnya, maka tiada ada tempo bagi ku buat menjawab atas segala soal itu, sebab aku di dalam mencari kehidupan ku. Tetapi dari karena wajib atas ku menerangkan aturan sharā dan me[ng]hilangkan segala shubhat yang ada di dalam itu soal yaitu yang aku thabit-kan di dalam pasal kelima (SAYID UTHMAN, al-Wathīqah, 1885: 2).
Pada pasal lima kitab tersebut, antara lain dijelaskan, bahwa banyak orang yang sekarang mempraktekkan tarekat namun tidak memenuhi syarat sebagaimana yang telah dirumuskan para pendiri tarekat. Di antara syarat-syarat sebelum memasuki tarekat, seorang muslim terlebih dahulu harus menguasai dan mendalami ilmu tauhid, fiqih, hadits, tafsir, dan bahkan harus memiliki akhlak dan budi pekerti yang mulia. Sehingga karena beratnya syarat yang harus dipenuhi tersebut, tampaknya, menurut Sayid Uthman, tidak ada satu orang pun yang mampu memenuhi syarat yang dimaksud sebagaimana yang pernah dicapai oleh generasi terdahulu. Pandangan Sayid Uthman ini, menurut Steenbrink, tampaknya tidak didasarkan pada data historis dan tidak Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
19
MUHAMMAD SHOHEH
didasarkan pada hasil penelitian yang mendalam dari sisi sejarah. Pendapatnya justru bersifat apologetik dan serampangan, karena hingga masa itu tasawuf justru menjadi alternatif bagi umat Islam dan berkontribusi besar dalam proses Islamisasi di Nusantara sejak abad ke13. 3. Teks al-Wathīqah al-Wafiyah fī‘Uluwwi Shāni Ṭarīqat al-Ṣūfiyyah: Kritik Sayid Uthman terhadap tarekat Naqsyabandiyah Pada naskah al-Wathīqah al-Wafiyyah, khususnya di pasal kelima, Sayid Uthman secara khusus membahas tentang sesatnya tarekat dan kewajiban kita untuk mencegah tersebarnya ajaran tersebut. Serangan tersebut sengaja ditujukan kepada Shaykh Ismāil Minangkabau, karena tarekat yang disebarkannya, menurut Sayyid Uthman dirasa sangat mengkhawatirkan dan dianggap kerap menyebarkan fitnah dan ketidaktentraman, sehingga mengganggu keamanan. Dan ini tidak sejalan dengan misi pemerintah kolonial Belanda. Jadi, perkara yang terjadi sebenarnya tidak terjadi secara langsung antara Shaykh Nawawi mengkritik Shaykh Ismāil Minangkabau, melainkan melalui rekomendasi atas keabsahan kitab Al-Nasīḥat al-Anīqah. Namun pada naskah CPDK ini digambarkan bahwa Shaykh Nawawi Banten telah bermufakat dengan Sayid Uthman bersama-sama mengkritik, menghujat, menghina, dan menjelek-jelekkan Shaykh Ismāil terkait ajaran tarekat yang disebarkannya. Perhatikan ungkapan Tuanku Nan Garang pada beberapa bait (20–24) berikut ini: Tetapi yang mencela bernama Nawāwī, ‗Ulama yang tersebut keduanya Jāwi, ‗Ulama yang lain-lain belum engkau ketahui, Siapa yang ḍāif16mana yang qawi17. Itu Nawāwī belum seberapa, Pintar dia-nya mengupas kelapa, Aku yang membalas bukan siapa, serta kataku tidak kenapa. Kelapa itu pada artinya, Dikupas kulit dengan sabutnya, Masih jauh batok isinya, Apalagi santan minyaknya. 16. 17. 20
Maksudnya: lemah. Maksudnya: kuat. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Kenapa itu apa boleh buat, Pada sangkamu dirimu kuat, Ingat-ingat engkau jangan keliwat, Nanti termasuk dikhobar kawat. Kawat itu kurun18 ku tulis, Teranglah nama mu antara majlis, Engkau ku pandang muka tāmanis, Mudah-mudahan jangan sampai terpalis19,
Rupanya, kitab al-Nasīḥat al-Anīqah lah yang dijadikan dasar, di mana Sayid Uthman pernah memintakan taṣḥīḥ kepada Shaykh Nawawi alBantani untuk melegalkan upayanya menyerang Tarekat Naqshabandiyah khususnya, karena dianggapnya sesat. Padahal kitab itu adalah karangan Sālim bin ‗Abdullāh bin Sumair, yang memang juga gemar melakukan serangan terhadap organisasi tarekat, namun dilatarbelakangi oleh persaingan dan rasa iri hatinya dengan Shaykh Ismāil Minangkabau karena kesuksesan yang dicapai sepulang dari Makkah tahun 1850-an, di mana ia sempat menjadi mufti kesultanan Riau Lingga, lalu menjadi penasehat Raja Kedah, bahkan juga sempat tinggal di Pulau Penang atas undangan Tumenggung/Wazir di Teluk Belanga. Pada saat yang sama, Sālim bin ‗Abdullāh bin Sumair bersusah payah mencari penghidupan di Singapura (HOLLE 1886: 67, 69–76), karena sebelumnya ia sempat menjadi penasehat Sultan Abdullah bin Muhsin dari kerajaan Kasiriyyah di Yaman, namun karena terjadi perselisihan akhirnya ia dipecat. Kesuksesan itulah yang kemudian mendorong Sālim bin Sumair mengkritik keras Shaykh Ismāil dengan menganggap ajaran yang disebarkannya itu palsu (sesat), meski tidak menyerang secara langsung tarekat yang dimaksud (F. DE JONG & B. RADTKE [eds], 1999: 708). Faktor kedekatan Shaykh Ismāil dengan para penguasa tanah Melayu itulah tampaknya yang menjadi sebab mengapa ia banyak mendapat kritikan tajam bahkan hujatan dari para ulama zamannya (BRUINESSEN, 1998: 97–100), (HADI, 2011: 220, 222–3). Karena banyaknya hujatan dan kritikan itu pula lah yang menyebabkan Shaykh Ismāil kemudian memutuskan untuk kembali ke Makkah hingg ia wafat di sana (HADI, 2011: 220). Persaingan antara Sālim bin Sumair dengan Shaykh Ismāil tersebut dapat kita telusuri juga dalam bait-bait naskah CPDK berikut 18. 19.
Maksudnya: masa. Maksudnya: supaya terjauhkan dari pada segala bala, dan lain-lain.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
21
MUHAMMAD SHOHEH
ini: Masyhurnya itu tatkala berbantah, Kepada bin Sumair20 ia berkata, Aku ini bukan kau buta, Kehendak qaṣad mu padaku nyata. Tatkala Ismāīl dimulia lan maulana21, Sumair sedikit ada terhina, ‗Ilmu ajarannya tidak berguna, Lalu ke masjid berbuat bercana. Ke masjid itu berka[ta]-kata22, Kepada orang-orang sekaliannya rata, Dipanggilkan ku siar bau kereta, Aku di sini duduk tak beta [h].
Berdasarkan penuturan yang ada pada bait naẓam di atas Tuanku Nan Garang juga tampaknya mengalami langsung peristiwa yang dimaksud.23 Dalam sumber lain disebutkan bahwa Sālim bin Sumair setelah itu tidak hanya melakukan kritik tajam kepada Shaykh Ismāil Minangkabau, bahkan turun ke tengah masyarakat untuk melakukan penyerangan terhadap ajaran Tarekat Naqshabandiyah yang dianggapnya sebagai bid‘ah dan sesat. (HADI, 2011: 223), Upaya ini bagaikan upaya gerakan Wahabi dalam memerangi bid‟ah dan khurafat di Tanah Suci Makkah dan juga seperti apa yang dilakukan kaum Paderi. Pada bait naẓam sebagaimana disebut di atas dilukiskan dengan kalimat ―Sumair sedikit ada terhina, ilmu ajarannya tidak berguna, lalu ke mesjid berbuat bencana‖. Mendapat kritikan tajam dan anggapan sesat dari ulama asal Hadramaut tersebut, sebagaimana yang diungkapkan di atas, Shaykh Ismāil tidak tinggal diam. Ia menolak semua tuduhan yang diarahkan 20. Nama lengkapnya Sheikh Sālim bin ‗Abdullāh bin Sa‘ad bin Sumair al-Hadhrāmī. Beliau adalah seorang ahli fiqh dan tasawwuf yang bermadzhab Syafi'i. Selain itu, beliau adalah seorang pendidik yang dikenal sangat ikhlas dan penyabar, seorang qodhi yang adil dan zuhud kepada dunia. Ia dilahirkan di desa Dziasbuh, yaitu sebuah desa di daerah Hadramaut Yaman, yang dikenal sebagai pusat lahirnya para ulama besar dalam berbagai bidang ilmu keagamaan. Salah satu karya monumentalnya adalah kitāb Safīnat al-Najā yang menjadi bacaan wajib pesantren tradisional sejak lama. 21. Naskah: lan maulaina. 22. Naskah: berka-kata. 23. Perhatikan ungkapan kalimat terakhir di bait yang terakhir di atas. Aku di sini duduk tak betah. 22
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
padanya, bahkan membalas dengan ungkapan celaan pula. Ia juga berupaya menunjukkan kebohongan para ulama Hadrami yang terkait soal kemuliaan, keutamaan dan kekeramatan yang mereka sengaja ciptakan. Menurut Shaykh Ismāil, kemuliaan dan keutamaan yang mereka terima di antaranya disebabkan silsilah keturunan yang mereka punyai sengaja direkayasa bersambung langsung kepada Rasulullah. Padahal jauh sebelum Shaykh Najm al-Din — seorang ulama Hadramaut terkenal — dalam bukunya Mir‟āt al- yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw. tersebut (HADI, 2011: 227). Pada Naskah al-Manhal al-„Adhb li-Dhikr al-Qalb Shaykh Ismāil juga menjawab dalam ungkapan syairnya:
ع َْن َح َس ٍد ِِلَ ْههِهَا أَ ِو ْان ُع َمي# إِ ْن َكا ُر ُم ْن ِك ٍر نَهَا فَإِنَّ َما Bermula ingkar siapa-siapa yang ingkar baginya itu sesungguhnya lahir dari pada dengki bagi ahlinya jua atau dari pada buta hatinya
َع ْب َد ْان َغنِ ْي ْان َجهُىْ َل ِم ْن أَ ْه ِم ِبِ َما# ِم ْن َحضْ َر َم ْي َو َغي ِْر ِه ََل ِسيَّ َما Dari pada dua orang Hadramaut24 dan lainnya, terutama ‗Abdul Ghani yang amat bodoh dari negeri Bima (HADI, 2011: 224).
Agar suasana tidak tambah keruh dan makin runcing, salah seorang tokoh Tarekat Naqshabandiyah Cianjur, Jawa Barat yang bernama Shaykh Abdussalam25 pernah mencegah upaya pembelaan yang 24. Shaykh Isma‘il menyebut al-Hadramay (dua orang Hadramaut), ada kemungkinan besar yang dimaksud keduanya adalah Sayid Salim bin ‗Abdullah bin Sumair dan Sayyid Uthman bin ‗Abdullah bin Yahya bin Husein bin ‗Aqil, karena kedua tokoh inilah yang pernah berpolemik dengan Shaykh Isma‘il Minangkabau (HADI, 2011: 224) 25. Kemungkinan dia adalah K. H. Abu Bakar Faqih (lahir di Ciamis, tahun 1880 dan meninggal tahun 1989) yang terlahir dengan nama Abdus Salam. Ia adalah seorang wakil mursyid tarekat Qodiriyah wa Naqshabandiyah di daerah Jawa Barat. Beliau terkenal dengan julukan ―Macan Suryalaya‖ seorang wali berpangkat "Imaman" (wakil) dari Shaykh Murshid Ghaus al-A‟dhom Abah Sepuh dan Shaykh Murshid Ghaus al-A‟dhom Abah Anom. Tokoh ini agaknya sangat erat dengan apa yang disebut ―Peristiwa Cianjur‖, namun bila melihat usianya yang baru lima tahun (bila benar ia lahir tahun 1880) maka ada kemungkinan tokoh yang dimaksud bukan beliau. Namun justru kemungkinan angka tahun kelahirannya yang salah. Peristiwa Cianjur adalah suatu peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1885, di mana pemerintah Hindia Belanda sangat mencemaskan aktivitas organisasi tarekat Naqshabandiyah, karena jumlah anggota tarekat ini dari waktu ke waktu makin meningkat, tidak hanya dari rakyat biasa kebanyakan, bahkan termasuk para birokrat setempat, seperti Bupati Cianjur, Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
23
MUHAMMAD SHOHEH
dilakukan Tuanku Nan Garang ini, namun dengan nada penuh percaya diri Tuanku Nan Garang menjawab dalam syairnya: Kami mendengar kabar yang terang, Shaykh ‗Abdussalām di Ci[a]njur ada melarang, Menjawabkan nasehat yang engkau karang, Dari dahulu sampai sekarang. Itu melarang ada tersala[h], Kenapa menegah orang membela, Sekalipun ‗Uthmān dikata gila, Menegahkan dia nya dari pada mencela. Shaykh ‗Abdussalām juga berkata, Kepada murid-muridnya sekalian rata, Biar sabar apalah kita, Janganlah kamu panjang cerita. Ṭarīqat Naqshabandi dikata palsu, Janganlah kamu sekalian rusu, Biarlah ṣobar jangan kesusu, Janganlah menurut hawa dan nafsu. Ṭarīqat Naqshabandi dikata sala[h], Dāwalah oleh mu kepada Allāh, Siapa yang benar siapa yang sala[h], /6v/ Di sanalah mengetahui menang dan kalah.
Pembelaan Tuanku Nan Garang atas Tuduhan Sesat Tarekat Naqshabandiyah Untuk memastikan bahwa ajaran Tarekat Naqshabandiyah yang disebarkan Shaykh Ismāil Minangkabau itu tidaklah sesat, maka Tuanku Nan Garang sengaja menjelaskan silsilah asal mula ajaran tarekat yang diterima gurunya tersebut yang tersambung langsung melalui Shaykh Bahā al-Dīnal-Naqshabandī, dari Sahabat Salman al-Farisi, dari Abu Bakar Shiddiq, dari Rasulullah, dan dari Malaikat Jibril a.s. Tarekat ini asalnya bernama tarekat Abu Bakar, lalu turun temurun disampaikan kepada para para sahabat dan tabiin, tabīit tabīin, hingga sampai kepada Shaykh Bahā al-Dīn al-Naqshabandī. Lebih lanjut Tuanku nan Garang menjelaskan bahwa ia bersama hoofdpanghulu (Penghulu Besar) Cianjur, hoofdpanghulu Sukabumi, dan Patih Sukabumi. 24
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Shaykh Ismāil Minangkabau sama-sama belajar di Makkah dan samasama menginisiasi Tarekat Naqshabandiyah di Jabal Qubays di Makkah, tempat zawiyah pertama kali didirikan. Pada saat yang bersamaan banyak juga para santri dari Nusantara yang belajar menuntut ilmu di sana, terutama setelah usai shalat Jum‘at, bersama-sama berangkat ke Jabal Qubays, setelah sebelumnya melaksanakan tawaf dan bermunajat kepada Allah swt. Praktek suluk dilakukan dibawah bimbingan seorang murshid. Hal ini sebagaimana digambarkan Tuanku Nan Garang dalam bait-bait berikut ini: Tetapi ada kami mendengar cerita, Entahnya benar entahnya di sana, Tuan habib kata orang empunya kata, Ṭarīqat Naqshabandi katanya dusta. Heranlah kami mendengar kabar, Palsu kata tuan orang berkabar. Kalau sungguh kata tuan begitu, Tidaklah kami yakin mukhbir26 itu. Hati yang ikhlas menjadi mutu, Karena pengambilan kami sangat tertentu. Ṭarīqat itu beberapa rahasia, Dari pada Allah Tuhan yang sedia, Jibrā‘īl yang membawa dia, Kepada Rasulullah disampaikan dia. Rasulullah menurunkan kepada sayyidina Abu Bakar, Itulah rahasia yang/8v/amat besar, Abu Bakar itu sahabat yang ṣiddīq, Kepada Nabi yakin dengan taṣdīq27, Abu Bakar menurunkan kepada Sulaiman Fāris, Itulah sahabat yang sangat „ārif, Abu Bakar itu sahabat yang besar, Mantuha28 nabi sayyid al-mukhtār29, Jalannya betul tidak bertukar, 26. 27. 28. 29.
Mukhbir, Arab, artinya: orang yang menyampaikan kabar. Taṣdiq, Arab, artinya pembenaran, mempercayai. Melayu lama, dibaca mintuo, maksudnya: mertua, bapak dari isteri. Maksudnya: tuan atau junjungan pilihan.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
25
MUHAMMAD SHOHEH
Dalam surga tempatnya kekal. Ṭarīqat itu jalan tasawuf, Itulah jalan yang sangat halus, Mengenal Allah yang telah mārūf, Murāqabah30 lah di situ beberapa lulus. Ṭarīqat Abu Bakar asal namanya, Turun menurun kepada segala murid-muridnya, Sehingga sampai kepada Bahā‟u al-Dīn31 namanya, Naqshabandi nama gelarnya. Begitu tersebut di dalam silsilah, Jalan yang sampai kepada Allah, Jalan yang betul bukanlah salah. Saya pun ada telah menerima, Tatkala di Makkah sudahlah lama, Masuk suluk di sana bersama-sama, Di Jabal Qubais tempatnya nama. Tujuh di situ berkumpul-kumpul, Arab dan Jawi bercampur-campur, Itulah tempat telah masyhur, Tempat munajat Tuhan ‗Azīzal-Ghafūr Negeri Makkah sudah termādat, Apabila sudah sembahyang Jum‘at, Semuha-nya orang pergi berangkat, Setengah thawaf setengah munājat. Setengahnya berjalan bersungguh-sungguh, Mengenal ẓat Allah Tuhan Sungguh, Karāmah Sayidinā Abu Bakar menghendaki tujuh. Banyaknya orang bukan sedikit, Rumah yang lapang menjadi sempit, Duduk di sana bersempit, Arab dan Turki berpedih, Hari yang lain di Jabal Qubais, 30. Maksudnya: mendekat. 31. Kepadanya sering disandarkan sebutan ―al-Naqshabandi‖, sang pendiri tarekat Naqshabandiyah. 26
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Tempat tawaajuh dalam majlis, Orang yang hadir berbaris-baris, Duduk beratur barbaris, Arab dan ‗Ajam berlampis-lampis32
Kritik terhadap tarekat seperti yang dilontarkan Shaykh Nawawi maupun Sayid Uthman sebenarnya masih bersifat lunak. Mereka berdua menyatakan bahwa praktik tarekat yang dilakukan kebanyakan orang sebenarnya belum memenuhi syarat sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pendiri tarekat itu sendiri. Syarat-syarat seperti: menguasai ilmu fiqh yang mendalam, memiliki ketaatan dari segi ibadah dan akhlak yang mulia, serta memiliki kedalaman ilmu tauhid, menurut Sayid Uthman umumnya belum dipenuhi oleh kebanyakan pengikut tarekat. Itulah sebabnya zaman itu sering disebut sebagai zaman ketika pintu ijtihad telah tertutup. Sama halnya jalan tasawuf, telah tertutup pada masa itu. Pendapat ini sebenarnya tidak didasari oleh penelitian yang mendalam sebelumnya dan tidak didukung oleh pengetahuan historis yang memadai, sehingga pendapatnya juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga menimbulkan kontroversi dan kritikan tajam dari pihak para pengikut tarekat. Kritikan yang tajam dan mendasar terhadap Tarekat Naqshabandiyah sebenarnya kemudian baru dilontarkan oleh Shaykh Ahmad Khatib dari Minangkabau lewat karyanya yang berjudul Iẓhāru Zaghlil Kāzhibīn fī Tashabbuhihim bi alṢādiqīn yang dicetak tahun 1324/1906 M di Padang. Secara detail teks tersebut membahas lima hal terkait Tarekat Naqshabandiyah; yakni ketidak cocokan dengan aqidah dan syarīah karena tidak dapat dilacak sumbernya tersambung kepada Nabi, lemahnya silsilah Naqshabandiyah, praktek suluk dan larangan makan daging selama melakukan muraqabah, serta praktek rābiṭah (persiapan untuk konsentrasi di mana murid harus meresapi gambar gurunya di dalam dirinya). Dan ternyata menurut informasi Snouck, alasan dibalik penentangan Ahmad Khatib terhadap Tarekat Naqshabandiyah adalah karena sikap iri hatinya terhadap Shaykh Jabal Qubais (Sulaiman Effendi) yang notabene bukan berasal dari keturunan Arab (STEENBRINK, 1984: 143). Bukti lain dari motif dan latar belakang kritik Sayid Uthman maupun Salim bin ‗Abdullah bin Sumair terhadap Shaykh Ismāil alMinangkabau itu sendiri dapat kita telaah lebih dalam dari sisi ungkapan-ungkapan yang direkam oleh Tuanku Nan Garang itu sendiri 32.
Maksudnya: bersaf-saf, berbaris-baris.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
27
MUHAMMAD SHOHEH
dalam teks CPDK ini, yang membuktikan bahwa motif dan latar belakangnya adalah rasa iri dan persaingan personal dalam memperoleh simpati masyarakat dan penguasa khususnya kala itu. Karena yang diserang kebanyakan unsur pribadi, bukan substansi ajaran Tarekat Naqshabandiyah itu sendiri. Terbukti kedua pengkritik berdarah Hadrami tersebut kerap menggunakan kata-kata kotor dan mengejek sisi personalitas yang dikritiknya. Tentu saja perlu upaya konfrontrir dan pelacakan ulang atas apa saja yang dilontarkan Sayid Uthman dan Salim bin Sumair tersebut. Penutup Naskah CPDK tampak lahir dalam kontek perseteruan antara ulama kharismatis (yang juga merupakan tokoh sufi) yang sedang berhadapan dengan ulama birokrasi penasehat pemerintah kolonial Belanda yang mulai kehilangan wibawanya. Alasan keagamaan kerap dijadikan sandaran untuk mendeskriditkan seseorang atau kelompok, termasuk organisasi tarekat. Karena dianggap sesat dan dihujat dapat memicu keributan dan pemberontakan, Tarekat Naqshabandiyah diklaim telah sesat. Padahal dalam prakteknya, tarekat ini sangat mengutamakan syarīat, dan sangat dekat dengan ortodoksi. Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20, di tengah-tengah gencarnya gerakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, Belanda — selaku penjajah — terus berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan cara berkolaborasi dengan elite pribumi. Para ulama yang mau diajak kerjasama juga dijadikan pejabat bidang keagamaan di tiap-tiap kabupaten dan diberi gelar penghulu. Tugas mereka antara lain juga terkait dengan menjaga kestabilan keamanan, karena pada dekade tersebut, para haji, dan para penganut tarekat kerap menjadi inspirator pembaharuan yang dapat memantikkan kesadaran untuk berjihad melawan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan kaum penjajah. Itulah sebabnya kemudian, para haji dan kaum tarekat terus di awasi dan dicurigai, karena dalam banyak kasus mereka mampu menghimpun kekuatan untuk melakukan pemberontakan. BIBLIOGRAFI AZRA, AZYUMARDI. (1995). ―Hadrāmī Scholars in the MalayIndonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid ‗Uthmān‖, dalam Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 2, Number 2. –––––– (1996). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-akar 28
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
CERITA PERBANTAHAN DAHULU KALA
Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. BEHREND, T.E. (ed) (1998). Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise D‘Extreme Orient. BERG, L.W.C. VAN DEN. (2010). Orang Arab di Nusantara. Terj. Rahayu Hidayat dari Le Hadramout et les Colonies Arabes Dans l‟Archipel Indien, 1886. Jakarta: Komunitas Bambu. BRUINESSEN, MARTIN VAN. (1995). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. ––––– (1998). Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Survey Historis, Geografis dan Sosiologis. Bandung: Mizan. BURHANUDIN, JAJAT. (2012). Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan. DAHLAN, YAHYA WAHID (2010) Terjemahan Kitab Safinatunnajah, Fiqh Ibadah Praktis dan Mudah; Terjemahan dan Penjelasan. Jakarta: Ramadhani. DE JONG, F. & B. RADTKE (eds) (1999), Islamic Mysticism Contested: Thirteen Centuries of Controversies and Polemics. hlm. 705-728. Leiden: Brill. FANG, LIAW YOCK. (2011). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. HADI, SOFYAN. (2011). ‗Naskah al-Manhal al-‘adhb li-dhikr al-qalb: Kajian atas Dinamika Perkembangan Ajaran Tarekat Naqshabandiyah al-Khalidiyah di Minangkabaū. Tesis. Jakarta: UIN dan LSIP. HURGRONJE, C. SNOUCK (1996). Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid IV. Tulisan mengenai Hukum Islam, hlm. 174– 192) (Terj. Soedarso Soekarno, dkk). Jakarta: INIS. KAPTEIN, NICO. (1997). ‗Sayyid Uthmân on the legal validity of documentary evidence‘ dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153 no.1 hlm. 85-102 MORIYAMA, MIKIHIRO (2005). Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, (Terj. Suryadi, MA). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. STEENBRINK, KAREL A. (1984). Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. SUMINTO, AQIB. (1996). Politik Islam Hindia Belanda, Het Kantoor voor Inlandsche zaken. Jakarta: LP3ES. FAZLUR RAHMAN (1996) Islam. edisi kedua. Chicago: University of Chicago Press. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
29
Ṭ
Abstrak Teks Kakawin Śiwarātrikalpa gubahan Mpu Tanakung pada masa Majapahit akhir (abad ke-15 Masehi) mengungkapkan konsep anugraha. Seorang pemburu bernama Lubdhaka mendapatkan anugraha dari Bhaṭāra Śiwa berkat brata utama yang ia lakukan pada saat Śiwarātri (malam pemujaan Śiwa). Anugraha adalah salah satu fungsi kemahakuasaan Bhaṭāra Śiwa dalam konsep Pañca-kṛtya (lima aktivitas) Śiwa. Melalui anugraha manusia diajak agar sadar bahwa manusia bisa bergegas menuju ke alam Bhaṭāra Śiwa dan bersatu di sana. Anugraha bisa membebaskan manusia dari ke-papa-an. Tidak mudah mencapai hal ini, karena merupakan rahasia Bhaṭāra Śiwa. Cobaan dan rintangan dapat dijadikan pemicu untuk bisa berjalan di jalan rohani. Jika nigraha membawa manusia turun/terjerembab ke dunia, anugraha menyebabkan manusia sadar dan bisa naik ke atas menuju Śiwa-loka (alam Śiwa). Tidak ada pemberian anugraha tanpa rintangan atau hambatan. Landasan anugraha adalah brata (sumpah/ikrar), yang merupakan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerohanian diri, mengendalikan pikiran dan ego melalui berbagai tantangan atau pengekangan di bawah bimbingan guru. Brata pada dasarnya merupakan upaya pengendalian indriya (nafsu) dan pikiran agar bisa dimanfaatkan untuk pencapaian tujuan manusia yang tertinggi (Mahā-puruṣa-artha). Anugraha mempunyai signikansi yang tinggi dalam kehidupan rohani dan duniawi. Kata kunci: Bhaṭāra Śiwa, Anugraha, brata/Vrata, Nirmala/Suddha, Kakawin. * Dosen dan peneliti pada Politeknik Negeri Bali, Bukit Jimbaran, Bali. 1. Artikel ini merupakan pengembangan dari makalah yang disampaikan pada Seminar Pendalaman Makna Śiwarātri, dengan tema ―Śiwa sebagai Penganugerah‖, diselenggarakan oleh Dharmopadeśa Pusat, Sabtu 14 Januari 2012 di Paśraman Dharma Wasita, Desa Mas, Gianyar, Bali. Makalah telah disempurnakan sesuai masukan dari peserta dan pemakalah. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
30
ANUGRAHA BHAṬĀRA ŚIWA DALAM TEKS KAKAWIN ŚIWARĀTRI-KALPA
MENJELANG dan menyambut pelaksanakan brata-Śiwarātri, umat Hindu di tanah air diingatkan dengan kisah seorang pemburu bernama Lubdhaka.2 Pertanyaan yang layak diajukan dalam konteks ini adalah mengapa seorang Luddhaka, yang hanya pemburu binatang,3 bisa memasuki Śiwa-laya (kediaman/ istana Bhaṭāra Śiwa) hanya karena melek (jagra/atanghi) semalam suntuk pada saat Śiwarātri (malam pemujaan kehadapan Śiwa), sementara orang yang tekun melaksanakan agama dan kewajiban belum tentu beruntung bisa memasuki alam Tuhan? Bahkan, roh pemburu Lubdhaka memicu perang dasyat antara bala tentara pasukan Bhaṭāra Yama dan Bhaṭāra Śiwa di kahyangan. Mpu Tanakung menghadirkan tokoh kontroversial ini dalam teks Kakawin Śiwarātri-kalpa, sebuah karya sastra yang menjadi sumber terpenting dalam pelaksanaan Śiwarātri-pūjā di Indonesia. Oleh karena tokoh sentralnya adalah Lubdhaka, masyarakat luas mengenal karya ini juga dengan sebutan Kakawin Lubdhaka4. Kakawin ini populer di kalangan masyarakat, dibaca setiap saat, khususnya pada malam pemujaan ke hadapan Dewa Śiwa. Pertunjukan wayang kulit yang digelar pada malam tersebut biasanya mengambil tema yang bersumber dari teks ini. Upaya-upaya menyalin kembali pada lontar, melakukan transliterasi, penerjemahan, dan pengkajian teks ini, serta penerbitannya dilakukan oleh berbagai kalangan di Bali dan Lombok. 5 Semuanya 2. Tokoh serupa dapat dijumpai di dalam sejumlah kitab purāṇa berbahasa Sanskerta, atara lain Śiwa-purāṇa, Skanda- purāṇa, Garuda-purāṇa, dan Padmapurāṇa. Teks-teks ini menjadi sumber ajaran Śiwaratri. (Lihat AGASTIA, 2012, hlm. 1). 3. Pekerjaaan ini identik dengan Hiṁsa karma (menyakiti/membunuh), sebuah perbuatan yang dilarang di dalam kehidupan rohani. Hiṁsa karma adalah bentuk kekerasan yang membawa manusia semakin jauh dari tercapainya tujuan hidup tertinggi. 4. Mpu Tanakung mengarang teks ini pada pada masa Majapahit akhir (kwartal ke-3 abad ke-15 Masehi). Hal ini berdasarkan kajian atas manggala teks kakawin ini dibandingkan dengan dua buah prasasti, yaitu Waringin Pitu (1447 Masehi) dan Pamintihan (1473 Masehi). Keduanya dikeluarkan oleh raja Majapahit bernama Singhawikrama dengan nama kecil Suraprabhawa. Nama ini tercantum di dalam manggala kakawin Siwaratrikalpa: ... maṅgêh donya rahaywa saṅ panikêlan tanah anulusa katwaṅ iṅ prajā/ tan lyan śry ādi suraprabhāwa sira bhupati saphala girindrawaṅśaja// (1:2) (Lihat AGASTIA, 2012: 2 dan AGASTIA, 2001: 16). 5. Sejumlah peneliti Sastra Kawi baik dari dalam maupun luar negeri telah melakukan penelitian dari berbagai sudut pandang. Menyebut beberapa saja: C. HOOYKAAS menulis topik ini dalam Five Studies in Hindu Baliense Religion (1964), A. TEEUW, DKK. menulis buku Śiwarātrikalpa of Mpu Tanakung (1969), P.J. WORSLEY menulis "A Missing Piece of Balinese Painting of the Śiwarātrikalpa" (1970), P.J. ZOETMULDER menulis dalam Kalangwan (1974), Andrian Vickers menulis A Balinese Illustrated Manuscript of the Śiwarātrikalpa, I GUSTI NGURAH BAGUS menyunting buku Kakawin Lubdhaka dan Esei Lainnya (2000), I.B.G. AGASTIA menerjemahkan dan Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
31
IDA BAGUS PUTU SUAMBA
menandakan bahwa teks ini bukan sekedar sebuah karya sastra Kawi, namun berperan sangat besar di dalam kehidupan rohani masyarakat Hindu di tanah air. Ceramah, diskusi atau perenungan menyangkut pemaknaan brataŚiwarātri (Śiwarjani) terus dilakukan mengingat pentingnya brata/vrata (puasa/pantangan) di dalam kehidupan agama dan spiritual. Banyak hal di balik ajaran Śiwa-rātri yang menarik untuk direnungkan di tengah gempuran paham materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang tengah melanda dunia. Pada Śiwarātri umat Hindu patut melakukan Śiwasṃaraṇa/Śiwasmṛti (meditasi Śiwa), Śiwabhakti/Śiwārcana/ Śiwastuti (pemujaan kepada Śiwa), atau Śiwatattwadhāraṇa (memusatkan pikiran jati diri Śiwa),6 yang penting artinya di tengah gempuran gaya hidup manusia modern yang membawa manusia semakin jauh dari jati dirinya. Ajaran teks ini dapat dijadikan pegangan agar kehidupan rohani dan duniawi berjalan dengan baik, sehingga manusia berhasil sampai ke tujuan hidup tertinggi (Mahā-puruṣa-artha), yaitu Mokṣa (pembebasan dari segala bentuk ikatan). Ada satu aspek yang belum menjadi perhatian dalam rangka pendalaman makna Śiwarātri tersebut, yaitu anugraha (anugerah). Artikel ini mencoba membahas pengertian dan fungsi anugraha dari perspektif Śiwa-tattwa (metafisika ajaran Śiwa) dan implikasinya terhadap kehidupan sekarang. Pembicaraan Śiwa-tattwa di dalam teks Kakawin Śiwarātri-kalpa menjadi tumpuan utama. Tradisi Śaiwa di India juga sedikit disinggung untuk memperjelas pemahaman terhadap konsep anugraha yang sangat penting, tidak hanya di dalam kehidupan rohani, namun juga duniawi. Pengertian Anugraha Anugraha (bahasa Sanskerta) bermakna anugerah, kebaikan, menghadiahkan keuntungan/kebaikan, mempromosikan atau meningkatkan kebaikan/kemuliaan7. Jika seseorang mendapatkan anugraha berarti ia mendapatkan kebaikan/kemuliaan/ kehebatan tertentu dari seseorang yang lebih tinggi status/kedudukannya atau lebih memberi pengantar dalam buku Śiwarātrikalpa Karya Mpu Tanakung (2001) dan kumpulan artikel dalam Percikan Śiwarātri (2012), I.B. WIJAYA KUSUMADAN menulis tesis Program S2 pada Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, Bali berjudul ―Implementasi Cerita Lubdhaka dalam Pelaksanaan Brata Śiwaratri‖ (2004), dan lainlain. 6. ZOETMULDER, P.J, 2006: 1106–1108. 7. MONIER-WILLIAMS, 2002: 32. Dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai „divine-grace‟ untuk membedakan dari jenis Anugraha lainnya. 32
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
ANUGRAHA BHAṬĀRA ŚIWA DALAM TEKS KAKAWIN ŚIWARĀTRI-KALPA
berkuasa. Tidak pernah orang yang lebih rendah/nista atau hina memberikan anugraha kepada orang yang lebih tinggi status atau kedudukannya di dalam kehidupan rohani atau duniawi di masyarakat. Secara implisit di sini nampak jelas bahwa kualitas kerohanian seseorang ditentukan oleh tingkat kesucian, kejujuran dan ketaatannya memegang suatu keyakinan. Anugraha berasal dari atas kepada yang lebih rendah untuk dimanfaatkan menuju yang lebih tinggi/mulia atau kebaikan/kemuliaan/kesejahteraan dunia. Apalagi jika anugraha dari Bhaṭāra Śiwa. Anugraha mengisyaratkan jalan yang jika dilaksanakan akan berhasil; atau kalau pun mendapat rintangan, rintangan tersebut tidaklah begitu berarti karena kekuatan anugraha. Namun sebelum mendapat anugraha, biasanya dialami cobaan, rintangan, atau hambatan yang membuat orang semakin dewasa dalam menghadapi kehidupan. Jika seseorang teguh (Bali: pagêh), berketetapan hati dan tahan terhadap berbagai godaan dan cobaan, maka yang bersangkutan dapat memperoleh keberhasilan. Kata lain yang sering bersinonim dengan anugraha dalam tradisi India adalah Kṛpā (bahasa Sanskerta). Ada tiga jenis Kṛpā, yaitu (1) Sadhana-kṛpā [anugraha diterima karena usaha sendiri (Upaya)], (2) Guru-kṛpā (anugraha dan tuntunan dari seorang guru kerokhanian), dan (3) Divya-kṛpā (anugraha dari Tuhan).8 Śiwa-tattwa di dalam teks-teks tutur atau Kawya, selain kata ‗Anugraha‟, „Sreddha‟9 juga dipakai. Yang ketiga nampaknya mempunyai nilai tertinggi karena sekaligus merupakan jalan menuju alam Bhaṭāra Śiwa (Śiwa-loka). Alasan utama digunakannya kata anugraha barangkali karena anugraha sebagai salah satu fungsi kosmis atau kemahakuasaan Śiwa, sementara Kṛpā sudah melebar kepada upaya-upaya sendiri dan keterlibatan/campur tangan guru kerohanian. Dalam konteks Indonesia, ketiga jenis Kṛpā ini dalam prakteknya ada, walaupun batasan secara eksplisit belum ditemukan di dalam teks-teks tattwa/tutur berbahasa Jawa-kuno atau Jawa-Bali. Dalam konteks Śiwa-tattwa di Indonesia, anugraha adalah anugrah atau pemberian jalan kemanunggalan Ātman (roh) dengan Paramātma (roh maha agung, yaitu Tuhan) oleh Bhaṭāra Śiwa. Oleh karena itu, anugraha senantiasa diimpi-impikan oleh pengikut paham Śaiwa agar suatu saat bisa diperoleh, sehingga orang selalu berusaha untuk mencapai titik tersebut. Di samping anugraha diberikan oleh Tuhan 8. GRIMES, 2009: 206. 9. Mpu Kanwa di dalam teks kakawin Arjuna-wiwaha menggunakan kata ini, misalnya dalam ―yan laṅgêṅ ikaṅ Śiwasmṛti dating sreddha Bharareśwara” (kalau langgeng kesadaran Śiwa di hati tentu beliau akan memberikan Anugraha). Lihat KI NIRDON, 1998: 334. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
33
IDA BAGUS PUTU SUAMBA
(Bhaṭāra Śiwa), dewa atau roh-roh suci, anugraha juga bisa diberikan oleh orang suci, misalnya Sādhaka [orang yang melaksanakan disiplin spiritual (Sādhana)]. Sādhaka dianggap sebagai perwujudan/manifestasi Śiwa yang nyata di dunia. Ia memperagakan ajaran Śiwa (Śiwaśāsana/Śiwopadeṣa) dalam kehidupan sehari-hari. Karena ketaatannya ini, Sādhaka mengenakan busana/atribut menyerupai dewa Śiwa. Pikiran, perkataan dan perbuatannya adalah wujud nyata Śāstra, karenanya sering disebut sebagai Śāstra-paraga atau Weda-paraga. Sādhaka menjadi pusat kesadaran masyarakat Hindu karena dari diri dan pengetahuannya ia membimbing dan menyinari kegelapan (awidyā) manusia. Disebut Sūrya (matahari) karena ia sebagai simbol pengetahuan, kecerdasan, energi dan kehidupan alam semesta. Pada hakikatnya anugraha bersifat rahaṣya (rahasia). Dalam konteks Lubdhaka hanya Bhaṭāra Śiwa-lah yang tahu. Bhaṭāra Yama yang biasa mencatat semua perbuatan manusia pun tidak tahu, apalagi manusia biasa. Oleh karena kerahasiaannya, setiap pengikut paham Śaiwa ingin mendapatkannya. Berbagai upaya dilakukan agar yang rahaṣya tersebut tidak menjadi rahaṣya lagi. Anugraha sebagai Jalan Pembebasan Dalam tradisi Śaiwa di India, konsep anugraha mendapatkan perhatian yang sangat besar. Boleh dikatakan paham Śaiwa-lah yang telah membahas konsep ini secara lebih mendalam dibandingkan dengan tradisi lain, misalnya Weda. Tradisi Śaiwa di India menempatkan anugraha sebagai prinsip metafisika (tattwa) yang sejajar dengan tattwa-tattwa lainnya. Lebih khusus lagi, anugraha adalah salah satu fungsi kemahakuasaan Tuhan. Hal ini muncul pada tataran Nāma-rūpa (nama dan bentuk) anugraha yang pada intinya adalah bentuk kekuatan (Śakti) Śiwa. Oleh karena berupa Śakti, anugraha bisa menghancurkan segala bentuk ke-pāpa-an manusia. Sekalipun ada beberapa perbedaan menyangkut kemunculan dan status metafisika Śakti ini, nampaknya semua mazab Śaiwa sepakat bahwa baik Tri-mūrti (tiga bentuk) maupun Pañca-kṛtya (lima aktivitas) adalah bentuk-bentuk Śakti (kekuatan) Śiwa. Tiga tradisi besar Śaiwa yang relevan disebutkan dalam konteks ini adalah (1) tradisi Śaiwa-Pāśupata (abad ke-4 M), sebuah tradisi Śaiwa tertua yang berkembang hampir di semua wilayah India dan juga menyebar ke Asia Tenggara, (2) Śaiwa Kasmir (disebut juga Trika atau Pratyabhijñā) di wilayah pegunungan Himalaya (abad ke-9), dan (3) Śaiwa-Siddhānta di India Selatan (Tamil Nadu) (abad ke-13 M). Dari segi jumlah pemeluk dan persebaran geografisnya, Śaiwa-Siddhānta 34
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
ANUGRAHA BHAṬĀRA ŚIWA DALAM TEKS KAKAWIN ŚIWARĀTRI-KALPA
adalah tadisi Śaiwa terbesar. Ketiga tradisi ini menempatkan anugraha sebagai salah satu prinsip metafisika yang membentuk konsep Pañcakṛtya, yaitu lima aktivitas Śiwa yang tak pernah berhenti, terdiri dari: (1) manifestasi atau penciptaan (Sṛṣṭi), (2) pemeliharaan atas penciptaan (Sthiti), (3) menarik kembali semua manifestasi ke asalnya (Saṁhara), (4) membungkus/mengaburkan jīwa/Ātman sehingga jīwa/Ātman mengalami kegelapan (Avidyā/Ajñāna) (fungsi ini disebut Vilaya/nigraha/Tirobhawa), dan (5) memberikan anugerah (anugraha). Tiga fungsi pertama identik dengan Tri-mūrti, walaupun istilah yang digunakan berbeda. Śiwa sebagai prinsip (tattwa) tertinggi, absolut, kebenaran, sumber segalanya dan menjadi tujuan akhir perjalanan roh/jīwa melakukan lima aktivitas yang tidak pernah berhenti dan terjadi pada setiap saat. Setiap saat ada penciptaan, setiap saat pula ada penarikan kembali ke asalnya (Pralīna). Dunia ini diberlanjutkan melalui kelima fungsi kemahakuasaan Śiwa tadi. Yang perlu dibicarakan dalam konteks pemaknaan Śiwarātri adalah keberadaan dua fungsi kosmis terakhir Śiwa, yaitu Vilaya/nigraha/Tirobhawa dan Anugraha, sekalipun dua konsep ini tidak menjadi bagian dari konsep Tri-mūrti di dalam Śiwa-tattwa di Indonesia. Dua konsep ini merupakan pengembangan dan sekaligus wujud kegelisahan kreatif para filosof paham Śaiwa sejak kira-kira abad ke-9 (jika dihitung kemunculan tradisi Śaiwa monistik di Kasmir yang dipelopori oleh Vasugupta dalam Śiwa-sūtra). Dapat dikatakan bahwa penambahan konsep fungsional Śiwa ini, dipandang dari perspektif sejarah evolusi pemikiran manusia, merupakan penyempurnaan konsep Tri-mūrti yang dikembangkan oleh tradisi Purāṇa dan Itihāsa (sebagai bagian tradisi Weda) pada masa-masa sebelumnya (kira-kira abad ke-4 sampai ke-7 M). Keadaan ini juga menguatkan adanya pengaruh tradisi Purāṇa di dalam Śiwa-tattwa di Indonesia. Di dalam konsep Tri-mūrti ini, fungsi-fungsi Bhaṭāra Śiwa belum menampakkan bagaimana manusia diciptakan dan bagaimana dia bisa mencapai tujuan tertinggi. Sepertinya, dunia dan segala isinya tercipta dibiarkan begitu saja. Di sini kata ‗nigraha‘ dan ‗anugraha‘ tepat sekali direnungkan agar bisa memahami Śiwa-tattwa secara lebih komprehensif. Yang pertama (yaitu nigraha) bermakna membungkus, menyelimuti, menyeret, atau menyebabkan Śiwa yang murni, berkesadaran, berkecerdasan, kebahagiaan dan sifat-sifat mulai Śiwa lainnya menjadi terbelenggu/terkaburkan kecerdasan-Nya ke dalam dunia fenomenal (Saṁsāra). Śiwa sebagai kekuatan kosmis menjadi Śiwa (atau tepatnya jīwa/ātman) yang bersemayam di dalam diri setiap makhluk hidup termasuk tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. jīwa-jīwa ini mengalami Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
35
IDA BAGUS PUTU SUAMBA
penderitaan dalam lingkaran lahir-hidup-mati. Pada hakikatnya keduanya sama, namun kondisi psiko-fisik jīwa berbeda dari Śiwa yang maha agung (Parama-śiwa/Para-śiwa). Yang satu bersifat empirik atau material, mengalami siklus kelahiran-kematian (Saṁsāra), sedangkan yang lain bersifat trans-impirik atau spiritual, tidak terpengarui oleh dinamika dunia fenomenal sekalipun beliau menjadikan dunia ini. Belenggu (bandha) menyebabkan manusia pāpa, karena ia lupa dengan jati dirinya sebagai Śiwa. pāpa artinya kondisi rohani ketika manusia mengalami kebahagiaan dan penderitaan (sukha-duḥkha) yang relatif. pāpa adalah sebutan bagi manusia yang dibelenggu oleh indriya-indriya dan objek-objeknya serta pikirannya, sehinga ia disebut sebagai orangorang yang aturu atau tidur, lupa akan hakikat jati-dirinya (tan mengêt ri jatinya). Dalam keadaan seperti ini, Bhaṭāra Śiwa tidak membiarkan manusia terbelenggu di dalam kegelapan rohani. Umat manusia dibantu dan diberi jalan atau ajaran beraneka-rupa yang dapat diambil sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Manusia di bawah bimbingan guru spiritual, tinggal memilih jalan yang cocok dengannya, karena manusia tidak boleh hidup tanpa tujuan khususnya yang tertinggi (yang disebut Mokṣa). Tapa-brata adalah landasan yoga yang mampu membawa manusia naik menuju Śiwālaya. Dengan demikian Śiwa-tattwa adalah jalan ke-moksa-an (Mokṣa-mārga) dan Śiwa-śāsana/Śiwopadeṣa adalah Mokṣa-śāstra (ajaran pembebasan). Para Śaiwa wajib mempelajari Śiwa-śāsana/Śiwopadeṣa (ajaran Śiwa). Ibarat memasuki sebuah rumah (yaitu Śiwālaya), maka Śiwa-śāsana/Śiwopadeṣa adalah kuncinya. Ada satu fungsi ketuhanan yang terakhir, yaitu anugraha. Artinya di samping Tuhan Śiwa menyebabkan jīwa terbelenggu karena keterlibatan Maya-tattwa (pinsip material/ketakkekalan) dalam proses penciptaan dunia, Bhaṭāra Śiwa sebagai kekuatan tertinggi adalah penganugerah (Anugrahānta), sebuah istilah kerokhanian yang digunakan di dalam tradisi Śiwa-Pāśupata. Jika dengan fungsi nigraha membawa manusia turun ke bawah ke lembah penderitaan (saṁsāra), anugraha pada sisi lainnya membawa manusia naik menuju dan manunggal serta lebur dengan Śiwa. Anugraha membebaskan manusia dari belenggu kelahiran-kematian atau, dengan kata lain, anugraha adalah jalan pembebasan. Dua fungsi terakhir ini, yaitu nigraha dan anugraha khusus menangani jīwa/ātman (roh); sementara tiga pertama berkaitan dengan penciptaan alam semesta (jagat/bhuwana). Di tangan para filosof, Ācārya, Ṛṣi Śaiwa, khususnya di India Selatan, konsep Pañca-kṛtya (lima aktivitas) ini telah berhasil dimanifestasikan sebagai konsep Śiwa sebagai penari kosmis (disebut 36
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
ANUGRAHA BHAṬĀRA ŚIWA DALAM TEKS KAKAWIN ŚIWARĀTRI-KALPA
Śiwa-naṭarāja) , yaitu sejak dinasti Cola berkuasa pada abad ke 13 M. Setiap elemen di dalam arca atau ikonografi Śiwa-naṭarāja mangandung simbol yang sarat makna11. Patung atau arca-arca Śiwa-naṭarāja menjadi ciri khas kuil-kuil (mandira) di India Selatan. Hampir semua musium di India mempunyai koleksi arca Śiwa-naṭarāja ini. Berbeda dari konsep Adwaita-Wedānta, sebuah sistem filsafat India oleh Śaṁkarācārya, yang menyatakan bahwa Brahman hanya sebagai kesadaran pasif (hanya sebagai Sākṣī saja), Śiwa-Tattwa di India, khususnya Kashmir, dan Śiwa-tattva dalam teks-teks tutur, menyatakan bahwa Bhaṭāra Śiwa disamping sebagai kesadaran murni juga sebagai sinar (prakaśa) yang aktif12. Ketika mulai mencipta, kesadaran tersebut bergetar memancar, mengembang dari yang satu menjadi banyak, dari yang halus (sūkṣma) menjadi kasar (sthula) dari satu (eka) menjadi banyak (aneka) dan akhirnya menjadi dunia dengan segala isinya ini. Dengan demikian dunia ini pada intinya adalah sinar Śiwa dan riil sebagai sinar Śiwa. Memahami dunia fenomenal sesungguhnya juga memahami Śiwa. Artinya, memahami suatu akibat/hasil pada dasarnya juga memahami penyebab, karena antara sebab dan akibat berhubungan erat, sekalipun ada perbedaan pendapat di kalangan filosof mengenai bagaimana hubungan sebab-akibat terjadi tersebut. Tidak ada akibat tanpa sebab. Memahami sebab (oleh karena ia tidak bisa diraba/dipegang/dipahami) bisa dengan cara mengkaji akibat/hasil. Jika Śiwa adalah sinar maka dunia ini pun secara ontologis merupakan bentuk sinar/cahaya Bhaṭāra Śiwa. Berbeda dengan Adwaita-wedānta, dunia ini tidak dipandang sebagai māya (ilusi yang tidak riil) tetapi sebagai wujud kesadaran sinar, refleksi dari hakikat Bhaṭāra Śiwa yang Sat (ke-ada-an), Cit (kesadaran), Ānanda (kebahagiaan). Kesadaran yang bergetar gemerlapan, mengembang dan menguncup ini disimbolkan dengan konsep Śiwa sebagai penari kosmis, yaitu Śiwa Naṭarāja, dimana setiap elemen ikonografis Naṭarāja mengandung simbol filsafati. Di dalam teks-teks tutur, misalnya Wṛhaspati-tattwa, kesadaran agung Bhaṭāra Śiwa dilukiskan sebagai bunga padma yang bercahaya gemerlapan bagaikan sejuta matahari. Di dalam tradisi Śaiwa di Indonesia (baca: Bali) konsep mengembang (bahasa Bali: ngêbêk) dan menguncup (bahasa Bali: ngingkup/ngingkês) ini juga ada di dalam berbagai tataran kehidupan, misalnya yajña (korban suci), seni tari/tabuh dan sebagainya; namun tidak membentuk konsep Pañca10
10. 11. 12.
