168
VII. DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN TERHADAP STABILITAS EKONOMI MAKRO
Berdasarkan hasil pengujian awal variabel yang digunakan merupakan beda pertama (first difference), ordo lag optimum yang digunakan adalah tiga, dan rank kointegrasinya adalah dua. Dengan demikian dari sembilan persamaan dalam model ada dua persamaan yang dapat menjelaskan hubungan jangka panjang untuk menjelaskan keseluruhan fenomena yang tercakup dalam model yang dianalisis. Setelah dilakukan pengujian awal dilanjutkan dengan pendugaan model VECM yang akan digunakan untuk inovasi akuntansi dengan teknik IRF dan FEVD. 7.1.
Hasil Pendugaan Model
Sebelum pendugaan model terlebih dahulu dilakukan restriksi umum (general restriction atau just identifying restriction) berdasarkan metode Johansen yaitu
dengan membuat matriks identitas 2 x 2 sesuai rank kointegrasi yang dihasilkan sebelumnya. Pada penelitian yang tujuan utamanya hanya menganalisis IRF dan FEVD, seperti yang dilakukan Supriana (2004) dan Bafadal (2005), tidak dilakukan restriksi spesifik untuk menentukan dua persamaan yang terkointegrasi. Pada penelitian ini, seperti yang dilakukan Nuryati (2004) dan Riswandi (2004), dianggap perlu mengetahui dua persamaan yang terkointegrasi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, selain melakukan restriksi umum juga dilakukan restriksi khsusus. Restriksi tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Hasil uji restriksi umum dan restriksi spesifik dapat dilihat pada Lampiran 20 dan Lampiran 21. Hasil uji statistik dari restriksi umum dan restriksi spesifik menunjukkan bahwa sistem persamaan yang digunakan exactly identifying dengan nilai Likelihood Ratio 21.2291 dan persamaan kointegrasi over identifying dengan nilai Likelihood
169 Ratio 21.0632 dengan nilai p-value lebih besar dari 0.01 yaitu 0.565. Ini berarti
hipotesis nol dapat diterima yaitu restriksi yang disusun sesuai (compatible) dengan perilaku data dan model VECM cukup valid untuk digunakan dalam melakukan berbagai shock kebijakan atau inovasi perekonomian untuk jangka pendek dan jangka panjang dengan teknik IRF dan FEVD Setelah dilakukan restriksi kemudian dilakukan pendugaan model VECM. Hasil lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 22. Hasil pendugaan VECM terdiri dari persamaan jangka pendek dan vektor kointegrasi yang merupakan persamaan residual sebagai persamaan jangka panjang. Persamaan jangka pendek menjelaskan hubungan antara lag diferensiasi (sesuai ordo VECM=Ordo VAR–1) dari masingmasing logaritma variabel-variabel dalam sistem, misal dLIHK1 terhadap diferensiasi logaritma variabel endogennya, misal dLRINV. Untuk persamaan jangka panjang yaitu ecm1 dan ecm2 menjelaskan hubungan jangka panjang residual dari masingmasing diferensiasi logaritma variabel yang terkandung pada vektor kointegrasi dari suatu sistem kointegrasi. Tidak seperti studi yang dilakukan Supriana (2004), Nuryati (2004), Riswandi (2004), dan Bafadal (2005) dimana hasil pendugaan VECM sama sekali tidak dibahas karena hanya merupakan tujuan antara untuk digunakan melakukan analisis peramalan jangka panjang dengan menggunakan teknik IRF dan FEVD.
Pada
penelitian ini selain membahas peramalan jangka panjang juga akan dibahas hasil pendugaan model VECM yang dianggap relevan yaitu melihat pengaruh kebijakan harga pangan dalam jangka pendek dan melihat dua persamaan jangka panjang yang over identivied diperoleh dari hasil restriksi spesifik.
170
7.1.1. Hubungan Jangka Pendek Kebijakan Harga Pangan dan Stabilitas Ekonomi Makro
Dari hasil pendugaan VECM terdapat sembilan persamaan dalam satu sistem persamaan. Pada masing-masing persamaan dapat dilihat bagaimana respon variabel endogen terhadap perubahan kebijakan harga pangan. Bahasan hubungan jangka pendek ini dibatasi hanya pada hal tersebut. Untuk jelasnya dapat dilihat Tabel 24. Ternyata kebijakan harga pangan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semua variabel ekonomi makro yang dipengaruhinya.
Demikian juga
variabel ekonomi makro tidak responsif terhadap peningkatan dana untuk mendukung kebijakan harga pangan, kecuali variabel tingkat suku bunga dan neraca perdagangan. Tabel 24. Nilai Pendugaan Paremater/Elastisitas Jangka Pendek Kebijakan Harga Pangan Variabel Koefisien Dependent dLRIOPP1
T-Ratio [Prob]
Koefisien dLRIOPP2
T-Ratio [Prob]
R2
1
dLIHK
-0.0038
-0.4724 [0.638]
0.0029
0.3643 [0.717]
0.6789
2
dLRIOPP
0.0981
0.8977 [0.372]
0.0813
0.7432 [0.460]
0.3017
3
dLREXR
0.0313
0.8534 [0.396]
0.0029
0.0791 [0.937]
0.4475
4
dLUNM
-0.0570
-1.1645 [0.248]
-0.0314
-0.6402 [0.524]
0.1738
5
dLRMSI
-0.0071
-0.4782 [0.634]
-0.0121
-0.8119 [0.419]
0.4733
6
dLRGDP
0.0117
1.1282 [0.263]
-0.0115
-1.1011 [0.274]
0.4377
7
dRIRT1
0.3978+
1.1240 [0.265]
0.3923#
1.1074 [0.272]
0.9304
8
dLRINV
0.0783
-0.1875
dRBOT1
103.0285^
-0.9694 [0.335] 0.3304 [0.742]
0.5924
9
0.4052 [0.686] 0.3138 [0.755]
No.
108.6236@
0.4267
Keterangan: Nilai elastisitas: + = 0.3978/-0.0629 = - 6.32; # = 0.3923/-0.0629 = - 6.24; ^ = 103.0285/ - 66.9585 = - 1.54; @ = 108.6236/ - 66.9585 = - 1.62. 1
Nilai elastisitas bentuk fungsi Linier-log: Y=b1 + b2 ln X adalah b2/ Y (Ramanathan, 1995)
171 Jika pemerintah meningkatkan dana untuk mendukung kebijakan harga pangan sebesar satu persen akan menurunkan suku bunga sebesar enam persen. Namun penurunan suku bunga tersebut terjadi 1 – 2 triwulan berikutnya. Penurunan suku bunga ini disebabkan dana kebijakan harga pangan berasal dari kredit yang bersumber dari dana KLBI dan dana APBN dengan tingkat bunga yang jauh lebih rendah dari tingkat suku bunga perbankan. Kondisi tersebut direspon perbankan dengan menurunkan suku bunga agar nasabah tertarik menggunakan dana perbankan. Demikian juga yang terjadi pada neraca perdagangan.
Peningkatan dana
untuk mendukung kebijakan harga pangan sebesar satu persen akan menurunkan neraca perdagangan sebesar 1.5 persen pada 1 –2 triwulan berikutnya. Penurunan ini disebabkan kebijakan harga mampu merangsang peningkatan pangan dalam negeri sehingga impor pangan menjadi berkurang.
7.1.2. Hubungan Jangka Panjang Kebijakan Harga Pangan dan Stabilitas Ekonomi Makro
Dari hasil restriksi khusus diperoleh dua persamaan yang terkointegrasi yaitu persamaan inflasi (56) dan persamaan kebijakan harga pangan (57).
