Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
i
PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA Alamat Redaksi: Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI. Jl. Salemba Raya No. 28 A Kotak Pos: 3624, Jakarta 10002 Telp : (021)-3154863 ext. 264 e-mail:
[email protected] homepage: http://www.pnri.go.id/MajalahOnline.aspx
JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Vol.3 No.2 Tahun 2012 Pembina Pengarah
Penanggung jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi
Mitra Bestari Editor Bahasa Sekretaris Redaksi Sirkulasi Tata Letak
: Kepala Perpustakaan Nasional RI : 1. Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi 2. Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi : Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus : Drs. Nindya Noegraha : 1. Drs. H. Sanwani 2. Aditia Gunawan, S.Pd. 3. Agung Kriswanto, SS. 4. Drs. Nur Karim, M. Hum. 5. Yudhi Irawan, S. Hum. 6. Mardiono : 1. Prof. Dr. Achadiati 2. Dr. I. Kuntara Wiryamartana : 1. Dra. Dina Isyanti, M. Si. 2. Didik Purwanto, SS. : 1. Komari 2. Dian Soni Amellia, S.Hum. : Bambang Hernawan, SS. : Aditia Gunawan, S.Pd.
Jumantara adalah jurnal ilmiah dengan fokus kajian naskah (manuskrip) nusantara yang menyajikan karangan ilmiah dalam bentuk hasil penelitian, penilaian terhadap hasil penelitian, serta tinjauan buku. Diterbitkan secara berkala dua kali dalam setahun oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan ISSN 2087-1074.
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
ii
Artikel 1
Willem van der Molen Orangtua Swayempraba Ramayana Jawa Kuna 7.74.
13
Manu J. Widyaseputra Mahīrakaca; Kaca sebagai Udyana menurut Lampahan Tumurunipun Taman Maerakacadalam Tradisi Wayang Yogyakarta
55
Ding Choo Ming Penafsiran Kuasa Raja dalam Beberapa Teks Sastera Melayu Lama
75
Istiqamatunnisak Perlawanan Rakyat Aceh terhadap Belanda dalam Karya Sastra Aceh Hikayat Teungku di Meukek: Tinjauan Poskolonial
89
Hasaruddin & Andi Tenri Machmud Peranan Sultan dalam Pengembangan Tradisi Tulis Di Kesultanan Buton
105
Dick van der Meij Kontekstualisasi Naskah dan Teks Lombok
130
Kalsum Simbol-Simbol Ungkapan Pemikiran Dalam Naskah Tasawuf Awal Islamisasi
154
Lilie Suratminto Brandes Sang Penyelamat Manuskrip Nâgarakrêtâgama Dilihat dari Batu Nisannya melalui Kaca Mata Semiotik
Review Buku 178 Suryadi Sejak dari Istana Raja sampai Tempayan dan Piring
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
iii
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
iv
inamika perubahan dalam masyarakat memang sering tidak terduga perkembangannya, walau sebagian masyarakat sudah meramalkan akan kedatangan Ratu Adil, Satriyo Piningit, Heru Cakra, dsb., dari buku ramalan atau jangka. Di era keterbukaan yang didukung oleh perkembangan Teknologi Informasi, semua menjadi cetha wela-wela (serba gamblang) sehingga masyarakat yang jiwanya tidak kokoh tentu mudah terpengaruh oleh berita-berita yang sangat menggelitik nurani. Di belahan bumi yang sangat jauh dari Nusantara tersiar berita yang memicu gelombang protes dimana-mana, padahal para pemrotes tersebut sebagian besar hanya mengetahui informasi dari mulut ke mulut ditambah bumbu-bumbu yang membakar emosi dan mendorong ilon, ikut protes. Perubahan pola hidup karena perkembangan zaman memang tidak dapat dihalangi, karena kehidupan tidak mandeg (statis). Kini bangsa ini seakan-akan kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang berdasar Pancasila. Terlupakannya Pancasila sebagai jati diri bangsa adalah kealpaan bangsa ini, karena kita semua paham bahwa Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia dan digali dari tanah air Indonesia, bukan dari Eropa, Amerika, Arab, Cina dan sebagainya. Pancasila sebagai jati diri ditinggalkan bangsa sendiri, karena pengaruh “luar” sangat kental mempengaruhi jiwa masyarakat. Bentrokan sesama warga masyarakat karena masalah sepele yang sama-sama tidak dipahami, hanya karena dibakar emosi yang tidak jelas sering terjadi. Padahal, berbulu cendrawasih sekalipun, asal masyarakat Indonesia tidak kehilangan jati diri dan keIndonesiaannya yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, semua pengaruh asing yang merusak tidak akan pernah terjadi. Kita tahu bahwa bangsa Indonesia dalam hal publikasi selalu tertinggal dari bangsa lain, sehingga banyak keunggulan yang kita miliki kurang diketahui oleh bangsa lain. Setelah bangsa lain
D
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
v
mengakui keunggulan itu miliknya, kita ribut seperti “kebakaran jenggot”. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa kerusakan bangsa ini sudah membudaya, sehingga untuk memperbaikinya harus ada revolusi yang berakibat hilangnya satu generasi. Pada kenyataannya, tanpa revolusi pun satu generasi Indonesia kemungkinan akan hilang akibat tidak berjati diri dan berbudi pekerti, sehingga hancur sia-sia karena narkoba dan korupsi. Untuk mencegah kerusakan yang semakin parah, perlu digalakkan kembali nilai kearifan lokal bangsa Indonesia hasil karya cipta budaya leluhur sendiri. Kearifan lokal merupakan jati diri yang mampu menjadi benteng pertahanan terhadap budaya “luar” yang merusak. Kearifan lokal Nusantara, selain sarat dengan budi pekerti, juga hal-hal yang bersifat spiritual dan filsofis. Kalau hal-hal semacam ini benar-benar dipahami dan dihayati masyarakat, dapat diharapkan bahwa Indonesia terbebas dari bebendhu (kemurkaan), karena pada dasarnya orang Indonesia cinta damai dan selalu menyelaraskan diri dengan alam untuk mencari kesempurnaan hidup. Kearifan lokal di antaranya dapat ditemukan dalam naskahnaskah Nusantara ataupun cerita-cerita rakyat. Memahami kearifan lokal dalam naskah-naskah Nusantara ataupun cerita rakyat tentu tidaklah mudah, karena bahasa dan aksara yang digunakan pada umumnya adalah bahasa dan aksara daerah yang sudah tidak banyak dikenal lagi oleh sebagian besar masyarakat. Selain faktor bahasa dan aksara, penyajiannya pun kadangkadang dalam bentuk metrum yang merupakan tembang. Untuk menanggulangi hal semacam inilah peran pemerintah untuk ikut mensosialisasikan kearifan lokal Nusantara sangat diperlukan. Artinya, agar naskah kuna dapat dipahami isinya oleh generasi sekarang perlu adanya upaya alih aksara dan penerjemahan secara terus menerus dan dalam skala besar. Dalam rangka mendukung upaya “menemukan kembali jati diri dan memahami budi pekerti yang telah diwariskan leluhur” inilah redaksi menyajikan karya para pakar di berbagai bidang yang merupakan bagian dari budaya Indonesia. Yang pertama, disajikan tulisan Willem van der Molen, “Orangtua Swayempraba Ramayana Jawa Kuna 7.74.” Melalui telaahnya yang cermat terhadap Ramayana Jawa Kuna sarga 7 bait 74, van der Molen memberikan sumber informasi tambahan yang selama ini
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
vi
terlupakan. Sumber yang dimaksud berasal dari kumpulan naskah Merapi-Merbabu yang kini berada di Perpustakaan Nasional. Tulisan kedua ditulis oleh Manu J. Widyaseputra, “Mahīrakaca; Kaca sebagai Udyana menurut Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca dalam Tradisi Wayang Yogyakarta” adalah uraian filosofis tentang kisah kelahiran Srikaṇḍi danTrusthajuměna. Satu hal yang penting untuk dicatat dari tulisan Widyaseputra adalah bahwa tradisi Wayang Yogyakarta merupakan rangkaian proses adaptasi dan transformasi jenius dari Mahābhārata Asia Selatan. Dalam tataran praktis, penulis menyarankan agar para dalang memahami setiap narasi tanpa perlu menceramahi karena narasi itu sendiri kaya dengan pelajaran hidup yang bermakna. Banyak karya sastra Nusantara lama yang merupakan refleksi dari kejadian historis. Itulah tema yang kiranya diangkat baik oleh Ding Choo Ming maupun Istiqamatunnisak. Ding Choo Ming, melalui tulisannya yang ketiga, “Penafsiran Kuasa Raja dalam Beberapa Teks Sastera Melayu Lama” memberikan informasi berdasar teks-teks Melayu lama bahwa meskipun raja Melayu berkuasa mutlak, rupanya para pembesar memegang peranan penting sebagai kepanjangan tangan raja. Adapun Istiqamatunnisak melalui tulisannya yang berjudul “Perlawanan Rakyat Aceh terhadap Belanda dalam Karya Sastra Aceh Hikayat Teungku di Meukek: Tinjauan Poskolonial” memberikan gambaran perjuangan Teungku di Meukek melawan kaum kolonial. Dalam tulisan yang berjudul “Peranan Sultan dalam Pengembangan Tradisi Tulis di Kesultanan Buton”, Hasarudin dan Andi Tenri Mahmud menggambarkan dengan cukup komprehensif tentang dinamika tradisi tulis di Buton pada masa lalu yang diprakarsai oleh para Sultan, terutama pada masa Muhammad Idrus Kaimuddin, ketika tradisi tulis di Buton mencapai masa keemasannya. Teks tidak terlepas dari konteks. Dick van der Meij melalui tulisannya “Kontekstualisasi Naskah dan Teks Lombok” menyorot tentang konteks dalam naskah dan teks-teks Lombok, mencakup bagaimana naskah tersebut disalin, dibacakan dalam upacara atau hanya dijadikan jimat, hingga upaya pemeliharaan terhadap naskah-naskah tersebut. Pada gilirannya, penulis
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
vii
mengingatkan kepada para filolog agar tidak hanya berbicara tentang edisi teks, tetapi juga mengedepankan hubungan antara teks, tradisi, dan isi. Tulisan selanjutnya ditulis oleh Kalsum, berjudul “SimbolSimbol Ungkapan Pemikiran Dalam Naskah Tasawuf Awal Islamisasi”. Sumber yang digunakan penulis ialah naskah daluwang/dluwang yang ditemukan di Kawali, ditulis dengan aksara Cacarakan Kuna dan berbahasa Jawa Kuna. Terakhir, Lilie Suratminto menulis artikel yang berjudul “Brandes Sang Penyelamat Manuskrip Nâgarakrêtâgama Dilihat dari Batu Nisannya melalui Kaca Mata Semiotik”. Meski kajiannya tidak terlalu terkait dengan naskah, tetapi sosok J.L.A. Brandes kiranya perlu diangkat karena jasa-jasanya dalam upaya pengumpulan dan penelitian naskah yang hingga kini terasa manfaatnya. Pada bagian akhir jurnal ini, Suryadi menulis tinjauan buku Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima teks Indonesia lama karya Henri Chambert-Loir (2011). Keberagaman tulisan dalam edisi kali ini dengan sendirinya menggambarkan keberagaman tradisi tulis di Nusantara. Selamat membaca!
Jumantara Vol. 3 No.1 Tahun 2012
viii
Abstrak Ramayana Jawa Kuna sarga 7 memuat kisah Swayempraba, raksasa perempuan yang membuat Hanuman dan kawannya melupakan tujuan mereka pergi ke Lengka untuk memastikan apakah Sita ditawan di sana. Bait 74 mengandung problema. Kern pernah menunjukkan bahwa naskah-naskah mengandung kesalahan metrum pada baris kedua, ketika Swayempraba menyebutkan ayah dan ibunya. Dengan bertolak dari bentuk metrum yang seharusnya, Kern mengusulkan sebuah perbaikan yang menjadikan si ibu hilang dari teks. Soewito Santoso dalam Ramayana edisinya tidak menerima perbaikan Kern dan tetap mempertahankan si ibu, walaupun hal itu mengakibatkan adanya kesalahan metrum pada teks. Tanpa memperdulikan masalah metrum ia mencari tokoh ibu tersebut dalam beberapa Ramayana versi India, namun tampaknya tokoh itu tidak disebut-sebut di sana. Walaupun demikian, dari sumber-sumber Soewito Santoso didapati bahwa Swayempraba menyebutkan seorang teman dekatnya, wanita bernama Hema, sebagai pemilik gua, dan si raja raksasa bernama Maya. Teks Jawa Kuna diam tentang kedua tokoh yang diperkenalkan Soewito Santoso itu: keduanya tidak ditemukan dalam naskah-naskah Bali yang mendasari edisinya. * Profesor Tamu, Tokyo University of Foreign Studies. Artikel ini pertama kali dibacakan sebagai kertas kerja dalam sebuah seminar yang dilaksanakan pada tahun 2011 oleh „Indonesian Manuscript Project‟ yang diselenggarakan oleh the Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies. Saya berterima kasih kepada koordinator pelaksana kegiatan tersebut, Prof. Koji Miyazaki, dan kepada para peserta seminar atas masukan yang diberikan. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr Roy E. Jordaan atas komentar kritisnya.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
1
Luar biasa dan cukup spektakuler, sebuah naskah teks Ramayana dari tradisi yang sampai sekarang dilalaikan justru tidak bungkam mengenai itu. Naskah tersebut merupakan bagian dari Koleksi Merapi Merbabu di Perpustakaan Nasional dengan nomor lontar 335. Kata Kunci: Swayampraba, Ramayana Jawa Kuna, Naskah Koleksi Merapi-Merbabu. Sebuah masalah metrum Ramayana Jawa Kuna sarga 7 memuat kisah Swayempraba, raksasa perempuan yang membuat Hanuman dan kawannya melupakan tujuan mereka pergi ke Lengka untuk memastikan apakah Sita ditawan di sana. Teks Jawa Kuna dalam edisi Soewito Santoso [1980] tertulis demikian: 62 63
64 65
66
67
68
2
Hana ta manuk madulu-dulur, mĕtu saka riṅ giriwiwara, kapibala kadbuta ya mulat, paḍa maṅadĕg maṅiṅĕt-iṅĕt. Dadi ya manon wiwara guhā, ikana lawaṅ nya katatakut, wigata bhaya ṅ prawagabala, tama ta maṅöb makakurutug. Satama nikaṅ kapi ri dalĕm, hana ta umah dhawala putih, atiśaya bhāswara sumĕnö, ya ta tinĕmu nya paḍa masö. Anĕmu ta yānakĕbi rarā, rahayu sulakṣana manulus, kadi ta wulañ juga gumawaṅ, ya ta kumĕmit [t]ikanaṅ umah. Gumuyu masö ya tan atakut, tĕka ya mawèh phala matasak, wwayatiśayèṅ mahĕniṅ atīs, ya ta panamuy nya śuci marūm. Dadi ya tumakwani ikanaṅ, prawaga huwus nya ya tinamuy, suka paripūrṇna paḍa warĕg, duga-duga yan pawarawarah. Wwara sira Rāghawa karĕṅö, sira makadūta kami kabeh, lumaku kinon lumawada sañ, Janakasutā sira tinawan. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
69 70 71 72
73
74
Kami ta tumakwanakĕn i saṅ, gumawayikaṅ giriwiwara, syapa umaṅun [n]ikanaṅ umah, ya tikana pājara ri kami. Lawana ika saṅ dumadi kita, syapa paṅaran nira karĕṅö, kita ta rarāhayu saphala, saṅapa ṅaranta warahakĕn. Nā liṅ nikanaṅ wré, māprĕṣṇa kabèh nya, mojar tikanaṅ strī, kanyā tanumadhyā. Wwara sira dānawarāja, ṅaran ira saṅ Wiśwakarmma tamoli, sira umaṅun [n] ikana ṅ umah, ikaṅ guhā ṅké sira sumuk ya. Sāmpun swarggasthāna sira, prastāwa binajra dé bhaṭaréndra, saṅkā ya tar pahīṅan, umariṣṭākĕn [n] ikaṅ prĕthiwī. Aku iki dānawakanyā, ṅaranku karĕṅö Swayĕmprabhā nāma, dānawarāja bapaṅku, praśāstébuṅku Mérusāwarṇni.
Teks tersebut diterjemahkan Soewito Santoso ke dalam bahasa Inggris yang dapat diindonesiakan sebagai berikut: 62
63
64
65
66
Kemudian pasukan kera itu terkejut melihat burungburung, berturut-turut, keluar dari sebuah gua. Mereka bangkit dan memandangi [burung-burung itu] dengan penuh perhatian. Dan mereka melihat mulut sebuah gua, sebuah celah yang tampak berbahaya. Tetapi kera-kera itu tanpa rasa takut memasuki [gua itu] bersama-sama untuk mencari tempat teduh. Ketika para kera telah berada di dalam, mereka sampai ke sebuah rumah, putih dan bersinar sangat cemerlang. Mereka terus maju, dan bertemu seorang gadis muda, sangat cantik dan santun. Gadis itu bercahaya bagaikan bulan. Dia adalah penjaga rumah itu. Sambil tersenyum ia melangkah maju tanpa rasa takut, dan memberikan kepada mereka buah-buahan masak serta air,
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
3
67
68
69 70
71 72 73
74
sangat jernih dan segar. Semua itu persembahannya [bagi para kera], tulus dan manis. Lalu ia bertanya kepada para kera, setelah makan sampai kenyang, [tentang tujuan mereka] dan mereka memberitahu gadis itu dengan terus terang: „Rāghawa yang termasyhur itu mengirim kami semua untuk menyelidiki [keberadaan] Janakasutā yang menjadi tawanan. Bolehkah kami bertanya siapa yang membangun gua, dan rumah? Ceritakan kepada kami. Juga tentang orangtuamu. Siapa julukan mereka. Kau seorang gadis muda yang sempurna cantiknya. Siapa namamu? Tolong katakan!‟ Demikianlah para kera itu berbicara, sambil bertanya. Gadis (berpinggang) langsing itu menjawab: „Seorang raja raksasa, dikenal sebagai Wiśwakarmmā yang tiada tandingannya, yang membangun rumah dan gua ini. Ia telah berpulang ke swarga, terbunuh oleh senjata dewa Indra, karena ia (raksasa itu) telah menyebabkan kerusakan yang melampaui batas di bumi. Aku seorang gadis raksasa, dikenal dengan nama Swayamprabhā. Raja raksasa itu adalah ayahku dan ibuku yang termasyhur adalah Mérusāwarṇi.‟1
1
Terjemahan Soewito Santoso dalam bahasa Inggris: 62 Then the monkey-troops saw with surprise birds, the one after the other, coming out of a cave. They stood up and looked [at the birds] attentively. 63 And so they saw the aperture of a cave, a dangerous looking opening. But the monkeys fearlessly entered [the cave] together to find shade. 64 When the monkeys were inside, they came to a house, white and shining very brightly. They went forward, 65 and met a young maiden, truly beautiful and well behaved. She shone like the moon. She was the wardress of the house. 66 Smiling she stepped forward fearlessly, and gave them ripe fruit and water, very clear and cool. These were her offerings [to the monkeys], pure and sweet. 67 So she asked the monkeys, after they had eaten to their fill, [about their destination] and they told her frankly: 68 „The well-known Rāghawa has sent all of us to investigate [the whereabouts of] Janakasutā who is kept captive. 69 „May we ask about the builder of the cave, and of the house? Please, tell
4
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Teks yang disajikan Santoso sama dengan yang terdapat dalam naskah-naskah Bali. Bait 74 mengandung problema. Kern pernah menunjukkan bahwa naskah-naskah mengandung kesalahan metrum pada baris kedua, ketika Swayempraba menyebutkan ayah dan ibunya. Dengan bertolak dari bentuk metrum yang seharusnya, Kern mengusulkan sebuah perbaikan yang menjadikan si ibu hilang dari teks; kini Swayempraba hanya menyebutkan ayahnya (Kern 1898): Aku iki dānawakanyā, ngaranku karĕngö Swayĕmprabhā nāma. Dānawarāja bapangku, praśāsta sang Merusāwarṇi. Aku seorang gadis raksasa, dikenal dengan nama Swayamprabhā. Seorang raja raksasa ayahku, Mérusāwarṇi yang termashyur. Metrum yang digunakan di sini adalah yang dinamakan metrum Arya.2 Pola metrum ini pada baris kedua adalah sebagai berikut: Kern: Naskah:
2
– ᴗ ᴗ / – ᴗ ᴗ / – –, ᴗ – ᴗ / – – / ᴗ / – – / – – ᴗ ᴗ / – ᴗ ᴗ / – ᴗ, ᴗ – – / – ᴗ – / ᴗ / – – / ᴗ
us. 70 „Also about your parents. Who are their renowned names. You are a perfectly beautiful young lady. What is your name? Please tell!‟ 71 Thus spoke the monkeys, asking simultaneously. The slim (waisted) maiden answered: 72 „A king of demons, called the unequalled Wiśwakarmmā built this house and the cave. 73 „He has returned to heaven, killed by the weapon of god Indra, because he (the demon) had devastated the earth beyond limit. 74 „I am a demon-maiden, renowned by the name of Swayamprabhā. The demon-king was my father and my famous mother was Mérusāwarṇi. Informasi mengenai metrum-Arya bisa didapatkan di internet. Lihat mis. http://www.ancient-buddhist-texts.net/Textual-Studies/ProsodyArticles/index.htm (dikunjungi 30 Oktober 2011), sebuah laman web berjudul „Articles about Indian prosody‟ oleh Ānandajoti Bhikkhu, bertanggal Desember 2005, memuat sejumlah artikel atau bab-bab dalam buku-buku mengenai metrum India yang ditulis oleh para ahli Sanskrit ternama.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
5
Masalahnya terletak pada suku-suku kata pertama setelah koma: praśāsté pada naskah-naskah menampilkan pola ᴗ – – padahal seharusnya adalah: ᴗ – ᴗ. Pola tersebut seharusnya diikuti dengan satu suku kata panjang, –, tetapi yang terdapat pada naskahnaskah justru dua suku kata, buṅku, sesuai dengan pola – ᴗ. Solusi yang dipilih Kern sederhana dan cerdik. Dasar pemikiran Kern adalah bahwa Merusawarni adalah nama pria, bukan wanita, sehingga tidak seharusnya ada ibu di sana. Bisa jadi orang yang tidak memiliki cukup pengetahuan tentang nama pribadi dalam bahasa Sanskrit berpikir bahwa nama dengan akhiran –i pasti merupakan nama perempuan dan karenanya merasa perlu „memperbaiki‟ teks tersebut dengan menyisipkan kata ibuṅku. Berkaitan dengan sandhi yang diawali dengan praśāsta, hasilnya adalah praśāstébuṅku. Kata praśāsta diakhiri dengan a pendek sesuai dengan aturan metrum ᴗ – ᴗ, sementara kata sandang kehormatan sang diharapkan muncul di depan nama orang seperti Merusāwarṇi. Kern memberi penjelasan yang masuk akal tentang mengapa kesalahan dapat terjadi, dengan mengacu ke metrum bait 74, Arya, yang memang dikenal sangat sulit: Akan segera terlihat bahwa bait ini telah dikacaukan. Sesungguhnya, semua bait puisi ini yang ditulis dalam metrum Arya mengalami banyak kekacauan. Mengapa baitbait dalam Arya mengalami kerusakan yang lebih parah dibandingkan bait-bait dalam metrum lain, tak diragukan lagi disebabkan sulitnya metrum ini dan kekurangakraban para sarjana dan penyalin Bali dan Jawa dengan aturanaturan metrum tersebut. Beruntung, Arya itu terikat pada aturan-aturan yang sangat ketat, yang sangat membantu memperbaiki kesalahan pembacaan. (Kern 1898:171)3 3
„Men ziet terstond dat het vers verknoeid is, gelijk trouwens alle gedeelten van ‟t gedicht die in Arya-maat zijn erg geleden hebben. De verklaring van ‟t feit dat de verzen in Arya onvergelijkelijk meer verknoeid zijn dan de stukken in andere maten, ligt zonder twijfel in de moeielijkheid van dit metrum en de onbekendheid der Balische en Javaansche geleerden en afschrijvers met de regels van dit metrum. Gelukkig is de Arya aan zeer strenge regels gebonden en wordt daardoor de herstelling van bedorven lezingen aanmerkelijk verlicht.‟
6
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Latar belakang Swayempraba Soewito Santoso dalam Ramayana edisinya tidak menerima perbaikan Kern dan tetap mempertahankan si ibu, walaupun hal itu mengakibatkan adanya kesalahan metrum pada teks. Ia memberi catatan kaki yang panjang untuk bait 74. Tanpa memperdulikan masalah metrum ia mencari tokoh ibu tersebut dalam beberapa Ramayana versi India, namun tampaknya tokoh itu tidak disebut-sebut di sana (Santoso [1980]:746). Walaupun demikian, sumber-sumber Soewito Santoso memberikan sebuah hasil lain. Dalam sumber-sumber tersebut didapati bahwa Swayempraba menyebutkan seorang teman dekatnya, wanita bernama Hema, sebagai pemilik gua, dan bahwa si raja raksasa disebut dengan nama Maya (cf. bait 72 pada teks Jawa Kuna). Hema, menurut Swayempraba, ahli dalam seni tari dan seni suara; Maya dikenal dalam mitologi Hindu sebagai arsitek kepala di kalangan raksasa dan merupakan murid Wiswakarma, dewa seni dan kerajinan yang disebut dalam bait 72 (Santoso [1980]:746). Soewito Santoso seterusnya merekonstruksi jalur kejadian sebagaimana yang dimuat dalam versi Jawa Kuna kisah ini. Ia menulis: Dalam Kakawin Ramayana Jawa Kuna, Maya tidak disebut, sehingga didapatkan kesan bahwa Wiśwakarmmā yang membangun gua, dan ia jugalah yang dibunuh Indra, dan bahwa Swayamprabhā adalah putrinya dari Mérusawarṇṇi. Menurut saya terjadinya drama tersebut adalah sebagai berikut. Maya, murid Wiśwakarmmā, suami Mérusāwarṇṇi dan ayah Swayamprabhā, ingin mengawini Héma, setelah ia membuat bangunan dalam gua itu. Indra, raja para dewa, yang tampaknya jatuh cinta sendiri kepada Héma, membunuh Maya, dan menghadiahkan bangunan dalam gua itu kepada Héma. Héma, sebagai teman Swayamprabhā, mengangkat Swayamprabhā menjadi pejaga bangunan tersebut, sehingga gadis itu tidak perlu mencari tempat tinggal lain. (Santoso [1980]:746)4 4
In the Oldjavanese RK., Maya is not mentioned, so that we receive the impression that Wiśwakarmmā made the cave, and he too was the one slain by Indra, and that Swayambprabhā was his daughter by Mérusawarṇṇi. It seems
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
7
Saya serahkan kepada pembaca untuk memutuskan apakah pandangan Soewito Santoso terhadap jalur peristiwa ini dapat membantu memahami Ramayana Jawa Kuna atau tidak. Patut dicatat bahwa bukan „didapatkan kesan‟ dari teks Jawa Kuna bahwa Wiswakarma membangun gua dan dikalahkan oleh Indra: hal itu secara gamblang dinyatakan dalam teks itu sendiri (lihat bait 72-73). Patut juga kita ingat bahwa versi Jawa Kuna tidak harus sesuai dalam segala hal dengan versi-versi lainnya. Bait 74a Teks Jawa Kuna diam tentang kedua tokoh yang diperkenalkan Soewito Santoso, Hema dan Maya: keduanya tidak ditemukan dalam naskah-naskah Bali yang mendasari edisinya (sebagaimana halnya edisi Kern tahun 1900). Luar biasa dan cukup spektakuler, sebuah naskah teks Ramayana dari tradisi yang sampai sekarang dilalaikan justru tidak bungkam mengenai itu. Naskah tersebut merupakan bagian dari Koleksi Merapi Merbabu di Perpustakaan Nasional dengan nomor lontar 335 (lihat Setyawati, Wiryamartana dan Van der Molen 2002). Perhatian kita untuk naskah ini diminta oleh Poerbatjaraka dalam edisi beranotasi Ramayana Jawa Kuna yang diselesaikannya pada tahun 1952. Hasil jerih payah Poerbatjaraka ini, sayangnya, tidak terpublikasikan dan tidak sampai kepada masyarakat yang layak menjadi pembacanya. Baru pada tahun 2010 buku tersebut akhirnya diterbitkan atas usaha Perpustakaan Nasional di Jakarta bersama dengan dr I. Kuntara Wiryamartana dari Yogyakarta. Sejauh menyangkut masalah metrum pada bait 74, lontar 335 sejalan dengan naskah-naskah Bali: bacaan praśāstebungku juga terdapat di dalamnya. Tokoh-tokoh Soewito Santoso, atau setidaknya salah satu di antaranya, muncul dalam sebuah bait tambahan pada lontar 335; to me that the drama happens this way. Maya, the student of Wiśwakarmmā, husband of Mérusāwarṇṇi, and the father of Swayamprabhā wants to marry Héma, after he has constructed the building in the cave. Indra, the king of the gods, apparently in love with Héma himself, kills Maya, and gives the building in the cave to Héma. Héma, being a friend of Swayamprabhā, engages Swayamprabhā as warder of the building, so that she does not need to look for accomodation somewhere else. (Santoso [1980]:746) 8
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
dalam naskah-naskah Bali bait ini tidak ada. Diberi nomor 74a oleh Poerbatjaraka.5 Sayang sekali bahwa bait ini telah rusak. Dilihat dari metrumnya jelaslah bahwa ada beberapa kata yang hilang. Teks berbunyi: prawarapsarī hana ngke, anākbi sang hema, kumĕmit rika bhaśa ngke, rikeng guhā mwang alasnya kabeh. Terjemahannya: Ada seorang dewi terkemuka di sini, seorang perempuan bernama Hema. Aku menjaga tempat ini, ditugaskan di sini, di gua dan seluruh belantara. Perbandingan antara metrum baris pertama yang seharusnya dengan yang tertera dalam naskah menunjukkan seberapa banyak yang hilang: Seharusnya ᴗ ᴗ – / ᴗ – ᴗ / – –, ᴗ – ᴗ / – ᴗ ᴗ / – – / – – / – ᴗ ᴗ – / ᴗ – ᴗ / – –, ᴗ – ᴗ / – / naskah /ᴗ –/ Masalahnya terletak setelah koma: anākbi sang ... ... ... he ... ... ma. Poerbatjaraka, pada gilirannya menawarkan sebuah perbaikan, memperbaiki metrumnya sekaligus menyisipkan Maya sebagai suami Hema. Dalam edisinya, Poerbatjaraka mengikuti teks Kern 1900; jika perbaikan yang ditawarkannya diterapkan, teks Jawa Kuna tersebut berbunyi: Prawarāpsarī hana ngke, anakbi sang Maya sang Hemā nāma 5
Naskah-naskah juga teks Jawa Kuno tradisi Jawa Tengah (yaitu dari istana, yang berbeda dari tradisi Merapi Merbabu) mengandung bait ini, sebagaimana dinyatakan Poerbatjaraka maupun Kern. Poerbatjaraka menyingkirkan naskahnaskah tersebut karena banyaknya kerusakan tekstual, sedangkan Kern berusaha memperbaiki pembacaan mereka. Lihat Poerbatjaraka 2010:320-321, Kern 1900 varietas lectionum.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
9
Diterjemahkan oleh Poerbatjaraka ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: (Dahulu) disini ada bidadari terkemuka, isteri sang Maya, sang Hemā namanja (Poerbatjaraka 2010:320) (anakbi dapat berarti „perempuan‟ dan „istri‟. Lihat Zoetmulder 1982 s.v.) Perbaikan Maya menjadi suami Hema didasarkan pada bukti dalam Uttarakaṇḍa Jawa Kuna (Poerbatjaraka 2010:321). Poerbatjaraka tidak membicarakan mengapa sebagian dari baris dalam naskah tersebut hilang. Menurut saya, disini telah terjadi yang dalam filologi klasik disebut saut-du-même-aumême, melompat dari satu kata ke kata yang sama di bawahnya sambil menghapuskan yang ada di antaranya. Kata sang muncul dua kali, demikian juga suku kata ma. Penyalin melompat dari sang pertama ke nama yang kedua, dan dari He- ke -ma yang kedua. Baris kedua pada 74a juga tidak sesuai aturan, tetapi dalam hal ini masalahnya dapat dianggap sepele. Bandingkan pola yang benar dengan pola yang ada: seharusnya
ᴗ ᴗ – / ᴗ – ᴗ / – –, ᴗ – ᴗ / – – / ᴗ / – ᴗ ᴗ / –
naskah
ᴗ ᴗ – / ᴗ ᴗ ᴗ / – –, ᴗ – ᴗ / – ᴗ / ᴗ / – ᴗ ᴗ / –
Perbedaannya terletak pada kata rika pada paro pertama, dan mwang pada paro kedua baris tesebut: rika ᴗ ᴗ seharusnya rikā ᴗ – dan mwang ᴗ seharusnya mwāng –. Cukup menambahkan tanda untuk a panjang dan cecak sebelum aksara ng. Tanda tambahan seperti itu dengan mudah terlampaui dalam salinan yang satu dan dengan semudah disisipkan dalam salinan berikutnya bila diperlukan. Kadang-kadang dilakukan koreksi seperlunya pada naskah yang sama. Dalam lontar 335 terdapat beberapa contoh perbaikan semacam itu yang tampaknya ditambahkan pada saat pengecekan ulang setelah naskahnya selesai ditulis. Baris yang dikoreksi Poerbatjaraka berbunyi: 10
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Kumĕmit rikā bhasa ngke, rikeng guhā mwangng alasnya kabeh. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia olehnya sebagai: Mendjaga (lah aku) sekarang berkuasa disini, di ini guwa dengan hutannja semua. (Poerbatjaraka 2010:320) Penutup Masalah teks yang dibahas dalam tulisan ini bersumber pada masalah metrum yang ditemui dalam naskah-naskah pada saat dimulainya studi filologi Ramayana Jawa Kuna, lebih dari seratus tahun yang lalu. Solusi yang ditawarkan Kern saat itu masih tetap tak tergoyahkan, karena belum ada argumentasi yang mengalahkan pendapatnya. Cara Kern menangani masalah itu melibatkan dua prinsip penting dalam filologi: pengecekan terhadap metrum untuk mengidentifikasi ketidakteraturan tekstual (dalam hal teks-teks puitis), dan tugas filolog untuk menjelaskan mengapa dapat terjadi kesalahan, untuk menghindari kecurigaan tanpa dasar. Penelaahan Soewito Santoso terhadap mitologi Hindu menambahkan dimensi tentang pembaca dengan latar belakang di bidang sastra dan kebudayaan (Inggris: informed reader). Sesungguhnya ide yang sama telah diterapkan Poerbatjaraka ketika ia mengacu ke Uttarakāṇḍa Jawa Kuna guna menyisipkan nama Maya dalam 74a. Poerbatjaraka mengarahkan perhatian kita kepada sebuah tradisi teks Jawa Kuna yang sejauh ini nyaris tidak diteliti, yaitu Koleksi Naskah Merapi Merbabu. Walaupun keunggulan tradisi penyalin Bali tak dapat disangkal, Ramayana Jawa Kuna membuktikan bahwa koleksi Merapi Merbabu dapat memperkaya pengetahuan kita tentang sejarah Ramayana Jawa Kuna dengan informasi yang berbeda dari tradisi Bali.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
11
Bibliografi Bhikkhu, Ānandajoti, 2005, „Articles about Indian prosody‟. Laman dalam http://www.ancient-buddhisttexts.net/Textual-Studies/Prosody-Articles/index.htm (dikunjungi pada 30 Oktober 2011). Kern, H., 1898, „Eene merkwaardige tekstverknoeiing in ‟t Oudjavaansche Râmâyaṇa.‟ Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde 49:171-173. Kern, H., 1900, Râmâyaṇa. Oudjavaansch heldendicht. ‟sGravenhage: Nijhoff. Poerbatjaraka, 2010, Rāmāyaṇa Djawa-Kuna. Teks dan terjemahan. [Jakarta:] Perpustakaan Nasional. 2 jilid. Santoso, Soewito, [1980], Ramayana kakawin. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies; New Delhi: International Academy of Indian Culture. 3 jilid. ŚataPiṭaka Series 251. Setyawati, Kartika; I. Kuntara Wiryamartana; Willem van der Molen, 2002, Katalog naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan Nasional Indonesia. Yogyakarta: Penerbitan Sanata Dharma; Leiden: Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden. Semaian 23; Pustaka Windusana 1. Zoetmulder, P.J., with the collaboration of S.O. Robson, 1982, Old Javanese-English dictionary. ‟s-Gravenhage: Nijhoff. 2 jilid. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
12
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Abstrak Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca memuat naratif tentang peristiwa utpatti (kelahiran) Srikaṇḍi dan Trusthajuměna. Peristiwa itu mempunyai peran yang sangat penting dalam vīracarita Mahābhārata dalam tradisi wayang Yogjakarta, karena pada saat yang bersamaan terjadi peristiwa-peristiwa ilahiah yang kelak sangat menentukan keberadaan Pandhava dalam menghadapi Kaurava di Kurukṣetra. Apabila ditelusuri sampai ke vīracarita Mahābhārata Asia Selatan, dapat diketahui bahwa peristiwa kelahiran itu merupakan adaptasi dan transformasi dari peristiwa yang sama, yang terdapat dalam vīracarita karya Kṛṣṇa Dvaipāyana Vyāsa. Dalam Tradisi Wayang Yogjakarta juga dikenal kisah kelahiran Śikhaṇḍī, yang disebut Srikandhi, dan kelahiran Dhṛṣṭadyumna, yang disebut Trusthajuměna. Namun, peristiwa utpatti kedua tokoh itu dalam tradisi Mahabharata Sansekerta mengalami proses adaptasi dan transformasi ke dalam Tradisi Wayang Yogyakarta. Peristiwa utpatti Srikandhi dan Trusthajuměna dapat dijumpai dalam Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca. Dalam lampahan ini peristiwa utpatti Srikandhi dan Trusthajuměna berlangsung pada saat yang bersamaan, berlainan dengan yang terdapat dalam tradisi Mahabharata Sansekerta. Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca yang akan dibahas pada kesempatan ini didasarkan pada sebuah naskah, yakni * Pengajar di Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
13
Mahabarata Ngayogyakarta IV yang digubah oleh Kangjeng Raden Tuměnggung Brangtakusuma. Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca ini terdapat dalam jilid IV Mahabarata Ngayogyakarta tersebut. Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca ini akan dibahas berdasarkan teori estetika Sansekerta yang disusun oleh Bhāmaha dalam Kāvyālaṃkāra, Daṇḍin dalam Kāvyādarśa, dan juga Bhārata dalam Nāṭyaśāstra. Kata Kunci: Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, Wayang Yogyakarta, estetika Sansekerta. Pengantar Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca memuat naratif tentang peristiwa utpatti (kelahiran) Srikaṇḍi dan Trusthajuměna. Keduanya adalah putra Sucitra, yang kemudian menjadi raja di negara Cěmpalaradya dengan gelar Prabu Drupada, dengan Gandarini, seorang putri dari negara Gandavati yang konon adalah putri Palasara6. Utpatti Srikaṇḍi dan Trusthajuměna mempunyai peran yang sangat penting dalam vīracarita Mahābhārata dalam tradisi wayang Yogyakarta, karena pada saat yang bersamaan terjadi peristiwa-peristiwa ilahiah yang kelak sangat menentukan keberadaan Pandhava dalam menghadapi Kaurava di Kurukṣetra. Adapun peristiwa-peristiwa itu ialah: (1) avatāra Durgadeva dan Durganetri; (2) avatāra Taman Maerakaca; (3) babad Vana Cěmpala karya Gandamana, kisah 6
Dalam Lampahan Palasara Krama diceritakan bahwa sewaktu mencari Durgandini, yang telah direncanakan oleh Deva untuk menjadi istrinya, Palasara menaiki sebuah perahu yang didayung oleh para perempuan. Durgandini, yang kala itu bernama Endhang Lara Amis, sedang bertapa di dalam ruang bawah perahu, dalam posisi duduk pada daun rodamala. Di tengah-tengah sungai, tiba-tiba Palasara mencium bau amis lalu meludah sambil mengucapkan Aji Sastrajendra Hayuningrat. Ketika air ludah jatuh mengenai tubuh perahu, seketika itu juga perahu pecah bertebaran, termasuk isinya. Saat itu terjadi keelokan, yaitu bau amis yang melekat pada tubuh Endhang Lara Amis berubah menjadi sepasang laki-laki dan perempuan yang diberi nama Gandamana dan Gandavati, hewan set berubah menjadi Seta; pecahan-pecahan perahu berubah menjadi manusia, yaitu: katir kiri kanan menjadi Kencaka dan Rupakenca, daun rodamala menjadi Rajamala, ketam yang menempel pada tubuh perahu menjadi Rěkathawati, dayung perahu menjadi ular bernama Watang Aputung, dan bendera perahu menjadi seekor kera bernama Tunggul Wulung. Mereka semua mengaku sebagai para putra Palasara dan Gandavati.
14
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Vana Cěmpala yang diberkati oleh Brama hingga menjadi negara Cěmpalaradya; (4) abhiṣeka Sucitra sebagai raja Cěmpalaradya dengan gelar Prabu Drupada; serta (5) diperolehnya pusaka Kyai Bramastra oleh Srikaṇḍi dan Kyai Sandhanggarba oleh Trusthajuměna. Apabila ditelusuri sampai ke vīracarita Mahābhārata Asia Selatan, dapat diketahui bahwa peristiwa utpatti Srikaṇḍi dan Trusthajuměna ini merupakan adaptasi dan transformasi dari peristiwa yang sama, yang terdapat dalam vīracarita karya Kṛṣṇa Dvaipāyana Vyāsa. Dalam vīracarita Mahābhārata Asia Selatan, Srikaṇḍi disebut dengan nama Śikhaṇḍī dan Trusthajuměna disebut dengan nama Dhṛṣṭadyumna. Utpatti Śikhaṇḍī dan Dhṛṣṭadyumna terjadi dalam peristiwa yang terpisah, dan dari sumber parvan yang tidak sama. Peristiwa utpatti Śikhaṇḍī dapat dijumpai dalam Udyogaparvan (MBh V, 191: 1-30), dan utpatti Dhṛṣṭadyumna terdapat dalam Ādiparvan (MBh I, 155: 1-52). Utpatti Śikhaṇḍī dalam Udyogaparvan terdapat di dalam adhyāya Ambopākhyānaparvan, yang merupakan perbincangan antara Bhīṣma dan Duryodhana. Cerita utpatti itu bermula ketika Duryodhana bertanya kepada Bhīṣma tentang mengapa ia tidak akan membunuh Śikhaṇḍī di medan peperangan: kim arthaṃ bhārataśreṣṭha naiva hanyāḥ śikhaṇḍīnam, udyateṣu matho dṛṣṭvā samareṣv ātatāyinam. pūrvam uktvā mahābāho pāñcālān saha somakaiḥ, haniṣyāmīti gaŋgeya tan me brūhi pitāmaha. Apakah tujuannya engkau tidak berkenan membunuh Śikhaṇḍī, wahai keturunan Bharata yang termulia, setelah melihat ia yang berhasrat membunuh dan pada saat dibidikkannya senjata penghancur dalam peperangan. Dahulu (engkau) telah berkata, wahai yang berbahu perkasa, “Aku akan membunuh orang-orang Pāñcāla bersama-sama orang-orang Somaka”, demikian engkau mengatakan itu Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
15
kepadaku, wahai kakek, putra Gaŋgā. Dalam perbincangan itulah Bhīṣma memberitahu Duryodhana tentang keberadaan Śikhaṇḍī. Dikatakan oleh Bhīṣma bahwa dalam kehidupan sebelumnya Śikhaṇḍī adalah Ambā, putri dari Kaśinagara, satu di antara tiga putri bersaudara yang dilarikan oleh Bhīṣma dari medan svayaṃvara untuk dijadikan istri Vicitravīrya, saudara muda Bhīṣma. Namun, ketika diketahui Ambā telah memilih pria lain, yakni Raja Śālva (Hiltebeitel 1990: 86-101), ia diperbolehkan pergi kembali kepada pria pilihannya. Ketika ternyata Raja Śālva tidak mau menerima seorang perempuan yang telah dibawa lari oleh laki-laki lain, Ambā kemudian menjadi tapasvī dan menerima anugerah dari Śiva, yang memungkinkannya untuk lahir kembali sebagai seorang laki-laki, agar ia dapat membalaskan dendamnya kepada Bhīṣma (Hiltebeitel 1990: 249; cf. MBh V, 170). Selanjutnya dalam perbincangannya dengan Yudhiṣṭhira, Bhīṣma mengungkapkan saṃkalpa (sumpah) (MBh VI, 103: 7273) sebagai berikut: 72. 73.
nikṣiptaśastre patite vimuktakavacadhvaje dravamāṇe ca bhīte ca tavāsmīti ca vādini striyāṃ strīnāmadheye ca vikale caikaputrake aprasūte ca duṣprekṣye na yuddhaṃ rocate mama
72.
Ketika senjata-senjata telah diletakkan, telah dijatuhkan, bendera dan baju besi telah ditanggalkan, seseorang melarikan diri atau takut atau berkata, “aku adalah milikmu”.
73.
Seorang perempuan atau seseorang yang mempunyai nama perempuan atau yang telah dibuntungi, atau yang mempunyai anak hanya seorang, yang tidak berputra atau yang kelihatan tidak bahagia, peperangan tidak lagi menarik bagiku.
Dalam kedua śloka di atas, tidak ada hal yang tidak wajar. 16
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Keduanya menjelaskan tentang garis-garis pedoman peperangan pada umumnya, kecuali garis pedoman bagi perempuan. Berkaitan dengan masalah perempuan, Bhīṣma berkata (MBh VI, 103: 76) sebagai berikut: 76.
yathābhavac ca strī pūrvaṃ paścāt puṃstvam upāgataḥ jānanti ca bhavanto „pi sarvam etad yathātatham
76.
Adalah seorang yang berperilaku laki-laki, tetapi pada masa lalunya adalah seorang perempuan, setelah melihat tanda yang tidak menguntungkan, aku pun tidak akan pernah berperang.
Bhīṣma mempertegas yang dimaksud dengan amaŋgalyadhvaja, seperti yang dinyatakannya sebagai berikut: yathābhavac ca strī pūrvaṃ paścāt puṃstvam upāgataḥ (MBh VI, 103: 76a) (Apabila tampil seorang perempuan pada masa lalu dan menjadi laki-laki di kemudian hari). Adapun tokoh yang dimaksud dengan identifikasi semacam itu ialah Śikhaṇḍī, Pangeran dari Pāñcala (MBh V, 170 ff). Dari uraian di atas dapat diperoleh dua macam pengertian, yaitu: (1) Śikhaṇḍī pada masa lalu adalah seorang perempuan dan di kemudian hari menjadi seorang laki-laki; (2) Eksistensi Śikhaṇḍī mempunyai kaitan epik dengan kematian Bhīṣma di Kurukṣetra. Sementara itu, peristiwa utpatti Dhṛṣṭadyumna ditunjukkan dari perbincangan antara Janamejaya dan Vaiśampāyana. Dalam perbincangan itu, Janamejaya memulai dengan pertanyaan tentang proses berlangsungnya utpatti Dhṛṣṭadyumna sebagai akibat retaknya hubungan antara Drupada dan Droṇa. Pertanyaan Janamejaya (MBh I, 153: 10-12) dapat ditunjukkan sebagai berikut: 10. 11. 12.
kathaṃ drupadaputrasya dhṛṣṭadyumnasya pavakāt, vedimadhyaś ca kṛṣṇayāḥ sambhavaḥ kathaṃ adbhutaḥ. kathaṃ dronān mahesvasat sarvāṇy astrāṇy asikṣata, kathaṃ priyasakhyau tau bhinnau kasya kṛtena ca. evaṃ tasi codito rajan sa vipraḥ puruṣārsabhaiḥ,
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
17
kathayām āsa tat sarvaṃ draupadisambhavaṃ tada. 10.
11.
12.
Bagaimanakah Dhṛṣṭadyumna, putra Drupada, lahir dari api, dan bagaimanakah kelahiran ajaib Kṛṣṇā dari tengahtengah altar. Bagaimanakah ia belajar segala macam senjata dari Droṇa, pemanah yang agung, bagaimana persahabatan erat keduanya menjadi pecah dan apakah alasannya. Demikianlah, pertapa itu disapa oleh manusia-manusia yang bagaikan banteng, lalu ia menceritakan kelahiran Draupadī secara lengkap.
Dari perbincangan itu dapat dilihat dengan jelas asal-usul kelahiran Dhṛṣṭadyumna yang dilandasi oleh perpecahan persahabatan antara Drupada dan Droṇa. Didasari oleh dendam kepada Droṇa, Drupada melakukan upacara yajna yang dipandu oleh Brahmana Yaja dan Upayaja. Dari yajna itulah Dhṛṣṭadyumna lahir melalui pāvaka (api). Di kemudian hari, Dhṛṣṭadyumna mempunyai peran yang sangat penting. Ia menjadi mahāsenāpati Pāṇḍava dalam Bhāratayuddha, yang sebenarnya merupakan upacara ritual yajña, yang dinamakan raṇayajña: ahaṃ ca tāta karṇaś ca raṇayajñaṃ vitatya vai yudhiṣṭhiraṃ paśuṃ kṛtvā dīkṣitau bharatarṣabha (MBh V, 57: 12), raṇayajñe pratibhaye svābhīle lomaharṣaṇe, dīkṣitaṃ cirarātrāya śrutvā rājā yudhiṣṭhiraḥ (MBh V, 154: 4), atau sering kali juga disebut sebagai śāstrayajña: dhārtarāṣṭrasya vārṣṇeya śastrayajño bhaviṣyati, asya yajñasya vettā tvaṃ bhaviṣyasi janārdana, ādhvaryavaṃ ca te kṛṣṇa kratāv asmin bhaviṣyati (MBh V, 139: 29). Kedudukan itu sangat dimungkinkan diemban oleh Dhrstadyumna karena ia lahir dari api yajna dan ia sendiri adalah “bagian dari Agni”: agner aṃśaṃ tu viddhi tvaṃ dhṛṣṭa-dyumnaṃ mahāratham, śikhaṇḍinam atho rājan strīpuṃsaṃ viddhi rākṣasam (MBh I, 61: 87), dan dalam kenyataan ia adalah “bagian Agni yang memberi berkah”: draupadyā saha saṃbhūtaṃ dhṛṣṭadyumnaṃ ca pāvakāt, agner bhāgam śubhaṃ viddhi rākṣasaṃ tu śikhaṇḍinam (MBh XV, 39: 14). Dalam bacaan kunci (MBh V, 161: 5-10) berikut: 18
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
5.
6.
7. 8. 9. 10.
vaiśaṃpāyana uvāca tatas tat saṃjayas tasmai sarvam eva nyavedayat, yathoktaṃ kuruvṛddhena bhīṣmeṇāmitatejasā. saṃjaya uvāca, senāpatyam anuprāpya bhīṣmaḥ śāṃtanavo nṛpa, duryodhanam uvācedaṃ vacanaṃ harṣayann iva. namaskṛtvākumārāya senānye śaktipāṇaye, ahaṃ senāpatis te 'dya bhaviṣyāmi na saṃśayaḥ. senā karmaṇy abhijño 'smi vyūheṣu vividheṣu ca, karma kārayituṃ caiva bhṛtān apy abhṛtāṃs tathā. yātrāyāneṣuyuddheṣulabdhapraśamaneṣuca, bhṛśaṃ veda mahārāja yathā veda bṛhaspatiḥ. vyūhān apimahāram bhāndaiva gāndharvamānuṣān, tair ahaṃ mohayiṣyāmi pāṇḍavān vyetu te jvaraḥ.