Lebih lanjut lihat I.B.PUTU SUAMBA, 2003: 1–26. ibid. Lihat teks Bhuwana-Kośa, Paṭalah II, Śloka 14.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
37
IDA BAGUS PUTU SUAMBA
kṛtya. Konsep Padma-mêkar dan Padma-kuñcup ini bisa dilihat nyata dalam Upacara yajña terbesar, Eka-daśa-rudra [dilaksanakan ketika tahun Śaka jatuh pada angka 00 (Rah Windu, Têṅgêk Windu)] di pura Bêsakih, Bali13. Padma-mêkar dan Padma-kuñcup merupakan wujud sinar/cahaya yang mengembang/emisi dan menguncup/menyerap ke pusatnya. Dalam konteks pulau Bali sebagai Padma-bhuwana atau Padma-maṇḍala, pura Bêsakih dianggap sebagai pusatnya. Daun-daun Padma berada di luarnya mulai dari konsep Catur-lawa (empat kelopak), Aṣṭa-dala (delapan kelopak) maupun Sahasrā-dala (seribu kelopak) membentuk lingkaran-lingkaran berlapis terstruktur dari lingkaran paling dalam/halus hingga luar/kasar, menjaga kesucian dan kemakmuran/kesejahteraan dunia. Oleh karena dasar metafisika ini, dalam ajaran Śiwa-tattwa yang lebih banyak ditekankan adalah pāpa (kenistaan), bukan doṣa (kesalahan)14. Manusia lahir karena ke-pāpa-annya. Hanya perbuatan puṇya yang bisa membantu ia lepas dari keadaan pāpa atau pāpanaraka. Sebab doṣa bisa dilakukan ketika manusia itu dalam keadaan pāpa. Akar perbuatan doṣa atau adharma (ketidakbenaran)/asuśila (perbuatan melanggar norma, etika) yang lebih dulu dicari dan dipecahkan dari pada tindakan menghilangkan/menghapus/melebur doṣa. Pāpa bisa diatasi dengan karma (tindakan/kerja) dalam bentuk punya. Perbuatan-perbuatan yang digolongkan puṇya adalah dharma) (kebenaran, hukum, yaśa (pemujaan), dan kerti (pengabdian kepada masyarakat). Di sini nampak jelas bahwa perbuatan manusia mempunyai akarnya pada landasan metafisika. Śiwarātri-kalpa: brata sebagai Landasan Anugraha Aspek-apek tattwa (metafisika), suśīla (etika) dan upacāra (ritual) Śiwarātri-pūjā (pemujaan pada malam Śiwa) terungkap di sini walaupun unsur Rasa (estetika) dominan. Pada intinya susastra kakawin ini menempatkan kemuliaan/keagungan anugraha sebagai klimaks perjalanan rohani manusia. Anugraha mengatasi semua jalan yang ditempuh manusia. Suatu jalan (mārga/yoga) bisa ditempuh untuk mencapai tujuan-tujuan hidup manusia (puruṣārtha) berkat anugraha dan karenanya langkah awal dan terakhir adalah adanya pemberian anugraha oleh Bhaṭāra Śiwa. Semua jalan kerokhanian bermuara atau mengambil puncaknya pada jñāna (pengetahuan rohani) tepatnya 13. Lihat AGASTIA, 2008: 1, 31–35. 14. Mantra Pūjā-tri-sandhya, bait ke-4: Oṁ papo‟ham pāpakarmāhaṁ /pāpātma pāpasambhavaḥ / trāhi māṁ pundarīkākśa / sabāhyābhyāntaraḥ śuciḥ // 38
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
ANUGRAHA BHAṬĀRA ŚIWA DALAM TEKS KAKAWIN ŚIWARĀTRI-KALPA
samyagjñāna (pengetahuan ke-sama-an) dan hanya dengan samyagjñāna penunggalan ātman (roh) dengan Paramātman (roh maha agung) bisa terwujud. Hal ini beralasan karena sesungguhnya Bhaṭāra Śiwa pada hakikatnya adalah Cit (kesadaran murni universal), Prakāśa (cahaya/sinar), Sundaram (keindahan), disamping Sat (ke-ada-an), Satyam (kebenaran) dan Ānandam (kebahagiaan). Cit adalah sinar; dan sinar adalah bentuk lain dari pada jñāna. Jñāna, apapun jenisnya, apakah Para-jñāna/-widyā (pengetahuan rohani yang lebih tinggi) atau Apara-jñāna/-widyā (pengetahuan rohani yang lebih rendah) disimbolkan dengan sinar/cahaya (jyotir). Maka dari itu planet-planet yang bercahaya menjadi simbol kesadaran umat manusia. Ketika membicarakan kegelapan/kebodohan manusia, teks-teks susastra Hindu juga membicarakan sinar/cahaya (jñāna). Jalan-jalan spiritual lain, seperti bhakti (penyerahan diri total), karma (kerja/aktivitas), rāja (yoga) dan sebagainya pada intinya adalah bentuk-bentuk jñāna. Ritual (yajña) sebagai bentuk Karma-marga (jalan kerja) sekalipun sesungguhnya jalan jñāna, karena tidak ada ritual yajña tanpa dilandasi oleh jñāna. Yajña adalah bentuk nyata jñāna. Pandangan ini berbeda dari pandangan tradisi kitab-kitab Upaniṣad yang membuat dikotomi antara Karma-kanda (tindakan/perbuatan) dan Jñāna-kanda (pengetahuan). Bagi masyarakat umum, ritual (yajña) lebih mudah dilaksanakan, namun bagi mereka yang telah maju di bidang spiritual mungkin tidak lagi memerlukan ritual (yajña). Oleh karena itu Upacāra/Upakāra (ritual) menjadi bentuk pelaksanaan agama secara umum. Dengan kata lain, bentuk agama masyarakat umum adalah yajña dalam pengertiannya yang luas. Artinya, agama secara umum mengambil bentuk/ekspresi luar sebagai ritual (yajña) yang bisa diikuti oleh hampir semua orang; sementara bentuk-bentuk jñāna atau yoga hanya bisa diikuti oleh segelintir orang disamping memerlukan bakat dan kemampuan sehingga terkesan eksklusif. Yajña di dalam konteks Indonesia bersifat integratif, dengan mempertimbangkan dimensi deśa (tempat), kāla (waktu), patra (kondisi/keadaan), tidak hanya aspek karma yang dominan, namun juga bhakti, jñāna dan Rāja/yoga terlibat. Di sini dapat dipahami bahwa antara jñāna (pengetahuan rohani) dan śakti (kekuatan/tenaga) identik. Ketika aspek jñāna Bhaṭāra Śiwa menjadi aktif/dinamis ia berbentuk kekuatan/tenaga/energi (Śakti) sehingga penciptaan dan fungsi-fungsi lain bisa dilaksanakan. Teks Tutur Wṛhaspati-Tattwa menganjurkan tiga jalan spiritual (Tri-sādhanā) 15
15. Têlu prakāra nikaṅ sādhana, anuṅ gavayakêna de saṅ mahyun iṅ kalêpasên, ...dst. W.T., Śl., 52. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
39
IDA BAGUS PUTU SUAMBA
untuk mencapai Samyagjñāna, yaitu Jñānābhyudreka (pengetahuan tentang segala kenyataan), Indriyāyoga-mārga (tak trekena kekotoran indriya), dan Tṛṣṇādoṣa-kṣaya (menghilangkan sisa-sisa/akibat perbuatan).16 Dengan demikian anugraha adalah jalan jñāna. Dalam konteks teks Śiwarātri-kalpa, Lubdhaka sesungguhnya berhasil mencapai Śiwa-jñāna (pengetahuan intuitif spiritual Śiwa) dan karenanya ia berhak memasuki Śiwālaya (istana Bhaṭāra Śiwa) dan bahkan dianggap anak oleh Bhaṭāra Śiwa, berkat keutamaan brata-nya (disebut Warabrata)17 walaupun kenyataannya ia hanyalah seorang pemburu. Di sini kita diajarkan agar tidak memandang rendah makhluk hidup, termasuk manusia, betapapun nista dan hinanya dia, karena sesungguhnya siapapun dia, adalah Śiwa yang terselubung (Śiwa in disguise). Memandang seorang pengemis dengan seorang raja, misalnya, diharapkan sama. Di samping itu tersirat bahwa untuk mencapai jñāna, sebagai landasannya adalah kesucian (suddha/nirmala) seperti tercantum di dalam teks-teks Śāsana/Nīti-śāstra/Śubhasita18. Kesucian lahir-batin sangat ditekankan bahkan prasyarat mutlak bagi mereka yang ingin berjalan di jalan kerokhanian. Dalam teks Śiwarātrikalpa dengan jelas disajikan bagaimana Bhaṭāra Śiwa bertindak sebagai penganugerah kepada umat manusia yang tekun melaksanakan brata. Demikian juga Pūjā Siwāditya Astawa19 yang biasa di-uncar-kan oleh Sādhaka menjelaskan Śiwa sebagai penganugerah kepada umat manusia. Jika pada teks lain, misalnya Arjuna-wiwāha, Arjuna mendapatkan anugrah senjata panah Paśupati dari Bhaṭāra Śiwa karena berhasil melakukan Tapa-brata-yoga yang dilakukan secara teguh, sadar dan sengaja, Lubdhaka di dalam kakawin ini melakukannya secara bodoh bukan dengan terencana. Ia melakukannya dalam keadaan ketakutan dan keterpaksaan. Walaupun demikian, ia boleh masuk ke Śiwālaya berkat keutamaan brata yang dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada Panglong ping-14 (Caturdaśi-kṛṣṇa-paksa) Sasih Kapitu (Māgha-māsa)20 dikenal dengan Mahā-śiwa-rātri. 16. Ibid. 17. AGASTIA, 2001: 135. 18. SUAMBA, 2011: 73–76. 19. Oṁ Anugraha manuhara/ Dewa datā nugrahaka / Arcanaṁ sarwa pūjanaṁ/ Namaḥ sarwānugrahaka/ Dewa dewī mahā siddhi/ Yajñāṅga nirmalātmaka/ Lakśmi siddhiśca dirghāyuḥ/ Nirwighna suka wṛddhiśca // Oṁ griṅ Anugraha arcanāya namo namaḥ swāhā/ Oṁ griṅ Anugraha manoharāya namo namaḥ swāhā / Om griṅ paramān tyeśtai namo namah swāhā / Oṁ Antyeśṭiḥ paraman pindaṁ, antyestiḥ dewa Maśritā, sarwestir eka swānam wa, sarwa dewa suka pradhanaya namo namaḥ swāhā // 20. Prāpta ṅ kāla caturdaśiṅ kapitu kṛśṇātruh-truh aṅde laṅö/ 2: 3 (Lihat AGASTIA, 2001: 19). 40
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
ANUGRAHA BHAṬĀRA ŚIWA DALAM TEKS KAKAWIN ŚIWARĀTRI-KALPA
Yang penting dicatat di sini adalah bahwa anugraha dan brata/vrata [pantangan dalam bentuk melek, puasa makan/minum dan diam tidak berkata-kata (mona)] berhubungan erat; bahkan tidak ada pemberian anugraha tanpa brata. Adalah aneh jika ada orang yang ingin mendapatkan anugraha tanpa melakukan apa-apa. Mpu Kanwa di dalam Kakawin Arjuna-Wiwāha menyuratkan ―Ada orang yang tidak pernah melakukan brata-yoga-tapa, dengan lancang ia memohon kesenangan dan kebahagiaan kepada Tuhan bagaikan memaksa, tentu terbaliklah harapan yang demikian, sehingga ia ditimpa penderitaan, disiksa oleh Rajah (kenafsuan) dan tamah (kemalasan, kebodohan) ditindih oleh perasaan sakit hati‖21. Arjuna berkat brata-yoga-tapa, dianugerahi Bhaṭāra Śiwa (Paśupati) senjata Paśupati atau Paśuyuddha berupa Cadu-Śakti, yaitu empat kemahakuasaan Tuhan [yaitu Wibhu-Śakti (maha ada), Pabhu-Śakti (maha kuasa), jñāna-Śakti (maha mengetahui) dan Kriya-Śakti (maha karya)]. Cadu-Śakti adalah senjata yang dapat mengalahkan musuh/ancaman/rintangan. Setelah mendapat anugraha, Arjuna mempersembahkan anugraha Bhaṭāra Śiwa kepada kakaknya, Yudisthira, untuk dijadikan pegangan di dalam memerintah, mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan negara. Anugrah yang diperoleh bukan untuk dirinya sendiri, namun digunakan untuk menata kehidupan negara. Brata adalah juga landasan yoga. Yoga tidak hanya sebagai jalan/sarana, yoga juga sebagai tujuan, yaitu kemanunggalan dengan Parama-Śiwa. Dalam konteks Śiwa-rātri, brata-nya berupa: Jagra (melek/begadang), Upawāsa (puasa makan) dan Mona (diam, tidak mengeluarkan kata-kata/wicara/membisu) dan semuanya dilaksanakan dengan penuh keyakinan dan komitmen pada diri. Jagra adalah brata digolongkan minimal (Kaniṣṭha), Jagra dan Upawāsa digolongkan menengah (Madhyā), sementara ketiganya, yaitu Jagra, Upawāsa dan Mona sekaligus digolongkan utama/tertinggi (Uttama-brata) dan semuanya dilakukan selama 36 jam (mulai pagi hari kira-kira jam 06:00 hingga pkl. 18:00 sore hari keesokan harinya (yaitu Purwani Tilem hingga pada Tilêm Sasih Kapitu). Memang ada berjenis-jenis brata yang intinya dilakukan untuk menyucikan pikiran, perkataan dan perbuatan (Tri-kāya, yaitu Manacika (pikiran), wacika (perkataan) dan kayika (perbuatan/tindakan). Hari-hari suci biasanya terkait dengan brata tertentu. Berkehendak melaksanakan yajña tertentu baik berskala kecil 21. Hana mara janma tan papihutaṅ brata yoga tapa / angêtul aminta wiryya sukaniṅ widhi sahasaika/ binalikakên purih nika lêwih tinêmunya lara / sinakitaniṅ rajah tamah inandehaniṅ prihati // Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
41
IDA BAGUS PUTU SUAMBA
maupun besar, diharapkan pelakukanya melakukan Tapa-brata tertentu. Yaśa-kerti mejelang pelaksanakan yajña adalah salah satu bentuk brata. Brata berupa jagra/atanghi (melek) yang dilakukan Lubdhaka mampu menyucikan seluruh doṣa-nya sehingga Bhaṭāra Śiwa senang dan menganugerahkan ke-mokṣa-an kepada Lubdhka. Bhaṭāra Śiwa menganugerahkan pahala utama yang bisa menghilangkan segala bentuk kejahatan/ke-pāpa-an dan mendapatkan kesejahteraan serta kebahagiaan. Dipastikan apabila orang melaksanakan brata ini, ia tidak akan menemui sangsara22 di dalam hidupnya. Segala bentuk penderitaannya akan dilebur sebagai hasil pelaksanaan brata (sapāpa nika sirna deni phala niṅ brata). Demikian Bhaṭāra Śiwa bersabda di dalam teks kakawin ini. Di dalam melaksanakan brata dimensi waktu memegang peranan penting, karena ada brata yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Hal ini menandakan bahwa manusia berada di tengah-tengah dimensi waktu (kāla), disamping tempat (deśa) dan kondisi/keadaan (Patra). Dalam konteks Śiwarātri, dimensi waktu, yaitu hari Panglong ping-14 Sasih Kapitu (hari ke-14 pada paruh gelap bulan ke-7) dianggap sebagai malam yang paling gelap. Kegelapan secara Sakala (lahiriyah) boleh dimaknai sebagai kegelapan (avidyā) manusia yang harus dilenyapkan melalui pengetahuan (jñāna). Untuk mencari terang/sinar/cahaya memang lebih nyata di dalam gelap. Dalam gelap diri kita akan kelihatan terang/bercahaya – jika memang benar bercahaya. Kegelapan gua (guhya) sering digunakan oleh para pencari kebenaran melukiskan awidyā. Dalam kegelapan tersebut terdapat rahaṣya, misteri yang ingin diketahui manusia. Śiwarātri disamping sebagai misteri juga juga simbol kegelapan yang dialami manusia. Dalam kegelapan dunia manusia menjadi lupa dengan jati dirinya, karena manusia terlena dengan pemenuhan indra-indranya. Jika orang terlalu menuruti keinginan tidur, ia akan lupa dengan jati dirinya. Teksteks Jawa-Kuno mengajak kita agar atutur untuk menghindari turu atau lupa. Ketika manusia aturu ia akan mengalami ke-pāpa-an. Teks tutur Bṛhaspati-Tattwa mengajarkan kita agar manusia ingat (atutur) dengan jati dirinya. Tutur artinya ingat/awas/Jagra dengan Śiwa (Śiwa-smṛti). Hidup dengan awas akan dapat mengantarkan pada terhindarnya manusia terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan. Orang yang selalu atutur akan mendapatkan punya, sebaliknya orang yang selalu turu (dalam pengertian luas) akan mendapatkan pāpa. Jika ingin selalu atutur, maka diharapkan manusia pintar-pintar menempatkan dirinya di 22. 42
AGASTIA, op.cit. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
ANUGRAHA BHAṬĀRA ŚIWA DALAM TEKS KAKAWIN ŚIWARĀTRI-KALPA
dalam kancah pergaulan sehari-hari. Lingkungan yang positif membuat manusia selalu atutur dan menjauhkan dari aturu. Teks-teks tutur berfungsi mengingatkan manusia akan keberadaan dan hubungannya dengan Bhaṭāra Śiwa dan alam semesta (jagat/bhuwana), termasuk sesama manusia dan satwa. Teks-teks Śiwaistik kaya dengan konsep brata, suatu hal yang hanya ada di dalam Śiwa-tattwa di Indonesia. Ini membuktikan bahwa pāpa atau pāpa-naraka mendapat perhatian yang besar. Memahami kondisi manusia dalam keadaan pāpa, para Ṛṣi, Ācārya, orang suci, guru, atau pemikir di Jawa pada masa Jawa-kuno mengembangkan konsep-konsep etika yang beragam. Konsep Daśa-śīla merupakan ciri khas Śiwa-tattwa di Indonesia23. Daśa-śīla yang terdiri atas Pañca-Yama dan Niyamabrata juga dikembangkankan menjadi konsep Daśa-yama dan Daśaniyama-brata di samping konsep-konsep lainnya. Anugraha dalam Kehidupan Moderen Ciri menonjol kehidupan masyarakat moderen adalah gaya hidup konsumtif, hedonis, pragmatis dan individualistik, sebagai dampak majunya perkembangan sains dan teknologi. Pada saat yang sama, manusia juga merindukan adanya kemajuan di bidang rohani, spiritual atau agama. Namun apa yang terjadi justru terbalik: kemajuan sains dan teknologi demikian pesat, moral dan spiritualitas manusia bergerak mundur. Agama dijalankan secara formal saja. Indikasinya cukup banyak, antara lain rasa persaudaraan antarsesama manusia mulai renggang, perselisihan akibat perbedaan-perbedaan suku, agama dan ras semakin mengemuka, degradasi nilai-nilai moral, dan sebagainya. Yang paling memprihatinkan bagi bangsa ini adalah begitu akutnya perbuatan korupsi di berbagai tataran/lapisan yang justru dilakukan oleh oknum penegak keadilan dan kebenaran. Konflik, baik berskala kecil maupun besar, mengancam peradaban manusia. Masyarakat sangat sulit diajak melakukan tapa-brata, apalagi yoga- samādhi. Oleh karena itu dengan mamahami konsep anugraha ini, umat manusia diingatkan akan keutamaan brata. Ajaran Daśa-śīla adalah ajaran etika dasar yang sebaiknya dilaksanakan oleh semua umat baik yang tergolong Dwijāti maupun masyarakat umum. Di bawah bimbingan guru kiranya ajaran Daśa-śīla bisa dilaksanakan secara bertahap. Di samping anugraha diberikan oleh Bhaṭāra Śiwa, secara etika umat Hindu berkiblat kepada orang suci (misalnya Sādhaka), orang tua atau yang dituakan di dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. 23.
SUAMBA op.cit.: 65–73.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
43
IDA BAGUS PUTU SUAMBA
Sādhaka adalah Guru-loka (guru dunia) yang memang tugasnya membimbing, memberikan penerangan/pencerahan kepada umat di dalam kehidupan rohani. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi dan gaya kehidupan modern sepertinya tidak begitu mengindahkan kiblat atau keberadaan ajaran etika ini. Kekacauan timbul karena ajaran moral, etika dilanggar. Izin atau doa restu guru atau orang tua adalah bentuk lain dari anugraha, walaupun pada tataran yang lebih rendah. Izin atau doa restu diperlukan di dalam setiap usaha kehidupan. Penutup Anugraha sangat penting di dalam kehidupan rohani dan duniawi, karena anugraha adalah salah satu fungsi kemahakuasaan Tuhan. Dengan anugraha manusia diajak agar sadar bahwa manusia bisa bergegas menuju ke alam Bhaṭāra Śiwa dan bersatu di sana. Diakui tidak mudah mencapai hal ini, karena merupakan rahaṣya Bhaṭāra Śiwa. Namun, Bhaṭāra Śiwa memberikan jalan agar manusia bisa naik ke atas menuju Śiwālaya. Landasan anugraha adalah brata. Brata sesungguhnya adalah sumpah/ikrar pada diri untuk berusaha meningkatkan kualitas kerohanian diri melalui berbagai tantangan atau pengekangan di bawah bimbingan guru. Brata pada dasarnya upaya pengendalian indriya (nafsu) dan pikiran agar bisa dimanfaatkan untuk pencapaian tujuan tertinggi. DAFTAR PUSTAKA ACHARYA, KALA, 2004, Indian Philosophical Terms: Glossary and Sources. Mumbai: Somaiya Publications. AGASTIA, I.B.G (Trj.), 2001, Śiwaratri Kalpa, Karya Mpu Tanakung. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. ––––– , 2003, Śiva-Smṛti, Denpasar: Yayasan Dharma Śastra. ––––– , 2003, Pañca Balikrama, Padma Maṇḍala dan Sad Kahyangan. Gianyar: Dharmopadeśa Pusat. BHATT, N.R., 2001, ―Saiva Rituals‖ dalam V. KAMESVARI, K.S. BALASUBRAMANIAN AND M.T. VASUDEVA (eds.), Saiva Rituals and Philosophy. Chennai: The Kuppuswami Sastri Research Institute. GRIMES, JOHN, 2009. A Concise Dictionary of Indian Philosophy, Varanasi: Indica Books: MONIER-WILLIAMS, M., 2002. A Sanskrit-English Dictionary, New Delhi: Munshiram Manoharlal. 44
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
ANUGRAHA BHAṬĀRA ŚIWA DALAM TEKS KAKAWIN ŚIWARĀTRI-KALPA
NIRDON, KI,1998. Wija Kasawur (2). Denpasar: Warta Hindu Dharma. SEDYAWATI, EDI, I. KUNTARA WIRYAMARTANA, SAPARDI DJOKO DAMONO dan SRI SUKESI ADIWIMARTA (ED.); 2001. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, Jakarta: Balai Pustaka. SINGAL, SUDARSHANA DEVI, 1958. Gaṇapati-Tattva: An Old Jāvanese Philosophical Text; New Delhi: International Academy of Indian Culture dan Aditya Prakashan. –––––, 1962, Tattva-jñāna and Mahā-jñāna (Two Kavi Philosophical Texts); New Delhi: International Academy of Indian Culture dan Aditya Prakashan. –––––, 1995, "Bhuvana-Saṁkṣepa: Śaiva Cosmology in Indonesia", dalam Cultural Horizons of India; Vol. V, LOKESH CANDRA (ed.). New Delhi: International Academy of Indian Culture dan Aditya Prakashan. SUAMBA, I.B.P, 2011, ―The Advancement of Śaivism in Indonesia: A Philosophical Study of Śaiva-Siddhānta (With Special Reference to Old Jāvanese Tattva Texts)‖. Desertasi Ph.D. University of Pune. SUAMBA, I.B.PUTU., 2003, ―Śiwa-Naṭarāja: Simbol, Filsafat dan Sinifikansinya dalam Kesenian Bali‖, dalam I.B.G. YUDHA TRIGUNA (ED.), Estetika Hindu dan Pembangunan Bali. Denpasar: Widya Dharma. SURA, I GDE, DKK., 1994, Bṛhaspati-Tattva, Denpasar: Upada-Sastra. –––––, 1994, Bhuvana-Kośa, Denpasar. Upada-Sastra. –––––, 1995. Bhuana-Saṅkḷepa, Saṅhyaṅ-Mahājñāna, Śiva-TattvaPurāṇa; Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali. ZOETMULDER, P.J., 1985, Kalangwan: Sastra Java Kuno Selayang Pandang; Dick Hartoko S.J. (tr.), Jakarta: Djambatan. –––––, 2006, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
45
*
Studi atas Naskah “Kitab Butikan Obat-Obat” Karya Sayyid Ali bin Alwi bin Shihabuddin dan Naskah Mujarobat
Abstrak Artikel ini membahas farmakologi tradisional di Palembang dalam naskah Kitab Butikan Obat-obat dilihat dengan perspektif ekologi budaya. Naskah ini menyebutkan berbagai macam bahan obat yang berasal dari tumbuhan dan hewan, sesuai dengan ketersediaan bahan yang dapat diambil dari lingkungan hidup masyarakat Palembang, seperti: lada hitam, lada putih, jinten hitam, jinten putih, kulit kayu manis, madu, gula aren dan sebagainya. Penggunaan obat tradisional dalam naskah ini dapat dipandang sebagai cermin budaya atau kearifan lokal Palembang pada masa tersebut. Pengetahuan tentang pengobatan tradisional di Palembang pada masa lalu juga dapat dilihat dari adanya naskah yang lain, di antaranya adalah naskah mujarobat. Namun, pengobatan yang diinformasikan dalam naskah ini menggunakan caracara non medis dan bukan herbal. Informasi yang dapat diambil dari naskah ini menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat Palembang telah mengenal kearifan lokal dengan memasukkan unsur-usur Islam dalam hal pengobatan. Kata Kunci: Farmakologi Tradisional, Herbal, Rajah, Mitos, Makna
* Dosen Sejarah pada Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Raden Fatah Palembang. Mahasiswa S3 Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
46
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
EKOLOGI BUDAYA bermula dari sebuah aliran yang dikembangkan dalam antropologi yang dipelopori oleh seorang sarjana Amerika Utara bernama Julian Steward (1902–1972). Steward adalah orang pertama yang memasukkan kajian tentang hubungan budaya dengan lingkungan ke dalam bidang kajian ekologis. Namun, embrio pemikiran bersumber pada aliran pemikiran ‗partikularisme historis‘ Frans Boaz. Ekologi Budaya adalah sebuah cara memahami persoalan lingkungan hidup dalam perpektif budaya, atau sebaliknya, memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ekologi budaya mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Ciri ekologi budaya adalah adanya perhatian terhadap adaptasi pada dua tataran: pertama, cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya dan, kedua, sebagai konsep adaptasi sistemik, cara institusi-institusi dalam suatu budaya baradaptasi dan saling menyesuaikan diri. Ekologi budaya menyatakan bahwa proses-proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi sebagai konfigurasi budaya. Unit adaptasi makhluk manusia meliputi organisme dan lingkungan yang merupakan suatu ekosistem; yaitu sistem atau kesatuan yang berfungsi dan terdiri atas lingkungan fisik berikut berbagai organisme yang hidup di dalamnya. Proses adaptasi telah menghasilkan keseimbangan yang dinamis karena manusia sebagai bagian dari salah satu organisme hidup dalam lingkungan fisik tertentu. Melalui kebudayaan yang dimilikinya ia mampu mengembangkan seperangkat sistem gagasan. Dengan kata lain, manusia sebagai salah satu bentuk organisme, melalui sistem gagasan yang dikembangkan dan dimilikinya, mampu menyesuaikan diri dengan bagian dari ekosistem. Dengan demikian ekologi budaya membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu dan membahas cara manusia membentuk ekosistem itu sendiri. Kebudayaan dapat juga didefinisikan sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan. Konsep kebudayaan yang bersifat materialistis, yang mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau sistem yang berfungsi mempertahankan kehidupan masyarakat, terlihat dalam warisan intelektual yang mengandung masalah farmakologi tradisional di Palembang. Salah satu unsur kebudayaan di Palembang yang dapat dikaji melalui ekologi budaya adalah masalah pengobatan, yakni yang terdapat dalam warisan intelektual berupa naskah kuno. Pengetahuan tentang Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
47
ENDANG ROCHMIATUN
farmakologi1 tradisional di kalangan masyarakat Palembang ternyata telah lama ada, terlihat dari adanya manuskrip-manuskrip bertemakan obat-obatan yang disimpan masyarakat Palembang. Salah satu manuskrip tesebut adalah Kitab Butikan Obat-Obat karya SAYYID ALI BIN ALWI BIN SHIHABUDDIN yang ditulis di Kampung 16 Ilir Palembang. Naskah ini sebenarnya sangat dapat memberi kontribusi terhadap kebutuhan keilmuan masyarakat masa kini. Sebagaimana banyak diberitakan bahwa pada saat ini dunia kedokteran mulai melirik obat-obat dari bahan bahan alami (herbal). Demikian juga perusahaan obat-obatan yang meyakini obat-obat herbal sebagai komoditas yang akan sangat menguntungkan. Keyakinan itu didukung oleh pola pikir kebanyakan masyarakat yang menganggap obat-obatan herbal lebih aman dikonsumsi dibandingkan obat-obatan dari bahan-bahan kimia. Yang menarik dari teks di dalam naskah ini adalah, antara lain, sebagian besar dari 22 bab di dalamnya mengenai kesehatan reproduksi perempuan. Asumsi awal penulis adalah: kemungkinan besar di Palembang pada masa itu maupun masa sebelumnya, hal yang terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan kurang mendapat perhatian, sehingga rawan terjadi peristiwa ―kematian ibu dalam proses melahirkan maupun kematian anak dalam kandungan‖. Asumsi di atas kemungkinan benar, terbukti dari teks pada bab-bab mengenai : ―…… obat buat perempuan yang bunting supaya anak di dalamnya selamat jangan runtuh, - obat buat perempuan yang hendak beranak supaya mudah keluar anaknya, - obat perempuan yang mau beranak tapi sudah mati masih dalam perut supaya segera keluar dan sebagainya.‖ Dalam perspektif kajian sejarah maupun kajian ―gender‖, naskah ini dapat memberi kontribusi besar sebagai sumber yang otentik dan kredibel. Naskah ini juga menyebutkan berbagai macam bahan obat yang berasal dari tumbuhan maupun hewan, sesuai dengan bahan yang dapat diambil dari lingkungan hidup masyarakat Palembang, seperti: lada hitam, lada putih, jinten hitam, jinten putih, kulit kayu manis, madu, gula aren dan sebagainya. Penggunaan obat tradisional atau alami berdasar naskah ini dapat dipandang sebagai cermin budaya lokal atau kearifan lokal Palembang yang penting untuk dipublikasikan di kalangan masyarakat Palembang dan dunia medis pada umumnya. 1. Pengertian Farmakologi adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan obatobatan. Arti sempitnya adalah Ilmu yang mempelajari penggunaan obat untuk diagnosis, pencegahan dan penyembuhan penyakit. Arti luasnya adalah Ilmu yang mempelajari sejarah, asal usul obat,sifat fisika dan kimia,cara mencampur dan membuat obat, efek terhadap biokimia dan faal, cara kerja,absorbsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi, penggunaan dalam klinik dan efek toksiknya. 48
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
Naskah ini berisi 39 bab pengobatan berbagai macam penyakit yang berkenaan dengan kesehatan organ reproduksi perempuan dan laki laki. Naskah ini berisikan resep obat-obatan untuk berbagai macam penyakit. Yang menjadikan resep-resep obat di dalam naskah ini nampak ―ilmiah‖ atau menekankan pada pandangan positivisme, atau metodologi ilmu pengetahuan alam, jika dilihat dari perspektif medis, antara lain adalah : - cara penggunaannya disertai dengan dosis (takaran), aturan atau cara pemakaian, dan juga pantangan. Obat herbal pada masa kini jarang yang mencantumkan dosis/takaran, sehingga dikawatirkan kurang aman jika dikonsumsi. Hal lain yang menarik dalam naskah ini adalah dosis atau takaran bahan yang digunakan didasarkan pada berat mata uang. Sebagai contoh: ―gula pasir berat satu ringgit, kuma-kuma berat satu tali, jinten hitam kadar berat setengah ringgit‖ dan sebagainya. Dengan demikian berat bahan obat yang digunakan disesuaikan dengan berat sejumlah tertentu koin mata uang yang berlaku pada masa itu. Hal itu memberi pemahaman bahwa penggunaan obat tersebut terhindar dari efek samping yang dapat membahayakan atau, dengan kata lain, obat tersebut aman untuk digunakan. Dari pengobatan tradisional yang dikenal masyarakat Palembang melalui pengetahuan yang terdapat pada naskah-naskah dalam kajian ini didapatkan informasi yang sangat menarik, yakni bahwa pada satu sisi pengobatan dilakukan menggunakan dengan cara ilmiah dan pada sisi lain dengan menggunakan cara-cara berdasarkan kepercayaan yang berasal dari ―dinamisme‖ (percaya pada benda-benda yang mempunyai kekuatan), meski muncul unsur-unsur Islam di dalamnya. Hal ini menarik, karena menggambarkan bagaimana unsur Islam masuk ke dalam tradisi lokal bukan saja pada upacara-upacara ritual daur hidup, namun juga dalam masalah pengobatan. Pengobatan Berdasar Naskah “Kitab Butikan Obat-Obat” Naskah Kitab Butikan Obat-Obat karya Sayyid Ali bin Alwi bin Shihabuddin terdiri dari 24 halaman teks. Teks pada halaman 1-10 berisikan pengobatan berkenaan dengan perempuan, halaman 10–16 pengobatan berkenaan dengan laki-laki, halaman 17–18 berkenaan dengan masalah sakit ketika buang air kecil maupun kencing batu, halaman 19 berkenaan dengan masalah kesehatan rambut, dan halaman 20–21 berkenaan dengan masalah batuk atau muntah darah. Dari 24 halaman teks, halaman 1–21 memuat rincian jenis penyakit yang akan diobati serta macam-macam obatnya. Halaman 22-24 berisi ‗tanbih‘. Meskipun dalam kitab ini terdapat 39 bab masalah pengobatan, Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
49
ENDANG ROCHMIATUN
namun teks yang dapat terbaca hanya sekitar 30 bab. Penulis kitab Buktikan obat-obat ini diketahui melalui kolofon pada halaman akhir teks, yakni halaman 21, yang bunyinya: ―…maka telah selesai dinukil kitab obat-obat yang dikarang oleh Syayid ‗Ali bin ‗Alwi bin Shihabuddin Palembang pada bulan jumadil akhir 1339 H.‖
Identifikasi Pengobatan Berdasar Isi Teks 1. Obat buat sembuhkan dari perempuan yang datang bulan sampai deras keluarnya. Biji-bijian kadar banyaknya tiga genggam ditumbuk halus halus kasih air panas yang sudah mendidih kira kira tahan panasnya, lantas minum pagi pagi berturut-turut sampai tiga pagi‘,, Biji-bijian kadar banyaknya setengah belek susu direndam sama air panas yang sudah mendidih satu malam pagi pagi lantas remas dan saring ambil airnya minum bikin sampai tiga pagi berturut turut,, Kayu manis kulitnya berat satu tali tumbuk halus halus dan kasih air panas kira kira satu cangkir kopi banyaknya, saring minum airnya pagi pagi,, Bawang putih banyaknya kadar 5 (lima) siung digiling halus halus kasih air panas kadar satu cangkir kopi yang sedang dan saring minum pagi pagi hari,, ...berat satu dan lada hitam sepuluh biji ganda berat satu tali tumbuk halus dan madu setengah cangkir kecil dan air cuka dari gabung setengah cangkir dan semuanya campur jadi satu minum pagi hari,, Gula batu (gula batu) berat satu ringgit tumbuk halus halus kasih air panas kadar satu cangkir kopi pada waktu minum pagi pagi,, Biji sawi tumbuk halus halus kasih air panas kadar banyaknya seperti kalabat juga minum pagi pagi, dan kalau hendak dua tempat saja bijinya pun boleh,, 2. Obat perempuan yang tiada sekali kali datang bulan supaya bisa datang bulan 3. Obat buat bikin berhenti supaya jangan datang bulan 4. Obat Perempuan Hendak beranak Supaya mudah keluar anaknya 5. Obat Perempuan Mau Beranak anaknya sudah mati masih didalam perut supaya suka keluar 6. Obat tembuni yang belum bersih tinggal didalam perut supaya kasih keluar 50
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Obat Perempuan yang sulit keluarnya darah mengalir dari peranakannya supaya berhenti Obat perempuan yang bunting supaya anaknya di dalam selamat jangan runtuh Obat perempuan supaya tiada banyak bunting Obat perempuan buat menahan jangan ia beranak lagi Obat Perempuan yang sakit peranakan 5 (lima) macam Pertama jinten kadar berat satu ringgit tumbuk halus halus dan kasih air madu kira kira empat sendok besar, lantas aduk minum pagi hari bikin tiga hari berturut-turut. Kedua kayu manis kulit kadar berat satu ringgit tumbuk halus halus dan kasih ai panas kira kira satu cangkir kopi saring minum pagi pagi dan bikin tujuh hari, satu kali minum sampai tiga kali minum. Ketiga kumu kumu kadar berat setengah tali. Keempat jinten hitam bungkus sama kain putih. Kelima minyak sapi kadar dua sendok suap dan air madu tiga sendok aduk jadi satu minum pagi hari bikin tiga pagi berturut. // Obat bikin berhenti air yang suka keluar dari lubang peranakan perempuan Obat peranakan perempuan yang yang ada berasa seperti mau keluar atau berasa seperti bengkak Obat perempuan yang beku air susunya supaya jadi encer Obat perempuan yang bengkak susunya waktu beranak Obat susu perempuan yang keras supaya jadi lembut Obat susu perempuan yang korengan Obat perempuan mau bikin berhenti air susunya supaya tiada keluar. Obat orang laki laki sakit zakarnya dan kering serta bengkak juga Obat buat menguatkan syahwat supaya kuat jimak dengan tiada menjadikan ―ngadhul‖ Obat buat menguatkan syahwat ... Obat buat menguatkan syahwat yang dinukil dari Kitab Imam Jalaluddin Ashobari Obat apabila keluar kencing berasa panas Obat keluar kencing berasa sakit Obat supaya deras kencingnya Obat orang keluar kencing darah Obat orang keluar kencing darah, atau memecahkan batu yang di dalam zakar atau supaya jadi keluar Obat menahankan rambut jangan rontok Obat supaya jangan tumbuh bulu kelek atau ada tempat lain lain juga
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
51
ENDANG ROCHMIATUN
30. Obat orang batuk mengeluarkan darah atau muntahkan darah Jenis Tanaman Obat Berdasar Isi teks a. Nabati: Jinten hitam, kulit kayu manis, bawang putih, lada hitam, biji ganda, daun ganda, air cuka, gula batu, biji sawi, kuma-kuma dan teh basi, minyak kelapa, bunga kunyit, jinten putih, akar kayu bahar, kacang merah, daun nak nak, biji jarak buang kulitnya, daun jarak, kayu sugi, buah cung, gula batu, kacang pala, kacang dele, biji lobak dan bunganya, kulit labu kering, minyak air mawar, jahe merah, cengkeh, bawang merah, kuru kuru, tepung jagung, pala, buah kismis, laos, kuah bayam memakai susu sapi, kayu cendana, buah kenari, kapulada, buah pala, daun kumis kucing, daun selasih, kayu cendana, bunga pacar, daun bidara, kulit delima, ketumbar. b. Hewani: Minyak sapi, madu, kuning telur ayam, sarang laba-laba, ayam perempuan yang belum bertelur, tanduk sapi, paru sapi laki laki, hati terwelu, kencing biri biri, lintah, susu kuda, empedu kambing, tulang sapi, tulang kerbau. c. Non-Nabati/hewani : Batu zamrut asli, batu akik asli dari Yaman, batu mutiara, garam, tawas, kapur sirih, lilin dari madu, minyak gandari, gula batu, empedu sapi, gula pasir, roti tawar. Pengolahan Obat dan Cara Pengobatan Berdasar Isi Teks Ditumbuk halus-halus, dicampur air panas mendidih, direndam satu malam pagi, diremas disaring, digiling halus halus, ditumbuk diayak jadi tepung, direbus, dimakan daunnya, biji langsung dimakan, dibakar, dimasak dalam periuk tanah yang baru, dibalurkan ditempat yang mau diobati, dibuat untuk lalap, laos diparut disaring, telur ayam dibenam diabu yang panas setengah matang dimakan. Dosis Penggunaan Berdasar Isi teks a. Dosis: Ditimbang sama beratnya, kadar beratnya setengah rupiyah, dua sendok besar, tiga genggam, setengah belek susu, berat satu tali, satu cangkir kopi, lima siung, sepuluh biji, kadar berat satu ringgit, berat satu tali, daun kadar lima lembar, kadar lima menit, sepuluh menit, dipantangkan makan cabe, dipantangkan makan asem asem, dipantangkan makan masin masin. 52
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
b. Penggunaan: Dimakan pagi dan petang, diminum pagi, diminum pagi sampai tiga pagi berturut turut, jenis obat tepung ditaruh pada tempat yang hendak diobati. Diuapkan ditempat yang hendak diobati, akar kayu bahar dipakai untuk kendit, dioleskan, direndamkan sepuluh menit, dibalurkan, diborehkan, disapukan dengan bulu ayam, diminum sebelum makan apa apa, diminum satu jam sebelum makan apa apa, dimakan setelah bangun tidur pagi, … Pengobatan Berdasar Naskah Mujarobat Naskah Mujarobat ini berasal dari koleksi pribadi, yaitu dari Reza Fahlefi di Palembang. Naskah ditulis di atas kertas Eropa. Pada tengahtengah kertas terdapat watermark berupa lion in medallion yakni gambar singa dalam bingkai dengan motif bunga. Penulisannya menggunakan pena tinta/kalam yang berwarna merah, hijau, kuning dan hitam. Adapun bahasa yang digunakan dalam teks Naskah Mujarobat adalah bahasa Melayu dan aksara yang digunakan adalah Arab. Naskah ini ditulis pada tahun 1325 H dan tidak ditemukan informasi mengenai siapa pengarangnya. Naskah Mujarobat dalam keadaan tidak utuh lagi, karena ada bagian-bagian yang robek dan yang tidak terbaca. Di samping itu halaman satu dengan halaman lainnya sudah tidak menyatu lagi. Naskah Mujarobat terdiri atas 316 halaman, per halaman memuat 10 baris yang berjarak 5 milimeter, yang ditulisi berjumlah 311 halaman, jumlah pelindung 3 lembar, yaitu bagian depan 1 lembar, bagian belakang 2 lembar. Ukuran halaman: panjang 6,3 cm, lebar 4 cm., adapun ukuran piasnya: sebelah kiri 0,5 cm, kanan 0,6 cm, atas 0,8 cm, serta bawah 0,8 cm. Pada naskah tersebut tidak terdapat nomor halaman ataupun kata/kalimat penghubung untuk melanjutkan ke halaman berikutnya, hanya ada kalimat (sebagian lagi) pada awal teks baru. Dari segi penulisannya, naskah Mujarobat mempunyai beberapa motif hiasan atau iluminasi, seperti: motif songket, limas, simbar pancake rebung, bunga matahari, geometrik, dan kaligrafi yang banyak terdapat pada simbol-simbol dan lambang-lambang. Naskah ini mempunyai berbagai macam illustrasi, seperti pedang, tongkat, lingkaran, segi empat, segi panjang, dsb. Penulisan naskah menggunakan Khat Naskhi. Adapun bahan sampulnya terbuat dari serat/ kulit kayu dengan ukuran: panjang 7,5 cm. dan lebar 5 cm, sedangkan antara satu kertas dengan kertas lainnya dijahit dengan tangan menggunakan benang. Isi teks Naskah Mujarobat menjelaskan tentang masalah pengobatan dan amalan-amalan, wasiat-wasiat, serta doa-doa Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
53
ENDANG ROCHMIATUN
yang mencakup seluruh amalan kehidupan manusia sehari-hari. Walaupun naskah ini sebenarnya tidak berjudul dan pengarangnya juga tidak diketahui, namun informasi kapan naskah tersebut dibuat tercantum didalamnya, yakni pada tahun 1325 H. Naskah ini merupakan naskah kompilasi yang isinya, di antaranya, adalah masalah pengobatan menggunakan cara-cara non medis, bukan pengobatan herbal. Walaupun pengetahuan tentang pengobatan ini sepertinya merupakan mitos/kepercayaan yang kurang masuk akal, namun uniknya unsur Islam ada di dalamnya, karena salah satunya dengan menggunakan sarana tulisan beraksara Arab. Naskah ini menunjukkan bahwa masyarakat Palembang telah mengenal kearifan lokal, salah satunya dengan memasukkan unsur-usur Islam dalam hal pengobatan.
––– Contoh rajah dalam naskah Mujarobat (dok. Penulis) –––
Pengobatan tradisional yang dikenal oleh masyarakat melalui naskah-naskah tentang pengobatan yang disebutkan dalam kajian ini memberikan informasi yang sangat menarik. Pada satu sisi pengobatan dilakukan menggunakan cara ilmiah dan pada sisi lain menggunakan 54
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
cara-cara yang sarat dengan kepercayaan dinamisme (percaya pada benda benda yang mempunyai kekuatan), meski di dalamnya muncul unsur-unsur Islam. Hal ini menarik, karena tenyata unsur Islam masuk ke dalam tradisi lokal bukan saja pada upacara-upacara ritual daur hidup, namun juga dalam masalah pengobatan. Naskah Mujarobat ini memuat cara pengobatan orang sakit. Teksnya, antara lain, adalah: … apabila ada yang sakit maka adalah dengan mengambil air kemudian agar ditaruh ke dalam mangkok yang berwarna putih, selanjutnya dibacakan asma Allah lantas kemudian diminumkan kepada yang sakit tersebut, maka orang yang sakit tersebut akan segera sembuh.
Pengobatan yang kedua diperuntukkan bagi perempuan hamil, dengan tujuan agar anaknya segera lahir Pesan penulis dalam naskah ini adalah: ….untuk perempuan yang sedang hamil dan yang sudah mencapai waktunya untuk melahirkan, dan supaya anaknya segera keluar maka hendaknya menaruh rajah yang bertuluskan huruf ( )وdan huruf ( ) َل kedalam mangkok putih kemudian di beri air selanjutnya air tersebut di minumkan kepada perempuan yang hamil tersebut serta dioleskan pada perutnya maka akan segera lahir anaknya. …bagi perempuan hamil, apabila akan melahirkan tetapi apabila anaknya meningggal di dalam perut, cara mengeluarkanya adalah dengan menaruhkan rajah yang bergambar dan anak panah yang di silangkan pada satu pedang dibawahnya. Rajah tersebut ditaruh kedalam mangkok putih kemudian di beri air kemudian airnya di minum oleh ibu yang hamil tersebut, maka dengan berkat kuasa Allah anak (bayi) yang meninggal dalam kandungan tersebut akan segera keluar.
Pengobatan bagi perempuan hamil yang telah sampai waktunya untuk melahirkan, supaya anaknya segera lahir dan terhindar dari gangguan jin dan syaitan, dilakukan dengan cara ―…menuliskan rajah yang bertuliskan huruf-huruf Arab kemudian diikatkan pada paha perempuan yang hamil tersebut yakni pada paha kananya diikat dengan benang putih, Insya Allah akan selamat dari gangguan jin dan syaitan tersebut.‖ Cara lain untuk mengobati perempuan hamil agar anaknya segera keluar, yaitu dengan: ―menuliskan do‘a pada kertas kemudian diikatkan Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
55
ENDANG ROCHMIATUN
pada pinggang perempuan yang akan melahirkan tersebut, maka akan segera keluar anaknya, do‘a yang dimaksud di sini adalah huruf Arab dalam kotak.‖ Cara lain yang dijelaskan dalam naskah ini mengenai pengobatan adalah dengan: ―membawa rajah yang bergambar dua sisir, dan segi empat yang disilang tengahnya, maka juga akan menjadi obat untuk : lebab tulang, Obat kudis, Obat gatal-gatal.‖ Adapun cara lainnya adalah dengan ―dibacakan asma Allah sebanyak tiga kali setiap pagi dalam satu sampai tiga bulan lamanya, caranya ambil nasi dingin, kemudian dibacakan asma Allah, selanjutnya dimakan atau makankan pada orang yang sakit tersebut, maka akan segera sembuh dari sakit yang diderita‖. Apabila ada yang kena racun: ‖…cara mengobatinya adalah dengan membubuhkan air kedalam mangkok putih lalu kemudian dibacakan asma Allah. Kemudian air tersebut yang sudah dibacakan asma asma Allah diberikan kepada orang yang terkena racun tersebut. Insya Allah dengan qodrat dan Irodatnya Allah SWT akan segeralah sembuh dari kena racun tersebut.‖
Menariknya lagi adalah bahwa informasi pengobatan tersebut sangat responsif terhadap gender. Naskah-naskah pengobatan ini merupakan bukti bahwa hak-hak perempuan dalam hal kesehatan reproduksi telah mendapat perhatian khusus oleh sebagian masyarakat. Meski isi naskahnaskah tersebut ada yang bisa diterima akal, yakni yang menggunakan tanaman obat, juga ada yang kurang masuk akal (irrasional), yakni yang menggunakan benda yang dikenal dengan istilah ‗rajah‘, keduanya menunjukkan adanya kearifan lokal yang dipengaruhi unsur-unsur Islam. Berikut ini perbandingan cara pengobatan terhadap gejala sakit yang sama dengan cara rasional dan irrasional, atau kepercayaan lain: Rasional – Obat perempuan hendak beranak supaya mudah keluar anaknya. …kayu manis kulitnya berat tiga tali tumbuk halus halus dan kasih air panas kira kira setengah cangkir kopi aduk lantas minum‘, …kuma kuma berat satu tali kasih air panas satu cangkir kopi dan saring lantas minum,, – Obat perempuan mau beranak anaknya sudah mati masih di dalam perut supaya suka keluar. …ayam dimasak bikin tim kasih sedikit dan kuma kuma sedikit minum airnya,, …Jinten hitam tumbuk halus halus kadar banyaknya yang halus satu sendok 56
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
suap yang besar kasih satu cangkir kopi air panas aduk lantas minumkan.
Irrasional a. Pengobatan bagi perempuan yang sedang hamil dan telah sampai waktunya untuk melahirkan ...maka supaya anaknya segera lahir dan supaya tidak diganggu Jin dan Syaitan maka menuliskan rajah bertuliskan huruf-huruf Arab kemudian diikatkan pada paha perempuan hamil tersebut yakni pada paha kananya diikat dengan benang putih b.... pengobatan diperuntukkan perempuan yang hamil supaya perempuan tersebut dapat segera lahir anaknya, maka hendaknya menaruh rajah yang bertuliskan huruf ( )وdan huruf ( ) َلkedalam mangkok putih kemudian di beri air selanjutnya air tersebut di minumkan kepada perempuan yang hamil tersebut serta dioleskan pada perutnya maka akan segera lahir anaknya. b. Bagi perempuan hamil, apabila akan melahirkan tetapi apabila anaknya meningggal dalam perut, ...cara mengeluarkanya adalah dengan menaruhkan rajah yang bergambar dan anak panah yang disilangkan satu pedang dibawahnya. Rajah tersebut ditaruh ke dalam mangkok putih kemudian di beri air kemudian airnya di minum oleh ibu yang hamil tersebut.