Persamaan
kebijakan harga pangan disebut juga fungsi reaksi kebijakan. Angka dalam kurung merupakan standar error. LIHK = - 0.1519 LRIOPP* + 0.8644 LREXR* + 1.0311 LRMSI* (0.0331) (0.1583) (0.2699) - 0.0278 RIRT*– 0.0982 LRINV* (0.0121) (0.0298) + 0.00002 RBOT - 0.0031 Trend ……………………..…(56) (0.00002) (0.0069) LRIOPP = 7.5840 LIHK* + 5.3806 LREXR* – 2.0045 LUNM* (4.0504) (1.5553) (1.0037) + 29.2798 LRGDP* – 0.1127 RIRT* – 1.7935 LRINV* (8.4626) (0.1002) (0.7112) - 0.0010 RBOT* – 0.0010 Trend …………………….(57) (0.0004.) (0.1766)
172
7.1.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi
Persamaan (56) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang inflasi secara statistik sangat signifikan dipengaruhi oleh adanya kebijakan harga pangan, nilai tukar rupiah, penawaran uang, suku bunga dan investasi, kecuali neraca perdagangan. Namun inflasi tidak responsif (tidak elastis) terhadap perubahan semua variabel tersebut termasuk suku bunga dan neraca perdagangan yang memiliki nilai elastisitas1 masing-masing adalah - 0.45 dan
0.41, kecuali terhadap penawaran uang dengan
nilai elastisitas 1.03. Jika penawaran uang meningkat sebesar 10 persen inflasi akan meningkat 10.3 persen. Temuan ini sesuai dengan teori kuantitas uang dimana inflasi berbanding lurus dengan jumlah uang beredar. Walaupun tidak elastis akan tetapi secara signifikan kebijakan harga pangan mampu menurunkan inflasi. Untuk program pengendalian stabilitas ekonomi makro kebijakan harga pangan menjadi penting. Demikian juga untuk program ketahanan pangan, penurunan inflasi akan meningkatkan akses penduduk terhadap pangan. Temuan ini sejalan dengan temuan pada bab sebelumnya dimana kebijakan harga pangan secara signifikan sangat mempengaruhi ketahanan pangan dan penurunan inflasi akan meningkatkan akses penduduk terhadap pangan. Dalam prakteknya salah satu penyebab inflasi adalah kenaikan harga pangan yang antara lain disebabkan oleh langkanya pangan di pasar. Melalui kebijakan harga pangan seperti operasi pasar ketersediaan pangan menjadi meningkat dan harga akan menurun. Menurunnya harga pangan di satu sisi dan besarnya komponen pengeluaran untuk belanja pangan disisi lain akan mendorong turunnya tingkat inflasi. Seperti hasil beberapa peneliti lain, selama rezim nilai tukar mengambang (floating managed) perubahan nilai tukar cukup signifikan mempengaruhi inflasi.
1
Nilai elastisitas bentuk fungsi Log-linier: ln Y=b1 + b2 X adalah b2 X . Nilai rataan RIRT dan RBOT masing-masing adalah 16.1549 dan 2041.1
173 Melemahnya nilai tukar akan meningkatkan ekspor sehingga neraca perdagangan meningkat dan mendorong peningkatan output nasional. Pada harga yang stabil akan meningkatkan permintaan agregat yang menyebabkan terjadinya inflasi. Di sisi lain meningkatnya ekspor secara umum harus didukung dengan investasi pabrik dan bahan baku. Selama ini sebagian produk ekspor Indonesia kandungan impornya tinggi. Tingginya komponen impor akan menyebabkan terjadinya impor inflasi sehingga inflasi domestik akan meningkat. Kenaikan suku bunga riil akan menurunkan inflasi. Hal ini sesuai dengan teori dimana inflasi merupakan selisih sukubunga nominal dan sukubunga riil. Inflasi juga akan turun dengan semakin meningkatnya investasi karena jumlah produk di pasar semakin meningkat.
Dengan jumlah uang beredar yang tetap peningkatan
jumlah barang akan menurunkan laju inflasi. 7.1.2.2.Fungsi Reaksi Kebijakan Harga Pangan
Persamaan (57) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan harga pangan sangat reaktif terhadap perubahan ekonomi makro. Hal ini dapat dilihat dari signifikannya pengaruh variabel ekonomi makro terhadap kebijakan harga pangan dan responsifnya kebijakan harga pangan terhadap perubahan ekonomi makro termasuk variabel suku bunga dan neraca perdagangan dengan nilai elastisitas1 masing-masing – 1.82 dan 19.59. Meningkatnya inflasi direspon dengan melakukan kebijakan harga pangan agar terjadi penurunan harga, terutama harga pangan sehingga inflasi menjadi stabil. Kebijakan harga pangan ditentukan oleh anggaran pemerintah.
Keterbatasan
anggaran menyebabkan berkurangnya subsidi yang mendukung kebijakan harga pangan. Makin tinggi output nasional akan meningkatkan penerimaan pemerintah sehingga kebijakan harga pangan semakin meningkat. 1
Menghitungnya menggunakan formula bentuk fungsi yang Log-linier seperti sebelumnya.
174 Meningkatnya investasi akan meningkatkan suku bunga bank baik nominal maupun riil. Karena investasi non pangan lebih menguntungkan alokasi dana KLBI untuk pertanian menurun sehingga kebijakan harga pangan menurun. Pengaruh faktor eksternal, meningkatnya sukubunga mengakibatnya banyak modal asing masuk ke dalam negeri sehingga terjadi kenaikan penawaran dollar AS dan nilai rupiah menguat. Hal yang sama jika neraca perdagangan mengalami peningkatan. Dengan menguatnya rupiah impor pangan menjadi lebih murah, sehingga dana untuk kebijakan harga pangan menjadi menurun. Sebaliknya jika nilai tukar melemah, harga pangan impor menjadi meningkat sehingga diperlukan dana lebih besar untuk melakukan kebijakan harga pangan. 7.2.
Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Kebijakan Harga Pangan
Respon dinamik variabel ekonomi makro terhadap guncangan stok pangan yang direprsentasikan oleh adanya kebijakan harga pangan dianalisis dengan menggunakan teknik Impulse Response Function. Namun sebelumnya perlu dibatasi bagaimana pengaruh gangguan pangan baik positif maupun negatif, terhadap variabel ekonomi makro. Seperti telah diutarakan pada Bab III sebelumnya, menurut Dawe (2002) pengaruh tersebut dapat terjadi pada tiga kondisi yaitu: (1) tanpa intervensi pemerintah dan ekonomi tertutup, (2) ada intervensi pemerintah berupa kebijakan buffer stock dan perekonomian tertutup, dan (3) pada perekonomian terbuka.
Kondisi yang digunakan pada penelitian ini sesuai dengan kondisi saat ini yaitu ada intervensi pemerintah berupa kebijakan buffer stock dan perekonomian terbuka. Namun karena dalam prakteknya pasar pangan dunia, khususnya beras, terbatas maka gangguan stok pangan tidak dengan mudah distabilisasi oleh keberadaan pasar internasional.
Di samping itu kebijakan harga pangan yang
dimaksud tidak hanya kebijakan buffer stock tetapi termasuk kebijakan harga input.
175 Pengaruh guncangan kebijakan harga pangan sebesar satu standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 35 – Gambar 43, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 23. Guncangan kebijakan harga pangan dapat berupa impor pangan dan input produksi pertanian seperti pupuk (TSP dan KCl) dan pestisida. Akibatnya BOT yang masih surplus 9.9 juta USD pada saat terjadi guncangan pada triwulan pertama menjadi defisit 51.8 juta USD. Defisit terus membesar hingga triwulan ke 16 yaitu sebesar 104.5 juta USD.
Setelah itu defisit sedikit berkurang dan mulai stabil pada
triwulan ke-14 hingga dalam jangka panjang defisit stabil pada nilai 98.8 juta USD. Meningkatnya Kebijakan harga pada triwulan pertama menyebabkan PDB mengalami ekspansi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penawaran uang akibat kebijakan harga sehingga merangsang aktivitas ekonomi. Namun karena sebagian dana kebijakan harga pangan tersebut digunakan untuk impor, maka pada triwulan 2 – 4 PDB mengalami kontraksi mencapai angka terendah pada triwulan ke-4 yaitu 0.99 persen. Selanjutnya secara fluktuatif PDB cenderung mengalami ekspansi dan mulai stabil pada triwulan ke 13 hingga dalam jangka panjang pertumbuhan PDB stabil pada – 0.84 persen. Dengan demikian setiap peningkatan satu standar deviasi kebijakan harga pangan akan menurunkan PDB sebesar 0.84 persen. Kontraksinya aktivitas ekonomi menyebabkan penerimaan pemerintah menjadi menurun, sehingga sejak dilakukan guncangan kebijakan harga pangan maka pertumbuhan dana yang digunakan untuk mendukung kebijakan tersebut cenderung menurun dari 27.95 persen pada awal kebijakan mengalami pertumbuhan terendah menjadi 16.42 persen pada triwulan ke 13. Pertumbuhan mulai stabil pada triwulan ke-18 dan dalam jangka panjang stabil kembali pada pertumbuhan 17.47 persen.
176
Respon Kebijakan Harga Pangan
0.30 0.25 0.20
Gambar 39. Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan 0.15 0.10
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 35. Respon Kebijakan Harga Kebijakan Harga Pangan
Pangan
terhadap
Guncangan
Respon Neraca Perdagangan
50 0 -50 -100 -150
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 36. Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan Kebijakan Harga -0.001
Respon PDB
-0.003 -0.005 -0.007 -0.009 -0.011
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 37. Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
177
Penawaran Uang
0.015 0.013 0.011 0.009 0.007 0.005
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 38.
Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Respon Inflasi
0.020 0.015 0.010 0.005 0.000
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 39.
Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
0.2 Respon Suku Bunga
Gambar0.1 42. Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan 0.0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 -0.5
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 40. Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
178
0.06 Respons Investasi
0.04 0.02 0.00 -0.02 -0.04 -0.06 -0.08
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 41 Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan 0.05 Respon Nilai Tukar
Gambar 41. Respon Pengangguran Guncangan Kebijakan Harga Pangan 0.04 0.03 0.02 0.01
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulanan
Gambar 42 Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
Respon Pengangguran
0.000 -0.005 -0.010 -0.015 -0.020
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 43. Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Harga Pangan
179 Di pasar uang dampak kebijakan harga pangan pada triwulan pertama meningkatkan penawaran uang 1.47 persen karena dana kebijakan harga sebagian berasal dari dana segar KLBI. Peningkatan penawaran uang diikuti oleh peningkatan inflasi sebesar 0.11 persen.
Dugaan terjadinya inflasi akibat kebijakan harga
diantisipasi pihak Bank Indonesia dengan melakukan sterilisasi sehingga penawaran uang menurun mencapai titik terendah hingga 0.54 persen triwulan ke-6 yang diikuti dengan penurunan inflasi. Sterilisasi yang dilakukan hingga triwulan ke-6 ternyata terlalu berlebihan sehingga menyebabkan PDB kontraksi hingga triwulan ke –4. Oleh karena itu Bank Indonesia meningkatkan kembali jumlah penawaran uang ke posisi hampir sama dengan posisi awal yang mulai stabil pada triwulan ke 25 dan dalam jangka panjang stabil pada 1.14 persen.
Naiknya penawaran uang sejak triwulan ketujuh
menyebabkan PDB mengalami sedikit ekspansi. Jadi terlihat jelas adanya hubungan antara penawaran uang, inflasi dan PDB. Hanya saja penawaran uang dan Inflasi sifatnya lebih volatil dibandingkan PDB. Hal ini disebabkan pemerintah melakukan intervensi terhadap penawaran uang dan efeknya berdampak langsung pada inflasi. Pada triwulan pertama naiknya penawaran uang dan inflasi menyebabkan suku bunga riil meningkat pada triwulan pertama. Tetapi ketika inflasi meningkat mencapai nilai tertinggi pada triwulan ke-5 yaitu 1.52 persen maka suku bunga riil menjadi turun mencapai titik terendah pada triwulan ke-3 yaitu –0.43 persen. Turunnya suku bunga tidak direspon oleh investor, apalagi saat suku bunga naik kembali mencapai titik tertinggi pada triwulan ke-8 yaitu 0.14 persen. Suku bunga tersebut kemudian turun kembali dan mulai stabil pada triwulan ke-21 dan dalam jangka panjang stabil pada tingkat -0.05 persen
Kenaikan suku bunga riil ini disebabkan karena
menurunnya inflasi dan mulai stabil pada triwulan ke-9 kemudian dalam jangka panjang stabil pada tingkat 1.04 persen.
180 Kenaikan suku bunga menyebabkan investasi mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada triwulan ke-6 yaitu –7.43 persen. Investasi mulai stabil kembali pada triwulan ke-18 dan dalam jangka panjang stabil pada angka -5.68 persen. Penurunan investasi ini menyebabkan PDB kontraksi. Jadi penurunan PDB disebabkan oleh dua hal yaitu menurunnya investasi dan neraca perdagangan. Ternyata guncangan kebijakan harga pangan dalam jangka panjang tidak berpengaruh terhadap suku bunga. Kondisi suku bunga yang fluktuatif dan kembali stabil pada kondisi semula ini mungkin yang menyebabkan investor tidak perlu meresponnya. Turunnya suku bunga domestik menyebabkan terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Untuk itu dibutuhkan dollar sehingga permintaan dollar AS meningkat dan rupiah terdepresiasi mencapai nilai tertinggi yaitu 4.56 persen pada triwulan ke-3. Sebaliknya saat suku bunga meningkat terjadi kapital inflow dan rupiah menguat lagi kondisi ini menyebabkan nilai tukar mulai stabil pada triwulan ke-18 kemudian dalam jangka panjang menjadi stabil relatif sama pada kondisi sebelum ada guncangan kebijakan harga pangan yaitu pada tingkat 2.35. Artinya guncangan kebijakan harga pangan tidak berpengaruh besar terhadap nilai tukar rupiah. Di pasar tenaga kerja naiknya harga barang atau inflasi direspon pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja hingga triwulan ke-2 setelah guncangan terjadi pengurangan pengangguran mencapai titik terendah yaitu – 1.81 persen. Namun setelah diamati ternyata inflasi yang terjadi akibat impor bukan akibat meningkatnya permintaan produk dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan pengusaha menurunkan permintaan tenaga kerja sehingga pengangguran meningkat kembali dan mulai stabil pada triwulan ke-14 kemudian dalam jangka panjang stabil mendekati kondisi semula yaitu –0.64 persen. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang keseimbangan yang terjadi akibat guncangan kebijakan harga pangan menyebabkan
181 stagflasi yaitu peningkatan inflasi dan kontraksi ekonomi. Sementara itu nilai tukar, suku bunga, penawaran uang dan tingkat pengangguran relatif stabil.
Stabilnya
penawaran uang menunjukkan ketatnya pihak Bank Indonesia melakukan pengendalian Inflasi melalui pengendalian penawaran uang. Ketatnya pengendalian penawaran uang termasuk dalam mengeluarkan dana KLBI untuk program kebijakan harga pangan selalu dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan hasil komunikasi langsung dengan Staf Biro Kredit Bank Indonesia sebagai berikut: Saat ada dana KLBI, status BI merupakan bagian dari Pemerintah. Dengan demikian jika ada sektor yang dianggap prioritas maka diperlukan bantuan dana dari BI yang merupakan fresh money sehingga menyebabkan penawaran uang meningkat. Untuk melihat dampak meningkatnya penawaran uang terhadap inflasi, setiap minggu dilakukan evaluasi. Apakah perlu dilakukan operasi pasar terbuka dengan SBI atau tidak. Umumnya dilakukan operasi pasar namun tidak selalu 100% (1 : 1), tetapi sangat tergantung pada kondisi pasar. Setelah tahun 1999 dengan UU BI No. 23 tidak demikian lagi. Karena BI sudah merupakan lembaga yang independen. Kalaupun KLBI masih ada, hanya merupakan sisa-sisa dana yang merupakan hasil kesepakatan sebelum tahun 1999. Jika diamati lebih rinci (Tabel 26) dinamika inflasi dimulai dari 0.00 persen saat guncangan menjadi 1.52 persen pada saat terjadi inflasi tertinggi pada triwulan ke-5 dan kemudian stabil pada tingkat inflasi 1.04 persen. Kenaikan yang terjadi hanya sekitar 1.00 persen. Kenaikan tersebut tidak memberikan efek besar bagi perekonomian. Kontraksi PDB saat guncangan terjadi sebesar –0.34 persen kemudian kontraksi paling dalam terjadi pada triwulan ke-4 yaitu –0.99 dan dalam jangka panjang stabil menjadi -0.84 persen. Peurunan pertumbuhan hanya –0.65 persen
182 merupakan angka yang relatif kecil sehingga dapat dikatakan kebijakan harga pangan tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Terjadinya stagflasi disebabkan kebijakan harga pangan yang dilakukan masih didukung dengan pengadaan pangan impor (beras, jagung, kedele, gula, dll). Peningkatan impor menurunkan BOT akibatnya PDB mengalami kontraksi dan inflasi juga meningkat.
Kedepan sebaiknya kebijakan harga pangan dilakukan dengan
dominan mengandalkan produksi dalam negeri sehingga tidak menurunkan BOT dan diduga akan menyebabkan PDB ekspansi. Hasil studi Suparmin (2005) juga menyarankan hal yang senada yaitu jika konsumsi beras terus meningkat (diversifikasi pangan pokok tetap tidak berlangsung), maka diperlukan adanya peningkatan suplai yang berkesinambungan melalui upaya peningkatan produktivitas perluas areal panen, dan pengurangan kehilangan pasca panen. Namun karena modelnya tidak memasukkan unsur BOT yang mempengaruhi permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi maka dengan tujuan untuk stabilisasi harga beras/gabah Suparmin (2005) juga menganjurkan peningkatan impor beras. 7.3.
Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Pengaruh guncangan kebijakan moneter sebesar satu standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 44 – Gambar 52, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 24. Ketika guncangan terjadi hingga triwulan pertama penawaran uang naik sedikit dari 3.36 persen menjadi 3.37 persen. Namun hal ini telah meningkatkan inflasi dari nol persen menjadi 0.23 persen pada triwulan pertama dan terus meningkat menjadi 0.33 persen pada triwulan ke-2.