Ketika pasukan Pāndava mendekati medan perang, sekutu Pāndava yang sangat diperlukan (MBh V, 56: 12-25; cf. Biardeau 1958: 43, n.2), yakni Dhṛṣṭadyumna, yang namanya berarti “bagian Agni yang memberi berkah”, menetapkan setiap kṣatriya yang dipimpinnya sebagai yajña yang sangat tepat. “Setelah membagi-bagi secara adil (vibhajya) kṣatriya-kṣatriya itu, baik secara individual maupun secara kolektif, sang pemanah perkasa yang berasal dari kobaran api (jvālavarṇo) itu menetapkan Droṇa sebagai bagian dirinya (aṃśa)”. Ketika Droṇa telah terbunuh, kematiannya itu akan menuntun Dhṛtarāṣṭra untuk memberi pernyataan: dhṛṣṭadyumnasya yo mṛtyuḥ sṛṣṭas tena mahātmanā, yathā droṇasya pāñcālyo yajñasenasuto 'bhavat (MBh VII, 166: 14), „Adalah Aśvatthāman, yang dicipta menjadi pembunuh Dhṛṣṭadyumna oleh (ia) yang berjiwa agung, demikian pula pangeran Pāñcāla (dicipta untuk menjadi pembunuh) Droṇa‟. Dalam konteks ini dapat dimengerti berbagai saṃkalpa Aśvatthāman untuk melakukan balas dendam terhadap kematian ayahnya dengan membunuh Dhṛṣṭadyumna. Dari uraian di atas dapat dilihat adanya kaitan epik antara kelahiran Dhṛṣṭadyumna dengan kematian Drona, demikian juga kematiannya sendiri di tangan Aśvatthāman. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
19
Dalam Tradisi Wayang Yogyakarta juga dikenal kisah kelahiran Śikhaṇḍī, yang disebut Srikandhi, dan kelahiran Dhṛṣṭadyumna, yang disebut Trusthajuměna. Namun, peristiwa utpatti kedua tokoh itu dalam tradisi Mahabharata Sansekerta mengalami proses adaptasi dan transformasi ke dalam Tradisi Wayang Yogyakarta. Peristiwa utpatti Srikandhi dan Trusthajuměna dapat dijumpai dalam Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca. Dalam lampahan ini peristiwa utpatti Srikandhi dan Trusthajuměna berlangsung pada saat yang bersamaan, berlainan dengan yang terdapat dalam tradisi Mahabharata Sansekerta. Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca yang akan dibahas pada kesempatan ini didasarkan pada sebuah naskah, yakni Mahabarata Ngayogyakarta IV yang digubah oleh Kangjeng Raden Tuměnggung Brangtakusuma. Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca ini terdapat dalam jilid IV Mahabarata Ngayogyakarta tersebut. Kaca dan Udyana Itivṛtta Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca ini akan dibahas berdasarkan teori estetika Sansekerta yang disusun oleh Bhāmaha dalam Kāvyālaṃkāra, Daṇḍin dalam Kāvyādarśa, dan juga Bhārata dalam Nāṭyaśāstra. Berlandaskan pemikiran Bhārata, sang kavi Nāṭyaśāstra, dikatakan bahwa itivṛttā (alur) dianggap lebih sebagai śarīra daripada ātman (NŚ XIX, 1). Itivṛttā merupakan suatu struktur yang ditata secara artistik, dengan rangkaian peristiwa yang ditentukan oleh kaitan sebab akibat yang serasi. Hal ini memunculkan lima avasthā (tataran), yakni: prārambha (permulaan); prayatna (upaya); prāptisam-bhāva (harapan dan keputusasaan); nyayataphalaprāpti (ketidakpastian dan kepastian); dan phalaprāpti (keberhasilan akhir)‟ (N› XIX, 7). Berkaitan dengan lima avasthā tersebut, dijumpai lima saṃdhi, yaitu: mukha (benih alur yang bermula dari berbagai macam rasa); pratimukha (bertunasnya benih yang ditampakkan secara parsial); garbha (perkembangan penuh hingga mencapai titik puncak yang sama di dalam mencapai keinginan); vimarśa (pengkajian terhadap pencapaian keinginan); dan nirvahana (kesimpulan: memadukan semua benang penghubung dan mengantar alur menuju sasaran akhir) (Pande 1993: 14; Hooykaas 1958: 45; cf. Vāgbhaṭa dalam Kāvyānuśāsana). Selanjutnya 20
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
dalam rangka mendalami itivṛttā Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, dimanfaatkan pemikiran Bhāmaha (Kāvyālaṃkāra I, 19) (Sastry 1970: 7) yang menyatakan sebagai berikut: sargabandho mahākāvyaṃ mahataṃ ca mahac ca yat, śragrāmya śabdam arthyaṃ ca sālaṃkāraṃ sadṛśyam. Untaian sarga-sarga adalah mahākāvya, yang (membicarakan) hal-hal besar, dan memang agung, menghindari ketidaksopanan ekspresi, mempunyai makna, memuat gaya-gaya bahasa, dan berbicara tentang kebaikan. Berdasarkan śloka Bhāmaha di atas dapat dikatakan bahwa lampahan wayang harus mempunyai sebuah tema yang agung dan ditinggikan, harus memasukkan semua rasa yang kanonik, serta harus mengacu pada caturpuruṣārtha (empat tujuan hidup manusia). Dari pengertian itu dapat ditunjukkan bahwa itivṛttā lampahan wayang secara bersamaan memberi sumbangan kepada makna pada semua tataran: epik-mite-ritual (cf. Kāvyādarśa I, 1422; Peterson 1991: 218; Shetterly 1976; Tubb 1979; Smith 1985). Penelusuran makna Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca dapat diikuti dari kehadiran nāyaka dan pratināyaka di sepanjang itivṛttā lampahan wayang, dan penelusuran makna melalui kehadiran kedua karakter itu akan berlandaskan pada Kāvyālaṃkāra. Dalam hal ini Bhāmaha (Kāvyālaṃkāra I, 22-23; cf. Kāvyādarśa I, 14-19) (cf. Sastrulu 1952: 8-10; Sastry 1970: 89) menjelaskan sebagai berikut: nāyakaṃ prāg upanyasya vaṃśavīryaśrutādhibhiḥ, na tasyaiva vadhaṃ brūyād anyotkarṣabhidhitsayā. yadi kāvyaśarīrasya na sa vyāpitayeṣyate, na cābhyudayabhāktasya mudhādau grahaṇaṃ stave. Setelah mendudukkan nāyaka di tempat pertama dengan memuji leluhur, keberanian, (dan) pengetahuan sucinya, janganlah berbicara tentang penghancurannya dengan ingin Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
21
meninggikan sanjungan kepada yang lain. Apabila ia tidak akan dihadirkan ke dalam batang tubuh kāvya, dan tidak dapat ambil bagian dalam kesuksesan, tidak ada gunanya ia diceritakan pada permulaan. Dari śloka di atas diperoleh pengertian bahwa nāyaka hadir di sepanjang kāvyaśarīra, mulai awal sampai dengan akhir cerita, dan tidak boleh dibunuh (Gerow 1971: 29ff; cf. Kuiper 1979: 209-213). Di samping itu, akhir dari naratif yang dipaparkan dalam kāvyaśarīra harus menguntungkan. Seorang nāyaka yang termasyhur tidak boleh dibinasakan. Dengan berlandaskan pada konsep estetika kāvya, sebuah lampahan wayang sebaiknya memperlihatkan pengertian bahwa nāyaka berhasil mencapai kebajikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan, meskipun sang dalang akan membuat pencampuran antara bahagia dan menderita. Dalam penutupan lampahan wayang lebih baik selalu dihasilkan pengalaman estetik yang mengagumkan. Bagian penutup itu seharusnya juga berisi pemberian anugerah (kebahagiaan) yang lebih jauh kepada nāyaka, dan puji-pujian baginya (cf. Warder 1989: 26-27). Sementara itu, pratināyaka adalah tokoh yang berseberangan dengan nāyaka. Pratināyaka inilah yang menjadi sarana penentu dipuji-pujinya nāyaka pada akhir lampahan wayang (lihat sejumlah kaset wayang kulit yang diproduksi oleh beberapa perusahaan rekaman, seperti: Kusuma Record; Dahlia Record; Pusaka Record; Fajar Record; cf. Warder 1990a: 105-106). Kehadiran kedua karakter, nāyaka dan pratināyaka, tentunya dipaparkan di sepanjang itivṛttā yang dibagi menjadi sejumlah satuan-satuan naratif, yaitu: nagara (lukisan tentang kota), ṛtu (lukisan enam musim), candrodaya (terbitnya bulan), arkodaya (terbitnya matahari), udyanasalīlakrīḍa (bercengkerama di taman atau air), udyanakrīḍa (bercengkerama di taman), salīlakrīḍa (bercengkerama di air), madhupānaratotsava (bersenang-senang dengan minuman dan cinta), vipralambha (pedih karena perpisahan), vivāha (perkawinan), kumārodayavarøana (deskripsi tentang lahirnya dan tampilnya seorang pangeran), mantra (perundingan), prāyaṇa (perjalanan), āji (peperangan), 22
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
nāyakābhyudaya (puji-pujian bagi sang pahlawan), ṛddhimat (akhir yang membahagiakan), asaŋkṣipta (tidak dipadatkan), rasabhāvanirantara (selalu diliputi suasana hati dan emosi puitis), dan anativistīrṇaḥ (tidak diperpanjang) (Hooykaas 1958: 42-44). Satuan-satuan naratif yang membentuk itivṛttā dipandang sangat penting untuk ditunjukkan, karena itivṛttā merupakan kerangka atau struktur dasar yang menjadi ruang berlangsungnya perkembangan rasa; dan, seperti yang ditunjukkan oleh Gary Tubb, karya: tujuan utama yang mengarahkan aksi pokok karya itu, dianggap sebagai elemen sentral di dalam analisis itivṛttā. Secara praktis dapat dikatakan bahwa kārya adalah arti menyeluruh, yang menghubungkan bagian-bagian berbeda dari sebuah karya yang utuh (Tubb 1979: 142-150; Peterson 1991: 217). Usaha Durganetri untuk memohon svarga tundha sanga kepada Bathara Guru mendapat dukungan dari kakaknya, Durgadeva. Didorong oleh keinginannya itu, Durganetri dengan tekun menunggu di depan Svarga Paŋrantunan sambil membangun sebuah taman yang sangat indah, yang kemudian diberi nama Taman Maerakaca. Perkembangan rasa yang paling pokok dalam Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, yang ditandai dengan memuncaknya perseteruan antara DurgadevaDurganetri dan para deva, yang dipimpin oleh Bathara Narada atas perintah Bathara Guru, sebaiknya dicermati dalam konteks tujuan heroik yang menjadi arah gerak utama Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca. Dalam rangka menelusuri nilai estetika dalam Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, berikut ini akan disajikan garis besar naratif lampahan itu, yang akan disusun dengan menggunakan dua sistem, yaitu: (1) Sistem itivṛttā yang dianut oleh tradisi wayang Yogyakarta, seperti yang terdapat dalam Pědhalangan Ngayogyakarta Jilid I (Mudjanattistomo 1977: 162166); (2) Sistem itivṛttā yang diikuti oleh Indira V. Peterson untuk memaparkan Kirāṭārjuṇīya karya Bhāravi (Peterson 1991: 218-219). Adapun garis besar naratif Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca adalah sebagai berikut: (1) Desa: Jějěr Kahyaŋan Joŋgringsalaka - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Bathara Guru menggelar pasewakan agung yang dihadiri oleh Bathara Narada, Bathara Panyarikan, Bathara Masna, Bathara Endra, Bathara Brama, dan para dewa yang lainnya. Di dalam Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
23
pasewakan agung itu diperbincangkan (mantra) mengenai kejadian buruk yang menimpa Kahyaŋan Joŋgringsalaka (rasabhāvanirantara) sebagai akibat dari dua hal, yaitu: (1). permohonan dua orang dewa yang bernama Durgadeva dan Durganetri, yang meminta svarga tundha sanga. Telah lama mereka berdua menanti di depan Svarga Paŋrantunan untuk memastikan keputusan dari Bathara Guru. Sambil menunggu kepasti-an dari dewa, Durganetri membangun sebuah taman, yang kemudian diberi nama Taman Maerakaca (mantra). (2). Keprihatinan seorang kṣatriya yang bersemayam di Kasatriyan Brañjaŋkawat, yakni Gandamana, yang mempunyai keinginan untuk melaksanakan babad Hutan Cěmpala. Apabila keinginannya terlaksana, Gandamana bermaksud menobatkan kemenakannya yang bernama Sucitra, suami Gandarini, menjadi raja di negara baru itu (mantra). Bathara Guru kemudian memberi perintah kepada Bathara Narada, untuk mengusahakan agar Durgadeva-Durganetri turun ke bhūmi, karena mereka berdua masih mempunyai kewajiban untuk membuat bhūmi menjadi sejahtera dengan cara menjadi senāpati dalam Pěrang Bratayuda Jayabinaŋun di kemudian hari. Sementara itu Bathara Brama diperintahkan agar turun ke bhūmi untuk membantu Gandamana yang akan melaksanakan babad Hutan Cěmpala untuk kemudian menobatkan Sucitra sebagai raja di negara baru. Kedua dewa itupun segera mohon pamit untuk melaksanakan semua perintah Bathara Guru. Pasewakan agung berakhir. - Tujuan: Artha - Rasa: Karuṇa dilanjutkan dengan Vīra (2) Desa: Gladhagan Purantara - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Bathara Guru disambut oleh Bathari Umaranti, Bathari Umarakti, Bathari Umavati, dan Bathara Umayi. Setelah duduk dengan tenang, Bathara Guru kemudian memberi penjelasan tentang pembicaraan di Pasewakan Agung (mantra). Untuk melepas kepenatan, Bathara Guru memerintahkan Bathari Umaranti supaya menampilkan Běksan Lenggodbawa sebagai penghiburan (madhupānaratotsava). Seusai tarian itu, Bathara Guru lalu 24
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
menjalankan samādhi di Sanggar Asmaratantra untuk memohon ketenteraman bagi semua makhluk dan alam semesta. (abhyudāya). - Tujuan: Dharma dan Artha - Rasa: Bhakti (3) Desa: Gladhagan Paseban Jawi - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Bathara Narada mengumpulkan semua putra dewa: Bathara Panyarikan, Bathara Masna, Bathara Endra, Bathara Tantra, Bathara Sambu, Bathara Brama, Bathara Yamadipati, dan lain-lain beserta bala tentara Dorandara (asaŋkṣipta). Dalam pertemuan itu Bathara Narada membagi tugas yang telah ditetapkan oleh Bathara Guru: (1). Bathara Brama dipersilakan untuk turun ke bhūmi dalam rangka memberi bantuan kepada Gandamana, Suci-tra, Gandarini, dan Drupadi, yang akan me-laksanakan babad Wana Cěmpala untuk dija-dikan sebuah negara yang besar dan menobatkan Sucitra sebagai raja di negera itu (mantra); (2). Bathara Narada dan dewa-dewa yang lain diperintahkan mendatangi dan mempersilakan Durganetri dan Durgadeva, agar turun ke bhūmi dalam rangka menjalankan dharmanya sebagai senapati dan senapati agung dalam Pěrang Bratayuda Jayabinaŋun kelak kemudian hari (mantra). Ketika segalanya telah siaga, para dewa pun segera berangkat menjalankan kewajiban masing-masing (prāyaṇa). - Tujuan: Dharma dan Artha - Rasa: Vīra (4) Desa: Gladhagan Swarga Paŋrantunan - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Durganetri dan Durgadeva sedang berbincang-bincang di depan Svarga Paŋrantunan. Keduanya bersikeras untuk memohon svarga tundha sanga kepada Bathara Guru. Apabila keinginannya tidak dipenuhi, mereka berdua akan menyerang dan merusak Kahyaŋan Joŋgringsalaka (mantra). Sambil menunggu keputusan Bathara Guru, Durganetri membangun sebuah taman, yang kemudian diberi nama Taman Maerakaca. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
25
Durganetri sangat menyayangi tamannya, sehingga ia bersumpah tidak akan pernah berpisah dengan Taman Maerakaca yang telah menjadi bagian dari hidupnya (udyanakrīḍa). - Tujuan: Moksa - Rasa: Śānta (5) Desa: Pěraŋ Kěmbaŋ - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Belum selesai mereka berbincang, tiba-tiba para dewa datang. Bathara Narada kemudian menyampaikan semua keputusan Bathara Guru, yakni mempersilakan Durganetri dan Durgadeva untuk turun ke bhūmi dalam rangka melaksanakan dharma-nya sebagai senapati (mantra). Keduanya berkeberatan, sehingga terjadilah peperangan (āji). Para dewa tidak mampu mengalahkan kesaktian Durganetri dan Durgadeva. Bathara Narada menyarankan kepada Bathara Endra untuk menghempaskan Taman Maerakaca dari Kahyaŋan Joŋgringsalaka ke bhūmi, agar kedua dewa itu mengejarnya (nīti). Bathara Endra pun melaksanakan perintah itu. Taman Maerakaca dihempaskannya hingga melayang di angkasa, lalu turun ke bhūmi (vipralambha). Durganetri dan Durgadeva mengejarnya (prāyaṇa). Melihat hal itu, para dewa pun kembali ke Kahyaŋan Joŋgringsalaka (prāyaṇa). - Tujuan: Artha Dilandasi Santa - Rasa: Vīra dilandasi oleh Bhakti (6) Desa: Jějěr Nagari Mutěr Gěluŋ - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Raja Mutěr Gěluŋ, Juŋkuŋ Birava, menerima permohonan putranya yang bernama Juŋkuŋ Mardeya, untuk memperistri seorang putri yang bernama Drupadi. Ia adalah putri Sucitra dan Gandarini dari Wana Cěmpala. Juŋkuŋ Mardeya bahkan bersumpah bahwa ia lebih baik mati bila tidak berhasil memperistri Drupadi, yang selalu hadir setiap hari dalam perjalanan hidupnya (rasabhāvanirantara). Mendengar permohonan putranya, Juŋkuŋ Birava sangatlah gembira. Karena itulah ia akan berusaha mendapatkan Drupadi, walaupun tidak 26
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
melalui jalan yang wajar (dengan melamar), melainkan dengan mencuri putri Sucitra itu (mantra). Demi tercapainya maksud itu, Juŋkuŋ Birava akan berangkat sendiri ke wilayah Wana Cěmpala untuk mencuri Drupadi (dūta). Ditya Kala Bramastra dan Ditya Kala Sandhaŋgarba diperintahkan untuk mengikuti perjalanan sang raja dari kejauhan. Apabila ada orang yang akan menggagalkan rencana pencurian itu atau merebut kembali Drupadi setelah berhasil dicuri, kedua raksasa itu diperintahkan untuk menghalangi dan bahkan membunuhnya (mantra). Akhirnya disepakati bahwa Togog dan Bilung akan menemani raja, sedangkan Ditya Kala Bramastra dan Ditya Kala Sandhaŋgarba mengikuti perjalanan raja bersama pasukan yang kuat dan bersenjata (prāyaṇa). Pasewakan agung pun dibubarkan, lalu masing-masing menjalankan kewajibannya (anativistīrṇaḥ). - Tujuan: Kāma dan Artha - Rasa: Śṛŋgāra dilanjutkan oleh Vīra (7) Desa: Gladhagan Paseban Jawi - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Juŋkuŋ Mardeya bersama Juŋkuŋ Yaksa memanggil para tumenggung: Yaksamurka, Yaksarupa, dan Yaksamadhěndha. Mereka diperintahkan agar mempersiapkan pasukan Mutěr Gěluŋ yang akan mengikuti perjalanan Juŋkuŋ Birava sampai di perbatasan negara (mantra). Setelah segalanya siap, mereka pun berangkat (prāyaṇa). - Tujuan: Kāma - Rasa: Vīra - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Juŋkuŋ Birava mendekati Togog dan Bilung, meminta ditunjukkan jalan menuju ke Wana Cěmpala guna mencuri Drupadi. Kedua panakawan itu mengatakan bahwa keinginan Juŋkuŋ Birava merupakan hal yang melanggar adat istiadat dan sopan santun, tetapi raja itu tetap bersikeras untuk mendapatkan Drupadi dengan cara mencurinya (mantra). Ketika kedua panakawan itu sudah tidak mampu mencegah kemauan Juŋkuŋ Birava, mereka pun berangkat ke Wana Cěmpala Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
27
disertai Ditya Kala Bramastra dan Ditya Sandhaŋgarba yang penuh semangat (prāyaṇa). - Tujuan: Kāma - Rasa: Vīra dilatarbelakangi Śṛŋgāra
Kala
(8) Desa: Gladhagan Nagari Gajahoya - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Dhěstharastra menerima Gěndari, Sěngkuni, Kurupati, Dursasana, Kartamarma, dan para Kurava yang datang menghadap. Mereka membincangkan Gandamana yang akan melakukan babad Wana Cěmpala. Menurut Sengkuni, hal itu melanggar ketentuan kenegaraan, karena Wana Cěmpala sebenarnya masuk wilayah Něgara Ngastina, yang sekarang telah dikuasai oleh Dhěstharasta (mantra). Sengkuni mengusulkan agar Dhěstharastra mengutus Kurava untuk menangkap Gandamana dan memasukkannya ke dalam penjara (dūta). Semula Dhěstharastra tidak menyetujui usul itu, tetapi setelah didesak oleh Gěndari, akhirnya Dhěstharastra mengabulkan permohonan Sengkuni (mantra). Sěngkuni pun kemudian memohon diri untuk melaksanakan perintah raja, menangkap Gandamana di Wana Cěmpala (anativistīrṇaḥ). Mereka keluar dari Siti Inggil menuju ke Pagělaran Jawi (prāyaṇa). - Tujuan: Artha - Rasa: Raudra (9) Desa: Gladhagan Paseban Jawi - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Sěngkuni mengumpulkan semua Kurava untuk bersiap-siap dalam rangka menangkap Gandamana di Wana Cěmpala (mantra). Setelah semuanya siaga, Kurava pun segera memulai perjalanan mereka (prā yaṇa). - Tujuan: Artha - Rasa: Raudra (10) Desa: Pěraŋ Gagal - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Di tengah perjalanan, para 28
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Kurava berpapasan dengan bala tentara Mutěr Geluŋ. Mereka sama-sama bersikeras untuk melalui jalan yang sama, sehingga terjadi persengketaan (āji). Kurava lalu berperang melawan pimpinan pasukan Mutěr Gěluŋ dan menderita kekalahan (āji). Mereka akhirnya mundur dari medan perang dan melanjutkan perjalanan (prāyaṇa). - Tujuan: Artha - Rasa: Raudra (11) Desa: Gara-Gara - Itivrtta dan CaturpuruṣārthaMeredanya huru-hara di bhūmi ditandai dengan terbitnya matahari (arkodaya), bersamaan dengan munculnya Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka bercanda ria sambil melantunkan tembang-tembang dan menari dengan penuh kelucuan (udyanasalīlakrīḍā). Kehadiran Sěmar menyebabkan mereka menghentikan canda dan tawa, karena Sěmar mengajak mereka menghadap Abiyasa di Pěrtapaan Saptaharga (anativistīrṇaḥ). - Tujuan: Dharma - Rasa: Hāsya (12) Desa: Jějěr Pěrtapan Saptaharga - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Abiyasa sedang menerima Kunthinalibranta, Narayana, Puntadewa, Bratasena, Prěmadi, Pinten, Tangsen, dan para panakawan yang datang menghadap (kumārodayavarṇana). Dalam pertemuan itu, Abiyasa membicarakan tentang Gandamana yang sedang bersiap-siap melaksanakan babad Wana Cěmpala. Ia meninggalkan Něgara Ngastina akibat kemarahan Pandhu, yang pada waktu itu menuruti perkataan Trigantalpati yang mengatakan bahwa Gandamana telah mengkhianati Pandhu. Tuduhan itu tidaklah benar, sehingga para Pandhava harus meminta maaf kepadanya (mantra). Abiyasa kemudian mengutus Prěmadi yang diikuti oleh Narayana dan Bratasena dan disertai oleh para panakawan untuk mengunjungi Gandamana, Sucitra, Gandarini, dan Draupadi di Wana Cěmpala (dūta). Mendapat perintah dari kakeknya, Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
29
Prěmadi pun menyanggupi, demikian pula Narayana dan Bratasena. Mereka segera mohon diri dengan diikuti oleh para panakawan (prāyaṇa). - Tujuan: Dharma dan Mokṣa - Rasa: Vīra dilatarbelakangi oleh Śānta (13) Desa: Pěraŋ Begal - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Sesampainya di tengah hutan, tiba-tiba Narayana menghentikan langkahnya. Ia meminta supaya Prěmadi dan para panakawan mendahuluinya berjalan di depan, sementara Narayana dan Bratasena akan mengikutinya dari kejauhan (mantra). Prěmadi dan para panakawan pun segera melanjutkan perjalanan memasuki hutan belantara (prāyaṇa). Di dalam hutan yang sangat lebat, tiba-tiba Prěmadi didatangi oleh seorang raja kajiman bernama Mangkararaja yang meminta Prěmadi agar mengurungkan niatnya menuju Wana Cěmpala. Prěmadi menolak (mantra). Akibatnya, timbul persengketaan dan akhirnya berkecamuklah peperangan antara Prěmadi dan Mangkararaja (āji). Makin lama, peperangan itu semakin sengit. Lama kelamaan Mangkararaja terdesak, sehingga ia menggunakan gigi taringnya untuk menggigit Prěmadi. Ketika tergigit oleh taring itu, Prěmadi pun mundur (āji). Tanpa ragu-ragu Prěmadi segera merentangkan panahnya, Kyai Sarotama, ke arah Mangkararaja. Panah segera melesat dan mengenai sasaran, leher raja kajiman itu (āji). Mangkararaja roboh, tetapi lalu menghilang dan kembali ke wujudnya semula, yakni Bathara Kamajaya (āji). Prěmadi kemudian dipanggil dan diberi anugerah berupa Aji Panglemunan, supaya ia semakin tangguh dalam menghadapi berbagai macam musuh (nāyakābhyudāya). Ketika semuanya telah usai Prěmadi memohon diri untuk melanjutkan perjalanan, sementara Bathara Kamajaya kembali ke Kahyaŋan Cakrakěmbaŋ (prāyana). - Tujuan: Dharma - Rasa: Vīra (14) Desa: Jějěr Wana Cěmpala 30
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
- Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Gandamana sedang duduk di dalam pakuwon, menerima Sucitra, Gandarini, dan Drupadi yang datang menghadap (kumārodayavarṇana). Mereka membicarakan rencana untuk segera melaksanakan babad Wana Cěmpala (mantra). Berhubung Gandarini sedang mengandung dan kandungannya telah mendekati waktu kelahirannya, Sucitra diminta untuk tidak ikut dalam babad hutan itu (mantra). Ia diminta untuk melakukan pemujaan bersama dengan Gandarini agar kegiatan Gandamana berjalan lancar. Mereka berdua mengindahkan saran Gandamana untuk tinggal (mantra). Sementara itu, Draupadi menangis karena ingin ikut Gandamana. Akhirnya permintaannya dikabulkan (mantra). Ketika pembicaraan telah selesai, Gandamana segera berangkat ke tengah Wana Cěmpala dengan menggendong Drupadi (prāyaṇa). Sesampainya di tengah hutan, Gandamana segera memanfaatkan Aji Durgalokāśraya. Seketika itu keluarlah api dari seluruh tubuhnya, yang segera menjalar dan membakar hutan belantara (āji). Pada saat api mulai mereda, Bathara Brama memercikkan tīrtha suci yang telah dimantrai Mantra Cakrabuwana (aji). Tiba-tiba Wana Cěmpala berubah menjadi sebuah negara yang sangat besar dan indah ( nagara). Sementara itu, Sucitra dan Gandarini yang ditinggal dalam pakuwon dengan tekun melakukan pemujaan. Tibatiba Gandarini merasa bahwa saatnya melahirkan telah tiba. (rasabhāvanirantara). Sucitra segera mempersiapkan tempat melahirkan. Namun, belum sampai putra mereka lahir, tiba-tiba terdengar suara menggelegar, yang ternyata merupakan suara jatuhnya Taman Maerakaca (udyanasalīlakrīḍa). Durganetri menitis ke dalam kandungan Gandarini (asaŋkṣipta). Dengan bersandar di pangkuan Sucitra, Gandarini melahirkan seorang putri yang telah lengkap dengan pakaian prajurit (kumārodayavarṇana). Diceritakan bahwa Durgadeva yang mengejar adiknya tiba-tiba melihat bahwa adiknya telah melakukan avatara. Ia segera meng-avatara di api pedupaan yang masih menyala-nyala. Tiba-tiba dari api itu lahir seorang putra yang telah berpakaian prajurit Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
31
(kumārodyavarṇana). Sucitra dan Gandarini segera menggendong kedua bayi itu. Pada saat yang bersamaan, Gandamana, Draupadi, dan Bathara Brama yang tiba di pakuwon, sangat gembira melihat kemenakannya telah melahirkan dua orang putra. Putri Sucitra dan Gandarini diberi nama Srikandhi dan yang putra diberi nama Trusthajuměna (nāyakābhyudāya). Atas sabda Bathara Brama, Srikandhi dan Trusthajuměna kelak akan menjadi senāpati agung. Taman Maerakaca akan tetap menjadi mulik Srikandhi, karena ia adalah avatara Durganetri (nāyakābhyudāya). Sementara itu, hutan yang telah dibuka oleh Gandamana menjadi sebuah negara, diberi nama Něgara Cěmpalaradya (nagara). Sucitra dinobatkan sebagai raja dengan bergelar Prabu Drupada (nāyakābhyudāya). Mereka lalu mengadakan upacara penobatan (abhiṣeka). Setelah semuanya selesai, Bathara Brama kembali ke Kahyaŋan Drěsilagěni (prāyaṇa). Belum selesai mereka mengucapkan syukur, tiba-tiba turunlah Juŋkuŋ Birava, menculik dan membawa lari Draupadi. Gandamana mengejarnya (prāyaṇa), tetapi di tengah jalan ia berjumpa dengan Prěmadi, Narayana, dan Bratasena. Prěmadi lalu memohonkan maaf atas kesalahan Pandhu pada masa lalu (mantra). Gandamana sangat terharu mendengar ucapan Prěmadi, lalu memaafkan semuanya (mantra). Ia kemudian menceritakan tentang Drupadi yang diculik oleh seseorang. Prěmadi menyanggupi untuk mencari orang yang mencuri Drupadi dan Gandamana menyetujuinya (mantra). Prěmadi segera berangkat, sementara yang lainnya mengikuti dari belakang (prāyaṇa). - Tujuan: Dharma - Rasa: Vīra Dilandasi oleh Śānta dan Karuṇa (15) Desa: Pěraŋ Antěp - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Dalam pengejarannya, Prěmadi berhasil menemukan Juŋkuŋ Birava yang sedang menggendong Drupadi (prāyaṇa). Dengan menggunakan Aji Panglemunan, Prěmadi merebut Drupadi. Juŋkuŋ Birava dihantam kepalanya hingga jatuh (āji). Prěmadi 32
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
kemudian menemui Bratasena, dan oleh kakaknya itu Prěmadi disuruh mengantar Drupadi menghadap Drupada, sementara Bratasena melawan Juŋkuŋ Birava (mantra). Prěmadi bersama Drupadi kembali ke Cěmpalaradya dan Bratasena mengejar Juŋkuŋ Birava (prāyaṇa). Akhirnya Bratasena berjumpa dengan yang dicarinya, lalu terjadilah peperangan (āji). Juŋkuŋ Birava berhasil ditingkas, dibanting, dan dilempar hingga jatuh di hadapan abdi raksasa, Ditya Kala Bramastra dan Ditya Kala Sandhaŋgarba (āji). Kedua raksasa berganti melawan Bratasena (āji), dan berhasil memukul mundur Bratasena. Gandamana berganti maju, tetapi ia pun dapat dikalahkan (āji). Atas nasihat Narayana dan Sěmar, kedua putra Drupada yang masih bayi dibawa maju ke medan perang (mantra). Srikandhi dan Trusthajuměna digendong panakawan maju ke medan laga (prāyaṇa). Srikandhi dihadapkan dengan Ditya Kala Bramastra dan Trusthajuměna dengan Ditya Kala Sandhaŋgarba. Kedua bayi itu digigit kedua raksasa, tetapi tidak mati, bahkan sebaliknya mereka menjadi semakin dewasa (āji). Srikandhi kemudian menarik rambut Ditya Kala Bramastra lalu menghantam kepalanya. Raksasa itu mati, lalu berubah menjadi panah yang diberi nama Kyai Bramastra (āji). Sementara itu Trusthajuměna yang berperang dengan Ditya Sandhaŋgarba berhasil menarik rambut raksasa itu lalu menghantam kepalanya. Raksasa tersebut berubah menjadi pedang pusaka yang diberi nama Kyai Sandhanggarba (aji). Melihat kematian kedua abdinya, Juŋkuŋ Birava maju melawan Srikandhi dan Trusthajuměna, tetapi ia akhirnya gugur di tangan kedua putra Drupada itu (āji). Mengetahui majikannya telah gugur, Togog dan Bilung lari, akan memberitahukan gugurnya Juŋkuŋ Birava pada Juŋkuŋ Mardeya (prāyaṇa). Ketika musuh telah dapat dihalau, Srikandhi dan Trusthajuměna segera dibawa kembali ke hadapan Drupada oleh Gandamana bersama Narayana, Bratasena dan para panakawan (prāyaṇa). - Tujuan: Dharma - Rasa: Vīra (16) Desa: Jějěr Wana Watu Gajah Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
33
Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Sěngkuni sedang duduk dalam pasanggrahan menerima para Kurava yang datang menghadap (mantra). Tiada berapa lama, datanglah Carucitra melaporkan bahwa Gandamana telah berhasil melakukan babad Wana Cěmpala yang kini telah berubah menjadi negara agung bernama Negara Cěmpalaradya (dūta). Sěngkuni merasa iri, dan memerintahkan Kurava supaya merusak Něgara Cěmpalaradya (mantra). Mereka pun segera berangkat untuk merusak Něgara Cěmpalaradya (prāyaṇa) - Tujuan: Artha - Rasa: Raudra -
(17) Desa: Pěraŋ Agěŋ - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Belum sampai para Kurava berhasil memasuki Něgara Cěmpalaradya, para Pandhava, khususnya Bratasena telah menghadangnya, sehingga terjadilah peperangan yang sengit (āji). Para Kurava yang berhasil dikalahkan oleh Bratasena kemudian kembali ke Ngastina (prāyaṇa), Bratasena lalu mengadap Drupada. - Tujuan: Dharma - Rasa: Vīra (18) Desa: Jějěr Nagari Cěmpalaradya - Itivrtta dan Caturpuruṣārtha: Drupada dan Gandarini berkumpul dengan saudara-saudaranya. dan putra-putranya. Mereka berbahagia dan bersyukur atas kelahiran Srikandhi dan Trusthajuměna, serta atas anugerah yang diperoleh keduanya dari deva, yaitu panah Kyai Bramastra dan pedang Kyai Sandhanggarba (nāyakābhyudāya). Sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Manon, mereka menyelenggarakan bojana andrawina (madhupānaratotsava). - Tujuan: Dharma dan Mokṣa. - Rasa: Śānta Berdasarkan garis besar struktur naratif Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, dapat dilihat bahwa itivṛttā 34
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
lampahan itu menyimpan “suasana-suasana hati dan puitis” dengan sangat rapi dan tertata yang disajikan sepanjang malam. Itivṛttā itu menyiratkan makna yang dilengkapi materi-materi deskriptif yang diperlukan oleh pementasan lampahan wayang semalam suntuk. Dipandang dari sisi rasa, perkembangan vīrarasa dalam Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, menunjukkan bahwa Kaŋjěŋ Raden Tuměŋgung Braŋtakusuma sangat berhasil menempatkan materi-materi yang digunakan untuk membantu rasa yang utama, yakni vīrarasa (cf. Peterson 1991: 219; Amaladoss 1984; Masson 1972; Tubb 1978). Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca membangkitkan vīrarasa sebagai tema sentralnya, dan tema itu dibangkitkan melalui kehadiran Durganetri dan Durgadeva, yang kemudian dilanjutkan melalui Srikandhi dan Trusthajuměna sebagai nāyaka (cf. Jayaatmaja 1994; 2002; Wiryamartana 1990; Katz 1989; Pradipta 1999; Gerow 1971: 29). Hal itu berarti bahwa Durgadeva-Durganetri hadir di sepanjang itivṛttā lampahan wayang itu, mulai awal sampai dengan akhir (Jějěr Kahyaŋan Joŋgringsalaka sampai dengan Jějěr Něgari Cěmpalaradya). Bīja (benih) kehadiran Durganetri dan Durgadeva telah dimulai sejak awal itivṛttā, yaitu Jějěr Kahyaŋan Joŋgringsalaka, melalui perbincangan antara Bathara Guru dan Bathara Narada bersama para putra-putra dewa yang lainnya, seperti misalnya: Bathara Panyarikan, Bathara Masna, Bathara Endra, dan lain-lain. Dalam pertemuan itu, Batahara Guru memperbincangkan tapas (cf. Kaelber 1989; Hara 1975: 129-160) yang dilakukan oleh Durganetri dan Durgadeva di depan Svarga Paŋrantunan. Dalam rangka memohon kasvargan, karena tapas merupakan upaya untuk mencapai maksud dan tujuan, Durganetri dan Durgadeva harus menjalani tapas dengan sangat keras. Dalam rangka menunggu keputusan yang diberikan oleh Bathara Guru, Durganetri membangun sebuah taman yang kemudian dinamainya Taman Maerakaca (cf. Pandit 1984: 160-179). Bagi Durganetri, Taman Maerakaca merupakan bagian dari hidupnya, sehingga ketika taman itu berhasil dihempaskan oleh Bathara Endra ke bhumi, Durganetripun mengejar sampai kemanapun jatuhnya Taman Maerakaca. Ketika Taman Maerakaca jatuh di Wana Cěmpala, yang kemudian menjadi Něgara Cěmpalaradya, Durganetri akhirnya meng-avātara di dalam kandungan Gandarini, yang pada saat itu telah sampai saatnya untuk melahirkan. Gandarini pun melahirkan seorang putri yang telah Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
35
mengenakan pakaian senapati sebagai dampak avatāra Durganetri. Sementara itu Taman Maerakaca di kemudian hari menjadi milik putri Drupada dan Gandarini, yang diberi nama Srikandhi dan merupakan sarana untuk mencapai kemenangan dalam perang agung: Bratayuda Jayabinangun, yang merupakan muara cerita-cerita (lampahan-lampahan) sebelumnya (Wiryamartana 1985: 20) menurut tradisi wayang Yogyakarta. Selanjutnya, Durgadeva meng-avatāra lewat api yajña, yang sedang dilaksanakan oleh Sucitra dan Gandamana. Durgadeva meng-avatāra menjadi seorang putra yang tampan, dan kemudian dinamai Trusthjuměna. Dengan demikian tapas Durganetri dan Durgadeva yang dilaksanakan di depan Svarga Paŋrantunan merupakan tema utama Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, dan tema itu dinyatakan secara eksplisit pada Jějěr Wana Cěmpala, yang dijalankan oleh Gandamana, Sucitra, Gandarini dan disertai oleh Drupadi. Tapas Gandamana beserta kemenakan dan cucunya ternyata membuahkan hasil, yaitu manakala mereka mendapat dukungan dan bantuan dari Bathara Brama untuk melakukan babad Wana Cěmpala (cf. Kuiper 1979; Visuvalingam 2002; Shetterley 1979: 281-299; Warder 1989, 1990b), yang menurut tradisi ini Wana Cěmpala pada masa lalunya adalah sebuah negara agung Pañcalaradya, yang diperintah oleh seorang raja bergelar Prabu Gandavana (lihat Lampahan Gandavana Muksa). Rasa yang dibangkitkan pada Jějěr Wana Cěmpala adalah śāntarasa (tenang) yang biasanya merupakan antithesis vīrarasa. Namun, seperti akan ditunjukkan, śāntarasa digunakan sebagai landasan bagi vīrarasa dengan dua dampak: (1) menopang dan memelihara kepahlawanan Durganetri dan Durgadeva yang dilanjutkannya melalui Srikandhi dan Trusthajuměna, (2) melengkapi kekontrasan terhadap vīrarasa. Pada episode yang sama dijelaskan pula bahwa Durganetri dan Durgadeva memilih dharma sebagai tujuan hidup yang paling sesuai baginya di dalam lingkungan dan tataran hidupnya, dan ditandai ketika ia mengejar Taman Maerakaca yang dihempaskan oleh Bathara Endra untuk diturunkan ke bhūmi, sehingga ia mempunyai ketegaran dan ketetapan hati untuk meninggalkan Suralaya, rela menjadi seorang perempuan diperistri oleh Arjuna, setelah ia menjalani avatāra pada Srikandhi (cf. Lampahan Srikandhi Jěmpariŋan). Cobaan-cobaan yang diberikan oleh para deva itu merupakan 36
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
landasan bagi dharma-nya sebagai deva-kṣatriya, dan landasan itu merupakan sarana yang mengantarkan Durganetri dan Durgadeva untuk mencapai keberhasilan akhir, yakni svarga tundha saŋa (cf. Peterson 1991: 220, n. 27). Ketahanan Durganetri dan Durgadeva dengan dharma sebagai seorang nāyaka dalam konteks skema caturpuruṣārtha, semakin mempertegas landasan moral vīrarasa. Para hadirin, dengan demikian, dipersiapkan bagi perkembangan yang utuh dari vīrarasa pada adegan-adegan konflik, yakni dalam Pěrang Antěp, ketika Srikandhi dan Trusthajuměna mempertahankan Drupadi, yang semula dicuri oleh Juŋkuŋ Birava, karena Juŋkuŋ Mardeya, putranya, telah memaksanya mencarikan Drupadi untuk dijadikan istrinya. Peperangan Srikandhi dan Trusthajuměna melawan Juŋkuŋ Birava dan kemenangan yang diperoleh keduanya berkat senjata Kyai Bramastra dan Kyai Sandhaŋgarba. Akhirnya kedua putra Drupada itu mampu mengatasi Juŋkuŋ Birava. Di dalam semangat Srikandhi dan Trusthajuměna yang ulet, tekun, dan aktivitasnya menghadapi segala macam tantangan dan godaan, para hadirin harus mencermati utsāha (energi, usaha yang keras untuk mencapai tujuan): sthāyibhāva yang secara kanonik dijadikan sebagai dasar vīrarasa (cf. Peterson 1991: 220; Tubb 1991: 171-203; Masson and Patwardhan 1969; Gerow and Aklujkar 1972: 80-87; Raghavan 1967; Pandey 1944: 326-330; Smith 1985). Durganetri dan Durgadeva yang kemudian dilanjutkan melalui Srikandhi dan Trusthajuměna sebagai nāyaka Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, yang menjalankan karya agung, dibayangkan menghayati utsāha, sehingga para hadirinnya pun ikut mengalami dan menyelami perilaku heroiknya (cf. Warder 1989: 23-24). Dalam Jějěr Wana Cěmpala, perhatian utama Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca adalah menopang vīrarasa dalam konteks tapas Durganetri dan Durgadeva, yang secara esensial merupakan topik yang kondusif bagi śāntarasa, antithesis dari vīrarasa yang penuh energi. Di sini, naratif Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca ditata retorikanya mengenai vīrarasa: seputar gambaran yang ambigu atau mendua tentang Durganetri dan Durgadeva sebagai deva-kṣatriya yang tapasvī. Kemudian pada bagian akhir Jějěr Wana Cěmpala, Gandamana dan Drupadi, yang disertai oleh Batahara Brama mulai memasuki Wana Cempala untuk menyempurnakan tapasJumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
37
nya, yakni babad Wana Cěmpala setelah ia mendapat dukungan penuh dari Bathara Brama atas restu Bathara Guru. Keberadaannya sebagai deva-kṣatriya yang tapasvī ditunjukkan pada saat Durganetri dan Durgadeva berperang melawan para dewa dan kemudian dilanjutkannya melalui Srikandhi dan Trusthajuměna pada saat melawan Ditya Kala Bramastra, yang kemudian berubah menjadi pusaka panah milik Srikandhi, Ditya Kala Sandhaŋgarba, yang kemudian berubah menjadi pusaka pedang milik Trusthajuměna, dan Juŋkuŋ Birava. Srikandhi dan Trusthajuměna menggunakan panah dan pedang untuk mengalahkan Juŋkuŋ Birava, tetapi di sisi lain ia menjadi seorang tapasvī yang sedang menjalani vrata-nya. Penampilan Durganetri dan Durgadeva semacam itu menimbulkan teka-teki dan kekhawatiran para dewa (cf. KAV, KSD, KSum., KIV, KRV), terlebih pada saat bhuvana terancam oleh krisis eskatologi yang menghendaki utpatti seorang bīja untuk melestarikan dan melanjutkan generasi (lihat Lampahan Vahyu Maniŋrat, Vahyu Cakraniŋrat, Vahyu Vidayat). Teka-teki dan kekhawatiran itu dikemukakan oleh Narada, ketika ia berhadapan dengan Durganetri dan Durgadeva. Ia memerintahkan agar Durganetri dan Durgadeva harus menjalani avatāra dan bertanggung jawab terhadap bhuvana yang sedang mengalami krisis eskatologi sebagai akibat adharma yang merajalela melalui representasi para Kurava. Pernyataan Narada itu menyarankan bahwa dua macam kekuatan Durganetri dan Durgadeva yang berpadu dalam persona yang deva-kṣatriya dan tapasvī, merupakan kekuatan antithesis yang telah menjadi sifatnya. Pesannya jelas, yakni: orang menjalani vrata-nya yang śānta, yakni tapas, demi kelepasan akhir, bukan demi tujuan duniawi dan kekerasan, seperti misalnya menang atas musuh-musuhnya;. Penampilan Durganetri dan Durgadeva yang kelihatan ganjil, mencerminkan ambiguitas antara sarana-sarana dengan tujuan-tujuannya. Di dalam teka-teki dan keraguan Narada, yang tampaknya mengekspresikan kritik kaum Buddhis terhadap praktek tapas yang brahmanik sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi (cf. Shetterley 1979: 305-342; Wayman 1993; Lessing and Wayman 1993; Iida, 1991; Visuvalingam and Chalier-Visuvalingam 2004), jalan hidup yang śānta dihadirkan sebagai alternatif bagi dharmakṣatriya yang penuh kekerasan, dan śāntarasa menampilkan kekuatan yang benar-benar kontras dengan vīrarasa.
