VIBRIOSIS PADA PENDEDERAN IKAN KERAPU BEBEK Cromileptes altivelis DI PULAU PAYUNG KEPULAUAN SERIBU
FARIQ AZHAR
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
VIBRIOSIS PADA PENDEDERAN IKAN KERAPU BEBEK Cromileptes altivelis di PULAU PAYUNG KEPULAUAN SERIBU adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Maret 2011
FARIQ AZHAR C14061370
ii
ABSTRAK FARIQ AZHAR Vibriosis pada Pendederan Ikan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis di Pulau Payung Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh Dr. Sukenda dan Dr. Sri Nuryati. Vibriosis merupakan penyakit yang terjadi pada budidaya ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis. Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi agen penyebab vibriosis pada pendederan ikan kerapu bebek, sebagai isolat bakteri yang patogen pada benih ikan kerapu bebek. Isolat yang diperoleh ada tiga jenis Vibrio, dengan nama Vibrio sp. 1, Vibrio sp. 2. dan Vibrio sp. 3. Semua isolat Vibrio merupakan patogen pada benih ikan kerapu sejak dilakukan uji tantang dari Vibrio sp. 1, 2, dan 3 yang menyebabkan kematian 100% pada masing-masing isolat setelah diinfeksi 10 hari. Tanda klinis yang terlihat pada ikan kerapu yakni pendarahan operkulum, pembengkakan anus, dan pengeroposan sirip. Hasil analisis histopatologi menunjukkan kerusakan pada ginjal. Kerusakan yang terjadi antara lain nekrosis, degenerasi, hemorragi, dan hipertropi. Kata kunci: Vibriosis, ikan kerapu, Vibrio, histopatologi
iii
ABSTRACT FARIQ AZHAR Vibriosis in Grouper Cromileptes altivelis Nursery at Payung Island Kepulauan Seribu. Supervised by Dr. Sukenda and Dr. Sri Nuryati. Vibriosis is a major disease occurred in grouper Cromileptes altivelis culture. This research was conducted s to isolate causative agents of vibriosis in nursery of grouper, as well as the pathogenecity of isolated bacteria in juvenile of grouper. We isolated three Vibrio, namely Vibrio sp. 1, Vibrio sp. 2, and Vibrio sp. 3. All isolated Vibrio are pathogenic to juvenile of grouper since challenge test of Vibrio sp. 1, 2 and 3 caused mortality of 100%, respectively after 10 days of infection. The clinical signs that appear on grouper are bleeding operculum, swelling of anus, and porous of fin. The results of histopathological analysis showed damage of the kidneys. The damage suffered were necrosis, degeneration, hemorrhage, and hyperthropy. Key words: Vibriosis, grouper, Vibrio, histopathology
iv
VIBRIOSIS PADA PENDEDERAN IKAN KERAPU BEBEK Cromileptes altivelis DI PULAU PAYUNG KEPULAUAN SERIBU
FARIQ AZHAR
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 v
Judul Skripsi
:
Vibriosis pada Pendederan
Ikan Kerapu Bebek
Cromileptes altivelis di Pulau Payung Kepulauan Seribu Nama Mahasiswa
:
Fariq Azhar
Nomor Pokok
:
C14061370
Disetujui
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. NIP. 19671013 199302 1 001
Dr. Sri Nuryati, S.Pi., M.Si. NIP. 19710606 199512 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc. NIP. 19591222 198601 1 001
Tanggal Lulus:
vi
KATA PENGANTAR Ucapan puji syukur yang sebesarnya kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada kita dalam menjalani hidup hingga detik ini sehingga pembuatan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan April 2010 s.d. Agustus 2010 di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor berjudul “Vibriosis pada Pendederan Ikan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis di Pulau Payung Kepulauan Seribu”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Sukenda selaku Dosen Pembimbing I dan Dr. Sri Nuryati selaku Dosen Pembimbing II atas bimbingan dan arahannya hingga selesainya penyusunan skripsi. Ungkapan terima kasih juga ditujukan kepada kedua orang tua penulis yakni bapak Akhmad Supriyanto dan ibu Yasminah yang selalu memberikan doa, motivasi, dan kasih sayangnya serta adek Fajriyana Nur Wulansari yang telah memberikan semangat dan doanya. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada saudari Fany Nur Fiana yang telah memberi motivasi, doa serta cintanya kepada penulis selama berlangsungnya penelitian. Terima kasih juga buat Pak Ranta, Ewa, Puguh, Mbok De, Pak De, Ngarso, Inul, Dwi, serta seluruh teman-teman dari BDP yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama penelitian hingga penelitian ini selesai. Bogor, Maret 2011
Fariq Azhar
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 2 Maret 1988 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Akhmad Supriyanto, S.Pd. dan Ibu Yasminah, S.Pd. Penulis telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada SDN 1 Lasem lulus tahun 2000, SMPN 1 Lasem lulus tahun 2003, dan SMA N 2 Rembang lulus tahun 2006. Tahun 2006, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Melalui program mayor-minor tahun 2007 penulis memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis aktif pada beberapa organisasi kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2007/2008. Penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum pada beberapa mata kuliah yaitu Ikhtiologi (2008), Fisiologi Hewan Air (2009), dan Penyakit Organisme Akuatik (2010). Untuk meningkatkan pengetahuan di bidang perikanan budidaya, penulis mengikuti kegiatan magang liburan di PT. Citra Pertiwi Bahari (2007) dan PT. Anugrah Bahari Mulia (2010) dan Praktek Lapangan Akuakultur di Isaku Koi Farm Blitar (2009). Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi berjudul “Vibriosis pada Pendederan Ikan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis di Pulau Payung Kepulauan Seribu”.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ x DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………...
xii
I.
PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
II.
BAHAN DAN METODE……………………………………………. 2.1 Prosedur Pengambilan Sampel…………………………………… 2.2 Isolasi dan Identifikasi Bakteri…………………………………… 2.3 Uji Patogenitas....…………………………………….…………… 2.4 Pembuatan Preparat Histologi…………………………………….. 2.5 Pemeriksaan Preparat Histopatologi……………………………… 2.6 Analisis Data……………………………………………………....
2 2 2 3 3 3 4
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………… 3.1 Hasil………………………………………………………………. 3.1.1 Identifikasi Bakteri……………………………….................. 3.1.2 Hasil Uji Patogenitas..…………………………………......... 3.1.3 Hasil Histopatologi………………………………………...... 3.1.4. Kualitas Air…………………………………………………. 3.2 Pembahasan……………………………………………………….
