VIII. MODEL DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI 8.1 Kegiatan Ekonomi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunng Rinjani Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekonomi di daerah pedesaan, aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar TNGR terkonsentrasi pada sektor pertanian. Lebih dari 80% penduduk yang berdomisili di 37 desa sekitar TNGR memiliki sumber penghasilan utama dari sektor pertanian, yaitu sebagai petani pemilik, penggarap, buruh tani, dan peternak. Sementara sumber penghasilan yang berasal dari luar pertanian antara lain perdagangan, industri, dan buruh kasar (Gambar 15). Kecilnya proporsi penduduk yang sumber utama penghasilannya dari luar pertanian mencerminkan bahwa aktivitas ekonomi masyarakat kurang bervariasi (terkonsentrasi pada sektor pertanian) sehingga dapat dikatakan bahwa budaya masyarakat sekitar Hutan Rinjani adalah budaya pertanian.
Gambar 15. Aktivitas Ekonomi Masyarakat di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006). Dari struktur perekonomian masyarakat sekitar TNGR sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 15 di atas dapat diketahui bahwa proporsi penduduk yang bekerja sebagai buruh tani masih cukup besar (24%). Karena berprofesi sebagai buruh tani, maka penghasilan ekonomi rumahtangga sangat tergantung pada ketersediaan aktivitas usahatani di kawasan sekitar TNGR. Kelompok inilah yang sangat rentan dan potensial terhadap kegiatan penebangan liar (illegal
130 logging), baik di kawasan TNGR maupun di kawasan hutan lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa aktivitas (interaksi) masyarakat
untuk
mengambil
(mengekstraksi)
hasil
hutan
kayu
(HHK)
mengalami peningkatan pada musim kemarau sebagai akibat tidak tersedianya lapangan kerja di bidang pertanian (aktivitas usahatani). Berdasarkan kenyataan ini maka untuk menjamin agar kelompok masyarakat ini tidak melakukan penebangan liar di wilayah TNGR dan/atau kawasan hutan lainnya, perlu diciptakan dan dikembangkan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang dapat mendatangkan penghasilan bagi masyarakat secara terus menerus sehingga dapat mengkompensasi penghasilan yang diperoleh dari hasil hutan kayu. Dengan perkataan lain, perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai buruh tani. Pemberdayaan ekonomi perlu juga dilakukan terhadap kelompok peternak, petani pemilik dan penggarap, maupun kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan karena rata-rata penghasilan yang diperoleh setiap bulannya secara umum belum dapat mencukupi semua keperluan anggota rumahtangga. Petani pemilik misalnya, dari 40 orang (26,67%) responden yang memiliki lahan sawah, rata-rata luas kepemilikannya 0,38 ha. Dengan luasan ini maka kebutuhan rumahtangga belum dapat dipenuhi (asumsi penghasilan rumahtagga hanya dari hasil sawah). Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan produktivitas padi pada lahan sawah di kawasan TNGR sebesar 5,04 ton/ha (2006), maka minimal setiap keluarga harus memiliki/mengusahakan 0,97 ha sawah (asumsi 1 kali panen) atau 0,48 ha (asumsi 2 kali panen dalam setahun). Sementara untuk padi ladang, minimal setiap keluarga memiliki/mengusahakan 2,43 ha ladang (asumsi 1 kali panen) dengan rata-rata produksi 2,79 ton/ha. Kegiatan lainnya yang banyak digeluti masyarakat di sekitar TNGR adalah pengembangan ternak terutama sapi. Berdasarkan data populasi ternak di kawasan TNGR (BPS NTB, 2006) nampak bahwa ternak yang banyak dikembangkan masyarakat adalah sapi (Gambar 16). Jenis ternak lainnya yang dikembangkan masyarakat sekitar TNGR terutama di Kecamatan Bayan dan Kayangan, Kabupaten Lombok Barat Bagian Utara adalah kambing/domba. Sementara ternak kerbau hampir tidak ada yang mengembangkan (keculi di Kecamatan Bayan). Begitu juga halnya dengan kuda, hanya beberapa orang saja yang memeliharanya, yaitu terbatas pada mereka yang memiliki usaha transportasi
berupa
gerobak/pedati;
bukan
untuk
pemeliharaan
komersial.
131 Kurangnya minat masyarakat mengembangkan kuda secara komersial karena permintaannya relatif kecil, bahkan permintaan konsumsi daging kuda (terutama permintaan lokal) hampir tidak ada. Gambar 16 memperlihatkan bahwa secara spacial dilihat dari jumlah populasinya, pemeliharaan ternak (khususnya sapi) banyak dikembangkan masyarakat di bagian utara TNGR, yaitu di Kecamatan Bayan dan Kayangan Kebupaten Lombok Barat serta Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur. Meskipun demikian, pengembangan ternak sapi menyebar di seluruh wilayah sekitar TNGR. Pemeliharaan ternak sapi oleh masyarakat sekitar TNGR tidak hanya bermotif ekonomi untuk memperoleh nilai tambah (kentungan ekonomi) jangka pendek, melainkan dimanfaatkan tenaganya sebagai pekerja untuk mengolah lahan pertanian, bahkan dijadikan tabungan (saving) yang sewaktuwaktu dapat digunakan untuk keperluan mendesak. Dominannya populasi sapi dibandingkan ternak lainnya di semua kawasan sekitar TNGR mengindikasikan bahwa masyarakat sekitar TNGR telah familier dengan usaha peternakan/pemeliharaan sapi, meskipun dilakukan secara tradisional dalam skala kecil. Kenyataan ini didukung oleh hasil survei yang menunjukkan bahwa dari 150 rumahtangga contoh, sebanyak 73 rumahtangga (48,67%) diantaranya memiliki/memelihara ternak sapi dengan jumlah kepemilikan bervariasi antara 1 – 4 ekor dimana jenis sapi yang dikembangkan adalah sapi bali untuk menghasilkan sapi bibit/bakalan. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan usahatani sehingga proses produksi untuk menghasilkan sapi bibit/bakalan dilakukan dengan cara “zero waste” dan “zero cost”. Artinya, limbah ternak berupa kotoran (feces) dan sisa pakan dijadikan pupuk kandang (kompos) untuk tanaman; sedangkan limbah pertanian berupa jerami dan/atau dedaunan digunakan sebagai pakan ternak (sapi). Sistem pemeliharaan sapi yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TNGR adalah diikat dan dikandangkan (semi intensif). Kecuali itu, khusus di wilayah Kecamatan
Sembalun,
sebagian
besar
peternak
tidak
mengikat
dan
mengkandangkan ternaknya serta tidak memberi makan secara khusus; melainkan dilepas berkeliaran secara bebas mencari makan sendiri tanpa pengawasan (termasuk di kawasan TNGR). Umumnya masyarakat tidak mau mengkandangkan dan mencarikan makan ternaknya dengan alasan tidak mau dijajah ternak.
132
Gambar 16. Distribusi Populasi Ternak pada Setiap Desa di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006).
133 Tata nilai dan kebiasaan inilah yang perlu dirubah melalui berbagai bentuk penyadaran agar mereka mau mengandangkan ternaknya. Alasannya selain untuk pengamanan kawasan TNGR; dengan dikandangkan maka kotorannya dapat ditampung di satu tempat sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas dan dilanjutkan dengan pembuatan kompos untuk berbagai keperluan tanaman, terutama untuk pengembangan tanaman hias dan tanaman lainnya. Terlebih lagi daerah Sembalun merupakan kawasan pengembangan berbagai jenis sayuran dataran tinggi yang membutuhkan pupuk kandang dalam jumlah besar. Begitu pula dengan pengembangan rumput (pakan) ternak membutuhkan pupuk kandang sebesar 30 – 40 ton/ha. Di wilayah lainnya, meskipun pemeliharaan sapi dilakukan dengan sistem dikandangkan dan diberi makan, namun tidak ada peternak yang secara spesifik menanam rumput pakan karena pemeliharaan dilakukan dalam skala kecil dan tidak semata-mata berorientasi komersial. Selama ini pakan ternak (sapi) diambil dari wilayah sekitar (termasuk wilayah TNGR). Jenis pakan yang diberikan kepada ternaknya selain berupa rumput, dedaunan (termasuk daun kaliandra), juga diberikan limbah pertanian seperti jerami padi, jagung, kacang tanah, batang pisang, pelepah daun kelapa, dan berbagai limbah pertanian lainnya. Akhirnya dengan melihat potensi lahan (lahan kering) di kawasan TNGR dan daya dukung lainnya serta kebiasaan dan antusiasme masyarakat untuk mengembangkan ternak sapi, maka salah satu alternatif pemberdayaan ekonomi masyarakat di kawasan TNGR dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan sapi. Kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah mencari lebah madu alam seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sajang dan Bilok Petung (Resort Sembalun). Pencarian madu alam biasanya dilakukan pada bulan September sampai dengan Nopember (waktu panen madu alam). Perolehan madu terbanyak biasanya dihasilkan bulan Oktober (bertepatan dengan masa berbunga berbagai jenis tanaman sebagai pakan lebah). Pencarian madu alam ini dilakukan secara berkelompok 2 – 4 orang dengan lokasi pencarian di kawasan hutan lindung dan TNGR. Selama musim panen biasanya setiap kelompok bisa melakukan pengambilan/panen rata-rata 4 – 5 kali dengan hasil rata-rata setiap kali pengambilan sebesar 12 liter.
134 Sementara itu warga Desa Perian (Dusun Srijata dan Dasan Paok) melakukan kegiatan mencari/memetik pakis (sayur) yang tumbuh alami di wilayah Zona Pemanfaatan Tradisional untuk dijual. Frekwensi pengambilan 3 – 4 kali dalam seminggu, dimana para pengambil pakis ini seluruhnya wanita yang berjumlah sekitar 150 orang. Selain sayur, potensi hasil hutan bukan kayu dari wilayah Srijata (zona pemanfaatan tradisional) yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah buah nangka. Pengambilan buah nangka biasanya dilakukan selama 2 bulan dalam setahun (Agustus-September). Hasil analisis Kurniawati (2006), menunjukkan rata-rata setiap orang dapat mengambil buah nagka sebanyak 30 butir per hari dengan jumlah orang yang mengambil sebanyak 200 orang. Jadi dapat diperkirakan jumlah buah nangka yang diambil masyarakat dari wilayah ini setiap tahunnya berjumlah ± 360 000 butir (jumlah yang cukup besar). Sayangnya buah nangka yang diambil ini adalah nangka muda (untuk sayur) sehingga nilai jualnya relatif rendah, yaitu sekitar Rp 700,per butir. Dengan melihat potensi produksi yang cukup besar ini maka sangat memungkinkan
untuk
meningkatkan
pendapatan
masyarakat
melalui
pengembangan agroindustri berbahan baku nangka seperti dodol nangka, keripik nangka, dan berbagai produk olahan lainnya. Pengembangan agroindusti ini selain dapat meningkatkan nilai tambah produk, juga akan dapat membuka peluang kerja dan peluang usaha baru bagi masyarakat sekitar. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) lainnya yang diambil masyarakat dari kawasan TNGR adalah rumput untuk dijadikan pakan ternak (sapi). Kegiatan ini terutama sekali dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di wilayah bagian selatan dan berbatasan atau berdekatan dengan kawasan TNGR, meliputi Resort Stiling, Joben, Kembang Kuning, dan Aikmel. Rata-rata frekwensi pengambilan rumput dilakukan 1 – 2 kali per hari dengan volume penganbilan ± 40 kg untuk setiap kali pengambilan. Dilihat dari tujuan pengambilan, ada yang digunakan sendiri sebagai pakan ternak piaraannya dan ada juga yang bermotif ekonomi untuk dijual sebagai salah satu sumber penghasilan. Di sisi lain, sebagai dampak pengganda (multiplier effect) dari pengembangan ekowisata TNGR baik untuk pendakian maupun pengembangan obyek-obyek wisata lainnya seperti “Otak Kokok” (Resort Joben) dan “Air Terjun Jeruk Manis” (Resort Kembang Kuning), berbagai peluang usaha dapat dikembangkan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak masyarakat sekitar yang
135 melakukan usaha berkenaan dengan kegiatan ekowisata antara lain menjadi guide, porter, menjual makanan dan menyewakan tempat penginapan bagi wisatawan berupa bungalow dan lain sebagainya. Pekerjaan menjadi guide belum dominan dilakukan oleh masyarakat sekitar tetapi sangat penting untuk diupayakan bagi masyarakat setempat. Jumlah masyarakat yang menjadi guide hingga saat ini masih sangat terbatas, yaitu sekitar 10 orang dengan penghasilan rata-rata sebesar Rp 75 000,- per hari.
Sedikitnya
masyarakat
yang
terlibat
dalam
kegiatan
ini
karena
membutuhkan keterampilan tertentu (terutama bahasa asing). Selama ini, guide yang digunakan sebagian besar berasal dari hotel atau biro perjalanan yang digunakan oleh wisatawan (terutama wisatawan mancanegara). Beberapa petugas taman nasional juga merangkap sebagai guide. Akan lebih baik lagi jika masyarakat setempat yang diberdayakan untuk menekuni pekerjaan ini. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya dengan mengefektifkan kegiatan kursus bahasa asing dan pelatihan interpreter bagi masyarakat setempat sehingga dimasa yang akan datang diharapkan masyarakat lokal akan menjadi pelaku utama pekerjaan ini. Jenis kegiatan dominan yang dilakukan masyarakat berkenaan dengan kegiatan pendakian (trekking) ke TNGR adalah menjadi porter. Jasa porter diperlukan untuk membawa dan mengangkut barang-barang atau perlengkapan wisatawan seperti makanan, peralatan pendakian, pakaian, alat memasak dan lain sebagainya. Selain mengangkut barang, jasa porter juga diperlukan untuk memasak dan menyiapkan makanan bagi wisatawan. Pengguna jasa porter memilih memanfaatkannya agar perjalanan wisatanya lebih santai dan tidak terbebani oleh barang bawaan. Jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini telah mencapai 312 orang dimana 180 orang diantaranya telah dilatih oleh Rinjani Trek Management Board (RTMB), yaitu lembaga yang membina treking Rinjani. Rata-rata penghasilan/bayaran yang didapatkan seorang porter atas jasa yang dilakukan adalah sebesar Rp 60 000,- per hari. Kegiatan porter di kedua pintu masuk pendakian (Senaru dan Sembalun) diatur dan dikoordinir oleh koperasi yang berada pada masing-masing pintu masuk pendakian. Di Jalur pendakian Sembalun diatur oleh Koperasi “Sinar Rinjani” sedangkan di jalur pendakian Senaru dikoordinir oleh Koperasi “Citra Wisata” Senaru.
136 Usaha lainnya yang juga dilakukan oleh masyarakat sekitar, bahkan sebagian diantaranya sebagai pekerjaan pokok adalah penginapan (homestay). Kondisi desa persinggahan yang alami menjadikan potensi usaha homestay baik untuk dilakukan. Tarif homestay di desa sekitar TNGR bervariasi antara Rp 60 000,- sampai Rp 150 000,- per malam tergantung pada kelas homestay. Kegiatan lain yang juga diusahakan adalah suvenir khas lokal atau khas Pulau Lombok. Jenis suvenir yang di jual bermacam-macam seperti anyaman, gantungan kunci, baju kaos dan ukiran kayu dengan motif lokal. Kegiatan ini terutama sekali banyak dilakukan di Desa Senaru (pintu masuk TNGR di Kabupaten Lombok Barat).
8.2 Potensi Biofisik Kawasan 8.2.1 Kawasan TNGR Pasal 17 ayat (1) dan (2) PP No 3 Tahun 2008 yang merupakan perubahan dari PP No 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfatan Hutan” menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan: (1) pemanfaatan kawasan; (2) pemanfaatan jasa lingkungan; (3) pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan (4) pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Selanjutnya Pasal 18 menegaskan bahwa pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan (hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi) kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional) Berdasarkan ketentuan ini maka pemanfaatan TNGR hanya dapat dilakukan pada zona pemanfaatan dan zona lainnya, sedangkan zona inti dan zona rimba yang merupakan luasan terbesar (92,41%) tidak boleh dimanfaatkan. Zona Pemanfaatan TNGR terdiri atas zona pemanfaatan intensif dan zona pemanfaatan khusus; sedangkan zona lainnya terdiri atas zona pemanfaatan tradisional dan zona rehabilitasi. Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (3) sampai (6) Peraturan Menteri Kehutanan RI No P.56/Menhut-II/2006 tentang “Pedoman Zonasi Taman Nasional” ditegaskan bahwa kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan pada masing-masing zona ini sebagai berikut: (1) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan meliputi:
137 a. Perlindungan dan pengamanan; b. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya; c. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya; d. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam; e. Pembinaan habitat dan populasi; f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan; g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa Iingkungan. (2) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona tradisional meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat; c. Pembinaan habitat dan populasi; d. Penelitian dan pengembangan; e. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. (3) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona religi, budaya dan sejarah meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi; c. Penyelenggaraan upacara adat; d. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacaraupacara ritual keagamaan/adat yang ada. (4) Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona khusus meliputi: a. Perlindungan dan pengamanan; b. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat; c. Rehabilitasi; d. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah.
Berdasarkan ketentuan maka kawasan TNGR yang potensial dapat dimanfaatkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat hanya dapat dilakukan di beberapa lokasi saja. Pada Tabel 26 disajikan hasil analisis potensi dan peluang kawasan TNGR sebagai media untuk pemberdayaan masyarakat. Kajian ini didasarkan pada jenis kegiatan yang boleh dilakukan pada masing-
138 masing (seperti yang dijelaskan di atas) dikaitkan dengan potensi dan peluang pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat. Tabel 26. Potensi Zona Taman Nasional Gunung Rinjani untuk Pemberdayaan Masyarakat No Zona Pengelolaan 1
Zona Pemanfaatan a. Zona Pemanfaatan Intensif
b. Zona Pemanfaatan Khusus - ZPK Kultural/ budaya
- ZPK Wisata terbatas
2
Zona Lainnya a. Zona Pemanfaatan Trad. b. Zona Rehabilitasi
Luas (ha)
Lokasi
799,00 398,00 (1) Otak Kokok (171 ha) (2) Sebau (20 ha ) (3) Kembang Kuning (150 ha) (4) Senaru (57 ha) 401,00 75,00 (1) Sekitar Goa Susu, Goa Payung & Goa Manik (25 ha) (2) Sekitar Danau Segara Anak (50 ha)
Keterangan Potensial Tidak
Tidak
326,00 (1) Jalan trail wisata: Sembalun, Kembang Kuning, Senaru, Torean dan Santong (2) Shelter jalur Senaru, Sembalun dan Kembang Kuning 2.338,00 583,00 (1) Srijata (418 ha) (2) Timbanuh (175 ha)
Potensial Tidak
1.755,00 (1) Gawah Akar (350 ha) (2) Memerong (75 ha) (3) Lelongken (300 ha) (4) Lingkung-Kembang Sri (350 ha) & (5) Stiling-Lantan (300 ha) (6) Kekuang (380 ha)
Tidak
Tidak Potensial Potensial
Berdasarkan ketentuan dan peraturan zona taman nasional dikaitkan dengan ketersediaan potensi dan perkembangan yang terjadi maka dari sejumlah lokasi (Tabel 26) dapat diidentifikasi beberapa lokasi TNGR yang potensial untuk dikembangkan sebagai media pemberdayaan masyarakat. Dari hasil kajian dan analisis diperoleh ada 3 (tiga) lokasi TNGR yang potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yaitu (1) Zona Pemanfaatan Intensif: Otak Kokok (171 ha), (2) ZPK Wisata Terbatas: Jalan Trail Pendakian Sembalun, dan (3) Zona Pemanfaatan Tradisional: Srijata (418 ha) dan Timbanuh (175 ha). Permandian Otak Kokok Gading merupakan objek wisata berupa air terjun yang diyakini masyarakat sekitar bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Di sekitar air terjun juga dibangun kolam renang dan gazebo/tempattempat peristirahatan. Tempat ini sudah cukup berkembang dan banyak dikunjungi wisatawan lokal terutama pada hari-hari libur sehingga sangat potensial untuk dijadikan media pembelajaran dan penyadaran lingkungan, sekaligus menjadi media pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.
139 Jalur pendakian Sembalun merupakan jalur resmi yang ramai dilalui oleh penggemar wisata pendakian. Rute yang dilalui adalah Gerbang Sembalun Lawang-Pelawangan Sembalun - Puncak Rinjani membutuhkan waktu 11 - 14 jam. Jalur ini merupakan padang savana dan punggung gunung yang berliku-liku dengan jurang di sebelah kiri dan kanan jalur. Dibanding jalur Senaru, jalur pendakian ini tidak terlalu terjal, akan tetapi melintasi padang savana sehingga menjadikan perjalanan di jalur ini kurang nyaman akibat teriknya sinar matahari. Karena sepanjang jalur ini masih merupakan padang savana, maka sangat berpeluang untuk ditanami berbagai jenis pohon kayu (endemik lokasi). Di wilayah Zona Pemanfaatan Tradisional (Srijata dan Timbanuh), masyarakat selama ini hanya memungut/mengambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) dari wilayah ini, yaitu berupa nangka (Arthocarpus heterophyllus), pakis sayur (Displazium esculentum), dan rumput pakan atau alang-alang (Imperata cylindrica). Di masa yang akan datang kawasan ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan berbagai jenis pohon kayu endemik lokasi sehingga dapat dijadikan
wadah
untuk
pembedayaan
ekonomi
masyarakat
sekitar.
