vii
IDENTIFIKASI FUNGSI DAN PERAN STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKPS)
EKA DANA PRABOWO
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
vii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholders dalam Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014 Eka Dana Prabowo NIM E34100057
ABSTRAK EKA DANA PRABOWO. Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholders dalam Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). Dibimbing oleh HARNIOS ARIEF dan TUTUT SUNARMINTO. Kawasan TNKpS berupa areal laut, terdiri dari 110 daratan kecil dengan 108 daratan diluar otoritas pengelolaan TNKpS dan lima diantaranya adalah daratan pemukiman yang dihuni 14.061 orang. Selain kondisi kawasan, kompleksitas pengelolaan terdapat pada aktualisasi fungsi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan pada sumberdaya alam di TNKpS. Untuk mengatasi kompleksitas pengelolaan dibutuhkan kolaborasi dengan pihak lain agar tujuan pengelolaan konservasi tercapai. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi fungsi dan peran, menganalisis keterkaitan dan tingkat kepuasan stakeholder yang berkolaborasi berdasarkan aspek konservasi. Penelitian dilakukan pada seluruh SPTN TNKpS, menggunakan metode kuisioner tertutup, dianalisis secara deskriptif dan SWOT. Stakeholder terdiri dari lembaga pemerintahan, swasta, LSM, dan masyarakat. Peran positif dominan pada kegiatan konservasi, hanya Pengelolaan abrasi dan intrusi air laut, pengaturan cara pemanfaatan dan pengelolaan daya dukung kawasan belum dilakukan oleh seluruh stakeholder. Keterkaitan antar stakeholder berupa keterkaitan mutualisme dan parasitisme dengan tingkat kepuasan antar stakeholder yang bekerjasama agak puas kecuali TNKpS dengan Pemda Kep. Seribu. Kata kunci: kolaborasi, stakeholder, TNKpS.
ABSTRACT EKA DANA PRABOWO. The Identification of Stakeholders Role and Function in Management of Kepulauan Seribu Marine National Park. Supervised by HARNIOS ARIEF and TUTUT SUNARMINTO. The TNKpS area was marine consist of 110 small land with 108 land outside management authority of TNKpS and five of which are settlement land which occupied by 14,061 people. Beside the area condition, management complexities were actualization of protection, preservation, and utilization of natural resources in TNKpS. To overcome the management complexities, collaboration with other stkakeholders were needed so that the goals of management could be achieved. The purpose of this research is to identify the function and the role, analyze the relevance and the level of satisfaction among stakeholder based on conservation aspects. Research was done on the all of TNKpS’ SPTN by using a closed-ended questionnaire method, analyzed by descriptive and SWOT. Stakeholders consist of government institutions, private sectors, NGOs, and the communities organization. Positive roles were the dominant to conservation activities only the management of abration and intrution, utilization, and carrying capacity has not been done by all of the stakeholders. The interaction among stakeholders as mutualism and parasitism with the levels of satisfaction was quite satisfied unless TNKpS and local government. Keywords: collaboration, stakeholder, TNKpS
vii
IDENTIFIKASI FUNGSI DAN PERAN STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKPS)
EKA DANA PRABOWO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
vii Judul Skripsi : Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholders dalam Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) Nama : Eka Dana Prabowo NIM : E34100057
Disetujui oleh
Dr Ir Harnios Arief, MScF Pembimbing I
Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul “Identifikasi fungsi dan peran stakeholder dalam pengelolaan TNKpS” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini juga disusun untuk mengembangkan wawasan penulis mengenai stakeholder dalam pengelolaan taman nasional. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Harnios Arief, MScF dan Bapak Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran, masukan, dan bimbingan selama proses penyusunan skripsi dari awal sampai akhir penyelesaian skripsi ini. Ucapat terima kasih kepada Pihak BTNKpS, Pegawai masing-masing SPTN dan resort serta kepada lembagalembaga yang bersedia meluangkan waktu untuk membantu penulis. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada papa dan mama, Agung Satriono dan Lisda Lusiana serta adik-adik tercinta Farid Fajar, Khoirul Anam, dan Salsabila yang selalu mendoakan, mengingatkan, memberi semangat, dukungan, dan kasih sayang yang tak terhingga. Penulis juga tidak lupa berterima kasih kepada teman hidup Rizqiah Megawati dan “keluarga kecil” KPH 47 serta sahabat-sahabat di departemen KSHE Felisia dan Arizka serta teman-teman NR 47 yang telah memberikan semangat, dukungan, kritik dan sarannya. Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Eka Dana Prabowo
vii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian METODE Kerangka Pemikiran Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Subyek Penelitian Jenis Data Metode Pengambilan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Fungsi dan Peran Keterkaitan Antar Stakeholder Tingkat Kepuasan Stakeholder yang Berkolaborasi SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii vii vii 1 1 2 2 2 2 3 5 5 5 6 7 7 25 28 30 30 31 32 33
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Pulau-pulau lokasi penelitian Alat dan subyek penelitian Panduan analisis fungsi dan peran stakeholder Panduan analisis SWOT Stakeholders dalam pengelolaan TNKpS Peran stakeholder berdasarkan matriks SWOT
3 5 6 7 8 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Kerangka pemikiran penelitian Pulau-Pulau Lokasi Penelitian Nilai persepsi dari aspek perlindungan Nilai persepsi pada aspek pengawetan Nilai persepsi aspek pemanfaatan secara lestari Keterkaitan antar stakeholders Pola keterkaitan antar stakeholders menurut WWF (2000) Nilai persepsi tingkat kepuasan antar stakeholder
3 4 13 15 17 26 27 29
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kesesuaian kolaborasi dengan RPTN TNKpS 2 Peran utama para pihak dalam pengelolaan 3 Indikator dalam pengelolaan konservasi (77 indikator dalam 11 kriteria)
33 34 35
PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Laut menurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 adalah kawasan dengan ciri spesifik di suatu perairan yang mempunyai fungsi lindung, pengawetan dan pemanfaatan yang lestari. Kawasan taman nasional laut memiliki karakteristik dan kondisi habitat yang unik serta keanekaragaman hayati yang tinggi dengan sebagian besar kawasan taman nasional laut merupakan kawasan kepulauan. Taman nasional laut dikelola dengan menggunakan sistem zonasi yaitu zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan lain seperti zona penyangga dan lainnya (UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS) ditetapkan sebagai taman nasional laut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Penetapan Kawasan Pelestarian Alam Perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 hektar. Kawasan TNKpS merupakan bagian dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (BTNKpS 2008). Keanekaragaman hayati kawasan TNKpS terbilang tinggi yaitu terdiri dari 15 jenis tumbuhan ekosistem mangrove, 15 jenis tumbuhan pantai,lebih dari 7 jenis lamun, 130 genera terumbu karang. Jenis-jenis faunanya seperti 242 jenis ikan karang, 141 spesies makrobentos, 58 nudibren (kelinci laut), lumba-lumba, abalon, kuda laut, lobster, ikan flasher, udang mantis, kelompok ikan renyok, gurita dan biota laut seperti 7 jenis kima 3 diantaranya dilindungi dan 2 jenis penyu (sisik dan hijau). Keanekaragamn hayati yang tinggi menimbulkan banyak kepentingan dalam pengelolaan kawasan pada berbagai sektor, seperti sektor pelestarian alam, pemberdayaan masyarakat, dan pemanfaatan jasa wisata. Kawasan TNKpS seluruhnya merupakan kawasan perairan laut meskipun didalamnya terdapat 110 daratan yang terdiri dari pulau, karang, dan gosong namun hanya dua pulau yang dikelola oleh TNKpS (P. Penjaliran Barat dan Timur). Didalam kawasan TNKpS juga dari 108 daratan lima diantaranya adalah pulau pemukiman dengan jumlah penduduk mencapai 14.061 jiwa. Kompleksitas pengelolaan TNKpS selain kondisi kawasan juga terdapat pada aktualisasi penerapan konservasi yaitu bidang perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. kompleksitas pengelolaan TNKpS tidak dapat diselesaikan oleh pihak TNKpS sendiri melainkan harus berkolaborasi denga pihak lain agar tujuan pengelolaan konservasi terwujud. Kolaborasi dapat efektif jika masing-masing pihak mengetahui peran masingmasing untuk mencapai tujuan kolaborasi, sehingga penting untuk diidentifikasi peran masing-masing stakeholder dalam pengelolaan konservasi. Kejelasan fungsi dan peran para pihak dalam pengelolaan konservasi dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi terhadap rencana pengelolaan TNKpS. Selain itu dapat menjadi bahan pertimbangan dalam kolaborasi pengelolaan TNKpS, sehingga penelitian mengenai identifikasi fungsi dan peran stakeholder dalam pengelolaan TNKpS penting untuk dilakukan
2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah : a. Mengidentifikasi fungsi dan peran masing-masing Stakeholder berdasarkan aspek konservasi. b. Menganalisis dan memetakan keterkaitan antar Stakeholder dalam pengelolaan TNKpS yang didasarkan pada aspek konservasi. c. Mengukur tingkat kepuasan antar stakeholder yang berkolaborasi.
Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan mampu memberikan pertimbangan serta menjadi dasar pengambilan keputusan oleh para pihak-pihak terkait dalam pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable development) Taman Nasional Kepulauan Seribu.
METODE Kerangka Pemikiran Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) dapat memberikan manfaat baik secara langsung (tangible) maupun manfaat tidak langsung (intangible) terhadap masyarakat sekitar dan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan TNKpS. Manfaat yang didapat berasal dari potensi keanekaragaman hayati yang tinggi pada kawasan TNKpS. Manfaat yang diberikan TNKpS memunculkan banyak kepentingan yang berpotensi menimbulkan pengelolaan yang tidak efektif jika antar pihak yang mengelola tidak ada komunikasi dan kerjasama dalam pengelolaan. Kejelasan fungsi dan peran stakeholder dalam pengelolaan konservasi perlu dipetakan dengan jelas, oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang mengarah pada kejelasan fungsi dan peran konservasi masing-masing pihak sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membentuk pengelolaan secara bersamasama di TNKpS. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kejelasan peran masing-masing pihak dalam pengelolaan konservasi di TNKpS. Hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan TNKpS, kemudian menganalisis peran masing-masing stakeholder pada aspek konservasi. Analisis yang dilakukan dengan melihat nilai persepsi pada setiap peran yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder, kemudian diverifikasi dengan kenyataan atau kaeadaan faktualnya. Selanjutnya, menganalisis hubungan antar stakeholder yang berkolaborasi dan dianalisis juga tingkat kepuasan antar stakeholder yang berkolaborasi. Kegiatan di atas dilakukan untuk mengetahui bagaimana peran masingmasing stakeholder saat ini dalam tiga aspek konservasi yang berkaitan dengan pengelolaan TNKpS. Berikut disajikan alur pemikiran dalam penelitian pada Gambar 1.
3 TNKpS
SDAH
SDM
Perlindungan
Pengawetan
Pemanfaatan secara lestari
Stakeholders
Stakeholders
Stakeholders
Peran Pengawetan
Peran Perlindungan
Peran Pemanfaatan
Analisis Normatif
Implementatif
Kepuasan
Keterkaitan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada tanggal 5 Maret sampai 5 April 2014 di kawasan TNKpS SPTN I , II, dan III khususnya di pulau-pulau tempat stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan TNKpS. Berikut disajikan Tabel 1 lokasi yang menjadi tempat penelitian.
Tabel 1 Pulau-pulau lokasi penelitian Nama Pulau Stakeholder
Seksi Pengelolaan SPTN I Pulau Kelapa Pulau Kelapa Pulau Kelapa dua Pulau Macan Kecil SPTN II Pulau Harapan Pulau Harapan Pulau Sepa Besar SPTN III Pulau Pramuka Pulau Pramuka Pulau Panggang Pulau Kotok Besar
Kecamatan Kep. Seribu utara, Kelurahan P. Kelapa, SPKP Bintang Laut SPTN I dan tiga resort, tokoh masyarakat PT. United Adventures Kelurahan P. Harapan, SPTN II dan 3 resort, tokoh masyarakat, Paguyuban Bintang Harapan, SPKP Elang Bondol, PT. Pulau Sepa Permai Pemerintah Kabupaten Kep. Seribu, SPTN III dan 2 resort, SPKP Samo-samo, KPA, MMP, tokoh masyarakat, Gurita, AJWKS, Yayasan Terangi Kelurahan P. panggang, Pernitas JAAN
4 Pemilihan waktu pada bulan Maret sampai April tersebut dipilih tidak mengacu pada tujuan atau objektivitas tertentu, sedangkan lokasi dipilih berdasarkan keberadaan stakeholder yang menjadi subyek penelitian seperti disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Pulau-Pulau Lokasi Penelitian
5 Alat dan Subyek Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian merupakan sarana yang dibutuhkan dan mampu membantu dalan pengambilan data. Subyek yang digunakan merupakan para pihak yang mampu merespon dan berpikir terhadap hal-hal yang ditanyakan. Alat dan subyek yang dibutuhkan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Alat dan subyek penelitian Alat Subyek Kamera adalah alat untuk dokumentasi Subyek dalam penelitian adalah kegiatan seluruh stakeholder yang Alat perekam perangkat bantu wawancara berkaitan dengan pengelolaan yang merekam percakapan TNKpS Kuisioner alat untuk memperoleh data Jenis Data Data Sekunder Data sekunder berupa penelusuran dokumen berupa buku, laporan hasil kegiatan dan laporan lainnya, digunakan untuk menunjang data primer yang akan dikumpulkan, maupun sebagai studi literatur pada awal penyusunan penelitian ini. Data sekunder yang dikumpulkan berupa keadaan umum lokasi (letak, luas, kondisi fisik, dan sosial ekonomi) dan data kependudukan (jumlah, tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan potensi lahan). Data Primer Data primer diperoleh dari observasi langsung di TNKpS serta dengan kuisioner tertutup (closed-ended) kepada para stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan TNKpS baik pengelola, LSM, dan masyarakat.