5 5 5 6 8 10 10
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………... 4.1 Kesimpulan……………………………………………………... 4.2 Saran…………………………………………………………….
15 15 15
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 16 LAMPIRAN…………………………………………………………………
18
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jumlah total bakteri Vibrio pada organ ginjal.............................................
5
2
Hasil uji pewarnaan gram, uji fisiologis dan biokimia................................
5
3
Gejala klinis ikan setelah proses penyuntikan.............................................
7
4
Mortalitas ikan kerapu pasca infeksi bakteri Vibrio....................................
8
5
Kualitas air...................................................................................................
9
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Vibrio sp. 1 (a), Vibrio sp. 2 (b), Vibrio sp. 3 (c)......................................
5
2
Gejala klinis pasca injeksi..................................................................................
7
3
Ginjal ikan kerapu bebek pra infeksi dalam kondisi normal.....................
8
4
Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 1......................................
8
5
Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 2......................................
8
6
Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 3......................................
9
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Pertumbuhan panjang dan berat ikan kerapu bebek Cromileptes 18 altivelis.....................................................................................................
2
Hasil pengukuran kualitas air pada media ikan kerapu bebek.................
20
3
Tahapan Pembuatan Preparat Histopatologi............................................
21
4
Komposisi media yang digunakan untuk kultur bakteri patogen............
25
5
Prosedur pewarnaan gram..........................................................................
26
6
Prosedur uji oksidatif/fermentatif.............................................................
27
7
Prosedur uji motilitas..................................................................................
28
8
Prosedur uji katalase.....................................................................................
29
9
Prosedur uji oksidase.................................................................................
30
10
Hasil Histologi............................................................................................
31
xii
I. PENDAHULUAN Ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis merupakan salah satu jenis ikan karang yang sudah dapat dibudidayakan di keramba jaring apung. Selain itu, ikan kerapu bebek juga merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor hasil perikanan dengan potensi pengembangan yang masih cukup besar. Besarnya permintaan dan tingginya harga jual ikan kerapu menjadi alasan utama pengembangan usaha budidaya kerapu. Ikan kerapu bebek mempunyai harga yang paling tinggi di antara ikan kerapu jenis yang lain yaitu berkisar Rp 450.0000,00 sampai dengan Rp 500.000,00 pada ukuran konsumsi (Anonim 2011). Salah satu wilayah yang mempunyai kontribusi dalam produksi ikan kerapu adalah perairan Kepulauan Seribu, berada di Teluk Jakarta. Wilayah ini memiliki banyak potensi di bidang kelautan dan perikanan, antara lain ikan konsumsi, ikan hias, terumbu karang, rumput laut, dan mangrove. Pengembangan ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA) mempunyai kendala dalam proses kegiatan budidayanya. Permasalahan yang timbul dalam proses pemeliharaan benih ikan kerapu dalam keramba jaring apung (KJA) adalah timbulnya penyakit. Beberapa jenis penyakit yang ditemukan pada kegiatan pemeliharaan tersebut antara lain borok pada pangkal sirip ekor, sirip yang busuk, dan mulut merah. Selain itu, ikan kerapu juga sering terserang penyakit parasitik, yang diakibatkan karena infeksi dari jenis crustacean (Nerocilla Sp.), cacing (Diplectanum Sp.), protozoa (Cryptocaryon Sp.) serta bakteri dari genus Vibrio (Rahayu 2009). Hal ini mendorong perlu diadakan pengkajian tentang penyakit yang menyerang ikan kerapu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman dan keberadaan bakteri penyebab vibriosis pada benih ikan kerapu bebek di Pulau Payung, Kepulauan Seribu.
1
II. BAHAN DAN METODE
2.1. Prosedur Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan seminggu sekali selama empat minggu. Ikan berasal dari 3 jaring yang berbeda pada KJA. Ikan diambil sebanyak 3 ekor dari satu jaring setiap minggunya dengan ukuran 9-10 cm. Ikan yang dipakai merupakan ikan yang memiliki gejala sakit terutama gejala vibriosis seperti tubuh lemah, timbul borok, atau nafsu makan menurun. Data pendukung berupa data kualitas air dicatat untuk memberikan informasi kisaran minimum dan maksimum kualitas air pada waktu pengambilan sampel. Proses transportasi dilakukan dengan memasukkan ikan sampel ke dalam kantong plastik packing berisi air dan diberi oksigen. Kepadatan ikan adalah 2-3 ekor tiap kantong berukuran 2 kg. Untuk menghindari peningkatan suhu dan goncangan yang dapat mempengaruhi kondisi ikan selama transportasi, maka kantong plastik yang telah berisi ikan dimasukkan ke dalam kotak sterofoam. Setelah sampai di tempat pemeriksaaan, ikan diaklimatisasi dahulu lalu dimasukkan ke dalam akuarium penampungan dengan aerasi yang cukup. Pemeriksaan bakteri dilakukan di laboratorium kesehatan ikan. Sebelum dilakukan pemeriksaan parasit dan bakteri, ikan diukur panjangnya dengan menggunakan penggaris dan beratnya dengan menggunakan timbangan digital terlebih dahulu. Kemudian ikan dimatikan dengan cara menusukkan jarum tepat pada bagian medulla oblongatanya. 2.2. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Organ tubuh yang dijadikan sumber isolat bakteri adalah ginjal. Pemilihan organ berupa ginjal karena mempunyai fungsi retikulo endotelial, yaitu kemampuan suatu organ untuk menyerap bakteri dari darah. Isolasi bakteri dilakukan dengan menggunakan media TCBS untuk mencari keberadaan Vibrio dalam sampel tersebut. Tahapan yang dilakukan dalam isolasi bakteri yakni dengan dihomogenkan terlebih dahulu ginjal yang telah diperoleh. Ginjal tersebut kemudian disuspensikan. Pengenceran berulang dilakukan setelah mendapatkan suspensi dari isolat di ginjal. Isolasi bakteri dilakukan dengan cara menggoreskan