38
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Nāyakābhyudāya di Cěmpalaradya Selain memuat penghayatan estetika, itivṛttā Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca juga menyiratkan penghayatan teologis-kosmologis, yang dapat ditelusuri melalui penghayatan estetika. Seperti telah ditunjukkan di atas, nilai estetika yang menonjol dalam lampahan itu adalah virarasa yang didasari oleh śāntarasa. Kedua rasa itu dihadirkan melalui kehadiran Durganetri dan Durgadeva (yang kemudian dilanjutkan oleh Srikandhi dan Trusthajuměna) di sepanjang itivṛttā. Vīrarasa dibangkitkan melalui penampilan Srikandhi dan Trusthajumena, yang di-avatārai oleh urganetri dan Durgadeva, sebagai kṣatriya, yang berkewajiban menjalani yuddha di medan perang. Namun, yuddha yang dilakukannya bukan demi yuddha itu sendiri, melainkan demi mencapai tujuan akhir, yaitu śānta, yang ditampilkan melalui tapas-nya. Tanpa yuddha, yang merupakan representasi vīrarasa, Durganetri dan Durgadeva (yang dilanjutkan Srikandhi dan Trusthajuměna) tidak akan pernah mencapai śānta. Oleh karena itulah dengan lain perkataan dapat dijelaskan bahwa yuddha adalah svadharma bagi putra-putri Drupada. Secara etik, svadharma mempunyai pengertian: kewajiban-kewajiban spesifik yang harus dipegang oleh setiap individu sesuai dengan status sosial masing-masing. Di samping itu dikenal juga pengertian sādhāraṇa, yaitu sebuah kode moralitas yang diharapkan dianut oleh berbagai macam individu (Sutton 2000: 293-294; O‟Flaherty 1988: 94-99). Svadharma terutama berpusat pada tindakan yang diritualkan, tetapi juga termasuk ketentuan-ketentuan yang berdasar pada sebuah apresiasi moralitas. Demikian pula etika asketis itu melibatkan prinsip-prinsip moral yang kebanyakan identik dengan ajaran-ajaran tentang moralitas yang diklasifikasikan menurut pedoman sādhāraṇa. Dengan mengacu pada vīracarita Mahābhārata, van Buitenen memberikan pengertian bahwa ajaran-ajaran moral menyajikan sebuah kode yang spesifik tentang adat-istiadat yang dijadikan tuntunan hidup bagi setiap individu di dalam masyarakat. Kode-kode ini bukan tanpa dimensi moral, tetapi moralitas bukan kriteria pokok untuk ditumbuhkembangkan (van Buitenen 1973). Dalam hal ini Dasgupta benar ketika ia mengatakan bahwa kewajiban yang telah ditentukan tidak perlu dicampur-adukkan dengan moralitas dalam pengertian modern (Dasgupta 1973, II: 493). Ketaatan Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
39
yang kaku kepada svadharma menurut pandangan vīracarita merupakan bekal yang tepat bagi eksistensi manusia, yang memberi penghargaan eskatologis yang sesuai (Sutton 2000: 295). Selanjutnya, menurut O‟Flaherty, svadharma adalah sebuah sistem etika yang berdasar pada pluralisme, yang melekat pada sistem sosial kasta (O‟Flaherty 1988: 378). Dengan kata lain, svadharma lebih merupakan sistem etika yang relatif daripada sistem etika yang mutlak. Tidak dapat dipastikan bahwa masingmasing individu mempunyai kode etiknya sendiri yang unik, karena svadharma merupakan perpaduan dengan orang lain, tetapi tidak ada satu standard tentang kebiasaan yang ditentukan bagi semua orang (Sutton 2000: 296-297). Dari penjelasan di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca setiap karakter akan memiliki svadharma-nya masing-masing. Untuk itulah di sini akan dicermati sejumlah tokoh yang terlibat dalam Lampahan Tumuruipun Taman Maerakaca, yakni Durganetri dan Durgadeva, Srikandhi dan Trusthajuměna, Juŋkuŋ Birava, Bramastra, Sandhaŋgarba, tetapi rupanya nanti mereka akan bertemu pada satu titik yang Ilahi, yaitu bhakti. Taman Maerakaca sebagai Sambandha Secara harafiah, sambandha mempunyai arti, „connection, relation, cause, reason, occasion‟ (Zoetmulder 1982, II: 1629). Dalam konteks penghayatan estetika Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, Taman Maerakaca dapat didudukkan sebagai sambandha, karena di samping menjadi penyebab terjadinya persengketaan antara Durganetri dan Durgadeva dengan para dewa, taman itu juga menjadi “penghubung” bertemunya kedua pihak karakter itu dalam yuddha. Mengenai identifikasi Maerakaca (Skt. Mahīrakaca), sejumlah teks Sansekerta dengan genre masing-masing menjelaskan bahwa secara etimologis mahīrakaca berasal dari kompositum Sansekerta, yang terdiri atas tiga kata, yakni mahī, (bumi), irā atau iḍā (Devī Pemujaan), dan kaca (rambut) (Monier-Williams 1976; Macdonell 1954: 45-46, 61, 222; cf. Sørensen 1963: 659), sehingga kompositum tatpuruṣaḥ itu berarti „rambut Devī Bhūmi yang menjadi pusat pemujaan‟. Dalam tradisi vīracarita dan Tantris ditunjukkan bahwa Devī Bhūmi yang menjadi pusat pemujaan adalah Durgā sebagai Ibu, dan Devī, pada tataran yang paling tinggi dan 40
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
cemerlang (Kinsley 1988: 55-64). Ia memantulkan keagungan, kemasyhuran, dan keharuman, karena kehidupan sangat tergantung pada, dan ditopang oleh Durgā yang menjadi kekuatan (śakti) Ilahi yang berkuasa di lingkungan tertentu, dan menyambut setiap sumber air hidup sebagai mu‟jizat. Hampir setiap desa, kota atau pemukiman cenderung memuja sumbernya atau sungainya. Bhūmi suci dengan sendirinya menjadi hierofani, modalitas kesucian, dan revelasi terhadap sebuah kesakralan kosmis. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kaca mempunyai arti „rambut‟ (Macdonell 1954: 61), pembahasan akan dimulai dari pengertian magis dan simbolis dari kaca. Sumber-sumber epos tidak pernah mengabaikan aspek kaca yang dianggap sebagai asuci (tidak suci) ketika terlepas dari tubuh. Kemudian dalam teks-teks Smṛti dan Vīracarita ditunjukkan adanya pengertian magis dan religius dari kaca (Heesterman 1957: 212219; Gonda 1969: 21; Coomaraswamy 1977: 356; Dubuisson 1978: 299; Defourny 1978: 103). Pengertian itu dapat dijumpai dalam beberapa sumber berikut ini: athottaṅkaḥ śītam annaṃ sakeśaṃ dṛṣṭvā aśucy etad iti matvā pauṣyam uvāca, yasmān me aśucy annaṃ dadāsi tasmad andho bhaviṣyasīti (MBh I, 3: 126); yasmān me aśucy annaṃ dadāsi tasmad andho bhaviṣyasīti, bhagavann ajñānād etad annaṃ sakeśam upahṛtaṃ śītaṃ ca, tat kṣāmaye bhavantam, na bhaveyam andha iti (MBh I, 3:129); keśakīṭāvapatitaṃ kṣutaṃ śvabhir avekṣitam, ruditaṃ cāvadhūtaṃ ca taṃ bhāgaṃ rakṣasāṃ viduḥ (MBh XIII, 24: 6). Di medan perang pun kaca mempunyai peran yang sangat penting. Barang siapa berhasil menarik kaca musuhnya, ia akan menjadi pemenang, seperti yang dapat dilihat pada bacaan-bacaan berikut ini: keśākeśy abhavad yuddhaṃ rakṣasāṃ vānaraiḥ saha, nakhair dantaiś ca vīrāṇāṃ khādatāṃ vai parasparam (MBh III, 268: 36); taṃ bhīmaseno dhāvantam avatīrya rathād balī, abhidrutya nijagrāha keśapakṣe 'tyamarṣaṇaḥ (MBh III, 256: 2); śatānīkaḥ śataṃ hatvā viśālākṣaś catuḥśatam, praviṣṭau mahatīṃ senāṃ trigartānāṃ mahārathau, ārcchetāṃ bahusaṃrabdhau keśākeśi nakhānakhi (MBh IV, 31: 15); uttaraṃ tu pradhāvantam anudrutya dhanaṃjayaḥ, gatvā padaśataṃ tūrṇaṃ keśapakṣe parāmṛśat (MBh IV, 36: 37); sa pauravarathasyeṣām āplutya sahasā nadan, pauravaṃ ratham āsthāya keśapakṣe parāmṛśat (MBh VII, 13: 53); bhūmau nipatitāś cānye vamanto rudhiraṃ bahu, keśākeśisamālagnā na śekuś ceṣṭituṃ janāḥ (MBh IX, 22: Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
41
49). Dari śloka-śloka di atas dapat diketahui bahwa kaca mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kekuatan rajawi dan kosmis dan merupakan sakti (Energy Tertinggi) (Assayag 1992: 364-365). Tarachand mengindikasikan bahwa kaca merupakan salah satu jenis kurban yang dipersembahkan kepada Devī (Tarachand 1991: 90) oleh para bhaktā-nya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mahirakaca, yang dalam Lampahan Tumturunipun Taman Maerakaca, merupakan kosmos yang berkaitan erat dengan masalah kerajawian dan Energi Tertinggi (śakti). Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila Maerakaca merupakan kosmos yang magis dan religius,. Taman Maerakaca ini dapat dipandang sebagai śaktapiṭhā bagi Devī Bhūmi (Sircar 1975; cf. Eck, 1981; Jayaatmaja 2001b). Di samping memiliki arti tempat suci yang dipergunakan sebagai obyek pemujaan yang anikonik, atau tempat suci yang dipergunakan oleh para yogi dan tapasvī untuk melakukan samādhi dan berhasil mencapai siddhi, dan dianggap sebagai tempat paling baik di bhūmi (vára ắ pṛthivyā˙), yang menjadi tempat untuk mendirikan api suci seseorang. Śaktapiṭhā dijadikan tempat persemayaman Devī Bhūmi, yang memiliki berbagai macam nama, dan, nama-nama itu agaknya menyarankan pada Devī-Devī pribumi, yang biasanya diidentifikasikan sebagai śakti Śiva-Paśupati (Rudra menurut tradisi Vedisme), yang dikenal telah dipuja oleh masyarakat Jawa. Devī mempunyai arti „Dewa perempuan yang sangat cemerlang‟, sedangkan Śakti dan Ādyā Śakti menunjukkan kekuatan yang melandasi penciptaan dan mengendalikan energi, yang mampu menjamin tertib alam semesta. Śakti juga berlaku untuk pemujaan organ perempuan, seperti misalnya: kaca, rambut‟ (Sircar 1975; Singh and Singh 2005; cf. Eck 1981, 1982, 1985; VisuvalingamChalier-Visuvalingam, 2004a). Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila śaktapiṭhā yang juga merupakan tīrtha dipandang sebagai tempat persemayaman bagi Devī Bhūmi yang dikenal dengan nama Durgā, Devī, Śakti, Pārvatī, Umā, Ambikā dan lorong yang mengantar seseorang menuju kepada para dewa (devayāna˙ panthā˙, TS VII, 2,1,4) (cf. Chaturvedi 1996; Gonda 1985: 7-9; 1978: 41; 1981: 12 f; 1954: 44 ff). Śaktapiṭhā disatukan dengan bentuk-bentuk, atau organ-organ Devī dan selalu dikaitkan secara erat dengan Bhairava yang menyertainya (lihat Tantracūḍamaṇī; Śabdakalpadruma). 42
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Dalam Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, Taman Maerakaca diidentifikasikan sebagai śaktapiṭhā. Pengidentifikasian ini kiranya cukup beralasan, karena Taman Maerakaca rupanya akan menjadi pratiṣṭhā, yang menjadi tempat persemayaman Srikandhi, avatāra dari Durganetri. Dalam Pěrang Bratayuda Jayabinaŋun Srikandhi akan mengantar keluarga Pandhava mencapai vijaya, kembali kepada para dewa. Berkat Srikandhi inilah akhirnya keluarga Pandhava menerima anugerah dari Guru, yang berupa svarga abadi (cf. Lampahan Pandhava Svarga). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konteks Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, svadharma Srikandhi adalah śaktapiṭhā dan tīrtha bagi keluarga Pandhava dan, dalam konteks yang lebih luas, tentunya ia juga menjadi saktapitha dan tīrtha bagi keluarga besar Kṛṣṇa Dvaipāyana Vyāsa di kelak kemudian hari. Nāyaka dan Pratināyaka Dari titik pandang varṇa, Durganetri dan Durgadeva, yang dilanjutkan melalui Srikandhi dan Trusthajuměna sebagai nāyaka dan Juŋkuŋ Birava sebagai pratināyaka mempunyai kedudukan yang sama, yakni kṣatriya, karena keduanya terkait dengan masalah kenegaraan (Smith 1989: 241-243). Di dalam ajaran Rājadharma dinyatakan bahwa seorang kṣatriya sebaiknya memberi, tetapi tidak pernah menerima dāna, dan melaksanakan yajña meskipun bukan sebagai brāhmaṇa. Ia sebaiknya mempelajari Veda-Veda, tetapi tidak mengajarkan pustaka suci itu, melindungi rakyatnya; aktif dalam menumpas kejahatan, dan memperlihatkan kepahlawanannya di medan perang. Para kṣatriya terpelajar yang telah menyelenggarakan yajña dan bertempur di medan perang adalah karakter terbaik di antara mereka yang mencapai surga. Mereka yang memahami tradisitradisi kuna tidak akan memuji-muji kṣatriya yang kembali dari medan perang tanpa luka-luka di tubuhnya (Sutton 2000: 299; Hopkins 1968: 65-75). Dalam hal ini, baik Durganetri dan Durgadeva (yang kemudian menjadi Srikandhi dan Trusthajuměna) maupun Juŋkuŋ Birava memang dapat dikategorikan sebagai kṣatriya. Adapun alasannya dapat dijumpai pada Pěraŋ Kěmbaŋ dan Pěraŋ Antěp. Durganetri, melalui Srikandhi, berhasil membunuh Ditya Kala Bramastra, yang kemudian berubah menjadi panah Kyai Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
43
Bramastra, demikian pula Durgadeva melalui Trusthajuměna berhasil membunuh Ditya Kala Sandhaŋgarba, yang berubah menjadi pedang pusaka Kyai Sandhaŋgarba, kemudian keduanya berhasil membunuh Juŋkuŋ Birava dengan menggunakan Kyai Bramastra dan Kyai Sandhaŋgarba. Yuddha dalam hal ini adalah antara Srikandhi dan Trusthajuměna melawan Ditya Kala Bramastra, Ditya Kala Sandhaŋgarba, dan Juŋkuŋ Birava di dalam Pěraŋ Antěp. Kedua putra Drupada itu bertempur matimatian melawan para raksasa dari Mutěr Gěluŋ untuk mempertahankan Drupadi. Ketika telah berhasil membunuh pratināyaka dari Mutěr Gěluŋ, pihak nāyaka pun masih harus berhadapan dengan para Kurava yang berkehendak menghancurkan Něgara Cěmpalaradya dalam Pěraŋ Agěŋ, sekalipun di sini yang berperang bukanlah nāyaka dan pratināyaka secara langsung dalam yuddha, tetapi di sini Bratasena mempunyai peran yang sangat menentukan.. Tentu saja terjadi dalam yuddha itu bahwa mereka berdua saling melukai. Hal itu memang sesuai dengan ajaran Rājadharma, yang menyatakan bahwa dharma tertinggi kṣatriya adalah melukai kṣatriya yang lain, sehingga bukan perbuatan terpuji, ketika ia menghancurkan penjahat yang hina dan rendah (Sutton 2000: 299; KWKLUS, 4 B-5 A). Secara sepintas lalu, svadharma seorang kṣatriya, yakni yuddha, adalah perbuatan yang berkaitan dengan kekerasan, tetapi apakah memang demikian yang terjadi? (cf. MBh I, 11: 13b-17; Biardeau 1981: 78-79). Hiltebeitel, dalam disertasinya yang berjudul The Ritual of Battle. Krishna in the Mahabharata, menjelaskan bahwa yuddha harus dipahami sampai pada tataran ritual (Hiltebeitel 1990: 366368; Katz 1989: 111-115; Bell 1992). Pada tataran ritual, yuddha adalah upacara ritual yajña, yang harus dipersembahkan oleh kṣatriya (MS I, 88-89; Biardeau, 1981: 78), sehingga dalam Udyogaparvan Sansekerta, yuddha disebut śāstrayajña (MBh V, 139: 29), dan dalam Udyogaparva Jawa Kuna dan Kakavin Rāmāyaṇa, yuddha disebut raṇayajña (UdyPJK., 40: 30; RY., XXII, 53a). Penyebutan itu bukan tanpa alasan, karena di dalam śāstrayajña atau raṇayajña selalu diulang-ulang bahasa tentang upacara korban: para kṣatriya selalu memandang lawan-lawannya sebagai korban dalam raṇayajña. Mereka selalu berusaha menghubungkan setiap aspek pertempuran atau perlengkapan militer dengan aspek-aspek yajña: dalam upacara ritual yajña yang sangat istimewa ini, senjata-senjata diidentikkan dengan api; 44
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
secara khusus, anak-anak panah menjadi simbol lidah-lidah api yajña (Biardeau 1984: 3). Taman Maerakaca, sebagai sambandha, yang menyebabkan terjadinya yuddha antara Durganetri dan Durgadeva dan para deva, kiranya tidak terlepas dari pengertian yajña, dan di sini api memainkan peran yang sangat penting (cf. Knipe, 1972; Staal 1983). Durganetri melalui Srikandhi dan Durgadeva melalui Trusthajuměna (cf. ChalierVasuvalingan, 1996: 253-301; Obeyesekere, 1984; Blom, 1989; Santiko 1990; Anand 1986: 454-470; 1995: 184-200), bersamasama melaksanakan upacara ritual yajña, sedangkan Taman Maerakaca menjadi ruang suci, tempat didirikannya api suci yajña. Dalam konteks Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, pendirian api suci yajña oleh Durganetri dalam representasinya sebagai Srikandhi dan Durgadeva sebagai Trusthajuměna, rupanya menunjuk pada upacara ritual yang dikenal dalam tradisi Veda, yaitu upacara Agnihotra (Wiryamartana 1985; Jayaatmaja 2001a; Hinzler 1981; Heesterman 1985: 36-38; Louis van Tongeren 2004: 117-138). Upacara ritual Agnihotra bagi Drupada, orang tuanya, yang baru saja di-abhiṣeka sebagai raja di Něgara Cěmpalaradya. Menjadi kewajiban Srikandhi dan Trusrthajuměna sebagai putra Drupada dan Gandarini untuk mengusahakan kerajawian yang kosmis dan religius bagi ayahnya. Yajña, berupa upacara ritual Agnihotra, yang diselenggarakan oleh Srikandhi dan Trusthajuměna, merupakan manifestasi kasih mereka kepada Drupada sebagai ayah mereka. Dalam pengertian etika, tindakan kasih itu dinamakan bhakti (cf. Dhavamony 1971; Scott, 1980: 20-32; Nelson, n.d.: 1-16). Bhakti berarti, „kasih Ilahi‟ (MacDonell 1979: 200). Melalui bhakti manusia dibantu untuk lepas dari saṃsāra (cf. Anand 1997), dan kebebasan dari saṃsāra merupakan hal yang esensial bagi realisasi bhakti dalam bentuknya yang tertinggi. Bhakti, secara lambat-laun, mensucikan manusia, melepaskannya dari segala hal yang merintangi penyatuannya yang definitif dengan Sang Ilahi (Anand 1982: 6667). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yuddha antara Srikandhi dan Trusthajumena melawan raksasa-raksasa dari Mutěr Gěluŋ, yang secara ritual adalah upacara ritual yajña, merupakan manifestasi bhakti (cf. Visuvalingam 1989: 427-462), dan Taman Maerakaca merupakan manifestasi ruang, yang menjadi tempat suci bagi Srikandhi dan Trusthajuměna (cf. Thuravackal, 1991: 115-124) untuk menunjukkan bhakti-nya Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
45
kepada Drupada, Gandarini dan Drupadi. Simpulan Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca dalam tradisi wayang Yogyakarta ternyata mengandung banyak pesan berupa nilai-nilai. Berdasarkan penelusuran terhadap lampahan itu menggunakan teori estetika kāvya Sansekerta: teori Alaṃkāra yang dikemukakan oleh Bhāmaha dan Daṇḍin, dapat diungkapkan sejumlah hal: (1) Kehadiran nāyaka dan pratināyaka, yaitu Durganetri yang kemudian menjadi Srikandhi dan Durgadeva yang kemudian menjadi Trusthajumena dengan sambandha-nya Taman Maerakaca, dan nirvahana-nya adalah para raksasa Mutěr Gěluŋ: Ditya Kala Bramastra, Ditya Kala Sandhaŋgarba dan Juŋkuŋ Birava; (2) Kehadiran karakterkarakter itu ternyata dapat membentuk itivṛttā, yang menyiratkan nilai estetika dan nilai etika; (3) Dalam hal nilai estetika, Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca tetap mempertahankan nilai estetika yang terdapat dalam Mahābhārata Sansekerta, yakni śāntarasa yang dimanifestasikan melalui vīrarasa. Dalam hal ini dijumpai adanya pengertian continuity dan discontinuity (cf. Hiltebeitel 1988, 1991, 1995; Smith, 1980). Continuity terjadi dalam hal melanggengkan nilai estetika, yakni santarasa yang menjadi landasan bagi vīrarasa, sementara discontinuity terjadi dalam hal tampilnya karakter-karakter yang tidak dijumpai dalam Mahābhārata Sansekerta; (4) Nilai estetika ini dapat dijadikan pangkal pijak mengangkat nilai etika, yang harus dimulai dari tataran epik, menurut Hiltebeitel, sehingga dapat diketahui adanya svadharma masing-masing karakter, dan kemudian tataran ritual dapat ditangkap dengan adanya pengertian yuddha sebagai yajña. Sementara itu, dengan pengertian yuddha sebagai yajña ini, itivṛttā Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca menuntun para hadirinnya ke arah nilai etika yang sangat mendasar bagi manusia, yaitu bhakti. Dengan demikian dapat ditegaskan bagi para dalang bahwa untuk mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat dalam lampahanlampahan wayang, sangat ditekankan untuk menguasai itivṛttā lampahan-lampahan wayang dengan sempurna. Ia tidak perlu secara khusus dan eksplisit menampilkan ajaran-ajaran atau dogma-dogma tertentu kepada hadirinnya, karena dalam tradisi wayang Yogyakarta, lampahan wayang pada dasarnya merupakan 46
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
penaratifan suatu ajaran atau dogma tertentu dengan nuansa yang ritualistik. Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca sebenarnya merupakan penaratifan suatu upacara ritual tertentu dalam tradisi Veda, yaitu upacara Agnihotra, dan Mahabarata NgaYogyakarta V dengan cemerlang berhasil menaratifkannya menjadi itivṛttā yang sangat menarik Daftar Pustaka Anand, Subhash, 1982, “Bhakti: a Meta-Puruṣārtha”, Jeevadhara. The Problem of Man XII, no. 67, JanuaryFebruary, p. 52-65. _____ 1986, “The Lady and the Demon”, Vidyajyoti. Journal of Theological Reflection 50, October, p. 454-470. _____ 1995, “The Compassionate God: a Hindu Perspective”, Jeevadhara: Globalization or Perpheralization?, Vol. XXV, no. 145, p. 184-200. _____ 1997, “Tīrthayātra: Life as Sacred Journey”, Vidyajyoti. Journal of Theological Reflection 61, p. 669-692 Assayag, Jackie, La colère de la déese decapitée. Traditions, cultes et pouvoir dans le Sud de l‟Indie. Paris: Presses du CNRS. Bell, Chatrine, 1992, Ritual Theory, Ritual Practice. New York, Oxford: Oxford University Press. Berg, C.C., 1938, “De Arjunawiwāha, Er-langga‟s levensloop en bruiloftslied?”, BKI 97, Afl. 1, p. 19-94. Blom, M.L.B., 1989, Depicted Deities. Painters‟ Model Books in Nepal. Utrecht: Diss. Rijksuniversiteit Utrecht. Chalier-Visuvalingam, Elizabeth, 1996, “Bhairava and the Goddess. Tradition, Gender and Transgression”, Wild Goddess in India and Nepal. Bern: Peter Lang, p. 253-301. Coomaraswamy, A.K., 1977, Selected Papers. I. Traditional Art and Symbolism. Princeton: Princeton University Press. Dasgupta, S., 1973, A History of Indian Philosophy, vol. 2, Cambridge: Gambridge University Press. Dhavamony, Mariasusai, 1971, Love of God According to Śaiva Siddhānta. A Study in the Mysticism and Theology of Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
47
Śaivism. Oxford: The Clarendon Press. Defourny, Michel, 1978, Le Mythe de Yayati. Paris: CNRS. Dubuisson, Daniel, 1978, “ La déese chevele et la reine coiffeuse, Recherches sur un thème épique de l‟Indie ancienne”, Journal Asiatique 266. Eck, Diana L., 1981, “India‟s Tīrtha: „Crossing‟ in Sacred Geography,” History of Religions 19, no.3, p. 323-344. _____, 1982, Banāras, city of light. New York: Alfred A. Knapf. _____, 1985, “Banaras: cosmos and paradise in the Hindu imagination”, Contributions to Indian sociology (n.s.) 19, no.1, p. 41-55. Gerow, Edwin, 1971, A Glossary of Indian Figures Speech. The Hague-Paris: Mouton. Gerow, Edwin, and Ashok Aklujkar, 1972, “On Śānta Rasa in Sanskrit Poetics”, Journal of the American Oriental Society 92, p. 80-87. Gonda, J., 1954, Aspects of Early Viṣṇuism. Utrecht: N.V. A. Oosthoek‟s Uitgevers Mij. _____, 1969, Ancient Indian Kingship from the Religious Point of View. Leiden: E.J. Brill. _____, 1978, Religionen Indiens, I, Stuttgart: Adolph Krabbe. _____, 1981, “The Praügaśāstra”, VKNAWL, Nieuwe Reeks, Deel 48 no. 2, Amsterdam, Oxford, New York: NorthHolland Publishing Company. _____, 1985, “Pūßan and Sarasvatī”, VKNAWL, Nieuwe Reeks, Deel 127, Amsterdam, Oxford, New York: Nort-Holland Publishing Company. Hara, Minoru, 1975, “Indra and Tapas”, The Adyar Library Bulletin XXXIX, p. 129-160. Heesterman, J.C., 1957, The Ancient Indian Royal Concentration. s-Gravenhage: Mouton. _____, 1985, The Inner Conflict of Tradition. Essays in Indian Ritual, Kingship, and Society. London and Chicago: The University of Chicago Press. Hiltebeitel, Alf, 1988, The Cult of Draupadī. 1: Mythologies, From Gengee to Kuruksetra. Chicago and London: The University of Chicago Press. 48
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
_____ , 1990, The Ritual of Battle. Krishna in the Mahābhārata. Albany, New York: State University of New York Press. ______, 1991, The Cult of Draupadī. 2: On Hindu Ritual and the Goddess. Chicago and London: The University of Chicago Press. ______, 1995, “Dying Before the Mahābhārata War: Martial and Transsexual Body-Building for Aravān”, The Journal of Asian Studies 54, no. 2, p. 447-473. Hinzler, H.I.R., 1981, “Bima Swarga in Balinese Wayang”, VKI 90, The Hague: Martinus Nijhoff. Hooykaas, C., 1958, “The Old Javanese Rāmāyaṇa. An Exemplary Kakawin as to Form and Content”, VKNAWL, Nieuwe Reeks, Deel LXV, No. 1, Amsterdam: N.V. NoordHollandsche Uitgevers Maatschappij. Hopkins, E.W., 1968, Ethics of India. Port Washington. Iida, Shotaro, 1991, Facets of Buddhism. Delhi: Motilal Banarsidass Publisher, PVT, LTD. Jayaatmaja, Manu, 1994, Pariṇaya di Kuruksetra: Arjuna Sebagai Durgābhaktā Menurut Lakon Seta Ngraman Tradisi Pedhalangan Ngayogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. _____, 2001a, “Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit dalam Masyarakat Jawa Masa Kini: Sebuah Kasus tentang Lakon Pandhu Swarga”, Humaniora. Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Volume XIII, no. 2, p. 194-203. _____, 2001b, “Sěrat Purwakandha dari Kraton Yogyakarta: Jembatan Antara Masa Lalu dan Masa Mendatang dalam rangka Mempertahankan Identitas Bangsa”, Makalah Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, 15-20 Juli 2001, p. 23-61. ______, 2002, Bantal Tilu Jampariŋ: Bisma Gugur dalam Mahabarata Tradisi Sunda. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Kaelber, Walter O., 1989, Tapta Mārga. Asceticism and Initiation in Vedic India. Albany: State University of New York Press. Katz, Ruth Cecily, 1989, Arjuna in the Mahābhārata. Where Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
49
Krishna Is, Is There Victory. South-Carolina, Colombia: South-Carolina University Press. Kinsley, David, 1988, Hindu Goddess. Visions of the Divine Feminine in the Hindu Religious Tradition. With a New Preface. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press. Knipe, David M., 1972, “One Fires, Two Fires, Five Fires. Vedic Symbols in Transition”, History of Religions 12, no. 1-2, August, p. 28-41. Kuiper, F.B.J., 1979, “Vāruṇa and Vidūṣaka. On the Origin of the Sanskrit Drama”, VKNAWL, Nieuwe Reeks, Deel 100, Amsterdam, Oxford, New York: North- Holland Publishing Company. Lessing, F.D., and Alex Wayman, 1993, Introduction to the Buddhist Tantric System. Delhi: Motilal Banarsidass Private Limited. Louis van Tongeren, 2004, “Individualizing Ritual: The Personal Dimension in Funeral Liturgy”, Worship 78, no.2, March, p. 117-138. Lutzker, Mary Ann, 1984, The Celeberation of Arjuna: The Kirātārjunīya and the Arjunawiwāha in South and Southeast Asian Art. Berkeley: University of California, University Microfilms International. MacDonall, Arthur Anthony, 1979, A Practical Sanskrit-English Dictionary. London: Oxford University Press. Masson, J.L., and M.V. Patwardhan, 1969, Śāntarasa and Abhinavagupta‟s Philosophy of Aesthetics. Poona: Bhandarkar Oriental Research Institute. Mudjanattistomo, R.M., R. Ant. Sangkono Tjiprowardoyo, R.L. Radyomardowo, M. Basirun Hadisumarto, 1977, Pedhalangan Ngayogyakarta. Jilid I. Gegaran Pamulangan Habirandha. Yogyakarta: Yayasan Habirandha Ngayogyakarta. Nelson, Lances E., n.d., “Bhakti-Rasa for the Advaitin Renunciate: Madhusūdana Sarasvatī‟s Theory of Devotional Sentiment”, Religious Traditions. A Journal in the Study of Religion. McGill University and University of Sydney. 50
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Obeyesekere, Gananath, 1984, The Cult of the Goddess Pattini. Lodon and Chicago: The University of Chicago Press. O‟Flaherty, Wendy Doniger, 1988, The Origin of Evil in Hindu Mythology. Delhi, Varanasi, Bangalore, Madras: Motilal Banarsidass. Pande, Anupa, 1993, The Nāṭyaśāstra Tradition and Ancient Indian Society. Jodhpur: Kusumanjali. Pandey, K.B., 1944, “Dhanañjaya and Abhinavagupta on Śāntarasa”, Proceeding of the All India Oriental Conference 12, p. 326-350. Pandit, Moti Lal, 1984, “The Religion and Philosophy of Paśupatism”, Indian Theological Studies 21, (2), p. 160179. Peterson, Indira V., 1991, “Arjuna‟s Combat with the Kirāta: Rasa and Bhakti in Bhāravi‟s Kirātārjunīya”, in: Arvind Sharma, (ed), Essays on the Mahābhārata. Leiden-New York-København-Koln: E.J. Brill. Poerbatjaraka, R.Ng., 1926, Arjuna-Wiwāha. Tekst en Vertaling. „s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Pradipta, Budya, 1999, The Role and Qualities of Arjuna in Java and in India. Delhi: Diss. University of Delhi, Department of Sanskrit. Raghavan, V., 1967, Number of Rasas. Second Edition. Madras: Adyar Library. Ricoeur, Paul, 1983, Time and Narrative. Volume 1, Translated by Kathleen McLaughlin and David Pellauer. Chivago and London: The University of Chicago Press. _____, 1984, Time and Narrative. Volume 2, Translated by Kathleen McLaughlin and David Pellauer. Chivago and London: The University of Chicago Press _____, 1988, Time and Narrative. Volume 3, Translated by Kathleen McLaughlin and David Pellauer. Chivago and London: The University of Chicago Press Sahi, Jyoti, 1982, “The Influence of Narrative Structure on Indian Traditional Art,” Journal of Dharma, Vol. VII, no. 1, January-March, p. 130-145. Santiko, Hariani, 1993, Bha†āri Durgā. Jakarta: Penerbit Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
51
Sastrulu, Vavilla Venkatesvara, 1952, Kāvyadarśa˙. Madras. Sastry, Naganatha, P.V., 1970, Kāvyālaṃkāra of Bhāmaha. Delhi, Varanasi, Patna: Motilal Banarsidass. Sax, William S., 2002, Dancing the Self. Personhood and Performance in the Pandav Lila of Garhwal. Oxford: Oxford University Press. Scott, David C., 1980, “Hindu and Christian Bhakti: A Common Human Response to the Sacred”, The Indian Journal of Theology 47, p. 12-32. Shetterley, Indira V., 1976, “Recurrence and Structure on Sanskrit Literary Epics: A Study of Bhāravi‟s Kirātārjunīya”, Harvard University PhD. Thesis, Department of Sanskrit and Indian Studies. Singh, Ravi, S. and Rana P.B. Singh, 2005, Sacred Geography of the Goddess in Kashi, India. Varaanasi: Banares Hindu University. Sircar, D.C., 1975, The Sakta Pithas. Delhi: Motilal Banarsidass. Smith, Brian K., 1989, “Classifying the Universe: Ancient Indian cosmogonies and the varṇa system”, Contributions to Indian Sociology (n.s.) 23, 2, p. 241-260. Smith, David, 1985, Ratnākara‟s Haravijaya: An Introduction to the Sanskrit Court Epic. Delhi: Oxford University Press. Smith, John D., 1980, “Old Indian. The Two Sanskrit Epics”, in: A.T. Hatto, (ed), Traditions of Heroic and Epic Poetry. Volume One: The Traditions. London: The Modern Humanities Research Association, p. 48-78. Soedarsono, 1984, Wayang Wong. The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. _____, 1986a, Sěrat Kandha Ringgit Tiyang Lampahan Mintaraga (Buku I), Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. _____, 1986b, Sěrat Pocapan Ringgit Purwa Lampahan Mintaraga (Buku II), Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sørensen, S., 1963, An Index to the Names in the Mahābhārata. Delhi, Varanasi, Patna: Motilal Banarsidass. Staal, Frits, 1983, AGNI. The Vedic Ritual of the Fire Altar, I-II, 52
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Berkeley: University of California Press. Sutton, Nicholas, 2000, Religious Doctrines in the Mahābhārata. Delhi: Motilal Banarsidass Publisher Private Limited. Teeuw, Andries, 1946, Het Bhomakāwya. Een Oudjavaans Gedicht. Groningen-Batavia: Bij J.B. Wolters‟ Uitgevers Maatschappij N.V. Thuravackal, Jose, “The Male-Female Symbolism in Religious Literature”, Journal of Dharma, Vol. XVI, no. 2, AprilJune, p. 160-179. Tubb, Gary Alan, 1979, “The Kumārasabhava in the Light of Indian Theories of the Mahākāvya”, Harvard University PhD. Thesis, Department of Sanskrit and Indian Studies. Van Buitenen, J.A.B., 1973, Mahābhārata. 1: The Book of Beginning. Chicago and London: The University of Chicago Press. Vatsyayan, Kapila, 2003, Bharata. The Nāṭyaśāstra. New Delhi: Sahitya Akademi. Visuvalingam, Sunthar, 1989, “The Transgressive Sacrality of the Dīkßita: Sacrifice, Criminality and Bhakti in the Hindu Tradition”, in: Alf Hiltebeitel, (ed), 1989, Criminal Gods and Demon Devotees. Essays on the Guardians of Popular Hinduism. Albany: State University of New York Press. _____, 2002, “Toward an Integral Appreciation of Abhinava‟s aesthetics of Rasa”, Presented at the Indic Colloquium. Visuvalingam, Sunthar and Elizabeth Chalier-Visuvalingam, 2004a, “Bhairava in Banaras: Negotiating sacred space and religious identity”, in: Martin Goenszie and Jörg Gengnagel, (eds), Visualizing Space in Banaras: Images, Map, and Other Representations. Wurzburg: ergon Verlag. _____, 2004b, “Paradigm of Hindu-Buddhist Relations: Pachali Bhairava of Kathmandu”, Evam: Forum on Indians Representations, Volume 3, no.1 & 2, p. 106-176. Warder, A.K., 1989, Indian Kāvya Literature. Volume One: Literary Criticism. Delhi, Varanasi, Patna, Bangalore, Madras: Motilal Banarsidass Publishers. _____, 1990a, Indian Kāvya Literature. Volume Two: The Origins and Formation of Classical Kāvya. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers PVT, LTD. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
53
_____, 1990b, Indian Kavya Literature. Volume Three: The Early Medieval Period (Śūdraka to Viśākhadatta). Delhi: Motilal Banarsidass Publishers, PVT, LTD. Wayman, Alex, 1993, The Buddhist Tantras. Light on IndoTibetan Esotercism. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers, PVT, LTD. Wiryamartana, I. Kuntara, 1985, “Transformasi Wīracarita Mahābhārata dalam Pewayangan Jawa. Tinjauan Khusus: Baratayuda Tradisi Yogyakarta”, dalam: Soedarsono, Djoko Soekiman, Retno Astuti, (eds), Citra Pahlawan dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, p. 13-27. _____,1990, Arjunawiwāha. Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana Press. Zoetmulder, P.J., 1974, “Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature”, Translation Series 16, The Hague: Martinus Nijhoff. _____, 1982, Old Javanese-English Dictionary, I-II, With the Collaboration of S.O. Robson, „s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
54
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Abstrak Walaupun raja Melayu berkuasa mutlak dalam masyarakat feudal dahulu, tetapi asas kuasa itu ditentukan banyak faktor, termasuk silasilah, jajahan, negeri, rakyat dan keupayaannya sendiri. Kesemua faktor itu lengkap-melengkapkan dalam mengembangkan atau sebaliknya, walaupun ada yang lebih diutamakan daripada yang lain. Serpihan kisah bangun jatuhnya lebih kurang 70 kesultanan Melayu di alam Melayu dari kurun 13 hingga pinggir abad 19 dan yang sebelumnya terbayang dalam karya historiografi seperti Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu dari tradisi manuskrip dan Hikayat Raja Muda dan Hikayat Langlang Buana dari tradisi lisan. Dalam teks-teks yang bersentrikkan raja itu, kuasa raja Melayu tidak terbatas di istananya, tetapi telah dikembangkan ke seluruh jajahannya melalui perlantikan pembesar-pembesar seperti Bendahara, Bendahari, Syahbandar, Laksamana, Panglima dan Sida-sida tenteranya. Tidak kira sama ada mereka itu juga berkurunan bangsawan, maka ada pertalian darah dengan raja, merekalah mata, telinga, kaki dan tangan raja. Mereka dikehendaki menjalankan perintah raja, selain tanggung jawab masingmasing. Penurunan kuasa itu tidak bermakna pengecutan kuasa raja yang bertakhta, tetapi adalah yang sebaliknya. Selain itu, bangun jatuh raja dan kerajaannya juga ditentukan perpaduan
Peneliti Utama Institut Alam & Tamadun Melayu Universiti Kebangsaan Malaysia 43600 UKM Bangi. Artikel ditulis dalam bahasa Malaysia. Tim redaktur tidak melakukan pengubahan redaksional terhadap artikel.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
55
antara raja dengan pembesar dan rakyatnya yang pantang menderhaka. Raja Melayu yang berdaulat juga mendapat pengitirafan daripada raja dan kerajaan lain. Kejatuhan kerajaan Melaka di tangan Portugis pada 1511 dengan diikuti kejatuhan kerajaan Melayu yang lain, satu demi satu, telah membuka mata kita kepada sebahagian sebab-sebabnya, selain mengetahui dengan lebih baik asas-asas kuasa raja Melayu sebelumnya. Kuasa Raja Dalam Hikayat Hang Tuah & Sejarah Melayu Besarnya kuasa raja Melayu boleh juga dilihat dalam sistem pemerintahannya seperti yang dikisahkan dalam Hikayat Hang Tuah walaupun ia bukan teks historiografi seperti Sejarah Melayu. Sistem pemerintahan itu berpusatkan raja yang berada di puncaknya dengan diikuti pembesar-pembesarnya. Pembesar yang paling tinggi kedudukan, sekaligus paling dekat kepada raja adalah Bendahara, dengan disusuli Penghulu Bendahari, Temenggung, Laksamana, Syahbandar, Sida tentera dan hulubalang. Jawatan-jawatan itu mengatakan kuasa raja ditentukan banyak faktor, termasuk kewangan, pertahanan, pentadbiran, hal ehwal luar dan dalam negeri, jajahan dengan rakyatnya, selain silasilah yang mengesahkannya. Oleh sebab raja Melayu itu berkuasa mutlak, maka kuasanya mengatasi kuasa semua pembessarnya. Walaupun kata-kata raja adalah undangundang dan baginda juga menjalankan hukuman, tetapi yang paling ditakuti rakyat adalah raja yang zalim, tidak saksama dan tidak adil. Kes penganiayaan itu jelas kelihatan pada Hang Tuah dihukum bunuh kerana fitnah dan juga hukuman bunuh ke atas Raja Muda, Sang Jaya Raja, kerana difitnah dalam Hikayat Hang Tuah. Demikian juga dengan budak cerdik yang mengeluarkan ide menggunakan batang pisang untuk menangkis serangan ikan todak di Singapura dalam Sejarah Melayu. Budak itu sepatutnya mendapat balasan yang baik, tetapi telah menemui ajalnya kerana ide yang luar biasa yang membuat orang dewasa cemburu terhadapnya. Tertakluk kepada undang-undang pantang engkar, lebih-lebih lagi menderhaka, Bendahara Paduka Raja terpaksa menjalankan perintah raja walaupun mendapati tuannya, Raja Melaka itu, telah salah. Sehubungan itu, kehendak raja mesti dipenuhi. Antara peristiwa yang menjadi contohnya adalah Hang Tuah sanggup memasuki lubang tahi dan kubur untuk mengetahui 56
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
keadaan hidup di alam akhirat, selain bertarung dengan buaya untuk mendapatkan balik mahkota baginda yang terjatuh ke laut. Seperti di China masa lalu, kekejaman hukuman bunuh raja Melayu bukan ke atas pesalah sahaja, tetapi juga ahli keluarganya. Yang dimaksudkan di sini adalah Raja Melaka memerintahkan Hang Tuah membuang anak Hang Jebat, kerana didapati menderhaka, iaitu Hang Kadim, ke laut. Walaupun berkuasa mutlak, tetapi raja Melayu tahu keterbatasan kuasa dan upayanya. Oleh itu, baginda mendapati perlu bergantung pada pembesar-pembesarnya untuk melakukan kerja yang tidak dapat dilakukannya sendiri. Dalam Hikayat Hang Tuah telah dikisahkan Bendahara Paduka Raja diminta Raja untuk menjadi pemangku raja semasa Baginda membuat lawatan rasmi ke negeri lain, termasuk Majapahit. Selain itu, kepercayaan Raja kepada Bendaharanya yang beramanah dan taat kepadanya boleh dilihat pada titah Baginda untuk melantik anakanda Baginda, Raden Bahar, sebagai penggantinya sekiranya Baginda mati terbunuh di Majapahit. Rapatnya hubungan Bendahara dengan raja dan kuatnya kepercayaan raja kepada Bendaharanya itu boleh juga dilihat dari segi Bendahara juga adalah penasihat utama kepada raja. Penasihat lain kepada raja dalam Hikayat Hang Tuah adalah Hang Tuah. Antara peristiwa yang boleh dijadikan contoh dalam konteks ini adalah Bendahara menasihati raja Melaka untuk membenarkan Parmadewan duduk bersamasama pembesar Melaka yang lain, termasuk Temenggung dan dirinya, kerana saudagar itu saudagar besar dari benua Keling. Penerimaan nasihat Bendahara Paduka Raja secara bulat-bulat oleh raja itu menunjukkan tingginya penghormatan dan besarnya kepercayaan Baginda kepadanya sebagai pembesar utama. Sehuhungan itu, Baginda juga meminta nasihat daripada Bendahara Paduka Raja, Hang Tuah dan pembesar kanan yang lain untuk mengatur strategi menentang serangan dari Peringgi. Kesemua itu menunjukkan kebergantungan raja pada pembesarpembesarnya. Sehubungan itu, antara sebab-sebab Melaka menjadi lemah, kemudian jatuh kepada Portugis adalah kematian Bendahara Tun Perak, perbuatan rasuah, fitnah-menfitnah yang mereputkan kerajaan Melayu dengan raja Melaka yang lemah. Dalam Hikayat Hang Tuah, kita juga nampak bagaimana raja Melayu mengembangkan kuasanya ke negeri lain. Antara yang dilakukan ialah dengan menjalin hubungan diplomatik, Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
57
mengadakan kunjungan rasmi dan juga menyerang kerajaan yang tidak mahu sembah kepadanya. Dalam konteks masa kini, hubungan diplomatik itu ditugaskan kepada duta yang berwibawa, bijak dan disegani. Dalam Hikayat Hang Tuah, Hang Tuah telah ditugaskan (tidak ikut kronologi) pergi ke Majapahit untuk meminang puteri Betara Majapahit, iaitu Raden Galuh Emas Ayu; ke benua Keling untuk menjalin perhubungan persahabatan raja Melaka dengan raja di India; ke Turki untuk membeli senjata api untuk mempertahankan Melaka dari serangan musuh dan ke Siam untuk membeli gajah sempena pertabalan anakanda Baginda, Raden Bajau, di Bukit Siguntang. Dengan adanya huhungan diplomatik itu raja dan kerajaan Melaka boleh „duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi‟ dengan raja dan kerajaan negaranya, dekat dan jauh, termasuk Inderapura (Pahang Darul Makmur), benua Rom (negara Turki), benua Keling (India) dan benua China. Walaupun perwatakan raja tidak banyak ditonjolkan dalam Hikayat Hang Tuah, tetapi Baginda adalah tulang bekalang hikayat itu. Tanpa raja dengan kuasanya, kerajaannya dan sifatsifat lain Baginda itu, Hang Tuah sukar memainkan peranannya sebagai laksamana dan rakyat yang taat setia kepada sistem kuasa mutlak raja Melayu feudal itu. Untuk menunjukkan kuasa dan keistimewaannya, asal usul raja Melaka telah dikaitkan dengan kuasa ghaib yang juga menjadi ciri penting dalam cerita penglipur lara dan cerita epik. Kesemua itu adalah syarat piawai untuk menekankan unsur kesahan raja tidak mungkin didapati rakyat biasa. Sang Maniaka yang menjadi Raja Bentan dan seterusnya Raja Melaka adalah daripada keturunan Sang Sapurba yang berasal dari kayangan. Selain itu, keistimewaan raja Melayu juga dikaitkan dengan kisah pembukaan negeri. Sehubungan itu, pembukaan negeri Melaka melibatkan seekur pelanduk putih yang kecil sahaja badannya tetapi telah mengalahkan dua ekur anjing Raja Melaka. Peristiwa itu membuat Baginda memutuskan untuk membuka negeri barunya di tapak itu yang juga menurut pandangan Bendahara Paduka Raja dan menteri yang lain adalah alamat yang baik. Tempat itu dinamakan Melaka bersempena pokok Melaka yang tumbuh dengan subur di situ. Seterusnya keistimewaan raja dalam Hikayat Hang Tuah telah digandingkan dengan kepelbagaiaan keistimewaan Hang Tuah. Antaranya Hang Tuah berjumpa dengan Nabi Khidir yang memberikannya sebiji benih kayu yang boleh berbuah dan berbunga dengan serta-merta 58
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
sebaik sahaja ditanam, Hang Tuah mendarat di Pulau Biram Dewa yang belum pernah dijejaki manusia, semasa di Mekah Hang Tuah dihadiahkan sebuah cembul yang mengandungi air sakti yang membolehkan Hang Tuah bercakap dalam banyak bahasa setelah disapu, Hang Tuah bukan sahaja mempunyai ilmu sihir, tetapi juga boleh membuat ubat pengasih yang membuat Tun Teja jatuh hati kepadanya dan Hang Tuah berjaya menangkap seekur ular cintamani di Pulau Biram Dewa, selain Hang Tuah memasuki kubur untuk melihat keadaan di akhirat seperti yang telah disebut tadi. Kesemua itu adalah untuk menunjukkan raja yang hebat pandai juga memilih pembesar dan pembantunya yang berani, gagah, beramanah dan setia. Serpihan kisah yang menggambarkan kuasa raja dalam Hikayat Tuah Tuah tadi boleh juga dilihat dalam Sejarah Melayu, walaupun tidaklah sama 100%. Antaranya adalah hubungan antara Melaka dengan China. Maharaja China telah menghantar utusannya ke Melaka untuk menjalin hubungan diplomatik dengan raja Melaka dengan disertakan sebuah pilu sarat dengan jarum, lambang banyaknya rakyat China. Untuk membalasnya, Sultan Mansor Syah telah menghantar sebuah pilu sarat dengan sagu rendang dengan maksud bahawa rakyatnya juga ramai. Seterusnya terdapat banyak episod yang menunjukkan kebesaran dan kedaulatan Sultan Melaka berbanding dengan Maharaja China. Antaranya kebijaksanaan Bendahara Tun Perpatih Putih, perkahwinan Hang Li Po dengan Sultan Mansor Syah dan maharaja China terkena tulah daripada Sultan Mansor Syah. Daripada sebegitu banyak kisah itu, yang menarik dari segi kuasa raja Melayu adalah Sultan Mansor Syah menyesal tindakannya ‟membunuh‟ Hang Tuah, lebih-lebih lagi pembunuhan itu telah membuat Hang Kasturi menderhaka. Untuk menghargai jasanya menghapuskan Hang Kasturi, Hang Tuah telah dianugerahkan gelaran Laksamana daripada raja Melaka. Dengan itu, naiklah status Hang Tuah setaraf dengan Bendahara Seri Nara Diraja, yang jasanya juga dihargai Baginda dengan diberikan kuasa ke atas Sungai Ujung. Antara perkara yang menarik di sini adalah perlantikan jawatan dan penganugerahan gelaran juga adalah hak mutlak raja yang berkuasa. Dari masa ke masa, antara pembesar yang dianugerahkan gelaran adalah Tun Tahir yang telah dilantik menjadi Penghulu Bendahari dan bergelar Seri Nara Diraja, Tun Mutahir dilantik sebagai Temenggung dengan gelaran Seri Maharaja, dan Tun Abdullah dilantik sebagai Seri Nara Wangsa. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
59
Berdasarkan kehebatan kerajaan Melaka semasa, Sultan Mansor Syah adalah raja Melayu yang paling besar kuasanya. Di bawah pemerintahnnya, Melaka telah makmur dan maju sehinggakan dilanggap saudagar Arab sebagai Malakat yang membawa maksud tempat berkumpulnya semua barangan dan dagangan. Menurut Hikyat Hang Tuah, tiada negeri lain boleh menandingi Melaka, kecuali Haru dan Pasai. Sehingga kini, tidak banyak maklumat tentang kehebatan kerajaan di Haru. Tetapi, lainlah halnya tentang kerajaan Pasai. Selain Hikayat Raja-Raja Pasai, kehebatan kerajaan Pasai juga diitiraf Marco Polo yang singgah di Sumatera dalam perjalanannya balik ke Itali. Menurut catatanya terdapat lapan buah kerajaan dengan lapan orang raja. Antaranya ialah Perlak (Ferlec), Acheh (Lamuri), Pasai (Pase/ Basma) dan Samudera (Samara). Raja-raja itu mendakwa diri mereka daripada “subjects of the Great Khan, the Chinese emperor, Kublai Khan” (Majumdar 1963:73). Namun demikian, gambaran tentang keadaan Melaka dalam Hikayat Hang Tuah amat berbeza dengan keadaan yang sebenarnya yang sebahagiannya telah ditunjukkan dalam senarai kronologi dalam Lampiran A. Namun, kebijaksaaan Sultan Mansor Syah dalam mengelakkan perselisihan faham di dalam negeri boleh dilihat dengan Baginda mengusir anakanda kesayangannya, Raja Muhammad ke Pahang, kemudian dirajakan di Pahang. Seterusnya, kekuatan tentera Melaka di bawah Sultan Mansor Syah boleh dilihat pada Kampar ditakluki kerana rajanya, Maharaja Jaya, enggan menyembah kepada raja di Melaka. Dari peristiwa itu, kita dimaklumkan bahawa serang-menyerang adalah juga salah satu asas kuasa raja Melayu, seperti raja-raja yang lain di dunia. Sehubungan itu, banyaknya pakatan yang telah dibentuk di kalangan raja-raja dari masa ke masa dan kronologinya boleh juga dilihat di Lampiran. Sehubungan itu, untuk menghormati jasanya, Khoja Baba telah dianugerahkan gelaran Akhtiar Muluk, sementara Kampar telah diserah kepada Seri Nara Diraja. Selain itu, Siak juga diserang Melaka kerana raja Siak, Maharaja Permaisura, juga tidak mahu menyembah raja di Melaka. Dalam pertempuran itu, raja Siak itu terbunuh. Penyudahnya Megat Kudu, anakanda raja Siak yang terbunuh itu, dibawa balik ke Melaka. Selain itu, pembesar Seri Udani yang berjasa besar dalam pertempuran itu dilantik menjadi Perdana Menteri. Tidak lama kemudian, telah berlangsung perkahwinan antara Megat Kudu dengan puteri Sultan Mansor Syah, Raja Mahadewi. Selepas itu, 60
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Megat Kudu dirajakan semula di Siak dengan gelaran Sultan Ibrahim. Sudah lama Sultan Mansor Syah ingin melantik Raja Muhammad, anakanda kesayangan Baginda sebagai penggantinya di Melaka bila sampai masanya. Tetapi, hajat itu tidak kesampaian kerana kekecuhan dan konflik di kalangan istana setelah Raja Muhammad membunuh Tun Besar, anakanda Bendahara Paduka Raja, akibat destar Raja Muhammad jatuh setelah terkena bola raga sepakan daripada Tun Besar semasa Raja Muhammad berlalu di kampong Bendahara Paduka. Pada mulanya, anak buah Bendahara Paduka Raja yang sangat marah dengan perbuatan Raja Muhammad itu hendak membalas dendam. Walaupun perbuatan itu ditegah Bendahara sendiri kerana tidak ingin dikenali sebagai ‟penderhaka‟, tetapi ia menyatakan bahawa ia tidak akan ‟bertuankan‟ Raja Muhammad. Menyedari perkara itu buruk akibatnya, Sultan Mansor Syah terpaksa mengusir Raja Muhammad dari Melaka untuk dirajakan di Pahang, dengan diberikan gelaran Sultan Muhammad Syah. Banyak hal boleh diketahui daripada episod ini. Yang utama adalah konflik di kalangan istana perlu diselesaikan, dan ketegasan raja dan pembesarnya menyelesaikan konflik itu turut menunjukkan raja dan pembesarnya perlu hormat-menghormati. Dengan itu, raja yang berkuasa bukan sahaja dapat mengekalkan kuasanya, tetapi juga mengembangkannya. Pengembangan kuasa raja di Melaka ke Pahang telah dilakukan dengan Raja Muhammad berkahwin dengan Mengindera Putri, cucu kepada Sultan Iskandar Syah, Raja Kelantan di Pahang. Daripada perkahwinan itu lahirlah Raja Ahmad, Raja Jamil dan Raja Mahmud yang memperkembangkan kuasa raja Melayu di Melaka di Pahang dan juga ke negeri-negari lain. Berbalik kepada kehebatan Sultan Mansor Syah, ingin ditambah satu lagi fakta yang membuat Baginda begitu terserlah: Rupa-rupanya raja ini suka berguru pada orang yang tahu dan berilmu, tidak kira tempatnya. Contohnya ialah Baginda telah menghantar Tun Bija Wangsa ke Pasai untuk mendapatkan jawapan kepada kemusykilan ”segala isi syurga itu kekalkan ia di dalam syurga dan segala isi neraka itu kekallah ia di dalam neraka.” Jawapan yang dicari itu akhirnya telah diberi Makdum Muda di istana di Pasai di depan Sultan Pasai kepada Tun Bija Wangsa sendiri. Sampai di sini ingin ditambah bahawa dalam Sejarah Melayu telah disebut nama sepuluh orang raja dan sultan yang pernah Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
61
memerintah Melaka. Mereka adalah Raja Iskandar, Raja Besar Muda, Raja Tengah, Sultan Muhammad Syah (Raja Kecil Besar), Sultan Abu Syahid (Raja Ibrahim), Sultan Muzaffir Syah (Raja Kassim), Sultan Alauddin Riayat Syah (Raja Husin), Sultan Mahmud Syah (Raja Muhammad), Sultan Ahmad Syah (Raja Ahmad) dan Sultan Mansor Syah (Raja Abdullah) yang didapati begitu banyak diperkatakan dalam kertas kerja ini. Perhatian lebih diberi kepada Sultan Mansor Syah juga disebabkan Baginda telah menggunakan kekuatan tentera kerajaannaya untuk menambah kuasa, kehebatan dan kewibawaan Baginda sebagai raja yang berkuasa. Ini ternyata daripada keupayaan Baginda membantu Raja Pasai, Sultan Zainal Abidin, mendapat balik tahktanya daripada adindanya sendiri setelah menggulingkannya dan membuat Sultan Zainal Abidin mencari perlindungan di Melaka. Untuk itu, angkatan Melaka yang diketuai Bendahara Seri Bija Diraja, Laksamana dan hulubalang telah diarah pergi ke Pasai. Setelah bertempur dengan hebat, angkatan tentera dari Melaka telah mengalahkan angkatan tentera Pasai. Tetapi, Sultan Zainal Abidin yang dirajakan semula di Pasai itu tidak mahu menyembah raja di Melaka. Perbuatan kacang lupakan kulit itu dimurkai Baginda, maka tidak lagi mahu menolong Sultan Zainul, maka tewas sekali lagi setelah angkatan Melaka balik ke Melaka. Perkara yang menarik tentang raja Melayu bukan sahaja mengekalkan, tetapi juga menurunkan kuasa dan kekuasaannya kepada anak cucunya. Penurunan kuasa dan tahkta kerajaan kepada anakanda kesayangannya telah menimbulkan konflik, malahan rebutan kuasa di kalangan anak-anak raja itu. Anak-anak raja yang tidak berpuas hati tentang pilihan ayahanda mereka akan mencari jalan untuk merampas kuasa dengan menggulingkan saudaranya. Satu contoh telah berlaku di Pasai dengan Sultan Zainal Abidin digulingkan adindanya sendiri. Sementara itu, berbalik kepada kebijaksanaan Sultan Mansor Syah menurunkan kuasanya sebelum mangkat. Baginda yang gering telah meninggalkan pesan kepada Bendahara dan pembesar istana yang lain dengan titah: 1. jaga anakanda Raja Husin dengan baik 2. lantik Raja Husin sebagai Sultan Melaka yang baru 3. maafkan kesalahan Raja Husin kerana dia masih kecil 62
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Sehubungan itu, Sultan Mansor Syah meninggalkan pesanannya kepada Raja Husin: 1. setiap insan yang hidup akan mati juga 2. raja mesti adil dan banyak bersabar 3. jangan tamak kuasa dan harta 4. mesti bermuafakat dengan semua pembesar demi keamanan Melaka Titah Baginda itu adalah antara petunjuk penting tentang asasasas kuasa raja. Soalan yang timbul di sini: adakah raja baru itu mengamalkan pesan dan niat Baginda yang menaruh harapan besar kepada raja baru itu, iaitu di sini Raja Husin sebagai ketua kerajaan Melaka yang menggantikan ayahandanya? Pada awal pemerintahan Raja Husin, yang bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah, kecurian dan rompakan berleluasa di Melaka. Untuk mengatasi masalah itu, Baginda telah menyamar diri untuk dapat meronda kota Melaka bersama-sama Hang Isap dan Hang Siak. Pada suatu malam, Baginda sudah menangkap lima orang pencuri. Pada keesukan harinya, Baginda menanyakan hal itu kepada Temenggung Seri Maharaja yang tidak tahu-menahu mengenainya. Baginda terus mengkritik Temenggung dengan mengatakan dia tidak menjalankan tanggung jawab dengan baik. Temenggung yang tersentak itu telah mengetatkan kawalan selain menjatuhkan hukuman berat ke atas mereka yang mencuri, merompak dan buat hal-hal yang merosakkan keamananan. Sejak itu, Melaka kembali aman dan damai. Seperti ayahandanya, Sultan Alauddin Riayat Shah juga melayan Raja Maluku yang mencari perlindungan di Melaka setelah negerinya diserang Kastilan. Juga diceritakan bahawa Baginda juga berjanji kepada Raja Maluku yang dia akan menawan semula Maluku daripada Kastilan. Selain itu, diceritakan juga bahawa Raja Maluku tidaklah sehebat Sultan Alauddin Riayat Shah bermain sepak raga. Sementara itu, seorang hulubalang, Telanai Terengganu, menghadap Sultan Alaudin Riayat Shah tanpa memberitahu tuannya Sultan Muhammad, Sultan Pahang, terlebih dahulu. Perbuatan itu membuat Sultan Pahang itu murka, lalu Baginda memerintahkan Seri Akar Raja untuk membunuh Telanai Terengganu. Selain itu, Sultan Muhammad juga merancang untuk Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
63
menyerang Melaka yang dianggap juga miliknya, (jika tidak kerana peristiwa destarnya jatuh terkena bola sepak raga dahulu). Tetapi, rahsia itu telah dibocorkan anak cucu Telanai Terengganu yang melarikan diri ke Melaka. Untuk mempertahankan diri dan negerinya, Sultan Alauddin Riayat Shah merancang hendak menyerang Pahang, tetapi telah ditegah Bendahara dengan alasan Sultan Pahang adalah juga darah daging Sultan Melaka. Untuk menyelesaikan kekemelutan politik dan pertarungan kuasa itu, Laksamana telah dihantar ke Pahang. Semasa surat utusan dari Melaka dibaca, Laksamana telah membunuh sepupu Seri Akar Diraja. Peristiwa itu telah menimbulkan kekecuhan baru di kalangan istana. Semasa disoal siasat oleh Sultan Pahang, Laksamana mengatakan bahawa perbuatannya itu adalah sebagai balasan kepada tindakan Seri Akar Diraja yang dibunuh Telanai Trengganu tanpa dimaklumkan kepada Sultan Melaka. Sehubungan itu, Sultan Muhammad menyatakan pembunuhan Telanai Terengganu adalah kerana dia merendah-rendahkan angkatan perang Melaka. Untuk menghargai jasanya sebagai orang tengah, Laksamana telah diberi anugerah sekembalinya ke Melaka. Selepas itu, Laksamana itu juga telah diperintahkan Sultan Alauddin Syah pergi ke Siak untuk menyiasat pembunuhan seorang yang menderhaka tanpa memberitahu Sultan Melaka. Berhuhungan itu, Sultan Ibrahim, yaitu Raja Siak, telah mengutus surat meminta maaf kepada Sultan Alauddin Riayat Syah melalui Laksamana. Akhirnya, semasa Sultan Alauddin Riayat Syah gering, Baginda mengikut jejak langkah ayahandanya, iaitu juga tradisi turun-temurun, dengan memanggil semua pembesar dan anakanda Baginda untuk menyampaikan pesanan yang berbunyi: 1. Raja Muhammad adalah pengganti Baginda nanti 2. Raja Muhammad mesti dijaga dengan baik kerana masih kecil 3. Kesalahan Raja Muhammad patut dimaafkan kerana masih kecil 4. Rakyat jelata mesti dijaga dengan baik 5. Anak Melayu tidak boleh dibunuh sesuka hati, kecuali menderhaka 6. Kerjakan segala perintah Allah
64
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Manifestasi Kuasa Raja dan Implikasinya Berpandukan beberapa kisah yang dipetik dari Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, dapatlah kita gambarkan serba sedikit asas-asas pembinaan kuasa raja-raja Melayu, selain tatacara kuasa itu diwarisi dan dikembangkan. Pewarisan dan pengembangan kuasa itu melibatkan pengembangan atau sebaliknya kuasa, sekaligus kewibawaan dan pengaruh raja-raja yang berkenaan. Kesemua itu boleh dilihat daripada banyak segi, termasuk kuasa di tangan raja adalah alat untuk raja mencapai matlamat politik. Pada pengertian umum, kuasa boleh dimengertikan sebagai kebolehan raja untuk membuat perubahan, menguasai sumber manusia, alam semula jadi dan apa-apa juga objek lain untuk kepentingan dirinya dan rakyat jelata. Pengertian itu akan menjadi lebih jelas bila dipadankan dengan pendapat Thomas Hobbes yang mengatakan kuasa adalah "present means to obtain some future apparent good". Sebahagian daripada manifestasi kuasa raja yang dimaksudkan itu dapat dilihat dalam peristiwa seperti yang sudah dipetik daripada Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu. Antara yang ternyata adalah: 1. Setiap raja yang berkuasa mesti ada negerinya dan rakyatnya. 2. Kuasa raja itu diturunkan dari satu generasi ke satu jenerasi yang lain, walaupun asal usul kuasanya dikaitkan dengan cerita mitos dan legenda sesuai dengan kepercayaan Melayu yang diwarisi dari zaman silam. 3. Raja menduduki kemuncak hiraki kerajaan yang ada organisasinyua sendiri 4. Hanya raja yang berkuasa berhak melantik dan menganugerahkan gelaran kebesaran kepada pembesarpembesarnya, termasuk Bendahara, Penghulu Bendahari, Laksamana dan Syahbandar. 5. Penurunan kuasa dari raja kepada pembesar-pembesarnya tidak sekali-kali bermakna pengecutan kuasa raja tadi, tetapi adalah yang sebaliknya. 6. Penurunan kuasa daripada raja kepada anakanda kesayangan boleh mencetuskan konflik di kalangan anakanak raja, maka berlakulah rebutan kuasa yang jatuh-
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
65
menjatuhkan yang berakhirkan pertumpahan darah di kalangan anak-anak raja. 7. Raja yang menganggap dirinya lebih kuat itu mahu raja di negara jiran yang menyembah kepadanya. 8. Raja yang kuat juga sedia membantu raja yang mencari perlindungan politik di negaranya untuk mendapatkan balik kuasanya. 9. Raja yang kuat juga tegas menyelesaikan konflik yang timbul dari masa ke masa 10. Raja yang berkuasa itu adalah juga yang sudah terjamin kedudukannya dengan rakyatnya pantang menderhaka 11. Raja yang berkuasa bergantung kuat pada pembesarpembesarnya untuk mengembangkan kuasanya 12. Raja dan pembesarnya yang cekap itu tunggak negara maju dengan rakyatnya bahagia. 13. Perbuatan Hang Tuah yang sanggup berkorban apa juga untuk rajanya tidak boleh dianggap perbuatan membodek, tetapi kelakuan yang paling mulia dalam masyarakat feudal. 14. Raja yang menakluki banyak negara lain juga tidak selamat untuk selama-lamanya. 15. Jatuh bangunnya negara juga kerana segala-galanya mempunyai kitaran hayatnya: yang hidup itu akan mati dan yang di atas itu akan turun ke bawah bila sampai masanya. 16. Kuasa mutlak raja juga disebabkan rakyat dilarang menderhaka selain mesti menaati semua perintah rajanya Selanjutnya perkara lain tentang kuasa raja-raja Melayu boleh didapati daripada cerita rakyat, termasuk Hikayat Langlang Buana dan Hikayat Raja Muda. Demikian juga sebaliknya kerana daripada hikayat-hikayat ini selain yang lain-lain, fakta dan faktur yang tersebut tadi dapat diperkukuhkan lagi. Walaupun tidak diketahui tarikh kedua-dua teks cerita rakyat itu dikarang, tetapi masyarakat Melayu sudah mempunyai ‟tribal chiefdom‟ yang terdiri daripada golongan pemerintah dan golongan yang diperintah. Selain itu, organisasi ‟tribal chiefdom‟ peribumi Melayu itu pasti berbeza daripada organisasi kerajaan yang 66
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
diperkenalkan di Era Hindu yang berdasarkan sistem kasta, dan juga organisasi kerajaan seperti di Pasai, Haru dan Melaka selepas kedatangan ugama Islam. Oleh sebab tidak ada sumber rujukan lain, perhatian kita akan diberi kepada cerita rakyat, terutamanya cerita penglipur lara, seperti Hikayat Raja Muda dan Hikayat Langlang Buana, dari tradisi lisan. Hikayat Raja Muda bermula dengan kisah negeri Benua Tua dengan rajanya Sultan Degar Alam, bersama-sama menteri, hulubalang, sida-sida bentera dan ‟banyak lasykar, tidak terpermanai banyak rayat tenteranya‟. Kuasa dan kehebatan raja itu digambarkan dengan kata-kata “baginda keluar ke peseban agung, lalu bersemayam di atas takhta singgahsana yang keemasan yang bertatahkan ratna mutu manikam berumbaiumbaikan mutiara dikarang, cukup dengan alat orang berjawatkan perkakas kerajaan, empat puluh hulubalang di kanan, empat puluh di kiri yang sedang menyandang pedang yang keemasan....” Selain menceritakan keajaiban, hikayat ini juga menceritakan adat istiadat di istana berhubung dengan kelahiran, perkahwinan, pertabalan dan kemangkatan. Di dalamnya juga terdapat episod gajah putih mencari raja untuk negeri yang tidak beraja. Kemuncak cerita teks ini adalah Raja Muda memerangi tujuh orang penyamun sebelum sampai ke rumah Nenek Kebayan bersama-sama isterinya, Puteri Bongsu. Seperti hikayat penglipur lara yang lain, adat mengadap raja dilakukan menurut piawainya dengan kata ungkapan berikut: Dari jauh menjunjung duli Sudah dekat langsong menyembah Terangkat kadam jari sepuluh Kuncup seperti sulur bakung Jari seperti susun sirih Berleher lembut berlidah lembut Menundukkan otak batu kepala Demikian juga penggambaran tentang keramaian dan keseronokan tetamu di majlis perkahwinan anak raja yang mengorbankan beratus-ratus ekor kerbau, lembu, kambing, ayam dan itik. Sudah pasti suasana perayaan perkahwinan anak raja itu tidak mampu ditanggung rakyat jelata, yang datang menjamu perut, mata dan telinga siang berganti malam dan malam bertukar Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
67
siang. Semakin hebat suasana semakin besarlah kuasa raja itu. Sampai di sini ingin disentuh kuasa raja dalam Hikayat Hang Tuah, Sejarah Melayu, Hikayat Raja Muda dan Hikayat Langlang Buana dengan serba sedikit maklumat yang didapati daripada pembacaan saya dari teks-teks yang lain. Secara ringkasnya: 1. Sultan menduduki puncak organisasi kerajaannya. Pemegang tampuk kerajaan, Bagindalah yang mempunyai kuasa yang paling besar bukan sahaja di dalam negerinya, tetapi juja jajahan takluknya. Kedudukannya sama seperti Yang Dipertuan Agung hari ini. Berkuasa mutlak, kata-kata Sultan adalah undang-undang yang mesti dituruti, selain Baginda juga hakim yang menjatuhkan hukuman. Sultan Mahmud Syah di Melaka yang telah menjatuhkan hukuman bunuh ke atas keluarga Bendahara Seri Maharaja tanpa usul periksa adalah contoh tentang besarnya kuasa mutlak Baginda, walaupun bukan semua sultan Melayu berkuku besi (authoritarian). Selain itu, Baginda adalah juga pusat perpaduan dan titik ketaatan rakyatnya. Ini membwa makna bahawa kekalahan Baginda adalah juga kekalahan negeri dan rakyatnya. 2. Bendahara yang memainkan peranan sebagai Perdana Menteri masa kini adalah ahli kabinet yang paling rapat hubungannya dengan Sultan. Perlantikannya mungkin juga kerana hubungan darah dan persaudaraannya dengan Sultan. Oleh sebab kebijaksanaan, keupayaan, kepimpinan, pengalaman dan kepercayaan dari anggota kabinet yang lain, Bendahara adalah juga penasihat utama kepada Sultan dalam hal ehwal antarabangsa, dalam negeri dan urusan negara penting yang lain. Beliaulah juga diamanahkan sebagai pemangku raja semasa lawatan Baginda melawati negara lain dan sementara menunggu anak raja yang masih kecil menjadi dewasa. Beliau juga mengetuai angkatan tentera dalam peperangan, selain bertanggung jawab ke atas keamanan negeri. Pendek kata, beliau adalah pelaksana segala perintah Sultan. 3. Penghulu Bendahari masa dahulu diamanahkan untuk mengutip hasil dalam negeri selain bertanggung jawab ke atas perbelanjaan pentadbiran kerajaan seperti Menteri Kewangan masa kini. Di Melaka dahulu, pembesar ini juga
68
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
4.