Metode Pengambilan Data Pengumpulan data primer yang pertama adalah mengidentifikasi seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan TNKpS pada aspek konservasi. Identifikasi stakeholder adalah untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders dilakukan dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan hutan (Colfer et al. 1999). Pengumpulan data primer selanjutnya adalah observasi langsung di TNKpS. Kegiatan observasi langsung di TNKpS dilakukan dengan tujuan untuk mengecek kondisi aktual atas informasi atau data yang disampaikan, serta untuk mendapatkan gambaran langsung atas isu-isu yang muncul dari sumber ataupun wawancara dalam hal yang terkait dengan topik penelitian. Pengumpulan data primer yang terakhir adalah kuisioner tertutup (closedended questionnaires). Kuisioner tertutup merupakan teknik pengumpulan data dalam penelitian sosial, responden tidak menjawab pertanyaan yang diberikan secara bebas dan berdasarkan kemampuan mereka, namun reponden diberikan opsi
6 yang ditentukan oleh peneliti untuk menjawabnya. Menurut Reja et al. (2003), kuisioner tertutup membatasi reponden kepada serangkaian alternatif jawaban yang ditawarkan dalam suatu kegiatan penelitian kualitatif. Keuntungannya adalah kemudahan dalam pengkategorian jawaban responden terlebih jika analisis yang dilakukan berkaitan dengan skala dan skor. Kerugian dari teknik adalah dimungkinkan terjadinya bias data dalam jawaban yang ditawarkan (Reja et al. 2003). Kuisioner tertutup diformulasikan menjadi tujuh skala berdasarkan skala likert yang disesuaikan (Avenzora 2008). Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka, yaitu dengan penelusuran pustaka, dokumen, dan laporan untuk memperoleh data pendukung, data tambahan, maupun penjelasan ilmiah yang terkait dengan topik penelitian. Studi pustaka pada penelitian ini merupakan pelengkap dari metode kuisioner, yaitu dengan mengumpulkan pustaka mengenai stakeholder dan perannya dalam pengelolaan konservasi, hasil laporan kegiatan atau dokumen pengelolaan TNKpS seperti data umum lokasi, data kependudukan, Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) TNKpS, rencana strategis TNKpS, laporan bulanan dan tahunan TNKpS serta peraturan perundang-undangan pengelolaan kawasan konservasi.
Analisis Data Data yang berasal dari pengolahan kuisioner skala likert dengan didasarkan pada fungsi dan peran stakeholder pada aspek konservasi, dianalisis secara statistik deskriptif. Analisis statistik deskriptif adalah penjabaran secara deskriptif hasil pengolahan statistik kuisioner skala likert. Berikut disajikan fungsi dan peran stakeholder aspek konservasi pada Tabel 3.
Tabel 3 Panduan analisis fungsi dan peran stakeholder Parameter Hasil Pengamatan Fungsi Peran Perlindungan 1) Penentuan wilayah perlindungan 2) Pola dasar pembinaan wilayah 3) Pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan serta Pengamanan kawasan secara efektif 4) Pengaturan cara pemanfaatan 1) Pengelolaan keanekaragaman Pengawetan 2) Penerapan koridor hidupan liar 3) Pemulihan ekosistem 4) Penutupan kawasan Pemanfaatan 1) Pemanfaatn kondisi lingkungan secara lestari 2) Pemanfaatan jenis tumbuhan 3) Pemanfaatan jenis satwa liar
Fungsi dan peran pada aspek konservasi dihimpun dan disintesis dari perundang-undangan terkait dengan fungsi dan peran dalam pengelolaan kawasan
7 konservasi. Peraturan perundang-undangan yang digunakan mencakup UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP No. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. Analisis selanjutnya menggunakan metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) untuk mengidentifikasi dan menganalisis fungsi dan peran stakeholder dari empat aspek SWOT. Analisis SWOT merupakan metode analisis yang merangkum kondisi lembaga saat ini dan membantu untuk menentukan dan mengembangkan rencana pengelolaan untuk masa depan dengan langkah meningkatkan kekuatan saat ini, mengurangi kelemahan lembaga, mengeksploitasi keuntungan yang dimiliki, dan bertahan dari segala ancaman dengan menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal (Bell 2003). Perpaduan aspek SWOT disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Panduan analisis SWOT Internal Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weekness) Divestment/investment Peluang (Opportunities) Comparative advantage Mobilization Damage control Ancaman (Threats) Perpaduan matriks di atas akan menjadikan analisis bagi pengembangan dan pengelolaan kawasan, yakni: 1. Strength-Opportunity (Comparative advantage) 2. Strength-Threat (Mobilization) 3. Weakness-Opportunity (Divestment/investment) 4. Weakness-Threat (Damage control) Penelitian ini menggunakan analisis SWOT sebagai cara untuk menentukan posisi masing-masing peran stakeholder yang menjadi dasar analisis pengembangan strategi pada tahapan selanjutnya. Eksternal
HASIL DAN PEMBAHASAN Fungsi dan Peran Stakeholder Stakeholders Stakeholder merupakan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan memiliki obyektivitas masing-masing dalam pengelolaan kawasan. Pengelola TNKpS terdiri dari kelompok-kelompok tertentu berdasarkan aspek konservasi yang berjumlah 36 pemangku kepentingan. Kelompok-kelompok pemangku kepentingan terbagi ke dalam empat kategori kelompok berdasarkan fungsi masingmasing dalam kawasan TNKpS. Lembaga Pemerintahan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintahan negara sesuai dengan tujuan dan ranah kerja masing-masing. Pemangku kepentingan yang berada pada lembaga ini terdiri dari Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (BTNKpS) yang merupakan lembaga pemerintahan bidang konservasi. Stakeholder pada BTNKpS terdiri dari kepala
8 balai, kepala seksi pengelolaan, dan kepala resort yang menjadi unit pengelolaan terkecil taman nasional yang merupakan aplikasi dari Resort Pengelolaan Wilayah (RPW) dalam sistem pengelolaan berbasis resort atau Resort Based Management (RBM). Berikut disajikan pengelompokkan stakeholder pada Tabel 5.
No 1
2
3
4
Tabel 5 Stakeholders dalam pengelolaan TNKpS Fokus Keterangan Kelompok pengelolaan stakeholders A B C D E F G Lembaga - Pengelolaan A meliputi pemerintahan pemerintah kabupaten dan tiga kelurahan Kep. Seribu (Kelurahan √ √ pulau Panggang, Pulau Harapan, dan Pulau Kelapa) - Pengelolaan B meliputi BTNKpS, tiga SPTN, dan delapan resort Lembaga swasta Bidang pengelolaan C dan D √ √ meliputi PT.Pulau Sepa Permai dan PT.United Adventures LSM - Pengelolaan E meliputi JAAN (Jakarta Animal Aid Network) √ √ - Pengelolaan F meliputi Yayasan Terangi (terumbu karang indonesia) Lembaga - Pengelolaan D meliputi Gurita masyarakat (guide, tour, and travel), Paguyuban Bintang Harapan dan AJWKS (Asosiasi Jasa Wisata Kep. Seribu) - Pengelolaan F meliputi Pernitas (perhimpunan nelayan ikan hias √ √ √ dan tanaman hias) - Pengelolaan G meliputi tiga SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutana Pedesaan), KPA (Kelompok Pecinta Alam), MMP (Masyarakat Mitra Polhut), tokoh masyarakat dalam pelestarian kawasan Total stakeholders 36 Stakeholders
Keterangan: A=pengelolaan administratif, B=konservasi, C=pelestarian penyu, D=wisata, E=rehabilitasi elang, F=pelestarian terumbu karang, G=pemberdayaan masyarakat
Pemerintah daerah (pemda) berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah lembaga pemerintahan yang terdiri dari pemerintah propinsi, kabupaten atau kota, dan perangkat daerah mencakup kecamatan dan
9 kelurahan dan berperan dalam pengelolaan kawasan, pembangunan sarana prasarana, masyarakat, dan menjaga hubungan sosial. Stakeholder dari pemda yang berperan dalam pengelolaan kawasan TNKpS meliputi Pemerintah Kabupaten (pemkab) Kepulauan Seribu, Kecamatan Kep. Seribu Utara, Kelurahan Pulau Panggang, Pulau Kelapa, dan Pulau Harapan. Lembaga swasta yang berperan dalam pengelolaan TNKpS adalah lembagalembaga yang bekerjasama secara formal dengan TNKpS pada berbagai fokus pengelolaan. Hingga bulan Februari tercatat lembaga swasta tersebut meliputi PT. Pulau Sepa Permai dan PT. United Adventures yang memiliki dan mengelola Pulau Sepa Besar serta Pulau Macan Kecil dengan fokus kerjasama upaya pelestarian penyu sisik sebagai ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata) Pengembangan atraksi wisata alam pada habitat Penyu Sisik. Lembaga swasta lainnya adalah CNOOC Ses. Ltd (China National Offshore Oil Corporation-South-east Sumatra) dengan fokus kerjasama pada program pengembangan sumber daya manusia serta kegiata konservasi yang diaplikasikan melalui SPKP Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan merupakan perwujudan program pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi atau disebut dengan model desa konservasi (MDK). SPKP di TNKpS berada pada masing-masing seksi pengelolaan wilayah, yaitu SPKP Bintang Laut di SPTN wil. I, SPKP Elang Bondol di SPTN wil. II, dan SPKP Samo-samo di SPTN wil. III. SPKP menjadi pemangku kepentingan yang mewakili CNOOC Ses. Ltd karena seluruh kegiatan lingkungan yang dilakukan CNOOC, pemrakarsa dan pelaksananya merupakan SPKP seperti penanaman jenis-jenis bakau, pelestarian penyu sisik, dan program pemberdayaan masyarakat. Peran CNOOC lebih pada pendamping dan sumber pendanaan dalam kegiatan kemasyarakatan dan konservasi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berperan dalam pengelolaan TNKpS merupakan lembaga yang juga menjalin kerjasama formal dengan TNKpS. LSM yang bekerjasama yaitu JAAN dengan fokus kerjasama pada rehabilitasi elang laut di Pulau Kotok Besar dan pembinaan SPKP dalam pemanfaatan atau pengolahan sampah. LSM lainnya yaitu Yayasan Terangi (terumbu karang indonesia) dengan fokus kerjasama pada pengelolaan ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu. Yayasan Terangi juga berfokus pada pemberdayaan masyarakat khususnya mengenai terumbu karang melalui pelatihan pemanfaatan, pelatihan pemanduan dikawasan terumbu karang. Lembaga masyarakat merupakan lembaga dengan pengelolaan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan konservasi berasal dari masyarakat setempat dan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga masyarakat yang ikut berperan dalam pengelolaan konservasi TNKpS adalah Paguyuban Bintang Harapan dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat bidang pemanduan jasa wisata, Pernitas dengan fokus pemberdayaan masyarakat bidang pelestarian dan pemanfaatan terumbu karang hasil transplantasi, GURITA sebagai himpunan utama penyedia jasa wisata kepulauan seribu dengan pengelolaan seperti penetapan standar tarif dan paket, penetapan SOP pemanduan di terumbu karang, dan membantu dalam kegiatan pelestarian lingkungan khususnya di ekosistem terumbu karang. Kelompok Pecinta Alam (KPA) merupakan lembaga pemberdayaan masyarakat khususnya para pemuda kepulauan seribu P. Pramuka-Panggang dalam pelestarian kawasan dan MMP merupakan bentuk kerjasama dan pemberdayaan masyarakat dalam perlindungan kawasan serta upaya pelestarian kawasan. Lembaga-lembaga di atas
10 merupakan lembaga yang dibina serta dibimbing oleh TNKpS dan memainkan peran aktif dalam masyarakat sekitar untuk berkontribusi dalam pengelolaan kawasan TNKpS. Selain lembaga binaan TNKpS, lembaga lain yang tidak dibina namun berperan dalam pengelolaan kawasan adalah AJWKS yang memiliki tujuan sebagai payung utama lembaga wisata seluruh Kepulauan Seribu dengan bimbingan dan arahan dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu. Adanya masyarakat dalam kawasan TNKpS menjadi situasi yang membutuhkan perhatian khusus, karena jumlah masyarakat sangat banyak hingga mencapai 14.061 jiwa dalam tiga kelurahan (P. Panggang, P.Kelapa, dan P. Harapan. Masyarakat tidak keseluruhan tergabung ke dalam kelompok-kelompok masyarakat (Tabel 4), namun masyarakat tetap merupakan stakeholder dalam pengelolaan kawasan. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memiliki tokohtokoh yang dihormati serta didengar aspirasi dan arahannya, sehingga tokoh-tokoh masyarakat terebut dapat dikategorikan stakeholder yang mewakili masyarakat kawasan TNKpS. Kondisi tersebut sejalan dengan pernyataan Eden and Ackermann (1998) dalam Bryson (2004), stakeholder merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi atau suatu kelompok. Tabel 4 menjelaskan bahwa pihak-pihak tersebut tergolong stakeholder karena memiliki hak dan kepentingan masing-masing dalam kawasan TNKpS. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Meyer (2005) yang mendefinisikan stakeholder adalah mereka yang memiliki hak dan kepentingan dalam sebuah sistem. Stakeholder dapat berupa perorangan, komunitas, grup sosial, atau organisasi. Masing-masing stakeholder memiliki tujuan tersendiri dalam kawasan TNKpS, sehingga dibutuhkan peran aktif TNKpS untuk menyatukan persepsi konservasi dalam peran masing-masing untuk mencapai pengelolaan TNKpS yang efektif untuk kesejahteraan masyarakat.