2
ginjal yang telah dihancurkan pada permukaan agar dalam cawan dengan menggunakan ose steril. Setelah itu, bakteri diinkubasi pada suhu kamar selama 24-48 jam. Identifikasi bakteri dilakukan dengan tahap awal berupa pemisahan jenis koloni yang tumbuh berdasarkan warna, bentuk, tepian, dan elevasinya. Setiap jenis koloni yang berbeda selanjutnya diuji dengan menggunakan uji gram, Sulfide Indol Motil (SIM), Oksidase, Katalase, dan uji Oksidatif/Fermentatif (O/F). Selanjutnya, berdasarkan hasil uji bakteri tersebut, dilakukan identifikasi genus bakteri dengan mengunakan tabel Cowan (1974). Tahapan uji yang dilakukan dapat dilihat pada lampiran. 2.3. Uji Patogenisitas Uji Patogenisitas dilakukan untuk menguji ketahanan ikan setelah dilakukan injeksi isolat bakteri dari hasil isolasi sebelumnya. Tahap yang dilakukan antara lain pengulturan bakteri. Bakteri yang telah diperoleh dikultur kembali untuk mendapatkan bakteri yang lebih muda dan virulen. Tahap pengenceran bakteri dilakukan sampai mencapai kepadatan bakteri 107cfu/ml. Proses penyuntikan bakteri dilakukan secara intramuskular pada tubuh ikan. Dosis yang disuntikkan pada masing-masing ikan sebanyak 107cfu/ekor. Peliharaan ikan dilakukan selama 10 hari untuk mengetahui kelangsungan hidup ikan tersebut. Kemudian dilakukan reisolasi bakteri yang terdapat dalam ginjal ikan yang telah diinfeksi. 2.4. Pembuatan Preparat Histopatologi Pembuatan preparat histopatologi terdiri dari tiga tahapan besar yaitu fiksasi jaringan dan parafinasi, pemotongan jaringan serta pewarnaan jaringan (Angka et.al. 1990.). Tahapan fiksasi dapat dilihat pada lampiran. 2.5. Pemeriksaan Preparat Histopatologi Preparat histopatologi berupa organ ginjal diamati dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40x hingga 1000x sesuai dengan kejelasan objek. Kemudian hasil yang diperoleh didokumentasikan dengan menggunakan kamera dan hasil tersebut dibandingkan dengan literatur yang ada.
3
2.6. Analisis Data Data yang diperoleh diidentifikasi secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif berdasarkan pada bentuk morfologi bakteri serta melihat preparat histopatologi dengan bantuan mikroskop. Analisis data secara kuantitatif didasarkan dari jumlah bakteri.
4
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil 3.1.1. Identifikasi Bakteri Dari pemeriksaaan bakteri pada organ ginjal diperoleh hasil adanya bakteri berupa Vibrio sp. Penggolongan dan jumlah total bakteri yang terdapat pada organ ginjal ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah total bakteri Vibrio pada organ ginjal Tanggal 26/4/2010 5/5/2010 14/5/2010 22/5/2010
Kode lokasi A B C A B C A B C A B C
Jumlah total Vibrio (cfu/ml) 2,03 x106 0,29 x106 1,30 x106 0,45 x106 0,33 x106 0,29 x106 0,03 x106 0,01 x106 0,05 x106 0,23 x106 0,03 x106 0,04 x106
Jumlah total bakteri Vibrio yang terdapat pada organ ginjal mempunyai hasil yang berbeda-beda (Tabel 1). Jumlah total bakteri Vibrio yang terbanyak ditemukan pada kode lokasi A dengan jumlah sebesar 2,03 x106 cfu/ml, kode lokasi B menunjukkan jumlah total bakteri sebanyak 0,33 x106 cfu/ml, dan jumlah total bakteri yang diperoleh pada kode lokasi C sebesar 1,30 x106 cfu/ml.
Identifikasi untuk mengetahui bakteri yang menyerang ikan kerapu bebek dilakukan dengan menggunakan uji pewarnaan gram, uji fisiologis, serta uji biokimia. Hasil yang diperoleh dalam uji tersebut ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji pewarnaan gram, uji fisiologis, dan uji biokimia Jenis uji Pewarnaan gram O/F Oksidase Katalase SIM Warna koloni
Vibrio sp. 1 Negatif, batang Fermentatif + + Kuning
Hasil Vibrio sp. 2 Negatif, batang Fermentatif + + Hijau
Vibrio sp. 3 Negatif, batang Fermentatif + Kuning
5
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Vibrio sp. 1 (a), Vibrio sp. 2 (b), Vibrio sp. 3 (c) (bar = 20µm). Tabel 2 menunjukkan hasil uji pewarnaan gram, uji fisiologis dan uji biokimia pada isolat bakteri yang kemudian dapat digolongkan dalam berbagai jenis. Penggolongan tersebut diantaranya Vibrio sp. 1, Vibrio sp. 2, Vibrio sp. 3. Ciri dari Vibrio sp.1 yaitu berbentuk batang, warna koloni kuning, berupa gram negatif, fermentatif, oksidase negatif, katalase positif, dan SIM positif. Untuk Vibrio sp. 2 mempunyai ciri sebagai berikut: berbentuk batang, warna koloni hijau, berupa gram negatif, fermentatif, oksidase negatif, katalase positif, dan SIM positif. Sedangkan Vibrio sp. 3 mempunyai ciri yaitu yakni berbentuk batang, warna koloni kuning, berupa gram negatif, fermentatif, oksidase negatif, katalase negatif, dan SIM positif. 3.1.2. Uji Patogenitas Penyuntikan isolat bakteri Vibrio ke dalam tubuh ikan dilakukan untuk mengetahui patogenitas bakteri yang ditemukan. Pengamatan ikan dilakukan 10 hari setelah penyuntikan dengan isolat bakteri Vibrio dengan kepadatan 107cfu/ekor dapat dilihat pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Gejala klinis ikan setelah proses penyuntikan Hari kePascainfeksi
Vibrio sp. 1
Perlakuan Vibrio sp. 2
Vibrio sp. 3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
+ ++ +++ +
++ +++ ++
++ +++ ++ +++
Keterangan: + ++ +++
= tidak ada gejala klinis = adanya pendarahan operkulum = adanya pembengkakan anus = adanya pengeroposan sirip
Ikan yang telah diinfeksi dengan menggunakan isolat Vibrio menunjukkan adanya tanda gejala klinis (Tabel 3). Gejala klinis tersebut terlihat pada hari ke-7 untuk ikan yang telah diinfeksi dengan menggunakan Vibrio sp.1 dan Vibrio sp.3. Sedangkan untuk Vibrio sp.2 gejala klinis yang terlihat pada hari ke-8 pasca penyuntikan. Gejala klinis yang terlihat yakni adanya pendarahan pada operkulum, pembengkakan pada anus, serta penggeroposan sirip. Ikan yang menunjukkan gejala klinis yang terinfeksi oleh bakteri Vibrio terlihat pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Gejala klinis pasca injeksi, (a) pendarahan pada operkulum, (b) pembengkakan anus, (c) penggeroposan sirip Pengamatan ikan pasca penyuntikan dengan isolat bakteri Vibrio dengan kepadatan 107cfu/ekor menghasilkan mortalitas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.