Pengembangan wilayah ini selain dapat meningkatkan/memperbaiki kondisi biofisik TNGR (peningkatan vegetasi dan tutupan lahan), juga akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar melalui partisipasinya dalam pengembangan bibit, penanaman dan pemeliharaan. Lokasi-lokasi
lainnya
untuk
saat
ini
kurang
potensial
untuk
pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagai akibat dari berbagai kendala. Sebau misalnya, lokasi ini merupakan tempat permandian air panas yang dipercaya oleh masyarakat sekitar dapat mengobati berbagai penyakit kulit (seperti panu, kadas, dan kurap). Namun demikian tempat ini hanya dikunjungi orang-orang tertentu saja sehingga kurang potensial untuk dikembangkan. Disamping itu, lokasinya berbatasan dengan hutan lindung sehingga jika lokasi ini dikembangkan maka dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan dan kerawanan terhadap kawasan hutan lindung di sekitarnya. Begitu pula halnya dengan tempat permandian air panas lainnya, yaitu Aik Kalaq di hulu Kali Putih (± 100 m dari Segara Anak), Goa Susu, Goa Taman, dan Goa Payung. Objek wisata lainnya adalah Air terjun Jeruk Manis yang mempunyai ketinggian ± 30 m terletak di Desa Kembang Kuning di bagian Selatan kawasan Taman Nasional belum banyak berkembang sehingga pengunjungnya masih
140 relatif terbatas dibandingkan Otak Kokok Gading, Joben. Daerah sekitar air terjun selain mempunyai panorama alam yang indah juga dapat melihat atraksi alam berupa tingkah laku lutung (Tracyphitecus auratus cristatus) dan burung elang. Daerah ini diperkirakan merupakan habitat kedua satwa tersebut yang memiliki populasi terbesar di kawasan TNGR. Di
lokasi
pintu
masuk
pendakian
Senaru,
berpeluang
untuk
pengembangan usaha kerajinan (souvenir), akan tetapi karena kegiatan pendakian hanya dilakukan pada musim kemarau, maka keberlanjutan dan kesimabungan usaha sulit dipertahankan. Begitu pula dengan jalur pendakian Senaru, zona pemanfaatan di sepanjang jalur pendakian ini berupa kawasan hutan dengan vegetasi tumbuhan yang cukup rapat (bukan savana seperti jalur pendakian Sembalun). Sementara itu untuk zona rehabilitasi, pada saat penelitian ini dilakukan telah dilakukan kegiatan reboisasi dan bahkan kawasan tersebut telah menjadi hutan kembali dengan berbagai jenis pohon. 8.2.2 Kawasan Penyangga (Sekitar) TNGR Selain potensi biofisik TNGR, lahan pertanian/kebun milik masyarakat yang berada di sekitar TNGR merupakan potensi yang berpeluang untuk dioptimalkan pemanfaatnnya berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat. Begitu pula halnya dengan berbagai potensi obyek wisata alam yang berada di kawasan TNGR merupakan peluang yang sangat potensial untuk diberdayakan secara optimal Dari segi tataguna lahan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 17, nampaknya yang berpeluang untuk pengembangan ekonomi masyarakat adalah lahan kering karena ketersediaannya relatif luas dibandingkan lahan sawah. Lahan-lahan milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGR atau yang berada di sekitarnya umumnya berupa lahan kering/tegal. Selama ini berbagai kegiatan dilakukan masyarakat di lahan tegal/kebun, mulai dari usahatani padi ladang hingga pengembangan berbagai komoditi perkebunan seperti kopi dan kakao serta buah-buahan seperti mangga, pisang, dan alpokat.
141
Gambar 17. Tataguna Lahan di Sekitar TNGR (Sumber: BPS NTB 2006). Dari
Gambar 17 di atas dapat diketahui bahwa potensi/ketersediaan
lahan kering di sekitar TNGR cukup luas. Lahan kering ini umumnya berupa tegal/kebun yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu selain digunakan untuk berbagai kegiatan usahatani dan perkebunan, lahan ini sangat potensial untuk pengembangan rumput pakan ternak. Sementara jenis penggunaan lainnya berupa ladang/huma, hutan, dan kolam/lebak/empang. 8.3 Evaluasi Keberhasilan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di Kawasan Hutan Rinjani Implementasi PHBM di Lingkar Rinjani dilaksanakan dalam berbagai bentuk, namun tetap dengan pola dan tujuan yang sama. Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) diaplikasikan pada beberapa lokasi dengan melibatkan masyarakat sekitar dan di dalam hutan secara langsung. Disamping itu, terdapat pengelolaan hutan dengan model lain seperti Hutan Cadangan Pangan (HCP), Pengembangan Jalur Hijau, Penanaman Bawah Tegakan, dan lain-lain. Akses pemanfaatan hutan yang dibuka luas ternyata belum sejalan dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan sehingga masih diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan. Pengembangan PHBM yang telah diimplementasi sudah menunjukkan tingkat keberhasilan secara ekonomi dan sosial tetapi secara fisik masih belum menunjukkan hasil yang nyata karena pada umumnya pengelola hutan masih
142 mengutamakan tanaman pangan. Berbeda dengan usaha yang dilakukan dengan komoditas tanaman perkebunan yang memerlukan naungan maka pengelola akan berusaha mempertahankan keberadaan, kondisi, dan potensi hutan. Jenis tanaman jangka panjang masih dipandang kurang menarik karena tidak disertai dengan property right yang akan memberi jaminan bagi penguasaan hasil nantinya. Pengalaman di wilayah Pesugulan Lombok Timur, (tahun 1980-an); ada kontrak pengelolaan hutan oleh masyarakat. Di lokasi kontrak masyarakat diwajibkan menanam kayu manis dan setelah masa kontrak berakhir masyarakat dikeluarkan dari hutan. Bersamaan dengan itu, karena merasa tidak memiliki hak atas kayu manis yang telah ditanam dan dipelihara bertahun-tahun, masyarakat kecewa dan membabat semua kayu manis yang ada di areal tersebut. Rancang bangun (enginering) PHBM masih perlu diperbaiki dengan menetapkan kawasan-kawasan hutan yang dapat dikembangkan menjadi lokasi PHBM, menyusun komposisi jenis-jenis yang tepat untuk memberi ekspektasi ekonomi yang tinggi, menyusun mekanisme perizinan, perjanjian pengelolaan PHBM serta mengembangkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat, dan masyarakat dengan sumberdaya hutan. Hubungan yang kuat antara masyarakat dengan sumberdaya hutan serta kemitraan masyarakat dengan pemerintah akan mendorong terjaganya hutan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih permanen, berkelanjutan serta mampu meningkatkan ekspektasi ekonomi masyarakat. Menurut laporan hasil Studi Lapang Praktik-Praktik Sosial Forestry di Pulau Lombok ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1. Kondisi vegetasi hutan di areal HKm Desa Santong dan Desa Sesaot berupa campuran tanaman pohon-pohonan jenis MPTS dan kayu-kayuan dengan kerapatan cukup tinggi dan cukup beragam walaupun jenis kayu-kayuan relatif sedikit dibandingkan dengan MPTS. Kondisi tersebut menimbulkan kesan vegetasi di areal HKm tersebut bukan merupakan struktur hutan sebagaimana yang dibayangkan dimana jenis kayu-kayuan masih dipandang sebagai komoditi utama, walaupun dari kerapatan dan stratifikasinya sudah dapat dikatakan sebagai hutan. Dalam proses pembelajaran di lapangan terjadi perdebatan tentang komposisi jenis dan tingkat kerapatan bagaimana
143 yang dapat mengakomodir kepentingan kehutanan sekaligus kepentingan kebutuhan masyarakat. 2. Di lokasi HKm ada keengganan masyarakat menanam kayu, baik di Desa Sesaot, Desa Santong maupun Desa Sambelia, disebabkan antara lain oleh: (a) Sempitnya lahan garapan (kurang dari 0,25 ha/KK). (b) Sampai saat ini belum ada kepastian hak masyarakat terhadap tanaman kayu-kayuan di hutan. Hal ini menyebabkan kontraproduktif terhadap kegiatan-kegiatan
positif
yang
sudah
dilakukan.
Misalnya
upaya
rehabilitasi di Sambelia dan reboisasi di Santong sudah menunjukkan harapan keberhasilan dimana tanaman sengon sudah berdiameter di atas 20 cm dan tinggi di atas 15 meter. Namun dengan tidak adanya kepastian hak,
masyarakat
cenderung
secara
diam-diam
menebang
untuk
mendapatkan lahan garapannya kembali. (c) Kebijakan yang tidak mendorong bahkan menghambat masyarakat untuk mau menanam jenis kayu, antara lain pengaturan sharing benefit yang tercantum dalam Perda Kabupaten Lombok Barat No. 10 Tahun 2003, yaitu untuk jenis kayu-kayuan dengan komposisi 80% bagian pemerintah dan 20% untuk masyarakat; sedangkan untuk jenis non kayu sebaliknya.
8.4 Peraturan Perundangan tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Dari hasil identifikasi dan kajian terhadap peraturan perundangan, ditemukan sejumlah peraturan (regulasi) yang berkenaan dengan pengelolaan hutan (termasuk TNGR) yang mengedepankan partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Regulasi tersebut berupa Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Surat Keputusan (SK) Gubernur dan Perda Kabupaten. Adapun untuk regulasi non formal yang diidentifikasi adalah berupa kearifan lokal masyarakat (pengetahuan lisan) yang diturunkan antar generasi berupa kesepakatan dan ketentuan lokal (awig-awig) yang harus dipatuhi semua warga (saat ini sedang dirancang Perda Pengukuhan Keberadaan Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan Adat). Hasil
identifikasi
regulasi
tertulis
berkenaan
dengan
masyarakat dalam pengelolaan hutanan adalah sebagai berikut:
partisipasi
144 (1) UU No 5/1990 tentang “Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya” Dalam Bab IX tentang peranserta masyarakat; pada pasal 37 dinyatakan bahwa
masyarakat
harus
berperanserta
dalam
kegiatan
konservasi
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. (2) UU No 23/1997 tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup” Bab III tentang hak, kewajiban dan peranserta masyarakat; pasal 5 dan pasal 6 mengatur tentang aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. (3) UU No 9/1990 tentang “Kepariwisataan” Bab IV tentang peranserta masyarakat; pada pasal 30 dinyatakan bahwa masyarakat memiliki kesempatan berperanserta dalam penyelenggaraan kepariwisataan (4) UU No 41/1999 tentang “Kehutanan” Bab IX tentang peranserta masyarakat; pada pasal 70 dinyatakan bahwa masyarakat harus turut berperanserta dalam pembangunan kehutanan. (5) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan” Bagian IX Pasal 51 mengatur tentang pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan (6) PP No 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat, dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab masyarakat hukum adat. Pasl 19 ayat (2): perlindungan hutan yang diserahkan kepada hukum adat dilaksanakan berdasarkan kearifan tradisional yang berlaku dalam penda propinsi dan/atau pemda kabupaten/kota (7) PP No 6 Tahun 2007 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan”; (Diganti dengan PP No 3 Tahun 2008) Bagian kesebelas: Pemberdayaan Masyarakat Setempat; pasal 83, 84, dan 87 mengatur tentang Pemberdayaan Masyarakat (8) Peraturan
Menteri
Kehutanan
No
P.01/Menhut-II/2004
tentang
“Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry”
145 Pasal 2 sampai dengan pasal 11 menjelaskan secara terperinci tentang pemberdayaan masyarakat berkenaan dengan soscial forestry. (9) Peraturan Menteri Kehutanan No P.19/Menhut-II/2004 tentang ”Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam” Bab III tentang pelaksanaan kolaborasi pengelolaan telah mengatur secara detail dan terperinci mengenai mekanisme kolaborasi pengelolaan kawasan hutan. Pada Bab IV juga membahas tentang mekanisme pembinaan dan pengendalian kolaborasi pengelolaan yang dilakukan tersebut. (10) Peraturan Menteri Kehutanan No P.56/Menhut-II/2006 tentang ”Pedoman Zonasi Taman Nasional” Bab IV Pasal 19 mengatur tentang peranserta masyarakat dalam zonasi taman nasional (11) SK Gubernur NTB No. 15/2003 tentang ”Pembentukan Badan Pembina Trekking Rinjani (RTMB)” Bab VIII tentang tatacara pengambilan keputusan; pada pasal 14 dinyatakan bahwa keputusan yang menyangkut kebijakan Rinjani Trek Management Board (RTMB) dilakukan melalui rapat yang berdasarkan musyawarah dan mufakat. (12) SK Gubernur NTB No. 339/2001 tentang ”Pembentukan Tim Kaji Tindak Partisipatif dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Kawasan Rinjani”. Dalam Surat Keputusan ini dijelaskan bahwa pengelolaan wilayah TNGR dan
sumberdaya
alamnya
dilakukan
secara
partisipatif
dengan
mengedepankan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. (13) Perda Lombok Barat No 4 Tahun 2007 tentang ”Pengelolaan Jasa Lingkungan” Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk membantu institusi multi pihak dalam pengelolaan jasa lingkungan harus ada wakil dari masyarakat setempat.
146 8.5 Model Pemberdayaan 8.5.1 Alternatif Model Pemberdayaan Masyarakat Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”
mengamanatkan bahwa pemanfaatan hutan
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Adapun kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Sejalan
dengan
adanya
paradigma
baru
secara
global
bahwa
pengelolaan hutan harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Hal ini tercermin dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan tema “Forest for People”. Dengan adanya konsep tersebut, maka sejak tahun 1984/1985 di Indonesia dikembangkan program ‘perhutanan sosial’ (Social Forestry). Tujuannya antara lain untuk menjalin hubungan yang lebih serasi dan seimbang antara petugas kehutan dan masyarakat
sekitar
hutan
serta
dikembangkan
pula
berbagai
program
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang bersifat aspiratif, partisipatif, kolaboratif, dengan melibatkan para pihak (multistakeholders), seperti pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, pakar dan LSM. Berkenaan dengan pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) berkelanjutan, perlu diciptakan keharmonisan masyarakat dengan biofisik TNGR. Dalam hal ini pemanfaatan TNGR harus dilakukan secara lestari dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Oleh karena itu harus dibangun model pemberdayaan masyarakat yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan Hutan Rinjani (TNGR) atau disingkat “MAHARRINJANI” (Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani). Penyusunan model ini dilatarbelakangi adanya disharmonisasi antara masyarakat dengan TNGR, yaitu eksploitasi hasil hutan kayu (HHK) oleh masyarakat di kawasan TNGR. Gambar 18 mengilustrasikan rumusan model pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya, dan kelembagaan secara komprehensif. Aspek ekonomi dan ekologi serta peraturan-perundangan lebih ditekankan sebagai dasar penyusunan bentuk kegiatan pemberdayaan, sedangkan aspek sosial budaya dan kelembagaan dijadikan dasar penyusunan strategi pemberdayaan.
147 Masy. Sekitar TNGR Aspek Kelembagaan
Aspek Sosbud
Aspek Ekonomi Peghasilan RT kecil
Kebt. RT tdk tercukupi
Lap Kerja Luar Hutan terbatas
Ketergantungan thd Hutan tinggi
- Klp Masy Adat - Awig-awig - Tata Nialai Masy
Persepsi sedang Penilaian Ek. tinggi Partisipasi rendah
Ekstraksi HHK
STRATEGI PEMBERDAYAAN
Kesadaran LH tinggi Kepedulian LH rendah
Sosbud - Kebiasaan Lokal
Ekonomi - Pengelr makan - Pendap L. Htn - Terlibat HKm - Pelihara Sapi
Biofisik - Lokasi - WTP
Alternatif Kegt Ek. Produktif
Ancaman Kerusakan TNGR Tinggi
Permenhut: P.56/2006 PP 6/2007; PP 3/2008
Potensi Biofisik
TNGR - Jalur Pendakian Sembalun - Obyek Wisata “Otak Kokok” Joben - Zona Pemanfaatan TNGR
Kws Penyangga TNGR - Lahan milik (sawah, kebun) - Pekarangan
Benturan Nilai Kearifan lokal dg kebt ekonomi
Pelaksanaan: 3 tahap 1. Penyadaran 2. Pengkapasitasan
Akt. Ek. Masy. - Petani = 51% - Buruhtani = 24% - Peternak = 12% - Lainnya = 13%
3. Pendayaan
Ekonomi
Sosbud
“MAHAR-RINJANI”
Kesra (+) & Kelest TNGR (0)
Prtisipatif Kolaboratif
Masy Harmonis dengan Hutan
Komprehensif
Berkerlanjutan
Pendakian Bewawasan Lingk
Kelembagaan Masy
Arboretum Terpadu TNGR Prioritas
Hutan Keluarga Peternakan Sapi Posko Pengaduan TNGR
Kriteria: PP 34/2002; Psl 15 (3) - Ekonomi - Ekologi - Sosbud
Gambar 18. Kerangka Penyusunan Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Penyangga TNGR
TNGR
Peternakan Sapi
Hutan Kompensasi Pengembangan HHBK
Kesra (0) & Kelest TNGR (0)
Orientasi:
Aspek Pemberdayaan
MODEL PEMBERDAYAAN MASY:
Kesra (+) & Kelest TNGR (+)
Pendekatan:
Seksi Pemberdayaan Kws Penyangga (SPKP) Daya Dukung Sumberdaya
SISTEM PENGKADASAN SAPI RINJANI
148 Model
dan
strategi
serta
bentuk
kegiatan
pemberdayaan
yang
dirumuskan merupakan hasil sintesis dari kajian dan analisis terhadap berbagai fakta dan fenomena berkenaan dengan keberadaan dan interaksi masyarakat dengan TNGR. Telaahan dan analisis tidak hanya dilakukan pada data dan informasi faktual saat ini (data primer), melainkan juga dilakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan, serta laporan dan hasil-hasil kajian sebelumnya termasuk program dan kegiatan pemberdayaan yang telah dilakukan oleh Balai TNGR dan/atau lembaga lainnya. Pada Gambar 18 di atas dapat dilihat bahwa setiap aspek pemberdayaan memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi dengan aspek lainnya. Gangguan terhadap salah satu aspek akan dapat mempengaruhi aspek lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan belum diwujudkan dalam bentuk tindakan riil sebagai akibat adanya tuntutan kebutuhan ekonomi rumahtangga. Dalam hal ini tata nilai dan kearifan lokal mengalami benturan dan cenderung semakin longgar karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendesak. Lebih lanjut hasil analisis juga menunjukkan bahwa aspek ekologi/biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya secara bersama-sama mempengaruhi interaksi HHK sehingga dalam pengelolaan TNGR berkelanjutan, ketiga aspek ini harus dibenahi secara komprehensif. Meski demikian, kunci utama pemberdayaan adalah aspek ekonomi karena aspek ini memiliki hubungan (korelasi) positif yang nyata (significant) dengan partisipasi dalam pengelolaan TNGR. Tanpa ada upaya peningkatan pendapatan, maka interaksi HHK seperti yang terjadi saat ini akan terus berlangsung, bahkan akan semakin berkembang. Selanjutnya untuk menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan eksistensi TNGR, maka ditetapkan 2 (dua) sasaran utama yang menjadi dasar pertimbangan dalam merumuskan model pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR, yaitu kelestarian TNGR dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini parameter yang dijadikan penentu kesejahteraan adalah pendapatan/ penghasilan rumahtangga serta ukuran kelestarian adalah kondisi biofisik TNGR. Berkenaan dengan kedua kriteria di atas, maka berdasarkan hasil kajian dan analisis dapat dirumuskan model-model pemberdayaan masyarakat di Kawasan TNGR sebagaimana disajikan pada Tabel 27. Adapun alternatif kegiatan yang diajukan pada masing-masing model pemberdayaan didasarkan pada pertimbangan potensi (baik potensi TNGR maupun potensi kawasan penyangga TNGR) peluang pengembangan yang tersedia.