Kemudian inflasi turun mencapai titik
rendah yaitu -0.17 persen kemudian naik sedikit dan stabil pada triwulan ke-13 dalam kondisi deflasi. Guncangan kebijakan moneter awalnya menyebabkan jumlah uang
183 yang ditawarkan fluktuatif dan mulai stabil pada triwulan ke-12 serta akhirnya meningkatkan penawaran uang dari 3.36 persen saat guncangan menjadi 3.62 persen dalam jangka panjang Kecilnya respon penawaran uang akibat kebijakan moneter pada triwulan pertama, sedangkan inflasi meningkat relatif tajam menyebabkan naiknya suku bunga nominal sehingga suku bunga riil juga meningkat dari –0.08 persen saat terjadi guncangan menjadi 0.03 persen pada triwulan pertama. Peningkatan suku bunga riil direspon investor dengan mengurangi investasi sehingga laju investasi menurun. Demikian juga sebaliknya jika terjadi penurunan suku bunga investor meningkatkan investasinya.
Perilaku demikian hanya berlaku hingga triwulan ketiga karena
fluktuasi suku bunga relatif tinggi. Setelah itu fluktuasi suku bunga relatif mengecil dan pengaruhnya tidak signifikan terhadap perilaku investasi. Fluktuasi suku bunga mulai stabil pada triwulan ke-13 hingga stabil dalam jangka panjang. Naiknya suku bunga pada triwulan pertama meningkatkan kapital inflow akibatnya nilai tukar mengalami apresiasi. Nilai tukar yang terapresiasi ini berperan mengendalikan inflasi.
Walau pada dua triwulan pertama kebijakan moneter
menyebabkan meningkatnya inflasi namun dalam jangka panjang pengaruhnya dapat meningkatkan nilai tukar rupiah sehingga inflasi menjadi terkendali. Dalam jangka panjang guncangan kebijakan moneter menyebabkan rupiah terapresiasi dan mulai stabil pada triwulan ke-10 hingga stabil pada –3.92 persen. Inflasi yang meningkat tajam hingga triwulan ke-2 menyebabkan daya saing produk ekspor menurun. Hal ini terlihat dari nilai tukar yang menguat sehingga neraca perdagangan juga menurun dari surplus 77.23 juta USD menjadi defisit 226.06 juta USD. Defisit terus berlanjut dan mulai stabil pada triwulan ke-8 hingga jangka panjang stabil pada 453.09 juta USD.
184 Defisit neraca perdagangan menyebabkan PDB kontraksi pada triwulan pertama namun meningkat kembali hinga triwulan ke-4 dan sedikit menurun pada triwulan ke-5 kemudian meningkat kembali dan stabil pada triwulan ke-13, namun masih tetap kontraksi.
Turunnya neraca perdagangan sedangkan penawaran uang
meningkat memberi peluang untuk meningkatkan aktivitas ekonomi domestik khususnya sektor konsumsi domestik. Konsumsi domestik ini mampu meningkatkan PDB. Akan tetapi peningkatan PDB yang disebabkan oleh bukan sektor produksi karena terlihat kecenderungan investasi yang menurun dan mulai stabil pada triwulan ke-11. Penurunan investasi menyebabkan angka pengangguran meningkat dan mulai stabil pada triwulan ke-8. Untuk mengendalikan inflasi biasanya jika BI melakukan penyuntikan dana ke pasar selalu diikuti oleh sterilisasi dalam bentuk lainnya.
Dengan demikian
guncangan kebijakan moneter dapat menyebabkan dana untuk kebijakan harga pangan menurun.
Hal ini terus berlanjut hingga triwulan kedua. Namun demikian
karena kebijakan moneter juga menyebabkan inflasi hingga triwulan ke-2 maka dana untuk kebijakan harga pangan ditingkatkan sebagai reaksi terhadap inflasi. Akan tetapi pada triwulan ke-3 dan seterusnya inflasi mengalami penurunan hingga stabil pada -0.07 persen.
Kondisi demikian direaksi oleh kebijakan harga dengan
menurunkan dana untuk dukungan kebijakan harga dan sedikit meningkat sebelum mulai stabil pada triwulan ke-10. Peningkatan penawaran uang melalui kebijakan moneter bertujuan untuk meningkatkan aktivitas perekonomian. Namun dalam jangka pendek meningkatkan inflasi sehingga daya saing produk ekspor menurun dan menurunkan neraca perdagangan. Akibatnya PDB mengalami kontraksi. Dalam jangka panjang kebijakan tersebut mampu meningkatkan aktivitas ekonomi khususnya sektor konsumsi bukan
185 di investasi dan mampu meningkatkan PDB tetapi tidak mengurangi pengangguran, bahkan sebaliknya. Dari temuan ini disimpulkan bahwa kebijakan moneter mampu menurunkan inflasi, namun belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak mampu mengurangi pengangguran dan tidak mengurangi defisit perdagangan.
Jika
pemanfaatan uang beredar mampu menggerakkan sektor riil dari sisi investasi diduga kebijakan moneter juga mampu mengatasi masalah pengangguran dan defisit perdagangan luar negeri. Untuk mencapai kinerja ekonomi yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang mampu meningkatkan kinerja sektor riil.
Respon Penawaran Uang
0.040 0.035 0.030 0.025 0.020
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 44. Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Moneter 0.004
Respon Inflasi
0.003 0.002 0.001 0.000 -0.001 -0.002
0
5
10
15
20
25
30
Triwulan
Gambar 45.
Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
35
Respon Suku Bunga Bank
186
0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 46.
Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Nilai Tukar
0.00 -0.01 -0.02 -0.03 -0.04 -0.05
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 47.
Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Pengangguran
0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0.00
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 48.
Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
187
Respon PDB
-0.002 -0.004 -0.006 -0.008 -0.010
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 49.
Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Investasi
0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 50.
Respon Investasi terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
100
Respon Neraca Perdagangan
0 -100 -200 -300 -400 -500
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 51.
Respon Neraca Pedagangan terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
188
Respon Kebijakan Harga Pangan
0.00 -0.02 -0.04 -0.06 -0.08
0
5
10
15
20
25
30
35
Triwulan
Gambar 52.
7.4.
Respon Kebijakan Harga Pertanian terhadap Guncangan Kebijakan Moneter
Respon Dinamik Variabel Ekonomi Makro terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Guncangan kebijakan perdagangan dapat disebabkan oleh menurunnya nilai impor, meningkatnya nilai ekspor, keduanya meningkat tapi peningkatan nilai ekspor lebih besar dari nilai impor, atau keduanya menurun tapi penurunan nilai impor lebih besar dari nilai ekspor. Pengaruh guncangan kebijakan perdagangan sebesar satu standar deviasi terhadap stabilitas ekonomi makro di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 53 – Gambar 61, sedangkan data lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 25. Pada saat terjadi guncangan neraca perdagangan mengalami surplus 742 juta USD. Dampak surplus BOT menyebabkan rupiah terapresiasi hingga nilai tertinggi pada triwulan ke-2.
Menguatnya rupiah menyebabkan ekspor menurun atau impor
meningkat sehingga surplus neraca perdagangan
menurun hinga triwulan ke-2.
Penurunan surplus ini kembali melemahkan nilai tukar hingga puncaknya pada triwulan ke-5. Keduanya saling mempengaruhi hingga neraca perdagangan mulai stabil pada triwulan ke-11 dan nilai tukar mulai stabil pada triwulan ke 11. Penguatan nilai tukar yang cukup tajam hingga triwulan ke-2 direspon BOT hingga triwulan ke-3.
Demikian juga peningkatan BOT antara triwulan 3 - 4
189 direspon menguatnya rupiah hinggga triwulan ke-5. Terlihat adanya lag waktu saat keduanya saling mempengaruhi, namun pada pergerakan dengan osilasi yang lebih kecil pada triwulan berikutnya tidak terjadi lag waktu. Bagaimana kebijakan perdagangan tersebut dilakukan sehingga mampu meningkatkan BOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa meningkatnya BOT akibat adanya penurunan penawaran uang sampai triwulan ke-2 sehingga inflasi menjadi menurun. Penurunan inflasi meningkatkan daya saing sehingga ekspor meningkat dan menyebabkan BOT surplus. Namun seperti diutarakan sebelumnya surplus BOT ini menyebabkan rupiah terapresiasi. Untuk menjaga kestabilan ekonomi otoritas moneter mengendalikan jumlah penawaran uang hingga BOT, nilai tukar, dan inflasi cenderung stabil. Kestabilan tersebut mulai tercapai saat jumlah uang beredar mulai stabil pada triwulan ke-18. Guncangan kebijakan perdagangan yang didukung oleh pengendalian uang beredar awalnya menurunkan inflasi.