Analisis kesesuaian kolaborasi dengan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) disusun dalam jangka panjang yang menjadi dasar arah pengelolaan taman nasional. Program-program yang dilakukan di taman nasional harus berada dalam lingkup RPTN baik yang dilakukan oleh taman nasional maupun melalui kolaborasi dengan pihak lain sehingga tujuan jangka panjang taman nasional dapat tercapai. Rencana pengelolaan taman nasional TNKpS dibuat dalam jangka waktu 20 tahun yaitu dari tahun 1999 hingga tahun 2019. Rencana pengelolaan TNKpS diformulasikan menjadi 15 aspek pengelolaan yang didasari oleh aspek konservasi untuk kelestarian kawasan dan kesejahteraan masyarakat. 15 rencana pengelolaan TNKpS yaitu program inventarisasi sumberdaya alam dan permasalahannya, program pengelolaan database potensi kawasan, program evaluasi pengelolaan zonasi, program pemanfaatan potensi sda, program promosi dan publikasi, program pengelolaan keanekaragaman hayati, program pemanfaatan jasa lingkungan, program perlindungan dan pengamanan kawasan, program pembinaan dan pengembangan daerah penyangga, program peningkatan sdm & kelembagaan terdiri dari, program pengembangan kerjasama & kolaborasi antar instasi terkait, program penelitian manajemen (management
11 research), program pembangunan sarana prasarana penunjang, program perencanaan dan strategi pendanaan, dan program mitigasi, adaptasi serta perubahan iklim Stakeholder dalam pengelolaan TNKpS terdiri dari berbagai latar belakang dan tujuan. Ditinjau berdasarkan RPTN TNKpS, stakeholder yang berkolaborasi mencakup pada enam aspek (Lampiran 1) yaitu program pemanfaatan potensi sumberdaya alam, program pengelolaan keanekaragaman hayati, program pemanfaatan jasa lingkungan, program perlindungan serta pengamanan kawasan, program pembinaan dan pengembangan daerah penyangga, program pembangunan sarana prasarana penunjang. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu melaksanakan keseluruhan program dari RPTN, hal tersebut dikarenakan TNKpS merupakan penyusun dan pengelola utama TNKpS. Pemerintah daerah lebih pada program pembinaan dan pengembangan daerah penyangga yaitu pada pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam serta melakukan pembangunan infrastruktur umum di TNKpS meskipun tidak ada kerjasama dalam pembangunan tersebut. Lembaga swasta (PT. Pulau Sepa Permai dan PT. United Adventures) berkolaborasi dengan TNKpS dalam pengelolaan pelestarian penyu sisik dan pengembangan ODTWA (obyek dan daya tarik wisata alam). Hal tersebut sesuai dengan RPTN TNKpS yaitu program pengelolaan keanekaragaman hayati dan program pemanfaatan jasa lingkungan. Lembaga swadaya masyarakat (JAAN dan Terangi) melakukan kolaborasi dengan pihak TNKpS dalam pengelolaan rehabilitasi elang laut, pelestarian terumbu karang, serta pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat oleh JAAN mencakup pengembangan kapasitas dalam pengolahan sampah menjadi barang bernilai ekonomis seperti cinderamata, sedangkan oleh terangi dalam pembinaan pemanfaatan terumbu karang melalui proses transplantasi. Hal tersebut sesuai dengan RPTN TNKpS yaitu program pengelolaan keanekaragaman hayati dan program pembinaan dan pengembangan daerah penyangga. Lembaga wisata dari masyarakat yaitu GURITA, Paguyuban Bintang Harapan dan AJWKS melakukan pengelolaan wisata di TNKpS yang diarahkan pada konsep pengembangan ekowisata. Berbeda dengan GURITA dan AJWKS yang cakupan pengeloaannya seluruh TNKpS, Paguyuban Bintang Harapan terfokus pada pengelolaan wisata di Pulau Harapan. Lembaga tersebut merupakan binaan TNKpS (kecuali AJWKS) yang pengelolaannya sesuai dengan RPTN TNKpS dalam program pemanfaatan jasa lingkungan. Pengelolaan terumbu karang dalam hal pelestarian dan pemanfaatan melalui transplantasi dilakukan oleh Pernitas. Pengelolaan tersebut dilakukan dibimbing oleh Yayasan Terangi, TNKpS dan pemerintah daerah. Pemanfaatan terumbu karang melalui transplantasi dilakukan dengan sistem “bapak asuh”, yaitu masingmasing petani terumbu karang memiliki satu perusahaan yang menaungi dan menerima hasil transplantasi. Pengelolaan yang dilakukan Pernitas sesuai dengan RPTN TNKpS program pemanfaatan potensi SDA dan program pengelolaan keanekaragaman hayati. Program pemberdayaan masyarakat di TNKpS melalui SPKP pada masingmasing SPTN. Program pemberdayaan tersebut mencoba meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat melalui partisipasi dalam kegaiatan konservasi seperti program pengolahan sampah dan program pemanfaatan kepiting bakau yang
12 menjadi penghambat pertumbuhan propagul. Program yang dilakukan oleh SPKP sesuai dengan RPTN TNKpS pada program pemibinaan dan pengembangan daerah penyangga. Lembaga masyarakat KPA dan MMP merupakan masyarakat yang peduli akan kelestarian lingkungan untuk menjamin keberlangsungan kawasan yang mereka huni. Lembaga tersebut membantu TNKpS dalam kegiatan pelestarian kawasan, keanekaragaman hayati, dan pengamanan kawasan. Hal tersebut sesuai dengan RPTN TNKpS yaitu program pengelolaan keanekaragaman hayati dan program perlindungan serta pengamanan kawasan. Tokoh masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam seperti ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan ekonomi. Tokoh masyarakat menjadi pihak yang diharapkan mampu mengarahkan masyarakat untuk tidak melakukan pemanfaatan yang merusak ataupun melakukan pemanfaatan yang ilegal. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut sesuai dengan RPTN TNKpS yaitu program pemanfaatan potensi sumberdaya alam, namun harus tetap dalam pengawasan dan pembinaan TNKpS agar tetap dalam ranah pemanfaatan lestari serta tidak ilegal.
Fungsi dan peran dalam pengelolaan konservasi Fungsi konservasi adalah mandat yang dibebankan kepada setiap pemangku kepentingan dalam kegiatan konservasi, sedangkan peran konservasi adalah lakon yang dijalani oleh para stakeholder sesuai dengan fungsi yang diemban untuk mencapai tujuan-tujuan konservasi yaitu kesejahteraan masyarakat. Fungsi dan peran konservasi tersebut telah dibagi ke dalam tiga aspek konservasi yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari dengan nilai persepsi menggunakan skoring skala Likert (1-7) yang disesuaikan (1=Sangat tidak baik/ sangat tidak dilakukan, 2=Tidak baik/ tidak dilakukan, 3=Agak tidak baik/ agak tidak dilakukan, 4=Biasa saja, 5=Agak baik/ agak dilakukan, 6=Baik/ dilakukan, 7=Sangat baik/ sangat dilakukan). Aspek Perlindungan Aspek perlindungan merupakan kegiatan perlindungan kawasan yang difokuskan pada sistem penyangga kehidupan, sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1990 Pasal 5 poin pertama. Peran stakeholder pada kegiatan aspek perlindungan mencakup penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, pengelolaan dan pengamanan kawasan, serta pengaturan cara pemanfaatan Gambar 3 menunjukkan bahwa pengelolaan konservasi dari aspek perlindungan kawasan yang dilakukan pihak TNKpS tergolong agak baik (kategori 5). Daerah-daerah yang ditetapkan menjadi zona tertentu berdasarkan data lapang menunjukkan kesesuaian dengan potensi yang ada. Sebagai contoh pada Pulau Peteloran yang merupakan zona inti II, ditetapkan sebagai zona inti karena merupakan habitat utama penyu untuk bertelur sehingga dibentuklah pengelolaan terpadu yang disebut UKT (Unit Konservasi Terpadu). Kegiatan terendah (kategori 2; tidak dilakukan) adalah kegiatan penetapan Zona Ekonomi Eksklusif. Hal tersebut sesuai dengan fakta di lapangan bahwa pihak TNKpS tidak terlibat dalam penetapan zona tersebut, namun sebagai pihak yang
13 memiliki otoritas terhadap kawasan laut sehingga pihak TNKpS berperan aktif dalam pelaksanaan dan penjagaannya. Peran aspek perlindungan oleh pemerintah daerah menunjukkan nilai 5 (agak baik), namun memiliki faham yang berbeda dengan pengelolaan konservasi. Perlindungan yang dilakukan pemda adalah dalam perlindungan bibir pantai dari abrasi dan intrusi air laut. Kegiatan yang dilakukan pemda berupa pembuatan benteng atau dam yang digunakan untuk menghalangi masuknya air laut, namun secara ekologi tidak baik karena kawasan pemukiman seperti Pulau Pramuka merupakan tempat pendaratan penyu sisik untuk bertelur. Pantai yang dibentengi, menghalangi penyu sisik untuk bertelur sehingga kelestarian jenisnya terancam. Nilai persepsi aspek perlindungan disajikan pada Gambar 3.
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
TNKpS 5.06
Pemda 4.57
LSM 4.07
Swasta 4.21
Masyarakat 4.61
Pembinaan wilayah
5.21
5.60
4.71
5.93
4.87
Pengelolaan kerusakan dan pengamanan kawasan
5.27
4.94
4.07
5.57
4.89
pengaturan cara pemanfaatan
5.96
4.69
4.64
4.64
4.62
Penentuan wil. Perlindungan
Gambar 3 Nilai persepsi dari aspek perlindungan
Peran LSM dalam aspek perlindungan tergolong biasa saja (kategori 4) baik dari kegiatan pembinaan wilayah, pengelolaan kerusakan dan pengamanan kawasan, serta pengaturan cara pemanfaatan. Kegiatan paling rendah adalah pada penentuan wilayah perlindungan terutama pada penentuan zona ekonomi eksklusif karena pihak LSM tidak ikut terlibat. Kegiatan lain yang tergolong tidak dilakukan oleh pihak LSM adalah pengelolaan dan penataan obyek pengunjung, serta penetapan daya dukung kawasan. Hal tersebut dikarenakan LSM di TNKpS terfokus pada rehabilitasi ekosistem dan penyelamatan jenis elang laut serta terumbu karang. Lembaga swasta di TNKpS yang berperan dalam aspek perlindungan memiliki nilai 5 (agak baik). Pembinaan wilayah pada kegiatan pengelolaan pengunjung dan penataan obyek dilakukan tergolong sangat baik (nilai 7) karena fokus utama lembaga swasta di TNKpS adalah pengelolaan ODTWA. Kegiatan dengan nilai terendah (nilai 2; tidak dilakukan) adalah penetapan zona ekonomi eksklusif. Kegiatan perlindungan kawasan serta penjagaannya dilakukan dengan nilai tertinggi yaitu 5.57 (kategori baik), namun kegiatan tersebut lebih difokuskan pada area wilayah kerja masing-masing lembaga swasta.
14 Secara keseluruhan, peran masyarakat dalam aspek perlindungan agak baik (nilai 5). Peran masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat lebih bersifat partisipatif dan kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan, seperti kegiatan inventarisasi dan penentuan wilayah perlindungan yang memiliki nilai 3.20 (kategori agak tidak dilakukan). Kegiatan pembinaan wilayah menunjukkan bahwa pihak masyarakat sudah agak baik (kategori 5). Salah satunya terlihat dalam upaya pengendalian abrasi bibir pantai dengan penanaman jenis-jenis bakau yang selalu dilakukan berkoordinasi dengan pihak TNKpS maupun pihak swasta dan LSM. Penanaman bakau sebagai pelindung pulau dari abrasi dan intrusi serta sebagai habitat bagi keanekaragaman hayati lain hanya dilakukan oleh lembaga masyarakat, sedangkan masyarakat pada umumnya menganggap penanaman tersebut sebagai sumber nyamuk yang berpotensi menjadi penyakit. Kegiatan pencegahan, penanggulangan, pembatasan kerusakan dan pengamanan kawasan, aktivitas yang tergolong agak baik (kategori 5) dan baik (kategori 6) adalah kegiatan patroli rutin dan kemitraan dalam pengamanan kawasan. Berdasarkan kondisi di lapangan kegiatan pengamanan oleh masyarakat terbatas pada masyarakat yang tergabung dalam lembaga-lembaga masyarakat pada Tabel 5. Masyarakat secara luas belum menyadari pentingnya perlindungan kawasan bagi kehidupan, masyarakat cenderung melakukan perusakan terhadap kawasan seperti pengambilan batu karang dan pasir laut secara ilegal. Aspek Pengawetan Aspek konservasi selanjutnya adalah pengawetan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya. Berdasarkan Gambar 4, pengelolaan yang dilakukan TNKpS sudah baik (kategori 6). Kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi flora, fauna dan habitatnya saat ini semakin intensif diadakan, karena TNKpS baru saja melaksanakan pengelolaan berbasis resort atau Resort Based Management (RBM) sejak awal tahun 2014. Kegiatan penyelamatan jenis dan ekosistemnya sudah agak baik, namun kegiatannya masih terbatas pada penyelamatan penyu dan rehabilitasi elang laut (JAAN) serta penanaman mangrove. Penyelamatan biota langka dilakukan dengan penjagaan dari pengambilan oleh pihak lain dari alam. Hatchery biota langka pernah dilakukan, namun saat ini sudah tidak berjalan lagi dikarenakan adanya ego sektoral yang mengakibatkan perbedaan kepentingan sehingga program tersebut terhenti. Pengelolaan koridor hidupan liar belum dilakukan, masih berupa menjaga tempat tujuan satwa bergerak. Contohnya adalah pada perlindungan penyu saat akan bertelur pada suatu pulau, jika pada pulau-pulau zona inti II (P. Peteloran Barat dan Timur, Penjaliran Barat dan Timur) akan dilakukan penjagaan sarang karena pelestariannya bersifat alami sedangkan pada pulau lain akan segera diambil untuk ditetaskan dan dikelola secara semi-alami. Tingkat kehilangan telur masih tinggi, hal tersebut dapat terjadi secara alami (biawak) maupun pengambilan oleh manusia. Peran pemda dalam pengelolaan pada aspek pengawetan tergolong biasa saja (kategori 4). Namun kegiatan yang agak tidak baik dan kurang dilakukan adalah kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang memiliki nilai 3. Hal tersebut terlihat dari hampir seluruh indikator tergolong nilai 3 yaitu inventarisasi potensi flora fauna dan habitat, identifikasi flora, fauna dan habitatnya, pemantauan , perlindungan spesies migran dan dilindungi, pengawasan perburuan
15 illegal dan perusakan ekosistem, serta penelitian dan pengembangan. Kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya lebih difokuskan pada pengelolaan di area laut, sedangkan pada area darat masih kurang perhatian, seperti disajikan pada Gambar 4.