dan
149 Tabel 27 Model-Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR No
Sasaran Pemberdayaan
Model Bentuk Kegiatan Pemberdayaan Pemberdayaan
Kesmas
Kelestarian
1
Meningkat
Meningkat
Model I
1. ArboretumTerpadu TNGR 2. Pendakian Berwawasan L 3. Hutan Kompensasi
2
Menigkat
Tetap
Model II
1. Hutan Keluarga 2. Peternakan Sapi 3. Usaha Kecil HHBK
3
Tetap
Tetap
Model III
Posko Pengaduan TNGR
Dari tiga model pemberdayaan yang disajikan pada Tabel 27 di atas, Model I (pertama) merupakan model yang paling ideal untuk dikembangkan di Kawasan TNGR. Selain meningkatkan daya dukung TNGR, model ini juga sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan perkataan lain, model I (pertama) merupakan model yang berorientasi ekologi dan sekaligus ekonomi masyarakat. Model II (kedua) lebih mengutamakan kesejahteraan ekonomi (peningkatan pendapatan) dibandingkan ekologi atau model yang berorientasi ekonomi. Model ini memungkinkan untuk mempertahankan kelestarian TNGR karena terjadi peningkatan pendapatan masyarakat sehingga partisipasi dalam pelestarian TNGR juga meningkat. Dalam hal ini diasumsikan masyarakat akan ikut menjaga kelestarian sumberdaya hutan atau minimal tidak melakukan penebangan liar manakala memiliki mata pencaharian tetap yang dapat menopang kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sebelumnya bahwa peningkatan pendapatan dari luar kehutanan akan dapat meredam atau menurukan interaksi HHK masyarakat. Model III (ketiga) diperuntukkan khusus bagi masyarakat yang memiliki rasa kepedulian terhadap kelestarian TNGR tanpa mengharapkan imbalan atau isentif ekonomi. Model lainnya yang lebih menekankan pada aspek ekologi (Pendapatan masyarakat tetap sedangkan kelestarian TNGR meningkat), nampaknya sulit untuk dilaksanakan. Meningkatkan kondisi biofisik TNGR tanpa dibarengi dengan peningkatan penghasilan masyarakat sekitar sulit untuk dilaksanakan. Kenyataan ini didasarkan pada hasil kajian dan analisis sebelumnya bahwa masyarakat di sekitar kawasan TNGR akan berpartisipasi dalam pemeliharaan TNGR atau sumberdaya hutan lainnya manakala ada insentif atau manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan. Disamping itu tata nilai dan kearifan
150 lingkungan mengalami benturan dengan kebutuhan ekonomi keluarga; dan biasanya pemenuhan kebutuhan ini menjadi prioritas yang lebih diutamakan. Bentuk kegiatan pada setiap model pemberdayaan sebagaimana disajikan pada Tabel 27 di atas memiliki spesifikasi tersendiri serta memilki kelebihan dan kekurangan/kelemahan masing-masing. Deskripsi dari setiap bentuk kegiatan yang diajukan dijabarkan sebagai berikut: 1) Arboretum Terpadu TNGR Di wilayah Resort Joben (wilayah TNGR Bagian Selatan), terdapat zona pemanfaatan intensif seluas 171 ha. Di lokasi ini terdapat objek wisata berupa air terjun dan kolam permandian yang setiap saat banyak dikunjungi masyarakat lokal dan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Selain sebagai lokasi wisata, masih tersedia areal yang cukup luas berupa padang savana. Di areal ini sejak tahun 2004 telah mulai dilakukan penanaman pohonpohon endemik lokasi hingga saat penelitian ini dilakukan (Februari 2008) telah mencapai 20 ha. Dengan demikian areal lahan yang tersedia masih cukup luas dimana saat ini masyarakat diberikan akses untuk mengambil rumput pakan ternak dengan catatan tidak boleh mengganggu pohon yang berada di lokasi yang bersangkutan. Di lokasi ini, Petugas Ekosistem Hutan (PEH) TNGR sejak tahun 2003 melakukan pembinaan populasi tumbuhan yang ada di Pulau Lombok, yaitu melakukan koleksi dan perbanyakan tumbuhan (terutama yang ada di kawasan TNGR) dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan Ikatan Keluarga Alumni Sekolah Kehutanan Menengah Atas (IKA SKMA). Di tempat ini juga telah mulai dirintis penangkaran dan pembinaan populasi kupu-kupu, tanaman hias (anggrek), ikan hias, dan lebah madu. Berdasarkan potensi yang tersedia serta perkembangan yang terjadi, maka kawasan ini potensial untuk pengembangan Arboretum Terpadu TNGR. Daerah ini cukup strategis mengingat lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan objek wisata di kawasan ini setiap saat banyak dikunjungi masyarakat lokal. Pengadaan Arboretum terpadu TNGR dimaksudkan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat sekitar berkenaan dengan pengembangan flora dan fauna. Untuk mewujudkan lokasi ini sebagai media pembelajaran (termasuk hutan pendidikan), maka areal yang tersedia ini dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat baik secara
151 perorangan maupun berkelompok. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan adalah: budidaya kayu hutan (endemik), green house dan penangkaran untuk uji coba berbagai jenis flora dan fauna khas Rinjani, dan demplot percontohan ekosistem
hutan.
Disamping
itu
masyarakat
dapat
diberikan
pelatihan
keterampilan dan praktek lapangan tentang teknik budidaya dan pembiakan tanaman (vegetatif dan generatif), pembuatan kompos, serta keterampilan budidaya
lainnya.
meningkatkan
Diharapkan
kesadaran
dengan
lingkungan,
media
pembelajaran
masyarakat
ini,
selain
termotivasi
untuk
mengembangkan berbagai jenis tanaman secara komersial guna meningkatkan pendapatan keluarga, misalnya pengembangan anggrek. Selain menjadi media pembelajaran, kawasan ini juga sekaligus dapat dijadikan showroom yang memamerkan dan menjual berbagai jenis bunga dan bibit tanaman (khususnya khas Rinjani). Dalam hal ini bunga dan bibit tanaman yang ditawarkan adalah hasil dari masyarakat sekitar. Disamping itu untuk lebih meningkatkan kesadaran, penghayatan, dan daya tarik masyarakat terhadap pelestarian hutan, maka secara berkala dilakukan pemutaran film dokumenter tentang kehutanan, meliputi dampak kerusakan hutan, pelaku pembalakan, dan kejadian-kejadian di berbagai daerah sebagai akibat kerusakan hutan. Sasaran utama pemutaran film dokumenter ini tidak hanya masyarakat sekitar, melainkan juga para pengunjung yang datang berwisata ke tempat ini, terutama anak-anak sekolah. Untuk keperluan tersebut perlu dibangun gedung/ruang bioskop lingkungan. Areal yang tersedia untuk pengembangan berbagai kegiatan di atas masih cukup luas, yaitu 171 ha sehingga
cukup potensial sebagai media
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pengembangan Arboretum Terpadu TNGR ini memang membutuhkan biaya investasi yang cukup besar, namun dalam jangka panjang dapat memberikan keuntungan dan dampak positif yang cukup besar, baik bagi keberlanjutan eksistensi TNGR maupun pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar. Dampak positif dimaksud antara lain: (1) peningkatan keterampilan pembiakan tanaman, (2) peningkatan pendapatan masyarakat, (3) peningkatan kesadaran lingkungan hidup, (4) penciptaan lapangan kerja/usaha baru, dan (5) peningkatan daya dukung TNGR. 2) Pendakian Berwawasan Lingkungan Di sepanjang jalur pendakian Sembalun, mulai dari pintu masuk hingga Pos 3 (± 7 km) umumnya berupa padang alang-alang dan hampir tidak ada
152 pohon kayu di sekitarnya, padahal pendakian melalui jalur ini cukup ramai dibandingkan dengan jalur lainnya. Karena itu untuk memberikan kesejukan bagi para pendaki dapat dilakukan penanaman pohon pelindung di sepanjang jalur pendakian. Penanaman pohon ini dapat dilakukan mengingat sepanjang jalur pendakian merupakan Zona Pemanfaatan Khusus Wisata Terbatas. Kegiatan ini juga sesuai dengan rencana Balai TNGR untuk menanam berbagai jenis pohon di sepanjang jalur pendakian ini, yaitu masing-masing 2 baris di sebelah kanan dan kiri jalan dengan jarak tanam 5 x 5 m. Dengan demikian jumlah pohon yang dapat dikembangkan di sepanjang jalur pendakian (7 km) adalah sebanyak 1 400 pohon untuk setiap baris sehingga jumlah keseluruhan adalah 5 600 pohon. Metode pelaksanaannya adalah: setiap pendaki secara perorangan atau berkelompok diharapkan membeli satu atau lebih paket tanaman, meliputi bibit, infus, air, label, kompos, dan keranjang secara lengkap atau sebagian paket sesuai dengan keinginan pendaki. Pelaksanaan penanaman dan pemasangan sarana penunjang lainnya dilakukan sendiri oleh pendaki dibantu oleh porter yang menyertainya. Kepada setiap pendaki diharapkan untuk menanam 1 atau lebih pohon di sepanjang jalur pendakian disertai pemberian label nama pendaki yang melakukan penanaman. Namun yang perlu diantisipasi adalah pendakian umumnya dilakukan pada musim kemarau sehingga peluang tumbuh dan berkembangnya tanaman ini relatif kecil. Untuk itu pada setiap batang pohon yang ditanam perlu disiapkan botol berisi air (sejenis infus) agar tanah di sekitar pangkal batang tetap lembab. Selain itu untuk menjaga keamanan tanaman dari gangguan ternak, maka setiap pohon yang baru ditanam harus diberikan keranjang/gorong-gorong (anyaman bambu). Berkenaan dengan program di atas, pengadaan dan perbanyakan bibit, keranjang pengaman, kompos, dan infus air disiapkan oleh masyarakat sekitar (masyarakat lokal) dan disalurkan melalui koperasi yang berada di pintu masuk pendakian. Selain itu koperasi juga menyiapkan label nama yang dirancang sedemikian rupa sesuai dengan pesanan para pendaki. Untuk mempersiapkan semua perlengkapan ini tentunya masyarakat sekitar harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan, baik untuk kegiatan pembibitan maupun untuk membuat perlengkapan lainnya. Jenis bibit yang dibuat disesuaikan dengan jenis endemik yang ada di wilayah TNGR khususnya di wilayah Resort Sembalun.
Sementara untuk keperluan lainnya
dilakukan pembinaan keterampilan kerajinan (anyaman) kepada masyarakat
153 sekitar (prioritas masyarakat tuna lahan dan/atau ibu rumahtangga). Jenis kerajinan yang dibuat diarahkan untuk pembuatan barang-barang keperluan pendakian; berbahan baku lokal seperti bambu. Beberapa jenis produk yang dibutuhkan untuk pendakian adalah: keranjang untuk mengangkut barang-barang keperluan pendaki, keranjang/ gorong-gorong untuk tanaman, topi dari bambu/lontar/daun kelapa untuk para pendaki. Selain untuk keperluan pendakian, produk yang dihasilkan juga untuk keperluan masyarakat seperti bakul, keranjang sayur dan berbagai bentuk hasil kerajinan suvenir. Manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini dan langsung dapat dirasakan adalah peningkatan kesejukan sepanjang jalur pendakian serta peningkatan daya dukung TNGR. Akan tetapi karena kegiatan pendakian umumnya dilakukan pada musim kemarau, maka dapat diduga bahwa tingkat keberhasilan tumbuh relatif kecil. Terlebih lagi dengan kebakaran yang hampir setiap tahun terjadi akan mengakibatkan tanaman di sekitarnya ikut terbakar.
3) Hutan Kompensasi Hutan
Kompensasi
yang
dimaksudkan
adalah
pengembangan/
penanaman pohon kayu (endemik kawasan TNGR) dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sekitar. Namun berdasarkan hasil kajian dan analisis, setiap
keterlibatannya
dalam
pengelolaan
hutan,
masyarakat
selalu
mengharapkan imbalan/insentif ekonomi. Mereka tidak akan mau berpatisipasi secara murni (termasuk menanam kayu di kawasan TNGR) tanpa ada imbalan yang diharapkan di kemudian hari. Sikap inilah yang antara lain menyebabkan kegagalan tumbuh dan berkembangnya kayu di beberapa lokasi HKm di Pulau Lombok, bahkan ada kesan enggan bagi sebagian masyarakat peserta HKm membiarkan kayu tumbuh besar karena akan dapat mengganggu tanaman MPTS-nya. Fenomena yang sama terjadi di kawasan pengembangan jalur hijau TNGR, ada kecenderungan bahwa yang dikembangkan dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat adalah tanaman yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi seperti nangka dan durian. Berdasarkan fenomena ini maka untuk menjamin agar kayu yang dikembangkan dapat tumbuh dengan baik, maka kepada masyarakat harus diberikan insentif atau kompensasi sesuai dengan perjanjian.
154 Pengembangan hutan kompensasi ini berpeluang untuk dilaksanakan di wilayah bagian selatan TNGR yang merupakan Zona Pemanfaatan Tradisional seluas 583 ha yang berlokasi di Srijata (Resort Joben) seluas 418 ha dan Timbanuh (Resort Kembang Kuning) seluas 175 ha. Kawasan Srijata selama ini memang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Perian untuk memungut hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa nangka, pakis sayur, dan rumput. Di kawasan ini banyak terdapat pohon bajur, mahoni, Sonokeling, Dadap, Durian, Nangka, dan kopi. Meski demikian, di beberapa tempat terutama di bagian pinggir masih terdapat lahan-lahan terbuka.
Agar lebih bermanfaat baik dari
aspek konservasi maupun peningkatan pendapatan masyarakat, maka lokasi ini dapat dikembangkan menjadi hutan kompensasi. Di kawasan Timbanuh juga banyak ditemukan pohon bajur, sonokeling, mahoni, dan nangka serta di beberapa tempat masih berpeluang untuk dikembangkan. Lokasi lainnya yang memungkinkan untuk dijadikan hutan kompensasi adalah di zona pemanfaatan intensif Joben (di sekitar tempat pengembangan Arboretum). Mekanisme pelaksanaannya adalah melibatkan partisipasi masyarakat untuk melakukan pembibitan, penanaman (kayu endemik kawasan) berikut pemeliharaannya; selanjutnya kepada para pelaku diberikan kompensasi sesuai kesepakatan. Jadi secara sederhana masyarakat boleh menjual pohon kayu yang ditanam di wilayah TNGR, akan tetapi harus dijual ke pihak TNGR dan tidak boleh ditebang. Peserta yang dilibatkan diprioritaskan bagi mereka yang tidak memiliki lahan usahatani (tuna lahan). Mengenai besarnya nilai kompensasi, batas waktu minimal baru boleh kompensasi, dan aturan-aturan main lainnya ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat dengan pihak pengelola. 4) Hutan Keluarga Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian masyarakat sekitar kawasan TNGR hidupnya sangat tergantung pada sumber daya hutan. Menyadari
semua
ini
maka
diperlukan
upaya
menggalakkan
program
pengembangan hutan keluarga dengan tujuan mengurangi ketergantungan serta meminimalisasi potensi kerusakan TNGR. Selain itu dengan pengembangan hutan keluarga diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif sumber perekonomian keluarga dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan/kebun milik masyarakat yang berada di kawasan penyangga TNGR. Hutan Keluarga ini dapat dikembangkan di kebun-kebun milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan TNGR. Karena itu sasaran pembinaan
155 pengembangan hutan keluarga ini adalah masyarakat lokal yang memiliki lahan di sekitar TNGR. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka secara spasial wilayah yang potensial untuk pengembangan hutan keluarga ini adalah di bagian selatan TNGR, meliputi Resort Stiling, Joben, Kembang Kuning, serta sebagian Resort Aikmel, dan Sembalun. Dalam hutan keluarga, berbagai jenis kayu dapat dikembangkan baik untuk kayu bahan bangunan/industri maupun untuk kayu bakar. Prospek pengembangan kayu (terutama kayu bakar) cukup besar ditinjau dari sisi permintaan. Sebagai gambaran, data dari Dinas Kehutanan Propinsi NTB menunjukkan bahwa defisit hasil hutan untuk kayu bangunan di NTB cukup tinggi, yaitu 80 000 m3 per tahun sementara kebutuhan kayu bakar sekitar 480 000 m3 per tahun. Dengan jumlah kebutuhan ini, hutan NTB belum mampu memenuhi kebutuhan kayu bakar. Saat ini di 37 desa yang berada di kawasan TNGR terdapat 50 913 rumahtangga menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak (Lampiran 15). Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata setiap rumahtangga (dengan jumlah anggota keluarga 4 orang) membutuhkan 10 ikat atau 0,14 m3 kayu bakar per bulan. Jadi dengan demikian maka total kebutuhan kayu bakar untuk masyarakat di sekitar TNGR sebanyak 7 128 m3 setiap bulannya atau sebesar 85 534 m3 per tahun. jika 1 (satu) pohon mahoni umur 10 tahun memiliki volume kayu rata-rata 0,5 m3, maka untuk mencukupi keperluan kayu bakar masyarakat di sekitar TNGR saja harus menebang 171 067 pohon (jumlah yang cukup besar). Diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah tidak hanya untuk masyarakat di pinggir kawasan, melainkan juga masyarakat yang berada jauh di luar kawasan. Lebih lanjut jika subsidi BBM dicabut maka para petani Tembakau Virginia di Pulau Lombok yang selama ini menggunakan minyak tanah untuk melakukan pengomprongan, akan beralih menggunakan kayu bakar. Diperkirakan kebutuhan kayu bakar untuk pengomprongan tembakau mencapai 60 000 truk atau setara dengan 480 000 m3 per tahun dengan asumsi jumlah oven pengomprong 14 000 unit. Implikasinya akan terjadi peningkatan kerawanan hutan secara keseluruhan (termasuk TNGR) sehingga harus segera diantisipasi. Salah satu alternatif solusi yang bisa dilakukan adalah pengembangan hutan keluarga dengan menanam jenis-jenis pohon yang cepat menghasilkan kayu bakar . Salah satu jenis kayu yang potensial dikembangkan adalah mahoni. Alasannya, selain pertumbuhannya relatif cepat, pasar lokal (permintaan setempat) untuk jenis kayu ini cukup besar, terutama sebagai bahan baku industri kerajinan
156 kayu (ukiran) yang tersebar di berbagai tempat di Pulau Lombok. Kayu mahoni ini cukup diminati oleh pengrajin karena seratnya halus dan kayunya keras sehingga memudahkan proses pengolahan dengan kualitas hasil kerajinan lebih bagus. Sebagai gambaran, hasil penelitian Sukardi, et al. (2001) menunjukkan bahwa ratarata kebutuhan kayu mahoni untuk 1 unit usaha kerajinan ukir
di Kecamatan
3
Labuapi Lombok Barat sebesar 36,5 m per bulan. Sementara itu jumlah pengrajin di seluruh Pulau Lombok mencapai lebih dari 100 unit. Selain mahoni, jenis kayu lainnya yang dapat dikembangkan adalah albasia (sengon). Kayu albasia memiliki prospek pasar yang cukup tinggi, dimana permintaannya bukan hanya di dalam negeri, namun juga datang dari mancanegara. Kayu ini dipergunakan antara lain untuk bahan bangunan, peralatan rumah tangga, sampai pada bahan baku kertas dan kayu lapis. Kayu albasia setelah mengalami proses pengeringan dan perlakuan lainnya dapat dibuat peralatan rumah tangga yang memiliki keawetan cukup lama. Dengan penggunaan yang multidimensi tersebut permintaan akan terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk. Khusus di wilayah Resort Sembalun, pengembangan tomat dilakukan dengan menggunakan ajir (bahasa setempat “pemanju”) sebagai penyangga batang tomat, dimana setiap ajir panjangnya 1 – 1,5 m. Pada umumnya ajir ini dibuat dari kayu/ranting kayu yang diperoleh dari wilayah setempat (kebun dan/atau hutan). Kebutuhan ajir untuk setiap hektar tanaman tomat adalah sebanyak 60 ribu batang. Sebagai gambaran, areal pengembangan tomat di wilayah Sembalun pada tahun 2007 adalah seluas 500 ha. Jadi secara keseluruhan membutuhkan ajir sebanyak 30 juta batang. Permintaan ajir ini setiap tahunnya secara rutin terus terjadi karena selama ini ajir hanya dipakai untuk satu kali musim tanam (satu tahun). Melihat potensi permintaan yang cukup besar ini, maka pengembangan kayu ajir memiliki prospek yang cukup besar. Menurut informasi dari tokoh masyarakat setempat, jenis pohon yang pertumbuhannya cepat untuk dijadikan ajir adalah “Kaliandra”. Selain sebagai ajir, Kaliandra telah digunakan secara luas untuk pakan ternak karena daun, bunga, dan tangkai mempunyai kandungan protein 20-25% (Roshetko
2002).