Reaksi kebijakan harga pangan akibat
penurunan inflasi adalah menurunkan dana yang digunakan hingga triwulan ke-2 untuk kebijakan tersebut.
Melambatnya penurunan inflasi antara triwulan 2 – 3
diantisipasi dengan meningkatkan dana untuk kebijakan harga pangan. Demikian juga ketika inflasi terus naik hingga mencapai puncak pada triwulan ke-7, walaupun terjadi osilasi pemerintah tetap mengantisipasi dengan kebijakan harga pangan. Osilasi ini dapat disebabkan oleh sumber dana yang tersedia dan kondisi inflasi itu sendiri, hingga akhirnya mulai stabil pada triwulan ke-14. Namun demikian, dalam jangka panjang kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi kebijakan harga pangan. Di pasar uang dinamika suku bunga riil mengikuti dinamika inflasi. Penuruan inflasi mencapai titik terendah pada triwulan ke-3 diikuti kenaikan suku bunga tertinggi pada triwulan yang sama demikian seterusnya hingga mulai stabil pada
190 triwulan ke-19 dan dalam jangka panjang terjadi peningkatan suku bunga menjadi 0.24 persen. Dinamika suku bunga dikuti pula oleh dinamika investasi. Pada triwulan pertama naiknya suku bunga 0.11 persen dikuti dengan penurunan investasi 18.11 persen. Pada triwulan berikutnya suku bunga masih naik tetapi justru investasi juga naik Artinya osilasi yang terjadi pada investasi waktunya lebih pendek dibandingkan dengan osilasi yang terjadi pada suku bunga. Fenomena ini mengindikasikan bahwa investasi tidak hanya dipengaruhi oleh suku bunga tetapi ada faktor lain, adalah stabilitas sosial poltik suatu negara. Guncangan kebijakan perdagangan yang menyebabkan BOT surplus meningkatkan pertumbuhan PDB hingga 0.71 persen pada triwulan ke-3. Namun karena kenaikan ini tidak banyak didukung oleh sektor riil, karena disisi lain investasi cenderung turun, PDB kontraksi kembali hingga 0.18 persen dan mulai stabil pada triwulan ke-13. Peningkatan PDB yang tidak didukung kenaikan investasi menyebabkan angka pengangguran meningkat hingga stabil menjadi 1.66 persen. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keseimbangan akhir akibat kebijakan perdagangan menyebabkan BOT surplus, pertumbuhan ekonomi yang diikuti inflasi namun tidak mampu menurunkan tingkat pengangguran. Peningkatan BOT dapat disebabkan penurunan impor atau peningkatan ekspor akibat melemahnya nilai tukar. Penurunan impor dapat terjadi karena pemerintah mengenakan tarif impor ,melalui kebijakan nilai tukar, pada produk pangan hingga menurunkan nilai impor. Jika demikian dapat ditafsirkan bahwa kebijakan pengenaan tarif pada produk pangan impor menyebabkan pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi pertumbuhan
ekonomi tersebut belum mampu mengurangi pengangguran.
Untuk mengatasi
masalah pengangguran diperlukan penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk menggerakkan sektor riil dan menciptakan kesempatan kerja.
191
800
Respon Nerca Perdagangan
700 600 500 400 300 200
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 53. Respon Neraca Perdagangan terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Nilai Tukar
0.010 0.005 0.000 -0.005 -0.010 -0.015 -0.020 -0.025
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 54. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Inflasi
0.005 0.004 0.003 0.002 0.001 0.000 -0.001 -0.002 -0.003 -0.004
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 55.
Respon Inflasi terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
192
Respon Kebijakan Harga Pangan
0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 -0.005 -0.010 -0.015 -0.020
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 56.
Respon Kebijakan Harga Pangan terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon PDB
0.008 0.006 0.004 0.002 0.000
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 57.
Respon PDB terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Pengangguran
0.020 0.015 0.010 0.005 0.000
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Triwulan
Gambar 58.
Respon Pengangguran terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
50
193
Respon Penawaran Uang
0.002 0.000 -0.002 -0.004 -0.006 -0.008
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 59.
Respon Penawaran Uang terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Suku Bunga
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 -0.1 -0.2
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 60.
Respon Suku Bunga terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
Respon Investasi
0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Triwulan
Gambar 61.
Respon Ivestasi terhadap Guncangan Kebijakan Perdagangan
194 Tiga guncangan ekonomi yang disebabkan kebijakan harga pangan, kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan mempunyai kelebihan dan kekurangan (Tabel 25).
Kelebihan kebijakan harga pangan tidak menyebabkan naiknya tingkat
pengangguran namun menyebabkan kontraksi ekonomi. Kontraksi ekonomi dapat dihindari jika kebijakan harga pangan yang dilakukan didukung oleh produksi dalam negeri. Selama ini kebijakan tersebut banyak didukung oleh produk impor baik berupa impor pangan maupun sarana produksi. Hal tersebut menyebabkan BOT defisit sehingga PDB kontraksi. Jika kebijakan harga pangan lebih didukung oleh produksi dalam negeri, ini berarti terjadi pengurangan impor sehingga nilai ekspor lebih besar dari nilai impor.
Kebijakan perdagangan yang mengurangi impor
menyebabkan BOT surplus sehingga PDB mengalami ekspansi, namun pengangguran dan inflasi menjadi meningkat. Tabel 25. Dampak Kebijakan Harga Pangan, Moneter, dan Perdagangan terhadap Keseimbangan Ekonomi Makro dalam Jangka Panjang Kebijakan
Dampak terhadap Indikator Kunci Ekonomi Makro
No 1
Kebijakan Harga Pangan (meningkat)
2
Kebijakan Moneter (ekspansi)
3
Kebijakan Perdagangan (penurunan impor)
PDB kontraksi Inflasi BOT defisit Pengangguran stabil PDB kontraksi Deflasi BOT defisit Pengangguran naik PDB ekspansi Inflasi BOT surplus Pengangguran naik
Dampak kebijakan moneter menyebabkan keseimbangan jangka panjang mengalami kontraksi, pengangguran meningkat, BOT defisit, dan deflasi. Hasil ini sesuai dengan mandat Bank Indonesia (2006), yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah melalui kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
195 pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Kebijakan moneter tersebut dilakukan untuk mengendalikan laju inflasi. Selanjutnya dikatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukan dalan jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi tingkat inflasi dan tidak dapat mempengaruhi variabel riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat pengangguran. Tabel 25 memperlihatkan dampak ketiga kebijakan terhadap keseimbangan jangka panjang yang sifatnya kualitatif dan belum menggambarkan apakah kebijakan tersebut menyebabkan instabilitas ekonomi makro. Untuk melihat dampak kebijakan terhadap stabilitas ekonomi makro diperlukan ukuran-ukuran kuantitatif. Ada empat ukuran yang digunakan dalam melihat dampak kebijakan terhadap stabilitas. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Dampak Kebijakan Harga Pangan, Moneter dan Perdagangan terhadap Stabilitas Ekonomi Makro Ukuran Stabilitas Perbedaan Perbedaan dampak petumbuhan Koefisien maksimum dan awal dan Variasi minimum akhir (%) (%)
Kebijakan
Variabel Ekonomi Makro
Waktu mencapai stabil (triwulan)
1. Kebijakan Harga Pangan (meningkat)
1. Inflasi 2. PDB 3. BOT 4. UNM
9 13 14 14
1.52 (0-5) 0.86 (2-4) 62* (0-1) 1.23 (2-7)
1.04 0.50 615+ 0.03
0.29 0.18 0.25 0.36
2. Kebijakan Moneter (ekspansi)
1. Inflasi 2. PDB 3. BOT 4. UNM
13 13 8 8
0.33 (2-5) 0.58 (1-4) 492* (0-3) 4.79 (0-4)
0.00 0.22 391+ 4.95
1.83 0.33 0.22 0.22
3. Kebijakan Perdagangan (penurunan impor)
1. Inflasi 2. PDB 3. BOT 4. UNM
14 13 13 11
0.84 (3-7) 0.71 (0-3) 506* (0-3) 1.58 (0-4)
0.24 0.30 60+ 1.66
0.83 1.29 0.28 0.23
Keterangan : Diolah dari Gambar 36-62 dan Lampiran 23-25. * dalam Juta USD. + diperoleh saat pertumbuhan triwulan ke-1 ke-2 dan triwulan saat akan mencapai stabil. (n): angka dalam kurung menunjukkan periode titik maksimum-minimum terpanjang. BOT=neraca perdagangan; PDB: Produk Domestik Bruto; UNM : pengangguran.