5.
6.
7.
bertanggung jawab menyimpan daftar bilangan hamba abdi. Temenggung yang bertanggung jawab melaksanakan undang-undang dan peraturan dalam negeri, menjaga keamanan negeri dan keselamatan harta benda itu lebih kurang sama dengan Menteri Dalam Negeri masa kini. Syahbandar yang bertanggung jawab mengurus dan mentadbir hal ehwal saudagar yang datang berniaga itu sama dengan tanggung jawab yang dipikul Menteri Perdagangan masa kini. Selain memastikan urusniaga berjalan dengan lancar, beliau juga adalah orang tengah bukan sahaja di kalangan saudagar, tetapi juga antara golongan saudagar dengan istana. Laksamana dikehendaki menjaga keamanan dan melindungi keselamatan awam. Beratnya tanggung jawabnya boleh dilihat pada Hang Tuah yang sanggup bergadai nyawa untuk melindungi keselamatan Sultan, mengiringinya membuat lawatan ke luar negeri dan membunuh musuh Bentara, sida-sida dan hulubalang
Selain barisan pembesar istana itu, ada banyak lagi orang juga memainkan peranan penting di istana dalam Hikayat Langlang Buana. Mereka adalah pawang, bomoh dan tukang nujum. Oleh sebab boleh berkomunikasi dengan makhluk lain di dunia kayangan, kedudukan mereka tidak kurang berbanding dengan pembesar istana yang lain dalam mengekalkan kuasa raja. Mereka juga rapat kepada raja kerana raja perlu meminta bantuan mereka untuk membuat ramalan tentang apa yang akan berlaku kepada Baginda dan negerinya. Dalam Hikayat Jambi terdapat kisah Tuan Telanai dibuang kerana diramalkan akan membunuh ayahandanya bila dewasa. Walaupun ramalan itu sukar diterangkan dengan ujian saintifik, tetapi ia terus diwarisi manusia sampai sekarang. Sehubungan itu, ahli falsafah seperti Plato, Aristotle, Stoics, Scholasitcis, Thomas Aquinas, Leibniz dan Georg Ernst Sthal di Eropah telah mengkaji kewujudan semangat, roh dan nyawa dalam pokok, binatang, selain manusia dan mendapati kepercayaan yang menitikberatkan aninimse itu disebut sebagai ‟folk, indigenous and ethnic religions‟ seperti Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
69
Shamanisme dan Hinduisme. Baru-baru ini terdapat percubaan daripada sesetengah sarjana untuk membezakan ‟folk religion‟ daripada ‟official religon‟. Titik-Titik Perubahan Kerana Perubahan Masa & Keadaan Persoalan yang selalu ditanyakan semasa memperkatakan kuasa mutlak raja adalah: tidakkah terdapat sekatan dan imbangan (check and balance) kepada kuasa raja yang zalim? Antara contoh kezaliman raja yang boleh dipetik dari Sejarah Melayu adalah Sultan Mahmud yang bukan sahaja telah membunuh Tun Mutahir, Tun Tahir dan Tun Ali (suami Tun Fatimah), tetapi juga memaksa Tun Fatimah menjadi isterinya. Akibat ketiadaan Tun Mutahir, pentadbiran Melaka menjadi semakin lemah sehingga mudah dikalahkan Portugis pada 1511. Kekalahan itu membuat Sultan mengarahkan pengarang Melayu mengarang Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu, antara banyak lagi teks historiografi yang lain, dengan niat untuk menyampaikan ajaran dan mesejnya. Antara mesej itu adalah perpaduan adalah asas kerajaan yang kuat, seperti kerajaan di bawah Sultan Mansor Shah dan Sultan Alauddin Riayat Shah yang banyak dibantu Bendahara Tun Perak dan pembesar yang lain. Dalam Hikayat Hang Tuah, model itu diperlihatkan raja Sang Maniaka yang dibantu Bendaharanya, Paduka Raja dan juga Laksamananya, Hang Tuah. Kesepakatan dan persefahaman di kalangan pembesar dan kesetiaan rakyat adalah anak kunci keselamatan negara. Berhubungan kontrak sosial antara raja dengan rakyat dalam Sejarah Melayu, izinkanlah saya memetik kata muafakat yang amat bersejarah itu: Maka sembah Demang Lebar Daun ”adapun Tuanku segala anak cucu patik sedia akan jadi hamba ke bawah Duli Yang diPertuan, hendaklah diperbaiki oleh anak cucu Duli Tuanku. Dan jika ia berdosa, sebesar-besar dosanyapun, jangan difadhihatkan, dinista dengan katakata yang jahat, jiklalau besar dosanya dibunuh, itupun jikalau berlaku pada huku Syarak.” Maka titah Sang Sapurba: “Akan pinta bapa itu hamba kabulkanlah, tetapi hamba pinta satu janji pada bapa hamba.” 70
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Maka sembah Demang Lebar Daun: “Janji yang mana satu itu Tuanku?” Maka titah Sang Sapurba: “Hendaklah pada akhir zaman kelak anak cucu bapa hamba jangan derhaka pada anak cucu kita, jikalau ia zalim dan jahat pekerti sekalipun.” Maka sembah Demang Lebar Daun: “Baiklah, Tuanku. Tetapi, jikalau anak buah Tuanku dahulu mengubahkan dia, maka anak cucu patik pun mengubahkanlah.” Maka titah Sang Sapurba: “Baiklah, kabullah hamba akan waadat itu. (Sejarah Melayu 1995: 19-20) Nilai dialog itu tidak kurang pentingnya daripada nilai dialog Aristotle di Yunani purba. Moral cerita di sebalik dialog itu adalah pihak pemerintah dan pihak yang diperintah perlu saling mengawal agar kedua-duanya tidak melampaui batasan yang dipersetujui. Ini disebabkan kedua-dua pihak mempunyai kelemahan dan kekuatannya. Selain itu, semangat saling bergantungan itu adalah kepala engin keretapi yang membawa gerabak keseluruhan masyarakat ke landasan demokrasi yang kononnya telah dipelopori Aristotle di Yunani purba. Pendapat itu ternyata adalah kurang tepat kerana dalam masyarakat Melayu feudal sudah juga tertaman bibit-bibit demokrasi dan perkongsian kuasa kerajaan yang masih diperjuangkan di banyak negara sehingga kini. Ini juga disebabkan kezaliman, fitnah-menfitnah, perbuatan rasuah dan penyelewengan kuasa dalam masyarakat feudal itu masih berlaku di banyak negara masa kini. Pokoknya banyak pemimpin masa kini pandai menanam tebu di bibir semasa kempen pilihanraya. Mereka ‟bikin lain daripada yang dicakap‟ tetapi mahu rakyat yang memilih mereka ‟ikut cakap aku, jangan ikut perbuatanku‟. Pendokumentasian kuasa raja Melayu menurut tradisi kepengarangan tradisional sudah berbeza dalam teks historiografi Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
71
yang ditulis pada 1900an. Dalam Hikayat Pahang, misalnya, tidak ada lagi unsur pembukaan negeri dan keturunan raja Melayu diselubungi unsur mitos. Perhatian diberi kepada campur tangan British dalam urusan politik di Pahang sekaligus menghakiskan kuasa raja di Pahang, seperti Raja Haji Ali memperkatakan campur tangan penjajah Belanda di Riau sebelemnya. Dalam Hikayat Pahang diceritakan pihak British menggunakan pembunuhan You Hal, seorang Cina, yang didakwa British sebagai rakyat British untuk campur tangan dengan menghantar Frank Swettenham dan Hugh Clifford ke Pahang. Kes itu adalah sama dengan kes pembunuhan Birch di Perak. Atas nasihat Sultan Johor, Sultan Ahmad di Pahang menerima penasihat British dengan J. P. Roger dihantar sebagai Residen British di Pahang. Dengan ruang baru yang terbuka itu, pihak British memperkenalkan undang-undang British yang membolehkannya membawa masuk tentera Sikh untuk menjaga keselamatan. Selain itu, pembesar-pembesar Melayu tidak berpuas hati juga kerana kuasa yang ada pada mereka untuk mengutip cukai sudah terlucut. Kalau sebelum itu, semua saudagar dikehendaki membayar cukai atas hasil hutan, kayu gaharu, damar, pembalakan, perlombongan, antara yang lain-lain, kepada penghulu dan orang kaya di Pahang; tetapi ekuran campur tangan British, mereka hanya dibayar gaji $50 sebulan. Selain itu, perubahan lain sudah berlaku dengan kemasukan modal asing dan penubuhan syarikat seperti Penjom Mining Company, Selising Mining Company dan Kuala Pahang Sawmill Company. Selain itu, kuasa Sultan Pahang di negerinya seperti di banyak negeri yang lain sudah berpindah dan berpusat di tangan orang putih dengan penubuhan Negeri-Negeri Melayu Bersekutu yang terdiri daripada gabungan Pahang, Perak, Selangor dan Negeri Sembilan. Perkembangan yang berlaku di Pahang, misalnya, adalah contoh pemindahan kuasa politik dan ekonomi raja-raja Melayu di satu pihak dan pemusatan kedua-dua kuasa itu di tangan orang British dan Belanda di Alam Melayu di satu pihak yang lain. Sebahagian daripada perubahan kuasa itu boleh dirujuk dalam senarai kronologi beberapa peristiwa sejarah di Alam Melayu dari 500 hingga 1700an di Lampiran. Pendek kata penghakisan kuasa raja-raja Melayu sudah bermula sejak kejatuhan Melaka pada 1511 sehinggakan raja-raja Melayu sudah ‟dikurungkan‟ di istana pada pinggir abad 19 setelah kehilangan kuasa politik dan ekonomi sedikit demi sedikit sebelumnya. 72
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Inilah yang dimaksudkan dengan kenyataan bahawa raja-raja Melayu yang berkuasa mutlak dahulu sudah menjadi ‟figurehead‟ pada pinggir abad ke 19. Dari banyak segi, era moden yang bermula dengan revolusi perindustrian di England adalah era yang paling menyedihkan di Alam Melayu yang bukan sahaja mengalami penjajahan politik, tetapi juga penjajahan ekonomi, lebih-lebih lagi penjajahan mental. Cengkaman penjajahanpenjajahan itu telah mengubah pandangan orang Melayu secara umum terhadap diri dan juga orang lain, lebih-lebih lagi tuan penjajah. Rujukan Bukhari al-Jauhari, 1992. Tajus-Salatin. Diselenggarakan Khalid M. Hussain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hikayat Hang Tuah. 1975. Diselenggarakan Kassim Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hikayat Langlang Buana. Diselenggarakan oleh Mohd Yusof Md Noor. Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti, 1998. Hikayat Pahang. Diusahakan oleh Kalthun Jeran. Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti, 1997. Hikayat Raja Muda. [Diceritakan oleh] Pawang Ana dan Raja haji Yahya. Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti, 1998. Jelani Harun, 2008, Undang-Undang Kesultanan Melayu Dalam Perbandingan. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia. Hukum Kanan Pahang, Diselenggarakan oleh Yaakub Isa. Pekan: Lembagas Muzium Negeri Pahang, 2003. Majumdar, R. C., 1963, Hindu Colonies in the Far East. Calcutta: K. L. Mukhopadhyay. Salasilah Melayu dan Bugis, 1984, Diselenggarakan Mohd Yusoff Hashim Md Nor. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti. Sejarah Melayu, 1995, Edisi W. G. Shellabear. Shah Alam: Penerbit Fajar Bakti, Sulalatus-Salatin, 1979, Diselenggarakan A. Samad Ahmad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Windstedt, R. O, 1932, „Bendaharas and Temenggungs‟. JMBRAS 10:1 hlm. 55-66 Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
73
_______ _, 1932, Early Rulers of Perak, Pahang and Acheh. JMBRAS 10:1 hlm. 32-44 ________, 1932, A History of Johor. JMBRAS 10:3 hlm. 164-170
74
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Abstrak Hikayat Teungku di Meukek adalah sebuah teks sastra Aceh yang menukilkan berbagai peristiwa sejarah dan penuh dengan pesan sosial dan politik. Wacana yang diungkapkan cukup relevan kepada para pembaca kolonial yang berpegang kepada perspektif orientalisme, dan juga pada pembaca pribumi kini yang berpegang pada perspektif poskolonialisme. Tulisan ini menjelaskan tentang pengaruh kolonial dalam hikayat tersebut. Naskah Hikayat Teungku di Meukek7 ini merupakan salah satu naskah lama yang isinya menggambarkan perlawanan rakyat yang digerakkan oleh seorang pemimpin agama terhadap Uleebalang di daerah Meulaboh yang didukung oleh Belanda. Hikayat ini ditulis untuk mengabadikan persengkataan antara kedua belah pihak tersebut, dan untuk melihat bagaimana perlawanan masyarakat terhadap pihak kolonial. Dari karya sastra tersebut bisa kita lihat adanya pengaruh kekuasaan dalam hikayat ini pada masyarakat Aceh dulu. Dalam tulisan ini dapat dilihat adanya pendekatan poskolonial dalam pengkajian sastra, karena kritik poskolonial menganalisis karya-karya yang diproduksi oleh masyarakat dan budaya sebagai respon terhadap dominasi kolonial dari masa kolonialisme sampai sekarang.
* Mahasiswa Universitas Gajah Mada. Dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected] 7 Meukek merupakan nama salah satu kecamatan di kecamatan Aceh Selatan. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
75
Kata Kunci: Hikayat Teungku di Meukek, perlawanan, poskolonial. Pendahuluan Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipadu dengan gaya imajinasi dan kreasi yang didukung oleh pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut (Djojosuroto, 2006:77). Hakikat karya sastra adalah bercerita yang merupakan bentuk dari hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Djojosuroto, 2006:77). Di Indonesia terlalu banyak peninggalan warisan budaya nasional yang saat ini belum terungkapkan berserakan di seluruh pelosok tanah air, baik yang berada di tangan masyarakat tanpa perawatan yang berarti maupun yang masih terpendam tanpa diketahui di mana adanya. Warisan budaya nasional yang masih banyak disimpan oleh masyarakat tersebut di antaranya adalah naskahnaskah kuno, yang merupakan warisan intelektual bangsa Indonesia. Hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakikatnya merupakan bagian dari cagar budaya nasional kita. Semua itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan bahan penelitian untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan berbagai bidang ilmu. Karya sastra lama akan dapat memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya. Naskah merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Naskah mempunyai dimensi dan makna yang sangat luas karena merupakan hasil tradisi yang 76
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
melibatkan berbagai keterampilan dan sikap budaya. Isi naskah tidak terbatas hanya pada kesusastraan, akan tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti pengetahuan agama, sejarah, hukum adat, obat-obatan, teknik dan lain-lain. Salah satu naskah kuno yang mengandung warisan rohaniah, pemikiran dan cita-cita nenek moyang bangsa Indonesia adalah Hikayat Teungku di Meukek. Hikayat dalam bahasa Aceh berarti penyampaian cerita secara lisan. Hikayat sering disampaikan dalam irama lagu yang indah agar dapat menarik perhatian para pendengarnya. Terdapat banyak jenis hikayat di Aceh. Dalam ungkapan Aceh beuet-(ba-) berarti membaca hikayat; peugah, berarti menceritakan hikayat; ruhe, berarti hikayat jenaka yang tidak mengisahkan sesuatu, tetapi merupakan fantasi pengarang yang kadang-kadang didasarkan kepada pengalamannya sendiri atau orang lain; neuba mangat that s., Ia Meu-, mempunyai Hikayat. Membaca hikayat oleh orang yang mengisahkan Nadham dan Sanjak (Sakti dan Dally, 2002:7). Hikayat masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Aceh sampai sekarang sebagaimana terlihat dalam resitasi8 yang dilakukan masyarakat bahkan untuk mempermudah dalam membacanya banyak hikayat yang sudah dicetak yang disebut dengan “litho graphi”9 dan ditransliterasi ke latin seperti melalui peredaran yang dilakukan oleh berbagai penerbitan atau toko buku di Aceh sekarang (Seno, 2002:19). Hikayat ini merupakan salah satu hikayat populer dan diminati masyarakat Aceh. Naskah ini juga memberi pengaruh yang kuat bagi masyarakat Aceh, terutama bidang kebudayaan yang terkandung dalam naskah, sehingga hampir seluruh masyarakat Aceh, terutama tokoh-tokohnya, mengadopsi ilmu yang terdapat dalam naskah lama tersebut, terutama pengetahuan tentang adatnya. Naskah ini memuat nilai-nilai penting yang perlu dipelajari masyarakat Aceh sejak dulu, yang hingga sekarangpun masih berlaku di dalam masyarakat Aceh. Hikayat juga mengisi waktu senggang masyarakat Aceh, sehingga Aceh terkenal 8 9
Resitasi adalah pembacaan hafalan atau pengajian di muka umum. Litho Graphi adalah cetakan batu yang menggunakan mesin
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
77
dengan kekayaan literaturnya. Teungku adalah gelar tokoh agama atau orang yang taat beribadah dalam masyarakat Aceh, sedangkan Meukek adalah nama tempat atau daerah yang terdapat di Kabupaten Aceh Selatan. Teungku di Meukek datang ke Rundeng10 untuk menyebarkan agama Islam dan akhirnya menetap di daerah Rundeng. Beliau sangat disegani oleh masyarakat Rundeng, sehingga para penguasa disekitar wilayah tersebut tidak senang dengan kehadirannya. Hikayat Teungku di Meukek ini merupakan salah satu karya sastra lama yang dikarang oleh masyarakat Aceh karena melihat persengketaan yang terjadi di kalangan masyarakat Aceh pada masa itu. Terjadi konflik antara masyarakat Aceh dengan para Uleebalang11 di bawah pemerintahan Belanda, karena Belanda menghasut para Uleebalang untuk menyerang Teungku di Meukek. Dari hikayat di atas kita bisa melihat bahwa ada pengaruh poskolonial dalam hikayat tersebut, yaitu campur tangan Belanda untuk menghasut para Uleebalang yang iri dan tidak senang dengan kehadiran Teungku di Meukek. Atas bantuan pemerintahan Belanda para Uleebalang kemudian menyerang daerah Rundeng. Isi ringkas Hikayat Teungku di Meukek Hikayat Teungku di Meukek ini berasal dari naskah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh G W.J. Drewes pada tahun 1980 dengan judul Two Achehnese Poems. Terjemahan tersebut diperoleh dari Wamad Abdullah di Banda Aceh pada bulan Juni 1982. Buku terjemahan setebal 99 halaman dengan ukuran 23 X 16 cm. ini teks bahasa Acehnya telah disunting dengan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Hikayat ini merupakan hikayat lama dan sudah pernah dibicarakan oleh Dr. Snouck Hurgronje dalam 10 11
Rundeng merupakan nama salah satu kelurahan di Meulaboh Aceh Barat . Uleebalang merupakan merupakan kepala tentara. Ulee balang merupakan gelar yang diberikan kepada orang-orang besar dan penguasa-penguasa di dalam daerah kesultanan sendiri atau di seluruh Negara pada masa dulu.
78
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
bukunya, edisi Inggris The Achehnese (Harun,1983:7). Drewes mencatat dua buah naskah hikayat Teungku di Meukek di Leiden University Library. Menurut Drewes hikayat ini merupakan karya asli pengarang Aceh, bukan terjemahan atau saduran dari karya asing, seperti hikayat Aceh lainnya. Tidak ada catatan mengenai tahun penulisan kedua karya tersebut (Harun,1983:7). Penyalin hikayat ini ialah Panglima Nyak Amin yang mendapat naskah aslinya dari Juhan Muda Pahlawan, yaitu putra Lila Peukasa, penguasa Meulaboh pada masa itu. Pengarang aslinya adalah Teungku Malem, penduduk asli Trumon12 yang tinggal di kampung Peunaga13 karena kawin dengan seorang wanita dari Peunaga (Harun,1983:7). Penyair mengabadikan sengketa yang berlangsung dalam tahun 1893 dan 1894 antara tokoh-tokoh penguasa Meulaboh yang bersahabat dengan Belanda, dan kelompok perlawanan yang bermarkas utama di Rundeng dan dipimpin oleh tokoh suci Teungku di Meukek (Hurgronje,1985:124). Syekhuna, demikian sebutan ulama yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Teungku di Meukek karena perlawanannya terhadap Belanda. Ulama tersebut memperkuat kedudukannya di Rundeng, dekat Meulaboh, sambil menyebarluaskan ilmu agama serta mendirikan kubu-kubu pertahanan dengan tujuan melawan Belanda. Dari berbagai kampung orang berdatangan untuk memuliakan Teungku di Meukek dengan membawa berbagai buah tangan sebagai hadiah. Kegiatan Teungku di Meukek memperkuat negeri Rundeng dianggap oleh para Uleebalang yang berkuasa sekitar negeri itu sebagai mengganggu ketertiban dan keamanan. Belanda yang mengetahui hal itu segera memanggil para Uleebalang dan menghasut mereka supaya menyerang negeri Rundeng dan melawan Teungku di Meukek, seraya membekali mereka dengan alat senjata yang diperlukan. Para Uleebalang yang berkedudukan sebagai raja menyambut baik bantuan Belanda dan mempersenjatai anak negeri. 12 13
Trumon merupakan sebuah daerah di Kabupaten Aceh Selatan. Peunaga merupakan nama wilayah di Aceh Barat.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
79
Di bawah pimpinan Raja Lila Perkasa dari Meulaboh, rakyat siap menyerang Rundeng. Begitu rakyat Rundeng dan Teungku di Meukek mendengar berita bahwa pihak Belanda akan membantu para Uleebalang, mereka semakin giat memperbanyak bentengbenteng pertahanan dan mengatur siasat perang di masing-masing tempat. Dengan semangat yang tinggi dan dengan khutbahnya yang berapi-api, Teungku di Meukek mengumumkan perang jihad fisabilillah melawan Belanda dan kaki tangannya, Lila Perkasa. Tanggal enam dianggap hari yang paling baik untuk memulai perang menyerang Rundeng. Di bawah pimpinan Teuku Panglima Dalam, Teuku Haji Ben, Panglima Nyak Yeb dan berpuluh-puluh panglima lainnya secara serentak rakyat Meulaboh menyerang Rundeng dari segala jurusan. Selama beberapa hari pertempuran berlangsung, satu demi satu kubu pertahanan Rundeng jatuh ke tangan Uleebalang, antara lain: Kuta Nibong, Kuta Asan, Padang Sirahet dan Kuta Sijaloh.14 Ketika peperangan sedang berlangsung di Rundeng, para pembesar Belanda di Kutaraja memutuskan untuk mengirimkan bala bantuan guna membantu Raja Lila Perkasa melawan Teungku di Meukek. Beberapa hari kemudian tiga buah kapal perang Belanda berlabuh di Lhok Meulaboh. Sejumlah serdadu didaratkan dan langsung menyerang Rundeng, sementara meriammeriam kapal terus menerus menembaki kubu-kubu pertahanan kaum pejuang. Korban berjatuhan di pihak kaum muslimin. Kemudian peperangan terhenti seketika. Di dalam tubuh pejuang sendiri terjadi keretakan. Orang-orang yang berasal dari Woyla15 dan Bubon meninggalkan Teungku di Meukek. Tanggal dua puluh tujuh bulan Ramadan, Teungku di Meukek keluar dari benteng pertahanannya setelah melakukan sembahyang dan berdoa kepada Tuhan agar dapat mengusir musuh. Sambil berzikir, di malam yang gelap itu Teungku di Meukek pergi dari satu benteng ke benteng musuh yang lain. Dalam malam yang gelap gulita disertai hujan lebat Teungku di Meukek masuk ke dalam benteng Kuta Haji Sarong seraya 14
Nibong, Kuta Asan, Padang Sirahet dan Kuta Sijaloh merupakan wilayah di Kota Meulaboh, Aceh Barat. 15 Woyla merupakan nama salah satu kecamatan di Aceh Barat 80
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
menanyakan kepada seorang pengawal di mana Haji Sarong dan Teuku Panglima Dalam berada. Sebelum sempat memberi jawaban pedang Teungku di Meukek sudah merengut nyawa pengawal itu. Maka terjadilah keonaran dan huru-hara di malam yang gelap itu. Teungku di Meukek melawan para pengawal benteng. Setelah terjadi pertarungan singkat, para pengawal terpaksa melarikan diri meninggalkan benteng yang dikuasai Teungku di Meukek. Beberapa saat kemudian Teuku Panglima Dalam dan Teungku Haji Sarong, yang sedang mengunjungi Kuta Nibong datang mencari Teungku di Meukek setelah mendengar peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika Teuku Panglima Dalam berhadapan dengan Teungku di Meukek di kegelapan malam itu, tiba-tiba Panglima Muda yang ikut serta dengan Teuku Panglima Dalam melepaskan tembakan. Teungku di Meukek roboh dan tewas seketika. Keesokan harinya mayat Teungku di Meukek diambil oleh Belanda dan dibawa berlayar. Tidak ada orang yang mengetahui ke mana mayat Teungku di Meukek dibawa dan di mana dikuburkan. Dengan syahidnya Teungku di Meukek, para Uleebalang dan Belanda dapat berkuasa kembali dengan leluasa (dikutip dari transliterasi Hikayat Ranto ngon Hikayat Teungku di Meukek, transliterasi Ramli Harun, 1983). Hikayat ini berakhir dengan kematian Teungku di Meukek. Di sini nampak salah satu kekhasan orang Aceh. Sang penyair, walau berada di pihak pemerintah Belanda, menggambarkan Teungku di Meukek sebagai seorang syahid dan para pengikutnya sebagai wakil-wakil agama. Tidak peduli di pihak mana seorang Aceh berada, ia selalu menggambarkan musuh kaum kafir sebagai pendukung perjuangan yang benar (Hurgronje,1985:124). Untuk menafsirkan atau mengkaji persoalan ini, teori yang cukup relevan digunakan adalah Teori Poskolonial. Teori Poskolonial adalah teori kritis yang mencoba mengungkapkan kesadaran bahwa sesudah sekian lama waktu berjalan, ada masalah-masalah yang perlu dipertimbangkan yang sebelumnya belum disadari, akibat negatif yang ditinggalkan oleh kolonialisme Barat. Akibat yang dimaksudkan adalah tidak lebih Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
81
bersifat degradasi mental. Poskolonial mencakup tiga kemungkinan pilihan perhatian, yaitu: pertama, pada kebudayaan masyarakat yang pernah mengalami penjajahan Eropa, baik berupa efek penjajahan yang masih berlansung sampai pada masa poskolonial maupun transformasinya ke dalam bentuk-bentuk yang disebut neokolonialisme (internal maupun global); kedua, respon perlawanan atau wacana tandingan dari dalam masyarakat terjajah ataupun yang lainnya terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada kemungkinan adanya ambiguitas atau ambivalensi; dan ketiga, segala bentuk marginalitas yang diakibatkan oleh segala bentuk kapitalisme (Faruk, 2007:15) Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa poskolonial ingin menggugat praktik-praktik kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Dengan perkataan lain, poskolonial sebagai alat atau perangkat kritik yang melihat secara “jernih” bagaimana sendisendi budaya, sosial dan ekonomi digerakkan untuk kepentingan kelas dominan atau pusat. Poskolonial mencoba membongkar mitos-mitos yang “mengerdilkan” daya kritis dari penguasaan hegemoni melalui gerakan budaya dan kesadaran yang subtil (Anderson,1999:8). Untuk itu dapat dikatakan bahwa poskolonial adalah perlawanan sehari-hari, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ben Anderson bahwa sebentuk mode atau siasat perlawanan massa rakyat kecil tanpa politik yang dilakukan dengan gerakan “picisan” untuk mengkaji ulang “politik modern” identitas adiluhung kalangan elite yang (sedang) berkuasa (Anderson,1999:9). Pengaruh poskolonial dalam hikayat Teungku di Meukek Kajian poskolonial adalah salah satu kajian akademis yang berkembang setelah tahun 1980-an. Perkembangan ini sebagai dampak pemikiran teori kritis dan posmodern yang mewarisi pemikiran Nietszhe, seperti: Heidegger, Derrida, Michel 82
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Foucault, Bataille dan lain sebagainya. Ada karakteristik yang sama dan menjadi ciri utama teori kritis dan postmodern yaitu bahwa teori sosial berguna untuk meningkatkan kesadaran dan wawasan yang lebih memungkinkan perubahan lingkungan sosial budaya secara rasional dan lebih manusiawi. Hal ini terlihat jelas pada kajian poskolonial. Oleh karena itu, Akhyar mengemukakan bahwa teori kritis dan posmodern berjasa besar dalam menumbuhkan kesadaran di kalangan ilmuwan bahwa dalam praktek-klasifikasi ilmiah, pemahaman dan penelitian tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan, kekuasaan, dan ideologi (Ahyar,2006:199). Menurut Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum oriental) yang merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi sosial-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka. Karena itu pandangan dan teori-teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif sebagaimana mereka duga. Edward Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori Kritis sebagai dasar untuk teori poskolonialnya. Edward Said menggunakan pemikiran tokoh tersebut untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang di kemukakan kaum kolonialis dan orientalis (Baso,2005:59). Foucault, menyatakan bahwa semua ilmu pengetahuan adalah satu bentuk ekspresi “kehendak untuk berkuasa”. Ini berarti bahwa kita tidak mungkin berbicara tentang kebenaran yang mutlak atau tentang pengetahuan yang objektif. Bukan lagi rahasia umum bahwa segala sesuatu yang dipaksakan Barat pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, selalu bersifat subjektif. Naskah hikayat Teungku di Meukek merupakan salah satu hikayat yang membahas persengketaan antara masyarakat Aceh pada masa itu terhadap Belanda, sehingga masyarakat Aceh pun melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial telah terjadi naratif heroik baik di Indonesia maupun di tempat-tempat lain, perjuangan melawan para penjajah dan kobolator mereka tidak Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
83
hanya menggerakkan banyak orang, tetapi juga memberikan tujuan moral yang jelas (Faulcher dan Day, 2002:468). Pemerintah pascapenjajahan tetap juga pemerintah, dan ketika para pemegang kekuasaan bergandengan tangan dengan militer yang kuat serta modal internasional untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka, kemungkinan besar jauh lebih eksploitatif dan membelenggu daripada yang pernah dicapai oleh pemerintah penjajah itu sendiri (Faulcher dan Day, 2002:468). Mengenang kembali revolusi bisa menjadi salah satu cara bagi suatu rezim untuk mengklaim legitimasi, tetapi juga menjadi cara untuk mengkritik rezim sekarang karena mengkhianati cita-cita terdahulu (Faulcher dan Day, 2002:468). Hikayat Teungku di Meukek menyajikan suatu ulasan yang jelas tentang sejarah Aceh dan wawasan yang cemerlang mengenai kondisi Aceh pada saat itu, bahkan mempunyai nilai sejarah khusus. Karya ini mempunyai latar belakang sejarah yang cukup jelas walaupun fakta-faktanya dicerminkan melalui medium imajinatif yang seluruhnya bersesuaian dengan ciri-ciri khas Aceh. Penjelasan-penjelasan menarik tentang kejadiankejadian sederhana, fakta sejarah yang sebenarnya. Kita dapat lihat bagaimana Belanda menghasut Uleebalang untuk memerangi Teunku Meukek di Rundeng, seperti kutipan di bawah ini, Raja Beulanda atejih sosah Jikeumeung pinah sinan Syekhuna Jimupakat sabe keudroe-droe Tapangge jinoe raja raja 'Oh ka tapangge dum Uleebalang Dudoe tayue prang bakjih teuma Meunankeu pakat di kompeuni Ban narit jibri ka ubak raja Nanggroe Rundeng jak leh taprang Beulanja tuan ulon peuna Han sep siribee dua lhee ribee 84
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Bek kamalee kaprang lanja Peue meusaket atra kompeuni Jinoe kubri keu beulanja Nyankeuh teuku cuba pike Ubat beude ulon peuna Artinya: Raja Belanda hatinya susah Dia ingin mengusir syekhuna atau Teungku di Meukek Mereka melakukan muwafakat dengan sesamanya(Belanda) Untuk memanggil setiap para raja atau para Uleebalang Setelah dipanggil para Uleebalang Kemudian kita ssuruh perang sama mereka Begitulah muwafakat para kompeni Begitulah khabar yang disampaikan sama raja Negeri Rundeng mari kita perang Semua keperluan tuan akan kami sediakan Tidak cukup siribu dua ribupun kami kasih Jangan kalian pikirkan kita perang saja Jangan kalian susah dengan harta kompeni Sekarang kami berikan untuk belanja Sekarang coba anda pikirkan Kalau masalah senjata ada sama kami Kutipan di atas menjelaskan bahwa Belanda mengajak dan menghasut para Uleebalang untuk menyerang Teungku di Meukek di Rundeng, bahkan Belanda juga menyiapkan semua fasilitas yang diperlukan para Uleebalang baik uang maupun senjata seperti yang digambarkan dalam hikayat. Belanda berhasil menghasut para Uleebalang karena para Uleebalang juga sangat membenci Teungku di Meukek karena Teungku di Meukek adalah seorang pendatang yang datang ke daerah Rundeng untuk menyebarkan ajaran Islam. Selain itu Teungku di Meukek juga telah membuat daerah Rundeng maju dan terkenal. Sebab lain yang membuat para Uleebalang membenci Teungku di Meukek karena orang dari wilayah-wilayah yang dekat dengan Rundeng Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
85
juga banyak yang berdatangan untuk belajar pada Teungku di Meukek, terutama belajar ilmu agama. Dalam hikayat tersebut digambarkan bahwa Belanda sudah lama ingin menguasai wilayah Rundeng serta sudah pernah mencoba mejajah Rundeng dan wilayah di sekitarnya, tapi tidak pernah berhasil karena orang Rundeng tidak terpengaruh dengan kedatangan Belanda di wilayah tersebut. Masyarakat juga menolak kedatangan kolonialis ke wilayah mereka. Oleh karena itu, Belandapun menghindar dan tidak berani melawan Teungku di Meukek yang memimpin wilayah Rundeng pada masa itu, karena Teungku di Meukek terkenal sangat kuat dan sangat sukar untuk ditaklukkan. Meski demikian, Belanda mengetahui bahwa para Uleebalang Meulaboh merasa sakit hati pada Teungku di Meukek dan ingin menyerang wilayah Rundeng tersebut, maka Belanda mulai mengatur siasat, yaitu menggunakan kesempatan untuk bekerja sama dengan para Uleebalang. Hikayat Teungku di Meukek menunjukan adanya ketidaksesuaian antara masyarakat Aceh di satu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga muncul perlawanan masyarakat Aceh pada saat itu. Hikayat ini juga menggambarkan bagaimana sosok seorang ulama dalam menyebarkan Islam di jalan Allah. Hikayat ini memberikan gambaran perjuangan seorang dalam menghadapi penjajahan dan secara tegas menggambarkan bahwa musuh utama adalah orang Belanda yang tampil sebagai wakil semua bahaya yang mengancam mereka dari Eropa. Hikayat Teungku di Meukek juga menggambarkan kesabaran kepada kita, bahwa walaupun Teugku di Meukek dihina dan dicemoohkan oleh para Uleebalang dan Belanda, beliau tetap menjalankan tugasnya sebagai ulama. Bahkan Teungku di Meukek dalam peperangan melawan Belanda dan Uleebalang dibantu oleh para ulama-ulama lain dan oleh seluruh warga Rundeng dan sekitarnya. Hampir setiap masyarakat dan para ulama membantunya dalam melawan para penjajah. Hal ini menunjukkan adanya semangat yang luar biasa pada masyarakat dalam membantu Teungku di Meukek untuk melawan para Uleebalang dan penjajah. 86
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Oleh karena itu hikayat ini menampilkan ideologi berupa seruan dalam menyongsong ke arah perbaikan, melawan penjajahan, dan mempertahankan wilayahnya dari tangan penjajahan. Hikayat ini menunjukkan perjuangan masyarakat dalam praktek politik nyata serta berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis atau orientalis. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Chatterjee tentang identitas kultural yaitu sebagai salah satu cara untuk melawan campur tangan kolonial (Faulcher dan Day, 2002:253). Perjuanganperjuangan sosial dalam praktek politik nyata. Ia berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis atau orientalis. Dalam Hikayat ini terdapat paparan yang cemerlang, tentang bagaimana sikap para penjajah terhadap masyarakat Aceh, dan menunjukkan bagaimana respon masyarakat Aceh yang tertindas pada masa itu. Kesabaran yang kuat dalam ketertindasan memunculkan semangat dan bekerja sama melawan penjajahan. Simpulan Hikayat Teungku di Meukek merupakan salah satu karya sastra lama yang ditulis dalam bahasa Aceh. Hikayat ini menggambarkan tentang perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintahan kolonial yang menghasut para Uleebalang. Dalam hikayat ini terlihat adanya perjuangan-perjuangan sosial dalam praktek politik nyata. Ia berhasil menunjukkan adanya permainan kuasa dan pengetahuan dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis atau orientalis. Adapun naskah ini menceritakan tentang perlawanan terhadap para penjajah maka poskolonial ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Teori poskolonialisme dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
87
Daftar Pustaka Anderson, Benedict, 1999, Komunitas imajiner; Renungan tentang asal-usul dan penyebaran nasionalisme (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar- Insist. Baso, Ahmad, 2005, Islam pasca-kolonial: perselingkuhan agama. Kolonialisme dan liberalisme. Bandung: Mizan Pustaka. Dally, Ramli A. dan Teuku Abdullah Sakti, 2002, Hikayat Akhbarul Karim. Transliterasi dan terjemahan. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi NAD. Djojosuroto, Kinayati, 2006, Analisis teks sastra dan pengajarannya. Cet 1. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Faruk, 2007, Belenggu pasca-kolonial. Hagemoni dan resistensi dalam sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Faulcher dan Tony Day, 2006, Clearing a space. Kritik pascakolonial tentang sastra Indonesia modern (terj). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Harun, Ramli, 1983, Hikayat Ranto Ngon Hikayat Teungku di Meukek. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hurgronje, C. Snouck, 1985, Aceh dimata kolonialis. Jilid II. Jakarta: Yayasan Soko Guru. Seno, 2002, „Mitos dan fakta Hikayat Raja-raja Pasai (Kisah tentang pelanggaran hukum yang menyebabkan kehancuran)‟. Buletin Haba edisi 24. Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh. Yusuf Lubis, Akhyar, 2006, Dekonstruksi epistemologi modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
88
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Abstrak Kesultanan Buton memiliki banyak peninggalan naskah yang umumnya berada dalam wilayah kraton. Naskah-naskah tersebut ditulis oleh para pembesar kerajaan. Para sultan umumnya memiliki peranan yang cukup besar dalam proses tradisi tulis dalam lingkungan Kesultanan Buton. Hasil karya para sultan tidak hanya berupa naskah yang berbahasa Wolio tetapi juga berbahasa Melayu dan Arab. Kata kunci: Sultan, Tradisi Tulis, Buton. Pendahuluan Penyebaran Islam berlangsung sangat cepat dalam lingkungan masyarakat Nusantara. Agama Islam diperkenalkan dengan tidak membedakan status sosial dalam masyarakat. Daerah-daerah di sekitar pesisir pantai umumnya lebih cepat menerima agama Islam, terutama yang menjadi jalur pelayaran di masa silam.