7
Tabel 4. Mortalitas ikan kerapu pasca infeksi bakteri Vibrio Perlakuan infeksi
Ikan sampel
Jumlah ikan mati
Vibrio sp. 1 Vibrio sp. 2 Vibrio sp. 3
8 8 8
8 8 8
Hasil yang diperoleh setelah ikan diinjeksi dengan menggunakan isolat Vibrio menunjukkan tingkat kematian di akhir pemeliharaan pada hari ke-10 mortalitas ikan yang diperoleh mencapai 100%.
3.1.3. Hasil Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan pra infeksi sel dan jaringan organ ginjal ikan kerapu bebek normal yang disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Ginjal ikan kerapu bebek pra infeksi dalam kondisi normal. Pemeriksaan pasca infeksi Vibrio sel dan jaringan organ ginjal memperlihatkan adanya kelainan. Kelainan yang terlihat ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 4. Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 1: ( hipertropi, (
) hemoragi, (
) nekrosis, (
)
) degenerasi (bar = 20µm).
8
Gambar 5. Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 2 : ( hipertropi, (
) hemoragi, (
) hemoragi, (
)
) degenerasi (bar = 20µm).
Gambar 6. Histopatologi ginjal yang terserang Vibrio sp. 3 : ( hipertropi, (
) nekrosis, (
) nekrosis, (
)
) degenerasi (bar = 20µm).
Hasil histopatologi menunjukkan bahwa ginjal ikan kerapu yang diinfeksi dengan bakteri Vibrio memperlihatkan adanya kelainan. Kelainan yang terlihat pada hasil histologi menunjukkan hasil yang sama pada jenis bakteri yang berbeda. Kelainan berupa nekrosis, hipertropi, hemoragi, dan degenerasi didapatkan pada hasil histopatologi untuk organ yang diinfeksi dengan menggunakan isolat Vibrio sp. 1, Vibrio sp. 2, dan Vibrio sp. 3. 3.1.4. Kualitas air Pengambilan sampel air dilakukan sebanyak empat kali dalam sehari. Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Kisaran kualitas air Suhu( C)
28-29
Kualitas air optimal untuk kerapu bebek 27-32
Salinitas (ppt)
31-34
33-35
6,10-8,12
>5
0,005-0,012
< 0,5
Parameter kualitas air 0
DO (mg/l) Amoniak (mg/l)
Nilai
Referensi Ghufran dan Tancung 2005 Ghufran dan Tancung 2005 Ghufran dan Tancung 2005 Boyd 1982
9
Kualitas air yang terdapat pada Tabel 5 menunjukkan
bahwa media
pemeliharaan untuk ikan kerapu bebek berada pada kisaran yang ideal bagi pertumbuhan ikan. 3.2. Pembahasan Ditemukannya bakteri Vibrio pada benih ikan kerapu bebek yang terdapat di Pulau Payung Kepulauan Seribu merupakan indikasi lemahnya ketahanan tubuh ikan kerapu bebek tersebut. Bakteri yang menginfeksi benih ikan kerapu bebek dapat digolongkan menjadi tiga jenis berdasarkan warna koloninya, antara lain Vibrio sp.1 dengan warna koloni kuning, Vibrio sp.2 dengan warna hijau, dan Vibrio sp.3 dengan warna kuning. Adanya bakteri yang ditemukan pada benih tersebut berpengaruh pada ketahanan tubuh ikan. Ikan yang dijadikan sampel penelitian merupakan ikan yang masih mempunyai panjang 8,8-11 cm. Ukuran benih tersebut merupakan titik rawan untuk terjadinya infeksi vibriosis. Vibrio sp. merupakan salah satu bakteri patogen yang tergolong dalam divisi Bacteria, klas Schizomicetes, ordo Eubacteriales, Famili Vibrionaceae. Bakteri ini bersifat gram negatif, fakultatif anaerobik, fermentatif, batang dengan ukuran panjang antara 2-3 µm,
menghasilkan
bentuk sel katalase
dan
oksidase dan bergerak dengan satu flagella pada ujung sel (Austin 1993). Vibrio merupakan patogen oportunistik yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Bakteri Vibrio yang patogen dapat hidup di bagian tubuh organisme lain baik di luar tubuh dengan jalan menempel, maupun pada organ tubuh bagian dalam seperti hati, usus, ginjal, dan sebagainya. Hasil yang diperoleh dari Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah total bakteri Vibrio yang terdapat pada organ ginjal mempunyai hasil yang berbeda-beda. Jumlah total bakteri yang terbanyak ditemukan pada sampling pertama dengan kode ikan A yang mempunyai koloni sebanyak 2,03 x106 cfu/ml. Kode lokasi B mempunyai jumlah total bakteri sebanyak 0,33 x106 cfu/ml, sedangkan kode lokasi C mempunyai jumlah total bakteri yang ditemukan sebanyak 1,30 x106 cfu/ml.