Keberadaan naskah tentang pengobatan tradisional yang responsif terhadap gender, yaitu yang memberikan perhatian khusus terhadap perempuan, kemungkinan disebabkan oleh pemahaman bahwa perempuan mempunyai kewajiban bereproduksi untuk meneruskan keturunan dalam sebuah keluarga sehingga perlu diperhatikan hakhaknya, di antaranya hak memperoleh informasi tentang kesehatan alat reproduksi. Dalam Islam terdapat beberapa hak-hak perempuan yang berkenaan dengan masalah reproduksi, antara lain adalah tidak berhubungan ketika istri sedang haid (QS.2: 222). Memberikan hak pada perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari semua pihak misalnya hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pada saat hamil dan menyusui. Dalam saat seperti ini suami berkewajiban menjaga istrinya agar selalu dalam keadaan sehat, baik secara fisik maupun mental. Bahkan Allah SWT dalam al-Quran menegaskan bahwa perempuan hamil dalam keadaan lemah (QS. LUKMAN: 13 dan AL-AHQOF: 15). Oleh karena perhatian yang sangat besar terhadap kondisi tersebut, maka perempuan hamil dan menyusui tidak diwajibkan untuk beribadah puasa. Islam juga Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
57
ENDANG ROCHMIATUN
memberikan hak pada perempuan untuk mengatur kelahiran. Islam memberikan petunjuk kepada perempuan agar reproduksi dilakukan dengan mengatur jarak kelahiran. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak diinginkan, seperti meninggal ketika melahirkan karena lemah fisik atau badan tidak sehat dan untuk memenuhi kebutuhan bayi terhadap ASI, karena ASI itu sendiri sangat besar manfaatnya bagi kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi. Isyarat tersebut ada di dalam Qs. AL-BAQOROH : 233, para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dalam Qs. AL-AHQOF: 15, mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan. Artinya jarak kelahiran bisa terjadi kurang lebih 3 tahun.Demikianlah perhatian Islam secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan reproduksi perempuan. 3. Pendekatan Semiotika Budaya Dalam Analisis Teks Naskah Mujarobat Seperti diketahui, kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan. Konsep kebudayaan yang bersifat materialistis, yang mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan masyarakat ini dapat dilihat pada warisan intelektual yang berisikan masalah farmakologi tradisional yang ada di Palembang. Kajian terhadap teks farmakologi tradisional yang ada di Palembang memperlihatkan dengan jelas bahwa isinya ini lebih menekankan pada pandangan positivisme atau metodologi ilmu pengetahuan alam. Namun demikian, ternyata pandangan positivisme tidak selalu mendapatkan perhatian masyarakat. Terbukti pada masa lalu di Palembang masalah farmakologi juga telah melahirkan ―mitos‖ 2 dalam cara memecahkan masalah kesehatan. Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat memaknai kedua teks yang isinya sama-sama 2. Pengertian mitos menurut ROLAND BARTHES berbeda dengan pengertian mitos yang dikenal oleh orang pada umumnya, yaitu cerita rakyat atau legenda. Menurut Barthes, mitos adalah suatu sistem komunikasi atau suatu jenis tuturan karena mitos mengandung sekumpulan pesan. Jadi, mitos bukan suatu objek atau konsep tetapi mitos adalah suatu bentuk tuturan yang ditampilkan dalam sebuah wacana yang menyampaikan pesan. Mitos tidak d i t e n t u k a n o l e h o b j e k a t a u m a t e r i p e s a n n y a melainkan oleh cara mitos disampaikan. Lihat ROLAND BARTHES, 2007. 58
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
menginformasikan pemecahan masalah kesehatan. Seperti diketahui, teks sebagai sebuah sistem tanda merupakan fenomena yang berpretensi mengungkapkan fenomena lain di luar teks tersebut. Pemahaman terhadap bahasa dalam teks dapat dilakukan terhadap kata, kalimat, dan teks itu secara keseluruhan. Pemaknaan terhadap teks dapat menyingkapkan hal yang berada di luar teks tersebut. Teks sebagai rangkaian perilaku dan tindakan yang dilukiskan pengarang bersifat simbolik. Teks adalah sebuah sistem kognitif yang memaparkan apa yang ada di dalam batin manusia. Selain itu, teks juga dianggap sebagai perilaku budaya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Saussure bahwa: penanda dan petanda adalah tanda yang memiliki acuan. Semua teks merupakan kenyataan budaya yang signifikan dari situasi sosial dan sejarah teks tersebut. Hal-hal yang terdapat di dalamnya dapat dilihat sebagai penanda bagi hal-hal di luar teks tersebut. Oleh karena baik teks maupun perilaku manusia memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu, maka teori kebudayaan adalah salah satu usaha untuk mengonseptualkan kebermaknaan itu serta untuk memahami pertalian antara data dengan manusia dan kelompok manusia yang mewujudkan data itu. Teori kebudayaan adalah usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaannya untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supranatural. Salah satu kajian tentang teks yang berisikan farmakologi tradisional di Palembang ini salah satunya dapat dilakukan dengan dengan menggunakan teori semiotik yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Teori semiotik Barthes dikembangkan dari teori penanda-petanda yang dicetuskan Ferdinand de Saussure. Salah satu teori Saussure yang dikembangkan Barthes adalah signifikansi. Teori tersebut membicarakan dikotomi signifiant (penanda) dan (petanda). Menurut Saussure, bahasa sebagai sebuah sistem tanda terdiri atas dua aspek yang tidak terpisahkan. Signifiant adalah aspek formal atau bunyi; sebuah citra akustis, sedangkan signifie adalah aspek makna atau konsep. Kesatuan di antara keduanya disebut tanda. Relasi tersebut menunjukkan bahwa jika citra akustis berubah, berubah pula konsepnya. Demikian juga sebaliknya. Berdasarkan hal ini, SAUSSURE mengatakan Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
59
ENDANG ROCHMIATUN
bahwa bahasa merupakan bagian terpenting sistem tanda.3 Pada proses signifikansi terjadi dalam dua tahap. Pada tahap pertama tanda terdiri atas penanda dan petanda. Selanjutnya, pada pemaknaan tingkat kedua penanda dan petanda tersebut menyatu menjadi penanda tahap kedua sehingga pada tahap ini terjadi kekosongan petanda. Petanda yang kosong ini menjadi potensial dan terbuka untuk berkembangnya proses pemaknaan. Dari hal tersebut kemudian terjadi pergeseran makna dari denotasi ke konotasi. Menurut Barthes, mitos adalah suatu sistem komunikasi atau suatu jenis tuturan karena mitos mengandung sekumpulan pesan. Teks sebagai sebuah sistem tanda, merupakan fenomena yang berpretensi mengungkapkan fenomena lain di luar teks tersebut. Pemahaman terhadap bahasa dalam teks dapat dilakukan terhadap kata, kalimat, dan teks itu secara keseluruhan. Pemaknaan terhadap teks dapat menyingkapkan hal yang berada di luar teks tersebut. Teks sebagai rangkaian perilaku dan tindakan yang dilukiskan pengarang bersifat simbolik. Teks adalah sebuah sistem kognitif yang memaparkan apa yang ada di dalam batin manusia. Selain itu, teks juga dianggap sebagai perilaku budaya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkap-kan Saussure bahwa penanda dan petanda adalah tanda yang memiliki acuan. Semua teks merupakan kenyataan budaya yang signifikan dari situasi sosial dan sejarah teks tersebut. Hal-hal yang terdapat di dalamnya dapat dilihat sebagai penanda bagi hal-hal di luar teks tersebut. KRISTEVA (1979, 36–37) men-definisikan teks sebagai alat trans-linguistik yang mendistribusikan perintah bahasa lewat ujaran (yang unik). Untuk membongkarnya, harus dilakukan pengkajian terhadap simbol. Simbol, menurut Kristeva, dapat dilihat dari realitas hati nurani yang bersifat manusiawi dan hal tersebut dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu makna dalam pengertian bahasa, makna dalam pengertian aksi, dan makna dalam pengertian orientasi hidup.4 Dalam teori mengenai tanda, BARTHES juga melihat bahwa hampir semua praktik sosial dapat ditafsirkan dalam sistem tanda. Sistem tanda tersebut beroperasi sebagaimana model bahasa. Bahasa tak henti-henti diucapkan atau dilarutkan dalam durasi dan peristiwa. Dalam bahasa, peristiwa tersebut dapat dipadatkan ke dalam kata. Tanda (penanda dan petanda) dapat diangkat sebagai kajian perluasan makna dan perluasan bentuk yang disebut oleh Roland 3. Lih. ROLAND BARTHES, 2007. 4 KRISTEVA, JULIA: 1979. Desire in Language: A Semiotic Approach in Literature and Art. London: Basil Black-well. 60
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
Barthes sebagai sebuah bentuk metabahasa. Langkah awal ditetapkan bahwa pengertian mitos adalah salah satu jenis tuturan (a type of speech). Di sini, dikemukakan bahwa mitos adalah sistem komunikasi, mitos membawa pesan. Mitos adalah suatu bentuk atau suatu cara. Jadi, mitos menjadi suatu konsep dan gagasan yang dapat disignifikasi-kan. Barthes menjelaskan bahwa mitos budaya merupakan tanda tingkatan kedua atau signifikasi Teks naskah di Palembang yang berisikan tentang pengobatan dengan menggunakan simbol-simbol yang disebutnya sebagai rajah, yang mana simbol tersebut diambil dari unsur-unsur Islam, menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana memaknai salah satu kebudayaan Palembang pada masa tersebut berkenaan dengan cara pengobatan demikian? Apa makna di balik simbol-simbol tersebut? Bagaimana cara memaknainya ? Kenapa masyarakat mendukungnya? Salah satu cara mencari relasi dan makna dalam salah satu kebudayaan sebagai alternatif adalah menggunakan pendekatan semiotik yang ditawarkan oleh Roland Barthes . Sebagai contoh adalah , bagaimana memaknai bahwa huruf ( )َلdan huruf ( )وdari rajah yang ada dalam teks yang berisikan masalah pengobatan . Seperti halnya aksara/ huruf ( )وdan huruf ( )َلyang tanda dan maknanya yang masih gelap ini merupakan sebuah penanda yang berhubungan dengan sebuah petanda. Aksara/ huruf ( )وdan huruf ()َل bisa bermakna denotative yakni aksara Arab (la) atau (ma) yang berarti ‗tidak‘ atau juga ―apa‖. Namun kemudian, masyarakat mengambil petanda ini dan menerapkan penekanannya sendiri terhadap petanda itu. Ia menjadikan aksara ( ))وdan huruf ( )َلsebagai penanda baru, yang kali ini berhubungan dengan petanda baru: ide tentang aksara ( )وdan huruf ()َل, dapat diperluas maknanya menjadi pembawa kesembuhan, supaya anaknya segera lahir dan supaya tidak diganggu Jin dan Syaitan dan lain-lain. Rajah dalam teks pengobatan di atas sebenarnya hanyalah merupakan salah satu instrument. Dengan rajah beserta beragam simbol di dalamnya, maka sebenarnya sedang terjadi komunikasi yang berlangsung secara gelap dan rahasia di antara masyarakat pada masa itu. Dan kemudian pertanyaan yang muncul adalah, apa dan siapa yang mengefektifkan komunikasi semacam ini? Analisis penulis, yang mengefektifkan komunikasi semacam ini adalah apa yang di sebut dengan rumor. Berkat rumor inilah sepertinya pemaknaan rajah diyakini sebagai pembawa kesembuhan,supaya anaknya segera lahir dan supaya tidak diganggu jin dan syaitan di daerah tersebut. Bagaimana rumor dapat dikatakan sebagai ‗alat atau cara memaknai Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
61
ENDANG ROCHMIATUN
sebuah instrumen yang berkembang dan diyakini‘ pada suatu masyarakat? Jawabannya adalah bahwa rumor tidak memiliki penutur tetap, dan tidak pula mewakili kesadaran orang atau kolekif tertentu yang dianggap otentik. Ia bisa berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya tanpa kejelasan perumus awal atau pemicu aslinya. Rumor memperoleh otoritasnya bukan karena ada yang mengatakannya pertama kali sehingga dipercaya, tetapi justru karena rumor itu didengar, atau diperdengarkan. Rumor menarik sejumlah ―kader‖-nya karena ia menjadi milik semua orang yang mendengar, membaca dan mengedarkannya, tanpa kejelasan sumber yang dianggap dipercaya. Jika pada masa tersebut di Palembang rumor yang berkembang adalah bahwa rajah dengan Aksara/ huruf ( )وdan huruf ( )َلdapat menyembuhkan sakitnya ―Si Fulan‖, maka kemudian yang terjadi adalah masyarakat memaknai rajah dengan Aksara/ huruf ( )وdan huruf ()َل, berarti kesembuhan. Bagaimana jika aksara tersebut bukan ( )وdan huruf ()َل, menurut pendapat penulis apapun aksaranya dalam rajah atau ‗jimat‘, maka rumor-lah yang kemudian berperan aktif makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, pada suatu masyarakat, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. Perlu diketahui juga bahwa rumor atau apa yang dalam pandangan Barthes ―mitos‖, mengandung makna yang kandungan di dalamnya tidak mungkin bisa dinilai sebagai sesuatu yang salah (‗mitos‘ diperlawankan dengan ‗kebenaran‘). Namun demikian dapat dikatakan bahwa praktik penandaan memang seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dapat membantu untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun juga mitos kemudian akhirnya mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa, melaluinya sistem makna ‗mitos‘ menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, pada suatu masyarakat, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. Penutup Pengobatan tradisional yang dikenal oleh masyarakat Palembang yang informasinya dapat dijumpai dalam naskah tenyata dapat dibedakan menjadi dua. Yang pertama pengobatan berdasar pengetahuan yang rasional/ilmiah dengan menggunakan sumber/bahan-bahan dari tumbuhan dan hewan, dan yang kedua menggunakan kepercayaan yang berasal dari pengaruh ajaran dinamisme dipadukan dengan unsur unsur Islam. Pengobatan menggunakan bahan bahan tumbuhan dan hewan 62
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PENGOBATAN TRADISIONAL PALEMBANG
menunjukkan bahwa masyarakat Palembang telah mengenal cara atau dosis penggunaanya. Hal ini penting untuk dicatat sebagai kecerdasan pengarang naskah tersebut, karena yang kita kenal pada saat ini, obatobat herbal yang beredar luas kadang tidak disertai dengan dosis penggunaan. Pengobatan dengan cara ini, dalam perspektif ekologi budaya, membuktikan bahwa lingkungan geografis Palembang menyediakan bahan-bahan alamiah yang bisa dimanfaatkan dalam hal penyembuhan kesehatan. Selain itu, adanya konsep rajah dalam teks pengobatan di atas sebagai salah satu instrumen. Dengan rajah beserta beragam simbol di dalamnya tersebut, maka sebenarnya sedang terjadi komunikasi yang berlangsung secara gelap dan rahasia di antara masyarakat. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah, apa dan siapa yang mengefektifkan komunikasi semacam ini? Ternyata yang mengefektifkan komunikasi semacam ini adalah apa yang di sebut rumor. Berkat rumor inilah sepertinya yang bisa menjadikan pemaknaan rajah diyakini sebagai pembawa kesembuhan,supaya anaknya segera lahir dan supaya tidak diganggu jin dan syaitan di daerah tersebut tercapai. DAFTAR PUSTAKA Naskah Naskah KITAB BUTIKAN OBAT-OBAT, Palembang. Naskah MUJAROBAT, Palembang. Buku BARTHES, ROLAND, 2007, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. BEHREND, T.E (ed.), 1998, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 : Perpustakaan Nasional RI .Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise D'Extreme-Orient. BLEICHER, J, 1980, Contemporery Hermeneutis : Hermeneutics as method, Philosofhy and Critique. London: Raoutletge & kegan Paul. HOWARD, 2000, Hermeneutika, Wacana Analitik, Psikisosial dan Ontologis . Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. Ikram . Achadiati (Ed.) 2004. Naskah-Naskah Palembang; Jati Diri Yang Terlupakan Jakarta: Yanassa. IKRAM, A. (ed.), 2004. Katalog Naskah Palembang, Tokyo: Yanassa dan TUFS. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
63
ENDANG ROCHMIATUN
–––––, 2004. Katalog Naskah Palembang, Tokyo: Yanassa dan TUFS. KOMARUDDIN, HIDAYAT, 1986, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika Jakarta: Paramadina. KRISTEVA, JULIA, 1979, Desire in Language: A Semiotic Approach in Literature and Art. London: Basil Black-well. LUBIS, NABILAH, 2007, Naskah, Teks, dan Metode Kajian Filologi. Jakarta: Puslitang Lektur Keagamaan MANNHEIM, KARL ,1993. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan pikiran dan Politik, Terj. F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius. PALMER, RICHARD E, 1996, Hermeneutics : Interpretation Theori in Schleiermacher, Dilthei, Heidegger and GAdamer . Evanston: Nortwertern University Press. POPER, KARL, 2001, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. PURWADAKSI, A., 2004, Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman; Suntingan Naskah Dan Kajian Isi Teks , Jakarta: Djambatan dan Yannasa. RICOEUR, P., 2006, Hermeneutika Ilmu Sosial. Terj. Muhammad Syukri . Yogyakarta: Kreasi Wacana
64
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Abstrak Tulisan ini membahas cerita Islam yang dikemas dalam bentuk syair, yang menurut kolofon teksnya dinamai Syair Kanjeng Nabi (SKN). Naskahnya berasal dari Mbah Kasemat yang berdomisili di Kecamatan Bluluk, Kabupaten Lamongan.Awalnya naskah ini tersimpan di antara tumpukan koleksi naskah lain milik Mbah Kasemat. Kemudian oleh Mbah Kasemat diberikan kepada Agus Sulton (peneliti). Kanjeng yang dimaksud dalam judul adalah Nabi Muhammad. Dalam cerita lebih ditonjolkan doa, sedikit cuplikan sejarah Nabi Muhammad, dan unsur dakwah atau pitutur. Di pihak lain, ada yang menarik saat mengkristalisasi atau membahas tentang Nabi Muhammad, karena sosok beliau merupakan sosok yang sudah banyak dimengerti oleh banyak umat, khususnya yang beragama Islam. Nabi Muhammad yangjuga bergelar al-Amin, yaitu Muhammad yang dipercayai, lahir dalam keadaan yatim di tengah-tengah kaum Quraisy (Jahiliyah). Tidak ada guru yang mendidik dan mengajar beliau tentang yang baik dan buruk, yang bermanfaat dan mudharat, serta yang halal dan yang haram. Kata Kunci: Syair Kangjeng Nabi, Nabi Muhammad, Teks Ibadah.
KEGIATAN penghuni kepulauan Nusantara sejak dahulu dapat diketahui, antara lain dari peninggalan tertulis berupa naskah dan prasasti. Karya tulis peninggalan nenek moyang dapat dipelajari untuk memperoleh gambaran kebudayaan pada waktu mereka hidup, meskipun tidak lengkap dan tidak menyeluruh (BARIED, 1994: 85). Pendapat senada juga dilontarkan oleh Magdalia Alfian (2004), bahwa setiap bangsa pasti memiliki catatan mengenai perjalanan bangsanya, tak terkecuali bangsa * Agus Sulton. Peneliti. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Kajian Sastra Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
65
AGUS SULTON
INDONESIA yang memiliki beragam etnik dan budaya. Berderet catatan panjang mengenai kehidupan masyarakat, sosial budaya, pemerintahan, dan perjalanan yang dimulai dari jaman pra sejarah terangkum dalam naskah-naskah kuno yang merupakan sumber data penting bagi masyarakat Indonesia. Sebagaimana diketahui, naskah-naskah peninggalan nenek moyang kita mengandung informasi yang sangat berharga. Apabila diteliti menggunakan pendekatan filologi, maka hasil penelitiannya dapat digunakan oleh cabang-cabang ilmu lain, seperti sejarah, hukum, perkembangan agama, kebahasaan, kebudayaan, dan sebagainya (LUBIS, 2001: 27). Naskah-naskah Nusantara ini bisa dijadikan sumber yang otentik dengan merekontruksi situasi dan kondisi yang ada pada peristiwa masa lampau untuk dijadikan jembatan penghubung bagi pemikiran masa kini. Menurut MUNAWAR (1997: 44) naskah-naskah kuno mengandung berbagai gagasan, pendapat, pengertian, perasaan, pengalaman jiwa, dan pandangan hidup yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia. Isi naskah-naskah kuno Nusantara bermacam-macam, misalnya dongeng, hikayat, cerita, rakyat, babad, silsilah sampai sejarah, surat-surat, perjanjian-perjanjian, tatacara, upacara, hukum adat, dan juga undangundang. Keberagaman naskah-naskah Nusantara tidak hanya dari segi isinya, tetapi juga dari segi bentuk, bahasa, aksara, dan bahan yang digunakan. Ada yang berbentuk prosa, prosa berirama, puisi, drama, dan sebagainya. Naskah Nusantara ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Bugis, Makasar, Banjar, dan Walio. Demikian pula aksara yang digunakan, ada aksara Bali, Jawa, Sunda, Jawi (Arab-Melayu), Pegon, Bugis, Makasar, Karo, Mandailing, Rejang, Toba, Lampung, dan Kerinci (DJAMARIS, 2002: 5). Edwar DJAMARIS (2002: 5) menambahkan, naskah-naskah itu dapat dikatakan sebagai periode atau tahap kedua dalam kehidupan sastra pada umumnya. Tahap pertama kehidupan sastra itu muncul secara lisan, sebelum orang mengenal tulisan. Setelah orang mengenal aksara, orang mulai menulis dokumen, atau karangan, terutama yang berupa karya sastra. Karya sastra mulai ditulis dan kemudian disalin oleh orang lain. Hasil penulisan dengan tangan inilah yang disebut naskah. Naskah itu diperbanyak dengan menyalin sehingga suatu teks ada kalanya terdapat dalam dua naskah atau lebih. Dalam konteks itulah, tradisi tulis di kalangan masyarakat Nusantara sudah dimulai sejak masa lampau, terlebih dari kalangan umat Islam 66
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
Nusantara, yang juga turut mendorong lahirnya sejumlah besar naskahnaskah keagamaan. Menurut Achdiati IKRAM (1997: 140), bahasa Arab menjadi bahasa ilmu agama yang wajib dipelajari oleh setiap orang yang ingin mendalami ajaran-ajaran agama sampai ke sumbernya yaitu Alquran dan Hadist. Maka, karangan berbahasa Arab oleh para ulama pribumi merupakan bagian dari khazanan naskah yang diwariskan kepada kita. Kenyataan itu memungkinkan teks naskah keagamaan yang ditulis tidak akan lepas dari ajaran-ajaran dan tuntunan agar dapat mempengarui individu atau kelompok pendukung proses (aktivitas) tertentu. Achdiati IKRAM mengemukakan (1997: 139-140) naskahnaskah yang berisi ajaran Islam ada bermacam-macam. Yang tertua ialah yang ditulis dalam tulisan buda atau gunung yang berisi informasi tentang bentuk agama Islam yang dianut masyarakat pada awal masuknya agama Islam di Indonesia. Dalam bahasa Melayu, kita memiliki tulisan Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, dan lain-lain yang berisi ajaran tentang fiqih, tauhid, dan tasawuf, yang sering kali disajikan dalam bentuk tanya-jawab, puisi atau uraian prosa. Karangan dalam bahasa Arab yang dikatakan ditulis oleh ulama atau guru agama nampaknya bukan ditulis sendiri melainkan oleh muridnya. Bahasa Arab dalam tulisan semacam itu lazimnya memiliki ciri-ciri khas yang menyimpang dari bahasa baku. Dalam tulisan Arab-Jawa yang juga disebut pegon, kita dapati glosa-antar-lirik yang dituliskan diantara teks bahasa Arab; yang ditulis dalam pegon ialah terjemahan atau bahkan interpretasi tentang teks Arabnya.Tulisan-tulisan itulah yang disebut dengan naskah lama (manuskrip). Naskah lama adalah tulisan tangan berbentuk dokumen yang sangat penting dari peradaban masa lampau. Melalui naskah dapat diketahui secara lebih konkret kebudayaan suatu suku dan bangsa dari pelosok Nusantara. Menurut Roger TOL (dalam ROBSON, 1994: ix) tiap-tiap naskah menampilkan ceritanya dan menyimpan rahasia yang kemudian baru terungkap setelah naskah itu dibuka, dibaca, dan diteliti. Proses pemecahan ini, yaitu usaha untuk ‖mendobrak‖ sebuah teks dengan daya-upaya yang tersedia dikenal sebagai kerja filologis. Dalam berbagai ragam dan jenis sastra lama itu, khazanah sastra klasik sebagian naskah berbentuk puisi atau syair. Akhmad MUZAKKI dalam Kesusastraan Arab (2006: 41) mengatakan bahwa syair berarti nyanyian, lentunan, atau melagukan. Asal kata ini telah hilang dari bahasa Arab, namun masih ada dalam bahasa lain. Syuur dalam bahasa Ibrani berarti suara, bernyanyi, dan melantunkan lagu. SUNARJO menambahkan (2001: 1), syair adalah salah satu jenis puisi Melayu lama Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
67
AGUS SULTON
yang terdiri atas empat larik dan berirama aa aa, setiap bait terdiri atas empat larik yang terdiri atas 9, 10, dan 12 suku kata. Bait-bait dalam syair biasanya membentuk sebuah cerita.Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa naskah klasik, terutama naskah-naskah Islam, yang berbentuk syairpada masa lampau terindikasi banyak berbentuk cerita. Tidak menutup kemungkinan—untuk mengkaji naskah-naskah nenek moyang kita itu dapat memahami dan menghayati pandangan serta citacita yang menjadi pedoman hidup orang-orang masa lampau (Sudjiman, 1995: 46). Yang dibahas dalam tulisan ini adalah cerita Islam yang dikemas dalam bentuk syair, yang menurut kolofon teksnya dinamai Syair Kanjeng Nabi. Kanjeng yang dimaksud di sini adalah Nabi Muhammad. Dalam cerita lebih ditonjolkan doa, sedikit cuplikan sejarah Nabi Muhammad, dan unsur dakwah atau pitutur. Di pihak lain, ada yang menarik saat mengkristalisasi atau membahas tentang Nabi Muhammad, karena sosok beliau merupakan sosok yang sudah banyak dimengerti oleh banyak umat, khususnya yang beragama Islam. Nabi Muhammad yangjuga bergelar al-Amin, yaitu Muhammad yang dipercayai, lahir dalam keadaan yatim di tengah-tengah kaum Quraisy (Jahiliyah). Tidak ada guru yang mendidik dan mengajar beliautentang yang baik dan buruk, yang bermanfaat dan mudharat, serta yang halal dan yang haram. Sastra lama banyak menyimpan sesuatu yang unik dan perlu dikaji atau dipelajari kembali, sekaligus menggali sumber budaya masa lampau kemudian dikorelasikan dengan kehidupan sekarang, akhirnya kegunaan sastra benar-benar diketahui. Dari itu pulalah sastra lama akan berfungsi, secara otomatis sastra lama yang kental daya estetikanya dapat memberikan daya gerak luar biasa terhadap pembaca. Konsep itulah yang mendasari penulis meneliti SKN yang di dalamnya banyak mengangkat pitutur atau tuntunan nabi Muhammad beserta doa-doa yang dikemas dalam bentuk syair, sekaligus menampilkan unsur estetika bunyi yang begitu indah. Unsur nilai ibadah merupakan dasar utama yang dapat memberikan pengaruh pada pembaca. Objek penelitian terhadap naskah-naskah peninggalan leluhur pada masa lampau merupakan bagian utama dari penelitian filologi. Naskah atau teks yang digunakan sebagai obyek dalam penelitian filologi berupa tulisan tangan (manuskrip) yang mengandung huruf dan bahasa daerah yang bermakna, yang mengandung gagasan-gagasan atau ide-ide dan berbagai macam pengetahuan yang berupa, ajaran moral, filsafat, religi, dan unsur-unsur lain yang bernilai luhur (BARIED, 1985: 54). Penulis menarik kesimpulan SKN mengandung nilai ibadah yang 68
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
bisa dijadikan dasar kehidupan di akhirat nanti.SKN merupakan naskah yang ditulis dengan huruf pegon dan bahasa yang tidak dimengerti masyarakat. Oleh karena itu perlu disampaikan bentuk suntingan teksnya sehingga dapat dibaca dan dipahami masyarakat pada umumnya. Deskripsi Naskah Naskah SKN berasal dari Mbah Kasemat yang berdomisili di Kecamatan Bluluk, Kabupaten Lamongan.Awalnya naskah ini tersimpan di antara tumpukan koleksi naskah lain milik Mbah Kasemat. Kemudian oleh Mbah Kasemat diberikan kepada Agus Sulton (peneliti) yang beralamat di Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. Judul dalam teks naskah adalah Ikilah Syi‟ir Ing Kanjeng Nabi yang terdapat dalam halaman kedua. Pengambilan judul peneliti didasarkan pada baris ke tiga. Naskah ini dalam kondisi utuh, tetapi bagian lembar pertama dan kedua putus dari jilidan. Tinta yang dipakai untuk menulis berwarna hitam pekat. Indikasiwarna lain merupakancatatan (coretan) pemilik atau penyalin naskah. Ukuran lembaran naskah 11 × 17,5 cm, dengan ruang tulis/teks 10 cm × 15,8 cm, pias kanan 0,5 cm, pias kiri 0,5 cm, pias atas 0,5 cm, dan pias bawah 1,2 cm. Sedangkan tebalnaskah hanya 11 lembar (satu kuras) yang terdiri dari 22 halaman. Halaman 218 memuat syair nabi, halaman 19, 20, dan 21 berisi doa. Halaman pertama dan halaman 22 tidak ditulisi (kosong). Jumlah baris per halaman bervariasi, 10 baris (2 halaman: h. 2, 3), 11 baris (5 halaman: h. 4, 8, 9, 10, dan 18), 12 baris (7 halaman: h.6, 7, 11, 12, 13, 14, dan 17), dan13 baris (3 halaman: h. 5, 15, dan 16). Halaman yang berisi doa: 5 baris (h. 21), 10 baris (2 halaman: h.19 & 20). Naskah SKN menggunakan aksara pegon berkharokat (halaman 2– 18) dan aksara Arab (halaman 19, 20, 21).Kertasnya tergolong baru, karena ada bekas garis tipis berwarna hijau ke arah lebar. Pemakaian lembaran naskah untuk ditulis, yaitu bolak balik lurus atau langsung (recto), namun penempatan tulisan pada lembaran naskah, teks tulis ke arah lebarnya, artinya teks itu ditulis sejajar dengan lembaran-lembaran naskah.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
69
AGUS SULTON
Gambar 1. Naskah yang memuat teks Syair Kangjeng Nabi (Koleksi Agus Sulton)
Transliterasi Teks Syair Kanjeng Nabi (1) ibtidai miwiti ingsun / muji ing allah kelawan nuwun / ikilah syiir ing kanjeng nabi / mula den syiir parase nabi / mula den fikir sarta den titi / bisaha terang kaya kang erti / nabi muhammad ingkang sinelir / arep den tutur ana ing syiir / futera jalere kiyahi abdullah / finuteraken ana ing makkah / durue zhahir njeng rasulullah / den tilar sedara den abdullah / nalika sedara den abdullah / iku benere ana abuwa // (2) den sarekaken ana madinah / kari rerandan dewi aminah / sarta aandut njeng rasulullah / tur masi tetep ana ing mekah / sawuse fahir menyang mudinah / den susuaken dewi halimah / lawase lawas bali nyang makkah / den aturaken / dewi aminah / den ejak lua maring madinah / ibune seda ana abuwa / sanding kang rakara den abdullah / den karekaken ana madinah / nabi muhammad bali nyang mekah / melase garwa dewi hadijah / sawuse dadi nabi utusan / lan kefarian kitab - // (3) ing kitab qur‘an / sarta balane seget sariat / fara shahabat fadha mufakot / abu bakar umar usman lan ali / fadha farcaya sariat nabi / tetkala faras nabi sinelir / iku den tutur ana ing syiir / wong mu‘min suwiji murih shehabat / ing abu bakar kebat anjawab / ya abu bakar ratune mu‘min / ing 70
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
dawuh tuwan kula kefiin / kalane faras njeng rasulullah / dinane sasi niku funafa / duk miyosi kuluk kang pundi / den fariaken ing kanjeng nabi / ya abu bakar iku andika / ing wong mu‘min kang fada teka // (4) tetkala faras nabi muhammad / bakdane kundur kang perang lahad / ing dina isnain wus ana makkah / iku kundure saking madinah / njeng gusti darus qur‘an sak saat / maka katekan ing malaikat jabarail mbekta kalimah ayat / den fariaken kekasih tuwan / mukholikina ru‟usakum / wamuqashirina latakhafuna / punika werni ing ayat qur‘an / den fariaken kekasih tuwan / meneng njeng nabi amuk sak saat / dedawuhana ing malaikat / ya jabarail kebat umatur / maka njeng nabi kinaun acukur / nabi muhammad tuwan acukur / dawuh njeng nabi kula acukur / yen kula cukur kersane allah / ya jabarail matur ing allah / nabi muhammad kasihe - // (5) allah / jabarail maras njeng rasulullah / nabi andika ing malaikat samfiyan nuwun ingkang lumafah / kuluk kula niku kang pundi / rehane tuwan kinaun marasi / ya jabarail matur ing allah / nuwun kuluk kasihe allah / nabi muhammad ingkang sinelir / dawuh faeran ing jabarail / ya ilayhi anta faeran / fundi kuluk kasihe tuwan / kebat lu‘aha menyang suwarga / sira menika godong kastuba / ingkang sak lembar gawe kuluke / kekasih ingsun maring farase / nuli jabarail menyang suwarga / menika godonge kayu kastuba / amung sak lembar lir sutera ijo // (6) den kulukna iku a‘angu / den aturaken nabi wekasan / kasihe allah kinaun kulukan / ya jabarail maras njeng nabi / sa‘alas ramdan sagale sasi / sehabat fafat marek niali / ramdan maras rikma njeng nabi / rikma sak lembar dak runtuh bumi / suwiji rikma tan ana ing bumi / nuli andika nabi muhammad / takun hikmahe ing malaikat / marga dak runtuh ana ing bumi / jabarail matur ing kanjeng nabi / katahe rambut tuwan wunia / niku sak keti lan telung leksa / lan telung ewu lan telung atus / lan telung fuluh telu den urus // (7) furnamane fa‘eran ing widadari / ing suwarga / ajana kari / he widadari fada mudhuna / menya‘a mekah fada nuntana / olehe faras nabi muhammad / ingkang marasi ya malaikat / sira mareka jaluk rambute / sak lembar ewu akeh syawabe / sirata lekena ing le‘en ira / sekeh dusamu isun sefura / sing simfen ing caritane / ingsun sefura sekeh dusane / ikilah faras ing kanjeng nabi / erawatana bakal yen mati / tetkala a‘laf ing malaikat / ambil nyawane - // (8) bayuk segarah / lan lufut siksa ana ing qubur / sabab dosane iku wus lebur / munkar wa nakir / dak nakoni / sabab wus uleh sufa‘at nabi / lan sun faring kamulyan dunya / terus akhirat iku suwarga / sebarang gawehane gelis dadi / lawase uref / dak kurang rezki / yen dak gelem simpen ing Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
71
AGUS SULTON
caritane olehe faras hadise nabi / sasat ase‘it ing awak ingsun / sabab dak demi ing kasih iksun / sabab dak demen ing kasih ingsun / sing safa mahedo kafir - // (9) matine / a‟udzubillahi alindung ing allah / aja kasi kufur ing allah / lan mugamuga allah nului / ing wong kang gelek maca / syufa‘at nabi den fariaken / hataman syiir ing dina ahad / nyerambahana maring wong tobat / tanggal wolulas rabiul awal / syufa‘at den enggalenggal fukul fitu fasaran wage / bisaha metu nyang ageage / hijrahe sewu telung atus / lan rong puluh fitu funjule / saking sejane iku den tata / dadi wong bodo iku katata - // (10) sabab dak gae lafazd ma‘na / dadi wong maca iku dak tuna / mulane iku tak syiiraken / amrih yen maca iku dak kaken / sufaya rahab bucah kinaun / sabab macane kathik lelakon dadi fas karo olehe maca / semasa karuya gelis bisa / salah benere wallahu a‟lam / faras den syiir nular ing jawab / sakeng bodone dak bisa aji / wani annyiir farase nabi / fira salahe nuwun sefura / maring fairan kang maha mulya / sakeng sejane iku den tata / tibane jawan ingkang den waca / sak bisabisa aja den wada / luweh kurae den wuwuhana / sa‘k wuse tutug syiir den - // (11) faras / ingsun tambahe syiir syufa‘at liyane syiir do‘a njeng nabi / den amalaken rina lan wei / kalane lungguh njeng rasulullah / ana njerone mesjid medinah / dawuhana do‘a ana ing sarah / nabi muhammad masuli salam / nabi muhammad mugi katura / kathah syawabe funika do‘a / lanang lan wadon fada macaa / ing do‘a iki ing saben dina / utawa sewulan maca safisan / utawa setahun maca safisan lan sak umure maca safisan / aja tan ora sira macaa / senajan safisan - // (12) agere bisa / yen dak bisa maca do‘a tulisan / maka simpena iku tulisan / maka areksa allah ta‘ala / malah ebeki lawae ala / widadari dadi jadae / sartane fada anamfa talam / ingkang den tamfa talam kenjana / anisine faanan sakeng suwarga / den jadaaken ingkang amaca / allah ta‘ala nekani karu / yen maca iku ingkang sesega / lan akeh akeh iku syawabe / lamun den waca iku do‘ane / dak kurang resqi kang selawase / den padaaken ing kuburane / kala sekarat iku dak lara / munkar wa nangkir - // (13) dak nakoni / dina kiyamat dak melebu geni lan selamet ing foncabaya / jin lan syethan dak niyaniya / allah ta‘ala annyugehaken / ikilah do‘a den amalaken / sartane lufut sekehe belahi / besuk qiyamat lufut ing geni / allah ta‘ala ambagusana / wong kang seregef a‟afazhna / sing safa mamang festhine kufur / dawuhe nabi dak kena nyekur / akehe syawab dak nulise / banyu segara den gawe mangsi / sekehe kayun den gawe qalam / sekehe godhong den gawe fafan / nyekti dak cukuf iku den tulis / sekehe - // 72
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
(14) ganjaran dak bisa milis / lamun wus hafazh ing do‘a iki / sekehe syethan iku dak wani / lan lamun ana satrumu metu / maka wawacanen malih fing fitu / dadi satrumu iku dak wani allah ta‘ala kang udaneni / gusti hasan andikaaken / lan sayid ali wus afazhken / allah andika aja kon lali / simfen farase ing kanjeng nabi / kelawan darus kang waliwali / weruhana dusa sijisijine / sekehe mu‘min fada mufaqat / weruhana dusa maring awale / andika allah iksun asihi / wong kang ufaya carita nabi / yen wong munafiq aja tuturi / / (15) sabab agamane dak erti / sing safa simfen ing caritane / maka selamet ing sak umure / maka sun faring rahmat sak leksa / saben wengi lawan den reksa / sing dak gelem simfen ing caritane / ingsun kurai ing sak usine / lan sun kurai sandang paane / sekehe ferabot jero omahe / yen wong kang demen carita rasul / ulehe faras ing kanjeng rasul / jin lan syethan iku dak wani / tur dadi syahid besuk matine / lan yen lara ya gelis waras / oleh berkate nabi fefaras / lan lamun sira aref leluan / festhi selamet sekehe begal / lan selamet maring kesasar / miwah selamet kala leluan // (16) sat kalap dak wani buru / lan sat kalap jerone banyu / malaikat sewu kang areksa / wong kang ufaya iku carita / kekasih ingsun nabi muhammad / ulehe faras dadi syufaat / lan lamun sira syaba nang guru / aja lali faras njeng nabi ratu / dadi selamet dak kenek bendu / lan bisa welas maring ragamu / lan lamun ana wong kena wesi / kelakuhane tulisan iki / lan banyu adem tur ingkang tawa / den inumaken maring kang lara / insya allah ya gelis waras / uleh berkate nabi fefaras / fama den fama pada ufaya / faras njeng nabi kang den ufaya // (17) yen dak duwe nyiliha sira / a‘ufayaha ing kanca nira / lamun wong mukmin ufaya carita / amrih nyimpeni iki cerita / maka sun faring rahmat sak leksa / ana akhirat dak den siksa / sing gelek maca ing do‘a iki/ den gawe sau mbesuk yen mati / iku wus hatam do‘a den sarah / atas dawuhe njeng rasulullah / akehe do‘a mung wolu likur / ing buri iki do‘a den tutur// c
(18) bismi ‘l-lahi ‘r-rahmani ‘r-rahimi / allahu allahu‘l- azizu ‗l-hakimu / allahu allahu ‗l-maliku ‗l-qudus / allahu allahu ‘l-ghofuru ‘l-wadudu / allahu allahu ‘s-syakuru ‘l-halimu / allahu allahu allahu ‘s-shamadu / allahu allahu ‘l-hamidu ‘l-habiru / allahu allahu sayyidu ‘l-jãbar / allahu allahu ilayka ‘l-khobiru / allahu allahu ‘l-wahidu ‘l-kohhar / allahu allahu c
‘l- adzimu ‘l-qudus / allahu allahu ‘l-kabiru ‘l-akbar // (19) allahu allahu ‘l-qadiru ‘l-wahab / allahu allahu ‘l-kholiku ‘l-mubinu / c
allahu allahu ‘l- aliyyu ‘l-mutaal / allahu allahu ‘z-zhahiru ‘l-bathin / Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
73
AGUS SULTON
allahu allahu awwalu ‘l-akhir / allahu allahu ‘l-bariu ‘l-mushawwir / allahu allahu ‘l-maliku ‘l-qudus / allahu allahu ‘r-rauwu ‘r-rahimi / allahu allahu ‘l-baisyu ‘l-waris / allahu allahu allahu ‘d-dabãn / allahu allahu allahu ‘l-kholaqu / allahu allahu allahu ‘l-hakimu / allahu allahu allahu ‘ssyahadat / allahu allahu ‘l-qabidhu ‘l-karimu / allahu allahu ‘l-qawyu ‘lmuniru - // (20) allahu allahu allahu muhammadu rasulullahu / lailaha illallah muhammadu rasulullahu shollallahu ‘alayhi wasallama / tamat wallahu ‘a-lam.//
Naskah Syair Kanjeng Nabi dan Mutiara Teks Ibadah Memandang konsep dasar dalam Islam sangat luas. Hal itu tidak lepas dari risalah hamba Muhammad yang terpilih untuk memberikan penerangan ke dunia yang sebelumnya gelap gulita agar menjadi terang benderang, dan hati yang sebelumnya bercerai-berai menjadi bersatu. Al-Quran dan Sunnah yang shahih adalah pedoman hidup yang menjamin kebahagiaan individu dan masyarakat di dunia dan akhirat. Dalam hal nilai-nilai Islam dapatlah kita mendasarkan pada hukum syariat yang kita kenal bersama, dan menggunakan itu sebagai tolak ukur apakah suatu karya sastra menunjukkan bahwa nilai-nilai yang bersangkutan diaktualisasi. Namun, dalam telaah sastra, tolak ukur semacam itu tidak dapat dipakai. Karya sastra bukanlah suatu gambaran aktivitas sehari-hari yang mencatat apa yang dilakukan individuindividu dalam masyarakat itu. Sastra adalah ungkapan kreatif terpilih manusia yang mengandung inti pati pikiran, hasrat, serta cita-cita yang diberi bentuk, yang tidak secara gamblang menunjukkan inti pati tersebut. Oleh sebab itu teori sastra sering dikatakan bahwa makna harus direbut dari suatu karya sastra (IKRAM, 1997: 145). Karya sastra yang bernuansa Islam tersebut diindikasikan banyak menyimpan berbentuk cerita dan banyak mengangkat tentang nuansanuansa ajakan yang secara tidak langsung dituangkan dalam bentuk Syair, Hikayat, dan sebagainya. Menurut Achdiati IKRAM (1997: 148) sastra keagamaan, yang sengaja dikarang untuk memberi informasi tentang berbagai aspek agama Islam dalam bentuk cerita. Ini terbukti di dalam SKN, yang banyak menyajikan unsur ibadah dari ajaran nabi muhammad, kemudian dikemas dalam bentuk syair. Aspek Islam di sini dimaksudkan sebagai unsur pembentuk dari beberapa nilai ibadah yang terkandung dalam SKN. Dan ibadah itu sendiri merupakan ketaatan manusia kepada Allah. SWT dengan menjalankan perintahnya dan menjahui segala apa yang dilarang. Sebenarnya ibadah terbagi menjadi beberapa bagian, ibadah lisan, 74
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
ibadah hati, dan ibadah anggota badan. Ibadah lisan termasuk tahlil, takbir, tahmid, dan bersyukur dengan lisan. Ibadah hati adalah ibadah yang berkaitan dengan cinta kepada Allah, takut kepada Allah, senang kepada Allah, dan sebagainya. Sedangkan ibadah anggota badan menyangkut haji, jihad, sholat, dan sebagainya. Ibadah itulah yang menjadikan tujuan dari Allah untuk menciptakan manusia dan jin. Sebagaimana Allah berfirman: ”Tidaklah kuciptakan jin dan manusia itu, kecuali hanya untuk beribadah kepada ku (Allah).” (Q.S ADZ-DZARIYAH: 56). Tetapi, kalau di korelasikan dengan aspek ibadah teks SKN, di dalamnya juga terkandung banyak nilai ibadah. Namun aspek ibadah yang diperlihatkan atau dijadikan analisis ini lebih ditonjolkan pada dua aspek, yaitu berdoa dan berdakwah. Berdoa termasuk ibadah secara hati, lisan, dan anggota badan. Secara hati dan lisan karena ada unsur berharapa kepada Allah atau mendekatkan diri dengan penuh rendah, cinta, dan ketergantungan. Berdoa juga merupakan perbuatan anggota badan, termasuk di dalamnya sholat. Sholat itu sendiri adalah bagian dari berdoa.Sementara itu, berdakwah masuk dalam suatu kegiatan jihad, yaitu memerangi kekufuran, kemunafikan, atau unsur patologi sosial. Termasuk kegiatan anggota badan, tetapi tidak akan lepas dari lisan, sebagai poros untuk melakukan pendekatan atau propaganga. Ibadah itu merupakan sesuatu yang disyariatkan berdasarkan Alquran dan As-Sunnah. Apabila ada sesuatu yang tidak disyariatkan berarti itu merupakan bidah yang ditolak. Sebagaimana Nabi Muhammad bersabda:”Artinya: Barang siapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”Agar dapat diterima, ibadah disaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua sarat, yaitu: 1. ikhlas karena Allah semata, bebas dari sirik besar dan kecil 2. ittida maksudnya sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW Sarat yang pertama merupakan konsekuensi dari sahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari sirik kepada-Nya. Sedangkan sarat yang kedua adalah konsekuensi dari sahadat Nabi Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-Nya taat kepada Rasul, mengikuti sariatnya dan meninggalkan bidah atau ibadah yang diada-ada. Mengenai keutamaan ibadah itu sendiri, bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah SWT. dan bisa juga untuk meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemungkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
75
AGUS SULTON
dan mengalami rasa sakit. Termasuk keutamaan ibadah yang lain, yaitu dapat mendamaikan dan menentramkan jiwa kecuali dengan jalan dzikir. Sekalipun seseorang merasakan kebahagiaan atau kedamaian selain dari Allah, maka kebahagiaan tersebut adalan semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kebahagiaannya. Bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, itu adalah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itu merupakan kebahagiaan yang hakiki. Berdoa Berdoa merupakan bagian dari ibadah, karena itu sendiri adalah suatu bukti pengharapan (raja‟), tawakkal, dan cinta kepada Allah SWT. Allamah Husain MAZHAHIRI (2002: 5), doa merupakan sebaik-baiknya amal perbuatan dan paling nikmatnya segala sesuatu, serta menjadi perbuatan yang sangat disukai Allah, bagi siapa yang enggan berdoa amat dibenci-Nya, sekaligus tengah mengalami bencana yang amat besar. Allah SWT berfirman: Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), ”Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, melainkan kalau ada doamu.” (AL-FURQAN: 77). Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang memalingkan diri dari menyebut dan mengingat Allah, serta enggan berdoa kepada-Nya, akan ditindih kesengsaraan yang sangat berat. Perintah untuk berdoa kepada Allah inilah yang dianjurkan bagi setiap makhluk yang berakal, dalam kondisi dan situasi apapun. Seperti yang terdapat pada kutipan teks SKN: ibtidai miwiti ingsun muji ing Allah kelawan nuwun
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa doa merupakan prioritas utama untuk bisa dijadikan alat dalam menapaki suatu kegiatan, secara tidak langsung dapat mempengarui pada pembaca. Hal ini, penulis syair saat memulai aktifitas kepenulisannya didahului dengan ”nuwun” atau meminta. Berdoa (meminta) merupakan bukti penghambaan kepada Allah dan juga dapat dijadikan sebagai suatu petunjuk (rusd) pada saat seseorang menghadapi kesulitan, bahaya, atau jalan buntu. Karena doa itu sendiri berasal dari fitrah manusia dan bersumber dari substansinya. Fitrah manusia akan menghidupkan kesadaran tentang keberadaan suatu zat yang menguasai segalanya, memiliki berbagai kesempurnaan, serta suci dari berbagai sifat buruk dan tercela (MAZHAHIRI, 2002: 6). Seorang hamba senantiasa berhajat kepada pertolongan Allah. Apa 76
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
yang dihajatinya disampaikan kepada Allah. Semakin banyak hajatnya semakin banyak pula doa yang disampaikan kepada Allah. Oleh sebab itu doa merupakan sesuatu yang krusial, bukti penyerahan hamba kepada Tuhan yang maha penyayang dan maha mengetahui. Allah sendiri sudah memerintahkan hambanya untuk berdoa. Allah SWT berfirman: Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai. (Q.S. ALARAF: 205). Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. AL-ARAF: 55). Doa adalah Ibadah.” (HR. ABU DAWUDDAN AT-TURMUDZI).
Berdasarkan pada ayat dan hadis tersebut, doa merupakan anjuran yang wajib dan barangsiapa yang lalai (tidak berdoa), sesungguhnya telah lalai dan melampaui batas. Doa merupakan ibadah. Ibadah itu sendiri ubudiyah, yang akar katanya abduh, yakni hamba. Karesteristik dasar seorang hamba adalah miskin, fakir, lemah, hina, dan membutuhkan majikannya. Maka sifat yang terpenting seorang hamba ialah kerendahan dan kemiskinan. Satu-satunya ibadah yang jelas menunjukkan kerendahan dan kemiskinan seorang hamba dihadapan penguasa langit dan bumi adalah dengan berdoa. Hal senada juga terdapat dalam kutipan teks SKN. a‟udzubillahi alindung ing Allah aja kasi kufur ing Allah
Kutipan tersebut merupakan dasar penghambaan untuk meminta perlindungan kepada Allah dan jangan sampai kufur kepada-Nya. Hal ini, sependapat dengan argumen Allamah Husain MAZHAHIRI (2002: 17) bahwa doa dapat menciptakan suatu kondisi dalam diri manusia. Takkala sibuk mengingat dan menyebut nama Allah, seorang tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang lain dan hanya tenggelam dalam perenungan tentang zat Allah. Dengan begitu, argumentasi rasional bukanlah cara yang memungkinkan seseorang meraih kondisi kesuksasan dan kebahagiaan batin. Hanya doa dan munajatlah sebagai cara yang terbaik untuk lebih mendekatkan diri dan memperoleh sesuatu Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
77
AGUS SULTON
dari-Nya. Jangan sampai berdoa kepada Allah dan memohon kepada Allah, hanya pada waktu membutuhkannya, namun pada saat tidak mempunyai hajat dan tidak terbentur oleh sesuatu diluar kemampuan manusia, melupakan dan tidak pernah memohon dan berdoa kepadanya. Allah maha kaya, dialah pemilik dan penguasa jagad raya ini. Allah adalah alamat kepada dzat yang harus diibadahi dengan sebenarnya. Dari itu pulalah, Allah punya banyak gelar agung yang sesuai dengan sifat-sifatNya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah. Nama-nama Allah tersebut kesemuanya dinamakan dengan istilah Asma‟ul Husna. Di antara sekian Asma‟ul Husna yang berjumlah sembilan puluh sembilan itu, sebagian terdapat dalam kutipan teks SKN. allahu allahu‘l-azizu ‗l-hakimu allahu allahu ‗l-maliku ‗l-qud(d)us allahu allahu ‘l-ghofuru ‘l-wadudu allahu allahu ‘s-syakuru ‘l-halimu allahu allahu allahu ‘s-shamadu allahu allahu ‘l-hamidu ‘l-habiru allahu allahu sayyidu ‘l-jãbbar allahu allahu ilayka ‘l-khobiru allahu allahu ‘l-wahidu ‘l-kohhar allahu allahu ‘l-adzimu ‘l-qud(d)us allahu allahu ‘l-kabiru ‘l-akbar allahu allahu ‘l-qadiru ‘l-wahab allahu allahu ‘l-kholiku ‘l-mubinu allahu allahu ‘l-aliyyu ‘l-mutaal allahu allahu ‘z-zhahiru ‘l-bathin allahu allahu awwalu ‘l-akhir allahu allahu ‘l-bariu ‘l-mushawwir allahu allahu ‘l-maliku ‘l-qud(d)us allahu allahu ‘r-rauwu ‘r-rahimi allahu allahu ‘l-baisyu ‘l-waris
386
allahu allahu allahu ‘d-dabãn allahu allahu allahu ‘l-kholaqu allahu allahu allahu ‘l-hakimu 78
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
allahu allahu allahu as-syahidu allahu allahu ‘l-qabidhu ‘l-karimu allahu allahu ‘l-qawyu ‘l-muniru
Asma‟ul Husna berarti nama yang baik, maksudnya nama-nama yang dimiliki Allah SWT sebagai bukti keagungan dana kemulian-Nya. Banyak ulama mengatakan, bahwa Asma‟ul Husna bisa dijadikan sebagai doa. Oleh sebab itu, Rasulullah bersabda: ”Allah mempunyai 99 nama, seratus kurang satu; barang siapa memahaminya akan masuk surga.‖ (Hadis Shahih BUKHARI-MUSLIM). Allah juga berfirman: ”Milik Allahlah nama-nama yang indah, dan memohon kepada-Nya dengan menyebut nama-nama tersebut.” (Q.S. AL-ARAF: 180). Secara sederhana Asma‟ul Husna merupakan doa. Dari berbagai pendapat para ulama mengatakan, bahwa apabila seseorang menghembuskan nafas doa Ya Quddus dan Ya Jabbar berdasarkan jumlah tertentu, maka dapat menghilangkan berbagai sifat buruk dan tercela seperti pemarah, dengki, buruk sangka, malas, khianat, dusta, menghasut, dan lain sebagainya. Merubah karakter buruk dan sifat tercela dari diri seseorang bukanlah hal mudah seperti membalik telapak tangan, dibutuhkan usaha yang kuat dan sungguh-sungguh dari yang bersangkutan. Usaha untuk merubah karakter buruk tersebut, dapat juga Asma‟ul Husna dijadikan sebagai alternatif berdzikir (berdoa) agar terhindar atau menghilangkan dari sifat buruk dan tercela.Itulah sebabnya berdzikir (berdoa) merupakan ibadah yang paling indah, dengan-Nya hati akan merasa tenang dan tentram. Berdakwah Dakwah dalam praktiknya merupakan kegiatan yang sudah cukup tua, yaitu sejak adanya tugas dan fungsi yang harus diemban oleh manusia dibelantara kehidupan di dunia. Dakwah bisa jadi sebagai kerja sadar dalam rangka menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persamaan, dan mencapai kebahagiaan atas dasar ridla Allah SWT (ALIYUDIN, 2009: 1). Dengan demikian, dakwah merupakan suatu kegiatan ibadah yang wajib untuk menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran. Ketetapan wajib ain tersebut didasarkan pada firman Allah yang artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
79
AGUS SULTON
beriman kepada Allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. ALI-IMRAN: 110).
Secara normatif, landasan lain mengenai perintah dakwah sebagai wajib ain didasarkan pada firman Allah SWT yang artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orangorang yang mendapat petunjuk. (Q.S. AL-NAHL: 125).
Berdasarkan ayat di atas, dakwah merupakan kewajiban bagi umat Islam, karena Islam sendiri adalah agama risalah dan dakwah. Ini berarti Islam merupakan wahyu yang disampaikan Rasulullah dan harus disampaikan kepada umat manusia. Umat Islam adalah pendukung amanah untuk meneruskan risalah dengan dakwah. Dakwah dalam arti menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup. Menurut ALIYUDIN (2009), dakwah merupakan bagian dari tugas suci (ibadah) umat Islam dalam mengorganisasikan menuju jalan kebaikan. Dakwah bisa berarti mempengarui seseorang untuk mengikuti ke dalam lingkup ideologi atau ajaran yang dianut, hal ini tidak jauh beda dengan konsep propaganda. Sunu WASONO (2007: 62) sesungguhnya istilah propaganda lebih sering menyandang konotasi negatif. Terlepas dari konotasi positif atau negatif yang melekat pada propaganda, kenyataan propaganda ada dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini dalam Islam biasanya lebih akrab dengan sebutan dakwah. Dari berbagai penjelasan dan konsep di atas, kalau korelasikan dengan teks SKN di dalamnya banyak menggambarkan tentang ajaran dakwah, hal ini seperti terdapat dalam kutipan berikut: paras den syair nular ing jawab sakeng bodone dak bisa ngaji wani nyair parase Nabi pira salahe nuwun sepura maring pangeran kang maha mulya sakeng sejane iku den tata tibane jawan ingkang den waca sak bisa-bisa aja den wada 80
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
Kutipan tersebut unsur dakwah muncul dari pihak penulis syair sendiri objeknya lebih mengarah pada pembaca, dalam hal ini pembaca diberikan suatu wacana, yaitu berupa jawaban, maksudnya syair ini ditulis sebagai jawaban bagi seseorang agar segera bertaubat dan segera untuk cepat keluar dari perbuatan keji dan mungkar, akhirnya dapat mengalihkan energi negatif ke dalam energi posif. Solusi ini dipermudah juga dengan pemakaian bahasa Jawa agar seseorang yang tidak mengaji bisa untuk memahaminya. Dalam pengertian seperti itu, seolah-olah ada pesan implisit untuk dituntun, diarahkan dalam mencari dan menjalankan kebenaran. Bagi seorang muslim, berbuat kebaikan Allah senantiasa hadir dan dan senantiasa melihat apa yang dikerjakan dan dipikirkan. Dalam kutipan SKN dijelaskan: Allah taala ambagusana wong kang sregepa‟afazhna sing sapa mamang pesthine kufur
Definisi tersebut menekankan kepada umat Islam, disuruh untuk ambagusana, maksudnya menaati segala perintah dan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah. Dapat dipahami pula, bahwa jangan sampai kufur kepada-Nya, dalam Islam sendiri mengingkari Allah adalah perbuatan besar dan masuk dalam golongan orang-orang kafir. Beberapa penjelasan di atas, dapat dijadikan sandaran bahwa kesemuanya itu merupakan unsur dakwah, yaitu mengajak atau menyeru kepada umat manusia menuju kepada jalan Allah (jalan kebaikan), memerintah yang ma‘ruf dan mencegah yang mungkar, baik secara lisan, perbuatan, tulisan atau perbuatan dalam rangka memperoleh kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Bentuk kegiatan mengajak umat manusia dalam hal ini, tek SKN dilakukan secara tulisan. Metode dakwah secara tulis (bit-Tadwin) dirasa lebih akrab untuk menjadikan saluran yang dapat mengubah ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totalitas dakwah yang keberadaannya dangat urgent. Kegiatan atau metode kreatif seperti ini harus tetap mengacu pada pegangan AlQur‘an dan Hadis sebagai landasan atau fondasi dalam memproporsikan tugas ibadah manusia kepada hamba Allah sebagai aktualisasi fitrahnya. Simpulan Syair Kanjeng Nabi (SKN) adalah teks yang berasal dari naskah pegon Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
81
AGUS SULTON
yang tersimpan sebagai koleksi pribadi penulis. SKN ditulis dalam bentuk syair. Setelah dianalisis lebih lanjut naskah Syair Kanjeng Nabi hampir mempunyai kemiripan dengan cerita Hikayat Nabi Bercukur. Nakah Hikayat Nabi Bercukur tersimpan dibeberapa perpustakaan di dunia, di PNRI tersimpan tujuh buah naskah, selanjutnya tersimpan di Leiden, London, dan di ‘sGravenhage. Naskah Hikayat Nabi Bercukur terdiri atas beberapa macam bahasa, misalnya bahasa Makasar, bahasa Bugis, bahasa Sunda yang pernah dimuat oleh Grashuis dalam buku bacaannya pada tahun 1874, dan bahasa Aceh dengan nama Nabi Meucuko (Hikayat Nabi Bercukur). Hikayat ini juga pernah diterbitkan di Jakarta pada tahun 1953 dan di Singapura sampai berulang kali (ASDI S. DIPODJOJO, 1986: 79 dalam Agus Sulton Radar Mojokerto). Secara garis besar teks SKN menceritakan tentang silsilah keluarga Nabi Muhammad beserta kehidupannya pada saat ditinggal ayah dan ibunya yang meninggal dunia. Di sini juga dijelaskan bahwa Nabi Muhammad merupakan pembawa kebahagiaan dan digambarkan sebagai sosok teladan sepanjang masa. Ia adalah manusia dalam wujud ilahiah, utusanTuhan yang kepadanya umat manusia memohonkan safaat. Tidak satu pun makhluk yang mencapai kesempurnaan sebagaimana dicapai oleh Muhammad. Teks SKN juga menceritakan sosok malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu, dan Muhammad pun turun dari Gua Hira menuju rumah Khodijah. Jiwa agung Nabi disinari cahaya wahyu. Beliau merekam di hatinya apa yang didengarnya dari malaikat Jibril. Wahyu turun bersamaan dengan lima puluh sariat. Kemudian para sahabat Nabi mempercayai akan sariat tersebut. Dilanjutkan penceritaan seputar Nabi Muhammad pada saat dipotong rambutnya oleh malaikat Jibril bertepatan bulan Ramadan tanggal sembilan belas hari senin setelah pulang dari perang Lahad di Madinan dengan dilihat sahabat-sahabar Nabi Muhammad dan para bidadari yang baru turun dari surga. Mengenai jumlah rambut Nabi Muhammad, dalam teks SKN di jelaskan bahwa rambutnya ada seribu macam, tepatnya satu keti (10.000), ditambah satu leksa (100.000), ditambah tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga, jadi jumlahnya sekitar 11. 3333 biji rambut. Dari konsep cerita tersebut, kemudian ditarik suatu kesimpulan tentang fungsi dari cerita itu sendiri, dan ini dimunculkan dalam teks SKN. Deskripsi singkatnya, untuk siapa saja yang mahu menyimpan cerita (syair) ini, maka akan selamat dari siksa kubur, semua dosa akan dimaafkan, pada saat di akhirat nanti malaikat Mungkar dan Nangkir tidak akan bertanya tentang amal berpuatan, dan masuk surga. 82
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR KANJENG NABI DALAM MUTIARA TEKS IBADAH
Tentang fungsinya di dunia, teks SKN menceritakan pemerolehan kemuliaan di dunia, cepat dapat kerja, semasa hidupnya tidak akan kekurangan rizki, dan akan kafir matinya apabila meremehkan syair ini atau menghina Nabi Muhammad. Bagi siapa yang sering membaca syair ini, maka akan dapat safaat dari Nabi Muhammad.Sebelum akhir cerita teks SKN, juga ditunjukkan bahwa syair ini selesai dutulis pada hari Minggu tanggal 19 Rabiul Awal, tepatnya pasaran Wage tahun 1327 Hijriah atau 1906 M (104 tahun dari sekarang), tetapi nama penulisnya tidak dicantumkan dalam teks SKN (anonim). Berdasarkan analisis teks SKN tersebut, akhirnya ditemukan beberapa nilai lebih yang dapat diungkapkan dan dipetik poin pentingnya, antara lain yaitu: a. Dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun, kita harus taat kepada Allah dan bersyukur. Kekuatan yang paling tinggi hanyalah kekuatan dari Allah. Itulah sebabnya, Allah akan memberikan kemudahan (membantu) bagi manusia yang tetap menjalankan pada ajaran Islam (teks dalam syair) dan menjauhi dari segala larangan-Nya. b. Syair Kanjeng Nabi bisa juga dijadikan alternatif atau pedoman dalam kehidupan berkepribadian budi pekerti atau bisa jadi sebagai alat pengendali, dalam arti untuk membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kufur kepada Allah. Orang yang berbudi pekerti secara tidak langsung akan dapat terhindar dari sifat-sifat tercela seperti rasa dengki dan iri hati.