Wina
dan
Tangendjaja
(2000)
menegaskan
bahwa
pemanfaatan Kaliandra sebagai hijauan pakan ruminansia telah memperlihatkan pengaruh yang menguntungkan tidak hanya performans produksi tetapi performans reproduksi ternak juga meningkat. Baik ternak ruminansia kecil
157 maupun yang besar tidak memperlihatkan suatu masalah bila disuplementasi dengan kaliandra segar atau dalam bentuk silase tetapi tidak boleh dalam bentuk kering. Kaliandra dapat diberikan sendiri atau dalam campuran dengan legum lain yang tidak mengandung tanin untuk mensuplementasi ternak yang diberi rumput. Lebih lanjut Tangendjaja et al. (1992) dan Bulo et al. (1992) menyimpulkan bahwa domba dan kambing akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan bila hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi tidak mempunyai pengaruh lagi. Keunggulan lain dari tanaman ini adalah cepat tumbuh dan memiliki kemampuan bertunas tinggi setelah pemangkasan. Dengan karakteristik ini maka kaliandra sangat perpotensi untuk ajir dan kayu bakar. Meskipun kaliandra tumbuh dengan cepat, kayunya cukup padat dan kering dengan cepat dan mudah terbakar. Setelah pemangkasan, tunas dapat tumbuh dengan cepat dan lebat membentuk batang yang baru. Ciri ini membuat kaliandra menjadi kayu bakar dan kayu arang yang ideal. Keberhasilan awal kaliandra di Jawa terutama disebabkan oleh tingginya produksi kayu bakar berkualitas. Kayunya mempunyai berat jenis 0.5 – 0.8 dan menghasilkan 4200 kkalori per kg kayu kering dan 7 200 kkalori per kg arang. Untuk produksi kayu bakar, kaliandra umumnya ditanam dengan jarak tanam 1 x 1 m atau 1 x 2 m. Batang dipangkas pada ketinggian 30 – 50 cm pada akhir musim kering (Ty et al. 1997). Hasil tahunan sangat bervariasi sesuai dengan tapak dan kondisi pengelolaan. Tanaman berumur 1 tahun dapat menghasilkan 5 – 20 m3/ha/th; dan yang berumur 20 tahun dapat menghasilkan 30 - 65 m3/ha/th (NRC 1983). Kaliandra juga merupakan sumber pakan yang penting untuk lebah madu. Diperkirakan usaha ternak madu tingkat petani dapat menghasilkan 1 ton madu per tahun dari 1 ha tegakan kaliandra (Sila 1996). Jadi selain pertumbuhannya cepat, pengembangan Kaliandra dapat dipadukan dengan pemeliharaan ternak (terutama sapi), pemeliharaan/budidaya lebah madu, dan kegiatan usahatani sayuran (ajir). Keterpaduan ini akan beimplikasi pada lebih banyaknya masyarakat yang dapat diberdayakan sehingga menciptakan multiplier effect (tenaga kerja dan pendapatan) yang lebih besar terhadap perekonomian wilayah. Kegiatan yang dilakukan pada hutan keluarga antara lain: (1) budidaya berbagai jenis kayu baik untuk keperluan kayu bakar, kayu bangunan atau untuk keperluan lain seperti kerajinan, sumber kayu ajir, pakan ternak, maupun sebagai
158 areal pakan lebah; (2) budidaya tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK) di bawah tegakan seperti empon-empon, rumput pakan ternak, dan tanaman semusim lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga jangka pendek. Dengan kegiatan ini maka output yang dihasilkan antara lain: kayu ajir, kayu bakar, kayu bangunan/kerajinan, pakan ternak, pakan lebah, dan rumput pakan ternak. Contoh penerapan Hutan Keluarga yang telah menunjukkan keberhasilan adalah yang dikembangkan oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Mitra Pengaman Hutan (KMPH) di lingkar Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti (TNLW), Sumba Timur – NTT yang dimulai sejak tahun 1993 (Trasform dan ICCON 2007). Pengembangan hutan keluarga ini identik dengan hutan rakyat yang selama ini telah banyak dikembangkan di Indonesia. Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohon-pohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat mirip strukturnya dengan hutan alam. Namun demikian permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat (Sukadaryati 2006), yaitu: (1) pengelolaan hutan rakyat masih sangat tergantung pada pemilik lahan, begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, dan (2) sulitnya mengendalikan kegiatan penebangan pohon yang dilakukan di lahan hutan rakyat;
terlebih lagi bila
masyarakat pemilik lahan dihadapkan pada persoalan ekonomi, Beberapa contoh produk hutan-hutan rakyat dan wilayah penghasilnya, di antaranya (Wikipedia Indonesia): 1) Getah dan resin: - Karet (Hevea brasiliensis); terutama di Sumatra bagian timur dan
Kalimantan - Jelutung (Dyera spp.); Sumatra dan Kalimantan - Nyatoh (Palaquium spp., Payena spp.); terutama Kalimantan - Damar mata-kucing (Hopea spp., Shorea javanica); Sumatera Selatan dan
Lampung, terutama Lampung Barat - Damar batu (Shorea spp.); Sumatra dan Kalimantan - Kemenyan (Styrax benzoin); Sumatera Utara terutama Tapanuli Utara
2) Buah-buahan: - Durian (Durio spp., terutama D. zibethinus); Sumatra, Kalimantan, Jawa,
dan Maluku.
159 - Jambu mete (Anacardium occidentale); Sulawesi Tenggara dan Sumbawa - Kluwek atau kepayang (Pangium edule); banyak tempat, terutama di Jawa. - Kemiri (Aleurites moluccana); Sumatra, Sumbawa dan Sulawesi Selatan - Kopi (Coffea spp.); banyak tempat, termasuk Bali dan Lombok. - Lada (Piper nigrum); Sumatra, Kalimantan - Pala (Myristica fragrans); Aceh dan Maluku - Petai (Parkia speciosa); Sumatra, Kalimantan dan Jawa - Tengkawang (Shorea spp.); Kalimantan
3) Rempah-rempah lain: - Kulit manis atau kayu manis (Cinnamomum spp.); Sumatra, terutama
Sumatera Barat dan Kerinci - Cengkeh (Syzygium aromaticum), banyak tempat. - Aneka jahe-jahean (empon-empon); Jawa.
4) Kayu-kayuan: - Jeunjing (Paraserianthes falcataria); Jawa, terutama Jawa Barat dan Jawa
Tengah - Jati (Tectona grandis); Jawa, terutama Gunungkidul di Yogyakarta,
Wonogiri di Jawa Tengah, Pacitan di Jawa Timur, dan Kuningan serta Indramayu di Jawa Barat; juga di Muna, Sulawesi Tenggara - Mahoni (Swietenia macrophylla); dari banyak tempat di Jawa Barat dan
Jawa Tengah 5) Lain-lain: - Rotan (banyak jenis); Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi; terutama dari
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan - Cendana (Santalum album); Sumba dan Timor - Sagu (Metroxylon sago); Maluku dan Papua.
5) Usaha Pemeliharaan Ternak Sapi Pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan dan bantuan daerah penyangga berupa bantuan sapi dan bantuan lainnya telah dilaksanakan Balai TNGR sejak Tahun 1999/2000 hingga 2006. Dari segi kuantitas, jumlah bantuan ini relatif kecil, yaitu sapi 5 – 6 ekor per desa, kambing 40 ekor untuk Desa Sukadana dan 60 ekor untuk Desa Loloan. Bantuan lainnya adalah itik 225 ekor per desa
masing-masing untuk Desa Sikur, Terara, dan Pringgasela.
160 Selengkapnya mengenai jenis dan jumlah bantuan pada kawasan penyangga TNGR dapat dilihat pada Lampiran 16. Dari berbagai jenis dan program bantuan, pengembangan ternak sapi adalah salah satu alternatif yang bisa dikembangkan untuk memberdayakan masyarakat (khususnya masyarakat tuna lahan). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa bantuan ini kurang efektif untuk meredam penebangan hutan karena jumlah bantuan relatif kecil sehingga penghasilan yang diperoleh tidak mampu menutupi keperluan sehari-hari, disamping itu karena jumlah kelompok sasaran cukup besar maka masa tunggu untuk memperoleh giliran cukup lama. Pengembangan ternak sapi di kawasan penyangga TNGR juga sesuai dengan peta lokasi produksi peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat untuk wilayah Pulau Lombok. Bahkan Kecamatan Aikmel, Wanasaba, dan Sembalun merupakan sentra pengembangan ternak sapi di Pulau Lombok. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan produktivitas dan populasi sapi potong di Propinsi Nusa Tenggara Barat, pemerintah memberikan bantuan modal usaha kepada kelompok peternak sapi potong melalui pemanfaatan dana Counterpart FundSecond Kennedy Round (CF-SKR) Tahun 2008. Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat termasuk di kawasan penyangga TNGR, yaitu (1) Kecamatan Batukliang Utara 4 kelompok (Desa Aik Berik 3 kelompok dan Desa Lantan 1 kelompok); (2) Kecamatan Montong Gading 4 kelompok (Desa Montong Betok 2 kelompok dan Desa Pringgajurang 2 kelompok); dan (3) Kecamatan Pringgasela 2 kelompok (Desa Pengadangan 1 kelompok dan Desa Jurit 1 kelompok). Hasil analisis Tim Peneliti P3R Unram (2004) menunjukkan bahwa pengembangan ternak sapi bali secara finansial layak untuk dikembangkan. Nilai B/C rasio untuk sistem pemeliharaan terkurung untuk penggemukan (Feed lot) sebesar 1,12; sedangkan nilai B/C rasio untuk sistem penggembalaan bersama sebesar 1,19 dan Mini Ranc sebesar 1,10. Lebih lanjut menurut Maskur (2006), usaha penggemukan lebih menguntungkan dibandingkan dengan pemeliharaan sapi bibit. Sebagai perbandingan, rata-rata penghasilan bersih yang diperoleh dari hasil penggemukan ternak sapi sebesar Rp 300 000,- sampai Rp 400 000,per bulan dengan rentang waktu 4 – 5 bulan untuk setiap kali periode pemeliharaan. Untuk saat ini harga sapi yang akan digemukkan berkisar antara Rp 3,5 – 4 juta, kemudian setelah dipelihara 4 – 5 bulan dapat dijual dengan harga Rp 5 – 5,5 juta. Sementara itu untuk pengembangan sapi bibit, rata-rata lama waktu pemeliharaan sampai menghasilkan bibit yang bisa dijual adalah 1
161 tahun dengan harga jual berkisar antara Rp 1,6 – 2 juta. Jadi rata-rata penghasilan setiap bulannya berkisar antara Rp 125 000,- sampai Rp 170 000,-. Penghasilan sebesar ini diperoleh tanpa membeli pakan (zero cost), dimana pakan disediakan sendiri oleh peternak, baik untuk penggemukan maupun pembibitan. Usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bibit/bakalan di Pulau Lombok (termasuk kawasan penyangga TNGR) saat ini masih didominasi dan digerakkan oleh peternakan rakyat yang sebagian besar merupakan usaha keluarga berskala kecil. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan usahatani dan dilakukan dengan cara “zero waste” dan “zero cost”. Dalam hal ini, sapi mempunyai peran multifungsi, yaitu selain sebagai sumber penghasilan juga sebagai tenaga kerja dan penghasil kompos. Di kawasan lingkar Rinjani, pengembangan ternak sapi dengan cara “zero waste” dan “zero cost” merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk meredam agar masyarakat tidak melakukan penebangan liar di TNGR dan kawasan hutan lainnya. Dari hasil wawancara dan FGD, masyarakat sangat berharap untuk dapat diberikan bantuan pemeliharaan ternak sapi secara bergulir guna menunjang perekonomian keluarga. Pengembangan dengan sistem bergulir ini bisa diterapkan untuk pengembangan sapi bibit, sedangkan usaha
penggemukan
dilakukan
melalui
sistem
kemitraan
dengan
para
pengusaha yang difasilitasi oleh Balai TNGR dan instansi terkait lainnya. Pemeliharaan ternak sapi ini cukup familier dengan masyarakat karena selama ini telah banyak yang melakukannya (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya). Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pemeliharaan ternak sapi ini memiliki beberapa
kelebihan/keuntungan,
antara
lain:
cepat
menghasilkan,
tidak
membutuhkan keterampilan khusus, dan pakan lokal tersedia. Berdasarkan distribusi spacial pengembangan ternak sapi (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya), maka dapat disimpulkan bahwa semua kawasan sekitar (kawasan penyangga) TNGR potensial sebagai lokasi pengembangan/pemeliharaan ternak sapi. Selanjutnya jika prediksi penghasilan dari usaha pemeliharaan sapi di atas dikaitkan dengan besarnya pengeluaran rumahtangga di kawasan lingkar Rinjani sebesar Rp 513 533,- per bulan, maka untuk dapat menutupi semua keperluan ini setiap rumahtangga harus melakukan usaha penggemukan 2 ekor sapi atau 3 ekor sapi bibit. Akan tetapi jika dimaksudkan hanya untuk
162 mengkompensasi penghasilan rumahtangga yang bersumber dari hasil hutan, yaitu sebesar Rp 164 860,- per bulan, maka setiap rumahtangga cukup memelihara 1 ekor saja. Salah satu contoh keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan
ternak
adalah
usaha
intensifikasi
peternakan
untuk
mengurangi tekanan terhadap hutan lindung dan Cagar Alam Mutis-Timau, Nusa Tenggara Timur. WWF-Indonesia mendampingi masyarakat yang secara tradisional menggembala ternak di kawasan ini, untuk melakukan intensifikasi pemeliharaan ternak dan inseminasi buatan. Hasilnya terjadi penurunan perambahan hutan sebesar 12% dan 12 kelompok masyarakat dari 10 desa yang didampingi memperoleh penghasilan yang meningkat sebesar 1 - 1,2 juta rupiah per ekor sapi (WWF-Indonesia 2006).
6) Pengembangan Usaha Kecil HHBK Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) belum dikembangkan secara optimal sebagai bagian dari pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Selain madu, HHBK yang memungkinkan untuk dikembangkan di kawasan TNGR adalah empon-empon (tanaman obat), jamur merang, tanaman hias, pakan ternak, perikanan air tawar, dan kegiatan usaha produktif lainnya. Pengembangan kegiatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dapat diintegrasikan dengan kegiatan lain baik di kawasan TNGR maupun luar TNGR; yaitu Arboretum Terpadu TNGR, Hutan Kompensasi, dan Hutan Keluarga. Selain itu bisa dikembangkan di pekarangan atau pada kebun-kebun masyarakat yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu jenis tanaman yang sedang dikembangkan di wilayah Pidana, Desa Sapit adalah ACITABA, yaitu sejenis tanaman yang menjadi bahan baku pembuatan obat-obatan. Usaha ini dikembangkan oleh CV. Anjelika yang bekerjasama dengan pengusaha Jepang. Sayangnya pengembangan tanaman ini dilakukan sendiri oleh perusahaan, sementara masyarakat sekitar hanya terlibat sebagai pekerja (buruh tani). Pengembangan tanaman ini dilakukan di areal HKm yang disewa seluas ± 20 ha. Lokasi ini bersebelahan dengan kawasan TNGR (dibatasi jalan raya Swela-Sembalun). Diharapkan usaha semacam ini bisa dikembangkan dalam skala yang lebih luas serta tidak hanya terbatas pada satu jenis komoditi.
163 Berdasarkan pengalaman dalam pengembangan berbagai jenis komoditi pertanian, faktor utama yang paling menentukan keberhasilan dan kelanjutan usaha masyarakat (petani) adalah ketersediaan pasar. Pengalaman riil di Pulau Lombok adalah pengembangan komoditi perkebunan seperti Tembakau Virginia dan Jambu Mete. Pada awalnya pengembangan kedua komoditi perkebunan ini tidak mendapat respon positif dari masyarakat karena permintaan pasarnya sangat terbatas. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya setelah terjadi peningkatan permintaan dan pasar mulai terbuka, tanpa dikomando masyarakat melakukan pengembangan kedua jenis komoditi ini. Pengalaman ini bisa diadopsi untuk pengembangan empon-empon yang hingga saat ini pasarnya sangat terbatas dengan harga tidak menentu. Saat ini memang sudah ada beberapa orang di kawasan TNGR (tepatnya di Dusun Kekuang Desa Aikmel Utara, Lombok Timur) yang mengembangkan emponempon untuk dijadikan berbagai jenis jamu, hanya saja dilakukan dalam skala kecil dan oleh beberapa orang saja, bahkan menurut informasi terakhir hanya 1 orang yang masih aktif membuat jamu. Kendala utama yang dirasakan adalah pemasaran yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan usaha ini, alternatif yang bisa dilakukan adalah pengembangan secara berkelompok dan dirancang dalam bentuk Program Kemitraan Terpadu (PKT). Dalam hal ini kerjasama kemitraan melibatkan 3 pihak, masing-masing : (1) masyarakat sebagai peserta plasma yang tergabung dalam suatu koperasi atau kelompok usaha bersama (KUB); (2) industri pengolahan jamu atau pedagang antar pulau sebagai mitra usaha; dan (3) Balai TNGR sebagai fasilitator dan berkoordinasi dengan dinas/instansi terkait, LSM, dan perguruan tinggi. Hubungan antara kelompok petani dengan industri pengolahan jamu atau pedagang antar pulau merupakan hubungan antara plasma dengan inti, dimana
petani merupakan plasma dan industri
pengolahan yang bertindak sebagai lnti. Kemitraan terpadu ini harus dilandasi kepentingan bersama agar tercipta pola hubungan yang saling menguntungkan. Gambar 19 mengilustrasikan mekanisme kemitraan terpadu yang dapat dilaksanakan dengan dua pola, yaitu: (1) masyarakat yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan penjanjian kerjasama langsung dengan industri pengolahan atau (2) Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasi mengadakan perjanjian kerjasama dengan industri pengolahan. Petani plasma melaksanakan proses produksi dan hasilnya dijual ke
164 inti dengan harga yang telah disepakati. lnti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma sebagai angsuran pinjaman plasma dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih. Pemasaran Hasil - Dinas/Instansi terkait - Perguruan Tinggi - LSM Koperasi / KUB PERUSAHAAN INTI Industri Pengolahan atau Eksportir
Balai TNGR
Petani Empon-Empon (Plasma)
Biaya Produksi Pendapatan Bersih Plasma Gambar 19. Kemitraan Terpadu Usaha Kecil HHBK
7) Posko Pengaduan TNGR Pengadaan posko pengaduan TNGR dimaksudkan sebagai wadah dan media pengaduan warga yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian TNGR (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya). Pengadaan posko pengamanan ini merupakan wujud pemberdayaan modal sosial berupa kesadaran dan kesediaan berpartisipasi dari masyarakat. Pada kantor Balai TNGR atau pada masing-masing kantor SPTN disiapkan unit pengaduan warga baik melalui telpon atau masyarakat datang secara langsung untuk melaporkan suatu kejadian gangguan/pencurian kayu di kawasan TNGR. Unit pengaduan ini dibuka 24 jam dan untuk menjaga agar tidak terjadi konflik horizontal maka identitas pelapor hendaknya dirahasiakan. Agar dapat memupuk kepercayaan serta menumbuhkan semangat partisipasi warga, maka setiap laporan harus segera ditindaklanjuti dan diproses lebih lanjut. Sebelum program ini dilaksanakan, terlebih dahulu perlu dilakukan sosialisasi secara meluas di kalangan masyarakat. Agar tidak menimbulkan keengganan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, maka prosedur dan mekanisme yang diterapkan harus sederhana. Para pelapor cukup menelpon ke posko pengaduan dengan menyebutkan nama pelapor, nama/identitas pelaku,
165 apa yang dilakukan, serta tempat dan waktu kejadian. Penyebutan nama pelapor diperlukan untuk dapat dilakukan klarifikasi informasi, sedangkan identitas pelaku diperlukan untuk memudahkan petugas/aparat melakukan pelacakan dan tindakan. Kepada para pelapor diberikan insentif atau kompensasi, misalnya berupa pulsa telpon atau bentuk lainnya yang tidak diketahui oleh tersangka sehingga tidak menimbulkan konflik. Selain secara individual, insentif juga dapat diberikan secara kolektif untuk kepentingan masyarakat umum, misalnya untuk keperluan masjid atau majlis ta’lim, keperluan olah raga untuk generasi muda, atau kepentingan umum lainnya.
Akhirnya jika ditelaah secara seksama, setiap kegiatan yang diajukan dalam model pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR memiliki kelebihan dan kelemahan. Tabel 28 menyajikan hasil kajian dan analisis deskriptif dari masing-masing model pemberdayaan yang merupakan intisari dari penjelasan sebelumnya. Sementara itu lokasi pengembangan masing-masing model dan kegiatan pemberdayaan disajikan pada Gambar 20.