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
TNKpS
Pemda
LSM
Swasta
Masyarakat
Pengelolaan KEHATI dan ekosistemnya
6.07
3.31
4.36
3.21
4.30
Penerapan koridor hidupan liar
5.79
3.43
4.14
3.21
4.21
Pemulihan ekosistem
5.64
4.03
4.29
5.07
4.62
Penutupan kawasan
5.35
3.49
4.07
3.36
3.10
Gambar 4 Nilai persepsi pada aspek pengawetan
Ancaman terbesar perusakan ekosistem adalah pengambilan material laut seperti batu karang dan pasir laut. Hal tersebut terjadi karena besarnya biaya mendatangkan material bangunan tersebut dari daratan terdekat (Jakarta), sehingga masyarakat menggunakan material laut tersebut. Sehingga diatur kesepakatan penentuan tempat pengambilan material laut namun hanya diperbolehkan untuk bangunan pribadi bukan resort atau homestay serta tidak boleh keluar kawasan Kepulauan Seribu. Pengelolaan koridor hidupan liar oleh pemda masih kurang dilakukan (nilai 3). Kegiatan penerapan koridor hidupan liar dibutuhkan untuk memberikan akses kepada satwa liar untuk dapat berhubungan dalam berbagai aktivitas dengan sesama jenisnya maupun jenis lain pada suatu ekosistem. Beberapa kegiatan mengenai penerapan koridor hidupan liar, tidak ada peraturan tertulis mengenai penetapan suatu lokasi menjadi koridor bagi hidupan liar. Peran konservasi dari aspek pengawetan oleh pihak LSM tergolong biasa saja (kategori 4). Keseluruhan kegiatan dalam aspek pengawetan yang dilakukan pihak LSM tergolong biasa saja yaitu kategori 4. Kegiatan yang paling rendah nilainya (kategori 2; tidak dilakukan) adalah upaya pengkayaan vegetasi. Hal tersebut dikarenakan kedua LSM melakukan kegiatan pemulihan ekosistem sebatas pada bantuan dalam penanaman vegetasi serta rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pengkayaan jenis dalam rehabilitasi belum dilakukan, karena belum ada upaya penelitian maupun pengembangan mengebnai jenis lain yang dapat ditanam dikawasan TNKpS. Penanaman vegetasi terbatas pada jenis yang sudah ada seperti Rhizopora sp., Bruguiera sp., dan lainnya.
16 Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh LSM yang tergolong kurang baik adalah inventarisasi dan identifikasi flora, fauna serta habitatnya. Hal tersebut karena kegiatan identifikasi dan pengelolaan flora fauna lebih difokuskan pada area kerja masing-masing LSM yaitu JAAN jenis elang dan Yayasan Terangi pada jenis terumbu karang. Kegiatan lainnya yang tergolong kurang baik (kategori 3) adalah. Belum adanya perhitungan daya dukung kawasan baik dilakukan oleh lembaga pemerintahan, swasta maupun LSM mengakibatkan pembuatan kegiatan maupun aktivitas belum didasarkan pada aspek ekologi, namun masih berorientasi pada aspek ekonomi. Peran konservasi dari aspek konservasi oleh pihak swasta tergolong biasa saja (kategori 4). Kegiatan yang tergolong agak baik pengelolaannya (kategori 5) adalah kegiatan pemulihan ekosistem. Pada kegiatan ini, aktivitas yang tergolong agak baik (kategori 5) dan baik (kategori 6) meliputi kebijakan pemulihan ekosistem, pemulihan struktur fungsi ekosistem, program pemulihan dinamika populasi, rehabilitasi ekosistem, perlindungan pemuliahn ekosistem secara alami, kegiatan penanaman vegetasi. Lembaga swasta melakukan kegiatan pemulihan ekosistem tersebut dilakukan difokuskan pada paulau-pulau resort wisata yang dapat menjadi daya tarik dan menambah nilai kepuasan bagi pengunjung. Kegiatan yang tergolong kurang baik (kategori 3) adalah kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, serta penutupan kawasan. Keseluruhan aktivitas pada kegiatan di atas tergolong tidak dilakukan oleh swasta karena lembaga swasta tersebut memiliki orientasi bisnis, sehingga lebih condong kepada peningkatan mutu dan kuantitas kunjungan dengan peningkatan kualitas pelayanan serta obyek wisata. Namun lembaga swasta ini (PT. Pulau Sepa Permai dan PT. United adventures) sudah memiliki kesadaran ekologi dan kelestarian. Hal tersebut terlihat dari kemauan lembaga swasta tersebut menjalin kerjasama terutama dalam pelestarian eksitu penyu sisik. Pengelolaan kawasan dari aspek pengawetan oleh pihak masyarakat tergolong biasa saja (kategori 4) dengan kegiatan rehabilitasi ekosistem dan penanaman vegetasi yang memiliki skor 5 (agak baik). Kegiatan penanaman bakau merupakan agenda utama dari SPKP yang menjadi perpanjangan tangan dari CNOOC Ses.Ltd. Lembaga-lembaga binaan taman nasional seperti KPA, MMP, Paguyuban Bintang Harapan rutin melakukan penanaman dan telah menjadi agenda rutin masing-masing lembaga. Kegiatan penanaman bakau menjadi perhatian utama karena berkaitan dengan pengendalian kerusakan oleh alam yaitu abrasi bibir pantai. Kesadaran masyarakat masih kurang terhadap pentingnya ekosistem mangrove, sebagian besar masih menganggap ekosistem mangrove sebagai sumber penyakit (nyamuk) dan bentuk pembatasan akses ke kawasan oleh pihak taman nasional pada masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah pendekatan ke masyarakat melalui kelompok-kelompok masyarakat serta penyedia jasa wisata untuk memberikan penyadartahuan kepada masyarakatnya. Selain itu, pendekatan melalui tokoh masyarakat juga dilakukan, namun masih sedikit masyarakat yang menyadarinya. Kegiatan dalam aspek pengawetan yang menjadi perhatian adalah kegiatan penutupan kawasan. Penutupan suatu kawasan berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan serta daya dukung kawasan. Kondisi TNKpS yang merupakan kawasan laut menciptakan fenomena open access sehingga pihak manapun dapat
17 masuk karena seluruh kawasan merupakan pintu gerbang. Oleh karena itu, penutupan kawasan secara utuh tidak dapat dilakukan seperti halnya penutupan kawasan konservasi terestrial (taman nasional dengan topografi pegunungan). Namun kegiatan yang terkait pemetaan kawasan yang rawan dan inventarisasi dampak telah dilakukan agak baik oleh taman nasional dengan mengeluarkan peta kerawanan kawasan. Selain itu, kegiatan yang menjadi perhatian di lapangan adalah inventarisasi dampak, kebijakan pengelolaan penutupan kawasan, dan kegiatan penutupan suatu kegiatan meskipun memiliki skor 4 (biasa saja). Karena inventarisasi dampak belum dilakukan, sehingga arah pengelolaan terkait kebijakan penutupan kawasan pun belum bisa ditetapkan. Selain itu, pengelolaan daya dukung pun belum ada meskipun nilai persepsi menunjukkan nilai 4 (biasa saja). Belum ada penelitian maupun inventarisasi mengenai daya dukung kawasan TNKpS baik untuk pemukiman maupun kegiatan pemanfaatan dan wisata. Aspek Pengawetan Aspek konservasi terakhir adalah pemanfaatan secara lestari dan bijaksana. Pemanfaatan digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu pemanfaatan sumberdaya alam hayati (flora dan fauna beserta turunannya) dan ekosistem. Kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan pada kawasan TNKpS didominasi oleh pemanfaatan jasa wisata. Hal tersebut karena kawasan TNKpS memiliki potensi wisata yang tinggi khususnya untuk kegiatan wisata air (diving, snorkeling). Terdapat sedikitnya delapan spot diving pada masing-masing SPTN Kep. Seribu, menjadikan TNKpS sebagai destinasi diving dan snorkeling unggulan di Indonesia. Berikut disajikan nilai persepsi peran pemanfaatan secara lestari dan bijaksana pada Gambar 5.