10
Ikan yang telah diinfeksi dengan menggunakan isolat Vibrio menunjukkan adanya gejala klinis. Gejala klinis tersebut terlihat pada hari ke-7 untuk ikan yang telah diinfeksi dengan menggunakan Vibrio sp. 1 dan Vibrio sp. 3, sedangkan untuk Vibrio sp. 2 gejala klinis yang terlihat pada hari ke-8 pasca penyuntikan. Gejala klinis yang terlihat yakni adanya pendarahan pada operkulum, pembengkakan pada anus, serta penggeroposan sirip. Infeksi V. alginoluticus, V. parahaemolyticua, V. anguilarum dan V. harveyi dengan cara infeksi secara injeksi intramuscular dan juga secara perendaman menunjukkan bahwa kepadatan bakteri hingga 10
8-10
CFU/ml pada ikan kerapu pasca infeksi terjadi kematian
ikan pada jam ke- 8, dengan gejala terjadinya luka borok terbuka, perubahan perilaku, pergerakan lamban, keseimbangan terganggu, yaitu berputar-putar (whirling) dan nafsu makan berkurang, akan tetapi ikan
pada perlakuan
perendaman ikan bertahan hingga 24 jam-96 jam dengan injeksi bakteri V. alginolyticus 1010 CFU/ml menunjukkan kematian hingga 5 jam pertama pasca injeksi dengan perubahan warna morfologi ikan menjadi lebih gelap, inflamasi, sampai abses pada bekas injeksi, timbul bercak merah pada pangkal sirip, timbul perdarahan pada insang dan mulut, perut menggelembung hingga terjadi kematian ( Yanuhar 2008). Mortalitas ikan kerapu yang telah ditunjukkan oleh Tabel 4 mencapai 100% pada akhir pengamatan. Penginfeksian ikan kerapu dengan menggunakan isolat Vibrio dengan kepadatan 107 cfu/ml dilakukan untuk menguji tingkat daya tahan tubuh ikan kerapu dalam menanggulangi serangan penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Kematian yang terjadi merupakan akibat dari banyaknya jumlah bakteri Vibrio yang telah menyerang tubuh ikan kerapu. Patogenitas dari penyakit Vibriosis masih belum sepenuhnya diketahui. Tetapi faktor-faktor yang mungkin dihubungkan dengan adanya endotoksin, sifat adhesi yang membantu melekatkan bakteri ke dinding sel inang sehingga kerusakan jaringan akan terjadi (Utari 1998). Protease, phospolipase, haemolisin atau exotoxin mungkin merupakan patogenitas penting untuk V. Harveyi (Zhang dan Austin 2000). Hasil histopatologi menunjukkan bahwa ginjal ikan kerapu yang diinfeksi dengan bakteri Vibrio memperlihatkan adanya kelainan. Kelainan yang terlihat pada hasil histologi menunjukkan hasil yang sama pada jenis bakteri yang
11
berbeda. Kelainan berupa nekrosis, hipertropi, hemoragi, dan degenerasi didapatkan pada hasil histopatologi untuk organ yang diinfeksi dengan menggunakan isolat Vibrio sp. 1, Vibrio sp. 2, dan Vibrio sp. 3. Nekrosis merupakan jenis kematian sel ireversibel yang terjadi ketika terdapat luka berat atau lama hingga suatu saat sel tidak dapat beradaptasi atau memperbaiki dirinya sendiri. Umumnya perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrosis dapat melibatkan sitoplasma sel, perubahan-perubahan paling jelas bermanifestasi pada inti. Inti sel yang nekrosis akan menyusut, memiliki batas yang tidak teratur dan berwarna gelap. Proses ini dinamakan piknosis. Kemungkinan lain inti dapat hancur dan membentuk fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar di dalam sel, proses ini disebut sebagai karioreksis. Pada beberapa keadaan, inti sel tidak dapat diwarnai lagi dan benar-benar hilang, proses ini disebut sebagai kariolisis (Prince & Wilson 2004). Pengaruh nekrosis mengakibatkan hilangnya fungsi pada daerah yang nekrosis. Pada beberapa keadaan daerah nekrosis dapat menjadi fokus infeksi yang merupakan medium pembiakan yang sangat baik. Bagi pertumbuhan organisme tertentu yang kemudian dapat menyebar ke tempat lain di dalam tubuh, bahkan tanpa infeksi pun adanya jaringan nekrosis di dalam tubuh dapat memicu perubahan sistemik tertentu misalnya peningkatan jumlah leukosit di dalam sirkulasi. Jaringan yang mengalami nekrosis dapat menginduksi respon peradangan dari jaringan yang berdekatan. Jaringan yang nekrosis akan hancur dan hilang memberi jalan bagi perbaikan yang mengganti daerah nekrosis dengan sel-sel yang beregenarasi, pada beberapa keadaan dengan terbentuknya jaringan luka (Prince & Wilson 2004). Degenerasi dapat disebabkan oleh kekurangan material esensial (misalnya oksigen atau nutrisi yang vital), kekurangan sumber energi yang mengganggu metabolisme, pemanasan mekanik atau dapat disebabkan oleh luka akibat akumulasi substansi yang abnormal di dalam sel-sel yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau patogen-patogen lain seperti parasit dan toksin yang dihasilkan atau oleh bahan kimia beracun, ketidakseimbangan nutrisi dan zat-zat irritasi yang ringan (Pazra 2008). Degenerasi hialin merupakan perubahan yang mengikuti cloudy swelling dan dapat disebut juga nekrosis koagulasi. Nukleus kromatin
12
berkondensasi dan menyebabkan lurik pada serabut otot menghilang. Serabut memperlihatkan satu penampilan homogen dan efektif terhadap pewarna eosin. Serabut-serabut otot terhialinasi menjadi lebih rapuh dibandingkan serabutserabut yang tetap utuh. Degenerasi hialin yang hanya terjadi pada sebagian dari serabut otot menyebabkan nukleus dekat dengan batas bagian terhialinasi dan bagian yang tetap utuh sering kali mengalami hiperplasia (Takashima & Hibiya 1995). Hipertropi merupakan proses bertambahnya ukuran atau volume dari suatu bagian tubuh karena suatu peningkatan ukuran dari sel-sel individu. Hipertropi biasanya disebabkan oleh peningkatan permintaan terhadap fungsi tetapi dapat juga diiniasiasikan oleh agen infeksi (Pazra 2008). Hemoragi merupakan keluarnya darah dari pembuluh darah dan banyak terdapat di kulit, membran mukosa, di dalam rongga-rongga yang mengandung serous dan di antara sel-sel, jaringan, atau organ. Darah keluar dari pembuluh darah karena adanya lubang pada dinding atau darah menerobos dinding yang utuh karena peningkatan porositas dari pembuluh darah tersebut. Kebocoran dinding dapat terjadi melalui kerobekan (per reksis) dan perenggangan jarak antara sel-sel dinding vaskula (per dipedisis). Hemoragi dapat disebabkan oleh trauma yaitu kerusakan dalam bentuk fisik yang merusak sistem vaskula jaringan di daerah benturan/kontak, infeksi agen infeksius terutama menyebabkan septisemia, bahan toksik yang merusak endotel kapiler dan faktor lain yang menyebabkan dinding vaskula lemah sehingga pembuluh darah rentan untuk bocor (Pazra 2008). Kualitas air media budidaya yang diperoleh selama pengambilan sampel menunjukkan kisaran kualitas air yang ideal untuk pertumbuhan kerapu. Tabel 4 menunjukkan bahwa suhu, salinitas, kelarutan oksigen, dan amoniak berada pada kisaran yang ideal. Suhu yang diperoleh dalam pengambilan sampel menunjukkan kisaran 28-29. Ghufran dan Tancung 2005 menyatakan bahwa suhu ideal untuk pemeliharaan ikan kerapu bebek yakni antara 28-29 oC. Perubahan air secara drastis mampu untuk mempengaruhi mekanisme pertahanan dan antibody serta dapat menjadi stressor untuk ikan. Suhu air secara langsung dapat mempengaruhi respon fisiologis, reproduksi, dan pertumbuhan (Effendi 2003).