166 Tabel 28. Deskripsi Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR No
Input/Potensi
Model Pemberdayaan
Klp. Sasaran
Jenis Kegiatan
Lokasi Kegiatan
1
1) Lahan/kebun milik masy. 2) Bibit tanaman 3) Kompos 4) Tata nilai dan kesadaran LH
Hutan Keluarga
1) Masy. pemilik lahan/kebun di sekitar TNGR
1) Budidaya kayu hutan 1) Lahan milik di ( Mahoni, Kaliandra, dll) sekitar TNGR: - R. Sembalun 2) Budidaya tanaman - R. Aikmel semusim (ubi, gadung, - R. K.embang K empon-empon) - R. Joben 3) Budidaya rumput - R. Stiling 4) Budidaya lebah
2
1) Zona pemanfaatan TNGR 2) Lokasi/obyek wisata 3) Benih Tanaman 4) Benih/Bibit Tan. Hias 5) Kompos
Arboretum Terpadu TNGR
1) Masy. sekitar 2) Klp. Masy Peduli Arboretum (KMPA) – Joben 3) Klp generasi muda 4) Kelompok ibuibu PKK Desa 5) Koperasi/KUB
1) Kawasan wisata 1) Budidaya kayu “Otak Kokoq” 2) Penangkaran benih & Joben bibit (R Joben) 3) Demplot percontohan flora fauna 4) Pembuatan kompos 5) Showroom flora fauna 6) Pelatihan keterampilan pembiakan tanaman (vegetatif & generatif) 7) Ruang bioskop lingkungan
3
1) Zona pemanfaatan Tradisional TNGR 2) Bibit Tanaman 3) Kompos 4) Jalur Hijau TNGR
Hutan Kompensasi
1) Masy. Tuna lahan 2) Klp. Masy. Peduli Hutan
1) Budidaya kayu hutan
1) Srijata (R Joben) 2) Timbanuh (R. Kembang K)
Output
Dampak Positif/ Kekuatan
Dampak Nrgatif/ Kelemahan
1) 2) 3) 4)
Kayu Ajir Kayu Bakar Kayu Bangunan Pakan Ternak (daun kaliandra) 5) Rumput pakan 6) Pakan Lebah 7) Madu
1) Kemungkinan 1) Peningkatan konflik sosial pendapatan 2) Lap kerja/ usaha 2) Waktu menunggu panen kayu lama baru 3) Meredam penebangan liar
1) Hutan Contoh 2) Bibit Tanaman 3) Tanaman Hias/ bonsai 4) Kompos
1) Butuh investasi 1) Peningkatan relatif besar keterampilan pembiakan tan. 2) Butuh keterampilan 2) Peningkatan pendapatan 3) Peningkatan kesadaran LH 4) Lap kerja/ usaha baru 5) Peningkatan Daya Dukung TNGR
1) Hutan
1) Peningkatan Daya Dukung TNGR 2) Peningkatan pendapatan
1) Kemungkinan konflik 2) Rawan penyimpangan 3) Perlu pemantauan yang ketat
167
Lanjutan Tabel 28 No
Input/Potensi
Model Pemberdayaan
Klp. Sasaran
Jenis Kegiatan
Lokasi Kegiatan
4
1) Zona Pemanf. Jalur Pendakian TNGR 2) Bibit Tanaman 3) Kompos 4) Bahan baku lokal
Pendakian Berawasan Lingk
1) Pembibitan kayu 1) Pengrajin 2) Anyaman bambu 2) Masy. Tuna 3) Kerajinan Souvenir lahan 4) Pembuatan kompos 3) Porter 4) Generasi Muda 5) KUB/Koperasi
5
1) Zona pemanfaatan TNGR 2) Lahan milik masy. 3) Bibit Ternak (Sapi) 4) Pakan ternak 5) Obat-obatan
Pemeliharaan Ternak Sapi
1) Peternak/masy. 1) Penggemukan sapi 1) Semua Resort 2) Pemeliharaan sapi bibit tuna lahan 2) Klp Masy Peduli 3) Penanaman rumput Hutan pakan 4) Pembuatan kompos 5) Pembuatan biogas
6
1) 2) 3) 4)
Lahan milik Jalur hijau TNGR Lahan pekarangan Peralatan agroindustri 5) Hasil-hasil pertanian & perkebunan
Pengembangan Usaha Kecil HHBK
1) Masy. tuna lahan 2) Masy berlahan sempit 3) Ibu-ibu RT 4) Koperasi/KUB
1) Budidaya emponempon 2) Budidaya lebah madu 3) Agroindustri hsl pert. & perkeb.
7
1) Alat Komunikasi 2) Kesadaran dan kepedulian LH 3) Tata nilai dan kearifan lokal
Posko Pengaduan TNGR
1) Masy peduli hutan 2) Generasi muda 3) Klp masy peduli hutan
1) Laporan gangguan keamanan hutan (TNGR) 2) Tindak lanjut oleh aparat
Output
Dampak Positif/ Kekuatan
Dampak Nrgatif/ Kelemahan
1) Jalur pendakian sejuk 2) Peningkatan Daya Dukung TNGR
1) Kemungkinan konflik horizontal 2) Kegiatan pendakian tidak rutin (hanya musim kemarau)
1) Cepat menghasilkan 2) Tidak membutuhkan ketramp khusus 3) Pakan lokal tersedia
1) Kemungkinan Konflik horizontal 2) Rawan pencurian
1) Semua Resort
1) BB Jamu/rempah- 1) Peluang kerja/ usaha baru rempah 2) Optimalisasi 2) Madu pemanf lahan di 3) Hsl agroindustri pedesaan
1) Pasar masih terbatas 2) Butuh ketekunan dan keterampilan
1) Semua Resort
1) Informasi 1) Keamanan Gangguan TNGR TNGR
1) Kemungkinan konflik horizontal
1) Jalur pendakian 1) Tanaman Kayu 2) Hasil kerajinan Sembalun (R. Sembalun)
1) 2) 3) 4)
Sapi potong Sapi bibit Pupuk Kandang Biogas
168
Peta Lokasi Kegiatan Pemberdayaan 1
Gambar 20. Lokasi Potensial untuk Setiap Model Pemberdayaan Keterangan: = Pendakian Berwawasan Lingkungan = Hutan Kompensasi Posko Pengaduan TNGR = semua resort
5
= Arboretum Terpadu TNGR = Hutan Keluarga
= Peternakan Sapi = Usaha Kecil HHBK
168
169 8.5.2 Prioritas Model Pemberdayaan Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
tanpa
keterlibatan
yang
menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan TNGR, tidak akan bisa dicapai penyelamatan sumberdaya hutan TNGR secara lestari. Karena itu pemberdayaan ekonomi produktif masyarakat menjadi suatu keharusan untuk dipenuhi. Setiap model dan kegiatan pemberdayaan memiliki kelebihan dan kelemahan, serta beberapa diantaranya bersifat spesifik lokasi seperti Arboretum Terpadu dan Pendakian Berwawasan Lingkungan. Artinya, tidak mungkin untuk diterapkan di daerah lain mengingat potensi yang tersedia tidak mendukung. Meskipun setiap bentuk kegiatan memiliki kekhasan dalam pelaksanaan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun berdasarkan potensi dan sasaran yang diinginkan serta berbagai keterbatasan dalam pelaksanaannya, maka perlu disusun skala prioritas. Penentuan prioritas dilakukan dengan menggunakan Analisis Hirarki Proses (AHP). Dalam hal ini kriteria pertimbangan yang digunakan sebagai dasar penentuan prioritas disesuaikan dengan kriteria pemanfaatan hutan secara lestari sebagaimana ditegaskan pada Pasal 15 ayat (3) PP No 34 Tahun 2002 tentang “Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan”; yaitu mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga
aspek
ini
memiliki
keterkaitan
dan
keterpaduan
dalam
hubungannya dengan pengelolaan TNGR secara lestari. Karena itu para pakar yang dihubungi dalam penelitian ini memberikan bobot kepentingan yang sama terhadap ketiga aspek ini, yaitu 0,333. Dalam analisis lebih labjut, setiap aspek/kriteria dijabarkan lagi menjadi beberapa sub kriteria. Penentuan sub kriteria ini didasarkan pada pertimbangan kemungkinan keberhasilan dan keberlanjutan dari kegiatan pemberdayaan. Gambar 21 memperlihatkan struktur hirarki penentuan prioritas dengan bobot masing-masing kriteria dan sub kriteria.
170 0,122 Jlh TK terlibat 0,015 Kebt. Modal Ekonomi 0,333
Model Pemberdayaan Masyarakat
Ekologi/Biofisik 0,333
Sosbud 0,333
0,122 Pendapatan
Hutan Keluarga 0,168 Arboretum Terpadu TNGR
0,036 Masa tunggu 0,037 Pasar
Pendakian Berwawasan L 0,068
0,056 Vegetasi H 0,278 Potensi Lahan
Hutan Kompensasi 0,099
0,065 Konflik Sosial
Peternakan Sapi 0,268
0,021 Ketramp. M 0,248 Kesadaran LH
Pengemb. Usaha HHBK 0,211
Gambar 21. Bobot Masing-masing Kriteria dan Sub Kriteria Penentuan Prioritas Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR Aspek/kriteria ekonomi dijabarkan lagi secara lebih rinci menjadi 5 (lima) sub kriteria, yaitu: (1) jumlah tenaga kerja (masyarakat) yang bisa dilibatkan, (2) kebutuhan modal untuk pelaksanaan kegiatan, (3) pendapatan yang diperoleh, (4) lama waktu menunggu hasil, dan (5) peluang pasar untuk output yang dihasilkan. Berkenaan dengan bobot penilaian, untuk sub kriteria (2) dan (4) dilakukan secara terbalik. Untuk sub kriteria (2); makin tinggi modal yang dibutuhkan maka nilainya semakin rendah dan sebaliknya. Pertimbangan ini dimaksudkan agar dengan sejumlah biaya yang tersedia, jumlah kelompok sasaran yang dapat dijangkau menjadi lebih banyak. Begitu pula dengan sub kriteria (4); makin lama waktu menunggu hasil, maka nilainya makin kecil dan sebaliknya. Pertimbangan ini ada kaitannya dengan kondisi perekonomian masyarakat yang berada di bawah standar garis kemiskinan sehingga membutuhkan penghasilan dalam waktu singkat untuk mencukupi keperluan hidup keluarganya. Kelima sub kriteria ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan ekonomi dari pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR. Meskipun demikian, bobot dari masing-masing sub indikator ini berbeda-beda tergantung urgensinya dalam menjamin keberhasilan kegiatan pemberdayaan. Gambar 21 di atas memperlihatkan bahwa bobot tertinggi adalah pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Paling tingginya bobot dari kedua sub kriteria ini disebabkan karena salah satu tujuan pemberdayaan adalah peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja bagi
171 masyarakat di sekitar kawasan TNGR agar dapat mengkompensasi pendapatannya yang selama ini bersumber dari hasil hutan TNGR. Aspek ekologi/biofisik dijabarkan menjadi 2 (dua) sub kriteria, yaitu: vegetasi hutan TNGR dan potensi lahan yang tersedia untuk kegiatan pemberdayaan. Meskipun peningkatan vegetasi hutan TNGR dirasakan perlu, namun sub kriteria potensi lahan diberikan bobot lebih tinggi dengan pertimbangan bahwa kegiatan pemberdayaan tidak akan dapat berlangsung tanpa adanya media/kawasan yang menjadi media pelaksanaannya. Sementara itu aspek sosial budaya dijabarkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) kemungkinan terjadinya konflik sosial, (2) keterampilan masyarakat sasaran, dan (3) kesadaran lingkungan. Dalam hal ini penumbuhan kesadaran lingkungan diberikan bobot tertinggi. Alasannya, kalau kesadaran lingkungan telah menjadi bagian dari tata nilai dalam kehidupan masyarakat maka keberlanjutan kelestarian hutan dapat dijamin atau dengan perkataan lain masyarakat hidup harmonis dengan hutan (dalam hal ini TNGR). Dalam hal penilaian kriteria (1), kegiatan yang kemungkinan menimbulkan konflik sosial tidak akan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Alasannya, kegiatan pemberdayaan tidak akan berhasil dengan baik dan tidak akan berkesinambungan jika antar warga masyarakat terjadi konflik (tidak harmonis). Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
prioritas
utama
kegiatan
pemberdayaan berbeda-beda menurut kriteria penilaian. Pada Gambar 22 disajikan hasil analisis urutan prioritas pada setiap kriteria berserta kontribusi masing-masing sub kriteria dalam penentuan prioritas. Akan tetapi yang ditampilkan hanya lima jenis kegiatan menurut urutan prioritasnya. Berdasarkan kriteria ekonomi, priotitas utama pemberdayaan adalah pengembangan usaha HHBK disusul peternakan sapi. Dasar pertimbangan yang paling dominan mengapa usaha HHBK menjadi prioritas adalah penyerapan tenaga kerja yang paling besar dibandingkan kegiatan lainnya. Namun dari aspek pendapatan, masih lebih rendah dibandingkan dengan peternakan sapi. Dari segi ekologi/biofisik, yang menjadi prioritas pemberdayaan adalah peternakan sapi terutama sekali karena pertimbangan ketersediaan lahan yang paling banyak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa peternakan sapi dapat dilakukan di semua wilayah sekitar TNGR, sedangkan kegiatan lain cenderung bersifat spesifik lokasi. Sebaliknya dari aspek vegetasi, sama sekali peternakan sapi tidak memiliki keunggulan dibandingkan kegiatan lain.
172 Prioritas kegiatan pemberdayaan menurut pertimbangan sosial budaya adalah Arboretum Terpadu TNGR. Pertimbangan utamanya adalah karena kegiatan ini dapat menumbuhkembangkan kesadaran lingkungan khususnya berkenaan dengan pelestarian hutan. Hal ini sesuai dengan sasaran utama pengembangan Arboretum Terpadu TNGR adalah sebagai media pendidikan dan pembelajaran lingkungan bagi masyarakat. Selengkapnya hasil analisis urutan prioritas kegiatan pemberdayaan pada masing-masing kriteria dapat dilihat pada Gambar 22 berikut.
(a) K. Ekonomi
(b) K. Ekologi
(c) K. Sosbud
Gambar 22. Urutan Prioritas Pemberdayaan dan Kontribusi Sub Kriteria pada Setiap Kriteria Penilaian
173 Selanjutnya berdasarkan pertimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial budaya secara komprehensif; meliputi 10 (sepuluh) sub kriteria seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah peternakan sapi. Prioritas berikutnya adalah pengembangan usaha kecil HHBK dan yang terakhir adalah pendakian berwawasan lingkungan. Selengkapnya mengenai hasil analisis prioritas dan kontribusi masing-masing kriteria pada setiap kegiatan pemberdayaan disajikan pada Gambar 23 dan Gambar 24.
Gambar 23. Prioritas Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan TNGR
Gambar 24. Kontribusi Masing-masing Kriteria pada Setiap Kegiatan Pemberdayaan Meskipun pengembangan ternak sapi menjadi prioritas bedasarkan pertimbangan keseluruhan sub kriteria, namun secara parsial yang menjadi prioritas berbeda-beda tergantung kriteria dan sub kriteria yang menjadi dasar pertimbangan. Dari hasil analisis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25 dapat diketahui bahwa pengembangan ternak sapi menjadi prioritas kegiatan
174 pemberdayaan berdasarkan pertimbangan: tenggang waktu menunggu hasil yang relatif lebih cepat dibandingkan kegiatan lainnya, peluang pasar output yang dihasilkan lebih besar, pendapatan relatif lebih besar, keterampilan masyarakat sasaran lebih siap, serta potensi lahan yang tersedia.
Gambar 25. Urutan Prioritas Kegiatan Pemberdayaan pada Masing-masing Sub Kriteria Berbeda dengan sub kriteria peningkatan vegetasi hutan TNGR, yang menjadi prioritas untuk dilaksanakan adalah Hutan Kompensasi; bukan peternakan sapi. Hal ini disebabkan karena salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan adalah penanaman pohon kayu sehingga vegetasi TNGR menjadi meningkat (semakin baik). Pada kriteria peningkatan kesadaran lingkungan hidup (termasuk kelestarian sumberdaya hutan), yang menjadi prioritas adalah Arboretum Terpadu TNGR. Hal ini sesuai dengan misi dan tujuan dari pengembangan kegiatan ini adalah sebagai media penyadaran dan pembelajaran lingkungan. Sebaliknya dari segi kemungkinan terjadinya konflik sosial, justru peternakan sapi paling memungkinkan menimbulkan konflik sosial sebagai akibat terjadinya kecemburuan sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi prioritas pengembangan adalah pengembangan Hutan Keluarga dan pengembangan usaha Hasil Hutan Bukan Kayu. Kemungkinan terjadinya konflik sosial sebagai akibat dari pelaksanaan kedua kegiatan ini relatif kecil karena diusahakan pada lahan milik pribadi sehingga tidak ada yang merasa diperlakukan tidak adil.
175 Prioritas kegiatan ditinjau dari kebutuhan modal adalah Pendakian Berwawasan
Lingkungan.
Artinya,
biaya
yang
perlu
disiapkan
untuk
pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ini relatif kecil dibandingkan kegiatan lainnya. Kecilnya kebutuhan biaya untuk kegiatan ini karena biaya yang diperlukan hanya untuk pembinaan masyarakat. Selanjutnya ditinjau dari jumlah tenaga kerja (masyarakat) yang bisa dilibatkan, kegiatan yang menjadi prioritas adalah pengembangan usaha Hasil Hutan Bukan Kayu. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh semua masyarakat di kawasan TNGR karena pengembangannya juga dapat dilakukan pada lahan pekarangan dengan melibatkan semua lapisan masyarakat tanpa membutuhkan keterampilan khusus. Lebih lanjut, selain berdasarkan hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) dengan 10 sub kriteria penilaian (seperti yang telah dijelaskan di atas), ada beberapa pertimbangan logis dan empiris yang diidentifikasi dapat dijadikan alasan mengapa pengembangan ternak sapi menjadi prioritas kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR, yaitu: 1. Hasil analisis regresi faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan (Tabel 16), menunjukkan bahwa kepemilikan/pemeliharaan ternak sapi secara nyata dapat meredam kegiatan penebangan liar (illegal logging). Secara finansial, dengan memelihara 1 (satu) ekor sapi, dapat mengkompensasi penghasilan rumahtangga yang bersumber dari hasil hutan. 2. Distribusi spacial pengembangan ternak sapi (Gambar 16) menyebar di seluruh kawasan penyangga TNGR. Hal ini mencerminkan bahwa pemeliharaan sapi telah familier dan bahkan membudaya di kalangan masyarakat. Kenyataan ini didukung oleh hasil survei yang menunjukkan bahwa dari 150 rumahtangga contoh, sebanyak 73 rumahtangga (48,67%) diantaranya memiliki/memelihara ternak sapi dengan jumlah kepemilikan bervariasi antara 1 – 4 ekor dimana pengembangannya diintegrasikan dengan kegiatan pertanian. 3. Pengembangan ternak sapi di kawasan penyangga TNGR sesuai dengan peta lokasi produksi peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat untuk wilayah Pulau Lombok. Bahkan Kecamatan Aikmel, Wanasaba, dan Sembalun merupakan sentra pengembangan ternak sapi di Pulau Lombok. Disamping itu dalam rangka meningkatkan produktivitas dan populasi sapi potong di Propinsi Nusa Tenggara Barat, pemerintah memberikan bantuan modal usaha kepada kelompok peternak sapi potong melalui pemanfaatan dana Counterpart Fund-Second Kennedy Round (CF-SKR) Tahun 2008. Kegiatan
176 ini dilakukan di beberapa tempat termasuk di kawasan penyangga TNGR, yaitu (1) Kecamatan Batukliang Utara, (2) Kecamatan Montong Gading, dan (3) Kecamatan Pringgasela 4. Potensi dan daya dukung pengembangan sapi cukup memadai; selain ketersedian rumput pakan yang dapat diambil dari kawasan TNGR (khusus di wilayah Resort Joben), juga tersedia lahan milik berupa sawah dan/atau kebun yang dapat digunakan untuk pengembangan rumput pakan. Selain itu ketersediaan limbah pertanian berupa jerami serta berbagai jenis legum yang dapat di ambil di kawasan sekitar, merupakan sumber pakan yang sangat potensial. 5. Pengembangan sapi dapat memberikan manfaat ganda; selain menjadi sumber penghasilan keluarga, juga dapat diintegrasikan dengan kegiatan pertanian, yaitu dimanfaatkan tenaganya untuk mengolah lahan pertanian. Pengembangannya dapat dilakukan dengan sistem “zero waste” dan “zero cost”. Artinya, limbah ternak berupa kotoran (feces) dan sisa pakan dijadikan pupuk kandang (kompos) untuk tanaman; sedangkan limbah pertanian berupa jerami dan/atau dedaunan digunakan sebagai pakan ternak (sapi). 6. Dari segi ekoligis (aspek lingkungan), kotoran (feces) sapi dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas yang dapat digunakan untuk memasak (keperluan dapur) sebagai pengganti kayu bakar. Hal ini akan dapat menekan terjadinya penebangan liar (illegal logging). Selain itu feces (limbah biogas) bersama dengan sisa pakan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos (pupuk kandang). Penggunaan pupuk kandang ini akan dapat mengurangi terjadinya pencemaran lahan sebagai akibat penggunaan pupuk kimia (pupuk anorganik) dan sekaligus dapat menjadi salah satu alternatif sumber penghasilan keluarga. Jadi dengan demikian tekanan terhadap lingkungan (hutan) dapat berkurang karena 2 (dua) alasan utama, yaitu: (1) penebangan liar (illegal logging) tidak akan dilakukan masyarakat dengan alasan ekonomi sebab mereka telah memiliki sumber penghasilan keluarga, dan (2) penebangan liar (illegal logging) tidak akan dilakukan masyarakat dengan alasan kebutuhan kayu bakar karena telah dikomversi dengan penggunaan biogas. 7. Khusus untuk wilayah Resort Sembalun, pengembangan bahan bakar alternatif berupa biogas dari kotoran (feces) sapi akan dapat menjadi insentif bagi masyarakat (khususnya peternak) untuk mengikat dan mengkandangkan
177 ternaknya
sehingga
secara
tidak
langsung
dapat
menekan,
bahkan
menghilangkan penggembalaan liar di kawasan TNGR. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pengembangan sapi sebagai prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR bukanlah statis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa prioritas lainnya yang potensial untuk dikembangkan adalah usaha kecil hasil hutan bukan kayu (HHBK), akan tetapi usaha ini sangat tergantung pada permintaan dan harga dari output yang dihasilkan. Pada saat penelitian ini dilakukan (awal tahun 2008), permintaan pasar dan harga dari beberapa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam keadaan tidak menentu sehingga tidak ada insentif ekonomi bagi masyarakat untuk mengembangkannya. Dimasa yang akan datang, seandainya kepastian pasar dan harga produk HHBK dapat dijamin, maka kegiatan ini akan menjadi prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR. Terjaminnya pasar dan harga produk HHBK dengan sendirinya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Beberapa alasan rasional lainnya yang dapat dijadikan pertimbangan mengapa pengembangan HHBK dapat menjadi prioritas pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah penyerapan tenaga kerja yang paling besar dibandingkan kegiatan lainnya dan potensi lahan pengembangan cukup tersedia karena dapat dilakukan di pekarangan rumah, di kebun, pematang sawah dan/atau di bawah tegakan pohon. Keunggulan lain dari pengembangan HHBK adalah lama waktu menunggu hasil relatif cepat dibandingkan dengan kegiatan lainnya serta kemungkinan terjadinya konflik sosial relatif kecil karena dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat sehingga tidak rentan terhadap munculnya kecemburuan sosial dalam masyarakat (lihat Gambar 25).