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
TNKpS 5.11
Pemda 4.03
LSM 4.21
Swasta 4.14
Masyarakat 4.24
Pemanfaatan tumbuhan
5.44
4.51
2.86
3.29
4.52
Pemanfaatan satwaliar
5.44
4.57
3.14
3.29
4.13
Pemanfaatan kondisi lingkungan
Gambar 5 Nilai persepsi aspek pemanfaatan secara lestari
18 Secara keseluruhan, pemanfaatan kondisi lingkungan tergolong biasa saja (kategori 4). Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan sebagai energi tergolong biasa saja (persepsi TNKpS dan Masyarakat), Pemda dan pihak swasta menyatakan kurang dilakukan (kategori 3). Sedangkan LSM menyatakan tidak dilakukan (kategori 2). Hal tersebut terlihat pada pengamatan lapangan, bahwa tidak ada bentuk pemanfaatan kondisi lingkungan untuk sumber energi baik berupa pembangkit tenaga angin maupun surya. Nilai persepsi tersebut sama halnya dengan pengelolaan mekanisme menyimpanan karbon yang pada fakta di lapangan tidak ada dan belum mengarah pada adanya konsep pengelolaan carbon trade. Berbeda halnya dengan pemanfaatan wisata. Pengelolaan pemanfaatan kondisi lingkungan di TNKpS didominasi oleh pemanfaatan wisata, hal tersebut sejalan dengan hasil nilai persepsi yang dihitung bahwa TNKpS, Pemda, swasta dan masyarakat menyatakan melakukan pengelolaan wisata dengan baik (kategori 6 dan 5). Pihak LSM kurang memanfaatkan kegiatan wisata, karena mereka memiliki orientasi dan tujuan pengelolaan yang berbeda yaitu rehabilitasi dan pelestarian. Animo kunjungan wisata sangat tinggi setiap weekend-nya, namun tidak diimbangi dengan pemasukan PNBP dan paket wisata yang tinggi ke TNKpS. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan wisata di TNKpS masih terpisah-pisah, sehingga masing-masing pihak berjalan masing-masing dalam pengelolaan wisata. Tidak adanya koordinasi dan kolaborasi menyebabkan banyak kebocoran wisatawan yang masuk, seperti terlihat dalam pencatatan jumlah wisatawan oleh pihak TNKpS dan pihak Kelurahan (SPTN III 404 pengunjung; Kelurahan P. Panggang 13.456 pengunjung). Pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari jenis tumbuhan merupakan kegiatan pemanfaatan potensi flora yang ada di kawasan TNKpS. Pemanfaatan jenis tumbuhan tergolong biasa saja (kategori 4). Pengelolaan pemanfaatan jenis tumbuhan yang dilakukan TNKpS secara keseluruhan tergolong agak baik (kategori 5). Keseluruhan dari indikator-indikator pemanfaatan jenis tumbuhan berada pada nilai 5 dan 6 yang berarti agak baik dan baik. Hal tersebut terlihat dari inventarisasi dan identifikasi potensi tumbuhan, pengelolaan dokumentasi data dan informasi status, dan penelitian, pendidikan, pengembangan yang intensif dilakukan karena TNKpS baru memulai pengelolaan berbasis resort, sehingga kegiatan inventarisasi, identifikasi, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan sedang digalakkan. Kegiatan penentuan kondisi yang sesuai untuk dipanen, penentuan kuota pemanenan, pemantauan dan evaluasi pemanfaatan tidak dilakukan oleh TNKpS, meskipun memliki nilai 5 dan 6. Hal tersebut dikarenakan kawasan TNKpS Kawasan TNKpS adalah kawasan maritim sehingga pemanfaatan lebih ditujukan pada sumberdaya laut khususnya pada jenis ikan oleh masyarakat. Pemanfaatan tumbuhan dari jenis tumbuhan darat hanya pemanfaatan jenis sukun (Artocarpus communis), namun pemanfaatan tersebut berada pada luar kawasan. Peran konservasi yang dilakukan oleh pemda dari aspek pemanfaatan jenis tumbuhan belum banyak dilakukan. Pemanfaatan tersebut masih terbatas pada tumbuhan-tumbuhan konsumsi seperti sukun karena keterbatasan lahan serta tipe ekosistem yang terbatas pada ekosistem pantai. Hal tersebut terlihat pada nilai persepsi yaitu agak baik (kategori 5) karena menonjolkan pemanfaatan jenis tumbuhan untuk konsumsi pribadi. Aktivitas yang paling tinggi nilainya adalah
19 kegiatan penelitian, pengembangan yang bekerjasama dengan lembaga penelikian maupun akademisi. Nilai aspek pemanfaatan jenis tumbuhan oleh lembaga swasta dan LSM tergolong sama yaitu tidak dilakukan (kategori 3). Hal tersebut dikarenakan lembaga-lembaga pada bidang tersebut memiliki tujuan pengelolaan yang tidak mengarah dan menonjolkan pada pemanfaatan jenis tumbuhan. Lembaga swasta dan LSM memiliki tujuan pengelolaan pada rehabilitasi jenis-jenis elang laut, pelestarian terumbu karang, pelestarian penyu sisik dan pengembangan ODTWA. Pengelolaan pemanfaatan jenis tumbuhan oleh masyarakat tergolong agak baik (kategori 5), meskipun pada fakta lapang tidak ada pemanfaatan jenis tumbuhan selain sukun dan daun kelapa sebagai alat menangkap ikan. Dahulu pernah ada pemanfaatan dan budidaya rumput laut, namun karena terkena limbah dan petani merugi besar kegiatan rumput laut dihentikan hingga saat ini. Pemanfaatan terakhir adalah pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari jenis satwaliar yang tergolong biasa saja (kategori 4). Pengelolaan pemanfaatan jenis satwa liar yang dilakukan oleh TNKpS memiliki nilai 5 (agak baik). Inventarisasi, identifikasi dan pengelolaan data potensi dilakukan lebih intensif sejak diberlakukannya sistem RBM di TNKpS, namun penentuan MVP (minimum viable population), kuota panenan, serta evaluasi pemanenan belum dilaksanakan di lapang, meskipun memiliki nilai persepsi 5 (agak baik). Pada kriteria pemanfaatan secara tradisional masih ada, khususnya pada masyarakat mayoritas suku Bugis (P. Kelapa Dua) dengan menggunakan jaring muarami. Kegiatan pemanfaatan fokus pada pemanfaatan fauna laut khususnya ikan, sedangkan fauna darat tidak ditemukan kegiatan pemanfaatannya. Kegiatan pelanggaran terhadap pemanfaatan satwaliar adalah pengambilan telur penyu pada setiap musim bertelur (pasang air laut tinggi). Hal tersebut terlihat pada kegiatan pembinaan habitat yang ditemukan banyak sarang telah terbuka bukan karena biawak, karena jika biawak akan ada banyak bekas cangkang telur penyu. Sehingga pegelolaan kolaboratif serta penyadartahuan kepada para nelayan sangat penting dan harus lebih diintensifkan. Aspek pemanfaatan yang dikelola oleh pemda tergolong agak baik (nilai 5) meskipun pada beberapa indikator tidak dilakukan oleh pemda. Indikator yang tidak dilakukan adalah penentuan (MVP) dengan nilai 3 (kategori kurang dilakukan). Indikator lain memiliki nilai 5 pada indikator inventarisasi dan identifikasi potensi satwaliar, pengelelolaan dokumentasi data dan informasi status serta pemantauan dan evaluasi pemanfaatan, nilai 4 pada penentuan kuota pemanenan, dan nilai 6 pada pemanfaatan tradisional oleh masyarakat serta penelitian, pendidikan, pengembangan. Pemanfaatan jenis satwa liar masih terfokus pada pemanfaatan ikan, sedangkan satwa liar lain yang berbasis laut masih kurang dilakukan. Lembaga swasta dan LSM memiliki nilai persepsi 3 (kategori agak tidak baik atau kurang dilakukan). Hal tersebut karena lembaga swasta dan LSM memiliki fokus pengelolaan pemanfaatan yang berbeda yaitu pemanfaatan wisata, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi elang dan pelestarian penyu. Pengelolaan pemanfaatan oleh masyarakat tergolong biasa saja (kategori 4). Karena masyarakat hanya memanfaatkan sumberdaya ikan yang paling mendominasi. Cara penangkapan masih dijumpai masyarakat yang menggunakan alat tradisional (jaring muarami) yang ditunjukkan dengan nilai persepsi pengelolaan pemanfaatan tradisional 5 (agak baik). Penelitian, pendidikan dan
20 pengembangan juga memiliki nilai 5 (agak baik) sedangkan nilai indikator lain memiliki nilai 4 (biasa saja). Berdasarkan penjabaran fungsi dan peran masing-masing pihak di atas, diketahui bahwa masing-masing pihak melakukan spesifik pada beberapa peran konservasi (Lampiran 3). Hal tersebut dikarenakan fokus utama dan obyektivitas pengelolaan masing-masing pihak. Seperti pihak swasta yang melakukan peran konservasi yang mampu memberikan kontribusi dan pengaruh terhadap tujuan penyelenggaraan wisata. Peran yang dilakukan pihak swasta pada aspek perlindungan berperan dalam pengelolaan sampah, pengunjung dan obyek wisata, aspek pengawetan (kebijakan pemuliahan ekosistem, pemulihan dinamika populasi, dan rehabilitasi ekosistem), dan pemanfaatan (kebijakan pemanfaatan kondisi lingkungan dan pemanfaatan wisata). Lembaga swadaya masyarakat pada aspek perlindungan berperan pada sosialisasi pemanfaatan bijak dan pemantauan proses pemanfaatan, aspek pengawetan (pengawasan perburuan ilegal dan perusakan ekosistem), dan pemanfaatan (pemanfaatan plasma nutfah untuk penunjang budidaya dan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan). Pihak masyarakat berperan dalam aspek perlindungan pada program pembinaan wilayah dan pengendalian abrasi, aspek pengawetan (Penanaman vegetasi), dan pemanfaatan (pemanfaatan wisata juga pada pemanfaatan tradisional dan penelitian, pendidikan, serta pengembangan). Peran lembaga pemerintahan lebih pada program pelestarian kawasan. Peran pemda pada aspek perlindungan yaitu berperan dalam pengendalian intrusi dan abrasi serta pengeolaan pengunjung, aspek pengawetan (rehabilitasi ekosistem dan penanaman vegetasi), dan pemanfaatan (pemanfaatan tradisional dan penelitian, pendidikan, serta pengembangan juga pada pemanfaatan tradisional dan penelitian, pendidikan, serta pengembangan). Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu lebih menyeluruh perannya, yaitu pada aspek perlindungan meliputi kegiatan inventarisasi dan penelitian, kesesuaian dengan kriteria zona perlindungan, dan penetapan zona perlindungan, program pembinaan wilayah dan pembinaan serta pengelolaan habitat, pengelolaan hama penyakit, patroli rutin, pengamanan dengan kemitraan, inventarisasi dan penelitian serta evaluasi pemanfaatan. Pada aspek pengawetan (inventarisasi potensi flora fauna dan habitat, penelitian dan pengembangan, kegiatan penanaman vegetasi, dan pemetaan kawasan yang rawan seta sosialisasi penutupan kawasan). Pada aspek pemanfaatan (pengelolaan pemanfaatan wisata dan pemanfaatan plasma nutfah untuk penunjang budidaya, inventarisasi dan identifikasi potensi tumbuhan dan penelitian, pendidikan, pengembangan, serta inventarisasi dan identifikasi potensi tumbuhan dan penelitian, pendidikan, pengembangan). TNKpS memiliki peran yang lebih menyeluruh karena TNKpS sebagai lembaga utama kegiatan konservasi, meskipun pada beberapa indikator tidak dilakukan.
Identifikasi Fungsi dan Peran Stakeholder Berdasarkan Analisis SWOT Analisis SWOT pada penelitian ini dilakukan pada 77 indikator dalam 11 kriteria (Lampiran 3) yang berkaitan dengan kegiatan konservasi berdasarkan kategori kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Peran-peran stakeholder yang dikategorikan dalam aspek SWOT sehingga diketahui posisi peran masing-masing
21 stakeholder saat ini. Peran yang dilakukan oleh para stakeholder pada aspek SWOT dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Peran stakeholder berdasarkan matriks SWOT Posisi Peran dalam Aspek SWOT No Stakeholder Strengths Weakness Opportunities TNKpS A,B,C,E,F,G,H,I D,J,K 1 Pemda C,D,K E,F,G A,B,I,J 2 JAAN B,C,G,I D,E,F,J,K, A,H 3 Terangi G,J,K C,E,F A,B,H,I 4 PT. Pulau C,I E,F,G, A,B,D,J,K 5 Sepa Permai PT. United C,I E,F,G A,B,D,J,K 6 Adventures SPKP B,C,J,K E,F,G,H A,D,I 7 Paguyuban G,I E,F A,B,C,D,H,J,K 8 Bintang Harapan MMP B,C,E,F,G D A,H,I,J,K 9 B,C,E,G,J,K A,D,F,H,I 10 Pernitas C,G,I K A,B,E,F,H,J 11 Gurita B,C,E,F,G,I A,H,J,K 12 KPA C,I J,K A,B,D,E,F,G,H 13 AJWKS Tokoh B,C E,F,G A,I,J,K 14 masyarakat
Threats H D H H
D D D,H
Keterangan: A. Penentuan wilayah perlindungan, B. Pembinaan wilayah, C. Penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, D. Pengaturan cara pemanfaatan, E. Pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, F. Penerapan koridor hidupan liar, G. Pemulihan ekosistem, H. Penutupan kawasan, I. Pemanfaatan kondisi lingkungan, J. Pemanfaatan tumbuhan, K. Pemanfaatan Satwaliar
Lembaga Pemerintahan Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa peran stakeholder dominan pada posisi opportunities (peluang) pada hampir seluruh stakeholder. Pihak TNKpS peran yang dominan pada strengths (kekuatan) dengan enam peran yaitu penentuan wilayah perlindungan, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pemulihan ekosistem, penutupan kawasan, pemanfaatan kondisi lingkungan dan sisanya berada pada posisi peluang. Posisi tersebut jika dijabarkan lebih jauh (dalam 77 indikator) maka akan terlihat adanya aspek kelemahan dan ancaman pada TNKpS seperti kegiatan penetapan zona ekonomi eksklusif, pengadaan pal batas dan pengendalian intrusi air laut. Banyaknya kekuatan pada TNKpS sejalan dengan kondisi TNKpS sebagai penyelenggara utama kegiatan konservasi di TNKpS. Peluang yang ada yaitu pengaturan cara pemanfaatan, pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar dapat diwujudkan dengan kekuatan yang ada atau dengan kekuatan pihak lain seperti lembaga masyarakat maupun LSM. Pemerintah daerah mengaggap penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, pemanfaatan kondisi lingkungan, pemanfaatan tumbuhan sebagai peluang pengelolaan kawasan. Peran tersebut belum maksimal dilakukan, namun