196 Ukuran pertama yaitu waktu yang dibutuhkan hingga dampak guncangan mulai stabil (kolom tiga Tabel 26). Dari tiga kebijakan terlihat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai stabil relatif sama yaitu berkisar 8-14 triwulan atau 2-3.5 tahun.
Waktu ini menjadi penting jika fluktuasi yang terjadi cukup tajam atau
panjang gelombang (jarak titik maksimum dan minimum) yang terjadi cukup besar. Kolom empat pada Tabel 26 memperlihatkan ukuran kedua dalam menentukan stabilitas yaitu perbedaan antara pertumbuhan pada saat mencapai titik maksimum dan titik minimum. Secara umum ketiga kebijakan tidak menyebabkan instabilitas pada variabel kunci ekonomi makro dengan perbedaan jarak titik maksimum dan minimum antara 0.33 – 4.79 persen, kecuali pada neraca perdagangan perbedaan tersebut cukup besar. Ukuran ketiga adalah dampak kebijakan terhadap perbedaan pertumbuhan saat awal dan akhir (kolom lima Tabel 26). Sama seperti ukuran sebelumnya, secara umum ketiga kebijakan tidak menyebabkan instabilitas pada variabel kunci ekonomi makro dengan perbedaan 0.00-1.66 persen, kecuali pada neraca perdagangan perbedaan tersebut cukup besar. Ukuran keempat adalah koefisien variasi1. Secara relatif nilai koefisien variasi variabel kunci ekonomi makro yang diakibatkan guncangan kebijakan harga pangan memiliki nilai kecil dibandingkan koefisien variasi variabel kunci ekonomi makro yang diakibatkan guncangan kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan. Indikasi ini makin mendukung bahwa dampak kebijakan harga pangan tidak menyebabkan instabilitas ekonomi makro. Temuan ini sama dengan penelitian Kannapiran (2000), skim stabilitas harga komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi makro, tetapi pada beberapa tinjauan hasil penelitian sebelumnya ada yang menciptakan sedikit fluktuasi, khususnya pada balance of
1
cv=sd/rataan
197 payment (BOP). Secara relatif nilai koefisien variasi inflasi dan PDB akibat dampak
kebijakan harga pangan lebih kecil dari dua kebijakan lainnya. Hasil tersebut dapat saja berbeda antar negara karena perbedaan sistem pemerintahan sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil juga berbeda. Pernyataan ini sesuai dengan hasil simulasi Gylfason (1990) yang menunjukkan bahwa hasil kebijakan endogenus dapat memiliki perbedaan yang mendasar sesuai dengan tipe pemerintahan, yaitu konservatif, liberal, atau netral. Studi Gunawan (1991) di Indonesia menunjukkan bahwa ketatnya pengaturan harga di Indonesia menyebabkan berkurangnya ketidakstabilan ekonomi makro. 7.5.
Faktor-faktor yang Menentukan Kebijakan Harga Pangan dan Stabilitas Ekonomi Makro
Salah satu tujuan utama penelitian ini adalah ingin menjawab apakah kebijakan harga pangan yang dilakukan akibat adanya gangguan suplai, baik posistif maupun negatif, mampu meredam instabilitas ekonomi makro. Hal tersebut dalam model ini diterjemahkan sebagai berapa besar peran kebijakan tersebut dalam menjelaskan variabilitas variabel-variabel ekonomi makro. Makin besar perannya berarti kebijakan harga pangan dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi makro. Untuk memperjelas permasalahan, penelitian ini juga akan menjawab variabel apa saja yang berperan terhadap variabel-variabel ekonomi makro. Untuk mengetahui besarnya peran setiap guncangan (shocks) dalam menjelaskan variabilitas variabel ekonomi makro dianalisis dengan menggunakan teknik
dekomposisi
ragam
kesalahan
peramalan
yang
diorthogonalisasi
(Orthogonalized forecast error variance decomposition-FEVD). Hasil pendugaan dekomposisi ragam kesalahan peramalan dapat dilihat pada Tabel 27.
198
7.5.1. Faktor-faktor yang Menentukan Kebijakan Harga Pangan
Hasil analisis menunjukkan bahwa pada saat awal dilakukan kebijakan harga pangan, variabilitas kebijakan harga pangan dijelaskan oleh guncangan kebijakan harga pangan itu sendiri yaitu 99.98%. Variabel lain yang mampu menjelaskannya hanya inflasi itupun hanya 0.02%.
Akan tetapi semakin lama inflasi semakin
menentukan hingga dalam jangka panjang peran inflasi terhadap kebijakan harga pangan mencapai 28.15% dan kebijakan harga pangan itu sendiri perannya makin menurun menjadi 47.05% (Tabel 27). Salah satu bentuk kebijakan harga pangan adalah dana kredit pertanian. Besarnya dana yang terserap antara lain ditentukan oleh tingkat suku bunga. Kaitan tersebut terlihat sejak triwulan kedelapan dimana variabilitas kebijakan harga dijelaskan 4.00% oleh suku bunga hingga dalam jangka panjang mencapai 6.71%. Sejak triwulan keempat investasi menjelaskan 4.44% variabilitas kebijakan harga pangan sampai jangka panjang mencapai 8.90%. Investasi yang mendukung kebijakan harga pangan antara lain adalah investasi dalam industri pupuk. Dari temuan tersebut disimpulkan bahwa sesuai dengan tujuan kebijakan harga pangan yaitu secara mikro mampu meningkatkan ketersediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kebijakan harga pangan menjelaskan dirinya sendiri. Ini dapat ditafsirkan bahwa dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama karena sangat terkait dengan stabilitas sosial, pemerintah yang berkuasa tetap memiliki perhatian yang penting terhadap ketahanan pangan dengan tidak banyak memperhitungkan aspek makro. Aspek makro yang menentukan kebijakan harga pangan adalah inflasi. Artinya kebijakan harga pangan dilakukan sebagai reaksi untuk menstabilkan inflasi. Hal ini ditunjukkan oleh peran inflasi menjelaskan variabilitas kebijakan harga pangan. Sebaliknya, kebijakan harga pangan, walaupun lebih kecil, juga memberikan
199 peran terhadap inflasi sehingga dapat dikatakan adanya hubungan kausalitas antara inflasi dan kebijakan harga pangan. Hasil ini sesuai dengan hasil studi Suparmin (2005) dimana pada masa Perintahan Orde Baru kenaikan harga beras signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan jumlah operasi pasar murni. Bulog melakukan operasi pasar murni bila ada sinyal kenaikan harga beras di tingkat konsumen. Sebaliknya tidak ada pengaruh OPM terhadap penurunan harga beras di konsumen. 7.5.2. Faktor-faktor yang Menetukan Stabilitas Ekonomi Makro
Dalam jangka pendek guncangan tingkat harga sepenuhnya menjelaskan variabilitas inflasi. Guncangan lain yang memberikan peran cukup tinggi adalah guncangan nilai tukar 6.85% pada triwulan kedua kemudian makin meningkat hingga dalam jangka panjang mencapai 53.04% melampaui peran dari tingkat harga itu sendiri yang hanya 34.73%. Temuan ini menunjukkan bahwa ke depan perekonomian Indonesia semakin terbuka.
Pada perekonomian yang semakin terbuka volume
perdagangan semakin meningkat sehingga tingkat inflasi domestik ditentukan oleh kestabilan nilai tukar. Hasil ini senada dengan pendapat Bank Indonesia (2002) dan Hartati (2004) yang menyatakan pengaruh depresiasi nilai tukar ke inflasi sangat kuat terjadi sejak berlakunya sistem nilai tukar mengambang bebas. Dengan rezim nilai tukar floating managed, nilai tukar tidak dapat secara langsung dikendalikan untuk menstabilkan inflasi. Tabel 27 menunjukkan pengendalian nilai tukar dapat dilakukan dengan kebijakan moneter. Artinya kebijakan moneter memberikan pengaruh tak langsung terhadap pengendalian inflasi melalui nilai tukar. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pengaruh guncangan kebijakan moneter terhadap variabilitas nilai tukar. Selanjutnya, sejak triwulan keempat nilai tukar mampu menjelaskan variabilitas inflasi yang cukup tinggi yaitu 34.48% dan
200 dalam jangka panjang meningkat menjadi 53.04%. Perilaku demikian sesuai dengan pendapat Svensson (2000) pengaruh suatu guncangan terhadap variabel lain dapat secara langsung (direct pass through) maupun secara tidak langsung (indirect pass through).