178 p8.5.3 Pengembangan Model Prioritas Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemeliharaan sapi selama ini dilakukan dengan cara semi intensif, yaitu ternak dikandangkan pada malam hari, sedangkan siang hari digembalakan untuk mencari makan sendiri. Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR; sesuai dengan ketersediaan dan daya dukung lahan serta sasaran yang diinginkan, pengembangan sapi hendaknya dilakukan secara intensif, dimana ternak dikandangkan dan diberi makan tidak hanya rumput, melainkan juga dari libah pertanian. Selain
itu agar output yang dihasilkan tidak hanya berupa
ternak, maka perlu dilakukan upaya pemanfaatn limbah untuk dijadikan biogas dan kompos. Biogas dapat digunakan sendiri oleh peternak sehingga dapat mengkomversi penggunaan minyak tanah dan/atau kayu bakar yang akan berimplikasi pada penurunan penebangan liar (illegal logging). Begitu juga dengan kompos, selain dapat digunakan sendiri (bagi yang punya lahan), juga dapat dijual untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Beberapa model pengembangan ternak sapi yang selama ini telah dilakukan di Pulau Lombok dapat dipertimbangkan sebagai dasar penyusunan model pemberdayaan masyarakat di kawasan TNGR. Di kalangan masyarakat Pulau Lombok telah berkembang secara turun temurun sistem gaduh dalam pemeliharaan ternak (bahasa setempat disebut “pengkadasan”). Pengkadasan adalah suatu istilah di Pulau Lombok yang digunakan berkenaan dengan pemeliharaan ternak, termasuk sapi. Dalam hal ini pemilik modal (masyarakat yang punya kemampuan ekonomi) membelikan ternak (sapi) untuk dipelihara oleh peternak (bahasa setempat disebut “pengadas”). Anak sapi yang dihasilkan dibagi secara bergiliran antara peternak dan pemilik; dan jika induknya dijual, maka nilai tambah dari induk ini juga dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kegiatan ini murni hubungan antar masyarakat pedesaan tanpa adanya campur tangan pemerintah atau pihak lain dan merupakan perwujudan rasa kepedulian masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi terhadap masyarakat ekonomi lemah. Lebih lanjut sistem pengkadasan ternak seperti ini disebut “Sistem Sumba Kontrak”. Model lainnya yang dikembangkan berkeanaan dengan pembinaan dan pemberdayaan peternak dan menunjukkan keberhasilan cukup menggembirakan adalah “Sistem Pengkadasan Sapi Lombok Tengah (SPSLT)” (Arman 2007; Kertanegara & Maskur 2007). Metode yang diterapkan dalam sistem ini adalah pengkadasan secara bergulir, dimana setiap peternak mendapatkan bantuan
179 berupa 3 (tiga) ekor sapi (induk) bunting dengan masa pemeliharaan oleh masing-masing peternak adalah 12 - 15 bulan kemudian digulirkan ke pengadas lain. Di Kabupaten Lombok Barat, sistem yang dikembangkan oleh Dinas peternakan Lombok Barat adalah pengembangan sapi melalui program “Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK)”. Dalam hal ini petani/peternak diberikan 1 ekor sapi bibit betina untuk dipelihara dengan pola 1 – 1 – 4. Artinya, petani/peternak diberikan bantuan 1 (satu) ekor sapi dan dikembalikan 1 (satu) ekor (ukuran yang sama seperti bantuan yang diberikan) dengan masa pelihara 4 (empat) tahun. Dari segi perkembangan jumlah ternak, model ini telah menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan. Sebagai contoh: bantuan PMUK pada kelompok “Mule Jati” Kecamatan Narmada, selama 2 (dua) tahun (September 2006 – September 2008) jumlah ternak sapi berkembang dari 80 ekor menjadi 183 ekor. Saat ini Suadnya et al. (2008) sedang melakukan ujicoba 2 (dua) model pemberdayaan peternak sapi di Kabupaten Lombok Barat, yaitu: 1)
Model 1 menggunakan pola 1 – 2 – 5, yang berarti peternak diberikan bantuan satu ekor sapi siap bunting, kemudian mengembalikan dua ekor anaknya selama kurun waktu lima tahun. Satu ekor anak sapi yang dikembalikan untuk perguliran dan satu ekor menjadi milik kelompok untuk modal usaha kelompok; sedangkan induk dan turunan lainnya menjadi milik peternak. Dengan pola ini maka kelompok memperoleh modal penguatan dan petani terus terikat dalam kelompok.
2)
Model 2 merupakan penggabungan antara pola PMUK dengan pola bantuan sapi penggemukan (sapi potong). Dalam hal ini petani diberikan bantuan 2 (dua) ekor, sapi satu betina dan satu jantan. Sapi betina dikelola dengan pola PMUK (1-1-4) sedangkan sapi jantan disamping dimaksudkan sebagai pejantan, juga dikelola seperti pola bagi hasil bantuan penggemukan sapi dengan pembagian keuntungan 60% peternak dan 40% kelompok. Pola ini menguntungkan karena pola PMUK dijadikan sebagai upaya tabungan oleh peternak, sedangkan pola penggemukan sapi potong diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan keuangan jangka pendek atau kebutuhan sehari-hari petani dan keluarganya. Bagian hasil 40% untuk kelompok sangat berguna untuk penguatan modal kelompok dan insentif buat pengurus kelompok.
180 Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat di sekitar TNGR, model “Sumba Kontrak” dinilai kurang sesuai karena dalam model ini tidak ada upaya pemupukan modal kelompok (murni hubungan antar personil masyarakat). Selain itu karena pembagian hasil dilakukan secara bergilir, maka perkembangan kepemilikan peternak relatif lambat. Misalnya selama 4 (empat) tahun pemeliharaan, peternak baru memiliki 1 (satu) ekor sapi bunting dan 1 (satu) ekor sapi lepas sapih (asumsi pertumbuhannya normal dan terus dipelihara). Kenyataan ini tidak sesuai dengan masyarakat di kawasan penyangga TNGR yang membutuhkan biaya hidup setiap hari. Dengan demikian keberlanjutan usahanya tidak dapat dipertahankan karena kemungkinan besar ternaknya dijual untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sama halnya dengan pola 1 – 2 – 5 dan kombinasi PMUK dengan penggemukan yang sedang dikembangkan Suadnya et al. (2008). Pada pola 1 – 2 – 5, meskipun ada usaha pemupukan modal kelompok, namun dengan sistem ini selama 5 (lima) tahun pemeliharaan, peternak baru memiliki 1 (satu) ekor induk dan 2 (dua) ekor sapi dewasa kelamin. Begitu pula dengan kombinasi PMUK dengan penggemukan, masa/tenggang waktu perguliran relatif lama, yaitu 4 (empat) tahun sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kecemburuan sosial bagi kelompok masyarakat lainnya, bahkan justru akan memicu dilakukannya penebangan liar (illegal logging). Berdasarkan hasil kajian dan sasaran yang diinginkan, maka model yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR adalah Sistem Pengkadasan Sapi Lombok Tengah (SPSLT). Namun demikian, sistem dan mekanismenya perlu dilakukan modifikasi disesuaikan dengan sasaran pemberdayaan dan karakteristik masyarakat di kawasan penyangga TNGR. Sistem ini selanjutnya diberi nama “SISTEM PENGKADASAN SAPI RINJANI (SIDASARI)”. Ketentuan dan implementasi dari model pengembangan sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI) adalah sebagai berikut: 1)
Setiap masyarakat/peternak sasaran harus tergabung dalam suatu kelompok yang anggota-anggotanya ditentukan sendiri oleh anggota kelompok yang bersangkutan.
2)
Setiap peternak/masyarakat sasaran mendapatkan bantuan berupa 3 (tiga) ekor Sapi Bali bibit (induk) dalam keadaan bunting untuk dipelihara selama 12 – 15 bulan.
181 3)
Setelah masa pemeliharaan berakhir, induk sapi tersebut kemudian digulirkan ke sasaran (pengadas) lain dalam keadaan bunting (sebagaimana keadaan pada waktu penerimaan). Pada waktu induk digulirkan, diperkirakan umur anak sapi telah mencapai 6 (enam) bulan atau lepas sapih. Proses yang sama juga akan berlangsung pada pengadas kedua, ketiga dan keempat.
4)
Anak sapi yang dihasilkan, yaitu sebanyak 3 ekor selanjutnya menjadi milik peternak 2 ekor dan 1 ekor lainnya dialokasikan untuk dana konservasi dan penguatan modal kelompok.
5)
Pengembangan selanjutnya dari 2 ekor milik peternak adalah satu ekor untuk sapi bibit (dikembangbiakkan) terus sebagai sumber penghasilan ekonomi keluarga dalam jangka panjang dan satu ekor lainnya diarahkan untuk sapi penggemukan yang dapat dijual setiap 4 – 5 bulan masa pemeliharaan sehingga dapat digunakan untuk menutupi keperluan ekonomi keluarga sehari-hari.
6)
Anak sapi lainnya (1 ekor) yang merupakan bagian kelompok dan dana konservasi dipelihara oleh peternak yang bersangkutan hingga berumur 30 (tigapuluh) bulan atau siap digulirkan kepada kelompok sasaran yang lain. Pemeliharaan ini dilakukan dengan sistem bagi hasil sesuai kesepakatan, dihitung sejak umur 6 bulan (saat induknya digulirkan) hingga berumur 30 bulan. Alokasi penggunaan: (1) nilai tambah (keuntungan) pemeliharaan dibagi oleh peternak (imbalan atas pemeliharaan) dan kelompok (sebagai penguatan modal kelompok), sedangkan nilai awal pemeliharaan (umur 6 bulan) digunakan sebagai dana konservasi
7)
Selama masa pemeliharaan oleh suatu kelompok, maka kelompok yang akan menjadi sasaran berikutnya ikut mengawasi kegiatan yang dlakukan oleh kelompok sebelumnya.
8)
Pengembangan
Model
SIDASARI
akan
dapat
berhasil
secara
berkelanjutan dengan syarat: (1) pemberdayaan dilakukan secara bertahap, diawali dengan penyadaran dan pengkapasitasan kelompok sasaran. (2) setiap peternak harus memelihara 2 - 3 ekor sapi sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarga, (3) pemeliharaan sapi dilakukan secara intensif, yaitu dikandangkan dan diberi pakan secara rutin, dan (4) sapi dikandangkan secara berkelompok (kolektif) untuk
memudahkan pengamanan serta
dimaksudkan agar kotorannya (feces) dapat digunakan sebagai sumber penghasil biogas dan kompos, dimana lokasi pembuatan kandang
182 diusahakan berdekatan dengan pemukiman sehingga gas yang dihasilkan dapat dengan mudah dialirkan ke perumahan mereka (peternak sasaran) dan/atau penduduk di sekitarnya. Gambar 26 mengilustrasikan model pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNGR melalui pengembangan ternak sapi dengan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI). Pada model ini dirumuskan skenario perguliran dan dilengkapi dengan estimasi perkembangan jumlah ternak selama masa pembinaan. Selain itu dilakukan juga estimasi kebutuhan lahan untuk pengembangan rumput pakan, jumlah feces dan biogas yang dihasilkan hingga kompensasi kayu bakar dan jumlah pohon yang dapat diselamatkan (tidak ditebang). Pada Model SIDASARI (Gambar 26); tenggang waktu untuk setiap periode pembinaan dirancang berlangsung selama 4 (empat) tahun atau empat kali perguliran dengan pertimbangan sebagai berikut: 1)
Secara biologis, dalam rentang waktu 4 tahun diperkirakan induk sapi yang dipelihara telah mengalami 4 (empat) kali melahirkan sehingga perlu dilakukan peremajaan.
2)
Secara teknis, lahan yang telah dipersiapkan oleh setiap peternak sasaran untuk pengembangan rumput pakan adalah untuk kebutuhan 3 (tiga) ekor sapi (sesuai dengan jumlah induk awal yang dipelihara). Setelah induk digulirkan (tahun ke-2), jumlah sapi milik peternak hanya 2 (dua) ekor sehingga 1 (satu) ekor lainnya (milik TNGR dan kelompok) harus tetap dipelihara peternak yang bersangkutan supaya sesuai dengan jumlah rumput yang telah disiapkan.
3)
Pada tahun ke-4 diharapkan sapi milik peternak telah melahirkan sehingga sapi (milik TNGR dan kelompok) dapat dijual dan dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah tetapkan/disepakati.
4)
Perlu dilakukan evaluasi setelah empat tahun pembinaan atau empat kali perguliran guna penyempurnaan program untuk periode-periode berikutnya. Setiap periode pembinaan dibagi menjadi 4 (empat) tahap ditandai
dengan perguliran ternak yang dilakukan setiap tahun atau dengan perkataan lain masa pengkadasan setiap kelompok sasaran berlangsung selama 1 tahun. Jadi dalam tenggang waktu 4 tahun masa pembinaan, jumlah masyarakat yang diberdayakan (dengan 30 ekor sapi) mencapai 40 rumahtangga (jumlah sasaran pada setiap tahap pemberdayaan sebanyak 10 rumahtangga).
183 Dengan sistem pemeliharaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 26, setiap peternak sasaran memiliki 2 ekor sapi dalam masa 1 (satu) tahun pemeliharaan. Pada awal tahun ke-4, anak sapi (bagian TNGR dan kelompok) yang dihasilkan dari kelompok pengadas tahun pertama siap digulirkan (umur 30 bulan). Pada saat itu, ternak dijual atau digunakan untuk pemberdayaan kelompok sasaran lainnya, akan tetapi pada periode pemberdayaan berikutnya, bukan periode yang bersangkutan. Nilai tambah pemeliharaan dibagi antara peternak dan kelompoknya (kas kelompok), sedangkan nilai awal digunakan sebagai dana konservasi. Begitu pula dengan sapi milik peternak (pengadas) pertama juga melahirkan pada akhir tahun ke-4. Hasil analisis lebih lanjut dapat diestimasi biogas yang dihasilkan dari 30 ekor sapi yang dipelihara dapat mencukupi kebutuhan 6 – 14 rumahtangga (dengan rata-rata anggota keluarga 4 orang). Jika dikaitkan dengan rata-rata kebutuhan kayu bakar
sebesar 1,68 m3/rumahtangga/tahun, maka biogas yang dihasilkan akan
dapat mengkonversi penggunaan kayu bakar sebesar 10 – 24 m3/tahun atau setara dengan 20 – 48 pohon kayu mahoni umur 10 (sepuluh) tahun (rata-rata volume kayu = 0,5 m3/pohon). Ada 2 (dua) alasan utama digunakannya kayu mahoni sebagai standar perhitungan konversi kayu bakar pada Gambar 26, yaitu: (1) kayu mahoni merupakan salah satu kayu endemik di kawasan TNGR, dan (2) permintaan kayu mahoni relatif besar dibandingkan jenis kayu lainnya, baik untuk kayu bakar maupun untuk kebutuhan industri kerajinan; menjadikannya rawan terhadap penebangan liar (illegal logging) Jadi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan 30 ekor sapi dengan model SIDASARI dalam kurun waktu 4 (empat) tahun akan dapat mengurangi penebangan liar (illegal logging) atau menyelamatkan pohon kayu di hutan (TNGR) sebanyak 200 – 480 pohon. Jumlah pohon yang diselamatkan (tidak ditebang) ini hanya merupakan konversi dari biogas yang dihasilkan dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 30 ekor untuk setiap kelompok dimana masing-masing kelompok dapat menyelamatkan 20-48 pohon/tahun atau rata-rata setiap rumahtangga sebesar 2 – 4,8 pohon/tahun. Dengan demikian selama 4 (empat) tahun, jumlah pohon yang dapat menyelamatkan sebagai berikut: kelompok I = 80-192 pohon (4 tahun), kelompok II = 60-144 pohon (3 tahun), kelompok III = 40-96 pohon (2 tahun), dan kelompok IV = 20-48 pohon (1 tahun). Jumlah ini belum termasuk berkurangnya penebangan sebagai akibat
184 adanya sumber penghasilan baru bagi kelompok sasaran yang berjumlah 40 rumahtangga. Jumlah pohon yang dapat diselamatkan dari penebangan liar (illegal logging) sehubungan dengan konversi penggunaan biogas bervariasi tergantung pada jenis kayunya. Sebagai ilustrasi, ukuran volume kayu dari beberapa jenis pohon disajikan pada Tabel 29. Berdasarkan data volume ini, maka dengan skenario konversi biogas (Gambar 26), jumlah pohon yang dapat diselamatkan masing-masing sebagai berikut: jati (umur 10 tahun) sebanyak 147-353 pohon, sengon (umur 5 tahun) 127-304 pohon, dan akasia (umur 10 tahun) sebanyak 65-157 pohon. Tabel 29. Jenis dan Volume Beberapa Jenis Kayu Menurut Umur No Jenis Kayu
Umur (th)
Vol. kayu (m3)
Sumber Informasi
1 Mahoni
10
0.5
2 Jati
5 10 15
0.3 0.68 1.46
Laboratorium Kultur Jaringan SEAMEO BIOTROP http://sl.biotrop.org/produk_detil.php?id_produk=7
5
0.79
http://www.trubusonline.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle &cid=1&artid=1411 Di Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat
3 Sengon
0.98 4 Akasia
3 5 10
0.03 0.30 1.53
Dinas Kehutanan Propinsi NTB
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=66 POTENSI HUTAN TANAMAN INDUSTRI DALAM MENSEQUESTER KARBON: Studi kasus di Hutan Tanaman Akasia dan Pinus Oleh : Ika Heriansyah
Selanjutnya sebagai dasar perhitungan estimasi pada Gambar 26 adalah sebagai berikut: 1) Kebutuhan pakan
: 30 – 35 kg/ekor/hr (10% dari berat badan)
2) Kebutuhan rumput
: 21 – 24,5 kg/ekor/hr (70% dari pakan)
3) Produksi rumput
: 250 ton/ha/th
4) Jumlah feces
: 10 – 15 kg/ekor/hr
5) Produksi Gas
: 0,023 – 0,040 m3/kg feces
6) Kebutuhan minyak tanah
: 0,75 ltr/RT/hr (anggota keluarga 4 orang)
7) 1 m3 biogas setara dengan
: 0,5 – 0,6 ltr minyak tanah
8) Kebutuhan kayu bakar
: 1,68 m3/RT/th (anggota keluarga 4 orang)
9) 1 pohon mahoni umur 10 th : 0,5 m3 kayu bakar 10) Bahan baku kompos
: 50 – 60 % dari feces
185 Anak I umur 42 bulan (1 kali beranak) Anak II umur 30 bulan (siap bunting) Anak III umur 18 bln (dara) Ank IV umur 6 bl
MODEL PERGULIRAN DALAM PENGEMBANGAN TERNAK SAPI
PENGADAS IV PENGADAS III PENGADAS II PENGADAS I LK1
BT1 KA 30 33
36
URAIAN 1. Jumlah induk sapi (ekor) 2. Jumlah Anakan (ekor): a. Milik kelompok b. Milik Peternak.: 1) Biibit 2) Potong 3. Jumlah masy. sasaran (RT): 4. Estimasi kebt rumput (kg/hr) 5. Estimasi kebt. lahan (ha) 6. Estimasi jumlah feces (kg/hr) 7. Estimasi hasil biogas (m3/hr) 8. Estimasi RT dg Biogas (RT) 9. Estimasi bahan kompos (kg/hr) 10. Estimasi kompensasi KB (m3/th) 11. Estimasi penyelamatan kayu (ph/th)
I 30
LH1 39
IB1
42
TAHUN I PS LS
10a 10a 10a 10 630 - 735 0,92 – 1,07 300 - 450 6,90 – 18,00 6 - 14 150 - 270 10 - 24 20 - 48
LH4
LH2
45 DK
IB3
LH3
IB2
LK2
BT2
LK3
BT3
48 I 30
LK4
BT4
LK11
BT11
51
54
TAHUN II PS LS
10b 10b 10b 10 630 - 735 0,92 – 1,07 300 - 450 6,90 – 18,00 6 - 14 150 - 270 10 - 24 20 - 48
57 DK
60 I 30
63
66
TAHUN III PS LS
DK
IB11 69 72 I 30
LH11 78
TAHUN IV PS LS
10c 10c 10c 10 630 - 735 0,92 – 1,07 300 - 450 6,90 – 18,00 6 - 14 150 - 270 10 - 24 20 - 48
75
10d 10d 10d 10 630 - 735 0,92 – 1,07 300 - 450 6,90 – 18,00 6 - 14 150 - 270 10 - 24 20 - 48
Gambar 26. Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR melalui Kegiatan Pemeliharaan Sapi dengan Pendekatan Sistem Pengkadasan Sapi Rinjani (SIDASARI) Ket. 1) KA = Kawin Alam; BT = Bunting; LH = Lahir; IB = Kawin Suntik; LK = Laktasi; Kolom berwarna = masa pemeliharaan peternak (pengadas); I = Induk; PS = Pra Sapih; LS = Lepas Sapih; DK = Dewasa Kelamin; KB = Kayu Bakar 2) Data jumlah sapi adalah kondisi pada setiap akhir tahun 3) Estimasi untuk No 4 – 11 adalah untuk 30 ekor sapi 4) Asumsi tingkat reproduksi 100%