22 berpeluang menjadi sumber kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kekuatan yang ada penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengaturan cara pemanfaatan, dan pemanfaatan satwaliar. Terdapat kelemahan dan ancaman yang menjadi sisi negatif dalam pengelolaan yaitu pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, pemulihan ekosistem, dan penutupan kawasan. Tiga peran berurut merupakan kelemahan karena pihak pemda tidak melakukan peran tersebut, padahal kegiatan tersebut menting dalam kelangsungan kawasan dan kelestarian sumberdaya alam hayati. Ancaman yang dirasakan oleh pemda adalah jika ada kebijakan penutupan kawasan, karena pengunjung tidak diperbolehkan datang sehingga pendapatan asli daerah akan berkurang. Pengelolaan peluang, kelemahan, dan ancaman tersebut dapat juga berkolaborasi dengan pihak lain seperti TNKpS sehingga peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin efektif Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga swadaya masyarakat (JAAN dan Terangi) memiliki pengkategorian peran yang berbeda. Pihak JAAN memiliki kekuatan dalam peran penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pemulihan ekosistem, dan pemanfaatan kondisi lingkungan namun lebih ditonjolkan yang berkaitan dengan proses rehabilitasi elang laut (fokus pengelolaan). Kekuatan tersebut dapat menjadi penguat dari peluang-peluang yang dimiliki yaitu penentuan wilayah perlindungan penutupan kawasan. Peluang tersebut menjadi keuntungan eksternal karena secara tidak langsung dapat mendukung upaya rehabilitasi elang laut dari tindakantindakan yang mengancam elang laut. Kelemahan yang dimiliki JAAN sesuai dengan tujuan pengelolaan mereka, karena mereka lebih mengedepankan rehabilitasi maka kegiatan pemanfaatan tidak dilakukan oleh mereka. Kelemahan JAAN dalam aspek SWOT yaitu pengaturan cara pemanfaatan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, pemanfaatan tumbuhan, dan pemanfaatan satwaliar. Yayasan Terangi memiliki kekuatan dalam pemulihan ekosistem dan pemanfaatan tumbuhan serta satwaliar dalam hal pembinaan terhadap masyarakat untuk memulihkan dan memanfaatkan terumbu karang. Kekuatan tersebut dapat mendukung peluang yang dimiliki yaitu penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, penutupan kawasan, dan pemanfaatan kondisi lingkungan dalam upaya pemulihan ekosistem terumbu karang. Kelemahan-kelemahan Yayasan Terangi dapat diatasi dengn berkolaborasi dengan pihak lain seperti TNKpS, lembaga swasta, pemda, dan masyarakat untuk melakukan penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta penerapan koridor hidupan liar. Yayasan terangi menganggap pengaturan cara pemanfaatan menjadi ancaman bagi pelestarian terumbu karang, karena ditakutkan akan menimbulkan pemanfaatan yang berlebihan. Lembaga Swasta Lembaga swasta (PT. Pulau Sepa Permai dan PT. United Adventures) memiliki posisi aspek SWOT yang sama, karena merka memiliki fokus pengelolaan yang sama yaitu pelestarian penyu sisik dan pengembangan ODTWA di TNKpS berbasis resort. Kekuatan mereka yaitu penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan dan pemanfaatan kondisi lingkungan dapat mamaksimalkan peluang yaitu
23 penentuan wilayah perlindungan, pengaturan cara pemanfaatan, pemanfaatan tumbuhan, dan pemanfaatan satwaliar untuk melindungi, menambah keunikan dan daya jual resort yang mereka kelola. Lembaga swasta memiliki kelemahan pada kriteria pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, dan pemulihan ekosistem karena fokus pengelolaan mereka belum mengarah pada kegiatan tersebut sehingga seharusnya berkolaborasi dalam hal tersebut dengan lembaga yang lebih banyak melakukan seperti TNKpS, MMP, dan KPA. Lembaga swasta menganggap penutupan kawasan sebagai ancaman karena dapat mengurangi jumlah kunjungan meskipun pengelolaan wisata mereka berbasis resort. Lembaga Masyarakat Pihak SPKP memiliki kekuatan dalam hal pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pemanfaatan tumbuhan, dan pemanfaatan satwaliar sehingga dapat memaksimalkan peluang yang berupa penentuan wilayah perlindungan, pengaturan cara pemanfaatan, dan pemanfaatan kondisi lingkungan. Hal tersebut dikarenakan peluang yang ada dapat memberikan akses dan kemudahan dalam perlindungan kawasan serta pemanfaataan lestari oleh masyarakat setempat atas bimbingan TNKpS. Kelemahan yang dimiliki yaitu pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, pemulihan ekosistem, dan penutupan kawasan dapat diatasi dengan melakukan kolaborasi dengan pihak TNKpS dan lembaga masyarakat lainnya. Peluang yang dimiliki oleh Paguyuban Bintang Harapan cukup banyak yaitu terdiri dari penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengaturan cara pemanfaatan, penutupan kawasan, pemanfaatan tumbuhan, dan pemanfaatan satwaliar meskipun memiliki kelemahan yang sedikit yaitu pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta penerapan koridor hidupan liar namun juga memiliki kekuatan yang sedikit yaitu pada pemulihan ekosistem dan pemanfaatan kondisi lingkungan yang menjadi fokus pengelolaan mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi dengan pihak lain agar fungsi konservasi lain dapat dilakukan karena Paguyuban Bintang Harapan merupakan lembaga binaan TNKpS yang memiliki tujuan perlindungan serta pelestarian kawasan dan keanekaragaman hayati selain dari upaya pengembangan wisata masyarakat lokal. Kolaborasi dapat dilakukan bersama dengan MMP maupun KPA dan SPKP. Masyarakat mitra polhut sebagai pihak relawan masyarakat yang peduli akan kelestarian lingkungan memiliki peran konservasi pada aspek kekuatan dan peluang yaitu pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang merupakan kekuatan serta Penentuan wilayah perlindungan, Penutupan kawasan, Pemanfaatan kondisi lingkungan, Pemanfaatan tumbuhan, dan Pemanfaatan Satwaliar yang berupa peluang. Kekuatan yang dimiliki berdasarkan kemauan dan kesadaran para relawan terhadap kelestarian lingkungan sedangkan peluang berupa kegiatan-kegiatan yang dapat membantu upaya perlindungan kawasan serta membantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari dengan pemanfaatan secara lestari. Pihak MMP menganggap pengaturan cara pemanfaatan sebagai kelemahan karena hingga saat ini belum ada pengaturan cara pemanfaatan yang mampu memberikan manfaat lebih dari
24 sumberdaya alam kepada masyarakat, sehingga jika tidak diatur maka akan berpotensi menjadi ancaman kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pihak yang perannya hanya pada kekuatan dan peluang adalah pernitas. Kekuatan yang dimiliki berupa pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, pemulihan ekosistem, pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar sedangkan peluang yang dimiliki adalah penentuan wilayah perlindungan, pengaturan cara pemanfaatan, penerapan koridor hidupan liar, penutupan kawasan, dan pemanfaatan kondisi lingkungan. Kekuatan tersebut sesuai dengan tujuan pokok Pernitas dalam pelestarian dan pemanfaatan terumbu karang melalui transplantasi dan ikan hias. Peluang yang ada jika dikelola dengan baik berdasarkan kekuatan yang ada maka akan mampu meningkatkan tujuan utama Pernitas dan menambah petani dari masyarakat sekitar sehingga mampu menbantu menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Peran yang tergolong kekuatan dari Gurita meliputi penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pemulihan ekosistem, dan pemanfaatan kondisi lingkungan. Kekuatan tersebut dapat diperkuat dengan peluang yang ada yaitu meliputi penentuan wilayah perlindungan, pembinaan wilayah, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, penutupan kawasan, dan pemanfaatan tumbuhan. Pihak Gurita menganggap peluang tersebut dapat membantu upaya penanganan dan perlindungan kawasan serta kegiatan wisata dapat diarahkan pada kegiatan ekowisata yang lebih ramah lingkungan. Pihak Gurita menganggap adanya pengaturan pemanfaatan khususnya satwaliar dan tumbuhan berpeluang menjadi ancaman kelestarian ekosistem di TNKpS maskipun jika berjalan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Kekuatan yang dimiliki KPA sesuai dengan tujuan dibentuknya lembaga tersebut yaitu sebagai wadah para pemuda yang peduli akan kelestarian lingkungan serta kepedulian terhadap kegiatan wisata yang bertanggung jawab.kekuatan yang dimiliki KPA meliputi pembinaan wilayah, penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, penerapan koridor hidupan liar, pemulihan ekosistem, dan pemanfaatan kondisi lingkungan. Peluang yang dimiliki juga mampu meingkatkan upaya-upaya pelestarian kawasan jika dikelola berdasarkan kekuatan yang dimiliki. Kelompok pecinta alam menganggap adanya pengaturan cara pemanfaatan yang tidak berdasarkan fakta lapang akan menimbulkan protes masyarakat sehingga berpeluang pemanfaatan ilegal dan merusak oleh masyarakat. Pihak AJWKS memiliki kekuatan dalam bidang penanganan kerusakan dan perlindungan kawasan serta pemanfaatan kondisi lingkungan dan menganggap peran yang lain (selain pemanfaatan satwaliar dan tumbuhan) sebagai peluang yang ada untuk dapat meningkatkan pendapatan lembaga tersebut. Konsep ekowisata sedang dalam perencanaan dan pematangan menuju pemahaman ekowisata yang sebenarnya bukan sekedar wisata alam. oleh karena itu, dibutuhkan peran lembaga pemerintahan dan akademisi untuk membantu dalam penerapan pemahaman terhadap seluruh lembaga wisata di TNKpS untuk mewujudkan konsep berbeda dari wisata massal yaitu ekowisata. Kelemahan yang dimiliki dianggap sebagai kekurangan yang dapat menjadi peluang sebagai ODTW khususnya dalam program ekowisata.
25 Peran konservasi pada aspek kekuatan oleh masyarakat meliputi pembinaan wilayah dan penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, karena masyarakat sebagai penduduk lokal mengetahui seluk beluk kawasan dan dan apa yang terjadi sehari-hari. Masyarakat beraktifitas sehari-hari mayoritas sebagi nelayan di laut yang merupakan sebagian kawasan TNKpS, sehingga hari-hari patroli rutin yang tidak dilakukan TNKpS masyarakatlah yang melakukan namun sangat dimungkinkan masyarakat sekitar juga yang melakukan pelanggaran. Sehingga pendekatan individu maupun kelompok yang bersifat persuasif sangat perlu dilakukan. Dapat dilakukan dengan membantu memaksimalkan peluang yang dimiliki masyarakat seperti pemanfaatan satwa dan tumbuhan dengan pengadaan pembinaan dan pembentukan kelompok masyarakat pemanfaatan sumberdaya alam selain ikan secara lestari. Sehingga masyarakat terdorong untuk melindungi sumberdaya alam karena merupakan bagaian dari kehidupannya. Hal tersebut sangat perlu dilakukan oleh TNKpS maupun pemda karena masayrakat menganggap pengaturan cara pemanfaatan dan penutupan kawasan sebagai ancaman yang dapat menghambat pengahsilan mereka.
Keterkaitan Antar Stakeholder Keterkaitan antar stakeholder secara umum dapat dilihat dari interaksi antar stakeholder dalam pengelolaan aspek konservasi. Interaksi tersebut dapat berupa keterkaitan wilayah, kebutuhan administratif, hingga kolaborasi dan kemitraan. Balai TNKpS dan Pemda Kab. Kepulauan Seribu merupakan poros utama dari pengelolaan dengan tujuan masing-masing yaitu BTNKpS pada pengelolaan konservasi dan Pemda pada pengelolaan administratif. Seksi pengelolaan wilayah I Pulau Kelapa berada pada Kelurahan Pulau Kelapa dengan beberapa stakeholder yang terlibat seperti SPKP Bintang Laut, MMP, dan tokoh masyarakat. Ketiga pemangku kepentingan berkaitan dengan resort pengelolaan ketiganya yaitu Resort I Pulau Kelapa, Resort II Pulau Melinjo, dan Resort III Pulau Hantu Timur. Sedangkan PT. United Adventures lebih intensif berkaitan dengan Resort II Pulau Melinjo yang merupakan RPW (Resort Pengelolaan Wilayah) dengan fokus pengelolaan pemanfaatan wisata. Seluruh pemangku kepentingan dalam SPTN I serta Kelurahan Pulau Kelapa berkaitan langsung dengan BTNKpS serta Pemkab. Seksi pengelolaan wilayah II Pulau Harapan berada pada Kelurahan Pulau Harapan, pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan meliputi SPKP Elang Bondol, MMP, paguyuban pemandu Bintang Harapan, tokoh masyarakat dan PT. Pulau Sepa Permai. Seluruh pemangku kepentingan tersebut berkaitan langsung dengan BTNKpS dan Pemkab. Kepulauan Seribu, namun lebih terfokus pada pengelola pihak SPTN II dari ketiga resort (Resort I Pulau Harapan, Resort II Pulau Perak, dan Resort III Pulau Penjaliran Timur) dan Kelurahan Pulau Harapan. Namun stakeholder dari pihak PT. Pulau Sepa Permai lebih terfokus pada Kelurahan Pulau Harapan dan Resort II Pulau Perak. Hal tersebut sesuai dengan fokus pengelolaan resort II yang merupakan pengelolaan pemanfaatan wisata. Seksi pengelolaan wilayah III Pulau Pramuka berada pada wilayah Kelurahan Pulau Panggang, dengan pemangku kepentingan yaitu SPKP Samo-samo, MMP, Kelompok Pecinta Alam, Yayasan Terangi, tokoh Masyarakat, Pernitas, JAAN, Gurita , dan AJWKS. Pemangku kepentingan SPKP, MMP, KPA, Terangi, dan
26 tokoh masyarakat berinteraksi langsung dengan Kelurahan Pulau Panggang serta SPTN Wil. III pada kedua RPW (Resort Pulau Pramuka dan Resort Pulau Kotok Besar). Namun Pernitas difokuskan pada interaksi dengan Resort Pulau Pramuka, sedangkan JAAN difokuskan terkait pada RPW Resort Pulau Kotok Besar. Berbeda halnya dengan Gurita dan AJWKS, memang lokasi pengelolaan berada pada Pulau Pramuka namun area kerja dan tingkat keterkaitannya mencakup seluruh kawasan Kepulauan Seribu. Sehingga Gurita dan AJWKS memiliki keterkaitan dengan Ketiga SPTN serta ketiga kelurahan. Berikut disajikan pola keterkaitan antar stakeholder pada Gambar 8.
Gambar 6 Keterkaitan antar stakeholders
27
Keterkaitan antar Stakeholder juga dapat dilihat dari hubungan penggunaan dan hubungan historis dengan sumberdaya. Perbedaaan kepentingan kelompok akan memberikan perbedaan dalam mengelola sumberdaya. WWF (2000) mengelompokkan keterkaitan stakeholder ke dalam empat kelompok yaitu primary stakeholders mencakup BTNKpS, Pemkab, dan swasta memiliki kekuatan otoritas, dan tanggung jawab pada wilayah masing-masing serta seluruh aksi yang dilakukan akan berakibat secara langsung pada mereka serta kelompok masyarakat (SPKP, KPA, MMP) dari kegiatan pelestarian. GURITA dan Paguyuban Bintang Harapan merupakan komunitas lokal yang menjadi motor penggerak kegiatan wisata bertanggung jawab. Yayasan Terangi dan JAAN dari kegiatan pemberdayaan masyarakat serta pelestarian terumbu karang dan elang laut yang peduli terhadap keberlangsungan sumberdaya hayati. KPA menjadi sumber inisiatif konservasi pemuda, SPKP pemberdayaan masyarakat mengenai konservasi, dan MMP pada pengamanan kawasan.