Guncangan lain yang mempengaruhi inflasi adalah guncangan kebijakan harga pangan. Namun guncangan kebijakan harga pangan pengaruhnya baru terjadi pada triwulan keempat dan hanya menjelaskan 3.52% kemudian dalam jangka panjang menjadi 5.75%. Dari hasil sebelumnya terlihat bahwa antara inflasi dan kebijakan harga pangan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa pengendalian inflasi sangat efektif dilakukan melalui pengendalian nilai tukar dengan melakukan kebijakan moneter, sedangkan kebijakan harga pangan pengaruhnya kurang signifikan dalam melakukan pengendalian inflasi. Namun dalam praktek harga pangan secara psikologis dapat mempengaruhi inflasi. Pengendalian inflasi yang disebabkan naiknya harga pangan dapat dilakukan melalui kebijakan harga pangan. Dalam jangka pendek guncangan output mampu menjelaskan 71.29% terhadap variabilitas PDB. Guncangan lain yang memberikan peran cukup berarti adalah inflasi dan nilai tukar. Dari sisi penawaran, naiknya harga-harga memicu pengusaha untuk berproduksi. Sebaliknya dari sisi permintaan naiknya harga akan menurunkan ekspor dan konsumsi domestik. Ketiga faktor tersebut akhirnya akan mempengaruhi PDB. Nilai tukar mempengaruhi PDB melalui perdagangan luar negeri. Makin menguat nilai tukar neraca perdagangan akan semakin menurun dan sebaliknya. Dalam jangka panjang, variabilitas PDB dijelaskan oleh guncangan output sebesar 35.96%, guncangan tingkat harga 30.63%, nilai tukar 22.11% dan kebijakan harga pangan 7.86%. Peran inflasi cukup efektif menentukan variabilitas PDB. Sama
201 seperti pengendalian inflasi, upaya untuk meningkatkan pertumbuhan PDB dapat dilakukan melalui kebijakan moneter. Kebijakan ini akan mempengaruhi nilai tukar dan selanjutnya mempengaruhi inflasi dan PDB. Guncangan lain yang mempengaruhi variabilitas PDB adalah guncangan kebijakan harga pangan. Namun pengaruhnya tidak seefektif kebijakan moneter. Guncangan kebijakan harga pangan mulai berperan sejak triwulan keempat. Perilaku ini sama seperti kebijakan harga pangan mempengaruhi inflasi.
Dari temuan ini
disimpulkan bahwa kebijakan moneter secara tidak langsung efektif mempengaruhi PDB, sedangkan kebijakan harga pangan pengaruhnya kurang efektif. Guncangan terhadap penurunan kesempatan kerja mampu menjelaskan 98.04% variabilitas pengangguran. Guncangan lain yang mampu menjelaskan variabilitas pengangguran adalah kebijakan moneter.
Dibandingkan pengaruhnya
terhadap inflasi dan PDB, kebijakan moneter memberikan pengaruh langsung terhadap tingkat pengangguran melalui meningkatnya penawaran uang untuk meningkatkan aktivitas ekonomi yang menentukan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu guncangan kebijakan harga pangan baik langsung maupun tidak langsung tidak memberikan peran yang berarti dalam menentukan variabilitas pengangguran. Dengan demikian kebijakan harga pangan tidak efektif mempengaruhi tingkat pengangguran.
Hasil analisis sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan
harga pangan yang kurang signifikan pengaruhnya terhadap PDB dan Inflasi tidak mampu ditranmisikan ke tingkat pengangguran. Karena kedua variabel itu tidak berperan mentukan variabilitas tingkat pengangguran Variabel ekonomi makro yang penting lainnya adalah neraca perdagangan. Guncangan kebijakan perdagangan dalam jangka pendek mampu menjelaskan variabilitas neraca perdagangan sebesar 78.09% dan guncangan nilai tukar yaitu 9.15%, sedangkan guncangan lain tidak memberikan peran berarti. Dalam jangka
202 panjang variabilitas neraca perdagangan sangat ditentukan oleh guncangan kebijakan perdagangan 21.72%, kebijakan moneter 46.93%, dan guncangan investasi 13.95%. Sementara itu kebijakan harga pangan baik langsung maupun tidak langsung tidak mampu menjelaskan variabilitas neraca perdagangan. 7.6. Ringkasan Hasil
Kebijakan harga pangan menyebabkan meningkatnya penawaran uang sehingga sejak dilakukan kebijakan harga pangan sampai dengan triwulan kelima terjadi inflasi sebesar 1.5 persen.
Dampak tersebut sejak triwulan kedua sudah
diantisipasi pemerintah dengan melakukan sterilisasi sehingga penawaran uang terus menurun sampai triwulan keenam yang menyebabkan inflasi turun kembali dan stabil sejak triwulan ke-12 pada level 1.0 persen. Kebijakan harga pangan yang didukung oleh pengadaan sarana produksi pertanian dan pangan melalui impor, baik jangka pendek maupun jangka panjang, menyebabkan defisit neraca perdagangan. Defisit tersebut selain menyebabkan kontraksi PDB juga menyebabkan inflasi akibat adanya inflasi yang diimpor. Dengan demikian kebijakan harga pangan yang didukung oleh impor sarana produksi dan impor pangan menyebabkan terjadinya stagflasi. Kebijakan
harga
pangan
dalam
jangka
pendek
dapat
menurunkan
pertumbuhan pengangguran hingga -1.81 persen pada triwulan kedua, kemudian sejak triwulan ke-14 stabil pada level –0,60 persen.
Penurunan angka pengangguran
tersebut dapat terjadi pada sektor pangan akibat meningkatnya aktivitas pengadaan pangan maupun pada sektor non pangan akibat meningkatnya permintaan tenaga kerja oleh pengusaha untuk meningkatkan produksi akibat terjadinya inflasi. Kebijakan moneter yang menyebabkan peningkatan penawaran uang sampai dengan triwulan pertama berdampak pada peningkatan inflasi yang terjadi hingga
203 puncaknya pada triwulan kedua yaitu 0.33 persen. Namun dalam jangka panjang kebijakan moneter mampu menurunkan inflasi hingga terjadi deflasi dan stabil pada level -0.06 persen sejak triwulan ke-15.
Deflasi tersebut terjadi akibat naiknya
sukubunga mengikuti kenaikan inflasi pada triwulan pertama setelah kebijakan moneter. Sukubunga yang meningkat menyebabkan meningkatnya capital inflow sehingga nilai tukar terapresiasi. Kenaikan nilai tukar hingga triwulan keempat dan kemudian stabil dalam jangka panjang menyebabkan inflasi mengalami penurunan dan stabil sejak triwulan ke-15. Apresiasi rupiah yang terjadi cukup signifikan turun dari 0.00 persen pada awal kebijakan menjadi 4.23 persen hingga triwulan ketiga dan selanjutnya stabil akibat adanya kebijakan moneter menyebabkan daya saing produk ekspor Indonesia menurun.
Dalam jangka panjang penurunan daya saing menyebabkan neraca
perdagangan menjadi defisit sehinggga belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan peningkatan pengangguran. Kebijakan perdagangan yang mendorong neraca perdagangan (N-X) meningkat menyebabkan BOT surplus.
Namun demikian surplus tersebut terus
menurun hingga triwulan ketiga dan mulai stabil sejak triwulan ke-11. Penurunan surplus tersebut dikarena penguatan nilai tukar yang berefek balik terhadap BOT akibat menurunnya daya saing produk ekspor Indonesia.
Dalam jangka pendek
hingga triwulan ketiga BOT surplus tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi mencapai 0.71 persen. Dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi makin menurun sejalan dengan menurunnya surplus BOT dan menurunnya pertumbuhan investasi. Dalam jangka panjang, penguatan nilai tukar rupiah menyebabkan impor semakin meningkat sehingga inflasi juga meningkat akibat adanya impor inflasi. Peningkatan nilai tukar yang menyebabkan meningkatnya impor, namun tidak menyebabkan peningkatan investasi tidak mampu menurunkan tingkat pengangguran.
204 Empat indikator stabilitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: lamanya waktu fluktuasi sejak dari adanya kebijakan sampai mencapai stabil, perbedaan fluktuasi maksimum dan minimum (amplitudo) akibat adanya suatu kebijakan, perbedaan laju pertumbuhan saat awal kebijakan dan saat dampak kebijakan mencapai stabil, dan koefisien variasi akibat adanya kebijakan. Dari emapat indikator stabilitas tersebut ditemukan bahwa secara relatif kebijakan harga pangan tidak menyebabkan instabilitas ekonomi dibandingkan kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan. Terdapat hubungan kausalitas antara kebijakan harga pangan dengan inflasi, dimana inflasi dipengaruhi oleh kebijakan harga pangan dan kebijakan harga pangan dilakukan sebagai reaksi untuk mengendalikan inflasi.