DAFTAR PUSTAKA ALFIAN, MAGDALIA, 2004, ‗Naskah Kuno Identitas Budaya Yang Terabaikan‟ Makalah. Disampaikan pada Seminar Naskah Kuno Sebagai Perekat NKRI di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, JL. Salemba Raya 28 A Jakarta, 12 Oktober BARIED, BAROROH, DKK., 1994, Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra UGM. DIPODJOJO, ASDI S., 1986, Kesusastraan Indonesia Lama Pada Zaman Pengaruh Islam. Yogyakarta: Lukman. DJAMARIS, EDWAR, 2002, Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV Manasco. IKRAM, ACHDIATI, 1997, Filologi Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya. MAZHAHIRI, ALLAMAH HUSAIN, 2002, Rahasia Doa. Bogor: Cahaya. LUBIS, NABILAH, 2001, Naskah Teks dan Metodologi Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
83
AGUS SULTON
ROBSON, S.O., 1994, Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL. SUNARJO, NIKMAT, 2001, Analisis Struktur dan Nilai Budaya Syair Bertema Sejarah. Jakarta: Pusat Bahasa Depdikbud. SUDJIMAN, PANUTI, 1995, Filologi Melayu. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. WASONO, SUNU, 2007, Sastra Propaganda. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
84
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Ḥ
Abstrak Perjalanan haji merupakan perjalanan spiritual bagi umat muslim pada umumnya, akan tetapi pada masyarakat Minangkabau perjalanan haji ini menemukan dimensinya yang lain yaitu sebagai sebuah bentuk migrasi atau merantau. Dalam konteks ini, perjalanan haji bukan lagi sematamata bertujuan untuk beribadah, akan tetapi juga untuk kepentingan ekonomi dan mencari ilmu. Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj merupakan salah satu naskah yang menggambarkan perjalanan haji seorang muslim Minangkabau yang ditemukan di surau Calau. Naskah ini memberikan gambaran tentang prosesi ritual haji, interaksi sosial dan ekonomi, adat istiadat, ciri-ciri fisik dan karakteristik dari setiap suku bangsa yang menghadiri ibadah Haji di Mekah sebelum abad ke-20. Kata kunci: Haji, Muslim Minangkabau, Merantau. TULISAN ini merupakan sebuah kajian antropologis tentang budaya migrasi/rantau yang tergambar dari perjalanan haji muslim Minangkabau dalam naskah Syair Fī Kaifiyat Al-Ḥajj. Penulis ingin menyajikan perspektif muslim Minangkabau tentang fenomenafenomena menarik selama perjalanan haji, yang tergambar dalam Syair
* Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta. Artikel ini dipresentasikan pada Short Course Metodologi Penelitian Filologi yang diselenggarakan pada 1 Juli–30 September 2012 atas kerjasama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Terima kasih kepada Dr. Oman Fathurahman, Dr. Fuad Jabali, Dr. Saiful Umam, Jajang Jahroni, MA., Munawar Holil, M.Hum., M. Adib Misbachul Islam, M.Hum atas saran dan komentarnya terhadap artikel ini. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
85
RIZQI HANDAYANI
Fī Kaifiyat Al-Ḥajj yang meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti prosesi ritual haji, gambaran interaksi sosial dan ekonomi, adat istiadat, serta ciri-ciri fisik dan karakteristik setiap suku bangsa yang menghadiri ibadah Haji di Mekah. Dalam naskah ini, Mekah diperlihatkan sebagai pusat kosmopolitanisme Islam yang bukan saja berfungsi sebagai pusat ibadah umat muslim, akan tetapi juga pusat perdagangan global, tempat berkembangnya ilmu-ilmu keislaman dan legitimasi politik di abad ke17 (VAN BRUINESSEN, 1997: 121–133; band. SURYADI, 2002: 151–158). Naskah ini sekalian menjadi bukti tentang kehadiran masyarakat Nusantara ke Mekah untuk ibadah haji, khususnya setelah abad ke-17. Dengan keberadaan naskah ini pula, penulis ingin menunjukkan bahwa budaya merantau yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat Minangkabau menjelma menjadi artikulasi sosial keberagamaan, yang terwujud dalam perjalanan haji. Haji dalam hal ini menjadi bagian dari budaya migrasi atau merantau1 masyarakat Minangkabau. Sebagaimana diungkapkan Dale F. Eickelman dan James Piscatori bahwa setelah kedatangan Islam, haji menjadi salah satu tradisi perjalanan (travel) yang dilakukan oleh umat muslim di dunia, di samping hijrah (emigration), rihlah atau perjalanan untuk menuntut ilmu, dan ziarah (DALE E. EICKELMAN & JAMES PISCATORI ed., 1990: xii, 5). Terlepas dari itu semua, haji sebagai fenomena sosial keberagamaan dalam masyarakat Minangkabau telah dilakukan oleh masyarakat setempat, terlebih setelah abad ke-17, ketika hubungan politik dan perdagangan antara Nusantara dan Timur Tengah makin intensif dan islamisasi di Minangkabau mencapai puncaknya di tangan Syekh Burhanuddin Ulakan (1646-1699). Syair Fī Kaifiyat alḤajj merupakan bukti dari kemapanan Islam dan keharmonisan antara tradisi dan syar‟i di Minangkabau. Islam dan Corak Keberagamaan di Minangkabau Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj yang ditemukan di Surau Calau ini merupakan fragmen Syair Mekah Madinah karya Syekh Daud Sunur, yang menurut Suryadi berjumlah lima fasal.2 Syair ini disalin oleh salah seorang murid di Surau Ulakan. Pada paroh kedua abad ke-19, syair ini menjadi sangat populer, bahkan menjadi buku pedoman bagi calon jamaah haji di kalangan pengikut tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau (WIERINGA, 2002: 174–206). Lalu, bagaimana mungkin Syair Mekah 1. Untuk mengetahui tradisi merantau Minangkabau, baca KATO: 2005. 2. Isi teks naskah ini dapat diakses dalam situs Malay Concordance Project http://mcp.anu.edu.au/N/Mekah_bib.html 86
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
Madinah yang ditulis oleh seorang ulama reformis bisa sampai dan tersimpan rapi di Surau Calau yang bercorak konservatif? Apakah dengan berjalannya waktu, Syair Mekah Madinah ini berubah fungsi sehingga muatan ideologisnya terabaikan? Untuk itu perlu kiranya kita melihat sejarah masuknya Islam dan corak keberagamaan masyarakat di Minangkabau terlebih dahulu. Islam diperkirakan masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-16,3 walaupun pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena beberapa pendapat lainnya mengatakan bahwa Islam mulai diperkenalkan ke masyarakat Minangkabau sejak abad ke-7.4 Perkenalan masyarakat Minangkabau kepada Islam berlangsung secara damai. Islam dibawa oleh para pedagang India muslim dari Gujarat kepada masyarakat pesisir pantai barat Minangkabau. Pendapat lainnya menyatakan bahwa Islam diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Islam yang berlayar dari Malaka menyusuri Sungai Kampar dan Indragiri pada abad ke-15 dan ke-16 (MULYANA, 1963: 261; SJARIFOEDIN, 2011: 330–334). Pemilihan pantai sebagai tempat penyebaran Islam pun bukannya tidak beralasan, mengingat Islam adalah agama yang sangat terikat dengan kota sebagai pusat aktivitas masyarakat, seperti halnya Mekah. Sebagaimana Mekah, pantai di Minangkabau berfungsi sebagai pelabuhan dan pasar, tempat aktivitas perniagaan berlangsung. Untuk memperlancar proses perniagaan dengan pedagang India Muslim tersebut, para pejabat pelabuhan dan pialang lokal memeluk agama Islam. Hal ini terlihat dari gelar Islam yang mereka gunakan. Dobbin mencatat, hingga tahun 1761, hanya keluarga-keluarga pialang terkemuka di pantai saja yang memeluk agama Islam, itu pun hanya sebatas permukaannya saja (DOBBIN, 2008: 189; RICKLEFS, 2005: 34–35). Selain hubungan perniagaan, faktor kekuasaan dan politis ikut andil dalam upaya penyebaran Islam. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa kerajaan Islam di Nusantara, seperti Kesultanan Aceh (1496– 1903 M), Kesultanan Mataram (1578–1677 M), Kesultanan Palembang (1550–1823 M), Kerajaan Makasar, Kerajaan Pagaruyung (1347–1809 M) dan lainnya. Di Minangkabau, peran Kerajaan Pagaruyung dalam penyebaran Islam dari wilayah pesisir (rantau) ke dataran tinggi (darek) Minangkabau sangat penting. Diketahui bahwa pada abad ke-15 3. Beberapa sarjana Barat yang mengamini pendapat ini adalah M. Justra dan Rue de Ariro. Lihat penjelasannya dalam SAMAD (2002: 10). 4. Pendapat ini diungkapkan oleh Hamka, M.D. Mansur, Burhanuddin Daya, J.C. van Vanleur dan Agus Salim. Tentang perdebatan masuknya Islam ke Minangkabau lihat penjelasannya dalam SJARIFOEDIN (2011: 326–334) dan MANSOER, DKK. (1970). Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
87
RIZQI HANDAYANI
sebagian masyarakat Minangkabau telah memeluk Islam, akan tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau memeluk Islam setelah Kerajaan Pagaruyung mulai memeluk Islam di bawah kekuasaan Sultan Alif (memerintah pada tahun 1560-1583 M) (MANSOER, dkk., 1970: 63; band. SJARIFOEDIN, 2011: 220). Perkenalan Kerajaan Pagaruyung dengan agama Islam diketahui dari hubungan perdagangan emas yang terjalin antara kerajaan ini dengan Kerajaan Malaka, yang lebih dahulu memeluk Islam, yaitu sejak abad ke-15. Sedangkan perkenalan penduduk dataran tinggi Minang dengan agama Islam diakibatkan oleh kepindahan keluarga raja tersebut ke daerah Buo-Sumpur Kudus, yang merupakan salah satu pusat perdagangan emas di Minangkabau (DOBBIN, 2008: 189–190; band. SJARIFOEDIN, 2011: 322–334). Sumber lain juga menyatakan bahwa Kerajaan Pasai di Aceh sangat mempengaruhi islamisasi di Minangkabau. Saat itu, Kerajaan Pasai di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda sedang berada di puncak kejayaan, sehingga mampu menyebarluaskan pengaruhnya dan menguasai kerajaan-kerajaan kecil di Minangkabau (SAMAD, 2002: 11). Pengaruh keislaman yang disebarkan oleh kerajaan Aceh ini pada akhirnya juga turut mewarnai wacana pemikiran dan corak keberagamaan masyarakat Minangkabau di masa-masa berikutnya. Sebagaimana tercatat di Tambo Minangkabau ―adat yang kawi syarak yang dilazimkan‖, masyarakat Minangkabau berusaha untuk selalu menyesuaikan antara adat dan tradisi kemasyarakatan dengan ajaran Islam (DJAMARIS, 1989). Upaya penyesuaian berbagai nilai adat dan Islam tersebut dimulai sejak berdirinya Kerajaan Pagaruyung (HAMKA, 1984: 138; band. FATHURAHMAN, 2008: 42). Akulturasi tersebut melahirkan corak keberagamaan yang unik. Masyarakat lokal tidak dituntut untuk melakukan perubahan yang radikal, sehingga Islam dapat melebur dan diterima dengan baik oleh masyarakat pesisir. Islam melebur ke dalam masyarakat lokal bukan sebagai agama yang baru, akan tetapi sebagai agama tambahan yang melengkapi agama terdahulu yang sudah terlebih dahulu mapan, sehingga yang terbentuk adalah agama Islam dalam wujudnya yang sinkretik. Di mana ritual dan pemujaan-pemujaan terhadap roh-roh dan dewa-dewa tetap dilakukan di bawah pengawasan pemuka adat setempat (DOBBIN 2008: 190; SJARIFOEDIN, 2011: 319–323). Perjalanan Islam memasuki beberapa daerah pesisir (rantau) di Minangkabau yang menjadi pusat perdagangan cenderung tidak menghadapi kendala yang signifikan. Sebaliknya, Islam sedikit mendapat kendala ketika bersentuhan dengan masyarakat petani di dataran tinggi (darek). Hal ini disebabkan oleh sistem kepercayaan 88
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
masyarakat petani yang animistik dan hubungan yang erat para petani tersebut kepada cenayang.5 Ajaran-ajaran Islam yang berorientasi kepada penerapan syariat hukum Islam cenderung tidak bisa diterima oleh masyarakat yang animistik, yang mana kepercayaan masyarakat terpusat pada pemujaan roh. Sebagai alternatif, Islam memasuki dataran tinggi Minangkabau melalui tradisi Surau yang pada saat itu tengah menjamur di wilayah tersebut. Salah satu corak keislaman yang berkembang di Minangkabau adalah sentralisasi fungsi surau sebagai tempat transmisi keilmuan agama. Surau juga menjadi simbol dari kemapanan tradisi-tradisi Islam lokal yang tumbuh di sana. Di era kemapanan Islam ini, surau menjadi sarana yang paling efektif bagi penyebaran agama Islam. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh fungsi surau bagi masyarakat Minangkabau yang cukup signifikan, yaitu sebagai bangunan pelengkap rumah gadang dan tempat berdiam atau tinggal beberapa keluarga yang saparuik (keturunan) (AZRA, 2003: 8; GRAVES, 2007: 45–46). Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, surau telah menempati posisi yang sangat strategis, ia menjadi institusi dalam struktur adat Minangkabau. Fungsi surau pada masa Hindu-Budha lebih dari sekedar tempat peribadatan, akan tetapi juga tempat bertemu, berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin, duda maupun dan orang tua yang telah uzur. Keadaan ini merupakan konsekuensi dari berlakunya sistem matrilinial pada masyarakat Minangkabau, yang menempatkan laki-laki atau suami dalam keluarga sebagai kaum yang tidak memiliki kekuasaan atas anak dan harta, sehingga anak laki-laki tidak mempunyai kamar dalam rumah gadang. Kamar di rumah gadang hanya diperuntukkan bagi anak-anak perempuan. Akhirnya, laki-laki harus keluar dari rumah gadang dan mencari tempat tinggal yang lainnya. Surau adalah tempat yang paling memungkinkan bagi kaum laki-laki Minang untuk tinggal (SAMAD, 2002: 111–134). Sejalan dengan fungsinya pada masa pra-Islam, hubungan yang erat antara surau sebagai lembaga keagamaan dengan kerajaan sebagai pusat kekuasaan telah terjalin harmonis. Keadaan ini tentu memberikan keuntungan bagi Islam di sisi yang lain, sehingga adat dan agama dapat berjalan beriringan. Sebagaimana pepatah minang yang mengatakan 5. Cenayang adalah tokoh kunci dalam agama petani di Minangkabau. Di masyarakat Minangkabau, cenayang ini lebih dikenal dengan sebutan pawang. Pawang ini dipercayai bisa berhubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib dan mendatangkan rasa aman bagi keluarga petani yang ditimpa suatu masalah. Lihat: DOBBIN, 2008: 185; baca juga SJARIFOEDIN, 2011: 320–323. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
89
RIZQI HANDAYANI
―syara‟ mangato adat mamakai‟.6 Pepatah ini mendarah daging dalam masyarakat Minang, sehingga masyarakat Minang akan merasa aib dan malu jika tidak beragama Islam. Selanjutnya, pada masa-masa awal Islam, selain sebagai tempat tinggal dan berkumpul, surau berfungsi sebagai tempat transmisi ajaran keislaman ke berbagai daerah di luar Minangkabau. Surau menjadi tempat pengajaran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, seperti ilmu tafsir dan hadis, gramatika bahasa Arab, aqidah dan akhlak, fiqh, ushuluddin, dan lain sebagainya. Para murid yang berasal dari dalam dan luar Minangkabau berdatangan ke surau untuk menimba ilmu agama dari guru-guru keagamaan. Bagi murid yang dianggap telah pintar dan pandai, maka gurunya memberikan izin untuk mengembangkan ilmu tersebut di daerah masing-masing. Surau Ulakan adalah surau pertama yang berfungsi sebagai tempat pengembangan ilmu-ilmu keislaman di abad ke-17. Dengan berjalannya waktu, fungsi surau mengalami pergeseran. Menginjak awal abad ke-19, ketika Perang Paderi terjadi (1821–1837), surau menjadi basis pergerakan bagi kaum tuo dan kaum mudo. Mereka menjadikan surau sebagai tempat menyusun konsep, strategi perjuangan, tempat peristirahatan dan sekaligus tempat kediaman para tuanku dan ulama. Pada akhirnya, gerakan paderi inilah yang menjadi penyebab surau kehilangan fungsinya, selain modernisasi dan westernisasi pendidikan ala kolonial. Surau yang kita temui kini sudah banyak yang beralih fungsi, bahkan musnah dimakan zaman. Sebagian surau yang tertinggal masih dikelola oleh kaum tradisionalis. Pembinaan yang dikelola oleh kaum ini lebih kepada pengajian tarekat, ziarah bersama, khatam Alquran, dan kegiatan sejenisnya. Sedangkan, surau yang dikelola oleh kaum modernis lebih cenderung kepada pengembangan masyarakat yang menyentuh masalah-masalah sosial, seperti memperingati hari-hari besar Islam dan pembinaan panti asuhan.7 Corak keberagamaan Minangkabau yang lainnya adalah tarekat.8 Di 6. Artinya: agama memberikan fatwa dan adat yang melaksanakannya. 7. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai sebab-sebab kemunduran fungsi surau baca Azra, 2003: 143–149; juga Samad, 2002: 121–126. 8. Tarekat berasal dari bahasa Arab ṭhariqah, bentuk jamaknya ṭarāiq, yang berarti 1) jalan, petunjuk, cara; 2) metode, sistem (al-uslūb); mazhab, aliran, haluan (almazhab); 4) keadaan (al-ḥalah); 5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung. Terkait dengan tarekat di surau-surau Minangkabau, tarekat di sini diartikan sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang dilembagakan melalui rībāth, zāwiyah, khānaqāh ataupun surau sebagai pusat kegiatan, dan ditandai dengan terjadinya 90
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
tangan Syekh Burhanuddin Ulakan, penyebaran ajaran Islam tumbuh subur di surau-surau melalui tradisi tarekat, di mana praktik keagamaan dipimpin oleh seorang guru yang disebut syekh. Tarekat yang pertama kali masuk ke Minangkabau adalah Tarekat Syattariyah. Tarekat ini dibawa oleh Syekh Burhanuddin Ulakan (1646–1699 M) dari Aceh. Di Aceh, ia berguru tarekat ini kepada Syekh Abdur Rauf Al-Sinkili (1615–1693 M).9 Syekh Burhanuddin sepertinya sangat mengenal karakter nagari-nya, sehingga penyampaian Tarekat Syattariyah yang memadukan antara ajaran agama dan tradisi lokal dapat diterima masyarakat setempat dengan sikap damai. Ia menerapkan pola dakwah yang dilakukan pendiri Tarekat Syattariyah, Syekh ‗Abd Allāh alShattār (w.890 H/1485 M). Titik tekan dakwah yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan (1646 M–1699 M) di Minangkabau adalah pada upaya meningkatkan moral dan spiritual masyarakat Minang melalui berbagai ajaran Islam. Hanya saja, sudah menjadi tradisi bahwa penyebaran tarekat dalam tradisi dan agama lokal dilakukan secara akomodatif, yaitu menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat, sehingga, Islam yang lahir dan berkembang di Minangkabau pada abad ke-17 adalah Islam yang bersifat sinkretik, yang saat itu tengah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dan ritual Hindu.10 Ajaran pokok yang dikembangkan dalam Tarekat Syattariyah adalah tentang ketuhanan dan hubungannya dengan alam, yang biasa disebut wahdat al-wujūd, dengan konsep ‗martabat tujuh‘. Akan tetapi, praktek tasawuf yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin adalah praktek tasawuf yang menekankan juga akan pentingnya syariah, sehingga tidak ada indikasi yang mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terjadi di Aceh pada abad ke-17. Hingga awal abad ke-19, pengaruh ajaran Tarekat Syattariyah ini sangat kuat mengakar pada masyarakat pesisir hubungan antara Syekh dan murid melalui konsep ijāzah dan silsilah (SJARIFOEDIN, 2011:345). 9. Nama lengkapnya ‗Abd Al-Ra‘ûf b. ‗Alî Al-Jâwî Al-Fansûrî Al-Sinkilî. Ia merupakan salah satu ulama terkemuka di Aceh pada abad ke-17. Dilahirkan di Singkel, Aceh, sekitar 1024 H/1615 M dan meninggal dunia sekitar 1105 H/1693 M, dikuburkan di dekat kuala atau mulut Sungai Aceh. Menurut Hasjmi, nenek moyang Al-Sinkilî berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13, lalu menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di pantai Sumatera Barat. Nama Singkel dinisbahkah pada daerah kelahirannya itu. Lihat M.D. MOHAMAD (peny.), 1987: 72–73; FATHURAHMAN, 1999; Azra, 2005: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar pembaharuan Islam Indonesia, h. 228-258. 10. Tentang perkembangan Tarekat Syattariyah di Minangkabau lihat FATHURAHMAN, 2008: 28–32; SURYADI, 2002: 86–94. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
91
RIZQI HANDAYANI
(SURYADI, 2002: 151–152). Dengan beralihnya fungsi surau pada saat itu, maka lembaga tarekat pun kehilangan pengaruhnya. Yang masih tersisa dari Tarekat Syattariyah adalah tradisi basapa dan ziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan, yang dimaksudkan untuk memperingati wafatnya Syekh Burhanuddin Ulakan pada hari Rabu, 10 Safar 1111 H. Basapa dan ziarah ini dilakukan sebagai simbol keterhubungan silsilah para murid Tarekat Syattariyah dengan guru-gurunya. Untuk menjamin keberlangsungan tarekat ini, maka guru (khalifah) di Tanjung Medan Ulakan, yaitu pusat Tarekat Syattariyah, melakukan kunjungan ke sentra tarekat di daerah-daerah, seperti Surau Calau Muaro Sijunjung, Surau di Taluk Kuantan, Surau di Lubuk Jambi Singkarak, dan daerah lainnya, yang dilanjutkan dengan pengajian dan pembai‟atan anggota baru, serta memperkuat bai‟at anggota lama (SAMAD: 135–136) Selain tradisi basapa dan ziarah, kegemilangan islamisasi yang terjadi di surau-surau melalui lembaga tarekat di Minangkabau dapat terlihat melalui jejak-jejaknya yang tertinggal di sebagian surau yang masih berdiri, salah satunya surau Calau. Di sana dapat ditemukan naskah-naskah keagamaan dengan topik yang beraneka ragam. Salah satunya adalah catatan perjalanan haji yang dituliskan oleh salah seorang murid Tarekat Syattariyah ketika ia berada di Ulakan. Yang menarik adalah bahwa catatan haji tersebut merupakan salinan dari naskah Syair Mekah Madinah yang ditulis oleh Syeikh Daud, pengembang Tarekat Naqsabandiyah, sementara Syekh Daud merupakan tokoh reformis bermazhab Hanafi yang menentang paham wahdat al-wujud, sebagaimana diajarkan oleh para ulama-ulama konservatif bermazhab Syafi‘i (Tarekat Syattariyah) di Surau Ulakan, juga Surau Calau.11 Menurut Suryadi, salah satu alasan kepergian Syekh Daud untuk merantau ke Mekah adalah akibat dari persetegangan dan kekalahannya dalam sebuah perdebatan agama dengan Syekh Lubuk Ipuh. Dikarenakan banyaknya perbedaan pandangan terhadap paham agama dan semakin kuatnya tekanan psikologis yang menimpa Syekh Daud, maka berangkatlah ia ke Mekah bermaksud untuk menimba ilmu 11. Terkait dengan pernyataan bahwa Syekh Daud Sunur bermazhab Hanafi, BRAGINSKY mengamati bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar. Hal ini terlihat dari pernyataan Syekh Daud dalam Syair Mekah dan Madinah yang berbunyi ―Imam Syafii Mazhab Kita (lihat halaman 16, baris kedua dari bawah, dalam E.g. in. Leiden 891 F 30)‖, menurut BRAGINSKY, Syekh Daud merupakan Syekh Mazhab Naqsabandiyah, adapun perpindahan mazhabnya terjadi ketika ia belajar di Mekah, setelah mengalami kekalahan berargumentasi dengan Syekh Sattariyah, yaitu Syekh Lubuk Ipuh. Lih. WIERINGA, 2000 :190. 92
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
lebih dalam lagi. Di saat berada di Mekah inilah, Syair Mekah Madinah ditulis dan diselesaikannya.12 Terlepas dari hal-hal yang melatari terciptanya Syair Mekah Madinah, pada abad ke-19 syair ini menjadi semacam peta atau guide book (semacam buku manasik haji) bagi calon haji Jawah yang akan menunaikan haji. Melalui syair ini, calon haji mendapatkan gambaran tentang keindahan dan keberkahan yang didapatkan di negeri Mekah, sehingga syair ini mampu membius para muslim Nusantara untuk menunaikan haji, walaupun dengan persiapan yang terbatas. Mengenai kepopuleran syair ini, di Singapura, sebuah kota pelabuhan penting untuk embarkasi jemaah haji Nusantara yang akan bertolak ke Jeddah, syair ini dicetak beberapa kali. Tampaknya penerbitpenerbit sadar betul akan kegunaan syair ini, sehingga dalam kurun waktu 20 tahun, Syair Mekah Madinah telah dicetak secara litografis sebanyak enam kali (WIERINGA, 2000: 175). Fenomena ini menggambarkan bahwa secara ekonomis syair ini telah terlepas dari muatan ideologis pengarang dan menjadi konsumsi publik secara umum, sehingga ketegangan-ketegangan yang melatarbelakangi lahirnya syair ini tidak lagi terlihat. Tentang Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj merupakan salah satu teks dalam kumpulan naskah dengan nomor CL_SJJ_2011_70.13 Naskah ini merupakan salah satu naskah koleksi Surau Calau, Sijunjung, Sumatera Barat yang diidentifikasi oleh tim peneliti dari Puitika Universitas Andalas dan MANASSA pada tahun 2011. Naskah ini memuat 4 teks, yaitu kumpulan doa-doa dan ilmu hikmat, Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj, Syair Qushashī, dan Risalah Raja Mekah dan Madinah. Berdasarkan kolofan yang ada, syair ini disalin oleh salah seorang murid di Ulakan.14 Teks Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj sendiri merupakan 12. Mengenai waktu keberangkatan Syekh Daud ke Mekah, hingga saat ini tidak ada kejelasan, hanya saja Arnold Snackey mengatakan bahwa peristiwa perdebatan antara Syekh Daud dan Syekh Lubuk Ipuh terjadi sebelum tahun 1838, dengan demikian ketika itu usia Syekh Daud tidak lebih dari 30-an tahun. Pendapat ini dibantah oleh Suryadi, menurutnya keberadaan Syekh Daud di Mekah lebih awal dari perkiraan Snackey. Berdasarkan kolofon pada Syair Rukun Haji, menurutnya pada akhir dasawarsa 20-an abad ke-19, Syekh Daud telah berada di sana. Mengenai perdebatan ini lihat: WIERINGA, 2000: 148–151. 13. Kode naskah diberikan oleh tim peneliti. 14. Terdapat kolofon yang berbunyi: ―Wa Allahu a‘lam tamat surat nazam tatkala diam di Ulakan‖, Syair Fī Kaifiyah al-Ḥajj, h. 16. Informasi ini menggambarkan bahwa penyalin merupakan salah seorang murid yang pernah mengaji dan menuntut ilmu di Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
93
RIZQI HANDAYANI
versi pendek dari Syair Mekah Madinah15 yang ditulis oleh Syekh Daud Sunur ketika ia berada di Mekah (ditulis sekitar tahun 1835). Menurut Suryadi, yang pernah meneliti syair ini, Syair Mekah Madinah ini terdiri atas lima fasal. Fasal pertama terdiri atas 155 bait, kedua Fasl Fī Kifāyat al-Ḥajj (bait 156-221),16 ketiga Far‟ fī Fasā‟il fī balad Makkah17 (bait 222–273), keempat Fī Tālib al-„ilm (bait 274–342), dan fasal kelima Fī „l-ziyārah ilā Madīnat al-rasūl (bait 343–412).18 Jadi, keseluruhan dari syair ini berjumlah 412 bait, sedangkan teks CL_SJJ_2011_70B hanya memuat 117 bait, yaitu bait ke-156 hingga ke-273. Berdasarkan teks versi lengkapnya, syair Fasal fī Kaifiyat al-Ḥajj merupakan fasal kedua dan ketiga dari keseluruhan syair yang terdiri dari lima fasal, sedangkan dalam naskah CL_SJJ_2011_70, syair ini adalah teks kedua dari keseluruhan naskah. Naskah ini diakses oleh tim peneliti dalam keadaan yang mulai rusak dan lapuk. Di beberapa bagian pinggir kertas sudah banyak yang rusak karena termakan rayap, terutama beberapa halaman di muka dan belakang. Naskah ditemukan tidak memiliki sampul. Kertasnya pun sudah berwarna kecoklatan, dengan tinta hitam yang korosi. Walaupun kondisi naskah sudah memburuk, akan tetapi, teks masih dapat dibaca dengan baik. Teks yang ditulis di atas kertas Eropa ini, berukuran 17 × 11 cm, sedangkan badan teks sendiri berukuran 13 × 7 cm. Teks ini berjumlah 17 halaman, yaitu halaman 17(r) sampai 33(r). Penomoran halaman dilakukan oleh penulis artikel ini, dan dihitung dari halaman awal Surau Ulakan, yang merupakan pusat perkembangan tarekat Syattariyah di Minangkabau sejak abad ke-17. 15. Naskah Syair Mekah Madinah ini terdapat di beberapa tempat, salah satunya berjudul Inilah Syair Negeri Mekah dan Madinah yang terlalu indah-indah Ceritanya, tersimpan di Universiteit Bibliotheek Leiden (RUL 891 F 30), berupa salinan litografi yang diterbitkan oleh Ofis Cap Haji Sirat Pres(s) di Singapura pada tahun 1885; edisi 1886 (RUL 891 F 42) yang diterbitkan oleh Penerbit Ibrahim, Kampung Gelam, Jalan North Bridge Road, rumah nombor 420, Singapura, naskah ini juga tersimpan di Universiteit Bibliotheek Leiden; dan edisi 1889 (PNI XXXII 672) diterbitkan oleh Penerbit Haji Muhammad Siddik, Singapura, saat ini naskah tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Periksa SURYADI, 2002: 158–160. 16. Mengenai judul fasal kedua ini terdapat perbedaan dengan manuskrip yang penulis teliti. Dalam http://mcp.anu.edu.au/N/Mekah_bib.html, fasal kedua ini berjudul Faṣl Fī Kifāyat al-Ḥajj, sedangkan dalam teks CL_SJJ_2011_70b tertulis Faṣl Fī Kaifiyat alḤajj. 17. Fasal ketiga ini, di dalam teks CL_SJJ_2011_70b berjudul Far‟un fī Faḍāil Makah Negeri Mekah Bilād al-Karīm. 18. Untuk deskripsi naskah Syair Mekah Madinah karya Syekh Daud Sunur lebih lanjut, lihat: http://mcp.anu.edu.au/N/Mekah_bib.html 94
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
naskah. Tidak terdapat halaman yang kosong, tidak terdapat penomoran halaman dan alihan pada setiap halamannya, tidak terdapat juga ilustrasi dan iluminasi yang menghiasi teks. Setiap halaman terdiri atas 15 baris. Ditulis dengan tinta hitam dan merah, tinta merah hanya digunakan sebagai rubrikasi, yang bertanda akhir baris.19 Teks yang ditulis dalam aksara Jawi ini berbahasa Melayu dan berbentuk puisi, yang terdiri atas 2, 3 dan 4 baris dalam setiap baitnya. Secara keseluruhan teks ini berisi tentang prosesi ritual berhaji dan keutamaan negeri Mekah. Di dalamnya dijelaskan secara berurut ritual haji, tempat-tempat yang dikunjungi, yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan selama perjalanan haji, keistimewaan negeri Mekah, tempattempat yang istimewa di negeri Mekah dan lain sebagainya. Akan tetapi menurut penulis, teks ini lebih mirip catatan perjalanan haji seorang muslim Minangkabau, karena disebutkan dan dijelaskan beberapa hal menarik yang dilihat dan ditemukan penulis teks selama perjalanannya di Mekah, seperti: nama-nama tempat, karakteristik suku dan bangsa, aktifitas-aktifitas yang terjadi, dan keutamaan-keutamaan yang hendaknya dilakukan oleh jamaah haji selama ibadah haji. Mekah, sebagaimana yang digambarkan dalam teks, menjadi pusat kosmis dan interaksi global, tempat masyarakat dunia barat dan timur bertemu untuk beribadah, menuntut ilmu dan melakukan perdagangan global. Bahkan, dalam beberapa halaman terakhir (halaman 25r–33r), dijelaskan tentang keistimewaan negeri Mekah bagi umat muslim dunia. Haji dalam Tradisi Rantau Muslim Minangkabau Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu suku di Nusantara yang dikenal dengan keahlian berdagang dan prestasi intelektualnya. Hingga kini masyarakat Minang ditandai dengan tiga ciri besar, yaitu kepenganutan yang sangat kuat terhadap agama Islam, kepatuhan terhadap sistem matrilineal, dan kecenderungan mereka yang sangat kuat untuk migrasi atau yang lebih dikenal dengan istilah ‗merantau‘(KATO, 1982: 11). Poin yang disebut belakangan lahir dari konsep Budaya Alam Minangkabau yang membagi wilayah alam Minangkabau ke dalam dua bagian, yaitu wilayah inti (darek)20 dan 19. Walaupun pada kenyataannya rubrikasi yang ditandai dengan tinta merah ini juga tidak tepat menunjukkan pada akhir baris pada syair ini. 20. Darek adalah dataran tinggi yang dikitari tiga gunung, yaitu Gunung Merapi, Gunung Sago, dan Gunung Singgalang. Darek juga merupakan tanah asal orang Minangkabau yang menurut legenda merupakan keturunan dari Raja Iskandar Zulkarnain, dipercayai tiba dengan sebuah perahu di Gunung Merapi ketika puncaknya masih sebesar telur dan daratan di sekitarnya masih berada di bawah laut. Sedangkan Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
95
RIZQI HANDAYANI
daerah luar (rantau). Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan, sedangkan merantau dengan definisinya yang sederhana adalah meninggalkan kampung halaman atau meninggalkan tanah kelahiran (nagari) atau migrasi. Merantau yang terjadi di Minangkabau adalah pola khusus dari migrasi yang terjadi dalam budaya tertentu.21 Dalam hal ini, penulis menggunakan teori migrasi ‗merantau‘, sebagaimana yang disampaikan oleh Muchtar Naim, yaitu suatu tipe migrasi yang mempergunakan daerah destinasi (rantau) sebagai alat (dan bukan tujuan itu sendiri) untuk menjamin, memperbaiki dan memperkokoh kedudukan seseorang di daerah asalnya. Konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau dalam konteks Minangkabau ditujukan untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta atau penghidupan (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari pengalaman.22 Meskipun tradisi merantau ini telah mapan,23 agaknya perlu dicermati juga faktor-faktor yang melatarbelakangi tradisi ini terus berkelanjutan. Menurut penelitian yang dilakukan Mochtar Naim, faktor pendidikan dan ekonomi merupakan variabel yang paling dominan bagi masyarakat Minang untuk merantau. Hal ini disebabkan oleh pola pandang masyarakat setempat dalam menempatkan ilmu pengetahuan. Mengingat pada saat itu di Minangkabau belum banyak tersedia fasilitas pendidikan formal, para pemuda Minang mencari pendidikan ke luar daerah, bahkan ke luar negeri. Dalam hal ini, sejak masuknya Islam di wilayah ini, Mekah menjadi kota tujuan para perantau di Minangkabau. Faktor kedua yang mendorong maraknya kegiatan merantau di Minang adalah faktor ekonomi Ketimpangan antara ketersediaan sarana rantau adalah istilah yang diterapkan kepada seluruh daerah perbatasan yang meliputi pemukiman Minangkabau, tetapi tidak benar-benar dianggap pemukiman Minangkabau. Rantau juga diterapkan kepada daerah-daerah di luar Alam Minangkabau, tetapi secara sosio-kultural dipengaruhi Minangkabau. Lih. TSUYOSHI KATO, 2005: 1; AZRA, 2003: 35–36. 21. KATO, 2005: 11-13; baca juga NAIM, 1984: 2–3. 22. NAIM, 1984: 3 & 295; SJARIFOEDIN, 2011, 511. 23. Tradisi migrasi atau merantau ini telah dilakukan oleh masyarakat Minangkabau sejak abad ke-7, ketika para pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan kerajaan Melayu (SJARIFOEDIN, 2011: 514). 96
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
kelangsungan hidup dengan jumlah penduduk di wilayah ini yang kian meningkat. Masyarakat Minang sangat menggantungkan hidupnya dari tanah pertanian. Lambat laun, tanah pertanian tidak lagi memadai untuk memenuhi hajat orang banyak, ditambah lagi dengan tekanan ekonomi yang kian kuat. Di samping itu, kaum laki-laki di wilayah ini tidak memiliki hak atas tanah, karena tanah merupakan harta pusaka yang kendalinya dipegang oleh perempuan. Sampai di sini, sepertinya Mochtar Naim lupa menyentuh persoalan sistem matrilineal yang berlaku dalam masyarakat ini. Tsuyoshi Kato melengkapinya dengan melihat adanya hubungan sebab akibat yang terjadi antara tradisi merantau dan sistem matrilineal di Minangkabau. Ia mengingatkan kembali kepada empat ciri-ciri utama yang berlaku dalam sistem matrilineal, yaitu keturunan dan pembentukan kelompok keturunan diatur dari garis ibu, kelompok keturunan dan yang memiliki harta bersama dan bekerja sama, pola tempat tinggal yang bercorak dwilokal, dan kekuasaan yang terletak di tangan mamak.24 Berdasarkan keempat ciri tersebut, sistem matrilineal pada akhirnya mempersempit akses kaum laki-laki untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Menanggapi keadaan tersebutlah, maka pemuda Minang merantau, dengan tujuan memperbaiki penghidupan mereka, baik melalui berdagang atau pun usaha lainnya. Dengan demikian, terdapat tiga faktor utama dari berlangsungnya tradisi merantau di Minangkabau. Kedatangan Islam dalam hal ini memberikan dimensi baru bagi berkembangnya tradisi merantau ini, yaitu untuk ibadah haji. Haji bagi umat muslim diyakini sebagai perjalanan ritual yang sarat akan nilai-nilai moral. Selain itu, haji juga dijadikan sebagai sarana meraih legitimasi politik dan keilmuan di hadapan masyarakat. Masyarakat menganggap ilmu pengetahuan yang diperoleh di kota Mekah bernilai lebih tinggi dibandingkan ilmu yang diperoleh di pusat-pusat keilmuan lokal, sehingga masyarakat memberikan perlakuan yang lebih terhormat bagi ulama yang telah menunaikan ibadah haji dan belajar di Mekah dan Madinah. Bersamaan dengan itu, harga diri seseorang akan meningkat jika telah melaksanakan haji dan mendalami ilmu di Mekah. sehingga ketika Islam masuk ke Minangkabau, maka faktor dan tujuan merantau tidak lagi meliputi beberapa hal di atas, akan tetapi menjadi bertambah yaitu untuk ibadah haji. Jika melihat kepada batasan yang diberikan Mochtar Naim mengenai merantau, tentu saja haji merupakan bagian dari tradisi merantau 24.