81 Umur Sapi (bln) DK
Kumulatif akhir th ke-4 I PS LS DK 30 20cd 10a 10a1 20cd 10a 20cd 40
24 - 56 100 - 240 200 - 480
10b 10b 10b
186 Pengembangan sapi dengan model SIDASARI (Gambar 26) akan dapat dilaksanakan jika ketersediaan dan daya dukung sumberdaya (khususnya lahan) untuk pengembangan rumput cukup memadai. Pada Gambar 26, estimasi kebutuhan rumput dihitung sebesar 70% dari kebutuhan pakan (rata-rata kebutuhan pakan 30 – 35 kg/ekor/hari). Standar ini didasarkan pada hasil survei yang menunjukkan bahwa rata-rata peternak di Pulau Lombok (termasuk di kawasan penyangga TNGR) memberian pakan berupa rumput kepada ternaknya sebesar 70% dari kebutuhan pakan, Sisanya (30%) bersumber dari bahan lain seperti limbah pertanian, legum, dedaunan, dan berbagai jenis pakan lainnya. Estimasi kebutuhan pakan yang disajikan pada Gambar 26 adalah kebutuhan untuk 30 ekor sapi dengan proporsi 70% rumput, yaitu 630 – 735 kg/hari. Dengan jumlah kebutuhan ini serta produktivitas rumput sebesar 250 ton/ha/th, maka areal lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan rumput sebesar 0,92 – 1,07 ha (asumsi pengembangan dilakukan secara monokultur). Dengan demikian, maka untuk setiap peternak dengan jumlah sapi yang dipelihara sebanyak 3 (tiga) ekor, akan membutuhkan lahan seluas 0,09 - 0,11 ha lahan untuk pengembangan rumput dengan sistem monokultur. Tabel 30 mengilustrasikan kebutuhan lahan untuk pengembangan rumput pakan pada beberapa skenario pengembangan. Tabel 30. Luas Lahan yang Dibutuhkan Setiap Peternak (3 ekor Sapi) untuk Pengembangan Rumput dengan Beberapa Skenario Penanaman
No Uraian 1
Kebutuhan rumput untuk 3 ekor sapi (kg/hr)
2
Kebutuhan lahan untuk rumput pakan (ha) a. Pola Monokultur b. Pola Agroforestri: 1) 20% lahan untuk rumput 2) 30% lahan untuk rumput 3) 50% lahan untuk rumput
3 4
Rata-rata kepemilikan lahan sawah (ha) Rata-rata kepemilikan lahan tegal/kebun (ha)
Komposisi Rumput Pakan 100% rumput 70% rumput 90 - 105
63 – 73,5
0,13 – 0,15
0,09 – 0,11
0,66 – 0,77 0,44 – 0,51 0,26 – 0,31
0,46 – 0,54 0,31 – 0,36 0,18 – 0,21 0,15 0,39
Dari Tabel 30 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata luas lahan yang dimiliki masyarakat di kawasan penyangga TNGR masih memungkinkan untuk mengembangkan rumput pakan. Dengan perkataan lain, berdasarkan kebutuhan
187 lahan untuk pengembangan rumput (baik secara monokultur maupun pola agroforestri), maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat di kawasan penyangga TNGR memungkinkan untuk mengembangkan 3 (tiga) ekor sapi secara intensif. Selanjutnya dari hasil analisis dapat diketahui bahwa dengan model pemberdayaan SIDASARI ini jumlah kelompok sasaran pemberdayaan dapat berkembang setiap tahun. Hal ini karena dengan jumlah sapi yang sama dapat digunakan secara berulang untuk pemberdayaan kelompok sasaran yang berbeda (bergulir) setiap tahun. Pada Gambar 27 disajikan perkembangan jumlah sapi secara kumulatif yang dimiliki oleh peternak sasaran selama masa pemberdayaan dan pembinaan (4 tahun). Tahap awal (periode pertama) pemberdayaan dilakukan pembinaan pada setiap resort TNGR, masing-masing 1 (satu) kelompok sasaran dengan jumlah anggota sebanyak 10 (sepuluh) rumahtangga. Jadi secara keseluruhan jumlah kelompok sasaran pada tahun pertama adalah 9 (sembilan) kelompok atau 90 (sembilan puluh) rumahtangga; sehingga jumlah sapi yang dibutuhkan sebanyak 270 ekor. Jumlah masyarakat yang diberdayakan dapat dibuat meningkat secara konstan setiap tahun sehingga dengan jumlah induk sapi yang tetap sama (270 ekor), jumlah masyarakat yang diberdayakan selama 4 (empat) tahun berjumlah 360 rumahtangga. Sebagai wujud nyata dari hasil pemberdayaan adalah setiap masyarakat sasaran memiliki ternak (sapi) sendiri yang dapat dikembangbiakkan sebagai sumber penghasilan keluarga. Jika diasumsikan tingkat reproduksi 100%, maka dengan sistem yang dikembangkan, dalam waktu 1 (satu) tahun setiap masyarakat sasaran (peternak) akan memiliki 2 (dua) ekor sapi dan diharapkan terus berkembang hingga pasca pemberdayaan. Berkenaan dengan pemeliharaan dan pengembangan lebih lanjut setelah masa pengkadasan/penggaduhan berakhir (induknya digulirkan ke peternak sasaran berikutnya), selain memelihara anak sapi miliknya, peternak juga diharapkan memelihara anak sapi yang merupakan bagian TNGR dan kelompok hingga sapi tersebut berumur 30 (tiga puluh) bulan atau lebih. Alasannya, peternak tetap memlihara 3 (tiga) ekor karena lahan pengembangan rumput pakan yang disiapkan adalah untuk kebutuhan 3 (tiga) ekor (sesuai dengan jumlah induk awal yang dipelihara). Diharapkan pada waktu sapi (milik TNGR dan kelompok) dijual, sapi miliknya telah melahirkan sehingga peternak tetap memlihara 3 (tiga) ekor. Pemeliharaan dilakukan dengan sistem bagi hasil antara peternak dengan kelompoknya (untuk dana/modal kelompok), dimana yang
188 dibagi adalah nilai tambah pemeliharaan, sedangkan nilai awal ternak digunakan sebagai dana konservasi. Jadi anak sapi (milik TNGR dan kelompok) yang dihasilkan oleh kelompok sasaran tahun ke-1 dapat dijual pada tahun ke-4, hasil kelompok tahun ke-2 dapat dijual pada tahun ke-5, hasil kelompok tahun ke-3 dapat dijual pada tahun ke-6, dan hasil kelompok tahun ke-4 dapat dijual pada tahun ke-7. Pada Gambar 27 disajikan estimasi perkembangan kumulatif jumlah ternak yang dimiliki masyarakat/peternak sasaran sebagai wujud nyata dari hasil pemberdayaan. Estimasi ini dihitung dalam 3 (tiga) skenario, yaitu skenario A dengan asumsi tingkat reproduksi 100%, tingkat kematian 0% dan sex ratio 50%; skenario B dengan asumsi tingkat reproduksi 85%, tingkat kematian 5% dan sex ratio 50%, dan skenario C dengan asumsi tingkat reproduksi 85%, tingkat kematian 5% dan sex ratio 50% yang dihitung sejak anak I (tingkat reproduksi dan tingkat kematian induk sama dengan skenario A). Perkembangan jumlah sapi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 17.
Gambar 27. Estimasi Perkembangan Jumlah Kumulatif Sapi yang Dimiliki Peternak Sasaran Selama Masa Pembinaan Ket.: Skenario A : Asumsi Tingkat Reproduksi 100%, Tingkat Kematian 0% dan Sex Ratio 50% Skenario B : Asumsi Tingkat Reproduksi 85%, Tingkat Kematian 5% dan Sex Ratio 50% Skenario C : Asumsi Tingkat Reproduksi 85%, Tingkat Kematian 5% dan Sex Ratio 50%; dihitung sejak anak I (Tingkat Reproduksi & Tingkat Kematian Induk = Skenario A)
189 Pada Gambar 27 di atas dapat diketahui bahwa jumlah sapi milik peternak pada tahun 1 – 3 adalah sama antara skenario A dan skenario C. Pada tahun ke-4, sapi milik peternak sudah mulai melahirkan anak yang pertama sehingga jumlah sapi pada skenario A lebih besar dibandingkan skenario C karena pada skenario C mempertimbangkan tingkat reproduksi dan resiko kematian, sedangkan pada skenario A tidak diperhitungkan. Alasan penggunaan skenario C, yaitu hanya mempertimbangkan resiko kematian dan tingkat reproduksi pada anak pertama karena induk sapi awal telah diseleksi terlebih dahulu dan dalam keadaan bunting. Asumsi tingkat reproduksi dan tingkat kematian didasarkan pada hasil penelitian dan kajian tentang tingkat reproduksi dan tingkat kematian Sapi Bali (Pane 1990; Kadarsih 2004; Tanari 2007). Sebelum kegiatan penggemukan sapi berjalan efektif (3 tahun pertama) pembinaan atau selama menunggu hasil perkembangbiakan sapi yang dipelihara, maka salah satu alternatif sumber penghasilan keluarga (income periodicity) yang dapat digunakan untuk mencukupi keperluan sehari-hari adalah pengembangan usaha kecil agroindustri berbasis komoditi lokal oleh ibu-ibu rumahtangga sasaran. Alternatif kegiatan lainnya yang potensial untuk dikembangkan adalah pembuatan kompos karena bakan baku berupa limbah pakan dan feces telah tersedia serta bahan campuran lainnya seperi abu sekam dan serbuk gergaji dapat diperoleh di wilayah sekitar. Selain itu, teknologi pembuatan kompos relatif sederhana sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk melakukannya. Manfaat ekonomi pembuatan kompos antara lain hasil kajian Yuwono et al. (2005) di Kabupaten Pemalang; mengemukakan bahwa dari 3 000 kg bahan baku pembuatan kompos diperoleh kompos jadi sebanyak 2 000 kg dengan harga pokok sebesar Rp 266,-/kg (termasuk harga limbah ternak) dan harga jual di pasaran berkisar antara Rp 400,- sampai Rp 450,- per kg. Jika harga limbah ternak dan biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan (karena dihasilkan sendiri oleh peternak), maka harga pokok menjadi Rp 121,-/kg. Sementara itu biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan kompos yang dilakukan di kandang percobaan Loka Penelitian Sapi Potong, Pasuruan dengan menggunakan bahan utama kotoran sapi (Puslitbang Peternakan 2007) adalah sebagai berikut: (1) kompos curah Rp 250,-/kg, (2) kompos blok Rp 250,-/kg, (3) kompos granula Rp 450,-/kg, dan (4) kompos bokhasi Rp 1 200,-/kg. Biaya ini termasuk pengeluaran untuk pembelian bahan baku utama (kotoran sapi) sebesar Rp 100,- per kg.
190 Berkenaan dengan model pengembangan sapi melalui SIDASARI, setiap kelompok peternak sasaran (10 rumahtangga) dengan 30 (tiga puluh) ekor sapi, jumlah feces yang dihasilkan setiap hari dan potensial untuk dijadikan bahan baku pembuatan kompos adalah 300 – 450 kg/hari. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa selain dapat memberikan manfaat ekonomi (seperti telah dijelaskan sebelumnya), pengembangan sapi dengan model SIDASARI juga dihasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah dan/atau kayu bakar sehingga dapat menekan penebangan liar (illegal logging). Estimasi perkembangan jumlah pohon yang dapat diselamatkan (tidak ditebang) disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28. Perkembangan Jumlah Pohon yang Dapat Diselamatkan (Tidak Ditebang) sebagai Hasil Konversi Penggunaan Kayu Bakar ke Biogas Penebangan liar (illegal logging) dari tahun ke tahun dapat ditekan; ditandai dengan jumlah pohon yang dapat diselamatkan (tidak ditebang) secara kumulatif terus mengalami peningkatan seiring dengan jumlah populasi sapi hasil pemberdayaan. Data yang disajikan pada Gambar 28 di atas merupakan hasil pemberdayaan yang dilakukan pada 9 (sembilan) resort TNGR. Pada setiap resort dilakukan pembinaan terhadap 1 (satu) kelompok sasaran yang beranggotakan 10 (sepuluh) rumahtangga dengan 30 (tiga puluh) ekor sapi. Dengan skenario pengembangan seperti telah dijelaskan di atas, maka selama masa pembinaan (4 tahun) di 9 resort TNGR dapat diestimasi jumlah pohon (1 pohon = 0,5 m3) yang tidak ditebang untuk kebutuhan kayu bakar secara kumulatif mencapai 1 258 – 4 355 pohon.
191 8.6 Strategi Pemberdayaan Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya akan sia-sia bila hal tersebut tidak disertai dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pemberdayaan ini dapat meliputi peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam hayati tersebut. Sudarmadji (2002) mengemukakan bahwa strategi yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak kawasan konservasi, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat berperan aktif dalam kegiatan konservasi dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Berdasarkan hasil kajian dan analisis serta observasi terhadap berbagai gejala dan fenomena yang berkembang, maka dalam pemberdayaan masyarakat di
kawasan
komprehensif.
penyangga Aspek
TNGR,
biofisik,
semua
aspek
harus
sosial-ekonomi-budaya,
ditangani dan
secara
kelembagaan
merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan saling mempengaruhi sehingga keberhasilan program pemberdayaan masyarakat di kawasan ini sangat tergantung pada penanganan ketiga aspek di atas. Dalam pemberdayaan, tidak cukup hanya ditangani salah satu aspek saja (misalnya aspek ekonomi); melainkan semua aspek harus dibenahi secara komprehensif. Masyarakat yang berada di pinggir kawasan TNGR meskipun melakukan penebangan liar (illegal logging) dengan alasan ekonomi, namun setelah ditelaah faktor ekonomi itu juga erat kaitannya dengan aspek lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka pemberdayaan harus dilakukan secara
komprehensif
menyangkut
aspek
ekonomi,
sosial-budaya
dan
kelembagaan. Ketiga aspek ini merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya sehingga harus dibenahi secara bersamaan; bukan diprioritaskan salah satu aspek. Berkenaan dengan pertimbangan di atas, maka pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR harus dilakukan dengan melibatkan para pihak terkait. Namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Johnson dan Redmond (1992) dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007), pemberdayaan tidak boleh bermakna “merobotkan” atau “menyeragamkan”. Pemberdayaan juga memberi ruang pada pengembangan keberagaman kemampuan individual. Para pihak (stakeholders) yang idealnya harus terlibat antara lain: (1) masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan TNGR; (2) Dinas/Instansi terkait
192 seperti: Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pariwisata, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Bappeda, dan Lembaga Keuangan; (3) pihak swasta yaitu perusahaan-perusahaan yang dapat dijadikan mitra dalam pengelolaan TNGR; dan (4) perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kehutanan seperti: WWF-Program Nusa Tenggara, Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (YPMP), Rinjani Trek Management Board (RTMB), dan LSM lainnya. Berdasarkan berbagai fakta dan fenomena lapangan serta karakteristik masyarakat di kawasan pengangga TNGR, nampaknya ketiga tahapan pemberdayaan seperti yang dikemukakan oleh Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007) harus dilalui secara bertahap, yaitu: penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan. Tahapan proses pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR diilustrasikan pada Gambar 29. Pada tahap penyadaran, target sasaran diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian pemahaman secara utuh akan pentingnya melestarikan TNGR. Memang selama ini masyarakat mengetahui pentingnya keberadaan hutan Rinjani (termasuk TNGR), tapi belum memahami sepenuhnya manfaat tidak langsung serta keterkaitan TNGR dengan kehidupan di sekitarnya sehingga pengetahuannya itu tidak seiring dengan sikap dan tindakan. Hal ini tercermin dari rendahnya partisipasi dalam pelestarian hutan; mereka selalu mengharapkan insentif ekonomi langsung berupa materi dari apa yang dilakukan. Selain itu target sasaran diberi penyadaran dan keyakinan bahwa sesungguhnya mereka dapat melakukan aktivitas usaha (sebagai sumber pencaharian) tanpa harus merusak hutan. Kegiatan ini dapat dilakukan
dengan
memberikan
penyuluhan
melalui
kelompok/paguyuban
masyarakat lokal (seperti kelompok yasinan, PAM Swakrsa, dan kelompok lainnya) atau melalui kunjungan langsung ke rumah target sasaran. Tahap berikutnya adalah pengkapasitasan atau peingkatan kapasitas (capacity building) agar mereka memiliki kemampuan. Dalam hal ini dilakukan peningkatan kemampuan target sasaran baik secara individual maupun kelompok. Peningkatan kapasitas individual antara lain dilakukan melalui kegiatan pelatihan keterampilan dan manajemen usaha. Sementara itu pengkapasitasan kelompok atau organisasi target sasaran antara lain dilakukan melalui pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUB) atau Koperasi dan Badan Usaha Milik Masyarakat
193 (BUMM). Kegiatan ini diikuti dengan peningkatan kemampuan manajerial berikut aturan main organisasi. Menurut Campbel (2004), kenyataan yang selama ini patut dijadikan renungan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat adalah: (1) proyek-proyek yang berorientasi pada pengembangan swadaya masyarakat baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga kerjasama lainnya menunjukkan bahwa lembaga/organisasi yang dibentuk dalam rangka proyek tersebut tidak dapat berkembang dan bahkan hanya bertahan selama proyek, (2) lembaga-lembaga pelaksana pembangunan yang mensponsori pembentukan organisasi baru di masyarakat (sebagai wadah pengembangan swadaya masyarakat) cenderung menerapkan peraturan dan kebijakan sesuai dengan skema proyek dengan menerapkan struktur terstandarisasi, dan (3) banyak pihak tidak memahami perbedaan antara pengorganisasian dan pengembangan lembaga dengan pembentukan organisasi. Tahap ketiga adalah pemberian daya dan pengembangan usaha sesuai dengan kepasitas, keterampilan dan peluang usaha yang tersedia. Misalnya, pemberian kredit kepada suatu kelompok masyarakat miskin di kawasan hutan yang sudah melalui proses penyadaran dan pengkapasitasan, masih perlu disesuaikan dengan kemampuan usahanya. Agar tujuan dari kegiatan pemberdayaan dapat dicapai secara optimal, maka semua pihak (stakeholders) harus melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal sesuai dengan bidang tugas dan fungsi masing-masing. Kepada kelompok sasaran dilakukan pembinaan secara simultan dari berbagai aspek. Dengan perkataan lain pembinaan harus dilakukan secara totalitas terhadap semua aspek dan secara sinambung hingga kelompok sasaran betul-betul siap untuk mandiri dengan segala bekal yang telah diberikan. Pelaksanaan pembinaan harus dilakukan oleh sebuah tim yang beranggotakan tenaga-tenaga teknis dan profesional secara lintas dinas/instansi serta pihak-pihak lainnya yang berkepentingan (termasuk perguruan tinggi dan LSM). Tim ini harus berada dalam satu koordinasi yang utuh sehingga pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Mengenai anggaran pelaksanaan, hendaknya tidak dilakukan pada masing-masing dinas/instansi secara sektoral, melainkan dianggarkan secara khusus oleh pemerintah daerah setempat. Dengan demikian tumpang tindih kegiatan serta pemborosan dana dapat dihindarkan. Selain itu kelompok sasaran memperoleh pembinaan dan bimbingan secara holistik dalam berbagai aspek.