* Dosen Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau Sulawesi Tenggara. Alumni Universitas Padjadjaran Bidang Kajian Utama Filologi. ** Dosen Pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau Sulawesi Tenggara. Alumni Universitas Negeri Makassar Bidang Kajian Utama Sosiologi.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
89
Agama yang dibawa oleh para pedagang Arab ini lebih mudah diterima di kalangan masyarakat Nusantara. Setelah agama Islam diterima oleh masyarakat tempat mereka melakukan perdagangan, para pedagang tersebut mulai mempelajari kultur masyarakat agar Agama Islam lebih cepat berkembang di lingkungan masyarakat lokal tersebut. Terkadang konsep kawin-mawin mereka lakukan agar agama Islam dapat lebih populer. Buton merupakan salah satu daerah yang terletak di salah satu jalur lintas dagang dari Jawa ke Maluku atau sebaliknya. Dengan demikian, Buton-pun termasuk yang menerima dampak Islamisasi di Nusantara. Islam sudah ada di Buton sejak tahun 933 H atau 1527 M, yaitu sebelum kedatangan Abdul Wahid, tokoh yang dianggap sebagai penyebar Islam di lingkungan masyarakat ini. Abdul Wahid mengislamkan Buton pada tahun 948 H atau 1541 M. Dalam salah naskah kanturuna mohelana dijelaskan bahwa ada pertemuan antara Turki, Kompeni, Buton, Bone, dan Ternate pada 1 Muharam 872 H atau 1467 M. Jika pencatatan 1 Muharram 872 Hijriah dalam sejarah itu dapat dijadikan pegangan dalam menelusuri masuknya Islam di Buton, maka sudah pasti Abdul Wahid bukan orang Islam pertama yang menginjakkan kakinya di Buton. Salah satu tradisi masyarakat setempat mengatakan bahwa Islam masuk di Lasalimu dibawa oleh Sultan Ternate, Baabullah. Mengenai hal ini dapat dijelaskan bahwa Baabullah hanya mengembangkan Islam saja, sebab Islam sudah ada di Buton beberapa lamanya sebelum kedatangan Baabullah di Buton dengan maksud melakukan pengembangan Islam pada tahun 1580. Keterangan mengenai tahun tersebut ditunjang dengan tulisan Ligtvoet (1878: 31) yang menjelaskan bahwa “Het eerste, dat ons omtrent de geschiedenis Van Boeton bekendis, is de verovering van dat rijk en den invoering van den Islam aldaar door de vorst van Ternate Baabullah in 1580, enz.” Masih berkaitan dengan kedatangan Baabullah tersebut, perlu dicatat bahwa ada sumber yang mengatakan bahwa Buton diislamkan melalui Ternate oleh Baabullah. Menurut penulis, sumber ini kurang bisa dibenarkan sebab kedatangan Baabullah di Buton adalah dalam tahun 1580, sedangkan masyarakat Buton sudah memeluk Islam sejak 948 H atau 1541 M. Kalau dikatakan 90
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
bahwa penganjur Islam, Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman, datang di Buton dengan terlebih dahulu mengadakan persinggahan di Ternate, mungkin hal itu dapat diterima. Berdasarkan tradisi masyarakat setempat, diyakini bahwa Guru Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman adalah Imam Pasai yang bernama Ahmad bin Qais Al Aidrus. Imam Pasai ini menyampaikan ajaran Islam kepada muridnya, Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman, dalam pertemuan di Batuatas atau mungkin dalam perjalanannya kembali dari Ternate. Dapat pula diduga bahwa kemungkinan besar Abdul Wahid melalui Ternate atau, sekurang-kurangnya, pernah berada di Ternate bersama gurunya, Imam Pasai. Setelah Islam masuk ke Buton, penduduk pribumi kemudian mempelajari dasar-dasar dari agama tersebut. Beberapa orang diantara mereka belajar konsep Islam sampai tingkatan tassawuf. Para cerdik pandai Islam di kalangan masyarakat Buton kemudian berinisiatif untuk mengembangkan ajaran agama Islam di seluruh wilayah Buton. Hasilnya, masyarakat Buton, khususnya kalangan Istana, melaksanakan sistem pemerintahan dengan dilandasi paham “Martabat Tujuh”. Paham tersebut ditetapkan menjadi ideologi negara dan setiap sultan wajib memahami ajaran agama Islam sampai pada tingkatan tarekat, karena hal tersebut menjadi salah satu prasyarat diangkatnya seseorang menjadi sultan atau perangkat kesultanan di Buton. Meskipun demikian tidak semua sultan di Buton dapat menuangkan pokok-pokok pikiran ajaran yang dianutnya. Dari 39 sultan di Buton, Muhammad Idrus Kaimuddin (sultan ke-29) yang memerintah tahun 1824-1851, merupakan salah satu yang mampu membawa Buton mencapai puncak kejayaan Islam. Meskipun demikian ada beberapa sultan, baik sebelum dan sesudah Muhammad Idrus Kaimuddin, yang menjadi penulis naskah-naskah Islam di Buton. Muhammad Idrus Kaimuddin, pada masa pemerintahannya, menuangkan pokokpokok pikiran ajaran dan pengetahuan keislamannya dalam bentuk karya tulis. Asal Mula Tradisi Tulis di Buton Salah satu daerah di kawasan Nusantara yang banyak menyimpan Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
91
naskah-naskah lama adalah Wolio (Buton) (lihat Chambert-Loir dan Fathurahman,1999). Secara geografis, daerah ini merupakan daerah kepulauan yang terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan berada di kawasan timur Indonesia. Sebagai kerajaan yang tumbuh dari suatu jaringan transmisi ajaran agama Islam di Nusantara, Buton tidak lepas dari kegiatan tulis menulis dan penyebaran hasil-hasilnya. Dari sejumlah naskah yang ditemukan, diketahui bahwa abad ke-16 dan abad ke-17 adalah periode paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631) diberlakukan undang-undang secara tertulis yang disebut dengan Martabat Tujuh (Ikram, 2001: 4; 2005: 8; Schoorl, 1985: 9; Yunus, 1995: 20; Zahari, 1977: 59; Zuhdi, 1996: 24). Dalam tradisi masyarakat setempat dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsauddin, setelah ditetapkannya undang-undang dasar, kerajaan kemudian membuat aturan-aturan yang berkaitan dengan wilayah-wilayah penyangganya atau yang disebut dengan daerah barata. Aturan yang diberlakukan terhadap daerah barata tentu bukanlah dalam bentuk lisan tetapi dalam bentuk tulisan. Turunan dari tulisan Sarana Barata masih dapat dapat terbaca sampai saat ini pada koleksi Mulku Zahari. Sarana Barata kemudian mengalami amandemen pada masa pemerintahan Muhammad Isa Kaimuddin I (1851-1861). Tentu dapat dimengerti bila fisik naskah setua itu tidak lagi dapat bertahan lama, akan tetapi diperoleh turunannya yang disalin kembali pada abad ke-19. Salah satu naskah yang masih dapat diperoleh pada abad ke-17 adalah sebuah surat dari Jatingkalawu, seorang Kapiten Laut Buton, yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuyeker, tertanggal 8 Jumadil Awal 1080/5 Oktober 1669. Sebuah surat lagi yang ditulis oleh Sultan Buton kepada Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuyeker, pada tahun 1670 (Suryadi dalam Darmawan. ed, 2009: 51-62). Puncak Kejayaan Tradisi Tulis Guna memperkokoh Islam di Buton, putra Buton dikirim belajar ke berbagai negara Islam, seperti Mesir, Turki, dan Arab Saudi. 92
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Tiga orang di antaranya adalah Haji Abdul Ganiyu (kenepulu Bula), Abdul Hadi, dan Muhammad Salih. Selain ketiga tokoh ini, tersebut pula nama negarawan sekaligus ulama dan sastrawan Buton, yaitu Muhammad Idrus Kaimuddin (Sultan Buton ke-29, memerintah pada tahun 1824-1851). Masa hidup Haji Abdul Ganiyu sezaman Muhammad Idrus Kaimuddin, sedangkan Abdul Hadi dan Muhammad Salih adalah putra Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Dengan demikian, ketiga orang tersebut diperkirakan belajar Islam di luar Buton sekitar awal abad ke-19. Keempat tokoh tersebut dikenal sangat produktif dalam melahirkan syairsyair Islam yang dikemas dalam bentuk kabanti (sastra klasik Buton). Muhammad Idrus Kaimuddin adalah seorang syekh Tarekat Khalwatiyah-Samaniah (ajaran mencari ke Esa-an Allah SWT dengan cara mensunyikan diri) di Buton (Yunus, 1995: 7579). Secara umum penulisan naskah Buton dapat dikelompokkan dalam tiga kategori sebagai berikut. 1) Penulis naskah dalam arti yang menyusun teksnya juga, yaitu karangan hasil karya sendiri. Jadi ia berperan sebagai pengarang dan penulis dengan menggunakan aksara buri Wolio dan bahasa Wolio. Contohnya, (1) Muhammad Idrus Kaimuddin, dengan karya-karyanya berjudul Kabanti Bula Malino dan Kabanti Jaohara Molabina; (2) Abdul Hadi dengan karyanya berjudul Kabanti Kaokabi Mainawa; (3) La Kobu dengan karyanya berjudul Kabanti Kaluku Panda; dan (4) Haji Abdul Ganiyu dengan karyanya berjudul Kabanti Ajonga Inda Malusa, Kabanti Kaina-Inawuna Arifu, dan Kabanti Paiasa Mainawa. 2) Penulis naskah dalam arti yang mengalibahasakan naskah Melayu ke dalam bahasa Wolio (penulis sebagai pengalih bahasa), misalnya (1) La Ode Nafiu mengalihbahasakan Hikayat Anak Miskin menjadi Tula-tulana Anana Maelu; (2) Haji Abdul Ganiyu mengalibahasakan Kitab Seribu Masalah menjadi Kitabi Masalah Sarewu; dan (3) Abdul Khalik mengalihbahasakan Hikayat Raja Indra Putra menjadi Tula-Tulana Raja Indara Pitara; Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
93
3) Penulis naskah dalam arti yang menyalin naskah hasil karya orang lain (penulis sebagai penyalin), seperti (1) Abdul Mulku Zahari menyalin Kabanti Bula Malino, Kabanti Nuru Molabi, Kabanti Kanturuna Mohelana, Kabanti Kaokabi Mainawa, dan Kabanti Kaluku Panda; (2) Moersidi menyalin Kabanti Bula Malino, Kabanti Kanturuna Mohelana, dan Kabanti Kaluku Panda; (3) La Mbalangi menyalin Kabanti Kaokabi Mainawa, Kabanti Ajonga Inda Malusa, Kabanti Kaluku Panda, Kabanti Bula Malino, dan Kabanti Paiasa Mainawa; (4) La Ode Aegu menyalin Kabanti Kaokabi Mainawa dan Kabanti Bula Malino; (5) La Ode Monci menyalin Kabanti Paiasa Mainawa; dan (6) Hazirun Kudus menyalin Kabanti Paiasa Mainawa. Naskah-naskah hasil salinan mereka kemudian dijadikan sebagai koleksi pribadi masing-masing. Pada zaman pemerintahan kesultanan, menyalin naskah hasil karya orang lain merupakan salah satu tugas pokok yang dibebankan sultan kepada sekretaris kesultanan dan para pejabat tinggi kesultanan, terutama pejabat di bidang keagamaan dalam lingkungan keraton Buton. Hasil salinan dimaksud menjadi arsip kesultanan, sedangkan isinya (teks) menjadi pedoman bagi kalangan pejabat kesultanan, guru-guru agama, dan para tokoh adat. Pada prinsipnya, naskah kesultanan atau keluarga sultan tidak diwariskan, melainkan diberikan kepada orang yang dianggap mampu memelihara. Namun demikian, ketentuan itu tidak sepenuhnya benar, sebab ketika hubungan keluarga pemegang naskah semakin jauh, maka diupayakan untuk mempertemukannya melalui tali perkawinan. Hal itu terlihat pada hubungan perkawinan antara Abdul Mulku Zahari dengan Syamsiah Ma Faoka. Abdul Mulku Zahari adalah anak mantu dari La Adi Ma Faoka. Ibu Abdul Mulku Zahari adalah saudara sepupu Syamsiyah. Jika tidak dipertautkan antara Mulku dengan Syamsiyah, maka anak Mulku Zahari dengan Syamsiyah akan bertambah jauh asal usulnya. Dari koleksi kedua keturunan inilah 94
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
naskah Buton banyak dijumpai sekarang. Pada saat sekarang ini naskah Buton dalam jumlah terbesar berada pada keluarga Abdul Mulku Zahari, yang berdomisili di Badia, Keraton Wolio, Kota Bau-Bau. Koleksi inipun ternyata berasal dari dua tangan, yaitu Abdul Mulku Zahari sendiri dan Syamsiah Ma Faoka, yang tiada lain adalah istrinya. Abdul Mulku Zahari adalah putra dari La Hude yang diangkat sebagai bontona (menteri) Siompu pada tahun 1908. Jabatan terakhir La Hude adalah sebagai Kepala Distrik Wakorumba dan ia meninggal dunia pada tahun 1978. Kakek Abdul Mulku Zahari dari pihak ayah adalah La Wungu, bontona Baluwu, wilayah Sampolawa. Ayah La Wungu, buyut Abdul Mulku Zahari, bernama Ma Zahari, pejabat Kerajaan Buton yang dikenal suka menulis. Nama belakang Mulku diambil dari buyut yang diyakini mewariskan bakatnya itu. Karena kesenangannya menulis itulah Abdul Mulku Zahari mendapat warisan untuk memelihara berbagai jenis arsip dan naskah kerajaan. Jabatan Abdul Mulku Zahari yang terakhir sebagai pembantu utama (semacam asisten pribadi) Sultan Falihi, yang sampai pada tahun 1960 memberi kesempatan luas baginya untuk menghimpun naskah. Abdul Mulku Zahari kerap kali menyalin beberapa naskah dan menerjemahkannya. Syamsiyah adalah anak perempuan bonto-ogena La Adi Ma Faoka. Syamsiyah Ma Faoka adalah buyut dari Abdul Khalik seorang bonto-ogena (menteri besar) di Kesultanan Buton dan menjabat juru tulis Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. Dari tangan buyutnya itulah Syamsiyah mewarisi naskah Kesultanan Buton. Maka dapatlah dimengerti betapa besar jumlah naskah Buton koleksi Abdul Mulku Zahari. Setelah Abdul Mulku Zahari Wafat pada tahun 1987 pemeliharaan naskah dipegang oleh putranya yang bernama Al Mujazi Mulku. Wasiat ayahnya yang terus dipegang Al Mujazi adalah “jagalah baik-baik naskah itu, sebab akan banyak orang yang memerlukan manfaatnya”. Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, yang telah melakukan inventarisasi koleksi atas naskah keluarga Abdul Mulku Zahari, koleksi naskahnya berjumlah 299 naskah dengan jumlah halaman sebanyak 6505. Abdul Mulku Zahari memiliki Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
95
naskah sebanyak 119 naskah dan Syamsiyah Mulku Zahari memiliki 180 naskah. Koleksi teks naskah itu meliputi periode dari abad ke-17 sampai ke-20. Di antara naskah-naskah itu terdapat arsip kerajaan, terutama yang berisi kontrak perjanjian, silsilah sultan, undang-undang, dan surat-surat kerajaan (lihat, Ikram, 2001: 6) Selain keluarga Abdul Mulku Zahari, naskah-naskah Buton masih terdapat pada beberapa orang/keluarga di Baubau, antara lain: (1) H. La Ode Manarfa yang berdomisili di Kelurahan Bure, Kecamatan Wolio, Kota Baubau, putra Sultan Buton yang terakhir; (2) Moersidi yang berdomisili di Kelurahan Wajo, Kecamatan Betoambari adalah keturunan Siolimbona (Dewan Menteri) di zaman kesultanan; (3) La Ode Aegu (alm.) yang berdomisi di Kelurahan Tomba adalah mantan imam mesjid Keraton Wolio; (4) Hazirun Kudus yang berdomisili di Keraton Wolio adalah keturunan Siolimbona (Dewan Menteri); (5) La Mbalangi yang berdomisili di Kelurahan Tarafu, Kecamatan Betoambari adalah mantan Kepala Kantor Departemen Agama Kecamatan Wolio, beliau aktif menyalin dan mengoleksi naskahnaskah Buton; (6) La Ode Monci (alm.) yang berdomisili di Kelurahan Lanto, Kecamatan Betoambari adalah keturunan pejabat teras kesultanan (Kenepulu). La Umbu berdomisili di kelurahan Bataraguru Kecamatan Wolio Kota Baubau, sedangkan La Ode Ansari Idris berdomisi di Kelurahan Batulo Kecamatan Wolio Kota Baubau. Musrifi berdomisi di Kelurahan Bone-Bone Kecamatan Murhum Kota Baubau. Tamanajo berdomisi di Kelurahan Lamangga Kecamatan Murhum Kota Baubau, di Wakatobi terdapat pada La Ode Hati di Kecamatan Wangi-Wangi dan Wa Muli (alm.) di Kecamatan Kaledupa. 1. Masa Pemerintahaan Dayanu Ikhsanuddin Penulisan naskah Buton dimulai pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Masa pemerintahannnya dianggap sebagai periode awal penulisan naskah-naskah Buton. Pada masa pemerintahannya dimulai penyusunan Undang-Undang Dasar Kerajaan yang disebut dengan Martabat Tujuh yang telah dikenal dalam konsep dunia Islam. Sabirin (2011: 13) menjelaskan bahwa 96
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
perumusan Undang-Undang Martabat Tujuh menjadi nilai dasar kepemimpinan sultan. Pada periode ini tentu telah ada penulisan naskah lainnya, tetapi tentu dapat dimengerti secara material naskah setua itu tidak lagi dapat bertahan lama. Akan tetapi, turunannya diperoleh sebagai yang disalin kembali pada abad ke19 (Ikram, 2001: 4). Di samping naskah Undang-Undang Dasar Kerajaan juga dibuat aturan tentang wilayah-wilayah lain yang masuk dalam lingkup kekuasaan Kerajaan/Kesultanan Buton. Di antara naskah-naskah tersebut adalah sarana barata16 dan sarana kadie17. Kedua wilayah tersebut dibuatkan aturan tersendiri dalam bentuk tertulis. Turunan kedua teks naskah tersebut masih dapat ditemui sekarang dalam koleksi Mulku Zahari. Sultan Dayanu Ikhsanuddin merupakan seorang penganut tarekat Qadiriyah (Sabirin, 2011: 6). Meskipun belum dapat diidentifikasi secara konkret siapa guru Dayanu Ikhsanuddin, namun dalam upaya mengembangkan pokok-pokok ajaran tersebut dapat dipastikan ada naskah yang berhubungan dengan tarekat tersebut, walaupun naskah-naskah tersebut tidak dapat lagi ditemui. Salah satu faktornya adalah adanya gejolak Gerakan 30 September 1965 yang muncul di Jawa dan berdampak pula di Buton sampai tahun 1969. Berdasarkan tradisi masyarakat setempat, yang memiliki naskah dianggap sebagai anggota G 30 S. Oleh karena itu, masyarakat yang memiliki naskah dengan berbagai cara membuang dan menyembunyikan naskah di berbagai tempat, seperti di dalam goa, sehingga naskah-naskah tersebut mengalami kerusakan yang cepat karena kondisi cuaca yang tidak mendukung. Di samping itu naskah-naskah yang dimiliki masyarakat juga ditanam di tanah untuk menghindari pemeriksaan aparat. 2. Masa Pemerintahaan Muhammad Idrus Kaimuddin Tokoh yang memegang peranan penting dalam tradisi tulis Buton
16
Wilayah pertahanan pada bagian luar Kerajaan/Kesultanan Buton yang terdiri dari empat yaitu Barata Muna, Kaledupa, Kolensusu, dan Tiworo. 17 Wilayah-wilayah kekuasaan Kerajaan Buton yang terdiri dari 72 kadie (kampung). Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
97
adalah Muhammad Idrus Kaimuddin18. Meskipun ia seorang sultan, namun ia sangat gemar menulis dalam upaya mengembangkan pokok-pokok ajaran yang diyakininya. Muhammad Idrus Kaimuddin, seorang penganjur tarekat Sammaniyah. Pengetahuan tentang Islam banyak diterima dari kakeknya, La Jampi, Sultan Buton ke 24. Muhammad Idrus diperkirakan lahir pada perempat abad ke-18. Hal ini didasarkan pada keterangan bahwa ia memangku jabatan sultan pada tahun 1824, pada usia sekitar 40 tahun (Yunus, 1995: 75). Jika bertolak dari tahun ia menjabat, maka Muhammad Idrus Kaimuddin diperkirakan lahir pada tahun 1784. Di samping ia belajar Islam dari kakeknya, ia pun belajar pada seorang ulama yang berasal dari Mekah bernama Syekh Muhammad ibn Syais Sumbul alMakki saat berada di Buton. Yunus (1995:74) mengutip salah satu naskah karya Muhammad Idrus terdapat kalimat kairangoku Guruku Mancuana, miana Makkah Muhammad siytu, Alaihi rahmatullah, yang artinya: dan yang kudengar dari guruku yang mulia, orang Mekkah Muhammad itu, semoga dirahmati oleh Allah. Muhammad yang dimaksud dalam tulisan tersebut adalah Muhammad ibn Syais. Di samping itu Muhammad Idrus juga belajar dari al-Sayyid „Abd Allah bin al-Sayyid Ahmad alBaghdadi al-Naqshabandi dan Muhammad Idrus pernah betemu dengan salah satu murid al-Palembani, yaitu Muhammad Zayn bin Shams al-Din al-Jawi. Muhammad Idrus juga pernah bertemu dengan al-Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Safi yang memintanya untuk menuliskan ahwal al-Muraqabah (Falah, 2011: 105-106). Sejak kecil Muhammad Idrus telah belajar Islam pada kakeknya dan setelah dewasa dikembangkannya dari seorang Syekh Muhammad ibn Syais Sumbul al-Makki. Dari itu, ia terus mengembangkan pengetahuan keislamannya dari buku-buku yang ada pada zamannya. Karya-karya Muhammad Idrus beberapa di antaranya adalah tentang naskah tasawuf (Yunus, 1995: 77). Pengetahuan keislamannya tidak hanya digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri seperti halnya sultan pendahulunya19. 18 19
Sultan Buton ke-29 yang memerintah tahun 1824 – 1851. Dalam tradisi masyarakat Buton, seorang sultan harus memiliki sifat
98
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Muhammad Idrus menulis pengetahuan Islam yang dimilikinya. Ia termasuk ulama Buton yang sangat produktif pada masanya. Hasil karyanya ditulis dalam bahasa Wolio dan bahasa Arab. Dalam bahasa Wolio Muhammad Idrus Kaimuddin menulis: Bula Malino, Tazikiri Mampodona, Jauhara Manikam Molabi, Kanturuna Mohelana I dan II, Fakihi, Nuru Molabi (Falah, 2011: 107), sedangkan dalam bahasa Arab Muhammad Idrus Kaimuddin menulis: 1. Hadist Arbain (kumpulan hadist 40) 2. Nurul Mu‟minin (Cahaya orang-orang beriman) 3. Al Maulid Al-Karim Wa Ar-Rasul Al-Azim (kelahiran orang yang mulia dan utusan yang agung) 4. Diya Al-Anwar Fi Tasfiyat Al-Akdar (Pancaran cahaya dalam pensucian hal keruh) 5. Fath Ar-Rahim Fi At-Tauhid Rabb Al-Arsy Al-Azim (Pembuka ketuhanan dalam keesaan pemilik singgasana yang agung) 6. Ibtida Sayr Al-Arifin (Awal perjalanan orang-orang „Arif) 7. Kasyf Al-Hijab Fi Muraqabat Al Wahhab (Pembuka tabir/hijab dalam pengawasan Yang Maha Pemberi) 8. Kasyf Al-Muntazar Lima Yarah Al Muhtadar (Pembuka seorang penanti terhadap apa yang dilihat oleh orang yang akan wafat) 9. Hidayat Al-Basyir Fi Ma‟rifat Al-Qadir (Hidayah pembawa berita gembira dalam pengetahuan al-Qadir)
ketuhanan dan kerasulan. Tujuh “sifat ketuhanan” dimaksud adalah (1) hayat (hidup); (2) ilmu (berilmu); (3) kodrat (kuasa); (4) iradat (kemauan); (5) sama‟a (pendengaran); (6) basar (penglihatan); dan (7) kalam (perkataan). Empat sifat kerasulan terpatri dari sifat-sifat pemimpin yang: (1) sidiq (benar dan jujur); (2) tabligh (menyampaikan perkatan yang memberi manfaat terhadap kepentingan umum); (3) amanah (dipercaya masyarakatnya); (4) fathanah (fasih berbicara dan berargumentasi, dapat menunjukkan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah). Sultan karena hukum adat digelari juga dengan Khaliyfatul Khamis dan kewajibannya yang utama adalah : 1. Menilik dengan mata hatinya lautan kalbu hati nurani rakyat; 2. Menjadi Pemimpin dan Panutan dalam dan di luar kesultanan; 3. Menjadi Bapak rakyat di dalam kesultanan; 4. Memegang keadilan dalam arti memperbaiki sesuai atau tidak menurut adat asal bertujuan kepada kebaikan yang banyak. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
99
10. Zubdat Al-Asrar fi Tahqiqi Ba‟di Nasyarib fi Al-Akhyar wa Risalah As-Syatariyyah (Intisari rahasia-rahasia dalam penelitian sebagian (nasyarib) dalam hal-hal yang dipilih dan risalah terekat Syattariyyah) 11. Misbah Ar-rajin fi Zikri As Shalat Wa As-Salam „Ala An Nabi Syafi Al-Muznibin (cahaya bagi orang yang memohon dalam zikir shalawat dan salam bagi Nabi penyembuh/penyelamat orang-orang yang berdosa) 12. Mu‟nasat Al-Qulub fi Az-Zikir Wa Musyahadat „Alam AlGuyub (ketenangan hati dalam berzikir dan musyahadah alam-alam ghaib) 13. Sabil As-Salam Li Bulug Al-Maram (Jalan keselamatan untuk menggapai maksud) 14. Sabilu As-Salam Li Bulugi Al-Maram Fi Ahadisi Sayyid AlAnam (Jalan keselamatan untuk menggapai maksud dalam hadist-hadist Nabi) 15. Tahsin Al-Aulad Fi Ta‟at Rabb Al-Ibad (Pendidikan anak dalam ketaatan kepada Tuhan Seluruh Hamba) 16. Tanbih Al Gafil Wa Tanzilat Al-Mahafil (Peringatan untuk orang lalai dan penempatan orang yang lupa) 17. Tanqiayat Al-Qulub Fi Ma‟rifat „Alam Al-Guyub (Ikram, et. al. 2001: 46-159) (Penyucian hati dalam ma‟rifah alam-alam ghaib)20 Karya-karya tersebut mungkin hanya merupakan sebagian dari tulisan Muhammad Idrus Kaimuddin. Hal ini dikarenakan naskah-naskah Buton yang dihasilkan pada abad ke-19 tidak hanya berada dalam lingkup kota Baubau, khususnya pusat pemerintahan Kesultanan Buton, namun naskah-naskah Buton tersebar sampai ke wilayah Wakatobi yang merupakan bekas wilayah Kesultanan Buton pada masa silam. Dua naskah pertama (1 dan 2) yang disebut di atas ditemui di luar koleksi Mulku Zahari yang merupakan salah satu kolektor naskah terbanyak di Buton. Hal ini mengindikasikan masih adanya naskah-naskah lain yang berada di luar kota Baubau. Salah satu di antaranya adalah adanya naskah Alquran yang ditemui di Wakatobi, yang dipegang 20
Penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia dibantu oleh Kiyai. H. Rasyid Sabirin dan Falah Sabirin pada tanggal 25 Desember 2010.
100
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
oleh La Ode Hati. Naskah Alquran tersebut dibawa pada masa pemerintahaan Muhammad Idrus Kaimuddin. Di samping itu, di dapatkan pula beberapa salinan naskah di wilayah Wakatobi (Pulau Binongko) dalam bahasa Wolio. Teks naskah tulisan itu berasal dari masa pemerintahaan Muhammad Idrus Kaimuddin. 3. Muhammad Salih Muhammad Salih21 adalah anak Muhammad Idrus Kaimuddin. Ia pun banyak belajar Islam dari bapaknya dan Abdul Khaliq22. Meskipun tidak seprodukif ayahnya, Muhammad salih memiliki karya di antaranya: ibdtida Sair Allah ila Intiha sir Allah, Tanbih al-Gafil wa-Tanzih al-Mahafil, dan kumpulan doa-doa (Yunus, 1995: 79). Dalam naskah yang disebut pertama ia mengungkapkan guru yang mengajarkannya tentang Islam. Dalam naskah tersebut ia mengungkapkan bahwa Abd Khaliq dan Muhammad Idrus adalah mursid-nya. Di samping itu ia menyalin naskah Zad al-Muttaqin karangan al Palembani (Sabirin, 2011: 111-114). Muhammad Salih wafat pada tahun 1885 dan dimakamkan dekat mesjid Baadia23. Meskipun karyanya tidak begitu banyak namun ia memiliki peran yang berarti bagi pengembangan ajaran Islam di Buton. Penutup Masuknya Islam mempengaruhi tata kehidupan sosial masyarakat Buton secara menyeluruh. Pengaruh Hindu secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan oleh masyarakat dan kemudian mereka beralih kepada Islam. Tatanan kehidupan bernegara pun diatur berdasarkan aturan-aturan dalam Islam. Hal ini dikarenakan para bangsawan Buton memandang perlu adanya perubahan dalam tatanan kehidupan bernegara. Islam berkembang begitu pesat sejak pertama kali masuk pada tahun 933 H/1527M. Perubahan 21
Dalam bahasa Wolio tidak terdapat konsonan pada akhir suku kata, sehingga orang-orang Buton menyebutnya Muhammad Falihi. Ia adalah Sultan Buton ke-31 (1871-1885). 22 Ia adalah juru tulis Kerajaan/Kesultanan Buton pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851) yang juga merupakan penganut tarekat Sammaniyah. 23 Orang Buton menyebut mesjid tersebut dengan nama mesjid Quba. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
101
ketatanegaraan Buton dari kerajaan menjadi kesultanan dimulai tahun 1541 M. Sejak saat itu para calon sultan yang hendak diajukan harus memahami pengetahuan tentang Islam. Untuk lebih memudahkan memahami Islam maka beberapa sultan menuliskan karya-karyanya. Dari naskah-naskah yang ditemui dalam masyarakat Buton dapat diketahui bahwa tradisi tulis dimulai pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin yang memerintah pada tahun 1597-1631 M. Setelah masa pemerintahannya, tradisi tulis di Kerajaan/Kesultanan Buton mengalami penurunan. Puncak tradisi tulis Buton pada abad ke19, yaitu sejak masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin 1824-1851. Pada masa pemerintahannya ia mengirim beberapa cendekiawan Buton untuk belajar agama Islam di Mekah, di antaranya Abdul Hadi dan Abdul Ganiyu. Muhammad Idrus Kaimuddin dianggap sebagai sultan yang paling produktif menulis. Masa pemerintahannya dianggap sebagai masa tercapainya puncak kejayaan tradisi tulis dan Islam di Buton. Ia menulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Wolio dan Arab. Setelah masa pemerintahannya penulisan naskah semakin berkurang. Sultan lain yang menuangkan karya-karyanya dalam bentuk tertulis adalah Muhammad Salih, Muhammad Idrus Kaimuddin. Meskipun ia tidak sehebat ayahnya namun ia berhasil menulis beberapa naskah. Dari data didapat hanya ditemukan tiga naskah yang ditulisnya. Namun tradisi penyalinan juga dilakukan oleh pejabat kerajaan/kesultanan. Beberapa naskah salinan yang berasal dari Melayu, yaitu naskah Hikayat Indera Putra, ditransformasi ke dalam bahasa Wolio. Demikian juga halnya dengan Hikayat Anak Miskin yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Wolio. Daftar Pustaka Aceaux, J.C., 2004, Wolio Dictionary (Wolio-EnglishIndonesian). Holand: Foris Publication. Azra, Azyumardi, 2004, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII akar Pembaruan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. 102
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
B, Burhanuddin, dkk., 1977, Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977. Berg, E.J. van den, 1939, “Adatgebruiken in verban met de sultansinstallatie in Boeton”, TBG 79:469-528. Bruinesen, Martin van, 1995, Kitab Kuning Pesanren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Indonesia. Bandung: Mizan. Couvreur, J., 2001, Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Penerjemah Rene van den Berg. Kupang: Artha Wacana Press. Djamaris, Edwar, 1983, Khabar Akhirat Dalam Hal Kiamat. Jakarta: Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Hasaruddin, 2005, Kabanti Paiasa Mainawa; Sebuah Kajian Filologi. Tesis Magister PPs Unpad. Bandung. Ikram, Achadiati, 2001, Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ligtvoet, A., 1878, “Beschrijving en Geschiedenis van Buton”, BKI Vol. 26. “s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Munawwir, A.W., 2002, Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. Muthahhari, 1986, Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara. Jakarta: Gramedia. Poerwadarminta, W.J.S., 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sabirin, Falah, 2011, Tarekat Sammaniyah di Kesultanan Buton Kajian Naskah-Naskah Buton. Tangeran: YPM. Sangidu, 2003, Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Arniri., Yogyakarta: Gama Media. Schoorl, J.W., 1985, “Power, Ideology and Change in The Early State of Buton”. Makalah. Disajikan pada saat kongres Indonesia-Belanda yang ke-5. Gravenhag. Belanda. Suryadi, 2005, “Surat-Surat Sultan Buton XXVI Muhyuddin Abdul Gafur Kepada Kompeni Belanda”. Makalah disajikan pada Simposium Internasional IX. Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
103
Tahir Al-Haddad Al-Habib Alwi bin, 1995, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Penerjemah Shahab S. Dhiya. Jakarta: Lentera. Yunus, Abdul Rahim, 1995, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Dalam Abad Ke-17. Jakarta: INIS. Zaenu, La Ode, 1985, Buton Dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa. Zahari, A.M, 1977, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni. Jakarta: Balai Pustaka. Zuhdi, Susanto, 1999, “Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVII”. Disertasi dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia, Jakarta. Zuhri, Saifuddin, 1965, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Al Ma‟arif. Bandung.
104
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Abstrak Dalam meneliti naskah Indonesia harus dilakukan kontekstualisasi naskah, teks, dan kebudayaan. Hal ini juga berlaku untuk naskah dan teks di Lombok. Kontekstualisasi penting karena hubungan naskah, teks dan konteks dapat mengarahkan metode filologis yang dapat diterapkan untuk menyunting sebuah teks berdasarkan naskah yang berasal dari Lombok. Naskah dan teks harus dibedakan karena keduanya memiliki kontekstualisasi yang berbeda. Ternyata, naskah dan teks di Lombok ditulis karena memiliki peran di kebudayaan Sasak yang penting untuk diingat karena dapat menjelaskan banyak gejala yang ditemukan dalam naskah maupun dalam teks. Kata Kunci: Naskah Sasak, kontekstualisasi naskah dan teks, kajian filologis. Pendahuluan Kebanyakan naskah dewasa ini disimpan, dilestarikan, didigitalisasi, dan dikaji di perpustakaan atau di berbagai museum di dunia. Namun, tentu saja naskah tidak berasal dari situ. Naskah
* Dick van der Meij adalah seorang filolog dari Belanda yang sekarang memiliki afiliasi dengan CSRC dan PPIM, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
105
selalu berasal dari sekelompok manusia yang memiliki kebudayaan tertentu dan setiap orang dari kelompok itu yang membuat naskah memiliki kepribadian masing-masing. Ilmuwan asing umumnya pertama kali melihat naskah di perpustakaan di luar negeri, jauh dari tempat asal naskah tersebut. Karena mereka tidak atau kurang mengenal Indonesia, mereka tentu saja mengacu pada kerangka acuan Barat dan umumnya mereka mempunyai gagasan dan harapan tentang naskah yang mereka dasarkan atas ciri khas kebudayaan Barat, terutama kebudayaan Eropa. Naskah Eropa memiliki karakteristik tersendiri yang mungkin saja tidak sama dengan ciri khas naskah Nusantara. Di Nusantara, misalnya, tradisi pembuatan naskah masih hidup sementara tradisi itu di Barat sudah lama tidak diteruskan lagi. Naskah merupakan sejenis benda dari zaman lalu yang dilestarikan dengan baik, sehingga sekarang menjadi sangat berharga. Satu hal yang perlu ditambahkan di sini adalah rasa kagum terhadap naskah sebagai benda, terlepas dari isinya, terutama kalau naskah itu sudah berumur dan memiliki ilustrasi atau iluminasi yang cantik. Di Barat, pertanyaan yang sering diajukan kalau saya berbicara tentang perhatian saya terhadap naskah Jawa, Bali, dan Melayu adalah tentang umur naskah tersebut. Belum pernah orang bertanya tentang isinya. Ini merupakan suatu contoh bahwa naskah dan isi naskah merupakan dua hal yang perlu dibedakan dengan jelas. Kenyataan bahwa naskah memang berasal dari manusia yang hidup, yang mempunyai kebutuhan, keinginan, dan kemampuan masing-masing, harus kita ingat kalau kita ingin menelusuri naskah dari segi apa pun. Sampai sekarang, perhatian yang dicurahkan atau pun penelitian yang dilakukan terhadap peran naskah di kebudayaan itu masih kurang. Hal itu menurut saya sangat disayangkan karena pengetahuan yang diperoleh dari riset tentang peran itu sangat penting dan bahkan dapat mengarahkan penelitian filologi terhadap naskah itu. Singkat kata, kalau di dalam kebudayaan asli suatu naskah perhatian terhadap naskah sangat kurang, kemungkinan besar isi naskah mungkin sekali tidak pernah teliti, banyak naskah dengan judul yang sama, serta 106
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Naskah juga tidak diperlakukan dengan seksama sehingga naskah itu sering tidak utuh, banyak halaman hilang, rusak, kotor, dimakan serangga, dan lain sebagainya. Sebaliknya, kalau cara menyalin naskah dilakukan oleh orang yang sangat teliti, berpengetahuan dan berpengalaman, dan mungkin pembuatannya diawasi oleh orang atasan di keraton dan puri, isi naskah dapat diperkirakan sangat bagus, teliti, dan utuh. Kalau teks dikagumi dan dianggap sebagai teks keagaamaan dengan martabat sangat tinggi, pasti kemungkinan besar isi naskah sangat teliti dan baik. Dalam dunia filologi terdapat banyak praanggapan yang jarang diuji sehingga kebenarannya belum dibuktikan dengan pasti. Salah satu praanggapan yang paling mendasar adalah bahwa semua naskah merupakan turunan atau salinan dari naskah lain, kecuali otograf yang memang ditulis oleh pengarang atau pencipta teks. Naskah yang bukan otograf dari dahulu sampai sekarang dianggap sebagai turunan dari otograf dan juga dianggap kurang kualitasnya daripada otograf itu, karena ciri khas penulisan atau penyalinan naskah. Penilaian negatif itu disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk mengkopi sesuatu dengan seratus persen tepat. Selalu ada kesalahan yang terjadi walaupun tidak dikehendaki. Di dunia Islam banyak sekali naskah Alquran dibuat dengan kualitas yang luar biasa tinggi sehingga pernyataan saya harus dikualifikasi: kalau teks memang dianggap sangat penting dan luhur, ketepatan penulisan dan pengkopiannya dapat meraih seratus persen. Dalam hal Alquran, bukan hanya isi yang penting, melainkan setiap huruf dan kata yang digunakan, sehingga pengkopiannya harus sangat teliti karena sama sekali tidak ada yang boleh diubah, ditambahkan, atau dikurangi. Namun, sesaat perkataan yang digunakan dalam teks dianggap kurang penting dari isi teks, kualitas penyalinannya langsung menurun. Hal itu akibat sifat manusia yang selalu harus diingat dalam meneliti naskah. Penilaian negatif itu terutama muncul kalau penyalin atau penulis mengubah teks sehingga jarak antara naskah dan otograf menjadi makin jauh dan penyuntingan teks menjadi makin rumit. Hal yang penting di sini adalah peneliti jangan hanya menilai naskah saja, tetapi diharapkan juga Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
107
menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan naskah dan isi teks tanpa menilainya. Di dalam dunia filologi, kita bukan guru yang menilai murid, tetapi ilmuwan yang ingin memahami. Namun, apakah benar naskah selalu merupakan salinan dari naskah yang lain?24 Praanggapan kedua adalah naskah selalu disalin dengan maksud teks yang dihasilkan sama persis dengan teks yang disalin. Salinan harus sama dengan aslinya. Namun, praanggapan itu sebenarnya juga belum dibuktikan. Kalau kita melihat buktibukti naskah, dugaan saya adalah bahwa naskah yang dikopi tidak selalu diharapkan sama dengan aslinya. Mungkin saja ada kebudayaan di Nusantara, Lombok misalnya, di mana setiap naskah harus berbeda dari naskah yang lain untuk memperlihatkan keterampilan penulis dalam menulis dan mengarang. Di Indonesia ada kebudayaan di mana pengarang mengubah teks tanpa mengubah judul. Sebagai contoh, I Wayan Pamit di Denpasar, Bali pernah mengarang sebuah gaguritan. Gaguritannya ditulis dalam bentuk tembang dangdanggula sebanyak sekitar 100 bait. Ternyata, pembaca naskahnya sangat bosan karena tembangnya hanya dangdanggula. Menanggapi kenyataan ini, Wayan Pamit mengubah teksnya dengan menggunakan tembang yang lain sehingga pembacaannya jauh lebih menarik. Kalau peneliti ingin melakukan riset terhadap kedua naskah Wayan Pamit itu tanpa mengetahui pengubahan isi teks, apakah naskah pertama harus dianggap lebih baik daripada naskah kedua? Kalau kita tidak mengetahui dari Wayan Pamit sendiri bahwa dia yang mengubah teks, bagaimana penilaian kita tentang hasil karyanya? Apakah kita sekarang memiliki satu teks yang bentuknya berbeda? Atau dua teks yang saling berkaitan? Praanggapan atau mungkin lebih tepat disebut bahaya ketiga adalah praanggapan bahwa suatu kebudayaan memiliki cara penyalinan atau penurunan teks tersendiri sehingga metode yang diterapkan untuk mengedit teks sampai sekarang tidak banyak berbeda. Dengan kata lain, tidak ada cara penyalinan atau penulisan lontar tertentu di Lombok. Kita hanya dapat berbicara 24
Lihat Dick van der Meij 2010 dan 2012.
108
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
tentang tradisi penulisan teks tertentu dan menyimpulkan hal-hal tentang cara penyalinan teks itu saja. Saya rasa kenyataannya masih jauh lebih rumit lagi. Untuk teks tertentu, misalnya Puspakrama dari Lombok, mungkin saja ditemukan lebih dari satu tradisi. Dari apa yang dikatakan di atas, kita perlu membedakan kontekstualisasi naskah dan kontekstualisasi teks. Naskah di kebudayaan asalnya Studi naskah memiliki kesulitan karena berada di luar dunia penelitian antropologi. Akibatnya, banyak informasi tentang penggunaan naskah di lingkungan kebudayaan tertentu, misalnya pemakaiannya dalam ritual dan upacara serta cara naskah diproduksi tidak merupakan bagian riset antropologi. Dalam konteks Lombok, misalnya, para antropolog memang menyaksikan banyak naskah lontar yang dibacakan selama ritual berlangsung, tetapi isi teks dan banyak hal lain yang berhubungan dengan naskah tidak ditelusuri karena dianggap merupakan bagian dari dunia filologi. Hal ini sering kali disebabkan antropolog kurang mengetahui bahasa dan huruf yang digunakan dalam naskah sehingga mereka segan untuk menelusurinya. Di sini juga ada bahaya praanggapan, walaupun sudah cukup banyak riset antropologi yang dilakukan dan upacara yang dikaji di Lombok, penyebutan naskah hanya sedikit. Di sini kita juga memiliki pranggapan yang juga belum terbukti bahwa pada setiap upacara, naskah memang harus ada. Sejumlah besar naskah di Lombok dikaitkan dengan upacara, tetapi mungkin banyak naskah yang perannya sama sekali lain. Sebaliknya, biasanya para filolog tidak melakukan riset tentang bagaimana naskah digunakan di kebudayaan asalnya karena itu merupakan bagian dari dunia riset antropologi. Akibatnya, pada umumnya kita hanya memiliki informasi dan pengetahun yang sangat terbatas mengenai peran naskah di kebudayaan dan penggunaan teks di dalam ritual serta dari segi isi teks. Bagi sebagian besar filolog hal ini tidak penting karena banyak peneliti di antara mereka yang tidak bebas dari keinginan Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
109
mencari teks „murni‟.25 Di Nusantara, kita mendapati naskah yang beraneka sifatnya. Ada naskah yang mengandung teks yang sakral seperti Alquran atau Weda. Ada juga teks yang jauh lebih luwes yang ditemukan dengan banyak sekali variasi. Ada juga naksah yang sifatnya sangat perorangan, seperti naskah yang dimiliki dan digunakan oleh pemangku dan balian di Bali. Naskah itu merupakan kumpulan hal yang perlu mereka ketahui dan terapkan secara pribadi. Isi naskah mereka sama sekali tidak didasarkan atas naskah lain, tetapi ditulis oleh pengguna sendiri. Naskah fisik dalam konteks kebudayaan Di sini kita perlu membedakan antara naskah sebagai objek fisik yang tidak pernah dibaca, naskah sebagai objek fisik plus isi teks, yang keduanya sama-sama penting, dan naskah sebagai wadah teks di mana tidak ada kaitan antara naskah sebagai benda fisik dan isinya. Peran naskah bergantung kepada konteks sosial tempat naskah itu diproduksi, digunakan, dan dilestarikan. Dalam kebudayaan „murni‟ – dalam arti bukan dalam kebudayaan perpustakaan, ilmu pengetahuan, atau kolektor – naskah disimpan oleh banyak kalangan masyarakat, mencakup orang biasa, bangsawan, ningrat, dan tokoh agama serta tokoh kebudayaan. Di Bali, misalnya, ada naskah yang dimiliki oleh pemangku dan balian. Naskah itu digunakan dalam kegiatan sehari-hari sehingga cepat rusak. Naskah itu memang diproduksi untuk digunakan dan tidak dianggap sebagai benda yang luar biasa yang perlu diperlakukan dengan teliti dan harus dikagumi. Naskah dalam kalangan bangsawan Bali, di puri dan di kalangan pedanda di geria, ternyata mempunyai konteks yang sama sekali berbeda. Ada naskah yang digunakan dan dibaca, tetapi juga ada naskah yang ditulis dengan sangat rapi dan bagus dan hanya untuk disimpan di perpustakaan kerajaan. Naskah kelompok pertama sering 25
Tentu saja ada kekecualian seperti buku Ben Arps: Tembang in two traditions (1992), Adrian Vickers tentang Malat (2005) dan riset saya sendiri terhadap Puspakrama (2002). 110
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
mengandung teks yang lebih baik daripada yang kedua karena pembuatnya memang akrab dengan isinya, sementara naskah kalangan kerajaan mungkin dibuat oleh orang yang belum jelas keakrabannya dengan isi naskah, walaupun kepintaran untuk menulis tidak perlu disangsikan.26 Naskah ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan prestise pemilik. Tokoh yang memiliki banyak naskah dianggap sebagai orang berwibawa dan berpengetahuan. Riset tentang naskah di kalangan keraton dan puri juga masih terbatas, dalam arti kita tidak tahu apakah naskah yang bagus dan rapi itu disimpan dengan baik sehingga teks tidak akan hilang, sementara yang digunakan adalah naskah salinannya. Kalau salinannya rusak, dapat dibuat lagi salinan dari naskah yang disimpan di perpustakaan puri atau keraton. Apakah peran naskah di perpustakaan kerajaan sebenarnya masih kurang dipahami.? Riset tentang naskah sebagai objek fisik dan perannya di kebudayaan asalnya jarang dilakukan sehingga kita tidak banyak mengetahui tentang hal yang berkaitan dengan naskah itu, seperti jenis kelamin dan posisi sosial pembuat naskah, bahan naskah, posisi naskah di antara kebudayaan fisik sekitarnya, dan lain sebagainya. Sering peneliti cenderung untuk menganggap semua naskah memang dibuat untuk dibaca atau dibacakan. Menurut saya, banyak naskah mengandung teks namun teks itu tidak pernah dibuka atau dibaca(kan) karena naskah sebagai objek fisik memiliki peran tersendiri. Naskah sebagai objek fisik yang tidak atau jarang dibuka sebenarnya merupakan benda mati. Misalnya di Lombok, naskah lontar kecil yang mengandung cerita Nabi Aparas mungkin tidak pernah dibaca karena merupakan jimat.27 Di sini kita juga melihat peran naskah sebagai objek pusaka yang disimpan tetapi tidak pernah dibuka. Jadi, naskah tetap dianggap sebagai wadah teks, tetapi kita jangan lupa naskah juga memiliki peran sebagai objek fisik, terlepas dari isinya. Tentu saja sebuah naskah dapat memiliki lebih dari satu peran untuk orang yang berbeda. Bagi seseorang naskah lontar Nabi Aparas merupakan 26 27
Sejauh mana pernyataan saya ini benar perlu diuji dalam riset lapangan. Lihat Van der Meij 2010:448.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
111
jimat belaka sementara untuk orang lain, naskah itu justru dibaca dan didiskusikan. Peran lain dari naskah sebagai objek fisik adalah keharusan keberadaan naskah dalam setiap upacara. Di Bali, misalnya, naskah lontar memiliki peran penting sebagai objek fisik yang mengandung teks karena untuk kalangan orang tertentu, teks hanya sah dan boleh dibacakan dalam rangka upacara kalau ditulis di atas daun lontar. Kaitan antara teks dan bahan yang boleh digunakan untuk menyimpan teks belum cukup diteliti. Kaitan tersebut penting dan dapat dilihat dari contoh berikut. Sampai sekarang, di Bali ada kecenderungan untuk „melontarkan‟ teks yang baru dikarang di atas kertas dan lontar itu. Jadi bukan naskah kertas yang disimpan di perpustakaan seperti di Perpustakaan Dinas Kebudayaan Bali di Denpasar, Gedong Kirtya di Singaraja dan Universitas Udayana di Denpasar. Contoh dari dunia Islam adalah naskah Alquran raksasa di Museum Bayt Alquran dan Museum Istiqlal di Jakarta Selatan yang juga tidak pernah dibuka untuk dibaca, tetapi berada di sana untuk dipajang. Ada lagi peran naskah yang sama sekali lepas dari isi teksnya. Di sini naskah dianggap sebagai benda pusaka yang sangat berkuasa karena mengandung kekuatan gaib. Di Lombok, misalnya, naskah lontar dimandikan dan airnya digunakan sebagai obat atau naskah dimandikan untuk membersihkannya dari noda-noda yang merusak. Sayang sekali, juga di sini para antropolog tidak banyak memberikan informasi yang bermakna yang menimbulkan frustrasi bagi filolog modern, misalnya, dalam buku yang sangat bermanfaat dan sangat menarik, Remember to Live. Illness at the Intersection of Anxiety and Knowledge in Rural Indonesia (Ingatlah untuk Hidup. Penyakit di persimpangan keprihatinan dan pengetahuan di Indonesia pedesaan) yang ditulis oleh M. Cameron Hay (2001). Di pedesaan Lombok orang percaya bahwa penyakit dibawa oleh roh jahat sehingga roh itu harus didamaikan. Pada suatu waktu, seorang anak sakit keras. Cameron Hay bercerita bahwa tarian harus diselenggarakan dan rupanya naskah-naskah lontar harus dimandikan. Informasi selanjutnya tentang lontar dan untuk apa lontar harus dimandikan 112
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
sama sekali tidak diberikan lagi. Naskah lontar Puspakrama dilaporkan juga dimandikan dan air mandi diules di perut perempuan yang sulit menjadi hamil supaya kehamilan dimungkinkan (Van der Meij 2002:191). Peran sosial naskah sebagai objek fisik juga dapat dilihat pada aspek estetisnya. Mungkin kita dapat menyimpulkan bahwa makin cantik naskah, makin kecil perannya sebagai teks yang dibaca. Suatu peran naskah lontar yang jauh dari dugaan saya muncul waktu ayah angkat saya di Bali, I Gusti Ngurah Ketut Sangka, menyatakan lontar memang berbentuk panjang dan enak dipegang supaya dapat digunakan sebagai senjata ketika terdesak. Hal itu merupakan jawaban atas pertanyaan saya mengapa bentuk naskah lontar seperti itu. Sering naskah berada di tempat upacara yang sedang dilangsungkan. Dugaan saya, di Lombok selama ritual berlangsung naskah „harus‟ dibacakan tetapi juga „harus‟ berada di tempat ritual sebagai objek fisik, sebagai bagian dari perlengkapan ucapara yang disediakan. Saya menulis kata „harus‟ di antara tanda kutip karena keharusan ini perlu dibuktikan dan saya ragu apakah di pedesaan di Lombok memang ada keharusan seperti ini. Mungkin lebih tepat kita mengatakan „hendaknya‟ daripada „harus‟. Suatu hal yang menarik dalam konteks ini adalah saya pernah mendengar cerita bahwa pada upacara tertentu, suatu teks dibacakan dari naskah lontar. Padahal ternyata isi naskah itu berbeda dengan yang dituturkan. Membawakan teks ternyata tidak bisa tanpa keberadaan naskah. Menarik di sini untuk ditambahkan bahwa di Lombok penyanyi teks kadang-kadang buta sehingga mereka tidak mungkin dapat membacakan teks dari lontar (lihat Vogelesang 1922, Van der Meij 2002:188). Teks dalam konteks Semua naskah atau teks memiliki peran tertentu dalam kebudayaan dari mana naskah atau teks itu berasal. Hal itu harus diingat kalau kita mengkaji teks berdasarkan naskah. Namun, untuk seorang peneliti, acap kali sangat sulit untuk memastikan Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
113
apa sebenarnya peran itu dan kenapa teks itu dilestarikan dalam kebudayaan tertentu selama beradab-abad lamanya. Apa pentingnya isi sebuah cerita yang mirip dongeng untuk orang di lingkungan kebudayaan tempat dongeng itu berasal? Apa yang harus kita cari dalam „dongeng‟ itu sehingga pertanyaan itu terjawab? Sikap orang terhadap naskah dan teks sangat berbeda. Ada kebudayaan yang melestarikan naskah dengan sangat teliti atau golongan tertentu dalam sebuah kebudayaan yang melestarikan naskah dengan baik, namun golongan lain tidak. Hubungan perorangan, perkelompokkan dan perbangsaan sangat menentukan sikap terhadap naskah dan teks. Cara penyimpanan naskah juga bisa bergantung pada isinya. Di antara orang Sasak Waktu Telu terdapat orang yang memang sangat teliti dengan naskah walaupun orang lain menjualnya ke toko antik tanpa masalah apapun. Pengetahuan tentang naskah dan isi naskah sering kali sudah sangat sedikit karena perkembangan zaman modern. Kita sering menemukan bahwa naskah Alquran yang berisi teks yang luhur ditelantarkan dan tidak disimpan dengan teliti. Naskah sering dianggap sebagai barang pusaka yang penting, namun mengapa tidak disimpan dengan baik. Hal itu merupakan tanda tanya untuk saya. Mungkin orang tidak menyadari bahwa naskah dapat rusak karena iklim dan serangga, ataupun di Indonesia banyak orang tidak terlalu terobsesi dengan melestarikan dan menyimpan barang dari zaman dan kebudayaan yang sudah lewat. Hal itu sebenarnya juga belum diteliti sehingga peneliti sebaiknya jangan menilai orang dan kebudayaan, tetapi hendaknya mencari jalan untuk memahami keadaan itu dari sudut pandang masyarakat dengan latar belakang kebudayaan tersebut. Naskah dan personalitas perorangan penyalin, penulis, dan pemilik Kita tidak mengetahui bagaimana penulisan naskah pada zaman dahulu. Kita tidak tahu apakah naskah yang berada di depan kita dibuat oleh seseorang yang memang berbakat atau oleh seseorang 114
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
yang baru belajar. Namun, perbedaan kualitas isi naskah sangat bergantung pada kepribadian penyalin atau penulis. Tentu saja ada hal yang sangat jelas, seperti dikatakan di atas, di puri dan geria di Bali atau di keraton di Jawa, sangat besar kemungkinannya penyalin diawasi oleh pengawas keraton atau puri. Di samping itu tentu saja para raja menyuruh memilih juru salin atau penulis yang berbakat. Naskah di puri atau keraton juga diharapkan kelihatan rapi dan bagus atau disimpan di perpustakaan istana dengan baik, walaupun tidak selalu dapat dianggap demikian. Di keraton naskah juga tidak selalu dilestarikan dengan semestinya sehingga di sana juga banyak naskah rusak dan lapuk. Di kalangan masyarakat biasa, cara menyalin atau menulis naskah sama sekali tidak diketahui. Pada satu segi kita harus membayangkan keadaan pedesaan. Orang di pedesaan sibuk mencari nafkah dengan berladang atau bekerja di sawah sehingga mereka baru pulang pada malam hari. Jadi, orang tidak akan mempunyai waktu untuk menulis, kecuali bila penulisan dilakukan oleh orang yang sudah lanjut usia dan tidak dapat bekerja keras lagi. Di pedesaan juga tidak ada listrik dan toko yang menjual kertas dan pena. Di daerah itu, kita sering melihat bahan diperoleh dari kalangan sendiri atau kalangan yang tidak berbeda jauh status sosialnya dari penyalin atau penulis. Kita dapat menduga bahwa naskah dluwang atau lontar dibuat oleh orang di kalangan masyarakat yang belum atau tidak mengenal kertas sehingga mereka menggunakan bahan yang diakrabinya. Tentu saja bakat dan minat penulis juga menentukan hasil karyanya. Seseorang yang berbakat menulis dan memperlakukan bahan tulisnya dengan baik akan menghasilkan naskah yang lebih rapi dan bagus daripada orang yang karyanya hanya asal-asalan saja. Naskah di Lombok Naskah lontar di Lombok ditulis dalam bahasa Jawa atau Sasak sementara naskah bahasa Melayu, Arab, dan Bugis juga ditemukan namun dalam jumlah yang jauh lebih kecil. Naskah Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
115
yang mengunakan bahasa Melayu, Arab, dan Bugis itu tidak menggunakan daun lontar tetapi kertas. Mengingat apa yang saya tulis di atas, perbedaan bahan yang digunakan dapat merujuk ke status sosial atau ke ciri khas kebudayaan yang berbeda. Orang Bugis dan Melayu sudah mengenal kertas jauh lebih awal daripada orang di pedalaman Lombok. Daun lontar jarang digunakan orang Bugis Makassar untuk membuat naskah. Sejauh yang saya tahu, tidak ada atau jarang sekali naskah Melayu ditulis di atas daun lontar. Sejarah kesusastraan di pulau Lombok masih cukup gelap karena tidak adanya sumber dari Lombok sendiri yang membahas sejarah itu dan belum banyak riset yang dilakukan terhadap keadaan kesusastraan di Lombok.28 Jumlah edisi teks dari Lombok sangat sedikit dan sering susah untuk dicari karena merupakan tesis atau buku proyek P&K yang tidak diperjualbelikan.29 Yang ada tetapi juga tidak mudah ditemukan adalah terbitan transkripsi naskah lontar yang disimpan di museum NTB.30 Jika sejarah sastra di Lombok saja masih kurang diketahui, apalagi sejarah naskah di Lombok. Namun, kenyataan bahwa di Lombok terdapat luar biasa banyak naskah lontar sudah sejak dini diperhatikan oleh pejabat pamong praja Belanda di Lombok yang melaporkan hal ini dalam laporan penyerahan (Memories van Overgave) mereka31. Nasib naskah di Lombok juga dapat dibaca dalam laporan itu dan kadang-kadang nasib naskah orang Sasak Waktu Telu memang buruk karena banyak naskah dilaporkan dimusnahkan oleh orang Sasak Waktu Lima, terutama pada masa sebelum dan di antara kedua Perang Dunia.32 Akhir-akhir ini nasib naskah semakin buruk karena sedikit sekali 28
Untuk riset yang berguna tentang kesusastraan Lombok lihat Marisson 1999a dan 1999b. 29 Lihat, misalnya, Van der Meij 2002, 2011b, Argawa 2007, Riana 2007. 30 Untuk daftar suntingan teks dari Lombok dalam bahasa Jawa dan Sasak dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia lihat Van der Meij 2011b:42-45. 31 Lihat Memories van Overgave dari S. van de Brink (1917), J.C. Man (1920), L. van Stenis (1923) dan H. Beeuwkes, A.W.L. Vogelesang dan J.C. Ham (1929). 32 Itu menurut Memories van Overgave. Kebenaran pernyataan ini harus diuji karena informasi dari sumber yang lain belum ditemukan. 116
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
orang yang melek huruf jejawen dan perhatian orang modern diarahkan ke hal lain. Kenyataan itu dan keadaan ekonomi orang Sasak, menyebabkan banyak naskah dijual ke luar negeri, ke museum Nusa Tenggara Barat atau ke perorangan di Indonesia. Koleksi naskah lontar Museum Nusa Tenggara Barat di Ampenan, Mataram dan di Gedong Kirtya, Singaraja cukup besar, tetapi nasib naskahnya juga memprihatinkan karena pelestariaannya kurang optimal. Hal ini antara lain disebabkan oleh kenyataan bahwa perhatian pemerintah daerah terhadap naskah dan perpustakaan lebih bergantung dari ada tidaknya perhatian bupati daripada dijamin oleh perundang-undangan. Walaupun demikian, masih banyak naskah berada di tangan orang Sasak sendiri. Apa yang sekarang dilakukan dengan naskah itu kurang diketahui. Seringkali cara penyimpanannya kurang teliti sehingga banyak naskah yang masih disimpan tetapi kondisinya sudah rusak parah sehingga tidak dapat dibaca lagi.