13
Salinitas yang diukur menunjukkan bahwa media air yang digunakan dalam pemeliharaan menunjukkan kisaran antara 31-34 ppt. Menurut Ghufran dan Tancung (2005), kisaran ideal salinitas buat ikan kerapu bebek berkisar antara 3335 ppt. Tingkat salinitas yang terlampau tinggi dapat mengakibatkan respon stres dari akut hingga kronis pada ikan budidaya ( Noga 2000). Perubahan salinitas yang signifikan dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi ikan. Kelarutan oksigen yang diukur menunjukkan kisaran antara 6,10-8,12 mg/l. Kisaran oksigen terlarut yang ideal untuk budidaya kerapu bebek berkisar antara >5 mg/l (Ghufran dan Tancung 2005). Rendahnya kadar oksigen di suatu perairan dapat menyebabkan ikan menjadi stres sehingga sistem imun menjadi menurun. Pada saat itu, serangan penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh ikan, baik berupa bakteri ataupun parasit. Amoniak yang diperoleh pada pengambilan sampel menunjukkan kisaran 0,005-0,012 mg/l. Menurut Boyd (1982), kadar amoniak yang terdapat dalam budidaya ikan kerapu bebek yang ideal yakni <0,5 mg/l. Kadar amoniak yang meningkat di perairan menyebabkan ekskresi amoniak oleh ikan menurun dan kadar amoniak dalam darah dan jaringan meningkat. Amoniak juga dapat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Selain itu, terjadi perubahan histologi pada ginjal, empedu ddan jaringan tiroid serta darah ikan yang terkena sublethal amoniak.
14
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan Berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteri yang terdapat pada ginjal ikan
kerapu tikus Cromileptes altivelis diperoleh 3 isolat bakteri Vibrio. Isolat bakteri tersebut dapat dibedakan dari warna koloni yang terlihat yaitu warna kuning menunjukkan bakteri Vibrio sp. 1 dan Vibrio sp. 3, warna hijau menunjukkan bakteri Vibrio sp. 2. 4.2. Saran Perlu dilakukan penelitian untuk pengobatan vibriosis pada ikan kerapu bebek.
15
DAFTAR PUSTAKA Angka, S.L., Mokoginta, I., dan Hamid, H. 1990. Anatomi dan Histologi Banding Bebeapa Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Austin B. dan Austin D.A. 1993. Bacterial fish pathogens. Di- sease in farmed and wild fish. Second edition. Ellis Horword limited. Chichester, England. 383 p. Anonim. 2011. Cetak Rupiah dari Kerapu. www.trubus-online.co.id. [10 Januari 2011]. Boyd, C.E., 1982. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Auburn: Auburn University, Internasional Centre for Aquaculture Experiment Station. Cowan, S T. 1974. Manual for Identification of Medical Bacteria. Second Edition. Cambrige University. Cambridge. 283p. Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. Ghufran, M. dan Tancung, A.B. 2005. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta. Latama, G.2002. Cestoda: Parasit Cacing Pada Ikan dan ke Manusia. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Nabib R, dan Pasaribu F.H. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Deptartemen Pendidikan dan Keudayaan, Dirjen. Pendidikan Tinggi, P.A.U. Bioteknologi, IPB. Bogor. 158p. Noga, E.J. 2000. Fish Disease: Diagnosis and Treatment. Iowa State University Press. Pazra, D.F. 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Otot, dan Usus pada Ikan Lele Clarias spp. Asal Dari Daerah Bogor. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Prince, S.A. dan Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi. Edisi VI. Volume 1. EGC, Philadelphia. Rahayu, A.M., 2009. Keragaman dan Keberadaan Penyakit Bacterial dan Parasitik Benih Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus di Karamba Jaring Apung Balai Sea Farming Kepulauan Seribu, Jakarta. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Isntitut Pertanian Bogor. Takashima, F. Dan Hibiya,T. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and Pathological Feature. Edisi II. Kodansha Ltd, Tokyo. 195p. Utari, H.B. 1998. Patogenitas Bakteri Vibrio harveyi Luminesen dan Non Luminesen Terhadap Kehidupan Post Kehidupan Larva Udang Windu (Panaeus monodon). [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Airlangga. 16
Yanuhar, U. 2008. The role of Haemagglutinin Protein as Adhesin Molecule of Fimbriae Vibrio alginolyticus That Recognized by Receptor Membrane Protein of Intestine Cromileptes altivelis Within Pathomechanism Infection of Vibriosis. Pressented on International Seminar Management Strategy on Animal Health and Production Control in the Anticipation of Global Warming for the Achievement of Millennium Developmental Goals, Surabaya. Zhang X.H. dan Austin B. 2000. Pathogenicity of Vibrio harveyi to Salmonid. Journal of Fish Disease 23 (1) : 93-102
17
LAMPIRAN Lampiran 1. Pertumbuhan panjang dan berat ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis Tanggal
Kode Ikan
Panjang (cm)
Berat(gr)
26/4/2010
A1
9,9
12,23
A2
10,1
15,56
A3
9,9
13,89
B1
9,1
12,45
B2
8,8
10,46
B3
9,5
12,12
C1
10,4
15,12
C2
9,1
12,45
C3
9,4
11,79
A1
9,6
12,87
A2
9,4
13,54
A3
10,6
15,21
B1
9,8
12,14
B2
9,4
14,47
B3
9,5
14,89
C1
10,1
15,56
C2
9,2
14,56
C3
9,3
13,23
A1
9,6
15,96
A2
9,7
14,85
A3
9,5
14,61
B1
10,5
13,49
B2
9,8
12,12
B3
10,1
13,46
C1
9,9
12,13
C2
10,2
14,35
5/4/2010
14/5/2010
18
Tanggal 22/5/2010
Kode Ikan
Panjang (cm)
Berat(gr)
C3
9,7
13,39
A1
10,1
15,56
A2
10,2
14,89
A3
9,9
15,56
B1
10,8
16,48
B2
10,4
17,59
B3
10,6
16,89
C1
11
18,78
C2
10,6
15,94
C3
10,1
16,64
19
Lampiran 2. Hasil pengukuran kualitas air pada media ikan kerapu bebek Tanggal