Secondary Stakeholders -
Opposition Stakeholders -
Primary Stakeholders
CNOOC Ses. Ltd Swasta (PT. Pulau Sepa Permai dan PT. United Adventures) AJWKS Pemkab. Kep. Seribu Kelurahan setempat
BTNKpS, termasuk SPTN dan RPW Pemkab. Kep. Seribu, termasuk kelurahan setempat Yayasan Terangi JAAN KPA SPKP GURITA MMP Paguyuban Bintang Harapan
Marginalized Stakeholders Masyarakat Kep. Seribu dalam tiga kelurahan
Gambar 7 Pola keterkaitan antar stakeholders menurut WWF (2000)
Secondary stakeholders merupakan pihak yang mendapatkan manfaat tidak langsung serta mungkin dibutuhkan untuk terlibat dalam proses kolaborasi (WWF 2000). CNOOC menjadi pihak yang mendapatkan manfaat tidak langsung atas kegiatan pemberdayaan masyarakat yang menjadi branding perusahaan, dan peningkatan kapasitas serta pengetahuan masyarakat. Resort wisata dan AJWKS merupakan penyelenggara wisata yang memiliki kepentingan tidak langsung dengan outcome pengelolaan konservasi. Opposition stakeholders merupakan pihak-pihak pesaing dari primary atau secondary stakeholder, memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh berlawanan melalui sumber daya dan pengaruh yang mereka kuasai serta memiliki perbedaan aspek dalam perencanaan konservasi (WWF 2000). Lembaga pemerintahan bidang administratif menjadi pihak yang dikelompokkan opposition stakeholder karena mampu memberikan pengaruh melaui sumberdaya dan kekuasaan yang bertentangan dengan primary atau secondary stakeholder, serta
28 memiliki perbedaan tujuan dan obyektivitas dalam pengelolaan konservasi di kawasan Kep. Seribu. Masyarakat dalam kawasan TNKpS tergolong sebagai marginalized stakeholder karena masyarakat tersebut kurang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan konservasi. Pihak primary stakeholder (TNKpS) telah menempatkan masyarakat sebagai pihak utama yang harus didorong untuk berkolaborasi dalam pengelolaan kawasan. Masyarakat kurang merespon dengan baik upaya tersebut sehingga partisipasi masyarakat kurang dalam pengelolaan kawasan. Meskipun masyarakat tidak bertentangan dengan kegiatan konservasi (hanya oknum tertentu), namun keterlibatan dalam kegiatan konservasi masih kurang. Analisis keterkaitan ditujukan untuk memaksimalkan pola partisipasi aktif dalam kolaborasi pengelolaan konservasi. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Kobbail (2010) bahwa pengelolaan kolaborasi harus menemukan siapa yang harus berpartisipasi, peran apa yang harus dimainkan, dan bagaimana mereka membantu efektivitas pengelolaan. Pola keterkaitan di atas mampu menggambarkan fokus kolaborasi pada unit yang kecil, sehingga pengelolaan dapat fokus karena daerah yang lebih kecil. Selain itu, pola keterkaitan pihak primer, sekunder, opposition, dan marginalized dapat menggambarkan posisi partisipasi dalam kolaborasi. Sehinga dapat menggambarkan peran dalam kolaborasi.
Tingkat Kepuasan Stakeholder yang Berkolaborasi Pemangku kepertingan berkolaborasi didasarkan pada persatuan tujuan dan persepsi dan dilakukan secara bersama-sama, namun dalam pelaksanaan pengelolaan masing-masing pemangku kepentingan akan memiliki persepsi tersendiri mengenai kinerja dari pihak yang berkolaborasi dengannya. TNKpS melakukan kolaborasi pengelolaan dengan pihak LSM, masyarakat, dan swasta dalam pengelolaan kawasan, namun dalam pelaksanaan program kolaborasi akan menemui kendala dan permasalahan. Sehingga memunculkan persepsi dari masingmasing stakeholder yang berkolaborasi. Nilai persepsi dilihat dari kategori 1=Sangat tidak puas, 2=Tidak puas, 3=Agak tidak puas, 4=Biasa saja, 5=Agak puas, 6=Puas, 7=Sangat puas. Stakeholder yang berkolaborasi menyatakan agak puas (kategori 5) dengan pengelolaan taman nasional yang dilakukan TNKpS. Pengelolaan wilayah khususya dalam upaya perlindungan bibir pantai dari abrasi air laut masih menjadi kendala (persepsi Pemkab. dengan nilai 3 agak tidak puas), karena berbenturan dengan program Pemda Kabupaten yang akan membentengi bibir pantai dengan beton-beton besar seperti pada Pulau Pramuka. Pulau pramuka merupakan salah satu lokasi pendaratan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) untuk bertelur. Upaya penanaman jenis-jenis bakau untuk mengatasi abrasi bibir pantai, dianggap sebagai sumber penyakit seperti deman berdarah dan malaria baik oleh masyarakat dan pemkab. Kepuasan pengelolaan dari aspek pengelolaan keanekaragaman hayati adalah agak puas (kategori 5) dengan nilai tertinggi dalam kegiatan yang berkaitan dengan pemantauan dan pengamanan kawasan (skor 6; puas). Nilai pengelolaan pemanfaatan adalah 5 (agak puas) namun menurut masyarakat masih belum maksimal, karena pemanfaatan sumberdaya alam masih terfokus pada ikan. Pihak
29 TNKpS seharusnya memberikan alternatif pemanfaatan selain komoditas ikan seperti teripang, rumput laut, dan lainnya agar masyarakat tidak berpikir untuk memanfaatkan yang dilarang, karena kebutuhan ekonominya sudah terpenuhi. Nilai kepuasan di atas terkait dengan kurang maksimalnya pengembangan program mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati (skor 5; agak puas). Menurut masyarakat dan pihak LSM bahwa pengelolaan keanekaragaman hayati masih berada pada level yang sama dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebatas inventarisasi dan pelarangan pemanfaatan dengan pemanfaatan terbatas. Sedangkan program-program yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat dalam memanfatkan sumberdaya alam secara lestari masih belum maksimal. Pengelolaan wisata mendapat skor 5 (agak puas) oleh para stakeholder yang berkolaborasi. Inventarisasi potensi serta pemetaannya sudah maksimal, namun dari pengelolaan pengunjung yang berasal dari wisatawan tipe wisata masal belum terkendali. Sebagai contoh adalah adanya indikasi kebocoran penarikan PNBP yang sangat besar karena dilihat dari jumlah kunjungan yang tercatat oleh TNKpS dibandingkan dengan pihak kelurahan sangat berbeda jauh (404 pengunjung:13.216 pengunjung) hanya dalam bulan Desember tahun 2013. Kurangnya pengelolaan pengunjung dari wisata masal diakumulasikan dengan kurangnya data yang menunjukkan daya tahan kawasan atau daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata. Sehingga tidak dapat diestimasikan berapa jumlah pengunjung maksimal dan berapa kerusakan yang ditimbulkan, seperti disajikan pada Gambar 8.
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
TNKpS
Pemda
LSM
Swasta
Masyarakat
Wilayah
5.99
4.49
5.00
5.86
5.11
KEHATI
6.01
4.63
4.57
5.79
5.04
Wisata
5.43
4.46
4.21
5.43
4.84
Infrastruktur
5.12
4.46
4.29
5.29
4.44
SDM
5.36
4.49
4.29
5.36
4.83
Gambar 8 Nilai persepsi tingkat kepuasan antar stakeholder
Selain pengelolaan pengunjung, pengembangan program wisata juga masih berjalan ditempat, meskipun memiliki skor 5 (agak puas). Pihak masyarakat dan Pemda Kabupaten menganggap pengembangan dan inovasi wisata masih kurang sehingga kecenderungan wisata di Pulau Seribu menjadi wisata jenuh. Pengunjung selalu ditawarkan obyek dan atraksi wisata yang sama yaitu wisata air seperti diving dan snorkeling, meskipun ada yang beralih pada wisata memancing dan island hopping. Namun persentase motivasi kunjungan ke Pulau Seribu oleh para
30 wisatawan masih tinggi pada olahraga air. sehingga diperlukan alternatif-alternatif pemecahan konsentrasi kegiatan wisata untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan. Aspek pengelolaan infrastruktur menunjukkan nilai kepuasan sebesar 5 (agak puas). Aspek-aspek yang dinilai meliputi sarana dan pasarana, akomodasi,aksesibilitas, komunikasi, transportasi, perawatan, dan pengembangan dianggap sudah agak baik meskipun beberapa infrastruktur telah ada dan disediakan oleh pihak Pemda Kabupaten seperti akomodasi, aksesibilitas, komunikasi dan transportasi. Aspek pengembangan infrastruktur menjadi fokus utama kegiatan pembangunan, seperti pada SPTN III yang telah membangun kantor Resort dan gedung pengunjung, SPTN I menyelesaikan mess pegawai, dan SPTN II menyelesaikan kantor utama. Fokus utama seharusnya ditingkatkan pada taraf pengadaan barang-banrang inventarisasi yang sangat berguna dalam kegiatan di lapang. Misal pengadaan kamera jarak jauh untuk membantu dalam kegiatan patroli dan pengamanan kawasan. Aspek terakhir adalah kepuasan pengelolaan dari sumberdaya manusia yang dimiliki TNKpS. Nilai kepuasan menunjukkan skor 5 (agak puas). Hal tersebut terlihat dari keterampilan pekerjaan oleh para pegawai lapang baik saat kegiatan pembinaan habitat (pencarian telur penyu) maupun saat inventarisasi dan monitoring terumbu karang. Peningkatan kapasitas SDM selalu dilakukan, hal tersebut terbukti dari spesifikasi pekerjaan pada masing-masing individu seperti spesialisasi karang, lamun, ikan dan biota laut. Kegiata yang berkaitan dengan inovasi program dan kegiatan masih kurang maksimal, karena program atau kegiatan yang dilakukan sebatas yang telah direncanakan, sedangkan inovasi pengembangan program atau kegiatan belum muncul. Selain inovasi program, kemampuan berkomunikasi dan berdiplomasi masih menjadi sorotan. Karena hingga saat ini masih belum ada kesepakatan mengenai peletakan PNBP pada paket wisata hingga adanya kolaborasi dengan Pemda setempat dalam mengelola kawasan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Peran stakeholder dalam aspek konservasi di TNKpS lebih dominan pada peran positif yang berdampak baik terhadap fungsi perlindungan kawasan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistem, serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati. Peran yang bersifat negative atau kurang dilakukan yaitu perlindungan kawasan dari abrasi dan intrusi air laut oleh TNKpS dan Pemda Kep. Seribu, perhitungan daya dukung kawasan, dan pengaturan pemanfaatan belum dilakukan oleh seluruh stakeholder dari segi jumlah yang dimanfaatkan, cara pemanfaatan, waktu pemanfaatan dan kolaborasi pemanfaatan perlu diatasi dengan cara berkolaborasi untuk menutupi kekurangan satu pihak dengan kelebihan pihak lain agar tercapai pengelolaan konservasi yang berkelanjutan.
31 2. Keterkaitan antar stakeholder bersifat mutualisme antara TNKpS dengan swasta dan LSM karena terdapat pertukaran keuntungan dengan adanya keterkaitan pengelolaan konservasi yaitu TNKpS terbantu dalam peningkatan pengelolaan konservasi sedangkan stakeholder swasta, LSM dan masyarakat mendapat peningkatan pendapatan ekonomi. Keterkaitan juga bersifat parasitisme antara TNKpS dengan pemerintah daerah serta TNKpS dengan masyarakat karena kegiatan yang dilakukan satu dan lainnya tidak menguntungkan satu pihak, namun dapat bersifat merugikan salah satu pihak seperti dalam pengelolaan abrasi dan intrusi air laut. Kegiatan-kegiatan para stakeholder sudah sesuai dengan kesepakatan (MoU) yang ditetapkan diawal perjanjian dan dilakukan evaluasi untuk memantau keberhasilan pengelolaannya. 3. Kepuasan antar stakeholder yang berkolaborasi secara keseluruhan adalah agak puas antara TNKpS dengan swasta, LSM, dan masyarakat karena pengelolaan yang dilakukan sudah sesuai dengan kesepakatan maupun perjanjian pengelolaan TNKpS. Kepuasan pengelolaan antara TNKpS dan pemda tidak memiliki nilai positif, hal tersebut dikarenakan terdapat overlap kepentingan dan belum terdapat kesepakatan maupun kesepahaman dalam pengelolaan TNKpS. Indikator penting yang perlu diperbaiki oleh masing-masing stakeholder adalah komunikasi dan koordinasi karena masih kurang dilakukan.
Saran 1. Pihak TNKpS harus lebih sosialitatif dalam pengelolaan konservasi karena TNKpS sebagai lembaga utama kegiatan konservasi di TNKpS. Sosialisasi dilakukan dengan diimbangi pemahaman mengenai keuntungan yang didapat jika melakukan kegiatan konservasi sehingga baik masyarakat maupun pihak lain akan tertarik untuk melakukan kegiatan konservasi. 2. Keterkaitan yang bersifat merugikan (parasistisme) antara TNKpS dengan Pemda Kep. Seribu harus diatasi dengan inisiasi pihak TNKpS dalam pembentukan kesepakatan dan kesepahaman dengan Pemda Kep. Seribu dalam pengelolaan kawasan TNKpS, karena sebagai lembaga utama di TNKpS keduanya dapat mempengaruhi kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya. Keterkatian komensalisme antara TNKpS dengan masyarakat dapat diatasi dengan penerapan konsep pemanfaatan secara lestari terlebih dahulu, karena akan membangkitkan sikap dan perilaku perlindungan dan pengawetan terhadap sumberdaya alam. Hendaknya masyarakat dipandu dan ditingkatkan kapasistas pemahaman konservasi melalui pembentukan kelompok-kelompok pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap sumberdaya alam tersebut. Selain itu masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat menjadi media efektif penyampaian kebijakan konservasi karena masyarakat sendiri yang menyampaikan kepada masyarakat lainnya. 3. Kepuasan antar stakeholder dapat ditingkatkan dengan pemahaman dan kesepakatan bersama antara kegiatan konservasi yang diimbangi dengan tujuan pokok dan fungsi masing-masing lembaga. Kesepakatan tersebut akan menjadi tolak ukur keberhasilan dan menjadi ukuran tingkat kepuasan terhadap apa yang dilakukan dan apa yang didapatkan masing-masing.