KATO, 2005: 214.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
97
RIZQI HANDAYANI
(voluntary migration), karena haji merupakan kegiatan migrasi yang dilakukan dengan kemauan sendiri dan dalam jangka waktu tertentu, serta bertujuan untuk mencari pengalaman spiritual maupun menuntut ilmu. Terkadang, oleh muslim Nusantara, ibadah haji dilakukan bersamaan dengan mendalami ilmu-ilmu keagamaan di sana. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian ulama-ulama di Minangkabau di akhir abad ke-18, yaitu Haji Miskin, Haji Abdur Rahman, Haji Muhammad Arif, menyusul beberapa ulama muda di akhir abad ke-19, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (18601916), Syekh Muhammad Saad al-Khalidiy Mungka, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari (1869-1956), Syekh Muhammad Amrullah (18391907), Syekh Abdul Karim Amrullah (1879-1945), dan lain-lain. Meskipun tidak diketahui secara pasti riwayat kehidupan selama di Mekah dan masa kepergian ketiga ulama yang disebutkan pertama di atas, akan tetapi diketahui pada 1802 mereka kembali dari Mekah ke Minangkabau. Sepulangnya dari Mekah, mereka melakukan pembaharuan secara besar-besaran terhadap ajaran Islam yang telah berkembang pada saat itu melalui gerakan Paderi. Memang setelah abad ke-17, kepergian para ulama Minangkabau ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekah maupun Madinah semakin meningkat. Islam menjadikan Haramain, Mekah dan Madinah, sebagai pusat kosmis bagi masyarakat muslim Minangkabau, dan muslim Nusantara pada umumnya. Setidaknya keistimewaan negeri Mekah tergambar dalam Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj berikut: Far‟un fī Faḍāil Makah Negeri Mekah Bilād al-Karīm Turun dalamnya Quran al-„Aẓīm Atas Muhammad rasul yang yatim Ibn Abdullah bangsanya Hasyim Asal dunia ini negeri Mekah Lebih mulianya sebab ka‟bah Nabi Adam dijadikan Allah Dua ribu tahun ka‟bah lah sudah Di mana negeri yang tuan lihat Kebanyakkan Nabi sana bertempat Keliling ka‟bah tempat keramat Tiga ratus nabi sana dapat
Dengan keutamaan-keutamaan yang dimiliki kota Mekah, maka 98
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
Mekah menjadi kota tujuan utama bagi perantau muslim Nusantara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa haji, sebagai salah satu bentuk migrasi, mempunyai fungsi yang bermacam-macam, di antaranya ibadah, legitimasi politik, menuntut ilmu, perdagangan dan ziarah. Menurut van Bruinessen, di awal abad ke-17, haji menjadi sarana mencari legitimasi politik bagi raja-raja di Jawa untuk mendapatkan gelar ‗sultan‘ dari Mekah, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Raja Banten dan Raja Mataram. Pada era tersebut, para raja di Jawa beranggapan bahwa gelar ‗sultan‘ tersebut dapat memberi efek supranatural bagi kekuasaan mereka.25 Selain sebagai sarana legitimasi politik, haji juga mempunyai implikasi ibadah dan pencarian ilmu. Dalam salah satu syairnya, Hamzah Fansuri berbicara mengenai haji. Ibadah haji menurutnya merupakan sarana untuk menemukan Tuhan. Tentu saja, yang dimaksudkan oleh Hamzah Fansuri dalam hal ini bukan sekedar perjalanan lahir semata, akan tetapi juga perjalanan rohani. Bagi masyarakat muslim Nusantara selanjutnya, selain untuk ibadah, haji juga dimaksudkan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman.26 Hal ini dapat kita lihat dari terhubungnya jaringan intelektual ulama-ulama Nusantara dengan Haramain.27 Tentu saja, perjalanan haji masyarakat muslim yang dilakukan oleh orang-orang Minangkabau selalu dihubungkan oleh ketiga karakteristik yang melekat pada masyarakat tersebut, yaitu perdagangan, menuntut ilmu dan ibadah. Gambaran perjalanan haji sebagaimana tersebut dapat dijumpai dalam Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj. Perjalanan Haji dalam Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj adalah salah satu naskah yang ditemukan di Surau Calau, disalin oleh salah seorang murid di Ulakan dari sebuah Syair karya Syekh Daud Sunur yang berjudul Syair Mekah Madinah. Hal ini mengindikasikan bahwa keterhubungan jaringan keilmuan yang terjadi antar surau di Minangkabau pada saat itu masih terjalin dengan sangat baik. Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj ini juga mengindikasikan bahwa Tarekat Syattariyah ikut berkontribusi dalam perkembangan Islam di wilayah ini. Keberadaan teks ini menjadi bukti dari kemapanan Tarekat 25. VAN BRUINESSEN, dalam DICK DOUWES DAN NICO KAPTEIN, 1997: 122. 26. VAN BRUINESSEN dalam DOUWES DAN NICO KAPTEIN, 1997: 124. 27. Mengenai jaringan intelektual ulama-ulama Nusantara dengan Haramain, baca AZRA, 2005. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
99
RIZQI HANDAYANI
Syattariyah bersamaan dengan tarekat-tarekat lainnya yang berkembang di Minangkabau. Salah satu bentuk nyata dari kemapanan ajaran Islam di wilayah ini adalah maraknya perjalanan haji yang dilakukan oleh muslim Minangkabau. Syair ini ikut menguatkan pendapat beberapa sarjana tentang kehadiran muslim Nusantara di Mekah, karena hingga kini, bukti mengenai kehadiran umat muslim Nusantara di Mekah untuk menunaikan ibadah haji belum banyak ditemukan. Laporan paling awal mengenai kehadiran jamaah haji dari Nusantara di Mekah dicatat oleh Di Verthema, yang mengamati banyaknya jamaah haji yang berasal dari kepulauan Nusantara di awal abad ke-16. Akan tetapi, Schrieke membantah pendapatnya, yang mengutip catatan al-Idrîsî. Ia menyebutkan bahwa pada awal abad ke-12 sudah terdapat kapal-kapal dari Nusantara yang secara rutin membawa besi dari pantai Sofala, Afrika Timur. Bahkan dalam Rihlah „Ibn Bathûthah, pada 747 H/1364 M, ia menemukan orang-orang Jawah di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, Pantai Malabar.28 Sejumlah data statistik di masa kolonial memberikan informasi. Dari catatan tentang keberangkatan orang Nusantara yang didapatkan dari laporan V.O.C. pada tahun 1664, diketahui bahwa atas permintaan Sultan Banten, seorang muslim Nusantara dizinkan untuk melakukan perjalanan ke Sourate. Pada 1667, atas permintaan pangeran Banten, sejumlah jamaah haji Nusantara diperbolehkan untuk melakukan ibadah haji. Sejak pengawasan haji dipegang oleh V.O.C. maka jumlah jemaah haji dari Nusantara meningkat. Berdasarkan data statistik yang dikutip oleh Jacob Vredenbregt bahwa pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jamaah haji dari Nusantara mencapai 10 hingga 20 persen dari jumlah jamaah haji yang berasal dari seluruh dunia.29 Angka yang fantastis ini menandakan bahwa ibadah haji bagi umat muslim Nusantara menduduki posisi yang sangat penting di antara ibadahibadah lainnya. Bahkan, bukan saja ibadah hajinya yang menjadi penting, akan tetapi Mekah, sebagai kota di mana ka‘bah berdiri dan menjadi kiblat bagi seluruh umat muslim dunia, bagi sebagian umat muslim Nusantara menjadi pusat kosmis, sehingga merupakan suatu keistimewaan bagi umat muslim dapat mengunjungi dan menuntut ilmu di kota tersebut.30 28. AZRA, 2005: 69–70. 29. VREDENBREGT, 1997: 5, 47-52 dan 57–58. 30. VAN BRUINESSEN, dalam DICK DOUWES DAN NICO KAPTEIN, 1997: 121–122; AZRA, 2005: 71. 100
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
Beberapa catatan para sarjana Timur dan Barat mengenai keberadaan muslim Nusantara di Mekah tersebut tentu saja memberikan informasi yang penting bagi kita, akan tetapi bukti-bukti berupa catatan yang lahir dari tangan masyarakat muslim Nusantara sendiri tidak pernah ditemukan. Memang beberapa hikayat Melayu secara implisit menggambarkan beberapa adegan perjalanan haji. Seperti Hikayat Hang Tuah misalnya, yang mengambil setting pada abad ke-14 dan ke-15. Dalam salah satu adegannya, diceritakan perjalanan Hang Tuah ke Mekah. Perjalanan yang dilakukan Hang Tuah tersebut dalam rangka menunaikan tugas dari raja Melaka untuk menemui Sultan Mardha Syah Alloddin Rum. Dalam hikayat tersebut, Hang Tuah diceritakan berada di Mekah dan Madinah pada sekitar 886 H/1481 M, ketika Mekah dan Madinah dipimpin oleh dua anak dari Zainal Abidin. Hang Tuah melakukan ibadah haji bersama kafilah Malik ke Mekah, diceritakan pula bahwa Hang Tuah melihat ka‘bah dan berziarah ke kuburan nabi Muhammad, sehingga dalam hikayat tersebut Hang Tuah mampu melukiskan tentang keagungan ka‘bah dan kuburan nabi Muhammad. Bahkan sebelum meninggalkan Mekah, diceritakan pula ia sempat menyaksikan kuburan Siti Hawa di Jedah.31 Baru setelah abad ke-17 sejumlah kecil manuskrip mengenai catatan perjalanan haji yang ditulis oleh muslim Nusantara satu persatu ditemukan. Sebut saja karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang berjudul Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah.32 Dalam kisah perjalanannya menuju Mekah, Abdullah melukiskan suka dukanya selama perjalanan sejak bertolak dari Singapura sampai ke Pelabuhan Jeddah. Ia menggambarkan pemandangan yang dilihatnya, seperti pemandangan pulau Abdul Kuri, Tanah Aden, pulau di Bab Mandep, pulau Jabal Sawabi‘dan juga termasuk kisahnya ketika melihat kuburan Siti Hawa di Jedah. Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj atau Syair Mekah Madinah, dalam versi lengkapnya, merupakan manuskrip perjalanan haji yang berbeda dengan manuskrip-manuskrip sebelumnya. Teks ini ditulis dalam bentuk syair 31. MATHESON DAN A.C. MILNER, 1984: 4 & 6. 32. Berdasarkan kolofon yang terdapat pada MS. W125, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menulis Kisah Pelayarannya dari Singapura ke Mekah pada tahun 1270 H/1854 M. Naskah ini berupa prosa, terdiri dari dua edisi, yaitu edisi Kassim Ahmad dan Klinkert 63. Naskah edisi Kassim Amin merupakan transkripsi Dr. P. Voorhoeve yang didapatkannya dari Prof. R. Roolvink. Sedangkan edisi Klinkert 63 merupakan naskah yang didapatkan Klinkert dari Keasberry (majikan Abdullah yang kenal dengan Klinkert), lalu ia membuat salinannya berdasarkan pada manuskrip asli yang ada di Singapura. Informasi lebih lengkap dan jelas baca SWEENEY, 2005: 256–299. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
101
RIZQI HANDAYANI
dan bersifat memoar, selain menggambarkan kesukacitaan selama perjalanan, juga memberikan gambaran antropologis terhadap orangorang yang melakukan haji di kota Mekah. Dari pilihan bahasanya, terlihat jelas sekali teks ini dituliskan oleh seorang pedagang, yang sangat terkesan dengan benda-benda, pemandangan dan pengalaman spiritual yang ditemukannya di sana. Hal tersebut terlihat dari kesan yang ditimbulkan ketika menggambarkan suasana negeri Mekah di awal-awal syair. Dengar olehmu handai dan taulan Alam peperangan tuan tanyakan Sukarlah aku akan mengatakan Dua tiga ratus ada bilang[an] Jikalau tua orang bedagang Heran segala tuan tercengang /4/ Melihat askar memainkan pedang Atas kuda rasakan terbang
Pada awal syair, digambarkan tentang orang-orang dari berbagai negara, seperti orang Madinah, Syam, Mesir, Cina, Roma, Basrah, Kufah, Bagdad dan Yaman. Masing-masing bangsa menghadiri perayaan Mekah ini dengan karakteristik dan atributnya masing-masing. Misalnya, orang Madinah dan Syam memasuki kota Mekah dengan mengendarai unta. Perbedaan orang Madinah dan Syam dapat dilihat dari warna untanya, yaitu orang Madinah mengendarai unta berbulu merah, sedangkan orang Syam mengendarai unta berbulu hitam. Orang Syam juga dikenali dari aksesori yang dikenakan pada kepalanya, berupa kopiah panjang, sedangkan orang Mesir biasa menggunakan sorban yang besar. Selain aksesori di kepalanya, orang Syam juga dikenali dari bedil dan pedangnya yang selalu dibawa ke mana-mana. Hal ini menandakan bahwa orang Syam sangat masyhur sebagai bangsa yang suka berperang pada saat itu. Orang Mesir dalam syair ini digambarkan sebagai bangsa yang kaya raya dan pemurah. Kedatangan orang Mesir ke Mekah pun dengan mengendarai jenis unta yang lebih baik. Unta kepunyaan orang Mesir adalah unta yang berbadan besar dengan bulu-bulu yang panjang menjulur. Sebagai perlambang kekayaan, maka orang Mesir memakaikan seperangkat pakaian emas kepada salah satu unta yang mereka miliki. Sepertinya, bangsa Mesir dan Syam sejak dulu sudah dikenal akan kedermawanannya oleh masyarakat Mekah. Jika kedua 102
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
bangsa ini mendatangi Mekah, maka seluruh masyarakat di Mekah bersuka ria, karena kedua bangsa ini sangat suka memberikan sedekah kepada masyarakat setempat. Digambarkan pula dalam syair ini suatu pemandangan yang sangat ramai dan meriah, yaitu suatu keadaan ketika semua jamaah haji telah berkumpul di Mekah, maka raja Mekah menyambut mereka di tengah padang. Upacara penyambutan ditandai dengan arak-arakan yang sangat ramai dan meriah, diiringi dengan bunyi-bunyian dari sirine dan bedil (senapan). Pada esok hari syarif Mekah Keluar ke padang disongsong kafilah Rakyatnya banyak hulubalang yang gagah Bagai berperang tidaklah ubah Bertemulah Raja di tengah padang Lepas meriam berbilang-bilang Bedil yang kecil merendang kajang (…)
Bagi beberapa bangsa, mendatangi Mekah bukan semata-mata ditujukan untuk beribadah saja, akan tetapi juga mempererat hubungan diplomatik. Sebagaimana yang terlihat dari hubungan Raja Mekah dan Raja Rum (Roma) pada syair ini. Hal tersebut tergambar dari pemberian cindera mata dari Raja Rum kepada Raja Mekah berupa kain tenun pilihan, dengan benang yang sangat halus, dan kuda berpelana merah emas, beralaskan permadani sutra. Sudah bertemu diberinya sisa lain Mana yang baik warnanya kain Benangnya halus tenunnya licin Karunia raja /2/ Rum pun pakirim Ada yang lain punya sisa lainnya Kuda yang merah emas pelananya Permadani sutra qasab takhtanya Kiriman raja Rum pula adanya
Demikianlah beberapa pemandangan dan kesan yang terlukis dalam syair ini selama perjalanan haji yang dilakukan oleh muslim Minangkabau. Gambaran ini akan dilanjutkan dengan prosesi haji yang dilakukan oleh jamaah haji seluruh dunia. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
103
RIZQI HANDAYANI
Prosesi Haji Sebagaimana prosesi haji pada umumnya, dalam naskah Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj dicatatkan bahwa pada tanggal 2 hingga 6 Dzulhijah merupakan masa kedatangan umat muslim ke Mekah. Prosesi haji tepatnya dimulai pada tanggal 7 Dzulhijah di Miqat. Pada hari itu khutbah33 dibacakan, dan umat muslim melaksanakan ihram, yaitu keadaan seseorang yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji dan atau umrah. Sebagai pertanda ihram telah dilaksanakan adalah bagi laki-laki mengenakan dua helai kain putih yang tidak berjahit, yang dipakai untuk bagian bawah menutup aurat, dan kain satunya lagi diselendangkan, sedangkan bagi perempuan menutup semua badannya kecuali muka dan telapak tangan (seperti pakaian ketika sholat). Sebelum ihram disunahkan juga untuk mandi dan memakai wangiwangian, serta menggunakan kain yang berwarna putih untuk ihram.34 Prosesi haji dimulai di miqat. Menurut catatan Hurgronje, ada empat miqat yang menjadi batas antara haram dan profan, yang biasa dilalui oleh para jamaah haji, yaitu Zulhulaifah, Qarn, Juhfah dan Yalamlam. Keseluruhan miqat ini terletak di jalan-jalan besar sekitar Madinah, Nejd, Suriah dan Yaman.35 Dari miqat-miqat inilah para jamaah haji memulai prosesi haji di Mekah. Ketika jamaah haji telah melakukan ihram, maka para jamaah haji tersebut telah menjadi muhrim, artinya ia telah menerima sifat daerah suci yang akan mereka masuki. Sejak itu, maka jamaah haji harus berpantangan terhadap seluruh kesenangan duniawi, seperti hubungan seksual, berburu di tanah suci dan tempat yang tidak disucikan, menjaga dari perbuatan yang salah dan buruk. Aturan ini menurut Hurgronje adalah kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari bangsa Semit, sebagaimana dijelaskan dalam Perjanjian Lama. Kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan jarak antara makhluk dengan khaliknya, sehingga perjumpaan manusia terhadap Tuhan terasa semakin dekat. Di hari kedelapan Dzulhijjah, rombongan haji serentak bergerak menuju Mina. Mereka tiba sekitar waktu dhuha, sehingga di sana mereka dapat melaksanakan shalat wajib lima waktu. Mina seakan tumpah ruah, dipenuhi oleh manusia, maupun oleh kuda dan unta yang 33. Sampai tulisan ini selesai ditulis, peneliti tidak menemukan maksud mengenai khutbah apa yang dimaksud oleh penulis syair yang dibacakan di awal prosesi haji atau ketika ihram dimulai. 34. HURGRONJE, 1989: 42–43. 35. HURGRONJE, 1989: 43. 104
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
dijadikan kendaraan mereka. Di Mina, para jamaah menginap semalam, sehingga dapat melaksanakan shalat lima waktu dan shalat sunah lainnya, serta membaca talbiyah dan zikir. Baru pada keesokan pagi harinya, yaitu hari kesembilan Dzulhijjah. para jamaah haji melanjutkan perjalanannya ke Masy‟ar al-Ḥarām, yaitu suatu tempat di tengah Muzdalifah, di mana nabi Muhammad saw serta para khalifah melakukan wukuf. Sesampainya jamaah haji di sini, mereka segera mengerjakan shalat sunah dua rakaat dan juga membaca doa-doa, takbir, tahlil dan talbiyah, lalu melanjutkan perjalanan ke Masjid Namirah, yaitu salah satu masjid yang berada di Arafah. Sesampainya di mesjid ini, jamaah melaksanakan shalat zuhur dan ashar yang dijamak. Setelah sembahyang dilaksanakan, maka khatib membacakan khutbah, sebagaimana sebelumnya. Rangkaian ini dilanjutkan dengan perjalanan ke padang Arafah untuk melaksanakan wukuf. Biasanya orang-orang berebut untuk berada di puncak bukit Jabal ar-Raḥmah. Di bukit ini terdapat tugu besar berwarna putih, yang merupakan lambang atau ciri khas bagi Jabal Arafah. Sepertinya, pemandangan di padang Arafah memberikan kesan yang terlebih mendalam bagi penulis syair, yang digambarkan melalui baitbait di bawah ini: Arafah itu suatu padang Luasnya sayup mata memandang Penuh bersesak bayangnya orang Tujuh ratus lapis sekurang belalangan Jikalau kurang pada bilangan Turun malaikat disuruhkan Tuhan Pergi ke Arafah wākif di sanan Perjanjian ka‟bah dengan raḥman Jikalau dipandang kepada kemah Penuh bersesak bumi Arafah Berbilik upama rumah Puncaknya putih setengahnya merah
Setiap tahun di padang Arafah memang disesaki oleh jamaah haji dari berbagai negara untuk melakukan wukuf. Di sana para jamaah haji mendirikan kemah. Bagi jamaah haji yang berasal dari Nusantara, kemahnya berwarna putih dan merah, agaknya ini sebagai simbol dari bendera Indonesia. Bagi jamaah haji Syam, kemah didirikan di dekat masjid Khaif, kemahnya berwarna hitam, di puncaknya terlihat warna Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
105
RIZQI HANDAYANI
keperakan. Hamparan kemah yang terbentang sepanjang Arafah sangat indah menawan hati, sehingga membuat orang selalu teringat dan merasakan kerinduan yang sangat. Selama wukuf di Arafah, para jamaah haji tak henti-hentinya membaca talbiyah dan zikir untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam haji, yang dinamakan dengan haji mabrur. Haji yang mabrur ini adalah keadaan di mana segala dosa diampuni Allah, ―upama budak dalam hayunan‖. Ada perasaan haru yang tersirat dari setiap kata-kata yang dipilih dalam bait-bait syair ini. Rangkaian haji di Arafah diakhiri di waktu terbenamnya matahari. Para jamaah haji segera bersiap-siap untuk meninggalkan Arafah, dan bertolak kembali ke Muzdalifah untuk menginap. Saat itu, jamaah haji tiba di Muzdalifah pada tengah malam, disunahkan untuk menjamak ta‟khir salat magrib dan isya di sana. Sebelum bertolak ke Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah, disunahkan untuk melaksanakan salat subuh di sini. Pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah, seluruh jamaah haji bergegas menuju Mina untuk melakukan jumrah „aqabah. Untuk melontar jumrah, masing-masing jamaah haji mempersiapkan 7 butir batu kerikil kecil yang dipungutnya ketika berada di Muzdalifah, ataupun setibanya di Mina. Wahai sahabat kecil dan besar Hendak dengar akan aku berkhabar Esok harinya orang melontar Kemudian zuhur menjelang asar Jumrah al-ūlá36 mula pertamanya Tujuh kali lutar genap bilangnya Jumrah al-wusṭá37 kemudiannya Jumrat al- „aqabah38 kesudahannya Dua malam di Mina sempurna sudah Kembalilah orang pulang ke Mekah Sudah melutar jumrah al-„aqabah Orang berbalik bagai air bah39
36. Jumrah al-Ula disebut juga jumrah sugra yang berarti jumrah yang kecil, pada bekas tempat godaan setan yang terkecil (Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 421). 37. Jumrah pertengahan atau yang kedua (Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 421). 38. Jumrah aqabah disebut juga jumrah ketiga pada bekas tempat godaan setan yang terbesar. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 421). 39. Naskah : obah. 106
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
Setengah pula lakunya tuan Semalam lagi ia di sana Tiga malam di Mina genap bilangan Sudah khutbah pulang berjalan keduanya
Makna filosofi yang terkandung di balik kegiatan ini adalah perlawanan manusia terhadap setan yang selalu merongrong dan membelokan hati manusia ke arah kesesatan. Dengan melontar jumroh, maka berarti telah bertahallul awal, ditandai dengan memotong rambut atau mencukurnya bersih, disunahkan juga memakai wangi-wangian, dan membuka pakaian ihram serta menggantinya dengan pakaian biasa. Adapun hubungan suami-istri di sini masih diharamkan. Di Mina, jamaah haji menginap hingga hari ketiga belas Dzulhijjah. Setelah melontar jumrah, terdapat beberapa ibadah lainnya yang sunah dilaksanakan selama jamaah haji berada di Mina, yaitu berkurban. Mina, sebagaimana yang telah nabi lakukan, memang sebagai tempat penyembelihan hewan. Tak ayal lagi, beribu-ribu hewan kurban disembelih di Mina, untuk kemudian dibagikan kepada fakir miskin di sana. Betapa banyaknya daging kurban, hingga banyak yang terbuang, tak termakan menjadi mubazir. Ada yang menarik dari rangkaian prosesi haji selanjutnya, yaitu setelah terbenamnya matahari ketika penyembelihan kurban telah dilaksanakan. Syair ini menceritakan prosesi hiburan yang diisi oleh tarian dan pertunjukan kembang api oleh Raja Syam, Raja Mekah Madinah, Raja Turki, dan Raja Mesir secara bergantian, yang disaksikan oleh semua orang. Prosesi hiburan ini berakhir pada tengah malam. Keesokan harinya, prosesi haji kembali dilanjutkan. Yaitu jumrah alūlá/shugra40, jumrah al-wusṭá dan diakhiri oleh jumrah „aqabah/kubra. Setelah menginap selama 3 malam di Mina, para jamaah haji kembali ke Mekah untuk melaksanakan tawaf ifadhah (berarti ini haji tamattu‟), dan dilanjutkan dengan sa‟i antara Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Bersamaan dengan berakhirnya rangkaian haji ini maka dinamakan juga tahallul tsani, yaitu masa jamaah haji boleh melepaskan diri dari keadaan ihram setelah melakukan ketiga ibadah secara lengkap, yaitu: melontar jumrah aqabah, tawaf ifadah, dan sa‟i. Tawaf sekali lingkar ka‟bah Tujuh kali yang semuhanya sudah 40. Jumrah al-Ula disebut juga jumrah sugra yang berarti jumrah yang kecil, pada bekas tempat godaan setan yang terkecil. Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 421. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
107
RIZQI HANDAYANI
Dosalah // habis tubuh pun belah Kemudian tuan pun sa‟i antara safa dan marwah Tujuh kali berlari kesana sini Sekarang bernama tahalul tsani {2} Sudah sekarang Waṭí dan nikah tidak berlarang Hajilah tamam tidaklai kurang Dosa yang telah lalu habis terbuang Amir haji berhenti di luar Mekah Pada kubah Mahmud mendirikan kemah Hari jumat sembahyang ke Mekah Bongkar pula segala kafilah
Dengan ini pula, maka selesailah prosesi haji, saat itu seluruh jamaah haji bagai kembali kepada fitrah. Seluruh dosa diampuni. Keutamaan Kota Mekah Selain mengemukakan pengalaman lahir dan batinnya selama menunaikan haji di Mekah, penulis syair ini juga menyampaikan kesannya yang sangat mendalam terhadap kota Mekah yang dianggapnya memiliki berbagai keutamaan. Hal ini terlihat jelas dari ungkapan yang disampaikan dalam beberapa bait terakhir syair ini. Mekah sebagai kota yang penting bagi umat Muslim digambarkan dalam bait-bait syair dengan sangat rinci. Di antara alasan yang dikemukakan adalah karena Mekah adalah kota tempat lahirnya nabi Muhammad dan turunnya Alquran untuk pertama kalinya. Terlebih, dengan keberadaan ka‘bah yang menjadi kiblat bagi seluruh umat muslim di dunia. Di Mekah juga banyak terdapat lokasi yang dipercayai sebagai tempat keramat, seperti makam nabi Ismail dan ibunya, Hajar, dan beberapa makam nabi lainnya, seperti makam nabi Hud as., nabi Sholeh as., nabi Nuh as., dan nabi Su‘ib as. Mekah juga dipercayai sebagai kota yang dipenuhi dengan keberkahan dan pahala. Seluruh kebaikan akan dibalas dengan balasan yang berlipat-lipat, sehingga selama masa haji, para jamaah haji akan berlomba-lomba untuk melaksanakan ibadah dan kebaikan, seperti membaca Alquran, berpuasa, berzikir, melaksanakan salat sunah dan memberikan sedekah kepada para fakir dan miskin. Para jamaah haji juga tidak lupa untuk mengunjungi 15 tempat yang 108
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
dianggap sangat keramat di Mekah. kelima belas tempat ini dipercayai sebagai tempat yang jika orang berada di sana maka doanya akan mustajab atau tidak akan tertolakkan. Tempat-tempat tersebut disebutkan dalam beberapa bait berikut: Tempat mustajab aku khabarkan Lima belas pada bilangan Tidak tertolak doa di sanan Mula pertama di dalam ka‟bah Tempat yang suci terlalu indah Di dalam tirai surat kalimah Doa di sana dikabulkan Allah Tempat yang kedua telaga zamzam Yang ketiga tempat pada multazam Keempat bilangan di sisi makam Yang kelima antar rukun dan makam Di dalam hajar tempat yang keenam Ketujuh di hatim tempat yang karam Keselapan tempat pada masjid al-haram Tempat yang mustajab siang dan malam Yang kesembilan turun rukun iman Kesepuluh di Safa Jabal al-Rahmān Kesebelas di Raddah kubur di sana Kedua belas di Mas‟a41 tempat berjalan Ketiga belas tuan di Muzdalifah Keempat belas di Mina tempat yang indah Kelima belas tempat di bumi Arafah Tempat mustajab pada Jabal al-Rahmāh
Bahkan, sebagian orang berharap untuk dapat meninggal di Mekah, karena mereka mempercayai bahwa jika seseorang meninggal dalam keadaan sedang menunaikan haji di Mekah, maka baginya surga dan seluruh dosanya terhapuskan.
41. Mas‘a adalah tempat dilakukan sa‘i atau tempat berjalan, terletak sejajar dengan sisi timur laut dari Masjidil Haram dan pada sisi lain berbatasan dengan tembok mesjid ini. Mas‘a ini sangat luas, sehingga oleh sebagian orang digunakan untuk menjadi pasar. Baca Hurgronje, 1989: 63–64. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
109
RIZQI HANDAYANI
Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa haji merupakan bagian dari tradisi migrasi atau merantau dalam masyarakat Minangkabau. Tradisi merantau ini telah mengakar jauh sebelum datangnya Islam ke Nusantara. Dengan kedatangan Islam di Minangkabau, maka budaya rantau atau migrasi bagi masyarakat Minangkabau tidak hanya ditujukan untuk kepentingan ekonomi (perdagangan), akan tetapi berkembang menjadi fungsi ibadah, ziarah dan rihla. Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj memperlihatkan bahwa perjalanan haji yang dilakukan masyarakat Minangkabau merupakan keberlanjutan dari tradisi merantau dan berdagang yang telah berlaku sejak lama. Dalam konteks ini, merantau atau migrasi yang menjadi karakteristik masyarakat Minangkabau, menemukan dimensi lainnya melalui ibadah haji. Tentu saja, pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh masyarakat minang bukanlah bertujuan untuk beribadah semata, akan tetapi juga dilakukan bersamaan dengan tujuan lainnya, seperti berdagang dan menuntut ilmu. Pada akhirnya, Syair Fī Kaifiyat al-Ḥajj ini menunjukkan eksistensi dan kontribusi muslim Minangkabau dalam kosmopolitanisme global, baik melalui interaksi sosial-ekonomi maupun interaksi intelektual keberagamaan. DAFTAR PUSTAKA AZRA, AZYUMARDI (2003), Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi Jakarta: Logos Wacana Ilmu. ––––– (2005), Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Kencana. VAN BRUINESSEN, MARTIN (1997), ‗Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci Orang Nusantara Naik Haji‘, dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, h. 122. DANARTO (1993), Orang Jawa Naik Haji: Catatan Perjalanan Haji Danarto, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. DJAMARIS, EDWAR (1989), Tambo Minangkabau: Suntingan Teks disertai Analisis Struktur, Depok: Universitas Indonesia. DOBBIN, CHRISTINE (2008), Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri, Minangkabau 1784-1847, Depok: Komunitas Bambu. DOUWES, DICK DAN NICO KAPTEIN (1997), Indonesia dan Haji, Jakarta: INIS. 110
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
SYAIR FĪ KAIFIYAT AL-ḤAJJ
E. GRAVES, ELIZABETH (2007), Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. EICKELMAN, DALE E. AND JAMES PISCATORI (ed.) (1990), Muslim Travellers: Pilgrimage, Migration, and the Religious Imagination, California: University of California Press. FATHURAHMAN, OMAN (1999), Tanbih al-Masyi, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: Mizan & EFEO. FATHURAHMAN, OMAN (2008), Tarekat Syattariyah di Minangkabau, Jakarta: Prenada Media Group. GRAVES, ELIZABETH E. (2007), Asal Usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. HAMKA (1984), Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas. ––––– (1989), Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Umminda, 1982. HURGRONJE, CHRISTIAAN SNOUCK (1989), Perayaan Mekah, Jakarta: INIS. KATO, TSUYOSHI (1982), Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Tradition in Indonesia, New York: Ithaca,. ––––– (2005), Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Balai Pustaka. MANSOER, M.D., dkk. (1970), Sedjarah Minangkabau, Djakarta: Bhratara. MATHESON, V. DAN A.C. MILNER (1984), Perceptions of the Haj: Five Malay Text, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies. MOHAMAD, M.D., (PENY.) (1987), Tokoh-tokoh Sastera Melayu Klasik, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. MALAY CONCORDANCE PROJECT «http://mcp.anu.edu» MULYANA, SLAMET (1963), Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara Islam Nusantara, Jakarta: Bharata. NAIM, MOCHTAR (1984), Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. RICKLEFS, M.C. (2005), Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. Satrio Wahono, dkk., Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. SAMAD, DUSKI (2002), Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau (Syarak Mendaki Adat Menurun),Jakarta: The Minangkabau Foundation & Yayasan Pengembangan Ekonomi dan Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
111
RIZQI HANDAYANI
Kesejahteraan Masyarakat. SCHRIEKE (1973), Pergolakan Agama di Sumatera Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi , terj. Soegarda Poerbakawatja, Jakarta: Bhratara. SHARIATI, ALI (1992(, Hajj: Reflections on Its Rituals, (translated by Laleh Bakhtiar), Albuquerque: ABJAD. SJARIFOEDIN, AMIR (2011), Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, Jakarta: Gria Media Prima. VREDENBREGT, JACOB (1997), ‗Ibadah Haji: Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia‘ dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein, Indonesia dan Haji, Jakarta: INIS, h. 5, 47-52 dan 57-58. SURYADI (2002), Syair Sunur: Teks dan Konteks „Otobiografi‟ Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19, Padang: Citra Budaya Indonesia dan PDIKM Padang Panjang. SWEENEY, AMIN (2005), Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 1, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École française d‘Extrême-Orient. WIERINGA, EDWIN (2000), ‗A Tale of Two Cities and Two Modes of Reading: A Transformation of the Intended Function of the Syair Makah dan Madinah‘, dalam Die Welt des Islams New Series, Vol. 42, Issue 2.
112
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Abstrak Geguritan merupakan karya tradisional yang menggunakan bahasa Bali, dan diikat oleh kaidah matra yakni tembang macepat, sekar alit atau pupuh. Adapun aturan tembang macepat (sekar alit atau pupuh), meliputi jumlah suku kata dalam satu baris yang disebut guru wilangan, jumlah baris dalam satu bait yang disebut guru gatra, dan pola rima yang tetap atau nada akhir setiap baris yang disebut guru ding-dung. Geguritan Sekar Mulat merupakan karya I Wayan Kawi Arcana. Geguritan Sekar Mulat sebagai karya sastra geguritan dibangun atas tiga pupuh yaitu pupuh sinom, pupuh ginada, dan pupuh durma. Geguritan Sekar Mulat dilihat dari isinya merupakan geguritan yang mengandung tutur. Tutur merupakan suatu ajaran yang harus diingat. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam karya tersebut adalah ajaran tentang Tri Hita Karana, ajaran tersebut telah berkembang di masyarakat dari sejak dahulu hingga sekarang. Tri Hita Karana terdiri dari hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Paryangan), hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia (Pawongan) dan hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan (Palemahan). Hubungan harmonis tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya kebijaksanaan (dharma) yang didasari atas ilmu pengetahuan (widya); dasar tersebut akan digunakan untuk membangun karakter bangsa. Karakter bangsa yang kuat merupakan satu-satunya jalan utuk mengatasi degradasi moral. Geguritan Sekar Mulat mengandung kearifan lokal dalam rangka pembentuk karakter bangsa untuk dapat mengatasi degradasi moral, salah satunya dengan pembentukan ideologi. Ideologi Bhineka Tunggal Ika sebagai ideologi bangsa, serta dapat membangun jiwa toleransi. Toleransi yang dibangun bukan hanya antar sesama manusia, tetapi Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Sastra Konsentrasi Filologi Universitas Padjadjaran. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
113
GUSTI AYU NOVAENI
toleransi antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Kesadaran akan toleransi memupuk terciptanya hubungan harmonis sebagai entitas dari ajaran Tri Hita Karana. Kata Kunci: Geguritan Sekar Mulat, Tri Hita Karana, Karakter Bangsa Pendahuluan Geguritan merupakan salah satu hasil kesusastraan Bali. Dilihat dari penggolongannya, geguritan tergolong ke dalam genre kesusastraan Bali Purwa yang berbentuk tembang. Geguritan berasal dari kata gurit, dalam bahasa Jawa Kuna kata gurit berarti ―tulis, gubah, karang‖ dan anggurit yang artinya menggubah puisi (ZOETMULDER, 2006: 320). Sedangkan dalam Kamus Bahasa Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali, gurit berarti gubah, karang, sadur atau gubahan, karangan dan saduran. Kata gurit mengalami proses reduplikasi dwipurwa dan mendapat sufiks -an menjadi geguritan (ANOM, DKK., 2008: 251). Jadi, hakikat geguritan adalah suatu karangan yang berbentuk puisi. Geguritan merupakan karya tradisional menggunakan bahasa Bali, dan diikat oleh kaidah matra yakni tembang macepat, sekar alit atau pupuh. Adapun aturan tembang macepat (sekar alit atau pupuh), meliputi jumlah suku kata dalam satu baris yang disebut guru wilangan, jumlah baris dalam satu bait yang disebut guru gatra, dan pola rima yang tetap atau nada akhir setiap baris yang disebut guru ding-dung (SUARKA, 2007a: 11). Pendapat tersebut sejalan dengan AGASTIA (1980: 17) bahwa bunyi akhir setiap baris menyebabkan pupuh tersebut harus dinyanyikan. Keseluruhan aturan tersebut disebut dengan padalingsa. Geguritan sering disebut dengan tembang macepat. Tembang macepat juga disebut dengan sekar alit, karena dalam menembangkannya, macepat menggunakan suara ringan atau disebut dengan suara nantya (SUARKA, 2007a: 11). Menurut AGASTIA (1980: 18) sekar alit dalam geguritan itu terdiri dari berbagai macam pupuh. Diperkirakan ada sekitar 45 macam pupuh, tetapi yang populer di Bali ada sepuluh macam pupuh, yaitu: sinom, pangkur, ginada, ginanti, maskumambang, durma, mijil, pucung, semarandana, dan dangdang. Di Bali, umumnya pengarang menciptakan geguritan berdasarkan wujud kreatif murni, pengalaman maupun autobiografi pengarang; yang melatarbelakangi munculnya karya-karya baru. Beberapa karya tersebut, antara lain: Geguritan Babad Segara Rupek (karya I NENGAH KARDA), Geguritan Unuh Galih (karya JERO MANGKU WAYAN SULENDRA, terbitan Toko Buku Indra Jaya Singaraja tahun 2001), Geguritan Kaki Manuh Nini Manuh (karya GEDE NYOMAN ARDHANA RIYASA, terbitan 114
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
MENGGALI KONSEPSI TRI HITA KARANA DALAM GEGURITAN SEKAR MULAT
Paramitha Surabaya 2003), Geguritan Bagawan Dawala (karya Ketut Putru, terbitan Toko Buku Indra Jaya Singaraja tahun 2005), Geguritan Runtuhnya Sri Dalem Dukut (karya I GUSTI MADE KERTHAYASA), Geguritan Sekar Mulat (karya I WAYAN KAWI ARCANA) dan lain sebagainya. Geguritan Sekar Mulat merupakan karya I WAYAN KAWI ARCANA (selanjutnya disingkat dengan GSM). GSM sebagai karya sastra geguritan dibangun atas tiga pupuh yaitu pupuh sinom, pupuh ginada, dan pupuh durma. GSM dilihat dari isinya merupakan geguritan yang mengandung tutur. Dalam Kamus Bali – Indonesia Beraksara Latin dan Bali tutur berarti nasihat (ANOM, DKK., 2008: 779). Sepadan dengan pendapat ZOETMULDER DAN ROBSON (2006: 1307), bahwa tutur berarti ingatan, kenang-kenangan, kesadaran. Jadi, tutur merupakan suatu ajaran yang harus diingat. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam karya tersebut telah berkembang di masyarakat dari sejak dahulu dalam bentuk lisan. Sejalan dengan pandangan ROBSON (1978: 5-6) yakni bahwa karya-karya klasik Indonesia mengandung nilai-nilai yang sangat penting dan berharga sebagai warisan rohani bangsa Indonesia berupa perbendaharaan pikiran dengan cita-cita nenek moyang yang dahulu kala dijadikan pedoman utama kehidupan (dalam SUARKA, 1987 : 4). Dalam penciptaan karya tersebut terlihat suatu proses perubahan bentuk dari ajaran yang bersifat tulisan menjadi lisan, kelisanan tersebut kembali ditransformasi, tetapi tetap mempertahankan ide pokoknya yang dihadirkannya ke dalam bentuk geguritan. Kelisanan yang diangkat oleh pengarang yakni konsep-konsep mengenai filosofi kehidupan. Filosofi tersebut dirangkai dalam ajaran-ajaran, hal ini sejalan dengan salah satu ciri-ciri mitologi yang diuraikan oleh DANANDJAJA (1984: 50) yakni bahwa cerita yang dipercayai dan dilaksanakan oleh masyarakat tergolong ke dalam mitos. Meninjau pengertian mitologi secara luas, dipahami bahwa mitos tidak hanya mengacu pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan (BARTHES, 2009: 155 – 157). Mitos merupakan suatu ideologi tertentu yang diangkat melalui bentuk dan makna. Beroperasinya ideologi melalui sistem semiologi ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif (BARTHES, 2010: 308–310). Ideologi yang dibentuk melalui ajaran mengenai konsep filosofi kehidupan akan membentuk suatu pedoman hidup. Berdasarkan hal tersebut maka mitos dapat dipandang sebagai suatu konsep, yaitu berjalan dari semiologi menuju ideologi. Ideologi sebagai suatu pandangan hidup, yang dewasa ini mulai Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
115
GUSTI AYU NOVAENI
senantiasa terkikis, sehingga terciptalah degradasi moral bangsa. Degradasi moral dapat dilihat dengan banyaknya selisih paham antarsuku, ras, dan agama hingga perselisihan di ranah politik yang dilakukan secara anarkis. Tentunya semua itu bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia, yakni Bhineka Tunggal Ika. Degradasi moral hanya dapat diatasi dengan pembentukan karakter bangsa dengan menggali nilai-nilai yang telah diwarisi secara turun-temurun. Permasalahannya karakter bangsa yang bagaimana yang harus diteladani oleh generasi muda untuk mengatasi degradasi moral yang telah terjadi. Pembentukan Karakter dengan Konsepsi Tri Hita Karana Hakikat pendidikan karakter sesungguhnya adalah memberikan kesadaran kepada setiap individu mengenai pentingnya melakukan suatu hubungan yang harmonis. Hubungan yang harmonis bukan hanya dijadikan sebagai konsep namun dilaksanakan sehingga dapat membangun suatu ideologi. Konsep hubungan harmonis tidak hanya dilakukan dengan sesama manusia (Pawongan), sebagai hubungan harmonis yang horisontal saja, namun sepatutnya juga mengadakan hubungan harmonis ke arah vertikal, yakni mengadakan hubungan harmonis dengan pencipta (Parhyangan) dan alam sekitar (Palemahan). Hubungan harmonis secara vertikal dan horisontal akan menciptakan suatu keseimbangan di dalam menjalani hidup. Keseimbangan hubungan itu disebut konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana sebagai hakikat kehidupan dalam pembentukan karakter haruslah dijalankan secara harmonis oleh manusia melalui hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Keseluruhan ajaran tersebut diuraikan dalam bentuk tutur atau nasihat dengan menggunakan genre geguritan yang berjudul Geguritan Sekar Mulat. Pembentukan hubungan harmonis sebagai karakter bangsa merupakan pengamalan dari empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengamalan empat pilar kebangsaan tersebut dimulai dari pengamalan Bhineka Tunggal Ika sebagai ideologi bangsa. Ideologi bangsa tidak serta merta muncul, namun melalui suatu proses yang digali dari ideologi masyarakat sebagai suatu akar budaya bangsa. Berdasarkan hal itu Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7 (1997: 8) membedakan ideologi dari segi bentuk, yakni ideologi formal dan ideologi non formal. Ideologi formal merupakan ideologi resmi yang dijadikan paham dalam memberi bobot kenegaraan resmi. Ideologi 116
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
MENGGALI KONSEPSI TRI HITA KARANA DALAM GEGURITAN SEKAR MULAT
formal juga dapat diartikan sebagai ideologi suatu negara. Ideologi non formal merupakan pandangan suatu masyarakat yang diajarkan secara tidak resmi melalui kisah-kisah atau dongeng-dongeng serta melalui penanaman konsep-konsep yang telah diwarisi sejak dahulu. Proses pencapaian konsep Bhineka Tunggal Ika sebagai ideologi bangsa Indonesia dari ideologi tak resmi menjadi ideologi resmi tampak pada penggalian tataran desa adat. Desa adat diikat oleh desa (tempat), kala (waktu), dan patra (situasi kemanusiaan). Konsepsi desa, kala, patra, merupakan suatu tradisi dalam budaya Bali sebagai wujud konkret dari pemahaman akan keberadaan ruang dan waktu. Desa, kala, patra dianggap sebagai kesadaran yang tinggi akan tempat, waktu, dan situasi kemanusiaan. Ruang dan waktu dianggap sebagai daya kekuatan yang misterius dan maha besar yang mengatur siapa saja, mengatur dan menentukan kehidupan di dunia fana, serta kehidupan para dewa. Desa (tempat), kala (waktu), dan patra (situasi) yang mengikat desa adat menyebakan terjadi keberagaman dari tradisi masyarakatnya. Tiap desa adat memiliki tradisi yang berbeda, akan tetapi memiliki inti pelaksanaan yang sama. Hal inilah yang perlu disikapi dan dipahami sehingga hubungan harmonis tersebut tetap terjalin. Pada hakikatnya ‘yang satu itu adalah banyak‘ dan ‘yang banyak itu adalah satu‘. Satu itulah yang merupakan inti dari kebenaran. Seperti yang tertuliskan dalam GSM “Bhinékà tunggal kaucap patut pisan, rwa bhinéda kawastanin, mulà bhina basà, nanging wakyà tunggal… (Pupuh Durma, Bait 16, Hal. 45 – 46)‖, terjemahan: sangatlah patut disebut sebagai Bhineka Tunggal Ika, Rwa Bhineda namanya, memang namanya berbeda, namun maknanya tunggal .... Sejalan dengan petikan Kakawin Sutasoma “Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang terjemahannya: berbeda-beda tetapi tetap satu tiada kebenaran yang kedua. Perbedaan muncul dari pengaruh lingkungan karena setiap daerah menghasilkan hasil alam yang berbeda, inilah yang diolah oleh kreativitas masyarakat sehingga menghasilkan kebudayaan yang berbeda namun semuanya tetap berlandaskan atas sastra. Pandangan tersebut jika ditinjau dari ideologi formal atau dianggap sebagai pandangan hidup suatu negara, konsep Bhineka Tunggal Ika dapat dikatakan sebagai ideologi bangsa Indonesia. Ideologi tersebut mencerminkan bahwa Bangsa Indonesia dalam pandangan hidupnya menginginkan terbentuknya suatu hubungan harmonis, karena Bangsa Indonesia terdiri dari suku, agama, dan ras yang beraneka ragam. Ideologi tersebut digali melalui khazanah kebudayaan bangsa. Berdasarkan hal tersebut untuk dapat memperkuat ideologinya, Bangsa Indonesia haruslah memperkuat dan menghayati nilai-nilai budaya Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
117
GUSTI AYU NOVAENI
bangsa sehingga terbentuk suatu karakter Bangsa Indonesia. Konsep Bhineka Tunggal Ika sebagai suatu pandangan hidup yang akan memberikan pencerahan dalam kehidupan muncul melalui suatu proses yang cukup panjang. Mpu Tantular sebagai pengarang Kakawin Sutasoma yang menjadi sumber penulisan frasa tersebut merumuskan pandangannya dalam jangka waktu yang cukup lama. Konsep tersebut pertama kali dicetuskan dalam Kakawin Arjunawijaya yang ditulis pada tahun 1370, dalam frasa ―kalih sameka‖ yang berarti ‗dua sama itu‘ terus berkembang dalam pandangan hidup, hingga tahun 1380 baru terlontar frasa Bhineka Tunggal Ika ‗berbeda itu satu itu‘ (AGASTIA, 1987: 67 - 68). Pada tahun 1945 konsep tersebut diserap sebagai ideologi Bangsa Indonesia. Penetapan Bhineka Tunggal Ika berarti ‗berbeda itu satu itu‘ sebagai ideologi bangsa muncul dari kesadaran para pendahulu akan perbedaan suku, ras, agama namun dibalik perbedaan itu memiliki tujuan yang sama yakni menciptakan hubungan harmonis, hanya saja cara untuk mencapainya berbeda-beda. Jika proses penggalian ideologi tersebut disadari dan dipahami sebagai suatu karakter, maka pertikaian antar suku, ras, agama di Indonesia tidak akan terjadi. Konsep Bhineka Tunggal Ika ‗berbeda itu satu itu‘ juga melandasi penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengutamakan keadilan dan tidak terlepas dari UUD 1945. Keadilan dalam perundangundangan belum dapat diterapkan secara maksimal. Hal ini tidak terlepas dari karakter masyarakat yang telah mengalami degradasi moral. Ungkapan akan penyimpangan hukum tersebut juga dikritisi dalam GSM. Wilayah pemerintahan terkecil secara formal disebut desa, secara tradisi disebut sebagai desa adat. Desa adat sebagai pranata masyarakat memiliki aturan yang dijabarkan melalui peraturan di atasnya untuk mengatur pola perilaku masyarakat, yang dibatasi oleh desa (tempat), kala (waktu), patra (situasi). Pola pengaturan perilaku masyarakat diatur oleh adat, karena di dalam adat itu sendiri terkandung agama, dresta, dan awig-awig. Hal tersebutlah yang digunakan sebagai cermin di dalam bertindak, sehingga terwujud keharmonisan, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut: Nanging cening mangda tatas/ indik adaté puniki/ anggén suluh ring lakûaóà/ mangda manggih sane jàtì/ adàt ipun teges iki/ 118
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
MENGGALI KONSEPSI TRI HITA KARANA DALAM GEGURITAN SEKAR MULAT
A màrti agama iku/ De artos ipun dresþà/ A dasar awig-awig/ T puniki/ wantah titi mautamà// (Pupuh Sinom, Bait 19, Hal. 28 – 29)
Terjemahan: Namun anakku supaya tahu, mengenai adat itu, jadikan sebagai cerminan dalam berperilaku, supaya bisa menemukan apa yang sesungguhnya, arti dari adat itu, A, berarti agama, D, berarti dresta, A, berarti dasar atau awig-awig, T, itu berarti, sebagai jalan yang utama.
Wujud konkret aturan tersebut tertuang di dalam awig-awig, sehingga di kalangan masyarakat sering berkembang pandangan ―awagawagine nganggo awig-awig dadi uwug‖, yang terjemahannya adalah: sembarangan menggunakan awig-awig (aturan-aturan) dapat merusak. Yang dimaksudkan dengan merusak adalah rusaknya tata pranata yang telah diwarisi dan disepakati sebagai suatu sistem aturan berperilaku di dalam masyarakat. Oleh karenanya, pandangan itu didekonstruksi kembali menjadi ―eda ngawg-awag nganggo awig-awig apang tusing dadi uwug‖, yang terjemahannya adalah: supaya tidak merusak, janganlah sembarangan menggunakan aturan. Uraian tersebut mengingatkan bahwa aturan dibuat bukan untuk dilanggar melainkan untuk ditaati. Menaati aturan secara tidak langsung menciptakan suatu keharmonisan tataran kehidupan atau pola perilaku di masyarakat. Hubungan yang tidak harmonis akan muncul jika dalam penerapan peraturan terjadi penyimpangan hukum sehingga azas hukum yang adil akan semakin bergeser. Penyimpangan ini berdampak munculnya kasus KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme). Persoalan ekonomi dan politik bangsa menimbulkan permasalahan tata ruang, yang berdampak pada kurang nyamannya suatu wilayah, sehingga wilayah tersebut akan menjadi rawan konflik. Sesungguhnya hal itu tidak perlu terjadi jika penggunaan lahan disesuaikan dengan amanah yang telah diwarisi sejak dahulu sebagai suatu sistem kebudayaan. Seperti halnya pengaturan lahan yang disesuaikan dengan ajaran Asta Bumi, dan pendirian bangunan yang disesuaikan dengan Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
119
GUSTI AYU NOVAENI
ajaran Asta Kosala Kosali. Pada GSM pupuh durma bait 41 disebutkan “Asta kosala, Asta Kosali, Asta Bumi” merupakan sastra yang berisikan hakikat tata ruang dan tata bangunan. “Asta Kosala, Asta Kosali” berisikan hal-hal yang berkaitan dengan tata bangunan, terutama dengan ukuran bangunan, sedangkan ―Asta Bumi” berisikan hal-hal yang berkaitan dengan tata letak bangunan. Dengan pengaturan tata ruang berdasar atas Asta Kosala, Asta Kosali, dan Asta Bumi diharapkan alam beserta isinya dapat berjalan seimbang sesuai dengan kodratnya sehingga tercipta hubungan yang harmonis. Semua permasalahan tersebut sesungguhnya dapat teratasi dengan kebijaksanaan yang didasari atas ilmu pengetahuan (widya), bukan atas dasar keinginan (kama) yang akan menyebabkan kebodohan (awidya). Kesadaran akan diri ditandai dengan kesadaran hasil perbuatan (karma phala). Karena hanya karma phala yang kekal adanya, dan itu dapat membuat manusia bahagia atau sengsara. Uduh cening pianak bapa/ lacur cening numadi/ tusing ada ngelah nyama/ memen cening ngalin mati/ barak cening katinggalin/ ingetang awake lacur/ plajahin masolah melah/ anggon bekel kayang mati/ ipun nuntun / sang hyang atma kala budal// (Pupuh Sinom, Bait 3, Hal. 5-6)
Terjemahan: Hai engkau anakku, sangat miskin lahir di dunia ini, tidak mempunyai saudara, ibumu juga telah meninggalkanmu mati, pada saat engkau masih bayi, ingatlah bahwa dirimu miskin, pelajarilah cara berperilaku yang baik, untuk bekal hidupmu setelah kau mati, karmamulah yang akan menuntunmu, ketika atmamu kembali pada Sang Hyang Widhi.
Bapa lacur lintang nista/ tusing nyidayang mekelin/ 120
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
MENGGALI KONSEPSI TRI HITA KARANA DALAM GEGURITAN SEKAR MULAT
ane magoba kasugihan/ napi malih karang carik/ tegak umah baan nyilih/ mula tumbuh liwat lacur/ ede cening maseselan/ krane kene jani tampi/ ane malu/ bapa tusing ngelah apa// (Pupuh Sinom, Bait 4, Hal. 6-7)
Terjemahan : Bapak miskin dan sangat kecil, tidak bisa memberikan bekal, dalam bentuk harta, terlebih lagi tanah sawah, tanah tempat berdirinya rumah pun hasil meminjam, memang hidup kita terlalu miskin, janganlah engkau menyesal, karena inilah yang engkau warisi, sebelumnya, bapak tidak memperoleh hasil kerja yang baik.