Waktu Suhu (oC) DO (mg/l) Salinitas (ppt) Amoniak (mg/l)
25/4/2010 06.00
29
6,45
31
0,009
12.00
28
7,12
32
0,012
18.00
29
6,87
31
0,005
23.00
29
8,12
32
0,010
06.00
28
6,23
32
0,007
12.00
29
7,56
32
0,009
18.00
29
7,47
33
0,010
23.00
29
6,64
32
0,006
13/5/2010 06.00
29
6,31
33
0,005
12.00
28
7,97
32
0,010
18.00
28
7,64
31
0,009
23.00
29
6,98
33
0,011
21/5/2010 06.00
29
6,10
32
0,006
12.00
28
8,19
33
0,009
18.00
29
7,73
34
0,011
23.00
29
7,34
33
0,007
4/5/2010
20
Lampiran 3. Tahapan Pembuatan Preparat Histopatologi 1. Fiksasi jaringan dan parafinasi a. Fiksasi Fiksasi merupakan tahapan yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi post-mortem dari suatu jaringan atau organ. Larutan fiksasi yang digunakan yaitu larutan Bouin’s yang memiliki komposisi asam pikrat, formalin, dan asam glasial dengan perbandingan 15:5:1. Jaringan tersebut direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film dengan volume larutan fiksatif sebanyak 15-20 kali volume jaringan. b. Dehidrasi Dehidrasi dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari dalam sel dengan cara merendam jaringan yang telah difiksasi ke dalam alkohol mulai dari konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Tahap pertama yaitu perendaman di dalam alkohol 70% selama 24 jam. Perendaman dilakukan di dalam botol film yang sebelumnya telah digunakan untuk perendaman larutan fiksatif yang telah dibuang terlebih dahulu. Kemudian organ dibungkus dengan menggunakan kain kasa dan diikat dengan benang seperti teh celup. Setelah 24 jam organ tersebut ditiriskan dan dimasukkan kembali ke dalam botol alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing 2 jam. Selanjutnya dimasukkan lagi ke dalam alkohol 100% selama 12 jam pada suhu ruang. c. Clearing Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan alkohol dan penambahan clearing agent (xylol) yang berfungsi sebagai pelarut parafin. Tahap pertama jaringan tersebut direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan perendaman pada xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing selama 30 menit pada suhu ruang.
21
d. Impregnasi Impregnasi dilakukan untuk penggantian xylol dengan parafin cair yang berlangsung dalam oven pada suhu 600C. Tahapan yang dilakukan yaitu dengan melakukan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) pada gelas piala selama 45 menit. e. Embedding Embedding merupakan proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven pada suhu 600C untuk mencairkan parafin, karena titik cair parafin yaitu 54-580C. Tahap tersebut dilakukan untuk menyusupkan parafin ke dalam seluruh celah antar sel maupun ke dalam sel agar lebih tahan pada saat proses pemotongan. Proses perendaman dilakukan di dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II, dan parafin III secara berturut-turut masingmasing selama 45 menit. f. Blocking Blocking dilakukan untuk mencetak jaringan yang telah diembedding dalam parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses pencetakan dilakukan pada kertas yang kaku dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituang hingga 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga agak membeku. Kemudian jaringan disusun dengan bagian sayatan yang diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituang lagi dengan parafin cair hingga jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan menmbeku pada suhu ruang selama 24 jam. g. Trimming Trimming merupakan proses pencetakan blok parafin yang telah membeku dengan sempurna yang sebelumnya kertas cetakan dilepas terlebih
dahulu.
Kemudian
blok
parafin
tersebut
dipotong
menggunakan silet agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada mikrotom.
22
2. Pemotongan jaringan Pemotongan
jaringan
dilakukan
dengan
menggunakan
mikrotom.
Ketebalan untuk tiap sayatan yaitu 4 mikrometer. Teknik pemotongan parafin adalah sebagai berikut. a. Blok parafin yang telah dipotong dengan silet diletakkan pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada holder mikrotom dan dikunci dengan kuat. Mata pisau yang digunakan harus yang tajam agar proses pemotongan parafin dapat dilakukan dengan sempurna. b. Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga yang diinginkan. Ketebalan sayatan yang digunakan untuk pengamatan adalah 4 mikrometer. c. Blok preparat digerakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu blok preparat tersebut dipotong secara teratur dan berkelanjutan. Pita-pita parafin yang terpotong diawal dibuang terlebih dahulu hingga diperoleh potongan yang mengandung preparat jaringan. d. Hasil irisan tersebut diambil dengan menggunakan jarum lalu diletakkan
dalam
waterbath
dengan
suhu
45-500C
hingga
mengembang. e. Pita parafin yang sudah mengembang selanjutnya ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat seperti albumin dengan cara memasukkan gelas parafin ke dalam waterbath dan digerakkan ke arah pita parafin hingga melekat pada gelas objek. Kemudian dibiarkan kering. 3. Pewarnaan jaringan a. Dewaxing Dewaxing merupakan proses untuk mengeluarkan parafin. Tahapan yang dilakukan sebelum dewaxing yaitu meletakkan gelas objek ke dalam keranjang preparat. Kemudian gelas objek yang telah dimasukkan ke dalam keranjang preparat direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing 2 menit. Jaringan akan tampak bersih karena lilin yang menempel menjadi terlepas.