Namun dampak saling
mempengaruhi antara inflasi dan kebijakan harga pangan tidak secara langsung tetapi membutuhkan lag waktu hingga triwulan keempat. Lag waktu tersebut wajar karena aksi kebijakan harga pangan hingga mencapai dampaknya membutuhkan waktu. Variabilitas kebijakan harga pangan dijelaskan oleh guncangan kebijakan harga pangan itu sendiri (47.05% - 99.98%), sedangkan variabel lain yang mampu menjelaskannya hanya inflasi yaitu sejak triwulan keempat (8.09%) hingga mencapai stabilitas jangka panjang pada triwulan ke-35 (28.15%).
Ini artinya pemerintah
melakukan kebijakan harga pangan tanpa banyak mempertimbangkan faktor-faktor yang digunakan dalam model, kecuali inflasi. Pertimbangannya lebih ditujukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan stabilitas nasional. Dalam jangka panjang, sejak triwulan kedelapan (10.09%) hingga triwulan ke35 (13.05%) kebijakan moneter secara langsung sangat menentukan variabilitas pengangguran dan sejak triwulan keempat (26.77%) hingga triwulan 35 (46.93%) kebijakan moneter secara langsung menentukan variabilitas neraca perdagangan dan secara tidak langsung dapat mengendalikan inflasi melalui pengendalian nilai tukar dengan variabilitas 7.37% sejak triwulan keempat hingga 19.46% pada tiwulan ke-35.
205 Demikian juga secara tidak langsung kebijakan moneter menentukan PDB melalui nilai tukar dengan variabilitas 13.66% sejak triwulan keempat dan 22.11% setelah stabil pada triwulan ke-35.
206 Tabel 27. Peran berbagai Guncangan terhadap Variabilitas Ekonomi Makro Variabel Endogen
Sumber Guncangan (%)
Triwulan Ke depan
Tingkat harga
Kebijakan Harga Pangan
Nilai Tukar
Pengangguran
Kebijakan Moneter
Output
Suku Bunga
Investasi
BOT
Inflasi
0 1 4 8 12 20 35
100.00 89.90 56.91 41.12 38.13 36.38 34.73
0.00 0.07 3.52 5.55 5.64 5.67 5.75
0.00 6.85 34.48 46.66 49.57 51.42 53.04
0.00 0.25 0.28 0.20 0.16 0.12 0.09
0.00 0.35 0.19 0.11 0.11 0.08 0.06
0.00 2.34 3.78 4.89 4.90 4.90 4.93
0.00 0.02 0.06 0.04 0.03 0.02 0.01
0.00 0.16 0.43 1.01 1.02 1.02 1.02
0.00 0.06 0.35 0.42 0.45 0.40 0.36
Kebijakan Harga Pangan (IOPP)
0 1 4 8 12 20 35
0.02 2.28 8.09 14.39 22.36 25.73 28.15
99.98 95.57 78.90 67.66 57.15 50.85 47.05
0.00 0.10 1.17 0.72 1.72 2.83 3.15
0.00 0.75 1.66 1.34 0.99 0.82 0.70
0.00 0.01 2.62 3.55 3.53 3.45 3.44
0.00 0.60 0.38 0.57 1.16 1.62 1.85
0.00 0.50 2.61 4.99 5.70 6.30 6.71
0.00 0.12 4.44 6.66 7.24 8.32 8.90
0.00 0.06 0.12 0.12 0.14 0.09 0.05
Nilai Tukar
0 1 4 8 12 20 35
26.00 17.13 6.96 6.14 5.07 3.88 2.92
2.97 5.75 9.82 9.44 9.15 8.93 8.73
71.03 72.26 69.34 66.81 66.19 65.75 65.15
0.00 0.61 0.21 0.18 0.14 0.10 0.07
0.00 1.34 7.37 12.12 14.65 17.27 19.46
0.00 0.75 2.73 2.35 2.23 2.11 1.99
0.00 0.02 0.01 0.13 0.18 0.23 0.27
0.00 0.05 1.90 1.47 1.19 0.90 0.66
0.00 2.08 1.66 1.37 1.19 0.95 0.75
207 Tabel 27. (lanjutan) Variabel Endogen
Sumber Guncangan (%)
Triwulan Ke depan
Inflasi
Kebijakan Harga Pangan
Pengangguran
0 1 4 8 12 20 35
1.00 1.20 1.11 0.99 1.06 1.29 1.37
Penawaran Uang
0 1 4 8 12 20 35 0 1 4 8 12 20 35
PDB
Nilai Tukar
Pengangguran
Penawaran Uang
PDB
Suku Bunga
Investasi
BOT
0.29 0.97 1.20 0.78 0.66 0.48 0.38
0.66 2.43 4.14 5.64 5.49 6.10 6.41
98.04 94.13 84.24 78.84 77.07 74.93 73.70
0.00 0.93 7.18 10.09 11.45 12.43 13.05
0.00 0.22 0.30 0.31 0.35 0.31 0.29
0.00 0.01 0.20 0.41 0.54 0.66 0.72
0.00 0.02 0.76 1.73 2.05 2.39 2.59
0.00 0.10 0.86 1.21 1.34 1.42 1.48
1.61 9.82 28.42 22.23 17.70 14.98 12.93
10.86 11.25 7.75 4.36 4.78 5.44 5.68
8.15 5.29 6.63 15.67 14.59 12.76 11.89
0.73 0.73 0.25 0.13 0.15 0.14 0.13
78.65 68.52 47.67 46.46 51.17 54.89 57.39
0.00 3.96 6.47 8.54 8.18 7.89 7.78
0.00 0.08 0.23 0.51 0.85 1.08 1.23
0.00 0.13 1.90 1.19 1.37 1.64 1.76
0.00 0.22 0.69 0.90 1.21 1.19 1.21
21.62 43.53 37.38 34.10 32.39 31.38 30.63
1.68 0.99 5.50 7.00 7.41 7.66 7.86
1.78 2.68 13.66 18.68 20.49 21.38 22.11
0.10 0.12 0.50 0.59 0.60 0.61 0.61
3.54 6.57 3.17 2.15 1.75 1.45 1.24
71.29 45.22 36.72 35.25 35.43 35.80 35.96
0.00 0.07 0.22 0.21 0.18 0.15 0.13
0.00 0.05 0.30 0.34 0.32 0.28 0.25
0.00 0.77 2.54 1.69 1.45 1.31 1.20
208 Tabel 27. (lanjutan) Variabel Endogen
Triwulan Ke depan
Suku Bunga
Sumber Guncangan (%) Inflasi
Kebijakan Harga Pangan
Nilai Tukar
Pengangguran
Penawaran Uang
PDB
Suku Bunga
Investasi
BOT
0 1 4 8 12 20 35
0.95 75.13 58.80 40.71 35.21 31.25 26.52
0.32 0.13 3.63 2.99 2.40 1.92 1.36
15.32 5.33 8.42 24.68 30.20 32.22 35.43
4.49 1.24 1.08 1.45 1.30 1.28 1.27
0.79 0.11 1.13 1.14 1.19 1.20 1.22
1.92 0.94 2.02 2.67 2.43 1.99 1.64
76.22 16.93 18.59 20.12 20.37 22.71 24.80
0.00 0.00 2.47 2.85 2.32 2.20 1.98
0.00 0.20 3.86 3.38 4.59 5.22 5.78
Investasi
0 1 4 8 12 20 35
0.04 8.79 15.84 18.44 18.08 18.11 18.19
0.78 0.80 1.82 2.93 3.21 3.33 3.48
5.70 6.32 5.81 3.84 2.95 2.12 1.42
0.30 0.25 1.34 1.21 1.07 0.93 0.85
4.73 3.90 4.09 4.31 4.25 3.99 3.80
1.06 3.51 11.18 14.17 15.07 15.90 16.66
0.03 0.26 0.55 0.50 0.45 0.42 0.39
87.36 66.67 45.82 39.37 37.92 36.63 35.43
0.00 9.49 13.55 15.25 17.01 18.56 19.77
BOT
0 1 4 8 12 20 35
0.06 2.61 2.73 2.89 2.37 1.72 1.36
0.01 0.28 0.75 1.28 1.39 1.82 2.05
9.15 7.18 4.72 3.21 3.07 2.26 1.78
3.25 3.66 5.39 6.89 7.29 7.50 7.71
0.85 5.77 26.77 36.61 41.02 44.56 46.93
3.48 9.32 7.76 5.86 4.94 4.55 4.22
1.35 1.01 0.52 0.34 0.31 0.29 0.28
3.75 4.53 7.54 10.76 11.76 13.10 13.95
78.09 65.65 43.83 32.16 27.86 24.21 21.72