Berdasarkan kutipan di atas tampak bahwa pengarang menguraikan suatu konsepsi yang sederhana dan realita di masyarakat. Sesungguhnya konsepsi itu memiliki makna yang mendalam apabila kata-kata yang membangun tanda tersebut dipandang sebagai suatu sistem semiologi yang nantinya akan membentuk ideologi. Secara semiologi pengarang sesungguhnya ingin memberikan pemahaman kepada pembaca sebagai suatu proses belajar. Pada hakikatnya manusia hidup untuk belajar. Belajar yang dimaksud mencakup seluruh aktivitasnya. Proses belajar yang, oleh pengarang diungkapkan melalui percakapan seorang ayah dengan anaknya, memberikan pandangan bahwa hidup di dunia ini sesungguhnya tidak membawa apa. Manusia dilahirkan tanpa menggunakan apa-apa dan ketika matipun manusia tidak akan membawa apa-apa. Manusia ketika mati hanya ditemani oleh karma phala dalam bentuk subhakarma (perbuatan baik) dan asubhakarma (perbuatan jahat). Harta benda hanya dapat mengantarkannya sampai pada waktu ia meninggal dunia, sedangkan sanak keluarga dan kerabat hanya dapat mengantarkan sampai di kuburan. Karma phala setia mengantarkan manusia sampai di alam sana. Pada hakikatnya manusia (atman) lahir ke dunia, nantinya akan kembali kepada pada penciptanya (paramatman), maka Tuhan dan ciptaan-Nya menjadi satu dalam kekekalan yang abadi. (ZOETMULDER, Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
121
GUSTI AYU NOVAENI
1991: 21). Sejalan dengan uraian Sarasamuscaya ‖Apanikang kadang warga rakwa, ring tunwan hinganikan pangatêrakên, kunang ikang tumut, sahayanikang dadi hyang ring paran, gawenya úubhàúubha juga, matangnyan prihên tiking gawe hayu, sahayatna anuntunakêna ri pênadlàha”, yang terjemahan: adapun sanak saudara, sesungguhnya batasnya untuk mengantar hanyalah sampai di kuburan, namun yang akan menemani sebagai sahabat dari roh mendiang (atman) sepanjang perjalanannya, adalah perbuatan baik dan buruk yang pernah dilakukannya selama hidup, sehingga berusahalah untuk selalu berbuat baik, sebagai sahabat yang akan menemani manusia (atman) utuk kembali kepada penciptaannya (paramatman) (MENAKA, 2002: 58 59). Manusia hidup di dunia tidak dapat melepaskan diri dari karma phala. Walaupun manusia dilahirkan sebagai seorang yang miskin dalam artian tidak memiliki arta benda dan tanah, tetapi ia dapat menjadi orang yang kaya, yaitu kaya akan ilmu pengetahuan, yang akan digunakan untuk mengabdi kepada masyarakat. Ida Pedanda Made Sidemen, seorang pengarang besar pada abad ke-20 (AGASTYA, 2006: viii); memiliki semboyan yang tertuang dalam geguritan salampah laku pada pupuh sinom bait 11―…tong tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin, guna dusun, ne kanggo di desa-desa‖ (BAGUS, 1988: 100), yang artinya: … tidak memiki tanah sawah, maka badanmulah yang ditanami, pengetahuan dan keterampilan desa, yang dapat diterapkan di desa-desa. Yang dimaksud dengan ‘badanmulah yang ditanami‘ adalah bahwa manusia harus senantiasa belajar untuk mengisi diri, karena ilmu pengetahuan tidak pernah ada habisnya. Ilmu pengetahuan ini yang akan dijadikan sarana untuk mengabdi kepada masyarakat. Diibaratkan seperti orang yang memiliki harta berlimpah, apabila diberikan kepada orang lain, walaupun sedikit demi sedikit, lama kelamaan harta tersebut akan semakin habis. Sebaliknya, orang yang memberikan bantuan kepada orang lain berupa pengamalan ilmu pengetahuan, ilmunya tidak akan habis. Ilmu tersebut justru akan semakin berkembang karena semakin banyak orang yang menguasainya. Ilmu pengetahuan (widya) sesungguhnya menjadi dasar dalam pembentukan karakter bangsa yang, tentunya, akan membangun ideologi. Ilmu pengetahuan (widya) digali dari kearifan lokal dengan tujuan menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan. Hubungan harmonis akan menimbulkan toleransi sehingga perselisihan antar suku, ras, agama tidak akan terjadi. Keadilan dalam bidang hukum, pengelolaan tata ruang yang sesuai dengan budaya bangsa. Jika semua 122
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
MENGGALI KONSEPSI TRI HITA KARANA DALAM GEGURITAN SEKAR MULAT
itu dapat dipahami dan dilaksanakan maka karakter bangsa akan terbentuk, sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Simpulan Geguritan Sekar Mulat (GSM), tergolong kedalam karya sastra geguritan, dibangun atas tiga pupuh yaitu pupuh sinom, pupuh ginada, dan pupuh durma. Berdasarkan isinya GSM merupakan suatu geguritan yang mengandung ajaran yang harus diingat (tutur). Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam karya tersebut telah berkembang di masyarakat dari sejak dahulu dalam bentuk lisan. Tri Hita Karana merupakan ajaran yang terkandung dalam Geguritan Sekar Mulat (GSM). Di dalam ajaran tersebut memaparkan bagaimana membina suatu hubungan yang harmonis antara Tuhan, lingkungan, dan antar sesama manusia. Tri Hita Karana sebagai hakikat kehidupan dalam pembentukan karakter haruslah dijalankan secara harmonis oleh manusia melalui hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Hubungan yang harmonis tersebut membentuk karakter bangsa sebagai realisasi dari ideologi yang telah diwariskan dari generasi sebulumnya. Karakter bangsa yang ditawarkan dalam Geguritan Sekar Mulat (GSM) meliputi : 1) Pengejewantahan konsep Bhineka Tunggal Ika sebagai ideologi bangsa Indonesia; 2) Taat akan hukum yang berlaku; 3) Pengelolaan tata ruang; 4) Peningkatan sumber daya manusia; 5) Percaya akan adanya hukum sebab akibat (karma phala) sebagai sarana pengendalian diri. DAFTAR PUSTAKA AGASTIA, IDA BAGUS GEDE. 1980. ―Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali‖. Denpasar. –––––. 1987. Sagara Giri: Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Wyasa Sanggraha. –––––. 2006. Ida Cokorda Mantuk Ring Rana Pemimpin yang Nyastra. Denpasar: Dharma Sastra. ANOM, DKK. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Kerjasama Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali. ARCANA, I WAYAN KAWI. 1992. ―Geguritan Sekar Mulat‖. Denpasar. BAGUS, I GUSTI NGURAH, DKK. 1988. Analisis Geguritan Salampah Laku Karya Ida Padanda Made Sidemen. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
123
GUSTI AYU NOVAENI
BARTHES, ROLAND. 2009. Mitologi (terj. Nurhadi dan A. Sihabul Millah). Yogyakarta: Kreasai Wacana. –––––. 2010. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi (terj. Ikramullah Mahyuddin). Yogyakarta: Jalasutra. Danandjaja DANANDJAJA, JAMES. 1984. Foklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain). Jakarta: Grafiti Pers. DINAS PENDIDIKAN DASAR PROPINSI DATI I BALI. 1986. Kakawin Sutasoma. Denpasar. MENAKA, I MADE, 2002. Sarasamuscaya. Denpasar: Indra Jaya. NOVAENI, GUSTI AYU. 2011. ―Konsepsi Tri Hita Karana dalam Geguritan Sekar Mulat : Analisis Mitologi‖. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana (Sebuah sekripsi sarjana pada Jurusan Sastra Bali). SUARKA, I NYOMAN. 1987. ―Babad Mpu Bharadah Mwang Rangdeng Dirah Analisis Struktur dan Fungsi‖. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana (Sebuah sekripsi sarjana pada Jurusan Sastra Daerah). –––––. 2007a. ―Kesusastraan Bali Purwa‖. (Makalah dibawakan pada Penataran Guru Mata Pelajaran Bahasa Bali Tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK Negeri /Swasta Se-Bali di Denpasar). –––––. 2007b. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan. TERA, R.I. 2010. Panduan Pintar EYD. Yogyakarta: Indonesia Tera. ZOETMULDER, P.J. 1991. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ZOETMULDER, PJ. DAN ROBSON, S.O. 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia Penerjemah Darusuprapta Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
124
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Abstrak Keberadaan Hikayat Pencuri yang memuat kisah kadi dan pencuri memiliki arti penting jika dikaitkan dengan dinamika masyarakat pada abad ke-19. Meskipun institusi kadi atau dalam bahasa-bahasa Nusantara disamakan dengan ‗penghulu‘ telah muncul jauh sebelum masa itu, namun keberadaannya mengalami pergeseran besar pada abad ke-19. Sebagai karya sastra, Hikayat Pencuri merupakan artefak budaya yang menandai suatu fase kehidupan masyarakat pada masa Hikayat Pencuri dilahirkan. Artikel ini berupaya menangkap makna kemunculan teks Hikayat Pencuri dikaitkan dengan kondisi sosio-budaya yang melatarbelakanginya. Upaya ini pada gilirannya dapat menelusuri fungsi teks Hikayat Pencuri dengan beberapa versinya dalam masyarakat pada abad ke-19. Teks Hikayat Pencuri, atau dikenal dengan nama lain Hikayat Harun Al-Rashid, Qiṣṣat al-Qāḍī wa-al-Liṣṣ, dan Hikayat Muhamad Mukabil, terdapat pada 5 manuskrip yakni CS 34, ML 151 (Perpusnas Jakarta), 121 RS 5 (Al-Maktabah al-Markaziyyah li-al-Makhṭūṭāt al-Islāmiyah Mesir), Cod. Or. 1738, Cod. Or. 7324 (Perpustakaan Universitas Leiden Belanda). Kata Kunci: Hikayat Pencuri, Kadi, Pencuri, Kontekstualisasi
* Dosen STAIN Kudus. Artikel ini dipresentasikan pada Short Course Metodologi Penelitian Filologi yang diselenggarakan pada 1 Juli–30 September 2012 atas kerjasama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Terima kasih kepada Dr. Oman Fathurahman, Dr. Fuad Jabali, Dr. Saiful Umam, Jajang Jahroni, MA., Munawar Holil, M.Hum., M. Adib Misbachul Islam, M.Hum atas saran dan komentarnya terhadap artikel ini. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
125
FUAD MUNAJAT
Pendahuluan Hikayat Pencuri mengisahkan tentang peristiwa pencurian (perampokan) yang dialami seorang kadi. Struktur narasi, alur cerita, dan penokohan Hikayat Pencuri, dengan segenap varian dan versinya, menandai dua potret yang bertentangan terkait dengan citra kadi. Pada versi pendek terdapat kesan citra buruk kadi yang ‘sudah selayaknya‘ mendapat ganjaran menjadi ‘korban perampokan‘, sedangkan versi panjang justru memotret hal yang sebaliknya. Dalam rangka mencapai tujuan di atas, dilakukan dua tahapan penelitian. Pertama, sebagai teks karya sastra yang tersimpan dalam manuskrip Hikayat Pencuri terlebih dahulu didekati secara filologis. Pada tahap ini inventarisasi naskah, deskripsi, perbandingan, penentuan naskah dasar suntingan, dan proses penyuntingan dilakukan secara berurutan. Kedua, tahap kontekstualisasi Hikayat Pencuri dikaitkan dengan keberadaan beberapa versinya, baik versi bahasa (Arab, Melayu), maupun versi ceritanya (pendek dan panjang). Dalam hal ini perspektif teori resepsi sastra digunakan untuk mengungkapkan fungsi di balik perbedaan versi-versi tersebut. Kondisi sosio-budaya masyarakat pada masa hikayat ini muncul menjadi sumber informasi yang berharga, tidak dalam rangka membuat rumusan kausalitas, tetapi lebih jauh menandaskan bahwa karya tersebut pada hakikatnya -sesuai dengan teori resepsi sastra- merupakan horison harapan yang memenuhi keinginan-keinginan dan harapan masyarakatnya. Politik Hukum Pemerintah Kolonial Abad Ke-19 Kedatangan bangsa Eropa di kepulauan Nusantara pada abad XVI–XVII pada awalnya didasarkan pada keberadaan rempah-rempah yang melimpah. Tidak heran jika maksud utama tersebut pada gilirannya diwujudkan dalam pembentukan Hindia Timur oleh Inggris dan Belanda dengan tujuan monopoli perdagangan di Asia. Lambat laun di antara kedua bangsa Eropa tersebut terjadi persaingan yang pada 1602 melahirkan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie/Persatuan Kompeni Hindia Timur) (RUKMI, 1993: 12–13). Jika pada awalnya pemerintah kolonial tidak begitu memperhatikan tatanan hukum, terutama hukum Islam, lain halnya pada saat pengaruh mereka semakin kuat. Pada paroh kedua abad ke-17, tepatnya pada tahun 1677 atau kurang lebih 32 tahun setelah wafatnya Sultan Agung, terjadi fase kemunduran pelaksanaan hukum Islam di Mataram. Hal ini menandai awal semakin derasnya pengaruh Belanda dalam kesultanan Mataram (DJALIL, 2006: 36). Tentu saja pengaruh tersebut tidak terjadi secara serentak di kepulauan Nusantara. 126
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
Abad ke-18 ditandai dengan sedikitnya catatan mengenai pelaksanaan hukum Islam atau pengadilan agama. Akan tetapi hal yang tidak dapat dibantah adalah kenyataan semakin sempitnya pelaksanaan hukum Islam karena campur tangan pemerintah kolonial pada saat itu. Baru pada abad ke-19 terdapat kondisi di mana pemerintah kolonial, sejak seperempat pertama abad tersebut melaksanakan politik hukum konkordansi1 dan unifikasi dalam bidang hukum. Politik hukum, menurut Suhartono, dapat diartikan sebagai bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum (SUHARTONO, tt.: 2). Politik konkordansi yang dijalankan pemerintah kolonial didasarkan pada asumsi bahwa hukum Eropa jauh lebih baik ketimbang hukum yang telah ada di Indonesia (baca: hukum Islam). Sejak terbitnya Staatblad 2 1820 No. 22 dan diikuti dengan Staatblad 1835 No. 58, serta puncaknya pada penerbitan Staatblad No. 30 Tahun 1847 yang menandai penyempitan kompetensi pengadilan agama yakni penghulu tidak boleh mengadili perkara yang dahulu menjadi kompetensi pengadilan Surambi di zaman pemerintahan Sultan Agung (DJALIL, 2006: 38–39). Politik hukum yang demikian memang dibutuhkan pemerintah kolonial dalam rangka mempersempit ruang gerak Islam Politik. Secara garis besar politik hukum pemerintah kolonial dapat dibagi ke dalam beberapa fase yang berbanding lurus dengan teori-teori yang dicetuskan ahli ketimuran seperti van den Berg, Snouck Hurgronje maupun Ter Haar. Pertama, fase yang menandai awal kedatangan bangsa Eropa di kepulauan Nusantara. Masa ini tidak hanya ditandai dengan kurangnya perhatian bangsa Eropa pada hukum Islam di Nusantara tetapi juga adanya kekhawatiran dan ketakutan mereka jika praktik hukum Nusantara diatur secara ketat akan terjadi perlawanan. Masa ini juga ditandai dengan masih kuatnya pengaruh penguasa-penguasa Islam di Nusantara. Pada masa tersebut hukum Islam dilaksanakan di berbagai kesultanan di Nusantara. Syafruddin bahkan menyatakan bahwa sejak Kerajaan Pase, Demak, Cirebon, Buton, hingga Ternate semuanya telah menerapkan hukum Islam (SYAFRUDDIN, 2011: 1). Masa ini berakhir dengan mulai kuatnya pengaruh bangsa Eropa (Belanda) dalam kesultanan-kesultanan. 1. Konkordansi hukum: hukum yang mempersamakan antara hukum Belanda dengan hukum Hindia Belanda yang pada gilirannya menghapus kewenangan pengadilan agama yang telah ada berabad-abad sebelumnya. 2. Dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje istilah Staatblad kerap disamakan dengan Lembaran Negara. Lihat, misalnya, HURGRONJE, 1993: 30. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
127
FUAD MUNAJAT
Kedua, fase di mana pengaruh Belanda mulai merasuk ke dalam kesultanan-kesultanan Islam. Di Jawa, fase ini dimulai dengan wafatnya Sultan Agung dari Kesultanan Mataram pada 1645. Masa ini berlangsung cukup lama hingga awal abad ke-19 dan ditandai dengan pemberlakuan politik konkordansi yang berupaya mensubordinasi hukum Islam. Ketiga, fase pemberlakuan politik konkordansi dalam bidang hukum sejak perempat pertama abad ke-19 hingga berpuncak pada penerbitan Staatblad No. 153 Tahun 1882. Penerbitan staatblad ini menandai pengakuan pemerintah kolonial akan institusi pengadilan agama (hukum Islam) yang sebelumnya telah berlangsung sejak masa kedatangan Islam di Nusantara tetapi senantiasa diupayakan penafiannya. Bisa dikatakan masa antara kedatangan Islam hingga fase ketiga ini adalah masa di mana hukum Islam dilaksanakan dan sesuai dengan teori Van Den Berg, receptie in complexu. Keempat, fase di mana politik konkordansi mencapai puncaknya dengan dilandaskan pada teori receptie yang digagas Snouck Hurgronje. Masa ini berlangsung sejak ditentangnya teori receptie in complexu ang menurut Hurgronje merugikan pemerintah kolonial hingga diterbitkannya Staatblad No. 221 Tahun 1929. Kontradiksi dapat ditemukan pada dua fase terakhir yang mana pada dua fase tersebut pengadilan agama diakui keberadaannya (pada Staatblad No. 153 Tahun 1882) tetapi dicabut pada fase keempat. Tidak heran jika tahun 1982 yang lalu diperingati sebagai ‘satu abad peradilan agama‘ (DJALIL, 2006: 56). Namun demikian satu hal yang konsisten dilakukan oleh pemerintah kolonial pada kedua fase itu adalah bahwa kewenangan pengadilan agama semakin dipangkas. Snouck Hurgronje bahkan menafikan adanya pengadilan agama pada masa sebelum 1882 dan secara satiris menyebutnya sebagai ‖Dewan-Dewan Ulama‖ (HURGRONJE, 1993/VIII: 27-31). Teori receptie in complexu yang dirumuskan Van Den Berg memandang hukum penduduk setempat, dalam hal ini penduduk kepulauan Nusantara, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh agama yang dianut sejauh tidak ada bukti lain yang menolaknya. Sebab dengan menerima dan menganut suatu agama berarti sekaligus juga menerima aturan hukum agama yang dianutnya tersebut. Jika terdapat bukti yang sebaliknya atau ―sebuah pengecualian‖ berupa aturan-aturan tertentu, maka kekecualian tersebut harus dipandang sebagai ―deviasi‖ dari hukum agama yang telah diterima secara complexu (WIJAYA, tt: par. 3). Dengan demikian hukum Islam sebagaimana yang dilaksanakan pengadilan agama pada masa itu dianggap sah oleh penganut teori 128
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
receptie in complexu. Kondisi geo-politik Nusantara pada perempat pertama abad ke-19 menunjukkan adanya beberapa kawasan yang bergejolak seperti Sumatera Barat (Perang Padri) dan Jawa (Perang Diponegoro), ulama memainkan peran dalam menggerakan peperangan tersebut. Perang Padri, misalnya, dimulai dengan munculnya penentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud adalah perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkal mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Konflik tersebut akhirnya berujung pada peperangan antara pribumi dengan pihak kolonial. Peristiwa-peristiwa pada perempat pertama abad ke-19 menghenyak pemerintahan kolonial yang sebelumnya tidak terlalu campur tangan pada urusan-urusan orang Islam. Kekuatan Islam dirasakan potensial untuk menghambat ekspansi dan hegemoni pemerintah kolonial termasuk dalam hal pelaksanaan hukum Islam yang sebelumnya enggan dicampuri mereka. Bagi pemerintah kolonial ketaatan penduduk pribumi terhadap hukum Islam berpotensi besar dalam pembangkangan terhadap kewibawaan mereka. Lebih jauh mereka berupaya memunculkan hukum adat yang mereka introduksi dalam rangka memecah dan membuat polarisasi kekuatan penduduk pribumi. Teori receptie in complexu, yang belakangan dirumuskan, memang mengakui eksistensi hukum Islam, tetapi teori ini juga mengintrodusir hukum adat sebagai hukum tandingan. Artinya, hukum adat dimunculkan sebagai bagian konkordansi dan unifikasi politik hukum kolonial (HARDJONO, 2008: 6). Konkordansi dan unifikasi pada gilirannya membagi kelas penduduk Indonesia menjadi 3 Golongan Eropa/Jepang, Golongan Timur Jauh (China/Arab), dan golongan pribumi. Sisi lain dari unifikasi adalah politik ekonomi yang menciptakan struktur ekonomi menjadi para produsen (pribumi), para penjual dan eksportir (Eropa), dan para perantara (Timur Jauh/Arab) (HARDJONO, 2008: 15). Berbeda dengan teori receptie in complexu, Snouck Hurgronje sejak dini menegasi keberadaan institusi pengadilan agama dan menyebutnya hanya sekedar ‖Dewan-Dewan Ulama‖ yang baginya tidak lebih dari Dewan yang terdiri dari penghulu dan anak buahnya yang terkadang tidak memiliki kecakapan di bidang keagamaan, termasuk sang penghulu itu sendiri. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
129
FUAD MUNAJAT
Snouck Hurgronje membeberkan beberapa kasus penyimpangan yang dilakukan para penghulu dalam pelaksanaan tugas di Dewandewan Ulama. Di antaranya dia menyebut adalah sesuatu yang lumrah jika dalam memutuskan perkara-perkara terutama masalah kewarisan para penghulu akan menerima 10 % dari harta yang dibagikan (HURGRONJE, 1992: 80). Demikian halnya penyimpangan dana kas masjid baik oleh bupati atau penghulu sebagaimana laporan Holle (STEENBRINK, 1984: 228). Tentu saja kasus-kasus semacam ini harus dilihat secara cermat karena bisa jadi laporan semisal ini memuat informasi yang bias kolonial. Kedua aspek kontradiktif inilah yang menurut peneliti memiliki kaitan dengan karya sastra (Hikayat Pencuri) yang menjadi korpus penelitian ini. Dalam hal ini yang dimaksud bisa jadi bukan keterkaitan secara langsung apalagi keterkaitan yang bersifat kausalitas. Keterkaitan ini dapat dijelaskan dengan pendekatan resepsi sastra yang menelusuri horison harapan masyarakat di mana suatu karya sastra muncul. Institusi Peradilan Agama Pada abad ke-16–17 hampir di setiap kerajaan muslim Nusantara telah dijumpai pranata-pranata judisial (SALIM, 2005: 65). Menurut catatan sejarah terdapat beberapa istilah yang dikenal sebagai nama lain institusi peradilan agama antara lain peradilan surambi, peradilan surau, mahkamah syar‘iyah, mahkamah balai agama, majelis pengadilan agama Islam, badan hukum syara‟, pengadilan penghulu, qadhi syara‟ dan kerapatan qadhi, dan lain-lain (SUHARTONO, tt.: 1). Keberadaan peradilan agama merupakan simbol kedaulatan hukum Islam yang merupakan kelanjutan pelaksanaan pada masa-masa kesultanan Islam. Memasuki abad ke-19, semenjak kekuasaan pemerintahan kolonial semakin kuat, mereka mulai ikut campur dalam pelaksanaan peradilan agama. Peradilan merupakan institusi paling awal mendapat campur tangan pemerintah kolonial Belanda, tetapi jarang disadari bahwa liku-liku politik hukum menimbulkan polarisasi masyarakat jajahan (HISYAM, 1998: 255). Hal ini dimulai sejak diterbitkannya ‖Instruksi‖ pada September 1808 yang menyerukan para bupati agar ―Terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan, sedangkan pemuka-pemuka agama mereka dibiarkan untuk memutus perkaraperkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat tidak ada penyalahgunaan, dan banding dapat dimintakan kepada hakim banding‖. Meskipun terdapat kata-kata ―tidak mengganggu‖ tetapi langkah ini menunjukkan adanya pengawasan terhadap lembaga 130
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
peradilan agama. Selanjutnya diterbitkan pula Staaatblaad 1835 No. 20 yang intinya keputusan pengadilan Agama mulai disubordinasi di bawah pengadilan biasa. Hingga puncaknya pada 1882 yang secara kasat mata mengakui dan menggabungkan peradilan agama dalam sistem peradilan kolonial. Namun demikian keberadaan peradilan agama yang telah disahkan Belanda secara yuridis dipandang hanya sebagai quasi peradilan (peradilan semu) karena secara gradual kewenangannya dipangkas (SUHARTONO, tt.: 10). Dampak Staatblad 1882, pengadilan surambi dikukuhkan sebagai bagian administrasi kolonial sebagai raad agama, tetapi disubordinasi di bawah pengadilan biasa (HISYAM, 1998: 258). Subordinasi raad agama ke dalam landraad (yang menggunakan hukum adat sebagai dasar hukumnya) menghilangkan kewenangan raad agama dalam mengadili perkara waris. Padahal wewenang ini merupakan sumber pemasukan dana paling penting yang menjadi pilar eksistensi raad agama (HISYAM, 1998: 266). Dengan demikian pendekatan pemerintah kolonial pada abad ke-19 terhadap institusi peradilan agama dapat dikatakan merupakan upaya ―out-sizing‖ atau pembonsaian terhadap kewenangan-kewenangan tradisional yang sebelumnya dimiliki institusi tersebut. Dalam istilah lain TOBRONI (2009: 197) menyebutnya sebagai ‖marginalisasi hukum Islam‖. Sebenarnya upaya semacam itu mudah dipahami mengingat ketakutan pemerintah kolonial terhadap kekuatan Islam dan dikuatkan dengan kondisi geo-politik pada masa itu yang merupakan masa persemaian Pan-Islamisme yang digagas Jamaluddin Al-Afghani. Masa selanjutnya ditandai dengan politik hukum Belanda yang ditopang dengan teori receptie yang memiliki asumsi dasar bahwa masalah hukum adalah masalah kekuasaan semata, masalah power. Dengan demikian hukum hanyalah sarana untuk mencapai hegemoni kekuasaan penjajah (TOBRONI, 2009: 203). Hukum adat yang dimunculkan hanya sekedar cara memalingkan masyarakat pribumi dari hukum Islam. Setelah berhasil, mereka membelokkannya untuk mendekatkan dengan ide-ide Barat, untuk memperkuat posisi Belanda sebagai penjajah (TOBRONI, 2009: 203). Penetrasi kolonial dalam bidang kehakiman memperlihatkan pola sistematik ke arah pemilahan masyarakat ke dalam kelompok pendukung Islam dan kelompok pendukung adat. Pelaksanaan hukum adat mendorong masyarakat adat membentuk komunitas terpisah dari Islam (HISYAM, 1998: 269). Meskipun kebijakan tersebut boleh jadi tidak ditujukan untuk memecah belah masyarakat, tetapi implikasinya Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
131
FUAD MUNAJAT
ternyata menghasilkan dikotomi sosial (HISYAM, 1998: 270). Peradilan agama adalah salah satu sasaran dari politik devide et impera rezim kolonial. Sehingga bentuk konfigurasi politik hukum kompetensi peradilan agama sangat dipengaruhi oleh intervensi dari kelompok yang memiliki kekuasaan (SYAFRUDDIN, 2011: 3). Campur tangan Belanda terhadap peradilan agama dimulai tahun 1820 yakni termaktub dalam Instruksi pada Bupati-Bupati mengenai sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat agar diselesaikan oleh para Alim Ulama Islam (Syafruddin, 2011: 6). Disusul Staatblad 1835 No. 58 yang kemudian mendapat perubahan pada 1848 dan 1854 (SYAFRUDDIN, 2011: 6) baru pada 1882 peradilan agama diakui dalam administrasi kolonial. Tentu saja dengan disubordinasi ke bawah landraad yang dasarnya hukum adat. Antara Kadi dan Penghulu Dua konsep penting dalam konteks politik hukum kolonial dikaitkan dengan institusi peradilan agama adalah konsep kadi dan penghulu. Dalam hal ini kedua konsep tersebut memiliki pemaknaan beragam sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang berbeda-beda. SALIM (2005: 66) menyatakan bahwa penyelenggaraan hukum Islam dengan menggunakan pranata pengadilan telah dilakukan kadi sejak pertengahan abad ke-15 di Nusantara. Pada umumnya perangkat hukum ini melekat ke dalam struktur entitas politik Islam Nusantara saat itu. Pranata kadi yang mula-mula hadir di Nusantara adalah di kesultanan Malaka, yang telah ada sejak masa pemerintahan Sultan Mansur (1456– 1477). Sementara itu, pranata kadi (Qadi Malikon Adil) di kesultanan Aceh muncul pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Adapun di kesultanan Banten, kekuasaan kehakiman juga diakui di dalam struktur istana, yang sejak tahun 1650 diberi gelar Pakih Najamuddin. Di Kerajaan Banjar, kehidupan keagamaan diwujudkan dengan adanya mufti-mufti dan qadhi-qadhi, ialah hakim serta penasehat kerajaan dalam bidang agama. Dalam tugas mereka terutama adalah menangani masalah-masalah berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan. Demikian pula Qadhi, di samping menangani masalah-masalah hukum privat, teristimewa juga menyelesaikan perkara-perkara pidana atau dikenal dengan had (SIDDIQ, tt. : 8). Di Sulawesi (kerajaan Gowa) terdapat institusi Parewa Syara‟ pejabat syariat yang dipimpin oleh Kali (Kadli) (SIDDIQ, tt. : 9). Demikian halnya kerajaan Riau pada masa Raja Ali Haji yang dalam strukturnya terdapat Naib Qadli, Qadli, dan bahkan Qadli al-Qudlat 132
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
(SIDDIQ, tt. : 10). Dalam perkembangan awalnya, pranata kadi, di samping mufti, belumlah mengalami diferensiasi seketat seperti dewasa ini. Saat itu, seseorang yang ahli agama Islam telah bertindak multifungsi baik menjadi imam, khatib, mufti maupun kadi, tergantung pada realitas yang dihadapinya (SALIM, 2005: 65). Menurut de Graaf, sejak 1549 gelar Kadi telah disandang oleh Sunan Kudus yang menurutnya besar dugaan gelar Kadi tersebut merupakan gelar yang ditambahkan pada profesinya sebagai imam mesjid. Sebab, seperti diakui oleh de Graaf, jabatan pemangku hukum Islam dan fungsi pemimpin masjid (imam) di Jawa sejak permulaan zaman Islam sudah memiliki hubungan erat (SALIM, 2005: 65–66). Adapun istilah penghulu disinyalir sudah ada sejak berabad-abad, tetapi perkembangannya yang sempurna baru terjadi pada abad kesembilan belas dan dua puluh (PIJPER, 1984: 67). HISYAM (2005: 125-126) menyatakan bahwa istilah penghulu di dunia Melayu memiliki arti ‘yang berada di atas‘ atau ‘pemimpin‘. Lebih jauh dijelaskan bahwa penghulu juga merupakan istilah bagi kepala nagari di Sumatera Barat atau jabatan setingkat kepala desa di Riau. Adapun di Jawa Penghulu merupakan jabatan keagamaan baik di lingkungan kerajaan maupun di kabupaten-kabupaten yang dikuasai pemerintah kolonial. Dalam hal ini Snouck Hurgronje menjelaskan lima fungsi penghulu antara lain: 1. Kadi, sebagaimana di tempat lain dengan kewenangan hukum yang dipersempit. Menurutnya, pengadilan di Hindia Belanda diatur oleh undang-undang bukan Islam; 2. Mufti, adalah juru penerang resmi tentang hukum tetapi tanpa wewenang menjatuhkan hukuman; 3. Juru nikah, dengan tugas mengawasi pelaksanaan akad nikah yang benar, sesuai dengan aturan, dan pendaftaran perkara perceraian karena penjatuhan talak. 4. Pejabat urusan zakat, dengan tugas mengumpulkan dan membagikan pajak agama. Di Jawa Barat bahkan, di samping jabatan kadi, tugas ini merupakan tugas yang paling penting dari sang penghulu, karena dia dan anak buahnya memperoleh pendapatan yang terbanyak dari hasil zakat fitrah; 5. Penata usaha dan kepala masjid, memiliki hak untuk bertindak sendiri selaku imam atau khatib di masjid tersebut. Sebuah hak yang diberikan kepada seorang muslim yang berpendidikan baik, dan sekali lagi jabatan ini tidak ada sangkut pautnya Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
133
FUAD MUNAJAT
dengan kerohanian atau kepemimpinan agama (HURGRONJE, 1992: 83-85). Tugas utama Penghulu yang utama adalah mengadili soal-soal agama menurut hukum Islam. Tidak heran jika ia kerap disebut qadi dalam bahasa Arab, meskipun ia hanya mempunyai keahlian sedikit kalau dibandingkan dengan seorang qadi. Ia juga menjabat sebagai ketua pengadilan agama yang sebagai akibat kesalahpahaman bersejarah disebut priesterraad. Raffles telah menyebut adanya pengadilan agama dengan penghulu sebagai ketua (PIJPER, 1984: 72–73). Dengan demikian pranata kadi pada dasarnya merupakan kelanjutan dari konsep hakim dalam dunia Islam yang biasa disebut sebagai Qāḍī. Namun konsep ini seiring perjalanan waktu mengalami perluasan makna yakni sebagai pranata yang memiliki fungsi melampaui fungsi utamanya dalam bidang kehakiman sebagaimana ditunjukkan pada gelar Kadi Sunan Kudus. Ini menunjukkan cakupan fungsinya yang hampir sama dengan fungsi penghulu pada abad ke-19 sebagaimana diuraikan HURGRONJE (1992: 83–85). Bahkan di Jawa Barat pada tahun 1940 Bupati Ciamis dan Tasikmalaya dengan bantuan penghulu dan alim ulama mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Miftachul Kodi (bahasa Arab Miftāḥ al-Qāḍī, yang berarti kunci untuk menjadi penghulu, daerah sekolah ini ialah Jawa Barat (PIJPER, 1984: 94). Ini membuktikan bahwa kata kadi dapat disubstitusi dengan kata penghulu yang menandakan tidak ada perbedaan antara kedua pranata tersebut. Secara struktur tugas kadi atau penghulu merupakan perpanjangan tangan tugas raja atau pemimpin wilayah. Hal ini antara lain terlihat pada kedudukan raja yang mempunyai tiga fungsi utama sebagai (1) Kepala pemerintahan umum; (2) Kepala pertahanan dan keamanan, dan (3) Penata bidang agama. Ini terlihat pada gelar raja pada saat itu seperti Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun, Senapati Hing Ngalogo, yaitu panglima tertinggi angkatan perang, dan Sayyidin Panatagama Khalifatullah, yakni khalifah Allah pengatur bidang agama. Pengaruh tersebut terlihat pula di dalam keseluruhan struktur pemerintahan. Adanya jabatan Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku Mufti, Tuanku Kadi, di samping para raja dan bupati, sampai jabatan Lebai, Modin, Kaum, dan sebagainya di samping Lurah, Kepala Nagari/Kampung, dapat membuktikan hal tersebut (HARDJONO, 2008: 4). Tentang Hikayat Pencuri Teks Hikayat Pencuri, atau dikenal dengan nama lain Hikayat Harun Al-Rashid, Qiṣṣat al-Qāḍī wa-al-Liṣṣ, dan Hikayat Muhamad Mukabil, 134
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
terdapat pada 5 manuskrip yakni CS 34, ML 151 (Perpusnas Jakarta), 121 RS 5 (Al-Maktabah al-Markaziyyah li-al-Makhṭūṭāt al-Islāmiyah Mesir), Cod. Or. 1738, Cod. Or. 7324 (Perpustakaan Universitas Leiden Belanda). Naskah CS 34 berukuran 16 × 20 cm, dengan jumlah baris 5 baris pada setiap halaman. Bahan naskah yang digunakan adalah kertas Eropa. Hal ini ditandai dengan adanya cap air (water mark) yang terdapat pada kertas buatan Belanda, atau tepatnya THE HAGUE oleh VAN LIER dan ZOON. Cap air tersebut diidentifikasi sebagai PRO PATRIA bergambar singa bermahkota menyandang sebuah pedang dan berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Logo tersebut dibatasi sebuah lingkaran yang memuat tulisan CONCORDIA RESPARVAE CRESCUNT. Kertas ini dibuat pada 1832 (CHURCHILL, 1935: CXXVIII) dan merupakan batas paling awal penyalinan naskah CS 34. Naskah dijilid dengan benang terdiri dari beberapa kuras. Sampul yang digunakan sebagai penutup naskah berwarna coklat marmer. Tidak ditemukan iluminasi maupun catatan pinggir/pias. Tinta yang digunakan hampir seluruhnya berwarna hitam kecuali pada kata-kata tertentu seperti qāla, qāla Ta‟ālá, kaqaulihi Ta‟ālá yang menggunakan tinta merah. Tidak terdapat angka tahun pada kolofon teks, tetapi pada teks lain yang terhimpun pada naskah yang sama terdapat angka tahun 1865. Adapun tempat penyalinan naskah ini (skriptorium) adalah di Batavia. Naskah CS 34 merupakan kompilasi 3 teks yakni (1) Risalah tentang sifat dua puluh, (2) Hikayat Harun Al-Rashid, dan (3) Risalah tentang Iman, Islam, dan Ihsan. Bahasa yang digunakan teks Hikayat Harun Al-Rashid adalah bahasa Arab dengan terjemahan Melayu antarbaris. Adapun pada teks lainnya digunakan aksara pegon berbahasa Jawa. Naskah Cod. Or. 1738 merupakan koleksi Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Dengan demikian deskripsi naskah berikut merupakan hasil penelusuran beberapa katalog. WIERINGA (1998: 96-97) menerangkan bahwa naskah Cod. Or. 1738 memiliki judul Hikayat Muchammad Mukabil atau Hikayat Harun Al-Rasyid. Di samping itu kedua judul tersebut disematkan pula nama Hikayat Pencuri. Naskah ini memiliki ukuran 18,5 × 13,6 cm, dengan jumlah halaman sebanyak 32 halaman. Baris tulisan yang mengisi halamannya diterangkan berjumlah 15 baris dan tinta yang digunakan berwarna hitam. Kertas yang digunakan merupakan kertas buatan Belanda dan tertera adanya cap air berlogo PRO PATRIA. Tidak dijelaskan identitas pembuatnya sehingga sulit ditentukan angka pasti pembuatan kertas tersebut. Hal ini disebabkan cap air PRO PATRIA memiliki jenis yang bermacam-macam dan berasal dari masa yang memiliki durasi waktu yang lama. Namun Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
135
FUAD MUNAJAT
demikian terdapat keterangan waktu yang dapat memperkirakan atas akhir pembuatan atau penyalinan naskah tersebut karena koleksi naskah milik Sinyo Bissing atau Conradi Bussingh diterima dari the Royal Akademi Delf pada 1864 M. Pada kertas kosong awal (fly-leaf) terdapat tulisan Latin Sultan Aroen Al Raschid. Perbedaan aksara antara bagian teks dan tulisan pada fly-leaf mengisyaratkan bahwa judul tidak dibuat oleh penyalin aslinya melainkan oleh pembaca kemudian. Pada bagian akhir naskah tersebut terdapat kolofon yang berbunyi ‖Tammat alkalām. Adapun hikayat ini habis tersurat pada dua puluh lima hari bulan Desember kepada hari Ahad. Yang punya Sinyo Bising adanya.‖ Naskah Cod. Or. 7324 sebelumnya memiliki kode S. H. 97. Inisial S. H. merujuk pada Snouck Hurgronje (HOWARD, 1966: 27). Naskah Cod. Or. 7324 merupakan koleksi Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Jumlah halaman yang dimiliki naskah tersebut 336 halaman tetapi teks Hikayat Muhammad Mukabil hanya mengisi halaman 160 hingga 166. Selebihnya naskah tersebut memuat teks-teks hikayat lainnya seperti Hikayat Raja Handak, Hikayat Tamim Al-Dari, Hikayat Syaikh Ibn Yazid al-Bistami, Hikayat Darma Tahsiah, Hikayat Seribu Masail, Hikayat Raja Jumjumah, Hikayat Nabi Musa, Hikayat Bulan Belah Dua, Hikayat Iblis, Hikayat Fatimah, Hikayat Nabi Wafat, dan Hikayat Abu Samah (HOWARD, 1966: 27). Naskah ini tidak berada di Indonesia tetapi Perpustakaan Nasional memiliki mikrofilmnya, yakni MF 392. Naskah ML 151 yang memuat teks Hikayat Pencuri, disebut Baharuddin dengan ML 151 B (BAHARUDDIN, 1969: th). Penyebutan huruf B pada ML 151 menunjukkan bahwa teks tersebut merupakan bagian dari kompilasi teks-teks lainnya dengan urutan kedua. Ukuran naskahnya 17 ½ × 14 ½ cm., dengan halaman diawali halaman 63 dan diakhiri halaman 85. Jumlah rerata baris pada tiap halaman 15 baris kecuali pada halaman 85 yang merupakan bagian akhir teks hanya memuat 12 baris. Aksara yang digunakan adalah aksara Jawi berbahasa Melayu. Mengenai tulisannya secara keseluruhan, dinyatakan bahwa sebagian besar halaman tulisannya tidak jelas disebabkan kertasnya sudah lapuk. Disebutkan pula warna tinta yang digunakan adalah hitam dan merah. Observasi langsung yang dilaksanakan peneliti juga mendapatkan hal yang sama. Namun demikian beberapa keterangan dapat ditambahkan terkait dengan deskripsi ML 151. Pertama, terkait dengan jumlah halaman ML 151 B yang sebelumnya hanya dinyatakan mulai halaman 63 hingga halaman 85 atau kalau dihitung berjumlah 23 halaman. Berdasarkan pengamatan langsung jumlah halaman yang ditemukan hanya 22 halaman. Hal ini disebabkan penomoran yang diterakan pada naskah tersebut tidak mencantumkan angka 73 sebagai 136
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Gambar 1. Naskah yang memuat Hikayat Pencuri (Cod. CS 34, hlm. awal. Koleksi Perpustakaan Nasional RI
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
137
FUAD MUNAJAT
Gambar. 2. Naskah yang memuat Hikayat Pencuri (Cod. CS 34, hlm. akhir. Koleksi Perpustakaan Nasional RI).
138
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
salah satu halaman ML 151 B. Dengan demikian halaman yang memuat teks tersebut berjumlah 22 halaman. Kedua, berkenaan dengan tulisan pada sebagian besar halamannya, sebagaimana disebutkan Baharuddin, secara keseluruhan tidak jelas. Pengamatan langsung dapat membuktikan hal itu disebabkan selain lapuknya kertas juga karena keadaan tinta yang memendar dan penempelan laminasi yang pada awalnya mungkin dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan rusaknya kertas, tetapi justru bagian yang dilaminasi itulah yang sulit untuk diidentifikasi. Keempat, tidak ditemukan cap air, tetapi data waktu penulisannya dapat ditemukan pada kolofon. Keempat, meskipun pada Katalog Naskah-Naskah Nusantara 4 dijelaskan adanya Rol (MF 96.01) tetapi pada kenyataannya mikrofilm yang dimaksud hanya memuat bagian awal kompilasi ML 151 atau dalam istilah Baharuddin hanya memuat ML 151 A yang tidak lain adalah teks Hikayat Tamim Al-Dari. Naskah terakhir yang ditemukan adalah 121 RS 5 milik Al-Maktabah Al-Markaziyyah li-al-Makhṭūṭāt al-Islāmiyyah Mesir. Dijelaskan bahwa asal naskah ini dari al-aḥmady dengan kode 775. Naskah ini berjudul Qiṣṣat al-Qāḍī wa-al-Liṣṣ. Terdapat keterangan bahwa jilidannya telah usang sehingga sangat membutuhkan penjilidan ulang. Penyalin naskah ini diidentifikasi bernama Khalīl Rāghib al-Mushtanāwī. Waktu penyalinan dijelaskan terjadi pada 1274 H atau bertepatan dengan 1857/58 M (berdasarkan hasil konversi Ahad Macro, MCP, www.anu.edu.au). Naskah tersebut ditulis dalam bahasa Arab. Ukuran naskah 23 × 16,5 cm. Jumlah halaman sebanyak 3 halaman dengan jumlah baris tiap halaman 19 baris. Diterangkan pula bahwa format naskah adalah format buku. Tinta yang digunakan warna hitam dan merah. Jenis khat yang digunakan adalah naskhi. Peneliti hanya mendapatkan salinan digital halaman awal yang diunggah di situs http://www.awkafmanuscripts.org. Namun demikian jika teks ini dibandingkan dengan CS 34 terdapat kemiripan dalam struktur bahasanya kecuali pada CS 34 terdapat terjemahan antarbaris.Sinopsis Hikayat Pencuri Versi pendek Diawali dengan penceritaan tentang seorang Kadi ― yang hidup pada masa Harun Al-Rashid ― yang sedang membaca buku keagamaan. Dalam bacaannya, Kadi menemukan hadis tentang keutamaan salat berjamaah (versi panjang: hadis tentang tidur sebagai teman kematian). Setelah itu Kadi bergegas untuk salat Subuh seraya mengenakan pakaian terbaik dan naik kuda. Di tengah jalan Kadi dicegat seorang perampok (pencuri) dan terjadilah perdebatan yang sarat dalil-dalil Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
139
FUAD MUNAJAT
keagamaan. Singkatnya, Kadi kalah dan pakaian, kuda, serta cincinnya dilucuti perampok. Setelah pulang ke rumah dalam keadaan tidak berbusana, Kadi melaksanakan salat Subuh dan berbincang dengan istrinya (versi panjang: dengan hadimnya). Di tengah obrolan tiba-tiba Kadi dikejutkan dengan kedatangan kembali si perampok ke rumahnya dan meminta sejumlah harta. Karena merasa kalah dalam segalagalanya, Kadi pun mengiyakan kemauan perampok. Sehingga pada akhir cerita dikisahkan Kadi itu sangat murka. Versi panjang Setelah kejadian perampokan di jalan dan di rumah Kadi, sang perampok (dalam versi ini ‘sang pencuri‘) kembali ke rumahnya. Dia menyuruh kerabatnya memelihara harta yang dicurinya dari Kadi dan memelihara kudanya. Beberapa saat kemudian pencuri itu melancarkan aksinya di rumah orang-orang kaya dan semua hasil curiannya diserahkan kepada Kadi. Lebih dari itu pencuri itu bahkan mengembalikan semua harta dan kuda yang dahulu pernah dicuri dari sang Kadi. Harta yang telah dirampas dari orang-orang kaya disuruhnya untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Pada bagian akhir diceritakan bahwa motif sesungguhnya ia merampas harta sang Kadi tidak lain hanyalah ingin ‘menjadi saudara bagi Kadi‘. Ia juga berharap agar nama Kadi tersiar harum di seantero negeri. Citra negatif vs citra positif kadi di tengah pembonsaian kewenangan peradilan agama masa kolonial Pada hakikatnya sebuah karya sastra selalu berada pada tiga simpul yang senantiasa bersitegang yakni antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat (ACHADIATI IKRAM, 1997: 179). Dalam hal ini masyarakat memiliki peran penting dalam merespon karya sastra dan mewujudkan tanggapannya pada karya berikutnya. Hal ini senada dengan ABRAMS (1981: 26) yang menyatakan bahwa karya sastra dapat didekati dari berbagai sisi yakni pengarangnya (teori ekspresif), keberadaannya sebagai cermin dunia nyata (teori mimesis), sisi karya itu sendiri (teori obyektif) dan dari sisi pembacanya (resepsi/pragmatik). Di antara empat pendekatan Abrams teori resepsi termasuk dalam pendekatan pragmatik, yakni pendekatan yang lebih melihat karya sastra dalam keterlibatan pembacanya. Pendekatan resepsi meletakkan pembaca pada jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat sebagaimana dipaparkan Ikram di atas. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bahwa karya sastra sejak terbitnya selalu mendapat sambutan 140
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
atau tanggapan dari pembacanya. Jauss lebih jauh menyatakan bahwa kehidupan historis sebuah karya sastra tidak dapat terpikirkan tanpa adanya partisipasi aktif pembacanya (JAUSS dalam NEWTON, 1990: 222). Bagi Jauss, sebuah karya sastra bukanlah obyek yang berdiri sendiri dan menawarkan pandangan yang sama pada setiap pembaca di sepanjang masa. Karya sastra bukan sebuah monumen yang secara monolog mengungkapkan makna yang abadi. Dengan demikian, dalam pandangan Jauss, karya sastra lebih menyerupai sebuah orkestrasi yang dapat memunculkan resonansi-resonansi baru. Hal yang dapat menyebabkan perbedaan pemaknaan oleh setiap pembaca pada setiap periode adalah perbedaan ‖horison harapan‖. Horison harapan merupakan bekal yang dimiliki pembaca pada saat menghadapi sebuah karya sastra atau dalam redaksi yang berbeda ia adalah harapan-harapan pembaca terhadap sebuah karya sastra (PRADOPO, 1995: 207). Dalam kaitannya dengan kajian naskah kuna (manuskrip)sebagaimana yang dijadikan obyek penelitian ini- variasi bacaan dan perbedaan versi yang terdapat pada naskah-naskah dapat dianggap sebagai indikasi adanya horison harapan suatu masyarakat yang menyambut (meresepsi) suatu teks. Horison harapan tersebut diwujudkan dalam bentuk penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan. Menurut teori resepsi ‖kesalahan-kesalahan‖ yang umum ditemui pada salinan-salinan teks dipandang bukan sebagai kesalahan sebagaimana pada metode stemma melainkan merupakan sebuah bentuk kesengajaan yang dibuat penyalinnya pada setiap periode. Hal ini disebabkan setiap masa memiliki horison harapannya sendiri-sendiri (PRADOPO, 1995: 213). Bahkan setiap orang walaupun dalam satu masa memiliki horison harapannya sendiri-sendiri karena latar belakang pengetahuan yang berbeda. Menurut teori resepsi tiap naskah dianggap asli. Artinya, tidak ada naskah yang lebih unggul dari naskah lainnya atau dengan dengan kata lain setiap naskah bersifat unik. Teks Hikayat Pencuri sebagai karya sastra ditemukan pada beberapa naskah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelum ini. Keberadaan teks Hikayat Pencuri pada beberapa teks tidak menunjukkan format yang sama antara satu dengan lainnya. Perbedaan format ini yang dalam tulisan ini kerap disebut sebagai perbedaan versi. Jika asumsi adanya ‘versi panjang‘ dan ‘versi pendek‘ sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelum ini diterima maka kita dapat menelusuri apa motif penyalinan semacam itu. Cod. Or. 7324 memang mengakui adanya ketergesaan dalam penulisan dan ini bisa jadi disebabkan naskah ini ‘dipesan‘ oleh seseorang yang selanjutnya menjadi koleksi Snock Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
141
FUAD MUNAJAT
Hurgronje. Namun demikian naskah Cod. Or. 1738 juga meneladani atau paling tidak sama dengan naskah versi pendek lainnya. Jika dibaca secara seksama, pesan dari versi pendek umumnya ‘mengecam‘ posisi Kadi yang dianggapnya rakus, penumpuk harta, dan tidak memiliki ilmu agama yang luas. Sedangkan versi panjang memberi pesan sebaliknya, bahkan Kadi ‘diposisikan kembali‘ pada posisi terhormat. Citra negatif Kadi sebagaimana terekam pada versi pendek Hikayat Pencuri dapat dilihat pada kutipan berikut ini. … dan telah berfirman Allah Ta'ala hai Kadi, "Bahwasanya yang memakan akan harta anak yatim itulah (orang yang) aniaya. Bahwasanya barang siapa yang memakan di dalam perutnya itu api neraka dan dimasukan api neraka Sa'ir namanya. Dan engkau memakan harta anak yatim itu. Hai Kadi telah merpertemukan Allah Ta'ala akan engkau di dalam peruntunganku maka bukalah olehmu akan pakaianmu dan turunlah olehmu dari atas keledaimu dan pendekkan olehmu akan perkataanmu dan kasihlah olehmu bagi aku… (CS 34: 11).
Dengan demikian Sang Kadi selain dianggap sebagai orang yang tidak mengeluarkan zakat juga dianggap telah memakan harta anak yatim karena dalam ajaran Islam terdapat norma yang mengatakan bahwa dalam harta setiap muslim terdapat hak orang miskin termasuk dalam hal ini anak yatim. Konsekuensinya seseorang yang tidak membayar zakat maka ia telah memakan hak orang miskin dalam hal ini hak anak yatim. Hal yang demikian tentu hanya terjadi pada diri pejabat yang memiliki mentalitas rendah.Pada versi pendek lainnya terdapat pencitraan negatif lainnya sebagai berikut ini. ...Maka berkata pencuri: ‖Ajaib sekali aku.Betapa engkau katakan dirimu Kadi yang besar padahal tiada mengetahui saat dan mengenal waktu dan yaitu tujuh bintang dan dua belas buruj dan dua puluh delapan manzilah‖ (Cod. Or. 7324 : 161r).
Meskipun tidak dijelaskan apa relevansi antara penyebutan benda langit dan peredaran rasi bintang, tetapi fragmen tersebut dengan jelas meletakkan Kadi sebagai seorang yang kurang memiliki pengetahuan. Jika keadaan ini dianalogikan dengan kondisi Kadi atau pun penghulu pada masa kolonial terutama abad ke-19 maka ditemukan adanya simile atau kesamaan antara dua keadaan tersebut. Jika pada Hikayat Pencuri fragmen tersebut secara eksplisit Kadi dituduh sebagai orang yang kurang memiliki pengetahuan tentang astrologi maka para kadi atau 142
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
penghulu pada masa kolonial seringkali diangkat dari mereka yang kurang pandai atau dalam kalimat Steenbrink ‘yang penting tidak fanatik‘. Sebaliknya, citra positif Kadi diusung paling tidak oleh naskah ML 151 yang secara khusus memiliki interpolasi cerita yang menunjukkan adanya upaya mendudukan posisi Kadi sebagai posisi atau jabatan terhormat. Upaya ini tercermin pada pengungkapan motif utama perbuatan pencurian atau perampokan ialah karena sang pencuri ingin ‘dikenal‘ dan kemudian dijadikan saudara bagi Kadi dan bukan untuk merendahkannya. Sinyalemen demikian dapat terlihat berdasarkan kutipan berikut ini. Maka pencuri itu segera dijamu makan minum padahal Kadi itu tiada suka hatinya ialah dengan rido menjamu dia itu. Kemudian setelah beberapa banyak hartanya pencuri itu yang disimpan di rumah Kadi maka pencuri /22/*** ... Maka kata marikaitu: ‖Hai saudaraku Muhammad Mukabil, tiadakah dengan sesungguhnya hamba mengambil harta tuan ini *** supaya kita menjadi saudara dengan tuan hamba.‖
Bahkan sang pencuri mengembalikan semua harta yang pernah dicurinya dari tangan Kadi. Ini dilakukannya supaya nama Kadi harum kembali dan tersiar di seantero negeri. Maka kata Kadi: ‖Hai saudaraku, akan harta tuan hamba yang ada pada tangan hamba ini biarlah saudaraku ambil kembali akandia itu karna harta itu tiada yang hilang.‖ Maka kata mereka itu: ‖Hai tuan /23/ Kadi, akan harta itu tiada hamba berkehendak lagi kepadanya. Biarlah tuan hamba berikan kepada segala orang yang miskin-miskin supaya [tersiar nama?] tuan hamba di dalam negeri ini dan jangan *** akandia harta itu.‖
Kedua pesan yang tersirat dari dua versi tersebut jika dilihat dalam konteks masyarakat pada abad ke-19 ada kaitannya dengan citra penghulu yang salah satu tugasnya adalah sebagai kadi. Pada masa itu, sebagaimana dinyatakan STEENBRINK (1984: 160), ada perbedaan dan jurang yang sangat dalam antara penghulu (pejabat agama) dengan kiayi. Para penghulu disinyalir memiliki kemampuan keagamaan yang jauh di bawah para kiayi. Di samping itu ada kenyataan bahwa pada masa itu siapa saja dapat diterima menjadi penghulu asalkan tidak fanatik (STEENBRINK, 1984: 160). Kedua versi tersebut setidaknya mewakili dua kutub yang sedang Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
143
FUAD MUNAJAT
bersitegang dalam konstelasi politik hukum pemerintah kolonial pertengahan abad ke-19. Kutub pertama adalah kelompok yang berupaya mencari pembenaran dalam stigmatisasi citra negatif kadi atau dalam hal ini dapat diartikan sebagai citra negatif institusi pengadilan agama. Kelompok ini terdiri dari mereka yang ingin memangkas kewenangan pengadilan agama baik yang berpaham teori receptie in complexu maupun yang berpaham teori Receptie. Adapun kutub kedua adalah mereka yang tetap gigih memperjuangkan tegaknya hukum Islam dan tentu saja bukan penganut kedua teori di atas. Pergesekan keduanya telah terjadi semenjak kedatangan bangsa Eropa di Nusantara dan meruncing mulai seperempat pertama abad ke19 hingga mencapai titik kulminasi pada 1882 dengan diterbitkannya Staatblad No. 153 Tahun 1882. Penerbitan Staatblad ini menandai pengakuan pemerintah kolonial akan institusi pengadilan agama (hukum Islam) yang sebelumnya telah berlangsung sejak masa kedatangan Islam di Nusantara tetapi senantiasa diupayakan penafiannya. Namun demikian Staatblad ini hakikatnya juga memiliki semangat memangkas kewenangan pengadilan agama di Nusantara. Sinyalemen ini diperkuat dengan perkembangan selanjutnya dengan terbitnya Staatblad No. 221 tahun 1929 yang mencabut seluruh kewenangan pengadilan agama. Kritik sosial terhadap pranata kadi Satu hal yang cukup mencolok dari kedua versi tersebut adalah kenyataan bahwa struktur narasi baik versi pendek maupun versi panjang keduanya memuat aspek ketamakan Kadi. Pada versi pendek, ketamakan tersebut dibiarkan hingga akhir cerita tetapi pada versi panjang ketamakan Kadi ‘direhabilitasi‘. Upaya perbaikan tersebut tidak serta merta menghapus citra tamak pada diri Kadi. Hal ini menunjukkan bahwa memang kondisi Kadi pada masa teks tersebut dibuat memang demikian adanya. Artinya, kedua versi tersebut sebenarnya dapat dijadikan penanda bahwa budaya tidak baik (mungkin koruptif), melanda kehidupan kadi pada masa itu. Dengan demikian teks tersebut dapat dianggap sebagai upaya untuk mengkritisi kondisi masyarakat tempat karya tersebut dibuat. Wacana kritik sosial merupakan tema utama yang diusung teks Hikayat Pencuri. Kritik sosial diartikan sebagai satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang ditujukan atau difungsikan sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat (ZAINI ABRAR dalam MAHFUD MD (ed.), 1997: 47). Kritik sosial dapat disampaikan melalui berbagai sarana seperti ungkapan-ungkapan sindiran melalui komunikasi antarpersonal dan 144
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
komunikasi sosial, melalui berbagai pertunjukan sosial dan kesenian seperti dalam seni sastra (ZAINI ABRAR dalam MAHFUD MD (ed.), 1997: 48). Teks Hikayat Pencuri termasuk dalam kategori yang terakhir yakni sarana kritik sosial melalui seni sastra. Tema kritik sosial dielaborasi pengarang teks Hikayat Pencuri dalam keseluruhan unsur pembentuk ceritanya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada unsur penokohan dalam Hikayat Pencuri, dengan berbagai versinya sebagaimana pada Hikayat Muhammad Mukabil dan Hikayat Harun Al-Rashid, tampak adanya persiapan pewadahan gagasan kritik sosial dilakukan pengarang dengan cara mempersiapkan karakterisasi dua tokoh utama cerita tersebut yakni Kadi dan Perampok. Pemberian contoh kutipan pada bagian berikut ini diambil dari terjemahan antarbaris yang ada pada CS 34 karena kelengkapan datanya dibanding teks lainnya. Dalam hal ini karakter Kadi tidak dijelaskan secara renik dalam versi Arab tetapi dapat dipahami berdasarkan penggambaran pengarang dan dialog-dialog antar tokohnya. Berikut kutipan yang secara implisit memuat karakter Kadi. ... adalah di dalam masa Raja Harun Ar-Rashid di negeri Baghdad adalah seorang laki-laki dinamakan Kadi Muhammad anak Muqatil. Maka antaranya yaitu yang melihat di dalam setengah beberapa kitab-kitab maka bangun ia daripada tidurnya. Tiba-tiba melihat ia akan satu hadis daripada setengah imamimam yang menceritakan ...(CS 34: 1).
Karakteristik Kadi tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi dapat dikenali dari kegiatannya yang suka membaca pada malam hari. Hal ini mengindikasikan bahwa Kadi merupakan orang pintar (alim). Data yang terdapat pada unit tengah juga menguatkan karakter tersebut sebagaimana kutipan berikut. ‖...Maka berkata Kadi "Aku ini orang alim dan malukanlah olehmu dari ilmuku, hai rampok dan sunggunya telah berkata Nabi "Bermula orang alim itu dapat pusaka dari Nabi-nabi... ‖(CS 34: 7).
Selain data tersebut, karakter Kadi juga dapat dikenali berdasarkan konvensi masyarakat Arab yang menentukan persyaratan seorang menjadi Kadi di antaranya harus hafal Qur‘an dan harus hafal sejumlah hadis. Dengan demikian secara implisit pemilihan tokoh Kadi sebagai Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
145
FUAD MUNAJAT
tokoh utama kisah tersebut juga memuat karakterisasi Kadi yang sesuai dengan konvensi masyarakat Arab pada khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya. Pengenalan tokoh sāriq (rampok/pencuri) juga menjadi bagian penting. Dalam hal ini terdapat perbedaan penafsiran penerjemah dalam naskah asli dengan penyunting ketika kalimat … wa-huwa ma„rūf bi-alsirqah fa-ṣāḥā „alá al-Qāḍī diterjemahkan menjadi 'Dan yaitu Kadi mengenali dengan orang rampok (sic) [Dan rampok itu terkenal sebagai rampok besar]. Maka nyatalah oleh Kadi punya lihat (sic) [Maka berteriak perampok itu kepada Kadi]. Secara utuh fragmen pengenalan dan tempat perbedaan penafsiran tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. Dan tiada satu jam lamanya ia berjalan maka lalu ia bertemu dengan seorang tukang rampok. Dan adalah pada ketika itu malam yang gelap yang sangat gelapnya. Dan yaitu Kadi mengenali dengan orang rampok (sic) [Dan rampok itu terkenal sebagai rampok besar]. Maka nyatalah oleh Kadi punya lihat (sic) [Maka berteriak perampok itu kepada Kadi].
Perbedaan penafsiran tersebut dapat dijelaskan bahwa bentuk kata ma„rūf bi adalah bentuk partisipal pasif (passive participle) (Al-Khuli, 1982 : 203 dan 334) yang biasanya digunakan sebagai sifat (na‛t) dan bukan sebagai verba transitif. Demikian halnya kalimat setelahnya faṣāḥā „alá al-Qāḍī diterjemahkan 'Maka nyatalah oleh Kadi punya lihat '(sic) [Maka berteriak perampok itu kepada Kadi]. Hal ini menunjukkan kesalahan penerjemah dalam memahami struktur bahasa Arab karena pelaku (agen/fā‛il) dalam struktur bahasa Arab dapat lesap atau tidak tampak. Sementara itu obyek dari suatu verba dapat didahului preposisi (ḥarf jarr) bila verbanya dari jenis verba intransitif. Dengan demikian kalimat fa-ṣāḥā „alá al-Qāḍī yang sebelumnya diterjemahkan 'Maka nyatalah oleh Kadi punya lihat '(sic) dipahami sebagai [Maka berteriak perampok itu kepada Kadi]. Kedua analisis kesalahan terjemahan tersebut menjadi penting terutama dalam mengenali karakter perampok. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa perampok sebenarnya dikenal sebagai 'perampok ulung' yang sudah malang melintang di dunia hitam. Di samping terkenal sebagai perampok ulung tokoh ini juga dikategorikan sebagai seorang yang pandai. Hal ini meski tidak terdapat pada bagian pembuka (CS 34: 1–2) tetapi tersebar baik secara eksplisit maupun implisit pada unit tengah teks. Sebagai seorang yang cerdik 146
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
pandai perampok dapat mengetahui hal-hal yang tidak mungkin diketahui orang awam. Sebagai contoh perampok tersebut dapat menyebutkan Imam-imam Qirā‘at sab‛ah (tujuh cara membaca AlQur'an) sebagaimana dalam kutipan berikut. Maka berkata si rampok ―Saya hai tuanku Kadi, dan mereka itu pertama-tama Imam Nāfi‛ dan kedua Ibnu Kathīr dan ketiga Imam Abū ‗Umar dan keempat Imam Ibnu ‗Āmir dan kelima Imam ‗Āṣim dan keenam Imam al-Kisā‘i dan ketujuh Imam ḥamzah‖.
Selain pengetahuannya tentang imam-imam Qirā‘at sab‛ah perampok juga ahli di bidang astronomi bahkan jika diperiksa secara lebih seksama kepandaian astronomilah yang menjadi argumentasi kelayakan perampok dalam merampok Kadi. Kepandaian tersebut tampak pada kutipan berikut ini: Maka berkata si rampok ... Apa tiadakah engkau tahu bahwasanya bintang dan burujnya itu ada dua belas buruj dan bulan ada delapan belas manzilah?).
Atau pada kutipan berikut: (berkata perampok) "karna bahwasanya bintang ‛aqrab dan bintang mushtari dan bintang marrikh itu di dalam perhubungannya‖.
Meskipun belum ditampilkan secara keseluruhan, data di atas menjadi bukti bahwa karakter pandai merupakan karakter utama yang disematkan pengarang kepada tokoh perampok dalam rangka mengemban fungsi strukturnya. Namun demikian pada unit pembuka karakter perampok hanya ditampilkan sebagian karakternya yakni bahwa ia seorang 'perampok ulung' atau 'orang yang dikenal sebagai spesialis dalam perampokan (ma„rūf bi-al-sirqah). Penokohan Kadi yang dalam dunia nyata disifatkan dengan seorang yang cerdik pandai terlihat kontras jika dilihat pada Hikayat ini dijungkirbalikkan dan menjadi sifat Perampok. Ini merupakan ironi yang berfungsi sebagai sindiran atau lebih tepat lagi sebagai kritik terhadap kadi. Dalam hal ini yang disindir adalah kadi dalam pengertian tokoh pada hikayat ini. Namun demikian sindiran ini dapat dianalogikan
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
147
FUAD MUNAJAT
dengan kondisi di luar hikayat yang merupakan petanda3 bagi ‘kadikadi‘ lainnya dalam kehidupan nyata. Selain karakterisasi tokoh utama, kritik sosial juga dapat ditemui pada kenyataan kadi memiliki properti yang melimpah mulai sandang, pangan, dan papan. Terkait sandang, kadi memiliki baju yang mewah yang tentunya dibeli dengan uang yang banyak. Selain sandang, kadi juga disinyalir memiliki bahan makanan yang melimpah. Disebutkan pada ML 151, misalnya, ‖... dengan segala pohon buah-buahan daripada [ḥ-r-m?] dan delima dan pohon anggur dan zabib/1/...‖Di samping itu kadi juga memiliki taman yang lengkap dengan permandian, bale, kemah, yang sangat mungkin tidak dimiliki rakyat biasa. Belum lagi kepemilikan kuda yang untuk masa kini dapat disejajarkan dengan kendaraan mewah karena kuda tersebut adalah kuda terbaik. Kehidupan kadi atau penghulu pada masa kolonial meskipun tidak semewah kadi pada Hikayat Pencuri tetapi ada beberapa informasi yang menyatakan bahwa kehidupan mereka salah satunya ditopang oleh hasil zakat dan 10 % hasil dari harta warisan yang diajukan ke pengadilan. Sinyalemen Steenbrink yang menunjukkan adanya jurang (ekonomi) antara penghulu dengan kyai dapat menggambarkan betapa kondisi tersebut tidak terlalu jauh dari realitas sebenarnya. Kesimpulan Hikayat Pencuri sebagai karya sastra merupakan artefak budaya dalam bentuk prosa yang merekam atau memotret horison harapan masyarakat pada masanya. Anggapan bahwa penyalin Melayu sepadan dengan Pengarang Kedua (The Second Author) memperoleh pembenaran jika dilihat dari kenyataan karya-karya Melayu saduran dari bahasa lain memuat latar dan harapan yang disesuaikan dengan alam Melayu. Pun demikian halnya dengan Hikayat Pencuri, yang merupakan karya saduran dari karya Arab, memuat harapan-harapan yang melatarinya. Hikayat Pencuri merupakan potret dua citra kadi yang saling bergesekan pada masa kolonial disebabkan upaya sistematis pihak kolonial untuk memangkas kewenangan-kewenangan lembaga peradilan Islam, di mana kadi merupakan pejabat sentralnya. Banyaknya jumlah naskah yang memuat versi pendek (citra negatif kadi) mengindikasikan betapa upaya out-sizing yang diprakarsai pihak kolonial begitu masif.