32
DAFTAR PUSTAKA Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2008. Taman Nasional Kepulauan Seribu. Bell S. 2003. SWOT Analysis: How To Do The Research. Philadelphia university [internet]. [diakses pada 19 November 2013]. http://www.philau.edu/infolit/sba/SWOTAnalysishandout.pdf. Bryson JM. 2004. What to Do when Stakeholders Matter: Stakeholder Identification and Analysis techniques, Public Management Review. 6(1): 21-53. Colfer CJP., Brocklesby MA, Diaw C, Etuge P, Gunter M, Harwell E, McDougall C, Porro NM, Prabu R, Salim A, Sardjano MA, Tchikangwa B, Tiani AM, Wadley R, Woelfel J, Wollenberg E. 1999. Perangkat Kriteria dan Indikator. Center for International Forestry Researh. Bogor. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2011. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kobbail A, Rahim E. 2010. Collaborative Management for Sustainable Development of Natural Forests in Sudan: Case Study of Elrawashda and Elain Natural Forests Reserves. International Journal of Social Forestry (IJSF). 3(2):101-133 Mayers J. 2005. Stakeholder power analysis. Power tools series. International Institute for Environment and Development, London, UK. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Petheram RJ, Stephen P, Gilmour D. 2004. Collaborative Forest management: a review Australian Forestry. 67(2):137-146. Reja U, Manfreda KL, Hlebec V, Vehovar V. 2003. Open-ended vs Close-ended Questions in Web Questionnaires. Anuška Ferligoj and Andrej Mrvar (Editors). Metodološki zvezki, 19, Ljubljana: FDV. [TIES] The International Ecotourism Society. 1990. Ecotourism Definition. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 31]. Tersedia pada: http:// www.ecotourism.org/ecotourismdefinitionTIES1990.pdf WWF. 2000. Stakeholder Collaboration: Building Bridges for Conservation. WWF Ecoregion. Conservation Strategies Unit, WWF US, Washington, DC, USA.
33
Lampiran 1 Kesesuaian kolaborasi dengan RPTN TNKpS No Stakeholder Fokus Pengelolaan Kesesuaian dengan RPTN TNKpS (balai, Bidang konservasi Mencakup keseluruhan aspek 1 seksi, dan RPTN (15 aspek) resort) Pemda Bidang administrasi Program pembinaan dan 2 (kabupaten, pengembangan kecamatan, daerah penyangga 9 serta kelurahan) program pembangunan sarana prasarana penunjang 13 PT. Pulau Pelestarian penyu Mencakup program pengelolaan 3 Sepa Permai sisik dan keanekaragaman hayati 6 dan pengembangan program ODTWA pemanfaatan jasa lingkungan 7 PT. United Pelestarian penyu Mencakup program pengelolaan 4 Adventures sisik dan keanekaragaman hayati 6 dan pengembangan program ODTWA pemanfaatan jasa lingkungan 7 JAAN Rehabilitasi elang Mencakup program pengelolaan 5 laut dan keanekaragaman hayati 6 dan pemberdayaan program pembinaan dan masyarakat pengembangan daerah penyangga 9 Yayasan Pengelolaan Mencakup program pengelolaan 6 Terangi ekosistem terumbu keanekaragaman hayati 6 dan karang program pembinaan dan pengembangan daerah penyangga 9 Gurita Pengelolaan wisata Program pemanfaatan jasa 7 lingkungan7 Paguyuban Pengelolaan wisata Program pemanfaatan jasa 8 Bintang lingkungan7 Harapan AJWKS Pengelolaan wisata Program pemanfaatan jasa 9 lingkungan7 Pernitas Pelestarian dan Program pemanfaatan potensi 10 pemanfaatan terumbu SDA 4 dan program pengelolaan karang melalui keanekaragaman hayati 6 transplantasi Pengembangan Program pembinaan dan 11 SPKP (Bintang laut, kapasitas masyarakat pengembangan Elang Bondol, dalam aspek daerah penyangga 9 dan Samokonservasi yang samo) bernilai ekonomi
34 Perlindungan dan Program pengelolaan pelestarian kawasan keanekaragaman hayati 6 TNKpS Lampiran 1 Kesesuaian kolaborasi dengan RPTN TNKpS (lanjutan) Perlindungan dan Program pengelolaan 13 MMP pelestarian kawasan keanekaragaman hayati 6 dan TNKpS program perlindungan serta pengamanan kawasan 8 Perlindungan dan Program pemanfaatan potensi 14 Tokoh Masyarakat pelestarian kawasan SDA 4 TNKpS 12
KPA
Lampiran 2 Peran utama para pihak dalam pengelolaan Stakeholders Aspek Konservasi TNKpS
1
Perlindungan1 A) Kegiatan inventarisasi dan penelitian, kesesuaian dengan kriteria zona perlindungan, dan penetapan zona perlindungan B) Program pembinaan wilayah dan pembinaan serta pengelolaan habitat) C) Pengelolaan hama penyakit, patrol rutin, pengamanan dengan kemitraan D) Inventarisasi dan penelitian serta evaluasi pemanfaatan
Pengawetan2 Pemanfaatan3 A) Inventarisasi A) Pengelolaan potensi flora pemanfaatan fauna dan wisata dan habitat Pemanfaatan B) Penelitian plasma nutfah dan untuk penunjang pengembang budidaya an B) Inventarisasi dan C) Kegiatan identifikasi penanaman potensi tumbuhan vegetasi dan Penelitian, D) Pemetaan pendidikan, kawasan pengembangan yang rawan C) Inventarisasi dan dan identifikasi Sosialisasi potensi tumbuhan penutupan dan Penelitian, kawasan pendidikan, pengembangan
Aspek perlindungan meliputi, A. Penentuan wilayah perlindungan, B. Pembinaan wilayah, C. penanganan kerusakan dan pengamanan kawasan, D. Pengaturan cara pemanfaatan 2 Aspek pengawetan meliputi, A. Pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, B. Penerapan koridor hidupan liar, C. Pemulihan ekosistem, D. Penutupan kawasan 3 Aspek pemanfaatan meliputi, A. Pemanfaatan kondisi lingkungan, B. Pemanfaatan tumbuhan, C. Pemanfaatan Satwaliar
35
Lampiran 2 Peran utama para pihak dalam pengelolaan (lanjutan) B)Pengendalian C)Rehabilitasi B)Pemanfaatan Pemda intrusi dan abrasi ekosistem tradisional dan serta pengeolaan dan penelitian, pengunjung penanaman pendidikan, serta vegetasi pengembangan C)Pemanfaatan tradisional dan penelitian, pendidikan, serta pengembangan D)Sosialisasi A)Pengawasan A)Pemanfaatan LSM pemanfaatan perburuan plasma nutfah bijak dan illegal dan untuk penunjang pemantauan perusakan budidaya dan proses ekosistem Penelitian, pemanfaatan pendidikan, ilmu pengetahuan B)Pengelolaan C)Kebijakan A)Kebijakan Swasta sampah, pemuliahn pemanfaatan pengunjung dan ekosistem, kondisi obyek wisata pemulihan lingkungan dan dinamika pemanfaatan populasi, dan wisata rehabilitasi ekosistem B)Program C)Penanaman A)Pemanfaatan Masyarakat pembinaan vegetasi wisata wilayah dan B)Pemanfaatan pengendalian tradisional dan abrasi penelitian, pendidikan, serta pengembangan
Lampiran 3 Indikator dalam pengelolaan konservasi (77 indikator dalam 11 kriteria) Elemen dan No. Kriteria Indikator Aspek Konservasi 1 Perlindungan 1. Kegiatan inventarisasi dan penelitian a Penentuan 2. Kesesuaian dengan kriteria zona perlindungan wilayah perlindungan 3. Penetapan zona perlindungan 4. Penetapan wilayah perlindungan daerah pantai
36 5. Penetapan wilayah perlindungan Zona Ekonomi Eksklusif 6. Penetapan wilayah perlindungan areal pasang surut 7. Penetapan pal batas (darat dan laut) Lampiran 3 Indikator dalam pengelolaan konservasi , 77 indikator dalam 11 indikator (lanjutan) b Pembinaan 1. Program pembinaan wilayah 2. Pembinaan dan pengelolaan habitat wilayah 3. Pengendalian intrusi air laut 4. Pengendalian abrasi bibir pantai 5. Pengelolaan sampah 6. Pengelolaan pengunjung 7. Penataan obyek dan pengunjung c Pencegahan, 1. Pengelolaan kerusakan oleh manusia penanggulan 2. Pengelolaan kerusakan secara alami 3. Pengelolaan hama dan penyakit gan, pembatasan 4. Upaya pencegahan kerusakan 5. Pengelolaan pasca kerusakan kerusakan 6. Patroli rutin dan pengamanan 7. Pengamanan kawasan melalui kemitraan dengan pihak lain kawasan d Pengaturan 1. Inventarisasi dan penelitian potensi kawasan 2. Penetapan spesies atau ekosistem yang dapat cara dimanfaatkan pemanfaatan 3. Penetapan daya dukung kawasan 4. Sosialisasi konsep pemanfaatan secara bijak dan berkelanjutan 5. Pendataan pengelola dalam pemanfaatan kawasan 6. Pemantauan proses pemanfaatan kawasan 7. Evaluasi proses pemanfaatan kawasan 2
Aspek pengawetan a Pengelolaan keanekaraga man dan habitatnya
b
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 1. Penerapan 2. koridor hidupan liar 3. 4. 5. 6. 7.
Inventarisasi potensi flora fauna dan habitat Identifikasi flora, fauna dan habitatnya Pemantauan Perlindungan spesies migran dan dilindungi Kegaiatan penyelamatan jenis dan ekosistem Pengawasan perburuan illegal dan perusakan ekosistem Penelitian dan pengembangan Penetapan kawasan sebagai koridor hidupan liar Perlindungan pergerakan satwa Perlindungan tempat tujuan satwa bergerak Pemantauan koridor hidupan liar Kebijakan perlindungan Penelitian dan pengembangan Pengelolaan bersama-sama antar pihak terkait
37 1. Kebijakan pemuliah ekosistem 2. Program pemulihan struktur fungsi ekosistem 3. Program pemulihan dinamika populasi Lampiran 3 Indikator dalam pengelolaan konservasi , 77 indikator dalam 11 indikator (lanjutan) 4. Rehabilitasi ekosistem 5. Perlindungan pemuliahn ekosistem secara alami 6. Kegiatan penanaman vegetasi 7. Kegiatan pengkayaan vegetasi 1. Inventarisasi dampak d Penutupan 2. Pemetaan kawasan yang rawan kawasan 3. Sosialisasi penutupan kawasan 4. Kebijakan pengelolaan penutupan kawasan 5. Kegiatan rehabilitasi kawasan 6. Kegiatan penutupan suatu kegiatan 7. Kegiatan pengelolaan daya dukung kawasan c
3.
Pemulihan ekosistem
Aspek pemanfaatan a Pemanfaata n kondisi lingkungan
b
Pemanfaata n jenis tumbuhan
c
Pemanfaata n jenis satwaliar
1. Kebijakan pemanfaatan kondisi lingkungan 2. Pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan untuk sumber energi 3. Pengelolaan pemanfaatan air 4. Pengelolaan pemanfaatan wisata 5. Pengelolaan mekanisme penyimpanan karbon 6. Pemanfaatan plasma nutfah untuk penunjang budidaya 7. Penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan 1. Inventarisasi dan identifikasi potensi tumbuhan 2. Pengelelolaan dokumentasi data dan informasi status 3. Penentuan kondisi yang sesuai untuk dipanen 4. Penentuan kuota pemanenan 5. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan 6. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat 7. Penelitian, pendidikan, pengembangan 1. Inventarisasi dan identifikasi potensi satwaliar 2. Pengelelolaan dokumentasi data dan informasi status 3. Penentuan jumlah minimal satwa dapat hidup lestari (MVP) 4. Penentuan kuota pemanenan 5. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan 6. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat 7. Penelitian, pendidikan, pengembangan
38
RIWAYAT HIDUP Eka Dana Prabowo dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 12 Juli 1993. Merupakan anak pertama dari pasangan Agung Satriono dan Lisda Lusiana. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 7 (SMAN 7) Bandar Lampung pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010, peneliti diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowsisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himakova (Himpunan mahasiswa konservasi) Biro PSDM dan ketua Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) pada tahun 2012-2013. Praktek lapang yang pernah dilakukan adalah Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cilacap-Baturraden, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Fakultas Kehutanan IPB dan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Ekspedisi yang diikuti penulis adalah Ekspedisi Rafflesia 2012 di Cagar Alam Sukawayana dan 2013 di Cagar Alam Bojong Larang Jayanti serta SURILI 2012 di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan 2013 di Taman Nasional Manusela. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum pengamatan herpetofauna D3 semasa perkuliahan.