Naskah lontar dari Lombok: Joarsah (koleksi pengarang).
Hampir semua naskah Lombok menggunakan daun lontar dari kualitas yang agak kurang baik sehingga cepat rusak, patah, dan dimakan serangga. Hal ini ternyata disebabkan oleh jenis dan Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
117
kualitas pohon lontar yang tumbuh di Lombok atau cara mempreparasi daun lontar untuk dijadikan bahan tulis. Bahan daun lontar yang digunakan masyarakat Bali33 di Lombok jauh lebih baik dan mungkin saja daun lontar itu dibawa dari Bali. Ternyata orang Sasak tidak memperhatikan cara pelestarian naskah mereka karena mereka selalu bisa membuat naskah baru kalau dibutuhkan. Pelestarian naskah dianggap tidak perlu karena peran teks tidak ada lagi, maka naskah tidak perlu disimpan atau disalin ulang. Teks yang dianggap perlu disalin atau ditulis kalau naskah mulai rusak. Apakah sebuah naskah memang merupakan salinan dari naskah lain kita tidak tahu. Mungkin saja ada teks yang disalin dan ada teks yang ditulis ulang. Perbedaannya adalah bahwa hasil penyalinan mungkin - tetapi tidak selalu - dikehendaki sama dengan aslinya, namun hasil tulisan ulang dapat berbeda dalam banyak hal karena merupakan ciptaan pribadi penyalinnya. Dalam naskah hasil penulisan ulang kita melihat jumlah bait per pupuh sering kali berbeda-beda, pemakaian kata tidak sama dan banyak hal yang lain yang berbeda juga.34 Saya pernah mendapat informasi bahwa naskah memang tidak selalu merupakan salinan. Sebagai contoh, ada orang yang membawa daun lontar yang masih kosong ke sawah dan menulis teks di atasnya ketika orang itu lagi istirahat.35 Orang itu mengenal teks yang akan ditulisnya karena sudah sering mendengarnya dan sudah terbiasa dengan ceritanya, sehingga naskah itu ditulisnya begitu saja. Kalau memang begini, berarti ada naskah yang bukan hasil salinan, sehingga tidak ada kaitan antara satu naskah dengan naskah lain karena setiap naskah merupakan ciptaan otonom (tersendiri). Sejarah penulisan naskah di Bali sangat dipengaruhi oleh pemikiran bahwa isi naskah harus sama dengan isi naskah yang disalin atau, dengan kata lain, teks tidak boleh diubah. Saya menduga pemikiran itu tidak selalu benar. Kalau kita melihat 33
Untuk artikel mutakhir tentang pembuatan daun lontar sebagai alas teks lihat Ida Bagus Rai Putra 2011. 34 Untuk penelitian mendetail tentang perbedaan antara tiga naskah Nabi Aparas dari Lombok lihat Van der Meij 2010. 35 Informasi lisan dari mahasiswa saya Jamaluddin, 2009. 118
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
besarnya perbedaan yang terdapat di antara naskah-naskah yang berisi teks yang sama, dapat disimpulkan bahwa penulis tidak diharapkan akan selalu mengkopi naskah, tetapi juga menulis ulang cerita dengan menambahkan fantasi penulis sendiri, mengurangi atau bahkan menghilangkan bagian yang tidak disukai, tanpa mengganggu jalur cerita. Tentu kemungkinan terdapat berbagai variasi karena naskah ditulis berdasarkan contoh yang diberikan, tetapi diubah menurut kehendak sang pembuat naskah. Kolofon Menurut saya, paling sedikit ada dua tradisi, yaitu naskah yang merupakan salinan dari naskah lain dan naskah otonom. Keduanya bisa berisi teks yang sama. Jadi, satu naskah Puspakrama, misalnya, dapat merupakan naskah baru yang ditulis oleh seseorang yang sudah mengenal ceritanya atau merupakan salinan dari naskah lain. Salah satu cara untuk mengetahui adalah dengan mengacu kepada kolofon yang dapat memberikan informasi tentang naskah. Naskah yang saya sunting dalam disertasi saya adalah Cod. Or. 22.474 yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Naskah ini memiliki kolofon yang berbunyi: Duk puput sinurat, jlo saptu, tanggal 13, jumadilawal, i saka, 1363, surat puniki ta gaduh isi‟ pupu‟ nutri, le‟ desa, Obel-obel, guna tulisine, jari semangetan ko‟nya. Tanda pringetan sijaripiya‟ surat, orot Ama‟ Kretaji, le‟ desa Obel-obel, kyai Obel-obel.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Waktu penulisan, hari Sabtu, tanggal 13, Jumadilawal, pada tahun, 1363 Saka (=6 Mei 1944). Teks ditulis oleh Kakek Nutri, di desa, Obel-obel. Teks ini ditulis dalam rangka selamatan untuk kerbau. Tanda peringatan: naskah (asli), ditulis oleh Ama‟ Kertaji, dari desa, Obel-obel, kyai Obelobel.
119
Kolofon ini memang menyebutkan bahwa naskah Cod. Or. 22.474 merupakan salinan dari naskah Ama‟ Kertaji. Masalah yang muncul di sini adalah banyak naskah yang sama sekali tidak mempunyai kolofon atau memiliki kolofon yang sangat singkat, yang tidak menyebutkan apakah naskah itu merupakan salinan atau tidak. Perhatikan kolofon naskah Puspakrama koleksi museum Nusa Tenggara Barat No. 3392: Puput tinadu pustaka, Puspakrama rake kang anami, dawag dina saniscara, tur kaliwon rakeki, kuningan kang uku niki, ulan rajab duk aputus, wawu pitu tatanggalan, usan lohor rapat sari, Mamiq Sari wastane kang anurat dari desa.36
Selesailah dituturkan pustaka ini, Puspakrama namanya, pada hari Sabtu Kaliwon dalam wuku Kuningan. Selesai pada tanggal 7 bulan Rajab setelah dzuhur menjelang ashar. Nama penulisnya adalah Mamiq Sari dari desa.37
Dari kolofon ini diketahui siapa yang „anurat‟ naskah ini dan kapan. Naskah Cod. Or. 22.474 juga menggunakan istilah yang mengandung kata „surat‟ yang biasanya diterjemahkan dengan „tulis‟. Informasi selanjutnya sayang sekali tidak ada sehingga tidak jelas apakah naskah ini merupakan salinan atau ciptaan otonom. Kontekstualisasi teks di Lombok Naskah, teks, dan upacara Di Lombok, naskah dan teks tidak diproduksi dan ditulis untuk dibaca dan dinikmati di rumah, tetapi kebanyakan dibuat untuk keperluan dalam ritual. Ritual itu diselenggarakan terutama untuk rite de passage, yaitu untuk mengiringi peralihan status seseorang di masyarakat atau untuk menandai peralihan status pribadi, 36
Lihat Transliterasi dan Terjemahan Naskah Lontar Puspakrama 2005 hlm. 261. 37 Terjemahan dari saya. 120
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
seperti upacara tingkeban, kelahiran, potong rambut, potong gigi, pernikahan, dan pemakaman, untuk upacara Islam seperti khitanan, dan juga untuk mengatasi masalah pribadi yang tidak dapat diselesaikan dengan obat. Misalnya, kalau seorang anak mendapat masalah dalam belajar berbicara atau berjalan, atau kalau seorang wanita mendapat kesulitan untuk hamil. Di samping itu ada juga upacara yang berhubungan dengan pertanian. I Nyoman Argawa menyebutkan tiga jenis upacara: gawé urip, yaitu upacara yang berhubungan dengan hidup manusia, gawé pati, yang berhubungan dengan kematian manusia, dan upacara yang berhubungan dengan pertanian seperti tanaman padi atau mengantar kerbau turun dari pegunungan. Semua upacara ini diawali dengan ritual ziarah makam (Argawa 2007:155). Selain itu juga ada gawé rasul (Van Riel 1941:73) yaitu upacara yang diselenggarakan dalam rangka hari raya Nabi Muhammad. Dari literatur yang ada, tidak jelas apakah naskah dan teks wajib mengiringi upacara, atau masyarakat dapat memilih sendiri untuk mengadakannya atau tidak. Cameron Hay menyebutkan lima jenis upacara rite de passage (begawai): pernikahan, besumbut (upacara kehamilan pertama), molang-malik (upacara pemberian nama), khitanan (pada waktu orang lelaki betul memasuk masyarakat Islam), dan bekuris (upacara di mana orang betul-betul memasuk masyarakat kosmologis dan kebudayaan). Selain itu ada tujuh begawai yang diselenggarakan untuk orang yang meninggal: pada hari pertama, ketiga, kelima, kesembilan, keempatpuluh empat, seratus dan seribu. Upacara pada hari kesembilan harus upacara besar (Cameron Hay 2001:53). Sayang sekali Hay tidak menyebutkan apakah naskah hadir pada upacara ini dan mungkin saja di desa tempat Hay melakukan risetnya memang naskah tidak ditemukan pada upacara ini. Gambaran umum yang didapat adalah bahwa upacara yang dilaksanakan untuk seseorang diiringi oleh selamatan dan lain sebagainya. Hasil riset antropologi sering menyebutkan banyak detail tentang upacara dan peralatannya (kecuali teks dan Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
121
pembacaannya). Salah satu adegan simpangan pada upacara adalah pembacaan cerita dari naskah. Biasanya adegan ini disebut pepaosan di mana ada seseorang (pemaos) yang membacakan teks (maca [lihat Ramlan 1922]) yang biasanya ditulis dalam bahasa Jawa. Ada seorang penerjemah (pujangga) untuk mengisahkan ulang isi cerita dalam bahasa Sasak dan beberapa orang hadir untuk ikut mengiringi irama pembacaan (penyokong). Rupanya hadirin dapat meminta pujangga untuk menerjemahkan bagian tertentu (Ramlan 1922:27), sehingga rupanya tidak semua teks diterjemahkan. Penyokong tersebut sebenarnya tidak menerjemahkan teks tetapi memberikan interpretasi dalam bahasa Sasak atas apa yang dibacakan. Semua teks ditulis dalam tembang macapat yang memang dimaksudkan untuk dilagukan. Dari literatur yang ada juga tidak jelas apakah pembacaan lontar memang diharuskan untuk semua upacara atau orang boleh memutuskan sendiri apakah mereka akan mengundang orang untuk membacakan naskah. Dari banyak percakapan saya dengan pakar kebudayaan yang bernama Lalu Gde Suparman (alm.) hal ini juga tidak pernah menjadi jelas. Hal penting yang berkaitan dengan upacara di pedesaan adalah biaya.38 Mengadakan upacara cukup mahal biayanya, sehingga dapat diperkirakan orang akan berusaha untuk menyelenggarakan upacara dengan biaya yang sesedikit mungkin karena kebanyakan orang pedesaan Lombok sangat miskin. Mungkin saja karena itu naskah tidak selalu hadir. Kaitan kemiskinan dan kesulitan hidup masyarakat pedesaan serta jumlah naskah yang luar biasa banyaknya belum pernah ditelusuri, tetapi mungkin saja jumlahnya yang besar itu justru untuk mencoba menjauhkan malapetaka yang disebabkan oleh gagal panen dan lain sebagainya, serta untuk mendamaikan para kekuatan gaib yang diyakini orang Sasak selalu mengancam masyarakat manusia. Mungkin naskah ditulis dan disimpan sebagai jimat dan benda pusaka saja dan memang tidak untuk dibaca(kan). Status sosial pemaos, pujangga, dan penyokong tidak jelas. 38
Cameron Hay membahas biaya sejumlah upacara dalam bukunya pada halaman 53.
122
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Mungkin mereka orang biasa dari lingkungan tempat upacara dilangsungkan. Mungkin saja mereka memiliki status yang istimewa. Apakah status mereka harus sama dalam setiap upacara juga belum jelas. Apakah mereka dari golongan dukun dan balian atau dari golongan kiai juga tidak jelas. Dalam bukunya, “Satu Agama Banyak Tuhan”, Kamarudin Zaelani menulis bahwa dalam upacara desa sebuah „takepan‟ (lontar) dibacakan oleh sekelompok kiai39 bersama-sama dengan pemuka adat lainnya di „berugak‟ (balai bengong atau balai kecil untuk istirahat) namun peran mereka sebenarnya di lingkungan mereka tidak diperikan dengan lebih terperinci (Zaelani 2007:151). Rupanya, pembacaan naskah tidak perlu bagus dan tidak perlu dipahami. Pembacaannya tidak untuk dinikmati namun diadakan dengan maksud yang lain. Ini dapat disimpulkan dari pemerian Vogelesang (1922) yang menulis bahwa pemaos membacakan teks dengan sedemikian cepat sehingga pendengar tidak selalu dapat menangkap apa yang dilagukan, apalagi memahahaminya. Peramaian pembacaan Sebaiknya kita jangan membayangkan suasana yang terlalu sakral pada sidang pembacaan naskah, karena pembacaan dapat berlangsung selama berjam-jam, para hadirin dan malahan pemaos sendiri bisa saja tertidur, sehingga dalam naskah ditemukan banyak hal yang dimaksudkan untuk menyesatkan pembaca atau pujangga supaya keadaan tetap ramai dan orang dapat ketawa kalau ada orang yang melakukan kesalahan. Misalnya, dalam naskah digunakan huruf aneh, tanda huruf hidup tidak diberikan, kalimat atau suku kata bolak-balik, halaman lontar berikutnya terbalik, dan lain sebagainya. Rupanya, suasana diramaikan dengan hal yang lucu supaya orang terhibur seraya mengikuti upacara (lihat Van der Meij 2002:185-192). Di dalam lontar dari Lombok sering ditemukan pertukaran aksara yang ditandai dengan reret di bawah aksara (seperti pa39
Menurut Cameron Hay, kiai memiliki kepakaran dalam hal agama dan kesucian sementara para dukun adalah spesialis tentang jin dan roh gaib dan guna-guna (h. 75).
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
123
rĕrĕt yang menghasilkan rĕ atau ba-rĕrĕt yang menghasilkan /sa/ atau /i/. Huruf ini muncul dengan tiba-tiba dan kadang-kadang dalam satu naskah hanya ada satu huruf yang dipertukarkan. Sistem pertukaran adalah sebagai berikut (Van der Meij 2002:10): ha – ba
ca – nga
ka - wa
sa – ga
na - la
ra - pa
da - ta
ja – ña
ya - ma
Jadi, kalau ditemukan wa harus dibacakan ka dan sebaliknya kalau ditemukan ka harus dibacakan wa dan seterusnya. Menarik dalam sistem ini adalah bahwa pa-rĕrĕt dibaca sebagai /pa/ dan tidak lagi sebagai /rĕ/. Menarik lagi adalah bahwa sistem ini rupanya tidak selalu begini dan ada naskah yang memakai sistem yang mirip tetapi tidak persis sama. Sebagai contoh kehilangan tanda huruf hidup: ka kasyan nulya ngamban anakara, majal a pancanata, tan kawana a maga, aglas prapta ing man yang harus dibaca: Ki Kasyan nulya ngemban anakira, mijil in pancaniti, tan kawarna ing marga, aglis prapta ing
man (Ki Kasyan kemudian mengemban anaknya dan muncul di balai penangkilan. Kita tidak membicarakan tentang perjalanannya. Segera mereka sampai di taman) (Van der Meij 2002:46). Ternyata, tidak seluruh teks dibacakan. Hal itu disebabkan teks terlalu panjang sehingga tidak bisa diselesaikan pada waktu upacara berlangsung atau karena isi seluruh teks tidak semua menarik atau tidak semua ada kaitan dengan tujuan upacara. Biasanya, teks yang dibacakan dipilih berdasarkan isi teks yang ada kaitannya dengan upacara. Hal ini dapat menjelaskan mengapa banyak naskah tidak ada bagian cerita awal atau akhir karena bagian cerita itu memang tidak ada kaitan dengan tujuan upacara. Jadi, kapan dan dalam rangka apa teks dari lontar dibacakan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelusuri banyak sumber dan informasi tetap sangat terfragmentasi. Gambaran yang muncul adalah sebagai berikut: 1. Takepan Layang Anbiya dibacakan pada upacara desa (Zaelani 124
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
2007:151). 2. Nabi Aparas dibacakan pada upacara potong rambut (Van der Meij 2002:190). 3. Lontar Jatiswara: Upacara Ngayu-ayu tetapi hanya di Sembalun saja (Zaelani 2007:131) sehingga sangat lokal. Dibacakan untuk menyembuhkan sejumlah penyakit (Supratno 1994:7) dan bersih desa (Van Riel 1941:73. Naskah ini juga ada kaitan dengan pertanian (Van der Meij 2002:191). 4. Takepan Tapel Adam dibacakan selama upacara desa berlangsung (Zaelani 2007:151). 5. Cilinaya dibacakan pada upacara potong rambut (Van der Meij 2002:190). 6. Lontar Selandir: dibacakan untuk menyembuhkan anak lumpuh (Wacana et al. 1985:45). 7. Lontar Puspakrama: bagian tertentu dibacakan untuk menyembuhkan kemandulan wanita (Van der Meij 2002:191), pada upacara tingkeban dan upacara potong rambut (Van der Meij 2002:190). Naskah ini juga ada kaitan dengan pertanian (Van der Meij 2002:191). 8. Lontar Ajarwali: dibacakan untuk menyembuhkan anak yang ada kesulitan untuk mulai bicara (Supratno 1994:6). 9. Lontar Indarjaya: dibacakan untuk menyembuhkan anak yang ada kesulitan untuk mulai bicara (Supratno 1994:6). Juga untuk menyembuhkan anak yang ada kesulitan untuk mulai berjalan (Van der Meij 2002:191). 10. Lontar Indrabangsawan: dibacakan untuk menyembuhkan anak yang ada kesulitan untuk mulai bicara (TIM 1990). 11. Lontar Yusuf dibacakan kalau orang baru akan menghuni rumah baru (Supratno 1994:7), pada upacara Alip di Bayan (Van Baal 1941:17), upacara Sapu (Polak 1978) dan upacara Metulak (Van der Meij 2002:191). Naskah ini juga dibacakan pada upacara potong rambut (Van der Meij 2002:190). 12. Nabi Muhammad dibacakan kalau orang baru akan menghuni rumah baru (Supratno 1994:7). Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
125
13. Banyu Urung dibacakan pada upacara gawé rasul pada upacara bersih desa (Van Riel 1941:73). 14. Joarsah. Naskah ini ada kaitan dengan pertanian (Van der Meij 2002:191). 15. Monyeh dibacakan pada upacara potong rambut (Van der Meij 2002:190). 16. Menak dibacakan pada upacara potong rambut (Van der Meij 2002:190). 17. Kitab Berzanji dibacakan pada upacara potong rambut (Van der Meij 2002:190). 18. Lontar Kilabangkara dibacakan pada acara khitanan.40 19. Rengganis dibacakan pada upacara kelahiran bayi.41 Kesimpulan Dari apa yang disebutkan di atas, jelas bahwa gambaran tentang penggunaan naskah dan teks di Lombok masih jauh dari lengkap. Hubungan naskah yang dibacakan pada upacara dan isi teks kadang-kadang sangat jelas, tetapi juga bisa sama sekali tidak ada. Kesimpulannya adalah bahwa pada sebuah upacara ada naskah yang harus dihadirkan dan ada teks yang perlu dibacakan. Relasi antara upacara dan teks kurang penting dibandingkan keberadaan naskah dan teks yang dibacakan. Sikap terhadap naskah dapat mempengaruhi sikap terhadap teks dan sebaliknya. Kalau hubungan teks-naskah-konteks lebih dapat dipahami kita juga dapat mengerti dan menilai perbedaan yang terdapat di antara teks yang terkandung dalam naskah. Informasi ini sampai sekarang tetap masih fragmentaris karena kurang adanya informasi dalam kajian antropologi dan kurangnya jumlah filolog yang pernah turun ke lapangan (termasuk pengarang). Banyak naskah tidak memiliki kolofon sehingga kita sama 40
Lihat:http://sman1bayan.wordpress.com/2010/06/10/pembacaan-lontar-tradisimasyarakat-dayan-gunung/ diakses 14-8-2012/16.55. 41 Lihat:http://sman1bayan.wordpress.com/2010/06/10/pembacaan-lontar-tradisimasyarakat-dayan-gunung/ diakses 14-8-2012/16.55. 126
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
sekali tidak tahu apa-apa tentang latar belakang naskah, penyalin/penulis, dan tempat/waktu penulisan. Kita cenderung untuk memperlakuan semua naskah dengan cara yang sama dan menganggap semua naskah sebagai wadah teks dengan status yang sama. Hal itu ada bahayanya karena status naskah dapat berbeda sehingga pendekatan kita terhadap naskah itu seharusnya juga berbeda. Mungkin kita jangan lagi hanya berbicara tentang edisi, tetapi yang harus dikedepankan hubungan antara teks, tradisi, dan isi. Untuk itu kita memang memerlukan „edisi‟, tetapi bentuk „edisi‟ itu merupakan hal yang masih memerlukan banyak pemikiran. Bagaimana perbedaan pendekatan itu akan menghasilkan edisi dan suntingan teks akan dibahas dalam kesempatan yang lain. Daftar Pustaka Argawa, I Nyoman (2007). Fungsi dan Makna Mitos Dewi Anjani dalam Kehidupan Masyarakat Sasak. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Arps, Bernard (1992). Tembang in Two Traditions. Performance and Interpretation of Javanese Literature. London: School of Oriental and African Studies. Baal, J van (1941). “Het Alip-feest te Bajan”. Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck-van der Tuuk 16:1-42. Marrison, Geoffrey E. (1999a). Sasak and Javanese Literature of Lombok. Leiden: KITLV Press. Marrison, Geoffrey E. (1999b). Catalogue of Javanese and Sasak tekts. Leiden: KITLV Press. Polak, Albert (1978). Traditie en tweespalt in een Sasakse boerengemeenschap (Lombok, Indonesië). Disertasi yang tidak diterbitkan Universitas Utrecht. Putra, Ida Bagus Rai (2011). “Lontar; Manuskrip Perekam Peradaban dari Bali”. Jumantara. Jurnal Manuskrip Nusantara 3/1:148:166. Ramlan R. (1922). “Besnijdenis in West-Lombok”. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 61:25-29. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
127
Riana, I Ketut (2007). Ki Kertanah: Nama Kecil Nabi Muhammad SAW. Denpasar: Penerbit Universitas Udayana. Riel, A.C.J. (1941). “Aanteekeningen naar aanleiding van het desafeest op den Poedjoetheuvel”. Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck-van der Tuuk 16:63-80. Supratno, Haris (1994). Sastra Sasak Pesisiran: Kajian Sosial Budaya Naskah Dewi Rengganis Versi Lombok. Simposium pertama Sastra Daerah Se-Indonesia di Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta 17-18 Mei 1994). TIM (V.J. Herman dkk.) (1990). Bunga Rampai. Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Museum Negeri Nusa Tenggara Barat. Van der Meij, Dick (2010). “The Shaving of the Prophet‟s Hair (Nabi Aparas): The Philology of Lombok Texts”. Studia Islamika 17/3:441-486. Van der Meij, Dick (2011a). “Kidung Dampati Lalangon: The philology of a Balinese text”. Dalam Titik Pudjiastuti dan Tommy Christomy (eds.), Teks, Naskah, dan Kelisanan Nusantara. Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram. Jakarta: Yanasa, pp. 334-361. Van der Meij, Dick (2011b). “Sastra Sasak Selayang Pandang”. Jurnal Manassa 1/1:17-46. Van der Meij, Theodorus Cornelis (2002). Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden: Research School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universiteit Leiden. Vickers, Adrian (2005). Journeys of Desire. A Study of the Balinese text Malat. Leiden: KITLV Press. Wacana, Lalu et al. (1985). Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi 128
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Kebudayaan Daerah. Zaelani, Kamarudin (2007). “Satu Agama Banyak Tuhan” Melacak Akar Sejarah Teologi Waktu Telu. Gomong Mataram: Pantheon Media Pressindo.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
129
Abstrak Naskah Awal Islamisasi ditemukan di Kawali, ditulis pada daluang (saeh), beraksara Cacarakan Kuna, berbahasa Jawa Kuna. Isinya terdiri dari dua bagian, pertama syariah, tentang solat dalam prosa, dan kedua tentang tasawuf dalam puisi, mencakup: Puh Dangdanggula, Puh Hartati dan Puh Sinom, tentang manunggaling kaula-Gusti. Teks sangat sulit dibaca dan dipahami. Pada bagian kedua banyak simbol yang dipahami menggunakan analogi terhadap konsep-konsep tasawuf yang lebih muda. Manusia di dalam batinnya harus selalu mengingat Tuhan, yaitu dengan menyebut AsmaNya. Getaran batin manusia diterbangkan oleh berbagai burung ke Aras. Kata Kunci: Islamisasi-Awal, Salat, Manunggaling kaula-Gusti, burung. Pendahuluan Kondisi penyebaran agama Islam pada awal Islamisasi penuh dengan kesulitan. Dapat dibayangkan bagaimana kerja keras para penyebar agama Islam, baik dalam menegakkan syariah, tauhid, dan budi pekerti, atau pemikiran-pemikiran Tasawuf yang rumit, * Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
130
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
yang semua sumbernya berbahasa Arab. Di samping hal tersebut, dapat dibayangkan juga betapa sulitnya proses alih budaya praIslam menuju ke budaya Islami, yang meliputi semua sendi kehidupan. Dapat ditafsirkan bahwa di samping berjuang keras dengan penuh kesabaran dan disertai pertimbangan yang adil secara mendalam, para penyebar Islam tersebut tidak membunuh tradisi yang ada namun mewarnainya dengan Islam. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan pada awal Islamisasi ialah terjadinya perkembangan keberaksaraan. Budaya ini berkembang dengan sangat pesat pada masa itu, menyebar ke segenap tingkatan sosial masyarakat. Mereka menulis dalam bidang apa pun di samping bidang muamalah, seperti ilmu pengetahuan, lebih-lebih lagi agama, termasuk juga sastra. Nama kitab suci Islam Alquran, yang berarti “membaca”, tampaknya merupakan motivasi dalam mengembangkan keberaksaraan pada masa itu. Kapan masuknya agama Islam ke Nusantara? Teori yang ada, dapat dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, yang mengatakan bahwa kedatangan Islam adalah pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 M. Pendapat ini dikedepankan oleh W. P. Groeneveldt, T. W. Arnold, Syed Naguib al-Attas, George Padlo Hourani, J. C. van Leur, Hamka, Uka Tjandrasasmita, dan lain-lain. Di lain pihak, kelompok kedua mengatakan bahwa kedatangan Islam dimulai pada abad ke-13 M. Teori kedua ini dikedepankan oleh C. Snouck Hurgronje. J. P. Moquette, R. A. Kern, Haji Agus Salim, dan lainnya (Tjandrasasmita, 2002: 1, 2). Teori pertama didasarkan pada catatan Tionghoa dari Dinasti Tang yang salah satunya menyebutkan kedatangan sejumlah orang dari Ta-shih yang membatalkan niatnya untuk menyerang Ho-ling di bawah rezim Ratu Sima (674 M). Kata Ta-shih diidentifikasi oleh Groeneveldt sebagai orang-orang Arab yang menetap di pantai barat Sumatra (Ibid: 2). Sebagai dasar teori yang kedua, Hurgronje menghubungkan dengan penyerangan dan pendudukan Baghdad oleh Raja Mongol, Hulangu, pada tahun 1258. Teori ini diperkuat oleh Moquette, berdasarkan temuan arkeologis, yaitu Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
131
batu nisan Sultan Malik as-Salih yang meninggal pada tahun 696 H (1297 M). Secara filologis di dalam naskah Sunda tergambar keduanya. Pertama dalam Babad Godog dikisahkan Kiyan Santang, Senapati Pajajaran, berkelana sampai ke Mekah untuk mencari lawan yang kesaktiannya seimbang dengan dirinya. Ia bertemu dengan Sayidina Ali dan Rasulullah. Yang kedua, “…penyebaran Islam didasarkan pada runtuhnya Kerajaan Pakuan dan Pajajaran. Dalam sebuah Babad dikisahkan upaya Cirebon menyebarkan agama Islam ke Galuh, Galuh kalah, rakyat dan pemimpinnya mundur ke Rawa Lakbok pada tahun 1565. Raja Galuh pada waktu itu Nusia Mulya” (Surianingrat, 1982: 14). Dalam Babad Banten diceritakan mengenai dua orang dalam Kerajaan Pajajaran, kakak beradik bernama Ki Jungju dan Ki Jongjo, yang karena sakit hati membelot ke Kerajaan Islam Banten. Pada waktu itu Raja Kerajaan Banten adalah Sultan Maulana Yusup. Dengan mudah Banten dapat melumpuhkan Pajajaran, karena pasukan Pajajaran dalam keadaan lengah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1579 (Ibid: 15 – 19) . Naskah Tasawuf Awal Islamisasi (NTAI) sebuah naskah dari Kawali, memberikan mengenai sebuah zaman; suatu hal yang sangat menarik dan penting untuk diungkapkan. Teks ini menyarankan penyerahan secara total kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, Maha Gaib, Maha Perkasa, Maha Tahu, Maha Pemegang Ilmu, dan menyarankan pula untuk kembali kepada Kesucian Kudrat manusia secara sempurna. Oleh karenanya, selama hidupnya manusia harus selalu menunggalkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni menghadirkan Tuhan di dalam batin, agar selalu mendapat cahaya kebenaran. Jelas naskah ini ditulis sebelum masyarakat Islam pandai berbahasa dan menulis aksara Arab. Kiranya pada masa itu komunitas yang mengenal keberaksaraan masih terbatas, sehingga penulis NTAI ini diperkirakan berasal dari kalangan bangsawan.
132
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Tinjauan Kodikologis Material Naskah Teks NTAI diduga ditulis pada awal Islamisasi, bila didasarkan pada isi teks. Bahan materialnya adalah daluang. Mengenai daluang, dapat dijelaskan sebagai berikut: Permadi (dalam Setiawan & Hawe Setiawan [ed., 2011: 70]) menginventarisasi istilah daluwang yakni, “dalancang, dlancang, dilancang, dluwang, delwang, dan jeluang.” Bila mengacu kepada pemikiran bahwa keberaksaraan mengangkat peradaban, yang terlihat dari adanya frase nimu luang tina daluang (memperoleh pengetahuan dari daluang). Dilihat dari frase tersebut diperkirakan bahwa kata daluang berasal dari kata dalam Bahasa Sunda, da luang atau ja luang (da merupakan partikel dalam Bahasa Sunda dan ja partikel dalam Bahasa Sunda Kuna), jaluwang kemudian berubah menjadi jeluang. Jenis material ini terbuat dari pohon yang di Jawa Barat dikenal dengan nama pohon saeh, sedangkan istilah Latinnya adalah Broussonetia papyrifera vent (Ekadjati, Edi S; Dienaputra, Reiza D.Winarno; Ira Adriati, Permadi, Tedi; dalam Sabana, Setiawan & Hawe Setiawan (Ed), 2011; Pudjiastuti, 2006: 38, 39). Nama lain pohon ini di Nusantara, sepukau (Indonesia) glugu (Jawa), dhalubang (Madura), kembala (Sumba), malak (Seram) (Heyne dalam Pudjiastuti (Ibid). Sehubungan dengan pembuatan bahan dari kulit pohon saeh yang dipukul-pukul tersebut, “di Museum Nasional Republik Indonesia tersimpan koleksi nomor 4523 berupa pemukul berasal dari abad ke-3 SM, berasal dari daerah Cariu - Bogor yang diperkirakan cikal bakal pembuatan daluang. Tradisi ini sezaman dengan tradisi yang berlangsung di sekitar S. Yang Tse Kiang di Cina dan di Luzon Pilipina” (Permadi dalam Sabana, Setiawan & Hawe Setiawan (Ed), 2011: 67 – 70). Diperkirakan tradisi pembuatan daluang di Jawa Barat sudah sangat tua. Tak bisa dipungkiri bahwa keberaksaraan merupakan perilaku yang disakralkan. Perbandingan fisik naskah yang sudah dimakan rayap dengan keutuhan teks naskah ini memberikan gambaran bahwa NTAI sebuah naskah yang tidak sembarangan dibuka, Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
133
dalam arti disakralkan. Tampaknya daluang yang terbuat dari pohon saeh pun merupakan tanda kesakralan, terbukti dari adanya tradisi naskah yang disebut Muharaman. Ada sejumlah naskah yang, apabila akan dibuka, terlebih dahulu diadakan ritual untuk menghormatinya, yaitu Ritual Muharaman. Naskah tersebut berisi teks Tasawuf dan hanya dibuka sekali dalam setahun, yaitu pada tanggal 1 Muharam dalam Ritual Muharaman. Naskah seperti ini berada di Sukabumi (informasi dari Fenti Dosen Bahasa Inggris pada UMI Sukabumi). Hal yang hampir sama dengan tradisi di atas dilaksanakan juga di Kabuyutan Desa Cieunteung Kecamatan Situraja Kabupaten Sumedang. Aksara Naskah Aksara naskah tergolong aksara Cacarakan. Cacarakan yang digunakan masyarakat Sunda mirip dengan Carakan Jawa, dan Anacaraka Bali, dengan sejumlah perbedaan. Script Cacarakan Sunda jauh lebih sederhana daripada Carakan, dan Anacaraka. Apabila NTAI berasal dari zaman awal Islamisasi, diperkirakan Cacarakan berada di lingkungan masyarakat Sunda yang sudah sangat tua. Bukti lain bahwa penggunaan Aksara Cacarakan telah berlangsung lama adalah adanya urutan alfabetis Ha, Na, Ca, Ra, Ka. Hitungan Ha, Na, Ca, Ra, Ka . . . Nya ini digunakan dalam perhitungan nasib manusia, terutama nasib perkawinan, yang fenomenanya masih didapati sampai masa kini. Hubungan antara aksara dan nasib manusia seolah ada hubungan. Kepercayaan seperti ini “terdapat pada masyarakat Asiria Kuna, yakni kepercayaan bahwa aksara diturunkan oleh Dewa Nebo pengatur nasib manusia.” (Pei, Mario, 1971). Dilihat dari sudut kepercayaan ini, keberadaan Cacarakan sudah sangat tua. Setelah Islam masuk, penghitungan Ha, Na, Ca, Ra, Ka bertransformasi ke Hijaiyah (aksara Arab). Aksara Cacarakan dalam NTAI memiliki keunikan tersendiri, seolah-olah memiliki alphabetis yang digolongkan Ka Ga Nga seperti Aksara Sunda Kuna, Batak, Kerinci, Makasar yang memiliki aksara mpa, mpi, mpe, mpu, mpo, mpě, mba, nja, ngga, ngka, ngki, ngku, ngko, nra, nri, nru, nre, nro, nca, nci, ncu, nce, 134
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
nco (Loir (Ed), 2009: 318). Pada NTAI hanya beberapa saja yakni mpa, mpu. Hal lainnya, naskah ini memiliki aksara berbentuk aksara Sunda Kuna dan sejumlah variasi tulisan sehingga, tidak seperti aksara Cacarakan lainnya, sangat sulit untuk dibaca. Bahasa naskah Bahasa NTAI dapat dikelompokkan pada bahasa kuna yang, sebagai tonggak sejarah, sudah digunakan pada abad ke-9. Hal itu bukan berarti bahasa NTAI dipengaruhi Bahasa Jawa, karena bahasa ini digunakan di berbagai tempat, dan banyak pula naskah Sunda yang menggunakan bahasa tersebut, seperti naskah-naskah Ciburuy. Dapat dipertimbangkan pula pendapat bahwa peradaban di Pulau Jawa dimulai dari Jawa Barat, yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Tarumanagara. Supaya tidak memberikan kesan kedaerahan, istilah yang akan digunakan dalam artikel ini adalah Bahasa Kawi saja. Bahasa Kawi yang ditemukan di Jawa Barat berbeda dengan bahasa Kawi yang berada di Jawa Tengah, Timur, dan Bali. Bahasa Kawi di Jawa Barat mengalami pengurangan, penambahan, dan perubahan vokal atau konsonan dalam bentuk morfem dasar, tidak memiliki varian fonem, tidak mengenal vokal panjang pendek, tidak hanya ditulis dengan aksara Jawa Kuna/Cacarakan namun pula ditulis dengan aksara Sunda Kuna (Bdk juga, Sopian, 2010). Kata-kata yang muncul dalam bahasa Kawi NTAI ialah kata-kata dalam bahasa Sunda Kuna, Melayu, Sansekerta, dan Arab. Kesusastraan Pupuh NTAI terdiri dari dua bagian. Bagian I, lembaran 1-16 berupa uraian sariah tentang salat dalam bentuk prosa. Bagian kedua berisi tentang pemikiran tasawuf dalam bentuk puisi yang terdiri dari beberapa pupuh. Ada tiga pupuh yang terungkap, yakni Puh Hartati, Puh Dangdanggula, dan Puh Sinom. Style yang khas dalam penyajian pupuh dilihat dari tanda baca yang digunakan. Dalam penyajian bahasa, larik satu diikuti larik sesudahnya Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
135
dengan enyambemen, yakni penggalan-penggalan bacaan. Hal ini sangat menolong dalam pemahaman, karena teks ini memang sangat sulit dipahami. Pemenggalan mengupayakan penyajian seperti prosa. Penyajian seperti ini lebih memudahkan pemahaman. Pupuh Hartati tidak dikenal pada naskah lainnya. Pada Ritual Ruwatan dengan kisah Batara Kala, disebutkan namanama Kidung, yakni, antara lain: Kidung Saripanggung, Kidung Panundung, Kidung Salamet, dan Kidung Artati. Simbol Hal yang sangat menarik dari teks naskah ini yakni penggunaan simbol. Bagian ini hanya mengungkapkan simbol-simbol penting, di antaranya: (a) Sang Dangdang. Simbol ini sangat sulit diartikan karena yang terdapat dalam kamus, dangdang yakni dangdang, dan burung gagak. Setelah dibaca berkali-kali dengan analogi pemikiran para Sufi lainnya, Sang Dangdang kiranya bisa dianalogikan dengan badan batin, Muhammad Hakeki, Nur Muhammad, atau Nurullah, yakni Kesucian atau Nur yang diemanasi oleh Allah pada diri manusia. Apabila batin manusia bersih, Nur ini harus terpancar lagi, yakni dengan menyeru Asma Tuhan. Untuk mengisi batin dengan Asma Tuhan, orang harus berguru kepada Guru Mursid. Manusia berkewajiban untuk menyeru Asma Allah terus menerus. Sang Dangdang diterjemahkan PersemayamanNya, dianalogi dengan tempat menyeru Asma Tuhan tersebut. Persemayaman ini digunakan dengan alasan, pada naskah-naskah Tasawuf dalam batin orang-orang yang selalu menyeru Asma Allah maka jiwanya bisa disamakan dengan Aras. (b) Simbol Burung. Pada teks Tasawuf, yakni dari halaman 17 sampai tamat, hampir setiap bait pupuh menyebut nama burung, yakni: merpati, kapoţa; gagak, gak; elang, sang ngelang; kuntul, sang kuntul; burung bangau, kangka, Sang Baka; burung, nuk,
136
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
manuk, paksi; burung hantu, dok 42; bayan, bayan; angsa, kalaha; ayam, ngayam, ayam jantan, sata; kitiran, kitri; burung dwidwi (?); kutilang, kutilang/kutilang; perkutut, parikutut; angsa, hangsa; burung pelatuk, Sang manuk palatuk; burung dadali, paksi dadalyan; alap-alap, alap-alap; kalahar, kalahar; dan tutuyu, tutuyu. Teks ini merupakan bukti penting bahwa burung digunakan untuk tempat terhormat pada manusia, yakni penghubung antara badan batin manusia dengan Allah. Dikatakan dalam NTAI, sekali disebut Asma Allah oleh badan batin manusia, maka beterbanganlah burung menuju Aras menyampaikan Asma Allah, yakni ketika manusia melakukan Dzikir Sirr. Setiap diserukan Asma Allah setiap itu pula burung muncul dan membawanya ke Aras. Asma Allah yang dibawa burung-burung itu kemudian menempati butir-butir darah. Adanya Sang Persemayaman merupakan ilmu yang berada pada diri manusia. Hal ini memiliki makna yang mendalam bahwa manusia harus berhati-hati dalam bertindak, berucap, bertekad untuk tidak menyimpang dari Kehendak Tuhan karena dalam dirinya dititipi Ilmu Tuhan Yang Maha Suci. Dengan dianugrahi ilmu, manusia memiliki kewajiban mempertimbangkan, mengukur benar–salah, menyimpang–lurus, adil–tidak adil, dan seterusnya. Makan harus yang berasal dari hasil baik-baik supaya tidak bertentangan dengan unsur Yang Maha Benar, yang dibawa oleh kudrat manusia sejak lahir. Unggas merupakan simbol serta mendapat makna mulia dalam agama Islam, budaya Islami, dan budaya Nusantara. Burung digunakan untuk pencitraan yang baik, yakni sebagai simbol keindahan, kejujuran, kebenaran, kemuliaan, rezeki, Suara Gaib, petunjuk, kesucian, dan berbagai hal yang mulia. Semua simbol ini dilekatkan, dengan setting dari kisah Zaman Nabi Adam dan fenomena lain dalam tradisi lisan lainnya sampai sekarang. 42
Burung hantu dikisahkan berdialog dengan Nabi Sulaeman, bahwa ia tunduk karena selalu mengingat kematian (Program: Islam itu Indah dari Televisi Trans yang dibawakan oleh Ustadz Maulana, pada hari Rabu tanggal 2 Mei 2012) Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
137
Simbol Burung terdapat pula dalam Alquran sebagai pengemban kesucian dalam penghancuran kezaliman dari orang-orang yang menentang Tuhan. Begitupun unggas pada kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Sunda dan umumnya masyarakat Nusantara. Pengistimewaan burung dan ayam dalam masyarakat Sunda, khususnya, atau Nusantara, umumnya, tidak serta-merta muncul namun kiranya berasal dari pemahaman agama juga yang kemudian menjadi makna dari simbol yang maknanya semakin kabur, seperti di bawah ini: Ada suatu doa yang hendaknya ketika mendengar kokok ayam: Ya Allah berilah aku rahmat. Menurut Hadist (Bukhari & Muslim): “Bila kamu mendengar ayam berkokok mohonlah rahmat Allah karena ayam tersebut melihat malaikat.” Doa ini dianjurkan karena ayam salah satu makhluk Allah yang diberi firasat oleh Allah untuk mengetahui kedatangan malaikat. Wallahualam (Iluvislam.com) (Tanggal 31 Oktober 2011). Menurut (Al_Satariyyah.com) (Tanggal 31 Oktober 2011), ketika ayam berkokok Nabi Muhammad SAW bersabda.: “Jika kalian mendengar ayam berkokok mintalah keutamaan dari Allah karena sesungguhnya dia melihat Malaikat, dan jika kalian mendengar keledai maka berlindunglah kepada Allah dari setan karena dia sesungguhnya melihat setan (Hadist Bukhali 4/89 diriwayatkan pula oleh Muslim 4/2092 dari Hadist Abu Hurairah). Simbol Ayam disimpan pula pada momolo (kubah?) mesjid di Cirebon dan Demak (Perbincangan dengan Ny. Ahmad Mujahid Ramli dan Dr. Tata Subrata di Jakarta pada tanggal 18 Maret 2012). Ada hal yang sangat menarik dari ungkapan seni Cianjuran berbahasa Jawa Kuna, yang isinya paralel dengan NTAI, sebagai berikut: Gunung kelir Gusti aling-aling, wong ngawayang Ki Dalang hanuk (diedit hanut) mring wayang, ya mring wayang. Gunung kelir Gusti aling-aling, wong ngawayang Ki Dalang hanuk (diedit hanut) mring wayang, yam ring wayang. Wayang hanuk (diedit hanut) maring dalang, maring dalang 138
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Kelire hayun sabita (diedit hyun Sawita), hayun sabita (diedit hyun Sawita), manjat maja (diedit majana) netro, maja (diedit majana)netro) Rebeng-rebeng tinanjak laying kang keri, wus winaca, wus winaca Perlambange, perlambange sinungkeman Delancang rineka paksi, Durung mati awak ingsun, dunungan durung mati, Atmane layang-layangan, laying-layangan Awor lan raga sukma, awor lan raga sukma Yen kembang kembang malati, Aja den buang den larung ya den larung, pependeman pupungkuran, Tandurane wuluh gading Anglilir hamara bangun Dumadak waras tan Niro Anglilir hamara bangun Dumadak waras tan niro Sigra anyandak panah Mancat majana netro Terjemahan, Penafsiran, dan Pemahaman: Bagaimanapun lagu ini sarat dengan makna. Sebuah kata dengan kata lainnya memiliki makna untuk mendukung kesatuan makna utuh. Untuk pemahaman tidak sekedar menerjemahkan secara harfiah namun perlu memberikan kejelasan dalam rangka memindahkan makna. Adapun pemahaman makna tersebut adalah seperti berikut: Kehidupan fana kelir, yang membatasi Tuhan Yang Maha Suci, manusia melakonkan wayang Ki Dalang menuruti lakon wayang, ya lakon wayang Kehidupan fana kelir, yang membatasi Tuhan Yang Maha Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
139
Suci, manusia melakonkan wayang Ki Dalang menuruti lakon wayang, ya lakon wayang Wayang (seyogyanya) mentaati Dalang, ya mentaati Dalang (Walau) ada kelir (pembatas) (seyogyanya mentaati) Kehendak Pencipta (hendaknya) naiklah (ke Aras) (Bermakrifat), pandanglah Sang Maha Penegak Hukum dengan kedua matamu dan Mata Hatimu Berterbanganlah naik melayang dari sebelah kiri43 sudah dibaca sudah diucapkan LambangNya44 Lambang dari (Dzat) yang harus disembah Bertebaran digambarkan seperti burung (Menghadap Tuhan apabila) sebelum wafat, raga hamba sebelum ajal, jiwanya melayang-layang melayang-layang Bercampur dengan raga dan sukma Seperti kembang melati Jangan kau melupakanNya jangan kau melepasNya, kau melepasNya. (kamu) sebagai (makhluk yang harus) menyerukan AsmaNya dan kau yang diciptakanNya. Kau yang diciptakan dimuliakanNya Kesadaran pun tiba membangunkan Dengan tiba-tiba muncul (niat menghadapNya) namun Dia Gaib Kesadaran pun tiba membangunkan Dengan tiba-tiba muncul (niat menghadapNya) namun Dia Gaib Segera mengambil panah Naik menghadap Sang Pemegang Hukum, memandang dengan mata dan Mata Hati 43
Sebelah kiri, mengingatkan para guru mursid yang mengajarkan Dzikir Sirr di bawah susu sebelah kiri. 44 Dibaca kiranya ada hubungan dengan Alquran tentang Asma Tuhan 140
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Sang Rumuhun, karuhun merupakan kata yang memiliki nilai religius yang sangat produktif dalam berbagai ungkapan ritual seperti ka luhur ka Sang Rumuhun. Sang Rumuhun, karuhun pada berbagai wacana bisa ditafsirkan sebagai Roh Luhur Yang Suci, atau Yang Luhur yang dimuliakan dan dijunjung tinggi. Dalam teks masih terpengaruh oleh kata-kata kepercayaan sebelumnya seperti solat limang perkara kamsaheh kang Rumuhun puniku, „salat lima perkara yang pokok menurut leluhur demikian‟. Yang dimaksud Rumuhun dalam teks ini sangat cenderung mengarah pada Rasulullah dengan Hadistnya. Selain Rumuhun disebut juga Karuhun. Penggunaan kata tersebut seperti di bawah ini: waktu catur juhhur ngahsar kali lan magerib miwah waktu ihsa tunggalliku pamujineh tahyat hingkang kuruhun panujare tapi ndereki timpuh wiyung
Waktu (salat) empat (rakaat) yakni Dzuhur dan Asar. dan waktu Magrib dan Isa teruskan waktunya dengan membaca doa-doa. (4) Tahiyat (dan salawat ?) untuk untuk leluhur (keluarga Nabi Muhammad SAW) begitulah petunjuknya. (5) Namun dalam (berjamaah) berderet-deret tertib, duduk dan ruku45 takdzim
Rumuhun lebih condong memiliki mana Yang Luhur, Karuhun adalah Orang Terdahulu namun sudah berada di Alam Yang Luhur. Hal ini mengingatkan kepada sejumlah naskah Teosofi Tasawuf tentang Nur Muhammad sebagai Nur yang diciptakan dalam proses Penciptaan Alam Semesta pada naskah NTAI kemungkinan diungkapkan dengan kata Rumuhun dan Muhammad sebagai manusia yang diangkat sebagai Rasulullah 45
wiyung, katak , katak digunakan symbol manusia yang selalu mengingat Allah (di dalam batinnya menyebut-nyebut Asma Allah. Dalam Ganda Sari dan Pulan Palin terdapat ungkapan: Bangkong ngaheungheum liangna „katak mengulum lubangnya‟ maknanya ia (orang) yang menempatkan Allah (Pemilik Alam Semesta) dalam Badan Batinnya. Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
141
diungkapkan sebagai Karuhun. Lainnya, Keheh kang Rumuhun niku hararasan lan basa Jangwi „semua dari Hadist Nabi Muhammad diartikan dalam bahasa Jawi. Istilah Jawi mengingatkan pada Aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan Bahasa Nusantara. Jawi berarti jauh. Hal yang sejajar dengan pengertian itu ialah bahwa dalam Babad Godog dari Jasinga Nabi Muhammad disebut Kangjeng Luluhur. Kaki Pada naskah Sunda Kuna, Nini Kaki diterjemahkan nenek moyang atau nenek dan kakek. Pada teks NTAI Kaki diperkirakan berasal dari pengertian bahasa Melayu yakni „kaki‟. Makna kaki dalam teks ini ialah daya dari kaki yang bisa bergerak, berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan benda-benda. Tampaknya makna kaki dalam teks diartikan manusia sebagai Khalifah di muka bumi yang bisa bergerak ke sana ke mari. Pemahaman (Verstechen) “Aktivitas verstechen, pada kenyataannya, relasi antara bahasa dan ujaran direfleksikan dalam satu hal yang ada di antara interpretasi dan pemahaman. Pemahaman dasar atas ujaran yang diucapkan atau ditulis, yang berlangsung dalam hidup sehari-hari, terdiri atas perpaduan (untaian kata dan untaian bahasa) yang benar makna. Pemahaman selalu lebih daripada sekedar mengetahui makna atau menandai kata-kata ujaran – pendengar, tulisan– pembaca. Namun harus berpartisipasi, idealnya ke dalam “bentuk hidup” yang sama dengan pembicara atau penulis sehingga memungkinkannya memahami bukan hanya kata-kata yang digunakan melainkan juga “beranjak bersama-sama menuju penyatuan pikiran yang ditawarkan.” Memahami diarahkan kepada sebuah keseluruhan dan mengisyaratkan keterlibatan total-akal, emosional, moral sebagai subjek.” (Bety dalam Bleicher, 2003: 39) Tahap interpretasi merupakan tahapan yang sangat kompleks dalam memahami teks naskah kuna, seperti dikemukakan oleh 142
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Teuuw (1985), yaitu dalam pemahaman naskah, di samping memiliki kompetensi bahasa kuna, memiliki pula kompetensi budaya, dan kompetensi sastra. Pemahaman menurut Bety sejalan dengan Schleiermacher dan Dilthey (dalam Bleicher, 2003: 41) sebagai pembalikan atas proses penciptaan. Pikiran kreatif mengungkapkan bentuk-bentuk penuh makna. Sebuah kandungan yang kemudian dikirimkan kepada pelaku interpretasi mengikuti skema triadic. Dari proses dialektik ini, makna mengacu pada ekspresi yang dimaksudkan oleh pengarang. Pengarang dan interpreter seharusnya memiliki kemiripan kemampuan intelektual dan moral agar keadilan sepenuhnya dapat diterapkan pada karya ciptanya. Pada bagian Tasawuf ada simbol-simbol yang awalnya sulit dipahami. Menurut Nurbakhsy (1992) dalam Rakhmat (1998: vii) ulasan penyunting terhadap pandangan sufi sebagai berikut: Pertama, hakikat realitas bersifat spiritual karena segala sesuatu berasal dari Tuhan, dan Tuhan adalah Wujud Spiritual. Realitas memiliki hierarkis. Alam Lahut, wilayah yang hanya Dzat Allah Yang Ada, Alam Jabarut, yang merupakan Wilayah Kekuasaan Allah, Alam Malakut, lapisan Langit Spiritual yang dihuni oleh para malaikat, Alam Nasut atau dunia manusia, alam materi atau benda-benda mati. Dunia materi hanya salah satu bagian dari Realitas. Kedua, Diri manusia memiliki lapisan-lapisan yang paralel dengan Realitas Alam Raya. Di dalam diri manusia terdapat lapisan, Sifat kebendaan atau tabb, yang berada di „alam materi‟, lebih tinggi nafs setara dengan Alam Nasut, Lapis Qalb sejajar dengan Arsy, Lapis Ruh setingkat dengan Alam Malakut, Lapis Kesadaran Batin, Khafi atau Sirr yang berada pada Alam Jabarut, Lapis Kesadaran Terdalam (Akhfa) yang berada pada tingkatan Alam Lahut. Ketiga terdapat berbagai wujud realitas dan wujud spiritual yang memberi pengaruh kepada jiwa manusia, mukjijat dan malaikat yang membawa pada kebenaran dan godaan setan dan gangguan jin yang membawa kepada ketidakbaikan. Keempat kaidah sufi, hanya yang sama saling bisa mengetahui. Manusia hanya bisa mengetahui Alam Nasut, Arsyi hanya bisa diketahui oleh Qalb, Alam Malakut hanya bisa diketahui oleh Ruh, Alam Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
143