3. Konsep petanda diambil dari Semiologi de Saussure yang membedakan antara penanda (signifier) dengan petanda (signified). Lihat PRADOPO, 1995: 119. 148
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
HIKAYAT PENCURI: PERGESEKAN CITRA PENGHULU ABAD KE-19
BIBLIOGRAFI ABDULLAH, IMRAN T., 2003, ―Resepsi Sastra: Teori dan Penerapannya‖ dalam Jabrohim (Ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita. ABRAMS, M. H. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston, 1981 AL-KHULI, MUHAMMAD ALI, 1982, A Dictionary of Theoretical Linguistics: English-Arabic. Beirut: Librairie Du Liban. BAHARUDDIN, JAZAMUDDIN, 1969, Katalog Naskah-Naskah Lama Melayu Di Dalam Simpanan Muzium Pusat Jakarta 1. Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. BEHREND, T.E. (ED.)., 1998, Katalog Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D‘Extreme Orient. CHURCHILL, W. A., 1935, Watermarks in Paper: in Holland, England, France, Etc. in The XVII and XVIII Centuries and Their Interconnectio. Amsterdam: Menno Hertzberger & Co, MCMXXXV. DJALIL, H.A. BASIQ, 2006, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh. Jakarta: Prenada Media Group. HARDJONO, IMAM, 2008, ―Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Sejarah Hukum‖, SUHUF, Vol. 20, No. 1, hlm. 1–22. HISYAM, MUHAMMAD, 1998, ―Implikasi Sosial Budaya Politik Hukum Adat: Sebuah Kajian Sejarah‖. MASYARAKAT INDONESIA, Jilid XXIV. No. 2. HOWARD, JOSEPH, H., Malay Manuscripts: a Bibliographical Guide. Kuala Lumpur: University of Malaya Library, 1966 HURGRONJE, C. SNOUCK., 1992, Tulisan-Tulisan tentang Islam di Hindia Belanda (jajaran pertama) kumpulan karangan C. Snouck Hurgronje. Terj. Soedarso Soekarno. Jakarta: INIS. –––––, 1993, Tulisan-Tulisan tentang Islam di Hindia Belanda (jajaran pertama) kumpulan karangan C. Snouck Hurgronje VIII. Terj. Soedarso Soekarno. Jakarta: INIS. IKRAM, ACHADIATI, 1997, Filologi Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1997 JAUSS, HANS ROBERT, 1988, ―Literary History as A Challenge to Literary Theory‖, dalam K.M. NEWTON. Twentieth Century Literary Theory. London: Macmillan. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
149
FUAD MUNAJAT
MAHFUD, MOH. MD., 1997, Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: Pusat Penerbitan UII Press. PIJPER, G. F., 1984, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia. PRADOPO, RACHMAT DJOKO, 1995, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. RUKMI, MARIA INDRA, 1993, ―Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX Naskah Algemeene Secretarie: Kajian dari Segi Kodikologi.‖ Tesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. SALIM, ARSKAL, 2005, ―Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara‖, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 5, No. 1, hlm. 60–73 SIDDIQ, MUHAMMAD. ―Peranan Kerajaan Islam di Nusantara dalam Pelaksanaan Peradilan Islam‖ http://sasarraniry.files.wordpress.com/2010/12/peranan-kerajaanislam-2010.pdf. diunduh pada 22 Agustus 2012. STEENBRINK, KAREL A., 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. SUHARTONO, ―Dinamika Politik Hukum Kompetensi Peradilan Agama‖. www.badilag.net/data/Artikel/ SYAFRUDDIN, 2012, ―Pengaruh Teori Receptie terhadap Politik Hukum Kewenangan Pengadilan Agama.‖ [2011]. Situs Dirjen Badan Peradilan Agama. Diakses 23 Agustus 2012. TOBRONI, FAIQ, 2009, ―Keberhasilan Hukum Islam Menerjang Belenggu Kolonial dan Menjaga Keutuhan Nasional, UNISIA, Vol. XXXII, No. 72 hlm. 197–208. WIERINGA, B. E. P., 1998, Catalogue of Malay And Minangkabau Manuscripts in The Library of Leiden University and Other Collection in The Netherlands. Leiden. WIJAYA, PAMELA MAHER. ―L.W.C. van den Berg: Teori Receptio in Complexu,‖ diunduh pada 22 Agustus 2012, http://agendapamel.wordpress.com/islamic-studie. NASKAH CS 34 Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. ML 151 Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Cod. Or. 1738 Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Cod. Or. 7324 Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden Belanda. 121 RS 5 Koleksi Al-Maktabah Al-Markaziyyah li-al-Makhṭūṭāt alIslamiyyah Mesir http://www.awkafmanuscripts.org. Diunduh pada 31-07-2012. 150
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Sebuah anomali pada pernaskahan Sunda Kuna
Abstrak Penelitian terhadap naskah Sunda Kuna (NSK) yang belum menyeluruh menimbulkan beberapa anggapan yang cenderung bersifat sementara. Seperti halnya anggapan Atja dan Danasasmita terhadap sebuah naskah berjudul Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630). Naskah tersebut pada mulanya dianggap tunggal (codex unicus), namun pada penelitian mutakhir ternyata ditemukan naskah dengan isi teks yang sama pada Kropak 624. Naskah 'kedua' ini memiliki keunikan karena menggunakan alas tulis dan aksara yang berbeda dari naskah pertama. Naskah Kropak 630 ditulis dengan aksara Buda/Gunung menggunakan tinta, pada bahan nipah. Sedangkan naskah Kropak 624 ditulis dengan aksara Sunda Kuna menggunakan péso pangot (pengutik), pada bahan lontar. Adapun bahasa yang digunakan pada kedua naskah tersebut sama, yaitu bahasa Sunda Kuna. Hal ini merupakan anomali dalam pernaskahan Sunda Kuna. Tulisan ini berupaya mengupas naskah Kropak 624 berdasarkan metode filologis, sehingga dapat terlihat persamaan kandungan teksnya dengan Kropak 630. Kata kunci: Naskah Sunda Kuna, Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Lontar, anomali. INFORMASI awal tentang keberadaan naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), pertama kali diungkap oleh ATJA DAN SALEH DANASASMITA pada tahun 1981. Penelitian tersebut merupakan tindak lanjut atas informasi yang dipublikasikan oleh K.F Holle pada tahun 1867. Holle mengumumkan tiga naskah Sunda Kuna Kuna (NSK)
* Peneliti. Sarjana Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
151
ILHAM NURWANSYAH
pemberian Raden Saleh kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weteschapen (BGKW). Pengumuman itu dimuat dalam artikel berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige Lontar-handschriften Afkomistig uit de Soenda-landen, door Radhen Saleh aan het Wetenschappen ten Gesnechenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali, diterbitkan dalam majalah TBG tahun 1867 (WARTINI, DKK., 2010:3). Ketiga NSK tersebut hanya diberi keterangan sebagai (1) Manuschrift Soenda A (MSA), (2) Manuschrift Soenda B (MSB), dan (3) Manuschrift Soenda C (MSC). Barulah setelah beberapa dekade kemudian NSK tersebut diteliti. MSA yang kemudian diberi nomor kode Kropak 632 adalah naskah yang berisi Amanat Galunggung (1981); MSB bernomor Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksakandang Karesian (1981); dan MSC bernomor kode Kropak 631 berjudul Candrakirana (1998) (DARSA & EKADJATI, 2006: 11). Pada awalnya naskah SSK dianggap sebagai naskah tunggal (codex uniqus) oleh Atja dan Saleh Danasasmita. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu itu belum dilakukan penelitian NSK yang menyeluruh. Di samping naskah-naskah yang didapat oleh Holle, terdapat pula naskah yang diperoleh dari Bupati Bandung, Wiranatakusumah IV (1846–1874) (KROM, 1914 dalam WARTINI DKK., 2010: 4), dan naskah yang diperoleh dari Bupati Galuh, Raden Aria Adipati Kusumadiningrat (1839–1866) yang berasal dari koleksi C.M. Pleyte (DARSA & EKADJATI, 2006:12). Naskah-naskah pemberian Bupati Bandung kini disimpan pada Kropak nomor 620-626 dan Kropak nomor 633-642. Sedangkan naskah pemberian Bupati Galuh yaitu Kropak nomor 406415 dan Kropak nomor 420-423. Setelah pada tahun 2008 dilakukan rekatalogisasi NSK koleksi BGKW (kini menjadi koleksi Perpusnas), terungkaplah beberapa naskah yang belum pernah tercatat dalam katalog-katalog sebelumnya beserta naskah yang belum pernah diteliti. Dalam pengumuman rekatalogisasi tersebut terdapat salah satu naskah yang cukup menarik perhatian, yaitu Kropak nomor 624 dan Peti nomor 85 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (GUNAWAN, 2009). Hal ini menarik karena ternyata naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian tidaklah uniqus seperti yang disebutkan sebelumnya oleh Atja dan Saleh Danasasmita pada Kropak nomor 630. Meskipun naskah Kropak 624 merupakan koleksi BGKW bersamasama dengan Kropak 630, namun diperoleh dari sumber yang berbeda. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian Kropak 630 berasal dari 152
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
NASKAH LONTAR SUNDA KUNA SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN
koleksi pemberian Raden Saleh, sedangkan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian Kropak 624 berasal dari koleksi pemberian Bupati Bandung. Penelitian-penelitian naskah yang dilakukan oleh Atja maupun Saleh Danasasmita tampaknya1 cenderung dilakukan pada naskah-naskah koleksi K.F. Holle atau pemberian Raden Saleh saja. Dengan demikian cukup jelaslah mengapa naskah Sanghyang Siksakandang Karesian pada awalnya dikatakan sebagai naskah tunggal (codex Kropak). Tetapi dengan terungkapnya naskah ‗kedua‘ dengan isi kandungan yang sama pada Kropak 624, maka angapan tersebut kini telah gugur. Bila dibandingkan dengan naskah Kropak 630, terdapat beberapa keunikan pada naskah Kropak 624 ini. Naskah Kropak 630 ditulis dengan aksara Buda/Gunung menggunakan tinta, pada bahan nipah. Sedangkan naskah Kropak 624 ditulis dengan aksara Sunda Kuna menggunakan péso pangot (pengutik), pada bahan lontar. Adapun bahasa yang digunakan pada kedua naskah tersebut sama, yaitu bahasa Sunda Kuna. Naskah dengan keunikan serupa ditemukan pada Kropak 623 Bima Swarga2, hanya saja bahasa yang digunakannya yaitu Jawa Kuna (SOPIAN, 2011). Aksara Sunda Kuna yang digunakan pada naskah Kropak 624 ini serupa dengan aksara yang digunakan untuk merekam bahasa Sunda Kuna, seperti dalam naskah Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Sasana Maha Guru, dan Bujangga Manik. Sedangkan mengenai perbedaan media tulis yang digunakan oleh naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, dapat merujuk pada keterangan dalam teks naskah Sanghyang Sasana Maha Guru3 (SSMG). /7v/…diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring taal, dingaranan ta ya carik, aya éta meunang utama, kéna lain pikabuyutaneun. Diturunkeun deui, sa(s)tra mu(ng)gu ring gebang, dingara(n)nan ta ya ceumeung. Ini iña pikabuyutaneun… 1. Di antaranya naskah kropak 632 (Amanat Galuggung), 630 (Sanghyang Siksakandang Karesian) dan kropak 410. 2. Pada koleksi PNRI naskah Bima Swarga terdapat 6 buah pada kelompok naskah Merapi-Merbabu (seluruhnya menggunakan aksara Buda/Gunung), dan 1 buah pada kelompok naskah Sunda kuno (menggunakan aksara Sunda kuna). Sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa kuna (SOPIAN, 2011:33-34). 3. Koleksi PNRI kode 15 L 621, merupakan teks prosa keagamaan yang ditulis pada daun lontar, menggunakan aksara Sunda kuna dan bahasa Sunda kuna (GUNAWAN, 2009) Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
153
ILHAM NURWANSYAH
…Diturunkan lagi, tulisan di atas di atas daun lontar, dinamakan goresan ‗carik‟, ada mendapatkan keutamaan, karena bukan untuk kabuyutan. Diturunkan lagi, tulisan di atas gebang, dinamakan hitam ‗ceumeung‟, inilah yang digunakan untuk kabuyutan… (GUNAWAN, 2009: 112–113).
Pada teks tersebut terlihat perbedaan fungsi dan kedudukan tulisan dengan alas tulis yang berbeda. Dalam hal ini lontar dan gebang. Tulisan di atas daun lontar dibuat dengan cara digores menggunakan pisau pangot atau pengutik. Dalam teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian terdapat bagian yang menjelaskan bahwa péso pangot perupakan alat yang digunakan oleh pandita. XVII …Ganggamam sang pandita ma: kala katri, péso raut, péso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina/h/ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala… … Senjata sang pendeta ialah: kala katri, pisau raut, pisau dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala … (ATJA & DANASASMITA, 1981).
Tulisan yang digoreskan di atas daun lontar berfungsi sebagai media untuk mendapatkan keutamaan, artinya mendapatkan segala manfaat dari kandungan yang ada di dalamnya. HOLIL DAN GUNAWAN (2010), seperti anggapan NOORDUYN DAN TEEUW (2006), memperkirakan bahwa naskah lontar yang umumnya berbentuk puisi, berkaitan erat dengan carita pantun, tradisi lisan Sunda masa lalu, karena memiliki pola metrum yang relatif sama. Artinya, teks-teks di atas daun lontar memungkinkan untuk ditampilkan secara lisan dalam sebuah pertunjukan carita pantun. Sementara tulisan di atas gebang dinamakan ceumeung (hitam). Yang dimaksud gebang adalah nipah, karena memiliki ciri-ciri yang sama yaitu ditulis menggunakan tinta hitam. Naskah nipah ditulis menggunakan tinta organik yang berasal dari hasil olahan nagasari dan damarsela, sedangkan pena yang digunakan adalah harupat (batang lidi pohon aren4) (HOLLE, 1882:17). NSK nipah hampir seluruhnya berbentuk prosa didaktis, berisi risalah keagamaan yang diajarkan sang pandita kepada sang séwaka darma. Hal ini diperkuat dengan pengaruh penggunaan bahasa Jawa 4. 154
Arrenga sp. Dalam bahasa Sunda sering disebut sebagai kawung Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
NASKAH LONTAR SUNDA KUNA SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN
Kuna, sebagai bahasa pengantar keagamaan, yang cukup dominan dalam naskah nipah (HOLIL & GUNAWAN, 2010:114-115). Berdasarkan hal ini, dapat dimengerti mengapa naskah-naskah gebang dijadikan sebagai kabuyutan atau mandala (pikabuyutaneun). Naskah Kropak 624 memiliki kandungan teks yang sama dengan Kropak 630, padahal dituliskan pada bahan yang berbeda (lontar dan gebang). Apabila konteks kabuyutan yang dimaksud pada naskah SSMG tersebut mengacu pada isi teks naskah dengan bahan tertentu, maka naskah Kropak 624 merupakan sebuah anomali. Dengan demikian diperlukan kajian lebih mendalam mengenai fungsi NSK berdasarkan bahan tulisnya, yang mengacu pada keterangan di dalam naskah SSMG. Selain itu, karena bentuk teksnya yang tidak bermetrum puisi, tampaknya naskah Kropak 624 ini adalah naskah yang kecil kemungkinannya untuk ditampilkan sebagai tampilan pada carita pantun. Deskripsi Naskah Identitas Naskah Naskah yang menjadi objek penelitian ini adalah naskah dengan nomor kode nv. 69 L 624 koleksi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) atau disebut dengan naskah Kropak 624. Naskah tersebut disimpan pada kelompok ―Kropak Bandung‖, yang berasal dari pemberian ahli waris Bupati Bandung, Wiranatakusumah IV (1846-1874), kepada Masyarakat Batavia Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan (BGKW) kira-kira paroh kedua abad-19 (KROM dalam GUNAWAN, 2010: 149). Dalam laporan kepurbakalaan tersebut tercatat bahwa Kropak nomor 620 sampai dengan nomor 633 dan Kropak nomor 633 sampai dengan nomor 642 adalah pemberian Bupati Bandung. Judul pada label disebutkan 'Wariga'5 tetapi setelah dibaca di bagian awal, tengah dan akhirnya, jelaslah isinya sama dengan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang tercatat pada koleksi Perpustakaan Nasional nomor inv. Kr 630 (DANASASMITA, dkk., 1987). Mengenai isi teks Kropak 624, GUNAWAN DAN HOLIL (2010:136) juga menyebutkan bahwa naskah tersebut berisi teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Di bawah ini ditampilkan cuplikan perbandingan teks Kropak 624 dengan Kropak 630 pada bagian awal, tengah dan akhir:
5.
―wariga‖ dalam naskah Bali memuat pengetahuan tentang ilmu astronomi dan astrologi (Agastia dalam Istadiyantha, 2008)
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
155
ILHAM NURWANSYAH
Bagian Awal Teks L 624 <1A> (...) inge(t)keuneun, sinangguh ulah pamali ngarana.
L 630 …ingetkeuneun,
sinangguh ulah pamali ngara(n)na.
Kitu kéh lamu(n) urang dék papar[r]an ulah dék katurut ku hulun sakalih.
Itu haywa ulah dék (di)turut ku hulun sakalih.
Lamu(n) urang dék maan (...)nya ma, mangka majar ka panghulu ta(n)dangna.
Lamun urang dék maan inya ma maka majar ka panghulu tandang.
Bagian Tengah Teks L 624
L 630
<10A> (......) na étu ma, pa(n)day tanya.
<XVII>…di sarean(ana), eta ma panday tanya.
Sawalur[r]an ning ukir ma, dinanagakeun, dibarongkeun, ditiru paksi, ditiru wreré, ditiru singha, sing sawatek ukir-ukir(...)n ma, marangiy tanya…
Sa(r)walwir/a/ ning ukir ma: dinanagakeun, dibarongkeun, ditiru paksi, ditiru were, ditiru singha; sing sawatek ukir-ukiran ma, marangguy tanya.
Bagian Akhir Teks L 624
L 630
<20B>…hdap kita pinahka sang resi. Ya tritangtu di bumi, kangken paneguh ning bwana.
<XXVI>…h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na.
Ini triwarga di la(m)ba. Wisnu kangken prebu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi…
Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi…
Setelah ditinjau dan dibandingkan dengan edisi suntingan Kropak 630, susunan lempir naskah Kropak 624 (Seterusnya disebut SKKL: Siksa Kandang Karesian Lontar) tidak tersusun dengan benar dan bagiannya tidak lengkap. HOLIL DAN GUNAWAN (2010:123) menemukan sebagian lempiran lain yang berisi teks Kropak 624 pada Peti 85 kode 1**. Naskah yang diperkirakan merupakan bagian lain dari Kropak 624 ini bersatu dengan naskah Bali dan Merbabu dalam sebuah kotak karton. Pada Peti nomor 85 terdapat 5 lempir naskah lontar yang 156
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
NASKAH LONTAR SUNDA KUNA SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN
menggunakan bahasa Sunda Kuna dan aksara Sunda Kuna dengan 4 baris aksara pada tiap lempirnya. Keadaannya telah hancur, patah dan keropos tanpa pengapit bambu. Ukurannya 36,3 × 3 cm (lempir terpanjang). Isinya yaitu Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Pada kolofon disebutkan tempat penulisan naskah ini, yaitu di Nusakrata (?). Naskah ini ditulis pada bulan kesepuluh hari Selasa Manis. Wujud Naskah Naskah dengan kode inv. 69 L 624 koleksi Perpusnas ini ditulis pada daun lontar berukuran 36,2 × 3,2 cm. Jumlah lempirnya 20 (recto-verso, 40 halaman) tersusun atas 4 baris tulisan pada tiap halamannya. Pada bagian kiri bambu pengapit terdapat angka 624 yang menandakan nomor kode naskah dan pada bagian kanannya ditempel label bertuliskan 20 = 314 × 32 mm. Lempiran-lempiran tersebut disatukan dengan benang kasur warna putih yang dimasukkan pada lubang kecil di bagian tengah naskah. Pengapit terbuat daru dua bilah bambu tutul. Secara keseluruhan, keadaan fisiknya mulus dan tulisannya masih dapat terbaca dengan cukup jelas.
Gambar 1. Naskah SKKL Kropak 624 Koleksi Perpusnas RI.
Bagian sudut kiri naskah ini sedikit patah. Patahan tersebut berukuran dan berbentuk sama dan terdapat pada setiap lempiran dan pengapitnya. Tidak ditemukan keterangan yang menjelaskan mengapa patahan tersebut terjadi. Pada beberapa lempiran terdapat bagian yang berlubang akibat serangga. Pada setiap halaman verso terdapat angka yang ditulis dengan huruf Latin mulai dari angka 11 sampai 30. Posisinya berada di pojok kiri atas. Dari keberadaan angka ini, dapat diperkirakan, setidaknya pada mulanya naskah ini berjumlah 30 lempir atau mungkin lebih.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
157
ILHAM NURWANSYAH
Gambar 2. Bagian naskah yang patah.
Aksara Sunda yang digunakan pada naskah Kropak 624 ini adalah aksara Sunda Kuna, serupa dengan aksara yang digunakan untuk merekam bahasa Sunda Kuna, seperti dalam naskah Carita Parahyangan, Fragmen Carita Parahyangan, Carita Ratu Pakuan, Sanghyang Sasana Maha Guru, dan Bujangga Manik. Naskah ini memiliki karakter penulisan yang khas dari NSK yang disebutkan sebelumnya. Agar lebih jelas, di bawah ini ditampilkan karakter aksara Sunda Kuna pada naskah SKKL. Bentuk
Nilai
Bentuk
Nilai
ka
pa
ga
ba
nga
ma
ca
ya
ja
ra
nya
la
ta
wa
da
sa
na
ha
Tabel 1. Aksara Konsonan
158
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
NASKAH LONTAR SUNDA KUNA SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN
nilai
bentuk
a
Nilai le/leu
i
mpa
u
ķ (final)
bentuk
é tra o
ro
eu/e
Tabel 3. Aksara Khusus
Tabel 2. Aksara Vokal
Angka yang ditulis dengan aksara Sunda Kuna ditemukan pada bagian sisi kiri atas, pada halaman verso. Posisinya terbalik 180o dari arah baca. Hal ini termasuk jarang ditemukan pada NSK lainnya yang biasa ditulis tegak 90o dari arah baca6. Angka tersebut hanya ditemukan pada 8 lempir, yaitu pada lempir 2B hingga 9B. Rekonstruksi Teks Rekonstruksi teks merupakan proses menyusun kembali teks pada naskah agar dihasilkan susunan teks yang sesuai dengan konteks kalimat dan alur cerita (WARTINI, DKK., 2010). Rekonstruksi teks sangat diperlukan untuk menyusun kembali alur pada naskah SKKL, sebab pada proses pemotretan hanya dilakukan pada satu sisi untuk lima lempir (depan saja, belakang saja). Hal ini tidak sesuai dengan susunan cara membaca lempiran naskah yang biasanya depan-belakang (rectoverso). Isi teks SKKL sama dengan teks pada naskah Kropak 630, oleh karena itu untuk merekonstruksi teks SKKL dilakukan perbandingan dengan Kropak 630, dengan maksud untuk menemukan susunan teks yang tepat. Setelah ditinjau dan dibandingakan dengan hasil transliterasi naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian Kropak 630 (DANASASMITA: 1987), ternyata ditemukan susunan yang tidak sama. Hal ini mungkin saja terjadi karena susunan lempir berubah saat penyimpanan dan kesalahan saat mengapit, atau akibat kesalahan juru tulis saat menyalis (atau membuat) naskah ini. Dengan demikian, susunaan lempir setelah 6.
Wawancara dengan Aditia Gunawan di PNRI, 2011.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
159
ILHAM NURWANSYAH
dilakukan rekonstruksi menjadi 1A, 1B, 2A, 2B, 3A, 3B, 4A, 4B, 5A, 5B-16B, 17A, 17B-6B, 7A, 7B, 8A, 8B, 9A, 9B, 10A, 10B, 11A, 11B, 12A, 12B, 13A, 13B, 14A, 14B, 15A, 15B, 16A, 16B-5B, 6A, 6B-17B, 18A, 18B, 19A, 19B, 20A, dan 20B. Analisa Perbandingan Teks Temuan atas teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang sama pada media tulis dan aksara yang berbeda menjadi menarik untuk ditelaah. Hal ini dapat menggambarkan tradisi penyalinan (dan penulisan) teks keagamaan yang dilakukan pada masa Sunda kuna. Menurut DE HAAN (dalam BARIED: 56–57), teks-teks keagamaan biasanya merupakan teks yang tidak memungkinkan untuk diadakan penyempurnaan karena pengarangnya telah menentukan pilihan kata yang ketat dalam bentuk literer. Namun ternyata terdapat beberapa perbedaan yang ditemukan pada teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Mengenai perbedaan yang terdapat pada penyalinan teks, MARTIN L. WEST (1973) menyatakan bahwa dalam proses penyalinan itu tidak tertutup kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Bisa juga perubahan dalam teks adalah atas kemauan pengarang di masa hidupnya, seperti menambah atau menghilangkan bagian teks dari teks (Martin L. West, 1973 dalam LUBIS, 2001:33) Secara umum teks SSK 630 lebih lengkap daripada teks SSK 624. Namun teks SSK 624 rupanya juga memiliki bagian yang ―melengkapi‖ teks 630, walaupun tidak banyak. Selain itu, ditemukan pula perbedaan ejaan dan penulisan atas beberapa kata pada kedua teks. Berdasarkan perbandingan data yang tersedia penulis tidak dapat menyatakan bahwa teks 624 merupakan salinan atas 630, ataupun sebaliknya. Perlu dilakukan penelitian lebih mendalam atas berbagai kemungkinan sehubungan proses penyalinan teks Sanghyang Siksa Kandang Karesian ini. 1. Sinonim Penggunaan sinonim atau persamaan nama ditemukan pada kata liman (624) dan gajah (630) yang memiliki arti yang sama: gajah. L 624
L 630
hayang nyaho di luar leuweung ma, liman tanya. Ini kalingana, kangken luar lewir ta ma, nyaho di hdapna
Hayang nyaho di lwir ning leuweung ma gajah tanya. Ini ka-lingana. Kangken lwir ta ma nyaho di tineung nu reya.
160
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
NASKAH LONTAR SUNDA KUNA SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN
réa, kangken liman ta ma nyaho dibebedas sang
Kangken gajah ta ma nyaho di bebedas sang
2. Haplografi pada teks 624 Dalam pembahasan mengenai ganggaman sang prebu (perkakas/senjata sang prabu), pada teks 624 tidak ditemukan kata pedang. L 624
L 630
ga(ng)gaman sang prebu, abet pamuk, golok, péso teu(n)deut, keris rakraksa pinah ka déwanya, ja itu para(n)ti maéh[h]an sagala.
Ganggaman di sang prabu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa pina/h/ka dewanya, ja paranti maehan sagala.
Pada teks 630 terdapat Haturwangi untuk salah satu nama pantun, sedangkan pada teks 624 tidak ada. L 624 Hayang nyaho di pa(n)tun ma, la(ng)galarang, banyakcatra, sili[h]wangi, prepa(n)tun tanya.
L 630 Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya.
3. Haplografi pada teks 630 Pada teks 624 terdapat kata kasangabelah (kesembilan belas) yang tidak terdapat pada teks 630. L 624
L 630
Maka nguni karobelah, telubelah, kapatbelah, kalimabelah, kanembelah, kapitubelah, kawalubelah, kasangabelah, sing-(...)k arega ma, citra sang byapari tanya.
maka nguni karobelah, katelubelah, kapatbelah, kalimabelah, kanembelah, kapitubelah, kawolubelah; sing sawatek arega ma citrik byapari tanya.
4. Teks 624 & 630 saling melengkapi7 Pada teks 624 terdapat Palembang, Siem dan Atas Angin namun tidak ditemukan pada teks 630. Sebaliknya, pada teks 630 terdapat Pahang, 7. Berdasarkan perbandingan data yang tersedia. Bisa juga perubahan dalam teks atas kemauan pengarang di masa hidupnya, seperti menambah atau menghilangkan bagian teks dari teks (MARTIN L. WEST, 1973 dalam LUBIS, 2001: 33) Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
161
ILHAM NURWANSYAH
Buwun, Mekah, Jenggi, Sapari, Gedah, dan Solodong, yang tidak ditemukan pada teks 624. L 624
L 630
Hayang nyaho di carék paranusa ma, carék Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra, Banggali, Makasar, Palémbang, Siem, Kala(n)te(n), Baka(ng), Béten, Tulang Bawang, Séla, Pasay, Parayaman, Nagara Dékan, Dinah, Andeles, Tégo, Moloko, Badan, Pégo, Malangkabo[t], Burétén, Lawé, Saksak, Se(m)bawa, Bali, Sabini, Ngogan, Kana[ng]ngen, Kumering, Simpang Tiga, Gumantung, Manu(m)bi, Bubuh, Nyiri[ng], Patuka[ng]ngan, Su<13B>rabaya, Lamarung, Ja(m)budipa, Séran, Solot, I(n)dragiri, Tu(n)jung Pura, Sakampung, Atas A[ng]ngin, Cempa, Baluk, Jawa sing sawatek paranusa ma, sang juru basa tanya, sang darmamurcarya tanya.
Lamun dek nyaho di carek para nusa ma: carek Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kala(n)ten, Bangka, Buwun, Beten. Tulangbawang, Sela, Pasay, Parayaman, Nagara Dekan, Dinah, Andeles, Tego, Maloko, Badan, Pego, Malangkabo, Mekah, Buretet, Lawe, Saksak, Se(m)bawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ngogan, Kanangen, Kumering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, /Bali/. Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; sing sawatek para nusa ma sang jurubasa darmamurcaya tanya.
Penutup Dari pengkajian atas naskah SKKL ini didapatkan beberapa informasi baru yang dapat menambah pengetahuan dalam khazanah pernaskahan Sunda Kuna. Beberapa poin penting yang menjadi catatan atas pengkajian naskah ini yaitu: 1) Teks naskah Sunda Kuna berbahan lontar tidak selamanya berbentuk puisi bermetrum, tetapi juga prosa didaktis; 2) Teks dengan kandungan isi yang sama (dapat) ditulis pada media tulis dan aksara yang berbeda; dan 3) Aksara sunda yang bernilai bilangan (angka) pada naskah lontar dapat ditulis dengan posisi diputar 180o dari arah baca. Peninjauan lebih jauh terhadap temuan ini dapat diperbandingkan dengan keberadaan NSK lain yang telah diteliti, yang juga memiliki anomali, atau hal yang di luar dari kebiasaan NSK pada umumnya. Misalnya, penulisan atau penyalinan teks dan bentuk teks pada NSK ternyata tidak terpaku pada pengunaan huruf, bahasa dan media tulis yang sama, melainkan lebih luas. Huruf, bahasa dan media tulis dapat dipergunakan secara silang pada NSK. Contohnya terdapat pada naskahnaskah berikut: a) Carita Parahyangan (Aksara Sunda Kuna-bahasa Sunda Kunalontar-prosa); 162
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
NASKAH LONTAR SUNDA KUNA SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN
b) Bima Swarga (Aksara Sunda Kuna-bahasa Jawa Kuna-lontarprosa); c) Siksa Kandang Karesian 630 (Aksara Buda-bahasa Sunda Kunanipah-prosa); d) Kala Purbaka (Aksara Buda-bahasa Sunda Kuna-lontar-puisi); dan e) Siksa Kandang Karesian 624 (Aksara Sunda Kuna-bahasa Sunda Kuna-lontar-prosa). Penggunaan huruf (Sunda Kuna/Buda), bahasa (Sunda Kuna/Jawa Kuna), media tulis (lontar/nipah), dan bentuk teks (puisi/prosa) yang tidak terpaku pada suatu aturan pengemasan baku, namun tetap dapat menunjukkan ciri kedaerahannya, menunjukkan bahwa akulturasi budaya pada masyarakat Sunda Kuna tidak serta merta menghilangkan jati diti mereka sebagai urang Sunda. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa masyarakat Sunda Kuna memiliki sifat jembar, pemikirannya cukup terbuka terhadap perbedaan yang ada dan mampu mengelaborasikannya ke dalam bentuk lain, namun tetap dalam koridor identitas kesundaannya. DAFTAR PUSTAKA DANADIBRATA, 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama. DANASASMITA, SALEH DKK., 1987, Sewaka Darma (Koropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Koropak 630), Amanat Galunggung (Koropak 632), Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud. DARSA, UNDANG A. DKK. 2004. Darmajati Naskah Lontar Koropak 432 Transliterasi, Rekonstruksi, Suntingan dan Terjemahan Teks. Bandung: Universitas Padjadjaran. GUNAWAN, ADITIA. 2009. Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. ISTADIYANTHA. 2008. Bahan Kuliah Laboratorium Filologi. Surakarta: UNS LUBIS, NABILAH. 2001. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia MARDIWARSITO, L. 1990.Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Nusa Indah. NURWANSAH, ILHAM. 2012. Kandaga Kecap dina Naskah Sanghyang Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
163
ILHAM NURWANSYAH
Siksa Kandang Karesian (624) pikeun Bahan Pangajaran Maca di SMA. (Skripsi). Bandung: FPBS UPI HOLIL, MUNAWAR DAN ADITIA GUNAWAN. 2010. ‗Membuka Peti Naskah Sunda Kuna Koleksi Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi, dalam Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda dan Esai-esai lainnya mengenai kebudayaan Sunda (Sundalana 9). Bandung: Pusat Studi Sunda. Perpusnas. 2011. Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara Vol.2 No. 1. (Jurnal). Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. RUHALIAH. 2004 Naskah Sunda Koléksi Perpusnas. Diktat penunjang Mata Kuliah Filologi, UPI Bandung. SURYANI, ELIS, NS. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia TEEUW, A. & NOORDUYN, J. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya. TIM UNICODE AKSARA SUNDA. 2008. Direktori Aksara Sunda untuk Unicode. Bandung: Dinas Pendidikan Pemprov Jawa Barat. WARTINI, TIEN, DKK. 2010. Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna. Jakarta: Perpusnas-Yayasan Pusat Studi Sunda.
164
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Abstrak Kajian tentang pembangunan (ekonomi) selama ini didominasi oleh pandangan yang sangat materialistik sehingga proses dan tujuan pembangunan menjadi amat reduksionis. Implikasinya, persoalanpersoalan ekonomi yang hendak dipecahkan lewat serangkaian program pembangunan bukannya selesai, melainkan malah menciptakan masalah baru yang tidak kalah serius, seperti kemelaratan, ketimpangan, pengangguran, kriminalitas, degradasi lingkungan, dan masih banyak lainnya. Bahkan, telah menyebabkan terjadinya pergeseran atas konsep zakat, terutama dalam implementasinya. Bahkan dalam konteks Indonesia kontemporer, zakat bagi sebagianbesar penduduk yang mayoritasnya umatmuslim hanya dimaknai sebagai zakat fitrah,sehingga berbagai keriuhan pembayaran zakatbegitu kentara hanya menjelang Idul Fitri. Pada titik inilah, zakat lebih nampaksebagai ritual budaya periodik umat Islam daripada anjuran Tuhan dalam rangkamenyeimbangkan kesejahteraan umatmanusia.Padahal potensi zakat sebenarnya dapat digunakan untuk membangun kesejahteraan umum (welfare state). Oleh karena itu, perlu ada sebuah kajian komprehensif untuk melihat kembali pola berperikehidupan para nenek moyang kita dulu yang tersimpan dalam naskah-naskah kuna sehingga dapat menjadi cermin, sekaligus alternatif solusi di masa kini dan masa yang akan datang. Kata kunci: kearifan lokal, zakat, ekonomi, welfare state, dan syair nasihat.
* Peneliti, Dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected] Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
165
ASEP YUDHA WIRAJAYA
PEMBANGUNAN ekonomi yang didominasi oleh Aliran Ekonomi Positif yang lebih bersifat normatif, telah mengabaikan kompleksitas aspek etis yang justru berperan penting dalam mempengaruhiperilaku manusia.Implikasinya, persoalan-persoalan ekonomi yang hendak dipecahkan lewat serangkaian program pembangunan bukannya terselesaikan, melainkan malah menciptakan masalah baru yang tidak kalah serius, seperti kemelaratan, ketimpangan, pengangguran, kriminalitas, degradasi lingkungan, dan masih banyak lainnya. Berbagai transfomasiekonomi-politik di berbagai belahan dunia juga ikut menyebabkan terjadinya pergeseran atasKonsep Zakat, terutama dalamimplementasinya. Bahkan dalam konteks Indonesia kontemporer, zakat bagi sebagian besar penduduk yang mayoritasnya umat muslim hanya dimaknai sebagai zakat fitrah, sehingga berbagai keriuhan pembayaran zakat begitu kentara hanya menjelang Idul Fitri. Pada titik inilah, zakat lebih nampak sebagai ritual budaya periodik umat Islam daripada anjuran Tuhan dalam rangka menyeimbangkan kesejahteraan umat manusia. Artikel ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang zakat dan segala problematikanya dilihat dari perspektif yang memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal dalam naskah-naskah kuna. Syair Nasihat merupakan salah satu naskah kuna yang masih terdokumentasikan dengan baik dan mengandung berbagai konsep pengembangan zakat sebagai pilar ekonomi berbasis welfare state. Bentuk-bentuk kearifan pemikiran nenek moyang yang terkandung dalam naskah diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan manusia di era global. Zakat dalam Teks Syair Nasihat Zakat merupakan bagian dari rukun Islam, yang di dalam Alquran selalu dikaitkan dengan salat. Artinya, kata zakat sering kali disandingkan dengan kata salat. Salat adalah ibadah badaniah paling utama dan zakat adalah ibadah maliyah (materi) yang amat penting. Dua kewajiban pokok itu merupakan pertanda hubungan harmonis manusia dengan Tuhan Semesta Alam maupun dengansesama manusia. Sungguh sebuah perpaduan yang serasi, karena kebaikan dan kesalehan seharusnya tidak hanya terbatas pada diri pribadi, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat sekitar. Kebaikan dan kesalehan inilah yang merupakan inti ajaran dari salat dan zakat. Adapun kata ―saleh‖ dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa arab shalih, yang lazim menjadi kata sifat atau ajektif dan disematkan pada individu (orang). Dalam bahasa Arab, kata “shalih” 166
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
WELFARE STATE SEBAGAI PILAR PENGENTASAN KEMISKINAN
memiliki arti mustaqim muaddi liwajibatihi, artinya orang istikamah yang selalu melaksanakannya kewajibannya dan salamah min aib, yang artinya bebas dari aib atau tidak cacat moral. Dalam bahasa Indonesia, kata itu juga biasa digunakan untuk menyifati orang yang bermoral baik, taat dan bersungguh-sungguh menjalankan ibadah (bdk. DENDY SUGONO, DKK, 2008: 1249; MAHMUD YUNUS, 1973: 219). Kata ―zakat‖, secara etimologis berasal dari bentukan kata kerja dasar (fi‟il madhi) zaka yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (bdk. M. DJAMAL DOA, 2002: 15; Ilyas Supena dan Darmuin, 2009: 1). Sementara itu, berdasarkan terminologi syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah swt. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada kelompok masyarakat sosial tertentu yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Dengan kata lain, syariat zakat adalah bentuk kepedulian dan perhatian Islam terhadap masalah kesejahteraan sosial. Jadi secara umum, pengertian zakat dapat dirumuskan sebagai bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu adalah nisab,1haul,2 dan kadar3nya (M. DJAMAL DOA, 2002: 7). Adapun dalam teks SN kutipan sebagai berikut. artamu simpan berpeti-peti tetapi tiada engkau zakati niscaya tiada kaubawah mati melainkan di akhirat siksa menanti emas dan perak kaubanyak himpunkan zakatnya engkau tiada keluarkan hak fakir tiada kaubayarkan di akhirat apa kelak kaubayarkan
(SN, h. 30)
Jadi, zakat adalah ibadah (kewajiban) individual yang sepenuhnya dinikmati oleh delapan kelompok ashnaf,4 terutama fakir dan miskin.5 1. Nisab adalah jumlah minimum harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya 2. Haul adalah jangka waktu yang ditentukan bila seseorang wajib mengeluarkan zakat harta 3. Kadar adalah ukuran besarnya zakat yang harus dikeluarkan 4. Masyarakat sosial yang berhak menerima zakat, yaitu: fakir dan miskin, amil zakat, golongan mualaf, untuk memerdekan budak belian, orang yang berhutang, orang yang berjuang di jalan Allah (ibnu sabil). 5. Fakir dan miskin adalah golongan yang pertama dan kedua disebutkan dalam Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
167
ASEP YUDHA WIRAJAYA
Adapun kaitan antara makna secara bahasa dan istilah ini, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang.6 Selain itu, zakat juga merupakan ibadah berdimensi vertikal dan horizontal secara bersamaan. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak dan akan memberikan kemakmuran kepada seluruh umat. Adapun kutipan dalam teks SN adalah sebagai berikut. jikalau zakatnya tiada dikeluarkan itulah arta haram dimakan// lagi pun haram dihidupkan fakir dan miskin telah memuliakan zakatnya itu wajib dikeluarkan Allah dan rasul-Nya telah menyuruhkan dan dalil dan hadisnya yang mengatakan menjadi kafir yang mendustakan siapa tiada mengeluarkan zakat artinya tiada mempunyai berkat rahmat Allah tiada kepadanya dekat di dalam neraka lehernya terikat barang siapa mengeluarkan zakat artanya yang tinggal sah bertambah berkat malaikat pun kamu kepadanya dekat di dalam akhirat peroleh pangkat zakat itu tiada akan hilang pahalanya bukan alang kepalang kendih-berkendi tiada terbilang dimurahkan Allah rezekinya tiada bersilang// apabila sudah sampai akan musimnya dan arta itu genap nisabnya Alquran surat at- Taubah, dengan tujuan bahwa sasaran zakat adalah menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan dalam masyarakat Islam. Pemuka ahli tafsir, Tabari, menjelaskan bahwa yang dimaksud fakir, yaitu orang yang terdesak dalam memenuhi kebutuhan, tetapi dapat menjaga diri tidak meminta-minta atau orang yang sangat berkekurangan, orang yang terlalu miskin. Adapun yang dimaksud dengan miskin, yaitu orang yang dalam memenuhi kebutuhannya suka meminta-minta. 6. Lih. QS. At-Taubah [09]: 103 dan QS. Ar-Rūm [30]: 39. 168
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
WELFARE STATE SEBAGAI PILAR PENGENTASAN KEMISKINAN
wajib pula dikeluarkannya kepada yang empunya hak diberikannya (SN, h. 30 – 31)
Zakat dimaksudkan untuk membersihkan harta benda milik manusia agar tidak tercampur dari hak orang lain, terutama fakir dan miskin. Zakat berarti pula pertumbuhan, karena dengan memberikan hak fakir miskin dan lain-lain, maka terjadilah suatu sirkulasi harta atau uang dalam masyarakat (M. DJAMAL DOA, 2002: 9–10). Dalam pengelolaan zakat yang di dalamnya terdapat sirkulasi harta atau uang masyarakat sebenarnya sudah sejak lama diusulkan agar dilakukan secara sentralistik oleh pemerintah. Bahkan keinginan itu bukan hanya datang dari pemerintah, tetapi juga datang dari praktisi lembaga zakat (LAZ) yang dikelola masyarakat. Antara pemerintah dan swasta sama-sama berpendapat bahwa dengan dikelola secara sentral oleh negara, maka pengelolaan zakat di Indonesia dapat berjalan dengan lebih baik, terpadu, dan optimal. Pemerintah akan dengan mudah mengusulkan dan mengeluarkan kebijakan yang pro perkembangan zakat, baik dari segi penghimpunan maupun segi penyalurannya, termasuk membuat kebijakan yang mengikat bagi muzaki agar mengeluarkan zakatnya secara teratur, penyediaan data penghimpunan dan penyaluran secara komprehenshif serta penyediaan data mustahik (warga tidak mampu) secara lengkap dan akurat.Seperti itulah konsep yang ideal, yang dipraktikkan pada masa Rasulullah. Akan tetapi kenyatannya, sejak dahulu di Indonesia organisasi pengelola zakat yang dikelola pemerintah kurang dipercaya masyarakat. Bahkan sejak reformasi bergulir, kepercayaan terhadap pemerintah semakin menurun. Oleh karenanya sentralisasi pengelolaan zakat harus dilakukan secara bertahap, melalui proses persiapan yang cukup matang, bukan dilakukan dengan serta merta pada saat ini, sebab dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap lembaga zakat nonpemerintah (yang dibentuk masyarakat sipil) yang sudah berjalan cukup baik justru akan menurun. Bagi organisasi pengelola zakat, sebagai institusi publik yang mengelola dana publik, kepercayaan publik menjadi faktor yang sangat penting bagi keberlangsungan lembaga. Baik Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai institusi negara maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ)7 sebagai organisasi 7. Forum Zakat (FOZ) mencatat saat ini ada 421 organisasi pengelola zakat di Indonesia. Jumlah itu terdiri, 1 BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) Nasional, 32 Badan Amil Zakat (BAZ) Provinsi, lebih dari 300 BAZ kabupaten/kota dan lebih dari 70 LAZ baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
169
ASEP YUDHA WIRAJAYA
masyarakat berlomba-lomba merebut kepercayaan publik. Dalam konteks tersebut eksistensi masing-masing ditentukan oleh kenyataan hubungan antara negara dan masyarakat. Saat birokrasi kuat, organisasi pengelola zakat yang didirikan oleh pemerintah cenderung menguat. Sebaliknya saat birokrasi mengalami delegitimasi, ia pun melemah karena lazimnya kepercayaan rakyat terhadapnya juga menurun. Sementara kenyataan saat ini, tren global menempatkan masyarakat sipil sebagai sebuah kekuatan yang cukup signifikan dalam berbagai gerakan memerangi kemiskinan. Hal ini terbukti semakin tingginya kepercayaan donatur dan muzaki yang menitipkan zakatnya kepada lembaga zakat milik swasta dibandingkan kepada badan amil zakat milik pemerintah. Penghimpunan dana-dana sosial (zakat, infak, sedekah, wakaf, dan lainlain) oleh lembaga zakat milik swasta terbukti jumlahnya lebih besar dibandingkan jumlah yang dihimpun oleh lembaga zakat milik pemerintah. Pemerintah berperan membuat undang-undang tentang zakat yang dapat menjamin seluruh fungsi administratif negara dapat meningkatkan kesejahteraan umum maupun perseorangan melalui peran zakat. Pemerintah juga harus berperan sebagai pengawas bagi operasionalisasi lembaga amil zakat. Kedua fungsi ini dapat diperankan oleh sebuah lembaga independen, semacam komisi yang bertanggungjawab langsung kepada presiden. Sementara lembaga pengelola zakat yang sudah mendapat kepercayaan publik diperkuat dan diberi ruang gerak lebih luas lagi bagi kemajuan lembaganya. Semangat seperti inilah yang cocok dengan tren global yang terjadi di tengah melebarnya partisipasi publik. Indonesia sebagai negara yang beragama dan melindungi warganya untuk mengamalkan ajaran dan kewajiban agamanya, tentu akan semakin mendorong semangat civil society tumbuh dan kuat di negara ini. Dengan cara seperti ini, maka zakat dapat dijadikan sebagai salah satu sarana potensial untuk membantu pemerintah dalam mendistribusikan kekayaan dan pemerataan pendapatan. Potensi zakat yang masih ―tersembunyi‖ di Indonesia akan dapat tergali secara optimal dan dikelola dengan baik sehingga berimplikasi pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Potensi Zakat Potensi Zakat Fitrah Berdasarkan kutipan teks SN, diketahui bahwa yang dimaksud zakat tidak hanya berupa memberikan 2,5 kg beras (makanan pokok) menjelang Idul Fitri. Lebih dari itu, dalam perspektif eksekusizakat, 170
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
WELFARE STATE SEBAGAI PILAR PENGENTASAN KEMISKINAN
nilai nominal zakat fitrah yang ada saatini apabila dilihat secara parsial sangat rendah sehingga tidak memberikan kontribusi besardalam upaya membagi kesejahteraan, karena setiap penduduk miskin hanya mendapatkanhak sebesar 2,5 kg makanan pokok (dalamhal ini adalah beras). Akan tetapi, jika dilihat secarakeseluruhan, maka nilai agregat zakat fitrahsaja relatif besar. Sebagai gambaran,diasumsikan jumlah umat Islam diIndonesia yang dikategorikan mampu sebanyak 80% dari total penduduk.Dengan perkiraan ini, umat muslim yang wajibmembayar zakat fitrah sekitar 200 jutapenduduk. Sementara itu, dengan harga beras sebesar delapan ribu rupiah/kg menyebabkan kewajibanyang harus dibayarkan –bukan dalam bentukberas– sebesar duapuluh ribu rupiah per-umat Islam(setelah dikalikan dengan 2,5 kg). Dengandemikian, secara keseluruhan zakat fitrah yangseharusnya dapat diunduh sebesar 4 triliun rupiah setiap tahun. Pengelolaan yang tidak profesional telah mengakibatkanpotensi zakat fitrah yang sedemikian besar ini habis dalamhitungan hari pada saat setelah Hari Raya Idul Fitri.Padahal, jika negara mau berperan serta secara aktif dalam pengelolaan zakat, potensi tersebut dapat digunakan untuk lebih menyejahterakan kehidupan masyarakat kelas bawah. Potensi ini belum termasuk yang ditimbulkann zakat-zakatlainnya bila umat muslim yang mampu (secara ekonomi) sadarakan keberadaan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kewajiban kepadasesama, khususnya fakir, miskin, dan anak yatim. Potensi Zakat Mal Perhitungan potensi zakat mal secara kasar dapat diketahui dengan menggunakan dasar sensus penduduk terakhir yang dilakukan oleh BPS (Biro Pusat Statistik). Berdasarkan data BPS diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia pada Agustus 2010 adalah 237.556.363 jiwa. Apabila satu keluarga berjumlah lima orang, yaitu suami, istri, dan 3 orang anak, maka ada 47.511.273 KK (Kepala Keluarga). Berdasarkan data BPS diketahui bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2010 adalah 31,02 juta jiwa atau sekitar 6,2 juta KK (31,02 juta dibagi 5). Dengan demikian, masih ada sekitar 41,3 juta KK yang berpotensi untuk membayar baik zakat maupun pajak kekayaan. Hal ini dimungkinkan bila tanpa ada pengecualian antara muslim dan nonmuslim. Jika kita menggunakan asumsi bahwa 10% dari penduduk Indonesia terdiri atas nonmuslim, maka jumlah penduduk muslim yang berpotensi menunaikan kewajiban zakatnya adalah 90% (penduduk muslim) X 47,5 juta KK (penduduk yang mampu) = 37,1 juta KK. Adapun asumsi Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
171
ASEP YUDHA WIRAJAYA
perhitungan perolehan uang zakat dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Angka Perhitungan Simultan Sumber Daya Zakat (Sumber: M. Djamal Doa dengan penyesuaian data kependudukan BPS) 8
Selama ini, potensi zakat di Indonesia yang sedemikian besar memang belum dikembangkan secara optimal dan belum ditata serta dikelola secara profesional. Tidak seperti di Malaysia, data tentang siapa dan berapa banyak pemberi zakat di antara berbagai golongan masyarakat di Indonesia serta berapa besar dana yang terkumpul, dihubungkan dengan tingkat pendapatan masyarakat dan pekerjaan mereka; tidak pernah diketahui secara pasti9 (M. DAWAM RAHARDJO, 1986: 39). Hal ini 8. Catatan: (a) Yang mempunyai harta lebih dari 1 milyar rupiah belum dihitung, (b) Bagi nonmuslim diberlakukan ketentuan Undang-undang Pajak Kekayaan, (c) dengan demikian, apabila potensi zakat dihitung lebih teliti lagi maka kemungkinan jumlah yang terkumpul akan lebih besar. 9. Data muzaki tahun 2007 mencapai 23.735.012 jiwa. Potensi zakat tahun 2007 mencapai 18,4 triliun rupiah atau 1,5 triliun rupiah per bulan. Jika seorang muzaki 172
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
WELFARE STATE SEBAGAI PILAR PENGENTASAN KEMISKINAN
dimungkinkan terjadi, karena para muzaki masih melaksanakan kewajiban agama secara terpencar. Selain itu, belum efektifnya peran lembaga zakat (BAZ/LAZ) baik menyangkut aspek pengumpulan, administrasi, pendistribusiann, monitoring maupun evaluasi (bdk. Ilyas Supena dan Darmuin, 2009: 119; M. Djamal Doa, 2002: 47). Pemanfaatan Potensi Zakat Zakat sebagai Program Jaminan Sosial Masyarakat Secara sosial, zakat berfungsi sebagai lembaga jaminan sosial. Melalui institusi zakat, kelompok yang lemah dan kekurangan tidak merasa hidup di belantara, tempat berlakunya hukum rimba, yaitu yang kuat memangsa yang lemah. Sebaliknya, mereka merasa hidup di tengah masyarakat manusia yang beradab, memiliki nurani, kepedulian, dan tradisi saling menolong. Dengan lembaga zakat, kelompok lemah dan kekurangan tidak merasa khawatir akan kelangsungan hidupnya karena substansi zakat merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan hidup mereka di tengah masyarakat. Berdasarkan penelitian BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), potensizakat Indonesia10dapat digunakan sebagai modal dengan pola pemberdayaan masyarakat miskin. Apabila hal ini dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif, makazakatakan mampu mengentaskan kemiskinan dan ketidakadilan sosial dalam masyarakat sebesar 17% per tahun. Dengan demikian, zakatmerupakan suatu sistem jaminan sosial yang pertama kali ada di dunia (lih. M. DJAMAL DOA, 2002: 24). Sebuah negara dapat disebut ―primitif", jika tidak atau belum memiliki program jaminan sosial masyarakat (welfare), bahkan masyarakat tersebut pun dapat dikategorikan tidak beragama. Dalam kaitannya dengan hal ini, sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Islam sudah melaksanakan program welfare sejak awal peradabannya. Padahal pada saat itu, pendapatan perkapita masyarakat masih sangat rendah. Jadi, sistem dan program welfare tidak hanya monopoli negara kaya, program kesetiakawanan ini dapat dimulai sejak negara masih miskin. Bahkan, diasumsikan membayar 100 ribu rupiah per bulan maka potensinya mencapai 28,5 triliun rupiah. Sementara potensi zakat tahun 2011 diperkirakan mencapai 21,7 triliun rupiah (data penelitian zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan, kerja sama antara Lembaga Demografi FEUI dan Dompet Dhuafa)(lih. Republika, Rabu, 24 Agustus 2011). 10. Berdasarkan riset Badan Amil Zakat Nasional dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, nilai potensi zakat secara nasional pada 2011 mencapai 217 triliun rupiah. Meski demikian, 98% dari nilai tersebut masih akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat, sehingga tidak berkesinambungan. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
173
ASEP YUDHA WIRAJAYA
negara miskin yang melakukan program welfare lebih indah dan lebih tinggi nilai pencapaiannya daripada negara kaya (BAMBANG SETIAJI, 2006: 32). Program ini akan berlangsung secara efektif, jika pengelolaan zakat langsung ditangani oleh pemerintah yang dipimpin oleh seorang alim yang adil. Namun, ketika di dalam wilayah internal Islam telah terjadi pemisahan kekuasaan antara penguasa dan ulama, zakat menjadi tidak seefektif seperti pada masa awalnya. Sebagai institusi keagamaan, zakat masih tetap dipegang oleh ulama, hanya saja fungsinya sebagai suatu sistem jaminan sosial menjadi tidak kentara, yang lambat laun berubah menjadi aktivitas kesementaraan (temporary action), yang dipungut dalam waktu bersamaan dengan pelaksanaan zakat fitrah. Akibatnya, pendayagunaan zakat sebatas mengambil bentuk konsumtif yang hanya bersifat peringanan beban sesaat, yaitu diberikan kepada fakir-miskin, anak yatim dan piatu, sebagai hadiah setahun sekali, seperti halnya kutipan firman Allah swt. sebagai berikut. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (al-Mā‗ūn [107]: 1–3). Dengan demikian, perlu upaya konkret untuk mempertegas kembali fungsi zakat sebagai subsistem ekonomi keagamaan karena hal ini terpaut dengan hajat hidup dunia-akhirat. Keengganan memepertegas hal tersebut, menyebabkan umat kehilangan dimensi spiritual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal aspek spiritualitas di ranah publik sangat cocok dengan kondisi masyarakat yang miskin11 yang
11. Di Indonesia, angka penduduk yang masih hidup dengan penghasilan dibawah USD 2 setiap harinya (ukuran Bank Dunia) masih sangat tinggi. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2009, terdapat 32,5 juta orang miskin atau 14,15 persen dari total penduduk Indonesia. Sensus terbaru menyatakan, angka kemiskinan tahun 2010 menurun menjadi 31,02 juta orang atau sekira 13,33 persen dari total penduduk Indonesia yang bertambah sekira 228 juta orang(Peta Kemiskinan, 2010). 174
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
WELFARE STATE SEBAGAI PILAR PENGENTASAN KEMISKINAN
tidak semestinya menyelesaikan semua masalah yang dihadapi dengan budaya uang. Zakat sebagai Program Penanggulangan Kemiskinan Wacana pengentasan kemiskinan akan selalu dihubungkan dengan zakat, karena zakat dianggap sebagai salah satu alternatif upaya penanggulangan kemiskinan yang menjadi masalah bangsa ini. Zakat adalah aset umat yang sangat potensial karena dikeluarkan secara periodik. Sebagai ibadah maaliyah, zakat mampu mencairkan kesenjangan sosial antara kaum berpunya dan kaum yang papa. Secara ekonomi, zakat dapat berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk mengentaskan kemiskinan, memeratakan pendapatan, dan mempersempit kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Zakat bukanlah ajaran untuk memeras orang kaya. Secara empirik, tidak ada bukti seseorang yang kaya berubah menjadi miskin hanya karena mengeluarkan zakat. Jenis harta, jumlah minimal (nisab) harta yang wajib dizakati, jangka waktu (haul), dan kadar zakat dari setiap harta yang wajib dizakati telah ditentukan sedemikian rupa sehingga secara nominal tidak mengganggu atau merugikan si pemilik harta tersebut.Adapun secara politis, zakat dapat mempengaruhi kemampuan sebuah komunitas politik (negara) dalam melangsungkan hidupnya. Dengan implikasi sosial dan ekonomi seperti uraian sebelumnya, zakat dapat membentuk integrasi sosial yang kokoh serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Dua kondisi terakhir ini sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup suatu negara. Program-program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah semestinya dapat direncanakan, diaplikasikan, dan dievaluasi secara baik dan benar sehingga dapat tepat sasaran terhadap masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Tidak sekedar berupapencanangan program yang bersifat menghabiskan alokasi anggaran tanpa ada mekanisme pemberdayaan12 yang menekankan 12. Istilah pemberdayaan masyarakat digunakan secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat, seperti oleh pembuat kebijakan, kalangan praktisi pelaksana program atau proyek, petugas sosial, dan kelompok profesional. Berdasarkan perspektif sosiologi, pemberdayaan bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi masyarakat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Dengan demikian, pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan budaya (Harry Hikmat, 2004: xi) Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
175
ASEP YUDHA WIRAJAYA
prinsip kemandirian dan berkesinambungan sehingga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin.13 Tentu saja untuk mengaplikasikan konsep tersebut diperlukan adanya interaksi antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pihak-pihak terkait dengan perusahaan, sehingga terciptanya kerjasama yang harmonis dan kondusif. Dalam kurun waktu yang begitu lama, umat Islam memiliki persepsi bahwa ajaran zakat tidak lebih dari sekadar ibadah ritual yang terpisah dari konteks sosial. Pandangan dogmatis ritualistis ini menjadikan ajaran zakat a-sosial dan teralienasi dari fungsi dasar yang diembannya (MASDAR F MAS‘UDI, 1993:38). Olehkarena itu, dibutuhkan suatu strategi yang mungkin perlu terus menerus diperbaharui dalam mengaktualisasikan potensi zakat di tengah-tengah masyarakat agar setiap masyarakat dapat merasakan secara langsung implikasinya dalam kehidupan sosial ekonomi mereka, baik sekarang maupun masa yang akan datang. Zakat sebagai Program Kemandirian Ekonomi Bangsa Pengalaman sejarah seharusnya telah membentuk sebuah sistem dan kerangka sosial Ekonomi Syariah masyarakat yang kuat dan tangguh. Pada kenyataannya justru terjadi sebaliknya, negara-negara Islam, khususnya Indonesia, mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap sistem dan pola yang ditawarkan sistem ekonomi konvensional. Konsekuensinya, terjadi proses pendiktean oleh negara dan lembaga donor karena ketidakmampuan negara untuk lepas dari jeratan krisis. Padahal, sebenarnya, untuk dapat lepas dari jerat krisis dan membangun fundamental ekonomi yang lebih mandiri sangat tergantung pada kemampuan segenap komponen bangsa ini. 13. Tahun ini, dana yang dialokasikan untuk PNPM mencapai 13 triliun rupiah yang akan disalurkan ke 6000 kecamatan lebih. Pada tahun yang sama, telah disiapkan dana program KUR sebesar 100 triliun rupiah untuk membantu pembiayaan usaha kecil yang merupakan 98,9% entitas bisnis di Indonesia.Selain itu, berbagai usaha pengentasan kemiskinan oleh berbagai pemangku kepentingan telah meningkat dari waktu ke waktu. Namun demikian, upaya tersebut masih jauh dari yang diharapkan apabila dibandingkan dengan populasi yang jauh lebih besar jumlah dan sebarannya. Kementerian Sosial turut menangani masalah kemiskinan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang ditujukan kepada 822.000 Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dengan total anggaran 1,3 triliun rupiah. Disamping itu, ada program pemberdayaan ekonomi komunitas melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE), yang pada tahun 2010 diberikan kepada 127.930 KK dengan total anggaran pemberdayaan fakir miskin sebesar 431.797.100.000 (Kemensos, 2010). 176
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
WELFARE STATE SEBAGAI PILAR PENGENTASAN KEMISKINAN
Kondisi ini, pada tahun 2003 ternyata semakin parah. Beban hidup rakyat semakin berat akibat kebijakan pengetatan dan penghematan pengeluaran negara atas desakan IMF, mencakup pengurangan subsidi bahan bakar minyak, peningkatan harga tarif dasar listrik dan telepon, yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak. Kebijakan ini memicu kenaikan harga kebutuhan pokok di tengah semakin merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi yang sudah mencapai lebih dari 10,17 %, melebihi target APBN yang ditetapkan sebesar 9,3 %. Dua ilustrasi tersebut memberikan gambaran betapa zakat sangat potensial membantu dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, mewujudkan keadilan pendapatan, terutama dalam hal ketersediaan modal usaha bagi wirausahawan. Kenyataannya, zakat hanya dipahami sebagai sebuah kewajiban rutin yang harus dilaksanakan setiap tahun, tanpa melihat aspek sosial ekonomi, pemberdayaan, pemanfaatan, dan produktivitasnya. Di Indonesia, bentuk pemberdayaan ini dapat ditemukan tatkala Dompet Dhuafa Republika mengembangkan Bait al-Māl wa at-Tamwil (BMT)14 pada Januari 1995, dengan nama programnya, ―Membangun 1001 BMT‖. Adapun kegiatannya berupa pelatihan pendirian BMT dan penyehatan BMT yang sudah berdiri. Para alumni pelatihan yang berminat dan mengajukan proposal. Yang proposalnya dinilai layak akan mendapatkan bantuan modal satu juta rupiah. Untuk memudahkan koordinasi dalam mengakomodasi berbagai kepentingan, dibentuk Forum Ekonomi Syariah (FES) dan BMT Center di setiap karesidenan – saat ini BMT Center telah berubah menjadi Perhimpunan BMT. Hingga 2006, keinginan membangun 1001 BMT yang bermitra dengan Dompet Dhuafa Republika memang belum terwujud, namun telah banyak BMT yang didirikan oleh Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk) dan organisasi masyarakat lain yang ada di Indonesia. Jumlah total BMT kini lebih dari 3.000 unit. Adapun anggota Perhimpunan BMT mencapai jumlah 140 BMT dari berbagai daerah, dengan . total aset lebih dari 3 triliun rupiah. Masyarakat yang menjadi anggota BMT hampir 1 juta orang dan tenaga kerja yang terserap hampir 6 ribu orang (JAMIL AZZAINI, 2012: 25–27). Berikut ini tabel perkembangan BMT mitra Dompet Dhuafa Republika.