23
b. Hidrasi Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek. Tahapan yang dilakukan dalam proses hidrasi yaitu dengan merendam gelas objek tersebut ke dalam alkohol 100% sebanyak dua kali, selanjutnya direndam dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama 2 menit. Setelah proses tersebut preparat jaringan direndam dalam akuades selama dua menit. c. Pewarnaan hematoksilin-eosin Setelah
hidrasi,
preparat
jaringan
tersebut
diberi
pewarna
hematoksilin-eosin. Tahapan yang dilakukan dalam proses tersebut yaitu perendaman preparat jaringan dengan pewarna hematoksilin selama 7 menit kemudian dicuci dengan air mengalir selama 7 menit untuk menghilangkan kelebihan zat pewarna yang tidak diserap. Kemudian preparat jaringan tersebut direndam dengan pewarna eosin selama 3 menit lalu dicuci dengan akuades. d. Dehidrasi Preparat jaringan tersebut selanjutnya direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90%, dan 100% masing-masing selama dua menit. Lalu preparat jaringan direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit. e. Mounting Preparat yang telah diwarnai dapat dibuat menjadi preparat yag lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent seperti enthellan. Selanjutnya preparat tersebut ditutup dengan menggunakan gelas penutup. Dalam proses penutupan diusahakan agar tidak timbul gelembung udara. Preparat dikeringkan pada suhu ruang selama 24 jam. Tahap akhir setelah hasil preparat kering yaitu pengamatan dengan menggunakan mikroskop.
24
Lampiran 4. Komposisi media yang digunakan untuk kultur bakteri patogen Sea Water Complete (SWC) untuk 100 ml Bacto peptone
0,5 gram
Yeast extract
0,1 gram
Bacto agar
2 gram
Glycerol
0,3 ml
Air laut
75 ml
Akuades
25 ml
Thiosulphate Citrate Bile-salt Sucrose (TCBS) untuk 100 ml TCBS
8,9 gram
Akuades steril
100 ml
Sulfide Indol Motil (SIM) untuk 100 ml SIM medium
3 gram
Akuades
100 ml
Oksidatif/Fermentatif (O/F) untuk 100 ml O/F medium
0,94
Akuades
100 ml
Media katalase H2O2
1 tetes
Media oksidase p-aminodimetilaniline-oxalat 1 %
1 tetes
25
Lampiran 5. Prosedur Pewarnaan Gram 1.Siapkan gelas objek yang bersih dari lemak dengan menggunakan alkohol 70% dan diberi label 2.Teteskan satu tetes akuades 3.Isolat diambil secara aseptik dengan jarum ose steril sebanyak 1 ose biakan, suspensikan secara homogen 4.Dilakukan fiksasi diatas nyala api hingga terlihat kering 5.Larutan Kristal Violet diteteskan diatas preparat dan dibiarkan selama 1 menit, cuci preparat dengan air mengalir 6.Larutan Iodine lugol diteteskan diatas preparat dan dibiarkan selama 1 menit, cuci preparat dengan air mengalir 7.Larutan alkohol aseton diteteskan diatas preparat dan dibiarkan selama 30 detik, cuci preparat dengan air mengalir 8.Larutan Safranin diteteskan diatas preparat dan dibiarkan selama 30 detik, cuci preparat dengan air mengalir 9.Preparat dapat diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x atau 1000x yang sebelumnya telah ditetesi dengan minyak imersi. 10. Hasil yang diperoleh berupa warna ungu untuk bakteri gram positif dan merah untuk bakteri gram negatif
26
Lampiran 6. Prosedur uji Oksidatif/Fermentatif 1.Koloni bakteri diambil sebanyak 1 ose dengan menggunakan jarum ose steril 2.Ditusukkan secara vertikal hingga ¾ pada kedua medium O/F 3.Ditambahkan 0,5 ml parafin cair steril pada salah satu medium 4.Diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam 5.Diamati perubahan warna yang terjadi, reaksi oksidatif bila media yang tidak ditutup dengan parafin berubah warna menjadi kuning dan yang tertutup parafin tetap berwarna hijau, sedangkan reaksi fermentatif bila kedua tabung berubah warna menjadi kuning.
27
Lampiran 7. Prosedur uji Motilitas 1.Koloni bakteri diambil sebanyak 1 ose dengan menggunakan jarum ose steril. 2.Ditusukkan secara vertikal hingga ¾ medium SIM 3.Diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam 4.Diamati pertumbuhan bakteri pada medium, hasil uji tersebut digunakan untuk mengetahui motilitas bakteri (ada tidaknya alat gerak/flagel), bakteri yang bersifat motil akan tumbuh menyebar pada permukaan media, sedangkan bakteri yang bersifat non motil hanya tumbuh pada bekas tusukan media.
28
Lampiran 8. Prosedur uji Katalase 1.H2O2 diteteskan pada gelas objek sebanyak satu tetes 2.Bakteri diambil sebanyak satu ose biakan bakteri 3.Diamati perubahan yang terjadi, jika terdapat gelembung menunjukkan reaksi positif, sedangkan uji dikatakan negatif jika tidak terdapat gelembung yang muncul
29
Lampiran 9. Prosedur uji Oksidase 1.p-aminodimethylaniline-oxalat 1% diteteskan pada kertas saring 2.1 ose biakan bakteri diambil dan dioleskan secara merata pada paminodimethylaniline-oxalat 3.Diamati perubahan warna yang terjadi, reaksi menunjukkan hasil positif jika kertas saring yang ditetesi p-aminodimethylaniline-oxalat 1% dan diolesi dengan bakteri berubah warna menjadi merah, sedangkan reaksi menunjukkan hasil
negatif jika kertas saring
yang ditetesi
p-
aminodimethylaniline-oxalat 1% dan diolesi dengan bakteri tidak menunjukkan perubahan warna.
30
Lampiran 10. Hasil Histologi Isolat Vibrio sp.1
Vibrio sp.2
Vibrio sp.3
Histopatologi Waktu Pengamatan (hari) Nekrosis Degenerasi Hemorragi Hipertropi 1 2 3 4 5 6 7 + + + + 8 + + + 9 + + + + 10 + + + + 1 2 3 4 5 6 7 8 + + + 9 + + + + 10 + + + + 1 2 3 4 5 6 7 + + + + 8 + + + 9 + + + + 10 + + + +
Keterangan: Perlakuan A= Vibrio sp. 1, B= Vibrio sp. 2, dan Perlakuan C= Vibrio sp. 3 = tidak ada kerusakan organ + = adanya kerusakan organ
31