Jabarut hanya bisa diketahui oleh Kesadaran Batin, Alam Lahut hanya bisa dijangkau oleh Batin Terdalam. Kelima, kaidah di atas hanya menjadikan sebuah wacana mistik hanya bisa dipahami oleh para mistikus. Keenam pengetahuan merupakan fungsi wujud. “Mengetahui adalah menjadi” to know is to be. Aspekaspek dalam diri manusia sudah ada sejak lahir, namun sebagian besar hanya bersifat potensi pengecualian Nabi dan Rasul. Ketujuh, dianjurkan memiliki guru (dalam-naskah-naskah disebut Guru Mursid). Teks naskah NTAI diperkirakan berasal dari awal masa Islamisasi dengan jejak-jejak pengetahuan Ajaran Sariah Islam yang sangat mendasar, yakni ajaran melaksanakan salat. Hal yang sangat nyata mengindikasikan kekunaan pengetahuan yakni pembicaraan mengenai kiblat. Hal lainnya yakni penggunaan tulisan dengan Cacarakan, yang diperkirakan digunakan karena para penyebar Islam belum mampu menulis dalam aksara Arab. Peristilahan yang berhubungan dengan Agama Islam menggunakan istilah yang menunjukkan istilah transisi dari kepercayaan sebelumnya antara lain karuhun, rumuhun, Sang Dangdang, dan kaki. Pada tahap pemahaman (verstechen) terhadap naskah yang sangat rumit isi, bahasa, dan aksaranya seperti NTAI, sehingga perlu diketahui terlebih dahulu kunci/titik makna penentuan genre wacana naskah tersebut. Untuk itu, NTAI hendaknya dibaca secara menyeluruh walaupun ada sejumlah aksara yang belum terpahami. Setelah dibaca secara menyeluruh diharapkan diperoleh titik terang, yakni klausa kunci manunggaling kaula– Gusti. Dari klausa kunci ini dapat diperkirakan bahwa teks NTAI merupakan sebuah uraian mengenai Tasawuf. Ikhtisar Isi Teks Seperti telah diutarakan sebelumnya, naskah ini terdiri dari dua teks yang bentuk aksara dan kandungan isinya berbeda. Kedua teks yang berbeda dalam satu naskah ini akan dibedakan dalam bagian I dan II. Bagian I, halaman 1 – 16, dengan ukuran aksara besar-besar, bahasa prosa, dan isinya mengenai pelaksanaan salat. 144
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Bagian II, halaman 17 sampai dengan 64, dengan tulisan kecilkecil, bahasa puisi tembang, isinya mengenai Tasawuf tentang penyembahan batiniah. Ikhtisar ini tidak dilakukan seutuhnya sehubungan banyak bagian naskah yang rusak „coruptella‟, aksara yang sangat kabur tidak terbaca, dan scholia „sarah‟ yang tak terbaca sama sekali. Bagian I Dalam Bagian Pertama, halaman 1-17, banyak hal yang sangat sulit untuk dipahami, seperti tentang rakaat yang berbeda dengan jumlah yang kini berlaku. Diperkirakan hal yang tak bisa dipahami tersebut, seperti telah dikemukakan, ada kaitannya dengan peribadatan Tarikat yang dianut. Keterangan tentang penulis teks ini tertulis sebagai: pun panggepokan lan wanita. Ungkapan ini bisa ditafsirkan ganda apabila dibedakan dalam pemahaman arti dan pemenggalan kata. Penafsiran kedua pun panggepokan lan wani ta. Pertama, penulisnya berasal dari pedepokan (pesantren?) wanita, kedua panggepokan bisa diartikan tempat penyiksaan orang-orang pemberani (wani ta). Isinya mengenai salat, meliputi: penyucian diri sebelum salat, waktu salat yang lima waktu, serta berdiri dengan mengarah ke kiblat. Salat merupakan fardu, bisa membawa pada kebahagiaan dan meringankan kehidupan, apabila ada seruan supaya disegerakan. Tentang rakaat dan nilai tidak dapat ditafsirkan maksudnya. Salat sunat setiap salat pardu. Salat berjamaah duduk dengan tertib. Salat Magrib dengan Isa menjadi satu, di antaranya banyak-banyak membaca doa. Membaca salawat kepada Nabi sebanyak-banyaknya supaya tak ada halangan dalam kematian. Mendekatkan diri kepada Tuhan baik siang atau malam dengan beribadat. Cara Ibadat lama (pra-Islam?) ubahlah. Hal yang membatalkan salat, buang air kecil, minum (air liur), murtad, terbuka orat, banyak menggerak-gerakan badan, batal wudu, badan dan pakaian terkena najis, berubah niat/pikiran, mengubah badan, menyimpang dari arah kiblat, tertidur. Gerakan sembahyang ruku, sujud, berdiri dan duduk. Apabila beribadat tanpa mengetahui dengan seksama, sama dengan membidik Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
145
seekor burung, tak mengetahui letak burung dengan tepat, peribadatannya tak mengenai sasaran, tak sempurna. Dalam beribadat harus dalam keadaan suci. Beribadat adalah jalan menuju kepada Yang Maha Ada, yakni dengan memuji dan menyembahNya. Bagian II Bagian II dari halaman 17 – 63. Penyajian Ikhtisar ini tidak dengan cara ringkasan menurut urutan penyajian teks, namun dengan mengklasifikasi data sejenis. Secara garis besar bagian II terdiri dari Tujuan Penulisan Teks, Penyebutan kepada Allah Subhanahu Wataala (data ini menyebar dalam berbagai pembahasan), Tempat Persemayaman Tuhan dalam Batin Manusia, dan Kaki atau Khalifah. (a) Tujuan Penulisan Teks Tujuan penulisan yakni meniti kebahagiaan utama, ketenangan jiwa bisa diraih dengan mengerjakan kebaikan. Oleh karenanya segerakan menuliskan pikiran supaya menjadikan tuntunan yang bermanfaat. Cacat diri karena kemalasan. (b) Penyebutan kepada Allah Subhanahu Wataala Yang Disembah Tuhan Sang Asal, Sang Perkasa, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Tunggal, Yang Maha Benar, Yang Maha Tahu, Raja Semesta Alam, Pemilik Nur,Tak Beranak, Yang Maha Agung, Penganugrah Ilmu, Yang Maha Bersabda, Yang Maha Hak, Yang Maha Nyata, Yang Maha Sempurna, Yang Maha Pemilik, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mulia, Yang Maha Suci, Yang Maha Berkehendak, Pemberi Berkah, Pemilik Kesempurnaan, Yang Maha Awal, Sang Pencipta, Yang Mulia Yang Bersemayam di Aras. Jagat adalah saksi dari KenyataanNya. (c) Sang Dangdang /Tempat Persemayaman. Kata ini terpahami ketika sebutannya Sang Dandang Kateng Sun. Kata dari Bahasa Sansekerta kathā, ceritera, riwayat. 146
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Dalam konteks ini Kata mengacu kepada bahasa. Dalam Teks Wawacan Jaka Ula Jaka Uli, bahwa Tuhan menyebut AsmaNya untuk disebut manusia Alif Lam Lam He. Sang Dangdang Kateng Sun berarti PersemayamanKu, dengan fokus narasi Tuhan. Sang Dangdang diciptakan Tuhan dalam diri manusia untuk menyebut/menyeru AsmaNya selama hayat dikandung badan, ketika hidup di dunia. Isilah Sang Persemayaman dengan Asma Tuhan dengan lemah lembut. Inilah yang disebut bermakrifat, menyeru selalu Asma Tuhan, beserta menghidupkan penglihatan dan pendengaran hati. Mendengar dan melihat dengan penglihatan dan pendengaran hati dengan Ilmu. Ilmu bersumber dari Dia Pemberi Ilmu. Pengetahuan Tertinggi manusia yakni mencariNya dan MendatangiNya Manusia yang tak berakal tidak bertuhan. Tuhan Maha Gaib, bermakhrifat artinya tenggelam dalam Kegaiban. Dalam Teks, seruan-batin dalam diri manusia ini diterbangkan ke Aras oleh burung-burung. Burung dalam hal ini hanya simbol dari terbang. Seruan batin manusia yang terus-menerus ini disebut juga manunggaling Kawula-Gusti “Menunggalnya hamba dengan Tuhan”. Hamba asalnya dari Dia, yang ketika hidup di dunia dipisahkan. Hamba harus selalu menyeruNya, untuk bisa kembali kepadaNya. Hamba harus selalu menunggalkan kepada Tuhan, Sang Asal secara kekal terus-menerus. Segala perilaku harus selalu disertai seruan kepada Tuhan, selalu mendekatkan penglihatan kepada Tuhan, supaya wafat disertai senyuman. Hamba harus selalu mengAdakan “Dia Yang Disembah” di batinnya. Hamba harus berdoa untuk ditunjuki jalan yang benar, memanjatkan permohonan ampun, meminta segera diberi kemampuan untuk bertemu/mampu melihatNya dengan mata batin. Untuk mengetahui Tuhan, tidak harus ajal terlebih dahulu, namun dengan menarik Aras (Istana) ke dada, begitulah mendekatiNya. Itulah menunggalkan diri dengan Yang Maha Tunggal. Apabila hamba mampu menarik Aras ke dada, itulah hamba yang DicintaiNya. Apabila hamba mampu menjadi hamba yang dicintaiNya, bukanlah kemampuan dari hamba itu namun atas Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
147
KasihNya. Tuhan Sang Ada dalam diri hamba tidak di atas tidak di bawah. Apabila manusia sudah renta, tak mampu lagi bergerak, maka yang harus dikerjakan adalah menyeruNya. (d) Sang Kaki/Khalifah Kaki, bisa artinya kakek dan bisa pula petapa. Dalam Teks NTAI ini muncul kata tapa, yakni batin manusia yang selalu menghadapkan perilaku batin dan raganya kepada Tuhan, antara lain ketika makan dan tidur, siang dan malam. Bila manusia tidak menyembah Tuhan, seperti hewan adanya. Manusia sebagai Khalifah Tuhan. Manusia adalah siratan dari NurNya. Tuhan menitipkan siratan Rasa KesempurnaanNya antara lain penglihatan dan pendengaran kepada Khalifah, Tuhan Raja Alam Semesta, dan menitipkan alam kepada manusia. Tuhan Maha Gaib, kemudian siratan Tuhan beralih kepada Khalifah pihak yang lemah – makhluk berada atas KasihNya. Manusia sebagai Khalifah, tidak seperti Tuhan dalam melindungi. Allah Yang Maha Gaib tak bisa dicapai oleh manusia. Tuhan sangat dekat kepada Khalifah. Dengan SabdaNya (AsmaNya ?) bisa mendekatiNya. Tuhan Yang Maha Ada yang mengadakan segala yang ada. Tujuan akhir Khalifah yakni menghadapNya. Jika ketika hidup tak mampu menunggalkan diri, ketika ajal tak akan bisa menghadapNya. Bumi, langit, surga, neraka hanya perumpamaan untuk menentukan pilihan manusia. Keutamaan Surga sama sekali tidak seperti keutamaan manusia ketika hidup di dunia, dalam arti tak akan terbayangkan oleh manusia. Ketentuan ditentukan oleh bobot timbangan. Bobot timbangan ditentukan oleh hubungan antara hamba dengan Tuhan. Sebagai Khalifah harus mengutamakan untuk selalu menghadapNya, selalu Taat kepada Pencipta, dengan mentaati perintahNya. Batinnya selalu terbang ke Aras. Lurus hati. Selalu mencari dan mendekat kepada Tuhan menyampaikan SabdaNya, memberitahu orang bodoh yang bersungguh-sungguh, menyampaikan amanah dengan ramah iklas ketika dianugrahi sakit dan tangisan yang rindu kepada Tuhan secara bersungguh-sungguh. Meninggalkan pemikiran 148
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
berlebih untuk tujuan keduniawian, membatasi penglihatan hati semata-mata hanya bermakrifat kepada Tuhan, Tapa, mematikan angan-angan pada dunia. Hamba yang taat dianugrahi kepandaian dan keadilan, selalu dilimpahi Nur. Tuhan tak akan keliru dalam memilih makhlukNya. Nur mengajak untuk beriman kepada Sabda Tuhan, Orang mulia bertujuan untuk dunia akhirat. Orang mulia yakni sebagai raja dalam mensucikan diri untuk tujuan akhirat. Hubungan hamba dengan manusia hancur apabila hamba hitam tapanya, merasa sakit dalam menjalankan tapa, pikirannya berpaling, atau menangisi harta benda yang lepas. Tak menyadari bahwa selaku hamba ia lemah, berkedip pun tak mampu. Hamba hidup atas SabdaNya. Rezeki terbentang, manusia lupa kepada Pemberi Berkah. Manusia dilebihkan kemuliaannya dari makhluk lainnya untuk tujuan menyempurnakan sembahnya kepada Tuhan. Bentuk sembah kepada Tuhan dengan gerak batin serta raga, dan menyampaikan pujian. Kesimpulan NTAI berisi sebuah ajaran agama Islam dengan pembahasan Syariah dan Tasawuf. Pemikiran Tasawuf dalam NTAI memiliki konsep yang paralel dengan karya yang ada kemudian. Perbedaannya hanyalah dalam istilah kebahasaan. Istilah kebahasaan sesuai dengan makna pra-Islam, kemudian sejumlah istilah sesuai dengan peristilahan dalam Islam. Simbol-simbol dengan acuannya memiliki keteraturan makna. Simbol-simbol merupakan ungkapan pemikiran atau konsep yang bersumber dari tradisi dan religi. Simbol-simbol memiliki koneksi tersembunyi dengan ungkapan tradisi lainnya yang saling menerangkan. Naskah ini membangkitkan pemikiran yang mengusulkan untuk tidak mencurigai terhadap simbol-simbol ini sebelum menelusurinya secara bijak.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
149
Daftar Pustaka Aceh, Aboebakar, H., 1995, Pengantar Ilmu Hakikat & Ma‟rifat. Edisi keempat. Solo: Ramadhani. Afifi, A. E., 1995, Filsafat Mistis Ibnu Arabi. Edisi kedua. Diterjemahkan oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman dari buku: “A Mistical Philosopy of Muhyiddin Ibn „Arabi”, 1979. Jakarta: PT Gaya Media Pratama. Al-Ghazali, Imam, t.t., Ihya Ulumuddin. Disunting oleh K.H. Misbah Zainul Musthofa. Baidhawi, Zakiyuddin & Mutohharun Jinan (Ed), 2002, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial. Universitas Muhamadiyah Surakarta. Kota Anonim: C.V. Bintang Pelajar. Bleicher, Josef, 2003, Hermeneutika Kontemporer. Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. Edisi Pertama. Alih Bahasa: Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Burckhardt, Titus, 1984, Mengenal Ajaran Kaum Sufi. Diiterjemahkan oleh Azyumardi Azra dan Bachtiar Efendi dari buku: An Introduction to Sufi Doctrine. Second Impression 1981. Wellingborough, Great Britain: The Aquarian Press. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Danasasmita, Saleh, dkk, 1984, Sejarah Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Daerah TK I Jawa Barat. Darsa, Undang Ahmad., dkk, 1993, Wawacan Gandasari. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Eagleton, Terry (ed.), 1985, Modern Literary Theory. Rochaeti, Etti. 1997. Wawacan Batara Kala: Suatu Kajian Filologis. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Haderanie H.N., K.H., t.t. Ilmu Ketuhanan, Marifat, Musyahadah, Mukasyafah, dan Muhabbah. (4 M). Surabaya: C.V. Amin. Hadi W.M., Abdul, 1995, Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan 150
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Puisi-Puisinya. Bandung: Penerbit Mizan. Hartoko, Dick, 1975, Saksi Budaya. Edisi Pertama. Jakarta Pusat: Dunia Pustaka Jaya. Jones, Russell, tt, Makalah: Asal-Usul Tradisi Naskah Melayu. Kalabadzi, Aboe Bakar Muhammad al -., 1995, Ajaran-Ajaran Sufi. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Nasir Yusuf, editing oleh Ahsing Muhamad dari buku: Al - Ta‟arruf li Madzab Ahl at - Tashawwuf. 1980. Kairo: Maktaba Kulliyatu Uzhiriyyah. Bandung: Penerbit Pustaka. Kalsum, 1991, Makna Mantra Pertanian Jawa Barat Bagian Timur. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. ______, 1998, Wawacan Jaka Ula Jaka Uli: Kajian Filologis. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. ______, 2006 Wawacan Batara Rama: Edisi Teks, Kajian Struktur dan Intertekstualitas. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. ______, 2010, “Simbol Magi Nirag dan Ngaradinan, hubungannya dengan teks naskah Sewaka Darma”. Jurnal Panggung, terbit Maret 2011, Vol 20. No. 4 Oktober – Desember 2010. Kalsum & Rahmat Sopian, 2010, Wawacan Dalam Khazanah Sastra Sunda dan Suntingan Teks Wawacan Rawi Mulud. Sastra UNPAD Press. Lubis, Nabilah, 1996 a. Syekh Yusuf Al - Taj Al Makasari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia. Edisi Pertama. Disertasi. Diterbitkan kerjasama Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Ecole Francaise d‟ Extreme Orient. Bandung: Penerbit Mizan. Loir, Henry Chambert (ed), 2009, Sadur; Sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Kerjasama KPG, EFEO, Forum Jakarta – Paris, Pusat Bahasa, Unpad. Nurbakhsy, Javad., 1992, Psyhologi of Sufism (Del wa Nafs). Diterjemahkan oleh Arief Rakhmat, 1998, judul Psikologi Sufi. Penyunting: Saat Langit Lembayung. Fajar Pustaka Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
151
Baru: Yogyakarta Pradotokusumo, Partini Sardjono, 1986, Peranan Sastra Nusantara Kuna dalam Alam Pembangunan Nasional. Universitas Padjadjaran. Bandung. _______, 2003, Menguak Makna Teks dalam Naskah Nusantara (Lama). Disajikan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VII di Denpasar - Bali, 28 – 30 Juli 2003. Pradotokusumo, Partini Sardjono dkk., 1986, Naskah Sunda Kuna; transliterasi dan terjemahan. Bandung: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. Purwoko, Herudjati 2008 Discourse Analysis: Kajian Wacana bagi Semua Orang. Edisi Pertama. Jakarta: P.T. Indeks. Reynolds, L.D. & N.G. Wilson, 1978, Scribes & Scholars. London: Oxford University Press. Riffaterre, Michael, 1978, Semiotics of Poetry. Library of Congress Cataloging in Publication Data. Bloomington & London: Indiana University Press. Robson, S.O. 1978. Filologi dan Sastra-Sastra Klasik Indonesia. Tugu-Bogor. Rosidi, Ajip, 1989 Haji Hasan Mustapa jeung Karya-Karyana. Bandung: Pustaka. Rusyana, Yus & Ami Raksanagara, 1980 Puisi Guguritan Sunda Jakarta: P & K. Sabana, Setiawan & Hawe Setiawan (Ed), 2011, Jagat Kertas. Kumpulan Tulisan. Bandung: Garasi 10. Sopian, Rahmat, 2010, Bima Swarga, naskah beraksara Sunda Kuno, dengan bahasa Sunda Kuno: Kajian Filologis. Program Pascasarjana: UNPAD. Surianingrat, Bayu 1982. Sajarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur. Jakarta: Rukun Warga Cianjur. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia. 152
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
_______, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: P.T. Dunia Pustaka Jaya. Tjandrasasmita, Uka, Gramedia.
2009,
Arkeologi
Islam
Nusantara.
Daftar Naskah 1. Wawacan Jaka Ula Jaka Uli 2. Wawacan Tamim Adari 3. Wawacan Pulan Palin 4. Wawacan Buana Wisesa 5. Karya Haji Hasan Mustapa (buku, lihat Daftar Pustaka, Rosidi, Ayip. 1089) 6. Wawacan Gandasari 7. Wawacan Ganda Sari (buku, lihat Daftar Pustaka, Darsa, Undang Ahmad., dkk, 1993) 8. Wawacan Batara Kala (Tesis, lihat Daftar Pustaka, Rochaeti, Etti. 1997) 9. Babad Godog dari Jasinga 10. Ratuning Usada Naskah Bali 11. Wawacan Sulanjana
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
153
Abstrak Di antara batu-batu nisan yang tersimpan di Museum Taman Prasasti ada satu nisan yang sangat berbeda dengan yang lain, baik bentuk maupun ornamennya. Batu nisan itu terletak di sudut kiri belakang museum tersebut. Bangunan batu nisan itu berbentuk kotak dilengkapi sebuah pilar yang ujungnya patah. Berdasarkan inskripsi yang tertulis pada batu nisan tersebut, yang dimakamkan di sini adalah Jan Laurens Brandes. Hampir semua orang Indonesia tahu nama Nâgarakrětâgama, tapi tidak semua orang tahu siapa nama tokoh penyelamatnya. J.L.A. Brandes adalah adalah penyelamat manuskrip tersebut pada saat Istana Cakranegara dibakar pada waktu Perang Lombok pada tahun 1894. Tulisan ini membahas sejauh mana korelasi batu nisan ini dari kaca mata semiotik melalui analisis mikro dan makro model Peirce dan Danesi-Perron, dengan kisah kehidupan Brandes sebagai seorang arsiparis, linguis, sejarawan dan arkeolog yang seluruh hidupnya diabdikan pada bidang ilmu yang ditekuninya. Pendahuluan Sampai saat ini masih banyak batu nisan dari masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sampai akhir masa kolonial Hindia-Belanda yang tersebar di berbagai tempat di Jakarta, antara lain di Gereja Sion (Portugeesche Buitenkerk),
* Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. 154
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Museum Wayang (Nieuwe Hollandsche Kerk), Museum Taman Prasasti (Europeesche Kerkhof) dan Pulau Onrust, Jati Petamburan dan lain-lain. Sayangnya sebagian besar batu nisan tersebut kurang terawat, bahkan banyak yang dibiarkan hancur. Batu-batu nisan tersebut sebenarnya merupakan file-file historis yang tidak ternilai harganya, mengingat banyak di antara orangorang yang dimakamkan di sana sangat berperan dalam sejarah kolonial di Indonesia. Menurut Fortuin et al (1988), batu-batu nisan adalah arsip rakyat sebagai warga masyarakat karena memuat data tentang pelaku-pelaku sejarah kehidupan manusia, apa pun peranan mereka semasa hidupnya. Batu nisan dapat dipandang sebagai tulisan kenang-kenangan (festschrift) seperti halnya buku kenang-kenangan (liber decorum) yang berisi tulisan teman-teman dekat seseorang pada saat ia mencapai usia tertentu atau mulai nonaktif dari jabatannya. Dalam hal pembuatan batu nisan, tema yang dipilih disesuaikan dengan tema yang paling disukai oleh orang yang meninggal semasa hidupnya, misalnya peran, perilaku, sifat dan keyakinannya. Pada waktu masih hidup posisi statusnya berada di bawah, sedangkan setelah meninggal ia diposisikan berada di atas. Yang menulis pesan, baik verbal berupa inskripsi maupun pesan nonverbal berupa lambang, memposisikan dirinya sebagai ”aku” yang meninggal. Pesan-pesan pada batu nisan seolah-olah sebagai karya yang terbit sesudah seseorang meninggal (posthuum). Pesan verbal berisi nama, tempat dan tanggal lahir, jabatan, umur dan tempat waktu meninggal, kadang-kadang disertai puisi atau petikan ayat-ayat alkitab (Suratminto 2006: 73). Pernahkan Anda masuk museum Taman Prasasti di Jln. Tanah Abang I Jakarta Pusat? Letak museum tersebut persis di sebelah kantor Walikota Jakarta Pusat. Pada masa VOC dan masa Kolonial Hindia-Belanda, tempat ini bernama Europesche Kerkhof (Tempat pemakaman orang Eropa) dan nama jalannya dahulu adalah Kerkhoflaan (Jalan Pemakaman). Museum ini dahulu luasnya 5,5 ha tetapi sekarang tinggal 1,3 ha saja. Pada masa Gubernur Ali Sadikin di kiri kanan makam dibangun gedung walikota dan karang taruna Jakarta Pusat. Pada tembok gedung yang menghadap ke jalan dipasang batu-batu nisan masa VOC, pindahan dari pemakaman Gereja Belanda Baru yang sekarang menjadi Museum Wayang. Di halaman belakang Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
155
terdapat banyak sekali batu nisan dengan berbagai corak dan bentuk serta bahasa, di antaranya: bahasa Belanda, Prancis, Ibrani, Jepang, Jerman, dan Latin. Di antara berbagai batu nisan, terdapat sebuah nisan yang bentuknya sangat berbeda dengan batu nisan Belanda pada umumnya, yang merupakan batu nisan J.L.A. Brandes. Makam ini letaknya di barisan paling belakang, di sudut sebelah kiri jika kita menghadap ke depan, tepatnya di sebelah kanan makam Gubernur Jenderal VOC terakhir, Mr. Gerardus van Overstraten (1756-1801). Berita singkat pada batu nisan ini tidak menyebutkan jabatan Brandes semasa hidupnya sebagaimana lazimnya pada kebanyakan prasasti pada batu nisan Belanda. Bentuk nisan Brandes memang sangat kontroversial bila dibandingkan dengan batu-batu nisan yang lain dari masa sebelumnya atau bahkan dengan batu nisan pada kurun waktu jauh sesudahnya. Pesan-pesan baik verbal maupun nonverbal pada batu nisan termasuk wacana karena yang dimaksud dengan wacana yang juga dapat dipandang sebagai tanda dalam semiotika adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya (Garret, Peter dan Bell, Allan 1998: 3). Pesan nonverbal berisi lambanglambang, mempunyai makna tertentu sesuai dengan kepercayaan komunitasnya. Ada beberapa pertanyaan yang akan diungkap dalam penelitian ini. Pertama, mengapa makam Brandes bentuknya berbeda dari batu-batu nisan Belanda pada umumnya. Apa makna lambang-lambang pada batu nisan tersebut ditinjau dari kaca mata semiotik? Melalui analisis semiotik makro adakah hubungan antara lambang-lambang pada batu nisan tersebut dengan data mengenai peran Brandes semasa hidupnya? Tujuan tulisan ini adalah untuk mengungkap makna wacana pada batu nisan Brandes, baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal, melalui analisis semiosis model mikro Peirce dan analisis model makro Danessi dan Perron. Hasil kedua analisis tersebut diharapkan dapat menjawab pertanyaan di atas, di samping untuk menambah wawasan mengenai salah satu warisan budaya Kolonial yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, yang kini masih tersimpan dalam museum Taman Prasasti.
156
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Teks pada Batu Nisan J.L.A. Brandes Pesan pada batu nisan J.L.A. Brandes berupa ungkapan nonverbal atau ikonis dalam bentuk berbagai lambang dan teks verbal berupa inskripsi yang berisi biografi singkat sebagai berikut: RUSTPLAATS VAN DH JAN LAURENS ANDRIES BRANDES GEB. TE ROTTERDAM 18 JANUARI 1857 OVERL. TE WELTEVREDEN 26 JUNI 1906 Keterangan: DH = De Heer ‟tuan‟ OVERL. = Overleden ‟wafat‟ Maknanya: Tempat peristirahatan dari Tuan Jan Laurens Andries Brandes Lahir di Rotterdam pada tanggal 18 Januari 1857 Wafat di Batavia pada tangal 26 Juni tahun 1906 Pesan non-verbal sebagai berikut: Dasar batu nisan terdiri dari kelopak-kelopak bunga teratai yang menyangga kotak persegi empat, yang di atasnya terdapat tiga buah bidang segi empat bertingkat. Di bagian atas, pada empat penjuru angin, masing-masing terdapat pahatan gapura kerajaan (lambang heraldik) berbentuk gunungan. Jika diperhatikan lebih rinci, gunungan itu berisi pahatan simetris dua buah lengkungan yang membentuk sebuah yoni, yang menyatu dengan bentuk lingga yang berdiri tegak lurus. Pada puncak gunungan terukir bentuk candi, dihiasi daun akantus yang menjuntai di kiri dan kanan, membentuk sebuah gapura kerajaan dengan sebuah pintu yang bisa dibuka dan ditutup. Keempat gapura kerajaan tersebut merupakan tepi atap bangunan yang menyangga sebuah lingga atau pilar yang patah. Secara holistik batu nisan ini menggambarkan sebuah lingga yang menyatu dengan yoni. Untuk lebih jelasnya, lihat foto batu nisan Brandes sebagai berikut:
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
157
Gambar 1: batu nisan J.L.A. Brandes (foto koleksi Lilie Suratminto)
Pada nisan ini nampak banyak pesan nonverbal yang sangat kompleks. Dari kejauhan (long shot), bentuknya secara global mengingatkan kita kepada bangunan-bangunan candi di Jawa Timur. Menurut tradisi masa VOC, hampir semua batu nisan dilengkapi dengan lambang heraldik yang menyiratkan gambaran prestise si pemilik lambang, yaitu orang yang dimakamkan di situ. 158
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Lihat contoh lambang heraldik seorang pejabat VOC dalam gambar berikut: Bagian-bagian batu nisan: Pesan nonverbal (ikonis) Lambang heraldik: Puncak lambang: Seekor kuda melompat ke arah dexter (kanan). Kepala : sebuah helm dengan teralis tampak depan. Leher dan pundak: baju zirah dengan kalung salib. Perisai: dua ekor kuda melompat ke kanan pada sisi dexter atas dan sinister (kiri) bawah. Dua buah pohon pada sinister (kiri) atas dan dexter (kanan) bawah. Garis pembagi perisai membentuk sebuah salib. Pengisi lambang: sulur-sulur daun akantus. Dua buah simpul tali di bawah perisai. Gambar 2: Lambang heraldik Direktur Jenderal Michiel West Palm di Museum Taman Prasasti Jakarta (foto koleksi Lilie Suratminto)
Sosok JLA Brandes Nama lengkap Brandes adalah Jan Laurens Andries Brandes. Lahir di Rotterdam pada tanggal 13 Januari 1857 dan wafat di Batavia pada tanggal 26 Juni tahun 1906. Ayahnya seorang pendeta Kristen Lutheran. Ketika ia berusia satu tahun, Brandes ikut keluarganya pindah ke Amsterdam. Setamat sekolah menengah Gymnasium ia meneruskan sekolah agama di Atheneum, Amsterdam (1874). Pada tahun 1876 ia mengikuti ujian ilmu pasti di Utrecht, tahun 1877 mendapat gelar Sarjana Muda Theologi di Leiden, dan pada tahun 1878 lulus ujian calon teolog di Amsterdam. Sementara menyiapkan ujian doktoral teologi, Brandes pindah ke jurusan linguistik dan sejarah yang sangat menarik baginya. Perpindahan jalur peminatan dimungkinkan sehubungan dengan adanya Undang-Undang Baru di Perguruan Tinggi yang mulai dengan Peraturan Program Doktor Baru untuk Bahasa dan Sastra Kepulauan Nusantara (Taal-en Letterkunde van den Indischen Archipel) di HindiaJumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
159
Belanda. Untuk itu Brandes muda yang rajin dan penuh keingintahuan mengikuti kuliah Profesor Loman dan Prof. Naber di Amserdam. Ia mempertahankan disertasinya, berjudul: Bijdrage tot de vergelijkende klankleer der Westersche Afdeling van de Maleisch-Polynesische taalfamilie (Sumbangan perbandingan bunyi bahasa pada kelompok bahasa MelayuPolinesia Bagian Barat). Masalah utama dalam tulisan ini adalah penemuan dan penanganan kaidah bunyi bahasa telah yang ditemukan Van der Tuuk pada bahasa Melayu-Polinesia di bagian barat yang dikuatkan secara panjang lebar oleh Brandes. Tidak lama setelah promosi ia menikah dengan Helena Nieman. Bersama istrinya ia berangkat ke Hindia-Belanda untuk bekerja sebagai pegawai yang menangani penelitian bahasa-bahasa Nusantara di Bataviaasch Genootschap (sejenis LIPI sekarang). Sejak belajar di Leiden ia mendalami studi bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi dan Epigrafi Nusantara, dua bidang studi yang tidak diwajibkan oleh Undang-Undang. Kumpulan inskripsi yang sangat banyak pada batu dan kuningan, maupun pada manuskrip Jawa di Museum Batavia pada waktu itu tetap belum tersentuh oleh siapapun dan menunggu penanganan para pakar di bidang ini. Oleh karena itu Brandes mendapat tugas untuk menanganinya. Hasil kerja keras yang banyak menyita waktu dan tenaga serta memerlukan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa ialah pada tahun 1887 ia menerbitkan hasil penelitiannya berjudul „Aantekeningen omtrent de op verschillende voorwerpen voorkomende inscripties en een voorlopige inventaris der beschreven steenen‟ (Catatan-catatan pada inskripsi-inskripsi yang terdapat pada bermacam-macam obyek dan inventaris sementara batu-batu bertulis) sebagai lampiran dari „Catalogus der Archeologische Verzameling van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, door W.P. Groeneveldt‟ (Katalog kumpulan arkeologis dari Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kesenian Batavia, oleh W.P. Groeneveldt). Catatan tentang batu-batu bertulis membuktikan bahwa Brandes dengan kebiasaannya yang mendasar dapat menangani berbagai persoalan. Berkat penelusurannya selama bertahuntahun dan pengetahuannya, terutama mengenai bahasa Jawa kuno, pengungkapan sejarah dan sumber-sumbernya semakin berkembang. Suatu hal yang belum pernah dilakukan pada para pendahulunya. Ini dibuktikan pada karyanya yang berjudul 160
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
„Pararaton‟ yang mengkisahkan sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit. Cerita sejarah Pararaton dimulai dari didirikannya kerajaan Tumapel oleh Ken Arok, yang bergelar Rajasa, pada tahun Çaka 1144 (1222 M). Penerusnya memerintah Tumapel (Singasari) sampai raja terakhir, Kartanegara, yang dikalahkan oleh Jaya Katwang dari Daha. Jaya Katwang akhirnya dikalahkan oleh tentara Tartar dari China, yang merupakan utusan Khu Blai Khan, atas muslihat Raden Wijaya yang kemudian menjadi raja pertama Majapahit. Brandes dan Van de Tuuk Brandes sebagai seorang linguis, sastrawan, arkeolog dan sejarawan sejak di Belanda telah mengagumi Van der Tuuk yang lahir di Malakka pada tahun 1824 dan ditugasi oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk mempelajari bahasa dan budaya Batak. Untuk menyamakan visinya mengenai kaidah bunyi bahasa Melayu-Polinesia di bagian barat Hindia-Belanda, Brandes menyempatkan tinggal di rumah Van der Tuuk di Bali selama empat minggu. Setelah Van der Tuuk meninggal dunia Brandes ditugasi oleh Bataviaasch Genootschap untuk menyelamatkan arsip milik Van der Tuuk. Karya berupa kamus bahasa KawiBali-Belanda yang disusun oleh Van der Tuuk diterbitkan setelah kematian Van der Tuuk (Van Vugt t.t. : 38-39). Pada tahun 1897 Brandes berlibur ke Belanda dan kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami sistem katalogus di Leiden. Kepiawaian Brandes dalam mengarsipkan karya-karya Van der Tuuk dan temuan-temuan di wilayah kolonial Hindia-Belanda menjadikannya seorang arsiparis yang handal. Brandes Penyelamat Nâgarakrětâgama dan Karya-karyanya Sebagai personel Bataviaasch Genootschap, Brandes dalam Perang Lombok ditugasi untuk menyelamatkan naskah-naskah kuno yang dimiliki oleh Raja Lombok. Pada awal Oktober 1894 Brandes menerima rampasan yang ia sebut geschreven oorlogsbuit (rampasan perang tertulis), yaitu buku-buku lontar yang, bagi orang Eropa, tidak seorangpun menghargainya kecuali para ilmuwan. Raja Lombok terkenal sangat kaya raya, tetapi untuk Brandes dan dunia para ilmuwan yang berharga bukanlah emas, perak dan intan berlian, melainkan khasanah budaya yang tidak ternilai harganya. Brandes yang telah mempelajari kebudayaan masa Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
161
Hindu dan keasyikannya menerjemahkan Pararaton merasa sangat beruntung dapat mengunjungi perpustakaan Hindu yang menyimpan buku-buku lontar yang sangat kaya dari kerajaan Lombok.
Gambar 3 : Foto J.L.A. Brandes
Sepulangnya ke Bali Brandes minta izin untuk sekali lagi mengunjungi Lombok untuk menyelamatkan karya seni budaya yang tidak ternilai harganya itu. Pada tanggal 18 November 1894 Cakranegara jatuh ke tangan militer Belanda. Istana dibakar dan kemudian terjadi penjarahan atas kekayaan Lombok. Raja beserta pengikutnya melarikan diri ke Sasari. Brandes menyelamatkan buku-buku lontar yang, antara lain, setelah ditranskrip di Batavia diterbitkan dalam Vehandelingen van het Bataviaasch Genootschap va Kunsten en Wetenschappen Bagian LIV, Bagian I (1897) dengan judul ”Nâgarakrětâgama, Lofdicht van Prapantja op Koning Radjasanagara, Hayam Wuruk, van Madjapahit, uitgegeven naar eenige daarvan bekende handschrift aangetroffen in de puri te Cakranegara op Lombok”. Karya Barandes yang penting, selain disertasinya, adalah 162
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
penulisan karakter tulisan tangan Jawa, Bali dan Sasak yang ditemukan dari peninggalan Dr. H.N. van der Tuuk, serta Kamus Kawi-Bali-Nederlandsch yang diterbitkan pada tahun 1897, 1899, 1901 dan 1903 oleh Perpustakaan Universitas Leiden pada tahun 1903, menjelang wafatnya. Selama masa hidupnya Brandes sangat produktif menulis. Tulisannya, antara lain, dimuat di: Tijdschrift voor Taal-, Land-, en Volkenkunde van Newderlandsch Indië, Notulen van de Algemene en Directie-Vergaderingen van het Bataviaasch genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Maandschrift I (1886-1887), Feestbundel, Hommage, Catalogus der Archeologische verzameling van Het Bataviaasch Genootschap,dan Archeologisch onderzoek op Java en Madoera. Arsip Peninggalan Brandes Di samping karya tulis yang diuraikan di atas, Brandes sebagai seorang arsiparis membuat katalog temuan-temuan manuskrip dari berbagai wilayah di Hindia-Belanda. Kumpulan arsip itu saat ini masih tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional dan di KITLV Leiden.
Gambar 4: Foto Manuskrip kitab Nâgarakrětâgama (koleksi foto Lilie Suratminto)
Lambang Heraldik dan Persebarannya dalam Masyarakat Berbicara mengenai simbol pada batu nisan Brandes tidak dapat lepas dari lambang heraldik pada batu nisan, karena pada umumnya bangsa Eropa memiliki sebuah heraldik, yaitu lambang keluarga warisan dari nenek moyang mereka. Istilah „heraldik‟ berasal dari bahasa Belanda heraldiek. Dalam bahasa Inggris, heJumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
163
raldry berasal dari kata herald yang bermakna „pengumuman, pembawa berita, atau petanda‟. Kata ini diserap dari bahasa Jerman Tinggi kuno, heriwalt, dan bahasa Prancis kuno, hérault, yang bermakna „pembawa berita‟. Dalam puisi Prancis kata herau ditemukan pada tahun 1285. Dalam bahasa Jerman herold ditemukan pada tahun 1367 (Neubecker 1977: 10). Makna aslinya tidak diketahui dengan pasti. Istilah herald pertama-tama dikenal pada tahun 1170. Istilah heraldry sering dipakai sebagai sinonim dari armory. Ada berbagai batasan mengenai heraldik, di antaranya: “Heraldry is a science which treats of the classification and description of certain heralditary emblems, and the rules which govern their use” (Whitmore 1969: 1). “Heraldry is the science that studies armorial bearings, the coloured emblems pertaining to individual, a family or community. Their composition is governed by the specific rules of blazon that distinguish the medieval European heraldic system from all other systems of emblems, wether earlier or later, military or civil”(Pastoureau 1997: 13). Secara khusus lambang heraldik mengungkapkan dua hal dari penggunanya: identitas mereka dan lingkungan budaya tempat mereka tinggal. Untuk jangka waktu yang lama kontribusi heraldik pada bidang sejarah dinasti dan politik, sejarah seni dan arkeologi adalah pengidentifikasian pemilik lambang tersebut. Di samping itu lambang heraldik dapat juga dipergunakan sebagai alat untuk menelusuri sejarah keluarga dan asal-usul nenek moyang atau genealogi (Kloot 1891: vi; Neubecker 1977: 6; Pastoureau 1997: 88-89). Di Inggris hanya kaum bangsawan yang boleh mengenakan lambang-lambang heraldik, tetapi di daratan Eropa justru sebaliknya. Di sana setiap orang berhak mengenakan lambang, tetapi tidak setiap orang melakukannya. Awalnya lambang ini dipergunakan terutama oleh kelompok masyarakat tertentu. Kemudian, lambang heraldik dipergunakan oleh kaum bangsawan, aristokrat, hakim tinggi, saudagar, sastrawan, pelukis, dan artisan yang kaya. Pada masa Perang Salib banyak kaum bangsawan yang ikut suka rela ke Jerusalem untuk berperang membela agama mereka. Dalam berperang mereka memakai helm untuk melindungi diri dari serangan senjata tajam. Untuk membedakan antara lawan dan kawan mereka mengenakan lambang heraldik pada perisai atau 164
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
mahkota (puncak lambang) atau jambul helm perang mereka. Pada abad pertengahan sempat terjadi mode untuk setiap kelompok mempergunakan lambang tertentu. Pertama, untuk menunjukkan perbedaan antara kelompok satu dengan yang lain. Kedua, untuk menunjukkan profesi tertentu, misalnya penjahit, petani, artisan, dan lain-lain. Ketiga, ada tujuan politik, yaitu sebagai lambang prestise keluarga pemilik lambang tertentu. Lambang heraldik pertama-tama dipakai oleh keluarga raja, para baron dan bangsawan. Semakin lama lambang ini diadopsi oleh seluruh aristokrat Barat. Pada awal abad ke-13 di Inggris kira-kira ada 1500 lambang. Di beberapa negara Eropa dan juga di Belanda ada kebiasaan untuk menggantungkan lambang heraldik dari anggota jemaatnya yang terpandang dalam gereja. Ruang gereja kemudian menjadi semacam „museum‟ tempat memamerkan lambang heraldik. Kebiasaan ini ditiru juga oleh komunitas VOC di Batavia (Kloot 1891). Dalam gereja, lambang heraldik ditemukan di lantai, dinding, jendela-jendela, langitlangit dan obyek-obyek kesalehan lain dan pada jubah-jubah, mulai dari yang dikenakan pastur sampai para paderi dan pelayan gereja. Kecenderungan untuk memakai lambang heraldik ini mulai surut setelah terjadinya Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, yang mengangap lambang ini sebagai lambang status kaum bangsawan, meskipun anggapan itu tidak seluruhnya benar. Akibatnya, karena alasan politik banyak lambang heraldik yang dilenyapkan baik dalam bentuk lukisan, monumen, sampul buku, bahkan lambang yang terdapat pada batu-batu nisan. Mempertahankan eksistensi lambang tersebut akan berakibat buruk bagi pemakainya. Pengertian tentang Ikon dan Lambang Peirce membagi ikon ke dalam iconic image (citra ikonis) dan iconic diagram (diagram ikonis). Citra ikonis adalah “. . . a single sign which resembles its referent with respect to some (not necessarily visual) characteristic” (Haiman 1980: 515). Kemiripan citra ikonis dengan objeknya terletak pada ciri referen – yang belum tentu berupa ciri visual- juga terdapat pada tanda tersebut. Contoh luar bahasa ikon citra adalah foto, patung, program musik; di dalam bahasa ikon citra dapat dijumpai pada onomatope. Hubungan ikon sama dengan lambang, apabila sebuah ikon Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
165
berfungsi sebagai lambang berdasarkan konvensi, misalnya: bunga mawar berkelopak empat adalah ikon bunga mawar karena ada kemiripan dengan bentuk bunga mawar. Bunga mawar ini berdasarkan konvensi dianggap sebagai lambang, misalnya: suci karena warnanya yang putih, juga dianggap sebagai Perawan Suci atau Bunda Maria, sebagai lambang cinta karena bunga ini dalam mitologi Yunani diangap sebagai persembahan untuk Dewi Venus yang juga sebagai Dewi Cinta. Mawar berkelopak empat dianggap sebagai perwujudan tanda salib (kristiani), juga dianggap sebagai penunjuk jalan atau kompas. Proses Semiosis Peirce mengatakan bahwa tanda-tanda berfungsi sebagai mediator antara dunia eksternal dan dunia internal ide. Tanda adalah representasi mental dari objek, dan objek dapat dikenali dari persepsi tandanya. Peirce mendefinisikan „semiosis‟ sebagai proses representasi fungsi objek sebagai tanda (sign) (Peirce 1960: 122-124). Model Peirce tentang unsur makna tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Objek (Object)
Tanda (representamen)
Interpretan (interpretant
Gambar 5 : Diagram proses semiosis dari Peirce (Hoed 2001: 199)
Sebuah „tanda‟ (sign) atau „representamen‟ (representamen) mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri yaitu „objek‟ (object), yang dipahami oleh seseorang (kognisi): objek memiliki efek bagi „interpretan‟ (interpretant) (Nöth 1990 : 42). Proses pemaknaan representamen, objek, dan interpretan yang disebut semiosis itu terjadi dengan sangat cepat dalam pikiran manusia (Hoed 2001: 118). Proses semiosis adalah proses di mana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yakni representamennya mewakili yang diwakilinya. Peirce (dikutip 166
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Nöth 1990: 42) mengemukakan semiosis merupakan hubungan segi tiga antara sign (tanda), thing signified (petanda), dan cognition produced in the mind (kognisi yang dihasilkan dalam persepsi). Karena yang diindera sebenarnya adalah representamen, maka seringkali representamen disebut tanda: “. . . Nothing is a sign unless it is interpreted as a sign”. Tidak satu pun dapat disebut sebagai tanda, kecuali tanda itu diinterpetasikan sebagai tanda “….. Peirce melihat semiosis tersebut sebagai suatu proses yang secara teoretis berlanjut tanpa akhir karena manusia akan terus berpikir (Hoed 2001: 200). Analisis Semiosis Berikut akan diuraikan bekerjanya proses semiosis tersebut dalam praktik. Yang akan dijadikan model di sini misalnya sulur daun akantus yang terdapat pada hampir semua batu nisan masa VOC. Representasi daun akantus ini pada umumnya berupa hiasan pengisi lambang heraldik (berfungsi sebagai mantel) atau sebagai iluminasi atau hiasan tepi batu nisan. Motif hias daun akantus termasuk motif hias yang paling tua karena motif ini sudah ada sejak zaman Romawi Kuno, karena bentuk daun akantus yang dapat distilir ini membuat suatu benda seni menjadi tampak indah. Untuk jelasnya lihat gambar berikut:
Gambar 6: Daun akantus yang distilir pada lambang heraldik batu nisan Jacobus Lindius di Museum Taman Prasasti Jakarta (koleksi foto Lilie Suratminto)
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
167
Bandingkan dengan gambar berikut:
Gambar 7: Lambang heraldik batu nisan Brandes (koleksi foto Lilie Suratminto)
Analisis Model Semiosis Mikro Peirce Proses semiosis ke -1. Objek (Object)-1 daun distilir
Tanda (representamen 1) Interpretan (interpretant)-1 = R-2 sulur daun bentuknya melingkar - (Representamen 2) lingkar dan berduri bukan sembarang da Gambar 8: Diagram proses semiosis model Peirce
168
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Proses semiosis ke -2: Objek (Object)-2 daun tumbuh di sekitar Laut Tengah di Eropa selalu tampak hijau di segala musim
Tanda (representamen 2) Interpretan (interpretant)-2 = R-3 bukan sembarang daun ( representamen 3 a dan 3b) daun akantus Gambar 9: Diagram proses semiosis model Peirce
Proses semiosis ke -3a: Objek (Object)-3 selalu tampak hijau dalam segala musim
Tanda (representamen)-3 Interpretan (interpretant)-3 daun akantus hidup, abadi, mulia, damai, subur Gambar 10: Diagram proses semiosis model Peirce
Penggunaan daun akantus sebagai lambang setelah penafsir pernah memperoleh pengetahuan tentang daun itu dalam hubungannya dengan kepercayaan dalam religi kristiani, dapat ditafsirkan demikian: Proses semiosis ke-3 b: Objek (Object)-3 - Telah dipakai sebagai lambang pada masa Romawi Kuno - Orang kristiani telah mengadopsinya sebagai lambang
Tanda (representamen)-3 Interpretan (interpretant)-3 daun akantus abadi, damai, mulia, penderitaan Gambar 11: Diagram proses semiosis Peirce Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
169
Dari proses semiosis, daun akantus selain tampil sebagai ikon daun akantus, juga sebagai lambang hidup, damai, abadi dan mulia. Mula-mula daun akantus bukan lambang Kristiani. Lambang ini diadopsi oleh pemeluk Kristiani karena ada sifatsifat atau tanda-tanda lahiriah dari tumbuh-tumbuhan ini yang mirip dengan kepecayaan mereka, yaitu duri-durinya yang tajam, yang dapat dipakai sebagai representasi rasa sakit (sengsara), dosa dan hukuman atas dosa. (Cooper 1978: 10). Yang menjadi masalah dalam interpretasi dari daun akantus pada batu nisan, apakah interpretasi pertama menurut Romawi Kuno atau interpretasi yang kedua. Dapat diasumsikan bahwa interpretasi yang pertama yang akan dipilih orang karena di dalamnya mengandung harapan hidup abadi, damai dan mulia. Kalau demikian maka yang terjadi adalah proses sinkritisme. Analisis Semiosis Mikro Batu Nisan Brandes
Pilar patah
4 Buah gapura berbentuk gunungan
Tiga buah bidang bertingkat Bidang datar segi empat menyerupai meja Peti Kelopak-kelopak bunga teratai
Gambar 12: Lambang-lambang pada batu nisan Brandes (koleksi foto Lilie Suratminto)
170
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Gapura berbentuk gunungan (Lambang heraldik Brandes) Bangunan candi Daun akantus Yoni Lingga Gambar 13: Lambang-lambang pada batu nisan Brandes (koleksi foto Lilie Suratminto)
Proses semiosis mikro lambang-lambang pada batu nisan Brandes dengan interpretan mengacu pada Hans Biedermann (1991) dan Tom Chetwynd (1982) : Representamen
Objek (Kognisi)
Interpretan
1.Pilar patah
Penopang bangunan gedung yang patah.
- kejantanan (phalus); - kejayaan - hubungan langit dan bumi; - cita-cita yang tidak tercapai. - kekuasaan Tuhan. Dalam Kitab Injil (Hakim-Hakim 16:25-30) hanya Tuhan yang mempunyai kekuasaan, pada hari penghakiman Ia menggoyangkan bumi seperti Simson merobohkan pilar di ruang pesta orang Filistin.
2. Empat buah gapura berbentuk gunungan
Pintu masuk ke sebuah bangunan atau kompleks yang agung.
- pintu masuk mencapai nirwana; - kedekatan dengan Sang Pencipta; - daerah trasnsisi menuju kesempurnaan.
3. Tiga buah bidang bertingkat
Pijakan untuk naik tingkat
- Pijakan untuk naik ke tingkat lebih tinggi menuju gapura dalam mencapai nirwana
4. Bidang datar segi empat
Bentuk geometris
- penunjukan tempat manusia dalam ruang, berusaha menyelami kehidupan di surga dan penyelamat supernatural.
5. Peti
Tempat menyimpan sesuatu
- tempat menyimpan kekayaan; - tempat menyimpan sesuatu ra-
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
171
hasia; - misteri. 6. Kelopak bunga teratai
Tanaman air dengan bunga berwarna putih, merah atau biru
- lambang spiritualitas dan seni; - pengasihan; - pembimbing ke alam nirwana; - cita-cita`suci; - fleksibel
7. Bangunan candi
Tempat sembahyang (suci)
- dalam Kitab Injil tubuh adalah bangunan tempat bersemayam Tuhan oleh karena itu harus dijaga supaya tetap suci; - simbol humanisme; - gambaran dunia yang ideal;
8. Daun akantus
Daun yang selalu hijau sepanjang empat musim
- abadi; - mulia; - damai;
9. Lingga
Bentuk genital laki-laki
- kuat; - keras; - panas; - enerjik; - hangat; - dominan.
10. Yoni
Bentuk genital perempuan
- sejuk; - dingin; - lembut; - lemah; - tenang.
11. Lingga dan yoni bersatu
Bersatunya pria dan wanita
- harmonis; - tenteram; - subur; - damai.