14. BMT adalah perpaduan antara kata bait, yang berarti rumah, māl berarti harta, dan tamwil berarti pengembangan harta. Secara sederhana, BMT bermakna lembaga keuangan mikro berbasis syariah. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
177
ASEP YUDHA WIRAJAYA Data-data BMT
2008
2009
2010
2011
Aset
1.223.500.447.493
1.946.113.782.540
2.588.331.330.779
3.623.663.863.091
Pembiayaan
1.079.468.998.500
1.597.614.117.868
2.204.707.482.658
3.307.061.223.987
402.274
570.576
760.244
1.033.457
3.843
4.199
5.068
5.586
Anggota Karyawan
Tabel 2. Perkembangan BMT Mitra Dompet Dhuafa Republika
(Sumber: Perhimpunan BMT)
Seandainya program semacam itu dapat diterapkan secara cermat di Indonesia, maka dapat dihasilkan pemberdayaan ekonomi nasional secara optimal yang dapat meringankan beban pemerintah dalam hal pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Betapa tidak, potensi zakat umat Islam Indonesia dapat mencapai angka sekitar 107,776 triliun rupiah15 (lihat tabel asumsi perhitungan perolehan uang zakat). Potensi zakat yang belum dioptimalkan oleh pemerintah merupakan sebuah kondisi kontradiktif, mengingat posisi utang luar negeri sampai akhir Januari 2010, mencapai 174,041 miliar USD. Bila angka tersebut dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs Rp 10.000,- per 1 USD, maka nominal utang itu hampir mencapai 2.000 triliun rupiah.16 Padahal, bila dicermati secara seksama, posisi APBN 2011 telah ditetapkan sebesar 1.229,6 triliun rupiah17dengan pajak sebagai andalan pemasukan negara sebesar 1.104 triliun rupiah.18 15. Direktur Eksektuf Dompet Dhuafa mengatakan, potensi zakat belum terealisasi dalam kenyataan. Sebagai gambaran, total penerimaan zakat melalui lembaga zakat resmi di Indonesia jauh di bawah angka-angka tersebut. Tahun 2007, dana zakat yang terkumpul mencapai 450 milyar rupiah, 2008 meningkat menjadi 920 milyar rupiah, 2009 tumbuh menjadi 1,2 triliun rupiah, dan tahun berikutnya mencapai 1,5 triliun rupiah. Jika dibandingkan dengan negeri tetangga, Malaysia, jumlah ini lebih sedikit. Penghimpunan zakat di negeri Petronas tersebut rata-rata mencapi RM 500-700 atau sekitar 1,5 – 2 triliun rupiah tiap tahun. Padahal, jumlah penduduk Muslim di sana hanya sekitar 14 juta jiwa(lih. Republika, Rabu, 24 Agustus 2011). 16. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/16/16380717/Utang.Luar. Negeri.Indonesia.Dekati.Rp.2.000.Triliun 17. http://www.media indonesia.com/read/2010/10/26/177881/18/1/DPR-SetujuiPengesahan-APBN-2011 18. Penerimaan sebesar 1.104 triliun rupiah diantaranya berasal dari penerimaan perpajakan nonmigas sebesar 794,70 triliun rupiah , penerimaan dari sektor minyak dan gas sebesar 215,33 triliun rupiah , PNBP perikanan 150 milyar rupiah. Keempat, PNBP sumber daya alam kehutanan sebesar 2,90 triliun rupiah. Ditambah lagi, PNBP 178
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
WELFARE STATE SEBAGAI PILAR PENGENTASAN KEMISKINAN
Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap tahunnya, neraca APBN mengalami defisit yang kemudian selalu saja ditutup dengan memperbesar jumlah utang luar negeri. Belum lagi, biladicermati,komposisi anggaran belanja negara dalam APBN 2011 ternyata masih didominasi oleh belanja barang, pegawai, dan pembayaran utang. Akibatnya, pembiayaan untuk kegiatan pembangunan yang lebih produktif menjadi menyusut. Selain itu, pemerintah telah memberi gambaran jelas, bahwa porsi terbesar anggaran akan diprioritaskan untuk membayar bunga utang dengan alasan untuk menjaga kredibilitas bangsa di mata dunia internasional. Kondisi ini jelas menjadi pertanda tidak baik bagi perkembangan kemandirian ekonomi bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah serius menangani pengelolaan zakat secara profesional, amanah, dan akuntabel agar kemandirian ekonomi bangsa mulai dapat terealisasikan. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, pertama, perlu peran pemerintah secara aktif dalam pengelolaan zakatsebagai bagian dari sektor keuangan publik, sehinggapotensi zakat sebagai sarana distribusi kekayaan dan pemerataan pendapatanserta menyejahterakan masyarakat. Kedua, secara keseluruhan zakat fitrah setiap tahun mencapai 4 triliun rupiah, sedangkan zakat mal mencapai 107,776 triliun rupiah, namun pengelolaan yang tidak profesional telah mengakibatkanpotensi zakat yang sedemikian besar belum dapat dioptimalkan sebagai sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ketiga,zakatdapat berfungsi sebagai program jaminan sosial, program pengentasan kemiskinan, dan program kemandirian ekonomi bangsa yang dilakukan oleh negara secara sistemik, terstruktur, dan masif. Keempat, perlu digalakkan kajian komprehensif terhadap kandungan naskah-naskah kuna untuk melihat kembali pola berperikehidupan nenek moyang kita. Dengan demikian, nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan cermin, sekaligus alternatif solusi di masa kini dan masa yang akan datang.
pertambangan umum 16,50 triliun rupiah, PNBP SDA pertambangan panas bumi sebesar 356,1 milyar rupiahdan penerimaan pemerintah atas laba BUMN 27,59 triliun rupiah (dalam http://pekikdaerah.wordpress.com/2010/10/26/di-tengah-kampanyepenghematan -belanja-apbn-2011-membengkak/, diakses 16 April 2011, pukul 10:00 WIB). Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
179
ASEP YUDHA WIRAJAYA
DAFTAR PUSTAKA ARIFIN PURWAKANANTA, DKK. 2010.Peta Kemiskinan: Data Mustahik, Muzakki dan Potensi Pemberdayaan Indonesia. Jakarta : Dompet Dhuafa BAMBANG SETIAJI. 2006. Welfare State. Surakarta: UMS Press. DENDY SUGONO, DKK. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. DIDIN HAFIDHUDDIN. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani. HEMPRI SUYATNA dalam ―Zakat dan Pemberdayaan UMKM‖ pada Kedaulatan Rakyat, 9 September 2010 HARRY HIKMAT. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora. ILYAS SUPENA DAN DARMUIN. 2009. Manajemen Zakat. Semarang: Walisongo Press. JAMIL AZZAINI. 2012. Makelar Rezeki: Rahasia Penyalur Energi Sukses dan Mulia. Bandung: Mizania. MAHMUD YUNUS. 1973. Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah / Penafsiran Alquran. MASDAR F. MAS‘UDI. 2002. ―Perda Zakat Salah Kaprah‖ dalam http://www.korantempo.com/news/2002/8/2/Opini/84.html. diakses 7 Maret 2011, pukul 16:57 WIB. MUHAMMAD ABU ZAHRAH. 1996. Zakat dalam Perspektif Sosial. Jakarta: Pustaka Firdaus. M. DAWAM RAHARDJO. 1986. ―Zakat dalam Perspektif Sosial Ekonomi‖ dalam Pesantren (P3M). No. 2/Vol. III/1986, h. 39. Jakarta: Depag. M. DJAMAL DOA. 2002. Membangun Ekonomi Umat melalui Pengelolaan Zakat Harta. Jakarta: Nuansa Madani. NANA MINTARTI. 2008. Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Volume 1, Nomor 4. Jakarta: Circle of Information and Development Dompet Dhuafa - Republika NASKAH ARAB – MELAYU. tt. Syair Nasihat. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. QARDHAWI, YUSUF. 1980. Fiqh az-Zakāh. Jilid I. Beirut: Muasassah arRisalah.
180
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
NOORDUYN, J. & A. TEEUW (2009). Tiga Pesona Sunda Kuna (Judul Asli: Three Old Sundanese Poems). Bahasan diterjemahkan oleh HAWÉ SETIAWAN; Teks Naskah Sunda Kuna langsung diterjemahkan oleh TIEN WARTINI DAN UNDANG AHMAD DARSA. Jakarta: Kerjasama KITLVJakarta dan Pustaka Jaya. Tebal: 568 hlm. ISBN 978-979-419-356-3. Harga: Rp. 123.000, -
TIDAK seperti kajian terhadap teks Jawa Kuna, kajian terhadap teks-teks Sunda Kuna sungguh sangat terbatas. Meski para sarjana Belanda seperti K.F. Holle dan C.M. Pleyte telah memulai penelitian terhadap teks-teks tersebut sejak lama, tetapi aspek-aspek penting dari teks seperti bahasa, sejarah, dan bentuk kesusastraan belum terungkap dengan memadai. Hingga pada tahun 1960-an, hadirlah Jacobus Noorduyn (1926–1994),1 sarjana Belanda yang mulai melakukan kajian terhadap teks-teks Sunda kuna, di antaranya tiga puisi yang disajikan dalam buku yang akan kita bahas, yaitu Para Putera Rama dan Rahwana (PRR), Pendakian Sri Ajnyana (SA), dan Kisah Bujangga Manik: jejak langkah peziarah (BM). Sangat disayangkan, penyakit fatal Noorduyn merintanginya menyelesaikan penelitian atas ketiga puisi Sunda Kuna tersebut. Sejumlah aspek dari ketiga puisi tersebut memang sempat * Filolog di Perpustakaan Nasional RI. Terima kasih kepada Ibu Dina Isyanti dan Prof. Dr. Arlo Griffiths yang telah membaca dan mengomentari draf awal. 1. Obituari Jacobus Noorduyn ditulis oleh C. GRIJNS & A. TEEUW (1996), ‗In memoriam Jacobus Noorduyn 9 juli 1926 – 20 april 1994‘, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 152 no. 1, hlm. 1–22; juga oleh DENYS LOMBARD (1995), ‗Jacobus Noorduyn (1926–1994)‘, dalam Archipel vol. 49, hlm. 3–6. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
181
ADITIA GUNAWAN
dicatat oleh Noorduyn dalam beberapa artikel, tetapi edisi lengkapnya belum sempat diselesaikan dan dipublikasikan. Di sinilah peran Prof. Dr. A. Teeuw (1921–2012),2 sahabat dan kolega Noorduyn, patut kita catat. Ia berhasil menyelesaikan edisi lengkap ketiga puisi Sunda kuna tersebut dan menerbitkannya dengan judul Three Old Sundanese Poems (KITLV Press, 2006).3 Untuk keperluan pembaca Indonesia, pada tahun 2009 buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. A. Teeuw dan kajian Sunda Kuna Setelah Prof. Teeuw menyelesaikan edisi baru Kamus IndonesiaBelanda pada tahun 1996, barulah ia menggarap naskah-naskah yang sebelumnya dikerjakan Noorduyn. Butuh waktu sekitar lima tahun baginya untuk menyelesaikan kajiannya itu secara menyeluruh. Meski demikian, pada tahun 1999 Prof. Teeuw telah berhasil menulis artikel tentang salah satudari ketiga puisi Sunda Kuna yang digarapnya, yaitu Bujangga Manik. Artikel tersebut diselesaikan oleh Prof. Teeuw dengan menggunakan bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Noorduyn. Dengan sangat bijak Prof. Teeuw menempatkan namanya setelah nama Noorduyn sebagai penulis artikel tersebut.4 Akhirnya, pada tahun 2001, draft buku yang telah lengkap diserahkan kepada KITLV untuk diterbitkan. Sebetulnya Prof. Teeuw berharap bukunya dapat terbit pada tahun 2002, tetapi ternyata buku tersebut baru dapat terbit empat tahun kemudian (2006). Beberapa bulan setelah menyelesaikan draft final bukunya, tepatnya 23 Agustus 2001, Prof. Teeuw menyempatkan memberikan ceramah tentang hasil kajiannya berdasarkan bahan-bahan Noorduyn atas ketiga puisi Sunda Kuna tesebut pada Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) di Bandung.5 Bagi para peserta konferensi waktu itu, kehadiran 2. Obituari A. Teeuw ditulis oleh para kolega dari Indonesia dan Belanda, antara lain oleh GOENAWAN MOHAMMAD, ‗Teeuw (1921–2012)‘ dalam Majalah Tempo, edisi Senin, 28 Mei 2012; AJIP ROSIDI, ‗Kenangan A. Teeuw‘ dalam situs resmi KITLV dan ‗Pa Teeuw‘ dalam Manglé, Majalah berbahasa Sunda, Juni 2012; serta oleh Willem van der Molen, [2012], ‗Hans Teeuw‘ dalam situs resmi KITLV, tersedia di http://www.kitlv.nl/home/Spotlight?subpage_id=442). 3. Review singkat buku ini pernah ditulis oleh DICK VAN DER MEIJ (2006), ‗Latest editions of Indonesian classical texts‘, dalam BKI 162 no. 2/3, hlm. 397–405. 4. J. NOORDUYN & A. TEEUW (1999), ‗A Panorama of the World from Sundanese Perspective‘, dalam Archipel volume 57, hlm. 209–221. 5. Dalam obituari A. Teeuw, AJIP ROSIDI (2012), mengatakan bahwa kunjungan A. Teeuw ke Bandung untuk ceramah dalam KIBS 2 adalah kunjungannya yang terakhir ke Indonesia. Lihat ‗Pa Teeuw‘, dalam Manglé, majalah Mingguan bahasa Sunda, Juni 182
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Prof. Teeuw cukup mengejutkan, terlebih ia menulis makalah tentang kesusastraan Sunda pada periode yang masih ‗gelap‘.6 Dapat dikatakan bahwa Prof. Teeuw adalah seorang ‗mualaf‘ dalam jagat pernaskahan Sunda Kuna, tetapi berkat pengalamannya yang luas dalam meneliti naskah Melayu dan Jawa Kuna, banyak pertanyaan seputar teks Sunda Kuna dapat terjawab melalui perbandingan intertekstualnya baik dengan teks-teks Melayu maupun Jawa Kuna. Catatan atas naskah Buku ini terdiri dari sembilan bab; mencakup Pendahuluan (Bab I), Bentuk Bahasa dan Puisi (Bab II), Isi Teks dan Analisis (Bab III), Penyajian Teks dan Terjemahan (Bab IV–VI), Kata Akhir (Bab VII), Catatan atas Teks dan Terjemahan (Bab XIII), dan Daftar Istilah (Bab IX). Tidak dapat disangkal, bahwa sejauh ini penelitian Noorduyn dan Teeuw adalah penelitian naskah Sunda Kuna yang terbaik. Dengan tidak kurang dari 170 judul buku dan artikel didaftarkan dalam bibliografi dan daftar kosa kata yang berlimpah, pembaca dapat menikmati uraian terperinci dari tiga puisi Sunda Kuna yang disajikan. Ulasan ini tidak menyajikan ringkasan seluruh isi buku, melainkan hanya mencatat tiga hal yang menurut penulis perlu dikedepankan. Pertama catatan atas uraian tentang ketiga naskah yang disunting. Dalam Pendahuluan, Teeuw memberikan gambaran tentang naskah berdasarkan catatan Noorduyn (hlm.18–20). Dari ketiga naskah, hanya naskah yang memuat BM yang, meski masih diselimuti keraguan, asalusulnya dapat diketahui dari beberapa artikel Noorduyn (1985).7 Dua naskah lainnya, yaitu naskah yang berisi teks PRR dulu disimpan di Jakarta (Musium Pusat) dengan nomor koleksi kropak 1102 dan kini dialihkan ke museum Sri Baduga di Bandung (hlm. 15). Naskah terakhir, yaitu yang memuat teks SA, terdapat dalam kropak yang seharusnya masih ada di Perpustakaan Nasional, Jakarta, dengan nomor 625; namun, dewasa ini teks tersebut tidak lagi dapat ditemukan dalam koleksi Jakarta (hlm. 16). Naskah yang disebut terakhir perlu mendapat perhatian, karena tidak diketahui apa yang mendasari Prof. Teeuw menyatakan bahwa naskah 2012. diakses di http://www.kitlv.nl/pdf_documents/In_memoriam_Prof__Teeuw__3_.pdf). 6. Makalahnya berjudul ―Old Sundanese Poetry‖, dimuat dalam Ajip Rosidi (peny) Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, Jilid I, 2006. (Jakarta: Yayasan Kebudayaan Rancagé bekerja sama dengan PT Dunia Pustaka Jaya). 7. Lihat J. NOORDUYN (1985), ‗The three palm-leaf MSS from Java in the Bodleian Library and their donors‘ dalam Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and. Ireland. Vol. 117, hlm. 58–64. Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
183
ADITIA GUNAWAN
SA tidak lagi di tempatnya. Mungkin saja Prof. Teeuw berpedoman pada draft yang dibuat Noorduyn atau pada katalog-katalog naskah Sunda yang memang tidak mendaftarkan naskah ini dan tidak berkesempatan untuk menelusuri naskahnya di Jakarta. Naskah 625 hanya terdaftar dalam Katalog Induk Naskah Nusantara, Jilid 4: Perpustakaan Nasional RI yang disunting oleh Behrend (1996). Dalam katalog tersebut terdapat keterangan bahwa naskah lontar 625 berjudul Serat Pangruwatan (tertulis pada label), beraksara Bali dan berbahasa Jawa Kuna. Ketika saudara Munawar Holil (Universitas Indonesia) dan saya melakukan penelusuran terhadap naskah Sunda Kuna koleksi Perpusnas pada tahun 2010, kami melihat bahwa naskah lontar 625 yang tercatat dalam Katalog Behrend tidak lain dari naskah yang berisi teks Sri Ajnyana. Teks SA ditulis diatas daun lontar berukuran 28 × 3,2 cm, terdiri dari 27 lempir, sesuai dengan draft transliterasi yang dikerjakan Noorduyn. Berdasarkan notulen dan catatan kepurbakalaan Krom & Bosch, naskah SA diperoleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappendari ahli waris Bupati Bandung, R.A.A Wiranatakusumah IV (w. 1874), pada tahun 1875. Jadi, naskah diserahkan setahun setelah kematian Bupati, dengan berbagai syarat dari ahli waris.8 Dengan pembuktian bahwa naskah SA tidak hilang dan masih tersedia bagi kita, maka penelitian lebih lanjut, setidaknya tinjauan aksara dan paleografis, dapat dilakukan dalam rangka melengkapi telaah Noorduyn dan Teeuw. Catatan atas terjemahan teks Catatan saya yang kedua, menyangkut terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam edisi ini, terdapat keterangan bahwa teks Sunda Kuna diterjemahkan langsung oleh Tien Wartini dan Undang Ahmad Darsa, sedangkan bahasan diterjemahkan oleh Hawé Setiawan. Dengan kata lain, pengertian ‗diterjemahkan langsung‘ berarti diterjemahkan dari teks Sunda Kuna tanpa melalui terjemahan dalam bahasa Inggris yang telah dihasilkan Noorduyn dan Teeuw. Tentu saja, implikasinya, bahwa dalam banyak bagian teks, terdapat perbedaan antara terjemahan Noorduyn dan Teeuw dengan terjemahan Tien Wartini dan Undang Darsa. Beberapa diantaranya cukup mencolok. Dengan demikian, kita 8. N.J. KROM & F.D.K. BOSCH (1914), Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie. (Weltevreden: Albrecht & Co.) hlm. 41. Lebih rinci lihat Notulen van de Algemene en Bestuursvergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen XIII, tahun 1875: 3. 184
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
berhadapan dengan dua versi tejemahan atas tiga teks puisi Sunda Kuna yang sama. Keadaan ini dapat menyulitkan pembaca, setidaknya ketika pembaca merujuk terjemahan kepada daftar kosa kata. Terdapat kasus, meski tidak terlalu banyak, makna suatu kata dalam terjemahan teks berbeda dengan makna yang terdapat dalam daftar kosa kata. Sejumlah contoh berikut kiranya dapat memberikan gambaran. (1) PRR 70 Pala-pala panten tandang,
melarang putri kerajaan,
Dalam daftar kosa kata, pala-pala (s.v. pala II) berarti ‗menyimpan, melindungi‘, band. Jawa kuna (JwK) pāla (hlm. 443) dan panten tandang (sv. panten) berarti ‗penguasa (kerajaan)‘, paralel dengan panghulu tandang (RR 188, 992). Terjemahan Noorduyn dan Teeuw ‗If I can protect the royal mistresses‘, lebih baik dipertahankan. (2) PRR 150 ―Aduh ila-ila teuing!‖,
―Aduh, betapa herannya!‖,
Dalam daftar kosa kata, ila-ila teuing (sv. ila-ila) diartikan ‗betapa mengerikan! sungguh memalukan!‖ dikaitkan dengan JwK hilahila ‗terlarang, tabu, dosa‘. Jika melihat konteks cerita, kalimat tersebut diucapkan Sombali ketika menemukan putra Rahwana yang lahir dari luka serta sedang mengulum darah, maka kata ‗heran‘ agaknya kurang tepat. Kalimat di atas sebaiknya diterjemahkan ―Aduh, betapa mengerikan!‖ atau persis dengan terjemahan Noorduyn dan Teeuw ―Alas, what a shame!”. (3) PRR 240 isun hirup aing éra, ja éta sida jeung bapa.
selama hidupku akan menanggung malu, karena dia hidup bersama ayahnya.
Dalam daftar kosa kata, makna sida diterangkan sebagai ‗bersetubuh‘ (hlm. 467). Terjemahan ini dipastikan oleh Noorduyn melalui perbandingan intertekstual dengan teks Carita Parahyangan yang di dalamnya terdapat ungkapan sida sapilanceukan ‗bersetubuh dengan saudara‘ (CP.11a) dan sida
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
185
ADITIA GUNAWAN
pasanggaman ‗bersenggama‘ (CP.43a).9 Terjemahan ‗bersenggama‘ lebih baik dibandingkan dengan ‗hidup‘. Hidup bersama ayah adalah keniscayaan, sedangkan bersenggama dengan ayah adalah hal yang sangat tabu. Noorduyn dan Teeuw menerjemahkan kalimat tersebut ‗because she cohabited with (her) father‘ dengan pengertian bahwa cohabited adalah hidup sebagai ‗suami-istri‘. (4) SA 71
Hilang na cipta nirmala Kasilihan cipta mala
hilang dalam jiwa tidak bersih diganti oleh jiwa yang tidak murni
Di atas terdapat nirmala dan mala. Dua kata tersebut diartikan hampir sama: ‗tidak bersih dan tidak murni‘, padahal kata mala merupakan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta yang berarti ‗kotor, cela‘, jika ditambah kata awalan Sanskerta nir menjadi sebuah negasi yang berarti ‗tanpa kotoran, bersih, murni‘. Dengan demikian kalimat di atas seharusnya diterjemahkan ―Hilanglah pikiran yang bersih, tergantikan oleh pikiran yang kotor‖. Ini sesuai dengan terjemahan Noorduyn dan Teeuw, yang menerjemahkan kedua kata tersebut menjadi ‗pure‘ dan ‗impure‘: the pure spirit disappeared, being replaced by the impure spirit. Masalah transliterasi Masalah ketiga, yang menurut hemat saya merupakan kontribusi paling penting Prof. Teeuw dalam buku ini adalah terbukanya ruang diskusi bagi pengembangan metodologi penelitian Sunda Kuna, terutama dalam bab yang disebut Masalah transliterasi (Bab I, hlm. 22–26). Patut dipahami bahwa Prof. Teeuw berhadapan dengan draft kasar dari Noorduyn, sementara di bagian lain ia pun mengakui keterbatasannya dalam bidang paleografi Sunda (hlm.18). Sebagai pembaca yang tidak sempat memeriksa naskah lontar asli, ia menyoal pembedaan antara dua huruf hidup yang ditransliterasikan menjadi e dan eu. Dengan memperhatikan kecermatan Noorduyn, siapapun, termasuk Prof. Teeuw sendiri, akan beranggapan bahwa Noorduyn membedakan kedua huruf hidup tersebut dengan bertopang pada oposisi grafis di antara hurufhuruf itu. Sebaliknya, dalam sejumlah kecil publikasi naskah Sunda 9. Lihat J. NOORDUYN (1962), ‗Het begingedeelte van de Carita Parahyangan‘ dalam BKI 118 no. 4, hlm. 406. 186
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Kuna, para penyunting tidak membedakan antara e dan eu.10 Noorduyn sendiri menyebut bahwa dalam Carita Parahyangan, tulisan Sunda Kuna tidak membedakan antara e dan eu.11 Kita mendapatkan kesan bahwa, untuk kasus ini, sebagian besar penyunting Sunda Kuna membuat transkripsi bukan berpegang pada tanda yang bersangkutan dalam naskah, tetapi pada tanda-tanda yang diharapkan dalam ejaan bahasa Sunda Modern. Undang A. Darsa, setelah mengadakan pemeriksaan lebih cermat atas naskah yang memuat Bujangga Manik dan beberapa naskah lainnya, berpendapat bahwa memang ada perbedaan paleografis yang sangat kecil, dalam bentuk tambahan cakra kecil pada tanda pepet (ĕ) yang menunjukkan paneuleung (eu) (hlm.23). Jika penemuan ini terbukti oleh penelitian-penelitian selanjutnya, maka perlu ada evaluasi besar-besaran untuk memeriksa kembali naskah Sunda Kuna yang sudah disunting. Ini adalah persoalan yang cukup mendasar dalam filologi Sunda Kuna. Tanpa menyangkal standar tinggi yang diterapkan baik oleh Noorduyn dan terutama Prof. Teeuw dalam edisi tiga puisi Sunda Kuna yang disajikan dalam buku ini, edisi teks atas tiga puisi Sunda Kuna ini kurang memperlihatkan naskah ‗seperti adanya‘. Pembaca seolah kehilangan jejak untuk mendapat kesan: bagaimana naskah itu ditulis atau bagaimana ejaannya? Apakah susunan lempir naskahnya sudah benar, bagaimana merunutnya? Adakah penyalin mengoreksi kata-kata yang sudah ditulisnya? Jumlah naskah Sunda Kuna yang tersedia saat ini tidak lebih dari seratus.12 Sebagai sumber yang langka (bahkan banyak di antaranya merupakan codex unicus), perlu dipikirkan bagaimana wujud edisi yang paling baik dalam menyajikan teks-teks dari naskah kuno itu. Dalam kondisi yang kita hadapi ini, perlu dipikirkan kembali edisi diplomatis yang secara ideal dihadirkan bersama edisi faksimil naskah, dan jika 10. Hal ini secara tersurat terlihat dari tabel aksara yang dibuat oleh ATJA (1970), Ratu Pakuan: tjerita Sunda-kuno dari lereng Gunung Tjikuraj. (Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah,) hlm. 25; SALEH DANASASMITA, DKK. (1987), Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan” (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud). 11. J. NOORDUYN (1962), ‗Over het eerste gedeelte van de Oud-Soendase Carita Parahyangan‘, dalam BKI 118, hlm. 376. 12. Lihat identifikasi MUNAWAR HOLIL & ADITIA GUNAWAN (2010), ‗Membuka peti naskah Sunda Kuna koleksi Perpustakaan Nasional RI; upaya rekatalogisasi‘, dalam Perubahan Pandangan Aristokrat Sunda. Seri Sundalana 9 (Bandung: Pusat Studi Sunda dan Kiblat Buku Utama). Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
187
ADITIA GUNAWAN
memungkinkan dilengkapi oleh edisi kritis dan terjemahan. Ini adalah sarana terbaik dalam menyajikan ‗dokumen‘ Sunda Kuna sebagaimana adanya di satu sisi dan memperlihatkan langkah demi langkah intervensi filolog dalam menyunting ‗karangan‘ dari dokumen tersebut di sisi lain.13 Penutup Upaya penerjemahan hasil kajian filologi para pakar asing ke dalam bahasa Indonesia sangat penting dilakukan demi keperluan pembaca yang lebih luas di Indonesia. Karenanya, upaya Pustaka Jaya dan KITLV-Jakarta untuk menerjemahkan buku Three Old Sundanese Poems karya Noorduyn dan Teeuw ini perlu mendapat apresiasi. Meski demikian, akan lebih baik jika terjemahan tersebut sedapat mungkin mengikuti versi aslinya dalam bahasa Inggris, sehingga pembaca dapat benar-benar mengikuti secara intens jalan pikiran dan argumen yang dibangun oleh penulisnya. Bagaimanapun, usaha A. Teeuw menerbitkan tiga puisi Sunda Kuna yang belum sempat diselesaikan karibnya, J. Noorduyn, adalah sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan kajian kesusastraan Sunda Kuna pada khususnya, dan filologi Indonesia pada umumnya. Sudah genap setahun sejak Prof. Teeuw meninggalkan kita semua (beliau wafat 18 Mei 2012), tetapi setiap orang yang mau meneliti sumber-sumber lama dari Nusantara (khususnya Jawa Kuna, Melayu, dan tentu saja Sunda Kuna), niscaya selalu bertemu dengan namanya.
13. Tentang teks dokumen dan teks karangan, baca TANSELLE (1992), A Rationale of Textual Criticism (Philadelphia: University of Pennsylvania Press). 188
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
PAMERAN NASKAH PECENONGAN KOLEKSI PERPUSTAKAAN NASIONAL: SASTRA BETAWI AKHIR ABAD 19 Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 11–20 Juli 2013
Untuk pertama kalinya, 26 karya yang berasal dari 32 jilid naskah Pecenongan koleksi Perpustakaan Nasional akan dipamerkan di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 11–20 Juli 2013. Acara ini digagas dan diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional dalam rangka menyambut hari jadi Kota Jakarta. Dari ke-32 naskah, 31 di antaranya merupakan hasil tangan seorang penulis. Ialah Muhammad Bakir, pengarang Betawi paling berbakat pada akhir abad 19. Muhammad Bakir belajar dari Sapirin bin Usman, guru sekaligus pamannya yang, rupanya lebih berbakat dibandingkan keponakannya. Karya-karya mereka menunjukkan sebuah kreativitas yang mengagumkan. Aspek menarik dari karya-karya kedua pengarang yang mahahebat ini adalah: berakar kuat pada nilai-nilai dan tradisi sastra lama, berlatar belakang dunia hikayat yang penuh keajaiban, tetapi sekaligus membangkang dengan gaya kreatif dan jenaka terhadap segala belenggu tradisi lama itu. Simak saja humor ala M. Bakir ketika menceritakan Suwatama yang terbang setelah mencuri sesuatu dari istana Maharaja Garbak Jagat: "Lakunya seperti angin, lebih cepat dari kereta angin yang tempo ada di tanah lapang Gambir pada tahun 1890, serta menuju negeri Ngastina dengan terburu-buru adanya" (Hikayat Maharaja Garbak Jagat, naskah ML 251 hlm. 42). Naskah koleksi Perpustakaan Nasional yang akan dipamerkan dahulunya berasal dari Taman Bacaan Keluarga Fadli, yang dijual kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Ilmu Pengetahuan Batavia) pada akhir abad 19. Kiranya pewaris Taman Bacaan itu tidak sanggup lagi menyimpannya karena naskah yang biasa disewakan sepi peminat alias tidak laku lagi. Kalau kita melihat daftar karangan yang disusun M. Bakir untuk mengiklankan taman bacaannya dalam berbagai naskah, terdapat lebih dari 70 judul yang pernah disewakan oleh keluarga Fadli, sedangkan yang tersisa kini hanya 43 buah. Melihat jumlahnya saja, dengan membayangkan situasi Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
189
abad ke 19, koleksi Taman Bacaan Fadli sangat mengagumkan. Situasinya tentu sangat berbeda dengan sekarang di mana Taman Bacaan sekarang dapat memperoleh donatur dari sana-sini. Waktu itu, sebagaimana sering dikeluhkan oleh M. Bakir, kertas sangat mahal, sedangkan ia hanya ―tukang ajar anak mengaji di Pecenongan Langgar Tinggi‖. Di tengah himpitan ekonomi seperti itu, sulit dibayangkan bahwa Taman Bacaan Fadli bisa eksis selama kurang lebih tigapuluh tahun (1860-1890)! Selama ini keluarga Fadli hanya dikenal segelintir kaum akademisi saja. Karya-karya yang berasal dari keluarga tersebut banyak yang belum dipublikasikan. Malangnya, kalau pun dipublikasikan, publikasinya sangat terbatas. Inilah kesempatan bagi para peminat dan penikmat sastra serta masyarakat umum yang cinta Jakarta, untuk melihat secara langsung keindahan warisan leluhur Betawi, buah tangan para pengarang berbakat dari keluarga Fadli. Acara ini akan diisi pula oleh dialog bersama para pakar yang selama ini menekuni naskah dari Pecenongan, antara lain Dr. Dewaki Kramadibrata, M. Hum, Dr. Mujizah, dan Syahrial, M. Hum. Sebuah katalog berilustrasi yang disusun bersama oleh Tim dari Perpustakaan Nasional, Prof. Dr. Henri Chambert Loir, dan Dr. Dewaki Kramadibrata, akan menjadi panduan pengunjung menikmati khazanah naskah Pecenongan yang dipamerkan. Tidak hanya naskah yang sudah berumur lebih dari 100 tahun, dalam pameran ini akan disajikan berbagai dokumentasi penelitian serta sejumlah litograf dan peta lama yang terkait dengan tema. Sambil ngabuburit menantikan beduk Maghrib, pengunjung dapat menikmati berbagai pertunjukan kesenian khas Betawi dan workshop penulisan naskah. Aditia Gunawan
190
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Daftar Judul Karangan yang Dipamerkan Cerita Fiksi 1. Hikayat Sultan Taburat (1885, 1887, 1893, 1894) 2. Hikayat Merpati Mas (1887) 3. Hikayat Nakhoda Asik (1890) 4. Hikayat Syah Mandewa (1893) 5. Hikayat Syahrul Indra (1893) 6. Sair Siti Zawiyah (1893) 7. Hikayat Indra Bangsawan (1894) 8. Hikayat Begerma Cendera (1888) 9. Seribu Dongeng (?) Cerita Wayang 10. Hikayat Angkawijaya 11. Hikayat Asal Mulanya Wayang (1889–1890) 12. Hikayat Gelaran Pandu Turunan Pandawa (1890) 13. Sair Perang Pandawa (1890) 14. Hikayat Agung Sakti (1892) 15. Hikayat Maharaja Garbak Jagat (1892) 16. Lakon Jaka Sukara (1894) 17. Hikayat Sri Rama (1896) 18. Hikayat Wayang Arjuna (1897) 19. Hikayat Purasara (?) Cerita Panji 20. Hikayat Panji Semirang (1888) 21. Sair Ken Tambuhan (1897) Cerita Islam 22. Hikayat Syaikh Muhammad Saman (1884) 23. Hikayat Syaikh Abdulkadir Jaelani (1892) 24. Hikayat Nabi Bercukur (1893) Syair Simbolik 25. Sair Buah-buahan (1896) 26. Sair Sang Kupu-kupu (1993)
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
191
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
192
INDEKS Teeuw, 31, 180, 181, 187 Abrams, 139, 148 Abu Bakar Faqih, 23 aksara Buda/Gunung, 150, 152 al-Manhal al-‗Adhb li-Dhikr alQalb, 23 al-Nasīhat al-Anīqah li alMutalabbisīn bi al-Tarīqah, 5, 12, 13, 15, 16, 20, 21 al-Wathīqah al-Wafiyah fī‗Uluwwi Shāni Ṭarīqat al-Ṣūfiyyah, 2, 13, 19, 20 anugraha, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 40, 41, 43, 44 Arjuna-wiwāha, 40 Arti Thariqat dengan Pendek Bicaranya, 14 Aṣṭa-dala, 38 basapa, 91 Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weteschapen, 151 Bhineka Tunggal Ika, 112, 115, 116, 117, 122 Bima Swarga, 152, 162 brata-Śiwarātri, 31, 32 Bṛhaspati-Tattwa, 42 Brunner, 5 Bujangga Manik, 152, 157, 180, 181, 186 Pleyte, 151, 180 Carita Parahyangan, 152, 157, 161, 184, 185, 186 Carita Ratu Pakuan, 152, 157 Catur-lawa, 38 Cerita Perbantahan Dahulu Kala, 1, 4, 6 Darek, 94 Daśa-śīla, 43 de Graaf, 132 devide et impera, 131 Divya-kṛpā, 33 Eka-daśa-rudra, 38 Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Ferdinand de Saussure, 59 Frans Boaz, 47 Garuda-purāṇa, 31 Geguritan Bagawan Dawala, 114 Geguritan Kaki Manuh Nini Manuh, 113 Geguritan Sekar Mulat, 112, 113, 114, 115, 122, 123 Geguritan Unuh Galih, 113 van Rees, 5 Guru-kṛpā, 33 Habib Abdurrahman al-Zahir, 4 Habib as-Saghaf, 5 Haji Ripangi, 2 Harun Al-Rashid, 134, 138 Hasan Mustafa, 4 Hikayat Abu Samah, 135 Hikayat Bulan Belah Dua, 135 Hikayat Darma Tahsiah, 135 Hikayat Fatimah, 135 Hikayat Hang Tuah, 100 Hikayat Harun Al-Rashid, 124, 133, 134, 144 Hikayat Iblis, 135 Hikayat Muhamad Mukabil, 124, 133 Hikayat Muhammad Mukabil, 135, 144 Hikayat Nabi Bercukur, 81 Hikayat Nabi Musa, 135 Hikayat Nabi Wafat, 135 Hikayat Pencuri, 124, 125, 129, 133, 134, 135, 138, 140, 141, 143, 144, 147 Hikayat Raja Handak, 135 Hikayat Raja Jumjumah, 135 Hikayat Seribu Masail, 135 Hikayat Syaikh Ibn Yazid alBistami, 135 Hikayat Tamim Al-Dari, 135, 138 Holle, 4, 5, 6, 12, 21, 129, 150, 151, 153, 180 193
INDEKS
Indriyāyoga-mārga, 40 Itihāsa, 35 Iẓhāru Zaghlil Kāzhibīn fī Tashabbuhihim bi al-Ṣādiqīn, 27 Jacobus Noorduyn, lih. Noorduyn Java-Bode, 5 Jawa Kuna, 45, 113, 122, 123, 152, 154, 162, 180, 182, 183, 187 Jñānābhyudreka, 40 Julian Steward, 47 K.F. Holle, 4, 6, 152 kadi, 124, 125, 131, 132, 133, 139, 141, 142, 143, 146, 147 Kakawin Śiwarātri-kalpa, 31, 32 Karel Frederik Holle, lih. Holle kaum mudo, 89 Kaum Padri, 128 kaum tuo, 89 Kerajaan Banjar, 131 kerajaan Gowa, 131 Kerajaan Makasar, 86 Kerajaan Pagaruyung, 86, 87, 128 Kerajaan Pasai, 87 kerajaan Riau, 15, 131 kesultanan Banten, 131 Kesultanan Kedah, 14 Kesultanan Mataram, 86, 127 Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah, 100 Kitab Butikan Obat-obat, 46 kitāb Safīnat al-Najā, 22 Kṛpā, 33 Lubdhaka, 30, 31, 34, 40, 42 Mahā-puruṣa-artha, 30, 32 martabat tujuh, 90 Mas Haji Ihsan, 4 Mbah Kasemat, 65, 69 Mpu Tanakung, 30, 31, 44 Muhammad Adnan, 4 Muhammad Moesa, 4 Muhammad Musa, 4, 6, 12 Mujarobat, 46, 53, 54, 55, 58, 63 muzaki, 168, 171, 172 Naib Qadli, 131 Nasehat yang Elok untuk Pengikut 194
Tarekat, 5, 12 Noorduyn, 153, 163, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187 Padma-bhuwana, 38 Padma-maṇḍala, 38 Padma-purāṇa, 31 Pakih Najamuddin, 131 Pañca-kṛtya, 30, 34, 35, 36, 38 Para Putera Rama dan Rahwana, 180 Parewa Syara‘, 131 Peltzer, 4, 5 pemberontakan kaum santri dan ulama di Cilegon, 2 pengadilan surambi, 130 penghulu, 4, 5, 6, 10, 28, 124, 126, 128, 129, 131, 132, 133, 141, 142, 147 Perang Aceh, 2 Perang Diponegoro, 2, 128 Perang Paderi, 2, 89 Perang Padri, 128 Peristiwa Cianjur 1885, 4 Perpustakaan Nasional, 1, 6, 8, 29, 63, 83, 93, 135, 149, 154, 162, 163, 179, 180, 182, 183, 186 péso pangot, 150, 152, 153 Pūjā Siwāditya Astawa, 40 Purāṇa, 35, 45 Qadli al-Qudlat, 131 Qiṣṣat al-Qāḍī wa-al-Liṣṣ, 124, 133, 138 Raden Aboe Bakar Djajadiningrat, 4 Raden Saleh, 151, 152 Raja Abdullah, 14 Raja Ali, 14, 131 rajah, 41, 54, 55, 56, 57, 61, 62, 63 Roland Barthes, 58, 59, 60, 61 Sādhaka, 34, 40, 43 Sadhana-kṛpā, 33 Sahasrā-dala, 38 Śaiwa Kasmir, 34 Śaiwa-Pāśupata, 34 Śaiwa-Siddhānta, 34 Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
INDEKS
Sālim bin ‗Abdullāh bin Sumair, 1, 6, 9, 12, 13, 14, 15, 16, 21, 22, 23, 27 Saṁhara, 35 Sanghyang Sasana Maha Guru, 152, 157, 162 Sanghyang Siksakandang Karesian, 150, 151, 152, 162, 186 Śāstra-paraga, 34 Sayid Uthman bin Yahya bin ‗Aqil, 1, 2, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 27 Sayyid Ali bin Alwi bin Shihabuddin, 46, 48, 49 Shaykh ‗Abdussalam Cianjur, 1, 23 Shaykh Ahmad Khatib, 27 Shaykh Bahā al-DīnalNaqshabandī, 24 Shaykh Halil Pasya, 15 Shaykh Ismāil Minangkabau, 1, 4, 6, 9, 10, 13, 15, 20, 21, 22, 24, 25 Shaykh Jabal Qubais, 27 Abah Anom, 23 Abah Sepuh, 23 Shaykh Najm al-Din, 23 Shaykh Nawawi al-Bantani, 1, 6, 13, 15, 21, 16, 17, 19, 20, 21, 27 Shaykh Sulaiman Effendi, 15 Sheikh Sālim bin ‗Abdullāh, 22 Śiwa Naṭarāja, 37 Śiwālaya, 36, 40, 44 Śiwa-Pāśupata, 36 Śiwa-purāṇa, 31 Śiwarātri, 30, 31, 32, 35, 38, 40, 42 Śiwarātri-kalpa, 40 Śiwarātri-pūjā, 31 Śiwa-sūtra, 35 Śiwa-tattwa, 32, 33, 35, 38, 43 Śiwatattwadhāraṇa, 32 Skanda- purāṇa, 31 Snouck Hurgronje, 3, 6, 29, 126, 127, 128, 129, 132, 135, 148 Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Soeria Nata Ningrat, 5 Sri Ajnyana, 180, 183 Sṛṣṭi, 35 Sthiti, 35 Sultan Agung, 125, 126, 127 Sultan Alif, 87 Sultan Iskandar Muda, 87, 131 Sultan Mardha Syah Alloddin Rum, 100 Sunan Kudus, 132, 133 Sunda Kuna, 150, 152, 156, 157, 158, 161, 162, 163, 180, 181, 182, 183, 185, 186, 187 Surau Ulakan, 85, 89, 91, 93 Syair Fī Kaifiyat Al-Ḥajj, 84 Syair Kanjeng Nabi, 65, 68, 69, 73, 81, 82 Syair Mekah Madinah, 85, 91, 92, 93, 98, 100 syair nasihat, 164 Syeikh Ahmad Khatib alMinangkabawi, 97 Syeikh Isma‘il al-Minangkabau, 7 Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari, 97 Syekh ‗Abd Allāh al-Shattār, 90 Syekh Abdul Karim Amrullah, 97 Syekh Abdur Rauf Al-Sinkili, 90 Syekh Burhanuddin Ulakan, 85, 90, 91, 110 Syekh Daud Sunur, 85, 91, 93, 98 Syekh Lubuk Ipuh, 91, 92 Syekh Muhammad Amrullah, 97 Syekh Muhammad Saad alKhalidiy Mungka, 97 Tarekat Naqshabandiyah, 1, 2, 4, 5, 9, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29 Tarekat Syattariyah, 90, 91, 98, 110 Ter Haar, 126 Tri Hita Karana, 112, 113, 115, 122, 123 Tri-kāya, 41 Tri-mūrti, 34, 35 195
INDEKS
Tri-sādhanā, 39 Tṛṣṇādoṣa-kṣaya, 40 Tuanku nan Garang, 1, 7, 24 Tuanku Nan Garang, 1, 2, 4, 6, 9, 10, 13, 17, 20, 22, 24, 25, 27 Tumenggung Ibrahim, 13 van den Berg, 126, 149
196
wahdat al-wujūd,, 90 Weda-paraga, 34 welfare state, 164, 165 Wiranatakusumah IV, 151, 154, 183 Zakat, 165, 168, 169, 170, 171, 172, 174, 175, 179
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Ketentuan Penulisan untuk Jumantara: 1. Jenis tulisan berupa artikel hasil penelitian atau setara hasil penelitian mengenai naskah serta tinjauan buku. 2. Panjang tulisan berkisar antara 20.000 – 40.000 karakter (15-20 halaman termasuk bibliografi, ketik spasi rangkap di atas kertas A4). 3. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia disertai abstrak dan kata kunci dalam bahasa Indonesia. 4. Penulis menyertakan identitas lengkap meliputi jenjang pendidikan terakhir, kedudukan tetap, karya tulis yang dianggap penting, alamat surat elektronik pribadi, dan alamat lengkap yang mudah dihubungi. 5. Tulisan dikirim melalui surat elektronik dengan alamat [email protected] atau melalui pos ke Redaksi Jumantara, Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta 10002. 6. Naskah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi bersama Mitra Bestari dan apabila perlu akan dilakukan penyempurnaan tanpa mengubah substansi naskah. 7. Tulisan yang dimuat akan diberikan imbalan/honor sesuai peraturan yang berlaku. Penulis juga akan mendapatkan nomor bukti (eksemplar dan pdf) dari tulisan yang dimuat.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
197
TELAH TERBIT Seri Naskah Kuna Nusantara Terbitan Perpustakaan Nasional RI
Kumpulan cerita wayang versi Pecenongan: suntingan teks Seri Naskah Kuna Nusantara No. 1 oleh Nur Karim, Mardiono, Didik Purwanto, Sanwani. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2012.
198
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Bali 1842: Suntingan teks dan terjemahan Seri Naskah Kuna Nusantara No. 2 Dian Soni Amellia & Yudhi Irawan Perpustakaan Nasional RI, 2012.
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
199
Gita Sinangsaya: Edisi Teks dan Terjemahan Seri Merapi-Merbabu No.1 Agung Kriswanto Perpustakaan Nasional RI, 2012.
200
Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013
Vol. 3 No. 2/2012