194
Pelaku & Koordinasi Pemberdayaan LSMLSM : : WWF WWF
DISHUT
Instansi Terkait
YPMP Perguruan Tinggi
SPKP BALAI TNGR
RTMB RTMB Lainnya
Swasta
Tahapan Pemberdayaan
Penyadaran
Input konstitusional : - Peraturan Per UU - Awig-awig
Peningkatan Kapasitas
Pendayaan
Input Sosbud & Lembaga : - Tata Nilai & Kearifan Lokal - Lembaga Adat - KMPH - KUB/Koperasi
Masy. Hrmonis dengan Hutan Rinjani (MaharRinjani)
Input Ekonomi & Lingk. : - Biofisik TNGR - Lahan Milik - Infrastruktur
Gambar 29. Pelaku dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar TNGR Ket.: SPKP = Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga
Pengalaman pelaksanaan pembangunan, termasuk dalam pembangunan kehutanan, menunjukkan bahwa banyak terjadi kegagalan program disebabkan oleh pendekatan yang bersifat top-down, parsial dan tidak terintegrasi serta adanya kesan proyek dalam masyarakat. Masing-masing pihak menyusun dan melaksanakan program sendiri-sendiri secara terpisah tanpa adanya koordinasi. Konsekuensinya seringkali terjadi duplikasi program sehingga mengakibatkan
195 pemborosan sumberdaya, tidak efektif dan berkembangnya image negatif terhadap pembangunan. Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholder yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik. Guna mencapai optimalisasi pengelolaan maka perencanaan TNGR kedepan harus dilakukan secara terintegrasi dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pelaksanaannya. Tahapan-tahapan kegiatan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut (Abas 2005): 1)
Melakukan identifikasi dan pemetaan stakeholders yang terkait mulai dari level masyarakat (desa) sampai dengan level provinsi (berkaitan dengan implikasi otonomi daerah).
2)
Melakukan analisis kebutuhan dan aspirasi stakeholders guna mengetahui skala prioritas yang harus didahulukan. Selanjutnya dilakukan akomodasi dan organisasi terhadap kebutuhan dan aspirasi tersebut.
3)
Melakukan elaborasi terhadap pola-pola partisipasi yang berkembang dan mengupayakan kolaborasi dari pola-pola yang telah ada.
4)
Melakukan analisis kapasitas institusi pada lembaga-lembaga yang terkait dengan perencanaan dan pengelolaan TNGR. Hal ini berkenaan dengan kualitas hubungan dan kerjasama antar institusi dalam melaksanakan program kerja pada wilayah TNGR.
5)
Melakukan analisis terhadap regulasi yang terkait (berkenaan dengan aspek partisipasi dan kerjasama), selanjutnya menterjemahkan dan menurunkannya ke dalam bentuk regulasi pada tingkat lokal.
6)
Melakukan diskusi stakeholder secara bersama guna menemukan, membahas dan menskenariokan faktor kunci kesuksesan perencanaan partisipatif TNGR.
8.7 Lembaga Pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani Berdasarkan Surat Keputusan Menhut No. 185/Kepts/97 tanggal 27 Mei 1997, pengelolaan TNGR dilakukan oleh “Unit Taman Nasional Gunung Rinjani”. Selanjutnya pada tahun 2002 berubah menjadi “Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”; sesuai dengan Surat Keputusan Menhut No. 6186/Kepts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Gunung Rinjani”. Berdasarkan SK tersebut, TNGR dibagi
196 menjadi 2(dua) wilayah pengelolaan dalam bentuk “Seksi Konservasi Wilayah (SKW)”, yaitu : (1) SKW I Lombok Barat untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat dengan luas ± 12.357,67 ha (30%) dan (2) SKW II Lombok Timur untuk wilayah Kabupaten Lombok Timur dengan luas ± 22.152,88 ha (53%) dan Kabupaten Lombok Tengah dengan luas ± 6.819,45 ha (17%). Mulai Bulan Maret 2007 Seksi Konservasi Wilayah (SKW) diganti menjadi “Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN)”. Untuk operasionalisasi di lapangan, masing-masing SPTN dibagi lagi menjadi resort-resort pengeloaan yang selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 30 berikut. Balai TNGR
Sub. Bag. TU
SPTN I Lombok Barat
Resort Senaru
Resort Anyar
SPTN II Lombok Timur
Resort Santong
Resort Aik Berik
Resort Stiling
Resort Joben
Resort K.Kuning
Resort Aikmel
Resort Sembalun
Klp. Fungsional
Gambar 30. Struktur Organisasi Balai TNGR Balai Taman Nasional Gunung Rinjani selaku pengelola mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan fungsi:
a. Penyusun rencana program dan evaluasi pengelolaan taman nasional b. Pengelolaan taman nasional c. Pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional d. Perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran taman nasional e. Promosi dan informasi, bina wisata dan cinta alam, serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
f. Kerjasama pengelolaan taman nasional g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumahtangga
197 Ujung tombak perlindungan dan pengamanan kawasan TNGR di lapangan dilakukan oleh Polhut Balai TNGR yang merupakan tenaga fungsional berjumlah 36 orang dan 5 orang Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya (TPHL) yang merupakan tenaga non struktural (total 41 orang). Jumlah ini sudah cukup mermadai karena berdasarkan ketentuan, jumlah polhut yang ideal adalah 1 berbanding 800-1000 ha. Jadi dengan demikian, bila dilihat dari luas TNGR 41 330 ha, maka jumlah polhut yang ada sudah ideal. Namun demikian dalam kenyataannya, kawasan TNGR merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan medan terjal yang sulit dijangkau, maka dengan jumlah petugas yang ada saat ini mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan dan pemantauan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan penambahan petugas dan poskoposko pengamanan terutama untuk kawasan-kawasan rawan gangguan dan medan sulit dijangkau. Selain Polhut, pada setiap resort terdapat tenaga yang membantu pengamanan hutan (berjumlah 3 - 4 orang); yang merupakan gabungan dari Langlang Gawah (relawan Dinas Kehutanan) dan Langlang Buana (relawan Balai TNGR). Sementara itu untuk menangani aspek sosial ekonomi dan aspek teknis budidaya seperti pemanfaatan jasa lingkungan, penangkaran dan pengawetan benih, serta teknik budidaya, dilakukan oleh tenaga Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). PEH merupakan PNS dari Balai TNGR; saat ini berjumlah 15 orang. Selain PEH, ada juga kelompok-kelompok pencinta lingkungan yang merupakan inisiatif masyarakat/pemuda yang kemudian dibina dan difasilitasi oleh Balai TNGR. Kelompok-kelompok dimaksud antara lain: a. Kader konservasi; berjumlah 3-4 orang setiap resort b. Kelompok Masyarakat Peduli Arboretum (KMPA) di Resort Joben dengan jumlah anggota 25 orang c. Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) di Resort Kembang Kuning yaitu: KMPH Jeruk Manis dengan jumlah anggota 25 orang dan KMPH Mayung Polak, Desa Pengadangan dengan jumlah anggota 40 orang; merupakan gabungan Forter dan Guide. d. Gerakan Pemuda Peduli Lingkungan (GP2L) di Resort Aikmel dengan jumlah anggota 30 orang e. Kelompok Pencinta Alam (KPA) di Resort Santong dan Masyarakat Adat Bayan.
198 Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan ini sangat membantu dalam mensukseskan program pengelolaan TNGR. Secara aktif Balai TNGR melaksanakan kemitraan pengelolaan dengan berbagai stakeholder terkait yang mencakup instansi pemerintah daerah terkait LSM, masyarakat adat, tokoh agama, kader konsrvasi, industri parawisata, pramu wisata, porter serta kelompok masyarakat sekitar kawasan. Bentuk dan lembaga mitra Balai TNGR secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 18. Dari aspek institusional, pelaksanaan pengelolaan TNGR masih bersifat parsial dan kurang terpadu; ditandai dengan pengelolaan yang hanya dilakukan oleh Balai TNGR saja, bahkan koordinasi dengan dinas/instansi terkait lainnya masih kurang jelas dan tegas. Seluruh kegiatan operasional yang berkenaan dengan TNGR merupakan tanggung jawab Balai TNGR. Koordinasi yang dilakukan hanya sebatas lingkup kegiatan saja dan masih belum ada kesepakatan atau kerjasama antar institusi atau sektor pembangunan yang bersifat terpadu dan permanen. Jika melihat potensi dan manfaat yang diberikan oleh TNGR maka menurut Abas (2005) sudah selayaknya pengelolaan dilakukan dengan kerjasama antar dinas/institusi terkait dan didukung oleh partisipasi masyarakat secara maksimal seperti kerjasama dengan dinas pariwisata untuk pengelolaan pariwisata alam, dinas
kehutanan
untuk
pengelolaan
kawasan
lindung
maupun
kawasan
penyangga, kerjasama dengan dinas pertanian untuk mengelola budidaya pertanian
maupun
kerjasama
lainnya
seperti
pengamanan
kawasan,
pengembangan daerah penyangga, pembinaan masyarakat sekitar hutan, pendidikan dan penyebaran informasi. Pengelolaan TNGR yang berkelanjutan memerlukan kelembagaan yang kuat baik menyangkut hubungan internal dan eksternal. Untuk memperkuat kapasitas kelembagaan perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lain, baik dengan organisasi pemerintah maupun non pemerintah, dari dalam maupun luar negeri serta masyarakat luas dengan mengembangkan suatu sistem
kemitraan.
Kemitraan
mengandung
makna
kebersamaan
dalam
melaksanakan setiap kegiatan dan komunikasi yang dibangun dengan baik agar kegiatan
tidak
saling
tumpang
tindih
atau
saling
mengganggu
dalam
pelaksanaannya di lokasi Taman Nasional. Kerjasama tersebut dilaksanakan dalam berbagai bentuk antara lain pembangunan sarana dan prasarana, bidang penelitian, pembinaan daerah
199 penyangga dan lain-lain. Selain itu juga diperlukan koordinasi dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi pengelolaan agar tujuan yang diharapkan dapat dicapai dengan baik. Hasil lebih lanjut yang diharapkan dari kegiatan koordinasi ini adalah terwujudnya kerjasama dan koordinasi yang baik antara pengelola kawasan dengan pihak lain serta untuk mendukung keberhasilan pengelolaan TNGR. Untuk koordinasi pengelolaan dilakukan secara terintegrasi dalam pengelolaan kawasan konservasi (Integrated Management Conservation). Dalam koordinasi pengelolaan terpadu, pengelola TNGR, melaksanakan kebijakan yang bersifat nasional dari Departemen Kehutanan dan kebijakan dasar dalam regulasi otonomi daerah dari Dinas-dinas di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur yang dikoordinasikan oleh Bupati Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Dalam setiap kegiatan pengelolaan yang dilaksanakan, harus dilakukan kegiatan pemantauan dan evaluasi agar tingkat keberhasilan kegiatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui, aspek kekuatan dan kelemahannya dapat dideteksi sehingga dapat dilakukan perbaikanperbaikan terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan serta menyusun rencana perbaikan untuk kegiatan yang akan datang. Dalam pemantauan ini juga harus melibatkan instansi-instansi yang terkait dalam koordinasi pengelolaan. Permasalahan organisasi dan kelembagaan ini menyangkut masih lemahnya
jaringan
komunikasi
vertikal
dan
horizontal.
Koordinasi
dan
sinkronisasi dalam organisasi dan kelembagaan TNGR. Koordinasi dimaksud adalah upaya membangun kesepakatan atau kesepahaman dengan pihak-pihak terkait melalui pengembangan aspirasi dari bawah. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengembangkan komunikasi dan kolaborasi publik secara berkesinambungan melalui jaringan komunikasi antar seluruh stakeholder secara kebersamaan
dalam
kesetaraan
dan
kesejajaran
peran
dengan
tetap
berlandaskan pada keseimbangan ekoslogis, ekonomis, dan sosial. Sementara itu secara bersamaan dilakukan pendekatan sinkronisasi yang lebih ditujukan untuk menselaraskan kebijakan pusat dan daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk memadukan berbagai kepentingan yang berkaitan dengan rencana pengembangan TNGR termasuk berbagai faktor eksternal serta keterkaitan kepentingan antara wilayah. Jika konservasi memang telah menjadi komitmen politik nasional, sudah semestinya penegakan pilar-pilar konservasi harus terus dilakukan. Untuk
200 melakukan hal ini diperlukan reoreintasi dan reposisi terhadap pelaksanaan konservasi secara nasional, maupun lokal.
Pengelola kawasan TNGR tidak
hanya banyak menjaga dan menonton kawasan TNGR, tetapi berupaya untuk menggali potensi dan memegang hakekat konservasi.
Pihak pengelola perlu
banyak berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar kawasan TNGR mengingat masih lemahnya sense of belonging masyarakat terhadap kawasan TNGR. Komunikasi tidak hanya dalam bentuk pendekatan penyuluhan melainkan juga kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang pencapaian pilar-pilar konservasi tersebut. Dalam konteks ini, basis kemasyarakatan harus terus menjadi landasan pengelolaan kawasan konservasi TNGR. Pengembangan community based management perlu dilaksanakan mengingat kesejarahan kawasan TNGR yang memang
begitu
banyak
kepentingan
terhadap
kawasan
ini
bahkan
pemanfaatannya sudah lintas wilayah, seperti pemanfaatan jasa hidrologis oleh masyarakat di sekitar TNGR. Bertolak dari pemikiran ini, koordinasi dan partisipasi antar stakeholders yang terlibat sangat diperlukan dengan dilandaskan pada prinsip kesetaraan, saling menghormati peran dan tujuan masing-masing pihak, saling mendukung upaya pencapaian misi para pihak, dan saling bekerjasama mengatasi konflik. Guna memastikan terselenggaranya koordinasi dan partisipasi antar stakeholder, maka perlu melakukan langkah-langkah (Abas, 2005) sebagai berikut: -
Membangun kesamaan persepsi antar stakeholder mengenai pengembangan TNGR secara terintegrasi
-
Membangun komitmen bersama antar stakeholder untuk meningkatkan koordinasi dan partisipasi
-
Membangun jaringan dan sistem informasi antar stakeholder
-
Membangun sistem koordinasi dan partisipasi antar stakeholder Berkenaan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di kawasan
penyangga TNGR secara lebih efektif dan efisien, maka sinkronisasi program dan kegiatan mutlak diperlukan. Satu kelompok sasaran harus dibina secara komprehensif dengan melibatkan para pihak terkait secara proporsional. Dengan demikian diperlukan adanya organisasi atau lembaga yang menjadi penggerak (inisiator) dan mengkoordinir kegiatan pemberdayaan. Untuk keperluan tersebut, ada 2 (dua) alternatif yang dapat dilakukan. Pertama, struktur organisasi Balai TNGR perlu ditambahkan “Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga (SPKP)”.
201 Seksi ini diharapkan menjadi penghubung stakeholders dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) adalah sosialisasi dan koordinasi kegiatan pemberdayaan masyarakat, termasuk sebagai Pos Pengaduan TNGR (Gambar 31). Kedua, seandainya SPKP tidak bisa dibentuk karena sudah ada ketentuan baku tentang struktur organisasi Balai TNGR, maka tugas pokok dan fungsi (tupoksi) SPKP harus dapat dilaksanakan oleh Kepala Balai TNGR atau pejabat yang ditunjuk.
BALAI TNGR
Sub. Bag. TU
SPTN I Lombok Barat
SPTN II Lombok Timur
Seksi Pemberdayaan Kawasan Penyangga (SPKP)
Resort Aik Berik
Resort Senaru Resort Anyar Resort Santong
Resort Stiling
Sosialisasi
Resort Joben
Koordinasi
Resort K.Kuning Resort Aikmel
Posko Pengaduan
Resort Sembalun Klp. Fungsional
Gambar 31. Usulan Struktur Organisasi Balai TNGR
8.8 Pembiayaan untuk Pemberdayaan Pembiayaan untuk pengelolaan TNGR di masa mendatang membutuhkan inovasi berupa pencarian sumber-sumber pembiayaan baru selain dari sumber pembiayaan yang telah ada. Saat ini sumber pembiayaan berasal dari pemerintah pusat dan sebagian dari karcis masuk TNGR (untuk pendakian). Alternatif lain pembiayaan TNGR antara lain dengan menjalin kerjasama dengan lembaga donor dari dalam maupun luar negeri, kerjasama usaha dengan tour operator dan penyelenggara wisata (homestay, hotel dan lain-lain), masyarakat sekitar maupun kerjasama dengan LSM. Pariwisata alam di TNGR merupakan bagian dari pengelolaan kawasan konservasi dimana kepemilikan dan pemanfaatan TNGR adalah public goods.
202 Oleh karena itu pengelolaan dan pembiayaan utama berasal dari public dan dipertanggung-jawabkan secara public pula. Beberapa alternatif sumber pembiayaan termasuk yang bersifat partisipatif antara lain: 1. Sumber Pembiayaan Utama Sumber utama pembiayaan TNGR adalah dari pemerintah pusat, berupa anggaran rutin, anggaran APBN, dana reboisasi, dana program/proyek, atau dana pinjaman yang dibayar pemerintah pusat. Diharapkan untuk masa mendatang, pendapatan
dari pariwisata alam (ekowisata) TNGR dapat
membiayai operasional kegiatan pengelolaan sehingga dapat mengurangi beban biaya dari pemerintah. 2. Sumber Pembiyaan Pendukung Sumber pembiyaan pendukung ini berupa
bantuan atau investasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah propinsi dan/atau pemerintah kabupaten sebagai bagian dari rasa kepemilikan terhadap TNGR sebagai icon bagi masyarakat dan pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat. 3. Sumber Pembiyaan Partisipatif Sumber pembiayaan partisipasif ini berasal dari kalangan investor yang berusaha di kawasan TNGR. Selain itu sebagai wujud rasa tanggung jawab segenap lapisan masyarakat dapat dilakukan penarikan retribusi jasa lingkungan (misalnya untuk air irigasi dan air minum). Penarikan retribusi air minum ini bisa dilakukan bersamaan dengan pembayaran rekening air bulanan
bagi setiap pelanggan yang besarnya proporsional berdasarkan
besar kecilnya konsumsi air. Untuk wilayah Kabupaten Lombok Barat, telah dikeluarkan Perda No 4 tahun 2007 tentang “Pengelolaan Jasa Lingkungan”. Dalam perda ini disebutkan bahwa obyek pembayaran jasa lingkungan meliputi: (1) berdasarkan manfaat langsung yang terdiri atas air permukaan dan air bawah tanah yang dikomersialkan, dan (2) berdasarkan manfaat tidak langsung yang terdiri atas wisata alam, hutan raya, hutan adat, hutan lindung, dan hutan wisata. 4. Sumber Pembiyaan Sukarela Pembiayaan dapat berupa sumbangan sukarela atau pinjaman tanpa bunga dan tidak mengikat. Pembiayan ini dapat berasal dari lembaga donor nasional
dan
internasional,
Lembaga
swadaya
masyarakat
ataupun
203 perorangan. Pembiayaan sukarela ini tetap harus dikoordinasikan dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kendali keuangan TNGR. 5. Hasil Pengembangan Ekowisata Salah satu sumber penerimaan potensial adalah dari hasil pengembangan ekowisata, hanya saja biaya yang dialokasikan untuk konservasi relatif kecil, bahkan terjadi konflik dalam pengelolaan. Sebagai contoh, objek wisata Otak Kokoq Joben (wilayah TNGR) dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, tapi pelaksana-annya dikontrakkan ke pihak kedua dengan nilai kontrak untuk tahun 2007 sebesar Rp 158 700 000,- Dari jumlah tersebut hanya Rp 5 juta (3,15%) diserahkan ke Balai TNGR untuk biaya konservasi. Selain sumber pembiayaan seperti yang disebutkan di atas, alternatif sumber pembiayaan lainnya adalah melalui keterlibatan lembaga keuangan (perbankan). Dalam hal ini skim kredit yang selama ini diperuntukkan bagi masyarakat/pengusaha kecil; dengan beberapa penyesuaian/modifikasi dapat dialokasikan untuk membiayai kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan sapi dengan model SIDASARI. Beberapa ketentuan dan modifikasi sehubungan dengan kredit pemberdayaan masyarakat di kawasan penyangga TNGR dengan model SIDASARI adalah: 1) Lembaga keuangan (perbankan) membiayai modal awal pembelian sapi yang akan dipelihara oleh kelompok sasaran 2) Masa tenggang waktu pengembalian (grace period) pinjaman adalah 4 - 5 tahun (satu kali periode pemberdayaan) 3) Bunga pinjaman disubsidi oleh pemerintah 4) Pengembalian modal pinjaman diperoleh dari hasil penjualan induk sapi yang telah digunakan untuk pemberdayaan (4 kali perguliran). Dukungan dan keterlibatan lembaga keuangan juga sangat dibutuhkan dalam rangka pengembangan kegiatan usaha kecil hasil hutan bukan kayu. Tujuannya adalah untuk memperkuat struktur permodalan kelompok melalui model kredit/pembiayaan usaha kecil hasil hutan bukan kayu. Salah satu model dan mekanisme yang dapat diterapkan adalah model Kredit Usaha Mikro Pertanian Organik (KUMPO) yang dekembangkan oleh Kusmuljono (2007).