Analisis Model Semiosis Makro Danesi dan Perron Analisis model semiosis makro dari Danesi dan Perron, menyangkut tiga dimensi, yaitu fenomena (yang diindera) – nalar dan budaya. Analisis ini mencakup analisis makro skematik, onomastik, denotatif-konotatif dan mitis. Dalam analisis skematik pada tataran kepertamaan skema ‟atas-bawah‟ (up and down), ini mungkin hasil pijakan ganda sensasi hewani dari manusia dalam memandang ‟atas dan bawah‟. Dalam mitologi Yunani, misalnya, diceritakan bahwa dewa-dewa tinggalnya di tempat tinggi dan terang di atas Gunung Olympus. Makhluk-makhluk jahat, bengis dan menakutkan tinggal di bawah bumi (hades) yang sangat gelap. Kepercayaan kristiani juga demikian, Yesus pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati dan naik ke surga. Pada 172
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
tataran kekeduaan adalah bagaimana pengalaman individual yang bervariasi mengalami bermacam-macam konsep abstrak. Tataran keketigaan, merupakan akumulasi dari konsep-konsep ini, yang bermakna secara sosial. Dalam kepercayaan kristiani orang berkeyakinan bahwa surga letaknya ada di atas. Pada batu nisan Brandes ada beberapa lambang yang mengarah ke atas, yaitu: pilar, puncak candi, lingga. Dari seluruh lambang yang menghadap ke atas ini dapat dikelompokkan pada sifat religius adalah tiang pilar dan ujung candi yang merupakan puncak gunungan. Untuk lambang lingga menyatakan kekuatan, keberanian, ketegaran dan kejayaan. Selain analisis atas-bawah dalam makro semiotik skematik membahas tentang konsep kiri (sinister) dan kanan (dexter). Pembuatan lambang menghadap kiri dan kanan agaknya bukan faktor kebetulan, tetapi mengandung makna tertentu. Pada beberapa etnis tertentu orang membedakan konsep kanan dan kiri secara ketat. Konsep ‟kanan‟ pada beberapa pandangan dianggap sesuatu yang positif, baik, suci dan sebagainya. Sebaliknya konsep ‟kiri‟ adalah negatif, jelek, kotor dan sebagainya. Sinister dalam bahasa Belanda bermakna ‟angker‟; ‟yang mengerikan‟ (Moeimam dan Steinhauer 2004: 816). Pada lambang heraldik Brandes tidak ada lambang yang menunjukkan mengahadap ke kiri atau ke kanan. Dalam gapura nampak antara kiri dan kanan dibuat simetris, yang menunjukkan keseimbangan dan harmoni. Yang dimaksud dengan onomastik yaitu kepercayaan tentang penamaan seseorang dan makna di baliknya. Misalnya untuk seorang kristiani biasanya mengambil nama anak-anaknya dari tokoh-tokoh dalam kitab Injil agar nanti anaknya dapat mengikuti perilaku tokoh tersebut dan ini merupakan jaminan bahwa anak tersebut nantinya juga akan masuk surga. Hal yang sama dilakukan oleh Brandes. Pada batu nisan Brandes unsur onomastik terdapat pada kata Jan [baca: Yan] dan Andries. Jan adalah varian nama Yohannes. Varian lain dri Yohannes adalah John, Johan, Juan, Yahya, Joni , Jono, dan sebagainya. Sedangkan Andries adalah varian dari Andreas, Andri, Andara, Andrea dan lain-lain. Kedua nama ini adalah nama-nama tokoh dalam Kitab Injil. Kedua tokoh itu adalah orang yang dalam hidupnya gigih, ulet, sabar, tekun dan bijaksana. Mereka dalam hidupnya sangat disegani dan dihormati. Sifat-sifat ini dimiliki oleh Brandes yang bekerja penuh ketekunan, kesabaran dan keberanian dan sifat-sifat ini digambarkan pada batu nisan Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
173
Brandes. Oleh karena itu ia layak menerima penghargaan, yaitu pada batu nisan Brandes ditulis DH yang maknanya ‟Tuan yang terhormat‟ . Masih dalam analisis makro denotatif-konotatif ini, bangunan batu nisan berbentuk candi Hindu, secara konotatif berarti bahwa dalam kehidupan Brandes terdapat keterkaitan erat dengan budaya Hindu. Ini terbukti dari hasil karyanya, terjemahan Pararaton dan transliterasi Nâgarakrětâgama. Analisis mitis merupakan analisis tentang hadirnya lambang yang dipercaya dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan. Pada batu nisan Brandes unsur-unsur mitis terdapat pada lambang kelopak bunga teratai yang menyangga batu nisan secara keseluruhan sebagai lambang „pembimbing ke alam nirwana‟. Bunga teratai itu akan membimbing roh Brandes menuju ke alam abadi, yaitu alam nirwana. Penggunaan kelopak teratai ini terkait dengan sifat teratai yang mampu menopang benda di atasnya tanpa takut basah atau tenggelam dalam air. Di samping itu sifat teratai yang fleksibel dalam air. Bila air surut ia turun dan sebaliknya apabila air pasang maka bunga itu akan ikut naik pula. Lambang berunsur mitis lain misalnya bersatunya lingga dan yoni yang melambangkan keharmonisan, keseimbangan dan keselarasan. Analisis semiotis makro proksemika yaitu analisis berdasarkan kedudukan atau prestise seseorang dalam kelompok masyarakat tertentu misalnya dalam keagamaan atau sosial. Untuk menentukan kedudukan seseorang dalam agama dilihat dari letak batu nisannya apakah jauh atau dekat dengan mimbar atau pintu masuk gereja. Kedudukan seseorang dalam masyarakat dapat dilihat dari posisi tinggi rendah batu nisan dari permukaan tanah dan ukuran batu nisannya. Pada batu nisan Brandes yang masih in situ kedudukannya lebih tinggi dari batu-batu nisan yang lain, dan ukurannya pun cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang kedudukan sosialnya dalam masyarakat sangat tinggi dan sangat terhormat. Untuk menghormatinya ia dimakamkan di samping makam Van Overstraaten Gubernur Jenderal VOC terakhir yang wafat pada tahun 1801. Simpulan Dari analisis semiotik mikro model Peirce dan analisis makro model Danesi-Perron dapat disimpulkan bahwa J.L.A. Brandes adalah seorang yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang 174
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
sangat terhormat (analisis proksemika), orangnya tenang dan tetap menjaga keselarasan (skematik), tegar, berani, dan harmoni (pilar, lingga-yoni), dan seorang yang menjunjung tinggi humanisme (bangunan candi). Selain itu Brandes juga punya keyakinan spiritualitas yang kuat serta serta cita-rasa seni yang tinggi (kelopak bunga teratai). Ia juga adalah orang yang gagah berani (pilar yang kokoh), yang dapat dilihat dari bagaimana Brandes berani mohon kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk ikut terjun ke kancah peperangan di Lombok dalam rangka menyelamatkan manuskrip-manuskrip kuno yang disimpan di istana Cakranegara. Keyakinan akan sampai ke tempat abadi yang sudah dijanjikan menurut kepercayaan yang dianut (bunga teratai dan daun akantus). Ia meninggalkan banyak pekerjaan untuk generasi penerusnya (peti). Sampai saat ini masih banyak peti berisi manuskrip-manuskrip yang belum selesai dikerjakan olehnya yang kini tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan di KITLV Leiden. Dari bentuk keseluruhan batu nisannya nampaknya tersirat bahwa ada cita-cita yang belum selesai yang digambarkan dengan bentuk pilar patah. Ini nampaknya sesuai dengan kehidupan Brandes yang meninggal pada usia yang masih sangat muda yaitu kira-kira 48 tahun (18571906). Meskipun Brandes adalah putera seorang pendeta dan ia juga mendalami teologia, nampaknya ia juga terpengaruh oleh kepercayaan Hindu hal ini tersirat dari makna taksa (ambigu) dari pilar yang menjulang ke atas dan patah. Dari proses semiosis ada beberapa interpretasi antar lain bahwa hanya Tuhan punya kuasa (kisah Simson merobohkan pilar orang Filistin), cita-cita tidak sampai, atheisme, tidak percaya seratus persen lagi pada agama yang dianutnya. Apakah demikian dalam kehidupan Brandes masih perlu penelitian lebih jauh. Analisis makro secara skematik, onomastik, denotatifkonotatif, mitis dan proksemik menunjukkan bahwa wacana nonverbal dan verbal pada batu nisan yang diteliti sangat erat kaitannya dengan data historis Van Imhoff. Dari analisis teks (baik verbal maupun non-verbal) pada batu nisan ini memberikan gambaran yang lengkap tentang sosok pribadi dan peran Brandes semasa hidupnya. Sebenarnya analisis batu nisan Brandes ini akan lebih lengkap kalau disertakan pula dengan metode pendekatan analisis wacana kritis atau CDA (Critical Discourse Analysis) `dari Norman Fairclough (1995). Melalui pendekatan ini akan dapat Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
175
diungkapkan secara kritis mengenai keberadaan wacana pada batu nisan ini dan aspek-aspek lain yang akan ditonjolkan. Mudahmudahan analisis teks pada batu nisan Brandes ini dapat menambah wawasan kita tentang salah satu warisan budaya kolonial yang tidak ternilai harganya di tanah air kita Indonesia. Daftar Pustaka Biedermann, Hans,2008, Symbolen van A tot Z- Ruim 2000 historisch-culturele symbolen. Utrecht: Spectrum. Cet. Ke10. Chetwynd, Tom,1982, Dictionary of Symbols. Granada: LondonToronto-Sydney-New York. A Paladin Book. Danesi, Marcel and Paul Perron. 1999. Analyzing Cultures - an introduction & handbook. Bloomington- Indianapolis: Indiana University Press. Fairclough, Norman.1995. Critical Discourse Analysis; The critical study of language. Harlow: Pearson Education. Fortuin, Johanna et al .1988. Afscheid Nemen van Onze Doden; Rouwen en rouwgebruiken in Nederland. Kampen: J.H. Kok. Garret, Peter dan Bell, Allan.1998. ”Media and Discourse: A Critical Overview” dalam Peter Garret dan allan Bell (eds), Approaches to Media Discourse. Oxford: Blackwell Publishers. Kern, H. 1906. Levensbericht van J.L.A. Brandes. Jaarboek van de Maatschappij der Nederlandse Letterkunde (hlm. 3051). Laars, T. van der.1913. Wapens, Vlaggen en Zegels van Nederland ; Geschiedkundige bijdragen omtrent wapens van Nederland en zijne Provinciën van het Koninklijkhuis, enz. Amsterdam: Jacob van Campen. Moeimam, Susi dan Hein Steinhauwer. 2004. NederlandsIndonesisch Woordenboek. Leiden: KITLV. Nöth, Winfried.1999. “Pierce", dalam Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Neubecker, Ostfried.1977. Heraldiek, bronnen, symbolen en betekenissen. Amsterdam-Brussel: Elsevier [Internationale Academie Heraldiek met bijdragen van J.P. Brooke-Lettle, vormgeving: Robert Tobler] Pastoureau, Michel.1997. Heraldry; its origin and meaning. Trieste: Editoriale Libraria. 176
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Suratminto, Lilie. 2006. Komunitas Kristen di Batavia masa VOC dilihat dari Batu Nisannya, Suatu Kajian Sejarah melalui Semiotik dan Analisis Teks. Disertasi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Belum diterbitkan. _______, 2007, eks pada Batu Nisan Baron van Imhoff dilihat melalui Analisis Semiosis Model Peirce dan danesi-Perron” dalam Makara Jurnal seri Sosial Humaniora Volume 11 No. 1 Juni 2007. Hlm. 1-12. ISSN 1693-6701. _______, 2008, Makna Sosio Historis Batu Nisan VOC di Batavia. Jakarta: Wedatama Widyasastra. Vanvugt, Ewald. t.t. De Schatten van Lombok- Honderd Jaar oorlogsbuit uit Indonesië. Volmuller, H.W.J. 1981. Nijhoffs Geschiedenis-lexicon: Nederland en België. „Gravenhage Antwerpen: Martinus Nijhoff.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
177
Henri Chambert-Loir (2011). Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima teks Indonesia lama. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia [dll.]. Tebal 180 hlm. ISBN Perancis 978-2-85539-484-8, ISBN Indonesia 978-979-91-0407-6 (Naskah dan Dokumen Nusantara Seri XXIX)
Buku ini memuat lima artikel karya Henri Chambert-Loir. Masyarakat pernaskahan Nusantara tentu tidak merasa asing lagi dengan nama filolog asal Perancis ini, yang lama bekerja sebagai direktur dan peneliti di École française d‟Extrême-Orient (EFEO) perwakilan Jakarta, bahkan sampai sekarang beliau masih terlibat dengan aktivitas lembaga tersebut. Chambert-Loir identik dengan kajian naskah-naskah Nusantara yang berasal dari Bima dan Pulau Sumbawa pada umumnya. Namun dalam buku ini Chambert-Loir membawa pembaca ke wilayah pernaskahan Nusantara yang lain, seperti Aceh, Semenanjung Malaysia, Kalimantan Barat, dan Jawa. * Dosen dan peneliti di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS), Leiden, Belanda (Email: [email protected])
178
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Buku ini memuat versi Bahasa Indonesia enam artikel Chambert-Loir yang versi aslinya telah diterbitkan dalam bahasa Perancis dan Inggris di beberapa jurnal internasional dan dalam bentuk bab dalam buku-buku collective bundel. Sebagaimana dikatakan oleh penulisnya, buku ini “dimasudkan sebagai jilid pertama dari tiga buku berisi sejumlah artikel pilihan” karya Henri Chambert-Loir “dalam terjemahan Indonesia” yang prakarsa penerbitannya muncul dari Bapak Ajip Rosidi sekitar 15 tahun lalu (hlm. 7). Artikel pertama yang mengawali buku ini (hlm. 9-22) sebenarnya tidak langsung terkait dengan teks klasik Nusantara. Artikel ini adalah sebuah obituari mengenang almarhum Profesor Dr. Denys Lombard, salah seorang akademikus Perancis terkemuka tentang Asia. Artikel aslinya dimuat dalam Bulletin de l‟École française d‟Extrême-Orient 85 (1998), hlm. 7-18. Kemudian obituari ini diterbitkan lagi dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds.: H. Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, disertai dengan senarai karya-karya Denys Lombard (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hlm. 13-47). Obituari ini mengisahkan perjalanan karier akademis Denys Lombard sebagai sejarawan dan ahli budaya Nusantara yang terkemuka di Perancis khususnya dan di Eropa pada umumnya. Lahir di Marseille pada 4 Februari 1938, Denys muda adalah anak Maurice Lombard, seorang ahli sejarah ekonomi masa penyebaran agama Islam. Faktor sang ayah inilah antara lain yang membawa Denys Lombard ke jalan nasib menjadi ahli studi sejarah dan budaya Nusantara, khususnya dunia Tionghoa dan Melayu-Indonesia. Tahun 1961 Denys Lombard memperoleh ijazah sarjana di bidang sastra klasik dan sejarah Eropa di École Nationale des Langues Orientales Vivantes (sekarang INALCO), Paris, ditambah empat diploma bahasa-bahasa Timur, yaitu Bahasa Tionghoa, Bahasa Melayu-Indonesia, Bahasa Khmer, dab Bahasa Thai (hlm. 9). Jumlah perolehan ijazah dan diploma tingkat awal yang berhasil diperoleh Denys Lombard itu sudah menunjukkan minat dan kualitas akademiknya yang tampaknya melebihi ratarata kemampuan akademis kebanyakan teman-temannya sesama mahasiswa. Pada masa itu pula Denys menikah dengan Claudine Salmon, yang kemudian kita kenal sebagai Indonesianis lain asal Perancis yang banyak meneliti sejarah sastra dan budaya kaum Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
179
peranakan Tionghoa di Indonesia. Denys Lombard memperoleh gelar doktor dari École de Heutes Études en Sciences Sociales (EHESS) di Paris pada tahun 1963 dengan disertasi Le sultanat d‟Aceh au temps d‟Iskandar Muda, 1607-1636 („Kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskanda Muda, 1607-1637‟). Disertasi itu diterbitkan oleh EFEO pada tahun 1967, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia (cetakan pertama dan kedua berturut-turut tahun 1986 dan 1991 diterbitkan oleh Balai Pustaka; tahun 2006 diterbitkan lagi oleh EFEO dan Kepustakaan Populer Gramedia). Pada tahun 1964-1965 Denys Lombard bersama istrinya menetap di Beijing, Cina. Sambil menulis buku dan artikel ilmiah, mereka kuliah di Universitas Beijing. Pada tahun 1966 Denys Lombard pindah ke Jakarta untuk menjabat sebagai ahli peneliti di EFEO sekaligus menggantikan posisi mantan gurunya, L.C. Damais, yang meninggal pada bulan Mei 1966. Waktu itu sebenarnya EFEO belum memiliki kantor perwakilan tetap di Jakarta. Menurut Chambert-Loir, selama 4,5 tahun masa tinggal Denys Lombard di Beijing dan Jakarta adalah tahun-tahun produktifnya yang banyak menghasilkan buku dan artikel-artikel ilmiah, termasuk melanjutkan beberapa pekerjaan L.C. Damais yang terbengkalai (hm. 14-15). Pada tahun 1969 Denys Lombard diangkat sebagai profesor di EHESS. Dan seperti telah sama kita ketahui, beliau mengajar di lembaga tersebut sampai akhir hayatnya. Berkat posisinya yang penting itu, dan tentu saja karena minat akademisnya yang besar, terbitlah majalah Archipel yang sampai sekarang masih tetap eksis. Archipel terbit pertama kali tahun 1971 atas prakarsa Denys Lombard bersama Christian Pelras dan Pierre Labrousse. Denys Lombard meninggal tanggal 8 Januari 1998 dalam usia yang tergolong masih muda untuk ukuran orang Eropa: 60 tahun. Namun usia yang cukup singkat itu telah dimanfaatkannya secara maksimal untuk menulis lusinan karya ilmiah mengenai sejarah dan budaya Nusantara. Banyak karyanya (umumnya ditulis dalam Bahasa Perancis) telah sampai ke tangan para pembaca Indonesia berkat peran aktif EFEO yang mengusahakan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, termasuk laborious work-nya, Nusa Jawa Silang Budaya yang tebalnya mencapai 1027 halaman (diterbitkan pertama kali tahun 1996 sebagai seri Forum JakartaParis). 180
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Mungkin ada dua hal penting yang perlu kita catat tentang kehidupan Denys Lombard: 1) ia adalah akademikus yang tidak pernah mengambil cuti sabatikal selama kariernya (hlm. 19); 2) ia adalah tipe ilmuwan yang secara luas mempelajari berbagai aspek budaya Asia, namun tetap berfokus pada Nusantara (hlm. 19), khususnya Indonesia, berbeda dengan banyak Indonesianis EuroAmerika di zaman sekarang yang biasanya mengambil fokus penelitian lebih kecil, seperti etnis atau wilayah tertentu saja dan melihatnya dari perspektif disiplin ilmu tertentu. Denys Lombard, intelektual pekerja keras itu, tentu akan selalu dikenang berkat sumbangan akademisnya yang tak ternilai yang telah memperbesar body of knowledge tentang Indonesia. Empat artikel berikutnya menyangkut dunia pernaskahan Nusantara yang berasal dari abad ke-17 dan ke-19. Artikel pertama (atau artikel kedua dalam urutan buku ini) berjudul “Ruang politik dalam Hikayat Hang Tuah” (hlm. 23-56), yang versi aslinya (dalam bentuk yang lebih sederhana) ditulis dalam Bahasa Perancis dan terbit dalam Asia Maritima: Images et Réalités, 1200-1800 (eds.: D. Lombard & R. Ptak) (Wiesbaden: Harrassowitz Verlag, 1994, hlm. 41-61). Dalam artikel ini Chambert-Loir mencoba memilah realitas fiksional dan realitas sejarah (sosial dan politik) dalam Hikayat Hang Tuah (HHT). Ia merekonstruksi tour of area yang dilakukan tokoh Hang Tuah dalam kapasitasnya sebagai utusan Raja Melaka. Untuk itu Chambert-Loir menggunakan teks pembanding, yaitu Sulalat alSalatin dan Bustan al-Salatin (transkripsinya46 dalam format perbandingan disajikan dalam Lampiran artikel ini [hlm. 47-56]). Menurutnya, berbeda dengan konsep perjalanan jauh yang bersifat melingkar yang mempunyai peran penting untuk pencarian jatidiri tokoh (spiritual maupun material) yang umum ditemukan dalam teks-teks epik Melayu klasik, dalam HHT setiap perjalanan tokoh utama (Hang Tuah) “berarti pengetahuan (sang tokoh sebagai wakil bangsanya menemukan dunia) dan pengakuan (kesultanan Malaka diakui oleh negeri-negeri besar pada masa itu) [...]. Hikayat Hang Tuah memberikan gambaran tentang ruang politik Melayu sekitar abad ke-16. Namun 46
Henri Chambert-Loir cenderung menggunakan istilah „transkripsi‟ untuk pengertian alih aksara (dalam konteks ini dari aksara Arab Melayu atau Jawi ke aksara Latin), bukan „transliterasi‟ sebagaimana biasa digunakan oleh para filolog Nusantara lainnya.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
181
penjelahan ruang itu oleh tokoh tunggal [Hang Tuah] bersifat fiktif, dan deskripsi beberapa tempat berupa khayalan [saja]. Jadi, ruang itu sebenarnya ruang ideal. Oleh karena itu ia [...] mencerminkan konsepsi orang Melayu tentang dunia geografis serta kekuatan-kekuatan politik yang harus mereka hadapi.” (hlm. 46). Artikel berikutnya berjudul “Syair Sultan Fansuri” (hlm. 5791). Artikel ini aslinya ditulis dalam Bahasa Perancis dan terbit pertama kali dalam Histoire de Barus III, Regards sur une place marchande de l‟Océan Indien (XIIe – milieu du XVIIe s.) (eds.: D. Perret & Heddy Surachman) (Paris: EFEO, 2009, hlm. 507-528). Teks yang dibahas oleh Chambert-Loir dalam artikel ini berasal dari koleksi naskah yang dikumpulkan oleh H.N. van der Tuuk di pantai barat Sumatra pada 1860-an yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Teks yang berkode Or. 3303 itu ditranskripsikan oleh Chambert-Loir (hlm. 69-75), disertai catatan kritis (Lampiran 1, hlm. 76-83), dan dibahas aspek kesastraan dan konteks kesejarahannya. Rupanya teks ini merupakan bagian pertama dari satu teks yang lebih panjang; bagian kedua teks ini berupa prosa sepanjang 30 halaman, tapi tidak dibahas dalam artikel ini. Syair ini merekam kont[r]ak politik antara Raja Barus dengan orang-orang Inggris pada tahun 1812 dan tahun-tahun sesudahnya. Meskipun Chambert-Loir sepintas membahas aspek kebahasaan dan kesastraan teks ini, tapi menurutnya daya tarik syair ini “jelas [lebih] terlihat pada isinya yang bernilai sejarah.” (hlm. 58). Istilah “Sultan Fansuri” dalam konteks syair ini maksudnya adalah raja-raja Fansur (nama lain untuk Barus), jadi tidak ada kaitannya dengan tokoh agama Hamzah Fansuri yang juga berasal dari Barus. Ringksan syair ini yang disajikan oleh Chambert-Loir di halaman 64-69 mempermudah pembaca memahami isinya. Sebagai tambahan informasi, sekaligus sebagai rujukan, dalam artikel ini Chambert-Loir juga menyajikan transkripsi satu teks lain yang dari segi tema terkait dengan teks pertama. Teks itu berjudul “Inilah Hikajat Tjerita Baros”, sebuah naskah pendek koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah ini termasuk kumpulan delapan teks Melayu yang berkaitan dengan Dinasti Hulu yang pernah berkuasa di Barus pada abad ke-18 dan 19 (lihat: PNRI Ml. 162; teks ini sendiri berada di urutan ke-6, hlm. 137-252). Transkripsi teks ini disajikan sebagai Lampiran II dalam artikel ini (hlm. 84-90). Artikel ini jelas menambah pengetahuan kita mengenai masa lalu 182
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Barus dan melengkapi kajian-kajian yang sudah dilakukan oleh orang lain mengenai wilayah ini, misalnya Jane Drakard, Lee Kam Hing, dan lain-lain. Artikel berikutnya menyangkut hukum agama Islam di pulau Kalimantan pasa masa lampau. Artikel ini (artikel ke-4 dalam buku ini) berjudul “Beberapa aspek peradilan agama Islam di Kesultanan Pontianak tahun 1880-an” (hlm. 93-109), yang terbit pertama kali dalam Bahasa Inggris dan dimuat dalam Texts from the Islands: Oral and Written Traditions of Indonesia and the Malay World (eds.: W. Marschall) (Berne: University of Bern [Ethnologica Bernensia 4], 1994, hlm. 159-173. Pembicaraan Chambert-Loir dalam artikel ini difokuskan pada satu naskah setebal 185 folio yang diperolehnya dari tangan seorang pemuda yang masih keturunan aristokrat dari Kesultanan Pontianak (dirikan oleh Pangeran Syarif Abdul Rahman al-Qadri tahun 1772) dalam kunjungannya ke Kalimantan Barat pada tahun 1985. Chambert-Loir menyebutkan bahwa naskah itu (yang disebutnya „Naskah Pontianak‟) beralaskan kertas Eropa dan berisi berkas-berkas “dakwaan yang diajukan warga Pontianak kepada mahkamah agama (Raad Agama), kepada Sultan atau kepada berbagai menteri, antara 1872 dan 1882, terutama pada 1881.” (hlm. 95). Raad Agama itu diketuai oleh salah seorang aristokrat Kesultanan Pontianak yang bernama Pangeran Bendahara. Rupanya dakwaan-dakwaan yang diajukan kepada Raad Agama Kesultanan Pontianak itu berasal dari berbagai kalangan anggota masyarakat. Topik gugatan pada umumnya menyangkut perselisihan perdata (kebanyakan mengenai perebutan warisan) dan masalah perkawinan (lebih didomiasi oleh berbagai persoalan yang timbul akibat perceraian). Menarik pula bahwa sekitar 38% dakwaan diajukan oleh kaum perempuan (hlm. 97). Dalam artikel ini dilampirkan transkripsi beberapa surat dakwaan dan reproduksi beberapa naskah aslinya (lihat: Lampiran, hlm. 102-109). Teks langka yang jarang menjadi perhatian dalam kajian filologi di Indonesia ini memberi informasi kepada kita mengenai berbagai perkara yang timbul dalam masyarakat yang terkait dengan hukum agama dalam konteks masyarakat lokal di Hindia Belanda pada abad ke19. Dan oleh karena di Indonesia pengadilan agama juga berperan penting sampai sekarang, yang konsepsi-konsepsi hukumnya masih terus disempurnakan, maka kajian ini diharapkan akan bermanfaat dan dapat memberikan “sumbangan berharga terhadap tujuan Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
183
tersebut.” (hlm. 93-4). Artikel berikutnya (artikel urutan ke-5 dalam buku ini) juga membahas satu teks pendek yang selama ini jarang mendapat perhatian dari para peneliti naskah Indonesia. Artikel itu berjudul “Tempayan Kalimantan menurut sebuah teks Melayu tahun 1839” (hlm. 111-151). Aslinya artikel tersebut ditulis dalam Bahasa Perancis dan diterbitkan dalam jurnal Archipel No. 66, 2003, hlm. 113-160. Pembahasan yang mendalam dari perspektif sejarah yang dilakukan Chambert-Loir dalam artikel ini menambah wawasan kita mengenai peran Kalimantan (dengan penduduknya yang cukup beragam: Dayak [yang terdiri dari bermacam-macam puak pula], Melayu pesisir dan suku-suku pendatang) dalam pembuatan dan perdagangan barang-barang keramik di abad ke19. Naskah yang dibahas dalam artikel ini tersimpan di Perspustakaan Universitas Leiden dengan kode Or. 2240 1b. E.P. Wieringa (1998: 381) menjelaskan bahwa naskah itu adalah “description with drawings of stoneware jars (tempayan) and dragons (naga) made for tuanku Pangeran ratu Idris Kusumanegara by a certain Mahbud, dated 17 Syaban 1255.” Jadi, konteks geografis teks ini adalah wilayah Kalimantan Barat seperti Naga Kayan, Sintang, Pontianak, dll.. Istilah „tempayan‟ yang dipakai merujuk kepada perabot rumah tangga berupa guci keramik besar bermotifkan macam-macam hiasan (seperti bungabunga dan ular naga) yang tidak saja memiliki fungsi praktis (tempat penyimpan jenis makanan atau minuman) tetapi juga memiliki fungsi simbolis (untuk menunjukkan status sosial atau untuk acara ritual). Nama penulis (atau penyalin) naskah ini (Mahbud) terkesan cukup bernuansa Arab. Sangat mungkin pula bahwa para pedagang asing (seperti Cina dan Arab) terlibat aktif dalam perdagangan keramik di Kalimantan pada abad ke-19. Cod. Or. 2240 1b (aksara Arab-Melayu atau Jawi) menjelaskan namanama tempayan dari berbagai ukuran dan motif-motif hiasannya yang menunjukkan kualitasnya. Jadi, jelas bahwa teks ini diperuntukkan bagi para konsumen, khususnya orang-orang kaya dan aristokrat (seperti Tuanku Pangeran Ratu Idris Kusumanegara) yang ingin mengoleksi guci-guci keramik besar (tempayan) untuk berbagai keperluan, antara lain utuk simbol status sosial mereka. Artikel ini menyajikan transkripsi lengkap Cod. Or. 2240 1b (hlm. 120-32) dan daftar kata-kata dan istilah khusus yang ditemukan dalam teks itu (hlm. 133-39) serta reproduksi teks itu sendiri (hlm. 142-52) yang berhiaskan 184
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
gambar-gambar tempayan besar yang dilengkapi dengan berbagai keterangan mengenai bagian-bagiannya. Artikel terakhir (keenam) dalam buku ini masih menyangkut barang keramik tapi tidak terkait dengan naskah. Artikel ini berjudul “Melahap teks: piring-piring Inggris berhiaskan sajak Melayu” yang versi Inggrisnya diterbitkan pertama kali dalam jurnal Indonesia Circle (SOAS Universit of London) Volume 63 (199447), hlm. 183-210. Objek penelitian ini adalah piring-piring antik bertuliskan Jawi yang ditemukan tertempel di dinding makam Sunan Bonang di Tuban, Makam Sunan Gunung Jati, dan Ki Gede Kebagusan di Cirebon. Akan tetapi sebagaimana dikatakan oleh Chambert-Loir, piring-piring antik seperti itu ditemukan pula di beberapa museum dan di toko-toko barang antik di beberapa kota Indonesia. Dalam artikel in Chambert-Loir membuat rekonstruksi historis tentang pabrik pembuatan piringpiring tersebut dan distribusinya di Hindia Belanda dan negaranegara Asia lainnya. Piring-piring tersebut adalah piring makan besar (ada yang berdiameter sampai 26,5 cm) dengan bentuk bundar dan sebagian kecil berbentuk poligonal bersisi 14 (hlm. 159). Sebagaimana tertera pada beberapa tulisan Jawi yang ada di piring tersebut, fungsi utamanya memang sebagai perabot makan (hlm. 153). Pabrik-pabrik pembuat piring itu ternyata berada di Inggris, yaitu W. Adams and Sons, sebuah keluarga besar di Staffordshire, Inggris, yang mempunyai empat perusahaan pembuat keramik pada abad ke-18 dan 19. Piring-piring produksi W. Adams and Sons yang beredar di Hindia Belanda tampaknya dicetak dari 1819 hingga 1864. Pabrik yang lain bernama J. Hawley. Keluarga besar Hawley di Yorkshire dan Staffordshire, Inggris, setidaknya memiliki tiga firma yang membuat barang-barang keramik pada abad ke-19. Piring-piring buatan keluarga Hawley yang beredar di Hindia Belanda tampaknya diproduksi antara 1832-1893 oleh Foley Pottery milik John Hawley di Staffordshire dan Joseph Howley di Burslem yang aktif tahun 1840 (hlm. 156-7). Sebagian kecil piring lainnya dibuat oleh perusahaan keramik Belanda bernama Regout yang berlokasi di Maastricht (hlm. 154). Piringpiring buatan Inggris, khususnya dari pabrik W. Adams and Sons yang bermerek „Malay‟, diedarkan di Jawa oleh distributor yang 47
Dalam buku ini ditulis 1964, dan itu jelas salah ketik sebab volume 1 jurnal ini terbit baru tahun 1973.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
185
bernama Anderson Tolson yang berkantor di Batavia. Orang ini rupanya memiliki satu perusahaan patungan dengan keluarga pengecer keramik terkenal Abraham Hunt di Inggris (hlm. 155). Selain mengandung tulisan-tulisan beraksara Jawi, piringpiring tersebut kadang-kadang juga berhiaskan gambar-gambar bermotif bunga. Teks-teks pada piring-piring buatan Inggris memakai bahasa Melayu. Sedangkan teks-teks pada piring-piring yang diproduksi di Belanda ada yang memakai bahasa dan aksara lokal yang ada di Hindia Belanda (Chambert-Loir menemukan satu piring dengan teks berbahasa dan beraksara Bugis di Museum I La Galigo di Makassar). Berdasarkan pembacaan seluruh teks beraksara Jawi yang ada di permukaan piring-piring tersebut (disajikan dalam lampiran transkripsi di halaman 16069), Chambert-Loir menyimpulkan bahwa teks-teksnya dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: ada yang bersifat sakral seperti ajaran agama dan lebih banyak yang bersifat profan seperti syair cinta dan petuah-petuah yang mengandung hikmah. Teksteks tersebut ditulis dalam bentuk pantun dan syair yang panjangnya antara empat hingga delapan larik (1-2 bait). Cara penulisannya berbagai macam: ada yang dicetak bersusun larik per larik; ada yang semua lariknya mengarah ke tengah piring; ada yang larik-lariknya sambung-menyambung berbentuk spiral; dll. (lebih jelasnya dapat dilihat pada reproduksi foto piring-piring tersebut yang disajikan di halaman 170-80). Chambert-Loir mengatakan pula bahwa teks itu disablon dengan menggunakan proses „cetak-transfer‟ yang pertama kali digunakan di Inggris tahun 1750 (hlm. 158). Ia juga menyebut satu corak tulisan yang disebut „Khatib Muharis‟ yang ditemukan pada piring-piring keluaran Inggris. Tapi tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai orang ini. Sepertinya ia seorang pribumi Hindia Belanda yang menyediakan koleksi pantun atau syair untuk dituliskan di permukaan piring-piring untuk pabrik-pabrik Inggris tersebut karena dikatakan bahwa teks pantun atau syair tersebut ditulis tangan oleh orang itu (hlm. 156). Pada tahun 1984 Pemerintah Republik Indonesia melarang peredaran piring-piring bertuliskan huruf Arab-Melayu itu. Alasannya adalah karena di tepi piring-piring tersebut sering ditemukan tulisan Bismillah al-rahman al-rahim dan Alhamdulillah. Rupanya Hari Suharto SH yang menjabat sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia pada waktu itu menganggap 186
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
bahwa tidak patut menaruh makanan di atas nama Allah (hlm. 154). Pikiran keliru seperti itu, yang merefleksikan tradisi pengkultusan bahasa dan tulisan Arab, memang sering terjadi di Indonesia. Bahkan banyak orang menganggap tulisan ArabMelayu (Jawi) sebagai tulisan Arab dan apabila mereka menemukan teks-teks bertuliskan aksara tersebut, mereka sering mensucikannya, menyimpannya di tempat-tempat yang sulit diketahui orang lain seperti di dalam peti kayu yang tempatnya dirahasiakan atau di loteng rumah. Mungkin dulu orang tidak lupa membaca Bismillah ketika akan makan dan mengucapkan Alhamdulillah setelah selesai makan karena diingatkan oleh kedua kata yang merefleksikan rasa syukur kepada Tuhan itu yang tertulis di tepi piring-piring makan mereka. Sekarang barangkali banyak orang tidak lagi ingat kepada Tuhan ketika menyantap makanan karuniaNya yang tersaji di piring-piring yang bagus-bagus tapi polos tanpa tulisan apapun di atas atas meja-meja makan yang indah dan mahal. Jadi, dalam beberapa hal tampak bahwa makin modern manusia tidak selalu ada jaminan bahwa mereka makin bijak dan dekat kepada Tuhan. Terbitnya buku ini patut disambut gembira karena telah menambah lagi kepustakaan ilmiah mengenai dunia pernaskahan Nusantara. Secara langsung atau tidak, Sultan, Pahlawan dan Hakim mengajak kita untuk lebih memberi perhatian lagi kepada banyak naskah pendek Nusantara yang tersimpan di berbagai perpustakaan di dalam dan luar negeri yang selama ini sering terabaikan. Saya merekomendasikan para peneliti dan pemerhati naskah Nusantara untuk mengoleksi dan membaca buku yang menarik ini.
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
187
Indeks Abdul Ganiyu, 93, 102 Abdul Hadi, 93, 102 Abdul Khalik, 93, 95 Abdul Khaliq, 101 Abdul Mulku Zahari, 94, 95 Abdul Wahid, 90, 91 Abiyasa, 29 Abraham Hunt, 186 Aceh, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 84, 86, 87, 88, 178, 180 Adrian Vickers, 110 Ahwal al-Muraqabah, 98 Ajip Rosidi, 179 Aksara Sunda Kuna, 135 Al Maulid Al-Karim Wa Ar-Rasul Al-Azim, 99 Ali Sadikin, 155 al-Palembani, 98, 101 Alquran, 100, 107, 110, 112, 114, 131, 137, 140 al-Sayyid „Abd Allah bin alSayyid Ahmad al-Baghdadi alNaqshabandi, 98 al-Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Safi, 98 Anderson, 82, 88, 186 Andi Tenri Machmud, 89 antropologi, 109, 121, 126 Arab Saudi, 92 Aristotle, 69, 71 Arsip Nasional Republik Indonesia, 95 avatāra, 14, 36, 38, 43 Baabullah, 90 Babad Banten, 132 Babad Godog, 132, 142, 153 Badia, 95 Bali, 1, 5, 6, 8, 9, 11, 106, 108, 110, 112, 113, 115, 118, 127, 134, 135, 152, 153, 161, 162, 163 balian, 110, 123 Banyu Urung, 126 barata, 92, 97 Batak, 134, 161 Bathara Brama, 23, 25, 31, 32, 36, 38 188
Bathara Guru, 23, 24, 25, 26, 35, 38 Bathara Narada, 23, 25, 26, 35 Batuatas, 91 Batulo, 96 Bau-Bau, 95, 103 Bayan, 125 Bentan, 58 Betoambari, 96 Bhāratayuddha, 18 Bhīṣma, 15, 16, 17 Birch, 72 Bone, 90, 96 bontona Baluwu, 95 Brandes, 154, 156, 157, 159, 160, 161, 162, 163, 168, 170, 171, 173, 174, 175 Bratasena, 29, 30, 32, 33, 34, 44 Bubon, 80 Bugis, 73, 115, 186 Bukit Siguntang, 58 Bula Malino, 94, 99 Bustan al-Salatin, 181 Buton, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104 Cacarakan, 130, 134, 135, 144 Cakranegara, 154, 162, 175 Cameron Hay, 112, 121, 122, 123 Carakan, 134 Cěmpalaradya, 14, 32, 33, 34, 35, 39, 44, 45 Chambert-Loir, 92, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186 China, 57, 58, 59 Christian Pelras, 180 Ciburuy, 135 Cilinaya, 125 Claudine Salmon, 179 daluwang, lih dluwang Damais, L.C. 180 Dayanu Ikhsanuddin, 89, 92, 96, 102 Denys Lombard, 179, 180, 181 Dhṛṣṭadyumna, 13, 15, 17, 18, 19, 20 Dinasti Hulu, 182 Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Ding Choo Ming, 55 Ditya Kala Bramastra, 27, 28, 33, 38, 43, 46 Ditya Kala Sandhaŋgarba, 27, 28, 33, 38, 44, 46 Diya Al-Anwar Fi Tasfiyat AlAkdar, 99 Djojosuroto, 76, 88 dluwang, 115, 133 Drewes, 78 Droṇa, 17, 18, 19 Drupada, 14, 17, 18, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 44, 45 Durgadeva, 14, 23, 24, 25, 26, 31, 35, 36, 37, 39, 40, 43, 45, 46 Durganetri, 14, 23, 24, 25, 26, 31, 35, 36, 37, 39, 40, 43, 45, 46 Edward Said, 83 Fakihi, 99 Faruk, 82, 88 Fath Ar-Rahim Fi At-Tauhid Rabb Al-Arsy Al-Azim, 99 filologi, 10, 11, 106, 107, 109, 183 Frank Swettenham, 72 gaguritan, 108 Galuh, 58, 132 Gandamana, 14, 24, 25, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 36, 37 Gandarini, 14, 24, 25, 26, 29, 31, 34, 35, 36, 45, 46 Gandavati, 14 Gedong Kirtya, 112, 117 Georg Ernst Sthal, 69 Gerakan 30 September 1965, 97 Gerardus van Overstraten, 156 Hadist Arbain, 99 Haji Abdul Ganiyu, 93 Hamzah Fansuri, 182 Hang Jebat, 57 Hang Kadim, 57 Hang Kasturi, 59 Hang Li Po, 59 Hang Tuah, 56, 57, 58, 59, 60, 65, 66, 69, 70, 181 Hari Suharto, 186 Harun, Ramli, 88 Hasan Muarif Ambary, 179 Hasaruddin, 89, 103 Hawley, J. 185 Hazirun Kudus, 94, 96 Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Hema, 1, 7, 8, 9, 10 Hidayat Al-Basyir Fi Ma‟rifat AlQadir, 99 Hikayat Anak Miskin, 93, 102 Hikayat Hang Tuah, 55, 56, 57, 58, 60, 65, 68, 70, 73, 181 Hikayat Jambi, 69 Hikayat Langlang Buana, 55, 66, 68, 69, 73 Hikayat Raja Indra Putra, 93 Hikayat Raja Muda, 55, 66, 67, 68, 73 Hikayat Raja-Raja Pasai, 60 Hikayat Teungku di Meukek, 75, 76, 77, 78, 81, 84, 86, 87, 88 Hiltebeitel, 16, 44, 46, 48, 53 Hinduisme, 70 Hugh Clifford, 72 Hurgronje, C. Snouck, 88 I Gusti Ngurah Ketut Sangka, 113 I Wayan Pamit, 108 Ibdtida Sair Allah ila Intiha sir Allah, 101 Ibtida Sayr Al-Arifin, 99 Idris Kusumanegara, 184 Imam Pasai, 91 Inderapura, 58 Istiqamatunnisak, 75 Jacobus Lindius, 167 Jane Drakard, 183 Jatingkalawu, 92 Jauhara Manikam Molabi, 99 Jawa, 1, 2, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 42, 44, 49, 54, 90, 97, 106, 115, 116, 122, 130, 133, 134, 135, 138, 150, 151, 152, 158, 160, 163, 178, 180, 185 Jawi, 25, 27, 28, 181, 184, 185, 186, 187 Jerusalem, 164 Joan Maetsuyeker, 92 Joarsah, 117, 126 Juhan Muda Pahlawan, 79 Juŋkuŋ Birava, 26, 27, 32, 37, 38, 40, 43, 46 Kabanti Ajonga Inda Malusa, 93, 94 Kabanti Bula Malino, 93, 94 Kabanti Jaohara Molabina, 93 Kabanti Kaina-Inawuna Arifu, 93 189
Kabanti Kaluku Panda, 93, 94 Kabanti Kanturuna Mohelana, 94 Kabanti Kaokabi Mainawa, 93, 94 Kabanti Nuru Molabi, 94 Kabanti Paiasa Mainawa, 93, 94, 103 Kahyaŋan Cakrakěmbaŋ, 30 Kahyaŋan Drěsilagěni, 32 Kaledupa, 96, 97 Kanturuna Mohelana I dan II, 99 Kaŋjěŋ Raden Tuměŋgung Braŋtakusuma, 35 Kasyf Al-Hijab Fi Muraqabat Al Wahhab, 99 Kasyf Al-Muntazar Lima Yarah Al Muhtadar, 99 kāvyaśarīra, 22 Kawali, 130, 132 Keling, 57, 58 Kern, 1, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12 Kesultanan Buton, 89, 95, 97, 100, 101, 102, 103, 104 Khatib Muharis, 186 Ki Gede Kebagusan, 185 Ki Jongjo, 132 Ki Jungju, 132 Kidung Artati, 136 Kidung Panundung, 136 Kidung Salamet, 136 Kidung Saripanggung, 136 Kitab Berzanji, 126 Kitab Seribu Masalah, 93 Kitabi Masalah Sarewu, 93 KITLV, 127, 128, 163, 175, 176 Koleksi Merapi Merbabu, 2, 8 Kṛṣṇa Dvaipāyana Vyāsa, 13, 15, 43 Kuala Pahang Sawmill Company, 72 Kublai Khan, 60 Kunthinalibranta, 29 Kurava, 28, 29, 34, 38, 44 Kuta Asan, 80 Kuta Haji Sarong, 80 Kuta Nibong, 80, 81 Kuta Sijaloh, 80 Kyai Bramastra, 15, 33, 34, 37, 44 La Adi Ma Faoka, 94, 95 La Hude, 95 La Jampi, 98 190
La Mbalangi, 94, 96 La Ode Aegu, 94, 96 La Ode Hati, 96, 101 La Ode Monci, 94, 96 La Wungu, 95 Lampahan Tumurunipun Taman Maerakaca, 13, 14, 20, 21, 23, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 43, 45, 46, 47 lampahan wayang, 21, 22, 35, 46 Lanto, 96 Lasalimu, 90 Lee Kam Hing, 183 Leibniz, 69 Lhok Meulaboh, 80 Ligtvoet, 90, 103 Lila Perkasa, 80 Lombok, 105, 108, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 120, 122, 123, 126, 127, 128, 154, 161, 162, 175, 177 Lontar Ajarwali, 125 Lontar Indarjaya, 125 Lontar Indrabangsawan, 125 Lontar Jatiswara, 125 Lontar Kilabangkara, 126 Lontar Selandir, 125 Lontar Yusuf, 125 lontar, 2, 8, 10, 108, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 122, 123, 124, 126, 161, 162 Ma Zahari, 95 Maharaja Permaisura, 60 Mahbud, 184 Majapahit, 57, 58 Malat, 110, 128 Maluku, 63, 90 Mangkararaja, 30 Manu J. Widyaseputra, 13 Martabat Tujuh, 91, 92, 96 Maya, 1, 7, 8, 9, 10, 11 Megat Kudu, 60 Mekah, 59, 98, 102 Melaka, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 67, 68, 70, 72 Melaka, kerajaan 56, 58, 60, 63 Melayu, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66, 68, 70, 71, 73, 89, 93, 102, 106, 115, 135, 142, 151, 160, 161, 179, 181, 182, Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
184, 185, 186 Melayu-Polinesia, 160 Menak, 126 Mengindera Putri, 61 Merusawarni, 6 Meukek, 75, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86 Meulaboh, 75, 78, 79, 80, 86 Misbah Ar-rajin fi Zikri As Shalat Wa As-Salam „Ala An Nabi Syafi Al-Muznibin, 100 Moersidi, 94, 96 Monyeh, 126 Mu‟nasat Al-Qulub fi Az-Zikir Wa Musyahadat „Alam Al-Guyub, 100 Muhammad ibn Syais, 98 Muhammad Idrus Kaimuddin, 91, 93, 95, 97, 98, 99, 100, 101, 102 Muhammad Idrus, 91, 93, 95, 97, 98, 99, 100, 101, 102 Muhammad Salih, 93, 101, 102 Muhammad Zayn bin Shams alDin al-Jawi, 98 Mulku Zahari, 92, 94, 95, 96, 97, 100, 103 Murhum, 96 Museum Bayt Alquran, 112 Museum I La Galigo, 186 Museum Istiqlal, 112 Museum Nusa Tenggara Barat, 117, 120 Museum Taman Prasasti, 154, 155, 159, 167 Museum Wayang, 155 Nabi Aparas, 111, 118, 125, 128 Nabi Khidir, 58 Nabi Muhammad, 121, 125, 128, 138, 141, 142 Naga Kayan, 184 Nâgarakrětâgama, 154, 161, 162, 163, 174 Narayana, 29, 30, 32, 33 Naskah Merapi Merbabu, 11 nāyaka, 21, 22, 35, 37, 43, 44, 46 Nuru Molabi, 99 Nurul Mu‟minin, 99 Ode Manarfa, 96 Oman Fathurahman, 92 otograf, 107 Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Padang Sirahet, 80 Pahang, 58, 60, 61, 63, 72, 73, 74 Pajajaran, 132 Pāṇḍava, 18, 19 Pangeran Bendahara, 183 Pangeran Syarif Abdul Rahman alQadri, 183 Panglima Nyak Amin, 79 Panglima Nyak Yeb, 80 Pararaton, 161, 162, 174 Pasai (Pase/ Basma), 60 Pasai, 60, 61, 62, 67, 88, 91 pedanda, 110 pemangku, 57, 68, 110 Penjom Mining Company, 72 Perang Salib, 164 Pěraŋ Antěp, 32, 43 Perlak (Ferlec), 60 Perpustakaan Nasional, 2, 8, 12, 182, 175 Perpustakaan Universitas Leiden, 119, 163, 182 Peunaga, 79 Pierre Labrousse, 180 Plato, 69 Poerbatjaraka, 8, 9, 10, 11, 12, 51 Pontianak, 183, 184 Portugis, 56, 57, 70 pratināyaka, 21, 22, 43, 44, 46 Prěmadi, 29, 30, 32 Pulau Biram Dewa, 59 Puspakrama, 109, 110, 113, 119, 120, 125 Raden Bahar, 57 Raden Bajau, 58 Raja Ahmad, 61 Raja Besar Muda, 62 Raja Husin, 62, 63 Raja Ibrahim, 62 Raja Iskandar, 62 Raja Jamil, 61 Raja Mahadewi, 60 Raja Mahmud, 61 Raja Melaka, 56, 58, 181 Raja Tengah, 62 Ramayana, 1, 2, 7, 8, 11, 12 Rawa Lakbok, 132 Regout, 185 Rengganis, 126, 128 Roger, J. P. 72 191
Rom, 58 Rundeng, 78, 79, 80, 84, 85, 86 Sabil As-Salam Li Bulug AlMaram, 100 Sabilu As-Salam Li Bulugi AlMaram Fi Ahadisi Sayyid AlAnam, 100 Sampolawa, 95 Samudera (Samara), 60 Sang Sapurba, 58, 70, 71 Sarana Barata, 92 Sasak Waktu Lima, 116 saut-du-même-au-même, 10 Sejarah Melayu, 55, 56, 59, 61, 65, 68, 70, 71, 73 Seno, 77, 88 Seri Akar Raja, 63 Shamanisme, 70 Siak, 60, 63 Śikhaṇḍī, 13, 15, 16, 17, 20 Singapura, 56 Sintang, 184 Siompu, 95 śloka, 16, 21, 22, 42 Soewito Santoso, 1, 2, 3, 4, 7, 8, 11 Srikandhi, 13, 20, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 43, 45, 46 Stoics, 69 Sucitra, 14, 24, 25, 26, 29, 31, 36 Sulalat al-Salatin, 181 Sultan Abu Syahid, 62 Sultan Ahmad Syah (Raja Ahmad), 62 Sultan Alauddin Riayat Shah, 63, 70 Sultan Buton, 92, 93, 96, 98, 101 Sultan Dayanu Ikhsanuddin, 97 Sultan Falihi, 95 Sultan Iskandar Syah, 61 Sultan Mahmud Syah (Raja Muhammad), 62 Sultan Mansor Syah, 59, 60, 61, 62, 63 Sultan Maulana Yusup, 132 Sultan Muhammad Syah, 61 Sultan Muzaffir Syah (Raja Kassim), 62 Sultan Zainal Abidin, 62 Sultan Zainul, 62 Sunan Bonang, 185 192
Sunan Gunung Jati, 185 Sungai Ujung, 59 Suratminto, Lilie 154, 158, 159, 163, 167, 168, 170, 171 Swayempraba, 1, 2, 5, 7 Syair Sultan Fansuri, 182 Syamsiah Ma Faoka, 94, 95 Syamsiyah Mulku Zahari, 96 Tahsin Al-Aulad Fi Ta‟at Rabb AlIbad, 100 Takepan Tapel Adam, 125 Taman Maerakaca, 13, 14, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 31, 35, 36, 37, 40, 42, 43, 45, 46 Tanbih al-Gafil wa-Tanzih alMahafil, 100, 101 Tanqiayat Al-Qulub Fi Ma‟rifat „Alam Al-Guyub, 100 Tarafu, 96 Tarekat Khalwatiyah-Samaniah, 93 Tarekat Qadiriyah, 97 Tarekat Sammaniyah, 98, 101 Tazikiri Mampodona, 99 Temenggung Seri Maharaja, 63 Ternate, 90 Teuku Haji Ben, 80 Teuku Panglima Dalam, 80, 81 Teungku di Meukek, 78, 79, 80, 81, 85, 86 Teungku Malem, 79 Thomas Aquinas, 69 Thomas Hobbes, 65 Tomba, 96 Tradisi wayang Yogyakarta, 13, 14, 20, 23, 36, 46 Trumon, 79 Trusthajuměna, 13, 14, 15, 20, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 43, 45 Tuanku Pangeran Ratu Idris Kusumanegara, 184 Tula-tulana Anana Maelu, 93 Tula-Tulana Raja Indara Pitara, 93 Tun Abdullah, 59 Tun Besar, 61 Tun Bija Wangsa, 61 Tun Mutahir, 59, 70 Tun Perak, 57, 70 Tun Tahir, 59, 70 Turki, 58, 90, 92 Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Uleebalang, 75, 78, 79, 80, 81, 84, 85, 86, 87 Upacara Alip, 125 Upacara Metulak, 125 Upacara Ngayu-ayu, 125 Upacara Sapu, 125 Van der Meij, 111, 113, 116, 118, 123, 124, 125, 126, 128 Van der Tuuk, 160, 161, 182 Van Imhoff, 175 vīrarasa, 35, 36, 37, 39, 46 W. Adams and Sons, 185 Wa Muli, 96 Wajo, 96 Wakatobi, 96, 100 Wakorumba, 95 Waktu Telu, 114, 116, 129 Wamad Abdullah, 78
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012
Wana Cěmpala, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 34, 35, 36, 37 Wangi-Wangi, 96 Wawacan Jaka Ula Jaka Uli, 147, 151, 153 Wayan Pamit, 108 Weda, 110 Wiryamartana, 8, 35, 45, 54 Wiswakarma, 7, 8 Wolio, 89, 92, 93, 95, 96, 99, 101, 102 Woyla, 80 Yusuf Lubis, Akhyar, 88 Zad al-Muttaqin, 101 Zubdat Al-Asrar fi Tahqiqi Ba‟di Nasyarib fi Al-Akhyar wa Risalah As-Syatariyyah, 100
193
Ketentuan Penulisan untuk Jumantara: 1. Jenis tulisan berupa artikel hasil penelitian atau setara hasil penelitian mengenai naskah serta tinjauan buku. 2. Panjang tulisan berkisar antara 20.000 – 40.000 karakter (1520 halaman termasuk bibliografi, ketik spasi rangkap di atas kertas A4). 3. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia disertai abstrak dan kata kunci dalam bahasa Indonesia. 4. Penulis menyertakan identitas lengkap meliputi jenjang pendidikan terakhir, kedudukan tetap, karya tulis yang dianggap penting, alamat surat elektronik pribadi, dan alamat lengkap yang mudah dihubungi. 5. Tulisan dikirim melalui surat elektronik dengan alamat [email protected] atau melalui pos ke Redaksi Jumantara, Gedung Pusat Jasa Lt. VB Perpusnas RI, Jl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta 10002. 6. Naskah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi bersama Mitra Bestari dan apabila perlu akan dilakukan penyempurnaan tanpa mengubah substansi naskah. 7. Tulisan yang dimuat akan diberikan imbalan/honor sesuai peraturan yang berlaku.
194
Jumantara Vol. 3 No.2 Tahun 2012